Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 9. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Juli 2023

penyakit hewan mamalia 9





















tersebut dan jatuh ke tanah. 
Larva instar III (L3) akan membuat terowongan sepanjang dua sampai tiga 
sentimeter untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva akan 
membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC. Penetasan lalat dari 
pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat 
selama seminggu pada kondisi 25-30oC sedangkan pada temperatur yang 
lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan.
Gambar 2. Siklus hidup C.bezziana (Sumber: Koleksi: M. Hall – NHM UK)
2. Patogenitas
   Patogenesis myasis pada hewan dan manusia tidak berbeda. Awal 
terjadinya myasis yaitu  jika ternak mengalami luka alami akibat 
berkelahi, tersayat benda tajam, gigitan caplak/predator dan pasca partus 
atau terputusnya tali pusar/umbilikus. Luka lain juga dipicu oleh campur 
tangan manusia, misalnya pada kasus pemotongan tanduk (de-horning), 
kastrasi, pemotongan ekor, puncukuran bulu dan lain-lain. Bau darah segar 
yang mengalir akan menarik lalat betina C.bezziana untuk meletakkan telurnya 
di tepi luka tersebut. Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga 
tidak mudah jatuh ke tanah oleh gerakan hewan. Dalam waktu kurang dari 
12 jam, telur akan menetas menjadi larva dan bergerak masuk ke dalam 
jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh memicu  luka semakin 
besar dan kerusakan  jaringan semakin parah. Kondisi ini memicu 
bau yang menyengat dan mengundang lalat yang lain (lalat sekunder dan 
tersier) untuk hinggap (Sarcophaga sp, C.megachepalla, C.rufi facies, Musca 
sp) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. jika tidak ada 
pengobatan, penderita dapat mengalami kematian.
3.  Sifat Alami Agen
   Lalat jantan memerlukan minum dan karbohidrat yang lebih banyak 
dibandingkan dengan betina untuk mempertahankan hidupnya. Lalat jantan 
dapat mengawini beberapa betina, tetapi betina hanya kawin sekali seumur 
hidupnya.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa awal produksi telur terjadi 
pada hari kedua pasca kawin. Umur lalat termuda yang mampu memproduksi 
telur yaitu  umur lima hari. Puncak produksi telur terjadi pada betina yang 
berumur delapan hingga dua belas hari. Umumnya lalat betina menetas satu 
hari lebih awal dibandingkan dengan lalat betina. Awal kematian terjadi pada 
umur empat hari dan mencapai puncaknya pada umur empat belas hari. 
   Studi lain juga menyebutkan bahwa larva yang turun dari sumber 
pakan (luka myiasis) dan jatuh ke tanah pada hari pertama 3,05 kali lebih 
banyak menjadi lalat betina. Terowongan yang dibuat larva untuk menjadi 
pupa mempunyai kedalaman berkisar 6 – 7 cm dibawah tanah. Larva akan 
mengalami penurunan bobot badan sekitar 25,87 % untuk menjadi pupa dan 
44,93 % untuk menjadi lalat dewasa. Bobot minimal pupa yang bisa menetas 
menjadi lalat yaitu  23,5 –26 mg.
   Berbeda dengan jenis lalat lainnya, C.bezziana jarang ditemukan 
di sekeliling sapi. Lalat betina akan mendekat ke ternak pada saat akan 
bertelur. Lalat ini lebih senang bertengger pada daun, pagar, pokok kayu dan 
berbaur dengan jenis Calliphoridae lainnya di lingkungan tersebut. Banyak 
jenis Calliphoridae lain yang juga berwarna hijau sehingga tidak mudah 
mengenali C.bezziana secara kasat mata. 
4.  Spesies Rentan
Semua jenis hewan yang bertulang belakang dan berdarah panas rentan 
terhadap penyakit myiasis. Kasus myasis banyak terjadi pada induk sapi yang 
diikuti oleh pedet, kerbau, kuda, babi, kambing, cempe dan domba yaitu, 
pada induk pasca partus (myasis vulva) dan anak yang baru lahir (myasis 
umblikus), sedangkan sisanya sebagai akibat luka traumatika. 
Selain pada hewan ternak, myiasis juga menyerang pada hewan 
kesayangan, seperti anjing dan kucing, termasuk ayam (Gambar 3). Domba 
Australia yang dimasukkan ke India dan Papua New Guinea sangat peka 
terhadap serangan lalat C.bezziana. Sapi potong hasil kawin silang dengan 
sapi Australia dilaporkan lebih peka dibandingkan sapi lokal yang berada 
di Malaysia. Kejadian myasis pada hewan liar seperti harimau, rusa, badak 
dan gajah pernah dilaporkan termasuk kasus myasis di Kebun Binatang di 
Malaysia dan hewan liar lainnya di Papua New Guinea.

5.  Pengaruh Lingkungan
   Lalat myiasis dapat berkembang baik dalam kondisi tropis dengan 
kelembaban yang tinggi. Daerah yang memiliki pepohonan, semak-semak 
dan sungai yaitu daerah ideal untuk kelangsungan hidup lalat 
myiasis. 
6.  Sifat Penyakit
   Penyakit ini tidak memicu kematian jika cepat dilakukan 
pengobatan. Namun jika hewan penderita tidak diobati dalam waktu 
1 – 2 minggu maka akan terjadi keracunan akibat aktivitas bakteri (infeksi 
sekunder) seperti yang dilaporkan di Texas bahwa kematian tahunan akibat 
myiasis pada rusa muda berkisar 20-80%.
7.  Cara Penularan
   Penularan penyakit myiasis melalui lalat betina C.bezziana yang 
menginfestasi jaringan hidup. Pada lingkungan tropis dengan populasi inang 
yang padat, lalat betina mampu terbang sekitar 10 – 20 Km. Adapun pada 
lingkungan tandus dengan kepadatan populasi inang yang rendah, lalat dapat 
terbang hingga 300 Km sedangkan pada kondisi pegunungan, lalat akan 
terbang mengikuti alur perbukitan yang memiliki iklim lebih hangat dengan 
kelembaban yang tinggi. Disamping itu, lalat ini juga dapat terdistribusi 
melalui angin dan tranportasi ternak.

   Umumnya penularan myiasis dari daerah endemik ke non endemik 
melalui hewan penderita yang masuk ke daerah tersebut. jika tidak ada 
tindakan pengobatan dengan segera, larva akan jatuh ke tanah membentuk 
pupa sehingga berpotensi untuk menginfestasi hewan yang pada daerah 
yang bebas.
8.  Faktor Predisposisi
   Umumnya kasus myiasis lebih banyak dijumpai pada induk pasca 
pastus, yaitu di daerah vagina. Kondisi ini berkorelasi positif dengan kejadian 
myiasis pada anaknya, yaitu di daerah pusar atau umbilikus. Adapun pada 
hewan jantan, myiasis dijumpai pada prepusium. Lokasi luka yang juga sering 
terkena serangan lalat myiasis yaitu  kuku dan telinga pasca pemasangan 
ear-tag serta moncong pasca proses pembuatan lubang dihidung.
   Beberapa faktor predisposisi serangan myiasis antara lain, musim 
panas atau panca roba, dikandangkan dengan hewan yang terinfestasi 
myiasis, rendahnya tingkat higenitas dan sanitasi lingkungan serta kurang 
peduli terhadap perawatan luka dan masuknya ternak baru ke daerah 
endemik myiasis.
9.  Distribusi penyakit
a.    Kejadian di negara kita 
         Larva lalat C.bezziana dilaporkan pertama kali di negara kita  pada 
kasus myasis kuku sapi dalam bentuk infestasi campuran dengan larva 
lalat B.intonsus di daerah Minahasa pada tahun 1926. Kasus selanjutnya 
ditemukan pada kuda di daerah yang sama 1948-1949. Laporan lain 
menyebutkan bahwa telah terjadi kasus myasis pada kuku sapi perah 
di daerah Bogor dalam bentuk infestasi campuran dengan Sarcophaga 
dux dan Musca domestica. Infestasi campuran antara C.bezziana dan 
Sarcophaga sp. juga pernah dilaporkan pada kejadian myasis di Sumba 
Timur dan Sulawesi Selatan.
        Kejadian myasis di negara kita  masih menunjukkan peningkatan dari 
tahun ke tahun. Penyataan ini didukung oleh adanya beberapa laporan 
kasus myasis di seluruh kepulauan negara kita . Penelitian dinamika 
kasus myasis di Kecamatan Kandat-Kediri pada salah satu klinik hewan 
sepanjang tahun 2002-2004 menunjukkan peningkatan, yaitu 47 kasus 
(2002), 63 kasus (2003) dan 89 kasus (2004).  Studi ini berlanjut dari 
2005 – 2009 dan diperoleh sebanyak 357 kasus pada ternak ruminansia. 
Umumnya kasus myasis cukup tinggi menjelang hingga musim hujan, 
yaitu pada bulan Agustus sampai April  sedangkan kasus terendah 
terjadi pada bulan Mei sampai Juli. Hasil ini sesuai dengan kasus myasis 
di pulau Lombok dan Sumba Timur yang dilaporkan tinggi pada musim 
hujan. Selain Kediri, kasus myasis di beberapa daerah di Pulau juga 
telah dilaporkan, antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, 
Lombok, Sumbawa, Sumba, Timor dan Papua. Data-data diatas 
menunjukkan bahwa kasus myasis di negara kita  masih cukup tinggi dan 
harus mendapat perhatian yang serius.
b.    Distribusi geografi s
        Lalat C.bezziana tersebar di kawasan Afrika bagian tropis dan 
sub tropis, sub kontinen India, Asia Tenggara dari Cina selatan menuju 
Malaysia dan Philipina hingga Papua New Guinea termasuk negara kita . 
Laporan lain menyebutkan bahwa lalat ini telah masuk ke beberapa 
negara di pantai barat Teluk Persia. 
D.  PENGENALAN PEYAKIT
1.  Gejala Klinis dan Patologi 
   Infestasi larva myasis tidak memicu  gejala klinis yang spesifi k 
dan sangat bervariasi tergantung pada lokasi luka. Gejala klinis pada hewan 
demam, radang, peningkatan suhu tubuh, kurang nafsu makan, tidak tenang 
sehingga memicu  ternak mengalami penurunan berat badan dan 
produksi susu, kerusakan jaringan, infertilitas, hipereosinofi lia serta anemia. 
jika tidak diobati, myasis dapat memicu kematian ternak sebagai 
akibat keracunan kronis ammonia. 
Gajala umum yang terjadi pada myasis manusia antara lain demam, gatal-
gatal, sakit kepala, vertigo, eritrema, radang (infl amasi), pendarahan serta 
memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Gambaran darah penderita 
myasis akan menunjukkan gejala hipereosinopilia dan meningkatnya jumlah 
neutropil.
2.  Diagnosa
   Periode antara adanya telur lalat diluka sampai menunjukkan 
gejala sakit karena larva membuat terowongan di dalam tubuh inang yaitu  
1 – 2 hari. Tidak jarang, luka hanya nampak kecil (lubang kecil) dari luar dan 
terlihat pembengkaan yang berair pada lokasi luka. jika luka tersebut 
dibuka, maka akan dijumpai larva yang bergerombol ataupun terpisah.
   Penegakan diagnosis myasis pada penderita yaitu  dengan 
ditemukannya larva C.bezziana pada daerah luka. Umumnya larva 
C.bezziana ditemukan pada kondisi infestasi primer, namun jika penyakit 
ini telah berjalan beberapa hari tanpa adanya tindakan pengobatan, maka 
akan dijumpai larva lalat yang lain seperti Sarcopagha sp, C.megachepala 
atau Musca domestica. Identifi kasi larva lalat dilakukan dibawah mikroskop 
stereo untuk melihat spirakel anterior dan posterior serta bentuk spina (duri) 
yang khas pada masing-masing spesies larva lalat. Dalam beberapa kasus, 
myiasis terjadi dalam bentuk multi infestasi, yaitu ada lebih dari stadium 
larva dalam luka tersebut (Gambar 4). Larva C.bezziana tidak pernah dijumpai 
dalam bangkai karena sifatnya sebagai obligat parasit.
Gambar 4. Contoh kasus myiasis dengan multi infestasi, yaitu dalam satu 
luka dijumpai lebih dari satu stadium. Larva instar I (L1), instar II 
(L2) dan instar III (L3) 
           (Sumber: Koleksi: April H Wardhana – Bbalitvet)
3.  Diagnosa banding
   Diagnosa banding penyakit myiasis yaitu  infestasi jaringan oleh 
lalat-lalat yang lain, seperti C.megacephala, Sarcophaga sp dan Phormia 
regina.
4.  Pengambilan dan pengiriman spesimen
   Sebelum diobati, sampel larva dikoleksi dari luka dan dimasukkan 
ke dalam kontainer plastik. jika larva masih berada didalam jaringan, 
luka ditetesi dengan minyak kayu putih atau larutan hydrogen peroksida 
3%. Larva yang telah dikoleksi disiram dengan air panas selama 10 detik 
sehingga larva mengalami kontraksi. Selanjutnya, larva yang telah mati, 
dimasukkan ke dalam etanol 80% atau isopronil alkohol dan diberi label 
berupa tanggal pengambilan sampel, lokasi luka, desa, kecamatan dan 
kabupaten termasuk kolektor. Sampel dapat dikirim ke laboratorium untuk 
diidentifi kasi. Tidak disarankan menyimpan larva myiasis didalam formalin, 
karena dapat merusak DNA yang dibutuhkan untuk analisis lebih lanjut jika 
diperlukan.
L1
L3
L2

