Sabtu, 30 November 2024

tumor otak 2







 tal dosis 60 Gy. (21, 22)
3.1.6.7. Meningioma
Meningioma WHO derajat I / II pasca operasi dapat diberikan radiasi konvensional
dosis 45-60 Gy atau radiasi stereotactic dengan dosis tinggi per fraksi. Lapangan radiasi pada
meningioma sebaiknya dideliniasi berdasar  MRI brain pre-operasi dan post-operasi T1
dengan kontras dan T2/FLAIR untuk menentukan gross tumor (jika ada) atau tumor bed dengan
ekspansi margin clinical target volume (CTV) 1-2 cm dimana ekspansi margin dapat dikurangi
apabila tidak ada invasi ke parenkim otak. Dosis radiasi diberikan 45-60 Gy dalam fraksi 1,8-2
Gy bila ukuran tumor cukup besar. Untuk lesi dengan ukuran tumor yang lebih kecil dapat
dipertimbangkan pemberian stereotactic radiotherapy (SRT) dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-
20 fraksi atau stereotactic radiosurgery (SRS) dengan dosis 12-16 Gy dalam fraksi tunggal.(21,
22)
Meningioma WHO derajat III memiliki sifat yang lebih ganas sehingga diperlukan
adjuvant radiasi untuk hampir semua masalah . Lapangan radiasi ditentukan berdasar  MRI
brain pre-operasi dan post-operasi T1 kontras dan T2/FLAIR untuk deliniasi gross tumor (jika
ada) dan surgical bed dengan margin CTV 2-3 cm dan dosis radiasi 54-60 Gy dalam 1,8-2
Gy/fraksi. Apabila lesi tumor pada meningioma WHO derajat III cukup kecil maka juga dapat
dpertimbangkan pemberian stereotactic radiotherapy (SRT) dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20
fraksi atau stereotactic radiosurgery (SRS) dengan dosis 12-25 Gy dalam fraksi tunggal. (21, 22)
3.1.6.8. Metastasis Otak
Pada masalah  metastasis otak yang didiagnosa berdasar  hasil biopsi lesi otak maupun
yang didiagnosa  tanpa biospi lesi otak (dengan korelasi klinis dan radiologis) dapat diberikan
radiasi. Radiasi yang diberikan pada lesi metastasis otak dapat berupa WBRT atau SRT atau
SRS atau WBRT dengan simultaneous boost (WBRT-SIB) atau WBRT dilanjutkan dengan
SRT/SRS boost pada lesi tumor. Dosis WBRT bervariasi antara 20-40 Gy dalam 5-20 fraksi;
SRT antara 20-50 Gy dalam 3-10 fraksi, dan SRS berkisar antara 12-25 Gy disesuaikan dengan
volume tumor.(25)
3.1.6.9. Metastasis Leptomeningeal
Dosis dan volume target radiasi bergantung pada tumor primer dan lokasi yang
memerlukan paliasi.(25)
3.1.6.10. Metastasis Spinal
 Dosis pada metastasis korpus vertebra bergantung pada performa pasien, stabilitas
spinal, lokasi yang berhubungan dengan medula spinalis dan histologi tumor primer. Dosis
umum yang diberikan yaitu  15-40 Gy dalam 1-20 fraksi selama 1 hari hingga 4 minggu.(25)
Pemberian radiasi harus mempertimbangkan dosis kritis pada spinal dan rute saraf. Pada masalah  
tertentu atau masalah  rekurensi sesudah  radiasi sebelumnya, stereotactic body radiotherapy dapat
dipertimbangkan dengan dosis radiasi antara 8 – 24 Gy dalam 1-8 fraksi. Secara umum, waktu
antar terapi yang direkomendasikan untuk re-iradiasi pada daerah yang sama yaitu  lebih dari
6 bulan.(25)
3.1.7. Kemoterapi sistemik dan terapi target (targeted therapy)
Kemoterapi pada masalah  tumor otak ganas saat ini sudah banyak dipakai  sebab  
diketahui dapat memperpanjang survival rate dari pasien terutama pada masalah  astrositoma
derajat ganas. Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun saat ini telah
dipakai  temozolomide (TMZ) dan nimotuzumab pada glioblastoma dengan sebelumnya
melakukan pemeriksaan jaringan tumor terhadap EGFR (epidermal growth factor receptor) dan
ada tidaknya mutasi MGMT (methyl guanine methyl transferase).(26)  
Kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor dan meningkatkan
kualitas hidup pasien semaksimal mungkin. Kemoterapi biasa dipakai  sebagai kombinasi
dengan operasi dan/atau radioterapi. Dosis TMZ pada saat diberikan concomitant dengan
radiasi yaitu  75-100mg/m2, bila diberikan sebagai maintetance yaitu  150-200 mg/m2.(27)
3.1.7.1. Kemoterapi Intratekal
pengobatan  tumor otak ganas dengan memakai  kemoterapi seringkali terhambat
akibat penetrasi kemoterapi sistemik yang rendah untuk menembus sawar darah otak.
Pemberian kemoterapi intratekal merupakan salah satu usaha  untuk memberikan agen
antikanker langsung pada susunan saraf pusat. Kemoterapi intratekal dapat diberikan sebagai
salah satu pengobatan  leptomeningeal metastasis pada keganasan darah, seperti leukemia dan
limfoma. Tindakan ini dilakukan melalui prosedur lumbal pungsi atau memakai  Omaya
reservoir. (27)
3.1.8. Psikiatri
Pasien dengan tumor otak dapat mengalami gangguan psikiatri hingga 78%, baik
bersifat organik akibat tumornya atau fungsional yang berupa gangguan penyesuaian, depresi,
dan ansietas. Hal ini dapat menghambat proses pengobatan  terhadap pasien. Oleh sebab  itu,
diperlukan pendampingan mulai dari menyampaikan informasi tentang diagnosa  dan keadaan
pasien (breaking the bad news) melalui pertemuan keluarga (family meeting) dan pada tahap-
tahap pengobatan lalu . Pasien juga dapat diberikan psikoterapi suportif dan relaksasi
yang akan membantu pasien dan keluarga, terutama pada perawatan paliatif.
 
3.1.9. Prinsip dukungan nutrisi pada Tumor Otak
Penanganan tumor otak yang dapat berupa kombinasi operasi, radiasi, dan kemoterapi
memungkinkan efek samping yang memengaruhi metabolisme, oleh sebab  itu nutrisi berperan
saat  pasien mengalami efek samping ini . Makan makanan seimbang dapat membantu
pasien dapat merasa lebih baik dengan terhindar dari penurunan atau peningkatan berat badan
yang berlebihan, melawan infeksi, membantu efektivitas pengobatan, dan  perbaikan sel dan
penyembuhan luka dengan pembentukan jaringan baru
Status gizi merupakan salah satu faktor yang berperan penting pada kualitas hidup
pasien tumor ganas. Salah satu masalah nutrisi yang perlu mendapat perhatian pada pasien
tumor ganas yaitu  kaheksia. Kaheksia berkaitan erat pula dengan kondisi malnutrisi.
Malnutrisi, yang biasa terjadi terlebih dahulu; yaitu  suatu kondisi di mana ada komponen
nutrisi yang asupannya tidak sesuai anjuran, baik lebih ataupun kurang. Malnutrisi merupakan
kondisi yang umum ditemukan pada pasien tumor ganas, mencakup hingga 85% pasien.  
Secara umum World Health Organization (WHO) mendefinisikan malnutrisi
berdasar  Indeks Massa Tubuh (IMT) <18,5 kg/m2, namun menurut European Society of
Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN) diagnosa  malnutrisi dapat ditegakkan berdasar  
kriteria IMT <18,5 kg/m2 atau penurunan berat badan yang tidak direncanakan >10% dalam
kurun waktu tertentu atau penurunan berat badan >5% dalam waktu 3 bulan, didan i dengan
salah satu pilihan berikut:(28)
a. IMT <20 kg/m2 pada usia <70 tahun atau IMT <22 kg/m2 pada usia ≥70 tahun.
b. Fat free mass index (FFMI) <15 kg/m2 untuk perempuan atau FFMI <17 kg/m2 untuk
laki-laki.
Jika tidak ditangani dengan baik, malnutrisi dapat berkembang menjadi kaheksia.
Kaheksia didefinisikan sebagai kehilangan massa otot, dengan ataupun tanpa lipolisis, yang
tidak dapat dipulihkan dengan dukungan nutrisi konvensional. Ditinjau dari gejalanya, kaheksia
merupakan suatu sindroma yang ditandai tidak nafsu makan (anoreksia), cepat merasa kenyang,
dan kelemahan tubuh secara umum.(29)  
 
