ria yang dikenal dengan sebutan “Komando Operasi Pembasmian
Malaria” (KOPEM). Tanggal 12 November tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari
Kesehatan Nasional.
Penggalakkan pemberantasan malaria melalui gerakan masyarakat yang dikenal dengan
Gerakan Berantas Kembali Malaria atau ”Gebrak Malaria” telah dicetuskan pada tahun
2000. Gerakan ini merupakan embrio pengendalian malaria yang berbasis kemitraan
berbagai sektor dengan slogan “Ayo Berantas Malaria”.
Berdasarkan Gebrak Malaria tersebut, dalam rangkaian Peringatan Hari Malaria Sedunia
tahun 2012 dibentuklah Forum Nasional Gebrak Malaria (FNGM) pada tanggal 12
April 2012. Anggota FNGM ini berasal dari berbagai bidang, sektor dan institusi. FNGM
ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan program pengendalian
Malaria menuju eliminasi.
Pengendalian malaria di Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang
Eliminasi Malaria di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang hidup
sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030. Strategi
yang ditempuh adalah pencapaian eliminasi secara bertahap dengan sasaran dan target
sebagai berikut :
1) Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali, dan pulau Batam pada tahun
2010;
2) Pulau Jawa, Provinsi NAD, dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015;
3) Pulau Sumatera (Kecuali Provinsi NAD dan Propinsi Kepulauan Riau), Provinsi NTB,
Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan
4) Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi NTT dan Provinsi
Maluku Utara, pada tahun 2030.
Eliminasi malaria dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah bersama mitra kerja pembangunan termasuk LSM, dunia usaha,
lembaga donor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat.
Kebijakan dalam pengendalian malaria adalah :
1) Semua penderita yang dicurigai malaria harus dikonfirmasi laboratorium baik
menggunakan mikroskop maupun test diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT)
2) Pengobatan menggunakan terapi kombinasi Artemisinin (Artemisinin based
Combination Therapy / ACT)
3) Pencegahan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, penyemprotan dinding
rumah (Indoor Residual Spraying/IRS).
4) Kemitraan melalui Forum Gebrak Malaria
5) Peningkatan peran serta masyarakat seperti melalui Pos malaria desa (Posmaldes),
desa siaga.
a. Endemisitas Malaria Endemisitas Malaria
Stratifikasi endemisitas wilayah di Indonesia dibagi menjadi :
• Endemis Tinggi adalah API > 5 per 1.000 penduduk Endemis Tinggi
• Endemis Sedang adalah API berkisar antara 1 – < 5 p Endemis Sedang er 1.000 penduduk
• Endemis Rendah adalah API 0 - 1 per 1.000 penduduk Endemis Rendah
• Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penul Non Endemis aran malaria (Daerah
pembebasan malaria) atau API = 0, seperti propinsi DKI Jakarta.
Dari data yang dilaporkan ke Subdit Malaria diperoleh gambaran peta endemisitas
malaria sebagai berikut:
Berdasarkan peta endemisitas tersebut diatas diperoleh gambaran tentang situasi
endemisitas malaria di kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010 dan 2011.
Sedangkan persentase kab/kota berdasarkan tingkat endemisitasnya pada tahun
2010 dan 2011 dapat dilihat pada data di bawah ini:
Dari gambaran peta dan data endemisitas malaria di Kabupaten/Kota terlihat
penurunan jumlah daerah endemis tinggi dimana pada tahun 2009 kabupaten/kota
yang termasuk daerah endemis tinggi sebanyak 24,1 % , pada tahun 2010 sebanyak
16,97% dan pada tahun 2011 sebanyak 12 %.
b. Angka Kesakitan Malaria Angka Kesakitan Malaria
Secara nasional kasus malaria selama tahun 2005 – 2011 cenderung menurun yaitu
pada tahun 2005 angka Annual Paracite Incidence (API/ Insidens parasit malaria)
sebesar 4,10 per 1000 menjadi 1,75 per 1000 penduduk pada tahun 2011. Angka ini
cukup bermakna karena diikuti dengan intensifikasi upaya pengendalian malaria
yang salah satu hasilnya adalah peningkatan cakupan pemeriksaan sediaan darah
atau konfirmasi laboratorium.
Dalam Renstra Kemenkes RI tahun 2010 sd 2014, malaria menjadi salah satu
indikator kinerja kementerian kesehatan dengan target dan capaian sebagai berikut :
Berdasarkan data di atas, API (Annual Paracite Incident) Per 1.000 penduduk telah
mengalami penurunan dan target Renstra tahun 2011 tercapai.
Angka API Malaria selama tahun 1990 sd 2011 dapat dilihat pada data berikut :
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat, bahwa jumlah kasus malaria paling tinggi
masih di daerah timur Indonesia seperti NTT, Papua dan Papua Barat. Namun jika
dilihat API nya, maka yang tertinggi adalah provinsi Papua
c. Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi La Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi Laboratorium) boratorium)
Berdasarkan cakupan konfirmasi laboratorium belum semua suspek malaria
dilakukan pemeriksaan sediaan darahnya (dikonfirmasi laboratorium). Dari tahun
2000 - 2011 pemeriksaan sediaan darah terhadap jumlah suspek malaria terus
meningkat secara signifikan yaitu pada tahun 2005 sebesar 47% sedangkan pada
tahun 2011 meningkat menjadi 83,5%.
d. Persentase Penderita Malaria yang Diobati Persentase Penderita Malaria yang Diobati
Persentase penderita malaria yang diobati merupakan persentase penderita malaria
yang diobati sesuai pengobatan standar dalam kurun waktu 1 tahun dibandingkan
dengan jumlah kasus malaria positif dalam tahun tersebut.
Pencapaian Persentase penderita malaria yang diobati ACT pada tahun 2011 adalah
sebesar 66,3% yaitu setiap penderita tersangka malaria dilakukan pemeriksaan
sediaan darah dan apabila hasilnya positif maka diobati menggunakan ACT. Angka
ini meningkat dibanding tahun 2010 yang baru mencapai 46,7%.
e. Peningkatan Kasus & KLB Malaria Peningkatan Kasus & KLB Malaria
Dalam tahun 2011 masih terjadi peningkatan kasus maupun KLB malaria di 9
Kabupaten /Kota di 7 provinsi dengan jumlah penderita positif sebanyak 888 kasus
dan jumlah kematian sebanyak 13 orang ( CFR= 1,45%). Upaya penanggulangan
baik dengan pengobatan massal, mass blood survey (MBS), penyemprotan rumah,
penyelidikan vektor penyakit dan tindakan lain misalnya pengeringan tempat
perkembangbiakan nyamuk telah dilakukan dengan baik.
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa laporan adanya KLB malaria berasal dari
provinsi Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah,
Lampung< Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Jumlah kematian akibat Malaria yang dilaporkan ke Subdit Malaria pada 2010
adalah sebanyak 423 orang, sedangkan untuk tahun 2011 menurun menjadi 388
orang. Sedangkan berdasarkan CFR KLB juga mengalami penurunan dibandingkan
dengan tahun 2010 yaitu sebesar 3,7% menjadi 1,45% pada tahun 2011. Jumlah
kematian Malaria di Indonesia tidak dapat digunakan untuk mengestimasi
prevalensi dan/atau insidens kematian Malaria (death specific mortality rate) karena
kesulitan dalam penentuan population-at-risk. Selanjutnya, situasi ini menyebabkan
kesulitan dalam mengidentifikasi faktor penentu kematian Malaria di Indonesia.
Berdasarkan Riset Kesehatan Daerah tahun 2007, malaria menjadi salah satu
penyakit dalam pola penyebab kematian semua umur di Indonesia yaitu sebesar
1,3% (lebih tinggi dibandingkan dengan dengue namun jauh lebih rendah
dibandingkan dengan Stroke dan TB). Namun untuk 10 penyakit menular penyebab
kematian, maka malaria menempati urutan ke 6 yaitu sebesar 4,6%.
f. Upaya Pencegahan Penularan Malaria Melalui Pendistribusian Kelambu ibusian Kelambu
Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi
faktor resiko penularan malaria. Dalam rangka pencapaian salah satu tujuan dari
Millenium Development Goals (MDGs), yaitu maka kegiatan program
pengendalian malaria terkait yang telah dijalankan saat ini adalah dengan
pembagian kelambu yang bertujuan untuk melindungi penduduk dari gigitan
nyamuk penyebab penyakit malaria terutama untuk balita dan ibu hamil.
Saat ini di Indonesia, jumlah penduduk berisiko adalah sekitar 147 jiwa dan jumlah
kelambu yang telah didistribusikan pada kurun waktu 2010 - 2011 sekitar 5,8 juta
kelambu. Apabila 1 kelambu diperkirakan mampu melindungi 2 - 3 orang dari
anggota keluarga berarti baru sekitar 11,6 – 17,4 juta jiwa yang terlindungi sekitar
12%.
Kebijakan Pendistribusian kelambu malaria Indonesia saat ini adalah :
1) Penggunaan kelambu berinsektisida harus didasarkan pada data penyakit
malaria dan memperhatikan sosial budaya masyarakat
2) Pelaksanaan distribusi dan penggunaan kelambu dilakukan secara rutin dan
kampanye, dengan pendekatan integrasi antara lintas program, lintas sektor
serta mitra terkait.
3) Kelambu berinsektisida yang digunakan harus mengacu pada ketentuan teknis
4) Seluruh penduduk berisiko terlindungi dari penularan malaria melalui
penggunaan kelambu berinsektisida
5) Penggunaan kelambu berinsektisida, diutamakan yang efektifitasnya lama
(LLIN’s).
