Kamis, 10 Juli 2025

pengendalian penyakit terpadu. 3

 



ria yang dikenal dengan sebutan “Komando Operasi Pembasmian 

Malaria” (KOPEM). Tanggal 12 November tersebut kemudian ditetapkan sebagai Hari 

Kesehatan Nasional. 

Penggalakkan pemberantasan malaria melalui gerakan masyarakat yang dikenal dengan 

Gerakan Berantas Kembali Malaria atau ”Gebrak Malaria” telah dicetuskan pada tahun 

2000. Gerakan ini merupakan embrio pengendalian malaria yang berbasis kemitraan 

berbagai sektor dengan slogan “Ayo Berantas Malaria”. 

Berdasarkan Gebrak Malaria tersebut, dalam rangkaian Peringatan Hari Malaria Sedunia 

tahun 2012 dibentuklah Forum Nasional Gebrak Malaria (FNGM) pada tanggal 12 

April 2012. Anggota FNGM ini berasal dari berbagai bidang, sektor dan institusi. FNGM 

ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi kebijakan program pengendalian 

Malaria menuju eliminasi. 

Pengendalian malaria di Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan 

Republik Indonesia Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang 

Eliminasi Malaria di Indonesia bertujuan untuk mewujudkan masyarakat yang hidup 

sehat, yang terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai tahun 2030. Strategi 

yang ditempuh adalah pencapaian eliminasi secara bertahap dengan sasaran dan target 

sebagai berikut : 

1) Kepulauan Seribu (Provinsi DKI Jakarta), Pulau Bali, dan pulau Batam pada tahun 

2010; 

2) Pulau Jawa, Provinsi NAD, dan Provinsi Kepulauan Riau pada tahun 2015; 

3) Pulau Sumatera (Kecuali Provinsi NAD dan Propinsi Kepulauan Riau), Provinsi NTB, 

Pulau Kalimantan, dan Pulau Sulawesi pada tahun 2020; dan 

4) Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, Provinsi Maluku, Provinsi NTT dan Provinsi 

Maluku Utara, pada tahun 2030.

Eliminasi malaria dilakukan secara menyeluruh dan terpadu oleh Pemerintah, 

Pemerintah Daerah bersama mitra kerja pembangunan termasuk LSM, dunia usaha, 

lembaga donor, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat. 

Kebijakan dalam pengendalian malaria adalah : 

1) Semua penderita yang dicurigai malaria harus dikonfirmasi laboratorium baik 

menggunakan mikroskop maupun test diagnostic cepat (Rapid Diagnostic Test/RDT) 

2) Pengobatan menggunakan terapi kombinasi Artemisinin (Artemisinin based 

Combination Therapy / ACT) 

3) Pencegahan dengan menggunakan kelambu berinsektisida, penyemprotan dinding 

rumah (Indoor Residual Spraying/IRS). 

4) Kemitraan melalui Forum Gebrak Malaria 

5) Peningkatan peran serta masyarakat seperti melalui Pos malaria desa (Posmaldes), 

desa siaga. 

 

a. Endemisitas Malaria Endemisitas Malaria 

Stratifikasi endemisitas wilayah di Indonesia dibagi menjadi : 

• Endemis Tinggi adalah API > 5 per 1.000 penduduk Endemis Tinggi

• Endemis Sedang adalah API berkisar antara 1 – < 5 p Endemis Sedang er 1.000 penduduk 

• Endemis Rendah adalah API 0 - 1 per 1.000 penduduk Endemis Rendah 

• Non Endemis adalah daerah yang tidak terdapat penul Non Endemis aran malaria (Daerah 

pembebasan malaria) atau API = 0, seperti propinsi DKI Jakarta. 

Dari data yang dilaporkan ke Subdit Malaria diperoleh gambaran peta endemisitas 

malaria sebagai berikut:

Berdasarkan peta endemisitas tersebut diatas diperoleh gambaran tentang situasi 

endemisitas malaria di kabupaten/kota di Indonesia pada tahun 2010 dan 2011. 

Sedangkan persentase kab/kota berdasarkan tingkat endemisitasnya pada tahun 

2010 dan 2011 dapat dilihat pada data di bawah ini: 


Dari gambaran peta dan data endemisitas malaria di Kabupaten/Kota terlihat 

penurunan jumlah daerah endemis tinggi dimana pada tahun 2009 kabupaten/kota 

yang termasuk daerah endemis tinggi sebanyak 24,1 % , pada tahun 2010 sebanyak 

16,97% dan pada tahun 2011 sebanyak 12 %. 

b. Angka Kesakitan Malaria Angka Kesakitan Malaria 

Secara nasional kasus malaria selama tahun 2005 – 2011 cenderung menurun yaitu 

pada tahun 2005 angka Annual Paracite Incidence (API/ Insidens parasit malaria) 

sebesar 4,10 per 1000 menjadi 1,75 per 1000 penduduk pada tahun 2011. Angka ini 

cukup bermakna karena diikuti dengan intensifikasi upaya pengendalian malaria 

yang salah satu hasilnya adalah peningkatan cakupan pemeriksaan sediaan darah 

atau konfirmasi laboratorium. 

Dalam Renstra Kemenkes RI tahun 2010 sd 2014, malaria menjadi salah satu 

indikator kinerja kementerian kesehatan dengan target dan capaian sebagai berikut : 

Berdasarkan data di atas, API (Annual Paracite Incident) Per 1.000 penduduk telah 

mengalami penurunan dan target Renstra tahun 2011 tercapai. 

Angka API Malaria selama tahun 1990 sd 2011 dapat dilihat pada data berikut :



Berdasarkan data tersebut dapat dilihat, bahwa jumlah kasus malaria paling tinggi 

masih di daerah timur Indonesia seperti NTT, Papua dan Papua Barat. Namun jika 

dilihat API nya, maka yang tertinggi adalah provinsi Papua 

c. Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi La Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah (Konfirmasi Laboratorium) boratorium) 

Berdasarkan cakupan konfirmasi laboratorium belum semua suspek malaria 

dilakukan pemeriksaan sediaan darahnya (dikonfirmasi laboratorium). Dari tahun 

2000 - 2011 pemeriksaan sediaan darah terhadap jumlah suspek malaria terus 

meningkat secara signifikan yaitu pada tahun 2005 sebesar 47% sedangkan pada 

tahun 2011 meningkat menjadi 83,5%. 



d. Persentase Penderita Malaria yang Diobati Persentase Penderita Malaria yang Diobati 

Persentase penderita malaria yang diobati merupakan persentase penderita malaria 

yang diobati sesuai pengobatan standar dalam kurun waktu 1 tahun dibandingkan 

dengan jumlah kasus malaria positif dalam tahun tersebut. 

Pencapaian Persentase penderita malaria yang diobati ACT pada tahun 2011 adalah 

sebesar 66,3% yaitu setiap penderita tersangka malaria dilakukan pemeriksaan 

sediaan darah dan apabila hasilnya positif maka diobati menggunakan ACT. Angka 

ini meningkat dibanding tahun 2010 yang baru mencapai 46,7%. 

e. Peningkatan Kasus & KLB Malaria Peningkatan Kasus & KLB Malaria 

Dalam tahun 2011 masih terjadi peningkatan kasus maupun KLB malaria di 9 

Kabupaten /Kota di 7 provinsi dengan jumlah penderita positif sebanyak 888 kasus 

dan jumlah kematian sebanyak 13 orang ( CFR= 1,45%). Upaya penanggulangan 

baik dengan pengobatan massal, mass blood survey (MBS), penyemprotan rumah, 

penyelidikan vektor penyakit dan tindakan lain misalnya pengeringan tempat 

perkembangbiakan nyamuk telah dilakukan dengan baik. 


Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa laporan adanya KLB malaria berasal dari 

provinsi Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Jawa Tengah, 

Lampung< Sumatera Utara dan Sumatera Barat. 

Jumlah kematian akibat Malaria yang dilaporkan ke Subdit Malaria pada 2010 

adalah sebanyak 423 orang, sedangkan untuk tahun 2011 menurun menjadi 388 

orang. Sedangkan berdasarkan CFR KLB juga mengalami penurunan dibandingkan 

dengan tahun 2010 yaitu sebesar 3,7% menjadi 1,45% pada tahun 2011. Jumlah 

kematian Malaria di Indonesia tidak dapat digunakan untuk mengestimasi 

prevalensi dan/atau insidens kematian Malaria (death specific mortality rate) karena 

kesulitan dalam penentuan population-at-risk. Selanjutnya, situasi ini menyebabkan 

kesulitan dalam mengidentifikasi faktor penentu kematian Malaria di Indonesia.


Berdasarkan Riset Kesehatan Daerah tahun 2007, malaria menjadi salah satu 

penyakit dalam pola penyebab kematian semua umur di Indonesia yaitu sebesar 

1,3% (lebih tinggi dibandingkan dengan dengue namun jauh lebih rendah 

dibandingkan dengan Stroke dan TB). Namun untuk 10 penyakit menular penyebab 

kematian, maka malaria menempati urutan ke 6 yaitu sebesar 4,6%. 

f. Upaya Pencegahan Penularan Malaria Melalui Pendistribusian Kelambu ibusian Kelambu

Pemakaian kelambu berinsektisida merupakan salah satu strategi untuk mengurangi 

faktor resiko penularan malaria. Dalam rangka pencapaian salah satu tujuan dari 

Millenium Development Goals (MDGs), yaitu maka kegiatan program 

pengendalian malaria terkait yang telah dijalankan saat ini adalah dengan 

pembagian kelambu yang bertujuan untuk melindungi penduduk dari gigitan 

nyamuk penyebab penyakit malaria terutama untuk balita dan ibu hamil. 

Saat ini di Indonesia, jumlah penduduk berisiko adalah sekitar 147 jiwa dan jumlah 

kelambu yang telah didistribusikan pada kurun waktu 2010 - 2011 sekitar 5,8 juta 

kelambu. Apabila 1 kelambu diperkirakan mampu melindungi 2 - 3 orang dari 

anggota keluarga berarti baru sekitar 11,6 – 17,4 juta jiwa yang terlindungi sekitar 

12%. 

Kebijakan Pendistribusian kelambu malaria Indonesia saat ini adalah : 

1) Penggunaan kelambu berinsektisida harus didasarkan pada data penyakit 

malaria dan memperhatikan sosial budaya masyarakat 

2) Pelaksanaan distribusi dan penggunaan kelambu dilakukan secara rutin dan 

kampanye, dengan pendekatan integrasi antara lintas program, lintas sektor 

serta mitra terkait. 

