Tampilkan postingan dengan label pengendalian penyakit terpadu 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengendalian penyakit terpadu 1. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Juli 2025

pengendalian penyakit terpadu. 1

 



1. Surveilans Epidemiologi Surveilans Epidemiologi 

a. Surveilans AFP (Acute Flaccid Paralysis = Lumpuh Layuh Akut) 

Salah satu strategi yang dilakukan untuk mencapai eradikasi polio yaitu melaksanakan 

surveilans AFP sesuai dengan standar sertifikasi. Surveilans AFP adalah pengamatan 

yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh akut pada anak usia < 15 tahun 

yang merupakan kelompok rentan terhadap penyakit polio. Tujuan surveilans AFP 

antara lain mengidentifikasi daerah berisiko terjadinya transmisi virus polio liar, 

memantau perkembangan program eradikasi polio dan membuktikan Indonesia 

bebas polio. 

Ada 6 indikator kinerja surveilans AFP sesuai dengan standar sertifikasi yaitu : 

• Non Polio AFP rate minimal 2 / 100.000 populasi anak usia < 15 th 

• Prosentase spesimen adekuat minimal 80%

• Prosentase kunjungan ulang 60 hari minimal 80%

• Prosentase kelengkapan laporan nihil (zero report) puskesmas minimal 90%

• Prosentase ketepatan laporan puskesmas minimal 80%

• Prosentase kelengkapan Surveilans Aktif Rumah Sakit minimal 90%

Non Polio AFP adalah kasus lumpuh layuh akut yang diduga kasus Polio sampai 

dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium bukan kasus Polio. 

Pada tahun 2011, secara nasional Non Polio AFP rate telah memenuhi target yaitu 

2,76/100.000 populasi anak < 15 tahun, dengan capaian tertinggi oleh Provinsi 

Gorontalo, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara. Namun demikian masih ada 1 

(satu) provinsi dengan capaian Non Polio AFP rate dibawah 2, yaitu Papua. 

Pada tahun 2011, capaian indikator spesimen adekuat secara nasional telah mencapai 

target yaitu 89,5%. Dari 33 provinsi, hanya ada 1 provinsi yang spesimen adekuatnya 

mencapai 100%, yaitu Kalimantan Tengah. Namun, ada 6 provinsi dengan spesimen 

adekuat yangberada di bawah target 80% yaitu Aceh, Sulawesi Barat, Maluku, Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah kelengkapan laporan nihil (zero report) 

Puskesmas & RS. Untuk puskesmas, laporannya menggunakan laporan mingguan 

(W2/PWS KLB). Untuk RS, laporan yang digunakan adalah Surveilans Aktif RS (SARS). 

 

Pencapaian kelengkapan laporan nihil di Puskesmas secara nasional masih dibawah 

target (81,5%). Namun demikian ada 12 provinsi yang mempunyai kelengkapan 

laporan nihil puskesmas >90% yaitu: Sumatera Barat, Bangka Belitung, Lampung, 

DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah, bahkan Gorontalo serta Jawa Timur mencapai 100%. 

Lebih baik dibandingkan dengan puskesmas, kelengkapan laporan nihil Rumah Sakit 

(RS) secara nasional walaupun belum mencapai target yang ditetapkan, lebih tinggi 

dibandingkan kelengkapan puskesmas yaitu sebesar 86,2%. Provinsi dengan 

kelengkapan laporan nihil Rumah Sakit di atas 90% yaitu: Sumatera Barat, Jambi, 

Bengkulu, Bangka Belitung, Lampung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, 

Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi 

Tenggara. Provinsi Gorontalo, Sumatera Selatan dan Jawa Timur dapat mencapai 

kelengkapan laporan nihil rumah sakit hingga 100%, sementara Maluku (1.7%) 

adalah provinsi terendah dalam hal kelengkapan laporan nihil rumah sakit. 

Untuk dapat melihat tren kinerja surveilans AFP selama 5 tahun terakhir, berikut ini 

adalah gambaran capaian indikator kinerja Surveilans AFP di Indonesia tahun 2007 

sd 2011:

Berdasarkan data tersebut, dalam 5 tahun terakhir secara umum kinerja surveilans 

AFP cukup baik. Non Polio AFP rate cenderung meningkat pada setahun terakhir. 

Untuk spesimen adekuat, indikator tersebut telah mencapai target (> 80%) pada 5 

tahun terakhir dan mengalami peningkatan dalam 1 tahun terakhir. Namun, 

pencapaian indikator laporan nihil (zero report), baik di Rumah Sakit maupun 

Puskesmas, selama 5 tahun terakhir masih dibawah target (< 90%).

Berdasarkan data di atas, secara umum terjadi penurunan kasus campak rutin pada 

tahun 2007-2009 tetapi meningkat kembali pada 2 tahun terakhir. Di sisi lain, KLB 

campak cenderung mengalami peningkatan frekuensi kejadian dalam 5 tahun terakhir 

dan hampir mencapai dua kali lipat pada setahun terakhir. Jumlah kasus pada KLB 

campak pun cenderung mengalami peningkatan dalam 5 tahun terakhir. 

Dalam 5 tahun terakhir, sebagian besar kasus KLB campak yang dilaporkan dan 

diperiksa laboratorium adalah positif campak, kecuali tahun 2008 kasus campak 

konfirmasi hampir sebanding dengan kasus rubella, bahkan tahun 2009 kasus rubella 

jauh lebih banyak dibandingkan campak, seperti terlihat pada data di atas. 

Sebaran kasus campak selama 4 tahun terakhir (2008-2011) sebagian besar terjadi di 

pulau Jawa, selain itu juga menyebar di pulau Sumatera dan beberapa provinsi di 

Sulawesi dan Kalimantan seperti tampak pada gambar di bawah.

Pada tahun 2011, hanya 4 (empat) Provinsi yang melaporkan kasus campak dibawah 

50 kasus dalam setahun melalui laporan rutin integrasi, yaitu Provinsi NTB sebanyak 

30 kasus, Papua Barat sebanyak 14 kasus, Sulawesi Barat sebanyak 3 kasus, dan 

Maluku yang melaporkan tidak adanya kasus (0 kasus). data di atas memperlihatkan kecenderungan penyakit campak per golongan umur 

dari tahun 2007-2011. Kecenderungan kasus campak klinis berdasarkan golongan 

umur pada tahun 2007 didominasi oleh golongan umur 1-4 tahun, sedangkan pada 

tahun 2008-2011 terjadi pergeseran kasus ke golongan umur 5-9 tahun. Bahkan, pada 

golongan umur yang lebih tinggi (> 14 tahun), kasusnya cenderung meningkat setiap 

tahunnya, kecuali tahun 2011. Hal ini disebabkan karena telah terjadi akumulasi 

kelompok yang rentan terkena campak dari tahun ke tahun, mengingat efikasi vaksin 

hanya 85%. 

Mencermati data tersebut di atas, perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk 

membuktikan kasus tersebut benar-benar campak atau bukan. Hasil pemeriksaan lab 

ini sangat penting untuk memberikan rekomendasi ke unit terkait tentang 

pelaksanaan kegiatan imunisasi selanjutnya. Karena jika hasil pemeriksaan tersebut 

campak positif, maka perlu meningkatkan cakupan imunisasi rutin tinggi merata dan 

pemberian booster untuk memberikan perlindungan pada golongan umur 5-9 tahun, 

mengingat telah terjadi pergeseran kasus ke golongan umur yang lebih tinggi. 

Menyikapi hal tersebut maka kebijakan program dilakukan pemberian imunisasi dosis 

kedua sehingga diharapkan dapat memberikan herd imunity 95%. 

c. Surveilans Tetanus Neonatorum Surveilans Tetanus Neonatorum 

Status Eliminasi Tetanus Neonatorum adalah ditemukannya kasus Tetanus 

Neonatorum < 1 per 1.000 kelahiran hidup per tahun per Kabupaten/Kota, dengan 

catatan yaitu cakupan imunisasi TT2 positif lebih dari 80%, persalinan oleh tenaga 

kesehatan >70% dan laporan Puskesmas dan Rumah Sakit >80%. Hasil validasi 

Eliminasi Tetanus Maternal-Neonatal (Maternal Neonatal Tetanus Elimination/ 

MNTE) tahun 2011 menyimpulkan regional Jawa Bali, Sumatera, dan Kalimantan, 

Sulawesi, Nusa Tenggara telah mencapai Eliminasi Tetanus Neonatal dan Maternal, 

hanya regional 4 (Maluku dan Papua) yang belum mendapatkan status MNTE.

Pada tahun 2011, total Tetanus Neonatorum (TN) di Indonesia sebanyak 114 kasus 

dengan 69 kematian yang tersebar di 15 Provinsi. Provinsi yang tidak melaporkan 

adanya kasus TN adalah Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Bengkulu, Bangka 

Belitung, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, 

Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, 

Papua dan Papua Barat. Berdasarkan peta tersebut di atas, Provinsi Banten dan Jawa 

Barat memiliki kasus TN tertinggi tahun 2009. Pada tahun berikutnya, kasus TN yang 

cukup tinggi juga terjadi di Jawa Timur. Pada tahun 2011, kasus TN tertinggi pun 

kembali terjadi di Banten dan Jawa Timur. 


Gambaran kasus menurut faktor pemeriksaan kehamilan, sebagian besar pemeriksaan 

dilakukan oleh bidan/perawat (57%). Berdasarkan status imunisasi, diagram tersebut 

menunjukkan bahwa sebagian besar kasus terjadi pada kelompok yang tidak 

diimunisasi yaitu 67 kasus (59%). Menurut faktor risiko penolong persalinan, 77 

kasus (68%) ditolong oleh penolong persalinan tradisional, misalnya dukun. Untuk 

gambaran kasus menurut cara perawatan tali pusat, sebagian besar kasus dilakukan 

perawatan tali pusat tradisional yaitu 57 kasus (50%). 


Lebih lanjut lagi, hubungan antara cakupan TT2+ pada ibu hamil dengan kasus 

Tetanus Neonatorum selama tahun 2007 sd 2011 dapat dilihat dari data tersebut. 

Cakupan TT2+ secara umum cenderung mengalami penurunan, terutama dalam 3 

tahun terakhir. Kasus Tetanus Neonatorum pun cenderung mengalami penurunan 

dalam 5 tahun terakhir. 

Jika dilihat keterkaitannya, hal yang diharapkan adalah trend data kasus TN 

berbanding terbalik dengan cakupan TT2+. Artinya, kasus TN menurun seiring 

dengan meningkatnya cakupan imunisasi TT2+. Namun, bila dilihat pada data di 

atas, penurunan cakupan imunisasi TT2+ diikuti pula dengan penurunan kasus TN,

kecuali pada tahun 2009 ketika cakupan TT2+ meningkat, kasus TN menurun 

dibanding tahun sebelumnya. Pola keterkaitan tersebut belum bisa disimpulkan 

karena secara umum cakupan TT2+ masih dibawah target. 

 

d. Surveilans Difteri Surveilans Difteri 

Surveilans Difteri mulai diintegrasikan dengan AFP, Campak, dan TN pada tahun 

2006. Berdasarkan data yang dihimpun melalui laporan integrasi selama 3 tahun 

terakhir, sebaran kasus masih cukup tinggi. 



Berdasarkan peta di atas, kasus difteri mengalami peningkatan dua kali lipat dari 219 

kasus (2008) menjadi 432 kasus (2010) dan menjadi 4 kali lipat pada tahun 2011 

(806 kasus). Pada tahun 2009, kasus difteri tidak dilaporkan di Indonesia. Provinsi 

Jawa Timur merupakan Provinsi dengan kasus difteri terbanyak pada beberapa tahun 

terakhir, yang disusul dengan Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Timur dan Jawa 

Barat.


Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) 

Penanggulangan KLB < 24 jam merupakan salah satu indikator kinerja dalam Renstra 

Kementerian Kesehatan yang ditargetkan tercapai 100% pada tahun 2014. Target ini 

ditetapkan secara bertahap mulai tahun 2009 hingga 2014. Walaupun belum 

mencapai target yang ditetapkan setiap tahun, namun terjadi peningkatan dari 2009 

hingga 2011. Tahun 2011, capaian indikator penanggulangan KLB < 24 jam sebesar 

70% , sedikit di bawah target yang ditetapkan yaitu 73%.

Sistem pelaporan KLB dari provinsi dilakukan setiap bulan menggunakan format STP 

KLB, dimana kelengkapan laporan secara umum meningkat dari tahun 2009 hingga 

2011. Frekuensi KLB yang dilaporkan selama 3 tahun terakhir makin meningkat, 

walaupun ada 2 provinsi yaitu Jawa Tengah dan Maluku belum menggunakan 

format pelaporan sesuai standar. 

Dalam rangka mencapai target indikator penanggulangan KLB < 24 jam di Indonesia, 

upaya yang telah dilakukan antara lain : 

• Penguatan sistem kewaspadaan dini KLB untuk deteksi dan peringatan dini 

menggunakan EWARS di 10 Provinsi. 

• Peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia, dengan menetapkan 40 orang 

sebagai Petugas Khusus Pengendalian Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan 

Imunisasi sebanyak 40 orang di 33 Provinsi, Pelatihan Tim Gerak Cepat ditingkat 

provinsi dan kabupaten, serta Pelatihan Asisten Epidemiologi Lapangan di 3 

region. 

• Surveilans berbasis kejadian (Event Based Surveillance) yang datanya berdasarkan 

hasil verifikasi rumor dari berbagai sumber sehingga diharapkan semua KLB dapat 

direspons <24 jam pada tahun 2014. 

1) Frekuensi KLB berdasarkan Provinsi Frekuensi KLB berdasarkan Provinsi 

Tahun 2011 Indonesia mengalami 1.328 KLB, yang tersebar di 31 provinsi (2 

provinsi format laporan tidak sesuai standar yaitu Jawa Tengah dan Maluku). 

Dibandingkan tahun 2010, tahun 2011 angka kejadian KLB di tiap Provinsi 

mengalami penurunan kejadian, pada tahun 2010 terdapat 4 provinsi yang 

memiliki KLB lebih dari 100 kali pertahunnya, sedangkan pada tahun 2011 hanya 3 

Provinsi yang memiliki KLB lebih dari 100 kali yaitu Banten, Jawa Timur dan Jawa 

barat, dan angka kejadian di tiap Provinsi yang lain lebih rendah dibandingkan 

tahun 2010.

data tersebut di atas menggambarkan frekuensi KLB menurut Provinsi, Banten 

merupakan provinsi yang memiliki KLB tertinggi dengan frekuensi 257 KLB (19.35 

%), kemudian diikuti Jawa Timur 240 KLB (18.07%) dan Jawa Barat 118 (8.89%). 

data 103 juga memperlihatkan bahwa frekuensi KLB tertinggi masih didominasi 

oleh provinsi dengan jumlah penduduk yang padat. 

2) Frekuensi KLB berdasarkan Bulan Frekuensi KLB berdasarkan Bulan 

Distribusi atau frekuensi data menurut waktu sangat penting ditampilkan untuk 

melihat waktu peningkatan dan penurunan KLB terjadi. 


data di atas mengambarkan trend frekuensi KLB menurut bulan pada tahun 2011, 

bulan Maret merupakan bulan dengan frekuensi KLB tertinggi sebanyak 163 kali 

KLB. Sedangkan pada bulan November dan Desember frekuensi kasus menurun. 

TAD adalah KLB yang tidak ada keterangan waktu. 

3) Frekuensi KLB Berdasarkan Jenis Penyakit Frekuensi KLB Berdasarkan Jenis Penyakit 

Selama tahun 2011 beberapa penyakit memiliki frekuensi KLB yang tinggi di 

beberapa provinsi di Indonesia, yang didominasi penyakit-penyakit endemis. 

Campak merupakan KLB yang paling banyak terjadi dengan frekuensi KLB 257 

kali yang diikuti keracunan pangan dengan frekuensi 203 kali dan difteri 183 kali. 


Beberapa daerah di Indonesia saat ini masih mengalami kejadian luar biasa (KLB). 

Penanganan yang cepat terbukti mampu mengurangi dampak KLB dengan 

didukung oleh pelaporan yang cepat. Di bawah ini adalah beberapa analisis yang 

berhubungan dengan respon KLB. 




data di atas memperlihatkan lama waktu respon sejak terjadi KLB. Dari 1328 

KLB, 1.254 KLB yang memiliki data lama waktu KLB direspons, dan 70.08% KLB 

dari data tersebut direspon kurang dari 24 jam.Tahun 2011 target KLB yang 

direspon kurang dari 24 jam adalah 73%, sehingga target indikator yang tercapai 

sebesar 96%. Beberapa kendala yang ditemukan dalam pencapaian target respon 

KLB kurang dari 24 jam adalah terlambat diketahuinya KLB yang terjadi. 


Dari peta di atas tampak bahwa terdapat 4 Provinsi yang berhasil merespon 

kurang dari 24 jam dari seluruh KLB yang terjadi, yaitu provinsi Kepulauan Riau, 

Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, dan Papua Barat sedangkan di beberapa 

provinsi lain angkanya masih bervariasi. Provinsi yang respon KLB nya kurang dari 

24 jam masih dibawah 50% adalah Aceh, Bangka Belitung, NTB, NTT, Papua, 

Riau dan Sulawesi Tengah. Sedangkan provinsi lain memiliki respon kurang dari 

24 jam berkisar antara 50-90%. 


data diatas mengambarkan prosentase respon KLB berdasarkan 10 jenis 

penyakit/kejadian terbesar. Dari 10 jenis KLB tersebut, respon kurang dari 24 jam 

yang tertinggi adalah Keracunan pangan (96,37%), sedangkan KLB yang respon 

kurang dari 24 jam masih dibawah 50% adalah campak dan chikungunya. 

Sementara penyakit lainnya sekitar 50%-80% direspon kurang dari 24 jam. 

Rendahnya angka respon pada penyakit tertentu khususnya penyakit yang 

endemis di suatu daerah disebabkan adanya kesalahan dalam menetapkan kapan 

KLB mulai terjadi. Untuk menetapkan kriteria KLB mengacu kepada Peraturan 

Menteri Kesehatan RI Nomor 1501 tahun 2010.


Rata-rata respon KLB kurang dari 24 jam berdasarkan bulan adalah 70%, hanya 

pada bulan Agustus respon KLB kurang dari 24 jam masih dikisaran 50%. Masalah 

yang mungkin menyebabkan belum tercapainya target respon < 24 jam di 

beberapa provinsi adalah KLB terjadi di daerah yang sulit sehingga lambat 

diketahui, dan masih terbatasnya tenaga, anggaran dan untuk penanggulangan. 

f. Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (Early Warning Sistem Kewaspadaan Dini dan Respons (Early Warning Alert and Respons Alert and Respons 

System/EWARS) System/EWARS) 

EWARS merupakan salah satu perangkat dalam surveilans untuk mengetahui secara 

dini adanya sinyal peringatan/ancaman penyakit menular potensial KLB. data yang 


dihimpun adalah data PWS (Pemantauan Wilayah Setempat) mingguan atau W2 

yang berasal dari pustu dan puskesmas. Sampai dengan tahun 2011, sebanyak 6 

Provinsi yang telah menggunakan sistem ini yaitu Lampung dan Bali (sejak tahun 

2009), Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan serta Kalimantan Barat. 

Tahun 2011 replikasi EWARS mulai diterapkan pada provinsi Jawa Tengah, DI 

Yogyakarta, NTB dan Sulawesi Tengah yang masih dalam tahap sosialisasi. 



Berdasarkan data di atas, pelaksanaan EWARS telah dilaksanakan hingga ke tingkat 

Puskesmas yang ada di 6 Provinsi dan akan terus diimplementasikan ke seluruh 

wilayah Indonesia guna memperkuat sistem peringatan dini terkait 

peringatan/ancaman penyakit menular potensial KLB.


Berdasarkan kelengkapan laporannya, secara umum kinerja EWARS sudah baik. 

Kelengkapan laporan diatas 80% (berarti ada 20% sinyal peringatan dini yang tidak 

tertangkap dalam sistem EWARS), kecuali Sulawesi Utara (78%) dan Kalimantan 

Selatan (75%). Kelengkapan laporan penting untuk mengetahui sejauh mana sistem 

ini mampu menangkap adanya sinyal peringatan dini. Ketepatan laporan masih 

berkisar antara 60%-70%. Ketepatan laporan penting untuk mengetahui kecepatan 

sistem dalam mendeteksi adanya ancaman KLB di suatu wilayah. Untuk 

meningkatkan kinerja sistem EWAR maka Provinsi dapat mengidentifikasi kabupaten 

mana saja yang memiliki masalah dalam sistemnya. Demikian juga kabupaten dapat 

mengidentifikasi puskesmas mana saja yang bermasalah dalam sistemnya. 

