ksi tumor parsial, keadaan
inoperable atau menolak operasi, dan yang mengalami rekurensi pascaoperasi. Radiasi
ulangan pada adenoma hipofisis rekuren dilaporkan mendapatkan perbaikan atau stabilisasi
gejala visual dengan kontrol lokal yang baik pada follow up jangka panjang.(164, 171)
Stereotatic radiosurgery (SRS) atau fractionated stereotactic radiotherapy (FSRT) dapat
diberikan pada adenoma hipofisis. (172, 173)Stereotactic radiosurgery diberikan pada masalah
dengan diameter tumor terpanjang 3 cm atau kurang dan jarak terdekat tumor dengan organ
kritis seperti batang otak atau nervus optik diatas 3 mm. Dosis SRS yang dapat diberikan antara
10-24 Gy dalam 1 fraksi tergantung volume tumor dan posisi tumor, sehingga dosis radiasi pada
organ normal yang diberikan masih dalam batas toleransi. Fractionated stereotactic
radiotherapy diberikan pada masalah lainnya yang tidak memenuhi kriteria untuk SRS. Dosis
FSRT yang dapat diberikan berkisar 45 – 60 Gy dengan 1,8-2 Gy per fraksi. Radiasi SRT
hipofraksi juga dapat diberikan apabila tidak memenuhi syarat SRS dengan dosis radiasi antara
20-50 Gy dalam 3-10 fraksi.(172)
3.2.3.6.2. Terapi Adenoma Hipofisis Non-fungsional
3.2.3.6.2.1. Medikamentosa
Pada pasien dengan adenoma hipofisis non-fungsional pemberian terapi medikamentosa
tanpa kombinasi tidak memberikan hasil yang menonjol . Nobel dkk melakukan penelitian studi
prospektif observasional dengan pemberian dopamin agonis tanpa tindakan apapun. sesudah
diikuti selama 48 bulan, hanya 25% subjek yang terdapat pengecilan ukuran tumor, sisanya
mengalami perbesaran 10% dari ukuran sebelumnya.(174) Pada penelitian studi kohort
prospektif, Van Schaardenburg dkk melaporkan efektivitas bromokriptin pada pasien adenoma
hipofisis non-fungsional, yaitu 20% mengalami pertambahan ukuran tumor dan sebanyak 80%
tidak terdapat perubahan pada evaluasi serial CT scan serial.(175)
3.2.3.6.2.2. Pembedahan
Terapi pada adenoma hipofisis non-fungsional dengan reseksi pembedahan (umumnya
dengan pendekatan endoskopi trans-sfenoid) diindikasikan untuk pasien dengan pembesaran
tumor atau perubahan visual. (176, 177)
3.2.3.6.2.3. Radioterapi
79
Radioterapi dianjurkan pada tumor dengan reseksi inkomplit. Dosis radioterapi yang
diberikan tergantung ukuran residual tumor dapat berkisar 40–50 Gy (5–6 minggu). (178, 179) Bila
residual tumor cukup kecil, maka dapat dipertimbangkan SRS atau SRT.
3.2.3.6.3. Terapi Adenoma Hipofisis Fungsional
3.2.3.6.3.1. Medikamentosa
Pada pasien dengan dengan prolaktinoma, medikamentosa utama yang diberikan yaitu
agonis dopamin seperti bromokriptin (1 x 1,25 mg), karbegolin (0,25 mg 2x seminggu). (169, 180-
183) Terapi medikamentosa pada adenoma pensekresi GH-TSH berupa pemberian bromokriptin
(1x1,25 mg), analog somatostatin (misalnya, octreotide), agonis hormon pertumbuhan, atau
pembedahan yang didan i radioterapi sesudah operasi. (184-188)
3.2.3.6.3.2. Pembedahan
Terapi utama pada adenoma pensekresi GH–TSH yaitu pembedahan (umumnya
dengan pendekatan endoskopi trans-sfenoid).(184-188) Terapi utama pada adenoma pensekresi
ACTH yaitu endoskopi trans-sfenoid jika pasien memiliki tanda pembesaran tumor atau
gangguan lapang pandang.(184-188) Terapi pembedahan pada adenoma pensekresi ACTH yang
berulang maupun radioterapi dengan penghambat steroidogenesis direkomendasikan untuk
pasien dengan reseksi tidak komplit atau dengan kelainan yang menetap.(162, 171, 189-191) Pada
pasien dengan prolaktinoma, terapi pembedahan direkomendasikan untuk pasien dengan: (1)
gejala yang progresif (penurunan visus, penurunan lapang pandang) (2) pada pasien yang tidak
memberikan respons maupun tidak toleransi terhadap agonis dopamin (3) ukuran tumor >20
mm; (4) defisit lapang pandang; (5) invasi sinus kavernosus.
3.2.3.6.3.3. Kemoterapi
Kemoterapi dengan TMZ dapat diberikan pada pasien dengan prolaktinoma yang
resisten terhadap terapi medik, pembedahan, maupun dengan radioterapi.(170, 179, 184, 185) masalah
prolaktinoma invasif yang resisten terhadap agonis dopamin, tetapi cukup responsif terhadap
pengobatan TMZ, menunjukkan penurunan kadar prolaktin dan penyusutan ukuran tumor pada
MRI.(192) Pada masalah adenoma fungsional, prolaktinoma, dan adenoma pensekresi GH yang
resisten terhadap terapi medis dan tidak membaik dengan prosedur pembedahan, radioterapi
dan kemoterapi konvensional dipakai untuk mengendalikan pertumbuhan tumor walaupun
80
hasilnya sering tidak memuaskan.(193) Etoposide dan cisplatin juga membantu pada adenoma
pensekresi ACTH.(194) Adenoma fungsional yang menunjukkan respons pengecilan ukuran
tumor pada MRI juga cenderung menunjukkan perbaikan fungsi hormonal. Tingkat hormon
dalam semua subtipe (PRL/Prolactin, GH, dan ACTH) menurun sebesar 53–98%.
3.2.3.6.3.4. Radioterapi
Pasien dengan fungsional adenoma memerlukan pemeriksaan MRI ulangan setiap
tahun. Pilihan utama masalah rekurensi tumor yaitu operasi. Radioterapi dipertimbangkan jika
kekambuhan berulang dan tumor terus tumbuh.(170, 195) Pada pasien dengan prolaktinoma,
radioterapi dipakai jika pemberian agonis dopamin maupun pembedahan tidak berhasil,
gagal, atau menjadi tidak toleransi terhadap agonis dopamin, atau pasien dengan kontraindikasi
terapi agonis dopamin atau sejenisnya atau pasien inporable atau pasien menolak operasi. (170,
195)
Radioterapi biasanya diberikan pada pasien dengan penyakit residual atau berulang
sesudah reseksi bedah, pasien yang bukan kandidat operasi, dan adenoma fungsional yang tidak
berespons terhadap pembedahan atau medikamentosa. Kontrol tumor jangka panjang dengan
radioterapi sangat baik, yaitu 80–95% pada 10 tahun dengan dosis 45–54 Gy dalam 25-30
fraksi.(196) Pada masalah ukuran tumor yang kecil dapat dipertimbangkan pemberian SRT atau
SRS. (170, 195)
3.2.3.6.4. Rehabilitasi Medik
Pengembalian kemampuan fungsional dan aktivitas kehidupan sehari-hari dan
meningkatkan kualitas hidup pasien dengan cara aman dan efektif merupakan tujuan
dilakukannya rehabilitasi medik. Sebelum dilakukan tindakan definitif, pendekatan rehabilitasi
medik dapat diberikan sedini mungkin dan dapat dilakukan pada berbagai tahapan dan
pengobatan penyakit yang disesuaikan dengan tujuan penanganan rehabilitasi tumor mulai dari
preventif, restoratif, suportif, ataupun paliatif. (51, 197, 198)
Aspek penatalaksanaanya meliputi: (a) gangguan kognitif dan perilaku, perubahan
kepribadian, dan emosi (b) gangguan fungsi mobilisasi ambulasi akibat gangguan fleksibilitas,
kekuatan otot, koordinasi dan keseimbangan (sesuai lokasi tumor), visual, kinesia, kelemahan
umum, dan tirah baring lama.(56) (c) gangguan fungsi otak lainnya sesuai lokasi tumor
(gangguan: menelan/makan, komunikasi, persepsi, pemrosesan, sensori, dan gangguan saraf
81
kranial lainnya) (d) gangguan fungsi kardiorespirasi pasca penanganan pengobatan sesuai
gangguan fungsi paru dan jantung.(199)
3.2.3.6.5. Dukungan Nutrisi
Status gizi memiliki peranan penting dalam menunjang kualitas hidup pasien kanker.
Dari berbagai masalah nutrisi yang ada, kaheksia merupakan salah satu yang penting
diperhatikan pada pasien kanker. Kaheksia memiliki kaitan erat dengan kondisi malnutrisi. (31)
Malnutrisi yaitu keadaan dimana asupan suatu komponen nutrisi melebihi atau kurang dari
jumlah yang dianjurkan.(200) Kondisi malnutrisi ditemukan pada sekitar 85% pasien
kanker.(201)Terdapat perbedaan definisi malnutrisi antara World Health Organization (WHO)
dan European Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN).
Malnutrisi menurut WHO yaitu keadaan di mana IMT <18,5kg/m2, sedang
menurut ESPEN diagnosa malnutrisi dapat ditegakkan berdasar IMT <18,5kg/m2atau
berdasar penurunan berat badan yang tidak direncanakan >10% dalam kurun waktu tertentu
atau penurunan >5% dalam waktu 3 bulan, didan i salah satu dari: (a) IMT <20 kg/m2 pada
usia <70 tahun atau IMT <22 kg/m2 pada usia ≥70 tahun, (b) Fat free mass index (FFMI) <15
kg/m2 untuk perempuan atau FFMI <17 kg/m2 untuk laki-laki.(28)
Penanganan yang tidak adekuat akan memicu malnutrisi berkembang
menjadi kaheksia. Kaheksia didefinisikan sebagai kehilangan massa otot, dengan ataupun tanpa
lipolisis, yang tidak dapat dipulihkan dengan nutrisi konvensional. Kaheksia ditandai dengan
sekumpulan gejala yang terdiri dari tidak nafsu makan (anoreksia), cepat merasa kenyang, dan
kelemahan tubuh secara umum.(202)
Kriteria diagnosa kaheksia salah satu di antara penurunan berat badan 5% atau
lebih dalam 12 bulan terakhir atau indeks massa tubuh kurang dari 20 kg/m2 atau tiga dari lima
kriteria penurunan kekuatan otot, kelelahan (fatigue) atau keterbatasan fisik dan mental sesudah
aktivitas fisik, atau ketidakmampuan untuk terus melakukan aktivitas fisik dengan intensitas
sama yang didan i penurunan performa, anoreksia atau keterbatasan asupan makanan sehingga
asupan kalori <20 kkal/kgBB/hari, atau kurangnya nafsu makan atau indeks massa bebas lemak
yang rendah (dicirikan dengan lingkar lengan atas kurang dari persentil 10 untuk umur dan jenis
kelaminnya, indeks otot rangka DEXA <5,45 kg/m2 (perempuan) atau <7,25 kg/m2 (laki-laki)
atau salah satu parameter laboratorium yang tidak normal:
82
1. Peningkatan petanda inflamasi (C-reactive protein/CRP, interleukin/IL-6)
2. Anemia (Hb < 12 g/dL)
3. Kadar albumin serum yang rendah (<3,2 g/dL)
3.2.3.7. Komplikasi
Pembedahan trans-sfenoid memiliki beberapa potensi kebocoran cairan serebrospinal
(CSS) dengan kemungkinan meningitis, gangguan hormon hipofisis yang terkadang menetap
(membutuhkan terapi penggantian hormon seumur hidup), cedera nervus optikus dengan
kehilangan penglihatan, cedera arteri karotis interna dengan kemungkinan perdarahan dan/atau
stroke. Apopleksi hipofisis-hipopituarisme awitan mendadak merupakan komplikasi dari
adenoma hipofisis yang dipicu infark akut kelenjar hipofisis. (136, 147) Komplikasi tindakan
endoskopi endonasal trans-sfenoid meliputi komplikasi rhinologik (epistaksis atau gangguan
pembauan), kebocoran cairan serebrospinal postoperatif, infeksi (sinusitis sphenoid atau
meningitis), ruptur arteri carotis interna, gangguan hormonal, diabetes insipidus dan SIADH.
(124)
3.2.3.8. Prognosis
Jika tidak ada kontraindikasi, pembedahan (biasanya trans-sfenoid) saat ini merupakan
terapi awal yang terbaik (prognosis yang buruk dengan makroadenoma) yang mampu
menurunkan kadar GH lebih cepat, dekompresi struktur saraf, dan meningkatkan efikasi analog
somatostatin berikutnya. (203) Remisi didapatkan hingga 90% pasien dengan mikroadenoma dan
sekitar 50–60% pada pasien dengan makroadenoma.(136, 147, 180) Rekurensi terjadi lebih banyak
pada kelompok adenoma fungsional. Normalisasi lapang pandang terjadi pada 40,5% pasien
yang menjalani operasi transsfenoid. Prognosis paling buruk yaitu pada pasien dengan
adenoma hipofisis yang menginvasi sinus kavernosus.(177, 204)
83
3.2.3.9. Guidelines(200)
Pendekatan Evaluasi dan Manajemen Insidentaloma Hipofise
Bila didapatkan massa
pada CT Scan,
lakukan MRI
Lakukan pemeriksaan fisik, tes laboratorium hormonal
( prolactin, LH/FSH, TSH/FT4, kortisol, testosterone
[laki-laki], estradiol [perempuan] )
Fungsional
Tumor Pensekresi GH-
atau ACTH-
Prolaktinoma
Rujuk ke bedah saraf dan
endokrin
Terapi dengan
dopamine agonis
bila indikasi, rujuk
ke endokrinologi
Tangani sebagai
makroadenoma
Kurangi interval studi
follow up
Nonfungsional
Makroadenoma (>1cm) Mikroadenoma (<1cm)
Rujuk untuk
pemeriksaan lapang
pandang
Ada defisit lapang
pandang atau gejala
neurologis ?
Rujuk ke bedah saraf MRI dan cek hormonal
ulang dalam 1 tahun
Tidak ada perubahan
Tangani sebagai adenoma
fungsional
Menekan kiasma opticus atau
ukuran >1cm MRI ulang dalam 2 atau 3
tahun
Ya Tidak
84
3.2.4. Neuroma akustik
3.2.4.1. Definisi dan klasifikasi
Neuroma akustik yaitu tumor saraf vestibulokohlearis (N.VIII) yang berasal dari
selubung sel Schwann. Tumor ini merupakan 85% dari tumor pada regio cerebellopontin
angle dan 6% dari seluruh tumor intrakranial. Tumor ini berasal dari kompleks nervus
vestibulokohlearis di meatus akustikus internus. Sebagian besar berasal dari nervus
vestibuler baik superior maupun inferior dan kurang dari 5% berasal dari nervus kohlearis.
Biasanya schwannoma termasuk tumor jinak dan tumbuh lambat, tetapi dapat
menimbulkan gejala efek desak ruang dan tekanan pada struktur sekitarnya yang dapat
mengancam kehidupan. Pola pertumbuhan bervariasi dan sebagian kecil dapat tumbuh
cepat (2 kali lipat dalam 6 bulan). Dengan mempertimbangkan kemungkinan yang ada,
dapat dilakukan diagnosa dini sehingga dapat meningkatkan pilihan terapi dan
menurunkan angka kematian.(205)
Kompleks nervus vestibulokoklearis ini terletak di daerah cerebellopontine angle
(CPA), dan apabila menjadi tumor dapat tumbuh dengan diameter 4 cm dan
pertumbuhannya relatif lambat, sehingga memungkinkan peregangan tanpa mempengaruhi
fungsi pada fase awal. Namun seiring dengan bertambah besarnya tumor yang pada awalnya
muncul dari dalam kanalis auditoris interna, maka akan menimbulkan gejala-gejala awal
berupa gangguan fungsi pendengaran (gejala umum yang ditimbulkan) atau gangguan
vestibularis berupa gangguan keseimbangan yang biasanya memberat seiring dengan
pertumbuhan tumor ini . Neuroma akustik ditemukan sebanyak 6-10% dari semua
tumor intrakranial, akan tetapi merupakan tumor terbanyak di daerah CPA.(205, 206)
berdasar lokasi pertumbuhan tumor ini dapat diklasifikasikan menjadi (Hannover
classification) :
Tabel 3.5. Klasifikasi Tumor berdasar Lokasi Pertumbuhan (207)
Klasifikasi Lokasi tumor
T1 Tumor intrameatus akustikus internus
T2 Tumor intrameatus – ekstrameatus akustikus internus
T3A Tumor menginvasi kedalam sisterna CPA
T3B Tumor menempel pada batang otak tanpa penekanan batang otak
85
T4A Tumor menekan batang otak
T4B Tumor menekan, mendorong batang otak dan memicu obstruksi
ventrikel empat
3.2.4.2. Anamnesis
Keluhan yang pertama dirasakan pasien yaitu gangguan pendengaran yang diakibatkan
oleh tertekannya nervus koklearis. Gejala ini terjadi pada 95% pasien dengan neuroma akustik
tetapi hanya 2/3 pasien yang menyadari keluhan penurunan pendengaran ini. Keluhan lainnya
yaitu telinga berdenging yang terjadi pada 63% pasien. Bila melibatkan nervus vestibular,
pasien akan merasakan ketidakseimbangan dalam berjalan. Keluhan ini biasanya dirasakan
tidak terlalu berat dan hilang timbul. Rasa pusing berputar sangat jarang dirasakan. Hal ini
terjadi sebab tumor tumbuh lambat, sehingga tidak terjadi fungsi vestibular asimetris yang
akut. Keluhan ini terjadi pada 61% masalah .(208)
Selain kehilangan pendengaran unilateral/tinnitus dalam onset progresif, gejala lain
yang biasanya dapat muncul yaitu gangguan sensasi wajah akibat kompresi kearah superior
yang menekan nervus trigeminus. Gangguan kelumpuhan pada wajah juga sering terjadi akibat
kompresi nervus fasialis yang berjalan bersamaan dengan kompleks nervus vestibulokohlearis
dari dalam meatus akustikus internus sampai ke root entry zone nervus fascialis di sisi lateral
pontomedulari junction(207, 208)
Bila tumor tumbuh menekan batang otak, biasanya pasien mengeluhkan gangguan
berjalan, yang diawali dengan nyeri kepala yang tidak dapat sembuh dengan obat-obatan. Hal
ini kemungkinan tumor sudah ekstensi kearah batang otak, memicu pergeseran kearah
kontralateral dan terjadi obstruksi ventrikel 4 sehingga terjadi hidrosefalus obstruktif. (208, 209)
3.2.4.3. Pemeriksaan Fisik
Umumnya pasien mengeluhkan gangguan pendengaran. Semua pasien dengan
kehilangan pendengaran unilateral harus mendapatkan pemeriksaan audiologi untuk
menentukan kuantitas dan jenis dari gangguan sensorineural. Pemeriksaan Weber dan
Rinne tes juga dapat dilakukan secara sederhana di poliklinik. Refleks kornea, hipestesi
wajah unilateral, gangguan keseimbangan dan koordinasi akibat kompresi serebelum.
86
Tanda dari peningkatan tekanan intrakranial berupa papilledema dan diplopia. Paresis
nervus VII, berdasar klasifikasi dari House and Brackmann yaitu sebagai berikut.(210)
3.2.4.4. Pemeriksaan penunjang
Untuk mengetahui hubungan antara gejala klinis, lokasi dan derajat tumor dan
kualitas pendengaran maka perlu dilakukan pemeriksaan audiologi dan radiologi baik CT
maupun MRI, dapat pula ditambahkan pemeriksaan angiografi untuk mengetahui
keterlibatan struktuk vaskular di daerah CPA.(211)
Pemeriksaan audiometri perlu untuk mendiagnosa vestibular schwannoma
meskipuun 5% pasien dengan neuroma akustik didapatkan masih dalam batas normal.
Pemeriksaan Pure tone dan speech audiometry harus dilakukan di ruangan yang khusus.
Tes ini menunjukkan hasil asymmetric sensorineural hearing loss, biasanya lebih jelas
dengan frekuensi yang lebih tinggi dan tidak berhubungan dengan ukuran tumor. Auditory
brain stem response (ABR) merupakan pemeriksaan skrining lanjutan untuk mengukur
fungsi pendengaran pasien apabila hasil audiometri asimetris tidak jelas. Tes ini
menunjukkan jeda pada waktu konduksi saraf di bagian yang sakit, yang kemungkinan
disebab kan tekanan oleh tumor.(212)
Pemeriksaan CT Scan melengkapi pemeriksaan MRl untuk melihat kondisi tulang,
dan selulae mastoid. Salah satu gambaran khas dari tumor ini yaitu pelebaran dari osteum
kanalis akustikus internus (trumpeting). Normal panjang kanalis akustikus internus dari
fundus ke meatus berkisar antara 5-8 mm.
MRI merupakan standar untuk mengetahui letak tumor dan hubungannya dengan
struktur sekitar CPA. Pemeriksaan ini memakai kontras paramagnetic material yang
dapat meningkatkan sensitifitas terhadap neuroma akustik, didapatkan gambaran tumor
berbentuk bulat atau oval yang menyangat kontras yang terletak muncul dari meatus
akustikus internus. MRI yang dipakai yaitu standar pemeriksaan intra auditory canal
(IAC), yaitu FIESTA (Fast Imaging Employing Steady-state Acquisition) dan CISS
(Constructive Interference in Steady State).(213)
3.2.4.5. diagnosa
87
Kriteria diagnosa didasarkan pada keluhan utama, anamnesa, pemeriksaan fisik
dan penunjang. sesudah dilakukan tindakan operasi hasil pemeriksaan patologi anatomi
akan memperkuat diagnosa pascaoperasi. Adapun diferensial diagnosa neuroma akustik
cukup banyak, meskipun neuroma akustik menempati 85% tumor pada CPA. Berikut
yaitu diferensial diagnosa pada CPA, meningioma, tumor ektodermal, tumor metastasis
ke serebelum, neuroma nervus kranialis lain seperti trigeminal neuroma, abduscen
neuroma, jugular foramen neuroma meskipun presentasenya sangat kecil. Kemungkinan
lesi lain yang memberikan gejala klinis yang mirip dengan neuroma akustik, seperti, kista
arachnoid, kista neurenterik, granuloma kolesterol, lipoma, aneurisma, ectasia
dolikhobasilar, sistiserkosis, perluasan dari glioma batang otak/serebelum, adenoma
hipofise, kranioparingioma, khordoma, tumor ventrikel IV, khoroid plexus papilloma,
glomus jugularis. (205)
Neuroma akustik harus sudah dicurigai pada pasien dengan gejala gangguan
pendengaran asimetris. Gejala ini harus dipastikan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang baik dan ditunjang dengan MRI atau CT Scan. 80-90% pasien neuroma akustik terdeteksi
dengan cara ini . diagnosa pasti tetap dengan patologi anatomi, yakni ditemukan daerah
yang selularitasnya jarang dan padat, yang disebut sebagai Antoni A dan B. pemeriksaan
IHK(Imunohistokimia) untuk protein S100 biasanya positif pada tumor jinak dan maligna.(205,
206)
3.2.4.6. Terapi
Tiga pilihan terapi utama bagi penderita neuroma akustik, yaitu pembedahan,
terapi radiasi, dan observasi. Belum ada penelitian yang membandingkan modalitas
pengobatan yang berbeda. Sangat penting untuk memberikan konseling pada penderita
mengenai program pengobatan yang akan mereka jalani. Pertimbangan juga perlu
memperhitungkan kualitas hidup dan perbaikan gejala klinis.(205)
Perjalanan neuroma akustik tidak sepenuhnya diketahui. Dalam suatu penelitian
neuroma, yang diamati selama 40 bulan, 66% tidak berkembang, 24% tumbuh lambat, 4%
tumbuh cepat dan 3% mengalami regresi. Pada penderita neuroma kecil, dengan fungsi
pendengaran yang baik, tindakan terbaik yaitu konservatif dengan pemeriksaan scan
serial untuk memonitor pertumbuhannya. saat dijumpai pertumbuhan tumor, tindakan
88
yang lebih aktif sangat dianjurkan mengingat risiko komplikasi operasi dan kemampuan
untuk mempertahankan pendengaran sangat berkaitan dengan ukuran tumor. (214, 215)
3.2.4.6.1. Medikamentosa
Pasien yang tidak terindikasi operasi dapat diberikan steroid terutama dengan keluhan
penurunan fungsi pendengaran. pemakaian steroid dapat meningkatkan fungsi pendengaran
bila diberikan segera saat terdeteksi dan pada fase akut. Pemberian steroid yang sudah diteliti
yaitu prednison 1mg/kg. peningkatan fungsi pendengaran dapat di evaluasi memakai
audiometri sebelum dan sesudah terapi.(216)
3.2.4.6.2. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang dianggap paling memuaskan untuk hasil jangka
panjang pada neuroma akustik. Terdapat 3 standar operatif pada tumor ini yakni retrosigmoid
suboksipital, translabirintin, dan fossa media. Pilihan terapi pembedahan tergantung dari faktor
tumoral termasuk ukuran dan status pendengaran pasien.(217-219)
Pengangkatan total tumor sangat memungkinkan pada masalah neuroma akustik dan
angka kekambuhan pasca operasi sangat jarang terjadi. Risiko pembedahan meliputi kematian,
kebocoran cairan otak dan meningitis, stroke, cedera serebelum, epilepsi, paralisis fasial,
kehilangan pendengaran, gangguan keseimbangan, dan nyeri kepala persisten.(220)
Pengambilan tumor melalui tindakan bedah yaitu terapi yang disarankan pada
sebagian besar pasien yang menderita neuroma akustik. pemakaian monitor saraf fasial
meningkatkan outcome pasien yang menjalani tindakan bedah akustik neuroma dan
pemakaian nya dipertimbangkan pada operasi akustik neuroma lainnya. Monitor fungsi
cochlear (ABR) dapat juga berguna untuk hearing conservation surgery. Monitor lower cranial
nerve yang lain dapat juga meningkatkan outcome pasien. berdasar beberapa eksperimen
dan data klinis IOM telah menjadi standar pelayanan pada tindakan reseksi lesi yang letaknya
intraparenkim dan ekstraaksial yang sangat dekat dengan struktur vital seperti nervus kranial
dan pembuluh darah. Sebagian besar publikasi memakai sensory evoked potentials (SEPs)
dan motor evoked potentials (MEPs) pada masalah lesi supratentorial. sedang pada masalah
reseksi lesi infratentorial direkomendasikan memakai IOM berjenis direct cranial nerve
stimulation (DCNS). (209, 221)
89
3.2.4.6.3. Radioterapi
Tindakan stereotaktik radiosurgery dapat dilakukan untuk tumor dengan ukuran kecil,
dengan memakai linac based stereotactic radiosurgery atau sinar gamma (gamma knife).
Tindakan stereotaktik sangat dianjurkan oleh beberapa pusat bedah saraf di dunia. Kebanyakan
tindakan ini bukan untuk menghilangkan neuroma, tetapi untuk mengontrol pertumbuhannya.
sedang tindakan radioterapi konvensional dilakukan dengan cara memberikan dosis radiasi
terfraksinasi. Dalam suatu studi kohort prospektif, suatu tumor berukuran kecil (<3 cm)
memberikan hasil awal yang baik pada tindakan stereotaktik radiosurgery dibandingkan
dengan reseksi bedah. Dosis SRS dapat diberikan berkisar 12-13 Gy dalam 1 fraksi.(222)
Pada tumor diatas 3 cm dapat dipertimbangkan stereotaktik radioterapi (SRT), IMRT
atau radioterapi konformal 3D. Pengawasan jangka panjang sangat diperlukan untuk
mengidentifikasi progresifitas tumor. Resiko jangka panjang yang berhubungan dengan
stereotaktik meliputi nekrosis otak, cedera saraf kranial, dan mutasi sel neuroma akustik
sehingga memicu keganasan.(215)
3.2.4.7. Komplikasi
Komplikasi yang paling ringan yaitu sakit kepala pasca operasi akibat sisa akumulasi
perdarahan di daerah CPA. Namun demikian apabila terjadi perdarahan ulang pasca operasi
dapat berakibat fatal. Parese nervus fascialis merupakan komplikasi terbanyak apabila tidak
memakai intraoperative monitoring disebab kan letak nervus fascialis sangat sulit
ditemukan. Tuli total juga bisa terjadi apabila nervus cochlearis terputus saat dilalukan reseksi
tumor. Infark pada batang otak akibat koagulasi dengan memakai bipolar pada arteri
perforantes pada batang otak. Perdarahan akibat ruptur pembuluh darah anterior inferior
cerebellar artery (AICA) dan posterior inferior cerebellar artery (PICA). Komplikasi
perdarahan dan infark ini dapat memicu kematian pada pasien.(212)
3.2.4.8. Prognosis
Prognosis tergantung dari tipe neuroma akustik berdasar ekstensi ke arah medial
yang menekan batang otak dan invasi kearah fundus meatus akustikus internus. Apabila
neuroma akustik dapat diangkat seluruhnya prognosisnya sangat baik, tapi jika tidak dapat
diangkat seluruhnya, disebab kan adanya perlengketan pada batang otak, maka risiko
pertumbuhan kembali tumor dapat dikontrol dengan radioterapi/radiosurgery. (205, 211, 223-225)
90
3.2.4.9. Guidelines NCCN 2017
3.2.5. Kraniofaringioma
3.2.5.1. Definisi dan Klasifikasi
Kraniofaringioma yaitu tumor otak yang jarang, berasal dari malformasi embrionik
kantung Rathke pada regio sella dan parasella. Klasifikasi WHO menggolongkan
kranifaringioma sebagai tumor jinak dengan derajat histologik rendah (WHO derajat I). Secara
histopatologi, kraniofaringioma terbagi dari dua subtipe, yaitu adamantinomatosa dan papilar.
Keduanya memiliki perbedaan yang menonjol pada gambaran histopatologi dan aspek klinis.
Tipe adamantinomatosa, yang memiliki komponen kistik dan kalsifikasi, yaitu tipe paling
sering dijumpai baik pada anak dan dewasa. Tipe papilar secara histopatologi memiliki
karakteristik berupa kelompok sel skuamosa yang terletak di dalam jaringan ikat stroma.
Tumor ini berbentuk padat dan tidak ada kalsifikasi.(226)
91
Kraniofaringioma secara khas berasal dari aksis infundibulo-hipofisis pada regio sella
dan suprasella yang dgapat meluas ke struktur sekitar. Dengan perkembangan MRI, topografi
kraniofaringioma dapat diklasifikasikan menjadi 4 tipe utama yaitu intrasellar, infundibulum-
tuberian, intraventrikular, dan bentuk dumbel. Klasifikasi ini memakai khiasma optikum
sebagai titik acuan. Sekitar sepertiga masalah yaitu retrokhiasma, sepertiga lainnya subkhiasma,
20% prakhiasma, dan 10-15% yaitu intrasellar.(227)
Insidens kraniofaringioma sekitar 0,5–2 masalah per satu juta populasi per tahun dimana
30–50% seluruh masalah ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda. Kraniofaringioma
mewakili 1,2–4% dari keseluruhan tumor intrakranial pada kelompok anak anak. Histopatologi
yang umum dijumpai pada anak anak dan dewasa muda yaitu adamantinomatosa dengan lesi
kistik. Kraniofaringioma dapat dijumpai pada setiap kelompok usia, termasuk periode pranatal
dan neonatal. Insidens tumor memiliki distribusi bimodal dengan puncak pertama pada anak-
anak usia antara 5 hingga 14 tahun dan dewasa antara 50 hingga 74 tahun. Tidak terdapat
perbedaan prevalensi jenis kelamin terhadap kejadian kraniofaringioma. (226, 228)
3.2.5.2. Anamnesis
diagnosa kraniofaringioma pada anak sering terlambat hingga beberapa tahun sesudah
timbul keluhan awal. Manifestasi klinis bersifat non–spesifik akibat peningkatan tekanan
intrakranial, seperti nyeri kepala dan muntah. Keluhan utama lainnya yaitu gangguan
penglihatan terutama defisit lapang pandang berupa hemianopsia bitemporal (62–84%) dan
gangguan endokrin (52–87%). Keluhan kraniofaringioma pada usia dewasa lebih sering
dipicu oleh gangguan hormon. Defisit endokrin umumnya dipicu oleh gangguan
aksis hipotalamus–hipofisis yang berdampak pada sekresi GH (75%), gonadotropin (40%),
ACTH (25%), dan TSH (25%). Penelitian terbaru menyimpulkan bahwa kombinasi gejala
klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, gangguan pertumbuhan, dan/atau
polidipsia/poliuria perlu dipertimbangkan kemungkinan kraniofaringioma.(229)
3.2.5.3. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, sering dijumpai tanda peningkatan tekanan intrakranial, seperti
nyeri kepala, muntah, dan papiledema baik akibat penekanan langsung oleh tumor ataupun
sekunder akibat hidrosefalus. Defisit lapang pandang umumnya berupa hemianopsia
bitemporal (sekitar 49% dari seluruh masalah ) yang dapat memburuk hingga memicu
92
kebutaan. Kelainan lain yang dapat dijumpai berupa paresis nervus kranialis terutama otot
ekstraokular dan perubahan status mental. Pemeriksaan fisik menyeluruh diperlukan untuk
menentukan ada tidaknya gangguan hormonal seperti gangguan pertumbuhan fisik dan seksual,
metabolisme tubuh, dan diabetes insipidus.(229-231)
3.2.5.4. Pemeriksaan Penunjang
Foto radiologi seperti CT Scan dan MRI dan angiografi serebral bermanfaat untuk
memberikan gambaran neuroradiologi dari kraniofaringioma termasuk foto polos tengkorak,
dan terkadang angiografi serebral. Walaupun foto polos tengkorak telah digantikan oleh
modalitas terbaru, foto polos masih bermanfaat pada masalah tumor yang mengalami kalsifikasi
dan pelebaran sela, seperti pelebaran dan ekspansi dasar sela atau erosi dorsum selae. (229, 231)
Pemeriksaan CT Scan merupakan modalitasi ideal untuk mengevaluasi anatomi tulang
dan deteksi kalsifikasi. Selain itu, CT Scan juga berguna dalam membedakan komponen kistik
dan padat tumor. Gambaran kraniofaringioma pada CT Scan tergantung pada proporsi
komponen padat dan kistik. Komponen kistik memiliki densitas rendah dan pemberian kontras
memicu penyangatan pada bagian padat termasuk kapsul kista.(229)
Pemeriksaan MRI dengan pemberian kontras penting untuk menentukan topografi dan
struktur tumor. Intensitas kraniofaringioma tergantung pada proporsi komponen padat dan
kistik, isi kista (kolesterol, keratin, perdarahan), dan komponen kalsifikasi. Massa tumor
tampak isointens atau relatif hipointens terhadap parenkim otak pada sekuensi T1W yang
menyangat sesudah pemberian gadolinium, sedang pada sekuens T2W biasanya tampak
campuran hipo- dan hiperintens. Kalsifikasi sulit terlihat pada MRI, tetapi jumlah yang besar
dapat terlihat sebagai sinyal hipointens pada sekuensi T1W dan T2W. Komponen kistik
biasanya terlihat hipointens pada sekuens T1W dan hiperintens pada T2W. Edema pada sekitar
parenkim otak (akibat reaksi gliosis pada kranifaringioma atau gangguan fokal aliran CSS)
dapat menyebar sepanjang jalur saraf penglihatan, sehingga membantu membedakan
kraniofaringioma dengan tumor parasella lainnya.(228-230)
3.2.5.5. diagnosa
diagnosa banding ditentukan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Massa lain yang berada di sella dan suprasellar antara lain adenoma
hipofisis, glioma kordoid, meningioma diafragma sella, dan aneurisma. diagnosa pasti
93
ditegakkan sesudah melakukan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor yang diperoleh
melalui tindakan operasi. (230, 231)
3.2.5.6. pengobatan
3.2.5.6.1. Medikamentosa
Terapi farmakologis pada kraniofaringioma sama penanganannya dengan tumor otak
secara umum, yaitu penanganan edema serebri dan kejang. Obat–obatan yang diberikan
meliputi steroid, manitol, salin hipertonik, dan antikonvulsan. Beberapa masalah kranifaringioma
mengalami disfungsi endokrin, sehingga memerlukan terapi suplementasi hormon. Kelainan
endokrin yang paling sering dijumpai yaitu diabetes insipidus yang memerlukan pemberian
hormon anti-diuretik (desmopressin) baik secara intranasal atau oral.(229)
3.2.5.6.2. Pembedahan
Pembedahan yaitu modalitas terpilih dalam diagnosa dan terapi kraniofaringioma.
Beberapa tindakan pembedahan yang dapat dipilih untuk pengangkatan tumor seperti
pendekatan transkranial dan pendekatan endoskopi trans-sfenoid. Pemilihan pendekatan
operasi yang optimal harus mempertimbangkan empat hal, yaitu rute terpendek untuk
mencapai tumor, trauma minimal pada struktur sekitar, keperluan peninjauan, dan fleksibilitas
metode pendekatan untuk mencapai lokasi yang berbeda.
Sebagai tambahan, perbedaan pola ekstensi tumor, ukuran, konsistensi, dan faktor lain
juga berperan dalam memilih pendekatan operasi yang paling tepat. Tumor subdiafragma
intrasella atau intrasella dan suprasellar (derajat III) dapat dioperasi melalui trans-sfenoid.
Pendekatan subfrontal merupakan metode pilihan terutama untuk tumor suprasellar (derajat
III–IV). Kraniofaringioma intraventrikular dapat diangkat dengan pendekatan transcallosal-
transventrikular. Tumor retrokhiasma kecil dapat dioperasi melalaui jalur subtemporal,
sedang tumor besar dengan ekstensi ke fossa posterior hingga daerah clivus dapat dilakukan
melalui pendekatan transpetrosal-transtentorial. (228, 229, 232)
Bahkan dengan perkembangan yang pesat dalam bidang bedah saraf, pembedahan
kraniofaringioma masih menjadi tantangan besar. Ukuran tumor yang besar, batas yang tidak
teratur dan perlengketan pada struktur mikrovaskular yang penting memicu batas tumor
menjadi tidak tegas sehingga reseksi total menjadi sangat sulit dan berpotensi besar
memicu cedera pada area otak yang penting. Jika dipaksakan untuk total removal dapat
memicu komplikasi yang permanen. Sisa tumor yang ditinggalkan ditangani lalu
94
dengan radioterapi yang telah terbukti memiliki efektivitas yang tinggi. Tindakan pembedahan
lainnya yaitu pemasangan VP shunt bila pasien juga mengalami hidrosefalus.(233)
3.2.5.6.3. Kemoterapi
Terdapat beberapa serial masalah yang menunjukkan efektivitas pemberian bleomycin
atau IFN–α intrakistik pada penderita kraniofaringioma. Namun masih diperlukan penelitian
lebih lanjut untuk penerapan pemakaian metode ini secara luas. Pemberian bleomycin
intrakistik perlu dilakukan secara hati-hati sebab kebocoran obat ke luar memicu
kebutaan akibat kerusakan nervus optikus.(230)
3.2.5.6.4. Radioterapi
Tindakan radioterapi lokal ditujukan untuk menghindari rekurensi dan progresivitas
tumor dari residu mikroskopik. (230) Penelitian meta-analysis menunjukkan kesintasan yang
setara antara reseksi total tumor dan reseksi subtotal yang dilanjutkan dengan radioterapi.
(234)Teknik radiasi yang dapat dipakai meliputi radiasi FSRT atau SRT dosis hipofraksi atau
SRS (bila ukuran tumor cukup kecil).(234) Dosis radiasi FSRT berkisar antara 45 – 54 Gy dalam
25-30 fraksi. Dosis radiasi SRS berkisar 12-24 Gy dalam 1 fraksi tergantung ukuran dan posisi
tumor.(235) Dapat juga diberikan radiasi SRT dosis hipofraksi dengan dosis antara 20-50 dalam
3-10 fraksi bila tidak memenuhi syarat SRS tetapi ukuran tumor relatif tidak terlalu besar.
3.2.5.7. Komplikasi
Komplikasi jangka panjang yang umum dijumpai termasuk masalah hormonal,
penglihatan, neurologis, psikososial, neurokognitif, dan metabolik. Walaupun begitu,
komplikasi yang paling menonjol yaitu berkurangnya kualitas hidup terkait dengan disfungsi
hipotalamus. Morbiditas yang dijumpai terutama pertambahan berat badan sesudah operasi dan
kesadaran somnolen pada siang hari akibat kelelahan. Komplikasi lainnya berhubungan dengan
pemasangan VP shunt, yaitu malfungsi pirau dan infeksi pirau. (229, 230)
3.2.5.8. Prognosis
Pertumbuhan tumor umumnya lambat, tetapi memiliki tingkat rekurensi yang tergolong
tinggi. Kesintasan dengan kranifaringioma pasca-pembedahan sesudah diterapi umumnya baik.
95
Angka kesintasan hidup lebih dari 5 tahun yaitu antara 88–94%. Hal ini dipicu
perkembangan modalitas Diagnosa dan terapi yang sangat pesat.(229)
3.2.5.9. Algoritma Terapi
3.2.6. Meduloblastoma
3.2.6.1. Definisi dan Klasifikasi
Meduloblastoma merupakan tumor embrional yang berasal dari jaringan neuroepitelial
dan merupakan tumor solid ganas pediatrik yang paling sering ditemukan. Prevalensi
96
meduloblastoma yaitu 1-9/100.000 (Eropa) dan lebih sering ditemukan pada laki-laki. Tumor
ini paling banyak ditemukan pada umur 3-6 tahun dan 25% ditemukan pada usia 15-44
tahun.(236-239)
Pada sekitar 30% pasien pediatrik ditemukan metastasis saat diagnosa . Sebagian besar
metastasis ditemukan pada sistem saraf pusat akibat penyebaran melalui CSF (kranial atau
spinal), meskipun pada penelitian terbaru menggambarkan bahwa penyebaran meduloblastoma
dapat terjadi melalui darah namun metastasis ekstrakranial sangat jarang ditemukan saat
diagnosa . Pada sebagian pasien, meduloblastoma diasosiasikan dengan sindroma Gorlin,
familial adenomatous poliposis (FAP), hubungan FAP dan meduloblastoma yaitu sindroma
Turcot dengan poliposis) atau dengan sindroma Li-Fraumeni. Apabila ditemukan kecurigaan
kelainan sindromal, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan genetik.(236, 238, 240, 241)
Etiologi meduloblastoma masih belum dapat dijelaskan, namun ditemukan beberapa
gen yang berhubungan dengan beberapa subgrup dari meduloblastoma, antara lain inhibitor
sonic hedgehog pathway SUFU(10q24.32), PTCH1 (9q22.23) dan SMO (7q32.1), RNA
helicase DDX3X (Xp11.3-p11.23), khromatin regulator KDM6A(Xp11.2), β-catenin CTNNB1
(3p22.1), gen kompleks N-CoR BCOR (Xp11.4) dan gen Parkinson KMT2D (12q13.12),
SMARCA4 (19p13.3), MYCN (2p24.3) dan TP53 (17p13.1) yang dapat ditemukan pada
pemeriksaan molekuler.(72, 240-245)
Meduloblastoma bedan seluruh subgrupnya dikelompokkan ke dalam 4 grade
berdasar WHO 2016 dengan keterangan yang lebih terinci dalam tabel di bawah ini(229)
Tabel 3.7. Meduloblastoma dan Subgrup Meduloblastoma
WHO 2016
Meduloblastoma, secara genetik
Meduloblastoma, WNT-teraktivasi 9475/3*
Meduloblastoma, SHH-teraktivasi dan TP53 mutan 9476/3*
Meduloblastoma, SHH-teraktivasi dan TP53 wildtype
Meduloblastoma, non-WNT/non-SHH 9471/3
Meduloblastoma, grup 3 9477/3*
Meduloblastoma, grup 4
97
WHO 2016
Meduloblastoma, secara histologis
Meduloblastoma, klasik 9470/3
Meduloblastoma, desmoplastik/nodular 9471/3
Meduloblastoma dengan nodularitas ekstensif 9471/3
Meduloblastoma, large cell / anaplastik 9474/3
Meduloblastoma, NOS 9470/3
berdasar klasifikasi modifikasi Chang, meduloblastoma dapat dikelompokkan
sesuai dengan tabel di bawah ini.(241)
Tabel 3.8. Klasifikasi Meduloblastoma berdasar Modifikasi Chang.(241)
M0 Tidak ada bukti metastasis
M1 Didapatkan sel meduloblastoma pada cairan CSS. Tidak ditemukan bukti metastasis
pada MRI kontras kraniospinal
M2 MRI menunjukkan metastasis leptomeningeal pada pada supratentorial
M3 MRI menunjukkan etastasis lepromeningeal spinal (baik sendiri atau bersamaan
dengan metastasis supratentorial)
M4 Metastasis ekstrakranial
Menurut klasifikasi Chang, pasien dengan average-risk yaitu pasien dengan usia di
atas 3 tahun tanpa metastasis dan menjalani reseksi total atau near-total (residual <1.5 cm2 pada
MRI post operatif). Pada pasien yang tidak memenuhi kriteria ini , dikelompokkan ke
dalam risiko tinggi. Seiring dengan berkembangnya pemeriksaan molekuler, stratifikasi ini
berkembang dengan menambahkan faktor pemeriksaan molekuler.(241)
Saat pasien didiagnosa dengan meduloblastoma diperlukan staging untuk menentukan
pasien termasuk risiko tinggi atau risiko standar. Staging ini dilakukan 24-48 jam pasca
pembedahan tumor dengan melihat MRI kraniospinal kontras dan sitologi CSS. Pasien dengan
risiko tinggi yaitu yang memiliki residu tumor pasca operasi lebih dari 1,5cm2 dan positif pada
sitologi CSF (chang staging M1-M3) sedang risiko rendah yaitu sebaliknya. (241)
98
3.2.6.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada anamnesis umumnya didapatkan gejala yang berhubungan dengan massa di fossa
posterior yang memicu peningkatan tekanan intrakranial sebab hidrosefalus akibat
penekanan ventrikel IV. Gejala peningkatan TIK bisa berupa nyeri kepala, mual, muntah,
ataksia. Gejala lain yang mungkin timbul yaitu letargi, gangguan motorik, gangguan nervus
kranial, gaze palsi, gangguan visus akibat hidrosefalus, vertigo/gangguan pendengaran,
irritabilitas dan nyeri ekstrakranial berupa nyeri punggung dengan atau tanpa retensi urin dan
gangguan motorik tungkai bawah (contohnya pada pasien dengan metastasis spinal). Pada bayi
dengan hidrosefalus dapat ditemukan iritabilitas, pembesaran lingkar kepala, dan letargi.(239)
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan edema papil, diplopia, penurunan visus,
penurunan kesadaran, pembesaran lingkar kepala pada bayi akibat hidrosefalus, nistagmus,
danataksia.(238, 239)
Pasien dengan meduloblastoma akan memiliki gejala peningkatan tekanan intrakranial
dan/atau gejala disfungsi serebelar. Gejala peningkatan tekanan intrakranial termasuk nyeri
kepala dimalam dan pagi hari yang didan i mual dan muntah dan dapat terjadi penurunan
kesadaran. Tumor yang berada pada vermis dapat memicu ataksia dan instabilitas trunkal,
sedang tumor pada lobural serebelum dapat memicu gangguan koordinasi. Gejala lain
yang dapat timbul yaitu pusing dan penglihatan ganda yang dapat dipicu sebab
gangguan padasserebelum, batang otak, atau keterlibatan nervus kranialis.(246)
Pemeriksaan fisik terhadap pasien dengan meduloblastoma akan didapatkan beberapa
kelainan sesuai posisi lesi pada fossa posterior. Pasien dengan tumor di vermis akan didapatkan
gaya berjalan wide based gait atau kesulitan dalam melakukan tandem gait. Tremor pada kepala
dan leher dan nistagmus juga sering ditemukan. Lesi lobular akan menimbulkan dismetria
pada test telunjuk hidung, tremor intensitas, dan gangguan dalam tes tumit-lutut. Gangguan
nervus kranialis juga dapat muncul berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial,
seperti gangguan nervus abdusen. Peningkatan tekanan intrakranial kronis juga dapat
memicu papiledema dengan gangguan visus. (246)
99
3.2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan radiologis umumnya berupa massa solid, menyerap kontras pada
CT atau MRI, lokasi tersering pada midline dan dapat membesar ke arah ventrikel 4. Lokasi
lain yang lebih jarang termasuk area nonventrikular vermis superior dan inferior, hemisfer
serebelum, dan dapat meluas ke foramen Magendi dan Luscha hingga ke cerebellopontin
angle (CPA). CT scan kepala nonkontras menunjukkan gambaran lesi hiperdens dan pada
pemberian kontras tampak gambaran heterogen yang menyangat kontras. Pada 20% masalah
terdapat kalsifikasi.
Pada MRI T1WI tampak hipo- hingga isointens sedang dan menyangat saat diberi
kontras, pada T2WI dapat terlihat gambaran lesi heterogen sebab kista, pembuluh darah dan
kalsifikasi. Meduloblastoma sebagian besar berawal pada vermis serebelum dan hanya 20%
pada hemisfer serebelum. Pada foto spinal, dilakukan MRI dengan injeksi gadolinium atau CT
mielografi dengan kontras water-soluble untuk melihat adanya “drop mets”.(247-252)
Meduloblastoma tipe klasik dan nodular memiliki gambaran yang khas untuk masing-
masingnya. Pada meduloblastoma tipe klasik umumnya akan didapatkan gambaran massa yang
yang berada pada midline fossa posterior atau sekitar foramen luscha dengan bentuk kista
(40%) dan kalsifikasi (25%) dan menunjukkan adanya retriksi pada DWI. Pada tipe lesi
extensive nodularity lebih sering ditemukan pada paramidline dengan T1 kontras menunjukkan
massa yang sangat menyangat kontras, heterogen, dan yang menyerupai anggur.(249, 253)
3.2.6.4. diagnosa
Pada pemeriksaan histopatologis, ditemukan sel-sel kecil, bulat yang berwarna biru
pada pewarnaan hematoksilin dan memberikan gambaran nodularitas yang ekstensif hingga
large cell pada tipe anaplastik. Gambaran ini akan menentukan klasifikasinya sesuai dengan
WHO 2016. (72, 239, 246, 247)
berdasar gambaran histopatologi, terdapat beberapa subtipe meduloblastoma, antara
lain:
a. Klasik (90%): bentuk sel kecil, dibedakan sel padat dengan inti hiperkromatik, sitoplasma
sedikit dan sel klaster tidak konstan di Homer-Wright rosettes (kadang-kadang disebut
"blue tumor"), penampilan monoton.(72, 236-242)
100
b. Desmoplastik (6%): bentuk sel mirip dengan tipe klasik dengan "glomeruli" (kolagen
bundel dan tersebar pada daerah yang kurang seluler), ditandai dengan kecenderungan
diferensiasi saraf yang lebih sering terjadi pada orang dewasa. Diperkirakan prognosisnya
sama atau tidak seagresif meduloblastoma klasik.(242)
c. Large cell (4%): bentuk sel besar, bulat dan/atau pleomorfik inti, dengan aktivitas mitosis
yang lebih tinggi. Tipe ini lebih agresif dibanding tipe klasik, menyerupai tumor
teratoid/rhabdoid atipikal otak, tetapi memiliki fenotipe yang berbeda.(238)
3.2.6.5. pengobatan
3.2.6.5.1. Medikamentosa
Pemberian medikamentosa pada pasien meduloblastoma bertujuan untuk mengurangi
tekanan intrakranial yang bersifat sementara sebelum dilakukan terapi definitif yaitu tindakan
pembedahan. Steroid dapat diberikan apabila diperlukan.(247, 252)
3.2.6.5.2. Pembedahan
Secara garis besar, terdapat 2 macam pembedahan pada meduloblastoma, yaitu diversi
CSS apabila ditemukan tanda-tanda hidrosefalus dan tindakan definitif berupa kraniotomi
removal tumor. (72, 246, 247)
Diversi CSS dapat dilakukan secara eksternal dengan external ventricular drainage
apabila diperlukan untuk segera menurunkan tekanan intrakranial atau apabila diperkirakan
diversi CSS hanya dibutuhkan untuk sementara sebelum dilakukan tindakan definitif. Diversi
CSS juga dapat dilakukan dengan endoscopic third ventriculostomy (ETV) atau pemasangan
VP shunt. Komplikasi yang mungkin terjadi yaitu infeksi, perdarahan atau penutupan stoma
kembali pada ETV. (254-256)
Tindakan definitif yaitu pembedahan dengan tujuan mengangkat tumor secara
maksimal. Tindakan ini bertujuan dalam penegakkan Diagnosa , menghilangkan penyumbatan
aliran CSS, dan juga untuk menghilangkan penekanan langsung tumor terhadap batang otak
dan jaringan sekitarnya. Pembedahan pada meduloblastoma memiliki banyak tantangan, tumor
yang memiliki vaskularisasi yang banyak harus diangkat secara cepat untuk menghindari
101
perdarahan intralesi. Selain itu meduloblastoma dengan serebelum tidak memiliki batas yang
jelas.(257)
Komplikasi yang sering terjadi (25%) yaitu mutisme serebelar, ditandai dengan
iritabilitas, ketidakmampuan membentuk kata, hipotonus dan ataksia yang sering terjadi pada
24 jam sesudah operasi. Hal ini dapat terjadi sementara beberapa minggu hingga beberapa bulan,
atau dapat juga menetap. Komplikasi lain yang mungkin terjadi yaitu terjadinya infark pada
daerah sekitarnya, dan perdarahan intra operatif hingga perdarahan post operatif. (254, 256)
Stratifikasi Risiko
Pascareseksi tumor harus dilakukan stratifikasi risiko berdasar untuk menentukan
terapi lalu dan memprediksi outcome.(243, 258) Pada usia > 3 tahun tanpa atau dengan
residual tumor <1.5 x 1.5 cm2 dan M0 (imaging neuroaksis dan sitologi CSS) diklasifikasikan
sebagai risiko standar dengan >80% survival dengan terapi standar. Keberadaan 1 atau lebih
dari gambaran berikut : usia <3 tahun, residual tumor >1.5 x 1.5 cm2 atau metastasis (M1-M4)
memicu masalah ini menjadi risiko tinggi dengan survival 40-60% bahkan dengan
terapi yang intensif. Pasien dengan stratifikasi staging neuroaksis yang inkomplit harus
dimasukkan ke dalam risiko tinggi. Pasien dengan anaplasia difus, gambaran histologi large
cell/anaplasia dimasukkan ke dalam klasifikasi risiko tinggi.(258-260)
Tabel 3.9. Stratifikasi Risiko berdasar SIOP (Society Of Pediatric Oncology)
Europa(261)
Risiko standar:
Usia lebih dari 3 tahun
Residu tumor pasca reseksi <1,5cm2
Pemeriksaan CSS tidak ditemukan sel tumor
MRI tidak menunjukkan penyebaran pada spinal dan leptomeningeal
Meduloblastoma tipe klasik atau desmoplatik
Risiko tinggi:
Positif ditemukan metastasis (Chang staging M1,M2,M3,M4)
Residu tumor pascareseksi lebih dari 1,5cm2
102
Meduloblastoma large cell/anaplastik
Amplifikasi MYC atau MYCN(262)
Pemeriksaan molekular pada meduloblastoma sebaiknya dilakukan agar dapat
dilakukan penggolongan yang lebih baik dengan juga mempertimbangkan klinis dan radiologis
pasien untuk menetukan terapi lalu dan prognosis pasien sebagaimana yang tertera pada
table 3.9. (243, 247, 261)
Tabel 3.10. Stratifikasi Risiko
Kategori
Risiko
WNT SHH Grup 3 Grup 4 Lainnya
Rendah
(survival
>90%)
< 16 tahun
Standar
(survival 75-
90%)
TP53 wild type
MYC amplifikasi
(-)
Non metastatik
MYC
amplifikasi (-)
dan
Non
metastatik
Non
metastatik
dan
Chr 11
loss(+)
Tinggi
(survival 50-
75%)
MYC
amplifikasi(+)
dan/atau
Metastasis (+)
Non
metastatik
dan
Chr 11 loss(-)
Sangat
Tinggi
(survival
<50%)
Mutasi TP53
Metastasis(+/-)
Metastasis(+) Metastasis(+)
Tidak
diketahui
Metastasis
(+)
Metastasis (-)
dengan MYC
amplifikasi,
anaplasia,
isokromosom
e 17q
Anaplasia Melanotik
meduloblastoma
Medullomyoblasto
ma
Indeterminate
(grup 3/4)
3.2.6.5.3. Radioterapi
Panduan radioterapi pada meduloblastoma dewasa yaitu sebagai berikut :
103
a. Risiko standar untuk terjadinya kekambuhan: (dosis konvensional) 30- 36 Gy
craniospinal irradiation (CSI) dan boosting di area gross tumor atau fosa
posterior (54-55,8 Gy) dengan atau tanpa kemoterapi tambahan. Dapat
dipertimbangkan penurunan dosis radiasi bila ditambahkan kemoterapi menjadi:
23,4 Gy CSI dan bosting area gross tumor atau fosa posterior hingga 54-55,8
Gy.(260, 261, 263, 264)
b. Risiko tinggi untuk kekambuhan : 36 Gy CSI dengan boosting area gross tumor
atau fosa posterior hingga 54-55,8 Gy dengan kemoterapi tambahan.(261, 265-267)
3.2.6.5.4. Kemoterapi
Panduan pemberian kemoterapi pada meduloblastoma dewasa yaitu sebagai
berikut:(266, 268)
a. Vinkristin mingguan selama terapi radiasi kraniospinal diikuti dengan salah satu
regimen berikut:
a) Cisplatin, siklofosfamid, dan vinkristin(263)
b) Cisplatin, lomustine, dan vincristin(269)
b. Terapi rekuren
a) Belum a