PNPK ini dibuat sebagai arahan pemberi layanan di institusi layanan kesehatan baik tingkat I,
II dan III dalam menyusun suatu Panduan Praktik Klinik (PPK); suatu panduan rinci dalam
memberikan layanan atas pasien tumor otak di institusinya masing-masing dengan penyesuaian
situasi. Namun PNPK ini dapat juga secara langsung dipakai sebagai panduan dalam
melayanai pasien tumor otak dengan penyesuaian individu pasien dan kearifan setempat bila
PPK belum dibuat.
PNPK Penanganan Tumor Otak berisi pedoman layanan atas pasien tumor otak mulai dari
pencegahan, diagnosa , pengobatan, dan follow up. PNPK atas seluruh aspek penanganan tumor
otak diperlukan oleh sebab keberhasilan program penanganan (management) tumor otak
memang diperlukan sebab semua aspek itu akan memberi kontribusi yang ideal guna
tercapainya keberhasilan penanganan tumor otak secara keseluruhan.
Pencegahan primer sebagai usaha agar tumor otak tidak terjadi, yang dilakukan dengan
penelusuran beberapa faktor risiko, masih sulit dilakukan sebab beberapa faktor risiko bersifat
tidak dapat diubah (unmodifiable). Faktor risiko pada meningioma misalnya adanya kelainan
genetik (kehilangan kromosom 22 dan neurofibromatosis tipe 2) dan riwayat radiasi kranial,
dan trauma kepala. Sementara faktor risiko schwannoma berupa neurofibromatosis, pemberian
dosis tinggi sinar radiasi, dan paparan kebisingan. Pencegahan sekunder sebagai usaha untuk
menemukan tumor otak dalam stadium dini, dapat dilakukan dengan uji penapisan pada pasien-
pasien yang faktor risiko tinggi terjadinya tumor otak.
Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk diagnosa tumor otak yaitu Computed
Tomography (CT) Scan dengan kontras, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dengan kontras,
Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS), dan Diffusion Weighted Imaging (DWI), dan
Positron Emission Tomography (PET) Scan (atas indikasi). CT Scan berguna untuk melihat
adanya tumor pada langkah awal penegakkan diagnosa dan sangat baik untuk melihat
kalsifikasi, lesi erosi/destruksi pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran jaringan
lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial, namun mempunyai
keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan fungsional MRI seperti MRS sangat
baik untuk menentukan daerah nekrosis dengan tumor yang masih viabel sehingga baik
dipakai sebagai penuntun biopsi dan untuk menyingkirkan diagnosa banding, demikian
juga pemeriksaan DWI. Pemeriksaan PET dapat berguna pascaterapi untuk membedakan antara
tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat radiasi.
Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosa limfoma pada susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis
leptomeningeal, atau penyebaran kraniospinal seperti ependymoma.
Pemeriksaan laboratorium terutama dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien dan
kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun kemoterapi). Pemeriksaan
yang perlu dilakukan, yaitu: darah lengkap, hemostasis, Lactate Dehydrogenase (LDH), fungsi
hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C, dan elektrolit lengkap.
pengobatan pada tumor otak yaitu reseksi total bila memungkinkan dan melakukan biopsi
terbuka, biopsi stereotaktik, atau reseksi parsial. lalu dilakukan penahapan (staging)
dan pasien diberikan radiasi kraniospinal, kemoradiasi, ataupun radiasi dengan kemoterapi
ajuvanbergantung pada hasil penahapan.
Keadaan gawat darurat saraf (neuroemergency) seringkali terjadi pada pasien dengan tumor
otak, dan pasien ini membutuhkan terapi berupa pemberian kortikosteroid, hingga terapi
bedah untuk pemasangan pirau (VP-shunt) untuk menurunkan tekanan intrakranial. Proses
evaluasi dan pemantauan pasien dilakukan dengan foto MRI, yaitu setiap 2 bulan selama 2
tahun, lalu setiap 6 bulan selama 3 tahun, dan lalu setiap tahun.
Seiring dengan bertambahnya usia harapan hidup dan kemajuan teknologi kedokteran,
insidensi tumor otak terus meningkat. Tumor otak dapat memicu terjadinya perubahan
status mental, defisit neurologis, dan menciptakan beban sosial yang besar.(1)
Di Amerika dan Eropa, insidensi tumor otak meningkat dari 17.6/100.000 sampai
22.0/100.000 populasi dimana sekitar 18.500 masalah baru tumor otak primer didiagnosa tiap tahun
di Amerika dan masalah ini memiliki angka kematian yang cukup tinggi sebesar 3% untuk 5
tahun survival rate.(2) Di Republik Korea pada tahun 2010 sebanyak 10.004 masalah tumor otak
didiagnosa dari populasi 49,9 juta penduduk dimana 601 masalah (6%) berkembang pada anak -
anak di bawah usia 19 tahun.(1) Insiden pada laki–laki sebesar 38,6% dan pada wanita sebesar 61,4
%. Insidensi tumor otak jinak yaitu sebesar 71% dan tumor otak jinak ini berkembang dua kali
lebih sering pada wanita dibandingkan pada laki –laki. Insiden berdasar lokasi asalnya (tumor
origin) yaitu pada meninges (33%), parenkim otak (29,8%), bagian sellar (21,8%), nervus spinalis
dan cranialis (15,4%).(1)
Meskipun tumor otak primer dan metastasis secara menonjol memicu morbiditas dan
mortalitas, namun informasi epidemiologi tumor otak masih kurang, oleh sebab pendataan masalah
tumor otak masih belum wajib di beberapa negara termasuk di Indonesia. Selain itu, pencatatan
tumor otak sering terbatas hanya tumor otak ganas saja, sehingga tumor otak jinak sering
diabaikan. Beberapa negara (seperti Spanyol, Italia dan Perancis) juga memberikan data yang
bermanfaat, akan tetapi informasi klinis dan biologisnya jarang diinvestigasi.(2)
Pada tahun 2016 World Health Organization (WHO) mengklasifikasikan tumor Susunan
Saraf Pusat (SSP) berdasar nomenklatur molekular baru dan berdasar karakteristik
histologinya. Deskripsi histologi didasarkan pada kesamaan sel tumor dan gambaran sel otak yang
normal. Sebagai contoh, Glioma yang selnya mirip dengan astrosit akan menjadi astrositoma
namun jika selnya terlihat seperti oligodendrosit maka akan menjadi oligodendroglioma.(3)
Tumor otak dapat dibagi menjadi tumor otak primer dan sekunder. Tumor otak primer
merupakan tumor otak yang berkembang dari sel otak itu sendiri, sedang tumor otak sekunder
merupakan tumor otak yang berkembang sekunder atau metastasis dari tumor di bagian tubuh lain.
