berasx.blogspot.com
....
kacangx.blogspot.com
.....
Tampilkan postingan dengan label waria 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label waria 1. Tampilkan semua postingan
Rabu, 10 Januari 2024
waria 1
Januari 10, 2024
waria 1
Penghormatan hak-hak manusia (human rights) tampaknya
sudah diterima sebagai bagian dari pikiran bangsa negara kita . Banyak
kalangan warga menjalankan berbagai aktivitas yang berkaitan
dengan isu hak-hak manusia seperti diskusi, seminar, lokakarya,
pelatihan, demonstrasi menuntut hak dan mengajukan gugatan
pelanggaran hak-hak manusia (human rights violation) serta
merekomendasikan perbaikan kondisi hak-hak manusia.
Negara Republik negara kita (RI) juga sudah menjadi salah satu
dari Negara-negara peserta (state parties) sebab sudah
menandatangani dan meratifikasi sebagian perjanjian internasional
hak-hak manusia (international human rights treaties) yang utama
sebagai bagian dari hukum dan kebijakan nasionalnya. Dengan
demikian, RI terikat secara hukum dan kebijakan dalam menunaikan
kewajiban (obligation) untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak manusia. Satu kewajiban
tambahan yaitu mempromosikan (to promote) hak-hak manusia
supaya dapat diketahui oleh publik.
Selain itu, di pasal 28 UUD 1945 dan UU No. 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia disebutkan secara rinci mengenai penghormatan
pada hak-hak manusia. Bahkan, RI berusaha mengakomodasi
kebutuhan keadilan bagi korban yang menderita sebab suatu
kejahatan serius (serious crime)–kejahatan pada kemanusiaan
(crimes against humanity) dan genosida (genocide)–melalui UU No.
26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sejak RI berdiri sebagai negara konstitusional, hak-hak manusia
sudah diakomodasi dalam Pasal 28 UUD 1945. Lebih lengkap lagi
yaitu Konstitusi RIS dan UUD 1950. namun aturan tentang hak-hak
manusia mengalami kemunduran sesudah dekrit presiden yang
mengembalikan UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Terlebih lagi saat Orde
Baru berdiri dan beroperasi sejak akhir 1965 dengan kepemimpinan
kekuasaan otoriter yang memang berwatak menindas hak-hak manusia.
Kendati demikian, tetap tumbuh usaha memperjuangkan hak-
hak manusia dari kalangan warga di hadapan kekuasaan Orde Baru.
Pada 1966, berdiri sebuah organisasi di Jakarta bernama Lembaga
Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM). Pada 1970, juga muncul
tuntutan dari kalangan mahasiswa di Bandung yang menyuarakan
hak-hak sipil. Dalam hak-hak manusia yang lebih khusus, muncul
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) pada 1970 yang mengalami
perkembangan di bawah Yayasan LBH negara kita (YLBHI). Belakangan
hadir pula beberapa organisasi seperti Perhimpunan Bantuan Hukum
dan Hak Asasi Manusia negara kita (PBHI) pada 1996, Komisi Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) pada 1998 dan
Imparsial (The negara kita n Human Rights Monitor) pada 2002.
Perjuangan hak-hak manusia di berbagai daerah juga ditandai
dengan kemunculan beberapa organisasi atau lembaga yang berkaitan
dengan advokasi hak-hak manusia. Dan pada 10 Desember setiap
tahunnya, dirayakan sebagai hari hak-hak manusia melalui kegiatan
kampanye, pawai, atau demonstrasi turun ke jalan oleh berbagai
kalangan warga baik di Jakarta maupun di daerah. Media
sosialisasi tentang isu hak-hak manusia pun dapat diakses melalui
situs internet dari banyak organisasi atau banyak lembaga.
kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto tak bisa
sepenuhnya dapat membendung perkembangan wacana hak-hak
manusia. Berbagai masalah pelanggaran hak-hak manusia seperti di
Aceh, Talangsari (Lampung), dan Timor Leste tidak hanya menjadi
perhatian dari kalangan organisasi hak-hak manusia di dalam negeri,
melainkan juga di tingkat internasional.
Untuk mengakomodasi tekanan ini, kekuasaan Soeharto
mengeluarkan keputusannya membentuk Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (Komnas HAM) pada 1992. Di bawah kekuasaan Soeharto juga
telah diratifikasi beberapa perjanjian internasional hak-hak manusia,
seperti CEDAW (Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
pada wanita ) dan CRC (Konvensi Hak Anak).
Seiring tumbangnya kekuasaan Soeharto, pada masa Presiden RI
Burhanuddin Jusuf Habibie dikeluarkan dan diberlakukan UU HAM
sejak 1999 serta ratifikasi CAT (Konvensi Melawan Penyiksaan) dan
CERD (Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial). Sementara yang
berkaitan dengan kekerasan pada wanita (violence against
women), dibentuk Komisi Nasional Anti Kekerasan pada
wanita (Komnas wanita ) sesudah kerusuhan Mei 1998. Pada
masa Presiden Abdurahman Wahid, dibentuklah satu kementerian
negara yaitu menteri negara hak asasi manusia. Untuk mencegah
halangan atas kebebasan pers, dibubarkanlah Departemen
Penerangan. Presiden Abdurahman Wahid juga memisahkan fungsi
dan tugas TNI dan Polri, termasuk membubarkan Bakorstanas serta
mekanisme Litsus. Dengan amandemen UUD 1945, kekuasaan
kehakiman dipisahkan secara tegas dengan kekuasaan pemerintah,
sehingga departemen kehakiman berganti nama menjadi Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Depkumham). Dan pada masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, diratifikasi dua kovenan untuk
melengkapi empat perjanjian internasional yang sudah diratifikasi,
yaitu ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
dan ICSECR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya).
Wacana hak-hak manusia terus meluas dengan ratusan judul
buku diterbitkan atau dipublikasikan dan beredar di mana-mana.
Begitu pula media massa, banyak mengelola program khusus tentang
hak-hak manusia, termasuk pengelolaan situs internet oleh banyak
organisasi atau lembaga yang berhubungan dengan isu hak-hak
manusia. Berbagai diskusi, seminar, pawai, dan unjuk rasa
memperjuangkan pelaksanaan kewajiban negara atas hak-hak
manusia juga marak. Pendek kata, wacana hak-hak manusia sudah
menyebar di tengah-tengah warga .
Pertanyaannya, mengapa tetap saja terjadi pelanggaran atau
pengingkaran hak-hak manusia? Banyak peristiwa pelanggaran serius
hak-hak manusia seperti banyak berlangsung di markas-markas
kepolisian, dan secara lokal di Aceh, Poso, dan Papua. Pelanggaran
serius ini termasuk diberlakukannya hukuman cambuk dan hukuman
mati (death penalty). Bahkan dari serangkaian masalah sengketa lahan
justru berefek kepada pelanggaran hak-hak manusia yang berat (gross
violation of human rights).
Pada dasarnya seluruh pelanggaran hak-hak manusia harus
senantiasa diingat dan menjadi pelajaran untuk memperbaiki supaya
hak-hak manusia lebih dihormati, dapat dilindungi, dan dipenuhi
sebagai pelaksanaan kewajiban Negara. Sebaliknya, mereka yang
menjadi korban dan prihatin atas berbagai peristiwa pelanggaran itu
untuk ambil bagian dalam menggugat tanggung jawab negara (state
responsibility).
Tidak terkecuali dengan pelanggaran hak orang-orang
dengan orientasi seksual berbeda, seperti lesbian, gay, biseksual,
transgender, interseksual (LGBTI). Pelanggaran hak-hak kelompok
LGBTI ini seringkali dibiarkan saja terjadi. Bentuk pelanggaran haknya
bermacam-macam. Namun di dalam buku ini penulis hanya akan
membatasi pada gerakan stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan.
Pembatasan itu lebih disebabkan sebab ketiga gerakan itu dinilai oleh
penulis sebagai pelanggaran hak-hak pokok yang dialami oleh
sebagian besar kelompok LGBTI, baik di negara kita , maupun di
sebagian besar negara di dunia. Ketiga gerakan itu lalu
menimbulkan pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI yang lebih
kompleks, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun warga .
Pada akhirnya semua pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI itu akan
mempengaruhi seluruh sendi kehidupan individu-individu LGBTI itu
sendiri.
Di dalam konteks Negara RI, sebagian besar individu
LGBTI yang hidup di negara kita yaitu warga Negara negara kita
(WNI) yang sah. Sesuai dengan hukum hak-hak manusia
Internasional, Pemerintah RI harus taat kepada Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan semua kovenan internasional tentang
hak-hak manusia yang telah diratifikasi oleh pemerintah RI. Beberapa
kewajiban pokok dari pemerintah yaitu mengakui, mempromosikan,
memenuhi, dan melindungi hak-hak warga negaranya serta
menghukum setiap pelaku pelanggaran hak sesuai dengan hukum
hak-hak manusia internasional. Dan disebab kan orang-orang LGBTI
juga banyak yang menjadi WNI, maka pemerintah RI tidak dapat
membiarkan pelanggaran hak orang-orang LGBTI terjadi di negara kita
atas dasar apapun. lalu pemerintah RI harus merumuskan
produk hukum untuk menjerat dan menghukum semua pelaku
pelanggaran hak-hak manusia, termasuk juga pelanggaran hak-hak
kelompok LGBTI.
Kebijakan Diskriminatif
Kalau melihat ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang
HAM1 dijelaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan HAM yaitu tanggung jawab pemerintah. Hal itu juga
meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum,
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan negara
dan bidang lain2.
Di dalam UUD 19453 dijelaskan bahwa setiap warga negara
negara kita (WNI)4 memiliki hak yang sama. Pemerintah memiliki
1 Pasal 8 jo Pasal 71 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
2 Pasal 72 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM.
3 Pasal 28 C UUD 1945 ayat 2: Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun warga , bangsa,
dan negaranya.
Pasal 28 D ayat 1: Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pasal 28 H ayat 2: Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan.
Pasal 28 I ayat 1: Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk
diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut yaitu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.
tanggung jawab untuk memenuhi semua hak WNI. Hal ini juga sesuai
dengan kovenan internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (Ekosob) serta kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil
dan Politik (Sipol).5
Ironis memang. Di satu sisi pemerintah terlihat getol ingin
menegakkan hak-hak manusia. Tapi dalam waktu bersamaan,
pemerintah membuat kebijakan-kebijakan diskriminatif. jika
mencermati beberapa peraturan ataupun kebijakan pemerintah,
seringkali bertentangan dengan UUD 1945 dan kovenan internasional
ini .
Beberapa produk hukum di tingkat nasional maupun daerah
yang mendiskriminasikan kelompok LGBTI secara langsung yaitu
sebagai berikut:
1. Perda Provinsi Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 tentang
Pemberantasan Maksiat di Provinsi Sumatera Selatan. Perda ini
mengkriminalisasikan kelompok LGBTI dengan mengkategorikan
kelompok LGBTI sebagai bagian dari perbuatan pelacuran.
Ayat 2: Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan pada perlakuan yang
diskriminatif itu.
Ayat 4: Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
yaitu tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Ayat 5: Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan
prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia
dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 28 J ayat 1: Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tertib kehidupan berwarga , berbangsa dan bernegara.
4 Sehingga semua WNI dengan orientasi seksual berbeda harus diartikan dan
dipahami oleh pemerintah dan warga negara kita sebagai kelompok
warga yang juga diatur di dalam UUD 1945.