3) Kelambu berinsektisida yang digunakan harus mengacu pada ketentuan teknis 

4) Seluruh penduduk berisiko terlindungi dari penularan malaria melalui 

penggunaan kelambu berinsektisida 

5) Penggunaan kelambu berinsektisida, diutamakan yang efektifitasnya lama 

(LLIN’s).

Sedangkan strategi pendistribusian kelambu dilakukan dengan : 

1) Menggalang Kemitraan dengan Lintas program, Lintas sektor, LSM/Civil Society, 

Swasta dan Masyarakat dalam perencanaan, pengadaan, distribusi dan 

pemantauan penggunaan. 

2) Melaksanakan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) agar masyarakat 

bersedia menggunakan kelambu berinsektisida sehingga penggunaan kelambu 

dianggap sebagai kebutuhan (budaya). 

3) Memberdayakan Masyarakat hingga mampu membeli kelambu berinsektisida 

sendiri antara lain melalui sistim bergulir (revolving fund) atau arisan. 

4) Mendukung ketersediaan dan kemudahan masyarakat untuk mendorong & 

memperoleh secara gratis dan ataumembeli kelambu berinsektisida, serta 

5) Meningkatkan advokasi, fasilitasi dan pembinaan dalam pendistribusian 

kelambu di masyarakat. 

3. Pengendalian PengendalianPenyakit Arbovirosis Penyakit Arbovirosis Penyakit Arbovirosis 

a. Penyakit Demam Berdarah Dengue Penyakit Demam Berdarah Dengue 

Jumlah penderita DBD yang dilaporkan pada tahun 2011 sebanyak 65.725 kasus 

dengan jumlah kematian 597 orang (IR= 27,67 per 100.000 penduduk dan CFR= 

0,91 %*update per tanggal 31 maret 2012). Angka insidens (IR) tertinggi terdapat di 

Provinsi Bali, yaitu 86,33 per 100.000 penduduk dan terendah di Provinsi Maluku,

yaitu 0,76 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kematian (CFR) tertinggi 

adalah Provinsi Sulawesi Barat sebesar 2,44 %, dan angka kematian terendah DKI 

Jakarta (CFR=0,05%). Laporan kasus DBD dari Provinsi Papua dan Papua Barat 

nihil. 

Selama tahun 2011 lebih kurang terdapat 13 kabupaten/kota dari 7 provinsi yang 

melaporkan terjadinya KLB DBD yaitu: Kab Labuhan Batu (Sumut), Kab. 

Limapuluhkota (Sumbar), Kab Karimun (Kepri), Kab. Rokan Hilir (Riau), Kab 

Senggigi (Riau) dan Kab. Bengkalis (Riau), Kota Jambi (Jambi), Kab.Batanghari 

(Jambi), Kab. Muaro Jambi (Jambi), Kab. Tanjung Jabung Timur (Jambi), Kab. 

Lampung Utara (Lampung), Kab. Maluku Tenggara (Maluku) dan Kota Tual 

(Maluku). Pemetaan Angka Kesakitan (Incidence Rate) DBD tahun 2011 dapat 

dilihat pada gambar dibawah ini: 

Berdasarkan gambar di atas, pada tahun 2011 ada 7 provinsi yang memiliki angka 

kesakitan (IR) diatas 54/ 100.000 penduduk antara lain; Aceh, Riau, Kep.Riau, 

Jambi, DKI Jakarta, Bali dan Sulawesi Tengah. Walaupun Insiden DBD tahun 2011 

mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2010 namun 

upayapenanggulangan kasus, pengendalian vektor dan upaya-upaya pemutusan 

rantai penularan penyakit harus ditingkatkan dan dioptimalkan dengan 

mengedepankan upaya promotiv dan preventiv antara lain dengan meningkatkan 

peran serta masyarakat untuk ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan Pemberantasan 

Sarang Nyamuk (PSN) 3 M Plus. Sedangkan pemetaan Angka Kematian (Case 

Fatality Rate) DBD tahun 2011 dapat dilihat pada gambar di bawah ini: 

Pada tahun 2011 terdapat 5 provinsi yang memiliki Angka Kematian (CFR) akibat 

DBD sangat tinggi diatas 2% yaitu Provinsi Riau, Jambi, Gorontalo, Sulawesi Barat 

dan NTT. Hal ini menunjukkan bahwa masih perlu upaya peningkatan kualitas 

pelayanan kesehatan, manajemen tatalaksana penderita di sarana-sarana pelayanan 

kesehatan, peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kesehatan di rumah sakit dan 

puskesmas (dokter, perawat dan lain-lain) termasuk peningkatan sarana - sarana 

penunjang diagnostik dan penatalaksanaan bagi penderita di sarana - sarana 

pelayanan kesehatan.


Pola perkembangan DBD pada tahun 2011 secara nasional menunjukkan terjadinya 

penurunan kasus dan kematian DBD dibandingkan tahun 2010. Bila melihat pola 

data diatas tampak sedikit perbedaan perjalanan kasus DBD tahun 2010 dan 2011 

dibandingkan tahun 2002 sampai 2007 menunjukan tren peningkatan, sedangkan 

pada tahun 2010 dan 2011 kasus DBD mengalami penurunan. 


data di atas menunjukkan perbedaan pola perjalanan kasus DBD, jika periode 

tahun 2002 sd 2007 cenderung meningkat tetapi sejak tahun 2009 hingga 2011 

terjadi penurunan kasus. Kabupaten/Kota terjangkit DBD pada tahun 2010 ada di 

400 kab/kota dari 474 kab/kota yang ada (84,4%). Pada tahun 2011 menurun 

menjadi 374 kab/kota terjangkit dari 497 kab/kota yang ada (75 %). 

b. Demam Chikungunya Demam Chikungunya 

Chikungunya adalah penyakit infeksi akut yang ditandai gejala utama demam, ruam 

/bercak-bercak kemerahan di kulit dan nyeri persendian, penyakit ini disebabkan 

oleh infeksi virus Chik yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan Aedes 

albopictus. 

Demam Chik dijumpai terutama di daerah tropis/subtropis dan sering menimbulkan 

epidemi. Beberapa faktor yang mempengaruhi munculnya demam chik antara lain; 

rendahnya status kekebalan kelompok masyarakat, kepadatan populasi nyamuk 

penular karena banyaknya tempat perindukan nyamuk yang biasanya terjadi pada 

musim penghujan. 


Seperti halnya DBD, peningkatan kasus Chikungunya mungkin berkaitan dengan 

makin banyaknya daerah-daerah rural dan daerah-daerah perkotaan dengan tingkat 

kepadatan penduduk yang makin meningkat seiring peningkatan arus urbanisasi dan 

transportasi, disamping itu pengaruh perubahan iklim menjadi salah satu faktor 

penyebab semakin luasnya penyebaran vektor penular DBD dan Chikungunya; 

namun bisa juga dikarenakan semakin baiknya sistem surveilans dan diagnostik 

terhadap penyakit Chikungunya di daerah-daerah sehingga banyak Dinas Kesehatan 

atau puskesmas di seluruh Indonesia yang melaporkan kasus Chikungunya. Dilihat 

dari data di atas tampak terjadi penurunan jumlah kasus Chikungunya yang 

dilaporkan pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2009 dan 2010. 


Pada tahun 2011, kasus Chikungunya dilaporkan di Jawa Barat, NTB, Banten, Jawa 

Timur, Aceh, Gorontalo, Lampung, DIY, Bali, Sulawesi Barat, DKI Jakarta dan 

Sumatera Barat dengan jumlah 2.998 kasus tanpa kematian 

c. Japanese Encephalitis (JE) Japanese Encephalitis (JE) itis (JE) 

Japanese Encephalitis (JE) merupakan penyakit infeksi virus akut yang menyebabkan 

radang otak; disebabkan oleh virus dari genus Flavivirus yang ditularkan melalui 

gigitan nyamuk. Virus JE termasuk virus zoonotik yang hidup berkembang didalam 

tubuh hewan antara lain babi, unggas, katak, ular, kelelawar dan lain-lain; namun 

sejauh ini babi dianggap sebagai hospes reservoir utama virus JE. Sedangkan vektor 

utama yang berperan dalam penularan adalah nyamuk Culex Tritaeniorhynchus, 

Cx. Vishnui, Cx. Pseudovishnui Cx. Gelidus. Penyakit ini banyak ditemui di daerah￾daerah rural, persawahan, rawa, peternakan babi dan lingkungan lain yang 

merupakan habitat perkembangbiakan nyamuk culex. Masa inkubasi berkisar antara 

5 – 16 hari.


Kasus Japanese Ensefalitis pernah ditemukan di beberapa provinsi di Indonesia 

antara lain: Sumatera Barat, Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, 

Kalimantan Barat dan Papua. Keberadaan virus Japanese Ensefalitis (JE) seringkali 

dikaitkan dengan jumlah populasi babi di wilayah tersebut karena babi merupakan 

hospes reservoir utama dari virus Japanese Ensefalitis (JE)


data kasus Japanese Ensefalitis di atas diperoleh dari hasil survey-survey yang 

dilakukan di beberapa wilayah. Sistim surveilans Japanese Ensefalitis yang belum 

terbentuk dengan baik menjadi salah satu permasalahan dalam menentukan 

penyebaran kasus Japanese Ensefalitis secara akurat. 

4. Pengendalian Vektor Pengendalian Vektor engendalian Vektor 

Pemantauan terhadap pelaksanaan kegiatan pengendalian vektor merupakan sebagian 

dari kegiatan Subdit Pengendalian Vektor. Tidak dipungkiri bahwa pengendalian vektor 

saat ini identik dengan penggunaan insektisida, meskipun upaya pengendalian dengan 

metode lain juga perlu dipertimbangkan. Dengan kondisi seperti itu, maka pengawasan 

terhadap penggunaan insektisida dan dampaknya perlu dilakukan agar hasilnya tetap 

efektif dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.


