Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 5. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Juli 2023

penyakit hewan mamalia 5






















ut 
dan subakut biasanya terjadi fever (1-2,5°C di atas normal) yang berlangsung 
sampai 4-5 hari, dengan disertai malaise, depresi, hilang nafsu makan, 
kelemahan, konjuntivitis, anemis dan diare. Pada kasus yang lebih berat, 
hemoglobinuria akibat terjadinya anemia hemolitik sering yaitu gejala 
klinis pertama yang menarik perhatian. Urin menjadi merah gelap atau hampir 
hitam. Ikterus dan ensefalitis dapat juga teramati. Angka kematian bervariasi, 
bergantung pada umur hewan dan serovar yang terlibat. Kematian terjadi 
sesudah  beberapa hari diakibatkan terjadinya degenerasi berat dari ginjal 
yang disertai nekrosis hati.
  Selama kasus akut pada sapi laktasi, air susu berwarna kuning 
dan menggumpal, lalu diikuti dengan agalaktia yang pada umumnya 
berlangsung selama beberapa hari sampai 2 minggu. Pada sebagian besar 
sapi berproduksi dapat normal kembali dalam 2-3 minggu, tetapi ada juga 
sapi yang gagal berproduksi dapat normal kembali.
  Encefalitis mungkin terjadi pada kasus akut leptospirosis tetapi 
gejala klinisnya sering tidak dapat diamati. Nefritis terjadi pada bentuk akut 
dan bentuk kronis leptospirosis. Pada kasus akut leptospirosis dapat dikenali 
adanya hemoglobinuria atau hematuria.
  Gejala klinis yang sering terlihat pada leptospirosis sapi yaitu  
abortus dan lahir-mati yang terjadi 1-3 minggu sesudah  gejala klinis pertama 
terlihat. Gangguan ini sering terjadi pada sepertiga akhir masa kebuntingan.
  Gejala klinis pada babi muda biasanya terjadi demam (0,5°C - 1,5°C 
di atas normal), anoreksia, kelemahan, konjuntivtis, ikterus, hemoglobinuria, 
dan gangguan syaraf pusat (kejang-kejang). Infeksi pada babi dewasa tidak 
bunting biasanya tidak memperlihatkan gejala klinis. Sedangkan pada babi 
bunting dapat memicu  abortus, lahir-mati dan kematian neonatal.
2.  Patologi 
  Pada kasus akut, patologi yang terlihat yaitu  ikterus, karkas terlihat 
kuning, hati dan ginjal membengkak, korteks ginjal coklat kemerahan. Urin 
di dalam vesika urinaria dapat terlihat berwarna merah atau hitam. Pada 
pemerikaan secara histologi lesi utama yang ditemukan yaitu  berupa 
radang ginjal interstitialis, baik yang bersifat fokal atau difus. Perubahan 
nekrotik yang bersifat sentrolobuler dan vaskuler ada pada histologi hati. 
Lesi pada hati ada meluas pada kasus yang bersifat fatal. Pada kasus 
kronis, pada permukaan ginjal terlihat bercak-bercak putih tampak pada 
korteks ginjalnya.

3.  Diagnosa
  Pada leptospirosis, gejala klinis dan patologi yang terjadi pada host 
tidak patognomonis, sehingga diagnosa klinis dan Patologi harus diteguhkan 
dengan diagnosa laboratorium. 
  Diagnosa laboratorium ini bertujuan untuk: 
a.  Mendemonstrasikan adanya antibodi antileptospira di dalam serum host 
b.  Mendemonstrasikan leptospira yang berada di dalam tubuh host. Untuk 
memberikan hasil diagnosa yang akurat, maka perlu pemilihan jenis 
spesimen yang sesuai dengan tahap  yang terjadi pada leptospirosis.
  Pada kasus akut leptospirosis, untuk hewan penderita yang masih 
hidup didiagnosa dengan mendemonstrasikan adanya kenaikan titer antibodi 
antileptospira yang berada di dalam serum akut dan serum konvalesensi. 
Jika hewannya telah mati, maka diagnosa yang harus dilakukan yaitu  
mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam jaringan dan cairan tubuh. 
Pada kasus-kasus yang memperlihatkan gangguan syaraf, spesimen yang 
didiagnosa yaitu  otak, sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal 
dan mata. Sedangkan pada kasus-kasus terjadi ikterus, spesimen yang 
didiagnosa yaitu  organ-organ parenkim, tetapi jangan hanya ginjal saja 
yang didiagnosa.
  Pada kasus leptospirosis kronis, diagnosa bertujuan untuk :
a.  Menentukan hewan carrier
b.  Menentukan pemicu abortus, lahir-mati, dan gangguan reproduksi 
lainnya.
  Diagnosa penentuan hewan carrier yaitu  dengan mendemonstrasikan 
titer antibodi antileptospira. Dalam hal ini tidak diperlukan serum pasangan 
karena biasanya titer sudah mulai menurun. Masalah dalam diagnosa ini 
yaitu  banyak hewan yang secara serologis dikategorikan negatif tetapi 
masih pada tahap  leptospiruria. Pada sapi dan babi, masing-masing sebanyak 
51,6% dan 77,8% hewan carrier yang dikategorikan negatif secara serologis 
memakai uji aglutinasi mikroskopik. Diagnosa hewan carrier dapat 
juga dengan mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam urin, tetapi 
diagnosa ini tidak dianjurkan, karena diagnosa negatif tidak berarti hewan 
tidak mengandung leptospira di dalam urinnya.
  Diagnosa pada kasus-kasus abortus yang paling akurat yaitu  
dengan mendiagnosa fetusnya, yaitu : 
a.  mendiagnosa adanya antibodi antileptospira pada serum fetus
b.  mengisolasi leptospira dari paru-paru dan ginjal fetus
c.   menguji secara immunofl uoresen adanya leptospira paru-paru, ginjal 
dan adrenal fetus.
  ada berbagai jenis uji serologis untuk mendiagnosa leptospirosis, 
di antaranya yaitu  uji aglutinasi mikroskopik (UAM), uji fi ksasi komplemen 
(CFT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Di antara uji tersebut, 
UAM yaitu uji yang paling banyak dipakai dan dipakai sebagai uji 
standar untuk menilai uji serologis lainnya. Dalam UAM, titer 1:100 atau lebih 
ditafsirkan sebagai positif.
4.  Diagnosa Banding
  Bentuk akut dan subakut leptospirosis pada sapi harus dibedakan 
dari babesiosis, anaplasmosis, hemoglobinuria basiler, hemoglobinuria 
postpartus dan anemia hemolitika akut. Pada babi, terjadinya kasus-kasus 
gangguan reproduksi harus dibedakan dengan brucellosis, infeksi parvovirus, 
pseudorabies, dan hog cholera.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Spesimen untuk pemeriksaan serologis berupa serum. Serum kira-kira 
2 ml ditempatkan dalam botol, tanpa penambahan pengawet dan dikirimkan 
secepatnya ke laboratorium veteriner. Selama dalam perjalanan serum harus 
selalu dingin.
  Untuk isolasi agen pemicu leptospirosis, spesimen dapat 
diawetkan dalam medium transport, BSAD (bovine serum albumin diluent) 
lalu segera dikirim ke laboratorium dalam termos berisi es.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Sapi 
  Pada sapi, pengobatan dengan dihidrostreptomisin dengan dosis 
11 mg/kg berat badan setiap 12 jam selama 3 hari, atau 5 gram sehari dua 
kali selama tiga hari berturut-turut, efektif untuk menyembuhkan kasus akut 
leptospirosis dan mengeliminasi leptospira dari ginjal. Kombinasi antibiotik 
penicilin dan eritromisin juga dapat efektif mengatasi radang ginjal kronik dan 
leptospirosis.
  Babi 
  Pada babi, pengobatan dapat dilakukan dengan memberi makanan 
yang telah dicampur oksitetrasiklin (500 g oksitetrasiklin per ton pakan) 
selama 14 hari yang diberikan satu bulan sebelum partus, atau campuran 
400 g klortetrasiklin per ton pakan diberikan selama 10 hari dan diberikan 
2 bulan sebelum partus. Pengobatan secara ini dapat mengurangi kasus 
abortus dan kematian neonatal. Pemberian dihidrostreptomisin, pada awal 
terjadinya penyakit, dengan dosis 25 mg/kg berat badan setiap hari selama 
3 hari, efektif mengurangi gejala klinis dan mencegah abortus.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Vaksinasi.
  Pada sapi biasanya dipakai vaksin hardjo-pomona. Vaksinasi 
pertama pada saat pedet berumur 4-6 bulan, kemudiaan diikuti dengan 
vaksinasi ulang setiap tahun. Pada babi biasanya dipakai vaksin pomona-
tarassovi. Vaksinasi diberikan pada anak babi umur 3 bulan dan babi bunting. 
Babi bibit harus divaksinasi setiap 6 bulan.
  Pencegahan penyebaran infeksi.
  Untuk mencegah penyebaran infeksi dianjurkan : 
a.  Setelah diketahui terjadi letupan leptospirosis pada peternakan sapi, 
maka catat suhu harian semua sapi pada peternakan tersebut, dan 
karantinakan sapi-sapi dengan suhu 39.5°C dan diobati dengan 
dihidrostreplomisin.
b.  Dekontaminasi atau musnahkan semua ekskreta, fetus abortus dan 
membran fetus.
c.   Dijaga susaha  air minum sapi tidak terkontaminasi dengan urin hewan 
terinfeksi leptospirosis.
d.  Daerah-daerah berlumpur dieliminasi.
e.  Diusahakan agar kerumunan sapi saat  minum, makan dan di kandang 
tidak terlalu padat.
f.   Periksa secara serologis serum semua hewan pada saat leptospirosis 
terjadi dan diulangi sebulan kemudian, dan karantinakan hewan yang 
menunjukkan kenaikan titer antibodi antileptospira.
g.  Jangan memasukkan hewan baru ke dalam peternakan paling sedikit 
selama 6 bulan, dan dijaga agar hewan yang tidak terinfeksi terisolasi dari 
kelompok hewan terinfeksi selama 6-9 bulan sesudah  kasus leptospirosis 
terakhir terjadi.
h.  Minimalkan atau cegah terjadinya kontak dengan jenis ternak lain, tikus 
dan hewan liar Iainnya.
i.   Jika dipakai inseminasi buatan, maka gunakan semen dari pejantan 
yang bebas leptospirosis.
j.   Hewan-hewan bunting dipisahkan dari hewan yang tidak bunting.