pengobatan : 
1.  Pengobatan
   Vaksin rekombinan myiasis pernah dikembangkan tetapi tidak mampu 
memberikan daya protektif yang efektif sehingga tidak direkomendasikan 
dalam pengendalian myiasis. Insektisida dari golongan organophospat, 
karbamat, senyawa pyrethroid dilaporkan efetik untuk pengobatan myiasis, 
termasuk membunuh lalat dewasa. Namun demikian, di beberapa negara 
telah melarang penggunaan karbamat dan golongan organophospat. Untuk 
mencegah terjadinya re-infestasi, penggunaan insektisida dapat diberikan 
dengan interval 2-3 hari sampai luka myiasis sembuh.
   Pada peternakan komersial, umumnya dilakukan dipping (perendaman) 
memakai coumaphos atau golongan organophospat yang lain dengan 
dosis maksimal untuk pemberantasan parasit eksternal. Disamping itu, 
pengobatan dapat dilakukan memakai insektisida sistemik, seperti 
ivermectin pada dosis 200 mg/Kg. Untuk pencegahan agar luka tidak 
mendapat serangan larva lalat, dapat dipakai doramectin (200 mg/
Kg) yang dilaporkan efektif sampai 12-14 pasca pengobatan. Pemberian 
insektisida topikal 1 % larutan fi pronil (10 mg/Kg) kurang efektif. Hewan yang 
dikastrasi dapat diberikan dicyclanil untuk melindungi luka dari serangan lalat 
myiasis. Adapun spinosad (formula dari produk fermentasi bakteri) dapat 
dipakai untuk pengobatan dan pencegahan dengan cara disemprot. 
Selama ini pengobatan umum yang dilakukan oleh peternak di negara kita  
yaitu  peyemprotan luka dengan Gusanex®.
   Pengobatan myiasis pada manusia diawali dengan pengambilan 
larva dari daerah luka, selanjutnya diirigasi dengan larutan saline normal 
dan diikuti dengan pembedahan. Antibiotik yang berspektrum luas umumnya 
diinjeksikan untuk mencegah adanya infeksi sekunder, lalu campuran 
dari 1 x kloroform : 4 minyak terpentin dipakai untuk pengobatan lokal.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Pelaporan
        Tidak diperlukan tindakan pelaporan ke Dinas Peternakan jika 
ditemukan kasus myiasis pada hewan. Peternak dapat menghubungi 
dokter hewan / klinik hewan terdekat untuk melakukan pengobatan. 
Namun demikian, pengobatan perlu segera dilakukan untuk mencegah 
luka semakin parah yang dapat disertai dengan infeksi sekunder oleh 
bakteri dan berakhir dengan kematian.
b.   Pencegahan
        Ternak yang menderita myiasis harus diobati hingga tuntas sebelum 
dijual atau dimasukkan ke wilayah yang lain untuk mencegah penyebaran 
lalat semakin luas.
c.    Pengendalian dan Pemberantasan
        Untuk mengendalikan populasi lalat myiasis di daerah endemik 
myiasis, perlu dilakukan pemasangan perangkap lalat. Setidaknya ada 
dua jenis trap yang sering dipakai di lapang, yaitu perangkap yang 
dilapisi perekat (sticky trap) atau perangkap yang terbuat dari plastik 
dengan banyak lubang dipermukaannya (Lucitrap). Sebagai umpan (bait) 
dipakai attractant/pemikat yang bernama swormlure. jika tidak 
dijumpai di lapang, maka dapat dipakai gerusan hati sapi. Perangkap 
diletakkan diluar kandang, dekat dengan semak-semak yang yaitu 
area lalat myiasis. Perangkap ini dapat diganti 3 kali sekali tergantung 
jumlah lalat yang ditangkap dan pemikat yang tersisa.  
        Metode pengendalian dan pemberantasan lalat myiasis dapat 
dilakukan dengan cara membuat lalat jantan mandul (Sterile Insect 
Technique). Metode ini telah diaplikasikan untuk membebaskan daerah-
daerah kantung ternak dari serangan lalat myiasis, seperti di beberapa 
negara di benua Amerika dan juga di Libya. Teknik masih dilakukan 
hingga sekarang di Panama untuk mencegah lalat myiasis dari bagian 
selatan bermigrasi ke bagian utara benua Amerika.

SCABIES
Sinonim: gudigan, budug, kudis, mange.
  
