Tujuan adanya pedoman penatalaksanaan batu saluran kemih adalah memberikan panduan bagi dokter dalam menangani kasus mengenai batu saluran
kemih berbasis bukti (evidence-based) dan berkaitan dengan praktik klinis. Penatalaksanaan yang akan diberikan bergantung pada keadaan pasien, sarana
dan prasarana yang tersedia, komplikasi yang terjadi, dan pilihan pasien. Pedoman ini dapat digunakan untuk penyusunan penatalaksanaan pasien disesuaikan dengan kompetensi dan ketersediaan peralatan.
. Metodologi
Pedoman penatalaksanaan batu saluran kemih (PPBSK) ini selanjutnya disebut “guideline” disusun oleh suatu tim panelis yang dibentuk oleh Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia (PP IAUI). Penyusunan pedoman ini berdasarkan beberapa pedoman di tingkat internasional dan nasional. Tim penyusun
melakukan penelusuran literatur yang ekstensif dan telah menyaripatikan dalam bentuk rekomendasi. Tugas tim panelis pedoman adalah melakukan penilaian terhadap pedoman yang ada dan menilai kecocokannya dengan kondisi
di Indonesia dengan mempertimbangkan ketersediaan sarana dan prasarana
serta kemampuan spesialis urologi dalam melakukan modalitas terapi yang
ada. Hasil rumusan pedoman ini dicapai melalui konsensus dan diformulasikan dalam berbagai tingkatan sesuai urutan rekomendasi. Pedoman penatalaksanaan ini menggunakan klasifikasi tingkat pembuktian (Level of Evidence/
LE), sedangkan rekomendasi penatalaksanaan menggunakan klasifikasi de
rajat rekomendasi (Grade of Recommendation/GR). Sumber rekomendasi, baik
LE maupun GR yang dipakai mengacu pada pedoman Oxford Recommendation
of Evidence-based Medicine dan menggunakan EAU Guidelines 2018 serta AUA
Guidelines 2017.1,2
1.3. Definisi dan Etiologi
Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu di saluran
kemih yang meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan uretra. Pembentukan batu
dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu infeksi, non-infeksi, kelainan
genetik, dan obat-obatan.
D. Prevalensi dan Epidemiologi
Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus tersering
di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu saluran kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar antara
1-20%. Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1 dengan
puncak insiden terjadi pada usia 40-50 tahun.4
E. Faktor Risiko
Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan adanya kejadian kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata
laksana farmakologi dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran
kemih. Sekitar 50% pembentukan batu saluran kemih juga dapat ditemukan
kekambuhannya setidaknya 1 kali dalam seumur hidup. Faktor risiko terjadinya
pembentukan batu antara lain, terjadinya BSK di usia muda, faktor keturunan,
batu asam urat, batu akibat infeksi, hiperparatiroidisme, sindrom metabolik,
dan obat-obatan
Klasifikasi batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi, karakteristik pencitraan sinar X, etiologi terbentuknya batu, komposisi batu,
dan risiko kekambuhan. Ukuran batu biasanya diklasifikasikan dalam 1 atau 2
dimensi, yang dibagi menjadi beberapa ukuran, yaitu 5, 5-10, 10-20, dan >20
mm. Berdasarkan letak batu dibagi menjadi lokasi, yaitu kaliks ginjal superior,
medial, atau inferior, pelvis renal, ureter proksimal atau distal, dan buli.
Anamnesis
Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria, retensi urine, dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti
demam dan tanda gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat
penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas, hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit
usus atau pankreas. Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi
batu pada pasien, antara lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang
tinggi, buah dan sayur kurang, serta makanan tinggi purin yang berlebihan,
jenis minuman yang dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi.
Riwayat pengobatan dan suplemen seperti probenesid, inhibitor protease, inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D, kalsium, dan inhibitor karbonik
anhidrase. bila pasien mengalami demam atau ginjal tunggal dan diagnosisnya diragukan, maka perlu segera dilakukan pencitraan.
. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK sangat bervariasi mulai tanpa kelainan
fisik sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu dan
penyulit yang ditimbulkan (komplikasi). Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain:
Pemeriksaan fisik umum : Hipertensi, demam, anemia, syok
Pemeriksaan fisik urologi
- Sudut kostovertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok, dan pembesaran ginjal
- Supra simfisis : Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh
- Genitalia eksterna : Teraba batu di uretra
- Colok dubur : Teraba batu di buli-buli (palpasi bimanual)
. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu saluran kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Pemeriksaan
laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran kemih.
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urinalisa. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit,
dan hitung jenis darah, bila pasien akan direncanakan untuk diintervensi,
maka perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin, uji koagula-
si (activated partial thromboplastin time/aPTT, international normalised ratio/INR),
natrium, dan kalium. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan
atau C-reactive protein (CRP).
Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat eritrosuria, leukosuria, bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine. Hanya pasien dengan risiko tinggi terjadinya kekambuhan, maka perlu dilakukan analisis spesifik lebih lanjut.
Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan bila didapatkan sampel batu
pada pasien BSK. Pemeriksaan analisis batu yang dianjurkan menggunakan
sinar X terdifraksi atau spektroskopi inframerah. Selain pemeriksaan di atas,
dapat juga dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar
vitamin D, bila dicurigai hiperparatiroid primer.1
Rekomendasi Kekuatan
Analisis urine:
Eritrosit, leukosit, nitrit, pH urine, dan/atau kultur urine Kuat
Analisis darah:
Kreatinin, asam urat, Na, K, Ca, hitung jumlah jenis darah, CRP Kuat
Pemeriksaan uji koagulasi (aPTT dan INR) dikerjakan jika pasien ingin dilakukan intervensi Kuat
Pemeriksaan analisis batu pada pasien BSK dapat menggunakan sinar X terdifraksi atau spektroskopi inframerah Kuat
2.4. Pencitraan
Diagnosis klinis sebaiknya dilakukan dengan pencitraan yang tepat untuk
membedakan yang dicurigai batu ginjal atau batu ureter. Evaluasi pada pasien termasuk anamnesis dan riwayat medis lengkap serta pemeriksaan fisik.
Pasien dengan batu ureter biasanya mengeluh adanya nyeri, muntah, kadang
demam, namun dapat pula tidak memiliki gejala.3
Pencitraan rutin antara lain,
foto polos abdomen (kidney-ureter-bladder/KUB radiography). Pemeriksaan foto
polos dapat membedakan batu radiolusen dan radioopak serta berguna untuk
membandingkan saat follow-up.
4
USG merupakan pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan aman, mudah
diulang, dan terjangkau. USG juga dapat mengidentifikasi batu yang berada di
kaliks, pelvis, dan UPJ. USG memiliki sensitivitas 45% dan spesifisitas 94% untuk batu ureter serta sensitivitas 45% dan spesifisitas % untuk batu ginjal.5,6
Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya digunakan mengikuti pemeriksaan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut karena lebih akurat
dibandingkan IVP
CT-Scan non kontras menjadi standar diagnostik pada nyeri pinggang akut.
CT-Scan non kontras dapat menentukan ukuran dan densitas batu. CT-Scan
dapat mendeteksi batu asam urat dan xantin.7,8 Pemeriksaan CT-Scan non kontras pada pasien dengan IMT <30, dapat menggunakan dosis rendah dengan
sensitivitas % pada batu ureter <3 mm dan 100% pada >3 mm.9
Pada studi
meta-analisis menunjukkan bahwa dosis rendah CT-Scan dapat mendiagnosis
BSK dengan sensitivitas 96,6% (95%CI 95,0-97,8) dan spesifisitas 94,9% (95%CI
92,0-97,0).10 Pemeriksaan urografi intravena (IVP) dapat dipakai sebagai pemeriksaan diagnostik bila CT-Scan non kontras tidak memungkinkan.
Pada wanita hamil, paparan radiasi dapat menyebabkan efek teratogenik dan
karsinogenesis. USG menjadi modalitas pencitraan utama pada pasien hamil
dengan kecurigaan adanya kolik renal. Namun, perubahan fisiologis pada wanita hamil dapat menyerupai gejala obstruksi ureter. MRI dapat digunakan sebagai modalitas lini kedua untuk menilai adanya obstruksi saluran kemih dan
dapat melihat batu sebagai ‘filling defect’. MRI 1,5 T merupakan pemeriksaan
yang direkomendasikan pada wanita hamil. Penggunaan gadolinium tidak rutin digunakan pada wanita hamil karena memiliki efek toksik pada janin. Untuk
deteksi BSK selama kehamilan, penggunaan CT-Scan dosis rendah memiliki
nilai prediksi positif 95,8% dibandingkan MRI ( %) dan USG (77%). Penggunaan CT-Scan direkomendasikan pada wanita hamil sebagai pilihan modalitas
terakhir
Pasien anak dengan batu saluran kemih memiliki risiko tinggi terjadinya kekambuhan, oleh karena itu, perlu dilakukan prosedur analisis batu saluran kemih.
