Tampilkan postingan dengan label waria 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label waria 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 10 Januari 2024

waria 1

 

 
Penghormatan hak-hak manusia (human rights) tampaknya 
sudah diterima sebagai bagian dari pikiran bangsa negara kita . Banyak 
kalangan warga  menjalankan berbagai aktivitas yang berkaitan 
dengan isu hak-hak manusia seperti diskusi, seminar, lokakarya, 
pelatihan, demonstrasi menuntut hak dan mengajukan gugatan 
pelanggaran hak-hak manusia (human rights violation) serta 
merekomendasikan perbaikan kondisi hak-hak manusia. 
Negara Republik negara kita  (RI) juga sudah menjadi salah satu 
dari Negara-negara peserta (state parties) sebab  sudah 
menandatangani dan meratifikasi sebagian perjanjian internasional 
hak-hak manusia (international human rights treaties) yang utama 
sebagai bagian dari hukum dan kebijakan nasionalnya. Dengan 
demikian, RI terikat secara hukum dan kebijakan dalam menunaikan 
kewajiban (obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to 
protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak manusia. Satu kewajiban 
tambahan yaitu  mempromosikan (to promote) hak-hak manusia 
supaya   dapat diketahui oleh publik.  
Selain itu, di pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang 
Hak Asasi Manusia disebutkan secara rinci mengenai penghormatan 
pada  hak-hak manusia. Bahkan, RI berusaha mengakomodasi 
kebutuhan keadilan bagi korban yang menderita sebab  suatu 
kejahatan serius (serious crime)–kejahatan pada  kemanusiaan 
(crimes against humanity) dan genosida (genocide)–melalui UU No. 
26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.  
Sejak RI berdiri sebagai negara konstitusional, hak-hak manusia 
sudah diakomodasi dalam Pasal 28 UUD 1945. Lebih lengkap lagi 
yaitu  Konstitusi RIS dan UUD 1950. namun  aturan tentang hak-hak 
manusia mengalami kemunduran sesudah dekrit presiden yang 
mengembalikan UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Terlebih lagi saat  Orde 
Baru berdiri dan beroperasi sejak akhir 1965 dengan kepemimpinan 
kekuasaan  otoriter yang memang berwatak menindas hak-hak manusia.  
Kendati demikian, tetap tumbuh usaha  memperjuangkan hak-
hak manusia dari kalangan warga  di hadapan kekuasaan  Orde Baru. 
Pada 1966, berdiri sebuah organisasi di Jakarta bernama Lembaga 
Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Pada 1970, juga muncul 
tuntutan dari kalangan mahasiswa di Bandung yang menyuarakan 
hak-hak sipil. Dalam hak-hak manusia yang lebih khusus, muncul 
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 1970 yang mengalami 
perkembangan di bawah Yayasan LBH negara kita  (YLBHI). Belakangan 
hadir pula beberapa organisasi seperti Perhimpunan Bantuan Hukum 
dan Hak Asasi Manusia negara kita  (PBHI) pada 1996, Komisi Orang 
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 1998 dan 
Imparsial (The negara kita n Human Rights Monitor) pada 2002.  
Perjuangan hak-hak manusia di berbagai daerah juga ditandai 
dengan kemunculan beberapa  organisasi atau lembaga yang berkaitan 
dengan advokasi hak-hak manusia. Dan pada 10 Desember setiap 
tahunnya, dirayakan sebagai hari hak-hak manusia melalui kegiatan 
kampanye, pawai, atau demonstrasi turun ke jalan oleh berbagai 
kalangan warga  baik di Jakarta maupun di daerah. Media 
sosialisasi tentang isu hak-hak manusia pun dapat diakses melalui 
situs internet dari banyak organisasi atau banyak lembaga. 
kekuasaan  Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tak bisa 
sepenuhnya dapat membendung perkembangan wacana hak-hak  
manusia. Berbagai masalah  pelanggaran hak-hak manusia seperti di 
Aceh, Talangsari (Lampung), dan Timor Leste tidak hanya menjadi 
perhatian dari kalangan organisasi hak-hak manusia di dalam negeri, 
melainkan juga di tingkat internasional.  
Untuk mengakomodasi tekanan ini, kekuasaan  Soeharto 
mengeluarkan keputusannya membentuk Komisi Nasional Hak Asasi 
Manusia (Komnas HAM) pada 1992. Di bawah kekuasaan  Soeharto juga 
telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional hak-hak manusia, 
seperti CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi 
pada  wanita ) dan CRC (Konvensi Hak Anak). 
Seiring tumbangnya kekuasaan  Soeharto, pada masa Presiden RI 
Burhanuddin Jusuf Habibie dikeluarkan dan diberlakukan UU HAM 
sejak 1999 serta ratifikasi CAT (Konvensi Melawan Penyiksaan) dan 
CERD (Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial).  Sementara yang 
berkaitan dengan kekerasan pada  wanita  (violence against 
women), dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan pada  
wanita  (Komnas wanita ) sesudah  kerusuhan Mei 1998. Pada 
masa Presiden Abdurahman Wahid, dibentuklah satu kementerian 
negara yaitu menteri negara hak asasi manusia. Untuk mencegah 
halangan atas kebebasan pers, dibubarkanlah Departemen 
Penerangan. Presiden Abdurahman Wahid juga memisahkan fungsi 
dan tugas TNI dan Polri, termasuk membubarkan Bakorstanas serta 
mekanisme Litsus. Dengan amandemen UUD 1945, kekuasaan 
kehakiman dipisahkan secara tegas dengan kekuasaan pemerintah, 
sehingga departemen kehakiman berganti nama menjadi Departemen 
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Dan pada masa 
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diratifikasi dua kovenan untuk 
melengkapi empat perjanjian internasional yang sudah diratifikasi, 
yaitu ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)  
dan ICSECR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, 
dan Budaya). 
Wacana hak-hak manusia terus meluas dengan ratusan judul 
buku diterbitkan atau dipublikasikan dan beredar di mana-mana. 
Begitu pula media massa, banyak mengelola program khusus tentang 
hak-hak manusia, termasuk pengelolaan situs internet oleh banyak 
organisasi atau lembaga yang berhubungan dengan isu hak-hak 
manusia. Berbagai diskusi, seminar, pawai, dan unjuk rasa 
memperjuangkan pelaksanaan kewajiban negara atas hak-hak 
manusia juga marak. Pendek kata, wacana hak-hak manusia sudah 
menyebar di tengah-tengah warga .  
Pertanyaannya, mengapa tetap saja terjadi pelanggaran atau 
pengingkaran hak-hak manusia? Banyak peristiwa pelanggaran serius 
hak-hak manusia seperti banyak berlangsung di markas-markas 
kepolisian, dan secara lokal di Aceh, Poso, dan Papua. Pelanggaran 
serius ini termasuk diberlakukannya hukuman cambuk dan hukuman 
mati (death penalty). Bahkan dari serangkaian masalah  sengketa lahan 
justru berefek kepada pelanggaran hak-hak manusia yang berat (gross 
violation of human rights). 
Pada dasarnya seluruh pelanggaran hak-hak manusia harus 
senantiasa diingat dan menjadi pelajaran untuk memperbaiki supaya   
hak-hak manusia lebih dihormati, dapat dilindungi, dan dipenuhi 
sebagai pelaksanaan kewajiban Negara. Sebaliknya, mereka yang 
menjadi korban dan prihatin atas berbagai peristiwa pelanggaran itu 
untuk ambil bagian dalam menggugat tanggung jawab negara (state 
responsibility). 
 Tidak terkecuali dengan pelanggaran hak orang-orang 
dengan orientasi seksual berbeda, seperti lesbian, gay, biseksual, 
transgender, interseksual (LGBTI). Pelanggaran hak-hak kelompok  
LGBTI ini seringkali dibiarkan saja terjadi. Bentuk pelanggaran haknya 
bermacam-macam. Namun di dalam buku ini penulis hanya akan 
membatasi pada gerakan  stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan. 
Pembatasan itu lebih disebabkan sebab  ketiga gerakan  itu dinilai oleh 
penulis sebagai pelanggaran hak-hak pokok yang dialami oleh 
sebagian besar kelompok LGBTI, baik di negara kita , maupun di 
sebagian besar negara di dunia. Ketiga gerakan  itu lalu  
menimbulkan pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI yang lebih 
kompleks, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun warga . 
Pada akhirnya semua pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI itu akan 
mempengaruhi seluruh sendi kehidupan individu-individu LGBTI itu 
sendiri. 
 Di dalam konteks Negara RI, sebagian besar individu 
LGBTI yang hidup di negara kita  yaitu  warga Negara negara kita  
(WNI) yang sah. Sesuai dengan hukum hak-hak manusia 
Internasional, Pemerintah RI harus taat kepada Deklarasi Universal 
Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan semua kovenan internasional tentang 
hak-hak manusia yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI. Beberapa 
kewajiban pokok dari pemerintah yaitu  mengakui, mempromosikan, 
memenuhi, dan melindungi hak-hak warga negaranya serta 
menghukum setiap pelaku pelanggaran hak sesuai dengan hukum 
hak-hak manusia internasional. Dan disebab kan orang-orang LGBTI 
juga banyak yang menjadi WNI, maka pemerintah RI tidak dapat 
membiarkan pelanggaran hak orang-orang LGBTI terjadi di negara kita  
atas dasar apapun. lalu  pemerintah RI harus merumuskan 
produk hukum untuk menjerat dan menghukum semua pelaku 
pelanggaran hak-hak manusia, termasuk juga pelanggaran hak-hak 
kelompok LGBTI. 
 
 
Kebijakan Diskriminatif 
Kalau melihat ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang 
HAM1 dijelaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan 
pemenuhan HAM yaitu  tanggung jawab pemerintah. Hal itu juga 
meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, 
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan negara 
dan bidang lain2.  
Di dalam UUD 19453 dijelaskan bahwa setiap warga negara 
negara kita  (WNI)4 memiliki  hak yang sama. Pemerintah memiliki  
 
1  Pasal 8 jo Pasal 71 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. 
2  Pasal 72 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM. 
3 Pasal 28 C UUD 1945 ayat 2: Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam 
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun warga , bangsa, 
dan negaranya.  
 Pasal 28 D ayat 1: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, 
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.  
 Pasal 28 H ayat 2: Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus 
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai 
persamaan dan keadilan. 
 Pasal 28 I ayat 1: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan 
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk 
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar 
hukum yang berlaku surut yaitu  hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi 
dalam keadaan apa pun. 
 
                                                                                                  tanggung jawab untuk memenuhi semua hak WNI. Hal ini juga sesuai 
dengan kovenan internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan 
Budaya (Ekosob) serta kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil 
dan Politik (Sipol).5
Ironis memang. Di satu sisi pemerintah terlihat getol ingin 
menegakkan hak-hak manusia. Tapi dalam waktu bersamaan, 
pemerintah membuat kebijakan-kebijakan diskriminatif. jika  
mencermati beberapa  peraturan ataupun kebijakan pemerintah, 
seringkali bertentangan dengan UUD 1945 dan kovenan internasional 
ini .  
Beberapa produk hukum di tingkat nasional maupun daerah 
yang mendiskriminasikan kelompok LGBTI secara langsung yaitu  
sebagai berikut: 
1. Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang 
Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini 
mengkriminalisasikan kelompok LGBTI dengan mengkategorikan 
kelompok LGBTI sebagai bagian dari perbuatan pelacuran.  
 