Scabies atau kudis yaitu  penyakit kulit menular yang dipicu oleh infestasi 
tungau Sarcoptes scabiei dan bersifat zoonosis. Penyakit ini telah dikenal sejak 
lama, yaitu saat   Bonoma dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau 
sebagai pemicu scabies pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa 
scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero dengan menyebutnya 
sebagai “lice in the fl esh”. Sejauh ini dilaporkan ada lebih dari empat puluh 
spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo mamalia yang dapat terserang 
scabies, termasuk manusia, ternak dan hewan kesayangan (pet animal) maupun 
hewan liar (wild animal). Angka kejadian skabies pada manusia diperkirakan 
mencapai tiga ratus juta orang per tahun. 
Masalah scabies masih banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama pada 
negara-negara berkembang dan industri. Rendahnya tingkat higenitas dan 
sanitasi  serta sosial ekonomi menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini. 
Disamping itu, kondisi kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh, 
kekurangan makan dan hidup berdesakan semakin mempermudah penularan 
penyakit skabies dari penderita ke yang sehat. 
Tungau menyerang dengan cara menginfestasi kulit inangnya dan bergerak 
membuat terowongan di bawah lapisan kulit (stratum korneum dan lusidum) 
sehingga memicu gatal, kerontokan rambut, dan kerusakan kulit. Meskipun 
angka pesakitannya relatif rendah tetapi penyakit ini dapat memicu  kerugian 
ekonomi yang sangat besar pada produksi ternak, turunnya produksi (daging, 
susu, wol, kulit), turunnya feed conversion effi ciency, kematian penderita dan 
pembelian obat-obatan serta biaya untuk tenaga kesehatan. Pada hewan 
kesayangan, seperti anjing dan kucing, akan memicu  suasana yang tidak 
menyenangkan di lingkungan pemukiman manusia. 
etiologi 
Penyakit skabies dipicu oleh berbagai jenis tungau atau kudis. Tungau 
yaitu arthropoda yang masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, 
ordo astigmata, dan famili Sarcoptidae. Contoh tungau (acariformis) astigmata 
yaitu  Sarcoptes scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati, Chorioptes sp, dan 
Otodectes cynotys. Notoedres sp. dan Chonoptes sp. umumnya menyerang 
kambing dan domba, namun terkadang dapat pula menyerang kerbau, sapi dan 
kuda. Sementara Notoedres sp. umumnya menyerang kelinci dan terkadang 
kucing.
Di antara jenis tungau tersebut, S.scabiei diketahui paling patogen dan memiliki 
cakupan inang luas. Tungau S.scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval 
yang cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral. Permukaan 
tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis 
paralel transversal. Stadium larva mempunyai tiga pasang kaki, sedangkan 
stadium dewasa dan nimpa memiliki empat pasang kaki yang pendek dan pipih.
Betina berukuran antara (300-600)x(250-400) µm, sedangkan jantan berukuran 
antara (200-240)x(150-200) µm. ada beberapa varietas S.scabiei terhadap 
inangnya, yaitu S.scabiei var humani pada manusia, S.scabiei var canis pada 
anjing, S.scabiei var suis pada babi, S.scabiei var ovis pada domba, S.scabiei var 
caprae pada kambing, S.scabiei var equi pada kuda, dan S.scabiei var bovis pada 
sapi. Sarcoptes scabiei bersifat parasit obligat yang artinya mutlak membutuhkan 
inang untuk bertahan hidup. Perlu diperhatikan bahwa skabies pada kambing 
dan domba dapat dipicu juga oleh tungau lain, yaitu Psoroptes ovis. 
epidemiologi 
1.  Siklus Hidup
   Infestasi diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua 
yang aktif membuat liang di  epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut, 
sarcoptes  meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4 
hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan 
berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8.  lalu 
tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak 
dalam 2-4 hari.
2.  Sifat Alami Agen
Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies mampu menerobos 
stratum corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan tadi 
dan setiap tungau menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan 
masa bertelur sampai 2 bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati 
sesudah  bertelur. 
Pada suhu 35°C dengan kelembaban 100 %, telur menetas dalam waktu 2-3 
hari, lalu memasuki stadium larva, lalu larva berubah menjadi 2 bentuk 
nimpa, yaitu protonymph (dalam waktu 3-4 hari) dan tritonymph (dalam waktu 
2-3 hari). Tritonymph menjadi dewasa dalam waktu 2-3 hari. 
Seluruh siklus hidup, sejak telur sampai sampai menjadi dewasa memerlukan 
waktu antara 10-14 hari. Tungau pada anjing dan manusia dapat bertahan 
hidup selama 24-36 jam pada suhu ruang, 21ºC. 
   Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan lingkungan. 
Di luar tubuh inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat 
bertahan hidup selama 2-3 minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada 
kondisi kering tersebut, telurnya mempunyai daya tetas sampai dengan 6 
hari, dan sekitar 6 minggu dalam kondisi lingkungan yang lembab. 
3.  Spesies Rentan
   Tungau Sarcoptes dapat menyerang berbagai spesies hewan, yaitu 
sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, anjing, kucing, kera, unta, serigala, 
beruang, hyena, musang, wombat, dan coyote. Nampak bahwa S.scabiei 
memiliki cakupan inang (host range) yang sangat luas atau dengan kata 
lain ia tidak memiliki spesifi tas inang. Manusia, umumnya anak-anak, dapat 
tertular skabies yang berasal dari hewan.
   Scabies dilaporkan lebih banyak terjadi pada kulit tanpa pigmen 
dibandingkan dengan yang berpigmen. Bulu yang lebat, panjang dan kotor 
yaitu tempat yang ideal bagi tungau S.scabiei. Mungkin bulu yang 
panjang ini ada kaitannya dengan kelembaban kulit. Diduga bahwa kulit yang 
lembab akan memicu lapisan tanduk dari kulit menjadi lebih lunak 
sehingga memudahkan bagi tungau untuk menembusnya. Di samping itu, 
kelembaban yang tinggi dari kulit juga meningkatkan daya hidup S.scabiei. 
   Hewan muda umumnya lebih peka terhadap skabies dibandingkan 
dengan hewan dewasa. Faktor  predisposisi pada inang yang ikut 
memperparah gejala klinis skabies, antara lain kekurangan vitamin A, 
kekurangan protein, infestasi parasit atau penyakit lainnya. 
   Secara eksperimental, dilaporkan bahwa domba yang diinfestasi 
dengan 40.000 - 80.000 larva cacing ostertagia memperparah gejala klinis 
skabies dibandingkan dengan domba tanpa infestasi parasit cacing.
4.  Pengaruh Lingkungan
Umumnya prevalensi scabies meningkat saat musim hujan. Peternakan yang 
terlalu padat akan rnemberi peluang yang baik bagi peningkatan populasi 
tungau. Selain itu, lalu lintas hewan yang tidak terkontrol dan penggunaan 
pejantan yang menderita scabies subklinis dapat menjadi sumber penularan 
scabies.
5.  Cara Penularan
   Penularan scabies terutama terjadi secara kontak, baik antar hewan 
piaraan, maupun antara hewan piaraan dan hewan liar yang menderita 
scabies. Penyakit scabies pada suatu peternakan umumnya terjadi akibat 
masuknya hewan penderita sub-klinis (belum terlihat gejalanya) ke peternakan 
tersebut, atau hewan penderita dalam stadium awal penyakit.
   Di samping itu, penularan dapat pula terjadi melalui alat peternakan 
yang tercemar tungau Sarcoptes, walaupun tungau ini hanya mampu 
bertahan hidup dalam waktu yang relatif singkat di luar tubuh inang.
6. Sifat Penyakit
   Biasanya scabies bersifat endemis, dan bila terjadi wabah akan 
menyerang sebagian besar ternak dan dapat disertai adanya kematian. Pada 
hewan muda angka kematian penderita dapat mencapai 50 %, tergantung 
pada kondisi hewan dan lingkungannya.
7. Kejadian di negara kita 
Penyakit scabies bersifat endemis hampir di seluruh wilayah negara kita  
dan menyerang berbagai jenis hewan. Pada tahun 1981, penyakit skabies 
dilaporkan menduduki peringkat kedua dari penyakit yang ditemukan 
menyerang ternak. Wabah scabies pernah dilaporkan terjadi pada kambing 
di Bali pada tahun 1983 dan di Lombok pada tahun 1995. Kejadian yang fatal 
pernah terjadi pada kambing paket bantuan pemerintah, yaitu dari 396 ekor 
ternayat 360 ekor (91%) diantaranya mati karena skabies. Kejadian ini tidak 
hanya memicu  kerugian materi berupa kematian, tetapi juga kerugian 
moril berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap bantuan pemerintah 
selanjutnya.
   Pada keadaan kurang pakan, musim kemarau, dan lingkungan 
kandang yang kotor, maka prevalensi kejadian scabies dapat mencapai 4-11 
%. Kasus scabies di negara kita  mencapai 0,022 %, dan kerugian ekonomi 
pada peternak kambing di Lombok mencapai Rp. 1.633.158.750,00 per 
tahun. 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit 
mengalami erithema, lalu akan berlanjut dengan terbentuknya papula, 
vesikula dan akhimya terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan 
eksudat karena adanya iritasi. Hewan penderita tampak gelisah karena 
rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka 
dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk 
keropeng atau kerak.
Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan 
dari jaringan ikat sehingga memicu penebalan kulit dan pengkeriputan. 
Perubahan ini akan memicu  kerontokan bulu yang pada seluruh 
permukaan tubuh. Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi 
kekurusan dan akhirnya mati karena kurang gizi (malnufi si). jika 
pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka sering terjadi infeksi 
sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk. 
Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila 
diikuti oleh infeksi sekunder.
   Perjalanan penyakit terbagi dalam 3 (tiga) tahap . Fase pertama, 
terjadi 1-2 hari sesudah  infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan 
epidermis sehingga pada pemukaan kulit ada banyak lubang kecil. Pada 
tahap  kedua, tungau telah berada di bawah lapisan keratin, permukaan kulit 
telah ditutup oleh kerak/keropeng yang tebal dan kerontokan bulu. Fase 
kedua ini terjadi 4-7 minggu sesudah  infestasi. Adapun pada tahap  ketiga yang 
terjadi 7-8 minggu sesudah  infestasi, kerak mulai mengelupas sehingga pada 
permukaan kulit kembali terlihat lubang kecil, dan pada saat itu beberapa 
tungau meninggalkan bekas lubang tersebut. 
   Bentuk lesi skabies sama pada berbagai jenis hewan, namun lokasi 
lesi bervariasi. Pada kambing, lesi umumnya mulai dari daerah hidung lalu 
menyebar keseluruh tubuh. Pada babi, lesi umumnya pada daun telinga, 
cungur, bagian dorsal dan leher, bahu, bagian dalam dari paha, sepanjang 
punggung, pangkal ekor dan pada kaki. Pada sapi, lesi banyak dijumpai 
pada kulit di daerah leher, punggung dan pangkal ekor. Pada penderita 
skabies yang kronis lesi dijumpai pada kulit di daerah abdomen dan ambing. 
Pada unta, lesi dijumpai pada kulit daerah pangkal ekor, leher, axilla, daerah 
sternum, abdomen, fl ank, daerah preputium atau daerah ambing pada 
hewan betina, daerah sekitar mata, sehingga dapat menutupi seluruh bagian 
kepala/muka.
2.  Patologi
   Tidak ada lesi yang khas kecuali adanya jejas pada kulit.
3.  Diagnosa
   Diagnosa dapat ditetapkan berdasar  gejala klinis dan 
pemeriksaan kerokan kulit. Kerokan kulit diambil pada bagian sekitar lesi, 
dan kulit dikerok hingga sedikit berdarah. Hasil kerokan diletakkan pada 
kaca objek dan ditetesi KOH 10 %, lalu ditutup dengan kaca penutup. 
Setelah 15 menit, preparat lalu diamati di bawah mikroskop.
   Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara 
menggosok papula memakai ujung pena yang berisi tinta. Papula yang 
telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh 
menit, lalu tinta diusap/dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. 
Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk 
gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat 
tungau juga dapat dilihat memakai mineral oil atau fl ourescence 
tetracycline test.
   Kedua metode diagnosis di atas memiliki kekurangan khususnya 
pada kasus yang baru terinfestasi S.scabiei. Tungau akan sulit untuk diisolasi 
dari kerokan kulit dan gejala klinis yang ditunjukkan mempunyai persamaan 
dengan penyakit kulit lainnya. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan 
tehnik diagnosis berdasar  produksi antibodi. 
   berdasar  tehnik ELISA telah dikembangkan metode untuk 
mendeteksi antibodi S. scabiei pada babi dan anjing yang telah 
dikomersialisasikan di Eropa. Uji tersebut memakai antigen tungau 
yang diperoleh dari S.scabiei var suis  dan S.scabiei var vulpes. Akan tetapi 
beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya reaksi silang antara varian 
S.scabiei yang telah dibuktikan untuk mendeteksi antibodi scabies anjing 
dan domba memakai var. vulpes. Sejauh ini belum ada laporan yang 
mengevaluasi var. suis dan var . vulpes untuk mendiagnosis scabies pada 
manusia. Pengembangan uji var. hominis relatif sulit dilakukan karena 
terbatasnya jumlah tungau yang diperoleh dan kendala mengembangkan 
tungau secara in vitro.
4. Diagnosa Banding
Dermatitis yang dipicu oleh jamur, dan kadang sulit dibedakan dengan 
demodecosis tipe skuamosa (pada anjing).
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel kerokan kulit diambil dari hewan penderita. jika dapat segera 
diperiksa di laboratorium, maka dianjurkan untuk mengambil kerokan kulit 
tanpa bahan pengawet. Tetapi, jika sampel tidak dapat segera dikirim/
diperiksa di laboratorium, sebaiknya dikirim dengan bahan pengawet 
alkohol 70 % atau formalin 5 % .
pengobatan : 
1.  Pengobatan
   Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit 
(perendaman/dipping, disikat/brushing, penyemprotan/spraying), oral dan 
paranteral. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali dengan interval 
1-2 minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau.
   Obat yang dipakai secara langsung pada kulit antara lain larutan 
coumaphos 0,1 %, benzena hexa chloride (1 % larutan yang berisi serbuk BHC 
dengan kadar 0,625 %), emulasi benzyl benzoate 25 %, kombinasi benzyl 
berzoate dan BHC, phosmet 20 %, odylen 20 % (dimenthyl-diphenylene 
disulphide), lindane 20 %, amitraz 0,1 %, malathion, phoxim.
   Mengingat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka 
pengobatan agak sulit dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang 
sudah lanjut, keropeng yang tebal dapat menghambat penetrasi akarisida. 
Hasil yang baik baru diperoleh bila keropeng tersebut dibersihkan terlebih 
dahulu, namun hal ini kurang praktis di lapangan.
  Obat yang bersifat sistemik dan cukup ampuh yaitu  ivermectin, 
diberikan secara subkutan dengan dosis 200 mg/kg bb. Secara oral, ivermectin 
tablet diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg bb setiap hari selama 7 hari.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Tindakan Pelaporan 
Scabies termasuk penyakit yang wajib dilaporkan ke Institusi Pemerintah 
yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Staatsblaad No. 432 dan 
435 tahun 1912 yang masih berlaku hingga saat ini.
Disarankan agar peternak tidak mememperjualbelikan hewan yang 
diketahui menderita scabies, karena hal tersebut dapat mempercepat 
perluasan penyakit.
b.   Pencegahan
Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat 
ternak yang masuk ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas) 
agar disesuaikan dengan luas lahan/kandang yang tersedia, sehingga 
tidak terlalu padat.
c.    Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pengendalian yang terpenting yaitu  manajemen pengobatan 
dan penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap 
lalu lintas hewan penderita, baik klinis maupun subklinis. Di samping 
itu, perhatian juga harus ditujukan terhadap induk dan pejantannya. 
Pejantan yang menderita scabies dapat menulari induk, dan selanjutnya 
induk dapat menulari anaknya.
Tindakan pemberantasan scabies pada peternakan yang bersifat intensif 
(pada satu pemilik peternakan) akan mudah dilakukan, yang ditunjukkan 
oleh banyaknya laporan keberhasilan yang sangat memuaskan. 
Sebaliknya, tindakan pemberantasan pada suatu daerah dengan pola 
peternakan tradisional, hasilnya seringkali kurang memuaskan, karena 
infeksi ulang dapat kembali terjadi, sehubungan dengan kurangnya 
pengawasan terhadap lalu lintas ternak.
        Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Hewan penderita scabies dapat dipotong dan dagingnya dapat 
dikonsumsi, sesudah  bagian kulit yang rusak dibuang atau dimusnahkan 
dengan pembakaran.