Kebanyakan tumor yang metastasis ke otak merupakan tumor payudara, ginjal, paru-paru,
melanoma dan kolorektal.(3)
Klasifikasi WHO pada tahun 2016 untuk tumor otak relevan untuk glioma. Berkembang
menjadi nomenklatur astrositoma/oligodendroglioma/Oligo-astrositoma/glioblastoma dengan
menilai alterisasi genetik Isocitrate Dehydrogenase 1 (IDH1) atau dua gen yaitu gen Alpha
Thalassemia/Mental Retardation Syndrome X-Linked (ATRX 1p) dan kromosom 19q.(3)
Dari seluruh tumor primer susunan saraf pusat, insidensi astrositoma anaplastik dan
glioblastoma multiforme (GBM) sekitar 38% dari keseluruhan tumor otak primer, sedang
meningioma dan tumor mesenkim lainnya 27%. Sisanya terdiri dari tumor otak primer yang
bervariasi, meliputi tumor hipofisis, schwannoma, limfoma SSP, oligodendroglioma,
ependimoma, astrositoma derajat rendah, dan medulloblastoma.(4)
Glioma dan meningioma merupakan masalah tumor otak yang paling sering ditemukan. Satu
dari tiga tumor otak primer yang terdiagnosa setiap tahunnya yaitu glioma. Glioblastoma
merupakan jenis glioma yang paling ganas. Dalam sebuah studi populasi di Inggris, didapatkan 4
masalah glioblastoma dari 100.000 populasi setiap tahunnya. Insiden tertinggi glioblastoma pada usia
63 tahun namun juga dapat mengenai berbagai usia.(3)
Infiltratif atau difus glioma yaitu termasuk astrositoma dan oligodendroglioma yang
merupakan jenis tumor otak yang paling banyak. Bailey dan Cushing mengklasifikasikan tumor
ini pertama kali pada tahun 1926 dari pola diferensiasi sel nya dan pendekatan ini meningkat dalam
beberapa dekade memakai gambaran histopatologis untuk mengklasifikasikan, menentukan
derajat (grading) dan prognosis.(5)
Meningioma juga merupakan salah satu jenis tumor otak primer yang paling sering
didapatkan. Tumor ini berkembang dari arachnoid cap cell dari duramater. Kebanyakan
meningioma muncul secara acak meskipun riwayat radiasi sebelumnya merupakan salah satu
faktor risikonya. Meningioma multipel muncul pada neurofibromatosis tipe 2. Mutasi spontan
pada gen Neurofibromatosis Type 2 (NF2) juga dilaporkan berhubungan dengan meningioma.
biasanya meningioma didiagnosa pada usia di atas 60 tahun dan insidennya meningkat
seiring peningkatan usia. Meningioma jarang ditemukan pada anak – anak dan dua kali lebih sering
terjadi pada wanita dibandingkan pada laki – laki.(6)
saat kita menduga adanya tumor otak maka pemeriksaan radiologi otak dapat dengan
cepat mendiagnosa tumor otak dan harus segera dilakukan. berdasar pedoman National
Institute for Health and Care Excellence (NICE) pada tahun 2017 merekomendasikan dilakukan
Magnetic Resonance Imaging (MRI) pada otak atau Computed Tomography (CT) Scan dengan
kontras jika tidak ada kontraindikasi. Pemeriksaan CT Scan atau MRI dengan kontras akan
memberikan gambaran adanya tumor otak lebih rinci dalam membantu menentukan jenis tumor,
rencana pembedahan dan radioterapi.(3)
Teknik pencitraan juga berperan penting sebagai penanda prognosis pada uji coba klinis
tumor otak. Kriteria luas yang dipakai yaitu melalui penilaian respons berdasar Neuro-
Oncology Working Group secara primer berdasar MRI yang disebut Response Assessment in
Neuro-Oncology (RANO). Positron Emission Tomography (PET) juga memiliki potensi dalam
keterbatasan MRI.(6)
Meskipun radiologi dapat memberikan prediksi jenis tumor dengan baik, namun
pemeriksaan jaringan diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosa dan untuk memberikan detil
molekuler yang penting. Prioritasnya lalu yaitu biopsi tumor. Jika lokasi tumor
memungkinkan dilakukan pembedahan maka pendekatan pembedahan dirancang untuk dilakukan
debulking yang lebih ekstensif dari biopsi, oleh sebab mereduksi ukuran tumor akan mengurangi
gejala yang dirasakan pasien.(3)
Terapi radiasi diberikan untuk tumor–tumor yang inoperable atau tumor yang tidak dapat
diangkat sepenuhnya dengan pembedahan, tumor-tumor atipikal dan tumor ganas atau tumor yang
rekuren.(7) Kemoterapi sistemik dapat diberikan dengan indikasi tumor otak ganas yang tidak dapat
dilakukan prosedur operasi atau pada pasien pascaoperasi yang tidak mampu diberikan radiasi
lebih lanjut.(7)
1.2 Permasalahan
Tumor otak memerlukan penanganan multidisiplin, sementara belum terdapat
keseragaman secara nasional dalam pendekatan terapi. Selain itu terdapat kesenjangan dalam
fasilitas sumber daya manusia dan sumber daya alat/sistem dari berbagai fasilitas/institusi layanan
kesehatan, baik untuk skrining, Diagnosa , maupun terapi, sehingga diperlukan kebijakan standar
yang profesional agar masing masing fasilitas ini dapat berperan optimal dalam penanganan
tumor otak di Indonesia.
1.3 Tujuan
1. Menurunkan morbiditas tumor otak di Indonesia
2. Membuat pedoman berdasar evidence based medicine untuk membantu tenaga medis
dalam melakukan diagnosa dan pengobatan tumor otak
3. Mendukung usaha diagnosa dini pada masyarakat umum dan pada kelompok risiko tinggi
4. Memberi rekomendasi bagi fasilitas pelayanan kesehatan primer sampai dengan tersier
dan penentu kebijakan untuk penyusunan protokol setempat atau Panduan Praktik Klinik
(PPK), dengan melakukan adaptasi terhadap Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
(PNPK) ini.
1.4 Sasaran
1. Seluruh jajaran tenaga kesehatan yang terlibat dalam pengelolaan tumor otak, sesuai
dengan relevansi tugas, wewenang, dan kondisi sarana dan prasarana yang tersedia di
pelayanan kesehatan masing-masing.
2. Pembuat kebijakan di lingkungan rumah sakit, institusi pendidikan, dan kelompok profesi
terkait.
BAB II
METODOLOGI
2.1 Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran pustaka dilakukan secara elektronik dan secara manual. Penelusuran bukti
sekunder berupa uji klinis, meta-analisis, uji kontrol teracak samar (randomized controlled trial),
telaah sistematik, ataupun pedoman berbasis bukti sistematik dilakukan pada situs Cochrane
Systematic Database Review, dan termasuk semua istilah-istilah yang ada dalam Medical Subject
Heading (MeSH). Penelusuran bukti primer dilakukan pada mesin pencari Pubmed, Medline, dan
TRIPDATABASE dengan kata kunci yang sesuai. Penelusuran secara manual dilakukan pada daftar
pustaka artikel-artikel review dan buku-buku teks yang ditulis 5 tahun terakhir. Penyusunan
panduan ini juga memakai konsensus dari European Association of Neuro-oncology (EANO),
National Comprehensive Cancer Network (NCCN), klasifikasi dari WHO dan lain-lain.
2.2 Penilaian – Telaah Kritis Kepustakaan
Seluruh bukti yang diperoleh telah dilakukan telaah kritis oleh dokter spesialis/subspesialis
yang kompeten sesuai dengan kepakaran keilmuan masing-masing.
