tkan isolasi
mandiri.
Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit
dinyatakan selesai isolasi bila telah mendapatkan hasil pemeriksaan
follow up RT-PCR 1 kali negatif ditambah minimal 3 hari tidak lagi
menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
Isolasi mandiri dapat dilakukan di rumah maupun di fasilitas publik yang
dipersiapkan pemerintah
Dalam hal pemeriksaan follow up RT-PCR tidak dapat dilakukan, maka
pasien kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah
sakit yang sudah menjalani isolasi selama 10 hari sejak onset dengan
ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan gejala demam dan
gangguan pernapasan, dinyatakan selesai isolasi, dan dapat dialihrawat
non isolasi atau dipulangkan.
13.nasihat Menjaga kebersihan tangan dan mencuci tangan 6 langkah sesuai
standar WHO.
Etika batuk dan bersin.
Jaga jarak dengan orang sehat minimal 1 meter.
Ketika memiliki gejala saluran napas, gunakan masker dan berobat ke
fasilitas layanan kesehatan.
Hindari keluar rumah atau bepergian ke tempat keramaian.
SINDROM PERNAPASAN PASCACOVID-19
Pasien dengan gejala/gangguan paru dan pernapasan yang menetap > 4
minggu sejak awitan gejala COVID-19.
2. Anamnesis
Pasien pernah terkonfirmasi COVID-19.
ada gejala / gangguan paru dan pernapasan yang menetap > 4
minggu sejak awitan gejala COVID-19
ada salah satu atau lebih gejala dan/atau tanda berikut :
1. Batuk kering atau berdahak
2. Sesak napas/napas berat/napas terengah-engah/ lekas lelah
3. Aktivitas terbatas
4. Nyeri dada
5. Tenggorokan sakit atau gatal
Catatan :
Pasien dapat menyampaikan hasil kelainan pemeriksaan radiologis atau
kelainan faal paru yang sudah ada.
3. Pemeriksaan
Fisis
Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan :
Inspeksi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Palpasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Perkusi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Auskultasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan
4. Kriteria
diagnosa
A.Klasifikasi
Sindrom pernapasan pascaCOVID-19 terdiri atas 2 kategori yaitu post
acute COVID-19 syndrome dan pascaCOVID-19 kronik.
1) Post acute COVID-19 syndrome :
a. Pasien pernah terkonfirmasi COVID-19.
b. ada gejala / gangguan paru dan pernapasan yang menetap
> 4 minggu sejak awitan gejala COVID-19 sampai 12
minggu.
c. ada salah satu atau lebih gejala dan/atau tanda berikut :
1. Batuk kering atau berdahak
2. Sesak napas/napas berat/napas terengah-engah/ lekas lelah
3. Aktivitas terbatas
4. Nyeri dada
5. Tenggorokan sakit atau gatal
6. ada kelainan hasil pemeriksaan radiologis atau
kelainan faal paru.
2) Pasca COVID-19 kronik.
a. Pasien pernah terkonfirmasi COVID-19.
b. ada gejala / gangguan paru dan pernapasan yang
menetap > 12 minggu sejak awitan gejala COVID-19.
c. ada salah satu atau lebih gejala dan/atau tanda berikut
1. Batuk kering atau berdahak
2. Sesak napas/napas berat/napas terengah-engah/ lekas
lelah
3. Aktivitas terbatas
4. Nyeri dada
5. Tenggorokan sakit atau gatal
6. ada kelainan hasil pemeriksaan radiologis atau
kelainan faal paru.
B. Kondisi klinis dapat berupa :
a. Gejala klinis tidak ada, tetapi radiologis ada kelainan*
b. Gejala klinis ada, tetapi radiologis normal
c. Gejala klinis ada dan radiologis ada kelainan*
*Catatan :
Kelainan radiologis yang umum pada pascaCOVID-19 yaitu fibrosis
paru, residual ground glass opacification, interstitial tickening, traction
bronchiectasis, honey combing dan lain-lain.
5. diagnosa Kerja Sindrom pernapasan pasca COVID-19
6. diagnosa
Banding
Nasofaringitis atau faringitis
Bronkitis akut
Pneumonia bakterial
Tuberkulosis paru
Penyakit paru insterstisial
Emboli paru
Gagal jantung
Gagal ginjal
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Asma
Bronkiektasis
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS)
Mikosis paru
7. Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
a. Darah lengkap
b. CRP, ferritin
c. SGOT, SGPT, ureum, kreatinin
d. Gula darah, HbA1c
e. Analisis gas darah dan elektrolit
f. Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, fibrinogen
g. Pemeriksaan antibodi : IgM dan IgG SARS COV-2
h. Pemeriksaan ulang Swab PCR SARS COV-2 atas indikasi
Pemeriksaan saturasi oksigen perifer (SpO2)
Pemeriksaan radiologi:
a. Foto toraks AP/PA dan/atau
b. USG toraks dan/atau
c. CT scan toraks (HRCT)
d. Lung perfusion scan atas indikasi
Pemeriksaan faal paru :
a. Uji jalan 6 menit
b. Spirometri
c. Kapasitas difusi (DLCO)
d. Cardiopulmonary Exercise Test (CPET)
Uji provokasi bronkus, atas indikasi
Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
Penilaian kualitas hidup (kuesioner)
8. PENGOBATAN
Algoritma
Algoritma PENGOBATAN pasien dengan sindrom pernapasan pasca
COVID-19 dapat dilihat pada gambar 1 (lampiran).
Nonfarmakologis
- Rehabilitasi paru
- Terapi oksigen jika diperlukan
- Psikoterapi
- Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid
- Rawat inap, bila ada indikasi
Farmakologis
A. Gejala klinis tidak ada, tetapi radiologis ada kelainan
1. Terapi simptomatik seperti obat batuk, analgetik dll
2. Mikronutrien (Vitamin A,B1,B12,B9, C,D,E dan mineral)
3. PENGOBATAN secara individu sesuai hasil pemeriksaan faal paru.
4. Evaluasi sesudah 8 sampai 12 minggu, atau dapat lebih awal bila
diperlukan atau bila ada keluhan.