Pembinaan Tenaga Kesehatan Pengendalian Vektor Pembinaan Tenaga Kesehatan Pengendalian Vektor 

Untuk meningkatkan sumber daya manusia di bidang pengendalian vektor baik di 

Dinas Kesehatan Provinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, BBTKL/BTKL, KKP dan 

Bapelkes. Kegiatan yang dilakukan berupa : Pentalo Pentaloka Pengendalian Vektor Pentaloka Pengendalian Vektor ka Pengendalian Vektor

b. Longitudinal Survei Malaria dari round 8 Longitudinal Survei Malaria dari round 8 Longitudinal Survei Malaria dari round 8 

Survei ini untuk mengetahui spesies yang paling dominan dan untuk mengetahui 

status resistensi vetor dan juga untuk mengetahui efektivitas pengendalian vektor di 

daerah tersebut. Survei dilakukan di sepuluh Propbvinsi di Kalimantan dan Sulawesi, 

dari hasil survei diketahui hasilnya sebagai berikut :



Rabies 

Salah satu prioritas pengendalian penyakit bersumber binatang adalah pengendalian 

penyakit Rabies. Pada tahun 2011 penyakit Rabies telah terjadi di 24 provinsi dari 33 

provinsi di Indonesia. Saat ini hanya sembilan (9) provinsi yang masih dinyatakan 

sebagai daerah bebas rabies yaitu Kep.Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, DI 

Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Papua dan Papua Barat. Penentuan suatu 

daerah dikatakan tertular Rabies berdasarkan ditemukannya positif hasil pemeriksaan 

laboratorium terhadap hewannya, kewenangan ini ditentukan oleh Kementerian 

Pertanian. 

Pada bulan November tahun 2008 terjadi KLB Rabies di Provinsi Bali. Secara historis 

Provinsi Bali merupakan daerah bebas Rabies sehingga sangat disayangkan Bali yang 

merupakan wilayah kepulauan menjadi wilayah tertular Rabies. Berdasarkan SK Mentan 

Nomor 1696 Tahun 2008 Provinsi Bali ditetapkan sebagai Kawasan Karantina Penyakit 

Anjing Gila (Rabies). Saat ini dengan berbagai upaya lintas sektor dan program telah 

dapat menekan angka kasus Rabies. 


Dalam peta/gambar diatas dapat kita lihat bahwa pada tahun 2011 kasus GHPR 

dilaporkan terjadi di 24 provinsi. Kasus GHPR paling banyak terjadi di Bali yaitu 52.798 

kasus dengan kasus meninggal (lyssa) berjumlah 23 orang. Menyusul kemudian Nusa 

Tenggara Timur (5500 GHPR, lyssa 12) dan Sumut (3909 GHPR, lyssa 31).

Dalam data diatas terlihat bahwa kasus GHPR (Gigitan Hewan Penular Rabies) di 

Indonesia meningkat sejak tahun 2008-2011. Kasus GHPR yang diberi Post Exposure 

Treatment (PET) atau diberi VAR berkisar 85,5% dari semua kasus. Sampai dengan 

bulan Desember 2011 tercatat 84.010 kasus GHPR dan kasus lyssa berjumlah 184 orang. 

Pada tahun 2011 terjadi penurunan kasus lyssa karena menurunnya kasus lyssa di Bali.

Dari data diatas dapat dilihat bahwa kasus Rabies pada manusia pada tahun 2011, 

terbanyak dilaporkan dari Provinsi Bali. Adapun Provinsi yang berhasil menekan jumlah 

lyssa menjadi 0 kasus pada tahun 2011 adalah provinsi Kepri, Jambi, Sumsel, Lampung, 

Banten, Jabar, Sulsel, Sulbar. 

b. Pes 

Pes (sampar) adalah penyakit yang terdapat pada hewan rodent dan dapat menular ke 

manusia melalui gigitan pinjal. Penyakit ini merupakan penyakit yang terdaftar dalam 

Karantina Internasional, dan masih merupakan masalah kesehatan yang dapat 

menimbulkan Kejadian Luar Biasa (KLB) ataupun wabah. Program pencegahan dan 

penanggulangannya masih tetap dilakukan secara rutin dengan menitikberatkan kepada 

pengamatan secara aktif dan pasif pada penduduk setempat maupun hewan-hewan 

rodent dan pinjalnya yang masih menjadi sumber penularan/vektornya. Pengamatan 

melalui surveilans aktif dan pasif terhadap rodent dan pinjalnya dilakukan secara rutin di 

3 daerah fokus Pes yaitu Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan 

Jawa Timur. Hal tersebut untuk mengantisipasi terjadinya KLB Pes yang cenderung 

terjadi setiap 10 tahun. Terakhir KLB Pes terjadi pada tahun 2007 di Dusun Surorowo, 

Desa Kayukebek, Kecamatan Tutur Nongkojajar Kabupaten Pasuruan dan Provinsi Jawa 

TimurPada grafikterlihat jumlah positif pes pada manusia tertinggi pada tahun 2007 di daerah 

Jawa Timur dikarenakan pada waktu itu diadakan pemeriksaan (assessment) sepuluh 

tahunan Pes oleh pemerintah pusat. Setelah tahun itu pemeriksaan spesimen dilakukan 

oleh masing-masing pemda. 

Pada tahun 2011 Provinsi DIY melakukan survey pes pada rodent yang melibatkan 

kecamatan Cangkringan, Pakem, Ngaglik, Ngemplak. Jumlah tikus yang ditangkap 

sebanyak 1167 ekor dan yang diperiksa sebanyak 1101 ekor. 

c. Antraks Antraks 

Antraks adalah penyakit disebabkan oleh Bacillus anthracis yang bersifat zoonotik, 

sehingga dapat menyerang hewan pemamah biak maupun binatang buas. Hewan yang 

terinfeksi tersebut dapat menularkan kepada manusia dan dapat menimbulkan 

kematian. Penyakit ini berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu yang diserang 

umumnya pekerja peternakan, petani, pekerja tempat pemotongan hewan, dokter￾dokter hewan yang menangani ternak. Disamping itu dapat pula menyerang pekerja pabrik yang menangani produk-produk hewan yang terkontaminasi dengan spora 

antraks, misalnya pabrik-pabrik tekstil, makanan ternak, pupuk dan sebagainya. Pada tahun 2011 telah dilaporkan kasus antraks pada manusia sebanyak 41 kasus dan 

tidak ada yang meninggal (CFR 0 %). 

 Bila dilihat kasus berdasarkan provinsi adalah sebagai berikut: 

Pada tahun 2011 kasus ditemukan di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi NTT. Provinsi 

Jawa Tengah di daerah Boyolali 14 kasus, Sragen 13 kasus, sedangkan di Provinsi NTT, 

Kabupaten Sabu Raijua terdapat 14 kasus. 

d. Leptospirosis Leptospirosis 

Leptospira merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia. 

Sumber infeksi pada manusia biasanya akibat kontak secara langsung atau tidak langsung 

dengan urine hewan yang terinfeksi. Insidensi pada negara beriklim hangat lebih tinggi 

dari negara yang beriklim sedang, kondisi ini disebabkan masa hidup Leptospira yang 

lebih panjang dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara￾negara tropis merupakan negara berkembang, dimana terdapat kesempatan lebih besar 

pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi. 

Penyakit ini bersifat musiman, di daerah yang beriklim sedang masa puncak insidens 

dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup Leptospira, sedangkan didaerah tropis insidens 

tertinggi selama musim hujan. Kasus Leptospirosis sejak tahun 2005 sampai dengan 2010 

cenderung meningkat, terutama dilaporkan pada daerah-daerah yang sering terjadi 

bencana banjir. Pada tahun 2011 terjadi penurunan kasus kematian disebabkan penyakit 

Pes. Setelah tahun 2007 jumlah kasus Leptospirosis mengalami penurunan secara signifikan. 

Jumlah kematian akibat Leptospirosis cenderung menurun dari tahun ke tahun, hal ini 

menunjukkan semakin baiknya managemen kasus Leptospirosis. Rata-rata tingkat 

kematian akibat Leptospirosis dalam 6 tahun terakhir adalah 8,56%, CFR tertinggi pada 

tahun 2005 (12.17%).


Pada tahun 2011 jumlah kasus Leptospirosis di Provinsi DIY meningkat tajam karena 

letusan Gunung Merapi dimana pada tahun sebelumnya dilaporkan sebanyak 230 

meningkat menjadi 626 kasus. 

e. Flu Burung (Avian Influenza) Flu Burung (Avian Influenza) 

Di Indonesia Flu Burung (FB) pada manusia pertama kali dikonfirmasi secara 

laboratorium pada awal bulan Juli 2005 dari Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten 

dengan jumlah konfirmasi H5N1 2 orang dan 1 probabel, semuanya meninggal dunia. 

Awal sakit (onset) kasus tersebut pada akhir Juni 2005, dan merupakan kasus klaster 

pertama di Indonesia. Dalam menanggulangi FB merupakan suatu keharusan untuk 

mencermati perkembangan kasus FB pada unggas dan manusia secara terus menerus. 


Dari data diatas dapat dilihat jumlah kasus konfirmasi Flu Burung di Indonesia paling 

banyak dilaporkan pada tahun 2006, setelah itu jumlah kasus Flu Burung terus menurun 

dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011 terlihat sedikit kenaikan dibanding tahun 

sebelumnya. Koordinasi lintas sektor khususnya dengan peternakan dalam memantau 

kejadian flu burung pada unggas semakin ditingkatkan. 

Dari data diatas terlihat kasus konfirmasi AI terbanyak ditemukan di Prov. DKI, kedua 

di Provinsi Jawa Barat dan ketiga di Prov. Banten. Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat dan 

Banten merupakan wilayah kepadatan populasi unggas dan manusia cukup tinggi serta 

mobilitas manusia dan unggas juga cukup tinggi. 

Dari data diatassecara kumulatif dapat dilihat jumlah terbanyak kasus konfirmasi AI 

mempunyai riwayat keterpaparan secara langsung dengan unggas sakit, mati atau 

dengan produk unggas lainnya. Selanjutnyadiikuti dengan keterpaparan dengan 

lingkungan, sehingga kegiatan promosi mengenai Flu Burung dan intervensi terhadap 

kebersihan lingkungan perlu dilakukan semaksimal mungkin. 

Pada data terlihat bahwa dari tahun ke tahun munculnya kasus konfirmasi Flu Burung 

sangat sporadis. Pada bulan Mei tahun 2006 terlihat peningkatan kasus Flu Burung yang 

sangat signifikan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, hal ini disebabkan pada 

bulan tersebut terjadi kasus klaster Flu Burung yang cukup besar di Provinsi Sumatera 

Utara. 

D. PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR (PPTM) PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR (PPTM) 

Indonesia telah menghadapi beban tiga kali lipat dalam kesehatan masyarakat di beberapa 

tahun terakhir. Prevalensi beberapa penyakit tidak menular utama meningkat, sementara 

penyakit menular masih tinggi dan diperberat oleh penyakit baru serta penyakit lama 

yang kembali muncul. 

Proporsi penyebab kematian akibat PTM di Indonesia dapat dilihat pada data di bawah

terlihat bahwa angka kematian PTM lebih tinggi dibandingkan dengan angka 

kematian Gangguan Perinatal/Maternal dan Penyakit Menular. Proporsi kematian 

yang disebabkan oleh PTM di Indonesia meningkat secara signifikan dari 41,7% pada tahun 

1995 menjadi 49,9% pada tahun 2001 dan 59,5% pada tahun 2007. Sementara 

itu,proporsikematian penyakitmenulartelah menurun dari 44,2% pada 1995 menjadi 28,1% 

pada tahun 2007 begitu juga dengan angka kematian gangguan perinatal/maternal terjadi 

penurunan dari 10,1 menjadi 6,0. Di beberapa daerah yang tingkat kesehatannya lebih baik, penyakit menular sudah 

relatif berkurang dan beralih ke penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung 

dan pembuluh darah, diabetes melitus, kanker, penyakit kronik dan degeneratif dan 

gangguan akibat kecelakaan dan tindak kekerasan. Pergeseran pola penyakit ini juga 

sebagai dampak menurunnya angka kematian bayi dan anak, meningkatnya usia 

harapan hidup, dan peningkatan berbagai upaya kesehatan. 

Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular berdampak negatif pada ekonomi 

dan produktivitas bangsa, karena PTM ini menyerang kelompok usia produktif. 

Pada umumnya PTM tidak dapat/ sulit disembuhkan, seringkali memakan waktu 

lama dan memerlukan biaya besar sehingga menjadi beban baik pemerintah 

maupun masyarakat. Beberapa jenis PTM adalah penyakit kronik dan/atau 

katastropik yang dapat mengganggu ekonomi penderita dan keluarganya. Selain itu, 

PTM pada tahap lanjut akan sulit disembuhkan dengan sempurna, bahkan dapat 

menimbulkan kecacatan dan kematian, terutama dirasakan oleh kalangan keluarga 

yang tidak mampu dari aspek ekonomi dan lebih memprihatinkan lagi, bila PTM 

diderita oleh tulang punggung keluarganya sebagai pencari nafkah. Penyakit ini 

umumnya didorong dan dipicu oleh perubahan demografi (meningkatnya jumlah 

penduduk usia lanjut), urbanisasi, globalisasi perdagangan bebas, dan berdampak 

pada peningkatan progresif dalam pola hidup tidak sehat di antara masyarakat. 

 

BebanPTM dapat dilihat padadata di bawah ini(tabel2.1). Lebih darisetengah kematian 

disebabkan olehPTM(63,6%) dan sekitarsepertiga darikematianPTMdisebabkanoleh 

penyakitkardiovaskular.


Secara umum,proporsi penyebab kematiandi Indonesia berdasarka data tahun 2007 

didominasi oleh PTM, kecuali Tuberkulosis, yang masih menjadi penyebab kematian 

tertinggi kedua(7,5%). Tujuh dari sepuluhpenyebab kematiandi Indonesia disebabkan oleh 

PTM,dan stroke adalah proporsi tertinggi dari semua kematian (15,4%). 



data dari Riset Kesehatan Dasar 2007 (Riskesdas) menunjukkan bahwa proporsi hipertensi 

(wawancara dan pengukuran) relatif tinggi, diikutioleh arthritis, stroke, diabetes, tumor 

dan asma (data 2.D.2). Pada data 2.D.2 menunjukkan bahwa wanita memiliki 

proporsi yang lebih tinggidi sebagian besar penyakit. Hipertensi diukur dengan pengukuran 

tekanan darah digital dan diabetes mellitus diukur dengan tes darah vena (dua jam beban 

glukosa). Proporsidari arthritis, stroke, tumor dan asma berdasarkan responden yang 

pernah memiliki penyakit yang didiagnosis oleh tenaga kesehatan(berdasarkan wawancara 

responden). 

1) Konsumsi Tembakau Konsumsi Tembakau 

Konsumsi tembakau telah menjadi kebiasaan di kalangan laki-laki di Indonesia. Jenis 

tembakau yang digunakan adalah rokok. Di negara ASEAN perokok laki-laki sekitar 

53,5% (tertinggi kedua) dan 3,9% wanita (rentang dari 0,3% menjadi 55,9%), 

perkiraan perbandingan prevalensi merokok (WHO 2008). Di Indonesia: diperkirakan 

terjadi 300.000 kematian setiap tahun akibat rokok.Seperti dapat dilihat dari grafikdi bawah ini, proporsi perokok laki-laki meningkat pada 

tahun 1995 sampai dengan tahun 2007. Proporsi perokok wanita meningkat antara 

tahun 1995 sampai dengan tahun 2007 tetapi menurun antara tahun 2007 dan tahun 

2010.

) Diet Tidak Sehat Diet Tidak Sehat 

Seperempat dari jumlah penduduk di Indonesia mempunyai kebiasaanmakanmakanan 

asinsetiap hari. Lebih dari90% orangmakanbuahdan sayurandi bawah standar yang 

disarankandari 5porsi sehari. 13 % masyarakat mengkonsumsi makanan 

berlemakyangdisajikan setiap harinya. 

Riskesda 2007 menunjukkan bahwa 77,8% dari jumlah penduduk 

mengkonsumsi bahan tambahan makanan (penyedap), 65,2% mengkonsumsi 

makanan dengan kadar gula tinggi (permen). Masyarakat di Indonesia biasa 

mengkonsumsi makanan dalam kemasan yang sebagian besar mengandung 

penyedap dan menambahkan bumbu penyedap dalam masakannya. Konsumsi 

manis banyak ditemukan pada makanan penutup, minuman dan snack. 

Menururt Riskesdas 2007 proporsikonsumsibuah dan sayurankurang dari limaporsisehari 

adalahdi atas 90% pada kelompokusia 15 tahun ke atas, kelompok laki-laki dan 

perempuan, baik di perkotaan maupun di perdesaan,dan semuastatus ekonomi. 

Standarlimaporsi perhari sulit dicapai olehkebiasaanmakan di Indonesia. 

3) Kurang Aktivitas Fisik Kurang Aktivitas Fisik 

Sepertiga dari penduduk usia dewasa kurang aktivitas fisik (kedua jenis kelamin). 

Riskesdas 2007 menunjukkan proporsi kurang aktivitas fisik pada kelompok usia 15 

tahun ke atas pada kedua jenis kelamin, penduduk di perkotaan dan perdesaan dan di 

semua tingkat pendapatan (kuintil). Hal ini menunjukkan bahwa hampir di semua 

wilayah ditemukan 40% atau lebih penduduk yang kurang aktivitas fisiknya. 

4) Obesitas dan kegemukan Obesitas dan kegemukan 

Seperlima dari jumlah penduduk di Indonesia kelebihan berat badan atau obesitas 

(10,3 persen obesitas dan kelebihan berat badan 8,8 persen). Pada wanita - 23 

persen dan pada pria 13,9 persen di atas maksimum yang direkomendasikan 

BMI. 

 

5) Konsumsi Alkohol Konsumsi Alkohol 

Proporsikonsumsi alkoholdi kalanganpenduduk usia15tahun ke atasdi Indonesiapada 

tahun 2007lebih tinggi pada laki-laki(5,8%) dibandingkan perempuan (0,4%) dan 

proporsinya sedikit meningkatpada laki-lakidibandingkan pada tahun2001 

(5,7%).Konsumsi alkoholbukanlahperilaku umumdi Indonesia, namun dibagian


timurIndonesia sepertidi NusaTenggara Timur(17,7%), Sulawesi Utara(17,4%) dan 

Gorontalo(12,3%) memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari prevalensi nasional. 

 

Provinsi yang melakukan pembinaan pencegahan dan penanggulangan PTM tahun 2010 dan nanggulangan PTM tahun 2010 dan 

2011 

Salah satu indkator PTM lainnya yaitu provinsi yang melakukan pembinaan pencegahan dan 

penanggulangan PTM. Keberhasilan indikator ini adalah apabila kab/kota di wilayah kerjanya 

telah melaksanakan kegiatan PTM, baik SE, deteksi dini, KIE dan penangan kasus. Kegiatan 

tersebut dapat dilakukan di Puskesmas maupun di masyakat. Sampai dengan tahun 2011 sudah 

sebanyak 25 (76%) provinsi yang melaksanakan pengendalian PTM. Baik tahun 2010 maupun 

tahun 2011 pengendalian PTM di provinsi melebihi target yang diharapkan. Pelaksanaan 

pengendalian PTM di provinsi umumya memberikan bimbingan terhadap kab/kota agar 

melaksanakan program PTM, dan juga peningkatan SDM pengelola program PTM. Berikut 

target dan capaian pada tahun 2010 dan tahun 2011 


Pos Kesehatan Terpaduuntuk PenyakitTidak Menular(PO Pos Kesehatan Terpaduuntuk PenyakitTidak Menular(POSBINDU PTM) DU PTM) DU PTM) 

Posbindu PTM merupakan kegiatan terintegrasi untuk mencegah dan mengendalikan faktor 

risiko PTM berbasis masyarakat sesuai dengan sumberdaya dan kebiasaan masyarakat. Posbindu 

PTM dikembangkan atas dasar besarnya masalah PTM di masyarakat. Kegiatan mencakup 

upaya promosi kesehatan melalui berbagai kelompok masyarakat dan stakeholder yang telah 

aktif dalam tatanan Kelurahan/Desa Siaga. 

