Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 8. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Juli 2023

penyakit hewan mamalia 8





















 dilaporkan sepuluh kali lipat lebih 
banyak menyerang Bos taurus dibandingkan dengan Bos indicus. Kualitas 
ketahanan tubuh (respon imun) terhadap caplak lebih besar pada jenis sapi 
peranakan yang mempunyai darah/keturunan zebu yang lebih dominan. 
jika sapi-sapi yang rentan tidak terlindungi dari infestasi caplak, maka 
derajat kesakitan dan kematian yang tinggi akibat infestasi Babesia sp dapat 
terlihat dalam waktu 3 minggu. Jikalaupun periode kritis ini dapat terlewati, 
hewan-hewan tersebut cenderung mudah menderita anaplasmosis pada 
2 – 12 minggu pasca wabah babesiosis.
4.  Pengaruh Lingkungan
   Kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan vektor caplak 
berkorelasi positif dengan semakin meningkatnya kasus Babesiosis di 
lapang. Penyebaran Babesia sp. sangat tergantung dari kondisi geografi s 
dan cuaca disuatu wilayah.
   Caplak sebagai vektor penyakit ini banyak ditemukan pada lingkungan 
yang hangat dan lembab, bahkan mampu bertahan hidup pada daerah-
daerah kering-dingin atau kering-panas hingga pada ketinggian 2000 m.
5.  Sifat penyakit
   Babesiosis pada umumnya bersifat kronis, tetapi terkadang dapat 
juga bersifat akut bahkan memicu kematian pada ternak dengan 
tingkat parasitemia yang tinggi.
6.  Cara Penularan
   Babesiosis ditularkan melalui vektor caplak. Caplak yang berinang 
satu menularkan secara transovarial, sedangkan caplak berinang dua atau 
tiga penularannya secara “stage to stage“. Parasit ini masuk ke dalam tubuh 
caplak pada saat menghisap darah inang.  Di dalam tubuh caplak, Babesia sp 
akan memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran pencernaan, selanjutnya 
menyebar ke seluruh tubuh dan melakukan invasi ke indung telur. Babesia 
akan berada di dalam telur caplak yang akan berkembang menjadi larva 
(transovarial transmission). 
   Vektor lain yang mampu menularkan Babesia sp pada ternak yaitu  
Boophilus microplus. Caplak ini dilaporkan menjadi vektor yang penting di 
negara kita  karena terbukti mampu mentransmisikan B.bovis, B.bigemina 
termasuk Anaplasma marginale. Adapun Boophilus annulatus dikenal sebagai 
vektor B.bigemina di wilayah Amerika Utara serta Boophilus calcaratus dan 
Rhipicephalus bursa menjadi vektor B.bovis di wilayah Eropa, Rusia  dan 
Afrika. Caplak Haemaphysalis, Dermacentor dan Rhipichephalus diketahui 
menjadi vektor B.motasi yang menyerang domba dan kambing di Eropa, 
Timur Tengah, Rusia, Indocina dan Afrika. Babesia sp juga dapat ditularkan 
secara alamiah melalui gigitan caplak berkulit keras, yaitu Ixodes persucaltus 
dan I.ricinus. Manusia dapat tertular protozoa ini melalui transfusi darah atau 
melalui caplak saat  berjalan diantara semak. Selain itu penularan juga 
bisa secara mekanik melalui alat-alat kedokteran yang tidak steril pada saat 
pengebirian, vaksinasi, pemotongan tanduk dsb.
Gambar 3. Tahapan perkembangan Babesia bovis di dalam eritrosit darah 
sapi (kultur in vitro). A, Sepasang merozoit  B. bovis dewasa yang 
berada didalam sel darah merah. B) Merozoit yang telah bebas dan 
diantaranya telah menempel ke permukaan sel darah merah sapi, C. 
Tropozoit B. bovis didalam sel darah merah. E. Kinet B. bovis yang 
diisolasi dari Riphicephalus microplus 
7.  Distribusi Penyakit 
a.  Kejadian di negara kita 
        Kasus babesiosis pertama kali di negara kita  dilaporkan pada kerbau 
di Tegal (Jawa Tengah) bertepatan dengan terjadinya wabah Texas fever 
pada tahun 1896 dan menyusul di daerah Sumatra pada tahun 1906. 
Kasus babesiosis terus berkembang dan menjadi wabah pada tahun 
1918, yang menyerang ternak-ternak diimport dari Australia, sehingga 
daerah tertular dan tersangka tertular, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera 
Barat, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, 
Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, Halmahera, Irian Jaya, Lombok, Bali 
dan Jawa. 
        Selanjutnya kasus wabah babesiosis semakin tahun semakin 
meningkat. Pada tahun 1982, dilaporkan sebanyak 710 kasus dan 
meningkat tajam pada tahun 1983 menjadi 3.563 kasus, sedangkan 
pada tahun 1984 meningkat hingga 5.579 kasus.
b. Distribusi geografi s
        Penyakit ini terdistribusi luas diseluruh negara kita .
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
   Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini yaitu  
demam, hewan kekurangan darah dan mengalami anemia. Penyakit ini 
sangat patogen pada sapi dewasa, tetapi anak sapi kurang dari satu tahun 
relatif lebih tahan. Masa inkubasi babesiosis antara 2 – 3 minggu pada infeksi 
alam, tetapi dapat berjalan lebih cepat jika dilakukan inokulsi di laboratorium, 
yaitu 4-5 hari (B.bigemina) dan 10-14 hari (B.bovis). Mula-mula sapi akan 
mengalami peningkatan suhu tubuh (demam) selama 2 minggu lebih, dan 
diikuti dengan anemia hebat, selaput lendir menjadi kuning dan kadang-
kadang terjadi haemoglobinuria (kencing berwarna merah darah = red water). 
Gejala lain yang nampak pada sapi yaitu  bulu kusam, lesu, nafsu makan 
menurun, ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak, kulit tipis dan 
iketrik, kadang-kadang teramati gejala syaraf, seperti berputar-putar dan 
konvulsi.
   Secara garis besar, gejala klinis pada ternak (sapi Bos Taurus) 
yang mengalami babesiosis dapat digolongkan menjadi tiga katagori, yaitu :
a.   Susceptible, yaitu hewan dengan gejala klinis dan membutuhkan 
pengobatan untuk mencegah kematian (hewan rentan).
b.   Intermediate, yaitu hewan dengan gejala klinis parasitemia, penurunan 
packed cell volume (PCV) ≥ 21,5 % yang ditandai dengan meningkatnya 
suhu tubuh. Pada kelompok hewan ini, tidak memerlukan pengobatan 
dengan segera karena dapat seembuh dengan sendirinya.
c.    Resistant, yaitu hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi 
ditemukan B.bovis dalam preparat darah. Terjadi penurunan PCV < 21,5% 
dan hewan tidak mengalami peningkatan suhu tubuh yang nyata.
2.  Patogenesis
   Umumnya masa inkubasi pada infeksi yang dipicu oleh B.bovis 
lebih lama dibandingkan dengan B.bigemina. Vektor yang menggigit inang 
akan menularkan parasit ini kedalam sirkluasi darah inang. Saat memasuki 
tahap  eksoeritrositik, inang tidak menunjukan gejala klinis. Selanjutnya parasit 
akan terus berkembang biak secara aseksual didalam butir darah merah 
hingga menjadi 2-4 tunas. Jika perkembangannya telah sempurna, maka 
parasit ini akan memecahkan butir darah merah dan menginfeksi butir darah 
merah yang baru, lalu memulai siklus hidup yang baru. Kerusakan 
eritrosit ini akan memicu gejala seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria 
dan kuning (jaundice). Pada kasus babesiosis yang berlangsung menahun, 
parasit mampu mengubah spesifi sitas antigen di permukaan sel hingga 
berubah kepekaannya terhadap antibodi.
3.  Patologi
   Hewan yang menderita babesiosis secara akut, akan mengalami 
pembesaran limpa dan pulpanya berwarna merah kehitaman, serta 
konsistensinya lembek, sedangkan pada kasus kronis berwarna kekuningan 
dan terjadi penonjolan (splenic corpuscles). Organ hati mengalami 
pembengkakan, pucat kekuningan dengan kantong empedu berisi cairan 
kental kehitaman. Pada jantung dijumpai adanya bintik-bintik merah didaerah 
endokardium dan epikardium serta perikardium berisi eksudat bercampur 
darah. Paru penderita babesiosis mengalami busung, dengan ginjal yang 
membesar, berwarna coklat serta adanya jaringan lemak disekelilingnya 
yang juga mengalami busung. Kemih berwarna kemerahan atau kecoklatan. 
Mukosa usus menebal, mengalami odema dan ikterik serta terjadi 
gastroenteritis. 
4.  Diagnosa
   Diagnosa penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan 
berbagai cara antara lain :
a.   Pemeriksaan mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung 
telinga sapi. Ulas darah dapat difi ksasi memakai methyl alcohol 
dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 45 menit. Setelah 
dicuci dengan air, preparat dikeringkan dalam suhu ruang. Pemeriksaan 
parasit ini memakai mikrsoskop cahaya dengan pembesaran 1000 
X. Gambaran parasit di dalam sel darah merah berbentuk ring mirip 
dengan morfologi tropozoit pada Plasmodium malaria, hanya saja pada 
Babesia tidak menunjukkan adanya pigmen.
b.   Metode lain yaitu  dengan cara Indirect Immunofl ourescent Antibody 
Assay. Metode ini lebih banyak dipakai untuk manusia.
c.    Diagnosa juga dapat dilakukan dengan tehnik Polymerase Chains 
Reaction (PCR), tetapi tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang 
terjadi secara akut atau kronis.
d.   Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B. 
bovis memakai antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk 
B. bigemina belum memberikan hasil yang baik karena antibodi terhadap 
B. bigemina dilaporkan kurang sensitif. Adapun metode ELISA untuk B. 
divergens belum divalidasi.
e.   PCR – ELISA dilaporkan setidaknya 1000 kali lebih sentisitif dibandingkan  
preparat ulas darah.
f.    Tidak disarankan untuk melakukan inokulasi parasit ini pada hewan 
percobaan.
5.  Diagnosa Banding
   Trypanosomiasis, Anaplasmosis, Theileriasis, Bacillary haemoglobinuria, 
Leptospirosis, Eperythrozoonosis, Rapeseed poisoning dan Chronic copper 
poisoning.
6.  Pengambilan dan Pengiriman spesimen
   Beberapa caplak dan pembuatan preparat ulas darah tipis yang 
dibuat dari darah telinga atau ekor dikoleksi pada hewan yang menunjukkan 
gejala demam atau pada tahap  akut. Preparat ulas darah difi ksasi dalam 
ethanol absolut selama 1 menit dan dilakukan pewarnaan memakai 
10% Giemsa selama 20-30 menit. Preparat ulas darah yang belum diwarnai, 
dianjurkan untuk tidak menyimpannya didekat larutan formalin karena akan 
mempengaruhi hasil pewarnaan.
   Jika pembuatan slide tidak memungkinkan, maka dilakukan koleksi 
darah pada tabung yang mengandung antilkoagulan seperti EDTA. Heparin 
tidak disarankan untuk dipakai karena akan berpengaruh terhadap hasil 
pewarnaan. Sampel darah harus disimpan dalam keadaan dingin (4-5oC) 
sampai dilakukan pengiriman ke laboratorium. Pembuatan slide harus telah 
dilakukan dalam  waktu 2-3 jam sesudah  koleksi darah. Umumnya B. bovis 
lebih banyak ditemukan pada darah kapiler, sedangkan B. bigemina dan B. 
divergens secara tidak teratur terdistribusi pada darah vaskularis.
   Sampel dari hewan yang telah mati, dapat dibuat preparat ulas 
darah tipis termasuk melakukan smear pada organ-organnya, seperti kortek 
cerebral, ginjal, hati, limpa dan sumsum tulang belakang. 
pengobatan : 
1.  Vaksinasi dan Pengobatan
   Hewan yang menderita babesiosis dapat diobati degan diminazene 
diaceturate, imidocarb, amicarbalide. Efektiftas pengobatan sangat tergantung 
pada deteksi dini penyakit ini. Vaksinasi memakai B.bovis dan B.bigemina 
yang telah dilemahkan untuk mengurangi virulensinya, dilaporkan cukup 
efektif dan banyak dilakukan dibeberapa negara, seperti Argentina, Brazil, 
Uruguay dan Afrika. Sapi-sapi yang diimport sebaiknya divaksinasi di negara 
asal beberapa bulan sebelum dikapalkan. jika hal ini tidak mungkin 
dilakukan, maka sapi-sapi tersebut harus dikarantina dan terlindung dari 
infestasi caplak saat vaksinasi dilaksanakan di negara penerima. Jika ternak 
yang divaksinasi dalam jumlah besar, maka transpor vaksin harus diatur 
sedemikian rupa sehingga sampai di tempat tujuan dalam waktu 2-3 hari 
pasca pembuatan di laboratorium. Vaksin tidak disarankan untuk diberikan 
pada hewan yang bunting dan sedang berproduksi, sedangkan vaksinasi 
pada anak sapi tidak memicu  efek samping yang berbahaya. Vaksinasi 
dari agen yang dimatikan (killed vaksin) dibuat dari darah anak sapi yang 
diinfestasi dengan B. divergens. Namun demikian informasi vaksin jenis ini 
masih terbatas.
   Dosis tunggal vaksinasi pada sapi yang berumur 6 – 9 bulan 
mampu melindungi ternak dalam jangka waktu yang panjang. Dewasa ini 
telah diproduksi vaksin trivalent (mengandung B.bovis, B.bigemina dan 
A.Marginale) atau vaksin bivalent (mengandung B.bovis dan A.Marginale). 
Vaksin trivalent lebih direkomendasikan untuk sapi Bos taurus, sapi pemacek/
bibit dan sapi yang berasal dari daerah bebas caplak. Adapun vaksin bivalent 
direkomendasikan untuk Bos indicus dan sapi persilangan yang berada di 
daerah terinfestasi caplak.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.     Pencegahan
         Langkah pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari 
kontak dengan ternak yang diinfestasi oleh tungau karena berpotensi 
untuk menularkan babesiosis, misalnya dengan melakukan penyemprotan 
insektisida atau repellant. Beberapa jam sesudah  digigit tungau yang 
terinfestasi Babesia sp, hewan akan menderita babesiosis.
b.    Pengendalian dan Pemberantasan
        Pengendalian Babesiosis harus dilakukan dengan cara mengkombinasi 
antara kontrol terhadap penyakitnya dan vektor caplak. Pengobatan 
babesiosis dapat dilakukan seperti yang dijelaskan pada point E.1. Sapi 
yang akan diimport berasal dari daerah endemik babesios sebaiknya 
berumur kurang dari 12 bulan.

