lain yang terlibat
DOTSberkontribusi terhadap peningkatan jumlah kasus yang ternotiifikasi termasuk juga
jumlah suspek.
Berdasarkan data di atas, angka penjaringan suspek per provinsi pada tahun 2011
menunjukkan capaian417 sampai dengan2.277 per 100.000 penduduk, tertinggi
Sulawesi Utara dan terendah Daerah Istimewa Yogyakarta. Provinsi yang
mempunyai kontribusi peningkatan penjaringan suspekyang signifikan di tahun 2011
adalah Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Lampung, Maluku,
Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Utara.
c. Proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek ya Proporsi pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa ng diperiksa (positivity rate)
Adalah presentase pasien baru BTA positif yang ditemukan di antara seluruh suspek
yang diperiksa dahaknya. Angka ini menggambarkan mutu dari proses penemuan
sampai diagnosis pasien, serta kepekaan menetapkan kriteria suspek. Angka proporsi
pasien baru TB paru BTA positif diantara suspek yang diperiksa ini sekitar 5-15%.
Angka ini bila terlalu kecil (<5%) kemungkinan disebabkan antara lain karena
penjaringan suspek terlalu longgar, banyak orang yang tidak memenuhi kriteria
suspek, atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (negatif palsu).
Sedangkan bila angka ini terlalu besar (>15%) kemungkinan disebabkan antara lain
karena penjaringan terlalu ketat atau ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium
(positif palsu).
Berdasarkan data di atas, proporsi pasien baru BTA positif di antara suspek yang
diperiksa dahak tahun 2005-2011 masih dala56m range target yang diharapkan
yaitu (5-15%). Pada tahun 2005-2011, proporsi pasien baru BTA positif diantara
suspek yang terendah tahun 2011 (10%) sedangkan yangtertinggi tahun 2005
(13%)
Meskipun proporsi nasional pasien baru BTA positif diantara suspek yang diperiksa
dahaknya mencapai hasil yang diharapkan berkisaryaitu 5-15%, namun beberapa
provinsi memiliki angka yang belum sesuai dengan yang diharapkan. Sebagaimana
terlihat pada data 5, provinsi yang angkanya melebihi angka proporsi 15% di
tahun 2011 adalahDKI Jakarta (16%) dan Maluku Utara (19%) sedangkan pada
tahun 2010 yaitu Kepulauan Riau (17%) dan Maluku Utara (22%). Hal ini
menunjukan bahwa penjaringan kasus di empat provinsi tersebut terlalu ketat atau
ada masalah dalam pemeriksaan laboratorium (positif palsu). Hasil pemeriksaan
laboratorium dapat dilihat dari hasil pemantapan mutu eksternal (error rate).
d. Proporsi pasien baruBTA positif di antara semua kasus
Adalah presentase pasien baru BTA positif diantara semua pasien TB paru tercatat.
Indikator ini menggambarkan prioritas penemuan pasien TB yang menular diantara
seluruh pasien TB paru yang diobati. Angka ini diharapkan tidak lebih rendah dari
65%. Karena akan menunjukan mutu diagnosis yang rendah, dan kurang
memberikan prioritasuntuk menemukan pasien yang menular (pasien BTA Positif).
Berdasarkan data diatas, proporsi pasien baru BTA positif di antara seluruh kasus
dari tahun 2005 s/d 2011, yang terendah pada tahun 2009 (57%) sedangkan
tertinggi pada tahun 2005 (66%). Sejak tahun 2007 sampai dengan 2011, angka ini
masih berada di bawah target yang diharapkan meskipun tidak terlalu jauh berada
di bawah target.Hal ini mengindikasikan bahwa kurang memberikan prioritas
menemukan kasus BTA positif.data diatas menggambarkan capaian proporsi pasien baru TB paru BTA positif
diantara seluruh kasus dari tahun 2010-2011, pada tahun 2011 capaian yang tertinggi
adalah Provinsi Sulawesi Tenggara (94%)dan terendah Provinsi DKI Jakarta (33%).
Provinsi yang memiliki pencapaian di bawah target (< 65%) adalah Jawa Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Banten, Kepulauan Riau, Jawa Barat, Jawa
Tengah, Bali, D.I. Yogyakarta, Papua, dan Papua Barat.
e. Angka notifikasi kasus atau case notification rate Angka notifikasi kasus atau case notification rate (CNR) kasus atau case notification rate (CNR)
Adalah angka yang menunjukkan jumlah pasien baru yang ditemukan dan tercatat
diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini apabila
dikumpulkan serial akan menggambarkan kecenderungan penemuan kasus dari
tahun ke tahun di wilayah tersebut. Angka ini berguna untuk menunjukkan
kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada
wilayah tersebut.
Berdasarkan data 2.B.1.8, angka notifikasi kasus baru TB paru BTA positif dan
semua kasus dari tahun 2005-2011 mengalami peningkatan tetapi pada tahun 2007
angka tersebut turun sehingga mengakibatkan peningkatan terlihat tidak signifikan.
Angka notifikasi kasus baruBTA positif dan semua kasus tertinggi pada tahun 2011
dan terendah pada tahun 2007 (untuk kasus baru BTA positif) dan 2005 (untuk
semua kasus).
Berdasarkan data di atas, angka notifikasi atau case notification (CNR) kasus baru
BTA positif per provinsi tahun 2011 secara nasional terjadi peningkatan
dibandingkan dengan tahun 2010. Provinsi dengan angka capaian tertinggi adalah
Sulawesi Utara sedangkan yang terendah D.I.Yogyakarta.Beberapa provinsi ada
yang mengalami penurunan yaitu D.I. Yogyakarta, Sumatera Selatan, Papua Barat,
NAD, Bangka Belitung, Bengkulu, Jambi, dan Sumatera Utara.data 10 memperlihatkan, angka notifikasi semua kasus secara nasional pada tahun
2011 (133 per 100.000 penduduk) meningkat dibandingkan dengan tahun 2010
(129 per 100.000 penduduk) sedangkan pada tingkat provinsi beberapa provinsi
mengalami penurunan yaitu Provinsi D.I. Yogyakarta, NAD, Bengkulu, Sumatera
Selatan, Jambi, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Gorontalo, dan
Papua.Berdasarkan angka capaian tahun 2011, bervariasi antara 298 per 100.000
penduduk (Papua) dan 68 per 100.000 penduduk ( D.I. Yogyakarta)
f. Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus Proporsi kasus TB anak di antara seluruh kasus
Adalah persentase pasien TB anak (0-14 tahun) diantara seluruh pasien TB tercatat.
Angka ini sebagai salah satu indikator untuk menggambarkan ketepatan dalam
mendiagnosis TB pada anak. Angka ini berkisar 8-12% pada angka maksimal 15%.
Bila angka ini terlalu besar dari 15%, kemungkinan terjadi overdiagnosis.
Pada tahun 2005 sd 2007, pencatatan dan pelaporan Program TB belum
mempunyai format yang memuat variabel anak secara rinci sehingga kasus TB anak
pada tahun tersebut tidak dapat terlaporkan. Berdasarkan data di atas, proporsi TB Anak diantara semua kasus dari tahun 2008
sd 2011 berada dalam batas normal, namun apabila dilihat pada tingkat provinsi,
menunjukkan proporsi yang sangat bervariasi dari 1,9% sampai 17%.
data diatas menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terdapat variasi proporsi TB
anak dibanding semua kasus yang diobati baik pada tahun 2010 maupun tahun
2011. Perbedaan proporsi TB anak antara tahun 2010 dengan 2011 tidak begitu
berbeda jauh kecuali beberapa provinsi seperti Bengkulu, Lampung, Kalimantan
Selatan dan Jawa Tengah. Provinsi-provinsi tersebut menujukan penurunan proporsi
kasus TB anak.Pada tahun 2011, provinsi dengan proporsi lebih dari 15% adalah
Papua dan Jawa Barat.Hal ini mengindikasikan adanya kemungkinan overdiagnosis. Provinsi dengan proporsi <5% adalah Nusa Tenggara Barat, Sumatera
Selatan, Sulawesi Utara, Jambi, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Aceh, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya under-diagnosis dan under-reporting terutama kasus TB anak
yang diterapi di rumah sakit.
g. Angka penemuan kasus atau case detection rate (CDR)
Adalah presentase jumlah pasien baru BTA positif yang ditemukan dan diobati
dibandingkan dengan jumlah pasien baru BTA positif yang diperkirakan ada dalam
wilayah tersebut.Case Detection Rate menggambarkan cakupan penemuan pasien
baru BTA positif pada wilayah tersebut.Perkiraan jumlah pasien baru TB BTA positif
diperoleh berdasarkan perhitungan angka insidens kasus TB paru BTA positif
dikalikan dengan jumlah penduduk. Target Case Detection Rate Program
Penanggulangan Tuberkulosis Nasionaldalam RPJMN tahun 2011 adalah minimal
75%. data di atas, menggambarkan angka penemuan kasus TB tahun 2005-2011
peningkatan dimulai dari tahun 2005 sampai tahun 2006 namun menurun pada
tahun 2007 dan meningkat kembali secara signifikan dengan pencapaian sebesar
83,48% pada tahun 2011 dan sudah memenuhi target RPJMN (75%).
Angka penemuan kasus secara nasional di tahun 2011 menunjukan peningkatan
dibandingkan tahun 2010.Walaupun secara nasional sudah mencapai target, namun
pada tingkat provinsi belum menunjukan pencapaian yang optimal dari 33 provinsi
hanya 8 provinsi yang mencapai target penemuan minimal 70% yaitu Sumatera
Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi
Tenggara, dan Maluku.
h. Angka konversi atau convertion rate Angka konversi atau convertion rate
Angka konversi adalah presentase pasien baru BTA positif yang mengalami
perubahan menjadi BTA negatif setelah menjalani masa pengobatan intensif.
Indikator ini berguna untuk mengetahui secara cepat hasil pengobatan dan untuk
mengetahui apakah pengawasan langsung menelan obat dilakukan dengan benar.