 Ayat 2: Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas 
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan pada  perlakuan yang 
diskriminatif itu. 
 Ayat 4:  Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia 
yaitu  tanggung jawab negara, terutama pemerintah. 
 Ayat 5: Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan 
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia 
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. 
 Pasal 28 J ayat 1: Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain 
dalam tertib kehidupan berwarga , berbangsa dan bernegara. 
4  Sehingga semua WNI dengan orientasi seksual berbeda harus diartikan dan 
dipahami oleh pemerintah dan warga  negara kita  sebagai kelompok 
warga  yang juga diatur di dalam UUD 1945.                    
2. Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2004 tentang 
Pemberantasan Pelacuran. Perda ini mengkriminalisasikan 
kelompok LGBTI dengan mengkategorikan kelompok LGBTI 
sebagai bagian dari perbuatan pelacuran  Pemda Kota 
Palembang tampaknya tidak mengerti mengenai perbedaan 
pelacuran dengan orientasi seksual dan asas hukum yang 
berlaku di negara kita . 
3. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan ini hanya 
menyatakan bahwa perkawinan yang sah yaitu  perkawinan 
yang dilakukan oleh dua orang heteroseksual. 
4. Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum 
(Tibum). Perda ini mengkriminalisasikan pekerjaan-pekerjaan 
informal yang dilakukan oleh warga  miskin kota. Sehingga 
kelompok LGBTI di Jakarta yang memiliki  pekerjaan informal 
yang dikriminalisasikan oleh perda itu akan mengalami dampak 
langsung dari diberlakukannya perda Tibum ini. 
5. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan 
PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 
2006. Kedua peraturan itu hanya mengakui identitas 
transseksual (waria yang telah berhasil melakukan usaha  
perubahan kelamin) yang jumlahnya jauh lebih sedikit 
dibandingkan dengan transgender (waria yang belum, sedang 
atau tidak melakukan usaha  perubahan kelamin). 
 
6  Perda ini disahkan pada 7 Januari 2004 dan ditandatangani Walikota Palembang 
Eddy Santana Putra. Pasal 8 ayat 1 Perda ini menyebutkan: Pelacuran yaitu  
perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar, 
bertujuan mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan 
atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya. 
  Pasal 8 ayat 2: Termasuk dalam perbuatan pelacuran yaitu : a. homoseks. b. 
lesbian. c. sodomi. d. pelecehan seksual, dan e. perbuatan porno lainnya.                            
Selain beberapa peraturan di atas, ada juga beberapa kebijakan 
pemerintah lainnya yang juga melanggar hak-hak kelompok LGBTI di 
negara kita . Salah satu contohnya yaitu   Kebijakan Departemen Sosial 
melalui Dinas Pembinaan Mental dan Kesehatan Sosial (Bintalkesos) 
DKI Jakarta yang memasukan kelompok waria ke dalam kategori 
penyandang cacat. Memang kebijakan ini  tidak tertulis, 
melainkan suatu kesalahan teknis yang akhirnya menjadi suatu 
kebiasaan. Dinas Bintalkesos DKI Jakarta memasukkan waria ke dalam 
kewenangan Sub Dinas Penyantunan Penyandang Cacat (Sudin PPC).  
saat  dikonfirmasikan kepada pihak Dinas Sosial7, mereka 
mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi sebab  pada awalnya mereka 
tidak memiliki  dana untuk membuat program pembinaan pada  
kelompok waria. Maka dipakai lah dana dari program pembinaan 
penyandang cacat. Sudah tentu hal ini  langsung menimbulkan 
opini publik yang negatif dan warga  pun semakin percaya bahwa 
kelompok waria memang yaitu  kelompok penyandang cacat. 
Keadaan ini  menjadi semakin parah saat  Pemerintah 
bersifat pasif dengan melakukan pembiaran pada  kesalahan Dinas 
Bintalkesos dan tidak mengeluarkan kebijakan atau propaganda 
konstruktif apapun untuk melakukan counter pada  stigma 
pada  kelompok LGBTI yang ada di dalam warga .  
Keadaan di atas sedikit berubah pada saat ini. Dengan usaha  
yang gigih dari kelompok waria di Jakarta, akhirnya pada Juni 2008 
secara resmi Dinas Bintalkesos DKI Jakarta menyatakan bahwa Sub 
Dinas yang berwenang mengatasi  waria yang terjerat razia di jalanan 
yaitu  Sub Dinas Rehabilitasi Tuna Sosial (Sudin RTS).  
Perda-perda itu memang harus segera diharmonisasikan dengan 
peraturan yang lebih tinggi. Jika tidak, maka besar kemungkinan akan 
terjadi penangkapan pada  kelompok LGBTI. Kalau ini terjadi, 
usaha pemenuhan dan perlindungan HAM di negara kita  pada umumnya 
akan mengalami degradasi. Juga akan timbul berbagai bentuk 
penyelewengan dan korupsi atau gerakan  sewenang-wenang 
berdasar  perda oleh aparat pemda, pemkab, atau pemkot.  
Pemerintah sepertinya kurang bersemangat mengeluarkan 
kelompok LGBTI ini dari penderitaan mereka. Kubangan diskriminasi 
dan intoleransi masih terus menjadi konstruksi sosial dan pandangan 
dominan warga  pada  kelompok LGBTI. Pemerintah mungkin 
khawatir akan berhadapan dengan konstruksi sosial pandangan 
heteroseksual yang mendominasi pola pikir warga . Biasanya, 
warga  melakukan stigmatisasi pada  mereka dengan 
memakai  justifikasi doktrin dan teks-teks suci keagamaan. Oleh 
tafsir agama koservatif, kelompok LGBTI dianggap sampah 
warga , menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak 
alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat 
mental. Parahnya lagi, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan 
mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif pada  
kelompok marginal ini . 
 
Perkembangan Internasional mengenai LGBTI 
Di tingkat internasional, kelompok LGBTI sudah lama 
dikeluarkan dari kategori penyandang cacat mental. Pada 1973, 
Asosiasi Psikiater Amerika telah menyetujui pentingnya metode                         
penelitian baru yang dirancang lebih baik dan menghapuskan 
homoseksualitas dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional. 
lalu , pada 1975, Asosiasi Psikolog Amerika mengeluarkan 
resolusi yang mendukung penghapusan kategori penyandang cacat 
mental ini . Selama 25 tahun terakhir, dua asosiasi ini mendesak 
ahli-ahli jiwa di dunia untuk ikut membantu menghilangkan stigma 
“penyandang cacat mental” pada  kelompok LGBTI. Desakan itu 
akhirnya juga sampai ke ahli-ahli jiwa negara kita ; Pedoman 
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) sudah 
tidak lagi menyebutkan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa. 
Meskipun kelompok LGBTI sudah lama dikeluarkan dari kategori 
penyandang cacat mental, namun secara umum di tingkat 
internasional kelompok LGBTI atau kelompok warga  dengan 
orientasi seksual berbeda belum diakui secara resmi sebagai sebuah 
kelompok sosial. Hal itu terbukti dengan tidak adanya produk hukum 
internasional yang mengadopsi terminologi LGBTI ataupun orang 
dengan orientasi seksual berbeda. Lebih jauh lagi, belum ada satupun 
produk hukum internasional yang mengakui keberadaan kelompok 
LGBTI ini serta mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kelompok 
LGBTI secara khusus.  
jika  kita mengacu kepada definisi kelompok sosial yang 
diberikan oleh Robert Bierstedt8, kelompok LGBTI seharusnya telah 
diakui sebagai kelompok sosial. sebab  selama ini kelompok 
warga  dengan orientasi seksual berbeda ini telah berbaur, 
berinteraksi, dan membentuk kelompok ataupun komunitas atas dasar 
kesadaran dan pilihan mereka sendiri. lalu  kelompok LGBTI juga 
telah lama membangun hubungan positif dengan anggota kelompok 
warga  lainnya.  
Belum adanya pengakuan pada  kelompok LGBTI di tingkat 
internasional ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu stigma pada  
kelompok LGBTI yang dipengaruhi oleh doktrin agama telah merasuki 
pikiran warga  dunia; serta belum adanya iktikad bersama yang 
dibangun oleh Negara-negara anggota PBB untuk mengakui dan 
mengatur pemenuhan hak-hak kelompok LGBTI secara khusus. 
Namun belum adanya pengakuan pada  kelompok LGBTI ini 
tidak menyurutkan semangat para aktivis LGBTI dan juga aktivis HAM 
untuk memperjuangkan pengakuan bagi kelompok LGBTI dan 
perlindungan pada  mereka dari segala bentuk diskriminasi. 
Lambat laun usaha -usaha  yang dilakukan oleh para aktivis itu 
membuahkan hasil. Pada 26-29 Juli 2006 diadakan sebuah Konferensi 
Internasional tentang Hak-Hak LGBTI di Montreal, Kanada. Konferensi 
ini diakhiri dengan pembacaan Deklarasi Montreal oleh seorang petenis 
lesbian kelas dunia, Martina Navratilova. Deklarasi Montreal ini 
yaitu  langkah awal yang dihasilkan oleh para pejuang hak-hak 
LGBTI di dunia, dimana untuk pertama kalinya terminologi LGBTI 
dipakai  di dalam sebuah deklarasi Internasional. Walaupun bukan 
yaitu  dokumen resmi PBB ataupun produk hukum resmi 
Internasional, namun ada beberapa hal penting yang diatur di dalam 
deklarasi Montreal ini, yaitu desakan kepada Negara-negara di dunia 
untuk mengakui, memenuhi, dan melindungi hak-hak LGBTI serta 
desakan agar semua Negara dan PBB mengakui dan mempromosikan 
tanggal 17 Mei setiap tahunnya sebagai Hari Internasional Melawan 
Homophobia (IDAHO/International Day against Homophobia).                         
Namun demikian di kancah politik PBB, homofobia masih sangat 
kental dan negara-negara yang mendukung pengakuan hak-hak 
berdasar  orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender, 
masih menjadi minoritas. Melihat situasi demikian dua buah lembaga 
internasional yang berbasis di Jenewa (Swiss), yaitu The International 
Commission of Jurists dan The International Service for Human Rights, 
mengambil inisiatif menempuh langkah alternatif, yaitu menyaring 
hak-hak apa saja yang sudah melekat pada kaum LGBTI berdasar  
kovenan-kovenan internasional yang sudah menjadi dokumen resmi 
PBB. Menjelang akhir 2006, tepatnya 6 sampai dengan 9 Nopember 
2006, 29 orang ahli hukum HAM Internasional berkumpul di 
Yogyakarta untuk merumuskan sekumpulan prinsip yang patut 
dipatuhi oleh suatu Negara terkait dengan orientasi seksual dan 
identitas gender seseorang. Sekumpulan prinsip itu – tepatnya ada 29 
prinsip – yang dinamakan Yogyakarta Principles1. Walaupun bukan 
yaitu  dokumen resmi PBB, namun perumusan Yogyakarta 
Principles harus dilihat sebagai sebuah kemajuan yang signifikan bagi 
usaha  pemenuhan dan perlindungan hak-hak LGBTI di dunia. Apalagi 
sekumpulan prinsip ini  dirumuskan di sebuah Negara yang 
sampai dengan saat ini belum mengakui identitas sosial dan politik 
kelompok LGBTI. Hal ini  menandakan keseriusan dari para 
perumus – sekaligus penandatangan – untuk terus mengkampanyekan 
pentingnya usaha  menghilangkan segala bentuk diskriminasi 
berbasiskan orientasi seksual dan identitas gender, serta pemenuhan 
dan perlindungan hak-hak LGBTI di negara-negara yang belum 
mengakomodasi hak-hak LGBTI. sebab  semangat non-diskriminasi 
serta, maka Yogyakarta Principles ini berhasil dirumuskan. 
 