CYSTICERCOSIS
Synonim : Beberasan, Barrasan, Manis-manisan, pork measles
  
Cysticercosis yaitu  penyakit kecacingangan yang dipicu oleh cacing 
pita atau Cycsticercus. Parasit ini termasuk ke dalam Kelas Eucestoda, Ordo 
Cyclophyllidea, Keluarga Taeniidae, Genus Taenia, dan Spesies Taenia solium. 
Cacing pita juga dikenal dengan sebutan “human pork tapeworm”. Agen infektif 
penyakit ini yaitu  pada tahap  metacestoda. Cacing pita dewasa hidup dalam usus 
manusia dan mampu tumbuh hingga mencapai 2 – 8 meter. Setidaknya, ada 
2 (dua) jenis cacing pita, yaitu Taenia solium (pada babi) dan Taenia saginata 
(pada sapi). Cacing pita stadium larva dari T.solium yang ada dalam daging 
babi disebut Cysticercus cellulose, sedang stadium larva dari T.saginata yang 
ada dalam daging sapi disebut Cysticercus bovis atau C.innermis. 
Cysticercosis yaitu salah satu penyakit zoonosis dimana manusia sebagai 
inang (host) yang menularkan ke sapi melalui telur dalam segmen yang keluar 
bersama feses. Sapi dan babi akan terinfeksi jika menelan telur dalam segmen 
tersebut (proglotida) melalui rumput yang terkontaminasi. Adanya cysticercus 
di dalam jaringan akan memicu degenarasi sel di sekitarnya. jika 
jumlah kista cukup banyak, maka sebagian atau seluruh karkas terpaksa harus 
dimusnahkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Disamping 
mempunyai dampak kesehatan, kerugian ekonomis yang ditimbulkan akibat 
penyakit ini juga terbilang besar.
etiologi 
Stadium larva cacing pita T.solium dan T.saginata, yaitu C.cellulose dan C.bovis. 
Cysticercus berbentuk gelembung yang bulat atau oval dengan satu kepala 
atau dinding yang menonjol ke dalam gelembung. Dinding gelembung yang 
masih muda sangat tipis. Semakin tua dinding tersebut semakin tebal sehingga 
membentuk kista. Gelembung berisi cairan yang terdiri dari air, protein, lemak, 
garam yang larut dalam cairan tersebut. Inang antara T.solium (C.cellulose) 
yaitu  babi dan T.saginata (C.bovis) yaitu  sapi. Panjang segmen cacing pita 
(T.solium) berkisar antara 2-4 m dan mengandung 800-1000 proglotida (segmen). 
Proglotida (segmen) yang masak berisi 30.000-50.000 telur. Telur cacing T. 
solium berbentuk bulat dengan ukuran 31-43 µ, memiliki selubung tebal dan di 
dalamnya berisi larva yang memiliki enam kait (onkosfer) 

C.  EPIDEMOLOGI
1.  Siklus Hidup
Taenia solium memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya untuk dapat 
melakukan perkembangbiakan. Kedua inang tersebut berperan sebagai inang 
antara dan inang defi nitif. Babi yaitu inang antara dari T.solium dan 
manusia bertindak sebagai inang defi nitifnya. Siklus hidup cacing ini diawali 
dengan tertelannya telur oleh inang antaranya. Adanya asam lambung akan 
memecah telur tersebut. 
Onkosfer yang telah menetas akan melakukan penetrasi ke dalam pembuluh 
darah dan mengalir ke seluruh tubuh. Onkosfer tersebut berubah menjadi 
cistiscerkus saat  mencapai otot, jaringan sub-kutan, otak, hati, jantung, 
otot lurik dan mata. Siklus hidup dapat berlanjut jika manusia mengkonsumsi 
daging babi yang mengandung cisticerkus tanpa dimasak secara sempurna 
(pemanasan lebih dari 60oC). Parasit ini melakukan invaginasi pada dinding 
usus halus dan menjadi dewasa. Cacing dewasa akan melepaskan proglotida 
gravid pasca dua bulan infeksi. 
2.  Spesies Rentan
   Hewan yang paling rentan terhadap C.cellulose yaitu  babi, tetapi 
kucing, tikus, kera, domba, anjing dan manusia dapat juga terinfestasi. 
Adapun hewan yang rentan terhadap C.bovis yaitu  sapi, kadang-kadang 
kerbau atau hewan pemamah biak lain seperti jerapah, gazelle dan antelope. 
Pada kasus tertentu, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara akibat 
autoinfestasi dan kontaminasi lingkungan. 
3.  Pengaruh Lingkungan
   Hubungan antara manusia dan hewan yang rentan seperti babi, sapi 
dan kerbau berpengaruh terhadap kejadian penyakit. Manusia terinfestasi 
cacing pita (T.solium dan T.saginata) karena mengkonsumsi daging yang 
terinfestasi cysticercus (C.cellulose dan C.bovis). Babi terinfestasi T.solium 
karena memakan makanan yang terkontaminasi feses manusia yang 
mengandung telur cacing pita. Lingkungan berpengaruh dalam usaha  
memutus siklus hidup.
4.  Sifat Penyakit
   C.cellulose umumnya ada pada babi, sedang C.bovis ada 
pada sapi, kadang-kadang juga pada kerbau. Tempat yang paling banyak 
ditemukan cysticercus yaitu  otot masseter, jantung, lidah dan diafragma, 
kadang- kadang pada kerongkongan jaringan lemak, hati, paru dan kelenjar 
limfe. C.cellulose berbentuk gelembung kecil, tampak jernih dengan 
kepala atau scolex yang menuju ke dalam gelembung. Pada umur 20 hari 
gelembung atau kista mulai tampak dan umur 110 hari besarnya tetap, tetapi 
scolexnya sudah menjorok ke gelembung. Di dalam organ, C.cellulose dapat 
hidup bertahun-tahun, tetapi bila terjadi degenarasi lemak atau pengapuran 
jaringan sekitarnya, parasit itu akan segera mati.
   Bentuk gelembung C.bovis bulat atau oval. Di sekeliling gelembung 
berbentuk jaringan ikat adventitious sebagai reaksi dari inang. Dalam waktu 
6-8 minggu sesudah  infestasi C. bovis sudah berbentuk sempurna, lalu 
gelembung tersebut akan mengalami degenerasi.
   Pendinginan (-10 °C) memicu  cysticercus mati dalam waktu 
4 hari, sedangkan pada suhu 0°C masih hidup sampai 70 hari. Cysticercus 
segera mati pada suhu 50°C. Pengasapan dan pengasaman tidak dapat 
mematikan parasit ini, terutama bila irisan dagingnya cukup tebal. 
5.  Cara Penularan
       
