Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 3. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Juli 2023

penyakit hewan mamalia 3






















al dan pada kulit. Gambar 7-10 berturut turut menunjukkan 
vaskulitis pada berbagai organ. 
  Sampel rete mirabile yang dikoleksi untuk uji histopatologi dianggap paling 
mewakili untuk konfi rmasi diagnosa MCF.  Selain itu kasus infeksi alam 
dan infeksi buatan yang didiagnosa sebagai MCF secara histopatologik 
menunjukkan vaskulitis yang ada pada organ-organ selain rete hampir 
selalu disertai dengan vaskulitis pada rete.  Sebaliknya vaskulitis pada rete 
belum tentu disertai vaskulitis pada organ lain.  ini menunjukkan bahwa 
pada infeksi MCF vaskulitis mula-mula berasal dari rete  lalu menyebar 
ke organ yang lain.  Sampel yang positif didiagnosa sebagai MCF dapat 
berasal dari hewan yang secara klinik sehat (MCF sub-klinis). Gambar 11 
menunjukkan gambar rongga kranial sesudah  otak diangkat sehingga tampak 
kelenjar pituitary beserta rete mirabile epidurale dan Gambar 12 yaitu 
bidang sayatan untuk melokalisasi rete  tersebut.
   Secara mikroskopis, vaskulitis pada kasus yang parah dinding pembuluh 
darah dapat mengalami nekrosis dan hipertropi sehingga tejadi obstruksi 
lumen pembuluh darah yang bersangkutan dan mengganggu sirkulasi darah 
dari dan ke organ tersebut.  Lesi ringan dan lesi sedang secara histopatologik 
biasanya menunjukkan hubungan yang erat dengan gejala klinik dan gambaran 
pasca matinya.  
   Didapatnya variasi lesi secara kualitatif maupun kuantitatif tersebut, yaitu 
bahan pertimbangan bahwa lesi histopatologik SA-MCF di negara kita  mungkin 
dipengaruhi oleh daerah geografi , bangsa hewan yang terserang, dan strain 
virus yang berbeda. Infi ltrasi dan proliferasi sel-sel limfosit pada vaskulitis pada 
MCF terjadi sebelum timbulnya gejala klinik. 
 

3.  Patogenesis 
   Lesi Patologi Anatomi dan Histopatologi pada MCF sangat berkorelasi satu 
sama lain sehingga patogenesis penyakit dapat dijelaskan berdasar  lesi 
tersebut. Penyakit ditandai dengan masa inkubasi yang bervariasi, respon 
antibodi yang sangat terbatas dan baik pada WA-MCF maupun SA- MCF, 
infektifi tas pada kedua bentuk MCF tersebut hanya dapat dideteksi pada 
sel (cell associated) dan virus tidak pernah ditemukan bebas di luar sel 
sehingga ini menjelaskan mengapa MCF tidak dapat menular dari hewan 
yang terserang MCF ke hewan lainnya. 
   Karena dari  rete mirabile epidurale  ini keluar cabang-cabang antara lain berupa 
arteri carotid cerebral  dan arteri ophtalmic interna, kiranya sangat beralasan 
jika infeksi awal yang ditandai vaskulitis pada rete lalu berkembang 
menjadi bentuk MCF klinik yang khas berupa meningoensefalitis disertai 
eksudat mukopurulen dari mata dan hidung.  Dinding  pembuluh darah yang 
mengalami vaskulitis akan menebal sehingga terjadi obstruksi lumen yang 
selanjutnya akan mengganggu sirkulasi darah, terutama ke organ-organ yang 
mendapat suplai darah dari rete. 
   Ada beberapa hipotesis yang dianggap paling berperan dalam memicu  
vaskulitis yang bersifat non supuratif pada MCF,  yaitu aksi sitolitik langsung 
dari virus terhadap jaringan, reaksi imunologi dimana hewan yang terinfeksi 
menjadi hipersensitif terhadap antigen yang bersangkutan, terbentuknya reaksi 
immune complex, cell mediated immunity  dan bahwa virus MCF memicu  
disfungsi dari sel-sel yang mengatur mekanisme sistem kekebalan.  Sebagai 
tambahan, infi ltrasi sel limfosit pada vaskulitis bersifat proliferatif sehingga 
diasumsikan bahwa virus MCF hanya menyerang subset limfosit tertentu saja, 
seperti dibuktikan bahwa subset limfosit CD 8+ yang berperan memicu  
vaskulitis. 
   Hasil penelitian dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan 
bahwa DNA virus pemicu SA-MCF dapat dideteksi pada pheripheral blood 
leucocyite (PBL) dan beberapa sampel organ serta sampel swab hidung, 
mata dan vagina domba. berdasar  hasil penelitian tersebut tempat 
perbanyakan OVHV-2 pada anak domba kemungkinan yaitu  pada organ 
turbinat, kornea mata, kelenjar lakrimalis, epitel mukosa hidung, tonsil, soft 
palate, laring, epitel  pipi, lidah, kantung kencing dan limfoglandula.  Bahkan 
virus OVHV-2 dapat dideteksi pada sekresi hidung anak domba yang baru 
berumur 1 hari. Hasil  serupa juga diperoleh pada WA-MCF.  Domba bunting 
dianggap sebagai hewan pembawa virus SA-MCF, dan bahwa di negara kita  
domba dapat beranak 2-3 kali dalam setahun maka diasumsikan mereka 
secara terus menerus mensekresi virus.  Hal inilah yang mendasari gagasan 
bahwa pemisahan domba dari sapi atau kerbau yaitu satu-satunya 
kontrol yang terbaik.
   Patogenesis dari lesi yang beupa nekrosis dan proliferasi limfoid pada  MCF 
belum dapat dijelaskan dengan pasti.  Virus AIHV-1 sudah berhasil diisolasi 
pada WA-MCF dan secara  in vitro Cytopathic Effect (CPE) dari AIHV-1 pada 
in biakan sel berupa intranuclear inclusion dan  syncytia mengindikasi adanya 
infeksi virus namun fenomena ini tidak dapat ditemukan secara in vivo pada 
jaringan hewan yang mengalami nekrosis. usaha  untuk mendeteksi virus 
pada beberapa organ hewan yang terserang MCF dengan imunofl uoresen 
(direct dan indirect) telah dilakukan pada kelinci dan sapi  dan secara in 
situ hybridisation DNA virus pada  dimana hanya sedikit sekali sel yang 
mengandung antigen tersebut, artinya, replikasi virus terjadi sangat terbatas. 
Fakta tersebut memicu  pemikiran bahwa virus tidak berperan secara 
langsung dalam hal memicu  lesi dan diduga lesi terjadi akibat reaksi 
hipersensitivitas. 
   Patogenesis MCF dapat dijelaskan melalui mekanisme cytotoxic T-lymphocyte 
line pada limfoglandula mesenterika pada infeksi buatan SA-MCF yang 
dilakukan pada kelinci. Cell line tersebut diidentifi kasi sebagai sub-populasi 
limfosit T dengan lymphoblastoid yang disebut dengan large granular 
lymphocyte (LGL) yang bersifat sitotoksik pada biakan sel.  Sel serupa LGL 
juga berhasil dideteksi pada sel yang berasal dari cairan serebrospinal, 
kornea, thymus, suspensi limfoglandula dan limpa sapi dan rusa dengan 
SA-MCF. 
   Secara umum, ada dua jenis antigen permukaan limfosit yang berperan 
memicu  lesi pada MCF, yaitu sel T dan sel B serta gen yang mengontrol 
respon kekebalan yaitu major histocompatibility complex (MHC).  Analisa 
fenotipik pada LGL pada sapi dan rusa menunjukkan bahwa sel yang 
berperan yaitu  sel T dengan fenotip CD2+ dan CD8+. Studi imunohistokimia 
juga menunjukkan bahwa LGL mempunyai sifat natural killer activity. 
   Meskipun virus utuh pada SA-MCF tidak dapat diisolasi namun LGL sudah 
mampu untuk mentransmisikan penyakit ini sehingga peran LGL pada 
patogenesis patut dipertimbangkan sebagai sel target. Dan menunjukkan 
bahwa secara imunohistokimiawi kerlibatan subset limfosit T dengan fenotip 
CD8 lebih dominan dibandingkan  CD4 tetapi sel B dan MHC I jumlahnya lebih 
sedikit daripda sel T dan MHC II. ini nenandakan bahwa limfosit yang 
berperan dalam memicu  lesi MCF lebih bersifat sitotoksik (kerjasama 
CD8 dan MHC II) dibandingkan   berperan untuk memproduksi antibodi (kerjasama 
CD4 dan MHC I). 
   Penelitian yang lebih baru menyebutkan bahwa analisa detail pada MCF 
pada kelinci  membuktikan perbedaan infeksi yang dipicu oleh OvHV-
2 dan AlHV-1, lesi pada OvHV-2 lebih dominan pada jaringan limfoid pada 
organ viseral (misalnya pada limfoglandula mesenterika), sedangkan lesi 
pada  AIHV-1 lebih sering terjadi pada limfoglandula perifer. Selain itu, lesi 
berupa nekrosis lebih sering ditemukan pada OvHV-2 dibandingkan  pada AIHV-1. 
   LGL dapat dibiakkan dari berbagai organ yang terserang MCF baik pada 
infeksi oleh OvHV-2  maupun  AlHV-1. Sel LGL bersifat sitotoksik dengan 
aktifi tas sel T dan  natural killer dan  fakta membuktikan bahwa >90% LGL 
terinfeksi oleh virus MCF dengan uji  imunositokimia dan in situ hybridisation 
untuk virus DNA atau mRNA.  Kemampuan LGL dalam memanipulasi 
ekspresi gen virus dan replikasi DNA pada biakan jaringan LGL semestinya 
akan bermanfaat sebagai perangkat yang harus diteliti lebih jauh perannya 
untuk usaha propagasi virus OvHV-2.
4.  Diagnosa
   Diagnosa SA-MCF sampai saat ini masih ditegakkan berdasar  pada 
kombinasi data  epidemiologi dan gambaran klinilko-patologis penyakit. 
Untuk WA-MCF diagnosa tentu saja juga dapat dikonfi rmasi melalui uji 
