dan iradiasi
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan gambaran klinis dan
didukung oleh pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan Gram dan
pemeriksaan resistansi kuman terhadap antibiotik untuk meningkatkan
efektivitas terapi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang pada erisipelas dan selulitis berupa pemeriksaan
Gram dari pus, eksudat, atau cairan aspirat, serta pemeriksaan resistansi
kuman terhadap antibiotik. Pemeriksaan elemen jamur dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding.
Pengambilan sediaan di area yang paling mengalami inflamasi
(lebih dangkal daripada di pinggir lesi) akan meningkatkan sensitivitas
pemeriksaan. Lesi terbuka, seperti pada luka paskaoperasi, lesi traumatik,
dapat mengandung bermacam-macam organisme, walaupun seringkali
merupakan organisme kontaminan. Pewarnaan Gram sangat membantu
dalam identifikasi morfologi bakteri. Pemeriksaan imaging secara rutin
biasanya tidak diperlukan pada kasus tanpa komplikasi. Infeksi dengan
organisme anaerob, terutama Clostridia dan Bacteroides dapat menyebabkan
pembentukan udara, yang akan tampak pada pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan X-ray pada selulitis anaerob akan didapatkan kantongkantong udara (pocket of gas) pada jaringan superfisial dan biasanya akan
tampak pada pemeriksaan palpasi
TERAPI
Erisipelas akut dan selulitis yang ringan dapat diterapi dengan injeksi
intramuskular Procaine penicillin 600.000 IU 2 kali sehari, atau dengan
Penicillin V peroral 500 mg tiap 6 jam. Dicloxacillin (4x500 mg/hari)
atau cephalosporine juga efektif. Sedangkan pada pasien yang alergi
terhadap golongan penicillin, dapat diberikan golongan macrolides atau
clindamycin .
Individu dengan infeksi Streptococcus yang lebih berat atau disertai
dengan penyakit dasar seperti diabetes, harus menjalani rawat inap dan
diterapi dengan penicillin G (1.000.000–2.000.000 IU tiap 4–6 jam), dan
dapat diberikan dengan dosis yang lebih tinggi pada kasus yang lebih
berat, yaitu hingga 2.000.000–4.000.000 IU tiap 4–6 jam. Untuk pasien yang
status alergi terhadap penicillinnya meragukan, dapat diberikan cefazolin
1 gram intravena setiap 8 jam. Vancomycin (1 gram secara intravena, 2x
sehari) merupakan terapi pilihan pada pasien dengan methicillin-resistant
organism atau mempunyai riwayat menderita reaksi hipersensitivitas tipe 1
(immunoglobulin E-mediated) terhadap penicillin atau cephalosporin. Untuk
lesi yang berulang, dapat diberikan antibiotik sesuai dengan hasil kultur
kuman dan hasil uji resistansi kuman terhadap antibiotik
Sebuah penelitian meta-analisis oleh Fereira A et al. pada tahun 2016
menunjukkan bahwa efikasi penatalaksanaan erisipelas dan selulitis
dengan macrolide atau lincosamide tidak berbeda signifikan dengan
penatalaksanaan dengan antibiotik golongan betalactam. Demikian pula
dengan efek samping yang terjadi pada terapi macrolide atau lincosamide
tidak berbeda signifikan dengan terapi antibiotik betalactam. Sedangkan
hasil terapi menunjukkan kelompok yang mendapatkan terapi macrolide
atau lincosamide lebih baik daripada kelompok yang mendapatkan terapi
antibiotik betalactam
Perawatan lokal pada lesi erisipelas dan selulitis berupa bed rest disertai
dengan elevasi dari area lesi untuk mengurangi risiko timbulnya edema
lokal. Saline dressing dingin yang steril akan menurunkan nyeri lokal, terutama diindikasikan pada lesi yang disertai dengan lesi berbentuk bula
(
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding erisipelas dan selulitis yaitu dermatitis kontak
alergi akut, dermatitis stasis, deep vein thrombosis, limfedema, pioderma
gangrenosum, fixed drug eruption
KOMPLIKASI
Limfadenopati regional dapat terjadi pada selulitis di ekstremitas. Pada
orang yang tua dapat terjadi komplikasi berupa tromboflebitis dari selulitis
di ekstremitas inferior. Selain itu, limfedema dan sepsis juga dapat menjadi
komplikasi pada erisipelas dan selulitis
PROGNOSIS
Erisipelas dan selulitis yang tidak diterapi dapat berkembang menjadi
bakteremia dengan infeksi yang meluas ke organ yang lain. Terapi
yang sesuai akan mencegah komplikasi supuratif dan nonsuspuratif.
Walaupun demikian, pada bayi dan usia lanjut atau pasien dengan terapi
glukokortikoid, erisipelas atau selulitis dapat berkembang menjadi penyakit
yang fatal. Erisipelas mempunyai kecenderungan untuk berulang pada
area lesi yang sama, yang kemungkinan terjadi akibat faktor predisposisi
berupa obstruksi limfatik kronik, edema persisten, atau elephantiasis-likeswelling yang disebabkan oleh infeksi sebelumnya.
Selulitis akut mempunyai tendensi untuk menyebar melalui pembuluh
limfatik dan pembuluh darah dan menjadi fatal bila tidak diterapi dini.
Pada pasien usia lanjut, keterlibatan ekstremitas bawah dapat menimbulkan
komplikasi tromboflebitis. Pada pasien dengan edema kronik, infeksi dapat
menyebar dengan cepat, dan kesembuhan akan melambat
PENCEGAHAN DAN EDUKASI
Pencegahan timbulnya erisipelas dan selulitis dapat dilakukan dengan
menjaga higiene perorangan dan lingkungan, serta menghindari faktor
predisposisi dan memperbaiki faktor komorbiditas yang ada. Selain itu
perlu dilakukan penggunaan antibiotik yang rasional untuk mengurangi
risiko terjadinya resistansi kuman terhadap antibiotik
Edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarganya berupa
edukasi untuk menjaga higiene perorangan dan lingkungan untuk
mempercepat kesembuhan. Selain itu, perlu diberikan edukasi untuk
pencegahan penularan infeksi dari pasien ke orang lain
Intertrigo yaitu keradangan kulit superfisial yang terjadi pada permukaan
kulit yang letaknya berhadapan. Gesekan kulit, keadaan panas dan lembab
menyebabkan area lipatan kulit menjadi kemerahan, dan maserasi. Hal
itu memudahkan terjadinya infeksi sekunder yang dapat disebabkan oleh
bakteri atau jamur
EPIDEMIOLOGI
Intertrigo sering didapatkan pada cuaca yang panas dengan kelembaban
tinggi. Sering terjadi pada anak dan orang tua, pasien obesitas, serta pasien
dengan inkontinensia urin dan feses
ETIOLOGI
Intertrigo akibat infeksi bakteri antara lain dapat disebabkan oleh
Streptococcus beta-hemolytic grup A, grup B, grup D, Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa, Clostridium minutissimum, dan Kytococcus sedentarius
(
PATOGENESIS
Area lipatan kulit memiliki kadar kelembaban dan suhu yang tinggi
sehingga dapat menyebabkan peningkatan risiko pertumbuhan
mikroorganisme yang berlebihan. Gesekan dan sirkulasi udara yang
rendah pada area ini berperan pada terjadinya infeksi dari bakteri
komensal dan patogen
MANIFESTASI KLINIS
Area lipatan ditandai dengan kemerahan, maserasi, dan infeksi sekunder.