LISTERIOSIS
Sinonim : Listerellosis, Creeping disease, Silage sicknes
  
Listeriosis yaitu  penyakit yang menyerang kuda, sapi, domba, anjing, babi, 
binatang pengerat dan mamalia serta spesies lainnya. Penyakit ini dipicu 
oleh genus Listeria, gejala-gejala pada hewan dapat memicu encephalitis 
atau meningo-encephalitis serta konjungtivitis. Pada sapi dan domba dapat pula 
memicu keguguran, berjalan berputar-putar, sempoyongan dan paralysis. 
Penyakit ini dijumpai di  berbagai Negara. 
etiologi 
Penyakit ini dipicu oleh Listeria monocytogenes (L.monocytogenes), 
Gram positif, tidak berspora, berbentuk bulat panjang, ukuran 0,5-1,2 µ, tidak 
berselaput, bersifat motil, membentuk rantai pendek 3-8 sel, kadang-kadang satu 
atau dua-dua atau mempunyai dua bentuk.

epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Spesies rentan terhadap penyakit ini yaitu  sapi, domba, kuda, babi, 
dan beberapa spesies lainnya.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Penyakit sering terjadi pada daerah panas atau dingin (apa memang 
seperti ini? Apa bukan salah satunya?), pada masa peralihan musim terjadi 
peningkatan populasi bakteri dan kemungkinan terjadi infeksi terhadap 
hewan-hewan yang rentan.
3.  Sifat Penyakit
  Penyakit bersifat epidemik atau sporadis dengan kejadian penyakit 
yang tinggi. Pada waktu terjadi wabah angka mortalitas dan morbiditas pada 
hewan muda lebih tinggi dibanding hewan dewasa.
4.  Cara Penularan
  Penularan dapat terjadi melalui makanan dan minuman yang tercemar 
oleh bakteri L.monocytogenes, feses, air susu induk, lendir dari vagina dari 
hewan penderita.
5.  Faktor Predisposisi
  Penyakit terutama menyerang pada hewan yang imunitasnya rendah, 
banyak menyerang pada hewan tua, sedang bunting, atau hewan yang baru 
lahir. 
6.  Distribusi Penyakit
  Kasus pertama dilaporkan pada tahun 1984 di Medan Sumatera 
Utara. 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Gejala klinis penyakit bersifat akut yang dapat dideteksi dengan 
adanya  demam yang tinggi mencapai 400C. Hewan akan mengalami 
depresi, tidak mau makan, nampak berputar-putar, sempoyongan, paralysis, 
dan keguguran pada hewan yang sedang bunting.
2.  Patologi 
  Pada babi ditandai dengan adanya focal hepatic necrosis, meningitis, 
infi ltrasi sel radang pada otak, perivasculer cuffi ng. 
  Pada kalkun ditandai dengan focal hepatic necrosis septicaemia, dan 
myocarditis. 
  Pada domba dan sapi ditandai dengan meningitis dan encephalitis.
3.  Diagnosa
  Diagnosa dilakukan dengan isolasi dan identifi kasi L.monocytogenes 
memakai media tryptose agar atau blood agar, lalu diinkubasikan 
pada temperatur 370C selama 18-24 jam. Diagnosa juga dapat dilakukan 
dengan membuat preparat histopatologi, untuk lalu identifi kasi secara 
histologis.
4.  Diagnosa Banding
  Penyakit listerosis dapat dikelirukan dengan berbagai penyakit berikut:
a.  Aujeseky’s disease
b.  Rabies
c.   Erysipelas
d.  Hog cholera
e.  Infl uenza
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Spesimen yang diambil dapat berupa swab dari vagina atau otak, 
lalu dikirim ke laboratorium veteriner setempat dalam keadaan steril 
dan segar.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotika seperti penicillin, 
tetracycline, terramycin, dan penambahan terapi suportif berupa vitamin. 
2.   Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
  Pencegahan dapat dilakukan dengan:
a.  Meningkatkan sanitasi dan perbaikan manajemen kandang.
b.  Perlu dilakukan pengelompokan umur, terutama pada babi, sehingga 
mempunyai kandang terpisah antar umur yang dapat mencegah 
terjadinya penyebaran penyakit. 

MASTITIS
Sinonim : Radang ambing
  
Mastitis yaitu  suatu peradangan pada ambing yang bersifat akut, subakut atau 
kronis/menahun dan terjadi pada semua jenis mamalia. Pada sapi penyakit ini 
sering dijumpai pada sapi perah dan dipicu oleh berbagai jenis bakteri atau 
mikoplasma.
etiologi 
Berbagai jenis bakteria telah diketahui sebagai agen pemicu mastitis antara 
lain yaitu  : 
1. Streptococcus agalactiae 
2. Streptococcus disgalactiae 
3. Streptococcus uberis 
4. Streptococcus zooepidemicus 
5. Staphylococcus aureus 
6. Escherichia coli 
7. Enterobacter aerogenes 
8. Pseudomonas aeruginosa
Dalam keadaan tertentu dijumpai pula pemicu mastitis oleh Mycoplasma sp., 
Nocardia asteroides,  dan juga yeast (Candida sp).

epidemiologi 
1.  Spesies Rentan
  Mastitis atau radang ambing dapat menyerang semua hewan 
mamalia seperti sapi, kambing, domba, anjing, kucing dan lain-lain. Mastitis 
sangat merugikan terutama pada industri peternakan sapi atau kambing 
perah. 
2.  Pengaruh Lingkungan
  Bakteri pemicu mastitis banyak ada di ingkungan sekitar 
hewan dipelihara. Bakteri pemicu mastitis dapat hidup di kulit, lantai 
kandang, atau alat-alat yang telah tercemar. Higiene pemerahan dan 
kebersihan lingkungan yang buruk memicu bakteri dapat bertahan 
hidup, bila bakteri masuk ke lubang puting maka akan terjadi infeksi ambing. 
Kesalahan dalam perawatan mesin perah dan kesalahan manajemen 
kebersihan akan memudahkan terjadinya mastitis pada sapi perah.
3.  Sifat Penyakit
  Mastitis yaitu  peradangan pada ambing karena suatu penyakit 
atau proses infeksi yang secara signifi kan dapat mengurangi produksi 
susu terutama pada industri sapi perah. Penyakit dapat bersifat sub akut, 
akut, atau kronis. Mastitis akut yang tidak ditangani sampai tuntas, dapat 
berlanjut menjadi mastistis kronis yang berakibat jaringan ambing dapat 
tergantikandengan  jaringan ikat sehingga alveoli tidak dapat memproduksi 
susu. 
  berdasar  gejala klinisnya, mastitis dibedakan menjadi mastitis 
klinis dan subklinis. Mastitis klinis bila ada perubahan fi sik susu seperti 
susu pecah, bercampur nanah, atau ambing yang membengkak asimetris, 
berdarah, berjonjot, bila dipegang panas dan menunjukkan adanya respon 
rasa sakit bila dipegang. Disebut mastitis subklinis bila secara fi sik tidak 
ditemukan adanya perubahan dari susu, tetapi bila dilakukan uji mastitis 
(misalnya CMT, California Mastitis Test) maka akan terlihat penjendalan 
(artinya apa?) yang menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel darah 
putih dalam susu. 
4.  Cara Penularan
  Mayoritas mastitis disebakan oleh adanya infeksi bakteri ke dalam 
ambing melalui lubang puting. Cara penularan mastitis dapat terjadi melalui 
tangan pemerah, peralatan yang dipakai untuk membersihkan ambing 
yang telah tercemar oleh bakteri. Ambing pada sapi perah terdiri dari empat 
kwartir yang secara anatomis terpisah antara satu dan lainnya. Mastitis dapat 
terjadi pada salah satu ambing, lalu tersebar ke ambing lainnya melalui 
tangan pemerah, maupun mesin perah bila sapi diperah memakai 
mesin perah. Penularan mastitis juga dapat terjadi melalui pancaran susu 
pertama yang langsung dibuang ke lantai, lantai kandang yang basah dan 
lembab akan mendukung pertumbuhan bakteri, dan bila sapi berbaring akan 
memungkinkan bakteri masuk melalui lubang puting. 
  
5.  Faktor Predisposisi
  Faktor predisposisi terjadinya mastitis pada sapi perah antara lain 
yaitu  higiene pemerahan dan kebersihan lingkungan yang buruk, kesalahan 
mesin perah, kesalahan manajemen atau adanya luka pada puting yang 
memicu bakteri dapat masuk ke ambing.  Jarak antar sapi yang terlalu 
dekat atau populasi yang padat akan mempermudah terjadinya penularan 
mastitis. 
6.  Distribusi Penyakit
  Mastitis banyak ditemukan terutama pada sapi perah yang dikelola 
dengan tidak memperhatikan kesehatan lingkungan dan manajemen 
pemerahan yang baik
keterangan : 
1.  Gejala klinis
  Sapi penderita mastitis dapat diketahui dengan adanya 
pembengkakan pada ambing dan puting yang terjadi pada satu kwartir atau 
Iebih. Rasa sakit timbul sewaktu diperah dan diikuti oleh penurunan produksi 
yang bervariasi mulai dari ringan sampai berat bahkan tidak keluar susu 
sama sekali. 

  Infeksi bakteri dapat memicu susu berubah warna menjadi 
merah karena bercampur dengan nanah. Banyak kejadian mastitis subklinis 
yang memicu  penurunan produksi susu. Pengaruh mastitis pada 
ambing dapat memicu infeksi, jumlah sel darah putih meningkat, 
penurunan produksi susu, hilangnya kwartir (tidak berfungsi), perubahan 
bentuk ambing, dan akibat mastitis ke depan dapat memicu produksi 
susu tidak mampu mencapai maksimal.

2.  Patologi
  Perubahan fi sik ambing yang mengalami mastitis dapat terlihat 
adanya bentuk yang tidak simetris antara kwartir ambing kanan dan kiri. 
ini dapat dipicu karena adanya keradangan yang memicu 
pembengkakan ambing, disamping adanya warna kemerahan, dan adanya 
respon rasa sakit bila dipalpasi, serta produksi susu yang menurun. Mastitis 
kronis dapat memicu terjadinya ganggren yang disertai dengan 
pernanahan dengan infeksi berbagai macam bakteri. 

3.  Diagnosa
  Secara klinis dapat diamati adanya peradangan pada ambing dan 
puting serta adanya perubahan warna dari susu yang dihasilkan. Uji lapangan 
dapat dilakukan dengan memakai California Mastitis Test (CMT), yaitu 
suatu reagen khusus untuk pengujian adanya mastitis subklinis sebelum 
dilakukan isolasi dan identifi kasi bakteri pemicu di laboratorium. Spesimen 
yang diperlukan yaitu  susu yang diperah dari kwartir yang dicurigai dengan 
memberikan kode dari setiap kwartir. Susu dimasukkan ke dalam tabung 
steril dan dikirimkan dalam keadaan segar dingin.
4.  Diagnosa Banding
  Mastitis dapat dikelirukan dengan pembesaran ambing karena tumor.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Pengambilan sampel dapat dilakukan dengan mengambil susu 
secara langsung dari setiap kwartir dengan cara aseptis. Pancaran susu 
dimasukkan ke dalam tabung steril, ditutup, lalu dimasukkan dalam 
termos es untuk segera dibawa ke laboratorium veteriner.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan dapat dilakukan dengan memakai antibiotik 
sesuai dengan bakteri yang menginfeksi, dan disarankan agar dilakukan uji 
sensitivitas terhadap bakteri sebelum melakukan pengobatan agar diperoleh 
hasil yang optimal.
  Penggunaan antibiotika yang terus menerus dikhawatirkan justru 
akan berdampak pada kandungan residu yang tinggi. Daging sapi yang 
menderita penyakit ini dapat dikonsumsi, tetapi harus memperhatikan tingkat 
keradangan ambingnya. Jaringan ambing yang rusak karena infeksi harus 
dimusnahkan dengan dibakar atau dikubur.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pelaporan
     Jika ada kasus mastitis, dapat dilaporkan pada Dinas yang 
membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat
b.  Pencegahan
     Higiene dan manajemen pemerahan, serta sanitasi kandang yang 
baik dapat mencegah timbulnya penyakit ini. Hewan penderita mastitis 
dipisahkan dengan hewan yang sehat.
c.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Pengendalian penyakit dapat dilakukan dengan mencegah 
terjadinya infeksi terutama yang ditimbulkan oleh kesalahan manajemen 
dan higiene pemerahan yang tidak memenuhi standar. Dalam periode 
tertentu secara rutin perlu dilakukan pemeriksaan kemungkinan adanya 
mastitis subklinis dengan melakukan uji CMT. 
    Sapi perah yang telah berulang kali menderita mastitis sebaiknya 
dipotong, karena sudah tidak dapat mencapaian produksi yang optimal.