Tujuan utama dari pelaksanaan Pos Kesehatan Terpadu untuk PTM ("Posbindu PTM") adalah 

agar pelayanan kesehatan masyarakat lebih mudah diakses dan terjangkau dalam mengenali 

faktor risiko PTM dalam tahap awal, dalam suatu cara yang dapat dipertanggung jawabkan 

secara medis. Kegiatan ini memberikan manfaat bagi individu yang memiliki faktor risiko 

penyakit tidak menular untuk segera mengendalikan faktor-faktor risiko secara efektif. 

kegiatan ini mudah dijangkau dan dilakukan dengan cara sederhana dan terpadu di lingkungan 

sekitar atau tempat kerja tertentu. Dapat dikatakan bahwa terjangkau karena perawatan 

kesehatan terpadu yang lebih ekonomis lebih dari satu tunggal. Selain itu, kegiatan dikelola oleh 

masyarakat yang juga membuat kesepakatan untuk biaya pelayanan yang terjangkau bagi 

masyarakat. Kegiatan secara medis bertanggung jawab karena diawasi oleh petugas kesehatan 

terpilih yang telah dilatih oleh Dinas kesehatan setempat. 

Kegiatan berasal dari masyarakat (relawan kesehatan terlatih) dan untuk masyarakat, yang 

difasilitasi secara hukum oleh kantor pemerintah setempat (kantor desa), dan secara teknis 

diawasi oleh Dinas kesehatan setempat dan pusat kesehatan masyarakat, dan organisasi 

pendukung lainnya. Manajemen dan pendanaan untuk kegiatan pos kesehatan terpadu ini 

dikoordinasikan sesuai kesepakatan komunitas ("Rembug Warga") dan dapat 

dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. 

Pada dasarnya, POSBINDU PTM mirip dengan pos kesehatan terpadu sebelumnya (Posyandu), 

tetapi memiliki target populasi yang berbeda. Populasi target untuk Pos Kesehatan untuk PTM 

("Posbindu PTM") adalah semua individu usia ≥ 25 tahun. Cakupan wilayah untuk setiap 

"Posbindu PTM" adalah populasi maksimal dalam 1 blok administratif (RW) dan minimal 1 blok 

tetangga (RT). Namun, pelaksanaannya tidak terbatas di daerah perumahan, tetapi dapat 

dimulai oleh organisasi kesehatan terkait lainnya seperti Klub Pos Gizi Sehat, kelompok Lansia, 

atau dalam pengaturan lain seperti tempat kerja. 

 

Lima kegiatanutama di"Posbindu PTM" adalah: 

• Pengukuran Antropometrik(berat dan tinggi badan) untuk pemeriksaanBody Mass Index. 

• Pengukuran tekanan darah. 

• Pengukurankolesterol dan glukosa darah. 

• Konseling dan penyuluhankesehatan (diet, berhenti merokok, stres, aktivitas fisik, aspek 

kesehatan lainnya). 

• Aktifitas fisikatau olahraga 


Tujuan akhir dari kegiatan POSBINDU adalah untuk mengendalikan faktor risiko PTM. 

Pengendalian faktor risiko PTM tidak selalu membutuhkan terapifarmakologi. Pada tahap awal 

faktor risiko PTM dapat dikendalikandengan konselingkesehatan danpenyuluhanyang 

memadaimengenai diet, aktivitas fisik, dan gaya hidup yang baiksepertiberhenti merokok, 

berhenti minum alkohol, manajemen stresyang baik, dll 


1. Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah 

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan 

Kesehatan, Kementerian Kesehatanmenemukan bahwa sekitar30,6% darisemua 

kematiandi Indonesiadisebabkan olehpenyakit jantung dan pembuluh darah (total 

512.000kematian setiap tahunnya). 

Pada tahun2008 diperkirakan 17,3 juta orang meninggal karena Cerebro Vasculer 

Dissease (CVD), 30 % dari seluruh kematian di dunia, 7,3 juta karena Penyakit 

Jantung Koroner dan 6,2 juta karena stroke. Pada tahun 2030nhampir 23,6 juta 

orang meninggal karena CVD dan sebagian besar karena penyakit jantung dan stroke. 

(sumber:fact sheed NCD, September 2011) 

Dari data 2.D.1.1dapat dilihatbahwa proporsihipertensi adalahsamatinggi antaralaki￾laki danwanita,lebih tinggi didaerah perdesaan, danjuga tinggiantarakuintillima 

(status ekonomi yang lebih tinggi). Stroke lebih banyak ditemui di daerahperkotaan 

(9,1%). Sementara itu,proporsipenyakit jantunglebih tinggi padawanita (31,9%) 

dandi perdesaan. Secara umum, PJPD banyak diderita pada 

kelompokrentan(perempuan)di daerahperdesaan, sehingga kebutuhan akan 

aksespelayanan kesehatan yang lebih baik menjadi sangat penting padakelompok ini.


• Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Jantung dan PembuluhDarah 

Tahun 2011 deteksi dini PJPD dilaksanakan di 11 lokasi yaitu: Provinsi Riau di Kab. 

Kuantan Singingi, Provinsi Jambi di Kab Muaro Jambi,Provinsi Sumatera Selatan di 

Kab. Prabumulih, Provinsi Sumatera Barat di Padang Pariaman, provinsi Banten di 

Serang,provinsi Jogja di Kab Bantul, provinsi Sulawesi Tenggara di Kota Kendari, 

Provinsi Sulawesi Barat di Kab Mamuju,provinsi Kalimantan Selatan di Hulu sungai 

selatan, provinsi Gorontalo di Kab Bone Bolango, Provinsi Maluku Utara di 

Ternate. Dari hasil deteksi dini faktor resiko PJPD yang telah dilaksanakan, baru 6 

provinsi yang sudah dilakukan pengolahan data, antara lain: Kalimantan selatan, 

Sulawesi Tenggara, Sumatera Selatan, Riau, Jambi dan Sulawesi Barat. Adapun 

hasil deteksi dini dari setiap indikator/variabel adalah sebagai berikut: merokok 

setiap hari (7,6-36,7%), minum minuman beralkohol 12 bulan terakhir (0,4-

8,6%), sering makan makanan asin (7,7-29,2%), sering makan makanan tinggi 

lemak (6,2-42,2%), sering makan/minum makanan/minuman manis-manis (25,1-

88,3%), kurang mengkonsumsi sayur dan buah (77,1-97,3%), kurang aktifitas fisik 

(10,8-91,3%), stres (1,3-18,5%) , Berat badan lebih (7,4-22,2%), obesitas (10,4-


27,2%), obesitas umum (20-44,3%), obesitas sentral (17,3-81,9%), hypertensi 

(17,4-80,6%), hypertensi sistolik (13,5-33,9%), hypertensi diastolik (27,1-46,1%), 

kolesterol total>190 (34,2-58,7%), LDL≥115 (23,2), LDL (18,7-89,4), trigliserida 

(29,8-57,6%), dislipidemia (66,0-89,1%) dan kelainan EKG (18,5-52,6%). 

Selain itu pengendalian faktor risiko PJPD dilakukan melalui peningkatan 

pemberdayaan peran serta kemandirian masyarakat, data jumlah posbindu dan 

yang telah dilakukan pelatihan pada kader (Lampiran...) 

2. Pengendalian Penyakit Diabetes Mellitus dan Penyakit Metabolik Lainnya 

Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit menahun yang timbul karena adanya 

peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat akibat kekurangan insulin baik absolut 

maupun relatif. Menurut WHO 2008, estimasi angka kematian di wilayah asia tenggara 

sebesar 14,5 juta jiwa dan 7,9 juta jiwa (55%) penyebab dari kematian tersebut 

disebabkan oleh PTM yang salah satunya adalah DM (2,1%). 

Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan 

angka insidensi dan prevalensi DM. WHO memprediksi adanya kenaikan jumlah 

penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta 

pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada 

tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 

2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka 

prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang 

DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. 

Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi 

nasional DM berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur > 15 tahun 

di perkotaan adalah 5,7 %. Berdasarkan prevalensi tesebut diketahui bahwa sebanyak 

1,5 % mengetahui dirinya menderita DM sedangkan 4,2% lainnya belum mengetahui 

dirinya menderita DM. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional berdasarkan 

hasil pengukuran gula darah pada penduduk berumur > 15 tahun yang bertempat 

tinggal di perkotaan sebesar 10,2 %. 

 

Tahun 2011, Direktorat Pengendalian PTM (Subdit pengendalian DM dan PM) 

melanjutkan Project Partnership Agreement (PPA) dengan World Diabetes Foundation 

(WDF) yang telah berjalan sejak tahun 2010 yang lalu. WDF yaitu lembaga swasta dunia 

yang berdedikasi dalam pencegahan dan pengobatan diabetes melitus. Tujuan dari kerja 

sama ini adalah melakukan intervensi pada masyarakat dalam pencegahan dan 

pengendalian diabetes mellitus dan faktor risikonya, kegiatan ini dilaksanakan sejak 

bulan Desember 2010. 

Kegiatan Prevention and Control of Diabetes fokus pada awereness diabetes, 

pencegahan diabetes dan komplikasinya, edukasi pada diabetisi, training petugas 

pelayanan kesehatan, deteksi dini, pengobatan dan monitoring diabetes, serta 

membangun kerja sama antara pemerintah organisasi diabetes (Persadia, Perkeni, Pedi, 

IDAI, dan Ikadar), rumah sakit dan puskesmas untuk meneruskan dan mengembangkan 

kegiatan setelah proyek kerja sama selesai. Kegiatan ini dilaksanakan di 3 Kota, yaitu 

Kota Padang Panjang (Propinsi Sumatera Barat), Kota Bengkulu (Propinsi Bengkulu) dan


Kota Cilegon (Propinsi Banten). Program Prevention and Control Diabetes pada akhir 

kegiatan diharapkan akan terbentuk 24 pos PTM di masing-masing kota. 

Dari hasil penilaian di 3 wilayah tersebut terlihat bahwa aktifitas ringan berkisar 21,4%-

51,2%, konsumsi sayur/ buah > 5 porsi berkisar 0,8%-2,2%, merokok 9,0%-16,4%, 

Obesitas 16%-19%, hipertensi 17,4%-24%, kolesterol tinggi 29,8%-48,6%, DM 4,6%-

6%. 

Pengembangan kegiatan deteksi dini faktor risiko DM dan PM sampai dengan tahun 

2011 sudah dilaksanakan pada 10 provinsi di 92 kab/kota pada Lampiran ... 