2.3 Peringkat Bukti (Level of Evidence)
Dalam menetapkan rekomendasi untuk pengelolaan, sejauh mungkin dipakai tingkatan
bukti ilmiah tertinggi. Level of evidence ditentukan berdasar klasifikasi yang dikeluarkan oleh
Oxford Centre for Evidence Based Medicine Levels of Evidence yang dimodifikasi untuk
keperluan praktis, sehingga peringkat bukti yaitu sebagai bukti IA untuk telaah sistematik
(systematic review) atau metaanalisis dari uji klinik, IB uji klinis yang besar dengan validitas yang
baik, IC all or none, II uji klinis tidak terandomisasi, III studi observasional (kohort, masalah kontrol)
dan IV konsensus dan pendapat ahli.
Pembuatan pedoman ini berdasar evidence based medicine dengan membagi tingkat
terapi maupun intervensi menjadi tiga kategori rekomendasi yaitu A, B dan C. (1, 2)
A. Didapat dari level pembuktian klas I, yaitu metode terapi atau intervensi/pembedahan
yang diperoleh dari penelitian yang bersifat prospektif Randomized Controlled Trial
(RCT) atau metaanalisis dari penelitian yang bersifat RCT. Metode ini merupakan gold
standard dari penelitian klinis (high degree of clinical certainty).(1)
B. Didapat dari level pembuktian klas II, yaitu metode terapi atau intervensi/
pembedahan yang diperoleh dari penelitian yang bersifat analisis baik prospektif
maupun retrospektif (studi observasional, kohort, masalah -kontrol, dan studi prevalensi).
Metode ini merupakan guideline (moderate clinical certainty).(1)
C. Didapat dari level pembuktian klas III, yaitu metode terapi atau intervensi/
pembedahan yang diperoleh dari penelitian retrospektif, masalah serial, dari data
registrasi pasien, laporan masalah , review masalah , dan pendapat ahli (level pembuktian IV).
Metode ini merupakan option (unclear clinical certainty).(1)
Tabel 2.1 Level of Evidence Modified SIGN (Scottish Intercollegiate Guideline Network ) 2015
Level of
Evidence
Evidence Finding
IA
Evidence diperoleh berdasar hasil metaanalisis atau sistemik review dari
berbagai uji klinik acak dengan kontrol/kelola (randomized controlled trials
study/RCT)
IB Evidence berasal dari minimal satu uji klinik acak dengan kontrol/kelola (RCT)
IIA
Evidence berasal dari paling sedikit satu uji klinik dengan pembanding, tapi
tanpa randomisasi
IIB
Evidence berasal dari paling sedikit satu hasil penelitian
dengan rancangan quasi-eksperimental
III
Evidence berasal dari penelitian deskriptif non-eksperimental (studi
komparatif, korelasi dan studi masalah )
IV
Evidence berasal dari laporan komite ahli atau opini, maupun pengalaman
klinik ahli yang diakui.
2.4 Derajat Rekomendasi
berdasar peringkat itu dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut: Rekomendasi A bila
berdasar pada bukti level IA, IB atau IC, Rekomendasi B bila berdasar pada bukti level II.
Klasifikasi Rekomendasi berdasar Evidence Based Medicine–High Technology Assesment baik
Diagnosa maupun tindakan:(2)
1. Gold Standard (High degree of clinical certainty) > ( I-A, I-B )
Rekomendasi : A
2. Guideline (Moderate clinical certainty) > ( II-A, II-B)
Rekomendasi : B
3. Option (Unclear clinical certainty) > ( III- IV )
Rekomendasi : C
Rekomendasi C bila berdasar atas bukti level III
Rekomendasi D bila berdasar atas bukti level IV
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Prinsip Penanganan Tumor Otak Secara Umum
3.1.1. Definisi dan Klasifikasi
Istilah “tumor otak” merujuk pada berbagai grup neoplasma yang berasal dari jaringan
intrakranial, termasuk meningen (contoh : meningioma) dengan berbagai derajat keganasan,
dimulai dari yang jinak hingga ganas atau agresif. Setiap jenis tumor memiliki gambaran
biologi, pengobatan , dan prognosis tersendiri yang biasanya dipicu oleh berbagai faktor
risiko. Prognosis pada tumor otak sangat bergantung pada lokasi, sifat infiltratif dan biologis
tumor.(1) berdasar asal jaringannya, tumor otak dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu
tumor otak primer dan tumor otak sekunder atau metastasis. Tumor otak primer berasal dari
berbagai jaringan intrakranial termasuk neuron, sel glia, astrosit dan termasuk meningen.
Tumor otak sekunder merupakan metastasis dari tumor primer di tempat lain, biasanya berasal
dari tumor primer ganas solid, seperti kanker paru, payudara, melanoma dan ginjal, maupun
keganasan hematologi, seperti limfoma dan leukemia.(2) Metastasis ini dapat menyerang
parenkim otak, leptomeningen maupun duramater.(1, 3)
Tabel 3.1 menunjukkan pembagian berbagai jenis tumor otak berdasar jaringan asal,
lokasi, histopatologi dan keganasan berdasar World Health Organization (WHO).(4-6)
Tabel 3.1. Klasifikasi Tumor Otak berdasar World Health Organization (WHO).(4-6)
Diffuse Astrocytic and Oligodendroglial Tumours
Diffuse Astrocytoma, IDH- mutant 9400/3
Gemistocytic astrocytoma, IDH-mutant 9411/3
Diffuse Astrocytoma, IDH-wildtype 9400/3
Diffuse Astrocytoma, NOS 9440/3
Anaplastic astrocytoma, IDH- mutant 9401/3
Anaplastic astrocytoma, IDH- wildtype 9401/3
Anaplastic astrocytoma, NOS 9401/3
Glioblastoma, IDH-wildtype 9440/3
Giant cell glioblastoma 9441/3
Gliosarcoma 9442/3
Epitheloid Glioblastoma 9440/3
Glioblastoma, IDH-mutant 9445/3
Glioblastoma, NOS 9440/3
Diffuse midline glioma, H3 K27M-mutant 9385/3
Oligodendroglioma, IDH-mutant and 1 p/19q codeleted 9450/3
Oligodendroglioma, NOS 9450/3
Anaplastic oligodendroglioma, IDH-mutant and 1p/19q codeleted 9451/3
Anaplastic oligodendroglioma, NOS 9451/3
Oligoastrocytoma, NOS 9382/3
Anaplastic oligoastrocytoma, NOS 9382/3
Other Astrocytic tumours
Pilocytic astrocytoma 9421/1
Pilomyxoid astrocytoma 9425/3
Subependymal giant cell astrocytoma 9384/1
Pleomorphic Xantroastrocytoma 9424/3
Anaplastic pleomorphic xanthoastrocytoma 9424/3
Ependymal tumours
Subependimoma 9383/1
Myxopapilalry ependymoma 9394/1
Papillary ependymoma 9393/3
Clear cell ependymoma 9391/3
Tanycytic ependymoma 9391/3
Ependymoma, RELA fusion-positve 9396/3
Anaplastic ependymoma 9392/3
Other gliomas
Choroid glioma of the thrid ventricle 9444/1
Angiocentric glioma 9431/1
Astroblastoma 9430/3
Choroid plexus tumours
Choroid plexus papilloma 9390/0
Atypical choroid plexus papilloma 9390/1
Choroid-plexus carcinoma 9390/3
Neuronal and mixed neuronal-glial tumours
Dysembryoplastic neuroepithelial tumor 9413/0
Gangliocytoma 9492/0
Ganglioglioma 9505/1
Anaplastic ganglioglioma 9505/3
Dysplastic cerbellar gangliocytoma 9493/0
(Lhermite-Duclos disease)
Desmoplastic infantile astrocytoma and ganglioglioma 9412/1
Papillary glioneural tumour 9509/1
Rosette-forming glioneural tumour 9509/1
Diffuse leptomeningeal glioneural tumor
Central neurocytoma 9506/1
