DIABETES MELITUS
diabetes melitus merupakan sesuatu penyakit akibat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin, diabetes melitus terdiri dari DM pada kehamilan,DM tipe 1, DM tipe 2, dan DM tipe lain,
diabetes melitus tipe 2 (DMT2) yaitu penyakit metabolik dengan .hiperglikemia, akibat kelainan kerja insulin atau sekresi insulin atau kedua-duanya,
kebanyakan diabetes yaitu diabetes melitus tipe 2 dengan gangguan sensitivitas insulin dan/atau gangguan sekresi insulin,diabetes melitus tipe 2 muncul saat tubuh tidak mampu lagi menghasilkan insulin unuk mengkompensasi peningkatan insulin resisten,pengidap diabetes melitus tipe 2 berisiko penyakit jantung dan pembuluh darah lebih tinggi dibandingkan tanpa diabetes, juga mempunyai risiko hipertensi dan dislipidemia yang lebih tinggi dibandingkan yang sehat, kelainan pembuluh darah sudah terjadi sebelum diabetesnya terdiagnosa karena adanya resistensi insulin pada saat prediabetes,
kejadian hiperglikemia pada diabetes melitus tipe 2 dikaitkan dengan beberapa kelainan pada tubuh penderita diabetes melitus tipe 2 yang dinamakan omnious
octet yaitu :
-pada ginjal terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2 sehingga reabsorpsi glukosa meningkat.
-pada otak, resistensi insulin dikaitkan dengan peningkatan nafsu makan.
-pada sel beta pankreas terjadi kegagalan untuk mensekresikan insulin
yang cukup dalam usaha memgurangi peningkatan resistensi insulin.
- pada hepar terjadi peningkatan produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh karena resistensi insulin.
-pada usus terjadi defisiensi GLP-1 dan increatin effect yang berkurang.
-pada sel alpha pancreas penderita diabetes melitus tipe 2 , sintesis glukagon meningkat dalam keadaan puasa.
-pada otot terjadi gangguan kinerja insulin yaitu gangguan dalam transportasi dan utilisasi glukosa.
- pada sel lemak, resistensi insulin memicu lipolisis yang meningkat dan lipogenesis yang berkurang.
yang mendasari terjadinya diabetes melitus tipe 2 secara genetik yaitu resistensi insulin dan defek fungsi sel beta pankreas, resistensi insulin merupakan kondisi umum bagi pasien obesitas. insulin tidak mampu bekerja optimal pada sel otot, lemak, dan hati sehingga memaksa pankreas mengkompensasi untuk menghasilkan insulin lebih banyak. saat produksi insulin oleh sel beta pankreas tidak adekuat untuk mengurangi peningkatan resistensi insulin, maka kadar glukosa darah akan naik , pada saatnya akan terjadi hiperglikemia kronik. hiperglikemia kronik pada diabetes melitus tipe 2 semakin memperburuk resistensi insulin di sisi lain dan merusak sel beta di satu sisi sehingga penyakit diabetes melitus tipe 2 semakin parah, resistensi insulin yaitu adanya konsentrasi insulin yang lebih tinggi yang diperlukan untuk mempertahankan normoglikemia, resistensi insulin menunjukan kemampuan yang tidak adekuat dari insulin signaling mulai dari pre reseptor, reseptor, dan post reseptor. faktor pemicu patogenesis resistensi insulin antara lain protein kinase C, mekanisme molekuler dari inhibisi transkripsi gen IR (Insulin Receptor),perubahan pada protein kinase B, mutasi protein insulin receptor substrate (IRS), peningkatan fosforilasi serin dari protein insulin receptor substrate , phosphatidylinositol 3 kinase (PI3 Kinase),
pada perjalanan penyakit diabetes melitus tipe 2 terjadi penurunan fungsi sel beta
pankreas dan peningkatan resistensi insulin yang berlanjut sehingga terjadi hiperglikemia kronik , hiperglikemia kronik memperburuk disfungsi sel beta pankreas,sebelum diabetes melitus tipe 2 muncul , sel beta pankreas menghasilkan insulin cukup untuk mengimbangi peningkatan resistensi insulin. saat diabetes melitus tipe 2 terjadi , sel beta pankreas tidak dapat menghasilkan insulin yang adekuat untuk mengimbangi naiknya resistensi insulin oleh karena pada saat itu fungsi sel beta pankreas yang normal tinggal 50%. kemudian saat terjadi diabetes melitus tipe 2 , sel beta pankreas diganti dengan jaringan amiloid, sehingga produksi insulin mengalami penurunan drastis, sehingga diabetes melitus tipe 2 sudah menyerupai diabetes melitus tipe 1 yaitu kekurangan
insulin drastis, sel beta pankreas merupakan sel yang sangat penting diantara sel
lainnya seperti sel jaringan ikat pada pankreas,sel alfa dan sel delta, disfungsi sel beta pankreas muncul akibat kombinasi faktor lingkungan dan genetik , jumlah dan kualitas sel beta pankreas dipengaruhi oleh kelangsungan hidup sel beta , proses regenerasi ,mekanisme selular sebagai pengatur sel beta, kemampuan adaptasi sel beta , kegagalan mengkompensasi beban metabolik dan proses apoptosis sel, pada pasien dewasa, sel beta mempunyai waktu hidup 60 hari. umumnya 0,5 % sel beta mengalami apoptosis namun diimbangi dengan neogenesis dan replikasi , normalnya, ukuran sel beta relatif konstan sehingga jumlah sel beta dipertahankan pada kadar optimal selama masa dewasa. seiring dengan bertambahnya usia, jumlah sel beta akan menurun karena proses apoptosis melebihi neogenesis dan replikasi , maka pasien lanjut usia lebih rentan mengalami pada masa dewasa, jumlah sel beta bersifat adaptif terhadap
perubahan homeostasis metabolik. jumlah sel beta mampu beradaptasi
terhadap peningkatan beban metabolik yang disebabkan oleh resistensi insulin dan obesitas . peningkatan jumlah sel beta ini terjadi melalui hipertrofi sel beta juga peningkatan replikasi dan neogenesis, teori glukotoksisitas, lipotoksisitas dan penumpukan amiloid adalah teori yang memjelaskan bagaimana terjadinya kerusakan sel beta, efek hiperglikemia terhadap sel beta pankreas muncul dalam beberapa bentuk. antaralain:
- ausnya sel beta pankreas yang merupakan kelainan yang masih reversibel dan terjadi lebih dini dibandingkan glukotoksisitas.
- kerusakan sel beta yang menetap.
-desensitasi sel beta pankreas, yaitu gangguan sementara sel beta yang
dirangsang oleh hiperglikemia yang berulang, ini akan kembali
normal bila glukosa darah dinormalkan.
-faktor lingkungan yang memicu penyakit diabetes melitus tipe 2 , yaitu kurang olah raga, obesitas, banyak makan,
hubungan antara diabetes melitus tipe 2 dengan obesitas melibatkan sitokin proinflamasi yaitu stres retikulum endoplasma,tumor necrosis factor alfa (TNFα) dan interleukin-6
(IL-6), resistensi insulin, gangguan metabolisme asam lemak, proses selular seperti disfungsi mitokondria,
pada diabetes melitus tipe 2, sel beta pankreas yang terpajan hiperglikemia akan menghasilkan reactive oxygen species (ROS). peningkatan reactive oxygen species yang berlebihan memicu kerusakan sel beta pankreas. hiperglikemia kronik merupakan keadaan yang memicu berkurangnya sintesis dan sekresi insulin di satu sisi dan merusak sel beta secara gradual,
tetrad concept yaitu 4 pemicu komplikasi diabetes melitus tipe 2 antaralain, meningkatnya variabilitas glukosa,meningkatnya HbA1c, glukosa plasma puasa, dan glukosa post prandial , tetrad concept memicu timbulnya komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular. Hiperglikemia kronik dan fluktuasi kadar glukosa darah akut dari
puncak ke nadir pemicu komplikasi kronik diabetes melitus melalui mekanisme yaitu glikasi protein yang berlebihan dan stres oksidatif, Glikasi Protein yaitu proses non-enzimatik yang pertama kali ditemukan oleh Louis Camille Mailard pada tahun 1990, Ikatan antara glukosa dengan protein serum dalam suatu reaksi non-enzimatik ini terjadi secara proporsional sesuai kadar glukosa serum.
albumin, lipoprotein, Hemoglobin, protein jaringan lainnya dapat mengalami glikosilasi secara non-enzimatik,
glycated albumin (GA) yaitu albumin mengandung lisin yang berikatan dengan
glukosa. Albumin serum manusia merupakan protein terbanyak di sirkulasi, terdiri dari 59 lisin dan 23 arginin yang dapat terlibat dalam proses glikasi. Albumin merupakan protein yang memgandung banyak lisin, Albumin mempunyai
waktu paruh yang lebih pendek dibandingkan hemoglobin yaitu 12 sampai 19 hari sehingga dapat dijadikan sebagai marker alternatif kendali glikemik,glycated albumin terjadi akibat gabungan molekul glukosa dengan molekul protein yang membentuk ketoamin melalui proses glikasi, yaitu sebuah mekanisme
nonenzimatik. Glikasi nonenzimatik ini dinamakan reaksi Maillard, yaitu reaksi spontan antara glukosa dengan molekul yang mengandung amin.
Persentase atau kadar protein yang terglikosilasi ini dapat dipakai untuk memperkirakan rata-rata status glikemik dan untuk evaluasi keterkendalian diabetes. Hemoglobin yang terglikosilasi (HbA ) menunjukan kadar glukosa 1c
darah sesuai dengan masa hidup eritrosit, yaitu sekitar 120 hari. Kadar HbA yang tinggi dimiliki pada pasien dengan kadar glukosa darah 1c puasa yang tinggi, glukosa darah post prandial yang meningkat, ataupun keduanya. Dari semua protein yang terglikasi, hemoglobin terglikosilasi (HbA ) digunakan sebagai penentu gula darah 1c penderita diabetes melitus tipe 2. glikasi albumin glycated albumin dinamakan indeks keterkendalian diabetes jangka menengah.
-Stres oksidatif adalah ketidakseimbangan antara pro oksidan dan antioksidan yang berpotensi memicu kerusakan,Hiperglikemia kronik akan mengakibatkan apoptosis sel endotel vaskuler melalui overproduksi superoksida mitokondria. Metabolisme glukosa yang berlebihan akan menghasilkan radikal bebas. Pada kondisi normal di dalam tubuh terjadi keseimbangan antara produksi radikal bebas yang berperan sebagai oksidan dengan antioksidan. Beberapa jalur metabolik yang dapat memicu stress metabolik pada pengidap diabetes melitus tipe 2 ,antaralain:
1.Jalur poliol
Aktivasi enzim aldosa reduktase memudahkan munculnya kerusakan sel. Aktivasi jalur poliol meningkatkan kadar fruktosa dan sorbitol fruktosa dan sorbitol adalah agen glikosilasi yang berperan dalam pembentukan AGEs.
Penggunaan yang berlebihan NADPH akibat overaktivitas aldosa reduktase memicu berkurangnya kofaktor yang tersedia untuk proses metabolisme seluler dan enzim. ini akan mengurangi kapabilitas sel untuk merespon stres oksidatif, sehingga terjadi peningkatan aktivitas mekanisme kompensasi seperti aktivitas glucose monophosphate shunt, penyedia NADPH seluler. penggunaan NAD oleh sorbitol dehidrogenase mengakibatkan +peningkatan rasio NADPH/NAD yang diartikan sebagai kondisi pseudohipoksia.
ketika kadar glukosa intrasel naik , jalur poliol pada metabolisme glukosa menjadi aktif. Enzim pertama pada jalur ini yaitu aldosa reduktase yang mereduksi glukosa menjadi sorbitol menggunakan NADPH sebagai kofaktor. Afinitas aldosa reduktase untuk peningkatan glukosa pada kondisi hiperglikemik memicu
sorbitol berakumulasi dan menggunakan lebih banyak NADPH,
2.Advanced glycation end products (AGEs)
Pada diabetes, protein yang terglikosilasi secara nonenzimatik akan berubah menjadi produk irreversibel yaitu AGEs. Kemudian AGEs akan berikatan dengan reseptor AGEs pada sel mesangial dan memicu kerusakan jaringan.
3. Aktivasi protein kinase C (PKC)
Aktivasi PKC mempengaruhi akumulasi protein matriks mikrovaskuler di sel mesangial. ini disebabkan oleh inhibisi terhadap produksi NO.Lingkungan yang hiperglikemik merangsang naiknya aktivitas PKC-β2 di sel endotelial ginjal untuk menghasilkan tromboksan A2 dan prostaglandin E2 , substansi yang mengendalikan respon terhadap angiotensin II sel vaskuler dan permeabilitas
4. Jalur heksosamin
Jalur ini teraktivasi bila terjadi akumulasi berlebihan dari metabolit glikolisis, Pada kondisi normal 1-3% glukosa memasuki jalur ini, Pada kondisi hiperglikemia terjadi peningkatan pembentukan ROS sehingga terjadi akumulasi metabolit teroksidasi,
KOMPLIKASI DM TIPE 2
Diabetes melitus memicu komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular,
komplikasi mikrovaskular disebabkan oleh hiperglikemia kronik Komplikasi makrovaskular didasari oleh adanya resistensi insulin, Kerusakan vaskular diawali dengan terjadinya disfungsi endotel akibat proses glikosilasi dan stres oksidatif pada sel endotel, Disfungsi endotel berperan dalam mempertahankan
homeostasis pembuluh darah. Untuk memfasilitasi hambatan fisik antara lumen dan dinding pembuluh darah , endotel menyekresikan mediator yang mengendalikan tonus vaskular, agregasi trombosit, koagulasi dan fibrinolisis,
disfungsi endotel yaitu dimana endotel kehilangan fungsi fisiologisnya seperti
kecenderungan untuk meningkatkan antiagregasi ,vasodilatasi, fibrinolisis,
Sel endotel mensekresikan beberapa mediator yang dapat memicu vasokontriksi seperti tromboksan A2 dan endotelin-a , atau vasodilatasi seperti endothelium derived hyperpolarizing factor dan nitrik oksida (NO), prostasiklin, .nitrik oksida berperan pada vasodilatasi arteri,Pada pasien diabetes melitus tipe 2 selalu mengalami disfungsi endotel sebab hiperglikemia kronis memicu terjadinya gangguan produksi dan aktivitas nitrik oksida,
, sedang endotel terbatas intrinsiknya untuk memperbaiki diri. Paparan sel endotel dengan kondisi hiperglikemia memicu munculnya proses apoptosis yang mengawali kerusakan tunika intima. Proses apoptosis ini terjadi melewati serangkaian proses yang kompleks yaitu teraktivasi jalur sinyal β-1 integrin, sesudah aktivasi integrin, akan terinduksi peningkatan p38 mitogen- activated protein kinase (MAPK) dan c-Jun N-terminal (JNK) yang berujung pada apoptosis
sel. Pada sel endotel yang telah mengalami apoptosis, akan terjadi juga aktivasi vascular endothelial-cadherin yang memicu apoptosis sel-sel sekitar pada area yang rentan mengalami aterosklerosis.
