ngan rencana
penyelenggaraan EASAN 3 akan mempercepat pencapaian target outcome.
Berbagai persiapan dilakukan dengan melibatkan lintas sektor, donor, swasta dan
pemangku kepentingan terkait. Beberapa kegiatan dalam rangka persiapan EASAN-3
di Bali yaitu:
• Pertemuan persiapan rapat koordinasi lintas sektor dan lintas program
• Orientasi STBM di daerah
• Penyusunan laporan status sanitasi dan higiene negara peserta EASAN
• Pencetakan media informasi EASAN 3 Pencapaian Indikator Pencapaian Indikator
Sebagai gambaran hasil pencapaian dari berbagai upaya dan kegiatan penyehatan
air dan sanitasi dasar, dapat dilihat dari pencapaian keempat indikator Penyehatan
Lingkungan sebagai berikut.
1) Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Air Minum Layak um Layak
Indikator proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum yang
aman dapat dilihat pada data berikut:
Secara nasional terjadi penurunan akses dari 44.19% pada tahun 2010 menjadi
42.76 % di tahun 2011.Di perdesaan terjadi penurunan sebesar 0.89%, dari
45.85% (2010) menjadi 44.96%(2011). Sedangkan di perkotaan terjadi
penurunan akses sebesar 1.43%, dari tahun 2010 sebesar 42.51% menjadi
40.52% di tahun 2011.
Lebih jelasnya, perbandingan akses air minum layak tahun 2010 dan 2011 dapat
dilihat pada data berikut.
Daridata di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan karakteristik tempat
tinggal, terdapat perbedaan persentase rumah tangga dalam hal akses sumber
air layak. Akses air minum layak di perdesaan pada tahun 2011 (44.96%), lebih
tinggi dibanding perkotaan (40.52%). Hal ini disebabkan oleh kecenderungan
meningkatnya akses masyarakat perkotaan terhadap air kemasan dan air isi
ulang sebagai air minum.
Akses air minum layak atau berkualitas sesuai pengertian MDGs berasal dari
perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung dengan
jarak terhadap sumber pencemaran lebih dari 10 meter, dan penampungan air
hujan. Air kemasan dalam botol/galon tidak termasuk ke dalamnya.
Berdasarkan pengertian tersebut jika dilihat dari data di atas menunjukkan
trend akses di perkotaan cenderung menurun di tahun 2011 yang disebabkan
oleh kecenderungan peningkatan terhadap akses air minum kemasan dan isi
ulang.
Secara nasional terjadi kecenderungan peningkatan akses terhadap air minum
kemasan dan isi ulang sebagai sumber air minum yaitu dari 13.05% pada tahun
2009 menjadi 19.37% pada tahun 2010. Kecenderungan peningkatan tidak
hanya terjadi di perkotaan saja, tetapi di perdesaan juga mengalami
peningkatan. Sementara itu, sesuai dengan definisi MDGs, air kemasan dan air
isi ulang tidak termasuk sebagai sumber air minum layakDari grafikdi atas. dapat diketahui bahwa provinsi DIYogyakarta tertinggi
dalam pencapaian akses terhadap air minum berkualitas di tahun 2011,
sedangkan beberapa yang terendah antara lain Kepulauan Riau dan Banten,
masing-masing sebesar 10.86% dan 22.12%.
Upaya untuk dapat meningkatkan akses air minum layak secara nasional terus
menerus dilakukan, akan tetapi masih banyak kendala dalam pencapaiannya.
Kendala tersebut antara lain:
a) Adanya kecenderungan meningkatnya penggunaan air kemasan dan isi
ulang sebagai sumber air minum, sementara itu air kemasan dan isi ulang
tidak termasuk sebagai sumber air minum layak. Hal ini terjadi disebabkan
oleh pendataan yang dilakukan saat ini hanya memotret akses terhadap
sumber air yang digunakan untuk minum, belum memperhitungkan kondisi
rumah tangga yang memiliki lebih dari satu sumber air yang layak untuk
diminum.
b) Penyediaan infrastruktur air minum yang ada belum dapat mengimbangi
laju pertumbuhan penduduk, baik karena urbanisasi maupun karena
peningkatan konsumsi.
c) Adanya beberapa permasalahan pada tingkat operator air minum, yaitu
minimnya biaya operasional dan pemeliharaan, rendahnya tarif,
terbatasnya SDM yang kompeten, dan pengelolaan yang kurang efisien.
d) Terdapat kerusakaan di berbagai sarana air minum yang dipakai di
masyarakat, termasuk sumur gali. Masyarakat yang akses terhadap sarana
sumur yang tidak terlindung sebesar 7,1% di tahun 2010 (data Susenas,
BPS)
2) Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sanitasi Layak i Layak Sampai saat ini, diperkirakan sekitar 47% masyarakaIndonesia masih buang
airbesar sembarangan, ada yang berperilaku buang air besar ke sungai,
kebon,sawah, kolam dan tempat-tempat terbuka lainnya. Perilaku sepertitersebut jelassangat merugikan kondisi kesehatan masyarakat,
karena tinja dikenal sebagaimedia tempat hidupnya bakteri coli yang
berpotensi menyebabkan terjadinyapenyakit diare.
Berbagai alasan digunakan oleh masyarakat untuk buang air besar
sembarangan, antara lain anggapan bahwa membangun jamban itu mahal,
lebih enak BAB di sungai, tinja dapat untuk pakan ikan, dan lain-lain yang
akhirnya dijadikan sebagai alasan karena kebiasaan sejak dulu, sejak anakanak, sejak nenek moyang, dan beranggapan sampai saat ini tidak
mengalami gangguan kesehatan.
Perilaku ini harus dirubah karena bilamana masyarakat berperilaku higienis,
dengan membuang air besar pada tempat yang benar, sesuai dengan kaidah
kesehatan, akan dapat mencegah dan menurunkan kasus-kasus penyakit
menular. Kejadian diare misalnya, dengan meningkatkan akses masyarakat
terhadap sanitasi dasar, dan akan menurunkan kejadian diare sebesar 32%.
Dalam menyikapi masalah ini dilakukan berbagai upaya antara lain melalui
berbagai metode pendekatan danupaya percepatan peningkatan akses
penggunaan jamban, melalui program STBM yang diimplementasikan dalam
program Pamsimas, CWSH, dan WSLIC-2, TSSM, ICWRMIP, serta kegiatan
yang diinisiasi oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota. Proporsi penduduk dengan akes sanitasi dasar yang layak (total) pada tahun
2011 adalah 55,60 %, dimana hal ini sudah on-track dengan target MDGs
pada tahun 2015 sebesar 62,4 %. Akses sanitasi perdesaan meningkat
sebesar 0.47% dari tahun 2010 sebesar 38.50 % menjadi 38.97 % (2011).
Sedangkan akses di perkotaan mengalami penurunan sebesar 0.24 % dari
72.78% (2010) menjadi 72.54% di tahun 2011.
Peningkatan akses sanitasi dasar tersebut berdampak positif pada penurunan
kejadian diare per 1000 penduduk sebesar 12 poin, dari 423 per 1.000
penduduk (2006) menjadi 411 per 1.000 penduduk tahun 2010 (Survei
morbiditas diare tahun 2006 dan 2010). Sedangkan episode diare pada
golongan umur balita per tahun turun 0,1 poin, dari 1,3 episode per tahun
(2006) menjadi 1,2 episode per tahun pada tahun 2010 (Survei morbiditas
diare,tahun 2006 dan 2010).
Berdasarkan data tersebut, diketahui angka rata-rata nasional akses sebesar
55.60%. Dapat dilihat bahwa provinsi DKI Jakarta menempati angka
tertinggi pada akses sanitasi dasar yang layak yaitu sebesar 87.83%
sedangkan provinsi dengan akses terendah yaitu Papua (24.31%) dan Nusa
Tenggara Timur (23.82%).
Secara umum, kendala yang dihadapi dalam upaya pencapaian target yaitu:
a) Proses peningkatan perubahan perilaku tidak dapat dilakukan secara
instan, cenderung membutuhkan waktu yang relatif lama agar
masyarakat dapat mengadopsi perilaku yang lebih sehat dalam
kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, kondisi social budaya yang
sangat bervariasi dapat mempengaruhi cepat lambatnya perubahan
perilaku.
b) Belum meratanya ketersediaan sarana air minum dan sanitasi yang
mudah,murah, dan terjangkau oleh masyarakat
c) Kondisi geografis yang sangat bervariasi mengakibatkan sulitnya
menentukan pilihan teknologi sanitasi yang dapat diterapkan di daerah
tersebut.
3) Persentase Kualitas Air Minum yang Memenuhi Syarat Persentase Kualitas Air Minum yang Memenuhi Syarat
Sebagai salah satu pengawasan kualitas air minum PDAM, sebagaimana
tercantum dalam Permenkes 736 tahun 2010 tentang Tata Laksana dan
Pengawasan Kualitas Air Minum, maka dilakukan uji petik terhadap kualitas
air minum PDAM secara eksternal. Penghitungan dilakukan dengan
membandingkan jumlah sampel air minum yang memenuhi syarat dibanding
dengan jumlah seluruh sampel air minum yang diuji yang diambil pada
jaringan distribusi PDAM.
Dari hasil pemeriksaan kualitas air PDAM yang memenuhi syarat di tahun
2011 mencapai 90.80% dari target 90%. Secara umum, kondisi kualitas air Hasil pemeriksaan air minum mengacu pada Permenkes No. 492 tahun 2010
tentang Persyaratan Kualitas Air MinumJumlah Desa yang Melaksanakan STBM
Yang disebut sebagai desa STBM adalah desa yang sudah stop BABS minimal
1 dusun, mempunyai tim kerja STBM atau natural leader, dan telah
mempunyai rencana kerja STBM atau rencana tindak lanjut. Sesuai dengan
indicator RPJMN dan INPRES No.3, jumlah desa STBM dimonitor terus
menerus dan dilaporkan perkembangannya secara triwulan ke UKP4. Berikut
ini adalah data pencapaian target desa STBM tahun 2010 dan 2011. Dari
target 5500 desa STBM di tahun 2011 dapat dicapai sebanyak 6235 desa
implementasi STBM.Program ICWRMIP SC 2.3 ini mempunyai kegiatan-kegiatan utama yaitu
Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kapasitas institusi daerah.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan kapasitas masyarakat dalam
mengatur, merencanakan, mengelola dan melanjutkan secara efektif program air,
sanitasi dan kesehatan masyarakat untuk dilaksanakan. Hal tersebut juga bertujuan
memperkuat koordinasi dan kapasitas pengelolaan proyek dan unit pelaksana di
pusat, propinsi, kabupaten dan kecamatan, untuk secara aktif mengatur proyek dan
pemerintah daerah dalam memfasilitasi dukungan masyarakat terhadap proyek, dan
secara efektif melanjutkan hasil program setelah ICWRMIP sub component 2.3.
Penduduk desa akan dilatih pada persiapan CAP dan pada kegiatan berikutnya
terkait dengan pelaksanaan CAP seperti pembangunan system WSS, pengawasan
proyek, pelaksanaan dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi. Pelatihan ini akan
dilaksanakan oleh CFT sepenuhnya, dengan prosedur pembelajaran penduduk desa
pada saat dilakukan persiapan CAPs. Selanjutnya masyarakat akan dilatih tentang
beberapa aspek dari proses pengelolaan masyarakat, yang akan meningkatkan
partisipasi mereka di proyek, memberdayakan mereka untuk membuat pilihan, dan
menjamin kepentingan yang berkelanjutan di proyek. Pelatihan khusus lainnya akan
diidentifikasi selama penilaian kapasitas kelembagaan yang dilaksanakan selama
proyek berlangsung.
1) Promosi untuk meningkatkan kesehatan/perilaku sanitasi dan pelayanan
Perilaku kesehatan & sanitasi, dan juga kegiatan pelayanan sudah tercakup
dalam proyek ini. Karena pentingnya peningkatan penyediaan air dan sanitasi,
maka manfaat kesehatan yang maksimal harus bisa dicapai. Tujuannya adalah
untuk meningkatkan perilaku sehat dan sanitasi, juga untuk pengelolaan
pelayanan kesehatan masyarakat terkait dengan penyakit yang berbasis pada
air. Komponen ini akan memberikan metode perubahan yang layak dan
pelaksanaan partisipasi kebersihan dan perubahan sanitasi (PHAST) yang akan
digunakan dalam masyarakat dan sekolah, untuk memperoleh peningkatan
kesehatan yang berkelanjutan secara pribadi, rumah tangga dan lingkungan,
perilaku bersih dan sanitasi, sarana dan pelayanan.
Metode PHAST memberi masyarakat kesempatan untuk melakukan analisa
masalah mereka sendiri atau penilaian kebutuhan berkaitan dengan penyakit yg
berbasis air dan udara. Setelah itu, mereka bisa mengembangkan pendekatan
spesifik setempat untuk meningkatkan perilaku bersih dan untuk mengurangi
penyakit diare atau penyakit yg berbasis air lainnya. Sanitasi komunal akan
dilaksanakan dengan bantuan fasilitator masyarakat dibawah manajemen LSM.
Pendekatan CLTS akan dilaksanakan dengan bantuan TFM dan personil
kesehatan dari kabupaten, kecamatan, desa, kelurahan. Sarana sanitasi
masyarakat akan disediakan oleh konsultan kabupaten dan fasilitator
masyarakat tanpa menggunakan dana luar, subsidi perangkat keras atau
pembebanan design toilet luar, tapi menggunakan pendekatan terhadap
perilaku masyarakat yang mengubah pandangan awal terhadap pengolahan
kotoran yang aman, kemudian diikuti dengan cuci tangan, sebelum pindah ke
masalah sanitasi lingkungan seperti penyimpanan air, limbah air dan
pengolahan limbah padat. Ini juga memperkuat kapasitas dan keterampilan
komunikasi dari penyedia layanan sanitasi dan kesehatan daerah, termasuk
badan sanitasi, bidan desa dan badan kesehatan setempat.
2) Penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi
Komponen ini memberikan masyarakat sejumlah akses yang mudah dicapai, air
bersih yang bisa diandalkan, dan juga dana tambahan untuk kesehatan terkait
dengan kegiatan pilihan mereka, termasuk kesempatan masing-masing rumah
tangga untuk membangun fasilitas sanitasi pribadi setelah mendapatkan pemicuan pada pendekatan CLTS. Masyarakat juga bisa membangun tempat
pembuangan limbah padat sederhana atau saluran air limbah, atau membiayai
pelayanan beberapa pelayanan yang mendukung kesehatan, seperti yang
mereka pilih (di dalam parameter yang dibentuk).
Sejauh ini, pembangunan sistem air bersih, sanitasi umum dan pembuangan
limbah padat dilakukan oleh penduduk desa sendiri, tanpa material non local
(seperti pipa, pompa, dll) yang dibiayai oleh proyek. Desa-desa akan bersamasama membiayai sistem dengan kontribusi di muka 20%, yang terdiri dari 4%
dari total biaya konstruksi dalam bentuk tunai, dan tambahan 16% tenaga kerja
dan material lokal. Sistem operasi dan pemeliharaan akan sepenuhnya
tanggung jawab masyarakat dengan dukungan kelembagaan yang tersedia
untuk masalah-masalah sulit yang mungkin timbul. Tim Fasilitator Masyarakat
memberikan dukungan yang berkaitan dengan perencanaan dan perancangan
(DED) dari hari ke hari sesuai dengan keahlian mereka, dari persiapan sampai
dengan setelah konstruksi, dimana masyarakat memungkinkan untuk
menangani OM sendiri.
a) Lokasi dan Desa Sasaran Lokasi dan Desa Sasaran
Lokasi Proyek Lokasi Proyek
Lokasi ICWRMIP sub komponen kegiatan 2.3 adalah kabupaten/ kota yang
wilayah administrasinya terletak di sepanjang aliran sungai Citarum dan Kanal
Tarum Barat, termasuk 9 Kabupaten: Bandung, Bandung Barat, Garut,
Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan 3 Kota:
Bandung, Cimahi dan Bekasi. Sementara ICWRMIP Sub Komponen 2.3 pada
tahun 2010 sampai dengan 2012 difokuskan pada 2 kabupaten (Karawang &
Bekasi) dan 1 Kota Bekasi
Desa Sasaran
Pelaksanaan proyek mengambil lokasi di desa/kelurahan yang terletak
disepanjang sungai Citarum dan Kanal Tarum Barat. Ada 15 desa sasaran yang
tersebar menjadi 5 desa setiap kabupaten/kota. Daftar lokasi dan desa sasaran
adalah sebagai berikut :
b) Kemajuan Kegiatan dan Pencapa Kemajuan Kegiatan dan Pencapa emajuan Kegiatan dan Pencapaian
Program ICWRMIP SC 2.3 bertujuan agar masyarakat di sekitar Daerah Aliran
Sungai Citarum mendapatkan akses air minum dan sanitasi sehingga dapat
meningkatkan derajat kesehatan dan peningkatan kualitas hidup dari manfaat
yang diperoleh dari program pengelolaan sumber daya air Sungai Citarum.
Dari berbagai indikator yang diperlukan untuk menggambarkan perkembangan
dan dampak ICWRMIP 2.3 terdapat data jumlah sarana air minum dan sanitasi
yang dibangun oleh masyarakat dan jumlah penerima manfaat program
ICWRMIP SC 2.3 tahun 2011 yang dapat dilihat pada data dibawah ini.
Tujuan program ICWRMIP SC 2.3 adalah untuk meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat dan mengurangi penyakit yang berbasis air dan udara
pada masyarakat di tepi pantai di sepanjang WTC, dengan peningkatan
penyediaan air, sanitasi, kualitas air dan mengurangi pemompaan illegal
disepanjang WTC. Selain untuk perbaikan kesehatan masyarakat, program ini
diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan manfaat
kesehatan di daerah miskin, dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat;
dan penguatan kapasitas pemerintah daerah.
ICWRMIP menitikberatkan pada pendekatan tanggap terhadap kebutuhan
masyarakat (demand responsive approach) berupa penyediaan sarana air
minum, sanitasi, pengelolaan sampah dan peningkatan perilaku higienis.
Sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat adalah
penyediaan sarana air minum.
Kegiatan ini akan menjadi investasi lingkungan yang mengacu kepada
perubahan perilaku masyarakat sehingga perubahan perilaku tersebut akan
memberikan dampak kepada lingkungan sebagai sumber daya alam yang
dapat diperbaharui dan peningkatan kesehatan masyarakat sebagai tujuan
utamanya.
Pemberdayaan Masyarakat dalam kegiatan penyediaan sarana air minum ini
berperan sangat penting dimulai dari proses pengambilan keputusan,
perencanaan, pelaksanaan dan kepemilikan terhadap sarana air minum yang
dibangun berdasarkan opsi yang dipilih.
Masyarakat akan bertanggungjawab dalam perencanaan kontribusi
pendanaan, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan sarana. Mobilisasi
masyarakat akan menunjang peningkatan pengetahuan, ketrampilan,
peralatan, sumber keuangan dan sistem inisiatif yang akan sangat menunjang
keberhasilan pelaksanaan kegiatan.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan untuk
merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pendekatan pemberdayan masyarakat. Pendekatan ini merupakan komponen penting dalam menjamin
keberlanjutan pembangunan Penyehatan Lingkungan berbasis masyarakat.
Selama ini, peningkatan akses terhadap sanitasi yang tidak disertai dengan
perubahan perilaku telah terbukti tidak berkelanjutan.
Dalam Program ICWRMIP khususnya Sub Komponen 2.3 kegiatan
pembangunan sarana sanitasi komunal yang dipilih oleh masyarakat ini
diharapkan akan mempunyai dampak yang signifikan dalam peningkatan
derajat kesehatan masyarakat di sepanjang Sungai Citarum, melalui
pembangunan yang efektif, efisien dan berkelanjutan.
2. Penyelenggaraan Kegiatan Pengamanan Limbah, Udara d Penyelenggaraan Kegiatan Pengamanan Limbah, Udara dan Radiasi Pengamanan Limbah, Udara dan Radiasi an Radiasi
Penyelenggaraan kegiatan pengamanan limbah, udara, dan radiasi bertujuan untuk
mengendalikan risiko terjadinya pencemaran dan dampaknya terhadap kesehatan
lingkungan, yang memfokuskan diantaranya pada : pengelolaan limbah RS, evaluasi
dokumen Amdal, dan penyusunan dokumen RAN Kesling.
a. Pengelolaan Limbah Rumah Sakit (RS) Pengelolaan Limbah Rumah Sakit (RS)
Sarana pelayanan kesehatan di Indonesia telah berkembang pesat dalam bidang
pelayanan kesehatannya kepada masyarakat, namun hal ini tidak diimbangi dengan
pengelolaam limbahnya. Limbah saryankes berbeda dengan limbah domestik karena
sifatnya yang merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 dari
saryankes disebut juga dengan limbah medis yang memiliki sifat infeksius, beracun,
dan mudah terbakar. Oleh karena itu harus ditangani secara khusus sesuai dengan
kategorinya. Secara keseluruhan saryankes di Indonesia terdiri dari :
1) Rumah Sakit (RS)
2) Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu
(Puskesmas)
3) Industri Farmasi dan Apotek
4) Laboratorium Kesehatan (Labkes)
5) Klinik dan Laboratorium Klinik
6) Praktek dokter
7) Pengobatan tradisional
8) Institusi akademik di bidang kesehatan
Pada tahun 2010 terdapat 1.676 RS yang dikelola oleh pemerintah, swasta dan
militer. Hal ini mengakibatkan RS sebagai sumber utama penghasil limbah medis
karen jumlah limbah yang dihasilkan dalam sehari sekitar 140 g/tempat tidur/hari,
yang terdiri dari :
1) 80% limbah non infeksius
2) 15% limbah infeksius
3) 3% limbah kimia dan obat
4) 1% limbah tajam
5) kurang dari 1% tabung atau termometer rusak Bila jumlah tempat tidur RS di seluruh Indonesia diperkirakan 160.000 tempat tidur,
maka perkiraan jumlah limbah medis yang dihasilkan setiap harinya adalah :
140 g/hari x 160.000 TT = 22,4 ton/hari 140 g/hari x 160.000 TT = 22,4 ton/hari 0 TT = 22,4 ton/hari
Jumlah tersebut belum termasuk limbah medis yang dihasilkan puskesmas. Pada
tahun 2010 jumlah puskesmas di Indonesia adalah 8.931 puskesmas, dengan
perkiraan timbulan limbah medis sekitar 7,5 g/pasien/hari.
Kondisi ini perlu penanganan khusus karena limbah medis sangat berdampak pada
kesehatan, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh WHO, yang menyatakan :
1) Jarum suntik yang terkontaminasi mengakibatkan :
i. 21 juta infeksi virus hepatitis B (HBV), 32% dari kasus baru
ii. 2 juta infeksi virus hepatitis C (HCV), 40% dari kasus baru
iii. Paling sedikit 260.000 infeksi HIV, 5% dari kasus baru
2) Kajian epidemiologi megindikasikan bahwa seseorang yang terluka karena
tusukan jrum suntik yang berasal dari sumber infeksi berisiko terkena HV 30%,
HCV 1,8%, dan HIV 0,3%
3) Sekitar 22-53% kasus hepatitis B, 31-59% kasus hepatitis C, dan 7-24% kasus
HIV/AIDS diasosiasikan dengan pengelolaan limbah medis yang tidak aman. Fokus dari pengamanan limbah yang dilakukan oleh Subdit PLUR adalah
pengelolaan limbah yang dilakukan oleh sarana pelayanan kesehatan dengan aman
dan benar, yang dalam hal ini masih difokuskan pada Rumah Sakit (RS). Indikator
utama Sub Direktorat PLUR adalah persentase Kabupaten/Kota yang melakukan
pembinaan pengelolaan limbah saryankes. Indikator ini sesuai dengan fokus dari
pengamanan limbah sehingga untuk mengetahui tingkat pencapaian indikator ini
dapat dilakukan dengan kegiatan seperti kemitraan dan pengawasan.
Kegiatan Monitoring dan Evaluasi pengelolaan limbah saryankes pada tahun 2011
telah dilakukan di 39 RS di 23 Kab./Kota di 14 Provinsi. Adapun dari kegiatan
tersebut, teridentifikasi tantangan pengelolaan limbah medis yang harus ditangani
secara bersama antara saryankes, sektor kesehatan dengan sektor terkait lainnya.
Tantangan tersebut diantaranya :
1) Kurangnya pengetahuan dan keahlian petugas mengenai risiko dan pengelolaan
limbah medis
2) Prioritas yang kurang dalam hal pendanaan untuk pengelolaan limbah medis
3) Tidak semua saryankes atau daerah memiliki sarana pengolah limbah medis
yang memadai
4) Kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam hal kebijakan dan strategi
dalam pengelolaan limbah medis.
Tantangan tersebut semakin besar ditambah dengan permasalahan mengenai
pengelolaan limbah medis yang ada di lapangan, terutama di RS. Beberapa
permasalahan tersebut diantaranya :
1) 97% RS melakukan pemilahan limbah medis dan domestik dari sumbernya.
Sedangkan 3% RS belum melakukan. Dibandingkan dengan monev yang
dilakukan pada tahun 2010 di 25 RS di 12 provinsi, hasil tahun 2011 mengalami
peningkatan.
2) Sekitar 74 % RS responden memiliki alat pengolah limbah medis padat, yaitu
incinerator. Namun, hanya 76% yang berfungsi baik (dari jumlah RS yang
memiliki alat pengolah limbah medis padat). Hasil ini dibandingkan dengan
hasil monev yang dilakukan pada tahun 2010 di 25 RS di 12 provinsi.
3) Hanya 41% RS memiliki incinerator yang berijin operasional, sedangkan 59%
lainnya tidak memiliki ijin. 85% RS memiliki IPAL untuk pengolahan limbah cairnya. Dibandingkan dengan
hasil monev tahun 2010 yang dilakukan di 25 RS di 12 provinsi, hasilnya
mengalami peningkatan.
62% RS melakukan pemeriksaan efluen limbah cair, namun masih memiliki
permasalahan hasil pemeriksaan efluen limbah cair melebihi baku mutu yang
ditetapkan. Hanya 61% dari RS yang melakukan pemeriksaan efluen memenuhi
syarat baku mutu limbah cair
Permasalahan mengenai pengolahan limbah medis di Indonesia adalah masih
bergantungnya pilihan teknologi pengolahan limbah medis pada incinerator,
padahal masih banyak pilihan teknologi yang lebih tepat guna dan ramah
lingkungan. Kurang baiknya fungsi incinerator bisa dilihat dari suhu operasional
incinerator. Sebagian besar incinerator di Indonesia bersuhu 600-800oC dengan
beban pembakaran semua limbah medis dari berbagai kategori. Permasalahan
lainnya muncul ketika masih banyak saryankes seperti puskesmas menggunakan
incinerator skala kecil. Sebagian besar permasalahan yang dilaporkan adalah
incinerator skala kecil sudah tidak layak pakai, kapasitas yang kecil sehingga tidak
memadai untuk dilakukan pembakaran, keluhan penduduk sekitar mengenai
asapnya, efisiensi yang rendah dalam mencapai suhu optimal, mahalnya bahan
bakar, kesulitan saryankes memperoleh ijin operasional incinerator dan pelepasan
dioksin dan furan sebagai polutan POPs. Padahal, Indonesia telah meratifikasi
konvensi Stockholm untuk mengurangi emisi Persistant Organic Pollutants (POPs)
ke udara.
Pengenalan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan harus dilakukan sebagai
upaya untuk pengolahan limbah medis yang lebih efektif dan efisien serta
mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah Persistant
Organic Pollutants (POPs) seperti dioksin dan furan yang dihasilkan dari
pembakaran di incinerator.
Teknologi tepat guna yang telah diupayakan adalah penggunaan Needle Cutter
dan Needle Pit. Kegiatan pelatihan pengelolaan limbah medis bagi petugas
puskesmas dan RS dan pemberian needle cutter beserta dana untuk membuat
needle pit dilaksanakan oleh Subdit PLUR dan WHO. Kegiatan ini dilaksanakan di
5 lokasi, yaitu di Tanjung Pinang, Ambon, Pontianak, Kupang, dan Jayapura Ini
merupakan upaya dari WHO dan Kementerian Kesehatan dalam mengurangi efek
negatif pengolahan limbah medis padat dengan incinerator, sekaligus memberikan
alternatif pengolahan limbah medis padat yang lebih tepat guna, mudah dalam
pembiayaan, ramah lingkungan, dan sesuai dengan kebutuhan saryankes terutama
yang berada di remote area.
b. Evaluasi Dokumen Amdal Evaluasi Dokumen Amdal
Perlindungan terhadap lingkungan hidup dan rencana ussaha kegiatan ditetapkan
dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
HIdup. Setiap rencana usaha/kegiatan yang mempunyai dampak besar dan penting
wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Menurut
Henrik L. Blum, ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan manusia,
diantaranya adalah faktor lingkungan. Dengan demikian apabila terjadi perubahan
lingkungan, maka akan terjadi pula perubahan kondisi kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Maka studi Amdal idealnya memasukkan pula metode Analisis
Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL).
Berikut ini adalah data yang menggambarkan jumlah dokumen berdasarkan jenisnya
yang dibahas dalam siding komisi Amdal pada tahun 2007 sampai dengan 2011.
Dari dua data diatas dapat dilihat jumlah dokumen yang diterima mengalami
peningkatan dibandingkan dengan tahun 2010. Dari hasil evaluasi dokumen yang
dilakukan, secara umum dokumen masih dangkal dalam kajian aspek kesehatan
masyarakat.
Untuk itu perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dokumen Amdal yang telah dinilai
dalam sidang komisi. Tentunya hal ini memiliki banyak tantangan karena aspek
kesehatan masyarakat tidak saja melibatkan sektor kesehatan, melainkan melibatkan
multi sector. Kemudian diperlukan pula advokasi dan sosialisasi serta pelatihan
mengenai ADKL. c. Penyusunan PenyusunanDokumen Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lingkungan Dokumen Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lingkungan Dokumen Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lingkungan
Pertemuan Forum Menteri Bidang Lingkungan dan Kesehatan Asia Tenggara pada 9
Agustus 2007 di Bangkok menyepakati bahwa negara anggota untuk melakukan
evaluasi dan menetapkan prioritas polutan yang menyebabkan risiko kesehatan
lingkungan. Indonesia sebagai anggota forum tersebut menyusun Rencana Aksi
Nasional Kesehatan Lingkungan (RAN Kesling). RAN Kesling merupakan perencanaan
aksi kesehatan nasional yang komprehensif, menyeluruh dan lintas sektoral, dan
merupakan dokumen kebijakan semua sektor kementerian dan organisasi
kemasyarakatan. RAN Kesling berisi landasan aksi termasuk kegiatan yang sedang
dilaksanakan maupun sebagai landasan rencana aksi selanjutnya. Penyusunan RAN
Kesling dilakukan melalui proses mengembangkan, mengadopsi, menlaksanakan, dan
mengevaluasi kebijakan kesehatan lingkungan.
UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa upaya
kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat
baik fisik, kimia, biologi maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. RAN Kesling disusun untuk mewujudkan
tujuan tersebut. Dokumen ini menganalisis permasalahan yang ada di Indonesia dan
menyajikan pemecahan yang mungkin dilakukan berkaitan dengan kualitas udara, air,
lokasi yang tercemar, dan keamanan pangan, proteksi radiasi, pengelolaan B3 dan
limbah B3, kebisingan, lalu lintas, dan keselamatan kerja. Dokumen ini sangat
strategis dalam melaksanakan kerjasama antara Kementerian Negara Lingkungan
Hidup dan Kementerian Kesehatan bersama kementerian/badan lain yang terkait.
Keberhasilan implementasi langkah-langkah tidak hanya karena pemilihan masalah
dan pemilihan kegiatan yang memadai, tetapi lebih karena setiap pihak secara aktif
bersama menjalankan upaya ini.
3. Penyelenggaraan Kegiatan Higiene Sanitasi Pangan Penyelenggaraan Kegiatan Higiene Sanitasi Pangan
Program higiene sanitasi pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu makanan siap saji
yang berkualitas, higienis dan aman bagi konsumen sehingga gangguan kesehatan
masyarakat akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar dapat dicegah sedini
mungkin.
Berdasarkan Permenkes Nomor 1096 Tahun 2011, higiene dan sanitasi
makanandidefinisikan sebagai upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya
kontaminasi terhadap makanan, baik yang berasal dari bahan makanan, orang, tempat
dan peralatannya
Upaya – upaya untuk memininalisasi masalah dan pemutusan mata rantai faktor resiko
penyakit bawaan makanan tersebut telah dilaksanakan melalui kegiatan yang continue
dengan perbaikan atas pembelajaran terhadap permasalahan yang ditemukan pada saat
perjalanannya melalui upaya-upaya perbaikan strategi pelaksanaan teknis dan
administrasi pelaksanaan: (1) Penguatan kebijakan pelaksanaan melalui penyusunan
revisi peraturan dan pedoman serta modul dan penggandaan bahan sosialisasi (2)
Penguatan teknis pembinaan dan pengawasan TPM bagi petugas
propinsi/kabupaten/kota melalui fasilitasi dan advokasi (3) perencanaan yang evidence
based dalam dukungan administrasi dan management pembinaan dan pengawasan (4)
Peningkatan Pelaporan data capaian TPM dari daerah yang ter up to date melalui
survailans aktif pusatdan kerjasama bersama Pusdatin.
Sebagai upaya penguatan kebijakan sesuai dengan prioritas masalah yang ditemukan
telah diselesaikan dokumen kebijakan pada tahun 2010 – 2011 seperti pada lampiran .....
Keberhasilan fasilitasi dan advokasi pusat kepada daerah secara berjenjang, didukung
dengan monitoring dan evaluasi yang continue atas penyelenggaraan higiene sanitasi
pangan yang optimal adalah dapat menekannya kejadian KLB Keracunan Makanan di
daerah dan event-event khusus (arus mudik, lebaran, masa operasional haji). Dari data
yang terlaporkan sampai dengan 4 tahun terakhir terlihat ada penurunan angka kejadian
yang terlaporkan adalah 177 kejadian:
Adapun trend kejadian KLB keracunan makanan berdasarkan tempat kejadian terjadi
perubahan trend. Trend kejadian KLB keracunan makanan dibawah tahun 2008 berasal
dari jasaboga, sedangkan pada tahun 2009 sampai dengan saat ini tahun 2011 trend
kejadian KLB keracunan makanan secara berurutan berasal dari pengelolaan makanan
rumah tangga, sekolah dan event rumah tangga/kelompok masyarakat (hajatan, pesta
rakyat). Disampaikan data terkahir trend tempat kejadian KLB keracunan makanan pada
tahun 2010 dan 2011.
Sebagai gambaran capaian fasilitasi pusat dalam pembinaan dan pengawasan Higiene
Sanitasi Pangan di 33 propinsi sesuai sasaran indikator Tempat Pengelolaan Makanan
yang memenuhi syarat kesehatan meliputi: jasa boga/katering, rumah makan/restoran,
kantin, makanan jajanan, dan Depot Air Minum (DAM) dari tahun 2010 sd 2011 adalah:
Berikut ini adalah gambaran dari cakupan TPM yang memenuhi syarat di Indonesia.
Pada tahun 2011 cakupan TPM yang memenuhi syarat adalah 61,36%
Disamping melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan terhadap TPM siap saji,
juga melaksanakan investigasi lapangan terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan
Pangan. Berikut gambaran KLB Keracunan Pangan di Indonesia pada tahun 2011 telah
terjadi 177 KLB Keracunan Pangan. Dari data di atas terlihat empat provinsi dengan KLB Keracunan Pangan tertinggi
adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan serta enam provinsi
tanpa KLB Keracunan Pangan yaitu Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua
Barat, dan Sulawesi Barat. data di atas menunjukkan bahwa berdasarkan waktu KLB Keracunan Pangan tahun
2011, frekuensi KLB Keracunan Pangan tertinggi terjadi pada bulan Maret sampai Mei.
Frekuensi KLB Keracunan Pangan terendah terjadi pada bulan Juli dan November,
sedangkan pada Bulan Desember tidak ada KLB Keracunan Pangan. Terdapat empat KLB
Keracunan Pangan yang tidak diketahui waktu terjadinya.
4. Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Kawasan Sanitas Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Kawasan Sanitasi Darurat (PKSD) Penyehatan Kawasan Sanitasi Darurat (PKSD) i Darurat (PKSD)
Kegiatan Kabupaten/Kota Sehat adalah merupakan salah satu indikator pelaksanaan
kegiatan penyehatan lingkungan dalam RPJMN dan RENSTRA 2010-2014 menuju
Indonesia Sehat 2015. Kabupaten/Kota Sehat adalah Indonesia Sehat 2015 suatu kondisi kabupaten/kota yang
bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui
terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dengan kegiatan yang terintegrasi yang
disepakati masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota.
Persentase target indikator yaitu Kabupaten/ Kota yang telah melaksanakan Kab/Kota
Sehat pada tahun 2011 sebesar 55% per propinsi, dan diharapkan pada tahun 2015
sudah mencapai 75% per propinsi. Saat ini sebanyak 237 kabupaten/kota (49.07%)
tersebar di 28 provinsi dari keseluruhan kabupaten/kota yang ada (483 kab/kota) telah
melaksanakan pendekatan Kabupaten/Kota Sehat.
Target dan Cakupan Target dan Cakupan arget dan Cakupan
Tahun 2011, Sebanyak 73 kabupaten/kota hasil seleksi Tim Pembina Provinsi diajukan
untuk dinilai Tim Penilai Pusat pada Penilaian Tahun 2011. Penghargaan "Swasti Saba"
sudah diberikan sebanyak 101 piala dan piagam kepada 95 Kabupaten/Kota dari 237
Kabupaten/Kota yang sudah melakukan pendekatan Kabupaten/Kota Sehat sejak tahun
2005 sampai 2011. Bahkan 4 kota telah memegang 3 Swasti Saba, yaitu Kota
Payakumbuh, Yogyakarta, Malang dan Mataram, selain itu sebanyak 25 kabupaten/kota
telah memiliki 2 swasti Saba.
Penghargaan Swasti Saba 2011 Penghargaan Swasti Saba 2011 enghargaan Swasti Saba 2011
Penghargaan "Swasti Saba" adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Pemerintah
setiap dua tahun sejak tahun 2005 bagi Kabupaten/Kota yang melaksanakan pendekatan
Kabupaten/Kota Sehat. Selama ini penyampaian penghargaannya pada acara puncak
peringatan HKN (Hari Kesehatan Nasional) pada bulan November. Penghargaan "Swasti
Saba" meliputi: Padapa bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 2
tatanan, Wiwerda Wiwerda Wiwerda bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 3-4 tatanan,
dan Wistara Wistara Wistara bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 5 tatanan atau lebih.
Penilaian kabupaten/kota sehat dilakukan pada proses kegiatan yang dilaksanakan s
masyarakat, difasilitasi oleh pemerintah dan yang bersifat berkelanjutan jadi bukan
bersifat kompetisi/lomba. kompetisi/lomba. kompetisi/lomba.
Undang-undang Nomor36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 162 dan 163,
mengamanatkan bahwa upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan
kualitas lingkungan yang sehat baik, fisik, kimia dan biologi maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang
sehat dan tidak mempunyai faktor risiko buruk bagi kesehatan. Pada pasal 163 ayat 2,
mengamanatkan bahwa lingkungan sehat antara lain mencakup lingkungan
permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi serta tempat dan fasilitas umum.
Untuk menjalankan amanat dari pasal tersebut dan seiring dengan Rencana Aksi Kegiatan
Direktorat Penyehatan Lingkungan Tahun 2010-2014 maka untuk penyelenggaraan
penyehatan permukiman dan Tempat-Tempat Umum (TTU) difokuskan untuk meningkatkan
rumah sehat, TTU sehat, dan pelaksanaan strategi adaptasi perubahan iklim bidang
kesehatan. Pelaksanaan kegiatan tersebut mengacu pada target indikator yang telah
ditetapkan dan dapat dilihat pada data di bawah.
Pembinaan dan pemantauan penyehatan permukiman salah satu tujuannya untuk
meningkatkan capaian rumah sehat yang dilakukan mulai dari tingkat pusat sampai
Puskesmas. Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi
kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat untuk melepas lelah setelah
bekerja seharian, namun didalamnya terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk
membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat dan layak huni
tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga
menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni. Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia,
biologi didalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau
masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Untuk menciptakan rumah
sehat maka diperlukan perhatian terhadap beberapa aspek yang sangat berpengaruh,
akses air minum, akses jamban sehat, lantai, pencahayaan, dan ventilasi.
Pengendalian faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya ancaman dan melindungi
keluarga dari dampak kualitas lingkungan perumahan dan tempat tinggal yang tidak
sehat telah diatur dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang
Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Dalam upaya mengoptimalkan perlindungan masyarakat terhadap risiko penyakit saluran
pernafasan di dalam ruang rumah ditetapkan Permenkes Nomor
1077/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah.
Berdasarkan informasi dan data dari 22 provinsi pada tahun 2011 capaian rumah sehat
dapat dilihat pada data di bawah.
data di atas menunjukkan rata-rata nasional untuk capaian rumah sehat tahun 2011 dari
28 provinsi yang menginfomasikan capaiannya adalah sebesar 65,94% yang berarti di
bawah target nasional yang ditetapkan sebesar 76,00% serta jika dibandingkan capaian
pada tahun 2010 mengalami penurunan, dimana pada tahun 2010 capaian rumah sehat
sebesar 73,40%. Penurunan ini dipengaruhi beberapa hal diantaranya beberapa daerah /
provinsi melakukan penertiban / pendataan ulang pada rumah sehat dengan
memutihkan capaian tahun sebelumnya. Capaian rumah sehat mengalami fluktuasi dari
tahun ke tahun yang dapat dilihat pada data di bawah ini.
kabupaten/kota). Output yang dihasilkan dari jejaring tersebut adalah menjadikan
program penyehatan permukiman / rumah sehat terintegrasi dengan program lain yang
dikembangkan di daerah.
Upaya lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan angka capaian rumah sehat adalah
dengan bekerja sama dengan Tim Penggerak PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan
Keluarga). Salah satu kesulitan petugas kesehatan lingkungan dalam pendataan rumah
sehat adalah keterbatasan sumber daya / jumlah tenaga di lapangan dibandingkan
dengan jumlah rumah yang ada sehingga untuk hal ini kerja sama dengan PKK yang
memiliki kader hingga tingkat dasawisma perlu dikembangkan. Kader PKK tersebut dapat
diberdayakan sebagai kader kesehatan lingkungan yang menilai rumah berdasarkan kartu
rumah. Hasil penilaian mereka inilah yang disampaikan ke petugas kesehatan lingkungan
di Puskesmas untuk direkap. Di tingkat pusat kerja sama Direktorat Penyehatan
Lingkungan dengan Tim Penggerak PKK Pusat diwujudkan dalam bentuk pembinaan
bersama ke desa untuk verifikasi Lingkungan Bersih Sehat (LBS).
b. Penyelenggaraan Penyehatan Tempat- Penyelenggaraan Penyehatan Tempat-Tempat Umum (TTU) Tempat Umum (TTU) Tempat Umum (TTU)
Tempat-Tempat Umum (TTU) adalah tempat atau sarana yang diselenggarakan oleh
Pemerintah/Swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat.
Fokus pembinaan TTU dalam RAK Direktorat Penyehatan Lingkungan tahun 2010-2014
meliputi sarana pendidikan (sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, sekolah menegah
pertama/madrasah tsanawiyah, sekolah menengah atas/sekolah menengah
kejuruan/madrasah aliyah), sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit dan Puskesmas),
dan hotel (hotel bintang dan hotel nonbintang). TTU dinyatakan sehat apabila
memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, dan dapat mencegah penularan penyakit
antarpengguna, penghuni, dan masyarakat sekitarnya serta memenuhi persyaratan dalam
pencegahan terjadinaya kecelakaan. Pada akhir tahun 2011 hanya 24 provinsi yang
menyampaikan informasi capaian TTU sehat yang dapat dilihat pada data di bawah ini.
data di bawah menunjukkan rata-rata nasional untuk capaian TTU sehat 2011 dari 24
provinsi yang menginfomasikan capaiannya adalah sebesar 74,43% yang berarti di
bawah target nasional yang ditetapkan sebesar 79,00% serta jika dibandingkan capaian
pada tahun 2010 mengalami penurunan, dimana pada tahun 2010 capaian TTU sebesar
75,50%. Penurunan ini dipengaruhi beberapa hal diantaranya beberapa daerah / Sekolah merupakan tempat berkumpulnya peserta didik dan warga sekolah
dalam kegiatan proses belajar mengajar, dimana kondisi bangunan sekolah yang
tidak sehat dapat berpengaruh terhadap kesehatan peserta didik maupun warga
sekolah. Kondisi sekolah dan madrasah sebagai salah satu Tempat Tempat
Umum (TTU) yang digunakan anak-anak sekolah untuk menuntut ilmu juga
harus memenuhi persyaratan kesehatan guna mencegah kemungkinan terjadinya
gangguan kesehatan/penyakit pada semua warga sekolah di tempat tersebut.
Lingkungan sekolah yang sehat sangat diperlukan, selain dapat mendukung
proses pembelajaran diharapkan juga dapat membudayakan perilaku hidup
bersih dan sehat, tidak hanya pada peserta didik tetapi diharapkan dapat meluas
pada keluarga dan masyarakat sekitar. Derajat kesehatan yang optimal dapat
dilakukan melalui upaya-upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Penyelenggaraan upaya di atas dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan
kesehatan lingkungan. Oleh karena itu dalam rangka upaya pengingkatan
kualitas kondisi lingkungan sekolah perlu dilakukan pembinaan dan fasilitasi
sekolah. Dalam hal pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah Kementerian
Kesehatan telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri yang tertuang dalam
Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1/U/SKB/2003,
1067/Menkes/SKB/VII/2003, MA/230 A/2003, 26 Tahun 2003 tanggal 23 Juli
2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah. Program
Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan
pada upaya promotif dan preventif serta didukung oleh upaya kuratif dan
rehabilitatif yang berkualitas, sangat penting dan strategis untuk meningkatkan
prestasi belajar pada khususnya dan status kesehatan peserta didik pada
umumnya. Lomba Sekolah Sehat (LSS) merupakan suatu kegiatan untuk menilai
pelaksanaan UKS, materi penilaian meliputi peran tim pembina UKS tingkat
provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan serta pelaksanaan UKS di sekolah itu
sendiri. LSS diikuti oleh semua tingkat pendidikan mulai dari TK/RA, SD/MI,
SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Pada tahun 2011 penilaian LSS tingkat nasional
diikuti oleh sekolah-sekolah di 19 provinsi yang lulus verifikasi persyaratan
administrasi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur,
Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung,
Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Output yang diharapkan dari
pelaksanaan kegiatan ini adalah pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah
untuk melindungi peserta didik dan warga sekolah lainnya dari faktor risiko
lingkungan yang mengancam kesehatan. Acuan pembinaan kesehatan lingkungan
di sekolah adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1429/Menkes/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan di
Lingkungan Sekolah.
b) Sarana Pelayanan Kesehatan Sarana Pelayanan Kesehatan
Rumah sakit dan Puskemas sebagai TTU merupakan tempat berkumpulnya orang
sakit maupun orang sehat, sehingga dapat menjadi tempat penularan penyakit
serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan. Untuk menghindari risiko pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan maka penyelenggaraan kesehatan lingkungan Rumah Sakit harus sesuai
dengan persyaratan kesehatan dan kebersihan. Upaya pelaksanaan kesehatan
lingkungan di Rumah Sakit telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun
2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit sedangkan untuk
pelaksanaan kesehatan kesehatan lingkungan Puskesmas mengacu pada
Kepmenkes Nomor 1426/Menkes/SK/XII/2006 tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Puskesmas. Ke depannya pembinaan kesehatan lingkungan di rumah
sakit dan Puskesmas dikembangkan dengan mengacu pada aspek green hospital.
Pada tahun 2011 dilakukan persiapan aturan tentang Gerakan Indonesia Bersih
(GIB) di fasilitas pelayanan kesehatan.
c) Pemeriksaan Pra Embarkasi Haji Pemeriksaan Pra Embarkasi Haji
Perjalanan ibadah haji merupakan kegiatan pada kondisi matra yang dapat
berpengaruh terhadap kesehatan jamaah haji, termasuk pengaruh kondisi asrama
haji embarkasi sebagai tempat persinggahan terakhir bagi jamaah haji sebelum
keberangkatannya ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Pengaruh
asrama haji terdiri dari pengaruh fisik bangunan, cuaca, dan pengaturan kegiatan,
ketersediaan makanan yang aman dan sehat serta pengaruh dari hadirnya banyak
jamaah haji dari berbagai tempat secara bersamaan. Oleh karena itu diperlukan
suatu upaya untuk melindungi calon jamaah haji dari gangguan kesehatan yang
diakibatkan faktor risiko lingkungan di embarkasi haji. Upaya tersebut
diantaranya pemeriksaan higiene sanitasi praembarkasi untuk menyiapkan
embarkasi haji yang memenuhi persyaratan kesehatan.
Tiga kegiatan utama praembarkasi haji adalah pemeriksaan sanitasi asrama haji,
jasa boga / katering jamaah haji, dan pengendalian vektor. Kegiatan persiapan
embarkasi haji merupakan kegiatan yang dilakukan bersama oleh Direktorat
Penyehatan Lingkungan, Pusat Kesehatan Haji, Kantor Kesehatan Pelabuhan,
BTKL setempat, dan dinas kesehatan provinsi. Pada tahun 2011 embarkasi haji di
Indonesia tersebar di 15 kota yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang,
Batam, Bandar Lampung, Bekasi, Pondok Gede, Solo, Surabaya, Banjarmasin,
Balikpapan, Mataram, Makassar, dan Gorontalo. Secara umum hasil pemeriksaan kesehatan lingkungan yang dilaksanakan di
embarkasi di seluruh Indonesia menunjukkan kondisi yang baik. Permasalahan
yang ditemukan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
• Permasalahan pemeliharaan
Bangunan fisik pada umumnya baik namun karena kurangnya pemeliharaan
maka kondisinya menjadi kotor, lambat laun menjadi rusak dan
berpengaruh terhadap fungsi teknis. Kegiatan pembersihan dan
pemeliharaan fungsi bangunan/sarana tidak dilakukan secara rutin atau
tidak sering dilakukan, kecuali pada ruang/bagian tertentu yang secara rutin
dipergunakan sehari-hari di luar kegiatan embarkasi haji.
• Permasalahan teknis
Masalah teknis muncul karena memang dari konstruksi maupun persyarat
teknis lainnya tidak terpenuhi bahkan tidak tersedia, sehingga perlu
dilakukan perbaikan maupun pembangunan baru.
Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan
Perubahan iklim adalah berubahnya komposisi atmosfer global antara lain suhu dan
distribusi curah hujan sebagai akibat dari kegiatan manusia selama periode waktu tertentu yang membawa dampak luas terhadap berbagai kehidupan manusia. Sedangkan adaptasi
perubahan iklim adalah cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan atau terencana
untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi atau yang sudah
terjadi. Dalam upaya memfasilitasi daerah untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim
ditetapkan Permenkes No 1018/MENKES/PER/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor
Kesehatan terhadap Dampak Perubahan Iklim. Strategi adaptasi sektor kesehatan
terhadap dampak perubahan iklim bertujuan untuk menanggulangi dampak buruk
terhadap kesehatan akibat perubahan iklim yang terdiri dari :
a. sosialisasi dan advokasi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim;
b. pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim;
c. peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan;
d. penyiapan peraturan perundang–undangan;
e. peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan, khususnya daerah rentan
perubahan iklim;
f. peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang kesehatan;
g. peningkatan pengendalian dan pencegahan penyakit akibat dampak perubahan iklim;
h. peningkatan kemitraan;
i. peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim sesuai
kondisi setempat; dan
j. peningkatan surveilans dan sistem informasi.
Dalam beradaptasi pada perubahan iklim perlu melibatkan gabungan intervensi reaktif
dan proaktif dalam berbagai sektor. Pemerintah Indonesia telah memasukkan beberapa
pilihan adaptasi ke dalam Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim
Indonesia.
Secara terinci program Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan Direktorat Penyehatan
Lingkungan Tahun 2011 seperti pada data di bawah.
Cakupan daerah potensial yang melaksanakan strategi adaptasi dampak perubahan iklim
pada tahun 2011 sebesar 44,74% di atas target yang ditetapkan sebesar 40,00%. Daerah
potensial perubahan iklim mengacu pada daftar daerah rentan perubahan iklim yang
disusun oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).
III. PENUNJANG KEGIATAN PP&PL PENUNJANG KEGIATAN PP&PL
A. Ketenagaan Ketenagaan
1) Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL istribusi Pegawai Ditjen PP dan PL
Pada Periode Desember 2011 jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
& Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) sebanyak 3757 orang dengan distribusi
sebagai berikut: Jumlah pegawai pada Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit (B/BTKL–PP) sebanyak 709 orang (19%), Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) sebanyak 2421 orang (64%), dan jumlah pegawai Ditjen PP dan PL
pada unit pusat adalah 627 orang (17%).
Pegawai yang berlatar belakang pendidikan S3 sebanyak 5 orang, S2 sebanyak 616
orang, S1 sebanyak 1202 orang, D4 sebanyak 34 orang, D3 sebanyak 1131 orang, D1
sebanyak 99 orang, SLTA dan jenjang dibawahnya sebanyak 670 orang. Sedangkan dari
segi jenis pendidikan pegawai dengan pendidikan kesehatan sebanyak 2671 (71%) dan
pegawai dengan pendidikan non-kesehatan dan mempunyai fungsi administratif dan
pendukung lainnya sebanyak 1086 (29%).