Tampilkan postingan dengan label pengendalian penyakit terpadu. 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pengendalian penyakit terpadu. 2. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Juli 2025

pengendalian penyakit terpadu. 2



  lain yang terlibat 

DOTSberkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus yang ternotiifikasi termasuk juga 

jumlah suspek. 


Berdasarkan data di atas, angka penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2011 

menunjukkan capaian417 sampai dengan2.277 per 100.000 penduduk, tertinggi


Sulawesi Utara dan terendah Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang 

mempunyai kontribusi peningkatan penjaringan suspekyang signifikan di tahun 2011 

adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku, 

Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara. 

c. Proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek ya Proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa ng diperiksa (positivity rate) 

Adalah presentase pasien baru BTA positif yang ditemukan di antara seluruh suspek 

yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan 

sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka proporsi 

pasien baru TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa ini sekitar 5-15%. 

Angka ini bila terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan antara lain karena 

penjaringan suspek terlalu longgar, banyak orang yang tidak memenuhi kriteria 

suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu). 

Sedangkan bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan antara lain 

karena penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium 

(positif palsu). 

Berdasarkan data di atas, proporsi pasien baru BTA positif di antara suspek yang 

diperiksa dahak tahun 2005-2011 masih dala56m range target yang diharapkan 

yaitu (5-15%). Pada tahun 2005-2011, proporsi pasien baru BTA positif diantara 

suspek yang terendah tahun 2011 (10%) sedangkan yangtertinggi tahun 2005 

(13%)


Meskipun proporsi nasional pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa 

dahaknya mencapai hasil yang diharapkan berkisaryaitu 5-15%, namun beberapa 

provinsi memiliki angka yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana 

terlihat pada data 5, provinsi yang angkanya melebihi angka proporsi 15% di 

tahun 2011 adalahDKI Jakarta (16%) dan Maluku Utara (19%) sedangkan pada 

tahun 2010 yaitu Kepulauan Riau (17%) dan Maluku Utara (22%). Hal ini 

menunjukan bahwa penjaringan kasus di empat provinsi tersebut terlalu ketat atau 

ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). Hasil pemeriksaan 

laboratorium dapat dilihat dari hasil pemantapan mutu eksternal (error rate). 

d. Proporsi pasien baruBTA positif di antara semua kasus 

Adalah presentase pasien baru BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat. 

Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular diantara 

seluruh pasien TB paru yang diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari 

65%. Karena akan menunjukan mutu diagnosis yang rendah, dan kurang 

memberikan prioritasuntuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).


Berdasarkan data diatas, proporsi pasien baru BTA positif di antara seluruh kasus 

dari tahun 2005 s/d 2011, yang terendah pada tahun 2009 (57%) sedangkan 

tertinggi pada tahun 2005 (66%). Sejak tahun 2007 sampai dengan 2011, angka ini 

masih berada di bawah target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada 

di bawah target.Hal ini mengindikasikan bahwa kurang memberikan prioritas 

menemukan kasus BTA positif.data diatas menggambarkan capaian proporsi pasien baru TB paru BTA positif 

diantara seluruh kasus dari tahun 2010-2011, pada tahun 2011 capaian yang tertinggi 

adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (94%)dan terendah Provinsi DKI Jakarta (33%). 

Provinsi yang memiliki pencapaian di bawah target (< 65%) adalah Jawa Timur,

Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Banten, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa 

Tengah, Bali, D.I. Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat. 

e. Angka notifikasi kasus atau case notification rate Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR) kasus atau case notification rate (CNR) 

Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat 

diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila 

dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari 

tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan 

kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada 

wilayah tersebut. 

Berdasarkan data 2.B.1.8, angka notifikasi kasus baru TB paru BTA positif dan 

semua kasus dari tahun 2005-2011 mengalami peningkatan tetapi pada tahun 2007 

angka tersebut turun sehingga mengakibatkan peningkatan terlihat tidak signifikan. 

Angka notifikasi kasus baruBTA positif dan semua kasus tertinggi pada tahun 2011 

dan terendah pada tahun 2007 (untuk kasus baru BTA positif) dan 2005 (untuk 

semua kasus). 

Berdasarkan data di atas, angka notifikasi atau case notification (CNR) kasus baru 

BTA positif per provinsi tahun 2011 secara nasional terjadi peningkatan 

dibandingkan dengan tahun 2010. Provinsi dengan angka capaian tertinggi adalah 

Sulawesi Utara sedangkan yang terendah D.I.Yogyakarta.Beberapa provinsi ada 

yang mengalami penurunan yaitu D.I. Yogyakarta, Sumatera Selatan, Papua Barat, 

NAD, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Utara.data 10 memperlihatkan, angka notifikasi semua kasus secara nasional pada tahun 

2011 (133 per 100.000 penduduk) meningkat dibandingkan dengan tahun 2010 

(129 per 100.000 penduduk) sedangkan pada tingkat provinsi beberapa provinsi 

mengalami penurunan yaitu Provinsi D.I. Yogyakarta, NAD, Bengkulu, Sumatera 

Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Gorontalo, dan 

Papua.Berdasarkan angka capaian tahun 2011, bervariasi antara 298 per 100.000 

penduduk (Papua) dan 68 per 100.000 penduduk ( D.I. Yogyakarta) 

f. Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus 

Adalah persentase pasien TB anak (0-14 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat. 

Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam 

mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 8-12% pada angka maksimal 15%. 

Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis. 

Pada tahun 2005 sd 2007, pencatatan dan pelaporan Program TB belum 

mempunyai format yang memuat variabel anak secara rinci sehingga kasus TB anak 

pada tahun tersebut tidak dapat terlaporkan. Berdasarkan data di atas, proporsi TB Anak diantara semua kasus dari tahun 2008 

sd 2011 berada dalam batas normal, namun apabila dilihat pada tingkat provinsi, 

menunjukkan proporsi yang sangat bervariasi dari 1,9% sampai 17%. 

data diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terdapat variasi proporsi TB 

anak dibanding semua kasus yang diobati baik pada tahun 2010 maupun tahun 

2011. Perbedaan proporsi TB anak antara tahun 2010 dengan 2011 tidak begitu 

berbeda jauh kecuali beberapa provinsi seperti Bengkulu, Lampung, Kalimantan 

Selatan dan Jawa Tengah. Provinsi-provinsi tersebut menujukan penurunan proporsi 

kasus TB anak.Pada tahun 2011, provinsi dengan proporsi lebih dari 15% adalah 

Papua dan Jawa Barat.Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan over￾diagnosis. Provinsi dengan proporsi <5% adalah Nusa Tenggara Barat, Sumatera 

Selatan, Sulawesi Utara, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Aceh, Sulawesi 

Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya under-diagnosis dan under-reporting terutama kasus TB anak 

yang diterapi di rumah sakit. 

g. Angka penemuan kasus atau case detection rate (CDR) 

Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati 

dibandingkan dengan jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam 

wilayah tersebut.Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien 

baru BTA positif pada wilayah tersebut.Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif 

diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif 

dikalikan dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program 

Penanggulangan Tuberkulosis Nasionaldalam RPJMN tahun 2011 adalah minimal 

75%. data di atas, menggambarkan angka penemuan kasus TB tahun 2005-2011 

peningkatan dimulai dari tahun 2005 sampai tahun 2006 namun menurun pada 

tahun 2007 dan meningkat kembali secara signifikan dengan pencapaian sebesar 

83,48% pada tahun 2011 dan sudah memenuhi target RPJMN (75%). 

Angka penemuan kasus secara nasional di tahun 2011 menunjukan peningkatan 

dibandingkan tahun 2010.Walaupun secara nasional sudah mencapai target, namun 

pada tingkat provinsi belum menunjukan pencapaian yang optimal dari 33 provinsi 

hanya 8 provinsi yang mencapai target penemuan minimal 70% yaitu Sumatera 

Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi 

Tenggara, dan Maluku. 

h. Angka konversi atau convertion rate Angka konversi atau convertion rate 

Angka konversi adalah presentase pasien baru BTA positif yang mengalami 

perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif. 

Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk 

mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar. 

Angka ini dihitung dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif 

yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa 

diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2 

bulan).Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.

data di atas menunjukan bahwa angka konversi tahun 2005 sd 2011 

memperlihatkan angka konversi yang tidak jauh berbeda. Angka ini mencapai 

target yang diharapkan (80%). Pencapaian ini menunjukan bahwa pengawasan 

menelan obat berjalan baik.Berdasarkan data di atas, angka konversi per provinsi tahun 2011 dibandingkan 

dengan tahun 2010 terlihat tidak berbeda jauh, beberapa provinsi terlihat 

mengalami peningkatan dan sebagian lain mengalami penurunan yang cukup besar 

yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera 

Selatan, dan Kalimantan Barat. 

i. Angka kesembuhan atau cure rate dan angka keberhasilan pengobatan atau success 

rate 

Angka kesembuhan ( Angka kesembuhan CR) adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru 

TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien 

baru BTA positif yang tercatat. Angka minimal minimal minimal yang harus dicapai adalah 85%. 

Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan. 


Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap 

perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap, 

meninggal, gagal, default, dan pindah. 

• Angka default tidak boleh lebih dari 5%, karena akan menghasilkan proporsi 

pasien pengobatan ulang yang tinggi di masa yang akan datang yang 

disebabkan karena penanggulangan TB yang tidak efektif. 

• Peningkatan kualitas penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus 

pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun. 

