berasx.blogspot.com
....
kacangx.blogspot.com
.....
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 8. Tampilkan semua postingan
Selasa, 11 Juli 2023
penyakit hewan mamalia 8
Juli 11, 2023
penyakit hewan mamalia 8
banyak menyerang Bos taurus dibandingkan dengan Bos indicus. Kualitas
ketahanan tubuh (respon imun) terhadap caplak lebih besar pada jenis sapi
peranakan yang mempunyai darah/keturunan zebu yang lebih dominan.
jika sapi-sapi yang rentan tidak terlindungi dari infestasi caplak, maka
derajat kesakitan dan kematian yang tinggi akibat infestasi Babesia sp dapat
terlihat dalam waktu 3 minggu. Jikalaupun periode kritis ini dapat terlewati,
hewan-hewan tersebut cenderung mudah menderita anaplasmosis pada
2 – 12 minggu pasca wabah babesiosis.
4. Pengaruh Lingkungan
Kondisi lingkungan yang sesuai untuk perkembangan vektor caplak
berkorelasi positif dengan semakin meningkatnya kasus Babesiosis di
lapang. Penyebaran Babesia sp. sangat tergantung dari kondisi geografi s
dan cuaca disuatu wilayah.
Caplak sebagai vektor penyakit ini banyak ditemukan pada lingkungan
yang hangat dan lembab, bahkan mampu bertahan hidup pada daerah-
daerah kering-dingin atau kering-panas hingga pada ketinggian 2000 m.
5. Sifat penyakit
Babesiosis pada umumnya bersifat kronis, tetapi terkadang dapat
juga bersifat akut bahkan memicu kematian pada ternak dengan
tingkat parasitemia yang tinggi.
6. Cara Penularan
Babesiosis ditularkan melalui vektor caplak. Caplak yang berinang
satu menularkan secara transovarial, sedangkan caplak berinang dua atau
tiga penularannya secara “stage to stage“. Parasit ini masuk ke dalam tubuh
caplak pada saat menghisap darah inang. Di dalam tubuh caplak, Babesia sp
akan memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran pencernaan, selanjutnya
menyebar ke seluruh tubuh dan melakukan invasi ke indung telur. Babesia
akan berada di dalam telur caplak yang akan berkembang menjadi larva
(transovarial transmission).
Vektor lain yang mampu menularkan Babesia sp pada ternak yaitu
Boophilus microplus. Caplak ini dilaporkan menjadi vektor yang penting di
negara kita karena terbukti mampu mentransmisikan B.bovis, B.bigemina
termasuk Anaplasma marginale. Adapun Boophilus annulatus dikenal sebagai
vektor B.bigemina di wilayah Amerika Utara serta Boophilus calcaratus dan
Rhipicephalus bursa menjadi vektor B.bovis di wilayah Eropa, Rusia dan
Afrika. Caplak Haemaphysalis, Dermacentor dan Rhipichephalus diketahui
menjadi vektor B.motasi yang menyerang domba dan kambing di Eropa,
Timur Tengah, Rusia, Indocina dan Afrika. Babesia sp juga dapat ditularkan
secara alamiah melalui gigitan caplak berkulit keras, yaitu Ixodes persucaltus
dan I.ricinus. Manusia dapat tertular protozoa ini melalui transfusi darah atau
melalui caplak saat berjalan diantara semak. Selain itu penularan juga
bisa secara mekanik melalui alat-alat kedokteran yang tidak steril pada saat
pengebirian, vaksinasi, pemotongan tanduk dsb.
Gambar 3. Tahapan perkembangan Babesia bovis di dalam eritrosit darah
sapi (kultur in vitro). A, Sepasang merozoit B. bovis dewasa yang
berada didalam sel darah merah. B) Merozoit yang telah bebas dan
diantaranya telah menempel ke permukaan sel darah merah sapi, C.
Tropozoit B. bovis didalam sel darah merah. E. Kinet B. bovis yang
diisolasi dari Riphicephalus microplus
7. Distribusi Penyakit
a. Kejadian di negara kita
Kasus babesiosis pertama kali di negara kita dilaporkan pada kerbau
di Tegal (Jawa Tengah) bertepatan dengan terjadinya wabah Texas fever
pada tahun 1896 dan menyusul di daerah Sumatra pada tahun 1906.
Kasus babesiosis terus berkembang dan menjadi wabah pada tahun
1918, yang menyerang ternak-ternak diimport dari Australia, sehingga
daerah tertular dan tersangka tertular, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Jambi, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,
Sulawesi Selatan, Sulawesi tengah, Halmahera, Irian Jaya, Lombok, Bali
dan Jawa.
Selanjutnya kasus wabah babesiosis semakin tahun semakin
meningkat. Pada tahun 1982, dilaporkan sebanyak 710 kasus dan
meningkat tajam pada tahun 1983 menjadi 3.563 kasus, sedangkan
pada tahun 1984 meningkat hingga 5.579 kasus.
b. Distribusi geografi s
Penyakit ini terdistribusi luas diseluruh negara kita .
keterangan :
1. Gejala Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan akibat penyakit ini yaitu
demam, hewan kekurangan darah dan mengalami anemia. Penyakit ini
sangat patogen pada sapi dewasa, tetapi anak sapi kurang dari satu tahun
relatif lebih tahan. Masa inkubasi babesiosis antara 2 – 3 minggu pada infeksi
alam, tetapi dapat berjalan lebih cepat jika dilakukan inokulsi di laboratorium,
yaitu 4-5 hari (B.bigemina) dan 10-14 hari (B.bovis). Mula-mula sapi akan
mengalami peningkatan suhu tubuh (demam) selama 2 minggu lebih, dan
diikuti dengan anemia hebat, selaput lendir menjadi kuning dan kadang-
kadang terjadi haemoglobinuria (kencing berwarna merah darah = red water).
Gejala lain yang nampak pada sapi yaitu bulu kusam, lesu, nafsu makan
menurun, ruminasinya terhenti, pernafasan cepat dan sesak, kulit tipis dan
iketrik, kadang-kadang teramati gejala syaraf, seperti berputar-putar dan
konvulsi.
Secara garis besar, gejala klinis pada ternak (sapi Bos Taurus)
yang mengalami babesiosis dapat digolongkan menjadi tiga katagori, yaitu :
a. Susceptible, yaitu hewan dengan gejala klinis dan membutuhkan
pengobatan untuk mencegah kematian (hewan rentan).
b. Intermediate, yaitu hewan dengan gejala klinis parasitemia, penurunan
packed cell volume (PCV) ≥ 21,5 % yang ditandai dengan meningkatnya
suhu tubuh. Pada kelompok hewan ini, tidak memerlukan pengobatan
dengan segera karena dapat seembuh dengan sendirinya.
c. Resistant, yaitu hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi
ditemukan B.bovis dalam preparat darah. Terjadi penurunan PCV < 21,5%
dan hewan tidak mengalami peningkatan suhu tubuh yang nyata.
2. Patogenesis
Umumnya masa inkubasi pada infeksi yang dipicu oleh B.bovis
lebih lama dibandingkan dengan B.bigemina. Vektor yang menggigit inang
akan menularkan parasit ini kedalam sirkluasi darah inang. Saat memasuki
tahap eksoeritrositik, inang tidak menunjukan gejala klinis. Selanjutnya parasit
akan terus berkembang biak secara aseksual didalam butir darah merah
hingga menjadi 2-4 tunas. Jika perkembangannya telah sempurna, maka
parasit ini akan memecahkan butir darah merah dan menginfeksi butir darah
merah yang baru, lalu memulai siklus hidup yang baru. Kerusakan
eritrosit ini akan memicu gejala seperti hemoglobinemia, hemoglobinuria
dan kuning (jaundice). Pada kasus babesiosis yang berlangsung menahun,
parasit mampu mengubah spesifi sitas antigen di permukaan sel hingga
berubah kepekaannya terhadap antibodi.
3. Patologi
Hewan yang menderita babesiosis secara akut, akan mengalami
pembesaran limpa dan pulpanya berwarna merah kehitaman, serta
konsistensinya lembek, sedangkan pada kasus kronis berwarna kekuningan
dan terjadi penonjolan (splenic corpuscles). Organ hati mengalami
pembengkakan, pucat kekuningan dengan kantong empedu berisi cairan
kental kehitaman. Pada jantung dijumpai adanya bintik-bintik merah didaerah
endokardium dan epikardium serta perikardium berisi eksudat bercampur
darah. Paru penderita babesiosis mengalami busung, dengan ginjal yang
membesar, berwarna coklat serta adanya jaringan lemak disekelilingnya
yang juga mengalami busung. Kemih berwarna kemerahan atau kecoklatan.
Mukosa usus menebal, mengalami odema dan ikterik serta terjadi
gastroenteritis.
4. Diagnosa
Diagnosa penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan
berbagai cara antara lain :
a. Pemeriksaan mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung
telinga sapi. Ulas darah dapat difi ksasi memakai methyl alcohol
dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 45 menit. Setelah
dicuci dengan air, preparat dikeringkan dalam suhu ruang. Pemeriksaan
parasit ini memakai mikrsoskop cahaya dengan pembesaran 1000
X. Gambaran parasit di dalam sel darah merah berbentuk ring mirip
dengan morfologi tropozoit pada Plasmodium malaria, hanya saja pada
Babesia tidak menunjukkan adanya pigmen.
b. Metode lain yaitu dengan cara Indirect Immunofl ourescent Antibody
Assay. Metode ini lebih banyak dipakai untuk manusia.
c. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan tehnik Polymerase Chains
Reaction (PCR), tetapi tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang
terjadi secara akut atau kronis.
d. Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B.
bovis memakai antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk
B. bigemina belum memberikan hasil yang baik karena antibodi terhadap
B. bigemina dilaporkan kurang sensitif. Adapun metode ELISA untuk B.
divergens belum divalidasi.
e. PCR – ELISA dilaporkan setidaknya 1000 kali lebih sentisitif dibandingkan
preparat ulas darah.
f. Tidak disarankan untuk melakukan inokulasi parasit ini pada hewan
percobaan.
5. Diagnosa Banding
Trypanosomiasis, Anaplasmosis, Theileriasis, Bacillary haemoglobinuria,
Leptospirosis, Eperythrozoonosis, Rapeseed poisoning dan Chronic copper
poisoning.
6. Pengambilan dan Pengiriman spesimen
Beberapa caplak dan pembuatan preparat ulas darah tipis yang
dibuat dari darah telinga atau ekor dikoleksi pada hewan yang menunjukkan
gejala demam atau pada tahap akut. Preparat ulas darah difi ksasi dalam
ethanol absolut selama 1 menit dan dilakukan pewarnaan memakai
10% Giemsa selama 20-30 menit. Preparat ulas darah yang belum diwarnai,
dianjurkan untuk tidak menyimpannya didekat larutan formalin karena akan
mempengaruhi hasil pewarnaan.
Jika pembuatan slide tidak memungkinkan, maka dilakukan koleksi
darah pada tabung yang mengandung antilkoagulan seperti EDTA. Heparin
tidak disarankan untuk dipakai karena akan berpengaruh terhadap hasil
pewarnaan. Sampel darah harus disimpan dalam keadaan dingin (4-5oC)
sampai dilakukan pengiriman ke laboratorium. Pembuatan slide harus telah
dilakukan dalam waktu 2-3 jam sesudah koleksi darah. Umumnya B. bovis
lebih banyak ditemukan pada darah kapiler, sedangkan B. bigemina dan B.
divergens secara tidak teratur terdistribusi pada darah vaskularis.