Yogyakarta Principles sangat berguna bagi Negara-Negara yang 
telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan 
Politik serta Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, 
dan Budaya. Hal itu disebabkan sebab  semua prinsip yang 
dirumuskan dalam Yogyakarta Principles terkait dengan hak-hak sipil 
dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dan juga 
berlaku ke pada kelompok warga  yang memiliki  orientasi 
seksual dan identitas gender berbeda. Selain itu diatur pula kewajiban-
kewajiban negara demi memenuhi hak-hak kelompok warga  
yang memiliki  orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda 
ini . 
Walaupun kelompok LGBTI belum diakui sebagai sebuah 
kelompok sosial di tingkat Internasional, namun Deklarasi Montreal 
dan Yogyakarta Principles dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran 
bagi Negara-negara di dunia maupun PBB untuk segera melakukan 
affirmative action untuk mengakui keberadaan kelompok LGBTI. Salah 
satu affirmative action yang dapat dilakukan yaitu  merumuskan 
suatu produk hukum khusus yang mengatur tentang pengakuan, 
pemenuhan, dan perlindungan hak-hak LGBTI. 
 
Pemahaman Diskriminasi 
Di negara kita  kelompok LGBTI menjadi salah satu kelompok 
warga  yang terus mendapatkan diskriminasi multidimensional. 
Diskriminasi di sini dapat diartikan sebagai pelayanan dan/atau 
perlakuan yang tidak adil pada  individu tertentu, di mana 
pelayanan/perlakuan berbeda ini dibuat berdasar  karakteristik 
yang diwakili oleh individu ini , seperti karakteristik kelamin, 
orientasi seksual, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi 
  
                                   
fisik atau karakteristik lain, yang tidak mengindahkan tujuan yang sah 
atau wajar. 
Secara umum diskriminasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu 
diskriminasi langsung, yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat 
hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan 
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, ras, dan 
sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama bagi 
individu-individu yang memiliki  karakteristik yang disebutkan di 
dalam hukum, peraturan, ataupun kebijakan ini . Bentuk 
diskriminasi yang kedua yaitu  diskriminasi tidak langsung, yaitu 
diskriminasi yang terjadi pada saat peraturan yang bersifat netral 
menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan9.  
Pada dasarnya semua diskriminasi pada  kelompok LGBTI 
disebabkan oleh stigma sosial yang dihasilkan dari doktrin dan 
pemahaman agama yang konservatif. Beberapa contoh diskriminasi 
yang sering dihadapi kelompok LGBTI di negara kita  yaitu  sebagai 
berikut: 
1. Diskriminasi sosial, contohnya yaitu  stigmatisasi, cemoohan, 
pelecehan, dan pengucilan, tidak adanya kesempatan yang 
sama untuk mengenyam pendidikan formal, dan kekerasan fisik 
maupun psikis; contohnya melempar batu kerikil ke seorang 
waria.  
2. Diskriminasi hukum contohnya yaitu  kebijakan Negara yang 
melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda 
sebagaimana telah dikemukakan di bagian sebelumnya di dalam 
buku ini. 
 
3. Diskriminasi politik, contohnya yaitu  kesempatan berbeda 
dalam wilayah politik praktis dan pencekalan atau tidak adanya 
keterwakilan politik dari kelompok LGBTI. 
4. Diskriminasi ekonomi, contohnya yaitu  pelanggaran hak atas 
pekerjaan di sektor formal. 
5. Diskriminasi kebudayaan, contohnya yaitu  usaha  penghapusan 
dan penghilangan nilai-nilai budaya yang ramah pada  
kelompok LGBTI. Contohnya, selama dasawarsa 70-80an 
budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas 
oleh kelompok Islam garis keras, DI-TII. 
 
berdasar  uraian Bab I dan Bab II ini, ada tiga pokok 
persoalan yang hendak diajukan di dalam buku ini. Pertama, persoalan 
stigma, diskriminasi, dan kekerasan fisik ataupun psikis pada  
kaum LGBTI, baik yang dilakukan oleh pihak keluarga, warga , 
ataupun negara. Kedua, adanya ketidak-harmonisan peraturan 
perundang-undangan di satu sisi yang tidak memperbolehkan 
diskriminasi dan kebijakan lainnya yang sangat diskriminatif. Ketiga, 
kemungkinan menciptakan pendekatan komprehensif untuk membuat 
ideologi, ekonomi, sosial, politik, hukum dan hak-hak manusia, serta 
budaya yang berperspektif LGBTI.  
Untuk dapat mewujudkan keadilan dan tidak menindas kelompok 
minoritas serta mengembangkan budaya toleransi bisa ditempuh 
melalui pendidikan. Pendidikan yaitu  proses penyadaran kritis 
bagi harkat kemanusiaan, mencerahkan, dan membebaskan manusia 
dari segala bentuk ketertindasan. supaya   pendidikan bisa menjadi unit 
sosial yang membebaskan, maka seharusnya praktik-praktik 
pendidikan mengacu pada eksistensi manusia itu sendiri dan 
                        
menawarkan adanya multiepisteme seksualitas. sebab  itu, 
membangun epistemologi marginal sebagai episteme alternatif sudah 
tidak bisa ditunda lagi, keberadaannya mutlak diperlukan sebagai 
syarat terbentuknya negara yang demokratis. 
Di banyak negara lain diskriminasi sudah diakui sebagai 
permasalahan yang harus ditangani secara khusus sebab  tidak 
mungkin negara membuat undang-undang yang bisa mengatur segala 
bentuk diskriminasi dalam kehidupan warga . Banyak bentuk 
diskriminasi sangat subtil dan subyektif sehingga tidak layak 
diberantas dengan peradilan. Oleh sebab  itu banyak pemerintah 
membentuk beberapa lembaga negara seperti Komisi Anti Diskriminasi 
dan Komisi Ombudsman2.  
Semua lembaga pelayanan warga , lembaga negara 
maupun privat, diwajibkan membentuk prosedur pengaduan internal, 
misalnya tiap rumah sakit harus ada komite ethik, dll. Pengaduan 
mengenai diskriminasi dan/atau pelayanan buruk yang berasal dari 
rumah sakit itu ditanggapi oleh komite ethika itu, mediasi, langkah 
disipliner dan ganti rugi sejauh mungkin diselesaikan di sana. Hanya 
jika seorang tidak merasa puas dengan penanganan pengaduannya 
baru dia bisa mengadu ke komisi-komisi negara atau ke pengadilan. 
Peran utama komisi-komisi ini  yaitu  mediasi antara pihak-pihak 
yang berselisih; seringkali mereka juga berfungsi sebagai ‘wasit’ 
sebab  mereka dianggap kompeten di bidang masalah diskriminasi.  
 
2 Istilah Ombudsman berasal dari bahasa Swedia, yang berarti seorang yang 
mewakili rakyat kecil pada  pemerintah/kerajaan. Jaman sekarang Ombudsman 
diartikan lembaga yang mengawasi kinerja pemerintah dalam kewajibannya untuk 
melayani kepentingan warga . 
 
POTRET KEKERASAN pada  LGBTI 
- Mengungkap Fakta Kekerasan di negara kita  - 
 
Selama ini pemerintah tidak pernah memprioritaskan 
pemenuhan dan perlindungan hak-hak kelompok LGBTI. Mereka tidak 
saja mendapatkan diskriminasi dalam bentuk pengusiran, cemoohan, 
dan pengucilan, tapi juga mengalami berbagai tindak kekerasan fisik 
seperti pelecehan seksual, pemukulan, penganiayaan dan bahkan 
pembunuhan.   
Pemerintah yang seharusnya memberi  perlindungan “lebih” 
kepada mereka sesuai amanat Pasal 5 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999 
tentang Hak Asasi Manusia, justru menjadi aktor kekerasan, baik 
secara tidak langsung melalui peraturan perundang-undangan yang 
diskriminatif maupun secara langsung. Kekerasan oleh negara ini 
lalu  menular ke warga . Organisasi sosial keagamaan dan 
anggota warga  lainnya seolah mendapatkan ’’lampu hijau’’ untuk 
melakukan gerakan  serupa.  
Untuk lebih jelas tentang kenyataan itu, berikut ini diungkapkan 
kisah para LGBTI yang mengalami berbagai tindak diskriminasi, baik 
dilakukan negara, organisasi kewarga an, maupun anggota 
warga  lainnya. Data-data ini diperoleh dari hasil investigasi yang 
dijalankan oleh Tim Investigasi Arus Pelangi. Tim ini dibentuk sesudah  
diselenggarakannya Pelatihan Investigasi Berperspektif LGBT, 29-31 
Oktober 2007 di Jakarta. Anggota Tim Investigasi tersebar di berbagai 
tempat di selurah negara kita . 
  
