berasx.blogspot.com
....
kacangx.blogspot.com
.....
Tampilkan postingan dengan label manusia 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label manusia 1. Tampilkan semua postingan
Rabu, 22 November 2023
manusia 1
November 22, 2023
manusia 1
Mengapa negara kita miskin? Padahal, jumlah rakyatnya banyak.
Banyak yang berbakat, cerdas dan mau bekerja keras untuk
mengembangkan diri dan bangsanya. Kekayaan alam pun berlimpah
ruah.
Kita memiliki minyak, gas dan beragam logam sebagai sumber
daya alam yang siap untuk diolah. Kita memiliki tanah yang subur
yang siap ditanami beragam jenis tanaman. Kita memiliki hutan yang
luas yang bisa memberikan udara segar tidak hanya untuk bangsa kita,
namun untuk seluruh dunia. Akan namun , mengapa kita masih miskin,
walaupun kita memiliki itu semua?
Keadaan Kita
Di satu sisi, banyak orang kesulitan untuk mencari pekerjaan yang
layak. Mereka harus menerima fakta, bahwa pekerjaan mereka bersifat
sementara. Mereka bisa dipecat sewaktu-waktu. Gajinya pun tidak
layak untuk memberikan kehidupan yang layak.
Banyak juga orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan
dasar mereka. Mereka kesulitan mencari makan, sandang dan papan
yang layak untuk manusia. Banyak juga keluarga yang hidup di dalam
kemiskinan akut. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan ekonomi
berat, namun juga kerap kali sakit secara fi sik.
Di sisi lain, ada orang-orang yang hidup dengan amat berkelimpahan.
Gaji mereka puluhan bahkan ratusan juta setiap bulannya. Mereka
hidup di rumah-rumah besar, seperti yang bisa kita lihat di berbagai
perumahan mewah di berbagai kota di negara kita. Mereka menggunakan
mobil mewah setiap harinya.Mereka berbelanja di mall-mall besar. Mereka berwisata ke
”negara-negara mahal” setiap tahunnya. Keadaan ini kontras berbeda
dengan keadaan kelompok lainnya yang hidup dalam kemiskinan akut.
Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin begitu besar dan begitu
terasa di negara kita.
Jika ini dibiarkan, maka hidup bersama akan menjadi sulit.
Keadaan hidup sehari-hari akan dipenuhi ketegangan, kecurigaan
dan rasa takut antar warga. Kriminalitas meningkat. Dan sangatlah
mungkin, bahwa kekerasan akan meledak di tingkat politik, misalnya
dalam bentuk revolusi berdarah.
Lembaga dan Mentalitas
Yang mendorong suatu negara berkembang adalah kualitas
lembaga publiknya, seperti berbagai lembaga pemerintah, penegak
hukum, parlemennya, militer dan lembaga pendidikan. Mereka
adalah lembaga yang dibiayai dengan uang rakyat, yakni pajak, dan
bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Mereka
bertanggungjawab untuk kesejahteraan publik rakyat negara kita.
Mereka adalah motor pembangunan.
Di negara kita, lembaga-lembaga publik ini tidak bekerja dengan
baik. Mayoritas dipenuhi korupsi. Uang rakyat digunakan untuk
keperluan pribadi ataupun golongan semata. Akibatnya, banyak
program untuk pengembangan kesejahteraan bersama tidak berjalan.
Lembaga-lembaga ini telah mengkhianati kepercayaan rakyat.
Mereka mengingkari alasan keberadaannya, yakni demi kesejahteraan
rakyat. Padahal, pimpinan-pimpinan utama mereka dipilih langsung
oleh rakyat. Mengapa ini bisa terjadi?
Di berbagai negara yang makmur, lembaga publik berkembang
lintas generasi. Mereka sudah diciptakan sejak ratusan tahun yang
lalu. Banyak hal telah dipelajari, sehingga kini mereka bisa berfungsi
dengan relatif baik. Ada mentalitas dan budaya yang sudah tercipta di dalam berbagai lembaga publik tersebut, yang mendukung prosesproses kerja mereka.
Ini tidak terjadi di negara kita. Lembaga-lembaga publik di negara kita
masih amat muda. Mereka tidak punya tradisi yang berkembang
lintas generasi, seperti yang ditemukan di berbagai negara makmur.
Mentalitas dan budaya lembaga yang ada hancur, akibat penjajahan
selama ratusan tahun oleh Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis dan
Jepang, serta juga oleh Orde Baru Suharto.
Penjajahan telah merusak budaya dan mentalitas di negara kita. Ini
tidak hanya terjadi di negara kita, namun juga di banyak negara Afrika
dan Amerika Latin. Jejak-jejak penjajahan masa lalu yang dipenuhi
kekerasan, perbudakan, penipuan, penghisapan, pembunuhan massal
serta penghancuran tata nilai masih mempengaruhi kehidupan saat
ini. Kehancuran budaya dan mentalitas ini pula yang membuat banyak
lembaga publik di negara kita dan di berbagai negara tersebut cacat.
Penjajahan Asing
Sejujurnya, penjajahan asing belum berakhir di negara kita.
Infrastruktur ekonomi dan budaya kita masih amat tergantung sama
asing. Mayoritas perusahaan besar yang mempengaruhi kehidupan
masyarakat negara kita masih dimiliki oleh asing. Perjanjian kerja yang
dibuat antara pemerintah dan berbagai perusahaan asing tersebut juga
kerap kali tidak adil.
Banyak perusahaan asing mendirikan pabrik dan kantor di
negara kita. Mereka memanfaatkan standar gaji dan perlindungan pekerja
yang rendah di negara kita. Di beberapa tempat, mereka menggunakan
kekerasan untuk menekan para pekerja. Para penegak hukum negara kita
disuap untuk diam, dan bahkan mendukung kekerasan yang terjadi.
Beragam pengolahan sumber daya alam juga masih dikuasai oleh
pihak asing. Manajemen puncak masih dipegang oleh orang-orang
asing. Mayoritas pekerja negara kita hanya menjadi manajer rendah atau pesuruh belaka, walaupun kemampuan mereka setingkat dengan
para pekerja asing, atau bahkan lebih baik. Perjanjian kerja yang dibuat
antara beragam perusahaan asing dan pemerintah negara kita pun kerap
kali juga tidak adil.
Yang lebih mengherankan lagi adalah soal struktur mata uang.
Mengapa orang Eropa bisa dengan mudah liburan ke negara kita,
sementara kita sulit sekali untuk liburan ke Eropa? Yang jelas, mereka
tidak lebih cerdas ataupun rajin, jika dibandingkan dengan orang
negara kita. Ini terjadi, karena struktur mata uang dunia yang tidak adil.
Saya masih heran sampai sekarang dengan struktur mata uang
tersebut. Jika diperhatikan dengan jeli, ini adalah sistem warisan
masa penjajahan dahulu, ketika bangsa-bangsa Eropa secara agresif
menyerbu berbagai negara lain di dunia. Sistem mata uang dunia
adalah sistem yang secara inheren tidak adil dan berbau penjajahan
serta penindasan. Ini memberikan kerugian yang amat besar untuk
negara kita, sekaligus keuntungan yang berlimpah ruah untuk negaranegara Eropa dan Amerika Serikat.
Tata nilai kita juga kabur, akibat dominasi asing yang begitu kuat.
Di satu sisi, banyak orang yang lebih bangga bergaya hidup Amerika
dan Eropa, daripada menghayati nilai budaya tempat asalnya. Di
sisi lain, banyak orang yang meniru budaya Arab, supaya kelihatan
lebih saleh dan suci, walaupun sebenarnya dipenuhi kemunafi kan.
Kebingungan identitas antara budaya lokal negara kita, budaya Arab
Timur Tengah serta budaya AS dan Eropa ini berdampak luas, terutama
dalam soal tata nilai yang menjadi dasar dari tindakan sehari-hari kita
di negara kita.
Tersangka koruptor tiba-tiba menggunakan jilbab, ketika disidang.
Ayat-ayat agama digunakan untuk menindas dan merugikan orang
lain. Orang tergila-gila dengan merk asing, walaupun harganya sangat
tidak masuk akal, dan mutunya biasa-biasa saja. Orang rela jadi budak
asing, supaya dapat uang receh, suap ataupun cipratan hasil korupsi.Kerancuan tata nilai tersebut menciptakan kebingungan di banyak
bidang, termasuk lembaga-lembaga publik kita. Tekanan suap dari
pihak asing dan dominasi budaya yang dipenuhi kemunafi kan membuat
beragam lembaga publik kita tersendat. Tak heran, kita tetap ”miskin”,
walaupun sebenarnya kita kaya, amat sangat kaya. Kemiskinan akut
di tengah ”surga” dengan kekayaan melimpah bernama negara kita,
ironis bukan?
Mengapa Kita ”Miskin”?
Sebagai bangsa, kita tetap ”miskin”, karena lembaga publik kita
tidak memiliki mentalitas dan budaya yang cocok untuk melayani
rakyatnya. Kita juga hidup dalam bayang-bayang asing, baik dalam
tingkat politik, ekonomi maupun tata nilai (Barat dan Timur Tengah).
Secara kualitatif, mutu berpikir dan kemauan bekerja orang negara kita
setara dengan beragam negara lainnya, bahkan mungkin lebih baik
dalam banyak hal. Jika kita bisa ”memaksa” lembaga publik kita untuk
menjalankan fungsinya sebaik mungkin, dan bersikap kritis terhadap
beragam pengaruh asing yang masuk, maka jalan menuju keadilan dan
kemakmuran bersama di negara kita terbuka luas.
Tunggu apa lagi?
Setelah sekitar 15 tahun mendalami fi lsafat politik, saya semakin
sadar, bahwa fi lsafat politik, pada hakekatnya, adalah fi lsafat
kesadaran. Esensi dari fi lsafat politik adalah fi lsafat kesadaran. Dua
konsep ini, yakni fi lsafat politik dan fi lsafat kesadaran, tentu perlu
dijelaskan terlebih dahulu. Mari kita mulai dengan arti dasar dari
fi lsafat.
Filsafat adalah pemahaman tentang kenyataan yang diperoleh
secara logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis. Kenyataan
berarti adalah segala yang ada, mulai dari jiwa manusia, politik,
ekonomi, budaya, seni sampai dengan kesadaran. Logis berarti fi lsafat
menggunakan penalaran akal budi manusia. Filsafat bukanlah mistik
yang melepaskan diri dari penalaran akal budi.
Pandangan yang rasional adalah buah dari penalaran semacam
ini. Rasional berarti suatu pernyataan atau pemahaman bisa diterima
dengan akal budi, lepas dari latar belakang orang yang mendengarnya.
Orang bisa berasal dari agama apapun, termasuk ateis, namun tetap
bisa memahami pernyataan tersebut. Kritis berarti fi lsafat selalu
mempertanyakan segala sesuatu, termasuk jawaban yang dihasilkannya
sendiri.
Dalam arti ini, fi lsafat tidaklah pernah selesai. Ia bersifat terbuka,
dan selalu berakhir dengan pertanyaan baru. Ia bagaikan petualangan
intelektual yang tak pernah berhenti. Pertanyaan dan jawaban diarahkan
pada unsur dasar, atau hakekat, dari apa yang dibicarakan. Inilah yang
disebut sebagai ciri ontologis dari fi lsafat, yakni menggali sampai
ke dasar dari apa yang sedang menjadi tema diskusi. Semua bentuk
jawaban dan pertanyaan di dalam fi lsafat kemudian dirumuskan secara
sistematis, yakni runtut, jelas, mudah dimengerti serta terhindar dari
segala bentuk lompatan logika ataupun pertentangan.Politik dan Kesadaran
Filsafat politik dan fi lsafat kesadaran berdiri di dalam bayangbayang defi nisi fi lsafat di atas. Filsafat politik adalah cabang dari fi lsafat
yang hendak memahami hakekat dari kehidupan politik manusia,
dan memberikan arahan tentang cara menciptakan politik yang
mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Filsafat kesadaran
adalah cabang fi lsafat yang hendak memahami hakekat dari kesadaran
manusia. Keduanya menggunakan metode yang bersifat logis, kritis,
rasional, ontologis dan sistematis.
Filsafat politik hendak menemukan ide dan prinsip yang
memungkinkan adanya masyarakat, atau komunitas, dalam segala
bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan deskriptif di dalam
fi lsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang menjadi ilmu-ilmu
sosial, seperti sosiologi, ekono mi, politik, hukum dan ilmu budaya.
Namun, fi lsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, namun juga
normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu
komunitas mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua prinsip yang penting di dalam fi lsafat politik, yakni keadilan
dan kesetaraan. Ada beragam arti dari konsep keadilan dan kesetaraan.
Filsafat politik hendak mengupas dan mengembangkan beragam arti
tersebut, dan melihat kemungkinan penerapannya di berbagai keadaan.
Dua prinsip ini menjadi nyata, ketika ia menjadi prinsip utama di
dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah
komunitas.
Filsafat politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan
satu jawaban. Tidak ada jawaban fi nal. Yang ada adalah proses diskusi
terus menerus, sehingga pandangannya bisa terus menyesuaikan
dengan keadaan dunia yang terus berubah dengan cepat sekarang ini.Institusi dan Kesadaran
Akan namun , setelah mendalami beragam pandangan fi lsafat politik,
saya sampai pada pendapat, bahwa semua teori akan percuma, jika ia
tidak bisa diterjemahkan ke dalam institusi, dan sungguh membawa
perubahan nyata di dalam kehidupan bersama. Artinya, inti dasar
dari fi lsafat politik adalah pembangunan institusi-institusi di dalam
masyarakan yang mendorong keadilan dan kemakmuran bagi semua.