a.   Pada Hewan
        Cacing pita dewasa (T.solium dan T.saginata) yaitu parasit 
pada manusia. Hidupnya di dalam usus sehingga proglotida yang 
mengandung telur keluar dari tubuh bersama feses. Oleh karena itu, 
pembuangan feses yang tidak memenuhi persyaratan higienitas dapat 
mencemari lingkungan. jika telur cacing tersebut termakan oleh 
hewan yang rentan, telur akan menetas di dalam lambung dan embrio 
mampu menembus dinding lambung, lalu mengikuti aliran darah 
ke tempat predileksi.
b.   Pada Manusia
        Telur cacing masuk ke dalam tubuh manusia melalui tangan yang 
tercemar, disamping itu dapat pula karena autoinfeksi akibat gerakan 
retrogresi usus. Telur cacing atau proglotida ikut masuk ke dalam 
lambung dan usus, dan di dalam lambung, embrio akan keluar dari telur. 
Selanjutnya embrio ini akan menuju ke tempat predileksi, lalu menjadi 
kista. Kista ini sebagian besar berada dalam jaringan sub-kutan, di dalam 
otak, otot paha, jantung, hati, paru dan mata. 
        Pada tahun 1947 diperkirakan tidak kurang dari 39 juta orang di 
seluruh dunia terinfeksi oleh T.saginata dan 2,5 juta orang terinfeksi 
oleh T.solium. Kejadian infestasi terus meningkat bersamaan dengan 
meningkatnya populasi manusia dan hewan. Prevalensi infeksi Taeniasis 
pada manusia tidak diketahui. Ahli bedah di Meksiko menunjukkan 
bahwa dari sejumlah orang yang diduga menderita kanker otak, ternyata 
25 % karena cysticercosis, sementara itu 3-6 % pasien dinyatakan 
mengandung parasit ini pada berbagai organnya.
6.  Faktor Predisposisi
   Faktor predisposisi jika manusia mengkonsumsi daging babi, sapi 
atau organ lain yang mengandung cisticerkus tanpa pemasakan dengan 
pemanasan yang sempurna (pemanasan lebih dari 60 °C).
7.  Distribusi Penyakit
   Cysticercosis untuk pertama kalinya ditemukan pada babi di Bali 
tahun 1920. berdasar  hasil penelitian, babi di Bali yang terinfeksi oleh 
Cysticercus yaitu  1,8-3,2 %, namun  menurut laporan Dinas Peternakan 
Propinsi Bali tahun 1977 hanya ditemukan kasus sebesar 0,16 %.
   Sebelum penemuan tersebut di atas, infeksi cacing dewasa 
(T.saginata) pada manusia telah dilaporkan pada tahun 1867, yaitu terjadi pada 
seorang Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Pada tahun 1940 dilaporkan 
pertama kali adanya infeksi. T.saginata pada manusia di Samosir, Sumatera 
Utara, sebanyak 9,5 % dari 285 orang yang diperiksa. Sedangkan telur Taenia 
sp sebanyak 9 % ditemukan pada pasien di Rumah Sakit Enarotali, Irian 
Jaya. Di Bali dilaporkan bahwa setiap tahun rata-rata dilakukan pengobatan 
terhadap 50 orang penderita taeniasis. Hingga saat ini di Bali dan Sumatera 
Utara setiap tahun masih ada laporan kasus Cysticercosis, baik pada babi 
maupun sapi. 
   Cysticercosis terdistribusi di seluruh dunia dengan prevalensi yang 
tinggi pada beberapa negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Tenggara, 
dimana manusia dan babi memiliki hubungan yang dekat sehingga 
memudahkan penularan penyakit. Ektoparasit seperti lalat dan serangga 
lainnya dapat menjadi vektor mekanis. Potensi untuk terjadinya autoinfeksi 
sangat tinggi.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
   Pada umumnya hewan yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala 
yang nyata. Infi ltrasi cisticerkus di otot dan subkutan berupa kekejangan 
otot, benjolan, dan kelemahan otot, juga dapat mengganggu penglihatan 
jika infi ltrasi terjadi di mata. Pada infi ltrasi di otak dapat memicu sakit 
kepala yang hebat, paralisis, dan epilepsi. Jika cisiticerkus mati, maka 
memicu terjadinya kalsifi kasi atau pengapuran yang akan berefek 
buruk jika mencapai 5-10 tahun kemudian. Infi ltrasi Cysticercus cellulosae 
pada babi ditemukan di otot lurik yang aktif bergerak. Tempat predileksi 
dari infi ltrasi cysticercosis berada di lidah, musculus masseter (otot pipi), 
leher, jantung, musculus intercostae (otot antar tulang rusuk), dan musculus 
brachiocephalicus (otot bahu).
2.   Patologi
   Banyak kasus yang terjadi tanpa disertai dengan gejala klinis. 
Gambaran patologi terlihat karena adanya reaksi infl amasi akibat adanya 
induksi dari cysticerci yang mati. Lokalisasi cysticerci dalam susunan syaraf 
pusat dan jantung memicu penyakit yang fatal meskipun jarang terjadi. 
Kelainan post mortem tidak banyak menunjukkan adanya kerusakan jaringan, 
kecuali pada infeksi berat, ditemukan adanya edema yang merata di seluruh 
karkas yang berubah menjadi pucat.
3.  Diagnosa
   Diagnosa cysticercosis pada ternak yang terbaik yaitu  dengan 
menemukan cysticercus. C.bovis pada sapi berukuran 5 mm dan ada 
dalam otot lurik. Kista berisi 1 scolex atau bentuk kepala dari cacing pita. 
Bergantung pada lama infeksi dan reaksi inang, kista bervariasi dari stadium 
degenerasi, kaseasi dan terakhir pengapuran (kalsifi kasi). Cysticercus 
berbentuk gelembung dengan 1 scolex ini dapat ditemukan dalam berbagai 
otot atau organ terutama pada otot yang banyak memperoleh vaskularisasi. 
Sedangkan C.cellulose dari T.solium bentuknya mirip dengan C.bovis.
Diagnosa cysticercosis pada sapi dan babi dapat dilakukan pada saat 
pemeriksaan post mortem di Rumah Potong Hewan. Pada babi yang 
terinfeksi berat, cysticercosis dapat didiagnosa secara ante mortem dengan 
pemeriksaan lidahnya. Pada kejadian cysticercosis yang ringan sulit 
diidentifi kasi.
4.  Diagnosa Banding
   C.cellulose dan C.bovis, dapat dikelirukan dengan cysticercus dari 
cacing pita lain. Untuk membedakan Cysticercus, Coenerus dan Hydatida 
dapat dilihat dari bentuk dan struktumya. Coenurus biasanya besar dengan 
banyak scolex pada dinding, sedangkan Echinococcus scolexnya tidak 
langsung terbentuk pada dinding gelembung, tetapi membentuk anak 
gelembung terlebih dahulu dan lalu terbentuk scolex. Sehingga dari 
1 gelembung cysticercus hanya akan menjadi 1 cacing dewasa dalam usus 
inang defi nitif, sedangkan dari 1 Coenurus akan menjadi banyak cacing, dan 
dari 1 Hydatida menjadi lebih banyak lagi cacing dewasa, tergantung jumlah 
scolex dalam tiap gelembung.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen 
 a.   Pengambilan Spesimen
Bahan pemeriksaan Cysticercus (C.cellulose dan C.bovis) diambil 
dari bagian jaringan otot masseter, diafragma, otot jantung, dada dan 
daerah perut, yang dicurigai adanya kista dari T.solium atau T.saginata 
pada ternak yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) pada saat 
pemeriksaan karkas.
 b.   Pengiriman Spesimen
  
        Sampel daging segar dimasukkan ke dalam botol berformalin dan ditutup, 
lalu dikirim  ke laboratorium (BBVet/BPPV/lab. Keswan Tipe B/C) 
terdekat untuk dimintakan pemeriksaan dan identifi kasi jenis parasit.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
Pengobatan hanya dapat dilakukan terhadap cacing pita dewasa tetapi belum 
ada obat yang efektif untuk Cysticercus nya. Niclosamide dapat dipakai untuk 
mengobati infestasi cacing pita pada manusia. Cacing dewasa T. saginata 
dan T. solium dapat diobati dengan Niclosamide dosis 2 gram, Paromomycin 
5 mg/kg BB, Quinacrine 7-10 mg/kg BB, Oxfendazole 3-4,5 mg/kg BB.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Pencegahan
        Mengingat bahwa manusia terinfeksi karena mengkonsumsi daging 
mentah atau setengah matang, dan babi terinfeksi karena menelan telur 
cacing bersama feses manusia yang terinfeksi, maka pencegahannya 
dapat dilakukan dengan cara:
-    Memperbaiki sanitasi, higiene lingkungan dan pangan.
-    Melakukan pemeriksaan daging secara ketat.
-    Memberikan penyuluhan tentang pendidikan kesehatan pada 
masyarakat.
-    Disamping itu juga perlu dilakukan pengobatan masal terhadap 
manusia yang terinfeksi di daerah endemik.
         Faktor penting dalam pencegahan penyakit pada manusia yaitu  
memperbaiki kualitas lingkungan dan tingkat higiene perseorangan 
pada penduduk yang tinggal di pedesaan. Selain itu, penting melakukan 
pemeliharaan babi terkonsentrasi di lokasi yang terpisah dengan 
pemukiman.
        Pencegahan cysticercosis pada babi dapat dilakukan melalui 
vaksinasi dengan tipe vaksin “synthetic peptide-based vaccine”.
b.    Pengendalian dan Pemberantasan
Perlu dilakukan pemeriksaan secara ketat pada ternak sapi dan babi 
yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), dan petugas RPH yang 
menemukan penyakit ini harus memberitahukan kepada atasan serta 
melakukan tindakan lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal 
ini penting untuk mencegah meluasnya penyakit pada hewan lain yang 
rentan maupun pada manusia.
Karkas yang ditemukan positif terinfeksi cysticercus dalam jumlah cukup 
banyak dan bersifat masif harus direkomendasikan untuk dimusnahkan. 
Sedangkan yang terinfeksi ringan hanya dimusnahkan bagian-bagian 
yang terinfeksi saja.

DEMODECOSIS
Sinonim: Kudis menular, Budug, Mange, Colak
  
Demodecosis yaitu penyakit kulit yang dipicu oleh sejumlah parasit 
eksternak/tungau dari genus Demodex. Penyakit ini dapat menyerang berbagai 
hewan antara lain anjing, kucing, sapi, kambing, domba, babi dan kuda, kecuali 
unggas. Kasus demodecosis juga dilaporkan pada menyerang manusia. Tungau 
Demodex sp hidup dalam folikel rambut dan kelenjar sebaseus dengan memakan 
sebum, serta debris (runtuhan sel) epidermis. Umumnya anjing yang terserang 
akan mengalami kerontokan rambut di daerah tetentu, seperti di sekitar mata, 
mulut, leher, dan siku kaki depan, yang diikuti dengan munculnya tonjolan-
tonjolan pada kulit yang berwarna kemerahan. Demodekosis dikenal juga dengan 
nama Red mange, Follicular mange, or Puppy mange sedangkan pada manusia 
penyakit ini disebut sebagai “Black Heads”.
Kerugian eknomis yang diakibatkan oleh penyakit ini yaitu  adanya kerusakan 
kulit dan penurunan kondisi tubuh sehingga menurunkan nilai jualnya. Meskipun 
ditemukan dalam bentuk nodule kecil, tetapi berdampak pada penurunan harga 
kulit yang signifi kan. Kulit dari penderita demodecosis yang parah, praktis tidak 
dapat dijual. 
Tungau Demodex sp dipercaya sebagai fauna normal pada kulit. Penularannya 
terjadi karena kontak langsung induk terhadap anak-anaknya pada saat 
menyusui, yaitu sekitar 2-3 hari di awal-awal kehidupan. Tungau ini bahkan 
sudah dapat ditemukan pada anak anjing yang berumur sekitar 16 jam. Suatu 
penelitian menunjukkan bahwa anak anjing yang lahir melalui bedah caesar 
tidak terinfestasi tungau Demodex sp. Umumnya anjing dewasa yang menderita 
demodecosis berkorelasi positif dengan ganggungan sistem imun, seperti kanker, 
penyakit liver, ginjal maupun ketidakseimbangan hormonal. Pada beberapa kasus 
juga terjadi imunosupresi, akibat adanya penekanan terhadap produksi limfosit 
T. Hewan yang sedang dalam terapi memakai obat imunosupresif seperti 
kortikosteroid juga dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh hewan yang 
akhirnya dapat memicu timbulnya demodecosis.
etiologi 
Penyakit ini dipicu oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp., berbentuk 
seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan gemuk 
serta memiliki 3 ruas. Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris melintang 
menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal. Ukuran tungau bervariasi 
antara 0,2 – 0,4 mm. 
Beberapa spesies tungau memiliki inang spesifi k, seperti demodecosis pada 
sapi pada sapi dipicu oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis, D.cornei dan 
D.injai. Pada kucing dipicu oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing oleh 
D.caprae, D.criceti pada marmot, D.phylloides pada babi D.equi pada kuda dan 
D.folliculorum pada manusia. 
Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar keringat (glandula 
sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari beberapa hewan, kecuali 
unggas. Dalam kondisi tertentu tungau demodek dapat menginfestasi manusia.
epidemiologi 
1.  Siklus Hidup
Seluruh siklus hidup demodec sp berlangsung pada tubuh inangnya selama 
20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa dan dewasa di dalam folikel 
rambut atau kelenjar keringat. Tungau jantan terdistribusi pada permukaan 
kulit, sedangkan tungau betina meletakkan 40-90 telur  yang berbentuk 
simpul (spindel shape) di dalam folikel rambut. Larva dan nimfa terbawa 
oleh aliran cairan kelenjar ke muara folikel. Dilokasi inilah, tungau dewasa 
kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam waktu 1-5 hari, 
lalu berkembang menjadi nimfa yang berkaki delapan, lalu menjadi 
dewasa. Waktu yang diperlukan sejak dari telur sampai menjadi dewasa 
yaitu  antara 11-16 hari. 
2.  Sifat Alami Agen
   Tungau Demodec sp memiliki daya tahan hidup yang sangat baik, 
bahkan diluar inang dengan kondisi lingkungan yang lembab dilaporkan 
mampu bertahan hidup selama berhari-hari. Perbedaan morfologi tungau 
yang berasal dari satu inang dan inang lainnya sulit dibedakan walaupun 
disebutkan sebagai spesies yang berbeda. 

