Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 2. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Juni 2023

penyakit hewan mamalia 2

od 
sweating) atau hemohidrosis, dan dilaporkan ada 93 % kasus keringat darah 
dari semua kasus yang diamati. Keringat darah ini dapat diamati di daerah 
punggung, fl ank, daerah perut, kaki dan scrotum. Keringat darah ini terjadi 
akibat gigitan insek penghisap darah. Pada kasus percobaan keringat darah 
ini tidak pernah diamati, oleh karena ternak-ternak percobaan yang diinfeksi 
ditempatkan dalam kandang bebas insekta atau dalam kandang light trap.
     Ternak yang bunting ditandai dengan keguguran. Dilaporkan 49% ternak 
bunting yang terserang penyakit Jembrana diakhiri dengan keguguran yang 
terjadi pada semua masa kebuntingan. 

2.  Patologi
     Pada permukaan tubuh ditemukan bercak darah yang meluas yang 
disebut keringat darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan tetap ada 
selama 2-3 hari. Konjungtiva kongesti dan okular berdarah kadang-kadang 
ada klot darah di dalam lekuk mata depan, jaringan di bawah kulit tampak 
pucat, kering dan kadang-kadang berdarah. Namun pada kasus percobaan 
tidak pernah ditemukan. Di dalam rongga tubuh terutama rongga perut dan 
dada ditemukan cairan serosanguineous sebanyak kurang lebih 5 liter.
     Pada sistem pernafasan ditemukan adanya perubahan berupa selaput 
lendir celah dan corong hidung tampak kongesti dan selaput lendir saluran 
pernafasan mengalami erosi, kadang ditemukan pula perdarahan.
     Lesi-lesi di dalam paru tidak pernah tetap. Beberapa lobus paru-paru 
warnanya tampak coklat kegelapan dan densitasnya meningkat. Daerah 
hepatisasi merah kelabu ini berukuran kira- kira 1-4cm, kadang-kadang dapat 
terjadi pada semua lobus. Zona atelektasis dan bronckopneumonia focal 
kadang-kadang juga ditemukan. Pada kasus percobaan, terjadi lesi yang 
ringan pada paru yaitu 6-30 hari pasca infeksi. Lobus aterior paru terlihat 
mengalami konsolidasi, warnanya sedikit kebiruan dan dibatasi oleh zona 
emfi sema yang warnanya lebih pucat. 
     Pada sistem kardiovaskuler, subepikardium dan subendokardium 
mengalami perdarahan terutama dekat apex dan sebelah atas dari otot 
papilaris. Warna miokordium dan endokardium difus dan pada epikardium 
ada perdarahan ptekie dan ekimose.  Di samping itu terjadi perikarditis 
fi brinous fokal,  perdarahan “paint brush” kadang-kadang juga dapat diamati 
pada lekukan koroner atas dan kedua ventrikel jantung. Di dalam kantong 
pericardium kadang ditemukan cairan agak berlebihan dan pada miokardium 
juga ditemukan bintik putih. Pada kasus percobaan perubahan ini biasanya 
terjadi pada hari ke 8, 10 dan 15 pasca infeksi.
     Pada sistem Iimfo-hemopoitik didapatkan perubahan  pada sumsum 
tulang terutama tulang femur proksimal dan jaringan adiposum terlihat lunak 
dan edematus.  Kelenjar Iimfe superfi sial servical, subliacal dan parotidea 
tampak membesar, pembesarannya dapat mencapai 20 kali dari ukuran 
normal. Kelenjar limfe tampak membesar mulai hari ke 6 dan menjadi lebih 
hebat pada hari ke 10 dan 15 lalu kembali normal sesudah  hari ke 
30.  Kelenjar limfe hepatika telihat sangat membesar sedangkan kelenjar 
limfe mesenterialis sedikit membesar. Bidang irisannya berwarna coklat 
kekuningan atau putih keabu-abuan.
     Pada kasus yang akut limpa mengalami pembesaran yang konstan, 
kadang-kadang ukurannya 4 kali dari ukuran normal. Pada infeksi percobaan, 
limpa tampak membesar yaitu pada hari ke-2 pasca infeksi dan menjadi lebih 
hebat pada hari ke-8 sampai ke 15. Tepinya membulat dan warnanya merah 
gelap. Perdarahan fokal kadang-kadang tampak pada permukaannya. 
Bidang irisan warnanya merah gelap, menonjol, granules, dan lunak, akan 
tetapi tidak ada darah yang keluar dari jaringan.  Pada sapi muda timusnya 
mengalami perdarahan.
     Perubahan pada saluran pencernaan dapat berupa perdarahan ekimose 
pada bibir bawah dan ditemukan erosi pada bantalan gigi depan. Meskipun 
demikian pada pemeriksaan lebih lanjut ditemukan perubahan berupa erosi 
kadang-kadang berbentuk ulser pada bantalan gigi, membran bukalis bagian 
lateral, lidah dan palatum. Pada kasus percobaan, terjadi erosi yang sangat 
ringan pada dasar bawah lidah dan ditemukan pada hari ke 6 sampai hari 
ke 15 pasca infeksi. Ulser ditemukan pada dorso-lateral lidah. Disamping itu 
erosi juga dapat diamati pada selaput lendir faring. Selaput lendir esofagus 
mengalami erosi bentuk garis yang tak teratur dengan atau tanpa perdarahan. 
Selaput Iendir abomasum tampak kongesti, udem, ulser dan perdarahan 
petekie. Pada kasus percobaan perdarahan ptekie, edema dan erosi pada 
abomasum terjadi pada hari ke 10 dan 15 pasca infeksi.
     Seluruh usus kecuali rektum dan bagian belakang kolon mengalami 
perubahan, selaput lendir usus kecil, usus besar,  sekum, kolon dan rektum 
mengalami edem, erosi, hiperemia dan perdarahan ekimose.   Pada beberapa 
kasus, isi usus terlihat ada bercak darah, kadang-kadang klot darah di dalam 
lumennya. Perdarahan juga ditemukan pada membran usus.
     Hati sedikit membengkak warnanya kekuningan dengan tepi yang 
tumpul. Pembengkakan hati ini terjadi pada hari ke 10 dan 15 pasca infeksi. 
Kantong empedu umumnya mengalami dilatasi dan mengandung cairan 
empedu yang kental berwarna hijau gelap, cairan jernih atau gelap.  Pada 
selaput lendirnya ditemukan perdarahan ptekie, ekimose atau perdarahan 
“paint brush”. Kadang pankreas mengalami perubahan berupa edem dan 
perdarahan. 
     Perubahan yang terjadi pada ginjal sedikit membengkak dan perdarahan. 
Disamping warnanya lebih pucat dan perdarahan ptekie juga ditemukan 
nodul kecil berwarna putih keabu-abuan pada korteksnya. Korteks dan 
medula mengalami hipermia. Di bagian subserusa kantong kemih ada 
perdarahan ptekie, ekimose dan perdarahan “paint brush”. 
     Sepanjang lekuk otak terlihat mengalami kongesti dan edema. Pada 
potongan otak warnanya pucat dan basah.
     Perubahan patologi dari sistem genitalis hanya ditemukan pada 
prepusium yang terlihat mengalami ulserasi, perdarahan dan erosi pada 
vagina. 
     Perubahan histopatologis jaringan kulit dan hewan yang menunjukkan 
gejala “blood sweating” yaitu ditandai dengan kongesti dan kapiler yang cukup 
hebat terutama disekitar sebaceus dan kelenjar keringat. Perdarahan juga 
ditemukan pada epidermis dan antara serabut otot. Pembuluh darah limfe 
mengalami dilatasi. Sel endotel kapiler dan pembuluh limfe membengkak dan 
kongesti, inti sel tampak besar dan bersifat vesikular. Pada kasus yang hebat 
ditemukan ulser kecil pada kulit, dikelilingi oleh berbagai tipe sel radang. Pada 
dasar ulser ditemukan fi brin dan sel debris. Akumulasi sel mononuklear dan 
sel plasma dapat diamati di sekitar arteri kecil di dalam jaringan subkutaneus 
dan dermis.
     Selaput lendir, septum nasi dan turbinatus pada sistem pernafasan 
tampak hipermis, kadang-kadang hemoragik atau nekrotik dan erosi. Lamina 
propria dari membran mukosa diinfi ltrasi oleh netrofi l dan sel-sel mononuklear. 
Selain itu terjadi pula trombi dan lekostasis dalam pembuluh darah. Trakhea 
mengalami kongesti, erosi epitel, edema dan infi ltrasi berbagai jenis sel 
radang. Pada bronchi, perubahannya sama seperti pada trakhea. Pada 
paru perubahannya sangat spesifi k yaitu terjadi pneumonia interstitial. Sel 
septa mengalami hipertrofi  dan hiperplasia. Beberapa sel terlihat terlepas 
dan mengisi lumen alveoli. Sering kali ditemukan badan inklusi baik pada 
kasus alami maupun buatan, masing-masing 86.6 dan 89,5%.  Sel raksasa 
(giant cell) kadang-kadang dapat juga diamati. Septa alveoli juga diinfi ltrasi 
oleh sel limforetikuler dan sel plasma. Di dalam kapiler dinding alveoli sel 
endotel membesar dan proliferasi memicu trombosis yang lalu 
disebut endoteliosis. Namun belakangan ini telah dilakukan pemeriksaan 
dengan mikroskop elektron ternyata bahwa sel mononuklear yang tampak 
menyumbat lumen kapiler yaitu  makrofag intravaskuler.  
     Sel-sel mesotelial di dalam beberapa bagian pleura juga mengalami 
hipertrofi , sel-sel ini bentuknya lebih kuboid. Inti sel membesar dan 
sitoplasmanya kebiruan.  Sering pula diikuti dengan infeksi sekunder 
bakterial, ditandai dengan pneumonia dengan eksudat sero-fi brinous atau 
sero-purulen. Lumen alveoli mengandung campuran eksudat seluler dengan 
berbagai tipe sel seperti netrofi l, limfosit dan histiosit yang menyebar ke area 
bronkial menghasilkan bronkopneumonia. Dinding alvieoli tampak menebal 
dan diinfi ltrasi oleh sel mononuklear yang ukurannya bervariasi. Perubahan 
ini diikuti dengan atelektasis. Trombosis dan infark kadang-kadang juga 
dapat diamati.
     Pada sistem kardioaskuler, subendokardium mengalami perdarahan. 
Bentuk perdarahan ini tidak konsisten. Perdarahan subendokardium dan 
subepikardium juga ditemukan infi ltrasi sel mononuklear di dalam miokardium 
dari beberapa sapi.  Serabut otot mengalami hialinisasi dan fragmentasi, 
serta sering ditemukan badan inklusi seperti pada paru dan jaringan lainnya. 
Area ini juga diinfi ltrasi oleh sel mononuklear, sel plasma dan histiosit. Sel 
yang sama juga ditemukan di sekitar pembuluh darah. Tidak ada perubahan 
yang dapat diamati di dalam aorta dan arteri besar lainnya. Infi ltrasi sel 
mononuklear dan sel plasma yang bersifat multifokal juga dapat diamati di 
dalam epikardium dan miokardium. 
     Pada kasus yang akut, sumsum tulang sangat hiperplastik. Sel 
megakaryosit dan eritroid dalam tingkat perkembangan yang berbeda juga 
ada. Infi ltrasi sel limfoblastik besar yang bersifat fokal dapat diamati pada 
berbagai lokasi. 
     Limpa mengalami  hiperplasia sel limforetikuler dan kerusakan 
limfositik atau nekrosis di dalam limpa. Terjadi kongesti dan perdarahan. 
Sel limforetikuler di dalam pusat germinal dari folikel limfoid mengalami 
proliferasi. Sel endotelial di lapisan sinus kortex dan medula hipertrofi , 
hiperplasia dan deskuamasi serta mengisi lumen dari sinus. Juga ada 
makrofag, sel limfoid besar dan sel plasma di dalam sinus. Kapsul limfoid 
periarterial disusun oleh sel abnormal besar dan cordnya diinfi ltrasi oleh 
sejumlah sel limfoid. Hemosiderosis, sel sinsitial dan badan-badan inklusi 
sering juga ditemukan. 
     Kelenjar limfe mengalami perubahan sama seperti pada limpa. Struktur 
normal tidak terlihat jelas dan pusat germinal hilang atau berisi sisa sel. Sel 
retikuler mengalami hiperplasia secara konsisten dan jumlah limfosit yang 
dewasa jumlahnya selalu menurun. Piknosis dan karyoreksis juga ada, 
disamping itu juga ada badan inklusi.  Sinus membesar dan diisi oleh 
sel plasma, plasmablas, limfosit, makrofag dan retikuler. Sel endotelial yang 
melapisi sinus mengalami hipertrofi  dan hiperplasia. Batang medula berisi 
penuh sel limfosit dan sel plasma, gambaran mitosis dan giant cell kadang-
kadang juga terlihat. Ditemukan pula adanya infi ltrasi sel mononuklear di 
dalam kapsul dan trabekula. 
     Pada timus terjadi deplesi limfositik diikuti dengan proliferasi retikuler. 
Pada beberapa kasus ada sel limfoblastik besar di dalam medula 
sedangkan dibagian prifer lobula mengalami atrofi . Pada kasus yang lain 
daerah atrofi  telah diganti oleh sel limfoblastik besar yang mengalami 
proliferasi fokal. 
     Lidah mengalami erosi dan ulser.  Sel-sel radang dan fi brin ditemukan pada 
dasar ulser. Sel epitel yang berdekatan dengan erosi dan ulser membengkak 
dan berongga. Pembuluh darah dan limfe di sekitar lesi mengalami dilatasi 
dan sel endotel mengalami hipertrofi  dan hiperplasia. Pada jaringan ikat 
antara serabut otot lidah ada sel plasma dan sel mononuklear pada 
tunika propria terjadi edema. 
     Esofagus, rumen, retiktlum, dan omasum mengalami balooning 
degeneration dan vakuolisasi sel epitelial dari membran mukosa. Di dalam 
lamina propria terjadi kongesti, edema, hipertrofi , hiperplasia sel endotelial, 
sedangkan sel radang tidak ditemukan.  Lamina propria dari abomasum 
diinfi ltrasi oleh limfosit, sel plasma dan beberapa netrofi l.  Sel endotelial 
pembuluh darah juga mengalami hipertrofi  dan hyperplasia. 
     Membran mukosa usus tampak kongesti dan edem, perdarahan biasanya 
terjadi di dalam membran mukosa dan serosa. Sel radang terdiri dari limfosit. 
sel plasma, netrofi l dan eosinofi l dapat ditemukan di dalam lamina propria.
     Pada Hati di daerah portalis diinfi ltrasi oleh sel limforetikuler. Gambaran 
mitosis kadang-kadang terlihat. Glisson sheath juga diinfi ltrasi oleh sel 
mononuklear. Sel Kupffer membengkak dan sinusoid berisi makrofag. 
Hepatosit sedikit mengalami vakoulisasi dan ada badan inklusi. Pada 
kantong empedu ada perdarahan di dalam membran mukosa, dan 
infi ltrasi sel mononuklear dan sel plasma. Pada pankreas, di dalam jaringan 
ikat interlobus diinfi ltrasi oleh sel plasma dan sel mononuclear. 
     Epitel pada tubulus ginjal mengalami degenerasi dan dilitasi dalam 
lumennya berisi sisa protein dan ada pula badan inkulasi. Glomeruli 
sering hiperseluler dan jaringan ikat interseluler diinfi ltrasi oleh sel-sel 
mononuklear, sel plasma, histiosit dan kadang-kadang netrofi l. Infi ltrasi sel 
tersebut paling sering melapisi di sekitar pembuluh darah terkadang juga 
terjadi infark kortikal. Pada kantong kemih pada jaringan ikat antara serabut 
otot ada perdarahan. 
     Pada organ genital betina tidak ditemukan perubahan, akan tetapi 
pada yang jantan ada penurunan jumlah spermatozoa di dalam tubulus 
seminiferus. Sel endotelium pembuluh darah tampak hipertrofi , terkadang 
ada akumulasi lekosit di dalam lumen pembuluh darah. Sel kortikal 
adrenal mengalami degenerasi albuminous dan di dalam medula ada 
infi ltrasi sel limforetikuler dan badan inklusi.
     Otak mengalami kongesti, edema dan perdarahan perivaskular. Selain 
itu ada infi ltrasi sel mononuklear perivaskuler dan gliosis Kadang juga 
ditemukan infi ltrasi limforetikuler dan edema dari pleksus koroid. 
     Patologi klinis. Ternak yang menderita penyakit jembrana ditandai 
dengan leukopenia dan trombositopenia yang konstan lalu diikuti 
dengan limfositosis. Selama tahap  akut terjadi limfosit abnormal. Beberapa tipe 
sel ditemukan pada preparat ulas darah yaitu sel dengan inti dan sitoplasma 
yang besar, limfosit medium berinti ganda, mitosis limfosit, sel plasma dan 
limfosit besar dan medium dengan sitoplasma yang mengalami vakoulisasi 
berisi inti eosinofi lik. Pada sapi yang diinfeksi buatan juga memicu  
gambaran leukopenia. Perubahan lain telah ditemukan yaitu terjadi anemia 
normositik normokromik, sedikit trombositpenia dan uremia. Total protein 
plasma menurun terutama pada stadium akhir penyakit. Level fi brinogen dan 
kreatinin darah tidak mengalami perubahan nyata dan level nitrogen urea 
darah terlihat tinggi (150mg/dl).
3.  Diagnosa
     Penyakit Jembrana didiagnosa berdasar  data epidemiologi, gejala 
klinis,  patologis, hematologis dan serologis. Genom RNA virus JD dalam 
jaringan yang telah diblok dengan parafi n dapat dideteksi dengan teknik in 
situ hybridization. Pengujian  antibodi dapat dideteksi dengan enzime linked 
immunosorbent assay (ELISA). Pada sapi yang terinfeksi, antibodi tidak 
dapat dideteksi sampai 11-33 minggu pasca infeksi dan tetap dapat dideteksi 
sampai dengan 59 minggu pasca infeksi. Teknik yang lebih spesifi k seperti 
Western immunoblotting yang dapat mendeteksi protein 26K virus JD dalam 
serum. Protein ini secara konstan dapat dideteksi pada minggu ke-6 pasca 
infeksi. ini sesuai dengan munculnya plasmasitosis dan meningkatnya 
jumlah IgG. 
4.  Diagnosa Banding
     Penyakit Jembrana memiliki gejala klinis dan patologis sangat mirip 
dengan berbagai penyakit viral seperti Malignant Catarrhal Fever (MCF), 
Rinderpest, Bovine Viral Diarrhea-Mucosadisease (BVD-MD), Penyakit Mulut 
dan Kuku (PMK), Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan penyakit bakterial 
seperti Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit parasit darah seperti 
Surra.
pengobatan :  
Pelaporan, Pencegahan dan Pengendalian
a.  Pelaporan
     Setiap ada kasus penyakit Jembrana harus segera dilaporkan kepada 
Dinas Peternakan setempat atau instansi berwenang (BPPV/BBV) yang 
tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Kesehatan Hewan untuk segera 
diambil tindakan.
b.  Pencegahan dan Pengendalian
     Tindakan yang paling efektif yaitu  dengan melakukan vaksinasi. 
Telah berhasil diproduksi vaksin JD dari plasma dan limpa. Pada awalnya 
dikembangkan vaksin dari sari plasma yang diinaktivasi dengan formalin 
0,1% (v/v) mengandung incomplete freund adjuvant (IFA) sesudah  1, 2 
atau 3 kali vaksinasi memberikan kekebalan yang sangat rendah sesudah  
ditantang dengan virus JD 103 x ID50. Gambaran hematologis penyakit 
Jembrana berupa lekopenia Iebih dari 2 hari. Tidak ada perbedaan rata-
rata antara lamanya periode inkubasi, periode demam atau lama lekopenia 
antara sapi yang divaksinasi dengan grup kontrol. Dengan memakai 
inaktivasi Triton X-100 dengan kosentrasi 1% (v/v) dalam incomplete Freund 
Adjuvant (IFA) dan dilakukan vaksinasi sebanyak 3 kali ternyata memberikan 
respon kebal sesudah  ditantang dengan virus JD 102 x ID50, satu bulan sesudah  
vaksinasi terakhir.  Telah dibandingkan pula penggunaan IFA dan Quil-A, 
keduanya dapat meningkatkan respon imun, akan tetapi Quil-A memberikan 
respon imun sedikit lebih rendah dan pada IFA, dan juga memberikan reaksi 
terhadap virus tantang Iebih tinggi.
    Hewan yang sakit dapat dipotong di bawah pengawasan dokter hewan 
atau petugas berwenang. 