Sedangkan strategi pendistribusian kelambu dilakukan dengan :
1) Menggalang Kemitraan dengan Lintas program, Lintas sektor, LSM/Civil Society,
Swasta dan Masyarakat dalam perencanaan, pengadaan, distribusi dan
pemantauan penggunaan.
2) Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) agar masyarakat
bersedia menggunakan kelambu berinsektisida sehingga penggunaan kelambu
dianggap sebagai kebutuhan (budaya).
3) Memberdayakan Masyarakat hingga mampu membeli kelambu berinsektisida
sendiri antara lain melalui sistim bergulir (revolving fund) atau arisan.
4) Mendukung ketersediaan dan kemudahan masyarakat untuk mendorong &
memperoleh secara gratis dan ataumembeli kelambu berinsektisida, serta
5) Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan dalam pendistribusian
kelambu di masyarakat.
3. Pengendalian PengendalianPenyakit Arbovirosis Penyakit Arbovirosis Penyakit Arbovirosis
a. Penyakit Demam Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah Dengue
Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2011 sebanyak 65.725 kasus
dengan jumlah kematian 597 orang (IR= 27,67 per 100.000 penduduk dan CFR=
0,91 %*update per tanggal 31 maret 2012). Angka insidens (IR) tertinggi terdapat di
Provinsi Bali, yaitu 86,33 per 100.000 penduduk dan terendah di Provinsi Maluku,
yaitu 0,76 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian (CFR) tertinggi
adalah Provinsi Sulawesi Barat sebesar 2,44 %, dan angka kematian terendah DKI
Jakarta (CFR=0,05%). Laporan kasus DBD dari Provinsi Papua dan Papua Barat
nihil.
Selama tahun 2011 lebih kurang terdapat 13 kabupaten/kota dari 7 provinsi yang
melaporkan terjadinya KLB DBD yaitu: Kab Labuhan Batu (Sumut), Kab.
Limapuluhkota (Sumbar), Kab Karimun (Kepri), Kab. Rokan Hilir (Riau), Kab
Senggigi (Riau) dan Kab. Bengkalis (Riau), Kota Jambi (Jambi), Kab.Batanghari
(Jambi), Kab. Muaro Jambi (Jambi), Kab. Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kab.
Lampung Utara (Lampung), Kab. Maluku Tenggara (Maluku) dan Kota Tual
(Maluku). Pemetaan Angka Kesakitan (Incidence Rate) DBD tahun 2011 dapat
dilihat pada gambar dibawah ini:
Berdasarkan gambar di atas, pada tahun 2011 ada 7 provinsi yang memiliki angka
kesakitan (IR) diatas 54/ 100.000 penduduk antara lain; Aceh, Riau, Kep.Riau,
Jambi, DKI Jakarta, Bali dan Sulawesi Tengah. Walaupun Insiden DBD tahun 2011
mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2010 namun
upayapenanggulangan kasus, pengendalian vektor dan upaya-upaya pemutusan
rantai penularan penyakit harus ditingkatkan dan dioptimalkan dengan
mengedepankan upaya promotiv dan preventiv antara lain dengan meningkatkan
peran serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan Pemberantasan
Sarang Nyamuk (PSN) 3 M Plus. Sedangkan pemetaan Angka Kematian (Case
Fatality Rate) DBD tahun 2011 dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Pada tahun 2011 terdapat 5 provinsi yang memiliki Angka Kematian (CFR) akibat
DBD sangat tinggi diatas 2% yaitu Provinsi Riau, Jambi, Gorontalo, Sulawesi Barat
dan NTT. Hal ini menunjukkan bahwa masih perlu upaya peningkatan kualitas
pelayanan kesehatan, manajemen tatalaksana penderita di sarana-sarana pelayanan
kesehatan, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah sakit dan
puskesmas (dokter, perawat dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana - sarana
penunjang diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana - sarana
pelayanan kesehatan.
Pola perkembangan DBD pada tahun 2011 secara nasional menunjukkan terjadinya
penurunan kasus dan kematian DBD dibandingkan tahun 2010. Bila melihat pola
data diatas tampak sedikit perbedaan perjalanan kasus DBD tahun 2010 dan 2011
dibandingkan tahun 2002 sampai 2007 menunjukan tren peningkatan, sedangkan
pada tahun 2010 dan 2011 kasus DBD mengalami penurunan.
data di atas menunjukkan perbedaan pola perjalanan kasus DBD, jika periode
tahun 2002 sd 2007 cenderung meningkat tetapi sejak tahun 2009 hingga 2011
terjadi penurunan kasus. Kabupaten/Kota terjangkit DBD pada tahun 2010 ada di
400 kab/kota dari 474 kab/kota yang ada (84,4%). Pada tahun 2011 menurun
menjadi 374 kab/kota terjangkit dari 497 kab/kota yang ada (75 %).
b. Demam Chikungunya Demam Chikungunya
Chikungunya adalah penyakit infeksi akut yang ditandai gejala utama demam, ruam
/bercak-bercak kemerahan di kulit dan nyeri persendian, penyakit ini disebabkan
oleh infeksi virus Chik yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus.
Demam Chik dijumpai terutama di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan
epidemi. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya demam chik antara lain;
rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat, kepadatan populasi nyamuk
penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada
musim penghujan.
Seperti halnya DBD, peningkatan kasus Chikungunya mungkin berkaitan dengan
makin banyaknya daerah-daerah rural dan daerah-daerah perkotaan dengan tingkat
kepadatan penduduk yang makin meningkat seiring peningkatan arus urbanisasi dan
transportasi, disamping itu pengaruh perubahan iklim menjadi salah satu faktor
penyebab semakin luasnya penyebaran vektor penular DBD dan Chikungunya;
namun bisa juga dikarenakan semakin baiknya sistem surveilans dan diagnostik
terhadap penyakit Chikungunya di daerah-daerah sehingga banyak Dinas Kesehatan
atau puskesmas di seluruh Indonesia yang melaporkan kasus Chikungunya. Dilihat
dari data di atas tampak terjadi penurunan jumlah kasus Chikungunya yang
dilaporkan pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2009 dan 2010.
Pada tahun 2011, kasus Chikungunya dilaporkan di Jawa Barat, NTB, Banten, Jawa
Timur, Aceh, Gorontalo, Lampung, DIY, Bali, Sulawesi Barat, DKI Jakarta dan
Sumatera Barat dengan jumlah 2.998 kasus tanpa kematian
c. Japanese Encephalitis (JE) Japanese Encephalitis (JE) itis (JE)
Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit infeksi virus akut yang menyebabkan
radang otak; disebabkan oleh virus dari genus Flavivirus yang ditularkan melalui
gigitan nyamuk. Virus JE termasuk virus zoonotik yang hidup berkembang didalam
tubuh hewan antara lain babi, unggas, katak, ular, kelelawar dan lain-lain; namun
sejauh ini babi dianggap sebagai hospes reservoir utama virus JE. Sedangkan vektor
utama yang berperan dalam penularan adalah nyamuk Culex Tritaeniorhynchus,
Cx. Vishnui, Cx. Pseudovishnui Cx. Gelidus. Penyakit ini banyak ditemui di daerahdaerah rural, persawahan, rawa, peternakan babi dan lingkungan lain yang
merupakan habitat perkembangbiakan nyamuk culex. Masa inkubasi berkisar antara
5 – 16 hari.
Kasus Japanese Ensefalitis pernah ditemukan di beberapa provinsi di Indonesia
antara lain: Sumatera Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT,
Kalimantan Barat dan Papua. Keberadaan virus Japanese Ensefalitis (JE) seringkali
dikaitkan dengan jumlah populasi babi di wilayah tersebut karena babi merupakan
hospes reservoir utama dari virus Japanese Ensefalitis (JE)
data kasus Japanese Ensefalitis di atas diperoleh dari hasil survey-survey yang
dilakukan di beberapa wilayah. Sistim surveilans Japanese Ensefalitis yang belum
terbentuk dengan baik menjadi salah satu permasalahan dalam menentukan
penyebaran kasus Japanese Ensefalitis secara akurat.
4. Pengendalian Vektor Pengendalian Vektor engendalian Vektor
Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengendalian vektor merupakan sebagian
dari kegiatan Subdit Pengendalian Vektor. Tidak dipungkiri bahwa pengendalian vektor
saat ini identik dengan penggunaan insektisida, meskipun upaya pengendalian dengan
metode lain juga perlu dipertimbangkan. Dengan kondisi seperti itu, maka pengawasan
terhadap penggunaan insektisida dan dampaknya perlu dilakukan agar hasilnya tetap
efektif dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.
Pembinaan Tenaga Kesehatan Pengendalian Vektor Pembinaan Tenaga Kesehatan Pengendalian Vektor
Untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang pengendalian vektor baik di
Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, BBTKL/BTKL, KKP dan
Bapelkes. Kegiatan yang dilakukan berupa : Pentalo Pentaloka Pengendalian Vektor Pentaloka Pengendalian Vektor ka Pengendalian Vektor
b. Longitudinal Survei Malaria dari round 8 Longitudinal Survei Malaria dari round 8 Longitudinal Survei Malaria dari round 8
Survei ini untuk mengetahui spesies yang paling dominan dan untuk mengetahui
status resistensi vetor dan juga untuk mengetahui efektivitas pengendalian vektor di
daerah tersebut. Survei dilakukan di sepuluh Propbvinsi di Kalimantan dan Sulawesi,
dari hasil survei diketahui hasilnya sebagai berikut :
Rabies
Salah satu prioritas pengendalian penyakit bersumber binatang adalah pengendalian
penyakit Rabies. Pada tahun 2011 penyakit Rabies telah terjadi di 24 provinsi dari 33
provinsi di Indonesia. Saat ini hanya sembilan (9) provinsi yang masih dinyatakan
sebagai daerah bebas rabies yaitu Kep.Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI
Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Papua dan Papua Barat. Penentuan suatu
daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan ditemukannya positif hasil pemeriksaan
laboratorium terhadap hewannya, kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian
Pertanian.