Sinyal peringatan dini yang ditangkap selama 2011 sebanyak 16.897 alert yang 

tersebar di 1422 puskesmas, 89 kabupaten, dan 6 Provinsi. Sebanyak 80% alert 

tersebut sudah direspons oleh puskesmas maupun dinas kesehatan kabupaten/kota. 

Jumlah kasus yang diamati dalam EWARS di puskesmas tidak dapat digunakan untuk 

membandingkan besar masalah penyakit yang diamati antar Provinsi. Agar dapat 

membandingkan besaran masalah antar Provinsi dapat digunakan populasi penduduk 

atau total kunjungan di tempat pelayanan (dalam hal ini puskesmas) sebagai 

pembandingnya. Misalnya walaupun jumlah kasus ILI di Sulawesi Selatan lebih tinggi 

dibandingkan dengan jumlah kasus ILI di Kalimantan Barat, tidak berarti bahwa 

masalah ILI di Sulawesi Selatan lebih besar dibandingkan dengan Kalimantan Barat.

Berdasarkan data tersebut, diketahui proporsi kunjungan ILI di Kalimantan Barat 

paling tinggi di antara Provinsi lain. Berdasarkan hasil asistensi teknis dan monitoring 

pusat ke beberapa puskesmas di Kalimantan Barat ternyata sebagian besar puskesmas 

tersebut memasukan semua kasus baru ISPA sebagai ILI. Kesulitan petugas surveilans



dalam menetapkan kasus ILI di puskesmas karena definisi operasional ILI belum ada 

di ICD 10. Sedangkan proporsi kasus gigitan hewan penular rabies (GHPR) di Bali 

sangat tinggi karena populasi anjing di Provinsi tersebut juga sangat besar. Pada 

tahun 2011 ini, dari 22 jenis sindrom/penyakit potensial KLB di Kalimantan Barat 

ternyata ada 6 jenis sindrom/penyakit dengan angka proporsi tertinggi. Dapat 

disimpulkan bahwa Kalimantan Barat memiliki masalah yang lebih banyak dan besar 

dibandingkan dengan Provinsi lain.


data di atas menunjukan tren 3 penyakit terbesar dalam EWARS tahun 2011 di 6 

Provinsi. Pada minggu ke-35 terlihat jumlah kasus menurun karena pada minggu 

tersebut bertepatan libur hari raya idul fitri dan jumlah kunjungan ke masyarakat ke 

puskesmas juga turun. Dalam data 2, kelengkapan laporan dimasukan untuk melihat 

apakah tren tersebut dipengaruhi oleh kelengkapan laporan atau tidak. 

2. Imunisasi Imunisasi 

1. Imunisasi Rutin Imunisasi Rutin 

a. Imunisasi Dasar Bayi Imunisasi Dasar Bayi 

Bayi usia kurang dari 1 tahun harus diberikan imunisasi dasar lengkap yang terdiri 

dari imunisasi Hepatitis B (1 dosis), BCG (1 dosis), DPT-HB (3 dosis), Polio (4 dosis) 

dan Campak (1 dosis). Jadwal pemberian dari masing-masing jenis imunisasi dapat 

dilihat pada data berikut.


Dari sudut pandang program, cakupan imunisasi BCG, HB (< 7 hari) dan DPT-HB 

1 merupakan indikator bagi jangkauan program, Drop Out/DO (DPT1-DPT3 atau


DPT1-Campak) merupakan indikator manajemen program, sedangkan cakupan 

imunisasi DPT-HB 3, Polio 4 dan Campak adalah indikator bagi tingkat 

perlindungan program. Tiap jenis imunisasi tersebut memiliki target cakupan 

masing-masing. Pencapaian cakupan tiap jenis imunisasi akan disajikan dalam 

beberapa data di bawah ini.


Secara nasional, cakupan imunisasi BCG telah mencapai target (≥ 95%), yaitu 

98,0%. Provinsi yang sudah mencapai target sebanyak 21 provinsi. Jumlah ini 

meningkat dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya sebanyak 17 provinsi. 

Provinsi dengan cakupan imunisasi BCG tertinggi adalah provinsi Sulawesi Selatan 

(105,1%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (63,8%). 


Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi BCG cenderung meningkat. Namun, 

pada tahun 2008 sempat mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. 

Dalam 3 tahun terakhir, cakupan imunisasi BCG telah mencapai target (≥ 95%).


Cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) secara nasional telah mencapai target (≥ 80%), 

yaitu 80,5%. Namun, apabila dilihat per provinsi, hanya 10 provinsi yang telah 

mencapai target, yaitu provinsi Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa 

Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, Banten dan Bangka Belitung. 

Provinsi dengan cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) tertinggi adalah provinsi Bali 

(98,1%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (34,4%) dan Papua 

Barat (38,2%).

Pencapaian cakupan imunisasi HB0 (< 7 hari) selama 5 tahun terakhir mengalami 

peningkatan yang signifikan. Namun, baru tahun ini cakupan imunisasi HB0 (< 7 

hari) nasional dapat mencapai target (≥ 80%).


Cakupan imunisasi DPT-HB 1 nasional telah mencapai target (≥ 95%), yaitu 

97,9%. Dari keseluruhan provinsi di Indonesia, 22 provinsi telah mencapai target 

cakupan imunisasi DPT-HB 1. Sama seperti BCG, jumlah ini pun meningkat 

dibandingkan dengan tahun sebelumnya yaitu 18 provinsi. Provinsi dengan 

cakupan imunisasi DPT-HB 1 tertinggi yaitu provinsi DKI Jakarta (106,6%), 

sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi Papua (70,2%).Selama periode 2007 sd 2011, cakupan imunisasi DPT-HB1 terus mengalami 

peningkatan, khususnya pada tahun 2008. Peningkatan cakupan imunisasi pada 

tahun 2008 tersebut cukup signifikan yaitu dari 83,9% pada tahun 2007 menjadi 

95,7%.


Cakupan imunisasi DPT-HB3 nasional telah mencapai target (≥ 90%), yaitu 

94,9%. Berdasarkan provinsi, ada 21 provinsi yang telah mencapai target cakupan 

imunisasi DPT-HB3. Provinsi dengan cakupan imunisasi DPT-HB3 tertinggi yaitu 

provinsi DKI Jakarta (103,8%), sedangkan cakupan terendah ada pada provinsi 

Papua (61,8%).


Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi DPT-HB3 cenderung mengalami 

peningkatan. Peningkatan yang signifikan terjadi pada tahun 2008 yaitu dari 

79,6% pada tahun 2007 naik menjadi 91,5%.


Secara nasional, cakupan imunisasi Polio4 telah mencapai target (≥ 90%) yaitu 

93,3%. Dari 33 provinsi, 20 provinsi telah mencapai target cakupan imunisasi 

Polio4. Provinsi dengan cakupan imunisasi Polio4 tertinggi yaitu provinsi DKI 

Jakarta (102,5%), sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Papua (62,6%).


Trend cakupan imunisasi Polio4 cenderung mengalami peningkatan. Cakupan 

imunisasi Polio4 dalam 4 tahun terakhir sudah mencapai target (≥ 90%).


Cakupan imunisasi campak nasional telah mencapai target (≥ 90%), yaitu 93,6%. 

Ada 18 provinsi yang telah mencapai target cakupan imunisasi campak. Provinsi 

dengan cakupan imunisasi campak tertinggi yaitu provinsi DKI Jakarta (101,7%), 

sedangkan cakupan terendah adalah provinsi Nusa Tenggara Timur (72,4%) dan 

Papua (69,9%). 

Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi campak terus mengalami peningkatan. 

Sama seperti DPT-HB 1, cakupan imunisasi campak telah dapat mencapai target (≥ 

90%) sejak tahun 2008, yaitu 90,6%, kemudian terus meningkat di tahun-tahun 

berikutnya. Cakupan imunisasi dasar lengkap nasional tahun 2011 adalah 93,3% dan telah 

jauh mencapai target yang ditetapkan yaitu ≥ 82%. Dari 33 provinsi yang ada di 

Indonesia, hampir seluruh provinsi telah dapat mencapai target tersebut, hanya 5 

provinsi yang belum mencapai yaitu provinsi Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara 

Timur, Papua, Gorontalo dan Papua Barat. Provinsi dengan cakupan tertinggi 

adalah DKI Jakarta (101,7%), sedangkan provinsi Papua menempati posisi 

terendah cakupan imunisasi dasar lengkap (61,8%). 


Pencapaian cakupan imunisasi dasar lengkap sejak tahun 2007 sampai 2011 

menunjukkan adanya peningkatan. Sejak tahun 2008, angka cakupan terus naik 

melebihi angka 90%. 

Universal Child Immunization atau yang biasa disingkat UCI merupakan gambaran 

dimana ≥ 80% dari jumlah bayi yang ada di suatu desa/kelurahan tersebut sudah 

mendapat imunisasi dasar lengkap. Pada tahun 2011 target cakupan UCI desa 

adalah 85% dan diharapkan pada tahun 2014 akan dapat mencapai 100%, 

artinya seluruh desa yang ada di Indonesia dapat mencapai UCI. Sebagai upaya pencapaian target tersebut, Kementerian Kesehatan melaksanakan Gerakan 

Akselerasi Imunisasi Nasional untuk mencapai UCI atau dikenal dengan sebutan 

GAIN UCI dengan beberapa strategi yaitu penguatan Pemantauan Wilayah 

Setempat (PWS), penyiapan sumber daya, pemberdayaan masyarakat dan 

pemerataan jangkauan pelayanan. Di bawah ini adalah data yang menunjukkan 

pencapaian cakupan UCI desa di tahun 2011. 

Pencapaian UCI Desa secara nasional pada tahun ini belum memenuhi target, yaitu 

74,1%. Namun, dari 33 provinsi, ada 10 provinsi yang telah memenuhi target 

(85%). 