Erosi, fisura, dan eksudasi yang disertai keluhan rasa terbakar dan
gatal dapat ditemukan . Infeksi yang disebabkan oleh
Pseudomonas, dapat memberikan warna hijau kebiruan pada pakaian
dalam. Intertrigo yang disebabkan oleh Streptococcus biasanya mengenai
leher, aksila, dan lipatan inguinal pada anak. Lesi ditandai dengan
bercak merah terang, berbatas jelas, permukaan mengkilap, lembab,
dan berbau tidak enak. Lesi satelit tidak didapatkan
Infeksi Streptococcus (grup A) pada perianal juga sering terjadi pada anak,
ditandai dengan kemerahan pada perianal, nyeri saat buang air besar,
feses bercampur darah menunjukan adanya fisura pada anus, dan dapat
berkepanjangan bila tidak diobati . Lesi dapat juga terjadi pada
area retroauriculae, lipatan kelopak mata, lipatan siku, sela jari tangan, area
inframammae, umbilikus, perineal, lipatan pantat, lipatan lutut, dan sela
jari kaki
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Identifikasi patogen penyebab dengan pemeriksaan kultur bakteri,
pemeriksaan Lampu Wood, dan pemeriksaan sediaan Kalium Hidroksida
(KOH) 10–20%
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan mengidentifikasi patogen penyebab dengan
pemeriksaan penunjang
DIAGNOSIS BANDING
1. Infeksi bakteri: GAS dan Grup B Streptococcus (GBS), C. minutissimum
(eritrasma), P. aeruginosa
2. Infeksi jamur: Dermatofitosis, Candida, Malassezia furfur (pityriasis
versicolor)
3. Dermatosis lain: psoriasis vulgaris, dermatitis seboroik, dermatitis
atopik, dermatitis kontak iritan atau alergi, scabies, Langerhans cell
histiocytosis, inflammatory bowel disease, Hailey-hailey disease
TERAPI
1. Mengeliminasi faktor yang dapat menyebabkan maserasi
2. Pemberian antibiotika topikal (contoh: mupirosin) atau antijamur
topikal (contoh: nistatin atau ketokonazol)
3. Pemberian antibiotika oral golongan penisilin atau cephalexin dapat
diberikan selama 10 hari
4. Kortikosteroid topikal potensi rendah (contoh: hidrokortison 1%) atau
takrolimus topikal dapat diberikan bersama antibiotika atau antijamur
untuk mengurangi inflamasi
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi yaitu Infeksi sekunder
Seringkali terjadi infeksi bakteri dan jamur secara bersamaan
PROGNOSIS
Prognosis penyakit baik, tetapi tingkat kekambuhan cukup tinggi terutama
pada keadaan obesitas, pasien yang berbaring lama, dan pasien dengan
inkontinensia
EDUKASI DAN PENCEGAHAN
Penggunaan barrier ointments dan menjaga lipatan kulit tetap kering
akan mengurangi terjadinya gesekan dan melembabkan sehingga dapat
mencegah terjadinya intertrigo
DEFINISI
Eritrasma merupakan infeksi bakteri di kulit superfisial dengan
karakteristik bercak merah kecokelatan yang berbatas tegas dan iregular,
yang timbul di daerah intertriginosa atau di daerah lipatan ibu jari kaki
(
EPIDEMIOLOGI
Eritrasma lebih sering terjadi di daerah tropis. Sebuah studi yang
mengevaluasi eritrasma di daerah tropis menunjukkan bahwa 20% dari
subjek secara acak didiagnosis sebagai eritrasma dengan pemeriksaan
Wood’s lamp. Eritrasma lebih sering terjadi pada laki-laki dan seringkali
terjadi di area genitocruris. Faktor predisposisi eritrasma yaitu diabetes
melitus, obesitas, dan lingkungan yang bersuhu panas. Atlet olah raga
sering menderita eritrasma di sela-sela ibu jari kaki
ETIOLOGI
Eritrasma disebabkan oleh bakteri Corynebacterium minutissimum.
Corynebacterium minutissimum merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang yang pendek, non-spore forming, dengan granul subterminal
(
PATOGENESIS
Corynebacterium minutissimum dapat menginvasi stratum korneum
sepertiga atas dan berproliferasi. Jika terdapat kondisi yang mendukung,
seperti panas dan kelembaban, stratum korneum menebal atau mengalami
hiperkeratosis akibat adanya Corynebacterium minutissimum intraselular.
Corynebacterium minutissimum terlihat di antara sel-sel keratinosit terutama
pada stratum korneum, yang kemudian akan memecahkan fibril keratin.
Fluoresens skuama yang berwarna merah coral pada pemeriksaan Wood’s
lamp disebabkan oleh produksi porphyrin oleh bakteri ini
MANIFESTASI KLINIS
Area predileksi eritrasma yaitu di sela-sela jari kaki (terutama antara
jari kaki ke-4 dan ke-5; lebih jarang di antara jari ke-3 dan ke-4), dengan
gambaran plak hiperkeratotik putih yang mengalami maserasi. Lesi di area
genitocruris, aksila, dan inframammae berupa makula eritematosa (merah
gelap hingga kecokelatan) yang homogen dengan batas tegas, disertai
skuama tipis. Selain itu, lesi juga dapat timbul di lipatan intergluteal dan
kulit perianal
Lesi eritrasma seringkali bersifat asimtomatik, tetapi dapat timbul
pruritus terutama pada eritrasma yang terjadi di area genitocruris atau
di lipatan intergluteal yang disertai dengan rasa gatal dan rasa seperti
terbakar. Lesi dapat berbentuk lesi generalisata dengan lesi plak berskuama
pada trunkal, inguinal dan sela-sela jari kaki, yang dapat terjadi pada
pasien dengan riwayat diabetes melitus. Pruritus ini dapat menimbulkan
lesi sekunder berupa ekskoriasi dan likenifikasi akibat garukan pada lesi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis eritrasma yaitu
pemeriksaan Wood’s lamp. Pada pemeriksaan ini tampak fluoresens
berwarna merah-coral, akibat warna coproporphyrin III. Fluoresens ini
dapat menetap setelah eradikasi Corynebacterium, bila pigmen terdapat
pada stratum korneum yang tebal. Tetapi pencucian area lesi sebelum
pemeriksaan dapat mengeliminasi gambaran fluoresens lesi. Pemeriksaan
Gram pada lesi dilakukan apabila pemeriksaan Wood’s lamp negatif. Kultur dari lesi menunjukkan Corynebacterium dalam jumlah banyak, yang
tampak sebagai bakteri batang Gram positif pada stratum korneum kulit.
Selain itu, kultur jamur dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis
banding dermatofitosis
DIAGNOSIS
Diagnosis eritrasma ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, berupa lesi
superfisial dengan area predileksi yang khas, tetapi harus dikonfirmasi
dengan pemeriksaan penunjang berupa gambaran fluoresens berwarna
merah-coral pada pemeriksaan Wood’s lamp. Hasil pemeriksaan gram
didapatkan bakteri batang Gram positif dengan subterminal granules
(
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding eritrasma yaitu pityriasis versicolor, tinea cruris, dan
inverse psoriasis. Pityriasis versicolor dibedakan dengan eritrasma dari
area predileksi, yaitu lebih sering timbul di area nonintertriginosa.
Tinea cruris dibedakan dengan eritrasma dari manifestasi klinisnya yang
berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan tepi yang lebih aktif
dan gambaran central healing. Sedangkan inverse psoriasis merupakan
psoriasis yang timbul pada area intertriginosa dengan manifestasi klinis
berupa plak eritematosa berwarna merah terang dengan batas tegas, yang
sering timbul pada lipatan intergluteal, lipatan inguinal, dan aksila. Selain
sebagai diagnosis banding, eritrasma dapat terjadi secara bersamaan
dengan dermatofitosis (coexist)
TERAPI
Terapi eritrasma lokalisata (terutama pada sela-sela jari kaki) yang efektif
yaitu sabun/gel benzoil peroxide 5%, solusio clindamycin 2% atau krim
golongan azole. Sedangkan terapi efektif untuk eritrasma yang luas yaitu antibiotik sistemik, berupa erythromycin peroral 4 x 250 mg perhari selama
14 hari atau clarythromycin 1 gram (single dose) peroral. Penggunaan
antibiotik sistemik untuk eritrasma harus mempertimbangkan risiko
terjadinya resistansi terhadap antibiotik, terutama pada eritrasma
lokalisata
Untuk profilaksis eritrasma yang efektif dapat digunakan sabun
benzoil peroxide 5% saat mandi. Antibiotik topikal pada terapi
eritrasma tidak terlalu efektif. Walaupun demikian, natrium fucidat 2%
ointment dilaporkan sebagai terapi topikal yang mempunyai efikasi
yang baik pada eritrasma, tetapi kurang disukai karena sifat greasy dan
menurunkan kepatuhan pasien dalam menggunakannya, terutama pada
area intertriginosa dan sela ibu jari kaki. Whitfield’s ointment (salysilic
acid dan benzoic acid) mempunyai efektifitas yang sama dengan terapi
erythromycin peroral untuk lesi eritrasma di aksila dan lipatan gluteal;
dan mempunyai efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan terapi
sistemik untuk lesi eritrasma di interdigiti
Eritrasma dapat terjadi secara bersamaan dengan dermatofitosis
(coexist), oleh karena itu terapi untuk eritrasma dapat ditambahkan
dengan ketoconazole peroral, terutama pada kasus yang berat dan
refrakter. Sedangkan penggunaan antijamur topikal, seperti ketoconazole,
miconazole atau clotrimazole topikal; memberikan hasil terapi yang
efektif pada eritrasma. Ketoconazole dapat bekerja sebagai antibakteri
dan antiinflamasi, serta sebagai antijamur berspektrum luas, yang akan
membunuh komponen jamur (yang seringkali coexist pada eritrasma),
mengeliminiasi kebutuhan kultur dan mempercepat perbaikan lesi
eritrasma
PROGNOSIS
Eritrasma dapat bersifat asimtomatis hingga bertahun-tahun atau dapat
timbul eksaserbasi secara periodik. Infeksi berulang dapat timbul,
walaupun telah mendapatkan terapi antibiotik hingga sembuh
KOMPLIKASI
Komplikasi eritrasma dapat berupa ekskoriasi dan likenifikasi akibat
garukan pada lesi
PENCEGAHAN DAN EDUKASI
Pencegahan timbulnya eritrasma dapat dilakukan dengan menjaga
higiene perorangan dan lingkungan untuk mengurangi kolonisasi bakteri,
mengurangi kelembaban tubuh terutama di area lipatan (mengeringkan
area lipatan setelah mandi), serta menghindari faktor predisposisi. Untuk
profilaksis infeksi sekunder dapat digunakan sabun benzoil peroxide
5% saat mandi, atau menggunakan ketoconazole topikal sehari sekali
pada area bekas lesi. Untuk mencegah lesi berulang pada eritrasma di
lipatan ibu jari kaki, sepatu pasien yang lama sebaiknya didisinfeksi
atau tidak digunakan kembali. Selain itu, dapat dilakukan penggunaan
sepatu yang bergantian tiap hari serta mengeringkan kaki terlebih dahulu
sebelum menggunakan sepatu, untuk mengurangi kelembaban kulit kaki
(
DEFINISI
Pitted keratolysis dikenal juga sebagai keratolisis plantar sulkatum,
merupakan infeksi bakteri kulit yang mengenai permukaan kulit pada
area penopang beban tubuh. Daerah yang terkena yaitu stratum korneum
terutama pada permukaan telapak kaki. Mikroorganisme utama penyebab
yaitu bakteri Gram positif Corynebacterium sp., Micrococcus sedentarius, dan
Dermatophilus congolensis
EPIDEMIOLOGI
Pitted keratolysisis tersebar di seluruh belahan dunia. Prevalensi antar
kelompok populasi di dunia didapatkan angka yang bervariasi Prevalensi pitted keratolysis pada atlet diperkirakan sekitar
13% pada prajurit di daerah Vietnam Selatan didapatkan
sebanyak 53% sedangkan pada populasi umum New
Zealand didapatkan sebesar 2,5% Hal ini disebabkan
adanya udara panas, kelembaban, disertai penggunaan sepatu
boot yang mendukung terbentuknya lingkungan yang mendukung
perkembangbiakan mikroorganisme
ETIOLOGI
Bakteri penyebab yaitu Gram positif seperti Corynebacterium sp,
Micrococcus sedentarus, dan Dermatophilus congolensis. Bakteri ini memiliki
struktur seperti filamen dan coccoid . Bakteri-bakteri
tersebut menyebabkan terbentuknya saluran kecil pada stratum korneum
(Zaias, 1982).