Extraventricular neurocytoma 9506/1
Cerebellar Liponeurocytoma 9506/1
Paraganglioma 8693/1
Tumours of the pineal region 9361/1
Pineal parenchymal tumour of intermediate differentiation 9362/3
Pineoblastoma 9362/3
Papillary tumour of the pineal region 9395/3
Embryonal tumours
Medulloblastomas, gentically defined 9475/3
Medulloblastoma, NWT-activated 9476/3
Medulloblastoma, SHH-activated and TP53-mutant 9471/3
Medulloblastoma, non WNT/non SHH 9477/3
Medulloblastoma group 3
Medulloblastoma, group 4
Medulloblastomas, histologically defined
Medulloblastoma, classic 9470/3
Medulloblastoma, desmoplastic/nodular 9471/3
Medulloblastoma with extensive nodularity 9471/3
Medulloblastoma, large cell/anaplastic 9474/3
Medulloblastoma, NOS 9470/3
Embryonal tumour with multilayered rosettes, C19MC-altered 9478/3
Embryonal tumour with multilayered rosettes, NOS 9478/3
Medulloepithelioma 9501/3
CNS neuroblastoma 9500/3
CNS ganglioneuroblastoma 9490/3
CNS embryonal tumour, NOS 9473/3
Atypical teratoid/rhaboid tumour 9508/3
CNS embryonal tumour with rhabdoid features 9508/3
Tumours of the cranial and paraspinal nerves 9560/0
Cellular schwannoma 9560/0
Plexiform schwannoma 9560/0
Melanotic schwannoma 9560/1
Atypical neurofibroma 9540/0
Plexiform neurofibroma 9550/0
Hybrid nerve sheath tumours 9540/3
Malignant peripheral nerve sheath tumour
Epitheloid MPNST 9540/3
MPNST with perineurial differentiation 9540/3
Meningothelial meningioma 9531/0
Ifbrous meningioma 9532/0
Transisional meningioma 9537/0
Psammomatous meningioma 9533/0
Angiomatous meningioma 9534/0
Microcystic meningioma 9530/0
Secretory meningioma 9530/0
Lymphoplasmacyte-rich meningioma 9530/0
Metaplastic meningioma 9538/1
Choroid meningioma 9538/1
Clear cell meningioma 9539/1
Atypical meningioma 9538/3
Papillary meninggioma 9538/3
Rhabdoid meninggioma 9538/3
Anaplastic (malignant) meninggioma 9530/3
Mesenchymal, non-meningothelial tumours 8815/0
Solitary fibrous tumour / hamangiopercytoma
Grade 1
Grade 2
Grade 3
8815/1
8815/3
Haemangioblastoma 9161/1
Haemangioma 9120/0
Epitheliod haemangioendothelioma 9133/3
Angiosarcoma 9120/0
Kaposi sarcoma 9140/3
Ewing sarcoma /PNET 9364/3
Lipoma 8850/0
Angiolipoma 8861/0
Hibernoma 8880/0
Lipsarcoma 8850/0
Desmoid-type fibromatosis 8821/1
Myofibroblastoma 8825/0
Infallmatory myofibroblastic tumour 8825/1
Benign fibrous histiocytoma 8830/0
Fibrosarcoma 8810/3
Undifferentiated pleomorphic sarcoma/malignant fibrous histiocytoma 8802/3
Leimyoma 8890/0
Leiomyosarcoma 8890/3
Rhabdomyoma 8900/0
Rhabdomyosarcoma 8900/3
Chondroma 9220/0
Chrondrosarcoma 9220/3
Osteoma 9180/0
Osteochondroma 9210/0
Osteosarcom 9180/3
Melanocytic tumours
Meningeal melanocytosis 8728/0
Meningeal melanocytoma 8728/1
Meningeal melanoma 8720/3
Meningeal melanomatosis 8728/3
Lymphomas
Diffuse large B-cell lymphoma of the CNS 9680/3
Immunodefficiency-associated CNS lymphomas
AIDS-related diffuse large B-cell Lymphoma
EBV-positive diffuse large B-cell lymphoma, NOS
Lymphomatoid granulomatosis 9766/1
Intavascular large B-cell lymphoma 9712/3
Low grade B-cell lymphomas of the CNS T-cell and NK/T-cell lymphomas of the CNS
Anaplastic Large cell Lymphoma, ALK-positive
9714/3
Anaplastic large cell lymphoma, ALK-negative 9702/3
MALT lymphoma of the dura 9699/3
Histiocytic tumours
Langerhans cell histiocytosis 9751/3
Erdheim-Chester disease 9750/1
Rosai-Dorfman disease 9755/3
Juvenile xanthogranuloma
Histiocytic sarcoma
Germ cell tumours
Germinoma 9064/3
Embryonal carcinoma 9070/3
Yolk sac tumour 9071/3
Choriocarcinoma 9100/3
Teratoma 9080/1
Mature teratoma 9080/0
Immature teratoma 9080/3
Teratoma with malignant transformation 9084/3
Mixed gem cell tumour 9085/3
Tumour of the sellar region
Craniopharyngioma 9350/1
Adamantinomatous craniopharyngioma 9351/1
Papillary craniopharyngioma 9352/1
Granular cell tumour of the sellar region 9582/0
Pituicytoma 9432/1
Spindle Cell oncocytoma 8290/0
Tabel 3.2. Derajat Tumor Otak berdasar WHO 2016
Tumor astrositik difus dan
oligodendroglial
GRADE Tumor regio pineal I
Diffuse astrocytoma, IDH-mutant II Pineocytoma II atau III
Anaplastic astrocytoma, IDH-mutant
III
Pineal parenchymal tumour of
intermediate differentiation
Glioblastoma, IDH-wildtype IV Pineoblastoma IV
Diffuse midline glioma, H3 K2&M-
mutant
IV
Papillary tumour of the pineal region
II atau III
Oligodendroglioma, IDH-mutant and
1p/19q-codeleted
III Tumor embryonal
Tumor astrositik lainnya Medulloblastoma (semua jenis) IV
Pilocytic astrocytoma I
Embryonal tumour with multilayered
rosettes, C19MC-altered
IV
Subependymal giant cell astrocytoma I Medulloepithelioma IV
Pleomorphic xanthoastrocytoma II CNS embryonal tumour, NOS IV
Anaplastic pleomorphic
xanthoastrocytoma
III Atypical teratoid/rhabdoid tumour IV
Tumor Ependimal
CNS embryonal tumour with rhabdoid
features
IV
Subependymoma I Tumor nervus kranial dan paraspinal
Myxopapillary ependymoma I Schwannoma I
Ependymoma II Neurofibroma I
Ependymoma, RELA fusion-positive II atau III Perineurinoma I
Anaplastic ependymoma III
Malignant peripheral nerve sheath
tumour (MPNST) I
1, III, atau
IV
Glioma Lainnya Meningioma
Angiocentric glioma I Meningioma I
Choroid glioma of third ventricle II Atypical meningioma II
Tumor pleksus choroid Anaplastic (malignant) meningioma III
Choroid plexus papilloma I
Tumor mesenkimal non-
meningotelial
Atypical choroid plexus papilloma II
Solitary fibrous tumour/
haemangiopericytoma
I, II, atau III
Choroid plexus carcinoma III Haemangioblastoma I
Tumor neuronal dan campuran
neuronal-glial
Tumor regio selar I
Dysembryoplastic neuroepithelial
tumour
I Craniopharyngioma I
Gangliocytoma I Granular cell tumour I
Ganglioglioma I Pituicytoma I
Anaplastic ganglioglioma III Spindle cell oncocytoma I
Dysplastic gangliocytoma of
cerebellum (Lhermitte-Duclos)
I
Desmoplastic infantile astrocytoma and
ganglioglioma
I
Papillary glioneuronal tumor I
Rosette-forming glioneuronal tumour I
Central neurocytoma II
Extraventricular neurocytoma II
Cerebellar liponeurocytoma II
3.1.2. Tanda Dan Gejala Umum
Gejala yang timbul pada pasien tumor susunan saraf pusat bergantung dari lokasi dan
pertumbuhan tumor. Pasien dengan tumor otak dapat datang dengan keluhan akibat
peningkatan tekanan intrakranial (nyeri kepala, mual, muntah proyektil), baik sebab efek
massa maupun sebab hidrosefalus yang dalam kondisi berat dapat memicu penurunan
kesadaran.(7-11) Pada glioma derajat rendah gejala yang biasa ditemui yaitu kejang, sementara
glioma derajat tinggi lebih sering menimbulkan gejala defisit neurologis progresif dan tekanan
intrakranial meningkat.