Sampel dari hewan yang telah mati, dapat dibuat preparat ulas
darah tipis termasuk melakukan smear pada organ-organnya, seperti kortek
cerebral, ginjal, hati, limpa dan sumsum tulang belakang.
pengobatan :
1. Vaksinasi dan Pengobatan
Hewan yang menderita babesiosis dapat diobati degan diminazene
diaceturate, imidocarb, amicarbalide. Efektiftas pengobatan sangat tergantung
pada deteksi dini penyakit ini. Vaksinasi memakai B.bovis dan B.bigemina
yang telah dilemahkan untuk mengurangi virulensinya, dilaporkan cukup
efektif dan banyak dilakukan dibeberapa negara, seperti Argentina, Brazil,
Uruguay dan Afrika. Sapi-sapi yang diimport sebaiknya divaksinasi di negara
asal beberapa bulan sebelum dikapalkan. jika hal ini tidak mungkin
dilakukan, maka sapi-sapi tersebut harus dikarantina dan terlindung dari
infestasi caplak saat vaksinasi dilaksanakan di negara penerima. Jika ternak
yang divaksinasi dalam jumlah besar, maka transpor vaksin harus diatur
sedemikian rupa sehingga sampai di tempat tujuan dalam waktu 2-3 hari
pasca pembuatan di laboratorium. Vaksin tidak disarankan untuk diberikan
pada hewan yang bunting dan sedang berproduksi, sedangkan vaksinasi
pada anak sapi tidak memicu efek samping yang berbahaya. Vaksinasi
dari agen yang dimatikan (killed vaksin) dibuat dari darah anak sapi yang
diinfestasi dengan B. divergens. Namun demikian informasi vaksin jenis ini
masih terbatas.
Dosis tunggal vaksinasi pada sapi yang berumur 6 – 9 bulan
mampu melindungi ternak dalam jangka waktu yang panjang. Dewasa ini
telah diproduksi vaksin trivalent (mengandung B.bovis, B.bigemina dan
A.Marginale) atau vaksin bivalent (mengandung B.bovis dan A.Marginale).
Vaksin trivalent lebih direkomendasikan untuk sapi Bos taurus, sapi pemacek/
bibit dan sapi yang berasal dari daerah bebas caplak. Adapun vaksin bivalent
direkomendasikan untuk Bos indicus dan sapi persilangan yang berada di
daerah terinfestasi caplak.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Langkah pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari
kontak dengan ternak yang diinfestasi oleh tungau karena berpotensi
untuk menularkan babesiosis, misalnya dengan melakukan penyemprotan
insektisida atau repellant. Beberapa jam sesudah digigit tungau yang
terinfestasi Babesia sp, hewan akan menderita babesiosis.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian Babesiosis harus dilakukan dengan cara mengkombinasi
antara kontrol terhadap penyakitnya dan vektor caplak. Pengobatan
babesiosis dapat dilakukan seperti yang dijelaskan pada point E.1. Sapi
yang akan diimport berasal dari daerah endemik babesios sebaiknya
berumur kurang dari 12 bulan.
CYSTICERCOSIS
Synonim : Beberasan, Barrasan, Manis-manisan, pork measles
Cysticercosis yaitu penyakit kecacingangan yang dipicu oleh cacing
pita atau Cycsticercus. Parasit ini termasuk ke dalam Kelas Eucestoda, Ordo
Cyclophyllidea, Keluarga Taeniidae, Genus Taenia, dan Spesies Taenia solium.
Cacing pita juga dikenal dengan sebutan “human pork tapeworm”. Agen infektif
penyakit ini yaitu pada tahap metacestoda. Cacing pita dewasa hidup dalam usus
manusia dan mampu tumbuh hingga mencapai 2 – 8 meter. Setidaknya, ada
2 (dua) jenis cacing pita, yaitu Taenia solium (pada babi) dan Taenia saginata
(pada sapi). Cacing pita stadium larva dari T.solium yang ada dalam daging
babi disebut Cysticercus cellulose, sedang stadium larva dari T.saginata yang
ada dalam daging sapi disebut Cysticercus bovis atau C.innermis.
Cysticercosis yaitu salah satu penyakit zoonosis dimana manusia sebagai
inang (host) yang menularkan ke sapi melalui telur dalam segmen yang keluar
bersama feses. Sapi dan babi akan terinfeksi jika menelan telur dalam segmen
tersebut (proglotida) melalui rumput yang terkontaminasi. Adanya cysticercus
di dalam jaringan akan memicu degenarasi sel di sekitarnya. jika
jumlah kista cukup banyak, maka sebagian atau seluruh karkas terpaksa harus
dimusnahkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Disamping
mempunyai dampak kesehatan, kerugian ekonomis yang ditimbulkan akibat
penyakit ini juga terbilang besar.
etiologi
Stadium larva cacing pita T.solium dan T.saginata, yaitu C.cellulose dan C.bovis.
Cysticercus berbentuk gelembung yang bulat atau oval dengan satu kepala
atau dinding yang menonjol ke dalam gelembung. Dinding gelembung yang
masih muda sangat tipis. Semakin tua dinding tersebut semakin tebal sehingga
membentuk kista. Gelembung berisi cairan yang terdiri dari air, protein, lemak,
garam yang larut dalam cairan tersebut. Inang antara T.solium (C.cellulose)
yaitu babi dan T.saginata (C.bovis) yaitu sapi. Panjang segmen cacing pita
(T.solium) berkisar antara 2-4 m dan mengandung 800-1000 proglotida (segmen).
Proglotida (segmen) yang masak berisi 30.000-50.000 telur. Telur cacing T.
solium berbentuk bulat dengan ukuran 31-43 µ, memiliki selubung tebal dan di
dalamnya berisi larva yang memiliki enam kait (onkosfer)
C. EPIDEMOLOGI
1. Siklus Hidup
Taenia solium memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya untuk dapat
melakukan perkembangbiakan. Kedua inang tersebut berperan sebagai inang
antara dan inang defi nitif. Babi yaitu inang antara dari T.solium dan
manusia bertindak sebagai inang defi nitifnya. Siklus hidup cacing ini diawali
dengan tertelannya telur oleh inang antaranya. Adanya asam lambung akan
memecah telur tersebut.
Onkosfer yang telah menetas akan melakukan penetrasi ke dalam pembuluh
darah dan mengalir ke seluruh tubuh. Onkosfer tersebut berubah menjadi
cistiscerkus saat mencapai otot, jaringan sub-kutan, otak, hati, jantung,
otot lurik dan mata. Siklus hidup dapat berlanjut jika manusia mengkonsumsi
daging babi yang mengandung cisticerkus tanpa dimasak secara sempurna
(pemanasan lebih dari 60oC). Parasit ini melakukan invaginasi pada dinding
usus halus dan menjadi dewasa. Cacing dewasa akan melepaskan proglotida
gravid pasca dua bulan infeksi.
2. Spesies Rentan
Hewan yang paling rentan terhadap C.cellulose yaitu babi, tetapi
kucing, tikus, kera, domba, anjing dan manusia dapat juga terinfestasi.
Adapun hewan yang rentan terhadap C.bovis yaitu sapi, kadang-kadang
kerbau atau hewan pemamah biak lain seperti jerapah, gazelle dan antelope.
Pada kasus tertentu, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara akibat
autoinfestasi dan kontaminasi lingkungan.
3. Pengaruh Lingkungan
Hubungan antara manusia dan hewan yang rentan seperti babi, sapi
dan kerbau berpengaruh terhadap kejadian penyakit. Manusia terinfestasi
cacing pita (T.solium dan T.saginata) karena mengkonsumsi daging yang
terinfestasi cysticercus (C.cellulose dan C.bovis). Babi terinfestasi T.solium
karena memakan makanan yang terkontaminasi feses manusia yang
mengandung telur cacing pita. Lingkungan berpengaruh dalam usaha
memutus siklus hidup.
4. Sifat Penyakit
C.cellulose umumnya ada pada babi, sedang C.bovis ada
pada sapi, kadang-kadang juga pada kerbau. Tempat yang paling banyak
ditemukan cysticercus yaitu otot masseter, jantung, lidah dan diafragma,
kadang- kadang pada kerongkongan jaringan lemak, hati, paru dan kelenjar
limfe. C.cellulose berbentuk gelembung kecil, tampak jernih dengan
kepala atau scolex yang menuju ke dalam gelembung. Pada umur 20 hari
gelembung atau kista mulai tampak dan umur 110 hari besarnya tetap, tetapi
scolexnya sudah menjorok ke gelembung. Di dalam organ, C.cellulose dapat
hidup bertahun-tahun, tetapi bila terjadi degenarasi lemak atau pengapuran
jaringan sekitarnya, parasit itu akan segera mati.
Bentuk gelembung C.bovis bulat atau oval. Di sekeliling gelembung
berbentuk jaringan ikat adventitious sebagai reaksi dari inang. Dalam waktu
6-8 minggu sesudah infestasi C. bovis sudah berbentuk sempurna, lalu
gelembung tersebut akan mengalami degenerasi.
Pendinginan (-10 °C) memicu cysticercus mati dalam waktu
4 hari, sedangkan pada suhu 0°C masih hidup sampai 70 hari. Cysticercus
segera mati pada suhu 50°C. Pengasapan dan pengasaman tidak dapat
mematikan parasit ini, terutama bila irisan dagingnya cukup tebal.
5. Cara Penularan
a. Pada Hewan
Cacing pita dewasa (T.solium dan T.saginata) yaitu parasit
pada manusia. Hidupnya di dalam usus sehingga proglotida yang
mengandung telur keluar dari tubuh bersama feses. Oleh karena itu,
pembuangan feses yang tidak memenuhi persyaratan higienitas dapat
mencemari lingkungan. jika telur cacing tersebut termakan oleh
hewan yang rentan, telur akan menetas di dalam lambung dan embrio
mampu menembus dinding lambung, lalu mengikuti aliran darah
ke tempat predileksi.
b. Pada Manusia
Telur cacing masuk ke dalam tubuh manusia melalui tangan yang
tercemar, disamping itu dapat pula karena autoinfeksi akibat gerakan
retrogresi usus. Telur cacing atau proglotida ikut masuk ke dalam
lambung dan usus, dan di dalam lambung, embrio akan keluar dari telur.
Selanjutnya embrio ini akan menuju ke tempat predileksi, lalu menjadi
kista. Kista ini sebagian besar berada dalam jaringan sub-kutan, di dalam
otak, otot paha, jantung, hati, paru dan mata.
Pada tahun 1947 diperkirakan tidak kurang dari 39 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi oleh T.saginata dan 2,5 juta orang terinfeksi
oleh T.solium. Kejadian infestasi terus meningkat bersamaan dengan
meningkatnya populasi manusia dan hewan. Prevalensi infeksi Taeniasis
pada manusia tidak diketahui. Ahli bedah di Meksiko menunjukkan
bahwa dari sejumlah orang yang diduga menderita kanker otak, ternyata
25 % karena cysticercosis, sementara itu 3-6 % pasien dinyatakan
mengandung parasit ini pada berbagai organnya.
6. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi jika manusia mengkonsumsi daging babi, sapi
atau organ lain yang mengandung cisticerkus tanpa pemasakan dengan
pemanasan yang sempurna (pemanasan lebih dari 60 °C).