Angka ini dihitung dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA positif
yang mulai berobat dalam 3-6 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa
diantaranya yang hasil pemeriksaan dahak negatif, setelah pengobatan intensif (2
bulan).Angka minimal yang harus dicapai adalah 80%.
data di atas menunjukan bahwa angka konversi tahun 2005 sd 2011
memperlihatkan angka konversi yang tidak jauh berbeda. Angka ini mencapai
target yang diharapkan (80%). Pencapaian ini menunjukan bahwa pengawasan
menelan obat berjalan baik.Berdasarkan data di atas, angka konversi per provinsi tahun 2011 dibandingkan
dengan tahun 2010 terlihat tidak berbeda jauh, beberapa provinsi terlihat
mengalami peningkatan dan sebagian lain mengalami penurunan yang cukup besar
yaitu Provinsi Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, dan Kalimantan Barat.
i. Angka kesembuhan atau cure rate dan angka keberhasilan pengobatan atau success
rate
Angka kesembuhan ( Angka kesembuhan CR) adalah angka yang menunjukkan presentase pasien baru
TB paru BTA positif yang sembuh setelah selesai masa pengobatan, diantara pasien
baru BTA positif yang tercatat. Angka minimal minimal minimal yang harus dicapai adalah 85%.
Angka kesembuhan digunakan untuk mengetahui hasil pengobatan.
Walaupun angka kesembuhan telah mencapai 85%, hasil pengobatan lainnya tetap
perlu diperhatikan, yaitu berapa pasien dengan hasil pengobatan lengkap,
meninggal, gagal, default, dan pindah.
• Angka default tidak boleh lebih dari 5%, karena akan menghasilkan proporsi
pasien pengobatan ulang yang tinggi di masa yang akan datang yang
disebabkan karena penanggulangan TB yang tidak efektif.
• Peningkatan kualitas penanggulangan TB akan menurunkan proporsi kasus
pengobatan ulang antara 10-20 % dalam beberapa tahun.
Sedangkan angka pengobatan gagal untuk pasien baru BTA positif tidak boleh ≥
2% untuk daerah yang belum ada masalah resistensi obat, dan tidak boleh ≥
10% untuk daerah yang sudah ada masalah resistensi obat.
Angka keberhasilan pengobatan Angka keberhasilan pengobatan (SR) menunjukkan presentase pasien baru TB paru
BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun
pengobatan lengkap)diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat.
Dengan demikian angka ini merupakan penjumlahan dari angka kesembuhan dan
angka pengobatan lengkap. Angka ini berguna untuk menunjukkan kecenderungan
(trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut.
Angka ini dapat dihitung dengan cara mereview seluruh kartu pasien baru BTA
positif yang mulaiberobat dalam 9-12 bulan sebelumnya, kemudian dihitung berapa
diantaranya yang sembuh setelah selesai pengobatan.Oleh karena itu, pasien yang
mendapatkan pengobatan di tahun 2010 baru dapat dilaporkan di tahun 2011. Berdasarkan data di atas, angka keberhasilan pengobatan mencapai lebih dari
85%, bahkan sejak tahun 2006 angka ini mencapai >90% kecuali pada tahun
2011.Hal ini disebabkan belum semua provinsi melaporkan data hasil akhir
pengobatan secara tepat waktu.
Target RPJMN untuk angka keberhasilan pengobatan di tahun 2011 adalah sebesar
86%.Jika dibandingkan antara pencapaian dengan target maka pada tahun 2011
angka keberhasilan pengobatan tercapai. Meskipun angka keberhasilan pengobatan
dapat dikatakan cukup baik tetapi angka kesembuhan dari tahun 2005-2011 masih
berada di bawah target yang diharapkan (>85%)Berdasarkan data di atas, provinsi dengan angka kesembuhan < 85% di tahun
2011 sebanyak 20 provinsi dan 13 provinsi berhasil mencapai minimal 85% yaitu
Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, NAD, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Banten,
Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Selatan, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan
Barat, dan Sulawesi Utara. Provinsi dengan angka kesembuhan di tahun 2011
tertinggi adalah Sulawesi Utara (92,1%) dan terendah adalah Papua Barat (42,2%). Berdasarkan data di atas,menunjukan angka keberhasilan pengobatan per
provinsi tahun 2010 sd 2011 terdapat beberapa provinsi dengan angka keberhasilan
pengobatan yang lebih rendah di tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2010.
Provinsi yang menunjukan penurunan angka keberhasilan pengobatan yang cukup
signifikan adalah Provinsi Riau, Maluku Utara, Kaltim, DKI Jakarta, Nusa Tenggara
Timur, Kalimantan Tengah, Jawa Tengah, Maluku, Bengkulu, dan Nusa Tenggara
Barat. Sedangkan provinsi yang memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan
adalah Provinsi Papua dan Papua Barat. Provinsi dengan angka keberhasilan
pengobatan di tahun 2011 tertinggi adalah Gorontalo (96,2%) dan terendah
adalah Papua Barat (56,9%).
Angka kesalahan laboratorium Angka kesalahan laboratorium salahan laboratorium
Angka kesalahan laboratorium yang menyatakan presentase kesalahan pembacaan
slide/ sediaan yang dilakukan oleh laboratorium pemeriksa pertama setelah di uji
silang (cross check) oleh BLK atau laboratorium rujukan lain.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung
oleh laboratorium pemeriksa pertama. Untuk 8 provinsi (Bali, Nusa Tenggara Barat,
Lampung, Jawa Barat, Sumatera Selatan, Riau, dan Kalimantan Selatan) sudah
melakukan untuk penerapan uji silang pemeriksaan dahak (cross check) dengan
metode Lot Sampling Quality ssessment (LQAS). Untuk masa yang akan datang
akan diterapkan metode LQAS di seluruh UPK.
Waktu penghitungan angka ini berdasarkan sediaan dahak yang dikirim
laboratorium pemeriksa pertama dan BLK yang melakukan uji silang sekitar 3-6
bulan sebelumnya.
Angka ini menggambarkan kualitas pembacaan sediaan secara mikroskopis langsung
oleh laboratorium pemeriksa pertama. Beberapa provinsi (Bali, Nusa Tenggara
Barat, Lampung, Jawa Barat, Lampung,Sumatra Selatan, Riau dan Kalimantan
Selatan saat ini sudah menggunakan uji silang dengan metode Lot Sampling Quality
Assessment (LQAS) sedangkan provinsi yang lain masih menggunakan metode
konvensional yaitu memerisa ulang 100% sediaan positif dan 10% sediaan negative. data di bawah menunjukkan presentase kabupaten/ kota yang melaksanakan uji
silang tahun 2010-2011. data tahun 2011 diperoleh sampai dengan triwulan 3
tahun2011
Sedangkan presentase fasyankes melaksanakan Uji Silang dan fasyankes dengan
kualitas baik pada tahun 2010 sd 2011 dapat dilihat di bawah ini :
Dari data di atas menunjukkan masih banyak fasyankes yang belum melaksanakan
uji silang. Presentase fasyankes dengan kualitas baik dari fasyankes yang
melaksanakan uji silang menunjukkan angka yang stabil. Fasyankes dengan kualitas
baik pada daerah yang melaksanakan uji silang secara konvensional merupakan
fasyankes dengan Error Rate ≤ 5%, sedangkan pada LQAS merupakan fasyankes
tanpa KB (Kesalahan Besar) dan atau KK (Kesalahan Kecil) ≤ 3.
Berdasarkan data di atas, trend penemuan kasus dan penggobatan di setiap tipe
fasilitas pelayanan kesehatan dari tahun 2008 sd 2011 berbeda-beda. Puskesmas
masih menjadi fasyankes yang paling besar kontribusinya dalam menemukan dan
mengobati kasus. Sebelum tahun 2008 data kasus yang dilaporkan dari puskesmas
dan fasilitas kesehatan lainnya digabung. Namun saat ini semakin banyak provinsi
yang telah memisahkan data kasus dari beberapa tipe fasilitas pelayanan kesehatan.
Dari pemisahan tersebut terlihat bahwa kontribusi penemuan kasus TB di rumah
sakit terlihat semakin meningkat. Selain jumlah kasus dari rumah sakit jumlah rumah
sakit yang telah melaksanakan DOTS.
Penemuan dan pengobatan kasus oleh Balai Besar Pengobatan Paru Balai
Pengobatan Penyakit Paru (BP4) dari tahun 2008-2011 tampak mengalami
penurunan.
Selain puskesmas, rumah sakit, dan BP, klinikdi tempat kerja (workplace), dokter
praktek swasta (DPS), dan klinik di lapas/rutan mulai terlihat kontribusinya. Dari
tipe fasilitas pelayanan kesehatan yang terlibat DOTS, puskesmas memberikan
kontribusi terbanyak dalam menemukan dan mengobati kasus.
Berdasarkan data 2.B.1.23, 2.B.1.24, dan 2.B.1.25, proporsi hasil akhir pengobatan
dari masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan dari tahun 2009 sd 2011 terlihat
tidak terlalu berbeda.Angka pengobatan dan keberhasilan pengobatan tertinggi dan
memenuhi target (>85%) adalah di puskesmas. Selain itu hasil akhir pengobatan di
Rumah sakit, BP4, workplacedan DPS juga terlihat cukup menggembirakan.Yang
masih harus menjadi perhatian saat ini adalah proporsi pasien yang pindah di lapas
terlihat cukup besar (20-40%) hal ini menunjukan pemantauan setelah penggobatan
di klinik lapas belum berjalan dengan baik.
Dari data di atas terlihat bahwa dari tahun 2009 sampai dengan 2011 terjadi
peningkatan jumlah kasus TB baik yang dites HIV, TB dengan HIV positif, dan TB
HIV yang mendapatkan ARV. Hal ini menunjukan kegiatan kolaborasi TB HIV yang
semakin baik atau semakin banyak jumlah provinsi yang mengirimkan laporan.