Gejala lain yang mungkin ditemukan yaitu defisit neurologis (gangguan penciuman,
gangguan penglihatan, pandangan ganda, baal-baal atau nyeri di wajah, kelemahan otot wajah,
gangguan pendengaran, menelan, dan lain-lain) yang bersifat progresif dan bergantung lokasi
tumor, kejang, penurunan kognitif, gangguan keseimbangan dan gangguan kepribadian. Tanda
dan gejala ini dapat dipakai untuk menentukan lokasi tumor sebelum dilakukan pemeriksaan
penunjang radiologis, sesuai dengan struktur anatomis yang terganggu.
3.1.3. Diagnosa
3.1.3.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan nafsu makan, muntah
proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan dobel, strabismus, gangguan keseimbangan,
kelumpuhan ekstremitas gerak), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi
kognitif.
3.1.3.2. Pemeriksaan status generalis dan status neurologis
3.1.3.2.1. Pemeriksaan Neurooftalmologi
Tumor otak ganas melibatkan struktur yang dapat mendestruksi jaras penglihatan dan
gerakan bola mata, baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga beberapa tumor otak
ganas dapat memiliki manifestasi neurooftalmologi yang khas seperti tumor regio sela, tumor
regio pineal, tumor fossa posterior, dan tumor basis kranii.
Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeriksaan neurooftalmologi terutama untuk
menjelaskan kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional tumor otak ganas. Pemeriksaan ini
juga berguna untuk mengevaluasi pre- dan post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi)
pada tumor-tumor ini .
3.1.3.2.2. Pemeriksaan Fungsi Luhur
Gangguan kognitif dapat merupakan soft sign, gejala awal pada tumor otak ganas,
khususnya pada glioma derajat rendah, limfoma, atau metastasis. Fungsi kognitif juga dapat
mengalami gangguan baik melalui mekanisme langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh
tumor otak ganas, maupun mekanisme tidak langsung akibat terapi, seperti operasi, kemoterapi,
atau radioterapi. Oleh sebab itu, pemeriksaan fungsi luhur berguna untuk menjelaskan
kesesuaian gangguan klinis dengan fungsional tumor otak ganas, dan mengevaluasi pre- dan
post tindakan (operasi, radioterapi dan kemoterapi). Bagi keluarga, penilaian fungsi luhur akan
sangat membantu dalam merawat pasien dan melakukan pendekatan berdasar hendaya.
3.1.3.2.3. Penilaian Fungsional
memakai Karnofsky Performance Status (KPS), dinilai saat awal masuk dan saat
keluar dari perawatan.
3.1.3.3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan sistemik dilakukan baik yang berhubungan dengan tumor otak, komorbid
maupun efek terapi. Hal ini dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien dan kesiapannya
untuk terapi yang akan dijalani (pembedahan, radiasi atau kemoterapi), berupa darah lengkap,
hemostasis, LDH, fungsi hati dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C dan elektrolit
lengkap. (7-11)
Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal (CSS) dapat dilakukan,
untuk menyingkirkan infeksi, menegakkan diagnosa limfoma pada sistem saraf pusat (SSP),
kecurigaan metastasis leptomeningeal atau pada penyebaran kraniospinal, dan pemantauan
terapi. (10, 11)
3.1.3.4. Pemeriksaan Radiologis
Prinsip gambaran tumor otak dan spinal merupakan daftar modalitas gambaran yang
tersedia dan dipakai utamanya di bagian neuro-onkologi untuk membuat keputusan
pengobatan. pemakaian yang paling sering yaitu MR spectroscopy. Perfusi MR, dan
scanning PET bertujuan untuk membedakan radiasi nekrosis dari tumor yang aktif, sebab ini
mungkin meniadakan kebutuhan untuk operasi atau tidak melanjutkan terapi yang tidak efektif.
Gambaran selalu direkomendasikan untuk mengidentifikasi tanda atau gejala yang muncul.(8)
MRI dari otak dan spinal (dengan atau tanpa kontras), merupakan standar baku emas
dan mampu menyediakan sebuah gambaran ‘statis’ dari tumor. Keuntungannya, MRI
menyediakan sebuah penggambaran yang cukup baik dari tumor, tumor dengan derajat yang
lebih tinggi dan metastasis leptomeningeal otak biasanya tidak meningkat. Keterbatasan MRI
yaitu sensitif terhadap gerakan, objek metalik yang dapat memicu artefak, pasien
dengan alat yang ditempel tidak dapat melakukan MRI, claustrophobia dapat menjadi sebuah
masalah, atau ketidakmampuan ginjal.
MRI otak pascaoperasi harus dilakukan dalam 24-72 jam pada masalah glioma dan tumor
otak untuk menentukan reseksi lanjutan. MRI otak dan spinal harus ditunda setidaknya 2-3
minggu untuk menghindari artefak akibat operasi. MR Spectroscopy menilai metabolit dalam
tumor dan jaringan normal. Dapat berguna dalam membedakan tumor dari radiasi nekrosis;
dapat membantu dalam menentukan derajat tumor atau menilai respons.
Daerah yang paling abnormal dapat menjadi tempat paling baik untuk dilakukan biopsi.