3. Pengendalian Penyakit Kanker Pengendalian Penyakit Kanker engendalian Penyakit Kanker 

Kanker atau tumor ganas merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia dan 

di Indonesia. Menurut data WHO tahun 2010 penyakit non infeksi merupakan 

penyebab kematian terbanyak di dunia, dimana kanker sebagai penyebab kematian 

nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular. Setiap tahun, 12 juta 

orang di dunia menderita kanker dan 7,6 juta diantaranya meninggal dunia. Di 

Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, 

tumor/kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 sebesar 5,7% dari seluruh 

penyebab kematian. Prevalensi tumor/kanker sebesar 4,3 per 1000 penduduk, lebih 

tinggi pada perempuan (5,7 per 1000 penduduk) daripada pada laki-laki (2,9 per 1000 

penduduk). 

Kanker tertinggi di Indonesia adalah kanker payudara dan kanker leher rahim. Menurut 

data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2008, kanker payudara menempati 

urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (18,4%), disusul 

kanker leher rahim (10,3%). Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa 

kasus baru/insidens (semua jenis) per 100.000 penduduk adalah 170-190. Menurut 

International Agency for Research on Cancer (IACR) tahun 2008, kanker payudara 

merupakan kanker tertinggi pada perempuan di Indonesia dengan insidens 36 per 

100.000. Sedangkan pada laki-laki kanker paru menjadi kanker tertinggi pada laki-laki 

dengan insidens 30 per 100.000. 

• Deteksi Dini Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim 

Program deteksi dini dan tatalaksana yang dilakukan masih diprioritaskan pada 2 

kanker tertinggi di Indonesia yaitu kanker payudara dan kanker leher rahim. 

Program ini dimulai sejak tahun 2007 dan telah dicanangkan sebagai program 

nasional yang dicanangkan oleh Ibu Negara pada 21 April 2008. Program tersebut 

dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan, Female Cancer Program (FcP) dan

JHPIEGO. 

Daerah yang mengembangkan Program Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan 

Payudara 

a. Provinsi 

Sampai 2011, program deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim 

telah dikembangkan di 17 provinsi, seperti pada peta sebagai berikut:


b. Kabupaten/Kota 

Kabupaten/kota pada 17 provinsi diatas yang telah melaksanakan program 

deteksi dini dan tatalaksana kanker payudara dan kanker leher rahim sebanyak 

88. Selengkapnya pada lampiran .... data sebagai berikut: 

c. Hasil Deteksi Dini 

Sampai tahun 2011, hasil skrining kanker payudara dan kanker leher rahim dari 

di 88 kab/kota sebagai berikut: 

1) Cakupan Total 

Total cakupan deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rehim sampai 

tahun 2010 adalah 338.531 perempuan. Cakupan setiap tahun mengalami 

peningkatan yang cukup tinggi. 

2) Cakupan per wilayah 

Provinsi Jawa Barat (di 6 kabupaten/kota) telah melakukan skrining 

dengan jumlah terbanyak dibandingkan provinsi lain yaitu 76.199 

perempuan, disusul Provinsi Jawa Timur (di 13 kabupaten/kota) 54.227 

perempuan, Provinsi Jawa Tengah (di 4 kabupaten/kota) 50.501 

perempuan. 

Total IVA positif (lesi pra kanker leher rahim) hasil skrining sampai tahun 

2011 adalah 15.180 perempuan (4,48%) dari 338.531 perempuan yang 

diskrining. 

3) IVA positif per wilayah 

IVA positif tertinggi di provinsi Bali (9 kabupaten/kota) sebesar 11,8%, 

disusul Kalimantan Barat (di 7 kabupaten/kota) sebesar 9,54%, dan 

provinsi Jawa Timur (di 13 kabupaten/kota) sebesar 6,45%. 

4) Curiga (suspect) kanker leher rahim 

Total curiga kanker leher rahim pada perempuan yang diskrining adalah 

392 atau 0,12% atau 1,2 per 1000 perempuan. Prevalensi tertinggi di 

Provinsi Sulawesi Selatan (1 kabupaten) 1,25%, disusul provinsi Sumetera 

Barat 0,67%, dan provinsi Kalimantan Barat 0,51%. 5) Bejolan pada payudara 

Total benjolan pada payudara adalah 758 kasus (0,22 atau 2,2 per 1000 

perempuan). Prevalansi tertinggi di Provini Sulawesi Selatan 3,6%, disusul 

provinsi Kalimantan Barat 2,24%, dan provinsi DIY 0,53%. 

• Pengembangan PengembanganProgram Program Program 

Registrasi RegistrasiKanker 

Registrasi penyakit kanker merupakan pengembangan suatu sistem surveilans 

dengan menggunakan software SriKanDI (Sistem Registrasi Kanker di Indonesia). 

Sistem ini masih terbatas di DKI Jakarta, yang nantinya akan dikembangkan ke 

daerah lain di Indonesia. Registrasi Kanker di DKI Jakarta telah dilaksanakan di 79 

rumah sakit, 2 klinik, 90 laboratorium patologi, dan 34 Puskesmas kecamatan yang 

membawahi 301 Puskesmas kelurahan. data hasil registrasi kanker (2005-2007) 

adalah: 

- Kanker tertinggi pada perempuan 

Insidens kanker tertinggi pada perempuan di DKI Jakarta tahun 2005-2007 

adalah kanker payudara (18,58 per 100.000 perempuan), disusul kanker leher 

rahim (9,25 per 100.000 perempuan), dan kanker ovarium (4,27 per 100.000 

perempuan). 

- Insidens kanker pada laki-laki 

Insidens kanker pada laki-laki di DKI Jakarta tahun 2005-2007 tertinggi adalah 

kanker bronkhus dan paru (5,81 per 100.000 laki-laki), disusul kanker kolorektal 

(4,13 per 100.000 laki-laki), dan kanker hati (4,01 per 100.000 laki-laki). 

- Insidens Kanker Anak (0-17 tahun) 

Insidens kanker anak (0-17) di DKI Jakarta tahun 2005-2007 yang tertinggi 

adalah leukemia (2,8 per 100.000 anak-anak) disusul kanker mata 

(retinoblastoma) 2,4 per 100.000 anak-anak, dan kanker tulang 0,9 per 100.000 

anak-anak. 

 

Kanker Anak Kanker Anak 

Mulai tahun 2011, dikembangkan program deteksi dini kanker pada anak yang 

meliputi 6 jenis kanker pada anak, yaitu leukemia, retinoblastoma, kanker 

nasopharink, neuroblastoma, lymphoma malignum, dan kanker tulang. Program ini 

dikambangkan dengan deteksi dini di Puskesmas dan rujukan ke rumah sakit untuk 

setiap temuan kelainan curiga kanker pada anak. 

4. Pengendalian Penyakit Kronis dan Degeneratif lainnya 

data WHO dan World Bank 2005 menyatakan bahwa pada tahun 1990 PPOK 

menempati urutan keenam sebagai penyebab utama kematian di dunia. Namun pada 

tahun 2002 dan 2005 telah menempati urutan ketiga sebanyak 4.057.000 setelah 

penyakit kardiovaskular (17.528.000) dan kanker (7.586.000). 

Berdasarkan data yang didapatkan dari rumah sakit pendidikan diseluruh Indonesia saat 

ini angka kesakitan dan kematian penyakit kronis dan degeneratif (PPOK, Asma, 

Osteoporosis, Osteoartritis, Gagal Ginjal Kronis, Parkinson, Thalasaemia, SLE (sistemik 

lupus eritematosus) cenderung meningkat dan merupakan masalah kesehatan


masyarakat di Indonesia. data Riskesdas 2007 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan 

dan gejala secara nasional prevalensi penyakit sendi adalah 30,3%, prevalensi Asma 

3,5%, prevalensi thalasaemia 0,1% (berdasarkan keluhan responden). Risiko 

osteoporosis di 16 wilayah Indonesia tahun 2005, diketahui bahwa prevalensi 

Osteoporosis Dini (Osteopenia) sebesar 41,8% berarti 2 dari 5 penduduk memiliki risiko 

terkena osteoporosis, sedangkan prevalensi osteoporosis pada kelompok umur ≥ 55 

tahun sebesar 10,3%. Osteoporosis pada perempuan 2 kali lebih besar dibandingkan 

pada laki-laki. (Litbangkes, 2005) 

Deteksi Dini Faktor Risiko Penyakit Kronik dan Degeneratif neratif 

a. Deteksi Dini dengan Spirometer 

Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan spirometri pada kelompok masyarakat 

atau individu berisiko tinggi secara berkala. Kelompok berisiko tinggi antara lain: 

1) Perokok 

- Semua perokok dengan usia > 35 th 

- Mempunyai riwayat merokok atau masih merokok sebanyak 20 batang 

rokok setiap hari minimal selama 24 bulan, dengan atau tanpa gejala 

respirasi. 

2) Kelompok masyarakat yang bekerja atau tinggal di daerah pertambangan 

(batu, batu bara, asbes), pabrik (bahan baku asbes, baja, mesin, perkakas logam 

keras, tekstil, kapas, semen, bahan kimia), penghalusan batu, penggerindaan 

logam keras, penggergajian kayu dan pekerja khusus (salon, cat, foto copy), 

polantas, karyawan penjaga pintu tol, dan lain–lain. 

3) Kelompok berisiko adalah ibu rumah tangga yang memasak dengan 

menggunakan kayu bakar atau kompor minyak tanah dengan ventilasi ruangan 

yang kurang baik. 

Pemeriksaaan fungsi faal paru yang dilakukan pada tahun 2010 saat terjadinya 

letusan gunung merapi di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Magelang dari 86 

orang yang diperiksa, sebesar 36,05% mengalami retriksi, dan 48,84% mengalami 

obstruksi. Namun hal ini, bukan hanya disebabkan oleh abu vulkanik saja, tetapi 

ada beberapa faktor risiko lain seperti kebiasan merokok, riwayat penyakit 

sebelumnya, penggunaan masker, dll, yang dapat meyebabkan penurunan fungsi 

faal paru. 

b. Deteksi dini dengan Ultrasound Bound Densitometer 

Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan densitas tulang pada kelompok 

masyarakat atau individu berisiko tinggi secara berkala. Kelompok berisiko tinggi 

antara lain: 

1) Kelompok Risiko Tinggi: 

Imobilitas pada pasien dalam jangka waktu yang lama (anggota gerak yang 

mengalami kelumpuhan, contoh stroke) 

2) Kelompok Risiko Sedang, dengan kriteria: 

- Badan yang kurus (BB kyrang dari normal) 

- Konsumsi alkohol 

- Penggunaa steroid (suntikan KB) dalam waktu yang lama dan kejadian 

laktasi amenorhea 

- Penggunaan obat kortison dan obat osteoatritis (OA) dalam jangka lama 

3) Kelompok Risiko Rendah, dengan kriteria: 

- Konsumsi rokok/tembakau


Kurang aktifitas fisik 

- Kurang konsumsi kalsium 

Sistim pelaporan PPOK, belum berjalan masih tahap pengembangan pada dua 

wilayah yaitu Provinsi Gorontalo dan Provinsi Jawa Tengah. 