2. Perda Kota Palembang No. 2 Tahun 2004 tentang
Pemberantasan Pelacuran. Perda ini mengkriminalisasikan
kelompok LGBTI dengan mengkategorikan kelompok LGBTI
sebagai bagian dari perbuatan pelacuran Pemda Kota
Palembang tampaknya tidak mengerti mengenai perbedaan
pelacuran dengan orientasi seksual dan asas hukum yang
berlaku di negara kita .
3. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Peraturan ini hanya
menyatakan bahwa perkawinan yang sah yaitu perkawinan
yang dilakukan oleh dua orang heteroseksual.
4. Perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum
(Tibum). Perda ini mengkriminalisasikan pekerjaan-pekerjaan
informal yang dilakukan oleh warga miskin kota. Sehingga
kelompok LGBTI di Jakarta yang memiliki pekerjaan informal
yang dikriminalisasikan oleh perda itu akan mengalami dampak
langsung dari diberlakukannya perda Tibum ini.
5. UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan
PP No. 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun
2006. Kedua peraturan itu hanya mengakui identitas
transseksual (waria yang telah berhasil melakukan usaha
perubahan kelamin) yang jumlahnya jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan transgender (waria yang belum, sedang
atau tidak melakukan usaha perubahan kelamin).
6 Perda ini disahkan pada 7 Januari 2004 dan ditandatangani Walikota Palembang
Eddy Santana Putra. Pasal 8 ayat 1 Perda ini menyebutkan: Pelacuran yaitu
perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau sekelompok orang dengan sadar,
bertujuan mencari kepuasan syahwat di luar ikatan pernikahan yang sah dengan
atau tanpa menerima imbalan, baik berupa uang maupun bentuk lainnya.
Pasal 8 ayat 2: Termasuk dalam perbuatan pelacuran yaitu : a. homoseks. b.
lesbian. c. sodomi. d. pelecehan seksual, dan e. perbuatan porno lainnya.
Selain beberapa peraturan di atas, ada juga beberapa kebijakan
pemerintah lainnya yang juga melanggar hak-hak kelompok LGBTI di
negara kita . Salah satu contohnya yaitu Kebijakan Departemen Sosial
melalui Dinas Pembinaan Mental dan Kesehatan Sosial (Bintalkesos)
DKI Jakarta yang memasukan kelompok waria ke dalam kategori
penyandang cacat. Memang kebijakan ini tidak tertulis,
melainkan suatu kesalahan teknis yang akhirnya menjadi suatu
kebiasaan. Dinas Bintalkesos DKI Jakarta memasukkan waria ke dalam
kewenangan Sub Dinas Penyantunan Penyandang Cacat (Sudin PPC).
saat dikonfirmasikan kepada pihak Dinas Sosial7, mereka
mengatakan bahwa hal itu bisa terjadi sebab pada awalnya mereka
tidak memiliki dana untuk membuat program pembinaan pada
kelompok waria. Maka dipakai lah dana dari program pembinaan
penyandang cacat. Sudah tentu hal ini langsung menimbulkan
opini publik yang negatif dan warga pun semakin percaya bahwa
kelompok waria memang yaitu kelompok penyandang cacat.
Keadaan ini menjadi semakin parah saat Pemerintah
bersifat pasif dengan melakukan pembiaran pada kesalahan Dinas
Bintalkesos dan tidak mengeluarkan kebijakan atau propaganda
konstruktif apapun untuk melakukan counter pada stigma
pada kelompok LGBTI yang ada di dalam warga .
Keadaan di atas sedikit berubah pada saat ini. Dengan usaha
yang gigih dari kelompok waria di Jakarta, akhirnya pada Juni 2008
secara resmi Dinas Bintalkesos DKI Jakarta menyatakan bahwa Sub
Dinas yang berwenang mengatasi waria yang terjerat razia di jalanan
yaitu Sub Dinas Rehabilitasi Tuna Sosial (Sudin RTS).
Perda-perda itu memang harus segera diharmonisasikan dengan
peraturan yang lebih tinggi. Jika tidak, maka besar kemungkinan akan
terjadi penangkapan pada kelompok LGBTI. Kalau ini terjadi,
usaha pemenuhan dan perlindungan HAM di negara kita pada umumnya
akan mengalami degradasi. Juga akan timbul berbagai bentuk
penyelewengan dan korupsi atau gerakan sewenang-wenang
berdasar perda oleh aparat pemda, pemkab, atau pemkot.
Pemerintah sepertinya kurang bersemangat mengeluarkan
kelompok LGBTI ini dari penderitaan mereka. Kubangan diskriminasi
dan intoleransi masih terus menjadi konstruksi sosial dan pandangan
dominan warga pada kelompok LGBTI. Pemerintah mungkin
khawatir akan berhadapan dengan konstruksi sosial pandangan
heteroseksual yang mendominasi pola pikir warga . Biasanya,
warga melakukan stigmatisasi pada mereka dengan
memakai justifikasi doktrin dan teks-teks suci keagamaan. Oleh
tafsir agama koservatif, kelompok LGBTI dianggap sampah
warga , menyebarkan penyakit menular, tidak normal, tidak
alamiah, sumber datangnya malapetaka, dan penyandang cacat
mental. Parahnya lagi, pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan
mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif pada
kelompok marginal ini .
Perkembangan Internasional mengenai LGBTI
Di tingkat internasional, kelompok LGBTI sudah lama
dikeluarkan dari kategori penyandang cacat mental. Pada 1973,
Asosiasi Psikiater Amerika telah menyetujui pentingnya metode
penelitian baru yang dirancang lebih baik dan menghapuskan
homoseksualitas dari daftar resmi kekacauan jiwa dan emosional.
lalu , pada 1975, Asosiasi Psikolog Amerika mengeluarkan
resolusi yang mendukung penghapusan kategori penyandang cacat
mental ini . Selama 25 tahun terakhir, dua asosiasi ini mendesak
ahli-ahli jiwa di dunia untuk ikut membantu menghilangkan stigma
“penyandang cacat mental” pada kelompok LGBTI. Desakan itu
akhirnya juga sampai ke ahli-ahli jiwa negara kita ; Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III (1993) sudah
tidak lagi menyebutkan homoseksualitas sebagai gangguan jiwa.
Meskipun kelompok LGBTI sudah lama dikeluarkan dari kategori
penyandang cacat mental, namun secara umum di tingkat
internasional kelompok LGBTI atau kelompok warga dengan
orientasi seksual berbeda belum diakui secara resmi sebagai sebuah
kelompok sosial. Hal itu terbukti dengan tidak adanya produk hukum
internasional yang mengadopsi terminologi LGBTI ataupun orang
dengan orientasi seksual berbeda. Lebih jauh lagi, belum ada satupun
produk hukum internasional yang mengakui keberadaan kelompok
LGBTI ini serta mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kelompok
LGBTI secara khusus.
jika kita mengacu kepada definisi kelompok sosial yang
diberikan oleh Robert Bierstedt8, kelompok LGBTI seharusnya telah
diakui sebagai kelompok sosial. sebab selama ini kelompok
warga dengan orientasi seksual berbeda ini telah berbaur,
berinteraksi, dan membentuk kelompok ataupun komunitas atas dasar
kesadaran dan pilihan mereka sendiri. lalu kelompok LGBTI juga
telah lama membangun hubungan positif dengan anggota kelompok
warga lainnya.
Belum adanya pengakuan pada kelompok LGBTI di tingkat
internasional ini dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu stigma pada
kelompok LGBTI yang dipengaruhi oleh doktrin agama telah merasuki
pikiran warga dunia; serta belum adanya iktikad bersama yang
dibangun oleh Negara-negara anggota PBB untuk mengakui dan
mengatur pemenuhan hak-hak kelompok LGBTI secara khusus.
Namun belum adanya pengakuan pada kelompok LGBTI ini
tidak menyurutkan semangat para aktivis LGBTI dan juga aktivis HAM
untuk memperjuangkan pengakuan bagi kelompok LGBTI dan
perlindungan pada mereka dari segala bentuk diskriminasi.
Lambat laun usaha -usaha yang dilakukan oleh para aktivis itu
membuahkan hasil. Pada 26-29 Juli 2006 diadakan sebuah Konferensi
Internasional tentang Hak-Hak LGBTI di Montreal, Kanada. Konferensi
ini diakhiri dengan pembacaan Deklarasi Montreal oleh seorang petenis
lesbian kelas dunia, Martina Navratilova. Deklarasi Montreal ini
yaitu langkah awal yang dihasilkan oleh para pejuang hak-hak
LGBTI di dunia, dimana untuk pertama kalinya terminologi LGBTI
dipakai di dalam sebuah deklarasi Internasional. Walaupun bukan
yaitu dokumen resmi PBB ataupun produk hukum resmi
Internasional, namun ada beberapa hal penting yang diatur di dalam
deklarasi Montreal ini, yaitu desakan kepada Negara-negara di dunia
untuk mengakui, memenuhi, dan melindungi hak-hak LGBTI serta
desakan agar semua Negara dan PBB mengakui dan mempromosikan
tanggal 17 Mei setiap tahunnya sebagai Hari Internasional Melawan
Homophobia (IDAHO/International Day against Homophobia).
Namun demikian di kancah politik PBB, homofobia masih sangat
kental dan negara-negara yang mendukung pengakuan hak-hak
berdasar orientasi seksual, identitas gender dan ekspresi gender,
masih menjadi minoritas. Melihat situasi demikian dua buah lembaga
internasional yang berbasis di Jenewa (Swiss), yaitu The International
Commission of Jurists dan The International Service for Human Rights,
mengambil inisiatif menempuh langkah alternatif, yaitu menyaring
hak-hak apa saja yang sudah melekat pada kaum LGBTI berdasar
kovenan-kovenan internasional yang sudah menjadi dokumen resmi
PBB. Menjelang akhir 2006, tepatnya 6 sampai dengan 9 Nopember
2006, 29 orang ahli hukum HAM Internasional berkumpul di
Yogyakarta untuk merumuskan sekumpulan prinsip yang patut
dipatuhi oleh suatu Negara terkait dengan orientasi seksual dan
identitas gender seseorang. Sekumpulan prinsip itu – tepatnya ada 29
prinsip – yang dinamakan Yogyakarta Principles1. Walaupun bukan
yaitu dokumen resmi PBB, namun perumusan Yogyakarta
Principles harus dilihat sebagai sebuah kemajuan yang signifikan bagi
usaha pemenuhan dan perlindungan hak-hak LGBTI di dunia. Apalagi
sekumpulan prinsip ini dirumuskan di sebuah Negara yang
sampai dengan saat ini belum mengakui identitas sosial dan politik
kelompok LGBTI. Hal ini menandakan keseriusan dari para
perumus – sekaligus penandatangan – untuk terus mengkampanyekan
pentingnya usaha menghilangkan segala bentuk diskriminasi
berbasiskan orientasi seksual dan identitas gender, serta pemenuhan
dan perlindungan hak-hak LGBTI di negara-negara yang belum
mengakomodasi hak-hak LGBTI. sebab semangat non-diskriminasi
serta, maka Yogyakarta Principles ini berhasil dirumuskan.