Tabel 3.3. Penegakan diagnosa  Kaheksia(29)  
Kriteria Keterangan
  Penurunan berat badan 5% atau lebih yang terjadi dalam 12 bulan terakhir
  Indeks massa tubuh kurang dari 20 kg/m2
Satu dari dua
kriteria
  Penurunan kekuatan otot
  Kelelahan (fatigue): Keterbatasan fisik dan mental sesudah  aktivitas fisik, atau
ketidakmampuan untuk terus melakukan aktivitas fisik dengan intensitas sama yang
didan i penurunan performa.
  Anoreksia: Keterbatasan asupan makanan sehingga asupan kalori <20
kkal/kgBB/hari, atau kurangnya nafsu makan.
  Indeks massa bebas lemak yang rendah (dicirikan dengan lingkar lengan atas kurang
dari persentil 10 untuk umur dan jenis kelaminnya, indeks otot rangka DEXA (Dual
Energy X-ray Absorptiometri) <5,45 kg/m2 (wanita) atau <7,25 kg/m2 (pria).
  Salah satu parameter laboratorium yang tidak normal:
- Anemia (Hb < 12 g/dL)
- Kadar albumin serum yang rendah (<3,2 g/dL)
Tiga dari lima
kriteria
Malnutrisi dan kaheksia dapat terjadi pada pasien tumor ganas di stadium mana saja,
baik pada saat baru didiagnosa , sesudah  dibedah, maupun sesudah  mengalami efek toksisitas
kemoterapi. European Partnership for Action Against Cancer (EPAAC) dan The European
Society for Clinical Nutrition and Metabolism (ESPEN) menyatakan bahwa pasien tumor ganas
perlu dilakukan skrining gizi untuk mendeteksi gangguan nutrisi, asupan nutrisi, penurunan
berat badan, dan IMT sedini mungkin sejak pasien didiagnosa  tumor ganas. Pada pasien yang
mengalami hasil skrining abnormal, perlu dilakukan penilaian objektif dan kuantitatif asupan
nutrisi, kapasitas fungsional, dan derajat inflamasi sistemik.(30)
Selain syarat ini , terapi dukungan nutrisi masih menunjukkan manfaat yang tidak
konsisten menurut data uji klinis. Menurut American Society of Parenteral and Enteral
Nutrition (ASPEN) (2009), sebagian studi menunjukkan bahwa pemberian terapi dukungan
nutrisi kepada pasien tumor ganas kepala dan leher membantu memperlambat penurunan berat
badan, namun sebagian studi lainnya gagal memperlihatkan hasil serupa. Sementara itu, terapi
dukungan nutrisi yang diberikan secara parenteral dapat meningkatkan risiko infeksi. Oleh
sebab  itulah terapi dukungan nutrisi untuk pasien tumor ganas tidak diberikan secara rutin,
melainkan harus disesuaikan dengan kondisi pasien secara individual.(31)
 
 
Seperti halnya kemoterapi, pemberian terapi dukungan nutrisi kepada pasien yang
menjalani pembedahan terkait tumor ganas juga tidak dianjurkan secara rutin. Namun,
pemberian terapi dukungan nutrisi secara individual masih dapat disesuaikan, khususnya pada
pasien-pasien yang mengalami malnutrisi sedang dan berat. Waktu terbaik untuk memberikan
terapi dukungan nutrisi yaitu  mulai dari 7-14 hari sebelum pembedahan dilakukan, dan dapat
dilanjutkan sampai setidaknya 7 hari sesudah  pembedahan selesai
Terapi dukungan nutrisi paliatif kepada pasien tumor ganas stadium akhir juga masih
menjadi kontroversi. Terapi paliatif secara umum ditujukan untuk mempertahankan kualitas
hidup pasien. Namun sayangnya nutrisi parenteral dapat memperburuk kualitas hidup pasien,
khususnya yang kondisi umumnya sudah kurang baik. Meskipun demikian, tetap masih ada
sejumlah pasien yang dapat hidup lebih lama dengan bantuan nutrisi parenteral ini. Kriteria
pasien yang diharapkan dapat hidup lebih lama dengan bantuan nutrisi parenteral yaitu: pasien
dengan performance status baik (status Karnofsky di atas 50); pasien yang mengalami obstruksi
usus inoperable, pasien dengan gejala keterlibatan sel tumor ganas pada sistem saraf pusat, hati,
dan parunya relatif minimal; dan pasien dengan gejala nyeri relatif minimal.  (32, 33)
Pasien kaheksia tumor ganas memerlukan multimodalitas terapi. Selain terapi
pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi, beberapa hal dapat memberikan manfaat bagi
pasien tumor ganas, utamanya untuk mencegah kondisi kaheksia refrakter.(34)
3.1.9.1. Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi pada pasien yaitu  30-35 kkal/kg BB, sedang  pada pasien bed
ridden: 20-25 kkal/kg BB. Pada pasien obesitas perhitungan kebutuhan energi memakai  
berat badan aktual. Kebutuhan protein sebesar 1.2-2 g/kgBB/perhari, kebutuhan lemak sebesar  
25-30% dari energi total. Sementara kebutuhan karbohidrat yaitu  sisa dari perhitungan protein
dan lemak.(30)
Menurut European Society for Parenteral and Enteral Nutrition, anjuran kebutuhan
asupan energi pasien tumor ganas yaitu  30-35 kkal/kgBB/hari. Kebutuhan asam amino
pasien tumor ganas yaitu  1,2-2 gram/kgBB/hari, dengan peningkatan kebutuhan terutama
terhadap asam amino rantai cabang (BCAA/Branched-chain Amino Acids), yang terdiri atas
valin, leusin, dan isoleusin. Energi dari lemak mencakup 30-50% dari total energi yang
dibutuhkan, dengan peningkatan kebutuhan terutama terhadap asam lemak omega-3.
3.1.9.2. Jalur Pemberian Nutrisi
Pilihan pertama pemberian nutrisi melalui jalur oral. Pemberian nutrisi oral merupakan
pilihan pertama sesudah  pembedahan. Apabila asupan belum adekuat dapat diberikan oral
nutritional supplementation, hingga asupan optimal.(37)
Bila 10-14 hari asupan kurang dari 60% dari kebutuhan, maka indikasi pemberian
enteral. Pemberian enteral jangka pendek (<4-6 minggu) dapat memakai  pipa nasogastrik
(NGT). Pemberian enteral jangka panjang (>4-6 minggu) memakai  percutaneous
endoscopic gastrostomy (PEG). Pemasangan pipa nasogastrik tidak harus dilakukan rutin,
kecuali apabila terdapat ancaman ileus atau asupan nutrisi yang tidak adekuat.(37)
Nutrisi parenteral dipakai  apabila nutrisi oral dan enteral tidak memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien, atau bila saluran cerna tidak berfungsi normal misalnya perdarahan masif saluran
cerna, diare berat, obstruksi usus total atau mekanik, malabsorbsi berat.(37)
Pemberian edukasi nutrisi dapat meningkatkan kualitas hidup dan memperlambat
toksisitas radiasi pada pasien tumor ganas kolorektal dibandingkan pemberian diet biasa
dengan atau tanpa suplemen nutrisi.(38)  
3.1.9.3. Nutrien Spesifik
3.1.9.3.1. Branched-chain Amino Acids (BCAA)
BCAA merupakan kumpulan tiga asam amino esensial yang memiliki struktur berupa
rantai cabang; yaitu leusin, isoleusin, dan valin. BCAA merupakan regulator sintesis dan
degradasi protein, sekaligus merupakan prekursor sumber energi kunci untuk jaringan otot,
dengan berperan sebagai prekursor sintesis glutamin dan alanin. Oksidasi BCAA merupakan
proses yang penting untuk menyediakan energi bagi otot, dan berfungsi sebagai mekanisme
kompensasi atas konsumsi energi yang tinggi untuk mengimbangi kondisi protein yang negatif
akibat proses inflamasi kronis akibat tumor ganas. Dalam keadaan normal oksidasi BCAA
memberikan 6-7% energi bagi otot, namun pada kondisi katabolik berat penyediaan energi ini
dapat mencapai 20%. Oleh sebab  itu, penyediaan BCAA yang cukup sangat penting untuk
pasien tumor ganas.(39)
BCAA juga sudah pernah diteliti manfaatnya untuk memperbaiki nafsu makan pada
pasien tumor ganas yang mengalami anoreksia, lewat sebuah penelitian acak berskala kecil dari

Cangiano (1996). Bahan makanan sumber BCAA yaitu putih telur, protein hewani, kacang
kedelai.
3.1.9.3.2. Omega-3 fatty acids (asam lemak omega-3)
Asam lemak omega-3 dapat mendorong produksi prostaglandin PGE3 dan leukotriene
LTE5, sehingga kondisi imunitas pasien membaik dan respons inflamasi akan berkurang. Asam
lemak omega-3 juga menurunkan produksi PGE3 dan LTE4. Secara keseluruhan, efek asam
lemak omega-3 yaitu  menurunkan jumlah sitokin proinflamasi pada pasien tumor ganas yang
mengalami kaheksia. Efek ini tetap ada pada saat asam lemak omega-3 dikombinasikan dengan
obat penghambat cyclooxygenase (COX)-2. Suplementasi asam lemak omega-3 secara enteral
terbukti mampu mempertahankan berat badan dan memperlambat kecepatan penurunan berat
badan, meskipun tidak menambah berat badan pasien. Konsumsi harian asam lemak omega-3
yang dianjurkan untuk pasien tumor ganas yaitu  setara dengan 2 gram asam eikosapentaenoat
(eicosapentaenoic acid, EPA).1,17 Bahan makanan sumber Omega-3 fatty acids yaitu minyak
dari ikan laut dan suplemen yang mengandung Omega-3.(36)
Pada pasien glioma, diduga diet rendah glikemik dan diet ketogenik dapat mereduksi
pertumbuhan tumor dan meningkatkan survival(40), namun demikian bukti klinik mengenai hal
ini masih terbatas, masih diperlukan data yang akurat mengenai keamanan dan efikasi  diet ini,
standar proporsi pemberian lemak dan non lemak pada diet ini, kesesuaian dengan penanganan
anti-kanker lain, aspek etika, dan dampaknya bagi kualitas hidup pasien kanker.
3.1.9.3.3. Arginin, glutamin, dan asam nukleat
Makanan formula khusus yang mengandung arginin, RNA (ribonucleic acid, asam
ribonukleat), dan asam lemak omega-3 telah terbukti dapat memperbaiki daya tahan tubuh dan
prognosis dari pasien tumor ganas.(31, 42) Meskipun demikian, penelitian yang membuktikan hal
ini  tidak dimaksudkan untuk menilai seberapa besar perbaikan yang dihasilkan, melainkan
lebih ditujukan untuk menentukan kapan waktu yang paling baik untuk memulai terapi nutrisi
enteral yang dimaksud.(27)
Menurut panduan ASPEN 2009, the U.S. Summit on Immune-Enhancing Enteral
Therapy telah membuat suatu rekomendasi terkait dengan pemakaian  makanan formula
khusus yang mengandung arginin, glutamin, RNA, dan kombinasinya dengan asam lemak
omega-3 untuk pasien yang menjalani pembedahan. Jika pasien sudah mengalami malnutrisi
sebelum menjalani pembedahan pada kepala dan leher, maka suplementasi nutrisi yang
diberikan 5-7 hari sebelum pembedahan dapat memberikan manfaat.(43)  
sedang  untuk suplemen yang diberikan secara tunggal, penelitian terhadap
pemberian suplemen arginin tunggal atau glutamin tunggal masih terbatas, sehingga belum
dapat dibuat rekomendasi untuk suplemen ini . Bahan makanan sumber Arginin yaitu
kacang-kacangan.
3.1.9.3.4. Fructooligosaccharide (FOS) dan probiotik
FOS merupakan suatu prebiotik yang merupakan bahan makanan untuk probiotik
(bakteri flora normal usus). Beberapa penelitian in vitro dan penelitian pada hewan
membuktikan bahwa sejumlah mikroorganisme dari bakteri flora normal usus dapat
memengaruhi karsinogenesis, yaitu bersifat protektif bagi tubuh pejamu terhadap aktivitas zat-
zat karsinogenik. Mekanisme bagaimana efek ini dapat timbul masih dalam tahap hipotesis.
Diduga bahwa efek protektif ini terjadi lewat inhibisi bakteri secara langsung, ataupun sebab  
bakteri tertentu dapat menginaktivasi sejumlah zat karsinogen. Namun efek ini belum terbukti
secara klinis,

3.1.9.4. Farmakoterapi
3.1.9.4.1. Progestin
Dua jenis progestin dapat bermanfaat dalam mengurangi kaheksia pada pasien tumor
ganas, yaitu megesterol asetat (MA) dan medroksiprogesteron asetat (MPA). Menurut studi
meta-analisis MA bermanfaat dalam meningkatkan selera makan dan meningkatkan berat
badan pada tumor ganas kaheksia, namun tidak memberikan efek dalam peningkatan massa
otot dan kualitas hidup penderita. Dosis optimal pemakaian  MA yaitu  sebesar 480–800
mg/hari. pemakaian  dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila selama dua
minggu tidak memberikan efek optimal. Efek samping pemakaian  MA dan MPA yaitu  
tromboemboli, hiperglikemia, hipertensi, impotensi, vaginal spotting, edema perifer, alopesia,
dan insufisiensi adrenal.
3.1.9.4.2. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak dipakai . Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien kaheksia dapat
meningkatkan selera makan dan kualitas hidup pasien. Pada pasien tumor ganas terminal,
 
kortikosteroid diberikan sebagai terapi paliatif untuk memberi rasa “lebih segar” yang tidak
berefek menurunkan tingkat mortalitas. pemakaian  kortikosteroid jangka panjang dapat
menimbulkan berbagai efek samping, sehingga sebaiknya pemberian kortikosteroid tidak lebih
dari dua minggu dan hanya untuk pasien tumor ganas preterminal.
3.1.9.4.3. Siproheptadin
Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT, yang dapat memperbaiki selera
makan dan meningkatkan berat badan pasien dengan tumor karsinoid. Efek samping yang
sering timbul yaitu  mengantuk dan pusing. Umumnya dipakai  pada pasien anak dengan
kaheksia tumor ganas, dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa.
3.1.9.4.4. Moisturizing Spray/ Moisturizing Gel
Pemberian formula moisturiser diperlukan untuk membantu keseimbangan cairan oral
dan memberikan sensasi basah pada mukosa mulut.
3.1.9.4.5. Chlorhexidine 0,2%
Obat kumur yang dapat dipakai  untuk mengurangi rasa nyeri pada mulut yaitu  
chlorhexidine 0,2%.(47)
3.1.9.4.6. Antiemetik
Obat ini dipakai  sebagai anti mual dan muntah pada pasien tumor ganas, tergantung
sediaan yang dipakai , misalnya golongan antagonis reseptor serotonin (5HT3), antihistamin,
kortikosteroid, antagonis reseptor neurokinin-1 (NK1), antagonis reseptor dopamin, dan
benzodiazepin.(37)
3.1.9.4.7. Vitamin B, D, K, Asam Folat, dan Kalsium
Pasien tumor ganas otak seringkali memerlukan obat anti kejang yang memiliki
interaksi dengan vitamin dan mineral, yaitu vitamin D, K, asam folat, dan kalsium, yang dapat
memicu  gangguan mineralisasi tulang dan osteoporosis dan  gangguan profil lipid.
Pasien harus mendapatkan suplementasi vitamin dan mineral ini , misalnya pada pasien
yang mendapat fenitoin, disarankan pemberian asam folat sebesar 1 mg/hari. Perlu diperhatikan
bahwa kalsium dapat menurunkan bioavailabilitas fenitoin, sehingga suplementasi harus
diberikan dua jam sebelum atau sesudah  pemberian fenitoin.(49)
 
3.1.10. Prinsip Rehabilitasi Medik pada Tumor Otak
Rehabilitasi medik bertujuan untuk mengoptimalkan pengembalian gangguan fungsi
dan aktivitas kehidupan sehari-hari dan  meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman
dan efektif, sesuai kemampuan yang ada. (50, 51) Pendekatan rehabilitasi medik dapat diberikan
sedini mungkin sejak sebelum pengobatan definitif diberikan dan dapat dilakukan pada
berbagai tahapan dan pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan
rehabilitasi tumor ganas mulai dari preventif, restoratif, suportif atau paliatif.
3.1.10.1. Gangguan Fungsi/ Disabilitas pada Pasien Tumor Otak
Kedokteran fisik dan rehabilitasi memerlukan konsep fungsi dan keterbatasan dalam
penanganan pasien. Pada tumor otak otak ganas, penyakit dan penanganannya dapat
menimbulkan gangguan fungsi pada manusia sebagai makhluk hidup yang dapat berpotensi
memicu  terjadinya keterbatasan dalam melakukan aktivitas (disabilitas) dan partisipasi
sosial dalam kehidupan sehari-hari.(50, 52-54) Gangguan fungsi ini  dapat berupa gangguan
kognisi (80%), kelemahan (78%), gangguan persepsi visual (53%), dan berbagai disfungsi otak
lainnya.
Intervensi rehabilitasi diberikan sesuai dengan gangguan fungsi yang terjadi yang
berkaitan dengan lokasi tumor dan luasnya area operasi. Program rehabilitasi yang diberikan
prinsipnya tidak jauh berbeda dengan rehabilitasi pasien stroke dan cedera kepala (stroke like
syndrome).()  
Keterbatasan Fungsional/Aktifitas
1. Gangguan kognitif dan perilaku, perubahan kepribadian dan emosi
2. Gangguan mobilisasi, akibat :
- Gejala peningkatan tekanan intra kranial (sakit kepala, mual, muntah), kejang
- Gangguan kekuatan otot sesuai dengan lokasi tumor (hemiparesis / plegi)  
- Gangguan koordinasi dan keseimbangan
- Gangguan visual
- Distonia, diskinesia, ataksia
- Tirah baring lama
3. Gangguan komunikasi
4. Gangguan menelan / Kesulitan makan
5. Gangguan persepsi
6. Gangguan pemrosesan sensoris akibat hendaya otak
7. Impending / sindroma dekondisi akibat tirah baring lama(55)
8. Disfungsi saraf kranial selain di atas
9. Gangguan fungsi psiko-sosial-spiritual(55)
Hambatan Partisipasi
1. Gangguan aktivitas sehari-hari
2. Gangguan prevokasional dan okupasi
3. Gangguan leisure
4. Gangguan seksual pada disabilitas(52-54)
3.1.10.2. Pemeriksaan Rehab Medik
3.1.10.2.1. Asesmen
- Uji fungsi komunikasi
- Uji fungsi kognisi
- Uji fungsi kekuatan otot
- Uji fleksibilitas, lingkup gerak sendi  
- Uji fungsi sensibilitas
- Uji motorik halus
- Asesmen nyeri
- Uji dekondisi
- Uji fungsi kardiorespirasi  
- Uji kontrol postur
- Uji fungsi integrasi sensori motor
- Uji keseimbangan statis dan dinamis
- Uji fungsi lokomotor
- Uji pola jalan
- Uji fungsi eksekusi gerak  
- Uji fungsi menelan  
- Uji fungsi berkemih  
- Uji fungsi defekasi
- Uji kemampuan fungsional dan perawatan (Barthel Index, Karnofsky
Performance Scale)
- Asesmen psikospiritual
- Evaluasi kondisi sosial dan perilaku rawat  
- Evaluasi ortosis
- Evaluasi alat bantu jalan(11)
3.1.10.2.2. Pemeriksaan Penunjang
- Pemeriksaan darah
- Rontgen (toraks, kepala)
- EEG
- CT Scan/MRI (sesuai indikasi)
3.1.10.3.  pengobatan  Rehabilitasi
3.1.10.3.1. Tujuan
- Mengatasi gangguan kognisi, perilaku, perubahan kepribadian dan emosi
- Memaksimalkan pengembalian fungsi komunikasi  
- Memaksimalkan pengembalian dan pemeliharaan fungsi gerak
- Memaksimalkan pengembalian kemampuan mobilisasi
- Mengatasi gangguan menelan / kesulitan makan
- Memperbaiki fungsi pemrosesan sensoris dan motorik
- Mencegah dan meminimalisir sindroma dekondisi
- Memperbaiki fungsi berkemih
- Mengembalikan, memelihara dan atau meningkatkan fungsi psiko-sosial-
spiritual
- Meningkatkan kualitas hidup dengan perbaikan kemampuan aktivitas
fungsional(52-54)
3.1.10.3.2. Sebelum tindakan (radioterapi, operasi dan kemoterapi)
1. Promotif : peningkatan dan pemeliharaan fungsi fisik dan psiko-sosio-
spiritual dan  kualitas hidup
 
 
2. Preventif terhadap keterbatasan fungsi dan aktivitas dan  hambatan
partisipasi yang dapat timbul(56)
3. Penanganan terhadap gangguan psikososial dan spiritual (sesuai kondisi)
3.1.10.3.3. Pasca Tindakan
Preventif terhadap gangguan fungsi otak yang dapat terjadi pasca tindakan dan
efek sindroma dekondisi pada tirah baring lama.(56)
3.1.10.3.4. Rehabilitasi Medik Disabilitas
1. pengobatan  Gangguan Kognisi
pengobatan  persepsi kognisi sesuai hendaya yang ada (LEVEL 1) (58, 59)
2. Terapi edukasi sesuai disabilitas(60)
3. pengobatan  Gangguan Mobilisasi :
 Latihan fleksibilitas dan lingkup gerak sendi(55, 59)
 Latihan penguatan otot(55, 59)
 Terapi latihan(55)
 Latihan ambulasi dan keseimbangan(55)
 Latihan koordinasi dan keterampilan motorik(59)
 Latihan ketahanan kardiopulmoner(59)
 Evaluasi orthosis(55, 59)
 Evaluasi alat bantu jalan
4. pengobatan  gangguan berbahasa (55, 59)
5. pengobatan  gangguan menelan(59)
6. pengobatan  multisensori terintegrasi(55)
7. pengobatan  gangguan sensasi somatosensoris(55)
8. pengobatan  pencegahan/ sindroma dekondisi(60)
9. Evaluasi dan pengobatan  kondisi social dan perilaku rawat(42)
10. Mengatasi masalah psikospiritual, termasuk perubahan perilaku,
kepribadian dan emosi(42, 61)
11. Adaptasi kehidupan sehari-hari  
12. Rehabilitasi prevokasional dan rehabilitasi okupasi(59)  
13. Rehabilitasi medik paliatif(61)
Gangguan kognitif dan perilaku berupa perubahan kepribadian dan emosi dapat
dipengobatan  sesuai gangguan yang ada. Untuk gangguan fungsi mobilisasi ambulasi akibat
gangguan seperti fleksibilitas, kekuatan otot, koordinasi & keseimbangan (sesuai lokasi tumor),
visual, kinesia, kelemahan umum, dan tirah baring lama dapat dipengobatan  dengan
mengoptimalkan pengembalian fungsi aktivitas bertahap sesuai kondisi. Sementara itu, untuk
gangguan fungsi otak lainnya sesuai lokasi tumor (gangguan: menelan/makan, komunikasi,
persepsi, pemrosesan sensori dan gangguan saraf kranial lainnya) dapat dipengobatan  sesuai
disfungsi yang ada (stroke like syndrome). Gangguan fungsi kardiorespirasi pasca penanganan
dipengobatan  sesuai gangguan fungsi paru dan jantung. (42)
3.1.11. Paliatif
Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu mendapatkan terapi paliatif dan dilakukan
terapi secara multidisiplin bersama dokter penanggung jawab utama, dan  dokter gizi,
rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli terapi paliatif.(62)
3.2. Tumor Otak Primer
3.2.1. Kranial Meningioma  
3.2.1.1. Definisi
Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang paling sering ditemui, ekstra
aksial, dan berasal dari sel araknoid yang menempel pada duramater.(63-65)Karakteristik tumor
ini dapat tumbuh dengan besar dan cenderung menghasilkan hiperostosis, infiltrasi atau juga
mengerosi tulang.
3.2.1.2. Epidemiologi  
Angka kejadian meningioma sekitar 36% dari seluruh tumor otak, insidensnya
diperkirakan 98/100,000 orang, dengan perkiraan rasio 2:1 antara wanita dan pria, dan
insidensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia.
3.2.1.3. Etiologi
Etiologi molekuler meningioma dikaitkan dengan delesi kromosom dan mutasi gen.
Meningioma dapat terjadi pada pasien yang terradiasi, dengan risiko tinggi terpapar  dosis tinggi
 
radioterapi, sementara faktor risiko lain seperti hormon, cidera kepala, tumor ganas payudara,
faktor diet dan alergi, dan  riwayat meningioma pada keluarga. Faktor lain seperti paparan
telepon seluler masih belum  jelas dan bahkan tidak menonjol  pada beberapa penelitian.  (68-70)  
Perubahan genetik yang sering terjadi pada meningioma yaitu  hilangnya kromosom 22 yang
berhubungan dengan mutasi pada gen neurofibromatosis tipe 2 (NF2) yang terletak di
kromosom 22. (71)
3.2.1.4. Klasifikasi
berdasar  panduan World Health Organization (WHO), sekitar 80% dari
meningioma diklasifikasikan sebagai grade I atau jinak, 10-18% sebagai grade II atau atipikal,
dan sekitar 2-4% sebagai grade III atau ganas.(67)
Tabel 3.2 Grade Meningioma menurut WHO 2016:(65, 68, 72)
Grade Keterangan
Grade I - Benign
a. Tingkat mitotik rendah, kurang dari 4 per sepuluh HPF (high-
power fields)
b. Tidak ada invasi ke otak  
c. Sembilan sub tipe
a) Meningothelial
b) Fibrous (fibroblastic)  
c) Transitional (mixed)  
d) Psammomatous  
e) Angiomatous  
f) Microcystic  
g) Secretory
h) Lymphocyte rich  
i) Metaplastic
Grade II - Atypical
a. Tingkat mitotik 4-19 per HPF  
b. Atau invasi ke otak  

 
c. Atau 3 dari 5 hitologi spesifik: nekrosis spontan, sheeting,
prominent nucleoli, selularitas yang tinggi, dan sel-sel kecil
(Clear cell dan Chordoid)
Grade III -
Anaplastic
a. Tingkat mitotik lebih dari 20 per HPF  
b. Atau histologi spesifik: papillary atau rhabdoid meningioma
 
3.2.1.5. Lokasi
Lokasi tumor dapat dikategorikan menjadi tiga grup: convexity / falx/ parasagittal, skull
base dan lainnya. Lokasi pada skull base dapat didefinisikan sebagai cavernous sinus,
cerebellopontine angle, clinoid, clivus, foramen magnum, jugular foramen, middle fossa,
olfactory groove, orbital, parasellar, petroclival, petrous, planum sphenoidale, posterior fossa,
skull base, sphenoid wing, and tuberculum selae. Lokasi lain diantaranya intraventrikular dan
tumor multifokal yang tidak dapat dengan mudah diklasifikasikan dalam skull base, convexity,
atau falx.(70)
3.2.1.6. Gejala
Meningioma biasanya merupakan tumor yang tumbuh lambat, gambaran klinis yang
ditimbulkan tergantung pada lokasi dan ukuran tumor, dan  keterlibatannya dengan struktur
jaringan sekitar.(73, 74)  
Nyeri kepala mungkin gejala yang paling sering dan bersamaan dengan gejala lain dapat
mengarah kepada suatu peningkatan tekanan intra kranial. Kejang ditemukan pada 30 % pasien
yang didiagnosa  dengan meningioma intrakranial. Risiko kejang lebih tinggi pada lokasi selain
basis kranii (misalnya pada meningioma konveksitas, parasagital, dan falks).  
Gejala fokal yang muncul tergantung pada lokasi spesifik tumor. Gangguan penglihatan
bisa muncul pada meningioma yang melibatkan jalur penglihatan. Gangguan pendengaran bisa
muncul pada meningioma di regio sudut cerebellopontine. Anosmia dapat muncul pada
meningioma di olfactory groove. Gangguan status mental dengan apati dan inatensi dapat
muncul pada pasien dengan inferior frontal meningioma yang besar. Kelemahan ekstremitas
juga dapat muncul umumnya berupa hemiparesis walaupun kadang-kadang dapat juga berupa
paraparesis pada meningioma parasagital di falx yang mengkompresi jalur motoris. Kumpulan
gejala ini  tidaklah spesifik sebagaimana suatu variasi lesi fokal intrakranial yang berbeda-
beda.(71)
 
3.2.1.7. Penunjang
Brain imaging dengan memakai  CT Scan dan MRI membantu deteksi meningioma,
biasanya tampak sebagai tumor soliter yang menempel pada duramater, dan  menyangat kuat
dengan pemberian kontras (contrast enhanced).(65, 74) Pemeriksaan ini  merupakan metode
yang sering dipakai  untuk mendiagnosa , monitoring dan evaluasi pasca tindakan. (75)
Positron emission tomography dapat membantu pada masalah -masalah  meningioma di skull
base yang biasanya sulit untuk dilihat pada pemeriksaan CT dan MRI yang standar.
Meningioma juga diketahui memiliki somatostatin receptor density yang tinggi, sehingga
memungkinkan untuk octreotide brain scintigraphy membantu menggambarkan ekstensi dari
penyakit.(75)  
3.2.1.8. pengobatan  
Terapi pasien dengan meningioma sangatlah individual, sebab  sifat meningioma itu
sendiri dan variasi hasil terapi yang berbeda-beda untuk pasien yang berbeda.(65, 67) Disebab kan
kurangnya penelitian prospective randomized trials, panduan pengobatan  standar sangatlah sulit
untuk diformulasikan.(76)  
Modalitas terapi berupa observasi memakai  serial CT atau MRI, pembedahan,
stereotactic radiosurgery (SRS), fractionated radiotherapy (FRT), kemoterapi, ataupun
radionuclide therapy. Manajemennya menitikberatkan pada profil klinis, grade WHO, dan
extent of resection, yang nampaknya mulai suboptimal seiring dengan meningkatnya pengertian
terhadap biologi tumor ini.(67) Keputusan terapi harus berdasar  gejala yang muncul, lokasi
meningioma, tampakan tumor terhadap pembuluh darah, pengalaman pembedah, dan
kemungkinan untuk reseksinya.(77)
Untuk tumor yang berukuran kecil (<3cm) dan asimtomatik maka berdasar  guideline
European Association of Neuro-oncology (EANO) maupun National Comprehensive Cancer
Network (NCCN) dapat dilakukan observasi saja, dengan terapi dilakukan bila tumor membesar
secara menonjol  atau menjadi simtomatik. Pada fase observasi ini dilakukan MRI pada 3,6 dan  
 
12 bulan pasca diagnosa , dilanjutkan lalu  setiap 6-12 bulan selama lima tahun, diteruskan
dengan setiap 1-3 tahun tergantung kondisi klinis pasien.(22)
Untuk tumor yang simtomatik, ataupun asimtomatik namun berukuran besar maka perlu
dilakukan terapi pembedahan jika memungkinkan.(78)
 
3.2.1.9. Embolisasi
Preoperative embolization diperkirakan dapat mengurangi komplikasi intra operatif
dengan menurunkan lama waktu operasi dan  hilangnya darah. Embolisasi ini ditujukan untuk
melakukan devaskularisasi dari lesi, yang akan memicu  tumor nekrosis dan
memfasilitasi reseksi melalui pelunakan massa tumor.
Material embolisasi secara luas didefinisikan atas bentuk fisiknya seperti particulate
atau agen liquid, dan dengan efek durasinya yang bersifat permanen atau sementara.
Agen particulate diantaranya partikel PVA (Polyvynil Acetate); microspheres (trisacryl
gelatin microspheres); dan cellulose beads. Agen Liquid diantaranya NBCA (N-butyl
cyanoacrylate), Onyx (ethylene vinyl alcohol copolymer dissolved in dimethyl sulfoxide) dan
juga fibrin glue.
3.2.1.10. Pembedahan
Pada pasien yang dipertimbangkan sebagai kandidat untuk pembedahan, tujuan
terapinya yaitu  eksisi total.(75) Kesulitan dalam pembedahan meningioma dapat dibagi
menjadi dua kategori. Pertama, meningioma pada skull base: meskipun biasanya low grade,
meningioma ini enclose struktur saraf dan pembuluh darah, memunculkan tantangan
pembedahan tersendiri dan memicu  risiko fungsional dan vital. Kedua, meningioma
grade II–III, secara klasik berlokasi pada konveksitas, yang sering tumbuh kembali, terutama
saat  mengalami invasi ke sinus, sehingga menghalangi reseksi pembedahan secara
komplit.(68)  
Evaluasi yang paling relevan dari hasil pembedahan yaitu  penilaian Simpson grade.(64,
71) Pemeriksaan CT dan MRI yang dilakukan sesudah  operasi, dan  temuan histopatologis pada
saat pembedahan menentukan dasar dari Simpson grading system, suatu sistem untuk
memprediksi rekurensi dari meningioma ini .
 
Meskipun tujuannya untuk melakukan gross total resection, tujuan ini tidak seharusnya
memiliki efek pada status neurologis pasien, dan strategi kombinasi dapat dilakukan untuk
memaksimalkan progression-free survival bersamaan dengan menurunkan risiko neurologis
yang ditimbulkan pasca operasi.(68)  
Pada masalah  meningioma yang secara potensial mengalami ekstensi hingga ke dasar
tengkorak seperti sphenoorbital meningioma, operasi rekonstruksi tulang (bone reconstruction)
direkomendasikan untuk mencegah atrofi otot temporal dan hasil estetika yang buruk pasca
operasi.
 
3.2.1.11. Radioterapi
Saat ini peranan dan dampak terhadap prognosa dari radioterapi sebagai suatu terapi
ajuvansesudah  reseksi pembedahan masih kontroversi untuk meningioma low grade.(83) Terapi
ini dapat dipertimbangkan untuk meningioma low grade sesudah  reseksi tumor parsial, rekuren,
dan meningioma maligna dengan sel atipikal dan sel yang anaplastik.(75) pemakaian  
radioterapi dikaitkan dengan luaran yang lebih baik. Sebuah penelitian didapatkan, stereotactic
radiosurgery dihubungkan dengan kontrol tumor yang lebih baik (mencapai 10%) dan
komplikasi yang lebih kecil. Stereotactic radiosurgery atau stereotactic radiotherapy pada
meningioma dapat dipakai  sebagai terapi primer, terutama pada meningioma yang tidak
dibiospi sebab  akses sulit untuk dilakukan biopsy atau reseksi dan masalah -masalah  dengan lesi
meningioma yang kecil.(84, 85)
Teknik radiasi yang disarankan yaitu   conformal radiation therapy (contoh : 3D-CRT/
conformal radiotherapy, IMRT/intensity modulated radiotherapy, VMAT/volumetric
modulated arc therapy, tomoterapi) untuk menyelamatkan organ penting dan meningkatkan
dosis radiasi pada jaringan yang terlibat. (84, 85)
Meningioma WHO derajat I/II pascaoperasi dapat diberikan radiasi konvensional dosis
45-60 Gy atau radiasi stereotactic dengan dosis tinggi per fraksi. Lapangan radiasi pada
meningioma sebaiknya dideliniasi berdasar  MRI brain pre-operasi dan post-operasi T1
dengan kontras dan T2/FLAIR untuk menentukan gross tumor (jika ada) atau tumor bed dengan
ekspansi margin clinical target volume (CTV) 1-2 cm dimana ekspansi margin dapat dikurangi
apabila tidak ada invasi ke parenkim otak. Dosis radiasi diberikan 45-60 Gy dalam fraksi 1,8-
 
2 Gy bila ukuran tumor cukup besar.(21, 22) Untuk lesi dengan ukuran tumor yang lebih kecil
dapat dipertimbangkan pemberian SRT dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20 fraksi atau SRS
dengan dosis 12-25 Gy dalam fraksi tunggal.
Meningioma WHO derajat III memiliki sifat yang lebih ganas sehingga diperlukan
ajuvan radiasi untuk hampir semua masalah . Lapangan radiasi ditentukan berdasar  MRI brain
pre-operasi dan post-operasi T1 kontras dan T2/FLAIR untuk deliniasi gross tumor (jika ada)
dan surgical bed dengan margin CTV 2-3 cm dan dosis radiasi 54-60 Gy dalam 1,8-2 Gy/fraksi.
Apabila lesi tumor pada meningioma WHO derajat III cukup kecil maka juga dapat
dpertimbangkan pemberian stereotactic radiotherapy (SRT) dengan dosis 30-50 Gy dalam 3-20
fraksi atau stereotactic radiosurgery (SRS) dengan dosis 12-25 Gy dalam fraksi tunggal.(21,
22),(83-90)  
3.2.1.12. Kemoterapi
Beberapa pilihan obat kemoterapi telah dipakai  untuk menangani meningioma
atipikal dan anaplastik.(91) Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang memuaskan,
dipertimbangkan hanya bila tindakan operasi dan radioterapi gagal dalam mengontrol kelainan.
Agen kemoterapi termasuk hidroksiurea, telah dipakai  tapi dengan angka keberhasilan yang
kecil. Obat lain yang sedang dalam penelitian termasuk temozolamid, RU-468, dan alfa
interferon, juga memberikan hasil yang kurang memuaskan.(92-94) Pilihan kemoterapinya yaitu   
Interferon Alfa (Kategori 2B)(65), , Somatostatin analog jika octreotide scan positif (66), Sunitinib
(kategori 2B)(67), , Bevacizumab + everolimus(68) (kategori 2B).
Pertimbangan uji klinis yang sangat kuat sebelum menangani penyakit rekuren dengan
kemoterapi standar, dimana terapi tambahan dapat mengeliminasi mayoritas dari pilihan uji
klinis. Pasien yang memiliki status performa (KPS) yang baik namun memiliki bukti
progresifitas secara radiologis, dapat mengambil manfaat dari lanjutan bevacizumab untuk
mencegah penurunan status neurologis yang cepat. Kombinasi terapi bevacizumab dengan  
kemoterapi  lain dapat dipertimbangkan, jika monoterapi bevacizumab gagal.(28, 30, 32, 95)
 Penelitian randomized controlled trial pada pasien meningioma rekuren, progresif
atipikal ataupun malignansi hasilnya belum memuaskan. Terdapat tiga terapi sistemik yang
direkomendasikan oleh NCCN 2012 yaitu hidroksiurea, interferon alfa, dan analog
somatostatin. Tidak seperti glioma, pembuluh darah pada meningioma tidak memiliki sawar
otak (blood brain barrier) dan obat yang ada di sirkulasi darah dapat melakukan penetrasi ke
meningioma. Tetapi hal ini juga dapat meningkatkan risiko peningkatan tekanan intra tumoral,
disebab kan pembesaran edema vasogenik.  
Imatinib
 Meningioma diketahui mengekspresikan PDGF-beta (platelet-derived growth factor
beta), proliferasi meningioma distimulasi oleh autokrin growth factor stimulation  loop. Oleh
sebab  itu terdapat pengobatan  yang menargetkan PDGF-R yaitu imatinib. Pada 23 pasien yang
belum diterapi (13 pasien meningioma jinak, 5 meningoma atipikal dan 5 meningioma ganas),
hasilnya tidak memuaskan dengan hasil progression free survival (PFS) hanya 2 bulan.
Reardon dkk, memberikan pada 21 pasien dengan hidroksiurea dan imatinib, dengan angka
PFS6 sebesar 61%.  
Gefitinib dan Erlotinib
 Disebab kan faktor pertumbuhan epidermal seringkali diekspresikan berlebih pada
meningioma, dilakukan pemberian gefitinib 500 mg/hari atau erlotinib 150 mg/hari pada 25
pasien meningioma rekuren (8 pasien meningioma grade I, 9 pasien meningioma atipikal dan 5
meningioma malignan). Untuk tumor jinak angka PFS6 sebesar 25% dan PFS12 sebesar 13%.
Pada meningioma atipikal dan maligna, angka PFS6 sebesar 29% dan PFS 12 sebesar 18%.
32%-nya pasien stabil.  
Bevacizumab
 Meningioma rekuren memperlihatkan peningkatan densitas mikrovaskular dan ekspresi
VEGF (Vascular Endothelial Growth Factor), hal ini menunjukkan peran potensial dari
neoangiogenesis dalam proses proliferasi meningioma. Bevacizumab menginduksi perbaikan
klinis pada pasien dengan edema peritumoral. Penelitian restrospektif pada 14 pasien
didapatkan angka PFS6 sebesar 86%, tetapi didapatkan pula satu kejadian perdarahan serebral
dan satu kejadian perforasi gastrointestinal.(96)
3.2.1.13. Prognosis
Grade WHO, grade Simpson dan  ekstensi reseksi tumor tetap menjadi indikator
prognostik yang penting.(6, 31) Reseksi total dari tumor biasanya memberikan prognosis yang
sangat baik. Angka harapan hidup 5 tahunan untuk meningioma tipikal lebih dari 80%, dan
 
 
turun menjadi 60% pada meningioma maligna dan atipikal.(97) Untuk surveilans dilakukan MRI
pada 3, 6, dan 12 bulan pasca operasi, dilanjutkan lalu  setiap 6-12 bulan selama lima
tahun, diteruskan dengan setiap 1-3 tahun tergantung kondisi klinis pasien. (22)
 
3.2.1.14. Algoritma Terapi
Rekomendasi untuk manajemen terapi meningioma dengan Grade WHO I-III menurut
EANO guidelines for the diagnosa  and treatment of meningiomas:(65)

 
Terapi menurut National Comprehensive Cancer Network Guidelines Version 1.2018 untuk
Central Nervous System Cancers:
 
Catatan:
a. Pertimbangkan melakukan diskusi multidisiplin untuk rencana terapi  
b. Pilihan pengobatan  harus berdasar  pada penilaian dari variasi faktor-faktor yang
berhubungan, diantaranya gambaran pasien (misalnya: umur, performance score,
komorbid, pilihan terapi), gambaran tumor (misalnya: ukuran, grade, laju pertumbuhan,
lokasi - terhadap struktur penting), potensi memicu  gangguan neurologis bila
tidak ditangani, dan  faktor terkait terapi (misalnya: potensi gangguan neurologis akibat
 
dari pembedahan atau radioterapi - seperti reseksi komplit dengan/atau complete
irradiation dengan SRS, kemampuan pengobatan  tumor bila muncul kembali,
ketersediaan ahli bedah dan onkologi radiasi). Keputusan untuk pemberian radioterapi
sesudah  pembedahan juga bergantung pada ekstensi reseksi yang dicapai.
Direkomendasikan masukan dari tim multidisiplin untuk perencanaan terapi.
c. MRI post operatif 24–72 jam sesudah  pembedahan.  
d. Principles of Brain Tumor Imaging (BRAIN-A).
 Brain MRI pasca operasi harus dilakukan dalam 24–72 jam untuk glioma dan tumor
otak lainnya untuk menentukan ekstensi dari reseksi.
 Ekstensi dari reseksi harus dinilai dari penilaian pasca operasi dan dipakai  
sebagai dasar untuk menilai efektifitas terapi lalu  atau menilai progresifitas
dari tumor.
e. WHO Grade I = Benign meningioma, WHO Grade II = Atypical meningioma, WHO
Grade III = Malignant (Anaplastic) meningioma.
f. Radioterapi dapat berupa fractionated external-beam radiotherapy atau stereotactic
radiosurgery (SRS).  
g. Principles of Brain Tumor Radiation Therapy (BRAIN-C).  
 Meningioma WHO grade I/II dapat ditangani dengan fractionated conformal
radiotherapy dengan dosis 45-60 Gy.  
 Conformal radiation therapy (contoh: 3D-CRT, IMRT, VMAT, Tomoterapi)
direkomendasikan untuk pertimbangan minimalisasi dosis struktur penting dan  
jaringan yang tidak terlibat.  
 Meningioma WHO grade I atau grade II juga dapat ditangani dengan SRS dosis 12–
25 Gy dalam suatu fraksi tunggal bila memungkinkan atau SRT dengan dosis 20-50
Gy dalam 3-8 fraksi.
 Untuk meningioma WHO grade I / II yang menjalani radiasi, terapi harus diarahkan
pada gross tumor (bila nampak jelas) dan batas pembedahan + ekspansi (1–2 cm)
dengan dosis radiasi 45–60 Gy dalam fraksi 1.8–2.0. Pertimbangkan pembatasan
ekspansi pada parenkim otak bila tidak ditemukan adanya invasi ke parenkim otak
ini .  
 Meningioma WHO grade III harus ditangani sebagai tumor maligna dengan terapi
diarahkan ke gross tumor (bila nampak jelas) dan batas pembedahan + ekspansi (2–
3 cm) diberikan dosis radiasi 59.4–60 Gy dalam fraksi 1.8–2.0 Gy.(73-79)
h. Untuk meningioma yang asimtomatik, observasi untuk tumor yang kecil (≤3 cm),
kecuali pada tumor dengan faktor risiko terkait pengobatan , misalnya tumor dengan
perlekatan pada nervus optikus atau pasien dengan keluhan defisit neurologis.  
i. Pertimbangkan folow up setidaknya sesudah  5–10 tahun.  
j. Pencitraan MRI lebih sering dibutuhkan untuk meningioma WHO grade 3.
k. Principles of Brain Tumor Systemic Therapy (BRAIN-D) pada meningioma:
• Interferon alfa (kategori 2B)
• Somatostatin analogue, bila octreotide scan positif
• Sunitinib (kategori 2B)
• Bevacizumab + everolimus (Kategori 2B) (73-79)
 
3.2.2. Astrositoma
3.2.2.1. Definisi dan Klasifikasi
Astrositoma yaitu  tumor otak yang berasal dari sel dalam otak yang bernama astrosit
dan merupakan tumor tersering di antara jenis glioma otak. Tumor ini tidak tumbuh pada
jaringan di luar otak, medula spinalis ataupun metastasis dari organ lainnya. Insidennya pada
perempuan dan laki laki 2:1. Insiden dari glioma yang muncul pada usia dewasa yang tersering
yaitu  GBM, yakni 0,6–3,7 per 100.000 penduduk dengan usia tersering 75-84 tahun.(98)
WHO pada tahun 2016 telah mempublikasikan World Health Organization
Classification of Tumors of the Central Nervous System yang memakai  parameter
molekuler selain histologis untuk mendefinisikan astrositoma (Tabel 3.4). Penanda molekuler
pada astrositoma ini penting untuk diidentifikasi tidak hanya untuk membantu diagnosa  dan

 
menentukan prognosis glioma ini , tapi juga untuk memprediksi keberhasilan terapi dan
pengembangan terapi target.(72) (99) Metode ini diharapkan dapat memberikan hasil yang lebih
objektif dalam menangani pasien astrositoma dan penelitian eksperimental, walaupun masih
terdapat kekurangan yang suatu saat dapat dilengkapi.(100)
Tabel 3.4. Klasifikasi Tumor Otak Astrositoma Menurut WHO Tahun 2016
81
Tumor Astrositik Difus  Grade Nomor PA
Diffuse Astrocytoma, ID- Mutan II 9400/3
Diffuse Astrocytoma, IDH-wildtype II 9400/3
Diffuse astrocytoma, NOS II 9400/3
Anaplastic Astrocytoma, IDH-Mutan III 9401/3
Anaplastic astrocytoma, IDH-wildtype III 9401/3
Anaplastic astrocytoma, NOS III 9401/3
Glioblastoma, IDH-wildtype IV 9440/3
Glioblastoma, IDH-mutan IV 9440/3
Glioblastoma, NOS IV 9440/3
Diffuse midline glioma H3 K27M-Mutant IV 9385/3
Tumor Astrocytic Lainnya   
Pilocytic Astrocytoma I 9421/1
Subependymal Giant Cell Astrocytoma I 9384/1
Pleomorpic Xanthoastrocytoma II 9424/3
Anaplastic Pleomorphic
Xanthoastrocytoma  
III 9424/3
 
3.2.2.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik  
Pasien dengan astrositoma dapat mengalami gejala dan tanda yang umum maupun
fokal atau bisa juga tidak bergejala (asimtomatik). Gejala astrositoma derajat tinggi biasanya
berkembang dalam hitungan minggu atau bahkan hari, sementara gejala astrositoma derajat
rendah dapat mengalami progresi dalam hitungan bulan atau tahun. (101)
Keluhan tersering yaitu  sakit kepala (65%), diikuti dengan fatigue (60%), mual dan
muntah (60%), dan kejang (40%). Selain itu terdapat kelemahan ekstremitas, gangguan
penglihatan, gangguan sensorik, ataksia, dan sebagainya.(102)
Nyeri kepala terkait tumor otak biasanya seperti nyeri kepala tipe tegang (40-80%),
bersifat tumpul dan konstan. Pasien dapat juga mengeluh nyeri kepala berdenyut seperti
migrain (10%). Nyeri kepala bersifat progresif dan memberat seiring waktu. Nyeri kepala
memberat dengan batuk, bersin dan mengejan dan  lebih berat di malam hari sehingga dapat
 
 
52
 
membangunkan pasien dari tidur.(101)
Gejala kejang lebih umum ditemukan pada tumor derajat rendah. Kejang biasanya
fokal namun dapat berkembang menjadi umum. Manifestasi klinis kejang ini  tergantung
pada lokasi tumor. Misalnya tumor pada lobus frontal dapat memicu  kejang fokal tonik
klinik melibatkan satu ekstermitas, sementara kejang akibat tumor regio oksipital dapat
memicu  gangguan penglihatan. (101)
Gejala fokal yang ditimbulkan tumor dapat berupa kelemahan anggota gerak,
gangguan motoris, afasia, maupun gangguan visual. Gangguan kognitif juga umum ditemukan
pada astositoma. Gejala peningkatan tekanan intrakranial dapat muncul akibat efek masa yang
besar atau akibat gangguan aliran cairan serebrospinal yang memicu  hidrosefalus. Trias
klasik peningkatan tekanan intrakranial mencakup nyeri kepala, mual muntah, dan
papiledema. (101)  
Pemeriksaan fisik bertujuan untuk membedakan gejala dan tanda tumor supra dan infra
tentorial. Gejala dan tanda tumor supratentorial yakni peningkatan TIK sebagai akibat efek
massa tumor atau edema dan  akibat blokade aliran cerebrospinal fluid (CSF). Gejala fokal
defisit neurologis yang progresif dapat terjadi akibat destruksi parenkim otak oleh invasi
tumor, akibat penekanan par

Related Posts:

  • tumor otak 2 tal dosis 60 Gy. (21, 22) 3.1.6.7. Meningioma Meningioma WHO derajat I / II pasca operasi dapat diberikan radiasi konvensional dosis 45-60 Gy atau radiasi stereotactic dengan dosis tinggi per fraksi. Lapangan radiasi pa… Read More