MELIOIDOSIS
Sinonim : Malleomyces pseudomallei, Loeffrella whitmori, Bacillus whitmori, 
Pseudomasa pseudomallaei, Loeffrella pseudomallei, pseudoglanders
  
Melioidosis yaitu  suatu penyakit yang menyerupai glanders, menyerang 
berbagai jenis hewan dan manusia. Pertama kali dilaporkan oleh Whitmore dan 
Krishnaswani di Rangon pada tahun 1912. Gambaran umum penyakit ini adanya 
septisemia, pyemia dan pembentukan granuloma yang khas pada hampir semua 
bagian tubuh. Di daerah endemis, Melioidosis yaitu  penyakit penting pengebab 
sakit dan kematian pada manusia dan hewan. Bersifat epizootik pada marmot 
dan kelinci. Penyakit ini juga menyerang tikus liar yang diduga yaitu 
reservoar penyakit. Manusia tertular karena gigitan kutu tikus Xenosylla cheopsis 
atau nyamuk Aedes aegypti. Serum pasien dapat mengaglutinasi bakteri pada 
pengenceran 1:2.560. Gambaran nekropsi dan klinisnya yaitu  serupa dengan 
Malleus (Glanders) pada kuda.
Pada Februari 1967 ada 35 kasus melioidosis pada orang Amerika di Vietnam, 
dimana 8 orang diantaranya mati dengan gejala pneumonia, septicemia, atau 
keduanya. Beberapa kejadian memperlihatkan adanya ulcer nekrotik pada kulit 
yang dihubungkan dengan lymphodenopathy.
Manusia bisa terinfeksi karena kontaminasi pada kulit yang luka, melalui makanan 
atau minuman, Kasus pada manusia sulit diobati dan sering fatal. 
etiologi 
Penyakit melioidosis dipicu oleh bakteri Pseudomonas pseudomallei 
(Malleornyces). Bacillus ini sama dengan bacillus glanders tetapi motil dan 
tumbuh baik pada gelatin temperatur 200C, fl agella ada 1-4 yang polar. Tumbuh 
pada agar biasa, mukoid atau kering berkerut, oksidasi positif, tumbuh pada Mac 
Conkey agar dan tidak memproduksi H2S. 

Panjang bacillus ini 1- 2 µ dan lebar 0,5 µ, bentuk yang lebih panjang dan 
lebar dapat diperoleh pada media cair, berspora dan gram negative, dan koloni 
Pseudomonas pseudomallei pada nutrient agar luar biasa nyata kasar, kering 
dan berpaut. Bakteri ini aerob, tumbuh baik pada media biasa dan temperatur 
optimalnya 370C. Koloni pertama nampak keputih-putihan dan kasar lalu 
menjadi kuning atau coklat dan berkerut.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Kasus penyakit pernah dilaporkan terjadi pada rodentia, kelinci, 
burung rnerpati, hewan-hewan di kebun binatang termasuk rusa, anjing, 
kucing, kuda, kerbau, sapi, domba, kambing dan babi. Penyakit ini dapat 
dibuat secara eksperimental pada tikus besar (rat), tikus kecil (mice) dan 
hamster. Penyakit dapat juga terjadi pada manusia.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Pseudomonas pseudomallei relatif peka terhadap pengaruh lingkungan 
alam sekitarnya dan desinfektan, meskipun demikian dapat hidup dalam air 
pada suhu ruangan selama 8 minggu, dalam air lumpur selama tidak lebih 
dari 7 bulan dan dalam tanah di laboratorium selama 30 bulan.
  Di daerah tropis dan subtropis infeksi melalui air kemungkinan 
yaitu sumber infeksi yang penting. Derajat virulensi yang beragam 
terlihat pada strain -strain yang berbeda dari bakteri ini, tetapi kelaparan dan 
kondisi stres yang Iainnya dapat meningkatkan kepekaan hewan percobaan 
terhadap infeksi. Sebagian besar kasus terjadi pada musim hujan dan di 
daerah-daerah dataran rendah berawa.
3.  Sifat Penyakit
  Melioidosis yaitu penyakit zoonosis penting. Penyakit ini pernah 
outbreak pada babi, kambing dan domba di Australia, daerah Karibia dan 
Kamboja. Pada kuda di Malaysia, Iran dan Perancis (1976-1978). Pada babi 
dan sapi di Papua New Guinea dan Australia. Yang sangat penting pada 
ternak yaitu  domba dengan mortalitas tinggi pernah dilaporkan.
4.  Cara Penularan 
  Penyakit ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang 
pada hewan rodentia, memicu hewan ini menjadi reservoir infeksi 
yang penting untuk manusia dan kemungkinan bagi spesies Iainnya. Infeksi 
dapat disebarkan melalui zat makanan dan air minum yang terkontaminasi 
ekskreta tikus, oleh gigitan serangga, oleh abrasi kulit dan per-inhalasi. 
Penularan transplacental pernah dilaporkan pada domba, babi dan kera. 
Penularan nosocomial telah dilaporkan pada 4 ekor kucing pada RS hewan, 
kemungkinan melalui  injeksi multidosis yang terkontaminasi. 
5.  Faktor Predisposisi
  Cuaca yang parah seperti banjir, Tsunami, dan topan dapat 
yaitu faktor terjadinya penyakit. Pada manusia, faktor risiko penting 
yang mempengaruhi  melioidosis yang parah yaitu  adanya penyakit ginjal 
atau diabetes mellitus. Faktor risiko lainnya pada manusia yaitu  adanya 
talasemia, penyakit ginjal, dan cystic fi brosis. Modus infeksi diyakini dapat 
melalui kulit, atau melalui inhalasi aerosol. Meningkatnya kejadian penyakit 
ada hubungan jelas dengan meningkatnya curah hujan. 
6.  Distribusi Penyakit
  Penyakit ini endemik di Asia Tenggara, Sebelah Utara Queensland 
(Australia), Afrika Tengah, Barat dan Timur. Menyebar di China, India, 
Malaysia, USA, Australia, Kamboja, Iran, Papua New Guinea dan Perancis. 
Melioidosis epizootik pada rodensia di Asia seperti misalnya India, Malaysia 
dan negara kita .
 Pada tahun 1975, Balai Penyidikan Penyakit Hewan (BPPH) Wilayah 
VII Maros (sekarang Balai Besar Veteriner (BBVet) Maros) mengisolasi 
Pseudomonas pseudomallei di salah satu Ranch Peternakan di Maiwa 
kabupaten Enrekang (Sulawesi Selatan). Isolasi pertama dari lesi paru-paru 
sapi yang mati dengan gejala penumonia, lalu menyusul isolasi dari 
genangan air yang ada di Ranch Peternakan tersebut. Isolat Pseudomas 
pseudomallei dari Makassar ini lalu di konfi rmasikan ke Balai Penelitian 
Veteriner (Balitvet) Bogor dan dinyatakan bahwa Pseudomonas pseudomallei 
asal Makassar ini yaitu  strain Makassar karena ada perbedaan dengan 
isolat strain yang diperoleh dari Australia.
  Kasus meliodosis pada manusia sebelumnya pernah dilaporkan 
di Rumah Sakit Paru-Paru Makassar pada sekitar tahun 1954. Infromasi ini 
diperoleh dari Dr. Meyer ahli penyakit dalam pada Rumah Sakit Paru-Paru 
Makassar.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Pada manusia, penyakit ini sangat fatal, septisemia akut terjadi 
sesudah  sakit selama 10 hari. Melioidosis pada rodentia juga sangat fatal 
yang ditandai dengan adanya kelemahan, demam serta keluar lendir dari 
mata dan hidung dan berlangsung lama yaitu 2-3 bulan.
  Pada domba terutama yaitu  kelemahan dan terbaring yang 
lalu kematian terjadi dalam 1-7 hari. Pada domba yang diinfeksi untuk 
percobaan terjadi demam yang disertai anoreksia, tidak dapat berjalan 
normal dan keluar eksudat kuning kental dari hidung dan mata. Sebagian 
hewan menunjukkan gangguan syaraf pusat yaitu cara berjalan/berlari yang 
tidak normal, berjalan berputar-putar, menggelengkan kepala, kebutaan dan 
agak kejang. 
  Pada kambing gejalanya menyerupai bentuk akut pada domba, 
tetapi lebih sering berlangsung kronis. Pada babi penyakit ini biasanya kronis 
dan dimanifestasikan oleh cervical lymphadenitis tapi pada sebagian outbreak 
tanda-tandanya sama dengan pada spesies lain. Pada suatu outbreak dapat 
terjadi kelumpuhan sementara di bagian posterior, demam, batuk, ingus 
dari hidung dan lendir dari mata, anoreksia, keguguran dan kadang-kadang 
berakhir dengan kematian.
  Pada kuda rangkaian gejalanya yaitu  pneumonia metastasis akut 
disertai demam tinggi dan berlangsung singkat. Sedikit batuk dan sedikit 
ingus serta tidak ada respons terhadap sebagian besar jenis obat yang 
dipakai dalam pengobatan.
  Gejala klinis pada kuda meliputi septisemia, hypertheremia, oedema, 
kolik, diare dan lymphangitis pada kaki. Pada kasus sub akut dapat menjadi 
lemah, kurus dan terbentuk oedema. Kuda yang terserang penyakit ini dapat 
hidup beberapa bulan. Kasus meningoencephalitis akut pernah terjadi pada 
kuda. Kejadiannya mendadak, tanda yang terlihat hanya kejang.
2.  Patologi 
  Pembentukan penyakit ini secara alam yaitu  sama dengan halnya 
Malleus, yaitu dengan diawali septisemia atau bakteriemia dan lokalisasi pada 
berbagai organ. Secara eksperimen, Melioidosis pada kambing ditandai oleh 
adanya septisemia dengan mikroabses yang menyebar luas sesudah  disuntik 
secara intra-peritoneal dan bila secara subkutan maka terbentuk penyakit 
yang kronis disertai abses pada paru-paru dan limpa.
Gambar 2. Rongga hidung Kambing. ada nodul berwarna putih pucat 
yang menonjol (abses) pada mukosa hidung. 
      (Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-
signs-photos.php?name=melioidosis)
  Banyak abses di sebagian besar organ, terutama di sistem pernapasan 
termasuk ke bagian paru-paru, limpa dan hati. Abses juga terjadi di bagian 
subkutan dan lymphoglandulla yang yaitu ciri dari penyakit ini. Pada 
domba, abses ini mengandung nanah berwama hijau yang kental atau 
mengeju serupa dengan yang ditemukan pada penyakit karena serangan 
Corynebacterium pseudotuberculosis. Lesi-lesi pada mukosa hidung bisa 
menjadi robek dengan pembentukan ulser yang kasar. Polyarthritis akut 
dengan pembengkakan kapsul persendian oleh cairan yang mengandung 
nanah kehijauan dalam jumlah banyak dan meningoencephalitis akut 
ditemukan pada kasus-kasus penyakit secara percobaan.
3.  Diagnosa
  Bakteri ini mudah ditumbuhkan pada kebanyakan media dalam 
waktu 48-72 jam. Injeksi terhadap marmut dan kelinci memicu  penyakit 
yang menciri. Diagnosa dengan uji alergi pada kulit dengan memakai 
melioidin sebagai antigen, CFT dan Hl test. Diagnosa serologis dapat 
dilaksanakan dengan uji HA, Aglutinasi dan CFT.
  Peneguhan diagnosa dengan isolasi dan identifi kasi bakteri 
pseudomonas pseudomallei pada media kultur. 
4.  Diagnosa Banding
  Banyaknya abses pada berbagai organ dapat dibedakan dengan 
penyakit Gaseous Lymphadenitis pada domba. Lesi-lesi pada nasal 
actinobacillosis pada domba juga menyerupai melioidosis, tetapi penyakit ini 
relatif tidak fatal dan isolasi bakterinya menjamin diagnosa positif. Pada kuda 
penyakit ini mungkin dikelirukan dengan Malleus tetapi tidak ada pembesaran 
lympnodes pada mukosa hidung dan kulit.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Bakteri dapat diisolasi dari tanah, air dan lesi infeksi atau makanan 
dan minuman yang tercemar. Pengiriman sampel dilakukan dengan cara 
pengiriman bahan infektif bakteri secara umum. Pemeriksaan terhadap 
infeksi P.pseudomallei pada hewan dapat didasarkan pada kelainan pasca 
mati, isolasi kuman, dan pemeriksaan antibodi dalam serum. Uji serologik 
yang pernah dicoba antara lain serum aglutinasi, fl uorecent antibody staining 
technique (FAT), uji fi ksasi komplemen, dan hemaglutinasi tak langsung, 
sedangkan pemeriksaan antibodi pada manusia metode enzyme-linked 
immunosorbent assay (ELISA) telah dikembangkan.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Hanya sedikit informasi yang ada tentang pengobatan yang 
memuaskan terhadap melioidosis. Pengobatan dengan pemberian antibiotik. 
Uji in-vitro menunjukkan bahwa oxytetracycline, novobiosin, chloramphenicol 
dan sulphadiazine mungkin sangat bermanfaat dan diantaranya oxytetracycline 
yaitu  yang terbaik.  Penicillin, streptomycin, chlortetracycline dan polymixin 
tidak efektif dalam pengobatan melioidosis. Chloromycetin sudah terlihat 
efektif untuk pengobatan pada kuda. 
  Rifampicin, chloramphenicol dan tetracycline paling efektif, sedang 
ampicillin dan kanamycin kurang efektif. Kanamycin dan sulfadiazine 
mengurangi aktifi tas pengobatan pertama bila dikombinasi dengan 
chloramphenicol atau tetracycline.
2.  Pengendalian
  Pemberantasan penyakit harus berdasar  pada pemberantasan 
hewan yang sudah terinfeksi, dan disinfektasi terhadap kandang serta 
peralatan pada daerah yang tertular dan juga pada daerah sekitarnya.

PARATUBERKULOSIS
Sinonim: Johne’s Disease, Penyakit Johne
  
Paratuberkulosis dikenal pula dengan nama Johne’s Disease, yaitu  penyakit 
hewan menular yang dipicu oleh bakteri Mycobacterium paratuberculosis. 
Disebut sebagai Johne’s Disease karena penyakit ini ditemukan pertama kali 
oleh Johne dan Frothingham pada sapi di Jerman pada tahun 1895. Ruminansia 
besar dan kecil, baik yang jinak maupun yang liar, mudah terjangkit oleh penyakit 
ini.
Pada sapi infeksi M.paratuberculosis sesudah melewati masa inkubasi yang 
lama (sampai 2 tahun, bahkan dapat lebih) memicu terjadinya enteritis 
granulomatus yang menahun, yang ditandai dengan diare yang pada mulanya 
hilang-timbul dan yang lalu berlangsung secara terus-menerus serta 
kekurusan yang mencolok pada penderitanya.
Kerugian ekonomi akibat penyakit ini lebih berupa singkatnya umur harapan 
hidup, hewan diafkir karena sangat kurus serta terjadinya penurunan produksi 
susu, hewan terserang atau angka kejadian penyakit lebih tinggi dibanding 
dengan angka mortalitas yang ditimbulkan. Di Siprus misalnya, angka mortalitas 
akibat paratuberkulosis tercatat sebesar 4% per tahun pada peternakan domba 
yang diternakkan secara semi-intensif untuk produksi susu yang dipakai sebagai 
bahan pembuat keju. Sedangkan di Amerika Serikat, serangan paratuberkulosis 
dalam satu kelompok ternak sapi memicu  angka kematian antara 3-10% 
per tahun.
etiologi 
Hewan penderita paratuberkulosis mengeluarkan agen pemicu bersama 
fesesnya, yang mampu bertahan hidup lama bila mencemari lingkungan 
sekitarnya. Pada padang penggembalaan (pasture) tercemar, agen pemicu 
mampu bertahan hidup tanpa berkembang biak dan padang gembalaan demikian 
tetap infektif sampai 1 tahun Iamanya.
Agen pemicu penyakit diketahui peka terhadap cahaya matahari, kekeringan, 
tanah yang mengandung kalsium tinggi dan pH tinggi. Sedangkan kontak secara 
terus-menerus dengan urin dan feses memberi akibat berkurangnya ketahanan 
hidup agen penyebab. Dalam kotoran kandang (cair), M.paratuberculosis 
mampu bertahan antara 98-287 hari tergantung pada komposisi dan kandungan 
alkalinitas kotoran tersebut.
Mycobacterium paratuberculosis yaitu  bakteri berbentuk batang tebal pendek 
berukuran kira-kira 0,5-1 mikron, bersifat sangat tahan asam dan di bawah 
mikroskop sering dilihat dalam kelompok-kelompok kecil (terdiri dari 3 atau Iebih 
sel bakteri per kelompok). Karena termasuk ke dalam bakteri tahan asam (BTA), 
maka pewarnaan bakteri menurut Ziehl-Neelsen (Z-N) biasa dipakai dalam 
pemeriksaan mikroskopik di laboratorium.
Untuk menumbuhkan bakteri tersebut secara in vitro di laboratorium diperlukan 
media khusus (diantaranya yaitu  media Herrold yang mengandung mycobactin). 
M.paratuberculosis termasuk ke dalam kelompok mikobakteria yang bersifat 
lambat tumbuh (slowly growing Mycobacteria). Di laboratorium, diperlukan 
sekurang-kurangnya 8 minggu untuk melihat pertumbuhan bakteri ini. Kultur 
yang sedang diperiksa pertumbuhannya dianjurkan untuk tidak cepat-cepat 
dibuang sebelum 12 minggu lamanya diinkubasi. Koloni M.paratuberculosis 
yang baru muncul berukuran sangat kecil (1 mm), berwama putih, mengkilat dan 
cembung. 
Dikenal 3 galur M.paratuberculosis yang memicu paratuberkulosis pada 
sapi, 1 galur berasal dari sapi dan yang 2 galur lainnya berasal dari domba. 
Beberapa galur varian juga dikenal, diantaranya yaitu  galur Norwegia yang 
diketahui patogenik bagi kambing. Telah diketahui bahwa M.paratuberculosis 
dapat pula diisolasi dari air susu induk sakit yang memperlihatkan gejala klinis.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Paratuberkulosis terutama menyerang ruminansia seperti sapi, kerbau, 
kambing dan domba. Hewan-hewan lain yang juga rentan yaitu  rusa, kuda, 
onta, antelop, llama, alpaka, yak dan babi. Sedangkan mencit dan hamster 
yaitu hewan-hewan percobaan laboratorium yang mudah ditulari dan 
sering dipakai dalam penelitian.
  ada sejumlah faktor yang berpengaruh pada kerentanan individu 
hewan terhadap infeksi. Di antara faktor-faktor tersebut yaitu  besarnya dosis 
infeksi, umur, termasuk kondisi melahirkan, transportasi dan kekurangan 
atau kelebihan nutrisi, serta adanya agen imunosupresif seperti virus Diare 
Ganas Sapi.
  Kerentanan antar bangsa sapi terhadap infeksi paratuberkulosis masih 
menjadi bahan perdebatan. Baik sapi betina maupun sapi jantan, kedua jenis 
kelamin tersebut mudah terserang paratuberkulosis.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Alkalinitas tanah berpengaruh pada kehebatan gejala klinis. Hewan 
yang diternakkan pada lahan dengan kandungan alkali tinggi memiliki tingkat 
kejadian infeksi tinggi namun dengan gejala klinis yang rendah.
  Di Amerika Serikat, sapi yang semula ada di daerah dengan 
kandungan alkali tinggi dipindahkan ke daerah dengan lahan yang asam 
sering mengalami gejala klinis paratuberkulosis yang bersifat fatal.
  Hewan yang diternakkan pada lingkungan tercemar mungkin menjadi 
hewan yang secara menetap mengeluarkan agen pemicu dalam fesesnya 
tanpa memperlihatkan gejala klinis sakit. Mengingat masa inkubasi penyakit 
yang lama, maka pengeluaran agen pemicu bersama feses hewan tertular 
dapat berlangsung selama 15-18 bulan sebelum gejala klinis penyakitnya 
terlihat.
3.  Sifat Penyakit
  Meski paratuberkulosis bersifat menular dari hewan ke hewan, 
namun penyebarannya lambat dan jalannya penyakit menahun. Pada 
lingkungan yang memungkinkan terjadinya penularan, hampir seluruh sapi-
sapi yang ada terutama pedet menjadi tertular.
  Terdapatnya kasus paratuberkulosis pada suatu peternakan yang 
semula bebas dari penyakit ini, biasanya diawali dengan dimasukkannya 
ternak baru yang tertular atau ternak pembawa penyakit.
  Pada umumnya, hewan muda lebih rentan terhadap infeksi 
dibandingkan  hewan dewasa. Hewan-hewan yang dipelihara dalam kandang 
akan mendapatkan peluang tertular oleh feses tercemar lebih besar 
ketimbang hewan-hewan yang hidup di alam. Oleh karena itu, bagi sapi-sapi 
perah (yang hidupnya selalu ada dalam kandang) berpeluang lebih besar 
untuk tertular paratuberkulosis ketimbang sapi-sapi potong (yang biasanya 
dipelihara dalam ranch).
  Kejadian baik mastitis maupun ketidak suburan (infertility) secara 
nyata lebih tinggi terjadi pada sapi-sapi yang tertular paratuberkulosis 
ketimbang pada sapi-sapi yang normal.
4.  Cara Penularan
  Di alam, cara penularan paratuberkulosis berlangsung melalui saluran 
pencernaan makanan, yakni dengan tertelannya agen pemicu yang 
ada dalam pakan atau air minum yang tercemar feses hewan sakit.
  Pedet dapat tertular karena mengkonsumsi susu induk yang sakit 
atau karena diberi susu yang tercemar dengan feses yang mengandung agen 
penyebab. Penularan secara intrauterin pada pedet dari induk penderita juga 
dapat terjadi. Di samping itu, dilaporkan bahwa agen pemicu berhasil pula 
diisolasi dari alat kelamin sapi jantan tertular dan juga dari semennya, bahkan 
semen yang sudah ditambah antibiotik dan dibekukan.
Gambar 2. Group bottle feed yang dapat yaitu sumber penularan 
paratuberkulosis 
        (Sumber : http://www.johnes.org/dairy/faqs.html)
5.  Faktor Predisposisi
  Gejala spesifi k pada sapi berupa kehilangan bobot badan 
(meskipun nafsu makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan 
dapat terinfeksi sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang 
terkontaminasi MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka 
gejala klinik seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga 
tahun. Tanda klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh adanya stres seperti 
beranak atau kepadatan ternak yang tinggi. Manajemen kebersihan dan 
hygiene kandang dan peralatan kandang yang baik akan dapat mencegah 
terjadinya paratuberkulosis.
6.  Distribusi Penyakit
  Di negara-negara maju seperti di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, 
Jerman, Belgia, Belanda, Denmark, dan di Australia paratuberkulosis 
yaitu penyakit hewan yang umum ditemukan. Di Australia misalnya, 
diketahui bahwa kejadian infeksi di lapangan lebih tinggi dibandingkan 
prevalensi penyakit secara klinis.
  Di negara kita , menurut catatan yang ada pada Balai Penelitian 
Veteriner (Balitvet), Bogor, paratuberkulosis didiagnosa untuk pertama 
kalinya pada sekitar tahun 1926. lalu pada tahun 1951, untuk kedua 
kalinya paratuberkulosis didiagnosa Balitvet pada seekor sapi perah induk 
yang berkondisi kurus dan dengan diare parah berasal dari Perusahaan 
Susu ”Frisia” di Bogor, yang spesimennya dikirim oleh Fakultas Kedokteran 
Hewan, Bogor.
  Mengingat pada dua dasawarsa terakhir negara kita  banyak mengimpor 
sapi dari Australia dan negara maju lainnya dimana paratuberkulosis umum 
ditemukan, maka kehadiran kembali penyakit ini pada ternak sapi dan ternak 
ruminansia kecil lain di sini perlu diwaspadai. Karena penelitian tentang 
paratuberkulosis pada ternak di negara kita  hingga saat ini belum banyak 
dilakukan, maka seberapa besar kerugian ekonomi yang diakibatkannya 
masih belum dapat diperkirakan.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Dikenal 2 macam gejala klinis paratuberkulosis pada hewan, yakni 
(1) hewan penderita dengan gejala klinis nyata, dan (2) hewan penderita 
yang tidak mernperlihatkan gejala klinis apapun (subklinis).
  Infeksi M.paratuberkulosis pada sapi biasanya berlangsung sejak 
umur dini, bahkan sebelum mencapai umur 1 bulan. Namun, mengingat masa 
inkubasi penyakit yang lama, maka gejala klinis tidak akan terlihat sebelum 
sapi berumur 2 tahun, lazimnya paratuberkulosis menyerang kelompok sapi 
umur 2-6 tahun. Batasan umur sapi terserang penyakit ini hendaknya tidak 
dijadikan sebagai acuan, karena pada dasarnya, paratuberkulosis dapat 
menyerang pada semua umur sapi. Hewan muda lebih rentan terhadap 
infeksi dari pada hewan dewasa.
  Gejala klinis pada sapi antara lain yaitu  nafsu makan pada awalnya 
tetap baik, hanya nafsu minumnya yang meningkat secara berlebihan. 
Kekurusan tubuh (emaciation) menjadi tanda yang nyata, yang disertai 
dengan terjadinya busung di bawah mandibula yang akan menghilang bila 
diare muncul. Tidak ada kenaikan suhu badan, namun terjadi penurunan 
produksi susu sebelum diare menjadi nyata. Feses berkonsistensi lunak dan 
encer seperti sup tanpa bau menyengat serta pada feses tidak didapatkan 
baik darah, runtuhan epitel maupun mukus. Diare yang mula-mula terjadinya 
hilang-timbul, lalu menjadi makin progresif dan makin berat dan 
akhirnya berlangsung menetap. Diare yang berlangsung terus menerus, 
seakan-akan menjadi baik pada saat mendekati akhir masa kebuntingan 
namun kambuh kembali seperti sebelumnya, bahkan menjadi semakin parah 
sesudah hewan penderita melahirkan. Bila penyakit berlanjut, maka terjadi 
kelemahan, busung dan hilang nafsu makan.
  Gejala klinis yang menonjol pada kambing dan domba meliputi 
kekurusan tubuh dan kelemahan umum, disertai dengan bulu yang kasar dan 
mudah dicabut, biasanya tanpa diare tapi fesesnya sering mukoid membentuk 
pelet. Kambing sakit menunjukkan diare yang ringan dan kekurusan.
  Dalam kelompok sapi tertular dari suatu peternakan, bila dilihat dari 
sudut patologi klinis, maka hewan-hewan anggota kelompok tersebut dapat 
dibagi kedalam 4 kategori yaitu 
a.   Hewan sakit dengan gejala klinis yang jelas; 
b.   Pembawa penyakit asimptomatik (intermediate and incubating); 
c.   Hewan tertular tapi tidak terlihat sakit dan tidak menebarkan cukup 
bakteri yang dapat dideteksi secara kultural (infected-resistant) 
d.   dari Hewan tidak tertular.
  Pembagian ini penting, terutama bila dikaitkan dengan strategi 
pengendalian penyakitnya.
2.  Patologi 
  Selain kekurusan tubuh penderita yang nyata dan anemia, maka 
perubahan patologi biasanya terbatas pada saluran pencernaan makanan, 
termasuk ujung ileum, katup ileosekal, sekum, rektum serta kelenjar -kelenjar 
getah bening (lymphnodes) yang berkaitan.
  Tidak ada hubungan antara kehebatan gejala klinis dengan 
kehebatan lesi yang ditemukan. Pada kasus yang fatal mungkin saja hanya 
didapatkan perubahan PA dan lesi mikroskopik yang minimal; sementara itu, 
lesi klasik dapat ditemukan pada bedah bangkai hewan yang kelihatannya 
sehat.
  Lesi awal ada pada dinding usus kecil dan kelenjar getah bening 
mesenterik, sehingga pada tahap ini dapat dikatakan bahwa infeksi terjadi 
pada organ tersebut. Bila penyakit berlanjut, maka lesi mikroskopik terlihat 
pada berbagai organ, seperti pada sekum, kolon dan pada kelenjar getah 
bening mesenterik. M. paratuberkulosis ditemukan pada organ tersebut, 
bahkan akhirnya pada seluruh tubuh hewan penderita.
  Pada sapi, lesi patognomonik yang perlu diperhatikan yaitu  berupa 
penebalan dan korugasi yang ada pada lapisan mukosa ujung ileum 
serta pembesaran dan busung pada kelenjar getah bening mesenteriknya. 
Preparat ulas baik dibuat dari kerokan lapisan mukosa ileum maupun dari 
sayatan kelenjar getah bening mesenterik tersebut untuk pemeriksaan 
mikroskopik di laboratorium.
  Lesi klasik pada usus berupa hipertrofi  difus dari lapisan mukosa 
yang akan berkembang menjadi lipatan-lipatan (rugae) yang tebal dan 
melintang. Lipatan-lipatan yang telah berkembang konsistensinya tidak 
lembut lagi ujungnya berwarna kemerahan karena pembendungan dan 
permukaan mukosanya berkesan lunak. Kadang-kadang terjadi jendolan 
nekrosis, tapi bukan perkejuan atau perkapuran.