Sedangkan angka pengobatan gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh ≥

2% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh ≥

10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat. 

 

Angka keberhasilan pengobatan Angka keberhasilan pengobatan (SR) menunjukkan presentase pasien baru TB paru 

BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun 

pengobatan lengkap)diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat. 

Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan 

angka pengobatan lengkap. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan 

(trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. 

Angka ini dapat dihitung dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA 

positif yang mulaiberobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa 

diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.Oleh karena itu, pasien yang 

mendapatkan pengobatan di tahun 2010 baru dapat dilaporkan di tahun 2011. Berdasarkan data di atas, angka keberhasilan pengobatan mencapai lebih dari 

85%, bahkan sejak tahun 2006 angka ini mencapai >90% kecuali pada tahun 

2011.Hal ini disebabkan belum semua provinsi melaporkan data hasil akhir 

pengobatan secara tepat waktu. 

Target RPJMN untuk angka keberhasilan pengobatan di tahun 2011 adalah sebesar 

86%.Jika dibandingkan antara pencapaian dengan target maka pada tahun 2011 

angka keberhasilan pengobatan tercapai. Meskipun angka keberhasilan pengobatan 

dapat dikatakan cukup baik tetapi angka kesembuhan dari tahun 2005-2011 masih 

berada di bawah target yang diharapkan (>85%)Berdasarkan data di atas, provinsi dengan angka kesembuhan < 85% di tahun 

2011 sebanyak 20 provinsi dan 13 provinsi berhasil mencapai minimal 85% yaitu 

Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, NAD, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Banten, 

Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan 

Barat, dan Sulawesi Utara. Provinsi dengan angka kesembuhan di tahun 2011 

tertinggi adalah Sulawesi Utara (92,1%) dan terendah adalah Papua Barat (42,2%). Berdasarkan data di atas,menunjukan angka keberhasilan pengobatan per 

provinsi tahun 2010 sd 2011 terdapat beberapa provinsi dengan angka keberhasilan 

pengobatan yang lebih rendah di tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010. 

Provinsi yang menunjukan penurunan angka keberhasilan pengobatan yang cukup 

signifikan adalah Provinsi Riau, Maluku Utara, Kaltim, DKI Jakarta, Nusa Tenggara 

Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, Maluku, Bengkulu, dan Nusa Tenggara 

Barat. Sedangkan provinsi yang memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan 

adalah Provinsi Papua dan Papua Barat. Provinsi dengan angka keberhasilan 

pengobatan di tahun 2011 tertinggi adalah Gorontalo (96,2%) dan terendah 

adalah Papua Barat (56,9%). 

Angka kesalahan laboratorium Angka kesalahan laboratorium salahan laboratorium 

Angka kesalahan laboratorium yang menyatakan presentase kesalahan pembacaan 

slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji 

silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain. 

Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung 

oleh laboratorium pemeriksa pertama. Untuk 8 provinsi (Bali, Nusa Tenggara Barat, 

Lampung, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan) sudah 

melakukan untuk penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan 

metode Lot Sampling Quality ssessment (LQAS). Untuk masa yang akan datang 

akan diterapkan metode LQAS di seluruh UPK. 

Waktu penghitungan angka ini berdasarkan sediaan dahak yang dikirim 

laboratorium pemeriksa pertama dan BLK yang melakukan uji silang sekitar 3-6 

bulan sebelumnya. 

Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung 

oleh laboratorium pemeriksa pertama. Beberapa provinsi (Bali, Nusa Tenggara 

Barat, Lampung, Jawa Barat, Lampung,Sumatra Selatan, Riau dan Kalimantan 

Selatan saat ini sudah menggunakan uji silang dengan metode Lot Sampling Quality 

Assessment (LQAS) sedangkan provinsi yang lain masih menggunakan metode 

konvensional yaitu memerisa ulang 100% sediaan positif dan 10% sediaan negative. data di bawah menunjukkan presentase kabupaten/ kota yang melaksanakan uji 

silang tahun 2010-2011. data tahun 2011 diperoleh sampai dengan triwulan 3 

tahun2011

Sedangkan presentase fasyankes melaksanakan Uji Silang dan fasyankes dengan 

kualitas baik pada tahun 2010 sd 2011 dapat dilihat di bawah ini :

Dari data di atas menunjukkan masih banyak fasyankes yang belum melaksanakan 

uji silang. Presentase fasyankes dengan kualitas baik dari fasyankes yang 

melaksanakan uji silang menunjukkan angka yang stabil. Fasyankes dengan kualitas 

baik pada daerah yang melaksanakan uji silang secara konvensional merupakan 

fasyankes dengan Error Rate ≤ 5%, sedangkan pada LQAS merupakan fasyankes 

tanpa KB (Kesalahan Besar) dan atau KK (Kesalahan Kecil) ≤ 3. 

Berdasarkan data di atas, trend penemuan kasus dan penggobatan di setiap tipe 

fasilitas pelayanan kesehatan dari tahun 2008 sd 2011 berbeda-beda. Puskesmas 

masih menjadi fasyankes yang paling besar kontribusinya dalam menemukan dan 

mengobati kasus. Sebelum tahun 2008 data kasus yang dilaporkan dari puskesmas 

dan fasilitas kesehatan lainnya digabung. Namun saat ini semakin banyak provinsi 

yang telah memisahkan data kasus dari beberapa tipe fasilitas pelayanan kesehatan. 

Dari pemisahan tersebut terlihat bahwa kontribusi penemuan kasus TB di rumah 

sakit terlihat semakin meningkat. Selain jumlah kasus dari rumah sakit jumlah rumah 

sakit yang telah melaksanakan DOTS. 

Penemuan dan pengobatan kasus oleh Balai Besar Pengobatan Paru Balai 

Pengobatan Penyakit Paru (BP4) dari tahun 2008-2011 tampak mengalami 

penurunan. 

Selain puskesmas, rumah sakit, dan BP, klinikdi tempat kerja (workplace), dokter 

praktek swasta (DPS), dan klinik di lapas/rutan mulai terlihat kontribusinya. Dari 

tipe fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat DOTS, puskesmas memberikan 

kontribusi terbanyak dalam menemukan dan mengobati kasus. 

Berdasarkan data 2.B.1.23, 2.B.1.24, dan 2.B.1.25, proporsi hasil akhir pengobatan 

dari masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan dari tahun 2009 sd 2011 terlihat 

tidak terlalu berbeda.Angka pengobatan dan keberhasilan pengobatan tertinggi dan 

memenuhi target (>85%) adalah di puskesmas. Selain itu hasil akhir pengobatan di 

Rumah sakit, BP4, workplacedan DPS juga terlihat cukup menggembirakan.Yang 

masih harus menjadi perhatian saat ini adalah proporsi pasien yang pindah di lapas 

terlihat cukup besar (20-40%) hal ini menunjukan pemantauan setelah penggobatan 

di klinik lapas belum berjalan dengan baik. 

Dari data di atas terlihat bahwa dari tahun 2009 sampai dengan 2011 terjadi 

peningkatan jumlah kasus TB baik yang dites HIV, TB dengan HIV positif, dan TB 

HIV yang mendapatkan ARV. Hal ini menunjukan kegiatan kolaborasi TB HIV yang 

semakin baik atau semakin banyak jumlah provinsi yang mengirimkan laporan. 

Proporsi TB dengan HIV positif tahun 2008 sd 2011 terlihat mengalami 

penurunan.Hal ini disebabkan karena jumlah kasus TB yang ada dari tahun ke tahun 

meningkat.Meskipun demikian, jika dilihat jumlah absolute maka jumlah pasien TB 

dengan HIV positif mengalami peningkatan. 

m. Hasil kegiatan PMDT (Programmatic Management of Drug Resistant TB) g Resistant TB) 

Programmatic Management of Drug Resistant TBdimulai tahun 2009 di 2 pilot site

yaitu DKI Jakarta dan Jawa Timur.Saat ini ekspansi PMDT dilakukan di 2 wilayah 

yang baru yaitu Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan. 

data di bawah ini merupakan hasil penemuan kasus TB MDR (Multi-Drug 

Resistant) sejak Bulan Agustus 2009-Desember 2011.


Penemuan kasus baru HIV dan AIDS di Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2011 

cenderung meningkat. Tahun 2011dilaporkan ada 21.031 kasus baru HIV dan 4.162 

kasus baru AIDS. Meskipun kumulatif kasus AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat 

tetapi jumlah kasus baru AIDS di tahun 2011 lebih rendah dibandingkan tahun 2010 

sebagaimana dapat terlihat dalam gambar di bawah ini. 

Sama halnya dengan tahun 2010, kasus AIDS lebih banyak terjadi pada laki-laki 

(63,1%) dibandingkan perempuan (34,0%), tetapi jika dilihat dari presentase 

kumulatif sampai tahun 2011, persentase pada perempuan mengalami peningkatan jika 

dibandingkan dengan persentase kumulatif sampai tahun 2010 yang menunjukan 

semakin meningkatnya penularan Aids pada perempuan serta menunjukan 

meningkatnya penemuan kasus AIDS pada perempuan. Lengkapnya dapat dilihat pada 

3 (tiga) gambar dibawah ini:


Selama tahun 2011 kejadian kasus AIDS juga masih didominasi oleh kelompok usia 

produktif 20-39 tahun (67,6%).Walaupun jika dibandingkan secara kumulatif sampai 

tahun 2011 dengan kumulatif sampai tahun 2010 , sudah terjadi penurunan pada 

kelompok usia ini (dari 78,7% menjadi 76,1%) oleh karena terjadinya peningkatan 

persentase pada kelompok usia remaja 15-19 tahun (dari 3,1% menjadi 3,7%) dan

peningkatan pada usia 40-49 tahun ( dari 9,4% menjadi 9,9%). Hal ini dapat dilihat 

pada 3 (tiga) data di bawah ini.