B. Gejala klinis ada, tetapi radiologis tidak ada kelainan
1. Terapi simptomatik seperti obat batuk, analgetik dll.
2. Bila ditemukan tanda-tanda obstruksi saluran napas dapat
diberikan
bronkodilator dengan atau tanpa steroid inhalasi.
3. Mukolitik dan antioksidan
4. Antibiotik jika ada infeksi bakterial
5. Mikronutrien (Vitamin A,B1,B12,B9, C,D,E dan mineral)
C. Gejala klinis ada dan radiologis ada kelainan
1. Terapi simtomatik seperti obat batuk, analgetik
2. Bronkodilator bila ditemukan tanda-tanda obstruksi saluran
napas
3. Mukolitik dan antioksidan
4. Antibiotik jika ada infeksi bakterial
5. Antiinflamasi, salah satu atau kombinasi :
a) Makrolid (azitromisin 250 mg sd 500 mg atau
klaritromisin 250 mg sd 500 mg atau eritromisin 250 mg)
minimal 1 bulan dan dinilai ulang
b) Steroid (dapat oral maupun inhalasi), sesuai pertimbangan
klinis DPJP.
6. Mikronutrien (Vitamin A, B1, B12, B9, C, D, E dan mineral)
Catatan :
** Pemberian antifibrotik pada saat ini belum ada evidence , masih
menunggu hasil uji klinis.
9. Komplikasi
Pneumonia
Gagal napas
Acute Respiratory Distress Syndrome
Batuk darah
Pneumotoraks
Tromboemboli paru
Gangguan koagulopati
Hipertensi pulmonal
Gangguan tidur
Gangguan psikologis
Fibrosis paru
10. Penyakit
Penyerta
(komorbid)
Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2)
Penyakit terkait geriatri
Penyakit terkait autoimun
Penyakit ginjal
Penyakit hati
Penyakit Jantung
Hipertensi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Asma
Tuberkulosis (TB)
Obesitas
Penyakit kronis lainnya
11. Follow up /Evaluasi
Untuk evaluasi, dilakukan pada beberapa hal :
Keluhan klinis
a. Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk)
b. Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas)
c. Nyeri dada (evaluasi perubahan nyeri dada)
Kepulihan dari penyakitnya (COVID-19)
Pemeriksaan fisis paru, termasuk penilaian saturasi oksigen (SpO2)
Pemeriksaan laboratorium (sesuai kebutuhan)
Radiologis ( evaluasi lesi sisa pada paru secara radiologis)
Pemeriksaan faal paru (evaluasi perbaikan nilai faal paru)
Evaluasi komorbid (yang kronik, yang eksaserbasi karena COVID-19
ataupun yang manifestasi karena COVID-19)
Evaluasi dilakukan 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan pascaterapi
12. Prognosis
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam
13. Konsultasi Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien.
14. nasihat
Kebersihan personal dan lingkungan
Etika batuk dan bersin
Tidak merokok
memakai masker
Mencuci tangan teratur
Menjaga jarak dan menghindari kerumunan
Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan
Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai
rekomendasi profesi.
PANDUAN UMUM PRAKTIK KLINIS
PENYAKIT PARU KERJA
BISINOSIS
Bisinosis yaitu kelainan saluran pernapasan yang ditandai dengan gejala
awal berupa rasa tertekan di dada dan sesak napas akibat inhalasi debu
kapas, hemp, atau flax sebagai bahan dasar tekstil. Bisinosis disebut juga
brown lung disease , cotton bract atau cotton lung disease
2. Anamnesis
Riwayat inhalasi debu kapas, hemp atau flax
Gejala klinis :
‐ Rasa berat/sempit di dada (Chest tightness), s esak napas terutama
saat hari pertama kembali masuk kerja, sesudah istirahat akhir pekan
(Monday Feeling, Monday Morning fever, atau Monday sickness)
‐ Batuk kering
‐ Mill Fever yaitu sindrom klinik ditandai dengan keluhan demam,
nyeri sendi dan keluhan lain yang menyerupai infeksi oleh
endotoksin gram negatif.
‐ Penurunan kapasitas ventilasi pada shift kerja pertama
‐ Weafer cough , ditandai seperti asma reaksi lambat, tetapi disertai
panas dan lemah.
‐ Bronkitis, ditandai oleh batuk persisten disertai sputum
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada fase awal mungkin tidak ditemukan kelainan. Pada
fase lanjut saat timbul gejala dapat ditemukan ekspirasi yang memanjang
atau mengi.
4. Kriteria diagnosa
Riwayat inhalasi debu kapas, hemp atau flax
ada gejala klinis yang khas untuk bisinosis.
berdasar gejala klinis menurut Schilling bisinosis dibagai sebagai
berikut :
‐ Derajat C0: Tidak ada keluhan dada terasa berat atau sesak napas
‐ Derajat C1/2: Terkadang timbul perasaan dada tertekan atau keluhan
akibat iritasi saluran pernapasan pada hari pertama kerja
‐ Derajat C1 : Keluhan timbul setiap hari pertama kerja
‐ Derajat C2 : Keluhan timbul pada hari pertama kembali kerja, dan
hari kerja lainnya
‐ Derajat C3 : Gejala pada derajat C2 disertai penurunan fungsi paru
yang menetap
ada penurunan fungsi paru sesudah pajanan
berdasar Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
pajanan debu kapas yang dapat menimbulkan penurunan VEP1 sesudah
perubahan waktu kerja sebesar 5% atau 200 ml merupakan dugaan
kuat terjadi bisinosis.
4. Kriteria diagnosa
Bisinosis dibagi menjadi 2 yaitu:
Bisinosis akut
Bisinosis akut yaitu keluhan akut gejala saluran napas yang tampak
pada orang yang terpajan debu kapas pertama kali, dapat disertai
penurunan fungsi paru.
Bisinosis kronik
Bisinosis kronik merupakan bentuk klasik bisinosis dan
ditandai dengan rasa berat di dada dan sesak napas yang
bertambah berat pada hari pertama masuk kerja dalam satu
minggu. Awitan gejala terjadi sesudah pajanan debu kapas selama
beberapa tahun, biasanya sesudah lebih dari sepuluh tahun dan
jarang terjadi pada pekerja dengan masa kerja kurang dari 10
tahun.