3.  Spesies Rentan
   Semua hewan mamalia rentan terhadap penyakit ini, antara lain 
anjing, kucing, kambing, domba, babi, kuda, sapi, kerbau, marmot, kelinci 
dan manusia.
4.  Pengaruh Lingkungan
Tungau hidup di dalam folikel rambut dan kelenjar sebaseus, dapat hidup 
dalam beberapa hari pada inang. berdasar  hasil penelitian diketahui 
bahwa tungau dapat hidup selama 21 hari dalam potongan rambut/bulu 
pada kondisi basah dan dingin, sedangkan pada kondisi normal tungau 
betina dapat hidup sekitar 40 hari, namun tungau pada umumnya amat peka 
terhadap kekeringan.
5.  Sifat Penyakit
Penyakit  umumnya bersifat endemis bersifat endemis. 
6.  Cara Penularan
Penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat.
7.  Distribusi Penyakit
Kasus penyakit Demodecosis tersebar luas di seluruh negara kita . 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
 
   Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan), 
kemerahan, dan kulit mejadi berkerak. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat 
terjadi demodecosis general disertai dengan peradangan dan infeksi 
sekunder oleh bakteri. Lapisan kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak 
saat disentuh.    
Tungau sangat menyukai bagian tubuh yang kurang lebat bulunya, seperti 
moncong hidung dan mulut, sekitar mata, telinga, bagian bawah badan, 
pangkal ekor, leher sepanjang punggung dan kaki. Rasa gatal yang 
ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan menggosokkan badannya 
pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal, sehingga terjadi 
iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, lalu terjadi infeksi 
sekunder sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan cairan (eksudat) 
yang lalu mengering dan menggumpal dan membentuk kerak pada 
permukaan kulit. 
Ada 2 (dua) bentuk infeksi pada kulit akibat iritasi yaitu bentuk squamous 
(bersisik) dan bentuk pustular (benjolan). Bentuk squamous biasanya 
ada pada anjing, sedangkan bentuk pustular sering ditemukan pada 
sapi. Ukuran benjolan/nodule sangat bervariasi, mulai dari berukuran kecil 
sampai sekitar 2 cm, bahkan lebih besar. Lesi berawal pada daerah kepala, 
menjalar ke daerah leher dan lalu dapat menutupi seluruh tubuh.
2.  Patologi
Tidak ada tanda yang khas pada perubahan anatomi, selain adanya 
perubahan/lesi pada kulit seperti tersebut di atas.
3.  Diagnosa
Diagnosa berdasar  gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk 
mengidentifi kasi adanya tungau Demodex sp. 
   Langkah diagnosis yang dapat dilakukan yaitu  dengan melakukan 
deep skin scraping atau pengerokan kulit hingga berdarah. Scraping 
dilakukan dengan memegang dan menggosok daerah terinfeksi untuk 
mengeluarkan tungau dari folikel dengan memakai scalpel. Scraping 
dilakukan pada beberapa tempat. Setelah hasil scraping didapatkan, hasil 
tersebut lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10X 
untuk menginterpretasikan hasil kerokan kulit tersebut.
4.  Diagnosa Banding
a.   Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis, pemphigus 
kompleks, dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous 
kompleks.
b.   Dermatitis yang dipicu oleh jamur atau Scabies .
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen berupa kerokan pada kulit yang terinfeksi tungau dimasukkan ke 
dalam cawan petri tanpa ditambah larutan apapun, atau ditambah larutan 
Glycerol 5-10 % untuk melihat tungau yang masih hidup dan melihat 
pergerakannya di bawah mikroskop. Identifi kasi tungau dapat dilakukan 
dengan menambahkan NaOH 10 % atau KOH 10 % secara mikroskopis.
Isi pustula yang diperoleh dengan jalan melakukan sayatan pada bagian 
kulit dari pustula/nodula dimasukkan ke dalam botol yang berisi formalin 5 
% atau alkohol 70 % agar lebih tahan lama jika spesimen tersebut akan 
dikirimkan/diperiksa ke tempat lain.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
   Pengobatan pada demodecosis bergantung pada tingkat keparahan 
kasus yang terjadi. Pengobatan yang diberikan memerlukan waktu yang lama 
dan harus dipantau secara berkala selama 4-6 minggu, untuk memastikan 
populasi Demodex kembali normal. Pemeriksaan skin scrap perlu dilakukan 
dengan interval 2 minggu, jika hasil pemeriksaan menunjukkan tidak 
ditemukannya Demodex pada 2 kali pemeriksaan, maka hewan tersebut 
dapat dikatakan sudah sembuh, dan pengobatan dapat dihentikan. 
   Demodecosis dapat menyerang kembali hewan yang sudah 
sembuh, jika sistem kekebalan hewan tersebut mengalami penurunan. 
Pengobatan dilarang memakai kortikosteroid sistemik maupun topikal, 
karena kortikosteroid dapat memicu imunosupresi yang kemungkinan 
akan memperparah demodecosis.
   Pengobatan pada demodecosis lokal dapat dilakukan dengan 
memberikan salep yang mengandung 1 % rotenone (goodwinol ointment) 
maupun gel benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sekali sehari setiap 
hari selama 1-3 minggu. Selain itu, pengobatan harus disertai dengan 
memandikan hewan dan melakukan pemberian shampoo yang mengandung 
antiseboroik (benzoyl peroxide) secara berkala minimal semingu sekali. 
   Selanjutnya dapat memberikan amitraz yang diencerkan dengan 
konsentrasi 0,1 % pada area alopecia sehari sekali selama dua minggu. 
Pemberian amitraz dilakukan bila demodecosis sudah menyeluruh dan 
tanpa disertai komplikasi. Untuk mengurangi efek samping dari amitraz dapat 
memakai yohimbin dengan dosis 0,25 ml/10 kg BB secara intravena 
perlahan-lahan. 
   Pada kasus demodecosis yang disertai dengan komplikasi (disertai 
pyoderma, kulit bersisik, pengerasan kulit luar, dan hipofungsi kelenjar tyroid), 
maka pengobatan awal ditujukan untuk mengobati pyoderma sebelum 
mengobati demodecosis dengan akarisida. 
   Pengobatan pada canine generalized demodecosis (CGD), tidak 
hanya untuk membunuh tungau saja, tetapi juga untuk mencegah terjadinya 
infeksi sekunder. Pengobatan dapat dilakukan dengan memandikan hewan 
dengan amitraz dengan konsentrasi 0,025 % dua kali seminggu. Sebaiknya 
sebelum memakai amitraz, hewan terlebih dahulu dimandikan dengan 
shampoo yang mengandung benzoyl peroxide untuk mengurangi minyak 
dan runtuhan sel epidermis. 
   Pada anjing yang memiliki bulu panjang dan lebat, harus dilakukan 
pencukuran rambut terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap. Obat 
sistemik yang dapat diberikan yaitu  ivermectin (300-600 µg/kg bb/hari), 
Milbemycin (1.0-2.0 mg/kg bb/hari), Moxidectine (0.5 mg/kg bb 2 minggu 1x 
secara topikal), dan vitamin E sebagai penguat efek terapi akarisida (400-
800 IU 3-5x/hari). 
   Pemakaian ivermectin perlu diwaspadai karena obat ini memiliki 
kontraindikasi untuk anjing jenis Collie, Shelties, Australian shepherds, dan 
Old English sheepdogs. Efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian 
ivermectin yaitu  salivasi dan inkoordinasi. Obat akarisida tetap dilanjutkan 
sebanyak 2-3x sesudah  pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan hasil yang 
negatif. Hal-hal yang menjadi faktor penting untuk mencegah demodecosis 
yaitu  dengan memperbaiki nutrisi, mengatasi gangguan parasitik, dan 
gangguan lainnya.
Pengobatan secara individual, beberapa obat dapat dipakai, antara lain 
Benzoas Bensilikus 10 % dioleskan pada bagian kulit yang luka, BHC 0,05 
%, Coumaphos 0,05-0,1 % dengan cara disemprotkan atau merendam pada 
seluruh badan, Coumaphos salep 1-2 %. Sedangkan akarisida misalnya 
ivermectin dengan dosis 200 g/kg bb diberikan secara subcutan atau amitraz 
sebagai obat luar.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan menghindari 
terjadinya kontak antara hewan sehat dengan hewan sakit, serta menjaga 
kebersihan kandang dan lingkungannya.

