berasx.blogspot.com
....
kacangx.blogspot.com
.....
Tampilkan postingan dengan label ekologi hewan 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekologi hewan 1. Tampilkan semua postingan
Rabu, 12 Juli 2023
ekologi hewan 1
Juli 12, 2023
ekologi hewan 1
Hewan, sebagaimana makhluk hidup lainnya, menempati lokasi
bersama dengan makhluk hidup lainnya dan makhluk tak hidup yang
bersama-sama membentuk lingkungan hidup hewan. Antara makhluk hidup
dan lingkungannya saling berinteraksi satu sama lain dalam suatu sistem
yang kompleks. Sistem yang terbentuk karena interaksi makhluk hidup
dengan lingkungnya disebut ekosistem, sedangkan ilmu yang mempelajari
ekosistem disebut ekologi.
Ekologi berasal dari bahasa Yunani oikos yang berarti rumah dan logos
yang berarti ilmu atau studi tentang sesuatu. Dengan demikian ekologi
didefinisikan sebagai studi ilmiah tentang hubungan makhluk hidup
(organisme) dengan lingkungannya. Ekosistem sebagaimana disebutkan di
depan, merupakan suatu jejaring komunitas atau hubungan jejaring
antarindividu yang menyusun satu kesatuan yang terorganisasi secara
mandiri dan terdapat pola-pola dan proses-proses yang berjenjang secara
kompleks. Ekosistem tersusun atas dua macam komponen, yaitu komponen
makhluk hidup (biotik) dan komponen makhluk tak hidup (abiotik).
Komponen abiotik terdiri dari komponen benda mati seperti batu, udara,
sinar matahari, dan air; serta komponen kimia-fisik seperti gravitasi, suhu,
curah hujan, dan salinitas. Ekosistem menyediakan berbagai sumber daya
untuk kelangsungan hidup organisme di dalamnya yang biasanya dikenal
juga sebagai biodiversitas (keragaman hayati). Biodiversitas yaitu konsep
tentang variabilitas makhluk hidup dari berbagai sumber (ekosistem darat,
laut, danau, sungai, dan sebagainya) dengan tingkatan dari gen, spesies,
dan ekosistem. Secara praktis, biodiversitas biasanya hanya diperuntukkan
untuk keragaman spesies, suatu konsep yang dikenal juga sebagai kekayaan
spesies. Makhluk hidup dalam ekosistem membentuk hierarki dari yang
terkecil, yaitu individu, populasi, sampai dengan komunitas. Individu ialah
satu kesatuan makhluk hidup yang terdiri dari satu organisme, misalnya
seekor gajah, seekor nyamuk, sebatang pohon kelapa, dan sebagainya.
Individu-individu yang sejenis menyusun satu kesatuan yang disebut
populasi. Beberapa populasi membentuk satu kesatuan yang disebut
komunitas.
Ekologi ialah subdisiplin dari biologi atau ilmu yang mempelajari
tentang makhluk hidup. Kata ekologi ("oekologie") diciptakan pada tahun
1866 oleh ilmuwan Jerman Ernst Haeckel (1834–1919). Haeckel merupakan
seorang ahli hewan (zoolog), seniman, penulis, dan terakhir sebagai
profesor anatomi komparatif. Para ahli filsafat Yunani sebelumnya seperti
Hippocrates dan Aristoteles, merupakan para ahli yang bekerja dengan mengamati sejarah alam hewan dan tumbuhan, yang pada
perkembangannya dikenal sebagai ekologi. Ekologi moderen pada
umumnya merupakan percabangan dari sejarah alam, ilmu yang muncul
pada akhir abad ke-10. Charles Darwin dengan teori evolusinya
mengembangkan konsep adaptasi yang diperkenalkan pada tahun 1859
merupakan batu pertama yang sangat penting dalam teori ekologi
moderen.
Ekologi tidak sinonim dengan lingkungan, paham lingkungan, sejarah
alam, atau ilmu lingkungan. Ekologi sangat berkaitan dekat dengan fisiologi,
evolusi, genetika, dan perilaku. Pemahaman tentang bagaimana
keragaman hayati (biodiversitas) mempengaruhi fungsi ekologis merupakan
bidang fokus yang penting dalam studi ekologi. Ekosistem
mempertahankan setiap fungsi penyokongan hidup di planet Bumi ini, yang
mencakup pengaturan iklim, penyaringan air, pembentukan tanah
(pedogenesis), pangan, serat, obat-obatan, pengontrolan erosi, dan banyak
fungsi lainnya seperti nilai sejarah, nilai sosial, estetika, dan ilmiah. Ekologi
berupaya menjelaskan berbagai pertanyaan di bawah ini.
a. Proses-proses hidup dan adaptasi
b. Distribusi dan kelimpahan organisme
c. Pergerakan/perpindahan materi dan energi melalui komunitas hidup
d. Perkembangan suksesif ekosistem
e. Kelimpahan dan distribusi biodiversitas dalam konteks lingkungan.
Terdapat banyak aplikasi praktis ekologi dalam bidang biologi
konservasi, manajemen sumber daya alam (pertanian, kehutanan,
perikanan), perencanaan kota (ekologi urban), kesehatan masyarakat,
ekonomi, ilmu dasar dan terapan, dan menyediakan kerangka konseptual
untuk memahami dan meneliti interaksi sosial manusia (ekologi manusia).Ekologi hewan merupakan cabang ekologi dengan fokus kajian pada
hewan, sehingga didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari hubungan
interaksi antara hewan dengan lingkungannya. Studi tentang distribusi
hewan dimulai pada abad ke-19, tetapi secara formal perkembangan
ekologi hewan baru dimulai pada tahun 1920-an. Ahli zoologi Inggris
Charles Elton, yang menekankan pada studi populasi di alam liar, barang
kali merupakan sosok yang paling berpengaruh. Elton bekerja lebih sering
dengan hewan bernilai komersial, menyusun sejumlah konsep terminologi
ahli alam, yang meliputi relung ekologi (niche), rantai makanan, piramida
jumlah. Piramida jumlah menunjukkan pengurangan jumlah individu
organisme, atau total kuantitas (berat) organisme pada setiap tahap
suksesif dalam rantai makanan, dari tumbuhan dan hewan pemakan
tumbuhan (herbivora) pada level bawah ke level yang lebih atas (karnivora
besar) pada puncaknya. Seperti ekologi tumbuhan, beberapa aliran ekologi
hewan muncul di Eropa dan Amerika Serikat pada awal pertengahan abad
ke-20.
Beberapa aliran, seperti Elton, memiliki fokus pada studi empiris
interaksi antara predator-mangsa, sementara aliran lainnya terfokus pada
organisasi komunitas, pola distribusi dan kelimpahan. Walaupun beberapa
aliran yang pada awalnya bekerja pada bidang ekologi hewan terutama di
Amerika Serikat, berusaha menyusun model untuk ekologi tumbuhan, dan
mulai tahun 1930-an ekologi hewan muncul sebagai bidang kajian yang
terpisah. Walaupun demikian, dalam implementasinya tidak mungkin untuk
memisahkan kedua bidang tersebut, sehingga sering kali terjadi saling
tumpang tindih atau saling mempengaruhi di antara ahli ekologi tumbuhan
dan ahli ekologi hewan.
Usaha yang efektif untuk mengintegrasikan dalam perspektif ekologi
muncul dari biologi akuatik. Contoh yang sangat baik ditunjukkan oleh Karl Mobius pada akhir abad ke-19. Mobius bekerja dengan tiram di pesisir
utara Jerman dan menjadi pionir studi limnologi dari François Alphonse
Forel di Danau Swiss. Studi tersebut dilanjutkan pada awal abad ke-20 oleh
beberapa ahli seperti August Thienemann di Jerman dan Einar Naumann di
Swedia. Konsep tentang “biocenosis,” suatu komunitas terintegrasi yang
mencakup seluruh bentuk hidup yang saling berasosiasi dengan menempati
suatu habitat atau suatu lingkungan dengan kondisi tertentu telah diadopsi
secara luas oleh ahli ekologi Jerman dan Rusia pada tahun 1920-an dan
1930-an. Satu perpektif terintegrasi juga muncul pada ilmu tanah
sebagaimana Sergei Winogradsky yang bekerja pada bidang mikrobiologi
tanah, dan juga pada studi tentang siklus biogeokimia seperti yang
dilakukan oleh ahli geokimia Rusia VladÃmir Vernadsky, yang mengenalkan
konsep “biosphere” pada tahun 1914.
Konsep integrasi yang paling luas dan memiliki peran sentral yang
memadukan keseluruhan konsep dalam ilmu ekologi ialah konsep
“ecosystem” yang dikenalkan oleh ahli botani Inggris Arthur G. Tansley
pada tahun 1935 yang pada awalnya digunakan secara efektif dalam bidang
akuatik. Tansley adalah ahli ekologi tumbuhan ternama pendiri British
Ecological Society pada tahun 1913. Pionir peneliti pada survei vegetasi,
pengritik ide Clements tentang komunitas klimaks, seorang ahli konservasi
dan murid dari Sigmund Freud yaitu Tansley menunjukkan pengalamannya
pada permasalahan dalam mengidentifikasi unit ekologis ideal dalam
penelitian. Ia menyarankan bahwa istilah ekosistem diterima tanpa
memasukkan unsur-unsur misterius. Istilah baru yang diterima secara
penuh dalam paper yang diterbitkan pada tahun 1942 oleh ahli limnologi
muda Amerika, Raymond Lindeman. Dengan menggunakan konsep suksesi
ekologi, piramida jumlah dan rantai makanan dari Elton, studi awal tentang
aliran energi dalam sistem akuatik, catatan Clements tentang komunitas klimaks yang stabil, Lindeman melacak aliran energi melalui trofik-trofik
(rantai makanan) yang berbeda tingkatan. Ia melakukan kajian tentang
tingkatan trofik (produser, konsumer primer, konsumer sekunder) pada
kolam kecil di Minnesota sebagai cara dalam pemetaan struktur ekosistem
dan untuk mendemonstrasikan kemajuan perkembangan ke arah stabilitas,
suatu keadaan keseimbangan.
Perang Dunia II telah memberikan bukti dalam perkembangan ilmu
ekologi ini. Walaupun pada awalnya ilmu ini berkutat pada klasifikasi dan
struktur komunitas, dinamika populasi, pola-pola distribusi yang berlanjut
sampai tahun-tahun setelah selesainya perang, metodologi baru, praktik�praktik, dan skema konseptual, ekologi sebagai ilmu dan profesi tumbuh
dengan ukuran, status, dan organisasi seperti sekarang ini. Pada periode
pasca perang, Lindeman memulai bekerja pada ekologi ekosistem
mendirikan organisasi ahli biologi yang didanai oleh U.S. Atomic Energy
Commission, yang menggunakan radionuklida untuk melacak aliran materi
dan energi pada ekosistem alami. Penelitian ekosistem segera meluas. Hal
ini juga berkembang pada kelompok-kelompok kecil pengikut Tansley pada
Nature Conservancy di Inggris. Hal ini menjadi titik penting dalam
perkembangan ilmu ekologi moderen, yang diturunkan atau diwariskan
melalui beberapa generasi terutama mahasiswa di seluruh dunia. Eugene P.
Odum pada bukunya Introduction to Ecology, yang dipublikasikan pertama
kali pada tahun 1953 menjadi tonggak sejarah dalam pengembangan
konsep ekologi moderen. Walaupun demikian, sintesis sebelum perang
seperti Teori Seleksi Alam Darwin dan Teori Genetika Mendel
dikembangkan secara bertahap setelah perang menghasilkan pandangan
yang memperkuat ekologi populasi dan komunitas menurut perspektif
Darwin. Pasca perang juga melahirkan konsep ekologi kuantitatif. Teknik
matematis dikembangkan di Amerika Serikat, Eropa, dan Uni Soviet selama
periode di antara perang yang berkaitan dengan teknik-teknik yang lahir
dari perang yang meliputi sistem informasi dan sibernetika (cybernetics)
menghasilkan perkembangan ke arah permodelan matematis dan simulai
komputer untuk populasi, komunitas, dan ekosistem. Dekade setelah
Perang Dunia II juga mendorong para ahli untuk mengembangkan bidang
konservasi sumber daya alam, perlindungan hidupan liar, dan pengawetan
lingkungan alami, suatu tren dimulai tahun 1960-an dengan kritisisme
sosial, yang menjadi gerakan lingkungan secara internasional dengan
menggunakan konsep dan teori ekologi. Sebelum membahas hubungan antara hewan dengan lingkungannya,
penting untuk mendefinisikan pengertian hewan terlebih dahulu sehingga
akan memudahkan dalam memahami hubungan tersebut. Dalam sistem
klasifikasi, hewan memiliki karakteristik yang meliputi: organisme
multiseluler atau tubuhnya tersusun atas banyak sel, heterotrof atau tidak
mampu menyintesis makanan sendiri, diploid atau kromosom terdiri atas
dua alel, dan sel tubuhnya bersifat eukariotik atau inti sel diselubungi oleh
membran atau salut inti. Dalam sistem klasifikasi 5 kerajaan (kingdom,
regnum) oleh Robert H. Whittaker, hewan dimasukkan ke dalam Regnum
Animalia yang meliputi Phylum Porifera (hewan berpori/spon), Cnidaria
(hewan berongga), Plathyhelminthes (cacing pipih), Nematoda (cacing
gilig), Annelida (cacing gelang), Mollusca (hewan lunak), Echinodermata
(hewan berkulit duri), Arthropoda (hewan beruas), dan Chordata (hewan
dengan sumbu tubuh).
Semua hewan adalah multiseluler dalam arti tubuhnya tersusun atas
banyak sel. Dengan definisi ini, hewan berbeda dengan organisme bersel
satu (organisme uniseluler), seperti bakteri (Bacteriae) dan ganggang biru�hijau (Cyanophyta) yang keduanya dimasukkan dalam Regnum Monera;
serta organisme uniseluler-koloni yang aktif bergerak yaitu protozoa
(Regnum Protista). Organisme multiseluler tidak hanya hewan saja. Jamur
(Regnum Fungi) dan tumbuhan (Regnum Platae) juga organisme
multiseluler. Perbedaan hewan dengan jamur dan tumbuhan terletak pada
struktur selnya. Sel hewan tidak memiliki dinding sel, tidak memiliki
kloroplas, tidak memiliki vakuola pusat, tetapi memiliki sentosom dan
lisosom. Dalam tubuh hewan, sel terorganisasi secara kompleks membentuk
suatu struktur dan fungsi tertentu yang disebut jaringan, misalnya jaringan
epitel, jaringan darah, jaringan saraf, jaringan tulang, jaringan otot, jaringan
konektif. Khusus pada Porifera, sel-sel tubuhnya belum membentuk
jaringan sejati. Beberapa jaringan membentuk struktur dengan tugas
tertentu yang disebut organ seperti mata, tangan, jantung, paru-paru, dan
hati. Beberapa organ menyusun satu sistem untuk menjalankan kerja faal
(fisiologi) tertentu, misalnya sistem pencernaan yang tersusun atas organ
mulut, esofagus, lambung, usus kecil, usus besar, rektum, anus, kelenjar
ludah, kelenjar pankreas, hati yang menghasilkan empedu; sistem
pernafasan, sistem peredaran, sistem koordinasi, sistem reproduksi, sistem
ekskresi, dan sistem kerangka.
Semua sel hewan bersifat eukariotik dalam arti inti sel diselubungi
membran atau salut ini dan selnya tersusun atas organel-organel yang
kompleks. Ciri ini membedakan dengan organisme bersel satu yang masuk
dalam Regnum Monera. Sel hewan tersusun atas berbagai organel sel,
antara lain aparat Golgi, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma,
lisosom, dan sentrosom. DNA sel eukariotik berbentuk linear dan
terorganisasi menjadi kromosom. Walaupun hewan adalah eukariota,
tetapi tidak semua eukariota adalah hewan, eukariota yang bukan hewan
ialah tumbuhan, fungi, dan protista.
Sebagian besar hewan bereproduksi secara seksual dan lainnya dapat
bereproduksi secara aseksual. Reproduksi adalah proses suatu organisme
menghasilkan keturunan baru. Proses reproduksi seksual meliputi
kombinasi materi genetik dari dua individu berjenis kelamin berbeda
(jantan dan betina) atau pada beberapa hewan dihasilkan oleh satu
individu saja (hermaprodit). Reproduksi seksual bukan hanya terjadi pada hewan saja, tetapi juga pada tumbuhan, jamur, protista, bakteri yang juga
dapat bereproduksi secara seksual.
Beberapa jenis hewan juga bereproduksi secara aseksual, misalnya
pembentukan tunas yang kemudian lepas dari tubuh untuk membentuk
individu baru pada karang dan pembelahan tubuh pada Planarium.
Reproduksi seksual akan menghasilkan keturunan dengan kombinasi
genetik yang bervariasi yang merupakan faktor penting dalam proses
seleksi alam dan evolusi.
Sebagian besar hewan memiliki kemampuan untuk berpindah tempat
(motil), walaupun beberapa bersifat sesilis atau menempel pada dasar
perairan seperti misalnya karang, spons, anelida, brachiopoda, bryozoa,
tunikata, dan hydra selama hidupnya atau pada satu fase hidupnya. Hewan
berpindah dengan menggunakan beberapa cara, misalnya kuda dengan
berjalan/berlari, burung dengan terbang, ikan dengan berenang, siput
dengan merangkak, dan ular dengan merayap. Beberapa hewan, misalnya
bintang laut dan teripang berpindah dengan sangat lambat, sedangkan
lainnya seperti cheetah dan zebra dapat berpindah dengan sangat cepat.
Bagi hewan, berpindah tempat/bergerak memiliki berbagai fungsi antara
lain mencari makan, menghindari pemangsa, mengejar mangsa, dan
migrasi atau memperluas habitat dan daerah jelajahnya.
Sebagian besar sel tubuh hewan bersifat diploid, yaitu terdapat dua
set/perangkat materi genetik di dalam inti selnya. Pada sel-sel reproduksi
hewan yaitu sel gamet (sel sperma dan sel telur) hanya memiliki satu set
materi genetik saja sehingga bersifat haploid.
Semua hewan bersifat heterotrof dalam arti tidak mampu untuk
menyusun makanan sendiri sehingga untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya akan nutrisi mereka harus makan organisme lainnya. Hal ini
berbeda dengan jamur dan tumbuhan yang mampu menyusun makanan sendiri melalui proses sintesis, yaitu kemosintesis pada jamur dan
fotosintesis pada tumbuhan. Semua makhluk hidup memerlukan unsur
karbon untuk proses-proses dasar seperti pertumbuhan, perkembangan,
dan reproduksi. Dengan demikian, terdapat dua cara organisme untuk
mendapatkan karbon: mengambilnya dari lingkungannya (dalam bentuk
karbon dioksida) atau memakan organisme lainnya. Organisme yang
mampu menggunkan karbon anorganik dari lingkungannya seperti jamur
dan tumbuhan di atas disebut ototrof. Tumbuhan hijau mengambil energi
dari sinar matahari dan memfiksasi karbon dari atmosfer dalam bentuk
karbon dioksida untuk menghasilkan gula, suatu senyawa organik
sederhana. Hewan mendapatkan karbon melalui proses mencerna
organisme lain yang kemudian diserap dalam bentuk senyawa sederhana
untuk digunakan dalam berbagai proses dalam tubuhnya termasuk energi
untuk berbagai aktivitas hewan. Sifat seperti ini disebut heterotrof.
1. Konsep Habitat dan Niche (Relung Habitat)
Habitat ( bahasa Latin untuk "it inhabits") atau tempat tinggal makhluk
hidup merupakan unit geografi yang secara efektif mendukung
keberlangsungan hidup dan reproduksi suatu spesies atau individu suatu
spesies. Di dalam habitat tersebut, makhluk hidup lainnya serta faktor�faktor abiotik yang satu dengan lainnya saling berinteraksi secara kompleks
membentuk satu kesatuan yang disebut habitat di atas. Organisme lainnya
antara lain individu lain dari spesies yang sama, atau populasi lainnya yang
bisa terdiri dari virus, bakteri, jamur, protozoa, tumbuhan, dan hewan lain.
Faktor abiotik suatu habitat meliputi makhluk/benda mati seperti air,
tanah, udara, maupun faktor kimia fisik seperti temperatur, kelembaban
kualitas udara, serta aspek geometris bentuk lahan yang memudahkan hewan untuk mencari makan, istirahat, bertelur, kawin, memelihara anak,
hidup bersosial, dan aktivitas lainnya.
Terdapat istilah lainnya yaitu mikrohabitat yang sering digunakan
untuk mendeskripsikan area geografis yang lebih kecil atau keperluan
dalam skala kecil oleh organisme atau populasi. Mikrohabitat sering juga
diartikan sebagai habitat yang lebih kecil atau bagian dari habitat besar.
Sebagai contoh, pohon tumbang di hutan dapat menyediakan mikrohabitat
bagi serangga yang tidak ditemukan di habitat hutan lainnya di luar pohon
yang tumbang tersebut. Lingkungan mikro merupakan segala sesuatu di
sekitar organisme baik faktor kimia fisik maupun organisme lainnya di
dalam habitatnya.
Lebih jauh, istilah habitat juga digunakan untuk berbagai keperluan
yang berkaitan dengan lingkungan makhluk hidup, antara lain:
- Seleksi habitat: proses atau perilaku individu organisme untuk memilih
suatu habitat yang ditempati untuk hidupnya.
- Ketersediaan habitat: aksesibilitas dari area potensial suatu organisme
untuk menemukan lokasi yang sesuai bagi kelangsungan hidup dan
reproduksi organisme.
- Kerusakan habitat: hilangnya atau terdegradasinya area alami untuk
hidup suatu individu atau populasi suatu organisme.
- Fragmentasi habitat: suatu perubahan habitat yang menghasilkan
pemisahan secara spasial area habitat dari sebelumnya yang
merupakan satu kesatuan menjadi beberapa area yang lebih sempit. Selain habitat, istilah lainnya yang sering membingungkan ialah niche
(relung ekologi). Istilah ini sering diartikan sebagai kedudukan fungsional
suatu populasi dalam habitatnya atau menunjukkan kedudukan pada
parameter multidimensi atau peran dalam ekosistemnya. Sebagai
contohnya relung ekologi termal untuk spesies yang memiliki keterbatasan
hidup pada suhu tertentu; atau kedudukan suatu spesies sesuai dengan
rantai makanan (piramida makanan). Karena tidak ada organisme yang
hidup secara absolut pada satu faktor tertentu, maka istilah rentang atau
kisaran (range) lebih sering digunakan, misalnya hewan spesies A hidup
pada rentang suhu 10-25o
C.
2. Adaptasi dan Faktor Pembatas
Respon hewan terhadap perubahan faktor lingkungan dianggap
sebagai strategi hewan untuk beradaptasi dan untuk kelangsungan hidupnya. Setiap hewan akan menunjukkan strategi adaptasinya yang
merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup mereka. Lingkungan
berperan sebagai kekuatan untuk menyeleksi bagi populasi yang hidup di
dalamnya. Hanya populasi yang mampu beradaptasi, baik adaptasi
morfolofi, fisiologi, maupun perilaku, akan lestari; sedangkan yang tidak
mampu beradaptasi harus pindah ke lingkungan yang sesuai dengan
kebutuhannya atau jika tidak pindah, mereka akan mati. Faktor-faktor
lingkungan yang membatasi hidup organisme selanjutnya disebut sebagai
faktor pembatas, seperti suhu lingkungan, kadar garam, kelembaban, dan
sebagainya. Berdasarkan pengaruhnya terhadap kehidupan organisme,
faktor pembatas memiliki rentang, nilai minimum, nilai maksimum, dan
rentang optimum. Nilai minimum ialah nilai terendah suatu organisme
dapat hidup, di bawah nilai tersebut organisme akan mati. Nilai maksimum
ialah nilai tertinggi suatu faktor pembatas, di atas nilai tersebut, organisme
akan mati. Rentang optimum ialah rentang suatu nilai faktor pembatas
dimana organisme dapat hidup secara optimal dalam arti semua proses
fisiologi tubuhnya berjalan secara optimal sehingga organisme dapat
tumbuh dan berkembang secara optimal. Sebagai contohnya, spesies
hewan B memiliki rentang hidup pada suhu 10-250 C. Suhu 10o C merupakan
suhu minimum atau terendah spesies B masih dapat hidup. Suhu 250 C
merupakan suhu maksimum atau tertinggi spesies B masih dapat hidup.
Suhu optimal berada pada kisaran antara rentang 10-250 C, misalnya pada
rentang suhu 17-200 C.
Respon pertama kali organisme terhadap perubahan lingkungan ialah
ekofisiologi dan bisa sangat berbeda pada setiap jenis organisme. Pada
hewan berdarah dingin (poikiloterm), penurunan atau peningkatan suhu
udara akan diikuti dengan penurunan atau peningkatan laju metabolisme
tubuhnya. Sebaliknya pada hewan berdarah panas (homeoterm), penurunan suhu udara justru akan meningkatkan laju metabolisme tubuh
untuk mempertahankan suhu tubuh. Kendeigh (1969) menglasifikasikan
respon menjadi 5 macam, yaitu: semu (masking), letal (lethal), berarah
(directive), pengontrolan (controlling), dan defisien (deficient).
- Semu (masking): modifikasi pengaruh suatu faktor oleh faktor lainnya.
Sebagai contoh RH (relatif humidity atau kelembaban relatif) yang
rendah meningkatkan laju evaporasi permukaan tubuh, sehingga
hewan berdarah panas mampu bertahan pada iklim yang sangat
hangat.
- Letal (lethal): faktor lingkungan menyebabkan kematian, seperti
misalnya suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin.
- Berarah (directive): faktor lingkungan menyebabkan orientasi tertentu,
misalnya burung-burung di kutub utara bermigrasi ke arah selatan
pada saat musim dingin dan kembali ke utara pada saat musim semi
atau panas untuk berbiak.
- Pengontrolan (controlling): faktor tertentu dapat mempengaruhi laju
suatu proses fisiologi tanpa masuk ke reaksi. Sebagai contoh, suhu
lingkungan dapat berpengaruh besar terhadap metabolisme, sekresi,
dan lokomosi hewan.
- Defisien (deficient): defisiensi suatu faktor lingkungan pada habitat
tertentu dapat mempengaruhi aktivitas atau metabolisme hewan.
Sebagai contohnya jika oksigen ada atau tidak ada pada tekanan
rendah akan membatasi aktivitas hewan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, semua organisme hidup pada
rentang faktor-faktor lingkungan sehingga faktor tersebut merupakan
pembatas bagi kehidupan organisme. Satu organisme hanya dapat hidup
pada kisaran suhu yang sempit misalnya, sementara organisme lainnya
dapat hidup pada kisaran suhu yang lebih lebar. Di luar kisaran suhu tertentu, suatu organisme tidak dapat hidup atau hidup dengan fungsi
tubuh yang tidak optimal. Istilah lainnya untuk menyatakan rentang/kisaran
suatu faktor pembatas lingkungan ialah toleransi pada kisaran faktor
tertentu. Spesies yang memiliki toleransi sempit untuk suatu faktor
pembatas disebut spesies steno, sedangkan yang memiliki toleransi yang
lebar disebut spesies eury. Spesies steno sering digunakan sebagai spesies
indikator atau spesies penunjuk untuk kepentingan tertentu, misalnya
terdapatnya polutan tertentu dalam perairan, atau mutu suatu lingkungan
perairan.
Batas toleransi bawah dan atas merupakan titik atau tingkatan
intensitas suatu faktor lingkungan yang hanya 50% organisme bertahan
(LD50). Setiap spesies memiliki batas toleransi yang berbeda untuk suatu
faktor lingkungan, misalnya suhu dan penentuan titik batas ini tidaklah
mudah. Awalan steno berarti bahwa individu atau populasi suatu spesies
memiliki rentang atau kisaran toleransi yang sempit, sementara awalan
eury merujuk pada yang memiliki kisaran toleransi yang lebar. Oleh karena itu, istilah stenotermal atau eurytermal merujuk pada suhu sebagai faktor
lingkungan.
Tabel 2.1. Terminologi toleransi faktor pembatas
Stenotermal-Eurytermal Suhu
Stenohalin-Euryhalin Salinitas
Stenoesius-Euryesius Seleksi Habitat (Niche)
Stenohidrik-Euryhidrik Air
Stenofagik-Euryfagik Makanan
Stenobatik-Eurybatik Kedalaman Laut
Contoh faktor lingkungan, yaitu suhu dan hubungannya dengan
kisaran toleransi organisme diilustrasikan pada gambar di bawah ini.
sementara spesies eury memiliki kisaran toleransi yang luas
3. Sumber Daya bagi Kehidupan Hewan
Seluruh kebutuhan hidup atau sumber daya bagi hewan dipenuhi dari
lingkungannya. Lingkungan ialah seluruh unsur dan faktor yang berada di
luar tubuh hewan. Dalam konsep ekologi kita mengenal istilah habitat,
yaitu tempat tinggal makhluk hidup, area yang mendukung suatu
organisme untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal ini karena
habitat menyediakan seluruh sumber daya yang diperlukan organisme dalam mempenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sumber daya yang sangat
penting bagi organisme hewan yang disediakan oleh habitatnya antara lain
makanan, oksigen, tempat, dan air.
a. Makanan
Hewan memerlukan energi untuk mendukung seluruh proses
metabolisme tubuh maupun aktivitasnya seperti berpindah, mencari
makan, pencernaan, mempertahankan suhu badan, reproduksi,
pertumbuhan, dan kerja lainnya. Seperti dijelaskan di depan, berdasarkan
kemampuan organisme dalam menyusun atau menyintesis makanan,
organisme dibedakan menjadi 2, yaitu:
- Ototrof: organisme yang mampu mengunakan energi dari sinar matahari
dalam proses fotosintesis yang mereaksikan air dan karbon dioksida
menjadi gula sederhana (fotosintesis) atau menggunakan reaksi kimia
untuk energi dalam menyintesis makanan (kemosintesis). Fotosintesis
terjadi pada tumbuhan, sedangkan kemosintesis berlangsung pada
fungi.
- Heteroatrof: organisme yang tidak mempu menyintesis makanan sendiri
dari senyawa anorganik sehingga harus mengonsumsi organisme lain
untuk memenuhi kebutuhannya, sebagai contohnya ialah hewan.
Berdasarkan proporsi jenis makanannya, hewan diklasifikasikan
menjadi beberapa tipe, yatiu:
- Herbivora: hewan yang masuk kelompok ini ialah yang proporsi jenis
makanannya hampir seluruhnya tumbuhan. Sebagai hewan yang masuk
kelompok ini ialah kambing, domba, monyet daun, dan kelinci.
Berdasarkan bagian tubuh tumbuhan yang dimakan, hewan dibedakan
menjadi frugivora jika pemakan buah (kera, orangutan), foliovora jika
pemakan daun (Nasalis larvatus, monyet daun/leaf monkey Presbytis),
serta gummivora jika pemakan sap/gum (tamarin, marmoset). Karnivora/faunivora: hewan yang memakan hewan lain, yang biasanya
masuk ke dalam kelompok predator atau hewan pemangsa seperti
anjing, kucing, dan ular. Termasuk ke dalam kelompok ini ialah hewan
insektivira atau pemakan serangga (contohnya Tarsius spectrum).
- Omnivora: hewan yang memakan hewan dan tumbuhan dengan porsi
yang hampir sama. Contoh hewan kelompok ini misalnya monyet hitam
Sulawesi (Macaca nigra).
- Scavenger: hewan yang memakan bangkai, seperti burung pemakan
bangkai dan biawak.
Berdasarkan keragaman jenis makanannya, hewan juga
dikelompokkan menjadi generalis jika jenis makanannya sangat beragam
dan spesialis jika jenis makanannya sedikit. Termasuk ke dalam spesialis ini
ialah bekantan (Nasalis larvatus) yang jenis makanannya hanya beberapa
jenis tumbuhan mangrove saja.
Hewan memiliki adaptasi fisiologis dan perilaku menurut ketersediaan
makanannya. Jika makanan cukup, laju metabolisme tubuh dan aktivitas
hewan akan berada pada level normal, sementara jika sumber makanan
kurang, laju metabolisme dan laju aktivitas harian dapat ditekan. Satu
komponen lingkungan hewan, misalnya mutrien, yang ketersediaannya
hanya dalam jangka waktu yang singkat sehingga membatasi kemampuan
organisme untuk bereproduksi biasa disebut sebagai faktor pembatas
(limiting factor) lingkungan. Beberapa tipe dormansi atau respon metabolik
meliputi:
- Torpor: periode metabolisme dan suhu tubuh menurun selama siklus
aktivitas hariannya.
- Hibernasi: periode metabolisme dan suhu tubuh menurun yang
berlangsung beberapa minggu atau bulan.
- Tidur musim dingin: periode inaktivitas selama suhu tubuh tudak
menurun secara substansial dan hewan hewan dapat bangun dan
menjadi aktif secara cepat.
- Aestivasi: periode inaktivitas hewan yang harus bertahan selama musim
kering.
Karakteristik lingkungan (suhu, kelembaban, ketersediaan makanan,
dan sebagainya) sangat bervariasi pada waktu dan tempat yang berbeda
dan hewan beradaptasi pada satu kisaran nilai tertentu pada faktor-faktor
lingkungan tersebut. Seperti dijelaskan di depan, rentang atau kisaran
faktor-faktor lingkungan dimana hewan dapat beradaptasi disebut rentang
atau kisaran toleransi. Di dalam rentang toleransi tersebut terdapat kisaran
dimana hewan dapat tumbuh dan berkembang secara optima, dan kisaran
tersebut merupakan rentang atau kisaran optimal. Kadang-kadang respon
panjang dengan perubahan karaktersitik lingkungan, fisiologi hewan
mengatur untuk mengakomodasi perubahan karakteristik lingkungan
tersebut. Dalam jangka panjang, adaptasi hewan dapat menyebabkan
pergeseran kisaran toleransi yang biasa disebut dengan istilah aklimasi.
b. Oksigen
Oksigen digunakan oleh organisme untuk proses pernafasan yang
menghasilkan energi untuk aktivitas organisme maupun mempertahankan
faal tubuh. Walaupun ada organisme yang tidak memerlukan oksigen
dalam hidupnya (organisme anaerobik seperti pada beberapa jenis bakteri),
pada umumnya organisme bersifat aerobik atau memerlukan oksigen untuk
menghasilkan energi, termasuk hewan. Kadar oksigen atmosfer pada setiap
tempat bisa berbeda, misalnya di dataran tinggi lebih rendah kadar oksigen
atmosfernya dibandingkan dengan di dataran rendah. Hewan dapat beradaptasi pada dataran tinggi yang memiliki kadar oksigen atmosfer lebih
rendah secara fisiologis, misalnya dengan peningkatan kadar sel darah
merah (eritrosit).
c. Tempat
Tempat merupakan sumber daya yang sangat penting bagi hewan
sebagai lokasi untuk membangun sarang, istirahat, mencari makan,
berbiak, dan aktivitas harian lainnya. Hewan memilih lokasi untuk
beraktivitas harian dengan beberapa karakteristik. Faktor keamanan dan
daya dukung untuk tujuan hewan beraktivitas merupakan pertimbangan
penting dalam pemilihan lokasi.
Lokasi untuk sarang burung dipilih berdasarkan faktor keamanan
sehingga sulit dijangkau oleh predator. Tangkasi (Tarsius spectrum) juga
memilih lokasi sebagai tempat istirahat pada siang hari. Primata ini bersifat
nokturnal atau aktif pada malam dan pada siang hari beristirahat pada
suatu lokasi yang juga sering disebut satang. Sarangnya dapat berupa
lubang pada pohon beringin atau pohon lain yang batangnya berongga,
celah pada pelepah pohon aren, bagian bawah rumpun bambu, rumpun
pandan, anyaman liana, bahkan di dalam lubang lereng sungai dan di
bawah serasah hutan. Pemilihan lokasi sarang pada tangkasi ini terutama
faktor keamanan dan kenyamanan dalam arti terlindung dari sinar
matahari.
Aktivitas hewan meliputi mencari makan (foraging), makan (feeding),
istirahat (resting), berpindah tempat (traveling/locomotion/moving), dan
sosial (social). Keseluruhan aktivitas tersebut dilakukan pada lokasi yang
dipilih dengan pertimbangan tertentu. Pada monyet hitam Sulawesi
(Macaca nigra), pemilihan pohon tidur (sleeping site) sering di dekat pohon
yang sedang berbuah seperti Ficus spp. sehingga pada pagi hari mereka
lebih dekat untuk mencapai sumber pakan. Terdapat teori bagaimana hewan menerapkan suatu strategi dalam mendapatkan makanan secara
optimal. Dalam konsep ini, prinsip efisiensi menjadi pertimbangan dalam
menerapkan strategi mencari makanan. Bahkan menurut Saroyo dan Tallei
(2011), terpecahnya kelompok monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) juga
mengikuti prinsip ini.
Teori mencari makan optimal (optimal foraging theory) pertama kali
dirumuskan oleh R. H. MacArthur dan E. R. Pianka pada tahun 1966 yang
menyatakan bahwa seleksi alam mendukung hewan yang mampu
menerapkan strategi perilaku untuk memaksimalkan energi yang
dikeluarkan perunit waktu untuk mendapatkan makanan. Waktu tersebut
mencakup waktu untuk mencari mangsa dan untuk menangkap mangsa
(membunuh dan memakannya). Teori ini dirumuskan dalam rangka untuk
menjawab berbagai permasalahan yang sering dijumpai di alam, misalnya
burung predator yang memakan kura-kura akan membawa kura-kura yang
ditangkapnya yang kemudian menjatuhkannya di bebatuan. Pertanyaannya
ialah strategi yang mana yang akan dipilih oleh burung: membawa kura�kura pada ketinggian tertentu yang menyebabkan kura-kura hancur pada
saat dijatuhkan atau dijatuhkan berkali-kali dari ketinggian yang lebih
rendah. Contoh lainnya seperti yang dinyatakan oleh Saroyo Tallei (2011),
mana yang akan dipilih oleh kelompok monyet hitam Sulawesi (Macaca
niga): kelompok besar tapi tidak efisien atau kelompok lebih kecil tapi
efisien, walaupun ada variabel lain dalam mempertahankan ukuran
kelompok ini, yaitu kemampuan berkompetisi dengan kelompok lain.
Semakin besar ukuran kelompok relatif semakin dominan terhadap
kelompok lain yang lebih kecil ukurannya.
d. Air
Organisme, termasuk hewan, tidak mungkin terlepas dari air. Air
merupakan komponen terbesar (sekitar 95%) sel tubuh. Bagi hewan akuatik, air merupakan lingkungannya, sehingga daratan merupakan barier
atau penghalang fisiologis, ekologis, dan fisik. Oleh karena itu bagi hewan
akuatik, lingkungan perairan merupakan habitat hidupnya. Bagi hewan
darat, air tetap menjadi sumber daya yang sangat vital untuk
melangsungkan seluruh reaksi metabolisme tubuhnya. Kebutuhan akan air
bagi hewan darat dipenuhi dengan minum.
4. Adaptasi Hewan
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hewan akan beradaptasi
terhadap perubahan faktor lingkungannya dengan cara memodifikasi
morfologi (termasuk anatomi), fisiologi tubuhnya, maupun perilakunya.
Modifikasi ini akan merubah rentang/kisaran faktor lingkungan yang
berubah tersebut. Modifikasi ini bisa secara cepat atau lambat bergantung
pada modifikasinya. Modifikasi morfologi jauh lebih lambat dibandingkan
dengan modifikasi fisiologi dan perilaku, bahkan didapat melalui proses
evolusi yang memerlukan waktu jutaan tahun.
a. Adaptasi Morfologi
Adaptasi morfologi ialah penyesuaian diri hewan terhadap perubahan
faktor lingkungan dengan cara memodifiksi struktur dan bentuk atau
bahkan warna bagian tubuh luar (morfologi luar) dan bagian dalam
(morfologi dalam atau anatomi). Adaptasi ini muncul sebagai respon
evolusioner hewan untuk tetap mampu bertahan dan bereproduksi.
Beberapa contoh adaptasi morfologi disajikan pada bahasan berikut ini.
1) Modifikasi alat gerak (ekstremitas)
Alat gerak hewan, mengalami modifiksi bentuk sesuai fungsinya.
Sebagai contoh: tungkai pada kelelawar berubah bentuk menjadi
bentuk parasut sesuai dengan fungsinya untuk terbang; tungkai ular
mengalami kemunduran (rudimenter) untuk fungsi merayap, tungkai
pada paus, lumba-lumba, duyung berubah bentuk menjadi model
dayung untuk berenang, tungkai cicak terbang mengalami modifikasi
untuk fungsi melayang.
2) Modifikasi bentuk dan ukuran paruh burung
Bentuk dan ukuran paruh burung menggambarkan bentuk adaptasinya
terhadap jenis makanannya. Sebagai contoh model paruh tebal
bengkok dengan ujung runcing pada kakatua diadaptasikan untuk
fungsi mencongkel buah, paruh tebal dan sangat runcing tajam
menggambarkan fungsinya sebagai pemakan daging (pada burung
predaror), paruh kecil pendek pada burung-burung pemakan biji,
paruh dengan bentuk panjang runcing pada burung pemakan nektar,
paruh berbentuk meruncing dengan panjang sedang pada paruh
burung pemakan serangga, paruh burung berbentuk melebar pada itik
berfungsi untuk mencari makan pada perairan atau rawa, paruh
burung berbentuk runcing sangat panjang seperti burung egret
berperan untuk mencari mangsa di perairan atau di dalam lumpur.
3) Modifikasi struktur organ pencernaan makanan
Pada hewan karnivora, saluran pencernaan lebih sederhana
dibandingkan dengan pada hewan memamah biak (ruminansia).
Lambung karnivora lebih sederhana dan sekum mengalami
rudimenter. Pada ruminansia lambungnya kompleks yang terdiri dari
rumen, retikulum, omasum, dan abomasum sesuai dengan fungsinya
untuk mencerna rerumputan yang mengandung banyak selulosa.
Sekum pada ruminansia sangat berkembang untuk fermentasi dan
pembusukan karena terdapatnya bakteri-bakteri di dalamnya untuk
peran fermentasi dan pembusukan.
4) Modifikasi bentuk gigi Bentuk gigi pada hewan juga mengalami modifikasi sesuai dengan
fungsinya. Pada ular berbisa (kobra atau viper), sepasang taring
mengalami modifikasi menjadi bentuk jarum suntik (solenoglifa) untuk
memasukkan atau menyemprotkan bisa ke mangsanya. Pada ular
sanca (Python reticulatus) susunan gigi aglifa tersususn berderet
dengan arah ujung gigi menghadap ke belakang (saluran pencernaan)
untuk paran menangkap dan memegang mangsa agar tidak terlepas.
Pada herbivora, gigi seri di depan berfungsi untuk memotong
tumbuhan, sedangkan geraham berperan dalam mengunyah termasuk
juga untuk mengunyah pada saat memamah biak.
5) Modifikasi struktur kaki pada burung
Morfologi kaki burung dapat menjadi contoh yang baik untuk
menjelaskan bentuk modifikasi morfologi menurut fungsinya. Kaki
pada ayam diadaptasikan untuk fungsi mengais, kaki maleo
diadaptasikan untuk menggali tanah, kaki burung predator (misalnya
elang dan burung hantu) dengan struktur kokoh dan cakar yang tajam
untuk menangkap dan membunuh mangsa, kaki angsa mengalami
modifikasi dengan tumbuhnya selaput renang untuk berenang.
6) Corak warna kulit dan bulu/rambut
Warna kulit singa (Felis leo), cheetah (Acinonyx jubatus) diadaptasikan
untuk warna latar belakang pada habitatnya sehingga tersamar dari
pandangan mangsa. Burung-burung malam memiliki warna bulu yang
suram atau tidak menyolok sebagai bentuk penyamaran.
7) Adaptasi morfologi terhadap kehidupan di air secara baik ditunjukkan
oleh bentuk tubuh ikan. Bentuk yang pipih atau ramping memudahkan
ikan untuk berenang secara cepat sehingga selain digunakan sebagai
bentuk adaptasi juga bermanfaat dalam perilaku mencari makan dan
menghindari predator. 8) Untuk beradaptasi dengan kehidupannya di gurun yang panas dan
kering, tubuh unta beradaptasi secara morfologi, antara lain memiliki
punuk yang berfungsi untuk menyimpan cadangan air, serta bantalan
pada kaki untuk menghindari suhu panas pasir merusak sel kakinya.
9) Beruang kutub dan hewan-hewan kutub lainnya memiliki warna kulit,
rambut, atau bulu yang putih sebagai bentuk pertahanan diri karena
tersamar dengan lingkungannya serta berperan penting dalam
mencari makanan.
10) Belut dan sidat memiliki bentuk tubuh yang gilig dengan sisik yang
sangat halus dilengkapi dengan lendir untuk beradaptasi dengan
lingkungan perairan serta memudahkan memasuki lubang atau sela�sela batuan.
11) Ular kepala dua (Cylindrophis melanotus) memiliki morfologi ekor yang
mirip dengan kepalanya. Secara perilaku, ular dengan ekor mirip
kepala ini akan melipat ekor ke atas pada saat merasa terancam.
Predator biasanya akan menyerang ekor yang mirip kepala ini sehingga
ada kesempatan untuk menghindari serangan mematikan di kepala. b. Adaptasi Fisiologi
Modifikasi fisiologi dilakukan sebagai respon segera terhadap
perubahan faktor lingkungan. Modifikasi fisiologi ini lebih cepat dilakukan
dibandingkan dengan adaptasi morfologi. Beberapa contoh adaptasi
morlofogi disajikan pada bahasan berikut ini.
1) Perubahan kadar sel darah merah karena perubahan ketinggian tempat
Kadar oksigen atmosfer di dataran tinggi lebih rendah dibandingkan
dengan di dataran rendah, sehingga jika hewan tidak mampu
beradaptasi mereka akan mengalami gangguan fisiologis akibat
kekurangan oksigen. Beruntungnya hewan memiliki kemampuan
beradaptasi secara fisiologi terhadap penurunan kadar oksigen ini
dengan meningkatkan kadar sel darah merah (eritrosit) di dalam
darahnya. Sel darah merah mengandung hemoglobin yang berperan
dalam pengangkutan terutama oksigen.2) Secara fisiologi hewan ruminansia memodifikasi bentuk lambungnya
menjadi lambung kompleks yang pada rumen terdapat mikroorganisme
penghasil selulase, enzim yang penting dalam pemecahan selulosa,
kandungan utama tubuh tumbuhan.
3) Hewan-hewan penghisap darah seperti lintah, pacet, dan nyamuk
menghasilkan zat antikoagulasi darah (contohnya heparin) sehingga
tempat mereka menempek atau menghisap darah tidak terjadi
pembekuan darah.
4) Pada primata dengan sistem sosial satu jantan (one male), misalnya
pada langur Hanuman (Semnopithecus entellus), yang tersebar di India
dan Bangladesh terdapat adaptasi fisiologi yang unik pada betinanya.
Jika terjadi pengambilalihan posisi jantan paling kuat (jantan-α)
seringkali jantan baru akan membunuh bayi-bayi (infantisida) pada
kelompok tersebut. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa hal itu
dilakukan agar induk bayi segera memasuki estrus sehingga jantan baru
dapat segera kawin. Betina memiliki mekanisme “tipuan” sebagai
strategi menyelamatkan bayinya. Betina secara fisiologi mengalami
estrus shum (semu) sehingga betina tersebut seakan-akan sedang estrus
sehingga jantan dapat mengawininya.
5) Ikan mujair yang hidup di perairan gelap memiliki warna tubuh yang
lebih gelap dibandingkan dengan yang hidup di perairan jernih.
c. Adaptasi Perilaku
Bentuk adaptasi yang ketiga ialah adaptasi perilaku yang dapat
dilakukan hewan secara segera, jauh lebih cepat daripada adaptasi fisiologi
dan adaptasi morfologi. Adaptasi ini merupakan respon yang pertama kali
ditunjukkan oleh hewan sebagai respon terhadap perubahan faktor
lingkungan. Beberapa contoh adaptasi perilaku disajikan sebagai berikut ini. 1) Monyet Jepang (Macaca fuscata) di Jigokudani Monkey Park, bagian
dari Joshinetsu Kogen National Park, Nagano, Jepang, memiliki perilaku
yang unik. Hujan salju lebat dan menyelimuti area tersebut selama 4
bulan setiap tahunnya pada elevasi 850 m dpl. Satu populasi monyet
yang besar akan mendatangi satu lembah pada musim dingin, dan
mencari makan makan di tempat lain pada musim-musim panas.
Monyet akan turun dari lereng-lereng dan hutan untuk duduk berendam
dalam kolam-kolam air hangat dan kembali ke hutan pada sore hari.
Tetapi, setelah monyet diberi makan oleh pemgunjung taman, mereka
sering mengunjungi kolam air panas tersebut sepanjang tahun untuk
mendapatkan makanan dari pengunjung.
2) Pada monyet Jepang (Macaca fuscata) di Pulau Koshima memiliki
adaptasi perilaku dengan mencuci ubi (sweet potato) dengan air laut
sebelum memakannya. Perilaku ini pertama kali diamati pada tahun
1952, dan hanya dilakukan oleh beberapa individu. Pada akhirnya
perilaku ini ditiru dan menyebar ke monyet-monyet muda.
3) Hamadryas Baboon (Papio hamadryas) di Ethiopia yang hidup di savana
dengan sedikit pohon, akan tidur di lereng-lereng batu yang curam
untuk menghindari predator pada malam hari.
4) Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) lebih sering tidur di ujung-ujung
dahan dengan alasan agar mudah bangun jika ada predator (misalnya
ular sanca) yang merayap pada dahan tersebut.
5) Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di daerah Pusuk Lombok
lebih sering berkumpul di pinggir jalan untuk mendapatkan makanan
dari pengguna jalan.
Terdapat banyak definisi tentang ekosistem. Salah satu definisi,
ekosistem adalah sistem alami yang terdiri dari tumbuhan, hewan, dan
mikroorganisme (faktor biotik) pada suatu area yang bersama-sama dengan
faktor kimia-fisik. Istilah ekosistem pertama dikenalkan pada tahun 1930
oleh Roy Clapham, untuk menjelaskan komponen fisik dan biologis suatu
lingkungan yang saling berhubungan satu sama lain. Ahli ekologi Inggris
Arthur Tansley berikutnya memperbaiki definisi ekosistem sebagai sistem
interaktif di antara “biocoenosis” (kumpulan makhluk hidup) dan biotipe
(lingkungan dimana mereka hidup). Konsep sentral ekosistem ialah ide
bahwa organisme hidup menggunakan secara terus menerus segala elemen
lain di dalam lingkungannya tempat mereka hidup. Ekosistem dapat dikaji
melalui berbagai sudut, dan mendeskripsikan setiap situasi yang meliputi
hubungan antara organisme dan lingkungannya.
Istilah ekosistem (singkatan dari sistem ekologis) pada umumnya
difahami sebagai kumpulan keseluruhan organisme (tumbuhan, hewan,
makhluk hidup lainnya) yang hidup bersama-sama dalam satu lokasi
tertentu dengan lingkungannya (atau biotipe), berfungsi sebagai suatu unit
yang longgar. Secara bersama-sama, komponen-komponen ini dan
interaksinya satu sama lain membentuk satu kesatuan baru yang dinamis
dan kompleks, berfungsi sebagai suatu unit ekologis.
Tidak ada batasan konseptual seberapa besar atau kecil area dalam
definisi ekosistem, serta seberapa jumlah individu organisme yang harus
ada dalam ekosistem. Pada awalnya, konsep ekosistem sebagai unit
struktural dan fungsional dalam keseimbangan energi dan aliran materi
elemen penyusunnya. Beberapa ahli menyatakan bahwa konsep seperti itu
sangat terbatas untuk kemajuan atau perkembangan teknologi pada saat ini sehingga pandangan terkini juga menyangkut istilah “cybernetics”,
sistem yang diatur perpaduan antara sains dan “cybernetics”, yang secara
khusus diaplikasikan untuk kumpulan organisme dan komponen-komponen
abiotik yang relevan. Cabang ekologi yang berkenaan dengan hal tersebut
dikenal sebagai ekologi sistem.
1. Aliran Energi dalam Ekosistem
Ekosistem mempertahankan keseimbangannya melalui siklus energi
dan nutrien (materi) yang didapatkan dari sumber daya eksternal.
Pada tingkatan trofik primer (tumbuhan, algae, beberapa bakteri),
mereka menggunakan energi matahari dan menghasilkan material organik
melalui fotosintesis. Herbivora atau hewan pemakan tumbuhan, menyusun
tingkatan trofik kedua. Predator yang memakan herbivora menempati
tingkatan trofik ketiga. Jika oranisme pemakan predator tersebut ada,
mereka mewakili tingkatan trofik yang lebih tinggi. Organisme yang
memakan beberapa tingkatan trofik (misalnya beruang yang memakan
buah beri dan ikan salmon) diklasifikasikan pada tingkatan yang lebih tinggi.
Dekomposer yang meliputi bakteri, fungi, cacing, insekta memecah sampah
dan organisme mati serta mengembalikan nutrien ke tanah. Sekitar 10
persen produksi energi bersih pada satu tingkatan trofik berpindah ke trofik
berikutnya. Proses yang menurunkan energi yang dipindahkan ke tingkatan
trofik berikutnya meliputi respirasi, pertumbuhan, reproduksi, defekasi,
kematian non predatori (organisme yang mati bukan karena dimakan
organisme lain). Kualitas nutrisi material yang dikonsumsi juga dipengaruhi
bagaimana energi secara efisien dipindahkan, karena konsumer dapat
mengonversi sumber makanan berkualitas tinggi ke jaringan makhluk hidup
baru secara lebih efisien daripada sumber makanan berkualitas rendah.
Laju perpindahan energi secara rendah di antara tingkatan trofik membuat
dekomposer secara umum lebih penting daripada produser dalam aliran
energi. Dekomposer memroses sejumlah besar materi organik dan
mengembalikan nutrien ke ekosistem dalam bentuk inorganik, yang
kemudian diambil lagi oleh produser primer. Energi tidak mengalami siklus
selama dekomposisi, tetapi dilepaskan sebagai panas. Produktivitas primer kasar suatu ekosistem (gross primary
productivity) adalah jumlah total material organik yang diproduksi melalui
fotosintesis. Produktivitas primer bersih (net primary productivity)
menunjukkan jumlah energi yang tetap tersedia untuk pertumbuhan
tumbuhan setelah dikurangi fraksi yang digunakan tumbuhan untuk
respirasi. Produktivitas ekosistem darat pada umumnya naik sampai temperatur
sekitar 30°C sesudah menurun, dan secara positif berkorelasi dengan
kelembaban. Produktivitas primer darat yang paling tinggi berada pada
zona hangat lembab tropis, terutama pada hutan hujan tropis. Sebaliknya,
ekosistem semak gurun memiliki produktivitas paling rendah disebabkan
iklimnya yang sangat ekstrim panas dan kering. Di lautan, cahaya dan nutrien memegang peranan penting dalam
mengontrol produktivitasnya sehingga keduanya merupakan faktor
pengontrol utama. Cahaya matahari hanya menembus pada bagian atas
samudera saja sehingga fotosintesis hanya terjadi pada lapisan yang
ditembus cahaya. Produktivitas primer di lautan paling tinggi berada pada
area dekat garis pantai dan area lain tempat terjadinya pembalikan arus
(upwelling) yang membawa nutrien ke permukaan, menyebabkan ledakan
pertumbuhan plankton. Aliran dari darat seperti estuari juga merupakan
sumber aliran nutrien. Terumbu karang memiliki produksi primer bersih
paling tinggi, sedangkan laju terendah terjadi pada area terbuka karena
hilangnya nutrien pada lapisan permukaan yang terdedah cahaya. Berapa banyak tingkatan trofik yang dapat didukung oleh suatu
ekosistem? Jawaban terhadap pertanyaan ini bergantung pada beberapa
faktor, yang meliputi jumlah energi yang masuk ke dalam ekosistem, energi
yang hilang di antara tingkatan trofik, serta bentuk, struktur, dan fisiologi
organisme pada setiap tingkatan trofik. Pada tingkat trofik tinggi, predator
pada umumnya berukuran besar secara fisik dan memiliki kemampuan
untuk menggunakan fraksi energi yang dihasilkan oleh tingkatan di
bawahnya, sehingga hewan ini harus mencari makanan pada luasan area
yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan kalori mereka. Karena faktor
kehilangan energi tersebut, pada umumnya ekosistem terestrial jarang
memiliki lebih dari lima tingkatan trofik. Sementara itu, untuk ekosistem
lautan pada umumnya memiliki tidak lebih dari tujuh tingkatan trofik.
Perbedan jumlah tingkatan trofik antara ekosistem terestrial dan lautan ini disebabkan perbedaan karakteristik fundamental antara organisme utama
darat dan laut. Pada ekosistem lautan, fitoplankton mikroskopik
melaksanakan hampir semua aktivitas fotosintesis, sementara tumbuhan
melaksanakan proses fotosintesis di daratan. Fitoplankton merupakan
organisme berukuran kecil dengan struktur yang sangat sederhana,
sehingga sebagian besar produksi primernya dikonsumsi dan digunakan
untuk energi organisme herbivora. Sebaliknya, porsi besar biomasa yang
diproduksi tumbuhan darat, seperti akar, batang, dan cabang tidak dapat
digunakan oleh herbivora sebagai makanan sehingga secara proporsional
hanya sedikit energi yang berpindah dari tumbuhan ke herbivora tersebut.
Angka (laju) pertumbuhan juga berpengaruh terhadap hal tersebut.
Fitoplankton secara ekstrim berukuran kecil tetapi memiliki laju
pertumbuhan yang sangat cepat sehingga mereka dapat mendukung
populasi herbivora yang besar walaupun pada satu saat hanya terdapat
populasi kecil fitoplankton dan populasi besar herbivora. Hal sebaliknya,
tumbuhan darat memerlukan waktu bertahun-tahun untuk mencapai
kedewasaan, sehingga rata-rata atom karbon yang dikeluarkan lebih lama
pada tingkatan produser pada ekosistem darat dibandingkan dengan
produser pada ekosistem lautan. Sebagai tambahan, energi untuk
perpindahan organisme terestrial pada umumnya lebih tinggi daripada
hewan akuatik.
2. Siklus Biogeokimia dalam Ekosistem
Air dan bahan-bahan kimia lainnya berpindah dari satu tempat ke
tempat lain, dari satu organisme ke organisme lain, dan dari satu bentuk ke
bentuk lainnya membentuk suatu siklus yang kadang-kadang tidak
sederhana bersama-sama dengan energi yang menyertainya dalam suatu
ekosistem. Sekitar sepuluh jenis nutrien utama dan enam nutrien “trace”
dibutuhkan oleh seluruh hewan dan tumbuhan, sementara lainnya
memainkan peranan penting untuk spesies-spesies tertentu. Siklus bahan
kimia yang melibatkan organisme dan geologi disebut siklus biogeokimia.
Siklus biogeokimia yang paling penting yang mempengaruhi kesehatan
ekosistem adalah air, karbon, nitrogen, dan fosfor.
Sebagian besar permukaan Bumi ditutup oleh air, terutama lautan.
Hampir seluruh air di Bumi ini tertampung di lautan (sekitar 97 persen) atau
dalam bentuk es dan glasier (sekitar 2 persen), dan lainnya berada sebagai
air tanah, danau, sungai, rawa, tanah, dan atmosfer. Sebagai tambahan, air
berpindah sangat cepat pada ekosistem darat. Waktu tinggal (keberadaan)
air pada ekosistem darat sangatlah singkat, rata-rata satu atau dua bulan
sebagai air pada tanah, minggu atau bulan dalam air dalam tanah (sungai di
tanah), enam bulanan sebagai lapisan salju. Ekosistem darat memroses air:
hampir dua pertiga air yang jatuh di tanah sebagai hujan tahunan
dikembalikan ke atmosfer oleh tumbuhan dalam proses transpirasi, sisanya
dilepaskan ke sungai dan akhirnya sampai di laut. Karena siklus air tersebut
merupakan proses yang sangat penting dalam fungsi suatu ekosistem darat,
maka perubahan yang mempengaruhi siklus hidrologi akan memiliki
pengaruh yang signifikan pada ekosistem darat.
Kedua ekosistem, darat dan lautan, penting sebagai tempat
penimbunan karbon yang digunakan oleh tumbuhan dan algae selama
proses fotosintesis dan disimpan sebagai jaringan tubuh. Tabel di bawah
menunjukkan perbandingan kuantitas karbon yang disimpan dalam
tempat-tempat penyimpanan utama di Bumi
Siklus karbon relatif cepat melalui ekosistem darat dan lautan, tetapi
dapat tersimpan lama di dalam kedalaman lautan atau dalam sedimen
selama ribuan tahun. Rata-rata umur simpan suatu molekul karbon dalam
ekosistem darat sekitar 17,5 tahun, walaupun variasinya sangat lebar
bergantung pada tipe ekosistemnya. Karbon dapat tersimpan dalam hutan
dewasa sampai ratusan tahun, tetapi waktu penyimpanan dapat singkat
pada ekosistem jika tanah dan tumbuhannya cepat berganti-ganti dalam
beberapa bulan saja.
Aktivitas manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil,
melepaskannya (emisi) karbon per tahun dengan jumlah yang signifikan.
Pada saat ini, aktivitas manusia dapat menghasilkan 7 miliar ton karbon per
tahun, 3 ton-nya tetap tersimpan dalam atmosfer. Keseimbangan secara
kasar tercapai dengan proporsi yang sama antara ekosistem lautan dan
darat. Sampai sekarang masih belum difahami sepenuhnya mekanisme apa
yang bertanggung jawab untuk absorpsi karbon secara besar oleh
ekosistem darat.
Nitrogen dan fosfor merupakan dua mineral esensial untuk seluruh
tipe ekosistem dan sering membatasi pertumbuhan jika tidak tersedia
secara cukup.
Versi yang diperluas tentang persamaan fotosintesis menunjukkan
bagaimana tumbuhan menggunakan energi dari matahari untuk menyusun
nutrien dan karbon menjadi senyawa organik ialah sebagai berikut:
CO2 + PO4 (fosfat) + NO3 (nitrat) + H2O �CH2O, P, N (jaringan organik) + O2
Nitrogen atmosfer (N2) tidak dapat diambil dan digunakan secara langsung
oleh kebanyakan organisme Mikroorganisme yang mengonversinya
menjadi bentuk nitrogen yang bisa digunakan memainkan peran penting
dalam siklus nitrogen. Organisme ini ialah bakteri dan algae pemfiksasi
nitrogen, merubah amonia (NH4) di tanah dan permukaan air menjadi nitrit (NO2) dan nitrat (NO3), yang dapat diserap oleh tumbuhan. Beberapa
bakteri ini hidup mutualisme dengan akar tumbuhan, terutama legum
(kacang-kacangan). Pada akhir siklus, dekomposer akan memecah
organisme mati dan sampah organik, mengubah bahan organik menjadi
bahan inorganik. Bakteri lainnya melakukan denitrifikasi, memecah nitrat
dan mengembalikan gas nitrogen ke atmosfer. Aktivitas manusia yang
meliputi penggunaan bahan bakar fosil, penanaman tumbuhan pemfiksasi
nitrogen, dan peningkatan penggunaan pupuk nitrogen, merubah siklus
nitrogen alami. Proses tersebut telah menambah jumlah nitrogen yang
difiksasi oleh tumbuhan terestrial setiap tahunnya, bahkan oleh algae jika
pemupukan nitrogen menyebabkan terjadinya nitrogen terlarut sehingga
menyuburkan perairan. Dengan kata lain, pemasukan antropogenik
menyebabkan peningkatan dua kali terhadap fiksasi nitrogen pada
ekosistem darat. Efek utama ekstranitrogen ini ialah peningkatan
kesuburan ekosistem perairan.
Ledakan populasi algae dan tumbuhan air lainnya menyebabkan
turunnya kadar oksigen perairan sehingga mengganggu pernafasan hewan�hewan air. Kematian organisme dan dekomposisi yang cepat berakibat
pada pendangkalan perairan. Danau alami akan berkembang menjadi
danau oligotrofi, yaitu fase perubahan danau menjadi ekosistem darat.
Fosfor, nutrien tumbuhan utama lainnya, tidak mengalami fase gas
seperti karbon atau nitrogen. Sebagai akibatnya, fosfor mengalami siklus
secara perlahan melalui biosfer. Sebagian besar fosfor di tanah berada
dalam bentuk yang tidak dapat digunakan secara langsung oleh organisme,
sebagaimana kalsium dan besi fosfat. Bentuk yang tidak bisa langsung
digunakan (terutama ortofosfat, atau PO4) dihasilkan melalui dekomposisi
bahan organik, dengan sedikit manfaat atau peranan dari pelapukan
batuan. Jumlah fosfat yang tersedia untuk tumbuhan bergantung pada pH
tanah. Pada pH randah, fosfor berikatan secara kuat dengan partikel
lempung dan diubah menjadi bentuk yang relatif terlarut yang
mengandung besi dan aluminum. Pada pH tinggi, fosfor hilang menjadi
bentuk yang tidak terjangkau. Sebagai hasilnya, konsentrasi fosfat tersedia
jika pH tanah di antara 6 dan 7. Oleh karena itu, pH tanah merupakan
faktor penting yang mempengaruhi kesuburan tanah. Fosfor yang
berlebihan dapat juga berperan untuk overfertilisasi dan eutrofikasi sungai
dan danau. Aktivitas manusia telah meningkatkan konsentrasi fosfor pada
ekosistem alami seperti penggunaan pupuk, membuangnya dari tempat
pengolahan limbah, dan penggunaan fosfor dalam deterjen.
3. Regulasi Fungsi Ekosistem
Satu pertanyaan kunci untuk ahli ekologi yang mempelajari
pertumbuhan dan produktivitas ekosistem ialah faktor-faktor apa saja yang
membatasi aktivitas ekosistem. Ketersediaan sumber daya seperti cahaya,
air, dan nutrien, merupakan kunci pengontrolan pertumbuhan dan
reproduksi. Beberapa nutrien digunakan dalam rasio yang tertentu. sebagai
contoh, rasio nitrogen terhadap fosfor dalam jaringan organik algae sekitar
16 : 1, sehingga jika konsentrasi nitrogen yang tersedia lebih besar daripada
16 kali konsentrasi fosfor, kemudian fosfor akan menjadi faktor yang
membatasi pertumbuhan. Sebaliknya jika lebih rendah maka nitrogen akan
menjadi pembatasnya. Untuk memahami bagaimana fungsi suatu
ekosistem tertentu, sangat penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor
pembatas apa saja untuk aktivitas ekosistem. Sumber daya yang