5. diagnosa Kerja
Bisinosis akut
Bisinosis kronik
6. diagnosa Banding
Asma Kerja
Bronkitis kronik
Pneumonitis Hipersensitif
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis paru bisinosis tidak menunjukkan kelainan yang
khas, ditemukan gambaran bronkitis dan atau emfisema bila disertai
kelainan atau penyakit lain.
Faal Paru (Spirometri)
Menurut Bouhuys, Gybson dan Schilling tahun 1970, efek akut akibat
pemaparan debu kapas berdasar nilai VEP1 sebelum dan sesudah
pekerja terpajan sebagai berikut :
Derajat F0 : Tidak ada penurunan VEP1 dan tanda obstruksi
kronik
Derajat F1/2 : Efek akut ringan, ada penurunan VEP1
sebesar 5-10%, tidak ada gangguan ventilasi
Derajat F1 : Efek akut sedang, penurunan VEP1 sebesar 10-
20%
Derajat F2 : Efek akut berat, penurunan VEP1 > 20%
8. PENGOBATAN
Bronkodilator bila terjadi bronkospasme
Penatalaksanaan lain seperti yang diberikan pada penyakit paru
obstruktif pada umumnya.
Memindahkan mereka yang terkena bisinosis dari pabrik tekstil
ini , atau setidaknya memindahkan dari bagian pabrik yang banyak
terkena paparan debu, kapas ke bagian lain yang bebas pajanan.
9. Komplikasi Bisinosis progresif dapat berakhir menjadi obstruksi saluran napas
menahun.
10. Penyakit Penyerta Bronkitis Kronik
11. Prognosis Baik
12. nasihat Berbagai usaha pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu :
Terhadap para pekerja
‐ Pemeriksaan kesehatan calon pekerja
‐ Pemeriksaan kesehatan berkala para pekerja yang meliputi
anamnesis tentang keluhan paru, pemeriksaan faal paru.
‐ Untuk mereka yang memiliki keluhan bisinosis, sebaiknya
dipindahkan ke bagian yang bebas debu
‐ Diperlukan perlindungan terhadap para pekerja yang mengalami
gangguan akibat kerjanya
Terhadap bahan kapas
‐ Steaming kapas untuk mengurangi efek biologik debu kabas
‐ Pencucian kapas sebelum proses pembuatan tekstil
‐ Mengganti serat kapas dengan serat sintetis
‐ Pemetikan kapas dilakukan sebelum bola kapas terbuka
Pengolahan ulang kapas dengan autoclave juga dianggap berperan
untuk mencegah penyakit ini
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
ASBESTOSIS
Penyakit pada parenkim paru yang timbul akibat inhalasi debu serat asbes
yang ditandai dengan fibrosis interstisial difus pada paru.
2. Anamnesis
Riwayat pajanan serat asbes (Riwayat pajanan meliputi lama, awitan,
tipe dan intensitas pajanan yang diterima)
Gejala tidak spesifik, gejala klinis awal asbestosis dapat berupa napas
pendek selama bekerja yang sering diikuti batuk kering.
Stadium lanjut timbul gejala batuk produktif, berat badan menurun,
infeksi saluran napas berulang.
3. Pemeriksaan Fisik
Ronki di bagian basal paru
Takipnea
Sianosis
Jari tabuh
4. Kriteria diagnosa
Riwayat pekerjaan / pajanan bahan/ zat yang mengandung serat asbes.
diagnosa asbestosis ditegakkan bila ada fibrosis parenkim paru
difus dengan atau tanpa penebalan pleura dan ada riwayat pajanan
serat asbes. Riwayat pajanan meliputi lama, awitan, tipe dan intensitas
pajanan yang diterima.
Gambaran radiologis dinilai dengan penderajatan menurut standar
ILO. Beberapa gambaran khas yaitu perselubungan halus ireguler,
tersebar di daerah posterior, basal paru dan subpleura. Plak pleura,
sangat spesifik untuk mengetahui riwayat pajanan serat asbes dan
dipakai sebagai petanda pajanan serat asbes.
diagnosa mikroskopis (sediaan patologi anatomi / sitologi / cairan
Bronchoalveolar Lavage ) asbestosis ditegakkan bila ada fibrosis
interstisial difus dan asbestos body. Asbestos body yaitu serat asbes
dengan selaput protein dan besi yang terbentuk sesudah serat asbes
terdeposit.
5. diagnosa Kerja Asbestosis
6. diagnosa Banding
Pneumokoniosis lain
Tuberkulosis
Penyakit paru interstisial yang lain
7. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
Uji Faal Paru (Spirometri)
Sputum BTA
Kapasitas difusi (DLCO)
High Resolution CT Scan (HRCT) Toraks
Bronkoskopi (dengan Bronchoalveolar lavage /BAL & Biopsi) bila
diperlukan
Analisis cairan BAL (sel dan mineral)
Biopsi (TBLB & Biopsi terbuka) bila diperlukan
Uji jalan 6 menit
Cardio pulmonary exercise test (CPET)
8. PENGOBATAN
Tidak merokok
Bersifat simtomatis
Sesuai dengan jenis komplikasi yang ditemukan
9. Komplikasi Gagal napas kronik
Kor pulmonale
Infeksi berulang
Pneumotoraks
Terjadi kecacatan paru
Komplikasi lain, tergantung tindakan yang dilakukan
10. Penyakit Penyerta Kanker paru
Mesotelioma
Efusi pleura
11. Prognosis Dubia ad Malam
12. nasihat Memakai alat pelindung diri, menghindari pajanan, cek kesehatan berkala
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
serta asuhan paliatif untuk penyakit penyerta.
SILIKOSIS
Silikosis merupakan penyakit fibrosis pada parenkim paru akibat inhalasi
silikon dioksida atau silika. Silikosis dapat timbul akibat inhalasi debu
yang mengandung kristal silika yang tersebar secara luas di permukaan
bumi.
2. Anamnesis
Silikosis Akut
Riwayat pajanan singkat terhadap silika konsentrasi tinggi.
Sesak napas progresif, demam, batuk, penurunan berat badan sesudah
pajanan.
Silikosis terakselerasi
Riwayat pajanan silika selama 5-10 tahun. Progresivitas penyakit
tetap berlangsung meskipun pekerja telah dihindarkan dari pajanan.
Gejala mirip dengan silikosis kronik yaitu batuk, berdahak serta sesak
napas. Sesak napas awalnya terlihat pada waktu kerja kemudian pada
saat beristirahat. Sesak napas makin lama makin memberat. Gejala
terjadi lebih cepat dan perburukan progresif
Silikosis kronik
Riwayat pajanan terhadap debu silika dengan konsentrasi rendah
selama 15 tahun atau lebih. Gejala berupa batuk, berdahak serta sesak
napas. Sesak napas awalnya terlihat pada waktu kerja kemudian pada
saat beristirahat. Sesak napas makin lama makin memberat.
3. Pemeriksaan Fisik
Berkurangnya elastisitas paru selama pernapasan dengan gangguan
ekspansi dada yang biasanya ringan pada awal sakit.
Suara napas yang kasar, kadang disertai ekspirasi memanjang
Ronki (mungkin ada)
Daerah yang redup pada perkusi dan tanda-tanda emfisema pada
penyakit lanjut
4. Kriteria diagnosa
Riwayat pekerjaan/pajanan bahan/zat yang mengandung silika seperti
pertambangan, penggalian granit, pasir, batu tulis, tukang batu,
pabrik keramik, penuangan logam, semen dan proyek bangunan dll.
Awitan atau lama pajanan bervariasi seperti pada silikosis kronik
selama 15 tahun atau lebih, silikosis terakselerasi 5-10 tahun dan
silikosis akut dalam waktu singkat yaitu dalam beberapa minggu
sampai 5 tahun.
Gejala utama sesak napas awalnya terlihat pada waktu kerja kemudian
pada saat beristirahat. Sesak napas makin lama makin memberat.
Periode terakhir pasien silikosis yaitu kegagalan kardiorespirasi.
Pada silikosis akut, terjadi sesak napas progresif, demam, batuk,
penurunan berat badan sesudah pajanan dalam waktu singkat.
Gambaran radiologis dinilai dengan penderajatan menurut standar
ILO. Gambaran radiologis silikosis tanpa komplikasi yaitu
perselubungan lingkar yang halus di lapangan paru biasanya jenis “r”
lebih sering. Ukuran bayangan bulat kurang dari 10 mm.
Perselubungan biasanya simetris dan pada permulaan cenderung di
lapangan atas, kadang-kadang terjadi kalsifikasi seperti mikrolitiasis.
Beberapa gambaran khas lanjut yaitu nodul silikosis pada parenkim
dan kelenjar getah bening dan akhirnya terjadi fibrosis masif progresif
(FMP) ditandai penggabungan perselubungan halus menjadi lesi lebih
besar menjadi lesi kategori A sampai C menurut penderajatan ILO.
Kalsifikasi kelenjar getah bening hilus terjadi pada sekeliling kelenjar
(egg shell calcification ) sangat khas pada silikosis.
diagnosa mikroskopis (sediaan patologi anatomi / sitologi / cairan
Bronchoalveolar Lavage ) silikosis ditegakkan bila ada fibrosis
interstisial difus dan ada nodul silicotic.
5. diagnosa Kerja
Silikosis Akut
Silikosis Terakselerasi
Silikosis Kronik
6. diagnosa Banding
Pneumokoniosis lain
Tuberkulosis
Penyakit paru interstisial yang lain
7. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
Uji Faal Paru (Spirometri)
Sputum BTA
Kapasitas difusi (DLCO)
High Resolution CT Scan (HRCT) Toraks
Bronkoskopi (dengan Bronchoalveolar lavage /BAL & Biopsi) bila
diperlukan
Analisis cairan BAL (sel dan mineral)
Biopsi (TBLB & Biopsi terbuka) bila diperlukan
Uji jalan 6 menit
Cardio pulmonary exercise test (CPET)
8. PENGOBATAN
Tidak merokok
Bersifat simtomatis
Sesuai dengan jenis komplikasi yang ditemukan
9. Komplikasi Gagal napas kronik
Kor pulmonal
Infeksi berulang
Komplikasi sistem imun
Komplikasi ginjal
Kanker
Pneumotoraks
Kecacatan paru
Komplikasi lain tergantung tindakan yang dilakukan
10. Penyakit Penyerta TB
Gagal napas kronik
Gagal napas akut
Penyakit autoimun seperti rheumoatoid arthritis, systemic lupus
eritromatosus dll.
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat Hindari pajanan, memakai alat pelindung diri, cek kesehatan berkala
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
serta asuhan paliatif untuk penyakit penyerta.
PNEUMOKONIOSIS BATU BARA
Pneumokoniosis batu bara merupakan penyakit parenkim paru akibat
kerja yang dipicu inhalasi debu batubara lama pajanan rata - rata 20
tahun baru akan menimbulkan pneumokoniosis batubara atau dapat
berkembang menjadi fibrosis masif progresif yang diikuti penurunan
fungsi paru berat.
2. Anamnesis
Hampir tidak ada gejala. Dapat ditemukan keluhan sesak napas, batuk
dan produksi sputum seperti gangguan napas lainnya. Dapat ditemukan
sputum mukoid, mukopurulen atau berwarna hitam seperti bercampur
dengan tinta hitam (melanoptisis) tidak spesifik dapat terjadi takipneu,
ronki, mengi ( wheezing). Pemeriksaan spirometri dapat ditemukan
kelainan restriksi dan obstruksi.
3. Pemeriksaan Fisik
Tidak spesifik; dapat terjadi takipneu, ronki, mengi (wheezing).
Pemeriksaan spirometri dapat ditemukan kelainan restriksi dan obstruksi.
4. Kriteria diagnosa Riwayat pekerjaan / pajanan bahan / zat yang mengandung debu
batubara seperti pertambangan, pabrik pengolahan batubara, dll.
Pneumokoniosis batubara simpel (simple coal worker
pneumoconiosis) yaitu penyakit yang timbul akbat inhalasi debu
batubara saja. Dan hampir tidak ada gejala. Dapat ditemukan keluhan
sesak napas, batuk dan produksi sputum seperti gangguan napas
lainnya. diagnosa hanya berdasar gambaran radiologis lesi di
paru pada pekerja yang terpajan debu batubara.