ECHINOCOCCOSIS
Sinonim: Kista Hidatidosa
  
Echinococcosis yaitu penyakit parasiter dari fi lum platyhelminthes, sering 
disebut sebagai cacing pita. Ada tiga bentuk yang terjadi pada manusia, yaitu 
bentuk fi brosis (Echinococcus granulosus), bentuk alveolar (E.multilocularis) 
dan bentuk polikistik (E.vogeli dan E.oligarthrus). Bentuk yang terakhir ini jarang 
terjadi, tetapi strain kistik ini yang paling umum dan dikenal sebagai penyakit 
hidatidosa. Semua strain mempunyai siklus hidup dan gejala klinis yang 
sama, tetapi mempengaruhi organ yang berbeda. Investasi larva dari cacing 
E.granulosus dapat membentuk kista hidatida pada berbagai jaringan. Inang 
normal bagi parasit dewasa yaitu  anjing.  
Cacing dewasa hidup dalam usus kecil mamalia dan larva cacing dalam jaringan 
inang yang sama. Cacing dewasa berbentuk gilik, kecil, panjang 2,1-5,02 µ, 
biasanya hanya terdiri dari 3 proglotida dengan Iebar 33,2-39,8 µ. Telur cacing 
menyerupai telur Taenia dan mempunyai ukuran 32-36 µ x 25-30 µ. Hewan 
rentan terhadap penyakit ini yaitu  anjing, babi, sapi, kambing, domba, unta, 
kuda, rusa, kijang, kelinci, tikus biasa/putih, dan manusia.
Gejala klinis penyakit pada hewan kurang spesifi k, hanya diare, sesak nafas dan 
lemah. Demam dan rasa nyeri otot pada manusia dapat berakibat fatal. Kelainan 
post mortem tidak banyak menunjukkan kerusakan jaringan, umumnya ada 
ascites bila hati terinfeksi, enteritis, kerusakan pada paru, serta kerusakan di 
tempat yang ada kistanya.
Penularan penyakit terjadi akibat hewan memakan daging yang mengandung 
kista atau memakan tikus yang menderita Echinococcosis. Cacing dewasa 
hanya hidup dalam usus inang, cacing jantan segera mati sesudah  mengadakan 
perkawinan, sedangkan yang betina dapat hidup sampai mengeluarkan larva, 
lalu larva akan tersebar ke seluruh tubuh inang hingga ke tempat predileksi 
dan menjadi kista.
Kerugian ekonomi pada ternak akibat terjadinya penurunan produksi, penurunan 
kondisi badan ternak, kematian ternak dan pemusnahan bagian tubuh yang 
mengandung kista di Rumah Potong Hewan. Di daerah endemik 50 % anjing 
terinfeksi oleh cacing dewasa, dan dapat mencapai 90 % pada domba dan sapi, 
100 % pada unta, serta sekitar 20% pada manusia.
etiologi 
Disebabkan oleh paling sedikitnya 9 (sembilan) galur cacing Echinococcus 
granulosus yang berbeda secara biologik serta beberapa spesies lain dari 
Echinococcus. Cacing dewasa hidup dalam usus kecil mamalia dan larva pada 
jaringan inangnya, cacing dewasa berbentuk gilik, kecil, panjang 2,1-5,0 µ, 
biasanya hanya terdiri dari 3 proglotid, lebar 33,2 -39,8 µ, telur cacing menyerupai 
telur Taenia dan ukurannya 32-36 µ x 25- 30 µ.
Gambar 1.  Echinococcus
(Sumber : http://cara-kerja heboh.blogspot.com/2010/02/binatang-peliharaan.
html)
Parasit cacing pita dewasa berukuran kecil dengan panjang 3-6 mm, dan berada 
di usus kecil. Cacing yang tersegmentasi terdiri dari scolex dengan pengisap dan 
kait yang memungkinkan keterikatan pada dinding mukosa, Lehernya pendek 
menghubungkan kepala dan proglotid dengan segmen tubuh cacing yang berisi 
telur, dan lalu dikeluarkan bersama feses.
Sifat Alami Agen 
Pembuahan sendiri (hermaprodit) yaitu proses normal pada spesies 
cacing ini. Cacing ini dapat membentuk sista hidatida pada berbagai jaringan. 
Inang normal bagi parasit dewasa yaitu  anjing dan sejenisnya (rubah, srigala). 

Cacing dalam jumlah ratusan ditemukan di dalam usus halus. Cacing dewasa 
tidak dapat hidup lama, namun kistanya dapat bertahan hidup selama bertahun-
tahun. 
C.  EPIDEMILOGl
1. Siklus Hidup
Gambar 3. Siklus hidup Echinococcus. (1) cacing dewasa dalam perut inang 
defi nitif, (2) telur dikeluarkan bersama feses, tertelan oleh manusia 
atau inang perantara, (3) onchosphere menembus dinding usus, 
dibawa melalui pembuluh darah untuk menembus organ dalam, 
(4) kista hidatida berkembang di hati, paru-paru, otak, jantung, 
(5) protoscolices (hydatid sand) tertelan dan dicerna oleh inang 
defi nitif, (6) menembus usus halus dan tumbuh menjadi cacing 
dewasa.
  
2.  Spesies Rentan
Spesies yang rentan terhadap penyakit ini yaitu  anjing, babi, sapi, kambing, 
domba, unta, kuda, rusa, kijang, kelinci, tikus biasa/putih, dan manusia.
   Echinococcus granulosus menyerang pada anjing, anjing hutan, 
serigala, domba, babi, rusa, herbivora liar. Sedangkan E. multiocularis hanya 
menyerang rubah, anjing dan serigala.
3.  Pengaruh Lingkungan
   Telur Echinococcus granulosus, atau cacing hidatida tahan pada 
suhu di bawah titik beku. Dalam suatu percobaan, telur yang disimpan pada 
suhu –50°C selama 24 jam masih dapat menginfestasi mencit. Telur yang 
disimpan pada suhu –30°C viabilitasnya lebih tinggi dan masih infektif. 
Viabilitas pada suhu di bawah titik beku, umumnya berhubungan dengan 
kemampuan hidup karena hilangnya sebagian besar air intraseluler.
4.  Sifat Penyakit
   Umumnya penyakit bersifat endemik. 
5.  Cara Penularan
   Inang defi nitif cacing Echinococcus granulosus yaitu  anjing, 
infestasi terjadi akibat memakan bagian viscera (jeroan) domba dan 
ruminansia lainnya yang sudah mengandung kista.
6.  Distribusi Penyakit  
   Penyakit hidatidosa tidak seperti penyakit parasit lainnya. 
Penyebaran penyakit ini lebih menonjol di belahan bumi utara. Infeksi 
manusia yaitu  yang paling umum dan pada  domba  seperti di Australia 
dan Selandia Baru, Inggris dan seluruh Eropa, Timur Tengah, Rusia, Cina 
Utara dan Jepang. Di Amerika penyakit ini terutama terjadi di negara-negara 
Cone Selatan seperti Argentina, Uruguay dan Chili, dan juga terjadi di Alaska 
dan Kanada. 
  Alveolar hydatid (E.multilocularis) yaitu  penyakit yang kurang luas 
distribusinya, dengan distribusi lebih besar pada reservoir inang anjing, 
serigala, rubah dan kucing. Penyakit ini terutama terjadi di bagian Utara dan 
tengah Eropa, Alaska, dan Kanada. 
  Penyebaran infeksi Echinococcus tergantung pada kehadiran anjing 
dan rubah sebagai inang defi nitif, inang perantara rentan seperti domba, 
kambing dan babi, lingkungan yang memungkinkan kelangsungan hidup telur, 
dan padat penduduknya serta tinggal berdekatan dengan hewan peliharaan. 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
   Infestasi cacing ini memicu eosinofi lia (meningkatnya konsentrasi 
eosinofi l di dalam darah). Pecahnya kista hidatidosa sebagai akibat dari 
trauma atau pembedahan sangat berbahaya, karena dapat memicu 
shock anafi laksis, reaksi alergi, dan risiko penyebaran pasir hidatidosa yang 
dapat memicu  kista baru di seluruh tubuh.
   Penyakit hidatidosa dipicu oleh tahap larva dari parasit mulai dari 
yang paling ringan tanpa menunjukkan gejala klinis hingga berakibat fatal. 
Keparahan tergantung pada lokasi dan ukuran kista. Gejala klinis terjadi 
saat  kista hidatidosa tumbuh dan memicu nekrosis pada jaringan 
sekitarnya.
   Presentase kasus yang menyerang di hati sekitar 75 % dengan gejala 
perut nyeri, adanya massa di hati dan obstruksi  saluran empedu. Kejadian 
di paru 22 % dengan gejala nyeri di dada, batuk dan hemoptisis. Sedangkan 
kejadian di rongga perut/panggul, limpa, ginjal dan jantung sekitar 6%.
   Gejala klinis penyakit pada hewan tidak spesifi k. Pecahnya kista 
pada manusia dapat memicu reaksi toksik seperti gatal atau bintik 
merah, kulit kemerahan, demam, pernafasan pendek, sianosis, muntah, 
diare, gangguan sirkulasi darah dan mati mendadak. 
2.  Patologi
Patologi anatomi tidak banyak menunjukkan kerusakan jaringan, kecuali 
jaringan disekitar kista, yaitu pada hampir semua organ, otot diaphragma, 
lidah masseter dan interkoste.
3.   Diagnosa
 
a.  Rontgen :   pemeriksaan radiografi 
b.  USG   : gambar multidimensi kista di organ dan jaringan lunak, 
mengidentifi kasi pasir  hidatidosa dan kalsifi kasi
c.  CT-Scan :  mengidentifi kasi kista hydatid untuk menilai efektivitas 
terapi – kalsifi kasi fl ek menunjukkan degenerasi
      
Gambar 6. Diagnosa dengan Rontgen, USG dan CT-Scan
(Sumber: http:// www.dpd.cdc.gov/dpdx)
     Pemeriksaan laboratorium ada 2 macam cara, yaitu :
a.   Metoda kompresi
        Spesimen berupa sepotong kecil daging/organ diperoleh dari otopsi 
atau biopsi, diletakkan di antara gelas obyek dan ditekan sampai otot 
menjadi tipis, lalu diperiksa dengan mikroskop.
b.    Pemeriksaan Serologi
         Immunodiagnostic Test, Haemagglutination/Flocculation technique, 
Complemen Fixation Test, Skin Test, dan ELISA.
4.  Diagnosa Banding
a.   Sarcosporidia pada otot (Sarcocystis miescheriana) 
         Larvanya lebih besar sehingga nampak jelas dengan mata 
telanjang.
b.    Cysticercus cellulose 
         Larvanya lebih besar, ada kait dan berada di dalam jaringan 
ikat di antara serabut otot.
c.     Trichinosis 
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengiriman bahan pemeriksaan ke laboratorium berupa :
a.   Potongan kecil otot/organ
        Untuk pemeriksaan mikroskopis, otot/organ yang dikirim diambil 
dari tempat yang dicurigai, misalnya otot lidah, diafragma, interkoste 
yang dimasukkan ke dalam larutan formalin 10 %.
b.   Serum dengan uji IFA
 
        Digunakan serum yang dikeringkan dengan cara sebagai berikut : 
- darah diambil dari vena pada manusia atau babi yang dicurigai, lalu 
ditampung dalam tabung reaksi sebanyak 3-5 ml,
- darah didiamkan sekitar 1 jam pada suhu kamar, lalu 
dipindahkan kedalam lemari es (4 oC) selama 2 jam, lalu 
disentrifus,
- serum yang diperoleh diserap dengan potongan kertas saring, yang 
lebarnya sedemikian rupa sehingga tiap potongan mampu menyerap 
0,5 ml serum, 
- kertas tersebut dikeringkan pada suhu kamar dan disimpan di tempat 
yang kering sampai pemeriksaan.
pengobatan : 
1. Pengobatan
a.   Bedah Penghapusan Kista hidatidosa
(1)  efektif tetapi berisiko, tergantung pada lokasi, ukuran, dan tahap  
kista 
(2)  perlu kemoterapi untuk mencegah recurrence
b.   Kemoterapi
        Albendazole 
(1)  Dosis 10 mg/kg BB setiap hari atau 2x400mg selama 4 minggu, 
pengobatan diulangi (sampai 12 kali). 
(2)  Dosis  tubuh sehari-hari berat 40mg/kg, 3xsehari, selama 3-6 bulan
c.     PAIR Pengobatan
(1)  Tusuk, aspirasi, injeksi, respirasi 
(2)  Menyuntikkan zat protoscolicidal menjadi kista
d.    Obat :
(1)  Arecoline hydrobromide peroral dengan dosis 1-2 mg/kg berat 
badan, 
(2)  Arecoline Acetarsol peroral dengan dosis 1 mg/kg berat badan, 
(3)  Dichlorophen peroral dengan dosis 200 mg/kg berat badan,
(4)  Yomesan peroral dengan dosis 50 mg/kg berat badan.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
   Infeksi penyakit hidatidosa pada manusia dapat dicegah melalui 
pemberian pemahaman tentang risiko dan tindakan pencegahan terhadap 
penyakit ini secara tepat. Dalam usaha  mencegah kelanjutan siklus hidup 
penyakit pada peternakan dan rumah potong hewan, maka sebaiknya tidak 
memberikan jeroan mentah sebagai pakan anjing dan memberlakukan 
prosedur pemeriksaan daging secara menyeluruh. Selain itu, tindakan 
kebersihan sangat penting dilakukan, seperti mencuci tangan sebelum 
makan, memasak bahan makanan hingga matang, dan memakai pakaian 
pelindung dan sarung tangan bila diperlukan untuk menghindari kontak 
dengan bahan makanan yang tercemar feses.
   Strategi pengendalian dilakukan untuk meningkatkan pelayanan 
kesehatan masyarakat, yang mencakup peningkatan akses terhadap 
diagnostik, pengobatan, pendidikan, akses terhadap air bersih, memperbaiki 
sanitasi dan inspeksi daging. 
   Program yang lebih spesifik ditujukan untuk menghilangkan 
E. granulosa secara langsung dengan memakai obat cacing untuk 
membunuh cacing pita, dan mengendalikan populasi anjing liar.
 