ORF
Sinonim : Contagious Pustular Dermatitis, Contagious Ecthyma; Sore Mouth; 
Scabby Mouth, Bengoran, Dakangan
  
Orf yaitu  suatu penyakit hewan menular pada kambing dan domba yang ditandai 
dengan terbentuknya popula, vesikula dan keropeng pada kulit di daerah bibir/di 
sekitar bibir.
Penyakit ini pada umumnya menyerang hewan muda umur 3-5 bulan, terkadang 
hewan dewasa dapat juga ditulari, disamping itu dapat menulari pada manusia.
Penyakit ini mempunyai arti ekonomik yang cukup penting karena dapat 
memicu  penurunan berat badan dan kematian. Disamping itu mempunyai 
arti kesehatan masyarakat veteriner karena dapat menulari manusia.
etiologi 
Orf dipicu oleh virus Parapox, berbentuk bulat panjang seperti kepompong, 
berukuran 160x290 mm dan diklasifi kasikan dalam grup DNA virus.

epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus ini sangat tahan terhadap pengaruh udara luar dan kekeringan, 
tetap hidup di luar sel selama beberapa bulan lamanya serta dapat hidup 
beberapa tahun pada keropeng kulit, sedangkan pada suhu kamar dapat 
tahan selama 15 tahun. Virus Parapox tahan terhadap ether dan labil 
terhadap asam.
2.  Spesies rentan
     Orf hanya menyerang kambing dan domba. Penyakit ini memicu  
kekebalan berjangka panjang, oleh karenanya pada wilayah enzootik 
penyakit ini ditemukan pada hewan-hewan muda, sedang di daerah yang 
baru pertama kali diserang, penyakit ini ditemukan pada hewan dari segala 
umur.
3.  Sifat Penyakit
     Angka kesakitan penyakit ini dapat mencapai 90% pada hewan muda tetapi 
angka kematian relatif rendah. Sifat penyakit ini umumnya endemik dan 
penyakit banyak muncul pada kelompok kambing yang baru datang pada 
suatu wilayah.
4.  Cara Penularan
     Cara penularan terjadi melalui kontak (luka kulit pada saat menyusui, 
kelamin dan bahan yang mengandung virus). Masa inkubasi penyakit 
berlangsung kurang lebih 2 hari. 
5.  Distribusi Penyakit
     Penyakit ini dikenal di lndonesia pada tahun 1931. Pada tahun 1979 
penyakit ini dilaporkan di Yogyakarta, Kudus, Banyuwangi, Pasaman, 
Karangasem, Negara dan Medan. Sampai dengan sekarang hampir tersebar 
di seluruh wilayah negara kita .
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Pada hewan yang menderita penyakit ini gejala berupa peradangan 
pada kulit sekitar mulut, kelopak mata, alat genital, ambing pada hewan yang 
sedang menyusui dan medial kaki atau pada tempat yang jarang ditumbuhi 
bulu. Selanjutnya peradangan berubah menjadi eritema, lepuh pipih yang 
mengeluarkan cairan, membentuk kerak yang mengelupas sesudah  1-2 
minggu. Pada selaput lendir yang terserang tidak terjadi pengerakan. jika 
lesi tersebut hebat maka pada bibir yang terserang ada kelainan yang 
menyerupai bunga kol.
     jika tidak terjadi infeksi sekunder maka lesi ini biasanya akan 
sembuh sesudah  penyakit berlangsung 4 minggu dan sebaliknya bila muncul 
infeksi sekunder akan meningkatkan derajat keparahan penyakit.

     Pada hewan muda keadaan ini sangat mengganggu sehingga dapat 
memicu kematian. Pada manusia gejala klinis berupa lepuh pada 
tangan dan lengan. Lesi ini lalu mengering serta mengeras sesudah  2-3 
minggu.
Gambar 2. Gejala klinis ORF
(Sumber : http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/orf_virus/images/
sheep_orf_lg.jpg.)
2.  Patologi
     Pada bedah bangkai tidak terlihat adanya kelainan-kelainan yang 
mencolok pada alat tubuh bagian dalam kecuali kelainan pada kulit.
3.  Diagnosa
     Dengan melihat kejadian penyakit yang tersebar cepat, hanya menyerang 
hewan muda dan ada lesi di sekitar mulut maka dengan mudah dapat 
didiagnosa penyakit menular ini. Konfi rmasi laboratorium dapat dilakukan 
dengan mengetahui adanya antigen Orf pada lesi dengan cara uji Agar Gel 
Diffusion (AGD) atau uji Complement Fixation Test (CFT) dan dapat juga 
dilakukan Netralisation Test pada paired sera.
4.  Diagnosa Banding
     Penyakit Orf mirip dengan cacar pada kambing dan domba. Pada 
penyakit cacar lesi biasanya dimulai dengan hemarogik dan terjadi pada kulit 
bagian luar serta mempunyai tendesi meluas ke seluruh tubuh termasuk organ 
bagian dalam. Virus ORF tidak dapat diinokulasi pada telur ayam bertunas 
Chorio Allantoic Membrane (CAM) sedang virus cacar dapat tumbuh pada 
media tersebut.
5.  Pengambilan Dan Pengiriman Spesimen
     Bahan pemeriksaan berupa keropeng kulit disertai jaringan di bawahnya, 
disimpan dalam transport media (Gleserin Saline ana) untuk pemeriksaan 
virologik dan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan histopatologik.

pengobatan : 
1.  Pengobatan
     Hewan terjangkit penyakit dapat diberi antibiotika berspektrum luas 
untuk mencegah infeksi sekunder. Disamping itu dapat diberikan multivitamin 
untuk memperbaiki kondisi tubuh sedangkan kulit yang terinfeks diberikan 
pengobatan lokal dengan jodium tincture.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
     Untuk pencegahan penyakit Orf dapat diberikan autovaksin untuk daerah 
endemik. Vaksin ini dibuat dari keropeng kulit hewan yang menderita yang 
disuspensi menjadi 1% dalam 50% gliserin saline. Vaksinasi diberikan dengan 
cara pencacaran kulit pada daerah sebelah dalam paha, atau disekitar leher 
untuk hewan dewasa. Anak domba/kambing biasanya divaksin pada umur 1 
bulan dan diulang pada umur 2-3 bulan, sehingga akan diperoleh kekebalan 
yang optimal. Pada daerah yang belum pernah terjangkit tidak dianjurkan 
mengadakan vaksinasi Orf. Untuk pengendalian penyakit maka hewan yang 
menunjukan gejala segera diasingkan sehingga perluasan penyakit dapat 
dibatasi. Disamping itu kandang yang tertular sebaiknya tidak dipakai dalam 
waktu cukup lama atau difumigasi sebelum dipakai kembali. Pada daerah 
tertular segera diberi vaksinasi massal dan hewan yang mati akibat penyakit 
segera dibakar atau dikubur dalam-dalam.

PORCINE REPRODUCTIVE AND RESPRATORY SYNDROME
Sinonim. Porcine Epidemic Abortion and Respiratory Syndrome Swine Infertility 
and Respiratory Syndrome atau penyakit Misted
  
Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) yaitu penyakit 
menular pada babi berumur muda, ditandai dengan kelainan reproduksi dan 
pernafasan.
Penyakit ini memicu kerugian ekonomi cukup besar karena tingkat 
morbiditas dan mortalitas tinggi, biaya yang dikeluarkan untuk investigasi atau 
pengamatan penyakit, mengembangkan peralatan dan reagen diagnostik, 
produksi vaksin dan biaya oprasional pengendalian penyakit sangat mahal, 
disamping itu hilangnya devisa negara akibat larangan ekspor.
etiologi 
Penyakit ini dipicu oleh virus PRRS. Virus PRRS dimasukkan kedalam 
genus Asterivirus dari family Togaviridae. Virus ini masuk dalam  satu grup 
dengan Lactate dehydogenase elevating virus, equine arteritis virus dan simasn 
hemeorrhagic fever virus.
Virus tersusun atas RNA, terdiri dari 4 struktur protein yang masing-masing 
mempunyai berat molekul 15, 19, 23 dan 26 kD (nelson et al, 1993). Fungsi 
protein ini tidak secara lengkap diketahui, belakangan diketahui bahwa protein 15 
kD yaitu protein nukleo-kapsid, sedangkan protein 19 dan 26 kD dianggap 
sebagai komponen amplop virus. Peranan imonologis dari protein tersebut juga 
tidak diketahui, para peneliti menduga bahwa protein 26 kD berperanan dalam 
menginduksi antibodi terhadap virus PRRS, sedangkan hasil penelitiannya 
menyatakan bahwa protein 15 kD yaitu  protein yang bersifat imunogenik. 
Bentuk virus bundar dan beramplop.
Ada beberapa strain virus yang diketahui seperti strain PRRSV, VR-2332, Hesse 
dan NADC-9. Strain Hesse yaitu strain yang ganas dan strain VR-2332 
dikenal sebagai virus yang paling potensial memicu penyakit reproduksi 
dan respirasi pada babi. Diantara strain virus ada perbedaan antigenik, 
seperti strain virus PRRS Amerika Serikat dan Eropa yang dapat diperlihatkan 
dengan memakai panel 3 antibodi monoklonal spesifi k untuk protein 15 kD 
dari virus. 
epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus PRRS hanya dapat ditumbuhkan secara in vitro pada biakan sel, 
akan tetapi sampai saat ini ada beberapa biakan sel lestari yang peka seperti 
CL 2621 dan makrofag alveoler paru. 
2.  Spesies rentan
     Penyakit ini terutama menyerang ternak babi semua umur, akan tetapi 
yang paling banyak terserang yaitu  yang berumur muda. 
3.  Pengaruh Lingkungan
     Tidak diketahui dengan pasti apakah ada pengaruh musim terhadap kejadian 
PRRS. Umumnya saat melahirkan terjadi stres sehingga  kemungkinan 
terinfeksi virus PRRS sangat besar. Faktor lingkungan kandang yang kotor 
karena sistem peternakan tradisional dan lalu lintas ternak yang bebas 
kemungkinan berpengaruh terhadap penyebaran penyakit.
4.  Sifat Penyakit
     Dilaporkan kasus klinis PRRS di Provinsi Sumatera Utara dan Nusa 
Tenggara Timur.
5.   Cara Penularan
     Penyakit ditularkan melalui pernafasan, udara tercemar paling potensial 
menyebarkan virus, disamping itu juga melalui semen pada saat kawin alam 
atau inseminasi buatan.

6.  Patogenesis
     Patogenesis dari virus PRRS tidak diketahui dengan lengkap. Namun 
diketahui bahwa penyakit ini dapat bersifat imunosupresif karena babi-
babi yang terserang PRRS terjadi pula peningkatan kejadian penyakit, 
seperti penyakit yang dipicu oleh bakteri haemophilus parasui, 
Streptococcus suis, Salmonella spp, pasteurella multocida atau Actinobacillus 
pleuropneumoniae.  Demikian pula infeksi yang terus menerus dari PRRS 
dan Streptococcus suis akan meningkatkan mortalitas,  serta meningkatkan 
kejadian Porcine respiratory coronavirus, Infl uenza virus HL NL dan 
Paramyxovirus.
7.  Distribusi Penyakit
     Penyakit ini pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1987, 
sesudah  itu dilaporkan di Kanada, Inggris, Eropa, Asia Tenggara, Malta dan 
Siprus.  
     Secara klinis ditemukan di Kab. Siborong-borong, Sumatera Utara tahun 
2007/2008 dan secara serologis PRRS tersebar di beberapa daerah, seperti 
Sumatera Utara  dan Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Kupang). 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Babi-babi terserang ditandai dengan gejala demam, nafsu makan 
menurun, lesu, sesak nafas, kulit bercak kebiruan.  Tingkat kebuntingan 
rendah, babi bunting ditandai dengan keguguran, fetus lahir mati, mumifi kasi, 
fetus anak yang dilahirkan dalam keadaan lemah, anak sedang menyusui 
kematiannya tinggi dan gejala pernafasan yang berat. Gejala pernafasan ini 
dapat berlangsung dalam beberapa bulan.

2.  Patologi
     Perubahan patologi yang paling menonjol yaitu  pada paru, kelenjar 
limfe dan otak. Pada paru yang terserang yaitu  lobus depan, tengah dan 
aksesoris serta bagian ventromedial dari lobus belakang, ditandai dengan 
pneumonia. Kelenjar limfe, membesar 3-10 kali lipat dari ukuran normal dan 
edema. 
     Perubahan histopatologi dari jaringan terserang berupa rinitis 
limfohistiositik multifokal pada hidung, silia jumlahnya berkurang dan epitel 
turbinatus membengkak dan berongga. Jumlah leukosit meningkat di dalam 
epitel turbinatus dan di submukosa ada peradangan limfohistiositik dan 
supuratif ringan serta edema. Paru mengalami hiperplasia dan hipertrofi 
diikuti dengan penebalan septa alveoli oleh sel mononuklear. Eksudat alveoli 
berisi makrofag, debris nekrotik dan sel multinuklear.   
     Jaringan  limfoid pada kelenjar limfe mengalami hiperplasia dan 
nekrosa fokal. Folikel diinfi ltrasi oleh limfoblas dan makrofag, sel piknosis 
dan nekrose dapat ditemukan di dalam folikel. Area perifolikuler diinfi ltrasi 
oleh beragam tipe sel mononuklear. Pada otak ditemukan adanya ensefalitis 
yang ditandai dengan gliosis dan perivascular cuffi ng yang terdiri dari histiosit 
dengan derajat keparahan dari ringan, sedang sampai parah. Pada jantung 
ditemukan miokarditis yang ditandai dengan limfoplasmositik multifokal dan 
histiosit terutama di endokardium dan sekitar pembuluh darah.
3.  Diagnosa
     Penyakit dapat didiagnosa berdasar  data epidemiologi, gejala 
klinis, patologis, isolasi dan identifi kasi virus. Virus dapat disolasi secara 
in vitro pada biakan sel, selanjutnya virus diidentifi kasi dengan fl ourescent 
antibody technique (FAT) sedangkan antibodi dapat dideteksi dengan 
berbagai uji serologis seperti FAT tak langsung (IFA), serum netralisasi (SN), 
immunoperoxidase (IP)dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). 
Uji IFA dan IP yaitu uji yang sangat spesifi k dan peka, antibodi dapat 
dideteksi dengan kedua uji ini dalam waktu 7 dan 15 hari sesudah  infeksi. 
Kedua uji tetap memberikan hasil yang tepat sebagai alat deteksi antibodi 
selama 2-3 bulan sesudah  infeksi, akan tetapi akan segera menurun sesudah  
3-6 bulan infeksi.  ELISA juga dianggap uji yang spesifi k dan peka.  Demikian 
juga SN yaitu uji yang spesifi k, akan tetapi sebelumnya diduga 
bahwa SN kurang peka dibandingkan IFA dan IP  Kepekaan uji SN dapat 
ditingkatkan dengan penambahan serum babi normal pada serum yang akan 
diuji. Belakangan telah dikembangkan uji yang lebih maju seperti Western 
immunoblotting untuk deteksi protein virus, dengan uji ini dapat mendeteksi 
protein virus 15 kD dalam waktu 7 hari pasca infeksi dan persistan selama 
105 hari.  Reserve Transciption dan Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) 
dapat mengamplifi kasi DNA virus, sedangkan in situ hibridization non 
radioaktif yang dapat mendeteksi lokasi virus di dalam sel dan jaringan yang 
telah difi ksasi serta dapat membedakan strain virus.  

4.  Diagnosa Banding
     Penyakit ini mempunyai gejala klinis dan perubahan patologis yang 
mirip dengan beberapa penyakit seperti Hog Cholera, streptokokosis atau 
Haemorrhagic Septicemia.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
     Pengambilan spesimen ditujukan untuk isolasi dan pemeriksaan 
histopatologis. Spesimen untuk isolasi diambil jaringan paru, limpa dan 
kelenjar limfe lalu dimasukan kedalam botol berisi media tranpor 
gliserin fosfat bufer 50% atau media Hank’s yang mengandung antibiotika. 
Untuk pemeriksaan histopatologis diambil semua jaringan dan difi ksasi 
dengan formalin bufer 10%.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
     Belum ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan 
a.   Pelaporan
            jika ada kasus PRRS segera dilaporkan kepada Dinas Peternakan 
atau BPPV setempat dan tembusannya dikirimkan kepada Direktorat 
Kesehatan Hewan.
b.   Pencegahan
 
            Babi yang sakit segera dipisah, sebaiknya dipotong bersyarat dan 
babi yang mati harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur 
yang dalam. Kandang tercemar didesinfeksi dengan formalin 2-5% 
atau NaOH 2%. Di daerah yang enzootik PRRS dilakukan vaksinasi, 
sedangkan daerah bebas dilarang memasukkan hewan dari daerah 
tertular. Tindakan karantina yang ketat dan pemeriksaan laboratorium 
dilakukan dengan teliti.
c.   Pengendalian dan Pemberantasan
            Vaksinasi dilakukan pada daerah sekitar kasus (ring vaccination) 
dengan radius 10 km dan melakukan sistem pemusnahan (stamping out) 
di daerah yang bebas penyakit. Vaksinasi terhadap babi-babi yang sehat 
dapat dilakukan memakai vaksin aktif (live vaccine) atau inaktif 
(killed vaccine).

            Hewan yang sakit tidak dianjurkan untuk dipotong, kalaupun dipotong 
untuk dikonsumsi harus dibawah pengawasan Dokter Hewan atau 
petugas yang berwenang. 


PSEUDO RABIES
Sinonim: Penyakit Adujeszky’s, Infectious Bulbar Paralysis atau Maditch.
  
Pseudorabies yaitu penyakit menular bersifat akut yang dapat memicu  
gejala syaraf, respirasi dan gangguan reproduksi pada babi.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan cukup besar karena mortalitas tinggi, 
turunnya berat badan dan gangguan reproduksi. Disamping itu menurunkan 
devisa negara atau daerah akibat larangan ekspor atau lalu lintas ternak dan 
hasil olahannya antar pulau.
etiologi 
1.  Agen Penyebab
     Penyakit ini dipicu oleh Alphaherpesvirus dari famili Herpesviridae. 
Ada beberapa strain diketahui seperti strain bartha (PRV-Ba) dan Ka (PRV-
Ka). Materi genetik virus tersusun atas DNA beruntai ganda double stranded 
dioxyribonucleic Acid (ds-DNA) dengan berat molekul 70 x 106, dalton. 
Asam inti (DNA) ini dilapisi oleh lapisan protein pelindung yang disebut dan 
keduanya bersama- sama disebut bucleocapsid. Capsid tersebut terdiri dari 
162 sub unit protein (capsomere), sedangkan nukleokapsid mempunyai 
diameter 105 nm. Di sebelah luar dari nukleokapsid ada lapisan protein 
sebagai amplop. Bentuk virus yaitu  ikosahedral dan viriori yang lengkap 
berukuran 150 nm. 
2.  Patogenesis
     Patogenesis virus ini tidak diketahui secara jelas. Virus bersifat neurotropik 
yang dapat menyebar dari tempat replikasi virus di bagian perifer lalu 
menyebar ke sistem syaraf pusat lewat penularan axonal dan hematogenous 
menghasilkan trigeminal ganglionitis non supuratif dan meningoencefalitis. 
Kemungkinan alur penyebaran virus dimulai dari gigitan pada kulit di daerah 
telinga lalu langsung masuk Central Nervous System (CNS) melalui 
oronasal. Virus lalu menginfeksi syaraf trigeminalis dan langsung 
menyebar ke CNS melalui traktus gastrointestinal, pleksus mesenterik 
lalu ke batang spinal melalui syaraf aotonom lalu ke CNS lewat 
syaraf sensoris. 
     Babi yang terinfeksi virus Pseudorabies akan menderita pneumonia 
sebagai akibat infeksi sekunder oleh Actinobacillus pleuropneumonia, 
Pasteurella multocida atau kemungkinan Salmonella cholearsuis. Pneumonia 
tersebut terjadi akibat kegagalan fungsi imun sel mediasi spesifi k oleh virus
epidemiologi 
1.  Sifat Alami Agen
     Virus tahan terhadap panas, kondisi alkali dan asam. Virus juga tahan 
berminggu- minggu pada suhu 20-25°C dan bahkan pada suhu 36°C akan 
hidup selama 4 minggu sebelum daya infeksinya hilang. Virus dalam jerami 
dan pakan lebih dari 10 hari pada suhu 24°C dan lebih tahan 46 hari pada 
suhu dingin. Pada suhu 1°C tahan berbulan-bulan. Selanjutnya pada suhu 
-20°C virus menjadi kurang stabil dibandingkan pada suhu 4°C, tetapi masih 
tetap hidup selama berbulan-bulan. Pada suhu -40°C virus tersebut dapat 
disimpan bertahun tahun tanpa kehilangan daya infeksinya. Namun virus 
cepat nonaktif pada suhu panas, sinar ultraviolet dan sinar gamma.  Virus 
non aktif pada suhu 56°C selama 15 menit, 70°C selama 5 menit, 80°C 
selama 3 menit dan 100°C selama 1 menit.  
     Virus PR tetap stabil terhadap pH asam dan alkali. Antara ph 5,0 dan 
13.0 kemampuan infeksinya sebagian besar masih terpelihara, bahkan dalam 
keadaan sangat asampun (pH 2,0) atau alkali (pH 14,0) masih diperlukan 
waktu beberapa jam sebelum virus tersebut menjadi nonaktif.
     Virus sangat peka terhadap pelarut lemak. seperti ether dan khloroform 
demikian pula hidrokarbon-fl our dan deterjen. Bahan-bahan kimia ini sangat 
merusak struktur virus dalam beberapa menit dan akan memicu 
dekomposisi partikelnya. Penggunaan formalin 3% sebagai larutan desifektan 
akan membunuh virus dalam waktu 3 jam. Klorin sangat efektif. Larutan 
kloramin 3% membuat virus nonaktif dalam 10 menit, larutan 1 % dalam 
waktu 30 menit. Larutan Na-hipoklorit juga sangat efektif untuk menonaktifkan 
virus. Basa bervalensi empat (quarterly ammonium) juga efektif. Berbagai 
desifektan untuk penyakit ini ialah CaCI2, CaCI2 yang larutan dalam air, 
kloramin, dan zat-zat yang mengandung minimum 1 % formaldehida aktif. 
     Virus dapat ditumbuhkan secara in vivo pada telur ayam berembrio dan 
in vitro pada biakan sel. Pada telur ayam berembrio, virus dapat tumbuh 
dan membentuk pock pada selaput korio-alantois sesudah  4 hari pasca 
infeksi, sedangkan secara in vitro virus dapat tumbuh pada berbagai biakan 
sel seperti sel ginjal dan paru kelinci, BHK21, ginjal babi (PK-15), sel Vero, 
paru fetus kambing, turbinatus sapi dan sel ginjal embrio kalkun.  Diantara 
sel tersebut yang paling sering dipakai untuk isolasi virus yaitu  sel 
turbinatus (BT) dan sel ginjal babi (PK 15) yang dianggap sama dengan uji 
pada hewan percobaan.  Namun yang paling peka yaitu  sel ginjal babi (PK-
15) ditandai dengan CPE lebih awal dibandingkan pada sel turbinatus. Virus 
yang replikasi pada biakan sel mamalia menghasilkan badan inklusi tipe A 
Cowdry di dalam inti sel. selain itu ditemukan sel raksasa.
2.  Pengaruh Lingkungan
     Pengaruh lingkungan alam bebas dapat menonaktifkan virus. Dalam 
lumpur, virus dapat hidup selama 3-4 bulan di musim dingin dan sekitar 1 
bulan di musim panas. Dalam feses hewan yang padat  virus menjadi nonaktif 
dalam 8-15 hari di musim dingin dan dalam 8-10 hari di musim panas. Dalam 
tanah penelitian virus ditemukan hidup selama 33 hari pada suhu 4° C. tetapi 
sesudah  14 hari sampel sudah menjadi negatif. Dalam bahan pakan, virus 
dapat hidup selama 15 hari di musim panas dan 40 hari di musim dingin. 
Virus yang dikeringkan dalam karung dan kayu dapat hidup selama 10-15 
hari di musim panas.
 
3.  Kejadian di negara kita 
     Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Aujeszky pada tahun 1902 
di Hungaria dan berhasil dibedakan dengan rabies yang lalu diberi 
nama penyakit Aujeszky. Pada tahun 1913 di Amerika Serikat dilaporkan 
pula penyakit yang ada hubungannya dengan Aujeszky dengan gejala klinis 
mirip dengan rabies. maka penyakit tersebut diberi nama pseudorabies. 
Perkembangan selanjutnya penyakit telah tersebar di Denmark Swedia, 
Belgia, Belanda, Yugoslavia, Yunani, Rusia, Amerika Serikat, Meksiko, Kuba, 
Brazil, Venezuela, Argentina, Iran, China, New Zealand,  Maroko,  Aljazair 
Tunisia, Turki, Uni Soviet, Cina, Vietnam, Singapura,  Malaysia dan  Selandia 
Baru. 
      Di negara kita  penyakit ini mulai ditemukan pada tahun 1999 dan tersebar 
di beberapa daerah. Secara serologis ditemukan di Nusa Tenggara Timur 
yaitu di kabupaten Belu, Timur Tengah Utara dan Timur Tengah Selatan. 
4.  Spesies rentan
     Hewan yang paling peka yaitu  babi.  Kasus sporadis dapat terjadi 
pada sapi. domba, kambing, anjing dan kucing. Hewan liar seperti serigala 
kutub, serigala perak, rusa liar, landak, beruang kutub, harimau totol, anjing 
laut,  kelinci liar, luak,  kuskus, musang, berang-berang dan tikus.   Berbagai 
hewan percobaan, seperti kuda, rusa (Odocoileus virginianus). serigala 
merah (Vulpes fulva),  macaca (Macaca mulatta),  kelinci (Sylvilagus 
fl oridanus), cavia,  tikus, merpati,  angsa, itik (Anas platyrhynchos), kalkun, 
burung merpati dan  kelelawar.
5.  Cara Penularan
     Penyakit ini ditularkan secara langsung dari babi yang sakit kepada babi 
yang sehat dan persisten dalam suatu populasi.  Virus dapat dikeluarkan 
melalui sekresi mulut dan hidung dan lewat udara. Babi terinfeksi kronis selama 
lebih dari 1 tahun atau bersifat laten yang sewaktu-waktu mengeluarkan 
virus jika hewan dalam keadaan stres, biasanya pada waktu melahirkan. 
Kebanyakan wabah terjadi sebagai akibat masuknya babi tertular ke suatu 
kelompok babi yang peka. Penularan virus dari suatu kandang ke kandang 
lainnya dapat terjadi. Peranan vektor mekanis dalam penularan penyakit ini 
sangat besar. Anjing, kucing, dan hewan karnivora lainnya serta tikus dapat 
terinfeksi akibat makan organ atau bangkai hewan atau limbah tercemar 
virus PR. 
     Penyakit dapat bersifat endemik. Tingkat mortalitas pada babi berkisar 
antara  20-100% terutama anak babi yang berumur kurang dari 2 minggu. 
Anak babi yang baru disapih, tingkat mortalitas antara 5-10%.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Gejala klinis yang muncul dapat berupa  gatal, menjilat, hewan tidak 
mampu berdiri, sangat lemah sampai akhirnya konvulsi. Akibat paralisis 
faring, mulut berbuih dan kematian dapat terjadi dalam waktu 2 hari sesudah  
gejala klinis muncul. 

2.  Patologi
     Mukosa hidung dan faring mengalami kongesti dan disertai dengan nanah. 
Tonsil sering ditemukan kongesti dan edema. Selaput otak (meningen) 
mengalami kongesti dan di bawah selaput otak ada cairan cerebrospinal. 
Kelenjar limfe mengalami kongesti dan ada perdarahan ptekie. ada 
perdarahan ptekie pada papilla dan kortex ginjal. ada nekrosis fokal 
berwarna putih kekuningan. Paru mengalami konsolidasi, edema dan 
kongesti.
     Perubahan histopatologis dapat ditemukan pada otak antara lain 
berupa meningo-encephalomyelitis dan ganglioneuritis non supuratif yang 
menyebar. Lesi ini ditandai dengan perivaskular cuffi ng dan gliosis fokal yang 
ada hubungannya dengan nekrosis glial dan neuronal yang meluas.  Badan 
inklusi Cowdry tipe A dapat ditemukan didalam inti sel glia. 
     ada pusat nekrosis pada hati, inti sel piknosis dan ditemukan 
badan inklusi di daerah nekrosis. Paru mengalami edema dan pneumonia 
intertisial.
     Villi usus halus mengalami atrofi  dan nekrosis neuronal di dalam 
Auerbach dan pleksus Meissner’s lambung, usus halus dan usus besar. Inti 
dari neuron yang mengalami degenerasi biasanya basofi lik dan karyorexis 
dan mengandung beberapa badan inklusi di dalam inti sel.
     Pada jaringan di bawah kulit ada sejumlah kecil jaringan nekrosa 
bersifat fokal diikuti dengan arteritis dan degenerasi epitel dari kelenjar 
seruminus. Beberapa sel mengalami balloning degeneration, nekrosis sel 
epitel dan badan inklusi di dalam inti sel yang dapat ditemukan di dalam 
stratum spinosum dari kulit telinga dan pinggul.

3.  Diagnosa
     Penyakit dapat didiagnosa berdasar  data epidemiologi, gejala klinis, 
isolasi dan identifi kasi virus. berdasar  pengamatan epidemiologi, yaitu 
tingkat mortalitas yang tinggi dan menyerang kelompok anak-anak babi sedang 
menyusui dapat dipakai sebagai indikasi pseudorabies. Selanjutnya 
gejala klinis dan perubahan patologis akan memperkuat dugaan penyakit 
tersebut. Namun diagnosa yang paling pasti yaitu  berdasar  isolasi dan 
identifi kasi agen penyebab. Isolasi virus dilakukan pada biakan sel,  biasanya 
memerlukan waktu 2-5 hari tergantung terbentuknya efek sitopatik pada sel 
lalu identifi kasi dengan VN, FAT, AGP, CFT  dan immunoperoxidase. 
Antigen di dalam berbagai jaringan seperti otak, hati. paru-paru, kelenjar 
edrenal, tonsil fokal nekrotik subepitel dan sel epitel kulit dan folikel limfoid 
usus terutama di peyer’s patches dan sel sel neuron dari fl exus Auerbach,s 
dan Meissner.s dapat dideteksi dengan teknik imunohistokimia, sedangkan 
jumlah DNA dalam syaraf terutama ganglia trigeminal dapat dideteksi dengan 
PCR, atau dengan teknik DNA hybridization dot-blot assay. Antibodi dari babi 
yang divaksinasi dan yang terinfeksi dapat dideteksi dengan ELISA.  
4.  Diagnosa Banding
     Pada babi ada beberapa penyakit memiliki gejala yang mirip dengan 
pseudorabies seperti penyakit teschen, hog cholera, heamagglutinating 
encephalomyelitis, streptokokosis. hipoglikema. keracunan arsen dan garam. 
Sedangkan pada hewan lain sangat mirip dengan rabies dan scrapie pada 
kambing dan domba.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
     Spesimen untuk isolasi virus diambil swab tonsil memakai dacron-
tipped aplicator yang mengandung medium Eagle’s minimum esensial. Yang 
paling baik yaitu  jaringan tonsil. otak, medulla, paru-paru dan plasenta. 
Sepesiman dimasukan kedalam botol yang berisi media tranpor gliserin fosfat 
buffer 50% atau media Hank’s mengandung antibotika. Untuk pemeriksaan 
histopatologis diambil jaringan yang lengkap dan difi ksasi dengan formalin 
buffer 10%. Spesimen dikirim kelaboratorium disertai surat pengantar 
spesimen.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
     Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Babi-babi yang 
sudah memperlihatkan gejala klinis deberi serum hiperimun atau preparat 
imunoglobulin.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan 
a.   Pelaporan
            Setiap ada kasus pseudorabies segera dilaporkan kepada Dinas 
Peternakan setempat yang tembusannya dikirim kepada Direktorat 
jenderal Kesehatan hewan di Jakarta untuk dilakukan tindakan 
sementara.
b.   Pencegahan
             Larangan impor hewan dari tertular. Karantina yang ketat. Vaksinasi 
dengan killed vaksin untuk daerah enzootik. Babi-babi yang memiliki 
antibodi maternal masing-masing kelompok disuntik dengan muatan 
virus PR melalui intradermal, intranasal dan intramuskuler, ternyata 
memberikan kekebalan dan aman karena tidak ada babi yang menunjukan 
gejala klinis. Namun tidak kebal terhadap tantangan virus PV ganas.
            Tindakan yang paling efektif yaitu  melakukan vaksinasi dengan 
memakai vaksin aktif atau hidup (live vaccine) dan vaksin inaktif 
atau mati (killed vaccine).
            Vaksin aktif  dan Vaksin inaktif telah dipakai untuk vaksinasi anak 
babi umur 8 dan 12 minggu.  Anak-anak babi yang divaksinasi DEAE 
dextran memiliki antibodi maternal sampai 4 minggu.  Vaksin PRV inaktif 
memberikan kekebalan dan tidak ada faktor resiko. Vaksinasi dilakukan 
2 kali selang 4 minggu untuk mengembangkan kekebalan optimum 
selama 5-6 bulan.

c.   Pengendalian dan Pemberantasan
            Dilakukan tindakan pemotongan atau stamping out dan tindakan 
kepolisian. 
            Hewan yang sakit dilarang untuk dipotong dan harus dimusnahkan 
dengan cara dibakar atau dikubur yang dalam.


RABIES
Sinonim : Penyakit Anjing Gila, Tollwut. Lyssa. Rage, Hydrophobia
  
Penyakit rabies yaitu salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang 
susunan syaraf pusat.  Rabies masih dianggap penyakit penting di negara kita  
karena bersifat fatal dan dapat memicu  kematian serta berdampak psikologis 
bagi orang yang terpapar.  Virus rabies dapat menyerang semua hewan berdarah 
panas dan manusia. 
Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara 
dan bahkan bersifat endemik di 72 negara.  Pada hewan penderita penyakit ini 
biasanya ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air Iiurnya, oleh sebab 
itu penularan penyakit pada umumnya melalui suatu gigitan. Kejadian penyakit 
rabies pada hewan maupun manusia hampir selalu diakhiri dengan kematian 
sehingga akibatnya penyakit ini memicu  rasa takut dan kekhawatiran serta 
keresahan bagi masyarakat.  Infeksi pada hewan anjing dan kucing ditandai 
dengan mencari tempat yang dingin, hydrophobia diikuti dengan sikap curiga 
dan menyerang apa saja yang ada di sekitarnya, paralisa dan mati.
etiologi 
Penyebab penyakit Encephallis Rabies yaitu  virus yang tergolong dalam Lyssa 
virus dan famili Rhabdoviridae. Morfologi partikel virus berbentuk seperti peluru 
dengan diameter 75 µm dan panjangnya antara 100-300 µm,  Variasi ukuran ini 
bisa dibedakan diantara strain virus rabies. Struktur virus tersusun dari envelop 
yang terdiri dari matrix/membran dan glycoprotein.  
Gambar 1 menunjukkan struktur dari virus rabies. Genome virus rabies berupa 
Ribonucleic acid (RNA) single-stranded, antisense, tidak bersegmen, dengan 
berat molekul 12 kb yang terdiri dari 50 nucleotides beserta gen nucleoprotein 
(N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G) dan  the large protein 
(L). Gambar 2 menunjukkan  genome dari virus rabies.

Siklus infeksi dan replikasi virus rabies ke membran sel induk semang terjadi 
melalui beberapa tahapan yaitu  adsorpsi (perlekatan virus), penetrasi (virus 
entry), pelepasan mantel (uncoating/envelope removal), transkripsi (sinthesis 
mRNA), translasi (sintesis protein), processing (G-protein gikoslasi), replikasi 
(produksi genomic RNA dari intermediate strand), perakitan (assembly) dan 
budding seperti tampak pada Gambar 3.

Sifat Fisika Kimia
Virus dalam jaringan yang tertulari bila disimpan pada glyserin yang tidak 
diencerkan virus akan tahan beberapa minggu dan bisa tahan berbulan-bulan 
pada suhu 4°C. Di dalam suspensi kurang dan 10 % virus akan cepat mati kecuali 
ditambahkan protein (2% serum Cavia/Kelinci atau 0,75% serum Albumin sapi) 
Untuk menjaga kelangsungan hidup dalam suspensi sebaiknya disimpan suhu 
pada -70°C Pada pH 5-10 virus relatif stabil tetapi virus mudah mati oleh sinar 
matahari, pemanasan pasteur (56°C. 30 menit),  terkena cahaya ultra violet dan 
HgCI.  Keadaan asam (<pH 4) dan basa (>pH 10) dan oleh zat pelarut lemak 
seperti ether. khloroform. aceton, larutan sabun. etanol 45 - 70%, preparat Iodine 
dan komponen ammonium kuartener. Virus mudah diaktivasi oleh β-propiolaktone 
dan dalam fenol 0,25 - 0.5°-% virus masih resisten dan memerlukan beberapa 
hari sampai menjadai inaktif sempurna.
Sifat Biologis
Genus Lyssavirus dapat dibedakan atas 4 tipe:
Tipe  1,  Sebagai protipe yaitu  Challenge Virus Standar (CVS ) , tipe ini paling 
sering ditemui serta paling diketahui sifatnya. termasuk dalam tipe ini 
yaitu  strain Street virus yang biasa dipakai pada laboratonum di 
seluruh dunia. Street virus yaitu virus yang banyak ditemui di 
alam. masa inkubasi dan patogenitasnya pada hewan percobaaan tidak 
tetap dan bervariasi.  Jika street virus difasase terus menerus pada 
suatu spesies maka masa inkubasi dan patogenitasnya pada hewan 
percobaan akan lebih baik dan stabil.
Tipe  2,  Sebagai prototipenya yaitu  strain Kelelawar Lagos (Lagos Bat). Virus 
ini diisolasi dari kumpulan otak kelelawar Frugivorous.
Tipe  3,  Sebagai prototipenya yaitu  strain Mokola, yang diisolasi dari tikus dan 
manusia. Prototipe lain dari tipe tiga ini yaitu  serogrup Duvenhage, 
Kotonkan dan Obhodiang.
Tipe  4,  Merupakan serogrup virus rabies yang belum banyak diketahui dan tipe 
ini belum banyak diisolasi dari mamalia. tapi pernah diisolasi dari nyamuk 
Colicoides sp dan nyamuk Mansonia sp.  Dari pemeriksaan serum sapi 
di Nigeria ternyata banyak serum yang rnengandung zat kebal terhadap 
virus rabies tipe ini.
Virus yang baru diisolasi dari alam. dari kasus gigitan hewan disebut dengan 
“street virus”. Strain demikian rnemperlihatkan masa inkubasi yang panjang 
dari variable yang secara teratur menghasilkan inclusion body intra sitoplasmik. 
Street virus yang mengalami pasase berulang-ulang kali akan menghasilkan 
virus yang tetap (fi xed virus). Fixed virus berkembang biak cepat sekali dan 
masa inkubasinya menjadi lebih pendek. Pada tahap ini inclusion body sering 
sulit ditemukan. Contoh fi xed virus atau strain yang telah mengalami modifi kasi 
antara lain: Street-Alabama-Dufferia (S A P), Evelyn Roliteriki Abilseth (E R A), 
Challence Virus Standard (C V S), Low Egg Passage (L E P) dan H E P (High 
Egg Passage). Fixed virus dapat tumbuh secara invitro pada berbagai sel antara 
lain pada Baby Hamster Kidney (BHK-21), Chick embryo Related (CER), neuro 
blastoma dan Human Diploid Cell.
epidemiologi 
1.  Distribusi Penyakit
     Penyebaran penyakit rabies di luar negeri
     Penyakit rabies telah ada tercatat sejak berabad-abad lampau yaitu di 
kitab Mosaic Esthnuna Code yaitu pada raja Hamurabi di kerajaan Babylonia 
dan juga di kerajaan lain di Timur Tengah dan Yunani. Penyebaran penyakit 
hampir ada di seluruh dunia, tidak saja pada negara maju. Bukan saja di 
daerah tropis melainkan juga di daerah subtropis dan negara beriklim dingin. 
Selain itu, di negara-negara berkembang di Asia. Afrika, Amerika Selatan, 
Amerika Tengah dan Amerika Utara serta beberapa negara di Eropa masih 
banyak ditemukan penyakit rabies. Menurut data World Health Organization 
(WHO) pada tahun 1988, rabies telah tersebar di 92 negara dan bahkan 
bersifat endemik di 72 negara.  
     Kejadian di negara kita 
     Kejadian pertama kali dilaporkan oleh ESSER tahun 1889 pada seekor 
kerbau. Sejak saat tersebut kasus rabies dilaporkan dari beberapa daerah 
lainnya. Pada tahun 1894 de HANN melaporkan kejadian rabies pada 
manusia. Tahun demi tahun daerah abies terus meluas. 
     Selama pendudukan Jepang daerah tertular rabies tidak diketahui 
dengan pasti namun sesudah  perang dunia kedua peta daerah rabies di 
negara kita  berubah secara kronologis sebagai berikut: Jawa Barat,1948, 
Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur 1953, Sumatera Utara 1956, 
Sulsel dan Sulut 1958, Sumsel 1959, Aceh 1970, Jambi dan Yogyakarta 1971, 
Bengkulu. DKI-Jaya dan Sulteng 1972, Kaltim 1974, Riau1975. Kalteng 1979 
dan terakhir NTT 1999.
     Sampai tahun 2005 daerah bebas Rabies di negara kita  hanya meliputi 
Jawa, Bali, NTB dan Papua.  Namun lalu pada tahun 2005 sampai 
sekarang Jawa Barat lalu terjadi wabah sporadis di beberapa kota dan 
berdasar  Keputusan Menteri Pertanian  Nomor 1637.1, 1 Desember 2008 
maka Bali dinyatakan terjangkit wabah rabies dan KepMentan Nomor 1696, 
tanggal 12 Desember 2008 menetapkan Propoinsi Bali sebagai Kawasan 
Karantina Penyakit anjing gila/rabies.    
                                                     

2.  Spesies Rentan
     Semua hewan berdarah panas termasuk manusia rentan terhadap 
rabies. Di negara kita  hewan rentan terhadap rabies yang pernah dilaporkan 
yaitu  pada kerbau, kuda, kucing, leopard, musang, meong congkok, sapi 
dan  kambing. Hewan tersebut yaitu  hewan piaraan kecuali musang. 
Kelelawar dan tikus liar dapat diinfeksi virus  secara buatan di laboratorium 
dan kasus pada tikus liar pernah ditemukan di BPPH (sekarang BPPV) 
Bukittinggi 1991. Statistik menunjukan bahwa penyebar rabies yang utama 
yaitu  anjing (92%), kucing (6%) dan kera (3%).
3.  Cara Penularan
     Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata rata sekitar 2 minggu tetapi 
dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari-8 minggu dan pada manusia 2-3 
minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun,  tergantung pada:
a.   Jumlah virus yang masuk melalui luka
b.   Dalam atau tidaknya luka
c.    Luka tunggal atau banyak
d.   Dekat atau tidaknya luka dengan susunan syaraf pusat
e.   Perlakuan luka pasca gigitan
     Pada hewan percobaan virus masih dapat ditemukan di tempat suntikan 
selama 14 hari. Virus menuju ke susunan syaraf pusat melalui syaraf perifer 
lalu virus berkembang biak di sel syaraf terutama pada hypocampus 
dan sel Purkinje dan kelenjar ludah.
     Pada anjing 3-5 hari sebelum gejala klinis terlihat, kelenjar ludah telah 
mengandung virus dan akan terus infektif selama hewan sakit. Virus ditularkan 
terutama melalui luka gigitan, oleh karena itu bangsa karnivora yaitu  hewan 
utama penyebar rabies antar hewan atau ke manusia (Gambar 4 dan 5).

4.  Faktor Predisposisi
     Beberapa fakta tentang peran anjing  berikut ini yaitu faktor resiko 
yang ikut berperan dalam penularan rabies: 
a.   Sejak turun temurun anjing dipelihara sebagai hewan kesayangan.
b.   Anjing dapat dijadikan sebagai penjaga kebun/ladang dan  kandang 
ternak (ekstensif/diliarkan).
c.    Sebagai penolak bala, dibawa nelayan tradisional (lalu lintas anjing 
sangat sulit diawasi)
d.   Daerah pedesaan sering terjadi barter anjing dengan ganti barang 
kebutuhan seperti gula, beras dan lain-lain.
e.   Pemeliharaan HPR yang tidak bertanggung jawab (over population 
anjing peliharaan di rumah tangga memiliki kontribusi pada populasi 
anjing liar)
f.    Digunakan berburu babi secara massal (SumatraBarat)
g.   Adu bagong: adu anjing dan babi (Garut,Tasik dan sekitarnya)
h.   Menjaga kebun/ladang (Flores dan lokasi lain)
i.    Anjing yang menyertai pelayaran tradisional
j.    Diluar entry/exit point resmi = pelabuhan rakyat (di luar pengawasan 
karantina hewan)
k.    Konsumsi daging anjing (dog meat consumption)
l.    Meningkatkan mobilitas Hewan Pembawa Rabies (HPR) ke daerah 
dengan demand tinggi
m.  Kendala eliminasi (anjing memiliki nilai ekonomis)

keterangan : 
1.  Gejala Klinis
     Gejala yang terlihat pada umumnya yaitu  berupa manifestasi 
peradangan otak (ensefalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. 
Pada rnanusia keinginan untuk menyerang pada orang lain umumnya tidak 
ada. Masa inkubasi pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 8 
minggu. Pada sapi, kambing,  kuda dan babi berkisar antara 1 -3 bulan.
A                                                              B
Gambar 6. Gejala klinis Rabies. A) Anjing, B) kucing.
(Sumber : http://homepage.usask.ca/~sjd220/virology/Rabid.jpg.)
     Gejala klinis pada anjing dan kucing
     Gejala penyakit pada anjing dan kucing hampir sama. Gejala penyakit 
dikenal dalam 3 bentuk :
a.   Bentuk ganas (furious rabies ), masa eksitasi panjang. kebanyakan akan 
mati dalam 2-5 hari sesudah  tanda-tanda gila terlihat. (Gambar 6).
b.   Bentuk diam atau dungu (dumb rabies), paralisis cepat terjadi, masa 
eksitasi pendek
c.    Bentuk asimptomatis : hewan tiba-tiba mati tanpa menunjukan gejala-
gejala sakit.
Tanda-tanda yang sering terlihat sebagai berikut :
a.   Pada tahap  prodormal hewan mencari tempat yang dingin dan menyendiri, 
tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous. Refl ex komea berkurang/
hilang, pupil meluas dan kornea kering, tonus urat daging bertambah 
(sikap siaga/kaku).
b.   Pada tahap  eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada di 
sekitarnya dan memakan benda asing. Dengan berlanjut nya penyakit, 
mata menjadi keruh dan selalu terbuka diikuti inkoordinasi dan konvulsi.
c.    Pada tahap  paralisis maka kornea mata kering dan mata terbuka dan 
kotor, semua refl ex hilang, konvulsi dan mati.
     Gejala penyakit pada hewan pemamah biak, berkuku satu dan 
ternak lainnya hampir sama  yaitu gelisah, gugup, liar dan rasa gatal pada 
seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya hewan mati. 
Pada hari pertama atau kedua kemungkinan temperatur naik 1 - 3°C di atas 
normal, anorexia, expresi wajah berubah dari yang biasa, sering menguak 
dan ini yaitu tanda yang spesifi k untuk hewan yang menderita rabies.
2.  Patologi 
     Biasanya tidak ada gambaran asca mati yang jelas, jikapun ditemukan 
biasanya berupa efek sekunder dari gejala syaraf yang ada. Karkas biasanya 
mengalami dehidrasi dan dalam keadaan  buru. Kadang kadang ditemukan 
bekas trauma, misalnya gigi patah. Pada karnivora sering ditemukan benda-
benda asing (corpora aliena) dalam lambung berupa rambut. kayu dan lain-
lain. 
     Secara mikroskopis perubahan yang paling signifi kan yaitu  lesi pada 
susunan syaraf pusat dan spinal cord. Pada otak biasanya ditemukan 
perivascular cuffi ng, gliosis focal atau difus, degenerasi neuron dan  inclusion 
bodies (Negri bodies) intrasitoplasmik pada neuron. Negri bodies ditemukan 
dalam berbagai ukuran dan biasanya cukup besar  pada anjing dan sapi dan 
relatif  lebih kecil pada kucing. Negri bodies paling mudah ditemukan pada 
barisan neuron pada  hipocampus atau pada sel Purkinje pada cerebellum. 
Negri bodies  dapat juga ditemukan pada sel glia, sel ganglion pada kelenjar 
saliva dan  kelenjar adrenal serta pada retina mata. Gambar 7 menunjukkan 
lesi berupa ensefalitis pada otak yang teraserang rabies disertai perivascular 
cuffi ng yang bersifat limfoid.