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko yang meningkatkan kejadian pitted keratolysis yaitu
kelembaban. Hal ini berhubungan dengan adanya hiperhidrosis. Hal
ini pada umumnya ditemukan pada atlet maupun pekerja yang sering
menggunakan pelindung kaki yang tertutup tanpa ventilasi dalam waktu
yang lama, contohnya pada penggunaan sepatu boot berbahan karet yang
digunakan pekerja (Almeida, 2016; MartÃnez-herrera et al., 2015).
PATOGENESIS
Bakteri Gram positif seperti Corynebacterium sp, Micrococcus sedentarius, dan
Dermatophilus congolensis merupakan penyebab pitted keratolysis. Bakteri
tersebut memproduksi proteinase yang dapat mendegradasi keratin dan
menghancurkan stratum korneum menyebabkan munculnya saluransaluran kecil pada permukaan kulit. Bakteri D. congolensis memprofuksi
keratinase dan M. sedentarius memproduksi proteinase (MartÃnez-herrera
et al., 2015).
Sedangkan bau tidak sedap yang didapatkan pada pitted keratolysis
diakibatkan oleh produksi sulfur yang terbentuk dari produk thiols,
sulfide, dan thioester (MartÃnez-herrera et al., 2015).
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis berupa adanya saluran kecil pada area yang terdampak,
disertai dengan adanya hiperhidrosis, bau tak sedap, dan tampak basah.
Walaupun sebagian besar kasus asimptomatik, didapatkan juga adanya lesi berupa plak yang nyeri. Kelainan ini paling sering didapatkan pada lakilaki muda yang menggunakan pelindung kaki tertutup untuk pekerjaan
tertentu. Penutup kaki yang tidak berventilasi menyebabkan lingkungan
yang hangat dan lembab sehingga mendukung perkembangbiakan
organisme (MartÃnez-herrera et al., 2015).
Ukuran lesi berhubungan dengan besar koloni bakteri pada permukaan
telapak kaki maupun telapak tangan. Ukurannya bervariasi mulai 1 mm
sampai memengaruhi seluruh permukaan tumit maupun permukaan
telapak kaki. Lesi akan nampak lebih jelas setelah kaki direndam pada
air sekitar 10–15 menit (Zaias, 1982).
DIAGNOSIS
Diagnosis pitted keratolysis pada umumnya dapat ditegakkan secara
klinis. Trias diagnosis yang dapat ditemukan pada pitted keratolysis yaitu
(
1. bromohidrosis,
2. maserasi kulit, dan
3. lesi keratolitik pada telapak kaki.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding pitted keratolysis yaitu
a. tinea pedis,
b. veruka,
c. keratoderma palmoplantar punctate, dan
d. hiperkeratosis palmoplantar.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis pitted keratolysis dapat dilakukan dengan anamnesis dan
pemeriksaan klinis. Pemeriksaan mikrobiologi didapatkan dengan
mengambil spesimen melalu scrapping dan apusan yang berasal dari
lesi pada telapak kaki . Pemeriksaan Gram
menunjukkan ada bakteri Coccus Gram positif yang berkelompok
(. Pemeriksaan mikroskopis dengan KOH
dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti tinea pedis
PENATALAKSANAAN
a. Antibiotik topikal
Penggunaan klindamisin topikal, eritromisin topikal, dan mupirosin
menunjukkan efektifitas yang baik pada kasus pitted keratolysis
( Penggunaan natrium fusidat juga
menunjukkan hasil yang baik
b. Alumunium Sulfat/alumunium chloride
Penggunaan alumunium chloride berfungsi sebagai anti pesprirant
untuk mengurangi gejala hiperhidrosis
c. Antibiotik oral
PROGNOSIS
Pitted keratolysis dengan penatalaksanaan yang tepat memiliki angka
kesembuhan yang baik. Perbaikan didapatkan bervariasi setelah 3
minggu sampai dengan 4 minggu paska pengobatan
EDUKASI
Terapi nonmedikamentosa memiliki peranan pada proses penatalaksanaan
pitted keratolysis. Penatalaksanaan non medikamentosa terdiri dari
a. menghindari penggunaan pelindung kaki oklusif;
b. mengurangi gesekan pada kaki dengan menggunakan ukuran sepatu
yang sesuai;
c. menggunakan kaos kaki dengan bahan yang mudah menyerap
keringat, seperti katun dan wool;
d. menggunakan sandal terbuka;
e. mencuci kaki sehari dua kali dengan menggunakan sabun atau
pembersih antibakteri;
f. tidak menggunakan sepatu atau handuk secara bersamaan; dan
g. tidak menggunakan sepatu yang sama dua hari berturut-turut.
DEFINISI
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) atau disebut juga dengan
penyakit Ritter merupakan kelainan kulit yang disebabkan eksotoksin
yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus strain tertentu. Kelainan
ini paling sering ditemukan pada bayi dan anak-anak dengan fungsi
ginjal yang belum sempurna, sehingga kemampuan untuk mengeliminasi
toksin masih belum bekerja dengan baik. Penegakan diagnosis awal dan
penatalaksanaan yang sesuai dapat menurunkan angka morbiditas dan
mortalitas pada kasus SSSS
EPIDEMIOLOGI
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) sebagian besar didapatkan pada
bayi dan anak-anak. Namun didapatkan juga peningkatan angka kejadian
SSSS pada anak-anak dengan usia lebih besar dan pada orang tua yang
mengalami penurunan fungsi ginjal
Insiden SSSS pada populasi umum berkisar antara 0,09–0,56 kasus per
1 juta penduduk. Tidak didapatkan perbedaan jenis kelamin pada insiden
SSSS
Angka mortalitas pada SSSS pada bayi dan anak dengan diagnosis dan
penatalaksanaan yang tepat berkisar di bawah 5%. Namun, mortalitas SSSS
pada pasien dewasa didapatkan hampir 60%. Hal ini dapat mengakibatkan
adanya penyakit dasar sebagai faktor risiko SSSS seperti penurunan fungsi
ginjal, penggunaan obat imunosupresi, infeksi HIV/AIDS, dan keganasan
ETIOLOGI
Staphylococcal Scalded Skin Syndrome disebabkan oleh eksotoksin yang
dihasilkan oleh Strain S. aureus. S. aureus menghasilkan berbagai enzim
dan toksin, namun hanya 5% S. aureus yang berasal dari manusia yang
menghasilkan eksotoksin A dan B , Sekitar
35% populasi merupakan carier komensal S. aureus pada daerah nasal.
Sedangkan pada neonates S. aureus dapat diisolasi dari kulit, mata,
umbilikus, perineum, dan area luka
FAKTOR RISIKO
Bayi baru lahir dan anak-anak berusia dini lebih rentan mengalami
SSSS luas. Hal ini disebabkan karena pada bayi dan anak-anak belum
memiliki antibodi antitoksin serta fungsi ginjal yang belum sempurna.
Studi pada manusia dan mencit menunjukkan keadaan imunosupresi
dapat meningkatkan risiko terjadinya SSSS yang luas
PATOGENESIS
Pada terjadinya SSSS, infeksi S. aureus terjadi melalui lesi pada kulit seperti
pada dermatitis atopik, cacar air. S aureus menghasilkan toksin secara
lokal dan penyebaran secara hematogen dihambat oleh adanya antibodi
antitoksin. Pada SSSS generalisata toksin pada umumnya dihasilkan pada
infeksi yang jauh dari lesi kulit. Toksin dapat dihasilkan pada daerah
kolonisasi (kulit, mata, umbilikus, perineum, dan area luka) atau daerah
infeksi (pneumonia, osteomyelitis, dan endokarditis). Pada pasien yang
tidak memiliki cukup antibodi antitoksin, maka toksin akan menyebar melalui aliran darah, mencapai mid-epidermis melalui kapiler pada
dermis, dan menyebabkan eksfoliasi
Pada studi didapatkan bahwa eksotoksin serotipe A (ETA) bekerja
pada desmoglein-1. Sehingga pada pemeriksaan klinis kelainan pada kulit
didapatkan pada epidermis superfisial. Selain itu desmoglein-1 didapatkan
pada epidermis bagian atas, sehingga kelainan pada SSSS terbatas hanya
pada kulit dan tidak didapatkan adanya keterlibatan pada mukosa
( Hilangnya desmoglein-1 akan menyebabkan penurunan
perlekatan antar keratinosit pada stratum granulosum sehingga terbentuk
bula dan denudasi
MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada pasien dengan SSSS dapat bervariasi berupa adanya
lesi bula lokal maupun lesi yang luas . Lesi disebabkan
adanya infeksi Staphyloccocus yang menghasilkan eksotoksin. Pada
umumnya infeksi berada jauh dari area yang terdampak. Pada umumnya
infeksi terdapat pada daerah kepala dan leher berupa konjungtivitis,
faringitis, dan otitis media, area sirkumsisi, pada neonatus (omfalitis),
area popok (pustul, impetigo, selulitis). Infeksi klinis bisa ada atau tidak.
Inkubasi antara 1–10 hari
Diagnosis pada kasus SSSS pada umumnya ditegakkan secara klinis
berdasarkan gambaran kulit yang khas berupa adanya eritema, bula,
erosi, yang disertai dengan Nikolsky sign positif . Nikolskly sign merupakan tanda terjadinya pemisahan
antara sel-sel epitel pada membrane basalis. Cara melakukan pemeriksaan
Nikolsky yaitu dengan melakukan tekanan secara ringan pada daerah
sekitar bula dan akan didapatkan penyebaran bula
Lesi awal pada SSSS berupa eritema pada kulit yang kemudian akan
berkembang menjadi bula, lesi eksfoliasi, yang kemudian berkembang
menjadi deskuamasi. Luasnya lesi bervariasi berupa lesi setempat sampai lesi yang meluas pada permukaaan tubuh. Bula pada SSSS bersifat rapuh,
mudah pecah, sehingga meninggalkan area yang basah. Apabila area yang
terlibat cukup luas harus diwaspadai adanya gangguan termoregulasi,
gangguan keseimbangan cairan, dan terjadinya infeksi . Gejala sistemik pada anak-anak dapat berupa letargi, iritabilatas,
dan gangguan makan.
Pada pasien dewasa perkembangan lesi serupa dengan SSSS pada
anak. Namun pada SSSS dewasa umumnya didapatkan penyakit yang
mendasari seperti imunosupresi dan kelainan ginjal sehingga terjadi
gangguan ekskresi eksotoksin
DIAGNOSIS
Diagnosis pada kasus SSSS pada umumnya ditegakkan secara klinis
berdasarkan gambaran kulit yang khas berupa adanya eritema, bula, erosi,
yang disertai dengan Nikolsky sign positif
DIAGNOSIS BANDING
Pada kasus SSSS diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan yaitu
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) ataupun impetigo bulosa. Pada TEN
biasanya didapatkan adanya riwayat konsumsi obat-obatan sebelum
munculnya lesi. Pada TEN luas permukaan kulit mengenai lebih dari
30% permukaan tubuh dan juga didapatkan keterlibatan mukosa seperti
konjungtiva, mulut, esofagus, dan genitalia. Sedangkan keluhan pada
mukosa tidak didapatkan pada pasien SSSS
Pada kasus Impetigo Bulosa, area yang menjadi bula yaitu daerah
yang mengalami infeksi pada kulit. Pada pemeriksaan kultur lesi kulit
akan didapatkan pertumbuhan positif S. aureus. Sedangkan pada SSSS
lesi disebabkan toksin yang dihasilkan S. aureus yang berada jauh dari
lesi, sehingga pemeriksaan kultur lesi pada SSSS tidak didapatkan
pertumbuhan bakteri
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Sebagian besar kasus SSSS dapat ditegakkan secara klinis melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik . Pada kasuskasus sulit pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Pemeriksaan kultur
mikrobiologi pada lesi kulit maupun bula pada umumnya memberikan
hasil negatif karena infeksi dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lesi.
Sedangkan pemeriksaan kultur darah memberikan hasil bervariasi SSSS
(. Hasil kultur darah pada pasien anak-anak
pada umumnya didapatkan negatif, sedangkan pada pasien dewasa hasil
kultur umumnya memberikan hasil positif
Pemeriksaan histopatologi pada SSSS dapat dilakukan untuk
membedakan dengan diagnosis banding lain seperti TEN. Pada SSSS
tampak gambaran bula subepidermal, sedangkan pada TEN ditemukan
pemisahan pada daerah subepidermal yang disertai dengan nekrosis pada
seluruh lapisan epidermis
KOMPLIKASI
Pada bayi dan anak-anak usia muda komplikasi SSSS dapat disebabkan
akibat hilangnya fungsi protektif epidermis sehingga didapatkan
komplikasi fatal berupa hipotermi, dehidrasi, dan infeksi sekunder oleh
Pseudomonas
PENATALAKSANAAN
Staphylococcus Scalded Skin Syndrome sebagian besar disebabkan oleh
Staphylococcus aureus strain methicillin-sensitive, penicillinase-resistant, betalactam agent. Antibiotik lini pertama pada kasus SSSS yaitu kloksasilin,
dikloksasilin, oksasilin, flukloksasilin, dan nafsilin. Jika pasien tidak
memberikan respons pada obat-obatan diatas maka perlu dicurigai infeksi
oleh S. aureus strain methicillin- resistant. Pada kasus SSSS oleh MRSA obat
pilihan yaitu Vankomisin
Terapi tambahan berupa antibiotik topikal yang mengandung natrium
fusidat atau mupirosin diberikan pada area dengan bula dengan tujuan
eradikasi kolonisasi. Area kulit dengan erosi dapat diberikan kompres
yang bertujuan untuk mendinginkan dan melembabkan
Pada pasien SSSS perlu diperhatikan juga regulasi suhu, pemenuhan
kebutuhan cairan, pemberian anti nyeri, kompres steril pada lesi, dan
pencegahan infeksi sekunder. Analgetik yang dapat diberikan pada kasus
SSSS antara lain yaitu parasetamol
EDUKASI
Petugas kesehatan dan ibu sering berperan sebagai carrier S. aureus
asimptomatik. Hal tersebut dilaporkan sebagai sumber beberapa kejadian
SSSS di unit pediatrik. Petugas kesehatan yang merawat pasien SSSS dapat
menyebabkan kejadian infeksi silang antar pasien di ruangan yang sama. Petugas kesehatan sebaiknya menjaga higienitas dengan baik pada saat
merawat pasien. Selain itu identifikasi dan terapi untuk carrier S. aureus
juga direkomendasikan untuk mencegah terjadinya kejadian luar biasa
(
DEFINISI
Hidradenitis supurativa (HS) yaitu keradangan folikular kronis,
kambuh-kambuhan, berkaitan dengan keradangan limfohistiositik, reaksi
granulomatosa, saluran sinus dan skar, terutama mengenai area pelipatan
. HS dikenal
juga sebagai acne inversa, penyakit Verneuil, penyakit Velpeau, pyoderma
fistulans significa, dan etopic acne
EPIDEMIOLOGI
Insidensi HS dilaporkan 6 per 100.000 orang di Amerika; insiden tertinggi
didapatkan pada wanita berusia 20–29 tahun. Prevalensi sekitar 1–2%
dilaporkan di Eropa. Angka kejadian HS yang dilaporkan bervariasi antara
0,00033% sampai 4%. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan populasi
penelitian, kriteria diagnosis, dan cara pelaporan. Rerata usia pasien yang
terkena yaitu 24,2 tahun. HS terutama terjadi setelah pubertas; dengan
rerata usia dekade kedua dan ketiga, kemudian mengalami penurunan
saat usia dekade kelima. Wanita lebih sering terkena dibandingkan lakilaki dengan rasio 2,7:1. Distribusi lesi dapat bervariasi antar jenis kelamin.
Pada laki-laki lesi lebih sering didapatkan pada bokong dan sekitar anus,
sedangkan pada wanita lesi lebih sering didapatkan pada area pahagenital dan bawah payudara
ETIOPATOGENESIS
Sumbatan pada kelenjar apokrin awalnya diduga sebagai patogenesis
utama HS, tetapi berdasarkan hasil pengamatan histopatologi adanya
keterlibatan folikular lebih berperan. HS diawali dengan hiperkeratosis
infundibular kemudian terjadi dilatasi folikular/pembentukan kista,
diikuti dengan ruptur folikular yang disertai inflamasi, kemudian
terbentuk fistula
Faktor genetik juga diduga berperan pada patogenesis HS. Riwayat
keluarga HS didapatkan pada 1/3 pasien. Pada kasus HS familia adanya
mutasi pada gen -secretase Nicastrin, Presenilin-1, dan Presenilin enhancer-2.
Gamma-secretase berperan pada diferensiasi epidermal dan folikel rambut
terminal, perkembangan, dan fungsi sel imun (Desai et al., 2016).
Penyakit lain yang berhubungan dengan HS antara lain yaitu follicular
occlusion tetrad, penyakit inflamasi sistemik, dan genodermatosis. Acne
konglobata, selulitis scalp, dan sinus pilonidal dapat terjadi bersamaan
dengan HS; keempat penyakit ini dikenal dengan follicular occlusion tetrad.
Penyakit inflamasi sistemik yang berhubungan dengan HS yaitu penyakit
Chron, spondyloarthropathy, pyoderma gangrenosum, dan sindroma
SAPHO (synovitis, acne, pustulosis, hyperostosis, dan osteitis), PAPA (pyogenic
arthritis, pyoderma gangrenosum, dan acne), PASH (pyoderma gangrenosum, acne
conglobata, dan hidradenitis supurativa), PAPASH (pyogenic arthritis, pyoderma
gangrenosum, acne, dan hidradenitis supurativa), dan keratitis ulseratif perifer
(ulkus kornea tipe Mooren). Penyakit genodermatosis yang berhubungan
dengan HS antara lain keratosis ichtyosis deafness syndromes, pachynochya
congenita, steatocystoma multiplex, dan penyakit Dowling-Degos Sebagian besar penyakit ini merupakan kelompok penyakit
autoinflamasi yang terutama diperankan oleh sel Th17
Terjadinya HS pada masa pubertas atau post pubertas menunjukan
adanya peran hormon androgen. Penyakit ini juga didapatkan pada
post partum dengan penggunaan pil kontrasepsi oral, dan pada masa
premenstruasi (sekitar 50% pasien). Namun, pengaruh androgen pada HS sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas
Obesitas dan merokok merupakan dua faktor utama yang
berhubungan dengan kejadian HS (Desai et al., 2016). Obesitas dianggap
sebagai faktor penyebab eksaserbasi akibat peningkatan gesekan, keadaan
oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi. Obesitas juga dapat menyebabkan
kekambuhan melaui keadaan androgen yang berlebihan (Zouboulis and
Tsatsou, 2012). Penggunaan produk tembakau didapatkan lebih sering
pada pasien HS dibandingkan kontrol orang sehat. Kebiasaan merokok
diduga memengaruhi kemotaksis sel polimomorfonuklear
Peran infeksi bakteri masih belum diketahui secara jelas. Keterlibatan
bakteri diduga bersifat sekunder. Bakteri yang paling sering didapatkan
yaitu Staphylococcus aureus dan Staphylococcus koagulase negatif. Bakteri
lain yang juga dapat ditemukan yaitu Streptococcus, batang Gram negatif,
dan anaerob. Bakteri ini merupakan suatu kolonisasi bukan penyebab, hal
ini yang menjelaskan peningkatan ekspresi Toll Like Receptor 2, -defensin
2 dan psoriasin pada lesi HS
MANIFESTASI KLINIS
HS merupakan penyakit kronis dengan perjalanan klinis yang bervariasi.
Derajat keparahan HS dibagi berdasarkan kriteria Hurley (stadium I-III).
Stadium awal didapatkan abses pada lokasi terbatas. Stadium II didapatkan saluran sinus dengan skar yang membatasi lesi individu. Stadium III
menunjukan lesi koalesen disertai skar dan saluran sinus, inflamasi, dan
discharge kronis
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien hidradenitis supurativa dengan lesi akut dapat menunjukan
peningkatan Laju Endap Darah (LED) atau C-reactive ptotein (CRP).
Pemeriksaan kultur dari lesi dilakukan bila adanya kecurigaan infeksi
bakteri, tuberkulosis, dan jamur. Pemeriksaan ultrasonografi folikel dan
dermis menunjukan bentukan abses dan kelainan pada folikel bagian
dalam. Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukan penebalan pada kulit, indurasi jaringan subkutan, dan multipel abses subkutan
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan secara klinis. Kriteria diagnosis berdasarkan The
Second International Hidradenitis Suppurativa Research Symposium di San
Francisco pada bulan Maret 2009, yaitu
1. lesi tipikal – nodul yang nyeri, blind boil pada awal lesi; abses, draining
sinuses, skar, dan “tombstone” komedo terbuka pada lesi sekunder ;
2. topografi tipikal – aksila, pelipatan paha, perineal dan lesi perianal,
bokong, lipatan infra, dan intermama; dan
3. kronis dan kambuh-kambuhan.
DIAGNOSIS BANDING
Abses (termasuk yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus
aureus), furunkel/karbunkel, aktinomikosis, cat scratch disease, donovanosis,
limfogranuloma venerum, limfadenitis, kista bartholin terinfeksi, penyakit
Chron, kolitis ulseratif, tularemia, kista epidermal yang pecah
TERAPI
Pengobatan HS ditentukan berdasarkan stadium Hurley.
KOMPLIKASI
Hidradenitis supurativa dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup,
menimbulkan komplikasi lokal, dan sistemik. Komplikasi lokal yang
dapat terjadi antara lain yaitu keterbatasan mobilitas akibat skar, striktur
anus, uretra, atau rektum, fistula uretra, limfedema yang menetap pada
penis, skrotum, atau vulva, karsinoma sel skuamosa, dan perubahan ke
arah keganasan. Komplikasi sistemik dapat terjadi sepsis, abses epidural
lumbosacral, anemia, leukositosis (Zouboulis and Tsatsou, 2012)PROGNOSIS
Perjalanan penyakit kronis. Durasi penyakit rata-rata sekitar 18,8 tahun.
Stadium I Hurley merupakan bentuk yang paling banyak didapatkan
yaitu pada 2/3 pasien, stadium II Hurley didapatkan pada 1/4 pasien, dan
stadium III Hurley didapatkan pada 1/5 pasien. Perjalanan penyakit pada
setiap stadium dapat intermiten dan berkelanjutan
PENCEGAHAN DAN EDUKASI
Pencegahan dan edukasi yang dapat diberikan kepada pasien HS yaitu :
1. memberikan penjelasan mengenai self management penyakit;
2. memakai pakaian yang longgar untuk menghindari gesekan dengan
kulit;
3. menjaga kebersihan kulit untuk menghindari bau;4. menurunkan berat badan bagi pasien yang overweight akan membantu
mengontrol penyakit; dan
5. menyarankan berhenti merokok untuk memperbaiki perjalanan klinis
penyakit.
DEFINISI
Tuberkulosis kutis yaitu penyakit kulit akibat infeksi kronis Mycobacterium
tuberculosis, Mycobacterium bovis, dan basil Calmette Guerin. Manifestasi
klinis bervariasi tergantung interaksi beberapa faktor, antara lain lokasi
infeksi dan status imunitas pasien
EPIDEMIOLOGI
Tuberkulosis kutis merupakan komplikasi tuberkulosis yang jarang, terjadi
hanya sekitar 2% dari pasien tuberkulosis paru. Penyakit ini ditemukan di
seluruh dunia, namun lebih sering di negara tropis. Angka kejadiannya
berbanding lurus dengan angka kejadian tuberkulosis paru. Sebagian
besar kasus ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Manifestasi klinis tersering berupa tuberkulosis kolikuativa dan verukosa.
Manifestasi klinis yang sering ditemukan pada pria berupa tuberkulosis
verukosa, sedangkan pada wanita berupa tuberkulosis lupus. Tuberkulosis
miliaris akut umumnya ditemukan pada anak, sedangkan tuberkulosis
kolikuativa pada usia dewasa
ETIOLOGI
Tuberkulosis kutis terutama disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
yang merupakan bentuk transisi antara aktinomycetes dan eubacteria.
Mycobacterium bovis dan vaksin Calmette Guerin Bacillus (BCG) juga
telah terbukti menyebabkan tuberkulosis kutis meskipun jarang
PATOGENESIS
Mycobacterium tuberculosis bersifat parasit intraseluler fakultatif yang
mampu bertahan dan berkembang di dalam dan di luar sel fagosit.
Bakteri umumnya masuk melalui proses inhalasi, mengakibatkan aktivasi
makrofag alveolar sebagai usaha tubuh dalam mengeliminasi bakteri.