1. Perberantasan Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan) 
      Tradisi Bissu Terancam Syariat  
 Dari sekian banyak waria, Fitri Pabente barangkali 
nasibnya sangat beruntung. Keluarga, warga , dan teman-temann 
sekolahnya tidak ada yang mempermasalahkan kewariaannya. 
Bahkan, waria kelahiran Watampone, 1 Oktober 1963 ini mendapat 
kepercayaan menjadi seorang bissu.  
 Fitri merasa ’’berbeda’’ sejak kelas 5 SD. Untungnya pihak 
keluarganya yang sangat agami bisa menerima ’’keperbedaannya’’. 
Buktinya, semua kebutuhan sekolahnya dibiayai hingga perguruan 
tinggi. ’’Ibu saya malah bilang kalau dari keturunan kakek ada yang 
waria,” kata dia.  
Meski kedua orangtuanya bisa menerima, keduanya berpesan 
agar Fitri selalu berbuat baik, jujur dan mengenakan busana yang 
sopan. Tidak lupa rajin menjalankan ibadah. Meski waria, Fitri tidak 
pernah pakai rukuk kalau salat. Soal ibadah memang dia 
memposisikan dirinya sebagaimana laki-laki. ’’Saya baru dandan kalau 
ada acara-acara waria saja. Di luar itu saya tetap berpakaian secara 
biasa saja, terkadang memakai kebaya,” cerita dia.  
Diakui Fitri, didikan keislaman orangtua kepada anaknya 
memang kuat. Namun untungnya orangtua dia termasuk golongan 
yang berpikir moderat. Tidak mempermasalahkan kewariaan 
sebagaimana sebagian keluarga muslim lainnya. Waria juga tidak 
dilaknat. Namun ya itu tadi, Fitri dituntut untuk selalu berbuat baik. 
’’Di lingkungan Fitri, yang dimaksud waria itu bukan orientaasi seksual. 
Tapi, lebih kepada organisasi,” kata anak pertama dari sembilan 
bersaudara ini.   
Tidak adanya diskriminasi inilah yang membuat perjalanan hidup 
Fitri relatif tidak ada persoalan berarti. Masa sekolahnya yang 
dihabiskan di Watampone lancar-lancar saja, bahkan sukses hingga 
jenjang D-1 dan S-1. Anak pasangan Purn. TNI Alm. Antak P. dan 
almarhumah Siti Zaenab ini berhasil gelar Sarjana Sastra negara kita  
dari STKIP Muhammadiyah Bone.  
 Riwayat pendidikan yang cukup baik itulah yang membuat 
dirinya didaulat menjadi ketua ini dan itu. Di antaranya yaitu  ketua 
Forum Komunikasi Waria se-negara kita  Timur, ketua Lembaga Seni 
Budaya Arung Palapa, Komite Seni Tradisional di DK Bone dan BKKI, 
serta anggota Lembaga Adat Bone. Kini, Fitri diberikan amanat 
menjadi pengelola objek wisata Keraton Rumah Adat Dinas 
Kebudayaan dan Pariwisata Bone dan menjadi ketua Bissu se-Sulawesi 
Selatan. 
 Bissu yaitu  seniman yang juga pendeta agama Bugis 
kuno (Sulawesi Selatan) pra Islam yang makin berkurang personilnya. 
Umumnya mereka yaitu  pria yang bersifat kewanitaan 
(calabai/waria) dan dalam kehidupan keseharian selalu tampil sebagai 
wanita. Walaupun bissu digolongkan sebagai waria, mereka bukan 
waria biasa. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus ditasbihkan 
(irebba) terlebih dulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran dalam 
upacara-upacara ritual. Mereka juga memiliki kedudukan dalam 
warga  sebagai penjaga pusaka keramat (arajang) di istana yang 
dipercayai dihuni oleh roh-roh nenek moyang. Tradisi cross-dressing 
(lelaki yang berperan sebagai wanita ) dalam warga  Bugis 
sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Bagaimana Fitri bisa 
menjadi bissu? 
 Pada 1980, sesudah  menyelesaikan studi S-1, Fitri mencoba 
menelusuri jejak bissu terlebih dulu. Hal itu dilakukan sebab  sekitar  
1950 hingga 1965, meletus pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam 
negara kita  (DI/TII) yang berusaha keras menghapuskan dan melarang 
semua yang dianggap musyrik atau menyekutukan Tuhan bagi umat 
Islam. Jumlah bissu terus menyusut terutama sesudah  peristiwa tragis 
yang dialami para bissu selama Orde Lama dan Orde Baru.  
Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Kahar Muzakkar 
menganggap kegiatan para bissu termasuk menyembah berhala. 
sebab  itu kegiatan, alat-alat upacara dan para pelakunya diberantas. 
Ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut. 
Banyak sanro (dukun) dan bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria 
yang harus bekerja keras. Penderitaan ini masih berlanjut pada masa 
Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan pembantaian besar-besaran itu 
diberi nama Operasi Toba (Operasi Taubat) yang dilancarkan pada 
masa kekuasaan  Orba antara 1965-1967, bersamaan dengan pembantaian 
massal G30S/PKI.  
“Bissu yang tertangkap harus memilih antara mati dibunuh atau 
masuk agama tertentu secara benar serta harus bersikap sebagai pria 
normal, bukan sebagai waria. Para bissu bersembunyi dari ancaman 
maut yang memburunya setiap saat”.  
warga  tidak peduli akan nasib mereka sebab  sebagian dari 
mereka memang mendukung gerakan Operasi Toba ini . 
Sebagian warga  yang bersimpati kepada para bissu hanya 
tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa.  
Para bissu yang tersisa saat ini dapat dikatakan sebagai generasi 
terakhir yang mewarisi kejayaan tradisi Bugis klasik. Jumlah dan 
tingkat kualitas mereka makin menyusut dari hari ke hari. Para 
pemimpin bissu kharismatik satu per satu wafat mendahului mereka.  
Nah itulah alasan mengapa pada 1980 Fitri melakukan 
penelusuran bissu dulu. Awalnya jadi waria biasa. Saat itu, tepatnya 
saat  berusia 40 tahun, dia merasa ada transfer ilmu gaib. Orang 
bilang dapat wangsit. “Orang-orang bilang saya memiliki  tanda-
tanda seorang bissu. Kejujuran dan kepemimpinan yaitu  salah satu 
dari sekian tanda seseorang terpilih menjadi bissu. Bissu pasti waria, 
tapi tidak semua waria bisa menjadi bissu,” jelas dia. 
Namun pelantikan bissu secara massal baru ada lagi pada 2003. 
Yang melantik yaitu  para pemangku adat. Kini, jumlah bissu di 
Sulawesi Selatan sekitar 100 orang. Di Bone ada 40 bissu, di Soppeng 
ada 8 bissu, di Wajo ada 12 bissu dan di Pangkep ada 22 bissu. 
Bagaimana dengan adanya kelompok yang menginginkan syariat 
Islam berlaku kembali di Sulawesi Selatan? 
Memang kini ada Kelompok Persiapan Penegakan Syariat Islam 
(KPPI) yang memperjuangkan penerapan syariat Islam sebagaimana 
di Aceh. Namun, kata Fitri, hubungannya dengan KPPI sejauh ini 
masih baik. Alasannya bissu mengajak orang berbuat baik. “Saya tidak 
takut sekarang. sebab  sekarang ada Komnas HAM. negara kita  ini kan 
sangat beragam,” kata dia. (*) 
  
2. masalah  Penyerangan Acara HIV/AIDS (Yogyakarta) 
    Sosialisasi HIV/AIDS berujung perusakan 
Masih bisa dimaklumi jika pada jaman Orde Baru banyak terjadi 
tindak kekerasan pada  kelompok yang dianggap anti-pemerintah 
sebab  pemerintah sendiri yang paling banyak melakukan pelanggaran 
HAM. Di zaman Reformasi, tindak kekerasan lebih sering dilakukan 
individu maupun kelompok warga  pada  komunitas atau 
individu tertentu; ini seharusnya menjadi perhatian khusus negara dan 
 35 
warga . Sebab, pada dasarnya LGBTI sudah menjadi wacana yang 
distigma buruk oleh banyak kalangan, termasuk oknum pemerintah. 
Dari pemantauan Arus Pelangi, hingga saat ini di beberapa kota masih 
banyak masalah  kekerasan yang dilakukan  
Dimulai dari November 2000 di Yogyakarta. Sekelompok remaja 
masjid menganiaya para gay dan waria yang sedang seminar di Wisma 
Hastorenggo, Kaliurang, Sleman. Awalnya, acara ini untuk 
penanggulangan dan sosialisasi penyebaran HIV/AIDS di kalangan 
LGBTI. Dihelat pada 11 November 2000, acara ini tentu saja dihadiri 
kaum LGBTI, khususnya para gay dan waria. Sesuai nama kelompok 
mereka, acara itu bertajuk Kerlap-kerlip Warna Kedaton 2000. 
Selain diisi penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS, ditampilkan pula 
pergelaran busana laki-laki dan wanita , yang semuanya 
diperagakan oleh laki-laki. Pergelaran dalam rangka ikut memperingati 
Hari AIDS Dunia itu diikuti sekitar 350 gay, waria, dan kaum 
heteroseksual dari dalam dan luar negeri.  
Menurut Yayuk, saksi mata yang juga hadir dalam acara 
ini , saat  para peserta berderai tawa menyaksikan perhelatan 
busana, sekitar pukul 21.20, tiba-tiba dari arah pintu bertebaran 
puluhan pria bersenjata golok, ketapel dan pentungan. Sambil 
berteriak bajingan, gerombolan itu menerobos masuk ruangan. 
Bahkan mereka sempat memukul beberapa sekuriti yang saat itu 
bertugas menjaga dan mengamankan acara. Salah satu korban yaitu  
pria yang biasa dipanggil Mas Man. Laki-laki yang seharinya bekerja di 
PKBI Yogyakarta, yang juga yaitu  salah satu lembaga 
penyelenggara acara itu, mengaku mendapat pukulan saat 
pembubaran paksa masal yang dilakukan kelompok sipil atas nama 
Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK).  
 36 
Sontak, keributan dan teriakan histeris para peserta bergema. 
Dua waria yang sedang berlenggak-lenggok di atas panggung 
langsung lari terbirit-birit tanpa mempedulikan pakaian yang 
dikenakan. Bagaimana tidak. Para penyerang itu menghancurkan apa 
saja yang mereka jumpai, seperti meja, lampu, bahkan peralatan 
sound system. Sebagian lagi memukuli bahkan mengejar peserta 
sampai ke luar gedung. Beberapa mobil dan motor yang sedang 
diparkir di halaman wisma juga menjadi sasaran empuk perusakan.  
Jean Pascal Elbaz, Direktur Lembaga negara kita -Perancis 
Yogyakarta, yang hadir dalam acara itu, juga tak luput dari sasaran. 
Saksi mata juga melihat sebagian penyerang itu merampas dompet, 
handphone, dan tas milik peserta. sesudah  merusak dan menganiaya, 
setengah jam lalu  mereka kabur memakai  bus dan motor. 
Puluhan peserta mengalami luka-luka, sebagian cukup serius, hingga 
harus dirawat di Rumah Sakit Panti Nugroho, Pakem, Sleman. Ada 
juga beberapa yang mengalami trauma sebab  kejadian ini. 
“berdasar  pengakuan 57 penyerang yang kami tangkap, mereka 
dari kelompok Remaja Masjid Yogyakarta, Gerakan Pemuda Ka’bah, 
Gerakan Anti Maksiat dan Darwis,” ujar Kapolres Sleman, 
Superintenden Djoko Subroto.    
Alasan mereka diserang, menurut pengakuan Ketua Badan 
Koordinasi Pemuda Remaja Masjid Yogyakarta, Muhammad Jazir, 
seminar itu ditengarai hanya sebagai sebagai kedok ajang pesta seks 
para gay. Sebelum acara berlangsung, Jazir menegaskan, anak 
buahnya sempat pura-pura menanyakan kepada panitia, apakah acara 
itu menyediakan waria yang bisa ‘dipakai’. “Mereka menjawab ya, ya 
bisa,” Tutur Jazir. Selain itu, kata dia lagi, di lokasi juga ditemukan 
kondom dan jelly. Para remaja itu juga memergoki sepasang gay 
“bergumul’’ di salah satu ruang wisma itu. “Jika acara itu murni  
penyuluhan AIDS, mengapa dilaksanakan sampai larut malam, dan 
ada pesta segala?” ujar Jazir penuh selidik. Dengan alasan itulah para 
remaja itu melakukan penertiban. “Saya tidak menginginkan 
terjadinya kekerasan, tapi kalau dipaksa melakukan itu untuk 
membela agama, kami tidak keberatan,” katanya lagi.  
Tuduhan dan keterangan Jazir itu dibantah panitia 
penyelenggara dari Lentera Sahaja, LSM yang bernaung di bawah 
Perkumpulan Keluarga Berencana negara kita  (PKBI), Yogyakarta. Salah 
seorang panitia yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan, 
acara itu murni kegiatan kesenian dan penyuluhan tentang HIV/AIDS. 
Tudingan adanya pasangan gay yang kepergok berhubungan intim 
juga dibantah. “Semua panitia berkumpul di ruangan utama tempat 
acara berlangsung,” sumber itu menandaskan lagi.  
Bantahan ini dibenarkan Djoko. Selain kegiatan itu sudah 
memiliki  izin, saat acara berlangsung, dua anggotanya menjaga. 
Kecil kemungkinan para polisi itu membiarkan kemesuman para gay 
terjadi. Muncul kecurigaan bahwa kegiatan membubarkan acara 
ini  tampaknya juga tidak semata-mata bertujuan memberantas 
kemaksiatan. Aksi merampas dompet dan perhiasan milik peserta 
menunjukkan kelompok itu tidak steril dari kaum berandalan. Aroma 
minuman keras yang menyebar dari mulut penyerang, seperti 
dituturkan salah satu peserta, semakin menguatkan dugaan itu. Tidak 
aneh jika muncul tuduhan ada maksud lain di balik itu. Bukan tidak 
mungkin, dengan dalih agama, para remaja itu dipakai untuk 
memenuhi hasrat kepentingan oknum tertentu. “Mereka mengaku 
hanya diajak teman untuk membubarkan acara maksiat, tanpa 
maksud merusak dan menganiaya,” kata Djoko. 
Selain itu, darimana para remaja ini tahu ada kegiatan para gay? 
Biasanya, acara semacam ini  hanya diumumkan pada kalangan  
terbatas, yakni lingkaran LGBTI itu sendiri. Namun belakangan 
diketahui, beberapa hari sebelum acara digelar, salah satu takmir 
Masjid Jogokaryan, Kota Gede, Yogyakarta, menerima surat kaleng 
yang menyebut ada pesta seks para gay berkedok penyuluhan AIDS. 
“Saya memang melihat ada pihak lain yang ikut campur,” ujar Djoko.  
Saat didesak siapa kelompok yang dimaksud, Kapolres Sleman 
itu menolak berkomentar labih jauh dengan alasan sedang melakukan 
penyelidikan. Mungkin sebab  memperhitungkan kekuatan politik 
kelompok itu, polisi belum terlihat bertindak tegas. “Kami sulit 
membuktikan senjata dan pentungan itu milik siapa,” kilah Djoko. 
Alasan itu sulit diterima akal sehat, mengingat dua anak buahnya 
berada di lokasi saat kejadian berlangsung.  
Bila proses hukum berlanjut, sebetulnya Mas Man (salah seorang 
sekuriti yang berjaga pada saat acara) mau menjadi saksi dalam masalah  
pembubaran acara KKWK. Namun, waktu itu ada ancaman dari pihak 
“uang”, yang diduga sebagai kelompok yang melakukan kekerasan. 
Selain itu, pihak PKBI, salah satu penyelenggara acara, sedikit takut 
hingga akhirnya menyatakan masalah  ini  dihentikan saja. Ini 
dilakukan demi menjaga keamanan lembaga PKBI.  
Penanganan perkara pun tidak dilanjutkan. Padahal saat itu tim 
advokasi yang terdiri atas beberapa aliansi organisasi dan LSM seperti 
PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia 
Yogyakarta) memiliki beberapa data yang berhubungan dengan masalah  
ini . (*) 
 
3. masalah  pembunuhan tiga waria di Jakarta Barat 
Waria di-petrus-kan  
Pada bulan Maret 2002 terjadi suatu peristiwa yang tidak akan 
pernah dilupakan oleh kaum waria, dan yaitu  bukti nyata di 
mana aparat kepolisian tidak mampu mengayomi bahkan melindungi 
warga  termasuk kaum minoritas (dalam hal ini kaum waria).  
Pada waktu itu sekitar jam 23.00 WIB, salah satu waria yang 
sedang berada di Tanjung Duren, Jakarta Barat, didekati oleh seorang 
tamu. Tawar-menawar harga pun terjadi antara waria ini  dengan 
tamunya sehingga akhirnya ada kesepakatan harga. sesudah  sesudah  
selesai melayani tamunya, waria ini  menagih pembayaran dari 
tamunya. Namun tamu ini  melanggar kesepakatan dengan 
membayar jauh di bawah harga yang telah disepakati. sebab  tamu 
ini  tidak membayar sesuai dengan kesepakatan maka waria 
ini  menahan handphone (HP) milik tamu ini  dan akan 
dikembalikan sesudah  pembayaran dilunasi. 
Merasa HP-nya dikuasai oleh waria ini  maka tamu tadi 
pergi melaporkan kejadian ini  kepada aparat kepolisian dengan 
alasan bahwa HPnya telah dicuri oleh seorang waria. sebab  sang 
tamu telah pergi waria ini  kembali bertemu dengan teman-
teman waria yang lain dan kembali mangkal menanti tamu yang lain. 
Namun beberapa jam lalu  tamu ini  datang dengan 
disertai beberapa aparat kepolisian dari polsek Tanjung Duren. Melihat 
aparat kepolisian menghampiri tempat para waria, serta merta para 
waria yang sedang berada di bawah terowongan Taman Anggrek lari 
untuk menyelamatkan dirinya sebab  dikira ada pembersihan. Dalam 
aksi pengejaran itu aparat kepolisian berhasil menangkap 3 orang 
waria dan menahan mereka untuk beberapa saat. 
Keesokan harinya warga  menemukan 3 mayat waria di 
bawah terowongan Taman Anggrek dengan luka tembakan di kepala. 
namun  pemberitaan di media massa mengatakan bahwa mereka  
yaitu  kawanan penjahat yang dikejar aparat kepolisian pada saat 
melarikan diri.    
Mendengar kejadian ini  beberapa waria dari Forum 
Komunikasi Waria berusaha  untuk melakukan proses pengambilan 
ketiga jenazah waria ini . Namun sekali lagi para waria yang 
berniat baik untuk mengurus ketiga rekan mereka mendapatkan 
kesulitan dari pihak kepolisian dan mereka juga mendapatkan 
perlakuan yang kasar dari aparat kepolisian. Melihat gerakan  aparat 
kepolisian yang seperti itu maka para waria menyepakati untuk 
melakukan demonstrasi ke Polres Jakarta Barat tanpa baju/benang 
sehelaipun di badan. sebab  mendengar pernyataan ini , aparat 
kepolisian langsung menanggapi keinginan mereka dan mengeluarkan 
surat keterangan untuk dapat mengurus ketiga jenazah waria yang 
pada saat itu sedang diotopsi di R.S. Cipto Mangunkusumo (RSCM), 
Jakarta Pusat. Keesokan harinya ketiga jenazah baru bisa diambil 
untuk dikebumikan. Dari ketiga jenazah ini , satu jenazah yang 
dikenal dengan nama Neneng dibawa keluarganya pulang ke Lubuk 
Linggau (Sumatera Selatan) untuk dikebumikan. sedang  dua 
jenazah lainnya dikebumikan di TPU Selapajang, Tangerang. 
Yang menjadi pertanyaan besar untuk aparat kepolisian yaitu  
bahwa niat baik dan tulus dari teman-teman waria yang lain saat  
mengajukan permohonan untuk diijinkan mengebumikan teman 
mereka yang telah meninggal kepada pihak aparat kepolisian Resort 
Jakarta Barat, namun dengan alasan harus memiliki  surat 
keterangan dari keluarga baru diijinkan untuk mengambil jenazah 
ini , pihak kepolisian tidak memberi  ijin kepada teman-teman 
waria untuk mengambil jenazah ketiga teman mereka di RSCM. 
Walaupun telah diterangkan bahwa keluarga dari ketiga waria ini  
tidak berada di Jakarta dan ini yaitu  sikap solidaritas sesama waria 
 41 
dan sikap manusiawi agar jenazah ini  cepat dikebumikan. 
Birokrasi yang berbelit-belit sudah sangat lumrah di Negeri negara kita  
ini, melihat kejadian dan situasi yang terjadi seharusnya dengan rasa 
kemanusiaan aparat kepolisian lebih proaktif dan berpihak pada 
warga . Hal ini  mengakibatkan pandangan kaum waria 
pada  aparat kepolisian menjadi miring. Aparat kepolisian yang 
dianggap dapat menjadi tempat untuk mendapatkan perlindungan bagi 
warga , berdasar  peristiwa di atas ternyata tidak dapat 
diharapkan. Pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara 
Republik negara kita   dikatakan bahwa “Fungsi kepolisian yaitu  salah 
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan 
dan ketertiban warga , penegakan hukum, perlindungan, 
pengayoman, dan pelayanan kepada warga ”. Bahkan dalam 
pasal 14 UU No. 2 tahun 2002 ayat (1) poin i dijelaskan bahwa tugas 
pokok Kepolisian sebagaimana pasal 13 UU No. 2 tahun 2002 polisi 
bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, warga , 
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana 
termasuk memberi  bantuan dan pertolongan dengan menjunjung 
tinggi hak asasi manusia. 
Selama 2006-2007 Arus Pelangi telah berusaha mencari data 
lebih lengkap tentang kejadian ini. Namun itu ternyata sangat sulit 
sebab  kejadiannya sudah lama; usaha  mendapatkan laporan visum et 
repertum di RSCM terbentur birokrasi, tidak ditemui saksi yang 
bersedia, dan keluarga korban yang bisa memberi  kuasa hukum, 
semua tinggal di luar Jakarta dan tidak ada alamat yang jelas. 
 
4. Pembubaran Kontes Waria di Jakarta 
usaha  Kekerasan dari kelompok agama 
 42 
Jakarta sebagai ibu kota negara RI ternyata juga punya potensi 
besar pada  pelanggaran pada  hak-hak kelompok LGBTI. 
Pelakunya beragam. Mulai ormas keagamaan tertentu, polisi, hingga 
satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP).  
saat  menggelar kontes Miss Waria, misalnya. Pagelaran rutin 
itu, yang dirayakan pada tanggal 26 Juni 2005, mendapat kecaman 
keras dari sebuah ormas keagamaan. Diwakili seratus orang 
anggotanya, mereka menuntut panitia penyelenggara menghentikan 
dan membubarkan acara yang dihelat di gedung Sarinah, Jalan M.H. 
Thamrin, Jakarta Pusat itu.  
Tak ingin situasi makin runyam, Ruhut Sitompul selaku wakil 
penyelenggara kontes Miss Waria, berusaha menengahi kedua belah 
pihak yang berseberangan. Namun, pihak FPI (Front Pembela Islam) 
tetap bersikukuh agar acara ini  dihentikan sebab  melanggar 
norma agama. Tapi untungnya, pemaksaan kehendak itu dapat 
diredam aparat. Puluhan anggota dari Polsek Menteng dan Polres 
Jakarta Pusat mengawal ketat perhelatan yang sudah dua kali digelar 
ini . Akhirnya, kontes itu tetap berlangsung hingga selesai sesuai 
jadwal yang disepakati dan niat tindak kekerasan yang tadinya jelas-
jelas ditunjukkan FPI, tidak terwujud. (*)  
 
5. masalah  Pembunuhan Budi (Sukabumi) 
Penyelidikan Berhenti sebab  Anggaran 
 Sungguh malang nasib Ujang Herman alias Budi. Gay 
berusia sekitar 30 tahun ini bekerja di salon Asti Sukabumi, Jawa 
Barat. Dia dibunuh di kamar kosnya yang berada di Kebon Jati, 
Sukabumi, pada 2005. Di tempat kejadian perkara (TKP), ditemukan 
 43 
                                   
sebilah pisau. Pada bagian leher korban ada  goresan benda 
tajam. Korban ditemukan pertama kali oleh rekannya, Iyang3.  
berdasar  keterangan saat penandatangan penunjukan 
Lembaga Swadaya warga  (LSM) Arus Pelangi sebagai kuasa 
hukum untuk melakukan usaha  advokasi, pihak keluarga mengatakan 
bahwa rekan terdekat Budi sebelum Iyang yaitu  Andy4. Andy, kata 
pihak keluarga, seringkali bertindak kasar pada  Budi. Sayangnya, 
hingga saat ini biodata dugaan pelaku masih belum diketahui. Ini 
disebab kan pihak Polres Sukabumi tidak melanjutkan proses 
penyelidikan ini . Dalihnya, keterbatasan para saksi dan 
anggaran. Sejauh ini, gerakan  hukum yang dilakukan kepolisian 
hanyalah memeriksa para saksi, khususnya yang berhubungan dengan 
korban semasa hidupnya.  
Alasan-alasan keterbatasan, menurut Arus Pelangi, tentu saja 
tidak dapat dibenarkan. Polisi mestinya melakukan investigasi ulang 
sebab  minimnya bukti dan saksi yang ditemukan pihak penyidik. Tapi 
kenyataannya, tim advokasi Arus Pelangi hingga kini belum 
mendapatkan dokumentasi dari Polres Sukabumi terkait peristiwa 
nahas ini . (*) 
 
6. masalah  Pembunuhan Vera (Purwokerto) 
Nyawa manusia dibandingkan dengan kendaraan bermotor 
 Pada 29 Oktober 2005 sekitar pukul 21.00 WIB, Vera 
(waria) yang sedang berdiri di Jl. S. Parman, Purwokerto, tepatnya di 
depan dealer motor Kymco, dihampiri oleh seorang pria yang memakai 
 
3 Bukan nama asli. 
4 Bukan nama asli. 
 44 
jaket hitam dan topi. Tidak lama sesudah  itu keduanya berjalan ke arah 
ladang di samping sebuah butik yang agak gelap sehingga lalu  
tidak kelihatan. Namun beberapa saat lalu  terdengar suara 
minta tolong, dan terdengar oleh beberapa teman korban yang tidak 
jauh dari daerah ini . sesudah  ditemukan ternyata Vera sedang 
terkapar penuh lumpur dan ada darah yang keluar dari bagian dada 
korban hingga korban lalu  dibawa ke tempat kosnya untuk 
dibersihkan. sesudah  selesai dibersihkan Vera dibawa ke RSUD Dr. 
Margono, Purwokerto oleh temannya dan aparat kepolisian setempat. 
Namun sayang akhirnya Vera meninggal dunia di RS itu pada 5 
Nopember 2006 disebab kan tidak mampu pembayar biaya 
pengobatan.  
Sekilas memang peristiwa ini sama seperti peristiwa 
penganiayaan lainnya, kecuali melibatkan seorang korban waria. 
Namun di dalam proses penanganan hukumnya ternyata banyak sekali 
bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat. 
Sewaktu tim advokasi Arus Pelangi pertama kali mendatangi 
kantor kepolisian sektor Purwokerto Selatan, tim dikejutkan dengan 
pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh Kapolsek pada waktu itu. 
Dia mengatakan bahwa kepolisian sudah banyak membantu dalam 
proses perawatan Vera hingga korban meninggal dunia. Namun 
kepolisian belum dapat mengatasi  masalah  ini sebab  kekurangan bukti 
dan saksi. “Selain itu banyak sekali masalah  pencurian kendaraan 
bermotor yang harus kami tangani. Sehingga kami belum sempat 
berfokus pada masalah  pembunuhan Vera,” ucap Kapolsek kepada tim 
advokasi. 
Pernyataan Kapolsek yang lebih mengejutkan lagi yaitu  “untuk 
apa kalian datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk mengatasi  
masalah  kematian waria PSK. Memang tidak ada masalah  lain apa yang bisa  
ditangani?” Mendengar pernyataan seperti itu, sepulangnya ke Jakarta 
tim advokasi langsung melayangkan surat pengaduan kepada Ketua 
Komnas HAM, Kapolri, dan Ketua DPR-RI. 
Hasilnya cukup memuaskan. berdasar  MOU penanganan 
masalah  pelanggaran hak-hak manusia antara Komnas HAM dengan 
POLRI, maka salah satu anggota komisioner Komnas HAM langsung 
melayangkan surat tekanan kepada Kapolri, Kapolda Jawa Tengah, 
Ketua DPR-RI dan Gubernur Jawa Tengah. sesudah  menerima surat itu, 
Kapolda Jawa Tengah langsung memerintahkan jajaran di bawahnya 
untuk segera mengatasi  masalah  pembunuhan Vera ini.  
sesudah  hampir dua tahun lamanya, akhirnya pada 11 Juli 2007 
berkas perkara masalah  pembunuhan Vera disidangkan di PN 
Purwokerto. Persidangan masalah  ini berjalan hampir empat bulan 
lamanya. Pada 23 Oktober 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri 
Purwokerto menghukum pelaku pembunuhan (Gogi Yusanta) dengan 
hukuman 6 tahun penjara. (*) 
 
7. masalah  Teror Arus Pelangi Banyumas 
Ormas islam ancam melakukan kekerasan  
Pada 5 November 2005, Arus Pelangi Banyumas (APB), Jawa 
Tengah, resmi dikukuhkan sebagai organisasi yang membela kaum 
LGBTI. Acara yang diadakan di DD Diskotek Purwokerto ini bukan 
hanya dihadiri para LGBTI se-Banyumas, namun  juga mendapat 
perhatian dari beberapa wartawan media lokal setempat. Sehingga 
keesokan harinya, tentu saja acara pengukuhan ini sudah terpampang 
di beberapa surat kabar lokal. 
 Bisa ditebak, organisasi yang aksinya memang terbilang 
unik dari LSM lainnya (membela kaum LGBTI) ini, menuai berbagai 
 46 
kecaman dan teror dari beberapa ormas Islam di Purwokerto. 
Keberadaan APB mulai menjadi kontroversi di kalangan ormas Islam 
itu.  
Kontroversi itu mulai memanas pada 2006. Puncaknya yaitu  
saat  APB mengadakan kegiatan Perkemahan Sabtu-Minggu 
(Persami) LGBTI pada 16-17 September 2006 di Bumi Perkemahan 
Kendalisada, Purwokerto, Jawa Tengah. Persami LGBTI yaitu  
yang pertama diadakan di negara kita . Acara ini diikuti sekitar 150 
LGBTI dari berbagai daerah seperti Banyumas, Yogya, Cilacap, dan 
perwakilan dari Arus Pelangi Jakarta.   
Sehari sebelum kegiatan itu dilaksanakan, 15 September 2006, 
ada ancaman via SMS. Layanan pesan singkat ini dikirimkan kepada 
tiga anggota Arus Pelangi Banyumas. Mereka yaitu  Sandy (Ketua 
APB), Mario (Sekretaris APB), dan Chandra (Ketua Badan Pengawas 
APB). Ancaman ini datang dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim 
negara kita  (KAMMI) Purwokerto. Isi pesannya sebagai berikut: 
’’Assalamualaikum. Kami dari Kesatuan Aksi Mahasiswa 
Muslim negara kita  - Purwokerto dengan ini memperingatkan 
kepada Saudara bahwa acara yang akan Anda selenggarakan 
besok di Bumper Kendalisada yaitu kemah kaum gay dan lesbian 
untuk segera dibatalkan. Jika tidak kami beserta ormas Islam di 
Purwokerto lainnya akan bertindak anarkis untuk membubarkan 
acara itu dengan cara kami. Terima kasih atas perhatiannya. 
Wassalam.” 
 
Tentu saja pesan itu membuat Badan Pengurus APB merasa 
ketakutan. Padahal mereka sudah memberitahukan rencana kegiatan 
ini  kepada kantor kepolisian setempat. Dan saat itu pula, mereka 
 47 
menghubungi Arus Pelangi Jakarta untuk meminta pendapat. Di akhir 
pembicaraan, Sandy sepakat bahwa kegiatan itu harus tetap 
dijalankan sambil menunggu kedatangan perwakilan Arus Pelangi 
Jakarta untuk membantu meminta bantuan pengamanan dari pihak 
kepolisian setempat.  
Setibanya di Purwokerto, perwakilan Arus Pelangi Jakarta 
langsung menemui Andy dan bersama-sama menuju Polsek 
Kendalisada untuk melaporkan ancaman ini . sesudah  
menjelaskan duduk perkaranya, akhirnya pihak kepolisian berjanji 
akan mengamankan kegiatan ini  dengan menurunkan mobil 
patroli ke Bumi Perkemahan Kendalisada selama kegiatan Persami. 
Berita tentang kegiatan Persami LGBTI ini telah dipublikasikan di 
Radar Banyumas (17 September 2006) dengan judul ’’150 LGBTI 
Berkemah di Kendalisada’’, dan di harian Indo Pos (21 September 
2006) dengan judul ’’Purwokerto Pertama, Perkemahan LGBTI di 
negara kita ’’. 
Bentuk kecaman dan teror pada  keberadaan organisasi APB 
sebagai pembela kaum LGBTI dari beberapa ormas Islam Purwokerto 
dan sekitarnya masih terus berlangsung. Di antaranya oleh Pengurus 
daerah Muhammadiyah Purwokerto, Pengurus cabang Nahdlatul Ulama 
Banyumas, dan Badan Koordinasi Umat Islam. Bahkan aksi 
demonstrasi menolak keberadaan Arus Pelangi Banyumas juga 
dilakukan Gerakan Pemuda Kakbah Banyumas pada 15 November 
2006. Aksi mereka dipicu oleh pemberitaan surat kabar lokal yang 
meliput acara pengukuhan Arus Pelangi Banyumas (APB) sebagai 
organisasi LGBT setempat.   
Bentuk kecaman dan teror yang dilakukan berupa pernyataan 
sikap penuh kebencian. Tidak hanya itu. Mereka juga mendatangi 
rumah beberapa anggota Arus Pelangi Banyumas. Mereka mengancam 
 48 
akan membakar rumah semua pengurus Arus Pelangi jika organisasi 
ini tidak segera dibubarkan.  
Bentuk aksi demonstrasi dan pernyataan sikap ini  dimuat 
di beberapa media cetak yakni harian Suara Merdeka dengan judul 
Muhammadiyah dan NU Tolak Organisasi Gay (7 November 2006), 
harian Kompas dengan judul Organisasi Kaum Gay dan Lesbian 
Diprotes Warga (16 November 2006), dan harian Seputar negara kita  
dengan judul GPK Banyumas Desak Pemkab Bubarkan Arus Pelangi 
(16 November 2006). Lucunya, pemda hanya main manis saja dengan 
mengatakan akan menunggu pendaftaran APB dan mempelajari 
masalah nya lebih lanjut. Padahal pemda tahu bahwa sebetulnya tidak 
ada halangan apapun pada  keberadaan APB. (*) 
 
8. Stigmatisasi Komunitas Gay (Jakarta) 
Penangkapan 20 Gay di Pulogadung 
Ada pula kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Salah 
satunya terjadi di terminal Pulogadung, Jakarta Timur. Malam itu, 
sekitar pukul 22.00, bulan Oktober 2006, sekelompok gay yang asyik 
berkumpul di sebuah warung terminal, didatangi enam polisi. Mereka 
meminta kartu identitas 20 orang gay. Meski semuanya memiliki KTP, 
aparat tetap saja menggiringnya ke Polsek Pulogadung, Jakarta Timur. 
Mereka dinilai petugas mengganggu ketenteraman warga .  
Di kantor polisi, beberapa  wartawan, baik dari media elektronik 
maupun cetak, ternyata sudah menunggu dan berebut memotret dan 
mewawancarai para gay. Kontan, mereka lebih shock. Menyakitkannya 
lagi, seorang petugas yang membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan) 
berkomentar keji pada  mereka. ’’Kalian pasti yaitu  orang-orang 
 49 
                                   
sakit yang menyukai sesama jenis ya? Dan kalian pasti juga termasuk 
laki-laki penjual seks?” tanya petugas ini .  
 Derwin5, salah seorang gay, berusaha menjelaskan bahwa 
kawan-kawannya tidak seperti yang dituduhkan. Tapi, tetap saja pihak 
kepolisian memperkarakan mereka. Keesokan harinya, perkara 
mereka yang sebenarnya sepele, menjadi berita menarik di beberapa 
media. (*) 
 
9.   masalah  Penyiksaan Pasangan Gay (Aceh) 
Dipaksa Ereksi di Depan Polisi  
Bekerja di Lembaga Swadaya warga  (LSM) yang membela 
kaum marginal ternyata tidak menjadikan orang ini  mendapat 
perlakuan adil. Ini bukanlah masalah  terakhir dari banyaknya masalah  
penganiayaan dan pelecehan seksual yang dialami beberapa 
warga  kita. Ironisnya, polisi yang mestinya menjadi pelindung 
warga , ternyata jauh lebih keras dalam ‘mengadili’ seseorang.  
Hartoyo, misalnya. Pria yang sehari-harinya bekerja di Yayasan 
Matahari Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), ini tak 
pernah menyangka bahwa dirinya akan berhadapan dengan aparat 
polisi dengan cara tidak menyenangkan. Bagaimana kisahnya?  
Hari itu, Senin, 22 Januari 2005, Hartoyo baru saja pulang dari 
pertemuan di Warung kopi Solong, Ulee Kareng. sesudah  tiba di kosnya 
pukul 21.30, pria berusia 32 tahun ini, langsung mandi dan lalu  
tidur. Namun, tidak lama berselang, seseorang mengetuk pintu 
rumahnya. Ternyata ‘pacar’-nya bernama Bobby6 yang berkunjung. 
 
5 Bukan nama asli. 
6 Bukan nama asli. 
 50 
Mereka lalu menonton berita gempa di sebuah televisi swasta. Kos-
kosan ini  berlantai dua, dan kamar Hartoyo terletak di lantai 
atas. Beberapa menit lalu , pacarnya menyatakan ingin 
menonton film tentang gay. namun  saat  dicoba, ternyata DVD film 
ini  tidak bisa diputar. Keduanya kembali menonton berita dan 
tak lama lalu  bermesraan.  
saat  sedang ‘asyik’, terdengar suara orang naik tangga dan 
masuk kamar sebelah Hartoyo. Beberapa lama lalu  lampu di 
kamar ini  mati. sesudah  itu, terdengar orang keluar dari kamar 
dan turun ke lantai satu. Hartoyo dan Bobby masih bermesraan. Pria 
yang aslinya beralamat di Binjai, Medan, itu, hanya mengenakan 
celana pendek. Sedang pacarnya, Bobby, tidak mengenakan apapun. 
Lalu kembali terdengar ada orang naik tangga dan tiba-tiba pintu 
kamar Hartoyo didobrak begitu keras hingga terbuka, lalu diiringi 
suara gaduh. Dua orang masuk ke kamar Hartoyo. Salah satunya, dia 
kenal sebagai pekerja di warung kopi Pesona. Mereka lalu memukuli, 
menendang, menampar Bobby pada bagian wajah dan badan. Mereka 
juga merusak barang-barang yang ada di kamar kos Hartoyo. Kejadian 
ini terjadi sekitar pukul 23.30 waktu setempat.  
Dalam keadaan ketakutan, sepasang kekasih ini disuruh turun 
ke lantai satu. Ternyata di bawah sudah banyak orang, sekitar 10-15. 
Mereka menghujat kedua pasangan yang lagi dimabuk kepayang 
ini . Bermacam-macam umpatan telontar. Antara lain, “Orang 
luar buat malu saja di daerah orang. Rumah tempat cari makan kau 
kotori pula.” Bahkan, sekitar 4-5 orang memukuli dan menendang 
habis-habisan.  
Hartoyo menjadi pusat pemukulan dan penganiayaan massa 
sebab  berusaha melindungi Bobby. sesudah  beberapa lama, pekerja 
warung kopi menyuruh Hartoyo membereskan barang-barang dan 
 51 
memaksanya keluar dari kos. Dengan wajah penuh ketakutan dan 
badan terasa perih, dia kembali ke kamar mengemasi seluruh barang, 
memasukkan ke tas dan sebagian pakaian dibungkus dengan seperai. 
namun  belum selesai berkemas, tiga orang masuk dan meminta kaset 
film gay dan memaksa keduanya turun kembali ke lantai satu. Sambil 
turun, mereka terus memukul pria kurus ini meski sebelumnya sempat 
memakai baju dan celana serta membawa tas berisi beberapa kertas 
dan dompet.  
Hartoyo terus mendapat hujatan dari warga  sampai tiba di 
lantai bawah. Sambil menghajar, mereka menanyakan identitas atau 
kartu tanda penduduk (KTP). Dia lalu memberi  dompet kepada 
salah seorang yang menganiayanya. Hartoyo dan Bobby lalu disuruh 
jongkok dan sarung yang dipakai  Bobby dikalungkan ke mereka 
berdua. Salah seorang warga lalu  bertanya, “Ini mau dibawa ke 
mana? Ke polisi atau ke Wilayatul Hisbah (WH atau biasa disebut Polisi 
Syariat)?”  
Salah seorang di antaranya lantas mengambil inisiatif. “Kalau ke 
WH, kita nanti malu sebab  masuk koran.” lalu , mereka 
meminta seorang pekerja warung kopi memanggil polisi dengan 
memakai  motor. Meski pemukulan sudah dihentikan, hujatan 
masih terus telontar. Sekitar pukul 01.30, polisi datang. Mereka 
berjumlah sekitar 3-4 orang dan seorang di antaranya membawa 
senjata laras panjang.  
Pasangan gay ini lalu dinaikkan ke mobil. Pada saat itu, 
pasangan gay ini sangat lega dan merasa mendapat perlindungan 
polisi. Ini dirasakan sampai di Polsek Bandar Raya. Keduanya 
dipersilakan duduk di ruang tunggu dengan sopan oleh polisi.  
Sayang, perasaan lega dan terlindungi itu lalu  hilang 
saat  keduanya ditanya petugas tentang masalah  yang dialaminya. 
 52 
Petugas lalu meminta dia membuka baju dan celana, sehingga yang 
tersisa di badannya hanyalah celana pendek. Mulai saat itulah 
perasaan takut kembali muncul. Saat itu juga, dia merasa amat malu 
dan dipermalukan.  
Tidak cukup itu. Tiba-tiba, Hartoyo dan Bobby kembali dipukuli 
oleh sekitar tujuh petugas, sembari melontarinya dengan caci maki. 
Dia dihajar di bagian perut, kaki, dan paha. Kekerasan itu berlangsung 
sekitar 10 menit. Sambil terus memukul, mereka memaksa kedua pria 
ini membuka celana hingga telanjang bulat. Salah seorang petugas 
mengejek Hartoyo. “Barang kau kecil!”. “Sudah, ayo pakai celana kau 
kembali,” bentak polisi.  
Keduanya merasa terhina dan ketakutan sebab  menganggap 
tidak diperlakukan sebagai manusia. Lebih tak manusiawi lagi saat  
lalu  Bobby dipaksa memegang penis Hartoyo agar ereksi di 
hadapan para petugas. Kala itu, dia mengenakan celana pendek, dan 
saat  petugas beranggapan penisnya sudah tegang, Hartoyo dipaksa 
membuka celananya kembali. sebab  tidak tahan, dia menangis. 
Mereka lalu memaksa dirinya memilih petugas yang disukai.  
Hartoyo mengatakan tidak ada seorang pun yang disukai, 
namun mereka tetap memaksa dirinya untuk memilih. Sambil tertawa, 
para petugas itu lalu berlagak seolah-olah penis mereka akan dihisap 
Hartoyo dengan cara memajukan penis mereka ke wajahnya. Seorang 
petugas bersenjata laras panjang lalu  menempelkan ujung 
senjata ini  ke anus Hartoyo. gerakan  mereka membuat dirinya 
sangat ketakutan sekaligus marah. Tapi dia tak mampu berbuat apa-
apa.  
Tak lama lalu , Hartoyo dan Bobby dibawa ke sebuah 
tempat seperti gang kecil di depan sebuah ruang (pagi harinya, 
Hartoyo baru tahu bahwa itu ruang Kapolsek, terlihat dari tulisan yang 
 53 
tertera di pintu ruangan). Mereka berdua lalu disuruh telanjang lagi 
dan Bobby dipaksa jongkok dan menghisap penis pacarnya. Setiap kali 
Hartoyo menolak, pada saat itulah dia kembali mendapatkan pukulan 
dan tendangan dari salah seorang petugas. Sedang yang lain hanya 
menonton sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lalu menangis lagi dan 
berteriak menolak. sesudah  itu, keduanya dipaksa duduk di bawah TV, 
di ruang tunggu, sambil disuruh berpelukan. Saat itu, seorang petugas 
berkata, “Hartoyo tampaknya diam, namun  sebenarnya di luaran 
banyak omong,” lalu melempar sandal Hartoyo ke mukanya. 
Lalu, petugas yang lain berkata, “Mandiin..!” Sekitar pukul 
02.00, keduanya disuruh ke halaman polsek dekat kolam. Mereka 
disuruh jongkok dan salah seorang polisi lantas mengambil selang dan 
memutar keran. Mereka berdua disemprot dengan air dari keran itu. 
Hartoyo menggigil kedinginan sebab  hanya memakai celana pendek, 
sedang  Bobby mengenakan celana panjang. Tidak lama lalu , 
Bobby mengatakan akan kencing. Seorang petugas lalu  
menyuruh dirinya kencing di kepala Hartoyo. Saat itu Hartoyo hanya 
menunduk dan lalu merasakan ada air hangat mengalir di kepalanya 
lumayan lama, sekitar 2 menit. sesudah  itu, mereka berdua dibawa ke 
sel sambil menggigil kedinginan dan ketakutan.  
Hartoyo memakai kembali baju dan celana. sedang  Bobby 
memakai sarung yang dipakai  untuk mengalungi mereka tadi. 
Lantas keduanya disuruh tidur. Hartoyo tidak bisa tidur dan duduk di 
depan kamar mandi dalam sel ini . Selain berdua, ada seorang 
tahanan lagi yang tinggal di dalam sel itu. Ruang tahanan jadi terasa 
sempit untuk tiga orang. lalu  seorang petugas memberi kedua 
pria ini minum, namun  Hartoyo menolak sebab  merasa takut dijebak. 
Dia ingat perkataan petugas yang menyatakan bahwa dirinya pecandu 
saat  pertama kali dibawa ke polsek. Namun Bobby meminum air itu.   
Satu jam lalu , seorang petugas lewat di depan sel. 
Hartoyo bertanya apakah diperbolehkan memakai  handphone 
(HP) untuk menghubungi kakaknya di Banda Aceh. Petugas ini  
menolak dan menyarankan besok pagi saja. Polisi menyuruh Hartoyo 
segera tidur saja. Namun dirinya semakin tidak bisa tidur sebab  
merasa putus asa, ketakutan, dan sangat tertekan. saat  azan subuh 
berkumandang, Hartoyo bangun dan meminta HP kembali. Tapi, lagi-
lagi tidak diberikan. Petugas ini  mengatakan, “Kalau penyidikan 
sudah berjalan, kakak akan dipanggil untuk datang.”  
Sesudah salat, petugas menyuruh Hartoyo push up sepuluh kali. 
Selanjutnya, disuruh berkenalan dengan seorang tahanan yang sudah 
ada lebih dulu di sel. Menurut salah seorang polisi, hal itu sudah 
menjadi budaya di penjara ini . Dia diminta berjabat tangan dan 
menyebutkan nama dan masalah  yang dialami. saat  dijelaskan bahwa 
masalah nya homoseksual, tiba-tiba tahanan ini  menampar pipinya 
dengan keras. Hartoyo marah sebab  tamparan itu. Polisi lalu segera 
masuk, memukul serta menendang dia sebab  dianggap melawan. 
Petugas lain lalu datang dan ikut memukul bagian perut. Dia lalu  
berkata bahwa dirinya masih diduga tak bersalah sebab  ada asas 
praduga tak bersalah. Lalu polisi berkata lantang, “Jadi kau tidak 
merasa bersalah?” Hartoyo pun menjawab, “Pengadilanlah yang akan 
memutuskan saya bersalah atau tidak.” saat  perdebatan 
berlangsung sengit, petugas lainnya mendekat dan memukul bagian 
perutnya lagi.  
Hartoyo dan Bobby lalu  disuruh keluar dari sel dan duduk 
di ruang tunggu. Tak lama lalu  polisi yang bertugas pagi datang 
dan menanyakan kembali masalah  mereka. Keduanya lalu dibawa masuk 
ke sel lagi. Oleh para polisi apel sekitar pukul 09.00, Hartoyo disidik. 
Mereka bertanya siapa wanita  yang menunggu di depan. Ternyata 
 55 
Laila, salah seorang rekan kerja Hartoyo di Yayasan Matahari. Dia 
masuk, dan meminta izin berbicara dengan Hartoyo tanpa dihadiri 
petugas. Namun, dia baru bisa diizinkan sesudah  proses penyidikan.  
Usai penyidikan, dan saat akan menandatangani surat-surat 
ini , Hartoyo menanyakan tentang apakah benar dirinya 
dikenakan pasal tentang pencabulan. Namun, polisi itu tidak 
merespons pertanyaannya. “Bagaimana dengan pemukulan dan 
pelecehan yang dilakukan polisi?” tanya Hartoyo. “Kalau hendak 
melanjutkan (perkara pemukulan polisi, Red), maka prosesnya akan 
lama,” kata petugas.  
sesudah  mendapat keterangan ini , Hartoyo membayangkan 
dirinya akan disel kembali dan mendapatkan pemukulan serta 
penyiksaan. Akhirnya dia mau menandatangani berkas ini . Dia 
lalu dipertemukan dengan Laila dan Titi. Petugas mempersilakan 
mereka memakai  ruangan sel di sebelah sel tempat Hartoyo 
ditahan. Di situ, dia menangis dan mengadukan seluruh peristiwa 
penganiayaan pada Laila dan meminta tolong untuk memberitahukan 
pada Nana, yang yaitu  pendiri Yayasan Matahari. Namun, dia 
datang lalu  meski tidak sempat berbicara dengan Hartoyo 
sebab  menunggu di luar.  
Tak lama lalu , saat  mereka masih berbicara, seorang 
polisi yang lalu  diketahui sebagai Kapolsek berkata, “Mengapa 
berbicara di ruangan ini (sel, Red)?”. namun  tidak ada respon dari 
petugas lain hingga pembicaraan dengan Laila selesai. Hartoyo merasa 
sangat tidak puas sebab  hanya diberi waktu berbicara lima menit. Dia 
dikembalikan ke sel dan tidak sempat berbicara dengan Nana. Namun 
Laila sempat berjanji akan tetap tinggal menemani agar Hartoyo tidak 
dipukuli lagi. Beberapa polisi masih menanyai tentang masalah  dirinya 
sampai Indri dan seorang rekan lagi dari Yayasan Matahari datang.  
Kapolsek sempat bertanya pada Hartoyo, “Apakah kau dipukul polisi 
semalam?” Dia menjawab ya. Lalu Kapolsek bertanya lagi, “Siapa yang 
menelepon dari Koalisi NGO?” Hartoyo menjawab tidak tahu.  
sesudah  tahu ada Koalisi NGO yang menelpon dan menanyakan 
tentang penganiayaan dan penyiksaan ini , polisi yang menyidik 
Hartoyo lalu  bertanya. “Kamu keberatan dengan pemukulan 
yang dilakukan polisi? Kalau memang keberatan dibuat surat 
pengaduan’’. Tapi Hartoyo hanya menjawab, “Saya menunggu 
pengacara saja’’. Kala itu, dia masih merasa ketakutan. Tapi di sisi 
lain, sangat marah dengan perlakuan petugas. Bobby yang telah 
selesai disidik lalu  menyarankan agar Hartoyo tidak 
memperpanjang masalah . Lantaran kasihan melihat Bobby dan saat itu 
memang yang terpikir yaitu  keluar dari polsek sesegera mungkin, 
Hartoyo hanya mengiyakan.  
Tak lama lalu , Ratna dari koalisi NGO datang bersama 
teman laki-lakinya dan bertanya pada mereka berdua apakah ingin 
memperpanjang masalah nya atau tidak. sebab  hanya berpikir untuk 
keluar saja dari sel, Hartoyo mengatakan tidak. Lalu, dia, Bobby, 
Ratna, dan Nana bertemu Kapolsek di ruangannya. sesudah  beberapa 
pembicaraan, hasilnya yaitu  Hartoyo tidak akan memperpanjang 
masalah  ini. Dia dan Bobby lalu diminta menandatangani surat 
pernyataan yang isinya tidak berbuat hal yang sama lagi. Surat 
perjanjian ini yaitu  antara mereka berdua dengan warga  yang 
diwakili Pak Keucik.  
sesudah  itu, Hartoyo diminta mengecek tas yang diambil 
petugas. Dia lalu diantar ke Lempineung oleh Laila, Nana, dan Indri 
untuk beristirahat. Namun malam harinya, dia tidak bisa tidur dan 
terus menangis. Terutama jika mengingat perlakuan warga  dan 
polisi yang menurutnya tidak manusiawi dan telah menghilangkan  
martabat kemanusiaannya. Selain itu, dia masih merasakan sakit di 
bagian tubuh akibat penganiayaan.  
Di tengah situasi galau ini , Hartoyo masih memikirkan 
keadaan Bobby dan memintanya agar datang keesokan harinya ke 
tempat dia untuk mengantarkan celana panjangnya. Sebab, Hartoyo 
sudah tidak lagi memiliki persediaan celana panjang. Sayang, Bobby 
tidak menepati janji dan handphone-nya sudah tidak dapat dihubungi 
lagi hingga kini.  
Tidak terima mendapat perlakuan kejam dari pihak Polsek 
Bandar Raya, Hartoyo kembali membuka masalah  yang dialaminya. Dia 
melaporkan penganiayaan dan penyiksaan yang telah dialaminya. 
Sayangnya, saat melapor kembali, sedikit sekali bukti yang didapat 
penyidik selain nama Eripda Rahayu Saputra, dkk yang yaitu  
pelaku dari masalah  penyiksaan ini . Mereka yaitu  anggota 
SatSamapta Poltabes Banda Aceh. Hasil VER (visum et repertum) dari 
saksi korban Hartoyo juga tidak ada.  
Menurut tim advokasi (yang terdiri dari Arus Pelangi, YLBHI, 
KAPAL wanita , LBH-APIK dll.) korban memberi  keterangan di 
kepolisian, seharusnya pihak penyidik dapat memerintahkan segera 
dilakukan VER sebab  ada pengaduan dari korban saat proses 
penyidikan. Di lain pihak, Bobby juga tidak mau diminta kesaksiannya 
meski sudah mendapat dua kali surat panggilan. Pihak penyidik sudah 
menghubungi tim advokasi atau pendamping untuk membantu 
memberi  informasi alamat atau keberadaan terbaru dari saksi 
korban ini . Namun, sampai saat ini keberadaannya saja belum 
bisa diketahui. Menurut kabar yang tidak bisa dikonfirmasi para pelaku 
di Polsek Banda Raya sudah dipecat, sementara masalah  ini diangkat ke 
dunia internasional. Antara lain Amnesty International, Asian Human                             
Rights Commission sampai Pelapor Khusus Anti Penyiksaan PBB telah 
mengangkat masalah  ini. (*) 
 
. masalah  Pemukulan Lesbian (Makassar) 
Mantan Polisi Hajar Lesbi 
Sungguh malang nasib Linda7 dan Wilma8. Pasangan lesbian ini 
dipukuli B. alias choky , tetangga kos mereka di Jalan Mappanyuki No. 
69 Makassar. choky  sendiri yaitu  mantan aparat yang dipecat 
sebab  masalah  penyalahgunaan narkoba. 
 masalah  ini bermula saat  hubungan antara istri choky  
dengan rekan komunitas lesbian bernama Olivia9 mulai akrab. Saat 
itu, Selasa, 10 Juli 2007, Linda dan Wilma sedang berkunjung ke 
rumah Anita10 (salah satu rekan komunitas lesbian). Anita sendiri baru 
saja pulang kerja dari Serui. Di rumah yang beralamat di Jl. Nusantara 
Baru Kompleks PU Makassar, ini juga ada istri choky  atau biasa disebut 
Mami. Siang itu Mami sengaja berkunjung ke rumah Anita sebab  ada 
janji mengenai masalah pekerjaan.  
 Sekitar pukul 14.00, Olivia datang membujuk Mami untuk 
pulang ke rumahnya tapi ditolak Mami. Akhirnya dia pulang dan tanpa 
sepengetahuan mereka, Olivia datang ke tempat kos choky  di Jalan 
Mappanyuki No. 59. Di sana, dia mengadukan bahwa istri choky  sedang 
bergaul dengan para lesbian.  
 Dengan sangat emosi, choky  mendatangi rumah Anita dan 
langsung memukul istrinya hingga melukai hidung dan membuat 
bengkak seluruh wajah istrinya. Mami mengeluarkan banyak darah 
hingga mengotori karpet di rumah Anita. Puas memukul istrinya, choky  
lalu  memukul Linda yang sedang makan siang. Piring yang 
dipegangnya jatuh. Lalu dia menendang dua kali paha Linda. 
Pemukulan berlanjut pada Wilma. Kali ini dia memakai  helm, 
namun ditangkis tangan Wilma. sebab  kesal pukulannya meleset, 
choky  langsung menendang bahu depan atas dan pundak belakang 
Wilma dengan keras. Saat kejadian Anita sedang berada di rumah 
tetangganya, sehingga dia tidak sempat mendapat perlakuan kasar 
yang sama dengan ketiga korban.  
sesudah  puas memukul ketiganya, choky  menyeret Mami keluar 
dengan paksa sambil berteriak keras, hingga menarik perhatian warga 
sekitar. “Dasar kalian semua lesbian anjing, sundal, iblis tidak 
tahu untung!”. Lalu, dia menuduh Linda dan Wilma yang telah 
menjerumuskan Mami menjadi seorang lesbian. Para tetangga pun 
keluar dan menyaksikan adegan heboh ini .  
Tentu saja, teriakan itu pun dibalas oleh Linda. “Itu bukan 
urusan kamu. Aku mau menjadi lesbian atau tidak yang penting aku 
tidak pernah merugikan siapapun. Dan atas dasar apa kamu 
mengatakan aku dan Wilma telah menjerumuskan mami menjadi 
seorang lesbian.” 
 Usai kejadian itu, tidak lama lalu  Anita datang. Dia 
heran sebab  telah terjadi keributan di rumahnya. Melihat bercak 
darah Mami berceceran di karpet rumah, dia langsung mengambil 
inisiatif memotret darah Mami memakai  kamera handphone 
miliknya. Dia juga menyarankan Linda dan Wilma segera melapor 
kejadian yang menimpa mereka ke kepolisian terdekat.   
Sayangnya, saat melapor ke kantor Polresta Kesatuan Pelaksana 
Pengamanan Pelabuhan (KP3), keduanya malah mendapat perlakuan 
kurang menyenangkan. Polisi berasumsi bahwa masalah  mereka 
hanyalah faktor kecemburuan pasangan lesbian sehingga enggan 
untuk mengatasi  masalah nya dengan cepat. Polisi tidak membuat surat 
tanda pelaporan sesuai ketentuan. Laporan Wilma hanya ditulis dalam 
buku besar saja, tidak dimasukkan ke file komputer.  
Bahkan saat menulis, pihak kepolisian yang yaitu  rekan si 
pemukul, choky , mengatakan pada pasangan lesbian seperti ini: 
“Kalian tahu kalau choky  itu orangnya nekat dalam melakukan 
segala sesuatu dan ke mana-mana selalu bawa celurit?” 
Perkataan ini dimaksudkan untuk membuat mental keduanya ciut dan 
tidak melaporkan masalah  pemukulan yang terjadi. sesudah  dimintai 
keterangan, polisi meminta agar luka Wilma divisum dan hasilnya 
dapat diambil keesokan harinya.  
Pada Rabu, 11 juli 2007, sebelum berangkat menuju ke KP3, 
Wilma sempat diancam choky  dengan kata-kata: “Awas, sampai kau 
teruskan laporanmu, aku akan mengerahkan anak buahku 
untuk menelanjangimu.” Pukul 11.00 WITA (waktu negara kita  
bagian tengah), Wilma bersama rekan-rekan dari komunitas lesbian 
dan perwakilan Arus Pelangi Jakarta, mendatangi Anwar, rekan di LBH 
Makassar. Mereka menceritakan kronologis masalah ini . Anwar 
menyarankan agar pelapor, yakni Wilma, sebaiknya mengambil bukti 
pelaporan di KP3. Di tempat ini  pula, mereka membentuk tim 
advokasi yang terdiri Arus Pelangi dan Kelompok Sehati Makassar 
untuk mendampingi selama proses di Polresta KP3. 
Setiba di kantor