Dalam periode tahun 2007-2011, terlihat bahwa cakupan UCI desa sempat 

mengalami penurunan yang cukup berarti di tahun 2008 dan 2009, lalu mulai 

naik kembali di tahun 2010. data di atas menunjukkan bahwa upaya GAIN UCI 

yang dicanangkan sejak tahun 2010 dapat meningkatkan kembali pencapaian 

cakupan UCI desa dari 68% pada tahun 2009 menjadi 75,3% di tahun 2010. 

Drop out imunisasi terjadi ketika bayi yang seharusnya mendapatkan imunisasi 

dasar lengkap sesuai dengan jadwal pemberian dan dosis yang dianjurkan, namun 

ternyata bayi tersebut tidak memperolehnya secara lengkap. Angka Drop Out(DO) merupakan indikator untuk menilai efektivitas program yang dihitung 

berdasarkan persentase penurunan cakupan imunisasi campak terhadap cakupan 

imunisasi DPT-HB 1. Angka Drop Out yang diharapkan adalah tidak melebihi 5%. 

Pencapaian angka Drop Out per provinsi dapat dilihat pada data di bawah ini. 

Pencapaian angka DO secara nasional pada tahun ini telah memenuhi target, yaitu 

4,4%, namun masih ada beberapa provinsi yang belum memenuhi target 

maksimal 5% DO. Provinsi dengan angka DO terendah yaitu provinsi Papua 

(0,5%). 


Jika dilihat dari tahun 2007-2011, angka Drop Out menunjukkan kecenderungan 

yang terus menurun. Angka Drop Out sejak tiga tahun terakhir sudah sesuai 

dengan target yakni ≤ 5%.Hal ini berarti kecenderungan bayi mendapat imunisasi 

lengkap pun semakin meningkat. 

b. Imunisasi Anak Sekolah Imunisasi Anak Sekolah 

Anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada waktu bayi, masih 

perlu diberikan imunisasi lanjutan pada saat Sekolah Dasar. Imunisasi pada anak 

sekolah terdiri dari imunisasi Campak dan DT pada siswa kelas 1 dan imunisasi Td 

pada siswa kelas 2 dan 3 (pemberian imunisasi Td baru dilaksanakan pada tahun 

2011, sebagai pengganti dari imunisasi TT tahun sebelumnya). Pemberian imunisasi 

tersebut dilaksanakan pada bulan Agustus untuk imunisasi Campak dan bulan 

November untuk imunisasi DT dan Td, dan dikenal dengan sebutan Bulan

Imunisasi Anak Sekolah atau disingkat BIAS. Tujuan dari BIAS ini adalah untuk 

memberikan perlindungan jangka panjang bagi anak terhadap penyakit Campak, 

Difteri, dan Tetanus. Pencapaian cakupan BIAS tahun 2011 dapat dilihat pada 

data di berikut ini.


Cakupan BIAS Campak, DT maupun Td nasional pada tahun 2011 belum mencapai 

target (≥ 95%). Cakupan imunisasi campak pada anak sekolah mencapai 89,3%, 

cakupan DT 84%, dan cakupan Td 91,4%. Untuk BIAS Campak, provinsi yang 

telah mencapai target ada 10, yaitu provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, 

Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Bali, Banten, dan 

Bangka Belitung. Untuk BIAS DT, ada 7 provinsi yang telah mencapai target, yaitu 

provinsi Jambi, Bengkulu, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan 

Bangka Belitung. Untuk BIAS Td, provinsi yang telah mencapai target yaitu 

provinsi Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa

Cakupan BIAS nasional selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami 

peningkatan. Selain pelaksanaan BIAS menjadi lebih baik, peningkatan ini juga 

dapat disebabkan oleh semakin meningkatnya kelengkapan laporan BIAS tiap 

provinsi dari tahun ke tahun. Cakupan tertinggi dapat dicapai pada tahun 2010 

untuk imunisasi DT yaitu 92,9%. Pada tahun 2011, cakupan BIAS Campak dan DT 

mengalami penurunan jika dibandingkan pada tahun 2010, namun cakupan 

imunisasi Td justru meningkat dengan cukup signifikan. 

c. Imunisasi pada Ibu Hamil Imunisasi pada Ibu Hamil 

Ibu hamil diberikan imunisasi TT untuk memberikan perlindungan seumur hidup 

terhadap penyakit tetanus, termasuk tetanus maternal dan tetanus neonatorum. 

Perlindungan seumur hidup tersebut dapat diperoleh dengan imunisasi TT 

sebanyak 5 dosis sesuai dengan interval atau jarak waktu yang dianjurkan. Berikut 

ini dapat kita lihat pencapaian cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil tahun 

2011. Cakupan TT2+ (ibu hamil yang telah mendapat imunisasi TT minimal 2 dosis) 

pada ibu hamil secara nasional belum dapat mencapai target (≥ 80%), yaitu 

63,6%. Dari 33 provinsi, ada 9 provinsi yang telah mencapai target, dengan 

cakupan tertinggi adalah provinsi Jawa Tengah (112,9%). Sementara itu, provinsi 

dengan cakupan terendah adalah Sulawesi Tengah (2,9%) dan Papua (3,5%). 

Selama 5 tahun terakhir, cakupan imunisasi TT2+ pada ibu hamil mengalami 

penurunan. Pada tahun 2008 terjadi penurunan cakupan yang cukup berarti, di 

tahun 2009 cakupan imunisasi sempat mengalami sedikit peningkatan 

dibandingkan tahun sebelumnya, namun kembali menurun pada tahun-tahun 

berikutnya. 

Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Kesehatan berkomitmen dalam 

program eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal (Maternal and Neonatal 

Tetanus Elimination atau MNTE). Menurut WHO, tetanus maternal dan neonatal 

dikatakan tereliminasi apabila hanya terdapat kurang dari satu kasus tetanus 

neonatal per 1000 kelahiran hidup di setiap kabupaten. 

Pada tahun 2011 telah dilaksanakan Survei Validasi MNTE (Maternal and Neonatal 

Tetanus Elimination) di regional Kalimantan, Sulawesi, NTB dan NTT dengan hasil 

yaitu eliminasi tetanus maternal dan neonatal di regional tersebut pada periode 1 

Juni 2010 sampai dengan 31 Mei 2011 telah tercapai. Sebelumnya, pada tahun 

2010, regional Jawa dan Bali serta regional Sumatera juga telah mencapai 

eliminasi. 

2.Imunisasi Tambahan Imunisasi Tambahan asi Tambahan 

Imunisasi tambahan adalah imunisasi yang dilakukan atas dasar ditemukannya 

masalah dari hasil pemantauan atau evaluasi. Kampanye imunisasi tambahan campak 

dan polio telah dilaksanakan dalam tiga tahap di seluruh provinsi kecuali DI 

Yogyakarta dan Bali. Hal ini disebabkan pencapaian imunisasi di kedua provinsi 

tersebut dinilai sudah sangat baik sehingga tidak perlu lagi dilakukan kampanye 

imunisasi tambahan. 

Tahap yang pertama pada tahun 2009, dilakukan di 3 provinsi yaitu Aceh, Sumatera 

Utara dan Maluku Utara. Pada tahun 2010, kampanye imunisasi tambahan campak 

dan polio dilakukan di 11 provinsi, yaitu provinsi Papua Barat, Maluku, NTT, Banten, 

Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jambi, Riau, dan Sumatera Barat. Selanjutnya, tahap yang ketiga di tahun 2011, dilaksanakan di 17 

provinsi yaitu Lampung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa 

Tenggara Barat, seluruh provinsi di Kalimantan dan Sulawesi, serta Papua. 

Total cakupan kampanye imunisasi tambahan campak dan polio tahap tiga tahun 

2011 telah mencapai target, yaitu 97,5% untuk campak dan 97,8% untuk polio. Dari 

17 provinsi tersebut, sebanyak 9 provinsi telah memenuhi target ≥ 95% baik untuk 

imunisasi campak maupun polio. Provinsi dengan cakupan tertinggi yaitu DKI Jakarta 

(campak 104,4% dan polio 105,9%), sedangkan provinsi dengan cakupan terendah 

adalah Papua (campak 69,5% dan polio 68,6%). 

Berikut ini adalah peta hasil pencapaian kampanye imunisasi tambahan campak dan 

polio selama tiga tahap (2009 sd 2011).

Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia berkewajiban melakukan upaya 

mencegah terjadinya kedaruratan kesehatan yang meresahkan dunia atau lebih dikenal 

dengan Public Health Emergency of International Concern (PHEIC) sebagaimana yang 

diamanatkan dalam International Health Regulation (IHR) 2005. Dalam melaksanakan 

amanat ini Indonesia harus menghormati sepenuhnya martabat, hak asasi manusia dan 

dasar-dasar kebebasan seseorang dan penerapannya secara universal. 

IHR 2005 adalah Peraturan Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara 

anggota WHO dalam sidang World Health Assembly (WHA) Ke-58 pada bulan Mei

2007 dan sudah mulai diberlakukan sejak tanggal 15 Juni 2007. Sebagai salah satu 

negara anggota WHO yang ikut menyetujui ketetapan IHR 2005 tersebut, Indonesia 

sudah melaksanakannya kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi sejak awal 

pemberlakuan IHR 2005. 

Implementasi IHR 2005 diawali dengan melakukan assesmen terhadap kapasitas inti 

yang dimiliki di pintu masuk negara untuk melakukan deteksi, notifikasi dan respon 

terhadap kejadian yang berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat. 

Dalam hal ini Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) merupakan bagian penting khususnya 

dalam penerapan IHR 2005. 

Sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2348/Menkes/Per/XI/2011 tentang 

Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan No.356/Menkes/Per/IV/2008 tentang 

Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan, KKP diklasifikasikan menjadi 4 

kelas, yaitu KKP Kelas I, Kelas II, Kelas.III, dan Kelas IV yang didasarkan pada beban 

kerja di bandara, pelabuhan dan lintas batas darat negara. Jumlah KKP di Indonesia 

adalah 49 KKP terdiri dari 7 KKP Kelas I, 21 KKP Kelas II dan 20 KKP Kelas III, dan 1 

KKP Kelas IV (KKP Yogyakarta), dengan 296 wilayah kerja (wilker) dan 8 Pos Lintas 

Batas Darat (PLBD). 