Gangguan metabolik yang dapat menimbulkan pembentukan batu yang tersering pada anak adalah refluks vesikoureter (VUR), obstruksi UPJ, neurogenic
bladder dan kesulitan berkemih lainnya.
Ringkasan Bukti Ilmiah LE
Ultrasonografi merupakan modalitas lini pertama pada anak dengan
kecurigaan batu saluran kemih dan harus meliputi ginjal, buli yang
terisi penuh, serta ureter pada ginjal dan buli.
2b
Radiografi ginjal-ureter-buli (atau CT-Scan non kontras) merupakan
modalitas alternatif jika USG tidak dapat memperoleh informasi yang
dibutuhkan.
Pemeriksaan dengan kontras dapat dilakukan bila direncanakan penatalaksanaan BSK yang memerlukan anatomi dan fungsi ginjal. CT-Scan non kontras
juga memberikan informasi cepat secara 3D termasuk ukuran dan densitas
batu, jarak antara kulit dan batu, serta anatomi sekitarnya, namun dengan konsekuensi adanya paparan radiasi. Pemeriksaan dengan zat kontras tidak anjurkan pada pasien dengan alergi kontras dan penurunan fungsi ginjal, konsumsi
metformin, dan mielomatosis
Prinsip Terapi Umum
Keputusan untuk memberikan tata laksana batu pada saluran kemih bagian
atas dapat berdasarkan komposisi batu, ukuran batu, dan gejala pasien. Terapi
umum untuk mengatasi gejala batu saluran kemih adalah pemberian analgesik harus diberikan segera pada pasien dengan nyeri kolik akut.1 Non Steroid
Anti Inflammation Drugs (NSAID) dan parasetamol dengan memperhatikan dosis dan efek samping obat merupakan obat pilihan pertama pada pasien dengan nyeri kolik akut dan memiliki efikasi lebih baik dibandingkan opioid. Obat
golongan NSAID yang dapat diberikan antara lain diklofenak, indometasin,
atau ibuprofen.2
Pada pasien yang belum diketahui fungsi ginjalnya, pemberian analgetika sebaiknya bukan NSAID, utamanya bila ada riwayat tindakan untuk untuk batu yang berulang dan komorbiditas diabetes mellitus. Diklofenak
dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif kelas II-IV
berdasarkan klasifikasi New York Heart Association (NYHA), penyakit jantung
koroner, dan penyakit serebrovaskuler, serta penyakit arteri perifer. Namun,
pasien dengan faktor risiko kardiovaskular dapat diberikan diklofenak dengan
pengawasan dokter dan diberikan dosis rendah dengan durasi yang singkat.3
Penambahan obat anti spasmodik pada pemberian NSAID tidak menghasilkan
kontrol nyeri yang lebih baik.1
Pada pasien dengan batu ureter yang diharapkan dapat keluar secara spontan, maka pemberian NSAID baik tablet maupun supositoria (seperti natrium
diklofenak 100-150 mg/hari selama 3-10 hari) dapat membantu mengurangi
inflamasi dan risiko nyeri berulang.4
Walaupun diklofenak dapat memperburuk fungsi ginjal pada pasien yang sudah terganggu fungsi ginjalnya, namun
tidak berpengaruh pada pasien yang masih memiliki fungsi ginjal yang normal.
Pada studi RCT, episode nyeri berulang pada kolik menurun secara signifikan
pada pemberian NSAID pada 7 hari pertama pemberian obat.5
Pemberian obat
golongan α-blocker, juga dapat menurunkan episode nyeri, namun masih terdapat kontroversi pada beberapa literatur.6
Pemberian obat simtomatik segera
diikuti dengan terapi desobstruksi drainase dan atau terapi definitif pada batu
saluran kemih. Untuk pasien batu ureter simptomatik, pengangkatan batu
segera merupakan tata laksana pertama bila memungkinkan.
Tata laksana pada obstruksi ginjal dengan sepsis dan/atau anuria merupakan
kasus emergensi di bidang urologi. Dekompresi segera merupakan tata laksana yang sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut berupa infeksi,
hidronefrosis, atau obstruksi ginjal unilateral ataupun bilateral. Saat ini, ada 2
cara untuk melakukan dekompresi segera pada obstruksi saluran kemih, yaitu
pemasangan stent ureter dan pemasangan nefrostomi. Saat ini, masih sedikit bukti yang menunjukkan nefrostomi perkutan lebih superior dibandingkan
pemasangan stent pada hidronefrosis yang terinfeksi.7
Tidak ada bukti kuat
yang menyarankan bahwa pemasangan stent menyebabkan banyak komplikasi dibandingkan nefrostomi perkutan.8
Terkait dekompresi segera pada kasus obstruksi, dapat dilakukan pengambilan sampel darah dan urine secara bersamaan yang digunakan untuk kultur
dan pemberian antibiotik sesuai hasil kultur. Pada kasus infeksi saluran kemih
dapat diberikan terapi antibiotik bila ingin direncanakan pengangkatan batu
dan terapi antibiotik dapat dievaluasi berdasarkan hasil kultur. Pada pasien
dengan infeksi dan obstruksi yang signifikan, dapat dilakukan drainase dalam
beberapa hari dengan nefrostomi atau stent, sebelum dilakukan pengangkatan
batu. Pemberian antibiotik profilaksis secara signifikan dapat menurunkan kejadian demam atau komplikasi lainnya setelah dilakukan tindakan.
Batu saluran kemih dengan komposisi brushite, kalsium oksalat monohidrat,
atau sistin memiliki karakteristik yang keras dengan densitas tinggi pada CTScan non kontras.10 Nefrolitotomi perkutan atau ureterorenoskopi (URS) merupakan tindakan alternatif untuk pengangkatan batu saluran kemih dengan
ukuran yang besar. Steinstrasse adalah akumulasi fragmen batu atau kerikil
pada ureter yang dapat mengganggu aliran urine. Steinstrasse terjadi pada
4-7% kasus SWL dan faktor utama terjadinya steinstrasse adalah ukuran
batu.11 Berdasarkan meta-analisis, pemasangan stent sebelum SWL memberikan manfaat mencegah terjadinya pembentukan steinstrasse, namun tidak
memberikan manfaat pada angka bebas batu.12 Pemasangan DJ stent sebelum SWL disarankan dilakukan pada kasus batu dengan ukuran >2 cm
Tata Laksana Spesifik Batu Ginjal
Perjalanan penyakit batu ginjal yang asimptomatik dengan ukuran kecil masih belum jelas dan risiko progresi penyakit masih belum jelas. Hingga saat
ini, masih belum ada konsensus mengenai durasi follow-up, waktu dan tipe intervensi. Pilihan tata laksana batu ginjal adalah kemolisis atau pengangkatan
batu secara aktif.
3.2.1. Konservatif (Observasi)
Observasi batu ginjal, terutama di kaliks, bergantung pada riwayat perjalanan
penyakit. Rekomendasi observasi pada batu ginjal saat ini belum didukung literatur yang baik. Saat ini, suatu studi prospektif menyarankan dilakukan observasi tahunan untuk batu kaliks inferior asimptomatik ≤10 mm. Bila terdapat
pertambahan ukuran batu, interval follow-up perlu diperpendek. Intervensi disarankan bila batu bertambah ukurannya >5 mm.14
3.2.2. Farmakologis
Pelarutan batu dengan tata laksana farmakologis merupakan pilihan terapi
hanya untuk batu asam urat, tetapi informasi mengenai komposisi batu perlu
dalam menentukan pilihan terapi.
3.2.3. Indikasi Pengangkatan Batu Ginjal Secara Aktif
Indikasi adanya pengangkatan batu pada batu ginjal antara lain:15
• Pertambahan ukuran batu;
• Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;
• Obstruksi yang disebabkan oleh batu;
• Infeksi saluran kemih;
• Batu yang menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria;
• Ukuran batu >15 mm;
• Ukuran batu <15 mm jika observasi bukan merupakan pilihan terapi;
• Preferensi pasien;
• Komorbiditas;
• Keadaan sosial pasien (misalnya, profesi dan traveling)
Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ginjal secara Aktif
3.2.4.1. Batu Pelvis Ginjal atau Kaliks Superior/Media
Terapi modalitas pada kasus batu ginjal adalah Shock Wave Lithotripsy (SWL),
Percutaneous Nephrolithotripsy (PNL), dan Retrograde Intra Renal Surgery (RIRS).
Sementara efektivitas PNL tidak terlalu tergantung dari ukuran batu, efektivitas Stone Free Rate (SFR) dari SWL atau RIRS sangat tergantung dari ukuran
batu.16 Tindakan SWL memiliki angka SFR yang cukup baik pada batu dengan
ukuran <20 mm, kecuali untuk kaliks inferior.17 Endourologi dipertimbangkan
sebagai alternatif karena membutuhkan pengulangan prosedur yang lebih sedikit dan waktu yang pendek untuk mencapai kondisi bebas batu. Batu berukuran >20 mm harus diterapi secara primer dengan PNL, karena SWL sering
kali membutuhkan beberapa kali prosedur dan berkaitan dengan peningkatan
risiko obstruksi ureter (kolik atau steinstrasse) yang membutuhkan terapi tambahan. RIRS tidak direkomendasikan sebagai tata laksana lini pertama pada
batu berukuran >20 mm pada kasus batu tanpa komplikasi karena SFR lebih rendah dan bisa memerlukan pengulangan prosedur.18 Namun, RIRS dapat
menjadi pilihan pertama bila PNL bukan sebagai pilihan terapi atau dikontraindikasikan.