3.  Diagnosa 
     Untuk mendiagnosa penyakit rabies selain memperhatikan riwayat penyakit, 
gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara laboratoris 
perlu dilakukan. Spesimen segar dapat berupa kepala utuh atau otak. Kepala 
dimasukkan dalam suatu kontainer dalam kondisi dingin (berisi es). Otak 
(hypocampus) diambil secara aseptis, dimasukkan ke dalam larutan gliserin 
50% dan disimpan di dalam termos es. Sebagian otak disimpan dalam bufer 
formalin. 
 
a.   Mikroskopis untuk melihat dan menentukan adanya Negri bodies dengan 
cara : 
 1.    Pewarna Sellers.
 2.    FAT Flourescence Antibody Technique)
 3.    Histaphatologis
b.   Isolasi virus. Dilakukan dengan menyuntikan suspensi otak pada  mencit 
atau inokulasi pada biakan sel neuroblastoma. Identitas virus ditentukan 
dengan FAT, Uji virus netralisasi atau dengan cara pewarnaan.
c.    Serologis : AGPT, FAT, serum netralisasi (SN), CFTdan  ELISA.
d.   Molekuler : dengan RT-PCR, real time PCR dan sekuensing. 
4.  Diagnosa Banding
Penyakit yang dapat dikelirukan dengan rabies yaitu penyakit dengan 
gangguan pada susunan syaraf pusat yang dipicu oleh:
a.   Infeksi viral 
-   Distemper 
-    Infectious canine hepatitis 
-   Aujeszky’s disease (pseudo rabies)
-    Infeksi oleh Arbovirus
-   Australian bat lyssavirus
b.   Infeksi bakterial (listeriosis ) dan infeksi mikotik (cryptococcosis)
c.    Keracunan  oleh sodium fl uoro-acetat, logam berat (mis Pb), chlorinated 
hydrocarbon, dan pestisida (organofosfat, urea dan nitrogen trikhlorid)
d.   Infeksi protozoa (babesiosis dan toxoplasmosis)
e.   Benda asing pada  oropharynx atau oesophagus, dan luka akibat 
trauma
f.    Psikosis akut pada anjing dan kucing 
g.   Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi. 
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
 
a.   Spesimen segar
1)  Seluruh Kepala
                  Kepala dimasukkan dalam suatu kontainer  lalu dimasukan lagi 
kedalam kontainer kedua yang lebih besar dari yang pertama, isikan 
potongan es ke dalam kontainer pertama sampai penuh lalu tutup 
rapat dan ruang antara kontainer pertama dan kedua juga diisi es 
sampai penuh.  Kontainer kedua ditutup rapat dan pada kontainer 
diberi label yang bertuliskan “Paket ini berisi kepala anjing yang 
diduga mati kena rabies”.

2)   Otak
                   Cara mengeluarkan otak
-     Siapkan peralatan nekropsi berupa: scalpel, pisau agak besar, 
gunting tulang, gergaji tulang, glycerin 50%. kontainer dan 
larutan formalin 10% yang sudah dibuffer
-     Buka kulit kepala persis di tengah kepala dan dikuakkan ke kiri 
dan kanan sehingga terlihat tempurung kepala.
-     Gergaji tempurung kepala di sekitar otak, lalu dikuakkan 
sehingga terlihat otak (gunakan gunting tulang dan pinset) lalu 
keluarkan otak dengan hati-hati dengan memotong medulla, 
syaraf kranialis dan bagian depan thalamus
-     jika pengiriman seluruh otak tak mungkin dilakukan maka 
cukup dikirimkan hypocampusnya saja
3)   Kelenjar Ludah
                   Pada kelenjar ludah tidak selalu dapat kita temukan virus rabies 
walaupun otak telah terserang. Kelenjar ludah (salivary gland) 
dikoleksi untuk pemeriksaan Fluorescent Antibody Test (FAT) dan 
imunohistokimia.
b.   Spesimen untuk pemeriksaan cepat
1)   Pembuatan preparat sentuh (touch preparat)
                   Preparat sentuh harus dibuat dari hipocampus pada otak besar, 
kortex otak besar dan otak kecil. Jumlah preparat paling sedikit 6 
buah dari setiap bagian otak yang disebutkan di atas
Cara pembuatan preparat sentuh: 
-     Buat potongan sedalam 2-3 mm pada jaringan otak yang 
dimaksud dengan gunting
-     Jaringan tersebut dipotong dan ditempatkan pada kertas atau 
potongan kayu steril
-     Ambil object glass steril, sentuh dan tekankan sedikit pada 
permukaan jaringan otak (bagian yang dipotong). Sentuhan 
dibuat pada 3 tempat pada setiap object glass
-     Dalam keadaan masih lembab, object glass diproses untuk 
pewarnaan Seller’s.
1)   Pembuatan preparat ulas otak (smear method). Jaringan yang 
dipergunakan sama dengan pada pembuatan preparat sentuh, 
dengan cara sebagai berikut: 
-    Ambil sedikit jaringan yang dimaksud letakkan pada object glass 
yang steril.
-    Ambil object glass steril lainnya dan tekan serta ulaskan pada 
kaca pertama jaringan yang telah menempel sebelumnya, 
sampai jaringan menyebar secara homogen dalam areal kira-
kira 3/4 object glass.
1)   Pembuatan rolling method (Jaringan yang dipakai sama dengan 
pada pembuatan preparat sentuh), yaitu dengan cara sebagai 
berikut:
-    Gunting sedikit jaringan otak yang dimaksud sebesar biji kacang 
kedelai.
-    Gulingkan di atas object glass yang steril dengan sepotong tusuk 
gigi yang steril (bagian permukaan yang dipotong terletak di 
bawah)
-    Warnai dengan pewarnaan Seller’s.
c.    Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi
   Untuk tujuan ini, spesimen diambil dari hipokampus,  kortex dari otak 
besar, otak kecil dengan ukuran 2 x 2 x 0.5 cm dan difi ksasi dengan 
formalin 10% yang sudah dibuffer dengan perbandingan 1 : 10 (1 
bagian specimen : 10 bagian larutan formalin 10% yang sudah dibuffer). 
Usahakan  kontainer tertutup rapat, selanjutnya dimasukkan  ke dalam 
kontainer yang lebih besar. Setelah itu kontainer diberi label dengan 
jelas.
d.   Spesimen untuk pemeriksaan biologik dan Fluorescent Antibody Test 
(FAT)
            Jaringan hipokampus, otak besar, otak kecil dan kelenjar ludah 
dimasukan ke dalam kontainer yang berisi 5% glycerin saline (perbandingan 
spesimen dan bahan pengawet 1: 10). jika laboratorium penguji 
dekat jaraknya maka spesimen dibawa ke laboratorium tersebut dalam 
keadaan segar dan dimasukkan ke dalam ice box atau termos es dalam 
keadaan dingin.
pengobatan : 
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
1.  Pencegahan
     Anjing mulai divaksinasi pada umur 8 minggu. Daerah yang ingin bebas 
dari rabies, vaksinasi harus dilakukan terhadap 70% dari populasi anjing.
2.  Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Eliminasi 
            Pembunuhan anjing tak bertuan dilakukan dengan penembakan. 
Penembakan harus dilakukan oleh penembak yang mahir. Cara yang 
terbaik yaitu  dengan penangkapan dengan jaring dan lalu hewan 
diamankan.
b.   Pemberantasan daerah rabies
            Daerah dimana ada kasus rabies dinyatakan sebagai “daerah 
rabies” atau daerah tertular.
1)  Metode pembebasan sebagai berikut :
-     Vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada anjing.
-     Vaksinasi dilakukan hanya pada anjing yang berpemilik.
-     Eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing 
berpemilik tapi tidak divaksinasi. 
2)  Strategi pembebasan
                  Lokasi sasaran dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
-     Lokasi tertular:
       Yaitu desa/kelurahan tertular yang dalam 2 tahun terakhir pernah 
ada kasus, klinis. epidemiologis, laboratoris dan desa-desa 
disekitarnya
-     Lokasi terancam:
       Yaitu desa kelurahan di luar lokasi tertular dalam satu wilayah 
kecamatan.
-     Lokasi bebas kasus:
      Yaitu kecamatan yang berada di luar lokasi tertular yang 
terancam.
3)   Tindakan pada masing-masing lokasi
Pada lokasi tertular dan terancam.
-     Dilakukan vaksinasi dan eliminasi 100% dari populasi anjing 
minimal pada lokasi tertular.
-     Vaksinasi dan eliminasi massal dilakukan serentak. Secara 
umum, perbandingan vaksinasi dan eliminasi yaitu  70% : 30%, 
namun secara spesifi k di tiap daerah tergantung pada kebijakan 
daerah masing-masing yang disesuaikan dengan situasi sosial 
budaya setempat. 
-    Setelah kegiatan massal vaksinasi dan eliminasi dilanjutkan 
kegiatan konsolidasi pada anjing yang baru lahir, mutasi dan 
belum divaksinasi pada kegiatan massal. 
-     Kalau ada kasus gigitan positif rabies, maka di wilayah lokasi 
tertular tersebut segera diadakan vaksinasi dan eliminasi.
-     Vaksinasi dan eliminasi massal di lokasi tertular dimulai dari 
lokasi kasus mengarah keluar (sentripetal).
-     Pada saat yang bersamaan dari batas luar lokasi terancam 
dilakukan vaksinasi dan eliminasi mengarah ke dalam lokasi 
tertular (sentrifugal).
-     Menangkap dan melaksanakan observasi hewan menderita 
rabies selama 10-14 hari, terhadap hewan yang mati selama 
observasi atau dibunuh maka harus diambil spesimen untuk 
dikirim ke laboratorium (BPPH/Lab.type) untuk diagnosa.

                  Diluar lokasi tertular dan terancam
      Tindakan vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada lokasi 
rawan yaitu lokasi yang yaitu jalur lalu lintas anjing yang sulit 
dikontrol
c.   Bila terjadi kasus rabies maka dilakukan tindakan sebagai berikut :
1)   Basuh luka dengan air sabun dengan air yang mengalir, ether atau 
chloroform lalu bilas dengan air dan oles dengan Yodium tinctura 
atau alkohol 70%, anti tetanus dan antibiotika.
2)   Hewan penggigit susaha  dibawa Dinas Peternakan terdekat untuk 
dilakukan observasi paling lama selama 2 (dua) minggu. 
3)   Bila hewan mati maka diambil hypocampusnya dalam bentuk segar 
(dalam es) dalam bahan pengawet glycerin atau dibuat preparat 
sentuh lalu dibawa secepatnya pada laboratorium veteriner 
terdekat untuk peneguhan diagnosa.
4)   Bila seseorang atau hewan telah menunjukan gejala klinis rabies, 
maka tidak ada obat yang efektif untuk mengatasinya 


MALIGNANT CATARRHAL FEVER
Sinonim: malignant catarrh, malignant head catarrh, gangrenous coryza.
snotsiekte, penyakit ingusan
  
Malignant catarrhal fever (MCF) yaitu penyakit degeneratif dan limfo-
proliferatif yang bersifat sangat fatal dan menyerang sapi, kerbau, rusa  dan 
beberapa ruminansia liar lainnya. Biasanya penyakit ini bersifat sporadis dengan 
tingkat morbiditas rendah namun dengan tingkat kematian yang sangat tinggi 
hingga mencapai 100%.  Hewan yang peka terhadap penyakit MCF antara lain 
berbagai bangsa sapi (Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus), kerbau  (Bubalus 
bubalis), bison (Bos bonasus)  dan beberapa jenis rusa dan babi .
Hingga saat ini dikenal ada dua  bentuk MCF, yakni wildebeest-associated 
MCF (WA-MCF) dan sheep-associated MCF (SA-MCF) yang secara klinis 
dan patologis tidak dapat dibedakan. Wildebeest-associated MCF terjadi pada 
saat hewan peka kontak dengan hewan wildebeest (Connochaetes sp) yang 
membawa virus pemicu penyakit tanpa menunjukkan gejala klnis MCF. 
Bentuk ini banyak ditemukan di Afrika yang yaitu habitat asli wildebeest 
dan di beberapa kebun binatang yang memelihara wildebeest. Agen pemicu 
WA-MCF telah diisolasi dari wildebeest oleh sebagai virus herpes dan sekarang 
virus tersebut disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1).  Sedangkan 
SA-MCF yaitu  bentuk MCF yang terjadi pada hewan peka yang berkontak 
dengan domba yang secara epidemiologi diketahui sebagai hewan reservoir. 
Selanjutnya hasil pengujian biologi molekuler menunjukkan bahwa domba 
membawa virus pemicu SA-MCF tanpa menunjukkan gejala klinis MCF.  Virus 
pemicu SA-MCF hingga saat ini belum dapat diisolasi, namun berdasar  
sel limfoblastoid yang diisolasi dari kasus SA-MCF virus pemicu MCF disebut 
dengan Ovine Herpesvirus-2 (OVHV-2). 
etiologi 
1.  Sifat fi sik dan kimia virus
   Tidak ada data yang pasti tentang daya tahan virus pada suhu tertentu tetapi 
virus sangat labil jika terkena panas matahari dan pada kondisi lingkungan 
yang kering, akan tetapi  virus dapat bertahan sampai 13 hari pada kondisi 
lingkungan yang lembab dan stabil antara  pH 5.5–8.5. Virus akan mati 
dengan penambahan disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3% ). 
Cell-associated virus dapat bertahan di luar sel selama  72 jam di luar induk 
semangnya

2.  Sifat Biologi virus
   Ada dua bentuk MCF yang dikenal, yaitu wildebeest associated (WA-MCF) 
dipicu oleh Alcelaphine Herpes Virus 1 (AlHV-1) dan sheep associated 
MCF (SA-MCF) yang belum dapat diisolasi virus penyebabnya. Meskipun 
demikian, Ovine Herpes Virus-2 (OvHV-2) telah diketahui sebagai virus yang 
dimaksud.  Bentuk SA-MCF inilah yang ada di negara kita  dimana domba 
dianggap paling berperan sebagai hewan reservoir. 
   Walaupun ada dua bentuk MCF, akan tetapi secara klinis dan patologis 
kedua bentuk MCF tersebut tidak dapat dibedakan.  Secara klinis MCF 
terbagi atas bentuk perakut, bentuk intestinal, bentuk kepala dan mata serta 
bentuk kronis/sub-klinis.  Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, 
eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, dan beberapa 
manifestasi gejala syaraf.  Gambaran pasca-mati yang umum diketahui yaitu  
pembengkakan  limfoglandula superfi sial, petekhi pada trakhea, pneumonia, 
petekhi pada mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis.  Secara 
mikroskopis, peradangan pembuluh darah (vaskulitis) dianggap sebagai ciri 
yang patognomonik untuk MCF  disertai dengan peradangan non-supuratif 
pada rete mirabile, otak, trakhea, paru-paru, jantung, hati, ginjal, kandung 
kemih, abomasum, dan usus halus.  Dewasa ini, pada saat virus pemicu SA-
MCF belum dapat diisolasi, konfi rmasi diagnosa untuk MCF masih mengacu 
pada gambaran histopatologisnya.
3.  Struktur genome dan  klasifi kasi virus MCF 
   Virus AIHV-1 dan OvHV-2 termasuk dalam Genus Rhadinovirus, Subfamily 
Gammaherpesvirinae. Hasil sekuen terbaru dari OvHV-2 yang berasal dari 
large granular lymphocyte (LGL) cell line sapi mengindikasikan bahwa 
genome tersebut sangat mirip dengan AlHV-1 dan bersifat co-linear dengan 
rhadinoviruses. Genome mempunyai segmen unik 130 kbp tersusun dari 
terminal repeats 1.1 kbp (AlHV-1) atau 4.2 kbp (OvHV-2). 
   ada 73 predicted open reading frames (ORFs) pada sekuen OvHV-2 
dan 71 pada sekuen AIHV-1. Dari 10 gene unik pada AIHV-1 (A1-A10), 8 gen 
bersifat homolog dengan OvHV-2 tetapi tidak ekuivalen untuk  A1 dan A4. 
Virus OvHV-2 diberi kode tambahan dengan Ov2.5, Ov3.5, Ov4.5 dan Ov8.5 
yang menandakan posisinya (Tabel 1, Gambar 1). 

Table 1. Gen unik OvHV-2 dan AIHV-1 pada virus MCF.
No OvHV-2 gene
AlHV-1 
gene Possible Function 
a
1 A1 Unknown
2 Ov2 A2 Leucine zipper protein; Transcription regulation 
3 Ov2.5 Virus IL-10
4 Ov3 A3 Semaphorin homologue; Intracellular signalling 
5 Ov3.5 Unknown, signal peptide 
6 A4 Unknown, signal peptide 
7 Ov4.5 A4.5 Bcl-2 homologue; cell death regulators 
8 Ov5 A5 GPCR (G-protein coupled receptor); Intracellular signalling 
9 Ov6 A6 Similar to Epstein-Barr virus BZLF1; Virus transactivator 
10 Ov7 A7 Virus Glycoprotein 
11 Ov8 A8 Virus Glycoprotein 
12 Ov8.5 Unknown, proline-rich
13 Ov9 A9 Bcl-2 homologue; Cell death regulators 
14 Ov10 A10 Nuclear localisation signal; Transcriptional regulation 
Gambar 1. Organisasi genome virus AIHV-1 dan OvHV-2. (Sumber : RUSSEL et 
al, 2009).
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
   Penyakit MCF secara umum dapat menyerang sapi dan hewan ungulata 
lainnya, termasuk bison, rusa dan babi. Urutan kepekaan hewan terhadap 
MCF berturut-turut yaitu  sapi Bali (Bos javanicus), sapi Bali persilangan, 
kerbau (Bubalus bubalis), sapi Ongole (Bos indicus) dan sapi Brahman (Bos 
taurus).  Selain itu kelinci yaitu  hewan percobaan yang sangat peka terhadap 
MCF. 

   Letak geografi s kemungkinan juga mempengaruhi terjadinya kasus, misalnya 
MCF klinik di Mataram dan Banyuwangi lebih tinggi dibandingkan  di Denpasar dan 
Kendari.  Seperti halnya pada kasus wabah ini, kasus penyakit lebih sering 
terjadi pada musim hujan. Disamping itu faktor  stres juga  dianggap sebagai 
faktor predisposisi bagi MCF.
 
2.  Sifat Penyakit 
   Kejadian endemis MCF di negara kita  pernah dilaporkan pada sapi Bali dan 
rusa  (Cervus timorensis) di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur yang terjadi 
pada saat sekelompok domba dipindahkan pada kelompok sapi Bali dan rusa 
yang belum pernah kontak dengan domba.  Pada saat itu tingkat kematian 
MCF pada 55 rusa mencapai 65%, sedangkan pada sapi Bali mencapai 
20%. Selain itu, wabah MCF pernah pula dilaporkan menyerang sapi Bali 
yang didatangkan ke daerah transmigrasi di Propinsi Bengkulu yang telah 
memiliki kelompok domba.  Kejadian wabah MCF pada sapi dan kerbau 
yang dipakai untuk penelitian pernah dilaporkan di Balai Penelitian Ternak 
(BALITNAK), Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) dan sekitarnya di Bogor, 
pada saat sapi dan kerbau dipelihara di kandang yang berdekatan dengan 
kandang domba.  
3.  Cara Penularan 
   Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi kontak langsung antara 
hewan peka dan reservoir, namun pernah  dilaporkan kasus SA-MCF terjadi 
pada seekor sapi Bali yang dipelihara 100 meter dari kandang domba yang 
sedang bunting dan beranak.  Wabah WA-MCF juga dilaporkan pada sapi 
yang terpisah 100 meter dari wildebeest.  Namun demikian cara penularan 
dari domba ke sapi belum diketahui dengan pasti dan  kemungkinan besar 
penularan terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina.
   Penularan SA-MCF memiliki pola epidemiologi yang mirip dengan WA-MCF, 
yakni domba berperan sebagai reservoir virus pada saat penularan penyakit. 
Baik AIHV-1 dan OvHV-2 ditransmisikan melalui kontak atau aerosol.  Anak 
wildebeest memperoleh virus AIHV-1 baik secara vertikal dari induknya 
(in utero) maupun secara horizontal dari sesama anak wildebeest.  ini 
didasarkan pada pemikiran bahwa  virus ini dapat diisolasi dari fetus dan 
darah anak wildebeest umur satu minggu. Penularan diantara wildebeest 
yaitu  melalui ekskresi hidung, dimana penularan secara vertikal dan 
horizontal ini terutama terjadi pada anak wildebeest hingga berumur tiga 
bulan  dan virus bebas pada wildebeest yaitu ditemukan pada cairan mata 
dan sekresi hidung  sedangkan . virus DNA OvHV-2 dapat dideteksi pada 
sampel yang berasal dari saluran pencernaan, pernapasan dan uro-genital 
domba.

4.  Faktor Predisposisi
   Faktor yang mempengauruhi terjadinya penyakit yaitu: peranan masing-
masing faktor yang mungkin berpengaruh, yaitu jenis breed hewan, kepekaan 
individu hewan, status hewan (stres, concurrent infection), musim, daerah 
geografi , kontak dengan hewan karier, strain virus yang berbeda dan lain-
lain.
5.  Distribusi Penyakit 
   Di negara kita , penyakit MCF dilaporkan  untuk pertama kali pada tahun 1894 
di Kediri, Jawa Timur dilaporkan pada tahun 1954.  Di  negara kita  kejadian 
MCF sudah mendapat banyak perhatian, karena penyakit ini telah tersebar 
di hampir seluruh kepulauan di negara kita .  Berkaitan dengan kejadian MCF 
di negara kita  hingga saat ini ada dua kejadian, endemis dan epidemis. 
Kejadian endemis lebih banyak dilaporkan dibandingkan   epidemis  dan  pada 
umumnya  terjadi  dengan  tingkat  kejadian  yang  rendah,  yakni antara 
lain dilaporkan terjadi di Propinsi Lampung, Sumatra Selatan dan Bengkulu, 
Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, Riau dan Jambi dan Sulawesi Tenggara. 
Sedangkan kejadian endemis dengan tingkat kejadian yang tinggi pernah 
dilaporkan di Banyuwangi, Jawa Timur.  MCF subklinis ditemukan pada sapi 
Bali yang dipotong di RPH Mataram, Banyuwangi, Kendari dan Denpasar. 
Kasus MCF alami juga menyerang hewan penelitian di BBalitvet dan Balitnak, 
Bogor. Akhir akhir ini MCF tidak banyak dilaporkan kejadiannya sesudah  
peternak menyadari bahwa pembawa MCF yaitu  domba sehingga padang 
gembalaan domba dan sapi dilakukan secara terpisah. Laporan kasus MCF 
terakhir dilaporkan kejadiannya di Maros, Sulawesi Selatan.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Diagnosa MCF yang dilakukan hanya berdasar  pada gejala klinis dan 
pasca-mati kurang tepat karena kasus sub-klinis dapat terjadi.  Bentuk MCF 
per-akut, intestinal, kepala dan mata, dan kronis/sub-klinis, kesemuanya 
memberikan hasil patognomonik berupa vaskulitis pada organ tertentu, dengan 
derajat keparahan lesi yang berbeda.  Bentuk SA-MCF inilah yang ada di 
negara kita , yang dalam hal ini domba dianggap paling berperan sebagai hewan 
reservoir.
  Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan 
hidung, kekeruhan kornea, diare, pembengkakan limfoglandula superfi cial dan 
beberapa manifestasi gejala syaraf.  Gambar 2,3 dan 4 menujukkan beberapa 
kelainan klinis akibat MCF.

 Perubahan Patologi Anatomi (PA)
 Gambaran pascamati yang umum diketahui yaitu  pembengkakan 
limfoglandula superfi sial, petekhi pada trakhea, pneumonia, petekhi pada 
mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis.  Gambar 5 dan 6 
menunjukkan gambaran PA yang sering ditemukan pada MCF.  

2.  Perubahan histopatologi (HP) 
  Perubahan histopatologi MCF yang patognomonik yaitu  vaskulitis 
(peradangan pada dinding pembuluh darah) yang berupa infi ltrasi limfosit 
dan makrofag dan terkadang sedikit netrofi l dan sel plasma pada beberapa 
organ seperti mata, otak, meningen, rete mirabile epidurale, ginjal, hati, 
kelenjar adren