1) Kegiatan Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan Tahun 2011 elabuhan Tahun 2011 

 Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan sebagai unit koordinasi yang 

memfasilitasi dan mendukung KKP dalam cegah tangkal penyakit menular di pintu 

masuk negara. Subdit Karantina Kesehatan dan Kesehatan Pelabuhan mempunyai 

tugas melaksanakan penyiapan bahan perumusan dan pelaksanaan kebijakan teknis, 

penyusunan NSPK dan bimbingan teknis serta penyiapan evaluasi dan penyusunan 

laporan karantina kesehatan dan kesehatan pelabuhan (Permenkes No. 

1144/Menkes/PER/VIIII/2010). 

2) Kegiatan Di KKP Kegiatan Di KKP 

 Berdasarkan tupoksi, KKP berperan dalam mencegah keluar dan masuk (penyebaran) 

penyakit lintas negara yang mempunyai potensi menimbulkan PHEIC melalui pintu 

masuk negara (pelabuhan, bandara dan PLBD). Oleh karena itu diperlukan 

pengawasan, pencegahan dan pengendalian beberapa aspek terkait yakni alat angkut 

(kapal laut, pesawat, kendaraan darat) dan muatannya (termasuk kontainer); 

manusia (awak kapal, kapten, personil penerbang dan penumpang); barang; serta 

lingkungan pelabuhan, bandara, dan PLBD yang dapat berpotensi sebagai faktor 

risiko. 

a. Kedatangan Kapal Kedatangan Kapal 

Selama periode tahun 2007-2011, jumlah kedatangan kapal dari dalam dan luar 

negeri mencapai 2.223.749 kapal. Kapal yang datang dari dalam negeri lebih 

banyak, yaitu 1.816.876 kapal (81,7%) dibandingkan yang datang dari luar negeri, 

yaitu 406.873 kapal (18,3%). Adapun kedatangan kapal dari luar negeri tersebut 

35.419 kapal (8,7%) berasal dari daerah terjangkit dan 373.514 kapal (91,3%) 

berasal dari daerah tidak terjangkit. 

Pada tahun 2011, jumlah kedatangan kapal dari dalam negeri mengalami 

peningkatan 25% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kedatangan kapal dari 

luar negeri juga mengalami peningkatan meskipun tidak terlalu signifikan. Berdasarkan data tersebut, jumlah kapal yang datang dari dalam negeri pada 

tahun 2007-2011 cenderung mengalami peningkatan. Sebaliknya, kedatangan 

kapal dari luar negeri cenderung menurun pada tahun 2007-2009, kemudian 

meningkat kembali pada tahun 2010-2011. 

Dalam rangka pengawasan dan pemeriksaan kekarantinaan,kapal-kapal yang 

datang dari luar negeri perlu mengajukan permohonan Certificate Radio Pratique

dan Certificate of Pratique (Free Pratique). Free Pratique adalah sertifikat izin 

bebas karantina yang diterbitkan terhadap alat angkut yang datang dari luar negeri 

maupun dari daerah terjangkit, sedangkan Radio Pratique diberikan melalui 

perantara radio. Free Pratique tersebut diberikan kepada pihak kapal setelah 

dilakukan pemeriksaan terhadap kapal, awak kapal, muatan, dan dokumen 

kesehatan lainnya dan dinyatakan bebas dari PHEIC. data di atas menunjukkan hampir seluruh kapal yang datang dari luar negeri 

telah dilakukan pemeriksaan dan diberikan Free Pratique yakni di atas 99% 

bahkan pada tahun 2007-2011 mencapai 99,9%, kecuali tahun 2008. Pada tahun 

2009-2010, pemberian Free Pratique untuk kapal yang datang dari negara 

terjangkit meningkat tajam dibanding tahun sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan 

kejadian pandemi Swine Flu (H1N1) di beberapa negara, yang ditetapkan WHO 

sebagai PHEIC. Pelanggaran UU Karantina dengan tidak diberikannya Free Pratique juga lebih banyak pada kapal yang datang dari negara terjangkit pada 

tahun 2009-2010. 

b. Keberangkatan Kapal Keberangkatan Kapal 

Pada periode tahun 2007-2011, jumlah kapal yang berangkat ke dalam dan luar 

negeri berjumlah 2.267.809 kapal, terdiri dari kapal yang berangkat ke dalam 

negeri sebanyak 1.761.431 kapal (77,7%) dan kapal dari luar negeri sebanyak 

506.378 kapal (22,3%). Pada tahun 2011 terjadi peningkatan 26,8% 

keberangkatan kapal ke dalam negeri dari tahun sebelumnya. Sebaliknya, pada 

tahun 2011 kapal yang berangkat ke luar negeri justru mengalami penurunan 

sekitar 17,3% dibanding tahun sebelumnya.



Keberangkatan Kapal Ke D berangkatan Kapal Ke Dalam dan Luar Negeri Tahun 20 alam dan Luar Negeri Tahun 2007 sd alam dan Luar Negeri Tahun 2007 sd 2011 07 sd 2011 

 

Keberangkatan kapal terbanyak merupakan keberangkatan domestik (dalam 

negeri). Untuk keberangkatan ke dalam negeri, trendnya mengalami peningkatan. 

Sebaliknya, keberangkatan kapal ke luar negeri pada tahun 2011 justru mengalami 

penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, jumlah 

keberangkatan kapal ke dalam negeri mengalami penurunan 26% tetapi 

keberangkatan ke luar negeri justru meningkat > 50%. 

c. Kedatangan Pesawat Kedatangan Pesawat 

Selama periode tahun 2007-2011, jumlah kedatangan pesawat dari dalam dan luar 

negeri mencapai 2.027.410 pesawat, terdiri dari pesawat yang datang dari dalam 

negeri sebanyak 1.725.097 pesawat (85%) dan pesawat dari luar negeri sebanyak 

302.313 pesawat (15%). 


Berdasarkan data di atas diketahui bahwa kedatangan pesawat terbanyak berasal 

dari dalam negeri. Dalam 5 tahun terakhir, kedatangan pesawat dari dalam 

maupun luar negeri tersebut cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2010-

2011, jumlah kedatangan pesawat dari dalam negeri mengalami peningkatan yang 

signifikan, hampir dua kali lipat. 

Sehubungan dengan pengawasan kekarantinaan, pesawat yang datang dari luar 

negeri harus menyerahkan General Declaration (Gendec) kepada petugas terkait. 

General Declaration merupakan suatu dokumen kesehatan yang 

menginformasikan mengenai kondisi kesehatan pelaku perjalanan di pesawat 

selama perjalanan internasionalnya dan setiap tindakan penyehatan yang 

dilakukan. Dari 302.313 buah pesawat yang datang dari luar negeri selama periode 2007-

2011, 60,6% diantaranya dilakukan pemeriksaaan Gendec. Pada tahun 2009-2011, 

pesawat yang dilakukan pemeriksaaan Gendec mencapai lebih dari 60% (rata-rata 

dalam kurun waktu 5 tahun), sedangkan tahun-tahun sebelumnya pesawat yang 

dilakukan pemeriksaan masih di bawah 60%, terutama pada tahun 2008 

(38,7%). 

Pada periode tahun 2007-2011, jumlah pesawat yang berangkat ke dalam dan luar 

negeri berjumlah 2.063.887 buah, terdiri dari pesawat yang berangkat tujuan ke 

dalam negeri yakni sebanyak 1.771.089 (85,8%) dan pesawat yang berangkat ke 

luar negeri sebanyak 292.798 buah (14,2%). 

Berdasarkan data di atas, sebagian besar keberangkatan pesawat merupakan 

keberangkatan dalam negeri (domestik) yang mencapai 80% pada setiap 

tahunnya. Pada tahun 2007-2009, keberangkatan pesawat baik dalam maupun 

luar negeri cenderung menurun. Dalam 2 tahun terakhir, jumlah pesawat yang 

berangkat ke dalam negeri justru mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. 

e. Penumpang PenumpangKapal/Pesawat Kapal/Pesawat Kapal/Pesawat 

Selama periode tahun 2007-2010, jumlah seluruh kedatangan penumpang kapal/ 

pesawat baik dari dalam dan luar negeri adalah2.841.548.577 orang. Penumpang 

yang berasal dari luar negeri berjumlah 56.038.648 orang atau 2% dari total 

penumpang yang melewati pelabuhan atau bandar udara sedangkan yang dari 

dalam negeri berjumlah 2.785.509.929 orang (98%). 

Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa sebagian besar penumpang adalah yang 

datang dari dalam negeri (domestik).Penumpang yang datang dari luar negeri 

<.20% dari seluruh penumpang yang melewati pelabuhan atau bandar udara 

Indonesia.Di tahun 2011, jumlah penumpang dari dalam negeri mengalami 

peningkatan dibanding tahun sebelumnya sedangkan jumlah penumpang dari luar 

negeri sedikit mengalami penurunan. 

Pada tahun 2007-2011, jumlah seluruh penumpang kapal/pesawatyang berangkat 

baik ke dalammaupun luar negeri adalah 379.846.948 orang. Penumpang yang 

berangkat ke luar negeri berjumlah 61.274.571 orang (16,1%) sedangkan 

penumpang yang berangkat ke dalam negeri berjumlah 318.572.377 orang 

(83,9%).


Berdasarkan data tersebut, sebagian besar penumpang adalah penumpang yang 

berangkat menuju daerah-daerah di dalam negeri (domestik).Penumpang yang 

berangkat ke luar negeri jumlahnya<.25% dari seluruh penumpang yang 

melewati pelabuhan atau bandar udara Indonesia tersebut setiap tahunnya.Bagi 

penumpang yang berangkat ke luar negeri terutama yang menuju ke 

negara/daerah endemis atau daerah terjangkit penyakit karantina atau terjangkit 

penyakit yang berpotensi wabah perlu dilakukan vaksinasi internasional untuk 

melindungi penumpang tersebut dari terjangkitnya penyakit. 

f. ABK dan Crew ABK dan Crew 

ABK dan Crew adalah faktor risiko yang paling rentan kemungkinan untuk 

terjangkitnya penyakit yang berpotensi wabah. Kedatangan ABK dan Crew dari 

daerah terjangkit dan tidak terpantau oleh KKP memiliki risiko yang lebih besar 

untuk tertular penyakit berpotensi wabah. Bagi ABK dan Crew yang berangkat ke 

luar negeri dan tidak terpantau oleh KKP juga dianggap sebagai faktor risiko, yaitu 

bagi daerah tujuan berikutnya apabila mereka terjangkit penyakit potensial 

wabah.