Pada data di atas terlihat bahwa faktor risiko utama penularan pada kasus AIDS pada 

tahun 2011 adalah melalui hubungan heteroseksual (71,0%), yang jika dibandingkan 

dengan tahun 2010, risiko penularan melalui hubungan heteroseksual ini semakin 

terjadi peningkatan yang tajam (dari 38,26% menjadi 71,0%). Hal yang berbeda 

terjadi pada faktor risiko penularan melalui IDU atau penasun, yakni terjadinya 

penurunan (dari 52,70% menjadi 18,7%). Ini dapat dilihat pada 2 data di bawah ini.


Sampai tahun 2011, dari 32 Provinsi di Indonesia yang sudah mempunyai kasus AIDS, 

85% (kasus AIDS didominasi oleh sepuluh provinsi terbanyak yakni DKI, Jawa Timur, 

Papua, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Riau, dan 

DIY. Jika dibandingkan dengan kumulatif sampai tahun 2010, Provinsi Riau selama 

tahun 2011 menunjukan peningkatan penemuan kasus AIDS sehingga menggeserkan 

kedudukan provinsi Sumatera Utara dalam 10 besar. Secara rinci hal ini dapat dilihat 

pada 3 (tiga) gambar dibawah ini: 


Seperti halnya kasus AIDS yang tinggi pada kelompok usia reproduktif (usia 20-39 tahun), 

kematian akibat AIDS juga tinggi pada kelompok usia ini sejak tahun 1987 sampai tahun 

2011. Akan tetapi sudah terjadi penurunan kematian pada tahun 2011 jika dibandingkan 

dengan tahun 2010 dari 68,1% menjadi 40,4% dari total kematian AIDS. Secara rinci 

penjelasan ini dapat dilihat pada data dibawah ini:


Cara penularan HIV-AIDS melalui pertukaran darah, seksual dan vertikal dari ibu ke 

bayi/anaknya, namun bervariasi menurut faktor risikonya dari waktu ke waktu. Pada era 

80-90an penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan homoseksual dan pada 

tahun 2001-2005 lebih banyak disebabkan oleh penggunaan jarum suntik (Intravenous


Drug User/IDU). Dan saat ini penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan 

heteroseksual. Secara lengkap faktor risiko penularan dapat dilihat pada data di bawah 

ini.

Walaupun secara persentase terjadi penurunan penularan melalui IDU atau penasun, akan 

tetapi secara jumlah kasus terjadipeningkatanyakni dari 2.780 pada tahun 2010 menjadi 3.299 

pada tahun 2011, sehingga upaya pencegahan penularan HIV-AIDS pada penasun harus tetap 

menjadi salah satu prioritas. Perbandingan dan trend penularan HIV-AIDS ini dapat terlihat 

pada data dibawah ini



Infeksi oportunistik yang paling banyak pada ODHA selama tahun 2011 adalah 

kandidiasis (20,4%), disusul oleh TB (18,4%) dan diare (16,2%). Hal ini sama dengan 

yang terjadi pada tahun 2010 yang didominasi oleh 3 (tiga) penyakit ini walaupun 

secara urutan kejadian kandidiasis telah menggeser penyakit TB. Akan tetapi secara 

keseluruhan kejadian infeksi oportunistik pada tahun 2011 terjadi penurunan jika 

dibandingkan dengan tahun 2010 ( dari 6.331 kasus pada tahun 2010 menjadi 3.462 

kasus pada tahun 2011). Hal ini sejalan dengan pengobatan ARV lebih dini sehingga 

menurunkan kejadian infeksi opportunistik. Secara lengkap dapat dilihat pada data di 

bawah ini.


Selama tahun 2011 jumlah layanan konseling dan test HIV terjadi peningkatan menjadi 

500 unit layanan dari 388 unit layanan pada tahun 2010. Hal ini diharapkan 

mempermudahkan akses ke layanan pengobatan ART danlayanan dukungan 

lainnya.Oleh karena Konseling dan tes HIV merupakan pintu masuk (entry point) untuk 

membantu setiap orang mendapatkan akseslayanan komprehensif, baik informasi, 

edukasi, terapi atau dukungan psikososial.Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan 

akan informasi yang akurat dan tepat dapat dicapai, sehingga proses pikir, 

perasaandanperilakudapat diarahkankepadaperubahanperilaku yang lebihsehat. 

Cakupan program layanan Konseling dan Tes Sukarela (KTS/VCT: Voluntary Counseling 

and Test) terlihatpada table di bawah.Seluruh HIV positif telah dirujuk ke layanan 

Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP), minimal untuk register pra ARV dan 

penetapan stadium klinis AIDS. Hasil pemeriksaan atau tes HIV dengan hasil positif 

(Positive Rate) selama tahun 2011 terjadi penurunan yakni sebesar 7,5% jika 

dibandingkan pada tahun 2010 yakni sebesar 10,4%. Hal ini dapat dapat terjadi oleh 

karena semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan dirinya ke klinik 

VCT atau KTS. Jelasnya dapat dilihat pada data dibawah ini: 


Rumah sakit yang memberikan pelayanan ART sesuai dengan SK Menkes RI No. 

782/MENKES/SK/IV/2011 tentang RS Rujukan Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) 

sebanyak 278 RS Rujukan Bagi ODHA. Saat ini rumah sakit yang aktif melapor sebanyak 

235 RS. Sedangkan jumlah ODHA yang diobati dan mendapat ARV sampai dengan 

Desember 2011 adalah 24.410 orang, terjadi peningkatan daripada tahun 2010 pada 

semua provinsi sebagaimana yang terlihat pada data di bawah ini. 

Faktor-faktor yang berpengaruhterhadapcakupanpengobatan masih sama dengan tahun 

2010, yakni rendahnya deteksi dini diagnosis HIV, pasien yang 

layakmendapatpengobatan(eligible)menurut pedoman nasional 

belumsiapuntukmenerimapengobatankarenamasalahpsikososial 

(tidaksiapuntukberobatseumurhidup), masalahtransportasi (rumahjauh), 

dukungankeluarga, pasienmasuksudahdalamtaraf terminal, dan lain-lain. Faktor eksternal 

lain yang berpengaruh besar adalah upaya penjangkauan terhadap ODHA karena masih 

adanya stigma dan diskriminasi sehingga penemuan kasus secara dini belum optimal, 

e. Layanan TB- Layanan TB-HIV 

HIV-AIDS sangat terkait dengan TB sehingga upaya pengendalian kedua penyakit ini 

perlu dilakukan secara terintegrasi (kolaborasi TB-HIV) agar tidak menimbulkan 

peningkatan kembali jumlah kasus HIV-AIDS terutama pada penderita TB, sebaliknya 

pada penderita HIV-AIDS sebagian besar infeksi opportunistik yang muncul adalah 

penyakit TB. Untuk itu sejak pertengahan tahun 2010 telah diupayakan pada setiap 

penderita HIV-AIDS dilaksanakan penapisan atau skrining TB. Selama tahun 2011, 

sebanyak 10.899 0rang kasus baru yang pernah masuk perawatan HIV telah 

dilaksanakan penapisan TB (52% dari 21.031 orang kasus HIV positif) . Dari kasus HIV￾AIDS yang ditapis TB sebanyak 5.163 orang mengalami koinfeksi TB (47,3%). Sehingga 

selama tahun 2011 sebanyak 3.289 orang kasus HIV-AIDS telah mendapatkan terapi TB 

dan ARV (63,6% dari orang yang mengalami koinfeksi atau 30% dari penderita HIV￾AIDS yang ditapis TB). Untuk jelasnya dapat dilihat pada data dibawah ini: 

Upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS ada beberapa hal yang perlu dilakukan dan 

menjadi perhatian antara lain : 

a) Percepatan dan perluasanprogram dan layanan yang komprehensif. mprehensif.

Sektorkesehatan dan jajarannya di 

semuatingkatanakanberupayameningkatkanjumlahfasilitaskesehatanyang peduli dan 

mengerti permasalahan program dan layananHIV-AIDStermasukIMS, diagnosis dini, 

konseling dan tes (K&T)terintegrasi dalam setiap bentuk program maupun layanan 

kesehatan, pengurangan dampak buruk napza atau PTRM, dan akses serta 

ketersediaan ART. 

Dalam era desentralisasi, sectorkesehatan di 

tingkatprovinsibersamakabupaten/kotamasing-masingmenetapkan target percepatan 

dan perluasanprogramdenganmemberikanperhatianbeberapahalsebagaiberikut: 

i. Peningkatan kualitas pengetahuan, ketrampilan dan kewenangan tenaga 

kesehatan di pelayanan maupun program. 

ii. Ketersediaan dan kecukupan serta berkesinambungan dalam hal logistik obat, 

bahan habis pakai dan alat kesehatan, Menyebarluaskan pengetahuan komprehensif promosi, pencegahan, 

pengobatan dan rehabilitasi melalui distribusi dan ketersediaan informasi, 

edukasi dan konseling yang bermutu terutama penguatansubstansi pesan 

tentang cara akuratmencegahpenularan IMS dan HIV melaluiperilaku seks dan 

pertukaran darah, dan penularan dari ibu ke bayi/anak beserta faktor dan 

populasi berisiko, sertapengelompokan media KIE 

berdasarkansegmentasipopulasirisikotinggi, dan populasiumum. 

iv. Meningkatkanefektivitaspenggunaan media KIE di pusat-pusatlayanankesehatan 

(RS, Puskesmas/Klinik), dan pusatinformasikesehatan pada spot 

populasiberisiko, beserta layanan yang tersedia. 

SektorKesehatantingkatprovinsi dan 

kabupaten/kotaberupayamenggerakkanpartisipasiaktifkelompok dukungan sebaya 

ODHA, populasiberisiko dan pemangkukepentingan local 

untukpelaksanaanprogramkomunikasikesehatan yang 

berorientasimembangunmotivasihidupsehat dan rendahrisikopenularan HIV. 

i. Meningkatkancakupan pesan tentangkesehatanreproduksidan seks aman 

sepertimenundahubungansekspertama pada remaja dan pemuda, dan 

mengurangijumlahpasanganseks pada populasiberisiko.

ii. Menyebarluaskaninformasiyangbenaruntukmenghapus pandangan yang salah 

tentang penularan IMS dan HIV,pelayanan dan pemeriksaan kesehatan 

bersahabat serta meningkatkan pelayanan pengobatan terkait HIV dan AIDS. 

iii. Meningkatkan cakupan pemakaian kondom pada populasi penjaja seksdan 

menyediakan serta meresepkan kondom sebagai alat kesehatan preventif bagi 

setiap pasien IMS. 

iv. Meningkatkan pengurangan dampak buruk narkoba melalui layanan PTRM, 

ketersediaan dan permintaan alat dan jarum suntik steril sekali pakai bagi 

pengguna narkoba suntik dan menganjurkan rehabilitasi. 

b) Meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang menyed Meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan IMS, PTRM, iakan layanan IMS, PTRM, 

KTHIV, dan TB- KTHIV, dan TB-HIV, ART dan IO HIV, ART dan IO HIV, ART dan IO. 

Peningkatan jumlah bertujuan untuk mendekatkan akses layanan agar: 

i. Prevalensi IMS dan HIV pada populasi berisiko dapat dikendalikan. 

ii. Meningkatnya jumlah peserta aktif PTRM. 

iii. Meningkatnya cakupan testing dan konseling HIV pada populasi berisiko dan 

rawan tertular HIV, penderita TB dan Ibu hamil 

iv. Meningkatnya cakupan penapisan TB pada ODHA dan sebaliknya. 

v. Meningkatnya cakupan layanan PMTCT 

vi. Meningkatnya cakupan layanan ART dan IO 

c) Meningkatkan kinerja supervisi, bimbingan teknis, m Meningkatkan kinerja supervisi, bimbingan teknis, m n kinerja supervisi, bimbingan teknis, monitoring d onitoring dan evaluasi onitoring dan evaluasi dengan an evaluasi 

memperkuat kepemimpinan dan koordinasi, serta sinkronisasi pelaksanaan sistem 

yang telah tersedia. 

 

d) Memperkuat penyusunan perencanaan program dan anggaran yang terpadu serta ran yang terpadu 

saling bersinergis di semua tingkatan 

i. Tingkat Pusat: masing-masing unit utama menyusun rencana kerja sebagai 

penjabaran dari Rencana Aksi ini. 

ii. Tingkat Provinsi: menyusun rencana kerja dimana didalamnya terdapat 

penetapan kerangka prioritas wilayah dan program, target pencapaian program 

yang terukur, sistim pelaksanaan kegiatan program, monitoring dan evaluasi. Tingkat kabupaten/kota dilibat aktifkan dalam proses penyusunan rencana kerja 

provinsi tersebut. 

iii. Tingkat Kabupaten/Kota: menyusun rencana kerja spesifik tentang sasaran 

prioritas program dan sub populasi, ukuran pencapaian hasil, alur kerja, dan 

monitoring serta evaluasi. 

e) Memperkuat alur kerja pelaksanaan program yang sali Memperkuat alur kerja pelaksanaan program ng bersinergis di masing￾masing tingkat dan antar tingkat. 

f) Memperkuat kebijakan dan mekanisme pelaksanaan surv Memperkuat kebijakan dan mekanisme pelaksanaan surveilans terpadu. isme pelaksanaan surveilans terpadu. eilans terpadu. 

 

g) Memperkuat koordinasi lintas program dan lintas sek Memperkuat koordinasi lintas program dan lintas tor terkait di masing-masing 

tingkat agar program percepatan dan perluasan pengendalian PMS, HIV dan AIDS 

mendapat dukungan politis dan teknisoperasional. 

h) Membangun perspektif hidup sehat dan rendah risiko Membangun perspektif hidup sehat dan rendah risiko penularan H penularan HIV. Sektor 

Kesehatan di masing-masing tingkat melaksanakan advokasi kepada penentu 

keputusan dan pemangku kepentingan sebagai usaha memperkuat dukungan 

sumberdaya dan dana, menciptakan suasana kondusif untuk pelaksanaan program, 

dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program. 

 

f. Pencapaian Indikator Renstra dan MDG. Pencapaian Indikator Renstra dan MDG. 

Dalam pembangunan kesehatan nasional dibentuklah Rencana Strategis kementerian dan 

lembaga sebagai penjabaran dari RPJMN yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana 

Kerja Pemerintahan dengan periode tahunan. 

Selain RPJMN dan Renstra, upaya pengendalian HIV dan AIDS juga merupakan agenda 

penting di dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millenium Development 

Goal).Oleh karenanya dalam roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat, HIV-AIDS 

terpilih menjadi salah satu area perubahan yang mendapat perhatian pula. Dalam MDG, pengendalian HIV-AIDS termasuk dalam Goal 6 yakni ‘Memberantas HIV 

AIDS, Malaria dan Penyakit Lainnya’ dan memiliki dua (2) target dan empat (4) 

indicator sebagai berikut: Dalam upaya pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV-AIDS 

terdapat 3 (tiga) indikator yang harus dimonitor dan dievaluasi setiap tahunnya. Selama 

tahun 2011 prevalensi HIV-AIDS di indonesia adalah 0,3%, suatu kondisi yang baik 

sekali oleh karena angka ini menunjukan tingkat penularan HIV-AIDS lebih rendah dari 

target maksimal yang ditetapkan untuk tahun 2011 yakni sebesar <0,5%. Sehingga 

diharapkan dapat mengendalikan penularan dan menurunkan jumlah kasus baru HIV￾AIDS walaupun penurunan prevalensi ini belum ditunjang dengan penggunaan kondom 

pada laki-laki dan pengetahuan komprehensif HIV-AIDS pada remaja yang masih rendah 

dan belum memenuhi target yang ditetapkan, seperti terlihat pada data diatas. 

Sementara selama tahun 2011 upaya mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV-AIDS 

bagi semua yang membutuhkan telah tercapai dengan baik bahkan melampaui target 

ditetapkan yakni sebesar 84,1% penderita AIDS telah mendapatkan pengobatan ARV 

(target 75%). Pengadaan obat ARV dijamin sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui 

dana APBN maupun bantuan Luar kegeri. 


ISPA khususnya Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di 

Indonesia terutama pada Balita. Menurut hasil Riskesdas 2007, pneumonia 

merupakan pembunuh nomor dua pada Balita (13,2%) setelah diare (17,2%). 

Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Rudan, et al (2004) di negara 

berkembang termasuk Indonesia insidens pneumonia sekitar 36% dari jumlah 

Balita. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap insidens pneumonia tersebut antara 

lain gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan, 

cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR. 

Sejak tahun 2000, angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara 

20%-36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode 

2005 sd 2009 adalah 46% sd 86%, sedangkan periode 2010 sd 2014 adalah 60% 

sd 100%


Cakupan penemuan pneumonia balita dari tahun ke tahun relatif tetap. Pada tahun 

2011 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, walaupun 

peningkatannya tidak mencolok.

Secara nasional cakupan penemuan pneumonia pada tahun 2011 masih rendah yaitu 

23,98%, jauh di bawah target nasional yang di tetapkan yaitu 70%. 

Rendahnya angka cakupan penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara 

lain: 

• Sumber pelaporan rutin terutama berasal dari Puskesmas, hanya beberapa provinsi 

dan kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan 

lainnya. 

• Deteksi kasus di puskesmas masih rendahnya karena sebagian besar tenaga belum 

terlatih. 

• Kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari kabupaten/kota ke 

provinsi. 


Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka peningkatan cakupan penemuan 

pneumonia Balita tahun 2011 antara lain: 

1) Pertemuan regional manajemen program pengendalian ispa bagi petugas 

kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota 

2) Pertemuan review buku pedoman tatalaksana ispa dengan tim pakar 

3) Pertemuan LP/LS review Kebijakan P2.ISPA 

4) Pertemuan Revisi Pedoman Manajemen ISPA 

5) Lokakarya Penggunaan Oksigen di Rumah Sakit dan Puskesmas Dengan Tempat 

Perawatan 

6) Pemantapan cakupan & kualitas tatalaksana kasus ISPA 

b. Kesiapsiagaan Dan Respon Terhadap Pandemi Influenza 

Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan respon terhadap 

pandemi influenza yang dilaksanakan tahun 2011 antara lain: 

1. Pembinaan/monitoring kegiatan Sentinel Surveilans Pneumonia 

2. Pertemuan ilmiah tentang influenza(Scientific Meeting on Influenza) 

Sentinel surveilans pneumonia sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 yang pada 

awalnya di 10 provinsi (10 Puskesmas, 10 RS). Kemudian pada tahun 2010 

dikembangkan menjadi di 20 provinsi (40 Puskesmas, 40 RS). Adapun tujuan dari 

sentinel ini adalah untuk mendapatkan gambaran epidemiologi penyakit 

pneumonia dan kewaspadaan pandemi influenza di Indonesia, serta untuk 

perencanaan dan penentuan kebijakan Program Pengendalian ISPA. 

Hasil dari pelaksanaan sentinel surveilans pneumonia di 40 Puskesmas dan 40 RS 

tahun 2010 dan 2012 adalah sebagaimana dijabarkan pada gambar di bawah.


Proporsi kasus Pneumonia di Puskesmas Sentinel selama 2 tahun terakhir lebih 

didominasi kasus pneumonia pada balita.

data di atas menggambarkanproporsi kasus Pneumonia di Unit Rawat Jalan 

Rumah Sakit Sentinel selama 2 tahun terakhir lebih tinggi terjadi pada balita. Proporsi Kasus Pneumonia di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Sentinel dari tahun 2010 

s/d 2011 lebih tinggi terjadi pada balita. 

Secara absolut, proporsi kematian pada kedua kelompok umur cukup kecil dimana 

proporsi kasus kematian pneumonia di Puskesmas lebih besar pada usia ≥5 tahun. 

Kematian pada penderita pneumonia umumnya dideteksi di Puskesmas DTP. 

Kematian karena pneumonia di masyarakat sulit diketahui, karena tidak banyak 

penderita pneumonia melakukan kontrol ulang sehingga perkembangan 

penyakitnya.tidak dapat diketahui. Disamping itu, Puskesmas tidak melakukan 

autopsi verbal apabila ada kematian di masyarakat dengan alasan kendala biaya 

operasional. 

Proporsi kematian karena pneumonia pada unit rawat inap di 40 RS Sentinel, lebih 

besar terjadi pada usia >5 Tahun yaitu 3,2%. 

4. Pengendalian Penyakit Diare dan Infeksi Saluran Pen Pengendalian Penyakit Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan cernaan 

Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan 

penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. RISKESDAS tahun 2007 

menunjukkan bahwa Penyakit Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada 

bayi (31,4%) dan pada Balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur 

merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%). 

Selain sebagai penyebab kematian, angka kesakitan penyakit Diare juga masih cukup 

tinggi walaupun pada tahun 2010 mengalami sedikit penurunan yaitu dari 423 per 

1.000 penduduk pada tahun 2006 menurun menjadi 411 per 1.000 penduduk pada 

tahun 2010. Kajian morbiditas diare sejak tahun 1993 dilakukan setiap 3-4 tahun sekali. 

Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare masih sering terjadi terutama di daerah yang 

pengendalian faktor risikonya masih rendah. Kalau diperhatikan dari tahun ke tahun 

kejadian KLB Diare sangat bervariasi, tetapi pada Tahun 2011 CFR KLB Diare berhasil 

turun dengan sangat signifikan. Pada tahun 2010 terjadi KLB Diare di 26 lokasi yang 

tersebar di 11 provinsi dengan CFR 1,74% dan pada tahun 2011 terjadi KLB di 19 lokasi 

yang tersebar di 15 provinsi dengan CFR 0.40%. 

a. Pengendalian Diare Pengendalian Diare 

Dari hasil pengumpulan data melalui rekapitulasi laporan bulanan yang diterima 

dari provinsi menunjukkan hasil sebagai berikut:


data di atas menunjukkan bahwa jumlah penderita diare yang dilayani Puskesmas 

dan kader dari tahun 2007 sampai dengan 2011 sangat berfluktuasi dan pada tahun 

2011 nampak menurun bila dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu 5.090.212 

penderita pada tahun 2010 menjadi 4.182.416 penderita di tahun 2011. Hal ini 

disebabkan masih banyak Provinsi yang belum lengkap mengirimkan laporan ke 

Pusat, sehingga berpengaruh pada jumlah total penderita yang direkapitulasi oleh 

Subdit Diare dan ISP . 

Distribusi cakupan pelayanan penderita diare dirinci berdasarkan provinsi tahun 

2010 dan 2011 dapat dilihat pada gambar berikut: 

data di atas menunjukkan bahwa berdasarkan laporan dari provinsi yang diterima oleh 

Subdit Diare tahun 2010 sd 2011, tahun 2010 cakupan pelayanan diare tertinggi di Provinsi 

Bali (103.51%) sedangkan terendah di Provinsi Bengkulu (11.80%). Tahun 2011 cakupan 

pelayanan diare tertinggi di Provinsi Sulawesi Barat (103.86%) dan terendah di Provinsi Riau 

(10.39%). Di samping itu pada tahun 2011 ada beberapa provinsi yang belum mengirimkan 

laporan. 

1) Kejadian Luar Biasa Kejadian Luar Biasa

Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare masih sering terjadi di Indonesia, dan sering disertai 

kematian. 

a) Pada tahun 2011 terjadi di 19 lokasi tersebar di 15 provinsi dan 19 kabupaten/kota. 



Angka Kematian (CFR) Diare saat KLB 

CFR pada saat KLB menunjukkan fluktuasi yag bervariasi, gambaran CFR saat KLB dapat 

dilihat pada Gambar berikut :

Pada data di atas terlihat bahwa sejak tahun 2009, Angka Kematian Diare saat KLB 

(CFR) masih cukup tinggi (1,74%), walaupun trennya nampak menurun, dan pada 

tahun 2011 CFR KLB Diare mencapai target yaitu 0.4% hal ini dimungkinkan karena : 

• SKD Diare sudah dilaksanakan dengan baik sehingga dapat mendeteksi adanya KLB 

diare lebih dini 

• Tatalaksana diare sudah lebih baik sehingga dapat menurunkan angka kematian saat 

KLB 

• Banyak daerah yang tidak melapor adanya KLB Diare karena adanya peraturan 

MenteriKesehatan (Permenkes) No 1501 tahun 2010 yang mengatakan bahwa Diare 

adalah gejala dan yang disebut KLB hanya KLB Kolera. 

• Daerah sudah merasa dapat menangani KLB Diare sehingga tidak perlu untuk 

melapor. 

2) Lintas Diare Lintas Diare 

Dari hasil pemantauan cakupan dan kualitas tatalaksana diare di Puskesmas selama tahun 

2007 sampai tahun 2011 yang dilaksanakan oleh Subdit Diare dan ISP menunjukkan 

gambaran penggunaan oralit, penggunaan Antibiotik tidak rasional, penggunaan Anti 

Diare dan Tatalaksana diare sesuai standar adalah :

i. Penggunaan Oralit Penggunaan Oralit 

Sesuai dengan LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare) bahwa semua 

penderita diare harus mendapatkan oralit maka target penggunaan oralit adalah 

100%. Dari Gambar 4.4 diketahui bahwa penggunaan oralit sejak tahun 2005 sampai 

dengan tahun 2011 masih belum mencapai target, berkisar antara 76.5% - 87.6%. 

Pencapaian yang masih kurang tersebut karena masih banyak masyarakat yang belum 

mengetahui tentang manfaat oralit osmolaritas rendah yang dapat mengurangi 

muntah, pengeluaran tinja dan terapi intravena. Petugas kesehatan masih perlu 

melakukan sosialisasi dan edukasi tentang oralit osmolaritas rendah sehingga 

masyarakat diharapkan lebih mengetahui tentang manfaat dan penggunaannya. 

Proporsi penggunaan oralit menunjukkan gambaran sebagaimana nampak pada 

gambar berikut : 

Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional 

Gambaran penggunaan antibiotik tidak rasional selama tahun 2007-2011 

menunjukkan fluktuasi, berkisar antara 62,64% - 81,1%. Sesuai dengan LINTAS 

DIARE, pemberian antibiotik hanya atas indikasi(selektif) sehingga diharapkan target 

pemberian antibiotik tidak rasional adalah 0%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada 

data di bawah. 


data di atas menunjukkan proporsi penggunan antibiotik tidak rasional yang 

diberikan oleh tenaga medis pada penderita diare, ternyata cukup tinggi. Hal ini pada 

umumnya karena petugas tidak begitu yakin apabila tidak diberikan antibiotik 

khawatir tidak sembuh dan petugas mempertimbangkan apabila penderita tersebut 

tinggalnya jauh dari sarana kesehatan. Namun bila kita perhatikan, terjadi penurunan 

penggunaan antibiotik tidak rasional dari 72.5% pada tahun 2010 menjadi 63.4% 

pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik pada penderita 

diare semakin selektif. 

iii. Penggunaan Anti Diare Penggunaan Anti Diare 

Penggunaan anti diare tidak dianjurkan untuk penderita diare terutama pada balita 

karena dapat menyebabkan terjadinya invaginasi atau ileus. Selain itu kuman 

penyebab diare yang ada di dalam usus tidak dapat keluar bersama tinja. Proporsi 

penggunaan antidiare secara umum berfluktuasi dan cenderung menurun, dan 

berkisar antara 6.2%-33.4%, hal tersebut dapat dilihat pada data berikut : 

data di atas menunjukkan gambaran penggunaan anti diare selama tahun 2007 - 

2011. Angka penggunaan anti diare yang terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu 

9.75% dan tertinggi pada tahun 2008 (33.4%). Hal ini menunjukkan tatalaksana 

kasus diare semakin baik. Penurunan proporsi penggunaan anti diare selama tiga 

tahun tersebut kemungkinan disebabkan karena sejak tahun 2008 telah digunakan 

zinc dalam tatalaksana diare sehingga zinc dapat dianggap sebagai pengganti anti 

diare tersebut. 

iv. Tatalaksana Diare Sesuai Standar Tatalaksana Diare Sesuai Standar 

Definisi operasional Tatalaksana Diare sesuai standar adalah penderita diare yang 

diberi oralit, mendapatkan antibiotik sesuai indikasi dan tidak mendapatkan obat lain 

yang tidak perlu (anti diare, anti emetik). Target pencapaian tatalaksana diare sesuai 

standar tahun 2011 adalah 45%. Persentase tatalaksana diare sesuai standar selama 

tahun 2007-2011 belum terlaksana sebagai mana yang diharapkan, hal ini mungkin 

banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut. 

data di atas menunjukkan gambaran proporsi tatalaksana diare sesuai standar yang 

berfluktuasi, angka paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 35.5% dan yang 

terendah pada tahun 2009 yaitu 9,1%. Belum tercapainya target tatalaksana diare 

sesuai standar ini kemungkinan disebabkan karena belum tersosialisasinya tatalaksana 

diare sesuai standar ke seluruh petugas di daerah,disamping itu rotasi perpindahan 

petugas di daerah sangat tinggi. Hal lain yang mungkin menyebabkan masih 

rendahnya tatalaksana diare sesuai standar adalah masih tingginya penggunaan 

antibiotik yang tidak rasional (tidak sesuai indikasi). 

b. Pengendalian Penyakit Demam Tifoid Pengendalian Penyakit Demam Tifoid 

Penyakit Saluran Pencernaan Lain yang dikelola adalah penyakit Demam Tifoid. 

Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena masih 

tingginya angka kesakitan dan kematian. Dari hasil telaah kasus di rumah sakit besar 

di Indonesia, menunjukkan adanya kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun 

dengan rata-rata angka kesakitan 1.500 per 100.000 penduduk dan kematian antara 

0,6%-5%. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit 

Tifoid merupakan penyebab kematian nomor 2 (13%) pada kelompok umur 5-14 

tahun di daerah perkotaan dan pada golongan semua umur menduduki peringkat 

nomor 5 (13,2%) diantara kelompok penyakit menular.

Sejak tahun 2011, Subdit Diare dan ISP telah melakukan sosialisasi tatalaksana Tifoid 

bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas dan melakukan revisi buku 

Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid. 

c. Pengendalian Penyakit Hepaitis B Pengendalian Penyakit Hepaitis B 

Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia. Diperkirakan 2 milyar 

orang pernah terinfeksi virus Hepatitis B, dan sekitar 400 juta menjadi kronis. 

Bahkan Hepatitis C sampai saat ini belum dapat dicegah dengan vaksinasi dan 

sekitar 80% diantaranya menjadi kronis. Di Indonesia diperkirakan 25 juta orang 

terinfeksi Hepatitis B dan C. Menurut hasil RISKESDAS tahun 2007, penyakit hati 

merupakan penyebab kematian nomor 8 (5,1%) pada semua golongan umur, 

sedangkan pada kelompok penyakit menular merupakan penyebab kematian 

nomor 2 dengan proporsi 19,1%. Pada kelompok umur 15-44 tahun merupakan 

penyebab kematian nomor 1 (9,9%) di pedesaan & nomor 3 (8,8%) diperkotaan. 

Hasil RISKESDAS Biomedis tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi HbsAg (+) 

di Indonesia sebesar 9.4%. Ini menandakan bahwa Indonesia merupakan negara 

dengan endemisitas tinggi (>8%). 

Atas dasar kondisi tersebut, sejak tahun 2011 mulai dikembangan Penanggulangan 

Hepatitis di Indonesia, dengan penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis 

bersama pakar dari perguruan tinggi dan Organisasi Profesi, dan rencana 

membentuk daerah sentinel bersama dengan Dinas Kesehatan DKI untuk 

melaksanakan deteksi dini di daerah sentinel tersebut. 

5. Pengendalian Penyakit Kusta dan Frambusia Pengendalian Penyakit Kusta dan Frambusia

a. Pengendalian Kusta di Indonesia Pengendalian Kusta di Indonesia 

Tahun 2000 mempunyai arti penting bagi program pengendalian kusta. Pada 

tahun ini, dunia dan khususnya negara kita Indonesia berhasil mencapai status 

eliminasi. Eliminasi didefinisikan sebagai pencapaian jumlah penderita terdaftar 

kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk. Dengan demikian, sejak tahun tersebut 

di tingkat dunia maupun nasional, kusta bukan lagi menjadi masalah kesehatan 

bagi masyarakat. 

Diagnosis dini dan pengobatan dengan menggunakan MDT (Multi Drug Therapy) 

merupakan kunci utama dalam keberhasilan mengeliminasi kusta sebagai masalah 

kesehatan masyarakat. Pengobatan MDT berhasil menurunkan beban penyakit 

kusta dunia m,secara dramatis dari 5,2 juta kasus terdaftar pada tahun 1985 

menjadi 192.246 kasus pada akhir tahun 2010. Di Indonesia sendiri, pengobatan 

dengan MDT berhasil menurunkan 84,6% kasus. Dari 126.221 kasus terdaftar pada 

tahun 1985 menjadi 19.741 kasus pada akhir tahun 2010. 

 Sejak tercapainya status eliminasi kusta, situasi kusta di Indonesia menunjukkan 

kondisi yang relatif statis. Hal ini dapat terlihat dari angka penemuan kasus baru 

kusta yang berkisar antara 7 hingga 8 per 100.000 penduduk per tahunnya. Begitu pula halnya dengan angka penderita terdaftar yang berkisar antara 0,8 hingga 0,9 

per 10.000 penduduk. Situasi tersebut dapat dilihat dalam data berikut : 

 

data 2.B. data 2.B.5.1 

Tren Angka Prevalensi dan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta (NCDR) Kusta (NCDR) 

Tahun 2007 sd Tahun 2007 sd 2011 

Menurut laporan yang diterima, selama tahun 2011 ditemukan 20.023 kasus baru 

kusta. Jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan data pada tahun 

sebelumnya. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan penemuan penderita baru 

sebesar 15% atau 3011 kasus. Hal ini salah satunya disebabkan oleh meningkatnya 

kegiatan penemuan kasus kusta secara aktif oleh karena adanya perhatian 

pemerintah pusat maupun daerah dalam bentuk peningkatan anggaran. Berikut 

data penemuan penderita baru kusta tahun 2007-2011 dan Gambar situasi beban 

kusta di Indonesia tahun 2011.



Dari data di atas terlihat bahwa penemuan penderita baru kusta antara tahun 

2007 hingga tahun 2010 mengalami penurunan. Namun di tahun 2011 terjadi 

peningkatan penemuan penderita baru menjadi 20.023 kasus (rate: 8,3/100.000 

penduduk)


Dari gambar di atas terlihat bahwa distribusi beban penyakit kusta yang tinggi lebih 

banyak tersebar di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Di wilayah 

Indonesia bagian barat hanya Aceh dan seluruh provinsi di pulau Jawa kecuali 

provinsi Banten dan DI. Yogyakarta. 

Di tingkat provinsi terjadi pula peningkatan penemuan kasus baru kusta. Dari 14 

provinsi yang angka penemuan kasus baru kustanya di atas 10 per 100.000 

penduduk dan atau jumlah kasus baru per tahunnya lebih dari 1000 kasus, 78,6% 

atau 11 provinsi mengalami peningkatan jumlah kasus baru. data berikut 

menunjukkan penemuan kasus baru kusta di 14 provinsi. 


Diantara total penderita baru yang ditemukan pada tahun 2011, 16.099 kasus 

(80,4%) merupakan penderita tipe MB sedangkan jumlah penderita anak sebesar 

2452 kasus (12,25%) dan penderita yang mengalami cacat tingkat 2 sebesar 2025 

kasus (10,11)%. Jumlah penderita kusta yang masih terdaftar di akhir tahun 2011


sebesar 23.169 kasus. Berikut Gambar proporsi penderita MB, cacat kusta tingkat 2 

dan proporsi anak di antara penderita baru kusta tahun 2007 sd 2011. Dari grafikdi atas, dapat diketahui bahwa proporsi penderita MB di antara kasus 

baru kusta pada tahun 2011 menurun sebesar 0,3% bila dibanding data tahun 2010. Dari data diatas dapat diketahui bahwa proporsi penderita anak di antara kasus 

baru lebih tinggi sebesar 1,06% dibanding data tahun sebelumnya sedangkan 

proporsi penderita cacat kusta tingkat 2 diantara kasus baru menurun sebesar 

0,6%.b. Pengendalian Frambusia di Indonesia Pengendalian Frambusia di Indonesia 

Seperti halnya penyakit kusta, penyakit frambusia juga merupakan penyakit yang 

utamanya mengenai jaringan kulit. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian. 

Namun demikian bila tidak ditangani dengan baik frambusia dapat menimbulkan 

kecacatan. Frambusia biasanya terjadi di daerah yang sulit dijangkau (end of the 

road) oleh pelayanan kesehatan.Masyarakat miskin dengan kebersihan perorangan 

dan sanitasi lingkungan yang jelek sering terinfeksi oleh penyakit ini. 

Secara nasional angka prevalensi frambusia sudah kurang dari 1 per 100.000 

penduduk, namun hingga saat ini frambusia masih menjadi masalah 

kesehatan di Indonesia. Prevalensi penyakit frambusia turun secara 

bermakna dalam kurun waktu 1985 hingga 1995. Pada periode itu, angka 

prevalensi frambusia turun secara dramatis dari 2,21 per 100.000 penduduk 

menjadi hampir mendekati 0. Setelah tahun 1995, penurunan prevalensi 

frambusia berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara 

lain upaya pemberantasan yang tidak adekuat karena program frambusia 

bukan merupakan program prioritas. Berikut Gambar jumlah kasus 

frambusia di Indonesia sejak tahun 2007 sd 2011: 


Hasil pertemuan manajer program frambusia yang dilakukan pada bulan April 

2012 di Geneva, Swiss, menyepakati bahwa eradikasi frambusia diharapkan dapat 

tercapai pada tahun 2020. Dalam upaya mencapai eradikasi frambusia pada 

tahun 2020, Subdit Kusta dan Frambusia pada tahun 2011 melaksanakan survei 

serologi di16 kabupaten yang selama 3 tahun melaporkan tidak adanya kasus di 

daerah tersebut. Bila selama 3 tahun berturut-turut hasil survei serologi 

menunjukkan hasil yang baik (negatif) maka kabupaten tersebut berhak mendapat 

sertifikat bebas frambusia dari WHO. 

Intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia juga dilakukan di beberapa 

daerah yang masih termasuk daerah kantong frambusia. Kegiatan ini dilakukan 

untuk menemukan kasus sebanyak-banyaknya untuk kemudian diobati sehingga 

diharapkan di tahun-tahun mendatang tidak ditemukan lagi kasus frambusia. Sisi 

negatif dari kegiatan intensifikasi penemuan kasus frambusia adalah tidak 

ditemukannya kasus bila kegiatan ini tidak dilakukan. Bisa dikatakan bahwa 

kabupaten dan provinsi sepenuhnya bergantung pada alokasi dana dari 

Pusat/APBN dalam pencarian kasus Frambusia 

1. Pengendalian Penyakit Filariasia dan Schistosomiasi Pengendalian Penyakit Filariasia dan Schistosomiasis Filariasia dan Schistosomiasis 

a. Pengendalian Penyakit Filariasis Pengendalian Penyakit Filariasis

Program eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan atas dasar kesepakatan global 

WHO tahun 2000 yaitu “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as 

a Public Health Problem the year 2020” yang merupakan realisasi dari resolusi 

WHA pada tahun 1997. 

Program Eliminasi ini dilaksanakan melalui dua pilar kegiatan yaitu : 

1) Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis kepada semua penduduk di 

kabupaten endemis filariasis dengan menggunakan DEC 6 mg/kg BB 

dikombinasikan dengan Albendazole 400 mg sekali setahun selama 5 tahun, 

guna memutuskan rantai penularan. 

2) Tatalaksana kasus klinis filariasis guna mencegah dan mengurangi kecatatan. 

Implementation Unit (IU) yang digunakan dalam program eliminasi filariasis sejak 

tahun 2005 adalah kabupaten/kota. Satuan wilayah terkecil dalam program ini 

adalah kabupaten/kota, baik untuk penentuan endemisitas maupun pemberian obat 

massal pencegahan (POMP) filariasis. Bila sebuah kabupaten/kota sudah endemis 

filariasis, maka kegiatan POMP filariasis harus segera dilaksanakan untuk memutus 

rantai penularan dengan sasaran pemberian obat adalah semua penduduk di 

kabupaten/kota tersebut kecuali anak berumur <2 tahun, ibu hamil, orang yang 

sedang sakit berat, penderita kronis filariasis yang dalam serangan akut dan balita 

dengan marasmus/kwasiorkor dapat ditunda pengobatannya. Dari data di atas terlihat jumlah kasus klinis filariasis yang dilaporkan dari tahun 

2005 sd 2011 meningkat. Pada tahun 2011 dilaporkan bahwa jumlah kasus klinis 

filariasis secara kumulatif sebanyak 12.066 kasus tersebar di 401 kabupaten/kota dari 

495 kabupaten/kota di Indonesia. Peningkatan jumlah kasus klinis ini mungkin 

terjadi karena bertambahnya jumlah kasus baru ataupun adanya kasus lama yang 

baru ditemukan dan dilaporkan, meningkatnya pengetahuan dan keterampilan 

petugas, surveilans kasus filariasis dan advokasi serta sosialisasi filariasis. 

Dari data di atas terlihat peningkatan jumlah kasus klinis filariasis terdapat di 

beberapa provinsi. Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan 

Tengah dan Sulawesi Tenggara adalah 5 (lima) provinsi dengan kenaikan jumlah 

kasus tertinggi. Sementara untuk Bali, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Kepulauan 

Riau dan DI Yogyakarta yang merupakan provinsi dengan jumlah kasus klinis 

filariasis kurang dari 50 (lima puluh) kasus. Untuk kelima provinsi dengan jumlah 

kasus yang rendah tersebut belum tentu menggambarkan situasi yang sebenarnya, 

kemungkinan masih ada kasus lain yang belum dilaporkan sehingga masih perlu 

ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat. 

Kegiatan tatalaksana kasus klinis filariasis harus dilakukan pada semua penderita. 

Tatalaksana ini bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kecacatan penderita 

dan agar penderita menjadi mandiri dalam merawat dirinya. Setiap penderita 

dibuatkan status rekam medis yang disimpan di Puskesmas, dan mendapatkan 

kunjungan dari petugas kesehatan minimal 6 kali dalam setahun. 

Kegiatan penatalaksanaan kasus kronis filariasis dari tahun ke tahun mengalami 

peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada data 2. Di tahun 2011 penanganan kasus 

kronis meningkat menjadi 5.498 kasus (45.57%). Diharapkan pada tahun-tahun 

selanjutnya kasus kronis filariasis yang ditatalaksana meningkat lagi sebagaimana 

yang ditargetkan yaitu 90%. 

Pada tahun 2011 sebanyak 334 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di 

Indonesia endemis filariasis. Penentuan endemisitas kabupaten/kota tersebut 

berdasarkan pada hasil survei darah jari dengan mikrofilaria ratenya (mf rate) >1% 

dan secara epidemiologi. Dari 334 kabupaten/kota endemis tersebut, dilaporkan 

sebanyak 9 kabupaten/kota telah melaksanakan survey stop POMP filariasis, 4 

kabupaten/kota selesai melaksanakan POMP filariasis tahun kelima dan 98 

kabupaten/kota yang tersebar di 26Provinsimasih dalam proses pelaksanaan POMP 

filariasis. Gambaran kabupaten/kota endemis filariasis dan sebaran kabupaten/kota 

yang melaksanakan POMP filariasis dapat dilihat pada gambar 1 di bawah. Pada gambar di atas, tampak bahwa masih terdapat kabupaten/kota endemis 

filariasis yang belum melaksanakan POMP filariasis. Hal ini terjadi disebabkan oleh 

beberapa hal, salah satunya adalah karena besarnya biaya operasional yang harus 

disediakan serta belum semua pemerintah daerah mempunyai komitmen untuk 

melakukan POMP filariasis tersebut. Padahal biaya operasional menjadi tanggung 

jawab Pemerintah Daerah baik kabupaten/kota maupun Provinsi, sedangkan 

pengadaan obat merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Oleh karena itu 

perlu diupayakan adanya koordinasi dan komitmen dari pemerintah daerah 

maupun pusat dan mengupayakan bantuan luar negeri untuk membantu daerah 

dalam penyediaan biaya operasional POMP filariasis.Pada tahun 2011, target POMP filariasis adalah sekitar 57 juta penduduk,sedangkan 

realisasinya adalah 21.83 juta (37.84%).Cakupan POMP filariasis pada tahun 2011 

ini mengalami penurunan daritahun sebelumnya (lihat Grafik.3.) karena sejumlah 8 

kabupaten/kota tidak melanjutkan POMP Filariasis (discontinued). Hal ini terjadi 

karena ketidaktersediaan dana operasional sehingga perlu dilakukan advokasi yang 

lebih intensif kepada pemangku kepentingan di kabupaten/kota untuk mendapatkan 

komitmen dan kesinambungan alokasi penganggaran dalam upaya mencapai tujuan 

eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020. 

b. Pengendalian Penyakit Schistosomiasis Pengendalian Penyakit Schistosomiasis 

Schistosomiasis adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh infeksi cacing 

trematoda, spesies Schistosoma japonicum. Cacing ini hidup dalam pembuluh darah 

vena manusia dan binatang mamalia di daerah tropik dan sub tropik. Cacing 

dewasa hidup di dalam vena hepatica dan vena mesenterica superior serta cabang￾cabangnya. 

Penyakit ini pertama kali ditemukan di Lindu pada tahun 1937 (Brug & Tesch), 

sedangkan hospes perantaranya baru ditemukan pada tahun 1971, yakni berupa 

keong, yang kemudian diidentifikasi oleh Davis dan Carney (1972) sebagai 

Oncomelania hupensis lindoensis. Keong ini hidup di tempat-tempat yang becek, 

terlindung dari terik matahari langsung, dan banyak humusnya. 