Pneumokoniosis batubara terkomplikasi (complicated coal worker
pneumoconiosis) / Fibrosis masif progresif (FMP) yaitu penyakit
yang timbul akbat inhalasi debu batubara dengan disertasi keluhan
batuk, sesak napas, mengi (wheezing) dan gangguan fungsi paru
(obstruksi dan restriksi). Timbul fibrosis yang luas dan hampir selalu
di lobus atas. FMP yaitu lesi dengan diameter > 3 cm dan sering
terjadi pada lobus atas.
Gambaran radiologis dinilai dengan penderajatan menurut ILO.
Beberapa gambaran khas pada CWP Simple yaitu perselubungan
halus pada bentuk p dan q.
Pada bentuk complicated ditandai dengan fibrosis luas dengan
gambaran radiologis lesi dengan diameter > 1cm terutama di Lobus
atas dan mempunyai batas jelas dengan paru yang sehat, dapat terjadi
kavitas, kalsifikasi, kemudian lesi mengkerut sehingga lesi bula
terlihat disekitar. Lesi bisa berbentuk bulat dan multipel, lesi yang
besar harus dibedakan dengan kanker dan penyakit granuloma.
5. diagnosa Kerja Pneumokoniosis batubara
6. diagnosa Banding
Tuberkulosis
Pneumokoniosis lain
Interstitial Lung Diseases
7. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
Uji faal paru (spirometri)
Sputum BTA
Kapasitas difusi (DLCO)
Bronkoskopi (biopsi & BAL) bila diperlukan
Biopsi (TBLB atau Biopsi terbuka)
CT Scan Toraks resolusi tinggi (HRCT)
Analisis cairan BAL (sel dan mineral)
Uji jalan 6 menit
Cardio pulmonary exercise test (CPET)
8. PENGOBATAN
Tidak merokok
Bersifat simtomatis
Sesuai dengan jenis komplikasi yang ditemukan
9. Komplikasi Gagal napas kronik
Kor pulmonale
Terjadi kecacatan paru
Tergantung tindakan yang dilakukan
10. Penyakit Penyerta Dapat bervariasi tergantung komorbid
11. Prognosis Tergantung dari stadium bila masih simpel disarankan untuk
dipindahkan tempat kerjanya agar tidak menjadi lebih progresif
Bila sudah progresif menghindari pajanan tidak akan menghentikan
proses pneumoconiosis
12. nasihat Pengunaan alat pelindung diri, pemantauan medis secara berkala pada
pekerja batu bara, berhenti merokok
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
serta asuhan paliatif untuk penyakit penyerta.
ASMA KERJA
Asma kerja yaitu penyakit yang ditandai dengan inflamasi jalan napas,
keterbatasan aliran undara bervariasi dan hiperresponsif jalan napas yang
terjadi akibat keadaan dalam lingkungan kerja tertentu dan tidak terjadi
pada rangsangan di luar tempat kerja
2. Anamnesis
Riwayat pajanan bahan/zat yang terinhalasi di tempat kerja.
ada awitan atau periode antara pajanan sampai timbul gejala
klinis.
Gejala klinis asma yang bermula atau mengalami perburukan pada
tempat kerja. Gejala mulai dengan batuk, diikuti oleh mengi
(wheezing), dada terasa berat dan susah bernapas. Gejala klinis
mengalami perbaikan saat penderita menjauh dari lokasi kerja (akhir
pekan atau liburan) dan memburuk pada saat bekerja dan terpajan
bahan secara kontinu atau intermiten.
Karakteristik gejala asma kerja yaitu sebagai berikut.
‐ Timbul di tempat kerja, hilang sesudah selesai bekerja.
‐ Timbul sesudah pulang, hilang besok pagi.
‐ Timbul pada awal hari kerja, selanjutnya lebih berat.
‐ Makin lama bekerja, makin berat.
‐ Saat libur liburan, keluhan menghilang.
‐ Timbul di tempat kerja baru.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita asma umumnya normal, kecuali dalam
keadaan serangan. Perlu diperhatikan apakah ada jejas akibat bahan
iritan, luka bakar atau dermatitis karena bahan /zat di tempat kerja.
4. Kriteria diagnosa
berdasar ada tidaknya awitan atau masa laten, asma kerja dibagi
menjadi asma kerja imunologis dan nonimunologis
Asma kerja imunologis
Asma kerja jenis ini terjadi sesudah periode laten dari suatu pajanan
yang diperlukan untuk terjadinya sensitisasi imunologik didapat.
Asma kerja non imunologis
Asma kerja jenis ini ditandai oleh berkembangnya asma dalam
beberapa jam sesudah inhalasi iritan konsentrasi tinggi di tempat kerja
tanpa melalui periode laten dan dikenal sebagai irritant-induced
asthma. Contoh tipe ini yaitu reactive airways dysfunction
syndrome (RADS).
Kriteria diagnosa asma kerja imunologis
berdasar American College of Chest Physicians (ACCP) kriteria
asma kerja imunologis sebagai berikut :
diagnosa asma oleh dokter atau ada bukti secara faal paru terjadi
hipereaktivitas bronkus
Pajanan di tempat kerja mendahului awitan gejala asma
Ada hubungan antara gejala dengan pekerjaan
Ada pajanan dan atau alat bukti secara faal paru , hubungan antara
asma dengan lingkungan kerja (diagnosa memerlukan 1 atau lebih
D2-D5, umumnya hanya memerlukan D1)
Pajanan di tempat kerja terhadap bahan yang dilaporkan dapat
meningkatkan asma kerja.
Perubahan VEP1 dan atau APE yang berhubungan dengan pekerjaan
Perubahan hipereaktivitas bronkus nonspesifik secara serial yang
berhubungan dengan kerja
Uji provokasi bronkus spesifik positif
Awitan asma kerja secara jelas berhubungan dengan gejala akibat
pajanan bahan iritan di tempat kerja.
Kriteria asma kerja nonimunologis (irritant-induced asthma)
Kriteria diagnosa irritant induced asthma yang dimodifikasi Brook dkk
sebagai berikut.
Timbul gejala dalam 24 jam pajanan di lingkungan kerja terhadap
konsentrasi iritan inhalasi yang tinggi pada satu atau lebih kejadian.
Gejala batuk, mengi, dan sesak napas menetap terjadi selama
sedikitnya 3 bulan.
ada perubahan arus puncak ekspirasi, nilai VEP1 atau respons
metakolin (atau keduanya), yang dikaitkan dengan pajanan
lingkungan kerja.
Tidak ada hubungan dengan penyakit paru yang lain.
5. diagnosa Kerja Asma Kerja
6. diagnosa Banding
Asma yang diperberat di tempat kerja ( Work aggravated asthma )
Pneumonitis hipersensitif
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator untuk melihat adanya hambatan jalan napas dan
respons bronkodilator untuk mendiagnosa asma akibat kerja.
Menurut American Thoracic Society (ATS), bila terjadi penurunan
Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) >10 % atau
peningkatanVEP1 >12 % sesudah pemberian bronkodilator berarti
ada asma yang berhubungan dengan pekerjaan.
Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) serial
Pengukuran APE serial minimal 4 kali sehari selama 4 minggu (2
minggu di tempat kerja dan 2 minggu di luar tempat kerja). Hasil
positif pengukuran APE serial terjadi penurunan APE pada saat
bekerja. diagnosa asma kerja dapat ditegakkan bila ada 20 %
atau lebih variasi APE.
Uji provokasi bronkus
a. Non spesifik, memakai bahan histamin atau metakolin.
b. Uji provokasi bronkus spesifik dengan alergen spesifik
merupakan baku emas untuk diagnosa asma akibat kerja, tetapi
karena banyak menimbulkan serangan asma serta harus
dilaksanakan di rumah sakit, pusat dengan tenaga yang terlatih,
maka tes ini jarang dilakukan. Sebelum tes dilakukan, harus
diketahui bahan yang dicurigai sebagai alergen di tempat kerja
dan kadar pajanan serta dalam bentuk apa bahan ini berada
di lingkungan kerja.
Uji imunologis
Untuk melihat antibodi IgE serum terhadap beberapa aeroalergen
yang banyak dijumpai. Uji serologis dan SPT (skin prick test) sangat
sensitif untuk mendeteksi IgE spesifik dan asma kerja yang
disebabkan bahan dengan BMT tetapi tidak spesifik untuk
mendiagnosa asma kerja
8. PENGOBATAN
Pengobatan yang diberikan pada dasarnya sama dengan penyakit asma,
dan umumnya meliputi :
Anti inflamasi
Bronkodilator
Tindakan lain yang diperlukan sesuai keadaan penderita.
Upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier
Penatalaksaan asma kerja yang diinduksi sensitizer yaitu
memindahkan pekerja agar tidak terpajan lagi dengan sensitizer ,
karena pajanan kadar rendah dapat mencetuskan serangan asma dari
ringan sampai mengancam jiwa.
Penatalaksanaan asma kerja yang diinduksi iritan yaitu
menghilangkan pajanan derajat tinggi atau memakai alat
perlindungan diri.
9. Komplikasi Gagal napas akut
10. Penyakit Penyerta Infeksi saluran pernapasan
11. Prognosis Bonam (Baik)
12. nasihat Melakukan upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier :
Pencegahan primer dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan
sebelum bekerja untuk menyaring pekerja yang memiliki risiko
tinggi seperti atopi dan perokok, pengaturan jam kerja, kontrol
bahan penyebab, pemakaian APD, ventilasi yang baik di tempat
kerja, dll.
Pencegahan sekunder seperti dengan cara deteksi dini penyakit ini
dan menghindari pajanan secara dini, pemakaian APD.
Pencegahan tersier bertujuan mencegah kerusakan permanen
dengan cara pemberian pengobatan yang optimal dan
menghindarkan pajanan lebih lanjut. Harus diingat bahwa bila
diagnosa asma kerja telah ditegakkan, maka kepada pekerja itu
harus dilakukan evaluasi kesehatan paru dan pernapasan secara
berkala dan teliti.
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain.
PNEUMONITIS HIPERSENSITIF
Pneumonitis hipesensitif atau alveolitis alergik ekstrinsik merupakan
bagian dari kelompok Interstitial Lung Disease (ILD) yang sebagian
besar diketahui penyebabnya yaitu akibat pajanan partikel organik,
inorganik atau berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular.
2. Anamnesis
Riwayat pajanan antigen dengan lengkap merupakan langkah utama
diagnosa pneumonitis hipersensitif. Secara klasik manifestasi klinis
terdiri atas bentuk akut, subakut, dan kronis.
Akut
Terjadi 2-9 jam atau 4-12 jam sesudah pajanan antigen berulang
atau intermiten dan banyak yang menghilang tanpa pengobatan
dalam 12-72 jam tetapi kadang lebih lama bila pajanan hebat.
Gejala bentuk akut berupa demam, batuk, sesak napas, dada terasa
berat, nyeri otot, nyeri sendi yang bersifat sementara.
Subakut
Terjadi akibat pajanan antigen yang rendah tetapi terus menerus.
Awitan penyakit ini biasanya tidak jelas dan hanya sedikit gejala
yang terlihat saat itu sampai beberapa minggu atau bulan sesudah
awitan sehingga sering terlambat mendapat pengobatan. Gejala
subakut biasanya ditandai oleh peningkatan progresif gejala sesak
napas, batuk kering atau batuk dengan sputum mukoid, penurunan
berat badan tetapi episode berulang gejala akut tidak jelas.
Kronik
Ditandai oleh kerusakan parenkim paru yang ireversibel akibat
terjadinya fibrosis intersisial luas yang dapat memicu gagal
jantung kanan. Gejala bentuk kronik yaitu sesak napas, batuk
kronik yang sering disertai batuk produktif.
3. Pemeriksaan Fisik
Akut
Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, takipnea, takikardi dan
ronki basah kasar sedang pemeriksaan darah tepi menunjukkan
leukositosis, neutrofilia, limfopeni dan dari BAL didapatkan
neutrofilia.