Berdasarkan data tersebut, dalam 5 tahun terakhir, jumlah ABK dan Crew yang 

datang dari luar negeri tidak berbeda jauh dengan yang berangkat ke luar negeri, 

kecuali pada tahun 2009. Pada tahun 2011, ABK dan Crew yang datang dari luar 

negeri sebanyak 48,9% sedangkan yang berangkat ke luar negeri sebanyak 51,1%.


Dalam rangka mencegah keluar masuknya penyakit karantina dan penyakit yang 

berpotensi wabah, kepada para ABK dan Crew yang akan berangkat ke luar 

negeri yang merupakan daerah terjangkit perlu dilakukan Vaksinasi Internasional 

dan selanjutnya diberikan Sertifikat Vaksinasi Internasional (ICV). 

g. Dokumen Kesehatan Dokumen KesehatanKapal 

Dokumen kesehatan kapal yang diberikan pada kapal-kapal yang diperiksa adalah 

DerattingCertificate (DC)/Deratting Exemption Certificate (DEC). Kedua dokumen 

tersebut berkaitan dengan pemeriksaan tanda-tanda kehidupan tikus di kapal. 

Namun, sejak bulan Desember 2007, DC/DEC sudah tidak diberlakukan lagi dan 

digantikan dengan dokumen berupa Ship Sanitation Control Exemption Certificate

(SSCEC)/Ship Sanitation Control Certificate (SSCC). 

Ship Sanitation Control Exemption Certificate (SSCEC) adalah sertifikat yang 

diterbitkan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) setelah dilakukan pemeriksaan 

secara menyeluruh pada kapal dan terbukti bahwa kapal bebas dari penyakit 

menular dan kontaminasi, termasuk vektor dan reservoir tanpa dilakukan tindakan 

sebelumnya. Sedangkan Ship Sanitation Control Certificate (SSCC) adalah sertifikat 

yang dikeluarkan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan sebagai bukti tidak 

ditemukannya risiko kesehatan masyarakat, sumber penyakit menular, dan 

kontaminasi di kapal setelah dilakukan tindakan penyehatan. SSCEC dan SSCC 

berlaku paling lama enam bulan, masa berlakunya dapat diperpanjang satu bulan 

bila inspeksi atau tindakan pengendalian yang diperlukan tidak dapat dilakukan 

pada pelabuhan tersebut. Jumlah Penerbitan SSCEC/SSCC oleh KKP selama tahun 2007-2011 cenderung 

mengalami peningkatan. Namun, pada tahun 2009, ada penurunan sekitar 37% 

dibanding tahun sebelumnya. Sebagian besar dokumen yang diberikan adalah 

SSCEC, yang setiap tahunnya lebih dari 90%. Dalam dua tahun terakhir, dokumen 

SSCC yang diterbitkan menurun dibanding tahun-tahun sebelumnya, artinya kapal￾kapal yang diperiksa tersebut tidak dengan faktor risiko tinggi. 

Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus memiliki buku kesehatan 

kapal. Dimana penerbitan buku kesehatan kapal tersebut juga diberlakukan 

terhadap kapal yang belum memiliki dokumen kesehatan tersebut, baik karena 

baru pertama kali datang ke Indonesia, kapal baru, ganti nama atau jika Buku 

Kesehatan Kapal yang lama telah habis lembarannya.

Pemberian buku kesehatan kapal selama tahun 2007-2011 cenderung mengalami 

peningkatan. Namun, pada tahun 2009, buku kesehatan kapal yang diberikan 

mengalami penurunan. Hal tersebut sejalan dengan penurunan kapal yang 

keluar/masuk wilayah Indonesia karena terkait kejadian pandemi SwineFlu (H1N1) 

di beberapa negara.



Berdasarkan data kunjungan pasien di poliklinik KKP tahun 2007-2011 terlihat 

beberapa penyakit yang tinggi jumlah kunjungan pasiennya yaitu penyakit ISPA, 

Diare, Malaria dan DBD.Adapun yang tertinggi adalah ISPA dengan data sebagai 

berikut: tahun 2007 yaitu Malaria (4.174 pasien), ISPA (10.381 pasien); tahun 

2008 yaitu ISPA (10.404 pasien), Diare (1.578 pasien); tahun 2009 yaitu ISPA 

(7.428 pasien), Diare (1.598 pasien); tahun 2010 yaitu ISPA (6.553 pasien), DBD 

(2.839 pasien); tahun 2011 yaitu ISPA (7.111 pasien), Diare (1.974 pasien). 

Untuk kunjungan pasien di poliklinik KKP dengan jenis penyakit tidak menular tertinggi 

selama 4 tahun yaitu Hypertensi terlihat data sebagai berikut tahun 2007 (2.365 pasien), 



2008 (2.354 pasien), 2009 (3.725 pasien), 2010 (3.354 pasien) dan pada tahun 2011 

jenis penyakit tidak menular tertinggi yaitu akibat kecelakaan kerja sebanyak 1.131 pasien 

adapun Hypertensi sebanyak (4.855 pasien). Dengan melihat data tersebut maka dapat 

membantu pusat dalam hal membuat perencanaan mengenai persiapan dan kesiapan 

dari segi SDM dan peralatan di KKP yang dapat menunjang dalam penanganan 

penyakit-penyakit tersebut. 

4. Kesehatan Matra Kesehatan Matra 

a. Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik 

Terdapat lebih dari 1 juta nelayan peselam di Indonesia, dan sebagian besar adalah 

nelayan peselam tradisional (peselam alam). Dapat dipastikan bahwa peselam alam 

biasanya kurang memperhatikan dengan hal-hal yang berhubungan dengan 

keselamatan dan kesehatan pekerjaannya. Fenomena ini sering terjadi di- daerah 

kepulauan yang banyak memiliki sumberdaya manusia sebagai peselam alam, dimana 

dengan keterbatasan pengetahuan sering terjadi kecelakaan akibat penyelaman. 

Terjadinya kesakitan, kecacatan dan kematian pada masyarakat peselam tradisional di 

Indonesia dapat berupa ketulian akibat kerusakan gendang telinga dan infeksi telinga 

bagi penyelam tahan nafas. Kelumpuhan dapat diakibatkan karena penyakit 

dekompresi berat bagi peselam yang menggunakan kompresor, bahkan dapat 

menyebabkan kematian. 

Masyarakat penselam sebagian besar merupakan masyarakat dengan tingkat ekonomi 

dan pendidikan yang rendah, sehingga belum mengetahui pentingnya kesehatan 

penyelaman. Sampai saat ini para peselam tradisional pada umumnya belum 

memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai, dimana para peselam tersebut 

merupakan kepala keluarga yang menghidupi banyak anggota keluarganya sehingga 

bila sakit atau lumpuh, maka kehidupuan anggota keluarga menjadi terancam. 

Sebaliknya bila para penyelam ini produktif maka kehidupan ekonomi mereka 

menjadi terjamin. 

data kesehatan penyelaman yang tersedia sampai saat ini adalah data yang diambil 

langsung dari lokasi penyelaman melalui kegiatan survei yang dilakukan Sub Dit 

Kesehatan Matra sejak tahun 2004, sedangkan laporan rutin belum dilaksanakan oleh 

daerah. data kesehatan penyelaman ini sebagian besar adalah data peselam 

tradisional yang diambil dari wilayah yang berbeda pada setiap tahunnya.

data di atas menunjukkan jumlah responden yang disurvei terkait kegiatan 

kesehatan penyelaman dimana setiap tahun jumlahnya mengalami fluktuasi dan 

wilayah yang disurvei berbeda-beda.


mendapatkan penyuluhan tentang kesehatan penyelaman dan prosedur penyelaman 

yang dengan standar sebelum melakukan kegiatan penyelaman baik dari instansi 

pemerintah maupun swasta hanya 28 %. Dari tahun 2007-2011 terlihat bahwa para 

peselam tradisional yang belum pernah mendapatkan penyuluhan diatas 70%. 

Sebagian besar peselam tradisional dalam melakukan kegiatan penyelaman adalah 

tanpa alat (tahan nafas) dan menggunakan kompresor, sedangkan scuba digunakan 

para peselam profesional (pemandu wisata). Umumnya kompresor yang digunakan 

para peselam adalah kompresor yang konvensional (kompresor tambal ban). Pada 

tahun 2011 lebih dari 40% masih menggunakan kedua teknik tersebut. 


Tahun 2011 dari hasil yang dikumpulkan ditemukan 85,8% peselam pernah 

mengalami gejala-gejala awal akibat penyelaman (penyakit barotrauma, penyakit 

dekompresi dan kecelakaan penyelaman). Dari tahun 2007-2011 peselam yang 

mengalami keluhan/gangguan kesehatan akibat kegiatan penyelaman mencapai diatas 

80%. Karena para peselam tradisional teknik penyelamannya anpa alat, dan 

menggunakan kompresor yang konvensional maka kemungkinan untuk mengalami 

keluhan sangat besar. 


Berdasarkan data di atas selama periode 2007 s.d. 2011 ditemukan bahwa hampir 

semua peselam yang mengalami keluhan tidak hanya satu macam keluhan, tetapi 

beberapa macam keluhan, sehingga jumlah keluhan lebih banyak daripada jumlah 

peselam yang disurvei. 


Berdasarkan data survei tahun 2011 keluhan terbanyak yang diderita para peselam 

adalah pusing / sakit kepala sebesar 19,0%. Pendengaran berkurang sebesar 15,9%, 

hal ini disebabkan karena pecahnya gendang telinga akibat melakukan penyelaman 

yang tidak benar. Pendengaran berkurang biasanya dialami peselam yang tahan 

nafas. Yang menderita kelumpuhan total ada 2,1%.


data di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 peselam yang menderita keluhan 

melakukan penyelaman kembali (rekompresi basah) untuk mengobati keluhan yang 

diderita. Dari tahun 2007 sd 2011 sebagian besar peselam berupaya 

melakukan/mencari pengobatan baik ke fasilitas kesehatan maupun diobati sendiri 

(beli obat di warung).

data di atas menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun sebagian besar penyelam 

mencari pengobatan ke fasilitas kesehatan. Walaupun sudah berobat ke fasilitas 

kesehatan namun pemberian pelayanan kesehatan masih disamakan dengan pasien 

biasa tidak dibedakan. Jenis keluhan hampir sama dengan penyakit biasa akan tetapi 

untuk penyakit akibat penyelaman seharusnya tetap dibedakan karena kalu tidak 

diobat dengan benar akan menjadi kesakitan atau kecacatan yang permanen. Tetapi 

masih ada juga yang berobat dengan cara tradisional dengan presentase yang cukup 

besar. Untuk peselam yang menggunakan fasilitas chamber hanya sedikit sekali hal ini 

disebabkan karena ketidaktahuan peselam tentang pengobatan yang tepat untuk 

penyakit akibat penyelaman dan masih mahalnya biaya untuk menggunakan fasilitas 

chamber. 

b. KesehatanTr KesehatanTransmigrasi ansmigrasi ansmigrasi 

Paradigma baru program transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan 

penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi 

bersifat sentralistik dan top down dari Pusat, melainkan berdasarkan Kerjasama antar 

daerah pengirim transmigran dengan daerah penerima transmigran. Penduduk 

setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi Transmigran Penduduk 

Setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan Transmigran Penduduk 

Asal (TPA). 

Kegiatan kesehatan transmigrasi merupakan upaya kesehatan yang dilakukan untuk 

meningkatkan kemampuan fisik, mental dan sosial untuk menyesuaikan diri dengan 

lingkungan yang berubah mulai dari daerah asal sampai dengan minimal 6 bulan 

setelah berada di lokasi. 

Sampai saat ini pembinaan kesehatan dilaksanakan di lokasi transmigrasi yang baru 

(tahun pertama/T1), pada umumnya di lokasi transmigrasi sudah tersedia bangunan 

fasilitas kesehatan (Puskesmas pembantu), tetapi tenaga kesehatan tidak ada yang 

menetap di lokasi, pemberian pelayanan kesehatan dilaksanakan sekali dalam satu 

minggu. 


Untuk mencegah terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit potensial KLB (campak, 

malaria, diare) di lokasi tranmigrasi maka perlu adanya kader kesehatan di lokasi 

transmigrasi diberi pengetahuan (diberikan pelatihan) tentang penyakit potensial KLB 

(gejala, pertolongan pertama, pencegahan) agar dapat melakukan Sistem 

Kewaspadaan Dini (SKD-KLB) di wilayahnya. Untuk itu maka pada pendampingan 

petugas di lokasi transmigrasi dalam rangka upaya peningkatan kesehatan di bidang 

PP dan PL yang meliputi kegiatan penyuluhan kesehatan, pembentukan kader, 

koordinasi lintas program dan lintas sektor serta pengumpulan data dasar. Dari data 

sekunder dapat diperoleh gambaran situasi di lokasi transmigrasi (Penduduk, Pola 

penyakit, Sarana kesehatan, Sanitasi lingkungan dan Tenaga Kesehatan) 

Tahun 2011 jumlah lokasi transmigrasi yang dikunjungi sebanyak 5 lokasi, jauh lebih 

kecil bila dibandingkan dengan tahun tahun sebelumnya.


Dampak bencana dalam kesehatan dapat berupa korban manusia, kerusakan 

lingkungan yang mengakibatkan akses sanitasi menjadi terbatas; dan rusaknya 

infrastruktur pelayanan kesehatan sehingga akses pelayanan kesehatan menjadi 

terbatas. Oleh sebab itu upaya Kesehatan Bidang PP-PL dalam penanggulangan 

bencana diarahkan untuk melakukan penyediaan sanitasi darurat, surveilans penyakit 


dan faktor risiko, pengendalian penyakit, pengendalian faktor risiko termasuk vektor 

dan imunisasi kelompok rentan terutama di lokasi pengungsian.


Selama tahun 2011 telah dilakukan upaya kesiapsiagaan dan penanggulangan bencana 

bidang PPPL di 19 lokasi, sebagian besarnya merupakan bencana erupsi gunung 

berapi. Dalam pelaksanaan kegiatan tersebut berkoordinasi dengan Pusat 

Penanggulangan Krisis Kesehatan, dan Dinas Kesehatan setempat didukung oleh KKP 

maupun B/BTKL-PP. Pembinaan dilakukan oleh subdit teknis terkait di Ditjen PPPL. 

Upaya bidang PP dan PL meliputi: Rapid Health Assesment, Pengendalian penyakit, 

surveilans epidemiologi, imunisasi (terbatas), sanitasi darurat, pengendalian vektor, 

dan distribusi logistik bidang PP dan PL. 


Berdasarkan data di atas diketahui bahwa selama kurun waktu 5 tahun terakhir, 

upaya penanggulangan bencana bidang PPPL terbanyak dilaksanakan pada tahun 

2011 (19 lokasi) dan paling sedikit pada tahun 2007 yakni sebanyak 7 lokasi. 


d. Upaya Kesehatan Upaya Kesehatan KesehatanSituasi Khusus Situasi Khusus Situasi Khusus 

Pada dasarnya kegiatan kesehatan situasi khusus merupakan penerapan upaya 

kesehatan secara komprehensif (meliputi kegiatan promotif, preventif dan kuratif) 

pada kelompok masyarakat yang melaksanakan kegiatan khusus secara massal dan 

bersamaan waktunya. Kriteria situasi khusus adalah berkumpulnya orang minimal 

1.000 orang dengan waktu minimal 3 hari. Pada kondisi tersebut diperkirakan 

terjadinya faktor risiko penyakit dan Kejadian Luar Biasa cukup besar. 

1) Kesehatan Mudik Lebaran Kesehatan Mudik Lebaran 

Penduduk Indonesia terdiri dari bermacam suku, yang mencari nafkah tersebar di 

kota-kota besar. Pada saat hari besar keagamaan terutama Idul Fitri, mereka akan 

melakukan kegiatan mudik. Budaya mudik dan balik secara besar-besaran untuk 

berlebaran di kampung halaman adalah tradisi yang hanya ada di Indonesia. Arus 

mudik dan balik tersebut sangat jelas terlihat dengan terjadinya kepadatan 

transportasi, penumpukan penumpang di terminal, stasiun, pelabuhan, bandara, 

tempat penyeberangan dan sepanjang jalan yang dilalui para pemudik, seperti 

Pantai Utara Jawa (Pantura) dan daerah lintasan arus mudik lainnya. 

Berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 3 Tahun 2004, Departemen Kesehatan 

mempunyai tugas dan tanggung jawab meningkatkan kegiatan pelayanan 

kesehatan pada fasilitas kesehatan yang ada dan pada tempat-tempat yang 

diperlukan pada jalur angkutan lebaran. 

Pemantauan/gladi kesiapsiagaan kesehatan dalam situasi khusus (pengamanan Arus 

Mudik Lebaran dan Tahun Baru) dilakukan di 14 lokasi yaitu: Lampung, Merak, 

Cilegon, Serang, Karawang, Purwakarta, Subang, Indramayu, Tegal, Batang, 

Pemalang, Pekalongan, Semarang, Bandung dan Tasikmalaya. 

Pelayanan kesehatan di daerah arus mudik dilaksanakan dengan meningkatkan 

sarana pelayanan kesehatan yang ada, yaitu Puskesmas dan Rumah Sakit di 

sepanjang jalur mudik dan daerah rawan kecelakaan, juga didirikan pos-pos 

pelayanan kesehatan termasuk di pelabuhan dan bandar udara yang dilaksanakan 

oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP). Sumber daya manusia (dokter, 

paramedis, non medis) pada pengamanan dan pengamatan situasi khusus di Pos 

Kesehatan bertugas memberikan pelayanan selama 24 jam kepada pemudik yang 

memerlukan, meliputi pelayanan emergensi dan rawat jalan serta melakukan 

rujukan ke RS jika diperlukan.


Pada data diatas terlihat bahwa dari 2009 s.d. tahun 2011 para pemudik yang 

menggunakan angkutan darat (mobil, bus, dan sepeda motor) semakin meningkat, 

begitu juga dengan angkutan udara, sedangkan yang menggunakan angkutan 

kereta api terjadi penurunan yang sangat tajam. Dari data diatas didapat jumlah kasus kejadian kecelakaan lalu lintas dalam kurun 

waktu tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan dari 1.878 kasus pada 

tahun 2009, menjadi 4.744 pada tahun 2011. 

Dalam upaya lebih mendukung pencegahan dan pengendalian penyakit serta 

penyehatan lingkungan, dilakukan kegiatan surveilans penyakit dan faktor risiko di 

stasiun, terminal, rest area, tempat-tempat rekreasi, dan tempat-tempat umum 

lain. Pemeriksaan dilakukan oleh B/BTKL. KKP juga melakukan pemeriksaan faktor 

risiko di kapal-kapal yang singgah dan berangkat di pelabuhan. 

2) Kesehatan Khusus Lainnya Kesehatan Khusus Lainnya 

Selain upaya kesehatan arus mudik, ada beberapa kegiatan situasi khusus lainnya 

yang secara rutin dilaksanakan di daerah meliputi kegiatan Pekan Olah Raga, 

Upacara Keagamaan, Festival budaya dan adat. Untuk tahun 2011, ada beberapa 

kegiatan situasi khusus. 

 

1. Pelaksanaan Sea Games Pelaksanaan Sea Games 

Pelaksanaan SEA Games yang berlangsung tanggal 11 – 22 November 2011 di 

Prov D.K.I Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Selatan. 

Kegiatan pencegahan ditujukan terutama untuk mengendalikan faktor risiko 

untuk antisipasi terjadinya masalah kesehatan. Dimulai dari bandara dan 

pelabuhan sebagai lokasi entry point masuknya atlet, official, maupun tamu 

dan masyarakat yang hendak menyaksikan pertandingan, dilakukan dengan 

pengamatan risiko penyakit menggunakan thermal scanner, pemeriksaan 

kesehatan yang ketat terhadap atlet dari negara-negara yang dicurigai terdapat 

pandemi penyakit PHEIC, dan pemeriksaan laik terbang. 

Dalam mencegah penularan penyakit yang diakibatkan oleh makanan (food 

borne disease) dilakukan pemeriksaan makanan/minuman, air bersih di tempat￾tempat umum, rumah makan, restoran, serta pedagang keliling yang menjual makanan dan minuman.Selain itu, dilakukan kegiatan fogging di venue dan 

wisma atlet untuk mengurangi penularan penyakit akibat vektor, pemeriksaan 

air sungai, air kolam renang dan pemeriksaan kualitas udara untuk mengurangi 

penularan penyakit akibat limbah cair maupun udara. Pemeriksaan air dan 

limbah juga dilakukan di tempat-tempat wisata, karena selama adanya 

penyelenggaraan SEA Games ini industri pariwisata juga akanikut terangkat. 