Pada bulan November tahun 2008 terjadi KLB Rabies di Provinsi Bali. Secara historis
Provinsi Bali merupakan daerah bebas Rabies sehingga sangat disayangkan Bali yang
merupakan wilayah kepulauan menjadi wilayah tertular Rabies. Berdasarkan SK Mentan
Nomor 1696 Tahun 2008 Provinsi Bali ditetapkan sebagai Kawasan Karantina Penyakit
Anjing Gila (Rabies). Saat ini dengan berbagai upaya lintas sektor dan program telah
dapat menekan angka kasus Rabies.
Dalam peta/gambar diatas dapat kita lihat bahwa pada tahun 2011 kasus GHPR
dilaporkan terjadi di 24 provinsi. Kasus GHPR paling banyak terjadi di Bali yaitu 52.798
kasus dengan kasus meninggal (lyssa) berjumlah 23 orang. Menyusul kemudian Nusa
Tenggara Timur (5500 GHPR, lyssa 12) dan Sumut (3909 GHPR, lyssa 31).
Dalam data diatas terlihat bahwa kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies) di
Indonesia meningkat sejak tahun 2008-2011. Kasus GHPR yang diberi Post Exposure
Treatment (PET) atau diberi VAR berkisar 85,5% dari semua kasus. Sampai dengan
bulan Desember 2011 tercatat 84.010 kasus GHPR dan kasus lyssa berjumlah 184 orang.
Pada tahun 2011 terjadi penurunan kasus lyssa karena menurunnya kasus lyssa di Bali.
Dari data diatas dapat dilihat bahwa kasus Rabies pada manusia pada tahun 2011,
terbanyak dilaporkan dari Provinsi Bali. Adapun Provinsi yang berhasil menekan jumlah
lyssa menjadi 0 kasus pada tahun 2011 adalah provinsi Kepri, Jambi, Sumsel, Lampung,
Banten, Jabar, Sulsel, Sulbar.
b. Pes
Pes (sampar) adalah penyakit yang terdapat pada hewan rodent dan dapat menular ke
manusia melalui gigitan pinjal. Penyakit ini merupakan penyakit yang terdaftar dalam
Karantina Internasional, dan masih merupakan masalah kesehatan yang dapat
menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) ataupun wabah. Program pencegahan dan
penanggulangannya masih tetap dilakukan secara rutin dengan menitikberatkan kepada
pengamatan secara aktif dan pasif pada penduduk setempat maupun hewan-hewan
rodent dan pinjalnya yang masih menjadi sumber penularan/vektornya. Pengamatan
melalui surveilans aktif dan pasif terhadap rodent dan pinjalnya dilakukan secara rutin di
3 daerah fokus Pes yaitu Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan
Jawa Timur. Hal tersebut untuk mengantisipasi terjadinya KLB Pes yang cenderung
terjadi setiap 10 tahun. Terakhir KLB Pes terjadi pada tahun 2007 di Dusun Surorowo,
Desa Kayukebek, Kecamatan Tutur Nongkojajar Kabupaten Pasuruan dan Provinsi Jawa
TimurPada grafikterlihat jumlah positif pes pada manusia tertinggi pada tahun 2007 di daerah
Jawa Timur dikarenakan pada waktu itu diadakan pemeriksaan (assessment) sepuluh
tahunan Pes oleh pemerintah pusat. Setelah tahun itu pemeriksaan spesimen dilakukan
oleh masing-masing pemda.
Pada tahun 2011 Provinsi DIY melakukan survey pes pada rodent yang melibatkan
kecamatan Cangkringan, Pakem, Ngaglik, Ngemplak. Jumlah tikus yang ditangkap
sebanyak 1167 ekor dan yang diperiksa sebanyak 1101 ekor.
c. Antraks Antraks
Antraks adalah penyakit disebabkan oleh Bacillus anthracis yang bersifat zoonotik,
sehingga dapat menyerang hewan pemamah biak maupun binatang buas. Hewan yang
terinfeksi tersebut dapat menularkan kepada manusia dan dapat menimbulkan
kematian. Penyakit ini berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu yang diserang
umumnya pekerja peternakan, petani, pekerja tempat pemotongan hewan, dokterdokter hewan yang menangani ternak. Disamping itu dapat pula menyerang pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi dengan spora
antraks, misalnya pabrik-pabrik tekstil, makanan ternak, pupuk dan sebagainya. Pada tahun 2011 telah dilaporkan kasus antraks pada manusia sebanyak 41 kasus dan
tidak ada yang meninggal (CFR 0 %).
Bila dilihat kasus berdasarkan provinsi adalah sebagai berikut:
Pada tahun 2011 kasus ditemukan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi NTT. Provinsi
Jawa Tengah di daerah Boyolali 14 kasus, Sragen 13 kasus, sedangkan di Provinsi NTT,
Kabupaten Sabu Raijua terdapat 14 kasus.
d. Leptospirosis Leptospirosis
Leptospira merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia.
Sumber infeksi pada manusia biasanya akibat kontak secara langsung atau tidak langsung
dengan urine hewan yang terinfeksi. Insidensi pada negara beriklim hangat lebih tinggi
dari negara yang beriklim sedang, kondisi ini disebabkan masa hidup Leptospira yang
lebih panjang dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negaranegara tropis merupakan negara berkembang, dimana terdapat kesempatan lebih besar
pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi.
Penyakit ini bersifat musiman, di daerah yang beriklim sedang masa puncak insidens
dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup Leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens
tertinggi selama musim hujan. Kasus Leptospirosis sejak tahun 2005 sampai dengan 2010
cenderung meningkat, terutama dilaporkan pada daerah-daerah yang sering terjadi
bencana banjir. Pada tahun 2011 terjadi penurunan kasus kematian disebabkan penyakit
Pes. Setelah tahun 2007 jumlah kasus Leptospirosis mengalami penurunan secara signifikan.
Jumlah kematian akibat Leptospirosis cenderung menurun dari tahun ke tahun, hal ini
menunjukkan semakin baiknya managemen kasus Leptospirosis. Rata-rata tingkat
kematian akibat Leptospirosis dalam 6 tahun terakhir adalah 8,56%, CFR tertinggi pada
tahun 2005 (12.17%).
Pada tahun 2011 jumlah kasus Leptospirosis di Provinsi DIY meningkat tajam karena
letusan Gunung Merapi dimana pada tahun sebelumnya dilaporkan sebanyak 230
meningkat menjadi 626 kasus.
e. Flu Burung (Avian Influenza) Flu Burung (Avian Influenza)
Di Indonesia Flu Burung (FB) pada manusia pertama kali dikonfirmasi secara
laboratorium pada awal bulan Juli 2005 dari Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten
dengan jumlah konfirmasi H5N1 2 orang dan 1 probabel, semuanya meninggal dunia.
Awal sakit (onset) kasus tersebut pada akhir Juni 2005, dan merupakan kasus klaster
pertama di Indonesia. Dalam menanggulangi FB merupakan suatu keharusan untuk
mencermati perkembangan kasus FB pada unggas dan manusia secara terus menerus.
Dari data diatas dapat dilihat jumlah kasus konfirmasi Flu Burung di Indonesia paling
banyak dilaporkan pada tahun 2006, setelah itu jumlah kasus Flu Burung terus menurun
dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 terlihat sedikit kenaikan dibanding tahun
sebelumnya. Koordinasi lintas sektor khususnya dengan peternakan dalam memantau
kejadian flu burung pada unggas semakin ditingkatkan.
Dari data diatas terlihat kasus konfirmasi AI terbanyak ditemukan di Prov. DKI, kedua
di Provinsi Jawa Barat dan ketiga di Prov. Banten. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan
Banten merupakan wilayah kepadatan populasi unggas dan manusia cukup tinggi serta
mobilitas manusia dan unggas juga cukup tinggi.
Dari data diatassecara kumulatif dapat dilihat jumlah terbanyak kasus konfirmasi AI
mempunyai riwayat keterpaparan secara langsung dengan unggas sakit, mati atau
dengan produk unggas lainnya. Selanjutnyadiikuti dengan keterpaparan dengan
lingkungan, sehingga kegiatan promosi mengenai Flu Burung dan intervensi terhadap
kebersihan lingkungan perlu dilakukan semaksimal mungkin.
Pada data terlihat bahwa dari tahun ke tahun munculnya kasus konfirmasi Flu Burung
sangat sporadis. Pada bulan Mei tahun 2006 terlihat peningkatan kasus Flu Burung yang
sangat signifikan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, hal ini disebabkan pada
bulan tersebut terjadi kasus klaster Flu Burung yang cukup besar di Provinsi Sumatera
Utara.
D. PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR (PPTM) PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR (PPTM)
Indonesia telah menghadapi beban tiga kali lipat dalam kesehatan masyarakat di beberapa
tahun terakhir. Prevalensi beberapa penyakit tidak menular utama meningkat, sementara
penyakit menular masih tinggi dan diperberat oleh penyakit baru serta penyakit lama
yang kembali muncul.