Namun, bagaimana cara membangun institusi-institusi tersebut?
Satu cara adalah dengan memrumuskan regulasi, atau aturan, yang
tepat. Namun, aturan setepat dan seketat apapun tidak akan mampu
membangun institusi yang cocok untuk pengembangan masyarakat.
Aturan-aturan itu justru akan dipelintir untuk kepentingan-kepentingan
korup tertentu, dan akhirnya mengorbankan kepentingan bersama. Ini
sudah terjadi di banyak negara, termasuk negara kita.
Maka, kita perlu pendekatan lain. Aturan dan institusi yang kokoh
tidak dapat dibangun, tanpa adanya manusia-manusia bermutu. Mutu
dalam arti ini adalah etos hidup yang unggul, seperti jujur, rajin, mau
bekerja keras dan bisa bekerja sama. Maka, pembentukan manusiamanusia bermutu adalah jalan yang perlu dilakukan terlebih dahulu.
Pembentukan manusia bermutu berarti perubahan kesadaran mendasar
pada tingkat pribadi.
Dapat juga dikatakan, bahwa tata institusi tidak akan pernah
mencukupi, tanpa adanya perubahan kesadaran secara mendasar. Dititik
inilah fi lsafat kesadaran memainkan peranannya untuk menunjang
fi lsafat politik. Sama seperti fi lsafat politik, fi lsafat kesadaran memiliki
dua pendekatan, yakni deskriptif (memahami kesadaran manusia
sebagaimana adanya) dan normatif (membentuk kesadaran manusia,
sehingga bisa sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya). Untuk
melakukan dua hal ini, fi lsafat kesadaran tidak bisa hanya menimba
ilmu dari ilmu pengetahuan dan fi lsafat barat saja, namun juga dari
fi lsafat timur.Kesadaran manusia bukanlah otaknya. Maka, kesadaran tidak
dapat dipahami dengan pendekatan biologis atau neurologis (saraf)
semata. Kesadaran juga bukanlah semata fenomena empiris yang
bisa ditangkap dengan indera manusia. Lebih dari itu, kesadaran
juga bukanlah semata konsep yang bisa dipahami dengan akal budi
manusia.
Penelitian tentang kesadaran, sampai pada titik paling dalam,
menunjuk kan, bahwa konsep ini kosong. Tidak ada kesadaran di dalam
diri manusia. Lebih tepat dirumuskan, tidak ada kata dan konsep
yang sanggup menjelaskan makna kesadaran secara memadai. Maka
dapat juga disimpulkan, bahwa memahami kesadaran manusia berarti
menyadari sepenuhnya, bahwa ia kosong secara konseptual.
Di dalam fi lsafat timur, terutama di dalam tradisi Zen, memahami
kesadaran berarti memahami inti dari seluruh alam semesta, karena
manusia dan alam semesta memiliki substansi kesadaran yang
sama. Maka dari itu, dapat dikatakan, bahwa memahami kesadaran
berarti menjalani perubahan kesadaran. Proses ini berarti menyadari
seutuhnya, bahwa kesadaran bukanlah sebuah rumusan konseptual
yang bisa didiskusikan dengan bahasa dan konsep, melainkan sesuatu
yang dialami seccara langsung sebagai ada, tanpa penjelasan apapun.
Ketika orang menyadari ini, maka ia menjalani perubahan kesadaran
mendasar, yang berarti juga perubahan perilaku, dan perubahan
mendasar seluruh hidupnya.
Kesadaran manusia ada, sebelum segala bentuk pikiran, konsep,
bahasa ataupun kata ”kesadaran” itu sendiri. Memahami dan menyadari
ini secara otomatis membawa perubahan mendasar pada cara berpikir
dan cara hidup seseorang. Inilah pendekatan normatif di dalam
fi lsafat kesadaran. Ketika banyak orang menyadari ini, maka otomatis
hidupnya akan dibaktikan untuk kepentingan bersama, institusi-institusi yang kokoh bisa berdiri dan keadilan serta kemakmuran
bersama bisa dicapai.
Ada hubungan yang amat erat antara perubahan kesadaran dan
proses pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Filsafat
politik dan semua ilmu sosial tidak akan bisa mewujudkan keadilan
dan kemakmuran, tanpa mendorong perubahan kesadaran mendasar di
tingkat hidup pribadi. Aspek politik dari fi lsafat kesadaran dan aspek
personal dari fi lsafat politik inilah yang luput dari beragam kajian di
kedua bidang tersebut.
Sekelompok anak muda negara kita berkumpul. Mereka saling berbagi
cerita. Segala ketakutan dan harapan mereka diutarakan satu sama
lain. Yang menarik, polanya sama.
Mereka takut hal yang sama: tidak punya uang. Mereka merindukan
hal yang sama: mendapatkan uang yang banyak. Mereka benarbenar merasa, bahwa ketakutan dan harapan mereka mencerminkan
kebenaran. Inilah pola hidup generasi anak muda negara kita di awal
abad 21 ini.
”Mainstream”
Setiap jaman memiliki ”mainstream”-nya sendiri. Inilah yang
disebut sebagai Zeitgeist, atau semangat jaman. Di awal abad 21 ini, kita
hidup di masa ”uang”. Segala hal diukur dengan uang. Jika sesuatu,
semurni dan setulus apapun itu, tidak memiliki nilai ekonomis, maka
ia dianggap tidak berharga.
Banyak orang ikut serta secara sukarela dan tanpa sadar di dalam
”mainstream” ini. Mereka mengikuti pola hidup yang sama. Mereka
memiliki selera yang sama. Mereka memiliki pola pikir yang sama.
Di sisi lain, mereka juga mempunyai ketakutan yang sama. Mereka
khawatir akan hal yang sama. Mereka memilih hal-hal yang serupa,
sekaligus menolak hal-hal yang sama. Para anggota ”mainstream” ini
hidup bagaikan gerombolan domba yang disetir oleh kekuatan di luar
mereka, yakni kekuatan ”mainstream”.
Yang tercipta kemudian adalah hidup yang sepenuhnya dangkal,
yakni hidup yang sepenuhnya ditujukan untuk kenikmatan diri sendiri
dalam bentuk penumpukan uang. Orang tidak lagi memiliki visi pribadi yang lebih luas tentang kehidupan sebagai keseluruhan. Ia
hanya ikut arus dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya.
Akar dari semua ini adalah ketakutan. Orang mengira, jika ia
tidak ikut arus ”mainstream”, maka ia tidak akan selamat. Ketakutan
ini juga didukung oleh fakta di negara kita, bahwa negara hampir tidak
hadir untuk melindungi rakyatnya, hampir di segala bidang. Akhirnya,
orang harus memikirkan semuanya sendiri melulu untuk keselamatan
dirinya dan keluarganya.
Berpartisipasi dalam Penindasan
Mengapa hidup mengikuti arus ”mainstream” ini bermasalah?
Pertama, dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, orang secara
tidak langsung berpartisipasi dalam melestarikan struktur ketidakadilan
sosial yang ada di masyarakat. Di dalam struktur sosial sekarang ini,
sekelompok orang kaya di atas kemiskinan begitu banyak orang
lainnya. Dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, tanpa sikap
kritis apapun, berarti orang setuju dan mendukung struktur sosial
yang menindas semacam ini.
Kedua, orang yang hidup mengikuti ”mainstream” secara tidak
sadar dimanfaatkan untuk keuntungan pihak lain. Mereka menjadi
benda atau obyek yang diperas demi kepentingan pihak lain. Seringkali,
kepentingan pihak lain itu adalah semata demi meningkatkan
keuntungan, dan seringkali dengan merugikan pihak-pihak lainnya.
Para anggota ”mainstream” ini kerap tidak sadar, kalau mereka hanya
barang atau alat yang diperas semata.
Di dalam masyarakat konsumtiv kapitalistik sekarang ini, kita
semua adalah komoditi yang siap dijual. Informasi tentang diri
kita disebar di Internet untuk dijual kepada pembeli tertinggi. Kita
seringkali tidak sadar dengan hal ini, karena kita sibuk memuaskan
kepentingan diri kita akan uang. Kita sibuk mengikuti gaya hidup mainstream” yang menyembunyikan penindasan dan ketidakadilan
besar di baliknya.
Ketika kita hidup seperti domba mengikuti pola ”mainstream”, kita
merusak masyarakat yang memang sudah rusak. Kita menjadi korban
sekaligus pelaku yang melestarikan ketidakadilan sosial. Bagaimana
keluar dari lingkaran setan semacam ini? Bagaimana supaya kita
terhindar dari penjajahan ”mainstream” ini?
Belajar dan Bertanya
Yang jelas, kita perlu mengembangkan kemampuan berpikir
kritis. Kita perlu belajar dan bertanya tentang jalan hidup yang kita
pilih, apakah ini ikut melestarikan ketidakadilan yang ada, atau
menguranginya. Kita juga perlu melihat ke dalam diri kita, apakah kita
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan
tidak adil, atau tidak. Kita perlu mencari informasi dan bertanya pada
orang-orang yang tercerahkan, supaya kita tidak menjadi domba yang
ikut arus ”mainstream”, dan secara tidak sadar merugikan banyak
orang.
Tidak semua orang memiliki kekuatan dan kehendak untuk
sungguh mengubah keadaan sosial menjadi lebih baik bagi banyak
orang. Namun, setiap orang punya kekuatan untuk tidak ikut menambah ketidakadilan yang ada. Ini bisa dilakukan, jika kita bersikap
kritis terhadap pola hidup ”mainstream”. Bukankah lebih baik kita
hidup sederhana dan bersahaja, daripada hidup mewah bergelimangan
harta hasil dari penipuan dan ketidakadilan sosial di dalam struktur
masyarakat kita?Banyak orang masih hidup dalam anggapan lama. Mereka
mengira, bahwa kemajuan ekonomi suatu negara tergantung
pada perkembangan teknologi di negara tersebut. Jika kita ingin maju
secara ekonomi sebagai suatu bangsa, maka kita harus membangun
industri-industri berat yang berpijak pada teknologi canggih, seperti
pesawat, mobil, satelit, internet dan sebagainya. Ahli ekonomi ternama
sampai dengan pedagang di pinggir jalan di negara kita masih hidup
dan bekerja dengan anggapan ini.
Filsafat, Sains dan Teknologi
Teknologi adalah anak dari ilmu pengetahuan. Teknologi adalah rekayasa alam demi pemenuhan kepentingan manusia dengan
menggunakan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri berkembang dari upaya manusia untuk memahami alam dengan metode
eksperimental (melalui rangkaian percobaan dan penggalian data) dan
empiris (hanya mengakui apa yang bisa dicerna dengan panca indera
dan diukur dengan menggunakan statistik).
Ilmu pengetahuan sendiri adalah anak dari fi lsafat, yakni upaya
manusia untuk secara rasional, kritis, logis dan sistematis di dalam
memahami segala sesuatu di sekitarnya. Ilmu pengetahuan menyempitkan fi lsafat ke dalam metode eksperimental dan data empiris
semata. Teknologi lalu menyempitkan ilmu pengetahuan ke dalam
rekayasa teknis semata, guna menghasilkan mesin dan prosedur
tertentu untuk mengubah alam demi kepentingan manusia. Semua ini
dilihat sebagai aktivitas yang mampu mengembangkan ekonomi suatu
negara secara khusus, dan peradaban manusia secara umumHampir semua negara di dunia menanamkan uang yang sangat
besar untuk mengembangkan fi lsafat, sains dan teknologi di negara
mereka. Milyaran rupiah digunakan untuk mendanai beragam bentuk
penelitian yang berpusat di universitas-universitas dan pusat-pusat
penelitian. Begitu banyak hal baik yang muncul dari perkembangan
fi lsafat, sains dan teknologi ini, mulai dari terciptanya sistem politik
dan ekonomi yang mengedepankan martabat manusia, sampai dengan
perkembangan teknologi kedokteran yang menyelamatkan begitu
banyak orang dari kematian, akibat penyakit. Namun, batas akhir kini
mulai tampak.
Krisis Ekologi
Anggapan lama tentang hubungan erat antara perkembangan
ekonomi dan kemajuan teknologi kini mulai digoyang. Perkembangan
teknologi tidak otomatis menciptakan perkembangan ekonomi,
melainkan sebaliknya, ia justru mendorong terciptanya kesenjangan
sosial dan, yang terpenting, kerusakan lingkungan. Beragam industri
dibangun untuk menghasilkan beragam produk secara cepat, murah
dan banyak. Namun, begitu banyak limbah dihasilkan oleh beragam
industri tersebut.
Sampai sekarang, industri pengolahan limbah di berbagai negara
masihlah amat lemah. Limbah dan sampah hasil produksi pabrik
banyak sekedar ditimbun ke tanah dan dibuang ke laut begitu saja.
Akibatnya, lingkungan menjadi rusak. Air menjadi tercemar oleh
polusi, dan begitu banyak ekosistem laut rusak, akibat limbah yang
dibuang begitu saja.
Negara-negara miskin dipaksa menjual tanahnya kepada negaranegara kaya untuk pembuangan limbah. Akibatnya, lingkungan sekitar
tempat pembuangan limbah tersebut rusak. Panen gagal dan air
tercemar. Orang-orang yang tinggal di daerah sekitarnya pun menjadi
sakit, dan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka.Yang paling parah memang industri pertambangan. Pertambangan
tidak hanya menghasilkan limbah yang besar, tetap secara agresif
merusak alam, demi mengambil sumber daya alam yang terkandung
di dalamnya. Gunung diratakan demi emas yang ada di dalamnya.