Proporsi TB dengan HIV positif tahun 2008 sd 2011 terlihat mengalami
penurunan.Hal ini disebabkan karena jumlah kasus TB yang ada dari tahun ke tahun
meningkat.Meskipun demikian, jika dilihat jumlah absolute maka jumlah pasien TB
dengan HIV positif mengalami peningkatan.
m. Hasil kegiatan PMDT (Programmatic Management of Drug Resistant TB) g Resistant TB)
Programmatic Management of Drug Resistant TBdimulai tahun 2009 di 2 pilot site
yaitu DKI Jakarta dan Jawa Timur.Saat ini ekspansi PMDT dilakukan di 2 wilayah
yang baru yaitu Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan.
data di bawah ini merupakan hasil penemuan kasus TB MDR (Multi-Drug
Resistant) sejak Bulan Agustus 2009-Desember 2011.
Penemuan kasus baru HIV dan AIDS di Indonesia dari tahun 2005 hingga tahun 2011
cenderung meningkat. Tahun 2011dilaporkan ada 21.031 kasus baru HIV dan 4.162
kasus baru AIDS. Meskipun kumulatif kasus AIDS dari tahun ke tahun terus meningkat
tetapi jumlah kasus baru AIDS di tahun 2011 lebih rendah dibandingkan tahun 2010
sebagaimana dapat terlihat dalam gambar di bawah ini.
Sama halnya dengan tahun 2010, kasus AIDS lebih banyak terjadi pada laki-laki
(63,1%) dibandingkan perempuan (34,0%), tetapi jika dilihat dari presentase
kumulatif sampai tahun 2011, persentase pada perempuan mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan persentase kumulatif sampai tahun 2010 yang menunjukan
semakin meningkatnya penularan Aids pada perempuan serta menunjukan
meningkatnya penemuan kasus AIDS pada perempuan. Lengkapnya dapat dilihat pada
3 (tiga) gambar dibawah ini:
Selama tahun 2011 kejadian kasus AIDS juga masih didominasi oleh kelompok usia
produktif 20-39 tahun (67,6%).Walaupun jika dibandingkan secara kumulatif sampai
tahun 2011 dengan kumulatif sampai tahun 2010 , sudah terjadi penurunan pada
kelompok usia ini (dari 78,7% menjadi 76,1%) oleh karena terjadinya peningkatan
persentase pada kelompok usia remaja 15-19 tahun (dari 3,1% menjadi 3,7%) dan
peningkatan pada usia 40-49 tahun ( dari 9,4% menjadi 9,9%). Hal ini dapat dilihat
pada 3 (tiga) data di bawah ini.
Pada data di atas terlihat bahwa faktor risiko utama penularan pada kasus AIDS pada
tahun 2011 adalah melalui hubungan heteroseksual (71,0%), yang jika dibandingkan
dengan tahun 2010, risiko penularan melalui hubungan heteroseksual ini semakin
terjadi peningkatan yang tajam (dari 38,26% menjadi 71,0%). Hal yang berbeda
terjadi pada faktor risiko penularan melalui IDU atau penasun, yakni terjadinya
penurunan (dari 52,70% menjadi 18,7%). Ini dapat dilihat pada 2 data di bawah ini.
Sampai tahun 2011, dari 32 Provinsi di Indonesia yang sudah mempunyai kasus AIDS,
85% (kasus AIDS didominasi oleh sepuluh provinsi terbanyak yakni DKI, Jawa Timur,
Papua, Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Riau, dan
DIY. Jika dibandingkan dengan kumulatif sampai tahun 2010, Provinsi Riau selama
tahun 2011 menunjukan peningkatan penemuan kasus AIDS sehingga menggeserkan
kedudukan provinsi Sumatera Utara dalam 10 besar. Secara rinci hal ini dapat dilihat
pada 3 (tiga) gambar dibawah ini:
Seperti halnya kasus AIDS yang tinggi pada kelompok usia reproduktif (usia 20-39 tahun),
kematian akibat AIDS juga tinggi pada kelompok usia ini sejak tahun 1987 sampai tahun
2011. Akan tetapi sudah terjadi penurunan kematian pada tahun 2011 jika dibandingkan
dengan tahun 2010 dari 68,1% menjadi 40,4% dari total kematian AIDS. Secara rinci
penjelasan ini dapat dilihat pada data dibawah ini:
Cara penularan HIV-AIDS melalui pertukaran darah, seksual dan vertikal dari ibu ke
bayi/anaknya, namun bervariasi menurut faktor risikonya dari waktu ke waktu. Pada era
80-90an penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan homoseksual dan pada
tahun 2001-2005 lebih banyak disebabkan oleh penggunaan jarum suntik (Intravenous
Drug User/IDU). Dan saat ini penularan lebih banyak disebabkan oleh hubungan
heteroseksual. Secara lengkap faktor risiko penularan dapat dilihat pada data di bawah
ini.
Walaupun secara persentase terjadi penurunan penularan melalui IDU atau penasun, akan
tetapi secara jumlah kasus terjadipeningkatanyakni dari 2.780 pada tahun 2010 menjadi 3.299
pada tahun 2011, sehingga upaya pencegahan penularan HIV-AIDS pada penasun harus tetap
menjadi salah satu prioritas. Perbandingan dan trend penularan HIV-AIDS ini dapat terlihat
pada data dibawah ini
Infeksi oportunistik yang paling banyak pada ODHA selama tahun 2011 adalah
kandidiasis (20,4%), disusul oleh TB (18,4%) dan diare (16,2%). Hal ini sama dengan
yang terjadi pada tahun 2010 yang didominasi oleh 3 (tiga) penyakit ini walaupun
secara urutan kejadian kandidiasis telah menggeser penyakit TB. Akan tetapi secara
keseluruhan kejadian infeksi oportunistik pada tahun 2011 terjadi penurunan jika
dibandingkan dengan tahun 2010 ( dari 6.331 kasus pada tahun 2010 menjadi 3.462
kasus pada tahun 2011). Hal ini sejalan dengan pengobatan ARV lebih dini sehingga
menurunkan kejadian infeksi opportunistik. Secara lengkap dapat dilihat pada data di
bawah ini.
Selama tahun 2011 jumlah layanan konseling dan test HIV terjadi peningkatan menjadi
500 unit layanan dari 388 unit layanan pada tahun 2010. Hal ini diharapkan
mempermudahkan akses ke layanan pengobatan ART danlayanan dukungan
lainnya.Oleh karena Konseling dan tes HIV merupakan pintu masuk (entry point) untuk
membantu setiap orang mendapatkan akseslayanan komprehensif, baik informasi,
edukasi, terapi atau dukungan psikososial.Dengan terbukanya akses, maka kebutuhan
akan informasi yang akurat dan tepat dapat dicapai, sehingga proses pikir,
perasaandanperilakudapat diarahkankepadaperubahanperilaku yang lebihsehat.
Cakupan program layanan Konseling dan Tes Sukarela (KTS/VCT: Voluntary Counseling
and Test) terlihatpada table di bawah.Seluruh HIV positif telah dirujuk ke layanan
Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP), minimal untuk register pra ARV dan
penetapan stadium klinis AIDS. Hasil pemeriksaan atau tes HIV dengan hasil positif
(Positive Rate) selama tahun 2011 terjadi penurunan yakni sebesar 7,5% jika
dibandingkan pada tahun 2010 yakni sebesar 10,4%. Hal ini dapat dapat terjadi oleh
karena semakin tingginya kesadaran masyarakat untuk memeriksakan dirinya ke klinik
VCT atau KTS. Jelasnya dapat dilihat pada data dibawah ini:
Rumah sakit yang memberikan pelayanan ART sesuai dengan SK Menkes RI No.
782/MENKES/SK/IV/2011 tentang RS Rujukan Bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)
sebanyak 278 RS Rujukan Bagi ODHA. Saat ini rumah sakit yang aktif melapor sebanyak
235 RS. Sedangkan jumlah ODHA yang diobati dan mendapat ARV sampai dengan
Desember 2011 adalah 24.410 orang, terjadi peningkatan daripada tahun 2010 pada
semua provinsi sebagaimana yang terlihat pada data di bawah ini.
Faktor-faktor yang berpengaruhterhadapcakupanpengobatan masih sama dengan tahun
2010, yakni rendahnya deteksi dini diagnosis HIV, pasien yang
layakmendapatpengobatan(eligible)menurut pedoman nasional
belumsiapuntukmenerimapengobatankarenamasalahpsikososial
(tidaksiapuntukberobatseumurhidup), masalahtransportasi (rumahjauh),
dukungankeluarga, pasienmasuksudahdalamtaraf terminal, dan lain-lain. Faktor eksternal
lain yang berpengaruh besar adalah upaya penjangkauan terhadap ODHA karena masih
adanya stigma dan diskriminasi sehingga penemuan kasus secara dini belum optimal,
e. Layanan TB- Layanan TB-HIV
HIV-AIDS sangat terkait dengan TB sehingga upaya pengendalian kedua penyakit ini
perlu dilakukan secara terintegrasi (kolaborasi TB-HIV) agar tidak menimbulkan
peningkatan kembali jumlah kasus HIV-AIDS terutama pada penderita TB, sebaliknya
pada penderita HIV-AIDS sebagian besar infeksi opportunistik yang muncul adalah
penyakit TB. Untuk itu sejak pertengahan tahun 2010 telah diupayakan pada setiap
penderita HIV-AIDS dilaksanakan penapisan atau skrining TB. Selama tahun 2011,
sebanyak 10.899 0rang kasus baru yang pernah masuk perawatan HIV telah
dilaksanakan penapisan TB (52% dari 21.031 orang kasus HIV positif) . Dari kasus HIVAIDS yang ditapis TB sebanyak 5.163 orang mengalami koinfeksi TB (47,3%). Sehingga
selama tahun 2011 sebanyak 3.289 orang kasus HIV-AIDS telah mendapatkan terapi TB
dan ARV (63,6% dari orang yang mengalami koinfeksi atau 30% dari penderita HIVAIDS yang ditapis TB). Untuk jelasnya dapat dilihat pada data dibawah ini:
Upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS ada beberapa hal yang perlu dilakukan dan
menjadi perhatian antara lain :
a) Percepatan dan perluasanprogram dan layanan yang komprehensif. mprehensif.
Sektorkesehatan dan jajarannya di
semuatingkatanakanberupayameningkatkanjumlahfasilitaskesehatanyang peduli dan
mengerti permasalahan program dan layananHIV-AIDStermasukIMS, diagnosis dini,
konseling dan tes (K&T)terintegrasi dalam setiap bentuk program maupun layanan
kesehatan, pengurangan dampak buruk napza atau PTRM, dan akses serta
ketersediaan ART.
Dalam era desentralisasi, sectorkesehatan di
tingkatprovinsibersamakabupaten/kotamasing-masingmenetapkan target percepatan
dan perluasanprogramdenganmemberikanperhatianbeberapahalsebagaiberikut:
i. Peningkatan kualitas pengetahuan, ketrampilan dan kewenangan tenaga
kesehatan di pelayanan maupun program.
ii. Ketersediaan dan kecukupan serta berkesinambungan dalam hal logistik obat,
bahan habis pakai dan alat kesehatan, Menyebarluaskan pengetahuan komprehensif promosi, pencegahan,
pengobatan dan rehabilitasi melalui distribusi dan ketersediaan informasi,
edukasi dan konseling yang bermutu terutama penguatansubstansi pesan
tentang cara akuratmencegahpenularan IMS dan HIV melaluiperilaku seks dan
pertukaran darah, dan penularan dari ibu ke bayi/anak beserta faktor dan
populasi berisiko, sertapengelompokan media KIE
berdasarkansegmentasipopulasirisikotinggi, dan populasiumum.
iv. Meningkatkanefektivitaspenggunaan media KIE di pusat-pusatlayanankesehatan
(RS, Puskesmas/Klinik), dan pusatinformasikesehatan pada spot
populasiberisiko, beserta layanan yang tersedia.
SektorKesehatantingkatprovinsi dan
kabupaten/kotaberupayamenggerakkanpartisipasiaktifkelompok dukungan sebaya
ODHA, populasiberisiko dan pemangkukepentingan local
untukpelaksanaanprogramkomunikasikesehatan yang
berorientasimembangunmotivasihidupsehat dan rendahrisikopenularan HIV.
i. Meningkatkancakupan pesan tentangkesehatanreproduksidan seks aman
sepertimenundahubungansekspertama pada remaja dan pemuda, dan
mengurangijumlahpasanganseks pada populasiberisiko.
ii. Menyebarluaskaninformasiyangbenaruntukmenghapus pandangan yang salah
tentang penularan IMS dan HIV,pelayanan dan pemeriksaan kesehatan
bersahabat serta meningkatkan pelayanan pengobatan terkait HIV dan AIDS.
iii. Meningkatkan cakupan pemakaian kondom pada populasi penjaja seksdan
menyediakan serta meresepkan kondom sebagai alat kesehatan preventif bagi
setiap pasien IMS.
iv. Meningkatkan pengurangan dampak buruk narkoba melalui layanan PTRM,
ketersediaan dan permintaan alat dan jarum suntik steril sekali pakai bagi
pengguna narkoba suntik dan menganjurkan rehabilitasi.
b) Meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang menyed Meningkatkan jumlah fasilitas kesehatan yang menyediakan layanan IMS, PTRM, iakan layanan IMS, PTRM,
KTHIV, dan TB- KTHIV, dan TB-HIV, ART dan IO HIV, ART dan IO HIV, ART dan IO.
Peningkatan jumlah bertujuan untuk mendekatkan akses layanan agar:
i. Prevalensi IMS dan HIV pada populasi berisiko dapat dikendalikan.
ii. Meningkatnya jumlah peserta aktif PTRM.
iii. Meningkatnya cakupan testing dan konseling HIV pada populasi berisiko dan
rawan tertular HIV, penderita TB dan Ibu hamil
iv. Meningkatnya cakupan penapisan TB pada ODHA dan sebaliknya.
v. Meningkatnya cakupan layanan PMTCT
vi. Meningkatnya cakupan layanan ART dan IO
c) Meningkatkan kinerja supervisi, bimbingan teknis, m Meningkatkan kinerja supervisi, bimbingan teknis, m n kinerja supervisi, bimbingan teknis, monitoring d onitoring dan evaluasi onitoring dan evaluasi dengan an evaluasi
memperkuat kepemimpinan dan koordinasi, serta sinkronisasi pelaksanaan sistem
yang telah tersedia.
d) Memperkuat penyusunan perencanaan program dan anggaran yang terpadu serta ran yang terpadu
saling bersinergis di semua tingkatan
i. Tingkat Pusat: masing-masing unit utama menyusun rencana kerja sebagai
penjabaran dari Rencana Aksi ini.
ii. Tingkat Provinsi: menyusun rencana kerja dimana didalamnya terdapat
penetapan kerangka prioritas wilayah dan program, target pencapaian program
yang terukur, sistim pelaksanaan kegiatan program, monitoring dan evaluasi. Tingkat kabupaten/kota dilibat aktifkan dalam proses penyusunan rencana kerja
provinsi tersebut.
iii. Tingkat Kabupaten/Kota: menyusun rencana kerja spesifik tentang sasaran
prioritas program dan sub populasi, ukuran pencapaian hasil, alur kerja, dan
monitoring serta evaluasi.
e) Memperkuat alur kerja pelaksanaan program yang sali Memperkuat alur kerja pelaksanaan program ng bersinergis di masingmasing tingkat dan antar tingkat.
f) Memperkuat kebijakan dan mekanisme pelaksanaan surv Memperkuat kebijakan dan mekanisme pelaksanaan surveilans terpadu. isme pelaksanaan surveilans terpadu. eilans terpadu.
g) Memperkuat koordinasi lintas program dan lintas sek Memperkuat koordinasi lintas program dan lintas tor terkait di masing-masing
tingkat agar program percepatan dan perluasan pengendalian PMS, HIV dan AIDS
mendapat dukungan politis dan teknisoperasional.
h) Membangun perspektif hidup sehat dan rendah risiko Membangun perspektif hidup sehat dan rendah risiko penularan H penularan HIV. Sektor
Kesehatan di masing-masing tingkat melaksanakan advokasi kepada penentu
keputusan dan pemangku kepentingan sebagai usaha memperkuat dukungan
sumberdaya dan dana, menciptakan suasana kondusif untuk pelaksanaan program,
dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program.
f. Pencapaian Indikator Renstra dan MDG. Pencapaian Indikator Renstra dan MDG.
Dalam pembangunan kesehatan nasional dibentuklah Rencana Strategis kementerian dan
lembaga sebagai penjabaran dari RPJMN yang selanjutnya dijabarkan dalam Rencana
Kerja Pemerintahan dengan periode tahunan.
Selain RPJMN dan Renstra, upaya pengendalian HIV dan AIDS juga merupakan agenda
penting di dalam pencapaian tujuan pembangunan milenium (Millenium Development
Goal).Oleh karenanya dalam roadmap Reformasi Kesehatan Masyarakat, HIV-AIDS
terpilih menjadi salah satu area perubahan yang mendapat perhatian pula. Dalam MDG, pengendalian HIV-AIDS termasuk dalam Goal 6 yakni ‘Memberantas HIV
AIDS, Malaria dan Penyakit Lainnya’ dan memiliki dua (2) target dan empat (4)
indicator sebagai berikut: Dalam upaya pengendalian penyebaran dan penurunan jumlah kasus baru HIV-AIDS
terdapat 3 (tiga) indikator yang harus dimonitor dan dievaluasi setiap tahunnya. Selama
tahun 2011 prevalensi HIV-AIDS di indonesia adalah 0,3%, suatu kondisi yang baik
sekali oleh karena angka ini menunjukan tingkat penularan HIV-AIDS lebih rendah dari
target maksimal yang ditetapkan untuk tahun 2011 yakni sebesar <0,5%. Sehingga
diharapkan dapat mengendalikan penularan dan menurunkan jumlah kasus baru HIVAIDS walaupun penurunan prevalensi ini belum ditunjang dengan penggunaan kondom
pada laki-laki dan pengetahuan komprehensif HIV-AIDS pada remaja yang masih rendah
dan belum memenuhi target yang ditetapkan, seperti terlihat pada data diatas.
Sementara selama tahun 2011 upaya mewujudkan akses terhadap pengobatan HIV-AIDS
bagi semua yang membutuhkan telah tercapai dengan baik bahkan melampaui target
ditetapkan yakni sebesar 84,1% penderita AIDS telah mendapatkan pengobatan ARV
(target 75%). Pengadaan obat ARV dijamin sepenuhnya oleh pemerintah pusat melalui
dana APBN maupun bantuan Luar kegeri.
ISPA khususnya Pneumonia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia terutama pada Balita. Menurut hasil Riskesdas 2007, pneumonia
merupakan pembunuh nomor dua pada Balita (13,2%) setelah diare (17,2%).
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian oleh Rudan, et al (2004) di negara
berkembang termasuk Indonesia insidens pneumonia sekitar 36% dari jumlah
Balita. Faktor risiko yang berkontribusi terhadap insidens pneumonia tersebut antara
lain gizi kurang, ASI ekslusif rendah, polusi udara dalam ruangan, kepadatan,
cakupan imunisasi campak rendah dan BBLR.
Sejak tahun 2000, angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara
20%-36%. Angka cakupan tersebut masih jauh dari target nasional yaitu periode
2005 sd 2009 adalah 46% sd 86%, sedangkan periode 2010 sd 2014 adalah 60%
sd 100%
Cakupan penemuan pneumonia balita dari tahun ke tahun relatif tetap. Pada tahun
2011 mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, walaupun
peningkatannya tidak mencolok.
Secara nasional cakupan penemuan pneumonia pada tahun 2011 masih rendah yaitu
23,98%, jauh di bawah target nasional yang di tetapkan yaitu 70%.
Rendahnya angka cakupan penemuan pneumonia Balita tersebut disebabkan antara
lain:
• Sumber pelaporan rutin terutama berasal dari Puskesmas, hanya beberapa provinsi
dan kabupaten/kota yang mencakup rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan
lainnya.
• Deteksi kasus di puskesmas masih rendahnya karena sebagian besar tenaga belum
terlatih.
• Kelengkapan pelaporan masih rendah terutama pelaporan dari kabupaten/kota ke
provinsi.
Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam rangka peningkatan cakupan penemuan
pneumonia Balita tahun 2011 antara lain:
1) Pertemuan regional manajemen program pengendalian ispa bagi petugas
kesehatan di provinsi dan kabupaten/kota
2) Pertemuan review buku pedoman tatalaksana ispa dengan tim pakar
3) Pertemuan LP/LS review Kebijakan P2.ISPA
4) Pertemuan Revisi Pedoman Manajemen ISPA
5) Lokakarya Penggunaan Oksigen di Rumah Sakit dan Puskesmas Dengan Tempat
Perawatan
6) Pemantapan cakupan & kualitas tatalaksana kasus ISPA
b. Kesiapsiagaan Dan Respon Terhadap Pandemi Influenza
Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan kesiapsiagaan dan respon terhadap
pandemi influenza yang dilaksanakan tahun 2011 antara lain:
1. Pembinaan/monitoring kegiatan Sentinel Surveilans Pneumonia
2. Pertemuan ilmiah tentang influenza(Scientific Meeting on Influenza)
Sentinel surveilans pneumonia sudah dilaksanakan sejak tahun 2007 yang pada
awalnya di 10 provinsi (10 Puskesmas, 10 RS). Kemudian pada tahun 2010
dikembangkan menjadi di 20 provinsi (40 Puskesmas, 40 RS). Adapun tujuan dari
sentinel ini adalah untuk mendapatkan gambaran epidemiologi penyakit
pneumonia dan kewaspadaan pandemi influenza di Indonesia, serta untuk
perencanaan dan penentuan kebijakan Program Pengendalian ISPA.
Hasil dari pelaksanaan sentinel surveilans pneumonia di 40 Puskesmas dan 40 RS
tahun 2010 dan 2012 adalah sebagaimana dijabarkan pada gambar di bawah.
Proporsi kasus Pneumonia di Puskesmas Sentinel selama 2 tahun terakhir lebih
didominasi kasus pneumonia pada balita.
data di atas menggambarkanproporsi kasus Pneumonia di Unit Rawat Jalan
Rumah Sakit Sentinel selama 2 tahun terakhir lebih tinggi terjadi pada balita. Proporsi Kasus Pneumonia di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Sentinel dari tahun 2010
s/d 2011 lebih tinggi terjadi pada balita.
Secara absolut, proporsi kematian pada kedua kelompok umur cukup kecil dimana
proporsi kasus kematian pneumonia di Puskesmas lebih besar pada usia ≥5 tahun.
Kematian pada penderita pneumonia umumnya dideteksi di Puskesmas DTP.
Kematian karena pneumonia di masyarakat sulit diketahui, karena tidak banyak
penderita pneumonia melakukan kontrol ulang sehingga perkembangan
penyakitnya.tidak dapat diketahui. Disamping itu, Puskesmas tidak melakukan
autopsi verbal apabila ada kematian di masyarakat dengan alasan kendala biaya
operasional.
Proporsi kematian karena pneumonia pada unit rawat inap di 40 RS Sentinel, lebih
besar terjadi pada usia >5 Tahun yaitu 3,2%.
4. Pengendalian Penyakit Diare dan Infeksi Saluran Pen Pengendalian Penyakit Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan cernaan
Penyakit Diare merupakan penyakit endemis di Indonesia dan juga merupakan
penyakit potensial KLB yang sering disertai dengan kematian. RISKESDAS tahun 2007
menunjukkan bahwa Penyakit Diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada
bayi (31,4%) dan pada Balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur
merupakan penyebab kematian yang ke empat (13,2%).
Selain sebagai penyebab kematian, angka kesakitan penyakit Diare juga masih cukup
tinggi walaupun pada tahun 2010 mengalami sedikit penurunan yaitu dari 423 per
1.000 penduduk pada tahun 2006 menurun menjadi 411 per 1.000 penduduk pada
tahun 2010. Kajian morbiditas diare sejak tahun 1993 dilakukan setiap 3-4 tahun sekali.
Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare masih sering terjadi terutama di daerah yang
pengendalian faktor risikonya masih rendah. Kalau diperhatikan dari tahun ke tahun
kejadian KLB Diare sangat bervariasi, tetapi pada Tahun 2011 CFR KLB Diare berhasil
turun dengan sangat signifikan. Pada tahun 2010 terjadi KLB Diare di 26 lokasi yang
tersebar di 11 provinsi dengan CFR 1,74% dan pada tahun 2011 terjadi KLB di 19 lokasi
yang tersebar di 15 provinsi dengan CFR 0.40%.
a. Pengendalian Diare Pengendalian Diare
Dari hasil pengumpulan data melalui rekapitulasi laporan bulanan yang diterima
dari provinsi menunjukkan hasil sebagai berikut:
data di atas menunjukkan bahwa jumlah penderita diare yang dilayani Puskesmas
dan kader dari tahun 2007 sampai dengan 2011 sangat berfluktuasi dan pada tahun
2011 nampak menurun bila dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu 5.090.212
penderita pada tahun 2010 menjadi 4.182.416 penderita di tahun 2011. Hal ini
disebabkan masih banyak Provinsi yang belum lengkap mengirimkan laporan ke
Pusat, sehingga berpengaruh pada jumlah total penderita yang direkapitulasi oleh
Subdit Diare dan ISP .
Distribusi cakupan pelayanan penderita diare dirinci berdasarkan provinsi tahun
2010 dan 2011 dapat dilihat pada gambar berikut:
data di atas menunjukkan bahwa berdasarkan laporan dari provinsi yang diterima oleh
Subdit Diare tahun 2010 sd 2011, tahun 2010 cakupan pelayanan diare tertinggi di Provinsi
Bali (103.51%) sedangkan terendah di Provinsi Bengkulu (11.80%). Tahun 2011 cakupan
pelayanan diare tertinggi di Provinsi Sulawesi Barat (103.86%) dan terendah di Provinsi Riau
(10.39%). Di samping itu pada tahun 2011 ada beberapa provinsi yang belum mengirimkan
laporan.
1) Kejadian Luar Biasa Kejadian Luar Biasa
Kejadian Luar Biasa (KLB) Diare masih sering terjadi di Indonesia, dan sering disertai
kematian.
a) Pada tahun 2011 terjadi di 19 lokasi tersebar di 15 provinsi dan 19 kabupaten/kota.
Angka Kematian (CFR) Diare saat KLB
CFR pada saat KLB menunjukkan fluktuasi yag bervariasi, gambaran CFR saat KLB dapat
dilihat pada Gambar berikut :
Pada data di atas terlihat bahwa sejak tahun 2009, Angka Kematian Diare saat KLB
(CFR) masih cukup tinggi (1,74%), walaupun trennya nampak menurun, dan pada
tahun 2011 CFR KLB Diare mencapai target yaitu 0.4% hal ini dimungkinkan karena :
• SKD Diare sudah dilaksanakan dengan baik sehingga dapat mendeteksi adanya KLB
diare lebih dini
• Tatalaksana diare sudah lebih baik sehingga dapat menurunkan angka kematian saat
KLB
• Banyak daerah yang tidak melapor adanya KLB Diare karena adanya peraturan
MenteriKesehatan (Permenkes) No 1501 tahun 2010 yang mengatakan bahwa Diare
adalah gejala dan yang disebut KLB hanya KLB Kolera.
• Daerah sudah merasa dapat menangani KLB Diare sehingga tidak perlu untuk
melapor.
2) Lintas Diare Lintas Diare
Dari hasil pemantauan cakupan dan kualitas tatalaksana diare di Puskesmas selama tahun
2007 sampai tahun 2011 yang dilaksanakan oleh Subdit Diare dan ISP menunjukkan
gambaran penggunaan oralit, penggunaan Antibiotik tidak rasional, penggunaan Anti
Diare dan Tatalaksana diare sesuai standar adalah :
i. Penggunaan Oralit Penggunaan Oralit
Sesuai dengan LINTAS DIARE (Lima Langkah Tuntaskan Diare) bahwa semua
penderita diare harus mendapatkan oralit maka target penggunaan oralit adalah
100%. Dari Gambar 4.4 diketahui bahwa penggunaan oralit sejak tahun 2005 sampai
dengan tahun 2011 masih belum mencapai target, berkisar antara 76.5% - 87.6%.
Pencapaian yang masih kurang tersebut karena masih banyak masyarakat yang belum
mengetahui tentang manfaat oralit osmolaritas rendah yang dapat mengurangi
muntah, pengeluaran tinja dan terapi intravena. Petugas kesehatan masih perlu
melakukan sosialisasi dan edukasi tentang oralit osmolaritas rendah sehingga
masyarakat diharapkan lebih mengetahui tentang manfaat dan penggunaannya.
Proporsi penggunaan oralit menunjukkan gambaran sebagaimana nampak pada
gambar berikut :
Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional Penggunaan Antibiotik Tidak Rasional
Gambaran penggunaan antibiotik tidak rasional selama tahun 2007-2011
menunjukkan fluktuasi, berkisar antara 62,64% - 81,1%. Sesuai dengan LINTAS
DIARE, pemberian antibiotik hanya atas indikasi(selektif) sehingga diharapkan target
pemberian antibiotik tidak rasional adalah 0%. Lebih jelasnya dapat dilihat pada
data di bawah.
data di atas menunjukkan proporsi penggunan antibiotik tidak rasional yang
diberikan oleh tenaga medis pada penderita diare, ternyata cukup tinggi. Hal ini pada
umumnya karena petugas tidak begitu yakin apabila tidak diberikan antibiotik
khawatir tidak sembuh dan petugas mempertimbangkan apabila penderita tersebut
tinggalnya jauh dari sarana kesehatan. Namun bila kita perhatikan, terjadi penurunan
penggunaan antibiotik tidak rasional dari 72.5% pada tahun 2010 menjadi 63.4%
pada tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik pada penderita
diare semakin selektif.
iii. Penggunaan Anti Diare Penggunaan Anti Diare
Penggunaan anti diare tidak dianjurkan untuk penderita diare terutama pada balita
karena dapat menyebabkan terjadinya invaginasi atau ileus. Selain itu kuman
penyebab diare yang ada di dalam usus tidak dapat keluar bersama tinja. Proporsi
penggunaan antidiare secara umum berfluktuasi dan cenderung menurun, dan
berkisar antara 6.2%-33.4%, hal tersebut dapat dilihat pada data berikut :
data di atas menunjukkan gambaran penggunaan anti diare selama tahun 2007 -
2011. Angka penggunaan anti diare yang terendah terjadi pada tahun 2011 yaitu
9.75% dan tertinggi pada tahun 2008 (33.4%). Hal ini menunjukkan tatalaksana
kasus diare semakin baik. Penurunan proporsi penggunaan anti diare selama tiga
tahun tersebut kemungkinan disebabkan karena sejak tahun 2008 telah digunakan
zinc dalam tatalaksana diare sehingga zinc dapat dianggap sebagai pengganti anti
diare tersebut.
iv. Tatalaksana Diare Sesuai Standar Tatalaksana Diare Sesuai Standar
Definisi operasional Tatalaksana Diare sesuai standar adalah penderita diare yang
diberi oralit, mendapatkan antibiotik sesuai indikasi dan tidak mendapatkan obat lain
yang tidak perlu (anti diare, anti emetik). Target pencapaian tatalaksana diare sesuai
standar tahun 2011 adalah 45%. Persentase tatalaksana diare sesuai standar selama
tahun 2007-2011 belum terlaksana sebagai mana yang diharapkan, hal ini mungkin
banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut.
data di atas menunjukkan gambaran proporsi tatalaksana diare sesuai standar yang
berfluktuasi, angka paling tinggi terjadi pada tahun 2011 yaitu 35.5% dan yang
terendah pada tahun 2009 yaitu 9,1%. Belum tercapainya target tatalaksana diare
sesuai standar ini kemungkinan disebabkan karena belum tersosialisasinya tatalaksana
diare sesuai standar ke seluruh petugas di daerah,disamping itu rotasi perpindahan
petugas di daerah sangat tinggi. Hal lain yang mungkin menyebabkan masih
rendahnya tatalaksana diare sesuai standar adalah masih tingginya penggunaan
antibiotik yang tidak rasional (tidak sesuai indikasi).
b. Pengendalian Penyakit Demam Tifoid Pengendalian Penyakit Demam Tifoid
Penyakit Saluran Pencernaan Lain yang dikelola adalah penyakit Demam Tifoid.
Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia, karena masih
tingginya angka kesakitan dan kematian. Dari hasil telaah kasus di rumah sakit besar
di Indonesia, menunjukkan adanya kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun
dengan rata-rata angka kesakitan 1.500 per 100.000 penduduk dan kematian antara
0,6%-5%. Berdasarkan hasil RISKESDAS tahun 2007 menunjukkan bahwa penyakit
Tifoid merupakan penyebab kematian nomor 2 (13%) pada kelompok umur 5-14
tahun di daerah perkotaan dan pada golongan semua umur menduduki peringkat
nomor 5 (13,2%) diantara kelompok penyakit menular.
Sejak tahun 2011, Subdit Diare dan ISP telah melakukan sosialisasi tatalaksana Tifoid
bagi petugas kesehatan di Rumah Sakit dan Puskesmas dan melakukan revisi buku
Pedoman Pengendalian Penyakit Demam Tifoid.
c. Pengendalian Penyakit Hepaitis B Pengendalian Penyakit Hepaitis B
Hepatitis masih merupakan masalah kesehatan di dunia. Diperkirakan 2 milyar
orang pernah terinfeksi virus Hepatitis B, dan sekitar 400 juta menjadi kronis.
Bahkan Hepatitis C sampai saat ini belum dapat dicegah dengan vaksinasi dan
sekitar 80% diantaranya menjadi kronis. Di Indonesia diperkirakan 25 juta orang
terinfeksi Hepatitis B dan C. Menurut hasil RISKESDAS tahun 2007, penyakit hati
merupakan penyebab kematian nomor 8 (5,1%) pada semua golongan umur,
sedangkan pada kelompok penyakit menular merupakan penyebab kematian
nomor 2 dengan proporsi 19,1%. Pada kelompok umur 15-44 tahun merupakan
penyebab kematian nomor 1 (9,9%) di pedesaan & nomor 3 (8,8%) diperkotaan.
Hasil RISKESDAS Biomedis tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi HbsAg (+)
di Indonesia sebesar 9.4%. Ini menandakan bahwa Indonesia merupakan negara
dengan endemisitas tinggi (>8%).
Atas dasar kondisi tersebut, sejak tahun 2011 mulai dikembangan Penanggulangan
Hepatitis di Indonesia, dengan penyusunan Pedoman Pengendalian Hepatitis
bersama pakar dari perguruan tinggi dan Organisasi Profesi, dan rencana
membentuk daerah sentinel bersama dengan Dinas Kesehatan DKI untuk
melaksanakan deteksi dini di daerah sentinel tersebut.
5. Pengendalian Penyakit Kusta dan Frambusia Pengendalian Penyakit Kusta dan Frambusia
a. Pengendalian Kusta di Indonesia Pengendalian Kusta di Indonesia
Tahun 2000 mempunyai arti penting bagi program pengendalian kusta. Pada
tahun ini, dunia dan khususnya negara kita Indonesia berhasil mencapai status
eliminasi. Eliminasi didefinisikan sebagai pencapaian jumlah penderita terdaftar
kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk. Dengan demikian, sejak tahun tersebut
di tingkat dunia maupun nasional, kusta bukan lagi menjadi masalah kesehatan
bagi masyarakat.
Diagnosis dini dan pengobatan dengan menggunakan MDT (Multi Drug Therapy)
merupakan kunci utama dalam keberhasilan mengeliminasi kusta sebagai masalah
kesehatan masyarakat. Pengobatan MDT berhasil menurunkan beban penyakit
kusta dunia m,secara dramatis dari 5,2 juta kasus terdaftar pada tahun 1985
menjadi 192.246 kasus pada akhir tahun 2010. Di Indonesia sendiri, pengobatan
dengan MDT berhasil menurunkan 84,6% kasus. Dari 126.221 kasus terdaftar pada
tahun 1985 menjadi 19.741 kasus pada akhir tahun 2010.
Sejak tercapainya status eliminasi kusta, situasi kusta di Indonesia menunjukkan
kondisi yang relatif statis. Hal ini dapat terlihat dari angka penemuan kasus baru
kusta yang berkisar antara 7 hingga 8 per 100.000 penduduk per tahunnya. Begitu pula halnya dengan angka penderita terdaftar yang berkisar antara 0,8 hingga 0,9
per 10.000 penduduk. Situasi tersebut dapat dilihat dalam data berikut :
data 2.B. data 2.B.5.1
Tren Angka Prevalensi dan Angka Penemuan Kasus Baru Kusta (NCDR) Kusta (NCDR)
Tahun 2007 sd Tahun 2007 sd 2011
Menurut laporan yang diterima, selama tahun 2011 ditemukan 20.023 kasus baru
kusta. Jumlah ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan data pada tahun
sebelumnya. Pada tahun 2011 terjadi peningkatan penemuan penderita baru
sebesar 15% atau 3011 kasus. Hal ini salah satunya disebabkan oleh meningkatnya
kegiatan penemuan kasus kusta secara aktif oleh karena adanya perhatian
pemerintah pusat maupun daerah dalam bentuk peningkatan anggaran. Berikut
data penemuan penderita baru kusta tahun 2007-2011 dan Gambar situasi beban
kusta di Indonesia tahun 2011.
Dari data di atas terlihat bahwa penemuan penderita baru kusta antara tahun
2007 hingga tahun 2010 mengalami penurunan. Namun di tahun 2011 terjadi
peningkatan penemuan penderita baru menjadi 20.023 kasus (rate: 8,3/100.000
penduduk)
Dari gambar di atas terlihat bahwa distribusi beban penyakit kusta yang tinggi lebih
banyak tersebar di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Di wilayah
Indonesia bagian barat hanya Aceh dan seluruh provinsi di pulau Jawa kecuali
provinsi Banten dan DI. Yogyakarta.
Di tingkat provinsi terjadi pula peningkatan penemuan kasus baru kusta. Dari 14
provinsi yang angka penemuan kasus baru kustanya di atas 10 per 100.000
penduduk dan atau jumlah kasus baru per tahunnya lebih dari 1000 kasus, 78,6%
atau 11 provinsi mengalami peningkatan jumlah kasus baru. data berikut
menunjukkan penemuan kasus baru kusta di 14 provinsi.