7. Distribusi Penyakit
Cysticercosis untuk pertama kalinya ditemukan pada babi di Bali
tahun 1920. berdasar hasil penelitian, babi di Bali yang terinfeksi oleh
Cysticercus yaitu 1,8-3,2 %, namun menurut laporan Dinas Peternakan
Propinsi Bali tahun 1977 hanya ditemukan kasus sebesar 0,16 %.
Sebelum penemuan tersebut di atas, infeksi cacing dewasa
(T.saginata) pada manusia telah dilaporkan pada tahun 1867, yaitu terjadi pada
seorang Belanda di Magelang, Jawa Tengah. Pada tahun 1940 dilaporkan
pertama kali adanya infeksi. T.saginata pada manusia di Samosir, Sumatera
Utara, sebanyak 9,5 % dari 285 orang yang diperiksa. Sedangkan telur Taenia
sp sebanyak 9 % ditemukan pada pasien di Rumah Sakit Enarotali, Irian
Jaya. Di Bali dilaporkan bahwa setiap tahun rata-rata dilakukan pengobatan
terhadap 50 orang penderita taeniasis. Hingga saat ini di Bali dan Sumatera
Utara setiap tahun masih ada laporan kasus Cysticercosis, baik pada babi
maupun sapi.
Cysticercosis terdistribusi di seluruh dunia dengan prevalensi yang
tinggi pada beberapa negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Tenggara,
dimana manusia dan babi memiliki hubungan yang dekat sehingga
memudahkan penularan penyakit. Ektoparasit seperti lalat dan serangga
lainnya dapat menjadi vektor mekanis. Potensi untuk terjadinya autoinfeksi
sangat tinggi.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Pada umumnya hewan yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala
yang nyata. Infi ltrasi cisticerkus di otot dan subkutan berupa kekejangan
otot, benjolan, dan kelemahan otot, juga dapat mengganggu penglihatan
jika infi ltrasi terjadi di mata. Pada infi ltrasi di otak dapat memicu sakit
kepala yang hebat, paralisis, dan epilepsi. Jika cisiticerkus mati, maka
memicu terjadinya kalsifi kasi atau pengapuran yang akan berefek
buruk jika mencapai 5-10 tahun kemudian. Infi ltrasi Cysticercus cellulosae
pada babi ditemukan di otot lurik yang aktif bergerak. Tempat predileksi
dari infi ltrasi cysticercosis berada di lidah, musculus masseter (otot pipi),
leher, jantung, musculus intercostae (otot antar tulang rusuk), dan musculus
brachiocephalicus (otot bahu).
2. Patologi
Banyak kasus yang terjadi tanpa disertai dengan gejala klinis.
Gambaran patologi terlihat karena adanya reaksi infl amasi akibat adanya
induksi dari cysticerci yang mati. Lokalisasi cysticerci dalam susunan syaraf
pusat dan jantung memicu penyakit yang fatal meskipun jarang terjadi.
Kelainan post mortem tidak banyak menunjukkan adanya kerusakan jaringan,
kecuali pada infeksi berat, ditemukan adanya edema yang merata di seluruh
karkas yang berubah menjadi pucat.
3. Diagnosa
Diagnosa cysticercosis pada ternak yang terbaik yaitu dengan
menemukan cysticercus. C.bovis pada sapi berukuran 5 mm dan ada
dalam otot lurik. Kista berisi 1 scolex atau bentuk kepala dari cacing pita.
Bergantung pada lama infeksi dan reaksi inang, kista bervariasi dari stadium
degenerasi, kaseasi dan terakhir pengapuran (kalsifi kasi). Cysticercus
berbentuk gelembung dengan 1 scolex ini dapat ditemukan dalam berbagai
otot atau organ terutama pada otot yang banyak memperoleh vaskularisasi.
Sedangkan C.cellulose dari T.solium bentuknya mirip dengan C.bovis.
Diagnosa cysticercosis pada sapi dan babi dapat dilakukan pada saat
pemeriksaan post mortem di Rumah Potong Hewan. Pada babi yang
terinfeksi berat, cysticercosis dapat didiagnosa secara ante mortem dengan
pemeriksaan lidahnya. Pada kejadian cysticercosis yang ringan sulit
diidentifi kasi.
4. Diagnosa Banding
C.cellulose dan C.bovis, dapat dikelirukan dengan cysticercus dari
cacing pita lain. Untuk membedakan Cysticercus, Coenerus dan Hydatida
dapat dilihat dari bentuk dan struktumya. Coenurus biasanya besar dengan
banyak scolex pada dinding, sedangkan Echinococcus scolexnya tidak
langsung terbentuk pada dinding gelembung, tetapi membentuk anak
gelembung terlebih dahulu dan lalu terbentuk scolex. Sehingga dari
1 gelembung cysticercus hanya akan menjadi 1 cacing dewasa dalam usus
inang defi nitif, sedangkan dari 1 Coenurus akan menjadi banyak cacing, dan
dari 1 Hydatida menjadi lebih banyak lagi cacing dewasa, tergantung jumlah
scolex dalam tiap gelembung.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
a. Pengambilan Spesimen
Bahan pemeriksaan Cysticercus (C.cellulose dan C.bovis) diambil
dari bagian jaringan otot masseter, diafragma, otot jantung, dada dan
daerah perut, yang dicurigai adanya kista dari T.solium atau T.saginata
pada ternak yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) pada saat
pemeriksaan karkas.
b. Pengiriman Spesimen
Sampel daging segar dimasukkan ke dalam botol berformalin dan ditutup,
lalu dikirim ke laboratorium (BBVet/BPPV/lab. Keswan Tipe B/C)
terdekat untuk dimintakan pemeriksaan dan identifi kasi jenis parasit.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan hanya dapat dilakukan terhadap cacing pita dewasa tetapi belum
ada obat yang efektif untuk Cysticercus nya. Niclosamide dapat dipakai untuk
mengobati infestasi cacing pita pada manusia. Cacing dewasa T. saginata
dan T. solium dapat diobati dengan Niclosamide dosis 2 gram, Paromomycin
5 mg/kg BB, Quinacrine 7-10 mg/kg BB, Oxfendazole 3-4,5 mg/kg BB.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Mengingat bahwa manusia terinfeksi karena mengkonsumsi daging
mentah atau setengah matang, dan babi terinfeksi karena menelan telur
cacing bersama feses manusia yang terinfeksi, maka pencegahannya
dapat dilakukan dengan cara:
- Memperbaiki sanitasi, higiene lingkungan dan pangan.
- Melakukan pemeriksaan daging secara ketat.
- Memberikan penyuluhan tentang pendidikan kesehatan pada
masyarakat.
- Disamping itu juga perlu dilakukan pengobatan masal terhadap
manusia yang terinfeksi di daerah endemik.
Faktor penting dalam pencegahan penyakit pada manusia yaitu
memperbaiki kualitas lingkungan dan tingkat higiene perseorangan
pada penduduk yang tinggal di pedesaan. Selain itu, penting melakukan
pemeliharaan babi terkonsentrasi di lokasi yang terpisah dengan
pemukiman.
Pencegahan cysticercosis pada babi dapat dilakukan melalui
vaksinasi dengan tipe vaksin “synthetic peptide-based vaccine”.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Perlu dilakukan pemeriksaan secara ketat pada ternak sapi dan babi
yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), dan petugas RPH yang
menemukan penyakit ini harus memberitahukan kepada atasan serta
melakukan tindakan lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal
ini penting untuk mencegah meluasnya penyakit pada hewan lain yang
rentan maupun pada manusia.
Karkas yang ditemukan positif terinfeksi cysticercus dalam jumlah cukup
banyak dan bersifat masif harus direkomendasikan untuk dimusnahkan.
Sedangkan yang terinfeksi ringan hanya dimusnahkan bagian-bagian
yang terinfeksi saja.
DEMODECOSIS
Sinonim: Kudis menular, Budug, Mange, Colak
Demodecosis yaitu penyakit kulit yang dipicu oleh sejumlah parasit
eksternak/tungau dari genus Demodex. Penyakit ini dapat menyerang berbagai
hewan antara lain anjing, kucing, sapi, kambing, domba, babi dan kuda, kecuali
unggas. Kasus demodecosis juga dilaporkan pada menyerang manusia. Tungau
Demodex sp hidup dalam folikel rambut dan kelenjar sebaseus dengan memakan
sebum, serta debris (runtuhan sel) epidermis. Umumnya anjing yang terserang
akan mengalami kerontokan rambut di daerah tetentu, seperti di sekitar mata,
mulut, leher, dan siku kaki depan, yang diikuti dengan munculnya tonjolan-
tonjolan pada kulit yang berwarna kemerahan. Demodekosis dikenal juga dengan
nama Red mange, Follicular mange, or Puppy mange sedangkan pada manusia
penyakit ini disebut sebagai “Black Heads”.
Kerugian eknomis yang diakibatkan oleh penyakit ini yaitu adanya kerusakan
kulit dan penurunan kondisi tubuh sehingga menurunkan nilai jualnya. Meskipun
ditemukan dalam bentuk nodule kecil, tetapi berdampak pada penurunan harga
kulit yang signifi kan. Kulit dari penderita demodecosis yang parah, praktis tidak
dapat dijual.
Tungau Demodex sp dipercaya sebagai fauna normal pada kulit. Penularannya
terjadi karena kontak langsung induk terhadap anak-anaknya pada saat
menyusui, yaitu sekitar 2-3 hari di awal-awal kehidupan. Tungau ini bahkan
sudah dapat ditemukan pada anak anjing yang berumur sekitar 16 jam. Suatu
penelitian menunjukkan bahwa anak anjing yang lahir melalui bedah caesar
tidak terinfestasi tungau Demodex sp. Umumnya anjing dewasa yang menderita
demodecosis berkorelasi positif dengan ganggungan sistem imun, seperti kanker,
penyakit liver, ginjal maupun ketidakseimbangan hormonal. Pada beberapa kasus
juga terjadi imunosupresi, akibat adanya penekanan terhadap produksi limfosit
T. Hewan yang sedang dalam terapi memakai obat imunosupresif seperti
kortikosteroid juga dapat berpengaruh pada sistem kekebalan tubuh hewan yang
akhirnya dapat memicu timbulnya demodecosis.
etiologi
Penyakit ini dipicu oleh sejenis tungau yang disebut Demodex sp., berbentuk
seperti cerutu atau wortel, mempunyai 4 pasang kaki yang pendek dan gemuk
serta memiliki 3 ruas. Bagian perutnya terbungkus kitin dan bergaris melintang
menyerupai cincin serta memipih ke arah caudal. Ukuran tungau bervariasi
antara 0,2 – 0,4 mm.
Beberapa spesies tungau memiliki inang spesifi k, seperti demodecosis pada
sapi pada sapi dipicu oleh D.bovis, pada anjing oleh D.canis, D.cornei dan
D.injai. Pada kucing dipicu oleh D.cati dan D.gatoi, pada kambing oleh
D.caprae, D.criceti pada marmot, D.phylloides pada babi D.equi pada kuda dan
D.folliculorum pada manusia.
Tungau demodex hidup di dalam kelenjar minyak dan kelenjar keringat (glandula
sebacea) dan memakan epitel serta cairan limfe dari beberapa hewan, kecuali
unggas. Dalam kondisi tertentu tungau demodek dapat menginfestasi manusia.
epidemiologi
1. Siklus Hidup
Seluruh siklus hidup demodec sp berlangsung pada tubuh inangnya selama
20-35 hari, yang terdiri dari telur, larva, nimfa dan dewasa di dalam folikel
rambut atau kelenjar keringat. Tungau jantan terdistribusi pada permukaan
kulit, sedangkan tungau betina meletakkan 40-90 telur yang berbentuk
simpul (spindel shape) di dalam folikel rambut. Larva dan nimfa terbawa
oleh aliran cairan kelenjar ke muara folikel. Dilokasi inilah, tungau dewasa
kawin. Telur akan menetas menjadi larva berkaki enam dalam waktu 1-5 hari,
lalu berkembang menjadi nimfa yang berkaki delapan, lalu menjadi
dewasa. Waktu yang diperlukan sejak dari telur sampai menjadi dewasa
yaitu antara 11-16 hari.