Pengembangan Practical Approach to Lung Health (PAL) Practical Approach to Lung Health (PAL) 

PAL merupakan suatu pendekatan yang berpusat pada pasien untuk meningkatkan mutu 

diagnosis dan pengobatan penyakit pernapasan di tingkat UPK. Pendekatan ini 

membakukan penyelenggaraan pelayanan kesehatan melalui penyusunan dan 

penerapan panduan klinis dan dukungan pengelolaan dalam lingkup sistem kesehatan 

kabupaten/ kota. 

PAL memberikontribusi dalam peningkatan mutu penemuan pasien, tidak hanya untuk 

penyakit TB tetapi juga penyakit ISPA khususnya pneumonia, Asma, dan PPOK. 

Pelayanan yang bermutu tinggi penting dalam pengobatan pasien gangguan pernapasan 

sekaligus melindungi masyarakat. 

Perhatian PAL ditujukan pada ISPA khususnya pneumonia, Asma, PPOK dan TB, karena: 

1) TB dan pneumonia merupakanpenyebab kesakitan dan kematian pada orang dewasa 

muda di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Namun di Indonesia, 

pneumonia dewasa belum ada pembakuan penatalaksanaannya; 2) PPOK merupakan 

penyebab kematian ketiga setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker di dunia. 

Pelaksanaan PAL dimulai sejak pertengahan 2009, setelah terpilihnya FKM UI sebagai 

salah satu Principal Recipient (PR) GF dimana subdit Tuberculosis sebagai focal point 

dan terintergrasi dengan subdit PPKD dan subdit Ispa. Dalam kegiatan PAL dimulai 

dengan melakukan Pilot Project PAL di 3 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat dan 

Lampung. Dengan penerapan metode PAL diharapkan fasilitas pelayanan kesehatan 

dapat meningkatkan angka penemuan kasus (casedetection rate) TB, mengklasifikasikan 

penyakit/gangguan saluran pernapasan secara lebih dini dan memperkuat sistem 

pelayanan kesehatan yang telah ada dengan melakukan integrasi, standarisasi, 

koordinasi, rujukan timbal balik, kerjasama dan kemampuan petugas terkait dengan 

PAL, manajemen, dan kepuasan pasien. 

 

Fase pilot project dimulai dengan dilaksanakannya Training Of Training (TOT) PAL 

angkatan pertama pada Desember 2009 dan dilanjutkan re‐training TOT dengan modul 

dan metode pelatihan yang telah mengalami perbaikan sesuai dengan kurikulum yang 

ditetapkan olehPPSDM. Pelatihan dilaksanakan secara berjenjang dengan peserta adalah 

dokter dan perawat di puskesmas dan Rumah Sakit pada Kabupaten/Sudin/Kota terpilih 

dimasing masing 3 provinsi pilot project. 

 

Pada fase pertama pelatihan dilakukan di kota/kabupaten yang terpilih yaitu Jakarta 

Pusat (DKI Jakarta), Bandar Lampung (Lampung) dan Bogor (Jawa Barat) selanjutnya 

pelaksanaan PAL “diperluas” ke satu kabupaten/kota lain di 3 propinsi pilot projet 

tersebut, sehingga setiap propinsi memiliki 2 kabupaten/kota panduan. 

 

Sampai dengan akhir Juni 2011, telah dilaksanakan pelatihan pendekatan PAL bagi 

tenaga kesehatan (dokter dan perawat) di 17 RS provinsi dan kabupaten/kota, dan 187 

puskesmas dengan pelatih yang berasal dari propinsi/kabupaten dan Kemenkes serta 

dukungan narasumber dari organisasi profesi seperti PDPI, PAPDI, dan IDAI. Jumlah


seluruh tenaga kesehatan yang telah dilatih sampai akhir Juni 2011 adalah sebanyak 426 

dokter puskesmas,46 dokter RS, 1094 perawat puskesmas dan 119 perawat /bidan RS di 

11 Kabupaten/Kota 

 

Dari hasil evaluasi pelaksanaan PAL sampai dengan Juni 2011 diperoleh gambaran ada 

peningkatan penemuan dari kasus suspek TB, pneumonia, asma dan PPOK. Hal ini 

mengingat Puskesmas sudah memiliki fasilitas untuk mendiagnosis asma dan PPOK 

dibandingkan sebelumnya. 

5. Pengendalian Gangguan Pengendalian GangguanakibatKecelakaan dan Tindak Keker Kecelakaan dan Tindak Keker Kecelakaan dan Tindak Kekerasan 

Cedera merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat karena dampak dan 

konsekuensinya baik pada individu atau masyarakat yang terpapar. Setidaknya5,8juta 

orangmeninggal karenacedera.Kasuspaling sering disebabkanoleh cederalalu lintas 

jalan(23%), bunuh diri (15%), pembunuhan (11%), tenggelam(7%), dibakar(6%), 

racun(6%), lainnya(21%) (WHO ,2004). 

Di Indonesia, cedera merupakan 4penyebab utamakematiansetelah stroke, TB, 

danhipertensi.Kebanyakankasus cedera dikarenakan akibat kecelakaanlalu lintas 

jalan(25,9%). Jumlah inimeningkat secara signifikandalam beberapa tahun. Karenasituasi 

ini,DirektoratPenyakitTidak Menular berupaya untukmengatasimasalah ini 

denganmengembangkan kegiatan-kegiatandalam mencegahdan mengendalikanfaktor 

risikocederalalu lintas jalan. 

• Deteksi Dini Faktor Risiko Ganguan Akibat Kecelakaa Deteksi Dini Faktor Risiko Ganguan Akibat Kecelakaan Ganguan Akibat Kecelakaan 

Deteksi dini Gangguan Akibat Kecelakaan dilakukan melalui Kesiapsiagaan 

penananggulangan Gakce & Tisan. Sampai tahun 2011 kegiatan kesiapsiagaan 

penanggulangan Gakce & Tisan masih menggunakan anggaran Dipa Dit PPTM dan 

dikerjakan oleh dinas kesehatan bekerja sama dengan lintas sektor terkait di bawah 

koordinasi Dit PPTM khususnya subdit Gakce & Tisan. Tahun depan diharapkan dapat 

dibiayai oleh anggaran daerah khususnya dalam menghadapi situasi matra dengan 

melibatkan subdit matra. data Hasil Pemeriksaan deteksi dini Faktor Risiko Kecelakaan 

selama arus mudik tahun 2011, dari 781 pengemudi diketahui pengemudi yang 

mengalami hipertensi sebanyak 49,55 %. Pengemudi yang positif mengandung alkohol 

dalam pernapasan 3%, pengemudi positif amphetamin sebanyak 0 %, dan yang 

hiperglikemia sebanyak 9,33%. Berikut data hasil pemeriksaan deteksi dini Faktor Risiko 

Kecelakaan selama arus mudik tahun2010 dan tahun 2011. 

Peningkatan Komunikasi Informasi dan Edukasi 

Dalam peningkatan komunikasi, informasi, dan edukasi mengenai gangguan akibat 

kecelakaan lalu lintas, dicanangkan Pekan keselamatan di Jalan. Pekan Keselamatan di 

Jalan merupakan kegiatan dalam rangka Global Road safety Week. Sampai tahun 2010 

Pelaksanaan Kegiatan Pekan Keselamatan di Jalan ada 3 Lokasi. Sasaran dari Pekan 

Keselamatan di jalan adalah Anak Usia sekolah, mengingat usia korban kecelakaan 25 % 

usia 16-25 tahun. Kegiatan Pekan Keselamatan di Jalan meliputi kegiatan Kampanye 

pekan keselamatan di jalan, dan bentuk kegiatan promosi keselamatan di jalan. Dengan 

adanya kegiatan ini diharapkan masyarakat berperilaku selamat dan sehat di jalan. 


PENYEHATAN LINGKUNGAN (PL) UNGAN (PL) 

Kebijakan pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan 

dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan 

masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud. Ini adalah suatu komitmen yang tidak 

mudah untuk dilakukan. Sebagaimana kondisi saat ini banyak kendala yang harus dihadapi 

dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan khususnya terkait dengan kondisi kesehatan 

lingkungan. Tingginya angka kesakitan akibat sanitasi yang buruk dan permasalahan 

kesehatan lain yang makin bertambah berat, kompleks dan bahkan terkadang tidak terduga 

merupakan tantangan yang harus disikapi secara bijaksana. Sampai dengan tahun 2012 

lebih dari 100 juta masyarakat Indonesia belum memiliki kemudahan akses terhadap 

sumber air minum dan penyehatan lingkungan yang layak. Ketersediaan dan memburuknya 

kualitas sumber air, pencemaran tinja dibanyak sumber air disekitar permukiman, 

pencemaran limbah domestik terhadap sumber air, tekanan pertambahan penduduk 

disertai kebutuhan atas permukimannya memberikan dampak terhadap sumber-sumber air 

berkualitas seperti berkurangnya mata air karena rusaknya daerah tangkapan air pada 

ekosistim hutan, ekstraksi air tanah yang berlebihan sehingga mendorong air laut 

menggantikan air tanah tawar, pencemaran sungai akibat buangan limbah pabrik, adanya 

fenomena-fenomena alam akibat dampak pemanasan global, adanya bencana alam, 

ditambah lagi dengan masih rendahnya kepedulian masyarakat terhadap kesehatan 

lingkungan dan perilaku hidup bersih dan sehat, menjadikan masalah kesehatan lingkungan 

menjadi issue penting dan sudah seharusnya di tanggapi secara serius .Tidak sedikit para 

pemerhati lingkungan dari berbagai disiplin ilmu bersama sama pemerintah ikut 

berpartisipasi melakukan penyelamatan lingkungan. Oleh sebab itu sejalan dengan 

komitmen global dan dalam rangkamencapai sasaran dan target MDG’s Goal 7 target 10, 

maka Direktorat Penyehatan Lingkungan focus kepada upaya preventif dan promotif. 

diantaranya dengan melakukan,peningkatan kesehatan lingkungan melalui perluasan 

penyediaan air bersih, pengurangan wilayah kumuh , pemberdayaan masyarakat dalam 

perilaku hidup besih dan sehat sehingga diharapkan melalui program-program penyehatan 

lingkungan Direktorat Penyehtan Lingkungan dapat berkontribusi dalam meningkatkan 

angka harapan hidup dari 70,7 tahun 2009 menjadi 72,0 tahun 2014 dan pencapaian 

keseluruhan sasaran Millenium Develompment Goals (MDGs) tahun 2015. 

Sebagai instansi pemerintah dibidang kesehatan lingkungan,Direktorat Penyehatan 

Lingkungan menyikapi permasalahan tersebut dengan melakukan berbagai upaya 

peningkatan kesehatanlingkungan melalui program dan kegiatan penyehatan air dan 

sanitasi dasar, Penyehatan limbah udara dan radiasi, Hygiene sanitasi pangan, penyehatan 

kawasan dan sanitasi darurat,serta penyehatan perumahan dan tempat tempat umum. 

Berikut ini adalah gambaran/profil Penyelenggaraan kegiatan Penyehatan Lingkungan, yang 

disajikan dalam bentuk narasi, data dan grafik. 

1. Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air & Sanitasi Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air & Sanitasi Dasar Penyehatan Air & Sanitasi Dasar 

Persentase penduduk yang memiliki akses terhadap air minum yang berkualitas 

merupakan indikator yang tercantum dalam RPJMN dan Renstra


Banyak wilayah dan sumber air yang seharusnya dapat dimanfaatkan, namun tidak 

sedikit kondisinya sangat memprihatinkan , dari sekitar dua ratus jutaan penduduk 

Indonesia, baru 20% saja yang dapat memiliki akses terhadap air bersih. Ini pun 

kebanyakan dari daerah perkotaaan. Sedangkan sisanya, 80% rakyat Indonesia masih 

mengkonsumsi air yang tak layak untuk kesehatan mereka. 


Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar i Dasar 

Saat ini, angka kematian bayi di Indonesia masih tergolong tinggi, yaitu mencapai 

34 kasus per 1000 kelahiran (tahun 2007). jumlah tersebut masih di atas target 

pencapaian MDGs, yakni 25 kasus per 1000 kelahiran. Salah satu penyakit infeksi 

yang mengakibatkan kematian bayi adalah diare, penyakit yang paling mematikan 

nomor dua setelah infeksi saluran pernapasan akut. Penyebab utamanya 

dikarenakan buruknya akses terhadap air bersih serta sanitasi. Dari hal ini kita bisa 

tahu bahwa kesadaran masyarakat Indonesia terhadap lingkungan tempat tinggal 

masih begitu rendah. Berdasarkan hasil studi WHO tahun 2007 dibuktikan bahwa


kejadian diare menurun 32% dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap 

sanitasi dasar, 45% dengan perilaku mencuci tangan pakai sabun, dan 39% perilaku 

pengelolaan air minum yang aman di rumah tangga. sedangkan dengan 

menggabungkan ketiga perilaku intervensi tersebut, kejadian diare menurun sebesar 

94%. 

Oleh karena itu dalam mengatasi masalah sanitasi dan pencukupan kebutuhan air 

bersih maka melalui Direktorat Penyehatan Lingkungan, khususnya Subdit PASD 

melakukan berbagai percepatan di segala bidang antara lain kegiatan Sanitasi Total 

Berbasis Masyarakat (STBM).STBM merupakan salah satu opsi intervensi yang dapat 

diterapkan untuk menjawab permasalahan di atas melalui : 

a) Peningkatan lingkungan yang kondusif dengan cara meningkatkan kapasitas 

pemerintah dalam pengembangan kebijakan dan implementasi 

b) Peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap perilaku higiene dan fasilitas 

sanitasi 

c) Peningkatan penyediaan sarana sanitasi yang sesuai dengan kebutuhan 

masyarakat 

d) Peningkatan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan pemantauan dan evaluasi 

serta pembiayaan 

Upaya tersebut juga dilakukan melalui kerjasama dengan donor agency 

internasional, seperti ADB, KFW German, WHO, dan World Bank yang 

diimplementasikan melalui kegiatan WSLIC-2, Pro Air, CWSHP, Pamsimas, 

ICWRMIP, MCC (Millenium Challenge Coorporation) untuk mengatasi stunting 

pada anak-anak dengan intervensi nutrisi dan kesehatan lingkungan. Selain itu, 

beberapa lembaga internasional (NGO) atau LSM melakukan kegiatan berorientasi 

pada pembinaan, penyediaan sarana air minum dan sanitasi dasar bagi masyarakat 

khususnya bagi yang berpenghasilan rendah di perdesaan. Semua upaya tersebut 

ditujukan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap air minum dan sanitasi 

dasar yang layak. 

Untuk lebih jelasnya, pemetaan pelaku kegiatan STBM di Indonesia saat ini dapat 

dilihat dalam gambar berikut: Pada tahun 2011 Kegiatan Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar meliputi penyusunan 

NSPK, sosialisasi dan advokasi, fasilitasi di KKP dan BBTKLPP, capacity building, 

kemitraan dan jejaring, dan peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat di bidang 

penyehatan air dan sanitasi dasar. Dalam pelaksanaannya, subdit PASD 

menggunakan dana dari beberapa sumber yaitu dari APBN Kementerian Kesehatan 

DIPA Penyehatan Lingkungan sendiri, anggaran P3SD Perkotaan untuk dukungan 

kegiatan PPSP, P3SD Perdesaan untuk dukungan kegiatan STBM, dan kerjasama 

dengan beberapa mitra dan donor. Untuk anggaran P3SD Perkotaan dan Perdesaan 

menginduk pada Kementerian PU. Penggunaan kedua mata anggaran tersebut 

sebagai salah satu bentuk koordinasi dan sinkronisasi kegiatan dalam Pokja AMPL. 

b. Peringatan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia (HCTPS) ke- TPS) ke-4 

Peringatan HCTPS Sedunia ke-4 tahun 2011 mengusung tema global ”Cuci Tangan: 

Upaya Promotif dan Preventif Terpadu, Meningkatkan Kesehatan Ibu dan Anak”. 

Cuci Tangan Pakai Sabun, adalah prilaku sederhana yang paling mudah dan murah 

untuk dilakukan, namun faktanya hal ini seringkali tidak dilakukan, padahal perilaku 

ini berdampak besar untuk menghindari berbagai penyakit. Pelaksanaan HCTPS 

bertujuan untuk menyampaikan pesan edukasi perilaku untuk membudayakan CTPS 

di masyarakat, mulai dari diri sendiri, keluarga, dan menerapkan sejak usia dini atau 

anak-anak sehingga dapat menjadi generasi penerus yang berkualitas. HCTPS juga 

menjadi rangkaian bulan kampanye sanitasi Kongres Sanitasi & Air Minum Nasional 

(KSAN) yang diselenggarakan pada tanggal 11-13 Oktober 2011.

Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, peringatan HCTPS ke-4 dirayakan dengan 

beberapa rangkaian kegiatan, yaitu:

• Sepeda santai, dengan memanfaatkan moment Car Free Day tanggal 9 Oktober 

2011 yang dimulai dari Parkir Timur Senayan, diikuti oleh 1000 pesepeda dalam 

acara kampanye kesehatan dan "gowes". 

• Rakornas I STBM di Bekasi (tanggal 13 Oktober 2011) yang dibuka secara 

langsung oleh Ibu Menteri Kesehatan, Ibu Endang Rahayu Sedyaningsih 

(Almh.). Dalam acara tersebut diluncurkan logo dan website STBM, serta 

interaksi langsung dengan sanitarian di Kabupaten Pacitan melalui video 

conference. 

• Acara puncak peringatan HCTPS ke-4 pada tanggal 15 Oktober 2011, yang 

dihadiri hampir 400 orang pelaku STBM di seluruh Indonesia dan berakhir 

dengan pemecahan rekor MURI, berupa tarian tangan 3100 anak. 

 

c. Dukungan Jejaring Sanitasi Dukungan Jejaring Sanitasi 

Dukungan Jejaring Sanitasi merupakan bentuk komitmen Kementerian Kesehatan 

dalam memberikan dukungan sesuai dengan peran Kementerian Kesehatan sebagai 

PIU/UPP Advokasi dan Pemberdayaan pada setiap tahapan pelaksanaan program 

PPSP. Ada sebanyak 58 kabupaten/kota yang baru bergabung menjadi peserta PPSP 

di tahun 2011, sedangkan kabupaten/kota yang sudah bergabung sebelumnya ada 

63 sehingga jumlah total kabupaten/kota peserta PPSP di tahun 2011 sebanyak 121. 

Jumlah tersebut akan selalu bertambah di tahun berikutnya dengan target minimal 

330 kabupaten/kota PPSP pada tahun 2014. Kegiatan dukungan jejaring sanitasi di 

tahun 2011 melebihi target dari semula direncakan di 15 lokasi menjadi 38 lokasi. 

Bentuk dukungan yang dilakukan antara lain sebagai berikut: 

• Penyelenggaraan lokakarya penjaringan minat PPSP 

• TOT Fasilitasi Studi EHRA bagi kabupaten/kota peserta PPSP 

• dukungan untuk kegiatan terkait advokasi dan sosialisasi PPSP 

• dukungan pada pelatihan-pelatihan PPSP (sebagai narasumber ataupun 

peserta) 

• dukungan untuk City Sanitation Summit dan KSAN (Kongres Sanitasi dan Air 

Minum Nasional) 

• dukungan fasilitasi setiap tahapan PPSP baik di pusat, provinsi atau regional, 

dan kabupaten/kota. 

d. Kegiatan Persiapan Penyelenggaraan EASAN- Kegiatan Persiapan Penyelenggaraan EASAN-3 

Penetapan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Negara-negara ASEAN yaitu 

EASAN-3 di Bali pada tahun 2012 menimbulkan konsekuensi untuk melakukan 

persiapan yang serius demi terselenggaranya acara tersebut. Salah satu persiapan 

yang dilakukan adalah dengan membentuk komite nasional dan secretariat EASAN-

3. EASAN-2 telah fokus pada promosi, inovasi dan lesson learned implementasi 

dalam upaya peningkatan pencapaian outcome. Selanjutnya de