Yogyakarta Principles sangat berguna bagi Negara-Negara yang
telah meratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik serta Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya. Hal itu disebabkan sebab semua prinsip yang
dirumuskan dalam Yogyakarta Principles terkait dengan hak-hak sipil
dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya dan juga
berlaku ke pada kelompok warga yang memiliki orientasi
seksual dan identitas gender berbeda. Selain itu diatur pula kewajiban-
kewajiban negara demi memenuhi hak-hak kelompok warga
yang memiliki orientasi seksual dan identitas gender yang berbeda
ini .
Walaupun kelompok LGBTI belum diakui sebagai sebuah
kelompok sosial di tingkat Internasional, namun Deklarasi Montreal
dan Yogyakarta Principles dapat dijadikan sebagai dasar pemikiran
bagi Negara-negara di dunia maupun PBB untuk segera melakukan
affirmative action untuk mengakui keberadaan kelompok LGBTI. Salah
satu affirmative action yang dapat dilakukan yaitu merumuskan
suatu produk hukum khusus yang mengatur tentang pengakuan,
pemenuhan, dan perlindungan hak-hak LGBTI.
Pemahaman Diskriminasi
Di negara kita kelompok LGBTI menjadi salah satu kelompok
warga yang terus mendapatkan diskriminasi multidimensional.
Diskriminasi di sini dapat diartikan sebagai pelayanan dan/atau
perlakuan yang tidak adil pada individu tertentu, di mana
pelayanan/perlakuan berbeda ini dibuat berdasar karakteristik
yang diwakili oleh individu ini , seperti karakteristik kelamin,
orientasi seksual, ras, agama dan kepercayaan, aliran politik, kondisi
fisik atau karakteristik lain, yang tidak mengindahkan tujuan yang sah
atau wajar.
Secara umum diskriminasi dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu
diskriminasi langsung, yaitu diskriminasi yang terjadi pada saat
hukum, peraturan atau kebijakan jelas-jelas menyebutkan
karakteristik tertentu, seperti jenis kelamin, orientasi seksual, ras, dan
sebagainya, dan menghambat adanya peluang yang sama bagi
individu-individu yang memiliki karakteristik yang disebutkan di
dalam hukum, peraturan, ataupun kebijakan ini . Bentuk
diskriminasi yang kedua yaitu diskriminasi tidak langsung, yaitu
diskriminasi yang terjadi pada saat peraturan yang bersifat netral
menjadi diskriminatif saat diterapkan di lapangan9.
Pada dasarnya semua diskriminasi pada kelompok LGBTI
disebabkan oleh stigma sosial yang dihasilkan dari doktrin dan
pemahaman agama yang konservatif. Beberapa contoh diskriminasi
yang sering dihadapi kelompok LGBTI di negara kita yaitu sebagai
berikut:
1. Diskriminasi sosial, contohnya yaitu stigmatisasi, cemoohan,
pelecehan, dan pengucilan, tidak adanya kesempatan yang
sama untuk mengenyam pendidikan formal, dan kekerasan fisik
maupun psikis; contohnya melempar batu kerikil ke seorang
waria.
2. Diskriminasi hukum contohnya yaitu kebijakan Negara yang
melanggar hak-hak LGBTI dan perlakuan hukum yang berbeda
sebagaimana telah dikemukakan di bagian sebelumnya di dalam
buku ini.
3. Diskriminasi politik, contohnya yaitu kesempatan berbeda
dalam wilayah politik praktis dan pencekalan atau tidak adanya
keterwakilan politik dari kelompok LGBTI.
4. Diskriminasi ekonomi, contohnya yaitu pelanggaran hak atas
pekerjaan di sektor formal.
5. Diskriminasi kebudayaan, contohnya yaitu usaha penghapusan
dan penghilangan nilai-nilai budaya yang ramah pada
kelompok LGBTI. Contohnya, selama dasawarsa 70-80an
budaya Bissu di Sulawesi Selatan hampir musnah diberantas
oleh kelompok Islam garis keras, DI-TII.
berdasar uraian Bab I dan Bab II ini, ada tiga pokok
persoalan yang hendak diajukan di dalam buku ini. Pertama, persoalan
stigma, diskriminasi, dan kekerasan fisik ataupun psikis pada
kaum LGBTI, baik yang dilakukan oleh pihak keluarga, warga ,
ataupun negara. Kedua, adanya ketidak-harmonisan peraturan
perundang-undangan di satu sisi yang tidak memperbolehkan
diskriminasi dan kebijakan lainnya yang sangat diskriminatif. Ketiga,
kemungkinan menciptakan pendekatan komprehensif untuk membuat
ideologi, ekonomi, sosial, politik, hukum dan hak-hak manusia, serta
budaya yang berperspektif LGBTI.
Untuk dapat mewujudkan keadilan dan tidak menindas kelompok
minoritas serta mengembangkan budaya toleransi bisa ditempuh
melalui pendidikan. Pendidikan yaitu proses penyadaran kritis
bagi harkat kemanusiaan, mencerahkan, dan membebaskan manusia
dari segala bentuk ketertindasan. supaya pendidikan bisa menjadi unit
sosial yang membebaskan, maka seharusnya praktik-praktik
pendidikan mengacu pada eksistensi manusia itu sendiri dan
menawarkan adanya multiepisteme seksualitas. sebab itu,
membangun epistemologi marginal sebagai episteme alternatif sudah
tidak bisa ditunda lagi, keberadaannya mutlak diperlukan sebagai
syarat terbentuknya negara yang demokratis.
Di banyak negara lain diskriminasi sudah diakui sebagai
permasalahan yang harus ditangani secara khusus sebab tidak
mungkin negara membuat undang-undang yang bisa mengatur segala
bentuk diskriminasi dalam kehidupan warga . Banyak bentuk
diskriminasi sangat subtil dan subyektif sehingga tidak layak
diberantas dengan peradilan. Oleh sebab itu banyak pemerintah
membentuk beberapa lembaga negara seperti Komisi Anti Diskriminasi
dan Komisi Ombudsman2.
Semua lembaga pelayanan warga , lembaga negara
maupun privat, diwajibkan membentuk prosedur pengaduan internal,
misalnya tiap rumah sakit harus ada komite ethik, dll. Pengaduan
mengenai diskriminasi dan/atau pelayanan buruk yang berasal dari
rumah sakit itu ditanggapi oleh komite ethika itu, mediasi, langkah
disipliner dan ganti rugi sejauh mungkin diselesaikan di sana. Hanya
jika seorang tidak merasa puas dengan penanganan pengaduannya
baru dia bisa mengadu ke komisi-komisi negara atau ke pengadilan.
Peran utama komisi-komisi ini yaitu mediasi antara pihak-pihak
yang berselisih; seringkali mereka juga berfungsi sebagai ‘wasit’
sebab mereka dianggap kompeten di bidang masalah diskriminasi.
2 Istilah Ombudsman berasal dari bahasa Swedia, yang berarti seorang yang
mewakili rakyat kecil pada pemerintah/kerajaan. Jaman sekarang Ombudsman
diartikan lembaga yang mengawasi kinerja pemerintah dalam kewajibannya untuk
melayani kepentingan warga .
POTRET KEKERASAN pada LGBTI
- Mengungkap Fakta Kekerasan di negara kita -
Selama ini pemerintah tidak pernah memprioritaskan
pemenuhan dan perlindungan hak-hak kelompok LGBTI. Mereka tidak
saja mendapatkan diskriminasi dalam bentuk pengusiran, cemoohan,
dan pengucilan, tapi juga mengalami berbagai tindak kekerasan fisik
seperti pelecehan seksual, pemukulan, penganiayaan dan bahkan
pembunuhan.
Pemerintah yang seharusnya memberi perlindungan “lebih”
kepada mereka sesuai amanat Pasal 5 ayat 3 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, justru menjadi aktor kekerasan, baik
secara tidak langsung melalui peraturan perundang-undangan yang
diskriminatif maupun secara langsung. Kekerasan oleh negara ini
lalu menular ke warga . Organisasi sosial keagamaan dan
anggota warga lainnya seolah mendapatkan ’’lampu hijau’’ untuk
melakukan gerakan serupa.
Untuk lebih jelas tentang kenyataan itu, berikut ini diungkapkan
kisah para LGBTI yang mengalami berbagai tindak diskriminasi, baik
dilakukan negara, organisasi kewarga an, maupun anggota
warga lainnya. Data-data ini diperoleh dari hasil investigasi yang
dijalankan oleh Tim Investigasi Arus Pelangi. Tim ini dibentuk sesudah
diselenggarakannya Pelatihan Investigasi Berperspektif LGBT, 29-31
Oktober 2007 di Jakarta. Anggota Tim Investigasi tersebar di berbagai
tempat di selurah negara kita .
1. Perberantasan Komunitas Bissu (Sulawesi Selatan)
Tradisi Bissu Terancam Syariat
Dari sekian banyak waria, Fitri Pabente barangkali
nasibnya sangat beruntung. Keluarga, warga , dan teman-temann
sekolahnya tidak ada yang mempermasalahkan kewariaannya.
Bahkan, waria kelahiran Watampone, 1 Oktober 1963 ini mendapat
kepercayaan menjadi seorang bissu.
Fitri merasa ’’berbeda’’ sejak kelas 5 SD. Untungnya pihak
keluarganya yang sangat agami bisa menerima ’’keperbedaannya’’.
Buktinya, semua kebutuhan sekolahnya dibiayai hingga perguruan
tinggi. ’’Ibu saya malah bilang kalau dari keturunan kakek ada yang
waria,” kata dia.
Meski kedua orangtuanya bisa menerima, keduanya berpesan
agar Fitri selalu berbuat baik, jujur dan mengenakan busana yang
sopan. Tidak lupa rajin menjalankan ibadah. Meski waria, Fitri tidak
pernah pakai rukuk kalau salat. Soal ibadah memang dia
memposisikan dirinya sebagaimana laki-laki. ’’Saya baru dandan kalau
ada acara-acara waria saja. Di luar itu saya tetap berpakaian secara
biasa saja, terkadang memakai kebaya,” cerita dia.
Diakui Fitri, didikan keislaman orangtua kepada anaknya
memang kuat. Namun untungnya orangtua dia termasuk golongan
yang berpikir moderat. Tidak mempermasalahkan kewariaan
sebagaimana sebagian keluarga muslim lainnya. Waria juga tidak
dilaknat. Namun ya itu tadi, Fitri dituntut untuk selalu berbuat baik.
’’Di lingkungan Fitri, yang dimaksud waria itu bukan orientaasi seksual.
Tapi, lebih kepada organisasi,” kata anak pertama dari sembilan
bersaudara ini.
Tidak adanya diskriminasi inilah yang membuat perjalanan hidup
Fitri relatif tidak ada persoalan berarti. Masa sekolahnya yang
dihabiskan di Watampone lancar-lancar saja, bahkan sukses hingga
jenjang D-1 dan S-1. Anak pasangan Purn. TNI Alm. Antak P. dan
almarhumah Siti Zaenab ini berhasil gelar Sarjana Sastra negara kita
dari STKIP Muhammadiyah Bone.
Riwayat pendidikan yang cukup baik itulah yang membuat
dirinya didaulat menjadi ketua ini dan itu. Di antaranya yaitu ketua
Forum Komunikasi Waria se-negara kita Timur, ketua Lembaga Seni
Budaya Arung Palapa, Komite Seni Tradisional di DK Bone dan BKKI,
serta anggota Lembaga Adat Bone. Kini, Fitri diberikan amanat
menjadi pengelola objek wisata Keraton Rumah Adat Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Bone dan menjadi ketua Bissu se-Sulawesi
Selatan.
Bissu yaitu seniman yang juga pendeta agama Bugis
kuno (Sulawesi Selatan) pra Islam yang makin berkurang personilnya.
Umumnya mereka yaitu pria yang bersifat kewanitaan
(calabai/waria) dan dalam kehidupan keseharian selalu tampil sebagai
wanita. Walaupun bissu digolongkan sebagai waria, mereka bukan
waria biasa. Untuk menjadi bissu, seorang waria harus ditasbihkan
(irebba) terlebih dulu. Mereka memiliki kesaktian dan peran dalam
upacara-upacara ritual. Mereka juga memiliki kedudukan dalam
warga sebagai penjaga pusaka keramat (arajang) di istana yang
dipercayai dihuni oleh roh-roh nenek moyang. Tradisi cross-dressing
(lelaki yang berperan sebagai wanita ) dalam warga Bugis
sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Bagaimana Fitri bisa
menjadi bissu?
Pada 1980, sesudah menyelesaikan studi S-1, Fitri mencoba
menelusuri jejak bissu terlebih dulu. Hal itu dilakukan sebab sekitar
1950 hingga 1965, meletus pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam
negara kita (DI/TII) yang berusaha keras menghapuskan dan melarang
semua yang dianggap musyrik atau menyekutukan Tuhan bagi umat
Islam. Jumlah bissu terus menyusut terutama sesudah peristiwa tragis
yang dialami para bissu selama Orde Lama dan Orde Baru.
Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK) Kahar Muzakkar
menganggap kegiatan para bissu termasuk menyembah berhala.
sebab itu kegiatan, alat-alat upacara dan para pelakunya diberantas.
Ribuan perlengkapan upacara dibakar atau ditenggelamkan ke laut.
Banyak sanro (dukun) dan bissu dibunuh atau dipaksa menjadi pria
yang harus bekerja keras. Penderitaan ini masih berlanjut pada masa
Orde Lama dan Orde Baru. Gerakan pembantaian besar-besaran itu
diberi nama Operasi Toba (Operasi Taubat) yang dilancarkan pada
masa kekuasaan Orba antara 1965-1967, bersamaan dengan pembantaian
massal G30S/PKI.
“Bissu yang tertangkap harus memilih antara mati dibunuh atau
masuk agama tertentu secara benar serta harus bersikap sebagai pria
normal, bukan sebagai waria. Para bissu bersembunyi dari ancaman
maut yang memburunya setiap saat”.
warga tidak peduli akan nasib mereka sebab sebagian dari
mereka memang mendukung gerakan Operasi Toba ini .
Sebagian warga yang bersimpati kepada para bissu hanya
tinggal diam tanpa bisa berbuat apa-apa.
Para bissu yang tersisa saat ini dapat dikatakan sebagai generasi
terakhir yang mewarisi kejayaan tradisi Bugis klasik. Jumlah dan
tingkat kualitas mereka makin menyusut dari hari ke hari. Para
pemimpin bissu kharismatik satu per satu wafat mendahului mereka.
Nah itulah alasan mengapa pada 1980 Fitri melakukan
penelusuran bissu dulu. Awalnya jadi waria biasa. Saat itu, tepatnya
saat berusia 40 tahun, dia merasa ada transfer ilmu gaib. Orang
bilang dapat wangsit. “Orang-orang bilang saya memiliki tanda-
tanda seorang bissu. Kejujuran dan kepemimpinan yaitu salah satu
dari sekian tanda seseorang terpilih menjadi bissu. Bissu pasti waria,
tapi tidak semua waria bisa menjadi bissu,” jelas dia.
Namun pelantikan bissu secara massal baru ada lagi pada 2003.
Yang melantik yaitu para pemangku adat. Kini, jumlah bissu di
Sulawesi Selatan sekitar 100 orang. Di Bone ada 40 bissu, di Soppeng
ada 8 bissu, di Wajo ada 12 bissu dan di Pangkep ada 22 bissu.
Bagaimana dengan adanya kelompok yang menginginkan syariat
Islam berlaku kembali di Sulawesi Selatan?
Memang kini ada Kelompok Persiapan Penegakan Syariat Islam
(KPPI) yang memperjuangkan penerapan syariat Islam sebagaimana
di Aceh. Namun, kata Fitri, hubungannya dengan KPPI sejauh ini
masih baik. Alasannya bissu mengajak orang berbuat baik. “Saya tidak
takut sekarang. sebab sekarang ada Komnas HAM. negara kita ini kan
sangat beragam,” kata dia. (*)
2. masalah Penyerangan Acara HIV/AIDS (Yogyakarta)
Sosialisasi HIV/AIDS berujung perusakan
Masih bisa dimaklumi jika pada jaman Orde Baru banyak terjadi
tindak kekerasan pada kelompok yang dianggap anti-pemerintah
sebab pemerintah sendiri yang paling banyak melakukan pelanggaran
HAM. Di zaman Reformasi, tindak kekerasan lebih sering dilakukan
individu maupun kelompok warga pada komunitas atau
individu tertentu; ini seharusnya menjadi perhatian khusus negara dan
35
warga . Sebab, pada dasarnya LGBTI sudah menjadi wacana yang
distigma buruk oleh banyak kalangan, termasuk oknum pemerintah.
Dari pemantauan Arus Pelangi, hingga saat ini di beberapa kota masih
banyak masalah kekerasan yang dilakukan
Dimulai dari November 2000 di Yogyakarta. Sekelompok remaja
masjid menganiaya para gay dan waria yang sedang seminar di Wisma
Hastorenggo, Kaliurang, Sleman. Awalnya, acara ini untuk
penanggulangan dan sosialisasi penyebaran HIV/AIDS di kalangan
LGBTI. Dihelat pada 11 November 2000, acara ini tentu saja dihadiri
kaum LGBTI, khususnya para gay dan waria. Sesuai nama kelompok
mereka, acara itu bertajuk Kerlap-kerlip Warna Kedaton 2000.
Selain diisi penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS, ditampilkan pula
pergelaran busana laki-laki dan wanita , yang semuanya
diperagakan oleh laki-laki. Pergelaran dalam rangka ikut memperingati
Hari AIDS Dunia itu diikuti sekitar 350 gay, waria, dan kaum
heteroseksual dari dalam dan luar negeri.
Menurut Yayuk, saksi mata yang juga hadir dalam acara
ini , saat para peserta berderai tawa menyaksikan perhelatan
busana, sekitar pukul 21.20, tiba-tiba dari arah pintu bertebaran
puluhan pria bersenjata golok, ketapel dan pentungan. Sambil
berteriak bajingan, gerombolan itu menerobos masuk ruangan.
Bahkan mereka sempat memukul beberapa sekuriti yang saat itu
bertugas menjaga dan mengamankan acara. Salah satu korban yaitu
pria yang biasa dipanggil Mas Man. Laki-laki yang seharinya bekerja di
PKBI Yogyakarta, yang juga yaitu salah satu lembaga
penyelenggara acara itu, mengaku mendapat pukulan saat
pembubaran paksa masal yang dilakukan kelompok sipil atas nama
Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK).
36
Sontak, keributan dan teriakan histeris para peserta bergema.
Dua waria yang sedang berlenggak-lenggok di atas panggung
langsung lari terbirit-birit tanpa mempedulikan pakaian yang
dikenakan. Bagaimana tidak. Para penyerang itu menghancurkan apa
saja yang mereka jumpai, seperti meja, lampu, bahkan peralatan
sound system. Sebagian lagi memukuli bahkan mengejar peserta
sampai ke luar gedung. Beberapa mobil dan motor yang sedang
diparkir di halaman wisma juga menjadi sasaran empuk perusakan.
Jean Pascal Elbaz, Direktur Lembaga negara kita -Perancis
Yogyakarta, yang hadir dalam acara itu, juga tak luput dari sasaran.
Saksi mata juga melihat sebagian penyerang itu merampas dompet,
handphone, dan tas milik peserta. sesudah merusak dan menganiaya,
setengah jam lalu mereka kabur memakai bus dan motor.
Puluhan peserta mengalami luka-luka, sebagian cukup serius, hingga
harus dirawat di Rumah Sakit Panti Nugroho, Pakem, Sleman. Ada
juga beberapa yang mengalami trauma sebab kejadian ini.
“berdasar pengakuan 57 penyerang yang kami tangkap, mereka
dari kelompok Remaja Masjid Yogyakarta, Gerakan Pemuda Ka’bah,
Gerakan Anti Maksiat dan Darwis,” ujar Kapolres Sleman,
Superintenden Djoko Subroto.
Alasan mereka diserang, menurut pengakuan Ketua Badan
Koordinasi Pemuda Remaja Masjid Yogyakarta, Muhammad Jazir,
seminar itu ditengarai hanya sebagai sebagai kedok ajang pesta seks
para gay. Sebelum acara berlangsung, Jazir menegaskan, anak
buahnya sempat pura-pura menanyakan kepada panitia, apakah acara
itu menyediakan waria yang bisa ‘dipakai’. “Mereka menjawab ya, ya
bisa,” Tutur Jazir. Selain itu, kata dia lagi, di lokasi juga ditemukan
kondom dan jelly. Para remaja itu juga memergoki sepasang gay
“bergumul’’ di salah satu ruang wisma itu. “Jika acara itu murni
penyuluhan AIDS, mengapa dilaksanakan sampai larut malam, dan
ada pesta segala?” ujar Jazir penuh selidik. Dengan alasan itulah para
remaja itu melakukan penertiban. “Saya tidak menginginkan
terjadinya kekerasan, tapi kalau dipaksa melakukan itu untuk
membela agama, kami tidak keberatan,” katanya lagi.
Tuduhan dan keterangan Jazir itu dibantah panitia
penyelenggara dari Lentera Sahaja, LSM yang bernaung di bawah
Perkumpulan Keluarga Berencana negara kita (PKBI), Yogyakarta. Salah
seorang panitia yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan,
acara itu murni kegiatan kesenian dan penyuluhan tentang HIV/AIDS.
Tudingan adanya pasangan gay yang kepergok berhubungan intim
juga dibantah. “Semua panitia berkumpul di ruangan utama tempat
acara berlangsung,” sumber itu menandaskan lagi.
Bantahan ini dibenarkan Djoko. Selain kegiatan itu sudah
memiliki izin, saat acara berlangsung, dua anggotanya menjaga.
Kecil kemungkinan para polisi itu membiarkan kemesuman para gay
terjadi. Muncul kecurigaan bahwa kegiatan membubarkan acara
ini tampaknya juga tidak semata-mata bertujuan memberantas
kemaksiatan. Aksi merampas dompet dan perhiasan milik peserta
menunjukkan kelompok itu tidak steril dari kaum berandalan. Aroma
minuman keras yang menyebar dari mulut penyerang, seperti
dituturkan salah satu peserta, semakin menguatkan dugaan itu. Tidak
aneh jika muncul tuduhan ada maksud lain di balik itu. Bukan tidak
mungkin, dengan dalih agama, para remaja itu dipakai untuk
memenuhi hasrat kepentingan oknum tertentu. “Mereka mengaku
hanya diajak teman untuk membubarkan acara maksiat, tanpa
maksud merusak dan menganiaya,” kata Djoko.
Selain itu, darimana para remaja ini tahu ada kegiatan para gay?
Biasanya, acara semacam ini hanya diumumkan pada kalangan
terbatas, yakni lingkaran LGBTI itu sendiri. Namun belakangan
diketahui, beberapa hari sebelum acara digelar, salah satu takmir
Masjid Jogokaryan, Kota Gede, Yogyakarta, menerima surat kaleng
yang menyebut ada pesta seks para gay berkedok penyuluhan AIDS.
“Saya memang melihat ada pihak lain yang ikut campur,” ujar Djoko.
Saat didesak siapa kelompok yang dimaksud, Kapolres Sleman
itu menolak berkomentar labih jauh dengan alasan sedang melakukan
penyelidikan. Mungkin sebab memperhitungkan kekuatan politik
kelompok itu, polisi belum terlihat bertindak tegas. “Kami sulit
membuktikan senjata dan pentungan itu milik siapa,” kilah Djoko.
Alasan itu sulit diterima akal sehat, mengingat dua anak buahnya
berada di lokasi saat kejadian berlangsung.
Bila proses hukum berlanjut, sebetulnya Mas Man (salah seorang
sekuriti yang berjaga pada saat acara) mau menjadi saksi dalam masalah
pembubaran acara KKWK. Namun, waktu itu ada ancaman dari pihak
“uang”, yang diduga sebagai kelompok yang melakukan kekerasan.
Selain itu, pihak PKBI, salah satu penyelenggara acara, sedikit takut
hingga akhirnya menyatakan masalah ini dihentikan saja. Ini
dilakukan demi menjaga keamanan lembaga PKBI.
Penanganan perkara pun tidak dilanjutkan. Padahal saat itu tim
advokasi yang terdiri atas beberapa aliansi organisasi dan LSM seperti
PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Yogyakarta) memiliki beberapa data yang berhubungan dengan masalah
ini . (*)
3. masalah pembunuhan tiga waria di Jakarta Barat
Waria di-petrus-kan
Pada bulan Maret 2002 terjadi suatu peristiwa yang tidak akan
pernah dilupakan oleh kaum waria, dan yaitu bukti nyata di
mana aparat kepolisian tidak mampu mengayomi bahkan melindungi
warga termasuk kaum minoritas (dalam hal ini kaum waria).
Pada waktu itu sekitar jam 23.00 WIB, salah satu waria yang
sedang berada di Tanjung Duren, Jakarta Barat, didekati oleh seorang
tamu. Tawar-menawar harga pun terjadi antara waria ini dengan
tamunya sehingga akhirnya ada kesepakatan harga. sesudah sesudah
selesai melayani tamunya, waria ini menagih pembayaran dari
tamunya. Namun tamu ini melanggar kesepakatan dengan
membayar jauh di bawah harga yang telah disepakati. sebab tamu
ini tidak membayar sesuai dengan kesepakatan maka waria
ini menahan handphone (HP) milik tamu ini dan akan
dikembalikan sesudah pembayaran dilunasi.
Merasa HP-nya dikuasai oleh waria ini maka tamu tadi
pergi melaporkan kejadian ini kepada aparat kepolisian dengan
alasan bahwa HPnya telah dicuri oleh seorang waria. sebab sang
tamu telah pergi waria ini kembali bertemu dengan teman-
teman waria yang lain dan kembali mangkal menanti tamu yang lain.
Namun beberapa jam lalu tamu ini datang dengan
disertai beberapa aparat kepolisian dari polsek Tanjung Duren. Melihat
aparat kepolisian menghampiri tempat para waria, serta merta para
waria yang sedang berada di bawah terowongan Taman Anggrek lari
untuk menyelamatkan dirinya sebab dikira ada pembersihan. Dalam
aksi pengejaran itu aparat kepolisian berhasil menangkap 3 orang
waria dan menahan mereka untuk beberapa saat.
Keesokan harinya warga menemukan 3 mayat waria di
bawah terowongan Taman Anggrek dengan luka tembakan di kepala.
namun pemberitaan di media massa mengatakan bahwa mereka
yaitu kawanan penjahat yang dikejar aparat kepolisian pada saat
melarikan diri.
Mendengar kejadian ini beberapa waria dari Forum
Komunikasi Waria berusaha untuk melakukan proses pengambilan
ketiga jenazah waria ini . Namun sekali lagi para waria yang
berniat baik untuk mengurus ketiga rekan mereka mendapatkan
kesulitan dari pihak kepolisian dan mereka juga mendapatkan
perlakuan yang kasar dari aparat kepolisian. Melihat gerakan aparat
kepolisian yang seperti itu maka para waria menyepakati untuk
melakukan demonstrasi ke Polres Jakarta Barat tanpa baju/benang
sehelaipun di badan. sebab mendengar pernyataan ini , aparat
kepolisian langsung menanggapi keinginan mereka dan mengeluarkan
surat keterangan untuk dapat mengurus ketiga jenazah waria yang
pada saat itu sedang diotopsi di R.S. Cipto Mangunkusumo (RSCM),
Jakarta Pusat. Keesokan harinya ketiga jenazah baru bisa diambil
untuk dikebumikan. Dari ketiga jenazah ini , satu jenazah yang
dikenal dengan nama Neneng dibawa keluarganya pulang ke Lubuk
Linggau (Sumatera Selatan) untuk dikebumikan. sedang dua
jenazah lainnya dikebumikan di TPU Selapajang, Tangerang.
Yang menjadi pertanyaan besar untuk aparat kepolisian yaitu
bahwa niat baik dan tulus dari teman-teman waria yang lain saat
mengajukan permohonan untuk diijinkan mengebumikan teman
mereka yang telah meninggal kepada pihak aparat kepolisian Resort
Jakarta Barat, namun dengan alasan harus memiliki surat
keterangan dari keluarga baru diijinkan untuk mengambil jenazah
ini , pihak kepolisian tidak memberi ijin kepada teman-teman
waria untuk mengambil jenazah ketiga teman mereka di RSCM.
Walaupun telah diterangkan bahwa keluarga dari ketiga waria ini
tidak berada di Jakarta dan ini yaitu sikap solidaritas sesama waria
41
dan sikap manusiawi agar jenazah ini cepat dikebumikan.
Birokrasi yang berbelit-belit sudah sangat lumrah di Negeri negara kita
ini, melihat kejadian dan situasi yang terjadi seharusnya dengan rasa
kemanusiaan aparat kepolisian lebih proaktif dan berpihak pada
warga . Hal ini mengakibatkan pandangan kaum waria
pada aparat kepolisian menjadi miring. Aparat kepolisian yang
dianggap dapat menjadi tempat untuk mendapatkan perlindungan bagi
warga , berdasar peristiwa di atas ternyata tidak dapat
diharapkan. Pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik negara kita dikatakan bahwa “Fungsi kepolisian yaitu salah
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban warga , penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada warga ”. Bahkan dalam
pasal 14 UU No. 2 tahun 2002 ayat (1) poin i dijelaskan bahwa tugas
pokok Kepolisian sebagaimana pasal 13 UU No. 2 tahun 2002 polisi
bertugas melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, warga ,
dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberi bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia.
Selama 2006-2007 Arus Pelangi telah berusaha mencari data
lebih lengkap tentang kejadian ini. Namun itu ternyata sangat sulit
sebab kejadiannya sudah lama; usaha mendapatkan laporan visum et
repertum di RSCM terbentur birokrasi, tidak ditemui saksi yang
bersedia, dan keluarga korban yang bisa memberi kuasa hukum,
semua tinggal di luar Jakarta dan tidak ada alamat yang jelas.
4. Pembubaran Kontes Waria di Jakarta
usaha Kekerasan dari kelompok agama
42
Jakarta sebagai ibu kota negara RI ternyata juga punya potensi
besar pada pelanggaran pada hak-hak kelompok LGBTI.
Pelakunya beragam. Mulai ormas keagamaan tertentu, polisi, hingga
satuan polisi Pamong Praja (Satpol PP).
saat menggelar kontes Miss Waria, misalnya. Pagelaran rutin
itu, yang dirayakan pada tanggal 26 Juni 2005, mendapat kecaman
keras dari sebuah ormas keagamaan. Diwakili seratus orang
anggotanya, mereka menuntut panitia penyelenggara menghentikan
dan membubarkan acara yang dihelat di gedung Sarinah, Jalan M.H.
Thamrin, Jakarta Pusat itu.
Tak ingin situasi makin runyam, Ruhut Sitompul selaku wakil
penyelenggara kontes Miss Waria, berusaha menengahi kedua belah
pihak yang berseberangan. Namun, pihak FPI (Front Pembela Islam)
tetap bersikukuh agar acara ini dihentikan sebab melanggar
norma agama. Tapi untungnya, pemaksaan kehendak itu dapat
diredam aparat. Puluhan anggota dari Polsek Menteng dan Polres
Jakarta Pusat mengawal ketat perhelatan yang sudah dua kali digelar
ini . Akhirnya, kontes itu tetap berlangsung hingga selesai sesuai
jadwal yang disepakati dan niat tindak kekerasan yang tadinya jelas-
jelas ditunjukkan FPI, tidak terwujud. (*)
5. masalah Pembunuhan Budi (Sukabumi)
Penyelidikan Berhenti sebab Anggaran
Sungguh malang nasib Ujang Herman alias Budi. Gay
berusia sekitar 30 tahun ini bekerja di salon Asti Sukabumi, Jawa
Barat. Dia dibunuh di kamar kosnya yang berada di Kebon Jati,
Sukabumi, pada 2005. Di tempat kejadian perkara (TKP), ditemukan
43
sebilah pisau. Pada bagian leher korban ada goresan benda
tajam. Korban ditemukan pertama kali oleh rekannya, Iyang3.
berdasar keterangan saat penandatangan penunjukan
Lembaga Swadaya warga (LSM) Arus Pelangi sebagai kuasa
hukum untuk melakukan usaha advokasi, pihak keluarga mengatakan
bahwa rekan terdekat Budi sebelum Iyang yaitu Andy4. Andy, kata
pihak keluarga, seringkali bertindak kasar pada Budi. Sayangnya,
hingga saat ini biodata dugaan pelaku masih belum diketahui. Ini
disebab kan pihak Polres Sukabumi tidak melanjutkan proses
penyelidikan ini . Dalihnya, keterbatasan para saksi dan
anggaran. Sejauh ini, gerakan hukum yang dilakukan kepolisian
hanyalah memeriksa para saksi, khususnya yang berhubungan dengan
korban semasa hidupnya.
Alasan-alasan keterbatasan, menurut Arus Pelangi, tentu saja
tidak dapat dibenarkan. Polisi mestinya melakukan investigasi ulang
sebab minimnya bukti dan saksi yang ditemukan pihak penyidik. Tapi
kenyataannya, tim advokasi Arus Pelangi hingga kini belum
mendapatkan dokumentasi dari Polres Sukabumi terkait peristiwa
nahas ini . (*)
6. masalah Pembunuhan Vera (Purwokerto)
Nyawa manusia dibandingkan dengan kendaraan bermotor
Pada 29 Oktober 2005 sekitar pukul 21.00 WIB, Vera
(waria) yang sedang berdiri di Jl. S. Parman, Purwokerto, tepatnya di
depan dealer motor Kymco, dihampiri oleh seorang pria yang memakai
3 Bukan nama asli.
4 Bukan nama asli.
44
jaket hitam dan topi. Tidak lama sesudah itu keduanya berjalan ke arah
ladang di samping sebuah butik yang agak gelap sehingga lalu
tidak kelihatan. Namun beberapa saat lalu terdengar suara
minta tolong, dan terdengar oleh beberapa teman korban yang tidak
jauh dari daerah ini . sesudah ditemukan ternyata Vera sedang
terkapar penuh lumpur dan ada darah yang keluar dari bagian dada
korban hingga korban lalu dibawa ke tempat kosnya untuk
dibersihkan. sesudah selesai dibersihkan Vera dibawa ke RSUD Dr.
Margono, Purwokerto oleh temannya dan aparat kepolisian setempat.
Namun sayang akhirnya Vera meninggal dunia di RS itu pada 5
Nopember 2006 disebab kan tidak mampu pembayar biaya
pengobatan.
Sekilas memang peristiwa ini sama seperti peristiwa
penganiayaan lainnya, kecuali melibatkan seorang korban waria.
Namun di dalam proses penanganan hukumnya ternyata banyak sekali
bentuk diskriminasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian setempat.
Sewaktu tim advokasi Arus Pelangi pertama kali mendatangi
kantor kepolisian sektor Purwokerto Selatan, tim dikejutkan dengan
pernyataan-pernyataan yang diucapkan oleh Kapolsek pada waktu itu.
Dia mengatakan bahwa kepolisian sudah banyak membantu dalam
proses perawatan Vera hingga korban meninggal dunia. Namun
kepolisian belum dapat mengatasi masalah ini sebab kekurangan bukti
dan saksi. “Selain itu banyak sekali masalah pencurian kendaraan
bermotor yang harus kami tangani. Sehingga kami belum sempat
berfokus pada masalah pembunuhan Vera,” ucap Kapolsek kepada tim
advokasi.
Pernyataan Kapolsek yang lebih mengejutkan lagi yaitu “untuk
apa kalian datang jauh-jauh dari Jakarta hanya untuk mengatasi
masalah kematian waria PSK. Memang tidak ada masalah lain apa yang bisa
ditangani?” Mendengar pernyataan seperti itu, sepulangnya ke Jakarta
tim advokasi langsung melayangkan surat pengaduan kepada Ketua
Komnas HAM, Kapolri, dan Ketua DPR-RI.
Hasilnya cukup memuaskan. berdasar MOU penanganan
masalah pelanggaran hak-hak manusia antara Komnas HAM dengan
POLRI, maka salah satu anggota komisioner Komnas HAM langsung
melayangkan surat tekanan kepada Kapolri, Kapolda Jawa Tengah,
Ketua DPR-RI dan Gubernur Jawa Tengah. sesudah menerima surat itu,
Kapolda Jawa Tengah langsung memerintahkan jajaran di bawahnya
untuk segera mengatasi masalah pembunuhan Vera ini.
sesudah hampir dua tahun lamanya, akhirnya pada 11 Juli 2007
berkas perkara masalah pembunuhan Vera disidangkan di PN
Purwokerto. Persidangan masalah ini berjalan hampir empat bulan
lamanya. Pada 23 Oktober 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri
Purwokerto menghukum pelaku pembunuhan (Gogi Yusanta) dengan
hukuman 6 tahun penjara. (*)
7. masalah Teror Arus Pelangi Banyumas
Ormas islam ancam melakukan kekerasan
Pada 5 November 2005, Arus Pelangi Banyumas (APB), Jawa
Tengah, resmi dikukuhkan sebagai organisasi yang membela kaum
LGBTI. Acara yang diadakan di DD Diskotek Purwokerto ini bukan
hanya dihadiri para LGBTI se-Banyumas, namun juga mendapat
perhatian dari beberapa wartawan media lokal setempat. Sehingga
keesokan harinya, tentu saja acara pengukuhan ini sudah terpampang
di beberapa surat kabar lokal.
Bisa ditebak, organisasi yang aksinya memang terbilang
unik dari LSM lainnya (membela kaum LGBTI) ini, menuai berbagai
46
kecaman dan teror dari beberapa ormas Islam di Purwokerto.
Keberadaan APB mulai menjadi kontroversi di kalangan ormas Islam
itu.
Kontroversi itu mulai memanas pada 2006. Puncaknya yaitu
saat APB mengadakan kegiatan Perkemahan Sabtu-Minggu
(Persami) LGBTI pada 16-17 September 2006 di Bumi Perkemahan
Kendalisada, Purwokerto, Jawa Tengah. Persami LGBTI yaitu
yang pertama diadakan di negara kita . Acara ini diikuti sekitar 150
LGBTI dari berbagai daerah seperti Banyumas, Yogya, Cilacap, dan
perwakilan dari Arus Pelangi Jakarta.
Sehari sebelum kegiatan itu dilaksanakan, 15 September 2006,
ada ancaman via SMS. Layanan pesan singkat ini dikirimkan kepada
tiga anggota Arus Pelangi Banyumas. Mereka yaitu Sandy (Ketua
APB), Mario (Sekretaris APB), dan Chandra (Ketua Badan Pengawas
APB). Ancaman ini datang dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
negara kita (KAMMI) Purwokerto. Isi pesannya sebagai berikut:
’’Assalamualaikum. Kami dari Kesatuan Aksi Mahasiswa
Muslim negara kita - Purwokerto dengan ini memperingatkan
kepada Saudara bahwa acara yang akan Anda selenggarakan
besok di Bumper Kendalisada yaitu kemah kaum gay dan lesbian
untuk segera dibatalkan. Jika tidak kami beserta ormas Islam di
Purwokerto lainnya akan bertindak anarkis untuk membubarkan
acara itu dengan cara kami. Terima kasih atas perhatiannya.
Wassalam.”
Tentu saja pesan itu membuat Badan Pengurus APB merasa
ketakutan. Padahal mereka sudah memberitahukan rencana kegiatan
ini kepada kantor kepolisian setempat. Dan saat itu pula, mereka
47
menghubungi Arus Pelangi Jakarta untuk meminta pendapat. Di akhir
pembicaraan, Sandy sepakat bahwa kegiatan itu harus tetap
dijalankan sambil menunggu kedatangan perwakilan Arus Pelangi
Jakarta untuk membantu meminta bantuan pengamanan dari pihak
kepolisian setempat.
Setibanya di Purwokerto, perwakilan Arus Pelangi Jakarta
langsung menemui Andy dan bersama-sama menuju Polsek
Kendalisada untuk melaporkan ancaman ini . sesudah
menjelaskan duduk perkaranya, akhirnya pihak kepolisian berjanji
akan mengamankan kegiatan ini dengan menurunkan mobil
patroli ke Bumi Perkemahan Kendalisada selama kegiatan Persami.
Berita tentang kegiatan Persami LGBTI ini telah dipublikasikan di
Radar Banyumas (17 September 2006) dengan judul ’’150 LGBTI
Berkemah di Kendalisada’’, dan di harian Indo Pos (21 September
2006) dengan judul ’’Purwokerto Pertama, Perkemahan LGBTI di
negara kita ’’.
Bentuk kecaman dan teror pada keberadaan organisasi APB
sebagai pembela kaum LGBTI dari beberapa ormas Islam Purwokerto
dan sekitarnya masih terus berlangsung. Di antaranya oleh Pengurus
daerah Muhammadiyah Purwokerto, Pengurus cabang Nahdlatul Ulama
Banyumas, dan Badan Koordinasi Umat Islam. Bahkan aksi
demonstrasi menolak keberadaan Arus Pelangi Banyumas juga
dilakukan Gerakan Pemuda Kakbah Banyumas pada 15 November
2006. Aksi mereka dipicu oleh pemberitaan surat kabar lokal yang
meliput acara pengukuhan Arus Pelangi Banyumas (APB) sebagai
organisasi LGBT setempat.
Bentuk kecaman dan teror yang dilakukan berupa pernyataan
sikap penuh kebencian. Tidak hanya itu. Mereka juga mendatangi
rumah beberapa anggota Arus Pelangi Banyumas. Mereka mengancam
48
akan membakar rumah semua pengurus Arus Pelangi jika organisasi
ini tidak segera dibubarkan.
Bentuk aksi demonstrasi dan pernyataan sikap ini dimuat
di beberapa media cetak yakni harian Suara Merdeka dengan judul
Muhammadiyah dan NU Tolak Organisasi Gay (7 November 2006),
harian Kompas dengan judul Organisasi Kaum Gay dan Lesbian
Diprotes Warga (16 November 2006), dan harian Seputar negara kita
dengan judul GPK Banyumas Desak Pemkab Bubarkan Arus Pelangi
(16 November 2006). Lucunya, pemda hanya main manis saja dengan
mengatakan akan menunggu pendaftaran APB dan mempelajari
masalah nya lebih lanjut. Padahal pemda tahu bahwa sebetulnya tidak
ada halangan apapun pada keberadaan APB. (*)
8. Stigmatisasi Komunitas Gay (Jakarta)
Penangkapan 20 Gay di Pulogadung
Ada pula kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Salah
satunya terjadi di terminal Pulogadung, Jakarta Timur. Malam itu,
sekitar pukul 22.00, bulan Oktober 2006, sekelompok gay yang asyik
berkumpul di sebuah warung terminal, didatangi enam polisi. Mereka
meminta kartu identitas 20 orang gay. Meski semuanya memiliki KTP,
aparat tetap saja menggiringnya ke Polsek Pulogadung, Jakarta Timur.
Mereka dinilai petugas mengganggu ketenteraman warga .
Di kantor polisi, beberapa wartawan, baik dari media elektronik
maupun cetak, ternyata sudah menunggu dan berebut memotret dan
mewawancarai para gay. Kontan, mereka lebih shock. Menyakitkannya
lagi, seorang petugas yang membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan)
berkomentar keji pada mereka. ’’Kalian pasti yaitu orang-orang
49
sakit yang menyukai sesama jenis ya? Dan kalian pasti juga termasuk
laki-laki penjual seks?” tanya petugas ini .
Derwin5, salah seorang gay, berusaha menjelaskan bahwa
kawan-kawannya tidak seperti yang dituduhkan. Tapi, tetap saja pihak
kepolisian memperkarakan mereka. Keesokan harinya, perkara
mereka yang sebenarnya sepele, menjadi berita menarik di beberapa
media. (*)
9. masalah Penyiksaan Pasangan Gay (Aceh)
Dipaksa Ereksi di Depan Polisi
Bekerja di Lembaga Swadaya warga (LSM) yang membela
kaum marginal ternyata tidak menjadikan orang ini mendapat
perlakuan adil. Ini bukanlah masalah terakhir dari banyaknya masalah
penganiayaan dan pelecehan seksual yang dialami beberapa
warga kita. Ironisnya, polisi yang mestinya menjadi pelindung
warga , ternyata jauh lebih keras dalam ‘mengadili’ seseorang.
Hartoyo, misalnya. Pria yang sehari-harinya bekerja di Yayasan
Matahari Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), ini tak
pernah menyangka bahwa dirinya akan berhadapan dengan aparat
polisi dengan cara tidak menyenangkan. Bagaimana kisahnya?
Hari itu, Senin, 22 Januari 2005, Hartoyo baru saja pulang dari
pertemuan di Warung kopi Solong, Ulee Kareng. sesudah tiba di kosnya
pukul 21.30, pria berusia 32 tahun ini, langsung mandi dan lalu
tidur. Namun, tidak lama berselang, seseorang mengetuk pintu
rumahnya. Ternyata ‘pacar’-nya bernama Bobby6 yang berkunjung.
5 Bukan nama asli.
6 Bukan nama asli.
50
Mereka lalu menonton berita gempa di sebuah televisi swasta. Kos-
kosan ini berlantai dua, dan kamar Hartoyo terletak di lantai
atas. Beberapa menit lalu , pacarnya menyatakan ingin
menonton film tentang gay. namun saat dicoba, ternyata DVD film
ini tidak bisa diputar. Keduanya kembali menonton berita dan
tak lama lalu bermesraan.
saat sedang ‘asyik’, terdengar suara orang naik tangga dan
masuk kamar sebelah Hartoyo. Beberapa lama lalu lampu di
kamar ini mati. sesudah itu, terdengar orang keluar dari kamar
dan turun ke lantai satu. Hartoyo dan Bobby masih bermesraan. Pria
yang aslinya beralamat di Binjai, Medan, itu, hanya mengenakan
celana pendek. Sedang pacarnya, Bobby, tidak mengenakan apapun.
Lalu kembali terdengar ada orang naik tangga dan tiba-tiba pintu
kamar Hartoyo didobrak begitu keras hingga terbuka, lalu diiringi
suara gaduh. Dua orang masuk ke kamar Hartoyo. Salah satunya, dia
kenal sebagai pekerja di warung kopi Pesona. Mereka lalu memukuli,
menendang, menampar Bobby pada bagian wajah dan badan. Mereka
juga merusak barang-barang yang ada di kamar kos Hartoyo. Kejadian
ini terjadi sekitar pukul 23.30 waktu setempat.
Dalam keadaan ketakutan, sepasang kekasih ini disuruh turun
ke lantai satu. Ternyata di bawah sudah banyak orang, sekitar 10-15.
Mereka menghujat kedua pasangan yang lagi dimabuk kepayang
ini . Bermacam-macam umpatan telontar. Antara lain, “Orang
luar buat malu saja di daerah orang. Rumah tempat cari makan kau
kotori pula.” Bahkan, sekitar 4-5 orang memukuli dan menendang
habis-habisan.
Hartoyo menjadi pusat pemukulan dan penganiayaan massa
sebab berusaha melindungi Bobby. sesudah beberapa lama, pekerja
warung kopi menyuruh Hartoyo membereskan barang-barang dan
51
memaksanya keluar dari kos. Dengan wajah penuh ketakutan dan
badan terasa perih, dia kembali ke kamar mengemasi seluruh barang,
memasukkan ke tas dan sebagian pakaian dibungkus dengan seperai.
namun belum selesai berkemas, tiga orang masuk dan meminta kaset
film gay dan memaksa keduanya turun kembali ke lantai satu. Sambil
turun, mereka terus memukul pria kurus ini meski sebelumnya sempat
memakai baju dan celana serta membawa tas berisi beberapa kertas
dan dompet.
Hartoyo terus mendapat hujatan dari warga sampai tiba di
lantai bawah. Sambil menghajar, mereka menanyakan identitas atau
kartu tanda penduduk (KTP). Dia lalu memberi dompet kepada
salah seorang yang menganiayanya. Hartoyo dan Bobby lalu disuruh
jongkok dan sarung yang dipakai Bobby dikalungkan ke mereka
berdua. Salah seorang warga lalu bertanya, “Ini mau dibawa ke
mana? Ke polisi atau ke Wilayatul Hisbah (WH atau biasa disebut Polisi
Syariat)?”
Salah seorang di antaranya lantas mengambil inisiatif. “Kalau ke
WH, kita nanti malu sebab masuk koran.” lalu , mereka
meminta seorang pekerja warung kopi memanggil polisi dengan
memakai motor. Meski pemukulan sudah dihentikan, hujatan
masih terus telontar. Sekitar pukul 01.30, polisi datang. Mereka
berjumlah sekitar 3-4 orang dan seorang di antaranya membawa
senjata laras panjang.
Pasangan gay ini lalu dinaikkan ke mobil. Pada saat itu,
pasangan gay ini sangat lega dan merasa mendapat perlindungan
polisi. Ini dirasakan sampai di Polsek Bandar Raya. Keduanya
dipersilakan duduk di ruang tunggu dengan sopan oleh polisi.
Sayang, perasaan lega dan terlindungi itu lalu hilang
saat keduanya ditanya petugas tentang masalah yang dialaminya.
52
Petugas lalu meminta dia membuka baju dan celana, sehingga yang
tersisa di badannya hanyalah celana pendek. Mulai saat itulah
perasaan takut kembali muncul. Saat itu juga, dia merasa amat malu
dan dipermalukan.
Tidak cukup itu. Tiba-tiba, Hartoyo dan Bobby kembali dipukuli
oleh sekitar tujuh petugas, sembari melontarinya dengan caci maki.
Dia dihajar di bagian perut, kaki, dan paha. Kekerasan itu berlangsung
sekitar 10 menit. Sambil terus memukul, mereka memaksa kedua pria
ini membuka celana hingga telanjang bulat. Salah seorang petugas
mengejek Hartoyo. “Barang kau kecil!”. “Sudah, ayo pakai celana kau
kembali,” bentak polisi.
Keduanya merasa terhina dan ketakutan sebab menganggap
tidak diperlakukan sebagai manusia. Lebih tak manusiawi lagi saat
lalu Bobby dipaksa memegang penis Hartoyo agar ereksi di
hadapan para petugas. Kala itu, dia mengenakan celana pendek, dan
saat petugas beranggapan penisnya sudah tegang, Hartoyo dipaksa
membuka celananya kembali. sebab tidak tahan, dia menangis.
Mereka lalu memaksa dirinya memilih petugas yang disukai.
Hartoyo mengatakan tidak ada seorang pun yang disukai,
namun mereka tetap memaksa dirinya untuk memilih. Sambil tertawa,
para petugas itu lalu berlagak seolah-olah penis mereka akan dihisap
Hartoyo dengan cara memajukan penis mereka ke wajahnya. Seorang
petugas bersenjata laras panjang lalu menempelkan ujung
senjata ini ke anus Hartoyo. gerakan mereka membuat dirinya
sangat ketakutan sekaligus marah. Tapi dia tak mampu berbuat apa-
apa.
Tak lama lalu , Hartoyo dan Bobby dibawa ke sebuah
tempat seperti gang kecil di depan sebuah ruang (pagi harinya,
Hartoyo baru tahu bahwa itu ruang Kapolsek, terlihat dari tulisan yang
53
tertera di pintu ruangan). Mereka berdua lalu disuruh telanjang lagi
dan Bobby dipaksa jongkok dan menghisap penis pacarnya. Setiap kali
Hartoyo menolak, pada saat itulah dia kembali mendapatkan pukulan
dan tendangan dari salah seorang petugas. Sedang yang lain hanya
menonton sambil tertawa terbahak-bahak. Dia lalu menangis lagi dan
berteriak menolak. sesudah itu, keduanya dipaksa duduk di bawah TV,
di ruang tunggu, sambil disuruh berpelukan. Saat itu, seorang petugas
berkata, “Hartoyo tampaknya diam, namun sebenarnya di luaran
banyak omong,” lalu melempar sandal Hartoyo ke mukanya.
Lalu, petugas yang lain berkata, “Mandiin..!” Sekitar pukul
02.00, keduanya disuruh ke halaman polsek dekat kolam. Mereka
disuruh jongkok dan salah seorang polisi lantas mengambil selang dan
memutar keran. Mereka berdua disemprot dengan air dari keran itu.
Hartoyo menggigil kedinginan sebab hanya memakai celana pendek,
sedang Bobby mengenakan celana panjang. Tidak lama lalu ,
Bobby mengatakan akan kencing. Seorang petugas lalu
menyuruh dirinya kencing di kepala Hartoyo. Saat itu Hartoyo hanya
menunduk dan lalu merasakan ada air hangat mengalir di kepalanya
lumayan lama, sekitar 2 menit. sesudah itu, mereka berdua dibawa ke
sel sambil menggigil kedinginan dan ketakutan.
Hartoyo memakai kembali baju dan celana. sedang Bobby
memakai sarung yang dipakai untuk mengalungi mereka tadi.
Lantas keduanya disuruh tidur. Hartoyo tidak bisa tidur dan duduk di
depan kamar mandi dalam sel ini . Selain berdua, ada seorang
tahanan lagi yang tinggal di dalam sel itu. Ruang tahanan jadi terasa
sempit untuk tiga orang. lalu seorang petugas memberi kedua
pria ini minum, namun Hartoyo menolak sebab merasa takut dijebak.
Dia ingat perkataan petugas yang menyatakan bahwa dirinya pecandu
saat pertama kali dibawa ke polsek. Namun Bobby meminum air itu.
Satu jam lalu , seorang petugas lewat di depan sel.
Hartoyo bertanya apakah diperbolehkan memakai handphone
(HP) untuk menghubungi kakaknya di Banda Aceh. Petugas ini
menolak dan menyarankan besok pagi saja. Polisi menyuruh Hartoyo
segera tidur saja. Namun dirinya semakin tidak bisa tidur sebab
merasa putus asa, ketakutan, dan sangat tertekan. saat azan subuh
berkumandang, Hartoyo bangun dan meminta HP kembali. Tapi, lagi-
lagi tidak diberikan. Petugas ini mengatakan, “Kalau penyidikan
sudah berjalan, kakak akan dipanggil untuk datang.”
Sesudah salat, petugas menyuruh Hartoyo push up sepuluh kali.
Selanjutnya, disuruh berkenalan dengan seorang tahanan yang sudah
ada lebih dulu di sel. Menurut salah seorang polisi, hal itu sudah
menjadi budaya di penjara ini . Dia diminta berjabat tangan dan
menyebutkan nama dan masalah yang dialami. saat dijelaskan bahwa
masalah nya homoseksual, tiba-tiba tahanan ini menampar pipinya
dengan keras. Hartoyo marah sebab tamparan itu. Polisi lalu segera
masuk, memukul serta menendang dia sebab dianggap melawan.
Petugas lain lalu datang dan ikut memukul bagian perut. Dia lalu
berkata bahwa dirinya masih diduga tak bersalah sebab ada asas
praduga tak bersalah. Lalu polisi berkata lantang, “Jadi kau tidak
merasa bersalah?” Hartoyo pun menjawab, “Pengadilanlah yang akan
memutuskan saya bersalah atau tidak.” saat perdebatan
berlangsung sengit, petugas lainnya mendekat dan memukul bagian
perutnya lagi.
Hartoyo dan Bobby lalu disuruh keluar dari sel dan duduk
di ruang tunggu. Tak lama lalu polisi yang bertugas pagi datang
dan menanyakan kembali masalah mereka. Keduanya lalu dibawa masuk
ke sel lagi. Oleh para polisi apel sekitar pukul 09.00, Hartoyo disidik.
Mereka bertanya siapa wanita yang menunggu di depan. Ternyata
55
Laila, salah seorang rekan kerja Hartoyo di Yayasan Matahari. Dia
masuk, dan meminta izin berbicara dengan Hartoyo tanpa dihadiri
petugas. Namun, dia baru bisa diizinkan sesudah proses penyidikan.
Usai penyidikan, dan saat akan menandatangani surat-surat
ini , Hartoyo menanyakan tentang apakah benar dirinya
dikenakan pasal tentang pencabulan. Namun, polisi itu tidak
merespons pertanyaannya. “Bagaimana dengan pemukulan dan
pelecehan yang dilakukan polisi?” tanya Hartoyo. “Kalau hendak
melanjutkan (perkara pemukulan polisi, Red), maka prosesnya akan
lama,” kata petugas.
sesudah mendapat keterangan ini , Hartoyo membayangkan
dirinya akan disel kembali dan mendapatkan pemukulan serta
penyiksaan. Akhirnya dia mau menandatangani berkas ini . Dia
lalu dipertemukan dengan Laila dan Titi. Petugas mempersilakan
mereka memakai ruangan sel di sebelah sel tempat Hartoyo
ditahan. Di situ, dia menangis dan mengadukan seluruh peristiwa
penganiayaan pada Laila dan meminta tolong untuk memberitahukan
pada Nana, yang yaitu pendiri Yayasan Matahari. Namun, dia
datang lalu meski tidak sempat berbicara dengan Hartoyo
sebab menunggu di luar.
Tak lama lalu , saat mereka masih berbicara, seorang
polisi yang lalu diketahui sebagai Kapolsek berkata, “Mengapa
berbicara di ruangan ini (sel, Red)?”. namun tidak ada respon dari
petugas lain hingga pembicaraan dengan Laila selesai. Hartoyo merasa
sangat tidak puas sebab hanya diberi waktu berbicara lima menit. Dia
dikembalikan ke sel dan tidak sempat berbicara dengan Nana. Namun
Laila sempat berjanji akan tetap tinggal menemani agar Hartoyo tidak
dipukuli lagi. Beberapa polisi masih menanyai tentang masalah dirinya
sampai Indri dan seorang rekan lagi dari Yayasan Matahari datang.
Kapolsek sempat bertanya pada Hartoyo, “Apakah kau dipukul polisi
semalam?” Dia menjawab ya. Lalu Kapolsek bertanya lagi, “Siapa yang
menelepon dari Koalisi NGO?” Hartoyo menjawab tidak tahu.
sesudah tahu ada Koalisi NGO yang menelpon dan menanyakan
tentang penganiayaan dan penyiksaan ini , polisi yang menyidik
Hartoyo lalu bertanya. “Kamu keberatan dengan pemukulan
yang dilakukan polisi? Kalau memang keberatan dibuat surat
pengaduan’’. Tapi Hartoyo hanya menjawab, “Saya menunggu
pengacara saja’’. Kala itu, dia masih merasa ketakutan. Tapi di sisi
lain, sangat marah dengan perlakuan petugas. Bobby yang telah
selesai disidik lalu menyarankan agar Hartoyo tidak
memperpanjang masalah . Lantaran kasihan melihat Bobby dan saat itu
memang yang terpikir yaitu keluar dari polsek sesegera mungkin,
Hartoyo hanya mengiyakan.
Tak lama lalu , Ratna dari koalisi NGO datang bersama
teman laki-lakinya dan bertanya pada mereka berdua apakah ingin
memperpanjang masalah nya atau tidak. sebab hanya berpikir untuk
keluar saja dari sel, Hartoyo mengatakan tidak. Lalu, dia, Bobby,
Ratna, dan Nana bertemu Kapolsek di ruangannya. sesudah beberapa
pembicaraan, hasilnya yaitu Hartoyo tidak akan memperpanjang
masalah ini. Dia dan Bobby lalu diminta menandatangani surat
pernyataan yang isinya tidak berbuat hal yang sama lagi. Surat
perjanjian ini yaitu antara mereka berdua dengan warga yang
diwakili Pak Keucik.
sesudah itu, Hartoyo diminta mengecek tas yang diambil
petugas. Dia lalu diantar ke Lempineung oleh Laila, Nana, dan Indri
untuk beristirahat. Namun malam harinya, dia tidak bisa tidur dan
terus menangis. Terutama jika mengingat perlakuan warga dan
polisi yang menurutnya tidak manusiawi dan telah menghilangkan
martabat kemanusiaannya. Selain itu, dia masih merasakan sakit di
bagian tubuh akibat penganiayaan.
Di tengah situasi galau ini , Hartoyo masih memikirkan
keadaan Bobby dan memintanya agar datang keesokan harinya ke
tempat dia untuk mengantarkan celana panjangnya. Sebab, Hartoyo
sudah tidak lagi memiliki persediaan celana panjang. Sayang, Bobby
tidak menepati janji dan handphone-nya sudah tidak dapat dihubungi
lagi hingga kini.
Tidak terima mendapat perlakuan kejam dari pihak Polsek
Bandar Raya, Hartoyo kembali membuka masalah yang dialaminya. Dia
melaporkan penganiayaan dan penyiksaan yang telah dialaminya.
Sayangnya, saat melapor kembali, sedikit sekali bukti yang didapat
penyidik selain nama Eripda Rahayu Saputra, dkk yang yaitu
pelaku dari masalah penyiksaan ini . Mereka yaitu anggota
SatSamapta Poltabes Banda Aceh. Hasil VER (visum et repertum) dari
saksi korban Hartoyo juga tidak ada.
Menurut tim advokasi (yang terdiri dari Arus Pelangi, YLBHI,
KAPAL wanita , LBH-APIK dll.) korban memberi keterangan di
kepolisian, seharusnya pihak penyidik dapat memerintahkan segera
dilakukan VER sebab ada pengaduan dari korban saat proses
penyidikan. Di lain pihak, Bobby juga tidak mau diminta kesaksiannya
meski sudah mendapat dua kali surat panggilan. Pihak penyidik sudah
menghubungi tim advokasi atau pendamping untuk membantu
memberi informasi alamat atau keberadaan terbaru dari saksi
korban ini . Namun, sampai saat ini keberadaannya saja belum
bisa diketahui. Menurut kabar yang tidak bisa dikonfirmasi para pelaku
di Polsek Banda Raya sudah dipecat, sementara masalah ini diangkat ke
dunia internasional. Antara lain Amnesty International, Asian Human
Rights Commission sampai Pelapor Khusus Anti Penyiksaan PBB telah
mengangkat masalah ini. (*)
. masalah Pemukulan Lesbian (Makassar)
Mantan Polisi Hajar Lesbi
Sungguh malang nasib Linda7 dan Wilma8. Pasangan lesbian ini
dipukuli B. alias choky , tetangga kos mereka di Jalan Mappanyuki No.
69 Makassar. choky sendiri yaitu mantan aparat yang dipecat
sebab masalah penyalahgunaan narkoba.
masalah ini bermula saat hubungan antara istri choky
dengan rekan komunitas lesbian bernama Olivia9 mulai akrab. Saat
itu, Selasa, 10 Juli 2007, Linda dan Wilma sedang berkunjung ke
rumah Anita10 (salah satu rekan komunitas lesbian). Anita sendiri baru
saja pulang kerja dari Serui. Di rumah yang beralamat di Jl. Nusantara
Baru Kompleks PU Makassar, ini juga ada istri choky atau biasa disebut
Mami. Siang itu Mami sengaja berkunjung ke rumah Anita sebab ada
janji mengenai masalah pekerjaan.
Sekitar pukul 14.00, Olivia datang membujuk Mami untuk
pulang ke rumahnya tapi ditolak Mami. Akhirnya dia pulang dan tanpa
sepengetahuan mereka, Olivia datang ke tempat kos choky di Jalan
Mappanyuki No. 59. Di sana, dia mengadukan bahwa istri choky sedang
bergaul dengan para lesbian.
Dengan sangat emosi, choky mendatangi rumah Anita dan
langsung memukul istrinya hingga melukai hidung dan membuat
bengkak seluruh wajah istrinya. Mami mengeluarkan banyak darah
hingga mengotori karpet di rumah Anita. Puas memukul istrinya, choky
lalu memukul Linda yang sedang makan siang. Piring yang
dipegangnya jatuh. Lalu dia menendang dua kali paha Linda.
Pemukulan berlanjut pada Wilma. Kali ini dia memakai helm,
namun ditangkis tangan Wilma. sebab kesal pukulannya meleset,
choky langsung menendang bahu depan atas dan pundak belakang
Wilma dengan keras. Saat kejadian Anita sedang berada di rumah
tetangganya, sehingga dia tidak sempat mendapat perlakuan kasar
yang sama dengan ketiga korban.
sesudah puas memukul ketiganya, choky menyeret Mami keluar
dengan paksa sambil berteriak keras, hingga menarik perhatian warga
sekitar. “Dasar kalian semua lesbian anjing, sundal, iblis tidak
tahu untung!”. Lalu, dia menuduh Linda dan Wilma yang telah
menjerumuskan Mami menjadi seorang lesbian. Para tetangga pun
keluar dan menyaksikan adegan heboh ini .
Tentu saja, teriakan itu pun dibalas oleh Linda. “Itu bukan
urusan kamu. Aku mau menjadi lesbian atau tidak yang penting aku
tidak pernah merugikan siapapun. Dan atas dasar apa kamu
mengatakan aku dan Wilma telah menjerumuskan mami menjadi
seorang lesbian.”
Usai kejadian itu, tidak lama lalu Anita datang. Dia
heran sebab telah terjadi keributan di rumahnya. Melihat bercak
darah Mami berceceran di karpet rumah, dia langsung mengambil
inisiatif memotret darah Mami memakai kamera handphone
miliknya. Dia juga menyarankan Linda dan Wilma segera melapor
kejadian yang menimpa mereka ke kepolisian terdekat.
Sayangnya, saat melapor ke kantor Polresta Kesatuan Pelaksana
Pengamanan Pelabuhan (KP3), keduanya malah mendapat perlakuan
kurang menyenangkan. Polisi berasumsi bahwa masalah mereka
hanyalah faktor kecemburuan pasangan lesbian sehingga enggan
untuk mengatasi masalah nya dengan cepat. Polisi tidak membuat surat
tanda pelaporan sesuai ketentuan. Laporan Wilma hanya ditulis dalam
buku besar saja, tidak dimasukkan ke file komputer.
Bahkan saat menulis, pihak kepolisian yang yaitu rekan si
pemukul, choky , mengatakan pada pasangan lesbian seperti ini:
“Kalian tahu kalau choky itu orangnya nekat dalam melakukan
segala sesuatu dan ke mana-mana selalu bawa celurit?”
Perkataan ini dimaksudkan untuk membuat mental keduanya ciut dan
tidak melaporkan masalah pemukulan yang terjadi. sesudah dimintai
keterangan, polisi meminta agar luka Wilma divisum dan hasilnya
dapat diambil keesokan harinya.
Pada Rabu, 11 juli 2007, sebelum berangkat menuju ke KP3,
Wilma sempat diancam choky dengan kata-kata: “Awas, sampai kau
teruskan laporanmu, aku akan mengerahkan anak buahku
untuk menelanjangimu.” Pukul 11.00 WITA (waktu negara kita
bagian tengah), Wilma bersama rekan-rekan dari komunitas lesbian
dan perwakilan Arus Pelangi Jakarta, mendatangi Anwar, rekan di LBH
Makassar. Mereka menceritakan kronologis masalah ini . Anwar
menyarankan agar pelapor, yakni Wilma, sebaiknya mengambil bukti
pelaporan di KP3. Di tempat ini pula, mereka membentuk tim
advokasi yang terdiri Arus Pelangi dan Kelompok Sehati Makassar
untuk mendampingi selama proses di Polresta KP3.
Setiba di kantor