Beberapa bakteri dapat bertahan hidup dan membelah diri di dalam
makrofag. Produksi sitokin (IL-6, IL-12, IL-1, dan IL-1β) meningkat akibat
aktivasi monosit, limfosit, neutrofil dan sel dendrit. Sitokin IL-12 dan
IL-18 merangsang CD4, CD8 dan sel NK untuk meningkatkan produksi
IFN-γ yang diyakini sebagai penanda penting dalam imunopatogenesis
tuberkulosis. IFN-g dapat merangsang produksi TNF-a dan membuat sel
makrofag berdiferensiasi menjadi sel epiteliod dan sel raksasa membentuk
granuloma
MANIFESTASI KLINIS
Tuberkulosis kutis memiliki beberapa variasi klinis berdasarkan jenis
infeksinya (eksogen dan endogen). Infeksi eksogen umumnya akibat
inokulasi langsung terhadap kulit, manifestasi klinis berupa tuberkulosis
chancre dan tuberkulosis verukosa. Infeksi endogen terjadi pada pasien
yang telah terinfeksi sebelumnya. Penyebarannya dapat terjadi secara
hematogen (tuberkulosis lupus, tuberkulosis gumma, dan tuberkulosis
miliaris akut) atau melalui proses autoinokulasi (tuberkulosis kolikuativa
dan tuberkulosis orifisial). Tuberkulid yaitu bentuk lain tuberkulosis
kutis akibat reaksi hipersensitivitas terhadap antigen M. tuberculosis. Lesi
dapat berupa tuberkulid papulonekrotik, liken skrofulosorum dan eritema induratum Bazin. Tuberkulosis kutis juga dapat disebabkan oleh vaksin
BCG
Eksogen
Tuberkulosis Chancre
Tuberkulosis chancre (tuberkulosis kompleks primer) merupakan
manifestasi klinis tuberkulosis pada individu yang belum tersensitisasi
terhadap Mycobacterium. Trauma minor diperlukan sebagai pintu masuk
bakteri. Lesi dapat ditemukan pada anak kecil di daerah endemis yang
belum mendapat vaksin, tenaga medis dan pengguna alat tertentu
yang kurang steril (sirkumsisi, operasi, rawat luka, tindik telinga, tato,
dan akupuntur). Lesi awal umumnya kurang diperhatikan oleh pasien,
terletak terutama di wajah dan ekstrimitas, 2–4 minggu setelah kontak
dengan pasien tuberkulosis paru. Lesi berupa papul atau nodul merah
kecokelatan yang tidak nyeri dan secara perlahan membentuk ulkus
dangkal berdasar granular kasar yang cenderung mudah berdarah.
Pembesaran limfadenopati regional umumnya terjadi 3–8 minggu setelah
awalan penyakit akibat diseminasi bakteri, menyerupai kompleks Ghon
akibat infeksi serupa di paru. Pembesaran limfadenopati regional dapat
disertai nyeri dan tampak nyata, bahkan dapat pecah dan merobek
jaringan kulit di atasnya. Proses penyembuhan terjadi setelah 12 minggu
dengan meninggalkan skar atropik dan kalsifikasi di limfonudi regional.
Komplikasi berupa lupus vulgaris, skrofuloferma dan tuberkulosis
miliaris akut perlu diwaspadai pada pasien yang tidak mendapat terapi
anti tuberkulosis yang tepat
Tuberkulosis Verukosa
Tuberkulosis verukosa umumnya berlokasi di ekstrimitas, terutama tangan.
Lesi berupa papul atau plak verukosa yang tidak nyeri, muncul secara
spontan dengan perkembangan lambat. Riwayat kontak dengan pasien
yang sebelumnya telah terinfeksi Mycobacterium sebaiknya ditanyakan,
sebagai contoh yaitu dokter gigi yang mengobati pasien tuberkulosis paru. Penyakit ini juga pernah dilaporkan terjadi pada petugas yang
menangani daging yang terkontaminasi oleh Mycobacterium bovis
Endogen
Hematogen
Tuberkulosis Lupus
Tuberkulosis lupus (lupus vulgaris) yaitu salah satu manifestasi klinis
tuberkulosis kutis pada individu yang telah tersensisitisasi Mycobacterium
tuberculosis namun masih memiliki status imunitas yang baik. Lesi awal
dapat ditemukan di atas bekas lesi kulit lain (tuberkulosis verukosa kutis,
skrofuloderma atau vaksin BCG). Hidung, pipi, cuping telinga, dan kulit
kepala yaitu daerah predileksi utama. Lesi di kaki dan pantat juga sering
ditemukan di negara tropis. Manifestasi klinis awal berupa makula atau
papula merah kecokelatan dengan permukaan halus atau hiperkeratotik.
Lesi berubah secara kronis dan progresif menjadi lebih cokelat, meninggi,
dan membentuk plak, dengan atau tanpa disertai ulkus. Lesi dapat
menyerupai lesi kulit lain (lupus eritematosus diskoid, sarkoidosis, dan
mikosis profunda). Pemeriksaan diaskopi memberi gambaran khas
menyerupai apple jelly, seperti yang ditemukan pada penyakit granuloma
lainnya (sarcoidosis dan lepra). Pemeriksaan dermoskopi menunjukkan
gambaran teleangiektasis linear dengan latar belakang kuning keemasan
dan garis retikuler putih. Lesi dapat berubah menjadi keganasan sel
skuamosa yang umumnya terjadi setelah 25–30 tahun tanpa pengobatan.
Destruksi tulang lunak dapat menyebabkan perubahan bentuk hidung
dan telinga
Tuberkulosis Gumma
Tuberkulosis gumma (tuberkulosis abses metastatik) merupakan
tuberkulosis kutis akibat penyebaran hematogenus diseminata, terutama
pada anak dengan gangguan nutrisi atau orang dewasa dengan gangguan
imunitas, setelah prosedur venapungsi, dan dalam terapi imunosupresan
(kortikosteroid) jangka panjang. Manifestasi klinis dapat berupa nodul
subkutan yang padat atau abses yang berfluktuasi tanpa rasa nyeri. Kulit
di atas lesi dapat robek dan membentuk ulkus dengan sinus dan fistula.
Lesi di ekstrimitas lebih sering ditemukan dan dapat menyebabkan
carpal tunnel syndrome. Aerolisasi Mycobacteria dapat terjadi saat insisi dan
drainase selama proses perawatan luka dan menyebabkan kasus sekunder
pada tenaga medis yang menanganinya
Tuberkulosis Miliaris Akut
Tuberkulosis miliaris akut umumnya hanya ditemukan pada pasien anak
atau dewasa dengan gangguan imunitas (HIV, tuberkulosis paru atau
meningeal derajat lanjut). Meskipun jarang, angka kejadian dilaporkan
meningkat karena sering bersamaan dengan infeksi HIV, terutama bila
kadar CD4 di bawah 100 sel/μL. Tuberkulosis kutis hematogen ini juga
dapat dijumpai pada pasien dengan infeksi virus lain seperti measles
dan malnutrisi. Pasien umumnya tampak sakit parah, gejala sistemik
dapat berupa demam, anoreksia, badan lemah, dan penurunan berat
badan. Lesi awal berupa makula eritematus atau papul merah keunguan
disertai vesikel dengan umbilikasi. Vesikel dapat mengalami nekrosis
membentuk ulkus hemoragik kecil, dan menjadi skar hipokromik 1–4 minggu kemudian. Lesi dapat ditemukan di seluruh bagian tubuh, namun
tersering pada badan, paha, bokong dan genital
Autoinokulasi
Tuberkulosis Kolikuativa
Tuberkulosis kolikuativa (skrofuloderma) merupakan bentuk tuberkulosis
kutis endogenus tersering. Tuberkulosis kutis tipe ini umumnya
menyerang anak kecil dan dewasa muda di lokasi yang telah terinfeksi
sebelumnya (kelenjar limfe, tulang, kelenjar lakrimalis, dada, dan testis).
Kondisi ini terutama pada individu dengan status ekonomi rendah dan
infeksi HIV. Manifestasi klinis awal berupa nodul subkutan solid (abses
dingin), berbatas tegas, berwarna merah keunguan yang asimtomatis,
berlokasi di atas kelenjar atau sendi yang terinfeksi, terutama kelenjar
parotis, submandibular, dan supraklavikula. Lesi kemudian menjadi lunak
dan pecah membentuk ulkus dengan dasar jaringan granulasi disertai
fistula yang saling terhubung dan meninggalkan skar kribriformis yang
khas. Diagnosis banding tersering yaitu sporotrikosis dan hidradenitis
supurativa
Tuberkulosis Orifisial
Tuberkulosis orifisial merupakan manifestasi klinis tuberkulosis kutis
yang jarang, berlokasi di orifisium natural (mulut, anus, vulva, uretra, dan
palatum) akibat inokulasi langsung dari lesi aktif yang berada di jaringan
lebih dalam (paru, intestinal, dan urogenital). Lesi tersering ditemukan
pada mukosa oral pasien pria usia lanjut dengan gangguan nutrisi,
imunitas, dan infeksi tuberkulosis sistemik. Lesi awal berupa nodul kecil
yang kemudian pecah membentuk ulkus dangkal punched out dengan
tepi iregular dan dasar kekuningan yang mudah berdarah. Kondisi ini
dapat disertai demam, badan lemah, penurunan berat badan, dan keringat
pada malam hari. Daerah tepi lesi tampak edema akibat radang. Pasien
umumnya mengeluhkan rasa nyeri yang hebat dan disfagia. Ujung dan
tepi lidah yaitu lokasi tersering. Lesi pada bibir dapat dijumpai pada
kasus tuberkulosis faring dan laring stadium lanjut. Apthous ulcer, sifilis,
dan karsinoma sel skuamosa yaitu diagnosis banding tersering yang
harus disingkirkan sebelum diagnosis ini ditegakkan
Tuberkulid
Tuberkulid Papulonekrotik
Tuberkulid papulonekrotik merupakan bentuk tuberkulid yang jarang,
dijumpai terutama pada anak dan dewasa muda. Lesi kulit berupa papul
merah keunguan simetris yang mudah berubah menjadi pustula dan
jaringan nekrotik. Lokasi tersering pada wajah, telinga, sendi bagian
ekstensor, dan ekstrimitas bagian akral. Lesi dapat sembuh sendiri
dalam beberapa minggu, meninggalkan bekas varioliformis yang cekung,
dengan skar dan hiperpigmentasi. Terapi tuberkulosis dapat mempercepat
penyembuhan
Liken Skrofulosorum
Liken skrofulosorum merupakan bentuk tuberkulid yang jarang dijumpai.
Lesi berupa papul asimtomatis yang meninggi, berwarna cokelat
kemerahan, bergerombol, dan dijumpai terutama di badan anak dengan
penyakit limfonudi atau tulang. Lesi hilang dalam beberapa minggu
dengan terapi tuberkulosis, namun juga dapat sembuh sempurna tanpa
terapi dalam beberapa tahun
Eritema Induratum Bazin
Eritema induratum Bazin merupakan bentuk tuberkulid tersering,
dijumpai terutama pada kaki bagian belakang wanita dewasa muda. Lesi
khas berupa makula eritematus, nodul keunguan, atau deep seated plaque
berskuama yang nyeri pada fase akut dan dapat berubah menjadi ulkus.
Ulkus umumnya iregular, dangkal dengan tepi keunguan, muncul setelah
paparan udara dingin atau stasis vena. Test tuberkulin umumnya positif
dan obat anti tuberkulosis memberi respons yang baik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Biopsi/Histopatologi
Gambaran histopatologi khas tuberkulosis berupa granuloma tuberkuloid
dengan nekrosis. Granuloma terdiri dari kumpulan sel epiteloid yang
dikelilingi oleh infiltrat dari sel mononuklear. Bagian tengah dari
tuberkel tersebut mengalami perubahan endo/perivascular (nekrosis
kaseosa), disertai reaksi selular yang menyebabkan fibrosis. Gambaran
ini dipengaruhi oleh virulensi bakteri dan imunitas pasien. Gangguan
imunitas menyebabkan aktivasi makrofag tidak maksimal sehingga
gambaran granuloma tidak terbentuk sempurna. Bakteri banyak ditemukan
pada kondisi ini. Variasi gambaran histopatologi sering menyebabkan
kerancuan dengan penyakit lain, terutama bila granuloma tidak disertai
dengan nekrosis
Kultur Mikobakterial
Kultur mikobakterial merupakan standar baku emas untuk mendeteksi
infeksi aktif tuberkulosis karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi. Pertumbuhan bakteri dengan media Lowenstein Jensen
membutuhkan 14 hari hingga 8 minggu. Identifikasi spesies dan tes
resistansi obat diindikasikan pada pasien yang sebelumnya pernah
terinfeksi tuberkulosis, gangguan imunitas terutama HIV, kegagalan terapi
tuberkulosis, dan populasi dengan resiko tinggi terinfeksi Mycobacterium tuberculosis yang resistan terhadap terapi
Tes Tuberkulin
Tuberkulin tes merupakan tes intradermal menggunakan tuberculin
purified protein derivate (PPD) untuk mengidentifikasi sensitisasi terhadap
Mycobacterium tuberculosis. Indurasi dibaca 48–72 jam setelahnya
menggunakan teknik Mantoux dengan cut off 10mm (sensitivitas 33–96%
dan spesifisitas 62,50%). Hasil positif terjadi akibat infeksi, vaksin BCG,
atau tinggal di daerah endemis. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada anak
berusia kurang dari 2 tahun, wanita hamil, pasien diabetes, gangguan
ginjal, dan gangguan imunitas selular lain. Tuberkulosis lupus dan
kolikuativa sering memberi hasil positif, sedangkan tuberkulosis miliaris
akut, orifisial dan gumma sering memberi hasil negatif
Tes Batang Tahan Asam (BTA)/Acid Fast Bacilli (AFB)
Pemeriksaan ini sering digunakan karena mampu memberi hasil lebih
cepat dibanding kultur mikobakterium. Pewarnaan yang paling sering
digunakan yaitu Ziehl Nielsen. Hasil positif terutama pada tuberkulosis
dengan bacterial load tinggi (multibasiler) seperti tuberkulosis chancre,
kolikuativa, orifisia, miliaris akut dan gumma. Tuberkulosis dengan bacterial
load rendah (pausibasiler) seperti tuberkulosis verukosa dan lupus sering
memberi hasil negatif
Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan ini bukan pemeriksaan rutin dan hanya disarankan pada kasus
tuberkulosis kutis dengan lesi khas namun hasil kultur negatif. Diagnosis
dapat ditegakkan setelah menemukan keberadaan mikobakterium pada
spesimen kulit melalui deteksi DNA spesifik. Sensitivitas dan spesifisitas
PCR dilaporkan mencapai 100% pada tuberkulosis multibasiler dan 55%
pada tuberkulosis pausibasiler
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan dengan bantuan biopsi, kultur, PPD, AFB, dan PCR.
Lesi yang dicurigai umumnya memiliki gambaran granuloma tuberkuloid
dengan nekrosis, atau granuloma tuberkuloid tanpa nekrosis. Namun,
tes PPD positif atau telah terbukti ada infeksi tuberkulosis di organ lain
yang sembuh dengan terapi tuberkulosis. Kultur dan identifikasi spesies
diperlukan untuk mengetahui sensitivitas mikroba terhadap terapi
TERAPI
Terapi tuberkulosis pulmonal dan ekstra pulmonal umumnya
membutuhkan waktu 6 bulan, kecuali tuberkulosis meningoensefalitis
(9 bulan). Obat yang dianjurkan yaitu rifampisin, isoniazid, pirazinamid
dan etambutol. Dosis dan durasi terapi dijelaskan lebih lanjut pada tabel
13.1 dan 13.2
DEFINISI
Kusta yaitu suatu penyakit infeksi granulomatosa yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae Penyakit ini terutama menyerang
saraf tepi dan kulit
EPIDEMIOLOGI
World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa kusta
merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat. Target eliminasi,
yaitu hingga prevalensi kusta kurang dari 1 kasus per 10.000 orang di
negara manapun. Target ini secara global telah dicapai pada tahun 2000.
Jumlah kasus baru kusta telah menurun dari 750.000 lebih di tahun 2001
hingga 250.000 di tahun 2007. Di tahun 2008, terdapat 3 negara yang tidak
mencapai target eliminasi yaitu Brazil, Nepal, dan Timor-Leste. Penyakit
kusta merupakan penyakit endemis pada negara tertentu, dengan 95%
kasus dalam dua dekade terakhir dilaporkan dari 17 negara. Brazil, India,
dan Indonesia dilaporkan terdapat 76% dari seluruh kasus seluruh dunia
ETIOLOGI
Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yaitu suatu basil tahan asam,
gram positif, obligat intraseluler yang tidak dapat dibiakkan . Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 30°C, di bawah suhu tubuh
manusia. Hal ini yang menjelaskan lesi kusta lebih banyak di area tubuh
yang lebih dingin
PATOGENESIS
Manifestasi klinis kusta tergantung dari imunitas seluler pejamu.
Pada kusta lepromatosa didapatkan kegagalan imunitas seluler dalam
melawan M. leprae, sehingga terjadi multiplikasi basil, penyebaran infeksi
dan akumulasi antigen pada jaringan yang terinfeksi. Tidak adanya
limfosit dan makrofag yang teraktivasi menyebabkan kerusakan saraf
yang timbulnya lambat dan perlahan. Pada kusta tuberkuloid, imunitas
seluler dominan sehingga infeksi terbatas pada satu atau beberapa lokasi
pada kulit dan saraf tepi (Lockwood, 2010). Pasien tuberkuloid mampu
membentuk granuloma yang terdiri dari sel T-helper, di mana pasien
lepromatosa tidak mampu membentuk granuloma serta didominansi oleh
sel T-supresor . Di antara bentuk polar terdapat bentuk
borderline, dimana perluasan penyakit mencerminkan keseimbangan
antara imunitas seluler dan jumlah basil
Penyebaran hematogen dan multiplikasi basil pada kusta lepromatosa
terjadi pada lokasi yang dingin dan superfisial seperti mata, saluran nafas
atas, testis, otot dan tulang kecil pada tangan, kaki dan wajah maupun
saraf tepi dan kulit. Berbeda dengan kusta tuberkuloid, multiplikasi basil
terdapat pada beberapa lokasi dan terkadang basil tidak dapat ditemukan
MANIFESTASI KLINIS
Ridley dan kawan-kawan menyebutkan beberapa spektrum granulomatosa
kusta berdasarkan perubahan klinis dan histologis. Ridley membagi kusta
menjadi 6 spektrum, yaitu TT (polar tuberculoid), BT (borderline tuberculoid),
BB (borderline), BL (borderline lepromatous), LLs (subpolar lepromatous), dan
LLp (polar lepromatous)
Secara konseptual, TT dan LLp merupakan bentuk yang stabil,
sedangkan di antara itu merupakan bentuk yang dapat berubah sesuai
dengan respon pejamu. BT dapat berubah menjadi TT (upgrading), dengan
demikian akan menjadi stabil. Namun bentuk LLs tidak dapat berubah
menjadi LLp. Respon granulomatosa merupakan hasil dari derajat imunitas
seluler terhadap M. leprae
Kusta TT
Pada kusta bentuk TT, didapatkan imunitas seluler yang tinggi yang
ditandai dengan penyembuhan secara spontan tanpa disertai penurunan
(downgrading) ke kusta bentuk lain. Lesi kulit yang utama yaitu plak
batas tegas, terkadang berbentuk bulat akibat penyebaran saraf tepi
dan penyembuhan di tengah (central healing). Lesi biasanya didapatkan
indurasi, peninggian, eritem, berskuama, kering, tidak berambut dan
hipopigmentasi (Gambar 14.1). Saraf di sekitar lesi dapat membesar (Lee
et al., 2012)Gambaran histologis lesi TT yaitu terdapat tuberkel epiteloid yang
dikelilingi tumpukkan limfositik yang besar, namun biasanya tidak
terlihat. Pada TT yang berasal dari BT, terdapat sel giant tipe Langhans
yang banyak. Jarang ditemukan nekrosis pengejuan, jika ditemukan
maka bentukan ini merupakan diagnosis pasti untuk kusta TT
Kusta BT
Pada kusta BT, resistansi imunologis cukup kuat untuk menahan infeksi,
dimana terdapat keterbatasan dalam pertumbuhan bakteri, namun
kemampun untuk menyembuhkan diri tidak cukup kuat. Bentuk ini
biasanya tidak stabil, bisa berubah menjadi TT atau malah memburuk
menjadi BL. Lesi kulit utama yaitu plak dan papula. Seperti pada TT,
didapatkan bentuk bulat dengan batas tegas dan terkadang didapatkan
satelit papul (Gambar 14.2). Lesi hipopigmentasi dapat terlihat jelas pada
pasien dengan kulit gelap. Berbeda dengan kusta TT, lesi pada kusta
BT tidak/sedikit berskuama, sedikit eritem, sedikit meninggi, namun lesi dapat berubah menjai lebih besar hingga berdiameter 10 cm. Pada
pemeriksaan jaringan pasien dengan kusta BT, terdapat tuberkel epiteloid
namun limfositik lebih sedikit dibandingkan kusta TT
Kusta BB
Kusta BB merupakan spektrum granulomatosa dengan respons imunologis
pada titik tengah (midpoint immunologic), merupakan bentuk yang paling
tidak stabil. Sering terjadi perubahan downgrading ke bentuk granulomatosa
yang lebih stabil dengan atau tanpa disertai reaksi. Perubahan kulit yang
karakteristik, yaitu lesi berbentuk bulat dengan batas tegas, plak besar
dengan “pulau” kulit yang normal sehingga memberikan bentukan “swiss
cheese” atau lesi dimorfik yang khas (Gambar 14.3). Gambaran histologis
ditemukan diferensiasi epiteloid, namun limfosit jarang, tidak ada sel
Giant dan mudah didapatkan basil
Kusta BL
Pada kusta BL, resistansi sangat rendah untuk menahan proliferasi bakteri,
namun masih mampu untuk meinduksi inflamasi kerusakkan jaringan,
terutama pada jaringan saraf. Lesi bervariasi dari soliter hingga multipel.
Secara umum, lesi anular dan plak tersebar asimetris. Lesi juga disertai
hipoestesi atau anestesi. Didapatkan pembesaran saraf dan nyeri (Gambar
14.4)
Pemeriksaan histologi didapatkan respon dermal dengan infiltrat
limfositik padat dengan dominansi makrofag. Makrofag biasanya bersifat
foamy, namun ada juga makrofag yang tidak berdiferensiasi
Kusta LL
Pada kusta LL imunitas seluler terhadap M. leprae sangat kurang sehingga
tidak dapat menahan replikasi dan pertumbuhan bakteri serta sering
menyebar ke berbagai organ. Terdapat infiltrasi dermal yang selalu
bermanifes subklinis, berupa penebalan cuping telinga, pelebaran hidung,
dan pembengkakkan pada jari. Dapat dijumpai lesi seperti dermatofibroma
atau lesi seperti histiositoma, biasanya multipel dan berbatas tegas. Lesi ini
pertama kali di temukan pada pasien kusta histoid tapi bukan merupakan
lesi yang khas. Lesi kulit lain dapat berupa patch eritem yang pada kulit
lebih terang sering disertai hiperpigmentasi ringan. Sedangkan pada kulit
yang lebih gelap akan terlihat makula makula hipopigmentasi (Gambar
14.5) (Lee et al, 2012)PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan
penyakit kusta salah satunya yaitu pemeriksaan bakterioskopik, yaitu
melalui sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit yang kemudian
dilanjutkan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Bila diagnosis meragukan,
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan
serologi PGL-1 (Phenolic Glycolipid-1) atau PCR (Polymerase Chain Reaction)
(Perdoski, 2017).
Gambaran histopatologi dari kusta tipe tuberkuloid yaitu ditemukan
granuloma tuberkuloid pada lapisan dermis yang terdapat kelompok sel
epiteloid dengan sel giant dan hanya didapatkan sedikit gambaran basil.
Untuk gambaran tipe lepromatosa didapatkan subepidermal clear zone,
ditemukan adanya gambaran sel busa dan ditemukan banyak basil
DIAGNOSIS
Dalam menegakkan diagnosis kusta harus ditemukan adanya kelainan
saraf atau ditemukannya batang tahan asam pada jaringan. Oleh karena
bakteri kusta tidak dapat di biakkan, maka adanya bakteri tahan asam ini
sangat menentukan diagnosis. Bakteri tahan asam pada jaringan paling
baik terlihat dengan pengecatan karbolfusin, menggunakan modifikasi
Ziehl-Neelsen melalui pengecatan Fite-Farraco. Adanya M. leprae yang
ditemukan di saraf atau adanya sel epiteloid granuloma di saraf cukup
diagnostik untuk memastikan diagnosis kusta, terutama jika didapatkan
perubahan hitologis yang khas
Diagnosis kusta dapat ditegakkan berdasarkan tanda cardinal, yaitu
ditemukan makula eritematus atau hipopigmentasi dengan hipoestesi atau
anastesi, didapatkan pembesaran saraf tepi dengan nyeri dan gangguan
fungsi saraf tepi, dan hasil pemeriksaan bakteri tahan asam yang positif.
Diagnosis untuk menegakkan kusta yaitu apabila ditemukan satu dari
gejala tersebut. Selain itu, diperlukan anamnesis, apakah ada riwayat
keluarga, kontak dengan pasien kusta, dan riwayat pengobatan kusta
Pemeriksaan bakteriologis digunakan untuk menegakkan diagnosis
dan mengobservasi pengobatan. Pemeriksaan dilakukan pada kedua
cuping telinga bagian bawah dan 2–3 lesi lain yang paling aktif, yang
paling eritematosa, dan infiltratif. Indeks Bakteri yaitu kepadatan BTA
tanpa membedakan solid dan nonsolid dengan nilai dari 0 sampai 6+.
Definisi indeks tersebut yaitu sebagai berikut.
a. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)
b. 1+ bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP
c. 2+ bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP
d. 3+ bila 1 – 10 BTA rata-rata dalam 1 LPe. 4+ bila 11 – 100 BTA rata-rata dalam 1 LP
f. 5+ bila 101 – 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
g. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Sedangkan Indeks Morfologi (IM) yaitu persentase bentuk solid
dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid (Lee et al., 2012).
Jumlah solid
x 100%
Jumlah solid + nonsolid
TERAPI
Pengobatan kusta sampai saat ini masih menggunakan MDT (Multidrug
Theraphy).
Obat PB MB
Rifampisin 600 mg/bulan (dengan supervisi) 600 mg/bulan (dengan supervisi)
DDS 100 mg/hari 100 mg/hari
Lampren – 300 mg/bulan
+50 mg/hari
Penyebab Kusta tipe PB diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan
dalam 6–9 bulan, sedangkan pengobatan tipe MB diberikan sebanyak 12
dosis yang diselesaikan dalam 12–18 bulan (Lee et al., 2012).
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari tipe tuberkuloid yaitu ptyriasis alba, sedangkan
untuk tipe lepromatosa yaitu dermatofibroma, limfoma, dan mikosis
funguides
KOMPLIKASI
Komplikasi utama kusta yaitu kerusakan saraf tepi, insufisiensi vena,
atau skar. Sebanyak seperempat hingga sepertiga pasien kusta baru, sudah mengalami kecacatan akibat kerusakan saraf yang ireversibel, terutama
pada tangan, kaki, dan mata. Adanya keratitis disebabkan karena mata
kering, intensitivitas kornea, dan lagoftamlmus. Insufisiensi vena terjadi
akibat kerusakan pada katup vena dalam sehingga menyebabkan
dermatitis stasis dan ulkus. Kerusakan sendi terjadi akibat hilangnya
sensasi nyeri yang sifatnya protektif. Keterlibatan saraf simpatis
menyebabkan menurunnya hidrosis sehingga menyebabkan keringnya
telapak tangan dan kaki. Kombinasi berulang inilah yang pada akhirnya
menimbulkan siklus terjadinya trauma kulit
EDUKASI
Edukasi pada pasien kusta sangat penting terutama mengenai efek
samping obat MDT, yaitu urine berwarna merah, kulit menjadi kehitaman
dan anemia, hal tersebut sangat perlu diketahui pasien. Pada saat RFT
(Released From Treatmenat) pasien perlu dijelaskan bahwa bercak kulit yang
masih tersisa memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, sebagian
bahkan akan menetap selamanya. Segera menghubungi tenaga kesehatan
terde