2. Pelaksanaan Sail Wakatobi Pelaksanaan Sail Wakatobi laksanaan Sail Wakatobi 

Pelaksanaaan Sail wakatobi 2011 di bidang kesehatan berlangsung dengan baik. 

Upaya PP dan PL juga terlaksana dengan baik, meski masih terdapat beberapa 

permasalahan yang perlu diperbaiki di kemudian hari. Kegiatan Sail Wakatobi 

2011 ini telah memberikan dampak positif yang cukup luas bagi kalangan 

masyarakat Kab. Wakatobi maupun masyarakat Sulawesi Tenggara. 

Pada dasarnya tiap tahun, selain saat Sail Wakatobi 2011, banyak yatch/ kapal 

wisata dari berbagai Negara (terutama Australia) yang singgah di perairan 

Wakatobi dalam perjalanannya menuju Asia. Dinas Kesehatan Kab. Wakatobi 

siap untuk mendukung dan melakukan upaya-upaya terkait kondisi matra yang 

disebabkan oleh hal tersebut. 

Selain adanya posko kesehatan lapangan di darat, juga perlu dibentuk pos 

kesehatan terapung/ di laut untuk mengatasi permasalahan kesehatan di laut. 

3. Semana S Semana Santa 

Semana Santa adalah Kegiatan keagamaan umat Katolik yang dilaksanakan 

setiap tahun untuk merayakan Paskah (Kematian Yesus Kristus) dengan 

mengarak Patung-patung dari beberapa dusun dengan acara prosesi laut, dan 

kearah bukit (Prosesi Darat) untuk kemudian diletakkan di Katedral. Acara ini 

termasuk situs Non Mobile (Statis) yang dilaksanakan di Kota Larantuka, 

Kabupaten Flores Timur, NTT. Waktu penyelenggaraan mulai tanggal 20-22 

April dengan acara puncak pada tanggal 21, yaitu pada malam Jum’at Agung. 

Panitia Penyelenggaraan adalah Panitia Semana Santa yang terdiri dari unsur 

Gereja, masyarakat adat, dan keamanan 

4. Bulan Bhakti Nasional Pekerja Sosial Masyarakat Bulan Bhakti Nasional Pekerja Sosial Masyarakat Masyarakat 

Bulan Bhakti Nasional Pekerja Sosial Masyarakat merupakan kegiatan nasional 

yang melibatkan pekerja-pekerja sosial seluruh indonesia, kegiatannya antara 

lain pertemuan, pembuatan saluran transportasi sungai, kerja bakti massal, 

seminar, penanaman pohon, ziarah ke Taman Makam Pahlawan, dll. 

5. KesehatanMigran KesehatanMigran 

Migrasi adalah perpindahan penduduk antar negara melalpaui batas 

Internasional. Penduduk migran meliputi pekerja migran beserta keluarga, 

pendatang menetap (imigran) dll. Indonesia termasuk negara yang mengirim 

paling banyak pekerja migran. 

Hal-hal yang menyebabkan adanya TKIB (Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah) 

antara lain: melalui jalur resmi dirasakan masih sangat rumit, hal ini 

mendorong terjadinya TKI ilegal dimana TKI berangkat ke Luar Negeri tanpa 

dokumen keimigrasian yang syah, berangkat secara resmi tetapi menjadi ilegal 

karena masa berlaku dokumen bekerja habis. 

Proses pemulangan TKIB dan keluarganya akan menimbulkan banyak masalah 

terutama masalah kesehatan karena proses pemulangan, hal ini disebabkan 

belum adanya koordinasi antara Port Health yang mengirim dengan petugas 

KKP entry points, sehingga tidak diketahui kondisi dari TKIB yang dipulangkan. 

Kementerian Kesehatan dalam hal ini Ditjen Bina Upaya Kesehatan dan Ditjen 

PP-PL mengkoordinasikan kegiatan pelayanan kesehatan Tenaga Kerja 

Indonesia Bermasalah (TKIB) dan keluarganya melalui KKP di pelabuhan

debarkasi, di penampungan sementara dan RS rujukan. Pelayanan kesehatan 

dimaksudkan untuk memberikan pengobatan bagi TKIB yang sakit serta 

mencegah KLB sebagai akibat penularan penyakit dan faktor risiko yang dibawa 

oleh para TKIB.

Dari tahun 2009, jumlah TKIB yang kembali ke Indonesia melalui wilayah kerja 

KKP entry point terdekat dari wilayah Malaysia adalah KKP Tanjung Pinang, 

Wilker Entikong (Wilayah Kerja KKP Pontianakk) dan KKP Nunukan. Dari ke 3 

entry point jumlah TKIB yang melalui KKP Tanjung Pinang jumlahnya paling 

besar dibandingkan dengan 2 entry point lainnya. Dilihat dari jumlah 

keseluruhan TKIB yang dipulangkan dari tahun 2009 s.d tahun 2011 mengalami 

penurunan.

data di atas menunjukkan bahwa dari tahun 2009 s.d tahun 2011 jumlah TKIB 

yang berobat ke pelayanan kesehatan di KKP entry point yang terbanyak 

adalah di wilayah KKP Tanjung Priok dibandingkan wilayah lain yakni 

sebanyak 3.962 pada tahun 2009 dan 1.903 di tahun 2010 dan tahun 2011 

sebanyak 785. 


Pada tahun 2011 jumlah TKI yang dirujuk ke Rumah Sakit yang telah ditunjuk 

sebagai rumah sakit rujukan untuk penanganan lebih lanjut sejumlah 67 orang 

(data dari 4 KKP entry point). Untuk tahun 2009 ada 41 orang dan pada tahun 

2010 TKIB yang dirujuk sebanyak 39 orang. 

6. Kesehatan Penerbangan Kesehatan Penerbangan 

1. Pelatihan Kesehatan Penerbangan Bagi Dokter Kantor Kesehatan Pelabuhan 

(KKP) 

Pelatihan inibertujuanmeningkatkan kemampaun dan keterampilan 

dokterKKPdalam mengelola upaya kesehatan penerbangan. Diselenggarakan 

bekerjasama dengan Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa 

(Lakespra) Saryanto Mabes AU, dengan peserta 20 dokter KKP 

2. Pendampingan KKP dalam Perencanaan dan Pemeriksaan Pendampingan KKP dalam Perencanaan dan Pemeriksaan Laik Terbang Laik Terbang 

Penumpang Penumpang 

Khusus upaya kesehatan penerbangan, saat ini di Subdit Kesehatan Matra 

sudah ada pedoman kesehatan kedirgantaraan dan petunjuk teknis 

pemeriksaan dan pelaksanaan kelaikan terbang penumpang sebagai acuan 

bagi petugas KKP. Supaya pelaksanaan pemeriksaan dan penentuan kelaikan 

terbang penumpang tersebut berjalan sesuai standar perlu dilakukan 

pendampingan petugas KKP oleh petugas pusat. Kegiatan ini dilaksanakan di 

5 lokasi KKP, yaitu: KKP kelas II Semarang, KKP kelas II Palembang, KKP 

kelas I Medan, KKP kelas II Banjarmasin 

B. PENGENDALIAN PENYALIT MENULAR LANGSUNG PENGENDALIAN PENYALIT MENULAR LANGSUNG 

1. Tuberkulosis Tuberkulosis 

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB 

(Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat 

juga mengenai organ tubuh lainnya. 

Pada awal tahun 1995 WHO telah merekomendasikan strategi DOTS (Directly Observed 

Treatment Short-course) sebagai strategi dalam penanggulangan TB dan telah terbukti 

sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective),


yang terdiri dari 5 komponen kunci 1) Komitmen politis; 2) Pemeriksaan dahak 

mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) Pengobatan jangka pendek yang standar bagi 

semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, termasuk pengawasan langsung 

pengobatan; 4) Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu; 5) Sistem pencatatan dan 

pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan 

kinerja program secara keseluruhan. 


data di atas memperlihatkan estimasi prevalensi, insidens, dan mortalitas TB yang 

dinyatakan dalam 100.000 penduduk tahun 1990-2010 berdasarkan hasil 

perhitungan WHO dalam WHO Report 2011 Global Tuberculosis Control. Dari 

data tersebut terlihat bahwa prevalens terlihat meningkat antara tahun 1990-1996 

dan mulai menurun sejak tahun 1997. Sejak tahun 2006 terlihat tidak banyak 

penurunan. Jika dibandingkan antara pencapaian 2010 dengan 1990, prevalensi 

berhasil diturunkan hampir setengahnya. 

Insidens TB diperkirakan sekitar 189 per 100.000 penduduk sejak tahun 1990 

sampai dengan tahun 2010. 

Pola mortalitas (angka kematian) terlihat menyerupai prevalensi. Mortalitas mulai 

meningkat antara tahun 1990-1996 dan mulai menurun sejak tahun 1997. 

Mortalitas berhasil diturunkan hampir separuhnyapada tahun 2010 (27 per 100.000 

penduduk) dibandingkan tahun 1990 (51 per 100.000 penduduk). 

b. Angka penjaringan suspek (suspect evaluation rate) Angka penjaringan suspek (suspect evaluation rate) 

Adalah jumlah suspek yang diperiksa dahaknya di antara 100.000 penduduk pada 

suatu wilayah tertentu dalam satu tahun. Angka penjaringan suspek ini digunakan 

untuk mengetahui upaya penemuan pasien dalam suatu wilayah tertentu, dengan 

memperhatikan kecenderungannya dari waktu ke waktu (triwulan/tahunan). 


Berdasarkan data di atas, angka penjaringan suspek secara umum menunjukkan 

peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun pada tahun 2007 dan 2009 terjadi 

penurunan. Pada tahun 2007 angka penjaringan suspek menurun sebesar 82 per 

100.000 penduduk dibandingkan dengan tahun 2006 dan tahun 2009 menurun sebesar 

7 per 100.000 penduduk dibandingkan dengan tahun 2008. Peningkatan penjaringan 

suspek kembali terjadi pada tahun 2010 dan 2011 angka ini terjadi peningkatan sebesar 

57 per 100.000 penduduk (2010) dan 63 per 100.000 penduduk (2011). Semakin 

banyaknya jumlah rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan