1. Surveilans Epidemiologi Surveilans Epidemiologi
a. Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis = Lumpuh Layuh Akut)
Salah satu strategi yang dilakukan untuk mencapai eradikasi polio yaitu melaksanakan
surveilans AFP sesuai dengan standar sertifikasi. Surveilans AFP adalah pengamatan
yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh akut pada anak usia < 15 tahun
yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit polio. Tujuan surveilans AFP
antara lain mengidentifikasi daerah berisiko terjadinya transmisi virus polio liar,
memantau perkembangan program eradikasi polio dan membuktikan Indonesia
bebas polio.
Ada 6 indikator kinerja surveilans AFP sesuai dengan standar sertifikasi yaitu :
• Non Polio AFP rate minimal 2 / 100.000 populasi anak usia < 15 th
• Prosentase spesimen adekuat minimal 80%
• Prosentase kunjungan ulang 60 hari minimal 80%
• Prosentase kelengkapan laporan nihil (zero report) puskesmas minimal 90%
• Prosentase ketepatan laporan puskesmas minimal 80%
• Prosentase kelengkapan Surveilans Aktif Rumah Sakit minimal 90%
Non Polio AFP adalah kasus lumpuh layuh akut yang diduga kasus Polio sampai
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus Polio.
Pada tahun 2011, secara nasional Non Polio AFP rate telah memenuhi target yaitu
2,76/100.000 populasi anak < 15 tahun, dengan capaian tertinggi oleh Provinsi
Gorontalo, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara. Namun demikian masih ada 1
(satu) provinsi dengan capaian Non Polio AFP rate dibawah 2, yaitu Papua.
Pada tahun 2011, capaian indikator spesimen adekuat secara nasional telah mencapai
target yaitu 89,5%. Dari 33 provinsi, hanya ada 1 provinsi yang spesimen adekuatnya
mencapai 100%, yaitu Kalimantan Tengah. Namun, ada 6 provinsi dengan spesimen
adekuat yangberada di bawah target 80% yaitu Aceh, Sulawesi Barat, Maluku, Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah kelengkapan laporan nihil (zero report)
Puskesmas & RS. Untuk puskesmas, laporannya menggunakan laporan mingguan
(W2/PWS KLB). Untuk RS, laporan yang digunakan adalah Surveilans Aktif RS (SARS).
Pencapaian kelengkapan laporan nihil di Puskesmas secara nasional masih dibawah
target (81,5%). Namun demikian ada 12 provinsi yang mempunyai kelengkapan
laporan nihil puskesmas >90% yaitu: Sumatera Barat, Bangka Belitung, Lampung,
DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah, bahkan Gorontalo serta Jawa Timur mencapai 100%.
Lebih baik dibandingkan dengan puskesmas, kelengkapan laporan nihil Rumah Sakit
(RS) secara nasional walaupun belum mencapai target yang ditetapkan, lebih tinggi
dibandingkan kelengkapan puskesmas yaitu sebesar 86,2%. Provinsi dengan
kelengkapan laporan nihil Rumah Sakit di atas 90% yaitu: Sumatera Barat, Jambi,
Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi
Tenggara. Provinsi Gorontalo, Sumatera Selatan dan Jawa Timur dapat mencapai
kelengkapan laporan nihil rumah sakit hingga 100%, sementara Maluku (1.7%)
adalah provinsi terendah dalam hal kelengkapan laporan nihil rumah sakit.
Untuk dapat melihat tren kinerja surveilans AFP selama 5 tahun terakhir, berikut ini
adalah gambaran capaian indikator kinerja Surveilans AFP di Indonesia tahun 2007
sd 2011:
Berdasarkan data tersebut, dalam 5 tahun terakhir secara umum kinerja surveilans
AFP cukup baik. Non Polio AFP rate cenderung meningkat pada setahun terakhir.
Untuk spesimen adekuat, indikator tersebut telah mencapai target (> 80%) pada 5
tahun terakhir dan mengalami peningkatan dalam 1 tahun terakhir. Namun,
pencapaian indikator laporan nihil (zero report), baik di Rumah Sakit maupun
Puskesmas, selama 5 tahun terakhir masih dibawah target (< 90%).
Berdasarkan data di atas, secara umum terjadi penurunan kasus campak rutin pada
tahun 2007-2009 tetapi meningkat kembali pada 2 tahun terakhir. Di sisi lain, KLB
campak cenderung mengalami peningkatan frekuensi kejadian dalam 5 tahun terakhir
dan hampir mencapai dua kali lipat pada setahun terakhir. Jumlah kasus pada KLB
campak pun cenderung mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir.
Dalam 5 tahun terakhir, sebagian besar kasus KLB campak yang dilaporkan dan
diperiksa laboratorium adalah positif campak, kecuali tahun 2008 kasus campak
konfirmasi hampir sebanding dengan kasus rubella, bahkan tahun 2009 kasus rubella
jauh lebih banyak dibandingkan campak, seperti terlihat pada data di atas.
Sebaran kasus campak selama 4 tahun terakhir (2008-2011) sebagian besar terjadi di
pulau Jawa, selain itu juga menyebar di pulau Sumatera dan beberapa provinsi di
Sulawesi dan Kalimantan seperti tampak pada gambar di bawah.
Pada tahun 2011, hanya 4 (empat) Provinsi yang melaporkan kasus campak dibawah
50 kasus dalam setahun melalui laporan rutin integrasi, yaitu Provinsi NTB sebanyak
30 kasus, Papua Barat sebanyak 14 kasus, Sulawesi Barat sebanyak 3 kasus, dan
Maluku yang melaporkan tidak adanya kasus (0 kasus). data di atas memperlihatkan kecenderungan penyakit campak per golongan umur
dari tahun 2007-2011. Kecenderungan kasus campak klinis berdasarkan golongan
umur pada tahun 2007 didominasi oleh golongan umur 1-4 tahun, sedangkan pada
tahun 2008-2011 terjadi pergeseran kasus ke golongan umur 5-9 tahun. Bahkan, pada
golongan umur yang lebih tinggi (> 14 tahun), kasusnya cenderung meningkat setiap
tahunnya, kecuali tahun 2011. Hal ini disebabkan karena telah terjadi akumulasi
kelompok yang rentan terkena campak dari tahun ke tahun, mengingat efikasi vaksin
hanya 85%.
Mencermati data tersebut di atas, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
membuktikan kasus tersebut benar-benar campak atau bukan. Hasil pemeriksaan lab
ini sangat penting untuk memberikan rekomendasi ke unit terkait tentang
pelaksanaan kegiatan imunisasi selanjutnya. Karena jika hasil pemeriksaan tersebut
campak positif, maka perlu meningkatkan cakupan imunisasi rutin tinggi merata dan
pemberian booster untuk memberikan perlindungan pada golongan umur 5-9 tahun,
mengingat telah terjadi pergeseran kasus ke golongan umur yang lebih tinggi.
Menyikapi hal tersebut maka kebijakan program dilakukan pemberian imunisasi dosis
kedua sehingga diharapkan dapat memberikan herd imunity 95%.
c. Surveilans Tetanus Neonatorum Surveilans Tetanus Neonatorum
Status Eliminasi Tetanus Neonatorum adalah ditemukannya kasus Tetanus
Neonatorum < 1 per 1.000 kelahiran hidup per tahun per Kabupaten/Kota, dengan
catatan yaitu cakupan imunisasi TT2 positif lebih dari 80%, persalinan oleh tenaga
kesehatan >70% dan laporan Puskesmas dan Rumah Sakit >80%. Hasil validasi
Eliminasi Tetanus Maternal-Neonatal (Maternal Neonatal Tetanus Elimination/
MNTE) tahun 2011 menyimpulkan regional Jawa Bali, Sumatera, dan Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara telah mencapai Eliminasi Tetanus Neonatal dan Maternal,
hanya regional 4 (Maluku dan Papua) yang belum mendapatkan status MNTE.
Pada tahun 2011, total Tetanus Neonatorum (TN) di Indonesia sebanyak 114 kasus
dengan 69 kematian yang tersebar di 15 Provinsi. Provinsi yang tidak melaporkan
adanya kasus TN adalah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu, Bangka
Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara,
Papua dan Papua Barat. Berdasarkan peta tersebut di atas, Provinsi Banten dan Jawa
Barat memiliki kasus TN tertinggi tahun 2009. Pada tahun berikutnya, kasus TN yang
cukup tinggi juga terjadi di Jawa Timur. Pada tahun 2011, kasus TN tertinggi pun
kembali terjadi di Banten dan Jawa Timur.
Gambaran kasus menurut faktor pemeriksaan kehamilan, sebagian besar pemeriksaan
dilakukan oleh bidan/perawat (57%). Berdasarkan status imunisasi, diagram tersebut
menunjukkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada kelompok yang tidak
diimunisasi yaitu 67 kasus (59%). Menurut faktor risiko penolong persalinan, 77
kasus (68%) ditolong oleh penolong persalinan tradisional, misalnya dukun. Untuk
gambaran kasus menurut cara perawatan tali pusat, sebagian besar kasus dilakukan
perawatan tali pusat tradisional yaitu 57 kasus (50%).
Lebih lanjut lagi, hubungan antara cakupan TT2+ pada ibu hamil dengan kasus
Tetanus Neonatorum selama tahun 2007 sd 2011 dapat dilihat dari data tersebut.
Cakupan TT2+ secara umum cenderung mengalami penurunan, terutama dalam 3
tahun terakhir. Kasus Tetanus Neonatorum pun cenderung mengalami penurunan
dalam 5 tahun terakhir.
Jika dilihat keterkaitannya, hal yang diharapkan adalah trend data kasus TN
berbanding terbalik dengan cakupan TT2+. Artinya, kasus TN menurun seiring
dengan meningkatnya cakupan imunisasi TT2+. Namun, bila dilihat pada data di
atas, penurunan cakupan imunisasi TT2+ diikuti pula dengan penurunan kasus TN,
kecuali pada tahun 2009 ketika cakupan TT2+ meningkat, kasus TN menurun
dibanding tahun sebelumnya. Pola keterkaitan tersebut belum bisa disimpulkan
karena secara umum cakupan TT2+ masih dibawah target.
d. Surveilans Difteri Surveilans Difteri
Surveilans Difteri mulai diintegrasikan dengan AFP, Campak, dan TN pada tahun
2006. Berdasarkan data yang dihimpun melalui laporan integrasi selama 3 tahun
terakhir, sebaran kasus masih cukup tinggi.
Berdasarkan peta di atas, kasus difteri mengalami peningkatan dua kali lipat dari 219
kasus (2008) menjadi 432 kasus (2010) dan menjadi 4 kali lipat pada tahun 2011
(806 kasus). Pada tahun 2009, kasus difteri tidak dilaporkan di Indonesia. Provinsi
Jawa Timur merupakan Provinsi dengan kasus difteri terbanyak pada beberapa tahun
terakhir, yang disusul dengan Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Jawa
Barat.
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Penanggulangan KLB < 24 jam merupakan salah satu indikator kinerja dalam Renstra
Kementerian Kesehatan yang ditargetkan tercapai 100% pada tahun 2014. Target ini
ditetapkan secara bertahap mulai tahun 2009 hingga 2014. Walaupun belum
mencapai target yang ditetapkan setiap tahun, namun terjadi peningkatan dari 2009
hingga 2011. Tahun 2011, capaian indikator penanggulangan KLB < 24 jam sebesar
70% , sedikit di bawah target yang ditetapkan yaitu 73%.
Sistem pelaporan KLB dari provinsi dilakukan setiap bulan menggunakan format STP
KLB, dimana kelengkapan laporan secara umum meningkat dari tahun 2009 hingga
2011. Frekuensi KLB yang dilaporkan selama 3 tahun terakhir makin meningkat,
walaupun ada 2 provinsi yaitu Jawa Tengah dan Maluku belum menggunakan
format pelaporan sesuai standar.
Dalam rangka mencapai target indikator penanggulangan KLB < 24 jam di Indonesia,
upaya yang telah dilakukan antara lain :
• Penguatan sistem kewaspadaan dini KLB untuk deteksi dan peringatan dini
menggunakan EWARS di 10 Provinsi.
• Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia, dengan menetapkan 40 orang
sebagai Petugas Khusus Pengendalian Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi sebanyak 40 orang di 33 Provinsi, Pelatihan Tim Gerak Cepat ditingkat
provinsi dan kabupaten, serta Pelatihan Asisten Epidemiologi Lapangan di 3
region.
• Surveilans berbasis kejadian (Event Based Surveillance) yang datanya berdasarkan
hasil verifikasi rumor dari berbagai sumber sehingga diharapkan semua KLB dapat
direspons <24 jam pada tahun 2014.
1) Frekuensi KLB berdasarkan Provinsi Frekuensi KLB berdasarkan Provinsi
Tahun 2011 Indonesia mengalami 1.328 KLB, yang tersebar di 31 provinsi (2
provinsi format laporan tidak sesuai standar yaitu Jawa Tengah dan Maluku).
Dibandingkan tahun 2010, tahun 2011 angka kejadian KLB di tiap Provinsi
mengalami penurunan kejadian, pada tahun 2010 terdapat 4 provinsi yang
memiliki KLB lebih dari 100 kali pertahunnya, sedangkan pada tahun 2011 hanya 3
Provinsi yang memiliki KLB lebih dari 100 kali yaitu Banten, Jawa Timur dan Jawa
barat, dan angka kejadian di tiap Provinsi yang lain lebih rendah dibandingkan
tahun 2010.
data tersebut di atas menggambarkan frekuensi KLB menurut Provinsi, Banten
merupakan provinsi yang memiliki KLB tertinggi dengan frekuensi 257 KLB (19.35
%), kemudian diikuti Jawa Timur 240 KLB (18.07%) dan Jawa Barat 118 (8.89%).
data 103 juga memperlihatkan bahwa frekuensi KLB tertinggi masih didominasi
oleh provinsi dengan jumlah penduduk yang padat.
2) Frekuensi KLB berdasarkan Bulan Frekuensi KLB berdasarkan Bulan
Distribusi atau frekuensi data menurut waktu sangat penting ditampilkan untuk
melihat waktu peningkatan dan penurunan KLB terjadi.
data di atas mengambarkan trend frekuensi KLB menurut bulan pada tahun 2011,
bulan Maret merupakan bulan dengan frekuensi KLB tertinggi sebanyak 163 kali
KLB. Sedangkan pada bulan November dan Desember frekuensi kasus menurun.
TAD adalah KLB yang tidak ada keterangan waktu.
3) Frekuensi KLB Berdasarkan Jenis Penyakit Frekuensi KLB Berdasarkan Jenis Penyakit
Selama tahun 2011 beberapa penyakit memiliki frekuensi KLB yang tinggi di
beberapa provinsi di Indonesia, yang didominasi penyakit-penyakit endemis.
Campak merupakan KLB yang paling banyak terjadi dengan frekuensi KLB 257
kali yang diikuti keracunan pangan dengan frekuensi 203 kali dan difteri 183 kali.
Beberapa daerah di Indonesia saat ini masih mengalami kejadian luar biasa (KLB).
Penanganan yang cepat terbukti mampu mengurangi dampak KLB dengan
didukung oleh pelaporan yang cepat. Di bawah ini adalah beberapa analisis yang
berhubungan dengan respon KLB.
data di atas memperlihatkan lama waktu respon sejak terjadi KLB. Dari 1328
KLB, 1.254 KLB yang memiliki data lama waktu KLB direspons, dan 70.08% KLB
dari data tersebut direspon kurang dari 24 jam.Tahun 2011 target KLB yang
direspon kurang dari 24 jam adalah 73%, sehingga target indikator yang tercapai
sebesar 96%. Beberapa kendala yang ditemukan dalam pencapaian target respon
KLB kurang dari 24 jam adalah terlambat diketahuinya KLB yang terjadi.
Dari peta di atas tampak bahwa terdapat 4 Provinsi yang berhasil merespon
kurang dari 24 jam dari seluruh KLB yang terjadi, yaitu provinsi Kepulauan Riau,
Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat sedangkan di beberapa
provinsi lain angkanya masih bervariasi. Provinsi yang respon KLB nya kurang dari
24 jam masih dibawah 50% adalah Aceh, Bangka Belitung, NTB, NTT, Papua,
Riau dan Sulawesi Tengah. Sedangkan provinsi lain memiliki respon kurang dari
24 jam berkisar antara 50-90%.
data diatas mengambarkan prosentase respon KLB berdasarkan 10 jenis
penyakit/kejadian terbesar. Dari 10 jenis KLB tersebut, respon kurang dari 24 jam
yang tertinggi adalah Keracunan pangan (96,37%), sedangkan KLB yang respon
kurang dari 24 jam masih dibawah 50% adalah campak dan chikungunya.
Sementara penyakit lainnya sekitar 50%-80% direspon kurang dari 24 jam.
Rendahnya angka respon pada penyakit tertentu khususnya penyakit yang
endemis di suatu daerah disebabkan adanya kesalahan dalam menetapkan kapan
KLB mulai terjadi. Untuk menetapkan kriteria KLB mengacu kepada Peraturan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 tahun 2010.
Rata-rata respon KLB kurang dari 24 jam berdasarkan bulan adalah 70%, hanya
pada bulan Agustus respon KLB kurang dari 24 jam masih dikisaran 50%. Masalah
yang mungkin menyebabkan belum tercapainya target respon < 24 jam di
beberapa provinsi adalah KLB terjadi di daerah yang sulit sehingga lambat
diketahui, dan masih terbatasnya tenaga, anggaran dan untuk penanggulangan.
f. Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (Early Warning Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (Early Warning Alert and Respons Alert and Respons
System/EWARS) System/EWARS)
EWARS merupakan salah satu perangkat dalam surveilans untuk mengetahui secara
dini adanya sinyal peringatan/ancaman penyakit menular potensial KLB. data yang
dihimpun adalah data PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) mingguan atau W2
yang berasal dari pustu dan puskesmas. Sampai dengan tahun 2011, sebanyak 6
Provinsi yang telah menggunakan sistem ini yaitu Lampung dan Bali (sejak tahun
2009), Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat.
Tahun 2011 replikasi EWARS mulai diterapkan pada provinsi Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, NTB dan Sulawesi Tengah yang masih dalam tahap sosialisasi.
Berdasarkan data di atas, pelaksanaan EWARS telah dilaksanakan hingga ke tingkat
Puskesmas yang ada di 6 Provinsi dan akan terus diimplementasikan ke seluruh
wilayah Indonesia guna memperkuat sistem peringatan dini terkait
peringatan/ancaman penyakit menular potensial KLB.
Berdasarkan kelengkapan laporannya, secara umum kinerja EWARS sudah baik.
Kelengkapan laporan diatas 80% (berarti ada 20% sinyal peringatan dini yang tidak
tertangkap dalam sistem EWARS), kecuali Sulawesi Utara (78%) dan Kalimantan
Selatan (75%). Kelengkapan laporan penting untuk mengetahui sejauh mana sistem
ini mampu menangkap adanya sinyal peringatan dini. Ketepatan laporan masih
berkisar antara 60%-70%. Ketepatan laporan penting untuk mengetahui kecepatan
sistem dalam mendeteksi adanya ancaman KLB di suatu wilayah. Untuk
meningkatkan kinerja sistem EWAR maka Provinsi dapat mengidentifikasi kabupaten
mana saja yang memiliki masalah dalam sistemnya. Demikian juga kabupaten dapat
mengidentifikasi puskesmas mana saja yang bermasalah dalam sistemnya.
Sinyal peringatan dini yang ditangkap selama 2011 sebanyak 16.897 alert yang
tersebar di 1422 puskesmas, 89 kabupaten, dan 6 Provinsi. Sebanyak 80% alert
tersebut sudah direspons oleh puskesmas maupun dinas kesehatan kabupaten/kota.
Jumlah kasus yang diamati dalam EWARS di puskesmas tidak dapat digunakan untuk
membandingkan besar masalah penyakit yang diamati antar Provinsi. Agar dapat
membandingkan besaran masalah antar Provinsi dapat digunakan populasi penduduk
atau total kunjungan di tempat pelayanan (dalam hal ini puskesmas) sebagai
pembandingnya. Misalnya walaupun jumlah kasus ILI di Sulawesi Selatan lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah kasus ILI di Kalimantan Barat, tidak berarti bahwa
masalah ILI di Sulawesi Selatan lebih besar dibandingkan dengan Kalimantan Barat.
Berdasarkan data tersebut, diketahui proporsi kunjungan ILI di Kalimantan Barat
paling tinggi di antara Provinsi lain. Berdasarkan hasil asistensi teknis dan monitoring
pusat ke beberapa puskesmas di Kalimantan Barat ternyata sebagian besar puskesmas
tersebut memasukan semua kasus baru ISPA sebagai ILI. Kesulitan petugas surveilans
dalam menetapkan kasus ILI di puskesmas karena definisi operasional ILI belum ada
di ICD 10. Sedangkan proporsi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) di Bali
sangat tinggi karena populasi anjing di Provinsi tersebut juga sangat besar. Pada
tahun 2011 ini, dari 22 jenis sindrom/penyakit potensial KLB di Kalimantan Barat
ternyata ada 6 jenis sindrom/penyakit dengan angka proporsi tertinggi. Dapat
disimpulkan bahwa Kalimantan Barat memiliki masalah yang lebih banyak dan besar
dibandingkan dengan Provinsi lain.
data di atas menunjukan tren 3 penyakit terbesar dalam EWARS tahun 2011 di 6
Provinsi. Pada minggu ke-35 terlihat jumlah kasus menurun karena pada minggu
tersebut bertepatan libur hari raya idul fitri dan jumlah kunjungan ke masyarakat ke
puskesmas juga turun. Dalam data 2, kelengkapan laporan dimasukan untuk melihat
apakah tren tersebut dipengaruhi oleh kelengkapan laporan atau tidak.
2. Imunisasi Imunisasi
1. Imunisasi Rutin Imunisasi Rutin
a. Imunisasi Dasar Bayi Imunisasi Dasar Bayi
Bayi usia kurang dari 1 tahun harus diberikan imunisasi dasar lengkap yang terdiri
dari imunisasi Hepatitis B (1 dosis), BCG (1 dosis), DPT-HB (3 dosis), Polio (4 dosis)
dan Campak (1 dosis). Jadwal pemberian dari masing-masing jenis imunisasi dapat
dilihat pada data berikut.
Dari sudut pandang program, cakupan imunisasi BCG, HB (< 7 hari) dan DPT-HB
1 merupakan indikator bagi jangkauan program, Drop Out/DO (DPT1-DPT3 atau
DPT1-Campak) merupakan indikator manajemen program, sedangkan cakupan
imunisasi DPT-HB 3, Polio 4 dan Campak adalah indikator bagi tingkat
perlindungan program. Tiap jenis imunisasi tersebut memiliki target cakupan
masing-masing. Pencapaian cakupan tiap jenis imunisasi akan disajikan dalam
beberapa data di bawah ini.
Secara nasional, cakupan imunisasi BCG telah mencapai target (≥ 95%), yaitu
98,0%. Provinsi yang sudah mencapai target sebanyak 21 provinsi. Jumlah ini
meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya sebanyak 17 provinsi.
Provinsi dengan cakupan imunisasi BCG tertinggi adalah provinsi Sulawesi Selatan
(105,1%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (63,8%).
Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi BCG cenderung meningkat. Namun,
pada tahun 2008 sempat mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya.
Dalam 3 tahun terakhir, cakupan imunisasi BCG telah mencapai target (≥ 95%).
Cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) secara nasional telah mencapai target (≥ 80%),
yaitu 80,5%. Namun, apabila dilihat per provinsi, hanya 10 provinsi yang telah
mencapai target, yaitu provinsi Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Banten dan Bangka Belitung.
Provinsi dengan cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) tertinggi adalah provinsi Bali
(98,1%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (34,4%) dan Papua
Barat (38,2%).
Pencapaian cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) selama 5 tahun terakhir mengalami
peningkatan yang signifikan. Namun, baru tahun ini cakupan imunisasi HB0 (< 7
hari) nasional dapat mencapai target (≥ 80%).
Cakupan imunisasi DPT-HB 1 nasional telah mencapai target (≥ 95%), yaitu
97,9%. Dari keseluruhan provinsi di Indonesia, 22 provinsi telah mencapai target
cakupan imunisasi DPT-HB 1. Sama seperti BCG, jumlah ini pun meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 18 provinsi. Provinsi dengan
cakupan imunisasi DPT-HB 1 tertinggi yaitu provinsi DKI Jakarta (106,6%),
sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (70,2%).Selama periode 2007 sd 2011, cakupan imunisasi DPT-HB1 terus mengalami
peningkatan, khususnya pada tahun 2008. Peningkatan cakupan imunisasi pada
tahun 2008 tersebut cukup signifikan yaitu dari 83,9% pada tahun 2007 menjadi
95,7%.
Cakupan imunisasi DPT-HB3 nasional telah mencapai target (≥ 90%), yaitu
94,9%. Berdasarkan provinsi, ada 21 provinsi yang telah mencapai target cakupan
imunisasi DPT-HB3. Provinsi dengan cakupan imunisasi DPT-HB3 tertinggi yaitu
provinsi DKI Jakarta (103,8%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi
Papua (61,8%).
Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi DPT-HB3 cenderung mengalami
peningkatan. Peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2008 yaitu dari
79,6% pada tahun 2007 naik menjadi 91,5%.
Secara nasional, cakupan imunisasi Polio4 telah mencapai target (≥ 90%) yaitu
93,3%. Dari 33 provinsi, 20 provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi
Polio4. Provinsi dengan cakupan imunisasi Polio4 tertinggi yaitu provinsi DKI
Jakarta (102,5%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (62,6%).
Trend cakupan imunisasi Polio4 cenderung mengalami peningkatan. Cakupan
imunisasi Polio4 dalam 4 tahun terakhir sudah mencapai target (≥ 90%).
Cakupan imunisasi campak nasional telah mencapai target (≥ 90%), yaitu 93,6%.
Ada 18 provinsi yang telah mencapai target cakupan imunisasi campak. Provinsi
dengan cakupan imunisasi campak tertinggi yaitu provinsi DKI Jakarta (101,7%),
sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (72,4%) dan
Papua (69,9%).
Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi campak terus mengalami peningkatan.
Sama seperti DPT-HB 1, cakupan imunisasi campak telah dapat mencapai target (≥
90%) sejak tahun 2008, yaitu 90,6%, kemudian terus meningkat di tahun-tahun
berikutnya. Cakupan imunisasi dasar lengkap nasional tahun 2011 adalah 93,3% dan telah
jauh mencapai target yang ditetapkan yaitu ≥ 82%. Dari 33 provinsi yang ada di
Indonesia, hampir seluruh provinsi telah dapat mencapai target tersebut, hanya 5
provinsi yang belum mencapai yaitu provinsi Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara
Timur, Papua, Gorontalo dan Papua Barat. Provinsi dengan cakupan tertinggi
adalah DKI Jakarta (101,7%), sedangkan provinsi Papua menempati posisi
terendah cakupan imunisasi dasar lengkap (61,8%).
Pencapaian cakupan imunisasi dasar lengkap sejak tahun 2007 sampai 2011
menunjukkan adanya peningkatan. Sejak tahun 2008, angka cakupan terus naik
melebihi angka 90%.
Universal Child Immunization atau yang biasa disingkat UCI merupakan gambaran
dimana ≥ 80% dari jumlah bayi yang ada di suatu desa/kelurahan tersebut sudah
mendapat imunisasi dasar lengkap. Pada tahun 2011 target cakupan UCI desa
adalah 85% dan diharapkan pada tahun 2014 akan dapat mencapai 100%,
artinya seluruh desa yang ada di Indonesia dapat mencapai UCI. Sebagai upaya pencapaian target tersebut, Kementerian Kesehatan melaksanakan Gerakan
Akselerasi Imunisasi Nasional untuk mencapai UCI atau dikenal dengan sebutan
GAIN UCI dengan beberapa strategi yaitu penguatan Pemantauan Wilayah
Setempat (PWS), penyiapan sumber daya, pemberdayaan masyarakat dan
pemerataan jangkauan pelayanan. Di bawah ini adalah data yang menunjukkan
pencapaian cakupan UCI desa di tahun 2011.
Pencapaian UCI Desa secara nasional pada tahun ini belum memenuhi target, yaitu
74,1%. Namun, dari 33 provinsi, ada 10 provinsi yang telah memenuhi target
(85%).
Dalam periode tahun 2007-2011, terlihat bahwa cakupan UCI desa sempat
mengalami penurunan yang cukup berarti di tahun 2008 dan 2009, lalu mulai
naik kembali di tahun 2010. data di atas menunjukkan bahwa upaya GAIN UCI
yang dicanangkan sejak tahun 2010 dapat meningkatkan kembali pencapaian
cakupan UCI desa dari 68% pada tahun 2009 menjadi 75,3% di tahun 2010.
Drop out imunisasi terjadi ketika bayi yang seharusnya mendapatkan imunisasi
dasar lengkap sesuai dengan jadwal pemberian dan dosis yang dianjurkan, namun
ternyata bayi tersebut tidak memperolehnya secara lengkap. Angka Drop Out(DO) merupakan indikator untuk menilai efektivitas program yang dihitung
berdasarkan persentase penurunan cakupan imunisasi campak terhadap cakupan
imunisasi DPT-HB 1. Angka Drop Out yang diharapkan adalah tidak melebihi 5%.
Pencapaian angka Drop Out per provinsi dapat dilihat pada data di bawah ini.
Pencapaian angka DO secara nasional pada tahun ini telah memenuhi target, yaitu
4,4%, namun masih ada beberapa provinsi yang belum memenuhi target
maksimal 5% DO. Provinsi dengan angka DO terendah yaitu provinsi Papua
(0,5%).
Jika dilihat dari tahun 2007-2011, angka Drop Out menunjukkan kecenderungan
yang terus menurun. Angka Drop Out sejak tiga tahun terakhir sudah sesuai
dengan target yakni ≤ 5%.Hal ini berarti kecenderungan bayi mendapat imunisasi
lengkap pun semakin meningkat.
b. Imunisasi Anak Sekolah Imunisasi Anak Sekolah
Anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada waktu bayi, masih
perlu diberikan imunisasi lanjutan pada saat Sekolah Dasar. Imunisasi pada anak
sekolah terdiri dari imunisasi Campak dan DT pada siswa kelas 1 dan imunisasi Td
pada siswa kelas 2 dan 3 (pemberian imunisasi Td baru dilaksanakan pada tahun
2011, sebagai pengganti dari imunisasi TT tahun sebelumnya). Pemberian imunisasi
tersebut dilaksanakan pada bulan Agustus untuk imunisasi Campak dan bulan
November untuk imunisasi DT dan Td, dan dikenal dengan sebutan Bulan
Imunisasi Anak Sekolah atau disingkat BIAS. Tujuan dari BIAS ini adalah untuk
memberikan perlindungan jangka panjang bagi anak terhadap penyakit Campak,
Difteri, dan Tetanus. Pencapaian cakupan BIAS tahun 2011 dapat dilihat pada
data di berikut ini.
Cakupan BIAS Campak, DT maupun Td nasional pada tahun 2011 belum mencapai
target (≥ 95%). Cakupan imunisasi campak pada anak sekolah mencapai 89,3%,
cakupan DT 84%, dan cakupan Td 91,4%. Untuk BIAS Campak, provinsi yang
telah mencapai target ada 10, yaitu provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Lampung,
Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, Banten, dan
Bangka Belitung. Untuk BIAS DT, ada 7 provinsi yang telah mencapai target, yaitu
provinsi Jambi, Bengkulu, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan
Bangka Belitung. Untuk BIAS Td, provinsi yang telah mencapai target yaitu
provinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa
Cakupan BIAS nasional selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami
peningkatan. Selain pelaksanaan BIAS menjadi lebih baik, peningkatan ini juga
dapat disebabkan oleh semakin meningkatnya kelengkapan laporan BIAS tiap
provinsi dari tahun ke tahun. Cakupan tertinggi dapat dicapai pada tahun 2010
untuk imunisasi DT yaitu 92,9%. Pada tahun 2011, cakupan BIAS Campak dan DT
mengalami penurunan jika dibandingkan pada tahun 2010, namun cakupan
imunisasi Td justru meningkat dengan cukup signifikan.
c. Imunisasi pada Ibu Hamil Imunisasi pada Ibu Hamil
Ibu hamil diberikan imunisasi TT untuk memberikan perlindungan seumur hidup
terhadap penyakit tetanus, termasuk tetanus maternal dan tetanus neonatorum.
Perlindungan seumur hidup tersebut dapat diperoleh dengan imunisasi TT
sebanyak 5 dosis sesuai dengan interval atau jarak waktu yang dianjurkan. Berikut
ini dapat kita lihat pencapaian cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil tahun
2011. Cakupan TT2+ (ibu hamil yang telah mendapat imunisasi TT minimal 2 dosis)
pada ibu hamil secara nasional belum dapat mencapai target (≥ 80%), yaitu
63,6%. Dari 33 provinsi, ada 9 provinsi yang telah mencapai target, dengan
cakupan tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah (112,9%). Sementara itu, provinsi
dengan cakupan terendah adalah Sulawesi Tengah (2,9%) dan Papua (3,5%).
Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil mengalami
penurunan. Pada tahun 2008 terjadi penurunan cakupan yang cukup berarti, di
tahun 2009 cakupan imunisasi sempat mengalami sedikit peningkatan
dibandingkan tahun sebelumnya, namun kembali menurun pada tahun-tahun
berikutnya.
Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan berkomitmen dalam
program eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (Maternal and Neonatal
Tetanus Elimination atau MNTE). Menurut WHO, tetanus maternal dan neonatal
dikatakan tereliminasi apabila hanya terdapat kurang dari satu kasus tetanus
neonatal per 1000 kelahiran hidup di setiap kabupaten.
Pada tahun 2011 telah dilaksanakan Survei Validasi MNTE (Maternal and Neonatal
Tetanus Elimination) di regional Kalimantan, Sulawesi, NTB dan NTT dengan hasil
yaitu eliminasi tetanus maternal dan neonatal di regional tersebut pada periode 1
Juni 2010 sampai dengan 31 Mei 2011 telah tercapai. Sebelumnya, pada tahun
2010, regional Jawa dan Bali serta regional Sumatera juga telah mencapai
eliminasi.
2.Imunisasi Tambahan Imunisasi Tambahan asi Tambahan
Imunisasi tambahan adalah imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya
masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kampanye imunisasi tambahan campak
dan polio telah dilaksanakan dalam tiga tahap di seluruh provinsi kecuali DI
Yogyakarta dan Bali. Hal ini disebabkan pencapaian imunisasi di kedua provinsi
tersebut dinilai sudah sangat baik sehingga tidak perlu lagi dilakukan kampanye
imunisasi tambahan.
Tahap yang pertama pada tahun 2009, dilakukan di 3 provinsi yaitu Aceh, Sumatera
Utara dan Maluku Utara. Pada tahun 2010, kampanye imunisasi tambahan campak
dan polio dilakukan di 11 provinsi, yaitu provinsi Papua Barat, Maluku, NTT, Banten,
Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Selanjutnya, tahap yang ketiga di tahun 2011, dilaksanakan di 17
provinsi yaitu Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa
Tenggara Barat, seluruh provinsi di Kalimantan dan Sulawesi, serta Papua.
Total cakupan kampanye imunisasi tambahan campak dan polio tahap tiga tahun
2011 telah mencapai target, yaitu 97,5% untuk campak dan 97,8% untuk polio. Dari
17 provinsi tersebut, sebanyak 9 provinsi telah memenuhi target ≥ 95% baik untuk
imunisasi campak maupun polio. Provinsi dengan cakupan tertinggi yaitu DKI Jakarta
(campak 104,4% dan polio 105,9%), sedangkan provinsi dengan cakupan terendah
adalah Papua (campak 69,5% dan polio 68,6%).
Berikut ini adalah peta hasil pencapaian kampanye imunisasi tambahan campak dan
polio selama tiga tahap (2009 sd 2011).
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya
mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia atau lebih dikenal
dengan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) sebagaimana yang
diamanatkan dalam International Health Regulation (IHR) 2005. Dalam melaksanakan
amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan
dasar-dasar kebebasan seseorang dan penerapannya secara universal.
IHR 2005 adalah Peraturan Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara
anggota WHO dalam sidang World Health Assembly (WHA) Ke-58 pada bulan Mei
2007 dan sudah mulai diberlakukan sejak tanggal 15 Juni 2007. Sebagai salah satu
negara anggota WHO yang ikut menyetujui ketetapan IHR 2005 tersebut, Indonesia
sudah melaksanakannya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sejak awal
pemberlakuan IHR 2005.
Implementasi IHR 2005 diawali dengan melakukan assesmen terhadap kapasitas inti
yang dimiliki di pintu masuk negara untuk melakukan deteksi, notifikasi dan respon
terhadap kejadian yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Dalam hal ini Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) merupakan bagian penting khususnya
dalam penerapan IHR 2005.
Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2348/Menkes/Per/XI/2011 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.356/Menkes/Per/IV/2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan, KKP diklasifikasikan menjadi 4
kelas, yaitu KKP Kelas I, Kelas II, Kelas.III, dan Kelas IV yang didasarkan pada beban
kerja di bandara, pelabuhan dan lintas batas darat negara. Jumlah KKP di Indonesia
adalah 49 KKP terdiri dari 7 KKP Kelas I, 21 KKP Kelas II dan 20 KKP Kelas III, dan 1
KKP Kelas IV (KKP Yogyakarta), dengan 296 wilayah kerja (wilker) dan 8 Pos Lintas
Batas Darat (PLBD).
1) Kegiatan Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan Tahun 2011 elabuhan Tahun 2011
Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan sebagai unit koordinasi yang
memfasilitasi dan mendukung KKP dalam cegah tangkal penyakit menular di pintu
masuk negara. Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan mempunyai
tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis,
penyusunan NSPK dan bimbingan teknis serta penyiapan evaluasi dan penyusunan
laporan karantina kesehatan dan kesehatan pelabuhan (Permenkes No.
1144/Menkes/PER/VIIII/2010).
2) Kegiatan Di KKP Kegiatan Di KKP
Berdasarkan tupoksi, KKP berperan dalam mencegah keluar dan masuk (penyebaran)
penyakit lintas negara yang mempunyai potensi menimbulkan PHEIC melalui pintu
masuk negara (pelabuhan, bandara dan PLBD). Oleh karena itu diperlukan
pengawasan, pencegahan dan pengendalian beberapa aspek terkait yakni alat angkut
(kapal laut, pesawat, kendaraan darat) dan muatannya (termasuk kontainer);
manusia (awak kapal, kapten, personil penerbang dan penumpang); barang; serta
lingkungan pelabuhan, bandara, dan PLBD yang dapat berpotensi sebagai faktor
risiko.
a. Kedatangan Kapal Kedatangan Kapal
Selama periode tahun 2007-2011, jumlah kedatangan kapal dari dalam dan luar
negeri mencapai 2.223.749 kapal. Kapal yang datang dari dalam negeri lebih
banyak, yaitu 1.816.876 kapal (81,7%) dibandingkan yang datang dari luar negeri,
yaitu 406.873 kapal (18,3%). Adapun kedatangan kapal dari luar negeri tersebut
35.419 kapal (8,7%) berasal dari daerah terjangkit dan 373.514 kapal (91,3%)
berasal dari daerah tidak terjangkit.
Pada tahun 2011, jumlah kedatangan kapal dari dalam negeri mengalami
peningkatan 25% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kedatangan kapal dari
luar negeri juga mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu signifikan. Berdasarkan data tersebut, jumlah kapal yang datang dari dalam negeri pada
tahun 2007-2011 cenderung mengalami peningkatan. Sebaliknya, kedatangan
kapal dari luar negeri cenderung menurun pada tahun 2007-2009, kemudian
meningkat kembali pada tahun 2010-2011.
Dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan kekarantinaan,kapal-kapal yang
datang dari luar negeri perlu mengajukan permohonan Certificate Radio Pratique
dan Certificate of Pratique (Free Pratique). Free Pratique adalah sertifikat izin
bebas karantina yang diterbitkan terhadap alat angkut yang datang dari luar negeri
maupun dari daerah terjangkit, sedangkan Radio Pratique diberikan melalui
perantara radio. Free Pratique tersebut diberikan kepada pihak kapal setelah
dilakukan pemeriksaan terhadap kapal, awak kapal, muatan, dan dokumen
kesehatan lainnya dan dinyatakan bebas dari PHEIC. data di atas menunjukkan hampir seluruh kapal yang datang dari luar negeri
telah dilakukan pemeriksaan dan diberikan Free Pratique yakni di atas 99%
bahkan pada tahun 2007-2011 mencapai 99,9%, kecuali tahun 2008. Pada tahun
2009-2010, pemberian Free Pratique untuk kapal yang datang dari negara
terjangkit meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan
kejadian pandemi Swine Flu (H1N1) di beberapa negara, yang ditetapkan WHO
sebagai PHEIC. Pelanggaran UU Karantina dengan tidak diberikannya Free Pratique juga lebih banyak pada kapal yang datang dari negara terjangkit pada
tahun 2009-2010.
b. Keberangkatan Kapal Keberangkatan Kapal
Pada periode tahun 2007-2011, jumlah kapal yang berangkat ke dalam dan luar
negeri berjumlah 2.267.809 kapal, terdiri dari kapal yang berangkat ke dalam
negeri sebanyak 1.761.431 kapal (77,7%) dan kapal dari luar negeri sebanyak
506.378 kapal (22,3%). Pada tahun 2011 terjadi peningkatan 26,8%
keberangkatan kapal ke dalam negeri dari tahun sebelumnya. Sebaliknya, pada
tahun 2011 kapal yang berangkat ke luar negeri justru mengalami penurunan
sekitar 17,3% dibanding tahun sebelumnya.
Keberangkatan Kapal Ke D berangkatan Kapal Ke Dalam dan Luar Negeri Tahun 20 alam dan Luar Negeri Tahun 2007 sd alam dan Luar Negeri Tahun 2007 sd 2011 07 sd 2011
Keberangkatan kapal terbanyak merupakan keberangkatan domestik (dalam
negeri). Untuk keberangkatan ke dalam negeri, trendnya mengalami peningkatan.
Sebaliknya, keberangkatan kapal ke luar negeri pada tahun 2011 justru mengalami
penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, jumlah
keberangkatan kapal ke dalam negeri mengalami penurunan 26% tetapi
keberangkatan ke luar negeri justru meningkat > 50%.
c. Kedatangan Pesawat Kedatangan Pesawat
Selama periode tahun 2007-2011, jumlah kedatangan pesawat dari dalam dan luar
negeri mencapai 2.027.410 pesawat, terdiri dari pesawat yang datang dari dalam
negeri sebanyak 1.725.097 pesawat (85%) dan pesawat dari luar negeri sebanyak
302.313 pesawat (15%).
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa kedatangan pesawat terbanyak berasal
dari dalam negeri. Dalam 5 tahun terakhir, kedatangan pesawat dari dalam
maupun luar negeri tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010-
2011, jumlah kedatangan pesawat dari dalam negeri mengalami peningkatan yang
signifikan, hampir dua kali lipat.
Sehubungan dengan pengawasan kekarantinaan, pesawat yang datang dari luar
negeri harus menyerahkan General Declaration (Gendec) kepada petugas terkait.
General Declaration merupakan suatu dokumen kesehatan yang
menginformasikan mengenai kondisi kesehatan pelaku perjalanan di pesawat
selama perjalanan internasionalnya dan setiap tindakan penyehatan yang
dilakukan. Dari 302.313 buah pesawat yang datang dari luar negeri selama periode 2007-
2011, 60,6% diantaranya dilakukan pemeriksaaan Gendec. Pada tahun 2009-2011,
pesawat yang dilakukan pemeriksaaan Gendec mencapai lebih dari 60% (rata-rata
dalam kurun waktu 5 tahun), sedangkan tahun-tahun sebelumnya pesawat yang
dilakukan pemeriksaan masih di bawah 60%, terutama pada tahun 2008
(38,7%).
Pada periode tahun 2007-2011, jumlah pesawat yang berangkat ke dalam dan luar
negeri berjumlah 2.063.887 buah, terdiri dari pesawat yang berangkat tujuan ke
dalam negeri yakni sebanyak 1.771.089 (85,8%) dan pesawat yang berangkat ke
luar negeri sebanyak 292.798 buah (14,2%).
Berdasarkan data di atas, sebagian besar keberangkatan pesawat merupakan
keberangkatan dalam negeri (domestik) yang mencapai 80% pada setiap
tahunnya. Pada tahun 2007-2009, keberangkatan pesawat baik dalam maupun
luar negeri cenderung menurun. Dalam 2 tahun terakhir, jumlah pesawat yang
berangkat ke dalam negeri justru mengalami peningkatan hampir dua kali lipat.
e. Penumpang PenumpangKapal/Pesawat Kapal/Pesawat Kapal/Pesawat
Selama periode tahun 2007-2010, jumlah seluruh kedatangan penumpang kapal/
pesawat baik dari dalam dan luar negeri adalah2.841.548.577 orang. Penumpang
yang berasal dari luar negeri berjumlah 56.038.648 orang atau 2% dari total
penumpang yang melewati pelabuhan atau bandar udara sedangkan yang dari
dalam negeri berjumlah 2.785.509.929 orang (98%).
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa sebagian besar penumpang adalah yang
datang dari dalam negeri (domestik).Penumpang yang datang dari luar negeri
<.20% dari seluruh penumpang yang melewati pelabuhan atau bandar udara
Indonesia.Di tahun 2011, jumlah penumpang dari dalam negeri mengalami
peningkatan dibanding tahun sebelumnya sedangkan jumlah penumpang dari luar
negeri sedikit mengalami penurunan.
Pada tahun 2007-2011, jumlah seluruh penumpang kapal/pesawatyang berangkat
baik ke dalammaupun luar negeri adalah 379.846.948 orang. Penumpang yang
berangkat ke luar negeri berjumlah 61.274.571 orang (16,1%) sedangkan
penumpang yang berangkat ke dalam negeri berjumlah 318.572.377 orang
(83,9%).
Berdasarkan data tersebut, sebagian besar penumpang adalah penumpang yang
berangkat menuju daerah-daerah di dalam negeri (domestik).Penumpang yang
berangkat ke luar negeri jumlahnya<.25% dari seluruh penumpang yang
melewati pelabuhan atau bandar udara Indonesia tersebut setiap tahunnya.Bagi
penumpang yang berangkat ke luar negeri terutama yang menuju ke
negara/daerah endemis atau daerah terjangkit penyakit karantina atau terjangkit
penyakit yang berpotensi wabah perlu dilakukan vaksinasi internasional untuk
melindungi penumpang tersebut dari terjangkitnya penyakit.
f. ABK dan Crew ABK dan Crew
ABK dan Crew adalah faktor risiko yang paling rentan kemungkinan untuk
terjangkitnya penyakit yang berpotensi wabah. Kedatangan ABK dan Crew dari
daerah terjangkit dan tidak terpantau oleh KKP memiliki risiko yang lebih besar
untuk tertular penyakit berpotensi wabah. Bagi ABK dan Crew yang berangkat ke
luar negeri dan tidak terpantau oleh KKP juga dianggap sebagai faktor risiko, yaitu
bagi daerah tujuan berikutnya apabila mereka terjangkit penyakit potensial
wabah.
Berdasarkan data tersebut, dalam 5 tahun terakhir, jumlah ABK dan Crew yang
datang dari luar negeri tidak berbeda jauh dengan yang berangkat ke luar negeri,
kecuali pada tahun 2009. Pada tahun 2011, ABK dan Crew yang datang dari luar
negeri sebanyak 48,9% sedangkan yang berangkat ke luar negeri sebanyak 51,1%.
Dalam rangka mencegah keluar masuknya penyakit karantina dan penyakit yang
berpotensi wabah, kepada para ABK dan Crew yang akan berangkat ke luar
negeri yang merupakan daerah terjangkit perlu dilakukan Vaksinasi Internasional
dan selanjutnya diberikan Sertifikat Vaksinasi Internasional (ICV).
g. Dokumen Kesehatan Dokumen KesehatanKapal
Dokumen kesehatan kapal yang diberikan pada kapal-kapal yang diperiksa adalah
DerattingCertificate (DC)/Deratting Exemption Certificate (DEC). Kedua dokumen
tersebut berkaitan dengan pemeriksaan tanda-tanda kehidupan tikus di kapal.
Namun, sejak bulan Desember 2007, DC/DEC sudah tidak diberlakukan lagi dan
digantikan dengan dokumen berupa Ship Sanitation Control Exemption Certificate
(SSCEC)/Ship Sanitation Control Certificate (SSCC).
Ship Sanitation Control Exemption Certificate (SSCEC) adalah sertifikat yang
diterbitkan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) setelah dilakukan pemeriksaan
secara menyeluruh pada kapal dan terbukti bahwa kapal bebas dari penyakit
menular dan kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir tanpa dilakukan tindakan
sebelumnya. Sedangkan Ship Sanitation Control Certificate (SSCC) adalah sertifikat
yang dikeluarkan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan sebagai bukti tidak
ditemukannya risiko kesehatan masyarakat, sumber penyakit menular, dan
kontaminasi di kapal setelah dilakukan tindakan penyehatan. SSCEC dan SSCC
berlaku paling lama enam bulan, masa berlakunya dapat diperpanjang satu bulan
bila inspeksi atau tindakan pengendalian yang diperlukan tidak dapat dilakukan
pada pelabuhan tersebut. Jumlah Penerbitan SSCEC/SSCC oleh KKP selama tahun 2007-2011 cenderung
mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2009, ada penurunan sekitar 37%
dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar dokumen yang diberikan adalah
SSCEC, yang setiap tahunnya lebih dari 90%. Dalam dua tahun terakhir, dokumen
SSCC yang diterbitkan menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, artinya kapalkapal yang diperiksa tersebut tidak dengan faktor risiko tinggi.
Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus memiliki buku kesehatan
kapal. Dimana penerbitan buku kesehatan kapal tersebut juga diberlakukan
terhadap kapal yang belum memiliki dokumen kesehatan tersebut, baik karena
baru pertama kali datang ke Indonesia, kapal baru, ganti nama atau jika Buku
Kesehatan Kapal yang lama telah habis lembarannya.
Pemberian buku kesehatan kapal selama tahun 2007-2011 cenderung mengalami
peningkatan. Namun, pada tahun 2009, buku kesehatan kapal yang diberikan
mengalami penurunan. Hal tersebut sejalan dengan penurunan kapal yang
keluar/masuk wilayah Indonesia karena terkait kejadian pandemi SwineFlu (H1N1)
di beberapa negara.
Berdasarkan data kunjungan pasien di poliklinik KKP tahun 2007-2011 terlihat
beberapa penyakit yang tinggi jumlah kunjungan pasiennya yaitu penyakit ISPA,
Diare, Malaria dan DBD.Adapun yang tertinggi adalah ISPA dengan data sebagai
berikut: tahun 2007 yaitu Malaria (4.174 pasien), ISPA (10.381 pasien); tahun
2008 yaitu ISPA (10.404 pasien), Diare (1.578 pasien); tahun 2009 yaitu ISPA
(7.428 pasien), Diare (1.598 pasien); tahun 2010 yaitu ISPA (6.553 pasien), DBD
(2.839 pasien); tahun 2011 yaitu ISPA (7.111 pasien), Diare (1.974 pasien).
Untuk kunjungan pasien di poliklinik KKP dengan jenis penyakit tidak menular tertinggi
selama 4 tahun yaitu Hypertensi terlihat data sebagai berikut tahun 2007 (2.365 pasien),
2008 (2.354 pasien), 2009 (3.725 pasien), 2010 (3.354 pasien) dan pada tahun 2011
jenis penyakit tidak menular tertinggi yaitu akibat kecelakaan kerja sebanyak 1.131 pasien
adapun Hypertensi sebanyak (4.855 pasien). Dengan melihat data tersebut maka dapat
membantu pusat dalam hal membuat perencanaan mengenai persiapan dan kesiapan
dari segi SDM dan peralatan di KKP yang dapat menunjang dalam penanganan
penyakit-penyakit tersebut.
4. Kesehatan Matra Kesehatan Matra
a. Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik
Terdapat lebih dari 1 juta nelayan peselam di Indonesia, dan sebagian besar adalah
nelayan peselam tradisional (peselam alam). Dapat dipastikan bahwa peselam alam
biasanya kurang memperhatikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan
keselamatan dan kesehatan pekerjaannya. Fenomena ini sering terjadi di- daerah
kepulauan yang banyak memiliki sumberdaya manusia sebagai peselam alam, dimana
dengan keterbatasan pengetahuan sering terjadi kecelakaan akibat penyelaman.
Terjadinya kesakitan, kecacatan dan kematian pada masyarakat peselam tradisional di
Indonesia dapat berupa ketulian akibat kerusakan gendang telinga dan infeksi telinga
bagi penyelam tahan nafas. Kelumpuhan dapat diakibatkan karena penyakit
dekompresi berat bagi peselam yang menggunakan kompresor, bahkan dapat
menyebabkan kematian.
Masyarakat penselam sebagian besar merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi
dan pendidikan yang rendah, sehingga belum mengetahui pentingnya kesehatan
penyelaman. Sampai saat ini para peselam tradisional pada umumnya belum
memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, dimana para peselam tersebut
merupakan kepala keluarga yang menghidupi banyak anggota keluarganya sehingga
bila sakit atau lumpuh, maka kehidupuan anggota keluarga menjadi terancam.
Sebaliknya bila para penyelam ini produktif maka kehidupan ekonomi mereka
menjadi terjamin.
data kesehatan penyelaman yang tersedia sampai saat ini adalah data yang diambil
langsung dari lokasi penyelaman melalui kegiatan survei yang dilakukan Sub Dit
Kesehatan Matra sejak tahun 2004, sedangkan laporan rutin belum dilaksanakan oleh
daerah. data kesehatan penyelaman ini sebagian besar adalah data peselam
tradisional yang diambil dari wilayah yang berbeda pada setiap tahunnya.
data di atas menunjukkan jumlah responden yang disurvei terkait kegiatan
kesehatan penyelaman dimana setiap tahun jumlahnya mengalami fluktuasi dan
wilayah yang disurvei berbeda-beda.
mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan penyelaman dan prosedur penyelaman
yang dengan standar sebelum melakukan kegiatan penyelaman baik dari instansi
pemerintah maupun swasta hanya 28 %. Dari tahun 2007-2011 terlihat bahwa para
peselam tradisional yang belum pernah mendapatkan penyuluhan diatas 70%.
Sebagian besar peselam tradisional dalam melakukan kegiatan penyelaman adalah
tanpa alat (tahan nafas) dan menggunakan kompresor, sedangkan scuba digunakan
para peselam profesional (pemandu wisata). Umumnya kompresor yang digunakan
para peselam adalah kompresor yang konvensional (kompresor tambal ban). Pada
tahun 2011 lebih dari 40% masih menggunakan kedua teknik tersebut.
Tahun 2011 dari hasil yang dikumpulkan ditemukan 85,8% peselam pernah
mengalami gejala-gejala awal akibat penyelaman (penyakit barotrauma, penyakit
dekompresi dan kecelakaan penyelaman). Dari tahun 2007-2011 peselam yang
mengalami keluhan/gangguan kesehatan akibat kegiatan penyelaman mencapai diatas
80%. Karena para peselam tradisional teknik penyelamannya anpa alat, dan
menggunakan kompresor yang konvensional maka kemungkinan untuk mengalami
keluhan sangat besar.
Berdasarkan data di atas selama periode 2007 s.d. 2011 ditemukan bahwa hampir
semua peselam yang mengalami keluhan tidak hanya satu macam keluhan, tetapi
beberapa macam keluhan, sehingga jumlah keluhan lebih banyak daripada jumlah
peselam yang disurvei.
Berdasarkan data survei tahun 2011 keluhan terbanyak yang diderita para peselam
adalah pusing / sakit kepala sebesar 19,0%. Pendengaran berkurang sebesar 15,9%,
hal ini disebabkan karena pecahnya gendang telinga akibat melakukan penyelaman
yang tidak benar. Pendengaran berkurang biasanya dialami peselam yang tahan
nafas. Yang menderita kelumpuhan total ada 2,1%.
data di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 peselam yang menderita keluhan
melakukan penyelaman kembali (rekompresi basah) untuk mengobati keluhan yang
diderita. Dari tahun 2007 sd 2011 sebagian besar peselam berupaya
melakukan/mencari pengobatan baik ke fasilitas kesehatan maupun diobati sendiri
(beli obat di warung).
data di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun sebagian besar penyelam
mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan. Walaupun sudah berobat ke fasilitas
kesehatan namun pemberian pelayanan kesehatan masih disamakan dengan pasien
biasa tidak dibedakan. Jenis keluhan hampir sama dengan penyakit biasa akan tetapi
untuk penyakit akibat penyelaman seharusnya tetap dibedakan karena kalu tidak
diobat dengan benar akan menjadi kesakitan atau kecacatan yang permanen. Tetapi
masih ada juga yang berobat dengan cara tradisional dengan presentase yang cukup
besar. Untuk peselam yang menggunakan fasilitas chamber hanya sedikit sekali hal ini
disebabkan karena ketidaktahuan peselam tentang pengobatan yang tepat untuk
penyakit akibat penyelaman dan masih mahalnya biaya untuk menggunakan fasilitas
chamber.
b. KesehatanTr KesehatanTransmigrasi ansmigrasi ansmigrasi
Paradigma baru program transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan
penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi
bersifat sentralistik dan top down dari Pusat, melainkan berdasarkan Kerjasama antar
daerah pengirim transmigran dengan daerah penerima transmigran. Penduduk
setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi Transmigran Penduduk
Setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan Transmigran Penduduk
Asal (TPA).
Kegiatan kesehatan transmigrasi merupakan upaya kesehatan yang dilakukan untuk
meningkatkan kemampuan fisik, mental dan sosial untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan yang berubah mulai dari daerah asal sampai dengan minimal 6 bulan
setelah berada di lokasi.
Sampai saat ini pembinaan kesehatan dilaksanakan di lokasi transmigrasi yang baru
(tahun pertama/T1), pada umumnya di lokasi transmigrasi sudah tersedia bangunan
fasilitas kesehatan (Puskesmas pembantu), tetapi tenaga kesehatan tidak ada yang
menetap di lokasi, pemberian pelayanan kesehatan dilaksanakan sekali dalam satu
minggu.
Untuk mencegah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit potensial KLB (campak,
malaria, diare) di lokasi tranmigrasi maka perlu adanya kader kesehatan di lokasi
transmigrasi diberi pengetahuan (diberikan pelatihan) tentang penyakit potensial KLB
(gejala, pertolongan pertama, pencegahan) agar dapat melakukan Sistem
Kewaspadaan Dini (SKD-KLB) di wilayahnya. Untuk itu maka pada pendampingan
petugas di lokasi transmigrasi dalam rangka upaya peningkatan kesehatan di bidang
PP dan PL yang meliputi kegiatan penyuluhan kesehatan, pembentukan kader,
koordinasi lintas program dan lintas sektor serta pengumpulan data dasar. Dari data
sekunder dapat diperoleh gambaran situasi di lokasi transmigrasi (Penduduk, Pola
penyakit, Sarana kesehatan, Sanitasi lingkungan dan Tenaga Kesehatan)
Tahun 2011 jumlah lokasi transmigrasi yang dikunjungi sebanyak 5 lokasi, jauh lebih
kecil bila dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya.
Dampak bencana dalam kesehatan dapat berupa korban manusia, kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan akses sanitasi menjadi terbatas; dan rusaknya
infrastruktur pelayanan kesehatan sehingga akses pelayanan kesehatan menjadi
terbatas. Oleh sebab itu upaya Kesehatan Bidang PP-PL dalam penanggulangan
bencana diarahkan untuk melakukan penyediaan sanitasi darurat, surveilans penyakit
dan faktor risiko, pengendalian penyakit, pengendalian faktor risiko termasuk vektor
dan imunisasi kelompok rentan terutama di lokasi pengungsian.
Selama tahun 2011 telah dilakukan upaya kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana
bidang PPPL di 19 lokasi, sebagian besarnya merupakan bencana erupsi gunung
berapi. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut berkoordinasi dengan Pusat
Penanggulangan Krisis Kesehatan, dan Dinas Kesehatan setempat didukung oleh KKP
maupun B/BTKL-PP. Pembinaan dilakukan oleh subdit teknis terkait di Ditjen PPPL.
Upaya bidang PP dan PL meliputi: Rapid Health Assesment, Pengendalian penyakit,
surveilans epidemiologi, imunisasi (terbatas), sanitasi darurat, pengendalian vektor,
dan distribusi logistik bidang PP dan PL.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa selama kurun waktu 5 tahun terakhir,
upaya penanggulangan bencana bidang PPPL terbanyak dilaksanakan pada tahun
2011 (19 lokasi) dan paling sedikit pada tahun 2007 yakni sebanyak 7 lokasi.
d. Upaya Kesehatan Upaya Kesehatan KesehatanSituasi Khusus Situasi Khusus Situasi Khusus
Pada dasarnya kegiatan kesehatan situasi khusus merupakan penerapan upaya
kesehatan secara komprehensif (meliputi kegiatan promotif, preventif dan kuratif)
pada kelompok masyarakat yang melaksanakan kegiatan khusus secara massal dan
bersamaan waktunya. Kriteria situasi khusus adalah berkumpulnya orang minimal
1.000 orang dengan waktu minimal 3 hari. Pada kondisi tersebut diperkirakan
terjadinya faktor risiko penyakit dan Kejadian Luar Biasa cukup besar.
1) Kesehatan Mudik Lebaran Kesehatan Mudik Lebaran
Penduduk Indonesia terdiri dari bermacam suku, yang mencari nafkah tersebar di
kota-kota besar. Pada saat hari besar keagamaan terutama Idul Fitri, mereka akan
melakukan kegiatan mudik. Budaya mudik dan balik secara besar-besaran untuk
berlebaran di kampung halaman adalah tradisi yang hanya ada di Indonesia. Arus
mudik dan balik tersebut sangat jelas terlihat dengan terjadinya kepadatan
transportasi, penumpukan penumpang di terminal, stasiun, pelabuhan, bandara,
tempat penyeberangan dan sepanjang jalan yang dilalui para pemudik, seperti
Pantai Utara Jawa (Pantura) dan daerah lintasan arus mudik lainnya.
Berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2004, Departemen Kesehatan
mempunyai tugas dan tanggung jawab meningkatkan kegiatan pelayanan
kesehatan pada fasilitas kesehatan yang ada dan pada tempat-tempat yang
diperlukan pada jalur angkutan lebaran.
Pemantauan/gladi kesiapsiagaan kesehatan dalam situasi khusus (pengamanan Arus
Mudik Lebaran dan Tahun Baru) dilakukan di 14 lokasi yaitu: Lampung, Merak,
Cilegon, Serang, Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu, Tegal, Batang,
Pemalang, Pekalongan, Semarang, Bandung dan Tasikmalaya.
Pelayanan kesehatan di daerah arus mudik dilaksanakan dengan meningkatkan
sarana pelayanan kesehatan yang ada, yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit di
sepanjang jalur mudik dan daerah rawan kecelakaan, juga didirikan pos-pos
pelayanan kesehatan termasuk di pelabuhan dan bandar udara yang dilaksanakan
oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Sumber daya manusia (dokter,
paramedis, non medis) pada pengamanan dan pengamatan situasi khusus di Pos
Kesehatan bertugas memberikan pelayanan selama 24 jam kepada pemudik yang
memerlukan, meliputi pelayanan emergensi dan rawat jalan serta melakukan
rujukan ke RS jika diperlukan.
Pada data diatas terlihat bahwa dari 2009 s.d. tahun 2011 para pemudik yang
menggunakan angkutan darat (mobil, bus, dan sepeda motor) semakin meningkat,
begitu juga dengan angkutan udara, sedangkan yang menggunakan angkutan
kereta api terjadi penurunan yang sangat tajam. Dari data diatas didapat jumlah kasus kejadian kecelakaan lalu lintas dalam kurun
waktu tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan dari 1.878 kasus pada
tahun 2009, menjadi 4.744 pada tahun 2011.
Dalam upaya lebih mendukung pencegahan dan pengendalian penyakit serta
penyehatan lingkungan, dilakukan kegiatan surveilans penyakit dan faktor risiko di
stasiun, terminal, rest area, tempat-tempat rekreasi, dan tempat-tempat umum
lain. Pemeriksaan dilakukan oleh B/BTKL. KKP juga melakukan pemeriksaan faktor
risiko di kapal-kapal yang singgah dan berangkat di pelabuhan.
2) Kesehatan Khusus Lainnya Kesehatan Khusus Lainnya
Selain upaya kesehatan arus mudik, ada beberapa kegiatan situasi khusus lainnya
yang secara rutin dilaksanakan di daerah meliputi kegiatan Pekan Olah Raga,
Upacara Keagamaan, Festival budaya dan adat. Untuk tahun 2011, ada beberapa
kegiatan situasi khusus.
1. Pelaksanaan Sea Games Pelaksanaan Sea Games
Pelaksanaan SEA Games yang berlangsung tanggal 11 – 22 November 2011 di
Prov D.K.I Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Selatan.
Kegiatan pencegahan ditujukan terutama untuk mengendalikan faktor risiko
untuk antisipasi terjadinya masalah kesehatan. Dimulai dari bandara dan
pelabuhan sebagai lokasi entry point masuknya atlet, official, maupun tamu
dan masyarakat yang hendak menyaksikan pertandingan, dilakukan dengan
pengamatan risiko penyakit menggunakan thermal scanner, pemeriksaan
kesehatan yang ketat terhadap atlet dari negara-negara yang dicurigai terdapat
pandemi penyakit PHEIC, dan pemeriksaan laik terbang.
Dalam mencegah penularan penyakit yang diakibatkan oleh makanan (food
borne disease) dilakukan pemeriksaan makanan/minuman, air bersih di tempattempat umum, rumah makan, restoran, serta pedagang keliling yang menjual makanan dan minuman.Selain itu, dilakukan kegiatan fogging di venue dan
wisma atlet untuk mengurangi penularan penyakit akibat vektor, pemeriksaan
air sungai, air kolam renang dan pemeriksaan kualitas udara untuk mengurangi
penularan penyakit akibat limbah cair maupun udara. Pemeriksaan air dan
limbah juga dilakukan di tempat-tempat wisata, karena selama adanya
penyelenggaraan SEA Games ini industri pariwisata juga akanikut terangkat.
2. Pelaksanaan Sail Wakatobi Pelaksanaan Sail Wakatobi laksanaan Sail Wakatobi
Pelaksanaaan Sail wakatobi 2011 di bidang kesehatan berlangsung dengan baik.
Upaya PP dan PL juga terlaksana dengan baik, meski masih terdapat beberapa
permasalahan yang perlu diperbaiki di kemudian hari. Kegiatan Sail Wakatobi
2011 ini telah memberikan dampak positif yang cukup luas bagi kalangan
masyarakat Kab. Wakatobi maupun masyarakat Sulawesi Tenggara.
Pada dasarnya tiap tahun, selain saat Sail Wakatobi 2011, banyak yatch/ kapal
wisata dari berbagai Negara (terutama Australia) yang singgah di perairan
Wakatobi dalam perjalanannya menuju Asia. Dinas Kesehatan Kab. Wakatobi
siap untuk mendukung dan melakukan upaya-upaya terkait kondisi matra yang
disebabkan oleh hal tersebut.
Selain adanya posko kesehatan lapangan di darat, juga perlu dibentuk pos
kesehatan terapung/ di laut untuk mengatasi permasalahan kesehatan di laut.
3. Semana S Semana Santa
Semana Santa adalah Kegiatan keagamaan umat Katolik yang dilaksanakan
setiap tahun untuk merayakan Paskah (Kematian Yesus Kristus) dengan
mengarak Patung-patung dari beberapa dusun dengan acara prosesi laut, dan
kearah bukit (Prosesi Darat) untuk kemudian diletakkan di Katedral. Acara ini
termasuk situs Non Mobile (Statis) yang dilaksanakan di Kota Larantuka,
Kabupaten Flores Timur, NTT. Waktu penyelenggaraan mulai tanggal 20-22
April dengan acara puncak pada tanggal 21, yaitu pada malam Jum’at Agung.
Panitia Penyelenggaraan adalah Panitia Semana Santa yang terdiri dari unsur
Gereja, masyarakat adat, dan keamanan
4. Bulan Bhakti Nasional Pekerja Sosial Masyarakat Bulan Bhakti Nasional Pekerja Sosial Masyarakat Masyarakat
Bulan Bhakti Nasional Pekerja Sosial Masyarakat merupakan kegiatan nasional
yang melibatkan pekerja-pekerja sosial seluruh indonesia, kegiatannya antara
lain pertemuan, pembuatan saluran transportasi sungai, kerja bakti massal,
seminar, penanaman pohon, ziarah ke Taman Makam Pahlawan, dll.
5. KesehatanMigran KesehatanMigran
Migrasi adalah perpindahan penduduk antar negara melalpaui batas
Internasional. Penduduk migran meliputi pekerja migran beserta keluarga,
pendatang menetap (imigran) dll. Indonesia termasuk negara yang mengirim
paling banyak pekerja migran.
Hal-hal yang menyebabkan adanya TKIB (Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah)
antara lain: melalui jalur resmi dirasakan masih sangat rumit, hal ini
mendorong terjadinya TKI ilegal dimana TKI berangkat ke Luar Negeri tanpa
dokumen keimigrasian yang syah, berangkat secara resmi tetapi menjadi ilegal
karena masa berlaku dokumen bekerja habis.
Proses pemulangan TKIB dan keluarganya akan menimbulkan banyak masalah
terutama masalah kesehatan karena proses pemulangan, hal ini disebabkan
belum adanya koordinasi antara Port Health yang mengirim dengan petugas
KKP entry points, sehingga tidak diketahui kondisi dari TKIB yang dipulangkan.
Kementerian Kesehatan dalam hal ini Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan Ditjen
PP-PL mengkoordinasikan kegiatan pelayanan kesehatan Tenaga Kerja
Indonesia Bermasalah (TKIB) dan keluarganya melalui KKP di pelabuhan
debarkasi, di penampungan sementara dan RS rujukan. Pelayanan kesehatan
dimaksudkan untuk memberikan pengobatan bagi TKIB yang sakit serta
mencegah KLB sebagai akibat penularan penyakit dan faktor risiko yang dibawa
oleh para TKIB.
Dari tahun 2009, jumlah TKIB yang kembali ke Indonesia melalui wilayah kerja
KKP entry point terdekat dari wilayah Malaysia adalah KKP Tanjung Pinang,
Wilker Entikong (Wilayah Kerja KKP Pontianakk) dan KKP Nunukan. Dari ke 3
entry point jumlah TKIB yang melalui KKP Tanjung Pinang jumlahnya paling
besar dibandingkan dengan 2 entry point lainnya. Dilihat dari jumlah
keseluruhan TKIB yang dipulangkan dari tahun 2009 s.d tahun 2011 mengalami
penurunan.
data di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2009 s.d tahun 2011 jumlah TKIB
yang berobat ke pelayanan kesehatan di KKP entry point yang terbanyak
adalah di wilayah KKP Tanjung Priok dibandingkan wilayah lain yakni
sebanyak 3.962 pada tahun 2009 dan 1.903 di tahun 2010 dan tahun 2011
sebanyak 785.
Pada tahun 2011 jumlah TKI yang dirujuk ke Rumah Sakit yang telah ditunjuk
sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan lebih lanjut sejumlah 67 orang
(data dari 4 KKP entry point). Untuk tahun 2009 ada 41 orang dan pada tahun
2010 TKIB yang dirujuk sebanyak 39 orang.
6. Kesehatan Penerbangan Kesehatan Penerbangan
1. Pelatihan Kesehatan Penerbangan Bagi Dokter Kantor Kesehatan Pelabuhan
(KKP)
Pelatihan inibertujuanmeningkatkan kemampaun dan keterampilan
dokterKKPdalam mengelola upaya kesehatan penerbangan. Diselenggarakan
bekerjasama dengan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa
(Lakespra) Saryanto Mabes AU, dengan peserta 20 dokter KKP
2. Pendampingan KKP dalam Perencanaan dan Pemeriksaan Pendampingan KKP dalam Perencanaan dan Pemeriksaan Laik Terbang Laik Terbang
Penumpang Penumpang
Khusus upaya kesehatan penerbangan, saat ini di Subdit Kesehatan Matra
sudah ada pedoman kesehatan kedirgantaraan dan petunjuk teknis
pemeriksaan dan pelaksanaan kelaikan terbang penumpang sebagai acuan
bagi petugas KKP. Supaya pelaksanaan pemeriksaan dan penentuan kelaikan
terbang penumpang tersebut berjalan sesuai standar perlu dilakukan
pendampingan petugas KKP oleh petugas pusat. Kegiatan ini dilaksanakan di
5 lokasi KKP, yaitu: KKP kelas II Semarang, KKP kelas II Palembang, KKP
kelas I Medan, KKP kelas II Banjarmasin
B. PENGENDALIAN PENYALIT MENULAR LANGSUNG PENGENDALIAN PENYALIT MENULAR LANGSUNG
1. Tuberkulosis Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat
juga mengenai organ tubuh lainnya.
Pada awal tahun 1995 WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Short-course) sebagai strategi dalam penanggulangan TB dan telah terbukti
sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective),
yang terdiri dari 5 komponen kunci 1) Komitmen politis; 2) Pemeriksaan dahak
mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi
semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung
pengobatan; 4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu; 5) Sistem pencatatan dan
pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan
kinerja program secara keseluruhan.
data di atas memperlihatkan estimasi prevalensi, insidens, dan mortalitas TB yang
dinyatakan dalam 100.000 penduduk tahun 1990-2010 berdasarkan hasil
perhitungan WHO dalam WHO Report 2011 Global Tuberculosis Control. Dari
data tersebut terlihat bahwa prevalens terlihat meningkat antara tahun 1990-1996
dan mulai menurun sejak tahun 1997. Sejak tahun 2006 terlihat tidak banyak
penurunan. Jika dibandingkan antara pencapaian 2010 dengan 1990, prevalensi
berhasil diturunkan hampir setengahnya.
Insidens TB diperkirakan sekitar 189 per 100.000 penduduk sejak tahun 1990
sampai dengan tahun 2010.
Pola mortalitas (angka kematian) terlihat menyerupai prevalensi. Mortalitas mulai
meningkat antara tahun 1990-1996 dan mulai menurun sejak tahun 1997.
Mortalitas berhasil diturunkan hampir separuhnyapada tahun 2010 (27 per 100.000
penduduk) dibandingkan tahun 1990 (51 per 100.000 penduduk).
b. Angka penjaringan suspek (suspect evaluation rate) Angka penjaringan suspek (suspect evaluation rate)
Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya di antara 100.000 penduduk pada
suatu wilayah tertentu dalam satu tahun. Angka penjaringan suspek ini digunakan
untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan
memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan).
Berdasarkan data di atas, angka penjaringan suspek secara umum menunjukkan
peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun pada tahun 2007 dan 2009 terjadi
penurunan. Pada tahun 2007 angka penjaringan suspek menurun sebesar 82 per
100.000 penduduk dibandingkan dengan tahun 2006 dan tahun 2009 menurun sebesar
7 per 100.000 penduduk dibandingkan dengan tahun 2008. Peningkatan penjaringan
suspek kembali terjadi pada tahun 2010 dan 2011 angka ini terjadi peningkatan sebesar
57 per 100.000 penduduk (2010) dan 63 per 100.000 penduduk (2011). Semakin
banyaknya jumlah rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan