Rabu, 21 Juni 2023
Home »
penyakit hewan mamalia 2
» penyakit hewan mamalia 2
penyakit hewan mamalia 2
Juni 21, 2023
penyakit hewan mamalia 2
sweating) atau hemohidrosis, dan dilaporkan ada 93 % kasus keringat darah
dari semua kasus yang diamati. Keringat darah ini dapat diamati di daerah
punggung, fl ank, daerah perut, kaki dan scrotum. Keringat darah ini terjadi
akibat gigitan insek penghisap darah. Pada kasus percobaan keringat darah
ini tidak pernah diamati, oleh karena ternak-ternak percobaan yang diinfeksi
ditempatkan dalam kandang bebas insekta atau dalam kandang light trap.
Ternak yang bunting ditandai dengan keguguran. Dilaporkan 49% ternak
bunting yang terserang penyakit Jembrana diakhiri dengan keguguran yang
terjadi pada semua masa kebuntingan.
2. Patologi
Pada permukaan tubuh ditemukan bercak darah yang meluas yang
disebut keringat darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan tetap ada
selama 2-3 hari. Konjungtiva kongesti dan okular berdarah kadang-kadang
ada klot darah di dalam lekuk mata depan, jaringan di bawah kulit tampak
pucat, kering dan kadang-kadang berdarah. Namun pada kasus percobaan
tidak pernah ditemukan. Di dalam rongga tubuh terutama rongga perut dan
dada ditemukan cairan serosanguineous sebanyak kurang lebih 5 liter.
Pada sistem pernafasan ditemukan adanya perubahan berupa selaput
lendir celah dan corong hidung tampak kongesti dan selaput lendir saluran
pernafasan mengalami erosi, kadang ditemukan pula perdarahan.
Lesi-lesi di dalam paru tidak pernah tetap. Beberapa lobus paru-paru
warnanya tampak coklat kegelapan dan densitasnya meningkat. Daerah
hepatisasi merah kelabu ini berukuran kira- kira 1-4cm, kadang-kadang dapat
terjadi pada semua lobus. Zona atelektasis dan bronckopneumonia focal
kadang-kadang juga ditemukan. Pada kasus percobaan, terjadi lesi yang
ringan pada paru yaitu 6-30 hari pasca infeksi. Lobus aterior paru terlihat
mengalami konsolidasi, warnanya sedikit kebiruan dan dibatasi oleh zona
emfi sema yang warnanya lebih pucat.
Pada sistem kardiovaskuler, subepikardium dan subendokardium
mengalami perdarahan terutama dekat apex dan sebelah atas dari otot
papilaris. Warna miokordium dan endokardium difus dan pada epikardium
ada perdarahan ptekie dan ekimose. Di samping itu terjadi perikarditis
fi brinous fokal, perdarahan “paint brush” kadang-kadang juga dapat diamati
pada lekukan koroner atas dan kedua ventrikel jantung. Di dalam kantong
pericardium kadang ditemukan cairan agak berlebihan dan pada miokardium
juga ditemukan bintik putih. Pada kasus percobaan perubahan ini biasanya
terjadi pada hari ke 8, 10 dan 15 pasca infeksi.
Pada sistem Iimfo-hemopoitik didapatkan perubahan pada sumsum
tulang terutama tulang femur proksimal dan jaringan adiposum terlihat lunak
dan edematus. Kelenjar Iimfe superfi sial servical, subliacal dan parotidea
tampak membesar, pembesarannya dapat mencapai 20 kali dari ukuran
normal. Kelenjar limfe tampak membesar mulai hari ke 6 dan menjadi lebih
hebat pada hari ke 10 dan 15 lalu kembali normal sesudah hari ke
30. Kelenjar limfe hepatika telihat sangat membesar sedangkan kelenjar
limfe mesenterialis sedikit membesar. Bidang irisannya berwarna coklat
kekuningan atau putih keabu-abuan.
Pada kasus yang akut limpa mengalami pembesaran yang konstan,
kadang-kadang ukurannya 4 kali dari ukuran normal. Pada infeksi percobaan,
limpa tampak membesar yaitu pada hari ke-2 pasca infeksi dan menjadi lebih
hebat pada hari ke-8 sampai ke 15. Tepinya membulat dan warnanya merah
gelap. Perdarahan fokal kadang-kadang tampak pada permukaannya.
Bidang irisan warnanya merah gelap, menonjol, granules, dan lunak, akan
tetapi tidak ada darah yang keluar dari jaringan. Pada sapi muda timusnya
mengalami perdarahan.
Perubahan pada saluran pencernaan dapat berupa perdarahan ekimose
pada bibir bawah dan ditemukan erosi pada bantalan gigi depan. Meskipun
demikian pada pemeriksaan lebih lanjut ditemukan perubahan berupa erosi
kadang-kadang berbentuk ulser pada bantalan gigi, membran bukalis bagian
lateral, lidah dan palatum. Pada kasus percobaan, terjadi erosi yang sangat
ringan pada dasar bawah lidah dan ditemukan pada hari ke 6 sampai hari
ke 15 pasca infeksi. Ulser ditemukan pada dorso-lateral lidah. Disamping itu
erosi juga dapat diamati pada selaput lendir faring. Selaput lendir esofagus
mengalami erosi bentuk garis yang tak teratur dengan atau tanpa perdarahan.
Selaput Iendir abomasum tampak kongesti, udem, ulser dan perdarahan
petekie. Pada kasus percobaan perdarahan ptekie, edema dan erosi pada
abomasum terjadi pada hari ke 10 dan 15 pasca infeksi.
Seluruh usus kecuali rektum dan bagian belakang kolon mengalami
perubahan, selaput lendir usus kecil, usus besar, sekum, kolon dan rektum
mengalami edem, erosi, hiperemia dan perdarahan ekimose. Pada beberapa
kasus, isi usus terlihat ada bercak darah, kadang-kadang klot darah di dalam
lumennya. Perdarahan juga ditemukan pada membran usus.
Hati sedikit membengkak warnanya kekuningan dengan tepi yang
tumpul. Pembengkakan hati ini terjadi pada hari ke 10 dan 15 pasca infeksi.
Kantong empedu umumnya mengalami dilatasi dan mengandung cairan
empedu yang kental berwarna hijau gelap, cairan jernih atau gelap. Pada
selaput lendirnya ditemukan perdarahan ptekie, ekimose atau perdarahan
“paint brush”. Kadang pankreas mengalami perubahan berupa edem dan
perdarahan.
Perubahan yang terjadi pada ginjal sedikit membengkak dan perdarahan.
Disamping warnanya lebih pucat dan perdarahan ptekie juga ditemukan
nodul kecil berwarna putih keabu-abuan pada korteksnya. Korteks dan
medula mengalami hipermia. Di bagian subserusa kantong kemih ada
perdarahan ptekie, ekimose dan perdarahan “paint brush”.
Sepanjang lekuk otak terlihat mengalami kongesti dan edema. Pada
potongan otak warnanya pucat dan basah.
Perubahan patologi dari sistem genitalis hanya ditemukan pada
prepusium yang terlihat mengalami ulserasi, perdarahan dan erosi pada
vagina.
Perubahan histopatologis jaringan kulit dan hewan yang menunjukkan
gejala “blood sweating” yaitu ditandai dengan kongesti dan kapiler yang cukup
hebat terutama disekitar sebaceus dan kelenjar keringat. Perdarahan juga
ditemukan pada epidermis dan antara serabut otot. Pembuluh darah limfe
mengalami dilatasi. Sel endotel kapiler dan pembuluh limfe membengkak dan
kongesti, inti sel tampak besar dan bersifat vesikular. Pada kasus yang hebat
ditemukan ulser kecil pada kulit, dikelilingi oleh berbagai tipe sel radang. Pada
dasar ulser ditemukan fi brin dan sel debris. Akumulasi sel mononuklear dan
sel plasma dapat diamati di sekitar arteri kecil di dalam jaringan subkutaneus
dan dermis.
Selaput lendir, septum nasi dan turbinatus pada sistem pernafasan
tampak hipermis, kadang-kadang hemoragik atau nekrotik dan erosi. Lamina
propria dari membran mukosa diinfi ltrasi oleh netrofi l dan sel-sel mononuklear.
Selain itu terjadi pula trombi dan lekostasis dalam pembuluh darah. Trakhea
mengalami kongesti, erosi epitel, edema dan infi ltrasi berbagai jenis sel
radang. Pada bronchi, perubahannya sama seperti pada trakhea. Pada
paru perubahannya sangat spesifi k yaitu terjadi pneumonia interstitial. Sel
septa mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Beberapa sel terlihat terlepas
dan mengisi lumen alveoli. Sering kali ditemukan badan inklusi baik pada
kasus alami maupun buatan, masing-masing 86.6 dan 89,5%. Sel raksasa
(giant cell) kadang-kadang dapat juga diamati. Septa alveoli juga diinfi ltrasi
oleh sel limforetikuler dan sel plasma. Di dalam kapiler dinding alveoli sel
endotel membesar dan proliferasi memicu trombosis yang lalu
disebut endoteliosis. Namun belakangan ini telah dilakukan pemeriksaan
dengan mikroskop elektron ternyata bahwa sel mononuklear yang tampak
menyumbat lumen kapiler yaitu makrofag intravaskuler.
Sel-sel mesotelial di dalam beberapa bagian pleura juga mengalami
hipertrofi , sel-sel ini bentuknya lebih kuboid. Inti sel membesar dan
sitoplasmanya kebiruan. Sering pula diikuti dengan infeksi sekunder
bakterial, ditandai dengan pneumonia dengan eksudat sero-fi brinous atau
sero-purulen. Lumen alveoli mengandung campuran eksudat seluler dengan
berbagai tipe sel seperti netrofi l, limfosit dan histiosit yang menyebar ke area
bronkial menghasilkan bronkopneumonia. Dinding alvieoli tampak menebal
dan diinfi ltrasi oleh sel mononuklear yang ukurannya bervariasi. Perubahan
ini diikuti dengan atelektasis. Trombosis dan infark kadang-kadang juga
dapat diamati.
Pada sistem kardioaskuler, subendokardium mengalami perdarahan.
Bentuk perdarahan ini tidak konsisten. Perdarahan subendokardium dan
subepikardium juga ditemukan infi ltrasi sel mononuklear di dalam miokardium
dari beberapa sapi. Serabut otot mengalami hialinisasi dan fragmentasi,
serta sering ditemukan badan inklusi seperti pada paru dan jaringan lainnya.
Area ini juga diinfi ltrasi oleh sel mononuklear, sel plasma dan histiosit. Sel
yang sama juga ditemukan di sekitar pembuluh darah. Tidak ada perubahan
yang dapat diamati di dalam aorta dan arteri besar lainnya. Infi ltrasi sel
mononuklear dan sel plasma yang bersifat multifokal juga dapat diamati di
dalam epikardium dan miokardium.
Pada kasus yang akut, sumsum tulang sangat hiperplastik. Sel
megakaryosit dan eritroid dalam tingkat perkembangan yang berbeda juga
ada. Infi ltrasi sel limfoblastik besar yang bersifat fokal dapat diamati pada
berbagai lokasi.
Limpa mengalami hiperplasia sel limforetikuler dan kerusakan
limfositik atau nekrosis di dalam limpa. Terjadi kongesti dan perdarahan.