Hutan dibabat habis demi minyak ataupun logam-logam lainnya yang
terkandung di tanahnya.
Ini semua adalah hasil dari perkembangan teknologi yang
mendorong pembangunan beragam industri, mulai dari industri tekstil
sampai dengan pertambangan raksasa. Pendek kata, industri-industri
buah dari perkembangan teknologi ini merusak alam, dan demikian
juga menciptakan penderitaan yang berat, baik secara ekonomi, kultural,
sosial, politik maupun kesehatan, kepada berbagai komunitas di dunia.
Dalam arti ini, perkembagan teknologi tidak mendorong perkembangan
ekonomi, melainkan justru pengrusakan alam, dan pemiskinan berbagai
komunitas di dunia, terutama komunitas-komunitas di daerah miskin
di dunia. Perkembangan teknologi telah menjadi begitu tanpa arah dan
kehilangan kendali, sehingga justru menghasilkan penindasan global
terhadap mereka-mereka yang miskin.
Mengubah Anggapan
Anggapan lama tersebut harus dibuang sekarang ini. Fokus kita
bukanlah mendorong perkembangan teknologi untuk perkembangan
ekonomi lagi, namun mendorong pembagian kekayaan secara merata
ke seluruh dunia. Kata ”perkembangan” haruslah ditinggalkan, dan
diganti dengan kata ”pembagian”. Dunia ini cukup untuk menunjang
hidup yang bermartabat untuk semua mahluk hidup di dalamnya, asal
ditata dengan adil, yakni menciptakan pembagian yang adil dan merata
untuk semua mahluk, tanpa kecuali. Obsesi pada ”perkembangan”
teknologi dan ”perkembangan ekonomi” justru merusak lingkungan
hidup dan menghancurkan ekonomi itu sendiri.Untuk bisa mencapai arah ini, kita perlu melepas pandangan
antroposentris yang bercokol di kepala kita. Pandangan ini menekankan,
bahwa manusia adalah mahluk spesial di alam ini yang berhak untuk
mengatur semuanya demi memuaskan kebutuhan dan kepentingannya.
Pandangan ini salah kaprah, dan justru menghancurkan semua mahluk
hidup, termasuk manusia sendiri. Kita perlu melihat diri kita sebagai
bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta ini.
Hanya dengan begitu, peradaban manusia bisa bergandengan
tangan dengan seluruh alam semesta ini dan menciptakan komunitas
yang adil dan makmur untuk semua, tanpa kecuali. Ini disebut juga
sebagai kesadaran etis-ekologis. Kesadaran ini jauh lebih penting dari
obsesi pada perkembangan teknologi untuk perkembangan ekonomi
semata. Kesadaran ini berpijak pada ”pembagian” sumber daya yang
merata demi kehidupan semua mahluk hidup, dan bukan kehidupan
segelitir orang saja.
Untuk apa kaya dan maju secara teknologi, namun kita tidak
lagi bisa menghirup udara segar di depan rumah kita? Untuk apa
menggunakan telepon seluler seri terbaru dan mobil canggih, namun
selalu melihat saudara kita di belahan dunia lain tercabik oleh perang
dan kemiskinan? Untuk apa? Apakah hidup hanya sekedar mobil
mewah, rumah indah, dan memiliki semua peralatan canggih?Apakah anda pernah melihat orang yang saling berdebat satu sama
lain? Ataukah anda sendiri pernah terlibat perdebatan dengan
orang lain, atau kelompok lain? Perdebatan muncul, karena perbedaan
pendapat, yakni ketika dua orang melihat sesuatu dari sudut pandang
yang berbeda. Masalah muncul, ketika keduanya merasa, bahwa
mereka masing-masing memegang kebenaran mutlak.
Biasanya, perdebatan semacam ini diakhiri dengan pertengkaran.
Sangat sedikit perdebatan dengan pola semacam ini yang berakhir
dengan kesepahaman. Ini terjadi, karena kedua belah pihak memegang
erat pendapat mereka, dan menutup telinga dari pendapat pihak
lainnya. Inilah salah satu bentuk dogmatisme yang bisa dengan mudah
kita temukan dalam hidup sehari-hari.
Pada tingkat yang lebih luas, dogmatisme dapat dengan mudah
dilihat di dalam agama dan politik. Keyakinan agama dan politik
tertentu dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh ditanya.
Siapa yang berani bertanya, apalagi mengritik, dianggap sebagai
musuh yang harus dihancurkan. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa
dogmatisme adalah penyakit paling berbahaya di dalam kehidupan
bersama umat manusia.
Dogmatisme
Dogmatisme adalah keyakinan mutlak tanpa tanya pada suatu
bentuk rumusan konseptual. Rumusan tersebut bisa dalam bentuk
perintah moral, atau penjelasan atas sesuatu yang tak boleh lagi
dipertanyakan. Segala hal di alam semesta ini selalu bisa untuk
dipertanyakan. Namun, dogmatisme melarang segala bentuk pertanyaan
tersebut.Yang sering ditemukan adalah dogmatisme di dalam bidang moral
yang berpijak pada keyakinan agama tertentu. Orang hidup dengan
keyakinan mutlak atas kebenaran pikiran diri dan kelompoknya. Ia
pun bergerak untuk memaksakan keyakinan tersebut pada orang lain.
Tidak ada toleransi dan kelembutan di dalam penerapannya.
Orang dogmatis dapat dianggap seperti orang yang buta pikirannya.
Ia menutup mata dari kenyataan dunia ini yang beragam dan terus
berubah. Orang ini seringkali tidak sadar, bahwa ia bersikap dogmatis.
Ia memaksakan tata nilainya ke dirinya sendiri dan ke orang lain,
tanpa ada kesadaran sedikit pun, bahwa dunia ini dipenuhi dengan
ketidakpastian dan perubahan.
Selain buta, orang dogmatis juga biasanya dipenuhi ketakutan. Ia
merasa, jika dunia berjalan tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai
hidupnya, maka semua akan hancur. Ia mengira, bahwa seluruh alam
semesta ada dan bergerak dengan berpijak pada nilai-nilai hidup yang
ia yakini tanpa tanya. Tak salah juga jika dikatakan, sikap dogmatis
tidak hanya terkait dengan kebutaan dan ketakutan, namun juga dengan
kebodohan.
Dogmatisme juga membuat suatu nilai yang sejatinya baik menjadi
rusak. Setiap orang perlu hidup dengan nilai di dalam hidupnya.
Namun, ketika nilai tersebut diyakini secara dogmatis, maka nilai
itu akan menjadi sumber masalah bagi hidup pribadi orang tersebut,
maupun hubungannya dengan orang lain. Dogmatisme meruntuhkan
keluruhan suatu nilai, dan menjadikannya sumber pembenaran bagi
segala bentuk kekerasan dan kejahatan.
Orang yang dogmatis juga akan cenderung mengalami penderitaan
di dalam dirinya, karena keyakinannya akan terus berbenturan dengan
kenya -taan yang ada. Benturan ini menghasilkan penderitaan tidak
hanya di dalam batinnya, namun juga penderitaan bagi orang-orang
yang di sekitarnya. Kesadaran akan sikap dogmatis di dalam diri ini
lalu kerap kali mendorong orang untuk mencari jalan keluar.Bagaimana keluar dari penyakit dogmatisme semacam ini? Yang
jelas, kita harus terlebih dahulu sadar pada segala bentuk sikap dan
pikiran dogmatis di dalam diri kita. Apakah kita punya kepercayaan
yang tidak boleh lagi dipertanyakan? Jika masih ada satu saja
kepercayaan di dalam hidup kita yang tidak boleh lagi digoyang
dengan pertanyaan, maka kita adalah orang yang dogmatis.
Akar dari dogmatisme adalah kelekatan pada ide. Kelekatan adalah
anggapan, bahwa orang tidak bisa hidup tanpa suatu ide tertentu. Pada
tingkat yang lebih luas, orang yang melekat ini berpikir, bahwa dunia
ini akan hancur, jika tidak ditata dengan satu cara tertentu yang tidak
boleh dipertanyakan. Kelekatan juga berakar dalam pada ketakutan
dan kebodohan, atau lebih tepatnya pada kesalahan berpikir di dalam
melihat dunia.
Jika kelekatan adalah akar dogmatisme, maka jalan keluar dari
penyakit dogmatisme adalah dengan mencabut akar kelekatan. Akar
kelekatan bisa dicabut, jika kita mengubah struktur kesadaran kita,
yakni dengan menyadari sepenuhnya, bahwa segala kenyataan yang
tampil di depan mata dan pikiran kita adalah sesuatu yang terus
berubah. Akibat dari perubahan yang terjadi di setiap saatnya ini,
maka dapat juga dikatakan, bahwa kenyataan yang di depan mata
dan pikiran kita adalah semu. Ia bukanlah kenyataan sesungguhnya,
karena ketika kita menyebutnya sebagai kenyataan, ia segera pergi
dan berubah.
Dengan sampai pada kesadaran ini, kita lalu secara otomatis
melepas kelekatan yang kita miliki. Ketika kita melepaskan kelekatan,
kita melepaskan dogmatisme. Bersamaan dengan itu juga, segala bentuk
ketakutan dan kebodohan, yakni kesalahan berpikir di dalam melihat
kenyataan, juga lenyap. Ketika ketakutan, dogmatisme dan kelekatan
lenyap, maka perdamaian antar manusia sekaligus kedamaian di dalam
diri menjadi kenyataan.
Apa yang terjadi, ketika orang melepaskan segala bentuk
dogmatisme di dalam dirinya? Apa yang terjadi kemudian, ketika orang
melepaskan segala bentuk kelekatan, ketakutan dan kesalahan berpikir
di dalam dirinya? Yang terjadi kemudian adalah orang tersebut kembali
ke jati diri alamiahnya. Hidup nya menjadi sepenuhnya mengalir di
dalam kenyataan yang terus berubah, sekaligus bisa menanggapi
berbagai keadaan yang muncul secara tepat dan jernih.
Segala bentuk kekerasan juga lenyap. Ini terjadi, karena tidak ada
lagi keterpisahan antara diri pribadiku dengan alam semesta. Dengan
kata lain, ketika segala bentuk kelekatan dan dogmatisme dilepas,
maka orang kembali terhubung dengan alam semesta. Ia adalah alam
semesta, dan alam semesta adalah dia.
Perdamaian dunia tidak akan pernah tercipta, jika orang masih
hidup dalam kelekatan dan dogmatismenya masing-masing. Uang
dan beragam proyek perdamaian bisa digelontorkan. Akan namun , jika
semua itu masih menyelipkan satu bentuk dogmatisme dan kelekatan
saja, maka semuanya akan berantakan. Bukankah itu yang kita alami
sekarang ini?
Kejahatan dari Kebaikan
Sejak kecil, kita diajarkan untuk berbuat baik. Kita diajarkan
untuk membantu orang yang kesusahan. Kita diajarkan untuk berani
bertindak, ketika orang lain membutuhkan bantuan kita. Semua ini
tentu baik.
Berbuat baik adalah nilai yang cukup universal. Semua agama dan
fi lsafat mengajarkannya. Ini ditemukan di semua peradaban yang telah
dikenal ma nusia. Namun, ada masalah tersembunyi di sini.
Banyak perbuatan baik justru membuat susah orang lain. Banyak
orang akhirnya hidup dalam ketergantungan pada kebaikan orang
lain. Mereka menjadi malas untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam
hidupnya. Pepatah lama kiranya benar, bahwa jalan ke neraka kerap
kali dilapisi dengan kehendak baik.
Pada kasus-kasus yang lebih parah, perbuatan baik justru
membunuh orang lain. Perbuatan baik menciptakan hubunganhubungan antar manusia yang tidak adil. Hitler memusnahkah orang
Yahudi atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman pada awal
abad 20. Suharto membantai ratusan ribu atas nama kehendak baik
bagi kejayaan Republik negara kita.
Sekarang ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh,
menyiksa dan memperkosa warga di Irak dan Suriah. Mereka melakukannya atas nama agama. Mereka mengira, perbuatannya adalah
perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama ditemukan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara.
Mengapa begitu banyak perbuatan baik justru menghasilkan
penderitaan yang lebih besar? Mengapa kehendak baik seringkali
bermuara pada mala petaka? Mengapa berbuat baik justru berbahaya?
Mari kita kupas bersama.
Kebaikan dan Kejernihan
Berbuat baik menjadi petaka, ketika itu dilakukan dengan pamrih.
Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, ketika ia dilumuri dengan
kepentingan kotor. Ini terjadi, karena orang yang berbuat baik tidak
memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan
untung rugi dan nafsu jahat.
Enomiya-Lasalle, Zen Master dari Jerman, menegaskan, bahwa
kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri
sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa
dan konsep. Seluruh ajaran fi lsafat, mistik dan agama di seluruh dunia
mengajarkan kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia.
Sayangnya, kita lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada
jati diri sejati kita sebagai manusia.
Dengan menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia, kita lalu
juga sadar, bahwa jati diri sejati kita sama dengan jati diri sejati seluruh
alam semesta. Kita semua adalah satu. Tidak ada perbedaan. Perbedaan
hanya dibuat oleh bahasa, konsep dan pikiran yang kita rumuskan
sendiri.