   Pencegahan dilakukan dengan menjaga anjing terinfestasi serta 
menghindarkan tertelannya telur cacing secara tidak sengaja, mencegah 
anjing memakan inang antara. Sedangkan untuk melindungi manusia terhadap 
infeksi kista, antara lain, perlu meningkatkan kebersihan perseorangan, 
menjaga kondisi anjing tetap bersih, dan tidak memelihara anjing yang 
terinfestasi. Melakukan pemeriksaan daging secara rutin terhadap adanya 
kista cacing Echinococcus pada saat pemotongan hewan di Rumah Potong 
Hewan (RPH), dan memasak daging dengan cara merebus sampai mendidih 
selama 30 menit atau membekukan daging pada suhu -35 °C selama 24 jam, 
disertai penyuluhan pada masyarakat/konsumen.

FASCIOLOSIS
Sinonim : Distomatosis, Penyakit Cacing Hati.
  
Fasciolosis yaitu  penyakit zoonosis yang dipicu oleh parasit cacing 
trematoda Fasciola gigantica maupun F.hepatica, termasuk kelas Trematoda, 
fi lum Platyhelmintes dan genus Fasciola. Cacing tersebut bermigrasi dalam 
parenkim hati, berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Jenis cacing 
Fasciola yang ada di negara kita  yaitu  Fasciola gigantica, dan siput yang 
bertindak sebagai inang antara yaitu  Lymnaea rubiginosa. berdasar  
penelitian diketahui bahwa siput L.rubiginosa yaitu siput yang resisten 
terhadap infeksi mirasidium F.hepatica.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu  rasa sakit di daerah hati, 
sakit perut, diare, demam dan anemia. Pada sapi dan domba, proses terpenting 
yaitu  terjadinya fi brosis hepatis dan peradangan kronis pada saluran empedu. 
Selanjutnya terjadi gangguan pertumbuhan, penurunan produksi susu dan berat 
badan. Gejala klinis yang menonjol yaitu  adanya edema di rahang bawah 
(submandibularis) pada hewan ruminansia yang menderita fasciolosis kronis.
berdasar  hasil penelitian, dari berbagai hewan ruminansia yang ada di 
negara kita , telah dilaporkan bahwa domba ekor tipis yaitu domba yang 
resisten terhadap infeksi fasciolosis dan daya resistensi tersebut dapat diturunkan 
secara genetik.
Di negara kita , secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6 milyar/
tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan, hilangnya 
karkas/hati yang rusak, hilangnya tenaga kerja, penurunan produksi susu 10-20 
% dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.
etiologi 
Fasciolosis dipicu oleh cacing hemaprodit yang cukup besar, berbentuk 
seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara eksklusif ada 
di daerah tropis, berukuran 25-27x 3-12 mm. Fasciola hepatica ditemukan di 
daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30x10 mm. Kedua spesies 
cacing tersebut bersifat hematopagus/pemakan darah. 
F.gigantica mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium Iebih 
panjang dengan banyak cabang. Sedangkan F.hepatica mempunyai pundak 
lebar dan ujung posterior lancip. Telur Fgigantica berukuran 160-196x90 -100 
mm, dan telur F.hepatica berukuran 130-148x60-90 mm.
Sifat Agen Penyakit
Penyakit ini ada di daerah yang lembab dan basah. F. gigantica tersebar di 
daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Asia, sedangkan F. hepatica tersebar 
di daerah dingin dan dataran tinggi di Afrika, Asia, Australia, Amerika Utara dan 
Selatan. Penyakit ini sangat penting baik di negara yang beriklim tropis maupun 
subtropis, dan sebagai sumber perkembangbiakan yaitu  air.
Telur Fasciola sp. dapat bertahan selama 2-3 bulan dalam keadaan yang lembab 
(dalam feses) dan cepat mengalami kerusakan jika berada dalam keadaan 
yang kering. Larva cacing Fasciola sp. (sporosista, redia dan serkaria) dapat 
bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput. Sedangkan metaserkaria yang 
menempel pada rerumputan mampu bertahan hidup antara 3-6 bulan jika 
berada di tempat yang teduh dengan lingkungan yang lembab. Selanjutnya 
metaserkaria tersebut akan cepat mengalami kematian bila berada di tempat 
yang panas dan kering. Cacing dewasa yang ada di dalam hati hewan dapat 
hidup selama 1-3 tahun.
epidemiologi 
1.  Siklus Hidup
    
   Di dalam  tubuh inang utama yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing 
dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus, lalu telur keluar 
bersama dengan feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut 
getar) di seluruh permukaan tubuhnya (mirasidium). Larva mirasidium 
lalu berenang mencari siput Lymnea. 
   Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air 
tawar (Lymnea rubiginosa). Mirasidium sesudah  berada di dalam tubuh siput 
selama 2 minggu berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai 
kemampuan reproduksi secara asexual dengan cara paedogenesis di dalam 
tubuh siput, sehinga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya larva sporosis 
melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, lalu larva redia 
melakukan paedogenesis menjadi serkaria.    
Larva serkaria lalu berekor menjadi metaserkaria, dan segera keluar 
dari siput berenang mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya 
rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah menempel, 
metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan 
lama pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air. jika tumbuhan 
tersebut termakan oleh hewan ruminansia, maka kista tersebut dapat 
menembus dinding usus, lalu masuk ke dalam hati, lalu ke saluran 
empedu dan menjadi dewasa dalam beberapa bulan sampai bertelur dan 
siklus ini terulang kembali.
Gambar 2 . Siklus Hidup F.Hepatica
(Sumber: http://www.e-cleansing.com/parasites/fasciolosis.html)
2.  Spesies Rentan
   Spesies rentan yaitu  sapi, kambing, domba, babi, kelinci, gajah, 
kuda, anjing, kucing, keledai, kijang, jerapah, zebra, kangguru dan manusia. 
Pada inang yang tidak biasa, seperti manusia dan kuda, cacing Fasciola 
dapat ditemukan dalam paru-paru, di bawah kulit atau pada organ lain.
   Hewan muda lebih rentan dibandingkan dengan hewan dewasa. 
Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan 
kambing bersifat akut. Selama cacing muda bermigrasi di dalam parenkim 
hati, dapat memicu kematian karena adanya kegagalan fungsi hati 
dan terjadinya perdarahan. Dampak infeksi F.gigantica diketahui lebih berat 
dan lebih infektif pada kambing dibandingkan pada domba.
3.  Pengaruh Lingkungan
Infeksi cacing trematoda pada ruminansia biasanya berhubungan erat 
dengan tanaman semiakuatik karena siklus hidupnya mutlak memerlukan 
inang antara berupa siput air tawar.
   Lingkungan yang basah yaitu tempat yang sesuai untuk 
perkembangan Fasciola sp. karena perlu induk semang antara siput air tawar 
jenis Lymnea. Telur cacing Fasaciola sp. yang masih bercampur dengan 
feses tidak akan berkembang menjadi embrio. Suhu udara optimal untuk 
perkembangan embrio berkisar antara 22-30 °C.
   Mirasidium yang keluar dari telur sangat aktif berenang mencari 
inang antara yang cocok, yaitu siput L.rubiginosa, dan daya tahan hidup 
mirasidium tidak lebih dari 40 jam. Setelah mirasidium masuk dalam tubuh 
siput akan berkembang menjadi sporosista dan redia. Selanjutnya redia 
memproduksi serkaria yang akan keluar dari tubuh siput mulai hari ke 40 
sampai hari ke 55. 
   Setelah serkaria keluar dari tubuh siput, maka akan kehilangan 
ekornya dan mulai terbentuk substansia kental yang menutupi seluruh 
permukaan tubuh (kista). Kista F.gigantica lebih banyak ditemukan menempel 
pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya sekitar 2 cm di bawah 
permukaan air. Selain itu diketahui bahwa serkaria lebih menyukai tumbuhan 
air yang berwarna hijau.
4.  Sifat Penyakit 
Penyakit bersifat endemis dengan prevalensi pada hewan ruminansia besar 
dapat mencapai 60% dan pada domba 20%.
5.  Cara Penularan
   Hewan bertulang belakang terinfestasi secara tidak sengaja menelan 
metasarkaria yang menempel pada tumbuhan air/rumput atau air minum 
yang mengandung metaserkaria. Di dalam usus manusia, parasit keluar 
dari kista (ekskistasi) dan bermigrasi dengan menembus dinding usus dan 
rongga perut menuju ke hati. Selanjutnya menuju dan tinggal di dalam 
suran empedu. Proses pendewasaan di dalam hati atau kantung empedu 
memerlukan waktu 2 (dua) bulan. Telur melewati saluran empedu menuju 
usus dan keluar ke tanah atau air bersama dengan feses. Seluruh siklus 
hidup memerlukan waktu 5 (lima) bulan.
6.  Distribusi Penyakit
a.   Kejadian di negara kita 
         negara kita  yaitu negara beriklim tropis basah, sehingga 
sangat cocok untuk perkembangan-biakan cacing hati F.gigantica. 
Fasciolosis di negara kita  yaitu penyakit yang penting dengan 
kerugian ekonomi yang cukup tinggi. 
         Prevalensi penyakit ini pada sapi di Jawa Barat mencapai 90% dan 
di Daerah Istimewa Yogyakarta antara 40-90%, sedangkan prevalensi 
penyakit  pada domba belum diketahui.
b.   Distribusi Geografi 
        
        Spesies F.gigantica dan F.hepatica tersebar di seluruh dunia dan 
penyebaran F.hepatica lebih luas dibanding F.gigantica. F. gigantica 
diketahui yaitu satu-satunya cacing trematoda yang memicu 
fasciolosis pada hewan ruminansia di negara kita .
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
   Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria 
yang tertelan dan infektifi tasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat 
banyak akan memicu  kematian pada ternak sebelum cacing tersebut 
mencapai dewasa. Selain itu, tergantung pula pada stadium infestasi yaitu 
migrasi cacing muda dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran 
empedu, serta infestasi Fasciola sp. dapat bersifat akut maupun kronis. 
Infestasi F.gigantica pada domba dan kambing biasanya bersifat akut dan 
fatal.
   Bentuk akut:
Bentuk ini dipicu adanya migrasi cacing muda di dalam jaringan hati, 
sehingga memicu kerusakan jaringan hati. Ternak menjadi lemah, 
nafas cepat dan pendek, perut membesar dan rasa sakit.
Bentuk kronis:
   F.gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan sesudah  infestasi, gejala 
yang nampak yaitu  anemia, sehingga memicu ternak lesu, lemah, 
nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan, membrana mukosa 
pucat, diare dan edema di antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus dan 
kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3 bulan.
2.  Patologi
   Lesi yang dipicu oleh infestasi cacing Fasciola sp pada 
semua ternak hampir sama tergantung tingkat infestasinya. Kerusakan hati 
yang paling banyak akibat infestasi ini terjadi antara minggu ke 12-15 pasca 
infestasi. Berat ringannya penyakit tergantung pada jumlah metaserkaria 
yang ditelan dan infekstifi tasnya. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada 
waktu cacing muda menembus dinding usus akan tetapi kerusakan yang 
berat dan peradangan yang timbul terjadi sewaktu cacing bermigrasi ke 
dalam parenkim hati dan saat  berada dalam saluran empedu dan kantong 
empedu. 
    Lesi yang timbul pada keadaan akut berhubungan dengan migrasi 
cacing muda dalam hati yang memicu  perdarahan dalam kapsula 
hati. Perkembangan cacing memicu  luka yang makin besar yang 
akhirnya timbul nekrosis disertai dengan hiperpilasia saluran empedu, dan 
adanya gejala ikterus.
Gambar 3. Hati yang terinfeksi Fasciola gigantica
(Sumber: http://veterinaryrecord.bmj.com)
  Lesi yang terjadi pada ternak yang terinfestasi kronis secara histopatologi 
terlihat gambaran dilatasi dan penebalan saluran empedu, serta fi brosis 
periportal dan infi ltrasi eosinofi l, limfosit dan makrofag. Pada infestasi yang 
berat memicu  fi brosis, hiperplasia dan kalsifi kasi pada saluran 
empedu. 
3. Diagnosa
a.   Diagnosa klinis
Diagnosa  berdasar  gejala klinis sulit dilakukan, maka sebagai 
penunjang diagnosa dapat dipakai pemeriksaan ultra sonografi 
(USG).
b.   Diagnosa laboratorium
        Pemeriksaan laboratorium dilakukan melalui pemeriksaan feses, 
biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta western 
blotting.
Pemeriksaan feses untuk  deteksi telur cacing terkendala dengan durasi 
infestasi F.gigantica, karena telur baru dapat ditemukan sesudah  15 
minggu hewan terinfestasi, sedangkan untuk infestasi F.hepatica, telur 
baru dapat ditemukan sesudah  10 minggu hewan terinfestasi. 
Telur yang keluar secara intermiten tergantung pada pengosongan 
kantong empedu. Telur Fasciola serupa dengan telur paramphistomum. 
Telur Fasciola berwarna kekuningan, sedangkan telur Paramphistomum 
berwarna keabu-abuan
Uji serologis memakai metoda ELISA untuk deteksi antibodi dan 
antigen, serta dapat didukung dengan western blotting untuk menggetahui 
pita protein Fasciola. Melalui uji ELISA, infestasi dini, yaitu antara 2-4 
minggu sudah dapat terdeteksi.
4.  Diagnosa banding
a.    Pada bentuk akut dapat keliru dengan hepatitis karena gangguan nutrisi
b.    Migrasi intra hepatik dari larva Taenia hydatigena
   c.   Pada bentuk kronis dapat keliru dengan :
        -    infestasi cacing saluran pencernaan lain
        -     bovine paratubercular enteritis  
pengobatan : 
1.  Pengobatan
a.   Pada manusia dipakai triclabendazole dengan dosis 10-12 mg/kg bb 
dan nitazoxanide.
b.   Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba, dengan 
daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi sesudah  6 minggu. 
Namun pengobatan dengan obat ini perlu diulang 8-12 minggu sesudah  
pengobatan pertama.
c.    Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk 
sapi. Obat ini efektif untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda, 
baik cacing muda maupun dewasa. 
d.   Mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94 %) untuk membunuh 
cacing hati dan cacing nematoda. 
Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan minimal 2 kali dalam 
1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan 
tujuan untuk mengeliminasi migrasi cacing dewasa, sehingga selama musim 
kemarau ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan, 
terutama kolam air, agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi oleh 
larva cacing. 
Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan 
untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati. 
Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh 
cacing muda.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.    Pelaporan
(1)    Melakukan pemeriksaan ternak di rumah potong hewan
(2)    Menyampaikan laporan kepada Dinas setempat
b.   Pencegahan
Dalam rangka pencegahan, perlu adanya perbaikan tata cara pemberian 
pakan pada ternak, yaitu dihindarkan pengambilan jerami yang berasal 
dari sawah dekat kandang. Bila terpaksa, jerami tersebut harus diambil 
dengan pemotongan minimal 30 cm dari permukaan tanah. Jerami yang 
berasal dari sekitar pemukiman atau dekat kandang perlu dikeringkan 
dengan cara dijemur, minimal 3 hari di bawah sinar matahari. 
c.   Pengendalian dan Pemberantasan
Ada 5 (lima) kelompok zat kimia yang dapat dipakai untuk memberantas 
Fasciola (fasciolides), yaitu : 
(1)  Kelompok fenol halogenasi
- Bithionol, 
- Hexachlorophene, 
- Nitroxynil 
(2)  Kelompok salicylanilides : 
- Closantel, 
- Rafoxanide 
(3)  Kelompok benzimidazoles :
- Triclabendazole, 
- Albendazole, 
- Mebendazol, luxabendazole 
(4)  Kelompok sulphonamides : 
- Clorsulon 
(5)  Kelompok phenoxyalkanes : 
- Diamphenetide 
Pemberantasan inang sementara, yaitu siput air tawar L. rubiginosa 
dengan memakai molukisida, seperti copper sulfat. Selain 
itu, pemberantasan siput secara biologik dapat dilakukan dengan 
melepaskan bebek/itik. Namun, sebagai perbaikan tatalaksana dalam 
beternak, sebaiknya dihindarkan penggembalaan bebek/itik pada daerah 
yang tergenang air.
Pemutusan siklus hidup fasciolosis dapat dilakukan dengan 
menghindari menggembalakan ternak pada pagi hari, sehingga ternak 
tidak mengkonsumsi ujung rumput yang masih basah oleh embun 
dan kemungkinan mengandung metaserkaria. Pada manusia, usaha  
pencegahan dapat dilakukan dengan memasak daging/hati secara 
sempurna.

KASKADO
Sinonim : Stephanofi lariasis
  
Kaskado atau Stephanofi lariasis yaitu penyakit yang dipicu oleh 
cacing Filaria dari genus Stephanofi laria, memicu lesi pada kulit yang 
ditandai dengan alopecia dan dermatitis nodular ulseratif pada sapi, kerbau, 
kambing, dan hewan mamalia lainnya. Dalam banyak kasus, luka dapat muncul 
kembali karena obstruksi dari saluran getah bening. Penyakit ini bersifat zoonosis, 
akan tetapi kejadian pada manusia masih jarang ditemukan.
Di negara kita , penyakit ini pertama kali diidentifi kasi penyebabnya dan dilaporkan 
pada tahun 1933. Daerah penyebaran penyakit ini sampai sekarang masih 
terbatas, namun bila suatu daerah sudah terinfestasi, maka jumlah penderitanya 
dapat meluas dan dapat mencapai lebih dari 90 %. Hewan yang terkena penyakit 
ini masih dapat dipakai untuk bekerja namun kinerjanya berkurang. Selain 
itu adanya bekas luka pada kulit akan menurunkan harga jual kulit dan harga 
ternak.
etiologi 
Penyakit ini dipicu oleh cacing Stephanofi laria duodesi dan Stephanofi laria 
stillesi yang yaitu anggota dari famili Atracticae dan ordo Spirurodia, genus 
Stephanofi laria. Cacing ini ditandai dengan mulut yang sirkuler dan menonjol 
dengan cincin di tepi spina kecilnya, ada pula lingkaran spina lain disela-sela 
amfi da. 
Cacing ini sering ditemukan pada permukaan kulit bagian ventral sapi, cacing 
jantan panjangnya 3.0-3.5 nm dengan diameter 40-50 µ, sedangkan spikulum kiri 
276 µ dan spikulum kanan 47 µ. Cacing betina panjangnya 5.6-5.8 nm dengan 
diameter 100-117 µ. Mikrofi laria ada di dalam kulit dengan panjang 45-60 
mikron dan berdiameter 2-4 µ.
epidemiologi 
1.  Siklus Hidup
   Siklus hidupnya tidak langsung dan memerlukan lalat sebagai vektor, 
yaitu lalat Haematobia irritans. Lalat dewasa mengeluarkan mikrofi laria. 
Mikrofi laria diperoleh dengan cara hisapan lesi terbuka pada hewan yang 
terinfestasi cacing Stefanofi laria. Inang akhir terinfestasi saat  larva lalat 
terdeposit pada bagian kulit yang tidak terluka, memicu peradangan 
dan kerusakan folikel rambut serta sel epitel.
2.  Sifat Alami Agen
   Cacing ini bersifat viviparus, cacing betina mengeluarkan mikrofi laria, 
dan cacing dewasanya hidup pada lapisan epitel kulit, membentuk kista, serta 
memicu  peradangan pada lapisan malpighi, sehingga terjadi kerusakan 
dan proliferasi sel-sel epitel. 
   Stephanofi laria dapat dicirikan sebagai agen penyakit yang biasa 
ada pada hunian padang rumput dengan jumlah kotoran basah yang 
banyak, terutama di musim panas dan hujan.
3.  Spesies Rentan
   Cacing S.dedoesi dan S.stilesi umumnya menyerang sapi, 
meskipun di Sulawesi dan Malaysia pernah dilaporkan menyerang kerbau 
dan kambing. Spesies lain dari cacing Stephanofi laria dilaporkan menyerang 
kambing (S.assamensis), badak (S.dinniki), gajah (S.srivastavie). Sedangkan 
di Boyolali, Jawa Tengah, pernah dilaporkan bahwa Kaskado sebanyak 98 % 
menyerang sapi perah selama lebih dari 2 tahun.
4.  Pengaruh Lingkungan
 
   Prevalensi stephanofi lariasis umumnya meningkat pada saat musim 
hujan, yakni seiring dengan peningkatan populasi vektor. Bersamaan dengan 
musim hujan, aktivitas penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah juga 
meningkat, sehingga diduga pada saat inilah kemungkinan terjadi perlukaan 
pada kulit akibat alat pembajak, sehingga memicu datangnya lalat vektor 
penyakit pada daerah kulit yang luka tersebut.
5.  Sifat Penyakit
 