Sel limforetikuler di dalam pusat germinal dari folikel limfoid mengalami
proliferasi. Sel endotelial di lapisan sinus kortex dan medula hipertrofi ,
hiperplasia dan deskuamasi serta mengisi lumen dari sinus. Juga ada
makrofag, sel limfoid besar dan sel plasma di dalam sinus. Kapsul limfoid
periarterial disusun oleh sel abnormal besar dan cordnya diinfi ltrasi oleh
sejumlah sel limfoid. Hemosiderosis, sel sinsitial dan badan-badan inklusi
sering juga ditemukan.
Kelenjar limfe mengalami perubahan sama seperti pada limpa. Struktur
normal tidak terlihat jelas dan pusat germinal hilang atau berisi sisa sel. Sel
retikuler mengalami hiperplasia secara konsisten dan jumlah limfosit yang
dewasa jumlahnya selalu menurun. Piknosis dan karyoreksis juga ada,
disamping itu juga ada badan inklusi. Sinus membesar dan diisi oleh
sel plasma, plasmablas, limfosit, makrofag dan retikuler. Sel endotelial yang
melapisi sinus mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Batang medula berisi
penuh sel limfosit dan sel plasma, gambaran mitosis dan giant cell kadang-
kadang juga terlihat. Ditemukan pula adanya infi ltrasi sel mononuklear di
dalam kapsul dan trabekula.
Pada timus terjadi deplesi limfositik diikuti dengan proliferasi retikuler.
Pada beberapa kasus ada sel limfoblastik besar di dalam medula
sedangkan dibagian prifer lobula mengalami atrofi . Pada kasus yang lain
daerah atrofi telah diganti oleh sel limfoblastik besar yang mengalami
proliferasi fokal.
Lidah mengalami erosi dan ulser. Sel-sel radang dan fi brin ditemukan pada
dasar ulser. Sel epitel yang berdekatan dengan erosi dan ulser membengkak
dan berongga. Pembuluh darah dan limfe di sekitar lesi mengalami dilatasi
dan sel endotel mengalami hipertrofi dan hiperplasia. Pada jaringan ikat
antara serabut otot lidah ada sel plasma dan sel mononuklear pada
tunika propria terjadi edema.
Esofagus, rumen, retiktlum, dan omasum mengalami balooning
degeneration dan vakuolisasi sel epitelial dari membran mukosa. Di dalam
lamina propria terjadi kongesti, edema, hipertrofi , hiperplasia sel endotelial,
sedangkan sel radang tidak ditemukan. Lamina propria dari abomasum
diinfi ltrasi oleh limfosit, sel plasma dan beberapa netrofi l. Sel endotelial
pembuluh darah juga mengalami hipertrofi dan hyperplasia.
Membran mukosa usus tampak kongesti dan edem, perdarahan biasanya
terjadi di dalam membran mukosa dan serosa. Sel radang terdiri dari limfosit.
sel plasma, netrofi l dan eosinofi l dapat ditemukan di dalam lamina propria.
Pada Hati di daerah portalis diinfi ltrasi oleh sel limforetikuler. Gambaran
mitosis kadang-kadang terlihat. Glisson sheath juga diinfi ltrasi oleh sel
mononuklear. Sel Kupffer membengkak dan sinusoid berisi makrofag.
Hepatosit sedikit mengalami vakoulisasi dan ada badan inklusi. Pada
kantong empedu ada perdarahan di dalam membran mukosa, dan
infi ltrasi sel mononuklear dan sel plasma. Pada pankreas, di dalam jaringan
ikat interlobus diinfi ltrasi oleh sel plasma dan sel mononuclear.
Epitel pada tubulus ginjal mengalami degenerasi dan dilitasi dalam
lumennya berisi sisa protein dan ada pula badan inkulasi. Glomeruli
sering hiperseluler dan jaringan ikat interseluler diinfi ltrasi oleh sel-sel
mononuklear, sel plasma, histiosit dan kadang-kadang netrofi l. Infi ltrasi sel
tersebut paling sering melapisi di sekitar pembuluh darah terkadang juga
terjadi infark kortikal. Pada kantong kemih pada jaringan ikat antara serabut
otot ada perdarahan.
Pada organ genital betina tidak ditemukan perubahan, akan tetapi
pada yang jantan ada penurunan jumlah spermatozoa di dalam tubulus
seminiferus. Sel endotelium pembuluh darah tampak hipertrofi , terkadang
ada akumulasi lekosit di dalam lumen pembuluh darah. Sel kortikal
adrenal mengalami degenerasi albuminous dan di dalam medula ada
infi ltrasi sel limforetikuler dan badan inklusi.
Otak mengalami kongesti, edema dan perdarahan perivaskular. Selain
itu ada infi ltrasi sel mononuklear perivaskuler dan gliosis Kadang juga
ditemukan infi ltrasi limforetikuler dan edema dari pleksus koroid.
Patologi klinis. Ternak yang menderita penyakit jembrana ditandai
dengan leukopenia dan trombositopenia yang konstan lalu diikuti
dengan limfositosis. Selama tahap akut terjadi limfosit abnormal. Beberapa tipe
sel ditemukan pada preparat ulas darah yaitu sel dengan inti dan sitoplasma
yang besar, limfosit medium berinti ganda, mitosis limfosit, sel plasma dan
limfosit besar dan medium dengan sitoplasma yang mengalami vakoulisasi
berisi inti eosinofi lik. Pada sapi yang diinfeksi buatan juga memicu
gambaran leukopenia. Perubahan lain telah ditemukan yaitu terjadi anemia
normositik normokromik, sedikit trombositpenia dan uremia. Total protein
plasma menurun terutama pada stadium akhir penyakit. Level fi brinogen dan
kreatinin darah tidak mengalami perubahan nyata dan level nitrogen urea
darah terlihat tinggi (150mg/dl).
3. Diagnosa
Penyakit Jembrana didiagnosa berdasar data epidemiologi, gejala
klinis, patologis, hematologis dan serologis. Genom RNA virus JD dalam
jaringan yang telah diblok dengan parafi n dapat dideteksi dengan teknik in
situ hybridization. Pengujian antibodi dapat dideteksi dengan enzime linked
immunosorbent assay (ELISA). Pada sapi yang terinfeksi, antibodi tidak
dapat dideteksi sampai 11-33 minggu pasca infeksi dan tetap dapat dideteksi
sampai dengan 59 minggu pasca infeksi. Teknik yang lebih spesifi k seperti
Western immunoblotting yang dapat mendeteksi protein 26K virus JD dalam
serum. Protein ini secara konstan dapat dideteksi pada minggu ke-6 pasca
infeksi. ini sesuai dengan munculnya plasmasitosis dan meningkatnya
jumlah IgG.
4. Diagnosa Banding
Penyakit Jembrana memiliki gejala klinis dan patologis sangat mirip
dengan berbagai penyakit viral seperti Malignant Catarrhal Fever (MCF),
Rinderpest, Bovine Viral Diarrhea-Mucosadisease (BVD-MD), Penyakit Mulut
dan Kuku (PMK), Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan penyakit bakterial
seperti Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit parasit darah seperti
Surra.
pengobatan :
Pelaporan, Pencegahan dan Pengendalian
a. Pelaporan
Setiap ada kasus penyakit Jembrana harus segera dilaporkan kepada
Dinas Peternakan setempat atau instansi berwenang (BPPV/BBV) yang
tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Kesehatan Hewan untuk segera
diambil tindakan.
b. Pencegahan dan Pengendalian
Tindakan yang paling efektif yaitu dengan melakukan vaksinasi.
Telah berhasil diproduksi vaksin JD dari plasma dan limpa. Pada awalnya
dikembangkan vaksin dari sari plasma yang diinaktivasi dengan formalin
0,1% (v/v) mengandung incomplete freund adjuvant (IFA) sesudah 1, 2
atau 3 kali vaksinasi memberikan kekebalan yang sangat rendah sesudah
ditantang dengan virus JD 103 x ID50. Gambaran hematologis penyakit
Jembrana berupa lekopenia Iebih dari 2 hari. Tidak ada perbedaan rata-
rata antara lamanya periode inkubasi, periode demam atau lama lekopenia
antara sapi yang divaksinasi dengan grup kontrol. Dengan memakai
inaktivasi Triton X-100 dengan kosentrasi 1% (v/v) dalam incomplete Freund
Adjuvant (IFA) dan dilakukan vaksinasi sebanyak 3 kali ternyata memberikan
respon kebal sesudah ditantang dengan virus JD 102 x ID50, satu bulan sesudah
vaksinasi terakhir. Telah dibandingkan pula penggunaan IFA dan Quil-A,
keduanya dapat meningkatkan respon imun, akan tetapi Quil-A memberikan
respon imun sedikit lebih rendah dan pada IFA, dan juga memberikan reaksi
terhadap virus tantang Iebih tinggi.
Hewan yang sakit dapat dipotong di bawah pengawasan dokter hewan
atau petugas berwenang.
ORF
Sinonim : Contagious Pustular Dermatitis, Contagious Ecthyma; Sore Mouth;
Scabby Mouth, Bengoran, Dakangan
Orf yaitu suatu penyakit hewan menular pada kambing dan domba yang ditandai
dengan terbentuknya popula, vesikula dan keropeng pada kulit di daerah bibir/di
sekitar bibir.
Penyakit ini pada umumnya menyerang hewan muda umur 3-5 bulan, terkadang
hewan dewasa dapat juga ditulari, disamping itu dapat menulari pada manusia.
Penyakit ini mempunyai arti ekonomik yang cukup penting karena dapat
memicu penurunan berat badan dan kematian. Disamping itu mempunyai
arti kesehatan masyarakat veteriner karena dapat menulari manusia.
etiologi
Orf dipicu oleh virus Parapox, berbentuk bulat panjang seperti kepompong,
berukuran 160x290 mm dan diklasifi kasikan dalam grup DNA virus.
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus ini sangat tahan terhadap pengaruh udara luar dan kekeringan,
tetap hidup di luar sel selama beberapa bulan lamanya serta dapat hidup
beberapa tahun pada keropeng kulit, sedangkan pada suhu kamar dapat
tahan selama 15 tahun. Virus Parapox tahan terhadap ether dan labil
terhadap asam.
2. Spesies rentan
Orf hanya menyerang kambing dan domba. Penyakit ini memicu
kekebalan berjangka panjang, oleh karenanya pada wilayah enzootik
penyakit ini ditemukan pada hewan-hewan muda, sedang di daerah yang
baru pertama kali diserang, penyakit ini ditemukan pada hewan dari segala
umur.
3. Sifat Penyakit
Angka kesakitan penyakit ini dapat mencapai 90% pada hewan muda tetapi
angka kematian relatif rendah. Sifat penyakit ini umumnya endemik dan
penyakit banyak muncul pada kelompok kambing yang baru datang pada
suatu wilayah.
4. Cara Penularan
Cara penularan terjadi melalui kontak (luka kulit pada saat menyusui,
kelamin dan bahan yang mengandung virus). Masa inkubasi penyakit
berlangsung kurang lebih 2 hari.
5. Distribusi Penyakit
Penyakit ini dikenal di lndonesia pada tahun 1931. Pada tahun 1979
penyakit ini dilaporkan di Yogyakarta, Kudus, Banyuwangi, Pasaman,
Karangasem, Negara dan Medan. Sampai dengan sekarang hampir tersebar
di seluruh wilayah negara kita .
keterangan :
1. Gejala Klinis
Pada hewan yang menderita penyakit ini gejala berupa peradangan
pada kulit sekitar mulut, kelopak mata, alat genital, ambing pada hewan yang
sedang menyusui dan medial kaki atau pada tempat yang jarang ditumbuhi
bulu. Selanjutnya peradangan berubah menjadi eritema, lepuh pipih yang
mengeluarkan cairan, membentuk kerak yang mengelupas sesudah 1-2
minggu. Pada selaput lendir yang terserang tidak terjadi pengerakan. jika
lesi tersebut hebat maka pada bibir yang terserang ada kelainan yang
menyerupai bunga kol.
jika tidak terjadi infeksi sekunder maka lesi ini biasanya akan
sembuh sesudah penyakit berlangsung 4 minggu dan sebaliknya bila muncul
infeksi sekunder akan meningkatkan derajat keparahan penyakit.
Pada hewan muda keadaan ini sangat mengganggu sehingga dapat
memicu kematian. Pada manusia gejala klinis berupa lepuh pada
tangan dan lengan. Lesi ini lalu mengering serta mengeras sesudah 2-3
minggu.
Gambar 2. Gejala klinis ORF
(Sumber : http://www.cdc.gov/ncidod/dvrd/orf_virus/images/
sheep_orf_lg.jpg.)
2. Patologi
Pada bedah bangkai tidak terlihat adanya kelainan-kelainan yang
mencolok pada alat tubuh bagian dalam kecuali kelainan pada kulit.
3. Diagnosa
Dengan melihat kejadian penyakit yang tersebar cepat, hanya menyerang
hewan muda dan ada lesi di sekitar mulut maka dengan mudah dapat
didiagnosa penyakit menular ini. Konfi rmasi laboratorium dapat dilakukan
dengan mengetahui adanya antigen Orf pada lesi dengan cara uji Agar Gel
Diffusion (AGD) atau uji Complement Fixation Test (CFT) dan dapat juga
dilakukan Netralisation Test pada paired sera.
4. Diagnosa Banding
Penyakit Orf mirip dengan cacar pada kambing dan domba. Pada
penyakit cacar lesi biasanya dimulai dengan hemarogik dan terjadi pada kulit
bagian luar serta mempunyai tendesi meluas ke seluruh tubuh termasuk organ
bagian dalam. Virus ORF tidak dapat diinokulasi pada telur ayam bertunas
Chorio Allantoic Membrane (CAM) sedang virus cacar dapat tumbuh pada
media tersebut.
5. Pengambilan Dan Pengiriman Spesimen
Bahan pemeriksaan berupa keropeng kulit disertai jaringan di bawahnya,
disimpan dalam transport media (Gleserin Saline ana) untuk pemeriksaan
virologik dan dalam formalin 10% untuk pemeriksaan histopatologik.
pengobatan :
1. Pengobatan
Hewan terjangkit penyakit dapat diberi antibiotika berspektrum luas
untuk mencegah infeksi sekunder. Disamping itu dapat diberikan multivitamin
untuk memperbaiki kondisi tubuh sedangkan kulit yang terinfeks diberikan
pengobatan lokal dengan jodium tincture.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Untuk pencegahan penyakit Orf dapat diberikan autovaksin untuk daerah
endemik. Vaksin ini dibuat dari keropeng kulit hewan yang menderita yang
disuspensi menjadi 1% dalam 50% gliserin saline. Vaksinasi diberikan dengan
cara pencacaran kulit pada daerah sebelah dalam paha, atau disekitar leher
untuk hewan dewasa. Anak domba/kambing biasanya divaksin pada umur 1
bulan dan diulang pada umur 2-3 bulan, sehingga akan diperoleh kekebalan
yang optimal. Pada daerah yang belum pernah terjangkit tidak dianjurkan
mengadakan vaksinasi Orf. Untuk pengendalian penyakit maka hewan yang
menunjukan gejala segera diasingkan sehingga perluasan penyakit dapat
dibatasi. Disamping itu kandang yang tertular sebaiknya tidak dipakai dalam
waktu cukup lama atau difumigasi sebelum dipakai kembali. Pada daerah
tertular segera diberi vaksinasi massal dan hewan yang mati akibat penyakit
segera dibakar atau dikubur dalam-dalam.
PORCINE REPRODUCTIVE AND RESPRATORY SYNDROME
Sinonim. Porcine Epidemic Abortion and Respiratory Syndrome Swine Infertility
and Respiratory Syndrome atau penyakit Misted
Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) yaitu penyakit
menular pada babi berumur muda, ditandai dengan kelainan reproduksi dan
pernafasan.
Penyakit ini memicu kerugian ekonomi cukup besar karena tingkat
morbiditas dan mortalitas tinggi, biaya yang dikeluarkan untuk investigasi atau
pengamatan penyakit, mengembangkan peralatan dan reagen diagnostik,
produksi vaksin dan biaya oprasional pengendalian penyakit sangat mahal,
disamping itu hilangnya devisa negara akibat larangan ekspor.
etiologi
Penyakit ini dipicu oleh virus PRRS. Virus PRRS dimasukkan kedalam
genus Asterivirus dari family Togaviridae. Virus ini masuk dalam satu grup
dengan Lactate dehydogenase elevating virus, equine arteritis virus dan simasn
hemeorrhagic fever virus.
Virus tersusun atas RNA, terdiri dari 4 struktur protein yang masing-masing
mempunyai berat molekul 15, 19, 23 dan 26 kD (nelson et al, 1993). Fungsi
protein ini tidak secara lengkap diketahui, belakangan diketahui bahwa protein 15
kD yaitu protein nukleo-kapsid, sedangkan protein 19 dan 26 kD dianggap
sebagai komponen amplop virus. Peranan imonologis dari protein tersebut juga
tidak diketahui, para peneliti menduga bahwa protein 26 kD berperanan dalam
menginduksi antibodi terhadap virus PRRS, sedangkan hasil penelitiannya
menyatakan bahwa protein 15 kD yaitu protein yang bersifat imunogenik.
Bentuk virus bundar dan beramplop.
Ada beberapa strain virus yang diketahui seperti strain PRRSV, VR-2332, Hesse
dan NADC-9. Strain Hesse yaitu strain yang ganas dan strain VR-2332
dikenal sebagai virus yang paling potensial memicu penyakit reproduksi
dan respirasi pada babi. Diantara strain virus ada perbedaan antigenik,
seperti strain virus PRRS Amerika Serikat dan Eropa yang dapat diperlihatkan
dengan memakai panel 3 antibodi monoklonal spesifi k untuk protein 15 kD
dari virus.
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus PRRS hanya dapat ditumbuhkan secara in vitro pada biakan sel,
akan tetapi sampai saat ini ada beberapa biakan sel lestari yang peka seperti
CL 2621 dan makrofag alveoler paru.
2. Spesies rentan
Penyakit ini terutama menyerang ternak babi semua umur, akan tetapi
yang paling banyak terserang yaitu yang berumur muda.
3. Pengaruh Lingkungan
Tidak diketahui dengan pasti apakah ada pengaruh musim terhadap kejadian
PRRS. Umumnya saat melahirkan terjadi stres sehingga kemungkinan
terinfeksi virus PRRS sangat besar. Faktor lingkungan kandang yang kotor
karena sistem peternakan tradisional dan lalu lintas ternak yang bebas
kemungkinan berpengaruh terhadap penyebaran penyakit.
4. Sifat Penyakit
Dilaporkan kasus klinis PRRS di Provinsi Sumatera Utara dan Nusa
Tenggara Timur.
5. Cara Penularan
Penyakit ditularkan melalui pernafasan, udara tercemar paling potensial
menyebarkan virus, disamping itu juga melalui semen pada saat kawin alam
atau inseminasi buatan.
6. Patogenesis
Patogenesis dari virus PRRS tidak diketahui dengan lengkap. Namun
diketahui bahwa penyakit ini dapat bersifat imunosupresif karena babi-
babi yang terserang PRRS terjadi pula peningkatan kejadian penyakit,
seperti penyakit yang dipicu oleh bakteri haemophilus parasui,
Streptococcus suis, Salmonella spp, pasteurella multocida atau Actinobacillus
pleuropneumoniae. Demikian pula infeksi yang terus menerus dari PRRS
dan Streptococcus suis akan meningkatkan mortalitas, serta meningkatkan
kejadian Porcine respiratory coronavirus, Infl uenza virus HL NL dan
Paramyxovirus.
7. Distribusi Penyakit
Penyakit ini pertama kali ditemukan di Amerika Serikat pada tahun 1987,
sesudah itu dilaporkan di Kanada, Inggris, Eropa, Asia Tenggara, Malta dan
Siprus.
Secara klinis ditemukan di Kab. Siborong-borong, Sumatera Utara tahun
2007/2008 dan secara serologis PRRS tersebar di beberapa daerah, seperti
Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Kupang).
keterangan :
1. Gejala Klinis
Babi-babi terserang ditandai dengan gejala demam, nafsu makan
menurun, lesu, sesak nafas, kulit bercak kebiruan. Tingkat kebuntingan
rendah, babi bunting ditandai dengan keguguran, fetus lahir mati, mumifi kasi,
fetus anak yang dilahirkan dalam keadaan lemah, anak sedang menyusui
kematiannya tinggi dan gejala pernafasan yang berat. Gejala pernafasan ini
dapat berlangsung dalam beberapa bulan.
2. Patologi
Perubahan patologi yang paling menonjol yaitu pada paru, kelenjar
limfe dan otak. Pada paru yang terserang yaitu lobus depan, tengah dan
aksesoris serta bagian ventromedial dari lobus belakang, ditandai dengan
pneumonia. Kelenjar limfe, membesar 3-10 kali lipat dari ukuran normal dan
edema.
Perubahan histopatologi dari jaringan terserang berupa rinitis
limfohistiositik multifokal pada hidung, silia jumlahnya berkurang dan epitel
turbinatus membengkak dan berongga. Jumlah leukosit meningkat di dalam
epitel turbinatus dan di submukosa ada peradangan limfohistiositik dan
supuratif ringan serta edema. Paru mengalami hiperplasia dan hipertrofi
diikuti dengan penebalan septa alveoli oleh sel mononuklear. Eksudat alveoli
berisi makrofag, debris nekrotik dan sel multinuklear.
Jaringan limfoid pada kelenjar limfe mengalami hiperplasia dan
nekrosa fokal. Folikel diinfi ltrasi oleh limfoblas dan makrofag, sel piknosis
dan nekrose dapat ditemukan di dalam folikel. Area perifolikuler diinfi ltrasi
oleh beragam tipe sel mononuklear. Pada otak ditemukan adanya ensefalitis
yang ditandai dengan gliosis dan perivascular cuffi ng yang terdiri dari histiosit
dengan derajat keparahan dari ringan, sedang sampai parah. Pada jantung
ditemukan miokarditis yang ditandai dengan limfoplasmositik multifokal dan
histiosit terutama di endokardium dan sekitar pembuluh darah.
3. Diagnosa
Penyakit dapat didiagnosa berdasar data epidemiologi, gejala
klinis, patologis, isolasi dan identifi kasi virus. Virus dapat disolasi secara
in vitro pada biakan sel, selanjutnya virus diidentifi kasi dengan fl ourescent
antibody technique (FAT) sedangkan antibodi dapat dideteksi dengan
berbagai uji serologis seperti FAT tak langsung (IFA), serum netralisasi (SN),
immunoperoxidase (IP)dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).
Uji IFA dan IP yaitu uji yang sangat spesifi k dan peka, antibodi dapat
dideteksi dengan kedua uji ini dalam waktu 7 dan 15 hari sesudah infeksi.
Kedua uji tetap memberikan hasil yang tepat sebagai alat deteksi antibodi
selama 2-3 bulan sesudah infeksi, akan tetapi akan segera menurun sesudah
3-6 bulan infeksi. ELISA juga dianggap uji yang spesifi k dan peka. Demikian
juga SN yaitu uji yang spesifi k, akan tetapi sebelumnya diduga
bahwa SN kurang peka dibandingkan IFA dan IP Kepekaan uji SN dapat
ditingkatkan dengan penambahan serum babi normal pada serum yang akan
diuji. Belakangan telah dikembangkan uji yang lebih maju seperti Western
immunoblotting untuk deteksi protein virus, dengan uji ini dapat mendeteksi
protein virus 15 kD dalam waktu 7 hari pasca infeksi dan persistan selama
105 hari. Reserve Transciption dan Polymerase Chain Reaction (RT-PCR)
dapat mengamplifi kasi DNA virus, sedangkan in situ hibridization non
radioaktif yang dapat mendeteksi lokasi virus di dalam sel dan jaringan yang
telah difi ksasi serta dapat membedakan strain virus.
4. Diagnosa Banding
Penyakit ini mempunyai gejala klinis dan perubahan patologis yang
mirip dengan beberapa penyakit seperti Hog Cholera, streptokokosis atau
Haemorrhagic Septicemia.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan spesimen ditujukan untuk isolasi dan pemeriksaan
histopatologis. Spesimen untuk isolasi diambil jaringan paru, limpa dan
kelenjar limfe lalu dimasukan kedalam botol berisi media tranpor
gliserin fosfat bufer 50% atau media Hank’s yang mengandung antibiotika.
Untuk pemeriksaan histopatologis diambil semua jaringan dan difi ksasi
dengan formalin bufer 10%.
pengobatan :
1. Pengobatan
Belum ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
jika ada kasus PRRS segera dilaporkan kepada Dinas Peternakan
atau BPPV setempat dan tembusannya dikirimkan kepada Direktorat
Kesehatan Hewan.
b. Pencegahan
Babi yang sakit segera dipisah, sebaiknya dipotong bersyarat dan
babi yang mati harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur
yang dalam. Kandang tercemar didesinfeksi dengan formalin 2-5%
atau NaOH 2%. Di daerah yang enzootik PRRS dilakukan vaksinasi,
sedangkan daerah bebas dilarang memasukkan hewan dari daerah
tertular. Tindakan karantina yang ketat dan pemeriksaan laboratorium
dilakukan dengan teliti.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Vaksinasi dilakukan pada daerah sekitar kasus (ring vaccination)
dengan radius 10 km dan melakukan sistem pemusnahan (stamping out)
di daerah yang bebas penyakit. Vaksinasi terhadap babi-babi yang sehat
dapat dilakukan memakai vaksin aktif (live vaccine) atau inaktif
(killed vaccine).
Hewan yang sakit tidak dianjurkan untuk dipotong, kalaupun dipotong
untuk dikonsumsi harus dibawah pengawasan Dokter Hewan atau
petugas yang berwenang.
PSEUDO RABIES
Sinonim: Penyakit Adujeszky’s, Infectious Bulbar Paralysis atau Maditch.
Pseudorabies yaitu penyakit menular bersifat akut yang dapat memicu
gejala syaraf, respirasi dan gangguan reproduksi pada babi.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan cukup besar karena mortalitas tinggi,
turunnya berat badan dan gangguan reproduksi. Disamping itu menurunkan
devisa negara atau daerah akibat larangan ekspor atau lalu lintas ternak dan
hasil olahannya antar pulau.
etiologi
1. Agen Penyebab
Penyakit ini dipicu oleh Alphaherpesvirus dari famili Herpesviridae.
Ada beberapa strain diketahui seperti strain bartha (PRV-Ba) dan Ka (PRV-
Ka). Materi genetik virus tersusun atas DNA beruntai ganda double stranded
dioxyribonucleic Acid (ds-DNA) dengan berat molekul 70 x 106, dalton.
Asam inti (DNA) ini dilapisi oleh lapisan protein pelindung yang disebut dan
keduanya bersama- sama disebut bucleocapsid. Capsid tersebut terdiri dari
162 sub unit protein (capsomere), sedangkan nukleokapsid mempunyai
diameter 105 nm. Di sebelah luar dari nukleokapsid ada lapisan protein
sebagai amplop. Bentuk virus yaitu ikosahedral dan viriori yang lengkap
berukuran 150 nm.
2. Patogenesis
Patogenesis virus ini tidak diketahui secara jelas. Virus bersifat neurotropik
yang dapat menyebar dari tempat replikasi virus di bagian perifer lalu
menyebar ke sistem syaraf pusat lewat penularan axonal dan hematogenous
menghasilkan trigeminal ganglionitis non supuratif dan meningoencefalitis.
Kemungkinan alur penyebaran virus dimulai dari gigitan pada kulit di daerah
telinga lalu langsung masuk Central Nervous System (CNS) melalui
oronasal. Virus lalu menginfeksi syaraf trigeminalis dan langsung
menyebar ke CNS melalui traktus gastrointestinal, pleksus mesenterik
lalu ke batang spinal melalui syaraf aotonom lalu ke CNS lewat
syaraf sensoris.
Babi yang terinfeksi virus Pseudorabies akan menderita pneumonia
sebagai akibat infeksi sekunder oleh Actinobacillus pleuropneumonia,
Pasteurella multocida atau kemungkinan Salmonella cholearsuis. Pneumonia
tersebut terjadi akibat kegagalan fungsi imun sel mediasi spesifi k oleh virus
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus tahan terhadap panas, kondisi alkali dan asam. Virus juga tahan
berminggu- minggu pada suhu 20-25°C dan bahkan pada suhu 36°C akan
hidup selama 4 minggu sebelum daya infeksinya hilang. Virus dalam jerami
dan pakan lebih dari 10 hari pada suhu 24°C dan lebih tahan 46 hari pada
suhu dingin. Pada suhu 1°C tahan berbulan-bulan. Selanjutnya pada suhu
-20°C virus menjadi kurang stabil dibandingkan pada suhu 4°C, tetapi masih
tetap hidup selama berbulan-bulan. Pada suhu -40°C virus tersebut dapat
disimpan bertahun tahun tanpa kehilangan daya infeksinya. Namun virus
cepat nonaktif pada suhu panas, sinar ultraviolet dan sinar gamma. Virus
non aktif pada suhu 56°C selama 15 menit, 70°C selama 5 menit, 80°C
selama 3 menit dan 100°C selama 1 menit.
Virus PR tetap stabil terhadap pH asam dan alkali. Antara ph 5,0 dan
13.0 kemampuan infeksinya sebagian besar masih terpelihara, bahkan dalam
keadaan sangat asampun (pH 2,0) atau alkali (pH 14,0) masih diperlukan
waktu beberapa jam sebelum virus tersebut menjadi nonaktif.
Virus sangat peka terhadap pelarut lemak. seperti ether dan khloroform
demikian pula hidrokarbon-fl our dan deterjen. Bahan-bahan kimia ini sangat
merusak struktur virus dalam beberapa menit dan akan memicu
dekomposisi partikelnya. Penggunaan formalin 3% sebagai larutan desifektan
akan membunuh virus dalam waktu 3 jam. Klorin sangat efektif. Larutan
kloramin 3% membuat virus nonaktif dalam 10 menit, larutan 1 % dalam
waktu 30 menit. Larutan Na-hipoklorit juga sangat efektif untuk menonaktifkan
virus. Basa bervalensi empat (quarterly ammonium) juga efektif. Berbagai
desifektan untuk penyakit ini ialah CaCI2, CaCI2 yang larutan dalam air,
kloramin, dan zat-zat yang mengandung minimum 1 % formaldehida aktif.
Virus dapat ditumbuhkan secara in vivo pada telur ayam berembrio dan
in vitro pada biakan sel. Pada telur ayam berembrio, virus dapat tumbuh
dan membentuk pock pada selaput korio-alantois sesudah 4 hari pasca
infeksi, sedangkan secara in vitro virus dapat tumbuh pada berbagai biakan
sel seperti sel ginjal dan paru kelinci, BHK21, ginjal babi (PK-15), sel Vero,
paru fetus kambing, turbinatus sapi dan sel ginjal embrio kalkun. Diantara
sel tersebut yang paling sering dipakai untuk isolasi virus yaitu sel
turbinatus (BT) dan sel ginjal babi (PK 15) yang dianggap sama dengan uji
pada hewan percobaan. Namun yang paling peka yaitu sel ginjal babi (PK-
15) ditandai dengan CPE lebih awal dibandingkan pada sel turbinatus. Virus
yang replikasi pada biakan sel mamalia menghasilkan badan inklusi tipe A
Cowdry di dalam inti sel. selain itu ditemukan sel raksasa.
2. Pengaruh Lingkungan
Pengaruh lingkungan alam bebas dapat menonaktifkan virus. Dalam
lumpur, virus dapat hidup selama 3-4 bulan di musim dingin dan sekitar 1
bulan di musim panas. Dalam feses hewan yang padat virus menjadi nonaktif
dalam 8-15 hari di musim dingin dan dalam 8-10 hari di musim panas. Dalam
tanah penelitian virus ditemukan hidup selama 33 hari pada suhu 4° C. tetapi
sesudah 14 hari sampel sudah menjadi negatif. Dalam bahan pakan, virus
dapat hidup selama 15 hari di musim panas dan 40 hari di musim dingin.
Virus yang dikeringkan dalam karung dan kayu dapat hidup selama 10-15
hari di musim panas.
3. Kejadian di negara kita
Penyakit ini pertama kali dilaporkan oleh Aujeszky pada tahun 1902
di Hungaria dan berhasil dibedakan dengan rabies yang lalu diberi
nama penyakit Aujeszky. Pada tahun 1913 di Amerika Serikat dilaporkan
pula penyakit yang ada hubungannya dengan Aujeszky dengan gejala klinis
mirip dengan rabies. maka penyakit tersebut diberi nama pseudorabies.
Perkembangan selanjutnya penyakit telah tersebar di Denmark Swedia,
Belgia, Belanda, Yugoslavia, Yunani, Rusia, Amerika Serikat, Meksiko, Kuba,
Brazil, Venezuela, Argentina, Iran, China, New Zealand, Maroko, Aljazair
Tunisia, Turki, Uni Soviet, Cina, Vietnam, Singapura, Malaysia dan Selandia
Baru.
Di negara kita penyakit ini mulai ditemukan pada tahun 1999 dan tersebar
di beberapa daerah. Secara serologis ditemukan di Nusa Tenggara Timur
yaitu di kabupaten Belu, Timur Tengah Utara dan Timur Tengah Selatan.
4. Spesies rentan
Hewan yang paling peka yaitu babi. Kasus sporadis dapat terjadi
pada sapi. domba, kambing, anjing dan kucing. Hewan liar seperti serigala
kutub, serigala perak, rusa liar, landak, beruang kutub, harimau totol, anjing
laut, kelinci liar, luak, kuskus, musang, berang-berang dan tikus. Berbagai
hewan percobaan, seperti kuda, rusa (Odocoileus virginianus). serigala
merah (Vulpes fulva), macaca (Macaca mulatta), kelinci (Sylvilagus
fl oridanus), cavia, tikus, merpati, angsa, itik (Anas platyrhynchos), kalkun,
burung merpati dan kelelawar.