  Pada domba dan kambing, lesi berupa penebalan ringan pada 
mukosa dengan jendolan-jendolan perkejuan dan perkapuran baik pada 
usus maupun pada kelenjar getah bening yang berkaitan dijumpai pada 25% 
hewan tertular.
3.  Diagnosa
  Paratuberkulosis tidak dapat didiagnosa hanya berdasar  pada 
pemeriksaan sepintas pada bedah bangkai hewan tersangka, yakni 
terdapatnya penebalan pada dinding usus penderita. Pemeriksaan lanjutan 
di laboratorium diperlukan.
  Diagnosa paratuberkulosis ditegakkan bukan saja atas dasar 
terlihatnya gejala klinis saja (bagi hewan sakit yang disertai gejala klinis), 
melainkan juga harus dilakukan peneguhan melalui berbagai pemeriksaan 
lanjutan di laboratorium.
  Pemeriksaan di laboratorium meliputi pemeriksaan mikroskopik preparat 
ulas dan pemeriksaan kultural bakteriologi dari spesimen feses, kerokan 
lapisan mukosa usus kecil dan juga dari kelenjar getah bening mesenterik 
dan pemeriksaan serologis yang meliputi uji pengikatan komplemen (CF test, 
CFT), ELISA dan agar gel imunodifusi (AGID), yang ditunjang pula dengan 
hasil pemeriksaan histopatotoginya.
  CFT dipakai terhadap kasus-kasus yang secara klinis dicurigai 
paratuberkulosis, juga untuk keperluan perdagangan (impor) sapi. ELISA 
memiliki tingkat sensivitas yang sebanding dengan CFT pada kasus-
kasus klinis, bahkan ELISA Iebih sensitif dibandingkan CFT pada kasus-
kasus subklinis paratuberkulosit. Sedangkan uji AGID bermanfaat sebagai 
peneguhan diagnosa pada ternak-ternak (sapi, domba dan kambing) yang 
secara klinis dicurgai terserang paratuberkulosis.
  Pemeriksaan lainnya, uji yang melibatkan peran DNA (DNA probes), 
seperti reaksi polimerase berantai (PCR) juga dikembangkan. Dalam 
hubungan ini, peneliti Korea menyatakan bahwa untuk mendiagnosa 
paratuberkulosis, PCR memberikan hasil yang jauh lebih cepat ketimbang 
cara pemeriksaan secara kultural seperti yang biasa dilakukan.
  Dalam hubungan diagnosa paratuberkolosis, keberhasilan mengisolasi 
agen pemicu secara bakteriologi tetap dianggap sebagai ”gold standart” 
atau cara diagnosa yang paling akurat dan dibutuhkan waktu sekurang-
kurangnya 8 minggu (bahkan dapat lebih) untuk mengetahui hasil dan kultural 
tadi.
  Ketelitian dalam mendiagnosa dapat diperbaiki dalam menempuh 
2 langkah, yakni langkah pertama melakukan uji-uji serologis, yang 
bersensitivitas dan berspesifi tas tinggi, untuk menetapkan ada atau absennya 
penyakit; yang dilanjutkan dengan langkah kedua, yakni melakukan 
pemeriksaan feses secara kultural, untuk menemukan hewan mana yang 
menebarkan agen penyakit dalam feses.
  Terhadap kelompok hawan yang di curigai tertular paratuberkulosis 
secara sub klinis, maka diagnosa sewaktu hewan masih hidup dilakukan 
melalui penerapan uji johnin. Uji johnin yaitu  suatu uji serologis yang 
didasari oleh dapat diperlihatkannya reaksi hipersensivitas tipe tertunda 
(delayed typehypersesitivity reaction)
  Uji johnin pada sapi dilakukan dengan menyuntikan secara intradermal 
0,1 ml PPD johnin pada sepertiga bagian tengah kulit leher hewan, yang 
dilanjutkan dengan penafsiran reaksinya pada 72 jam berikut nya.
  Namun dalam hubungan dengan uji johnin ini, memiliki sensitivitas 
dan spesifi sitas yang rendah. Selain itu, uji johnin juga mendatangkan hasil uji 
yang rnenyimpang berupa positif-palsu dan negatif-palsu yang berlebihan.
  Pada tahun akhir-akhir ini dikembangkan pula suatu uji yang Iebih 
baik dibandingkan  uji johnin, yakni gamma interferon assay, suatu uji imunoseluler 
yang dapat diaplikasikan pada sapi, kambing dan domba. Namun penggunaan 
uji tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan uji-uji serologis yang 
lain.
4.  Diagnosa banding
  Beberapa jenis penyakit yang disebutkan di bawah ini dapat 
dikelirukan dengan paratuberkolosis dengan manifestasi gejala klinis jelas.
a.  Kekurusan tubuh yang mencolok pada penderita paratuberkolosis dapat 
dikelirukan dengan penyakit tuberkolosis sapi tahap lanjut, meskipun 
pada penyakit tuberkulosis sapi Iazimnya tidak disertai dengan diare 
yang menahun.
b.  Terdapatnya diare menahun pada penderita paratuberkolosis dapat 
dikelirukan dengan penyakit Diare Ganas Sapi, namun diketahui bahwa 
agen pemicu keduanya jelas berbeda.
c.   Salmonellosis, coccidiosis dan parasit cacing (dimana ketiga penyakit 
tersebut biasa disertai dengan diare) dapat mengelirukan pula, namun 
biasanya ketiga penyakit tersebut diatas berjalan akut dengan agen 
penyebabnyapun berbeda.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Spesimen yang perlu dikirimkan ke laboratorium yaitu  sebagai 
berikut:
a.  Potongan kecil (± 2 cm) usus halus plus isinya (dipotong pada sekitar 
katup ileosekal atau jejunum), diikat pada kedua ujungnya, sertakan juga 
kelenjar getah bening yang berdekatan; spesimen ini diambil segar dan 
dikirim dalam keadaan beku secepatnya.
Catatan : Juga perlu dikirimkan potongan organ yang sama, yang 
dimasukan kedalam wadah yang berisi formalin 10% untuk pemeriksaan 
hispatologi.
b.  Swab diambil Iangsung dari rektum hewan tersangka, dikirim segera 
tanpa pendingin.
c.   Stempel berupa feses (± 20 gram) dari hewan tersangka, dari dalam 
rektum jangan yang dari luar tubuh, dikirim segera tanpa pendingin.
d.  Preparat ulas dari kerokan mukosa usus kecil, mukosa rektum dan dari 
feses,difi ksasi (dengan cara melewatkan kaca preparat keatas nyala api 
Buncen 3x) dan dikirim bersama-sama spesimen lainnya.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Terhadap agen-agen kemoterapik tertentu (invitro), diketahui bahwa 
M.paratuberculosis lebih resisten dibandingkan  M.tuberculosis, oleh karena itu 
prospek pengobatan bagi penderita paratuberculosis sesungguhnya sangat 
kecil.
  Beberapa jenis obat telah dicoba dengan hasil yang bervariasi, di 
antaranya Isoniazid misalnya, ternyata gagal untuk menyembuhkan kasus-
kasus klinis paratuberculosis.
  Pada sapi, clofazimine memberi efek perbaikan klinis yang bersifat 
sementara saja. Pada kambing, kombinasi antara 500 mg dihidrostreptomisin 
yang disuntikan intramuskuler dan 300 mg rifampin dengan 300 mg isoniazid 
yang diberikan per oral 2x sehari, mendatangkan efek perbaikan klinis.
2.  Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan
  Mengingat kekurangtelitian uji-uji diagnostik yang tersedia, ditambah 
pula dengan rendahnya kasus-kasus klinis yang ditemui di peternakan, maka 
tidaklah mungkin untuk melaksanakan pemberantasan paratuberkulosis 
secara tuntas. Oleh karena itu, tindakan yang mungkin diambil berupa 
pembersihan menyeluruh peternakan tertular dan lalu mengisinya 
kembali dengan ternak baru yang bersih dari agen penyakit. Selanjutnya, 
tindakan penting lainnya yaitu  mencegah masuknya hewan-hewan yang 
tertular ke dalam peternakan yang bersangkutan.
  Dalam hal pengendalian paratuberkulosis pada suatu peternakan, 
masalah utama yang dihadapi yaitu  sulitnya pendeteksian sapi-sapi 
terinfeksi secara subklinis.
  Pemberantasan penyakit cara lama mendasarkan pada ditemukan 
nya hewan-hewan pembawa dengan memakai berbagai uji seperti 
disebutkan di atas (diagnosa) yang lalu dilanjutkan dengan pemotongan 
hewan -hewan yang bereaksi positif di Rumah Potong Hewan (RPH). Sesudah 
itu, peternakan tertular dikarantina dan ternak yang tersisa diuji ulang pada 
selang waktu 6 bulan hingga dicapai hasil negatif untuk 2x uji berturut-turut. 
Namun cara tersebut jarang mendatangkan sukses untuk pemberantasan 
paratuberkulosis.
  Alternatif pengendalian yang lain yaitu  cara ‘culture and cull’’ 
Setiap 6 bulan sekali, dari semua sapi dewasa dalam peternakan dilakukan 
pemeriksaan feses secara kultural. Sapi, yang hasil pemeriksaan fesesnya 
positif, bersama anak-anaknya dipotong. Dengan cara ini, derajat pencemaran 
pada sekitar (termasuk padang gembalaan) menurun cepat karena hewan 
penebar agen penyakit sudah tersingkirkan.
  Apapun cara pengendalian penyakit yang diterapkan, maka semua 
itu menuntut waktu pelaksanaan yang lama dan pengorganisasian yang baik 
serta dana yang besar, itupun dengan hasil yang belum tentu memuaskan.
  Vaksinasi yaitu usaha  untuk mengurangi tingkat penyebaran 
infeksi dan melindungi hewan ybs dari gejala klinis penyakit. ada 2 
jenis vaksin, yakni vaksin yang mengandung M.paratuberculosis hidup yang 
dilemahkan (Vallee’s vaccine) dan vaksin yang mengandung agen pemicu 
yang dimatikan (Sigrudsson’s vaccine).
  Pada sapi, vaksinasi dilakukan pada umur 1 bulan. Vaksinasi 
ulang tidak dianjurkan, karena efek vaksinasi kadang-kadang memicu  
benjolan (nodules) yang tak terlihat. Selain itu, sapi-sapi yang sudah 
divaksinasi, sampai 5 minggu pasca vaksinasi dan yang terakhir pada 18 
minggu pasca vaksinasi, akan memberikan reaksi positif terhadap uji johnin 
dan atau uji tuberkulin yang dipelakukan. Dengan kata lain, vaksinasi hanya 
dianjurkan bagi daerah-daerah yang tertular berat paratuberkulosis dan pada 
kelompok ternak yang bebas-tuberkulosis, tetapi bukan pada daerah yang 
sedang menerapkan proyek pemberantasan tuberkulosis.
  Pada domba, penggunaan vaksin mati Sigrudsson memberikan hasil 
baik. ada 2 pendekatan yang sifatnya umum untuk mengendalikan 
permasalahan paratuberkulosis pada sapi, yaitu
a.  Bila tingkat kejadian penyakit cukup rendah, maka program ”test and 
slaughter” pada suatu peternakkan tertular diberlakukan dengan catatan 
semua sapi harus dikeluarkan dari peternakan dan peternakan ybs 
dikosongkan bagi semua jenis ruminansia selama sekurang-kurangnya 
1 tahun.
b.  Bila tingkat kejadian penyakit tinggi dan proyek pemberantasan 
tuberkulosis telah diselesaikan atau sama sekali tidak pernah diadakan, 
maka program vaksinasi dianjurkan.
  Sekelompok sapi berstatus bebas-paratuberkulosis, bila memenuhi 
usulan kriteria sbb.:
a.  Bebas dari penyakit (paratuberkulosis) selama 3 tahun terakhir, 
b.  Negatif uji johnin (intradermal) 2x berturut-turut pada semua sapi-sapi 
umur 6 bulan ke atas pada selang 6 bulan.
c.   Negatif hasil pemeriksaan feses (kultural) pada semua sapi umur 2 
tahun, diulang setiap 6 bulan sekali.
 
 Tingkat kejadian paratuberkulosis di banyak negara dimana penyakit 
ini biasa ditemukam pada dewasa ini tidak cukup tinggi dan anggapan bahwa 
tingkat ketelitian uji-uji diagnostik yang ada belum cukup tinggi, sehingga 
program pemberantasan paratuberkulosis tidak mereka lakukan.

PINK EYE
Sinonim: Infectious Keratoconjungtivitis, Blight, Contagious Opthalmia, Radang 
Mata, Katarak, Penyakit Bular Mata 
  
Pink eye yaitu  penyakit mata menular pada ternak, terutama sapi, kerbau, 
domba, dan kambing. Gejala klinis yang dapat dikenali berupa kemerahan 
dan peradangan pada konjungtiva serta kekeruhan pada kornea. Penyakit ini 
ditemukan hampir di seluruh dunia dan memicu  kerugian ekonomi yang 
signifi kan terutama pada industri peternakan sapi, yaitu berupa penurunan berat 
badan, dibuangnya susu dari sapi yang terinfeksi, dan penurunan harga jual sapi, 
serta pengeluaran biaya pengobatan. 
etiologi 
Penyebab pink eye dapat berupa bakteri, virus, rickettsia maupun chlamydia, 
tetapi yang paling sering ditemukan yaitu  bakteri Moraxella bovis (M. bovis) 
yang bersifat hemolitik. Pada sapi, selain M.bovis dapat dipicu pula oleh 
Neisseria catarrhalis. Pada domba dan kambing, pink eye dapat dipicu 
oleh Rickettsia (Colesiata) conjungtivae, Mycoplasma conjungtivae, Brahanella 
catarrhalis dan Chlamydia.
Faktor virulensi dari M.bovis ditentukan oleh adanya pili. M.bovis yang 
mempunyai pili kasar (rough pill) yaitu  bakteri yang virulen, sedangkan koloni 
yang halus atau yang tidak berpili yaitu  bakteri yang tidak virulen. Ada 2 tipe 
pili M.bovis, yaitu Tipe I dan Tipe Q. Pili tipe I berhubungan dengan kemampuan 
untuk menyerang jaringan yang lebih dalam. Sedangkan pili tipe Q menunjukkan 
kemampuannya menempel pada epithel kornea. Yang menarik dari M.bovis 
ini yaitu  kemampuannya untuk berubah tipe dari tipe I ke tipe Q. Faktor lain 
yang menentukan virulensi dari M.bovis yaitu  lipopolisakarida (LPS), serta 
enzym-enzym yang dihasilkan seperti fi brinolisin, phosphatase, hyaluronidase 
dan aminopeptidase yang memegang peranan penting dalam merusak epithel 
kornea.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Hewan yang rentan terhadap terjadinya pink eye yaitu  sapi, 
kerbau, kambing dan domba. Pink eye menyerang semua tingkat umur, 
namun hewan muda lebih peka dibandingkan dengan hewan tua. Prevalensi 
tinggi terjadi pada Bos Taurus dibanding dengan Bos indicus dan lebih 
resisten pada cross bred.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Penyakit pink eye sering terjadi pada musim panas dimana pada 
saat itu ada banyak debu dan meningkatnya populasi lalat. Namun pada 
kasus yang kronis dapat berlangsung sepanjang tahun.
3.  Sifat Penyakit
   Pink eye bersifat epidemik dimana di tempat yang telah terinfeksi 
dapat berjangkit kembali setiap tahunnya. Hewan yang menderita penyakit 
Pink eye dapat bersifat karier.
4.  Cara Penularan
  Penularan pink eye terjadi akibat kontak langsung dengan ternak 
terinfeksi melalui sekresi mata, atau secara tidak langsung melalui vektor 
lalat, debu dan percikan air yang tercemar oleh bakteri.
  Musca autumnalis, Musca domestica dan Stomoxys calcitrans 
yaitu vektor lalat yang sering ditemukan di sekitar mata. Pada tubuh 
lalat ini terutama pada kelenjar air liur, M.bovis dapat bertahan sampai 72 
jam.
5.  Faktor Predisposisi
  Pink eye yaitu penyakit multifaktor, artinya banyak faktor 
predisposisi yang berkontribusi terhadap munculnya penyakit ini. Beberapa 
faktor predisposisi penting yang perlu diperhatikan yaitu  infeksi Mycoplasma 
bovoculi dan atau infeksi IBR dimana virus IBR dapat memicu kerusakan 
kornea dan jaringan konjungtiva sehinga memungkinkan terjadinya infeksi 
sekunder oleh M.bovis. 
  Pink eye dapat terjadi dengan diawali oleh adanya iritasi pada mata 
yang dipicu oleh kibasan ekor, gesekan rumput dan debu. Sensitifi tas 
mata terhadap sinar ultraviolet meningkatkan peluang terjadinya pink eye 
dimana sapi yang mempunyai jumlah pigmen mata lebih sedikit seperti 
sapi Hereford, Holstein dan Shorthorn berpeluang besar terkena pink eye. 
Sedangkan sapi yang mempunyai jumlah pigmen mata lebih banyak seperti 
Angus dan Brahman kurang begitu sensitif.
  Pink eye ini juga sering timbul tiba-tiba pada ternak yang sedang 
dalam keadaan lelah akibat mengalami perjalanan jauh. Perubahan cuaca 
yang mendadak, terlalu padatnya ternak dalam kandang, kualitas pakan 
yang rendah juga dapat memicu terjadinya penyakit ini.
6.  Distribusi Penyakit
  Penyakit ini ditemukan hampir di seluruh dunia. Penyebarannya di 
negara kita  cukup luas  
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Masa inkubasi biasanya 2-3 hari, tetapi dapat sampai 3 minggu. 
Gejala awal yaitu  mata lembab, adanya sedikit konstriksi pada pupil, serta 
photophobi atau sensitif terhadap cahaya sehingga matanya sering ditutup 
untuk menghindari cahaya. Dalam waktu singkat mulai keluar air mata 
dan terlihat adanya penyempitan pupil secara jelas serta kekeruhan pada 
kornea. 
 
Gambar 1. Lakrimasi berlebih dan radang pada kelopak mata (blepharitis) 
        (Sumber : https://www.sdstate.edu)
   
  Lakrimasi menjadi lebih jelas dan timbul vesikel yang lalu 
akan pecah dan memicu  luka/ulcer, kekeruhan dari kornea semakin 
berkembang dan bagian tengah menjadi menyeluruh pada hari ke 4 atau ke 
5. Pembesaran pembuluh darah tampak pada daerah perifer dari kornea pada 
hari ke 7 sampai hari ke 10. Pada saat radang akut sudah mereda, sekresi 
mata makin purulen. Setelah 10 sampai 15 hari, kornea mulai terlihat jernih 
yang dimulai dari daerah perifer ke bagian tengah. Kesembuhan total akan 
terjadi 25-50 hari. Kerusakan kornea dapat menjadi lebih parah sehingga 
memicu  kebutaan. Infeksi pada mata dapat terjadi unilateral ataupun 
bilateral.

2.  Patologi
  Mata terlihat mengalami konjunctivitis, kreatitis, serta kekeruhan 
kornea. Tindakan nekropsi tidak lazim dilakukan pada kasus pink eye. 
3.  Diagnosa
  Diagnosa didasarkan pada lesi dan gejala klinis. M.bovis dapat 
dideteksi dengan fl uoresence antibody technique (FAT), kultur bakteri dan 
identifi kasi.
4.  Diagnosa banding
  Konjungtivitis akibat trauma dibedakan dari pink eye bila ditemukan 
benda asing pada mata. Disamping itu jumlah kasus konjungtivitis akibat 
trauma lebih kecil dibandingkan dengan pink eye.
  Gejala konjungtivitis yang dipicu oleh M.bovis sulit dibedakan 
dengan IBR dan Malignant Cathar Fever (MCF). Pada IBR ditemukan 
peradangan pada saluran pernafasan bagian atas, sedang pada MCF 
ditemukan kebengkakan kelenjar limfe, erosi pada cungur hidung, hematuria 
dan diare. Keratitis yang dipicu oleh fotosensitisasi dan thelasiasis 
harus dibedakan dari pinkeye.
4.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Cotton swab steril yang telah dihilangkan asam lemaknya dipakai 
untuk mengambil spesimen dari konjungtiva. Dalam hal ini perlu 3 cotton 
swap dan 3 macam transport media, yaitu transport media untuk bakteri, 
virus dan rickettsia atau chlamydia. Spesimen dikirim ke laboratorium dalam 
termos berisi es.

pengobatan : 
1.  Pengobatan
  M.bovis peka terhadap penicillin, streptomycin, gentamycin, 
tetracyclin, cephalosporin, nitrofurans dan sulfonamides. Long acting 
oxytetracyclin efektif untuk mengobati anak sapi yang terinfeksi (deep 
muscle parenteral). Penelitian terhadap efektifi tas pemberian antibiotik 
secara topikal masih kurang, sampai saat ini diketahui bahwa preparat 
topikal tidak bisa bertahan lama pada mata karena adanya lakrimasi yang 
berlebihan sehingga dapat menurunkan efeknya. Preparat topikal seperti 
furazolidone spray dapat mengurangi jumlah bakteri yang tinggal di daerah 
mata serta memperkecil ukuran ulcer. Pengobatan topikal yang lebih efektif 
yaitu pemberian Benzathine cloxacillin. Formula bentuk oil dari benzathine 
penicillin dapat mengurangi jumlah M. bovis dan meningkatkan penyembuhan 
ulcer pada mata.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pencegahan
     Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan kandang dan 
lingkungan, menjaga kualitas pakan, serta menjaga populasi kandang 
tidak terlalu padat. 
     Tindakan pencegahan yang dianjurkan di negara-negara maju 
yaitu  pemeriksaan immunologis. Diketahui bahwa adanya Ig A aktif 
sangat penting untuk mencegah Infectious Bovine Keratokonjungtivitis 
(IBK). 
b.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Untuk menghindari meluasnya penyakit, hewan yang terinfeksi 
segera diisolasi dan diobati. Pada kasus parah, hewan harus dihindarkan 
dari sinar matahari secara langsung. Sebagian besar vaksin yang ada 
saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan.

PULPY KIDNEY
Sinonim: Enterotoxemia, Overeating disease, Milk colik, Apoplexy
  
Pulpy kidney yaitu  kejadian keracunan pada domba, kambing, sapi dan 
ruminansia lain, bersifat akut dan fatal, dipicu absorbsi toksin yang dibentuk 
oleh bakteri Clostridium perfringens tipe C dan D yang berada di dalam usus. 
Gejala Klinis yang menonjol yaitu diare, indigesti akut, konvulsi, paralisa, kolik 
dan kematian yang mendadak. CI. perfringens secara alami ada di tanah dan 
hidup sebagai mikrofl ora normal  usus pada hampir semua jenis hewan berdarah 
panas. 
Penyakit ini memicu kerugian yang cukup tinggi khususnya pada peternakan 
yang mengelola produksi daging domba dan kambing seperti halnya di Amerika 
utara.
etiologi 
Pulpy Kidney dipicu oleh bakteri Clostridium perfringens yang berada di 
dalam usus. Bakteri ini secara alami berada di tanah dan hidup sebagai mikrofl ora 
normal pada usus hewan. Pada keadaan tertentu, bakteri ini tumbuh secara 
cepat dan memproduksi sejumlah besar toksin.
Dikenal ada 6 tipe toksigenik Cl.perfringens yaitu tipe A, B, C, D, E dan F. Pada 
umumnya penyakit ini dipicu oleh tipe C dan D. Tipe D sebagai pemicu 
enterotoxemia disebut juga B.ovitoxicus, menghasilkan alpha dan epsilon 
toksin.
Cl.perfringens disebut juga Cl.welchii tipe D, Bacillus aerogenus capsulatus, 
B.phlegmonis emphysematousae, Welch bacillus, B.paludis, Cl.ovitoxicum 
dan Gas bacillus yaitu  bakteri berbentuk batang tunggal atau berpasangan, 
jarang membentuk rantai, kadang berbentuk fi lamen, berukuran 1,0x4-8 mikron. 
Membentuk spora besar dan oval, terletak sub terminal atau sentral. Pembentukan 
spora terhambat pada suasana asam. Bakteri ini non motil, dapat membentuk 
kapsul dan bersifat Gram positif pada biakan muda, sedang pada biakan tua 
bersifat Gram negatif.
Bentuk spora dari bakteri ini tahan terhadap panas. Pada suhu 1200C selama 30 
menit masih tahan hidup. Spora juga tahan terhadap kekeringan dan tetap hidup 
dalam tanah sampai bertahun-tahun. Dalam daging kering spora ini tetap virulen 
sampai 8 tahun.
Cl.perfringens tumbuh pada media umum dalam suasana anaerob atau suhu 
optimum 37°C. Pada lempeng Media Agar membentuk koloni halus, bulat, 
tepinya rata, semi translucen dan berwarna keabuan. Selain itu bakteri ini Ddapat 
membentuk 2 tipe koloni, yaitu:
1.  koloni kecil, tipis, bersifat cepat menyebar, terdiri dari kumpulan bakteri 
berbentuk fi lamen;
2.  koloni mukoid, melekat pada permukaan media. 
Pada Biakan Cair membentuk kekeruhan yang merata, sedang pada bagian 
bawah membentuk endapan yang tebal. Pada Agar Darah membentuk 2 macam 
koloni yaitu hemolitik dan non hemolitik. Bakteri ini dapat mencairkan media 
gelatin, mengkoagulasikan litmus milk serta membentuk gas. Pada Media gula-
gula membentuk asam dan gas kecuali mannitol dan dulcitol.
epidemiologi 
1.  Spesies Rentan
  Hewan yang rentan terhadap penyakit pulpy kidney yaitu domba, 
kambing, sapi, kuda, serta unta. Hewan berumur muda lebih rentan dari 
berumur tua. Hewan dewasa kemungkinan dapat membentuk imunitas akibat 
paparan toksin yang frekuen. Cl.perfringens yaitu agen patogen untuk 
cavia, tikus putih, dan kurang patogen untuk kelinci.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Perpindahan ternak secara mendadak ke padang rumput yang 
lebih subur dapat menjadi peluang terjadinya penyakit pulpy kidney.  
3.  Sifat Penyakit
  Penyakit bersifat sporadik. Angka morbiditas bervariasi, biasanya 
lebih dari 10%, sedangkan angka mortalitas dapat mencapai 100%.
4.  Cara Penularan
  Penyakit ini menular melalui feses hewan penderita. Bakteri masuk 
ke dalam tubuh melalui pencernaan. Pada kondisi tertentu populasinya 
meningkat dan menghasilkan toksin dalam jumlah besar di usus. 
5.  Faktor Predisposisi
  Adapun kondisi yang dapat memicu meningkatnya jumlah 
Clostridium perfringens tipe C dan D di dalam usus dan memproduksi banyak 
toksin sehingga ternak menderita enterotoxemia antara lain :
1) Mengkonsumsi sejumlah besar susu pengganti atau pakan biji-bijian/
padi-padian atau konsentrat.
2) Rendahnya konsumsi pakan kering (hay atau rumput hijau)
3) Penurunan kekebalan tubuh akibat stress.
4) Infestasi berat parasit pencernaan.
5) Gerak/motilitas peristaltik usus rendah misalnya akibat bloat/kembung.
6.  Distribusi Penyakit
  Penyakit ini ada di Australia, Selandia baru, Inggris, Amerika 
Serikat dan German. Kejadiannya di negara kita  belum diketahui dengan secara 
jelas.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Masa inkubasi terjadinya pulpy kidney sangat pendek, kadang 
hanya 2-3 jam. Kebanyakan kasus diakhiri dengan kematian yang diawali 
dengan kekejangan, berbaring dan sesak nafas.
  Bentuk penyakit pulpy kidney yaitu :
a.  Bentuk saraf per akut : hewan kejang, berbaring, sesak nafas dan mati 
dalam waktu singkat.
b.  Bentuk subakut : suhu normal dan hewan depresi.
c.   Bentuk digesti : umumnya kronis, ada diare yang berbau busuk; 
hewan mungkin sembuh sendiri sesudah  1 (satu) minggu.
  Pada domba
  Cl.perfringens tipe A memicu anemia hemolitika dengan tanda 
ikterus dan hemoglobinuria. Cl.perfringens tipe B dapat memicu disentri 
pada anak domba beberapa jam sesudah  melahirkan Cl.perfringens tipe C 
diketahui menyerang domba dewasa dengan gejala “Struck” atau “Strike” 
dimana terjadi konvulsi dan dapat diikuti dengan kematian. 

Pada anak domba, kejadian penyakit sangat singkat, sering kurang dari 2 jam 
namun tidak lebih dari 12 jam dan banyak ditemukan mati tanpa menunjukkan 
gejala Klinis. Gejala awal hewan terlihat, depresi, dan kehilangan nafsu 
makan. Pada kasus akut, terlihat klinis konvulsi dengan buih di mulut dan 
kematian mendadak. Hewan yang hidup beberapa jam memperlihatkan diare 
kental warna hijau, sompoyongan, berbaring, opisthotonus, serta konvulsi. 
Temperatur biasanya normal, namun dapat naik bila terjadi konvulsi berat. 
Kematian terjadi selama periode konvulsi atau sesudah  periode koma yang 
pendek.
Domba dewasa yang menderita pulpy kidney dapat bertahan hidup lebih 
lama yaitu sampai 24 jam. Gejala yang telihat yaitu domba tertinggal dari 
kawanannya, terlihat sempoyongan, menghentakkan kaki; mengerut-
ngerutkan rahang, salivasi, nafas dangkal, cepat dan tidak teratur. 
Kemungkinan terjadi bloat pada periode akhir. Gejala iritasi, seperti konvulsi, 
tremor otot, mengertakkan gigi dan salivasi kemungkinan terjadi namun 
kurang biasa dibanding pada anak domba.
  Pada sapi
  Enterotoxemia terutama pada anak sapi dipicu oleh 
Cl.perfringes tipe C. Kematian hewan terjadi beberapa jam sesudah  gejala awal 
terlihat. Selain oleh Tipe C, sapi juga dapat diserang oleh tipe A, E dan D. 
  Gejala klinis anak sapi yang diserang Cl.perfringens tipe D hampir 
sama dengan gejala pada domba dewasa. Pada kejadian per akut, kematian 
tidak didahului gejala sakit. Kejadian yang lebih sering dijumpai yaitu kejadian 
akut dengan memperlihatkan gejala klinis mendadak yaitu konvulsi yang 
berlangsung sekitar 1-2 jam sampai lalu hewan mati. Pada kejadian 
sub akut, kebanyakan hewan mengalami kesembuhan dengan gejala tidak 
mau minum, diam dan jinak, serta menjadi buta walaupun masih ada refl eksi. 
Penyakit berlangsung sampai 2-3 hari dan lalu sembuh total. Pada 
kejadian wabah, ketiga bentuk penyakit tersebut (perakut, akut dan sub akut) 
dapat terjadi pada anak sapi.
  Pada Kambing
  Gejala klinis yang menonjol pada kambing yaitu diare dan sembuh 
dalam waktu beberapa hari. Pada bentuk akut, terlihat gejala konvulsi yang 
diawali peningkatan suhu (40,5°C atau 105°F), hewan kesakitan, A yang 
sangat dan disentri, dan diikuti kematian sesudah  4-36 jam. Pada bentuk 
sub akut, hewan sakit sampai beberapa minggu, terlihat anorexia dan diare 
intermiten yang berat. Pada beberapa kasus terlihat gejala disentri dan 
erdapat lepasan epitel dalam feses. Bentuk kronis memperlihatkan gejala 
kekurusan, anemia dan diare kronis.
  Pada babi
  Kematian anak babi dapat terjadi 72 jam sesudah  dilahirkan dapat 
dipicu infeksi oleh Cl. perfringens tipe C. Kelainan pasca mati berupa 
enteritis hemorhagik pada jejenum. 
2.  Patologi
  Toxin memicu enterocolitis (peradangan usus), sehingga 
memicu terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan 
absorbsi ke dalam pembuluh darah. Toksin yang  bersirkulasi dalam pembuluh 
darah memicu pembengkakan pada paru dan ginjal. 
  Pericardium berisi cairan berwama kuning yang berlebihan dan 
endocardium ada ekimose. Kondisi karkas pada umumnya baik. Pada 
bentuk per akut kemungkinan tidak itemukan adanya lesi. Gejala yang paling 
sering terlihat yaitu adanya cairan bening berwarna kekuningan, ptechiae 
pada endocardium dan epicardium, kongesti sebagian abomasum, dan 
mukosa intestinal biasanya mengandung sejumlah makanan seperti bubur 
encer. jika pemeriksaan tertunda beberapa jam dapat terjadi dekomposisi 
secara cepat, perubahan warna ungu pada kulit yang tidak berbulu, dan bulu/
wol mudah terlepas. 
  Perubahan yang mencolok yaitu  terjadinya kerusakan jaringan 
ginjal sehingga ginjal melunak beberapa jam sebelum kematian. Hati 
berwama gelap, dan kongesti cairan pericardial seperti gelatin, rumen dan 
abomasum anak kambing dapat berisi penuh dengan makanan konsentrat. 
Bentuk akut pada kambing terjadi infl amasi hemorrhoid mukosa omasum dan 
usus kecil. Bentuk akut pada domba yang hidup  dapat terlihat adanya lesi 
pada otak dengan ciri khas simetris hemorhagi, odema, cairan pada daerah 
basal ganglia.

3.  Diagnosa
  Diagnosa didasarkan pada sejarah penyakit tiba-tiba mati, gejala 
klinis dan kelainan pasca mati.
  Konfi rmasi diagnosa laboratorium dilakukan dengan identifi kasi 
positif enterocolitis, Cl.perfringens dari feses, serta kultur isi usus dan ginjal 
yang diisolasi dari hewan penderita.
  Diagnosa laboratorium yang dapat dilakukan yaitu :
a.  Pemeriksaan langsung dengan pewarnaan gram dari mukosa usus kecil, 
dan dilihat ciri-ciri morfologinya.
b.  Uji toksisitas dari isi usus atau kultur bakteri dengan memakai 
mencit.
c.   Identifi kasi Cl.perfringens dengan uji toksin-antitoksin netralisasi (uji 
netralisasi pada kulit cavia dan uji serum netralisasi pada mencit) .
4.  Diagnosa Banding
  Adapun penyakit yang dapat dikelirukan dengan pulpy kidney yaitu :
a.  Black disease, ada hemoglobinuria yang diakhiri kematian tanpa 
adanya gejala konvulsi
b.  Black leg (radang paha), adanya gas gangraena disertai krepitasi pada 
palpalsi otot-otot tebal.
c.   Anthraks, terjadinya kematian mendadak disertai perdarahan lubang 
tubuh.
d.  Hypomagnesia, terukurnya kadar magnesium pada pemeriksaan 
laboratorium
e.  Polio encephalomacia, gejala hampir sama tetapi kurang akut dan 
penyakit berjalan lebih lama. Tidak terjadi hyperglycemia dan glycosuria 
walaupun hewan sedang berbaring terlentang.
f.   Kejadian pada impesi rumen akut lebih lama (1-3 hari) sedang pada 
enterotoxemia sekitar 1 jam.
g.  Pada rabies biasanya dilihat sejarah terjadinya penyakit.
h.  Pada keracunan akut timah dapat ditemukan racun timah pada urin, 
feses dan darah. 
i.   Pada pregnancy toxemia terjadinya penyakit hanya pada akhir 
kebuntingan dan dapat ditemukannya ketonuria pada pemeriksaan 
laboratorium. 
j.   Kejadian ”louping ill” dilihat dari musim  dan adanya vektor (caplak).
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Pengambilan sampel dapat dilakukan sebagai berikut :
a.  Sedikitnya diambil 20 preparat ulas dari mukosa usus dan abomasum 
sampai ileum yang hemorhagi dan dekat daerah yang tidak terjadi 
infl amasi. Sampel isi usus paling sedikit 10 ml untuk domba dan 440 ml 
untuk sapi, diambil dari beberapa tempat dari usus kecil terutama daerah 
yang isinya berwarna kuning, dan kental
b.  Potongan limfonodus mesenterikus, hati dan ginjal dimasukkan dalam 
larutan formol satin untuk pemeriksaan histopatologi.
c.   Urin untuk pemeriksaan gula dapat ditambahkan pengawet thymol 
untuk dikirim ke laboratrium. Otak dikirim dalam larutan formalin untuk 
pemeriksaan terhadap encephalomalacia.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan kasus Pulpy kidney yang sangat parah sulit dilakukan. 
Adapun tindakan pengobatan yang dapat dilakukan terhadap pulpy 
kidney yaitu dengan pemberian antitoxin untuk menetralisir toksin bakteri. 
Penicilline diketahui efektif melawan infeksi Cl. Perfringens. Selain itu dapat 
juga dilakukan pemberian elektrolit dan thiamine (vitamin B1) untuk menjaga 
keseimbangan biokimia dalam tubuh, analgesik (seperti Banamine), probiotik 
untuk mengembalikan populasi normal mikrofl ora pada usus, serta antacida 
untuk mengatasi asidosis usus akibat toksin.
2.  Pelaporan, Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pelaporan
     Melaporkan bila terjadi kasus pada Dinas yang membidangi fungsi 
Peternakan dan Kesehatan Hewan terkait.
b.  Pencegahan
     Pencegahan pulpy kidney dapat dilakukan dengan:
(1) Vaksinasi
       Bila penyakit terjadi secara rutin pada anak domba, vaksinasi pada 
domba betina akan mendapatkan hasil yang memuaskan dengan 
memberikan suntikan toxoid tipe D pada tahun pertama, 4-6 minggu 
sebelum beranak, dan sesudah  itu setiap tahun.
       Vaksinasi pada induk sapi secara rutin dapat memberikan imunitas 
anti toksin di dalam kolostrum untuk anak sapi yang baru lahir.
(2) Mencegah pemberian pakan butiran dalam jumlah besar.
(3) Perubahan pemberian jenis pakan tidak dilakukan secara 
mendadak.
c.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Pengendalian dilakukan dengan vaksinasi dan manajemen 
pemeliharaan ternak yang tepat.
Pertimbangan dari segi pemotongan hewan dan pemanfaatan daging sesuai 
dengan peraturan yang berlaku seperti radang paha.

SALMONELLOSIS
  
Salmonellosis yaitu  penyakit menular yang dapat menyerang hewan maupun 
manusia. Bakteri pemicu penyakit dapat memicu  berbagai macam 
manifestasi penyakit pada hewan dan demam enterik serta gastroenteritis pada 
manusia.
Kerugian yang terjadi akibat Salmonellosis pada hewan antara lain kematian, 
penurunan produksi ternak, abortus, kematian neonatal dan pengafkiran bahan 
makanan yang tercemar bakteri.
etiologi 
Salmonellosis dipicu oleh Bakteri Salmonella, ada lebih dari 1800 serotipe 
Salmonella ditemukan pada hewan dan manusia, termasuk hewan liar, reptilia, 
burung liar dan insekta. Beberapa serotipe tidak mempunyai inang yang spesifi k 
dan gejala yang ditimbulkan tidak khas misalnya Salmonella typhimurium.
Di antara serotipe yang mempunyai inang spesifi k yaitu  S.typhi; S.paratyhi A-B 
dan C; S.sendai menyerang manusia; S.gallinarum dan S.pullorum pada unggas; 
S.abortus pada babi; S.dublin menyerang Sapi; S.abortus ovis menyerang 
kambing dan domba dan S.abortus equi menyerang kuda.
Salmonella yaitu  bakteri berbentuk batang langsing tidak membentuk spora, 
tidak berkapsel, bersifat motil kecuali S.pullorum dan S.gallinarum dan bersifat 
Gram negatif.
Bakteri Salmonela membentuk antigen somatik (0) yang termostabil dan antigen 
fl agellar (H) yang termolabil. Antigen H terdiri dari 2 tahap  yaitu tipe monotahap  (kode 
huruf kecil; a.b sebagainya) dan tipe ditahap  (kode angka l,Il dan sebagainya). 
Antigen yang dihubungkan dengan sifat virulensinya S.typhi diberi kode Vi, 
antigen ini tidak tahan panas.
Selain itu dikenal antigen S (smoth), R (Rough), M (Mucoid) dan K (Kapsular). 
Idetifi kasi secara serotipe ini disusun dalam suatu bagan yang disebut “Kaufmann 
Whiteschema”.

Di alam, bakteri Salmonella tidak tahan hidup lama, terutama bila keadaan 
sekitarnya kering, tetapi pernah dilaporkan bakteri ini dalam feses tikus. Pada 
suhu kamar tahan hidup 148 hari. Suspensi S.tryphi dalam 8 minggu pada suhu 
37° C hanya 1 minggu.
Bakteri Salmonella dalam suspensi yang diletakkan di bawah sinar matahari 
akan mati sesudah  beberapa jam, sedang di kamar gelap tahan 20 hari, dalam 
KMn04 1% mati dalam 3 menit, juga dalam 1:20.000 HgCI2.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Semua spesies rentan terhadap Salmonellosis. Derajat kerentanannya 
tergantung pada umur, kondisi tubuh induk semang, adanya gangguan 
keseimbangan fl ora dalam tubuh oleh pengobatan antibiotika yang terus 
menurun.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Sallmonellosis ada dimana-mana baik yang menyerang hewan 
maupun manusia. Pada hewan kejadiannya lebih sering ditemukan pada 
peternakan yang dikelola secara intensif terutama pada ayam dan babi. 
Pencemaran makanan, carrier, pencemaran lingkungan oleh hewan-hewan 
terinfeksi memegang peranan dalam kasus salmonellosis. 
3.  Sifat Penyakit
  Penyakit bersifat endemik, kecenderungan peningkatan penyakit 
dapat dipicu dengan adanya pencemaran lingkungan oleh Salmonella 
atau sanitasi yang kurang baik.

4. Cara Penularan 
  Penularan Salmonella terutama melalui saluran pencernaan yaitu 
memakan atau meminum bahan makanan yang tercemari bakteri Salmonella. 
Selain itu Salmonella juga ditularkan secara intra uterin dan lewat telur.
  Penyebaran bakteri Salmonella terjadi melalui feses penderita. 
Penderita Salmonellosis masih mengekskresikan bakteri 3-4 bulan sesudah  
sembuh dari sakit.
5.  Faktor Predisposisi
  Selain lingkungan kandang yang