Keterbatasannya untuk tumor dekat pembuluh darah, rongga udara, atau tulang. Perfusi MR
untuk menghitung volume darah cerebral di tumor, dapat berguna untuk membedakan derajat
tumor atau tumor dengan nekrosis radiasi. Daerah dengan perfusi paling tinggi dapat menjadi
tempat terbaik untuk biopsi. Keterbatasannya untuk tumor dengan pembuluh darah, rongga
udara, tulang, lesi bervolume kecil, atau tumor di korda spinalis.(7)
CT Scan dari otak dan spinal (dengan atau tanpa kontras) dapat dipakai pada pasien
yang tidak dapat memakai MRI. Keuntungannya klaustrofobia atau alat yang tertempel
tidak menjadi masalah, dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan MRI. Keterbatasannya resolusi
lebih jelek dibanding MRI, khususnya dibagian fossa posterior, atau ketidakmampuan
ginjal.(7-10)
3.1.4. Prinsip Terapi Medikamentosa pada Tumor Otak
3.1.4.1. pengobatan Penurunan Tekanan Intrakranial
Pasien dengan tumor otak sering datang dalam keadaan neuroemergency akibat
peningkatan tekanan intrakranial baik pada tumor otak primer maupun tumor metastasis.
Hal ini terutama diakibatkan oleh efek desak ruang dari edema peritumoral atau edema
difus. Edema serebri dipicu oleh efek tumor langsung maupun terkait terapi, seperti
pasca operasi atau radioterapi dimana terjadi kebocoran plasma melalui dinding pembuluh
darah ke rongga interstisial akibat terganggunya sawar darah otak.(3, 4, 12) Gejala yang
muncul tergantung dari lokasi dan ekstensi dari edema berupa nyeri kepala, mual dan
muntah, perburukan gejala neurologis, dan penurunan kesadaran. Terapi medikamentosa
yang diberikan untuk tumor otak berupa steroid, manitol, salin hipertonik, dan anti kejang.(3,
4, 12)
3.1.4.1.1. Steroid
Pemberian steroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri dan memperbaiki
gejala yang dipicu oleh edema serebri, yang efeknya sudah terlihat dalam 24-36 jam.
Steroid yang direkomendasikan dan menjadi pilihan yaitu deksametason.(1) Untuk pasien
yang sebelumnya tidak mengkonsumsi steroid diberikan dosis bolus 10 mg intravena,
lalu dilanjutkan 6 mg per oral atau intravena setiap 6 jam atau 4 kali sehari. Pada
masalah dengan edema vasogenik yang berat, dosis ditingkatkan hingga 10 mg setiap 4 jam
atau 6 kali sehari. Pada anak-anak diberikan dosis bolus 0,5-1 mg/kgBB intravena,
dilanjutkan 0,25-0,5 mg/kgBB per oral atau intravena dengan interval yang sama dengan
pasien dewasa. Pada pasien yang sedang mengkonsumsi steroid dan mengalami defisit
neurologis mendadak diberikan dosis sebesar dua kali lipat.(3)
Pada pemberian steroid jangka panjang harus diperhatikan efek penekanan terhadap
aksis hipofise-hipotalamus yang memicu insufisiensi kelenjar adrenal.
Pemberhentian yang cepat dan tiba-tiba akan memperberat kondisi edema yang sudah ada.
Pada pemakaian selama 5-7 hari dapat dihentikan sesaat tanpa memberikan efek
samping yang menonjol . Sementara pemakaian hingga 2 minggu atau lebih harus
dilakukan tappering off.(3)
Efek samping pemberian steroid yakni gangguan toleransi glukosa, stress ulcer,
miopati, perubahan mood, peningkatan nafsu makan, Cushingoid dan sebagainya. Sebagian
besar dari efek samping ini bersifat reversibel apabila steroid dihentikan.(3)
3.1.4.1.2. Manitol
Gangguan sawar darah otak yang terjadi pada pasien tumor otak memicu
kebocoran manitol ke dalam rongga interstisial dan memicu edema semakin berat
dalam pemakaian jangka panjang. Oleh sebab itu, manitol tidak dianjurkan diberikan
sebab dapat memperburuk edema, kecuali bersamaan dengan deksametason pada situasi
yang berat, seperti adanya peningkatan tekanan intrakranial yang berat dan pasca operasi.(4)
Manitol (20%) dengan dosis 0,5-1,5 gr/kgBB efektif dalam menurunkan tekanan
intrakranial dalam waktu 15-35 menit sesudah pemberian. Hiperosmolaritas darah harus
dipertahankan untuk menjaga cairan tidak keluar ke rongga interstisial dengan memberikan
dosis rumatan 0,25-0,5 gr/kgBB dengan interval pemberian setiap 6 jam atau 4 kali sehari.
Batas atas osmolaritas yang aman untuk pemberian manitol yaitu 320 mOsm/L.(4)
Adanya efek samping berupa diuresis osmotik memerlukan pengawasan yang ketat
terhadap cairan dan elektrolit setiap 6 hingga 8 jam. Komplikasi yang terjadi antara lain
hipokalemia dan alkalosis akibat diuresis, hiperglikemik hiperosmolar pada pasien diabetes
melitus, hiperosmolaritas yang terlalu tinggi dapat memicu kerusakan fungsi ginjal. (4)
3.1.4.2 Anti-kejang
Kejang merupakan komplikasi yang sering terjadi dan memberikan efek yang
merugikan, terjadi pada 20-40% pasien dengan tumor otak. Kejang mengganggu jalur
pernapasan, meningkatkan tekanan CO2, dan memperberat edema serebri dan pada akhirnya
meningkatkan tekanan intrakranial.(12) Oleh sebab itu, pasien yang mengalami kejang
sebab tumor otak harus segera diberikan antikonvulsan atau obat antiepilepsi (OAE) untuk
mencegah kejang berulang yang dapat memicu perburukan kondisi. (13)
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat, antara lain
kemungkinan interaksi obat dengan kemoterapi dan deksamethason, terutama pada OAE
generasi lama seperti fenitoin, karbamazepin, dan fenobarbital. Obat-obat ini dapat
dipengaruhi dan dapat mengurangi tingkat sirkulasi obat-obat kemoterapi dan
deksametason, sehingga menjadi kurang efektif. Demikian pula pada pemberian radioterapi.