Diantara total penderita baru yang ditemukan pada tahun 2011, 16.099 kasus
(80,4%) merupakan penderita tipe MB sedangkan jumlah penderita anak sebesar
2452 kasus (12,25%) dan penderita yang mengalami cacat tingkat 2 sebesar 2025
kasus (10,11)%. Jumlah penderita kusta yang masih terdaftar di akhir tahun 2011
sebesar 23.169 kasus. Berikut Gambar proporsi penderita MB, cacat kusta tingkat 2
dan proporsi anak di antara penderita baru kusta tahun 2007 sd 2011. Dari grafikdi atas, dapat diketahui bahwa proporsi penderita MB di antara kasus
baru kusta pada tahun 2011 menurun sebesar 0,3% bila dibanding data tahun 2010. Dari data diatas dapat diketahui bahwa proporsi penderita anak di antara kasus
baru lebih tinggi sebesar 1,06% dibanding data tahun sebelumnya sedangkan
proporsi penderita cacat kusta tingkat 2 diantara kasus baru menurun sebesar
0,6%.b. Pengendalian Frambusia di Indonesia Pengendalian Frambusia di Indonesia
Seperti halnya penyakit kusta, penyakit frambusia juga merupakan penyakit yang
utamanya mengenai jaringan kulit. Penyakit ini tidak menimbulkan kematian.
Namun demikian bila tidak ditangani dengan baik frambusia dapat menimbulkan
kecacatan. Frambusia biasanya terjadi di daerah yang sulit dijangkau (end of the
road) oleh pelayanan kesehatan.Masyarakat miskin dengan kebersihan perorangan
dan sanitasi lingkungan yang jelek sering terinfeksi oleh penyakit ini.
Secara nasional angka prevalensi frambusia sudah kurang dari 1 per 100.000
penduduk, namun hingga saat ini frambusia masih menjadi masalah
kesehatan di Indonesia. Prevalensi penyakit frambusia turun secara
bermakna dalam kurun waktu 1985 hingga 1995. Pada periode itu, angka
prevalensi frambusia turun secara dramatis dari 2,21 per 100.000 penduduk
menjadi hampir mendekati 0. Setelah tahun 1995, penurunan prevalensi
frambusia berjalan lambat. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor antara
lain upaya pemberantasan yang tidak adekuat karena program frambusia
bukan merupakan program prioritas. Berikut Gambar jumlah kasus
frambusia di Indonesia sejak tahun 2007 sd 2011:
Hasil pertemuan manajer program frambusia yang dilakukan pada bulan April
2012 di Geneva, Swiss, menyepakati bahwa eradikasi frambusia diharapkan dapat
tercapai pada tahun 2020. Dalam upaya mencapai eradikasi frambusia pada
tahun 2020, Subdit Kusta dan Frambusia pada tahun 2011 melaksanakan survei
serologi di16 kabupaten yang selama 3 tahun melaporkan tidak adanya kasus di
daerah tersebut. Bila selama 3 tahun berturut-turut hasil survei serologi
menunjukkan hasil yang baik (negatif) maka kabupaten tersebut berhak mendapat
sertifikat bebas frambusia dari WHO.
Intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia juga dilakukan di beberapa
daerah yang masih termasuk daerah kantong frambusia. Kegiatan ini dilakukan
untuk menemukan kasus sebanyak-banyaknya untuk kemudian diobati sehingga
diharapkan di tahun-tahun mendatang tidak ditemukan lagi kasus frambusia. Sisi
negatif dari kegiatan intensifikasi penemuan kasus frambusia adalah tidak
ditemukannya kasus bila kegiatan ini tidak dilakukan. Bisa dikatakan bahwa
kabupaten dan provinsi sepenuhnya bergantung pada alokasi dana dari
Pusat/APBN dalam pencarian kasus Frambusia
1. Pengendalian Penyakit Filariasia dan Schistosomiasi Pengendalian Penyakit Filariasia dan Schistosomiasis Filariasia dan Schistosomiasis
a. Pengendalian Penyakit Filariasis Pengendalian Penyakit Filariasis
Program eliminasi filariasis di Indonesia dilaksanakan atas dasar kesepakatan global
WHO tahun 2000 yaitu “The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as
a Public Health Problem the year 2020” yang merupakan realisasi dari resolusi
WHA pada tahun 1997.
Program Eliminasi ini dilaksanakan melalui dua pilar kegiatan yaitu :
1) Pemberian obat massal pencegahan (POMP) filariasis kepada semua penduduk di
kabupaten endemis filariasis dengan menggunakan DEC 6 mg/kg BB
dikombinasikan dengan Albendazole 400 mg sekali setahun selama 5 tahun,
guna memutuskan rantai penularan.
2) Tatalaksana kasus klinis filariasis guna mencegah dan mengurangi kecatatan.
Implementation Unit (IU) yang digunakan dalam program eliminasi filariasis sejak
tahun 2005 adalah kabupaten/kota. Satuan wilayah terkecil dalam program ini
adalah kabupaten/kota, baik untuk penentuan endemisitas maupun pemberian obat
massal pencegahan (POMP) filariasis. Bila sebuah kabupaten/kota sudah endemis
filariasis, maka kegiatan POMP filariasis harus segera dilaksanakan untuk memutus
rantai penularan dengan sasaran pemberian obat adalah semua penduduk di
kabupaten/kota tersebut kecuali anak berumur <2 tahun, ibu hamil, orang yang
sedang sakit berat, penderita kronis filariasis yang dalam serangan akut dan balita
dengan marasmus/kwasiorkor dapat ditunda pengobatannya. Dari data di atas terlihat jumlah kasus klinis filariasis yang dilaporkan dari tahun
2005 sd 2011 meningkat. Pada tahun 2011 dilaporkan bahwa jumlah kasus klinis
filariasis secara kumulatif sebanyak 12.066 kasus tersebar di 401 kabupaten/kota dari
495 kabupaten/kota di Indonesia. Peningkatan jumlah kasus klinis ini mungkin
terjadi karena bertambahnya jumlah kasus baru ataupun adanya kasus lama yang
baru ditemukan dan dilaporkan, meningkatnya pengetahuan dan keterampilan
petugas, surveilans kasus filariasis dan advokasi serta sosialisasi filariasis.
Dari data di atas terlihat peningkatan jumlah kasus klinis filariasis terdapat di
beberapa provinsi. Jawa Timur, Sulawesi Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah dan Sulawesi Tenggara adalah 5 (lima) provinsi dengan kenaikan jumlah
kasus tertinggi. Sementara untuk Bali, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Kepulauan
Riau dan DI Yogyakarta yang merupakan provinsi dengan jumlah kasus klinis
filariasis kurang dari 50 (lima puluh) kasus. Untuk kelima provinsi dengan jumlah
kasus yang rendah tersebut belum tentu menggambarkan situasi yang sebenarnya,
kemungkinan masih ada kasus lain yang belum dilaporkan sehingga masih perlu
ditingkatkan penemuan kasus klinis filariasis di masyarakat.
Kegiatan tatalaksana kasus klinis filariasis harus dilakukan pada semua penderita.
Tatalaksana ini bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kecacatan penderita
dan agar penderita menjadi mandiri dalam merawat dirinya. Setiap penderita
dibuatkan status rekam medis yang disimpan di Puskesmas, dan mendapatkan
kunjungan dari petugas kesehatan minimal 6 kali dalam setahun.
Kegiatan penatalaksanaan kasus kronis filariasis dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan. Hal ini dapat dilihat pada data 2. Di tahun 2011 penanganan kasus
kronis meningkat menjadi 5.498 kasus (45.57%). Diharapkan pada tahun-tahun
selanjutnya kasus kronis filariasis yang ditatalaksana meningkat lagi sebagaimana
yang ditargetkan yaitu 90%.
Pada tahun 2011 sebanyak 334 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di
Indonesia endemis filariasis. Penentuan endemisitas kabupaten/kota tersebut
berdasarkan pada hasil survei darah jari dengan mikrofilaria ratenya (mf rate) >1%
dan secara epidemiologi. Dari 334 kabupaten/kota endemis tersebut, dilaporkan
sebanyak 9 kabupaten/kota telah melaksanakan survey stop POMP filariasis, 4
kabupaten/kota selesai melaksanakan POMP filariasis tahun kelima dan 98
kabupaten/kota yang tersebar di 26Provinsimasih dalam proses pelaksanaan POMP
filariasis. Gambaran kabupaten/kota endemis filariasis dan sebaran kabupaten/kota
yang melaksanakan POMP filariasis dapat dilihat pada gambar 1 di bawah. Pada gambar di atas, tampak bahwa masih terdapat kabupaten/kota endemis
filariasis yang belum melaksanakan POMP filariasis. Hal ini terjadi disebabkan oleh
beberapa hal, salah satunya adalah karena besarnya biaya operasional yang harus
disediakan serta belum semua pemerintah daerah mempunyai komitmen untuk
melakukan POMP filariasis tersebut. Padahal biaya operasional menjadi tanggung
jawab Pemerintah Daerah baik kabupaten/kota maupun Provinsi, sedangkan
pengadaan obat merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. Oleh karena itu
perlu diupayakan adanya koordinasi dan komitmen dari pemerintah daerah
maupun pusat dan mengupayakan bantuan luar negeri untuk membantu daerah
dalam penyediaan biaya operasional POMP filariasis.Pada tahun 2011, target POMP filariasis adalah sekitar 57 juta penduduk,sedangkan
realisasinya adalah 21.83 juta (37.84%).Cakupan POMP filariasis pada tahun 2011
ini mengalami penurunan daritahun sebelumnya (lihat Grafik.3.) karena sejumlah 8
kabupaten/kota tidak melanjutkan POMP Filariasis (discontinued). Hal ini terjadi
karena ketidaktersediaan dana operasional sehingga perlu dilakukan advokasi yang
lebih intensif kepada pemangku kepentingan di kabupaten/kota untuk mendapatkan
komitmen dan kesinambungan alokasi penganggaran dalam upaya mencapai tujuan
eliminasi filariasis di Indonesia tahun 2020.
b. Pengendalian Penyakit Schistosomiasis Pengendalian Penyakit Schistosomiasis
Schistosomiasis adalah penyakit menular kronis yang disebabkan oleh infeksi cacing
trematoda, spesies Schistosoma japonicum. Cacing ini hidup dalam pembuluh darah
vena manusia dan binatang mamalia di daerah tropik dan sub tropik. Cacing
dewasa hidup di dalam vena hepatica dan vena mesenterica superior serta cabangcabangnya.
Penyakit ini pertama kali ditemukan di Lindu pada tahun 1937 (Brug & Tesch),
sedangkan hospes perantaranya baru ditemukan pada tahun 1971, yakni berupa
keong, yang kemudian diidentifikasi oleh Davis dan Carney (1972) sebagai
Oncomelania hupensis lindoensis. Keong ini hidup di tempat-tempat yang becek,
terlindung dari terik matahari langsung, dan banyak humusnya.
Penyakit ini berbahaya, karena dapat menimbulkan kematian. Gejala klinis akut
penyakit ini antara lain adalah urtikaria/dermatitis, demam, malaise, mual/muntah,
diare. Pada tahap lanjut dapat menimbulkan sindroma disentri, ikterus, udema,
ascites, hematemesis, anemia, hepato megali dan splenomegali. Akhirnya penderita
dapat meninggal akibat kerusakan hepar yang irreversible atau kegagalan fungsi
organ-organ vital.
Pada tahun 2004, Ground Snail Survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
di Lembah Bada Kecamatan Lore Selatan (Kabupaten Poso), menemukan perluasan
penyebaran keong Oncomelania h.l. di tempat ini.
Berbagai upaya pemberantasan telah dilakukan sejak tahun 1982 melalui bermacam
bentuk kegiatan seperti pengobatan penduduk, penyuluhan, dan perbaikan
lingkungan. Langkah pemberantasan ditujukan pada cacing schistosoma japonicum
(host), keong oncomelania hupensis lindoensis (hospes perantara), manusia dan
hewan mamalia (hospes definitif), dan lingkungan baik fisik maupun biologis.
Dalam program pengendalian penyakit ini, prevalensi baik pada manusia, tikus,
keong penularnya, maupun pada binatang diupayakan di bawah 1%. Karena bila
prevalensi di bawah 1% diharapkan tidak terjadi penularan. Kalaupun terjadi
penularan sangat kecil kejadiannya.
Dari tahun 2000 sd 2011, situasi prevalensi Schistosomiasis pada manusia dapat
digambarkan sebagai berikut : Pada data diatas terlihat adanya penurunan prevalensi yang sangat besar di tahun
2011. Penurunan prevalensi ini terjadi karena adanya intervensi program dengan
melaksanakan pengobatan massal 2 (dua) kali dalam setahun, pada bulan Maret
dan September di Lindu Kabupaten Sigi dan Napu – Besoa Kabupaten Poso.
Pada data di atas, tampak bahwa prevalensi schistosomiasis pada hewan (tikus) di
Napu-Besoa Kabupaten Poso tahun 2011 ini mengalami penurunan, sementara di
Lindu Kabupaten Sigi prevalensinya tetap meningkat menjadi 12.05%.
Gambaran penurunan prevalensi juga terlihat pada prevalensi schistosomiasis pada
keong Oncomelania hupensis lindoensis di Napu-Besoa Kabupaten Poso yang pada
tahun 2011 menjadi 1.88% (data 2.C.1.6).
Berdasarkan data tersebut di atas terlihat bahwa infeksi cacing Schistosoma
japonicum pada tikus dan keong di Napu-Besoa Kabupaten Poso mengalami
penurunan sementara di Lindu Kabupaten Sigi masih tinggi.
Prevalensi schistosomiasis pada tikus dan keong yang masih > 1% (2 data di atas)
dapat disebabkan karena daerah fokus schistosomiasis yang makin meluas, akibat
dari kegiatan surveillance baik pada manusia maupun hewan tidak terlaksana secara
maksimal, pengolahan sawah, ladang tidak atau kurang intensif, banyak lahan tidur
yang dapat merupakan tempat berkembang biak keong perantara, luas daerah
menyebabkan belum semua fokus keong terdeteksi, sehingga menyebabkan rantai
penularan lebih mudah terjadi.
Pengamatan dan pengendalian penyakit ini berupa pemeriksaan tinja pada
penduduk berumur di atas 2 tahun, pemeriksaan keong dan pemeriksaan tikus
dilakukan secara rutin tiap semester, pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan
angka infeksi (infection rate) Schistosomiasis.
Dalam resolusi WHA 65.21 tahun 2011, negara-negara endemis schistosomiasis
diharapkan dapat segera mencapai eliminasi schistosomiasis. Untuk mendukung
tujuan tersebut maka WHO mengembangkan pedoman eliminasi schistosomiasis
yang rencananya akan diluncurkan tahun 2012.
c. Pengendalian Penyakit Fasciolopsis buski Pengendalian Penyakit Fasciolopsis buski
Fasciolopsis buski adalah infeksi trematoda yang menyerang usus halus, biasanya
duodenum. Penyakit ini tersebar di Asia Tenggara, khususnya di Tahiland, China
Selatan, China Tengah dan sebagian India. Manusia, babi dan anjing adalah hospes
definitive.
Manusia terinfeksi karena mengkonsumsi tumbuhan air yang mentah. Kista infektif
Fasciolopsis buski yang melekat pada tumbuhan tersebut ikut termakan dan masuk kedalam usus. Di Indonesia, Fasciolopsis buski saat ini hanya ditemukan di 2 (dua)
Provinsi, yaitu : Provinsi Kalimantan Selatan (Kabupaten Hulu Sungai Utara) dan
Provinsi Kalimantan Tengah (Kabupaten Barito Selatan). Prevalensi Fasciolopsis
buski diatas 1% menunjukkan masih banyak manusia yang terinfeksi. Lingkungan
yang memadai bagi cacing dan pola hidup masyarakat yang masih berpotensi
menyebabkan penyakit ini semakin bertambah banyak. Dalam program
pengendalian penyakit ini, prevalensinya diupayakan di bawah 1%, karena bila
prevalensi di bawah 1% diharapkan tidak terjadi penularan dan kalaupun terjadi
penularan sangat kecil kejadiannya.
Pengamatan dan pengendalian penyakit ini berupa survey tinja dan survey klinis
serta pengobatan terhadap penderita, sangat diperlukan untuk menghambat
penyebaran Fasciolopsis buski. Pada data di atas terlihat gambaran prevalensi
F.buski dari tahun 2001 sd 2008 trendnya cendrung menurun, dari tahun 2006 sd
2008 prevalensi sudah baik yaitu <1%. Sedangkan sampai saat ini, untuk tahun
2009 sd 2010 tidak ada laporan perubahan data dari kabupaten.
d. Pengendalian Penyakit Cacingan Pengendalian Penyakit Cacingan Penyakit Cacingan
Cacingan adalah penyakit yang disebabkan adanya infestasi oleh satu atau lebih
cacing perut : cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris
trichiura), atau cacing tambang (Necator americanus dan Ancylostoma duodenale),
yang ditularkan melalui tanah.
Sampai saat ini penyakit cacingan masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari data hasil survei prevalensi kecacingan tahun
2011 yang dilakukan oleh Subdit Pengendalian Filariasis dan Kecacingan pada anak
SD/MI di 28 kabupaten/kota terpilih yang tersebar di 14 provinsi.
Pada data di atas, tampak bahwa prevalensi kecacingan berkisar antara 0,4% -
76,67%. Meskipunsurvei initidakmewakili seluruh kelompok populasiyang
berisiko,namun data tersebut dapat memberikaninformasi dasar tentangbesarnya
masalah dan digunakansebagai bagian daripemetaanprediktifuntuk
memperkirakanpopulasi sasarandalam pengendaliankecacingan di Indonesia.
Secara kumulatif data survei prevalensi cacingan pada anak sekolah dasar yang
dilakukan oleh Kementerian Kesehatan RI dan jajarannya, universitas serta Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) antara tahun 2000 sampai dengan tahun 2011 di 173
kabupaten/kota berkisar antara 0,4% - 85,9%. Gambaran sebaran prevalensi
kecacingan menurut hasil-hasil survei tersebut adalah sebagai berikut :
Masih tingginya prevalensi kecacingan pada anak sekolah dapat disebabkan karena
masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih dan
sehat, sulitnya mendapatkan air bersih dan sanitasi lingkungan yang kurang baik.
Pengamatan dan pengendalian penyakit ini meliputi pemeriksaan tinja pada anak
sekolah SD/MIkelas 3 (tiga) sampai dengan kelas 5 (lima) dan pemberian obat sesuai
hasil pemeriksaan dan prevalensi kabupaten/kota setempat.
2. Pengendalian Penyakit Malaria
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan
masyarakat baik di dunia maupun di Indonesia. Malaria di dunia berdasarkan The
World Malaria Report 2011 sebanyak lebih dari 655 ribu orang meninggal pada tahun
2010 dimana 81% terjadi di Afrika, dan 6% nya terjadi di Asia. Secara keseluruhan
terdapat 3,3 Milyar penduduk dunia tinggal di daerah berisiko (endemis) malaria yang
terdapat di 106 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih terjadi
transmisi malaria (Berisiko Malaria/Risk-Malaria), dimana pada tahun 2010 terdapat
sekitar 229.819 kasus malaria positif, sedangkan tahun 2011 menjadi 256.592 kasus.
Pengendalian Malaria di Indonesia menghadapi masalah yang kompleks karena
dipengaruhi berbagai faktor seperti banyaknya jenis vektor dengan bionomik yang
berbeda, beragamnya ekotipe tempat penularan terjadi, terdapat semua jenis parasit
malaria termasuk ancaman adanya plasmodium knowlesi, tingkat pembangunan yang
berbeda di setiap daerah yang juga mempengaruhi lingkungan, adanya resistensi obat
anti malaria, tingginya mobilitas penduduk dan berbagai kegiatan sosial ekonomi yang
menyebabkan masyarakat berisiko tertular malaria.
Upaya penanggulangan malaria telah dilakukan sejak lama, dimulai pada dekade tahun
1952 sd 1959 yang pada akhir periode ini Presiden Soekarno mencanangkan program
pembasmian mala