berasx.blogspot.com
....
kacangx.blogspot.com
.....
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 5. Tampilkan semua postingan
Selasa, 11 Juli 2023
penyakit hewan mamalia 5
Juli 11, 2023
penyakit hewan mamalia 5
dan subakut biasanya terjadi fever (1-2,5°C di atas normal) yang berlangsung
sampai 4-5 hari, dengan disertai malaise, depresi, hilang nafsu makan,
kelemahan, konjuntivitis, anemis dan diare. Pada kasus yang lebih berat,
hemoglobinuria akibat terjadinya anemia hemolitik sering yaitu gejala
klinis pertama yang menarik perhatian. Urin menjadi merah gelap atau hampir
hitam. Ikterus dan ensefalitis dapat juga teramati. Angka kematian bervariasi,
bergantung pada umur hewan dan serovar yang terlibat. Kematian terjadi
sesudah beberapa hari diakibatkan terjadinya degenerasi berat dari ginjal
yang disertai nekrosis hati.
Selama kasus akut pada sapi laktasi, air susu berwarna kuning
dan menggumpal, lalu diikuti dengan agalaktia yang pada umumnya
berlangsung selama beberapa hari sampai 2 minggu. Pada sebagian besar
sapi berproduksi dapat normal kembali dalam 2-3 minggu, tetapi ada juga
sapi yang gagal berproduksi dapat normal kembali.
Encefalitis mungkin terjadi pada kasus akut leptospirosis tetapi
gejala klinisnya sering tidak dapat diamati. Nefritis terjadi pada bentuk akut
dan bentuk kronis leptospirosis. Pada kasus akut leptospirosis dapat dikenali
adanya hemoglobinuria atau hematuria.
Gejala klinis yang sering terlihat pada leptospirosis sapi yaitu
abortus dan lahir-mati yang terjadi 1-3 minggu sesudah gejala klinis pertama
terlihat. Gangguan ini sering terjadi pada sepertiga akhir masa kebuntingan.
Gejala klinis pada babi muda biasanya terjadi demam (0,5°C - 1,5°C
di atas normal), anoreksia, kelemahan, konjuntivtis, ikterus, hemoglobinuria,
dan gangguan syaraf pusat (kejang-kejang). Infeksi pada babi dewasa tidak
bunting biasanya tidak memperlihatkan gejala klinis. Sedangkan pada babi
bunting dapat memicu abortus, lahir-mati dan kematian neonatal.
2. Patologi
Pada kasus akut, patologi yang terlihat yaitu ikterus, karkas terlihat
kuning, hati dan ginjal membengkak, korteks ginjal coklat kemerahan. Urin
di dalam vesika urinaria dapat terlihat berwarna merah atau hitam. Pada
pemerikaan secara histologi lesi utama yang ditemukan yaitu berupa
radang ginjal interstitialis, baik yang bersifat fokal atau difus. Perubahan
nekrotik yang bersifat sentrolobuler dan vaskuler ada pada histologi hati.
Lesi pada hati ada meluas pada kasus yang bersifat fatal. Pada kasus
kronis, pada permukaan ginjal terlihat bercak-bercak putih tampak pada
korteks ginjalnya.
3. Diagnosa
Pada leptospirosis, gejala klinis dan patologi yang terjadi pada host
tidak patognomonis, sehingga diagnosa klinis dan Patologi harus diteguhkan
dengan diagnosa laboratorium.
Diagnosa laboratorium ini bertujuan untuk:
a. Mendemonstrasikan adanya antibodi antileptospira di dalam serum host
b. Mendemonstrasikan leptospira yang berada di dalam tubuh host. Untuk
memberikan hasil diagnosa yang akurat, maka perlu pemilihan jenis
spesimen yang sesuai dengan tahap yang terjadi pada leptospirosis.
Pada kasus akut leptospirosis, untuk hewan penderita yang masih
hidup didiagnosa dengan mendemonstrasikan adanya kenaikan titer antibodi
antileptospira yang berada di dalam serum akut dan serum konvalesensi.
Jika hewannya telah mati, maka diagnosa yang harus dilakukan yaitu
mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam jaringan dan cairan tubuh.
Pada kasus-kasus yang memperlihatkan gangguan syaraf, spesimen yang
didiagnosa yaitu otak, sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal
dan mata. Sedangkan pada kasus-kasus terjadi ikterus, spesimen yang
didiagnosa yaitu organ-organ parenkim, tetapi jangan hanya ginjal saja
yang didiagnosa.
Pada kasus leptospirosis kronis, diagnosa bertujuan untuk :
a. Menentukan hewan carrier
b. Menentukan pemicu abortus, lahir-mati, dan gangguan reproduksi
lainnya.
Diagnosa penentuan hewan carrier yaitu dengan mendemonstrasikan
titer antibodi antileptospira. Dalam hal ini tidak diperlukan serum pasangan
karena biasanya titer sudah mulai menurun. Masalah dalam diagnosa ini
yaitu banyak hewan yang secara serologis dikategorikan negatif tetapi
masih pada tahap leptospiruria. Pada sapi dan babi, masing-masing sebanyak
51,6% dan 77,8% hewan carrier yang dikategorikan negatif secara serologis
memakai uji aglutinasi mikroskopik. Diagnosa hewan carrier dapat
juga dengan mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam urin, tetapi
diagnosa ini tidak dianjurkan, karena diagnosa negatif tidak berarti hewan
tidak mengandung leptospira di dalam urinnya.
Diagnosa pada kasus-kasus abortus yang paling akurat yaitu
dengan mendiagnosa fetusnya, yaitu :
a. mendiagnosa adanya antibodi antileptospira pada serum fetus
b. mengisolasi leptospira dari paru-paru dan ginjal fetus
c. menguji secara immunofl uoresen adanya leptospira paru-paru, ginjal
dan adrenal fetus.
ada berbagai jenis uji serologis untuk mendiagnosa leptospirosis,
di antaranya yaitu uji aglutinasi mikroskopik (UAM), uji fi ksasi komplemen
(CFT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Di antara uji tersebut,
UAM yaitu uji yang paling banyak dipakai dan dipakai sebagai uji
standar untuk menilai uji serologis lainnya. Dalam UAM, titer 1:100 atau lebih
ditafsirkan sebagai positif.
4. Diagnosa Banding
Bentuk akut dan subakut leptospirosis pada sapi harus dibedakan
dari babesiosis, anaplasmosis, hemoglobinuria basiler, hemoglobinuria
postpartus dan anemia hemolitika akut. Pada babi, terjadinya kasus-kasus
gangguan reproduksi harus dibedakan dengan brucellosis, infeksi parvovirus,
pseudorabies, dan hog cholera.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen untuk pemeriksaan serologis berupa serum. Serum kira-kira
2 ml ditempatkan dalam botol, tanpa penambahan pengawet dan dikirimkan
secepatnya ke laboratorium veteriner. Selama dalam perjalanan serum harus
selalu dingin.
Untuk isolasi agen pemicu leptospirosis, spesimen dapat
diawetkan dalam medium transport, BSAD (bovine serum albumin diluent)
lalu segera dikirim ke laboratorium dalam termos berisi es.
pengobatan :
1. Pengobatan
Sapi
Pada sapi, pengobatan dengan dihidrostreptomisin dengan dosis
11 mg/kg berat badan setiap 12 jam selama 3 hari, atau 5 gram sehari dua
kali selama tiga hari berturut-turut, efektif untuk menyembuhkan kasus akut
leptospirosis dan mengeliminasi leptospira dari ginjal. Kombinasi antibiotik
penicilin dan eritromisin juga dapat efektif mengatasi radang ginjal kronik dan
leptospirosis.
Babi
Pada babi, pengobatan dapat dilakukan dengan memberi makanan
yang telah dicampur oksitetrasiklin (500 g oksitetrasiklin per ton pakan)
selama 14 hari yang diberikan satu bulan sebelum partus, atau campuran
400 g klortetrasiklin per ton pakan diberikan selama 10 hari dan diberikan
2 bulan sebelum partus. Pengobatan secara ini dapat mengurangi kasus
abortus dan kematian neonatal. Pemberian dihidrostreptomisin, pada awal
terjadinya penyakit, dengan dosis 25 mg/kg berat badan setiap hari selama
3 hari, efektif mengurangi gejala klinis dan mencegah abortus.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Vaksinasi.
Pada sapi biasanya dipakai vaksin hardjo-pomona. Vaksinasi
pertama pada saat pedet berumur 4-6 bulan, kemudiaan diikuti dengan
vaksinasi ulang setiap tahun. Pada babi biasanya dipakai vaksin pomona-
tarassovi. Vaksinasi diberikan pada anak babi umur 3 bulan dan babi bunting.
Babi bibit harus divaksinasi setiap 6 bulan.
Pencegahan penyebaran infeksi.
Untuk mencegah penyebaran infeksi dianjurkan :
a. Setelah diketahui terjadi letupan leptospirosis pada peternakan sapi,
maka catat suhu harian semua sapi pada peternakan tersebut, dan
karantinakan sapi-sapi dengan suhu 39.5°C dan diobati dengan
dihidrostreplomisin.
b. Dekontaminasi atau musnahkan semua ekskreta, fetus abortus dan
membran fetus.
c. Dijaga susaha air minum sapi tidak terkontaminasi dengan urin hewan
terinfeksi leptospirosis.
d. Daerah-daerah berlumpur dieliminasi.
e. Diusahakan agar kerumunan sapi saat minum, makan dan di kandang
tidak terlalu padat.
f. Periksa secara serologis serum semua hewan pada saat leptospirosis
terjadi dan diulangi sebulan kemudian, dan karantinakan hewan yang
menunjukkan kenaikan titer antibodi antileptospira.
g. Jangan memasukkan hewan baru ke dalam peternakan paling sedikit
selama 6 bulan, dan dijaga agar hewan yang tidak terinfeksi terisolasi dari
kelompok hewan terinfeksi selama 6-9 bulan sesudah kasus leptospirosis
terakhir terjadi.
h. Minimalkan atau cegah terjadinya kontak dengan jenis ternak lain, tikus
dan hewan liar Iainnya.
i. Jika dipakai inseminasi buatan, maka gunakan semen dari pejantan
yang bebas leptospirosis.
j. Hewan-hewan bunting dipisahkan dari hewan yang tidak bunting.
LISTERIOSIS
Sinonim : Listerellosis, Creeping disease, Silage sicknes
Listeriosis yaitu penyakit yang menyerang kuda, sapi, domba, anjing, babi,
binatang pengerat dan mamalia serta spesies lainnya. Penyakit ini dipicu
oleh genus Listeria, gejala-gejala pada hewan dapat memicu encephalitis
atau meningo-encephalitis serta konjungtivitis. Pada sapi dan domba dapat pula
memicu keguguran, berjalan berputar-putar, sempoyongan dan paralysis.
Penyakit ini dijumpai di berbagai Negara.
etiologi
Penyakit ini dipicu oleh Listeria monocytogenes (L.monocytogenes),
Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat panjang, ukuran 0,5-1,2 µ, tidak
berselaput, bersifat motil, membentuk rantai pendek 3-8 sel, kadang-kadang satu
atau dua-dua atau mempunyai dua bentuk.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Spesies rentan terhadap penyakit ini yaitu sapi, domba, kuda, babi,
dan beberapa spesies lainnya.
2. Pengaruh Lingkungan
Penyakit sering terjadi pada daerah panas atau dingin (apa memang
seperti ini? Apa bukan salah satunya?), pada masa peralihan musim terjadi
peningkatan populasi bakteri dan kemungkinan terjadi infeksi terhadap
hewan-hewan yang rentan.
3. Sifat Penyakit
Penyakit bersifat epidemik atau sporadis dengan kejadian penyakit
yang tinggi. Pada waktu terjadi wabah angka mortalitas dan morbiditas pada
hewan muda lebih tinggi dibanding hewan dewasa.
4. Cara Penularan
Penularan dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar
oleh bakteri L.monocytogenes, feses, air susu induk, lendir dari vagina dari
hewan penderita.
5. Faktor Predisposisi
Penyakit terutama menyerang pada hewan yang imunitasnya rendah,
banyak menyerang pada hewan tua, sedang bunting, atau hewan yang baru
lahir.
6. Distribusi Penyakit
Kasus pertama dilaporkan pada tahun 1984 di Medan Sumatera
Utara.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit bersifat akut yang dapat dideteksi dengan
adanya demam yang tinggi mencapai 400C. Hewan akan mengalami
depresi, tidak mau makan, nampak berputar-putar, sempoyongan, paralysis,
dan keguguran pada hewan yang sedang bunting.
2. Patologi
Pada babi ditandai dengan adanya focal hepatic necrosis, meningitis,
infi ltrasi sel radang pada otak, perivasculer cuffi ng.
Pada kalkun ditandai dengan focal hepatic necrosis septicaemia, dan
myocarditis.
Pada domba dan sapi ditandai dengan meningitis dan encephalitis.
3. Diagnosa
Diagnosa dilakukan dengan isolasi dan identifi kasi L.monocytogenes
memakai media tryptose agar atau blood agar, lalu diinkubasikan
pada temperatur 370C selama 18-24 jam. Diagnosa juga dapat dilakukan
dengan membuat preparat histopatologi, untuk lalu identifi kasi secara
histologis.
4. Diagnosa Banding
Penyakit listerosis dapat dikelirukan dengan berbagai penyakit berikut:
a. Aujeseky’s disease
b. Rabies
c. Erysipelas
d. Hog cholera
e. Infl uenza
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen yang diambil dapat berupa swab dari vagina atau otak,
lalu dikirim ke laboratorium veteriner setempat dalam keadaan steril
dan segar.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika seperti penicillin,
tetracycline, terramycin, dan penambahan terapi suportif berupa vitamin.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Pencegahan dapat dilakukan dengan:
a. Meningkatkan sanitasi dan perbaikan manajemen kandang.
b. Perlu dilakukan pengelompokan umur, terutama pada babi, sehingga
mempunyai kandang terpisah antar umur yang dapat mencegah
terjadinya penyebaran penyakit.
MASTITIS
Sinonim : Radang ambing
Mastitis yaitu suatu peradangan pada ambing yang bersifat akut, subakut atau
kronis/menahun dan terjadi pada semua jenis mamalia. Pada sapi penyakit ini
sering dijumpai pada sapi perah dan dipicu oleh berbagai jenis bakteri atau
mikoplasma.
etiologi
Berbagai jenis bakteria telah diketahui sebagai agen pemicu mastitis antara
lain yaitu :
1. Streptococcus agalactiae
2. Streptococcus disgalactiae
3. Streptococcus uberis
4. Streptococcus zooepidemicus
5. Staphylococcus aureus
6. Escherichia coli
7. Enterobacter aerogenes
8. Pseudomonas aeruginosa
Dalam keadaan tertentu dijumpai pula pemicu mastitis oleh Mycoplasma sp.,
Nocardia asteroides, dan juga yeast (Candida sp).
epidemiologi
1. Spesies Rentan
Mastitis atau radang ambing dapat menyerang semua hewan
mamalia seperti sapi, kambing, domba, anjing, kucing dan lain-lain. Mastitis
sangat merugikan terutama pada industri peternakan sapi atau kambing
perah.
2. Pengaruh Lingkungan
Bakteri pemicu mastitis banyak ada di ingkungan sekitar
hewan dipelihara. Bakteri pemicu mastitis dapat hidup di kulit, lantai
kandang, atau alat-alat yang telah tercemar. Higiene pemerahan dan
kebersihan lingkungan yang buruk memicu bakteri dapat bertahan
hidup, bila bakteri masuk ke lubang puting maka akan terjadi infeksi ambing.
Kesalahan dalam perawatan mesin perah dan kesalahan manajemen
kebersihan akan memudahkan terjadinya mastitis pada sapi perah.
3. Sifat Penyakit
Mastitis yaitu peradangan pada ambing karena suatu penyakit
atau proses infeksi yang secara signifi kan dapat mengurangi produksi
susu terutama pada industri sapi perah. Penyakit dapat bersifat sub akut,
akut, atau kronis. Mastitis akut yang tidak ditangani sampai tuntas, dapat
berlanjut menjadi mastistis kronis yang berakibat jaringan ambing dapat
tergantikandengan jaringan ikat sehingga alveoli tidak dapat memproduksi
susu.
berdasar gejala klinisnya, mastitis dibedakan menjadi mastitis
klinis dan subklinis. Mastitis klinis bila ada perubahan fi sik susu seperti
susu pecah, bercampur nanah, atau ambing yang membengkak asimetris,
berdarah, berjonjot, bila dipegang panas dan menunjukkan adanya respon
rasa sakit bila dipegang. Disebut mastitis subklinis bila secara fi sik tidak
ditemukan adanya perubahan dari susu, tetapi bila dilakukan uji mastitis
(misalnya CMT, California Mastitis Test) maka akan terlihat penjendalan
(artinya apa?) yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah
putih dalam susu.
4. Cara Penularan
Mayoritas mastitis disebakan oleh adanya infeksi bakteri ke dalam
ambing melalui lubang puting. Cara penularan mastitis dapat terjadi melalui
tangan pemerah, peralatan yang dipakai untuk membersihkan ambing
yang telah tercemar oleh bakteri. Ambing pada sapi perah terdiri dari empat
kwartir yang secara anatomis terpisah antara satu dan lainnya. Mastitis dapat
terjadi pada salah satu ambing, lalu tersebar ke ambing lainnya melalui
tangan pemerah, maupun mesin perah bila sapi diperah memakai
mesin perah. Penularan mastitis juga dapat terjadi melalui pancaran susu
pertama yang langsung dibuang ke lantai, lantai kandang yang basah dan
lembab akan mendukung pertumbuhan bakteri, dan bila sapi berbaring akan
memungkinkan bakteri masuk melalui lubang puting.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya mastitis pada sapi perah antara lain
yaitu higiene pemerahan dan kebersihan lingkungan yang buruk, kesalahan
mesin perah, kesalahan manajemen atau adanya luka pada puting yang
memicu bakteri dapat masuk ke ambing. Jarak antar sapi yang terlalu
dekat atau populasi yang padat akan mempermudah terjadinya penularan
mastitis.
6. Distribusi Penyakit
Mastitis banyak ditemukan terutama pada sapi perah yang dikelola
dengan tidak memperhatikan kesehatan lingkungan dan manajemen
pemerahan yang baik
keterangan :
1. Gejala klinis
Sapi penderita mastitis dapat diketahui dengan adanya
pembengkakan pada ambing dan puting yang terjadi pada satu kwartir atau
Iebih. Rasa sakit timbul sewaktu diperah dan diikuti oleh penurunan produksi
yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat bahkan tidak keluar susu
sama sekali.
Infeksi bakteri dapat memicu susu berubah warna menjadi
merah karena bercampur dengan nanah. Banyak kejadian mastitis subklinis
yang memicu penurunan produksi susu. Pengaruh mastitis pada
ambing dapat memicu infeksi, jumlah sel darah putih meningkat,
penurunan produksi susu, hilangnya kwartir (tidak berfungsi), perubahan
bentuk ambing, dan akibat mastitis ke depan dapat memicu produksi
susu tidak mampu mencapai maksimal.
2. Patologi
Perubahan fi sik ambing yang mengalami mastitis dapat terlihat
adanya bentuk yang tidak simetris antara kwartir ambing kanan dan kiri.
ini dapat dipicu karena adanya keradangan yang memicu
pembengkakan ambing, disamping adanya warna kemerahan, dan adanya
respon rasa sakit bila dipalpasi, serta produksi susu yang menurun. Mastitis
kronis dapat memicu terjadinya ganggren yang disertai dengan
pernanahan dengan infeksi berbagai macam bakteri.
3. Diagnosa
Secara klinis dapat diamati adanya peradangan pada ambing dan
puting serta adanya perubahan warna dari susu yang dihasilkan. Uji lapangan
dapat dilakukan dengan memakai California Mastitis Test (CMT), yaitu
suatu reagen khusus untuk pengujian adanya mastitis subklinis sebelum
dilakukan isolasi dan identifi kasi bakteri pemicu di laboratorium. Spesimen
yang diperlukan yaitu susu yang diperah dari kwartir yang dicurigai dengan
memberikan kode dari setiap kwartir. Susu dimasukkan ke dalam tabung
steril dan dikirimkan dalam keadaan segar dingin.
4. Diagnosa Banding
Mastitis dapat dikelirukan dengan pembesaran ambing karena tumor.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan mengambil susu
secara langsung dari setiap kwartir dengan cara aseptis. Pancaran susu
dimasukkan ke dalam tabung steril, ditutup, lalu dimasukkan dalam
termos es untuk segera dibawa ke laboratorium veteriner.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan memakai antibiotik
sesuai dengan bakteri yang menginfeksi, dan disarankan agar dilakukan uji
sensitivitas terhadap bakteri sebelum melakukan pengobatan agar diperoleh
hasil yang optimal.
Penggunaan antibiotika yang terus menerus dikhawatirkan justru
akan berdampak pada kandungan residu yang tinggi. Daging sapi yang
menderita penyakit ini dapat dikonsumsi, tetapi harus memperhatikan tingkat
keradangan ambingnya. Jaringan ambing yang rusak karena infeksi harus
dimusnahkan dengan dibakar atau dikubur.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Jika ada kasus mastitis, dapat dilaporkan pada Dinas yang
membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat
b. Pencegahan
Higiene dan manajemen pemerahan, serta sanitasi kandang yang
baik dapat mencegah timbulnya penyakit ini. Hewan penderita mastitis
dipisahkan dengan hewan yang sehat.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan mencegah
terjadinya infeksi terutama yang ditimbulkan oleh kesalahan manajemen
dan higiene pemerahan yang tidak memenuhi standar. Dalam periode
tertentu secara rutin perlu dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya
mastitis subklinis dengan melakukan uji CMT.
Sapi perah yang telah berulang kali menderita mastitis sebaiknya
dipotong, karena sudah tidak dapat mencapaian produksi yang optimal.
MELIOIDOSIS
Sinonim : Malleomyces pseudomallei, Loeffrella whitmori, Bacillus whitmori,
Pseudomasa pseudomallaei, Loeffrella pseudomallei, pseudoglanders
Melioidosis yaitu suatu penyakit yang menyerupai glanders, menyerang
berbagai jenis hewan dan manusia. Pertama kali dilaporkan oleh Whitmore dan
Krishnaswani di Rangon pada tahun 1912. Gambaran umum penyakit ini adanya
septisemia, pyemia dan pembentukan granuloma yang khas pada hampir semua
bagian tubuh. Di daerah endemis, Melioidosis yaitu penyakit penting pengebab
sakit dan kematian pada manusia dan hewan. Bersifat epizootik pada marmot
dan kelinci. Penyakit ini juga menyerang tikus liar yang diduga yaitu
reservoar penyakit. Manusia tertular karena gigitan kutu tikus Xenosylla cheopsis
atau nyamuk Aedes aegypti. Serum pasien dapat mengaglutinasi bakteri pada
pengenceran 1:2.560. Gambaran nekropsi dan klinisnya yaitu serupa dengan
Malleus (Glanders) pada kuda.
Pada Februari 1967 ada 35 kasus melioidosis pada orang Amerika di Vietnam,
dimana 8 orang diantaranya mati dengan gejala pneumonia, septicemia, atau
keduanya. Beberapa kejadian memperlihatkan adanya ulcer nekrotik pada kulit
yang dihubungkan dengan lymphodenopathy.
Manusia bisa terinfeksi karena kontaminasi pada kulit yang luka, melalui makanan
atau minuman, Kasus pada manusia sulit diobati dan sering fatal.
etiologi
Penyakit melioidosis dipicu oleh bakteri Pseudomonas pseudomallei
(Malleornyces). Bacillus ini sama dengan bacillus glanders tetapi motil dan
tumbuh baik pada gelatin temperatur 200C, fl agella ada 1-4 yang polar. Tumbuh
pada agar biasa, mukoid atau kering berkerut, oksidasi positif, tumbuh pada Mac
Conkey agar dan tidak memproduksi H2S.
Panjang bacillus ini 1- 2 µ dan lebar 0,5 µ, bentuk yang lebih panjang dan
lebar dapat diperoleh pada media cair, berspora dan gram negative, dan koloni
Pseudomonas pseudomallei pada nutrient agar luar biasa nyata kasar, kering
dan berpaut. Bakteri ini aerob, tumbuh baik pada media biasa dan temperatur
optimalnya 370C. Koloni pertama nampak keputih-putihan dan kasar lalu
menjadi kuning atau coklat dan berkerut.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Kasus penyakit pernah dilaporkan terjadi pada rodentia, kelinci,
burung rnerpati, hewan-hewan di kebun binatang termasuk rusa, anjing,
kucing, kuda, kerbau, sapi, domba, kambing dan babi. Penyakit ini dapat
dibuat secara eksperimental pada tikus besar (rat), tikus kecil (mice) dan
hamster. Penyakit dapat juga terjadi pada manusia.
2. Pengaruh Lingkungan
Pseudomonas pseudomallei relatif peka terhadap pengaruh lingkungan
alam sekitarnya dan desinfektan, meskipun demikian dapat hidup dalam air
pada suhu ruangan selama 8 minggu, dalam air lumpur selama tidak lebih
dari 7 bulan dan dalam tanah di laboratorium selama 30 bulan.
Di daerah tropis dan subtropis infeksi melalui air kemungkinan
yaitu sumber infeksi yang penting. Derajat virulensi yang beragam
terlihat pada strain -strain yang berbeda dari bakteri ini, tetapi kelaparan dan
kondisi stres yang Iainnya dapat meningkatkan kepekaan hewan percobaan
terhadap infeksi. Sebagian besar kasus terjadi pada musim hujan dan di
daerah-daerah dataran rendah berawa.
3. Sifat Penyakit
Melioidosis yaitu penyakit zoonosis penting. Penyakit ini pernah
outbreak pada babi, kambing dan domba di Australia, daerah Karibia dan
Kamboja. Pada kuda di Malaysia, Iran dan Perancis (1976-1978). Pada babi
dan sapi di Papua New Guinea dan Australia. Yang sangat penting pada
ternak yaitu domba dengan mortalitas tinggi pernah dilaporkan.
4. Cara Penularan
Penyakit ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang
pada hewan rodentia, memicu hewan ini menjadi reservoir infeksi
yang penting untuk manusia dan kemungkinan bagi spesies Iainnya. Infeksi
dapat disebarkan melalui zat makanan dan air minum yang terkontaminasi
ekskreta tikus, oleh gigitan serangga, oleh abrasi kulit dan per-inhalasi.
Penularan transplacental pernah dilaporkan pada domba, babi dan kera.
Penularan nosocomial telah dilaporkan pada 4 ekor kucing pada RS hewan,
kemungkinan melalui injeksi multidosis yang terkontaminasi.
5. Faktor Predisposisi
Cuaca yang parah seperti banjir, Tsunami, dan topan dapat
yaitu faktor terjadinya penyakit. Pada manusia, faktor risiko penting
yang mempengaruhi melioidosis yang parah yaitu adanya penyakit ginjal
atau diabetes mellitus. Faktor risiko lainnya pada manusia yaitu adanya
talasemia, penyakit ginjal, dan cystic fi brosis. Modus infeksi diyakini dapat
melalui kulit, atau melalui inhalasi aerosol. Meningkatnya kejadian penyakit
ada hubungan jelas dengan meningkatnya curah hujan.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit ini endemik di Asia Tenggara, Sebelah Utara Queensland
(Australia), Afrika Tengah, Barat dan Timur. Menyebar di China, India,
Malaysia, USA, Australia, Kamboja, Iran, Papua New Guinea dan Perancis.
Melioidosis epizootik pada rodensia di Asia seperti misalnya India, Malaysia
dan negara kita .
Pada tahun 1975, Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah
VII Maros (sekarang Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros) mengisolasi
Pseudomonas pseudomallei di salah satu Ranch Peternakan di Maiwa
kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan). Isolasi pertama dari lesi paru-paru
sapi yang mati dengan gejala penumonia, lalu menyusul isolasi dari
genangan air yang ada di Ranch Peternakan tersebut. Isolat Pseudomas
pseudomallei dari Makassar ini lalu di konfi rmasikan ke Balai Penelitian
Veteriner (Balitvet) Bogor dan dinyatakan bahwa Pseudomonas pseudomallei
asal Makassar ini yaitu strain Makassar karena ada perbedaan dengan
isolat strain yang diperoleh dari Australia.
Kasus meliodosis pada manusia sebelumnya pernah dilaporkan
di Rumah Sakit Paru-Paru Makassar pada sekitar tahun 1954. Infromasi ini
diperoleh dari Dr. Meyer ahli penyakit dalam pada Rumah Sakit Paru-Paru
Makassar.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Pada manusia, penyakit ini sangat fatal, septisemia akut terjadi
sesudah sakit selama 10 hari. Melioidosis pada rodentia juga sangat fatal
yang ditandai dengan adanya kelemahan, demam serta keluar lendir dari
mata dan hidung dan berlangsung lama yaitu 2-3 bulan.
Pada domba terutama yaitu kelemahan dan terbaring yang
lalu kematian terjadi dalam 1-7 hari. Pada domba yang diinfeksi untuk
percobaan terjadi demam yang disertai anoreksia, tidak dapat berjalan
normal dan keluar eksudat kuning kental dari hidung dan mata. Sebagian
hewan menunjukkan gangguan syaraf pusat yaitu cara berjalan/berlari yang
tidak normal, berjalan berputar-putar, menggelengkan kepala, kebutaan dan
agak kejang.
Pada kambing gejalanya menyerupai bentuk akut pada domba,
tetapi lebih sering berlangsung kronis. Pada babi penyakit ini biasanya kronis
dan dimanifestasikan oleh cervical lymphadenitis tapi pada sebagian outbreak
tanda-tandanya sama dengan pada spesies lain. Pada suatu outbreak dapat
terjadi kelumpuhan sementara di bagian posterior, demam, batuk, ingus
dari hidung dan lendir dari mata, anoreksia, keguguran dan kadang-kadang
berakhir dengan kematian.
Pada kuda rangkaian gejalanya yaitu pneumonia metastasis akut
disertai demam tinggi dan berlangsung singkat. Sedikit batuk dan sedikit
ingus serta tidak ada respons terhadap sebagian besar jenis obat yang
dipakai dalam pengobatan.
Gejala klinis pada kuda meliputi septisemia, hypertheremia, oedema,
kolik, diare dan lymphangitis pada kaki. Pada kasus sub akut dapat menjadi
lemah, kurus dan terbentuk oedema. Kuda yang terserang penyakit ini dapat
hidup beberapa bulan. Kasus meningoencephalitis akut pernah terjadi pada
kuda. Kejadiannya mendadak, tanda yang terlihat hanya kejang.
2. Patologi
Pembentukan penyakit ini secara alam yaitu sama dengan halnya
Malleus, yaitu dengan diawali septisemia atau bakteriemia dan lokalisasi pada
berbagai organ. Secara eksperimen, Melioidosis pada kambing ditandai oleh
adanya septisemia dengan mikroabses yang menyebar luas sesudah disuntik
secara intra-peritoneal dan bila secara subkutan maka terbentuk penyakit
yang kronis disertai abses pada paru-paru dan limpa.
Gambar 2. Rongga hidung Kambing. ada nodul berwarna putih pucat
yang menonjol (abses) pada mukosa hidung.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-
signs-photos.php?name=melioidosis)
Banyak abses di sebagian besar organ, terutama di sistem pernapasan
termasuk ke bagian paru-paru, limpa dan hati. Abses juga terjadi di bagian
subkutan dan lymphoglandulla yang yaitu ciri dari penyakit ini. Pada
domba, abses ini mengandung nanah berwama hijau yang kental atau
mengeju serupa dengan yang ditemukan pada penyakit karena serangan
Corynebacterium pseudotuberculosis. Lesi-lesi pada mukosa hidung bisa
menjadi robek dengan pembentukan ulser yang kasar. Polyarthritis akut
dengan pembengkakan kapsul persendian oleh cairan yang mengandung
nanah kehijauan dalam jumlah banyak dan meningoencephalitis akut
ditemukan pada kasus-kasus penyakit secara percobaan.
3. Diagnosa
Bakteri ini mudah ditumbuhkan pada kebanyakan media dalam
waktu 48-72 jam. Injeksi terhadap marmut dan kelinci memicu penyakit
yang menciri. Diagnosa dengan uji alergi pada kulit dengan memakai
melioidin sebagai antigen, CFT dan Hl test. Diagnosa serologis dapat
dilaksanakan dengan uji HA, Aglutinasi dan CFT.
Peneguhan diagnosa dengan isolasi dan identifi kasi bakteri
pseudomonas pseudomallei pada media kultur.
4. Diagnosa Banding
Banyaknya abses pada berbagai organ dapat dibedakan dengan
penyakit Gaseous Lymphadenitis pada domba. Lesi-lesi pada nasal
actinobacillosis pada domba juga menyerupai melioidosis, tetapi penyakit ini
relatif tidak fatal dan isolasi bakterinya menjamin diagnosa positif. Pada kuda
penyakit ini mungkin dikelirukan dengan Malleus tetapi tidak ada pembesaran
lympnodes pada mukosa hidung dan kulit.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Bakteri dapat diisolasi dari tanah, air dan lesi infeksi atau makanan
dan minuman yang tercemar. Pengiriman sampel dilakukan dengan cara
pengiriman bahan infektif bakteri secara umum. Pemeriksaan terhadap
infeksi P.pseudomallei pada hewan dapat didasarkan pada kelainan pasca
mati, isolasi kuman, dan pemeriksaan antibodi dalam serum. Uji serologik
yang pernah dicoba antara lain serum aglutinasi, fl uorecent antibody staining
technique (FAT), uji fi ksasi komplemen, dan hemaglutinasi tak langsung,
sedangkan pemeriksaan antibodi pada manusia metode enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) telah dikembangkan.
pengobatan :
1. Pengobatan
Hanya sedikit informasi yang ada tentang pengobatan yang
memuaskan terhadap melioidosis. Pengobatan dengan pemberian antibiotik.
Uji in-vitro menunjukkan bahwa oxytetracycline, novobiosin, chloramphenicol
dan sulphadiazine mungkin sangat bermanfaat dan diantaranya oxytetracycline
yaitu yang terbaik. Penicillin, streptomycin, chlortetracycline dan polymixin
tidak efektif dalam pengobatan melioidosis. Chloromycetin sudah terlihat
efektif untuk pengobatan pada kuda.
Rifampicin, chloramphenicol dan tetracycline paling efektif, sedang
ampicillin dan kanamycin kurang efektif. Kanamycin dan sulfadiazine
mengurangi aktifi tas pengobatan pertama bila dikombinasi dengan
chloramphenicol atau tetracycline.
2. Pengendalian
Pemberantasan penyakit harus berdasar pada pemberantasan
hewan yang sudah terinfeksi, dan disinfektasi terhadap kandang serta
peralatan pada daerah yang tertular dan juga pada daerah sekitarnya.
PARATUBERKULOSIS
Sinonim: Johne’s Disease, Penyakit Johne
Paratuberkulosis dikenal pula dengan nama Johne’s Disease, yaitu penyakit
hewan menular yang dipicu oleh bakteri Mycobacterium paratuberculosis.
Disebut sebagai Johne’s Disease karena penyakit ini ditemukan pertama kali
oleh Johne dan Frothingham pada sapi di Jerman pada tahun 1895. Ruminansia
besar dan kecil, baik yang jinak maupun yang liar, mudah terjangkit oleh penyakit
ini.
Pada sapi infeksi M.paratuberculosis sesudah melewati masa inkubasi yang
lama (sampai 2 tahun, bahkan dapat lebih) memicu terjadinya enteritis
granulomatus yang menahun, yang ditandai dengan diare yang pada mulanya
hilang-timbul dan yang lalu berlangsung secara terus-menerus serta
kekurusan yang mencolok pada penderitanya.
Kerugian ekonomi akibat penyakit ini lebih berupa singkatnya umur harapan
hidup, hewan diafkir karena sangat kurus serta terjadinya penurunan produksi
susu, hewan terserang atau angka kejadian penyakit lebih tinggi dibanding
dengan angka mortalitas yang ditimbulkan. Di Siprus misalnya, angka mortalitas
akibat paratuberkulosis tercatat sebesar 4% per tahun pada peternakan domba
yang diternakkan secara semi-intensif untuk produksi susu yang dipakai sebagai
bahan pembuat keju. Sedangkan di Amerika Serikat, serangan paratuberkulosis
dalam satu kelompok ternak sapi memicu angka kematian antara 3-10%
per tahun.
etiologi
Hewan penderita paratuberkulosis mengeluarkan agen pemicu bersama
fesesnya, yang mampu bertahan hidup lama bila mencemari lingkungan
sekitarnya. Pada padang penggembalaan (pasture) tercemar, agen pemicu
mampu bertahan hidup tanpa berkembang biak dan padang gembalaan demikian
tetap infektif sampai 1 tahun Iamanya.
Agen pemicu penyakit diketahui peka terhadap cahaya matahari, kekeringan,
tanah yang mengandung kalsium tinggi dan pH tinggi. Sedangkan kontak secara
terus-menerus dengan urin dan feses memberi akibat berkurangnya ketahanan
hidup agen penyebab. Dalam kotoran kandang (cair), M.paratuberculosis
mampu bertahan antara 98-287 hari tergantung pada komposisi dan kandungan
alkalinitas kotoran tersebut.
Mycobacterium paratuberculosis yaitu bakteri berbentuk batang tebal pendek
berukuran kira-kira 0,5-1 mikron, bersifat sangat tahan asam dan di bawah
mikroskop sering dilihat dalam kelompok-kelompok kecil (terdiri dari 3 atau Iebih
sel bakteri per kelompok). Karena termasuk ke dalam bakteri tahan asam (BTA),
maka pewarnaan bakteri menurut Ziehl-Neelsen (Z-N) biasa dipakai dalam
pemeriksaan mikroskopik di laboratorium.
Untuk menumbuhkan bakteri tersebut secara in vitro di laboratorium diperlukan
media khusus (diantaranya yaitu media Herrold yang mengandung mycobactin).
M.paratuberculosis termasuk ke dalam kelompok mikobakteria yang bersifat
lambat tumbuh (slowly growing Mycobacteria). Di laboratorium, diperlukan
sekurang-kurangnya 8 minggu untuk melihat pertumbuhan bakteri ini. Kultur
yang sedang diperiksa pertumbuhannya dianjurkan untuk tidak cepat-cepat
dibuang sebelum 12 minggu lamanya diinkubasi. Koloni M.paratuberculosis
yang baru muncul berukuran sangat kecil (1 mm), berwama putih, mengkilat dan
cembung.
Dikenal 3 galur M.paratuberculosis yang memicu paratuberkulosis pada
sapi, 1 galur berasal dari sapi dan yang 2 galur lainnya berasal dari domba.
Beberapa galur varian juga dikenal, diantaranya yaitu galur Norwegia yang
diketahui patogenik bagi kambing. Telah diketahui bahwa M.paratuberculosis
dapat pula diisolasi dari air susu induk sakit yang memperlihatkan gejala klinis.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Paratuberkulosis terutama menyerang ruminansia seperti sapi, kerbau,
kambing dan domba. Hewan-hewan lain yang juga rentan yaitu rusa, kuda,
onta, antelop, llama, alpaka, yak dan babi. Sedangkan mencit dan hamster
yaitu hewan-hewan percobaan laboratorium yang mudah ditulari dan
sering dipakai dalam penelitian.
ada sejumlah faktor yang berpengaruh pada kerentanan individu
hewan terhadap infeksi. Di antara faktor-faktor tersebut yaitu besarnya dosis
infeksi, umur, termasuk kondisi melahirkan, transportasi dan kekurangan
atau kelebihan nutrisi, serta adanya agen imunosupresif seperti virus Diare
Ganas Sapi.
Kerentanan antar bangsa sapi terhadap infeksi paratuberkulosis masih
menjadi bahan perdebatan. Baik sapi betina maupun sapi jantan, kedua jenis
kelamin tersebut mudah terserang paratuberkulosis.
2. Pengaruh Lingkungan
Alkalinitas tanah berpengaruh pada kehebatan gejala klinis. Hewan
yang diternakkan pada lahan dengan kandungan alkali tinggi memiliki tingkat
kejadian infeksi tinggi namun dengan gejala klinis yang rendah.
Di Amerika Serikat, sapi yang semula ada di daerah dengan
kandungan alkali tinggi dipindahkan ke daerah dengan lahan yang asam
sering mengalami gejala klinis paratuberkulosis yang bersifat fatal.
Hewan yang diternakkan pada lingkungan tercemar mungkin menjadi
hewan yang secara menetap mengeluarkan agen pemicu dalam fesesnya
tanpa memperlihatkan gejala klinis sakit. Mengingat masa inkubasi penyakit
yang lama, maka pengeluaran agen pemicu bersama feses hewan tertular
dapat berlangsung selama 15-18 bulan sebelum gejala klinis penyakitnya
terlihat.
3. Sifat Penyakit
Meski paratuberkulosis bersifat menular dari hewan ke hewan,
namun penyebarannya lambat dan jalannya penyakit menahun. Pada
lingkungan yang memungkinkan terjadinya penularan, hampir seluruh sapi-
sapi yang ada terutama pedet menjadi tertular.
Terdapatnya kasus paratuberkulosis pada suatu peternakan yang
semula bebas dari penyakit ini, biasanya diawali dengan dimasukkannya
ternak baru yang tertular atau ternak pembawa penyakit.
Pada umumnya, hewan muda lebih rentan terhadap infeksi
dibandingkan hewan dewasa. Hewan-hewan yang dipelihara dalam kandang
akan mendapatkan peluang tertular oleh feses tercemar lebih besar
ketimbang hewan-hewan yang hidup di alam. Oleh karena itu, bagi sapi-sapi
perah (yang hidupnya selalu ada dalam kandang) berpeluang lebih besar
untuk tertular paratuberkulosis ketimbang sapi-sapi potong (yang biasanya
dipelihara dalam ranch).
Kejadian baik mastitis maupun ketidak suburan (infertility) secara
nyata lebih tinggi terjadi pada sapi-sapi yang tertular paratuberkulosis
ketimbang pada sapi-sapi yang normal.
4. Cara Penularan
Di alam, cara penularan paratuberkulosis berlangsung melalui saluran
pencernaan makanan, yakni dengan tertelannya agen pemicu yang
ada dalam pakan atau air minum yang tercemar feses hewan sakit.
Pedet dapat tertular karena mengkonsumsi susu induk yang sakit
atau karena diberi susu yang tercemar dengan feses yang mengandung agen
penyebab. Penularan secara intrauterin pada pedet dari induk penderita juga
dapat terjadi. Di samping itu, dilaporkan bahwa agen pemicu berhasil pula
diisolasi dari alat kelamin sapi jantan tertular dan juga dari semennya, bahkan
semen yang sudah ditambah antibiotik dan dibekukan.
Gambar 2. Group bottle feed yang dapat yaitu sumber penularan
paratuberkulosis
(Sumber : http://www.johnes.org/dairy/faqs.html)
5. Faktor Predisposisi
Gejala spesifi k pada sapi berupa kehilangan bobot badan
(meskipun nafsu makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan
dapat terinfeksi sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang
terkontaminasi MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka
gejala klinik seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga
tahun. Tanda klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh adanya stres seperti
beranak atau kepadatan ternak yang tinggi. Manajemen kebersihan dan
hygiene kandang dan peralatan kandang yang baik akan dapat mencegah
terjadinya paratuberkulosis.
6. Distribusi Penyakit
Di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Kanada, Inggris,
Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, dan di Australia paratuberkulosis
yaitu penyakit hewan yang umum ditemukan. Di Australia misalnya,
diketahui bahwa kejadian infeksi di lapangan lebih tinggi dibandingkan
prevalensi penyakit secara klinis.
Di negara kita , menurut catatan yang ada pada Balai Penelitian
Veteriner (Balitvet), Bogor, paratuberkulosis didiagnosa untuk pertama
kalinya pada sekitar tahun 1926. lalu pada tahun 1951, untuk kedua
kalinya paratuberkulosis didiagnosa Balitvet pada seekor sapi perah induk
yang berkondisi kurus dan dengan diare parah berasal dari Perusahaan
Susu ”Frisia” di Bogor, yang spesimennya dikirim oleh Fakultas Kedokteran
Hewan, Bogor.
Mengingat pada dua dasawarsa terakhir negara kita banyak mengimpor
sapi dari Australia dan negara maju lainnya dimana paratuberkulosis umum
ditemukan, maka kehadiran kembali penyakit ini pada ternak sapi dan ternak
ruminansia kecil lain di sini perlu diwaspadai. Karena penelitian tentang
paratuberkulosis pada ternak di negara kita hingga saat ini belum banyak
dilakukan, maka seberapa besar kerugian ekonomi yang diakibatkannya
masih belum dapat diperkirakan.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Dikenal 2 macam gejala klinis paratuberkulosis pada hewan, yakni
(1) hewan penderita dengan gejala klinis nyata, dan (2) hewan penderita
yang tidak mernperlihatkan gejala klinis apapun (subklinis).
Infeksi M.paratuberkulosis pada sapi biasanya berlangsung sejak
umur dini, bahkan sebelum mencapai umur 1 bulan. Namun, mengingat masa
inkubasi penyakit yang lama, maka gejala klinis tidak akan terlihat sebelum
sapi berumur 2 tahun, lazimnya paratuberkulosis menyerang kelompok sapi
umur 2-6 tahun. Batasan umur sapi terserang penyakit ini hendaknya tidak
dijadikan sebagai acuan, karena pada dasarnya, paratuberkulosis dapat
menyerang pada semua umur sapi. Hewan muda lebih rentan terhadap
infeksi dari pada hewan dewasa.
Gejala klinis pada sapi antara lain yaitu nafsu makan pada awalnya
tetap baik, hanya nafsu minumnya yang meningkat secara berlebihan.
Kekurusan tubuh (emaciation) menjadi tanda yang nyata, yang disertai
dengan terjadinya busung di bawah mandibula yang akan menghilang bila
diare muncul. Tidak ada kenaikan suhu badan, namun terjadi penurunan
produksi susu sebelum diare menjadi nyata. Feses berkonsistensi lunak dan
encer seperti sup tanpa bau menyengat serta pada feses tidak didapatkan
baik darah, runtuhan epitel maupun mukus. Diare yang mula-mula terjadinya
hilang-timbul, lalu menjadi makin progresif dan makin berat dan
akhirnya berlangsung menetap. Diare yang berlangsung terus menerus,
seakan-akan menjadi baik pada saat mendekati akhir masa kebuntingan
namun kambuh kembali seperti sebelumnya, bahkan menjadi semakin parah
sesudah hewan penderita melahirkan. Bila penyakit berlanjut, maka terjadi
kelemahan, busung dan hilang nafsu makan.
Gejala klinis yang menonjol pada kambing dan domba meliputi
kekurusan tubuh dan kelemahan umum, disertai dengan bulu yang kasar dan
mudah dicabut, biasanya tanpa diare tapi fesesnya sering mukoid membentuk
pelet. Kambing sakit menunjukkan diare yang ringan dan kekurusan.
Dalam kelompok sapi tertular dari suatu peternakan, bila dilihat dari
sudut patologi klinis, maka hewan-hewan anggota kelompok tersebut dapat
dibagi kedalam 4 kategori yaitu
a. Hewan sakit dengan gejala klinis yang jelas;
b. Pembawa penyakit asimptomatik (intermediate and incubating);
c. Hewan tertular tapi tidak terlihat sakit dan tidak menebarkan cukup
bakteri yang dapat dideteksi secara kultural (infected-resistant)
d. dari Hewan tidak tertular.
Pembagian ini penting, terutama bila dikaitkan dengan strategi
pengendalian penyakitnya.
2. Patologi
Selain kekurusan tubuh penderita yang nyata dan anemia, maka
perubahan patologi biasanya terbatas pada saluran pencernaan makanan,
termasuk ujung ileum, katup ileosekal, sekum, rektum serta kelenjar -kelenjar
getah bening (lymphnodes) yang berkaitan.
Tidak ada hubungan antara kehebatan gejala klinis dengan
kehebatan lesi yang ditemukan. Pada kasus yang fatal mungkin saja hanya
didapatkan perubahan PA dan lesi mikroskopik yang minimal; sementara itu,
lesi klasik dapat ditemukan pada bedah bangkai hewan yang kelihatannya
sehat.
Lesi awal ada pada dinding usus kecil dan kelenjar getah bening
mesenterik, sehingga pada tahap ini dapat dikatakan bahwa infeksi terjadi
pada organ tersebut. Bila penyakit berlanjut, maka lesi mikroskopik terlihat
pada berbagai organ, seperti pada sekum, kolon dan pada kelenjar getah
bening mesenterik. M. paratuberkulosis ditemukan pada organ tersebut,
bahkan akhirnya pada seluruh tubuh hewan penderita.
Pada sapi, lesi patognomonik yang perlu diperhatikan yaitu berupa
penebalan dan korugasi yang ada pada lapisan mukosa ujung ileum
serta pembesaran dan busung pada kelenjar getah bening mesenteriknya.
Preparat ulas baik dibuat dari kerokan lapisan mukosa ileum maupun dari
sayatan kelenjar getah bening mesenterik tersebut untuk pemeriksaan
mikroskopik di laboratorium.
Lesi klasik pada usus berupa hipertrofi difus dari lapisan mukosa
yang akan berkembang menjadi lipatan-lipatan (rugae) yang tebal dan
melintang. Lipatan-lipatan yang telah berkembang konsistensinya tidak
lembut lagi ujungnya berwarna kemerahan karena pembendungan dan
permukaan mukosanya berkesan lunak. Kadang-kadang terjadi jendolan
nekrosis, tapi bukan perkejuan atau perkapuran.
Pada domba dan kambing, lesi berupa penebalan ringan pada
mukosa dengan jendolan-jendolan perkejuan dan perkapuran baik pada
usus maupun pada kelenjar getah bening yang berkaitan dijumpai pada 25%
hewan tertular.
3. Diagnosa
Paratuberkulosis tidak dapat didiagnosa hanya berdasar pada
pemeriksaan sepintas pada bedah bangkai hewan tersangka, yakni
terdapatnya penebalan pada dinding usus penderita. Pemeriksaan lanjutan
di laboratorium diperlukan.
Diagnosa paratuberkulosis ditegakkan bukan saja atas dasar
terlihatnya gejala klinis saja (bagi hewan sakit yang disertai gejala klinis),
melainkan juga harus dilakukan peneguhan melalui berbagai pemeriksaan
lanjutan di laboratorium.
Pemeriksaan di laboratorium meliputi pemeriksaan mikroskopik preparat
ulas dan pemeriksaan kultural bakteriologi dari spesimen feses, kerokan
lapisan mukosa usus kecil dan juga dari kelenjar getah bening mesenterik
dan pemeriksaan serologis yang meliputi uji pengikatan komplemen (CF test,
CFT), ELISA dan agar gel imunodifusi (AGID), yang ditunjang pula dengan
hasil pemeriksaan histopatotoginya.
CFT dipakai terhadap kasus-kasus yang secara klinis dicurigai
paratuberkulosis, juga untuk keperluan perdagangan (impor) sapi. ELISA
memiliki tingkat sensivitas yang sebanding dengan CFT pada kasus-
kasus klinis, bahkan ELISA Iebih sensitif dibandingkan CFT pada kasus-
kasus subklinis paratuberkulosit. Sedangkan uji AGID bermanfaat sebagai
peneguhan diagnosa pada ternak-ternak (sapi, domba dan kambing) yang
secara klinis dicurgai terserang paratuberkulosis.
Pemeriksaan lainnya, uji yang melibatkan peran DNA (DNA probes),
seperti reaksi polimerase berantai (PCR) juga dikembangkan. Dalam
hubungan ini, peneliti Korea menyatakan bahwa untuk mendiagnosa
paratuberkulosis, PCR memberikan hasil yang jauh lebih cepat ketimbang
cara pemeriksaan secara kultural seperti yang biasa dilakukan.
Dalam hubungan diagnosa paratuberkolosis, keberhasilan mengisolasi
agen pemicu secara bakteriologi tetap dianggap sebagai ”gold standart”
atau cara diagnosa yang paling akurat dan dibutuhkan waktu sekurang-
kurangnya 8 minggu (bahkan dapat lebih) untuk mengetahui hasil dan kultural
tadi.
Ketelitian dalam mendiagnosa dapat diperbaiki dalam menempuh
2 langkah, yakni langkah pertama melakukan uji-uji serologis, yang
bersensitivitas dan berspesifi tas tinggi, untuk menetapkan ada atau absennya
penyakit; yang dilanjutkan dengan langkah kedua, yakni melakukan
pemeriksaan feses secara kultural, untuk menemukan hewan mana yang
menebarkan agen penyakit dalam feses.
Terhadap kelompok hawan yang di curigai tertular paratuberkulosis
secara sub klinis, maka diagnosa sewaktu hewan masih hidup dilakukan
melalui penerapan uji johnin. Uji johnin yaitu suatu uji serologis yang
didasari oleh dapat diperlihatkannya reaksi hipersensivitas tipe tertunda
(delayed typehypersesitivity reaction)
Uji johnin pada sapi dilakukan dengan menyuntikan secara intradermal
0,1 ml PPD johnin pada sepertiga bagian tengah kulit leher hewan, yang
dilanjutkan dengan penafsiran reaksinya pada 72 jam berikut nya.
Namun dalam hubungan dengan uji johnin ini, memiliki sensitivitas
dan spesifi sitas yang rendah. Selain itu, uji johnin juga mendatangkan hasil uji
yang rnenyimpang berupa positif-palsu dan negatif-palsu yang berlebihan.
Pada tahun akhir-akhir ini dikembangkan pula suatu uji yang Iebih
baik dibandingkan uji johnin, yakni gamma interferon assay, suatu uji imunoseluler
yang dapat diaplikasikan pada sapi, kambing dan domba. Namun penggunaan
uji tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan uji-uji serologis yang
lain.
4. Diagnosa banding
Beberapa jenis penyakit yang disebutkan di bawah ini dapat
dikelirukan dengan paratuberkolosis dengan manifestasi gejala klinis jelas.
a. Kekurusan tubuh yang mencolok pada penderita paratuberkolosis dapat
dikelirukan dengan penyakit tuberkolosis sapi tahap lanjut, meskipun
pada penyakit tuberkulosis sapi Iazimnya tidak disertai dengan diare
yang menahun.
b. Terdapatnya diare menahun pada penderita paratuberkolosis dapat
dikelirukan dengan penyakit Diare Ganas Sapi, namun diketahui bahwa
agen pemicu keduanya jelas berbeda.
c. Salmonellosis, coccidiosis dan parasit cacing (dimana ketiga penyakit
tersebut biasa disertai dengan diare) dapat mengelirukan pula, namun
biasanya ketiga penyakit tersebut diatas berjalan akut dengan agen
penyebabnyapun berbeda.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen yang perlu dikirimkan ke laboratorium yaitu sebagai
berikut:
a. Potongan kecil (± 2 cm) usus halus plus isinya (dipotong pada sekitar
katup ileosekal atau jejunum), diikat pada kedua ujungnya, sertakan juga
kelenjar getah bening yang berdekatan; spesimen ini diambil segar dan
dikirim dalam keadaan beku secepatnya.
Catatan : Juga perlu dikirimkan potongan organ yang sama, yang
dimasukan kedalam wadah yang berisi formalin 10% untuk pemeriksaan
hispatologi.
b. Swab diambil Iangsung dari rektum hewan tersangka, dikirim segera
tanpa pendingin.
c. Stempel berupa feses (± 20 gram) dari hewan tersangka, dari dalam
rektum jangan yang dari luar tubuh, dikirim segera tanpa pendingin.
d. Preparat ulas dari kerokan mukosa usus kecil, mukosa rektum dan dari
feses,difi ksasi (dengan cara melewatkan kaca preparat keatas nyala api
Buncen 3x) dan dikirim bersama-sama spesimen lainnya.
pengobatan :
1. Pengobatan
Terhadap agen-agen kemoterapik tertentu (invitro), diketahui bahwa
M.paratuberculosis lebih resisten dibandingkan M.tuberculosis, oleh karena itu
prospek pengobatan bagi penderita paratuberculosis sesungguhnya sangat
kecil.
Beberapa jenis obat telah dicoba dengan hasil yang bervariasi, di
antaranya Isoniazid misalnya, ternyata gagal untuk menyembuhkan kasus-
kasus klinis paratuberculosis.
Pada sapi, clofazimine memberi efek perbaikan klinis yang bersifat
sementara saja. Pada kambing, kombinasi antara 500 mg dihidrostreptomisin
yang disuntikan intramuskuler dan 300 mg rifampin dengan 300 mg isoniazid
yang diberikan per oral 2x sehari, mendatangkan efek perbaikan klinis.
2. Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan
Mengingat kekurangtelitian uji-uji diagnostik yang tersedia, ditambah
pula dengan rendahnya kasus-kasus klinis yang ditemui di peternakan, maka
tidaklah mungkin untuk melaksanakan pemberantasan paratuberkulosis
secara tuntas. Oleh karena itu, tindakan yang mungkin diambil berupa
pembersihan menyeluruh peternakan tertular dan lalu mengisinya
kembali dengan ternak baru yang bersih dari agen penyakit. Selanjutnya,
tindakan penting lainnya yaitu mencegah masuknya hewan-hewan yang
tertular ke dalam peternakan yang bersangkutan.
Dalam hal pengendalian paratuberkulosis pada suatu peternakan,
masalah utama yang dihadapi yaitu sulitnya pendeteksian sapi-sapi
terinfeksi secara subklinis.
Pemberantasan penyakit cara lama mendasarkan pada ditemukan
nya hewan-hewan pembawa dengan memakai berbagai uji seperti
disebutkan di atas (diagnosa) yang lalu dilanjutkan dengan pemotongan
hewan -hewan yang bereaksi positif di Rumah Potong Hewan (RPH). Sesudah
itu, peternakan tertular dikarantina dan ternak yang tersisa diuji ulang pada
selang waktu 6 bulan hingga dicapai hasil negatif untuk 2x uji berturut-turut.
Namun cara tersebut jarang mendatangkan sukses untuk pemberantasan
paratuberkulosis.
Alternatif pengendalian yang lain yaitu cara ‘culture and cull’’
Setiap 6 bulan sekali, dari semua sapi dewasa dalam peternakan dilakukan
pemeriksaan feses secara kultural. Sapi, yang hasil pemeriksaan fesesnya
positif, bersama anak-anaknya dipotong. Dengan cara ini, derajat pencemaran
pada sekitar (termasuk padang gembalaan) menurun cepat karena hewan
penebar agen penyakit sudah tersingkirkan.
Apapun cara pengendalian penyakit yang diterapkan, maka semua
itu menuntut waktu pelaksanaan yang lama dan pengorganisasian yang baik
serta dana yang besar, itupun dengan hasil yang belum tentu memuaskan.
Vaksinasi yaitu usaha untuk mengurangi tingkat penyebaran
infeksi dan melindungi hewan ybs dari gejala klinis penyakit. ada 2
jenis vaksin, yakni vaksin yang mengandung M.paratuberculosis hidup yang
dilemahkan (Vallee’s vaccine) dan vaksin yang mengandung agen pemicu
yang dimatikan (Sigrudsson’s vaccine).
Pada sapi, vaksinasi dilakukan pada umur 1 bulan. Vaksinasi
ulang tidak dianjurkan, karena efek vaksinasi kadang-kadang memicu
benjolan (nodules) yang tak terlihat. Selain itu, sapi-sapi yang sudah
divaksinasi, sampai 5 minggu pasca vaksinasi dan yang terakhir pada 18
minggu pasca vaksinasi, akan memberikan reaksi positif terhadap uji johnin
dan atau uji tuberkulin yang dipelakukan. Dengan kata lain, vaksinasi hanya
dianjurkan bagi daerah-daerah yang tertular berat paratuberkulosis dan pada
kelompok ternak yang bebas-tuberkulosis, tetapi bukan pada daerah yang
sedang menerapkan proyek pemberantasan tuberkulosis.
Pada domba, penggunaan vaksin mati Sigrudsson memberikan hasil
baik. ada 2 pendekatan yang sifatnya umum untuk mengendalikan
permasalahan paratuberkulosis pada sapi, yaitu
a. Bila tingkat kejadian penyakit cukup rendah, maka program ”test and
slaughter” pada suatu peternakkan tertular diberlakukan dengan catatan
semua sapi harus dikeluarkan dari peternakan dan peternakan ybs
dikosongkan bagi semua jenis ruminansia selama sekurang-kurangnya
1 tahun.
b. Bila tingkat kejadian penyakit tinggi dan proyek pemberantasan
tuberkulosis telah diselesaikan atau sama sekali tidak pernah diadakan,
maka program vaksinasi dianjurkan.
Sekelompok sapi berstatus bebas-paratuberkulosis, bila memenuhi
usulan kriteria sbb.:
a. Bebas dari penyakit (paratuberkulosis) selama 3 tahun terakhir,
b. Negatif uji johnin (intradermal) 2x berturut-turut pada semua sapi-sapi
umur 6 bulan ke atas pada selang 6 bulan.
c. Negatif hasil pemeriksaan feses (kultural) pada semua sapi umur 2
tahun, diulang setiap 6 bulan sekali.
Tingkat kejadian paratuberkulosis di banyak negara dimana penyakit
ini biasa ditemukam pada dewasa ini tidak cukup tinggi dan anggapan bahwa
tingkat ketelitian uji-uji diagnostik yang ada belum cukup tinggi, sehingga
program pemberantasan paratuberkulosis tidak mereka lakukan.
PINK EYE
Sinonim: Infectious Keratoconjungtivitis, Blight, Contagious Opthalmia, Radang
Mata, Katarak, Penyakit Bular Mata
Pink eye yaitu penyakit mata menular pada ternak, terutama sapi, kerbau,
domba, dan kambing. Gejala klinis yang dapat dikenali berupa kemerahan
dan peradangan pada konjungtiva serta kekeruhan pada kornea. Penyakit ini
ditemukan hampir di seluruh dunia dan memicu kerugian ekonomi yang
signifi kan terutama pada industri peternakan sapi, yaitu berupa penurunan berat
badan, dibuangnya susu dari sapi yang terinfeksi, dan penurunan harga jual sapi,
serta pengeluaran biaya pengobatan.
etiologi
Penyebab pink eye dapat berupa bakteri, virus, rickettsia maupun chlamydia,
tetapi yang paling sering ditemukan yaitu bakteri Moraxella bovis (M. bovis)
yang bersifat hemolitik. Pada sapi, selain M.bovis dapat dipicu pula oleh
Neisseria catarrhalis. Pada domba dan kambing, pink eye dapat dipicu
oleh Rickettsia (Colesiata) conjungtivae, Mycoplasma conjungtivae, Brahanella
catarrhalis dan Chlamydia.
Faktor virulensi dari M.bovis ditentukan oleh adanya pili. M.bovis yang
mempunyai pili kasar (rough pill) yaitu bakteri yang virulen, sedangkan koloni
yang halus atau yang tidak berpili yaitu bakteri yang tidak virulen. Ada 2 tipe
pili M.bovis, yaitu Tipe I dan Tipe Q. Pili tipe I berhubungan dengan kemampuan
untuk menyerang jaringan yang lebih dalam. Sedangkan pili tipe Q menunjukkan
kemampuannya menempel pada epithel kornea. Yang menarik dari M.bovis
ini yaitu kemampuannya untuk berubah tipe dari tipe I ke tipe Q. Faktor lain
yang menentukan virulensi dari M.bovis yaitu lipopolisakarida (LPS), serta
enzym-enzym yang dihasilkan seperti fi brinolisin, phosphatase, hyaluronidase
dan aminopeptidase yang memegang peranan penting dalam merusak epithel
kornea.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Hewan yang rentan terhadap terjadinya pink eye yaitu sapi,
kerbau, kambing dan domba. Pink eye menyerang semua tingkat umur,
namun hewan muda lebih peka dibandingkan dengan hewan tua. Prevalensi
tinggi terjadi pada Bos Taurus dibanding dengan Bos indicus dan lebih
resisten pada cross bred.
2. Pengaruh Lingkungan
Penyakit pink eye sering terjadi pada musim panas dimana pada
saat itu ada banyak debu dan meningkatnya populasi lalat. Namun pada
kasus yang kronis dapat berlangsung sepanjang tahun.
3. Sifat Penyakit
Pink eye bersifat epidemik dimana di tempat yang telah terinfeksi
dapat berjangkit kembali setiap tahunnya. Hewan yang menderita penyakit
Pink eye dapat bersifat karier.
4. Cara Penularan
Penularan pink eye terjadi akibat kontak langsung dengan ternak
terinfeksi melalui sekresi mata, atau secara tidak langsung melalui vektor
lalat, debu dan percikan air yang tercemar oleh bakteri.
Musca autumnalis, Musca domestica dan Stomoxys calcitrans
yaitu vektor lalat yang sering ditemukan di sekitar mata. Pada tubuh
lalat ini terutama pada kelenjar air liur, M.bovis dapat bertahan sampai 72
jam.
5. Faktor Predisposisi
Pink eye yaitu penyakit multifaktor, artinya banyak faktor
predisposisi yang berkontribusi terhadap munculnya penyakit ini. Beberapa
faktor predisposisi penting yang perlu diperhatikan yaitu infeksi Mycoplasma
bovoculi dan atau infeksi IBR dimana virus IBR dapat memicu kerusakan
kornea dan jaringan konjungtiva sehinga memungkinkan terjadinya infeksi
sekunder oleh M.bovis.
Pink eye dapat terjadi dengan diawali oleh adanya iritasi pada mata
yang dipicu oleh kibasan ekor, gesekan rumput dan debu. Sensitifi tas
mata terhadap sinar ultraviolet meningkatkan peluang terjadinya pink eye
dimana sapi yang mempunyai jumlah pigmen mata lebih sedikit seperti
sapi Hereford, Holstein dan Shorthorn berpeluang besar terkena pink eye.
Sedangkan sapi yang mempunyai jumlah pigmen mata lebih banyak seperti
Angus dan Brahman kurang begitu sensitif.
Pink eye ini juga sering timbul tiba-tiba pada ternak yang sedang
dalam keadaan lelah akibat mengalami perjalanan jauh. Perubahan cuaca
yang mendadak, terlalu padatnya ternak dalam kandang, kualitas pakan
yang rendah juga dapat memicu terjadinya penyakit ini.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh dunia. Penyebarannya di
negara kita cukup luas
keterangan :
1. Gejala Klinis
Masa inkubasi biasanya 2-3 hari, tetapi dapat sampai 3 minggu.
Gejala awal yaitu mata lembab, adanya sedikit konstriksi pada pupil, serta
photophobi atau sensitif terhadap cahaya sehingga matanya sering ditutup
untuk menghindari cahaya. Dalam waktu singkat mulai keluar air mata
dan terlihat adanya penyempitan pupil secara jelas serta kekeruhan pada
kornea.
Gambar 1. Lakrimasi berlebih dan radang pada kelopak mata (blepharitis)
(Sumber : https://www.sdstate.edu)
Lakrimasi menjadi lebih jelas dan timbul vesikel yang lalu
akan pecah dan memicu luka/ulcer, kekeruhan dari kornea semakin
berkembang dan bagian tengah menjadi menyeluruh pada hari ke 4 atau ke
5. Pembesaran pembuluh darah tampak pada daerah perifer dari kornea pada
hari ke 7 sampai hari ke 10. Pada saat radang akut sudah mereda, sekresi
mata makin purulen. Setelah 10 sampai 15 hari, kornea mulai terlihat jernih
yang dimulai dari daerah perifer ke bagian tengah. Kesembuhan total akan
terjadi 25-50 hari. Kerusakan kornea dapat menjadi lebih parah sehingga
memicu kebutaan. Infeksi pada mata dapat terjadi unilateral ataupun
bilateral.
2. Patologi
Mata terlihat mengalami konjunctivitis, kreatitis, serta kekeruhan
kornea. Tindakan nekropsi tidak lazim dilakukan pada kasus pink eye.
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada lesi dan gejala klinis. M.bovis dapat
dideteksi dengan fl uoresence antibody technique (FAT), kultur bakteri dan
identifi kasi.
4. Diagnosa banding
Konjungtivitis akibat trauma dibedakan dari pink eye bila ditemukan
benda asing pada mata. Disamping itu jumlah kasus konjungtivitis akibat
trauma lebih kecil dibandingkan dengan pink eye.
Gejala konjungtivitis yang dipicu oleh M.bovis sulit dibedakan
dengan IBR dan Malignant Cathar Fever (MCF). Pada IBR ditemukan
peradangan pada saluran pernafasan bagian atas, sedang pada MCF
ditemukan kebengkakan kelenjar limfe, erosi pada cungur hidung, hematuria
dan diare. Keratitis yang dipicu oleh fotosensitisasi dan thelasiasis
harus dibedakan dari pinkeye.
4. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Cotton swab steril yang telah dihilangkan asam lemaknya dipakai
untuk mengambil spesimen dari konjungtiva. Dalam hal ini perlu 3 cotton
swap dan 3 macam transport media, yaitu transport media untuk bakteri,
virus dan rickettsia atau chlamydia. Spesimen dikirim ke laboratorium dalam
termos berisi es.
pengobatan :
1. Pengobatan
M.bovis peka terhadap penicillin, streptomycin, gentamycin,
tetracyclin, cephalosporin, nitrofurans dan sulfonamides. Long acting
oxytetracyclin efektif untuk mengobati anak sapi yang terinfeksi (deep
muscle parenteral). Penelitian terhadap efektifi tas pemberian antibiotik
secara topikal masih kurang, sampai saat ini diketahui bahwa preparat
topikal tidak bisa bertahan lama pada mata karena adanya lakrimasi yang
berlebihan sehingga dapat menurunkan efeknya. Preparat topikal seperti
furazolidone spray dapat mengurangi jumlah bakteri yang tinggal di daerah
mata serta memperkecil ukuran ulcer. Pengobatan topikal yang lebih efektif
yaitu pemberian Benzathine cloxacillin. Formula bentuk oil dari benzathine
penicillin dapat mengurangi jumlah M. bovis dan meningkatkan penyembuhan
ulcer pada mata.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan
lingkungan, menjaga kualitas pakan, serta menjaga populasi kandang
tidak terlalu padat.
Tindakan pencegahan yang dianjurkan di negara-negara maju
yaitu pemeriksaan immunologis. Diketahui bahwa adanya Ig A aktif
sangat penting untuk mencegah Infectious Bovine Keratokonjungtivitis
(IBK).
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Untuk menghindari meluasnya penyakit, hewan yang terinfeksi
segera diisolasi dan diobati. Pada kasus parah, hewan harus dihindarkan
dari sinar matahari secara langsung. Sebagian besar vaksin yang ada
saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.
PULPY KIDNEY
Sinonim: Enterotoxemia, Overeating disease, Milk colik, Apoplexy
Pulpy kidney yaitu kejadian keracunan pada domba, kambing, sapi dan
ruminansia lain, bersifat akut dan fatal, dipicu absorbsi toksin yang dibentuk
oleh bakteri Clostridium perfringens tipe C dan D yang berada di dalam usus.
Gejala Klinis yang menonjol yaitu diare, indigesti akut, konvulsi, paralisa, kolik
dan kematian yang mendadak. CI. perfringens secara alami ada di tanah dan
hidup sebagai mikrofl ora normal usus pada hampir semua jenis hewan berdarah
panas.
Penyakit ini memicu kerugian yang cukup tinggi khususnya pada peternakan
yang mengelola produksi daging domba dan kambing seperti halnya di Amerika
utara.
etiologi
Pulpy Kidney dipicu oleh bakteri Clostridium perfringens yang berada di
dalam usus. Bakteri ini secara alami berada di tanah dan hidup sebagai mikrofl ora
normal pada usus hewan. Pada keadaan tertentu, bakteri ini tumbuh secara
cepat dan memproduksi sejumlah besar toksin.
Dikenal ada 6 tipe toksigenik Cl.perfringens yaitu tipe A, B, C, D, E dan F. Pada
umumnya penyakit ini dipicu oleh tipe C dan D. Tipe D sebagai pemicu
enterotoxemia disebut juga B.ovitoxicus, menghasilkan alpha dan epsilon
toksin.
Cl.perfringens disebut juga Cl.welchii tipe D, Bacillus aerogenus capsulatus,
B.phlegmonis emphysematousae, Welch bacillus, B.paludis, Cl.ovitoxicum
dan Gas bacillus yaitu bakteri berbentuk batang tunggal atau berpasangan,
jarang membentuk rantai, kadang berbentuk fi lamen, berukuran 1,0x4-8 mikron.
Membentuk spora besar dan oval, terletak sub terminal atau sentral. Pembentukan
spora terhambat pada suasana asam. Bakteri ini non motil, dapat membentuk
kapsul dan bersifat Gram positif pada biakan muda, sedang pada biakan tua
bersifat Gram negatif.
Bentuk spora dari bakteri ini tahan terhadap panas. Pada suhu 1200C selama 30
menit masih tahan hidup. Spora juga tahan terhadap kekeringan dan tetap hidup
dalam tanah sampai bertahun-tahun. Dalam daging kering spora ini tetap virulen
sampai 8 tahun.
Cl.perfringens tumbuh pada media umum dalam suasana anaerob atau suhu
optimum 37°C. Pada lempeng Media Agar membentuk koloni halus, bulat,
tepinya rata, semi translucen dan berwarna keabuan. Selain itu bakteri ini Ddapat
membentuk 2 tipe koloni, yaitu:
1. koloni kecil, tipis, bersifat cepat menyebar, terdiri dari kumpulan bakteri
berbentuk fi lamen;
2. koloni mukoid, melekat pada permukaan media.
Pada Biakan Cair membentuk kekeruhan yang merata, sedang pada bagian
bawah membentuk endapan yang tebal. Pada Agar Darah membentuk 2 macam
koloni yaitu hemolitik dan non hemolitik. Bakteri ini dapat mencairkan media
gelatin, mengkoagulasikan litmus milk serta membentuk gas. Pada Media gula-
gula membentuk asam dan gas kecuali mannitol dan dulcitol.
epidemiologi
1. Spesies Rentan
Hewan yang rentan terhadap penyakit pulpy kidney yaitu domba,
kambing, sapi, kuda, serta unta. Hewan berumur muda lebih rentan dari
berumur tua. Hewan dewasa kemungkinan dapat membentuk imunitas akibat
paparan toksin yang frekuen. Cl.perfringens yaitu agen patogen untuk
cavia, tikus putih, dan kurang patogen untuk kelinci.
2. Pengaruh Lingkungan
Perpindahan ternak secara mendadak ke padang rumput yang
lebih subur dapat menjadi peluang terjadinya penyakit pulpy kidney.
3. Sifat Penyakit
Penyakit bersifat sporadik. Angka morbiditas bervariasi, biasanya
lebih dari 10%, sedangkan angka mortalitas dapat mencapai 100%.
4. Cara Penularan
Penyakit ini menular melalui feses hewan penderita. Bakteri masuk
ke dalam tubuh melalui pencernaan. Pada kondisi tertentu populasinya
meningkat dan menghasilkan toksin dalam jumlah besar di usus.
5. Faktor Predisposisi
Adapun kondisi yang dapat memicu meningkatnya jumlah
Clostridium perfringens tipe C dan D di dalam usus dan memproduksi banyak
toksin sehingga ternak menderita enterotoxemia antara lain :
1) Mengkonsumsi sejumlah besar susu pengganti atau pakan biji-bijian/
padi-padian atau konsentrat.
2) Rendahnya konsumsi pakan kering (hay atau rumput hijau)
3) Penurunan kekebalan tubuh akibat stress.
4) Infestasi berat parasit pencernaan.
5) Gerak/motilitas peristaltik usus rendah misalnya akibat bloat/kembung.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit ini ada di Australia, Selandia baru, Inggris, Amerika
Serikat dan German. Kejadiannya di negara kita belum diketahui dengan secara
jelas.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Masa inkubasi terjadinya pulpy kidney sangat pendek, kadang
hanya 2-3 jam. Kebanyakan kasus diakhiri dengan kematian yang diawali
dengan kekejangan, berbaring dan sesak nafas.
Bentuk penyakit pulpy kidney yaitu :
a. Bentuk saraf per akut : hewan kejang, berbaring, sesak nafas dan mati
dalam waktu singkat.
b. Bentuk subakut : suhu normal dan hewan depresi.
c. Bentuk digesti : umumnya kronis, ada diare yang berbau busuk;
hewan mungkin sembuh sendiri sesudah 1 (satu) minggu.
Pada domba
Cl.perfringens tipe A memicu anemia hemolitika dengan tanda
ikterus dan hemoglobinuria. Cl.perfringens tipe B dapat memicu disentri
pada anak domba beberapa jam sesudah melahirkan Cl.perfringens tipe C
diketahui menyerang domba dewasa dengan gejala “Struck” atau “Strike”
dimana terjadi konvulsi dan dapat diikuti dengan kematian.
Pada anak domba, kejadian penyakit sangat singkat, sering kurang dari 2 jam
namun tidak lebih dari 12 jam dan banyak ditemukan mati tanpa menunjukkan
gejala Klinis. Gejala awal hewan terlihat, depresi, dan kehilangan nafsu
makan. Pada kasus akut, terlihat klinis konvulsi dengan buih di mulut dan
kematian mendadak. Hewan yang hidup beberapa jam memperlihatkan diare
kental warna hijau, sompoyongan, berbaring, opisthotonus, serta konvulsi.
Temperatur biasanya normal, namun dapat naik bila terjadi konvulsi berat.
Kematian terjadi selama periode konvulsi atau sesudah periode koma yang
pendek.
Domba dewasa yang menderita pulpy kidney dapat bertahan hidup lebih
lama yaitu sampai 24 jam. Gejala yang telihat yaitu domba tertinggal dari
kawanannya, terlihat sempoyongan, menghentakkan kaki; mengerut-
ngerutkan rahang, salivasi, nafas dangkal, cepat dan tidak teratur.
Kemungkinan terjadi bloat pada periode akhir. Gejala iritasi, seperti konvulsi,
tremor otot, mengertakkan gigi dan salivasi kemungkinan terjadi namun
kurang biasa dibanding pada anak domba.
Pada sapi
Enterotoxemia terutama pada anak sapi dipicu oleh
Cl.perfringes tipe C. Kematian hewan terjadi beberapa jam sesudah gejala awal
terlihat. Selain oleh Tipe C, sapi juga dapat diserang oleh tipe A, E dan D.
Gejala klinis anak sapi yang diserang Cl.perfringens tipe D hampir
sama dengan gejala pada domba dewasa. Pada kejadian per akut, kematian
tidak didahului gejala sakit. Kejadian yang lebih sering dijumpai yaitu kejadian
akut dengan memperlihatkan gejala klinis mendadak yaitu konvulsi yang
berlangsung sekitar 1-2 jam sampai lalu hewan mati. Pada kejadian
sub akut, kebanyakan hewan mengalami kesembuhan dengan gejala tidak
mau minum, diam dan jinak, serta menjadi buta walaupun masih ada refl eksi.
Penyakit berlangsung sampai 2-3 hari dan lalu sembuh total. Pada
kejadian wabah, ketiga bentuk penyakit tersebut (perakut, akut dan sub akut)
dapat terjadi pada anak sapi.
Pada Kambing
Gejala klinis yang menonjol pada kambing yaitu diare dan sembuh
dalam waktu beberapa hari. Pada bentuk akut, terlihat gejala konvulsi yang
diawali peningkatan suhu (40,5°C atau 105°F), hewan kesakitan, A yang
sangat dan disentri, dan diikuti kematian sesudah 4-36 jam. Pada bentuk
sub akut, hewan sakit sampai beberapa minggu, terlihat anorexia dan diare
intermiten yang berat. Pada beberapa kasus terlihat gejala disentri dan
erdapat lepasan epitel dalam feses. Bentuk kronis memperlihatkan gejala
kekurusan, anemia dan diare kronis.
Pada babi
Kematian anak babi dapat terjadi 72 jam sesudah dilahirkan dapat
dipicu infeksi oleh Cl. perfringens tipe C. Kelainan pasca mati berupa
enteritis hemorhagik pada jejenum.
2. Patologi
Toxin memicu enterocolitis (peradangan usus), sehingga
memicu terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan
absorbsi ke dalam pembuluh darah. Toksin yang bersirkulasi dalam pembuluh
darah memicu pembengkakan pada paru dan ginjal.
Pericardium berisi cairan berwama kuning yang berlebihan dan
endocardium ada ekimose. Kondisi karkas pada umumnya baik. Pada
bentuk per akut kemungkinan tidak itemukan adanya lesi. Gejala yang paling
sering terlihat yaitu adanya cairan bening berwarna kekuningan, ptechiae
pada endocardium dan epicardium, kongesti sebagian abomasum, dan
mukosa intestinal biasanya mengandung sejumlah makanan seperti bubur
encer. jika pemeriksaan tertunda beberapa jam dapat terjadi dekomposisi
secara cepat, perubahan warna ungu pada kulit yang tidak berbulu, dan bulu/
wol mudah terlepas.
Perubahan yang mencolok yaitu terjadinya kerusakan jaringan
ginjal sehingga ginjal melunak beberapa jam sebelum kematian. Hati
berwama gelap, dan kongesti cairan pericardial seperti gelatin, rumen dan
abomasum anak kambing dapat berisi penuh dengan makanan konsentrat.
Bentuk akut pada kambing terjadi infl amasi hemorrhoid mukosa omasum dan
usus kecil. Bentuk akut pada domba yang hidup dapat terlihat adanya lesi
pada otak dengan ciri khas simetris hemorhagi, odema, cairan pada daerah
basal ganglia.
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada sejarah penyakit tiba-tiba mati, gejala
klinis dan kelainan pasca mati.
Konfi rmasi diagnosa laboratorium dilakukan dengan identifi kasi
positif enterocolitis, Cl.perfringens dari feses, serta kultur isi usus dan ginjal
yang diisolasi dari hewan penderita.
Diagnosa laboratorium yang dapat dilakukan yaitu :
a. Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan gram dari mukosa usus kecil,
dan dilihat ciri-ciri morfologinya.
b. Uji toksisitas dari isi usus atau kultur bakteri dengan memakai
mencit.
c. Identifi kasi Cl.perfringens dengan uji toksin-antitoksin netralisasi (uji
netralisasi pada kulit cavia dan uji serum netralisasi pada mencit) .
4. Diagnosa Banding
Adapun penyakit yang dapat dikelirukan dengan pulpy kidney yaitu :
a. Black disease, ada hemoglobinuria yang diakhiri kematian tanpa
adanya gejala konvulsi
b. Black leg (radang paha), adanya gas gangraena disertai krepitasi pada
palpalsi otot-otot tebal.
c. Anthraks, terjadinya kematian mendadak disertai perdarahan lubang
tubuh.
d. Hypomagnesia, terukurnya kadar magnesium pada pemeriksaan
laboratorium
e. Polio encephalomacia, gejala hampir sama tetapi kurang akut dan
penyakit berjalan lebih lama. Tidak terjadi hyperglycemia dan glycosuria
walaupun hewan sedang berbaring terlentang.
f. Kejadian pada impesi rumen akut lebih lama (1-3 hari) sedang pada
enterotoxemia sekitar 1 jam.
g. Pada rabies biasanya dilihat sejarah terjadinya penyakit.
h. Pada keracunan akut timah dapat ditemukan racun timah pada urin,
feses dan darah.
i. Pada pregnancy toxemia terjadinya penyakit hanya pada akhir
kebuntingan dan dapat ditemukannya ketonuria pada pemeriksaan
laboratorium.
j. Kejadian ”louping ill” dilihat dari musim dan adanya vektor (caplak).
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan sampel dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Sedikitnya diambil 20 preparat ulas dari mukosa usus dan abomasum
sampai ileum yang hemorhagi dan dekat daerah yang tidak terjadi
infl amasi. Sampel isi usus paling sedikit 10 ml untuk domba dan 440 ml
untuk sapi, diambil dari beberapa tempat dari usus kecil terutama daerah
yang isinya berwarna kuning, dan kental
b. Potongan limfonodus mesenterikus, hati dan ginjal dimasukkan dalam
larutan formol satin untuk pemeriksaan histopatologi.
c. Urin untuk pemeriksaan gula dapat ditambahkan pengawet thymol
untuk dikirim ke laboratrium. Otak dikirim dalam larutan formalin untuk
pemeriksaan terhadap encephalomalacia.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan kasus Pulpy kidney yang sangat parah sulit dilakukan.
Adapun tindakan pengobatan yang dapat dilakukan terhadap pulpy
kidney yaitu dengan pemberian antitoxin untuk menetralisir toksin bakteri.
Penicilline diketahui efektif melawan infeksi Cl. Perfringens. Selain itu dapat
juga dilakukan pemberian elektrolit dan thiamine (vitamin B1) untuk menjaga
keseimbangan biokimia dalam tubuh, analgesik (seperti Banamine), probiotik
untuk mengembalikan populasi normal mikrofl ora pada usus, serta antacida
untuk mengatasi asidosis usus akibat toksin.
2. Pelaporan, Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Melaporkan bila terjadi kasus pada Dinas yang membidangi fungsi
Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait.
b. Pencegahan
Pencegahan pulpy kidney dapat dilakukan dengan:
(1) Vaksinasi
Bila penyakit terjadi secara rutin pada anak domba, vaksinasi pada
domba betina akan mendapatkan hasil yang memuaskan dengan
memberikan suntikan toxoid tipe D pada tahun pertama, 4-6 minggu
sebelum beranak, dan sesudah itu setiap tahun.
Vaksinasi pada induk sapi secara rutin dapat memberikan imunitas
anti toksin di dalam kolostrum untuk anak sapi yang baru lahir.
(2) Mencegah pemberian pakan butiran dalam jumlah besar.
(3) Perubahan pemberian jenis pakan tidak dilakukan secara
mendadak.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian dilakukan dengan vaksinasi dan manajemen
pemeliharaan ternak yang tepat.
Pertimbangan dari segi pemotongan hewan dan pemanfaatan daging sesuai
dengan peraturan yang berlaku seperti radang paha.
SALMONELLOSIS
Salmonellosis yaitu penyakit menular yang dapat menyerang hewan maupun
manusia. Bakteri pemicu penyakit dapat memicu berbagai macam
manifestasi penyakit pada hewan dan demam enterik serta gastroenteritis pada
manusia.
Kerugian yang terjadi akibat Salmonellosis pada hewan antara lain kematian,
penurunan produksi ternak, abortus, kematian neonatal dan pengafkiran bahan
makanan yang tercemar bakteri.
etiologi
Salmonellosis dipicu oleh Bakteri Salmonella, ada lebih dari 1800 serotipe
Salmonella ditemukan pada hewan dan manusia, termasuk hewan liar, reptilia,
burung liar dan insekta. Beberapa serotipe tidak mempunyai inang yang spesifi k
dan gejala yang ditimbulkan tidak khas misalnya Salmonella typhimurium.
Di antara serotipe yang mempunyai inang spesifi k yaitu S.typhi; S.paratyhi A-B
dan C; S.sendai menyerang manusia; S.gallinarum dan S.pullorum pada unggas;
S.abortus pada babi; S.dublin menyerang Sapi; S.abortus ovis menyerang
kambing dan domba dan S.abortus equi menyerang kuda.
Salmonella yaitu bakteri berbentuk batang langsing tidak membentuk spora,
tidak berkapsel, bersifat motil kecuali S.pullorum dan S.gallinarum dan bersifat
Gram negatif.
Bakteri Salmonela membentuk antigen somatik (0) yang termostabil dan antigen
fl agellar (H) yang termolabil. Antigen H terdiri dari 2 tahap yaitu tipe monotahap (kode
huruf kecil; a.b sebagainya) dan tipe ditahap (kode angka l,Il dan sebagainya).
Antigen yang dihubungkan dengan sifat virulensinya S.typhi diberi kode Vi,
antigen ini tidak tahan panas.
Selain itu dikenal antigen S (smoth), R (Rough), M (Mucoid) dan K (Kapsular).
Idetifi kasi secara serotipe ini disusun dalam suatu bagan yang disebut “Kaufmann
Whiteschema”.
Di alam, bakteri Salmonella tidak tahan hidup lama, terutama bila keadaan
sekitarnya kering, tetapi pernah dilaporkan bakteri ini dalam feses tikus. Pada
suhu kamar tahan hidup 148 hari. Suspensi S.tryphi dalam 8 minggu pada suhu
37° C hanya 1 minggu.
Bakteri Salmonella dalam suspensi yang diletakkan di bawah sinar matahari
akan mati sesudah beberapa jam, sedang di kamar gelap tahan 20 hari, dalam
KMn04 1% mati dalam 3 menit, juga dalam 1:20.000 HgCI2.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Semua spesies rentan terhadap Salmonellosis. Derajat kerentanannya
tergantung pada umur, kondisi tubuh induk semang, adanya gangguan
keseimbangan fl ora dalam tubuh oleh pengobatan antibiotika yang terus
menurun.
2. Pengaruh Lingkungan
Sallmonellosis ada dimana-mana baik yang menyerang hewan
maupun manusia. Pada hewan kejadiannya lebih sering ditemukan pada
peternakan yang dikelola secara intensif terutama pada ayam dan babi.
Pencemaran makanan, carrier, pencemaran lingkungan oleh hewan-hewan
terinfeksi memegang peranan dalam kasus salmonellosis.
3. Sifat Penyakit
Penyakit bersifat endemik, kecenderungan peningkatan penyakit
dapat dipicu dengan adanya pencemaran lingkungan oleh Salmonella
atau sanitasi yang kurang baik.
4. Cara Penularan
Penularan Salmonella terutama melalui saluran pencernaan yaitu
memakan atau meminum bahan makanan yang tercemari bakteri Salmonella.
Selain itu Salmonella juga ditularkan secara intra uterin dan lewat telur.
Penyebaran bakteri Salmonella terjadi melalui feses penderita.
Penderita Salmonellosis masih mengekskresikan bakteri 3-4 bulan sesudah
sembuh dari sakit.
5. Faktor Predisposisi
Selain lingkungan kandang yang