Dosis fenitoin yaitu maksimal 300mg/hari sebab bersifat toksik pada pasien dengan
kondisi-kondisi ini . (13-15)
Kondisi yang harus diwaspadai yaitu status epileptikus tonik klonik, yaitu
bangkitan epileptik yang berlangsung secara terus menerus selama minimal 30 menit, atau
berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan. Namun Pengobatan sudah dapat
diberikan jika kejang berlangsung lebih dari 5 menit dengan pemberian diazepam IV 0,15-
0,2mg/kgBB/kali, maksimal 10mg/kali, dapat diulang 1 kali. lalu jika masih
terdapat kejang dapat diberikan terapi lini kedua, antara lain fenitoin, asam valproat, atau
levetiracetam. Dosis fenitoin yaitu IV 15-20mg/kgBB perlahan-lahan (kecepatan
50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang 5-10mg/kgBB/kali intravena. Adapun dosis asam
valproat yaitu 20-40mg/kgBB per oral, maksimal 3000mg/kali, sedang dosis
levetiracetam yaitu 20-60mg/kgBB per oral, maksimal 4500mg/kali, dosis tunggal. (16, 17)
Asam valproat merupakan salah satu OAE generasi lama yang lebih sedikit
interaksinya dan aman untuk dipakai dengan dosis 20-40mg/kgBB/hari, titrasi mulai dari
10mg/kgBB/hari. Terapi kejang yang disarankan juga memakai OAE generasi terbaru,
yaitu levetiracetam (kecuali pada gangguan ginjal) dengan dosis 20-40mg/kgBB/hari
dimulai dari 250mg/hari, lamotrigin (kecuali pada gangguan hepar) 25mg per hari dinaikkan
tiap 2 minggu hingga maksimal 400mg/hari, atau topiramat yang memberikan tingkat
keamanan lebih baik dibandingkan obat-obatan sebelumnya. Dosis loading topiramat yaitu 6-
9mg/kgBB/hari, titrasi mulai dari 3mg/kgBB/hari. (12, 16)
Pasien dengan kejang perlu dilakukan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) yang
dikombinasikan dengan CT scan atau MRI kepala dengan kontras, didan i dengan
gambaran klinis kejang untuk menentukan kemungkinan rekurensi kejang berikutnya dan
memastikan diagnosa dan kesesuaian fokus kejang dengan lokasi tumor. (16)
Kondisi ekstrakranial juga harus dikendalikan untuk mencegah kejang berulang,
antara lain hipoksia, hipernatremia, hiponatremia, hiperglikemia, dan asidosis.(12) Perhatian
khusus pada keadaan trombositopenia untuk tidak diberikan asam valproat ataupun
levetiracetam. Efektivitas obat-obatan anti kejang profilaksis masih belum terbukti lebih
baik dibandingkan tanpa profilaksis, malah berpotensi terdapat efek samping obat. Pada
epilepsi refrakter dipertimbangkan reseksi bedah. (13, 15)
3.1.4.3 Pengobatan Nyeri
Pada tumor otak ganas, nyeri yang muncul biasanya yaitu nyeri kepala. berdasar
patofisiologinya, pengobatan nyeri ini berbeda dengan nyeri kanker biasanya . Nyeri
kepala akibat tumor otak bisa dipicu akibat traksi langsung tumor terhadap reseptor
nyeri di sekitarnya. Namun nyeri kepala tersering yaitu akibat peningkatan tekanan
intrakranial, yang jika bersifat akut terutama dipicu oleh adanya edema peritumoral.
Oleh sebab itu pengobatan utama bukanlah obat golongan analgesik, namun golongan
glukokortikoid seperti deksametason atau metilprednisolon intravena atau oral sesuai
dengan derajat nyerinya.
Pada tumor tertentu, gejala klinis nyeri biasanya bersifat lokal atau radikular ke
sekitarnya, yang disebut nyeri neuropatik, seperti pada nyeri di daerah retroorbita, sela, sinus
kavernosus, atau klivus Pada masalah ini pilihan obat nyeri yaitu analgesik yang tidak
menimbulkan efek sedasi atau muntah sebab dapat mirip dengan gejala tumor otak pada
umumnya. Oleh sebab itu dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20 mg/kg berat badan
perkali dengan dosis maksimal 4000 mg/hari, baik secara oral maupun intravena sesuai
dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik yang lebih dominan, maka golongan
antikonvulsan menjadi pilihan utama, seperti gabapentin 600-1200 mg/hari, maksimal 3600
mg/hari.
3.1.5. Pembedahan pada Tumor Otak
Pembedahan merupakan salah satu modalitas terapi yang sangat penting dalam terapi tumor
otak baik untuk perbaikan kondisi klinis dan penegakan diagnosa patologi anatomi.
Perencanaan sebelum operasi, posisi pasien pada saat operasi, dan ukuran prosedur
kraniotomi bertujuan agar dokter dapat melakukan yang terbaik untuk mengangkat tumor
secara aman.(6, 18)
Prinsip operasi tumor otak meliputi prinsip pemandu, total reseksi, morbiditas operasi
minimal dan diagnosa akurat. Faktor yang berpengaruh meliputi usia, status KPS (Karnofsky
Performance Status), kelayakan untuk menurunkan efek massa dengan operasi, tumor baru
dengan tumor berulang, patologi yang diduga jinak atau maligna, kemungkinan diagnosa lain
non-kanker dan riwayat yang diproyeksikan. Pilihan meliputi total reseksi saat layak, biopsi
stereotaktik, biopsi terbuka/ debulking. (6, 18)
Waktu untuk dilakukan pembedahan pada umumya bersifat elektif dengan
perencanaan, tetapi pada kondisi tertentu bisa menjadi tindakan emergensi/cito jika
didapatkan tanda-tanda tekanan intrakranial yang meningkat baik akibat langsung dari
ukuran tumor yang besar dan adanya perdarahan disekitar tumor (intratumoral bleeding)
ataupun akibat sekunder dari tumor sebab edema otak yang tidak membaik dengan
manajemen pengobatan dan obstruktif hidrosefalus. (6, 18)
Tujuan pembedahan pengangkatan tumor berbeda-beda tergantung pada patologi
penyakitnya berdasar intepretasi pada MRI atau CT Scan. Korelasi positif antara intepretasi
yang baik pada MRI atau CT Scan dan biologi tumor menjadi sangat penting disini. Prinsip
“first do no harm” harus menjadi dasar penentuan tujuan tindakan. Tujuan secara umum operasi
pengangkatan tumor yaitu maksimal eksisi tanpa memicu kerusakan fungsi otak jangka
panjang atau dengan kata lain seorang dokter bedah harus mampu menentukan kapan harus
menyisakan tumor jika diduga berisiko tinggi memicu morbiditas pada pasien.(7, 8)
Saat ini telah berkembang peralatan yang dapat memfasilitasi tindakan reseksi tumor
secara maksimal dan aman (maximum safe surgical resection) pada saat operasi diantaranya
yaitu intraoperative navigation dengan sistem frameless stereotaktik, pemantuan intraoperatif
(intraoperative monitoring), ultrasonography intraoperative, flourescence guided surgery,
teknik pembedahan mikro memakai mikroskop, endoscopic neurosurgery, dan MRI
intraoperatif.(6, 9-11, 18)
3.1.6. Prinsip Radioterapi pada Tumor SSP
Radioterapi merupakan modalitas terapi penting pada masalah tumor SSP. Radioterapi
dapat diberikan sebagai terapi definitif, ajuvan atau sebagai terapi paliatif. Dalam pemberian
radioterapi pada tumor SSP, terdapat beberapa teknik radioterapi yang dapat diberikan:
1. Radioterapi 2-D, diberikan pada masalah definitif pada radiasi kraniospinal dan
masalah paliatif seperti metastasis otak dan tulang
2. Radioterapi 3-D konformal, merupakan terapi standar pada masalah tumor SSP
dapat diberikan sebagai terapi definitif, ajuvan atau paliatif.
3. Intensity modulated radiotherapy (IMRT) atau Volumetric modulated arc
therapy (VMAT) diberikan pada tumor SSP yang letaknya berdekatan dengan
jaringan sehat penting seperti batang otak, chiasma optik atau saraf optik.
4. Stereotacic radiosurgery (SRS) diberikan pada masalah tumor SSP yang
berukuran kecil (diameter <3,5 cm) dan letaknya tidak menempel dengan
dengan jaringan sehat penting seperti batang otak, chiasma optik atau saraf
optik.(19)
5. Stereotacic radiotherapy (SRT) diberikan pada masalah tumor SSP yang tidak
dapat dilakukan SRS, seperti diameter > 3,5 cm atau letaknya menempel dengan
dengan jaringan sehat penting seperti batang otak, chiasma optik atau saraf
optik. (19)
6. Stereotacic body radiotherapy (SBRT) diberikan pada masalah metastases spinal
dengan keterlibatan tumor maksimal 3 ruas vertebrae, namun tidak boleh lebih
dari 2 ruas vertebrae berurutan. SBRT spinal diberikan pada masalah dengan
potensi kuratif atau dapat diberikan pada masalah reiradiasi.(20)
Volume tumor sebagai target radiasi ditentukan dengan memakai imaging pra dan
post-operasi, memakai MRI (T1 dengan kontras, T2 dan FLAIR) untuk menentukan gross
tumor volume (GTV). Clinical target volume (CTV) = GTV ditambah margin 1-2 cm ,
diberikan dengan radiasi dosis 45-60 Gy dengan 1,8-2 Gy/fraksi. Untuk teknik SRT atau SRS,
terdapat beberapa skema dosis dan fraksinasi disesuaikan dengan histopatologis tumor dan
tujuan terapi sebagai definitif atau booster. Pada masalah reiradiasi, dosis yang diberikan
tergantung dosis radiasi sebelumnya dan rentang waktu dengan radiasi sebelumnya, dengan
prioritas utama yaitu limitasi dosis pada organ sehat kritis seperti batang otak, medula spinalis,
chiasma optik dan saraf optik. Namun keputusan akhir penentuan dosis dikembalikan lagi
kapada dokter yang merawat. (1, 21, 22)
3.1.6.1. Glioma Derajat Rendah (Derajat I dan II)
Volume tumor sebagai target radiasi ditentukan memakai foto pra dan pasca
operasi, memakai MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk menentukan GTV. CTV
yaitu GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup infiltrasi tumor yang subDiagnosa . (21, 22)
3.1.6.2. Glioma Derajat Tinggi (Derajat III dan IV)
Volume tumor sebagai target radiasi ditentukan memakai foto pra dan pasca
operasi, memakai MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk menentukan GTV. CTV
yaitu GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup infiltrasi tumor yang subDiagnosa . (21, 22)
Lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase. Dosis yang direkomendasikan yaitu 60 Gy
dengan 2 Gy/fraksi atau 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, dosis yang sedikit lebih kecil seperti
55,8-59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9 Gy/fraksi dapat dilakukan jika
volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk astrositoma derajat III. Pada pasien dengan
KPS (Karnofsky Performance Status) yang buruk atau pada pasien usia tua, hipofraksinasi yang
diakselerasi dapat dilakukan dengan tujuan menyelesaikan terapi dalam 2-4 minggu. Fraksinasi
yang dipakai antara lain 34 Gy/10 fraksi, 40,5 Gy/15 fraksi, 50 Gy/20 fraksi. (21, 22)
3.1.6.3. Ependimoma
Volume tumor ditentukan dengan memakai pencitraan pra dan pasca operasi,
memakai MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk menentukan GTV. CTV
merupakan area anatomis tempat tumor primer praoperasi ditambah dengan abnormalitas signal
yang ditemukan pada MRI post-operasi (CTV = GTV + 1-2 cm), radiasi diberikan dengan dosis
54-60 Gy dengan 1,8-2 Gy per fraksi untuk gross tumor.
Pada ependymoma tanpa keterlibatan cairan serebrospinal, cukup diberikan radiasi
lokal dengan dosis dan target radiasi seperti ini di atas. Pada ependymoma dengan
keterlibatan cairan serebrospinal diperlukan Craniospinal Irradition (CSI) dengan lapangan
spinal sampai dengan bawah thecal sac untuk mengatasi microscopic tumor spread pada cairan
cerebrospinal.(23) Radiasi CSI untuk microscopic tumor diberikan dengan dosis 36 Gy
dengan1,8 Gy per fraksi. Apabila terdapat gross tumor pada spinal maka sesudah radiasi CSI
harus diikuti dengan booster lapangan terbatas pada lesi spinal sampai dengan 45-54 Gy dalam
1,8-2 Gy per fraksi. Apabila lokasi lesi primer di otak harus diberikan dosis total pada lesi
ini sampai dengan 54-60 Gy dalam 1,8-2 Gy per fraksi. (21, 22)
3.1.6.4. Medulloblastoma (Dewasa) dan PNET Supratentorial
Pada pasien dengan risiko rekurensi, diberikan dosis konvensional 30-36 Gy CSI
(Cranio-Spinal Irradiation) lalu booster pada tumor otak primer sampai dengan 54-55,8
Gy dengan atau tanpa kemoterapi ajuvan. Untuk dewasa muda dapat dipertimbangkan untuk
mengurangi dosis radiasi dengan tambahan pemberian ajuvan kemoterapi sehingga dosis
radiasi 23,4 Gy CSI, lalu booster pada lokasi tumor otak primer sampai dengan 54-55,8 Gy.
Pada pasien dengan risiko tinggi untuk rekurensi, diberikan dosisi radiasi 36 Gy CSI diikuti
booster pada lokasi tumor otak primer sampai dengan 54 – 55,8 Gy dengan tambahan
kemoterapi ajuvan. (21, 22)
3.1.6.5. CNS Limfoma Primer
Whole brain radiotherapy (WBRT) dapat dilakukan pada pasien dengan CNS limfoma
primer yang mendapatkan dan atau tanpa kemoterapi. WBRT diberikan hingga dosis 23,4 Gy
dengan 1,8 Gy per-fraksi bila dijumpai complete respone (CR) pasca kemoterapi. Untuk respon
yang kurang dari CR, dapat diberikan dosis WBRT yang sama diikuti dengan booster radiasi
lapangan terbatas pada gross tumor sampai dengan 45-54 Gy dengan 1,6-2 Gy per fraksi untuk
radiasi lokal pada residu tumor. Untuk pasien yang bukan kandidat kemoterapi, diberikan
WBRT dosis 24-36 Gy diikuti dengan booster pada gross tumor sampai dengan total dosis 45-
54 Gy dengan 1,6-2 Gy per fraksi. (21, 22)
3.1.6.6. Tumor Medula Spinalis Primer
Pada pasien dengan tumor medula spinalis primer, dapat diberikan radiasi lokal pada
masalah tanpa keterlibatan cairan cerebro spinal dengan total dosis 50,4Gy dengan 1,8 Gy per
fraksi. (24) Radiasi craniospinal (CSI) pada keterlibatan cairan cerebro spinal untuk mengatasi
microscopic tumor spread pada cairan cerebrospinal dengan dosis radiasi 36 Gy dengan 1,8 Gy
per fraksi dilanjutkan dengan booster radiasi pada gorss tumor hingga 45-54 Gy dengan
memakai 1,8 Gy/fraksi. Untuk tumor yang letaknya dibawah conus medullaris, dapat
diberikan radiasi CSI hingga 36 Gy dengan 1,8 Gy per fraksi dilanjutkan dengan booster hingga
to