2. Sifat Alami Agen
Tungau Demodec sp memiliki daya tahan hidup yang sangat baik,
bahkan diluar inang dengan kondisi lingkungan yang lembab dilaporkan
mampu bertahan hidup selama berhari-hari. Perbedaan morfologi tungau
yang berasal dari satu inang dan inang lainnya sulit dibedakan walaupun
disebutkan sebagai spesies yang berbeda.
3. Spesies Rentan
Semua hewan mamalia rentan terhadap penyakit ini, antara lain
anjing, kucing, kambing, domba, babi, kuda, sapi, kerbau, marmot, kelinci
dan manusia.
4. Pengaruh Lingkungan
Tungau hidup di dalam folikel rambut dan kelenjar sebaseus, dapat hidup
dalam beberapa hari pada inang. berdasar hasil penelitian diketahui
bahwa tungau dapat hidup selama 21 hari dalam potongan rambut/bulu
pada kondisi basah dan dingin, sedangkan pada kondisi normal tungau
betina dapat hidup sekitar 40 hari, namun tungau pada umumnya amat peka
terhadap kekeringan.
5. Sifat Penyakit
Penyakit umumnya bersifat endemis bersifat endemis.
6. Cara Penularan
Penularan melalui kontak langsung antara penderita dengan hewan sehat.
7. Distribusi Penyakit
Kasus penyakit Demodecosis tersebar luas di seluruh negara kita .
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang tampak pada kulit berupa alopecia (kebotakan),
kemerahan, dan kulit mejadi berkerak. Pada tahap yang lebih lanjut, dapat
terjadi demodecosis general disertai dengan peradangan dan infeksi
sekunder oleh bakteri. Lapisan kulit yang terinfeksi terasa lebih berminyak
saat disentuh.
Tungau sangat menyukai bagian tubuh yang kurang lebat bulunya, seperti
moncong hidung dan mulut, sekitar mata, telinga, bagian bawah badan,
pangkal ekor, leher sepanjang punggung dan kaki. Rasa gatal yang
ditandai dengan hewan selalu mengaruk dan menggosokkan badannya
pada benda lain atau menggigit bagian tubuh yang gatal, sehingga terjadi
iritasi pada bagian yang gatal berupa luka/lecet, lalu terjadi infeksi
sekunder sehingga timbul abses, sering luka mengeluarkan cairan (eksudat)
yang lalu mengering dan menggumpal dan membentuk kerak pada
permukaan kulit.
Ada 2 (dua) bentuk infeksi pada kulit akibat iritasi yaitu bentuk squamous
(bersisik) dan bentuk pustular (benjolan). Bentuk squamous biasanya
ada pada anjing, sedangkan bentuk pustular sering ditemukan pada
sapi. Ukuran benjolan/nodule sangat bervariasi, mulai dari berukuran kecil
sampai sekitar 2 cm, bahkan lebih besar. Lesi berawal pada daerah kepala,
menjalar ke daerah leher dan lalu dapat menutupi seluruh tubuh.
2. Patologi
Tidak ada tanda yang khas pada perubahan anatomi, selain adanya
perubahan/lesi pada kulit seperti tersebut di atas.
3. Diagnosa
Diagnosa berdasar gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium untuk
mengidentifi kasi adanya tungau Demodex sp.
Langkah diagnosis yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan
deep skin scraping atau pengerokan kulit hingga berdarah. Scraping
dilakukan dengan memegang dan menggosok daerah terinfeksi untuk
mengeluarkan tungau dari folikel dengan memakai scalpel. Scraping
dilakukan pada beberapa tempat. Setelah hasil scraping didapatkan, hasil
tersebut lalu diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 10X
untuk menginterpretasikan hasil kerokan kulit tersebut.
4. Diagnosa Banding
a. Folikulitis/furunkulosis akibat bakteri, dermatophytosis, pemphigus
kompleks, dermatitis kontak, dermatomiositis, dan lupus erytrematous
kompleks.
b. Dermatitis yang dipicu oleh jamur atau Scabies .
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen berupa kerokan pada kulit yang terinfeksi tungau dimasukkan ke
dalam cawan petri tanpa ditambah larutan apapun, atau ditambah larutan
Glycerol 5-10 % untuk melihat tungau yang masih hidup dan melihat
pergerakannya di bawah mikroskop. Identifi kasi tungau dapat dilakukan
dengan menambahkan NaOH 10 % atau KOH 10 % secara mikroskopis.
Isi pustula yang diperoleh dengan jalan melakukan sayatan pada bagian
kulit dari pustula/nodula dimasukkan ke dalam botol yang berisi formalin 5
% atau alkohol 70 % agar lebih tahan lama jika spesimen tersebut akan
dikirimkan/diperiksa ke tempat lain.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan pada demodecosis bergantung pada tingkat keparahan
kasus yang terjadi. Pengobatan yang diberikan memerlukan waktu yang lama
dan harus dipantau secara berkala selama 4-6 minggu, untuk memastikan
populasi Demodex kembali normal. Pemeriksaan skin scrap perlu dilakukan
dengan interval 2 minggu, jika hasil pemeriksaan menunjukkan tidak
ditemukannya Demodex pada 2 kali pemeriksaan, maka hewan tersebut
dapat dikatakan sudah sembuh, dan pengobatan dapat dihentikan.
Demodecosis dapat menyerang kembali hewan yang sudah
sembuh, jika sistem kekebalan hewan tersebut mengalami penurunan.
Pengobatan dilarang memakai kortikosteroid sistemik maupun topikal,
karena kortikosteroid dapat memicu imunosupresi yang kemungkinan
akan memperparah demodecosis.
Pengobatan pada demodecosis lokal dapat dilakukan dengan
memberikan salep yang mengandung 1 % rotenone (goodwinol ointment)
maupun gel benzoyl peroxide 5 % yang diaplikasikan sekali sehari setiap
hari selama 1-3 minggu. Selain itu, pengobatan harus disertai dengan
memandikan hewan dan melakukan pemberian shampoo yang mengandung
antiseboroik (benzoyl peroxide) secara berkala minimal semingu sekali.
Selanjutnya dapat memberikan amitraz yang diencerkan dengan
konsentrasi 0,1 % pada area alopecia sehari sekali selama dua minggu.
Pemberian amitraz dilakukan bila demodecosis sudah menyeluruh dan
tanpa disertai komplikasi. Untuk mengurangi efek samping dari amitraz dapat
memakai yohimbin dengan dosis 0,25 ml/10 kg BB secara intravena
perlahan-lahan.
Pada kasus demodecosis yang disertai dengan komplikasi (disertai
pyoderma, kulit bersisik, pengerasan kulit luar, dan hipofungsi kelenjar tyroid),
maka pengobatan awal ditujukan untuk mengobati pyoderma sebelum
mengobati demodecosis dengan akarisida.
Pengobatan pada canine generalized demodecosis (CGD), tidak
hanya untuk membunuh tungau saja, tetapi juga untuk mencegah terjadinya
infeksi sekunder. Pengobatan dapat dilakukan dengan memandikan hewan
dengan amitraz dengan konsentrasi 0,025 % dua kali seminggu. Sebaiknya
sebelum memakai amitraz, hewan terlebih dahulu dimandikan dengan
shampoo yang mengandung benzoyl peroxide untuk mengurangi minyak
dan runtuhan sel epidermis.
Pada anjing yang memiliki bulu panjang dan lebat, harus dilakukan
pencukuran rambut terlebih dahulu agar obat lebih mudah meresap. Obat
sistemik yang dapat diberikan yaitu ivermectin (300-600 µg/kg bb/hari),
Milbemycin (1.0-2.0 mg/kg bb/hari), Moxidectine (0.5 mg/kg bb 2 minggu 1x
secara topikal), dan vitamin E sebagai penguat efek terapi akarisida (400-
800 IU 3-5x/hari).
Pemakaian ivermectin perlu diwaspadai karena obat ini memiliki
kontraindikasi untuk anjing jenis Collie, Shelties, Australian shepherds, dan
Old English sheepdogs. Efek samping yang dapat ditimbulkan dari pemberian
ivermectin yaitu salivasi dan inkoordinasi. Obat akarisida tetap dilanjutkan
sebanyak 2-3x sesudah pemeriksaan kerokan kulit menunjukkan hasil yang
negatif. Hal-hal yang menjadi faktor penting untuk mencegah demodecosis
yaitu dengan memperbaiki nutrisi, mengatasi gangguan parasitik, dan
gangguan lainnya.
Pengobatan secara individual, beberapa obat dapat dipakai, antara lain
Benzoas Bensilikus 10 % dioleskan pada bagian kulit yang luka, BHC 0,05
%, Coumaphos 0,05-0,1 % dengan cara disemprotkan atau merendam pada
seluruh badan, Coumaphos salep 1-2 %. Sedangkan akarisida misalnya
ivermectin dengan dosis 200 g/kg bb diberikan secara subcutan atau amitraz
sebagai obat luar.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pencegahan dan pengendalian dapat dilakukan dengan menghindari
terjadinya kontak antara hewan sehat dengan hewan sakit, serta menjaga
kebersihan kandang dan lingkungannya.
ECHINOCOCCOSIS
Sinonim: Kista Hidatidosa
Echinococcosis yaitu penyakit parasiter dari fi lum platyhelminthes, sering
disebut sebagai cacing pita. Ada tiga bentuk yang terjadi pada manusia, yaitu
bentuk fi brosis (Echinococcus granulosus), bentuk alveolar (E.multilocularis)
dan bentuk polikistik (E.vogeli dan E.oligarthrus). Bentuk yang terakhir ini jarang
terjadi, tetapi strain kistik ini yang paling umum dan dikenal sebagai penyakit
hidatidosa. Semua strain mempunyai siklus hidup dan gejala klinis yang
sama, tetapi mempengaruhi organ yang berbeda. Investasi larva dari cacing
E.granulosus dapat membentuk kista hidatida pada berbagai jaringan. Inang
normal bagi parasit dewasa yaitu anjing.
Cacing dewasa hidup dalam usus kecil mamalia dan larva cacing dalam jaringan
inang yang sama. Cacing dewasa berbentuk gilik, kecil, panjang 2,1-5,02 µ,
biasanya hanya terdiri dari 3 proglotida dengan Iebar 33,2-39,8 µ. Telur cacing
menyerupai telur Taenia dan mempunyai ukuran 32-36 µ x 25-30 µ. Hewan
rentan terhadap penyakit ini yaitu anjing, babi, sapi, kambing, domba, unta,
kuda, rusa, kijang, kelinci, tikus biasa/putih, dan manusia.
Gejala klinis penyakit pada hewan kurang spesifi k, hanya diare, sesak nafas dan
lemah. Demam dan rasa nyeri otot pada manusia dapat berakibat fatal. Kelainan
post mortem tidak banyak menunjukkan kerusakan jaringan, umumnya ada
ascites bila hati terinfeksi, enteritis, kerusakan pada paru, serta kerusakan di
tempat yang ada kistanya.
Penularan penyakit terjadi akibat hewan memakan daging yang mengandung
kista atau memakan tikus yang menderita Echinococcosis. Cacing dewasa
hanya hidup dalam usus inang, cacing jantan segera mati sesudah mengadakan
perkawinan, sedangkan yang betina dapat hidup sampai mengeluarkan larva,
lalu larva akan tersebar ke seluruh tubuh inang hingga ke tempat predileksi
dan menjadi kista.
Kerugian ekonomi pada ternak akibat terjadinya penurunan produksi, penurunan
kondisi badan ternak, kematian ternak dan pemusnahan bagian tubuh yang
mengandung kista di Rumah Potong Hewan. Di daerah endemik 50 % anjing
terinfeksi oleh cacing dewasa, dan dapat mencapai 90 % pada domba dan sapi,
100 % pada unta, serta sekitar 20% pada manusia.
etiologi
Disebabkan oleh paling sedikitnya 9 (sembilan) galur cacing Echinococcus
granulosus yang berbeda secara biologik serta beberapa spesies lain dari
Echinococcus. Cacing dewasa hidup dalam usus kecil mamalia dan larva pada
jaringan inangnya, cacing dewasa berbentuk gilik, kecil, panjang 2,1-5,0 µ,
biasanya hanya terdiri dari 3 proglotid, lebar 33,2 -39,8 µ, telur cacing menyerupai
telur Taenia dan ukurannya 32-36 µ x 25- 30 µ.
Gambar 1. Echinococcus
(Sumber : http://cara-kerja heboh.blogspot.com/2010/02/binatang-peliharaan.
html)
Parasit cacing pita dewasa berukuran kecil dengan panjang 3-6 mm, dan berada
di usus kecil. Cacing yang tersegmentasi terdiri dari scolex dengan pengisap dan
kait yang memungkinkan keterikatan pada dinding mukosa, Lehernya pendek
menghubungkan kepala dan proglotid dengan segmen tubuh cacing yang berisi
telur, dan lalu dikeluarkan bersama feses.
Sifat Alami Agen
Pembuahan sendiri (hermaprodit) yaitu proses normal pada spesies
cacing ini. Cacing ini dapat membentuk sista hidatida pada berbagai jaringan.
Inang normal bagi parasit dewasa yaitu anjing dan sejenisnya (rubah, srigala).
Cacing dalam jumlah ratusan ditemukan di dalam usus halus. Cacing dewasa
tidak dapat hidup lama, namun kistanya dapat bertahan hidup selama bertahun-
tahun.
C. EPIDEMILOGl
1. Siklus Hidup
Gambar 3. Siklus hidup Echinococcus. (1) cacing dewasa dalam perut inang
defi nitif, (2) telur dikeluarkan bersama feses, tertelan oleh manusia
atau inang perantara, (3) onchosphere menembus dinding usus,
dibawa melalui pembuluh darah untuk menembus organ dalam,
(4) kista hidatida berkembang di hati, paru-paru, otak, jantung,
(5) protoscolices (hydatid sand) tertelan dan dicerna oleh inang
defi nitif, (6) menembus usus halus dan tumbuh menjadi cacing
dewasa.
2. Spesies Rentan
Spesies yang rentan terhadap penyakit ini yaitu anjing, babi, sapi, kambing,
domba, unta, kuda, rusa, kijang, kelinci, tikus biasa/putih, dan manusia.
Echinococcus granulosus menyerang pada anjing, anjing hutan,
serigala, domba, babi, rusa, herbivora liar. Sedangkan E. multiocularis hanya
menyerang rubah, anjing dan serigala.
3. Pengaruh Lingkungan
Telur Echinococcus granulosus, atau cacing hidatida tahan pada
suhu di bawah titik beku. Dalam suatu percobaan, telur yang disimpan pada
suhu –50°C selama 24 jam masih dapat menginfestasi mencit. Telur yang
disimpan pada suhu –30°C viabilitasnya lebih tinggi dan masih infektif.
Viabilitas pada suhu di bawah titik beku, umumnya berhubungan dengan
kemampuan hidup karena hilangnya sebagian besar air intraseluler.
4. Sifat Penyakit
Umumnya penyakit bersifat endemik.
5. Cara Penularan
Inang defi nitif cacing Echinococcus granulosus yaitu anjing,
infestasi terjadi akibat memakan bagian viscera (jeroan) domba dan
ruminansia lainnya yang sudah mengandung kista.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit hidatidosa tidak seperti penyakit parasit lainnya.
Penyebaran penyakit ini lebih menonjol di belahan bumi utara. Infeksi
manusia yaitu yang paling umum dan pada domba seperti di Australia
dan Selandia Baru, Inggris dan seluruh Eropa, Timur Tengah, Rusia, Cina
Utara dan Jepang. Di Amerika penyakit ini terutama terjadi di negara-negara
Cone Selatan seperti Argentina, Uruguay dan Chili, dan juga terjadi di Alaska
dan Kanada.
Alveolar hydatid (E.multilocularis) yaitu penyakit yang kurang luas
distribusinya, dengan distribusi lebih besar pada reservoir inang anjing,
serigala, rubah dan kucing. Penyakit ini terutama terjadi di bagian Utara dan
tengah Eropa, Alaska, dan Kanada.
Penyebaran infeksi Echinococcus tergantung pada kehadiran anjing
dan rubah sebagai inang defi nitif, inang perantara rentan seperti domba,
kambing dan babi, lingkungan yang memungkinkan kelangsungan hidup telur,
dan padat penduduknya serta tinggal berdekatan dengan hewan peliharaan.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Infestasi cacing ini memicu eosinofi lia (meningkatnya konsentrasi
eosinofi l di dalam darah). Pecahnya kista hidatidosa sebagai akibat dari
trauma atau pembedahan sangat berbahaya, karena dapat memicu
shock anafi laksis, reaksi alergi, dan risiko penyebaran pasir hidatidosa yang
dapat memicu kista baru di seluruh tubuh.
Penyakit hidatidosa dipicu oleh tahap larva dari parasit mulai dari
yang paling ringan tanpa menunjukkan gejala klinis hingga berakibat fatal.
Keparahan tergantung pada lokasi dan ukuran kista. Gejala klinis terjadi
saat kista hidatidosa tumbuh dan memicu nekrosis pada jaringan
sekitarnya.
Presentase kasus yang menyerang di hati sekitar 75 % dengan gejala
perut nyeri, adanya massa di hati dan obstruksi saluran empedu. Kejadian
di paru 22 % dengan gejala nyeri di dada, batuk dan hemoptisis. Sedangkan
kejadian di rongga perut/panggul, limpa, ginjal dan jantung sekitar 6%.
Gejala klinis penyakit pada hewan tidak spesifi k. Pecahnya kista
pada manusia dapat memicu reaksi toksik seperti gatal atau bintik
merah, kulit kemerahan, demam, pernafasan pendek, sianosis, muntah,
diare, gangguan sirkulasi darah dan mati mendadak.
2. Patologi
Patologi anatomi tidak banyak menunjukkan kerusakan jaringan, kecuali
jaringan disekitar kista, yaitu pada hampir semua organ, otot diaphragma,
lidah masseter dan interkoste.
3. Diagnosa
a. Rontgen : pemeriksaan radiografi
b. USG : gambar multidimensi kista di organ dan jaringan lunak,
mengidentifi kasi pasir hidatidosa dan kalsifi kasi
c. CT-Scan : mengidentifi kasi kista hydatid untuk menilai efektivitas
terapi – kalsifi kasi fl ek menunjukkan degenerasi
Gambar 6. Diagnosa dengan Rontgen, USG dan CT-Scan
(Sumber: http:// www.dpd.cdc.gov/dpdx)
Pemeriksaan laboratorium ada 2 macam cara, yaitu :
a. Metoda kompresi
Spesimen berupa sepotong kecil daging/organ diperoleh dari otopsi
atau biopsi, diletakkan di antara gelas obyek dan ditekan sampai otot
menjadi tipis, lalu diperiksa dengan mikroskop.
b. Pemeriksaan Serologi
Immunodiagnostic Test, Haemagglutination/Flocculation technique,
Complemen Fixation Test, Skin Test, dan ELISA.
4. Diagnosa Banding
a. Sarcosporidia pada otot (Sarcocystis miescheriana)
Larvanya lebih besar sehingga nampak jelas dengan mata
telanjang.
b. Cysticercus cellulose
Larvanya lebih besar, ada kait dan berada di dalam jaringan
ikat di antara serabut otot.
c. Trichinosis
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengiriman bahan pemeriksaan ke laboratorium berupa :
a. Potongan kecil otot/organ
Untuk pemeriksaan mikroskopis, otot/organ yang dikirim diambil
dari tempat yang dicurigai, misalnya otot lidah, diafragma, interkoste
yang dimasukkan ke dalam larutan formalin 10 %.
b. Serum dengan uji IFA
Digunakan serum yang dikeringkan dengan cara sebagai berikut :
- darah diambil dari vena pada manusia atau babi yang dicurigai, lalu
ditampung dalam tabung reaksi sebanyak 3-5 ml,
- darah didiamkan sekitar 1 jam pada suhu kamar, lalu
dipindahkan kedalam lemari es (4 oC) selama 2 jam, lalu
disentrifus,
- serum yang diperoleh diserap dengan potongan kertas saring, yang
lebarnya sedemikian rupa sehingga tiap potongan mampu menyerap
0,5 ml serum,
- kertas tersebut dikeringkan pada suhu kamar dan disimpan di tempat
yang kering sampai pemeriksaan.
pengobatan :
1. Pengobatan
a. Bedah Penghapusan Kista hidatidosa
(1) efektif tetapi berisiko, tergantung pada lokasi, ukuran, dan tahap
kista
(2) perlu kemoterapi untuk mencegah recurrence
b. Kemoterapi
Albendazole
(1) Dosis 10 mg/kg BB setiap hari atau 2x400mg selama 4 minggu,
pengobatan diulangi (sampai 12 kali).
(2) Dosis tubuh sehari-hari berat 40mg/kg, 3xsehari, selama 3-6 bulan
c. PAIR Pengobatan
(1) Tusuk, aspirasi, injeksi, respirasi
(2) Menyuntikkan zat protoscolicidal menjadi kista
d. Obat :
(1) Arecoline hydrobromide peroral dengan dosis 1-2 mg/kg berat
badan,
(2) Arecoline Acetarsol peroral dengan dosis 1 mg/kg berat badan,
(3) Dichlorophen peroral dengan dosis 200 mg/kg berat badan,
(4) Yomesan peroral dengan dosis 50 mg/kg berat badan.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Infeksi penyakit hidatidosa pada manusia dapat dicegah melalui
pemberian pemahaman tentang risiko dan tindakan pencegahan terhadap
penyakit ini secara tepat. Dalam usaha mencegah kelanjutan siklus hidup
penyakit pada peternakan dan rumah potong hewan, maka sebaiknya tidak
memberikan jeroan mentah sebagai pakan anjing dan memberlakukan
prosedur pemeriksaan daging secara menyeluruh. Selain itu, tindakan
kebersihan sangat penting dilakukan, seperti mencuci tangan sebelum
makan, memasak bahan makanan hingga matang, dan memakai pakaian
pelindung dan sarung tangan bila diperlukan untuk menghindari kontak
dengan bahan makanan yang tercemar feses.
Strategi pengendalian dilakukan untuk meningkatkan pelayanan
kesehatan masyarakat, yang mencakup peningkatan akses terhadap
diagnostik, pengobatan, pendidikan, akses terhadap air bersih, memperbaiki
sanitasi dan inspeksi daging.
Program yang lebih spesifik ditujukan untuk menghilangkan
E. granulosa secara langsung dengan memakai obat cacing untuk
membunuh cacing pita, dan mengendalikan populasi anjing liar.
Pencegahan dilakukan dengan menjaga anjing terinfestasi serta
menghindarkan tertelannya telur cacing secara tidak sengaja, mencegah
anjing memakan inang antara. Sedangkan untuk melindungi manusia terhadap
infeksi kista, antara lain, perlu meningkatkan kebersihan perseorangan,
menjaga kondisi anjing tetap bersih, dan tidak memelihara anjing yang
terinfestasi. Melakukan pemeriksaan daging secara rutin terhadap adanya
kista cacing Echinococcus pada saat pemotongan hewan di Rumah Potong
Hewan (RPH), dan memasak daging dengan cara merebus sampai mendidih
selama 30 menit atau membekukan daging pada suhu -35 °C selama 24 jam,
disertai penyuluhan pada masyarakat/konsumen.
FASCIOLOSIS
Sinonim : Distomatosis, Penyakit Cacing Hati.
Fasciolosis yaitu penyakit zoonosis yang dipicu oleh parasit cacing
trematoda Fasciola gigantica maupun F.hepatica, termasuk kelas Trematoda,
fi lum Platyhelmintes dan genus Fasciola. Cacing tersebut bermigrasi dalam
parenkim hati, berkembang dan menetap dalam saluran empedu. Jenis cacing
Fasciola yang ada di negara kita yaitu Fasciola gigantica, dan siput yang
bertindak sebagai inang antara yaitu Lymnaea rubiginosa. berdasar
penelitian diketahui bahwa siput L.rubiginosa yaitu siput yang resisten
terhadap infeksi mirasidium F.hepatica.
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu rasa sakit di daerah hati,
sakit perut, diare, demam dan anemia. Pada sapi dan domba, proses terpenting
yaitu terjadinya fi brosis hepatis dan peradangan kronis pada saluran empedu.
Selanjutnya terjadi gangguan pertumbuhan, penurunan produksi susu dan berat
badan. Gejala klinis yang menonjol yaitu adanya edema di rahang bawah
(submandibularis) pada hewan ruminansia yang menderita fasciolosis kronis.
berdasar hasil penelitian, dari berbagai hewan ruminansia yang ada di
negara kita , telah dilaporkan bahwa domba ekor tipis yaitu domba yang
resisten terhadap infeksi fasciolosis dan daya resistensi tersebut dapat diturunkan
secara genetik.
Di negara kita , secara ekonomi kerugiannya dapat mencapai Rp. 513,6 milyar/
tahun. Kerugian ini dapat berupa kematian, penurunan berat badan, hilangnya
karkas/hati yang rusak, hilangnya tenaga kerja, penurunan produksi susu 10-20
% dan biaya yang harus dikeluarkan untuk pengobatan.
etiologi
Fasciolosis dipicu oleh cacing hemaprodit yang cukup besar, berbentuk
seperti daun dengan kutikula berduri. Fasciola gigantica secara eksklusif ada
di daerah tropis, berukuran 25-27x 3-12 mm. Fasciola hepatica ditemukan di
daerah yang beriklim sedang dengan ukuran 20-30x10 mm. Kedua spesies
cacing tersebut bersifat hematopagus/pemakan darah.
F.gigantica mempunyai pundak sempit, ujung posterior tumpul, ovarium Iebih
panjang dengan banyak cabang. Sedangkan F.hepatica mempunyai pundak
lebar dan ujung posterior lancip. Telur Fgigantica berukuran 160-196x90 -100
mm, dan telur F.hepatica berukuran 130-148x60-90 mm.
Sifat Agen Penyakit
Penyakit ini ada di daerah yang lembab dan basah. F. gigantica tersebar di
daerah tropis dan subtropis di Afrika dan Asia, sedangkan F. hepatica tersebar
di daerah dingin dan dataran tinggi di Afrika, Asia, Australia, Amerika Utara dan
Selatan. Penyakit ini sangat penting baik di negara yang beriklim tropis maupun
subtropis, dan sebagai sumber perkembangbiakan yaitu air.
Telur Fasciola sp. dapat bertahan selama 2-3 bulan dalam keadaan yang lembab
(dalam feses) dan cepat mengalami kerusakan jika berada dalam keadaan
yang kering. Larva cacing Fasciola sp. (sporosista, redia dan serkaria) dapat
bertahan selama 10-18 bulan dalam tubuh siput. Sedangkan metaserkaria yang
menempel pada rerumputan mampu bertahan hidup antara 3-6 bulan jika
berada di tempat yang teduh dengan lingkungan yang lembab. Selanjutnya
metaserkaria tersebut akan cepat mengalami kematian bila berada di tempat
yang panas dan kering. Cacing dewasa yang ada di dalam hati hewan dapat
hidup selama 1-3 tahun.
epidemiologi
1. Siklus Hidup
Di dalam tubuh inang utama yaitu ternak, ikan, dan manusia, cacing
dewasa hidup di dalam hati dan bertelur di usus, lalu telur keluar
bersama dengan feses. Telur menetas menjadi larva dengan cilia (rambut
getar) di seluruh permukaan tubuhnya (mirasidium). Larva mirasidium
lalu berenang mencari siput Lymnea.
Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air
tawar (Lymnea rubiginosa). Mirasidium sesudah berada di dalam tubuh siput
selama 2 minggu berubah menjadi sporosis. Larva tersebut mempunyai
kemampuan reproduksi secara asexual dengan cara paedogenesis di dalam
tubuh siput, sehinga terbentuk larva yang banyak. Selanjutnya larva sporosis
melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia, lalu larva redia
melakukan paedogenesis menjadi serkaria.
Larva serkaria lalu berekor menjadi metaserkaria, dan segera keluar
dari siput berenang mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya
rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya. Setelah menempel,
metaserkaria akan membungkus diri dan menjadi kista yang dapat bertahan
lama pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air. jika tumbuhan
tersebut termakan oleh hewan ruminansia, maka kista tersebut dapat
menembus dinding usus, lalu masuk ke dalam hati, lalu ke saluran
empedu dan menjadi dewasa dalam beberapa bulan sampai bertelur dan
siklus ini terulang kembali.
Gambar 2 . Siklus Hidup F.Hepatica
(Sumber: http://www.e-cleansing.com/parasites/fasciolosis.html)
2. Spesies Rentan
Spesies rentan yaitu sapi, kambing, domba, babi, kelinci, gajah,
kuda, anjing, kucing, keledai, kijang, jerapah, zebra, kangguru dan manusia.
Pada inang yang tidak biasa, seperti manusia dan kuda, cacing Fasciola
dapat ditemukan dalam paru-paru, di bawah kulit atau pada organ lain.
Hewan muda lebih rentan dibandingkan dengan hewan dewasa.
Pada sapi dan kerbau umumnya bersifat kronik, sedangkan pada domba dan
kambing bersifat akut. Selama cacing muda bermigrasi di dalam parenkim
hati, dapat memicu kematian karena adanya kegagalan fungsi hati
dan terjadinya perdarahan. Dampak infeksi F.gigantica diketahui lebih berat
dan lebih infektif pada kambing dibandingkan pada domba.
3. Pengaruh Lingkungan
Infeksi cacing trematoda pada ruminansia biasanya berhubungan erat
dengan tanaman semiakuatik karena siklus hidupnya mutlak memerlukan
inang antara berupa siput air tawar.
Lingkungan yang basah yaitu tempat yang sesuai untuk
perkembangan Fasciola sp. karena perlu induk semang antara siput air tawar
jenis Lymnea. Telur cacing Fasaciola sp. yang masih bercampur dengan
feses tidak akan berkembang menjadi embrio. Suhu udara optimal untuk
perkembangan embrio berkisar antara 22-30 °C.
Mirasidium yang keluar dari telur sangat aktif berenang mencari
inang antara yang cocok, yaitu siput L.rubiginosa, dan daya tahan hidup
mirasidium tidak lebih dari 40 jam. Setelah mirasidium masuk dalam tubuh
siput akan berkembang menjadi sporosista dan redia. Selanjutnya redia
memproduksi serkaria yang akan keluar dari tubuh siput mulai hari ke 40
sampai hari ke 55.
Setelah serkaria keluar dari tubuh siput, maka akan kehilangan
ekornya dan mulai terbentuk substansia kental yang menutupi seluruh
permukaan tubuh (kista). Kista F.gigantica lebih banyak ditemukan menempel
pada rumput, tanaman padi atau tumbuhan air lainnya sekitar 2 cm di bawah
permukaan air. Selain itu diketahui bahwa serkaria lebih menyukai tumbuhan
air yang berwarna hijau.
4. Sifat Penyakit
Penyakit bersifat endemis dengan prevalensi pada hewan ruminansia besar
dapat mencapai 60% dan pada domba 20%.
5. Cara Penularan
Hewan bertulang belakang terinfestasi secara tidak sengaja menelan
metasarkaria yang menempel pada tumbuhan air/rumput atau air minum
yang mengandung metaserkaria. Di dalam usus manusia, parasit keluar
dari kista (ekskistasi) dan bermigrasi dengan menembus dinding usus dan
rongga perut menuju ke hati. Selanjutnya menuju dan tinggal di dalam
suran empedu. Proses pendewasaan di dalam hati atau kantung empedu
memerlukan waktu 2 (dua) bulan. Telur melewati saluran empedu menuju
usus dan keluar ke tanah atau air bersama dengan feses. Seluruh siklus
hidup memerlukan waktu 5 (lima) bulan.
6. Distribusi Penyakit
a. Kejadian di negara kita
negara kita yaitu negara beriklim tropis basah, sehingga
sangat cocok untuk perkembangan-biakan cacing hati F.gigantica.
Fasciolosis di negara kita yaitu penyakit yang penting dengan
kerugian ekonomi yang cukup tinggi.
Prevalensi penyakit ini pada sapi di Jawa Barat mencapai 90% dan
di Daerah Istimewa Yogyakarta antara 40-90%, sedangkan prevalensi
penyakit pada domba belum diketahui.
b. Distribusi Geografi
Spesies F.gigantica dan F.hepatica tersebar di seluruh dunia dan
penyebaran F.hepatica lebih luas dibanding F.gigantica. F. gigantica
diketahui yaitu satu-satunya cacing trematoda yang memicu
fasciolosis pada hewan ruminansia di negara kita .
keterangan :
1. Gejala Klinis
Berat ringannya fasciolosis tergantung pada jumlah metaserkaria
yang tertelan dan infektifi tasnya. Bila metaserkaria yang tertelan sangat
banyak akan memicu kematian pada ternak sebelum cacing tersebut
mencapai dewasa. Selain itu, tergantung pula pada stadium infestasi yaitu
migrasi cacing muda dan perkembangan cacing dewasa dalam saluran
empedu, serta infestasi Fasciola sp. dapat bersifat akut maupun kronis.
Infestasi F.gigantica pada domba dan kambing biasanya bersifat akut dan
fatal.
Bentuk akut:
Bentuk ini dipicu adanya migrasi cacing muda di dalam jaringan hati,
sehingga memicu kerusakan jaringan hati. Ternak menjadi lemah,
nafas cepat dan pendek, perut membesar dan rasa sakit.
Bentuk kronis:
F.gigantiga mencapai dewasa 4-5 bulan sesudah infestasi, gejala
yang nampak yaitu anemia, sehingga memicu ternak lesu, lemah,
nafsu makan menurun, cepat mengalami kelelahan, membrana mukosa
pucat, diare dan edema di antara sudut dagu dan bawah perut, ikterus dan
kematian dapat terjadi dalam waktu 1-3 bulan.
2. Patologi
Lesi yang dipicu oleh infestasi cacing Fasciola sp pada
semua ternak hampir sama tergantung tingkat infestasinya. Kerusakan hati
yang paling banyak akibat infestasi ini terjadi antara minggu ke 12-15 pasca
infestasi. Berat ringannya penyakit tergantung pada jumlah metaserkaria
yang ditelan dan infekstifi tasnya. Kerusakan jaringan mulai terjadi pada
waktu cacing muda menembus dinding usus akan tetapi kerusakan yang
berat dan peradangan yang timbul terjadi sewaktu cacing bermigrasi ke
dalam parenkim hati dan saat berada dalam saluran empedu dan kantong
empedu.
Lesi yang timbul pada keadaan akut berhubungan dengan migrasi
cacing muda dalam hati yang memicu perdarahan dalam kapsula
hati. Perkembangan cacing memicu luka yang makin besar yang
akhirnya timbul nekrosis disertai dengan hiperpilasia saluran empedu, dan
adanya gejala ikterus.
Gambar 3. Hati yang terinfeksi Fasciola gigantica
(Sumber: http://veterinaryrecord.bmj.com)
Lesi yang terjadi pada ternak yang terinfestasi kronis secara histopatologi
terlihat gambaran dilatasi dan penebalan saluran empedu, serta fi brosis
periportal dan infi ltrasi eosinofi l, limfosit dan makrofag. Pada infestasi yang
berat memicu fi brosis, hiperplasia dan kalsifi kasi pada saluran
empedu.
3. Diagnosa
a. Diagnosa klinis
Diagnosa berdasar gejala klinis sulit dilakukan, maka sebagai
penunjang diagnosa dapat dipakai pemeriksaan ultra sonografi
(USG).
b. Diagnosa laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan melalui pemeriksaan feses,
biopsi hati, uji serologi untuk deteksi antibodi dan antigen serta western
blotting.
Pemeriksaan feses untuk deteksi telur cacing terkendala dengan durasi
infestasi F.gigantica, karena telur baru dapat ditemukan sesudah 15
minggu hewan terinfestasi, sedangkan untuk infestasi F.hepatica, telur
baru dapat ditemukan sesudah 10 minggu hewan terinfestasi.
Telur yang keluar secara intermiten tergantung pada pengosongan
kantong empedu. Telur Fasciola serupa dengan telur paramphistomum.
Telur Fasciola berwarna kekuningan, sedangkan telur Paramphistomum
berwarna keabu-abuan
Uji serologis memakai metoda ELISA untuk deteksi antibodi dan
antigen, serta dapat didukung dengan western blotting untuk menggetahui
pita protein Fasciola. Melalui uji ELISA, infestasi dini, yaitu antara 2-4
minggu sudah dapat terdeteksi.
4. Diagnosa banding
a. Pada bentuk akut dapat keliru dengan hepatitis karena gangguan nutrisi
b. Migrasi intra hepatik dari larva Taenia hydatigena
c. Pada bentuk kronis dapat keliru dengan :
- infestasi cacing saluran pencernaan lain
- bovine paratubercular enteritis
pengobatan :
1. Pengobatan
a. Pada manusia dipakai triclabendazole dengan dosis 10-12 mg/kg bb
dan nitazoxanide.
b. Nitroxinil dengan dosis 10 mg/kg untuk sapi, kerbau dan domba, dengan
daya bunuh sangat efektif (100%) pada infestasi sesudah 6 minggu.
Namun pengobatan dengan obat ini perlu diulang 8-12 minggu sesudah
pengobatan pertama.
c. Rafoxanide dengan dosis 10 mg/kg untuk domba, 10-15 mg/kg untuk
sapi. Obat ini efektif untuk mengobati cacing trematoda dan nematoda,
baik cacing muda maupun dewasa.
d. Mebendazol dengan dosis 100 mg/kg efektif (94 %) untuk membunuh
cacing hati dan cacing nematoda.
Pemberian obat cacing secara periodik dan diberikan minimal 2 kali dalam
1 tahun. Pengobatan pertama dilakukan pada akhir musim hujan dengan
tujuan untuk mengeliminasi migrasi cacing dewasa, sehingga selama musim
kemarau ternak dalam kondisi yang baik dan juga menjaga lingkungan,
terutama kolam air, agar selama musim kemarau tidak terkontaminasi oleh
larva cacing.
Pengobatan kedua dilakukan pada akhir musim kemarau dengan tujuan
untuk mengeliminasi cacing muda yang bermigrasi ke dalam parenkim hati.
Pada pengobatan kedua ini perlu dipilih obat cacing yang dapat membunuh
cacing muda.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
(1) Melakukan pemeriksaan ternak di rumah potong hewan
(2) Menyampaikan laporan kepada Dinas setempat
b. Pencegahan
Dalam rangka pencegahan, perlu adanya perbaikan tata cara pemberian
pakan pada ternak, yaitu dihindarkan pengambilan jerami yang berasal
dari sawah dekat kandang. Bila terpaksa, jerami tersebut harus diambil
dengan pemotongan minimal 30 cm dari permukaan tanah. Jerami yang
berasal dari sekitar pemukiman atau dekat kandang perlu dikeringkan
dengan cara dijemur, minimal 3 hari di bawah sinar matahari.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Ada 5 (lima) kelompok zat kimia yang dapat dipakai untuk memberantas
Fasciola (fasciolides), yaitu :
(1) Kelompok fenol halogenasi
- Bithionol,
- Hexachlorophene,
- Nitroxynil
(2) Kelompok salicylanilides :
- Closantel,
- Rafoxanide
(3) Kelompok benzimidazoles :
- Triclabendazole,
- Albendazole,
- Mebendazol, luxabendazole
(4) Kelompok sulphonamides :
- Clorsulon
(5) Kelompok phenoxyalkanes :
- Diamphenetide
Pemberantasan inang sementara, yaitu siput air tawar L. rubiginosa
dengan memakai molukisida, seperti copper sulfat. Selain
itu, pemberantasan siput secara biologik dapat dilakukan dengan
melepaskan bebek/itik. Namun, sebagai perbaikan tatalaksana dalam
beternak, sebaiknya dihindarkan penggembalaan bebek/itik pada daerah
yang tergenang air.
Pemutusan siklus hidup fasciolosis dapat dilakukan dengan
menghindari menggembalakan ternak pada pagi hari, sehingga ternak
tidak mengkonsumsi ujung rumput yang masih basah oleh embun
dan kemungkinan mengandung metaserkaria. Pada manusia, usaha
pencegahan dapat dilakukan dengan memasak daging/hati secara
sempurna.
KASKADO
Sinonim : Stephanofi lariasis
Kaskado atau Stephanofi lariasis yaitu penyakit yang dipicu oleh
cacing Filaria dari genus Stephanofi laria, memicu lesi pada kulit yang
ditandai dengan alopecia dan dermatitis nodular ulseratif pada sapi, kerbau,
kambing, dan hewan mamalia lainnya. Dalam banyak kasus, luka dapat muncul
kembali karena obstruksi dari saluran getah bening. Penyakit ini bersifat zoonosis,
akan tetapi kejadian pada manusia masih jarang ditemukan.
Di negara kita , penyakit ini pertama kali diidentifi kasi penyebabnya dan dilaporkan
pada tahun 1933. Daerah penyebaran penyakit ini sampai sekarang masih
terbatas, namun bila suatu daerah sudah terinfestasi, maka jumlah penderitanya
dapat meluas dan dapat mencapai lebih dari 90 %. Hewan yang terkena penyakit
ini masih dapat dipakai untuk bekerja namun kinerjanya berkurang. Selain
itu adanya bekas luka pada kulit akan menurunkan harga jual kulit dan harga
ternak.
etiologi
Penyakit ini dipicu oleh cacing Stephanofi laria duodesi dan Stephanofi laria
stillesi yang yaitu anggota dari famili Atracticae dan ordo Spirurodia, genus
Stephanofi laria. Cacing ini ditandai dengan mulut yang sirkuler dan menonjol
dengan cincin di tepi spina kecilnya, ada pula lingkaran spina lain disela-sela
amfi da.
Cacing ini sering ditemukan pada permukaan kulit bagian ventral sapi, cacing
jantan panjangnya 3.0-3.5 nm dengan diameter 40-50 µ, sedangkan spikulum kiri
276 µ dan spikulum kanan 47 µ. Cacing betina panjangnya 5.6-5.8 nm dengan
diameter 100-117 µ. Mikrofi laria ada di dalam kulit dengan panjang 45-60
mikron dan berdiameter 2-4 µ.
epidemiologi
1. Siklus Hidup
Siklus hidupnya tidak langsung dan memerlukan lalat sebagai vektor,
yaitu lalat Haematobia irritans. Lalat dewasa mengeluarkan mikrofi laria.
Mikrofi laria diperoleh dengan cara hisapan lesi terbuka pada hewan yang
terinfestasi cacing Stefanofi laria. Inang akhir terinfestasi saat larva lalat
terdeposit pada bagian kulit yang tidak terluka, memicu peradangan
dan kerusakan folikel rambut serta sel epitel.
2. Sifat Alami Agen
Cacing ini bersifat viviparus, cacing betina mengeluarkan mikrofi laria,
dan cacing dewasanya hidup pada lapisan epitel kulit, membentuk kista, serta
memicu peradangan pada lapisan malpighi, sehingga terjadi kerusakan
dan proliferasi sel-sel epitel.
Stephanofi laria dapat dicirikan sebagai agen penyakit yang biasa
ada pada hunian padang rumput dengan jumlah kotoran basah yang
banyak, terutama di musim panas dan hujan.
3. Spesies Rentan
Cacing S.dedoesi dan S.stilesi umumnya menyerang sapi,
meskipun di Sulawesi dan Malaysia pernah dilaporkan menyerang kerbau
dan kambing. Spesies lain dari cacing Stephanofi laria dilaporkan menyerang
kambing (S.assamensis), badak (S.dinniki), gajah (S.srivastavie). Sedangkan
di Boyolali, Jawa Tengah, pernah dilaporkan bahwa Kaskado sebanyak 98 %
menyerang sapi perah selama lebih dari 2 tahun.
4. Pengaruh Lingkungan
Prevalensi stephanofi lariasis umumnya meningkat pada saat musim
hujan, yakni seiring dengan peningkatan populasi vektor. Bersamaan dengan
musim hujan, aktivitas penggunaan sapi/kerbau untuk membajak sawah juga
meningkat, sehingga diduga pada saat inilah kemungkinan terjadi perlukaan
pada kulit akibat alat pembajak, sehingga memicu datangnya lalat vektor
penyakit pada daerah kulit yang luka tersebut.
5. Sifat Penyakit
Umumnya penyakit ini bersifat sporadis, dan diperlukan adanya faktor luka
pada kulit. Dapat menyerang sampai 98 % dari total populasi sapi, namun hal
ini sangat tergantung pada faktor lingkungan.
6. Cara Penularan
Penyakit Kaskado ditularkan oleh vektor lalat, antara lain Musca
sp., Stomoxys sp., Lyperosia sp., dan Haematobia sp. Di dalam tubuh vektor,
mikrofi laria mengalami proses pendewasaan hingga mencapai stadium
infektif (larva stadium 3/L3) yang membutuhkan waktu sekitar 10-25 hari,
tergantung suhu udara lingkungan. Selanjutnya, larva infektif ini ditularkan
kembali oleh vektor pada saat lalat mengisap cairan luka pada kulit hewan,
selanjutnya larva tersebut berkembang menjadi cacing dewasa. Namun,
belum diketahui secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan dari L3
sampai menjadi L4 dan terakhir L5 (dewasa).
Lalat Haemotobia irritans yaitu inang antara Stephanofi laria sp.
yang paling sering ditemukan pada tubuh sapi. Haemotobia irritans betina
meninggalkan inang hanya untuk meletakkan telurnya pada kotoran sapi
yang masih baru. Haemotobia irritans menggigit tubuh inang, menghisap
darah dan cairan lainnya, hal ini yaitu pemicu masuknya larva
cacing Stephanofi laria sp pada tubuh sapi.
7. Distribusi Penyakit
Penyebaran cacing ini secara geografi s di negara kita belum diketahui
secara pasti, namun yang sudah pernah ada laporan kasusnya yaitu di
Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Lampung, Jambi,
Riau, Sumatera Utara, Aceh dan Boyolali Jawa Tengah. Selain di negara kita ,
stephanofi lariasis yang dipicu oleh berbagai spesies Stephanofi laria
telah dilaporkan terjadi di Amerika Serikat, Canada, India, Malaysia, Jepang,
Kenya, Denmark, Jerman dan Australia.
Sebuah penelitian studi ternak di Australia Utara melaporkan
frekuensi penyakit ini lebih sering terjadi pada sapi keturunan Bos taurus dan
pada hewan tua. Di daerah endemik, prevalensi kejadian mencapai 90%.
Beberapa spesies Stephanofi laria telah ditemukan di negara kita sebagai
pemicu penyakit Kaskado dengan prevalensi bervarisai. Kasus penyakit
Kaskado di negara kita dilaporkan terjadi pada tahun 2006 di Sleman,
Yogyakarta yang menyerang beberapa ekor sapi perah , kejadian terakhir
ditemukan di daerah Jombang Jawa Timur yang menyerang sapi potong
hasil persilangan pada tahun 2012.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Kaskado yang dipicu oleh Stephanofi laria dedoesi diketahui
dari luka pada kulit yang tertutup oleh keropeng dan kelihatan tebal. Pada
tahap awal, kelainan kulit berupa lepuh kecil, lalu menjadi luka yang
besar. Proses ini meluas ke perifer, dan pada keadaan lanjut dapat menjadi
luka dengan garis tengah mencapai 25 cm. Luka tersebut sering ada
pada bagian atas leher, daerah punuk, gelambir, bahu, sekitar mata dan
kaki.
Stephanofi laria kaeli memicu luka yang bersifat proliferasi
di sekitar persendian tarsal dan karpal pada kaki, sendi kuku, puting susu
dan kadang pada kulit telinga. Sedangkan Stephanofi lariasis pada sapi yang
dipicu oleh S. stilesi memicu lesi kulit pada bagian bawah tubuh
(abdomen) dan kadang pada kulit telinga.
Di India Kaskado yang dipicu oleh S. assamensis memicu
lesi kulit pada daerah punuk sapi, kerbau, kambing, dan S. zaheeri
memicu lesi kulit kerbau atau sapi. Di Jepang juga ada penyakit
kaskado yang dipicu oleh S. okinawaensis yang memicu lesi/
luka pada kulit di daerah mulut dan puting susu sapi.
Lesi dapat terjadi di berbagai bagian tubuh, khususnya skrotum,
pelvis, leher, dan ambing. Penyakit ini diakui sebagai salah satu pemicu
utama penyakit kulit ambing pada sapi. Akibat rasa sakit dan tidak nyaman
oleh lesi memicu hewan stres, nafsu makan berkurang, dan
berdampak pada penurunan produksi susu dan daging. Ukuran lesi umumnya
proporsional sesuai dengan umur dan ukuran hewan. Hewan betina biasanya
memiliki diameter lesi yang lebih besar dibandingkan hewan jantan.
Gambar 1. Gambaran klinis karakteristik lesi Stephanofi laria stilesi
pada ambing sapi menyusui dan lesi yang terletak di wilayah
perbatasan antara dinding perut ventral dan ambing (Sumber:
Silva et al., 2010)
2. Patologi
Penyakit ini tidak memicu kematian, dan perubahan pasca mati
hanya terjadi pada kulit seperti nampak pada gejala klinis.
3. Diagnosa
Diagnosa berdasar pada gejala klinis dan diagnosa laboratorium yang
dikonfi rmasi dengan menemukan cacing pada kerokan kulit yang mengalami
lesi dari hewan penderita.
4. Diagnosa Banding
Penyakit myasis
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Lesi atau luka pada kulit dikerok sampai sedikit mengeluarkan
darah dan hasil kerokan tersebut selanjutnya diawetkan dalam campuran
gliserin dan air, dengan perbandingan yang sama, atau diletakkan di dalam
media tissue culture untuk selanjutnya diperiksa memakai mikroskop.
Pemeriksaan histopatologik diambil dari potongan kulit (biopsi) yang
mengandung lesi dan diawetkan di dalam formalin 10 %. jika tidak
mungkin diambil dari hewan yang masih hidup, maka dapat juga diambil dari
irisan kulit hewan penderita yang baru dipotong.
Gambar 2. Fotomikrograf kulit ambing sapi menunjukkan adanya rata parasit
tidak teratur A) Liquefactin necrosis; B) Polymorphonuclear dan
infi ltrasi infl ammatory eosinophilic; C) Area multifocal hemoragi
D) Kutikula parasit. HE, obj. 3.5x
(Sumber: Silva et al., 2010)
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan lesi kaskado sangat sulit dan perlu waktu yang lama,
sehingga nilai ekonomis hewan pun menurun. Senyawa organofosfat seperti
trichlorphon untuk penggunaan topical cukup efektif karena cacing mengalami
paralisis spastik dan mati.
Obat antiparasit berspektrum luas seperti Ivermectin dan Doramectin
telah dilaporkan mampu mengobati Kaskado di lapangan. Pemberian
Ivermectin dengan dosis 200 μg/kg BB secara subkutan dan Doramectin 200
μg/kg BB dapat menyembuhkan penyakit Kaskado pada sapi perah, dengan
jangka waktu penyembuhan sekitar 10 hari.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Bila terjadi kasus penyakit, sebaiknya kasus dilaporkan kepada Dinas
Peternakan setempat, khususnya untuk daerah yang belum pernah
tertular penyakit ini. Hewan sakit harus diisolasi dan diobati sampai
sembuh. Selama sakit disarankan agar hewan tidak diperdagangkan
atau dipindahkan ke lain daerah.
A B
C
D
b. Pencegahan
Dilakukan pengobatan pada kulit yang luka agar tidak dihinggapi
lalat. Selain itu dihindari bercampurnya sapi yang sehat dengan hewan
penderita kaskado.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian dan pemberantasan dilakukan terhadap vektornya atau
tindak pengobatan pada hewan penderita untuk menghilangkan sumber
penyakit. Pengendalian populasi lalat dapat dilakukan secara berkala dan
teratur dengan penyemprotan insektisida antara lain dengan coumaphos
0,05-0,1 %, diazenon 0,5 % dan malathion 0,02 %. Penyemprotan atau
pemberian obat dilakukan langsung pada kulit yang mengalami lesi atau
luka untuk membunuh cacing.
Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Hewan penderita kaskado boleh dipotong dan dagingnya dapat
dikonsumsi, sesudah bagian lukanya dibuang. Demikian pula kulitnya
dapat diolah menjadi bahan makanan sesudah dibersihkan dari luka-luka
yang ada.
MYIASIS
Sinonim : Belatungan, Baulat, Koreng, Borok
Kata Myasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “myia” yang berarti lalat. Adapun
defi nisi myiasis yaitu infestasi larva lalat (Diptera) ke dalam jaringan hidup
manusia atau hewan vertebrata lainnya dalam periode tertentu dengan memakan
jaringan inangnya termasuk cairan substansi tubuh. Masyarakat negara kita lebih
mengenal penyakit ini dengan nama belatungan sedangkan penduduk India
menyebutnya sebagai peenash atau scholechiasis. Selain pada hewan, kasus
myasis juga terjadi pada masyarakat golongan sosio-ekonomi rendah terutama
di negara tropis pada musim penghujan. Sampai saat ini, kasus myasis masih
banyak dijumpai tidak hanya pada daerah kantung ternak yang dipelihara
secara ekstensif (seperti di kawasan negara kita Bagian Timur) tetapi juga pada
peternakan intensif atau semi intensif termasuk pada hewan kesayangan.
berdasar lokasi ditemukannya larva, myiasis dapat diklasifi kasikan menjadi
beberapa kelompok, yaitu dermal, sub-dermal atau kutaneous, okular, intestinal,
dan urogenital. Adapun secara manifestasi klinis dapat digolongkan menjadi tiga,
yaitu kutaneus myiasis, migratori myiasis dan traumatika myiasis. Di negara kita ,
umumnya myiasis yang terjadi di negara kita tergolong kedalam traumatika
myiasis.
Sebenarnya kasus myiasis masih sering terjadi, terutama di daerah endemik
tetapi sering kali dilupakan. Langkah-langkah pengendalian masih harus terus
dilakukan, yaitu pengobatan luka secara dini, pemantauan terhadap populasi
lalat myiasis dan pengawasan lalu lintas ternak.
etiologi
Penyebab myiasis di negara kita dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu
lalat primer (Chrysomya bezziana atau the Old World Screwworm Fly), lalat
sekunder (C.megacephala, C.rufi facies, C.varipes, Hemypirellia, Sarcophaga
sp) dan lalat tertier (Musca spp) (Gambar 1). Larva C.bezziana bersifat obligat
parasit yang hanya memakan jaringan hidup tubuh inangnya. Lalat ini pertama
kali di koleksi di Kongo (Zaire) pada tahun 1909 dari sapi dan diidentifi kasi oleh
Professor Bezzi. Meskipun identifi kasinya kurang tepat, tetapi untuk menghargai
jasa beliau maka lalat tersebut diberi nama “bezziana” oleh Entomologis dari
Perancis, Joseph Villeneuve. Adapun myiasis di Australia dipicu oleh Lucilia
cuprina dan L.sericata, myiasis di benua Amerika dipicu oleh Cochlyomyia
hominivorax (the New World Scerwworm Fly) dan myiasis di benua Eropa dan
sebagian Asia dipicu oleh Wohlfahrtia magnifi ca.
epidemiologi
1. Siklus hidup
Siklus hidup lalat C.bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu
telur, larva, pupa dan lalat. Dari telur menetas menjadi larva instar I (L1)
sampai dengan larva instar III (L3) memerlukan waktu enam hingga tujuh
hari, selanjutnya L3 akan jatuh ke tanah dan membentuk pupa. Dalam waktu
tujuh sampai delapan hari, pupa menetas menjadi lalat (imago). Setelah
kawin pada umur 4 – 8 hari, lalat betina akan bertelur pada jaringan yang
terluka (Gambar 2).
Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka
pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur
yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata
180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12-24 jam atau
sepuluh jam pada suhu 30oC, selanjutnya L1 menuju ke daerah luka yang
basah. Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat
terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke
dalam jaringan inang.
Larva instar II akan berkembang menjadi L3, selanjutnya pada hari
keempat bermigrasi keluar dari daerah luka ters