seeding yang
direkomendasikan yaitu 36 Gy.(302, 303)
3.2.9.6. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering terjadi sesudah operasi pada daerah pineal yaitu
gangguan gerakan ekstraokular, ataksia, dan perubahan status mental. Gangguan gerakan
ekstraokular dan ataksia biasanya sudah dialami preoperatif dan akan mengalami perburukan
sementara postoperatif, sebelum akhirnya nanti secara menonjol mengalami perbaikan.
Beberapa faktor yang berkorelasi terhadap terjadinya komplikasi pembedahan antara lain
pemberian radioterapi sebelumnya, defisit neurologis preoperatif yang berat, jenis
histopatologis tumor ganas, dan karakteristik tumor invasif.(307)
Komplikasi paling serius yang dialami yaitu perdarahan postoperatif dari tumor yang
direseksi secara subtotal. Perdarahan tertunda selama beberapa hari dan paling sering terjadi
132
tumor yang memiliki vaskularisasi tinggi, seperti tumor kelenjar pineal. Infark vena, dengan
atau tanpa perdarahan, yaitu komplikasi lainnya yang serius. Komplikasi lainnya terkait
pemasangan VP shunt antara lain malfungsi shunt, infeksi shunt, dan meningitis. Selain itu,
pendekatan operasi secara supratentorial dapat memicu kejang, hemianopsia, atau
hemiparesis di saat melakukan retraksi korteks.(306, 307)
Pada era pembedahan mikro, operasi tumor daerah pineal memiliki tingkat mortalitas 0-
8% dan morbiditas 0-12%. Hal ini sangat kontras dengan tingkat mortalitas hingga 90% yang
dilaporkan pada awal abad ke-20.(306)
3.2.9.7. Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan tumor daerah pineal tergantung pada jenis histopatologis
tumor. Secara umum, pasien dengan germinoma memiliki prognosis yang sangat baik sebab
tumor bersifat radiosensitif.(304, 306)
Anak-anak dengan tumor sel germinal non-germinoma memiliki prognosis yang jauh
lebih buruk dibandingkan germinoma ataupun tumor kelenjar pineal. Pada masalah rekurensi,
kemoterapi dan radioterapi dapat diberikan jika dosis masih memungkinkan untuk diberikan
atau dapat dipertimbangkan pemberian radiosurgery. Prosedur pembedahan kedua hanya
dilakukan pada lesi jinak yang mengalami rekurensi beberapa tahun lalu .(304, 307, 316)
Tumor sel germinal rekuren menunjukkan respons yang baik dengan kemoterapi, seperti
halnya tumor kelenjar pineal, meskipun pada tingkat yang lebih rendah. Radiosurgery dapat
menjadi pertimbangan pada masalah dengan ukuran diameter tumor kurang dari 3 cm.(318)
Secara umum, tumor yang memiliki prognosis baik antara lain germinoma murni dan
teratoma matur. Prognosis sedang antara lain germinoma dengan peningkatan β-hCG,
germinoma ekstensif atau multifokal, teratoma imatur, teratoma transformasi maligna,
campuran germinoma dan teratoma, kelenjar sel pineal. Prognosis jelek antara lain
khoriokarsinoma, yolk sac tumor, karsinoma embrional, dan tumor dengan campuran
ketiganya.(306, 307, 315)
133
3.3. Tumor Otak Sekunder
3.3.1. Metastasis dari Tumor Padat
3.3.1.1. Definisi dan Epidemiologi
Tumor otak sekunder atau metastasis otak yaitu neoplasma intrakranial yang berasal
dari tumor ganas organ di luar otak. Metastasis otak terjadi paling sering pada orang dewasa
dan terjadi pada 20-40% tumor ganas. Diperkirakan 100.000 -170.000 orang mengalami
metastasis otak per tahun di Amerika Serikat. Metastasis otak terjadi 5–10 kali lebih sering
dibandingkan tumor primer otak.(319) Kira-kira 50% dari semua metastasis otak berasal dari tumor
ganas paru primer, 20% dari tumor ganas payudara, 15% dari melanoma, dan 5–10% dari tumor
ganas primer yang tidak diketahui; sekitar 5-10% berasal dari karsinoma sel ginjal, tumor ganas
kolorektal, tumor ganas ginekologi, dan tumor ganas lainnya.(318)
Sekitar 10-20% dari semua metastasis otak yaitu tumor soliter (tunggal) dan sebagian
besar berupa tumor multipel. Tumor ganas paru-paru, payudara, usus besar, dan ginjal dan
melanoma umumnya menyebar ke otak. Tumor ganas payudara dan ginjal sering memicu
lesi metastasis soliter, sedang tumor ganas paru-paru dan melanoma cenderung
memicu lesi metastasis multipel. Sekitar 85% lesi metastasis terletak di serebrum, dan
sisanya terletak di serebelum. Lokasi otak dengan insidens tertinggi berada di posterior dari
fisura Sylvii dekat pertemuan antara lobus temporal, parietal dan oksipital, di perbatasan antara
substansia grisea dan alba. berdasar analisis otopsi menunjukkan bahwa kejadian metastasis
otak sebanyak 30% pada pasien dengan tumor ganas payudara, 40% pada mereka dengan tumor
ganas paru-paru, 75% pada mereka dengan melanoma, dan 6% dengan mereka dengan tumor
ganas ginjal atau kandung kemih.(320)
3.3.1.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dijumpai tanda dan gejala seperti pada
tumor otak primer, berupa tanda peningkatan tekanan intrakranial seperti sakit kepala (50%),
kelemahan fokal (40%), perubahan status mental (30%), kejang (15%), dan ataksia (10%) yang
memburuk seiring berjalannya waktu dan pertumbuhan tumor dan edema di sekitarnya.(3)
Perkembangan gejala neurologis seperti ini sering terjadi secara lambat, tetapi perdarahan pada
134
lesi metastasis harus dicurigai saat terdapat gejala neurologis akut, seperti kejang, terutama
pada pasien dengan melanoma. Penemuan ini dikaitkan dengan tingginya prevalensi metastasis
multipel pada melanoma, dan untuk kecenderungan melanoma menjadi hemoragik.
3.3.1.3. Pemeriksaan Penunjang
CT Scan sering dipakai sebagai pemeriksaan skrining pada pasien dengan gejala
akut. Metastasis biasanya isodens atau hipodens dibandingkan dengan jaringan otak pada CT
Scan nonkontras, dan metastasis menunjukkan penyangatan pasca pemberian kontras,
meskipun resolusi kontras dan sensitivitas jaringan lebih rendah dari pada MRI.(3)
Pada 50% masalah pemeriksaan CT Scan terdapat gambaran lesi metastasis soliter
(tunggal) sejak pasien pertama kali mendapatkan gangguan klinis neurologis. Gambaran CT
Scan umumnya dapat berupa lesi bulat, berbatas tegas dengan peritumoral edema yang lebih
luas (finger-like edema). Bila terdapat lesi multipel maka jumlah lesi terbanyak yang tampak
yaitu jumlah yang paling benar (Chamber’s rule).(3)
MRI meurpakan pilihan untuk mendeteksi metastasis intrakranial. Bilamana terdapat
kecurigaan klinis tinggi, MRI sering merupakan pilihan pemeriksaan penunjang pertama dari
modalitas neuroimaging yang dipakai . MRI dengan kontras dapat memperlihatkan
metastasis dengan baik sebab adanya kerusakan sawar darah-otak (blood brain barrier) oleh
metastasis. Gambaran yang paling umum diamati yaitu peningkatan penyangatan kontras
yang kuat dengan daerah kistik di tengah yang tidak menyangat. Daerah kistik ini dapat timbul
sebab nekrosis, deposit keratin di karsinoma sel skuamosa, atau sekresi musin pada
adenokarsinoma. Bila pemeriksaan CT Scan dilanjutkan dengan MRI otak hanya <30% pasien
didapatkan lesi soliter. Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan CT Scan terutama di daerah
fossa posterior.
3.3.1.4. diagnosa
diagnosa tumor otak sekunder ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Sebelum dilakukan pengambilan sampel tumor metastasis di otak,
dilakukan pencarian lokasi tumor primer antara lain dengan foto toraks atau CT Scan toraks
untuk menyingkirkan tumor paru; CT scan abdomen, mammografi pada wanita; dan tumor
marker.
135
3.3.1.5. pengobatan
3.3.1.5.1. Medikamentosa
Kortikosteroid memberikan efek pengurangan sementara terhadap gejala klinis
peningkatan tekanan intrakranial dan edema serebri akibat metastasis otak. Bila pasien
memberikan gejala tekanan intrakranial yang berat, maka direkomendasikan untuk
dipertimbangkan pemberian kortikosteroid 16 mg per hari atau lebih. Kortikosteroid akan
diberikan pada pasien yang bergejala, maka perlu dilakukan tappering off dalam kurun waktu
2 minggu atau lebih dengan informed consent tentang efek samping kortikosteroid jangka
panjang.(321)
3.3.1.5.2. Pembedahan
Tujuan pembedahan dalam terapi metastasis otak yaitu memperpanjang harapan hidup
pasien sambil memperbaiki klinis neurologis dan Karnofsky Performance Status (KPS).(322)
Dalam kebanyakan masalah , tujuan utama pembedahan yaitu reseksi total tumor secara bruto
dengan minimal gangguan jaringan otak normal. Pembedahan dapat dipertimbangkan bilamana
akan bermanfaat pada pasien yang menjalaninya.(323)
Tindakan bedah memungkinkan dilakukan debulking secara cepat tumor dengan efek
massa yang menonjol dan dapat dianggap sebagai intervensi penyelamatan jiwa pada pasien
dengan sindroma herniasi dan defisit neurologis. Ini juga memungkinkan untuk pemulihan
aliran cairan serebrospinal, mengurangi tekanan intrakranial, dan menurunkan ketergantungan
steroid. Pembedahan juga bisa membantu mengelola kejang, yang dipicu oleh tumor, yang
secara medis refrakter.(324)
Manfaat terbesar dari pembedahan yaitu mendapatkan spesimen jaringan untuk
pemeriksaan patologi.(314) Konfirmasi diagnosa merupakan langkah penting dalam terapi
metastasis otak, oleh sebab itu apabila tumor primer tidak diketahui maka perlu dilakukan
pengambilan sampel tumor di otak. Pada metastasis soliter dapat dilakukan operasi kraniotomi
dan eksisi tumor apabila lokasi dapat dicapai melalui operasi terbuka, terdapat efek massa desak
ruang (defisit fokal, peningkatan tekanan intrakranial), dan diagnosa tidak diketahui.(317)
Pada metastasis otak multipel operasi kraniotomi dapat dipertimbangkan bila satu lesi
136
dapat dicapai dengan operasi terbuka dan lesi ini memicu gejala klinis yang jelas
dan atau mengancam jiwa, bila semua lesi dapat dambil semua saat operasi, dan diagnosa tidak
diketahui. Operasi biopsi stereotaktik dapat dipertimbangkan apabila lesi letak dalam, lesi
multipel berukuran kecil, toleransi pasien kurang baik, penyakit sistemik yang berat, dan
diagnosa tidak diketahui.(306) Pasien yang menjalani terapi pembedahan diharapkan akan lebih
baik hasilnya dengan adanya kemajuan teknologi pra operasi dan intraoperatif functional brain
mapping, USG intraoperatif dan teknologi MRI, dimana teknologi kedokteran akan terus
memfasilitasi intervensi bedah saraf.(319)
Operasi reseksi tumor metastasis soliter (tunggal) secara selektif lalu dilanjutkan
dengan WBRT merupakan prosedur baku emas sebab memberikan hasil yang baik
dibandingkan operasi saja.(316)
3.3.1.5.3. Whole Brain Radiotherapy (WBRT)
Pada masalah metastasis otak, diberikan WBRT dengan dosis bervariasi antara 20-40 Gy
dalam 5-20 fraksi. Rejimen standar yaitu 30 Gy dalam 10 fraksi atau 37,5 Gy dalam 15 fraksi.
Untuk pasien dengan performa yang buruk, 20 Gy/5 fraksi merupakan pilihan yang dapat
dipertimbangkan. Apabila ingin diberikan booster SRS pasca-WBRT, dosis marginal
maksimal yaitu 24, 18, atau 15 Gy disesuaikan dengan volume tumor sesuai yang
direkomendasikan.(25)
Selain radiasi WBRT, dapat juga dipertimbangkan WBRT dengan simultaneous boost
pada gross tumor (WBRT-SIB). WBRT-SIB direkomendasikan terutama pada pasien dengan
status fungsional bagus, prognosis kesintasan yang cukup baik, dan jumlah lesi metastasis otak
yang tidak terlalu banyak. Alternatif lain yaitu sekuensial WBRT dilanjutkan SRT atau SRS.
3.3.1.5.4. Radiosurgery
Stereotactic radiosurgery (SRS) yaitu sebuah teknik radiasi yang menargetkan area
spesifik di otak dengan menyatukan beberapa sinar radiasi dari berbagai arah memakai 3D
stereometri untuk memberikan dosis radiasi tinggi yang tepat dan ablatif dalam fraksi tunggal
untuk menghasilkan efek terapeutik yang diinginkan.
Keuntungan utama dari SRS atas WBRT yaitu memberikan dosis terapeutik yang
137
tinggi pada lesi sambil meminimalkan paparan dosis radiasi pada jaringan normal sekitarnya.
SRS juga dapat dipakai berulang kali untuk mengobati lesi metastasis baru yang timbul di
berbagai bagian otak, sedang pemberian WBRT yang berulang dikaitkan dengan tingkat
efek samping yang lebih tinggi secara menonjol . Jika dibandingkan dengan operasi, SRS
dikaitkan dengan penurunan risiko perdarahan, infeksi, dan penyebaran tumor.
Selain itu, SRS dapat dilakukan dalam setting satu hari rawatan, sehingga mengurangi
biaya terapi dibandingkan dengan potensi rawat inap jangka panjang yang terkait pembedahan.
SRS juga dapat dipakai untuk pasien dengan lesi yang tidak dapat dioperasi dan bagi mereka
yang dianggap tidak sesuai kandidat untuk operasi(325)
3.3.2. Metastasis dari Keganasan Hematologi
3.3.2.1. Definisi dan Epidemiologi
Pada keganasan hematologi, infiltrasi leptomeningeal merupakan bentuk metastasis
yang sering terjadi. Namun, keterlibatan parenkimal juga terjadi pada limfoma dan leukemia
myeloid akut. Walaupun sangat jarang, sarkoma granulositik (yang dikenal dengan chloroma)
dapat ditemui pada leukemia myeloid akut dan sindroma myeloproliferatif/myelodisplasia. (319,
326)
Leptomeningeal metastasis merupakan suatu keadaan dimana sel maligna menginfiltrasi
meningen dan ruang subarakhnoid. berdasar data Amerika Serikat, sekitar 1-8% penderita
kanker didiagnosa leptomeningeal metastasis, dengan kisaran 110.000 masalah per tahunnya.(306)
Leptomeningeal metastasis terjadi pada 20% pada limfoma dan leukemia. (2, 322) Namun
demikian, angka prevalensi leptomeningeal metastasis di Indonesia belum diketahui secara
pasti.
3.3.2.2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada keterlibatan intraparenkimal, tanda dan gejala yang ditimbulkan tumor metastasis
pada keganasan hematologic sama dengan metastasis pada tumor padat. Gejala yang muncul
merupakan manifestasi dari pertambahan ukuran tumor itu sendiri. (301, 327)
Manifestasi klinis dari leptomeningeal metastasis bersifat multifokal. Keterlibatan
sistem saraf pusat yang bervariasi ini dipicu berbagai mekanisme patofisiologi,
138
diantaranya efek massa tumor pada ruang subarakhnoid, invasi langsung ke leptomening atau
parenkima otak, maupun infiltrasi langsung sel maligna ke saraf spinal maupun kranial. Jika
gejala neurologis tidak dapat dijelaskan dengan satu topis pada sistem saraf pusat merupakan
gejala khas leptomeningeal metastasis.
Gejala yang muncul pada leptomeningeal metastasis tergantung pada struktur anatomi
yang terlibat dan tergantung jenis tumor primernya. Penurunan aliran cairan serebrospinal
secara fisiologis dan efek gravitasi memicu obstruksi cairan pada area-area tertentu,
seperti area lumbal dan juga dengan teori ini dapat diterangkan mengapa penyebaran metastasis
terjadi pada basis otak seperti sisterna basilar atau fossa posterior, fissure Sylvii, dan kauda
equina. (301) berdasar teori di atas, patofisiologi terjadinya leptomeningeal metastasis dapat
dibagi menjadi sel/nodul maligna yang berada pada ruang subarachnoid atau intraventrikel dan
sel maligna yang bersifat non-adheren yang bergerak mengikuti sikulasi cairan serebrospinal.(2)
Tanda dan gejala leptomeningeal metastasis dapat berkembang dalam kurun waktu
hitungan hari hingga minggu. Gejala leptomeningeal metastasis yang paling sering ditemukan
yaitu sakit kepala, meningismus, mual dan muntah, paresis, paralisis, penurunan kesadaran,
diplopia, gangguan serebelar, dan nyeri pinggang. Secara garis besar, berdasar area
anatomis, tanda dan gejala leptomeningeal metastasis dibagi menjadi 3, yaitu:(2, 328)
a. Area serebral, ditemukan pada sekitar 15% masalah .
b. Area saraf kranial atau batang otak, didapatkan pada 35% masalah .
c. Medula spinalis, ditemukan pada sebagian besar masalah (60%).
Berikut tabel tanda dan gejala leptomeningeal metastasis, mulai dari gejala yang paling sering
hingga gejala yang paling jarang berdasar area anatomi.
Tabel 1. Tanda dan Gejala Leptomeningeal Metastasis (328)
Frekuen Infrekuen Jarang
Gejala
Serebral
Hidrosefalus
komunikans
Gangguan gait
Sakit kepala
Mual, muntah
Kejang
Vertigo
Penurunan
kesadaran
Kaku kuduk
Hidrosefalus non
komunikans
Fotofobia
139
Paresis
Nervus
kranialis
Diplopia
Disfagia
Hipestesi wajah
Hearing loss
Hypoakusia
Disfonia
Defisit
okulomotor
Gangguan
penglihatan
Tinitus bilateral
Numb-chin
syndrome
Keterlibatan
nervus
vestibulokoklear
Gejala Spinal Nyeri unilateral/
bilateral
Defisit motorik
Inkontinensia
Disfungsi
intestinal
Nyeri dada
Lainnya Asimptomatik
3.3.2.3. Pemeriksaan Penunjang
3.3.2.3.1. MRI Otak dan Tulang Belakang
MRI dengan kontras merupakan modalitas terbaik dalam mengevaluasi metastasis otak.
MRI lebih sensitif dibandingkan dengan CT Scan baik dalam hal menentukan ada atau tidaknya
lesi, lokasi lesi, dan jumlah lesi. Pada T1 MRI, tumor metastasis menunjukkan lesi
hiperintens.(329) MRI otak dan tulang belakang direkomendasikan jika ada kecurigaan klinis
leptomeningeal metastasis. Sensitivitas MRI dengan kontras gadolinium sekitar 70%, dengan
spesifisitas 77-100% (lebih tinggi untuk tumor padat dibandingkan keganasan hematologi). Dengan
adanya gejala klinis yang khas, MRI abnormal cukup untuk menentukan diagnosa . (330, 331)
MRI dengan kontras gadolinium yaitu teknik pilihan untuk mengevaluasi pasien
dengan dugaan leptomeninegal metastasis. Oleh sebab leptomeningeal metastasis melibatkan
seluruh neuraxis, MRI kepala diperlukan pada pasien yang dipertimbangkan untuk perawatan
lebih lanjut. Potongan T1, dengan dan tanpa kontras, dikombinasikan dengan potongan T2-
weighted merupakan pemeriksaan standar pada leptomeningeal metastasis. Pencitraan MRI
kepala atau tulang belakang yang menunjukkan gambaran leptomeningeal metastasis berupa
gambaran penyangatan leptomeningeal fokal atau difus. Dari masalah yang dilaporkan pasien
dengan leptomeningeal metastasis, sebanyak 30-70% menunjukkan pencitraan MRI normal,
sehingga gambaran MRI normal tidak dapat menyingkirkan diagnosa leptomeningeal
metastasis.(330, 331)
140
Gambaran MRI pada leptomeningeal metastasis yaitu penyangatan leptomeningen
otak maupun medulla spinalis, yang berupa penyangatan pada nervus kranialis, radix saraf
spinalis, permukaan parenkim, cerebellar foliae, ventricular epenyima dan sulki-sulki.
Penyangatan dapat berupa nodul, linier, maupun kuvalinier yang bersifat fokal maupun
difus.(321)
3.3.2.3.2. Analisis Cairan Serebrospinal (CSS) pada Leptomeningeal
Metastasis
Secara umum pada analisis cairan serebrospinal pada leptomeningeal metastasis akan
terjadi peningkatan tekanan pembukaan, peningkatan hitung sel dan kadar protein, dan
penurunan kadar glukosa CSS. Ditemukannya sel maligna pada cairan serebrospinal merupakan
bukti terjadinya leptomeningeal metastasis. Pemeriksaan sitologi cairan serebrospinal masih
merupakan baku emas hingga saat ini. Beberapa literatur melaporkan bahwa dengan pewarnaan
May-Grunwald Giemsa dalam mendapatkan sel maligna memilki sensitivitas 75-90% dan
spesifisitas 100%. Sel maligna yang positif pada lumbal pungsi pertama hanya 45%, namun
meningkat pada lumbal pungsi kedua yaitu 80-90%.(331)
Pada pasien dengan keganasan hematologi, pemeriksaan analisis cairan otak merupakan
pemeriksaan yang paling penting. Pemeriksaan flow cytometry CSS lebih sensitif dibandingkan
sitologi CSS biasa dan membutuhkan volume yang relatif lebih kecil (< 2 mL) untuk
dianalisis.(331, 332)
3.3.2.4. diagnosa
Tumor otak sekunder pada keganasan hematologik ditegakkan berdasar anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
3.3.2.5. pengobatan
Pada masalah leptomeningeal metastasis, radioterapi merupakan pilihan utama pada masalah
leptomeningeal metastasis yang tidak cukup adekuat di pengobatan dengan kemoterapi
intratekal, terutama pada masalah dengan gangguan aliran CSS. (330)
141
WBRT dapat mengurangi tekanan intrakranial dan mengurangi defisit neurologis pada
pasien.1-3 Selain itu, radioterapi pada kranium dan spinal lengkap dapat dilakukan bersamaan
dengan teknik Craniospinal Axis Irradiation (CSI) sehingga bisa menurunkan efek samping
radiasi. Indikasi untuk dilakukan CSI terbatas pada pasien dengan multipel lesi sirkumskriptif
pada sepanjang aksis spinal seperti pada keganasan hematologis.(330)
Radioterapi tidak dapat dilakukan langsung bersamaan dengan kemoterapi intratekal,
khususnya metotreksat, tetapi secara sekuensial sebab dapat memicu neurotoksisitas
yang berat. sesudah penilaian klinis dan laboratorium, dilakukan pemilihan kemoterapi intra-
CSS, dengan cara intratekal pada area lumbal atau intraventrikular melalui reservoir Omaya.
Pada pemberian intratekal, pasien relatif tidak nyaman sebab prosedur penyuntikan yang
dilakukan berulang dan risiko kegagalan untuk memberikan obat intratekal (10-12% dari
perawatan intratekal tidak memasuki kompartemen CSS), dan distribusi terbatas dalam
kompartemen CSS intrakranial saat memberikan agen kemoterapi dengan waktu paruh yang
pendek (seperti metotreksat dan cytarabine).(330, 333, 334)
Untuk pemberian kemoterapi intraventrikular melalu reservoir Omaya memberikan
hasil dalam meningkatkan dosis dan distribusi obat dalam CSS dan pasien juga merasa lebih
nyaman walaupun dilakukan berulang kali. Hanya saja teknik ini juga memiliki komplikasi
berupa malposisi reservoir yang dilaporkan pada 3-12% masalah , dan meningitis bakteri
iatrogenik yang dilaporkan pada 2-13% masalah . Staphylococcus Epidermidis atau flora kulit
merupakan kuman yang paling sering ditemukan dari isolasi kuman ini . (330, 333, 334)
BAB IV
PERINGKAT BUKTI DAN REKOMENDASI
4.1 Tumor otak primer
4.1.1 Meningioma
4.1.1.1 diagnosa
Brain imaging dengan memakai contrast-enhanced CT dan MRI membantu deteksi
meningioma, biasanya tampak sebagai tumor soliter yang menempel pada duramater, dan
menyangat kuat dengan pemberian kontras. Pemeriksaan ini merupakan metode yang
sering dipakai untuk mendiagnosa , monitoring dan evaluasi pasca tindakan.(1-4) (Peringkat
bukti I, Rekomendasi A)
4.1.1.2 pengobatan
a. Embolisasi
Embolisasi ini ditujukan untuk melakukan devaskularisasi dari lesi, yang akan
memicu tumor nekrosis dan memfasilitasi reseksi melalui pelunakan massa tumor.(5-
8) (Peringkat bukti II, Rekomendasi B)
b. Pembedahan
Pada pasien yang dipertimbangkan sebagai kandidat untuk pembedahan, tujuan terapinya
yaitu eksisi total. Meskipun tujuannya untuk melakukan gross total resection, tujuan ini
tidak seharusnya memiliki efek pada status neurologis pasien, dan strategi kombinasi dapat
dilakukan untuk memaksimalkan progression-free survival bersamaan dengan menurunkan
risiko neurologis yang ditimbulkan pasca operasi.(1, 9, 10) (Peringkat bukti I, Rekomendasi
B)
Pada masalah meningioma yang secara potensial mengalami ekstensi hingga ke dasar
tengkorak seperti sphenoorbital meningioma, operasi rekonstruksi tulang (bone
reconstruction) direkomendasikan untuk mencegah atrofi otot temporal dan hasil estetika
yang buruk pasca operasi (peringkat bukti III, Rekomendasi C).
c. Radioterapi
Meningioma WHO derajat I / II diterapi dengan radiasi konformal terfraksinasi atau dengan
168
SRT dalam beberap fraksi atau SRS dalam fraksi tunggal. Meningioma WHO derajat I / II
yang diradiasi, terapi langsung pada gross tumor (jika ada) atau pada tumor bed dengan
margin 1-2 cm. Meningioma WHO derajat III diterapi seperti tumor ganas, langsung pada
gross tumor (jika ada) dan surgical bed dengan margin 2-3 cm.(11-17) (Peringkat bukti I,
Rekomendasi A)
d. Kemoterapi
Kemoterapi sejauh ini memberikan hasil yang kurang memuaskan, dipertimbangkan hanya
bila tindakan operasi dan radioterapi gagal dalam mengontrol kelainan. Agen kemoterapi
termasuk hidroksiurea, telah dipakai tetapi dengan angka keberhasilan yang kecil. Obat
lain yang sedang dalam penelitian termasuk temozolomide, RU-468 dan alfa interferon,
juga memberikan hasil yang kurang memuaskan.(18-21) (Peringkat bukti II, Rekomendasi
B)
4.1.2 Astrositoma
4.1.2.1 diagnosa
CT scan dengan kontras dapat menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral
edema). Sebagian besar glioma low grade tidak menyerap kontras pada CT scan atau MRI.
Biasanya akan nampak hipodens pada pemeriksaan CT scan. Astrositoma anaplastik bersifat
dualisme, dapat menyerap ataupun tidak menyerap kontras. Sebanyak 31% glioma anaplastik
dan 9% astrositoma anaplastik sedang, tidak menyangat kontras pada CT scan. Gambaran
kalsifikasi dan kista dapat muncul pada astrositoma anaplastik. Pada high grade astrocytoma
dapat muncul gambaran ring enhance (bagian tengah tumor yang nekrosis tidak enhance).
Cincin ini merupakan tumor seluler, akan tetapi sel-sel tumor juga dapat meluas lebih
dari 15 mm diluar gambaran cincin.(22) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A)
MRI sangat bagus untuk menggambarkan edema di sekitar tumor (vasogenik), kompresi
saraf kranial, kompresi otak dan pembuluh darah otak. Pada astrositoma grade II, astrositoma
menunjukkan hiperintensitas pada MRI T2-weighted. Tidak terlihat kecerahan pada MRI T2-
weighted, akan menunjukkan daerah dengan peningkatan densitas dan menyangat
pascakontras.(22) (Peringkat bukti IC, Rekomendasi A)
169
Pada DWI, tumor tampak isointens sampai hiperintens ringan. Pada MRI penyangatan
ini dapat terlihat pada T1. Inti nekrosis tampak sebagai daerah hipointens dan sinyal yang
berkurang dibagian tepi menunjukkan edema. Pada grade III astrositoma menunjukkan
hiperintens. Pada grade IV astrositoma (GBM) nekrosis yaitu ciri khas pada derajat ini.(22)
(Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B).
MR spekstroskopi dipakai untuk menegakkan diagnosa banding, pemilihan lokasi
biopsi, monitoring respons terapi, dan membedakan tumor dengan efek terapi. Data MR
spektroskopi menunjukkan nilai Cho, laktat, lipid, dan NAA yang tinggi. Studi singkat echo-
time (TE) menunjukkan adanya puncak myo-inositol yang tidak ada atau rendah. Studi perfusi
menunjukkan peningkatan rCBV. Nilai anisotropi fraksional (FA) dari astrositoma menurun,
tetapi nilai ADC meningkat.(22) (Peringkat bukti IC, rekomendasi B).
DTI sensitif untuk mengevaluasi perubahan patologis yang tidak dapat divisualisasikan
pada T2W. Functional MRI dipakai untuk menentukan daerah eloquen.(22) (Peringkat
bukti IIB, Rekomendasi B).
4.1.2.2 pengobatan
4.1.2.2.1 Medikamentosa
Pada pasien kejang dapat dilakukan pemberian diazepam IV 0,15-0,2mg/kgBB/kali,
maksimal 10mg/kali, dapat diulang 1 kali. (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi A).
lalu jika masih terdapat kejang dapat diberikan terapi lini kedua, antara lain fenitoin,
asam valproat, atau levetiracetam. Dosis fenitoin yaitu IV 15-20mg/kgBB perlahan-lahan
(kecepatan 50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang 5-10mg/kgBB/kali intravena. (Peringkat
bukti IIB, Rekomendasi A). Adapun dosis asam valproat yaitu 20-40mg/kgBB per oral,
maksimal 3000mg/kali (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi A), sedang dosis
levetiracetam yaitu 20-60mg/kgBB per oral, maksimal 4500mg/kali, dosis tunggal.
(Peringkat bukti IIB, Rekomendasi C),
(23, 24)
4.1.2.2.2 Pembedahan
Pembedahan pada astrositoma memiliki tujuan memperbaiki klinis dan diagnosa patologi
anatomi. Bila memungkinkan dapat dilakukan reseksi maksimal yang aman dengan preservasi
neurologis.(25) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A)
170
a. Awake craniotomy (AC) seringkali dilakukan pada pasien GBM. Pasien glioma yang ditangani
dengan AC memiliki reseksi total yang lebih luas, dan peningkatan status fungsional dan
penurunan mortalitas pasca operasi dibandingkan pada operasi dengan anestesi umum (GA).
AC dilakukan pada reseksi tumor yang melibatkan eloquent area yakni cortical dan subkortikal,
sehingga dapat menghindari kerusakan jaringan otak pada area bahasa (area Broca) atau
pergerakan (area Motorik) pada pasien. Pada total reseksi 95-100% tidak ada perbedaan
bermakna antara keduanya (p>0,05).(26) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A)
b. Pola microsurgical resection yang berbeda sesuai dengan lokasi glioma, reseksi maksimal
tumor dapat dicapai dengan perlindungan fungsi neurologis. Di antara 113 pasien dengan
tindak lanjut jangka panjang (>5 tahun), tingkat ketahanan hidup 5 tahun pasien astrositoma
low grade, dan astrositoma high grade yaitu 75,4% (52/69), dan 18,2% (8/44).(26) (Peringkat
bukti IB, Rekomendasi A)
c. Pemantauan Intraoperatif (Intraoperative Monitoring) dilakukan untuk mencegah terjadinya
cedera saat operasi. Luaran pasien glioma dapat membaik dengan pemantauan
intraoperative.(27) (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi B)
d. pemakaian ICG (Indocyanine Green) dapat dilakukan untuk membantu monitoring tindakan
reseksi maksimal pada high grade glioma. Pewarnaan yang dipakai yakni Fluorescence-
Guided Surgery (FGS) menunjukkan 100% spesifisitas dan 85 % sensitivitas pada tindakan
reseksi tumor yang memakai 5-aminolevulinic acid-induced porphyrin fluorescence (5-
ALA-PpIX).(27) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A)
e. pemakaian intraoperative MRI (iMRI) secara menonjol meningkatkan pencapaian reseksi
tumor (gross total resection) yang merupakan fator prognostik positif untuk tingkat ketahanan
hidup.(28) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A)
f. Reseksi total yaitu variable kunci yang memengaruhi perkembangan dan kelangsungan hidup
pada pasien dengan high grade glioma dan lebih dapat tercapai dengan pembedahan dengan
dipandu iMRI dalam kombinasi dengan 5-ALA, sehingga reseksi tumor dapat ditingkatkan.(29,
30) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A)
Reseksi maksimal yang aman direkomendasikan pada pasien dengan peningkatan tekanan
intrakranial, kejang tidak terkontrol atau adanya progresifitas klinis atau radiologis. (Peringkat
IB, Rekomendasi A).
171
Pada pasien dengan Low Grade Glioma, reseksi tumor awal secara keseluruhan memiliki
tingkat survival rate lebih tinggi dibandingkan dengan tindakan biopsi dan observasi
progresivitas. (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A).
Pasien dengan anaplastik oligodendroglia sebaiknya dilakukan reseksi radikal.(25) (Peringkat
bukti IA, Rekomendasi A).
Pembedahan pada glioblastoma multiforme dilakukan untuk mengurangi massa tumor
(debulking) dan diagnosa patologi anatomi. (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B).
Reseksi luas sesudah biopsi awal bergantung pada pertimbangan lokasi dan faktor-faktor
lainnya.(27) (Peringkat bukti IIC, Rekomendasi C)
4.1.2.2.3 Kemoterapi
Low grade glioma
Level I evidence kemoterapi ajuvanmengikuti radioterapi. Pada low grade glioma dengan
risiko tinggi yakni usia lebih dari 40 tahun dan atau pasien dengan reseksi sub total jika
diberikan ajuvankemoterapi (PCV, vinkristin, atau lumostine) selama 6 siklus dan radioterapi
(54 Gy) meningkatkan survival rate hingga 10,4 tahun.
(25, 30) (Peringkat bukti IB,
Rekomendasi A)
Level III evidence pada Low grade glioma yang memiliki 3 faktor risiko untuk terjadinya
rekurensi (umur >40 tahun, histologi astrocytoma, tumor bihemisferik, diameter tumor >6 cm,
fungsi status neurologis >1) jika diberikan radiasi (54 Gy) yang dibarengi dengan pemberian
harian TMZ yang diikuti pemberian TMZ bulanan, 3- years survival rate meningkat menjadi
75 % jika dibandingkan dengan tanpa pemberian TMZ sebesar 54% (Peringkat bukti IIIA,
Rekomendasi C).
Salah satu opsi yang diberikan pada pasien berdasar klinis dan faktor molekuler yaitu
memulai kemoterapi dan menunda radioterapi hingga respons kemoterapi dapat ditentukan.
Pemberian TMZ (75 mg/m2 sekali sehari selama 21 hari, diulang setiap 23 hari, hingga
maksimal 12 siklus) tanpa radioterapi tidak terdapat perbedaan yang menonjol dengan
pemberian radioterapi saja (50,4 Gy) (Peringkat bukti IIIA, Rekomendasi C).
Kemoterapi dengan TMZ diberikan pada pasien dengan tumor yang progresif dengan
kombinasi hilangnya hetero-zygositas 1p/19q.(25, 31) (Peringkat bukti IIC, Rekomendasi C)
172
High grade glioma
Pada glioblastoma concomitant dan adjuvant kemoterapi TMZ sebagai tambahan untuk
radioterapi secara menonjol meningkatkan survival rate 2- dan 5-years survival rate pada
penelitian randomized trial yang besar, dan sebagai standar penatalaksanaan pasien dengan
GBM dengan usia hingga 70 tahun. (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A)
Pada astrositoma anaplastik sesudah follow up selama 10 tahun pemakaian
neoajuvankemoterapi PCV, didapatkan manfaat secara prognostik terutama pada subgrup
pasien (co-delesi dari 1p/19q) (II,B). Tidak terdapat perbedaan yang besar efektivitas antara
PCV atau TMZ sebagai modalitas kemoterapi (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B).
(27)
Glioblastoma merupakan tipe yang bersifat kemoresisten, namun 2 tahun terakhir ini sedang
berkembang penelitian mengenai kegunaan TMZ dan nimotuzumab pada glioblastoma.
sedang pada astrositoma anaplastik pemberian kombinasi TMZ dan radioterapi pasca
operasi diikuti TMZ terprogram sampai total enam siklus.(27) (Peringkat bukti IIB,
Rekomendasi B)
Terapi pada glioblastoma multiforme dilakukan dengan kombinasi yakni, kemoradiasi yang
merupakan terapi standard sesudah pembedahan. Bila memungkinkan, pembedahan diikuti
terapi kombinasi TMZ dan radioterapi, dilanjutkan Temozolomide selama 6-12 siklus.
(Peringkat bukti IA, Rekomendasi A).
Terapi tambahan dengan TMZ dipertimbangkan pada pasien berusia lebih dari 60 tahun
dengan status penampilan yang baik (KPS >70).(27) (Peringakat bukti IIB, Rekomendasi B)
4.1.2.2.4 Targeting terapi
Terapi molekular tertarget (targeted molecular therapy) seperti nimotuzumab bekerja
secara selektif sebagai anti-EGFR (epidermal growth factor receptor). Efek samping golongan
ini jauh lebih ringan dibandingkan obat tumor ganas konvensional.(32) (Peringkat bukti IIB,
Rekomendasi B).
173
4.1.2.2.5 Radioterapi
Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperable, sebagai ajuvanpasca
operasi, atau pada masalah rekuren yang sebelumnya telah dilakukan tindakan operasi. Pada
dasarnya teknik radioterapi yang dipakai yaitu 3D conformal radiotherapy, namun teknik lain
dapat juga dipakai untuk pasien tertentu seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy, dan
IMRT.
(33) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A)
Pada glioma derajat rendah (derajat I dan II), volume tumor ditentukan dengan
memakai pencitraan pra- dan pascaoperasi, memakai MRI (T2 dan FLAIR) untuk
gross tumor volume (GTV). Clinical target volume (CTV) = GTV ditambah margin 1-2 cm,
mendapatkan dosis 45-60 Gy dengan 1,8–2 Gy/fraksi.(33) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi
A).
Pada glioma derajat tinggi (derajat III dan IV) volume tumor ditentukan memakai
pencitraan pra dan pascaoperasi, memakai MRI (T1 kontras dan FLAIR/T2) untuk gross
tumor volume (GTV). CTV ditentukan sebagai GTV ditambah 2-3 cm untuk mencakup infiltrasi
tumor yang subDiagnosa .
(33) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A).
Pada glioma derajat tinggi, lapangan radiasi dibagi menjadi 2 fase. Dosis yang
direkomendasikan yaitu 60 Gy dengan 2 Gy/fraksi atau 59.4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi, dosis
yang sedikit lebih kecil seperti 55,8 – 59,4 Gy dengan 1,8 Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9
Gy/fraksi dapat dilakukan jika volume tumor terlalu besar (gliomatosis) atau untuk astrositoma
grade III.
(34) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A).
Pada pasien dengan KPS yang buruk atau pada pasien usia tua, hipofraksinasi yang
diakselerasi dapat dilakukan dengan tujuan menyelesaikan terapi dalam 2-4 minggu. Fraksinasi
yang dipakai antara lain 34 Gy/10 fraksi, 40.5 Gy/15 fraksi, 50 Gy/20 fraksi.
(34) (Peringkat
bukti IB, Rekomendasi A).
174
4.1.3 Adenoma Pituitari
4.1.3.1 diagnosa
Pemeriksaan CT scan dapat dilakukan untuk pemeriksaan tumor, terutama di area
supratentorial. Namun kurang detail untuk mengevaluasi batas tumor dengan struktur normal
yang ada disekitarnya. Jika tumor tidak didan i perdarahan, gambaran yang didapat hipodense
atau isodense. CT scan dapat menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral edema).(35-
37) (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B)
Pemeriksaan MRI merupakan pencitraan yang paling dipilih untuk dilakukan sepanjang
neuroaksis untuk melihat batas tumor dan mendeteksi kemungkinan penyebaran tumor.
Resolusi yang tinggi dan kemampuan untuk melihat posisi kiasma optikum dibutuhkan untuk
memutuskan pendekatan tindakan operasi. MRI dinamik memberikan informasi tentang
karakteristik fisiologi jaringan tumor. Memungkinkan analisis dari pembuluh darah yang rusak
oleh sebab tumor. Kontras akan memasuki rongga ekstraseluler sehingga memicu
pembuangan kontras lebih lama dibanding keadaan normal.(35-38) (Peringkat bukti IIB,
Rekomendasi A)
4.1.3.2. pengobatan
4.1.3.2.1. pengobatan Adenoma Pituitari Non-fungsional
pengobatan pada adenoma pituitary non-fungsional reseksi pembedahan (umumnya
memakai transfenoid approach endoscopic) diindikasikan untuk pasien dengan
pembesaran tumor atau perubahan visual.(39, 40) (Peringkat bukti IC, Rekomendasi A).
Pemberian radioterapi lanjutan direkomendasikan pada tumor dengan hasil reseksi
pembedahan tidak komplit. Dosis radioterapi yang diberikan: 40 – 54 Gy (5 – 6 minggu) untuk
FSRT atau 10 – 40 Gy untuk SRT dalam beberapa fraksi atau SRS dalam fraksi tunggal.(41, 42)
(Peringkat bukti IIC, Rekomendasi B)
4.1.3.2.2. pengobatan Adenoma Pituitari Fungsional
Prolaktinoma
pengobatan pada adenoma sekresi prolaktin (prolaktinoma) dapat berupa medikamentosa,
pembedahan, radioterapi, dan kemoterapi.
175
a) Medikamentosa utama yang diberikan yaitu agonis-dopamin seperti bromokriptin (1x
1,25mg), karbegolin (0,25mg 2x seminggu).(43-47) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi
A)
b) pengobatan pembedahan direkomendasikan untuk pasien dengan: (a) gejala yang
progresif (penurunan visus, penurunan lapang pandang) (b) pada pasien yang tidak
memberikan respons maupun tidak toleransi terhadap agonis dopamin (c) ukuran tumor
>20mm (d) defisit pada lapang pandang (e) tumor menginvasi ke sinus kavernosus.
Prosedur pembedahan dapat berupa transphenoid approach dengan teknik
endoskopi/mikroskopik dan transkranial.
Tindakan pembedahan yang dilakukan meliputi: (a) reseksi tumor (b) dekompresi saraf
optikus (nervus kranialis optikus) (c) dekompresi pembuluh darah. Suatu tindakan
penempelan elektroda yang ditempatkan pada kulit kepala daerah lobus oksipitalis
dengan melihat pendeteksian respons elektrik dari korteks visual terhadap stimulus
visual. Pemeriksaan ini dilakukan apabila pemeriksaan lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.(48-52) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A)
c) Radioterapi dipakai jika pemberian agonis dopamin maupun pembedahan tidak
berhasil, gagal, atau menjadi tidak toleransi terhadap agonis dopamine atau pasien tidak
dapat dilakukan pembedahan sebab co-morbiditas lainnya atau pasien menolak
operasi.(53, 54) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi A)
d) Kemoterapi dipakai dengan memakai sediaan TMZ yang diberikan pada pasien
prolaktinoma yang resisten terhadap terapi medik, pembedahan, maupun radioterapi.(53,
55-57) (Peringkat bukti IIC, Rekomendasi 2C)
Adenoma Sekresi ACTH
pengobatan utama pada adenoma sekresi ACTH yaitu pembedahan dengan transphenoidal
approach (endoskopi) untuk pasien dengan pembesaran tumor atau perubahan visual..(58, 59)
(Peringkat bukti IC, Rekomendasi A)
176
pengobatan pembedahan adenoma sekresi ACTH yang berulang maupun radioterapi dengan
penghambat steroidogenesis direkomendasikan untuk pasien dengan reseksi tidak komplit atau
dengan kelainan yang menetap.(42, 60-62) (Peringkat bukti IIC, Derajat rekomendasi B)
Adenoma Sekresi GH-TSH
pengobatan utama pada adenoma sekresi GH-TSH yaitu pembedahan (umumnya
memakai transphenoidal approach endoscopic), medikamentosa berupa pemberian
bromokriptin (1x1,25mg), somatostatin analog (cth. octreotide), growth-hormone antagonist,
atau pembedahan yang didan i radioterapi sesudah operasi.(63-67) (Peringkat bukti IIC,
Rekomendasi B)
4.1.4 Neuroma Akustik
4.1.4.1 diagnosa
Pemeriksaan audiometri perlu untuk mendiagnosa vestibular schwannoma meskipuun
5% pasien dengan AN didapatkan masih dalam batas normal. Pemeriksaan Pure tone dan speech
audiometry harus dilakukan di ruangan yang khusus. Tes ini menunjukkan hasil asymmetric
sensorineural hearing loss, biasanya lebih jelas dengan frekuensi yang lebih tinggi dan tidak
berhubungan dengan ukuran tumor.(68)
MRI yang dipakai yaitu standar pemeriksaan Intra Auditory Canal (IAC), yaitu
FIESTA (fast imaging employing steady-state acquisition) dan CISS (constructive interference
in steady state). Pemeriksaan CT scan melengkapi pemeriksaan MRl untuk melihat kondisi
tulang, dan selulae mastoid. Salah satu gambaran khas dari tumor ini yaitu pelebaran dari
osteum kanalis akustikus internus (trumpeting). Normal panjang kanalis akustikus internus dari
fundus ke meatus berkisar antara 5-8 mm2. (68) (Perangkat bukti IB, Rekomendasi A)
4.1.4.2 Terapi
4.1.4.2.1 Pembedahan Tumor
Pengambilan tumor melalui tindakan bedah yaitu terapi yang disarankan pada sebagian
besar pasien yang menderita neuroma akustik. Monitor fungsi koklear (ABR) dapat juga
berguna untuk hearing conservation surgery(3) Monitor lower cranial nerve yang lain dapat juga
177
meningkatkan outcome pasien. berdasar beberapa eksperimen dan data klinis IOM telah
menjadi standar pelayanan pada tindakan reseksi lesi yang letaknya intraparenkim dan
ekstraaksial yang sangat dekat dengan struktur vital seperti nervus kranial dan pembuluh
darah.(69) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A)
4.1.4.2.2 Stereotactic Radiosurgery
Tindakan stereotaktik radiosurgery dapat dilakukan untuk tumor dengan ukuran kecil,
dengan memakai linac based radioterapi (X-knife) atau sinar gama (gamma knife).
Tindakan stereotaktik sangat dianjurkan oleh beberapa pusat bedah saraf di dunia. Kebanyakan
tindakan ini bukan untuk menghilangkan neuroma, tetapi untuk mengontrol
pertumbuhannya.(70) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A)
4.1.4.2.3 Kemoterapi
Pada masalah dengan neuroma akustik, kemoterapi tidak dilakukan.(69) (Peringkat bukti
II, Rekomendasi B)
4.1.5 Kraniofaringioma
4.1.5.1 diagnosa
CT Scan merupakan modalitas yang ideal untuk mengevaluasi anatomi tulang dan
deteksi kalsifikasi. CT Scan juga berguna dalam membedakan komponen kistik dan padat dari
tumor. Tampilan kraniofaringioma pada CT Scan bergantung pada proporsi dari komponen
padat dan kistik. Komponen kistik memiliki densitas rendah dan dengan pemberian kontras
memicu penyangatan pada bagian padat termasuk kapsul kista.(71) (Peringkat bukti IA,
Rekomendasi A)
MRI dengan pemberian kontras penting untuk menentukan topografi dan struktur dari
tumor ini. Tampilan kraniofaringioma bergantung pada proporsi komponen padat dan kistik, isi
kista (kolesterol, keratin, perdarahan), dan keberadaan kalsifikasi. Sinyal dari bagian tumor
yaitu isointens atau relatif hipointens terhadap otak pada sekuensi T1W yang menyangat
sesudah pemberian gadolinium, sedang pada sekuensi T2W biasanya campuran hipo dan
hiperintens. Kalsifikasi sulit untuk dideteksi pada pemeriksaan MRI, namun bila jumlahnya
178
besar maka dapat terlihat sebagai sinyal hipointens pada sekuensi T1W dan T2W. Komponen
kistik biasanya hipointens pada sekuensi T1W dan hiperintens pada T2W. Edema pada sekitar
parenkim otak (akibat reaksi kraniofaringioma atau gangguan fokal dari cairan serebrospinal)
dapat menyebar sepanjang jalur saraf penglihatan sehingga memberikan informasi yang berguna
dalam membedakan kraniofaringioma dengan tumor parasellar lainnya.(71-73) (Peringkat bukti
IA, Rekomendasi A).
4.1.5.2 Terapi
4.1.5.2.1 Medikamentosa
Pemberian medikamentosa pada kraniofaringioma sama halnya dengan tumor otak
secara umum yaitu penanganan edema serebri dan kejang. Obat-obatan yang diberikan meliputi
steroid, manitol, saline hipertonik, dan anti kejang. Pada pasien kejang dapat dilakukan
pemberian diazepam IV 0,15-0,2mg/kgBB/kali, maksimal 10mg/kali, dapat diulang 1 kali.
(Peringkat bukti IIA, Rekomendasi A). lalu jika masih terdapat kejang dapat
diberikan terapi lini kedua, antara lain fenitoin, asam valproat, atau levetiracetam. Dosis fenitoin
yaitu IV 15-20mg/kgBB perlahan-lahan (kecepatan 50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang
5-10mg/kgBB/kali intravena. (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi A). Adapun dosis asam
valproat yaitu 20-40mg/kgBB per oral, maksimal 3000mg/kali (Peringkat bukti IIB,
Rekomendasi A), sedang dosis levetiracetam yaitu 20-60mg/kgBB per oral, maksimal
4500mg/kali, dosis tunggal. (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi C),
(23, 24)
Tidak jarang pasien
kraniofaringioma mengalami disfungsi endokrin sehingga memerlukan pemberian hormon
pengganti. Kelainan endokrin yang paling sering dijumpai yaitu diabetes insipidus sehingga
memerlukan pemberian hormon anti-diuretik (desmopressin) baik secara intranasal atau oral.(74-
77) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A)
4.1.5.2.2 Pembedahan
Pembedahan masih menjadi modalitas utama dalam diagnosa dan terapi pada
kraniofaringioma. Beberapa tindakan pembedahan yang dapat dipilih untuk pengangkatan
tumor seperti pendekatan transkranial dan pendekatan endoskopi transfenoid. Kraniofaringioma
179
intraventrikular dapat diangkat dengan pendekatan transcallosal transventrikular. Tumor
retrokhiasmatik kecil dapat dioperasi melalui jalur subtemporal, sedang untuk tumor besar
yang ekstensi ke fossa posterior hingga daerah clivus dapat dilakukan melalui pendekatan
transpetrosal-transtentorial.(74-76) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A).
Tindakan pembedahan lainnya yaitu pemasangan VP shunt bila pasien juga mengalami
hydrocephalus.(78) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A)
4.1.5.2.3 Kemoterapi
Hingga saat ini, terdapat beberapa penelitian serial masalah yang menunjukan efektivitas
pemberian bleomycin atau IFNα intrakistik pada penderita kraniofaringioma. Namun masih
diperlukan penelitian lebih lanjut untuk penerapan pemakaian metode ini secara luas. Hati hati
pemberian bleomycin intrakistik, sebab jika obatnya keluar dan kontaminasi ke nervus opticus,
dapat memicu kebutaan.(79) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A)
4.1.5.2.4 Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam pengobatan tumor ganas
otak. Radioterapi dalam pengobatan tumor ganas otak dapat diberikan sebagai terapi kuratif
definitif, ajuvanpasca operasi, dan paliatif. Teknik radiasi dapat berupa FSRT atau SRS
tergantung ukuran dan lokasi tumor relatif terhadap struktur kritis. Dosis radiasi FSRT berkisar
antara 45 – 54 Gy dalam 25-30 fraksi. Dosis radiasi SRT atau SRS berkisar 12-40 Gy dalam 1-
10 fraksi tergantung ukuran dan posisi tumor.(80)
4.1.6 Medulloblastoma
4.1.6.1 diagnosa
Temuan klasik CT Scan yaitu massa hipodens pada CT Scan tanpa kontras dan massa
hiperdens pada CT Scan dengan kontras.(79) (Peringakat bukti IIA, Rekomendasi A)
MRI kraniospinal secara umum memperlihatkan massa cerebellar di midline atau para
median yang menyangat sesudah pemberian kontras dan kadang menekan ventrikel IV.(79)
(Peringakat bukti IB, Rekomendasi C)
Sepertiga dari medulloblastoma bermetastasis di sistem saraf pusat melalui cairan
serebrospinal. Pada masalah ini, pemeriksaan sitopatologik dari cairan serebrospinal dapat
menunjukkan sel-sel neoplastik.(79) (Peringakat bukti IIB, Rekomendasi B)
180
4.1.6.2 Terapi
Tujuan utama terapi medulloblastoma yaitu memulihkan fungsi dan mengurangi
ukuran tumor. Terapi tergantung pada sifat tumor dan apakah terdapat perluasan ke sekitar organ
lain.(81)
4.1.6.2.1 Average-risk disease
Rata-rata anak usia ≥ 3 tahun yang menjalani reseksi total atau hampir total memiliki
hasil sitologi cairan serebrospinal yang negatif dan tidak ada bukti metastasis jauh. Jika hal
ini tidak dilakukan, maka direkomendasikan modalitas kombinasi radioterapi kraniospinal
dan booster fosa posterior dilanjutkan ajuvankemoterapi.(81) (Peringkat bukti IB,
Rekomendasi B)
4.1.6.2.2 High-risk disease
pengobatan optimal untuk anak dengan medulloblastoma metastasis, unresectable atau
rekuren belum jelas. Disarankan radioterapi kraniospinal dan booster fosa posterior dengan
concomitant kemoterapi.(81) (Peringkat bukti II, Rekomendasi B)
4.1.6.2.3 Infant and young children
Bayi dan anak usia < 3 tahun dengan medulloblastoma memiliki risiko tinggi mengalami
defisit neurologis berat jika diberikan initial terapi dengan radioterapi kraniospinal. Kami
merekomendasikan pengobatan dalam kelompok usia ini mengikuti protokol yang
memakai kombinasi kemoterapi dan menunda atau mengurangi pemakaian radioterapi
kraniospinal.(81, 82) (Peringakat bukti IB, Rekomendasi 1B)
4.1.6.2.4 Adult
Tujuan dari pembedahan yaitu menegakkan diagnosa histologi, reseksi tumor
maksimal, dan menghilangkan hydrocephalus.(81) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi B)
4.1.7 Ependimoma
4.1.7.1 diagnosa
Pada MRI dengan kontras, lesi tumor akan menyerap kontras secara homogen atau
heterogen. MRI juga dapat membantu dalam mengetahui metastatic seeding tumor.
181
Ependimoma dapat memberikan gambaran kistik, padat, atau campuran.(81) (Peringkat bukti
IA, Rekomendasi A)
CT Scan pada ependimoma dapat berupa massa kistik, kalsifikasi, dan lesi yang berbatas
tegas dengan gambaran isodens atau hiperdens. Dengan pemberian kontras, lesi tumor akan
menyerap kontras secara homogen atau heterogen.(82-85) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi
A)
4.1.7.2 Terapi
a. Pembedahan Tumor
Reseksi tumor total atau near total yang diikuti komplikasi yang rendah dimungkinkan
dengan semakin berkembangnya teknik pembedahan mikro, fasilitas neuronavigasi
intraoperatif, ultrasound intraoperatif, dan intraoperative neurophysiologic monitoring. Reseksi
total lebih mudah dicapai pada ependimoma yang lokasinya supratentorial dibandingkan
infratentorial yang sering pada dasar ventrikel IV.(81-93) (Peringkat bukti IA, Rekomendasi A)
b. Penanganan Hidrosefalus
Pilihan tindakan: (81)
a) Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV) yaitu pilihan utama, kecuali didapatkan
obliterasi sisterna
interpendikular. (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi B).
b) Insersi EVD ataupun VP Shunt dapat dilakukan untuk drainase CSS. (Peringkat
bukti IIA, Rekomendasi B).
c. Radioterapi
1) Radioterapi mempunyai peran penting dalam manajemen ependimoma terutama
pada anaplastic ependymoma WHO grade III.(81) (Peringkat bukti IV,
Rekomendasi C)
2) Radioterapi pada ependimoma WHO grade I sesudah dilakukan reseksi total tidak
diperlukan, kecuali didapatkan bukti adanya penyebaran tumor melalui CSF.(81, 83, 88,
89) .(Peringkat bukti IIA, Rekomendasi B)
3) Stereotactic radiosurgery (SRS) atau stereotactic radiotherapy (SRT) dapat
182
dipertimbangkan dalam penanganan residual anaplastic ependymoma dan
ependimoma rekuren sesudah dilakukan standar terapi (operasi dan atau
radioterapi).(81) (Peringkat bukti III A, Rekomendasi C)
d. Kemoterapi
Kemoterapi bukan standar Pengobatan pada ependimoma, sebab ependimoma
merupakan tumor yang resisten terhadap kemoterapi.(81) (Peringkat bukti III B, Rekomendasi
C)
4.1.8 Limfoma Sistem Saraf Pusat
4.1.8.1 diagnosa
Pemeriksaan radiologi untuk menunjang diagnosa limfoma sistem saraf pusat yaitu
CT Scan dan MRI. Pada CT Scan nonkontras, dapat ditemukan gambaran hiperdens maupun
isodens, namun pada CT Scan dengan kontras akan tampak enhancement.(85, 87-90) (Peringkat
bukti IIB, Rekomendasi B)
Temuan pada MRI merupakan lesi enhance pada basal ganglia dan periventrikuler. Lesi
dapat berupa massa soliter atau multipel. Pada T1, akan tampak gambaran hipointens
dibandingkan white matter. MR spektroskopi akan ditemukan gambaran Choline peak yang luas
dengan rasio choline/creatinine terbalik dan lactate peak. Pada MR perfusi, ditemukan
peningkatan ringan rCBV dan angiogenesis.(85, 87-90) (Peringkat bukti IB, Rekomendasi B)
Pemeriksaan laboratorium untuk limfoma sistem saraf pusat yaitu analisa CSS dan
serologi HIV. (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi B)
Serologi HIV (Human Immunodeficiency Virus) perlu dikerjakan sebab limfoma sistem
saraf pusat diderita ± 10% dari penderita HIV.(91-94) (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi A)
Pemeriksaan patologi anatomi akan menunjukkan diffuse large B cell lymphoma pada
>95% masalah . Skrining untuk mencari limfoma di organ lain perlu dilakukan, misalnya lesi di
korda spinalis, limfoma okular, keterlibatan leptomeningeal, dan lesi intrakranial soliter maupun
multipel.(94, 95)
183
4.1.8.2 Terapi
4.1.8.2.1 Medikamentosa
Kortikosteroid dapat menimbulkan regresi limfoma pada 40% masalah secara
radiologis.(94) (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi 2A).
4.1.8.2.2 Pembedahan
Pembedahan dekompresi dengan reseksi sebagian ataupun total dari tumor tidak
mempengaruhi prognosa pasien. Tujuan utama dari pembedahan pada masalah limfoma sistem
saraf pusat yaitu biopsi. Disarankan untuk memakai teknik stereotaktik.(94) (Peringkat
bukti IB, Rekomendasi B).
4.1.8.2.3 Kemoterapi
Induksi kemoterapi untuk limfoma SSP yaitu dengan memakai metotreksat dosis
tinggi 3,5-5g/m2 setiap 2 minggu sebanyak 4-5 dosis dan bersamaan dengan vinkristin 2mg
intravena pada dosis pertama dan dosis kedua metotreksat, dan procarbazin 100mg/m2 peroral
setiap hari dalam 7 hari dengan dosis metotreksat pertama dan ketiga. sesudah terapi metotreksat
komplit diberikan dosis tinggi cytarabine 3g/m2 tiap hari sehari dua kali diulang 3-4 minggu
sekali dua siklus. Jika pasien mendapatkan respons komplit pada terapi ini, pertimbangkan
kombinasi dengan Ifosfamid 2g/m2 IV setiap hari dalam tiga hari.(1-12) (Peringakat bukti IB,
Rekomendasi C).
Pada pasien limfoma SSP terdapat alternatif cara memberikan kemoterapi, yaitu secara
intratekal. Kemoterapi intratekal diberikan dengan memakai metotreksat, cytarabine, dan
hidrokortison. Randomized trial lebih lanjut dibutuhkan untuk menyesuaikan jadwal, dosis, dan
menurunkan efek samping dari kemoterapi intratekal dan sistemik.(81-95) (Peringakat bukti IIA,
Rekomendasi B).
4.1.8.2.4 Radioterapi
Pasien yang tidak menunjukkan respons komplit pascakemoterapi sebaiknya dilakukan
radiasi WBRT dengan atau tanpa booster, termasuk pada masalah insersi pada nervus optikus pada
bola mata (1/3 posterior). Atau pertimbangkan dosis tinggi kemoterapi dan transplantasi stem
sel autolog (thiotepa 250-300mg/m2 perhari-8 dan-7, bisulfan 3,2mg/kg IV hari -6 sampai -4,
184
dan cyclophosphamid 2g/m2 hari-3 dan-2, ASCT/Autologous stem-cell transplantation hari
0).(81-93)(Peringkat bukti IIA, Reukomendasi B).
4.1.9 Tumor Pineal
4.1.9.1 diagnosa
4.1.9.1.1 Penanda Tumor
Peningkatan β-hCG biasanya berhubungan dengan khoriokarsinoma, sementara
penurunan β-hCG berhubungan dengan beberapa tumor, tidak semuanya karsinoma
embrional dan germinoma. Sampel diambil dari CSS dan darah (lebih baik CSS) (Peringkat
bukti II, Rekomendasi B)
Peningkatan AFP terjadi pada tumor endodermal, karsinoma embrional, dan kadang
pada teratoma. (Peringkat bukti I, Rekomendasi A)
Peningkatan PALP didapatkan pada germinoma.(94-98) (Peringkat bukti II,
Rekomendasi B)
4.1.9.1.2 Pemeriksaan Penunjang
MRI dengan komponen kistik paling sering ditemukan pada sel tumor geminal non
germinoma. Lesi multipel merupakan karakteristik dari sel tumor germinal. Edema
peritumoral yang berat lebih sering ditemukan pada germinoma. Ekstensi hingga ke talamus
didapatkan hingga 80% pada germinoma.(94, 95) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A)
4.1.9.2 Terapi
4.1.9.2.1 Medikamentosa
Pemberian obat-obatan pada tumor pineal sama halnya dengan pasien tumor secara
umum terkait dengan edema serebri hingga terjadinya kejang, meliputi steroid, manitol, salin
hipertonik, dan anti kejang.(95, 99, 100) (Peringkat bukti II, Rekomendasi B)
Pada pasien kejang dapat dilakukan pemberian diazepam IV 0,15-0,2mg/kgBB/kali,
maksimal 10mg/kali, dapat diulang 1 kali. (Peringkat bukti IIA, Rekomendasi A).
lalu jika masih terdapat kejang dapat diberikan terapi lini kedua, antara lain fenitoin,
asam valproat, atau levetiracetam. Dosis fenitoin yaitu IV 15-20mg/kgBB perlahan-lahan
(kecepatan 50mg/menit) dosis tunggal, dapat diulang 5-10mg/kgBB/kali intravena. (Peringkat
185
bukti IIB, Rekomendasi A). Adapun dosis asam valproat yaitu 20-40mg/kgBB per oral,
maksimal 3000mg/kali (Peringkat bukti IIB, Rekomendasi A), sedang dosis
levetiracetam yaitu 20-60mg/kgBB per oral, maksimal 4500mg/kali, dosis tunggal.
(Peringkat bukti IIB, Rekomendasi C),
(23, 24)
4.1.9.2.2 Pembedahan
Gross total resection tidak menjadi pertimbangan utama sebab hanya pada teratoma
matur dengan kapsul dan beberapa tumor lainnya yang memiliki batas tegas hal ini dapat
dikerjakan, selebihnya sebagian besar tumor akan memiliki ekstensi baik lokal maupun
regional sehingga memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya morbiditas (3-10%) hingga
mortalitas (4-10)%. (69, 99, 101, 102) (Peringkat bukti II, Rekomendasi B)
4.1.9.2.3 Kemoterapi
Pada tumor sel germinal non-germinoma disarankan untuk memberikan kombinasi
radioterapi dan kemoterapi sebab tingkat keberhasilan hidup selama 5 tahun hanya 30-65%
dengan radioterapi. Rejimen dari Einhorn meliputi cisplatin, vinblastine, dan bleomisin.
lalu dipakai VP-16 untuk menggantikan vinblastine dan bleomisin.(94, 103)
(Peringkat bukti II, Rekomendasi B)
4.1.9.2.4 Radioterapi
Radioterapi merupakan pilihan utama untuk jenis germinoma. Radioterapi ini juga dapat
diberikan untuk jenis tumor maligna yang lain sesudah pembedahan seperti pineocitoma, salah
satu tumor parenkimal pineal. Jika didapatkan seeding pada spinal aksis, dapat dilakukan
radioterapi kraniospinal dengan booster pada jaringan tumor. (Peringkat bukti II,
Rekomendasi B)
4.2 Tumor Otak Sekunder
4.2.1 diagnosa
CT Scan sering dipakai sebagai pemeriksaan skrining pada pasien dengan gejala akut.
Gambaran CT Scan umumnya dapat berupa lesi bulat, berbatas tegas dengan peritumoral edema
186
yang lebih luas (fingers of edema). Bila terdapat lesi multipel maka jumlah lesi terbanyak yang
tampak yaitu jumlah yang paling benar (Chamber’s rule).(104) (Peringkat bukti II,
Rekomendasi B)
MRI merupakan sarana Diagnosa pilihan untuk mendeteksi metastasis intrakranial.
Bilamana terdapat kecurigaan klinis tinggi, MRI dengan kontras dapat memperlihatkan
metastasis dengan baik sebab adanya kerusakan sawar darah-otak (blood brain barrier) oleh
metastasis.
Pemeriksaan MRI lebih sensitif dibandingkan CT Scan terutama di daerah fossa
posterior.(104) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A)
MRI kepala dan spinal dengan kontras gadolinium merupakan teknik pilihan untuk
mengevaluasi pasien dengan dugaan leptomeninegal metastasis. Oleh sebab leptomeningeal
metastasis melibatkan seluruh neuraxis, diperlukan pencitraan seluruh SSP (otak dan spinal).
(Peringkat bukti III)
Ditemukannya sel maligna pada cairan serebrospinal merupakan bukti terjadinya
leptomeningeal metastasis. Pemeriksaan sitologi cairan serebrospinal masih merupakan baku
emas hingga saat ini. (Peringkat bukti III)
4.2.2 Terapi
4.2.2.1 Medikamentosa
Pemberian kortikosteroid (deksametason) dianjurkan untuk mengurangi gejala
peningkatan tekanan intrakranial dan edema otak sebab metastasis otak. Dosis deksametason
yang dianjurkan yaitu 4-16 mg/hari tergantung berat ringan gejala klinis.(75) (Peringkat bukti
III, Rekomendasi C)
4.2.2.2 Pembedahan
Pembedahan metastasis otak yang dilanjutkan dengan whole brain radiotherapy
(WBRT) merupakan modalitas terapi yang baik dalam mengontrol tumor di lokasi metastasis
dan di otak secara keseluruhan bila dibandingkan dengan pembedahan saja.(105) (Peringkat
bukti I, Rekomendasi A)
187
4.2.2.3 Kemoterapi
Pemberian kemoterapi secara rutin sesudah WBRT pada metastasis otak belum
menunjukkan peningkatan survival dan tidak direkomendasikan.(106) (Peringkat bukti I,
Rekomendasi A)
Pada pasien keganasan hematologik dengan aliran CSS yang normal dan tidak ada bukti
obstruksi, dapat dipertimbangkan pemberian kemoterapi intratekal melalui kateter intraventrikel
atau reservoir Ommaya (Peringkat bukti III).
Pilihan kemoterapi sistemik metotreksat dosis tinggi dapat diberikan pada pasien
limfoma. (Peringkat bukti III)
4.2.2.4 Radioterapi
Pada keganasan hematologik, whole brain radiotherapy dan/atau involved radiotherapy
(lokal) dapat diberikan pada lesi berbentuk nodul dan lesi yang menimbulkan gejala
(simptomatik). Craniospinal irradiation dapat diberikan pada pasien dengan keterlibatan otak
dan spinal
Radiosurgery
a. Radiosurgery
Stereotactic Radiosurgery (SRS) dosis tunggal bersama dengan WBRT memberikan
survival pasien yang lebih lama dibandingkan dengan WBRT saja pada pasien dengan
metastasis soliter dengan KPS>70.(107) (Peringkat bukti I, Rekomendasi A)
Stereotactic Radiosurgery (SRS) dosis tunggal dapat memberikan survival yang sepadan
pada masalah tertentu pada pasien dengan metastasis otak bila dibandingkan dengan kombinasi
WBRT dan SRS dosis tunggal.(107) (Peringkat bukti II, Rekomendasi B)