   Umumnya penyakit ini bersifat sporadis, dan diperlukan adanya faktor luka 
pada kulit. Dapat menyerang sampai 98 % dari total populasi sapi, namun hal 
ini sangat tergantung pada faktor lingkungan.
6.  Cara Penularan
   Penyakit Kaskado ditularkan oleh vektor lalat, antara lain Musca 
sp., Stomoxys sp., Lyperosia sp., dan Haematobia sp. Di dalam tubuh vektor, 
mikrofi laria mengalami proses pendewasaan hingga mencapai stadium 
infektif (larva stadium 3/L3) yang membutuhkan waktu sekitar 10-25 hari, 
tergantung suhu udara lingkungan. Selanjutnya, larva infektif ini ditularkan 
kembali oleh vektor pada saat lalat mengisap cairan luka pada kulit hewan, 
selanjutnya larva tersebut berkembang menjadi cacing dewasa. Namun, 
belum diketahui secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan dari L3 
sampai menjadi L4 dan terakhir L5 (dewasa).
   Lalat Haemotobia irritans yaitu  inang antara Stephanofi laria sp. 
yang paling sering ditemukan pada tubuh sapi. Haemotobia irritans betina 
meninggalkan inang hanya untuk meletakkan telurnya pada kotoran sapi 
yang masih baru. Haemotobia irritans menggigit tubuh inang, menghisap 
darah dan cairan lainnya, hal ini yaitu pemicu masuknya larva 
cacing Stephanofi laria sp pada tubuh sapi.
7.  Distribusi Penyakit
   Penyebaran cacing ini secara geografi s di negara kita  belum diketahui 
secara pasti, namun yang sudah pernah ada laporan kasusnya yaitu  di 
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Lampung, Jambi, 
Riau, Sumatera Utara, Aceh dan Boyolali Jawa Tengah. Selain di negara kita , 
stephanofi lariasis yang dipicu oleh berbagai spesies Stephanofi laria 
telah dilaporkan terjadi di Amerika Serikat, Canada, India, Malaysia, Jepang, 
Kenya, Denmark, Jerman dan Australia.
   Sebuah penelitian studi ternak di Australia Utara melaporkan 
frekuensi penyakit ini lebih sering terjadi pada sapi keturunan Bos taurus dan 
pada hewan tua. Di daerah endemik, prevalensi kejadian mencapai 90%. 
Beberapa spesies Stephanofi laria telah ditemukan di negara kita  sebagai 
pemicu penyakit Kaskado dengan prevalensi bervarisai. Kasus penyakit 
Kaskado di negara kita   dilaporkan terjadi pada tahun 2006 di Sleman, 
Yogyakarta yang menyerang beberapa ekor sapi perah , kejadian terakhir 
ditemukan di daerah Jombang Jawa Timur yang menyerang sapi potong 
hasil persilangan pada tahun 2012.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
   Kaskado yang dipicu oleh Stephanofi laria dedoesi diketahui 
dari luka pada kulit yang tertutup oleh keropeng dan kelihatan tebal. Pada 
tahap awal, kelainan kulit berupa lepuh kecil, lalu menjadi luka yang 
besar. Proses ini meluas ke perifer, dan pada keadaan lanjut dapat menjadi 
luka dengan garis tengah mencapai 25 cm. Luka tersebut sering ada 
pada bagian atas leher, daerah punuk, gelambir, bahu, sekitar mata dan 
kaki.
   Stephanofi laria kaeli memicu luka yang bersifat proliferasi 
di sekitar persendian tarsal dan karpal pada kaki, sendi kuku, puting susu 
dan kadang pada kulit telinga. Sedangkan Stephanofi lariasis pada sapi yang 
dipicu oleh S. stilesi memicu  lesi kulit pada bagian bawah tubuh 
(abdomen) dan kadang pada kulit telinga. 
   Di India Kaskado yang dipicu oleh S. assamensis memicu  
lesi kulit pada daerah punuk sapi, kerbau, kambing, dan S. zaheeri 
memicu  lesi kulit kerbau atau sapi. Di Jepang juga ada penyakit 
kaskado yang dipicu oleh S. okinawaensis yang memicu  lesi/
luka pada kulit di daerah mulut dan puting susu sapi.
   Lesi dapat terjadi di berbagai bagian tubuh, khususnya skrotum, 
pelvis, leher, dan ambing. Penyakit ini diakui sebagai salah satu pemicu 
utama penyakit kulit ambing pada sapi. Akibat rasa sakit dan tidak nyaman 
oleh lesi memicu  hewan stres, nafsu makan berkurang, dan 
berdampak pada penurunan produksi susu dan daging. Ukuran lesi umumnya 
proporsional sesuai dengan umur dan ukuran hewan. Hewan betina biasanya 
memiliki diameter lesi yang lebih besar dibandingkan  hewan jantan. 
Gambar 1.  Gambaran klinis karakteristik lesi Stephanofi laria stilesi 
pada ambing sapi menyusui dan lesi yang terletak di wilayah 
perbatasan antara dinding perut ventral dan ambing (Sumber: 
Silva et al., 2010)
2.  Patologi 
   Penyakit ini tidak memicu  kematian, dan perubahan pasca mati 
hanya terjadi pada kulit seperti nampak pada gejala klinis.
3.  Diagnosa
Diagnosa berdasar  pada gejala klinis dan diagnosa laboratorium yang 
dikonfi rmasi dengan menemukan cacing pada kerokan kulit yang mengalami 
lesi dari hewan penderita.
4.  Diagnosa Banding
   Penyakit myasis
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
   Lesi atau luka pada kulit dikerok sampai sedikit mengeluarkan 
darah dan hasil kerokan tersebut selanjutnya diawetkan dalam campuran 
gliserin dan air, dengan perbandingan yang sama, atau diletakkan di dalam 
media tissue culture untuk selanjutnya diperiksa memakai mikroskop.
Pemeriksaan histopatologik diambil dari potongan kulit (biopsi) yang 
mengandung lesi dan diawetkan di dalam formalin 10 %. jika tidak 
mungkin diambil dari hewan yang masih hidup, maka dapat juga diambil dari 
irisan kulit hewan penderita yang baru dipotong.
Gambar 2. Fotomikrograf kulit ambing sapi menunjukkan adanya rata parasit 
tidak teratur A) Liquefactin necrosis; B) Polymorphonuclear dan 
infi ltrasi infl ammatory eosinophilic; C) Area multifocal hemoragi 
D) Kutikula parasit. HE, obj. 3.5x 
  (Sumber: Silva et al., 2010)
pengobatan : 
1.  Pengobatan
   Pengobatan lesi kaskado sangat sulit dan perlu waktu yang lama, 
sehingga nilai ekonomis hewan pun menurun. Senyawa organofosfat seperti 
trichlorphon untuk penggunaan topical cukup efektif karena cacing mengalami 
paralisis spastik dan mati. 
  Obat antiparasit berspektrum luas seperti Ivermectin dan Doramectin 
telah dilaporkan mampu mengobati Kaskado di lapangan. Pemberian 
Ivermectin dengan dosis 200 μg/kg BB secara subkutan dan Doramectin 200 
μg/kg BB dapat menyembuhkan penyakit Kaskado pada sapi perah, dengan 
jangka waktu penyembuhan sekitar 10 hari. 
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Pelaporan 
Bila terjadi kasus penyakit, sebaiknya kasus dilaporkan kepada Dinas 
Peternakan setempat, khususnya untuk daerah yang belum pernah 
tertular penyakit ini. Hewan sakit harus diisolasi dan diobati sampai 
sembuh. Selama sakit disarankan agar hewan tidak diperdagangkan 
atau dipindahkan ke lain daerah.
A B
C
D

b.   Pencegahan
        Dilakukan pengobatan pada kulit yang luka agar tidak dihinggapi 
lalat. Selain itu dihindari bercampurnya sapi yang sehat dengan hewan 
penderita kaskado.
c.    Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian dan pemberantasan dilakukan terhadap vektornya atau 
tindak pengobatan pada hewan penderita untuk menghilangkan sumber 
penyakit. Pengendalian populasi lalat dapat dilakukan secara berkala dan 
teratur dengan penyemprotan insektisida antara lain dengan coumaphos 
0,05-0,1 %, diazenon 0,5 % dan malathion 0,02 %. Penyemprotan atau 
pemberian obat dilakukan langsung pada kulit yang mengalami lesi atau 
luka untuk membunuh cacing.
        Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Hewan penderita kaskado boleh dipotong dan dagingnya dapat 
dikonsumsi, sesudah  bagian lukanya dibuang. Demikian pula kulitnya 
dapat diolah menjadi bahan makanan sesudah  dibersihkan dari luka-luka 
yang ada.
 

MYIASIS
Sinonim : Belatungan, Baulat, Koreng, Borok
  
Kata Myasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “myia” yang berarti lalat. Adapun 
defi nisi myiasis yaitu  infestasi larva lalat (Diptera) ke dalam jaringan hidup 
manusia atau hewan vertebrata lainnya dalam periode tertentu dengan memakan 
jaringan inangnya termasuk cairan substansi tubuh. Masyarakat negara kita  lebih 
mengenal penyakit ini dengan nama belatungan sedangkan penduduk India 
menyebutnya sebagai peenash atau scholechiasis. Selain pada hewan, kasus 
myasis juga terjadi pada masyarakat golongan sosio-ekonomi rendah terutama 
di negara tropis pada musim penghujan. Sampai saat ini, kasus myasis masih 
banyak dijumpai tidak hanya pada daerah kantung ternak yang dipelihara 
secara ekstensif (seperti di kawasan negara kita  Bagian Timur) tetapi juga pada 
peternakan intensif atau semi intensif termasuk pada hewan kesayangan. 
berdasar  lokasi ditemukannya larva, myiasis dapat diklasifi kasikan menjadi 
beberapa kelompok, yaitu dermal, sub-dermal atau kutaneous, okular, intestinal, 
dan urogenital. Adapun secara manifestasi klinis dapat digolongkan menjadi tiga, 
yaitu kutaneus myiasis, migratori myiasis dan traumatika myiasis. Di negara kita , 
umumnya myiasis yang terjadi di negara kita  tergolong kedalam traumatika 
myiasis.
Sebenarnya kasus myiasis masih sering terjadi, terutama di daerah endemik 
tetapi sering kali dilupakan. Langkah-langkah pengendalian masih harus terus 
dilakukan, yaitu pengobatan luka secara dini, pemantauan terhadap populasi 
lalat myiasis dan pengawasan lalu lintas ternak.
etiologi 
Penyebab myiasis di negara kita  dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu 
lalat primer (Chrysomya bezziana atau the Old World Screwworm Fly), lalat 
sekunder (C.megacephala, C.rufi facies, C.varipes, Hemypirellia, Sarcophaga 
sp) dan lalat tertier (Musca spp) (Gambar 1). Larva C.bezziana bersifat obligat 
parasit yang hanya memakan jaringan hidup tubuh inangnya. Lalat ini pertama 
kali di koleksi di Kongo (Zaire) pada tahun 1909 dari sapi dan diidentifi kasi oleh 
Professor Bezzi. Meskipun identifi kasinya kurang tepat, tetapi untuk menghargai 
jasa beliau maka lalat tersebut diberi nama “bezziana” oleh Entomologis dari 
Perancis, Joseph Villeneuve. Adapun myiasis di Australia dipicu oleh Lucilia 
cuprina dan L.sericata, myiasis di benua Amerika dipicu oleh Cochlyomyia 
hominivorax (the New World Scerwworm Fly) dan myiasis di benua Eropa dan 
sebagian Asia dipicu oleh Wohlfahrtia magnifi ca.

epidemiologi 
1.  Siklus hidup 
   Siklus hidup lalat C.bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu 
telur, larva, pupa dan lalat. Dari telur menetas menjadi larva instar I (L1) 
sampai dengan larva instar III (L3) memerlukan waktu enam hingga tujuh 
hari, selanjutnya L3 akan jatuh ke tanah dan membentuk pupa. Dalam waktu 
tujuh sampai delapan hari, pupa menetas menjadi lalat (imago). Setelah 
kawin pada umur 4 – 8 hari, lalat betina akan bertelur pada jaringan yang 
terluka (Gambar 2). 
   Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka 
pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur 
yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 
180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12-24 jam atau 
sepuluh jam pada suhu 30oC, selanjutnya L1 menuju ke daerah luka yang 
basah.  Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat 
terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke 
dalam jaringan inang. 
   Larva instar II akan berkembang menjadi L3, selanjutnya pada hari 
keempat bermigrasi keluar dari daerah luka ters