SURRA
Sinonim : penyaklt Mubeng, Trypanosomiasis
  
Surra yaitu penyakit parasit yang menular pada hewan dan dipicu 
oleh protozoa berfl agella yang tersirkulasi dalam darah secara ekstraseluler 
yang bernama Trypanosoma evansi. Penyakit ini dapat bersifat akut maupun 
kronis, tergantung pada inangnya. Meskipun tidak dipertimbangkan sebagai 
penyakit zoonosis, tetapi kasus Surra pada manusia pernah dilaporkan pada 
tahun 2004 yang menyerang peternak sapi di desa Seoni-Taluka Sindevahi, 
Distrik Chandrapur, Maharashtra – India Tengah. Protozoa ini ditemukan pertama 
kali oleh Griffi th Evans pada tahun 1880 di India, sehingga namanya diabadikan 
sebagai nama spesies agen pemicu Surra, Trypanosoma evansi.
Pada mulanya penyakit ini ditemukan pada kuda, unta dan bagal, tetapi ternyata 
hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap Surra meskipun derajat 
kerentaannya tidak sama. Kuda, unta dan anjing yaitu hewan yang paling 
rentan. Adapun ruminansia kurang rentan. 
Di negara kita , penyakit ini lebih sering menyerang kuda, sapi, kerbau, babi, dan 
anjing. Tingkat infestasi T.evansi bervariasi tergantung pada lokasi dan spesies 
inangnya. Prevalensi kejadian Trypanosomiasis pada kerbau di Sumatra, Jawa, 
Kalimantan Selatan, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara berkisar 
antara 5,8-7 %. Penyakit ini disebarkan lalat penghisap darah seperti Tabanus 
sp, Chrysops sp. dan Haematopota sp. Surra yaitu penyakit endemik 
yang telah menyebar di seluruh wilayah di negara kita . Dibandingkan dengan 
sapi, kerbau diduga lebih rentan terhadap penyakit surra. Kerbau menunjukkan 
parasitemia yang lebih lama dan lebih tinggi, sehingga kerbau diduga berperan 
sebagi sumber penularan yang potensial bagi ternak lain. Penyakit surra bersifat 
asimptomatis sehingga sering diketahui sesudah  infeksi berjalan kronis.
Kerugian ekonomi berupa pertumbuhan tubuh yang lambat, penurunan produksi 
susu, hewan tidak mampu dipekerjakan optimal di sawah, penurunan kesuburan, 
dan aborsi.  Adapun kerugian ekonomi di benua Asia dilaporkan US $ 1,3 milyar 
dan dalam skala nasional diperkirakan mencapai US $ 22,4 juta per tahun 
(1998). Laporan terbaru menunjukkan bahwa hasil analisis kerugian ekonomi 
berdasar  jumlah ternak yang mati akibat Surra di delapan kecamatan daerah 
Waingapu Sumba Timur dari Januari – Juni 2012 mencapai Rp. 1.416.500.000 
dan jika tidak dilakukan tindakan pencegahan dini diperkirakan mencapai 
Rp. 167.224.000.000. Analisis ini belum memperhitungkan biaya paramedik, 
pengobatan, pencegahan pada ternak termasuk biaya pengendalian vektor, 
sehingga kerugian eknomi dalam delapan kecamatan tersebut dapat melebihi 
dari hasil hitungan diatas. 
etiologi 
Penyakit surra dipicu oleh Trypanosoma evansi. Protozoa ini yaitu 
fl agellata dari subfi lum sarcomastigophora, super kelas mastigophorasica, kelas 
zoomastigophorasida, ordo kinetoplastorida, familia trypanosomatidae, dan 
genus Trypanosoma. Bentuk tubuhnya seperti kumparan dengan salah satu 
ujung lancip dan ujung yang lain sedikit tumpul. Kebanyakan tubuhnya langsing 
tetapi ada pula yang berbentuk buntak dan berbentuk tanggung (intermediate). 
T.evansi berukuran panjang antara 11,7-33,3 µm (rata -rata 24 µm) dan lebar 
antara 1,0-2,5 µm (rata-rata 1,5 µm)
Kira-kira di tengah tubuh ada inti yang bulat atau sedikit oval. Di dekat ujung 
tumpul ada 2 buah benda, yaitu blepharoplast (benda basal) dan benda para 
basal. Kedua benda tersebut dihubungkan dengan serabut halus sehingga terjadi 
bentuk yang sering disebut kinetoplast. Bentuk kinetoplast dijumpai terutama 
sesudah  pengobatan. Dari benda basal muncul serabut yang disebut axonema 
yang melanjutkan sebagai benang cambuk (fl agella). Benang cambuk ini terikat 
dengan tubuh oleh selaput beralun (membrana undulans) dan akan melanjutkan 
diri ke depan sebagai fl agellum bebas.
Gambar 1. Trypanosoma evansi dalam ulasan darah
(Sumber : http://mindanaosurra.blogspot.com/2008/07/trypanosoma-evansi-
agent-of-surra.html
Sifat Alami Agen
Trypanosoma evansi berada didalam sirkulasi darah secara ekstraseluler. 
Protozoa ini berkembang didalam tubuh inang dengan cara mengambil asupan 
glukosa darah. Disamping itu, aktivitas T.evansi pada darah memicu peningkatan 
asam susu dan trypanotoksin. 
berdasar  derajat patogenitasnya, T.evansi di negara kita  dapat digolongkan 
menjadi tiga kelompok, yaitu high pathogen (ganas), moderate (sedang) dan low 
pathogen (rendah). Isolat yang ganas mampu membunuh hewan coba (mencit) 
dalam waktu 4-7 hari, sedangkan hewan cobat yang diinfestasi dengan isolat yang 
mempunyai patogenitas rendah mampu bertahan hidup lebih dari dua minggu 
hingga sebulan. Secara molekuler, T.evansi dapat dikelompokkan menjadi type 
A yang mengekpresikan gen Ro Tat dan type B (no Ro Tat).
epidemiologi 
1.  Spesies Rentan
berdasar  penelitian yang pernah dilakukan, hampir semua hewan 
berdarah panas rentan terhadap penyakit surra, kecuali hewan sebangsa 
burung. Derajat kerentanan hewan tergantung pada spesiesnya. Hanya 
hewan yang berkuku satu yang paling tinggi derajat kerentanannya, dengan 
mortalitas mencapai 100%. Unta, kuda, dan anjing yaitu  hewan yang paling 
rentan terhadap T.evansi. Adapun mencit, tikus, marmut dan kelinci dapat 
dipakai sebagai hewan percobaan di laboratorium. Mencit yaitu  hewan 
yang dipakai sebagai gold stardar untuk mendiagnosis penyakit surra. 
Hewan ruminansia kurang rentan.
2.  Pengaruh Lingkungan
   Penyebaran dan peningkatan kasus surra terkait dengan populasi 
vektor lalat. Kondisi lingkungan yang sesuai dengan perkembangan vektor, 
seperti kelembaban yang tinggi dan suhu yang ideal bagi pertumbuhan lalat 
akan menjadi salah satu faktor penentu meningkatnya kasus surra jika 
tidak diikuti dengan pengobatan yang cepat dan efektif.
3.  Sifat Penyakit
   Protoza T.evansi memiliki membran protein yang tebal pada 
permukaannya (Variant Surface Glicoprotein=VSG) dan bersifat imunogenik. 
Selama terjadinya infestasi, T.evansi mampu mengekspresikan beberapa 
VSG yang berbeda-beda secara imunologi, sehingga mampu menghindar 
dari respon imun inangnya. Adanya mekanisme unik ini memungkinkan 
T.evansi mampu bertahan ditubuh inangnya selama bertahun-tahun. 
Disamping itu, protoza ini mempunyai karakteristik mampu menghilang dari 
sirkulasi darah dan bersembunyi dalam kelenjar limfe dalam waktu tertentu 
(relapse). Kondisi ini yang membuat diagnosa menjadi keliru karena hewan 
dianggap telah sembuh dari serangan penyakit surra.
4.  Cara Penularan
   Penularan penyakit surra melalui vektor lalat pengisap darah yang 
termasuk golongan Tabanidae. Cara penularannya secara mekanik murni, 
artinya trypanosoma tidak mengalami siklus hidup dalam lalat tersebut.
   Di samping lalat tabanus, ada lalat penghisap darah lain yang 
mampu menularkan penyakit surra, antara lain Chrysops sp, Stomoxys 
sp, Heamatopota sp, Lyperosia sp, Haematobia sp. Selain itu, arthropoda 
lain seperti Anopheles, Musca, pinjal, kutu dan caplak dapat pula bertindak 
sebagai vektor. Hewan yang mengandung parasit tanpa menunjukkan gejala 
sakit yaitu sumber penyakit. 
5.  Distribusi Penyakit
   Penyakit Surra terdistribusi luas hampir di seluruh dunia. Di 
negara kita , penyakit ini pertama kali ditemukan pada seekor kuda di Semarang 
pada tahun 1897. Namun, diduga penyakit surra sudah ada sebelumnya di 
negara kita , hal ini berdasar  adanya laporan tentang banyaknya kematian 
hewan dengan gejala yang sama dengan gejala penyakit surra, yang terjadi 
di Banten (1886-1888 dan 1893) di Tegal dan Cirebon (1886-1888), serta di 
pulau Roti (1894-1896).
  
   Setelah penyakit ini ditemukan di negara kita  pada tahun 1897, 
lalu di beberapa daerah lain juga diketahui adanya kasus penyakit 
surra. Sampai tahun 1957 penyakit surra telah diketahui menyebar di wilayah 
negara kita . kecuali Bali, Sumba, Flores, Maluku dan Papua. Pada tahun 1974 
hanya Maluku dan Papua saja yang masih belum dilaporkan adanya kasus 
penyakit surra.
   Kasus penyakit surra umumnya terjadi secara sporadik, tetapi ter-
kadang dapat juga yaitu wabah yang memicu  banyak kematian. 
Wabah di Tegal tahun 1898 memicu kematian 500 ekor kerbau dari 
populasi 7.000 ekor yang ada. lalu wabah di Pasuruan, memicu 
banyak kematian pada sapi pada tahun 1900-1901. Setelah hampir 70, tahun 
tidak terdengar adanya wabah surra, pada tahun 1969/1970 terjadi wabah 
di Jawa Tengah yang memicu kematian pada lebih dari 40.000 ekor 
ternak.
   Pada tahun 1975, dilaporkan pula adanya kasus tyrpanosomiasis 
pada kambing, yaitu di Lampung, sedangkan di Sulawesi Tenggara terjadi 
Surra pada kambing di tahun 1976. Selanjutnya pada tahun 1988, kembali 
terjadi wabah Surra di Kabupaten Bangkalan – Madura yang menyerang 
kuda, sapi dan kerbau. 
   Adanya kebijakan memasukkan Surra ke dalam penyakit hewan 
menular strategis (PHMS), mampu menekan kejadian Surra di lapang. 
Namun, saat  penyakit ini dicabut dari daftar tersebut, wabah kembali terjadi 
bahkan telah mengintroduksi daerah-daerah yang sebelumnya dinyatakan 
bebas Surra seperti Pulau Sumba dan Papua.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
a.   Pada Kuda
        Masa inkubasi 4-13 hari diikuti demam (temperatur lebih dari 39°C). 
Hewan nampak lesu dan lemah. Mula-mula selera makan menurun 
lalu pulih kembali. Kepincangan sering terjadi pada kaki belakang, 
bahkan tidak jarang mengalami kelumpuhan pada tubuh bagian 
belakang.
    
        Selaput lendir mata hiperemia disertai bintik-bintik darah (ptechiae), 
lalu berubah anemis berwarna kuning sampai pucat. Kadang-
kadang ditemukan adanya keratitis. Limfl ogandula submaxillaris bengkak 
dan jika diraba terasa panas dan hewan merasa sakit. Kadang-
kadang terjadi urticaria tanda oedema dimulai pada bagian bawah perut 
menyebar kearah bagian pada dada, alat kelamin (busung papan) dan 
turun ke kaki belakang. Pada kuda jantan diikuti pembengkakan buah 
zakar, kadang-kadang terjadi pembengkakan pada penis. Pada kuda 
bunting dapat mengalami keguguran. Gejala klinis demikian juga dapat 
ditampakkan pada infeksi oleh T. Equiperdum ataupun infeksi bakterial.
Dalam waktu yang cepat (kurang dari 2 minggu) kuda mengalami cahexia 
dan kelemahan yang hebat diikuti roboh dan mati. Pada kasus-kasus 
tertentu terlihat gejala syaraf (mubeng/berputar di tempat) sebelum 
robuh dan mati. Ini terjadi karena Trypanosoma telah masuk ke dalam 
otak.  
         
b.    Pada Sapi dan Kerbau
         Setelah melewati masa inkubasi biasanya timbul gejala-gejala umum 
seperti temperatur naik, lesu, letih dan nafsu makan terganggu.
        Biasanya hewan dapat mengatasi keadaan demikian meskipun dalam 
darahnya mengandung protozoa (Trypanosoma spp) tersebut selama 
bertahun-tahun. jika karena sesuatu sebab hewan tersebut menjadi 
sakit, gejal-gejala yang nampak yaitu  demam selang seling, anemia, 
semakin kurus, oedema di bawah dagu dan anggota gerak dan serta 
bulu ronto dan selaput lendir menguning.
        Mula-mula cermin hidung kering lalu keluar cairan dari hidung dan 
mata. Kadang-kadang kerbau terlihat makan tanah
jika Trypanosoma sudah masuk dalam cairan cerebrospinal, hewan 
menunjukkan gejala syaraf sebagai berikut : hewan berjalan tidak tegap 
(sempoyongan), berputar-putar, kejang, gerak paksa, kaku sebelum 
mati.
2.   Patologi 
    jika penyakit berjalan akut, hewan yang mati karena surra 
tidak menunjukkan perubahan anatomi yang nyata. Hewan mati pada 
umumnya dalam kondisi masih baik. Namun, pada anjing dan kucing terjadi 
kebengkakan limpa dan kelenjar limpa.
    Hewan yang mati akibat surra yang kronis, meskipun tidak ada 
perubahan yang menciri, namun biasanya terlihat adanya perubahan seperti 
keadaan tubuh sangat kurus, anemia, busung seperti gelatin di bawah kulit, 
ada cairan serosa pada rongga perut dan pericardium, serta ptechie 
pada selaput lendir dan selaput serosa, dan sering kali ada luka di lidah 
dan lambung. Pada kuda terjadi pembengkakan ginjal dengan warna kuning 
kecoklatan.
3.   Diagnosa 
Pemeriksaan mikroskopik secara langsung
a.  Pemeriksaan preparat ulas darah natif
        Darah perifer diambil dari vena auricularis ataupun vena coccigea. 
Darah sebanyak 2-3 µl diteteskan pada kaca obyek dan ditutup dengan 
kaca penutup. Kaca obyek tersebut lalu diamati di bawah mikroskop 
cahaya dengan perbesaran 200x400 kali. 
b.  Pemeriksaan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa
Teteskan 10 µl darah pada kaca obyek dan diratakan. Preparat ulas 
darah dibiarkan hingga mengering (sekitar 1 jam).  Preparat lalu 
diwarnai dengan pewarnaan Giemsa (1 tetes giemsa komersial + PBS 
pH 7,2) selama 25 menit.
c.  Pemeriksaan biopsi cairan limfa dan edema
Biopsi cairan limfa dapat dilakukan pada limfonglandula prescapular 
atau limfoglandula precrural. Cairan limfa tersebut lalu diamati di 
bawah mikroskop.
Metoda konsentrasi
    Jumlah parasit yang menginfeksi inang dapat bersifat sub-klinis atau 
karier, sehingga tidak ada banyak parasit di dalam darah. Hal tersebut 
membuat pengamatan mikroskopis sulit dilakukan. Metoda konsentrasi 
dapat dipakai untuk mendeteksi keberadaan T.evansi, meskipun dalam 
jumlah yang sedikit. Metoda konsentrasi tersebut dapat dilakukan dengan 
pengujian HMCT (Haematocrit Centrifugation Technique), Murray test 
atau BCM (Buffy Coat Method), dan mini-anion exchange centrifugation 
technique.
Inokulasi pada hewan percobaan
    Trypanosoma evansi dapat menginfestasi rodensia, seperti tikus 
dan mencit. Infestasi dilakukan dengan cara inokulasi, yaitu tikus atau 
mencit diinjeksi dengan sampel darah secara intraperitoneal. Konsentrasi 
yang diinokulasikan yaitu  1-2 ml pada tikus dan 0,25-0,5 ml pada mencit. 
Setelah 48 jam, darah mencit atau tikus dikoleksi dengan cara potong ekor, 
lalu diamati di bawah mikroskop.
Deteksi DNA Trypanosoma
    Deteksi DNA Trypanosoma dapat dilakukan dengan metode DNA 
probes, antigen detection, dan PCR.
Uji Serologi
    Secara serologi, deteksi T.evansi dapat dilakukan dengan metoda 
ELISA, IFAT, CAT (Card Agglutination Tests), dan Immune Trypanolysis 
Tests.
4.   Diagnosa banding
Kuda : 
    African horse sickness, equine viral arteritis, equine viral anemia, 
dourine. infestasi larva cacing Strongylus vulgaris.
Ternak ruminansia : 
    Babesiosis, anaplasmosis, theileriasis, malnutrisi, haemorhagic 
septicaemia, edema di bawah dagu pada penyakit ingusan (coryza 
gangraenosa bovum).
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen atau sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat dikirimkan 
berupa :
a.   Sediaan ulas darah tipis/tebal yang sudah difi ksasi dengan methanol 
absolut, 
b.    Darah berisi anti koagulan, dan 
c.     Serum dalam termos berisi es.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
   Belum ada vaksin yang diproduksi untuk mencegah penyakit 
surra, sedangkan obat surra yang direkomendasikan yaitu  suramin, 
isometamidium klorida, dan diminizena aceturate. Meskipun suramin 
diketahui paling efektif untuk mengobati trypanosomiasis, tetapi sediaan ini 
tidak dijumpai di negara kita .
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Pelaporan
Bagi para petugas yang menemukan panyakit surra pada semua ternak 
diwajibkan :
(1)  Memberi laporan kejadian kasus penyakit surra beserta tindakan 
yang telah dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat, dengan 
tembusan kepada Dinas Peternakan atasannya.
(2)  jika dipandang perlu, dapat menyarankan kepada Kepala 
Pemerintahan untuk mengeluarkan surat keputusan tentang 
penutupan daerah pembatasan lalulintas ternak/hewan di dalam 
wilayahnya. 
(3)  Melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan 
yang berlaku dan melaporkannya kepada atasan.
b.   Pencegahan
Pencegahan melalui vaksinasi sampai saat ini belum dapat dilakukan.
Tindakan pencegahan lainnya yang dapat dilaksanakan sesuai dengan 
peraturan yang berlaku yaitu  :
(1)  Pengeringan tanah dan penertiban pembuangan kotoran yang 
yaitu tempat berkembang biaknya lalat. 
(2)  Penyemprotan hewan/kandang dengan Asuntol atau insektisida lain 
yang sama khasiatnya.
c.   Pengendalian dan Pemberantasan
(1)   Pengendalian berdasar  legislasi
a) Ternak yang menderita surra atau tersangka sakit diisolasi 
sehingga terlindung dari lalat (dengan penutupan kandang dan 
penggunaan insektisida) dan tidak dapat berhubungan dengan 
ternak lain.
b) Bilamana penyakit surra ditemukan lebih dalam satu halaman 
dari suatu kampung atau desa, maka ternak yang sakit atau 
tersangka sakit pada wilayah tersebut, harus diasingkan sejak 
fajar sampai matahari terbenam, kecuali jika pada ternak tersebut 
telah dilakukan tindakan pencegahan.
c) Pada pintu masuk halaman kampung atau desa yang ada 
ternak sakit atau tersangka sakit, harus dipasang papan yang 
menyatakan adanya Penyakit Hewan Menular Surra, disertai 
dengan bahasa daerah setempat.
d) Ternak sebagaimana tersebut pada butir 1 dan 2, sepanjang tidak 
memperlihatkan gejala sakit dapat digunakankan/dipekerjakan 
dalam kegiatan pertanian dan pengangkutan. Namun selama 
dipekerjakan ternak tersebut harus terlindung dari lalat.
e)  Pada malam hari ternak dapat dilepaskan di padang 
penggembalaan dan dimandikan.
f)   jika pada beberapa desa dalam suatu daerah terinfeksi surra, 
maka pada daerah tersebut diberlakukan larangan pemasukan 
dan pengeluaran ternak, serta penyelenggaraan pasar hewan 
dan penggembalaan ternak pada siang hari. Ternak yang 
melintas di daerah tersebut dapat di ijinkan dengan jaminan 
bahwa temak tersebut telah terlindung dari lalat.
g) Setelah ternak yang sakit sembuh, maka dokter hewan yang 
berwenang dapat menerbitkan surat keterangan dan ternak 
yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tindakan isolasi 
h)  Penyakit dapat dianggap telah lenyap dari suatu daerah sesudah  
lewat 3 (tiga) bulan sejak kematian atau sembuhnya ternak yang 
sakit terakhir.
i)   Semua ternak yang mati karena surra harus dibakar atau 
dikubur.
j)   Diagnosa, tindakan pencegahan dan pengobatan dalam 
pemberantasan penyakit Surra termasuk vektornya harus 
mengikuti petunjuk Diretur Jenderal Peternakan dan Kesehatan 
Hewan.
(2)  Pengendalian melalui inang
a)  Pada daerah wabah Surra
1)  Semua hewan yang peka terhadap surra diperiksa darahnya, 
lalu dikelompokkan sesuai dengan hasil pemeriksaan, 
yaitu :
− Hewan dengan gejala saraf dibunuh.
− Hewan-hewan positif diobati.
− Hewan tersangka yang negatif, diambil darahnya untuk 
percobaan biologik.
2)  Pemasukan dan pengeluaran ternak yang rentan ke dan 
dari daerah ini dilarang
b)  Pada daerah sekitar wabah Surra
1)  Hewan tersangka diperiksa darahnya, lalu dikelompok 
kan sesuai dengan hasil  pemeriksaan, yaitu :
− Hewan positif diobati.
− Hewan negatif diambil darahnya untuk percobaan 
biologik. 
2)  Wajib lapor jika ada hewan yang mati atau sakit. 
c)  Pada daerah surra
1)  Hewan tersangka dliperiksa darahnya, lalu 
dikelompokkan sesuai dengan hasil pemeriksaan, yaitu :
− Hewan positif diobati.
− Hewan negatif diambil darahnya untuk pemeriksaan 
biologik. 
2)  Wajib lapor jika ada hewan yang mati atau sakit. 
(3)  Pengendalian melalui vektor
 
Insektisida sebagai bahan untuk pemberantasan terhadap vektor.

THEILERIASIS
  
Theilerisosis yaitu  penyakit hewan yang dipicu oleh protozoa Theileria 
sp. yang bersirkulasi dalam darah secara intraseluler. Penyakit ini menginfeksi 
sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Theileriasis juga dikenal 
sebagai tick borne disease dan memicu kerugian ternak cukup besar, 
terutama peternakan didaerah sub tropis dan tropis, akibat penurunan berat badan, 
terlambatnya proses pencapaian target berat badan, penurunan produksi dalam 
satu generasi/keturunan, penurunan kualitas daging, pembuangan darikematian 
atau pengafkiran karkas atau organ, penurunan produksi susu, kerusakan dan 
kulit.Morbiditas dan mortalitas penyakit ini bervariasi tergantung dari jenis inang 
yang terinfeksi, galur patogenitas parasit dan dosis infeksi.Mortalitas pada ternak 
persilangan yang diintroduksikan pada daerah endemic Theileriasis tropis dapat 
mencapai 40-90%.
etiologi 
Penyebab theileriasis yaitu  protozoa darah dari genus Theileria yang tergolong 
protozoa dalam Filum Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo 
Piroplasmida dan Famili Theileriidae.Klasifi kasi spesies Theileria didasarkan pada 
morfologi piroplasma, morfologi skizon, sifat serologis, uji kekebalan silang, induk 
semang utama, sifat patogenitas dan uji biologis. ada enam spesies yang 
menyerang sapi, yaitu T.parva, T.annulata, T.mutans, T.sergenti, T.taurotragi dan 
T.velifera, namun hanya dua spesies yang bersifat patogen dan memicu 
kerugian ekonomis, yaitu T.parva dan T.annulata. Spesies yang lainnya bersifat 
tenang (benign). berdasar  perbedaan sindrom dan daya infeksinya, T.parva 
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu T.parva parva (T.parva), T.parva lawrencei 
(T.lawrencei) dan T.parva bovis (T.bovis). Ketiga spesies ini terdistribusi di 
sekitar 13 negara di Sub-Saharan Afrika dan memicu  penyakitEast 
Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease. Adapun T.annulata 
dikenal sebagai pemicu Tropical Theileriasis atau Mediterranean theileripsis 
yangterjadi di PesisirMediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian 
utara dan Eropa Selatan,Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China 
dan Asia Tengah.

  
T.taurotragi dan T.mutans dilaporkan tidak memicu sakit atau manifestasi 
klinis yang ditimbulkan tergolong ringan, sedangkan T.velifera bersifat non 
patogenik. Ketiga spesies ini banyak ditemukan banyak ditemukan terutama di 
Afrika. Spesies lain yang terdistribusi di seluruh dunia yaitu  T.orientalis, T.buffeli 
dan T.sergenti. Theileria orientalis termasuk spesies yang patogen, karena mampu 
memicu anemia kronis yang progresif. berdasar  derajat patogenitas, 
proporsi piroplasma, kandungan protein dan sifat serologisnya, T.orientalis mirip 
dengan T.buffeli sehingga diduga sebagai satu spesies yang sama, sedangkan 
T.sargenti yaitu spesies yang berbeda. Spesies penting lainnya yaitu  
T.annulata dan T.parva bersifat lymphoproliferative dengan mortalitas serta 
morbiditas yang tinggi. 
epidemiologi 
1.  Siklus hidup
   Sporozoit yaitu  bentuk infektif yang dikeluarkan melalui kelenjar 
ludah vektor dan dipenetrasikan ke dalam tubuh inang melalui gigitan. 
Selanjutnya, sporozoit  inimasuk ke sistem limfe menuju ke jaringan limfoid, 
terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkemban 
membentuk badan berinti yang disebut Skizon (Koch’s body) dan berada 
dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit. Bentukan ini terus bergerak 
masuk kedalam eritrosit dan terjadi binary fi ssion di dalam eritrosit. Beberapa 
merozoitmemasuki eritrosit lain, membentuk tahap  spherical atau ovoid 
(gamon). Melaluiisapan darah, gamon masuk ke intestinal nimfa caplak dan 
membentuk mikrogamon.Mikrogamonmemiliki 4 inti dan membelah menjadi 
mikrogamet  yang memiliki 1 inti lalu bergabungdengan makrogamet 
membentuk zigot. 
  Perkembangan selanjutnya yaitu  zigot membentuk kinet yang 
motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak.
Kinetmenjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami 
rontok (moult) dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma 
sel kelenjar ludah. Lalu kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan 
mengalami pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang 
dan dalam sel inanggiant, sporon membentuk ribuan sporozoit. lalu 
disebarkan melalui isapan darah.
2.  Patogenitas 
   Infestasi pada inang diawali dengan masuknya sporozoit sampai 
terdeteksinya prioplasma yang menginfestasi eritrosit, sedangkan pada vektor 
dimulai dari larva menghisap darah terinfestasi piroplasma berubah menjadi 
mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam usus, sampai 
ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah vektor.
  Infeksi pada Inang
  Mekanisme infeksi Theileria sp. dalam tubuh inang diawali dengan 
tahap skizogoni yang berlangsung di leukosit (limfosit) dan berakhir dengan 
bentuk piroplasmayang menginfeksi eritrosit. Sporozoit diinfeksikan oleh caplak 
melalui gigitan ke inang dan selanjutnya menginfeksi leukosit.Secar umum, 
sel leukosit yang diinfeksi yaitu  limfosit sel-T, namun pada T.parva lebih 
banyak menginfeksi sel-T dan sel-B sedangkan untuk T.annulata lebih banyak 
menginfeksi sel monosit dan sel-B. Setelah kontak dengan limfosit, sporozoit 
segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan ligand 
di permukaannya ke reseptor pada permukaan monosit. Sporozoit segera 
melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit 
terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang 
di dalam sitoplasma. Di dalam limfosit, sporozoit membesar dan intinya 
membelah berulang-ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut 
makroskizonagamon atau Koch’s blue bodies. Bentukan ini melekat pada 
mikrotubuli sel limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis, 
sehingga makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak .Selain itu, 
selama terinfeksi oleh makroskizon, limfosit terangsang secara aktif untuk 
mengekskresikan bahan autokrin yang berfungsi menggertak interleukin-
2 (IL-2), sehingga selama terinfeksi limfosit mengalami perubahan bentuk 
dan berproliferasi dengan hebat. Selama memperbanyak diri, makroskizon 
juga melepaskan makromerozoit untuk menyerang monosit baru, lalu 
makromerozoit berubah menjadi makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke 
seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di dalam eritrosit ditemukan makroskizon 
yang akan menghasilkan mikromerozoit, lalu bentukan ini menginfeksi 
eritrosit dan berubah menjadi piroplasma yang infektif untuk menulari caplak 
yang lain.
  Infeksi pada vektor
  Infeksi piroplasma pada caplak terjadi saat  stadium larva menghisap 
darah inang terinfeksi, dan sesudah  abdomen penuh dengan darah, larva akan 
jatuh ke tanah. Dalam waktu 10 jam, pada intestinal larva telah ditemukan 
bentukan merozoit baik di dalam maupun di luar eritrosit. lalu sebagian 
besar eritrosit hancur dalam waktu 24 jam, dan di dalam intestinal nimfa 
ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma 
dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 μm. Selanjutnya, 
merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin yang berukuran 
1-2 μm, dengan sitoplasma bersifat basofi lik dalam waktu sekitar 24-48 jam. 
Perkembangan berikutnya yaitu  berubahnya bentukan cincin menjadi 
makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan lonjong berukuran 3-4 μm dengan 
inti bersifat eosinofi lik dan sitoplasmanya basofi lik dalam waktu 48-72 jam. 
Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet, yaitu 
bentukan seperti kumparan yang berukuran panjang 5 μm. Setelah 3 sampai 5 
hari sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk 
bundar dan lonjong, dengan ukuran 4-5 μm dan sitoplasmanya berwarna biru 
terang. Pada hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai 
berkurang dan pada hari ke-8 semua zigot lenyap dari intestinal. Pada hari ke-
9 di dalam epitel usus nimfa ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran 
4-5 μm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap. Kemudian, pada hari ke-13, 
protozoa bundar membentuk kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma 
epitel usus.Kinet terbentuk segera terlihatnya bentuk zigot dan pada hari ke-
50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa.
3.  Sifat Alami Agen
   Protoza ini menginfeksi sel-sel limfosit dan eritrosit. Limfosit, sel-sel 
endotel kelenjar Limfe, histiosit dan eritroblast yaitu  tempat merogoni dengan 
perbanyakan Skizogoni yang paling aktif. jika dilakukan pewarnaan 
Giemza atau Romanovsky, maka akan nampak Skizon kalau diwarnai 
dengan pewarnaan Giemza atau Romanowsky, nampak sitoplasmanya 
berwarna biru dan didalamnya ditemukan beberapa butir kromatin yang 
besar dan tidak teratur berwarna merah disebut Makroskizon Agamon atau 
”Koch’s Blue Bodies”.
4.  Spesies Rentan
Hewan sapi dan kerbau dilaporkan rentan terhadap infestasi T.orientalis. Sapi 
bangsa Bos taurus juga lebih peka dibandingkan dengan sapi persilangan 
Bos taurus x Bos indicus. Di daerah endemik, pedet lebih peka dibandingkan  sapi 
dewasa, namun prevalensinya lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi 
pada sapi dewasa.
5.  Pengaruh Lingkungan
   Faktor lingkungan seperti iklim dan kelembaban yang tinggi 
memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit ini, karena memicu 
berkembangnya vektor. Di daerah sub-tropis, populasi caplak dewasa 
meningkat pada musim panas dan musim semi, sedangkan populasi larva 
dan nimfa meningkat pada musim gugur. Adapun di daerah tropis, populasi 
caplak mulai meningkat pada akhir musim panas dan puncaknya pada saat 
curah hujan tinggi. Keberadaan caplak ini, berkaitan erat dengan tingginya 
kasus theileriasis pada suatu daerah.
  
6.  Sifat Penyakit
   Penyakit ini dapat bersifat akut dan kronis, tergantung dari agen 
protozoa yang menginfeksi inang.
7.  Cara Penularan
   Theileriasis secara alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara 
stage to stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak 
dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan). Jenis 
caplak yang berperan sebagai vektor T.orientalis, T.sergenti dan T.buffeli 
yaitu  Haemaphysalis sp. Galur caplak disetiaplokasi dapat berbeda 
kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. Misalnya H.longcornis di 
Australia hanya dapat menularkan T.sergenti tetapi tidakmenularkan T.buffeli, 
sebaliknya H.longcornis di Jepang dapat menularkan kedua spesies tersebut. 
Di Malaysia, umumnya T.orientalis ditularkan oleh Boophilus microplus dan 
H.bispinosa (jarang). Vektor yang menularkan T.parva ke indung semang 
di daerah Afrika Selatan yaitu  R.appendiculatus dan R.zembeziensis 
sedangkan T.annulata ditularkan melalui caplak genus Hyalomma.
8.  Faktor Predisposisi
   Jenis inang yang terinfeksi dan perbedaan galur patogenitas 
parasit.
9.  Distribusi penyakit
a.   Kejadian di negara kita 
        Kasus theileriasis pertama kali dilaporkan pada tahun 1912 di 
Pulau Jawa. Prevalensi Theileria sp. pada sapi di negara kita  masih belum 
banyak diketahui. Awal terdeteksi, pemicu Theileriasis di negara kita  
diidentifkasi sebagai T.mutans. Namun sesudah  dilakukan re-identifi kasi 
berdasar  identifi kasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect 
Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen pemicu theileriasis pada 
sapi di negara kita  ditetapkan T.orientalis. Prevalensi T.orientalis pada 
sapi dilaporkan sebesar 30,8% (178/578) dengan tingkat parasitemia ≤ 
1% pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Pemeriksaan spesimen 
pada 10 kabupaten di Medan-Sumatera Utara, kejadian theileriasis 
dilaporkan sebesar 1,3% (4/307) lebih rendah dibandingkan prevalensi 
Aceh yaitu sebesar 4,3%(10/231). Namun demikian, kejadian theileriasis 
di Sumatera Utara meningkat menjadi sebesar 3,8% (7/185) sedangkan 
di Propinsi Aceh menurun menjadi 0,4% (1/251). Prevalensi rata-rata 
T.orientalis pada sapi perah FriesianHolstein (FH) laktasi di Kabupaten 
Bogor dan Cianjur yaitu  (77/247) 31,2%. Laporan lain menyebutkan 
bahwa prevalensi di beberapa lokasi Instalasi Karantina Hewan 
Sementara (IKHS) antara lain Teluk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109 
(46,8%), Lebak 43/100 (43%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%).
b.   Distribusi geografi s
        Parasit ini terdistribusidi seluruh dunia, umumnya mengancam 
produksi peternakan.
D.  PENGENALAN PEYAKIT
1.  Gejala Klinis dan patologi
 
   Hewan yang terserang theileriasis akan mengalami kelemahan, 
berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa 
konjunctiva, pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada 
stadium lanjutmemicu hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah 
normal (T<38,5oC), ikterus, dehidrasi, dan ada kalanya darah ditemukan di 
feses. Peningkatan makroskizon, mikroskizon dan piroplasma memicu 
terjadinya anemia yang hebat. Keadaan stres akan memincu terjadinya 
peningkatan parasitemia yang diikuti oleh anemia akut, dengan ditandai 
turunnya nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit. Theileriasis dapat 
memicu anemia normositik, lalu berubah menjadi makrositik, 
yang diikuti dengan menurunnya jumlah limfosit dan meningkatnya jumlah 
monosit.Infestasi parasite ini dilaporkan memicu panleukemia, yang 
terdiri dari neutropenia,limfopenia dan eosinopenia.
   Tingkat parasitosis theilerioasis dapat diklasifi kasikan menjadi 3 
kategori, yaitu tingkat ringan (mild reaction) yaitu  bila skizon ditemukan 
satu dalam satu lapang pandang (parasitosis <1%), tingkat yang lebih berat 
(severe reaction) yaitu bila ditemukan skizon 50% atau lebih dari total eritrosit 
yang diperiksa (parasitosis 1-5%), sedangkan tingkat yang berat sekali 
(very severe reaction) yaitu skizon ditemukan pada semua lapang pandang 
(parasitosisnya >5%).
Perubahan terjadi pada kelenjar limfe, yaitu mengalami pembengkakan dan 
hiperemik. Hati juga mengalami pembesaran dan degenerasi. Odema terjadi 
pada paru dengan ulcer di abomasum. Ginjal mengalami infark sedangkan 
limpa pada kasus yang akut terjadi pembesaran dan rapuh.
2.  Diagnosa
   Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopik 
sediaan darah tipis dan darah tebal.
3.  Diagnosa banding
   Anaplasmosis, Babesiosis dan Salmonellosis. Namun demikian, 
adanya  pembengkakan kelenjar limfe superfi cial dan ditemukan benda-
benda Koch yaitu tanda spesifi k yang membedakan theileriasis dari 
penyakit lainnya. Penyakit lain yang memiliki gejela mirip dengan theileriasis 
antara lain heartwater, haemorrhagic septicemia, trypanosomiasis, Rift Valley 
fever dan malignant catarrhal fever.
pengobatan : 
1.  Pengobatan dan vaksinasi
   Vaksin theileiria pernah dikembangkan dari piroplasma hidup yang berada 
didalam sel darah merah, tetapi vaksin ini tidak lagi dianjurkan karena 
berpotensi untuk menyebarkan theileriasis lebih luas.Saat ini, dua kandidat 
vaksin sedang dikembangkan, yaitu vaksin rekombinan protein p32 dan 
peptida sintetik yang mengandung Lys ± Glu ± Lys (KEK). Keduanya mampu 
menghasilkan status parasitemia yang rendah dan menurunkan keparahan 
gejala klinis.
  Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh waktu pemberiannya 
yaitu pada awal munculnya gejala klinis. Umumnya metode pencegahan 
theileriasis yaitu  memberi perlakuan terhadap hewan yang peka. Preparat 
theilericidal sepertiparvaquone dan turunannya dipakai untuk engobatan 
infeksi Theileria sp. Efektifi tas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika 
dipakai pada stadium awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif 
pada stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada 
limfoid dan jaringan hematopoietic. Preparat yang lain yaitu  pamaquin/
primaguine dan buparvaquone. Pemakaian Acrapin dapat dipertimbangkan. 
Tetrasiklin juga dapat diberikant etapi terkadang memicu resisten 
terhadap antibiotika. Disamping itu, obat  yang dilaporkan efektif antara 
lain klor tetrasiklin, monoctone, C2 Hydroxy 3-8 cyclo hexylloctyl, 4-NaOH 
Thoquinon, Trypan Blue 1-2% 100cc, pirevan 5% 1cc / 50 kg BB sub cutan, 
Phenamidine 12 mg/Kg BB sub cutan dan Berenil 2 – 3,5 mg/Kg BB intra 
muscular.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Pencegahan
        Pencegahan theileriasis dapat dilakukan dengan cara mengurangi 
populasi vektor, melalui dipping, sanitasi kandang, pemberian 
repellant seta melakukan manajemen pemeliharaan yang baik. Dalam 
tata niaga ternak, diusahakan agar negara-negara sapi pengimpor 
mengurangi stress, misalnya dengan memilih waktu importasi yang 
tepat, penanganan sapi yang baik saat pembongkaran, meningkatkan 
pengetahuan ataupun pengalaman dalam pengenalan penyakit, seleksi 
hewan dan lain sebagainya. Bagi negera tujuan, sapi yang telah masuk 
juga diberikan perlakuan yang sama, yaitu memberikan parasiticide dan 
perendaman disinfektan (dipping) untuk parasit eksternal dalam 14 hari 
sebelum pengapalan dan telah diberikan ivermectin atau anthelmintic 
untuk endoparasit dalam 40 hari sebelum diekspor. Pemberian parasitide 
berupa akarisida yaitu  untuk membunuh larva, nimfa dan dewasa 
caplak ixodidae. Akarisida biasanya dipakai pada ternak dengan cara 
perendaman dan penyemprotan serta dianggap sistem perendaman lebih 
efektif. Beberapa jenis akarisida juga dapat diaplikasikan dalam bentuk 
implan dan bolus, pour-on (dipakai padapunggung dan menyebar lebih 
cepat ke semua permukaan tubuh) dan spot-on (hampir sama dengan 
pour-on tetapi penyebarannya kurang cepat). Perlakuan parasiticide 
sebelum pengapalan berdampak terhadap tidak ditemukannya caplak di 
kapal. ini berkaitan pula dengan hasil penelitian yang memperlihatkan 
bahwa jumlah parasit yang ditemukan masih sedikit dan kemungkinan 
berada dalam stadium gamon, sehingga gejala klinisnya juga tidak 
jelas.
b.   Pengendalian dan Pemberantasan
        Strategi pengendalian theileriasis dapat dilakukan dengan 
melakukan pemberantasan caplak terpadu. Efektifi tas dari strategi 
tersebut memerlukan pengetahuan yang lebih baik tentang dinamika dari 
agen penyakit, host, vektor caplak dan lingkungan hidupnya. Peraturan 
karantina yang ketat perlu dilakukan untuk mencegah kembali caplak 
di negara yang pernah tertular tick borne disease dantelah dilakukan 
pemberantasan. Kesesuaian tentang iklim, sistem informasi geografi s 
(GIS) yang berdasar  pada pengetahuan para ahli dipergunakan 
untuk mengidentifi kasi area yang tidak dapat terinfeksi caplak atau 
caplak tersebut tidak bisa berkembang jika masuk di suatu area.
c.   Peraturan International
        Badan kesehatan hewan dunia (The Offi ce of International des 
Epizooties/OIE) bekerjasama dengan World Trade Organization (WTO) 
menetapkan standar yang harus dipenuhi dalam importasi sapi dan kerbau 
dari negara yang dianggap terinfeksi Theileria spp. harus tercantum 
dalam dokumen kesehatan hewan (International VeterinaryCertifi cate). 
Adapun persyaratan yang ditetapkan didalam lalu lintas ternak, hewan 
tidakmenunjukkan gejala klinis theileriasis baik pada saat keberangkatan 
atau pengapalan,sejak lahir hewan dipelihara di daerah bebas theileriasis 
selama 2 tahun  sebelumnya, telah dilakukan uji laboratorium 30 hari 
sebelum pengapalan.

TOXOPLASMOSIS
  
Toxoplasmosis yaitu  salah satu penyakit zoonosis yang banyak dijumpai 
di hampir seluruh dunia dan menyerang berbagai jenis mamalia, termasuk 
satwa exotics dan hewan berdarah panas lainnya. Kasus toxoplasmosis juga 
banyak terjadi pada manusia bahkan disebut sebagai opportunistic diseases 
pada immunocompromise patients. Penyakit ini mempunyai dampak ekonomis 
yang penting karena mampu memicu  penuruan produksi, gangguan 
pertumbuhan dan fertilitas, termasuk abortus. Biaya pengobatan yang tinggi dan 
penurunan kualitas sumber daya manusia yaitu kerugian lain yang juga 
harus dipertimbangkan. 
Sampai saat ini, toxoplasmosis masih menjadi perhatian dikalangan dunia 
peternakan maupun kesehatan manusia. Di negara kita , kasus toxoplasmosis pada 
hewan berkisar antara 6 – 70%, sedangkan pada manusi lebih tinggi, yaitu antara 
43-88%. Pemahaman masa lalu yang diyakini bahwa penyakit ini hanya akan 
memicu  gejala klinis pada individu yang memiliki respon imun yang rendah, 
tetapi anggapan ini terbantahkan dengan adanya bukti bahwa pada individu yang 
immunokompeten (sistem imun dapat berespon optimal) dapat menunjukkan 
manifestasi klinis yang jelas. Kondisi ini dimungkinkan karena patogenitas agen 
penyakitnya sangat variatif dan tergantung dari klonet atau tipenya.
etiologi 
Penyebab penyakit toxoplasmosis yaitu  Toxoplasma gondii yang bersifat 
parasit intraselular obligat (Gambar 1). Nama Toxoplasma berasal dari kata 
toxon (bahasa Yunani) yang berarti busur (bow) yang mengacu pada bentuk sabit 
(crescent shape) dari takizoit. Adapun gondii berasal dari kata Ctenodactylus 
gondii, seekor rodensi dari Afrika utara dimana parasit tersebut pertama kali 
ditemukan pada tahun 1908. Toxoplasma gondii termasuk anggota fi lum 
Apicomplexa, kelas Sprozoa, subkelas Coccidia, dan subordo Eimeria. Protoza 
ini mampu menginfeksi semua sel berinti, termasuk makrofag yang seharusnya 
berfungsi memfagositosis dan mengeliminasi pathogen.

epidemiologi 
1.  Siklus hidup
   Secara garis besar, siklus hidup T.gondii terbagi atas dua siklus, 
yaitu seksual (schizogoni) dan aseksual (gametogoni). Kedua siklus hidup ini 
terjadi pada inang defi nitif (famili Felidae) sedangkan pada inang perantara 
(burung dan mamalia, termasuk manusia) hanya terjadi siklus hidup secara 
aseksual. Siklus hidup seksual terjadi karena adanya peleburan gamet yang 
masing-masing berisi kromosom haploid, sedangkan pada siklus aseksual 
hanya terjadi pembelahan vegetatif, yaitu organisme berkembang dengan 
membelah diri.
   Perkembangan T.gondii pada inang defi nitif terjadi di enteroepitelial 
dan esktraintestinal. Adapun pada mamalia dan inang antara lainnya, protoza 
ini hanya mengalami satdium aseksual di enteroepitelial dan ekstraintestinal. 
Adanya bentuk enteroepitelial mengindikasikan bahwa siklus hidup terjadi 
didalam sel epitel usus, sedangkan bentuk ekstraintestinal menunjukkan 
adanya siklus hidup diluar sel epitel usus.
   Di dalam sel epitel usus induk semang defi nitif, protozoa mengalami 
proliferasi dan membentuk oosista yang dikeluarkan bersama feses kucing. 
Dalam inang perantara, ada dua stadium T.gondii, yaitu takizoit yang 
dapat memicu  infeski akut dan bradizoit yang berada didalam sista 
jaringan inang serta akan menetap seumur hidup atau dormant di dalam sel 
inang. Bradizoit atau sporozoit yang tahan terhadap pH asam dan enzim 
pencernaan akan masuk ke dalam sel-sel epitel usus dan beberapa jam 
lalu menjadi takizoit.  Selanjutnya, enterosit atau limfosit intra epitel 
usus halus diinvasi oleh takizoit dan lalu menembus lamina propria 
dan pada akhirnya menginvasi sel-sel lain disekitarnya.
2.  Patogenitas 
   Walaupun takizoit dilaporkan mampu menginfeksi hampir semua 
jenis sel berinti dari berbagai jenis hewan dan manusia, bahkan insekta, 
tetapi ada beberapa jenis sel dan organ yang paling sering diinfeksi 
oleh takizoit ini, tergantung pada rute infeksi dan jenis inangnya. Takizoit 
yaitu stadium parasit yang dapat membelah dengan cepat (sekitar 6-
8 jam pasca infeksi) dan selama tahap  akut mampu menginfeksi semua sel 
yang berinti, lalu berkembang biak dengan cara endodiogeni.
   Infeksi akut ditandai dengan replikasi takizoit yang sangat cepat. 
Takizoit dengan cepat akan menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe 
atau melalui darah ke hati, menuju paru, dan lalu beredar ke seluruh 
tubuh. Adapun pada infeksi laten, replikasi takizoit melambat, sedangkan 
bradizoit mengalami perkembangan dan terjadi pembentukan sista jaringan 
yang yaitu awal dari dormansi parasit. Diferensiasi dari takizoit ke 
bradizoit terjadi dengan dimulainya pembentukan kekebalan protektif.
   Proses masuknya takizoit ke dalam sel target yaitu proses 
yang aktif dan sangat singkat, yaitu sekitar 15-30 detik. Sebaliknya, proses 
fagositosis memerlukan waktu 2-4 menit. Proses penetrasi ini melibatkan tiga 
tahap yang berjalan secara integratif, yaitu perlekatan, penetrasi aktif dan 
pembentukan vakuola parasitoforus yang akan membentuk dinding sista. 
Selama proses invasi ke dalam sel tersebut, sejumlah protein ES (excretory 
secretory) antara lain, roptri (ROP), mickronema (MIC) dan granula (GRA) 
yang dicurahkan sejak dimulainya perlekatan. 
   Akibat adanya infeksi dan invasi T.gondii memicu terjadinya 
kerusakan masif dari jaringan atau organ target. Infeksi dengan dosis tinggi 
dan rendah memakai takizoit T.gondii galur RH dilaporkan mampu 
memicu kerusakan jaringan dalam waktu yang singkat terutama pada 
leukosit. Diperkirakan awal terjadinya deplesi dan destruksi masif tersebut 
dimulai sejak hari pertama infeksi dan terns berlanjut sampai periode waktu 
tertentu. Proses destruksi jaringan ini dipicu adanya siklus litik (lytic 
cycle) selama perkembangan aseksual. Pada saat takizoit menginfeksi set di 
dalam vakuola parasitoforus, maka proses perkembangan secara vegetatif 
dimulai. Proses pembelahan diri takizoit dikenal dengan nama endodyogoni 
ataupun poliendodyogoni. Saat ini dilaporkan  bahwa dalam periode yang 
sama pada saat sel hancur atau lisis jumlah takizoit yang dihasilkan dapat 
mencapai 256 takizoit baru atau lebih. Periode tersebut sama dengan periode 
dimana satu sel akan membelah secara mitosis menjadi dua sel. Oleh karena 
kecepatan replikasi takizoit yang demikian cepat dibanding kemampuan sel 
untuk bermitosis maka kerusakan yang terjadi semakin lama semakin berat 
dan meluas.
3.  Spesies rentan
   Semua spesies rentan terhadap T.gondii termasuk manusia. 
4.  Pengaruh lingkungan
   Oosista ditanah atau lingkungan yang sesuai (shuhu 24oC) akan 
bersporulasi atau mengalami pemasakan menjadi oosista infektif dalam 
waktu 2 – 3 hari.
5.  Sifat Penyakit
   Dapat besifat akut dan kronis tergantung dari galur T.gondii dan 
induk semangnya.
6.  Cara Penularan
   Bentuk infektif dari T.gondii yaitu  takizoit atau tropozoit yang 
ada dalam cairan tubuh, bentuk kedua yaitu  bradizoit atau sista yang 
ada didalam jaringan (Gambar 2) dan bentuk ketiga yaitu  sporozoit 
yang ada didalam oosista (Gambar 3). Bentuk sista banyak ditemukan 
pada organ, terutama otak, otot skelet dan jantung. Cacing tanah,kecoa dan 
tikus dapat berperan sebagai sumber penular toxoplasma tanpa kehilangan 
virulensinya.
Gambar 2. Kista dalam jaringan (pembesaran 1000X) –
(Sumber: koleksi Tolibin Iskandar, Bbalitvet)
Gambar 3. Oosista T.gondii yang mengandung 2 sporozoit
(Koleksi Tolibin Iskandar-Bbalitvet)
   Penyebaran toxoplasmosis dapat dipicu karena pola hidup 
yang kurang higenis, seperti kebiasaan makan dengan tangan dan makan 
daging setengah matang yang mengandung sista, tertelannya oosista infektif 
atau infeksi transplasenta dari induk ke fetus.  Penularan dapat juga terjadi 
melalui transfusi darah (tropozoit), transplantasi organ atau cangkok jaringan 
(tropozoit, sista) dan kecelakaan di laboratorium yang memicu T.gondii 
masuk ke dalam tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka. Hewan lain 
sebagai inang perantara seperti burung, ayam, tikus, anjing, domba, kambing 
dan sapi berpotensi untuk menularkan toxoplasmosis ke manusia.
   Faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya penularan pada 
manusia, antara lain kebiasaan makan sayuran mentah dan buah-buahan 
yang dicuci kurang bersih, kebiasaan makan tanpa cuci tangan terlebih 
dahulu, mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan tanpa ditutup, 
sehingga membuka jalan terjadinya kontaminasi ookista.
7.  Distribusi Penyakit
a.   Kejadian di negara kita 
        Dinamika kasus toxoplasmosis baik pada hewan maupun pada 
manusia di negara kita  cukup sulit diikuti secara tepat karena surveilen 
yang reguler tidak diprogramkan dengan terencana. Data yang ada saat 
ini memperlihatkan bahwa kasus toxoplasmosis pada hewan di negara kita  
sangat bervariasi. Data-data tersebut tidak dapat dipakai sebagai 
bahan komparatif antar wilayah karena secara teknis epidemiologis 
tidak sebanding. Prevalensi toxoplasmosis pada kucing berkisar antara 
5,56%-40%, pada kambing 23,5 – 60%, pada domba 32,18-71,97%, 
pada sapi 36,4%, pada kerbau 27,3%, pada ayam 19,6-24%, pada itik 
6,1% dan pada babi 28-32%. Secara kumulatif, kasus toxoplasmosis 
pada manusia secara serologis diatas 40% (sangat tinggi). Laporan lain 
menyebutkan bahwa 60% dari pemeriksaan antibodi pada donor darah 
di Jakarta mengandung antibodi terhadap T. gondii.
b.   Distribusi geografi s
        Penyakit toxoplasmosis tersebar luas diseluruh dunia. Di Asia, data 
prevalensi toxoplasmosis dari kucing berdasar  uji serologis sebagai 
berikut : Jepang 19%, Korea Selatan 13%, Taiwan 8%, Singapore 31% 
sedangkan di negara kita  belum memiliki data.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
   Gejala klinis toxoplasmosis pada manusia bersifat non spesifi k atau 
sering kali tidak memicu  manifestasi klinis yang jelas. Masa inkubasi 
toxoplasmosis sekiatr 2-3 minggu. Gejala yang muncul yaitu gejala 
umum biasa, antara lain demam, pembesaran kelenjar linfe di leher bagian 
belakang. jika infeksi mengenai susunan syaraf pusat maka akan 
memicu encephalitis (toxoplasma ceebralis akut). Parasit yang masuk 
ke dalam otot jantung memicu  terjadinya peradangan. Adapun lesi