berasx.blogspot.com
....
kacangx.blogspot.com
.....
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 4. Tampilkan semua postingan
Rabu, 21 Juni 2023
penyakit hewan mamalia 4
Juni 21, 2023
penyakit hewan mamalia 4
edematicus, ditemukan pertama kali oleh Novy pada tahun 1894, yang diisolasi
dari hewan percobaan marmut yang sebelumnya diinokulasi dengan susu yang
tidak steril. Weinberg dan Seguin pada tahun 1915 mengisolasi bakteri ini dari
manusia penderita gas gangrene.
Penyakit yang dapat ditimbulkan oleh Cl.novyi antara lain yaitu
1. Swelled head atau Big head disease dipicu oleh CI.novyi tipe A pada
domba jantan.
2. Black disease dipicu Cl.novyi tipe B pada sapi dan domba.
3. Osteomyelitis dipicu Cl.novyi tipe C pada kerbau.
4. Sudden death syndrome pada babi.
5. Bacillary haemoglobineuria dipicu CI.novyi tipe D pada sapi dan kuda.
Semua penyakit tersebut di atas biasanya semua penderita akan berakhir dengan
kematian.
etiologi
CI.novyi yaitu salah satu bakteri anaerob yang besar, berukuran 0.8-
1.0x10 mikron, berbentuk batang lurus dengan ujung tumpul, membentuk spora
oval dan terletak subterminal, tidak berkapsul, bakteri berasal dari biakan muda
bersifat Gram positif dan motil.
CI.novyi tumbuh baik pada media yang mengandung glukosa dan dalam suasana
absolut anaerob. Bentuk koloni bervariasi, bisa kompak atau tidak. Pada agar
darah CI.novyi tipe A, B dan D membentuk zone hemolyse.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Menurut urutan ternak yang dapat terinfeksi yaitu domba, sapi,
kerbau, babi, dan kuda.
2. Pengaruh Lingkungan
Spora dari Cl.novyi seperti spora Clostridium pada umumnya di
dalam tanah dapat bertahan bertahun-tahun lamanya dan tahan terhadap
pengaruh temperatur yang sangat tinggi. Spora Clostridium yaitu
sumber penularan dari penyakit. Spora dari Cl.novyi toksigenik dapat
ditemukan dalam hati hewan yang sehat.
Infeksi primer ada pada usus dan ditularkan melalui rute fekal-
oral. Spora Cl.novyi keluar dari usus dan masuk ke hati, tetap aktif sampai
terjadi kerusakan dan tercipta kondisi anaerob bagi bakteri tersebut.
Pada kulit, Cl.novyi memicu nekrosis lokal dan kerusakan
luas pada sistem mikrovaskuler yang memicu perdarahan subkutan
dan menghitamkan kulit sehingga pada umumnya diberi nama “penyakit
hitam.”
3. Sifat Penyakit
Infeksi Cl.novyi biasanya timbul secara sporadis pada sapi atau
anak sapi yang sebelumnya terinfestasi oleh cacing hati.
4. Cara Penularan
Penularan terjadi melalui fekal-oral.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penyakit biasanya dipicu karena adanya
penurunan kondisi tubuh ternak seperti adanya infestasi cacing.
6. Distribusi Penyakit
Pada tahun 1977 dilaporkan adanya kejadian osteomyelitis pada
kerbau di Jambi.
keterangan :
Black disease dan Big head memicu kematian cepat pada hewan
sedangkan Osteomyelitis dan Haemoglobinuria kematiannya lebih lambat.
1. Gejala Klinis
Black disease pada domba terjadi perakut, sering ditemukan domba
dalam keadaan sudah mati tanpa gejala klinis. Hewan yang sakit terlihat
dungu dan mati dengan tenang dalam 1-2 jam sesudah tanda pertama tampak.
Sapi mungkin bertahan 1-2 hari sebelum akhirnya mati dengan tenang.
Haemoglubinuria gejalanya bervariasi dan mati mendadak dengan
proses perakut sampai kasus yang subklinis pada pembawa penyakit ”carrier”.
Gejala spesifi k tanda khas yaitu demam tinggi dengan rasa sakit pada
abdomen, pucat atau selaput lendir mengalami kekuningan/ikterik, feses
berwarna merah darah sampai warna empedu dan terjadi hemoglubinuria.
Kasus- kasus demikian diikuti dengan kematian.
2. Patologi
Pembuluh darah subkutan menjadi gelap dan ada oedema
subkutan yang meluas, gejala ini dikenal dengan nama Black disease. Gejala
spesifi k yaitu terjadinya effusi pada pericardial, pleura meluas dan berwarna
merah darah. ada sarang nekrosa pucat pada hati, berdiameter 1-5 cm,
biasanya ditemukan pada diafragma. Pada domba, jejak larva cacing hati
tampak jelas, tetapi tidak terjadi pada sapi.
Gambar 1. Rongga abdomen babi betina bangsa Iberianyang bunting tua
yang dinekropsi. A: Lambung penuh dan ada gelembung
udara pada hati, B: Hati terinfi ltrasi dengan gelembung udara
merata, pada potongan permukaan memberi gambaran seperti
spon, kemungkinan hal ini yaitu ciri khas kematian
mendadak akibat Cl.novyi.
(Sumber : http://www.aasv.org/shap/issues/v17n5/v17n5p264.html)
Lesi tingkat awal terjadi pada organ hati. Lesi ini berbentuk sarang
nekrosa dengan diameter 5-15 cm, usus halus berwarna merah sekali dan
akhirnya ada ptechie pada endocardium, ginjal, dan kantong kemih
berisi penuh dengan cairan berwarna merah. Perlekatan antara pleura dan
pericardium sering terjadi.
3. Diagnosa
Diagnosa pada Black disease dapat dilakukan berdasar gejala
klinis, sedangkan pada hemaglobinuria dilakukan pemeriksaan laboratorium
untuk mengisolasi penyakit, diperlukan spesimen segar (jangan lebih dari
12 jam sesudah hewan mati). Preparat ulas dari organ dapat dilakukan
untuk dapat mengisolasi dan mengidentifi kasi pemicu penyakit sehingga
diagnosa dapat diperoleh.
4. Diagnosa Banding
Diagnosa banding penyakit ini yaitu kerusakan hati oleh faktor
lain seperti keracunan kemikalia yang memicu kerusakan hati. Deteksi
racun yang dihasilkan oleh clostridium dapat dideteksi dengan mouse
eprotection test atau dengan latex agglutination test.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Hemaglobinuria dengan spesimen nekropsi hati.
pengobatan :
1. Pengobatan
Bila gejala awal terdeteksi maka dapat dicoba pengobatan dengan
memakai antibiotik seperti eritromisin, rifampisin, klindamisin, dan
tetrasiklin. Sefoksitin kurang aktif terhadap clostridium bila dibandingkan
kebanyakan sefalosporin lainnya dan harus dihindari. Meskipun anjuran
penggunaan penisilin G hampir universal ada data yang mencemaskan
yaitu terjadinya peningkatan resistensi.
2. Pencegahan, Pengendalian, dan Pemberantasan
Dianjurkan dengan vaksin kombinasi dari beberapa Clostridia.
Vaksin terhadap Clostridia ini sangat efektif terutama jika pemberiannya
secara teratur. Saat ini telah tersedia vaksin clostridim kombinasi yang
terdiri dari 7 atau 8 kombinasi terhadap penyakit yang dipicu Clostridia.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan pemberian obat cacing hati secara
berkala.
COLIBACILLOSIS
Sinonim : White Scours, Kolibasilosis, Oedema disease atau
bowel oedema, gut oedema
Colibacillosis yaitu penyakit pada hewan, terutama yang berumur muda yang
dipicu oleh bakteri Escherichia coli (E.coli).
E.coli pertama diisolasi oleh Escherich pada tahun 1885 dan feses manusia
pada anak muda. Penyebaran bakteri ini sangat luas, lazim ditemukan dalam
usus (terutama usus bagian bawah) baik pada hewan maupun manusia. Bakteri
ini sering dihubungkan dengan berbagai kejadian seperti infeksi pusar, infeksi
persendian, mastitis, pyelonephritis, cervicitis dan metritis pada sapi serta pada
babi dikenal penyakit “gut oedema”.
Dengan sinonim “Oedema disease” atau “bowel oedema” dipicu oleh E.coli
yang bersifat hemolitik. Serangan bakteri yang sama pada anak babi sapihan
hingga umur 16 minggu dikenal sebagai “enteric coli bacillosis”. Pada manusia,
E.coli sebagai bakteri patogen dihubungkan dengan sindrom klinis utama yakni
pada gastro-enteritis akut terutama pada bayi sampai umur 2 tahun dan infeksi
saluran kemih pada manusia dewasa.
etiologi
E.coli pemicu colibacillosis yaitu bakteri berbentuk batang berukuran
0,5x1,0-3,0 mikrometer, Gram negatif, motif dan tidak membentuk spora. Bakteri
ini tidak selalu berbentuk, melainkan dapat dijumpai dengan bentuk coccoid
bipolar hingga fi lamen. Kedudukan sel bakteri satu dengan yang lain lazimnya
sendiri-sendiri, tetapi dapat pula yaitu rantai pendek (short chains). Skema
antigenik genus didasarkan pada adanya bermacam tipe antigen yaitu O, H dan
K. Yang terakhir ini dibagi ke dalam antigen L, A dan B.
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
E.coli mudah ditumbuhkan pada berbagai media laboratorium,
biakan di atas media padat umur muda berbentuk granular halus (diameter
1-3 mm) yang menjadi kasar bila umur biakan bertambah tua. Pada medium
agar Mac.Conkey pertumbuhan E.coli ditunjukkan dengan koloni berwarna
merah dadu. Dalam media cair pertumbuhan bakteri ini ditandai kekeruhan
dan ada sedimen dibagian bawah tabung. Mengingat sifat bakteri mudah
tumbuh pada berbagai media serta luasnya bagian tubuh dimana E.coli
dapat diisolasi, maka untuk berpuluh tahun lamanya E.coli tidak dianggap
sebagai pemicu tunggal penyakit, melainkan diperlukan sebagai bakteri
sekunder saja.
E.coli dapat bertahan hidup beberapa minggu sampai beberapa
bulan pada air, feses, dan kandang. E.coli tidak tahan terhadap keadaan
kering atau disinfektan. Bakteri ini akan mati dengan suhu 600C selama 30
menit, dengan suhu 550C selama 1 jam dan akan cepat mati dalam autoclave
pada suhu 1200C. Secara individual sel bakteri mampu bertahan sampai 6
bulan dalam es.
2. Spesies rentan
Colibacillosis banyak dilaporkan menyerang ternak yang berumur
muda seperti pada anak sapi, babi, domba, kambing dan kuda. Di antara
hewan percobaan laboratorium seperti marmot, mencit, tikus, kelinci akan
mati dalam waktu 48 jam pasca inokulasi.
3. Pengaruh Lingkungan
Kejadian colibacillosis sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan
seperti kebersihan dan kepadatan kandang. Pada peternakan yang penuh
sesak (over crowded) serta pengelolaan yang kurang baik akan memudahkan
penularan penyakit.
4. Sifat Penyakit
Penyakit berkembang cepat dengan derajat kematian tinggi pada
semua spesies. Derajat kematian pada anak sapi dapat mencapai 25-30%,
pada anak kuda mencapai 25% dan hingga pada anak babi.
5. Cara Penularan
Feses hewan penderita, lingkungan sekitar yang tercemar dan
saluran kelamin induk pada hampir semua hewan yaitu sumber
penularan penyakit. Pada hewan, penularan dapat berlangsung dalam
berbagai cara, antara lain :
a. Melalui saluran pencernaan, misalnya akibat terminum susu mengandung
E.coli patogen (pada anak babi dan sapi).
b. Melalui pusar yang masih basah dan tercemar oleh material mengandung
E.coli, patogen (pada anak babi), intra uterina (kebanyakan penularan
pada anak kuda).
Pengelolaan peternakan yang buruk yaitu faktor perluasan
penyakit, misalnya melalui pencemaran ambing induk, tempat pakan maupun
tempat minum. Ditemukannya E.coli dalam pakan dan minuman yaitu
pertanda bahwa bahan-bahan tersebut tercemar oleh feses hewan ataupun
manusia.
6. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya colibacillosis sangat dipengaruhi oleh
kondisi hewan dan keadaan lingkungan. Hewan stress dapat memudahkan
terjadinya penyakit, lingkungan yang kotor dengan populasi ternak yang
berdesak-desakan, serta pengelolaan ternak yang kurang baik akan
memudahkan terjadinya penularan penyakit.
7. Distribusi Penyakit
Colibacillosis diduga banyak terjadi di berbagai tempat di negara kita .
Namun karena kurangnya data, maka sulit dinyatakan secara pasti intensitas
kejadian penyakit. Dari kepustakaan diketahui bahwa colibacillosis terjadi
dimana saja saat ternak dipelihara oleh manusia. Bila anak hewan yang
baru lahir dikumpulkan dalam kelompok yang berdekatan satu sama lain
pada lokasi terbatas, maka colibacillosis yaitu penyakit umum pada
anak ternak seperti sapi, babi, domba, dan kuda.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Pada anak sapi
Dikenal 3 (tiga) bentuk colibacillosis pada anak sapi yang masing -
masing dapat berdiri sendiri atau bersama-sama.
a. Enteric-toxaemic colibacillosis. Anak sapi yang terserang dapat kolaps
dan akhirnya mengalami kematian dalam waktu 2-6 jam. Gejala klinis
yang menonjol yaitu koma, suhu subnormal, selaput lendir pucat,
sekitar mulut basah, denyut jantung tak teratur dan lambat, disertai
gerakan konvulsi ringan, tidak disertai diare.
b. Septicaemic colibacillosis. Sering dijumpai pada anak hewan berumur
sampai 4 hari. Penyakit ini bersifat akut, kematian dapat terjadi dalam
24-96 jam tanpa gejala-gejala klinis yang jelas. Bila ada tanda-tanda
klinis, hewan akan menjadi lemah dan depresi, tidak nafsu makan, suhu
tubuh dan denyut jantung yang semula naik dengan cepat menurun
hingga subnormal berbarengan dengan adanya diare. Gejala lain yang
mungkin dilihat antara lain lumpuh, sendi bengkak dan sakit, meningitis
diikuti dengan panophthalmitis.
c. Enteric colibacillosis. Paling sering dijumpai pada anak sapi umur
seminggu sampai 3 minggu. Feses encer atau serupa pasta, berwarna
putih sampai kuning dan mengandung noda darah. Feses berbau tengik
dan mengotori sekitar anus dan ekornya. Denyut nadi dan suhu tubuh
naik mencapai 40,5°C. Penderita terlihat apatis, lemah, berhenti minum
dan secara cepat mengalami dehidrasi. Pada palpasi perut ditemukan
reaksi nyeri. Tanpa pengobatan, hewan dapat mati dalam waktu 3-5 hari.
Pada kejadian colibacillosis jangan lupa untuk memperhatikan terhadap
kemungkinan peradangan pusar dan jaringan sekitarnya.
Pada anak domba
Manifestasi penyakit pada anak domba hampir selalu sama dalam
bentuk septisemik yang perakut, walaupun beberapa menunjukkan bentuk
enterik yang kronik. Dua kelompok umur yang rentan terhadap penyakit yaitu
anak domba umur 1-2 hari dan umur 3-8 minggu. Kejadian perakut ditandai
dengan kematian mendadak tanpa gejala klinis. Kejadian akut ditandai dengan
jalan kaku pada awalnya, lalu hewan rebah. ada hyperaestesia
dan konvulsi tetanik. Kejadian kronik ditandai dengan arthritis.
Pada anak babi
Colibacillosis sering menyerang anak-anak babi umur 1-3 hari.
Bentuk septisemik ditandai kematian mendadak dalam waktu 24 jam tanpa
gejala klinis. Enteric colibacillosis dapat juga menyerang ternak babi terutama
yang berumur 8-16 minggu.
Gejala klinis yang terlihat berupa depresi, anoreksia, demam yang
berlangsung beberapa hari dan diare. Selain itu ditemukan kulit sedikit
kebiruan. Babi terserang biasanya dalam kondisi bagus dengan mendapat
ransum yang terdiri dari biji-bijian. Perubahan mendadak baik dalam
pemberian pakan atau pengelolaannya, mengundang timbulnya penyakit
ini.
2. Patologi
Pada kejadian enteric-toxaemic dan septicaemic colibacillosis
mungkin tidak didapatkan kelainan pasca mati yang berarti, oleh karena
itu diagnosa didasarkan kepada isolasi agen penyebab. Pada kasus yang
tidak begitu hebat, dapat ditemukan perdarahan dari submukosa maupun
subserosa, gastritis maupun enteritis. Kadang-kadang ditemukan juga
eksudat berfi brin dalam persendian dan ruang-ruang serosa, pneumonia,
meningitis atau omphalophlebitis.
jika ditemukan meningitis maka cairan cerebrospinal berwarna
keruh. Pada kejadian enteric colibacillosis, kelainan yang nampak hanya
berupa gastroenteritis.
3. Diagnosa
Penegakan diagnosa pada kejadian colibacillosis tidak selalu
mudah mengingat manifestasi penyakit mirip dengan penyakit septik lain.
Oleh karena itu, isolasi dan identifi kasi agen pemicu mutlak diperlukan.
4. Diagnosa Banding
Bentuk septikemik sulit dibedakan dengan Salmonellosis pada anak
sapi baru lahir. Colibacillosis yang ditandai dengan diare dapat dikelirukan
dengan diare akibat makanan. Gejala diare dapat pula ditemukan pada anak
hewan yang mendapat susu berlebihan atau makanan induk yang terdiri atas
hijauan amat muda. Pada anak babi, colibacillosis sulit dibedakan dengan
diare yang dipicu ransum yang kekurangan zat besi.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pada kejadian penyakit terduga colibacillosis, spesimen yang
diperlukan yaitu darah jantung (dengan antikoagulan), usus (dengan
isinya), kelenjar mesenterialis, jantung, limpa, cairan cerebrospinal dan
usapan feses (faecal swab).
Segera kirim ke laboratorium dalam keadaan segar dalam es
untuk pemeriksaan Bakteriologi dan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan
patologi.
pengobatan :
1. Pengobatan
Bermacam-macam antibiotik diketahui memberikan hasil baik terhadap
kejadian colibacillosis, diantaranya tetracycline, neomycin dan streptomycin.
Kebiasaan memberikan antibiotik kepada anak ternak sering memicu
resistensi. Pemberian antibiotik pada ternak potong dihentikan sekurang-
kurangnya 7 hari sebelum dipotong. Selain pemberian antibiotik atau
sulfonamide, obat-obatan penunjang lainnya, sebaiknya diberikan juga infus
dengan NaCl fi siologis.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Hindari keadaan penuh sesak di kandang (over crowded), usahakan
ternak terbagi dalam kelompok kecil dan terdiri dari umur yang sama.
Pengendalian colibacillosis pada anak ternak yaitu dengan manajemen
kandang dan hygiene yang baik. Lantai kandang terbuat dari bahan yang
mudah dibersihkan. Disinfektan kandang dilakukan setiap ada pergantian
kelompok ternak. Tempat pakan dan air minum diletakkan sedemikian rupa
sehingga terhindar dari pencemaran feses.
Anak sapi yang baru Iahir harus segera mendapatkan kolostrum.
Tempat pakan atau minum segera disucihamakan setiap habis dipakai.
Pemberian pakan atau minum pada anak-anak sapi oleh pekerja hendaknya
dilakukan dari luar kandang untuk mencegah kemungkinan infeksi melalui
sepatu, pakaian ataupun peralatan kandang lainnya.
Ternak baru harus dilakukan tindakan karantina dan lebih baik lagi
disertai pengobatan profi laktik pada saat kedatangan. Sebaiknya dihindari
pembelian ternak baru umur muda. Bagi peternakan yang sering mengalami
kejadian colibacillosis dapat dianjurkan untuk melakukan vaksinasi pada induk
2-4 minggu menjelang partus (dengan vaksin autagenous) yang bertujuan
untuk mengurangi jumlah kematian yang biasanya tinggi dan mendadak.
CONTAGIOUS EQUINE METRITIS
Sinonim : Contagious equine metritis organism (CEMO), Haemopilus
equigenitalis, taylorella equigenitalis.
A. PENDAHULUAN
Contagious equine metritis (CEM) yaitu penyakit kelamin yang akut, sangat
menular pada kuda dan equidae lainnya serta mempengaruhi fertilitas. Sifatnya
tidak sistemik terutama menyerang sistem reproduksi kuda betina dan biasanya
memicu kemajiran sementara. Gejala utama adanya cairan vagina
yang mukopurlenta. Penyembuhan tidak sempurna, tetapi menunjukan gejala
asimptomatis yang lama pada kuda-kuda betina. Penyebaran penyakit terutama
dipicu oleh hubungan kelamin dengan induk yang carrier.
etiologi
Penyebab Contagious equine metritis (CEM) pada mulanya disebut Contagious
equine metritis organism (CEMO), lalu Haemophilus equigenitalis dan
terakhir Taylorela equigonitalis.
Pertumbuhan Thylorella equigenitalis membutuhkan waktu minimal 48 jam bisa
sampai 13 hari tetapi biasanya tidak lebih 6 hari pada temperatur 370C di media
darah yang dipanasi dan diinkubasi dalam kondisi mengandung CO2 5-10%.
Koloni sangat kecil, diameter 2-3 mm, berwarna abu-abu kekuningan, halus dan
tepi rata. Tumbuh baik pada media peptone chocolate agar, Gram negatif, kecil,
bentuk batang pendek, kadang pleomorfi k, bipoler, acid fast, non motil, katalase,
fosfat dan oksidase positif. Tidak bereaksi atau negatif terhadap berbagai standar
pengujian bakteriologi.
Kuda betina dapat menderita lebih dari satu kali dalam satu periode waktu yang
pendek dan antibodi timbul dengan cepat sehingga tidak dapat dideteksi dalam
waktu singkat sesudah sembuh. Kebanyakan kuda betina tidak sembuh total tetapi
kadang menjadi karier beberapa bulan. Pada induk yang karier maka bakteri
mengumpul di selaput saluran genital, sinus dan fossa clitoris juga pada urethra
dan serviks. Anak yang lahir dari induk yang karier dapat juga menjadi karier.
epidemiologi
1. Spesies Rentan
Semua kuda dan sebangsanya peka terhadap penyakit CEM.
Kejadian secara alami telah dilaporkan pada kuda. Keledai dapat terinfeksi
dalam kondisi eksperimental. usaha untuk menginfeksi sapi, babi, domba
dan kucing tidak berhasil, tetapi beberapa tikus laboratorium dapat terinfeksi
dengan inokulasi intrauterin.
2. Pengaruh Lingkungan
Kuda betina yang terinfeksi akan dapat menginfeksi hampir semua
kuda betina lainnya dalam peternakan kuda. Kuda betina dapat menderita
lebih dari satu kali dalam periode waktu yang pendek sesudah sembuh dari
penyakit yang aktif.
3. Sifat penyakit
Penyakit CEM ini dapat bersifat karier dan endemis pada peternakan
kuda. Anak yang lahir dari induk yang karier dapat juga menjadi karier.
4. Cara Penularan
Penyebaran penyakit paling sering dipicu oleh karena adanya
hubungan kelamin dengan induk karier yang asimptomatis. Penularan
disamping melalui alat kelamin, dapat juga secara mekanis melalui petugas
yang menangani dan memeriksa kuda jantan atau betina yang terinfeksi.
Perlakuan yang tidak higienis selama pembersihan dan pemeriksaan
alat kelamin kuda dapat memicu terjadinya penularan, untuk itu
diperlukan perlakuan yang aseptis. Kuda betina yang terinfeksi akan
menginfeksi hampir semua kuda betina lainnya. Kuda betina yang menderita
lebih dari satu kali dalam periode waktu yang pendek, antibodi yang ada
pada serum dapat timbul cepat sehingga tidak dapat terdeteksi dalam waktu
singkat sesudah sembuh dari penyakit yang aktif.
5. Faktor Predisposisi
Kuda yaitu hospes alami, hanya untuk equigenitalis thoroughbred
tampaknya sangat rentan. Adanya imunitas yang lemah dan kurangnya
kebersihan lingkungan dapat memudahkan terjadinya penyakit CEM.
Perlakuan yang tidak higienis selama pembersihan dan pemeriksaan
alat kelamin kuda dapat memicu terjadinya penularan, sehingga
pemeriksaan alat kelamin harus dilakukan se-aseptis mungkin.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit CEM ini dilaporkan pertama kali di Newmarket Inggris oleh
Crowhurst, pada tahun 1997, sekarang telah bebas, lalu di Iriandia
oleh Tymoney, dkk tahun 1997, di Australia oleh Hughes, dkk tahun 1978 dan
sekarang telah bebas, Perancis dan Jerman oleh Sonnenchein dan Klug
tahun 1979, di Amerika Serikat oleh Swerezek 1978, Jepang oleh Kamada,
dkk tahun 1981, juga sudah dilaporkan di Italia, Belgia, Denmark, Austria,
Finlandia, Norwegia, Belanda, Swedia, Yugoslavia, dan Maroko.
Di negara kita CEM telah pernah dilaporkan oleh BPPH/BPPV
Wilayah II Bukittinggi pada kuda di Payahkumbuh pada tahun 1986.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis CEM mulai muncul 1-6 hari pasca infeksi atau sampai
80 hari. Setelah tertular pada kuda betina akan mengeluarkan cairan
mukopurulenta tanpa bau dari saluran genital. Pada kasus berat, cairannya
akan banyak sekali, bila kasusnya ringan cairan putih keabuan hanya sedikit
terkumpul di dasar vagina pada mukosa vagina. Biasanya sekresi akan
hilang sesudah 3-4 minggu, dan kuda dapat kembali estrus dalam beberapa
hari sesudah infeksi. Penyakit dapat memicu infertilitas dan aborsi dini.
Gejala yang nyata akibat CEM tidak terlihat pada kuda jantan.
Infeksi ditandai adanya endometiris, servisitis dan vaginitis. Sering
keluar cairan mukopurulenta 2-10 hari sesudah perkawinan dan mungkin
terlihat keluar dari vulva, membasahi bagian belakang tubuh hewan dan
mengotori ekor. Kuda yang menderita parah akan memicu metritis
kronis dan memicu terjadinya infertilitas.
Gambar 3. Eksudat mukopurulen pada uterus kuda akibat contagious equine
metritis. Debit tersebut berasal dari rahim di mana endometrium
dan muskularis yang meradang.
(Sumber : http://www.kosvi.com/courses/vpat5215_1/vpat5310/
uterus/ute08.htm)
2. Patologi
Perubahan patologis menunjukkan pembesaran yang bervariasi dari
uterus dan adanya sedikit cairan keabu-abuan, endometritis dan perusakan
endometrium pada bagian epitel, pembesaran serta pembengkakan uterus.
Ditemukan banyak leukosit polimorfonukleus (polymorphonuclear
leucocytes) dan epithel degenerasi pada smear serviks. Pemeriksaan
mikroskopis akan terlihat bakteri Gram negatif di dalam dan di luar sel. Tidak
ditemukan adanya Iesi di luar organ genital.
3. Diagnosa
Bila terlihat gejala klinis sesudah musim kawin, dapat ditandai dengan
adanya estrus kembali dan adanya sekresi pada saluran genital. Antibodi
tidak spesifi k terhadap gejala klinis penyakit ini, tidak ada pada serum induk
atau pejantan yang karier, sehingga pengujian serologis tidak praktis. Tidak
ada uji serologis yang cocok untuk kontrol dan mendeteksi penyakit ini.
Bermacam-macam uji serotipe telah dikembangkan mulai dari
slide agglutination sampai dengan direct dan indirect immunofl uorescense.
Masing -masing metoda mempunyai keuntungan dan kerugian, kelemahan
uji aglutinasi kadang terjadi autoglutinasi bila dibiakkan dalam udara yang
mengandung CO2, sebaliknya bila dalam wadah berlilin (candle jar) dapat
mengurangi autoglutinasi. Dianjurkan memakai immunofl uorescense
untuk aktifasi autoglutinasi, tetapi uji ini dapat bereaksi silang dengan
organisme lain seperti Pasteurella haemolytica, sehingga perlu diulangi
dengan memakai antisentrum yang telah diserap.
Gambar 4. Pengujian Contagious Equine Metritis
(Sumber : http://www.equinereproduction.com/mare-services/index.php)
Identifi kasi dapat pula dilakukan dengan Kit latex aglutinasi untuk
antigen Taylorella equigenitalis. Metoda PCR (Polymerase Chain Reaction)
telah dipakai untuk mendeteksi Taylorella equigenitalis dan telah
dibandingkan dengan berbagai metoda kultur lainnya. Pengujian serologis
dengan ELISA atau Serum Aglutination, CFT dan AGID, pengujian ini bagus
untuk kuda 6-10 minggu sesudah infeksi, tetapi meragukan untuk pengujian
pada hewan karier.
4. Diagnosa Banding
Ada dua infeksi alat kelamin yang paling umum pada kuda betina
yang dapat mengacaukan diagnosa yaitu yang dipicu oleh Klebsiella
penumoniae dan Pseudomonas aeroginosa. Selain itu juga dilaporkan akibat
bakteri lain seperti Streptococcus zooepidemicus, Streptococcosis dan
Microccosis. Diagnosa harus dikonfi rmasikan dengan isolasi penyebabnya
berupa organisme Gram negatif dengan bentuk batang pendek.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan swab sampel untuk pemeriksaan bakeriologis diambil
dari serviks atau endometrium uterus selama estrus, vestibulum, fossa clitoris
dan sinus clitoris pada kuda betina. Perlengkapan swab serviks atau uterus
harus sedemikan rupa untuk menghindari pencemaran.
Pengangkutan dan pengiriman swab ke laboratorium harus hati-
hati untuk menghindari kematian bakteri selama transportasi. Swab harus
dimasukkan kedalam media transport yang mengandung charcoal, seperti
misalnya media transport. Swab harus disimpan dalam kondisi dingin,
bila memungkinkan dapat segera langsung dibawa ke laboratorium tidak
kurang dari 24 jam sesudah pengambilan. Setiap swab harus diinokulasikan
ke media darah 5% yang telah dipanasi, mengandung agar peptone dan
ditambah cystein (0,83 mM), garam sulfat (1,519 mM) dan fungizone (5 µg/ml
amphotericin B).
pengobatan :
1. Pengobatan
Penggunaan larutan chlorhexidine gluconate tidak lebih 0,25%
untuk irigasi uterus. Penggunaan larutan chlorhexidine gluiconate 2% tiga
kali sehari terhadap penis kuda arab tidak memicu iritasi.
Penggunaan gentamicin sulfat lebih baik dari pada ampicilin atau
kombinasi sodium benzyl penicillin dan polymixin B sulphate.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Pemusnahan bakteri Taylorella equigenitalis dapat dilakukan
dengan penyucihamaan disertai pengobatan dengan antibiotik secara lokal
dan sistemik, tetapi dengan vaksinasi tidak efektif. Pada prinsipnya untuk
mengontroI penyebaran penyakit ini yaitu dengan memastikan bahwa tidak
ada infeksi sebelum pembibitan dilaksanakan.
Belum ada vaksin yang efektif dapat mencegah infeksi CEM atau
untuk mencegah kolonisasi Taylorella equigenitalis.
DERMATOPHILOSIS
Sinonim : Lumpy skin, mycotic dermatitis, cutaneous streptothricosis, strawberry
foot root
Dermatophilosis yaitu penyakit kulit yang ditandai dengan terjadinya keradangan
bereksudat pada jaringan epidermis kulit diikuti terbentuknya keropeng- keropeng.
Penyakit ini dapat bersifat akut maupun kronis dan dapat menyerang sapi,
kambing, domba, kuda dan juga manusia.
Kejadian dermatophilosis diungkapkan pertama kali oleh Van Saceghem tahun
1915 dari satu kejadian penyakit kulit pada sapi di Kongo-Belgia (Afrika) yang
pada saat itu disebut sebagai penyakit dermatose contagieuse. lalu
penyakit ini dilaporkan tersebar luas ke seluruh dunia.
Kerugian ekonomis yang diakibatkan penyakit ini tergantung dari derajat
kerusakan kulit yang terjadi dan distribusi geografi s penyakit ini. Di daerah yang
beriklim dingin, kejadian dermatophilosis umumnya hanya bersifat sporadik dan
kerusakan kulit yang terjadi hanya ringan sehingga tidak memicu kerugian
ekonomis yang signifi kan. Sebaiknya di daerah tropis dengan tingkat kelembaban
tinggi sepertil di Afrika Barat dan Afrika Timur dermatophilosis memicu
perubahan klinis yang berat sehingga menyebabkkan kerugian ekonomis yang
besar, termasuk penurunan berat badan, penurunan produksi susu, pengafkiran
(culling) hewan yang terinfeksi sangat berat, dan kematian ternak.
etiologi
Dermatophilosis dipicu oleh bakteri Dermatophilus congolensis, yang
termasuk di dalam genus Dermatophilaceae dari ordo Actinomycetales. Bakteri
ini termasuk Gram positif dan dalam perkembangannya membentuk struktur yang
yaitu bentuk khas berupa fi lamen memanjang yang terdiri dari deretan
kokus yang berjajar dua, empat, atau empat kokus. Kokus-kokus tersebut akan
berkembang menjadi zoospora berfl agella yang yaitu bentuk infektif dari
D.congolensis.
Zoospora dapat bertahan hidup selama beberapa tahun di dalam keropeng
kudis yang kering pada suhu lingkungan 28-31°C. Zoospora akan aktif keluar
dari keropeng/kudis (scab) jika terjadi kontak dengan air atau dalam kondisi
kelembaban udara yang tinggi.
D.congolensis tumbuh pada media yang mengandung darah atau serum pada
suhu 37 °C selama 24-48 jam. Bentuk koloni yang tumbuh bervariasi tetapi
umumnya berbentuk bulat dengan pinggir yang tidak rata (1-2 mm), berwarna
putih keabu-abuan sampai kekuningan pada biakan yang lebih tua. Tetapi
terkadang koloni berkeriput dan kering serta mencengkeram kuat pada media
padat, menghemolisis sel darah merah (B.hemolisis) terutama sel darah merah
kuda. Bakteri ini tidak tumbuh pada media biakan jamur seperti media Sabouroud
Dextrose Agar (SDA).
Sifat biokimiawi D.congolensis antara lain yaitu menghidrolisis urea,
memfermentasi glukosa, fruktosa, maltosa, tidak memfermentasi sukrosa salisin
dan xylosa serta membentuk indol.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Sapi, domba, kambing dan kuda pada segala tingkat umur, jantan
maupun betina peka terhadap dermatophilosis. Manusia juga dapat terinfeksi
oleh D.congolensis.
2. Pengaruh Lingkungan
Dermatophilosis termasuk penyakit musiman yaitu sering terjadi
pada saat musim hujan. Di samping itu cara pemeliharaan komunal atau
ekstensif di padang pengembalaan akan meningkatkan resiko infeksi
D.congolensis.
3. Sifat Penyakit
Di negara-negara yang beriklim dingin, kejadian dermatophilosis
umumnya hanya bersifat sporadik, sedangkan di negara-negara tropis
dengan tingkat kelembaban tinggi, penyakit ini bersifat endemis dengan
morbidity rate sampai 80%.
4. Cara Penularan
Penularan penyakit antar hewan terjadi melalui kontak langsung
atau secara tidak langsung melalui gigitan lalat penggigit (Stomoxys calcitrans
dan Tabanus). Di negara-negara Afrika cara penularan juga ditengarai melalui
caplak Ambyomma variegatum.
5. Faktor Predisposisi
Untuk terjadinya infeksi diperlukan beberapa faktor predisposisi
yang berperan merusak keutuhan kulit atau mengganggu keseimbangan fl ora
normal kulit. Kulit yang utuh (tidak ada yang luka) yaitu pertahanan
tubuh alami yang akan mampu mencegah masuknya agen penyakit yang
dalam hal ini zoospora D.congolensis. Kerusakan kulit dapat diakibatkan
oleh gigitan lalat penggigit, caplak, atau dapat karena terkena benda tajam.
Disamping itu terpaan hujan yang deras dan terus menerus juga dapat
merusak keutuhan kulit dengan mempengaruhi konsistensi lapisan lemak
dan jaringan tanduk (Stratumcorneum) kulit.
Faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya infeksi
yaitu status nutrisi dan kesehatan hewan. jika hewan dalam keadaan
malnutrisi atau dalam keadaan kondisi tidak prima maka infeksi D.congolensis
akan lebih mudah terjadi.
Segera sesudah terjadi luka pada kulit, zoospora sebagai bentuk
infekstif D.congolensis akan masuk dan segera berkembang menjadi hife
yang mampu menembus epidermis kulit sebagai tempat predileksinya.
6. Distribusi Penyakit
Dermatophilosis telah tersebar luas di dunia terutama di negara-
negara tropis di Afrika barat, Afrika Timur, Karibia negara-negara beriklim
sedang atau dingin seperti Australia, Kanada, Inggris, dan Amerika Serikat.
Data kejadian Dermatophilosis di negara kita sangat minim. ini
kemungkinan karena kurangnya pemahaman tentang penyakit ini sehingga
lepas dari perhatian. Kesalahan diagnosa kemungkinan juga terjadi mengingat
ada beberapa penyakit kulit lain yang mempunyai kemiripan gejala klinis
dengan dermatophilosis.
Pada tahun 1993 terjadi wabah penyakit kulit pada sapi-sapi
Peranakan Ongole di Kabupaten Kulon Progo, D.I. Yogyakarta yang semula
diduga karena infestasi parasit (scabies) dan sesudah diobati dengan ivermectin
ternyata tidak ada respon kesembuhan. Setelah dilakukan pemeriksaan
mikroskopis terhadap keropeng (scab) ternyata ditemukan D.congolensis.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Tanda klinis yang paling menonjol diawali dengan terjadinya
peradangan bereksudat pada lapisan epidermis kulit yang lalu
berkembang menjadi papula dan pustula. Papula dan pustula ini akhirnya
membentuk keropeng/kudis (scab) yang kering, tebal, keras dengan tepi
yang tidak teratur. Lesi-lesi tersebut melekat sangat kuat pada permukaan
dan jika kudis/keropeng tersebut di lepas dari permukaan kulit maka
akan tampak berwarna kemerahan sampai perdarahan pada permukaan kulit
tersebut. Pada umumnya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya pada
musim kemarau. Tetapi tidak jarang dilaporkan penyakit ini tetap persisten
selama musim kemarau.
Kudis/keropeng pada sapi dapat bersifat lokal di bagian-bagian
tertentu tubuh seperti pada daerah kepala, leher, punggung, kaki atau dapat
menyebar luas di seluruh tubuh sehingga kulit akan tampak sangat kasar.
Kelainan kulit ini umumnya tidak disertai rasa gatal (pruritis) seperti halnya
pada kelainan kulit akibat parasit atau jamur.
Pada kambing, kudis/keropeng umumnya bersifat lokal pada sekitar
mulut, leher, punggung, tapak kaki dan pada daerah abdominal, sedangkan
pada domba, kudis sering dijumpai pada telinga, hidung, kepala dan kaki
(strawberry footrot).
Kelainan kulit pada kuda sering terjadi sepanjang punggung dan
sisi kanan -kiri (fl ank). Juga pada daerah sekitar ekor sampai kaki sehingga
terkadang memicu kepincangan.
jika kelainan kulit yang terjadi sangat berat tersebar diseluruh
tubuh maka hewan akan tampak depresi, tidak ada nafsu makan, kehilangan
berat badan, demam dan mengalami lymphodenopathy.
2. Patologi
Pada kejadian kematian hewan akibat dermatophilosis, perubahan
yang paling menciri yaitu peradangan kulit (dermatitis) disertai keropeng/
kudis yang sangat ekstensif.
Gambar 3. Keropeng pada kulit punggung sapi
(Sumber : http://www.thecattlesite.com/diseaseinfo/230/rain-scald-
dermatophilosis)
Gambar 4. Lesi akibat dermatophilosis pada kambing
(Sumber : http://www.caribvet.net/en/monograph-0)
Secara histopatologi tampak adanya penebalan lapisan dermis kulit
yang dipenuhi oleh sel-sel radang terutama neutrofi l pada awal infeksi.
Sedangkan jaringan atau organ lain umumnya tidak terjadi perubahan
patologis yang menciri.
3. Diagnosa
Peneguhan diagnosa terhadap penyakit ini didasarkan pada
perubahan klinis yang terjadi pada hewan, pemeriksaan mikrospkopis
terhadap preparat ulas langsung (direct smear) dari keropeng/kudis dan
didukung oleh temuan struktur khas bakteri D.congolensis secara mikroskopis
yaitu bentuk fi lamen memanjang yang terdiri dari kokus-kokus yang
tersusun berjajar dua atau lebih kokus seperti bentuk tangga dimana anak
tangga diibaratkan kokus-kokus tersebut. Gambaran mikroskopis tersebut
yaitu hasil dari pemeriksaan preparat ulas spesimen keropeng yang
lalu diwarnai dengan Giemsa, methyelen blue atau carbol fuchsin.
Meskipun demikian untuk peneguhan diagnosa lebih lanjut dapat dilakukan
isolasi bakteri dengan melakukan penanaman pada media agar darah.
4. Diagnosa Banding
Beberapa penyakit kulit yang sering dikelirukan dengan dermatophilosis
antara Iain mycotic dermatitis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen yang diperlukan untuk peneguhan diagnosa berupa kudis/
keropeng kulit yang dapat dikirim ke laboratorium tanpa pengawet.
pengobatan :
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian preparat tetracycline, penicilline-
streptomycine.
ERYSIPELAS
Sinonim : Diamond skin disease, Erisipelas
Erysipelas yaitu penyakit hewan menular yang dipicu oleh bakterial dan
terutama menyerang babi. Bakteri Erysipelothrix rusiopathiae pemicu penyakit
tersebut berkesan seperti berlian atau Erysipelathrix insidiosa. Erysipelas pada
babi biasanya memicu bercak-bercak merah pada kulit sehingga sering
disebut “diamond skin disease”. Disamping itu, erysipelas dapat memicu
polyarthiritis pada babi. Penyakit tersebut pernah dilaporkan di Amerika, Eropa,
Rusia, Australia, Papua New Guinea, Asia, termasuk negara kita . Kerugian ekonomi
penyakit erysipelas cukup serius yang antara lain meliputi hewan tidak produktif,
penurunan produksi daging, angka kematian yang tinggi pada anak babi.
Selain pada babi erysipelas juga menyerang domba, unggas, dan secara spontan
menyerang berbagai jenis hewan lainnya termasuk manusia. Pada manusia
infeksi bersifat lokal dan memicu bintik-bintik merah pada kulit disebut
erysipoloid.
etiologi
E.insidiosa berbentuk batang langsing, kecil, lurus, membentuk kurva atau
membentuk fi lamen, membentuk koloni halus (S), koloni kasar (R) dan koloni
antara halus dan kasar (RS) tergantung type dari erysipelas. Bakteri yang
berasal dari koloni halus berbentuk batang halus, panjang 0,5-2,5 micrometer
sedangkan yang berasal koloni kasar membentuk fi lamen, bercabang atau
membentuk lingkaran, dengan ukuran panjang antara 4,15 micrometer. Bakteri ini
tidak membentuk spora, tidak bergerak dan bersifat Gram positif, biasa ada
pada tonsil dan selaput lendir pada babi sehat dan hewan lain. Selain itu, dalam
lendir tubuh ikan air tawar dan asin, cysta bakteri-bakteri biasanya hidup dan
berkembang biak selama musim panas pada tanah yang alkalis.
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Erysipelothrix termasuk bakteri yang memiliki resistensi tinggi
terhadap pengaruh lingkungan baik fi sik maupun kimiawi tetapi sensitif
terhadap panas. Bakteri ini akan mati pada pemanasan 550C selama 10
menit. Di alam bebas dibawah sinar matahari langsung bakteri erysipelothrix
tahan hidup selama 12 hari, di dalam air minimum 4-5 hari sedangkan
didalam air selokan atau aquarium tahan 12-14 hari. Di dalam tempat yang
terlindung, bakteri ini dapat tahan hidup lebih lama misalnya di dalam feses
dapat hidup selama 1-5 bulan, di dalam karkas yang membusuk 4 bulan, di
dalam karkas yang dikubur 9 bulan, di dalam lendir yang menutup tubuh ikan
tahan 4- 6 bulan pada suhu 10-12°C.
Bakteri Erysipolothrix tidak mati oleh proses pengawetan daging
secara penggaraman, pengasaman maupun pengasapan. Di dalam daging
yang diawetkan dengan penggaraman serta ditambah KNO3 akan tahan
selama 30 hari didalam daging yang diasamkan 170 hari, dan di dalam
daging yang diasapkan tahan 3 bulan. Mengingat sifat daya tahan bakteri
erysipolothrix di alam maka sangat penting artinya terutama dalam hal
terjadinya infeksi langsung pada hewan maupun pada manusia.
2. Spesies rentan
Spesies rentan yaitu babi, domba, kalkun, dan unggas lain,
karnivora, serta kuda sedangkan pada sapi kurang peka.
Pada hewan percobaan, mencit dan burung dara paling peka,
kelinci kurang peka, marmot bersifat resisten. Pada ikan bakteri ini bersifat
saprofi t, ada pada lendir menyelimuti tubuhnya kadang-kadang pada
ikan dapat memicu septisemia dan peradangan pada kulit. Selain
pada hewan peliharaan infeksi bakteri Erysipelothrix didapatkan pada babi
liar, burung liar, rodentia, tikus rumah serta tikus. Infeksi E.insidiosa pada
manusia berhubungan erat dengan sifat pekerjaannya, misalnya manusia
yang banyak terserang ialah pemeliharaan, pengolah daging babi, pekerja di
rumah potong hewan, penjual ikan, nelayan, dokter hewan dan mahasiswa
kedokteran hewan, serta petani yang bekerja disekitar peternakan babi.
3. Pengaruh Lingkungan
Musim panas dan musim hujan dapat langsung mempengaruhi,
namun penyakit dapat mewabah jika disertai faktor stres.
4. Sifat penyakit
Sifat penyakit erysipelas pada babi sporadik dan dapat mewabah
dengan mortalitas tinggi dan morbiditas sangat bervariasi, pada domba
kematian jarang terjadi.
5. Cara Penularan
Yang dapat bertindak sebagai reservoir penyakit yaitu :
a. semua hewan yang terinfeksi
b. tanah bekas peternakan babi yang pernah terserang erysipelas, yang
yaitu sumber infeksi selama bertahun-tahun.
c. tempat pembuatan kotoran hewan dan kotoran dari RPH, empang dan
pasar ikan.
d. tikus liar, tikus rumah dan rodensia lainnya yang hidup ditempat-tempat
tersebut diatas.
e. daging asal babi sakit (pemotongan gelap), sebelum maupun sesudah
mengalami proses penggaraman, pengasaman atau pengasapan.
f. ikan dan tepung ikan.
Penularan pada hewan dapat terjadi lewat saluran pencernaan atau
secara oral, lewat kulit yang tidak utuh atau secara kutan dan intrauterin.
Ektoparasit seperti kutu anjing, caplak dan lalat dapat bertindak sebagai
vektor mekanik. Pada manusia cara penularan dapat terjadi melalui kulit atau
secara kutan.
1. Faktor Predisposisi
Erysipelas terjadi oleh penyebaran infeksi yang diawali dengan berbagai
kondisi yang berpotensi timbulnya kolonisasi bekteri, misalnya:
luka, koreng, infeksi penyakit kulit lain,luka operasi dan sejenisnya,
serta kurang hygiene. Selain itu, Erisipelas dapat terjadi pada seseorang
yang mengalami penurunan daya tahan tubuh, misalnya: diabetes
mill itus,malnutrisi (kurang gizi), dan lain-lain.
2. Distribusi Penyakit
Sekitar tahun 1964 terjadi wabah penyakit pada satu perusahaan
babi di daerah Cibinong, kabupaten Bogor dengan tanda-tanda bercak-
bercak merah pada kulit dan angka kematian tinggi pada anak babi, sedang
pada babi dewasa tampak kurus atau badan seperti papan. Salah satu
perusahaan babi di Kapok, Cengkareng Jakarta Barat pada Februari 1979
dilaporkan ada kematian sebanyak 143 babi. Kematiannya terjadi secara
tiba-tiba, kadang-kadang didahului oleh tanda-tanda atau gejala klinis seperti
hewan tampak menyendiri, sering menggigil, berteriak-teriak, merebahkan
badannya, napasnya cepat, dan adanya warna kemerahan pada kulit hampir
di seluruh permukaan tubuh. Selanjutnya pada bulan Agustus tahun 1979,
akhirnya dapat diisolasi bakteri erysipelas dari darah dan limpa babi oleh
FKH IPB, 1982 diisolasi oleh OPPH Maros, tahun 1988 BPPH Medan.
Penyakit babi yang secara klinis diduga erysipelas dinyatakan telah
terjadi pada peternakan babi rakyat di beberapa daerah di pulau Bali, dan
memicu banyak kematian terutama pada babi muda.
keterangan :
1. Gejala Klinis
a. Pada Babi
Penyakit Erysipelas pada babi dapat terjadi secara akut, sub akut
dan kronik.
(1) Bentuk akut
Pada bentuk akut sering disebut bentuk septisemia hewan
menunjukkan suhu tinggi, bahkan beberapa tahun hewan akan mati
tanpa menunjukkan gejala disertai diare dan diikuti konstipasi. Babi
yang sakit tidak ada nafsu makan, tidak suka bergerak dan biasanya
berjalan kaku dengan punggung yang melengkung karena babi
tersebut menahan sakit.
Gambar 1. Bercak-bercak merah pada kulit babi penderita
Erysipelas
(Sumber : http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E05.htm)
Beberapa babi muntah-muntah, gemetar atau bernafas dengan susah
dan batuk. Pada matanya bengkak dan merah serta mengeluarkan
air mata. Tidak jarang terjadi kelumpuhan kaki. Pada tahap akut babi
dapat menunjukkan bercak-bercak merah yang menonjol pada kulit,
yang disebut ”diamond skin disease”. Lesi kulit dengan kebengkakan
tersebut dalam beberapa hari berkurang lalu menghilang. Pada
kasus yang lain bercak-bercak merah tersebut menjadi satu dan
menyerang daerah kulit yang luas yang lalu menjadi merah
kehitam-hitaman mengeras dan akhirnya terjadi pengelupasan.
(2) Bentuk sub akut
Bentuk ini kurang hebat dari bentuk akut. Babi biasanya tidak begitu
sakit, suhu tidak begitu tinggi dan masih ada nafsu makan. Lesi kulit
mulai tampak kemerahan. Kasus kematian Iebih rendah. Hewan
yang dapat bertahan pada kondisi akut maupun sub akut tidak selalu
sembuh secara sempurna dan sering kali berubah menjadi kronik.
(3) Bentuk kronik
Bentuk ini yaitu lanjutan dari bentuk akut dan sub akut, tetapi
kadang-kadang dapat berdiri sendiri. Arthiris akan timbul, persendian
membengkak, panas dan nyeri sehingga babi menjadi lumpuh.
lalu terjadi kelainan-kelainan nekrotik pada kulit yang dapat
mengelupas misalnya pada ekor dan ujung telinga. Tidak jarang
jantungnya akan terkena bila terjadi pertumbuhan serupa bunga kol
pada kutub jantung yang mengganggu fungsi organ tersebut. Hewan
dapat mati dengan mendadak tanpa gejala-gejala yang menyolok.
b. Pada Domba
Tanda-tanda penyakit yaitu kebengkakan persendian pada salah
satu kaki atau lebih, terjadi penebalan pada kapsul persendian berisi
cairan yang tidak bernanah tetapi bergranulasi. Kadang-kadang disertai
proses pernanahan, yang dipicu adanya infeksi sekunder oleh
bakteri-bakteri pyogenes. Hewan susah berjalan/kaku, sering berbaring,
bila sudah berbaring susah untuk bangun, sedang nafsu makan ada
kalanya tetap baik. Umumnya tidak didapatkan kelainan pada organ-
organ tubuh maupun bagian tubuh lainnya.
Domba umur 2-3 bulan rentan terhadap penyakit ini meskipun
hewan tua juga dapat terserang. Selain melalui luka, infeksi juga dapat
terjadi lewat tali pusar.
c. Pada Sapi
Pada umumnya terjadi arthiritis pada sendi tibio-tarsal atau di
daerah sendi karpal. Dari persendian yang terinfeksi bakteri erysipelas
dapat diisolasi. Pernah dilaporkan suatu kasus encephalomielitis yang
dipicu oleh E.rhusiopathiae.
d. Pada Unggas
Tanda-tandanya yaitu terjadinya ptekie sampai hemorragi pada
otot dada dan paha.
e. Pada hewan lain
Di Amerika pernah dilaporkan E.insidioae rnenyerang buaya dan
lumba-lumba.
2. Patologi
Pada babi kelainan pasca mati pada bentuk akut tidak khas. Dapat
terjadi radang pada lambung, usus, kandung kemih dan ginjal tetapi kelainan
ini juga didapati pada penyakit lain. Jika ada lesi pada kulit akan sangat
membantu diagnosa. Pada kasus kronik akan terjadi penebalan kapsul di
sekeliling persendian dan permukaan tulang persendian akan menjadi kasar
dan mengalami erosi.
3. Diagnosa
Diagnosa laboratorium dilakukan dengan :
a. Pemupukan bahan pemeriksaan pada Media Tryptose Broth, Tryptose
Phospat Agar dan agar darah dan pengeraman selama 24-48 jam pada
suhu 37°C.
b. Pemeriksaan mikroskopik isolat yang telah ditumbuhkan.
c. Identifi kasi isolat isolat yang telah ditumbuhkan berdasar sifat
biokimiawi.
d. Uji biologik dengan memakai hewan percobaan seperti mencit, tikus,
burung, merpati, kelinci, dan hamster.
Diagnosa secara serologis tidak dianjurkan sebab tidak memberikan
reaksi yang spesifi k.
4. Diagnosa Banding
Penyakit erysipelas yang bersifat akut pada hewan muda secara
klinis sulit dibedakan dari penyakit septisemia lainnya seperti kolera babi,
salmonellosis akut atau infeksi bakterial Iainnya.
Arthritis yang dipicu oleh Mycoplasma hycosinoviae sangat
mirip dengan arthritis yang dipicu erysipelas.
Arthritis dapat pula dipicu oleh Streptococus, Staphylococus.
Corynebacterium dan Brucella yang biasanya juga disertai dengan
kelumpuhan.
Nekrosis dan deskuamasi beberapa daerah dari kulit, yang kadang-
kadang terjadi sebagai akibat dari erysipelas babi akut, dapat dikacaukan
dengan kejadian terbakar matahari yang hebat, fotosensitasi, pengaruh
ektoparasit dan para keratosis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Untuk tujuan isolasi dan indentifi kasi erysipelas dapat dikirim
bahan-bahan seperti tonsil darah, feses, air kemih, organ limpa, hati, ginjal,
kelenjar limfe, sunsum tulang, cairan persendian yang terserang, eksudat
peritonial, otot dan pada manusia biopsi kulit yang meradang. Sebagai
media transport dapat dipakai kaldu daging ditambah 1% glukose. Dari segi
keberhasilan isolasi bakterinya urutan dari organ-organ yang akan dikirim
untuk pemeriksaan yaitu ginjal, limpa, hati, dan persendian serta tonsil.
pengobatan :
1. Pengobatan
Serum kebal, dipakai untuk tujuan profi laksis dan pengobatan.
Profi laksis : - Diberikan 5 ml serum untuk hewan yang beratnya sama
dengan atau kurang dari 50 kg. Untuk tiap kenaikan berat
badan 10 kg di atas 50 kg diberikan tambahan 1 ml serum
- Imunitas yang ditimbulkan tidak lebih dari 15 hari.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Vaksin
(1) Attenuated vaccine: atenuasi dilakukan pada kelinci. Kekebalan
yang ditimbulkan 8-12 bulan. Untuk ternak bibit dilakukan vaksinasi
ulang selang 1 tahun.
(2) EVA : Erysipelas Vaccine Avirulent
EVA yaitu single lyophilized culture dari E.insidiosa yang bersifat
avirulen. Penggunaanya bisa secara tunggal atau secara simultan
dengan pemberian serum kebal. Pada babi dapat diberikan secara
oral, dapat memicu /membentuk kekebalan selama 6 bulan.
b. Tindakan Higiene
(1) Untuk menekan jumlah pencemaran maka harus diadakan sistem
drainase perkandangan yang lancar, disediakan tempat khusus
untuk pembuangan kemih dan feses, lantai kandang harus terbuat
dari bahan yang mudah dibersihkan.
(2) Bila ada hewan yang mati karena erysipelas harus dibakar dan
semua peralatan bekas pakai harus disinfektan.
GLANDERS
Sinonim : Malleus, Boosaarddige Droes, Ingus Jahat
Glanders yaitu penyakit infeksi kronis yang dapat menyerang pada hewan
berkuku satu, dan jarang ditemukan pada hewan-hewan lainnya atau juga pada
manusia. Penyakit ini ditandai dengan ciri yang spesifi k yaitu adanya formasi
nodule fi brokaseous pada alat pernafasan bagian depan, paru-paru dan kulit.
Penyakit kebanyakan ditemukan di Asia, Eropa Timur, dan Afrika Utara.
B. ETIOLOGI
Penyakit ini dipicu bakteri Pseudomonas mallei, suatu bakteri Gram negatif,
non motil, dan tidak membentuk spora, agak sedikit resisten terhadap lingkungan,
dan dapat bertahan hidup 2-3 bulan di luar tubuh.
Gambar 1. Pseudomonas mallei
(Sumber : http://www.iranscs.blogfa.com/post-110.aspx)
Penyakit Glanders pernah dilaporkan di India, Pakistan dengan tingkat insidensi
rendah dan sporadik, serta di Mongolia telah menyebar luas. Di negara kita jarang
terjadi.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Bangsa kuda umumnya terkena dan kejadiannya kronik tapi pada
jenis keledai dan Bagal (Mule) selalu berjalan akut. Kejadian pada manusia
dan bangsa karnivora jarang terinfeksi. Secara alami meskipun jarang terjadi
bangsa sapi domba, babi dan anjing dapat pula tertular. Untuk hewan-hewan
percobaan jenis marmut dan juga tikus putih amat rentan. Manusia bersifat
rentan, pernah dilaporkan kematian pada manusia akibat glanders, yaitu pada
manusia-manusia yang terlibat secara dekat dengan kuda yang tertular.
2. Pengaruh Lingkungan
Bakteri Pseudomonas mallei ada dalam eksudat hidung dan
ulserasi kulit dari hewan yang terinfeksi, dan penyakit ini sering terjadi karena
kontak atau menelan makanan atau air yang terkontaminasi oleh cairan
hidung hewan sakit. Organisme ini rentan terhadap panas, cahaya, dan
desinfektan, dan dapat bertahan hidup di daerah tercemar selama lebih dari 1
tahun. Keadaan lembab, dan kondisi basah mendukung kelangsungan hidup
organisme. Kapsul polisakarida yang dimilikinya yaitu faktor virulensi
yang penting dan dapat meningkatkan kelangsungan hidup di lingkungan.
3. Sifat Penyakit
Pada keledai dan Bagal penyakit biasanya berlangsung secara akut, dan
berbentuk bronkopneumonia berat. Penularan ke manusia hampir selalu
berlangsung melalui kulit, dalam bentuk lesi lokal yang nampak beberapa
hari sesudah penularan. jika penyakit berlanjut, biasanya akan diikuti
dengan adanya gejala intoksikasi, yang berupa demam yang tinggi atau
rendah, kehilangan napsu makan, kekurusan batuk, dan akhirnya terjadi
radang paru-paru yang lalu diakhiri dengan kematian.
4. Cara Penularan
Kuda yang tertular yaitu hewan reservoir penyakit, dengan pola
penularan melalui kontak langsung dan tidak langsung. Penularan melalui
kontak tidak langsung dapat terjadi melalui kantong pakan, bak air minum,
bahan pakan, tempat pakan, alas kandang, pakaian kuda, dan juga pakaian
kuda mempunyai peran penting dalam penyebaran penyakit.
Pada manusia, infeksi dapat terjadi melalui kontaminasi pada saat
pemotongan atau pencukuran bulu, atau juga dapat terjadi pada mereka
yang merawat secara langsung kuda-kuda yang sakit. Atau dengan kata lain
penularan terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi,
bakteri dapat masuk melalui lecet kulit, permukaan mukosa hidung dan
mulut, atau terhirup. Bangsa karnivora dapat terserang lewat makan karkas
yang terkontaminasi.
5. Faktor Predisposisi
Manusia dapat terinfeksi saat mereka datang dan kontak dengan
hewan yang sakit atau benda yang terkontaminasi. Penularan bakteri
umumnya terjadi melalui luka kecil di kulit. Kadang-kadang melalui menelan
atau menghirup bakteri juga dapat memicu terjadinya infeksi di antara
manusia. Faktor predisposisi terjadinya penyakit dapat dipicu oleh
karena sanitasi dan hygiene yang kurang, adanya luka-luka pada kulit, dan
kondisi yang membuat kuda mudah terinfeksi seperti stres, kelelahan, dan
juga malnutrisi.
6. Distribusi Penyakit
Penyebaran penyakit pada umumnya masuk ke sistem pencernaan
melalui pakan dan air yang terkontaminasi, dan dapat juga masuk melalui
sistem pernafasan. Penyebaran secara tidak langsung melalui gigitan
serangga atau berbagai perlengkapan peralatan pakan dan kandang.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Masa inkubasinya amat bervariasi, gejala klinis muncul sesudah
beberapa hari sesudah infeksi atau sekitar 1 - 2 minggu. Namun demikian
kadang-kadang masa tunas dapat pendek tetapi dapat juga sampai beberapa
bulan bahkan tahun, dan pada beberapa kasus infeksi berjalan subklinis.
Penyakit akan nampak muncul jika hewan mengalami stres seperti
karena kerja keras yang berlebihan atau kekurangan pakan.
Pada umumnya kuda penderita glanders tidak menampakkan
gejala penyakit, meskipun sebenarnya kuda-kuda tersebut dapat yaitu
sumber penularan untuk kuda-kuda lainnya. Gejala pertama yang nampak
yaitu gejala umum yang tidak spesifi k. Pada awalnya kuda nampak
menurun kondisinya, bulu tidak mengkilat dan kasar, mudah lelah, dan ada
kalanya disertai batuk yang kering. Gejala pertama yaitu kelainan sebagai
akibat adanya lesi di saluran nafas bagian atas atau kulit yang disertai
dengan demam naik turun dan hilangnya napsu makan dan minum. Gejala
klinis penyakit Glanders secara garis besar dapat dibedakan sebagai bentuk
paru-paru, hidung, dan kulit, penderita dapat pula termanifestasi dari ketiga
bentuk tersebut.
Pada bentuk akut penyakit ditandai dengan demam, batuk serta
bersin (nasal discharge), selanjutnya proses berjalan secara periodik terjadi
penyempitan cuping hidung. Kelenjar getah bening submaxillary membesar
dan terasa sakit jika dipegang. Juga ada gejala kegagalan respirasi
(respiratory distress) dan dapat terjadi kematian sesudah 2 minggu. Bentuk
akut biasanya umum terjadi pada bangsa keledai dan Bagal, tetapi jarang
pada bangsa kuda, dan jika terjadi pada kuda biasanya yaitu bentuk kronis
dengan gejala stres.
Bentuk kronis ditandai dengan kelesuan, batuk, demam yang
berselang-seling serta juga bentuk hidung dan kulit juga dapat terlihat,
serta pembesaran kelenjar getah bening submaxillary. Dengan istirahat dan
pemberian pakan yang baik akan memberi perbaikan pada kondisi tubuh.
Gejala pertama pada lesi hidung terjadi dengan sekresi yang
bening tipis berasal dari salah satu atau kedua cuping hidung yang lalu
menjadi purulenta serta kadang-kadang bersama dengan darah. Nodul
pada mukosa hidung dapat pecah dan memicu terjadinya luka yang
ada area nekrosenya. Hal tersebut yaitu suatu proses memicu
terbentuknya bintang pada septum nasal, yang dapat terjadi pada kasus
yang ekstrem. Pada mukosa hidung mungkin dapat ditemukan ulserasi
dan nodulasi, kelenjar limfe submaksiler mengalami pembengkakan, dan
epistasis juga dapat ditemukan pada penderita.
Pada bentuk kulit (farcy), salah satu atau kedua kaki depan biasanya
terinfeksi, selain di kaki lesi juga dapat terjadi di tempat lain. Bentuk kulit
biasanya ditemukan pada sepanjang garis lymphatik yang ada di kulit. Nodul
yang terjadi dengan bentuk seperti kue pea akan pecah dan mengeluarkan
sekresi berwarna kuning abu-abuan disertai nanah, dan meninggalkan luka
di kulit. Bentuk kulit yaitu metastase secara hematogen dari organ-
organ tubuh bagian dalam, dan jarang yang yaitu kejadian primer
penyakit.
2. Patologi
Bentuk paru-paru ditemukan pada semua kasus glanders. Pada
kejadian yang bersifat fatal lesi-lesi banyak ditemukan di dalam paru-paru,
kelenjar limfe trakeal atau bronkhial, mukosa hidung dan kulit. Dapat juga
ditemukan limfangitis subakut atau kronis yang kebanyakan mengenai pada
kaki-kaki belakang. Lesi kadang ditemukan pada kelenjar limfe mesenterial,
limpa dan hati, jarang ditemukan di ginjal, dan kadang-kadang pada skrotum
hewan jantan.
Lesi di paru hampir selalu ditemukan pada kuda penderita glanders.
Pada gambaran potongan paru, ditemukan adanya nodul keras dengan
warna keabu-abuan. Nodul pada kejadian pertama berwarna merah tetapi
berikutnya akan berkembang dengan pesat berwarna kekuningan yang akan
membesar sampai terjadi bentukan yang menempel di paru dan tidak mudah
untuk dilepaskan. jika nodul masih baru, pusat nodul berwarna putih
kotor, kuning dan bersifat seperti gelatin, bagian pusat terdiri dari nanah yang
mengental. Pada nodul yang tua, akan ada pusat nodul yang berwarna
abu-abu dikelilingi oleh bahan yang lunak dan kering, atau oleh kapsul yang
bersifat fi brous.
Lesi di dalam hidung berbentuk sebagai luka, dapat terbentuk pada
bagian mukosa tetapi yang paling banyak yaitu pada sekat hidung. Ulserasi
dapat memicu tertembusnya sekat hidung. Lesi atau luka glanders
mungkin akan mengalami kesembuhan yang akan membekas berbentuk
jaringan parut berbentuk seperti bintang atau stelat.
Lesi kulit yang tersifat dikenal dengan nama “Farcy bud”, pada kulit
atau jaringan bawah kulit ditemukan adanya pembengkakan dengan diameter
2-3 cm atau lebih. Luka Farcy mempunyai lubang yang berbentuk seperti
bibir. Luka dapat meluas dan membesar, biasanya cenderung tidak sembuh
dalam waktu yang lama sehingga terbentuk jaringan parut. Tunas lesi atau
Farcy bud kebanyakan ditemukan di kaki belakang, pada bagian dalam dari
tumit ke bawah. Namun lesi tersebut juga mungkin dapat ditemukan pada
bagian tubuh yang lain.
Bila menyerang pada manusia akan memicu lesi ulserasi yang
ekstensif pada kulit, kulit akan nampak edem dan hemoragi dengan lesi
Farcy berhubungan dengan pembuluh limfe membentuk “Farcy pipes”. Kulit
mengelupas, mengalami penebalan, berwarna kemerahan dengan eksudat
ektensif yang bernanah (dapat dilihat pada Gambar).
3. Diagnosa
Berbagai metoda diagnosa untuk glanders selain dengan berdasar
gejala klinis, hasil pemeriksaan bakteriologis, dapat juga dilakukan secara
serologis, dan uji mallein pada penyakit-penyakit yang gejalanya tersembunyi
atau tidak jelas.
Metode yang dipakai di lapangan selain melihat gejala klinis, untuk
menyeleksi ternak yang terkontaminasi dilakukan dengan intradermo
palpebral mallein test. Uji dilakukan dengan menyuntikkan 0,1 ml konsentrat
mullein, disuntikkan 5 mm dibawah pelupuk mata. Reaksi positif ditandai
dengan adanya kebengkakan lokal dan mukopurulent discharge yang terjadi
dalam 24 jam sampai dengan 2-3 hari sesudah pengujian. Pada hewan normal
dapat terjadi respon kebengkakan yang sangat ringan pada kelopak mata
yang mungkin terlihat 2-6 jam sesudah penyuntikkan, dan akan menghilang
dalam waktu sekitar 12 jam. Cara penyuntikan selain melalui ophthalmik test
juga dapat dilakukan secara subkutaneus atau kutaneus.
4. Diagnosa Banding
Kutaneus klinis glanders dapat dikelirukan dengan epizootik
lymphangitis dan ulceratif lymphangitis, serta akut glanders dapat dikelirukan
dengan strangles.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel dapat diambil dari lesi segar. Organisme yang cukup banyak dapat
diperoleh dari olesan lesi segar, jumlah organisme hanya sedikit ditemukan
di lesi yang lebih tua. Selanjutnya harus diwarnai dengan metilen biru atau
pengecatan Gram. Lebih baik pengambilan sampel dari lesi yang tidak
terkontaminasi (belum terbuka). Dalam sampel yang diperoleh biasanya
dalam kondisi yang tidak steril. Untuk menghindari perubahan karakteristik
yang dapat terjadi secara in vitro, maka isolat segar harus dipakai dalam
usaha identifi kasi. Media kultur harus dikontrol kualitasnya dan harus dapat
mendukung pertumbuhan organisme dari inokulum kecil. Strain referensi
harus dibudidayakan secara paralel untuk memastikan bahwa tes bekerja
dengan benar. Untuk mengatasi kontaminasi, suplementasi media sampel
dengan zat yang menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif dengan
penambahkan kristal violet atau profl avine telah terbukti bermanfaat.
pengobatan :
1. Pengobatan
Jika dipakai pada program eradikasi, maka pengobatan sebaiknya tak
dianjurkan. Di negara dengan kejadian penyakit endemik, disebutkan bahwa
pengobatan dengan sulphadimidine, nitrofurans dan polymyxin memberikan
hasil yang baik. Pengobatan pada kuda memakan waktu yang lama, mahal,
dan tidak dapat sembuh sepenuhnya. Perlu diingat bahwa pengobatan dapat
sangat berbahaya karena pengobatan dapat memicu bentuk carrier
subklinis. Pengobatan dengan sulfadiazine pada manusia dan hamster telah
terbukti efektif untuk melawan glanders.
2. Pencegahan dan Pengendalian
Tak ada respon perkembangan kekebalan yang baik akibat infeksi
glanders, dan vaksin yang pernah dibuat nampaknya tidak efektif. pemotongan
ternak pada kasus kIinis untuk eradikasi glanders tidak dapat sukses karena
adanya bentuk subklinis masih tetap ada dalam populasi.
Jika suatu wabah terjadi, semua ternak yang terkena (kontak)
sebaiknya dikarantina dan uji mallein dengan interval 28 hari untuk mencari
reaktor dan jika ditemukan langsung dipotong. Selain dilakukan uji mullein
secara rutin juga harus diikuti dengan program desinfeksi yang baik, dan
juga pengawasan lalu lintas hewan yang ketat.
Sebagai mana penyakit ini disebarkan oleh proses penggigitan
serangga, penjagaan juga lebih ditekankan pada managemen kandang, juga
pada tempat minum bersama, kandang, semua peralatan termasuk tempat
minum, dan berbagai alat perlengkapan hewan harus didesinfeksi.
HEARTWATER
Sinonim : Cowdriosis, Black Gall Sickness, Mad Gall Sickness
Heartwater yaitu penyakit yang dipicu oleh Cowdria ruminantum,
dan ditularkan melalui caplak. Gejala akut ditandai dengan demam tinggi,
hydropericardium, hydrothorax dan hydroperitonium yang menyerang domba,
kambing, sapi dan kerbau.
Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Cowdry pada tahun 1925 saat bertugas
di Afrika selatan. Heartwater masih terbatas di negara Afrika yang memicu
kerugian pada ternak domba, sapi dan kambing. Penyebaran penyakit tersebut
terutama di Afrika Timur dan Selatan. Vektor heartwater antara lain Amblyoma
hebraeum, dan species lain dari Amblyoma.
Gambar 1. Berbagai stadium caplak Amblyoma yang menularkan Heartwater.
Setiap stadium caplak sejak stadium terkecil sampai dewasa dapat
menularkan rickettsia.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-DA_
HEARTWATER.HTML)
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan yaitu kerusakan fi sik daging, defi siensi
protein pada hewan, dan tingginya biaya program kontrol pembasmian caplak.
etiologi
Heartwater dipicu oleh golongan Ricketsia yaitu species Cowdria
ruminantium. C.ruminantium menyerang sel endothel dari pembuluh darah
kapiler, mempunyai bentukan berupa polymorph, coccoid (0,3 µ), batang (0,3-
0,5 µ), dan diplococcus. Pewarnaan dengan Giemsa, cytoplasma Rickettsia akan
berwama biru tua, sedangkan nucleus berwarna merah muda.
Ricketsia sifatnya sangat labil, dalam darah hanya tahan beberapa jam bila berada
dalam temperatur kamar. Dalam temperatur -700C dapat bertahan hidup selama
2 tahun. Diketahui ada beberapa galur C.ruminantium yang secara imunologik
berbeda atau dengan kata lain ada beberapa serotipe C.ruminantium.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Hewan yang rentan terhadap penyakit ini antara lain sapi, kerbau,
kambing, domba dan jungulate liar. Di daerah tempat penyebaran heartwater
banyak ditemukan berbagai genus caplak akan tetapi yang bertindak
sebagai vektor hanyalah “bont” tick dan Amblyoma sp. saja. Larva caplak
yang terinfeksi tetap mengandung bibit penyakit sampai menjadi dewasa,
akan tetapi tidak terjadi penularan secara transovarial.
Gambar 2. Caplak Heartwater sedang menghisap darah sapi. Saat menghisap
darah, caplak ini menularkan rickettsia dari sapi satu ke sapi
lainnya.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-
DA_HEARTWATER.HTML)
2. Pengaruh Lingkungan
Biasanya heartwater terjadi selama musim penghujan dimana
caplak aktif mencari induk semang terutama domba dan sapi.
3. Sifat Penyakit
Penyebaran penyakit heartwater hampir ke seluruh wilayah Afrika
Selatan dan Afrika Timur. Di daerah ini penyebaran vektor Amblyoma sp
sangat sulit dikendalikan, karena caplak Amblyoma sp dewasa dapat hidup
10 bulan tanpa makanan.
Walaupun penularannya tidak begitu cepat (angka morbiditas rendah),
namun karena sering mengalami kematian akibat busung air dan kekurusan
maka penyakit ini yaitu penyakit penting yang harus diwaspadai.
Penyakit ini yaitu penyakit yang bersifat enzootik di Benua Afrika.
4. Cara Penularan
Ternak yang telah terinfeksi bila tidak mati akan rnemiliki kekebalan
terhadap galur yang homolog, walau kekebalan ini tidak selalu cukup pada
setiap hewan. Bila ternak terinfeksi oleh serotipe yang berbeda kekebalan
itu bersifat parsial. Ternak yang memiliki kekebalan di dalam aliran darahnya
dan masih mengandung C.ruminantium yang aktif, maka ternak semacam ini
masih dapat bertindak sebagai reservoir, dan mampu menularkan penyakit
melalui caplak bila mengisap darahnya.
Gambar 3. Burung bangau diketahui sebagai pembawa caplak Heartwater.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-
DA_HEARTWATER.HTML)
Anak sapi yang berumur sampai 3 minggu sangat rentan terhadap
heartwater, dan dapat dikebalkan dengan cara menyuntikkan serum dari
hewan yang terinfeksi. Cara ini banyak dilakukan dl daerah enzootik di Afrika
Selatan, yang walaupun kadang-kadang timbul reaksi post-inokulasi akan
tetapi tindakan ini jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan kerugian
akibat infeksi alam pada anak sapi yang lebih tua.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya penyakit yaitu adanya infestasi caplak
di tubuh ternak. Sebaiknya ternak yang terinfestasi caplak harus segera
diobati sehingga kemungkinan penularan penyakit dapat dicegah
6. Distribusi Penyakit
Kejadian heartwater di negara kita belum pernah dilaporkan. Di Afrika
Selatan dan Afrika timur penyakit ini sering dijumpai, antara lain di negara
Rhodesia, Bostwana, Zambia, Swazilanda, Uganda, Kenya, Ethiopia, Sudan,
Cameroon, Congo, Tunisia dan Madagascar.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang dapat ditemukan yaitu adanya hydrothorax,
hydropericardium, oedema paru-paru, limpa membengkak, dan kadang-
kadang ditemukan gastroenteritis hemorhagica. Masa inkubasi antara 7-
14 hari sesudah ternak terinfeksi. Dalam kasus perakut timbuI demam, kolap
(collapses) dan mati dalam keadaan konvulsi, disertai pengeluaran lendir
berbusa dari hidung dan mulut. Kasus yang akut lebih sering terjadi, dengan
gejala demam, makan dan memamah biak masih terus berlangsung untuk
beberapa saat, tetapi hewan segera menjadi gelisah dan memperlihatkan
gejala-gejala syaraf, berjalan dengan kaku, langkah tinggi dan tidak tetap,
berputar, mata terbuka tanpa melihat, dan mulut bergerak seperti sedang
mengunyah. lalu akan kolaps dalam keadaan konvulsi dan berakhir
dengan kematian. Dalam bentuk subakut dan kronik gejala-gejala tersebut
nampaknya keadaanya lebih ringan.
Gambar 4. Konvulsi yaitu gejala klinis heartwater. Gambaran pada rusa
ini menunjukkan bahwa ruminansia liar berpotensi memicu
wabah heartwater.
(Sumber : http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/INF-
DA_HEARTWATER.HTML)
2. Patologi
Hewan yang mati akibat bentuk perakut jarang menunjukkan
perubahan pasca-mati Bentuk akut, hidropericardium tidak selalu terlihat
pada domba dan sapi. Selaput lendir mengalami kongesti. oedema paru-
paru selalu ditemukan. Ruang pleura dan peritoneum berisi cairan yang
berlebihan dengan berbagai hemorrhagi pada lapisan serosa, viscera
dan jantung. Limpa dan simpul limfe membesar, terutama pada sapi. Hati
membesar dan hemorrhagi, kantong empedu menegang. Pada mukosa usus
halus terlihat garis-garis zebra akibat pembendungan pembuluh kapiler.
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada gejala klinis dan perubahan makroskopik.
Secara histopatologis akan ditemukan rickesttsia dalam sitoplasma sel
endotel.
Diagnosa dilakukan dengan membuktikan adanya rickettsia dalam
jaringan tersangka atau dengan jalan membuat postulate Koch pada domba,
dengan material yang diambil 2-4 hari sesudah timbul gejala klinis hewan yang
diduga sakit akan memberikan diagnosa yang paling baik.
4. Diagnosa Banding
Bluetongue, anthrax, theileriosis acut, tetanus, keracunan strychnine
dan hipomagnesemia.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
C.ruminantium menyerang sel endothel pembuluh darah dan dapat
ditemukan dalam sediaan yang dibuat dari hippocampus, cortex cerebri dan
intima pembuluh darah yang besar. Sediaan tersebut dibuat dengan metode
preparat impresi otak yang difi xasi dalam methanol di lapangan. Darah
yang diambil dari hewan sakit dalam stadium demam dapat dipakai sebagai
bahan penyakit dan ditularkan secara intravenus kepada hewan yang rentan.
Masa tunas antara 7-14 hari. Di samping itu bila diperlukan di lapangan
dapat juga dilakukan penyuntikan pada tikus dan selanjutnya dikirimkan ke
laboratorium.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan Terramycin (Tetracycline) secara
intra muscular 2 mg/kg berat badan, atau melalui air minum 2-4 hari dengan
dosis sebagai berikut :
a. Kambing, 300 mg/hari/12.5 kg berat badan.
b. Domba, 200 mg/hari/12.5 kg berat badan
c. Sapi, 200-250 mg/hari/50 kg berat badan
2. Pencegahan dan Pengendalian
Pencegahan dapat dilakukan dengan :
a. Hewan tertular di isolasi dan diobati
b. Dilakukan kontrol terhadap caplak terutama Amblyoma spp. dengan
rotasi pengembalaan (rotational grazing).
c. Dilakukan pemeriksaan darah terhadap adanya C.ruminantum sampai 2
bulan berturut-turut (karena dalam masa tersebut C.ruminantum masih
infektif dalam tubuh hewan).
Pengendalian caplak sangat bermanfaat dilaksanakan guna mencegah
infeksi, umpamanya dengan “dipping” dalam larutan benzene hexachloride.
Darah yang infektif dapat dipakai sebagai vaksin untuk di daerah tertular,
terutama pada anak sapi sampai umur 3 minggu. Bila timbul reaksi post
vaksinal pada anak sapi atau yang dewasa, perlu dipakai antibiotik yang
spesifi k yaitu tetracycline dengan dosis domba 6-8 mg/kg berat badan dan
sapi 4-6 mg/kg berat badan. Penggunaan antibiotika lain juga dapat dilakukan
seperti terramycine, streptomycin dan sulfonamide akan menghasilkan
respon yang baik.
LEPTOSPIROSIS
Sinonim: red water disease, infectious hemoglobinuria, fl abby udder, yellow
disease, stuttgart disease dan canine typhus (pada hewan), weil’s disease,
seven-day fever, autumn fever, rice fi eld fever, swamp fever, mud fever,
swineherds disease,fort bragg fever dan canicolafever (pada manusia).
Leptospirosis yaitu penyakit infeksi pada hewan mamalia dan juga dapat
menular pada manusia yang dipicu Leptospira sp. Kasus leptospirosis pada
hewan dan manusia telah banyak dilaporkan di berbagai negara.
Dalam perkembangan penyakitnya, ada berbagai tahap yang dapat saling
tumpang-tindih terjadi pada hostnya, yaitu tahap leptospiremia, tahap pembentukan
antibodi, dan tahap leptospiruria.
Gejala klinis leptospirosis sangat bervariasi,bergantung pada kepekaan host
yang terinfeksi dan virulensi agen penyebabnya, yaitu mulai dari yang ringan
atau bahkan subklinis sampai dengan yang berat yang dapat memicu
kematian. Kematian penderita leptospirosis akibat terjadinya degenerasi ginjal
dan nekrosis hati. Pada kasus-kasus akut, gejala klinis leptospirosis yang sering
teramati yaitu agalaktia, hemoglobinuria dan ikterus, atau kejang-kejang akibat
terjadinya meningitis. Sedangkan pada kasus-kasus kronis, gejala klinisnya
yaitu abortus, lahir-mati, lahir-dini, anak yang dilahirkan dengan kondisi Iemah,
atau infertilitas. Pada kuda dapat terjadi periodik opthalmia (moon blindness).
Kematian yang terjadi pada ternak, terutama pada ternak muda, agalaktia, dan
berbagai gangguan pada sapi, babi dan domba yaitu dampak leptospirosis
yang merugikan peternak.
etiologi
Leptospirosis yaitu penyakit infeksi yang dipicu Leptospira intterogans.
Pada awalnya dikenal berbagai macam species Leptospira, namun sekarang
hanya dikenal satu macam yaitu Leptospira interrogans dengan berbagai
serotype atau serovar.
Selama tahap leptospiruria, leptospira dikeluarkan tubuh bersamaan dengan
dikeluarkannya urin. Di luar tubuh, daya tahan hidupnya banyak dipengaruhi
kondisi tanah dan air tempat bakteri tersebut berada. Kelembaban, pH tanah
yang netral, dan suhu sekitar 25°C diperlukan untuk mempertahankan kehidupan
leptospira di luar tubuh. Makin lama hidup, maka makin banyak peluangnya untuk
menginfeksi host baru yang peka.
Kelembaban diperlukan untuk mempertahankan kehidupan leptospira. ini
ditunjukkan dari suatu percobaan bahwa pada tanah dengan kandungan air yang
banyak dapat memelihara kehidupan leptospira sampai 193 hari, tetapi hanya 30
menit jika tanah tersebut kering. Selain kelembaban, pH dan suhu juga sangat
berpengaruh untuk mendukung kehidupan leptospira. Kehidupan leptospira
terhambat pada pH di bawah 6 atau Iebih besar dari pH 8, dan juga kehidupannya
terancam pada suhu lebih rendah dari 7-10°C atau Iebih tinggi dari 34-36°C.
Sementara itu, di dalam susu sapi, leptospira hanya bertahan hidup selama 30
menit, tetapi jika susu tersebut terencerkan dengan air tawar maka leptospira
dapat bertahan hidup selama 60 hari. Di dalam urin babi, leptospira hanya
bertahan hidup selama 6 hari, dan pada urin sapi yang terencerkan dengan air
tawar, leptospira bertahan hidup selama 35 hari. Selain itu, leptospira akan mati
dengan cepat jika dipaparkan pada sinar matahari, desinfektan, detergen, atau
sabun.
Spesies bakteri pemicu leptospirosis L.interrogans, termasuk dalam famili
Leptospiraceae dari ordo Spirochaetales. Secara serologis, anggota spesies
ini dapat dibedakan menjadi serovar-serovar, dan serovar-serovar yang hampir
sama sifat genetiknya dikelompokkan menjadi satu kelompok serogroup. Sampai
saat ini telah diketahui ada 172 jenis serovar yang dikelompokkan menjadi
19 jenis serogroup.
Gambar 1. Leptospira interrogans
(Sumber : http://www.microbeworld.org/index.php?option=com_jlibrary&view=ar
ticle&id=7609 dan http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira)
Leptospira interrogans berbentuk batang helikoidal yang lentur dengan diameter
0,1 µm dan panjangnya 6-12 µm. Setiap sel bakteri ini memiliki 18 lekukan atau
lebih dengan amplitudo 0,10-0,15 µm dan panjang gelombangnya kira-kira 0,5
µm. Biasanya, salah satu atau kedua ujung selnya membengkok. Spesies ini
bergerak dengan gerakan yang khas, yaitu berotasi secara bolak-balik sepanjang
sumbu memanjangnya bersamaan dengan gerakan maju-mundur searah
dengan arah sumbu memanjangnya. Spesies ini yaitu aerob obligat dengan
suhu optimum untuk pertumbuhannya yaitu 28-30°C, dan waktu generasinya
6-16 jam. L.interrogans tergolong dalam bakteri gram negatif, tetapi spesies ini
tidak mudah menyerap zat warna anilin, sehingga diperlukan pewarnaan khusus
untuk rnewarnainya. Spesies ini yang tidak diwarnai tidak dapat dilihat dengan
mikroskop medan terang, tetapi mudah dilihat dengan memakai mikroskop
medan gelap atau mikroskop kontras-tahap .
epidemiologi
1. Spesies rentan
Semua mamalia, terutama sapi, kambing, domba, babi, kuda, anjing,
kucing, tikus dan manusia yaitu spesies yang banyak dilaporkan terserang
leptospirosis. Situasi leptospirosis pada spesies ternak dapat digambarkan
sebagai berikut :
Di negara kita ternak sapi terutama terinfeksi dengan serovar pomona,
dan serovar hardjo, dan sapi bertindak sebagai hewan carrier dari kedua
serovar tersebut. Di negara-negara lain, kedua serovar tersebut telah
dilaporkan sebagai pemicu gangguan reproduksi papa sapi, pan serovar
hardjo telah dilaporkan sebagai pemicu agalaktia dan mastitis pada sapi.
Babi sering bertindak sebagai hewan carrier dari serovar pomona
dan serovar tarassovi. Di negara-negara lain, kedua serovar tersebut
bertindak sebagai pemicu gangguan reproduksi papa babi.
Sedangkan spesies ternak lainnya, yaitu kerbau, domba dan kambing
belum diteliti secara intensif.
2. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan dari peternakan berpengaruh terhadap prevalensi
leptospirosis pada ternaknya. Prevalensi leptospirosis akibat L.hardjo pada
sapi potong sesudah terjadinya hujan dan pada peternakan dengan tanah
yang becek ternyata lebih tinggi. ini sesuai dengan pengamatan pada
lingkungan yang basah terjadi infeksi leptospira yang tinggi terjadi pada
tikus dan sapi. Adanya genangan air atau akibat hujan lebat tampaknya
memperlama kehidupan dan meningkatkan penyebaran leptospira sehingga
kejadian leptospirosis akan berlangsung terus menerus sepanjang musim
penghujan, terutama jika ada banyak tikus.
3. Sifat Penyakit
Bergantung pada spesies host, serovar penyebab, dan daerah host
berada, maka leptospirosis dapat bersifat sporadis atau endemis. Pada babi,
leptospirosis akibat pomona di Jawa bersifat endemis.
4. Cara Penularan
Urine dari hewan yang terinfeksi, air atau tanah yang terkontaminasi
dengan urin terinfeksi, jaringan dari hewan terinfeksi, atau cairan tubuh
hewan terinfeksi yaitu sumber penularan leptospirosis.
Penularan leptospirosis dapat terjadi baik secara kontak langsung
atau kontak tidak langsung. Kontak langsung yang paling sering pada ternak
yaitu melalui inhalasi yaitu droplet urin terinfeksi langsung masuk alveoli
host lain. Sedangkan penularan melalui kontak tidak langsung terjadi jika host
peka terpapar dengan air atau tanah yang terkontaminasi dengan leptospira
yang ada di dalam sumber penularan.
5. Faktor Predisposisi
Leptospirosis yaitu penyakit infeksi akut yang dapat
menyerang manusia maupun hewan (zoonosis) yang dipicu oleh bakteri
Leptospira sp. Penyebaran leptospirosis di negara kita sudah sangat luas di
sebagian besar Propinsi dengan angka kematian cukup tinggi. Cakupan air
bersih yang rendah (air telah tercemar), status kesehatan yang menurun,
atau malnutrisi akan memudahkan terjadinya leptospirosis. Sungai atau
danau yang telah tercemar leptospira akan yaitu sumber penularan
bagi hewan atau manusia yang memanfaatkan air tersebut.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Pada sapi leptospirosis dapat berlangsung cepat, atau secara
bertahap, atau secara klinis tidak terlihat (subklinis). Pada kasus-kasus ak