ULKUS KAKI DIABETIK(UKD)
ulkus kaki diabetik (UKD) yaitu salah satu komplikasi kronik dari diabetes melitus tipe 2 , ulkus kaki diabetik yaitu penyakit pada kaki penderita diabetes dengan terdapat gangguan pembuluh darah tungkai ,neuropati sensorik, motorik atau otonom ,ulkus kaki diabetik memicu ulkus, infeksi, gangren, amputasi, ulkus kaki diabetik dapat terjadi oleh karena adanya gangguan pada aliran darah pembuluh darah tungkai yang merupakan manifestasi dari penyakit arteri perifer. penyakit arteri perifer pada pembuluh darah tungkai didasari oleh hiperglikemia kronik, kerusakan endotel dan terbentuknya plak aterosklerosis,pengobatan ulkus kaki diabetik yang optimal membutuhkan penanganan dari ahli gizi, ahli rehabilitasi medik , ahli bedah, ahli endokrin, ahli patologi klinik, ahli mikrobiologi, kurangnya sanitasi dan kurangnya kebersihan, berjalan kaki tanpaalas kaki memicu kerusakan ulkus kaki diabetik,keterbatasan mobilitas sendi pada sendi subtalar dan metatarsalphalangeal sangat sering terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 2 berhubungan dengan glikosilasi kolagen yang mengakibatkan penebalan struktur periartikuler, seperti kapsul sendi, tendon, ligamen, hilangnya sensasi karena neuropati pada sendi memicu destruktif, artropati kronik, progresif, glikosilasi kolagen ikut memperburuk penurunan fungsi tendon achilles pada pasien diabetes melitus tipe 2 sehingga pergerakan tendon achilles menyebabkan deformitas. jika kaki mendapat tekanan yang tinggi maka memudahkan terjadinya ulserasi pada pasien diabetes melitus tipe 2 ..ada 3 mekanisme kerusakan saraf yang disebabkan oleh hiperglikemia, yaitu efek metabolik, kondisi mekanik, dan efek kompresi kompartemen tungkai bawah. penurunan kadar oksigen jaringan, yang digabung dengan fungsi saraf sensorik dan motorik yang terganggu dapat memicu ulkus kaki diabetik. kerusakan saraf pada diabetes mengenai serat motorik, sensorik, dan otonom. neuropati motorik mengakibatkan paresis, kelemahan otot, atrofi, neuropati sensorik menyebabkan hilangnya sensasi nyeri, tekanan, neuropati otonom yang menyebabkan vasodilatasi dan pengurangan keringat juga memicu kehilangan integritas kulit, yang membentuk lokasi ideal untuk invasi mikrobial.faktor yang berperan pada patogenesis ulkus kaki diabetik meliputi deformitas,hiperglikemia
kronik, neuropati perifer, keterbatasan sendi , perubahan fisiologis yang diinduksi oleh hiperglikemia jaringan ekstremitas bawah termasuk penurunan potensial pertukaran oksigen dengan membatasi proses pertukaran atau melalui induksi kerusakan pada sistem saraf otonom yang menyebabkan shunting darah yang mengandung banyak oksigen menjauhi permukaan kulit. sistem saraf dirusak oleh keadaan hiperglikemia melalui berbagai cara sehingga lebih mudah terjadinya cedera pada saraf tersebut,
diagnosa ulkus kaki diabetik ,
deteksi dini kelainan pada kaki penderita diabetes melitus tipe 2 , khususnya pada pasien berisiko tinggi, membantu untuk menentukan intervensi awal dan mengurangi potensi perawatan dirumah sakit atau amputasi.deteksi dini itu meliputi identifikasi riwayat keluhan kaki dan pemeriksaan fisik. anamnesis secara rinci meliputi anamnesis mengenai penyakit yang mendasarinya,riwayat ulkus sebelumnya, riwayat amputasi, riwayat trauma, pemeriksaan fisik seperti tanda-tanda infeksi,penilaian adanya neuropati tungkai, kelainan anatomi tungkai dan kelainan vaskuler tungkai , bone scan dengan technetium-99 methylene diphosphonate (Tc-99 MDP) digunakan untuk mencari osteomielitis pada infeksi ulkus kaki diabetik ,osteomielitis akut pada rontgen pedis tidak menunjukkan perubahan tulang hingga 14 hari berikutnya. pada osteomielitis akut diperlukan pemeriksaan radiologis serial.pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas yang tinggi, tidak spesifik untuk pemeriksaan kaki neuropati. tidak spesifiknya pemeriksaan ini disebabkan oleh adanya peningkatan radiotracer uptake pada banyak
kondisi seperti: neuropati artropati,osteomielitis, fraktur, arthritis,
untuk menilai adanya infeksi, maka dilakukan pemeriksaan hitung darah lengkap untuk mengetahui apakah ada peningkatan leukosit dengan peningkatan neutrofil segmen. sebagai standard adanya infeksi pada ulkus kaki diabetik adalah ditemukan hasil kultur yang positif pada swab ulkus, suatu ulkus kaki diabetik yang mengalami infeksi harus dicurigai apakah sudah terjadi osteomyelitis atau belum yaitu dengan melakukan pemeriksaan radiologis. rontgen pedis dilakukan sebagai pemeriksaan radiologi awal pasien diabetes dengan tanda dan gejala penyakit ulkus kaki diabetik . pada pemeriksaan rontgen pedis dapat ditemukan adanya gas jaringan lunak, benda asing, arthritis,gambaran osteomielitis, osteolisis, fraktur, dislokasi, kalsifikasi arteri medial, setelah pemeriksaan ulkus kaki diabetik , pasien diklasifikasikan berdasarkan kategori risiko kumulatif,klasifikasi memudahkan terapi
Ankle-Brachial Index (ABI)
American Diabetes Association (ADA) merekomendasikan ABI sebagai tes untuk vaskuler tungkai, Pemeriksaan ABI mendiagnosa tingkat obstruksi pada arteri ekstremitas bawah. siku brachial index merupakan rasio dari tekanan darah sistolik yang diukur pada arteri dorsalis pedis atau tibialis posterior pada siku, dibandingkan dengan tekanan darah sistolik pada arteri brakial yang diukur pada lengan pasien pada posisi supine. Interpretasi diagnostik menunjukan bahwa rasio ABI yang rendah berhubungan dengan risiko kelainan vaskuler yang
tinggi. ankle brachial index mempunyai kelemahan dalam interpretasi hasil pada kondisi tertentu. nilai ABI yang lebih dari 1,2 bisa sekunder terhadap kalsinosis pembuluh darah dan ABI bisa menjadi false negative pada pasien diabetes dengan stenosis aortoiliaka.pada pasien dengan kalsinosis arteri tungkai bawah, perlu dilakukan pemeriksaan toe brachial index (TBI). jika nilai TBI normal maka
kelainan arterial dapat diabaikan,
Skin perfusion pressure (SPP)
skin perfusion pressure (SPP) yaitu diagnosa dengan laser doppler yang memakai tensimeter pada siku , pemeriksaan ini lebih baik dibandingkan teknik lain untuk mendeteksi kelainan arteri perifer ekstremitas bawah. pemeriksaan ini dapat mendiagnosa adanya gangguan perfusi pada ekstremitas bawah,pemeriksaan ini merupakan diagnosa terhadap sirkulasi kapiler kutaneus,
segmental pressure pulse volume (SPPV)
segmental pressure pulse volume (SPPV) dilakukan pada pasien dengan nilai ABI yang normal namun dicurigai menderita penyakitvaskuler perifer. pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan prinsip bahwa obstruksi pembuluh darah yang terjadi timbul pada proksimal tempat tekanan darahnya turun. untuk mengetahui lokasi lesi, tensimeter diletakkan di paha, betis, secara berurutan kemudian tekanan darahnya dicatat. dari catatan tekanan darah yang didapatkan pada lokasi
pemeriksaan dapat dinilai adanyalokasi utama kelainan vaskuler, lesi vaskuler, tingkat keparahan, pemeriksaan ini lebih mudah dilakukan .dibandingkan TBI pada pasien diabetes dengan ulkus kaki diabetik pada jempol.
Penilaian Vaskuler
pemeriksaan vaskuler dimulai dari pemeriksaan refilling kapiler, palpasi arteri ekstremitas bawah, kemudian dilakukan pemeriksaan ankle brachial index (ABI). bila riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik ditemukan adanya iskemia pada tungkai atau bila ulkus tidak sembuh, maka dilakukan pemeriksaan tekanan darah pada ujung jari. bila tekanan darah ujung jari kurang dari 40 mmHg, atau
transcutaneous oxygen tension (TcPO ) dengan nilai kurang dari 30 2 mmHg karena gangguan perfusi arteri akan menyebabkan gangguan penyembuhan luka.
- ultrasonografi (USG) sensitifitasnya sebanding dengan Tc-99 MDP bone scanning untuk deteksi osteomielitis kronis
-Computed tomography scanning (CT scan) CT scan memberikan gambaran subluksasio sendi, fragmentasi tulang untuk mendiagnosa tulang dan sendi yang mengalami gangguan, yang tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan radiologi biasa,
-Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk ruptur tendon ,osteomielitis, abses dalam, untuk pemeriksaan osteomielitis sebab mampu melihat proses infeksi yang meluas resolusi gambar yang lebih baik ,
Transcutaneous oxygen tension (TcPO )
Transcutaneous oxygen tension (TcPO ) mendiagnosa tekanan oksigen pada 2
area yang berkaitan dengan luka. adanya kemungkinan dapat penyembuhan luka.
Pemeriksaan ini sebagai i alat screening pada pasien yang berisiko tinggi mengalami kelainan vaskuler. Karena TcPO tidak dipengaruhi oleh kalsifikasi arteri seperti ABI, TcPO untuk mengevaluasi pasien diabetes dengan critical limb ischaemia.
Ultrasonography Doppler dan Laser Doppler velocimetry
ultrasonography doppler dan laser doppler velocimetry merupakan peralatan medis yang mudah, murah dalam mendiagnosa derajat stenosis arteri, obstruksi hingga keadaan aliran darah setelah revaskularisasi. lokasi stenosis arteri dapat diidentifikasi dengan menempatkan secara serial probe doppler sepanjang ekstremitas
Vascular Imaging
bila hasil pemeriksaan ABI dalam batas normal, namun pada pemeriksaan klinis ditemukan gejala dan tanda penyakit arteri perifen maka diperlukan pemeriksaan vaskular imaging seperti DSA (digital substraction angiography) ,CT-angiografi (CTA), MRA (magnetic resonance angiography), vaskular imaging ini tidak hanya untuk mendiagnosa, namun juga mendiagnosa derajat keparahan dan lokasi lesi. saat ini, percutaneus transluminal angioplasty (PCTA) merupakan standard dalam menentukan penyempitan pembuluh darah,
pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal pada ekstremitas bawah
bertujuan untuk mengetahui adanya motorik ,neuropati otonom, sensorik, pada
neuropati otonom terjadi perubahan regulasi suhu yaitu ditandai dengan
hilang atau berkurangnya rambut pada ekstremitas bawah,suhu yang lebih dingin, kulit yang kering, pada neuropati sensorik terjadi kehilangan sensasi sensoris yang diperiksa dengan benang mikrofilamen (semmes-weinstein monofilament). pada neuropati motorik terjadi kerusakan saraf otot pada kaki
pemeriksaan neuropati motorik yaitu pemeriksaan kekuatan jari-jari kaki,otot dan range of motion tumit, kaki,
pemeriksaan dengan garpu tala sangat mudah, ini untuk mengetahui sensibilitas kaki melalui getaran. deteksi dengan garpu tala dapat dilakukan pada plantar hallux. garpu tala standar dengan frekuensi 128 hz bisa digunakan sebagai pemeriksaan tunggal,
semmes weinstein monofilament (SWM) yaitu alat monofilamen dengan bahan dasar adalah 10 gram plastik nilon. sensitifitas semmes weinstein monofilament untuk mendeteksi neuropati diabetik adalah 66-91%, spesifisitas 34-86%, positive predictive value 18-39%, dan negative predictive value 94-95%. Penggunaan SWM yang berulang ulang akan menyebabkan monofilamen tidak sensitif, sehingga hasil pemeriksaan tidak akurat. maka disarankan satu sensitifitas semmes weinstein monofilament maksimal untuk 10 kali pemeriksaan,penderita duduk di atas kursi, lalu kaki diluruskan ke depan, telapak kaki tegak lurus dengan lantai. penderita dipersilakan menutup mata dengan tangannya, monofilamen disentuhkan pada permukaan kulit sampai tekanan monofilamen sedikit melengkung. titik-titik yang dites dianjurkan 10 titik, yaitu sisi plantar jari 1, 3, 5, sisi plantar dari metatarsal 1, 3, 5, sisi plantar dari pertengahan medial dan lateral, sisi plantar tumit dan sisi dorsal sela jari 1 dan jari 2. bila pasien tidak mampu menjawab semua titik yang dites, maka berarti 90% sudah terjadi gangguan sensibilitas.
Vibration perception threshold (VPT) meter atau biothesiometer,
dimana Ujung alat yang bergetar 100 Hz ini berbahan baku karet, yang disentuhkan ke permukaan jari kaki. Ujung alat ini dihubungkan dengan kabel ke mesin penggetar utama. Skala pada mesin penggetar diberikan skala 0 sampai 100 volt, dan dikonversikan ke dalam mikron. Saat melakukan tes, skala amplitudo terus ditingkatkan sampai penderita merasakan getaran. kemudian, diambil nilai rata-rata dari 3 kali pemeriksaan berturut-turut dari setiap jari yang sudah dites. Angka VPT yang mencapai skala amplitudo > 25 volt dapat mendeteksi risiko
ulkus kaki dengan sensitivitas 83% dan spesifisitas 63%.
pemeriksaan tungkai yaitu dilakukan pemeriksaan permukaan kaki untuk mengetahui apakah ada deformitas. Ciri deformitas lokal, dapat dilihat pada pemeriksaan : adanya kontraktur dan keterbatasan gerak sendi,dengan menyuruh pasien berjalan. Kedua keadaan itu memicu mobilitas sendi terbatas dan kelainan anatomi ,
Penyakit ginjal diabetes( PGD) dialami pasien yang menderita diabetes.
Penyakit ginjal diabetes terjadi akibat interaksi antara faktor hemodinamik dan
metabolik. Faktor hemodinamik berkontribusi dalam perkembangan PGD
melalui peningkatan tekanan sistemik dan intraglomerular, yang akan
mengaktivasi jalur hormon vasoaktif seperti endotelin dan Renin Angiotensin System (RAS) , Faktor hemodinamik meningkatkan intracellular second messengers seperti Protein Kinase C (PKC),NF-κβ, Mitogen Activated Protein (MAP kinase), dan bermacam GF seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF), sitokin prosklerotik dan TGF-β, Permeability Enhancing Growth Factor (PEGF) , Kondisi hiperglikemia dan produksi mediator humoral, sitokin dan
bermacam growth factor memicu perubahan struktur ginjal, seperti
peningkatan deposisi matrik mesangial dan perubahan fungsi seperti
peningkatan permeabilitas membrana basalis glomerulus. kemudian
perkembangan dan progresifitas PGD dipengaruhi oleh berbagai macam
perubahan metabolik yang diinduksi oleh hiperglikemia dan gangguan
hemodinamik.
3 komponen yang menjadi pemicu filtrasi glomerulus, yaitu podosit sel endotel kapiler dan membrana basalis glomerulus ,Pada mulanya , kerusakan podosit dianggap sebagai proses akhir yang terjadi setelah proteinuria pada penyakit ginjal diabetes. Podosit glomerulus berperan pada patogenesis penyakit ginjal diabetes. Kerusakan podosit, terjadi pada fase sangat awal dari PGD. Kerusakan pada podosit tidak berhubungan dengan kedua komponen lainnya, sehingga proses ini dapat terjadi sebelum adanya mikroalbuminuria. Kerusakan podosit
terjadi sebelum adanya kerusakan endotel glomerulus, Podosit
menghasilkan vascular endothelial growth factor (VEGF) yang menjaga fenestrasi sel endotel yang normal,
Nefrin yaitu protein transmembran yang berada di slit diafragma, terdiri atas 1.241 asam amino dengan berat molekul 185-200 kDa. Protein ini berperan dalam adhesi sel dengan sel atau antara sel dengan matriks.
Nefrin merupakan komponen dari membrana basalis glomerulus di slit diafragma. Nefrin diidentifikasi berinteraksi dengan jalur sinyal untuk mempertahankan
integritas podosit, Mutasi pada protein ini memicu gangguan pada foot process podosit dan mengakibatkan proteinuria.
Podosit berlokasi di luar membrana basalis glomerulus dan terletak di bagian proksimal saluran kemih sehingga kejadian patologis pada bagian ini dapat terdeteksi di dalam urin, Pelepasan podosit dari membrana basalis glomerulus berhubungan dengan penurunan α3β1 integrin di membrana plasma podosit yang
dapat muncul satu bulan sesudah kondisi hiperglikemia. Beberapa protein yang menggambarkan kondisi podosit, seperti podocalyxin,podocin, nefrin synaptopodin mengalami peningkatan ekskresi pada pasien diabetes.
Sel podosit memanjang membentuk foot process, merupakan struktur podosit. Foot process melekatkan diri ke membrana basalis glomerulus melalui protein adhesi di permukaan sel. Foot process podosit yang berdekatan dipisahkan oleh ruang yang sempit (30-40 nm) yang dijembatani oleh sebuah membran berpori yang dinamakan slit diafragma. Membran ini mempunyai pori-pori yang bebas permeabel terhadap air dan zat terlarut dengan berat molekul kecil tetapi relatif impermeabel terhadap protein plasma.
glomerulosklerosis pada pasien DM ditemukan oleh Kimmelstiel dan Wilson pada tahun 1936,Penemuan ini merupakan berkembangnya PGD,adanya peningkatan ekspansi matrik mesangium berupa penimbunan kolagen tipe IV laminin,fibronektin ,akumulasi matrik ekstraseluler, penebalan membrana basalis, p
nodul Kimmelstiel Wilson yang dikombinasi dengan mikroaneurisma yang memicu fibrosis tubolointerstisial,glomerulosklerosis noduler , difusa dan hialinosis,
Perubahan dasar atau disfungsi pada ginjal terjadi pada endotel pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial ginjal yang dapat meningkatkan tekanan glomerular. Peningkatan tekanan glomerular memicu berkurangnya area filtrasi dan terjadi perubahan yang memicu glomerulosklerosis. Bukti PGD yaitu mikroalbuminuria (30 - 300 mg/hari atau 20-200 µg/menit) yang dinamakan insipient nephropathy. Tanpa intervensi khusus ekskresi albumin urin akan meningkat sebesar 10-20% pertahun, sehingga akan menjadi albuminuria klinis (>300 mg/hari atau >200 µg/menit) ini dinamakan overt nephropathy. bila telah terjadi overt nephropathy dan tidak dilakukan perawatan khusus maka akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus. Penurunan laju filtrasi glomerulus pada PGD terjadi secara bertahap dalam beberapa tahun, penurunan laju filtrasi glomerulus 2-20 ml/tahun. jika penurunan laju filtrasi glomerulus tidak diatasi dengan perawatan khusus maka akan menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA). mikroalbuminuria merupakan gejala disfungsi endotel pembuluh darah ginjal sehingga adanya mikroalbuminuria merupakan tanda untuk skrining kemungkinan
munculnya PGD. Pasien DM yang berkembang menjadi PGTA sebanyak 35%. ini disebabkan adanya beberapa faktor predisposisi yang mempengaruhi proses perkembangan PGTA seperti gaya hidup pasien, faktor metabolik ,faktor lingkungan dan faktor genetik ,
Pemeriksaan albumin kreatinin rasio (ACR penggunaan perbandingan albumin kreatinin (ACR) untuk diagnosa proteinuria yang juga sebagai pengawasan , Pemeriksaan ACR digunakan sebagai pengganti pemeriksaan kadar albumin urin 24 jam karena sulitnya pengumpulan urin selama 24 jam. Pemeriksaan ACR menggunakan urin ,
Pada diabetes melitus tipe 2 , adanya hiperglikemia kronik dan resistensi insulin memicu gangguan availabilitas nitrit oksida endotel vaskuler,inflamasi, stres oksidatif, dan
ada hubungan antara penyakit vaskuler,hiperglikemia, resistensi insulin,
Kerusakan endotel memicu terbentuknya lesi aterosklerosis koroner yang
kemudian muncul penyakit kardiovaskuler (CVD), Komplikasi makrovaskular pada penderita diabetes melitus tipe 2 yaitu penyakit pembuluh arteri karotis,penyakit arteri koroner, penyakit arteri perifer,
diabetes melitus tipe 2 merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskular,
kematian pada diabetes melitus tipe 2 adalah karena CVD. CVD memicu kematian pada pasien diabetes melitus tipe 2 sebab Diabetes dan CVD adalah kombinasi penyakit ,
Pasien diabetes melitus tipe 2 berpotensi mengidap penyakit arteri koroner, mengalami infark
miokard, mengalami stroke, dan penyakit gagal jantung,
pasien yang menderita diabetes melitus tipe 2 , cenderung berpotensi mengidap
komplikasi kardiovaskular, aterosklerosis, penyakit arteri koroner, gagal jantung, angina, infark miokard, stroke,
Komplikasi CVD pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi karena disfungsi endotel yang disebabkan oleh resistensi insulin dan adanya hiperglikemia kronik yang mengakibatkan proses aterosklerosis pada pembuluh darah jantung.
Resistensi insulin berperan pada patofisiologi diabetes melitus tipe 2 dan komplikasi CVD. genetik dan lingkungan memicu tingginya resistensi insulin dan CVD. Pada pasien diabetes melitus tipe 2 obesitas maka pelepasan asam lemak bebas dan sitokin inflamasi dari jaringan adiposa meningkatkan resistensi insulin.
Pembentukan ROS yang diinduksi oleh keadaan hiperglikemia terlibat dalam proses disfungsi vaskuler kronik walaupun kadar glukosa darah kemudian menjadi normal. ini dinamakan metabolic memory dan ini menjelaskan progresivitas dari komplikasi makro dan mikrovaskuler walapun kendali glikemik intensif telah tercapai pada pasien diabetes melitus tipe 2 ,
Diagnosis diabetes melitus tipe 2 atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan glukosa darah secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Penggunaan
darah vena ataupun kapiler dapat dipergunakan dengan melihat angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda ,Untuk tujuan pemantauan hasil pengobatan
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler,
adanya diabetes melitus tipe 2 pada pasien biasanya dengan gejala poliuria, polidipsia, polifagia, pruritus vulvae pada wanita, penurunan berat badan , lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria,
Diagnosia diabetes melitus tipe 2 melalui pemeriksaan darah vena dengan sistem enzimatik dengan hasil :
1. Tanpa gejala + 2x Pemeriksaan GDP ≥ 126 mg/dl
2. Tanpa gejala + 2x Pemeriksaan GDS ≥ 200 mg/dl
3. Tanpa gejala + 2x Pemeriksaan GD 2 jam sesudah TTGO ≥ 200 mg/dl
4. HbA1c ≥ 6.5%
5. Gejala + GDP ≥ 126 mg/dl
6.Gejala + GDS ≥ 200 mg/dl
7.Gejala + GD 2 jam sesudah TTGO ≥ 200 mg/dl
walaupun TTGO dengan beban glukosa 75 g lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan glukosa darah puasa, TTGO mempunyai keterbatasan . TTGO sulit dilakukan berulang-ulang. jika hasil pemeriksaan TTGO tidak memenuhi kriteria diabetes melitus tipe 2 , dapat digolongkan ke dalam kelompok TGT (toleransi glukosa terganggu/
impaired glucose tolerance) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu/
impaired fasting glucose). TGT terbukti jika sesudah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa darah 2 jam sesudah TTGO antara 140-199 mg/dL. GDPT terbukti jika ssudah pemeriksaan glukosa darah puasa diperoleh antara 100-125 mg/dL.
3 hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti biasa ,Pasien berpuasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari , sebelum pemeriksaan. boleh Minum air putih tanpa gula , sesudah diperiksa kadar glukosa darah puasa, penderita diberikan glukosa 75 gram yang dilarutkan dalam air 250 mL, kemudian penderita berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah 2 jam sesudah minum larutan glukosa,
Pemeriksaan penyaring untuk pasien yang memiliki diabetes melitus tipe 2 namun tidak menunjukkan adanya gejala diabetes melitus tipe 2 . Pemeriksaan penyaring untuk menemukan pasien dengan diabetes melitus tipe 2 , TGT maupun GDPT, sehingga dapat ditangani , Pasien dengan TGT dan GDPT dinamakan pasien prediabetes. Prediabetes ini sebagai tahapan sementara menuju diabetes melitus tipe 2 Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan dengan pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa. jika pada pemeriksaan penyaring diperoleh hasil peningkatan kadar glukosa
darah sesuai kriteria diabetes, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk mengkonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa plasma puasa ulang atau dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO). Pemeriksaan penyaring untuk tujuan penjaringan masal (mass screening) tidak disarankan , Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada saat pemeriksaan untuk penyakit lain misalnya pada pasien dengan sindrom metabolik atau general check-up,
Tujuan pengobatan jangka panjang yaitu untuk mencegah progresivitas komplikasi makrovaskuler dan mikrovaskuler, neuropati diabetikum. Tujuan akhir pengelolaan diabetes melitus tipe 2 yaitu menurunkan morbiditas dan mortalitas diabetes melitus tipe 2 . pengobatan dilakukan agar tekanan darah,berat badan , kadar glukosa darah puasa, glukosa darah sesudah makan,variabilitas glukosa darah, HbA1c.dan lipid dapat dikendalikan.
Komposisi Makanan
karbohidrat untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu sebesar 65% dari kebutuhan kalori total. lemak untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu 20-25% dari kebutuhan kalori total, lemak jenuh untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu kurang 7 % dari kebutuhan kalori total, makanan yang dilarang yaitu makanan yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain :susu penuh, daging berlemak dan susu penuh Anjuran konsumsi
penderita diabetes disarankan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah dan sayuran , karbohidrat tinggi serat, sebab mengandung vitamin, mineral, serat, serat disarankan 25 g/1000 kkal/hari.
pemanis bergizi yaitu gula alkohol dan fruktosa. gula alkohol antara lain sorbitol, xylitol,isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, fruktosa tidak disarankan digunakan pada pasien diabetes karena dapat mempengaruhi kadar lemak darah.
pemanis tidak bergizi seperti neotame,aspartam, sakarin, acesulfame potassium,
sukralose,
kolesterol untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu kurang dari 300 mg/hari.
protein untuk pasien diabetes melitus tipe 2 yaitu 10 – 20% dari kebutuhan kalori total, protein didapat dari kacang-kacangan, tahu, tempe, ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak,
pasien PGD perlu mengurangi protein menjadi 0,8 g/kgBB perhari atau sekitar 10% dari dari kebutuhan kalori total. natrium untuk pasien diabetes sama dengan natrium untuk pasien yang sehat yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sendok teh) garam dapur. Pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan hipertensi, natrium nya yaitu tidak lebih dari 2,4g garam dapur. natrium didapat dari natrium nitrit,garam , vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat
pengobatan diabetes melitus tipe 2 dimulai dengan pengaturan makan dan olahraga ,jika kadar glukosa darah belum tercapai maka diberikan obat hipoglikemik oral (OHO) atau suntikan insulin, Pemilihan obat untuk pasien diabetes melitus tipe 2 memerlukan pertimbangan seperti lamanya menderita diabetes, adanya komorbid dan jenis komorbidnya, riwayat pengobatan sebelumnya, riwayat hipoglikemia sebelumnya, dan kadar HbA Dengan 1c, Pada keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya adanya ketonuria,,ketoasidosis, stres berat, berat badan yang menurun cepat, maka diberikan nsulin ,
obat Golongan Sulfonilurea untuk pengobatan diabetes melitus tipe 2 sejak tahun 1950 ,Obat ini digunakan bila konsentrasi glukosa darah tinggi, meliputi obat obatan sulfonilurea generasi pertama yaitu tolazamid,asetoheksimid, klorpropramid, tolbutamid, generasi kedua yaitu gliklopiramid., glipizid, glikazid, glibenklamid, glikuidon, generasi ketiga yaitu glimepiride , Namun sulfonilurea generasi pertama sudah jarang digunakan karena efek hipoglikemi yang hebat. Obat
golongan sulfonilurea memiliki efek hipoglikemi yang tidak sama, ini tergantung pada kekuatan ikatan antara obat dengan reseptornya di membran sel, contohnya glibenklamid. Efek hipoglikemi dan ikatan antara glibenklamid dengan reseptornya lebih kuat dibandingkan golongan glimepiride oleh karena ikatan glimepirid dengan reseptornya tidak sekuat ikatan glibenklamid, digunakan sulfonilurea generasi II dan generasi III yang memiliki waktu paruh pendek dan metabolisme lebih cepat. walaupun masa paruhnya pendek, yaitu 3-5 jam, efek hipoglikeminya berlangsung 12-24 jam. Sehingga diberikan 1 kali sehari. sebab
semua sulfonilurea dimetabolisme di hepar dan diekskresi melalui ginjal,
obat ini tidak boleh diberikan pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang memiliki gangguan
fungsi hepar dan ginjal yang berat ,
Glikuidon ber efek hipoglikemi sedang dan jarang memicu hipoglikemi. Glikuidon diekskresi melalui empedu dan usus, maka dapat diberikan pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan ganguan fungsi hati ginjal yang tidak terlalu berat,
- sulfonilurea pada pasien diabetes melitus tipe 2 usia lanjut harus diperhatikan hipoglikemia. Kecenderungan munculnya hipoglikemia pada pasien diabetes melitus tipe 2 usia lanjut disebabkan oleh karena metabolisme sulfonilurea lebih lambat, Hipoglikemia pada pasien diabetes melitus tipe 2 . usia lanjut tidak mudah dikenali sebab muncul
perlahan tanpa tanda gejala namun menimbulkan gangguan pada otak
hingga koma.
- terapi diabetes dengan CVD yaitu dengan kombinasi metformin dan sitagliptin. Terapi kombinasi ini dapat meningkatkan keberhasilan pencapaian target HbA1c
<7% dibandingkan dengan penggunaan terapi tunggal metformin.
Aspirin tidak direkomendasikan pada pasien diabetes tanpa CVD atau kerusakan organ lainnya risiko kardiovaskuler rendah,
-terapi antiplatelet diberikan pada pasien diabetes dengan risiko kardiovaskuler tinggi. Stratifikasi risiko kardiovaskuler pada pasien diabetes (apakah rendah, sedang, atau tinggi) tidak penting karena jika diagnosa diabetes sudah dilakukan berarti sudah terdapat risiko kardiovaskuler yang tinggi. maka pasien-pasien diabetes walaupun tanpa CAD seharusnya mendapatkan terapi yang sama seperti pasien diabetes dengan CAD.
- statin direkomendasikan pada pasien diabetes. Terapi peningkatan kadar HDL tidak direkomendasikan karena peningkatan kadar HDL tidak bermanfaat pada pasien diabetes. efek protektif dari HDL hilang pada pasien diabetes dengan CAD.
- terapi untuk menurunkan kadar LDL perlu bagi pasien diabetes dengan CVD. AMG145, suatu antibodi monoklonal, sebagai terapi lipid-lowering yang menjanjikan pada pasien dengan hiperkolesterolemia dengan manfaat penurunan kolesterol LDL ,
cara pengobatan Farmakologis diabetes melitus tipe 2 dengan CVD Metformin , Kombinasi metfromin dengan obat golongan lainnya dengan memperhatikan efek samping obat ,terapi yang efektif untuk menurunkan resiko kardiovaskular, terutama infark miokard, CAD, stroke, dan CHF.metformin merupakan pilihan pertama karena keamaannya dan keuntungannya terhadap risiko infark miokard. Sulfonilurea tanpa metformin juga menurunkan risiko infark miokard dan kematian, penggunaan agen GLP-1 agonis atau SGLT2 inhibitor sebagai terapi kombinasi dengan metformin pada terapi pasien diabetes dengan CVD. metformin sebagai terapi bagi semua pasien DM tipe 2. GLP-1 agonis dan SGLT2 inhibitor sebagai terapi pilihan pada pasien diabetes dengan CVD karena adanya keuntungan untuk sistem kardiovaskuler, GLP-1 agonis direkomendasikan sebagai terapi injeksi lini pertama. Contoh GLP-1 agonis adalah exenatide ,liraglutide, dulaglutide,
-Terapi inkretin dengan glucagon-like peptide-1 (GLP-1) agonis dan dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) inhibitor tampaknya tidak memperbaiki kardiovaskuler pada pasien diabetes. GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor tidak mempunyai efek samping dan tidak meningkatkan dampak negatif pada pasien diabetes dengan CVD. Contoh kelompok DPP IV inhibitor ini adalah saxagliptin,sitagliptin, vildagliptin, linagliptin,
-Sodium-Glucose Cotransporter 2 (SGLT2) Inhibitor Pada pasien dengan gagal jantung dan penyakit kardiovaskuler aterosklerotik, pemberian SGLT2 inhibitor sangat bermanfaat Contoh kelompok SGLT2 inhibitor ini yaitu ertugliflozin,canagliflozin, empagliflozin, dapagliflozin,
-Meglitinid sama dengan sulfonilurea , Karena lama kerjanya pendek maka glinid digunakan sebagai obat sesudah makan (prandial). Karena strukturnya tanpa sulfur maka dapat digunakan pada pasien yang alergi sulfur,
-Repaglinid menurunkan glukosa darah puasa walaupun memiliki masa paruh yang singkat karena lama menempel pada kompleks reseptor sulfonilurea.
- nateglinide merupakan golongan terbaru, yang memiliki masa paruh yang lebih singkat dibandingkan repaglinid dan tidak menurunkan glukosa darah puasa,
Keduanya merupakan obat untuk menurunkan glukosa darah sesudah makan degan efek hipoglikemi yang minimal.
-Glinid .digunakan pada pasien lanjut usia , Glinid dimetabolisme dan dieksresikan melalui kandung empedu, sehingga aman digunakan pada pasien lanjut usia yang menderita gangguan fungsi ginjal ringan sampai sedang.
-Acarbose tidak diabsorbsi dan bekerja pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme pada saluran pencernaan oleh hidrolisis intestinal, aktifitas enzim , flora mikrobiologis, pencernaan. enzim ini dapat mengurangi
peningkatan kadar glukosa sesudah makan pada pasien diabetes melitus tipe 2 , pemakaian acarbose pada pasien lanjut usia aman karena tidak merangsang sekresi insulin sehingga tidak dapat memicu hipoglikemi. Efek sampingnya yaitu diare
meteorismus, flatulence ,Acarbose dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal yang lanjut dengan laju filtrasi glomerulus ≤ 30 mL/min/1.73 m, penyakit irritable bowel syndrome, obstruksi saluran cerna, sirosis hati,
- 3 golongan biguanid, yaitu metformin, fenformin, buformin , Fenformin
memicu asidosis laktat.Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan otot dan adiposa, Metformin sebagai obat antihiperglikemik ,metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dengan LFG ≤ 30 mL/min/1.73 m. Metformin tidak memicu hipoglikemia atau rangsangan sekresi insulin metformin menurunkan BB. Metformin akan diabsorbsi di usus kemudian masuk ke dalam sirkulasi, di dalam sirkulasi metformin tidak terikat protein plasma, ekskresinya melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya adalah sekitar 2 jam.
metformin aman untuk pasien lanjut usia karena tidak mempunyai efek
hipoglikemi.
-Tiazolidinedion menurunkan kadar asam lemak bebas di plasma dan menurunkan produksi glukosa di hepar , kombinasi tiazolidinedion bersama insulin memicu Edema tiazolidinedion tidak untuk pada pasien dengan gagal jantung kongestif kelas 3 dan 4 ,Tiazolidinedion menurunkan kadar HbA1c (1-1.5 %), meningkatkan HDL, efeknya pada trigliserida dan LDL bervariasi. Pada pemberian oral, absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan,Efek samping tiazolidinedion antara lain memperburuk gagal jantung kongestif,peningkatan berat badan, edema, menambah volume plasma, Hipoglikemia pada penggunaan monoterapi jarang terjadi,
-Terapi glitazone berhubungan dengan peningkatan resiko fraktur baik pada wanita maupun laki laki ,glitazone memicu fraktur ekstremitas bawah pada wanita yang telah menopause , glitazone dikontraindikasi pada pasien lanjut usia atau pemilik gangguan hati berat,
- DPP-4 inhibitor sebagai terapi tunggal memberi efek positif dalam menurunkan kadar HbA , penggunaan DPP-4 inhibitor jangka 1c panjang memicu efek samping yang rendah seperti edema, hipoglikemia, gangguan saluran pencernaan, peningkatan berat badan, Pada pasien diabetes melitus tipe 2 dengan gangguan fungsi ginjal
sedang dan berat, penyakit jantung kongestif, gangguan fungsi hati dengan peningktan GOT dan GPT lebih dari 3x nilai normal maka dilakukan penyesuaian dosis. Kecuali obat linagliptin sebab obat ini tidak memerlukan penyesuaian dosis pada ganguan fungsi ginjal berat,
DPP4- inhibitor Incretin yaitu sejenis peptida yang disekresikan oleh usus halus
sebagai respon terhadap makanan pada usus. Ada 2 jenis peptida yang
tergolong incretin yang berpengaruh terhadap metabolisme glukosa yaitu
GIP (Glucose dependent Insulinotropic Peptide) dan GLP-1 (Glucagon Like Peptide-1)
GLP-1 lebih penting dalam metabolisme glukosa. GLP-1 meningkatkan sekresi insulin, terutama sekresi insulin fase 1, akibat rangsangan glukosa pada sel beta
juga menekan sekresi glukagon. Keduanya memicu penurunan kadar glukosa darah, sesudah disekresi di usus halus (ileum), GLP-1 memasuki peredaran
darah dan aktif bekerja dalam meningkatkan proses sekresi insulin dan
menekan sekresi glukagon, namun GLP-1 tidak dapat bertahan lama didalam darah (waktu paruh 1 – 2 menit) sebab segera dihancurkan oleh enzim DPP-4 (dipepeptidyl peptidase-4). usaha untuk .mempertahankan GLP-1 lebih lama didalam darah adalah dengan menekan nekan enzim DPP-4 yaitu dengan cara menggunakan DPP-4 inhibitor sehingga , aktifitas GLP-1 meningkat. Pada saat ini golongan DPP- 4 inhibitor yaitu linagliptin, sitagliptin, vildagliptin ,
-Obat golongan penghambat SGLT-2 yaitu obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini yaitu dapaglifozin, empaglifozin dan canaglifozin,
-Terapi insulin meniru pola sekresi insulin , insulin dapat berupa insulin basal, insulin prandial .sesudah makan atau keduanya, insulin basal mengakibatkan munculnya hiperglikemia pada saat puasa, sedang insulin prandial memicu hiperglikemia sesudah makan.Pemberian insulin basal untuk memperbaiki kadar glukosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glukosa darah sesudah makan merupakan kondisi yang dipengaruhi oleh kadar glukosa puasa, maka dengan menurunkan glukosa basal, kadar glukosa darah setelah makan juga ikut turun. Insulin diberikan pada semua pasien .diabetes melitus tipe 2 saat glikemik buruk. Insulin diberikan pada diabetes melitus tipe 2 yang baru dikenal dengan penurunan berat badan yang hebat dan dalam keadaan ketosis,Contoh insulin sekali sehari,antaralain:
Lakukan pemeriksaan glukosa darah sebelum makan pagi,Lakukan titrasi dosis untuk mengendalikan kadar glukosa darah sebelum makan pagi,Teruskan pemakaian OAD metformin ,Mulai dengan dosis 8–10 unit long acting insulin(insulin kerja panjang) Dalam pemakaian insulin, dosis dinaikan secara bertahap. jika kadar glukosa darah belum terkendali , titrasi dosis dapat dilakukan setiap 2- 3 hari. Cara mentitrasi dosis insulin basal ,yaitu
meNaikan dosis 4 unit jika glukosa darah puasanya di atas 144 mg/dl
meNaikan dosis 2 unit jika glukosa darah puasanya di atas 126 mg/dl
Titrasi dosis ini dapat dilakukan selama 2-3 bulan pertama sampai kadar glukosa darah puasa mencapai kadar yang diinginkan
Pemberian Insulin Basal, basal plus insulin bila nilai HbA1c masih belum mencapai target, sesudah kadar glukosa darah puasa terkendali dengan basal insulin, maka dibutuhkan insulin lain untuk menurunkan HbA1c, yaitu dengan menambahkan insulin prandial. Pemberian basal insulin dengan menambahkan insulin prandial dinamakan dengan terapi basal plus. bila dengan pemberian cara di atas belum mendapatkan hasil maka pemberian insulin kerja cepat dapat diberikan setiap akan makan. Cara pemberian insulin seperti ini dinamakan dengan basal bolus. Dengan menggunakan 2 macam insulin dapat dilakukan berbagai metode untuk mencapai kendali glukosa darah.
pemberian insulin basal bolus, pada seorang penderita dapat diberi sekali injeksi insulin basal digabung dengan OAD, bila diperlukan tambahan insulin pada satu
waktu makan, maka dapat ditambahkan satu bolus insulin. bila setiap makan diperlukan insulin tambahan maka bolus insulin dapat diberikan setiap kali akan makan.Terapi insulin tunggal atau kombinasi disesuaikan dengan kebutuhan
pasien dan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil pemeriksaan kadar glukosa darah harian baik glukosa darah puasa maupun glukosa darah setelah makan,
Efek samping terapi insulin yaitu hipoglikemi, reaksi imunologi terhadap insulin yang memicu alergi insulin atau resistensi insulin. untuk menghindari efek samping hipoglikemi, maka kepada setiap penderita diabetes melitus tipe 2 yang akan diberikan insulin harus paham tanda dan gejala hipoglikemi. jika seorang pasien mengalami tanda atau gejala hipoglikemia sesudah mendapat suntikan insulin, maka yang pasien harus segera memeriksa kadar glukosa darahnya secara
mandiri dan bila kadar glukosa darahnya < 70 mg/dl, maka pasien harus minum air gula dan menurunkan dosis insulin pada pemberian insulin berikutnya,
Efek samping terapi insulin basal bolus pada penderita rawat jalan yaitu terjadinya obesitas,
pengobatan diabetes melitus dengan Ulkus Kaki Diabetik (UKD)
pengobatan Ulkus Kaki Diabetik dibagi menjadi 2 ,antaralain :
pencegahan primer atau pencegahan sebelum terjadinya ulkus dan
pencegahan sekunder atau pencegahan dan penatalaksanaan ulkus gangren
diabetik yang telah terjadi agar tidak terjadi kecacatan ,Pencegahan primer yaitu pengarahan diet, olahraga, gaya hidup, menggunakan golongan vasodilator seperti cilostazol atau antiplatelet,menggunakan insulin agar kadar glukosa darah normal , melakukan penilaian dengan seksama terhadap kelainan vaskuler tungkai, memberikan antibiotik sesuai kultur,
cara penderita diabetes melitus tipe 2 dengan laju filtrasi glomerulus < 30 .mL/menit/1.73, dihindari pemakaian OHO golongan biguanid dan α-glukosidase inhibitor.
diberikan insulin atau OHO golongan sulfonil urea (gliquidone) kerja singkat dan linagliptin ,
cara pengobatan komplikasi diabetes melitus tipe 2 pada Ginjal, pasien diabetes melitus tipe 2 dengan mikroalbuminuria diberikan obat golongan ACE-I untuk menurunkan tekanan intraglomerulus ,Pada diabetes melitus tipe 2 dengan proterinuria persisten biasanya disertai dengan hipertensi sistemik, maka diberikan terapi anti hipertensi golongan ACE-I atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB),