Tampilkan postingan dengan label ekologi hewan 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ekologi hewan 3. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Juli 2023

ekologi hewan 3























a. Mutualisme 
Hubungan simbiosis mutualisme ialah hubungan antara individu satu 
dengan individu lain yang berbeda spesies yang sifatnya sangat erat dan 
keuntungan dari hubungan tersebut diperoleh kedua pihak. Hubungan ini 
bahkan sangat erat, bahkan menyusun satu kesatuan yang tidak mungkin 
lagi dipisahkan, jika dipisahkan salah satu atau kedua-duanya tidak mampu 
hidup lagi. Contoh yang paling ekstrim ialah simbiosis pada lichenes (lumut 
kerak), bakteri pemfiksasi nitrogen pada akar, serta mikoriza. Lumut 
kerak disusun oleh dua organisme, yaitu algae (photobiont) dan fungi 
(mycobiont). Fungi dari Ascomycotina, Basidiomycotina, dan 
Deuteromycotina bersimbiosis dengan algae fotosintetik Cyanobacteria 
atau algae hijau uniseluler. Alga mampu berfotosintesis yang hasilnya juga 
digunakan oleh jamur, sementara jamur mampu mendegradasi bahan 
organik tempat mereka berada, serta memberikan lingkungan yang sesuai 
untuk algae. Bakteri Rhizobium pada bintil akar legum merupakan bakteri 
pemfiksasi nitogen yang sangat dibutuhkan oleh tanaman, sementara itu 
kebutuhan hidup bakteri sebagian besar disuplai oleh akar legum. 
Mikoriza adalah jamur yang bersimbiosis dengan akar tumbuh-tumbuhan. 
Simbiosis tersebut bersifat saling menguntungkan, yaitu jamur 
memperoleh zat organik dan akar tumbuh-tumbuhan memperoleh air dan 
unsur hara dari aktivitas fisiologis jamur. Beberapa jamur Zygomycotina, 
Ascomycotina, dan Basidiomycotina dapat bersimbiosis dengan akar 
tumbuhan pinus atau melinjo. Berdasarkan kedalaman jaringan tumbuhan 
yang digunakan, mikoriza digolongkan menjadi dua yaitu ektomikoriza dan 
endomikoriza. Beberapa contoh simbiosis mutualisme disajikan berikut ini: 
1) Hubungan antara kerbau dan burung jalak, kerbau mendapatkan 
keuntungan karena parasitnya dibersihkan oleh jalak, sementara burung 
jalak mendapatkan makanan berupa kutu pada kerbau. �
2) Anemon laut (Cnidaria) dan ikan badut (Amphiprion), ikan badut 
mendapatkan perlindungan dan makanan berupa parasit pada anemon, 
sementara anemon mendapatkan keuntungan karena dibersihkan 
tubuhnya dari parasit. 
3) Buaya dan burung plover, buaya mendapatkan keuntungan karena 
giginya dibersihkan oleh burung plover dari sisa-sisa makanan yang 
menempel atau terselip di antara giginya, sementara burung plover 
mendapatkan makanan sisa pada mulut buaya. 
4) Komodo (Varanus komodoensis) dan bakteri-bakteri pada liurnya, 
komodo memanfaatkan bakteri yang dapat menyebabkan kematian 
pada mangsa yang digigit, sementara bakteri mendapatkan nutrien dari 
mulut komodo�
b. Komensalisme 
Simbiosis komensalisme ialah hubungan antara dua individu berlainan 
spesies dengan keuntungan diperoleh oleh satu pihak saja, sementara 
pihak lainnya tidak mendapatkan keuntungan. Beberapa contoh simbiosis 
komensalisme disajikan berikut ini: 
1) Hubungan antara sapi dan burung kuntul (Bubulcus ibis), burung 
mendapatkan makanan karena gerakan sapi yang menyebabkan 
perpindahan serangga, katak, dan hewan lain; sementara sapi tidak 
mendapatkan keuntungan. �
2) Hubungan antara ikan hiu dan ikan remora, ikan remora mendapatkan 
sisa-sisa makanan hasil predasi, sementara ikan hiu tidak mendapatkan 
keuntungan maupun kerugian 
3) Hubungan antara bulu babi (sea urchin) dan ikan goby, dengan 
keuntungan didapatkan oleh ikan goby yang mendapatkan tempat �
perlindungan di antara duri-duri bulu babi, sementara bulu babi tidak 
mendapatkan keuntungan maupun kerugian. 
c) Parasitisme 
Simbiosis parasitisme ialah hubungan antara dua individu berlainan 
spesies dengan keuntungan diperoleh oleh salah satu pihak, sementara 
pihak lain menderita kerugian. Pihak yang mendapatkan keuntungan 
disebut parasit, sedangkan pihak yang dirugikan disebut inang (host). 
Parasit dapat bersifat obligat, yang artinya selama hidupnya selalu menjadi 
parasit dan jika tidak menumpang pada inangnya, mereka akan mati. Tipe 
parasit lainnya ialah parasit fakultatif, yang tidak selamanya hidup sebagai 
parasit, tetapi dapat hidup tanpa menumpang pada inangnya. Contoh 
parasit fakultatif misalnya parasit nektonematoda yang pada beberapa 
fase hidupnya dapat hidup di air laut di luar tubuh inangnya, yaitu udang 
dan kepiting. Parasitisme berbeda dengan predasi. Parasit berukuran lebih 
kecil daripada inangnya, dan tidak atau jarang menyebabkan kematian 
pada inang. Parasit yang menempel bagian tubuh luar inangnya disebut 
ektoparasit (parasit luar), seperti misalnya kutu pada anjing, kutu pada sapi. 
Parasit yang hidup di dalam tubuh inangnya disebut endoparasit (parasit 
dalam), seperti cacing kremi, cacing gelang, dan cacing pita yang hidup di 
dalam saluran pencernaan inang. �
Dalam siklus hidupnya, dikenal inang definitif dan inang intermedier. 
Inang definitif ialah organisme yang menjadi tempat hidup parasit fase 
dewasa, sedangkan inang intermedier menjadi tempat hidup parasit pada 
fase pradewasa. Untuk lebih memahami pengertian ini disajikan siklus 
hidup parasit Taenia saginata dan Taenia solium (CDC 2013). �d) Amensalisme 
Hubungan ini menggambarkan simbiosis dengan satu pihak dirugikan 
sementara pihak lainnya tidak diuntungkan dan tidak dirugikan. 
e) Predasi 
Seperti dijelaskan pada pembahasan tentang predasi di depan, predasi 
ialah peristiwa pemangsaan oleh pemangsa (predator) terhadap mangsa 
(prey). �Secara evolusi kedua golongan tersebut mengembangkan strategi, 
yaitu pemangsa meningkatkan angka predasi, sementara mangsa akan 
menurunkan angka predasi. Di alam terdapat beberapa metode mangsa 
untuk menurunkan angka predasi ini, yaitu: 
1) Mengindari deteksi oleh predator 
a) Berada di luar jarak pandang 
Strategi perilaku yang sederhana yang dilakukan oleh mangsa ialah 
dengan berada di luar jangkauan pandangan predator. Mangsa 
yang memiliki kemampuan untuk mendeteksi keberadaan predator 
akan menghindar dengan menjauhi jarak pandang atau jarak 
deteksi oleh predator. Beberapa cara yang dilakukan mangsa 
antara lain masuk ke lubang tanah, naik pohon, atau bersembunyi. 
b) Kamuflase (camouflage) 
Kamuflase (kripsis atau warna kriptik) menggunakan berbagai 
kombinasi material, warna, atau cahaya untuk menghalangi 
pandangan predator. Beberapa contoh kamuflase disajikan berikut 
ini. Beberapa jenis belalang memiliki bentuk dan warna yang mirip 
dengan daun, ranting, atau warna sama dengan tempat hinggapnya �sehingga predator sulit untuk membedakannya dengan benda atau 
warna lingkungannya. Burung-burung yang hidup di dekat kutub 
utara yang diselimuti salju memiliki warna bulu putih untuk 
menyamarkan diri dari pandangan predator. Secara fisiologi, 
bunglon merubah warna kulitnya mengikuti warna lokasi yang 
ditempatinya. Burung puyuh (Coturnix) memiliki warna buru lurik 
sehingga tersamar dengan habitatnya di semak. 
�2) Menghindari serangan predator 
3) Mengagetkan predator 
Hewan kadang-kadang memiliki respon gerakan atau suara yang dapat 
mengagetkan predator. Induk ayam yang sedang mengerami telurnya 
sering mematuk tiba-tiba jika ada hewan lain yang mendekati telurnya. 
Beberapa serangga (beberapa jenis kupu-kupu dan ngengat) pada sayap �
belakangnya terdapat gambaran bulat yang akan dibuka pada saat didekati 
predator. Gambaran bulat tersebut sangat mirip dengan mata predator 
(burung hantu atau elang). Burung srigunting (Dicrurus hottentottus) juga 
sering memberi kejutan predator (elang atau gagak) dengan menyerang 
tiba-tiba dan kemudian menghindar berkali-kali. Ular sanca (Python 
reticulatus) akan mengambil sikap waspada untuk menyerang jika
diganggu, sikap yang sering mengagetkan hewan lain.
4) Signal untuk menghalangi/menghindari pengejaran 
Beberapa burung memberi isyarat kepada predator dengan cara 
memberi kesan bahwa tubuhnya sangat besar. Ayam kalkun jantan sering 
membuka ekornya atau burung hantu yang mengembangkan atau 
membuka bulunya untuk memberi kesan ukuran tubuhnya besar untuk 
menakuti predator. Ikan buntal durian mengembangkan tubuhnya dan 
membuka duri-duri kulitnya sebagaimana dilakukan oleh landak untuk 
mengancam predator. 
5) Pura-pura mati (tanatosis) 
Beberapa jenis serangga melakukan tanatosis pada saat didekati 
predator. Pada anak rusa ekor putih, tanatosis dilakukan dengan 
menurunkan detak jantung (alarm bradikardia) dari 155 menjadi 38 per 
menit sehingga untuk beberapa saat individu tersebut tampak mati. 
Biasanya predator tidak akan lagi menyerang mangsa yang sudah mati. 
Anak rusa akan menekan pernafasan serta mengurangi gerakan (imobilitas 
tonik). Alarm bradikardia biasanya diikuti dengan simptom salivasi, urinasi, 
dan defekasi yang dapat menghilangkan selera predator. 
6) Pengalihan 
Moluska laut seperti kelinci laut, cumi-cumi, dan gurita menggunakan 
cara ini untuk mengalihkan penyerang. Mereka melepaskan senyawa kimia 
yang dapat membingungkan predator. Mereka merespon kehadiran �
predator dengan melepaskan tinta sehingga dapat menghilangkan 
pandangan dari predator. 
7) Mimikri 
Mimikri terjadi jika organisme (disebut mimik) menunjukkan isyarat 
atau tanda menyerupai organisme lain (disebut model) yang dapat 
menyebabkan kebingungan pada predator. Terdapat dua tipe mimikri yang 
akan dibahas, yaitu mimikri Batesian dan mimikri Mullerian, walaupun di 
alam sebenarnya terdapat banyak model mimikri lain seperti mimikri 
agresif dan mimikri-sendiri. 
Mimikri Batesian didefinisikan sebagai suatu hubungan dimana satu 
organisme yang tidak beracun mengembangkan kolorasi (pewarnaan) 
aposematik yang menyerupai spesies berbahaya. Aposematisme atau 
warna peringatan berfungsi memberikan signal kepada predator bahwa 
mangsa tidak enak, beracun, atau berbahaya. Spesies yang yang berbahaya 
memiliki kekerapa ciri seperti beracun, alat pertahanan diri (sengat atau 
bisa), dan memiliki pola pewarnaan aposematik yang memberikan tanda 
atau signal sebagai spesies berbahaya dan membuatnya mudah dikenali. 
Dengan tiruan seperti itu, organisme mimik dapat menghindari predasi. 
Konsep mimikri Batesian dikembangkan oleh Henry Walter Bates, seorang 
naturalis Inggris. Setelah kembali dari ekspedisinya di hutan Amazone dari 
tahun 1848 sampai 1859, ia membawa ratusan spesies, kebanyakan belum 
pernah dilihat sebelumnya. Bates menemukan bahwa beberapa spesies 
yang dia kenal tidak beracun saat dimakan menyerupai spesies lain yang 
beracun saat dimakan. Dari sinilah konsep mimikri Batesian lahir. Contoh 
mimikri Batesian misalnya kupu-kupu yang tidak beracun Dismorphia
memiliki kemiripan dengan spesies beracun Heliconius, spesies tidak 
beracun spicebush swallowtail (Papilio troilus) memiliki penampakan yang 
sama dengan spesies beracun pipevine swallowtail (Battus philenor). �Mimikri Mullerian diajukan oleh ahli zoologi dan naturalis Jerman Johann 
FriedrichTheodore Muller (1821-1897) yang lebih dikenal dengan nama 
Fritz. Muller mengajukan penjelasan pertamanya tentang persamaan pada 
kupu-kupu tertentu. Jika burung menangkap salah satu spesies yang 
manapun dan kemudian memuntahkannya kembali entah karena tidak 
enak atau toksik, secara mudah dapat disimpulkan bahwa tipe mimikrinya 
Mullerian. Tipe “cooperasi” evolusioner merujuk pada mimikri Mullerian 
dan merupakan fenomena yang umum pada spesies-spesies Ithomiinae, 
Danainae, dan Pieridae. Mimikri Mullerian terjadi jika suatu spesies 
memiliki karakteristik (misalnya kolorasi) yang sama dengan spesies yang 
berbahaya, misalnya tawon dan lebah sama-sama memiliki strip kuning 
untuk menunjukkan bahwa mereka berbahaya. Contoh klasik yang selama 
ini digunakan sebagai mimikri Batesian ialah kulu-kupu viceroy (Limenitis 
archippus) yang enak mirip dengan kupu-kupu monarch (Danaus plexippus) 
yang tidak enak. Tetapi penemuan terbaru menunjukkan bahwa viceroy 
sama sekali tidak enak (unpalatable) seperti pada monarch, disimpulkan 
bahwa keduanya termasuk kasus mimikri Mullerian. 
8) Struktur pertahanan 
Banyak spesies hewan dilengkapi dengan struktur tubuh berupa 
senjata untuk melawan predator sehingga dapat menurunkan angka 
predasi. Beberapa contoh struktur tersebut antara lain: duri pada kulit 
landak (Hystrix javanica), sengat pada lebah dan tawon, kumbang 
bombardir (Carabidae) yang menyemprotkan cairan kimia panas, capit 
pada Crustacea, dan sebagainya. Udang mantis (Stomatopoda) dilengkapi 
dengan senjata cakar yang sangat tajam. Landak (Hystrix javanica) memiliki 
duri-duri pada kulirnya untuk senjata/pertahanan diri dari predator. Anoa 
(Bubalus depressicornis) dilengkapi dengan tanduk yang sangat tajam yang 
dapat menghadap ke muka. �
9) Mengamankan populasi 
a) Efek pencairan 
Efek dilusi dapat disaksikan pada saat hewan yang hidup dalam suatu 
kelompok “mencairkan” risiko untuk diserang. Setiap individu 
menjadi diri masing-masing sehingga keuntungan didapat lebih 
banyak oleh individu daripada oleh kelompok. Satu contoh misalnya 
kawanan ikan, serangan terhadap individu menurun jika mereka 
membentuk kelompok. Contoh lainnya ialah kuda Camargue di 
Perancis Selatan. Lalat kuda sering menyerang kuda dengan 
menghisap darah dan menyebarkan penyakit. Pada saat jumlah lalat 
banyak, kawanan kuda berkumpul membentuk kelompok yang lebih 
luas sehingga angka serangan terhadap individu menjadi lebih 
kecil. Water striders merupakan serangga yang hidup di permukaan �
air dan sering diserang ikan sebagai predatornya. Eksperimen 
menunjukkan bahwa angka serangan terhadap individu menjadi 
semakin menurun dengan meningkatnya ukuran kelompok. 
b) Mementingkan diri dalam kawanan 
Teori mementingkan diri dalam kawanan (selfish herd theory) 
diajukan oleh W.D. Hamilton untuk menjelaskan mengapa hewan 
cenderung memilih posisi di tengah kelompok. Hal ini merujuk pada 
pemikiran bahwa posisi tersebut dapat mengurangi potensi individu 
sebagai target utama serangan predator. Lokasi bahaya ialah area di 
dalam kelompok dimana individu paling sering diserang oleh 
predator. Pusat kelompok (tengah) merupakan area bahaya paling 
rendah sehingga hewan-hewan berusaha untuk menempati area 
tersebut. 

c) Kejenuhan predator 
Strategi radikal untuk menghindari predator yang bisa dengan 
membunuh sebagian besar anak pada populasi sangatlah jarang. 
Strategi ini terlihat dalam bentuk dramatis pada cicada yang secara 
periodik muncul dengan interval 13 atau 17 tahun. Predator dengan 
siklus hidup satu atau beberapa tahun tidak dapat bereproduksi secara cepat walaupun terjadi kemunculan cicada yang banyak. 
Kejenuhan predator merupakan penjelasan evolusioner untuk siklus 
hidup cicada. Predator mungkin masih lapar tetapi tidak mampu 
memakan lebih banyak lagi. 
d) Suara peringatan 
Suara peringatan (alarm call) bisa dihasilkan oleh hewan yang hidup 
secara soliter maupun secara berkelompok. Suara peringatan 
misalnya secara individual dikeluarkan oleh kuskus beruang di hutan 
Sulawesi untuk memberikan peringatan kepada organisme lain 
terutama predator. Induk ayam memberikan tanda bahaya kepada 
anak-anaknya jika ada gangguan. Pada satu kelompok hewan, jika 
ada anggota kelompok yang mendeteksi kehadiran predator atau 
bahaya lainnya, ia akan mengeluarkan suara peringatan untuk 
memberi tanda bahaya kepada anggota kelompok lainnya. Hal ini 
umum dijumpai pada kelompok Macaca. 
e) Peningkatan kewaspadaan 
Pada efek peningkatan kewaspadaan ini, satu kelompok mampu 
mendeteksi kehadiran predator lebih cepat daripada individu soliter. 
Jika mangsa mendapatkan peringatan dini akan serangan, mereka 
memiliki kemungkinan lebih besar untuk lolos dari serangan 
predator. Sebagai contoh angka ketertangkapan merpati oleh 
rajawali semakin menurun dengan semakin besarnya ukuran 
kawanan merpati. Hal ini disebabkan salah satu individu yang 
mendeteksi kehadiran rajawali segera memberi peringatan sehingga 
merpati yang berada dalam satu kawanan akan segera mengetahui 
kehadiran predator dan dengan segera dapat terbang menjauh. 
Burung unta di Taman Nasional Tsavo Kenya mencari makan secara 
individu atau berkelompok sampai empat ekor. Spesies ini sering�
menjadi mangsa singa. Burung unta memiliki kemampuan berlari 
melebihi singa sehingga singa biasanya menyerang burung unta pada 
saat kepalanya ke bawah sehingga kewaspadaan burung menurun. 
Burung yang berada dalam kawanan menjadi lebih sering 
menurunkan kepalanya. Walaupun demikian, singa akan kesulitan 
menentukan posisi kepala burung. Jadi meskipun kewaspadaan 
individu menurun, secara keseluruhan kewaspadaan kawanan 
meningkat. 
f) Membingungkan predator 
Individual yang hidup dalam kelompok besar dapat selamat dari 
serangan predator karena predator menjadi bingung karena ukuran 
kelompok yang besar tersebut. Ikan predator menjadi kehilangan 
fokus pada sasaran ikan mangsa dengan banyaknya individu sehingga 
sering mengalami kegagalan dalam berburu. Demikian juga zebra 
yang berada dalam kawanan, warna strip pada tubuhnya membuat 
kebingungan predator. 
10) Menyerang balik 
a) Pertahanan kimiawi 
Banyak spesies hewan yang dilengkapi dengan sejata kimiawi untuk 
menyerang balik predator. Contoh yang paling baik ialah ular 
berbisa seperti kobra, viper, dan ular laut. Bisa ular tersusun dari 
neurotoksin yang merusak sistem saraf dan atau hemotoksin yang 
merusak jaringan darah. Serangga bombardir menyemprotkan 
senyawa kimiawi yang menyebabkan rasa terbakar yang dilepaskan 
dari ujung abdomennya. Sigung (Mydaus javanensis) organisme 
seperti musang bertahan diri dengan mengeluarkan senyawa kimia 
yang sangat berbau yang tersusun dari senyawa sulfur (belerang), 
metil, dan butil thiol. Bau busuk juga dikeluarkan oleh celurut �
rumah atau tikus kesturi (Suncus murinus). Lebah dan tawon 
dilengkapi senjata yang disuntikkan melalui sengat dari ujung 
abdomennya mengandung melittin. 
b) Pertahanan komunal 
Mangsa besar seperti kerbau liar di Afrika selalu menerapkan 
pertahanan komunal pada saat diserang predator. Individu-individu 
yang kuat berada pada posisi di depan dengan tanduk mengarah ke 
depan yang disiapkan untuk melawan predator seperti singa, 
cheetah, atau harimau. Individu-individu muda ditempatkan di 
tengah-tengah kelompok untuk menjauhkan dari jangkauan 
predator. Lebah madu dan banyak spesies tawon menerapkan 
pertahanan komunal ini. Jika ada gangguan mereka melepaskan 
senyawa semacam feromon yang memberi tanda kelompoknya 
untuk menyerang. 
c) Pemuntahan untuk pertahanan 
Pada burung camar northern fulmar (Fulmarus glacialis) 
memuntahkan substansi oranye cerah berminyak (stomach oil) jika 
terancam. Minyak lambung ini tersusun dari bahan makanan berair. 
Substansi ini menyebabkan bulu burung predator menjadi lengket 
sehingga predator kehilangan kemampuan untuk terbang dan 
kehilangan sifat bulu untuk menahan air masuk ke tubuhnya. 
Burung dapat mengalami hipotermia pada saat menyelam di air. 
Anak burung roller Eropa memuntahkan substansi orange cerah 
dan berbau busuk untuk menolak predator serta memberi tanda 
induk akan adanya ancaman. Pada serangga memuntahkan 
substansi penolak predator banyak dilakukan, misalnya ulat tenda 
timur yang memuntahkan setetes cairan digestif untuk menolak 
serangan semut. �d) Bunuh diri altruistik 
Tipe perlindungan yang tidak biasa dilakukan oleh semut Malaysia 
(Malaysian exploding ant). Hewan ini dapat melakukan bunuh diri 
altruistik untuk menyelamatkan koloninya. Aksi merusak diri sendiri 
ini memberikan keuntungan bagi anggota koloninya. Pada saat kaki 
seekor semut pekerja dicekam, semut akan bunuh diri dengan 
melepaskan isi kelenjar hipotrofi, yang mengandung senyawa iritan 
korosif dan lekat ke predator. Perilaku ini akan menghalangi predasi 
dan memberi peringatan kepada musuh semut lainnya untuk 
berhenti menyerang. 
11) Melarikan diri 
a) Terbang 
Respon pertama kali yang dilakukan oleh hewan hewan bersayap 
ialah terbang secepatnya untuk menjauhi predator. Burung�burung yang beristirahat di lantai hutan seperti nightjar akan 
segera terbang jika didekati predator. 
b) Ototomi (self-amputation) 
Beberapa hewan akan memutus atau melepaskan sebagian tubuh 
mereka untuk dimakan predator sehingga predator kehilangan 
fokus pada hewan sasaran. Akibatnya hewan sasaran memiliki 
kesempatan untuk melarikan diri, misalnya pada cicak rumah 
(Hemidactylus). 
3. Kompetisi 
Kompetisi atau persaingan adalah peristiwa rivalitas antar organisme 
baik dalam satu spesies atau dengan spesies lainnya untuk mendapatkan 
sumber daya tertentu, misalnya makanan, pasangan kawin, air, tempat, 
dan sebagainya. Kompetisi dibedakan menjadi dua, yaitu kompetisi 
antarindividu pada spesies yang sama (intraspesies) dan kompetisi �antarindividu lain spesies (interspesies). Kompetisi terjadi pada saat hewan 
memanfaatkan sumber daya yang sama. 
1) Kompetisi intraspesies 
Kompetisi ini tidak hanya terjadi untuk mendapatkan sumber daya alam 
seperti makanan, air, dan tempat, tetapi juga untuk kepentingan 
reproduksi antara lain untuk mendapatkan pasangan kawin. Persaingan 
individu akan lebih sengit jika hewan hidup secara soliter atau koloni 
tanpa sistem dominansi di dalamnya untuk mendapatkan sumber daya 
yang terbatas. Persaingan untuk mendapatkan pasangan biasa terjadi 
pada individu jantan pada spesies yang memiliki dimorfisme seksual 
terutama ukurannya. Hewan jantan sering memamerkan bagian 
tubuhnya untuk menarik betina, misalnya ukuran ekor burung merak, 
ukuran tanduk rusa, surai pada singa, bahkan suara nyanyian burung 
(song). Pada spesies dengan struktur sosial yang jelas dan sistem 
dominansi yang kuat, persaingan menjadi berkurang karena hewan 
dominan akan mendapatkan akses yang lebih besar dalam 
memanfaatkan sumber daya tersebut. �
2) Kompetisi interspesies 
Dua atau lebih populasi dapat saling berkompetisi jika mereka 
menggunakan sumber daya yang sama. Sebagai contohnya ialah 
kompetisi antara kerbau liar dan banteng di Taman Nasional Baluran 
Jawa Timur. Kedua spesies tersebut memanfaatkan sumber daya 
makanan yang sama, demikian pula sumber air minum. Predator di 
Afrika, yaitu singa, cheetah, hyena, dan macan juga memangsa jenis�jenis hewan yang sama sehingga di antara spesies tersebut terjadi 
kompetisi. Dalam jangka panjang setiap spesies akan mengembangkan 
strategi terutama perilaku untuk mengurangi derajad persaingan 
tersebut. Spesies yang tidak mampu bersaing harus pindah ke lokasi 
lain, jika tidak mereka akan punah di tempat tersebut. Beberapa strategi 
yang dilakukan ialah dengan menggunakan kecepatan berlari seperti 
pada cheetah atau membawa hasil buruan ke atas dahan pohon seperti 
yang dilakukan oleh macan tutul. Pada primata, pengurangan derajad 
kompetisi dilakukan antara lain dengan pemisahan lokasi aktivitas 
hariannya berdasarkan tingkatan/stratum pohon di hutan. Penelitian 
Hendratmoko (2009) tentang kohabitasi monyet ekor panjang (Macaca 
fascicularis) dan lutung (Trachypithecus auratus) di Cagar Alam 
Pangandaran Jawa Barat diperoleh hasil bahwa lutung memiliki 
kecenderungan memanfaatkan stratum hutan lebih tinggi dibandingkan 
dengan monyet ekor panjang dengan tumpang tindih penggunaan ruang 
secara vertikal yaitu 17,38%. Demikian pula pemisahan mereka terjadi di 
Taman Nasional Gunung Rinjani. Pemisahan tempat juga terjadi pada 
banyak spesies burung yang menggunakan strata hutan yang sama. 
Pemisahan juga bisa dilakukan dengan beraktivitas pada waktu yang 
berbeda, misalnya waktu minum antara babi hutan dengan kerbau 
berbeda. �
Di Cagar Alam Tangkoko Batungus Sulawesi Utara kadang-kadang 
terjadi persaingan lebih dari dua spesies, misalnya hewan-hewan yang 
memanfaatkan buah beringin (Ficus spp.). Pada beringin yang sedang 
berbuah terdapat beberapa jenis hewan yang sama-sama memakan buah 
beringin. Yang pernah teramati penulis antara lain monyet hitam Sulawesi 
(Macaca nigra), kuskus beruang (Ailurops ursinus), burung rangkong/julang 
Sulawesi (Aceros cassidix), dan burung-burung lain dari suku Psitacidae. �
Dalam kehidupannya, hewan menunjukkan aktivitas yang dapat 
diamati sebagai gerak-gerik atau aktivitas motorik tubuh. Aktivitas hewan 
ini ditunjukkan selama waktu hidupnya, yang meliputi perpindahan, makan, 
menangkap mangsa, menghindari pemangsa, perilaku sosial, dan 
sebagainya. Hewan mengirimkan signal/tanda sebagai respon atau 
tanggapan terhadap rangsangan/stimulus, perilaku pertahanan, membuat 
pilihan, dan berinteraksi satu sama lain. 
Gerakan yang diperlihatkan oleh hewan dalam aktivitas hariannya 
disebut perilaku atau tingkah laku hewan. Ilmu yang mempelajari perilaku 
hewan disebut etologi. Sebelum abad ke-20, masa yang dikenal sebagai 
periode etologi klasik, ilmuwan Eropa dan Amerika secara tegas 
memisahkan diri dalam aliran yang berbeda dalam mempelajari perilaku 
hewan. Ilmuwan Eropa lebih fokus pada imprinting, mekanisme innate 
(perilaku bawaan), komunikasi dalam lingkungan alami, dan perkembangan 
perilaku selama kehidupan hewan. Selain itu, ahli etologi juga menekankan 
pada studi perbandingan pola-pola perilaku spesifik seperti perkawinan 
pada banyak spesies, dalam rangka memahami bagaimana perilaku 
memberikan keuntungan. Sementara ahli etologi Amerika pada umumnya 
berkerja dalam bidang psikologi yang fokus pada perilaku belajar dan 
respon terkondisi. Kedua aliran menggunakan dua pendekatan divergen, 
alami versus dipelihara (nature versus nurture). Ahli etologi Eropa lebih 
senang menyebut diri sebagai ahli perilaku (behavioristik) yang bekerja di 
alam, sedangkan ahli etologi Amerika menyebut diri sebagai ahli psikologi 
yang lebih banyak bekerja di laboratorium. 
Ahli etologi menggunakan pendekatan yang dicirikan dengan empat 
kunci yang dapat dipilih dalam studi perilaku, yaitu kausasi, nilai kesintasan, �ontogeni, dan evolusi yang akan dibahas berikutnya. Ahli etologi klasik 
antara lain Konrad Lorenz dan Karl von Frisch. Mulai seperempat terakhir 
abad ke-21, terjadi pencairan kedua aliran di atas, antara ahli etologi Eropa 
dan Amerika. Ahli perilaku hewan kontemporer mengombinasikan kedua 
pendekatan, sering kali mereka menerapkan teknik-teknik lapangan di 
bidang genetika, statistik, dan permodelan matematis untuk menjelaskan 
perilaku hewan. 
Mengapa hewan berperilaku? Pertanyaan ini penting dikemukakan 
terlebih dahulu sebelum kita membahas lebih jauh tentang perilaku ini, 
karena hal ini merupakan landasan dalam pengembangan ilmu ini. Ahli 
alam (naturalis) dan ahli filsafat (filosof) mengamati perilaku hewan selama 
berabad-abad. Mulai abad ke-20, terdapat perkembangan yang signifikan 
dalam memahami perilaku hewan. Salah satu pendekatan dalam penelitian 
perilaku hewan ialah psikologi perbandingan. Ahli psikologi perbandingan 
berusaha mempelajari perilaku, sistem saraf, dan sistem hormon sebagai 
landasan dalam mempelajari perilaku hewan. Ahli psikologi melakukan 
berbagai studi eksperimen, di laboratorium maupun di alam, yang terkait 
dengan aspek belajar pada hewan dan perkembangan perilaku. Mereka 
mengeksplorasi bagaimana hewan menerima informasi, dan mengolahnya 
melalui sistem saraf dan hormon, serta munculnya pola-pola perilaku 
tertentu sebagai bentuk respon terhadap lingkungan sekitarnya. Etologi 
(Yunani: ethologica, penggambaran karakter) merupakan studi tentang 
perilaku hewan yang fokus pada evolusi dan lingkungan alami. Tokoh dalam 
pendekatan ini ialah Konrad Lorenz, Niko Tinbergen, dan Karl von Frisch, 
yang mendapatkan Hadiah Nobel dalam bidang Fisiologi atau Medisin pada 
tahun 1973. Ahli etologi mempelajari perilaku pada berbagai hewan dalam 
lingkungan alaminya dan studi perilaku spesies-spesies yang terkait erat 
dengan proses evolusi dan pola-pola perilaku tertentu. Ahli etologi jarang�melakukan studi tentang belajar pada hewan tetapi lebih tertarik dengan 
komunikasi hewan, perilaku seksual, dan perilaku sosial. Ekologi perilaku 
menekankan pada aspek ekologi dari perilaku hewan. Interaksi predator�mangsa, strategi mencari makan, strategi reproduksi, seleksi habitat, 
kompetisi intraspesies dan interspesies, serta perilaku sosial merupakan 
topik-topik yang diminati oleh ahli ekologi perilaku. Sosiobiologi merupakan 
studi evolusi perilaku sosial yang mengombinasikan banyak aspek etologi 
dan ekologi perilaku. 
Seorang ahli etologi dan ornitologi Belanda, Nikolaas Tinbergen seperti 
dikemukanan sebelumnya pada tahun 1973 meraih hadian Nobel dalam 
bidang fisiologi atau kedokteran bersama dengan Konrad Lorenz dan Karl 
von Frisch untuk aktivitasnya pada perilaku hewan. Tinbergen dikenal 
sebagai Bapak Perilaku Hewan telah meletakkan dasar-dasar dalam 
pengembangan etologi dengan 4 pertanyaan yang diajukan dalam 
mempelajari perilaku hewan: 
1. Pertanyaan “Bagaimana”(Proximate) yang mencakup: 
a. Mekanisme (Causation): bagaimana suatu perilaku terjadi? Signal 
atau stimulus apakah yang diperlukan dan bagaimana urutan jalur 
(sebagai contohnya hubungan antara reseptor, sistem saraf, dan 
efektor) berlangsung? 
b. Perkembangan (development-ontogeny): bagaimana perilaku 
berubah sepanjang hidup hewan, pengalaman, dan lingkungan? 
2. Pertanyaan “Mengapa” (Ultimate) yang mencakup: 
a. Evolusi (Phylogeny): bagaimana evolusi berlangsung dan bagaimana 
peranan nenek moyang dalam perilaku? 
b. Fungsi (Function-adaptation): Bagaimana perilaku ini membantu 
organisme/spesies bertahan hidup? �Pertanyaan-pertanyaan di atas dikenal sebagai empat pertanyaan oleh 
Tinbergen dalam mempelajari perilaku hewan, yaitu: 
1. Fungsi (adaptasi): penjelasan untuk pertanyaan ini biasanya ditujukan 
bahwa hewan berperilaku untuk keberhasilan reproduksi yang pada 
akhirnya untuk kelesatian spesiesnya. 
2. Evolusi (filogeni): penjelasan untuk pertanyaan ini memuat 
proses/mekanisme perubahan perilaku dari nenek moyangnya sampai 
dengan spesies masa kini, bagaimana spesies beradaptasi dengan 
perubahan alam sehingga lolos seleksi serta mampu mengembangkan 
perilaku adaptifnya. 
3. Mekanisme (kausasi): penjelasan pertanyaan ini mencakup jalur dari 
stimulus yang diterima reseptor, diteruskan ke sistem saraf/hormon, 
serta tanggapan yang diteruskan ke sistem efektor, baik kelenjar atau 
otot. 
4. Perkembangan (ontogeni): penjelasan untuk pertanyaan ini meliputi 
perubahan-perubahan perilaku dari hewan lahir/menetas sampai 
dengan mati, pembahasan juga meliputi imprinting, perilaku bawaan, 
dan belajar. �1. Fungsi Perilaku 
Perilaku merupakan tanggapan (respon) hewan terhadap rangsangan 
(stimulus) dalam bentuk aktivitas motorik. Rangsangan dibedakan menjadi 
dua, yaitu rangsangan luar (eksternal) dan rangsangan dalam (internal). 
Contoh rangsangan luar antara lain panas, keberadaan mangsa/predator, 
melihat betina estrus, dan sebagainya; sedangkan contoh untuk 
rangsangan dalam antara lain lapar, haus, peningkatan kadar hormon 
seksual, dan sebagainya. 
Dalam mempelajari fungsi suatu karaktersitik perilaku hewan, seorang 
peneliti akan berusaha memahami bagaimana seleksi alam memberi 
keuntungan pada suatu perilaku. Dengan kata lain, peneliti berusaha untuk 
mengidentifikasi tantangan-tantangan ekologis atau tekanan seleksi yang�dihadapi oleh suatu spesies dan kemudian meneliti bagaimana karakter 
perilaku tertentu membantu individu-individu mengatasi rintangan�rintangan ini sehingga mereka dapat bertahan dan bereproduksi. Secara 
singkat, pertanyaan yang diajukan ialah: apakah perilaku tersebut baik? 
Seleksi alam merupakan suatu aksioma dalam pendekatan dalam studi 
perilaku. Oleh karena itu, penjelaskan tentang fungsi perilaku selalu 
dikaitkan dengan strategi hewan dalam kelulushidupannya yang mampu 
beradaptasi terhadap perubahan lingkungannya. Perilaku bersifat plastis 
karena hewan selalu memodifikasinya agar sesuai dengan kondisi 
lingkungannya. Teori William Stern tentang konvergensi menyatakan 
bahwa fenotip atau performa (penampilan, termasuk perilaku) ditentukan 
oleh dua faktor, yaitu genotip dan lingkungan. Genetik menyediakan 
potensi untuk berperilaku sekaligus potensi untuk melakukan 
modifikasinya, sementara lingkungan menyediakan pengalaman untuk 
proses pembelajaran. Perilaku dapat diinduksi oleh lingkungan tanpa 
merubah genotip, dan hewan dapat belajar dan menyebarkan secara 
kultural kepada individu lain terutama keturunannya. 
Reproduksi merupakan kekuatan dorongan dasar di balik perilaku 
hewan. Setiap organisme akan menerapkan berbagai strategi untuk 
keberhasilan reproduksi. Mengapa reproduksi ini penting? Karena 
reproduksi berarti organisme dapat mewariskan gen-nya ke generasi 
berikutnya, yang berarti pula berhasil dalam melestarikan spesiesnya di 
alam. Jika reproduksi gagal, spesies akan punah. Perilaku reproduksi 
bergantung pada sistem perkawinan pada hewan tersebut. Terdapat 
beberapa sistem perkawinan yang mengikuti sistem sosioseksualnya 
sebagai berikut ini. Monogami adalah pola yang memperlihatkan pasangan 
kawin; seekor jantan dan seekor betina yang kawin secara eksklusif dengan 
pasangannya. Poligami adalah pola yang menunjukkan seekor individu �dapat kawin dengan lebih dari satu individu dari jenis kelamin yang 
berbeda. Terdapat tiga variasi kelompok sosial poligami ini, yaitu: (a) 
poligini, satu jantan kawin dengan beberapa betina; (b) poliandri, satu 
betina kawin dengan beberapa jantan; dan (3) kelompok multimale�multifemale atau banyak jantan-banyak betina, sejumlah jantan dan 
sejumlah betina hidup bersama dan saling kawin. 
Jika hewan jantan dan betina siap kawin, tubuh mereka melepaskan 
signal kimiawi yang disebut feromon yang berfungsi sebagai atraktan atau 
penarik pasangan kawin. Pada banyak hewan betina, terutama mamalia, 
mereka hanya fertil atau subur selama ovulasi. Periode waktu ini terjadi 
hanya beberapa hari saja dalam sebulan, setahun, atau beberapa tahun. 
Periode waktu ini disebut musim kawin. Pada periode ini, terjadi perubahan 
tubuh betina secara penampakan fisik, dan perubahan perilaku yang 
menunjukkan kepada jantan kalau betina tersebut siap kawin. 
Pada hewan yang bereproduksi secara seksual, menemukan pasangan 
kawin dan aktivitas kawin secara aman merupakan kunci keberhasilan 
reproduksi. Kompetisi untuk mendapatkan pasangan kawin biasa 
diperlihatkan pada hewan jantan melalui kontes berupa pertarungan 
sampai salah satu memenangkannya dan mendapatkan kesempatan kawin. 
Pada hewan dengan peringkat dominansi di dalamnya, semakin tinggi 
peringkatnya, maka akan semakin besar akses untuk kawin. Untuk 
menunjukkan bahwa betina berada pada waktu suburnya, betina 
memperlihatkan perilaku percumbuan (courtship behaviors). Perilaku ini 
meliputi vokalisasi, pola-pola kolorasi, atau tarian. Pada monyet hitam 
Sulawesi (Macaca nigra) perilaku betina sering kali menyodorkan pantatnya
yang membengkak kepada jantan. �2. Evolusi Perilaku 
Evolusi (filogeni) adalah perubahan secara bertahap pada karakter 
organisme (morfologi, anatomi, fisiologi, genetik, bahkan perilaku) yang 
berlangsung dalam waktu yang lama. Evolusi perilaku merupakan 
perubahan perilaku hewan yang berlangsung secara perlahan-lahan dari 
nenek moyang hingga sekarang. Perilaku tidak dapat menjadi fosil sehingga 
perunutan perilaku dapat dipelajari melalui fosil maupun dengan studi 
komparatif dengan spesies yang berkerabat yang primitif. 
Perilaku dikontrol oleh gen sehingga merupakan obyek proses seleksi 
alam. Jika perilaku meningkatkan ketahanan (fitness), maka perilaku 
tersebut menjadi lebih umum dari waktu ke waktu dan akan ditransfer ke 
generasi berikutnya melalui masa perawatan anak atau perilaku sosial. 
Sementara itu, perilaku yang menurunkan ketahanan akan menjadi 
semakin kurang umum. 
Perilaku sering kali dikontrol secara mutlak oleh gen, sedangkan 
perilaku lainnya seperti dipengaruhi oleh pengalaman hewan dalam 
lingkungannya. Apakah perilaku sepenuhnya dikontrol oleh gen atau oleh 
lingkungan masih terjadi perdebatan dengan istilah nature versus nurture. 
Dalam kenyataannya, perilaku tidak hanya sepenuhnya dikontrol oleh gen 
atau oleh lingkungan saja, tetapi oleh keduanya. Sebagai contoh, perilaku 
anjing akan cenderung meniru anjing lain, dan itu dikontrol oleh gen 
tertentu. Tetapi perilaku tertentu tidak akan berkembang secara normal 
jika anjing diisolasi dari anjing-anjing lainnya. 
Perilaku yang berkaitan dengan evolusi secara mudah dapat 
dicontohkan berikut ini. Monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) hidup di 
hutan tropis Sulawesi Utara memiliki sistem sosial multimale-multifemale. 
Mereka hidup dalam kelompok sosial dari 15-90 lebih individu tiap 
kelompoknya. Predator utamanya ialah ular sanca (Python reticulatus). Jika �dalam melaksanakan aktivitas hariannya salah satu anggota kelompok 
melihat ular sanca, anggota ini akan mengeluarkan suara peringatan (alarm 
call) untuk memberitahu anggota kelompoknya akan kehadiran predator. 
Perilaku ini tampaknya meningkatkan ketahanan spesies terhadap 
kemungkinan predasi oleh ular sanca, dan alarm call telah menjadi perilaku 
yang umum pada monyet hitam Sulawesi. Perilaku ini dapat disebarkan ke 
seluruh anggota kelompok termasuk bayi dan anak-anak monyet melalui 
transfer perilaku di antara anggota kelompok. Gen yang bertanggung jawab 
akan perilaku ini akan tersebar dan dipertahankan dengan frekuensi yang 
tinggi pada kerabatnya sehingga dapat membantu kesintasan kerabatnya 
menghadapi tekanan seleksi alam. Tipe evolusi semacam ini disebut dengan 
seleksi kerabat (kin selection). 
 
3. Mekanisme Perilaku 
Perilaku merupakan tanggapan hewan melalui gerakan motorik 
terhadap rangsangan yang berasal dari luar maupun dalam tubuh hewan. 
Membicarakan tentang mekanisme perilaku hewan, maka terdapat 
beberapa sistem utama yang terlibat dalam mekanisme munculnya 
perilaku, yaitu: sistem reseptor (termasuk alat indera), sistem saraf, sistem 
endokrin, dan efektor (kelenjar dan sistem alat gerak). �Stimulus atau rangsangan diterima oleh reseptor. Stimulus dapat 
berupa rangsangan luar maupun rangsangan dalam. Rangsangan luar 
(eksternal), misalnya suhu, keberadaan predator diterima oleh reseptor 
luar (eksteroseptor), misalnya alat indera atau ujung-ujung saraf di kulit. 
Rangsangan dalam misalnya rasa lapar dan rasa haus diterima oleh 
reseptor dalam (interoseptor). Rangsangan diteruskan sebagai impuls listrik 
oleh sel saraf sensorik (aferen) menuju sistem saraf pusat (otak dan 
sumsum tulang belakang). Pengolahan informasi di dalam sistem saraf 
pusat diteruskan oleh sel saraf motorik (eferen) menuju efektor. Efektor 
dapat berupa otot atau kelenjar. Efektor otot akan melaksanakan perintah 
sistem saraf pusat berupa aktivitas motorik, yang merupakan perilaku. 
Efektor lainnya adalah kelenjar termasuk kelenjar endokrin. Kelenjar 
endokrin terhubung dengan sistem saraf melalui struktur hipotalamus. �Sistem Saraf 
Sistem koordinasi pada tubuh hewan dilakukan oleh dua sistem, yaitu 
sistem hormon dan sistem saraf. Hormon dihasilkan oleh sel-sel khusus dan 
langsung masuk ke dalam sirkulasi darah menuju sel atau jaringan target, 
serta mempengaruhi metabolisme intraseluler. Kebanyakan (tidak 
seluruhnya) sel saraf (neuron) mempunyai efek metabolik dengan 
melepaskan substansi yang disebut neurotransmiter. 
Walaupun kedua sistem di atas sama-sama berfungsi dalam 
koordinasi, tetapi keduanya berbeda dalam beberapa hal. Pertama, neuron 
biasanya langsung kontak dengan sel targetnya. Kedua membran plasma 
neuron mengandung berbagai macam molekul protein yang 
memungkinkan timbulnya impuls listrik sepanjang permukaan sel. Ini 
merupakan pulsa listrik yang menyebabkan pelepasan molekul 
neurotransmiter. Ketiga, neuron dan sistem saraf mempunyai efek yang 
lebih cepat daripada hormon dan sistem hormon. Neuron hanya ditemukan 
pada hewan. 
Pada invertebrata, jaringan saraf tersusun atas sel-sel saraf saja, tetapi 
pada vertebrata tersusun atas neuron-neuron dan berbagai sel penyokong. 
Tidak ada dua neuron yang benar-benar identik, tetapi umumnya terdiri 
dari tiga bagian, yaitu dendrit, akson, dan badan sel. Dendrit relatif pendek 
merupakan penjuluran yang muncul dari badan sel. Dendrit dapat 
mengalami percabangan dan berfungsi sebagai tempat penerima signal dari 
neuron lain atau dari suatu reseptor. Tempat kontak khusus di antara sel�sel saraf disebut sinaps. Akson biasanya lebih panjang daripada dendrit. 
Akson tunggal muncul dari badan sel dan memanjang mencapai dendrit 
dari neuron lain, sel otot atau sel kelenjar yang merupakan sel targetnya. 
Akson merupakan jalan impuls saraf yang keluar dari badan sel saraf. Ujung 
serabut akson dimana akson membentuk sinaps dengan sel lain sering �bercabang membentuk serabut terminal. Serabut terminal akson tunggal 
dari suatu neuron dalam sistem saraf pusat manusia dapat membentuk 
sinaps dengan banyak neuron. 
Neuron-neuron pada kebanyakan sistem saraf dikelilingi dan diberi 
nutrisi oleh sel-sel penyokong yang secara bersama-sama disebut sel glial. 
Dalam sistem saraf pusat vertebrata, beberapa macam sel glial dapat 
dibedakan. Walaupun fungsi sel glial secara lengkap tidak dipahami, tetapi 
diketahui sel-sel ini sebagai penyokong struktur dan memberikan nutrisi 
tertentu ke seluruh neuron, akson atau dendrit. 
Salah satu sel penyokong, sel Schwann, ditemukan dalam sistem saraf 
vertebrata. Seluruh akson dalam sistem saraf pusat vertebrata dikelilingi 
oleh sel Schwann. Kadang-kadang akson menempel pada permukaan sel 
Schwann dan sel ini membungkus akson selama perkembangan, jadi 
membentuk pembungkus dengan bahan insulasi putih yang disebut mielin. 
Mielin sebagian besar terdiri dari lapisan konsentris membran plasma. 
Selubung mielin adalah diskontinu dan mempunyai celah-celah yang 
disebut Nodus Ranvier, tempat sel-sel Schwann satu berbatasan dengan 
yang lain. Mielin adalah bahan insulasi yang baik untuk konduksi impuls 
listrik sepanjang akson. Serabut bermielin mentransmisikan pesan lebih 
cepat dibandingkan dengan serabut tak bermielin. 
Kemampuan neuron untuk menghasilkan dan menghantarkan impuls 
listrik tergantung dari keberadaan beberapa macam molekul protein 
kompleks yang terdapat pada membran sel. Protein ini dibentuk di dalam 
badan sel saraf dan ditransportasikan untuk kemudian diselipkan pada 
membran sel. 
Semua fungsi sistem saraf pada dasarnya mempunyai cara yang sama: 
sistem saraf menerima informasi tentang lingkungan internal dan eksternal, �memproses informasi, dan kemudian memberi aksi yang sesuai melalui 
aktivitas otot dan kelenjar. 
Kebanyakan sistem saraf primitif merupakan neuron terisolasi atau 
jaringan neuron sederhana yang terdapat dalam dinding tubuh phylum 
Cnidaria. Sebagai contoh yang dapat mewakili kelompok ini adalah jaringan 
saraf Hydra yang mempunyai kemampuan koordinasi dalam kontraksi sel�sel otot primitif menghasilkan gerakan yang berkaitan dengan makan dan 
melarikan diri dari predator. 
Anggota Phylum Echinodermata mempunyai tubuh dan sistem saraf 
simetri radial, tetapi kebanyakan metazoa mempunyai sistem saraf simetri 
bilateral, sama dengan bidang tubuhnya. Sefalisasi adalah kecenderungan 
untuk memusatkan neuron dalam ujung kepala pada organisme dengan 
tubuh simetri bilateral. 
Barangkali sistem saraf invertebrata yang paling kompleks adalah 
octopus, suatu cephalopoda dari phylum Mollusca. Seperti otak 
kebanyakan invertebrata, octopus mempunyai pemusatan massa badan sel 
saraf yang disebut ganglia. Octopus dapat diajar untuk membedakan antara 
objek dengan dasar sentuhan atau penglihatan, dan perilakunya paling 
kurang terstereotip dan paling plastis. 
Pada invertebrata, proses masuknya informasi dilakukan oleh sistem 
saraf pusat. Neuron yang mempunyai fungsi spesifik terkonsentrasi dalam 
daerah terlindung yaitu otak, organ utama dari sistem saraf pusat. Lobus 
yang tampak pada otak vertebrata adalah konsentrasi badan sel saraf yang 
memegang fungsi khusus. 
Pemrosesan informasi pada berbagai sistem saraf vertebrata 
tergantung pada tiga jenis neuron. Neuron sensori mengumpulkan 
informasi tentang lingkungan internal dan eksternal. Sel saraf ini akan 
menghasilkan impuls listrik saat reseptor menerima stimulus khusus. �
Neuron sensori membentuk sinap
neuron intermediat), yang bertanggu
yang masuk. Neuron motor berfun
sistem saraf terhadap stimuli yang di
Sistem saraf mamalia sebagai co
dan sistem saraf tepi (perifer). Pe
dilindungi oleh beberapa membran p
serebrospinal. Pelindung dan cairan
daerah otak yang terspesialisasi dan
sekitar otak dan korda spinalis. 
Korda spinalis meliputi suatu d
substansi kelabu berbentuk kupu�yang mengandung badan-badan sel 
interneuron yang membantu pemro
dalam korda spinalis dan untuk
pemrosesan lebih lanjut. 
Jaringan yang mengelilingi bagia
spinalis disebut substansi putih. Su
 
inaps dengan interneuron (juga disebut 
nggung jawab untuk pemrosesan informasi 
erfungsi untuk menyampaikan tanggapan 
g diterima ke sel-sel otot atau kelenjar. 
ai contoh dibagi menjadi sistem saraf pusat 
). Pembagian selengkapnya dapat dilihat 
ian sistem sarafmanusia secara anatomi 
uti otak dan korda spinalis. Bagian ini 
ran pelindung dan diberi makan oleh cairan
airan pemberi nutrisi ini disekresikan oleh 
i dan beredar secara lambat dalam dan di 
tu daerah pusat yang relatif gelap, daerah 
-kupu. Substansi kelabu adalah jaringan 
 sel saraf. Di dalam substansi kelabu adalah 
mrosesan informasi sensori yang masuk ke 
ntuk menyampaikannya ke otak untuk 
bagian pusat (substansi kelabu) pada korda 
. Substansi putih terutama dibentuk oleh �
akson-akson bermielin; terlihat berwarna putih disebabkan karena adanya 
selubung mielin yang banyak. Di dalam substansi putih korda spinalis 
adalah “saluran-saluran serabut” yang merupakan ikatan-ikatan akson yang 
berasal dari dan yang menuju daerah khusus otak. Saluran serabut 
berkaitan dalam persepsi terhadap rasa sakit dan suhu, kesadaran akan 
posisi kaki dan sendi, dan pergerakan tubuh yang terkoordinasi secara 
sadar. 
Saraf spinal adalah pembawa informasi yang diterima sensori menuju 
sistem saraf pusat dan menstransmisikan impuls dari otak dan korda 
spinalis menuju kelenjar dan otot. Serabut-serabut putih ini mengandung 
akson dengan berbagai diameter sepanjang pembuluh darah dan jaringan 
konektif. Saraf spinal dibentuk oleh akar dorsal (ke arah punggung) dan 
akar ventral (ke arah perut) yang muncul dari korda spinalis. Akar dorsal 
terdiri dari akson neuron motor, dan akar ventral terdiri dari akson neuron 
sensori. Setelah meninggalkan korda spinalis, beberapa saraf spinal 
bergabung membentuk pleksus, yang melayani kulit dan otot alat gerak. 
Saraf yang berasal dari pleksus dapat terdiri dari akson-akson yang berasal 
lebih dari satu saraf spinal. 
Tidak seperti saraf spinal, saraf kranial muncul secara langsung dari 
otak. Terdapat 12 pasang saraf kranial, kebanyakan menstransmisi impuls 
sensori dan motor, tetapi beberapa seperti saraf optik (penglihatan) dan 
olfaktori (penciuman) membawa hanya impuls sensori. Kebanyakan refleks 
– reaksi otomatis terstereotip terhadap berbagai stimuli yang dilakukan 
tanpa dipikir terlebih dahulu – hanya melibatkan saraf spinal dan korda 
spinalis dan berlangsung melalui jalur saraf yang sederhana dikenal sebagai 
lengkung refleks spinal. 
Lengkung refleks yang menghasilkan refleks regangan otot mempunyai 
lima komponen. Pertama, suatu reseptor, yang dikenal sebagai spindel �
otot, menghasilkan impuls listrik saat otot diregangkan. Kedua, suatu 
neuron sensori yang membawa impuls melalui saraf spinal dari reseptor ke 
korda spinalis. Badan sel saraf sensori terdapat di dalam ganglia akar dorsal 
pada setiap akar dorsal. Ketiga, sinaps yang terjadi antara akson neuron 
sensori dan dendrit atau badan sel neuron motor dalam korda spinalis. 
Pada refleks peregangan otot, neuron sensori secara langsung bersinaps 
dengan neuron motor, tetapi pada kebanyakan refleks lain, di antara sel 
sensori dan motor terdapat interneuron. Keempat, akson dari neuron 
motor mentransmisikan impuls listrik ke komponen kelima, suatu efektor. 
Pada refleks peregangan otot, efektornya adalah serabut otot sendiri. 
Hasilnya adalah kontraksi otot secara otomatis. 
Seperti lengkung refleks peregangan otot, aktivitas yang dilakukan 
sistem saraf otonom tidak memerlukan kesadaran terlebih dahulu. Sistem 
saraf otonom terutama berkaitan dengan mempertahankan kondisi 
lingkungan internal secara konstan. Sistem ini mengatur kontraksi otot 
kardiak dan otot halus dan mengontrol sekresi berbagai kelenjar, seperti 
kelenjar ludah dan kelenjar adrenal. Saraf otonom meliputi serabut sensori 
dan motor, dan muncul dari saraf spinal dan otak. Tidak seperti saraf spinal, 
semua saraf otonom membentuk sinaps dengan kelompok neuron dalam 
ganglia di luar sistem saraf pusat sebelum mencapai struktur dimana 
mereka menginervasi. 
Berdasarkan anatomi dan fungsinya, saraf otonom dibedakan menjadi 
simpatik dan parasimpatik. Saraf simpatik berasal dari daerah tengah korda 
spinalis dan membentuk sinaps dengan ganglia yang ditemukan dalam 
jembatan yang mengapit kedua sisi kolumna vertebralis. Dari jembatan 
ganglia ini, saraf simpatik yang melepaskan norepinefrin sebagai 
neurotransmiter menuju organ yang diinervasi. Saraf parasimpatik berasal 
dari dasar otak dan dari korda spinalis daerah sakral. Ganglia dimana saraf �
parasimpatik membentuk sinaps tidak tersusun dalam jembatan, terletak 
dalam atau dekat dengan permukaan organ yang diinervasi oleh saraf 
parasimpatik yang melepaskan asetilkolin sebagai neurotransmiter. 
Saraf simpatik dan parasimpatik sering menimbulkan pengaruh yang 
berlawanan pada fungsi organ yang diinervasi. Sebagai contoh, stimulasi 
oleh saraf simpatik menyebabkan dilatasi pupil mata, peningkatan laju 
jantung, inhibisi fungsi organ pencernaan dan seks. Sebaliknya, stimulasi 
parasimpatik menyebabkan konstriksi pupil, penurunan laju jantung dan 
peningkatan fungsi pencernaan dan seksual. Beberapa kekecualian, fungsi 
normal kebanyakan organ tubuh dihasilkan karena interaksi yang 
terkoordinasi dari kedua sistem saraf otonom. 
Sistem Hormon 
Pengendalian, pengaturan dan koordinasi aktivitas sel, jaringan dan 
alat-alat tubuh dilakukan oleh sistem saraf dan sistem hormon. Pada 
umumnya saraf mengatur aktivitas alat-alat tubuh yang mengalami 
perubahan yang relatif cepat seperti pergerakan otot rangka, pergerakan 
otot polos dan sekresi kelenjar. Sebaliknya, hormon mengatur aktivitas 
seperti metabolisme, reproduksi, pertumbuhan dan perkembangan. 
Pengaruh hormon dapat terjadi dalam beberapa detik, hari, minggu, bulan, 
dan tahun. 
Kelenjar yang menghasilkan hormon disebut kelenjar endokrin. 
Kelenjar endokrin disebut juga kelenjar buntu karena hormon yang 
dihasilkan tidak dialirkan melalui suatu saluran tetapi langsung masuk ke 
dalam pembuluh darah. Ada kelenjar lain yang disebut kelenjar eksokrin 
yang sekretnya dialirkan melalui kelenjar ludah, kelenjar keringat, kelenjar 
susu, dan kelenjar pencernaan makanan. �
Baik vertebrata maupun invertebrata mempunyai jaringan khusus 
yang mengsekresikan zat pengatur yang langsung dialirkan ke dalam darah. 
Jaringan ini dikenal dengan kelenjar endokrin dan zat pengatur yang 
disekresikan disebut hormon. Istilah hormon diperkenalkan oleh E.H. 
Starling tahun 1905 dalam bahasa Yunani dan diartikan sebagai 
“membangkitkan”. Saat ini diketahui hormon sebagai mesenger dalam 
perjalanannya di dalam darah dan cairan interstitial, hormon akan bertemu 
dengan reseptor yang khas untuk hormon tersebut. Reseptor ini terdapat 
dipermukaan atau di dalam sel target. Meskipun semua hormon 
mengadakan kontak dengan semua jaringan dalam tubuh, hanya sel 
jaringan yang mengandung reseptor yang spesifik terhadap hormon 
tersebut yang akan terpengaruh. 
Pada invertebrata telah diketahui beberapa hormon pada cacing, 
annelida, moluska dan arthropoda. Pada crustacea, suatu substansi yang 
dihasilkan oleh kelenjar sinus pada mata mempengaruhi kromatofor. 
Pigmen – putih, merah dan kuning (juga hitam, biru dan abu-abu) – sangat 
tersebar dan bervariasi, sehingga tubuh mereka dapat meyerupai 
lingkungannya. Proses pergantian kulit dan metamorfosis pada insekta 
dikontrol oleh sekresi internal. Pada jenis hama (Rhodnius), atau hormon 
dari corpus allatum yang terletak di belakang otak menghalangi terjadinya 
metamorfosis, sementara di lain pihak pada sel neurosekretori yakni pars
intercerebralis dan otak menyebabkan terjadinya pergantian kulit dan 
diferensiasi. 
Pada vertebrata termasuk manusia hormon diproduksi dan 
disekresikan dalam darah oleh sel kelenjar endokrin dalam jumlah yang 
sangat kecil, diangkut oleh darah menuju ke sel/jaringan target; 
mengadakan interaksi dengan reseptor khusus yang terdapat di sel target; �mempunyai pengaruh mengaktifkan enzim khusus, hormon berpengaruh 
tidak saja terhadap satu sel target, tetapi beberapa sel target berlainan. 
Hormon dapat dikelompokkan berdasarkan kelompok molekul 
menjadi amin, prostaglandin, steroid dan polipeptida, serta protein. Amin 
merupakan kelompok hormon paling sederhana, contohnya epinefrin. 
Kemudian prostaglandin, merupakan asam lemak siklik tidak jenuh. 
Hormon steroid merupakan derifat hidrokarbon siklik. Kelompok hormon 
yang paling banyak dan paling rumit adalah polipeptida dan protein. 
Pengaruh hormon terhadap sel target sangat bervariasi dan secara umum 
dibagi menjadi 4 macam pengaruh, yakni pengaruh kinetik, pengaruh 
metabolik, pengaruh morfogenetik, dan pengaruh perilaku. 
Pengaruh hormon sangat bervariasi namun dapat dibagi dalam 4 
lingkup, yakni (1) mengendalikan medium interna dengan jalan mengatur 
komposisi kimia dan volume; (2) mengadakan tanggapan terhadap 
perubahan drastis kondisi lingkungan untuk menolong tubuh dari situasi 
seperti infeksi, trauma, stress, dehidrasi, kelaparan dan pendarahan; (3) 
berperan dalam perkembangan dan pertumbuhan; (4) terlibat dalam 
proses reproduksi termasuk reproduksi gamet, fertilisasi, dan suplai 
makanan kepada embrio dan individu yang baru dilahirkan. �Ada dua faktor yang mempengaruhi sekresi hormon, yaitu faktor saraf 
dan faktor kimia. Beberapa kelenjar endokrin mendapat suplai informasi 
dari saraf autonom. Bila sekresi saraf mengendalikan kontraksi otot dan 
sekresi kelenjar, sistem endokrin menghasilkan proses metabolisme. 
Pengendalian sistem saraf dapat berlangsung cepat dan pengaruhnya 
hanya sebentar bila dibandingkan dengan sistem endokrin. 
Jumlah hormon yang disekresikan oleh kelenjar endokrin ditentukan 
oleh kebutuhan tubuh akan hormon tersebut dalam waktu tertentu. �Pengaturan ini penting bagi tubuh untuk mempertahankan homeostatis. 
Honnon yang dihasilkan tanpa melibatkan secara langsung sistem saraf 
adalah: kalsitonin yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid; insulin yang 
dihasilkan oleh pankreas, dan aldosteron yang dihasilkan oleh adrenal 
bagian korteks. 
Kelenjar endokrin pada umumnya meliputi pituitari (hipofisis), tiroid, 
paratiroid, adrenalin (suprarenal), pankreas, ovarium, testes, ginjal, 
lambung, usus kecil dan plasenta. Pankreas termasuk kelenjar yang 
berfungsi ganda, yakni sebagai kelenjar eksokrin maupun endokrin. 
Komunikasi 
Komunikasi ialah pemindahan informasi dari satu hewan ke hewan 
lain. Hewan yang memberi informasi (signal komunikasi) disebut 
komunikator atau sender sedangkan hewan yang menerima informasi 
disebut komunikan atau receiver. Komunikan akan menunjukkan suatu 
respon atau tanggapan setelah menerima signal tersebut. Komunikasi 
dapat terjadi antara individu pada spesies yang sama (intraspesies) atau 
pada spesies yang berbeda (interspesies). Komunikasi intraspesies biasanya 
digunakan dalam keberhasilan reproduksi. Pada hewan yang hidup 
berkelompok, komunikasi juga digunakan untuk menunjukkan dominansi, 
suara peringatan akan kehadiran predator, dan tujuan lainnya. Komunikasi 
interspesies meliputi peringatan, seperti rattlesnake yang 
membunyikan/menggetarkan ekornya, kobra yang menegakkan kepala dan 
bagian depan tubuhnya. Hewan menggunakan berbagai cara untuk 
berkomunikasi, yang meliputi visual, auditori, taktil, signal kimia, signal 
listrik, dan beberapa cara lainnya. Pada umumnya hewan menggunakan 
beberapa cara berkomunikasi untuk meningkatkan efektivitas daripada �hanya signal tunggal. Seleksi alam akan meningkatkan frekuensi 
penggunaan cara komunikasi yang meningkatkan fitness spesies. 
1) Komunikasi Visual 
Cara komunikasi ini yang paling umum digunakan oleh hewan. Semua 
hewan yang memiliki mata atau alat penglihatan pastilah menggunakan 
cara komunikasi ini. Warna, bentuk, ukuran, dan gerakan merupakan signal 
yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan hewan. Komunikasi visual 
sangat penting mengingat kecepatan dari pelepasan signal sampai 
diterimanya signal yang sangat tinggi dan dapat dilakukan dari jarak yang 
masih mampu ditangkap oleh indera penglihatan. Persyaratan utama cara 
komunikasi ini ialah penerima melihat signal tersebut. 
2) Komunikasi Akustik 
Signal pada cara komunikasi ini ialah dengan menggunakan akustik 
atau suara. Arthropoda dan vertebrata pada umumnya menggunakan 
komunikasi tipe ini. Untuk menggunakannya, hewan harus memiliki organ 
yang dapat menghasilkan suara, misalnya pita suata pada pangkal 
tenggorokan mamalia, serta organ yang berfungsi sebagai penerima signal 
berupa suara, misalnya telinga pada mamalia. Suara memiliki banyak 
makna bergantung pada frekuensi, durasi, volume, serta nada/tone. Setiap 
jenis hewan memiliki spesifikasi dalam komunikasi ini yang selanjutnya 
disebut bahasa. Komunikasi akustik ini sangat efektif karena mampu 
menembus lingkungan yang secara visual tidak bisa ditembus, misalnya 
hutan yang lebat. Hewan menggunakan komunikasi tipe ini sebagai bentuk 
adaptasi terhadap lingkungannya, misalnya burung menghasilkan suara 
berupa nyanyian (song) dan panggilan (call) dengan adaptasi fungsi yang 
berbeda Song lebih banyak dipakai jantan dalam menarik betina, 
sedangkan call lebih banyak digunakan oleh individu burung untuk 
panggilan maupun suara peringatan (alarm call). Semakin tinggi derajad �evolusi hewan, semakin kompleks pula sistem komunikasi suara ini, sampai 
pada puncaknya ialah bahasa pada manusia. 