Man Gong, Zen Master asal Korea, juga menegaskan, bahwa
tugas utama kita sebagai manusia adalah menyadari jati diri sejati
kita. Semua tugas lain perlu dikesampingkan, supaya kita bisa sampai
pada kesadaran semacam ini. Tanpa kesadaran akan jati diri sejati
kita sebagai manusia, hidup kita akan terus dipenuhi penderitaan,
walaupun kita kaya dan sukses di mata masyarakat. Menyadari jati
diri sejati kita adalah tugas asli kita sebagai manusia, ketika dilahirkan
ke dunia.
Kejernihan yang lahir dari kesadaran ini membuat kita juga menjadi
kritis. Kita tidak lagi menjadi manusia naif yang gampang percaya. Kita
melihat kenyataan yang sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang
diberikan kepada kita oleh media, atau pihak-pihak lain yang hendak
menyembunyikan kebenaran. Kita tidak lagi gampang tertipu oleh
segala bentuk pencitraan.
Bentuk Berbuat baik
Seung Sahn, Zen master asal Korea, merumuskan empat bentuk
berbuat baik. Ini penting sekali untuk diperhatikan. Yang pertama
adalah berbuat baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan fi sik. Ketika
ada orang lapar, kita beri makan. Ketika orang kehausan, kita beri
minum. Ini bentuk tindakan baik yang paling rendah.
Yang kedua adalah bertindak baik dengan memberikan inspirasi
pada orang lain untuk mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi,
supaya ia lalu bisa bekerja sendiri. Ia juga bisa memotivasi dirinya,
ketika keadaan menjadi sulit. Ia menjadi api bagi dirinya sendiri untuk
berkembang.
Yang ketiga adalah berbuat baik dengan menjelaskan kepada
orang lain hakekat sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya,
kita mengajarkan kepada orang lain tentang kebenaran dari kenyataan
sebagaimana adanya. Kita tidak menipu mereka dengan ajaran maupun
konsep yang terlihat indah, namun palsu. Dengan kata lain, kita memberikan ”kebenaran” kepada orang lain.
Yang keempat, dan tertinggi, adalah berbuat baik dengan menjelaskan fungsi yang tepat dari segala sesuatu kepada orang lain,
sehingga orang lain bisa menggunakan segala hal yang ia punya
untuk menolong semua mahluk. Di dalam tradisi Zen, ini disebut
juga jalan BodhisaĴ va. Orang tidak menolak apapun. Orang menerima
segala nya, termasuk hal-hal yang dianggap jelek oleh masyarakat, dan
kemudian menggunakan semuanya untuk menolong semua mahluk.
Namun, kesadaran akan fungsi yang tepat dari segala sesuatu ini
hanya mungkin, jika kita menyadari jati diri sejati kita. Keduanya tidak
bisa dipisahkan. Untuk mencapai ini, orang kerap kali perlu mengalami
penderitaan di dalam hidupnya. Penderitaan disini dilihat sebagai
bagian dari jalan menuju kesadaran.
”Jangan” Berbuat Baik
Keempat bentuk kebaikan di atas harus dilakukan, jika kita sudah
memperoleh kejernihan di dalam batin dan pikiran kita. Jika pikiran
kita masih kacau oleh kepentingan diri dan nafsu kotor, maka jangan
berbuat baik. Jika kita pikiran kita masih dilumuri oleh perhitungan
untung rugi, maka jangan berbuat baik. Perbuatan baik yang didasarioleh pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan
dan penderitaan yang lebih besar.
Dalam arti ini, kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu,
sebelum menolong orang lain. Kita perlu berbuat baik pada diri kita
sendiri dulu, sebelum kita berbuat baik pada orang lain. Artinya, kita
perlu untuk ”selesai” dengan segala pamrih dan perhitungan di dalam
diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum membantu orang lain. Jika
kita belum ”selesai” dengan diri kita sendiri, maka jangan membantu
orang lain.
Bukankah orang buta menuntun orang buta akan membuat
keduanya masuk ke dalam jurang?
Kita hidup kini di dalam jaringan dunia virtual. Begitu banyak
orang menghabiskan waktunya di beragam situs jaringan sosial
di Internet, seperti Facebook, Path, Instagram dan sebagainya. Beragam
situs ini menjadi sumber informasi utama. Bahkan tak berlebihan jika
dikatakan, bahwa situs-situs ini kini menjadi media pendidikan utama
begitu banyak orang di dunia sekarang ini.
Dengan bantuan situs-situs di dunia virtual ini, orang merasa
didekatkan satu sama lain. Mereka merasa dekat dengan teman
mau pun keluarga, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu.
Para aktivis sosial dan politik bahkan menggunakan situs-situs ini
untuk menyebarkan misi dan pandangan mereka. Namun, apakah
hubungan yang diciptakan melalui situs-situs dunia virtual ini sungguh
merupakan sebuah hubungan yang bermutu?
Pendangkalan Sosial
Kita sering melihat orang-orang berkumpul di suatu tempat,
namun mereka sibuk sendiri dengan teleponnya masing-masing.
Mereka bersama, namun tidak bersama. Mereka dekat, sekaligus jauh.
Badan mereka di tempat yang sama. Namun, pikiran mereka terpisah
ribuan, bahkan ratusan ribu kilo meter.
Komunitas di dunia sehari-hari terpisah, ketika justru komunitas
di dunia virtual bertumbuh. Orang lebih nyaman dengan layar
komputer, daripada dengan wajah temannya, atau justru keluarganya.
Komunikasi pun menjadi sedemikian dangkal, karena terbatas pada
beberapa potong kalimat di layar komputer ataupun telepon genggam
yang kerap kali justru menciptakan kesalahpahaman. Gerak tubuh dan mimik wajah, yang merupakan bagian penting dari komunikasi antar
manusia, kini terlupakan.
Situs-situs di dunia virtual ini, yang juga disebut sebagai jaringan
sosial, adalah bentuk hubungan yang memisahkan. Mereka menciptakan
hubungan semu yang justru menghancurkan hubungan antar manusia
yang sejati. Mereka justru memecah hubungan antar manusia. Mereka
menjadikan hubungan antar manusia menjadi sedemikian dangkal dan,
seringkali, penuh kepalsuan serta kebohongan.
Yang tercipta kemudian adalah keterputusan antar manusia.
Komunikasi sejati digantikan dengan komunikasi palsu dan semu.
Ketidakpedulian pun tercipta. Orang lebih sibuk mengejar gosip
terbaru, daripada memikirkan tantangan-tantangan kehidupan bersama.
Orang lalu mengalami pengalihan isu secara terus menerus. Orang
lebih sibuk menyunting foto makanan terbaru, daripada bekerja sama
untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan di berbagai belahan
dunia. Orang lebih terpikat pada barang-barang elektronik terbaru,
daripada perang dan penderitaan yang diderita oleh tetangganya.
Orang tergeser dari hal-hal penting dalam kehidupan, dan digiring
masuk seperti kambing ke dalam ranah pembodohan dan pendangkalan
dalam bentuk konsumsi tanpa batas.
Solidaritas pun menjadi kata-kata yang hampir punah. Masyarakat
mengalami atomisasi dan distraksi tanpa henti. Komunitas-komunitas
sejati untuk menggiring perubahan terpecah. Komunitas-komunitas
gosip dan pemuja barang-barang konsumsi bertumbuh subur, bagaikan
jamur di musim hujan. Jika solidaritas mati, maka kerja sama antar
manusia untuk mengatasi beragam tantangan bersama pun juga pada
akhirnya akan mati.
Masalah-masalah baru tercipta. Kesenjangan sosial antara si kaya
dan si miskin di berbagai belahan dunia kini semakin besar. Gerak
korporasi rakus di berbagai belahan dunia kini seolah tanpa kontrol.
Tak terasa, umat manusia kini bergerak dengan gembira sekaligus
bodoh menuju kehancurannya sendiri, tanpa ia sadari.Memutuskan untuk Menyambung
Ketika pola komunikasi antar manusia menjadi dangkal dan palsu,
maka manusia-manusia yang berkembang dalam pola komunikasi
semacam itu pun akan menjadi dangkal dan palsu. Maka dari itu,
pola komunikasi yang ada pun harus diubah. Dalam konteks ramainya
situs-situs jaringan sosial dengan pendangkalan serta pemalsuan
informasi, kita perlu memutuskan diri dari semua itu, supaya justru
bisa membangun komunikasi yang sejati. Kita perlu memutus jaringan
justru untuk membangun jaringan yang sejati.
Melepaskan diri dari jaringan sosial yang menipu dan mendangkalkan membuat kita berjarak dari keadaan. Jarak akan mendorong
refl eksi dan analisis yang lebih mendalam. Dari sini akan tercipta
kebijaksanaan. Kebijaksanaan membantu kita secara kritis memilah
beragam informasi yang ada, dan membuat keputusan terbaik dari
segala kemungkinan yang ada.
Pada akhirnya, bukankah hidup akan menjadi begitu hampa dan
dangkal, jika diisi dengan konsumsi tanpa batas dan berita-berita penuh
kebohongan belaka?
Banyak orang mengira, bahwa tingkat pendidikan seseorang
langsung terkait dengan perkembangan tingkat ekonominya. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar
kemungkinannya untuk menjadi kaya. Anggapan ini tersebar begitu
luas dan tertanam begitu dalam di berbagai masyarakat di dunia.
Anggapan ini juga menjadi dasar dari begitu banyak kebijakan pendidikan di berbagai negara di dunia, termasuk di negara kita.
Penelitian Terbaru
Berbagai penelitian terbaru di Jerman dan Austria juga mendukung
anggapan ini. Ludger Wössmann menulis artikel berdasarkan penelitiannya dengan judul Gute Bildung schaff t wirtschaftlichen Wohlstand:
Bildung aus bildungsökonomischer Perspektive (2012). Ia menegaskan,
bahwa pendidikan yang tepat akan mendorong seseorang untuk
mendapatkan pekerjaan yang bermutu untuk mengembangkan
hidupnya. Namun, ia juga mengingatkan, bahwa pendidikan yang
terpaku pada aspek ekonomi belaka justru akan mengurangi daya saing
seseorang di pasar tenaga kerja.
Hasi l penelitian Wössmann ini ditunjang oleh penelitian serupa
yang dibuat di Austria dengan judul Bildung 2025 – Die Rolle von
Bildung in der österreichischen Wirtschaft (2015). Pendidikan yang
murah dan bermutu akan meningkatkan kualitas tenaga kerja, dan
akhirnya juga akan mendorong perkembangan ekonomi keseluruhan.
Namun, yang dibutuhkan adalah pendidikan yang bersifat lintas
ilmu dan lintas budaya. Pendidikan semacam itu tidak hanya akan
menghasilkan manusia-manusia yang terampil bekerja, namun juga
kreatif di dalam menemukan ide-ide baru untuk mengembangkan diri
dan masyarakatnya.
Penelitian yang dibuat di dalam OECD-Studie (Organisation for
Economic Cooperation and Development- terdiri dari 34 negara) (2013)
juga memberikan kesimpulan yang sama. Kualitas pendidikan yang
baik serta terjangkau mendorong tingkat ekonomi suatu negara. Tidak
hanya itu, pendidikan yang terjangkau dan bermutu juga mendorong
daya tahan suatu negara, ketika krisis melanda. Model Jerman, dengan
pemisahan antara pendidikan universitas yang teoritik-abstrak dan
pendidikan Ausbildung yang berfokus langsung pada keterampilan
kerja, menjadi model yang layak dijadikan contoh bagi negara-negara
lain.
Ketiga penelitian yang saya kutip di atas juga menegaskan, bahwa
pendidikan haruslah mengambil bentuk campuran (Mix-Qualifi kationen).
Ia tidak boleh hanya mengajarkan satu hal semata secara dogmatis.
Di samping itu, ia juga harus terjangkau oleh rakyat banyak. Negara
harus mencari cara untuk memberikan subsidi bagi lembaga-lembaga
pendidikan, sehingga ia terjangkau oleh seluruh rakyat, dan jika perlu
bebas biaya sama sekali.
Pendidikan yang Memperbodoh
Pendidikan yang hanya berfokus pada satu hal saja justru
menghancurkan tujuan pendidikan itu sama sekali. Dengan kata lain,
pendidikan semacam itu hanya memperbodoh peserta didik. Di banyak
negara, juga di negara kita, banyak lembaga pendidikan berfokus semata
pada pendidikan ekonomi. Model pendidikan yang hanya terpaku
pada pendidikan ekonomi sempit semata justru akan menghancurkan
dunia pendidikan itu sendiri, dan memperlambat kemajuan ekonomi,
atau bahkan justru merusaknya.
Argumen tersebut ditopang oleh dua penelitian yang dilakukan
oleh Julian Nida-Rümelin di dalam bukunya yang berjudul Philosophie
einer Humanen Bildung (2013) dan Ha-Joon Chang di dalam bukunya
yang berjudul 23 Things They Don’t Tell You About Capitalism (2011).
Kedua penelitian ini sampai pada kesimpulan, bahwa pendidikan
lebih luas dari sekedar pengembangan ekonomi belaka. Pendidikan
yang sejati mendorong orang untuk menjadi warga negara yang baik
di dalam masyarakat demokratis. Model pendidikan semacam ini tidak
hanya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk
kemajuan ekonomi, namun juga manusia-manusia yang bisa secara aktif
dan kreatif terlibat dalam pengembangan kehidupan masyarakat secara
keseluruhan di berbagai bidangnya, mulai dari seni, budaya, sampai
dengan politik.