Subakut dan Kronik
Ditemukan suara ronki basah kasar, jari tabuh dan tahap lanjut
ada tanda kor pulmonale.
4. Kriteria diagnosa
diagnosa untuk kemungkinan pneumonitis hipersensitif yaitu
ada nya 4 kriteria mayor ditambah sekurang-kurangnya 2 kriteria
minor dan tidak ada penyakit lain dengan gambaran yang hampir sama.
KRITERIA MAYOR
Riwayat gejala klinis yang timbul atau memburuk dalam beberapa
jam sesudah pajanan antigen
Konfirmasi pajanan antigen berdasar anamnesis, penilaian
lingkungan, uji presipitin serum dan atau antibodi dari BAL.
Ditemukan kelainan foto toraks atau HRCT
Limfositosis dari BAL
Gambaran histologik hasil biopsi sesuai dengan pneumonitis
hipersensitif
Uji provokasi alami dengan antigen yang dicurigai positif
(menimbulkan gejala klinis dan kelainan laboratorium sesudah
pajanan di lingkungan yang dicurigai)
KRITERIA MINOR
Ronki basah kasar di basal paru
Penurunan kapasitas difusi
Hipoksemia saat istirahat atau latihan
5. diagnosa Kerja
Pneumonitis hipersensitif
6. diagnosa Banding
Bentuk akut :
Pneumonia akibat infeksi virus atau bakteri atipikal
Asma bronkial
Organic dust toxic syndrome (ODTS)
Demam inhalasi (Inhalation fever )
Bentuk subakut atau kronik
Tuberkulosis
Sarkoidosis
Penyakit paru interstisial lainnya
7. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
High resolution CT (HRCT)
Spirometri (faal paru)
Kapasitas difusi (DLCO)
Bronkoskopi, Bronchoalveolar lavage (BAL)
Pengukuran antibodi Ig G, Ig M atau Ig A serum
Uji inhalasi antigen spesifik di laboratorium
Biopsi paru (jika diperlukan).
8. PENGOBATAN
Penurunan fungsi paru yang cepat akibat pajanan antigen yang terus
menerus sering ditemukan pada pneumonitis hipersensitif.
Fokus PENGOBATAN :
diagnosa sedini mungkin
Penghindaran antigen.
Penghindaran antigen juga sebagai upaya pencegahan terhadap
pajanan atau kelainan paru yang menetap akibat fibrosis progresif.
Penghindaran antigen dapat dilakukan dengan memperbaiki
pengolahan bahan baku yang memudahkan bakteri tumbuh,
disinfektan daerah terkontaminasi, pemakaian filter atau masker
debu dan perbaikan sistem ventilasi.
Kortikosteroid pada kasus akut, berat dan progresif. Biasanya
diberikan prednison atau prednisolon dengan dosis 40-60 mg/hari
selama 2 minggu lalu dosis diturunkan selama 2-4 minggu.
9. Komplikasi Gagal napas
Gagal jantung kanan
Kor pulmonale
10. Penyakit Penyerta Pneumonia
11. Prognosis Prognosis pneumonitis hipersensitif tergantung pada beberapa faktor
yaitu lama pajanan antigen, dosis antigen, respons imun pejamu dan
bentuk manifestasi klinis.
Bentuk akut
Bentuk akut nonprogresif memiliki prognosis yang baik.
Bentuk kronik
Bentuk kronik yang ditandai dengan fibrosis parenkim paru dan
gangguan fungsi paru memicu prognosis menjadi buruk.
12. nasihat Menghindari antigen penyebab
pemakaian alat pelindung diri (APD) saat bekerja
13. Indikasi Pulang Bila stabil, tidak sesak napas
PANDUAN UMUM PRAKTIK KLINIS
ONKOLOGI TORAKS
KANKER PARU KARSINOMA
BUKAN SEL KECIL (NSCLC)
Kanker yang berasal dari jaringan paru dengan jenis histologi Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil
2. Anamnesis
Keluhan respirasi dapat berupa: batuk kronik, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, suara serak.
Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastic
Keluhan akibat metastasis/penyebaran tumor seperti nyeri
kanker/nyeri tulang, bengkak/sindrom vena kava superior, nyeri
kepala, lumpuh
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi : dapat ditemukan asimetrisitas toraks, venektasi, tanda
bendungan;
‐ Palpasi : fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi : dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang.
Pemeriksaan status generalis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan
tempat metastasis
4. Kriteria diagnosa
diagnosa pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi, baik berupa
sitologi maupun patologi
Staging berdasar pemeriksaan fisis, gambaran radiologi dan atau
bronkoskopi
5. diagnosa Kerja Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
6. diagnosa Banding
Kanker paru jenis karsinoma sel kecil
Tumor mediastinum
Metastasis tumor di paru
7. Pemeriksaan Penunjang
Pengambilan sampel
‐ Biopsi kelenjar
‐ Biopsi jarum halus
‐ Sitologi cairan pleura
‐ TTNA USG guided
‐ Biopsi pleura
‐ Core biopsy
‐ Bronkoskopi (bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi
intrabronkus [forceps biopsy], cryobiopsy, transbronchial needle
aspiration biopsy, transbronchial lung biopsy)
‐ Pleuroskopi
‐ Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
‐ Torakotomi eksplorastif
Pemeriksaan Patologi
‐ ROSE ( Rapid On Site Cyto/Histological Evaluation)
‐ Pulasan HE/ Giemsa
‐ Pulasan khusus
‐ Imunohistokimia bila diperlukan (PDL1, ALK, TTF1, CEA, CK,
dll)
Pemeriksaan molekuler: EGFR, ROS1, KRAS, linnya
Pencitraan
‐ Foto toraks
‐ CT scan toraks dengan kontras hingga suprarenal
‐ CT scan kepala dengan kontras
‐ MRI kepala
‐ Bone scan
‐ Bone survey
‐ PET scan bila fasilitas tersedia
Pemasangan chemoport
Pemeriksaan lainnya bila diperlukan.
