enkim otak oleh tumor, edema atau perdarahan. Selain itu, akibat
penekanan pada saraf kranialis.(103)
Gejala tumor otak yang tersering yaitu sakit kepala akibat penekanan pada daerah
peka nyeri, kejang akibat iritasi pada korteks serebral, dan perubahan status mental, seperti
depresi, letargi, apatis, atau confusion. Gejala yang menyerupai “TIA” (transient ischaemic
attack) atau stroke-like syndrome, dapat terjadi akibat penyumbatan pembuluh darah oleh sel
tumor atau perdarahan intra tumoral yang dapat didan i kejang fokal.(104)
Pada tumor infratentorial atau fosa posterior lebih sering memicu gejala
peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus atau penekanan langsung pada nukleus
vagal atau area postrema (vomiting center), sehingga menimbulkan trias klasik dalam waktu
yang lebih cepat. Adapun efek massa pada hemisfer serebelum dapat berupa ataksia
ekstremitas, dismetria, atau intention tremor, lesi di bagian vermis dapat berupa broad based
gait, ataksia trunkal, atau titubasi. Bila mengenai batang otak dapat memicu gangguan
saraf kranialis multipel. (104)
3.2.2.3. Pemeriksaan Penunjang
CT scan dengan kontras dipakai untuk skrining awal, CT Scan dapat
menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral edema). Sebagian besar glioma low
grade tidak menyerap kontras pada CT Scan atau MRI. Biasanya akan nampak hipodense
pada pemeriksaan dengan CT Scan. Astrositoma anaplastik bersifat dualisme, dapat menyerap
ataupun tidak menyerap kontras. Sebanyak 31% glioma anaplastik dan 9% astrositoma
anaplastik sedang, tidak menyangat kontras pada CT. Gambaran kalsifikasi dan kista dapat
muncul pada astrositoma anaplastik. Pada high grade astrocytoma dapat muncul gambaran
ring enhance (bagian tengah tumor yang nekrosis tidak menyangat). Cincin ini merupakan
tumor seluler, akan tetapi sel-sel tumor juga dapat meluas lebih dari 15 mm di luar gambaran
cincin. (105)
MRI sangat bagus untuk menggambarkan edema di sekitar tumor (vasogenik),
kompresi saraf kranial, kompresi otak dan pembuluh darah otak. Pada astrositoma grade II,
astrositoma menunjukan hiperintensitas pada MRI T2-weighted. Tidak terlihat kecerahan pada
MRI T2-weighted, akan menunjukkan daerah dengan peningkatan densitas dan enhancement
sesudah dimasukkan bahan kontras. (105)
Pada MRI fitur DWI (diffusion weighted imaging), tumor tampak isointens sampai
hiperintens ringan yang menyangat pada T1. Pada grade IV astrositoma (glioblastoma
multiforme) terdapat ciri khas berupa gambaran nekrosis yang tampak sebagai daerah
hipointens dan sinyal yang berkurang di bagian tepi menunjukkan edema.(105)
MR spekstroskopi dipakai untuk menegakkan diagnosa banding, pemilihan lokasi
biopsi, monitoring respons terapi, dan membedakan tumor dengan efek terapi. Data
spektroskopi MR menunjukkan nilai cholin (Cho), laktat, lipid, dan NAA (N-asetilaspartat)
yang tinggi. Studi singkat echo-time (TE) menunjukkan adanya puncak mio-inositol yang
tidak ada atau rendah. Studi perfusi menunjukkan peningkatan rCBV (relative Cerebral Blood
Volume). Nilai anisotropi fraksional (FA/fractional anisotropy) dari astrositoma menurun,
tetapi nilai ADC (apparent diffusion coefficient) meningkat. DTI (diffusion tensor imaging)
sensitif untuk mengevaluasi perubahan patologis yang tidak dapat divisualisasikan pada T2WI.
Functional MRI dipakai untuk menentukan daerah eloquen. (105)
Derajat keganasan astrositoma dapat diperkirakan dari gambaran radiologis tumor,
salah satunya yaitu dengan klasifikasi Karnohan. Pada Kernohan derajat 1) astrositoma
memiliki gambaran CT scan memiliki densitas rendah dan pada MRI memiliki gambaran
sinyal abnormal, tidak ditemukan efek massa dan tidak menyangat; derajat 2) memiliki gambaran
CT scan densitas rendah dan MRI sinyal abnormal; derajat 3) memiliki efek massa namun
tetap tidak menyangat; derajat 4) memiliki gambaran nekrosis/ring enhance.(105)
3.2.2.4. diagnosa
diagnosa dapat ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan klinis, laboratorium,
pemeriksaan radiologi, dan patologi anatomi. Walaupun karakteristik imaging dan klinis dapat
memperkirakan jenis tumor otak spesifik, namun biopsi tetap diperlukan untuk diagnosa
definitif. Biopsi dapat membedakan tumor dengan lesi lainnya, dan penting untuk
klasifikasi.(98)
Klasifikasi dan gambaran histopatologi astrositoma berdasar anamnesis,
pemeriksaan fisik, laboratorium dan patologi anatomi. Dalam pemeriksaan patologi anatomi
yang menjadi karakteristik penilaian yaitu hiperselularitas, pleomorfisme, proliferasi
vaskular, dan nekrosis jaringan. (104-106)
Astrositoma memiliki aktivitas hiperselularitas yang rendah, pleomorfisme sel dan
nukleus yang rendah, dan tidak mengalami proliferasi vaskular dan nekrosis jaringan.
Astrositoma anaplastik memiliki hiperselularitas dan plemorfisme yang rendah, mengalami
proliferasi endotel vaskular dan mengalami nekrosis jaringan. Glioblastoma multiforme
mengalami hiperselularitas yang sedang hingga khas dan mengalami pleomorfisme yang
sedang yang khas. Proliferasinya bersifat umum dan mengalami pseudopolisading. (104-106)
Klasifikasi WHO, guideline EANO dan guideline NCCN mengintegrasikan
identifikasi karakteristik molekuler pada pengobatan astrositoma. Namun demikian hal ini
masih sulit diterapkan secara komprehensif terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Apabila fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia memiliki sarana dan prasaran untuk
melakukan pemeriksaan molekuler maka yang perlu dilakukan mencakup identifikasi mutasi
gen isocytrate dehydrogenase (IDH), identifikasi status metilasi MGMT (menentukan
sensitivitas terhadap kemoterapi Temozolomide dan ko-delesi kromosom 1p dan 19q).
3.2.2.5. Terapi
Astrositoma yang ganas bersifat incurable, dan tujuan utama pengobatan yaitu untuk
memperbaiki gangguan neurologis (seperti fungsi kognitif) dan memperpanjang kelangsungan
hidup penderita. Pengobatan simptomatis, rehabilitasi, dan dukungan psikologis sangat penting.
Pemberian steroid umumnya akan memberikan hasil yang membaik sebab pengurangan efek
massa tumor yang didan i edema sekitar tumor.(108)
Modalitas terapi astrocytoma meliputi pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.
Pemilihan modalitas terapi ditentukan oleh jenis histopatologis tumor. Jenis histopatologis
tumor dapat diperkirakan dari gambaran imaging dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan
histopatologis. Pemilihan modalitas terapi juga ditentukan oleh karakteritstik molekuler
astrositoma, antara lain status mutasi gen IDH, ko-delesi promotor 1p19q dan status metilasi
MGMT.