Proporsi penyebab kematian akibat PTM di Indonesia dapat dilihat pada data di bawah
terlihat bahwa angka kematian PTM lebih tinggi dibandingkan dengan angka
kematian Gangguan Perinatal/Maternal dan Penyakit Menular. Proporsi kematian
yang disebabkan oleh PTM di Indonesia meningkat secara signifikan dari 41,7% pada tahun
1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007. Sementara
itu,proporsikematian penyakitmenulartelah menurun dari 44,2% pada 1995 menjadi 28,1%
pada tahun 2007 begitu juga dengan angka kematian gangguan perinatal/maternal terjadi
penurunan dari 10,1 menjadi 6,0. Di beberapa daerah yang tingkat kesehatannya lebih baik, penyakit menular sudah
relatif berkurang dan beralih ke penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung
dan pembuluh darah, diabetes melitus, kanker, penyakit kronik dan degeneratif dan
gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan. Pergeseran pola penyakit ini juga
sebagai dampak menurunnya angka kematian bayi dan anak, meningkatnya usia
harapan hidup, dan peningkatan berbagai upaya kesehatan.
Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular berdampak negatif pada ekonomi
dan produktivitas bangsa, karena PTM ini menyerang kelompok usia produktif.
Pada umumnya PTM tidak dapat/ sulit disembuhkan, seringkali memakan waktu
lama dan memerlukan biaya besar sehingga menjadi beban baik pemerintah
maupun masyarakat. Beberapa jenis PTM adalah penyakit kronik dan/atau
katastropik yang dapat mengganggu ekonomi penderita dan keluarganya. Selain itu,
PTM pada tahap lanjut akan sulit disembuhkan dengan sempurna, bahkan dapat
menimbulkan kecacatan dan kematian, terutama dirasakan oleh kalangan keluarga
yang tidak mampu dari aspek ekonomi dan lebih memprihatinkan lagi, bila PTM
diderita oleh tulang punggung keluarganya sebagai pencari nafkah. Penyakit ini
umumnya didorong dan dipicu oleh perubahan demografi (meningkatnya jumlah
penduduk usia lanjut), urbanisasi, globalisasi perdagangan bebas, dan berdampak
pada peningkatan progresif dalam pola hidup tidak sehat di antara masyarakat.
BebanPTM dapat dilihat padadata di bawah ini(tabel2.1). Lebih darisetengah kematian
disebabkan olehPTM(63,6%) dan sekitarsepertiga darikematianPTMdisebabkanoleh
penyakitkardiovaskular.
Secara umum,proporsi penyebab kematiandi Indonesia berdasarka data tahun 2007
didominasi oleh PTM, kecuali Tuberkulosis, yang masih menjadi penyebab kematian
tertinggi kedua(7,5%). Tujuh dari sepuluhpenyebab kematiandi Indonesia disebabkan oleh
PTM,dan stroke adalah proporsi tertinggi dari semua kematian (15,4%).
data dari Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesdas) menunjukkan bahwa proporsi hipertensi
(wawancara dan pengukuran) relatif tinggi, diikutioleh arthritis, stroke, diabetes, tumor
dan asma (data 2.D.2). Pada data 2.D.2 menunjukkan bahwa wanita memiliki
proporsi yang lebih tinggidi sebagian besar penyakit. Hipertensi diukur dengan pengukuran
tekanan darah digital dan diabetes mellitus diukur dengan tes darah vena (dua jam beban
glukosa). Proporsidari arthritis, stroke, tumor dan asma berdasarkan responden yang
pernah memiliki penyakit yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan(berdasarkan wawancara
responden).
1) Konsumsi Tembakau Konsumsi Tembakau
Konsumsi tembakau telah menjadi kebiasaan di kalangan laki-laki di Indonesia. Jenis
tembakau yang digunakan adalah rokok. Di negara ASEAN perokok laki-laki sekitar
53,5% (tertinggi kedua) dan 3,9% wanita (rentang dari 0,3% menjadi 55,9%),
perkiraan perbandingan prevalensi merokok (WHO 2008). Di Indonesia: diperkirakan
terjadi 300.000 kematian setiap tahun akibat rokok.Seperti dapat dilihat dari grafikdi bawah ini, proporsi perokok laki-laki meningkat pada
tahun 1995 sampai dengan tahun 2007. Proporsi perokok wanita meningkat antara
tahun 1995 sampai dengan tahun 2007 tetapi menurun antara tahun 2007 dan tahun
2010.
) Diet Tidak Sehat Diet Tidak Sehat
Seperempat dari jumlah penduduk di Indonesia mempunyai kebiasaanmakanmakanan
asinsetiap hari. Lebih dari90% orangmakanbuahdan sayurandi bawah standar yang
disarankandari 5porsi sehari. 13 % masyarakat mengkonsumsi makanan
berlemakyangdisajikan setiap harinya.
Riskesda 2007 menunjukkan bahwa 77,8% dari jumlah penduduk
mengkonsumsi bahan tambahan makanan (penyedap), 65,2% mengkonsumsi
makanan dengan kadar gula tinggi (permen). Masyarakat di Indonesia biasa
mengkonsumsi makanan dalam kemasan yang sebagian besar mengandung
penyedap dan menambahkan bumbu penyedap dalam masakannya. Konsumsi
manis banyak ditemukan pada makanan penutup, minuman dan snack.
Menururt Riskesdas 2007 proporsikonsumsibuah dan sayurankurang dari limaporsisehari
adalahdi atas 90% pada kelompokusia 15 tahun ke atas, kelompok laki-laki dan
perempuan, baik di perkotaan maupun di perdesaan,dan semuastatus ekonomi.
Standarlimaporsi perhari sulit dicapai olehkebiasaanmakan di Indonesia.
3) Kurang Aktivitas Fisik Kurang Aktivitas Fisik
Sepertiga dari penduduk usia dewasa kurang aktivitas fisik (kedua jenis kelamin).
Riskesdas 2007 menunjukkan proporsi kurang aktivitas fisik pada kelompok usia 15
tahun ke atas pada kedua jenis kelamin, penduduk di perkotaan dan perdesaan dan di
semua tingkat pendapatan (kuintil). Hal ini menunjukkan bahwa hampir di semua
wilayah ditemukan 40% atau lebih penduduk yang kurang aktivitas fisiknya.
4) Obesitas dan kegemukan Obesitas dan kegemukan
Seperlima dari jumlah penduduk di Indonesia kelebihan berat badan atau obesitas
(10,3 persen obesitas dan kelebihan berat badan 8,8 persen). Pada wanita - 23
persen dan pada pria 13,9 persen di atas maksimum yang direkomendasikan
BMI.
5) Konsumsi Alkohol Konsumsi Alkohol
Proporsikonsumsi alkoholdi kalanganpenduduk usia15tahun ke atasdi Indonesiapada
tahun 2007lebih tinggi pada laki-laki(5,8%) dibandingkan perempuan (0,4%) dan
proporsinya sedikit meningkatpada laki-lakidibandingkan pada tahun2001
(5,7%).Konsumsi alkoholbukanlahperilaku umumdi Indonesia, namun dibagian
timurIndonesia sepertidi NusaTenggara Timur(17,7%), Sulawesi Utara(17,4%) dan
Gorontalo(12,3%) memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari prevalensi nasional.
Provinsi yang melakukan pembinaan pencegahan dan penanggulangan PTM tahun 2010 dan nanggulangan PTM tahun 2010 dan
2011
Salah satu indkator PTM lainnya yaitu provinsi yang melakukan pembinaan pencegahan dan
penanggulangan PTM. Keberhasilan indikator ini adalah apabila kab/kota di wilayah kerjanya
telah melaksanakan kegiatan PTM, baik SE, deteksi dini, KIE dan penangan kasus. Kegiatan
tersebut dapat dilakukan di Puskesmas maupun di masyakat. Sampai dengan tahun 2011 sudah
sebanyak 25 (76%) provinsi yang melaksanakan pengendalian PTM. Baik tahun 2010 maupun
tahun 2011 pengendalian PTM di provinsi melebihi target yang diharapkan. Pelaksanaan
pengendalian PTM di provinsi umumya memberikan bimbingan terhadap kab/kota agar
melaksanakan program PTM, dan juga peningkatan SDM pengelola program PTM. Berikut
target dan capaian pada tahun 2010 dan tahun 2011
Pos Kesehatan Terpaduuntuk PenyakitTidak Menular(PO Pos Kesehatan Terpaduuntuk PenyakitTidak Menular(POSBINDU PTM) DU PTM) DU PTM)
Posbindu PTM merupakan kegiatan terintegrasi untuk mencegah dan mengendalikan faktor
risiko PTM berbasis masyarakat sesuai dengan sumberdaya dan kebiasaan masyarakat. Posbindu
PTM dikembangkan atas dasar besarnya masalah PTM di masyarakat. Kegiatan mencakup
upaya promosi kesehatan melalui berbagai kelompok masyarakat dan stakeholder yang telah
aktif dalam tatanan Kelurahan/Desa Siaga.
Tujuan utama dari pelaksanaan Pos Kesehatan Terpadu untuk PTM ("Posbindu PTM") adalah
agar pelayanan kesehatan masyarakat lebih mudah diakses dan terjangkau dalam mengenali
faktor risiko PTM dalam tahap awal, dalam suatu cara yang dapat dipertanggung jawabkan
secara medis. Kegiatan ini memberikan manfaat bagi individu yang memiliki faktor risiko
penyakit tidak menular untuk segera mengendalikan faktor-faktor risiko secara efektif.
kegiatan ini mudah dijangkau dan dilakukan dengan cara sederhana dan terpadu di lingkungan
sekitar atau tempat kerja tertentu. Dapat dikatakan bahwa terjangkau karena perawatan
kesehatan terpadu yang lebih ekonomis lebih dari satu tunggal. Selain itu, kegiatan dikelola oleh
masyarakat yang juga membuat kesepakatan untuk biaya pelayanan yang terjangkau bagi
masyarakat. Kegiatan secara medis bertanggung jawab karena diawasi oleh petugas kesehatan
terpilih yang telah dilatih oleh Dinas kesehatan setempat.
Kegiatan berasal dari masyarakat (relawan kesehatan terlatih) dan untuk masyarakat, yang
difasilitasi secara hukum oleh kantor pemerintah setempat (kantor desa), dan secara teknis
diawasi oleh Dinas kesehatan setempat dan pusat kesehatan masyarakat, dan organisasi
pendukung lainnya. Manajemen dan pendanaan untuk kegiatan pos kesehatan terpadu ini
dikoordinasikan sesuai kesepakatan komunitas ("Rembug Warga") dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Pada dasarnya, POSBINDU PTM mirip dengan pos kesehatan terpadu sebelumnya (Posyandu),
tetapi memiliki target populasi yang berbeda. Populasi target untuk Pos Kesehatan untuk PTM
("Posbindu PTM") adalah semua individu usia ≥ 25 tahun. Cakupan wilayah untuk setiap
"Posbindu PTM" adalah populasi maksimal dalam 1 blok administratif (RW) dan minimal 1 blok
tetangga (RT). Namun, pelaksanaannya tidak terbatas di daerah perumahan, tetapi dapat
dimulai oleh organisasi kesehatan terkait lainnya seperti Klub Pos Gizi Sehat, kelompok Lansia,
atau dalam pengaturan lain seperti tempat kerja.
Lima kegiatanutama di"Posbindu PTM" adalah:
• Pengukuran Antropometrik(berat dan tinggi badan) untuk pemeriksaanBody Mass Index.
• Pengukuran tekanan darah.
• Pengukurankolesterol dan glukosa darah.
• Konseling dan penyuluhankesehatan (diet, berhenti merokok, stres, aktivitas fisik, aspek
kesehatan lainnya).
• Aktifitas fisikatau olahraga
Tujuan akhir dari kegiatan POSBINDU adalah untuk mengendalikan faktor risiko PTM.
Pengendalian faktor risiko PTM tidak selalu membutuhkan terapifarmakologi. Pada tahap awal
faktor risiko PTM dapat dikendalikandengan konselingkesehatan danpenyuluhanyang
memadaimengenai diet, aktivitas fisik, dan gaya hidup yang baiksepertiberhenti merokok,
berhenti minum alkohol, manajemen stresyang baik, dll
1. Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, Kementerian Kesehatanmenemukan bahwa sekitar30,6% darisemua
kematiandi Indonesiadisebabkan olehpenyakit jantung dan pembuluh darah (total
512.000kematian setiap tahunnya).
Pada tahun2008 diperkirakan 17,3 juta orang meninggal karena Cerebro Vasculer
Dissease (CVD), 30 % dari seluruh kematian di dunia, 7,3 juta karena Penyakit
Jantung Koroner dan 6,2 juta karena stroke. Pada tahun 2030nhampir 23,6 juta
orang meninggal karena CVD dan sebagian besar karena penyakit jantung dan stroke.
(sumber:fact sheed NCD, September 2011)
Dari data 2.D.1.1dapat dilihatbahwa proporsihipertensi adalahsamatinggi antaralakilaki danwanita,lebih tinggi didaerah perdesaan, danjuga tinggiantarakuintillima
(status ekonomi yang lebih tinggi). Stroke lebih banyak ditemui di daerahperkotaan
(9,1%). Sementara itu,proporsipenyakit jantunglebih tinggi padawanita (31,9%)
dandi perdesaan. Secara umum, PJPD banyak diderita pada
kelompokrentan(perempuan)di daerahperdesaan, sehingga kebutuhan akan
aksespelayanan kesehatan yang lebih baik menjadi sangat penting padakelompok ini.
• Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan PembuluhDarah
Tahun 2011 deteksi dini PJPD dilaksanakan di 11 lokasi yaitu: Provinsi Riau di Kab.
Kuantan Singingi, Provinsi Jambi di Kab Muaro Jambi,Provinsi Sumatera Selatan di
Kab. Prabumulih, Provinsi Sumatera Barat di Padang Pariaman, provinsi Banten di
Serang,provinsi Jogja di Kab Bantul, provinsi Sulawesi Tenggara di Kota Kendari,
Provinsi Sulawesi Barat di Kab Mamuju,provinsi Kalimantan Selatan di Hulu sungai
selatan, provinsi Gorontalo di Kab Bone Bolango, Provinsi Maluku Utara di
Ternate. Dari hasil deteksi dini faktor resiko PJPD yang telah dilaksanakan, baru 6
provinsi yang sudah dilakukan pengolahan data, antara lain: Kalimantan selatan,
Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Sulawesi Barat. Adapun
hasil deteksi dini dari setiap indikator/variabel adalah sebagai berikut: merokok
setiap hari (7,6-36,7%), minum minuman beralkohol 12 bulan terakhir (0,4-
8,6%), sering makan makanan asin (7,7-29,2%), sering makan makanan tinggi
lemak (6,2-42,2%), sering makan/minum makanan/minuman manis-manis (25,1-
88,3%), kurang mengkonsumsi sayur dan buah (77,1-97,3%), kurang aktifitas fisik
(10,8-91,3%), stres (1,3-18,5%) , Berat badan lebih (7,4-22,2%), obesitas (10,4-
27,2%), obesitas umum (20-44,3%), obesitas sentral (17,3-81,9%), hypertensi
(17,4-80,6%), hypertensi sistolik (13,5-33,9%), hypertensi diastolik (27,1-46,1%),
kolesterol total>190 (34,2-58,7%), LDL≥115 (23,2), LDL (18,7-89,4), trigliserida
(29,8-57,6%), dislipidemia (66,0-89,1%) dan kelainan EKG (18,5-52,6%).
Selain itu pengendalian faktor risiko PJPD dilakukan melalui peningkatan
pemberdayaan peran serta kemandirian masyarakat, data jumlah posbindu dan
yang telah dilakukan pelatihan pada kader (Lampiran...)
2. Pengendalian Penyakit Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik Lainnya
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit menahun yang timbul karena adanya
peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat akibat kekurangan insulin baik absolut
maupun relatif. Menurut WHO 2008, estimasi angka kematian di wilayah asia tenggara
sebesar 14,5 juta jiwa dan 7,9 juta jiwa (55%) penyebab dari kematian tersebut
disebabkan oleh PTM yang salah satunya adalah DM (2,1%).
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan
angka insidensi dan prevalensi DM. WHO memprediksi adanya kenaikan jumlah
penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada
tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun
2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka
prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang
DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi
nasional DM berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur > 15 tahun
di perkotaan adalah 5,7 %. Berdasarkan prevalensi tesebut diketahui bahwa sebanyak
1,5 % mengetahui dirinya menderita DM sedangkan 4,2% lainnya belum mengetahui
dirinya menderita DM. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional berdasarkan
hasil pengukuran gula darah pada penduduk berumur > 15 tahun yang bertempat
tinggal di perkotaan sebesar 10,2 %.
Tahun 2011, Direktorat Pengendalian PTM (Subdit pengendalian DM dan PM)
melanjutkan Project Partnership Agreement (PPA) dengan World Diabetes Foundation
(WDF) yang telah berjalan sejak tahun 2010 yang lalu. WDF yaitu lembaga swasta dunia
yang berdedikasi dalam pencegahan dan pengobatan diabetes melitus. Tujuan dari kerja
sama ini adalah melakukan intervensi pada masyarakat dalam pencegahan dan
pengendalian diabetes mellitus dan faktor risikonya, kegiatan ini dilaksanakan sejak
bulan Desember 2010.
Kegiatan Prevention and Control of Diabetes fokus pada awereness diabetes,
pencegahan diabetes dan komplikasinya, edukasi pada diabetisi, training petugas
pelayanan kesehatan, deteksi dini, pengobatan dan monitoring diabetes, serta
membangun kerja sama antara pemerintah organisasi diabetes (Persadia, Perkeni, Pedi,
IDAI, dan Ikadar), rumah sakit dan puskesmas untuk meneruskan dan mengembangkan
kegiatan setelah proyek kerja sama selesai. Kegiatan ini dilaksanakan di 3 Kota, yaitu
Kota Padang Panjang (Propinsi Sumatera Barat), Kota Bengkulu (Propinsi Bengkulu) dan
Kota Cilegon (Propinsi Banten). Program Prevention and Control Diabetes pada akhir
kegiatan diharapkan akan terbentuk 24 pos PTM di masing-masing kota.
Dari hasil penilaian di 3 wilayah tersebut terlihat bahwa aktifitas ringan berkisar 21,4%-
51,2%, konsumsi sayur/ buah > 5 porsi berkisar 0,8%-2,2%, merokok 9,0%-16,4%,
Obesitas 16%-19%, hipertensi 17,4%-24%, kolesterol tinggi 29,8%-48,6%, DM 4,6%-
6%.
Pengembangan kegiatan deteksi dini faktor risiko DM dan PM sampai dengan tahun
2011 sudah dilaksanakan pada 10 provinsi di 92 kab/kota pada Lampiran ...
3. Pengendalian Penyakit Kanker Pengendalian Penyakit Kanker engendalian Penyakit Kanker
Kanker atau tumor ganas merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia dan
di Indonesia. Menurut data WHO tahun 2010 penyakit non infeksi merupakan
penyebab kematian terbanyak di dunia, dimana kanker sebagai penyebab kematian
nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular. Setiap tahun, 12 juta
orang di dunia menderita kanker dan 7,6 juta diantaranya meninggal dunia. Di
Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007,
tumor/kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 sebesar 5,7% dari seluruh
penyebab kematian. Prevalensi tumor/kanker sebesar 4,3 per 1000 penduduk, lebih
tinggi pada perempuan (5,7 per 1000 penduduk) daripada pada laki-laki (2,9 per 1000
penduduk).