8. PENGOBATAN
MULTIMODALITAS
Kemoterapi
Radioterapi
Pembedahan
Terapi target (targeted therapy)
Imunoterapi (immune check point inhibitor)
Terapi penyakit penyerta
Berhenti merokok
Terapi paliatif lain: fisioterapi, managemen nyeri, gizi, best
supportive care
9. Komplikasi Akibat tumor dapat terjadi
Batuk darah masif
Emboli paru
Obstruksi saluran napas
Needle tract pada pemasangan IPC/WSD
Selulitis/ ekstravasasi akibat terapi sistemik
Nyeri kanker
Gangguan darah akibat terapi sistemik
10. Penyakit Penyerta Akibat metastasis seperti
‐ Metastatis tulang (lumpuh, nyeri kanker)
‐ Metastasis kepala (nyeri kepala, gangguan neuropsikiatri)
‐ Efusi pleura
‐ Efusi perikard
‐ Sindrom vena kava superior;
‐ DVT
Sindrom paraneoplastik
Penyakit yang memperberat
‐ Gangguan nutrisi
‐ Gangguan mental / psikologi
‐ PPOK
‐ Penyakit kardiovaskular
‐ DM
‐ Penyakit infeksi
‐ Penyakit sistemik lainnya
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat nasihat tentang tindakan / prosedur diagnostik yang dilakukan: mulai
yang sederhana hingga invasif / pembedahan
nasihat indikasi terapi dan komplikasinya
nasihat pilihan modalitas terapi
nasihat hasil terapi dan rencana selanjutnya
Tindakan lain misal kemoterapi /radioterapi / bedah: berupa
prosedurnya dan efek samping secara umum
Prognosis penyakit
Asuhan paliatif
End of life care
13. Indikasi Pulang Sesuai dengan kondisi klinis dan asuhan paliatif.
KANKER PARU KARSINOMA SEL KECIL
Kanker yang berasal dari jaringan paru dengan jenis histologi Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil
2. Anamnesis
Keluhan respirasi dapat berupa: batuk kronik, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, suara serak.
Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik
Keluhan akibat metastasis/ penyebaran tumor seperti nyeri kanker /
nyeri tulang, bengkak/ sindrom vena kava superior, nyeri kepala,
lumpuh.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi : dapat ditemukan asimetrisitas toraks, venektasi, tanda
bendungan
‐ Palpasi : fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi : dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang.
Pemeriksaan status generalis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan
tempat metastasis
4. Kriteria diagnosa
diagnosa pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi, baik berupa
sitologi maupun patologi
Staging berdasar pemeriksaan gambaran radiologi dan atau
bronkoskopi
5. diagnosa Kerja Kanker paru jenis karsinoma sel kecil
6. diagnosa Banding
Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
Tumor mediastinum
Metastasis tumor di paru
7. Pemeriksaan Penunjang
Pengambilan sampel
‐ Biopsi kelenjar
‐ Biopsi jarum halus
‐ Sitologi cairan pleura
‐ TTNA USG guided
‐ TTNA CT guided
‐ Biopsi pleura
‐ Core biopsy
‐ Bronkoskopi (bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsy
intrabronkus [forceps biopsy], cryobiopsy, transbronchial needle
aspiration biopsy, transbronchial lung biopsy)
‐ Pleuroskopi
‐ Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
‐ Torakotomi eksploratif
Pemeriksaan Patologi
‐ ROSE ( Rapid On Site Cyto/Histological Evaluation)
‐ Pulasan HE / Giemsa
‐ Pulasan khusus
‐ Imunohistokimia bila diperlukan
Pemeriksaan molekuler bila diperlukan
Pencitraan
‐ Foto toraks
‐ CT scan toraks dengan kontras hingga suprarenal
‐ CT scan kepala dengan kontras
‐ MRI kepala
‐ Bone scan
‐ Bone survey
‐ PET scan bila fasilitas tersedia.
Pemasangan chemoport
Pemeriksaan lainnya bila diperlukan
8. PENGOBATAN
MULTIMODALITAS
Kemoterapi
Radioterapi
Prophylactic Intra Cranial Irradiation
Pembedahan
Terapi target (targeted therapy)
Imunoterapi (immune check point inhibitor)
Terapi penyakit penyerta
Berhenti merokok
Terapi paliatif lain: fisioterapi, managemen nyeri, gizi, best
supportive care
9. Komplikasi Akibat tumor dapat terjadi
Batuk darah masif
Emboli paru
Obstruksi saluran napas
Needle tract pada pemasangan IPC / WSD
Selulitis / ekstravasasi akibat terapi sistemik
Nyeri kanker
Gangguan darah akibat terapi sistemik
10. Penyakit Penyerta Akibat metastasis seperti
‐ Metastatis tulang (lumpuh, nyeri kanker)
‐ Metastasis kepala (nyeri kepala, gangguan neuropsikiatri)
‐ Efusi pleura masif
‐ Efusi perikard
‐ Sindrom vena kava superior
‐ DVT
Sindrom paraneoplastik
Penyakit yang memperberat
‐ Gangguan nutrisi
‐ Gangguan mental / psikologi
‐ PPOK
‐ Penyakit kardiovaskular
‐ DM
‐ Penyakit infeksi
‐ Penyakit sistemik lainnya
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat nasihat tentang tindakan / prosedur diagnostik yang dilakukan: mulai
yang sederhana hingga invasif / pembedahan
nasihat indikasi terapi dan komplikasinya
nasihat pilihan modalitas terapi
nasihat hasil terapi dan rencana selanjutnya
Tindakan lain misal kemoterapi / radioterapi / bedah: berupa
prosedurnya dan efek samping secara umum
Prognosis penyakit
Asuhan paliatif
End of life care
13. Indikasi Pulang Sesuai dengan kondisi klinis dan asuhan paliatif.
TUMOR MEDIASTINUM
Kanker yang berada di rongga mediastinum, kanker mediastinum dan
neoplasma maligna pimer mediastinum.
2. Anamnesis
Keluhan respirasi dapat berupa : batuk kronik, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, suara serak.
Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik
Keluhan akibat metastasis / penyebaran tumor seperti nyeri kanker/
nyeri tulang, bengkak / sindrom vena kava superior, nyeri kepala,
lumpuh.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi : dapat ditemukan asimetrisitas toraks, venektasi, tanda
bendungan
‐ Palpasi : fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi : dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang.