berasx.blogspot.com
....
kacangx.blogspot.com
.....
Tampilkan postingan dengan label transgender 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label transgender 4. Tampilkan semua postingan
Rabu, 10 Januari 2024
transgender 4
Januari 10, 2024
transgender 4
LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan transgender) adalah kasus yang muncul
dibicarakan dan muncul dengan berbagai argumentasi yang dibangun. Dengan
menyikapi penyimpangam orientasi seksual, dengan beberapa fakta yang akan
penulis paparkan dan melihat dari sudut pandang iman Kristen dan penanganan
melalui tindakan medis dalam kasus LGBT. Melalui tulisan ini, penulis ingin
menunjukkan peran Gereja dalam menangapi kasus LGBT dalam menangani dengan
sesuai kebenaran Firman Tuhan dan tetap melihat sisi medis dalam menangani LGBT
dan tulisan ini dapat dijadikan referensi bagi Gereja dalam menanggapi kasus-kasus
yang timbul dalam Gereja mengenai LGBT.
LGBT merupakan akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender.
Yudiyanto menafsirkan LGBT sebagai istilah baru yang digunakan sejak tahun 1990-
an untuk menggantikan frasa “komunitas gay”. Lesbian merupakan istilah yang
diambil dari sebuah pulau Lesbos, yang mana perempuan di pulau tersebut menyukai
sesama jenis. Lesbian adalah perempuan yang memilih untuk mengikatkan dirinya
secara personal (secara psikis, fisik, dan emosional) dengan sesama perempuan.
Sedangkan Gay adalah seorang laki-laki yang mempunyai ketertarikan dengan laki-
laki. Biseksual adalah seseorang baik laki-laki atau perempuan yang mempunyai
ketertarikan seksual terhadap laki-laki sekaligus perempuan dalam waktu yang
bersamaan. Transgender adalah seseorang yang menggunakan atribut-atribut gender
berlainan dengan konsepsi yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat.
Fenomena sosial yang terjadi disekarang ini adalah munculnya dorongan
yang kuat dari kelompok homoseks atau LGBT untuk menuntut persamaan hak dan
keadilan bagi mereka. LGBT mengakui bahwa lesbian, gay, biseksual dan
transgender bukanlah hal yang terlalu tabu. Sehingga mereka juga merasa mempunyai
hak asasi yang sama bahkan juga di dalam lembaga pernikahan. Di sinilah Gereja
harus membuat keputusan yang tegas dan melakukan konseling dan mendampingi
secara berkelanjutan terhadap jemaat yang mengalami gangguan orientasi seksual
sesuai dengan ajaran Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa homoseksualitas adalah
dosa, maka Gereja tidak boleh memberikan izin bagi lembaga pernikahan terhadap
sesama jenis melainkan melakukan pendampingan secara Alkitabiah dan secara
kesehatan mengenai gangguan yang dialami jemaat berkasus LGBT.
Metode Penelitian
Metode yang dipakai adalah studi pustaka yaitu mencari, mengumpulkan,
menganalisis dan mencari solusi dalam pembahasan tulisan ini dan buku-buku yang
berhubungan dengan pokok pembahasan, kemudian disusun secara logis dan
sistematis.
Pembahasan dan Hasil
Kasus LGBT didalam Alkitab
Ketika Tuhan menciptakan manusia, diciptakanNya laki-laki dan perempuan.
Hakikatnya jelas bahwa manusia ada dengan dua jenis kelamin (Kejadian 1:27).
Maka manusia itu akan menikah dan menjadi kesatuan / keluarga (Kejadian 2:24-25).
Hubungan seks laki-laki dan perempuan disebut hetroseksual. Ini desain original yang
dibuat Tuhan sejak semula. Bahkan dalam hubungan seks antara laki-laki dan
perempuan ada tata tertib yang mutlak yang berlaku yaitu harus terikat suami dan istri
yang sah. Seks itu mulia. Seks adalah relasi bukan rekreasi, sekalipun dalam relasi
suami dan istri mereka menikmati rekreasi yang menyatukan hati. Manusia beranak
cucu, hubungan suami dan istri yang beda jenis dimana sperma bertemu dengn sel
telur. Bukan hubungan yang sejenis dimana sperma bertemu sperma, dan pasti akan
terbuang percuma. Kesadaran ini harus terus dijaga, yaitu hakekat manusia berasal
dari pertemuan sperma dan sel telur. Kecuali manusia mengingkari sendiri hakikat
dirinya.
Sesudah jatuhnya manusia dalam dosa, Adam dan Hawa terusir dari Taman
Eden, simbol kesempurnaan hidup (Kejadian 3:23-24). Mulai dari sini dosa datang
dalam berbagai bentuk, mulai dari pembunuhan Habel oleh kakaknya sendiri Kain,
dan kejahatan lain yang terus meningkat. Dan, dosa seksual, yaitu homoseksual
terjadi di Sodom dan Gomora. Ketetapan Tuhan sangat jelas, era pra Taurat dimana
perintah tertulis belum ada, hanya lisan, Tuhan membumi hanguskan kota Sodom dan
Gomora (Kejadian 19:28-29). Dengan kasat mata kita melihat, dan dengan mudah
kita memahami betapa murkanya Tuhan atas penyimpangan seksual yaitu
homoseksual. Korban penyimpangan seksual homo disebut sebagai korban Sodomi.
Sebuah pengakuan masyarakat umum atas dosa homoseksual Sodom.
Kemudian di masa Taurat dimana Firman Tuhan disampaikan kepada nabi
Musa dan dibuat tertulis. Dikatakan; Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara
orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian. Dan kekejian harus
dilenyapkan (Imamat 18:22, 29). Sangatlah mudah dipahami, dan jelas di PL, dari
masa pra Taurat hingga Taurat homoseksual adalah suatu penyelewengan sesksual
yang Tuhan benci. Dan hukumannya juga sangat jelas. Jangan pernah lupa, desain
original Tuhan adalah hetroseksual. Dalam PB, rasul Paulus mengingatkan jemaat
Kristen yang ada di Roma agar menjauhkan diri dari perilaku penyelewangan seksual
dimana laki-laki yang dikuasai nafsu yang menyala-nyala meninggalkan istri mereka
dan berbuat mesum dengan laki-laki (Roma 1:27-28). Digambarkan sebagai orang
sesat yang tak merasa perlu mengakui Allah. Bagi mereka hidup adalah pemuasan
nafsu. Mereka disebut biseksual, yaitu hubungan dengan lawan jenis, tapi juga
dengan sejenis. Dan untuk homoseksual rasul Paulus menyebutnya pemburit (1
Korintus 6:9, 1 Timotius 1:10), sebagai yang bertentangan dengan ajaran sehat dan
tidak mendapat bagian dalam kerajaan kekal. Dalam KBBI, kata burit berarti
belakang, buntut, dubur, dan memburit atau pemburit menunyjuk kepada mereka
yang melakukan hubungan sesksual dibagian belakang yaitu kepada mereka yang
homoseksual.
LGBT dan Dosa
Dalam pandangan Alkitab tentang hakikat dosa ini adalah penting untuk diperhatikan
bahwa dosa tidak muncul karena kejasmanian, tetapi timbul pada inti manusia,
didalam hatinya, didalam hubungannya dengan Allah1. Kriminialitas dan pelanggaran
moral adalah dosa karena keduanya melukai dan mengkhianati Allah. Dosa bukan
sekedar melanggar hukum melainkan juga melanggar kovenan. Semua dosa, dari
awal hingga akhir, ditujukan kepada Allah. Manusia dapat berkata bahwa suatu dosa
adalah tindakan – pikaran, keinginan, emosi, perkataan atau perbuatan ataupun
kelalaian untuk melakuakan tindakan, yang tidak berkenan kepada Allah dan layak
dipersalahkan2. LGBT merupakan hal yang Allah tidak izinkan dilakukan oleh
manusia karena tidak sesuai dengan tujuan hubungan seksual tersebut.
Standard Allah dalam hubungan seksual harus dilakukan antara laki-laki dengan
perempuan (suami istri) bukan sesama jenis3. Sedari awal Allah telah menetapkan
heteroseksualitas, dan seks diberikan dalam konteks kelaurga sejak pada mulanya.
Dalam Kel. 20:14, 17 memperjelas bahwa Allah menetapkan seks digunakan diantara
pria dan wanita dalam ikatan pernikahan heteroseksual. Bahkan dalam Alkitab juga
memaparkan mengenai Kanaan yang dihukum oleh Allah yang dikarenakan Ham
yang merupakan Bapak leluhur dari bangsa ini. Karena dalam kasus ini Ham melihat
dan memainkan aurat ayahnya yang merupakan tindakan Homoseksual.
Menurut 1 Korintus 6:9-10 Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak
adil tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan Allah? Janganlah sesat! Orang
cabul, penyembah berhala, orang berzinah, banci, orang pemburit, pencuri, orang
kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan
Allah.
Penyebab adanya LGBT
Fenomena transgender dinyatakan muncul tidak hanya karena pengaruh
lingkungan. Pengaruh dari budaya, fisik, seks, psikososial, agama dan kesehatan juga
turut andil dalam membentuk individu menjadi LGBT4. Menurut seorang teolog dan
juga Psikolog dalam seminarnya, ia mengatakan:
a. Penyebab LGBT bukan genetika. (Wahl, Hooker, dlm Wright, 1977).
b. Penyebab lainnya adalah pembentukan dalam keluarga dan pilihan yang
bersangkutan.
c. Ia juga mengutip pendapat Bieber et al (1962) ada lima penyebab, antara lain:
81 % Ibu dominan.
67% Ibu yang overprotective.
66% Ibu terlalu memfavoritkan.
87% Ayah kurang waktu dengan anak.
79% Ayah yang melukai hati anak, yang dibuktikan oleh peneliti selanjutnya, John
Powel membuktikan bahwa figur ibu dan identifikasi figur ayah kurang.
d. Perubahan sikap ayah dan ibu (Ef.6:4; Kol.3:20).
e. Bila anak-anak masih kecil. Anak wanita identifikasi dengan ibunya. Jika anak
wanita tidak melihat figur ibu atau sang ibu melukai anak wanitanya (misalnya
ibunya selingkuh). Ayah perlu berperan penting sebagai kepala dalam keluarga (1
Kor.11:3). Bila anak tidak dapat identifikasi diri dengan ayah dan ibu maka anak akan
merasa: kurang aman emosinya, kurang dikasihi dan rendah diri.
f. Tanggung jawab orang tua: orang tua perlu menegaskan bahwa Allah menciptakan
manusia laki-laki atau perempuan (Kej.1:26-27). Allah menciptakan lembaga
pernikahan (Kej.2: 24-25; Mat.19:4-6). (Rudi Allow, seminar LGBT 29 April 2016).
Andik Wijaya seorang dokter psikolog mengatakan: “LGBT adalah perilaku seksual
yang dihasilkan oleh dinamika psiko-sosio-spiritual seseorang yang dimulai sejak
masa tumbuh kembangnya sebagai manusia, itu berarti proses parenting, lingkungan
sosial, dan pembinaan rohani berperan sangat penting dalam mencegah terjadinya
LGBT.
Menurut Sidjabat, penyebab LGBT ialah: Pendidikan anak di keluarga membangun
jati diri seksual (laki-laki dan perempuan) dimulai dari usia 3-5 tahun. Laki-laki dan
perempuan akan mengidentifikasi diri mereka dengan ayah dan ibunya. Anak pada
usia ini akan bergaul dengan teman sejenisnya. (Membesarkan Anak Dengan Kreatif)
Jika anak gagal mengindentifikasi dirinya dengan sejenis kelaminnya, maka
tumbuhlah “bibit” homoseksual atau lesbian bahkan biseksual dan transgender. Oleh
sebab itu, orang tua harus belajar psikologi anak, sehingga sedini mungkin anak dapat
mengidentifikasi dirinya dengan benar, baik dengan ayah dan ibunya maupun dengan
lingkungannya. Jadi, penyebab utama LGBT ialah pembentukan di dalam keluarga,
lingkungan sosial dan faktor spiritualnya. Marulak Pasaribu dalam bukunya
mengatakan: pada masa kini (dulu) masih ada anggapan di kalangan keluarga Kristen
dan gereja bahwa seks seolah-olah tabu untuk dibicarakan atau tidak pantas
dibicarakan di dalam mimbar gereja.
Anggapan demikian mengakibatkan banyak anggota keluarga Kristen mendapatkan
informasi yang salah mengenai seks karena mereka menerimanya bukan dari keluarga
atau gereja melainkan dari dunia sekuler. Akibatnya mereka menyerap ajaran yang
salah dan membawanya masuk dalam keluarga. Ada empat (4) penyebab
kesalahpahaman yakni: informasi yang salah tentang seks, kebingungan hati manusia,
kurangnya pemahaman dasar Alkitab dan pengajaran seks sering tertutup dalam
Alkitab. (Pasaribu). Seharusnya gereja adalah sumber pengetahuan dalam banyak
bidang kehidupan termasuk tentang seks. Jadi kemungkinan penyimpangan LGBT
terjadi oleh karena kurangnya pemahaman keluarga atau individu tentang pemahaman
hetero seksual dan para pemimpin gereja yang merasa tabu menghkotbahkan seksual
melalui mimbar
Keadaaan dan lingkungan
Hubungan yang heterogen pada manusia merupakan hubungan psikologis yang
bersifat normal. Dalam hubungan heterogen, akan muncul ketertarikan untuk
menjalin hubungan bersifat biologis yang disebut hubungan heteroseksual. Laki-laki
menjalin hubungan kepada perempuan sebagai wujud pemenuhan kebutuhan biologis
dan psikis. Terdapat perasaan saling menyayangi diantara keduanya yang pada
masanya akan meningkat pada jalinan ikatan pernikahan. Di sisi lain terdapat
hubungan yang sebaliknya, yaitu hubungan homoseksual. Perilaku seksual yang tidak
biasa ini memiliki komunitas sendiri. Mereka merasa tidak memiliki kepercayaan diri
dan merasa termarjinalkan karena masyarakat tidak mengakui keberadaannya.
Upaya yang tidak berhenti dilakukan adalah menyuarakan tuntutan akan kesamaan
hak untuk hidup damai dan sejahtera. Walaupun demikian, mereka tetap menjalani
aktivitas hidup sama seperti masyarakat pada umumnya. Mereka bekerja,
menyalurkan hobi, atau melakukan tugas-tugas sosial lainnya. Perasaan sayang dan
cintanya ditujukan kepada sesama jenisnya. Lingkungan dapat dibentuk oleh perilaku
dan sebaliknya perilaku dapat dibentuk oleh lingkungan6. Ditilik dari kajian
psikoneurologis, individu dibekali kemampuan di dalam otaknya untuk melakukan
imitasi gerakan, tindakan, suara, perilaku atau berbicara.
Bagian otak yang bertugas mengatur imitasi yang dilakukan individu disebut lobus
parietal dari belahan yang dominan. Temuan Liepmann menunjukkan bahwa individu
yang mengalami lesi di bagian daerah-daerah otak tersebut kehilangan kemampuan
meniru. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan yang awalnya hanya melihat beralih
menjadi coba-coba sangat didukung oleh bagian otak manusia.
Menurut pandangan Medis
American Psychiatric Association mendorong untuk mencari penyebab homoseksual
dari sisi biologis, dan berusaha menemukan bukti ilmiah bahwa homoseksual adalah
masalah biologis yaitu genetic, endocrine dan neurologic. Dan menjelaskan bahwa
homoseksual itu adalah kondisi nature bukan narture. Tujuan dari semua upaya
mereka adalah untuk menyatakan bahwa homoseksual memang dilahirkan seperti itu,
karena homoseksual bukan kondisi yang salah, jika salah sama berarti Allah sang
pencipta adalah salah Homoseksual dan biseksual termasuk dalam gangguan
psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan perkembangan dan orientasi
seksual dan dapat menular. Hal ini dapat diketahui berdasarkan teori perilaku.
Dalam pandangan klinis diidentifikasikan dengan beberapa faktor yaitu genetic,
neurologic dan endrocine yang menyebabkan seorang mengalami same sex attraction
(tertarik sesama jenis) jika disebabkan oleh faktor genetic, neurologic dan endrocrine
seorang mengalami same sex attraction yang teridentifikasi maka akan lebih mudah
dalam penanganan pengobatan medis dalam kasus same sex attraction akan lebih
mudah dilakukan. Dimensi psikologis, merujuk kepada kekerasan fisik dan
psikologis yang dilakukan dan pengalaman tersebut ketika anak-anak terbukti
memiliki kaitan terbentuknya same sex attraction. Dimensi sosial, menurut konsep
social learning theory yang menyatakan bahwa perilaku tertentu dipelajari dari
interaksi sosial seseorang dengan orang tua, teman sebaya dan media dan begitu juga
dengan perilaku seksual9.
Sikap Gereja terhadap LGBT
Orang Kristen sudah memiliki dasar yang sangat jelas didalam Alkitab, dalam
Kejadian 1 bahwa pria dan wanita pada dasarnya sama dalam hakikat sebagai ciptaan
Allah dan ditetapkan diatas semua ciptaan lainnya. Gereja harus menyikapi isu LGBT
ini dengan bijaksana dan proporsional. Dari sudut pandang kebenaran, Alkitab
menyatakan dengan jelas bahwa perilaku homoseksual dan transgender adalah dosa
“…sebab isteri-isteri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang
tidak wajar, demikianlah suami-suami meninggalkan persetubuan yang wajar dengan
isteri mereka… sehinga melakukan kemesuman laki-laki dengan laki-laki…” (Roma
1:26-27). Seharusnya dengan keputusan yang tegas menolak hubungan LGBT dan
menolak pernikahan sejenis. Apapun alasan yang dikemukakan sekalipun atas nama hak
asasi, tidak dapat membenarkan perbuatan LGBT dan membatalkan hukum pernikahan
yang ditetapkan Tuhan.
Pernikahan Kristen bersifat heteroseksual, monogami, dan seumur hidup
(Lihat Kejadian 1:27; 2:23-24, yang ditegaskan Yesus dalam Matius 19:4-6). Harus
melihat hubungan homoseksual adalah sama dengan dosa lainnya, misalnya perzinahan
yang dilakukan oleh kaum heteroseksual. Jangan sampai mengganggap bahwa dosa
homoseksual lebih buruk dari dosa lainnya. Semua dosa sama, berakibat maut (Roma
6:23). Gereja harus menyatakan kasih dan penerimaan terhadap kaum LGBT. Dari sudut
pandang anugerah, Yesus mengasihi orang berdosa namun membenci dosanya. Sebagai
sesama juga harus mengasihi saudara kita yang memiliki orientasi LGBT, namun kita
membenci perbuatan dosa mereka. Wujud kasih dan penerimaan bukan dengan
memandang perilaku homoseksual itu legal berdasarkan hak asasi manusia. Dan juga
jangan menghakimi orientasi seks homoseksual sebagai dosa, karena mereka juga tidak
menghendaki itu terjadi dalam diri mereka. Namun, ketika mereka melakukan hubungan
sesama jenis, perilaku mereka itu berdosa di hadapan Tuhan.
Sama seperti seorang yang heteroseksual, memiliki dorongan seks itu sesuatu
yang wajar, namun ketika ia berhubungan seks di luar pernikahan, barulah ia berdosa.
Dalam hal ini, sebagai sesama harus berempati kepada kaum homoseksual karena
mereka tidak memiliki solusi yang benar untuk menyalurkan hasrat seksual mereka. Hal
ini adalah sesuatu yang sangat berat untuk dihadapi oleh kaum LGBT, apalagi ditambah
dengan sanksi sosial serta stigma buruk yang disematkan kepada mereka.
Dan Gereja harus membantu kaum homoseksual untuk dapat mengatasi dorongan
seksual mereka dengan konseling, bimbingan rohani, komunitas yang benar serta
memfokuskan hidup mereka untuk Tuhan. Di dunia ini, ada begitu banyak orang yang
juga bergumul dengan dorongan seksual namun mereka tidak menikah. Mereka
memfokuskan diri untuk hidup bagi Tuhan. Oleh kehidupan-Nya yang tidak menikah,
Yesus memperlihatkan bahwa pernikahan bukanlah suatu tujuan yang harus dipenuhi,
juga bukan sesuatu yang esensial untuk menjadi manusia yang utuh. Sebagai seorang
hamba Allah, seseorang mungkin tidak terpanggil untuk mempunyai jodoh dan anak-
anak. Paulus adalah salah satu contoh yang hidup membujang untuk fokus melayani
Tuhan. Ia bahkan mengajak orang-orang untuk megambil pilihan hidup seperti dia untuk
membujang, supaya bisa fokus kepada Tuhan. “Namun demikian
alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari
Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu. Tetapi
kepada orang-orang yang tidak kawin dan kepada janda-janda aku anjurkan, supaya
baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku.” (1 Korintus 7:7-8).
Berdasarkan Alkitab dan Iman Kristen
Pembelaan psikologis menunjuk kepada dikeluarkannya homoseksual dari DSM
(Diagnostic and statistical Manual of Mental Disordes), pada tahun 1973 oleh APA,s
(American Psychiatrick Association’s). DSM adalah daftar kelainan mental. Itu
berarti homoseksual dianggap bukan kelainan, namun jangan lupa sebelumnya masuk
kriteria penyakit kelainan mental. Dr. Robert Spitzer seorang psikiatris dari Columbia
University adalah tokoh penting yang berjuang menghilangkannya dari daftar
kelainan. Namun pada tahun 2003 dia mempublikasikan penelitiannya terhadap 200
homo, yang ternyata menunjukkan keberhasilan perubahan orientasi seksual setelah
menjalani terapi. Artinya seorang homoseks bisa menjalani terapi untuk menjadi
normal.
Jelas bukan bahwa ini bisa diterapi, bukan hakekat yang tak bisa berubah. Dengan
segera dia mendapat tekanan dari komunitas gay, dan akhirnya Spitzer mencabut
kembali hasil penelitian yang dipublishnya. Spitzer dikritik atas sikap tidak
profesionalnya itu oleh psikolog seperti; Jerry A, Elton L,Moose Anne, dll. Jangan
lupa bahwa pendapat para psikolog soal homoseksual juga terpecah, dan patut
dipelajari latar belakang dan argumentasi orang yang berteori sehingga kita bisa
berpendapat secara objektif. Setelah penulis menganalisis pandangan diatsa yang
seharusnya yang ditolak adalah perilakunya bukan pelakunya karena menurut penulis,
Allah mengajarkan manusia untuk mengasihi sesama manusia dengan begitu mereka
yang homoseksual merasa diterima dan dihargai dengan demikian kita sebagai orang
yang percaya dapat menjadi teladan dan memberikan rasa nyaman terlebih dahulu
bagi mereka sehingga mereka bisa terbuka dengan kita dan kita bisa membantu
mereka lepas dari dosa homoseksual tersebut.
Dari kisah Sodom dan Gomora, jelas sudah kalau Alkitab tidak membenarkan adanya
hubungan sesama jenis. Sodom dan Gomora adalah 2 kota yang terkenal berdosa
sehingga Allah berencana untuk memusnahkan kedua kota tersebut setelah Allah
bernegosiasi dengan Abraham dan ternyata hanya Lot sekeluarga yang bersih di mata
Allah sehingga Allah tetap menjatuhkan hujan api ke Sodom dan Gomora. Di
Kejadian 19:4-5, diceritakan bahwa orang-orang laki di Sodom menghampiri rumah
Lot untuk mencari 2 malaikat utusan Allah untuk dipakai. Kalimat di”pakai” ini
berasal dari kata Ibrani yaitu “yada” yang berarti hubungan seksual. Kata yang sama
yang dipakai adam kepada hawa untuk berhubungan seksual. Dari kata sodom ini lah
muncul kata sodomi Satu-satunya cara hubungan seksual menurut standar alkitab
adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan
monogami. Hubungan seks sesama jenis adalah dosa yang merupakan dosa di antara
dosa-dosa lainnya yang hukumannya adalah kematian. Paulus mengatakan bahwa
hubungan sesama jenis adalah memalukan dan tidak wajar. Mereka dianggap sesat
dan tidak mengakui Allah.
Penanganan Gereja terhadap LGBT
Gereja menangani permasalahan ini harus tetap memperhatikan kedua aspek,
baik dalam tinjauan kasus-kasus yang ada dalam PL dan PB dimana Yesus mengasihi
setiap orang dengan membenci dosa perbuatannya dan memberikan kasih karunia
kepada orang tersebut untuk menerima dirinya kembali sebagaimana Yesus menerima
mereka. Dan memeperhatikan mental orang-orang yang terikat dalam ikatan LGBT.
Gereja juga harus memeperhatikan keberadaan mereka disaat ada dalam Gereja,
alangkah baiknya Gereja melakukan pendekatan personal sehingga mereka dapat
nyaman dan merasa aman. Jemaat pun tidak akan mencampuri dengan meluas,
sehingga saat mereka bisa menerima diri mereka terlebih dahulu sesuai dengan
kehendak Allah tentunya disaat mereka menceritakan kehidupan mereka kepada
jemaat yang lain mereka sudah pulih dan menyadari hidup mereka merupakan Kasih
Karunia yang telah Allah berikan sehingga mereka dapat mencintai diri mereka
sebagaimana Allah juga mencintai dan memandang mereka berharga.
Dengan hal ini Gereja juga dapat memperhatikan aspek Psikologis mereka
yang terikat LGBT sehingga dalam hal ini Gereja dapat menyelaraskan tindakan
Gereja dengan apa yang mereka alami baik trauma dan penyebab-penyebab lainnyan
yang mereka alami, baik saat mereka kecil ataupun pelecehan-pelecehan yang
mungkin pernah mereka alami dan akibatnya meninggalkan hal yang menyakitkan
bagi mereka. Sehingga dalam hal ini Gereja sangat berpengaruh penting dalam
mengenali apa yang dirasakan oleh orang-orang yang mengalami keterikatan dan
penyelewengan orientasi seksual ini.
Solusi terhadap fenomena LGBT
A. Bertobat.
Pelaku LGBT harus dituntun untuk bertobat dari dosa-dosanya. Yang
bersangkutan harus menyadari bahwa LGBT adalah perbuatan dosa dan
mendatangkan murka Tuhan karena tubuh manusia diciptakan untuk kemuliaan
Allah bukan untuk percabulan. “Karena itu matikanlah dalam dirimu segala
sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan
juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.” (Kol.3:5). Penderita
harus menyadari kekeliruannya dalam mengambil tindakan melakukan LGBT. (1
Kor.6:9b-11). Menurut Peter Wongso, ada dua (2) unsur Pertobatan, antara lain:
a. dari Allah (II Pet.3:9) Allah menghendaki semua orang bertobat. (Kis.5:31,32,
11:18) Dengan anugrah Allah memberikan kepada manusia, sehingga ia dapat
bertobat.
a. dari manusia : - Ia harus mengetahui keadaannya sendiri yang telah berdosa
serta akibat dari dosa (pengetahuan). - kepada-Nya. Sebaliknya Ia digerakkan
dan menyadari bahaya dari akibat dosa (perasaan). - Ia mempunyai tekad
untuk mengambil keputusan bertobat (kehendak). Perlunya pertobatan dari
sudut manusia, sebab ia berjalan menuju kebinasaan (Yeh.33:11), ia berada
dalam dosa (II Kor.12:21,Ef.2:1), ia berada dalam kemerosotan (Why.2:5), ia
sedang berada dalam kesesakan (Why.2:14-15), ia sedang berada dalam
perzinahan (Why.2:20-22), ia sedang berada dalam keadaan buruk yang tidak
tertahankan (Why.3:1-3, Luk.15:13-16) dan ia sedang berada dalam
kesombongan (Why.3:17-19). Perlunya pertobatan dari sudut Tuhan: Dia
tidak suka orang berdosa binasa (Yeh.33:11), Dia menghendaki supaya semua
orang diselamatkan (I Tim.2:4), Dia tidak merelakan seorang pun binasa (II
Pet.3:9), agar kerajaan-Nya dapat segera datang (Mat.3:2, Mrk.1:15), Dia
hendak menghapuskan dosa (Kis.3:19), Dia hendak mengampuni dosa
(Kis.8:22) dan Dia hendak menghakimi dunia dengan adil (Kis. 17:30-31).
Sedangkan bukti pertobatan ialah: apabila yang bersangkutan sudah menyesali
dan menangisi dosa-dosanya (Yoel.2: 12-13), mengaku dosa dan memohon
pengampunan (Luk.18: 13 – 14), meninggalkan dosa-dosanya (Yes.55:7,
Kis.3:19), lalu berpaling kepada Tuhan yang benar (I Tes.1:9, Kis.26:20),
menghasilkan buah yang sesuai dengan pertobatan (Kis.26:20, Mat.3:8),
menjadi seorang yang taat kepada Roh Kudus (Mat. 26:28-29). Dan menerima
ajaran Tuhan (Kis.2:28, Mrk.1:4)
Setiap kali ada pengakuan dosa, maka mesti ada komitmen untuk meninggalkan dosa-
dosanya dan menyerahkan totalitas hidupnya kepada Tuhan. Paling sedikit ada enam
(6) komitmen yang harus dilakukan oleh pelaku LGBT sehingga ia benarbenar
mampu meninggalkan kelakuannya, antara lain:
1) Mempersembahkan hidup kepada Tuhan. “Karena itu, saudara-saudara, demi
kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu
sebagai persembahan yang hidup , yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu
adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Roma 12:1-2).
2) Menjadi manusia baru. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan
baru : yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus
5:17).
3) Mengalami pertumbuhan di dalam Kristus. “Karena itu tunduklah kepada Allah,
dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu! Mendekatlah kepada Allah, dan Ia
akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa!
dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati! (Yakobus 4: 7-8).
4) Terus menerus bersekutu dengan Tuhan melalui: Rajin beribadah. “Dan marilah
kita saling memperhatikan supaya kita saling mendorong dalam kasih dan dalam
pekerjaan baik. Janganlah kita menjauhkan diri dari pertemuan-pertemuan ibadah
kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati,
dan semakin giat melakukannya menjelang hari Tuhan yang mendekat.” (Ibrani
10:24-25).
5) Komitmen utuk bersekutu dengan teman-teman seiman (yang bukan pelaku).
Pecandu LGBT sebaiknya tidak sendirian melainkan harus memiliki komunitas
seiman yang saling membangun.
6) Keterbukaan untuk meninggalkan perbuatan LGBT. Pelaku LGBT harus diterima
dengan belaskasihan agar mereka sadar dan meninggalkan perilaku seksual yang
menyimpang dan berdosa itu. Tetapi mereka bisa ditolong untuk mengalami
pemulihan diri: mental, sosial, dan kerohaniannya.
C. Dukungan Gereja dan Keluarga
Dalam hal ini Gereja harus mencangkup memfasilitasi dan memntoring mereka yang
melakukan penyimpangan orientasi seksual ini karena tentunya mereka
membutuhkan dukungan dan wadah untuk mereka meluapkan dan menyelesaikan
permasalahan yang mereka alami. Saat mereka dapat dukungan tentunya akan ada
kekuatan bagi mereka untuk bangkit dan menerima diri mereka kembali, dan dapat
melihat hal-hal yang baik dari apa yang mereka alami saat mereka memutuskan untuk
kembali kepada kehendak semula Allah dalam kehidupan mereka.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan oleh penulis, maka kesimpulan
sebagai berikut: Pertama, LGBT tidak dapat dibenarkan dihadapan Allah, karena
melanggar banyak prinsip yang ada dalam Firman Tuhan. Oleh karenanya bilamana
hendak disebut sebagai sebuah penyakit, maka tentu saja penyakit itu harus
disembuhkan. Dan jika disebut sebagai sesuatu yang normal dan wajar, maka kiranya
penjelasan-penjelasan diatas dapat membuka wawasan akan kebenaran-kebenaran
yang hakiki dari Alkitab, bukannya kebenaran-kebenaran semu yang diperoleh dari
pemutar balikan penafsiran atas Alkitab yang belakangan ini sangat santer
diperdengarkan oleh kaum pendukungnya. Kedua, bila dikaitkan dengan etika
terapan, maka tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan diri, haruslah diperoleh
melalui cara yang benar. Cara yang benar adalah melalui penyerahan diri kepada
Allah, dengan mengakui keberdosaan dan memohon pimpinan dan kekuatan dari Roh
Kudus untuk mengatasi pergumulan psikologis mereka, bukannya mengabaikan cara
yang benar asal mereka dapat mencapai “kepuasan diri/ keinginan daging” dengan
melakukan penyimpangan orientasi seksual (LGBT). Ketiga, peran gereja dan orang
Kristen dalam menghadapi masalah ini adalah tidak mendiskreditkan dan
mengucilkan mereka atas kelainan jiwa yang mereka hadapi, tapi berupaya untuk
mempertobatkan mereka agar kembali dalam jalan kebenaran Tuhan, karena hanya
didalam Tuhan-lah masalah mereka dapat teratasi dan memberikan rasa aman bagi
mereka dalam proses mereka mengenal Kasih Karunia itu.
Pada era globalisasi saat ini, ada banyak fenomena yang dapat ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu fenomena yang pada saat ini menjadi sebuah isu dimasyarakat yaitu
mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dewasa ini LGBT dipakai untuk
menunjukkan seseorang atau siapapun yang mempunyai perbedaan orientasi seksual dan identitas
gender berdasarkan kultur tradisional, yaitu heteroseksual. Lebih mudahnya orang yang
mempunyai orientasi seksual dan identitas non-heteroseksual seperti homoseksual, biseksual, atau
yang lain dapat disebut LGBT (Galink), 2013.
Adanya LGBT ini merupakan hal yang nyata terjadi ditengah-tengah masyarakat. Mengacu
pada jenis kelamin dimana seseorang tertarik secara emosional dan seks. Keberadaan kaum LGBT
dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang berkembang di Indonesia. Orientasi
seksual yang mereka miliki dianggap sebagai dampakburuk globalisasi yang melegalkan kaum ini
dan dikhawatirkan akan mempengaruhimasyarakat lainnya. Indonesia sebagai negara hukum dan
penegak HAM, merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi International Covenan on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) sudah semestinya warga masyarakatnya
mendapatkan perlakuan yang layak dan perlindungan sama dalam berbagai kehidupan masyarakat,
seperti akses terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan jaminan keamanan sosialyang lain.
Namun pemerintah pun dalam hal ini belum dapat berbuat banyak terhadap kaum LGBT ,
Data Direktorat Administrasi dan Kependudukan (Depdagri, 2005) diperkirakan ada 400 ribu
Transgender (waria). Sedangkan Yayasan Srikandi Sejati merilis data yang lebih fantastik, yakni
mencapai 6 juta waria pada tahun 2008. Sementara itu, PBB memperkirakan ada sekitar 3 Juta
pengidap homoseks di Indonesia pada tahun 2011. Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi
objek perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat manusia. Norma masyarakat yang
mengutuk berbagai macam penyimpangan seksual mendapatkan tantangan dari kelompok yang
merasa dirugikan atas norma-norma tersebut. Perdebatan semacam ini menjadi semakin terlihat
setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan
transgender). Kampanye yang menuntut adanya persamaan perlakuan terutama dalam legalisasi
orientasi seks mereka kaum LGBT
Menurut Cumnings (2006) selain melakukan kampanye dengan dalih teologis, penganjur
legalitas LGBT juga menggunakan dalih psikologi. Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic
Manual of Mental Desorder), homoseksualitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk
kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA
(American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau
kelainan seks. Perubahan paradigmapsikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak
yang sangat besar dalam legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi
olah APA dari DSM maka LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal. Tekanan
politik yang dihadapi oleh APA dalam proses deklasifikasi homoseksualitas membuat mereka
bersikap ambigu. Sebagai kompensasi terhadap tekanan kolega psikolog yang tetap pada keputusan
bahwa homoseksualitas adalah tidak normal, mereka memberi catata bahwa keputusan APA
mendeklasifikasi homoseksualitas tidak boleh dijadikan dalih oleh aktivis progay. Dilema di atas
membuat posisi APA terhadap orientasi seksual yang normal menjadi sangat relatif, mengikut nilai
humanisme sekuler. Hal ini dipertegas keterangan APA di dalam DSM IV bahwa kriteria normal
memang beragam berdasarkan kultur penelitian. Dengan demikian, APA tetap kembali
menyerahkan kepada budaya masing-masing masyarakat untuk menetukan perilaku seks
menyimpang.
Pada perubahan orientasi seksual, ada beragam faktor yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor
yang paling besar dalam perubahan orientasi seksual adalah motivasi orang- orang homoseksual
tersebut. Motivasi tersebut akan sangat kuat bila 5 berasal dari dorongan keimanan. Hawari (2009),
menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang kuat.Selain
itu juga perlu diperhatikan dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya kadar homoseksual, dan
libido. Faktor iman, ternyata menempati posisi yang penting. Temuan Spitzer tentang 200 orang
homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah kebanyakan berasal dari kalangan religius, “the
vast majority (93%) of the participants reported that religion was “extremely” or “very”important in
their lives.Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hawari (2009) untuk
melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan psikologi. Kampanye yang menuntut adanya
persamaan perlakuan terutama dalam legalisasi orientasi seks mereka kaum LGBT.
Perilaku LGBT diantaranya adalah hubungan seksual dengan sesama jenis (homoseksual) baik laki-
laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Kasus ini bisa terjadi pada siapa saja,baik
remaja, dewasa dan orang tua, dan juga bisa terjadi di lingkungan mana saja,baik di sekolah,
lembaga pendidikan, kantor, dan sebagainya. Bahkan mereka ingin membentuk sebuah organisasi
yang membawahi komunitas mereka,termasuk di Negara Indonesia. Kasus ini seharusnya tidak
terjadi karena perilaku ini tidak sesuai norma agama dan tugas perkembangan manusia. Idealnya
manusia dapat menjalankan fitrahnya sebagai laki-laki dan perempuan berakal dan menjalankan
perannya sebagai seorang laki-laki atau sebagai perempuan.
Masa perkembangan remaja merupakan masa dimana banyak keputusan pentingmenyangkut masa
depan yang harus ditentukan, misalnya tentang pekerjaan, sekolah, danpernikahan. Selain itu, salah
satu tugas penting yang dihadapi para remaja adalah mencari solusi atas pertanyaan yang
menyangkut identitas dan mengembangkan identitas diri yangmantap (sense of individual identity),
orientasi seksual memiliki dimensi antara lain seperti identitas seksual (“saya seorang gay”) dan
tingkah laku seksual (“saya berhubungan seks dengan pria lain”). Identitas homoseksual dapat
berfungsi sebagaiidentitas diri (self identity), identitas yang diterima (perceived identitiy), identitas
yang ditampilkan (presented identity), atau ketiga-tiganya. Seseorang yang memiliki pengalaman
seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama tidak secara otomatis menunjukkan bahwa orang
itu adalah seorang homoseksual atau biseksual ,
Kinsey, Pomeroy dan Martin (1984) dalam penelitian yang terkenal tentang seksualitas di Amerika,
mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatu
masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benar- benar homoseksual dan mengekspresikan
kecenderungan erotisnya pada sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya karena rasa
ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan bahwa mempunyai
hubungan homoseksual tidak berarti seseorang menjadi homoseks. Untuk mencegah maraknya
perilaku penyimpangan seksual berupa LGBT ini salah satu pendekatan yang diperlukan adalah
pemberian edukasi pada remaja. Remaja yang berada pada rentang usia 13-21 tahun menurut
Hurlock (1999) berada pada periode yang rentan. Terutama berkaitan dengan tugas
perkembangannya yang merupakan periode transisi, dan masa pencarian identitas diri. Salah satu
bentuk penyampaian informasi tentang seksualitas dapat diberikan dalam bentuk psikoedukasi
sebagai sebuah intervensi. Langkah-langkah terapi psikoedukasi sampai batas tertentu dapat
dianalogikan langkah pendidikan yaitu kedua-duanya dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku
manusia. Pendekatan psikoedukasi menekankan pada masa kognitif dan afektif anak.
Psikoedukasi merupakan salah satu cara pemberian informasi dengan tujuan pemberian yang
bersifat informatif. Dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, informasi memegang peranan penting.
Berbicara tentang informasi tidak seorangpun yang tidak membutuhkan informasi, apapun jenis
pekerjaan dan status mereka di 7 masyarakat. Derr (1983) mengemukakan bahwa kebutuhan
informasi merupakan hubungan antara informasi dan tujuan informasi seseorang, artinya ada suatu
tujuan yang memerlukan informasi tertentu untuk mencapainya. Dalam perkembangannya,
kebutuhan pengguna akan informasi juga akan berubah-ubah baik segi keragaman isi maupun akses
terhadap informasi tersebut
Menurut Bent & Cox ,psikoedukasi adalah salah satu bentuk intervensi
yang merupakan suatu tindakan yang bertujuan mempromosikan dalam arti memulihkan,
mempertahankan atau meningkatkan fungsi positif dan rasa sejahtera klien lewat bentuk-bentuk
layanan yang bersifat upaya preventif, developmental maupun remedial. Melihat berbagai masalah
yang muncul berkaitan dengan perkembangan seksual remaja terutama tentang berbagai informasi
yang salah kaprah tentang orientasi seksual maka peneliti tertarik untuk memberi intervensi
dalam bentuk psikoedukasi pada remaja. Psikoedukasi diberikan oleh narasumber yang kompeten
agar tepat mengenai sasaran yakni para remaja. Melalui psikoedukasi diharapkan remaja dapat
meningkatkan kemampuan kognitif karena didalamnya mengandung unsur untuk meningkatkan
pengetahuan remaja tentang LGBT, agar perilaku tersebut dapat dicegah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
psikoedukasi LGBT terhadap pengetahuan LGBT pada remaja. Berdasarkan uraian tersebut, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh Pengaruh Psikoedukasi masalah LGBT pada
remaja di SMK Tahun 2022
Berdasarkan hasil perbandingan nilai skewness dengan standar error di dapatkan nilai pre test dan
post test kurang dari 2, berarti distribusi tidak normal. Dengan demikian pengolahan data memakai
uji non para metric ( wilcokson test ). Nilai Rata-Rata Pengetahuan Responden Sebelum Diberikan
psikoedukasi tentang masalah LGBT pada remaja.
Dari hasil penelitian tersebut didapatkan mean rank pre test dan post test Psikoedukasi
Tentang masalah LGBT pada remaja adalah 5.00. Hasil uji statistic di dapatkan nilai p=0.020
(p<0.05).
Dari hasil uji Wilcoxon didapatkan bahwa mean rank pengetahuan responden tentang masalah
LGBT pada remaja sebelum dan sesudah di lakukan konseling yaitu 5.00. Berdasarkan hasil uji
statistic di dapatkan nilai P value=0,020 (P < 0,05 ) dengan arti kata terdapat pengaruh
psikoedukasi terhadap peningkatan pengetahuan responden sebelum dan sesudah di lakukan
psikoedukasi tentang masalah LGBT di SMK
Peneliti berasumsi bahwa terjadinya peningkatan pengetahuan responden karena responden
mengerti dan paham terhadap materi dan konseling yang diberikan dan pengetahuan responden
meningkat dan peneliti juga menampilkan materi slide power point yang menarik beserta data data
empiris yang akurat sehingga menambah penguatan pemahaman dari responden pada saat
psikoedukasi di berikan
Berdasarkan hasil penelitian “Pengaruh Psikoedukasi tentang masalah LGBT pada remaja” dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
Rata-rata nilai pengetahuan siswa sebelum dilakukan psikoedukasi adalah (50) di SMK Karya
Padang Panjang. Rata-rata nilai pengetahuan masyarakat sesudah dilakukan psikoedukasi (85) di
SMK Ada pengaruh psikoedukasi terhadap peningkatan pengetahuan
responden sebelum dan sesudah di lakukan psikoedukasi tentang masalah LGBT pada remaja di
SMK Dari hasil uji Wilcoxon didapatkan bahwa mean rank pengetahuan
respon tentang masalah LGBT pada remaja sebelum dan sesudah di lakukan konseling yaitu 5.00.
Berdasarkan hasil uji statistic di dapatkan nilai P value=0,020 (P < 0,05).