3.2.4.2. Batu Kaliks Inferior
Angka bebas batu setelah prosedur SWL terlihat lebih rendah pada batu kaliks
inferior dibandingkan dengan batu intra renal di lokasi lainnya. Sebuah studi
melaporkan bahwa SFR setelah SWL pada batu kaliks inferior adalah 25-95%.
Beberapa hal yang dapat mengganggu keberhasilan SWL dapat dilihat pada
Tabel 3.1.19
Jika terdapat prediktor negatif untuk SWL, PNL dan RIRS dapat menjadi alternatif tindakan, walaupun pada batu dengan ukuran yang lebih kecil. Tindakan
RIRS dibandingkan SWL pada batu kaliks inferior memiliki efikasi SFR lebih
tinggi, namun dengan tingkat invasif yang lebih tinggi. Berdasarkan pada kemampuan operator, batu berukuran hingga 3 cm dapat dilakukan tindakan
RIRS, walaupun pengulangan prosedur sering diperlukan.20 Pada kasus batu
kompleks, pendekatan prosedur operasi terbuka atau laparoskopik merupakan
pilihan tata laksana alternatif.
Tatalaksana Endourologi untuk Batu Ginjal
3.2.5.1. Nefrolitotomi Perkutan (PNL)
Nefrolitotomi perkutan merupakan prosedur standar untuk tatalaksana batu
ginjal yang berukuran besar. Perbedaan endoskopi kaku dan fleksibel merupakan pilihan yang bergantung pada preferensi operator. Ukuran standar yang
digunakan adalah 24-30 F, sedangkan untuk akses yang lebih kecil, dapat digunakan ukuran <18 F yang biasa digunakan untuk anak-anak, namun saat ini
mulai popular untuk penggunaan bagi orang dewasa. Kontraindikasi nefrolitotomi perkutan antara lain infeksi saluran kemih yang tak terkontrol, tumor
yang dicurigai di sekitar daerah akses PNL, tumor ginjal dengan potensial ganas, dan kehamilan.21
Litotripsi intrakorporal merupakan metode yang digunakan pada PNL, biasanya
dibantu dengan ultrasonik dan sistem pneumatik (balistik) pada penggunaan
nefroskopi rigid, sedangkan pada penggunaan nefroskopi fleksibel biasanya
menggunakan laser Holmium: Yttrium-Aluminium-Garnet (Ho:YAG).
22 Pencitraan
ginjal dengan ultrasonik atau CT-Scan dapat memberikan informasi mengenai
organ interposisi pada jalur perkutan (seperti limpa, hati, usus besar, pleura,
dan paru).
Posisi pronasi atau supinasi memiliki keamanan yang sama.23 Sejak diperkenalkan prosedur PNL, posisi pronasi lebih disukai, namun saat ini posisi supinasi menjadi populer di beberapa rumah sakit. Beberapa literatur menyatakan bahwa posisi pronasi dan supinasi tidak menunjukkan superioritas pada
masing-masing posisi dalam hal angka bebas batu atau komplikasi. Sebuah
studi di Indonesia, menunjukkan bahwa posisi supinasi dibandingkan posisi
pronasi memiliki kelebihan antara lain durasi operasi lebih singkat (57 menit
vs. 78 menit, p=0,001), durasi anestesi lebih singkat (71 menit vs. 107 menit,
p<0,001), dan jumlah kehilangan darah lebih sedikit (0,54 mg/dL vs. 1,37 mg/
dL, p=0,001). Posisi supinasi berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan untuk
bahan habis pakai dan anestesi lebih murah dibandingkan posisi pronasi.24
Studi lainnya juga menunjukkan bahwa posisi supinasi memiliki durasi operasi yang lebih singkat.25 Namun demikian, pada praktik klinis, faktor terpenting
dalam hal pemilihan posisi adalah berdasarkan pengalaman dan preferensi
dokter urologi.
Saat ini, floroskopi merupakan metode pencitraan yang paling sering digunakan
dan menggunakan ultrasonografi sebagai alat tambahan untuk menurunkan
paparan radiasi. Preoperatif CT-Scan atau intraoperatif USG dapat mengidentifikasi jaringan antara kulit dan ginjal serta dapat menurunkan insiden cedera viseral. Dilatasi untuk akses jalur perkutan dapat menggunakan teleskop
metalik, dilator tunggal, atau dilator balon. PNL yang menggunakan diameter
jalur perkutan kecil (<22 Fr, mini-PNL) dapat digunakan sebagai prosedur pengangkatan batu ginjal dengan kecenderungan kehilangan darah lebih sedikit,
namun durasi operasi lebih lama.
Keputusan untuk menempatkan nefrostomi pada akhir prosedur PNL bergantung pada beberapa faktor antara lain adanya batu residu, kemungkinan
direncanakan prosedur yang kedua, kehilangan darah secara signifikan selama operasi, ekstravasasi urine, obstruksi ureter, berpotensi adanya bakteriuria,
ginjal tunggal, dan direncanakan kemolitolisis perkutan.26 Pada kasus tanpa
komplikasi, setelah prosedur nefrolitotomi perkutan, tanpa menggunakan nefrostomi dan/atau stent ureter merupakan metode alternatif yang aman. Tubeless PNL merupakan prosedur PNL tanpa menggunakan tabung nefrostomi.
Ketika tidak ada tabung nefrostomi atau stent ureter yang dimasukkan, maka
prosedur tersebut disebut totally tubeless PNL.27
Berdasarkan meta-analisis, insiden komplikasi yang berhubungan dengan PNL
antara lain demam (10,8%), transfusi (7%), komplikasi torakal (1,5%), sepsis
(0,5%), cedera organ (0,4%), embolisasi (0,4%), urinoma (0,2%), dan kematian
(0,05%).28 Demam pada perioperatif dapat terjadi walaupun kultur urine preoperasi sudah steril dan mendapatkan antibiotik profilaksis perioperatif, karena
batu ginjal sendiri dapat menjadi sumber infeksi. Kultur batu ginjal pada saat
intraoperatif dapat membantu pemilihan antibiotik pasca operasi. Tekanan irigasi intraoperatif <30 mmHg dan drainase urine pasca operasi berperan penting untuk mencegah sepsis.
Ureterorenoskopi
Penggunaan ureterorenoskopi pada batu ginjal dan/atau ureter saat ini banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan antara lain endoskopi yang
sangat kecil, mekanisme defleksi, peningkatan kualitas optik, dan penggunaan alat sekali pakai (disposable). Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS) adalah
suatu tindakan endourologi yang menggunakan ureterorenoskopi fleksibel.29
RIRS atau PNL menjadi pilihan terapi pada batu kaliks inferior berukuran 10-20
mm bila terdapat faktor penghambat SWL misalnya sudut infundibulum-pelvis yang curam atau infundibulum yang sempit.30 URS dapat dilakukan pada
semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik apapun. Pemasangan stent ureter
tidak rutin dilakukan sebelum melakukan prosedur RIRS.29,30
3.2.6. Tata Laksana Operasi terbuka untuk Batu Ginjal
Penggunaan SWL dan operasi endourologi (URS dan PNL) secara signifikan
menurunkan indikasi untuk dilakukannya operasi terbuka. Terdapat konsensus menunjukkan bahwa pada kasus batu yang kompleks, termasuk batu staghorn baik parsial dan komplit, dapat dilakukan dengan PNL. Namun, bila
pendekatan secara perkutan atau berbagai macam teknik endourologi tidak
berhasil, maka operasi terbuka dapat digunakan sebagai tatalaksana alternatif.
Tata Laksana Spesifik Batu Ureter
3.3.1. Konservatif
Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar spontan
dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm.32 Observasi juga dapat
dilakukan pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi, nyeri refrakter,
penurunan fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter).