Penyakit ini berbahaya, karena dapat menimbulkan kematian. Gejala klinis akut 

penyakit ini antara lain adalah urtikaria/dermatitis, demam, malaise, mual/muntah, 

diare. Pada tahap lanjut dapat menimbulkan sindroma disentri, ikterus, udema, 

ascites, hematemesis, anemia, hepato megali dan splenomegali. Akhirnya penderita 

dapat meninggal akibat kerusakan hepar yang irreversible atau kegagalan fungsi 

organ-organ vital. 

Pada tahun 2004, Ground Snail Survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan 

di Lembah Bada Kecamatan Lore Selatan (Kabupaten Poso), menemukan perluasan 

penyebaran keong Oncomelania h.l. di tempat ini. 

Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan sejak tahun 1982 melalui bermacam 

bentuk kegiatan seperti pengobatan penduduk, penyuluhan, dan perbaikan 

lingkungan. Langkah pemberantasan ditujukan pada cacing schistosoma japonicum

(host), keong oncomelania hupensis lindoensis (hospes perantara), manusia dan 

hewan mamalia (hospes definitif), dan lingkungan baik fisik maupun biologis. 

Dalam program pengendalian penyakit ini, prevalensi baik pada manusia, tikus, 

keong penularnya, maupun pada binatang diupayakan di bawah 1%. Karena bila 

prevalensi di bawah 1% diharapkan tidak terjadi penularan. Kalaupun terjadi 

penularan sangat kecil kejadiannya. 

Dari tahun 2000 sd 2011, situasi prevalensi Schistosomiasis pada manusia dapat 

digambarkan sebagai berikut : Pada data diatas terlihat adanya penurunan prevalensi yang sangat besar di tahun 

2011. Penurunan prevalensi ini terjadi karena adanya intervensi program dengan 

melaksanakan pengobatan massal 2 (dua) kali dalam setahun, pada bulan Maret 

dan September di Lindu Kabupaten Sigi dan Napu – Besoa Kabupaten Poso. 

Pada data di atas, tampak bahwa prevalensi schistosomiasis pada hewan (tikus) di 

Napu-Besoa Kabupaten Poso tahun 2011 ini mengalami penurunan, sementara di 

Lindu Kabupaten Sigi prevalensinya tetap meningkat menjadi 12.05%. 

Gambaran penurunan prevalensi juga terlihat pada prevalensi schistosomiasis pada 

keong Oncomelania hupensis lindoensis di Napu-Besoa Kabupaten Poso yang pada 

tahun 2011 menjadi 1.88% (data 2.C.1.6).

Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa infeksi cacing Schistosoma 

japonicum pada tikus dan keong di Napu-Besoa Kabupaten Poso mengalami 

penurunan sementara di Lindu Kabupaten Sigi masih tinggi. 

Prevalensi schistosomiasis pada tikus dan keong yang masih > 1% (2 data di atas) 

dapat disebabkan karena daerah fokus schistosomiasis yang makin meluas, akibat 

dari kegiatan surveillance baik pada manusia maupun hewan tidak terlaksana secara 

maksimal, pengolahan sawah, ladang tidak atau kurang intensif, banyak lahan tidur 

yang dapat merupakan tempat berkembang biak keong perantara, luas daerah 

menyebabkan belum semua fokus keong terdeteksi, sehingga menyebabkan rantai 

penularan lebih mudah terjadi. 

Pengamatan dan pengendalian penyakit ini berupa pemeriksaan tinja pada 

penduduk berumur di atas 2 tahun, pemeriksaan keong dan pemeriksaan tikus 

dilakukan secara rutin tiap semester, pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan 

angka infeksi (infection rate) Schistosomiasis. 

Dalam resolusi WHA 65.21 tahun 2011, negara-negara endemis schistosomiasis 

diharapkan dapat segera mencapai eliminasi schistosomiasis. Untuk mendukung 

tujuan tersebut maka WHO mengembangkan pedoman eliminasi schistosomiasis 

yang rencananya akan diluncurkan tahun 2012. 

c. Pengendalian Penyakit Fasciolopsis buski Pengendalian Penyakit Fasciolopsis buski 

Fasciolopsis buski adalah infeksi trematoda yang menyerang usus halus, biasanya 

duodenum. Penyakit ini tersebar di Asia Tenggara, khususnya di Tahiland, China 

Selatan, China Tengah dan sebagian India. Manusia, babi dan anjing adalah hospes 

definitive. 

Manusia terinfeksi karena mengkonsumsi tumbuhan air yang mentah. Kista infektif 

Fasciolopsis buski yang melekat pada tumbuhan tersebut ikut termakan dan masuk kedalam usus. Di Indonesia, Fasciolopsis buski saat ini hanya ditemukan di 2 (dua) 

Provinsi, yaitu : Provinsi Kalimantan Selatan (Kabupaten Hulu Sungai Utara) dan 

Provinsi Kalimantan Tengah (Kabupaten Barito Selatan). Prevalensi Fasciolopsis 

buski diatas 1% menunjukkan masih banyak manusia yang terinfeksi. Lingkungan 

yang memadai bagi cacing dan pola hidup masyarakat yang masih berpotensi 

menyebabkan penyakit ini semakin bertambah banyak. Dalam program 

pengendalian penyakit ini, prevalensinya diupayakan di bawah 1%, karena bila 

prevalensi di bawah 1% diharapkan tidak terjadi penularan dan kalaupun terjadi 

penularan sangat kecil kejadiannya.

Pengamatan dan pengendalian penyakit ini berupa survey tinja dan survey klinis 

serta pengobatan terhadap penderita, sangat diperlukan untuk menghambat 

penyebaran Fasciolopsis buski. Pada data di atas terlihat gambaran prevalensi 

F.buski dari tahun 2001 sd 2008 trendnya cendrung menurun, dari tahun 2006 sd 

2008 prevalensi sudah baik yaitu <1%. Sedangkan sampai saat ini, untuk tahun 

2009 sd 2010 tidak ada laporan perubahan data dari kabupaten. 

d. Pengendalian Penyakit Cacingan Pengendalian Penyakit Cacingan Penyakit Cacingan 

Cacingan adalah penyakit yang disebabkan adanya infestasi oleh satu atau lebih 

cacing perut : cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris 

trichiura), atau cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale), 

yang ditularkan melalui tanah. 

Sampai saat ini penyakit cacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat 

di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari data hasil survei prevalensi kecacingan tahun 

2011 yang dilakukan oleh Subdit Pengendalian Filariasis dan Kecacingan pada anak 

SD/MI di 28 kabupaten/kota terpilih yang tersebar di 14 provinsi. 

Pada data di atas, tampak bahwa prevalensi kecacingan berkisar antara 0,4% - 

76,67%. Meskipunsurvei initidakmewakili seluruh kelompok populasiyang 

berisiko,namun data tersebut dapat memberikaninformasi dasar tentangbesarnya 

masalah dan digunakansebagai bagian daripemetaanprediktifuntuk 

memperkirakanpopulasi sasarandalam pengendaliankecacingan di Indonesia. 

Secara kumulatif data survei prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar yang 

dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dan jajarannya, universitas serta Lembaga 

Swadaya Masyarakat (LSM) antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2011 di 173 

kabupaten/kota berkisar antara 0,4% - 85,9%. Gambaran sebaran prevalensi 

kecacingan menurut hasil-hasil survei tersebut adalah sebagai berikut :

Masih tingginya prevalensi kecacingan pada anak sekolah dapat disebabkan karena 

masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih dan 

sehat, sulitnya mendapatkan air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. 

Pengamatan dan pengendalian penyakit ini meliputi pemeriksaan tinja pada anak 

sekolah SD/MIkelas 3 (tiga) sampai dengan kelas 5 (lima) dan pemberian obat sesuai 

hasil pemeriksaan dan prevalensi kabupaten/kota setempat. 

2. Pengendalian Penyakit Malaria 

Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan 

masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Malaria di dunia berdasarkan The 

World Malaria Report 2011 sebanyak lebih dari 655 ribu orang meninggal pada tahun 

2010 dimana 81% terjadi di Afrika, dan 6% nya terjadi di Asia. Secara keseluruhan 

terdapat 3,3 Milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko (endemis) malaria yang 

terdapat di 106 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi 

transmisi malaria (Berisiko Malaria/Risk-Malaria), dimana pada tahun 2010 terdapat 

sekitar 229.819 kasus malaria positif, sedangkan tahun 2011 menjadi 256.592 kasus. 

 Pengendalian Malaria di Indonesia menghadapi masalah yang kompleks karena 

dipengaruhi berbagai faktor seperti banyaknya jenis vektor dengan bionomik yang 

berbeda, beragamnya ekotipe tempat penularan terjadi, terdapat semua jenis parasit 

malaria termasuk ancaman adanya plasmodium knowlesi, tingkat pembangunan yang 

berbeda di setiap daerah yang juga mempengaruhi lingkungan, adanya resistensi obat 

anti malaria, tingginya mobilitas penduduk dan berbagai kegiatan sosial ekonomi yang 

menyebabkan masyarakat berisiko tertular malaria. 

Upaya penanggulangan malaria telah dilakukan sejak lama, dimulai pada dekade tahun 

1952 sd 1959 yang pada akhir periode ini Presiden Soekarno mencanangkan program 

pembasmian mala