Kanker tertinggi di Indonesia adalah kanker payudara dan kanker leher rahim. Menurut
data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2008, kanker payudara menempati
urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (18,4%), disusul
kanker leher rahim (10,3%). Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
kasus baru/insidens (semua jenis) per 100.000 penduduk adalah 170-190. Menurut
International Agency for Research on Cancer (IACR) tahun 2008, kanker payudara
merupakan kanker tertinggi pada perempuan di Indonesia dengan insidens 36 per
100.000. Sedangkan pada laki-laki kanker paru menjadi kanker tertinggi pada laki-laki
dengan insidens 30 per 100.000.
• Deteksi Dini Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim
Program deteksi dini dan tatalaksana yang dilakukan masih diprioritaskan pada 2
kanker tertinggi di Indonesia yaitu kanker payudara dan kanker leher rahim.
Program ini dimulai sejak tahun 2007 dan telah dicanangkan sebagai program
nasional yang dicanangkan oleh Ibu Negara pada 21 April 2008. Program tersebut
dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan, Female Cancer Program (FcP) dan
JHPIEGO.
Daerah yang mengembangkan Program Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan
Payudara
a. Provinsi
Sampai 2011, program deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim
telah dikembangkan di 17 provinsi, seperti pada peta sebagai berikut:
b. Kabupaten/Kota
Kabupaten/kota pada 17 provinsi diatas yang telah melaksanakan program
deteksi dini dan tatalaksana kanker payudara dan kanker leher rahim sebanyak
88. Selengkapnya pada lampiran .... data sebagai berikut:
c. Hasil Deteksi Dini
Sampai tahun 2011, hasil skrining kanker payudara dan kanker leher rahim dari
di 88 kab/kota sebagai berikut:
1) Cakupan Total
Total cakupan deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rehim sampai
tahun 2010 adalah 338.531 perempuan. Cakupan setiap tahun mengalami
peningkatan yang cukup tinggi.
2) Cakupan per wilayah
Provinsi Jawa Barat (di 6 kabupaten/kota) telah melakukan skrining
dengan jumlah terbanyak dibandingkan provinsi lain yaitu 76.199
perempuan, disusul Provinsi Jawa Timur (di 13 kabupaten/kota) 54.227
perempuan, Provinsi Jawa Tengah (di 4 kabupaten/kota) 50.501
perempuan.
Total IVA positif (lesi pra kanker leher rahim) hasil skrining sampai tahun
2011 adalah 15.180 perempuan (4,48%) dari 338.531 perempuan yang
diskrining.
3) IVA positif per wilayah
IVA positif tertinggi di provinsi Bali (9 kabupaten/kota) sebesar 11,8%,
disusul Kalimantan Barat (di 7 kabupaten/kota) sebesar 9,54%, dan
provinsi Jawa Timur (di 13 kabupaten/kota) sebesar 6,45%.
4) Curiga (suspect) kanker leher rahim
Total curiga kanker leher rahim pada perempuan yang diskrining adalah
392 atau 0,12% atau 1,2 per 1000 perempuan. Prevalensi tertinggi di
Provinsi Sulawesi Selatan (1 kabupaten) 1,25%, disusul provinsi Sumetera
Barat 0,67%, dan provinsi Kalimantan Barat 0,51%. 5) Bejolan pada payudara
Total benjolan pada payudara adalah 758 kasus (0,22 atau 2,2 per 1000
perempuan). Prevalansi tertinggi di Provini Sulawesi Selatan 3,6%, disusul
provinsi Kalimantan Barat 2,24%, dan provinsi DIY 0,53%.
• Pengembangan PengembanganProgram Program Program
Registrasi RegistrasiKanker
Registrasi penyakit kanker merupakan pengembangan suatu sistem surveilans
dengan menggunakan software SriKanDI (Sistem Registrasi Kanker di Indonesia).
Sistem ini masih terbatas di DKI Jakarta, yang nantinya akan dikembangkan ke
daerah lain di Indonesia. Registrasi Kanker di DKI Jakarta telah dilaksanakan di 79
rumah sakit, 2 klinik, 90 laboratorium patologi, dan 34 Puskesmas kecamatan yang
membawahi 301 Puskesmas kelurahan. data hasil registrasi kanker (2005-2007)
adalah:
- Kanker tertinggi pada perempuan
Insidens kanker tertinggi pada perempuan di DKI Jakarta tahun 2005-2007
adalah kanker payudara (18,58 per 100.000 perempuan), disusul kanker leher
rahim (9,25 per 100.000 perempuan), dan kanker ovarium (4,27 per 100.000
perempuan).
- Insidens kanker pada laki-laki
Insidens kanker pada laki-laki di DKI Jakarta tahun 2005-2007 tertinggi adalah
kanker bronkhus dan paru (5,81 per 100.000 laki-laki), disusul kanker kolorektal
(4,13 per 100.000 laki-laki), dan kanker hati (4,01 per 100.000 laki-laki).
- Insidens Kanker Anak (0-17 tahun)
Insidens kanker anak (0-17) di DKI Jakarta tahun 2005-2007 yang tertinggi
adalah leukemia (2,8 per 100.000 anak-anak) disusul kanker mata
(retinoblastoma) 2,4 per 100.000 anak-anak, dan kanker tulang 0,9 per 100.000
anak-anak.
Kanker Anak Kanker Anak
Mulai tahun 2011, dikembangkan program deteksi dini kanker pada anak yang
meliputi 6 jenis kanker pada anak, yaitu leukemia, retinoblastoma, kanker
nasopharink, neuroblastoma, lymphoma malignum, dan kanker tulang. Program ini
dikambangkan dengan deteksi dini di Puskesmas dan rujukan ke rumah sakit untuk
setiap temuan kelainan curiga kanker pada anak.
4. Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif lainnya
data WHO dan World Bank 2005 menyatakan bahwa pada tahun 1990 PPOK
menempati urutan keenam sebagai penyebab utama kematian di dunia. Namun pada
tahun 2002 dan 2005 telah menempati urutan ketiga sebanyak 4.057.000 setelah
penyakit kardiovaskular (17.528.000) dan kanker (7.586.000).
Berdasarkan data yang didapatkan dari rumah sakit pendidikan diseluruh Indonesia saat
ini angka kesakitan dan kematian penyakit kronis dan degeneratif (PPOK, Asma,
Osteoporosis, Osteoartritis, Gagal Ginjal Kronis, Parkinson, Thalasaemia, SLE (sistemik
lupus eritematosus) cenderung meningkat dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. data Riskesdas 2007 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dan gejala secara nasional prevalensi penyakit sendi adalah 30,3%, prevalensi Asma
3,5%, prevalensi thalasaemia 0,1% (berdasarkan keluhan responden). Risiko
osteoporosis di 16 wilayah Indonesia tahun 2005, diketahui bahwa prevalensi
Osteoporosis Dini (Osteopenia) sebesar 41,8% berarti 2 dari 5 penduduk memiliki risiko
terkena osteoporosis, sedangkan prevalensi osteoporosis pada kelompok umur ≥ 55
tahun sebesar 10,3%. Osteoporosis pada perempuan 2 kali lebih besar dibandingkan
pada laki-laki. (Litbangkes, 2005)
Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Kronik dan Degeneratif neratif
a. Deteksi Dini dengan Spirometer
Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan spirometri pada kelompok masyarakat
atau individu berisiko tinggi secara berkala. Kelompok berisiko tinggi antara lain:
1) Perokok
- Semua perokok dengan usia > 35 th
- Mempunyai riwayat merokok atau masih merokok sebanyak 20 batang
rokok setiap hari minimal selama 24 bulan, dengan atau tanpa gejala
respirasi.
2) Kelompok masyarakat yang bekerja atau tinggal di daerah pertambangan
(batu, batu bara, asbes), pabrik (bahan baku asbes, baja, mesin, perkakas logam
keras, tekstil, kapas, semen, bahan kimia), penghalusan batu, penggerindaan
logam keras, penggergajian kayu dan pekerja khusus (salon, cat, foto copy),
polantas, karyawan penjaga pintu tol, dan lain–lain.
3) Kelompok berisiko adalah ibu rumah tangga yang memasak dengan
menggunakan kayu bakar atau kompor minyak tanah dengan ventilasi ruangan
yang kurang baik.
Pemeriksaaan fungsi faal paru yang dilakukan pada tahun 2010 saat terjadinya
letusan gunung merapi di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Magelang dari 86
orang yang diperiksa, sebesar 36,05% mengalami retriksi, dan 48,84% mengalami
obstruksi. Namun hal ini, bukan hanya disebabkan oleh abu vulkanik saja, tetapi
ada beberapa faktor risiko lain seperti kebiasan merokok, riwayat penyakit
sebelumnya, penggunaan masker, dll, yang dapat meyebabkan penurunan fungsi
faal paru.
b. Deteksi dini dengan Ultrasound Bound Densitometer
Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan densitas tulang pada kelompok
masyarakat atau individu berisiko tinggi secara berkala. Kelompok berisiko tinggi
antara lain:
1) Kelompok Risiko Tinggi:
Imobilitas pada pasien dalam jangka waktu yang lama (anggota gerak yang
mengalami kelumpuhan, contoh stroke)
2) Kelompok Risiko Sedang, dengan kriteria:
- Badan yang kurus (BB kyrang dari normal)
- Konsumsi alkohol
- Penggunaa steroid (suntikan KB) dalam waktu yang lama dan kejadian
laktasi amenorhea
- Penggunaan obat kortison dan obat osteoatritis (OA) dalam jangka lama
3) Kelompok Risiko Rendah, dengan kriteria:
- Konsumsi rokok/tembakau
Kurang aktifitas fisik
- Kurang konsumsi kalsium
Sistim pelaporan PPOK, belum berjalan masih tahap pengembangan pada dua
wilayah yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Jawa Tengah.
Pengembangan Practical Approach to Lung Health (PAL) Practical Approach to Lung Health (PAL)
PAL merupakan suatu pendekatan yang berpusat pada pasien untuk meningkatkan mutu
diagnosis dan pengobatan penyakit pernapasan di tingkat UPK. Pendekatan ini
membakukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui penyusunan dan
penerapan panduan klinis dan dukungan pengelolaan dalam lingkup sistem kesehatan
kabupaten/ kota.
PAL memberikontribusi dalam peningkatan mutu penemuan pasien, tidak hanya untuk
penyakit TB tetapi juga penyakit ISPA khususnya pneumonia, Asma, dan PPOK.
Pelayanan yang bermutu tinggi penting dalam pengobatan pasien gangguan pernapasan
sekaligus melindungi masyarakat.
Perhatian PAL ditujukan pada ISPA khususnya pneumonia, Asma, PPOK dan TB, karena:
1) TB dan pneumonia merupakanpenyebab kesakitan dan kematian pada orang dewasa
muda di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Namun di Indonesia,
pneumonia dewasa belum ada pembakuan penatalaksanaannya; 2) PPOK merupakan
penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker di dunia.
Pelaksanaan PAL dimulai sejak pertengahan 2009, setelah terpilihnya FKM UI sebagai
salah satu Principal Recipient (PR) GF dimana subdit Tuberculosis sebagai focal point
dan terintergrasi dengan subdit PPKD dan subdit Ispa. Dalam kegiatan PAL dimulai
dengan melakukan Pilot Project PAL di 3 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan
Lampung. Dengan penerapan metode PAL diharapkan fasilitas pelayanan kesehatan
dapat meningkatkan angka penemuan kasus (casedetection rate) TB, mengklasifikasikan
penyakit/gangguan saluran pernapasan secara lebih dini dan memperkuat sistem
pelayanan kesehatan yang telah ada dengan melakukan integrasi, standarisasi,
koordinasi, rujukan timbal balik, kerjasama dan kemampuan petugas terkait dengan
PAL, manajemen, dan kepuasan pasien.
Fase pilot project dimulai dengan dilaksanakannya Training Of Training (TOT) PAL
angkatan pertama pada Desember 2009 dan dilanjutkan re‐training TOT dengan modul
dan metode pelatihan yang telah mengalami perbaikan sesuai dengan kurikulum yang
ditetapkan olehPPSDM. Pelatihan dilaksanakan secara berjenjang dengan peserta adalah
dokter dan perawat di puskesmas dan Rumah Sakit pada Kabupaten/Sudin/Kota terpilih
dimasing masing 3 provinsi pilot project.
Pada fase pertama pelatihan dilakukan di kota/kabupaten yang terpilih yaitu Jakarta
Pusat (DKI Jakarta), Bandar Lampung (Lampung) dan Bogor (Jawa Barat) selanjutnya
pelaksanaan PAL “diperluas” ke satu kabupaten/kota lain di 3 propinsi pilot projet
tersebut, sehingga setiap propinsi memiliki 2 kabupaten/kota panduan.
Sampai dengan akhir Juni 2011, telah dilaksanakan pelatihan pendekatan PAL bagi
tenaga kesehatan (dokter dan perawat) di 17 RS provinsi dan kabupaten/kota, dan 187
puskesmas dengan pelatih yang berasal dari propinsi/kabupaten dan Kemenkes serta
dukungan narasumber dari organisasi profesi seperti PDPI, PAPDI, dan IDAI. Jumlah
seluruh tenaga kesehatan yang telah dilatih sampai akhir Juni 2011 adalah sebanyak 426
dokter puskesmas,46 dokter RS, 1094 perawat puskesmas dan 119 perawat /bidan RS di
11 Kabupaten/Kota
Dari hasil evaluasi pelaksanaan PAL sampai dengan Juni 2011 diperoleh gambaran ada
peningkatan penemuan dari kasus suspek TB, pneumonia, asma dan PPOK. Hal ini
mengingat Puskesmas sudah memiliki fasilitas untuk mendiagnosis asma dan PPOK
dibandingkan sebelumnya.
5. Pengendalian Gangguan Pengendalian GangguanakibatKecelakaan dan Tindak Keker Kecelakaan dan Tindak Keker Kecelakaan dan Tindak Kekerasan
Cedera merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat karena dampak dan
konsekuensinya baik pada individu atau masyarakat yang terpapar. Setidaknya5,8juta
orangmeninggal karenacedera.Kasuspaling sering disebabkanoleh cederalalu lintas
jalan(23%), bunuh diri (15%), pembunuhan (11%), tenggelam(7%), dibakar(6%),
racun(6%), lainnya(21%) (WHO ,2004).
Di Indonesia, cedera merupakan 4penyebab utamakematiansetelah stroke, TB,
danhipertensi.Kebanyakankasus cedera dikarenakan akibat kecelakaanlalu lintas
jalan(25,9%). Jumlah inimeningkat secara signifikandalam beberapa tahun. Karenasituasi
ini,DirektoratPenyakitTidak Menular berupaya untukmengatasimasalah ini
denganmengembangkan kegiatan-kegiatandalam mencegahdan mengendalikanfaktor
risikocederalalu lintas jalan.
• Deteksi Dini Faktor Risiko Ganguan Akibat Kecelakaa Deteksi Dini Faktor Risiko Ganguan Akibat Kecelakaan Ganguan Akibat Kecelakaan
Deteksi dini Gangguan Akibat Kecelakaan dilakukan melalui Kesiapsiagaan
penananggulangan Gakce & Tisan. Sampai tahun 2011 kegiatan kesiapsiagaan
penanggulangan Gakce & Tisan masih menggunakan anggaran Dipa Dit PPTM dan
dikerjakan oleh dinas kesehatan bekerja sama dengan lintas sektor terkait di bawah
koordinasi Dit PPTM khususnya subdit Gakce & Tisan. Tahun depan diharapkan dapat
dibiayai oleh anggaran daerah khususnya dalam menghadapi situasi matra dengan
melibatkan subdit matra. data Hasil Pemeriksaan deteksi dini Faktor Risiko Kecelakaan
selama arus mudik tahun 2011, dari 781 pengemudi diketahui pengemudi yang
mengalami hipertensi sebanyak 49,55 %. Pengemudi yang positif mengandung alkohol
dalam pernapasan 3%, pengemudi positif amphetamin sebanyak 0 %, dan yang
hiperglikemia sebanyak 9,33%. Berikut data hasil pemeriksaan deteksi dini Faktor Risiko
Kecelakaan selama arus mudik tahun2010 dan tahun 2011.
Peningkatan Komunikasi Informasi dan Edukasi
Dalam peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai gangguan akibat
kecelakaan lalu lintas, dicanangkan Pekan keselamatan di Jalan. Pekan Keselamatan di
Jalan merupakan kegiatan dalam rangka Global Road safety Week. Sampai tahun 2010
Pelaksanaan Kegiatan Pekan Keselamatan di Jalan ada 3 Lokasi. Sasaran dari Pekan
Keselamatan di jalan adalah Anak Usia sekolah, mengingat usia korban kecelakaan 25 %
usia 16-25 tahun. Kegiatan Pekan Keselamatan di Jalan meliputi kegiatan Kampanye
pekan keselamatan di jalan, dan bentuk kegiatan promosi keselamatan di jalan. Dengan
adanya kegiatan ini diharapkan masyarakat berperilaku selamat dan sehat di jalan.
PENYEHATAN LINGKUNGAN (PL) UNGAN (PL)
Kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan
dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Ini adalah suatu komitmen yang tidak
mudah untuk dilakukan. Sebagaimana kondisi saat ini banyak kendala yang harus dihadapi
dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan khususnya terkait dengan kondisi kesehatan
lingkungan. Tingginya angka kesakitan akibat sanitasi yang buruk dan permasalahan
kesehatan lain yang makin bertambah berat, kompleks dan bahkan terkadang tidak terduga
merupakan tantangan yang harus disikapi secara bijaksana. Sampai dengan tahun 2012
lebih dari 100 juta masyarakat Indonesia belum memiliki kemudahan akses terhadap
sumber air minum dan penyehatan lingkungan yang layak. Ketersediaan dan memburuknya
kualitas sumber air, pencemaran tinja dibanyak sumber air disekitar permukiman,
pencemaran limbah domestik terhadap sumber air, tekanan pertambahan penduduk
disertai kebutuhan atas permukimannya memberikan dampak terhadap sumber-sumber air
berkualitas seperti berkurangnya mata air karena rusaknya daerah tangkapan air pada
ekosistim hutan, ekstraksi air tanah yang berlebihan sehingga mendorong air laut
menggantikan air tanah tawar, pencemaran sungai akibat buangan limbah pabrik, adanya
fenomena-fenomena alam akibat dampak pemanasan global, adanya bencana alam,
ditambah lagi dengan masih rendahnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan
lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, menjadikan masalah kesehatan lingkungan
menjadi issue penting dan sudah seharusnya di tanggapi secara serius .Tidak sedikit para
pemerhati lingkungan dari berbagai disiplin ilmu bersama sama pemerintah ikut
berpartisipasi melakukan penyelamatan lingkungan. Oleh sebab itu sejalan dengan
komitmen global dan dalam rangkamencapai sasaran dan target MDG’s Goal 7 target 10,
maka Direktorat Penyehatan Lingkungan focus kepada upaya preventif dan promotif.
diantaranya dengan melakukan,peningkatan kesehatan lingkungan melalui perluasan
penyediaan air bersih, pengurangan wilayah kumuh , pemberdayaan masyarakat dalam
perilaku hidup besih dan sehat sehingga diharapkan melalui program-program penyehatan
lingkungan Direktorat Penyehtan Lingkungan dapat berkontribusi dalam meningkatkan
angka harapan hidup dari 70,7 tahun 2009 menjadi 72,0 tahun 2014 dan pencapaian
keseluruhan sasaran Millenium Develompment Goals (MDGs) tahun 2015.
Sebagai instansi pemerintah dibidang kesehatan lingkungan,Direktorat Penyehatan
Lingkungan menyikapi permasalahan tersebut dengan melakukan berbagai upaya
peningkatan kesehatanlingkungan melalui program dan kegiatan penyehatan air dan
sanitasi dasar, Penyehatan limbah udara dan radiasi, Hygiene sanitasi pangan, penyehatan
kawasan dan sanitasi darurat,serta penyehatan perumahan dan tempat tempat umum.
Berikut ini adalah gambaran/profil Penyelenggaraan kegiatan Penyehatan Lingkungan, yang
disajikan dalam bentuk narasi, data dan grafik.
1. Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air & Sanitasi Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air & Sanitasi Dasar Penyehatan Air & Sanitasi Dasar
Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum yang berkualitas
merupakan indikator yang tercantum dalam RPJMN dan Renstra
Banyak wilayah dan sumber air yang seharusnya dapat dimanfaatkan, namun tidak
sedikit kondisinya sangat memprihatinkan , dari sekitar dua ratus jutaan penduduk
Indonesia, baru 20% saja yang dapat memiliki akses terhadap air bersih. Ini pun
kebanyakan dari daerah perkotaaan. Sedangkan sisanya, 80% rakyat Indonesia masih
mengkonsumsi air yang tak layak untuk kesehatan mereka.
Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar i Dasar
Saat ini, angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu mencapai
34 kasus per 1000 kelahiran (tahun 2007). jumlah tersebut masih di atas target
pencapaian MDGs, yakni 25 kasus per 1000 kelahiran. Salah satu penyakit infeksi
yang mengakibatkan kematian bayi adalah diare, penyakit yang paling mematikan
nomor dua setelah infeksi saluran pernapasan akut. Penyebab utamanya
dikarenakan buruknya akses terhadap air bersih serta sanitasi. Dari hal ini kita bisa
tahu bahwa kesadaran masyarakat Indonesia terhadap lingkungan tempat tinggal
masih begitu rendah. Berdasarkan hasil studi WHO tahun 2007 dibuktikan bahwa
kejadian diare menurun 32% dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap
sanitasi dasar, 45% dengan perilaku mencuci tangan pakai sabun, dan 39% perilaku
pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga. sedangkan dengan
menggabungkan ketiga perilaku intervensi tersebut, kejadian diare menurun sebesar
94%.
Oleh karena itu dalam mengatasi masalah sanitasi dan pencukupan kebutuhan air
bersih maka melalui Direktorat Penyehatan Lingkungan, khususnya Subdit PASD
melakukan berbagai percepatan di segala bidang antara lain kegiatan Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM).STBM merupakan salah satu opsi intervensi yang dapat
diterapkan untuk menjawab permasalahan di atas melalui :
a) Peningkatan lingkungan yang kondusif dengan cara meningkatkan kapasitas
pemerintah dalam pengembangan kebijakan dan implementasi
b) Peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap perilaku higiene dan fasilitas
sanitasi
c) Peningkatan penyediaan sarana sanitasi yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat
d) Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi
serta pembiayaan
Upaya tersebut juga dilakukan melalui kerjasama dengan donor agency
internasional, seperti ADB, KFW German, WHO, dan World Bank yang
diimplementasikan melalui kegiatan WSLIC-2, Pro Air, CWSHP, Pamsimas,
ICWRMIP, MCC (Millenium Challenge Coorporation) untuk mengatasi stunting
pada anak-anak dengan intervensi nutrisi dan kesehatan lingkungan. Selain itu,
beberapa lembaga internasional (NGO) atau LSM melakukan kegiatan berorientasi
pada pembinaan, penyediaan sarana air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat
khususnya bagi yang berpenghasilan rendah di perdesaan. Semua upaya tersebut
ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap air minum dan sanitasi
dasar yang layak.
Untuk lebih jelasnya, pemetaan pelaku kegiatan STBM di Indonesia saat ini dapat
dilihat dalam gambar berikut: Pada tahun 2011 Kegiatan Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar meliputi penyusunan
NSPK, sosialisasi dan advokasi, fasilitasi di KKP dan BBTKLPP, capacity building,
kemitraan dan jejaring, dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat di bidang
penyehatan air dan sanitasi dasar. Dalam pelaksanaannya, subdit PASD
menggunakan dana dari beberapa sumber yaitu dari APBN Kementerian Kesehatan
DIPA Penyehatan Lingkungan sendiri, anggaran P3SD Perkotaan untuk dukungan
kegiatan PPSP, P3SD Perdesaan untuk dukungan kegiatan STBM, dan kerjasama
dengan beberapa mitra dan donor. Untuk anggaran P3SD Perkotaan dan Perdesaan
menginduk pada Kementerian PU. Penggunaan kedua mata anggaran tersebut
sebagai salah satu bentuk koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dalam Pokja AMPL.
b. Peringatan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia (HCTPS) ke- TPS) ke-4
Peringatan HCTPS Sedunia ke-4 tahun 2011 mengusung tema global ”Cuci Tangan:
Upaya Promotif dan Preventif Terpadu, Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Anak”.
Cuci Tangan Pakai Sabun, adalah prilaku sederhana yang paling mudah dan murah
untuk dilakukan, namun faktanya hal ini seringkali tidak dilakukan, padahal perilaku
ini berdampak besar untuk menghindari berbagai penyakit. Pelaksanaan HCTPS
bertujuan untuk menyampaikan pesan edukasi perilaku untuk membudayakan CTPS
di masyarakat, mulai dari diri sendiri, keluarga, dan menerapkan sejak usia dini atau
anak-anak sehingga dapat menjadi generasi penerus yang berkualitas. HCTPS juga
menjadi rangkaian bulan kampanye sanitasi Kongres Sanitasi & Air Minum Nasional
(KSAN) yang diselenggarakan pada tanggal 11-13 Oktober 2011.
Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, peringatan HCTPS ke-4 dirayakan dengan
beberapa rangkaian kegiatan, yaitu:
• Sepeda santai, dengan memanfaatkan moment Car Free Day tanggal 9 Oktober
2011 yang dimulai dari Parkir Timur Senayan, diikuti oleh 1000 pesepeda dalam
acara kampanye kesehatan dan "gowes".
• Rakornas I STBM di Bekasi (tanggal 13 Oktober 2011) yang dibuka secara
langsung oleh Ibu Menteri Kesehatan, Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih
(Almh.). Dalam acara tersebut diluncurkan logo dan website STBM, serta
interaksi langsung dengan sanitarian di Kabupaten Pacitan melalui video
conference.
• Acara puncak peringatan HCTPS ke-4 pada tanggal 15 Oktober 2011, yang
dihadiri hampir 400 orang pelaku STBM di seluruh Indonesia dan berakhir
dengan pemecahan rekor MURI, berupa tarian tangan 3100 anak.
c. Dukungan Jejaring Sanitasi Dukungan Jejaring Sanitasi
Dukungan Jejaring Sanitasi merupakan bentuk komitmen Kementerian Kesehatan
dalam memberikan dukungan sesuai dengan peran Kementerian Kesehatan sebagai
PIU/UPP Advokasi dan Pemberdayaan pada setiap tahapan pelaksanaan program
PPSP. Ada sebanyak 58 kabupaten/kota yang baru bergabung menjadi peserta PPSP
di tahun 2011, sedangkan kabupaten/kota yang sudah bergabung sebelumnya ada
63 sehingga jumlah total kabupaten/kota peserta PPSP di tahun 2011 sebanyak 121.
Jumlah tersebut akan selalu bertambah di tahun berikutnya dengan target minimal
330 kabupaten/kota PPSP pada tahun 2014. Kegiatan dukungan jejaring sanitasi di
tahun 2011 melebihi target dari semula direncakan di 15 lokasi menjadi 38 lokasi.
Bentuk dukungan yang dilakukan antara lain sebagai berikut:
• Penyelenggaraan lokakarya penjaringan minat PPSP
• TOT Fasilitasi Studi EHRA bagi kabupaten/kota peserta PPSP
• dukungan untuk kegiatan terkait advokasi dan sosialisasi PPSP
• dukungan pada pelatihan-pelatihan PPSP (sebagai narasumber ataupun
peserta)
• dukungan untuk City Sanitation Summit dan KSAN (Kongres Sanitasi dan Air
Minum Nasional)
• dukungan fasilitasi setiap tahapan PPSP baik di pusat, provinsi atau regional,
dan kabupaten/kota.
d. Kegiatan Persiapan Penyelenggaraan EASAN- Kegiatan Persiapan Penyelenggaraan EASAN-3
Penetapan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Negara-negara ASEAN yaitu
EASAN-3 di Bali pada tahun 2012 menimbulkan konsekuensi untuk melakukan
persiapan yang serius demi terselenggaranya acara tersebut. Salah satu persiapan
yang dilakukan adalah dengan membentuk komite nasional dan secretariat EASAN-
3. EASAN-2 telah fokus pada promosi, inovasi dan lesson learned implementasi
dalam upaya peningkatan pencapaian outcome. Selanjutnya de