Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Juli 2023

penyakit hewan mamalia 1



Akabane yaitu  penyakit menular non contagious yang dipicu oleh virus dan 
ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa Hydraencephaly 
(HE). Hewan yang peka yaitu  sapi, domba dan kambing.
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit Akabane ialah keguguran, mumifi kasi 
fetus dan kelahiran cacat.
etiologi 
Penyakit Akabane dipicu oleh virus yang diklasifi kasikan pada RNA virus 
yang termasuk sub grup Simbu dan famili Bunyaviridac.
Virus Akabane berbentuk bulat dan mempunyai ukuran antara 70-130 nm. Virus 
ini dapat mengaglutinasi sel darah merah angsa, itik dan burung dara.
Gambar 1. Struktur virus Akabane. 
(Sumber : http://www.ndr.de/regional/mecklenburg-vorpommern/
schmallenbergvirus113_v-contentgross.jpg)
epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus Akabane mempunyai sifat antara lain mempunyai amplop, sensitif 
terhadap ether dan labil dengan pengaruh asam dan trypsin.

2.  Spesies rentan
     Sapi, domba dan kambing yaitu  spesies rentan terhadap penyakit 
Akabane. Di daerah yang sebagian besar ternaknya sudah terinfeksi virus 
Akabane pada masa mudanya, jarang sekali atau hampir tidak ada laporan 
tentang adanya gejala AG dan HE. Sapi, domba dan kambing bunting yang 
dimasukkan dari daerah bebas ke daerah terinfeksi yaitu hewan yang 
paling rentan dan sebagai akibatnya yaitu  dapat terjadi abortus, mumifi kasi, 
fetus lahir mati, dan fetus dengan gejala AG dan HE.
3.  Sifat Penyakit
     Kejadian penyakit biasanya bersifat sporadik akan tetapi kondisi ini 
dapat berubah menjadi kejadian penyakit yang bersifat epidemik.
4.  Cara Penularan
     Penularan penyakit Akabane yaitu  melaui gigitan vektor Culicoides sp. 
Di Australia C. brevitursis yaitu  vektor yang utama.
5.  Kejadian di negara kita 
     Secara serologik ditemukan zat kebal  terhadap Akabane pada sapi -
sapi di negara kita .
     Penyakil Akabane dicurigai di Jawa Tengah pada sapi perah impor dari 
Australia yang melahirkan pedet dengan gejala AG, mumifi kasi fetus, abortus 
dan HE yaitu pada tahun 1981.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Penyakit Akabane ditandai dengan adanya cacat tubuh pada keturunan 
yang dilahirkan dan hewan yang terinfeksi. Cacat tubuh dapat berupa 
arthrogryposis yaitu pembengkakan persendian yang bersifat primer pada 
kaki dan kondisi ini biasanya terjadi bilateral; skoliasis yaitu pembengkokan 
tulang punggung, otot gerak mengalami atropi sehingga pedet yang dilahirkan 
tidak dapat berdiri.
     jika yang terserang susunan syaraf pusat maka akan terlihat adanya 
hydroencephaly.
     Pada induk sapi yang sedang bunting dapat terjadi keguguran, kelahiran 
dini, lahir mati atau mumifi kasi fetus.
     Anak sapi yang lahir dengan gejala AG atau HE dapat hidup sampai 
beberapa bulan dengan gejala gangguan koordinasi (ataksia), kebutaan, 
disfagia atau gangguan regurgitasi.
Gambar 2. Anak sapi dengan gejala AG. 
(Sumber : The Center for Food Security & Public Heath. Iowa State 
University;  http://www.maccvets.co.uk/images/home_images/akabane1.jpg)
2.  Patologi
     Perubahan pada pedet yang dilahirkan terlihat adanya AG, otot gerak 
tampak pucat dan mengalami edema, adanya skoliasis, serta HE yang 
kadang-kadang ditemukan adanya rongga pada pons, medulla, dan cervical 
spinal cord.
3.  Diagnosa
     Sapi bunting yang diduga terinfeksi virus Akabane akan mengalami 
abortus atau lahir mati dan ditemukan adanya AG atau HE yang bersifat 
kongenital serta terjadi secara sporadik atau endemik. Dapat pula dilakukan 
Hemaglutination Inhibitation Test dan Netralization Test. Antibodi dapat 
dideteksi pada fetus atau pada serum pedet sebelum diberi kolostrum.
     Isolasi dan identifi kasi dapat dilakukan dengan inokulasi otak fetus pada 
anak tikus putih atau pada biakan jaringan yaitu BHK-21 atau HM Lu-1 sel.
4.  Diagnosa Banding
     Harus dibedakan dengan kejadiaan abortus, lahir dini atau lahir mati 
yang dipicu oleh infeksi virus IBR. Kejadian abortus dan cerebellar 
hypoplasia yang dipicu oleh infeksi virus BVD-MD.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
     Spesimen yang tepat yaitu  berupa serum asal fetus karena keguguran 
pedet lahir dini atau pedet dengan gejala AG dan HE. Specimen diambil 
secara aseptik dan pre-kolostrum.
     Paired sera induk sapi diambil pada waktu hewan sedang sakit dan 
pada tahap  konvalesen dengan internal 2-3 minggu.
     Untuk isolasi virus dapat diambil spesimen berupa otak, limpa, darah, 
cairan cerebro spinalis dari fetus. Keseluruhan spesimen tersebut di atas 
harus dikirim segera dalam keadaan segar dingin ke laboratorium veteriner 
terdekat.
pengobatan :  
a.  Pengobatan
     Belum ada pengobatan untuk abortus, lahir mati atau kelahiran 
anomali.
b.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
     Vaksinasi perlu dipertimbangkan bila banyak hewan yang terserang 
atau memicu  kerugian yang besar. Di Jepang pembuatan vaksin aktif 
dan inaktif secara komersial sudah diproduksi.
     Pengendalian vektor pemicu penyakit yaitu dengan spraying mungkin 
dapat mencegah penyakit Akabane meluas.
     Untuk penolakan penyakit, maka dapat dilakukan penolakan pemasukan 
sapi bunting dari negara tidak bebas penyakit Akabane. Bila terpaksa harus 
melakukan pemasukan hewan dari negara bebas ke negeri terserang 
hanya untuk hewan -hewan muda saja, karena hewan muda ini diharapkan 
mendapat kekebalan melalui indonesia


BOVlNE EPHEMERAL FEVER (BEF)
Sinonim : Ephemeral Fever, Bovine Epizootic Fever, Three-day Sickeness, 
Penyakit Demam Tiga Hari, Stiff Zsickness,  Penyakit Kaku
  
Bovine Ephemeral Fever (BEF) yaitu  suatu penyakit viral pada sapi yang 
ditularkan oleh serangga (arthropod borne viral disease), bersifat benign non 
contagius, yang ditandai dengan demam mendadak dan  kaku pada persendian. 
Penyakit dapat  sembuh kembali beberapa hari kemudian.   
Dari segi mortalitas penyakit ini tidak memiliki arti penting, tetapi dari segi produksi 
dan tenaga kerja cukup berarti karena hewan yang sedang laktasi akan turun 
produksi susunya dan pada hewan pekerja menurunkan kemampuan bekerja 
sekitar 3 5 hari. 
etiologi 
Penyebab BEF yaitu virus Double Stranded Ribonucleic Acid (ds-RNA), 
memiliki amplop,  berbentuk peluru dengan ukuran  80 x 120 x 140 nm yang 
mempunyai tonjolan pada amplopnya. Virus BEF diklasifi kasikan sebagai 
Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae, dan masih satu kelompok dengan virus 
rabies dan  vesicular stomatitis. Strain (galur) yang ada memiliki kesamaan 
secara antigenik, tetapi berbeda dalam hal virulensi.

epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus BEF peka terhadap pelarut lemak, seperti ethyl ether 20%, 
kloroform 5% dan deoxycolate 0,1%. Virus juga dapat diinaktifkan dengan 
penambahan defco trypsin 1:250 pada konsentrasi  1 % dan 0,5%. Virus BEF 
tahan  selama 8 hari jika berada dalam darah bersitrat yang disimpan dalam 
suhu 2 - 4° C.  Dalam  suspensi otak mencit terinfeksi di dalam PBS yang 
mengandung serum sapi 10% menunjukkan sedikit penurunan titer sesudah  
disimpan selama 30 hari pada 4°C. Pada suhu -70° C atau beku kering pada 
4°C dapat bertahan dalam beberapa tahun. 
     Virus BEF akan kehilangan infektivitas  pada pH rendah (2,5) atau pH 
tinggi (12)  dalam waktu 10 menit. Virus menjadi inaktif  pada suhu 56° C 
selama 10 menit;  suhu 30° C selama 18 jam dan  suhu 25° C selama 120 
jam . Virus BEF dapat ditumbuhkan pada otak anak mencit atau hamster 
yang masih menyusu, telur ayam berembrio dan kultur sel.  Setelah pasase 
6-9 kali secara intraserebral pada anak mencit yang masih menyusu, virus 
memicu paralisa dan kematian dalam 2-4 hari pasca inokulasi. Virus 
juga dapat tumbuh pada kultur sel BHK-21 (baby hamster kidney) dan ginjal 
kera. Cytopathogenic efect (CPE) timbul 48-72 jam pasca inokulasi. 
2.  Spesies Rentan
     Virus BEF hanya menginfeksi sapi, tetapi pernah dilaporkan pada 
kerbau. Sapi muda dan sapi dewasa dapat terserang penyakit ini. Sapi yang 
sembuh dari penyakit BEF dapat kebal selama 2 tahun.
3.  Pengaruh Lingkungan
Pada musim penghujan banyak ditemukan kasus BEF. Penyebaran secara 
epizootik dipengaruhi oleh vektor dan angin. Angin yang bersifat lembab dan 
basah dapat memindahkan serangga sejauh 100 km atau lebih.
 
4.  Sifat Penyakit
     Penyakit BEF bersifat sporadik. Masa inkubasi penyakit berkisar antara 
2-10 hari dan kebanyakan penderita menunjukkan gejala dalam waktu 2-
4 hari.  Angka morbiditas biasanya tinggi, tetapi angka mortalitas rendah 
(2-5%).  Gejala klinis bervariasi dan bahkan tidak semua sapi atau kerbau 
yang terinfeksi menunjukkan tanda klinik. Di daerah endemik BEF dapat 
menginfeksi sapi-sapi muda sesudah  antibodi maternal habis atau hilang, 
yaitu pada umur 3 - 6 bulan. Di daerah non endemik sapi semua umur sangat 
rentan terhadap BEF. 

5.  Cara Penularan.
     Nyamuk dari golongan Culicoides sp., Aedes sp. dan Culex sp. dapat 
bertindak sebagai vektor penyakit. Kejadian penyakit biasanya pada musim 
hujan, di mana banyak ditemukan serangga. Penyakit dipindahkan dari sapi 
sakit ke sapi sehat melalui gigitan serangga. Penularan secara langsung 
belum pernah dilaporkan. Secara buatan penyakit dapat ditularkan dengan 
menyuntikkan 0,002 ml darah sapi sakit yang sedang menunjukkan gejala 
demam, secara intravena. 
6.  Distribusi Penyakit
     Penyakit BEF pertama kali ditemukan tahun 1867 pada sapi di Afrika 
Tengah. Selain di Afrika, penyakit ini juga ditemukan di Asia dan Australia. 
Penyakit dilaporkan di Australia tahun 1936. Pada tahun 1920 di Sumatera 
pernah dilaporkan kejadian penyakit ini.  Pada tahun 1979 penyakit yang 
sama muncul kembali di Kabupaten Tuban.  Penyakit BEF   dapat ditemukan 
di  daerah tropis maupun subtropis. Penyakit bersifat sporadis di beberapa 
daerah di negara kita , seperti Nusa Tenggara, Jawa dan Kalimantan.  
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Gejala awal yang muncul yaitu  demam tinggi secara mendadak (40,5 – 
41°C), nafsu makan hilang, peningkatan pernafasan dan kesulitan bernafas 
(dyspneu), diikuti dengan keluarnya Ieleran hidung dan mata (lakrimasi) yang 
bersifat serous.  Jalan kaku dan pincang karena  rasa sakit yang sangat, 
lalu dapat terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki, otot gemetar 
serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki yang lain, sehingga 
hewan tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan punggung 
mengalami pembengkakan. Produksi susu menurun dengan tajam. Kadang-
kadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti adanya keguguran. Gambaran 
darah dalam tahap  demam menunjukkan adanya kenaikan jumlah neutrofi l 
dan penurunan limfosit. Biasanya dijumpai lekositosis pada awal penyakit, 
lalu diikuti dengan lekopenia. 

2.  Patologi 
     Pada persendian sapi yang diserang BEF banyak ditemukan penimbunan 
cairan keruh kekuningan yang segera membeku jika kapsul persendian 
dibuka. Jumlah cairan yang berlebih dalam rongga badan dan kantong 
perikard, bendungan selaput lendir abomasum, nekrosis fokal pada otot 
kerangka dan kulit. Seringkali ditemukan pembengkakan limfoglandula, 
emfi sema pulmonum dan bronkhitis. 
3.   Diagnosa
     Diagnosa penyakit dapat didasarkan atas gejala klinis, isolasi dan identifi kasi 
virus. Secara serologi antibodi dapat dideteksi dengan CFT (complemnt 
fi xation test), serum neutralization test (SNT), Agar Gel Precipitation Test 
(AGPT) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)  yang diambil 
pada saat kondisi akut dan konvalesen. Secara molekuler virus BEF dapat 
didiagnosa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dot blot hybridization 
dan sequencing. 
4.   Diagnosa Banding
     Seringkali BEF dikelirukan dengan infeksi Septicaemia Epizootica (SE), 
Surra, Infectious Bovine Rhinotracjheitis (IBR), virus Parainfl uenza-3, virus 
respiratory syncytial dan  bovine adenovirus.
5.   Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
     Untuk isolasi virus dengan cara inokulasi pada otak mencit, spesimen yang 
diambil berupa darah dengan antikoagulan Ethylene Di-amine Tetra Acetic 
acid (EDTA). Sementara itu untuk uji serologi, diperlukan sepasang serum 
yang diambil pada tahap  akut dan konvalesen dengan jarak pengambilan 2 - 3 
minggu. Hewan yang sembuh dari sakit biasanya menghasilkan titer antibodi 
yang tinggi dan dapat dideteksi dengan  AGPT, SNT dan ELISA. 
6.   Pengobatan
     Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit BEF. 
Pemberian antibiotika berspektrum luas dianjurkan untuk mencegah infeksi 
sekunder dan multi vitamin untuk mengatasi adanya stress.
pengobatan :  
Pencegahan terhadap BEF dilakukan dengan pemberian  vaksin hidup yang 
dilemahkan dan vaksin inaktif. Pengendalian dan pemberantasan harus 
diperhatikan peranan serangga pengisap darah yang diduga memegang peranan 
dalam penyebaran penyakit dan pemakaian insektisida untuk membunuh 
serangga di sekitar daerah terjangkit dan mengisolasi hewan sakit. 

DIARE GANAS PADA SAPI
Sinonim : Bovine Viral Diarrhea-Mucosal Disease (BVD-MD), Bovine Virus 
Diarrhea 
  
Diare ganas pada sapi yaitu  penyakit viral yang infeksius pada sapi, ditandai 
stomatitis erosif akut, gastroenteritis dan diare. Laju infeksi penyakit ini pada 
kebanyakan populasi sapi sangat tinggi, tetapi kejadian klinisnya rendah. Virus 
ini bersifat teratogenik dan imunosupresif yang banyak didapat pada bentuk 
penyakit kronis. Penyakit ini terdiri dari dua bentuk penyakit, yakni bovine virus 
diarrhea (BVD) dan mucosal disease  (MD), yang secara klinis berbeda, tetapi 
penyebabnya  sama.
etiologi 
Virus Diare Ganas (DG) yaitu virus RNA, termasuk anggota genus 
Pestivirus, famili Flaviviridae. Virus DGS BVD memiliki hubungan antigenik yang 
mirip dengan virus pemicu Sampar Babi (Hog Cholera). Semua strain virus 
DGS BVD menunjukkan reaksi silang. Partikel virus berbentuk bulat, mempunyai 
tiga macam ukuran. Pertama  berukuran 80 -100 nm, pleomorf, yaitu 
virion matang yang mempunyai selaput. Kedua berukuran 30 - 50 nm, dan ketiga 
partikel kecil dengan ukuran 15-20 nm yang dianggap mengandung antigen larut. 
Diduga virion besar itu pecah dan menjadi sejumlah partikel-partikel kecil yang 
masing -masing masih tetap infeksius.

epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus DGS BVD peka terhadap RNAse dan dapat diektraksi dengan fenol 
dari virionnya. Partikel virus yang matang peka terhadap ether, kloroform dan 
pelarut lemak lainnya. Virus juga peka terhadap pH rendah dan segera inaktif 
pada suhu 56°C. Virus stabil pada suhu rendah dan dapat hidup bertahun-
tahun bila dikeringbekukan dan disimpan pada suhu -70° C.
2.  Spesies Rentan
     Sapi yaitu spesies yang peka terhadap DGS BVD. Penyakit sering 
ditemukan pada sapi umur 6-24 bulan. Hewan berkuku genap lainnya, seperti 
kambing, domba, kerbau dan rusa  juga rentan terhadap DGS BVD. 
3.  Pengaruh Lingkungan
     Diperkirakan kejadian penyakit meningkat pada musim dingin, dan kasus 
dapat terjadi baik pada hewan yang dilepas maupun yang dikandangkan. 
Penyakit DGS BVD lebih umum terjadi pada sapi potong dibanding pada sapi 
perah. Pada anak sapi, penyakit biasanya terjadi pada umur 6 -10 bulan.
4.  Sifat Penyakit
 
     Bentuk penyakit ini sangat variatif. Penyakit dapat berupa diare (39%), 
radang paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%) dan keguguran 
(5%). Pada sekelompok ternak yang belum terserang penyakit ini, jika terjadi 
wabah DGS BVD, morbiditas mencapai 25 % dan mortalitas  dapat mencapai 
90 - 100 %. Jika penyakit sudah masuk pada satu peternakan, maka kasus 
baru yang terjadi bersifat sporadik. Pada sapi yang digemukkan, penyakit 
biasanya terjadi dalam beberapa minggu sesudah  sapi datang dan bersifat 
sporadik, hal ini terjadi jika sapi berasal dari peternakan bebas DGS BVD 
bercampur dengan sapi yang sakit atau sapi pembawa penyakit.
5.  Cara Penularan
 
     Penyebaran penyakit terjadi secara kontak langsung dan tidak langsung 
melalui makanan yang terkontaminasi feses dan secara aerosol.  Walaupun 
cara utama penyebaran penyakitnya melalui makanan yang tercemar feses, 
penyakit juga dapat menyebar melalui urin dan leleran hidung hewan sakit.
Sapi dapat tertular virus dari domba dan sebaliknya. Sapi dapat menjadi 
sumber penularan bagi hewan liar yang ada di sekitar peternakan. 

6.  Distribusi Penyakit
 
     Di negara kita  penyakit ini pertama kali dilaporkan  pada tahun 1985 di 
Sulawesi dan Kalimantan, saat  terjadi wabah berat yang dikenal sebagai 
wabah diare ganas pada sapi (DGS). Selanjutnya dalam kurun waktu yang 
tidak lama penyakit ini timbul di tempat lain, baik di pulau Sulawesi ataupun 
di pulau lainnya.
keterangan : 
1.  Gejala klinis
a.   Bentuk subklinis
            Bentuk ini yaitu bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika 
Serikat dan daerah enzootik lainnya. Gejalanya meliputi demam yang 
yang tidak begitu tinggi, lekopenia, diare ringan dan secara serologis 
ditemukan antibodi dengan titer yang tinggi. 
b.   Bentuk  akut
 
            Bentuk  akut penyakit terjadi pada sapi muda umur 6 – 24 bulan. Sapi 
muda kurang dari 6 bulan atau sapi dewasa lebih dari 2 tahun terserang 
DGS bentuk akut ini. Secara alami masa inkubasi penyakit berjalan 1-3 
minggu, pada infeksi percobaan gejala klinis terlihat sesudah  4-10 hari. 
Suhu hewan sakit sedikit meningkat disertai dengan menurunnya jumlah 
leukosit hingga 50 %. Kenaikan suhu tubuh terulang kembali pada hari 
ke 7-8 sesudah  percobaan. Kedua kenaikan suhu tubuh ini pada kasus di 
alam jarang teramati, gejala klinis yang segera terlihat yaitu  turunnya 
produksi susu, kelesuan yang sangat, nafsu makan turun, dan temperatur 
tinggi 410C kelihatan bersamaan. Diare biasanya profuse dan berair, 
berbau busuk berisi mukus dan darah. Lesi pada mukosa pipi terbentuk 
sebagai akibat nekrosis epitel mukosa. Erosi ini tejadi pada bagian 
bibir, bagian belakang langit-langit keras, gusi, sudut mulut dan lidah. 
Pada kasus akut seluruh rongga mulut terlihat seperti dimasak, dengan 
epithel nekrosis berwarna abu- abu menutupi bagian dasar berwarna 
merah muda. Biasanya air liur dikeluarkan dalam jumlah banyak, dan 
bulu sekitar mulut terlihat basah. Lesi yang sama didapatkan juga pada 
cuping hidung. Jika hewan cepat sembuh, lesi pada mukosa menyembuh 
dalam waktu 10 - 14 hari, tetap pada DGS kronis  erosi yang baru akan 
muncul kembali, terutama pada sudut mulut. Biasanya terlihat adanya 
leleran hidung mukopurulen akibat adanya erosi pada hidung bagian luar 
dan erosi pada faring. Edema korneal dan Iakrimasi kadang terlihat juga. 
Pada bentuk akut ini, dehidrasi dan kelesuan berlangsung sangat cepat, 
dan kematian terjadi pada 5 - 7 hari sesudah  gejala klinis terlihat. Pada 
kasus perakut kematian terjadi pada hari ke 2. Beberapa hewan yang 
sakit dapat berkembang ke bentuk DGS kronis yang berlangsung sampai 
beberapa bulan. Kepincangan terlihat pada beberapa hewan sakit akut, 
dan ini nampaknya akibat radang pada teracak (Iaminitis) dan lesi erosif 
kulit pada celah interdigital yang umumnya terjadi pada keempat kakinya. 
Radang korona kaki (coronitis) dan kelainan teracak akan terlihat pula. 
Sapi betina bunting dapat mengalami keguguran sebagai akibat infeksi, 
biasanya sesudah  tahap  akut terlewati, dan kadang-kadang sampai 3 bulan 
sesudah  sembuh, tetapi keguguran ini jarang terjadi.
c.    Bentuk sub akut atau kronis
 
       Pada sapi yang bertahan hidup, tetapi tidak  sembuh benar, terlihat 
diare, kekurusan yang berlangsung cepat, bulu terlihat kasar dan kering, 
kembung kronis, kelainan teracak dan erosi kronis pada rongga mulut 
dan pada kulit.
       Pada kasus kronis hewan dapat bertahan hidup hingga 18 bulan, dan 
selama itu hewan mengidap dengan anemia, Ieukopenia,neutropenia 
dan lymphopenia (pancitopenia).
d.   Bentuk neonatal 
       Bentuk ini banyak dijumpai pada pedet dengan umur kurang dari 1 
bulan, yang ditandai dengan suhu yang tinggi, diare, serta gangguan 
pernafasan. Pedet penderita kebanyakan berasal dari induk yang sakit 
atau induk dengan kekebalan rendah. Infeksi umumnya terjadi pasca 
kelahiran dan pada infeksi prenatal terjadi sindrom kelemahan pedet dan 
diikuti dengan diare.
Gambar 2. Anak sapi menunjukkan diare profus. 
(Sumber : Merck Animal Health)
2.  Patologi
     Bangkai penderita tampak kurus, dehidrasi, di daerah sekitar anus kotor dan 
mata cekung. Lesi ditemukan terutama pada alat pencernaan berupa erosi, 
bercak-bercak atau tukak yang jelas terbatas dengan tepi yang tidak teratur 
dengan diameter 1-5 µm. Lesi tersebut ada pada moncong, hidung, 
pipi bagian dalam, gusi, langit-langit bagian lateral dari lidah, rongga tekak, 
kerongkongan, abomasum dan usus halus. Erosi dalam selaput lendir mulut 
paling jelas pada langit-langit keras dan gusi sekitar gigi. Lesi yang khas 
ada pada kerongkongan berupa erosi yang jelas berbatas tersusun 
berderet -deret dengan dasar yang berwarna merah.
     Abomasum mengalami pendarahan, edema dan nekrosis. Pada usus 
halus ulser ditemukan pada selaput lendir peyer patches. Ulser dapat meluas 
ke jaringan limfoid, sehingga memicu  pendarahan ke dalam rongga 
usus. Perdarahan dapat terjadi pula pada abomasum. Perdarahan kadang-
kadang dijumpai pada jaringan bawah kulit, selaput vagina dan epikardium. 
Kelenjar limfe pada usus biasanya normal atau sedikit udematus, sedang 
kelenjar limfe servikal retrofaringeal membesar. 
     Secara histopatologik tampak perubahan yang mendasar berupa 
degenerasi sel. Di tempat yang mempunyai epitel berlapis, sel yang dekat 
dengan lapisan basal mengalami degenerasi hidropik, membengkak dan 
akhirnya nekrotik yang jika lepas timbul erosi. Pada abomasum tampak 
kelenjar lambung mengalami atropi dan membentuk kista. Pada Iamina 
propia dan submukosa biasanya terjadi edema, pembendungan atau 
pendarahan, serta infi ltrasi leukosit. Pada usus halus perubahan yang nyata 
terjadi pada peyer petches dengan epitel yang nekrotik sedangkan kelenjar 
menjadi cystic. Jaringan limfoid mengalami nekrosis terutama pada germinal 
center, populasi limfosit berkurang secara menyolok dan dapat pula terjadi 
pendarahan. Pembuluh darah yang mengalami perubahan dapat dijumpai 
pada media arteriole di submukosa alat pencernaan dan yang sering 
menonjol pembuluh darah pada germinal center. Perubahan seperti pada 
usus halus dapat pula dijumpai pada selaput lendir kolon, sekum, dan rektum 
yang bervariasi dari radang kataral sampai radang nekrotik.
3.  Diagnosa
     Secara klinis dan patologik anatomik tidak mudah ditetapkan, oleh karenanya 
diagnosa yang pasti dapat dilakukan dengan uji serologik dan isolasi virus 
dengan kultur jaringan. Pada stadium demam, virus dapat diisolasi dari 
leukosit, limpa, kelenjar limfe, selaput lendir dan usus halus. Isolasi biasanya 
dilakukan dengan kultur jaringan sel lestari yang berasal dari ginjal embrio 
sapi (Mardin Darby Bovine Kidney),  jaringan limpa dan testis dengan 
ditandai cytopathogenic effect (CPE) (tipe patogenik) dan ada yang non CPE 
(non patogenik). Virus diidentifi kasi dengan uji virus neutralization (VN)  atau 
dengan fl uorescene antibody technique (FAT). Diagnosa kawanan ternak 
dapat dilakukan dengan pasangan serum dengan  complement fi xation test 
(CFT).
4.  Diagnosa Banding
     DGS secara klinis bisa dikelirukan dengan malignant catharal fever (MCF). 
MCF yaitu penyakit yang sporadik, demam yang lama, disertai radang 
mata dan radang saluran pencernaan.
     Sering pula dikelirukan dengan infectious bovine rhinotrachetis (IBR), 
tetapi di sini perubahan terutama pada saluran pernafasan tanpa erosi pada 
mulut, esofagus dan usus, sedangkan pada rinderpest penyakit berlangsung 
lebih hebat dan cepat meluas dengan mortalitas yang tinggi. Penyakit lain 
yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosa yaitu  penyakit jembrana pada 
sapi bali.
 
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
     Bahan pemeriksaan yang dapat diambil yaitu  darah, urin, lendir dari hidung 
atau mulut pada stadium akut. Bahan lain yang mengandung virus yang 
dapat diambil waktu nekropsi yaitu  limpa, sumsum tulang kelenjar limfe 
dan usus. Bahan- bahan tersebut diambil secara steril dan dikirim sesuai 
dengan pengiriman bahan untuk isolasi dan identifi kasi virus.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
     Pengobatan secara khusus terhadap DGS tidak ada. Pengobatan dapat 
dilakukan secara sistematis untuk mencegah, mengurangi infeksi sekunder 
dan mengurangi kekurusan yang melanjut. Makanan diganti dengan makanan 
yang lunak tapi bergizi (konsentrat).
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
     Langkah yang perlu diambil yaitu  kebersihan lingkungan dan alat-
 alat kandang. Kelompok sapi yang sakit diisolasi dan dilarang dipindahkan 
ke kelompok sapi yang sehat. Pemasukan sapi atau spesies rentan dari 
negara tertular harus  bebas dari DGS. Vaksin yang dibuat dari virus yang 
dipasasekan pada  kelinci atau vaksin yang dibuat dari sel kultur ginjal sapi 
sangat efektif,  tetapi sering timbul komplikasi sesudah vaksinasi. Vaksin 
yang dibuat dari virus yang dibiakkan  pada sel ginjal babi dewasa ternyata 
sangat efektif dan tidak memicu  efek samping.
     Untuk daerah yang sebelumnya belum tertular dilakukan stamping 
out. Kalau oleh sesuatu hal penyakit tersebut telah menjadi berkembang, 
tindakan pemberantasan terutama dilakukan terhadap penderita klinis.

 ENZOOTIC BOVINE LEUKOSIS (EBL)
Sinonim : bovine Lymphomatosis, Bovine Lymphomacytosis, Cattle Leukemia, 
Lymphosarkoma, Lymphomamaligna
  
Enzootic Bovine leukosis (EBL) yaitu penyakit viral  yang sangat fatal 
pada sapi dewasa, bersifat neoplastik ganas, dengan manifestasi kinis berupa 
proliferasi dari jaringan limfoid. Pada kondisi lanjut dapat disertai limfomatosis 
yang bersifat persisten.  Sebagian besar infeksi bersifat subklinis akan tetapi 
kurang Iebih 30% nya akan berkembang manjadi limfositosis dan sebagian 
menjadi limfosarkoma dengan tumor di beberapa organ.
etiologi 
Penyebab EBL yaitu  virus bovine leukosis, yaitu oncovirus tipe C  dari subfamili 
Oncovirinae, famili Retroviridae. Partikel virus yaitu  single stranded Ribonucleic 
Acid (ss-RNA) yang menghasilkan poliprotein yang terdiri dari empat macam, 
yakni  nukleoprotein p12, protein kapsid p24, transmembran glikoprotein gp30 
dan glikoprotein amplop gp5l dan beberapa enzim seperti reverse transkriptase. 
Virus berukuran 70-110 nm, berbentuk bulat kasar, bersifat pleomorfi k, diselubungi 
amplop. 
Gambar 1. Struktur skematik virus EBL.
 (Sumber : http://www.idexx.com/pubwebresources/images/en_us/livestock-
poultry/news/blvirus.png.)
epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
    Virus bovine leukosis peka terhadap pengaruh alam. virus mati/inaktif 
pada pemanasan 74ºC selama 16 detik, 60ºC selama 30-60 menit. Virus 
menjadi mati/inaktif pada pH 4,8 atau dengan pemberian fenol 0,5% dan 
formalin 0,25%. 
     Virus dapat dibiakkan pada selaput korio alantois telur ayam berembrio, 
kultur sel limfosit atau jaringan limpa hewan yang peka biasanya memakai 
foetal lamb kidney. Di dalam kultur sel, virus berkembang di dalam sitoplasma 
dengan membentuk sinsitium (sel multinuklear). 
2.  Spesies Rentan
Semua bangsa sapi peka  terhadap infeksi virus bovine leukosis. Selain sapi, 
EBL juga menyerang domba, kambing, babi, kuda, rusa dan kerbau meskipun 
kejadiannya sangat jarang.
3.  Pengaruh Lingkungan
Transmisi alami biasanya terjadi pada sapi umur Iebih dari 1,5 tahun, terutama 
pada bulan-bulan musim panas dimana kontak Iangsung antar hewan Iebih 
sering dan kemungkinan oleh adanya serangga.
4.  Sifat Penyakit
     EBL yaitu penyakit pada hewan dewasa, dijumpai hanya pada hewan 
diatas umur 2 tahun dan umumnya dijumpai pada umur 4-8 tahun. Penyebarannya 
yang relatif lambat menunjukan penyakit ini tidak terlalu kontagius. Tingginya 
angka kejadian pada sapi perah mungkin dipicu oleh karena dalam 
kelompok sapi perah jumlah sapi  dewasa Iebih banyak dengan cara 
pemeliharaan yang Iebih tertutup, serta waktu pemeliharaan lebih lama 
(hingga 10 tahun).
Gejala klinis sangat bervariasi, mulai tanpa gejala sampai yang mengalami 
gangguan sistemik yang berat, yang  berlanjut ke limfositosis persisten dan 
pembentukan tumor. Kejadian penyakit Iebih kecil dibandingkan dengan kejadian 
infeksi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan Iingkungan. Hanya 
sekitar 15% anak yang dilahirkan dari induk penderita akan mengalami 
infeksi. Kurang dari 5% sapi yang mengalami infeksi menunjukkan gejala 
limfosarkoma dan kurang dari 30% sapi penderita akan memperlihatkan 
limfomatosis persisten. EBL akan memicu limfomatosis persisten bila 
penyakit telah berjalan sangat lama, pada umur lebih dari 5 tahun.
5.  Cara Penularan
     Penularan terjadi baik sesara horisontal maupun vertikal. Secara vertikal melalui 
induk kepada anaknya selama masa kebuntingan, kolostrum, susu dan selama 
proses kelahiran. Penularan secara horisontal yaitu cara penularan 
yang utama antar hewan dan membutuhkan kontak Iangsung dalam waktu 
yang lama. Secara mekanis penularan dapat terjadi melalui jarum suntik dan 
alat alat operasi yang tercemar virus,    gigitan serangga, atau melalui  darah 
terutama pada luka trauma. Di daerah tropis, seperti Venezuela, kejadian EBL 
sangat tinggi karena vektor adanya insekta penghisap darah dalam jumlah tinggi. 
Stomoxys calcitrans telah terbukti dapat menularkan penyakit. Secara buatan 
EBL dapat ditularkan dengan menyuntikkan 0,0005 ml darah yang mengandung 
2.500 limfosit. 
6.  Distribusi Penyakit
     EBL pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 di Jerman. Penyakit ini 
ditemukan di Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, Jerman, Jepang, Swedia 
Australia, New Zealand, Philipina dan mungkin sudah tersebar di seluruh 
dunia dengan angka kejadian bervariasi dari 4 sampai 24,3%. 
     Negara yang memiliki industri sapi perah yang dikelola secara intensif 
memiliki angka kejadian tertinggi, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa, 
Australia dan Jepang. 
     Di negara kita , secara serologis EBL pernah dilaporkan di wilayah Surabaya, 
Cilacap dan  Sukabumi.  Pada bedah bangkai terjadi pembengkakan di 
beberapa organ dan kelenjar limfe.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Masa inkubasi penyakit sangat lama dan pada penularan di alam masa 
inkubasi tidak diketahui secara pasti. Pada sapi dewasa sebagian besar 
(75-90%) menunjukkan adanya pembesaran hampir di semua organ, tetapi 
abomasum, jantung, organ visceral dan kelanjar limfe yaitu organ 
yang paling sering terkena. Pada umumnya penyakit berkembang sangat 
cepat, hewan menjadi kurus dan dapat diikuti adanya kematian. Gejala Klinis 
yang nampak tergantung dari organ yang terlibat, antara lain ada gejala 
syaraf seperti paralisis atau kepincangan, bila tumor menekan sumsum tulang 
dan syaraf perifer. Perubahan irama (denyut) jantung, hidroperikardium, 
atau kegagalan jantung kongestif kanan, bila tumor melibatkan jantung. 
Terjadi perubanan nafsu makan, diare bahkan melemah bila saluran 
pencernaan terlibat dan terjadi ulserasi pada abomasum. Gejala pernafasan 
muncul bila terjadi pembesaran kelenjar limfe retrofaringeal.
     Pada pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya limfositosis. Jumlah 
limfosit dalam darah dapat mencapai  50.000/mm3.  


2.  Patologi
     Jaringan limfoid yaitu organ yang paling sering mengalami perubahan 
leukotik. Pada hampir semua organ ditemukan masa tumor yang berwarna 
putih. Pada hewan dewasa tumor dapat ditemukan pada jantung, abomasum 
dan pada sumsum tulang dan mungkin organ lain. Pada sapi yang Iebih 
muda tumor mungkin ditemukan pada ginjal, kelenjar thymus, hati limpa dan 
kelenjar limfe superfi sial. 
     Pada jantung lokasi tumor yaitu  dinding atrium kanan, atau menyebar ke 
seluruh miokardium dan perikardium. Pada abomasum terjadi penebalan 
yang tidak merata pada mukosanya terutama bagian pilorus, kadang juga 
ditemukan perubahan serupa pada usus dan dapat terjadi ulserasi. Bila 
ada gejala syaraf maka perubahan akan terlihat pada syaraf perifer yang 
keluar dari lumbar terakhir atau sakral pertama berupa penebalan. Tumor 
juga dapat ditemukan pada ginjal, ureter dekat pelvis renalis dan uterus. 
Kelenjar limfe sangat membesar dipicu oleh adanya jaringan neoplastik. 
Kadang jaringan neoplastik dikelilingi oleh jaringan nekrotik yang berwarna 
kekuning-kuningan. Secara histopatologis tumor terdiri dari sel limfosit. 

3.  Diagnosa
 
     Diagnosa dapat dilakukan berdasar  gejala klinis, pemeriksaan darah, 
patologi-anatomi, serta isolasi dan identifi kasi virus. Secara serologis dapat 
didteksi antibodi dengan agar gel immmunidiffusion  (AGID), complement 
fi xation test (CFT), radio immunoassay (RIA), virus neutralization (VN), enzyme 
linked immunosorbent assay (ELISA) fl uorescene antibody technique (FAT), 
dan polymerase chain reaction (PCR). Secara histopatologis ditemukan 
tumor yang terdiri dari sekumpulan sel limfosit. Untuk skreening awal dapat 
dilakukan dengan penghitungan jumlah leukosit dengan pengukuran buffy 
coat yang melebihi normal karena adanya peningkatan jumlah leukosit. 
4.  Diagnosa Banding
     Gejala pada saluran pencernaan harus dibedakan dengan penyakit Johne’s 
(Paratuberculosis), gejala jantung dapat dikelirukan dengan perikarditis 
traumatika atau endokarditis, gejala syaraf dapat dibedakan dari Rabies 
atau adanya abses pada sumsum tulang, sedang gejala pernapasan harus 
dibedakan dengan Tuberkulosis dan Actinobacillosis. 
5.   Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
     Untuk pemeriksaan histopatologi dapat dikirimkan organ limfoid difi ksasi 
dalam bufer formalin 10%, sedangkan untuk isolasi virus dapat dikirimkan 
darah yang diberi antikoagulan atau jaringan tumor. Spesimen dikirim ke 
laboratorium dalam keadaan dingin. Untuk deteksi adanya antibodi dapat 
segera dikirimkan serum dalam keadaan dingin. 
pengobatan : 
1.   Pengobatan 
      Belum ada pengobatan pada EBL. 
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
     Sampai dengan saat ini belum tersedia vaksin untuk pencegahan 
infeksi EBL. Satu-satunya cara pencegahan yang terpenting yaitu  test and 
slaughter. Pengendalian didasarkan pada penyingkiran hewan seropositif 
dan mempertahankan sistem kompartementalisasi dengan mengimpor sapi 
dari daerah bebas EBL. 

 INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR)
Sinonim : Rhinotracheitis Infectiousa Bovis,  Infectious Bovine Necrotic 
Rhinotracheitis, Necrotic Rhinitis,  Red Nose Disease,
 Bovine Coital Exanthema.
  
IBR dan IPV yaitu  suatu penyakit menular yang dipicu oleh virus yang 
dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi. Virus 
pemicu sama, tetapi penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang berbeda. 
Penyakit ini boleh dikatakan hampir menyebar di seluruh dunia. 
Di Amerika dan Eropa penyakit ini dapat memicu  kerugian ekonomi 
cukup berarti. Kerugian terutama akibat adanya infeksi sekunder yang dapat 
memicu pneumonia, keguguran dan kematian pada anak sapi.
etiologi 
Penyebab penyakit ini yaitu  bovine herpesvirus-1 yang termasuk famili 
Herpesviridae, subfamili Alphaherpesviridae. Genom virus berupa  double 
stranded deoxyribonucleic acid (ds-DNA), dengan berat molekul 29.000-250.000. 
Virus herpes berbentuk kuboid simetri dengan kapsid icosahedral,  diameter 100-
150 µm.

epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
 
     Pada pH 7,0 virus ini stabil, pada temperatur 4°C selama 30 hari titer virus 
tidak mengalami penurunan, pada temperatur 22°C selama 5 hari titernya 
turun 1 log. Virus dapat di inaktif segera sesudah  dicampur dengan alkohol, 
aceton atau chloroform dengan perbandingan suspensi virus yang sama. 
Virus IBR ini mempunyai macam -macam strain dengan sedikit perbedaan 
antigenesitas.
2.  Spesies rentan
 
     Selain pada sapi dan kerbau, penyakit ini dijumpai pula pada babi, kambing, 
bagal dan rusa juga peka terhadap infeksi ini. Antibodi IBR pernah dideteksi 
pula pada antelope di Kanada bagian barat.
     Di Afrika virus IBR juga pernah diisolasi dari hewan liar. ini menunjukkan 
bahwa hewan liar mungkin dapat menjadi reservoir penyakit ini.
3.  Pengaruh Lingkungan
 
     Wabah penyakit mencapai puncak pada minggu kedua sampai ketiga dan 
berakhir pada minggu keempat sampai keenam. Virus dapat hidup dalam 
tubuh hewan selama 17 bulan dan pada saat tertentu dapat memicu  
wabah.
4.  Sifat Penyakit
 
     Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi, tergantung derajat 
keparahan organ terinfeksi. Penyakit dapat berupa bentuk pernafasan, 
konjungtival, genital dan keguguran, serta ensefalitik dan neonatal. Penyakit 
ini dapat memicu  infeksi sekunder berupa broncho pneumonia, 
keguguran dan kematian pada anak sapi. Morbiditas berkisar antara 30-90% 
dan mortalitas kurang dari 3%.  Sapi yang sembuh dan infeksi alami menjadi 
kebal dalam waktu yang lama. Kekebalan secara pasif yang diperoleh pedet 
dari kolostrum dapat memicu  kekebalan kurang Iebih empat bulan.
5.  Cara Penularan
  
     Penularan penyakit dapat secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal dapat 
melalui infeksi intra uterin, sedangkan horisontal dapat melalui inhalasi dari 
cairan hidung yang mengandung virus atau  melalui semen yang tercemar.

6.  Kejadian di negara kita 
 
     Kejadian penyakit di negara kita  telah banyak ditemukan, dan virus 
pernah diisolasi dan seekor kerbau yang berasal dari daerah/kecamatan 
Blangkejeren, Kabupaten Aceh Tenggara. Reaktor pada sapi dan kerbau 
pernah dilaporkandi Sumatera Utara, Jawa, Lombok, Sumbawa dan Timor. 
Zat kebal terhadap virus IBR telah ditemukan hampir di semua daerah di 
negara kita .
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
 
     Gejala klinis yang ditimbulkan penyakit ini sangat bervariasi dan dapat 
dibedakan menjadi beberapa bentuk.
a.   Bentuk Pernafasan
            Bentuk pernafasan yaitu bentuk terpenting dari segi lokalisasi 
virus. Gejala yang muncul antara lain, kenaikan suhu tubuh sampai 
42ºC, lesu, hipersalivasi, lakrimasi dan adanya edema  pada konjungtiva. 
Pada sapi laktasi produksi susu turun dengan drastis atau terhenti sama 
sekali. Radang dapat ditemukan pada hidung, sinus dan tenggorokan. 
Mukosa hidung tampak hiperemik, ingus bersifat fi birinomukoid atau 
purulen dan mukosa di bawahnya sering mengalami nekrosis. Jika kerak 
mengelupas, maka akan timbul “red nose”. Bentuk pernafasan juga bisa 
memicu  keguguran pada hewan yang bunting. Keguguran sering 
terjadi pada trimester terakhir. 
b.   Bentuk konjungtival
            Gejala edema kornea dan konjungtiva akan menghasilkan eksudat 
yang bersifat serous sampai mukopurulen. Bentuk radang difterik pada 
konjungtiva dapat dijumpai pada penderita yang parah. Bentuk ini juga 
sering disebut “winter pink eye”.    
c.    Bentuk ensefalitik
            Bentuk ini sering didapatkan pada anak sapi umur 2-3 bulan.Timbulnya 
meningoensefalitis dapat dikarenakan adanya perkembangbiakan virus 
pada otak. Gejala yang timbul dapat  berupa depresi, gelisah, konvulsi, 
hiperestesi, eksitasi ,  inkoordinasi dan kebutaan. 
d.   Bentuk genital dan keguguran 
            Infeksi virus pada mukosa vagina dan vulva memicu penyakit ini 
dikenal dengan Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV). Pada sapi jantan 
virus menginfeksi alat kelamin jantan, sehingga disebut balanopostitis. 
Infeksi akut terjadi 1-3 hari pasca koitus, dengan gejala bervariasi. Pada 
infeksi yang berat sapi memperlihatkan gelisah, rasa sakit dan sering 
kencing, vulva membengkak disertai adanya eksudat yang kental melekat 
pada rambut vulva. Pada hewan bunting, keguguran dapat terjadi pada 
trimester terakhir. Pada sapi jantan dijumpai luka pada preputium disertai 
adanya reaksi peradangan dan eksudat yang kental. Virus banyak 
ditemukan pada hati dan ginjal janin yang diabortuskan. 
e.   Bentuk neonatal
             Infeksi ini biasanya dimulai saat  pedet masih dalam kandungan. 
Gejala umum yaitu  demam, anoreksia, depresi, dipsnoea, keluarnya 
eksudat serous dari mata, serta diare yang persisten.
A                                    B                                    C
D                                    E
Gambar 2.  Gejala klinis sapi penderita IBR. A dan B) Bentuk pernafasan; 
C) Bentuk konjungtival; D dan E) Bentuk genital  
     (Sumber : http://www.vetnext.com, http://homepage.usask.ca/~vim 
458/virology/studpages2009/VirusWebsi te/ibr_virus.jpg; 
2.  Patologi
 
     Pada bentuk pernafasan ditemukan lesi yang dimulai dari mulut, tekak, 
tenggorokan dan bronchus. jika disertai infeksi sekunder dapat ditemukan 
bronchopneumonia. Pembengkakan juga ditemukan pada kelenjar limfe 
retrofaringeal, bronchial dan mediastinal. Hati pada janin bentuk genital 
dan keguguran menujukkan adanya radang nekrotik yang bersifat lokal. 
Jaringan fetus pada umumnya mengalami autolisis. Pada bentuk neonatal 
dijumpai jejas nekrosis pada kerongkongan dan lambung depan. Pedet yang 
mengalami kematian pada bentuk ensefalik menunjukkan radang pada otak 
dan selaputnya. 
3.  Diagnosa 
 
     Diagnosa didasarkan atas anamnese, gejala klinis, patologi. Secara 
laboratorium dapat dilakukan secara histopatologi dan virologi. Pemeriksaan 
adanya virus dapat dilakukan secara isolasi dari usapan vagina atau trachea 
atau organ dari saluran pernafasan dan reproduksi yang diinokulasikan pada 
biakan sel /sel (Mardin Darby Bovine Kidney) MDBK, lalu dilihat adanya 
kerusakan sel berupa adanya CPE (Cytopathogenic Effect). Identifi kasi virus 
dilakukan secara FAT (Fluorecent Antibody Test).
     Pemeriksaan adanya zat kebal dilakukan dengan uji serum neutralization 
(SN) dengan memakai biakan sel,  AGDT (Agar Gel Diffusion Test) atau 
CFT (Complement Fixation Test).
4.  Diagnosa Banding
 
     Penyakit ini dapat dikelirukan dengan Pasteurellosis, Bovine Viral 
Diarrhea (BVD),  Diphteria,   Shipping Fever,   rhinitis karena alergi, dan 
Malignant Catarrhal Fever (MCF).
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
 
     Untuk pemeriksaan virus dapat dikirim sekresi  hidung atau vagina 
dengan memakai cotton swab yang dimasukkan dalam bahan pengawet 
Hank’s yang sudah mengandung antibiotik. Darah heparin diusahakan dalam 
keadaan dingin dan steril.  Jaringan dari hewan terinfeksi (paru, trachea) atau 
yang berupa organ reproduksi dimasukkan dalam gliyserine 50 %. Spesimen 
dikirim dalamm kondisi dingin. Untuk pemeriksaan histopatologi spesimen 
difi ksasi dalam bufer formalin 10%.

pengobatan :  
Pencegahan penyakit dapat dilakukan vaksinasi, kebersihan dan sanitasi 
kandang perlu dilakukan. Pemberian antibiotik dan vitamin dapat diberikan untuk 
mengurangi infeksi sekunder.


CACAR BABI
Sinonim: Swinepox, Pigpox, Variola suilla, Louse borne dermatitits. Contagious 
inpertigo
  
Cacar babi yaitu penyakit menular pada babi, ditandai dengan adanya 
Iepuh dan keropeng pada kulit. Cacar babi biasanya yaitu penyakit ringan 
dengan lesi terbatas pada kulit. Anak babi terserang dengan tingkat mortalitas 
tinggi.
Kerugian ekonomi cukup besar karena menyerang anak babi yang sedang 
mengalami pertumbuhan. Selain itu larangan ekspor atau lalu lintas antar pulau 
dari daerah tertular ke daerah bebas.
etiologi 
Cacar babi dipicu oleh Swinepoxvirus dari famili Poxviridae. Semua strain 
memiliki imunogenik yang sama dan dapat dibedakan dengan virus pox lainnya.
Genom virus  tersusun atas DNA beruntai tunggal (ss-DNA) dengan berat molekul 
80x106D. Asam inti tersebut dilapisi protein (nukleoid) dan lapisan luar ada 
membran serta di kedua sisi ada badan lateral bentuknya elips. Partikel virus 
ini dibungkus oleh struktur membran (amplop). Bentuk virus seperti cakram atau 
bundar dan berukuran 300 -350 nm x 200- 250 nm. 
epidemiologi 
1.  Sifat alami agen
     Virus sangat tahan dalam lingkungan luar seperti debu dan bekas 
bangunan. Virus dapat ditumbuhkan secara in vitro pada kultur sel, seperti 
sel ginjal babi, testes dan paru-paru embrio babi. Pertumbuhan virus ditandai 
dengan adanya cytopathogenic effect (CPE), sesudah  3 kali pasase dan tetap 
konstan pada pasase berikutnya. Di dalam sitoplasma sel ada inclusion 
bodies.  Virus tidak tumbuh pada biakan sel sapi, kambing, domba, dan sel 
tumor anjing.
2.  Spesies rentan
Cacar babi hanya menyerang babi dan yang paling peka yaitu  babi  berumur 
muda. sedangkan babi yang berumur tua relatif tahan.
3.  Cara Penularan
     Penyakit ditularkan melalui kontak langsung antara babi sakit dengan yang 
sehat atau lewat gigitan serangga pengisap darah (nyamuk) dan kutu babi 
(Haematopinus suis) atau tungau (Tyrogtyphid spp).  Peranan hewan karier 
dalam penularan penyakit tidak diketahui, tetapi yang jelas virus tahan hidup 
dalam jangka waktu yang lama dalam debu dan bekas bangunan. 
4.   Sifat Penyakit
     Cacar babi biasanya yaitu penyakit ringan dengan lesi terbatas 
pada kulit.  Lesi dapat terjadi di mana saja, tetapi paling sering ditemukan  pada 
daerah perut. Demam sementara yang ringan dapat mendahului timbulnya 
papula. Dalam waktu 1-2 hari papula menjadi vesikel dan lalu menjadi 
bisul bertangkai dengan diameter 1-2 cm. Kutil mengerak dan mengeropeng 
dalam 7 hari, kesembuhan biasanya tuntas dalam 3 minggu. 
5.  Kejadian di negara kita  
     Cacar babi berjangkit secara sporadis di daerah peternakan babi di seluruh 
dunia.  Cacar babi dilaporkan di beberapa negara Eropa, Papua New Guinea 
dan Australia. Di negara kita  dilaporkan di Denpasar dan Jembrana, Bali pada 
tahun 1997. 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Periode inkubasi yaitu  3-6 hari, gejala awal ditandai dengan bintik 
kemerahan lalu berubah menjadi lepuh yang makin membesar (6 
mm). Pada stadium pustular, lesi-lesi terlihat iskemik dan kuning kecoklatan 
berbentuk bundar. Pusat lesi agak melekuk ke dalam dan di bagian tepi 
jaringan mengalami hipertrofi . Keropeng kulit sesudah  beberapa hari (10 hari) 
akan mengelupas meninggalkan bintik putih. Pada beberapa kasus kelenjar 
limfe membengkak, demam, konjungtivitis dan keratitis.
Gambar 2. Cacar babi. 
(Sumber :  http://www.thepigsite.com/pighealth/article/399/swine-pox; 
http://www.naro.affrc.go.jp/org/niah/disease/em/em_en/virus/avian-pox/swine-
pox-ma.jpg)
2.  Patologi
     Patologi dari organ tidak menonjol, hanya terjadi pada kulit. 
     Gambaran histopatologi menunjukkan penebalan epidermis akibat degenerasi 
hidrofi k dan hiperplasia epitel. Di dalam sitoplasma ada inclusion bodies. 
Pada dermis ada infi ltrasi limfosit, netrofi l, eosinofi l dan histiosit, serta 
dilatasi pembuluh darah. Pada stadium pustular terjadi nekrosis yang meluas 
di bagian lapisan basiler disertai infi ltrasi netrofi l dan sedikit limfosit, eosinofi l 
dan histiosit. Inclusion bodies dapat ditemukan  di dalam sitoplasma dan 
ada vakuol di dalam inti sel dapat diamati pada daerah nekrosis. Pada 
stadium kronik pada keropeng terjadi nekrosis sel. Di beberapa bagian di 
lapisan superfi sial dari debris seluler menjadi terpisah dari lapisan tipis dan 
epidermis yang mengalami regenerasi. Kelenjar limfe regional terlihat edema, 
hiperemik dan hiperplastik.
3.  Diagnosa
     Cacar babi dapat didiagnosa berdasar  gejala klinis, perubahan patologis 
dan isolasi virus. Dari gejala klinis babi terserang biasanya cukup untuk 
menetapkan diagnosa. Diagnosa yang paling tepat didapat sesudah  konfi rmasi 
laboratorium dari hasil pemeriksaan histopatologis dan isolasi virus. 
Perubahan histopatologis menunjukkan degenerasi hidrofi k dari stratum 
spinosum dan adanya inclusion bodies intra sitoplasmik dan vakuolisasi di 
dalam inti sel epitel yang yaitu perubahan patognomonik. 
4.  Diagnosa Banding
     Lesi di daerah mulut sering dikelirukan dengan penyakit mulut dan kuku, 
vesicular exanthema dan vesicular stomatitis. Sementara itu adanya lesi 
pada kulit seringkali dikelirukan dengan hog cholera, alergi kulit, erysipelas, 
ptyriasis rosea, dermatitis vegetatif,  scabies, kelainan nutrisi dan infestasi 
ektoparasit lainnya. Gejala kemerahan dan gatal-gatal akibat alergi dapat 
diatasi dengan pemberian obat anti alergi. 
5.  Pengambilan dan Pemeriksaan Spesimen
     Spesimen untuk isolasi virus diambil dari jaringan lepuh atau keropeng kulit 
dan ditampung dalam botol berisi media transpor, seperti bufer fosfat gliserin 
50% atau media Hank’s yang mengandung  antibiotik. Untuk pengujian 
histopatologis dan imunohistokimia, diambil jaringan yang difi ksasi ke dalam 
bufer formalin 10%. 
pengobatan :  
1.  Pengobatan
     Pengobatan spesifi k terhadap cacar babi belum ada. Pengobatan 
dengan yodium pekat dan antibiotika pada kulit dapat mencegah infeksi 
sekunder.
2.  Pelaporan, Pencegahan, dan Pengendalian
a.   Pelaporan
            Setiap ada kasus harus dilaporkan kepada Dinas yang membidangi 
fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat untuk dilakukan 
tindakan sementara dan diteruskan kepada Direktur Jenderal Peternakan 
dan Kesehatan Hewan.
b.   Pencegahan dan Pengendalian 
            Vaksinasi tidak dilakukan karena penyakit ini dianggap tidak merugikan. 
Babi yang sembuh dari swinepox akan kebal terhadap infeksi berikutnya. 
Infeksi dapat memicu  imunitas lokal dan melindungi babi dari 
infeksi berikutnya. Anak babi yang baru lahir memiliki antibodi maternal, 
demikian pula babi yang sembuh memiliki kekebalan yang yang bertahan 
lama bisa selama hidupnya. Tindakan pengendalian lebih diarahkan 
dengan melakukan  tindakan karantina yang ketat, yaitu mencegah 
masuknya babi sakit ke suatu daerah atau ke peternakan yang bebas, 
memberantas nyamuk dan tungau di daerah wabah. 


 HOG CHOLERA
Sinonim : Classical Swine Fever (CSF), Swine Fever, Schweine, Pest, Peste du 
Pore, Peste Suina atau Penyakit Sampar Babi.
  
Hog cholera (HC) yaitu penyakit viral menular terpenting pada babi, 
berlangsung subakut, akut atau kronik, dengan proses penyakit yang tidak 
menciri atau bahkan kadang tidak tampak sama sekali. 
Kerugian ekonomi yang dipicu oleh penyakit ini cukup besar karena 
morbiditas dan mortalitas tinggi, hilangnya devisa akibat larangan ekspor 
khususnya ternak babi dan hasil olahannya serta dampak yang lebih luas yaitu 
hilangnya kepercayaan atau minat peternak untuk mengembangkan peternakan 
babi.
etiologi 
Agen pemicu hog cholera yaitu  virus single stranded Ribonucleic Acid (ss-
RNA) dari genus Pestivirus termasuk famili Flaviviridae. Virus HC berada dalam 
genus yang sama dengan virus bovine viral diarrhea (BVD).  Virus berbentuk bulat 
helikal atau tidak teratur dan berukuran antara 40-50  nm dengan nukleokapsid 
berukuran 29 nm.  
Materi genetik  virus tersusun dari RNA beruntai tunggal (ss-RNA) berukuran 
panjang 12,5 kb. Virus HC memiliki amplop yang pada permukaannya 
ada peplomer berukuran 6- 8 nm. Struktur amplop tersebut tersusun  atas 
glikoprotein.
Virus HC mempunyai sifat antigenik dan virulensi yang bervariasi. Ada beberapa 
strain virus HC yang diketahui sangat ganas (virulen) seperti strain C (China), 
Weybridge (Inggris), Diepholz 1/Han94 (Jerman), Brescia (Brasilia), ALD, Niigata/ 
1966, Hokkaido/ 1966, Yamanashi/ 1969, Fukuokal l977(Jepang). Strain yang 
tidak ganas  seperti strain Baker A (Amerika Serikat), NSW (New South Wales 
Australia), 333, GPE+ dan GPE- (Jepang)

epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen 
     Virus HC  sangat peka terhadap panas. Infektivitas virus menurun pada 
pemanasan 56°C selama 60 menit,  60°C  selama 10 menit atau  710C selama 
1 menit.  Dalam daging beku dapat bertahan selama 4,5 tahun, dalam organ 
yang telah membusuk tahan selama 3-4 hari,  dari dalam darah atau sumsum 
tulang yang telah membusuk  tahan selama 15 hari. 
     Virus  juga sangat peka terhadap  pelarut lemak , seperti eter, kloroform atau 
deoksikolat. Larutan NaOH 2% sangat efektif untuk tujuan desinfeksi alat 
dan kandang babi. Virus stabil pada pH 5- 10. Dalam larutan  5% fenol dan 
HCl yang mengandung 1,66 % klorin dapat merusak virus dalam waktu 15 
menit. Virus dapat dibiakkan pada kultur sel  ginjal  dan  limfosit babi yang 
ditandai dengan timbulnya cytopathogenic effect (CPE). 
 
     Virus HC dapat ditumbuhkan secara in vitro pada biakan sel. Berbagai jenis 
kultur sel pernah dicoba, seperti  sel paru,  testes babi, ginjal sapi, makrofag 
alveolar babi  atau sel fi broblas embrio ayam.  Namun yang paling banyak 
dipakai yaitu  sel ginjal babi. Virus HC juga dapat dibiakkan pada hewan 
coba.
2.  Spesies rentan
     Semua jenis atau ras babi peka terhadap HC. Hewan lain seperti kelinci  dan 
kambing dapat tertular hanya melalui infeksi percobaan.
3.  Cara Penularan
     Hog Cholera ditularkan melalui kontak langsung dengan babi terinfeksi, atau 
secara tidak langsung melalui ekskresi dan sekresi babi yang terinfeksi. 
Masuknya penyakit ke suatu daerah  karena adanya babi pembawa virus 
(carrier), produk asal babi atau bahan dan makanan tercemar, limbah dari 
tempat pemotongan hewan atau sisa hotel yang mengandung daging babi 
yang tidak dimasak. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui alat 
transportasi, sepatu dan pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai 
berulang. 
     Penularan vertikal terjadi dari induk kepada anak babi. Penularan 
transplasental terjadi pada kebuntingan 68 dan 88 hari ditandai dengan 
viremia pada anak yang dilahirkan dan mati sesudah  1-8 minggu.  
4.  Sifat penyakit
     Penyakit bersifat endemik. Babi yang terserang virus HC virulen, tingkat 
morbiditas dan mortalitasnya tinggi dapat mencapai 100%. Saat wabah yang 
terjadi di Bali menunjukkan tingkat morbiditas rata-rata 60,15% dan ortalitas 
37,86% atau case fatality rate (CFR) 62,94%. Kasus HC tertinggi terjadi 
pada anak babi yang berumur kurang dari 2 bulan dengan tingkat morbiditas 
88,15% dan mortalitas 78,88% atau CFR 87,21% dan tingkat mortalitas 
harian 27,03%.
 
5.  Kejadian di negara kita 
     Di negara kita  sendiri penyakit mewabah pertama kali di Sumatera Utara pada 
tahun  1995, sejak itu penyakit tersebar di berbagai daerah seperti Sumatera 
Barat, DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi 
Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan  NTT.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Penyakit dapat berjalan perakut,  akut, subakut, kronis atau tidak tipikal. 
Bentuk  klasik HC yaitu infeksi akut yang disertai demam tinggi, 
kelesuan, penurunan nafsu makan dan konjungtivitis. Gejala muncul sesudah  
masa inkubasi 2-4 hari, diikuti adanya muntah, diare dan atau konstipasi, 
pneumonia, paresis, paralisis, letargi, tremor, berputar dan konvulsi.  
    Pada bentuk akut ditandai dengan anoreksia, depresi, suhu meningkat sampai 
41-42º C berlangsung selama 6 hari. Jumlah leukosit menurun (leukopenia) 
dari 9.000 menjadi 3.000/ml darah. Pada awal sakit hewan mengalami 
konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Sekresi mata berlebihan bersifat 
mucous atau mukopurulen.  Demam tinggi diikuti konstipasi dan radang 
saluran gastrointestinal memicu diare encer, berlendir, warna abu 
kekuningan dan babi terlihat kedinginan. 
     Pada kasus subakut yang kurang tipikal, masa inkubasi menjadi panjang dan 
kelangsungan penyakit klinis yang lebih lama dengan kematian yang terjadi 
sesudah  berminggu atau berbulan-bulan.  
     Pada kasus kronis dilaporkan ada 3 tahap  yakni tahap  permulaan yang ditandai 
dengan gejala anorexia, depresi, suhu tubuh naik dan lekopenia. Setelah 
beberapa minggu nafsu makan dan keadaan umum terlihat membaik dan 
suhu tubuh turun ke suhu normal atau sedikit di atas normal. Fase kedua 
ditandai dengan leukopenia yang persisten. Pada tahap  ketiga, terlihat gejala 
nafsu makan menurun, depresi, suhu tubuh meningkat sampai terjadi 
kematian. Babi menunjukkan pertumbuhan yang terhambat, mempunyai lesi 
pada kulit dan berdiri dengan punggung terlihat melengkung (opistotonus) 
dan babi dapat bertahan hidup lebih dari 100 hari.
     Pada hewan bunting ditandai dengan kematian fetus, mumifi kasi, lahir 
prematur, anomali, lahir dalam keadaan lemah dan tremor. Anak babi 
terinfeksi in utero yang mati sesudah  lahir sering menunjukkan perdarahan 
berupa ptekie pada kulit dan organ dalam.
Gambar 2. Gejala klinis pada HC., anak bai mengangkat satu kaki (goose 
stepping)
           (Sumber : http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E120.jpg.)
2.  Patologi
     Pada kasus per akut mungkin tidak terjadi perubahan umum yang dapat 
diamati pada bedah bangkai. Pada kasus akut terjadi perdarahan ptekie 
pada  submukosa dan  subserosa pada kapsula ginjal, serosa usus dan 
korteks limpa. Ditemukan adanya pembendungan dan infark pada limpa, 
hati, sumsum tulang dan paru. Lesi ini dipicu oleh infeksi virus pada 
endotel pembuluh darah yang sangat kecil. Pada kasus subakut atau kronis, 
terjadi ulserasi nekrotik pada mukosa usus besar, adanya pneumonia dan 
entritis.  Sindrom ini berkaitan dengan tingginya kejadian abortus, kematian 
dan mumifi kasi fetus, serta kelainan bawaan. Anak babi yang lahir hidup, 
baik sehat atau cacat, akan mengalami infeksi secara menetap, toleran 
secara imunologis dan mengeluarkan virus selama hidupnya. 

3.  Diagnosa
     Diagnosa HC dapat didasarkan pada data epidemiologi, gejala klinis, 
patologis anatomis dan histopatologis. Identifi kasi virus dapat dilakukan 
dengan Flourescent antibody technique (FAT), Agar gel precipitation test 
(AGPT), Complement fi xation test (CFT), Hemagglutination inhibition (HI),  
capture ELISA   dan polymerase chain reaction (PCR). 
4.  Diagnosa Banding
     Penyakit ini dapat dikelirukan dengan African Swine Fever (ASF), 
salmonellosis sepsis, pasteurellosis, streptokokosis, erysipelas dan infeksi 
Haemophilus somnus. 
pengobatan :  
1.   Pengobatan
     Belum ada obat yang efektif untuk mencegah hog cholera. 
2.  Pelaporan, Pencegahan, dan Pengendalian 
a.   Pelaporan
            Setiap ada kasus swine fever harus segera dilaporkan ke Dinas 
yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat, 
tembusannya dikirimkan kepada Direktur Jenderal Peternakan atau 
Direktur Kesehatan Hewan di Jakarta untuk diambil Iangkah-langkah 
pemberantasan dan pengendalian wabah. 
b.   Pencegahan dan Pengendalian
            Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan 
penyakit yaitu  melakukan vaksinasi dengan memakai vaksin 
aktif  yang sudah diatenuasi. Keberhasilan program vaksinasi sangat 
tergantung dari strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status kesehatan 
hewan yang divaksinasi. Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui 
tindakan karantina.
 
       Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm tertular. Semua 
babi yang pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi, stamping out 
atau tindakan pemotongan bersyarat. Lalu lintas ternak babi dan hasil 
olahannya dari daerah tertular dilarang keluar atau diperjual belikan. dan 
di lokasi kasus dicantumkan tanda larangan “Awas Penyakit Menular”.
       Sesuai dengan peraturan International Terrestial Animal Health Code 
(OIE) dan European Community (EC) negara pengekspor babi dan hasil 
olahannya ke negara bebas HC harus menunjukkan pernyataan bebas 
swine fever berdasar  investigasi serologis. 
            Hewan yang menderita HC tidak dianjurkan untuk dipotong, tetapi 
dimusnahkan.

 CANINE PARVOVIRUS
Sinonim : Penyakit Parvovirus Anjing,  Penyakit muntah berak
  
Penyakit parvovirus anjing (PPA) yaitu penyakit menular bersifat akut dan 
mematikan pada anjing berumur muda, ditandai dengan dehidrasi, muntah dan 
berak bercampur darah, gastroenteritis dan miokarditis.
etiologi 
Penyakit parvovirus anjing (PPA) dipicu oleh canine parvovirus (CPV), 
genus Parvovirus dari famili Parvoviridae. Materi genetik virus tersusun atas DNA 
beruntai tunggal single stranded dioxyribonucleic Acid (ss-DNA) dengan berat 
molekul 1,35 x 106 sampai 1,70 x 106 dalton. Bentuk virus yaitu  ikosahedral 
simetri, memiliki 32 kapsomer dan berukuran 18 sampai 26 nm. 
Gambar 1. Struktur parvovirus anjing. 
(Sumber :  http://www.bostonterrierhub.com/images/parvo-virus-1.jpg.)
epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus tahan selama 3 hari pada suhu 100°C. Virus juga tahan terhadap 
asam, desinfektan (deterjen dan alkohol) dan pelarut lemak ( eter,  kloroform) 
atau  proses cair beku (freezing dan thawing). Virus peka terhadap clorox 
dengan pengenceran 1:30. Virus stabil pada pH 3-9 dan suhu 56°C.  Virus 
menjadi inaktif dalam formalin, beta propiolakton (BPL) dan binary ethylenimine 
(BEI). Virus dalam tinja ini tahan selama 1 - 2 minggu sesudah  infeksi. Virus 
yang ada dalam tinja tetap hidup pada suhu kamar dan bersifat menular 
selama 6 bulan.   Canine parvovirus dapat mengaglutinasi sel darah merah 
babi pada pH di bawah 6,8 dan berbagai jenis kera seperti African green 
monkey, modgus monkey dan crab eating macaque. Tidak mengaglutinasi 
sel darah merah sapi, kambing, domba, anjing, ayam, kalkun, marmot, tikus 
dan hamster serta darah orang golongan O. 
2.  Spesies rentan
     Semua jenis atau ras anjing (ras dan lokal) peka terhadap penyakit ini. 
Dalam praktek, kasus paling banyak terjadi pada anjing ras. Anjing-anjing 
liar dilaporkan juga terserang seperti wolves (Speothos venaticus), racoon 
(Nyctereutes procyonoides, procyon lotor), dan coyotes (Canis latrans). 
Anjing penderita PPA kebanyakan fatal terutama kelompok umur muda, umur 
kurang dari 6 bulan. 
3.  Sifat Penyakit
     Penyakit dapat bersifat sporadik atau endemik. Tingkat morbiditas dan 
mortalitas tinggi. Anjing yang berumur muda antara 12 minggu terserang PPA 
memiliki tingkat morbiditas 50 - 100% dan mortalitas sampai 50%, sedangkan 
anjing dewasa tidak lebih dari 1 %. 
4.  Cara penularan
     PPA  ditularkan melalui kontak langsung antara anjing tertular dengan 
yang sehat melalui makanan dan minuman tercemar virus. Penularan melalui 
feses dan bahan muntahan yaitu cara yang paling menonjol.  Virus 
dalam feses diperkirakan titernya 109 TCID 50/gram, puncak titer dicapai 
sesudah  4 sampai 7 minggu. Penularan virus secara pasif dapat terjadi 
melalui orang-orang yang pernah berhubungan langsung dengan anjing 
sakit, seperti perawat anjing atau dokter hewan. Produk biologis, peralatan 
kandang, tempat praktek dokter hewan, pet shop dan lingkungan lain yang 
tercemar virus yaitu sumber penular PPA.
5.  Distribusi Penyakit
      Pada pertengahan tahun 1978 telah terjadi wabah penyakit parvovirus 
pada anjing yang kejadiannya secara simultan di Amerika Serikat. 
berdasar  studi sero-epidemiologis dan dengan pemeriksaan mikroskop 
elektron menunjukkan canine parvovirus. Penyakit juga ditemukan endemik, 
seperti dilaporkan di Amerika Selatan, Australia, Inggris,  Eropa, Mexico, 
Canada, Finlandia, Afrika Selatan dan Barat, Irlandia, Italia. Nederland, New 
Zealand, Norwegia, Switzerland, Belgia dan di India.  Kejadian di negara kita  
hampir ditemukan di seluruh daerah. 

keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Periode inkubasi penyakit pada infeksi peroral yaitu  5-10 hari dengan 
titer 106  TCID50.  Pada saat terjadi infeksi, virus mengadakan replikasi lokal 
pada jaringan limfoid dan osofaring lalu diikuti dengan viremia selama 
2 sampai 5 hari.  Selama periode viremia virus dapat ditemukan atau diisolasi 
pada sel epitel usus, otot jantung dan jaringan limfatik. Pada infeksi peroral, 
antibodi dapat dideteksi 5 hari sesudah  infeksi dan level antibodi dicapai 
sesudah  gejala klinis terlihat. Titer antibodi maksimum dicapai 1 minggu 
sesudah  infeksi. Antibodi ini tetap konstan dengan level yang tinggi (titer HI 
640 lebih dari 2 tahun). 
     Gejala klinis anjing terserang PPA ada 2 bentuk yaitu bentuk enterik dan 
miokarditis non supuratif. Kedua bentuk ini dipicu oleh virus yang sama. 
ini telah dibuktikan melalui transmisi percobaan. Isolat PPA (103 HA unit) 
dari kasus miokarditis lalu disuntikkan pada anak anjing umur 4 dan 7 
minggu, sesudah  3 hari timbul gejala klinis PPA bentuk enterik.  Masa inkubasi 
PPA bentuk enterik berlangsung 5 sampai 10 hari. Gejala awal ditandai 
dengan demam (39,5 sampai 41,5°C), depresi, mukosa hidung kering, nafsu 
makan turun, kelemahan dan muntah. Isi muntahan berwarna putih keabu-
abuan dan encer. Feses konsistensinya lunak lalu menjadi encer 
berwarna kuning kehijauan bahkan encer gelap karena bercampur darah 
dan baunya sangat amis. Pada kondisi ini suhu tubuh mulai turun berlanjut 
ke suhu subnormal menjelang kematian. Kontraksi otot anus berkurang 
sehingga anjing mengalami diare tidak terkontrol. Karena muntah yang terus 
menerus memicu  anjing mengalami dehidrasi hebat yang dapat dilihat 
dari turgor kulit. Selaput lendir mata pada saat demam terlihat kongesti dan 
pucat (anemik) bahkan sianosis akibat dehidrasi karena diare dan mencret 
darah. Kematian dapat terjadi dalam waktu 49 sampai 72 jam.  
     Anak anjing sering mati mendadak tanpa menunjukkan tanda Klinis. 
Kematian yang mendadak ini umumnya dipicu oleh PPA bentuk 
miokarditis. Bentuk jantung ini akibat kegagalan konduksi jantung disertai 
dengan distres pernafasan. Pada bentuk jantung ini terlihat tanda-tanda 
klinis berupa sesak nafas, muntah, aritmia jantung dan edema paru. Kasus 
miokarditis akut dan kronis pernah dilaporkan pula dan bentuk penyakit ini 
dapat diproduksi kembali melalui penyuntikkan intra uterus 8 hari sebelum 
melahirkan. Anak anjing yang dilahirkan biasanya menunjukkan miokarditis 
akut dan kronis. Miokarditis kronis muncul sesudah  87 jam dan 131 hari 
penyuntikkan. Terkadang ditemukan gangguan pernafasan yang ditandai 
dengan leleran hidung yang bersifat mukopurulen 3 hari sesudah  sakit, 
sedangkan anjing yang sedang bunting jika ditulari dengan PPA akan 
terjadi keguguran dan kematian embrio dini atau absorpsi fetus.
2.  Patologi
 
     Di dalam rongga perut ada cairan ascites sebanyak 5 - 10 ml. 
Kelenjar limfe mesenterial membesar, edematus dan warnanya agak pucat, 
kortexnya mengalami perdarahan ptekie. Hati tampak kongesti, lobus paru 
bagian kranial dan medial terutama di daerah pleura berwarna merah abu-
abu kekebiruan bahkan sampai kekuningan dan di dalam bronki ditemukan 
eksudat mukopurulen.  Jantung tampak membesar dan warnanya pucat. 
Permukaan epikardio tidak rata dan ada alur yang warnanya abu-abu 
kebiruan meluas sampai ke endokardium sering pula ditemukan bercak 
putih. Apex dan ventrikel kiri mengalami dilatasi, serosa jejunum dan ileum 
kadang-kadang duodenum juga sering mengalami perdarahan ekimose. 
Lumen usus halus ini berisi feses berwarna merah gelap, encer dan berbau 
sangat amis. Mukosa usus mengalami kongesti sampai hemoragis. Antara 
bagian pylorus yang normal dengan bagian usus halus yang mengalami 
perdarahan ada garis demarkasi. Mukosa ileum berisi material nekrosis 
berupa perkejuan yang menutupi bagian usus yang mengalami perdarahan. 
Mukosanya mengalami ulserasi yang agak dalam. Pada beberapa kasus 
terjadi prolapsus rektum. Timus tampak atrofi  dan sel limfoid mengalami 
nekrosis atau deplesi kortikal.  
     Perubahan histopatologi dari usus antara lain edematus, villi usus 
mengalami atrofi  dan erosi. Permukaan villi usus tampak hampir rata dengan 
permukaan epitel dan sangat jelas terlihat pada ileum dan jejunum.
     Pembuluh darah di bagian submukosa dan tunika muskularis usus 
tampak kongesti sampai hemoragis, sel epitel hiperplasia kadang-kadang 
terjadi balooning degeneration dan nekrosis. Di daerah nekrosis ini dapat 
ditemukan sel plasma, limfosit dan makrofag. Kripta usus sering terlihat 
hanya dibatasi oleh sel epitel yang tidak teratur dan di dalam Peyer patche’s 
ditemukan deplesi sel limfoid dan diganti oleh limfosit matang. Jantung 
mengalami pembesaran karena edema dan otot jantung mengalami 
degenerasi akut. Struktur serabut otot terlihat longgar karena mengalami 
edema serta ada infi ltrasi intersisial oleh limfosit dan sel plasma. Di 
dalam inti sel miofi bril ditemukan badan-badan inklusi eosinofi lik.
     Gambaran mitosis sering pula dapat ditemukan pada sel miosit jantung. 
Sinusoid periasiner hati terlihat distensi dan vakoulisasi hepatosit periasiner 
disertai nekrosis koagulasi bersifat fokal dan degenerasi. Paru pada 
keadaan awal penyakit terjadi bronkopneumonia akut dan jika penyakit 
sudah melanjut terjadi pneumonia intersisial. Sel endotel pembuluh darah 
mengalami proliferasi disertai perivascular cuffi ng oleh sel berinti tunggal 
terutama limfosit. Terjadi penggantian struktur hematopoitik normal yaitu 
deplesi granulosit dan prekursor eritroid. Limpa, kelenjar limfe dan timus, 
struktur limfoidnya mengalami deplesi yang hebat. Subkapsul dan sinusoid 
dari medulanya terlihat edematus. Deplesi limfoid dari limpa terutama 
deplesi limfo-plasmatik dan sering pula meluas sampai ke bagian pulpa 
merah. Kelenjar limfe edematus, sel limfoidnya mengalami deplesi dan 
beberapa makrofag dapat ditemukan. Sel endotel sinusoid membesar dan 
terlihat hipokromatik. Timus mengalami atrofi  dan sel limfoid di daerah kortex 
mengalami deplesi.
     Pada pemeriksaan hematologi pada awal penyakit dari kasus alami 
terjadi leukopenia dengan jumlah 300-3.000 sel/mm3. Banyak ditemukan 
limfosit berinti ganda dan belum matang (immature) membelah diri.  Pada 
stadium kesembuhan terjadi leukositosis. 
3.  Diagnosa
     Canine Parvovirus dapat didiagnosa secara klinis dan patologis, akan 
tetapi dapat dikonfi rmasi dengan isolasi dan identifi kasi agen penyebab.
     Pada kasus alami partikel virus dapat diperiksa di bawah mikroskop 
elektron. Partikel virus dalam feses biasanya dapat diperiksa pada hari 
ke-3 sampai 7 sesudah  infeksi atau sesudah  titer virus mencapai puncaknya 
pada hari ke-12. Antigen dalam jaringan dapat dideteksi dengan fl uorescent 
antibody technique (FAT).  Aktivitas virus dalam feses dapat diuji dengan uji 
hemaglutinasi (HA) memakai sel darah merah babi dan kera (Rhesus 
atau African green monkey). Aktivitas hemaglutinasi berhenti antara hari ke-
7 sampai 9 pasca infeksi.  Antibodi dapat dideteksi dengan uji hambatan 
hemaglutinasi (HI) pada hari ke-3 dan 4 sesudah  infeksi.  Teknik yang Iebih 
maju telah dikembangkan, seperti enzyme linked immunosorbent assay 
(ELISA) untuk deteksi antigen dalam feses.  Disamping itu dapat juga 
dipakai agar gel precipitation (AGP), counter immunoelectrophoresis atau 
serum netralisasi (SN). 
4.  Diagnosa Banding
     Canine parvovirus memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan 
beberapa penyakit seperti feline panleukopenia, minute virus enteritis, canine 
distemper, koksidiosis dan ancylostomiasis.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
     Bahan pemeriksaan untuk isolasi virus diambil swab rektum atau 
potongan jaringan usus, limpa, kelenjar limfe mesenterialis, sumsum tulang, 
hati, paru dan jantung lalu ditampung dalam botol yang berisi fi ksatif 
bufer fosfat  gliserin  50% atau media Hank’s berisi antibiotika. Bahan untuk 
pemeriksaan antibodi dapat diambil darah tanpa antikoagulan.  selain itu juga 
diambil jaringan yang lengkap dalam formalin buffer 10% untuk pemeriksaan 
histopatologis atau imunohistokimia. 
pengobatan :  
1.  Pengobatan 
     Tidak ada pengobatan yang efektif, pemberian cairan dextrose dan 
elektrolit (lactated ringer) sangat membantu menambah tenaga dan 
mencegah dehidrasi. Diikuti dengan pemberian antibiotika (penisilin dan 
streptomisin) untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri.
2.  Pelaporan, Pencegahan dan Pengendalian
a.   Pelaporan
            Setiap ada kasus PPH harus dilaporkan kepada Dinas Peternakan 
setempat yang tembusannya disampaikan kepada Direktorat Kesehatan 
Hewan untuk diambil tindakan pencegahan.
b.   Pencegahan dan Pengendalian
            Terhadap anjing yang sehat dilakukan vaksinasi secara teratur 
memakai vaksin aktif atau inaktif. Vaksinasi pertama dilakukan pada 
umur 6 -8 minggu, vaksinasi kedua pada umur 12 minggu dan diulang 
setiap tahun. Vaksinasi dengan vaksin panleukopenia dapat dilakukan 
karena memberikan respon antibodi yang lebih tinggi dan timbul lebih 
awal. Kegagalan vaksinasi pada anjing yang berumur kurang dari 3 
bulan dipicu karena anak anjing masih memiliki antibodi maternal. 


PENYAKIT JEMBRANA
Sinonim. Penyakit Rama Dewa
  
Penyakit Jembrana yaitu penyakit viral yang bersifat menular pada sapi 
Bali, ditandai dengan demam, peradangan selaput lendir mulut (stomatitis), 
pembesaran kelenjar limfe preskapularis dan prefemoralis dan parotid, terkadang 
disertai keringat darah (blood sweating). Kerugian ekonomi diakibatkan penyakit 
ini cukup besar karena mempengaruhi lalu lintas ternak dan hasil olahannya 
antar pulau.
etiologi 
Penyakit Jembrana dipicu oleh retrovirus. Virus ini berbentuk pleomorf, 
beramplop dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic Acid 
(ss-RNA), berukuran 80 - 120 nm. Virus memiliki enzim reverse transkriptase, 
berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana 
memiliki 4 protein utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45. Protein p26 berekasi 
silang dengan protein dari bovine immunodefi siency virus (BIV). Virus Jembrana 
ini selain memiliki hubungan antigenik  dengan BIV,  juga berhubungan dengan 
Human Immunodefi ciency Virus (HIV) , Simian mmunodefi cilency Virus (SIV), 
Feline Immoundefi ciency Virus (FIV),  Maedi Visna Virus (MVV), Caprine Arthritis 
Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine Infectious Anemia Virus  (EIAV).

epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus Jembrana  peka terhadap kloroform dan eter serta tahan terhadap 
sodium deosikolat (1:1000). Inaktif oleh formalin serta peka terhadap pH yang 
ekstrim (3.0 dan 12.0). Virus segera mengalami denaturasi jika dipanaskan 
pada suhu 55°C selama 15 menit. Agen yang ada dalam daging yang 
dipanaskan pada suhu 22-25°C masih infektif selama 36 jam, atau dalam 
plasma dengan suhu 4°C infektif selama 72 jam dan stabil dalam jangka 
waktu yang lebih lama jika disimpan pada suhu -70°C. Virus dalam plasma 
yang disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam terjadi penurunan titer dari 108 
menjadi 102ID50 /ml. Titer dari agen juga menurun jika dilakukan proses cair 
beku (freezing dan thawing) yang cepat pada suhu -70°C atau penurunan 
titer yang sama jika dibekukan pada suhu -70°C selama 1 - 2 bulan. 
     Virus  Jembrana dapat ditumbuhkan  pada hewan percobaan dan in 
vitro pada biakan sel. Virus dapat tumbuh pada telur ayam berembrio melalui 
berbagai rute melalui allantois, korioallantois, selaput kuning telur dan 
intravenous.  Kematian embrio terjadi sesudah  hari ke 4-7. ditandai perdarahan 
di bawah kulit dari embrio. Demikian juga telah dicoba pada biakan sel primer 
seperti sel paru, limpa, ginjal, testis dan otot fetus, sel makrofag dari darah 
perifer,  serta  Vero (Vero-E6 dan CV1) (African green monkey), embryonic 
bovine tubinate (EBTI), Mardin Darby bovine kidney (MDBK), HeLa dan 
baby hamster kidney (BHK21) tidak memicu  cytopathogenic effect 
(CPE),  kecuali dari biakan sel makrofag sesudah  2 kali pasase dan dan sel 
mononuklear sesudah  7,14 dan 21 pasase mampu memicu  gejala klinis 
pada sapi percobaan.
2.  Spesies rentan
     Spesies rentan hanyalah sapi Bali.  Pada infeksi buatan pada sapi 
Ongole, persilangan antara sapi Bali dan Ongole, FH (Bos taurus) dan 
kerbau (Bubalus bubalis), babi, kambing dan domba menunjukan terjadi 
infeksi dengan gejala klinis yang sangat ringan dan di dalam darahnya dapat 
dideteksi antibodi. Umur sapi yang paling peka yaitu  lebih dari 1 tahun (6 
bulan - 6 tahun). Umur sapi yang paling muda pernah dilaporkan yaitu  4 
minggu dan tertua 9 tahun.  Tidak ada perbedaan kepekaan diantara 
jenis kelamin terhadap penyakit Jembrana.
3.  Cara Penularan
     Penularan terjadi secara horisontal yaitu kontak langsung antara sapi 
sakit dengan yang sehat dan tidak terjadi secara vertikal, oleh karena dari 
hewan karier melahirkan pedet yang normal.  Pada stadium akut titer virus JD 
dalam plasma darah yaitu  tinggi (108,0 ID50/ml) dan sapi yang sembuh dari 
penyakit akut sangat potensial sebagai sumber infeksi karena terjadi viremia 
yang persisten dan berlangsung selama 60 hari dan titer virus 101,0ID50,/ml . 
Telah diduga sebelumnya bahwa penyakit Jembrana yaitu insect born 
disease, yaitu penularan penyakit lewat vektor insekta, seperti Culicoides sp 
dan nyamuk.  Tabanus rubidus memiliki potensi sebagai penular virus JD di 
lapangan secara mekanis. 
4.  Sifat Penyakit
     Kejadian penyakit cenderung bersifat endemik, tersebar di seluruh 
kabupaten di Bali, kejadian paling tinggi yaitu  di kabupaten Jembrana dan 
Tabanan, paling rendah di kabupaten Bangli.
     Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit pada saat wabah yang terjadi 
pada tahun 1965-1964 yaitu  tinggi. Pada bulan Desember 1964, tingkat 
mortalitas 98,8% dan rata-rata tingkat mortalitas pada tahun 1965, 1966 dan 
1967, masing-masing 71.6%, 31.3% dan 38,6%.  Wabah berikutnya yang 
terjadi di kabupaten Tabanan pada tahun 1971–1972, tingkat mortalitasnya 
22,0%, sedangkan wabah yang terjadi di Lampung yang dikenal sebagai 
penyakit Rama Dewa, tingkat kematian kasus atau case fatality rate (CTR) 
12,5% - 71,0% (rata-rata 50%).
5.  Distribusi Penyakit
     Penyakit Jembrana belum pernah dilaporkan di luar negeri, penyakit ini 
yaitu  asli dari negara kita .
     Di negara kita ,  penyakit ini pertama kali dilaporkan mewabah di Desa 
Sangkar agung, kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana pada bulan 
Desember 1965, lalu dalam waktu 8 bulan (Januari sampai Agustus 
1965) penyakit dengan cepat menyebar ke beberapa kabupaten di Bali. 
Penyakit yang sama juga terjadi di desa Rama Dewa, Kecamatan Seputih 
Raman, Kabupaten Lampung pada bulan Mei 1976 yang lalu disebut 
penyakit Rama Dewa.  Selanjutnya juga terjadi di kabupaten Banyuwangi 
provinsi Jawa Timur pada bulan November 1978.  Dalam tahun 1978-1988 
kejadian penyakit di Bali bersifat endemik tersebar di 26 kecamatan, kecuali 
kecamatan Nusa Panida Lembongan dan Ceningan bebas penyakit Jembrana. 
Kasus paling banyak terjadi di kabupaten Buleleng, Tabanan dan Jembrana 
(Anon, 1989) dan sejak tahun 1989-1995 tidak ada laporan kasus penyakit 
ini di Bali. Sapi yang sembuh memiliki antibodi protektif yang berlangsung 
lama atau sebagian besar sapi yang peka telah dijual unutuk dipotong. 
Kejadian penyakit selanjutnya dilaporkan pula di provinsi lain seperti kasus 
wabah yang terjadi di Sumatera Barat (1992) dan Kalimantan (1993)  serta 
secara serologis penyakit telah tersebar hampir di seluruh negara kita , seperti 
Sumatera (Lampung, Sumatera Barat, Jambi dan Riau), Jawa (Banyuwangi), 
Kalimantan (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah) sedangkan daerah 
lain seperti Madura, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur 
dan Nusa Tenggara Barat (Lombok) negatif antibodi. 

keterangan : 
1.  Gejala Klinis
 
     Gejala klinis penyakit Jembrana bersifat konsisten baik pada kasus 
alami maupun infeksi buatan, yaitu terjadi demam, depresi,  anoreksia dan 
pembesaran kelenjar limfe (limfadenopati). Periode inkubasi pada kasus alami 
sangat sulit ditentukan namun pada kasus infeksi buatan dapat diketahui yaitu 
antara 2-7 hari.  Periode inkubasinya 2 hari jika hewan disuntik dengan 
material yang disimpan dalam es selama 7 hari. jika dipakai material 
yang disimpan pada suhu -20°C selama 34 hari. Periode inkubasinya 7 hari 
(Pranoto dan Pujiastono, 1967) dan ternyata ada hubungan linier antara 
jumlah agen yang disuntikkan pada sapi Bali yang peka dan periode inkubasi 
yaitu  bervariasi antara 4,5-12 hari. 
     Ternak yang terserang ditandai dengan demam tinggi (39,5-42°C) 
lalu turun ke suhu normal dan menjadi sub normal saat menjelang 
kematian. Demam mulai timbul pada hari ke 3 – 7,  diikuti dengan konstipasi 
yang berlanjut dengan diare encer berdarah serta ternak tampak kurus dan 
bulu kusam. Kelenjar limfe superfi sial (prescapularis, prefemoralis dan parotid) 
membesar. Pada infeksi percobaan, kelenjar limfe mengalami pembesaran 
sangat hebat terjadi pada hari ke 5 - 7. Selaput lendir mulut mengalami erosi. 
Erosi ini dapat ditemukan pada permukaan dorsal lidah, bibir bawah, gusi, 
bantalan gigi dan perdarahan bentuk garis dapat ditemukan pada basis 
lidah. Akibat erosi selaput lendir tersebut akan merangsang keluarnya air liur 
berlebihan (hipersalivasi). 
     Erosi juga ditemukan pada selaput lendir vagina. Disamping itu 
konjungtiva meradang (conjunctival vaso injection) kadang-kadang ada 
klot darah disudut mata depan dan diikuti dengan keluarnya sekresi air mata 
(lakrimasi). Pada beberapa kasus juga ditemukan keringat darah (blo