3.2.2.5.1. Medikamentosa
Antikonvulsan harus diberikan pada pasien dengan glioma sesudah kejang pertama.
Terapi obat antiepilepsi (OAE) profilaksis tidak direkomendasikan pada pasien yang tidak ada
riwayat kejang sebelumnya. OAE profilaksis diberikan pada pasien yang menjalani
kraniotomi, dan dapat diturunkan bertahap 1-2 minggu sesudah nya, namun masih
menimbulkan perdebatan.(110) Pada saat pemilihan OAE, adanya potensi interaksi antara OAE
dengan agen kemoterapi perlu dipertimbangkan. Demikian pula OAE yang menginduksi
enzim sitokrom P450, seperti fenitoin dan karbamazepin, dapat meningkatkan metabolisme
agen kemoterapi di hepar, sehingga bisa menurunkan efikasi obat ini . (111)
Fenitoin merupakan OAE yang sering dipakai sebagai generasi awal untuk glioma.
Namun fenitoin memiliki daya ikat terhadap protein yang tinggi, sehingga dapat menggantikan
obat yang lain.(112) Fenitoin juga menginduksi metabolisme deksametason di hepar, sehingga
menurunkan waktu paruh dan bioavailabilitas deksametason secara menonjol . (13)
Deksametason dianjurkan pada pasien dengan gejala peningkatan tekanan intrakranial
atau defisit neurologis akibat edema peritumoral. Dosis awal yaitu bolus 10-20 mg
dilanjutkan dengan dosis 16 mg per hari bisa ditingkatkan sampai 100 mg/hari dibagi dalam
2-4 kali. (100, 113) Dosis yang lebih rendah (4-8 mg per hari) dapat diberikan pada pasien dengan
gejala yang ringan. PPI (Proton Pump Inhibitor) dapat diberikan pada pasien yang menerima
kortikosteroid dengan dosis 40 mg/hari, memiliki riwayat atau adanya gejala ulkus peptikum,
berupa golongan penghambat H2, seperti ranitidin dosis 6,25 mg/jam infus kontinyu, atau 50
mg i.v setiap 6- 8 jam. (10, 111)
Pada pasien yang menerima steroid jangka panjang memerlukan pemantauan kadar
glukosa darah,(110) profilaksis PJP (pneumocystis jirovecci pneumonia), misalnya dengan
kotrimoksazole 960 mg 3 hari/minggu, dan profilaksis osetoporosis berupa kalsium dan
vitamin D atau bifosfonat. Kortikosteroid perlu diturunkan bertahap (tappering off) ke dosis
serendah mungkin untuk menghindari efek samping.(111) Oleh sebab deksametason memiliki
lama kerja yang panjang, maka penurunan dosis kira-kira sesudah empat hari. Pada pasien
dengan kondisi klinis yang baik, obat dapat diturunkan hingga 50 % sesudah empat hari.
3.2.2.5.2. Pembedahan
Pembedahan pada astrositoma memiliki tujuan memperbaiki klinis, dan diagnosa
patologi anatomi. Bila memungkinkan dapat dilakukan reseksi maksimal yang aman dengan
preservasi neurologis.(108)
Awake craniotomy (AC) seringkali dilakukan pada pasien GBM, memungkinkan ahli
bedah untuk memantau dan bergantung pada fungsionalitas pasien saat pasien terjaga, dan
dengan demikian meningkatkan tingkat fungsionalitas pasien saat pasien terjaga, dan
dengan demikian meningkatkan tingkat reseksi. Pasien yang ditangani dengan AC memiliki
reseksi total yang lebih luas, dan peningkatan status fungsional pasca operasi dan penurunan
mortalitas pasca operasi pada anestesi umum (GA) untuk reseksi glioma. AC dilakukan pada
reseksi tumor untuk yang melibatkan eloquent area yakni kortical dan subkortikal sehingga
dapat menghindari kerusakan jaringan otak yang mewakili bahasa atau pergerakan pasien.
Pada total reseksi 95-100% tidak ada perbedaan bermakna antara keduanya. (108)
Tindakan microsurgical resection yang sesuai dengan lokasi glioma, reseksi maksimal
tumor dapat dicapai dengan perlindungan fungsi neurologis. Di antara 113 pasien dengan
tindak lanjut jangka panjang (>5 tahun), tingkat ketahanan hidup 5 tahun pasien astrositoma
low grade, dan astrositoma high grade yaitu 75,4% (52/69), dan 18,2% (8/44).(109)
Reseksi total merupakan kunci yang memengaruhi perkembangan dan kelangsungan
hidup pasien dengan high grade glioma dan lebih dapat tercapai dengan pembedahan dengan
dipandu iMRI dalam kombinasi dengan 5-ALA, sehingga meningkatkan reseksi tumor.(114, 115)
Pemantauan intraoperatif dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cedera saat operasi yang
dapat memberikan luaran lebih baik.(10)
Reseksi maksimal yang aman direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan
tekanan intrakranial, kejang tidak terkontrol atau adanya progresifitas klinis atau radiologis.
Pada pasien dengan low grade glioma reseksi tumor awal secara keseluruhan memiliki tingkat
survival rate lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan biopsi dan observasi progresivitas.
Pasien dengan anaplastik oligodendroglima sebaiknya dilakukan reseksi radikal.(108)
Khususnya glioblastoma multiforme, pembedahan dilakukan untuk mengurangi massa tumor
(debulking) dan diagnosa patologi anatomi. Reseksi luas sesudah biopsi awal bergantung
kepada pertimbangan lokasi dan faktor-faktor lainnya.(106)
pemakaian ICG (indocyanine green) dapat dilakukan untuk membantu monitoring
tindakan reseksi maksimal pada high grade glioma. Pewarnaan yang dipakai yakni
fluorescence-guided surgery (FGS) menunjukkan 100% spesifisitas dan 85 % sensitivitas pada
tindakan reseksi tumor yang memakai 5-aminolevulinic acid-induced porphyrin
fluorescence (5-ALA-PpIX).(106) pemakaian intraoperative MRI (iMRI) secara menonjol
meningkatkan pencapaian reseksi tumor (gross total resection) yang merupakan factor
prognostic positif untuk tingkat ketahanan hidup.(116)
3.2.2.5.3. Kemoterapi
Klasifikasi WHO menentukan tumor berdasar sel asalnya (astrosit atau
oligodendrosit), dan membagi menjadi beberapa tingkatan. Sehingga pemberian terapi
kemoterapi juga akan mengikuti klasifikasi ini . dipakai beberapa jenis kemoterapi
ajuvandan temozolomide. Ajuvankemoterapi yang dipakai yakni procarbine (hari 8-21
sebesar 60 mg/m
2
, PO), CCNU lomustine (hari 1 sebesar 110mg/m
2
, PO), dan vinkristin (hari
8-29 sebesar 1,4 mg/m
2 IV). (108)
1. Low Grade Glioma
Level I evidence yang mendukung pemakaian ajuvankemoterapi yang mengikuti
radioterapi. Pada low grade glioma dengan risiko tinggi yakni usia lebih dari 40 tahun dan atau
pasien dengan reseksi subtotal, jika diberikan ajuvankemoterapi (PCV, vinkristin, atau
limostine) selama 6 siklus dan radioterapi (54 Gy) dapat meningkatkan survival rate hingga
10,4 tahun.
Level III evidence pada low grade glioma yang memiliki 3 faktor risiko terjadinya
rekurensi (umur >40 tahun, histologi astrocytoma, tumor bihemisferik, diameter tumor >6 cm,
fungsi status neurologis preoperasi >1) jika diberikan radiasi 54 Gy yang dibarengi dengan
pemberian temozolomide (TMZ) harian diikuti bulanan akan meningkatkan 3- years survival
rate menjadi 75%, dibandingkan dengan tanpa pemberian TMZ peningkatan survival rate-nya
sebesar 54%. (117)
Salah satu opsi yang diberikan kepada pasien berdasar klinis dan faktor molekuler
yaitu memulai kemoterapi dan menunda radioterapi, hingga respons kemoterapi dapat
ditentukan. Pemberian TMZ (75 mg/m
2 sekali sehari selama 21 hari, diulang setiap 23 hari,
hingga maksimal 12 siklus) tanpa radioterapi tidak terdapat perbedaan yang menonjol dengan
pemberian radioterapi saja (50,4 Gy). (117)
Pemberian kemoterapi dengan TMZ ditawarkan pada pasien dengan tumor yang
progresif yang menunjukkan kombinasi hilangnya 1p/19q. (108, 114)
2. High grade glioma
Kemoterapi pada masalah tumor otak ganas saat ini sudah banyak dipakai sebab dapat
memperpanjang angka kesintasan. Pada glioblastoma concomitant dan adjuvant kemoterapi
TMZ sebagai tambahan untuk radioterapi secara menonjol meningkatkan survival rate 2 dan
5 tahun pada penelitian randomized trial yang besar, dan sebagai standar terapi pasien
dengan GBM dengan usia hingga 70 tahun, atau pasien sehat usia tua di atas 70 tahun dengan
kondisi klinis yang baik. TMZ diberikan dengan dosis 75 mg/m2 selama 6 minggu (selama radioterapi).
sesudah radioterapi selesai pemberian Temozolomide dilanjutkan dengan dosis 150-200 mg/m2 pada hari 1-
5 siklus 28 hari selama 6 kali. Hasil lebih baik pada harapan hidup sampai dua tahun pada pasien dengan
59
status metilasi promotor MGMT yang positif dibanding yang tidak (49% dan 15%) .(106, 118)
Pada astrositoma anaplastik sesudah follow up selama 10 tahun pemakaian neo
adjuvant kemoterapi PCV (procarbazine, lomustine, and vinkristin), didapatkan manfaat
secara prognostik terutama pada subgrup pasien (ko-delesi dari 1p/19q). Tidak terdapat
perbedaan yang besar efektivitas antara PCV atau TMZ sebagai modalitas kemoterapi. (106)
3.2.2.5.4. Targeted therapy
Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun berkembang
penelitian mengenai kegunaan temozolomide dan nimotuzumab pada glioblastoma. (106) Terapi
molekular tertarget (targeted molecular therapy), seperti nimotuzumab sebagai anti-EGFR
(epidermal growth factor receptor) dan anti-VEGF (vascular endothelial growth factor)
selektif. Efek samping yang muncul dalam pemberian obat terapi target jauh lebih ringan
dibandingkan obat kemoterapi konvensional. (119)
3.2.2.5.5. Imunoterapi
Imunoterapi dapat dipertimbangkan sebagai terapi baru untuk terapi pada pasien
dengan glioblastoma.
(49) Imunoterapi yaitu salah satu modalitas terapi yang menjanjikan
sebab dapat secara spesifik bekerja pada sel tumor yang menjadi target. Uji klinis fase I/II
telah dilakukan untuk imunoterapi adoptif dan aktif memakai lympokhine-activated killer
cells, sel T sitotoksik, tumor infiltrating lymphocytes, sel tumor autolog, dan sel dendritik. (113,
116)
Pada imunoterapi adoptif, dilakukan pemberian sel imun yang diaktivasi secara ex vivo,
melalui intravena atau langsung ke tumor. Sel imun yang dipakai dapat berupa lymphokine-
activated killer cells atau sel T sitotoksik. Sementara itu, prinsip imunoterapi aktif yaitu
menstimulasi respons imun dengan cara memberikan sel tumor aktif atau bagian-bagian dari
sel ini , misalnya protein tumor dan peptida dari molekul MHC (major histocompatibility
complex) kelas I. (113, 116)
60
3.2.2.5.6. Radioterapi
Radioterapi memiliki banyak peranan pada berbagai jenis tumor otak ganas. Radioterapi
diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai ajuvanpascaoperasi, atau pada masalah
rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada dasarnya teknik radioterapi
yang dipakai yaitu 3D conformal radiotherapy, namun teknik lain dapat juga dipakai untuk
pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy, IMRT (intensity modulated
radiation therapy), VMAT (volumetric modulated arc therapy), dan tomoterapi.(120)
Pada glioma derajat rendah (derajat I dan II), volume tumor ditentukan dengan
memakai pencitraan pra- dan pascaoperasi, memakai MRI (T2 dan FLAIR) untuk
menentukan gross tumor volume (GTV). Clinical target volume (CTV) = GTV ditambah
margin 1-2 cm, radiasi diberikan dengan dosis 45-60 Gy dengan 1,8 – 2 Gy/fraksi. (120)
Pada glioma derajat tinggi (derajat III dan IV) volume tumor ditentukan memakai
pencitraan pra dan pascaoperasi, memakai MRI (T1 dengan kontras dan FLAIR/T2) untuk
menentukan gross tumor volume (GTV). CTV ditentukan sebagai GTV ditambah 2-3 cm untuk
mencakup infiltrasi tumor yang subDiagnosa . (120)
Pada glioma derajat tinggi, lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase. Dosis yang
direkomendasikan yaitu 60 Gy dengan 2 Gy/fraksi atau 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, dosis
yang sedikit lebih kecil seperti 55,8–59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9
Gy/fraksi dapat dilakukan jika volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk astrositoma
grade III. (120)
GTV dapat sangat baik ditentukan memakai gambaran MRI pre-dan pasca operasi
dengan sekuense T1 dengan kontras dan FLAIR/T2. Untuk mencakup infiltrasi sub Diagnosa ,
GTV diperluas 1-2cm (CTV) untuk derajat I / II, dan hingga 2-3 cm (CTV) untuk derajat III /
IV. Walaupun pada GBM biasanya memakai ekspansi CTV dalam rentang 2 cm, ekspansi
CTV yang lebih kecil juga dapat dipertimbangkan pada keadaan tertentu. PTV dengan batas 3-
5 mm ditambahkan ke CTV untuk memperhitungkan kesalahan set up harian dan
ketidaksesuaian pada registrasi gambar. Verifikasi harian dibutuhkan jika ekspansi PTV yang
lebih kecil dipakai . Apabila edema yang dinilai memakai T2/FLAIR dan dimasukkan
sebagai target radiasi pada fase awal radioterapi, maka area ini biasanya dikurangi untuk
fase akhir radioterapi (fase boost). Volume target boost hanya akan meliputi residu tumor dan
61
rongga reseksi. Startegi ini agar menghasilkan outcome yang baik. Dosis yang
direkomendasikan yaitu 60Gy pada 2,0 Gy per fraksi atau 59,4 gy pada 1,8 Gy per fraksi.
Dosis yang sedikit lebih rendah, seperti 55,8-59,4 Gy pada 1,8 Gy per fraksi atau 57 Gy pada
1,9Gy per fraksi, dapat dipakai saat volume tumor sangat besar (gliomatosis) atau untuk
astrositoma derajat 3. Jika memakai radioterapi 2 fase, maka, target volume radiasi pada
fase awal akan menerima 46 Gy dengan 2 Gy per fraksi atau 45-50.4Gy dengan 1,8 Gy per
fraksi. Untuk fase akhir atau fase boost akan menerima 14 Gy dalam 2 Gy per fraksi atau 9-
14,4 Gy dalam 1,8 Gy per fraksi. Pada pasien dengan kondisi yang kurang baik atau orang
lanjut usia radioterapi hipofraksi terakselerasi dapat dipertimbangkan dengan tujuan untuk
menyelesaikan pengobatan dalam 2-4 minggu. Jadwal fraksinasi yang umum yaitu
34Gy/10fx, 40,05 Gy/15 fx, atau 50 Gy/20 Fx. Pilihan lain jadwal fraksinasi yang lebih pendek
dari 25 Gy/5fx mungkin dapat dipertimbangkan untuk orang tua dan/atau pasien lemah dan
pengobatan agresif mungkin tidak dapat ditoleransi oleh tubuhnya. Pada masalah kekambuhan
yang memerlukan reiradiasi, dianjurkan diberikan dengan teknik IMRT, SRT atau SRS. Dosis
terapi dan dosis toleransi jaringan sehat disesuaikan dengan dosis radiasi sebelumnya dan
rentang waktu dengan radiasi sebelumnya.(120)
3.2.2.6. Komplikasi
Terdapat beberapa komplikasi yang muncul dari pembedahan yang dilakukan sebagai
pilihan awal terapi. Komplikasi yang paling sering ditemukan yaitu stroke iatrogenik. Pada
stroke iatrogenik, terjadi lesi iskemik pasca dilakukan operasi, yang lalu memicu
defisit neurologis.(114, 115, 117) Defisit neurologis yang terjadi dapat berupa gangguan kognitif,
defisit motorik, defisit visual-perseptual, gangguan sensoris, dan defisit nervus kranialis.
Defisit neurologis ini umumnya terjadi sesuai dengan lokasi tumor, komplikasi
perdarahan dan meningitis pasca operasi juga dapat terjadi.(121-125)
Terjadinya komplikasi pembedahan dapat memicu memanjangnya durasi rawatan
dan menjadi beban ekonomi bagi pasien.(126) Komplikasi juga diketahui meningkatkan angka
mortalitas. Kemoterapi pada pasien astrositoma dapat memicu komplikasi drug-induced
liver injury.(120) Radioterapi dapat memicu komplikasi gangguan hematologi, mual,
muntah, dan radionekrosis pada parenkim otak.(26, 120)
3.2.2.7. Prognosis
62
Angka harapan hidup pasien astrositoma bergantung pada tipe tumornya, semakin
rendah golongan tumornya maka akan semakin tinggi angka harapan hidupnya.
(127) Secara
statistika dalam 5 tahun pada low grade astrositoma yaitu 30-40%, sedang untuk
astrositoma anaplastik yaitu 25% dan Glioblastoma multiforme median survival-nya kurang
dari 2 tahun.(98, 128-132) Guideline NCCN merekomendasikan observasi pasien glioblastoma
dengan MRI otak 2-6 bulan pascaradioterapi, diteruskan setiap 2-4 bulan selama 3 tahun, dan
setiap 6 bulan sesudah nya.
(118)
3.2.2.8. Guideline NCCN
63
64
65
3.2.3. Adenoma Hipofisis
3.2.3.1. Definisi dan Patogenesis
Adenoma hipofisis merupakan tumor jinak dengan pertumbuhan yang lambat, yang
berasal dari sel kelenjar hipofisis. Penyebab tumor hipofisis belum diketahui sepenuhnya.
Sebagian besar diduga tumor hipofisis hasil dari perubahan pada DNA dari satu sel,
memicu pertumbuhan sel yang tidak terkendali. Penyebab lain yang lebih jarang yaitu
sindroma neoplasia endokrin multipel tipe I akibat cacat genetik.
Kemajuan biologi molekuler membuktikan tumor ini berasal dari monoklonal, yang
timbul dari mutasi sel tunggal diikuti oleh ekspansi klonal. Neoplasia hipofisis merupakan
proses bertingkat yang meliputi disregulasi pertumbuhan sel atau proliferasi, diferensiasi dan
produksi hormon. Ini terjadi sebagai hasil pengaktifan fungsi onkogen dan penonaktifan gen
supresor tumor. Peran onkogen sangat penting sebab perubahan allel tunggal dapat
memicu perubahan fungsi seluler. (132-134) Gen supresor tumor dapat dinonaktifkan bila
mutasi terjadi pada kedua allel (resesif), sehingga fungsi seluler terganggu. Heterogenitas cacat
genetik ditemukan pada adenoma hipofisis sesuai dengan proses neoplasma bertingkat.
Abnormalitas protein G, penurunan ekspresi protein nm23, mutasi gen Ras, delesi gen p53, 14q,
dan kadar onkogen c-myc tinggi memicu pertumbuhan adenoma hipofisis. (132-
134)Pertumbuhan progenitor adenoma hipofisis dianggap berasal dari sel berdiferensiasi. Selain
itu, mutasi umum dari onkogen dan gen supresor tumor, hadir dalam neoplasma nonendokrin,
seperti PKC (Protein Kinase C), Ras, p53, dan Rb, biasanya tidak ada pada adenoma hipofisis.
MicroRNA (miRNAs) dan long noncoding RNAs (lncRNAs) memiliki peran mendasar dalam
patogenesis adenoma hipofisis.(135)
Penelitian in vitro membuktikan peranan estrogen dalam menginduksi terjadinya
hiperplasia hipofisis dan replikasi laktotrof. Pituitary tumor transforming gene (PTTG) akibat
stimulasi estrogen terbukti memicu transformasi aktivitas seluler dan menginduksi sekresi
dasar basic Fibroblast Growth Factor (bFGF), sehingga memodulasi angiogenesis hipofisis dan
pembentukan tumor.(132-134)
Tumor hipofisis dapat bersifat sekunder akibat anak sebar tumor (metastasis) dari
tempat lain. Kanker payudara pada perempuan dan kanker paru-paru pada laki-laki merupakan
kanker yang paling umum untuk menyebar ke kelenjar hipofisis. Kanker lainnya yang
66
menyebar ke kelenjar hipofisis termasuk kanker ginjal, kanker prostat, melanoma, dan kanker
saluran cerna. (132-134)
3.2.3.2. Klasifikasi Adenoma Hipofisis
3.2.3.2.1. Klasifikasi Adenoma Hipofisis berdasar Produksi Hormon
Adenoma hipofisis dapat digolongkan berdasar produk sekretorinya, yaitu(136) :
a. Adenoma fungsional yaitu etiologi tersering adenoma hipofisis. Tumor bergejala pada tahap
lebih awal sebab efek fisiologis hormon yang disekresikan.
b. Adenoma non-fungsional. Pertumbuhan tumor dipicu oleh pertumbuhan sel bukan
pensekresi hormon. Gejala yang timbul dipicu oleh penekanan struktur sekitar, seperti
nervus optikus, khiasma optikum, dan hipotalamus.
3.2.3.2.2. Klasifikasi Adenoma Hipofisis berdasar Ukuran
berdasar ukurannya, adenoma hipofisis terbagi menjadi: (133, 136, 137)
a. Mikroadenoma. Tumor berukuran kurang dari 1 cm, berada dalam sela tursica, dan belum
menginvasi struktur yang berdekatan, seperti sinus sphenoid dan sinus kavernosus. Namun,
sekitar 50% tumor sering terdiagnosa dini pada ukuran <5 mm akibat endokrinopati.
b. Makroadenoma. Tumor berukuran lebih dari 1 cm, bisanya sudah meluas dari sela tursica,
dan sudah menginvasi struktur yang berdekatan. Gejala dipicu oleh efek kompresi
tumor, seperti bitemporal hemianopsia dan gangguan endokrin baik hipersekresi atau
hiposekresi hormonal.
3.2.3.3. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
3.2.3.3.1. Manifestasi Klinis Adenoma Hipofisis Non-fungsional
1. Nyeri kepala
Adenoma hipofisis cenderung bertambah besar sebelum terdeteksi. Nyeri kepala
yaitu salah satu gejala yang tidak spesifik pada adenoma hipofisis non-fungsional.
akibat penekanan tumor hipofisis pada struktur peka nyeri di sekitar. (133, 136, 137)
67
2. Defisit lapang pandang.
Penekanan tumor pada khiasma optikum memicu perubahan lapang pandang
baik yang dapat disadari oleh pasien sendiri atau tidak. Lapang pandang dapat
dipetakan dengan pemeriksaan lapang pandang Humphrey. Lokasi khiasma
optikum terhadap sela tursica menimbulkan variasi gejala klinis, yaitu 78% berada
tepat di atas sela, 5% di depan sela (pre-fixed), dan 17% di belakang sela (post–
fixed).(133)
Gejala yang muncul dapat berupa(133-136):
Penekanan tepat di khiasma optikum (sentral), gejala yang muncul yaitu
hemianopsia bitemporal.
Penekanan nervus optikus (Post-fixed chiasm). Khiasma optikum berada di
belakang, yaitu dekat dorsum sela. Massa tumor memicu kompresi pada
nervus optikus segmen luar superior yang melibatkan knee of Wilbrand bagian
anterior, sehingga menimbulkan quadrantanopsia kontralateral atau junctional
scotoma (pie in the sky defect).
Penekanan traktus optikus (pre-fixed chiasm). Lokasi khiasma optikum berada
di depan memicu tumor menekan traktur optikus, sehingga defisit lapang
pandang yang ditemukan yaitu hemianopsia homonim.
3. Sindroma sinus kavernosus.
Tumor yang meluas ke sinus kavernosus akan memicu kelumpuhan pada nervus
okulomotor, trokelaris, abdusens, trigeminus cabang oftlamika dan maksilaris (III, IV,
VI, V1, V2), sehingga bergejala sebagai ptosis, diplopia, dan gangguan sensorik wajah.
Oklusi pada sinus memicu proptosis, kemosis, dan stenosis arteri karotis interna.
Namun, oklusi arteri karotis interna jarang terjadi.(133, 136, 137)
4. Gangguan hormonal.
Tumor yang tumbuh perlahan akan memicu gangguan fungsi hipofisis dalam
hitungan bulan hingga tahun, yaitu:(133, 136, 137)
a) Hipotiroidisme: intoleransi suhu dingin, myxedema, rambut yang kasar
b) Hipoadrenalisme; hipotensi ortostatik, cepat lelah
68
c) Hipogonadisme: amenorrhea (perempuan), kehilangan libido dan kesuburan
d) Diabetes insipidus: poliuria
3.2.3.3.2. Manifestasi Klinis Adenoma Fungsional
Sebanyak 65% masalah adenoma hipofisis merupakan jenis yang mengeluarkan hormon
aktif, yaitu 48% prolaktin, 10% hormon pertumbuhan (growth hormone, GH), 6%
adrenocorticotropic hormone (ACTH), dan 1% thyroid stimulating hormone (TSH).(126) Gejala
yang timbul tergantung pada jenis hormon yang disekresikan, yaitu
a. Adenoma Pensekresi Prolaktin.(133, 136, 137)
Hiperprolaktinemia pada wanita memicu gejala amenorrhea, galactorrhea,
kemandulan, dan osteoporosis.
Dalam prevalensi yang jarang, laki-laki dapat mengalami impotensi dan penurunan gairah
seksual.
b. Adenoma Pensekresi Hormon Pertumbuhan (GH). (133, 136, 137)
Gejala timbul secara perlahan sebab peningkatan kadar GH dalam jangka panjang. Gejala
pada tahap dini berupa pertambahan ukuran sepatu dan baju, viseromegali, muka yang kasar
dan skin tags (hiperplasia fibrosa pada jaringan kutis dan subkutis di jari-jari, bibir, telinga
dan lidah). Pada tahap lanjut, terjadi perubahan struktur jaringan lunak dan otot rangka,
kardiomiopati, peningkatan risiko keganasan kolon, hingga gigantisme bila terjadi pada anak
prapubertas (sebelum penutupan lempeng epifisis).
c. Adenoma Pensekresi Glikoprotein (TSH, FSH, LH).(26, 124, 127)
Tumor jenis ini tidak memberikan gejala yang spesifik sehubungan dengan hormon yang
disekresikan, tetapi ditemukan sesudah memberikan efek kompresi pada struktur
didekatnya, seperti khiasma optikum atau tangkai hipofisis. Hipertiroidisme akibat adenoma
pensekresi TSH berbeda dengan penyakit Graves. Terdapat resistensi hormonal pada
penyakit Graves yang memicu terjadinya hipersekresi TSH. Gejala yang timbul berupa
rasa cemas, palpitasi, intoleransi terhadap suhu panas, hiperhidrosis, dan penurunan berat
badan meskipun asupan makanan normal atau meningkat. Tanda lain meliputi hiperaktif,
takikardia, ritme irreguler akibat fibrilasi atrium, hiper-refleksia, dan tremor. Selain itu,
69
tanda lain yang hanya ditemukan pada penyakit Graves yaitu goiter, eksoftalmus, dan
displasia epífisis punktata. Gejala penyerta hipertiroidisme akibat adenoma pensekresi TSH
yaitu jenis kelamin perempuan lebih sering, gangguan lapang pandang, edema pretibial,
dan kadar thyroid stimulating immunoglobulin serum yang rendah.
d. Adenoma Pensekresi Adrenocorticotropic Hormone (ACTH).(133, 136, 137)
Tumor biasanya dijumpai pada perempuan usia 40 tahun. Gejala yang muncul yaitu
obesitas trunkal, hipertensi, hirsutisme, hiperpigmentasi, diabetes atau intolerasi glukosa,
amenorrhea, acne, striae abdominal, buffallo hump, dan moon facies. Kelainan
endokrinologik yang berat ini sudah timbul sejak tahap awal tumor. Lebih dari 50% pasien
dengan penyakit Cushing memiliki tumor hipofisis berdiameter <5 mm, sehingga sulit
terlihat pada foto CT Scan atau MRI. Namun, hanya 10% masalah dengan ukuran cukup besar
yang memicu pembesaran sela tursica, defisit lapang pandang, kompresi nervus
kranialis, dan hipopituitarisme.
3.2.3.4. Pemeriksaan Penunjang
3.2.3.4.1. Pemeriksaan Laboratorium
3.2.3.4.1.1. Adenoma Pensekresi Prolaktin (Prolaktinoma)
Kadar prolaktin ditemukan meningkat ataupun sangat meningkat.(138) Nilai prolaktin
serum yang melebihi 150 ng/ml berkorelasi kuat dengan kejadian prolaktinoma. Kadar normal
prolaktin yaitu 3–30 ng/mL pada perempuan dewasa muda, 10–400ng/mL pada ibu hamil,
dan 2–20 ng/mL pada perempuan menopause. Elevasi prolaktin serum dikatakan sedang bila
kadarnya berada di antara 25–150 ng/mL dan elevasi menonjol jika lebih dari 150 ng/mL.
Peningkatan kadar prolaktin yang sedikit, yaitu kurang dari 90ng/mL, dipicu oleh
gangguan tangkai hipofisis (stalk effect). Kadar prolaktin antara 25–150ng/mL dipicu oleh
kompresi tangkai hipofisis, sehingga pengaruh inhibisi dopamin berkurang. Stalk effect dapat
pula terjadi akibat trauma hipothalamus dan trauma tangkai hipofisis saat pembedahan. (133, 136,
137)
3.2.3.4.1.2. Adenoma Pensekresi Growth Hormone (GH)
Pengukuran kadar hormon pertumbuhan pada adenoma hipofisis tidak memberikan
informasi tambahan sebab pola sekresi hormon yang diurnal. Kadar basal GH normal yaitu
<1 ng/mL dan kadar basal saat puasa yaitu <5 ng/mL. Pasien dengan akromegali dapat
70
memiliki kadar GH >10 ng/ml atau normal. Level hormon basal yang normal tidak dapat
diandalkan untuk menentukan nilai normal atau defisiensi. Nilai puncak GH serum yaitu 50
ng/mL. Pasien dengan akromegali dapat memiliki kadar GH yang rendah.(139)
Tes Toleransi Glukosa (TTG) dengan pemberian glukosa oral 100 gram bertujuan untuk
menekan kadar GH hingga <2 ng/mL. Kegagalan penekanan ini menunjukkan adanya
hipersekresi GH. Pemberian growth-hormone releasing factor (GRF) atau Thyrotropin
Releasing Hormone (TRH) secara intravena akan meningkatkan kadar GH pada adenoma
hipofisis. sesudah memastikan ada hipersekresi GH, tindakan lalu yaitu menentukan
etiologi dengan foto MRI kepala dengan kontras. Jika hasil MRI tidak dijumpai adenoma
hipofisis, klinisi harus mencari sumber ektopik lain.(26, 125, 127) Pemeriksaan laboratorium yang
menunjang yaitu Insulin Like Growth Factor-1 (IGF-1) yang merupakan penanda integratif
sekresi GH rerata yang sangat baik. Kadar normal tergantung pada usia (memuncak saat
pubertas) dan jenis kelamin. Pengukuran lain yang dapat dipercaya yaitu somatomedin C
sebab kadarnya konstan dan meningkat pada akromegali, yaitu 6,8 U/mL. Penurunan kadar
ini dijumpai pada hipopituitarisme.(140) Kadar normal somatomedin C yaitu 0,67
U/mL.(141, 142)
3.2.3.4.1.3. Adenoma Pensekresi Glikoprotein (TSH, FSH, LH)
1. Pemeriksaan kadar alfa subaraknoid
Hormon Thyroid Stimulating Hormone (TSH), Luteinizing Hormone (LH), dan
Follicle Stimulating Hormone (FSH) terdiri atas subunit alfa dan beta subaraknoid. Ketiga
hormon terssebut memiliki unit alfa subaraknoid yang sama, tetapi berbeda untuk unit beta.
Keduanya dapat diukur dengan teknik immunohistokimia. Unit alfa subaraknoid
ditemukan meningkat pada adenoma pensekresi glikoprotein walaupun juga dapat
dijumpai pada 22% masalah adenoma non–fungsional. Hingga 33% tumor pensekresi TSH
yaitu non-sekretorik. Banyak masalah dilaporkan tumor bersifat plurihormonal, tetapi
hormon sekunder tidak menunjukkan gejala klinis. Sebagian besar tumor ini bersifat agresif
dan invasif, sehingga menimbulkan efek massa.(143) Pencitraan MRI kontras dengan
gadolinium tidak dapat membedakan adenoma yang satu dengan yang lain. (133, 136,
137)Pemeriksaan laboratorium lain yang membantu yaitu pengukuran kadar gonadotropin
(FSH, LH) dan hormon seks, yaitu estradiol pada perempuan dan testosteron pada laki-
71
laki. Penurunan kadar ini terdapat pada hipogonadotropik akibat penekanan kelenjar
hipofisis. Sebaliknya, peningkatan kadar ini terdapat pada adenoma pensekresi
gonadotropin (FSH, LH).(144, 145)
2. Pemeriksaan kadar T4 bebas dan TSH
Penurunan kadar hormon T4 dan peningkatan kadar hormon TSH didapatkan pada
hipotiroidisme primer. Terputusnya umpan balik negatif hormon tiroid memicu
peningkatan pelepasan TSH dari hipotalamus, sehingga memicu hiperplasia
sekunder sel tirotropik di adenohipofisis. Penurunan kadar hormon T4 dan penurunan
kadar hormon TSH ataupun normal didapatkan pada hipotiroidisme sekunder.(127, 137-149)
Hipotiroidisme sentral yaitu penyebab hipotiroidisme yang jarang, yaitu 1:16.000 hingga
1:120.000 individu.(143) Sekitar 23% pasien dengan adenoma kromofob mengalami
hipotiroidisme sekunder jika tidak diobati (penurunan TSH akibat kompresi hipofisis).
Peningkatan kadar hormon T4 dan penurunan kadar hormon TSH didapatkan pada
hipertiroidisme primer. Etiologi tersering yaitu nodul tiroid lokal hiperaktif atau
hiperplasia tiroid difus (penyakit Graves). Adenoma pensekresi TSH memiliki peningkatan
kadar hormon T4 dan peningkatan kadar hormon TSH. (137, 141, 144, 149)
3.2.3.4.1.4. Adenoma Pensekresi ACTH
Peningkatan hormon kortisol disebut hiperkortisolisme (sindroma Cushing) dan
penurunan hormon kortisol disebut hiperkortisolisme baik bersifat primer maupun
sekunder.(150, 151) Secara fisiologis, Corticotropin Releasing Hormone (CRH) dari hipotalamus
akan merangsang sekresi ACTH dari hipofisis. Peningkatan kadar ACTH akan meningkatkan
produksi dan sekresi kortisol dari korteks adrenal dan memberikan umpan balik negatif untuk
menurunkan ACTH.
Stres fisik dan metabolik memicu peningkatan kadar kortisol, sehingga
pengukuran ACTH serum secara klinis menjadi sulit. Alternatif lain yang lebih baik yaitu
mengukur kortisol dalam sirkulasi dan metabolitnya dalam urin dipakai untuk melihat
kelebihan produksi adrenal. (133, 136, 137) Sindroma Cushing dapat dikenali secara klinis dengan
mudah, tetapi tidak mudah ditentukan etiologinya.
Pemeriksaan laboratorium pada adenoma hipofisis fungsional yaitu mengukur kadar
hormon kortisol pada pukul 08.00 pagi dan kortisol bebas pada urine 24 jam. Pemeriksaan
72
berikutnya yaitu menentukan ada tidaknya hiperkortisolisme melalui penapisan urin bebas
kortisol 24 jam tanpa memandang etiologi. Pemeriksaan lain yaitu tes supresi deksametason
dosis rendah. Tes dilakukan dengan memberikan deksametason 1 mg per oral pada pukul 23.00
dan dilakukan pemeriksaan kadar kortisol pada pukul 08.00 besok pagi. Jika kadar kortisol <1,8
mcg/dL, sindroma Cushing dapat disingkirkan. Jika kadar kortisol yaitu 1,8–10 mcg/dL, hasil
tidak dapat ditarik kesimpulan dan memerlukan pengujian ulang. Jika kortisol mencapai >10
mcg/dL, sindroma Cushing yaitu pasti.(152)
3.2.3.4.1.5. Adenoma Non-fungsional
Pemeriksaan laboratorium pada adenoma hipofisis non-fungsional tidak spesifik.
Ukuran tumor yang cukup besar memicu kompresi struktur sekitar, sehingga
menimbulkan gangguan lapang pandang dan defisiensi hormon. (141, 142)
3.2.3.4.2. Radiologi
1. CT Scan
Pencitraan dengan CT Scan dapat dipilih untuk visualisasi tumor supratentorial, dan
pasien memiliki kontraindikasi MRI (misalnya memiliki alat pacu jantung). Angiografi
serebral juga perlu dipertimbangkan bila ingin melihat arteri karotis interna di parasela.
Kelemahan CT Scan yaitu gambar yang dihasilkan kurang tajam dalam membedakan
batas tumor dengan struktur normal sekitar. Tumor tampak sebagai massa isodens atau
hipodens dengan edema peritumoral yang berbentuk jari (finger like edema). (153-155)
2. MRI
MRI merupakan foto radiologi pilihan utama untuk melihat batas tumor dan
mendeteksi kemungkinan penyebaran tumor. Resolusi yang tinggi dan kemampuan untuk
melihat posisi khiasma optikum yang dibutuhkan untuk memutuskan jenis operasi.(153-156)
Selain itu, MRI dapat memberikan ada tidaknya keterlibatan sinus kavernosus dan arteri
karotis interna parasela. Namun, hasil negatif palsu pada MRI mencapai 25–45% pada
penyakit Cushing. Pemeriksaan MRI dinamik diperlukan untuk melihat mikroadenoma.
Hipofisis potongan koronal dan sagittal tanpa dan dengan kontras sudah cukup untuk
menilai makroadenoma.(157)
Gambaran MRI dapat berupa:
73
• T1: Biasanya isointens dibanding hipofisis normal. Bila didan i perdarahan atau
nekrosis, dapat timbul gambaran hiperintens.
• T1 kontras: 70–90% tumor menyerap kontras lebih lambat dibanding hipofisis normal.
• T2: Isointens dibanding hipofisis normal.
• GRE (Gradient-Echo): Memudahkan evaluasi perdarahan intratumoralal (apopleksi).
• MRI Dinamik: menggambarkan karakteristik fisiologi jaringan tumor dan analisis
pembuluh darah yang rusak oleh tumor. Kontras akan memasuki rongga ekstraseluler,
sehingga memicu pembuangan kontras lebih lama dibanding keadaan normal.
3.2.3.5. diagnosa
Pendekatan Diagnosa pada adenoma hipofisis tergantung kepada gejala dan keluhan
yang ditimbulkan oleh efek masa lokal ataupun efek endokrin. diagnosa ini berdasar
pada anamnesis efek massa lokal dan efek endokrin, pemeriksaan klinis fungsi penglihatan dan
kelainan fisik yang ditimbulkan akibat efek endokrin, pemeriksaan laboratorium kadar hormon,
pemeriksaan radiologis, dan patologi anatomi.(137)
3.2.3.6. Terapi
3.2.3.6.1. Prinsip umum terapi adenoma hipofisis
Tujuan utama penatalaksanaan adenoma hipofisis yaitu pemulihan fungsi hormon dan
pengurangan ukuran tumor. Terapi tergantung pada tipe tumor hipofisis dan apakah terdapat
perluasan ke struktur sekitar hipofisis. Tumor pensekresi hormon dapat diobati dengan operasi,
terapi radiasi, atau dengan obat-obatan. Tujuan perawatan disesuaikan dengan aktivitas
fungsional tumor. Tumor umumnya memiliki respons yang buruk terhadap obat-obatan,
sehingga operasi menjadi pilihan utama.(158)
Pengobatan adenoma hipofisis dimulai dengan koreksi elektrolit dan suplementasi
hormon jika diperlukan. Penggantian hormon tiroid atau adrenal sangat penting. Suplementasi
hormon steroid harus memadai dalam kondisi stres, salah satunya yaitu periode perioperatif.
Untuk tumor endokrin aktif, terapi agresif bertujuan untuk mengembalikan kadar hormon ke
ambang normal dan mempertahankan fungsi hipofisis. Hal ini umumnya tercapai dengan
pembedahan, tetapi sebagian masalah prolaktinoma terkontrol dengan medikamentosa. Untuk
74
tumor non-sekresi, pembedahan ditujukan untuk mengurangi efek desak massa dan
mempertahankan fungsi hipofisis. (133, 136, 137)
3.2.3.6.1.1. Medikamentosa
Analog Sandostatin merupakan terapi farmakologis utama untuk tumor pensekresi
hormon pertumbuhan dan TSH. Octreotide dan lareotide akan mengontrol sekresi GH pada
mayoritas pasien dengan akromegali dan pada beberapa pasien memicu penyusutan
tumor.(159, 160)
Bromokriptin mampu memberikan penyusutan ringan ukuran tumor hanya pada sekitar
20% pasien. Ini diduga akibat ekspresi reseptor dopaminergik yang rendah pada membran sel
tumor. Octreotide mengurangi volume tumor pada sekitar 10% masalah . Kedua agen ini
dipakai saat pra-operasi dalam beberapa masalah dengan harapan mengurangi ukuran tumor
saat operasi. Bromokriptin sering dipakai pada prolaktinoma. Agonis dopamin, quinagolide,
bermanfaat pada masalah relaps atau refraktor terhadap bromokriptin dengan efek samping
minimal. Selama menunggu efek radioterapi, inhibitor produksi steroid adrenal, seperti
mitotane dan ketokonazol, dapat diberikan. (136, 161)
3.2.3.6.1.2. Pembedahan
Pembedahan trans-sfenoid yaitu pilihan terapi utama pada adenoma hipofisis
berukuran besar dan memiliki efek kompresi massa. Pembedahan trans-sfenoid dapat mencapai
tingkat kesembuhan 80-90% bila dikerjakan oleh ahli bedah hipofisis. Dengan
mempertimbangkan tingkat keberhasilan dan aspek keselamatan, pendekatan trans-sfenoid
merupakan prosedur terpilih untuk pengangkatan adenoma hipofisis. Sebagian besar tumor
memiliki konsistensi lunak dan longgar, sehingga pendekatan trans-sfenoid memungkinkan
pengangkatan tumor dengan perluasan ke suprasela. (133, 136, 137, 160, 162)
Indikasi pembedahan pada makroadenoma hipofisis hormonal inaktif, yaitu:
1. Efek kompresi akibat massa: defisit lapang pandang (secara klasik: bitemporal
hemianopsia) dan panhipopituitarisme;
75
2. Beberapa ahli bedah merekomendasikan operasi untuk makroadenoma untuk memperbaiki
fungsi khiasma optikum walaupun belum ada kelainan endokrin atau defisit lapang
pandang;
3. Gangguan penglihatan atau defisit neurologis lain yang akut dan cepat. Ini mencakup
iskemia pada khiasma optikum atau infark/perdarahan tumor yang memicu ekspansi
(apopleksi hipofisis). Bahaya utama yaitu kebutaan dan hipopiturarisme (dapat diatasi
sementara dengan penggantian hormon). Defisit lapang pandang membutuhkan
dekompresi emergensi. Beberapa ahli bedah akan mempertimbangkan pendekatan
transkranial jika diperlukan, tetapi dekompresi trans-sfenoid biasanya lebih memuaskan;
4. Mendapatkan jaringan untuk analisis histopatologi pada masalah yang masih dipertanyakan;
5. Sindroma Nelson.
Pembedahan biasanya memiliki minimal salah satu dari empat tujuan di bawah ini,
yaitu: pengangkatan tumor; debulking tumor multilobular besar sebelum radioterapi;
dekompresi dari khiasma dan nervus optikus; dan biopsi jaringan. (133, 136, 137, 160, 162)
Pembedahan pada mikroadenoma dengan peningkatan hormon bertujuan untuk
mengontrol kadar hormon yang tinggi. Ini hanya dapat tercapai dengan operasi pengangkatan
tumor. Pengangkatan seluruh massa tumor makroadenoma juga merupakan tujuan utama, tetapi
dalam praktiknya, pengangkatan lengkap tumor berukuran besar mungkin dibatasi oleh ekstensi
lateral atau invasi sinus kavernosus atau dura. Debulking makroadenoma dengan gejala visual
dapat memperbaiki fungsi penglihatan walaupun reseksi dilakukan tidak sempurna. Gejala
nyeri kepala juga berkurang dengan debulking, meskipun nyeri kepala ini berhubungan dengan
sekresi hormon pertumbuhan dari tumor. (133, 136, 137, 160, 162)
Pilihan pendekatan operasi tergantung dari sangat tergantung dari ukuran tumor, seperti
yang ditunjukkan klasifikasi Hardy di bawah ini.(163)
Tabel 3.4 Klasifikasi Hardy untuk Adenoma Hipofisis.(163)
Grade
Invasi
Adenoma Tertutup
0 Dasar sela intak dengan kontur yang normal
I Dasar sella Intak dengan kontur yang normal atau sedikit membesar,tumor
≤10 mm
II Dasar sella Intak dengan sella membesar; tumor ≥10 mm
76
Adenoma Invasif
III Destruksi lokal dasar sella
IV Destruksi difus dasar sella
Ekstensi
Ekstensi Suprasella
A Terbatas pada Sisterna Suprasella
B Obliterasi ressesus anterior Ventrikel III
C Menggeser dasar Ventrikel III
Ekstensi Parasella
D Intrakranial Intradural: fossa anterior, media, atau posterior
E Ekstrakranial Extradural: di dalam atau di bawah sinus kavernosus
Mikroadenoma (derajat 0 dan 1) hanya diangkat dengan pendekatan trans-sfenoidal.
Tumor yang seluruhnya berada di sella (derajat II dan III) juga lebih baik diangkat dari bawah.
Tumor dengan ekstensi suprasella (Kelas A, B, C, dan D) juga bisa dicapai dengan operasi
trans-sfenoid baik untuk dekompresi khiasma optikum dan mempertahankan fungsi
endokrin.(133, 136, 137, 160, 162) Pendekatan bedah untuk regio sella dapat dibagi menjadi tiga
kelompok dasar, yaitu pendekatan trans-sfenoid, kraniotomi konvensional, dan pendekatan
alternatif dasar tengkorak. (133, 136, 137, 160, 162)
Masing-masing memiliki satu atau lebih prosedur standar dan berbagai variasi teknis
yang memungkinkan operasi disesuaikan dengan situasi yang dihadapi. Saat ini, sebagian besar
adenoma hipofisis dapat dicapai melalui satu atau lebih variasi pendekatan trans-sfenoid.
Sebagian kecil membutuhkan pendekatan transkranial, yang terdiri dari baik pterional standar
atau kraniotomi subfrontal; berbagai pendekatan dasar tengkorak; atau kombinasi keduanya.(133,
136, 137, 160, 162)
Prosedur pembedahan terpilih umumnya trans-sfenoid dengan teknik endoskopi/
mikroskopik dan transkranial. Tindakan pembedahan yang dilakukan meliputi reseksi tumor,
dekompresi nervus optikus, atau dekompresi pembuluh darah.
Intraoperative monitoring (IOM) untuk menilai fungsi penglihatan dapat dilakukan
dengan penempelan elektroda di skalp daerah lobus oksipitalis untuk mendeteksi respons
elektrik korteks visual terhadap stimulus visual.(164-168)
Pembedahan pada masalah adenoma hipofisis memiliki beberapa risiko, di antaranya
yaitu perdarahan, diabetes insipidus, dan Syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone
77
(SIADH). Kunci perawatan perioperatif yaitu dengan memahami penilaian perioperatif,
manajemen intraoperatif yang tepat, dan mengetahui potensi komplikasi dan terapinya.
Penanganan diabetes insipidus selama periode intraoperatif awal yaitu vasopressin kerja
singkat secara subkutan dengan evaluasi berulang terhadap respons pengobatan dan
menghindari pemberian ADH saat terjadi fase SIADH. Pada kondisi ini, vasopressin lebih
dipilih dibandingkan desmopressin oleh sebab memiliki waktu paruh yang lebih singkat. (160, 161)
3.2.3.6.1.3. Kemoterapi
Terapi prolaktimoma mengandalkan pemakaian agonis reseptor dopamin seperti
bromokriptin, cabergoline dan quinagolide. Agen agonis dopamin lain seperti lisuride dan
terguride dan antagonis serotonin seperti metergoline jarang dipakai . pemakaian agonis
dopamin secara klinis dihubungkan dengan penurunan ukuran prolaktinoma dengan berbagai
mekanisme. Kemoterapi dengan TMZ dapat diberikan pada pasien prolaktinoma yang resisten
terhadap terapi medik, pembedahan maupun dengan radioterapi.(169, 170)
Agonis dopamin terdiri dari dua kelas, yaitu derivat ergot (bromokriptin, pergolide, dan
cabergoline) dan derivat non-ergot, seperti quinagolide. Bromokriptin yaitu alternatif terbaik
sesudah cabergoline dan merupakan derivat semisintesis terhadap agonis resptor D2 dan
antagonis reseptor D1. Dibandingkan dengan cabergoline, bromokriptin memiliki waktu paruh
lebih pendek dan dikonsumsi 2-3 kali sehari dengan dosis 2,5 dan 15 mg perhari. Pada pasien
dengan resistensi terapi, bromokriptin dapat dinaikkan menjadi 20-30 mg per hari. (158)
Adapun dosis Cabergoline dimulai dari 0,5 mg perminggu pada pasien
hiperprolaktinemia idiopatik atau mikroprolaktinoma. Pada pasien makroprolaktinoma terapi
cabergoline harus dimulai dengan dosis yang sangat kecil (0,25 mg perminggu), untuk
mencegah penurunan ukuran tumor yang terlalu cepat, sebab berisiko perdarahan intratumoral.
Dosis dinaikkan sesuai kondisi pasien untuk mengontrol pengeluaran prolaktin. sesudah 12-24
bulan terapi, akan tampak reduksi massa (> 20% dari nilai baseline) pada >80% masalah dan
sedang hilangnya tumor secara total pada 26-36% pasien.(158)
3.2.3.6.1.4. Radioterapi
78
Radioterapi dipertimbangkan pada pasien dengan rese