Terapi Farmakologi
Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan. Bila direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi. bila
timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, dan
kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda. Penggunaan α-blocker
sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan efek samping seperti ejakulasi
retrograd dan hipotensi.33 Pasien yang diberikan α-blocker, penghambat kanal
kalsium (nifedipin), dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih
besar untuk keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan
tidak diberikan terapi.34 Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker tidak direkomendasikan.35 Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal.36 Terapi ekspulsi medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana
pasien dengan batu ureter, khususnya batu ureter distal ≥5 mm.29 Beberapa
studi menunjukkan durasi pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang mendukung untuk interval lama pemberiannya
Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif
Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:32,36,37
• Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;
• Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;
• Obstruksi persisten;
• Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney);
atau
• Kelainan anatomi ureter
3.3.4. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif
Secara keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free rate)
pada batu ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang
sama. Namun, pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan
menggunakan URS. Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu ureter, namun memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan SWL. Namun,
era endourologi saat ini, rasio komplikasi dan morbiditas secara signifikan
menurun.38
URS juga merupakan pilihan aman pada pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan angka bebas batu dan rasio komplikasi yang sebanding. Namun, pada
pasien sangat obesitas (IMT >35 kg/m2) memiliki peningkatan rasio komplikasi 2 kali lipat. Namun, URS memiliki tingkat pengulangan terapi yang lebih
rendah dibandingkan SWL, namun membutuhkan prosedur tambahan (misal
penggunaan DJ stent), tingkat komplikasi yang lebih tinggi, dan masa rawat
yang lebih panjang. Obesitas juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan SWL
Teknik Endourologi
3.3.5.1. URS dan RIRS
Ureterorenoskopi (URS) semi rigid dapat digunakan pada seluruh bagian ureter.39 Namun, seiring berkembangnya teknologi, saat ini lebih banyak digunakan URS fleksibel pada ureter.40 URS juga dapat digunakan pada seluruh
pasien tanpa kontraindikasi spesifik apa pun. Sebagian besar intervensi menggunakan anestesi spinal walaupun anestesi umum juga dapat dilakukan. Sedasi intravena merupakan anestesi yang cocok untuk pasien wanita dengan
batu ureter distal.41
Untuk batu ureter proksimal impaksi yang besar atau ketika ureter tidak dapat
dilakukan secara retrograd dapat diterapi dengan pilihan seperti URS dengan
akses antegrad perkutan.42 Namun, perlu dipertimbangkan pula fasilitas yang
ada serta pertimbangan ahli urologi setempat. Pembedahan terbuka merupakan salah satu alternatif terapi bila dipertimbangkan merupakan pilihan terbaik
dalam suatu kasus. Alat floroskopi, dilator balon, dan plastik bila diperlukan
disediakan di kamar operasi. Saat ini, URS rigid dapat membantu untuk dilatasi sehingga terlihat jelas, kemudian diikuti URS fleksibel (bila diperlukan).
bila akses ureter sulit ditemukan, maka dilakukan pemasangan DJ stent
kemudian diikuti URS setelah 2-4 minggu pemasangan sebagai prosedur alternatif.43 Pelindung akses ureter (ureteral access sheaths/UAS) dapat membantu
insersi fURS lebih mudah mencapai traktus urinarius bagian atas. UAS dilapisi senyawa bersifat hidrofilik yang tersedia dalam ukuran yang berbeda (dia
meter dalam mulai dari 9 F ke atas), yang dapat dimasukkan dengan bantuan
kawat pemandu (guide wire), kemudian diletakan pada ureter proksimal. Fungsi
pelindung tersebut adalah membantu memberikan pandangan yang jelas mengenai pengeluaran batu, menurunkan tekanan intrarenal, dan menurunkan
durasi operasi.44
UAS juga memiliki risiko untuk melukai ureter, namun risiko berkurang apabila sudah dipasang stent sebelum operasi (pre-stenting). Walaupun dari konsensus, pemasangan stent ureter tidak rutin dilakukan sebelum melakukan
prosedur fURS.29,30 Tujuan dari tindakan fURS adalah mengeluarkan batu secara menyeluruh. Batu dapat diekstraksi atau dikeluarkan dengan menggunakan forsep endoskopik atau basket. Hanya basket (keranjang) yang terbuat
dari bahan nitinol yang dapat digunakan untuk URS fleksibel. Bila tidak terdapat forcep/basket, dapat memakai strategi “dust and go”.
45
3.3.5.2. Litotripsi Intrakorporal
Prosedur litotripsi yang paling efektif adalah dengan menggunakan laser
Ho:YAG, yang saat ini merupakan standar optimal untuk ureterorenoskopi
yang efektif pada segala jenis batu.46 Sistem pneumatik dan ultrasonik dapat
digunakan dengan efikasi disintegrasi tinggi pada URS semi rigid.47 Namun,
migrasi batu ke dalam ginjal merupakan masalah tersering yang dapat dicegah dengan pemasangan alat antimigrasi pada proksimal batu. Terapi ekspulsi farmakologis diikuti litotripsi laser Ho:YAG dapat meningkatkan angka bebas
batu dan menurunkan episode kolik.48
Seperti penjelasan sebelumnya, berdasarkan dari konsensus, pemasangan
stent ureter tidak rutin dilakukan sebelum prosedur RIRS. Untuk pertimbangan pemasangan stent pasca RIRS, disarankan dilakukan pada pasien dengan risiko komplikasi (seperti trauma ureter, sisa pecahan batu, perdarahan, perforasi, infeksi saluran kemih, atau kehamilan), dan semua kasus yang
meragukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Durasi pemasangan tidak
diketahui dengan pasti, namun beberapa spesialis urologi menggunakannya
selama 1-2 minggu setelah URS.49 Obat α-blocker dapat menurunkan morbiditas pada penggunaan stent dan meningkatkan toleransi. Komplikasi setelah
prosedur URS berkisar antara 9-25%, kebanyakan merupakan komplikasi minor dan tidak membutuhkan intervensi.
Tatalaksana Operasi Laparoskopi untuk Batu Ureter
Hanya sedikit studi yang melaporkan pengeluaran batu ureter secara laparoskopik. Prosedur tersebut biasanya dilakukan untuk beberapa kasus khusus
seperti batu ureter proksimal yang sangat besar sebagai alternatif URS atau
SWL.51 Jika terdapat ahli urologi yang memadai, ureterolitotomi per laparoskopi dapat dilakukan pada batu ureter proksimal besar sebagai alternatif dari
URS atau SWL. Semakin banyak prosedur invasif dapat menghasilkan SFR
yang tinggi dan prosedur tambahan lebih sedikit
Tata Laksana Spesifik Batu Buli
3.4.1. Etiologi
Batu buli dapat diklasifikasikan menjadi penyebab primer dan sekunder berdasarkan ada tidaknya penyakit yang menyertai. Pengertian primer yang dimaksud adalah pembentukan batu tanpa adanya faktor anatomis, fungsional,
dan infeksi yang dapat menyebabkan pembentukan batu. Sedangkan pengertian sekunder adalah adanya etiologi penyakit yang mendasarinya.52
Batu buli primer paling sering terjadi pada anak-anak. Etiologinya masih belum
jelas, namun sering terjadi pada daerah sosioekonomi rendah serta makan
makanan yang dapat menyebabkan gangguan metabolik seperti peningkatan
kadar asam urat, penurunan produksi urine, hipofosfaturia, dan hiperamonuria.
Batu buli sekunder sering berkaitan dengan gangguan pengosongan buli yang
dapat menjadi faktor predisposisi pembentukan batu dan retensi. Pada laki-laki, kondisi seperti ini berhubungan dengan BPH, sedangkan pada perempuan
adanya sistokel atau pelvic organ prolapse (POP) dapat dipertimbangkan sebagai penyebab batu buli.52
Neurogenic bladder dan infeksi saluran kemih berulang merupakan penyebab
tersering batu buli pada laki-laki dan perempuan. Pasien dengan batu buli lebih
mungkin memiliki riwayat batu ginjal dan gout dibandingkan pasien tanpa batu
buli. Pada pasien batu buli terdapat kadar asam urat urine yang tinggi, pH urine
dan kadar magnesium urine yang rendah.52
3.4.2. Diagnosis
Gejala paling sering pada batu buli adalah nyeri saat berkemih, terputus-putus,
dan hematuria. Khususnya, nyeri saat mendekati akhir berkemih merupakan
dampak dari batu buli. Pada pemeriksaan urine, terdapat sel pus dan kristal.
Pemeriksaan awal dapat menggunakan USG, sedangkan untuk memastikan
adanya batu buli dapat menggunakan sistoskopi. Pemeriksaan pencitraan
sinar-X juga dapat digunakan untuk melihat adanya batu pada buli.52
Berdasarkan meta-analisis, pasien dengan batu buli memiliki risiko 2 kali lebih
lebih tinggi mengalami kanker buli dibandingkan pasien batu ginjal.53 Pasien
dengan batu buli berukuran besar (>30 mm) memiliki kecenderungan mengalami iritasi kronik pada buli.54 Dianjurkan biopsi mukosa buli pada batu berukuran >30 mm
Terapi
3.4.3.1. SWL
SWL dapat direkomendasikan sebagai modalitas terapi yang efektif dan noninvasif dalam penanganan batu buli. Studi retrospektif dari Rasyid dkk, mengambil data dari rekam medis 92 pasien dengan batu buli di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM) dari Januari 2011 sampai April 2015. Dari 92 pasien
tersebut, 49 pasien dengan ukuran batu buli 2.5 ± 2.0 cm dilakukan SWL dengan 46 pasien (93.9%) stone-free, sedangkan 33 pasien dengan ukuran batu
buli 4.2 ± 2.8 cm dilakukan intracorporeal lithotripsy memiliki stone-free rate
97%.56 Dari studi Cicione dkk, ditemukan bahwa stone-free rate dari SWL pada
batu buli berkisar 72-99%.52 Umumnya, prosedur tersebut tidak memerlukan
anestesi. Kateter uretra dipasang untuk mengisi dan mengosongkan buli sehingga dapat memudahkan lokalisasi batu dan pembersihan fragmen batu.
Namun, sekitar 17% pasien membutuhkan evakuasi fragmen dengan sistoskopi, sementara pengulangan terapi diperlukan pada 10-25% pasien.52
3.4.3.2. Vesikolitotripsi Transuretra
Pendekatan transuretra merupakan prosedur yang paling sering dikerjakan
pada usia dewasa. Biasanya, dapat menggunakan nefroskop rigid yang dapat
memudahkan visualisasi dengan jelas. Namun, kekurangannya adalah memanipulasi uretra dengan instrumen besar sehingga dapat menyebabkan cedera
uretra.52
Saat ini, ada beberapa sumber energi yang digunakan untuk memfragmentasi batu buli antara lain mekanik, ultrasonik, pneumatik, dan laser. Litotripsi
mekanik, misalnya dengan Losley, Henrikson, dan stone punch dibatasi pada
derajat kekerasan batu dan ukuran batu, umumnya <2 cm. Bahkan, prosedur
tersebut berkaitan dengan hematuria, perforasi buli, dan risiko cedera mukosa buli. Litotripsi ultrasonik bekerja dengan memfragmentasi batu secara
meka- nik (dengan gelombang ultrasonik) tanpa menyebabkan perforasi buli.
Litotripsi pneumatik secara efektif dapat menghancurkan batu yang keras, namun memiliki komplikasi yaitu dapat menyebabkan cedera mukosa buli dan
hematuria. Prosedur ini dapat dikerjakan secara transuretra dan perkutan
pada batu besar. Saat ini, kombinasi litotripsi pneumatik dan ultrasonik dapat
memfragmentasi batu lebih cepat dan pengumpulan fragmen lebih optimal
dibandingkan hanya 1 modalitas litotripsi.52 Litotripsi laser merupakan modalitas terbaru yang menggunakan laser Ho:YAG. Laser Holmium dapat memfragmentasi semua jenis batu dan termasuk prosedur yang aman bila selama
digunakan fiber laser berada pada jarak minimum 0,5 mm dari urotelium
Vesikolitotripsi Perkutan
Teknik perkutan digunakan pada pasien yang tidak memungkinkan akses
melalui uretra seperti anak-anak dan pasien dengan rekonstruksi bladder neck.
Teknik tersebut membutuhkan pemasangan Amplatz sheath dengan bantuan
sistoskopi, kemudian diikuti dengan litotripsi. Beberapa studi menunjukkan
bahwa pendekatan perkutan dibandingkan transuretra lebih cepat dalam pengangkatan fragmen batu. Kedua pendekatan tersebut, baik transuretra maupun perkutan memiliki efikasi yang sama sebagai terapi batu buli.
Manajemen Batu pada Pasien dengan Batu Residu
Pasca tata laksana dengan SWL, URS, atau PNL dengan batu residu dapat memerlukan tindakan lanjutan. Hampir seluruh penelitian melakukan pencitraan
awal pasca tindakan pada hari pertama atau 1 minggu pasca tindakan. Akan
tetapi, hasil positif palsu yang timbul karena sisa-sisa batu yang sangat kecil
yang sebenarnya dapat keluar spontan tanpa menyebabkan keluhan dapat
menyebabkan overtreatment. Sehingga, pencitraan yang disarankan untuk melihat residu batu yaitu pada minggu keempat setelah intervensi. Perbandingan
antara USG, BNO-IVP, serta CT-Scan non kontras membuktikan bahwa CT-Scan
memiliki sensitivitas yang lebih baik untuk mendeteksi fragmen residu batu
setelah tata laksana definitif batu ginjal atau ureter. Akan tetapi, hal ini harus
dipertimbangkan dengan kenaikan tingkat deteksi batu sisa yang tidak signifikan
secara klinis dan pajanan radiasi bila dibandingkan dengan BNO dan USG. Sejauh ini belum ada bukti penelitian yang baik, sehingga timing untuk pencitraan
lanjutan pasca tindakan dan indikasi intervensi sekunder tergantung dari kebijakan dari dokter urologi yang menangani.
Risiko rekuren pada pasien dengan batu residu terjadi lebih besar pada batu infeksi dibandingkan dengan batu lainnya.57 Untuk komposisi semua batu, sekitar
21-59% pasien dengan batu residu membutuhkan terapi berikutnya dalam jangka 5 tahun. Pecahan batu residu yang berukuran >5 mm memiliki kemungkinan
besar untuk intervensi berikutnya.58 Terdapat bukti bahwa pecahan batu >2 mm
memiliki kemungkinan untuk membesar, meskipun tidak berhubungan dengan
intervensi ulang dalam jangka 1 tahun
Manajemen Batu dan Hubungannya dengan Kehamilan
Manajemen pasien hamil dengan BSK merupakan masalah kompleks sehingga
perlu kolaborasi antara pasien, spesialis radiologi, spesialis obstetri dan ginekologi, dan spesialis urologi.
Jika pengeluaran batu tidak terjadi secara spontan atau jika terjadi komplikasi
(seperti hidronefrosis berat, keluhan yang tidak membaik, atau induksi persalinan prematur), maka perlu dilakukan pemasangan stent ureter atau nefrostomi
perkutan karena tindakan ini lebih efektif dibandingkan terapi konservatif untuk
tata laksana keluhan pasien.60 Utereroskopi merupakan alternatif yang dapat
diterima pada pasien hamil. Jika dibandingkan dengan DJ stent temporer sampai setelah kelahiran, URS memiliki kebutuhan yang lebih sedikit untuk penggantian stent, keluhan LUTS iritatif yang lebih ringan dan kepuasan pasien yang lebih
tinggi. URS non-urgent pada wanita hamil sebaiknya dilakukan selama trimester
kedua dan dikerjakan oleh urolog yang berpengalaman. Pasien harus diberikan
konseling termasuk pelayanan obstetrik dan neonatus. Meskipun memungkinkan, pengangkatan batu ginjal melalui perkutan selama kehamilan merupakan
keputusan individual dan harus dilakukan hanya di pusat rumah sakit yang berpengalaman.61 Kehamilan masih menjadi kontraindikasi absolut untuk tindakan
SWL.
Manajemen Batu pada Pasien dengan Diversi Urine
Pasien dengan diversi urine memiliki risiko tinggi terjadinya pembentukan batu
pada sistem pelviokalises ginjal dan ureter atau pada conduit atau pada reservoir
kontinen.62 Faktor metabolik (hiperkalsiuria, hiperoksaluria, dan hiposistraturia),
infeksi dari bakteri yang memproduksi urease, benda asing, sekresi mukus, dan
stasis urine merupakan faktor yang dapat membentuk batu.63
Batu kecil pada sistem saluran kemih bagian atas dapat diterapi secara efektif
dengan SWL. Namun, pada kebanyakan kasus, teknik endourologi merupakan
prosedur yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi bebas batu. Pada kasus dengan konduit yang panjang dan tortuous atau muara ureter yang sulit diidentifikasi, pendekatan dengan endoskopik retrograd sangat sulit atau tidak mungkin
dilakukan
Pada batu yang terjadi di konduit, pendekatan secara trans-stoma dapat dilakukan untuk mengeluarkan batu menggunakan teknik standar yaitu litotripsi intrakorporal dan endoskopi fleksibel. Manipulasi secara trans-stoma harus
dilakukan secara hati-hati untuk menghindari gangguan pada mekanisme kontinens.64 Sebelum melakukan tindakan perkutan pada kasus-kasus seperti ini, CT
scan sebaiknya dilakukan untuk menilai adanya saluran cerna yang menutupi,
yang dapat membuat pendekatan perkutan menjadi tidak aman, dan jika ada,
pendekatan operasi terbuka dapat dipilih. Risiko kekambuhan tinggi pada pasien
ini sehingga evaluasi metabolik dan follow-up secara ketat. Pencegahan tersebut
meliputi terapi farmakologi yang mengatasi abnormalitas metabolit, mengurangi infeksi saluran kemih, dan hiperdiuresis.65
3.8. Manajemen Batu pada Pasien dengan Neurogenic Bladder
Pasien dengan kelainan neurogenic bladder dapat membentuk batu karena
adanya faktor risiko tambahan seperti bakteriuria, hidronefrosis, refluks vesikoureter, jaringan parut ginjal, rekonstruksi traktus urinarius bawah, dan defek
medula spinalis setinggi torakal. Penyebab tersering adalah urine yang stasis
dan infeksi saluran kemih. Pemasangan kateter menetap dan operasi interposisi segmen usus digunakan untuk tata laksana disfungsi buli yang keduanya
dapat menyebabkan infeksi saluran kemih. Walaupun batu dapat terbentuk di
setiap tingkat saluran kemih, pada kasus seperti ini batu ini sering timbul di
buli, terutama bila terdapat riwayat operasi augmentasi buli.
Diagnosis batu pada kondisi ini sulit ditentukan dan dapat tertunda akibat gejala asimptomatik karena gangguan sensoris dan disfungsi vesikouretra.66 Kesulitan pada pemasangan kateter dapat mengarahkan kecurigaan pada batu
buli. Pencitraan USG atau CT-Scan dapat membantu menegakkan diagnosis
sebelum dilakukan intervensi pembedahan.
Pada pasien dengan mielomeningokel, biasanya memiliki alergi lateks, oleh
karena itu, perlu penilaian sebelum dilakukan terapi. Setiap prosedur pada
pasien ini harus dilakukan dengan anestesi umum karena kemungkinan kecil
untuk dilakukan anestesi spinal. Deformitas tulang dapat membuat kesulitan
saat memposisikan pasien saat operasi. Risiko pembentukan batu pasca augmentasi buli pada pasien immobile dengan gangguan sensorik dapat diturunkan dengan protokol irigasi buli. Untuk pencegahan terbentuknya batu saluran
kemih pada pasien ini diperlukan koreksi metabolik, kontrol sumber infeksi saluran kemih, dan pengembalian fungsi berkemih yang normal
Manajemen Batu pada Pasien Transplantasi Ginjal
Pasien dengan transplantasi ginjal bergantung pada ginjal tunggalnya untuk
menjalankan fungsinya. Gangguan yang dapat menyebabkan stasis urine atau
obstruksi diperlukan tindakan segera atau drainase segera dari ginjal allograft.
Faktor risiko pada pasien ini meningkat seiring adanya hal berikut, antara lain:
pasien imunosupresi dapat meningkatkan risiko infeksi sehingga menimbulkan infeksi saluran kemih berulang, hiperfiltrasi, urine alkali yang berlebihan,
asidosis tubular ginjal, dan peningkatan serum kalsium disebabkan oleh hiperparatioridisme tersier persisten.
Batu pada ginjal allograft memiliki insiden 1%.68 Pemilihan teknik operasi pengangkatan batu pada ginjal allograft cukup sulit, walaupun pada prinsipnya
sama saja seperti ginjal tunggal. Faktor tambahan lainnya seperti fungsi ginjal
allograft, status koagulasi, dan kelainan anatomi karena posisi organ ginjal allograft di iliaka dapat mempersulit operasi. Untuk batu ureter atau batu yang
besar, akses secara perkutan dan endoskopi antegrad merupakan pilihan yang
lebih disarankan. Penggunaan ureteroskopi kecil fleksibel dan laser holmium
menjadikan URS sebagai pilihan terapi untuk batu pada ginjal transplan.69
Akan tetapi, pada setiap tindakan ini harus berhati-hati adanya risiko cedera
organ sekitar. Akses retrograde ke ginjal allograft sangat sulit karena lokasi
anastomosis ureter lebih anterior dan sering disertai puntiran/tortous ureter.
Manajemen Batu pada Anak
Insiden terjadinya BSK meningkat pada negara-negara berkembang. Lebih dari
1% dari semua kasus batu saluran kemih terjadi pada pasien berusia <18 tahun. Karena faktor malnutrisi dan faktor rasial, batu saluran kemih pada anak
masih menjadi penyakit endemik pada beberapa negara (misalnya, Turki).
Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam memilih terapi atau tindakan
pada anak. Jika dibandingkan dengan dewasa, pada pasien anak pengeluaran
pecahan batu lebih cepat setelah SWL.70 Untuk prosedur endourologi, organ
yang lebih kecil pada anak harus dipertimbangkan dalam penggunaan alat untuk prosedur PNL atau URS. Namun, perkembangan alat litotripsi intrakorporal
dan instrumen ukuran kecil dapat memfasilitasi penggunaan PNL dan URS
pada anak.71 Komposisi batu harus dinilai terlebih dahulu terkait dengan pemilihan prosedur pengangkatan batu yang sesuai pada anak (misal, batu sistin
sangat sulit pecah dengan SWL).
SWL masih menjadi prosedur yang paling minimal invasif pada tata laksana
batu pada anak. Beberapa studi menunjukkan bahwa kondisi bebas batu dalam jangka pendek sekitar 67-93% dan jangka panjang sekitar 57-92%. Pada
anak, dibandingkan dengan dewasa, SWL dapat mencapai disintegrasi yang
lebih baik pada batu yang besar.72 Kebutuhan anestesi umum selama SWL
bergantung pada usia pasien dan penggunaan litotriptor. Biasanya anestesi
umum digunakan pada pasien berusia <10 tahun untuk mencegah pasien banyak bergerak. Dengan alat litotripter modern, dapat digunakan sedasi intravena
pada pasien anak lebih dewasa yang kooperatif.73
Evaluasi preoperatif dan indikasi PNL pada anak sama seperti pada pasien
dewasa. Prosedur PNL dapat dilakukan pada anak dengan adanya ukuran instrumen yang sesuai dan dibantu oleh USG merupakan prosedur yang aman
dimana paparan radiasi yang rendah, bahkan untuk batu berukuran besar dan
kompleks
Persentase kondisi bebas batu antara 68-100% setelah prosedur pertama, dan
semakin meningkat dengan adanya tindakan tambahan seperti second-look
PNL, SWL, dan URS.76 Sama seperti dewasa, tubeless PNL juga aman pada
anak pada kasus tertentu. Meskipun SWL masih merupakan pilihan terapi
lini pertama pada hampir semua kasus batu ureter, namun ada beberapa kasus yang kemungkinan berhasil kecil seperti batu berdiameter >10 mm, batu
impaksi, batu kalsium oksalat monohidrat, batu sistin, kelainan anatomi dan
batu yang sulit dilokalisir, maka dapat menggunakan ureterorenoskopi dengan kaliber diameter yang kecil.76 Litotriptor yang bervariasi, seperti ultrasonik,
pneumatik, dan litotriptor laser semua aman dan efektif.
Mempertimbangkan risiko dan komplikasi yang dapat ditimbulkan berhubungan dengan operasi endoskopik pada anak, maka dikembangkan ukuran endoskopi yang lebih kecil, yaitu RIRS dapat menjadi modalitas terapi untuk batu
ginjal dan ureter serta pilihan untuk batu kaliks inferior yang memiliki faktor
penghambat bila dilakukan SWL.77 Sama seperti pasien dewasa, pemasangan
stent rutin sebelum prosedur URS tidak diperlukan.
Pada batu ginjal berukuran besar dan kompleks, prosedur PNL memiliki efikasi
SFR lebih baik dibandingkan RIRS, namun RIRS berhubungan dengan paparan
radiasi yang rendah, komplikasi yang sedikit, dan lama perawatan yang lebih
singkat.78 Walaupun begitu, pengalaman tim operator yang paling menentukan
keberhasilan kedua teknik ini.
Hampir semua batu saluran kemih pada anak dapat ditatalaksana dengan
SWL dan teknik endoskopik. Namun, terdapat indikasi operasi terbuka atau
laparoskopik pada anak, antara lain gagalnya terapi lini pertama pada pengangkatan batu, anak yang masih sangat muda dengan batu yang kompleks,
obstruksi kongenital yang memerlukan koreksi pembedahan secara simultan,
deformitas ortopedik yang berat yang dapat menghambat prosedur endoskopik, dan posisi ginjal yang abnormal. Operasi terbuka dapat diganti dengan
prosedur laparoskopik tergantung dari pengalaman operator
Manajemen Medis pada Batu Ginjal
Berdasarkan survei di Amerika Serikat yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey pada tahun 2012, batu ginjal memiliki prevalensi
sekitar 8,8% pada tahun 2007-2010, dengan prevalensi terbanyak terjadi pada
laki-laki (10,6%) dibandingkan perempuan (7,1%).79 Batu ginjal juga cenderung
berulang, dengan angka >50% mengalami rekurensi batu ginjal dalam 10 tahun pertama setelah episode awal. Batu ginjal berkaitan dengan kondisi sistemik. Obesitas, hipertensi, dan diabetes berkaitan dengan peningkatan faktor
risiko terjadinya batu ginjal.81-84
Diet dan gaya hidup dapat mempengaruhi terjadinya risiko pembentukan batu.
Selain diet dan gaya hidup, pada beberapa RCT, terapi medis pengobatan pada
gangguan metabolik spesifik menunjukkan secara langsung bahwa lebih superior dibandingkan plasebo atau tanpa pengobatan pada grup kontrol. Walaupun begitu, perbandingan langsung antara terapi diet dan terapi farmakologi
belum dilakukan sehingga rekomendasi untuk manajemen medis batu ginjal
mengkombinasikan terapi diet dan farmakologi.
3.11.1. Evaluasi
1. Melakukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit dan riwayat diet, laboratorium, dan urinalisis pada pasien yang baru terdiagnosis batu ginjal atau
ureter.
Riwayat nutrisi pasien yang berhubungan dengan batu, bergantung pada tipe
batu dan faktor risiko, antara lain asupan kalsium dibawah atau diatas angka
kecukupan gizi, rendahnya asupan cairan, tingginya asupan sodium, rendahnya asupan buah-buahan dan sayuran, dan tingginya asupan purin hewani.
Riwayat diet perlu ditanyakan antara lain jumlah asupan cairan, protein, kalsium, natrium, makanan tinggi oksalat, buah-buahan, sayuran, dan suplemen.
Pemeriksaan laboratorium yang perlu diperiksa antara lain elektrolit, kalsium,
kreatinin, dan asam urat. Pemeriksaan urinalisis dapat menggunakan dipstik atau secara mikroskopik untuk mengevaluasi pH urine, indikator infeksi,
dan untuk mengidentifikasi jenis kristal batu. Pemeriksaan kultur urine dapat
dilakukan pada pasien dengan kecurigaan infeksi saluran kemih atau pasien
infeksi saluran kemih berulang.
2. Memeriksa kadar hormon paratiroid sebagai bagian evaluasi jika terdapat
kecurigaan hiperparatiroid primer.
Hiperparatiroid primer harus dicurigai bila kadar serum kalsium tinggi.
3. Ketika sampel batu tersedia, harus melakukan analisis batu minimal satu
kali.
Komposisi batu yang terdiri atas asam urat, sistin, atau struvit dapat berimplikasi pada gangguan metabolik spesifik atau kelainan genetik dan informasi
mengenai komposisi batu dapat membantu untuk tindakan pencegahan.
4. Melakukan pencitraan untuk mengetahui mengukur stone burden.
Batu ginjal multipel atau bilateral pada saat awal pemeriksaan dapat memiliki
risiko rekurensi pembentukan batu yang tinggi. Nefrokalsinosis berimplikasi
pada kelainan metabolik (seperti asidosis tubular ginjal tipe 1, hiperparatiroid
primer, hiperoksaluria primer) atau kondisi anatomis (medullary sponge kidney)
yang berisiko membentuk batu.
5. Melakukan pemeriksaan metabolik tambahan pada pasien risiko tinggi
atau pertama kali terbentuk batu dan pasien dengan batu rekurens.
Pemeriksaan urine 24 jam dapat digunakan untuk mengetahui dan memonitor
pengobatan. Identifikasi faktor risiko metabolik dapat membantu pemberian
terapi diet/nutrisi dan medikamentosa. Terapi diet spesifik, yang didapatkan
dari evaluasi metabolik dan diet, memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi
dibandingkan terapi pencegahan batu secara umum.
6. Pemeriksaan metabolik (urine 24 jam) diambil 1 atau 2 kali pada kondisi
pasien diet bebas dan minimal pemeriksaan antara lain volume total, pH,
kalsium, oksalat, asam urat, sitrat, natrium, kalium, dan kreatinin.
Pasien dengan batu sistin atau riwayat keluarga dengan sistinuria, maka pemeriksaan tambahan sistin dapat dilakukan. Hiperoksaluria primer dapat dicurigai bila kadar ekskresi urine oksalat >75 mg/hari pada pasien dewasa tanpa bowel dysfunction.
7. Tidak perlu melakukan pemeriksaan “fast and calcium load” secara rutin
untuk membedakan tipe hiperkalsiuria.
. Terapi Diet
8. Merekomendasikan kepada seluruh pasien batu untuk mengonsumsi
asupan cairan dengan target volume urine minimal 2,5 liter per hari.
Volume urine merupakan faktor penting dari konsentrasi faktor litogenik. Konsumsi asupan cairan tinggi merupakan faktor terpenting untuk mencegah
pembentukan batu. Konsumsi minuman alkohol, kopi, teh, wine, dan jus jeruk
berhubungan dengan penurunan angka kejadian pembentukan batu, sementara minuman manis dapat meningkatkan risiko. Walaupun begitu, penelitian
terkait minuman manis ini belum dievaluasi dengan RCT.
9. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu kalsium dan kadar kalsium
urine yang tinggi untuk membatasi asupan natrium dan kalsium 1000-1200
mg per hari.
Berdasarkan Konsensus Panel, target asupan natrium ≤2.300 mg per hari.
Suplemen kalsium dapat meningkatkan risiko pembentukan batu. Pada
suatu studi observasi, pengguna suplemen kalsium memiliki risiko 20% lebih
tinggi terbentuknya batu ginjal dibandingkan pada kelompok tanpa menggunakan suplemen kalsium.87
10. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu kalsium oksalat dan oksalat
urine yang relatif tinggi untuk membatasi asupan makanan kaya oksalat dan
mempertahankan jumlah asupan kalsium yang normal.
Oksalat urine dimodulasi dari asupan kalsium, yang dapat mempengaruhi
absorpsi oksalat di saluran pencernaan. Pasien dengan hiperoksaluria dan
riwayat batu kalsium oksalat dapat disarankan untuk mengonsumsi kalsium
dari makanan untuk meningkatkan pengikatan oksalat di saluran cerna, dengan catatan asupan kalsium tidak boleh melebihi 1.000-1.200 mg setiap
hari. Akan tetapi, pasien dengan hiperoksaluria enterik dan oksalat urine yang
tinggi, seperti pada kondisi malabsorpsi (misalnya, inflammatory bowel disease
atau bypass Roux-en-Y) dapat menjalani terapi diet oksalat yang lebih restriktif
dengan asupan kalsium yang lebih tinggi, yang dapat dibantu dengan asupan
suplemen kalsium.
Faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi pada oksalat urine yang tinggi
termasuk suplemen vitamin C dan suplemen nutrisi lain yang dijual bebas.
11. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu kalsium dan sitrat urine yang
relatif rendah untuk meningkatkan asupan buah dan sayuran dan membatasi
protein hewani.
Sitrat urine merupakan inhibitor poten pembentukan batu kalsium. Asidosis
metabolik atau asupan acid load meningkatkan reabsoprsi sitrat di ginjal, sehingga mengurangi ekskresi urine. Kondisi medis seperti asidosis tubulus ginjal dan diare kronis, dan beberapa obat, seperti inhibitor karbonat anhidrase
dapat menyebabkan hipositraturia.
Jika dari penilaian diet ditemukan terdapat asupan makanan yang memiliki
acid load yang tinggi dan menyebabkan sitrat urine yang rendah, pasien dapat
disarankan untuk meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran dan mengurangi asupan makanan dengan high-acid. Diet sitrat alkali dapat ditawarkan
menjadi alternatif dari terapi medis sitrat untuk meningkatkan ekskresi sitrat
di urine.
12. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu asam urat atau batu kalsium dan asam urat urine yang relatif tinggi untuk membatasi asupan protein
hewani.
Jika dari evaluasi diet ditemukan bahwa asupan purin berperan pada tingginya asam urat di urine, pasien dapat dianjurkan untuk membatasi asupan
makanan tinggi purin. Pembentukan dan pertumbuhan kristal asam urat
terjadi pada urine yang lebih asam. Pasien dengan riwayat batu asam urat
dapat disarankan untuk meningkatkan alkali load dan mengurangi acid load
dari makanan mereka sebagai upaya untuk meningkatkan pH urine dan mengurangi keasaman urine.
13. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu sistin untuk membatasi
asupan natrium dan protein.
Terapi diet harus dikombinasikan dengan terapi farmakologis karena pembentukan batu sistin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi sistin, serta asupan
cairan yang tinggi sangat berperan tinggi untuk pencegahan pembentukan
batu sistin. Target volume urine biasanya lebih tinggi daripada yang direkomendasikan untuk pembentuk batu lain karena kebutuhannya untuk mengurangi
konsentrasi sistin urine di bawah 250 mg/L.89 Asupan cairan per oral minimal
4 liter per hari. Pembatasan diet natrium disarankan karena asupan natrium
yang lebih rendah terbukti mengurangi ekskresi sistin. Asupan natrium pada
individu dengan sistinuria adalah ≤2.300 mg (≤100 mEq) per hari. Membatasi asupan protein hewani disarankan untuk mengurangi beban sistin, karena
semua makanan yang berasal dari hewan kaya akan sistin dan metionin yang
kemudian akan dimetabolisme menjadi sistin.
. Terapi Farmakologis
14. Memberikan terapi diuretik thiazid kepada pasien dengan kalsium urine
tinggi atau relatif tinggi dan batu kalsium berulang.
Dosis thiazid yang terkait dengan efek hipokalsiurik meliputi hidroklorotiazid
(25 mg oral, dua kali sehari; 50 mg oral, sekali sehari), klortalidon (25 mg oral,
sekali sehari), dan indapamid (2,5 mg oral, sekali sehari). Pembatasan asupan
natrium dapat dilanjutkan ketika pasien diberikan thiazid untuk memaksimalkan efek hipokalsiurik dan membatasi potassium wasting. Suplementasi
potasium (baik potasium sitrat atau klorida) mungkin dipertimbangkan ketika
diberikan terapi thiazid.
15. Memberikan terapi potasium sitrat kepada pasien dengan batu kalsium
berulang dan sitrat urine rendah atau relatif rendah.
Beberapa studi RCT prospektif menunjukkan bahwa terapi potasium sitrat
berhubungan dengan penurunan risiko batu kalsium berulang pada pasien dengan ekskresi sitrat urine 24 jam rendah atau normal rendah. Pasien dengan
batu kalsium dengan sitrat urine yang normal namun dengan pH urine rendah
juga dapat disarankan untuk pemberian terapi sitrat. Selain itu, terapi potasium sitrat dapat ditawarkan kepada pasien dengan batu kalsium fosfat dengan
hipositraturia karena sitrat berfungsi sebagai inhibitor kuat kristalisasi kalsium fosfat. Potasium sitrat lebih disukai daripada sodium sitrat karena lebih
dapat meningkatkan ekskresi kalsium urine.
16. Memberikan terapi allopurinol pada pasien dengan batu kalsium oksalat
rekuren dengan riwayat hiperurikosuria dan kalsium urine. Pemberian terapi
febuxostat dapat diberikan sebagai terapi lini kedua.
Allopurinol dapat menurunkan risiko terjadinya batu kalsium oksalat rekuren
pada kondisi hiperoksaluria (ekskresi asam urat urine > 0 mg/hari) dan
normokalsiuria. Pemberian allopurinol pada pasien dengan hiperkalsiuria
belum menjadi standar terapi. Hiperurisemia bukan merupakan indikasi
untuk pemberian terapi allopurinol. Febuxostat juga efektif menurunkan
ekskresi asam urat pada urin.91 Dari suatu penelitian RCT, febuxostat
mg dapat lebih menurunkan ekskresi secara signifikan asam urat urin
24 jam dibandingkan dengan allopurinol 300 mg pada pasien batu
saluran kemih dengan eksresi asam urat yang tinggi setelah 6 bulan terapi.
17. Memberikan terapi diuretik thiazid dan/atau potasium sitrat untuk pasien dengan batu kalsium rekuren yang tidak memiliki kelainan metabolik
atau pernah terdiagnosa dengan kelainan metabolik, dan masih terjadi pembentukan batu saluran kemih.
Diuretik golongan thiazid dan potasium sitrat telah menunjukkan dapat mencegah berulangnya kasus batu saluran kemih pada pasien dengan kadar kalsium
dan sitrat urine normal. Oleh karena itu, terapi kombinasi ini dapat diberikan
pada pasien dengan batu rekuren tanpa memiliki kelainan metabolik urine
yang spesifik. Pada pasien batu saluran kemih tanpa faktor risiko, potasium
sitrat dapat disarankan sebagai terapi lini pertama, dengan alasan rendahnya
efek samping.
18. Memberikan terapi kalium sitrat pada pasien dengan batu asam urat dan
sistin, untuk meningkatkan pH urine ke angka optimal.
Kelarutan asam urat dan sistin meningkat pada pH urine yang lebih tinggi. Terapi potasium sitrat dapat meningkatkan pH urine, dimana pH urine harus dinaikkan menjadi 6.0 pada kasus batu asam urat dan pH 7.0 pada batu sistin.
19. Tidak perlu secara rutin meresepkan allopurinol sebagai obat lini pertama pada pasien dengan batu asam urat.
Hampir semua pasien dengan batu asam urat lebih sering memiliki pH urine
yang rendah daripada kondisi hiperurikosuria. Penggunaan allopurinol untuk
menurunkan ekskresi asam urat urine pada pasien dengan batu asam urat
tidak akan mencegah pembentukan batu asam urat pada pasien dengan urine
yang sudah terlampau asam. Oleh karena itu, penggunaan potasium sitrat untuk alkalinisasi urine masih menjadi terapi lini pertama pada pasien dengan
batu asam urat.
20. Dapat memberikan obat golongan cystine-binding thiol, seperti tiopronin, untuk pasien dengan batu sistin yang tidak memberikan respon dengan
modifikasi diet dan alkalinisasi urine, atau menderita batu besar yang berulang.
Lini pertama terapi pasien dengan batu sistin adalah meningkatkan asupan
cairan, restriksi konsumsi natrium dan protein, serta alkalinisasi urine. Bila terapi tersebut tidak menunjukkan perubahan yang memuaskan, obat cystin-binding thiol merupakan obat lini selanjutnya. Tiopronin menunjukkan efektifitas
yang lebih baik dibandingkan dengan d-penicillamine dan memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga perlu dipertimbangkan terlebih dahulu
21. Melakukan pemeriksaan analisis urine 24 jam untuk melihat faktor risiko
batu dalam 6 bulan pertama sejak inisiasi terapi, untuk menilai respon terhadap modi ikasi diet dan terapi medikamentosa.
Tujuan dari modifikasi diet dan tata laksana medikamentosa dari nefrolitiasis
adalah untuk mengubah lingkungan urine sehingga mencegah rekurensi atau
pertumbuhan batu. ,93
22. Setelah follow-up awal, melakukan pemeriksaan analisis urine 24 jam setiap tahun atau lebih sering, tergantung dengan aktivitas batu, untuk menilai
kepatuhan pasien dan respon metabolik.
Pemantauan jangka panjang dari parameter urine dapat menilai kepatuhan
pasien, serta identifikasi pasien yang berpotensi menjadi refrakter terhadap
terapi atau membutuhkan waktu lebih lama untuk penyesuaian terapi. Bila pasien ditemukan tidak memiliki batu dalam waktu lama selama regimen pengobatan, pemberhentian pemeriksaan follow-up dapat dipertimbangkan.
23. Melakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk menilai efek samping
terapi medikamentosa.
Beberapa obat yang dapat menyebabkan efek samping, contohnya, thiazid
dapat menyebabkan hipokalemi dan intoleransi glukosa; allopurinol dan tiopronin dapat meningkatkan enzim hati; AHA dan tiopronin dapat menyebabkan
anemia dan kelainan darah lain; potasium sitrat dapat menyebabkan hiperkalemi.
24. Bila sarana memungkinkan, sebaiknya lakukan pengulangan analisa
batu saluran kemih bila tersedia sampel batu yang baru, terutama bila pasien
tidak respon terhadap terapi.
Perubahan komposisi batu dapat terjadi sebagai efek dari perubahan pola
makan dan terapi medikamentosa. Oleh karena itu, pemeriksaan batu berulang diperbolehkan dalam kondisi ini. Perubahan dari komposisi batu pernah
ditemukan pada kasus pasien dengan batu kalsium oksalat yang berubah
menjadi batu kalsium fosfat.
25. Memonitor pasien dengan batu struvit untuk kemungkinan infeksi ulang
bakteri yang memproduksi urease dan menyusun strategi pencegahan.
Pembentukan batu struvit disebabkan oleh infeksi saluran kemih, maka tidak
menutup kemungkinan untuk pembentukan kembali batu bila terjadi infeksi
saluran kemih, bahkan setalah pengangkatan batu. Pasien dengan kelainan
anatomi saluran kemih bawah memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi reinfeksi
dan rekuren. Pemantauan harus meliputi pemeriksaan kultur urine. Pada beberapa kasus, terapi antibiotik profilaksis dapat mencegah rekurensi.
26. Melakukan pemeriksaan radiologis follow-up secara rutin untuk menilai
perkembangan dari batu saluran kemih dan pembentukan batu baru (foto
polos abdomen, ultrasonografi ginjal, atau CT-scan dosis rendah).
Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu pemeriksaan batu saluran kemih yang sensitif untuk melihat aktivitas batu, yaitu antara pertumbuhan batu
lama atau munculnya batu baru. Keuntungan dari foto polos abdomen adalah
ketersediaannya yang cepat dan lebih murah dibandingkan dengan modalitas
lain, terutama untuk kecurigaan terhadap batu radioopak. Sementara USG ginjal lebih dipilih pada pasien dengan kecurigaan batu radiolusen, terlebih lagi
USG tidak memberikan radiasi dan secara biaya lebih murah dibandingkan CTscan. Selang waktu satu tahun di antara pemeriksaan, direkomendasikan untuk pasien dengan batu saluran kemih yang stabil, namun dapat disesuaikan
bila terdapat gejala klinis atau aktivitas batu
aPTT Activated partial thromboplastin time
AUA American Urology Association
BNO Blass nier overzicht
BSK Batu saluran kemih
CT Scan Computed tomography scan
CRP C-reactive protein
DJ Double J
EAU European Association of Urology
fURS Flexible ureteroscope
Ho:YAG Holmium Yttrium-Aluminium-Garnet
HU Hounsfield unit
IMT Indeks massa tubuh
INR International normalised ratio
IVP Intravenous pyelogram
KUB Kidney-ureter-bladder
LUTS Lower urinary tract symptoms
MRI Magnetic Resonance Imaging
MET Medical expulsive therapy
mEq miliequivalent
NYHA New York Heart Association
NSAID Non-steroid anti inflammation drugs
PTH Paratiroid hormone
POP Pelvic organ prolapse
PNL Percutaneous nephrolithotomy
RCT Randomized controlled trial
RIRS Retrograde intra-renal surgery
SWL Shock wave lithotripsy
SFR Stone free rate
UAS Ureteral access sheaths
UPJ Ureteropelvic junction
URS Ureterorenoscopy
USG Ultrasonography
VUR Vesicoureter reflux