3) Kumunikasi taktil (sentuhan) 
Komunikasi sistem ini terjadi jika individu hewan satu dengan yang lain 
saling kontak fisik. Antena pada banyak spesies invertebrata digunakan 
sebagai alat komunikasi antarindividu dan mengandung reseptor sentuhan 
pada ujungnya. Demikian pula pada kulit mamalia dilengkapi dengan ujung�ujung saraf peraba dan tekanan yang mampu menerima signal 
tekanan/sentuhan. Sentuhan bagi hewan memiliki arti, seperti halnya pada 
manusia seperti pelukan, jabat tangan, atau mencubit. Pada primata, 
komunikasi jenis ini, misalnya ialah menelisik (grooming), grooming
antarindividu memiliki fungsi sebagai perilaku interaktif positif yang 
merupakan sarana meningkatkan kekuatan ikatan sosial, di samping 
berperan dalam kebersihan untuk menghilangkan kotoran dan parasit dari 
kulit dan rambut. Perilaku percumbuan pada banyak spesies hewan juga 
merupakan bentuk komunikasi ini. �
4) Komunikasi Kimiawi 
Tipe komunikasi ini terjadi pada hewan yang mengeluarkan senyawa 
kimia yang kemudian diterima oleh individu lain sebagai signal yang 
memiliki makna. Signal kimiawi berkembang dengan baik pada serangga, 
ikan, salamander, dan mamalia. Keuntungan dengan komunikasi ini antara 
lain: (1) biasanya menghasilkan pesan sederhana yang hilang setelah 
beberapa jam atau hari, (2) efektif pada malam maupun siang hari, (3) 
dapat melewati obyek-obyek di sekitarnya, (4) dapat dikirimkan pada jarak 
yang jauh, dan (5) memerlukan sedikit energi untuk menghasilkannya. 
Kerugiannya antara lain signal kimiawi tidak dapat diubah dalam waktu 
singkat dan kerjanya lama. Senyawa kimiawi yang dihasilkan oleh kelenjar 
tubuh hewan yang dikeluarkan keluar tubuh serta memiliki fungsi sebagai 
alat komunikasi disebut feromon. Reseptor olfaktori pada hewan, misalnya 
di dalam rongga hidung mamalia, memiliki kemampuan untuk menerima 
sigal kimiawi tersebut dan meneruskannya ke sistem saraf pusat sehingga 
diketahui maknanya. Beberapa contoh penggunaan feromon ini antara lain: 
rusa melepaskan feromon dari kelenjar supraorbital untuk menandai 
wilayah teritorialnya, ular sanca jantan mengetahui posisi betina dengan 
perantaraan feromon yang dikeluarkan oleh betina. Semakin tinggi derajad 
hewan, komunikasi dengan sistem olfaktori ini semakin berkurang. Pada 
primata, komunikasi ini sangat umum digunakan pada primata primitif 
(Subordo Prosimii) dengan karakteristik moncongnya yang panjang dan 
hidung yang basah, sedangkan pada primata yang lebih maju (Subordo 
Tarsioidea dan Subordo Anthropoidea) penggunaan sistem komunikasi ini 
semakin berkurang. �
4. Perkembangan Perilaku 
Perilaku pada hewan tidaklah muncul tiba-tiba sebagaimana yang 
dapat disaksikan pada saat ini. Perilaku mengalami perubahan-perubahan 
baik mengikuti proses evolusi spesies maupun perkembangan menurut 
umur atau tahap pertumbuhan tubuh hewan. Dengan demikian, 
perkembangan mencakup dua proses, yaitu: 
1) Perkembangan evolusioner (filogenetik): yaitu perkembangan perilaku 
mengikuti evolusi spesies hewan yang bersangkutan. Perilaku tidak 
menjadi fosil, sehingga perilaku hewan yang sudah punah didasarkan 
pada morfologi tubuh yang menjadi fosil, jejak, misalnya jejak kaki, 
maupun dengan merekonstruksikannya sesuai dengan perilaku kerabat 
terdekatnya yang masih hidup. 
2) Perkembangan ontogeni: yaitu perubahan-perubahan pada perilaku 
hewan yang mengikuti pertumbuhan tubuh hewan menurut umurnya, 
dari menetas/lahir sampai mati. Perkembangan perilaku ini dipengaruhi 
juga oleh faktor perkembangan tubuh dan sistem-sistem di dalam 
tubuh, terutama sistem saraf dan sistem hormon. 
Maturasi/Pematangan 
Beberapa pola perilaku hanya muncul setelah hewan mencapai tahap 
perkembangan tertentu. selama maturasi, penampilan pola-pola perilaku 
menjadi lebih sempurna setelah perkembangan sistem saraf dan sistem�sistem lainnya. Contoh klasik ialah pergerakan ekor embrio katak saat 
mendekati fase menetas. Sementara masih di dalam membran telur, 
mereka mulai menggerakkan ekornya seperti gerakan saat berenang, dan 
koordinasi gerakan akan meningkat seiring waktu. Peningkatan koordinasi 
gerakan ini sepenuhnya karena pematangan, bukan karena aktivitas 
maupun karena pengalaman. �
Insting dan Belajar 
Perkembangan ilmu perilaku menyimpulkan bahwa kedua macam 
perilaku, yaitu insting dan belajar sama pentingnya bagi hewan. Perilaku 
yang diwariskan (instingtif) dan komponen belajar membentuk sejumlah 
pola perilaku. Sebagai contohnya, anak-anak burung mangsa (prey) secara 
instingtif akan merunduk jika ada benda apapun, burung atau daun, yang 
melayang di atasnya. Melalui komponen belajar, pada akhirnya mereka 
akan merunduk jika hanya burung predator saja yang melayang di atasnya. 
Perilaku insting/naluri memberikan dasar bagi hewan dalam berperilaku 
yang biasanya sangat sederhana sebagai perlengkapan pertahanan diri, 
yang selanjutnya akan dimodifikasi oleh pengalaman melalui proses belajar 
sehingga penggunaan suatu pola perilaku menjadi lebih efisien dan efektif. 
 
Imprinting 
Imprinting ialah fase kritis dalam perkembangan hewan. Selama fase 
ini, hewan muda akan berkembang dengan perilaku seperti perilaku 
spesiesnya jika hidup dalam spesiesnya. Pada fase ini, hewan akan 
mengikuti obyek yang bergerak, apakah itu induknya atau suatu benda. 
Kedekatan hewan muda dengan induknya akan menjadi fase penting untuk 
perkembangan perilaku secara normal. Konrad Lorenz (1903–1989) 
melakukan eksperimen dengan angsa sehingga angsa akan meniru (imprint) 
perilakunya. Anak-anak angsa akan mengikutinya sebagaimana mereka 
mengikuti induknya. Di alam, banyak spesies burung, yang pada fase 
setelah menetas akan mengikuti induknya dan mereka menggunakan 
imprinting ini sehingga hewan muda dapat menentukan yang mana 
induknya dan yang mana bukan induknya. Dengan cara ini mereka akan 
berhasil dalam menemukan sarang atau sumber air. �Belajar 
Belajar menghasilkan perubahan dalam perilaku individu karena 
pengalaman. Belajar adalah alat adaptasi karena memungkinkan hewan 
untuk merespon secara cepat terhadap perubahan lingkungan. Perubahan 
perilaku yang menghasilkan adaptasi yang baik terhadap lingkungan akan 
selalu diulang dan frekuensinya semakin meningkat pada populasi. 
Terdapat beberapa kategori perilaku belajar ini, dari yang paling sederhana 
(habituasi) sampai dengan yang paling kompleks (belajar “insight”). 
Habituasi 
Habituasi ialah tipe perilaku belajar yang paling sederhana dan sangat 
umum pada kebanyakan hewan. Habituasi mencakup penurunan frekuensi 
respon terhadap stimulus yang berulang dan tidak penting. Secara 
sederhana, hewan belajar untuk tidak merespon terhadap aksi pada �
lingkungannya yang dianggap tidak penting. Melalui habituasi terhadap 
stimuli yang tidak penting ini, hewan menghembat energinya yang akan 
dipakai untuk merespon stimuli yang lebih penting. Sebagai contoh, burung 
akan belajar mengabaikan daun-daun yang jatuh melayang di dekatnya, 
dan akan merespon jika ada burung predator yang terbang di atasnya. 
Habituasi diyakini dikontrol oleh sistem saraf pusat dan berbeda dengan 
adaptasi sensori. Adaptasi sensori meliputi stimulasi berulang pada 
reseptor sampai berhenti merespon. Sebagai contoh, jika kita memasuki 
ruangan dengan wewangian, maka alat penciuman menjadi kurang peka 
dan akhirnya berhenti merespon bau tersebut. 
Classical Conditioning 
Classical conditioning atau pengondisian klasik merupakan tipe belajar 
yang didokumentasikan oleh ahli fisiologi Rusia, Ivan Pavlov (1849–1936). 
Dalam percobaan klasik pada refleks salivari dengan hewan anjing, Pavlov 
memberikan makanan segera setelah membunyikan lonceng. Setelah 
sejumlah eksperimen, anjing mengasosiasikan lonceng dan makanan. Pada 
akhirnya, anjing akan mengeluarkan air liur hanya dengan mendengar suara 
lonceng. Makanan merupakan dorongan positif untuk perilaku salivasi, 
tetapi respon juga dapat dikondisikan dengan menggunakan dorongan 
negatif. Perilaku belajar pengondisian klasik ini sangat umum terjadi pada 
dunia hewan. Sebagai contohnya, burung belajar untuk mengenali warna 
menyolok pada ulat yang beracun, sehingga burung ini juga akan 
menghindari hewan lain dengan warna yang sama. �
Pengondisian Instrumental 
Tipe belajar ini juga disebut belajar trial-and-error, yaitu hewan belajar 
sementara mereka melakukan suatu aktivitas, seperti berjalan dan 
bergerak lainnya. Sebagai contoh, jika hewan menemukan makanan, �
makanan memperkuat perilaku, dan hewanmengasosiasikan keuntungan 
(makanan) dengan perilaku. Jika asosiasi ini berulang pada suatu periode 
waktu, hewan belajar bahwa perilaku menyebabkan penguatan. Contoh 
pengondisian klasik ialah bahwa tikus yang ditempatkan di dalam “Skinner 
box” yang dikembangkan oleh B. F. Skinner (1904–1990), seorang ahli 
psikologi yang menonjol. Saat ditempatkan di dalam kotak, tikus mulai 
mengeksplorasi, bergerak tanpa tujuan dan tidak terfokus. Sampai pada 
akhirnya, secara tidak sengaja, tikus menyentuh tombol yang berfungsi 
untuk mengeluarkan pelet (makanan). Karena “hadiah” pelet ini, tikus akan 
menekan tombol karena mengasosiasikan makanan dengan perilaku 
menekan tombol. 
Belajar Latent 
Belajar latent kadang-kadang disebut belajar eksploratori, yang 
meliputi pengasosiasian tanpa penguatan segera atau keuntungan yang 
cepat. Keuntungan tidaklah nyata. Seekor hewan tampaknya termotivasi ��
untuk belajar tentang lingkungannya. Sebagai contoh, jika seekor tikus 
ditempatkan dalam labirin yang tidak ada makanan atau hadiah lainnya, ia 
mengeksplorasi labirin walaupun lambat. Jika makanan atau hadiah lainya 
tersedia, tikus akan lebih cepat menemukan jalannya. Tampaknya, belajar 
yang pertama telah terjadi tetapi berada pada kondisi laten, atau 
tersembunyi, sampai tersedia penguatan. Belajar laten memungkinlan 
hewan untuk mempelajari lingkungan sekelilingnya sebagaimana yang 
dieksplorasi. Pengetahuan tentang daerah jelajah menjadi penting untuk 
kesintasan hewan seperti halnya bagaimana mereka mengembangkan 
metode menghindari predator. 
Belajar Insight 
Pada belajar insight, hewan menggunakan proses kognitif atau mental 
untuk mengasosiasikan pengalaman dan pemecahan masalah. Contoh 
klasiknya ialah hasil eksperimen oleh Wolfgang Kohler (1887–1967) pada 
simpanse yang dilatih untuk menggunakan alat untuk meraih makanan. 
Simpanse akan menggunakan berbagai teknik yang berkaitan dengan 
hadiah makanan, dalam hal ini ia akan menyusun/menyambung ruas-ruas 
mambu untuk meraih pisang yang digantung di langit-langit kandang 
sehingga pisang akan terjatuh ke lantai. �
5. Macam-Macam Perilaku 
Ekologi Perilaku 
Ahli ekologi perilaku melakukan penelitian bagaimana hewan dapat 
menemukan jalan (orientasi dan navigasi), bagaimana mereka menemukan 
tempat untuk hidup (seleksi habitat), makanan apa yang dipilih untuk 
dikonsumsi (perilaku mencari makan, dan bagaimana perilaku 
mempengaruhi biologi populasi. 
 
Seleksi Habitat 
Seleksi habitat merujuk pada pemilihan tempat oleh hewan untuk 
tempat hidup. Dua tipe faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan 
habitat ini meliputi faktor fisiologi dan psikologi hewan. Faktor fisiologi 
hewan berkaitan dengan batas toleransi, yang ditentukan sejarah evolusi �
spesies, misalnya faktor suhu, kelembaban, salinitas air, dan parameter 
lingkungan lainnya. Faktor kedua ialah psikologi, hewan membuat pilihan 
tentang lokasi yang akan ditinggali didasarkan pada ketersediaan sumber 
makanan, air, tempat bersarang, keamanan dari predator, dan 
pengalaman. 
Perilaku Mencari Makan 
Semua hewan harus makan untuk hidup. Untuk kebanyakan 
organisme, mereka harus makan dalam porsi yang besar sehingga setiap 
hari hewan harus melakukan penjelajahan untuk mendapatkan makanan. 
Proses untuk menemukan lokasi makanan disebut perilaku mencari makan 
(foraging behavior). Hewan menghadapi beberapa kondisi berikut ini: 
1. Apa jenis makanan hewan tersebut? 
2. Bagaimana mereka menerapkan strategi mencari makan?
3. Apa keuntungan hidup berkelompok dalam mencari makan? 
4. Bagaimana mereka berkompetisi dalam mencari makan ini? 
5. Bagaimana perilaku hewan jika makanan berada dalam lokasi-lokasi 
tertentu saja pada jarak yang berjauhan. 
Setiap hewan menerapkan suatu cara/metode untuk dapat 
menemukan makanan. Strategi ini disebut strategi mencari makan 
(foraging strategy). Dalam foraging strategy ini hewan akan menerapkan 
strategi mendapatkan makanan secara efektif dan efisien, konsep yang 
dikenal dengan istilah mencari makan secara optimal (optimal foraging) 
yang landasannya ialah efisiensi. Dalam kaitannya dengan mencari makan 
ini, hukum ekonomi akan berlaku, dalam arti hewan akan menerapkan 
strategi untuk mendapatkan makanan sebanyak-banyaknya dengan 
mengeluarkan energi seminimal mungkin. Dengan penjelasan ini, maka 
Saroyo &Tallei (2011) mengajukan Hipotesis Efisiensi untuk menjelaskan 
mengapa kelompok monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) yang disebut 
Kelompok Rambo di Cagar Alam Tangkoko Batuangus berukuran besar 
terpecah menjadi dua kelompok yang lebih kecilpada tahun 1991, yaitu 
Kelompok Rambo I dan Kelompok Rambo II. 
Spesialis dan Generalis 
Berdasarkan jumlah jenis pakan, hewan dibedakan menjadi generalis 
jika mengonsumsi banyak jenis pakan, misalnya Macaca; atau spesialis jika 
mengonsumsi jenis pakan tertentu, misalnya bekantan (Nasalis larvatus)
yang hanya makan daun-daun tumbuhan mangrove. 
Perilaku Sosial 
Perilaku sosial menunjukkan setiap interaksi di antara anggota suatu 
kelompok/koloni hewan, yang kadang-kadang juga mencakup interaksi 
antarspesies termasuk hubungan antara predator dan mangsa. �
Sosiobiologi 
Berdasarkan interaksi antaranggota suatu spesies, hewan dibedakan 
menjadi beberapa tipe, yaitu hewan soliter, berkoloni, dan bersosial. Hidup 
berkelompok memberikan beberapa manfaat bagi anggota kelompok, 
antara lain: 
1. Foraging strategy 
2. Pertahanan terhadap predator 
3. Pemeliharaan anak 
4. Pemencaran keturunan 
Pada primata, sistem sosioseksual dibedakan menjadi: Soliter/Noyau 
misalnya orangutan (Pongo sp.) dan berkelompok: a. monogami; b. 
poligami: poligini, poliandri, multimale-multifemale. 
Contoh spesies hewan yang hidup dalam kelompok sosial yang sangat 
terorganisir ialah primata. Primata merupakan salah satu Bangsa dalam 
Kelas Mammalia yang hidup dalam suatu kelompok sosial. Hidup bersosial 
memberikan beberapa keuntungan untuk akses terhadap pakan, proteksi 
terhadap predator, akses untuk kawin, dan mempermudah dalam 
pemencaran keturunan (Collinge, 1993). Beberapa terminologi berikut 
merujuk pada Collinge (1993). Suatu Kelompok Sosial tersusun dari hewan�hewan yang berinteraksi pada suatu basis reguler. Primata mampu 
mengenal satu dengan yang lain dan menggunakan lebih banyak waktu 
dengan anggota kelompoknya. Struktur Sosial menunjukkan bentuk fisik 
kelompok berkaitan dengan kelompok umur dan jenis kelamin, serta 
hubungan interaksi satu dengan lainnya. Organisasi Sosial merupakan 
ekspresi yang lebih inklusif yang secara umum digunakan untuk 
mendeskripsikan beberapa aspek kelompok sosial, yang meliputi distribusi 
spasial, komposisi kelompok, serta hubungan sosial dan fisik di dalam �
kelompok. Perbedaan utama struktur sosial dan organisasi sosial, bahwa 
organisasi sosial juga mencakup komponen tingkah laku. 
Sistem sosial dibedakan menjadi dua, yaitu despotik (zalim) dan 
egalitarian. Sistem sosial despotik ialah sistem sosial dengan keuntungan 
dalam memanfaatkan sumber secara kuat dimiliki oleh individu peringkat 
tinggi, dengan interaksi sosial bersifat asimetris. Sistem sosial egaliter ialah 
sistem sosial dengan keuntungan dalam memanfaatkan sumber tersebar 
merata pada semua peringkat dan interaksi sosialnya bersifat simetris. 
Berdasarkan sistem klasifikasi sosioseksual, struktur sosial monyet 
hitam Sulawesi termasuk kelompok banyak jantan-banyak betina. Di alam, 
monyet hitam Sulawesi hidup dalam kelompok besar, yaitu 20-70 ekor 
(Supriatna dan Wahyono 2000). Mereka hidup dalam kelompok dengan 
nisbah (rasio) jantan dan betina dewasa 1:3,4 (Rowe 1996). Nisbah jantan 
dan betina ini merupakan fungsi dari pola emigrasi jantan dan filopatri 
betina (Napier dan Napier 1985). Filopatri betina berarti bahwa betina 
tetap berada dalam kelompok kelahirannya. Masyarakat monyet ini 
berpusat pada keluarga betina, sementara jantan keluar dari kelompok 
kelahirannya (Matsumura 1998). 
Dalam kehidupan berkelompok, hewan melaksanakan aktivitas harian. 
Pada primata, aktivitas harian biasanya diklasifikasikan sebagai berikut ini: 
1. Mencari makan (foraging)
2. Makan (feeding)
3. Berpindah (moving/travelling/locomotion)
4. Istirahat (resting)
5. Sosial (social):
a. Menelisik silang (allogrooming) 
b. Interaksi seksual (sexual interaction) 
c. Interaksi agonistik (agonistic interaction) �
d. Bermain (playing). 
Kegiatan yang dilakukan monyet secara rutin dan sudah menjadi 
kebiasaan dalam kehidupan hariannya (Chalmer 1980) disebut aktivitas 
harian. Aktivitas harian dibedakan menjadi empat, yaitu makan, berpindah, 
istirahat, dan sosial. Aktivitas sosial dapat dibedakan lagi menjadi menelisik 
silang, seksual, agonistik, dan bermain. Makan mencakup aktivitas mencari 
makan dan proses makan. Berpindah merupakan aktivitas monyet untuk 
berpindah tempat, seperti berjalan, lari, atau melompat. Istirahat 
merupakan aktivitas duduk atau tiduran di atas tanah atau di atas cabang 
tanpa terlibat dalam aktivitas sosial. Menelisik silang adalah aktivitas 
monyet yang berfungsi untuk membersihkan rambut dan kulit individu lain 
serta untuk mempererat ikatan sosial antaranggota kelompok. Interaksi 
seksual mencakup tingkah laku kawin yang dimulai dari jantan atau betina 
mendekati pasangannya yang dilanjutkan dengan kawin sampai selesai. 
Interaksi agonistik adalah interaksi konflik antaranggota kelompok. Bermain 
adalah aktivitas positif di antara anggota kelompok dengan saling mengejar 
atau saling menggigit yang bulan agresi. 
Perilaku Agonistik, Teritori, dan Hierarki Dominansi
Suatu masyarakat hewan biasanya memiliki struktur sosial yang mapan 
dan anggota-anggota kelompok yang mempertahankan wilayahnya. 
Perilaku agonistik merupakan perilaku konflik yang terjadi di antara 
anggota kelompok, misalnya berkelahi atau sikap menantang. Individu yang 
menyerang disebut penyerang/“agressor” sedangkan yang diserang disebut 
korban/“agressee”. Penyerang menunjukkan sikap menantang sedangkan 
korban menunjukkan sikap tunduk/submisif. Perkelahian timbul akibat 
beberapa penyebab, misalnya bersaing memperebutkan pasangan kawin, 
kompetisi untuk makan, tempat, dan lainnya. Agresivitas dapat berakibat �
fatal pada korban korban bahkan kematian, tetapi ada yang berakibat 
ringan. 
Setiap spesies hewan memanfaatkan habitatnya untuk kepentingan 
kehidupan spesies tersebut atau selama beraktivitas harian. Beberapa 
istilah yang berkaitan dengan pemanfaatan habitat ini ialah: 
1. Jelajah harian (day range): jarak yang ditempuh individu/kelompok 
dalam 1 hari (satuan panjang/hari). 
2. Daerah jelajah (home range): luas area yang dijelajahi selama waktu 
tertentu oleh individu/kelompok (satuan luas/lama waktu). 
3. Area pusat (core area): daerah yang paling sering dikunjungi/digunakan 
selama aktivitas harian individu/kelompok. 
4. Teritori (Territory): area yang sangat dipertahankan dari ekspansi 
individu/kelompok lain (Tarsius dan Hylobates).�
Dominansi ialah kemampuan untuk mengintimidasi individu lain dalam 
suatu konflik dan kemampuan untuk mendapatkan prioritas yang lebih 
untuk akses terhadap berbagai sumber, seperti pakan, ruang, dan kawin 
(Collinge, 1993). Individu yang memperoleh akses terhadap sumber lebih 
banyak dibandingkan dengan individu lain disebut dominan, sedangkan 
yang memperoleh akses lebih sedikit disebut subordinan (Collinge, 1993). 
Hierarki dominansi ialah keseluruhan susunan individu dominan dan 
subordinan dalam kelompok. 

Altruisme 
Dalam altruisme, seekor individu hewan memberikan keuntungan bagi 
individu lain atau mengorbankan keuntungan pribadinya untuk individu 
lain. Sebagai contoh, satu anggota kelompok mengeluarkan suara 
peringatan (alarm call) untuk memberitahu anggota kelompok lainnya akan 
kehadiran predator walaupun dengan mengeluarkan vokalisasi tersebut �