5. Cara Penularan
Penyakit ini ditularkan secara langsung dari babi yang sakit kepada babi
yang sehat dan persisten dalam suatu populasi. Virus dapat dikeluarkan
melalui sekresi mulut dan hidung dan lewat udara. Babi terinfeksi kronis selama
lebih dari 1 tahun atau bersifat laten yang sewaktu-waktu mengeluarkan
virus jika hewan dalam keadaan stres, biasanya pada waktu melahirkan.
Kebanyakan wabah terjadi sebagai akibat masuknya babi tertular ke suatu
kelompok babi yang peka. Penularan virus dari suatu kandang ke kandang
lainnya dapat terjadi. Peranan vektor mekanis dalam penularan penyakit ini
sangat besar. Anjing, kucing, dan hewan karnivora lainnya serta tikus dapat
terinfeksi akibat makan organ atau bangkai hewan atau limbah tercemar
virus PR.
Penyakit dapat bersifat endemik. Tingkat mortalitas pada babi berkisar
antara 20-100% terutama anak babi yang berumur kurang dari 2 minggu.
Anak babi yang baru disapih, tingkat mortalitas antara 5-10%.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang muncul dapat berupa gatal, menjilat, hewan tidak
mampu berdiri, sangat lemah sampai akhirnya konvulsi. Akibat paralisis
faring, mulut berbuih dan kematian dapat terjadi dalam waktu 2 hari sesudah
gejala klinis muncul.
2. Patologi
Mukosa hidung dan faring mengalami kongesti dan disertai dengan nanah.
Tonsil sering ditemukan kongesti dan edema. Selaput otak (meningen)
mengalami kongesti dan di bawah selaput otak ada cairan cerebrospinal.
Kelenjar limfe mengalami kongesti dan ada perdarahan ptekie. ada
perdarahan ptekie pada papilla dan kortex ginjal. ada nekrosis fokal
berwarna putih kekuningan. Paru mengalami konsolidasi, edema dan
kongesti.
Perubahan histopatologis dapat ditemukan pada otak antara lain
berupa meningo-encephalomyelitis dan ganglioneuritis non supuratif yang
menyebar. Lesi ini ditandai dengan perivaskular cuffi ng dan gliosis fokal yang
ada hubungannya dengan nekrosis glial dan neuronal yang meluas. Badan
inklusi Cowdry tipe A dapat ditemukan didalam inti sel glia.
ada pusat nekrosis pada hati, inti sel piknosis dan ditemukan
badan inklusi di daerah nekrosis. Paru mengalami edema dan pneumonia
intertisial.
Villi usus halus mengalami atrofi dan nekrosis neuronal di dalam
Auerbach dan pleksus Meissner’s lambung, usus halus dan usus besar. Inti
dari neuron yang mengalami degenerasi biasanya basofi lik dan karyorexis
dan mengandung beberapa badan inklusi di dalam inti sel.
Pada jaringan di bawah kulit ada sejumlah kecil jaringan nekrosa
bersifat fokal diikuti dengan arteritis dan degenerasi epitel dari kelenjar
seruminus. Beberapa sel mengalami balloning degeneration, nekrosis sel
epitel dan badan inklusi di dalam inti sel yang dapat ditemukan di dalam
stratum spinosum dari kulit telinga dan pinggul.
3. Diagnosa
Penyakit dapat didiagnosa berdasar data epidemiologi, gejala klinis,
isolasi dan identifi kasi virus. berdasar pengamatan epidemiologi, yaitu
tingkat mortalitas yang tinggi dan menyerang kelompok anak-anak babi sedang
menyusui dapat dipakai sebagai indikasi pseudorabies. Selanjutnya
gejala klinis dan perubahan patologis akan memperkuat dugaan penyakit
tersebut. Namun diagnosa yang paling pasti yaitu berdasar isolasi dan
identifi kasi agen penyebab. Isolasi virus dilakukan pada biakan sel, biasanya
memerlukan waktu 2-5 hari tergantung terbentuknya efek sitopatik pada sel
lalu identifi kasi dengan VN, FAT, AGP, CFT dan immunoperoxidase.
Antigen di dalam berbagai jaringan seperti otak, hati. paru-paru, kelenjar
edrenal, tonsil fokal nekrotik subepitel dan sel epitel kulit dan folikel limfoid
usus terutama di peyer’s patches dan sel sel neuron dari fl exus Auerbach,s
dan Meissner.s dapat dideteksi dengan teknik imunohistokimia, sedangkan
jumlah DNA dalam syaraf terutama ganglia trigeminal dapat dideteksi dengan
PCR, atau dengan teknik DNA hybridization dot-blot assay. Antibodi dari babi
yang divaksinasi dan yang terinfeksi dapat dideteksi dengan ELISA.
4. Diagnosa Banding
Pada babi ada beberapa penyakit memiliki gejala yang mirip dengan
pseudorabies seperti penyakit teschen, hog cholera, heamagglutinating
encephalomyelitis, streptokokosis. hipoglikema. keracunan arsen dan garam.
Sedangkan pada hewan lain sangat mirip dengan rabies dan scrapie pada
kambing dan domba.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen untuk isolasi virus diambil swab tonsil memakai dacron-
tipped aplicator yang mengandung medium Eagle’s minimum esensial. Yang
paling baik yaitu jaringan tonsil. otak, medulla, paru-paru dan plasenta.
Sepesiman dimasukan kedalam botol yang berisi media tranpor gliserin fosfat
buffer 50% atau media Hank’s mengandung antibotika. Untuk pemeriksaan
histopatologis diambil jaringan yang lengkap dan difi ksasi dengan formalin
buffer 10%. Spesimen dikirim kelaboratorium disertai surat pengantar
spesimen.
pengobatan :
1. Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Babi-babi yang
sudah memperlihatkan gejala klinis deberi serum hiperimun atau preparat
imunoglobulin.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Setiap ada kasus pseudorabies segera dilaporkan kepada Dinas
Peternakan setempat yang tembusannya dikirim kepada Direktorat
jenderal Kesehatan hewan di Jakarta untuk dilakukan tindakan
sementara.
b. Pencegahan
Larangan impor hewan dari tertular. Karantina yang ketat. Vaksinasi
dengan killed vaksin untuk daerah enzootik. Babi-babi yang memiliki
antibodi maternal masing-masing kelompok disuntik dengan muatan
virus PR melalui intradermal, intranasal dan intramuskuler, ternyata
memberikan kekebalan dan aman karena tidak ada babi yang menunjukan
gejala klinis. Namun tidak kebal terhadap tantangan virus PV ganas.
Tindakan yang paling efektif yaitu melakukan vaksinasi dengan
memakai vaksin aktif atau hidup (live vaccine) dan vaksin inaktif
atau mati (killed vaccine).
Vaksin aktif dan Vaksin inaktif telah dipakai untuk vaksinasi anak
babi umur 8 dan 12 minggu. Anak-anak babi yang divaksinasi DEAE
dextran memiliki antibodi maternal sampai 4 minggu. Vaksin PRV inaktif
memberikan kekebalan dan tidak ada faktor resiko. Vaksinasi dilakukan
2 kali selang 4 minggu untuk mengembangkan kekebalan optimum
selama 5-6 bulan.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Dilakukan tindakan pemotongan atau stamping out dan tindakan
kepolisian.
Hewan yang sakit dilarang untuk dipotong dan harus dimusnahkan
dengan cara dibakar atau dikubur yang dalam.
RABIES
Sinonim : Penyakit Anjing Gila, Tollwut. Lyssa. Rage, Hydrophobia
Penyakit rabies yaitu salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang
susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di negara kita
karena bersifat fatal dan dapat memicu kematian serta berdampak psikologis
bagi orang yang terpapar. Virus rabies dapat menyerang semua hewan berdarah
panas dan manusia.
Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara
dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Pada hewan penderita penyakit ini
biasanya ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air Iiurnya, oleh sebab
itu penularan penyakit pada umumnya melalui suatu gigitan. Kejadian penyakit
rabies pada hewan maupun manusia hampir selalu diakhiri dengan kematian
sehingga akibatnya penyakit ini memicu rasa takut dan kekhawatiran serta
keresahan bagi masyarakat. Infeksi pada hewan anjing dan kucing ditandai
dengan mencari tempat yang dingin, hydrophobia diikuti dengan sikap curiga
dan menyerang apa saja yang ada di sekitarnya, paralisa dan mati.
etiologi
Penyebab penyakit Encephallis Rabies yaitu virus yang tergolong dalam Lyssa
virus dan famili Rhabdoviridae. Morfologi partikel virus berbentuk seperti peluru
dengan diameter 75 µm dan panjangnya antara 100-300 µm, Variasi ukuran ini
bisa dibedakan diantara strain virus rabies. Struktur virus tersusun dari envelop
yang terdiri dari matrix/membran dan glycoprotein.
Gambar 1 menunjukkan struktur dari virus rabies. Genome virus rabies berupa
Ribonucleic acid (RNA) single-stranded, antisense, tidak bersegmen, dengan
berat molekul 12 kb yang terdiri dari 50 nucleotides beserta gen nucleoprotein
(N), phosphoprotein (P), matrix protein (M), glycoprotein (G) dan the large protein
(L). Gambar 2 menunjukkan genome dari virus rabies.
Siklus infeksi dan replikasi virus rabies ke membran sel induk semang terjadi
melalui beberapa tahapan yaitu adsorpsi (perlekatan virus), penetrasi (virus
entry), pelepasan mantel (uncoating/envelope removal), transkripsi (sinthesis
mRNA), translasi (sintesis protein), processing (G-protein gikoslasi), replikasi
(produksi genomic RNA dari intermediate strand), perakitan (assembly) dan
budding seperti tampak pada Gambar 3.
Sifat Fisika Kimia
Virus dalam jaringan yang tertulari bila disimpan pada glyserin yang tidak
diencerkan virus akan tahan beberapa minggu dan bisa tahan berbulan-bulan
pada suhu 4°C. Di dalam suspensi kurang dan 10 % virus akan cepat mati kecuali
ditambahkan protein (2% serum Cavia/Kelinci atau 0,75% serum Albumin sapi)
Untuk menjaga kelangsungan hidup dalam suspensi sebaiknya disimpan suhu
pada -70°C Pada pH 5-10 virus relatif stabil tetapi virus mudah mati oleh sinar
matahari, pemanasan pasteur (56°C. 30 menit), terkena cahaya ultra violet dan
HgCI. Keadaan asam (<pH 4) dan basa (>pH 10) dan oleh zat pelarut lemak
seperti ether. khloroform. aceton, larutan sabun. etanol 45 - 70%, preparat Iodine
dan komponen ammonium kuartener. Virus mudah diaktivasi oleh β-propiolaktone
dan dalam fenol 0,25 - 0.5°-% virus masih resisten dan memerlukan beberapa
hari sampai menjadai inaktif sempurna.
Sifat Biologis
Genus Lyssavirus dapat dibedakan atas 4 tipe:
Tipe 1, Sebagai protipe yaitu Challenge Virus Standar (CVS ) , tipe ini paling
sering ditemui serta paling diketahui sifatnya. termasuk dalam tipe ini
yaitu strain Street virus yang biasa dipakai pada laboratonum di
seluruh dunia. Street virus yaitu virus yang banyak ditemui di
alam. masa inkubasi dan patogenitasnya pada hewan percobaaan tidak
tetap dan bervariasi. Jika street virus difasase terus menerus pada
suatu spesies maka masa inkubasi dan patogenitasnya pada hewan
percobaan akan lebih baik dan stabil.
Tipe 2, Sebagai prototipenya yaitu strain Kelelawar Lagos (Lagos Bat). Virus
ini diisolasi dari kumpulan otak kelelawar Frugivorous.
Tipe 3, Sebagai prototipenya yaitu strain Mokola, yang diisolasi dari tikus dan
manusia. Prototipe lain dari tipe tiga ini yaitu serogrup Duvenhage,
Kotonkan dan Obhodiang.
Tipe 4, Merupakan serogrup virus rabies yang belum banyak diketahui dan tipe
ini belum banyak diisolasi dari mamalia. tapi pernah diisolasi dari nyamuk
Colicoides sp dan nyamuk Mansonia sp. Dari pemeriksaan serum sapi
di Nigeria ternyata banyak serum yang rnengandung zat kebal terhadap
virus rabies tipe ini.
Virus yang baru diisolasi dari alam. dari kasus gigitan hewan disebut dengan
“street virus”. Strain demikian rnemperlihatkan masa inkubasi yang panjang
dari variable yang secara teratur menghasilkan inclusion body intra sitoplasmik.
Street virus yang mengalami pasase berulang-ulang kali akan menghasilkan
virus yang tetap (fi xed virus). Fixed virus berkembang biak cepat sekali dan
masa inkubasinya menjadi lebih pendek. Pada tahap ini inclusion body sering
sulit ditemukan. Contoh fi xed virus atau strain yang telah mengalami modifi kasi
antara lain: Street-Alabama-Dufferia (S A P), Evelyn Roliteriki Abilseth (E R A),
Challence Virus Standard (C V S), Low Egg Passage (L E P) dan H E P (High
Egg Passage). Fixed virus dapat tumbuh secara invitro pada berbagai sel antara
lain pada Baby Hamster Kidney (BHK-21), Chick embryo Related (CER), neuro
blastoma dan Human Diploid Cell.
epidemiologi
1. Distribusi Penyakit
Penyebaran penyakit rabies di luar negeri
Penyakit rabies telah ada tercatat sejak berabad-abad lampau yaitu di
kitab Mosaic Esthnuna Code yaitu pada raja Hamurabi di kerajaan Babylonia
dan juga di kerajaan lain di Timur Tengah dan Yunani. Penyebaran penyakit
hampir ada di seluruh dunia, tidak saja pada negara maju. Bukan saja di
daerah tropis melainkan juga di daerah subtropis dan negara beriklim dingin.
Selain itu, di negara-negara berkembang di Asia. Afrika, Amerika Selatan,
Amerika Tengah dan Amerika Utara serta beberapa negara di Eropa masih
banyak ditemukan penyakit rabies. Menurut data World Health Organization
(WHO) pada tahun 1988, rabies telah tersebar di 92 negara dan bahkan
bersifat endemik di 72 negara.
Kejadian di negara kita
Kejadian pertama kali dilaporkan oleh ESSER tahun 1889 pada seekor
kerbau. Sejak saat tersebut kasus rabies dilaporkan dari beberapa daerah
lainnya. Pada tahun 1894 de HANN melaporkan kejadian rabies pada
manusia. Tahun demi tahun daerah abies terus meluas.
Selama pendudukan Jepang daerah tertular rabies tidak diketahui
dengan pasti namun sesudah perang dunia kedua peta daerah rabies di
negara kita berubah secara kronologis sebagai berikut: Jawa Barat,1948,
Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur 1953, Sumatera Utara 1956,
Sulsel dan Sulut 1958, Sumsel 1959, Aceh 1970, Jambi dan Yogyakarta 1971,
Bengkulu. DKI-Jaya dan Sulteng 1972, Kaltim 1974, Riau1975. Kalteng 1979
dan terakhir NTT 1999.
Sampai tahun 2005 daerah bebas Rabies di negara kita hanya meliputi
Jawa, Bali, NTB dan Papua. Namun lalu pada tahun 2005 sampai
sekarang Jawa Barat lalu terjadi wabah sporadis di beberapa kota dan
berdasar Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1637.1, 1 Desember 2008
maka Bali dinyatakan terjangkit wabah rabies dan KepMentan Nomor 1696,
tanggal 12 Desember 2008 menetapkan Propoinsi Bali sebagai Kawasan
Karantina Penyakit anjing gila/rabies.
2. Spesies Rentan
Semua hewan berdarah panas termasuk manusia rentan terhadap
rabies. Di negara kita hewan rentan terhadap rabies yang pernah dilaporkan
yaitu pada kerbau, kuda, kucing, leopard, musang, meong congkok, sapi
dan kambing. Hewan tersebut yaitu hewan piaraan kecuali musang.
Kelelawar dan tikus liar dapat diinfeksi virus secara buatan di laboratorium
dan kasus pada tikus liar pernah ditemukan di BPPH (sekarang BPPV)
Bukittinggi 1991. Statistik menunjukan bahwa penyebar rabies yang utama
yaitu anjing (92%), kucing (6%) dan kera (3%).
3. Cara Penularan
Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata rata sekitar 2 minggu tetapi
dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari-8 minggu dan pada manusia 2-3
minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:
a. Jumlah virus yang masuk melalui luka
b. Dalam atau tidaknya luka
c. Luka tunggal atau banyak
d. Dekat atau tidaknya luka dengan susunan syaraf pusat
e. Perlakuan luka pasca gigitan
Pada hewan percobaan virus masih dapat ditemukan di tempat suntikan
selama 14 hari. Virus menuju ke susunan syaraf pusat melalui syaraf perifer
lalu virus berkembang biak di sel syaraf terutama pada hypocampus
dan sel Purkinje dan kelenjar ludah.
Pada anjing 3-5 hari sebelum gejala klinis terlihat, kelenjar ludah telah
mengandung virus dan akan terus infektif selama hewan sakit. Virus ditularkan
terutama melalui luka gigitan, oleh karena itu bangsa karnivora yaitu hewan
utama penyebar rabies antar hewan atau ke manusia (Gambar 4 dan 5).
4. Faktor Predisposisi
Beberapa fakta tentang peran anjing berikut ini yaitu faktor resiko
yang ikut berperan dalam penularan rabies:
a. Sejak turun temurun anjing dipelihara sebagai hewan kesayangan.
b. Anjing dapat dijadikan sebagai penjaga kebun/ladang dan kandang
ternak (ekstensif/diliarkan).
c. Sebagai penolak bala, dibawa nelayan tradisional (lalu lintas anjing
sangat sulit diawasi)
d. Daerah pedesaan sering terjadi barter anjing dengan ganti barang
kebutuhan seperti gula, beras dan lain-lain.
e. Pemeliharaan HPR yang tidak bertanggung jawab (over population
anjing peliharaan di rumah tangga memiliki kontribusi pada populasi
anjing liar)
f. Digunakan berburu babi secara massal (SumatraBarat)
g. Adu bagong: adu anjing dan babi (Garut,Tasik dan sekitarnya)
h. Menjaga kebun/ladang (Flores dan lokasi lain)
i. Anjing yang menyertai pelayaran tradisional
j. Diluar entry/exit point resmi = pelabuhan rakyat (di luar pengawasan
karantina hewan)
k. Konsumsi daging anjing (dog meat consumption)
l. Meningkatkan mobilitas Hewan Pembawa Rabies (HPR) ke daerah
dengan demand tinggi
m. Kendala eliminasi (anjing memiliki nilai ekonomis)
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala yang terlihat pada umumnya yaitu berupa manifestasi
peradangan otak (ensefalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia.
Pada rnanusia keinginan untuk menyerang pada orang lain umumnya tidak
ada. Masa inkubasi pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 8
minggu. Pada sapi, kambing, kuda dan babi berkisar antara 1 -3 bulan.
A B
Gambar 6. Gejala klinis Rabies. A) Anjing, B) kucing.
(Sumber : http://homepage.usask.ca/~sjd220/virology/Rabid.jpg.)
Gejala klinis pada anjing dan kucing
Gejala penyakit pada anjing dan kucing hampir sama. Gejala penyakit
dikenal dalam 3 bentuk :
a. Bentuk ganas (furious rabies ), masa eksitasi panjang. kebanyakan akan
mati dalam 2-5 hari sesudah tanda-tanda gila terlihat. (Gambar 6).
b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies), paralisis cepat terjadi, masa
eksitasi pendek
c. Bentuk asimptomatis : hewan tiba-tiba mati tanpa menunjukan gejala-
gejala sakit.
Tanda-tanda yang sering terlihat sebagai berikut :
a. Pada tahap prodormal hewan mencari tempat yang dingin dan menyendiri,
tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous. Refl ex komea berkurang/
hilang, pupil meluas dan kornea kering, tonus urat daging bertambah
(sikap siaga/kaku).
b. Pada tahap eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada di
sekitarnya dan memakan benda asing. Dengan berlanjut nya penyakit,
mata menjadi keruh dan selalu terbuka diikuti inkoordinasi dan konvulsi.
c. Pada tahap paralisis maka kornea mata kering dan mata terbuka dan
kotor, semua refl ex hilang, konvulsi dan mati.
Gejala penyakit pada hewan pemamah biak, berkuku satu dan
ternak lainnya hampir sama yaitu gelisah, gugup, liar dan rasa gatal pada
seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya hewan mati.
Pada hari pertama atau kedua kemungkinan temperatur naik 1 - 3°C di atas
normal, anorexia, expresi wajah berubah dari yang biasa, sering menguak
dan ini yaitu tanda yang spesifi k untuk hewan yang menderita rabies.
2. Patologi
Biasanya tidak ada gambaran asca mati yang jelas, jikapun ditemukan
biasanya berupa efek sekunder dari gejala syaraf yang ada. Karkas biasanya
mengalami dehidrasi dan dalam keadaan buru. Kadang kadang ditemukan
bekas trauma, misalnya gigi patah. Pada karnivora sering ditemukan benda-
benda asing (corpora aliena) dalam lambung berupa rambut. kayu dan lain-
lain.
Secara mikroskopis perubahan yang paling signifi kan yaitu lesi pada
susunan syaraf pusat dan spinal cord. Pada otak biasanya ditemukan
perivascular cuffi ng, gliosis focal atau difus, degenerasi neuron dan inclusion
bodies (Negri bodies) intrasitoplasmik pada neuron. Negri bodies ditemukan
dalam berbagai ukuran dan biasanya cukup besar pada anjing dan sapi dan
relatif lebih kecil pada kucing. Negri bodies paling mudah ditemukan pada
barisan neuron pada hipocampus atau pada sel Purkinje pada cerebellum.
Negri bodies dapat juga ditemukan pada sel glia, sel ganglion pada kelenjar
saliva dan kelenjar adrenal serta pada retina mata. Gambar 7 menunjukkan
lesi berupa ensefalitis pada otak yang teraserang rabies disertai perivascular
cuffi ng yang bersifat limfoid.
3. Diagnosa
Untuk mendiagnosa penyakit rabies selain memperhatikan riwayat penyakit,
gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara laboratoris
perlu dilakukan. Spesimen segar dapat berupa kepala utuh atau otak. Kepala
dimasukkan dalam suatu kontainer dalam kondisi dingin (berisi es). Otak
(hypocampus) diambil secara aseptis, dimasukkan ke dalam larutan gliserin
50% dan disimpan di dalam termos es. Sebagian otak disimpan dalam bufer
formalin.
a. Mikroskopis untuk melihat dan menentukan adanya Negri bodies dengan
cara :
1. Pewarna Sellers.
2. FAT Flourescence Antibody Technique)
3. Histaphatologis
b. Isolasi virus. Dilakukan dengan menyuntikan suspensi otak pada mencit
atau inokulasi pada biakan sel neuroblastoma. Identitas virus ditentukan
dengan FAT, Uji virus netralisasi atau dengan cara pewarnaan.
c. Serologis : AGPT, FAT, serum netralisasi (SN), CFTdan ELISA.
d. Molekuler : dengan RT-PCR, real time PCR dan sekuensing.
4. Diagnosa Banding
Penyakit yang dapat dikelirukan dengan rabies yaitu penyakit dengan
gangguan pada susunan syaraf pusat yang dipicu oleh:
a. Infeksi viral
- Distemper
- Infectious canine hepatitis
- Aujeszky’s disease (pseudo rabies)
- Infeksi oleh Arbovirus
- Australian bat lyssavirus
b. Infeksi bakterial (listeriosis ) dan infeksi mikotik (cryptococcosis)
c. Keracunan oleh sodium fl uoro-acetat, logam berat (mis Pb), chlorinated
hydrocarbon, dan pestisida (organofosfat, urea dan nitrogen trikhlorid)
d. Infeksi protozoa (babesiosis dan toxoplasmosis)
e. Benda asing pada oropharynx atau oesophagus, dan luka akibat
trauma
f. Psikosis akut pada anjing dan kucing
g. Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
a. Spesimen segar
1) Seluruh Kepala
Kepala dimasukkan dalam suatu kontainer lalu dimasukan lagi
kedalam kontainer kedua yang lebih besar dari yang pertama, isikan
potongan es ke dalam kontainer pertama sampai penuh lalu tutup
rapat dan ruang antara kontainer pertama dan kedua juga diisi es
sampai penuh. Kontainer kedua ditutup rapat dan pada kontainer
diberi label yang bertuliskan “Paket ini berisi kepala anjing yang
diduga mati kena rabies”.
2) Otak
Cara mengeluarkan otak
- Siapkan peralatan nekropsi berupa: scalpel, pisau agak besar,
gunting tulang, gergaji tulang, glycerin 50%. kontainer dan
larutan formalin 10% yang sudah dibuffer
- Buka kulit kepala persis di tengah kepala dan dikuakkan ke kiri
dan kanan sehingga terlihat tempurung kepala.
- Gergaji tempurung kepala di sekitar otak, lalu dikuakkan
sehingga terlihat otak (gunakan gunting tulang dan pinset) lalu
keluarkan otak dengan hati-hati dengan memotong medulla,
syaraf kranialis dan bagian depan thalamus
- jika pengiriman seluruh otak tak mungkin dilakukan maka
cukup dikirimkan hypocampusnya saja
3) Kelenjar Ludah
Pada kelenjar ludah tidak selalu dapat kita temukan virus rabies
walaupun otak telah terserang. Kelenjar ludah (salivary gland)
dikoleksi untuk pemeriksaan Fluorescent Antibody Test (FAT) dan
imunohistokimia.
b. Spesimen untuk pemeriksaan cepat
1) Pembuatan preparat sentuh (touch preparat)
Preparat sentuh harus dibuat dari hipocampus pada otak besar,
kortex otak besar dan otak kecil. Jumlah preparat paling sedikit 6
buah dari setiap bagian otak yang disebutkan di atas
Cara pembuatan preparat sentuh:
- Buat potongan sedalam 2-3 mm pada jaringan otak yang
dimaksud dengan gunting
- Jaringan tersebut dipotong dan ditempatkan pada kertas atau
potongan kayu steril
- Ambil object glass steril, sentuh dan tekankan sedikit pada
permukaan jaringan otak (bagian yang dipotong). Sentuhan
dibuat pada 3 tempat pada setiap object glass
- Dalam keadaan masih lembab, object glass diproses untuk
pewarnaan Seller’s.
1) Pembuatan preparat ulas otak (smear method). Jaringan yang
dipergunakan sama dengan pada pembuatan preparat sentuh,
dengan cara sebagai berikut:
- Ambil sedikit jaringan yang dimaksud letakkan pada object glass
yang steril.
- Ambil object glass steril lainnya dan tekan serta ulaskan pada
kaca pertama jaringan yang telah menempel sebelumnya,
sampai jaringan menyebar secara homogen dalam areal kira-
kira 3/4 object glass.
1) Pembuatan rolling method (Jaringan yang dipakai sama dengan
pada pembuatan preparat sentuh), yaitu dengan cara sebagai
berikut:
- Gunting sedikit jaringan otak yang dimaksud sebesar biji kacang
kedelai.
- Gulingkan di atas object glass yang steril dengan sepotong tusuk
gigi yang steril (bagian permukaan yang dipotong terletak di
bawah)
- Warnai dengan pewarnaan Seller’s.
c. Spesimen untuk pemeriksaan histopatologi
Untuk tujuan ini, spesimen diambil dari hipokampus, kortex dari otak
besar, otak kecil dengan ukuran 2 x 2 x 0.5 cm dan difi ksasi dengan
formalin 10% yang sudah dibuffer dengan perbandingan 1 : 10 (1
bagian specimen : 10 bagian larutan formalin 10% yang sudah dibuffer).
Usahakan kontainer tertutup rapat, selanjutnya dimasukkan ke dalam
kontainer yang lebih besar. Setelah itu kontainer diberi label dengan
jelas.
d. Spesimen untuk pemeriksaan biologik dan Fluorescent Antibody Test
(FAT)
Jaringan hipokampus, otak besar, otak kecil dan kelenjar ludah
dimasukan ke dalam kontainer yang berisi 5% glycerin saline (perbandingan
spesimen dan bahan pengawet 1: 10). jika laboratorium penguji
dekat jaraknya maka spesimen dibawa ke laboratorium tersebut dalam
keadaan segar dan dimasukkan ke dalam ice box atau termos es dalam
keadaan dingin.
pengobatan :
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
1. Pencegahan
Anjing mulai divaksinasi pada umur 8 minggu. Daerah yang ingin bebas
dari rabies, vaksinasi harus dilakukan terhadap 70% dari populasi anjing.
2. Pengendalian dan Pemberantasan
a. Eliminasi
Pembunuhan anjing tak bertuan dilakukan dengan penembakan.
Penembakan harus dilakukan oleh penembak yang mahir. Cara yang
terbaik yaitu dengan penangkapan dengan jaring dan lalu hewan
diamankan.
b. Pemberantasan daerah rabies
Daerah dimana ada kasus rabies dinyatakan sebagai “daerah
rabies” atau daerah tertular.
1) Metode pembebasan sebagai berikut :
- Vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada anjing.
- Vaksinasi dilakukan hanya pada anjing yang berpemilik.
- Eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing
berpemilik tapi tidak divaksinasi.
2) Strategi pembebasan
Lokasi sasaran dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
- Lokasi tertular:
Yaitu desa/kelurahan tertular yang dalam 2 tahun terakhir pernah
ada kasus, klinis. epidemiologis, laboratoris dan desa-desa
disekitarnya
- Lokasi terancam:
Yaitu desa kelurahan di luar lokasi tertular dalam satu wilayah
kecamatan.
- Lokasi bebas kasus:
Yaitu kecamatan yang berada di luar lokasi tertular yang
terancam.
3) Tindakan pada masing-masing lokasi
Pada lokasi tertular dan terancam.
- Dilakukan vaksinasi dan eliminasi 100% dari populasi anjing
minimal pada lokasi tertular.
- Vaksinasi dan eliminasi massal dilakukan serentak. Secara
umum, perbandingan vaksinasi dan eliminasi yaitu 70% : 30%,
namun secara spesifi k di tiap daerah tergantung pada kebijakan
daerah masing-masing yang disesuaikan dengan situasi sosial
budaya setempat.
- Setelah kegiatan massal vaksinasi dan eliminasi dilanjutkan
kegiatan konsolidasi pada anjing yang baru lahir, mutasi dan
belum divaksinasi pada kegiatan massal.
- Kalau ada kasus gigitan positif rabies, maka di wilayah lokasi
tertular tersebut segera diadakan vaksinasi dan eliminasi.
- Vaksinasi dan eliminasi massal di lokasi tertular dimulai dari
lokasi kasus mengarah keluar (sentripetal).
- Pada saat yang bersamaan dari batas luar lokasi terancam
dilakukan vaksinasi dan eliminasi mengarah ke dalam lokasi
tertular (sentrifugal).
- Menangkap dan melaksanakan observasi hewan menderita
rabies selama 10-14 hari, terhadap hewan yang mati selama
observasi atau dibunuh maka harus diambil spesimen untuk
dikirim ke laboratorium (BPPH/Lab.type) untuk diagnosa.
Diluar lokasi tertular dan terancam
Tindakan vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada lokasi
rawan yaitu lokasi yang yaitu jalur lalu lintas anjing yang sulit
dikontrol
c. Bila terjadi kasus rabies maka dilakukan tindakan sebagai berikut :
1) Basuh luka dengan air sabun dengan air yang mengalir, ether atau
chloroform lalu bilas dengan air dan oles dengan Yodium tinctura
atau alkohol 70%, anti tetanus dan antibiotika.
2) Hewan penggigit susaha dibawa Dinas Peternakan terdekat untuk
dilakukan observasi paling lama selama 2 (dua) minggu.
3) Bila hewan mati maka diambil hypocampusnya dalam bentuk segar
(dalam es) dalam bahan pengawet glycerin atau dibuat preparat
sentuh lalu dibawa secepatnya pada laboratorium veteriner
terdekat untuk peneguhan diagnosa.
4) Bila seseorang atau hewan telah menunjukan gejala klinis rabies,
maka tidak ada obat yang efektif untuk mengatasinya
MALIGNANT CATARRHAL FEVER
Sinonim: malignant catarrh, malignant head catarrh, gangrenous coryza.
snotsiekte, penyakit ingusan
Malignant catarrhal fever (MCF) yaitu penyakit degeneratif dan limfo-
proliferatif yang bersifat sangat fatal dan menyerang sapi, kerbau, rusa dan
beberapa ruminansia liar lainnya. Biasanya penyakit ini bersifat sporadis dengan
tingkat morbiditas rendah namun dengan tingkat kematian yang sangat tinggi
hingga mencapai 100%. Hewan yang peka terhadap penyakit MCF antara lain
berbagai bangsa sapi (Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus), kerbau (Bubalus
bubalis), bison (Bos bonasus) dan beberapa jenis rusa dan babi .
Hingga saat ini dikenal ada dua bentuk MCF, yakni wildebeest-associated
MCF (WA-MCF) dan sheep-associated MCF (SA-MCF) yang secara klinis
dan patologis tidak dapat dibedakan. Wildebeest-associated MCF terjadi pada
saat hewan peka kontak dengan hewan wildebeest (Connochaetes sp) yang
membawa virus pemicu penyakit tanpa menunjukkan gejala klnis MCF.
Bentuk ini banyak ditemukan di Afrika yang yaitu habitat asli wildebeest
dan di beberapa kebun binatang yang memelihara wildebeest. Agen pemicu
WA-MCF telah diisolasi dari wildebeest oleh sebagai virus herpes dan sekarang
virus tersebut disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1). Sedangkan
SA-MCF yaitu bentuk MCF yang terjadi pada hewan peka yang berkontak
dengan domba yang secara epidemiologi diketahui sebagai hewan reservoir.
Selanjutnya hasil pengujian biologi molekuler menunjukkan bahwa domba
membawa virus pemicu SA-MCF tanpa menunjukkan gejala klinis MCF. Virus
pemicu SA-MCF hingga saat ini belum dapat diisolasi, namun berdasar
sel limfoblastoid yang diisolasi dari kasus SA-MCF virus pemicu MCF disebut
dengan Ovine Herpesvirus-2 (OVHV-2).
etiologi
1. Sifat fi sik dan kimia virus
Tidak ada data yang pasti tentang daya tahan virus pada suhu tertentu tetapi
virus sangat labil jika terkena panas matahari dan pada kondisi lingkungan
yang kering, akan tetapi virus dapat bertahan sampai 13 hari pada kondisi
lingkungan yang lembab dan stabil antara pH 5.5–8.5. Virus akan mati
dengan penambahan disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3% ).
Cell-associated virus dapat bertahan di luar sel selama 72 jam di luar induk
semangnya
2. Sifat Biologi virus
Ada dua bentuk MCF yang dikenal, yaitu wildebeest associated (WA-MCF)
dipicu oleh Alcelaphine Herpes Virus 1 (AlHV-1) dan sheep associated
MCF (SA-MCF) yang belum dapat diisolasi virus penyebabnya. Meskipun
demikian, Ovine Herpes Virus-2 (OvHV-2) telah diketahui sebagai virus yang
dimaksud. Bentuk SA-MCF inilah yang ada di negara kita dimana domba
dianggap paling berperan sebagai hewan reservoir.
Walaupun ada dua bentuk MCF, akan tetapi secara klinis dan patologis
kedua bentuk MCF tersebut tidak dapat dibedakan. Secara klinis MCF
terbagi atas bentuk perakut, bentuk intestinal, bentuk kepala dan mata serta
bentuk kronis/sub-klinis. Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam,
eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, dan beberapa
manifestasi gejala syaraf. Gambaran pasca-mati yang umum diketahui yaitu
pembengkakan limfoglandula superfi sial, petekhi pada trakhea, pneumonia,
petekhi pada mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis. Secara
mikroskopis, peradangan pembuluh darah (vaskulitis) dianggap sebagai ciri
yang patognomonik untuk MCF disertai dengan peradangan non-supuratif
pada rete mirabile, otak, trakhea, paru-paru, jantung, hati, ginjal, kandung
kemih, abomasum, dan usus halus. Dewasa ini, pada saat virus pemicu SA-
MCF belum dapat diisolasi, konfi rmasi diagnosa untuk MCF masih mengacu
pada gambaran histopatologisnya.
3. Struktur genome dan klasifi kasi virus MCF
Virus AIHV-1 dan OvHV-2 termasuk dalam Genus Rhadinovirus, Subfamily
Gammaherpesvirinae. Hasil sekuen terbaru dari OvHV-2 yang berasal dari
large granular lymphocyte (LGL) cell line sapi mengindikasikan bahwa
genome tersebut sangat mirip dengan AlHV-1 dan bersifat co-linear dengan
rhadinoviruses. Genome mempunyai segmen unik 130 kbp tersusun dari
terminal repeats 1.1 kbp (AlHV-1) atau 4.2 kbp (OvHV-2).
ada 73 predicted open reading frames (ORFs) pada sekuen OvHV-2
dan 71 pada sekuen AIHV-1. Dari 10 gene unik pada AIHV-1 (A1-A10), 8 gen
bersifat homolog dengan OvHV-2 tetapi tidak ekuivalen untuk A1 dan A4.
Virus OvHV-2 diberi kode tambahan dengan Ov2.5, Ov3.5, Ov4.5 dan Ov8.5
yang menandakan posisinya (Tabel 1, Gambar 1).
Table 1. Gen unik OvHV-2 dan AIHV-1 pada virus MCF.
No OvHV-2 gene
AlHV-1
gene Possible Function
a
1 A1 Unknown
2 Ov2 A2 Leucine zipper protein; Transcription regulation
3 Ov2.5 Virus IL-10
4 Ov3 A3 Semaphorin homologue; Intracellular signalling
5 Ov3.5 Unknown, signal peptide
6 A4 Unknown, signal peptide
7 Ov4.5 A4.5 Bcl-2 homologue; cell death regulators
8 Ov5 A5 GPCR (G-protein coupled receptor); Intracellular signalling
9 Ov6 A6 Similar to Epstein-Barr virus BZLF1; Virus transactivator
10 Ov7 A7 Virus Glycoprotein
11 Ov8 A8 Virus Glycoprotein
12 Ov8.5 Unknown, proline-rich
13 Ov9 A9 Bcl-2 homologue; Cell death regulators
14 Ov10 A10 Nuclear localisation signal; Transcriptional regulation
Gambar 1. Organisasi genome virus AIHV-1 dan OvHV-2. (Sumber : RUSSEL et
al, 2009).
epidemiologi
1. Spesies rentan
Penyakit MCF secara umum dapat menyerang sapi dan hewan ungulata
lainnya, termasuk bison, rusa dan babi. Urutan kepekaan hewan terhadap
MCF berturut-turut yaitu sapi Bali (Bos javanicus), sapi Bali persilangan,
kerbau (Bubalus bubalis), sapi Ongole (Bos indicus) dan sapi Brahman (Bos
taurus). Selain itu kelinci yaitu hewan percobaan yang sangat peka terhadap
MCF.
Letak geografi s kemungkinan juga mempengaruhi terjadinya kasus, misalnya
MCF klinik di Mataram dan Banyuwangi lebih tinggi dibandingkan di Denpasar dan
Kendari. Seperti halnya pada kasus wabah ini, kasus penyakit lebih sering
terjadi pada musim hujan. Disamping itu faktor stres juga dianggap sebagai
faktor predisposisi bagi MCF.
2. Sifat Penyakit
Kejadian endemis MCF di negara kita pernah dilaporkan pada sapi Bali dan
rusa (Cervus timorensis) di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur yang terjadi
pada saat sekelompok domba dipindahkan pada kelompok sapi Bali dan rusa
yang belum pernah kontak dengan domba. Pada saat itu tingkat kematian
MCF pada 55 rusa mencapai 65%, sedangkan pada sapi Bali mencapai
20%. Selain itu, wabah MCF pernah pula dilaporkan menyerang sapi Bali
yang didatangkan ke daerah transmigrasi di Propinsi Bengkulu yang telah
memiliki kelompok domba. Kejadian wabah MCF pada sapi dan kerbau
yang dipakai untuk penelitian pernah dilaporkan di Balai Penelitian Ternak
(BALITNAK), Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) dan sekitarnya di Bogor,
pada saat sapi dan kerbau dipelihara di kandang yang berdekatan dengan
kandang domba.
3. Cara Penularan
Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi kontak langsung antara
hewan peka dan reservoir, namun pernah dilaporkan kasus SA-MCF terjadi
pada seekor sapi Bali yang dipelihara 100 meter dari kandang domba yang
sedang bunting dan beranak. Wabah WA-MCF juga dilaporkan pada sapi
yang terpisah 100 meter dari wildebeest. Namun demikian cara penularan
dari domba ke sapi belum diketahui dengan pasti dan kemungkinan besar
penularan terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina.
Penularan SA-MCF memiliki pola epidemiologi yang mirip dengan WA-MCF,
yakni domba berperan sebagai reservoir virus pada saat penularan penyakit.
Baik AIHV-1 dan OvHV-2 ditransmisikan melalui kontak atau aerosol. Anak
wildebeest memperoleh virus AIHV-1 baik secara vertikal dari induknya
(in utero) maupun secara horizontal dari sesama anak wildebeest. ini
didasarkan pada pemikiran bahwa virus ini dapat diisolasi dari fetus dan
darah anak wildebeest umur satu minggu. Penularan diantara wildebeest
yaitu melalui ekskresi hidung, dimana penularan secara vertikal dan
horizontal ini terutama terjadi pada anak wildebeest hingga berumur tiga
bulan dan virus bebas pada wildebeest yaitu ditemukan pada cairan mata
dan sekresi hidung sedangkan . virus DNA OvHV-2 dapat dideteksi pada
sampel yang berasal dari saluran pencernaan, pernapasan dan uro-genital
domba.
4. Faktor Predisposisi
Faktor yang mempengauruhi terjadinya penyakit yaitu: peranan masing-
masing faktor yang mungkin berpengaruh, yaitu jenis breed hewan, kepekaan
individu hewan, status hewan (stres, concurrent infection), musim, daerah
geografi , kontak dengan hewan karier, strain virus yang berbeda dan lain-
lain.
5. Distribusi Penyakit
Di negara kita , penyakit MCF dilaporkan untuk pertama kali pada tahun 1894
di Kediri, Jawa Timur dilaporkan pada tahun 1954. Di negara kita kejadian
MCF sudah mendapat banyak perhatian, karena penyakit ini telah tersebar
di hampir seluruh kepulauan di negara kita . Berkaitan dengan kejadian MCF
di negara kita hingga saat ini ada dua kejadian, endemis dan epidemis.
Kejadian endemis lebih banyak dilaporkan dibandingkan epidemis dan pada
umumnya terjadi dengan tingkat kejadian yang rendah, yakni antara
lain dilaporkan terjadi di Propinsi Lampung, Sumatra Selatan dan Bengkulu,
Sulawesi Selatan, Sumatra Barat, Riau dan Jambi dan Sulawesi Tenggara.
Sedangkan kejadian endemis dengan tingkat kejadian yang tinggi pernah
dilaporkan di Banyuwangi, Jawa Timur. MCF subklinis ditemukan pada sapi
Bali yang dipotong di RPH Mataram, Banyuwangi, Kendari dan Denpasar.
Kasus MCF alami juga menyerang hewan penelitian di BBalitvet dan Balitnak,
Bogor. Akhir akhir ini MCF tidak banyak dilaporkan kejadiannya sesudah
peternak menyadari bahwa pembawa MCF yaitu domba sehingga padang
gembalaan domba dan sapi dilakukan secara terpisah. Laporan kasus MCF
terakhir dilaporkan kejadiannya di Maros, Sulawesi Selatan.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Diagnosa MCF yang dilakukan hanya berdasar pada gejala klinis dan
pasca-mati kurang tepat karena kasus sub-klinis dapat terjadi. Bentuk MCF
per-akut, intestinal, kepala dan mata, dan kronis/sub-klinis, kesemuanya
memberikan hasil patognomonik berupa vaskulitis pada organ tertentu, dengan
derajat keparahan lesi yang berbeda. Bentuk SA-MCF inilah yang ada di
negara kita , yang dalam hal ini domba dianggap paling berperan sebagai hewan
reservoir.
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan
hidung, kekeruhan kornea, diare, pembengkakan limfoglandula superfi cial dan
beberapa manifestasi gejala syaraf. Gambar 2,3 dan 4 menujukkan beberapa
kelainan klinis akibat MCF.
Perubahan Patologi Anatomi (PA)
Gambaran pascamati yang umum diketahui yaitu pembengkakan
limfoglandula superfi sial, petekhi pada trakhea, pneumonia, petekhi pada
mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis. Gambar 5 dan 6
menunjukkan gambaran PA yang sering ditemukan pada MCF.
2. Perubahan histopatologi (HP)
Perubahan histopatologi MCF yang patognomonik yaitu vaskulitis
(peradangan pada dinding pembuluh darah) yang berupa infi ltrasi limfosit
dan makrofag dan terkadang sedikit netrofi l dan sel plasma pada beberapa
organ seperti mata, otak, meningen, rete mirabile epidurale, ginjal, hati,
kelenjar adren