serologi dan isolasi virus AIHV-1. Perkembangan teknik biologi molekular 
seperti PCR juga dimanfatkan untuk mendiagnosa MCF, baik pada WA-MCF  
maupun SA-MCF.  
   Pada WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel sapi/domba yang 
berasal dari sel dari organ thyroid, ginjal, paru dan limpa. Keberadaan virus 
dapat dideteksi dengan pewarnaan imunofl uoresen atau imunoperoksidase, 
neutralisasi virus (VN) atau mikroskop elektron.  Selain itu ada 
beberapa uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap AIHV-1 terutama 
untuk WA-MCF: complement fi xation (CF), immunodiffusion (ID), counter 
immunoelectrophoresis (CIE), indirect immunoperoxidase (IIP). Indirect 
immunofl uorescence (IIF) dapat mendeteksi respon imun terhadap infeksi 
virus herpes lain pada sapi, misalnya bovine herpesvirus-1 pada infectious 
bovine rhinotracheitis (IBR), bovine herpesvirus-2 (mammilitis) dan bovine 
herpesvirus-3 (DN 599, Movar). Berhubung uji VN pada AIHV-1 sangat 
memakan waktu maka ada alternatif lain untuk memakai enzyme-linked 
immunosorbent assay (ELISA) memakai antigen spesifi k  yang sudah 
distandardisasi.
  Uji serologi dengan IIF menunjukkan bahwa antibodi terhadap AIHV-1 dapat 
dideteksi baik pada serum hewan yang terinfeksi WA-MCF maupun SA-MCF 
serta pada serum dari domba yang bertindak sebagai reservoir. Meskipun 
IIF tergolong non-spesifi k, hal ini mengarah pada hipotesa bahwa ada virus 
serupa yang bertanggung jawab pada infeksi WA-MCF maupun SA-MCF, 
yang dibuktikan oleh melalui Western Blotting dimana sejumlah antigen 
AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum wildebeest maupun  pada serum 
domba dari kasus SA-MCF.
5.   Diagnosa banding 
  Perubahan klinis dan patologis MCF yang patognomonik, berupa proliferasi 
limfoid dan vaskulitis tidak selalu mudah untuk dikonfi rmasi secara 
histopatologis karena variasi lesi yang sangat besar di lapang.  Oleh karena 
itu perlu diperhatikan diagnosa banding terhadap  beberapa penyakit 
yang dapat dikelirukan dengan MCF antara lain rinderpest, haemorrhagic 
septicaemia, infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine virus 
diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD), trypanosomiasis (Surra), beberapa 
penyakit yang dipicu oleh virus arbo, dan khusus pada sapi Bali, MCF 
harus dibedakan dari penyakit Jembrana dan Rama Dewa. 
  Khusus untuk Rinderpest sampai saat ini belum pernah dilaporkan 
kejadiannya di negara kita . Rinderpest sulit dibedakan dengan MCF karena 
mempunyai gejala klinis yang bersifat ulseratif dan mortalitasnya tinggi. 
Namun begitu, secara patologik dapat dibedakan dengan MCF karena lesi 
limfoid pada Rinderpest bersifat degeneratif, disertai badan inklusi eosinofi lik-
intra sitoplasmik pada epitel dan organ limfoid. Perbedaan utama, pada 
Rinderpest tidak ditemukan gejala syaraf, lesi okular dan vaskulitis seperti 
pada MCF dan pada Rinderpest walau mortalitas tinggi seperti pada MCF 
namun morbiditasnya juga sangat tinggi (MCF morbiditas sangat rendah).
   Septicaemia epizootica (SE) atau haemorrhagic septicaemia (HS) yang 
dipicu oleh Pasteurella multocida  yaitu penyakit endemis di 
negara kita   meskipun program vaksinasi terus digalakkan. Penyakit SE 
ditandai dengan konjungtivitis, lakrimasi, dyspnoea, odema daerah kepala 
dan enteritis bersifat hemoragik seperti pada MCF akut. Perbedaannya, 
pada SE tidak ditemukan eksudat mukopurulen dari mata dan hidung seperti 
pada MCF dan pada SE demam tidak setinggi pada MCF.
   Infectious bovine rhinotracheitis (IBR), khususnya pada bentuk respirasi, 
mempunyai gejala klinis mirip MCF pada stadium awal yaitu demam tinggi, 
konjungtivitis, eksudat yang bersifat serous dari mata dan hidung  dan 
dyspnoea. Wabah IBR pernah dilaporkan di negara kita   dimana pada mulanya 
MCF diduga sebagai penyebabnya. Wabah IBR tersebut tidak ditandai 
dengan lesi mukosal dan angka mortalitasnya lebih rendah dibandingkan  MCF 
tetapi morbiditasnya jauh lebih tinggi dibandingkan  MCF.
   Bovine virus diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD) juga dapat dikelirukan 
dengan MCF.  Pada BVD-MD ditemukan demam tinggi, diarhe, lesi 
mukosal, lakrimasi hebat dan konjungtivitis seperti halnya pada MCF, tetapi 
mortalitasnya rendah rate. Secara serologik,  infeksi BVD telah dilaporkan 
kejadiannya di  negara kita   dan wabah BVD-MD pada sapi lalu juga 
dilaporkan kejadiannya secara klinis dan serologis di beberapa propinsi di 
negara kita  walaupun virus tidak berhasil diisolasi.
   Infeksi oleh Trypanosoma evansi (Surra) pada beberapa hal menyerupai 
MCF, misalnya demam tinggi, eksudat mata dan hidung bersifat mukopurulen, 
hipersalivasi dan pembengkakan limfoglandula superfi sial.  Namun 
demikian, pada Surra juga ditandai oleh anaemia, kahexia dan ikterus 
membran mukosa. Diagnosa Surra dapat dikonfi rmasi dengan keberadaan 
parasit pada preparat ulas darah hewan yang terinfeksi. Surra di negara kita  
sering dikelirukan dengan MCF secara histopahologik karena lesi meningo-
encefalitis yang ada baik pada MCF maupun Surra bersifat non 
supuratif (sel radang yang menginfi ltrasi berupa sel mono-nuklear), disertai 
perivascular cuffi ng terdiri dari limfosit, makrofag dan sel plasma. Hal utama 
yang harus diingat, MCF mempunyai lesi patognomonik berupa vaskulitis, 
sedang pada Surra tidak ada dan lesi patognomonik pada Surra ditandai 
dengan hiperplasia sum sum tulang.
   Penyakit lain yang dapat dianggapa menyerupai MCF yaitu  infeksi dengan 
virus Infeksi virus arbo secara selologis telah dilaporkan di negara kita . Selain 
itu, virus arbo eperti bluetongue dan epizootic haemorrhagic disease sudah 
berhasil diisolasi di negara kita . Virus arbo ini ditandai dengan demam dan 
encefalitis seperti pada MCF.
   Penyakit Jembrana pertama kali dilaporkan di negara kita  pada than 1964 dan 
secara klinis sangat menyerupai dan sulit dibedakan dari MCF secara klinis, 
ditandai dengan demam tinggi, diarhe, eksudat mukopurululen dari mata dan 
hidung, lesi mukosal dan pembengkakakan limfoglandula superfi sial. Namun 
sesudah  agen etiologi Jembrana dapat diisolasi dan diidentifi kasi sebagai 
Lentivirus  maka konfi rmasi diagnosa menjadi lebih mudah ditetapkan. 
Secara histopatologis vaskulitis tidak ditemukan pada Jembrana seperti 
halnya pada MCF, melainkan ditandai oleh reaksi limforetikular yang bersifat 
umum yang  ditandai oleh badan inklusi yang bersifat pleomorfi k, basofi lik, 
intrasitoplasmik pada organ yang terserang.
   Penyakit Rama Dewa pertama kali dilaporkan pada tahun 1976 di Lampung 
(saat itu Sumatra Selatan) yang secara klinis sangat mirip dengan Jembrana 
dan MCF. Rama Dewa secara klinis ditandai dengan demam tinggi, 
diarhea, eksudat mukopurulen dari mata dan hidung serta pembengkakan 
limfoglandula superfi sial. Secara histopatologis penyakit Rama Dewa juga 
ditandai dengan ensefalitis. 
pengobatan : 
Baik hewan reservoir maupun hewan peka MCF dapat menghasilkan respon 
antibodi terhadap virus MCF dan fakta  ini secara serologis yaitu perangkat 
diagnosa yang cukup penting yang berguna sebagai data epidemiologi penyakit. 
Antibodi yang dapat mengenali antigen AIHV-1 dapat dideteksi pada serum 
domba karier dan pada sapi yang terserang MCF, ini menandakan bahwa agen 
yang berperan pada SA-MCF berkaitan erat dengan virus AIHV-1. Sementara 
itu, sesudah  usaha pengembangan vaksin untuk mencegah infeksi MCF tidak 
membuahkan hasil, maka satu satunya cara untuk pengendalian MCF hanyalah 
berdasar  pada pemisahan hewan peka dari hewan reservoir (sapi dipisahkan 
dari wildebeest dan alcelaphine antelopes untuk WA-MCF dan sapi dipisahkan 
dari domba untuk SA-MCF ).
Hasil sekuensing dari genome virus OvHV-2 yang berupa produksi virus 
rekombinan  AlHV-1 serta usaha uji tantang dengan virus OvHV-2 dan AIHV-1 
secara intra-nasal, dapat mengarah ke tahap terpenting dalam pengembangan 
strategi vaksinasi untuk memproteksi hewan dari serangan MCF. Screening 
antibodi dari cDNA expression libraries telah menuju pada pemilihan kandidat 
antigen baik yang berasal dari AIHV-1 maupun OvHV-2. Kedua studi tersebut 
mengidentifi kasi klone cDNA yang mengkode area C-terminal dari ORF73 yang 
bersifat antigenik pada domba yang positif mengandung OvHV-2 dan pada kelinci 
dan wildebeest yang mengandung AIHV-1 .



PENYAKIT BAKTERI

ANTHRAKS
Sinonim: Splenic fever, Charbon, Milztbrand, Radang Limpa, Wool
Sorter’s disease
  
Anthraks yaitu  penyakit menular yang dipicu oleh Bacillus anthracis, 
biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak, 
kuda, babi dan sebagainya). Ditandai dengan demam tinggi yang disertai dengan 
perubahan jaringan bersifat septisemia, infi ltrasi serohemoragi pada jaringan 
subkutan dan subserosa, serta pembengkakan akut limpa. Berbagai jenis hewan 
liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang.
Di negara kita  Anthraks memicu banyak kematian pada ternak, kehilangan 
tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena 
ternak tidak boleh dipotong. Kerugian ditaksir sebesar dua milyar rupiah per 
tahun.
etiologi 
Penyebab anthraks yaitu  Bacillus anthracis. B.anthracis berbentuk batang 
lurus, dengan ujung siku, membentuk rantai panjang dalam biakan. Dalam 
jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara 
tunggal atau dalam rantai pendek dari 2-6 organisme, berselubung (berkapsul), 
kadang-kadang satu selubung melingkupi beberapa organisme. Selubung 
tersebut tampak jelas batasnya dan dengan pewarnaan gram tidak berwarna atau 
berwarna lebih pucat dari tubuhnya. Bakteri anthraks bersifat aerob, membentuk 
spora yang letaknya sentral bila cukup oksigen. Tidak cukupnya oksigen di dalam 
tubuh penderita atau di dalam bangkai yang tidak dibuka (diseksi), baik dalam 
darah maupun dalam jeroan, maka spora tidak pernah dijumpai. Bakteri bersifat 
Gram-positif, dan mudah diwarnai dengan zat-zat warna biasa.
Pada media agar, bakteri anthraks membentuk koloni yang suram, tepinya tidak 
teratur, pada pembesaran lemah menyerupai jalinan rambut bergelombang, 
yang sering kali disebut caput medusa. Pada media cair mula- mula terjadi 
pertumbuhan di permukaan, yang lalu turun ke dasar tabung sebagai jonjot 
kapas, cairannya tetap jernih.
Spora tahan terhadap kekeringan untuk jangka waktu yang lama, bahkan dalam 
tanah dengan kondisi tertentu dapat tahan sampai berpuluh-puluh tahun, lain 
halnya dengan bentuk vegetatif B.anthracis mudah mati oleh suhu pasteurisasi, 
desinfektan atau oleh proses pembusukan. 
Pemusnahan spora B.anthracis dapat dilakukan dengan : uap basah bersuhu 
90° selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 100°C selama 10 
menit, dan panas kering pada suhu 120°C selama satu jam.
Meskipun anthraks tersebar di seluruh dunia namun pada umumnya penyakit 
ini ada pada beberapa wilayah saja. Biasanya penyakit ini timbul secara 
enzootik pada saat tertentu saja sepanjang tahun. 
epidemiologi 
1.  Spesies Rentan
  Menurut penelitian, kerentanan hewan terhadap antraks dapat 
dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
a.  Hewan pemamah biak, terutama sapi dan domba, lalu kuda, rusa, 
kerbau dan pemamah biak liar lain, marmut dan mencit (mouse) sangat 
rentan.
b.  Babi tidak begitu rentan.
c.   Anjing, kucing, tikus (rat) dan sebagian besar bangsa burung, relatif tidak 
rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan. 
d.  Hewan berdarah dingin (jenis reptilia), sama sekali tidak rentan (not 
affected).
2.  Pengaruh Lingkungan
  Anthraks banyak ada di daerah pertanian, daerah tertentu yang 
basah dan lembab, serta daerah banjir. Di daerah-daerah tersebut anthraks 
timbul secara enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-
beda. Daerah yang terserang anthraks biasanya memiliki tanah berkapur 
dan kaya akan bahan-bahan organik. 
  Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus 
sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Wabah anthraks pada 
umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis 
yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut. Di daerah-daerah tersebut 
spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi 
pertumbuhannya. 
3.  Sifat Penyakit
  Enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda 
di daerah-daerah tertentu. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 10.000 populasi 
hewan dalam ancaman, tiap propinsi dalam tahun 1975 menunjukan derajat 
yang paling tinggi di Jambi (53 tiap 10.000) dan terendah di Jawa Barat (1 
tiap 10.000). Dari laporan itupun dapat diketahui bahwa 5 (lima) daerah 
mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 50 tiap 10.000 populasi dalam 
ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim.
4.  Cara penularan
  Pada hakekatnya anthraks yaitu  “penyakit tanah” yang berarti bahwa 
penyebabnya ada didalam tanah, lalu bersama makanan atau 
minuman masuk ke dalam tubuh hewan. Pada manusia infeksi dapat terjadi 
lewat kulit, mulut atau pernafasan. Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan 
yang satu kepada yang lain secara langsung.
  Bakteri anthraks bergerombol di dalam jaringan hewan penderita, 
yang dikeluarkan melalui sekresi dan ekskresi menjelang kematiannya. 
Bila penderita anthraks mati lalu diseksi atau termakan burung atau 
hewan pemakan bangkai, maka spora dengan cepat akan terbentuk dan 
mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian maka menjadi sulit untuk 
memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora tersebut 
tersebar oleh adanya angin, air, pengolahan tanah, rumput makanan ternak 
dan sebagainya.
  Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus 
sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
  Masa tunas anthraks berkisar antar 1-3 hari, kadang-kadang ada 
yang sampai 14 hari. Infeksi alami terjadi melalui :
  a.  Saluran pencernaan
  b.  Saluran pernafasan dan
  c.  Permukaan kulit yang terluka.
  Infeksi melalui saluran pencernaan lazim ditemui pada hewan-
hewan dengan tertelannya spora, meskipun demikian cara infeksi yang 
lain dapat saja terjadi. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari hewan 
melalui permukaan kulit yang terluka, terutama pada manusia yang banyak 
berhubungan dengan hewan. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi 
pada pekerja penyortir bulu domba (wool-sorter’s disease), sedangkan 
infeksi melalui saluran pencernaan terjadi pada manusia yang makan daging 
asal hewan penderita anthraks.
5.  Faktor Predisposisi
  Anthraks yaitu penyakit yang menyerang pada mamalia. 
Faktor predisposisi terjadinya anthraks antara lain hewan dalam kondisi 
kedinginan, kekurangan makanan, dan juga keletihan terutama pada hewan-
hewan yang mengandung spora yang bersifat laten. 
6.  Distribusi Penyakit
  Di negara kita  berita tentang suatu penyakit yang sangat menyerupai 
anthraks pada kerbau di daerah Teluk Betung dimuat dalam ”Javasche 
Courant” tahun 1884. lalu berita yang lebih jelas tentang berjangkitnya 
anthraks di beberapa daerah di negara kita  di beritakan oleh ”Kolonial Verslag” 
antara tahun 1885 dan 1886. lalu antara tahun 1899 dan 1900 sampai 
1914, tahun 1927 sampai 1928, tahun 1930 tercatat kejadian-kejadian 
anthraks di berbagai tempat di Jawa dan di luar Jawa.
  Insidensi kasus di negara kita  menurut Bulletin Veteriner tahun 1975 
di Jabar, Sultra, NTT dan NTB; tahun 1996 di Jambi, Sultra, Sulsel, NTB, 
NTT dan Jabar; 1977 di NTB ;1981 di DKI Jakarta, Jabar, NTT dan NTB; 
1982 di NTB, Jatim dan Sulsel; 1983 di DKI Jakarta, NTB, NTT dan Sulsel; 
1986 di NTB, Jabar dan Sumbar, 1988 -1993 di NTB;1991 di Jogya, Bali dan 
NTB dan 1992 -1994 di NTB.
  Kasus anthraks di Jawa Tengah tahun 1990 tercatat 97 kasus pada 
manusia di kabupaten Semarang dan Boyolali, di Jawa Barat pada tahun 
1975 -1974 tercatat 36 kasus di kabupaten Karawang, 30 kasus di kabupaten 
Purwakarta, di kabupaten Bekasi 22 kasus pada tahun 1983 dan 25 kasus 
pada tahun 1985.
  Laporan kasus anthraks pada Januari tahun 2000 yang diduga telah 
terjadi tiga bulan sebelumnya, menyatakan kasus terjadi pada penduduk 
desa Ciparungsari kecamatan Cempaka, kabupaten Purwakarta, Jabar yang 
menjarah burung unta. (Struthio Camelus) milik P.T. Cisada Kema Suri yang 
dimusnahkan karena tertular penyakit anthraks.
  Laporan kasus anthraks terakhir terjadi pada tahun  2012 di Kab. 
Boyolali dan Kab. Sragen (Jawa Tengah), Kab. Maros dan Kab. Takalar 
(Sulawesi Selatan), yang menyerang sapi potong dan sapi perah milik 
peternak. 
keterangan : 
1. Gejala Klinis
  Dikenal beberapa bentuk anthraks, yaitu bentuk perakut, akut dan 
kronis. 
  Anthraks bentuk perakut gejala penyakitnya sangat mendadak 
dan segera terjadi kematian karena ada perdarahan otak. Gejala tersebut 
berupa sesak nafas, gemetar lalu hewan rebah. Pada beberapa kasus 
menunjukkan gejala kejang pada sapi, domba dan kambing, mungkin terjadi 
kematian tanpa menunjukkan gejala-gejala penyakit sebelumnya.
 
  Antraks bentuk akut pada sapi, kuda dan domba. Gejala 
penyakitnya mula-mula demam, penderita gelisah, depresi, susah bernafas, 
detak jantung frekuen dan lemah, kejang, dan lalu penderita segera 
mati. Selama sakit berlangsung, demamnya dapat mencapai 41,50C, 
ruminasi berhenti, produksi susu berkurang, pada ternak yang sedang 
bunting mungkin terjadi keguguran. Dari lubang-lubang alami mungkin 
terjadi ekskreta berdarah. Gejala anthraks pada kuda dapat berupa demam, 
kedinginan, kolik yang berat, tidak ada nafsu makan, depresi hebat, otot-otot 
lemah, diare berdarah, bengkak di daerah leher, dada, perut bagian bawah, 
dan di bagian kelamin luar. Kematian pada kuda biasanya terjadi sehari atau 
lebih lama bila dibandingkan dengan anthraks pada ruminansia. 
  Antraks bentuk kronis biasanya ada pada babi, tetapi kadang- 
kadang ada juga pada sapi, kuda dan anjing dengan lesi lokal yang 
terbatas pada lidah dan tenggorokan. Pada satu kelompok babi yang 
terinfeksi, beberapa babi diantaranya mungkin mati karena antraks akut 
tanpa menunjukan gejala penyakit sebelumnya. Beberapa babi yang lain 
menunjukan pembengkakan yang cepat pada tenggorokan, yang pada 
beberapa kasus memicu kematian karena lemas. Kebanyakan babi 
dalam kelompok itu mati karena anthraks kronis. Sedangkan babi dengan 
infeksi ringan, berangsur-angsur akan sembuh. Bila babi tersebut disembelih, 
pada kelenjar limfe servikal dan tonsil ada bakteri anthraks.
  Pada kuda anthraks memicu kolik, mungkin karena torsi 
intestinal atau invaginasi, dengan tidak disertai akumulasi feses dan gas. 
Sering juga disertai busung di daerah leher, dada, bahu, dan faring. Busung 
tersebut berbeda dengan pembengkakan yang dipicu oleh purpura 
hemoragika, karena pembengkakannya cepat, ada rasa nyeri, ada demam 
tinggi dan perbedaan lokalisasinya. Gejala gelisah jarang terjadi tetapi selalu 
mengalami sesak nafas dan kebiruan. Penyakit tersebut biasanya berakhir 
8-36 jam, atau kadang-kadang sampai 3-8 hari.  
  Pada sapi, gejala permulaan kurang jelas kecuali demam tinggi 
sampai 420C. Biasanya sapi-sapi tersebut terus digembalakan atau 
dipekerjakan. Dalam keadaan seperti itu sapi dapat mendadak mati di 
kandang, di padang gembalaan atau saat sedang dipekerjakan. Penyakit 
ini ditandai dengan gelisah pada saat mengunyah, menanduk benda keras 
di sekitarnya, lalu dapat diikuti dengan gejala -gejala penyakit umum 
seperti hewan menjadi lemah, panas tubuh tidak merata, paha gemetar. 
Nafsu makan hilang sama sekali, sekresi susu menurun atau terhenti, tidak 
ada ruminasi, dan perut nampak agak kembung. Pada puncak penyakit 
darah keluar melalui dubur, mulut, lubang hidung, dan urin bercampur darah. 
Pada beberapa kasus ada bungkul-bungkul keras berisi cairan jernih 
atau nanah, pada mukosa mulut ada bercak -bercak, lidah bengkak dan 
kebiruan, serta nampak lidah keluar dari mulut.
  Gejala-gejala umum anthraks berupa pembengkakan di daerah 
leher, dada, sisi lambung, pinggang, dan alat kelamin luar. Pembengkakan 
tersebut berkembang cepat dan meluas, bila diraba panas konsistensinya 
lembek atau keras, sedang kulit di daerah tersebut normal atau ada luka 
yang mengeluarkan eksudat cair yang berwarna kuning muda. Pembengkakan 
pada leher sering berlanjut memicu paryngitis dan busung glottis, 
memicu sesak nafas yang memberatkan penyakit. Pada selaput lendir 
rektum ada pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Pembengkakan 
seperti itu juga dapat terjadi karena infeksi pada waktu eksplorasi rektal atau 
pengosongan isi usus.
  Pada beberapa kasus sulit buang air, feses bercampur darah yang 
berwarna merah hitam dan jaringan nekrotik yang mengelupas. Kadang-
kadang ada penyembulan rektum. Daerah perineum bengkak, selaput 
lendir panas, pada selaput lendir vagina sering ada busung gelatin.
  Pada domba dan kambing, biasanya bentuk perakut dengan 
perubahan apopleksi sereberal, terlihat berputar-putar, gigi gemeretak dan 
mati hanya beberapa menit sesudah  darah keluar dari lubang-lubang alami 
tubuh. 
  Pada kasus akut, penyakit tersebut hanya berlangsung beberapa 
jam, dengan tanda-tanda seperti gelisah, berputar-putar, respirasi berat 
dan cepat, frekuensi jantung meningkat, feses dan urin bercampur darah, 
hipersalivasi, busung dan enteritis jarang ditemukan.
  Pada babi, gejala penyakit berupa demam dan pharyngitis dengan 
kebengkakan pada daerah subparotidea dan larynx yang berlangsung 
dengan cepat (anthraks angina). Pembengkakan tersebut dapat meluas dari 
leher sampai ke dahi, muka dan dada, memicu kesulitan makan dan 
bernafas. Selaput lendir kebiruan, pada kulit ada bercak merah, diare, 
disfagia (paralisis otot pipi), muntah dan sesak nafas memicu hewan 
mati lemas.
  Pada kasus tanpa pembengkakan leher, gejala penyakitnya 
mungkin hanya berupa lemah, tidak ada nafsu makan dan menyendiri. Pada 
antraks lokal atau kronis hewan sering tampak normal.
  Pada anjing dan pemakan daging (carnivora) lainnya, gejala 
penyakit berupa gastroenteritis dan pharyngitis, tetapi kadang-kadang 
hanya demam. Setelah makan daging yang mengandung bakteri anthraks, 
bibir dan lidah menjadi bengkak, atau timbul bungkul-bungkul pada rahang 
atas. Kadang-kadang dapat terjadi infeksi umum melalui erosi pada mukosa 
kerongkongan.
  Pada manusia, sering ditemukan bentuk (kutan). Karena 
serangannya bersifat lokal, dapat juga disebut anthraks lokal. Pada luka 
tersebut terjadi rasa nyeri, yang diikuti dengan pembentukan bungkul merah 
pucat (karbungkel) yang berkembang menjadi kehitaman dengan cairan 
bening berwarna merah. Bila pecah akan meninggalkan jaringan nekrotik. 
Bungkul berikutnya muncul berdekatan. Jaringan sekitarnya tegang, bengkak 
dengan warna merah tua pada kulit sekitarnya. Bila dalam waktu bersamaan 
gejala demam muncul, infeksi menjadi umum (generalis) dan pasien mati 
karena septisemi.

  Anthraks bentuk kutan (kulit) ditandai dengan adanya pembengka 
kan di berbagai tempat di bagian tubuh. Biasanya pada sapi dan kuda yang 
ada luka atau lecet di daerah kulit yang lalu tercemar oleh bakteri 
anthraks, maka hewan tersebut akan terinfeksi anthraks.
  Manifestasi gambaran klinis anthraks sebagaimana tersebut di atas 
ada kalanya berbeda-beda tergantung pada perluasan penyakit dan jenis 
hewan yang terkena.
  Anthraks kulit primer maupun sekunder jarang ditemukan. Penyakit 
ini biasanya berakhir sesudah  10-36 jam, kadang-kadang sampai 2-5 hari. 
Anthraks kulit yang kronis dapat pula terjadi pada sapi yang berlangsung 
selama 2-3 bulan. Hewan -hewan yang menderita penyakit akan menjadi 
kurus dengan cepat.
  Anthraks bentuk usus (intestinal) sering disertai haemoragik, 
kenyerian yang sangat didaerah perut (kolik), muntah-muntah, kaku dan 
berakhir dengan kolaps dan kematian.
  Anthraks bentuk pernafasan, terjadi pleuritis dan bronchopneumonia. 
Bentuk gabungan juga bisa terjadi. Setelah infeksi usus, lalu muncul 
kebengkakan bersifat busung di bagian tubuh yang lain.
2.  Patologi 
  Bangkai hewan yang mati karena anthraks dilarang untuk dibedah. 
Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis, dan terlihat sangat 
membengkak. Kekakuan bangkai (rigor mortis) biasanya tidak ada atau 
tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti aspal mungkin keluar 
dari lubang alami seperti hidung, mulut, telinga, anus tampak bengkak, 
dan bangkai cepat membusuk. Mukosa warna kebiruan, sering ada 
penyembulan rektum yang disertai perdarahan.
3.  Diagnosa
a.  Pemeriksaan mikroskopik langsung.
     Hewan yang masih dalam keadan sakit atau baru saja mati, selama 
belum terjadi pembusukan, dilakukan pemeriksaan mikroskopik sediaan 
ulas darah perifer dengan cara yang sederhana dan tepat. Bakteri 
berbentuk batang besar, Gram positif, biasanya tersusun tunggal, 
berpasangan atau berantai pendek. Tidak ada spora. Dengan 
pewarnaan yang baik dapat dilihat adanya selubung (kapsul)
     Jika hewan sudah mengalami pembusukan maka dari pemeriksaan 
mikroskopik sediaan ulas darah perifer, agak sulit untuk membuat 
diagnosa yang tepat. Sejumlah bakteri pembusuk memiliki bentuk yang 
mirip dengan anthraks (bakteri anthrakoid). Biasanya bakteri-bakteri 
pembusuk itu agak panjang dan tersusun dalam rantai yang lebih 
panjang.
b.  Pemeriksaan dengan pemupukan.
     Bahan mengandung anthraks berupa darah atau jaringan lain yang 
berasal dari hewan sakit atau baru saja mati, dengan mudah dapat 
dipupuk pada media buatan.
     Jika bahan sampel berasal dari jaringan yang telah busuk, maka 
akan timbul berbagai kesulitan karena (a) bakteri anthraks mudah mati 
oleh pembusukan, (b) bakteri-bakteri anthrakoid akan ikut nampak dan 
tumbuh dengan baik. 
c.  Pemeriksaan biologis
     Hewan percobaan yang terbaik yaitu  marmut. Meskipun mencit 
cukup baik, tetapi mencit sangat rentan terhadap kontaminan lain. 
Setelah disuntik secara subkutan, marmut biasanya mati dalam waktu 
36-48 jam, paling lama pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut 
penuh dengan bakteri anthraks dan di bawah kulit tempat suntikan terjadi 
infi ltrasi gelatin.
     Penyuntikan hewan percobaan yaitu  cara yang paling tepat untuk 
membedakan bakteri anthraks dari bakteri anthrakoid.
d.  Pemeriksaan serologis
     Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan Uji Ascoli dan 
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) 
     Uji Ascoli
     Uji termopresipitasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan 
jaringan tercemar anthraks. Untuk uji Ascoli diperlukan serum presipitasi 
bertiter tinggi. Jaringan tersangka dilakukan ekstraksi dengan air dengan 
cara perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih 
yang diperoleh disebut presipitinogen mengandung protein anthraks, 
ditemukan secara perlahan-lahan dengan serum presipitasi (presipitin) 
dalam tabung reaksi kecil. Reaksi positif akan ditandai dengan 
terbentuknya cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan 
tersebut.
4.  Diagnosa Banding
  Anthraks harus dibedakan dari kematian mendadak oleh sebab 
lain. Pada sapi dan babi, terutama oleh pasteurellosis yang disertai 
pembengkakan pada leher. Pada sapi dan domba infeksi dengan Clostridia 
dapat memicu kematian mendadak. Pada sapi perlu diperhatikan pula 
penyakit-penyakit Ieptospirosis akut, anaplasmosis, bacillary, hemoglobinuria, 
dan keracunan-keracunan oleh tanaman, timah atau fosfor yang akut. Pada 
kuda, anemia infeksiosa yang akut, purpura haemorrhagica, macam-macam 
kolik, keracunan timah, dan sun stroke, mempunyai gejala-gejala serupa 
dengan anthraks. Pada babi, hog cholera akut, malignant oedema bentuk 
pharyngeal mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks.
  Pada sapi dan kerbau dapat dikacaukan dengan keracunan, radang 
otak, penyakit pencernaan bentuk jahat Aphtae Epizootica, Septicaemia 
Epizootica, Surra, Piroplasmosis akut, Rinderpest, dan penyakit Jembrana. 
Pada kuda dapat dikacaukan dengan Surra, terutama jika dilihat dari 
timbulnya busung.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Larangan bedah bangkai terhadap hewan yang mati tersangka 
anthraks dengan dasar:
a.  Tidak memberi peluang terbentuknya spora bakteri anthraks yang 
mungkin menyulitkan pemberantasan penyakit.
b.  Sangat berbahaya bagi manusia yang melakukan seksi dan pembantu -
pembantunya.
  Bahan pemeriksaan yang perlu dikirimkan ke laboratorium diagnostik 
yaitu  sebagai berikut:
  Hewan pemanah biak :
a.  Sediaan ulas darah diambil dari pembuluh darah tepi (vena pada telinga, 
pada metakarpal, atau metatarsal). Dibuat tipis dan lebih dari satu 
lalu dilakukan fi ksasi.
b.  Olesan darah tepi dari hewan yang sama pada kapas bergagang 
(cotton swab), sepotong kapur tulis, atau sepotong kertas saring yang 
lalu dimasukan ke dalam tabung reaksi. Alat pengambilan bahan 
harus dalam keadaan steril sebelum dipakai dan pengambilan dilakukan 
secara aseptik.
  Bahan pemeriksaan tersebut harus ditaruh dalam wadah yang 
kuat dan tertutup rapat untuk mencegah kemungkinan pencemaran dalam 
perjalanan.
  Pada babi, kuda hewan lainnya
a.  Sediaan ulas dari jaringan tubuh dengan lesi yang jelas (dari kelenjar 
limfe submaxillaris dan daerah kebengkakan)
b.  Sediaan ulas darah dari pembuluh darah tepi (dari kuda dan babi tidak 
dapat diharapkan ditemuinya B.anthracis dalam sediaan ulas darah).
c.   Khusus untuk babi jika perlu bisa dikirimkan kelenjar limfa cervicalis yang 
diawetkan dalam asam borax (4%).
 Bagi anthraks bentuk kutan dapat dikirimkan :
a.  Sediaan ulas dari luka yang bersangkutan.
b.  Olesan pada luka yang sama memakai kapas bergagang atau yang 
lainnya (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).
  Bila pengiriman bahan-bahan tersebut diatas tidak memungkinkan 
maka pengiriman bahan berupa sisa-sisa bagian tubuh hewan yang masih 
ditemukan tanpa bahan pengawet apapun masih dapat dianjurkan, antara 
lain sepotong kulit, tulang, daging kering dan dendeng. Bahan-bahan tersebut 
dimaksudkan untuk pemeriksaan serologi.
  Bahan pemeriksaan tersebut diatas dikirimkan ke laboratorium 
veteriner setempat (kecuali ada ketentuan khusus) disertai surat pengantar 
berisi informasi selengkap mungkin. Hasil pengujian ditembuskan kepada 
Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan, 
dan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan pada hewan sakit diberikan suntikan antiserum dengan 
dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan 
kecil. Penyuntikan antiserum homolog yaitu  IV atau SC, sedang yang 
heterolog SC. Jika perlu penyuntikan pengobatan dapat diulangi secukupnya. 
Antiserum yang diberikan lebih dini sesudah timbul gejala sakit, kemungkinan 
untuk diperoleh hasil yang baik akan lebih besar. 
  Hewan tersangka sakit atau yang sekandang dengan hewan sakit, 
diberi suntikan pencegahan dengan antiserum. Kekebalan pasif timbul 
sesaat , akan tetapi berlangsung tidak lebih lama dari 2 minggu.
  Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan 
dengan pemberian antibiotik. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba 
dengan obat-obatan tersebut di bawah ini.
  Anthraks stadium awal pada kuda dan sapi diobati dengan procain 
penicillin G dilarutkan dalam aquades steril dengan dosis untuk hewan besar 
6.000-20.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari. 
  Streptomycin sebanyak 10 gram (untuk hewan besar seberat 400-
600 kg) setiap hari yang diberikan dalam dua dosis secara intramuskuler 
dianggap lebih efektif dari penicillin, akan tetapi lebih baik dipakai kombinasi 
penicillin - streptomycin. 
  Selain penicillin dapat pula dipakai oxytetracycline. Untuk sapi dan 
kuda mula -mula 2 gm IV atau IM, lalu 1 g tiap hari selama 3-4 hari atau 
sampai sembuh. Oxytertracyclin dapat diberikan dalam kombinasi dengan 
penicillin. Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain : chloramphanicol, 
erythromycin, atau sulfonamide (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine, 
sulfathiazole), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari 
penicillin atau tetracycline.
2.   Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pencegahan
     Perlakuan terhadap hewan yang dinyatakan berpenyakit anthraks 
dilarang untuk dipotong.
     Bagi daerah bebas anthraks, tindakan pencegahan didasarkan pada 
pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah tersebut. 
     Anthraks pada hewan ternak dapat dicegah dengan vaksinasi. 
Vaksinasi dilakukan pada semua hewan ternak di daerah enzootik 
anthraks setiap tahun sekali, disertai cara-cara pengawasan dan 
pengendalian yang ketat.
b.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Disamping pengobatan dan pencegahan, diperlukan cara pengendalian 
khusus untuk mencegah perluasan penyakit. 
     Tindakan-tindakan tersebut yaitu  sebagai berikut :
(1)   Hewan yang menderita anthraks harus diisolasi sehingga tidak 
dapat kontak dengan hewan-hewan lain
(2)  Pengisolasian tersebut dilakukan di kandang atau di tempat dimana 
hewan tersebut ditemukan sakit. Didekat tempat itu digali lubang 
sedalam 2 -2,5 meter, untuk menampung sisa makanan dan feses 
dari kandang hewan yang sakit
(3)  Setelah hewan mati, sembuh atau sesudah  lubang itu terisi sampai 
60 cm, lubang itu dipenuhi dengan tanah yang segar
(4)  Dilarang menyembelih hewan yang sakit
(5)  Hewan tersangka tidak boleh meninggalkan halaman dimana ia 
berdiam sedangkan hewan yang lain tidak boleh dibawa ketempat 
itu
(6)  Jika diantara hewan yang tersangka tersebut timbul gejala penyakit, 
maka hewan yang sakit tersebut diasingkan menurut cara seperti 
ditentukan dalam poin 1
(7)  Jika diantara hewan yang tersangka dalam waktu 14 hari tidak ada 
yang sakit, hewan tersebut dibebaskan kembali
(8)  Di pintu-pintu yang menuju halaman, dimana hewan yang sakit atau 
tersangka sakit diasingkan dipasang papan bertuliskan ”Penyakit 
Hewan Menular Anthraks” disertai nama penyakit yang dimengerti 
di daerah itu
(9)  Bangkai hewan yang mati karena anthraks harus segera 
dimusnahkan dengan dibakar habis atau dikubur (poin 3 dan 4) 
(10) Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua 
perlengkapan yang tercemar harus dilakukan disinfeksi
(11)  Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-alat yang 
tidak dapat didisinfeksi, harus dibakar
(12) Dalam satu daerah, penyakit dianggap telah berlalu sesudah  lewat 
masa 14 hari sejak matinya atau sembuhnya penderita terakhir
(13) Untuk mencegah perluasan penyakit melalui serangga, dipakai 
obat-obat pembunuh serangga
(14) Hewan yang mati karena anthraks dicegah agar tidak dimakan oleh 
hewan pemakan bangkai
(15) Tindakan sanitasi umum terhadap manusia yang kontak dengan 
hewan penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan 
penyakit.
c.  Pelaporan
     Laporan kejadian penyakit anthraks berisi informasi selengkap 
mungkin, disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi 
Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan 
Hewan, yang dilengkapi dengan pengisian formulir yang telah ditentukan, 
seperti:
(1) Laporan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan 
Hewan ke Pemerintah Daerah, dan ke Direktorat Jenderal Peternakan 
dan  Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, mengenai 
terdapatnya kejadian anthraks
(2) Mengirim bahan-bahan pemeriksaan penyakit ke laboratorium 
veteriner setempat untuk peneguhan adanya penyakit
(3) Pernyataan tentang terdapatnya/bebasnya suatu daerah terhadap 
Anthraks oleh Kepala Pemerintah Daerah sesudah  adanya peneguhan 
teknis

ATROPIC RHINITIS PADA BABI
  
Atropic rhinitis yaitu  penyakit menular pada babi ditandai dengan adanya sekresi 
hidung yang bersifat purulen, disertai perubahan bentuk hidung berupa moncong 
hidung membengkok, atrofi  tulang turbinatum dan penurunan produktifi tas. 
Atropic rhinitis kemungkinan telah tersebar diseluruh dunia. Amerika serikat dan 
beberapa negara di Eropa menderita kerugian cukup besar oleh penyakit ini.
etiologi 
Pada bentuk parah dan progresif, pemicu penyakit ini yaitu  Pasteurella 
multocida yang toksigenetik disertai atau tidak disertai oleh Bordetella 
bronchoseptica. Bentuk ringan sampai sedang, dipicu oleh Bordetella 
bronchoseptica saja, atau disertai oleh fl ora normal pada hidung.
Bordetella bronchoseptica yaitu  bakteri berbentuk batang atau coccobacillus, 
Gram negatif. Bakteri ini motil, tidak membentuk spora dan bersifat aerob. 
Secara eksperimental telah dibuktikan bahwa B.bronchoseptica sendiri dapat 
memicu  atrofi  turbinatum bila ditularkan secara intra nasal pada anak babi 
Specifi c Pathogenic Free (SPF) umur di bawah tiga minggu.
Pasteurella multocida yaitu  bakteri yang pada awalnya dianggap sebagai bakteri 
pemicu kedua pada atropic rhinitis, tetapi belakangan diketahui  P.multocida 
yaitu pemicu utama atropic rhinitis pada babi.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Atropic rhinitis yaitu penyakit khas pada babi dari berbagai 
umur, namun demikian gejala klinis lebih banyak ditemukan pada babi 
muda.
2.  Pengaruh lingkungan
  Keparahan penyakit erat hubungannya dengan cara pengelolaan 
intensif misalnya pemeliharaan babi dalam jumlah banyak dalam ruangan 
terbatas (over stocking), hygiene kandang dan Iingkungannya yang tidak 
memadai.
  Peningkatan konsentrasi amonia dalam ruang kandang yang 
dipergunakan untuk penggemukan babi, juga sering memicu 
peningkatan kasus atropic rhinitis.
3.  Sifat Penyakit
  Rhinitis ini memicu peradangan pada jaringan di dalam hidung 
yang umumnya bersifat ringan. Selama proses infeksi  secara perlahan 
tulang turbinatum hidung akan rusak dan dapat mengecil (atrofi ) atau menjadi 
terdistorsi. Kondisi ini jarang memicu penyakit klinis pada hewan 
dewasa, tetapi jika babi terinfeksi sejak lahir akan memicu distorsi 
pada muka di masa dewasanya. 
  Ada dua bentuk penyakit yaitu :
a.   ringan dan non-progresif di mana infeksi atau iritasi terjadi selama 2 
sampai 3 minggu, namun radang tidak berkembang sehingga  tulang 
turbinatum dapat kembali ke bentuk normal. 
b.   Penyakit serius memicu rhinitis atrofi  progresif (PAR) di mana bakteri 
P.multocidia akan memproduksi racun, memicu peradangan yang 
terus-menerus dan progresif sehingga memicu terjadinya atrofi  
jaringan dan distorsi hidung.  PAR dapat menyerang baik pada babi yang 
sedang menyusui atau pada  babi yang sedang tumbuh. Bila kelompok 
babi telah terinfeksi, semua ternak akan menunjukkan beberapa derajat 
non-progresif rhinitis atrofi .
4.  Cara penularan
  Penularan terjadi secara aerosol, dari babi tertular ke babi sehat, 
melalui droplet yang dikeluarkan babi tertular saat bersin. Penularan dapat 
terjadi pada semua umur dari beberapa hari atau minggu. Induk babi yang 
tertular secara kronis akan menularkan penyakit pada anak-anak babi secara 
kontak langsung lewat hidung mereka.
5.  Faktor Predisposisi
  Faktor-faktor manajemen dan lingkungan, seperti cara pemeliharaan 
tidak intensif, ternak terlalu padat, ventilasi kurang, dan higiene makanan 
kurang baik, dapat yaitu predisposisi terjadinya penyakit atropic 
rhinitis.
6. Distribusi penyakit
  Sejauh ini atropic rhinitis belum pernah dilaporkan di negara kita . 
Namun demikian dengan perkembangan peternakan babi dan mobilitas 
ternak yang cukup pesat belakangan ini, keberadaan atropic rhinitis harus 
diwaspadai.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Atropic rhinitis mempunyai 2 manifestasi klinis yaitu bentuk ringan 
sampai sedang, serta bentuk progresif dan parah. Gejala Klinis yang mula-
mula terlihat yaitu  babi terlihat bersin-bersin lalu diikuti oleh eksudat 
bersifat mukus keluar dari lubang hidung. Gejala pertama ini sudah dapat 
dilihat pada anak babi umur 7 hari. jika penyakit menjadi Iebih parah 
dapat ditemukan lakrimasi dan sekresi hidung berubah menjadi mukopurulen. 
Pada tahap ini kerusakan tulang turbinatum terjadi. Kadang-kadang sekresi 
hidung disertai bercak-bercak darah, sebagai akibat kerusakan pada tulang 
turbinatum. jika kerusakan tulang turbinatum berlanjut, maka panjang 
dan diameter lubang hidung menjadi berkurang dan terlihat dari luar sebagai 
tulang hidung memendek dan melengkung. Kelainan ini memicu 
pertumbuhan anak babi terhambat karena kesulitan makan.
2.  Patologi
  jika dari luar batang hidung sudah terlihat membengkok, maka 
kelainan tulang turbinatum mudah diduga. Dalam hal kelainan bentuk batang 
hidung tidak terlihat, maka perlu dilakukan pemotongan memanjang (cross 
section) rongga hidung setinggi gigi premoral kedua. Patologi yang mencolok 
yaitu  hipoplasia turbinatum nasalis. Dalam mukosa lubang hidung 
ditemukan eksudat mukopurulen.

3.  Diagnosa
  Diagnosa didasarkan pada perubahan histopatologi pada 
pemeriksaan tulang turbinatum, isolasi dan identifi kasi bakteri penyebab. 
Perubahan histopatologi termasuk penggantian jaringan fi brosa pada 
lempeng conchae bagian bawah, terkadang diikuti dengan peradangan 
dan perubahan reparatif. Isolasi P.multocida dari B.bronchoseptica sebagai 
pemicu harus disertai dengan deteksi toksin.
4.  Diagnosa Banding
  Atropic rhinitis pada babi terutama bentuk ringan sampai sedang, 
dapat dikelirukan dengan infeksi saluran pernafasan yang lain, misalnya 
swine infl uenza.
5.   Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Swab (usapan kapas) dari hidung atau tonsil yaitu spesimen 
yang baik untuk tujuan isolasi bakteri penyebab. jika jarak antara tempat 
pengambilan spesimen dengan laboratorium agak jauh spesimen di atas 
perlu dimasukkan ke dalam media transport atau garam fi siologis.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  B.bronchoseptica sensitif terhadap sulfonamida. Preparat sulfa 
yang dipergunakan ialah sulfamethazine dalam makanan atau sodium 
sulfathiazole dalam air minum. Sulfamethazine dengan dosis 100-125 g per 
ton pakan cukup efektif untuk mengobati atropic rhinitis. Sodium sulfathiazole 
dengan dosis 0,33-0,5 g/3,8 liter air minum disarankan untuk pengobatan 
penyakit ini. Untuk menuntaskan infeksi B.bronchoseptica pada anak babi 
memerlukan sekurangnya 5 minggu, sedangkan pada hewan yang lebih tua 
memerlukan waktu sekitar 4 minggu.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
 Pencegahan atropic rhinitis dapat dengan cara vaksinasi. Vaksin yang 
dipakai yaitu kombinasi B.brochoseptica dan P.multocida. Induk babi 
yang divaksinasi pada waktu bunting, akan memberikan kekebalan kepada 
anaknya lewat kolostrum. Imunisasi pada anak babi dapat menghindarkan 
anak babi dari gejala rhinitis dan mengurangi kejadian atropic rhinitis pada 
babi. Di Belanda dilakukan managemen ”all in all out” untuk menghindari 
terjadinya kasus atropic rhinitis.

BLACK LEG
Sinonim : black quarter, quarter ill; raushbrand; gangraena emphysematosa; 
boutvuur; radang paha
  
Blackleg atau radang paha yaitu  penyakit infeksi, tidak menular secara 
kontak, menyerang sapi dan domba ditandai oleh gangren otot dan miositis 
emphysematosa terbatas, dipicu oleh Clostridium chauvoei. Radang paha 
ditemukan diberbagai penjuru dunia, termasuk negara kita . Clostridium  chauvoei 
bisa membentuk spora sehingga tahan terhadap pengaruh fi sik maupun 
kimiawi.
etiologi 
Penyebab blackleg yaitu  Clostridium chauvoei (Cl.chauvoei) / Cl.feseri, 
yaitu bakteri berbentuk batang pleomorfi k, berukuran antara 0,5-1,0 
mikron x 3-8 mikron, berspora dengan posisi sentral atau subterminal. Bakteri 
ini bersifat anaerob, membentuk beberapa jenis eksotoksin, salah satu toksin 
yaitu  toksin alfa bersifat mematikan, memicu  hemolisa darah dan nekrosa 
jaringan. Selain toksin diproduksi pula enzym deoxyribonuclease, hyalumidase 
dan oxygen-labile hemolysin.
Cl.chauvoei tumbuh subur dalam biakan kaldu daging yang ditambah glukosa atau 
brain heart infusion broth dalam suasana anaerob. Suhu optimum pertumbuhan 
yaitu  370C. Pada media agar membentuk koloni kecil dengan bentuk tidak 
beraturan, memancar atau meluas, transparan, membentuk granula yang halus 
pada bagian sentral koloni, dan tepi koloni berbentuk seperti ikatan rambut. Di 
bawah sinar lampu, koloni terlihat berwarna biru keabuan.
Pertumbuhan Cl.chauvoei dalam agar darah kurang baik, tetapi pertumbuhan 
bakteri ini dapat diperbaiki dengan penambahan ekstrak hati. Dalam agar darah 
koloni bakteri tersebut dikelilingi zona hemolisis yang luas. Dalam media cair 
koloni bakteri ada di bagian bawah dan membentuk gelembung gas.
Cl.chauvoei dalam bentuk vegetatif tidak tahan terhadap pemanasan dan 
senyawa kimia. Dalam bentuk spora pada pemanasan 1200C tahan selama 10 
menit, di dalam HgCl2 1:500 tahan selama 10 menit, formalin 10% tahan selama 
15 menit. Di dalam daging terinfeksi yang dikeringkan, spora tetap virulen selama 
8 tahun. Di dalam tanah, spora tahan beberapa tahun.

epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Sapi dan domba yaitu jenis hewan yang paling sering terserang 
black leg. Babi dinilai lebih tahan dibandingkan sapi dan domba.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Lingkungan yang kurang higienis, dalam hal ini pembuangan feses 
atau bangkai hewan tertular black leg secara sembarangan, dapat  menunjang 
terjadi kejadian black leg. Tanah, kandang, alat jepit ternak serta peralatan 
kandang dapat tercemar melalui feses hewan yang tertular.
3.  Sifat Penyakit
  Cl.chauvoei menghasilkan sejumlah besar gas sebagai produk 
sampingan metabolisme saat  tumbuh dan bereproduksi. Gas ini 
menumpuk di jaringan yang terinfeksi, biasanya pada otot-otot besar, dan 
memicu jaringan timbul suara berderak atau krepitasi saat ditekan. 
Bagian yang  terbentuk gas, sangat sakit bila ditekan. Palpasi pada bagian 
yang membengkak, terasa lunak, oedematos, panas dan terdengar suara 
krepitasi, akibat terbentuk gas diantara jaringan otot tersebut.  
4.  Cara penularan
  Di negara kita  black leg tidak diketahui secara jelas, namun sebagian 
besar diduga terjadi per oral. Spora Cl.chauvoei  dapat tetap di dalam tanah 
selama bertahun-tahun dalam keadaan tidak aktif, dan kembali ke bentuk 
infektif saat  dikonsumsi oleh ternak yang merumput. Padang rumput yang 
terkontaminasi yaitu sumber utama penularan organisme ini, yang 
juga ditemukan secara alami dalam usus hewan. 
  Sumber penularan yaitu  tanah atau makanan tercemar spora 
bakteri pemicu black leg. Penularan lewat luka dapat terjadi pada waktu 
dilakukan pemotongan tanduk, kastrasi, pencukuran bulu, alat suntik atau 
pertolongan kelahiran. Cara Penularan yang terbanyak yaitu  melalui tanah 
atau makanan tercemar spora, sedang cara penularan yang lain lebih jarang 
terjadi.
5.  Faktor Predisposisi
  Kasus dapat terjadi selama bertahun-tahun di daerah di mana ada 
tanah atau kontaminasi pupuk dengan bakteri, dan keadaan seperti spora 
biasanya sangat sulit untuk dapat dimusnahkan dari lingkungan.Selain faktor 
lingkungan menjadi faktor terjadinya penyakit, adanya luka juga  menjadi 
faktor predisposisi masuknya spora ke Cl.chauvoei  dalam tubuh hewan.

6.  Distribusi Penyakit
  Di negara kita  black leg dilaporkan pertama kali di Subang (Jawa 
Barat) oleh de Vetler di tahun 1907. Pada kejadian itu 30 ekor sapi dilaporkan 
menunjukan gejala pincang dan lalu mati tiba-tiba. Pada tahun 1950-
an black leg pada sapi perah dilaporkan terjadi di Bogor. Daerah endemik 
black leg lainnya yaitu  Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta, Madiun, 
dan beberapa daerah di Jawa Timur. 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Umumnya black leg menyerang sapi muda umur antara 6 bulan 
sampai 1 tahun. Kelumpuhan yaitu gejala klinis yang pertama kali 
terlihat. lalu terjadi kebengkakan yang cepat menyebar pada otot 
gerak di daerah bahu dan paha. Hewan yang terserang terlihat depresi (lesu), 
disertai kenaikan suhu rektal. Palpasi pada bagian yang membengkak, terasa 
lunak, oedematos, panas dan terdengar suara krepitasi, akibat terbentuk 
gas diantara jaringan otot. Kematian terjadi 24-48 jam sesudah  gejala klinis 
pertama kali kelihatan. Kadang-kadang hewan ditemukan tiba-tiba mati. 
  Pada domba selain gejala yang telah disebutkan tadi, ditemukan 
warna merah kehitaman pada kulit, terdengar suara krepitasi akibat 
terbentuknya gas di antara jaringan otot. Kematian terjadi 24-48 jam sesudah  
gejala klinis pertama kali terlihat. Kadang-kadang hewan ditemukan tiba-tiba 
mati. 
2.  Patologi
 Tanda cukup khas pada hewan mati akibat black leg yaitu  warna 
gelap pada otot daerah paha, berkonsistensi spon (busa), berisi gelembung-
gelembung udara dan dikelilingi oleh oedema berwarna kekuningan. Hewan 
yang mati cepat membusuk, ditandai oleh bau tengik. Dekomposisi terjadi 
cepat, sehingga jika pemeriksaan pasca mati dilakukan terlambat, 
diagnosa laboratorik (histopatologis) sulit ditegakkan.

3.  Diagnosa
  Peneguhan diagnosa dapat dilakukan secara FAT memakai 
spesimen berupa ulas jaringan dari lesi yang dicurigai. Deteksi antigen dengan 
cara ini mempunyai akurasi tinggi dan dapat dilakukan dalam waktu singkat. 
Antiserum dari jenis hewan terserang yang di label dengan fl uorescein dapat 
diperoleh secara komersial.
  lsolasi bakteri pemicu dapat dilakukan dari potongan jaringan yang 
dicurigai dan dipupuk pada agar darah dalam suasana anaerobik. jika 
ditemukan koloni yang dicurigai, dilanjutkan dengan pemupukan dalam media 
thioglycolate dan cooked meat medium. Sebagian dari potongan jaringan 
dapat disuspensikan dalam broth untuk mengisolasi hewan percobaan 
(marmot). Inokulasi dilakukan pada kaki belakang. jika terlihat adanya 
infeksi atau marmot mati, dibuat preparat ulas dari hati atau otot untuk 
pemeriksaan mikroskopis dan dipupuk pada media thioglycolate dan cooked 
meat medium.
4.  Diagnosa banding
  Kematian mendadak pada black leg dapat dikelirukan dengan anthraks. 
jika hewan kuda ikut terserang, maka penyakit tersebut bukan black 
leg.
5.  Pengambilan dan Pengiriman spesimen
  Untuk pemeriksaan FAT diperlukan spesimen berupa preparat 
sentuh dari bagian daging yang dicurigai. Isolasi bakteri dapat dilakukan 
memakai potongan jaringan dari daerah yang dicurigai. Sebagian dari 
potongan jaringan dapat pula disuspensikan untuk menginokulasi hewan 
percobaan (marmot).
  Tidak semua Iaboratorium siap melakukan pemeriksaan FAT untuk 
penyakit ini. Oleh karena itu perlu dihubungi lebih dahulu. Spesimen untuk 
isolasi bakteri dimasukkan ke dalam kontainer yang kuat, lalu dikirimkan 
ke laboratorium yang mempunyai fasilitas pemeriksaan bakteria anaerobik.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pada masa lalu pengobatan dilakukan dengan pencicilin 4.000-
8.000 IU per kg berat badan dengan hasil baik. Namun demikian, jaringan 
yang mengalami gangren pada hewan yang sembuh umumnya mengelupas. 
Di negara maju, ternak dicurigai terserang radang paha umumnya dibunuh 
dan dikubur.
2.  Pencegahan, Pengendalian, dan Pemberantasan
  Di daerah endemik, pencegahan dilakukan melalui vaksinasi ternak 
pada umur 6 bulan. Umumnya satu kali vaksinasi sudah cukup melindungi 
ternak untuk jangka waktu relatif lama. Vaksin yang tersedia umumnya 
yaitu kombinasi dengan penyakit clostridial yang lain.
  Pemberantasan black leg tidak lazim dilakukan di daerah endemik. 
jika black leg timbul di tempat baru akibat pemasukan ternak dari daerah 
tertular, maka penguburan bangkai ternak tersebut akan dapat memutuskan 
mata rantai penularan penyakit.

BRUCELLOSIS
Sinonim : Bang’s disease, contagious abortion, brucellosis, bruselosis, penyakit 
keluron menular, demam malta.
  
Brucellosis yaitu  penyakit hewan menular yang secara primer menyerang 
sapi, kambing, babi dan sekunder menyerang berbagai jenis hewan Iainnya 
serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit keluron 
menular atau penyakit Bang. Sedangkan pada manusia memicu demam 
yang bersifat undulans dan disebut “Demam Malta”. Bruce pada tahun 1887 
mengisolasi jasad reniknya yang disebut Micrococcus melitensis dan lalu 
disebut Brucella melitensis.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun 
mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa keluron, anak hewan 
yang dilahirkan lemah lalu mati, terjadinya gangguan alat-alat reproduksi 
yang memicu  kemajiran temporer atau permanen. Kerugian pada sapi 
perah berupa turunnya produksi air susu. Menurut perhitungan Direktorat 
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kerugian akibat penyakit ini ditaksir 
mencapai lebih dari 5 milyar rupiah per tahun. Penyakit ini bersifat zoonosis dapat 
menular dari hewan ke manusia, dan biasanya sulit diobati sehingga sampai saat 
ini brucellosis yaitu zoonosis penting dan strategis.
etiologi 
Bakteri brucella untuk pertama kali ditemukan oleh Bruce pada tahun 1887 pada 
manusia dan dikenal sebagai Micrococcus melitensis. lalu Bang dan 
Stribolt pada tahun 1897 mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang 
menderita keluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus 
bovis. Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa kedua jasad renik tersebut 
termasuk dalam genus Brucella.
Bakteri brucella bersifat Gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai 
ukuran panjang 0,5-2,0 mikron dan lebar 0,4-0,8 mikron, tidak bergerak, tidak 
berspora dan bersifat aerob. Brucella yaitu bakteri intraseluler, dan dapat 
diwarnai dengan metode Stamp atau Koster.
Pada saat ini genus Brucella diketahui mempunyai 6 species yaitu Brucella 
melitensis, B.abortus, B.suis, B.neotomae, B.ovis dan B.cans. Brucellosis yang 
memicu  masalah pada ternak terutama dipicu oleh 3 species yaitu 
B.melitensis yang menyerang kambing, B.abortus yang menyerang sapi dan 
B.suis yang menyerang babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen A. Brucella melitensis 
memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A sedangkan B.abortus 
dan B.suis  sebaliknya. Brucella mempunyai antigen bersama (“Common 
antigen”) dengan beberapa bakteri lainnya seperti  Campylobacter fetus dan 
Yersinia enterocolobacter. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella yaitu  
rendah, karena antibodi tidak terlalu berperan.
Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia dan sulit diobati, sehingga 
brucellosis yaitu zoonosis yang penting.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Sapi dan anjing dapat terinfeksi oleh B.abortus dan menunjukkan 
gejala keluron menular, kambing, kuda dan babi juga pernah diisolasi 
B.abortus.
  Brucellosis pada babi terutama dipicu oleh B.suis. Bakteri 
ini juga menyerang anjing, dan kelinci hutan (wild hares) dan kelinci hutan 
diduga yaitu ”carrier” bagi brucellosis babi yang bersifat enzootik di 
Denmark. Inang utama B.melitensis yaitu  kambing dan domba meskipun 
pernah dilaporkan adanya infeksi pada anjing, sapi dan kelinci hutan.
2.  Pengaruh Lingkungan
  B.abortus dapat disebarkan melalui konsumsi produk peternakan yang 
terkontaminasi seperti susu, selain itu juga melalui feses yang terkontaminasi, 
atau melalui kontak langsung terutama dengan ternak sakit yang sedang 
melahirkan, perkawinan alami dengan hewan yang terinfeksi. 
  Sapi terinfeksi dengan mudah dapat menularkan saat sapi melahirkan, 
karena banyaknya bakteri yang dikeluarkan. Kondisi yang memungkinkan 
kontak antar hewan dan atau kondisi sesudah  melahirkan akan menaikkan 
kecepatan penularan antar hewan. Jumlah kelompok ternak yang besar, 
tingkat jual beli dan lalu lintas tinggi serta pola pengembalaan yaitu  faktor 
risiko yang berhubungan dengan infeksi yang tinggi.
3.  Sifat Penyakit
  Penyakit ini bersifat enzootik pada daerah tertentu, hal ini penting, 
karena yaitu sumber penularan untuk manusia (zoonosis).
4. Cara Penularan
  Penularan pada hewan terjadi melalui saluran pencernaan, saluran 
kelamin, dan mukosa atau kulit yang luka. Pada sapi dan kambing, penularan 
melalui perkawinan sering terjadi, sehingga pemacek yang yaitu 
reaktor harus dikeluarkan. Di Denmark pernah terjadi kerugian besar akibat 
penggunaan semen yang dicemari Brucella untuk Inseminasi Buatan. 
Penularan melalui saluran kelamin juga banyak terjadi pada babi dan anjing. 
Selain itu penularan dapat juga terjadi secara mekanis melalui insekta.
5.  Faktor Predisposisi
  Faktor predisposisi penularan penyakit biasanya karena sanitasi 
yang kurang baik, dan hewan berdesak-desakan sehingga memudahkan 
terjadinya penularan dari hewan yang telah terinfeksi. Brucellosis yaitu 
penyakit berisiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar 
bakteri brucella sebaiknya didesinfeksi agar tidak menjadi sumber penularan 
ke hewan atau manusia. 
6.  Distribusi Penyakit
  Penemuan pertama kali adanya brucellosis di negara kita  tidak 
diketahui dengan pasti. Menurut Donker-Voet, pada tahun menjelang perang 
Dunia II, tingkat prevalensi penyakit ini berdasar  uji serologis di Lembaga 
Penelitian Penyakit Hewan (LPPH)/ Balai Besar Penelitian Veteriner 
(Bbalitvet) yaitu  sekitar 5%. Daerah penyebarannya terutama di Pulau 
Jawa pada sapi perah.
  berdasar  survei serologis pada manusia yang dilakukan oleh 
Dinas Zoonosis, Departemen Kesehatan pada tahun 1975 ada ditemukan 
kasus brucellosis pada manusia yaitu pada pekerja rumah potong hewan di 
Denpasar. 
  Pada tahun 2011 dilaporkan bahwa brucellosis menyerang 
peternakan sapi perah di Baturaden, dan juga menyerang sapi di beberapa 
kota di pulau Jawa. 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Pada sapi gejala klinis yang utama ialah keluron menular yang 
dapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen dan menurunnya 
produksi susu. Keluron yang dipicu oleh brucella biasanya akan terjadi 
pada umur kebuntingan antara 5 sampai 8 bulan (trimester ketiga).
  Sapi dapat mengalami keluron satu, dua atau tiga kali, lalu 
memberikan kelahiran normal, sapi terlihat sehat walaupun mengeluarkan 
cairan vaginal yang bersifat infeksius. Cairan janin yang keluar waktu 
terjadinya keluron berwarna keruh dan dapat yaitu sumber penularan 
penyakit.
Gambar 1. Pedet abortus dan abnormalitas plasenta pada brucellosis 
(Sumber : Ida Tjahajati & Husniyati, Berbagai Penyakit pada Sapi, dok. 
Prabowo. 2012 dan http://keswankesmavtsulut.blogspot.com)
  Pada kelenjar susu tidak menunjukkan gejala klinis meskipun di 
dalam susunya didapatkan bakteri brucella. Hewan jantan memperlihatkan 
gejala epididimitis dan orchitis. Gejala ini terutama terlihat pada babi yang 
dapat memicu  kemajiran. Selain gejala-gejala di atas sering pula 
ditemukan kebengkakan pada persendian lutut (karpal dan tarsal). Masa 
inkubasi penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Pada sapi berkisar antara 
2 minggu - 8 bulan atau lebih lama.
2.  Patologi
  Perubahan yang terlihat yaitu  penebalan pada placsenta dengan 
bercak- bercak merah pada permukaan lapisan chorion. Cairan janin terlihat 
keruh berwarna kuning kecokelatan dan kadang-kadang bercampur nanah. 
Ada kalanya pedet mati dengan perkembangan yang tidak normal. Pada 
hewan jantan ditemukan nanah pada testikelnya yang dapat diikuti dengan 
nekrosa.

3.  Diagnosa
  Diagnosa brucellosis pada hewan didasarkan pada isolasi dan 
identifi kasi bakteri brucella, uji serologis, dan gejala klinis. Dugaan adanya 
brucellosis timbul jika ditemukan terjadinya keluron dalam kelompok 
ternak yang diikuti menghilangnya penyakit itu. Keluron biasanya ditemukan 
pada trimester terakhir atau umur pedet 6 bulan atau lebih. 
  Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan secara langsung 
dengan pewarnaan Stamp atau Koster terhadap bahan tersangka.
  Untuk pemeriksaan serologis dapat dipakai serum, darah, 
cairan vagina, susu atau semen. Reaksi serologis ini belum sempurna karena 
terdapatnya reaksi non spesifi k dan adanya aglutinin di dalam darah akibat 
vaksinasi dengan strain 19 atau adanya infeksi laten.
  Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji aglutinasi cepat 
(slide/plate agglutination test) dan uji aglutinasi tabung (tube agglutination 
test). Uji aglutinasi cepat memakai antigen berwarna Rose Bengal atau 
Gentian violet dan Briliant green. Untuk peneguhan diagnosa perlu dilakukan 
uji reaksi pengikatan komplemen (Complement Fixation Test).
  Milk Ring Test (MRT) yang yaitu modifi kasi reaksi aglutinasi 
dilakukan pada sapi perah. Selain uji-uji tersebut dapat juga dilakukan uji 
Coob’s dan FAT (Fluorescence Antibody Technique).
  ELISA yaitu salah satu cara untuk mendeteksi brucellosis 
pada sapi, dan lebih praktis serta sensitif untuk dipakai sebagai uji 
diagnostik. Saat ini telah berkembang uji diagnostik Brucellosis dengan 
metoda teknologi Biomolecular, yaitu Polimerase Chain Reaction (PCR) 
terutama di daerah dimana ada program vaksinasi dengan strain 19. Kit 
diagnostik brucellosis yang lebih praktis penggunaannya di lapangan dan 
tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dengan sampel darah atau 
serum juga telah dikembangkan.
4.  Diagnosa Banding
  Oleh karena bentuk bakterinya yang halus, maka Brucella dapat 
kelirukan dengan Campylobacter fetus, Bordetella bronchoseptica dan 
Yersinia enterolitica. Bakteri-bakteri tesebut bersifat Gram negatif seperti 
bakteri Brucella, C.fetus mempunyai bentuk koma, B.bronchiseptica bentuk 
batang dan Y.enterolitica bentuk kokoid.
  Pada sapi keluron yang dipicu oleh infeksi bakteri dapat 
dikelirukan dengan C.fetus atau Trichomonas fetus. Keluron yang dipicu 
C.fetus dapat terjadi setiap waktu, T.fetus terjadi pada kebuntingan sangat 
dini, sedang oleh Brucella terjadi pada Iebih dari 6 bulan kebuntingan.
  Penyakit ini pada babi dapat dikelirukan dengan keluron yang 
dipicu oleh Leptospira pomonai. Keduanya dapat dibedakan secara 
serologis, selain itu, L.pomona tidak memicu orchitis.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Semua spesimen ditempatkan ke dalam wadah yang berisi bahan 
pendingin atau bila memungkinkan dibekukan dan segera dikirim ke 
laboratorium veteriner setempat. Bila keadaan tersebut tidak memungkinkan 
maka spesimen dapat dimasukkan ke dalam suatu wadah yang berisi larutan 
pengawet (phosphat buffer gliserin, larutan gliserin, garam faali 50%). Wadah 
tersebut harus tidak mudah pecah atau bocor.
  Pada setiap spesimen yang dikirimkan dalam surat pengantarnya 
harus disertai keterangan tentang status vaksinasi (kapan divaksinasi/ tidak 
divaksinasi/ tidak diketahui). Bahan yang diambil untuk pemeriksaan dapat 
berupa:
a.  Sampel Susu: contoh susu harus diambil dari semua kwartir, karena 
tidak semua kwartir mengandung Brucella. Untuk masing-masing 
kwartir diambil 20 ml contoh susu. Sebelum pengambilan spesimen, 
seluruh ambing harus dicuci dengan bersih dan dikeringkan terlebih 
dahulu. Ujung puting susu lalu disuci hamakan dengan alkohol 
memakai kapas bertangkai (cotton swab) dan dibiarkan kering. 
Puting yang terletak jauh dari operator disuci hamakan terlebih dahulu. 
Pengambilan contoh dilakukan pada puting yang paling dekat pengan 
operator.
     Pancaran susu pertama dan kedua harus dibuang, baru lalu 
pancaran berikutnya ditampung di dalam tabung atau botol  plastik yang 
steril. Susu dikirimkan ke laboratorium dalam keadaan dingin.
b.  Sampel vagina: Pengambilan contoh sampel dari vagina dilakukan 6 
minggu sesudah  kelahiran atau keluron. Untuk pengambilan sampel dari 
vagina domba atau kambing dipakai kapas bertangkai (cotton swab). 
Kapas bertangkai tersebut dimasukkan kedalam tabung steril Perlu 
diusahakan agar bagian kapasnya dapat mengambil lapisan mukosa 
vagina. 
c.   Darah untuk kultur: jika mengambil darah dari hewan yang masih 
hidup perlu diperhatikan agar tidak terjadi pencemaran. Darah biasanya 
diambil dari vena jugularis dan daerah itu harus dicukur bersih dan 
hilangkan lemak -lemak yang ada dengan cara menggosok dengan 
kapas yang dicelup didalam ether atau alkohol. lalu tempat itu 
disuci hamakan dengan larutan jodium tinctur. Dibiarkan beberapa 
menit sampai kering, lalu sebanyak 10 ml darah diambil dari vena 
jugularis dengan ”vacutainer” atau spuit biasa. Darah dicampur dengan 
antikoagulan dan harus segera dipindahkan ke dalam media biakan.
d.  Darah untuk pemeriksaan serologis: Untuk pemeriksaan serologis dapat 
diambil darah sebanyak 10 ml dengan perlakuan yang sama seperti 
poin c, dan dibiarkan membeku. Untuk mencegah pembusukan dapat 
ditambah larutan merthiolate 0,01 %.
e.  Plasenta: Pada keluron yang dipicu oleh brucellosis banyak 
ditemukan bakteri pada plasenta. Diusahakan untuk mengambil kotiledon 
yang terlihat mengalami perubahan yang sangat signifi kan. Bahan ini 
dapat dibuat preparat ulas atau sentuh yang harus difi ksasi dengan 
metanol.
f.   Fetus abortus: Sampel fetus abortus yang paling baik untuk pemeriksaan 
antara lain isi lambung, paru, limpa dan mikonium (feses yang pertama 
keluar pada pedet). Isi lambung dapat diambil dengan pipet pasteur steril 
melalui permukaan dinding lambung lalu ditempatkan ke dalam 
wadah steril atau ke media transport langsung dikirim ke laboratorium 
veteriner.
  Sampel untuk masing-masing spesies hewan
a.  Sapi: LgI. supramamaria, retropharyngealis, iliaca interna, dan lumbal, 
limpa, tenunan dari tiap kwarter ambing dan sepotong uterus.
b.  Domba dan kambing :
     Lgl. supramamaria, submaxilaris atau retropharyngealis, dan iliaca 
interna, potongan dari uterus, ambing dari tiap-tiap sisi, potongan limpa. 
c.   Babi: Lgl mandibularis, gastrohepatica, iliaca interna, dan 
suprapharyngealis. Untuk mengambil limfoglandula atau bagian dari 
organ, tenunan sekitar ambing disterilkan. lalu sampel dikirim ke 
laboratorium veteriner. 
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pelaporan
     Pelaporan kejadian penyakit atau hasil pengujian brucellosis harus 
dilakukan sesuai dengan pedoman Direktorat Jenderal Peternakan dan 
Kesehatan Hewan.
b.  Pencegahan
     Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada tindakan 
sanitasi dan tata laksana :
(1) Faktor sanitasi yaitu unsur penting dalam program pencegahan 
brucellosis.
       Tindakan sanitasi dilakukan sebagi berikut :
a)  Sisa-sisa abortus yang bersifat infeksius disuci hamakan dengan 
membakar fetus dan plasenta dan vagina yang mengeluarkan 
cairan harus diirigasi (disinfektan/antibiotik) selama 1 minggu, 
disinfektan yang dapat dipakai yaitu phenol, kresol, amonium 
kuaterner, biocid dan lisol.
b)  Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang 
mengalami keluron. jika pejantan mengawini betina tersebut, 
maka penis dan preputium disucihamakan, anak yang lahir dari 
induk penderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ernak 
lain yang sehat. Kandang ternak penderita dan peralatannya 
harus dicucihamakan serta ternak pengganti jangan segera 
dimasukkan.
(2) Ternak pengganti yang tidak punya sertifi kat "bebas brucellosis” 
dapat dimasukkan jika sesudah  dua kali uji serologis dengan 
waktu 30 hari memberikan hasil negatif.
       Ternak pengganti yang mempunyai ”sertifi kat bebas brucellosis” 
dilakukan uji serologis dalam selang waktu 60 sampai 120 hari 
sesudah  dimasukkan ke dalam kelompok ternak.
     Pengawasan Ialu lintas ternak
     Pengawasan Ialu lintas ternak harus dilakukan untuk mencegah 
penyebaran penyakit ke daerah lain yang lebih luas.
c.  Pengendalian dan pemberantasan
     Untuk melaksanakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis 
tindakan administrasi yang dijalankan oleh Dinas yang membidangi 
fungsi peternakan dan kesehatan hewan yaitu  : 
(1) Mengadakan klasifi kasi kelompok ternak
(2) Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemberantasan brucellosis 
(3) Pemberian sertifi kat bebas brucellosis
(4) Pemberian tanda pengenal bagi ternak yang divaksinasi dan 
reaktor 
     Klasifi kasi kelompok ternak yaitu  sebagai berikut:
(1) Kelompok ternak bebas brucellosis
       Kelompok ternak bebas brucellosis memenuhi syarat-syarat sebagai 
berikut:
1. Berada di bawah pengawasan otoritas veteriner/dokter hewan 
berwenang 
       2. Bebas reaktor
3. Di dalam kelompok ternak tersebut tidak ada gejala 
brucellosis selama 6 bulan
4. jika ada pemasukan hewan baru, harus melalui 2 kali uji 
serologi dalam selang waktu 30 hari dan memberikan hasil 
negatif.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
       Kelompok ternak tertular ringan yaitu jika di dalam kelompok 
ternak ini didapatkan reaktor sebesar paling tinggi 5% dan berada di 
bawah pengawasan otoritas veteriner/dokter hewan berwenang.
(3) Kelompok ternak tertular parah
       Kelompok ternak tertular parah yaitu jika di dalam kelompok 
hewan ternak ini didapatkan reaktor di atas 5% dan berada dibawah 
pengawasan otoritas veteriner/dokter hewan berwenang.
     Kelompok ternak dapat dikatakan bebas reaktor jika telah 
dilakukan pengujian sebagai berikut:
a) Sapi perah
1) Dilakukan tiga kali Milk Ring Test (MRT) dengan selang waktu 4 
bulan dan memberikan hasil negatif.
2) Dalam waktu 6 bulan sesudah  MRT terakhir dilakukan uji serologis 
dan memberikan hasil negatif.
b) Sapi potong 
       Dilakukan uji serologis dua kali dengan selang waktu 30 hari dan 
memberikan hasil negatif.
c) Babi
       Dilakukan dua kali uji serologis dalam selang waktu 30-90 hari 
yang berlaku pada seluruh kelompok ternak, termasuk juga hewan-
hewan berumur 6 bulan atau lebih yang tidak boleh memberikan titer 
aglunitasi 1 : 1000 atau lebih.
     Dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit keluron menular 
diadakan tindakan sebagai berikut:
(1) Standarisasi diagnosa brucellosis baik metoda, reagen maupun cara 
diagnostiknya.
(2) Penentuan daerah-daerah tertular dan bebas brucellosis.
(3) Penentuan kelompok hewan bebas atau tertular brucellosis.
(4) Penentuan kebijakan penggunaan vaksin brucellosis.
(5) Pemberian sertifi kat untuk kelompok ternak yang bebas brucellosis.
(6) Pembebasan daerah sumber bibit dan daerah kelompok ternak yang 
bebas brucellosis.
     Teknis pengendalian dan pemberantasan dilaksanakan sebagai 
berikut:
     Teknis pengendalian pada sapi dan babi dapat dilakukan dengan 
pembagian dalam kelompok berdasar  berat ringannya penyakit. Sapi 
dan babi masing-masing dapat dikelompokkan sebagai berikut.
     Sapi
(1) Kelompok ternak tertular parah
a) “Test and slaughter” tidak dianjurkan untuk kelompok ini.
b) Dilakukan program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu. 
Vaksinasi hanya dilakukan pada sapi dara. Hewan betina bunting 
dan hewan jantan tidak divaksinasi.
c) Pada akhir program vaksinasi dilakukan uji serologis. Bila ternyata 
masih ada reaktor, maka reaktor itu harus dikeluarkan dan 
dipotong.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
a) Dilakukan uji serologis untuk penentuan reaktor.
b) Reaktor harus dikeluarkan dan dipotong (test and slaughter)
c) Pengeluaran reaktor diikuti oleh program vaksinasi pada sapi 
dara. Hewan betina bunting dan hewan jantan tidak divaksinasi.
(3) Kelompok ternak bebas brucellosis
a) Dilakukan uji serologis setiap tahun.
b) Bila ternyata hasilnya negatif, tidak dilakukan vaksinasi.
c) Bila ditemukan reaktor, maka reaktor ini harus dikeluarkan dan 
diikuti oleh program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu.
     Babi
(1) Kelompok ternak tertular ringan
a) Pada ternak tertular Dilakukan ”test and slaughter”.
b) Penggantian ternak bibit hanya terbatas pada babi dara pemacek 
dan dilakukan uji serologis selama 30 hari memberikan hasil 
negatif.
c) Hanya anak-anak babi yang berasal dari induk bebas brucellosis 
yang dapat dipakai sebagai ternak bibit.
(2) Kelompok ternak tertular parah
 
a) Untuk kelompok ternak dilakukan ”test and slaughter”.
b) Ternak pengganti yang dimasukkan harus berasal dari kelompok 
ternak bebas brucellosis.
c) Vaksinasi tidak dilakukan karena sampai saat ini belum ada 
vaksin yang dapat melindungi babi terhadap brucellosis.
     Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
     Dari uji penyebaran penyakit dan terutama untuk aspek kesehatan 
masyarakat, maka hewan-hewan yang telah ditentukan sebagai 
reaktor dalam program test and slaughter harus dipotong. Pemotongan 
tersebut harus memperhatikan faktor yang memungkinkan tercemarnya 
lingkungan harus dicegah, untuk daerah enzootik dilakukan pada tempat 
tertentu. Tempat pemotongan hewan harus segera dibersihkan dan 
disucihamakan.
     Pada pemotongan hewan penderita atau tersangka perlu diperhatikan 
adanya cairan eksudat dan sarang nekrosa pada organ visceralnya. 
Dalam keadaan demikian seluruh organ visceral, limfl ogandula dan 
tulang harus dimusnahkan dan dagingnya boleh dijual sesudah  mengalami 
pelayuan.

CLOSTRIDIUM NOVYI
  
Clostridium novyi disebut juga Bacillus edematis maligni II atau Clos