Sabtu, 30 November 2024

tumor otak 5







 da riwayat kemoterapi sebelumnya
(1) siklofosfamid dosis tinggi ± etoposide
(2) Carboplatin, etoposide, dan siklofosfamid
(3) Cisplatin, etoposide, dan siklofosfamid
(4) Pertimbangkan kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi stem cell
autolog pada pasien yang mencapai CR dengan dosis kemoterapi
konvensional atau tidak memiliki penyakit residual sesudah  re-
reseksi (269, 270)
b) Riwayat kemoterapi sebelumnya
(1) siklofosfamid dosis tinggi ± etoposide
(2) Etoposide oral(270-272)
(3) Temozolomide(273, 274)
 
 
104
 
(4) Pertimbangkan kemoterapi dosis tinggi dengan reinfusi stem cell
autolog pada pasien yang mencapau CR dengan dosis kemoterapi
konvensional atau tidak memiliki penyakit residual sesudah  re-
reseksi
Pilihan regimen kemoterapi pada meduloblastoma dianjurkan untuk usia di atas 3 tahun
yaitu  sebagai berikut:
Regimen I (kemoterapi Packer)
Regimen Packer terdiri dari 8 siklus kemoterapi ajuvanpada interval 6 minggu dengan
profilaksis anti emetik dan hidrasi yang baik. Meskipun regimen ini telah dipakai  secara
luas, risiko ototoksisitas memicu  perlu diturunkannya dosis cisplatin dan/atau
digantikan dengan carboplatin. Pemilihan regimen ini membutuhkan pemeriksaan fungsi
pendengaran berkala yang dianjurkan pada setiap pergantian siklus. (238, 239, 268)
Salah satu kesulitan pemilihan regimen ini yaitu  bergantung pada ketersediaan
lomustine pada rumah sakit ini .
Regimen II
Salah satu regimen alternatif yang banyak dipakai  yaitu  dengan cisplatin,
cyclophosphamide dan vinkristin secara intravena dengan interval 3-4 minggu pada total 6-8
siklus. Regimen ini juga memiliki risiko ototoksisitas sehingga dibutuhkan pemeriksaan fungsi
pendengaran secara berkala.(243)
Regimen III
Modifikasi regimen dapat dilakukan untuk menurunkan risiko ototoksisitas dan
memiliki toleransi yang cukup baik dengan memberikan cyclophosphamide dan vinkristin
intravena pada setiap siklus namun cisplatin diberikan berselang 1 siklus untuk total 6 siklus
kemoterapi dalam interval waktu 3 minggu.(268)
Kemoterapi dosis tinggi
Meskipun telah terbukti efektifitas yang menonjol  pada pemberian kemoterapi dosis
tinggi didan i dengan stem cell autologous, namun hal ini tidak dianjurkan untuk rutin
dilakukan pada tempat-tempat dengan fasilitas yang terbatas.(268)
 
 
105
 
Kemoterapi pada usia kurang dari 3 tahun
Regimen kemoterapi meliputi carboplatin/cisplatin, etoposide, cyclophosphamide,
vinkristin dengan atau tanpa metotreksat dosis tinggi dan/atau metotreksat intratekal.
Meduloblastoma pada anak berusia kurang dari 3 tahun dapat dibagi menjadi 2 grup yaitu
nodular desmoplastik dan anaplastik atau klasik meduloblastoma. Pada grup pertama,
berdasar  keberhasilan kemoterapi, dianjurkan untuk memberikan kemoterapi saja,
sementara pada grup kedua strategi ini kurang efektif. Pemberian conformal radioterapi saja
pada tumor bed tanpa kemoterapi juga kurang memberikan hasil yang baik.(265, 268)
berdasar  data yang ada, dianjurkan pemberian ajuvankemoterapi sistemik saat
diagnosa  dilanjutkan dengan pembedahan sesudah  12 bulan atau saat mencapai usia 3 tahun
(yang paling cepat ditemukan di antara keduanya). Radioterapi kraniospinal dengan booster
pada tumor bed dan tempat metastasis baru dapat diberikan saat pasien mencapai usia lebih dari
3 tahun. Pada meduloblastoma risiko tinggi (baik berdasar  histologi anaplastik atau
pemeriksaan molekular), fokal konformal radioterapi pada daerah primer dapat didiskusikan
pada pertemuan multidiscipline tumor board. Rejimen kemoterapi dianjurkan untuk diberikan
dengan interval maksimum 12 siklus.(268)
Kemoradiasi konkuren
Pada meduloblastoma dengan risiko standar, dianjurkan mengikuti rejimen Packer
original dengan dosis reduksi pada radiasi kraniospinal. Pada meduloblastoma dengan risiko
tinggi, dianjurkan pemakaian  carboplatin (35mg/m2) diinfuskan intravena secara cepat setiap
hari selama radioterapi.(268, 275)
Protokol modifikasi dosis kemoterapi
a. Toksisitas hematologi
Apabila jumlah leukosit <1x(10)4g/L dan/atau platelet count <100 x (10) 3g/L pada hari
ke 21 sesudah  siklus terakhir dari kemoterapi, dosis carboplatin, etoposide, atau siklofosfamid
harus diturunkan sekitar 25%. Apabila pasien mengalami demam neutropenia dan
membutuhkan perawatan, dosis carboplatin, etoposide, atau siklofosfamid harus diturunkan
minimal 25%.(260, 264, 275)
b. Ototoksisitas
 
 
106
 
Pemeriksaan fungsi pendengaran harus dilakukan sebelum kemoterapi sebagai baseline
dan setiap 2 siklus cisplatin. Apabila ditemukan gangguan pendengaran 15-30 desibel pada
frekuensi rendah (1-1 KHz) atau >40 desibel pada 4-8KHz, cisplatin harus diganti dengan
carboplatin. Apabila ditemukan penurunan fungsi pendengaran >30 desibel pada 1-2 KHz,
semua bentuk platinum harus dihentikan.(260, 264, 275)
c. Nefrotoksisitas
Pemeriksaan fungsi ginjal harus dilakukan sebelum setiap siklus cisplatin dengan
menghitung creatinine clearance. Apabila creatinine clearance <80ml/min/1.73m2, cisplatin
harus diganti dengan carboplatin untuk siklus ini  dilanjutkan dengan pemeriksaan ulang
fungsi ginjal pada siklus cisplatin berikutnya. Jika sewaktu-waktu ditemukan creatinine
clearance <60ml/min/1.73m2, cisplatin harus diganti dengan karboplatin pada siklus ini .
Jika creatinine clearance <50ml/min/1.73m2, platinum harus dihentikan seterusnya.(238-240, 242)
3.2.6.6. Follow up
Pada saat terapi selesai, follow up dianjurkan untuk dilakukan secara periodik (3 bulan
pada 2 tahun pertama, 6 bulan hingga tahun kelima, dan per tahun sesudah nya) untuk menilai
penyakit dan toksisitas terapi. Pemeriksaan pada follow up meliputi pemeriksaan fisik, status
neurologis, dan pemeriksaan ada tidaknya toksisitas lambat dari terapi. Pemeriksaan MRI
kontras otak dan spinal dianjurkan pada 6-12 minggu sesudah  terapi selesai dan dipakai  
sebagai baseline pada follow up lalu .
Apabila ditemukan adanya relaps atau perkembangan tumor pada follow up,
prognosisnya yaitu  buruk tanpa ada peluang sembuh dan dapat diberikan terapi salvage.(268,
276)
 
Lampiran 1 : Prinsip MRI Meduloblastoma
Akuisisi yang
diperlukan minimal
(wajib)
 
1. Gambaran otak axial T1, T2 dan FLAIR
2. Potongan otak T2 axial, coronal dan sagittal
memakai  using potongan tipis (3mm dengan
jarak 0.5-1mm) dengan lapang pandang sempit dan
matriks tinggi. (13,14,15,26)
3. Gambaran otak dengan fat-suppressed T1 spin-echo
dalam paling sedikit satu bidang diikuti dengan 3D-
FSPGR dengan kontras. Rekonstruksi gambaran
 
 
107
 
3D harus dikerjakan memakai  potongan 3
mmdengan jarak 0.5-1 mm untuk mencocokkan
dengan potongan tipis prekontras (13,14,26)
4. Gambaran otak axial diffusion-weighted  
5. Skrining sagittal T1 post kontras untuk seluruh spine  
 
Akuisisi yang
Disarankan (meskipun
opsional)(33)
 
1. Gambaran otak fat-suppressed T1 spin-echo pada
tiga bidang
2. MR spectroscopy multi-voxel tumor primer di fossa
posterior
3. Rekonstruksi map ADC melalui regio yang diminati
di fossa posterior
4. Gambaran otak perfusi MRI axial gradient-echo
selama injeksi kontras
5. Gambaran otak axial 3D susceptibility-weighted  
6. Gambaran otak pseudo-continuous 3D-ASL
dengan labeling post-delay yang tepat
7. Gambaran fat-suppressed sagittal T1 spin-echo
untuk seluruh spina di tiga akuisisi, dengan T2-
weighted yang detail dan gambaran axial pada
enhancement kontras apapun untuk karakterisasi
lanjut pada kecurigaan metastasis leptomeningeal
spinal (14,15,26).
FLAIR = Fluid-attenuated inversion recovery; 3D = Three-dimensional; FSPGR = Fast-
spoiled gradient; ADC = Apparent diffusion co-efficient; ASL = Arterial spin labeling
 
 
108
 
Lampiran 2 : Rekomendasi Pemeriksaan Histopatologi Untuk Meduloblastoma253,260
Tes yang
diperlukan minimal
(wajib)
Tes opsional namun lebih baik
Pewarnaan untuk
diagnosa  
histopatologi
Imunohistokimia pendukung (IHC)
Pewarnaan
Hematoksilin dan
Eosin (H dan E)
Synaptophysin, neuron specific enolase (NSE) dan neuronal nuclei – Marker
IHC yang disarankan
Microtubule-associated protein 2(MAP2) DAN Class III β-tubulin – jarang
dipakai  
Aktivitas proliferasi
untuk IHC
IHC untuk differential diagnosa  (tumor yang mirip secara morfologi
yang berlokasi di fossa posterior)
 Differential
diagnosa  
Profil IHC
MIB-1 labelling
index (memakai  
Ki-67)
High grade glioma
dengan small cells
Glial fibrillary acidic protein (GFAP) positive (+ve)
Isocitrate dehydrogenase (IDH) positive (+ve)
Alpha thalassemia/ mental retardation syndrome X-
linked (ATRX) +ve
Trimethylated histone (H3K27me3) loss (pada GBM
pediatrik)
Ependymoma
anaplastic
Epithelial membrane antigen (EMA) +ve
Ezrin-radixin-moesin-binding phosphoprotein (EBP)
50 +ve
RELA proto-oncogene NF-KB subunit (RELA) +ve
Atypical
teratiod/rhabdoid
tumor (AT/RT)
Positivity untuk marker multilineage
Loss of SWI/SNF related, matrix associated, actin
dependent reglulator of chromatin, subfamily b,
member 1 (SMARCB1) atau INI1
Hilangnya brahma related gene (BRG) 1
Embryonal tumor
dengan
multilayered
rosettes (ETMR)
Protein Iin-28 homolog A (LIN28A) +ve
 
 
 
 
109
 
 
Lampiran 3 : Panduan Radiasi Meduloblastoma Anak (260, 268)
REKOMENDASI UMUM  
- Radioterapi dilakukan dalam 6 minggu pasca operasi  
- Total waktu untuk radioterapi tidak boleh melebihi 50 hari tanpa interupsi (5 hari/ minggu)
- Apabila didapatkan tanda-tanda toksisitas, beralih ke Radiasi Booster dan kembali ke
radiasi awal sesudah  perbaikan
- Pemberian ondansentron (0,2mg/kg) 45-50 menit sebelum radiasi efektif sebagai
antiemetik
- Hitung jenis sel dilakukan berkala selama periode radiasi
- Pemberian growth factor di indikasikan untuk neutrofilia berat
- Transfusi trombosit diindikasikan untuk trombositopenia berat (Grade III)
 
REKOMENDASI DOSIS
  Radioterapi pada pasien dengan risiko standar yaitu  35-36Gy dengan radioterapi
kraniospinal dan diikuti booster radiasi fossa posterior hingga total dosis 54-55,8Gy. (277)
  Dosis reduksi (apabila dengan kemoterapi selama periode radiasi) (23,4 Gy dalam 13
fraksi) + Dosis Booster (30,6 Gy dalam 17 fraksi), hingga dosis total pada tumor bed atau
gross tumor 50 Gy dalam 30 fraksi selama 6 minggu.  Pada pemberian kemoterapi, dosis
radiasi dapat dikurangi menjadi 23,4 Gy untuk radiasi kraniospinal yang dibagi menjadi 13
fraksi diikuti booster fossa posterior dengan total dosis 55,8Gy dengan fraksi 1,8 Gy per
kali. Radiasi diberikan bersamaan dengan vinkristin dan diikuti 8 siklus cisplatin, CCNU,
dan vinkristin (263)
  Dosis radiasi penuh (tanpa kemoterapi) (35-36 Gy dalam 21 Fraksi) + Booster ke fosa
posterior (18-19,8 Gy dalam 10-11 fraksi), hingga dosis total 54-55 Gy dalam 30-32 fraksi
selama 6-6,5 minggu. Dosis tambahan untuk pasien dengan penyebaran leptomeningeal
difus (39,6-40 Gy dalam 22-24 fraksi) + booster ke fosa posterior (14,4 Gy dalam 8 fraksi).
Pasien dengan risiko tinggi, direkomendasikan pemberian radiasi kraniospinal dengan
 
 
110
 
dosis 39,5Gy dengan booster pada area risiko tinggi penyebaran tumor hingga 45Gy. (277,
278)
 
Lampiran 4: Panduan Kemoterapi Meduloblastoma Anak(275)
Obat Dosis Jadwal hari dan rute
administrasi
Regimen kemoterapi ajuvanuntuk
meduloblastoma > 3 thn. (Level
Evidence 2A, rekomendasi kelas 1)
 
Regimen I (Regimen Packer)
Cisplatin
Lomustine
Vincristine
 
75 mg/m2
75 mg/m2
1.5 mg/m2
 
Hanya hari ke-1 (iv)
Hanya hari ke-1 (po)
Hari ke-1,8, dan 15 (iv)
Regimen II
Cisplatin
Cyclophosphamide
Vincristine
 
75 mg/m2
1000
mg/m2
1.5 mg/m2
 
Hanya hari ke-1 (iv)
Hari ke-1 dan 2 (iv)
Hari ke-1,8, dan 15 (iv)
Regimen III
Cisplatin
Cyclophosphamide
 
Vincristine
 
75 mg/m2
1000
mg/m2
 
1.5 mg/m2
 
Hanya hari ke-1 (iv) pada siklus
ke-2,4, dan 6
Hari ke-1 dan 2 (iv) pada siklus ke-
1,3, dan 5
Hari ke-2 dan 3 (iv) pada siklus ke-
2,4,dan 6
Hari ke-1 dan 8 (iv) di seluruh 6
siklus
Regimen kemoterapi ajuvanuntuk
meduloblastoma < 3 thn. (Level
Evidence 2A, rekomendasi kelas 1)
Carboplatin
 
600 mg/m2
 
Hanya hari ke-1 (iv)
Hanya hari ke-1 (iv)
 
 
111
 
Cyclophosphamide
Etoposide
1000
mg/m2
100 mg/m2
Hari ke-1,2 dan 3 (iv)
 
3.2.7. Ependimoma
3.2.7.1. Definisi dan Klasifikasi
Ependimoma Intrakranial merupakan tumor yang jarang terjadi pada orang dewasa,
sekitar 4% dari semua jenis neoplasma intrakranial, dan tidak ada perbedaan antara pria dan
wanita, puncaknya terjadi pada umur 35-45 tahun. Ependimoma supratentorial merupakan lesi
yang paling banyak terjadi pada orang dewasa, sedang  lesi infratentorial lebih sering terjadi
pada anak. Penyebaran melalui aliran CSF lebih banyak dijumpai pada anak dibandingkan pada
orang dewasa.(279, 280)Tumor ependimoma merupakan bagian dari sel neuroektodermal dan
berkembang menjadi sel ependimal yang melingkupi plexus koroideus dan white matter yang
melingkupi ventrikel terutama pada ventrikel lateral dan foramen Luscha, dan  kanalis sentralis
pada medula spinalis. Sel ependymal ini yang mengalami transformasi neoplastik menjadi
tumor ependimoma. 50% dari supratentorial ependimoma berasal dari parenkim otak dan
sisanya berasal dari sel ependymal ventrikel lateral tetapi jarang dari ventrikel ketiga.  (268, 280,
281)  berdasar  Klasifikasi WHO tahun 2016, Ependimoma dibagi menjadi:(72)
1. Subependimoma
2. Myxopapilary ependymoma
3. Ependymoma
a. Papillary ependymoma
b. Clear cell ependymoma
c. Tanycytic ependymoma  
4. Ependymoma, RELA fusion-positive
5. Anaplastic Ependymoma
Ependimoma juga dapat dibagi menjadi:
 Grade 1 : subependimoma, banyak didapatkan di intrakranial, di fossa posterior dan
ventrikel lateral, dan myxopapillary ependimoma sering ditemukan di medula
spinalis, conus, cauda dan fillum terminale)
 Grade 2 (ependimoma)  
 
 
112
 
 Grade 3 (anaplastic ependymoma)
Ependimoma grade I relatif lebih mudah dibedakan, sering terjadi pada dewasa dan
berhubungan dengan prognosis baik. Ependimoma grade II dan II menunjukkan peningkatan
aktivitas mitosis, proliferasi vascular dan nekrosis tumor.
Gambaran histopatologi dari tumor ependimal yaitu ada true rosettes (cincin di sekitar
sel tumor secara radial di sekitar lumen sentral) dan/atau pseudorosettes perivaskular cincin
dari sel tumor secara radial di sekitar pembuluh darah dengan zone free dari inti sel tumor di
sekitar pembuluh darah. Secara Immunohistokimia, ependimoma menunjukkan ekspresi dari
glial fibrillary acidic protein (GFAP), menguatkan asal sel tumor dari glia. Pada “true
rossetes”, bagian apikal sel menunjukkan pengecatan untuk epithelial membrane antigen
(EMA).(281)  
3.2.7.2. Gejala Klinis
Pasien dengan ependimoma memilik gejala tergantung ukuran, lokasi, dan status
keganasan terhadap tumor. Ependimoma biasanya tumbuh lambat, dan akan mencapai ukuran
besar sebelum terdeteksi. sedang  anaplastik ependimoma memiliki sifat pertumbuhan yang
lebih cepat sehingga tanda dan gejala lebih cepat diketahui. Walaupun infratentorial sering
terjadi pada anak, namun dapat pula terjadi pada orang dewasa. Subtentorial ependimoma  
terdapat di ventrikel 4, memicu  obstruksi aliran cairan serebrospinal (CSS), menunjukkan
gejala peningkatan tekanan intrakranial lebih awal, seperti nyeri kepala, didan i dizziness, mual
dan muntah, diplopia dan kejang.  
Jika tumor tumbuh dan menekan vermis dan hemisfer serebelum, maka gejalanya
seperti jalan geloyoran, gangguan keseimbangan dan ataksia. Jika tumor menekan batang otak
atau nervus kranialis, maka akan menunjukkan parese nervus kranialis seperti gangguan
pendengaran, disfagia dan suara parau. Manifestasi klinis pada ependimoma medula spinalis
menunjukkan gejala gangguan sensoris anggota gerak, nyeri, kelemahan ekstremitas, disfungsi
kandung kemih.(281) Walaupun jarang, supratentorial intrakorteks ependimoma dilaporkan pada
3 pasien dewasa, didan i gejala kejang. Sindroma Parinaud dapat ditemui pada pasien dengan
ependimoma ventrikel III.(280)
 
 
 
113
 
3.2.7.3. Pemeriksaan Penunjang  
3.2.7.3.1. MRI
MRI merupakan pilihan Diagnosa  utama sebab  dapat memberikan gambaran anatomi
yang lebih jelas. Pada T1-weighted menunjukkan tumor hipointense sampai isointense relatif
terhadap white matter, dan hiperintense pada T2-weighted. Pada pemberian kontras, lesi tumor
akan menyerap kontras secara homogen atau heterogen. MRI juga dapat membantu dalam
mengetahui  metastatic seeding tumor. Ependimoma dapat berupa gambaran kistik, padat, atau
campuran.(273) Edema peritumoral nampak minimal atau tanpa didan i adanya edema. (273, 280,
282, 283)
3.2.7.3.2. CT Scan
CT Scan juga dapat membantu mengidentifikasi tumor. Ependimoma pada CT Scan
dapat berupa masa kistik, kalsifikasi, dan lesi yang berbatas tegas dengan gambaran isodens
atau hiperdens. Dengan pemberian kontras, lesi tumor akan menyerap kontras secara homogen
atau heterogen.(273, 280, 281, 283)
3.2.7.4. diagnosa  
Kecurigaan diagnosa  ependimoma pada CT Scan atau MRI harus dikonfirmasi melalui
biopsi atau patologi anatomi pada saat operasi. MRI whole spine dapat dipakai  untuk
mengetahui penyebaran (seeding) tumor melalui CSS. Penyebaran tumor sering didapatkan
pada ependimoma grade III, tumor yang berlokasi di fossa posterior dan pada tumor yang tidak
dapat dieksisi total. Penyebaran tumor ini lebih jarang didapatkan pada pasien dewasa. (279)
Diferensial diagnosa penyakit ini yaitu  arteriovenous malformations, astrocytoma,
choroid plexus papilloma, glioblastoma multiforme, tumor pada conus dan kauda ekuina,
memiliki gejala serupa dengan ependimoma.(283, 284)
3.2.7.5. Terapi
3.2.7.5.1. Pembedahan Tumor
Reseksi tumor merupakan pilihan utama pada manajemen ependimoma. Semakin luas
eksisi berhubungan dengan prognosa yang makin baik. Saat ini reseksi tumor total atau near
total yang diikuti komplikasi yang rendah dimungkinkan dengan semakin berkembangnya
teknik pembedahan mikro, fasilitas neuronavigasi intraoperative, ultrasound intraoperative, dan
 
 
114
 
intraoperative neurophysiologic monitoring. Reseksi total lebih mudah dicapai pada
ependimoma yang lokasinya supratentorial dibandingkan  infratentorial yang sering pada dasar
ventrikel IV. (274, 279, 280, 282, 285)
3.2.7.5.2. Penanganan Hidrosefalus
Pilihan tindakan :(279)
a. Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV) yaitu  pilihan utama kecuali didapatkan obliterasi
sisterna interpendicular oleh sebab  pendesakan batang otak atau penyebaran/seeding tumor
ke sisterna.
b. Insersi EVD ataupun VP Shunt dapat dilakukan, walaupun dapat membawa risiko infeksi,
peritoneal seeding tumor, over drainage, dan pembentukan subdural hematoma. Preoperatif
VP shunt dapat memicu  ketergantungan shunt seumur hidup.
 
3.2.7.5.3. Radioterapi
Radioterapi mempunyai peran penting dalam manajemen ependimoma terutama untuk
pada anaplastic ependymoma WHO grade III, walaupun penelitian pemberian radioterapi pada
orang dewasa masih terbatas.1 Pemberian radioterapi pada manajemen ependimoma WHO
grade I sesudah  dilakukan reseksi total tidak diperlukan, kecuali didapatkan bukti adanya
penyebaran tumor melalui CSF. Rekomendasi pemberian radiasi pada gross tumor dengan dosis
berkisar antara 54-60 Gy untuk mengontrol pertumbuhan tumor agar tidak kambuh kembali dan
untuk meningkatkan kemungkinan harapan hidup(273, 279, 286)
Dosis radioterapi menurut London Cancer Brain and Spine Board Neuro-Oncology
Guidelines 2014 sebagai berikut: (280)
 Tumor intrakranial: 55-60 Gy terbagi menjadi 30 fraksi dalam 6 minggu
 Tumor spinal: 50,4-54 Gy terbagi menjadi 28-30 fraksi selama 5-6 minggu
 Cauda equina: 54-60 Gy terbagi menjadi 30 fraksi selama 6 minggu
Stereotactic radiosurgery (SRS) atau stereotactic radiotherapy (SRT) dapat
dipertimbangkan dalam penanganan residual anaplastik ependymoma dan rekurensi
ependimoma sesudah  dilakukan standar terapi (operasi dan atau radioterapi). (279)
Cakupan área radiasi untuk menentukan volume tumor intrakranial sangat baik
 
 
115
 
ditentukan memakai  gambaran MRI pre dan post operatif, biasanya T1 dengan kontras
dan/atau FLAIR/T2. Area anatomis volume tumor preoperatif ditambah abnormalitas sinyal
pada MRI post operatif untuk GTV; CTV (GTV ditambah ekspansi 1-2cm) dosis radiasinya 54-
59.4 Gy dalam fraksi 1.8-2.0 Gy. Pada radiasi craniospinal untuk mengurangi toksisitas dari
irradiasi kraniospinal pada orang dewasa, dapat dipertimbangkan pemakaian  intensity-
modulated radiotherapy atau proton jika tersedia. Seluruh otak dan spina (hingga thecal sac)
menerima 36 Gy dalam fraksi 1.8 Gy, untuk area lesi spina dibatasi dosisnya hingga maksimum
45 Gy (Tetapi khusus lesi metastasis besar dibawah consus dapat menerima dosis yang lebih
tinggi hingga 54-60 Gy). Lesi intrakranial primer harus menerima dosis total 54-59.4 Gy dalam
fraksi 1.8-2.0 Gy. Pertimbangkan boosting pada area metastasis besar intrakranial dengan
memakai  dosis yang lebih besar sambil tetap memperhatikan toleransi jaringan normal.
3.2.7.6. Kemoterapi
Kemoterapi bukan merupakan salah satu pilihan terapi untuk ependimoma pada orang
dewasa sebab  ependimoma tidak sensitif terhadap kemoterapi. Indikasi utama kemoterapi
untuk pasien yang tidak bisa operasi, rekuren atau matastasis ependimoma yang tidak menerima
radioterapi, yaitu  senyawa platinum dengan etoposide. Pada anak dengan ependimoma,
regimen basis carboplatin sama dengan cisplatin. berdasar  pengalaman klinis kombinasi
keduanya denga etoposide dapat diterima. Toksisitas regimen ini dapat diperkirakan dan diatasi,
dan sudah dicobakan pada berbagai tumor. Alternatif lain pada pasien dengan ependimoa
medulla spinalis yang rekuren, dapat dipertimbangkan etoposide oral. Etoposide oral dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan KPS yang lebih rendah.(280)
Ditambah dengan sedikitnya penelitian mengenai manfaat kemoterapi pada masalah  
ependimoma memicu  modalitas ini belum dijadikan standar terapi.(279) Untuk masalah  
rekuren rejimen berbasis platinum: single agent atau kombinasi Etoposide, Lomustine atau
Carmustine,, Bevacizumab dan  Temozolomide.
3.2.7.7. Prognosis
Pasien dewasa menunjukkan prognosis lebih baik dibandingkan  pasien anak 5 years survival
rate dewasa 55-90% dibandingkan pada anak 40-65%. Faktor yang mempengaruhi prognosa
yaitu  : umur dewasa, total eksisi dan lokasi supratentorial. sedang  hasil patologi anatomi
 
 
116
 
masih merupakan kontroversi dipakai  sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
prognosa. (27, 279, 283)
3.2.7.8. Komplikasi
Hidrosefalus merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat ependimoma, hal ini
terjadi sebab  tumor mengisi rongga ventrikel lateral, ventrikel III maupun ventriel IV.
Penyebaran tumor ke myelum (seeding dan drop mets) yang dapat memicu  kelemahan
anggota badan, gangguan sensorik dan  gangguan buang air besar dan kecil.(279)
3.2.7.9. Guidelines NCCN 2018
Panduan NCCN Versi 1.2018
Ependimoma Intrakranial dan Spinal Dewasa (Tidak termasuk Subependimoma)
 
 
 
 
 
 
 
117
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
118
 
3.2.8. Primary CNS Lymphoma (PCNSL)
3.2.8.1. Definisi dan Epidemiologi
Limfoma susunan saraf pusat (SSP) primer (Primary Central Nervous System
Lymphoma/ PCNSL), merupakan bentuk ekstra nodal dari Limfoma Non Hodgkin (LNH) yang
dapat timbul pada jaringan otak, mata, selaput otak maupun medula spinalis tanpa adanya
limfoma sistemik lainnya.(287)  
PCNSL dapat terjadi pada penderita dengan penekanan sistem imunitas atau
imunosupresi (HIV/AIDS, pasien transplantasi organ atau pasien yang mendapat obat-obat
penekan sistem imunitas) maupun pada penderita tanpa gangguan pada sistem imunitasnya atau
imunokompeten. (287)
Kejadian  PCNSL pada imunokompeten pasien jarang, yaitu hanya ditemukan sebesar
4% dari keseluruhan tumor intrakranial dan 4-6% dari limfoma ekstranodal.(27, 287) Diperkirakan
1500 pasien baru didiagnosa  setiap tahunnya di Amerika Serikat. (27, 287) Dalam beberapa tahun
terakhir ini terjadi peningkatan angka kejadian PCNSL pada pasien dengan usia di atas 60
tahun, dengan angka tertinggi terjadi pada usia 70 -79 tahun (4.3 per 100.000 pertahun). Tidak
ada perbedaan  antara laki-laki dan perempuan.(27, 287) masalah  langka PCNSL telah dilaporkan
pada anak-anak dengan usia rata-rata 14 tahun.(287)
3.2.8.2. Anamnesis
Gejala yang muncul pada penderita PCNSL sering kali berupa gejala neurologis yang
tidak khas dan ringan, sehingga butuhkan waktu yang lama untuk mendiagnosa nya. Gangguan
fungsi kognitif merupakan gejala yang paling sering timbul (>60%), diikuti gejala peningkatan
tekanan intrakranial  berupa sakit kepala, mual, muntah, dan edema papil, dan  kejang (11-
20%).(288, 289)  
3.2.8.3. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan fokal, seperti hemiparesis, afasia, gangguan
saraf kranialis atau lapangan pandang, dan  temuan umum, seperti papiledema. Diperlukan juga
pemeriksaan Mini-Mental Status Examination (MMSE) untuk memonitor dan mengevaluasi
gangguan fungsi kognitif.(290).(291, 292)
 
 
 
 
119
 
3.2.8.4. Pemeriksaan Penunjang
3.2.8.4.1. CT Scan/MRI
Pada CT Scan nonkontras, dapat ditemukan gambaran hiperdens maupun isodens yang
menyangat pada pemberian kontras, didan i gambaran hipodens di sekitar lesi yang
menunjukkan peritumoral edema. (291-293)
MRI otak dengan fluid-attenuated inversion recovery (FLAIR) dan  T1 pre dan
pascakontras merupakan metode pilihan utama untuk mendiagnosa  dan mengikuti
perkembangan (follow up) PCNSL. (288, 289, 294) Pada 95% PCNSL terdapat gambaran   kontras
patologis yang homogen pada masa tumor dengan batas yang jelas. Lesi  tumor yang tidak
menyangat kontras dan gambaran nekrosis jarang dijumpai. Edema vasogenik di sekitar tumor
(peritumoral) merupakan gambaran MRI yang sering ditemukan. (288, 289, 294) Gambaran lesi
tumor tunggal (soliter) ditemukan pada 65%-66% masalah  PCNSL. (289) Pada penderita PCNSL
dengan imunosupresi, lebih sering dijumpai adanya gambaran MRI otak berupa lesi multipel
dengan penyangatan pada daerah tepi (perifer)  dibandingkan penyangatan yang
homogen.(295)Meskipun jarang, PCNSL dapat timbul sebagai lesi abnormal yang menyangat
kontras pada saraf kranial dan saraf radikular atau penyangatan pada leptomeningeal di
gambaran MRI.(295)
Karakteristik gambaran MRI lainnya berupa sinyal yang rendah pada T2 weighted MRI
dan difusi terbatas pada Diffusion-weighted imaging (DWI). Gambaran ini dipicu  oleh
seluleritas tinggi dengan sel yang padat dan rasio antara nuklear dengan sitoplasma yang
tinggi.(295) Seluruh fitur radiologi ini dapat membantu membedakan PCNSL dari kondisi lain,
seperti infeksi, lesi demielinasi tumefaktif atau glioma. (295, 296) Secara anatomi supratentorial
merupakan lokasi tersering  PCNSL (87 %), diikuti oleh lobus fronto parietal (39 %) dan lokasi
yang lebih jarang di mata ( 15 % - 25 %), CSS (7 % - 42 %) dan yang paling jarang yaitu  
lokasi di medula spinalis. (289)
 
3.2.8.4.2. Cairan Serebrospinal (CSS)
Keterlibatan CSS dan mata berupa intra okular limfoma (IOL) pada pasien dengan
PCNSL tipe diffuse large B cell lymphoma (DLBCL) terjadi pada 15-20%.(295) Oleh sebab  itu
pungsi lumbal harus dikerjakan bila tidak ada kontra indikasi berupa gejala peningkatan tekanan
 
 
120
 
intrakranial. Penegakkan diagnosa  melalui pemeriksaan sitologi CSS hanya 10-20% positif,
namun akan meningkat dengan teknik flow cytometry berupa immunophenotyping. (287, 293, 295)
atau polymerase chain reaction (PCR). Metode PCR ini merupakan jenis pemeriksaan yang
efisien dan sensitif hingga 60% dengan mendeteksi mutasi imunoglobulin rantai panjang
(mutated immunoglobulin heavy chain/IgH).  
Ditemukannya sel limfoma dalam CSS atau di cairan vitreous didan i gambaran klinis
dan radiologi yang mengarah kepada diagnosa  PCNSL dapat saja meniadakan kebutuhan akan
tindakan biopsi stereotaktik otak untuk memastikan diagnosa .(293) Meskipun demikian biopsi
stereotaktik tetap direkomendasikan pada hampir seluruh masalah  PCNSL yang layak operasi  
tanpa harus menunggu hasil dari pemeriksaan CSS.(287, 295)
3.2.8.4.3. Serum darah (serologi)
sebab  tingginya angka PCNSL pada pasien dengan imunosupresi maka pemeriksaan
serologi HIV harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi HIV. Pada
pasien yang akan direncanakan pengobatan dengan kemoterapi maupun imunoterapi maka
harus dilakukan pemeriksaan serologi lain yaitu pemeriksaan darah lengkap, koagulasi, fungsi
ginjal dan hati dan  serologi hepatitis B dan C. (296) Pemeriksaan serologi rutin lain yang dapat
dilakukan yaitu  pemeriksaan lactate dehydrogenase (LDH).(288, 290, 296)
3.2.8.4.4. Penilaian Oftalmologi
Keluhan pandangan kabur, floaters dan penurunan tajam penglihatan merupakan gejala
dari  IOL yang cukup sering  ditemukan pada pasien PCNSL, sehingga dibutuhkan pemeriksaan
oftalmologi yang detail. Pemeriksaan oftalmologi dengan memakai  funduskopi dan slit
lamp harus dikerjakan pada semua pasien PCNSL untuk menyingkirkan adanya IOL.(293, 296)
3.2.8.4.5. Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi dengan IHK dari biopsi jaringan otak  merupakan metode
pilihan untuk mendiagnosa  PCNSL. Klasifikasi berdasar  World Health Organization
(WHO) dipakai  sebagai dasar untuk mendiagnosa  PCNSL dan pemeriksaan IHK harus
dikerjakan. Pemeriksaan IHK yang dikerjakan yaitu  penanda sel pan-B, (CD19, CD20,
PAX5), BCL6, MUM1/IRF4 dan CD 10. (287, 293)
 
 
 
121
 
 
3.2.8.5. diagnosa  
diagnosa  limfoma sistem saraf pusat ditegakkan berdasar , anamnesis, pemeriksaan
klinis, dan  pemeriksaan penunjang (laboratorium dan radiologis). diagnosa  dapat berupa
Limfoma SSP primer maupun sekunder. (297) International Primary CNS Lymphoma
Collaborative Group (IPCG) telah membuat panduan dasar Diagnosa  pasien PCNSL untuk
memahami perluasan penyakit dan mengkonfirmasi limfoma hanya terdapat di SSP.  (288, 290)
 
3.2.8.6. Terapi
3.2.8.6.1. Medikamentosa
Kortikosteroid dapat menimbulkan regresi limfoma pada 40% masalah  secara radiologis.
sebab  alasan ini, terapi kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan sampai dengan dilakukan
tindakan biopsi. Respons terhadap kortikosteroid merupakan positif prognosa marker (dengan
rerata survival 117 bulan) dibanding dengan pasien yang tidak respons dengan kortikosteroid
(rerata survival 5,5 bulan).(297-300)
 
3.2.8.6.2. Pembedahan
Pembedahan dekompresi dengan reseksi sebagian ataupun total dari tumor tidak
mempengaruhi prognosa pasien. Tujuan utama dari pembedahan pada masalah  limfoma sistem
saraf pusat yaitu  biopsi. Disarankan untuk memakai  teknik stereotaktik. (300)
 
3.2.8.6.3. Kemoterapi
1. Methotrexate-based regimen
Regimen kemoterapi yang dinilai efektif pada PCNSL yaitu  metotreksat. Metotreksat
merupakan anti metabolit anti folat, yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA, sehingga
memiliki sifat sitotoksik. Penetrasi metotreksat ke sawar darah otak bergantung pada dosis total
dan kecepatan/laju infus. Kisaran dosis metotreksat yang dapat mencapai sawar darah otak
mulai dari 1-8g/m2. (294, 295) Pemberian metotreksat intravena dosis 3g/m2 merupakan dosis
minimal untuk mencapai kadar terapeutik pada cairan serebrospinal.(287, 289) Pada suatu studi
menyebutkan bahwa pada pasien yang mendapat metotreksat sistemik memiliki median overall
 
 
122
 
survival sekitar 3,1 tahun.291 Studi lain melaporkan bahwa tanpa lanjutan pengobatan  lain,
seperti radioterapi dan kemoterapi konsolidasi, median overall survival pasien mencapai 23-63
bulan pada pemberian metotreksat.(296)    
2. Regimen tanpa metotreksat
Beberapa regimen polikemoterapi tanpa metotreksat dapat dipakai  pada pengobatan  
PCNSL, di antaranya regimen CHOP (cyclophosphamide, doxorubicin, vinkristin, prednisolon)
yang dipakai  untuk pengobatan  limfoma non Hodgkin. (294, 296) Regimen CHOP dinilai tidak
memperbaiki survival pada pasien PCNSL. Kemungkinan dipicu  bahwa regimen ini tidak
mampu melewati sawar darah otak. Beberapa laporan masalah  memakai  Temozolomide
sebagai alternatif pengobatan  pada PCNSL dengan dosis 150-200 mg/m2/hari yang
menunjukkan respons komplit sesudah  pemberian siklus kedua.
3. Kombinasi radiasi dan kemoterapi
Pada suatu penelitian fase 3 mengenai pemberian WBRT pasca metotreksat dosis tinggi
melaporkan bahwa WBRT memperpanjang progression-free survival.(301) Kombinasi
metotreksat dan WBRT dapat menghasilkan respons radiologis pada lebih dari 50% pasien dan
2-years survival berkisar 43-73%.
4. Kemoterapi intratekal
Kemoterapi intratekal dapat diberikan melalui pungsi lumbal atau reservoir Ommaya.
Beberapa studi prospektif menunjukkan bahwa kemoterapi intratekal memberikan manfaat.
Namun, data penelitian mengenai efikasi kemoterapi intratekal belum banyak.  (301) Kemoterapi
intratekal bukan terapi lini pertama pada PCNSL. Pemberian kemoterapi intratekal dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan sitologi cairan serebrospinal positif yang menetap walau
telah diberikan metotreksat dosis tinggi.(237)
Keterbatasan kemoterapi intratekal yaitu  tidak dapat diberikan pada pasien dengan
peningkatan tekanan intrakranial. Perlu diingat bahwa kemoterapi intratekal dapat
meningkatkan neurotoksisitas pada pasien yang telah diberikan metotreksat dosis tinggi atau
WBRT.(287)
5. Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonal yang berlawanan dengan B-cell-spesific
CD20 antigen, yang secara substansial akan bekerja pada keganasan sistemik sel B, termasuk
 
 
123
 
DLBCL. Agen ini merupakan pilihan kemoterapi pada PNCSL yang mengalami kekambuhan
atau refrakter. Sebuah studi skala kecil memakai  rituximab intravena dosis 375mg/m2
setiap minggu selama 8 minggu. Pada studi ini  sekitar sepertiga pasien mencapai respons
radiologis baik parsial maupun komplit.(287)
6. High Dose Chemotherapy And Autologous Stem Cell transplantation (HDC/SCT)
pemakaian  high-dose chemotherapy yang dilanjutkan dengan autologous stem cell
transplant bertolak pada efikasinya terhadap limfoma sistemik yang mengalami kekambuhan.
Sebuah studi prospektif fase II dengan jumlah besar menunjukkan bahwa HDT/SCT mencapai
angka remisi yang tinggi dengan gejala toksik yang masih terkendali.(287, 296)
3.2.8.6.4. Radioterapi
Whole brain radiation therapy (WBRT) merupakan pengobatan  yang efektif pada
PCNSL.  Hal ini dipicu  PCNSL dapat berupa lesi yang mikroskopik dan bersifat difus.
Dosis radiasi yang disarankan oleh Radiation Therapy Oncology Group (RTOG) berkisar 23-
54 Gy, dengan atau tanpa booster pada lesi. Protokol yang paling sering dipakai  yaitu  40-
45 Gy tanpa booster (1,8-2 Gy per fraksi). Total dosis lebih tinggi dan hiperfraksinasi tidak
memberikan manfaat. Total dosis yang lebih rendah mengurangi efek neurotoksisitas namun
angka kekambuhan bertambah. (294)  
WBRT saja memberikan response rate yang baik (50%), namun tidak memperbaiki
survival rate. Pasien yang hanya mendapat pengobatan  WBRT saja, menunjukkan median
survival 12 – 18 bulan, dengan angka kesintasan (survival) 5 tahun bervariasi dari 18-35%.(288)
Selain itu, angka kekambuhan juga cukup tinggi pada pasien yang mendapat WBRT saja.(237)
Pascapemberian WBRT dapat dipertimbangkan booster SRT atau SRS pada lesi residual
pascaWBRT.
 
3.2.8.6.5. Prognosis
Tanpa terapi, rerata survival 1,8 sampai 3,3 bulan sesudah  diagnosa . Dengan terapi
radiasi, rata– rata survival 10 bulan,1 year survival 47%. Dengan MTX intraventrikular, waktu
rata- rata sebelum kekambuhan 41 bulan. Pada pasien dengan AIDS, prognosis tampak lebih
 
 
124
 
buruk. Walaupun dapat terjadi remisi komplit, angka median survival hanya 3 sampai 5 bulan,
tetapi fungsi neurologis dan kualitas hidup pasien meningkat pada 75% masalah . (302)
Untuk PCNSL, terdapat dua skor prognostik yang dipakai , yaitu: (295)
1. The Memorial Sloan-Kettering Cancer Center prognostic model  
Skor ini membagi prognosis PCNSL menjadi 3 kategori. Kelompok pertama, pasien
dengan usia kurang dari 50 tahun memiliki prognosis yang paling baik, dengan median survival
8,5 tahun. Kelompok kedua, pasien dengan usia >50 tahun dengan KPS baik (>70), dengan
median survival sekitar 3,2 tahun. Sementara kelompok ketiga, pasien dengan usia lebih dari
50 tahun dengan KPS <70 memiliki median survival yang paling pendek yaitu 1,1 tahun.
2. The International Extranodal Lymphoma Study Group (IELSG)
Skor prognostik ini menentukan bahwa terdapat 5 faktor yang berkaitan dengan prognosis
jelek pada pasien dengan PCNSL, yaitu usia di atas 60 tahun, peningkatan kadar LDH serum,
peningkatan konsentrasi protein cairan serebrospinal, dan keterlibatan struktur dalam di otak.
(295, 296) Angka kesintasan 2 tahun (2-years survival rate) pada skor 0-1 yaitu  80%, skor 2-3
sekitar 48%, dan skor 4-5 sekitar 15%.
Selain itu, studi ini juga mendapatkan pasien dengan limfopenia saat awal terdiagnosa  
PCNSL (dengan hitung limfosit absolut kurang dari 875x106/l) memiliki angka kesintasan 5
tahun (5-years survival rate) yang lebih pendek dibanding pasien yang tidak mengalami
limfopenia (22,3% vs 59,5%). Studi ini juga melaporkan bahwa limfopenia merupakan faktor
prognosis yang menonjol  pada progression-free survival dan overall survival.  
 
3.2.9. Tumor Pineal
3.2.9.1. Definisi dan Epidemiologi
Tumor pineal yaitu  tumor yang ditemukan di daerah pineal. Tumor pineal dapat berupa
tumor primer yang berasal dari germ cell dan sel pineal. Sementara tumor sekunder pada pineal
dapat berupa astrositoma, meningioma, ependimoma, maupun metastasis.(303)Secara umum,
klasifikasi tumor pineal tergantung dari jenis patologi yang bervariasi, didapatkan 4 tipe
histologis pada tumor pineal, yaitu tumor sel germinal (germinoma dan non-germinoma), tumor
sel glial (astrositoma, glioma), tumor kelenjar pineal (pineositoma, pineoblastoma), dan tumor
 
 
125
 
lainnya (meningioma, ganglioma, ependimoma, lipoma, metastasis, dan lainnya). Terdapat juga
lesi non-neoplasma berupa malformasi vaskular (malformasi vena Galen), kista araknoid, kista
pineal, dan infeksi.(304)
Tumor pineal paling sering terjadi pada anak-anak (3-8% tumor otak pada anak-anak)
dibandingkan pada orang dewasa (≤1%). Pada pasien tumor sel germinal, germinoma
merupakan yang tersering pada usia 10-19 tahun, dan beberapa pada usia >30 tahun.
Khoriokarsinoma, karsinoma embrional, dan tumor yolk sac jarang ditemukan pada usia >30
tahun. Pineoblastoma paling sering ditemukan pada usia <5 tahun, sementara pineositoma
ditemukan pada sebaran usia 10-60 tahun. Astrositoma cenderung terjadi pada dua kelompok
usia berbeda, yaitu 2-6 tahun dan 12-18 tahun.(305)
3.2.9.2. Anamnesis
Secara garis besar, manifestasi klinis yang muncul pada pasien dengan tumor pineal
dapat dipicu  tiga mekanisme, yaitu:
1. Peningkatan tekanan intrakranial yang dipicu  oleh hidrosefalus obstruktif; dan/ atau
2. Penekanan langsung pada batang otak dan serebelum; dan/ atau
3. Disfungsi endokrin
Penekanan langsung pada midbrain, terutama pada kolikulus superior dapat menganggu
pergerakan bola mata yang dikenal dengan sindroma Parinaud. Hampir 75% pasien tumor
pineal mengalami sindroma Parinaud. Sindroma Parinaud terdiri dari gangguan pergerakan bola
mata ke atas (paralysis of upgaze), convergence or retraction nystagmus, dan papillary light-
near dissociation. (306)Gejala sindroma Parinaud juga dapat tumpang tindih dengan gejala yang
diakibatkan penekanan midbrain yang lebih luas, yang dikenal dengan sindroma Sylvian
Aqueduct, yang dapat menimbulkan gangguan gaze horizontal dan downgaze.(303)
Penekanan pada midbrain dorsal dapat memicu  lid retraction, yang dikenal
sebagai Collier’s sign atau ptosis. Keterlibatan pedunkulus serebri dan serebelum dapat
memicu  ataksia dan dismetria. Pada sebagian kecil masalah , gangguan pendengaran dapat
terjadi sebab  keterlibatan kolikulus inferior.(303)
Gangguan endokrin merupakan efek sekunder hidrosefalus atau penyebaran tumor ke
hipotalamus, di antaranya diabetes insipidus dapat terjadi jika germinoma menyebar sepanjang
 
 
126
 
lantai ventrikel III dan pubertas prekoks.(304) Pubertas prekoks dipicu  imaturitas aksis
hipotalamus-putuitary-gonad pada pasien dengan choriocarcinoma atau germinoma yang
mengandung sel yang memproduksi β-human chorionic gonadotropin  (β-HCG). (303)
3.2.9.3. Pemeriksaan Fisik
Ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial akibat hidrosefalus berupa
papiledema, gangguan berjalan, gangguan keseimbangan, dan tremor. Sindroma Parinaud
berupa paralisis upward gaze bola mata, pupil pseudo-Argyll Robertson, nistagmus konvergen,
dan retraksi kelopak mata. Gejala pubertas prekoks berupa pertumbuhan cepat, perubahan pada
ukuran dan bentuk tubuh, tumbuhnya bulu pubis dan ketiak, jerawat, dan perubahan bau
badan.(306)
3.2.9.4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan pada tumor pineal meliputi pemeriksaan
penanda tumor dan radiologis. Pemeriksaan penanda tumor bertujuan untuk membedakan
tumor yang berasal dari sel germinal atau bukan dan juga untuk membedakan di antara tumor
sel germinal sendiri.(307)
3.2.9.4.1. Penanda Tumor
Pemeriksaan penanda tumor berupa β-hCG, alpha fetoprotein (AFP), dan placental
alkaline phosphatase (PALP). Peningkatan β-hCG biasanya berhubungan dengan
khoriokarsinoma, sementara penurunan β-hCG berhubungan dengan beberapa tumor, tidak
semuanya karsinoma embrional dan germinoma. Sampel diambil dari CSS dan darah. Kadar
tumor marker pada cairan serebrospinal dinilai lebih sensitif dibandingkan dengan serum.
Peningkatan AFP terjadi pada tumor endodermal, karsinoma embrional, dan kadang pada
teratoma. Peningkatan PALP didapatkan pada germinoma. Selain menunjang diagnosa ,
penanda tumor (Tabel 3.10) juga bermanfaat dalam monitoring respons pengobatan dan sebagai
penanda awal kekambuhan.(303)
  Tabel 3.10 Penanda tumor pada tumor pineal(308)  
Jenis Tumor -hCG AFP PLAP
Germinoma murni  – – +/–
Germinoma (sinsitiotrofoblastik) + – +/–
 
 
127
 
Tumor yolk sac  – + +/–
Koriokarsinoma + – +/–
Karsinoma embrional – – +
Tumor germinal campuran +/– +/– +/–
Teratoma matur – – –
Teratoma imatur +/– +/– –
 AFP: alfa-fetoprotein; β-HCG: β-human chorionic gonadotropin; PLAP: placental alkaline phosphatase.
 
3.2.9.4.2. Radiologis
Pemeriksaan radiologis yang dikerjakan antara lain CT Scan, MRI scan, dan FDG-PET
scan. MRI merupakan pemeriksaan awal yang sangat membantu untuk mengidentifikasi tumor
dan menggambarkan hubungan dengan struktur-struktur di sekitarnya. Pada beberapa masalah ,
gambaran MRI menunjukkan beberapa jenis tumor tertentu. Tumor germinal dan glioma
maligna memiliki karakteristik menginvasi dinding ventrikel ketiga. Kompresi ekspansif lebih
sering ditemukan pada tumor kelenjar pineal, astrositoma low grade, dan meningioma.  
Kalsifikasi lokal sering ditemukan pada 70% tumor sel germinoma, sementara
kalsifikasi yang menyebar sering ditemukan pada lebih dari 50% tumor kelenjar pineal.
Komponen kistik paling sering ditemukan pada sel tumor germinal non-germinoma. Lesi
multipel merupakan ciri tumor germinal. Edema peritumoral yang berat lebih sering ditemukan
pada germinoma. Ekstensi hingga ke talamus didapatkan hingga 80% pada germinoma.(212, 309,
310)
3.2.9.4.3. diagnosa  Banding
Berikut yaitu  diagnosa  banding yang baru dipastikan sesudah  mendapatkan jenis
histopatologis melalui biopsi atau pembedahan terbuka:(305, 306)
A. Neoplasma
1. Germinal
a) Germinoma
b) Non–germinoma
i. Karsinoma embrional
ii. Tumor yolk sac
 
 
128
 
iii. Koriokarsinoma
iv. Teratoma: matur dan imatur
v. Teratoma dengan malformasi maligna
vi. Tumor sel germinal campuran
2. Non–germinal
a) Parenkim pineal: pinealoblastoma, pineositoma
b) Glial: astrositoma, glioma
c) Lainnya: Meningioma, lipoma
B. Non–neoplasma
1. Malformasi arteriovenosus
2. Malformasi vena Galen
3. Kista araknoid
4. Infeksi
 
3.2.9.5. pengobatan  
 
Gambar 1. Pendekatan Pengobatan  tumor pineal
CSS, cairan serebrospinal; MRI, Magnetic Resonance Imaging.
 
 
129
 
3.2.9.5.1. Medikamentosa
Pemberian obat-obatan pada tumor pineal sama halnya dengan pasien tumor secara
umum terkait dengan edema serebri hingga terjadinya kejang. Obat-obatan yang diberikan
meliputi steroid, manitol, salin hipertonik, dan anti kejang. Untuk dosis dan tata cara pemberian
dapat dilihat lebih rinci pada bagian prinsip pemberian terapi medikamentosa pada tumor
otak.(223, 311, 312)
3.2.9.5.2. Pembedahan
Tujuan pembedahan yaitu  mendapatkan sampel jaringan untuk menentukan jenis
tumor secara histopatologis dan melakukan debulking massa tumor sebanyak mungkin untuk
menurunkan peningkatan tekanan intrakranial. (224, 312)
Beberapa teknik dapat dilakukan untuk memperoleh sampel jaringan tumor baik itu
secara stereotaktik maupun pembedahan terbuka memakai  endoskopi atau mikroskop.
pemakaian  stereotaktik masih menjadi perdebatan sehubungan dengan cedera yang dapat
terjadi pada vena-vena serebri., namun akses melalui frontal inferior di bawah level vena serebri
interna diharapkan akan aman. Jika hasil dari biopsi meragukan atau didapatkan suatu tumor
jinak seperti teratoma matur atau meningioma, maka diperlukan tindakan lebih lanjut dengan
pembedahan terbuka. (212, 309, 310)
Pembedahan terbuka memberikan visualisasi langsung terhadap tumor dan struktur di
sekitarnya. Di samping mendapatkan sampel jaringan lebih representatif dan debulking tumor,
prosedur ini juga memberikan akses untuk mengambil sampel CSS. Gross total resection tidak
menjadi pertimbangan utama sebab  hanya pada teratoma matur dengan kapsul dan beberapa
tumor lainnya yang memiliki batas tegas hal ini dapat dikerjakan, selebihnya sebagian besar
tumor akan memiliki ekstensi baik lokal maupun regional sehingga memiliki risiko lebih tinggi
untuk terjadinya morbiditas (3-10%) hingga mortalitas (4-10)%. Pertimbangan berikutnya
sebagian besar tumor memerlukan terapi multimodalitas selain pembedahan, seperti halnya
tumor sel germinal memperoleh respons terapi sangat baik terhadap radioterapi dan kemoterapi.
(224, 313-315)
Tingkat morbiditas dan mortalitas pada tumor pineal dengan pembedahan terbuka dapat
ditekan dengan pemakaian  beberapa alat pendukung seperti pemakaian  USG doppler yang
 
 
130
 
berguna untuk mengevaluasi terjadinya emboli udara pada sitting position, dan  pemakaian  
intra operative monitoring (IOM) untuk memproteksi struktur vital di sekitar tumor pineal
seperti nervus kranialis dan pembuluh darah.(224) Tindakan pembedahan lainnya yaitu  
pemasangan ventriculoperitoneal (VP) shunt) pada komplikasi hidrosefalus. (224, 312)
3.2.9.5.3. Kemoterapi
Kemoterapi telah berkembang menjadi pilihan utama untuk meminimalkan jumlah
radiasi yang dibutuhkan dalam mengobati pasien (terutama anak-anak) dengan tumor pineal
secara efektif. Seperti halnya radioterapi, respons terhadap kemoterapi pada pasien dengan
tumor pineal bervariasi menurut jenis histolopatologis. Tumor sel germinal lebih sensitif
terhadap kemoterapi dibandingkan tumor kelenjar pineal dengan tingkat respons 80-100%.(305)
Tingkat keberhasilan yang sangat tinggi dari radioterapi untuk germinoma
memicu  pemakaian  kemoterapi sebagai pengobatan lini pertama pada anak-anak yang
lebih tua lebih tidak dipertimbangkan. Kemoterapi dipertimbangkan sebagai pengobatan lini
pertama hanya pada anak-anak yang sangat muda, mengingat pemberian radioterapi pada usia
ini akan memberikan tingkat morbiditas yang tinggi. (305, 307, 315)
Pada tumor sel germinal non-germinoma disarankan untuk memberikan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi sebab  tingkat keberhasilan hidup selama 5 tahun hanya 30-65%
dengan radioterapi. Rejimen dari Einhorn meliputi cisplatin, vinblastine, dan bleomisin.
lalu  dipakai  VP-16 untuk menggantikan vinblastine dan bleomisin. (316)
Efektivitas kemoterapi untuk tumor kelenjar pineal hanya terbatas pada laporan masalah  
dan beberapa penelitian yang melibatkan sejumlah kecil pasien. Tidak ada agen dominan
sebagai obat pilihan, dan rejimen yang dipakai  antara lain kombinasi antara vinkristin,
lomustine, cisplatin, etoposide, siklofosfamid, aktinomisin D, dan metotreksat. Sementara
siklofosfamid dosis tinggi dianjurkan sebagai agen tunggal dalam pengobatan pineoblastoma.
Anak-anak yang diobati dengan siklofosfamid dosis tinggi memiliki kondisi tumor yang stabil
atau mengalami perbaikan saat diterapi. Gangguan fungsi paru dan trombositopenia merupakan
efek samping yang ditemukan. (305, 307, 317)
3.2.9.5.4. Radioterapi
 
 
131
 
Radioterapi diperlukan pada pasien dengan sel germinal maligna/non germinoma / sel
pineal. Radioterapi dapat diberikan tanpa adanya biopsi pada lesi apabila gambaran lesi khas
untuk germinoma dan tumor marker AFP dan β-HCG tidak terlalu menigkat tinggi. Dosis yang
direkomendasikan yaitu  55 Gy hingga 60 Gy pada gross tumor, dengan dosis per fraksi 1,8
Gy. Radiasi dibagi dalam 3 fase yaitu fase pertama 36 Gy radiasi kraniospinal lalu dilanjutkan
hingga 45 Gy pada sistem ventrikel, dan tambahan hingga 60Gy pada tumor bed atau gross
tumor. (303)  
Radioterapi merupakan pilihan utama untuk jenis germinoma sebab  sangat
radiosensitif, di mana tingkat harapan hidup long term tumor-free mencapai lebih dari 90%.
Pada tumor non-germinoma tidak terlalu sensitif dengan radioterapi, angka harapan hidup
selama 5 tahun hanya 30-40%.(317) Pada jenis tumor yang kurang sensitif terhadap radiasi, dapat
dipertimbangkan radiasi SRT atau SRS bila ukuran tumor tidak terlalu besar.
Selain germinoma, radioterapi juga dapat diberikan pada tumor kelenjar pineal seperti
pineositoma, terutama jika dilakukan pembedahan parsial. Pada pembedahan total radioterapi
dapat ditunda dan dilakukan obervasi.(314)
Radioterapi juga dapat diberikan sebagai ajuvan pada jenis tumor maligna lainnya
sesudah  dilakukan pembedahan. Jika didapatkan seeding pada aksis spinal, dapat diberikan
radioterapi kraniospinal sebagai booster.(317) Dosis radioterapi pada spinal

Related Posts:

  • tumor otak 5 da riwayat kemoterapi sebelumnya (1) siklofosfamid dosis tinggi ± etoposide (2) Carboplatin, etoposide, dan siklofosfamid (3) Cisplatin, etoposide, dan siklofosfamid (4) Pertimbangkan kemoterapi dosis tinggi dengan rein… Read More