Di negara kita, kita juga banyak menemukan adanya lembagalembaga pendidikan yang fokus pada nilai-nilai agama semata. Yang
diajarkan hanyalah ajaran suatu agama tertentu, dan menutup mata
pada perkembangan di bidang-bidang lainnya. Pendidikan semacam
ini juga memperbodoh, karena ia akan menciptakan manusia-manusia
fanatik yang ketinggalan jaman, dan tidak memiliki keterampilan yang
dibutuhkan untuk mengembangkan diri dan masyarakatnya. Akibatnya,
banyak lulusannya terjebak dalam kemiskinan, dan akhirnya jatuh ke
dalam kriminalitas.
Pendidikan jelas membutuhkan pendidikan ekonomi. Pendidikan
juga jelas membutuhkan nilai-nilai religiositas. Namun, pendidikan
yang semata berfokus pada aspek ekonomi atau nilai-nilai agama
tertentu jelas akan menghancurkan pendidikan itu sendiri. Pendidikan
semacam ini justru akan menghancurkan keluhuran nilai-nilai agama
dan mengurangi daya saing ekonomi itu sendiri. Ini adalah pendidikan
yang memperbodoh.
Bukankah suatu bentuk penyiksaan, jika kita belajar di lembaga
pendidikan yang hanya mengajarkan kita untuk menghafal ajaran
agama tertentu secara dogmatis atau hitung-hitungan ekonomi yang
kerap kali tidak akan pernah kita gunakan di dalam hidup kita?
September 2015, industri mobil dunia terguncang oleh skandal.
Volkswagen, salah satu produsen terbesar mobil dunia asal Jerman,
melanggar ketentuan terkait dengan jumlah emisi mobil-mobil hasil
produksinya. Harga saham Volkswagen menurun drastis. Pemecatan
besar-besaran serta denda milyaran Euro pun sudah menunggu di
depan mata.
Banyak analisis diajukan atas masalah ini. Intinya adalah,
Volkswagen telah menipu pemerintah dan masyarakat terkait dengan
jumlah polusi yang dihasilkan oleh mobil-mobilnya. Ia tidak hanya
melanggar hukum dan menodai kepercayaan masyarakat, namun juga
merusak alam. Pola pelanggaran semacam ini sudah terjadi begitu
sering di dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional mengabaikan
semua hal, demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.
Pertanyaan kecil p un menggantung di kepala saya. Mengapa
perusahaan yang sudah begitu kaya dan besar masih saja terjebak pada
kerakusan akan uang? Bukankah mereka sudah amat sangat kaya,
bahkan untuk ukuran perusahaan mobil raksasa yang usianya sudah
hampir 100 tahun? Apa yang sebenarnya terjadi?
Salah Paham
Yang jelas, Volkswagen mengalami kesalahpahaman mendasar.
Mereka mengira, bahwa uang adalah hal terpenting dalam hidup.
Akibatnya, mereka menipu pemerintah dan masyarakat, guna mendapat
uang lebih banyak lagi. Sayangnya, pandangan yang salah semacam
ini justru memukul balik Volkswagen itu sendiri.
Volkswagen tidak sendiri. Begitu banyak orang mengalami kesalahpahaman yang sama. Mereka mengira, hal terpenting di dunia
adalah uang. Ketika uang banyak, mereka justru bingung, dan akhirnya
melakukan hal-hal yang justru menghancurkan diri mereka sendiri.
Mereka bilang, mereka butuh uang untuk hidup. Ini akhirnya
menciptakan semacam lingkaran setan yang tidak masuk akal. Orang
bekerja untuk hidup, sementara hidupnya diisi dengan bekerja lebih
banyak lagi. Tak heran, dengan pola hidup semacam ini, banyak orang
menderita dalam hidupnya.
Banyak orang juga bilang, bahwa mereka mencari uang untuk
keluarga. Ini tentu masuk akal dan benar. Akan namun , apakah bisa
dibenarkan, jika kita mencari uang untuk keluarga kita, dan menipu
keluarga-keluarga lainnya? Lagi pula, seberapa banyak sih uang yang
kita butuhkan untuk menghidupi keluarga kita? Milyaran Euro?
Kebingungan menghasilkan kesalahpahaman semacam ini.
Kesalahpahaman akhirnya membuahkan penderitaan yang lebih
banyak lagi. Kita tidak paham, apa yang terpenting dalam hidup ini,
dan akhirnya melakukan hal-hal bodoh. Orang lain pun kena getahnya,
akibat dari kebodohan kita.
Yang Terpenting
Lalu, apa yang terpenting dalam hidup ini? Jawabannya jelas bukan
uang. Saya bahkan berani berpendapat, bahwa yang terpenting dalam
hidup ini pun bukan hidup itu sendiri. Keluarga, bahkan memahami
”tuhan”, pun juga bukan merupakan hal terpenting dalam hidup ini.
Hidup, uang, keluarga dan tuhan tentu penting, namun bukanlah yang
terpenting.
Yang terpenting dalam hidup ini adalah memahami, siapa kita
sebenarnya. Kita punya tugas utama dalam hidup ini, yakni menyadari
jati diri sejati kita sebagai manusia. Jika kita bisa menyadari ini, maka
kita akan menemukan kebebasan serta kebahagiaan yang sejati. Kita
pun lalu bisa membantu mengembangkan kehidupan orang lain dan
masyarakat kita.
Ini bukan hanya pandangan saya. Beragam pandangan di berbagai
belahan dunia juga berpendapat yang sama. Tradisi Vedanta di India,
fi lsafat Stoa di Yunani Kuno, tradisi Mistik Kristen, tradisi Sufi sme
di Islam, tradisi Zen di Jepang dan pandangan hidup suku Sioux di
Amerika Utara menanyakan pertanyaan penting yang sama, siapakah
kita sesungguhnya? Pertanyaan ini adalah pertanyaan terpenting di
dalam hidup manusia.
Jati Diri Sejati
Yang jelas, kita bukanlah nama kita. Nama adalah pemberian orang
tua. Itu bisa diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita.
Semua itu bisa berubah.
Kita perlu mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita
berubah. Pikiran kita pun berubah. Yang tak berubah adalah jati diri
sejati kita sebagai manusia.
Jati diri ini adalah kesadaran murni (pure awareness) kita. Namun,
kesadaran bukanlah otak. Otak adalah bagian dari tubuh. Dan kita
jelas bukanlah tubuh kita.
Kesadaran inilah yang memungkinkan kita membaca tulisan ini.
Kesadaran inilah yang memungkinkan kita terus bernafas. Ia adalah
sumber dari segala aktivitas di dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan
ketika kita pikun, atau masuk dalam keadaan koma.
Kesadaran Murni
Sayangnya, kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa,
bahwa kita bukanlah identitas sosial kita. Kita melupakan jati diri sejati
kita, meskipun ia selalu ada bersama kita. Untuk melampaui kelupaan
semacam ini, ada satu metode yang bisa digunakan, yakni metode
mencerap (perceiving method).Sejak kita lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu.
Kita merasakan segala sesuatu secara langsung. Kita tidak menilai
ataupun menganalisis. Kita bisa mencerap, karena kita memiliki
kesadaran murni di dalam diri kita.
Lalu, kita belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga
belajar di sekolah. Kita juga mulai belajar untuk melakukan analisis dan
penilaian atas segala sesuatu. Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap,
dan selalu menggunakan daya analisis dan daya penilaian di dalam
hidup kita.
Ketika ini terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni kesadaran murni kita. Kita terjebak pada dunia konsep dan dunia analisis.
Kita menilai segala sesuatu. Kita pun sulit untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan di dalam hidup kita, karena terlalu banyak berpikir.
Analisis jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian
juga amat penting. Namun, keduanya bukanlah yang terpenting. Yang
terpenting adalah kesadaran murni kita.
Kesadaran murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan
daya penilaian kita. Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, namun
dapat dengan mudah dirasakan. Kita hanya perlu berhenti untuk
menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu mencerap segala yang ada
dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.
Ketika ini dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan
ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri. Kita
lalu bisa menolong diri kita sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi
dengan baik sebagai manusia.
Melampaui Kelekatan
Ketika kita menyadari kembali kesadaran murni kita, segala
kelekatan pun hilang. Kita tidak lagi melekat pada harta, uang,
jabatan, keluarga dan bahkan pada hidup itu sendiri. Kita menemukan
kebebasan yang sejatiDengan kata lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa,
jabatan dan bahkan hidup itu sendiri. Kita bisa menggunakan itu
semua sesuai fungsinya. Kita juga bisa menggunakan itu semua untuk
membantu orang lain. Bahkan, kita bersedia mati untuk menyelamatkan
orang lain.
Ketika kita menyadari kembali kesadaran murni kita, kita
menciptakan jarak dengan segala hal. Kita tidak lagi terikat dengan
identitas sosial maupun pikiran-pikiran kita. Kita lalu sadar, bahwa itu
semua terus berubah, dan amat rapuh. Jarak semacam ini menciptakan
kejernihan dan kewarasan di dalam diri kita.
Dengan kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih
dari saat ke saat. Kita mencerap dari saat ke saat. Kita menggunakan
analisis dan penilaian, jika diperlukan. Selebihnya, kita beristirahat di
dalam rumah kesadaran murni di dalam diri kita sendiri.
Jika setiap orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya,
hidup bersama akan menjadi mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber
bagi konfl ik, melainkan sumber bagi dialog. Politik menjadi efektif dan
efi sien. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun hanya tinggal kenangan.
Jika para pemimpin Volkswagen belajar hal ini, tentu mereka
tidak akan terjebak dalam skandal. Pemerintah dan masyarakat juga
tidak akan tertipu mentah-mentah. Alam juga tidak akan rusak, karena
kerakusan mereka. Namun begitu, kesempatan masih terbuka, juga
bagi Volkswagen.
Untuk apa kekayaan berlimpah, namun kita tidak mengenal, siapa
diri kita? Untuk apa nama besar dan jabatan tinggi, namun kita hidup
dalam kelekatan dan penderitaan? Untuk apa memiliki kecerdasan
tinggi, namun terjebak terus dalam kecemasan dan kesepian? Saya harap,
kita mulai tergerak untuk melakukan tugas utama kita di dalam hidup,
yakni menyadari kembali jati diri sejati kita sebagai manusia.Pembakaran hutan di negara kita adalah masalah lama. Ini sudah
terjadi bertahun-tahun. Namun, masalah ini semakin besar belakangan
ini, ketika asap mulai menutupi beragam tempat di negara kita dan
beberapa negara tetangga. Kerugian yang diciptakan oleh musibah ini
menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Hutan rusak. Keseimbangan ekosistem alam terancam. Ini tentu
akan membawa beragam dampak lingkungan lainnya. Kita juga
belum menghitung jumlah hewan dan tumbuhan yang mati, akibat
pembakaran hutan tersebut.
Ketika kabut asap me nutupi berbagai tempat, masalah kesehatan
pun muncul. Banyak orang menderita infeksi saluran pernapasan atas,
akibat masalah ini. Bahkan, di beberapa tempat, korban jiwa pun sudah
berjatuhan. Jika terus berlanjut, beragam masalah kesehatan lainnya
juga akan muncul.
Masyarakat sudah tahu, bahwa perusahaan-perusahaan besar
adalah pelaku utama pembakaran hutan ini. Mereka tidak lagi
percaya pada perusa haan-perusahaan tersebut. Ketidakpercayaan
sosial semacam ini menciptakan keresahan sosial. Dari keadaan ini,
banyak masalah sosial lainnya juga akan muncul, mulai dari konfl ik
antar kelompok, sampai dengan kekerasan terhadap orang-orang yang
tak bersalah.
Dalam banyak kasus, pelaku utama pembakaran hutan ini
tetap tidak tersentuh. Ini tentu menjadi masalah hukum tersendiri.
Perusahaan-perusahaan besar, banyak darinya adalah perusahaan
asing, menyuap pegawai pemerintah dan aparat hukum, sehingga
mereka lolos dari gugatan hukum. Hal ini tidak hanya merusak
kewibaan hukum negara kita, namun juga merendahkan konstitusi dasar
negara ini sendiri.
Cuaca yang semakin panas juga tidak membantu. Ini terjadi,
akibat perubahan iklim yang kini sedang melanda bumi ini. Jika
ditelisik lebih dalam, para pelaku utama pengrusakan lingkungan
yang mengakibatkan perubahan iklim ini jugalah para perusahaan
besar, terutama perusahaan-perusahaan multinasional. Kasus penipuan
Volkswagen dan beberapa perusahaan mobil lainnya belakangan
menunjukkan hal ini dengan jelas.
Ignatius Wibowo, pakar ekonomi politik negara kita, juga melihat
peran negara dalam hal ini. Negara tidak hanya membiarkan berbagai
pelanggaran ini terjadi, namun justru mendukungnya. Negara, katanya,
menjadi centeng dari perusahaan-perusahaan besar. Ini membuat
seluruh keadaan menjadi semakin rumit.
Di dalam penelitiannya, Herry Priyono, fi lsuf dan pakar ekonomi
politik, juga berulang kali menegaskan kekuasaan perusahaanperusahaan besar ini. Ia merumuskan semacam teori kekuasaan bisnis.
Tidak ada kontrol demokratis dari rakyat pada perusahaan-perusahaan
ini. Akibatnya, mereka bisa bertindak semuanya untuk meningkatkan
keuntungan, walaupun itu merugikan masyarakat luas.
Beberapa perusahaan multinasional juga memiliki sumber daya
raksasa yang melebihi negara. Dengan kekayaan semacam ini, mereka
bisa mempengaruhi berbagai kebijakan nasional maupun internasional,
demi keuntungan mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah negara
miskin, terutama rakyat miskin yang hidup di negara miskin. Jutaan
orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya sebagai
akibat dari kebijakan perusahaan-perusahaan besar ini, baik secara
langsung maupun tidak.
Revolusi Institusi Bisnis
Jelas, bahwa perubahan mendasar diperlukan. Perusahaanperusahaan besar perlu mengalami revolusi dari struktur dasarnya
supaya ia tidak lagi mengorbankan kepentingan masyarakat luas, demi
keuntungan ekonomi semata. Sepak terjangnya perlu berada di bawah
kontrol masyarakat luas. Namun, bagaimana ini dilakukan?
Pandangan lama mengatakan, bahwa perusahaan dimiliki oleh para
pemegang saham. Ini terjadi di mayoritas perusahaan-perusahaan besar
di dunia. Maka dari itu, perusahaan harus dijalankan dengan mengabdi
pada kepentingan pemegang saham tersebut. Pendapatan para
pemegang saham amat tergantung dari keberhasilan perusahaannya
menjalankan bisnis.
Di dalam berbagai kebijakannya, para pemegang saham ini hanya
memperhatikan satu hal, yakni bagaimana supaya perusahaan meraih
keuntungan lebih besar lagi. Jika perusahaan bangkrut, maka mereka
kehilangan segalanya. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Ha-Joon
Chang, ekonom dari Universitas Cambridge, para pemegang saham
hanya sibuk dengan keuntungan jangan pendek semata. Ini dilakukan
dengan mengorbankan investasi jangka panjang, dan juga seringkali
mengorbankan kepentingan kelompok-kelompok lainnya.
Ketika krisis melanda, para pemegang saham juga bersikap
reaksioner dengan menjual saham mereka. Ini membuat keadaan
perusahaan menjadi semakin sulit. Korban terbesar tentu di kalangan
pekerja perusahaan tersebut. Ketika pemecatan besar-besaran terjadi,
masyarakat luas dan negara pun mengalami kerugian. Ini yang kerap
tidak diperhatikan oleh para pemegang saham.
Akuntabilitas Bisnis
Jalan keluar dari masalah ini adalah dengan mengubah struktur
kepe milikan perusahaan. Di beberapa negara, pemiliki perusahaanperusahaan besar bukan hanya para pemegang saham, namun juga
pemerintah dan beberapa elemen masyarakat sipil, seperti perwakilan
pekerja dan tokoh masyarakat yang dianggap mumpuni. Kebijakan
nasional dibuat, supaya susunan ini tidak dengan mudah dirubah,
terutama jika krisis melanda.
Perusahaan Renault di Prancis sudah menjalankan ini. Beberapa
Bank besar di Korea, Jepang dan negara-negara Eropa menggunakan
struktur kepemilikan perusahaan semacam ini. Semua ini dilakukan,
supaya bisnis tetap berada dalam kontrol masyarakat luas, terutama
dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan. Ketika struktur
kepemilikan sudah diatur ulang, maka kebijakan-kebijakan perusahaanperusahaan besar itu pun bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Model semacam ini juga menjami keberlangsungan (Nachhaltigkeit)
perusahaan dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat yang lebih
luas dan pelestarian lingkungan hidup. Franz Joseph Radermacher,
ahli teknologi dan ekologi di Jerman, menyebutnya sebagai tata kelola
ekonomi yang berpijak pada kesadaran sosial dan ekologis (ökosoziale
Marktwirtschaft). Kontrol dari pemerintah dan masyarakat sipil tidak
hanya berlangsung dari luar perusahaan, seperti yang sekarang ini
terjadi, namun juga dari dalam perusahaan itu sendiri, yakni dari para
pemiliknya. Model semacam ini juga memastikan investasi jangka
panjang di dalam perusahaan tersebut bisa terus berlangsung.
Di tengah beragam pelanggaran berat yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia, revolusi dari institusi
bisnis mutlak diperlukan. Kita sudah lelah dengan eksploitasi tenaga
kerja oleh perusahaan-perusahaan besar yang menekan upah buruh
serendah-rendahnya. Kita juga sudah lelah dengan eksploitasi sumber
daya alam yang mereka lakukan. Kita sudah jenuh dengan kebijakan
pembuangan limbah sembarangan, sampai dengan pembakaran hutan,
demi keuntungan ekonomi sesaat perusahaan-perusahaan tersebut.
Untuk apa sebuah negara memiliki perusahaan-perusahaan raksasa
dengan modal besar, namun alamnya rusak? Untuk apa sebuah negara
memiliki gemilau perusahaan-perusahaan dengan merk keren, namun
kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu besar? Bukankah ini
akan menciptakan keadaan hidup bersama yang tidak nyaman? Lebih
dari itu, bukankah ini akan menciptakan keadaan yang subur untuk
kebencian, iri hati dan akhirnya konfl ik yang memakan banyak korban?
Mau sampai kapan?
Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang
terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi.
Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun,
latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik
sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan
orang lain.
Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan
pemuka agama. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak,
karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali,
mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemerkosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap
mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka
alami.
Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para
manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka menggunakan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga
tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu.
Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk tujuan-tujuan
yang merusak.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak
menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang
mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru
menjadi lebih bejat dengan menggunakan pembenaran-pembenaran
palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.
Akar dari gejala ini adalah cacat di dalam paradigma pendidikan
kita di negara kita. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi
Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari duaaspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman.
Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang
tidak hanya untuk cerdas, namun juga terbang menuju kebijaksanaan.
Pengetahuan bisa diperoleh, ketika kita mendengar ajaran dari
orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca
buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu
hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan
semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak antara
diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.
Yang lebih penting adalah pengalaman. Pengalaman disini adalah
per sentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih
dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika
orang melakukan refl eksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri,
guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang
kurang di dalam paradigma pendidikan di negara kita.
Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui
segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial.
Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari
kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan
pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam
kebijaksanaan.
Ketika pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan
manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan hanya memiliki satu
sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang
cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan
menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan korupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus
pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak
terampil, dan tidak memiliki arah.
Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di
muka bumi ini. Yang kita butuhkan adalah orang yang hidup dalam
dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat
apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya
digunakan untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan?
Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong
dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk
dirinya sendiri, namun untuk orang lain?
Mereka menyebutnya ”Jumat tanggal 13”, seperti dalam fi lm horror
terkenal Friday the 13th. Salah satu kota terbesar Eropa tersebut
dihantam serangan teror di berbagai tempat pada 13 November 2015.
Sampai tulisan ini dibuat, lebih dari 140 orang mati terbunuh di Paris.
Ketakutan dan kemarahan bagaikan udara yang kini dihirup tidak
hanya oleh para penduduk kota Paris, namun juga oleh seluruh Eropa.
Lingkaran Kekerasan
Lingkaran kekerasan kini berlanjut, dan ini tak dapat dipisahkan
dari brutalitas yang telah terjadi sebelumnya. Amerika Serikat, dengan
Prancis dan berbagai negara di Eropa lainnya sebagai sekutunya, sudah
menyerang Irak dan menurunkan Sadam Hussein dengan paksa. Ini
dimulai sejak serangan 2003 lalu. AS dan sekutunya juga menyerbu
Libya dengan kekerasan militer yang brutal. Sampai detik ini, AS dan
sekutunya terus mendukung gerakan teroris yang menyerang pemerintahan Assad di Suriah.
Jutaan orang terbunuh, akibat serangan militer brutal tersebut.
Akibatnya, seluruh Timur Tengah masuk ke dalam kekacauan. Kelompok teroris seperti ISIL, Al Qaeda dan Taliban memperoleh angin segar
untuk terus menyebarkan teror mereka. Sementara, AS dan sekutunya,
termasuk Arab Saudi, terus memberikan dukungan dana dan senjata
kepada beragam kelompok ekstrimis Islam di Timur Tengah, guna
menyerang Iran dan sekutunya.
AS dan sekutunya secara sengaja menciptakan dan mendukung
gerakan ekstrimis Islam di berbagai penjuru dunia demi memenuhi
kepentingan politik mereka. Di satu sisi, ada kepentingan penguasaan
minyak di Timur Tengah. Di sisi lain, ada kepentingan untuk melindungi Israel dengan kebijakan rasis dan merusaknya di Palestina.
Ini bukan rahasia lagi sebenarnya.
Apa yang terjadi di Paris pada Jumat 13 November 2015 adalah
bagian dari rantai kekerasan yang telah terjadi sebelumnya. Ini adalah
buah dari dendam, akibat perang dan penderitaan yang dihasilkan
selama ratusan tahun, demi memenuhi kepentingan politik jangka
pendek semata. Hancurnya beragam institusi demokratis sekular di
Timur Tengah dan Asia juga merupakan dampak dari sepak terjang AS
dan sekutunya pada abad 20 lalu. Tak heran, kini Timur Tengah hidup
dalam kemiskinan akut, kesenjangan sosial ekstrem dan kekerasan
yang tak kunjung henti.
Sebab Akibat
Rantai sebab akibat sebenarnya amat jelas dalam hal ini. Kekerasan
kolonialisme yang berlangsung selama lebih dari 500 tahun oleh
negara-negara Eropa, ditambah dengan kebijakan luar negeri AS dan
sekutunya dewasa ini, telah menciptakan beragam gerakan teroris
ekstrem di seluruh dunia sekarang ini. Gerakan teror ini bukanlah
sebuah kebetulan, melainkan bagian dari lingkaran kekerasan dan
sebab akibat yang memiliki pola yang jelas. Semuanya tercatat dan
terbuka untuk mata kita, asal kita mau melihat.
Darah mereka yang terbunuh di Paris 13 November 2015 terkait
erat dengan kekerasan dan kerakusan yang telah terjadi sebelumnya.
Ini bukan cerita sederhana soal orang jahat yang menyerang orang
baik. Ini adalah cerita soal penderitaan tanpa henti yang menghasilkan
dendam membara untuk melahirkan kekerasan yang lebih besar lagi.
Saya yakin, kekerasan tidak akan berhenti disini. Serangan balik yang
jauh lebih mematikan akan dilakukan oleh pemerintah Prancis dan
sekutunya.
Sejarah mencatat, dendam tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Dendam mendorong kebencian dan kekerasan. Buahnya adalah
penderitaan dan dendam lebih jauh. Dendam membutakan mata kita
dari realitas, dan menggiring kita untuk menciptakan neraka di dunia.
Yang lebih menyedihkan, lingkaran kekerasan dan rantai sebab
akibat yang menghasilkan teror di Paris amatlah jelas dan terang.
Informasi tentang hal ini terbuka lebar untuk dibaca dan dianalisis oleh
masyarakat luas. Namun, ini semua ini diabaikan. Orang lebih senang
tenggelam dalam pola hidup konsumtif dan hedonis tanpa henti, serta
hidup dalam prasangka pada mereka yang memiliki pandangan hidup
yang berbeda.
Dendam harus Berhenti
Jalan keluar dari semua ini hanya satu, berhenti membalas. Kita
harus kembali belajar pada ajaran luhur yang menghasilkan peradaban
tinggi di dunia, bahwa pengampunan adalah jalan keluar dari segala
kekerasan. Selama dendam masih membara di dada, selama itu pula
kematian, pembunuhan, perang dan penderitaan akan tercipta. Hanya
pengampunan yang berpijak pada kesadaran untuk menghentikan
kekerasan yang bisa memutus kejahatan dan kebencian yang kini terasa
begitu kuat di seluruh dunia.
Logika mata ganti mata sudah terbukti hanya membawa penderitaan
lebih jauh. Keadilan yang dikejar oleh hasrat untuk membalas dendam
tidak akan pernah menciptakan perdamaian yang sejati. Penegakkan
hukum yang berpijak pada kebencian di hati bagaikan melempar
minyak di api kekerasan dan dendam yang masih membara di dada.
Mau sampai kapan?
Namun, pengampunan memang tidak bisa datang dari langit.
Peng ampunan lahir dari kebijaksanaan hati dan pikiran yang terlatih.
Inilah yang kita lupa. Sistem pendidikan dunia sibuk menyuapi orang
dengan fakta, dan lupa untuk melatih pikiran untuk melihat kenyataan
apa adanya. Akibatnya, begitu banyak orang hidup dalam penderitaan
dan delusi yang memperpanjang rantai kekerasan berikutnya.Darah di Paris, di Suriah, di Palestina, di Myanmar, di Tibet,
di Papua dan di seluruh dunia adalah buah dari kedunguan kita
semua. Sampai kapan kita mau membalas dendam untuk luka dan
penderitaan yang kita alami? Sampai kapan kita mau menutup mata
dari fakta, bahwa dendam justru menghancurkan diri kita sendiri,
dan menghasilkan kekerasan serta penderitaan yang lebih besar lagi?
Sampai kapan kita mau hidup seperti ini di dunia?
Taktik adu bomba mungkin adalah taktik yang paling jitu untuk
menjajah bangsa lain. Taktik ini tidak membutuhkan biaya banyak,
namun amat efektif untuk melemahkan lawan. Ia menjadi taktik
utama dari berbagai penguasa absolut di sepanjang sejarah manusia
untuk menjajah dan menaklukan. Tingkat keberhasilannya pun nyaris
sempurna.
Logika Adu Domba
Taktik adu domba menggunakan logika adu domba. Ada empat
ciri utama dari logika ini. Yang pertama adalah penciptaan perpecahan
di dalam masyarakat.
Logika adu domba dimulai dengan menyebarkan sebuah berita
ter tentu yang menciptakan perpecahan dan kecurigaan di dalam kelompok tertentu. Berita ini begitu sensasional, dan biasanya amat sulit
untuk diperiksa kebenarannya. Banyak orang resah atas berita ini.
Keresahan serta kecurigaan tersebut lalu menciptakan perpecahan di
dalam kelompok, yang akhirnya melemahkan persatuan serta kesatuan
kelompok tersebut.
Pemerintah Romawi Kuno menggunakan taktik ini, ketika mereka
menyerbu Yunani sekitar 200 tahun sebelum Masehi lalu di Eropa.
Keduanya adalah negara yang kuat. Namun, Yunani menjadi lemah,
karena ada perpecahan di dalam negaranya. Perpecahan tersebut
disebab kan oleh taktik adu domba yang digunakan oleh tentara
Romawi.
Ciri kedua adalah adanya pihak-pihak tertentu di belakang layar
yang memperoleh keuntungan dari perpecahan yang ada. Pihak-pihak
ini biasanya adalah pihak asing yang memiliki kepentingan tertentu,
terutama kepentingan politik dan ekonomi. Mereka bertanggung
jawab atas berita yang tersebar dan meresahkan masyarakat. Mereka
dikenal sebagai provokator atau aktor di belakang layar yang memicu
perpecahan.
Belanda menggunakan taktik ini, ketika ia hendak menjajah
negara kita lebih dari 300 tahun yang lalu. Beragam kerajaan yang ada
diadu domba, sehingga mereka saling curiga dan bahkan berperang
satu sama lain. Akibatnya, mereka menjadi lemah, dan dengan mudah
dikalahkan oleh Belanda. Belanda lalu akhirnya menjadi penguasa
politik dan ekonomi di berbagai pulau di negara kita.
Ciri ketiga adalah kerja sama terselubung. Di balik kecurigaan
dan perpecahan yang terjadi, ada pihak dari luar yang mengajak salah
satu dari pihak yang terpecah tersebut untuk bekerja sama. Mereka
lalu membentuk persekutuan terselubung. Namun, yang kerap terjadi
adalah persekutuan tersebut lalu hancur, karena pihak dari luar
mengingkari janji mereka.
Inilah pola yang digunakan tentara Amerika Serikat untuk menghancurkan beragam Suku Indian yang ada di Amerika Utara. Pemerintah
AS menyebarkan beragam berita bohong, guna memecah kerja sama
di antara berbagai Suku Indian di Amerika Utara. Pemerintah AS lalu
mengajak salah satu suku untuk bekerja sama, guna menghancurkan
suku Indian lainnya. Namun, kerja sama tersebut lalu hancur, ketika
pemerintah AS mengingkari janji mereka, dan justru menyerang
sekutunya. Ini terjadi berulang kali di Amerika Utara.
Ciri keempat adalah pengalihan isu dan sumber daya. Perpecahan
dan kecurigaan yang terjadi biasanya membuat kelompok masyarakat
tersebut melupakan hal-hal yang penting. Mereka menghabiskan sumber daya mereka untuk berperang satu sama lain, sehingga kekuatan
ekonomi dan budaya mereka pun melemah. Di dalam keadaan itu,
pihak dari luar bisa dengan mudah datang dan menghancurkan
mereka.
Kerajaan Inggris menggunakan taktik ini, ketika mereka hendak
menguasai Cina pada awal abad 20 yang lalu. Mereka memaksa
kekaisaran Cina untuk terus berperang dengan kelompok pemberontak
yang diciptakan oleh kerajaan Inggris. Akibatnya, begitu banyak
sumber daya ekonomi habis untuk berperang, dan Cina pun lalu
menjadi lemah. Kerajaan Inggris lalu menyerang Cina, walaupun tidak
pernah bisa sepenuhnya menaklukkan Cina.
Seperti sudah kita lihat, taktik adu bomba sudah begitu sering
digunakan di dalam sejarah oleh para penjajah di berbagai belahan
dunia. Mereka ingin memperluas kekuasaan dan mengeruk keuntungan
ekonomi secara tidak adil dari bangsa-bangsa lain. Begitu banyak orang
mati, akibat taktik ini. Begitu banyak kerajaan dan bangsa hancur,
akibat taktik ini.
Sikap Kritis Kita
Namun, taktik dan logika adu domba bisa dilawan. Kita perlu
peka terhadap segala bentuk upaya adu domba yang terjadi di masyarakat kita. Kita perlu membangun sikap kritis, sehingga kita tidak
mudah dipecah oleh beragam isu dan berita bohong. Sikap kritis
berarti kita berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rasional
tentang berbagai berita yang kita dengar, terutama berita-berita yang
menimbulkan kecurigaan dan perpecahan.
Di sisi lain, kita juga perlu peka dengan berbagai hubungan kekuasaan yang ada. Kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dari
kecurigaan dan perpecahan yang terjadi? Jika kita menelan mentahmentah berbagai berita yang ada, terutama berita-berita yang disebarkan oleh media-media besar dunia, maka kita akan mudah diadu
domba. Ketika taktik adu domba sudah menyusupi kelompok kita,
maka peluang untuk hancur, akibat penaklukkan pihak luar, akan
menjadi semakin besar.
Belakangan ini, kelompok Muslim di berbagai belahan dunia
menjadi target dari pemberitaan terkait dengan terorisme yang terjadi
di Beirut, Afganistan, Mali dan Prancis. Banyak komunitas Muslim yang
tak bersalah lalu mengalami diskriminasi di berbagai bidang, mulai dari
politik, ekonomi sampai dengan pendidikan. Kita jelas perlu bersikap
kritis terhadap ini. Kita juga perlu peka pada hubungan-hubungan
kekuasaan yang terjadi di belakang pemberitaan ini, terutama soal
pengalihan isu serta tentang pihak-pihak yang diuntungkan dari
perpecahan yang ada.
Kita juga jelas perlu belajar dari sejarah kita sendiri. Nusantara
negara kita takluk dibawah berbagai penjajahan negara-negara Eropa
selama ratusan tahun, akibat taktik adu domba ini. Kita tidak boleh
mengulang kesalahan yang sama. Harganya terlalu mahal, yakni
hancurnya bangsa negara kita dan hilangnya nyawa jutaan orang, seperti
yang terjadi di masa silam, jika kita jatuh kembali pada lubang yang
sama. Harganya sungguh terlalu mahal.
Usiamu 29 tahun. Kamu punya seorang istri, dan dua orang
anak kecil. Kamu punya pekerjaan yang bagus di kota tempat
tinggalmu. Gajimu cukup. Kamu bisa menabung, dan hidup dengan
nyaman. Kamu punya rumah kecil di pinggir kota.
Tiba-tiba, keadaan politik di negaramu berubah. Dalam waktu
beberapa bulan, banyak tentara lalu lalang di depan rumahmu. Mereka
memaksamu untuk ikut berperang bersama mereka. Jika kamu tidak
mau, kamu akan ditembak. Salah seorang tetanggamu berani melawan
mereka. Ia ditembak. Mati.
Salah seorang tentara mengancam untuk memperkosa istrimu. Kamu
tidak merasa aman lagi di rumahmu sendiri. Daerah perumahanmu
sudah nyaris rata dengan tanah, karena dibom. Hampir tidak ada
gedung yang utuh.
Kamu memutuskan untuk membawa seluruh keluargamu ke luar
kota, kembali ke rumah orang tuamu di kota lain. Namun, rumah itu
sudah tidak ada. Orang tuamu juga sudah mati tertembak. Tidak ada
mayat. Tidak ada kabar.
Mereka bilang: ”Namun, para pengungsi itu punya banyak barang
bagus. Mereka punya Smartphone mewah! Baju mereka pun bagusbagus!”
Dalam keadaan panik, kamu dan keluargamu segera berkemas.
Kamu memasukan semua pakaian yang kiranya dibutuhkan untuk
perjalanan. Apa yang akan kamu bawa? Kamu mungkin tidak akan
kembali ke tanah airmu lagi. Bagaimana kamu bisa mendengar kabar
dari mereka? Dengan terburu-buru, kamu memasukkan smartphone
yang kamu punya ke dalam tas. Kamu juga membawa beberapa baju,
beberapa makanan, dan boneka kesayangan anakmu.
Mereka bilang: ”Para pengungsi itu punya banyak uang. Mereka
bisa kabur buktinya!”
Kamu sudah tahu sebelumnya, bahwa krisis akan datang. Kamu
menarik semua uang yang kamu punya dari bank, dan menjual semua
hartamu. Uang 150 juta Rupiah pun terkumpul. Untuk bisa mengungsi
ke negara lain, kamu harus membayar 50 juta rupiah untuk satu kepala.
Dengan sedikit keberuntungan, kamu bisa pergi sebagai satu keluarga.
Jika tidak, kamu harus merelakan istrimu untuk pergi bersama kedua
anakmu. Akhirnya, semua uangmu habis. Yang ada hanya tas berisi
pakaian. Kamu harus berjalan kaki selama dua minggu untuk mencapai
pelabuhan.
Perutmu lapar. Selama seminggu terakhir, kamu nyaris tidak
makan. Tubuhmu lemah. Tubuh istrimu pun juga lemah. Namun,
setidaknya, kedua anakmu mendapatkan cukup makan dan minum.
Mereka terus menangis sepanjang perjalanan. Kamu juga harus
menggendong anakmu yang paling kecil. Usianya baru 21 bulan. Dua
minggu lagi, kamu akan tiba di pelabuhan.
Di malam yang gelap, kamu dan keluargamu masuk ke dalam
kapal bersama para pengungsi lainnya. Kamu beruntung, bahwa
seluruh keluargamu bisa pergi mengungsi. Kapal laut itu terlalu kecil,
dan penumpang terlalu banyak. Semoga ia tidak tenggelam. Orangorang di sekitarmu berteriak dan menangis.
Beberapa anak kecil sudah meninggal, karena kehausan. Mayat
mereka dibuang ke laut begitu saja. Istrimu duduk di pinggir kapal. Dia
tidak makan dan minum selama dua hari ini. Setelah beberapa waktu,
kamu harus berpisah dengan mereka. Istrimu dan anak tertuamu di
satu kapal, dan kamu bersama anak terkecilmu di kapal lain.
Kamu dipaksa untuk tetap diam sepanjang perjalanan, supaya
kapalmu tidak dicurigai tentara. Anak tertuamu mengerti. Namun, anak
terkecilmu terus menangis. Para pengungsi lainnya tampak prihatin.
Mereka meminta kamu untuk menenangkan anakmu. Salah seorang
dari mereka merebut anakmu darimu, dan membuangnya ke laut.
Kamu melompat untuk menyelamatkan dia. Namun, cahaya terlalu
gelap. Udara dan air terlalu dingin. Kamu tidak bisa menemukannya.
Kamu tidak akan pernah bisa melihat dia lagi. Padahal, tiga bulan lagi,
usianya dua tahun….
Mereka bilang: ”Tapi, para pengungsi itu hanya menjadi parasit disini!
Mereka mengemis, tanpa mau berusaha!”
Sampai detik ini, kamu tidak tahu, kemana kamu akan pergi. Kamu
duduk sendiri. Istrimu dan anak tertuamu ada di kapal lain. Kamu
beruntung, akhirnya, kamu bisa bertemu lagi dengan mereka. Istrimu
hanya terdiam, ketika kamu bercerita tentang anak terkecilmu. Anak
tertuamu memeluk boneka adiknya yang telah meninggal. Ia tampak
membeku…
Akhirnya, kamu tiba di daratan. Tempat ini disebut kamp
pengungsi darurat. Orang-orang dengan berbahasa asing berteriak
mengatur keadaan. Ada 500 tempat tidur yang saling berdempetan
satu sama lain.
Lebih dari tiga hari, kamu tidak makan dan minum. Tubuhmu
lemas. Kamu berharap untuk mati saja. Lalu, kamu melihat istri dan
anakmu. Kamu memeluk mereka ke dalam dekapanmu. Kamu tertidur
bersama mereka.
Mereka bilang: ”Mereka sudah enak hidupnya disini. Tidak perlu kerja, tapi
dapat makan! Mereka harus merasa bahagia!”
Esok paginya, kamu mendapat makan dan minumnya untuk
pertama kalinya setelah beberapa hari. Kamu memeriksa teleponmu,
menantikan kabar dari keluargamu di tanah air. Tidak ada kabar
apapun.
Segerombolan orang datang dan berteriak, ”Kembali ke rumahmu! Kamu
tidak diinginkan disini!”
Kamu adalah pengungsi…
Jutaan pengungsi dari Suriah dan beragam negara di Timur Tengah
lainnya mengalami nasib semacam ini setiap harinya. Apakah kita
sudah membantu? Dimana negara kita? Dimana Arab Saudi? Dimana
Qatar? Dimana negara-negara tetangga di Timur Tengah yang mengaku
beragama dan beriman? Bukankah kita seharusnya saling membantu?
Mau berapa mayat lagi dibuang di laut? Mau berapa anak kecil dan
orang tak bersalah lagi yang harus jadi korban?
Diolah dari tulisan Faz Ali dan John Vibes dari media independen TrueActivist.
com
Pemahaman tentang keadilan telah lama menjadi bagian dari
diskusi di dalam fi lsafat Barat. Rainer Forst mencoba ikut serta
di dalam diskusi tersebut di dalam bukunya yang berjudul Das
Recht auf Rechtfertigung: Elemente einer konstruktivistischer Theorie der
Gerechtigkeit yang diterbitkan pada 2007 lalu. Secara sederhana, judul
buku itu dapat diterjemahkan sebagai ”Hak atas Pendasaran: Elemenelemen dari Teori Konstruktivis tentang Keadilan”.
D i Jerman, Rainer Forst dikenal sebagai seorang fi lsuf politik. Ia
memperoleh penghargaan GoĴ fried Wilhelm Leibniz pada 2012 lalu.
Saat ini, ia bekerja sebagai Professor Teori Politik di dalam Departemen
Ilmu Sosial Universitas Johann Wolfgang Goethe di Frankfurt, Jerman.
Ia juga dikenal sebagai penerus tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt.
Di dalam berbagai tulisannya, Forst mencoba membuat sintesis antara
teori-teori keadilan liberal, komunitarisme dan tradisi teori sosial kritis
dari Jerman.
Hak atas Justifi kasi
Bagi Forst, di balik beragam teori keadilan yang berkembang
di dalam fi lsafat Barat, ada satu pengandaian yang sama, yakni
kebutuhan untuk dihargai sebagai manusia yang memiliki hak untuk
memperoleh pendasaran (das Bedürfnis der Rechtfertigung). Ketidakadilan
terjadi, ketika orang tidak dianggap sebagai bagian dari prosesproses yang ada di dalam masyarakat. Ia dianggap tidak ada, dan
beragam keputusan dibuat, tanpa mendengarkan keinginan maupun
kebutuhannya. Pengabaian (Vernachlässigung) semacam ini menjadi
dasar untuk beragam ketidakadilan lainnya, seperti ketidakadilan
politis, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya.
Forst juga menafsir ulang makna dari kata martabat manusia
(Menschenwürde) di dalam fi lsafat politik. Di dalam fi lsafat politiknya,
martabat manusia dipahami sebagai hak dan kemampuan seseorang
untuk memperoleh alasan yang kuat dari berbagai kebijakan dan
tindakan yang mempengaruhi dirinya. Pengandaian dasar dari argumen
ini sejalan dengan fi lsafat politik Habermas, bahwa setiap orang harus
ikut serta secara aktif di dalam proses pembuatan kebijakan yang
nantinya harus ia patuhi.
Teori Keadilan sebagai justifi kasi menyatakan dengan tegas, bahwa
tidak boleh ada satu pun tata politik ataupun tata sosial yang tidak
dapat diterima secara bebas dan masuk akal oleh orang-orang yang
ada di dalamnya. Setiap manusia mempunyai hak, menurut Forst,
untuk tidak hidup di dalam tata sosial, politik, ekonomi ataupun
budaya, yang tidak dapat ia terima secara bebas dan masuk akal
sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak untuk berkata
”tidak” atas sistem moral ataupun aturan yang ditimpakan kepadanya.
Ini hanya mungkin, karena setiap orang memiliki kebebasan untuk
mempertanyakan keabsahan atau justifi kasi (Rechtfertigungsforderung)
dari hukum-hukum maupun tata moral-politik yang dikenakan
kepadanya.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti ”Mengapa hukum
semacam ini yang diberlakukan?”, atau ”Mengapa saya harus menjalani
prosedur semacam ini?”, adalah pertanyaan-pertanyaan terkait dengan
pendasaran, atau justifi kasi. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam
ini, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Yang pertama
adalah kebutuhan akan penjelasan. Yang kedua adalah kebutuhan atas
pendasaran moral dan keadilan dari kebijakan ataupun hukum yang
harus saya patuhi. Jika dua hal itu tak terpenuhi, maka saya punya hak
untuk menolak hukum ataupun kebijakan tersebut. Saya juga punya
hak untuk memperoleh ganti rugi dari pelanggaran martabat yang
telah terjadi pada diri saya.
Di dalam buku ini, Forst juga menjabarkan pandangan beberapa
fi lsuf terkait dengan moralitas sebagai akal budi praktis. Forst hendak
melihat moralitas sebagai prinsip yang memandu kehidupan praktis
manusia di bidang hukum, politik dan ekonomi. Satu prinsip dasar
yang penting disini adalah, bahwa setiap orang harus bisa memberikan
pertanggungjawaban atas tindakannya. Pertanggungjawaban ini
haruslah bisa dimengerti serta dianggap bermutu oleh orang-orang
lainnya yang mungkin tidak memiliki sudut pandang yang sama
dengannya.
Forst di titik ini berada di dalam tradisi pemikiran Kant dan
Habermas, bahwa moralitas adalah bagian dari penentuan diri
ma nusia (Selbstbestimmung). Dengan kata lain, moralitas adalah
otonom. Ia lahir dari kebebasan dan akal budi manusia, serta juga
bisa dimengerti oleh orang-orang lainnya. Seperangkat aturan moral
yang tidak lahir dari kebebasan dan akal budi manusia tidaklah
layak disebut sebagai moralitas. Itu hanya penindasan atas martabat
manusia yang menggunakan selubung-selubung luhur untuk menutupi
kebusukannya.
Sebagai bagian dari otonomi manusia, moralitas juga harus bisa
dipertanggungjawabkan secara timbal balik di depan orang-orang
lainnya. Dengan kata lain, menurut Forst, moralitas juga harus memiliki
aspek intersubyektivitas dan diskursif. Jika moralitas memiliki dua
aspek ini, maka tidak ada alasan apapun bagi orang untuk tidak
menerapkannya secara praktis di dalam hidup sehari-hari.
Untuk bisa mempertanggungjawabkan tindakannya, orang
mem butuhkan kemampuan untuk merefleksikan tindakannya
(Besinnungsfähigkeit). Ia juga harus memiliki kemampuan untuk
meng ambil sudut pandang orang lain yang berbeda darinya
(Perspektiveübernahme). Dua kemampuan ini tidak datang begitu saja,
te tapi harus dikembangkan di dalam berbagai konteks, baik pendidikan di keluarga maupun di sekolah dan masyarakat. Dengan kemampuan
ini, orang lalu bisa menjadi pembuat keputusan yang bijak. Ia bisa
mempertimbangkan berbagai kemungkinan, lalu membuat keputusan
yang paling cocok untuk keadaan yang dihadapinya. Ia juga bisa
menolak sebuah keputusan yang ditimpakan kepadanya tanpa dasar
yang masuk akal. Hak untuk memperoleh pendasaran atau justifi kasi
juga berarti hak untuk berkata tidak.
Di sisi lain, kita juga mesti menghormati hak orang lain untuk
berkata tidak. Hak untuk justifi kasi tidak hanya berarti, bahwa kita
punya hak untuk meminta penjelasan dan pendasaran, namun orang
lain juga bisa menuntut penjelasan dan pendasaran pada kita. Ketika
penjelasan dan pendasaran tersebut tidak diterima, maka orang lain
juga bisa berkata tidak kepada kita. Inilah aspek timbal balik dari hak
untuk justifi kasi.
Keadilan Transnasional
Lebih jauh, Forst juga berbicara tentang konsep keadilan transnasional. Ia menyebutnya sebagai Teori Kritis Keadilan Transnasional
(kritische Theorie transnationaler Gerechtigkeit). Para pemikir keadilan
transnasional mencoba merumuskan teori keadilan yang berpijak pada
fakta, bahwa semua negara saling terkait di era globalisasi sekarang
ini. Peristiwa yang menimpa satu negara memberikan pengaruh
kepada semua negara lainnya. Oleh karena itu, dunia internasional
membutuhkan kerja sama yang semakin erat, guna mengatasi beragam
permasalahan yang ada di berbagai belahan dunia secara bersamasama.
Forst mencoba untuk menanggapi pandangan semacam ini.
Baginya, masalah global utama sekarang ini adalah masalah kekuasaan.
Oleh karena itu, analisis harus dimulai dengan menelaah berbagai
hubungan kekuasaan yang terjadi, yang menciptakan ketidakadilan
struktural di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan struktural yang lahir dari hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara ini menjadi
penghalang utama bagi terciptanya tata politik global yang memberikan
keadilan dan kemakmuran. Kata ”kekuasaan” menjadi kata kunci
disini. Bagi Forst, teori keadilan harus pertama-tama berbicara soal
kekuasaan. Gaya berpikir semacam ini adalah gaya berpikir khas Teori
Kritis Mazhab Frankfurt.
Keadilan transnasional hanya dapat dicapai, jika beragam kekuasaan
yang ada tunduk pada hak untuk justifi kasi. Artinya, kekuasaan
tersebut dapat dijelaskan secara masuk akal kepada semua pihak.
Kekuasaan tersebut harus tunduk pada pendasaran yang masuk akal
yang bersifat timbal balik. Hal ini bisa dituntut dengan argumen dasar,
bahwa hak untuk justifi kasi adalah hak mutlak yang harus dipenuhi,
ketika sebuah kebijakan atau hukum akan diberlakukan.
Di dalam kondisi ideal, ini tentunya bisa diterima. Namun di
dalam politik sehari-hari, kita tidak bisa memaksa sebuah negara untuk
memberikan pendasaran yang masuk akal atas tindakan-tindakannya,
terutama jika negara tersebut memiliki kekuasaan yang besar di tingkat
internasional. Siapa yang berani menentang Amerika Serikat, ketika ia
menyerang Irak berdasarkan alasan palsu? Di titik ini, pola hubungan
kekuasaan yang tidak adil menjadi penghalang utama.
Relevansi dan Tanggapan
Pemikiran Forst tentang justifi kasi bisa digunakan untuk memahami
akar masalah di Papua sekarang ini. Masyarakat Papua kerap tidak
diikutsertakan di dalam beragam pembuatan keputusan yang terkait
dengan dirinya. Masalah Freeport hanyalah puncak gunung es dari
beragam masalah lainnya, mulai dari korupsi, penipuan, peminggiran,
diskriminasi, rasisme sampai dengan penyebaran penyakit mematikan.
Semua masalah ini dapat diselesaikan, jika masyarakat Papua diberikan
hak untuk menuntut penjelasan yang masuk akal, dan bahkan
menolak, dari segala kebijakan yang ditimpakan kepadanya. Merekaperlu diikutsertakan secara aktif di dalam berbagai proses pembuatan
keputusan yang nantinya akan mempengaruhi hidup mereka, baik
secara langsung ataupun tidak.
Teori Forst juga penting untuk melakukan kritik terhadap beragam
kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang tertutup dari
mata masyarakat luas. Kebijakan yang dibuat di dalam kerahasiaan
semacam ini disebut juga sebagai kebijakan pintu belakang. Perjanjian
rahasia antara Amerika Serikat dan para pemberontak teroristik di
Suriah dan Irak adalah salah satu dari kebijakan pintu belakang
tersebut. Kebijakan semacam ini merugikan banyak pihak, dan bahkan
menimbulkan perang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Timur
Tengah sekarang ini. Hak atas justifi kasi, sebagaimana dirumuskan oleh
Forst, memaksa kebijakan tersebut untuk dibuka kepada masyarakat
luas, dan dijelaskan dengan pendasaran-pendasaran yang masuk
akal. Kebijakan tersebut juga bisa ditolak, ketika ia tidak memiliki
pendasaran yang cukup kokoh.
Namun, pola hubungan yang berpijak pada penjelasan dan pendasaran yang masuk akal ini mengandaikan keberadaan sebuah
budaya tertentu, yakni budaya berpikir rasional dan argumentatif. Ini
tentunya tidak datang dengan sendirinya. Di negara dengan budaya
berpikir rasional dan argumentatif yang masih rendah, hak untuk
justifi kasi semacam ini sulit untuk dipenuhi. Diperlukan sebuah sistem
tertentu yang menopang hidup bersama kita, sehingga memungkinkan
kemampuan kita untuk berpikir secara bebas, masuk akal dan
argumentatif bisa berkembang.
Pandangan ini juga bertentangan langsung dengan kenyataan
hidup manusia. Manusia tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh
akal sehatnya. Ada hal-hal lain yang membuat mengingkari akal
sehatnya, dan bahkan melampauinya sama sekali. Ini yang kiranya
kurang menjadi pertimbangan dari para pemikir Teori Kritis di Jerman.
Apa gunanya membuat teori yang sistematis, rasional dan kritis, namun
bertentangan dengan kenyataan dasar hidup manusia yang memiliki
banyak dimensi?
Ada satu band yang cukup menarik dari negara kita. Nama bandnya
adalah Kuburan. Mereka punya satu lagu yang cukup terkenal
di negara kita. Judulnya ”Lupa”.
Syairnya menarik perhatian saya. Begini bunyinya: ”lupa..lupa..
lupa… lupa lagi syairnya. Ingat… ingat.. ingat cuma kuncinya.”
Bagaimana mungkin seorang musisi menyanyi lagu ciptaannya sendiri,
namun lupa syairnya? Mungkin, ini mirip seperti keadaan kita sekarang
ini. Kita manusia, namun lupa, apa artinya menjadi manusia.
Kita bekerja. Kita belajar. Kita bercinta. Kita berkeluarga. Namun,
semuanya itu terjadi secara begitu saja, seringkali tanpa kesadaran,
karena kita hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakat
dan keluarga kita. Kita lebih mirip robot, dan kehilangan kesadaran
kita sebagai manusia.
Kelupaan Kita
Martin Heidegger, fi lsuf Jerman di awal abad 20, menyebut
keadaan ini sebagai ”kelupaan akan ada” (Seinsvergessenheit). Orang
sibuk mencari dan melakukan apa yang tidak penting, dan pada waktu
yang sama, mereka lupa akan inti yang terpenting dari segala sesuatu.
Di dalam tradisi Buddhisme, ini juga disebut