Selasa, 11 Juli 2023
Home »
penyakit hewan mamalia 3
» penyakit hewan mamalia 3
penyakit hewan mamalia 3
Juli 11, 2023
penyakit hewan mamalia 3
vaskulitis pada berbagai organ.
Sampel rete mirabile yang dikoleksi untuk uji histopatologi dianggap paling
mewakili untuk konfi rmasi diagnosa MCF. Selain itu kasus infeksi alam
dan infeksi buatan yang didiagnosa sebagai MCF secara histopatologik
menunjukkan vaskulitis yang ada pada organ-organ selain rete hampir
selalu disertai dengan vaskulitis pada rete. Sebaliknya vaskulitis pada rete
belum tentu disertai vaskulitis pada organ lain. ini menunjukkan bahwa
pada infeksi MCF vaskulitis mula-mula berasal dari rete lalu menyebar
ke organ yang lain. Sampel yang positif didiagnosa sebagai MCF dapat
berasal dari hewan yang secara klinik sehat (MCF sub-klinis). Gambar 11
menunjukkan gambar rongga kranial sesudah otak diangkat sehingga tampak
kelenjar pituitary beserta rete mirabile epidurale dan Gambar 12 yaitu
bidang sayatan untuk melokalisasi rete tersebut.
Secara mikroskopis, vaskulitis pada kasus yang parah dinding pembuluh
darah dapat mengalami nekrosis dan hipertropi sehingga tejadi obstruksi
lumen pembuluh darah yang bersangkutan dan mengganggu sirkulasi darah
dari dan ke organ tersebut. Lesi ringan dan lesi sedang secara histopatologik
biasanya menunjukkan hubungan yang erat dengan gejala klinik dan gambaran
pasca matinya.
Didapatnya variasi lesi secara kualitatif maupun kuantitatif tersebut, yaitu
bahan pertimbangan bahwa lesi histopatologik SA-MCF di negara kita mungkin
dipengaruhi oleh daerah geografi , bangsa hewan yang terserang, dan strain
virus yang berbeda. Infi ltrasi dan proliferasi sel-sel limfosit pada vaskulitis pada
MCF terjadi sebelum timbulnya gejala klinik.
3. Patogenesis
Lesi Patologi Anatomi dan Histopatologi pada MCF sangat berkorelasi satu
sama lain sehingga patogenesis penyakit dapat dijelaskan berdasar lesi
tersebut. Penyakit ditandai dengan masa inkubasi yang bervariasi, respon
antibodi yang sangat terbatas dan baik pada WA-MCF maupun SA- MCF,
infektifi tas pada kedua bentuk MCF tersebut hanya dapat dideteksi pada
sel (cell associated) dan virus tidak pernah ditemukan bebas di luar sel
sehingga ini menjelaskan mengapa MCF tidak dapat menular dari hewan
yang terserang MCF ke hewan lainnya.
Karena dari rete mirabile epidurale ini keluar cabang-cabang antara lain berupa
arteri carotid cerebral dan arteri ophtalmic interna, kiranya sangat beralasan
jika infeksi awal yang ditandai vaskulitis pada rete lalu berkembang
menjadi bentuk MCF klinik yang khas berupa meningoensefalitis disertai
eksudat mukopurulen dari mata dan hidung. Dinding pembuluh darah yang
mengalami vaskulitis akan menebal sehingga terjadi obstruksi lumen yang
selanjutnya akan mengganggu sirkulasi darah, terutama ke organ-organ yang
mendapat suplai darah dari rete.
Ada beberapa hipotesis yang dianggap paling berperan dalam memicu
vaskulitis yang bersifat non supuratif pada MCF, yaitu aksi sitolitik langsung
dari virus terhadap jaringan, reaksi imunologi dimana hewan yang terinfeksi
menjadi hipersensitif terhadap antigen yang bersangkutan, terbentuknya reaksi
immune complex, cell mediated immunity dan bahwa virus MCF memicu
disfungsi dari sel-sel yang mengatur mekanisme sistem kekebalan. Sebagai
tambahan, infi ltrasi sel limfosit pada vaskulitis bersifat proliferatif sehingga
diasumsikan bahwa virus MCF hanya menyerang subset limfosit tertentu saja,
seperti dibuktikan bahwa subset limfosit CD 8+ yang berperan memicu
vaskulitis.
Hasil penelitian dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) menunjukkan
bahwa DNA virus pemicu SA-MCF dapat dideteksi pada pheripheral blood
leucocyite (PBL) dan beberapa sampel organ serta sampel swab hidung,
mata dan vagina domba. berdasar hasil penelitian tersebut tempat
perbanyakan OVHV-2 pada anak domba kemungkinan yaitu pada organ
turbinat, kornea mata, kelenjar lakrimalis, epitel mukosa hidung, tonsil, soft
palate, laring, epitel pipi, lidah, kantung kencing dan limfoglandula. Bahkan
virus OVHV-2 dapat dideteksi pada sekresi hidung anak domba yang baru
berumur 1 hari. Hasil serupa juga diperoleh pada WA-MCF. Domba bunting
dianggap sebagai hewan pembawa virus SA-MCF, dan bahwa di negara kita
domba dapat beranak 2-3 kali dalam setahun maka diasumsikan mereka
secara terus menerus mensekresi virus. Hal inilah yang mendasari gagasan
bahwa pemisahan domba dari sapi atau kerbau yaitu satu-satunya
kontrol yang terbaik.
Patogenesis dari lesi yang beupa nekrosis dan proliferasi limfoid pada MCF
belum dapat dijelaskan dengan pasti. Virus AIHV-1 sudah berhasil diisolasi
pada WA-MCF dan secara in vitro Cytopathic Effect (CPE) dari AIHV-1 pada
in biakan sel berupa intranuclear inclusion dan syncytia mengindikasi adanya
infeksi virus namun fenomena ini tidak dapat ditemukan secara in vivo pada
jaringan hewan yang mengalami nekrosis. usaha untuk mendeteksi virus
pada beberapa organ hewan yang terserang MCF dengan imunofl uoresen
(direct dan indirect) telah dilakukan pada kelinci dan sapi dan secara in
situ hybridisation DNA virus pada dimana hanya sedikit sekali sel yang
mengandung antigen tersebut, artinya, replikasi virus terjadi sangat terbatas.
Fakta tersebut memicu pemikiran bahwa virus tidak berperan secara
langsung dalam hal memicu lesi dan diduga lesi terjadi akibat reaksi
hipersensitivitas.
Patogenesis MCF dapat dijelaskan melalui mekanisme cytotoxic T-lymphocyte
line pada limfoglandula mesenterika pada infeksi buatan SA-MCF yang
dilakukan pada kelinci. Cell line tersebut diidentifi kasi sebagai sub-populasi
limfosit T dengan lymphoblastoid yang disebut dengan large granular
lymphocyte (LGL) yang bersifat sitotoksik pada biakan sel. Sel serupa LGL
juga berhasil dideteksi pada sel yang berasal dari cairan serebrospinal,
kornea, thymus, suspensi limfoglandula dan limpa sapi dan rusa dengan
SA-MCF.
Secara umum, ada dua jenis antigen permukaan limfosit yang berperan
memicu lesi pada MCF, yaitu sel T dan sel B serta gen yang mengontrol
respon kekebalan yaitu major histocompatibility complex (MHC). Analisa
fenotipik pada LGL pada sapi dan rusa menunjukkan bahwa sel yang
berperan yaitu sel T dengan fenotip CD2+ dan CD8+. Studi imunohistokimia
juga menunjukkan bahwa LGL mempunyai sifat natural killer activity.
Meskipun virus utuh pada SA-MCF tidak dapat diisolasi namun LGL sudah
mampu untuk mentransmisikan penyakit ini sehingga peran LGL pada
patogenesis patut dipertimbangkan sebagai sel target. Dan menunjukkan
bahwa secara imunohistokimiawi kerlibatan subset limfosit T dengan fenotip
CD8 lebih dominan dibandingkan CD4 tetapi sel B dan MHC I jumlahnya lebih
sedikit daripda sel T dan MHC II. ini nenandakan bahwa limfosit yang
berperan dalam memicu lesi MCF lebih bersifat sitotoksik (kerjasama
CD8 dan MHC II) dibandingkan berperan untuk memproduksi antibodi (kerjasama
CD4 dan MHC I).
Penelitian yang lebih baru menyebutkan bahwa analisa detail pada MCF
pada kelinci membuktikan perbedaan infeksi yang dipicu oleh OvHV-
2 dan AlHV-1, lesi pada OvHV-2 lebih dominan pada jaringan limfoid pada
organ viseral (misalnya pada limfoglandula mesenterika), sedangkan lesi
pada AIHV-1 lebih sering terjadi pada limfoglandula perifer. Selain itu, lesi
berupa nekrosis lebih sering ditemukan pada OvHV-2 dibandingkan pada AIHV-1.
LGL dapat dibiakkan dari berbagai organ yang terserang MCF baik pada
infeksi oleh OvHV-2 maupun AlHV-1. Sel LGL bersifat sitotoksik dengan
aktifi tas sel T dan natural killer dan fakta membuktikan bahwa >90% LGL
terinfeksi oleh virus MCF dengan uji imunositokimia dan in situ hybridisation
untuk virus DNA atau mRNA. Kemampuan LGL dalam memanipulasi
ekspresi gen virus dan replikasi DNA pada biakan jaringan LGL semestinya
akan bermanfaat sebagai perangkat yang harus diteliti lebih jauh perannya
untuk usaha propagasi virus OvHV-2.
4. Diagnosa
Diagnosa SA-MCF sampai saat ini masih ditegakkan berdasar pada
kombinasi data epidemiologi dan gambaran klinilko-patologis penyakit.
Untuk WA-MCF diagnosa tentu saja juga dapat dikonfi rmasi melalui uji
serologi dan isolasi virus AIHV-1. Perkembangan teknik biologi molekular
seperti PCR juga dimanfatkan untuk mendiagnosa MCF, baik pada WA-MCF
maupun SA-MCF.
Pada WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel sapi/domba yang
berasal dari sel dari organ thyroid, ginjal, paru dan limpa. Keberadaan virus
dapat dideteksi dengan pewarnaan imunofl uoresen atau imunoperoksidase,
neutralisasi virus (VN) atau mikroskop elektron. Selain itu ada
beberapa uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap AIHV-1 terutama
untuk WA-MCF: complement fi xation (CF), immunodiffusion (ID), counter
immunoelectrophoresis (CIE), indirect immunoperoxidase (IIP). Indirect
immunofl uorescence (IIF) dapat mendeteksi respon imun terhadap infeksi
virus herpes lain pada sapi, misalnya bovine herpesvirus-1 pada infectious
bovine rhinotracheitis (IBR), bovine herpesvirus-2 (mammilitis) dan bovine
herpesvirus-3 (DN 599, Movar). Berhubung uji VN pada AIHV-1 sangat
memakan waktu maka ada alternatif lain untuk memakai enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) memakai antigen spesifi k yang sudah
distandardisasi.
Uji serologi dengan IIF menunjukkan bahwa antibodi terhadap AIHV-1 dapat
dideteksi baik pada serum hewan yang terinfeksi WA-MCF maupun SA-MCF
serta pada serum dari domba yang bertindak sebagai reservoir. Meskipun
IIF tergolong non-spesifi k, hal ini mengarah pada hipotesa bahwa ada virus
serupa yang bertanggung jawab pada infeksi WA-MCF maupun SA-MCF,
yang dibuktikan oleh melalui Western Blotting dimana sejumlah antigen
AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum wildebeest maupun pada serum
domba dari kasus SA-MCF.
5. Diagnosa banding
Perubahan klinis dan patologis MCF yang patognomonik, berupa proliferasi
limfoid dan vaskulitis tidak selalu mudah untuk dikonfi rmasi secara
histopatologis karena variasi lesi yang sangat besar di lapang. Oleh karena
itu perlu diperhatikan diagnosa banding terhadap beberapa penyakit
yang dapat dikelirukan dengan MCF antara lain rinderpest, haemorrhagic
septicaemia, infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine virus
diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD), trypanosomiasis (Surra), beberapa
penyakit yang dipicu oleh virus arbo, dan khusus pada sapi Bali, MCF
harus dibedakan dari penyakit Jembrana dan Rama Dewa.
Khusus untuk Rinderpest sampai saat ini belum pernah dilaporkan
kejadiannya di negara kita . Rinderpest sulit dibedakan dengan MCF karena
mempunyai gejala klinis yang bersifat ulseratif dan mortalitasnya tinggi.
Namun begitu, secara patologik dapat dibedakan dengan MCF karena lesi
limfoid pada Rinderpest bersifat degeneratif, disertai badan inklusi eosinofi lik-
intra sitoplasmik pada epitel dan organ limfoid. Perbedaan utama, pada
Rinderpest tidak ditemukan gejala syaraf, lesi okular dan vaskulitis seperti
pada MCF dan pada Rinderpest walau mortalitas tinggi seperti pada MCF
namun morbiditasnya juga sangat tinggi (MCF morbiditas sangat rendah).
Septicaemia epizootica (SE) atau haemorrhagic septicaemia (HS) yang
dipicu oleh Pasteurella multocida yaitu penyakit endemis di
negara kita meskipun program vaksinasi terus digalakkan. Penyakit SE
ditandai dengan konjungtivitis, lakrimasi, dyspnoea, odema daerah kepala
dan enteritis bersifat hemoragik seperti pada MCF akut. Perbedaannya,
pada SE tidak ditemukan eksudat mukopurulen dari mata dan hidung seperti
pada MCF dan pada SE demam tidak setinggi pada MCF.
Infectious bovine rhinotracheitis (IBR), khususnya pada bentuk respirasi,
mempunyai gejala klinis mirip MCF pada stadium awal yaitu demam tinggi,
konjungtivitis, eksudat yang bersifat serous dari mata dan hidung dan
dyspnoea. Wabah IBR pernah dilaporkan di negara kita dimana pada mulanya
MCF diduga sebagai penyebabnya. Wabah IBR tersebut tidak ditandai
dengan lesi mukosal dan angka mortalitasnya lebih rendah dibandingkan MCF
tetapi morbiditasnya jauh lebih tinggi dibandingkan MCF.
Bovine virus diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD) juga dapat dikelirukan
dengan MCF. Pada BVD-MD ditemukan demam tinggi, diarhe, lesi
mukosal, lakrimasi hebat dan konjungtivitis seperti halnya pada MCF, tetapi
mortalitasnya rendah rate. Secara serologik, infeksi BVD telah dilaporkan
kejadiannya di negara kita dan wabah BVD-MD pada sapi lalu juga
dilaporkan kejadiannya secara klinis dan serologis di beberapa propinsi di
negara kita walaupun virus tidak berhasil diisolasi.
Infeksi oleh Trypanosoma evansi (Surra) pada beberapa hal menyerupai
MCF, misalnya demam tinggi, eksudat mata dan hidung bersifat mukopurulen,
hipersalivasi dan pembengkakan limfoglandula superfi sial. Namun
demikian, pada Surra juga ditandai oleh anaemia, kahexia dan ikterus
membran mukosa. Diagnosa Surra dapat dikonfi rmasi dengan keberadaan
parasit pada preparat ulas darah hewan yang terinfeksi. Surra di negara kita
sering dikelirukan dengan MCF secara histopahologik karena lesi meningo-
encefalitis yang ada baik pada MCF maupun Surra bersifat non
supuratif (sel radang yang menginfi ltrasi berupa sel mono-nuklear), disertai
perivascular cuffi ng terdiri dari limfosit, makrofag dan sel plasma. Hal utama
yang harus diingat, MCF mempunyai lesi patognomonik berupa vaskulitis,
sedang pada Surra tidak ada dan lesi patognomonik pada Surra ditandai
dengan hiperplasia sum sum tulang.
Penyakit lain yang dapat dianggapa menyerupai MCF yaitu infeksi dengan
virus Infeksi virus arbo secara selologis telah dilaporkan di negara kita . Selain
itu, virus arbo eperti bluetongue dan epizootic haemorrhagic disease sudah
berhasil diisolasi di negara kita . Virus arbo ini ditandai dengan demam dan
encefalitis seperti pada MCF.
Penyakit Jembrana pertama kali dilaporkan di negara kita pada than 1964 dan
secara klinis sangat menyerupai dan sulit dibedakan dari MCF secara klinis,
ditandai dengan demam tinggi, diarhe, eksudat mukopurululen dari mata dan
hidung, lesi mukosal dan pembengkakakan limfoglandula superfi sial. Namun
sesudah agen etiologi Jembrana dapat diisolasi dan diidentifi kasi sebagai
Lentivirus maka konfi rmasi diagnosa menjadi lebih mudah ditetapkan.
Secara histopatologis vaskulitis tidak ditemukan pada Jembrana seperti
halnya pada MCF, melainkan ditandai oleh reaksi limforetikular yang bersifat
umum yang ditandai oleh badan inklusi yang bersifat pleomorfi k, basofi lik,
intrasitoplasmik pada organ yang terserang.
Penyakit Rama Dewa pertama kali dilaporkan pada tahun 1976 di Lampung
(saat itu Sumatra Selatan) yang secara klinis sangat mirip dengan Jembrana
dan MCF. Rama Dewa secara klinis ditandai dengan demam tinggi,
diarhea, eksudat mukopurulen dari mata dan hidung serta pembengkakan
limfoglandula superfi sial. Secara histopatologis penyakit Rama Dewa juga
ditandai dengan ensefalitis.
pengobatan :
Baik hewan reservoir maupun hewan peka MCF dapat menghasilkan respon
antibodi terhadap virus MCF dan fakta ini secara serologis yaitu perangkat
diagnosa yang cukup penting yang berguna sebagai data epidemiologi penyakit.
Antibodi yang dapat mengenali antigen AIHV-1 dapat dideteksi pada serum
domba karier dan pada sapi yang terserang MCF, ini menandakan bahwa agen
yang berperan pada SA-MCF berkaitan erat dengan virus AIHV-1. Sementara
itu, sesudah usaha pengembangan vaksin untuk mencegah infeksi MCF tidak
membuahkan hasil, maka satu satunya cara untuk pengendalian MCF hanyalah
berdasar pada pemisahan hewan peka dari hewan reservoir (sapi dipisahkan
dari wildebeest dan alcelaphine antelopes untuk WA-MCF dan sapi dipisahkan
dari domba untuk SA-MCF ).
Hasil sekuensing dari genome virus OvHV-2 yang berupa produksi virus
rekombinan AlHV-1 serta usaha uji tantang dengan virus OvHV-2 dan AIHV-1
secara intra-nasal, dapat mengarah ke tahap terpenting dalam pengembangan
strategi vaksinasi untuk memproteksi hewan dari serangan MCF. Screening
antibodi dari cDNA expression libraries telah menuju pada pemilihan kandidat
antigen baik yang berasal dari AIHV-1 maupun OvHV-2. Kedua studi tersebut
mengidentifi kasi klone cDNA yang mengkode area C-terminal dari ORF73 yang
bersifat antigenik pada domba yang positif mengandung OvHV-2 dan pada kelinci
dan wildebeest yang mengandung AIHV-1 .
PENYAKIT BAKTERI
ANTHRAKS
Sinonim: Splenic fever, Charbon, Milztbrand, Radang Limpa, Wool
Sorter’s disease
Anthraks yaitu penyakit menular yang dipicu oleh Bacillus anthracis,
biasanya bersifat akut atau perakut pada berbagai jenis ternak (pemamah biak,
kuda, babi dan sebagainya). Ditandai dengan demam tinggi yang disertai dengan
perubahan jaringan bersifat septisemia, infi ltrasi serohemoragi pada jaringan
subkutan dan subserosa, serta pembengkakan akut limpa. Berbagai jenis hewan
liar (rusa, kelinci, babi hutan dan sebagainya) dapat pula terserang.
Di negara kita Anthraks memicu banyak kematian pada ternak, kehilangan
tenaga kerja di sawah dan tenaga tarik, serta kehilangan daging dan kulit karena
ternak tidak boleh dipotong. Kerugian ditaksir sebesar dua milyar rupiah per
tahun.
etiologi
Penyebab anthraks yaitu Bacillus anthracis. B.anthracis berbentuk batang
lurus, dengan ujung siku, membentuk rantai panjang dalam biakan. Dalam
jaringan tubuh tidak pernah terlihat rantai panjang, biasanya tersusun secara
tunggal atau dalam rantai pendek dari 2-6 organisme, berselubung (berkapsul),
kadang-kadang satu selubung melingkupi beberapa organisme. Selubung
tersebut tampak jelas batasnya dan dengan pewarnaan gram tidak berwarna atau
berwarna lebih pucat dari tubuhnya. Bakteri anthraks bersifat aerob, membentuk
spora yang letaknya sentral bila cukup oksigen. Tidak cukupnya oksigen di dalam
tubuh penderita atau di dalam bangkai yang tidak dibuka (diseksi), baik dalam
darah maupun dalam jeroan, maka spora tidak pernah dijumpai. Bakteri bersifat
Gram-positif, dan mudah diwarnai dengan zat-zat warna biasa.
Pada media agar, bakteri anthraks membentuk koloni yang suram, tepinya tidak
teratur, pada pembesaran lemah menyerupai jalinan rambut bergelombang,
yang sering kali disebut caput medusa. Pada media cair mula- mula terjadi
pertumbuhan di permukaan, yang lalu turun ke dasar tabung sebagai jonjot
kapas, cairannya tetap jernih.
Spora tahan terhadap kekeringan untuk jangka waktu yang lama, bahkan dalam
tanah dengan kondisi tertentu dapat tahan sampai berpuluh-puluh tahun, lain
halnya dengan bentuk vegetatif B.anthracis mudah mati oleh suhu pasteurisasi,
desinfektan atau oleh proses pembusukan.
Pemusnahan spora B.anthracis dapat dilakukan dengan : uap basah bersuhu
90° selama 45 menit, air mendidih atau uap basah bersuhu 100°C selama 10
menit, dan panas kering pada suhu 120°C selama satu jam.
Meskipun anthraks tersebar di seluruh dunia namun pada umumnya penyakit
ini ada pada beberapa wilayah saja. Biasanya penyakit ini timbul secara
enzootik pada saat tertentu saja sepanjang tahun.
epidemiologi
1. Spesies Rentan
Menurut penelitian, kerentanan hewan terhadap antraks dapat
dibagi dalam beberapa kelompok sebagai berikut:
a. Hewan pemamah biak, terutama sapi dan domba, lalu kuda, rusa,
kerbau dan pemamah biak liar lain, marmut dan mencit (mouse) sangat
rentan.
b. Babi tidak begitu rentan.
c. Anjing, kucing, tikus (rat) dan sebagian besar bangsa burung, relatif tidak
rentan tetapi dapat diinfeksi secara buatan.
d. Hewan berdarah dingin (jenis reptilia), sama sekali tidak rentan (not
affected).
2. Pengaruh Lingkungan
Anthraks banyak ada di daerah pertanian, daerah tertentu yang
basah dan lembab, serta daerah banjir. Di daerah-daerah tersebut anthraks
timbul secara enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-
beda. Daerah yang terserang anthraks biasanya memiliki tanah berkapur
dan kaya akan bahan-bahan organik.
Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus
sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit. Wabah anthraks pada
umumnya ada hubungannya dengan tanah netral atau berkapur yang alkalis
yang menjadi daerah inkubator bakteri tersebut. Di daerah-daerah tersebut
spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif bila keadaan lingkungan serasi bagi
pertumbuhannya.
3. Sifat Penyakit
Enzootik hampir setiap tahun dengan derajat yang berbeda-beda
di daerah-daerah tertentu. Derajat sakit (morbidity rate) tiap 10.000 populasi
hewan dalam ancaman, tiap propinsi dalam tahun 1975 menunjukan derajat
yang paling tinggi di Jambi (53 tiap 10.000) dan terendah di Jawa Barat (1
tiap 10.000). Dari laporan itupun dapat diketahui bahwa 5 (lima) daerah
mempunyai derajat sakit lebih rendah dari 50 tiap 10.000 populasi dalam
ancaman dan hanya Jambi yang mempunyai angka ekstrim.
4. Cara penularan
Pada hakekatnya anthraks yaitu “penyakit tanah” yang berarti bahwa
penyebabnya ada didalam tanah, lalu bersama makanan atau
minuman masuk ke dalam tubuh hewan. Pada manusia infeksi dapat terjadi
lewat kulit, mulut atau pernafasan. Anthraks tidak lazim ditularkan dari hewan
yang satu kepada yang lain secara langsung.
Bakteri anthraks bergerombol di dalam jaringan hewan penderita,
yang dikeluarkan melalui sekresi dan ekskresi menjelang kematiannya.
Bila penderita anthraks mati lalu diseksi atau termakan burung atau
hewan pemakan bangkai, maka spora dengan cepat akan terbentuk dan
mencemari tanah sekitarnya. Bila terjadi demikian maka menjadi sulit untuk
memusnahkannya. Hal tersebut menjadi lebih sulit lagi, bila spora tersebut
tersebar oleh adanya angin, air, pengolahan tanah, rumput makanan ternak
dan sebagainya.
Di daerah iklim panas lalat pengisap darah antara lain jenis Tabanus
sp. dapat bertindak sebagai pemindah penyakit.
Masa tunas anthraks berkisar antar 1-3 hari, kadang-kadang ada
yang sampai 14 hari. Infeksi alami terjadi melalui :
a. Saluran pencernaan
b. Saluran pernafasan dan
c. Permukaan kulit yang terluka.
Infeksi melalui saluran pencernaan lazim ditemui pada hewan-
hewan dengan tertelannya spora, meskipun demikian cara infeksi yang
lain dapat saja terjadi. Pada manusia, biasanya infeksi berasal dari hewan
melalui permukaan kulit yang terluka, terutama pada manusia yang banyak
berhubungan dengan hewan. Infeksi melalui pernafasan mungkin terjadi
pada pekerja penyortir bulu domba (wool-sorter’s disease), sedangkan
infeksi melalui saluran pencernaan terjadi pada manusia yang makan daging
asal hewan penderita anthraks.
5. Faktor Predisposisi
Anthraks yaitu penyakit yang menyerang pada mamalia.
Faktor predisposisi terjadinya anthraks antara lain hewan dalam kondisi
kedinginan, kekurangan makanan, dan juga keletihan terutama pada hewan-
hewan yang mengandung spora yang bersifat laten.
6. Distribusi Penyakit
Di negara kita berita tentang suatu penyakit yang sangat menyerupai
anthraks pada kerbau di daerah Teluk Betung dimuat dalam ”Javasche
Courant” tahun 1884. lalu berita yang lebih jelas tentang berjangkitnya
anthraks di beberapa daerah di negara kita di beritakan oleh ”Kolonial Verslag”
antara tahun 1885 dan 1886. lalu antara tahun 1899 dan 1900 sampai
1914, tahun 1927 sampai 1928, tahun 1930 tercatat kejadian-kejadian
anthraks di berbagai tempat di Jawa dan di luar Jawa.
Insidensi kasus di negara kita menurut Bulletin Veteriner tahun 1975
di Jabar, Sultra, NTT dan NTB; tahun 1996 di Jambi, Sultra, Sulsel, NTB,
NTT dan Jabar; 1977 di NTB ;1981 di DKI Jakarta, Jabar, NTT dan NTB;
1982 di NTB, Jatim dan Sulsel; 1983 di DKI Jakarta, NTB, NTT dan Sulsel;
1986 di NTB, Jabar dan Sumbar, 1988 -1993 di NTB;1991 di Jogya, Bali dan
NTB dan 1992 -1994 di NTB.
Kasus anthraks di Jawa Tengah tahun 1990 tercatat 97 kasus pada
manusia di kabupaten Semarang dan Boyolali, di Jawa Barat pada tahun
1975 -1974 tercatat 36 kasus di kabupaten Karawang, 30 kasus di kabupaten
Purwakarta, di kabupaten Bekasi 22 kasus pada tahun 1983 dan 25 kasus
pada tahun 1985.
Laporan kasus anthraks pada Januari tahun 2000 yang diduga telah
terjadi tiga bulan sebelumnya, menyatakan kasus terjadi pada penduduk
desa Ciparungsari kecamatan Cempaka, kabupaten Purwakarta, Jabar yang
menjarah burung unta. (Struthio Camelus) milik P.T. Cisada Kema Suri yang
dimusnahkan karena tertular penyakit anthraks.
Laporan kasus anthraks terakhir terjadi pada tahun 2012 di Kab.
Boyolali dan Kab. Sragen (Jawa Tengah), Kab. Maros dan Kab. Takalar
(Sulawesi Selatan), yang menyerang sapi potong dan sapi perah milik
peternak.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Dikenal beberapa bentuk anthraks, yaitu bentuk perakut, akut dan
kronis.
Anthraks bentuk perakut gejala penyakitnya sangat mendadak
dan segera terjadi kematian karena ada perdarahan otak. Gejala tersebut
berupa sesak nafas, gemetar lalu hewan rebah. Pada beberapa kasus
menunjukkan gejala kejang pada sapi, domba dan kambing, mungkin terjadi
kematian tanpa menunjukkan gejala-gejala penyakit sebelumnya.
Antraks bentuk akut pada sapi, kuda dan domba. Gejala
penyakitnya mula-mula demam, penderita gelisah, depresi, susah bernafas,
detak jantung frekuen dan lemah, kejang, dan lalu penderita segera
mati. Selama sakit berlangsung, demamnya dapat mencapai 41,50C,
ruminasi berhenti, produksi susu berkurang, pada ternak yang sedang
bunting mungkin terjadi keguguran. Dari lubang-lubang alami mungkin
terjadi ekskreta berdarah. Gejala anthraks pada kuda dapat berupa demam,
kedinginan, kolik yang berat, tidak ada nafsu makan, depresi hebat, otot-otot
lemah, diare berdarah, bengkak di daerah leher, dada, perut bagian bawah,
dan di bagian kelamin luar. Kematian pada kuda biasanya terjadi sehari atau
lebih lama bila dibandingkan dengan anthraks pada ruminansia.
Antraks bentuk kronis biasanya ada pada babi, tetapi kadang-
kadang ada juga pada sapi, kuda dan anjing dengan lesi lokal yang
terbatas pada lidah dan tenggorokan. Pada satu kelompok babi yang
terinfeksi, beberapa babi diantaranya mungkin mati karena antraks akut
tanpa menunjukan gejala penyakit sebelumnya. Beberapa babi yang lain
menunjukan pembengkakan yang cepat pada tenggorokan, yang pada
beberapa kasus memicu kematian karena lemas. Kebanyakan babi
dalam kelompok itu mati karena anthraks kronis. Sedangkan babi dengan
infeksi ringan, berangsur-angsur akan sembuh. Bila babi tersebut disembelih,
pada kelenjar limfe servikal dan tonsil ada bakteri anthraks.
Pada kuda anthraks memicu kolik, mungkin karena torsi
intestinal atau invaginasi, dengan tidak disertai akumulasi feses dan gas.
Sering juga disertai busung di daerah leher, dada, bahu, dan faring. Busung
tersebut berbeda dengan pembengkakan yang dipicu oleh purpura
hemoragika, karena pembengkakannya cepat, ada rasa nyeri, ada demam
tinggi dan perbedaan lokalisasinya. Gejala gelisah jarang terjadi tetapi selalu
mengalami sesak nafas dan kebiruan. Penyakit tersebut biasanya berakhir
8-36 jam, atau kadang-kadang sampai 3-8 hari.
Pada sapi, gejala permulaan kurang jelas kecuali demam tinggi
sampai 420C. Biasanya sapi-sapi tersebut terus digembalakan atau
dipekerjakan. Dalam keadaan seperti itu sapi dapat mendadak mati di
kandang, di padang gembalaan atau saat sedang dipekerjakan. Penyakit
ini ditandai dengan gelisah pada saat mengunyah, menanduk benda keras
di sekitarnya, lalu dapat diikuti dengan gejala -gejala penyakit umum
seperti hewan menjadi lemah, panas tubuh tidak merata, paha gemetar.
Nafsu makan hilang sama sekali, sekresi susu menurun atau terhenti, tidak
ada ruminasi, dan perut nampak agak kembung. Pada puncak penyakit
darah keluar melalui dubur, mulut, lubang hidung, dan urin bercampur darah.
Pada beberapa kasus ada bungkul-bungkul keras berisi cairan jernih
atau nanah, pada mukosa mulut ada bercak -bercak, lidah bengkak dan
kebiruan, serta nampak lidah keluar dari mulut.
Gejala-gejala umum anthraks berupa pembengkakan di daerah
leher, dada, sisi lambung, pinggang, dan alat kelamin luar. Pembengkakan
tersebut berkembang cepat dan meluas, bila diraba panas konsistensinya
lembek atau keras, sedang kulit di daerah tersebut normal atau ada luka
yang mengeluarkan eksudat cair yang berwarna kuning muda. Pembengkakan
pada leher sering berlanjut memicu paryngitis dan busung glottis,
memicu sesak nafas yang memberatkan penyakit. Pada selaput lendir
rektum ada pembengkakan berupa bungkul-bungkul. Pembengkakan
seperti itu juga dapat terjadi karena infeksi pada waktu eksplorasi rektal atau
pengosongan isi usus.
Pada beberapa kasus sulit buang air, feses bercampur darah yang
berwarna merah hitam dan jaringan nekrotik yang mengelupas. Kadang-
kadang ada penyembulan rektum. Daerah perineum bengkak, selaput
lendir panas, pada selaput lendir vagina sering ada busung gelatin.
Pada domba dan kambing, biasanya bentuk perakut dengan
perubahan apopleksi sereberal, terlihat berputar-putar, gigi gemeretak dan
mati hanya beberapa menit sesudah darah keluar dari lubang-lubang alami
tubuh.
Pada kasus akut, penyakit tersebut hanya berlangsung beberapa
jam, dengan tanda-tanda seperti gelisah, berputar-putar, respirasi berat
dan cepat, frekuensi jantung meningkat, feses dan urin bercampur darah,
hipersalivasi, busung dan enteritis jarang ditemukan.
Pada babi, gejala penyakit berupa demam dan pharyngitis dengan
kebengkakan pada daerah subparotidea dan larynx yang berlangsung
dengan cepat (anthraks angina). Pembengkakan tersebut dapat meluas dari
leher sampai ke dahi, muka dan dada, memicu kesulitan makan dan
bernafas. Selaput lendir kebiruan, pada kulit ada bercak merah, diare,
disfagia (paralisis otot pipi), muntah dan sesak nafas memicu hewan
mati lemas.
Pada kasus tanpa pembengkakan leher, gejala penyakitnya
mungkin hanya berupa lemah, tidak ada nafsu makan dan menyendiri. Pada
antraks lokal atau kronis hewan sering tampak normal.
Pada anjing dan pemakan daging (carnivora) lainnya, gejala
penyakit berupa gastroenteritis dan pharyngitis, tetapi kadang-kadang
hanya demam. Setelah makan daging yang mengandung bakteri anthraks,
bibir dan lidah menjadi bengkak, atau timbul bungkul-bungkul pada rahang
atas. Kadang-kadang dapat terjadi infeksi umum melalui erosi pada mukosa
kerongkongan.
Pada manusia, sering ditemukan bentuk (kutan). Karena
serangannya bersifat lokal, dapat juga disebut anthraks lokal. Pada luka
tersebut terjadi rasa nyeri, yang diikuti dengan pembentukan bungkul merah
pucat (karbungkel) yang berkembang menjadi kehitaman dengan cairan
bening berwarna merah. Bila pecah akan meninggalkan jaringan nekrotik.
Bungkul berikutnya muncul berdekatan. Jaringan sekitarnya tegang, bengkak
dengan warna merah tua pada kulit sekitarnya. Bila dalam waktu bersamaan
gejala demam muncul, infeksi menjadi umum (generalis) dan pasien mati
karena septisemi.
Anthraks bentuk kutan (kulit) ditandai dengan adanya pembengka
kan di berbagai tempat di bagian tubuh. Biasanya pada sapi dan kuda yang
ada luka atau lecet di daerah kulit yang lalu tercemar oleh bakteri
anthraks, maka hewan tersebut akan terinfeksi anthraks.
Manifestasi gambaran klinis anthraks sebagaimana tersebut di atas
ada kalanya berbeda-beda tergantung pada perluasan penyakit dan jenis
hewan yang terkena.
Anthraks kulit primer maupun sekunder jarang ditemukan. Penyakit
ini biasanya berakhir sesudah 10-36 jam, kadang-kadang sampai 2-5 hari.
Anthraks kulit yang kronis dapat pula terjadi pada sapi yang berlangsung
selama 2-3 bulan. Hewan -hewan yang menderita penyakit akan menjadi
kurus dengan cepat.
Anthraks bentuk usus (intestinal) sering disertai haemoragik,
kenyerian yang sangat didaerah perut (kolik), muntah-muntah, kaku dan
berakhir dengan kolaps dan kematian.
Anthraks bentuk pernafasan, terjadi pleuritis dan bronchopneumonia.
Bentuk gabungan juga bisa terjadi. Setelah infeksi usus, lalu muncul
kebengkakan bersifat busung di bagian tubuh yang lain.
2. Patologi
Bangkai hewan yang mati karena anthraks dilarang untuk dibedah.
Bangkai tersebut cepat membusuk karena sepsis, dan terlihat sangat
membengkak. Kekakuan bangkai (rigor mortis) biasanya tidak ada atau
tidak sempurna. Darah yang berwarna hitam seperti aspal mungkin keluar
dari lubang alami seperti hidung, mulut, telinga, anus tampak bengkak,
dan bangkai cepat membusuk. Mukosa warna kebiruan, sering ada
penyembulan rektum yang disertai perdarahan.
3. Diagnosa
a. Pemeriksaan mikroskopik langsung.
Hewan yang masih dalam keadan sakit atau baru saja mati, selama
belum terjadi pembusukan, dilakukan pemeriksaan mikroskopik sediaan
ulas darah perifer dengan cara yang sederhana dan tepat. Bakteri
berbentuk batang besar, Gram positif, biasanya tersusun tunggal,
berpasangan atau berantai pendek. Tidak ada spora. Dengan
pewarnaan yang baik dapat dilihat adanya selubung (kapsul)
Jika hewan sudah mengalami pembusukan maka dari pemeriksaan
mikroskopik sediaan ulas darah perifer, agak sulit untuk membuat
diagnosa yang tepat. Sejumlah bakteri pembusuk memiliki bentuk yang
mirip dengan anthraks (bakteri anthrakoid). Biasanya bakteri-bakteri
pembusuk itu agak panjang dan tersusun dalam rantai yang lebih
panjang.
b. Pemeriksaan dengan pemupukan.
Bahan mengandung anthraks berupa darah atau jaringan lain yang
berasal dari hewan sakit atau baru saja mati, dengan mudah dapat
dipupuk pada media buatan.
Jika bahan sampel berasal dari jaringan yang telah busuk, maka
akan timbul berbagai kesulitan karena (a) bakteri anthraks mudah mati
oleh pembusukan, (b) bakteri-bakteri anthrakoid akan ikut nampak dan
tumbuh dengan baik.
c. Pemeriksaan biologis
Hewan percobaan yang terbaik yaitu marmut. Meskipun mencit
cukup baik, tetapi mencit sangat rentan terhadap kontaminan lain.
Setelah disuntik secara subkutan, marmut biasanya mati dalam waktu
36-48 jam, paling lama pada hari kelima. Jaringan marmut tersebut
penuh dengan bakteri anthraks dan di bawah kulit tempat suntikan terjadi
infi ltrasi gelatin.
Penyuntikan hewan percobaan yaitu cara yang paling tepat untuk
membedakan bakteri anthraks dari bakteri anthrakoid.
d. Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan Uji Ascoli dan
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Uji Ascoli
Uji termopresipitasi Ascoli sangat berguna untuk menentukan
jaringan tercemar anthraks. Untuk uji Ascoli diperlukan serum presipitasi
bertiter tinggi. Jaringan tersangka dilakukan ekstraksi dengan air dengan
cara perebusan, atau dengan penambahan kloroform. Cairan jernih
yang diperoleh disebut presipitinogen mengandung protein anthraks,
ditemukan secara perlahan-lahan dengan serum presipitasi (presipitin)
dalam tabung reaksi kecil. Reaksi positif akan ditandai dengan
terbentuknya cincin putih pada batas pertemuan antara kedua cairan
tersebut.
4. Diagnosa Banding
Anthraks harus dibedakan dari kematian mendadak oleh sebab
lain. Pada sapi dan babi, terutama oleh pasteurellosis yang disertai
pembengkakan pada leher. Pada sapi dan domba infeksi dengan Clostridia
dapat memicu kematian mendadak. Pada sapi perlu diperhatikan pula
penyakit-penyakit Ieptospirosis akut, anaplasmosis, bacillary, hemoglobinuria,
dan keracunan-keracunan oleh tanaman, timah atau fosfor yang akut. Pada
kuda, anemia infeksiosa yang akut, purpura haemorrhagica, macam-macam
kolik, keracunan timah, dan sun stroke, mempunyai gejala-gejala serupa
dengan anthraks. Pada babi, hog cholera akut, malignant oedema bentuk
pharyngeal mempunyai gejala-gejala serupa dengan anthraks.
Pada sapi dan kerbau dapat dikacaukan dengan keracunan, radang
otak, penyakit pencernaan bentuk jahat Aphtae Epizootica, Septicaemia
Epizootica, Surra, Piroplasmosis akut, Rinderpest, dan penyakit Jembrana.
Pada kuda dapat dikacaukan dengan Surra, terutama jika dilihat dari
timbulnya busung.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Larangan bedah bangkai terhadap hewan yang mati tersangka
anthraks dengan dasar:
a. Tidak memberi peluang terbentuknya spora bakteri anthraks yang
mungkin menyulitkan pemberantasan penyakit.
b. Sangat berbahaya bagi manusia yang melakukan seksi dan pembantu -
pembantunya.
Bahan pemeriksaan yang perlu dikirimkan ke laboratorium diagnostik
yaitu sebagai berikut:
Hewan pemanah biak :
a. Sediaan ulas darah diambil dari pembuluh darah tepi (vena pada telinga,
pada metakarpal, atau metatarsal). Dibuat tipis dan lebih dari satu
lalu dilakukan fi ksasi.
b. Olesan darah tepi dari hewan yang sama pada kapas bergagang
(cotton swab), sepotong kapur tulis, atau sepotong kertas saring yang
lalu dimasukan ke dalam tabung reaksi. Alat pengambilan bahan
harus dalam keadaan steril sebelum dipakai dan pengambilan dilakukan
secara aseptik.
Bahan pemeriksaan tersebut harus ditaruh dalam wadah yang
kuat dan tertutup rapat untuk mencegah kemungkinan pencemaran dalam
perjalanan.
Pada babi, kuda hewan lainnya
a. Sediaan ulas dari jaringan tubuh dengan lesi yang jelas (dari kelenjar
limfe submaxillaris dan daerah kebengkakan)
b. Sediaan ulas darah dari pembuluh darah tepi (dari kuda dan babi tidak
dapat diharapkan ditemuinya B.anthracis dalam sediaan ulas darah).
c. Khusus untuk babi jika perlu bisa dikirimkan kelenjar limfa cervicalis yang
diawetkan dalam asam borax (4%).
Bagi anthraks bentuk kutan dapat dikirimkan :
a. Sediaan ulas dari luka yang bersangkutan.
b. Olesan pada luka yang sama memakai kapas bergagang atau yang
lainnya (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).
Bila pengiriman bahan-bahan tersebut diatas tidak memungkinkan
maka pengiriman bahan berupa sisa-sisa bagian tubuh hewan yang masih
ditemukan tanpa bahan pengawet apapun masih dapat dianjurkan, antara
lain sepotong kulit, tulang, daging kering dan dendeng. Bahan-bahan tersebut
dimaksudkan untuk pemeriksaan serologi.
Bahan pemeriksaan tersebut diatas dikirimkan ke laboratorium
veteriner setempat (kecuali ada ketentuan khusus) disertai surat pengantar
berisi informasi selengkap mungkin. Hasil pengujian ditembuskan kepada
Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan,
dan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan pada hewan sakit diberikan suntikan antiserum dengan
dosis kuratif 100-150 ml untuk hewan besar dan 50-100 ml untuk hewan
kecil. Penyuntikan antiserum homolog yaitu IV atau SC, sedang yang
heterolog SC. Jika perlu penyuntikan pengobatan dapat diulangi secukupnya.
Antiserum yang diberikan lebih dini sesudah timbul gejala sakit, kemungkinan
untuk diperoleh hasil yang baik akan lebih besar.
Hewan tersangka sakit atau yang sekandang dengan hewan sakit,
diberi suntikan pencegahan dengan antiserum. Kekebalan pasif timbul
sesaat , akan tetapi berlangsung tidak lebih lama dari 2 minggu.
Pemberian antiserum untuk tujuan pengobatan dapat dikombinasikan
dengan pemberian antibiotik. Jika antiserum tidak tersedia, dapat dicoba
dengan obat-obatan tersebut di bawah ini.
Anthraks stadium awal pada kuda dan sapi diobati dengan procain
penicillin G dilarutkan dalam aquades steril dengan dosis untuk hewan besar
6.000-20.000 IU/kg berat badan, IM tiap hari.
Streptomycin sebanyak 10 gram (untuk hewan besar seberat 400-
600 kg) setiap hari yang diberikan dalam dua dosis secara intramuskuler
dianggap lebih efektif dari penicillin, akan tetapi lebih baik dipakai kombinasi
penicillin - streptomycin.
Selain penicillin dapat pula dipakai oxytetracycline. Untuk sapi dan
kuda mula -mula 2 gm IV atau IM, lalu 1 g tiap hari selama 3-4 hari atau
sampai sembuh. Oxytertracyclin dapat diberikan dalam kombinasi dengan
penicillin. Antibiotika lain yang dapat dipakai antara lain : chloramphanicol,
erythromycin, atau sulfonamide (sulfamethazine, sulfanilamide, sulfapyridine,
sulfathiazole), tetapi obat-obatan tersebut kurang ampuh dibandingkan dari
penicillin atau tetracycline.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Perlakuan terhadap hewan yang dinyatakan berpenyakit anthraks
dilarang untuk dipotong.
Bagi daerah bebas anthraks, tindakan pencegahan didasarkan pada
pengaturan yang ketat terhadap pemasukan hewan kedaerah tersebut.
Anthraks pada hewan ternak dapat dicegah dengan vaksinasi.
Vaksinasi dilakukan pada semua hewan ternak di daerah enzootik
anthraks setiap tahun sekali, disertai cara-cara pengawasan dan
pengendalian yang ketat.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Disamping pengobatan dan pencegahan, diperlukan cara pengendalian
khusus untuk mencegah perluasan penyakit.
Tindakan-tindakan tersebut yaitu sebagai berikut :
(1) Hewan yang menderita anthraks harus diisolasi sehingga tidak
dapat kontak dengan hewan-hewan lain
(2) Pengisolasian tersebut dilakukan di kandang atau di tempat dimana
hewan tersebut ditemukan sakit. Didekat tempat itu digali lubang
sedalam 2 -2,5 meter, untuk menampung sisa makanan dan feses
dari kandang hewan yang sakit
(3) Setelah hewan mati, sembuh atau sesudah lubang itu terisi sampai
60 cm, lubang itu dipenuhi dengan tanah yang segar
(4) Dilarang menyembelih hewan yang sakit
(5) Hewan tersangka tidak boleh meninggalkan halaman dimana ia
berdiam sedangkan hewan yang lain tidak boleh dibawa ketempat
itu
(6) Jika diantara hewan yang tersangka tersebut timbul gejala penyakit,
maka hewan yang sakit tersebut diasingkan menurut cara seperti
ditentukan dalam poin 1
(7) Jika diantara hewan yang tersangka dalam waktu 14 hari tidak ada
yang sakit, hewan tersebut dibebaskan kembali
(8) Di pintu-pintu yang menuju halaman, dimana hewan yang sakit atau
tersangka sakit diasingkan dipasang papan bertuliskan ”Penyakit
Hewan Menular Anthraks” disertai nama penyakit yang dimengerti
di daerah itu
(9) Bangkai hewan yang mati karena anthraks harus segera
dimusnahkan dengan dibakar habis atau dikubur (poin 3 dan 4)
(10) Setelah penderita mati atau sembuh, kandang dan semua
perlengkapan yang tercemar harus dilakukan disinfeksi
(11) Kandang dari bambu atau alang-alang dan semua alat-alat yang
tidak dapat didisinfeksi, harus dibakar
(12) Dalam satu daerah, penyakit dianggap telah berlalu sesudah lewat
masa 14 hari sejak matinya atau sembuhnya penderita terakhir
(13) Untuk mencegah perluasan penyakit melalui serangga, dipakai
obat-obat pembunuh serangga
(14) Hewan yang mati karena anthraks dicegah agar tidak dimakan oleh
hewan pemakan bangkai
(15) Tindakan sanitasi umum terhadap manusia yang kontak dengan
hewan penderita penyakit dan untuk mencegah perluasan
penyakit.
c. Pelaporan
Laporan kejadian penyakit anthraks berisi informasi selengkap
mungkin, disampaikan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi
Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Dirjen Peternakan dan Kesehatan
Hewan, yang dilengkapi dengan pengisian formulir yang telah ditentukan,
seperti:
(1) Laporan Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan
Hewan ke Pemerintah Daerah, dan ke Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian RI, mengenai
terdapatnya kejadian anthraks
(2) Mengirim bahan-bahan pemeriksaan penyakit ke laboratorium
veteriner setempat untuk peneguhan adanya penyakit
(3) Pernyataan tentang terdapatnya/bebasnya suatu daerah terhadap
Anthraks oleh Kepala Pemerintah Daerah sesudah adanya peneguhan
teknis
ATROPIC RHINITIS PADA BABI
Atropic rhinitis yaitu penyakit menular pada babi ditandai dengan adanya sekresi
hidung yang bersifat purulen, disertai perubahan bentuk hidung berupa moncong
hidung membengkok, atrofi tulang turbinatum dan penurunan produktifi tas.
Atropic rhinitis kemungkinan telah tersebar diseluruh dunia. Amerika serikat dan
beberapa negara di Eropa menderita kerugian cukup besar oleh penyakit ini.
etiologi
Pada bentuk parah dan progresif, pemicu penyakit ini yaitu Pasteurella
multocida yang toksigenetik disertai atau tidak disertai oleh Bordetella
bronchoseptica. Bentuk ringan sampai sedang, dipicu oleh Bordetella
bronchoseptica saja, atau disertai oleh fl ora normal pada hidung.
Bordetella bronchoseptica yaitu bakteri berbentuk batang atau coccobacillus,
Gram negatif. Bakteri ini motil, tidak membentuk spora dan bersifat aerob.
Secara eksperimental telah dibuktikan bahwa B.bronchoseptica sendiri dapat
memicu atrofi turbinatum bila ditularkan secara intra nasal pada anak babi
Specifi c Pathogenic Free (SPF) umur di bawah tiga minggu.
Pasteurella multocida yaitu bakteri yang pada awalnya dianggap sebagai bakteri
pemicu kedua pada atropic rhinitis, tetapi belakangan diketahui P.multocida
yaitu pemicu utama atropic rhinitis pada babi.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Atropic rhinitis yaitu penyakit khas pada babi dari berbagai
umur, namun demikian gejala klinis lebih banyak ditemukan pada babi
muda.
2. Pengaruh lingkungan
Keparahan penyakit erat hubungannya dengan cara pengelolaan
intensif misalnya pemeliharaan babi dalam jumlah banyak dalam ruangan
terbatas (over stocking), hygiene kandang dan Iingkungannya yang tidak
memadai.
Peningkatan konsentrasi amonia dalam ruang kandang yang
dipergunakan untuk penggemukan babi, juga sering memicu
peningkatan kasus atropic rhinitis.
3. Sifat Penyakit
Rhinitis ini memicu peradangan pada jaringan di dalam hidung
yang umumnya bersifat ringan. Selama proses infeksi secara perlahan
tulang turbinatum hidung akan rusak dan dapat mengecil (atrofi ) atau menjadi
terdistorsi. Kondisi ini jarang memicu penyakit klinis pada hewan
dewasa, tetapi jika babi terinfeksi sejak lahir akan memicu distorsi
pada muka di masa dewasanya.
Ada dua bentuk penyakit yaitu :
a. ringan dan non-progresif di mana infeksi atau iritasi terjadi selama 2
sampai 3 minggu, namun radang tidak berkembang sehingga tulang
turbinatum dapat kembali ke bentuk normal.
b. Penyakit serius memicu rhinitis atrofi progresif (PAR) di mana bakteri
P.multocidia akan memproduksi racun, memicu peradangan yang
terus-menerus dan progresif sehingga memicu terjadinya atrofi
jaringan dan distorsi hidung. PAR dapat menyerang baik pada babi yang
sedang menyusui atau pada babi yang sedang tumbuh. Bila kelompok
babi telah terinfeksi, semua ternak akan menunjukkan beberapa derajat
non-progresif rhinitis atrofi .
4. Cara penularan
Penularan terjadi secara aerosol, dari babi tertular ke babi sehat,
melalui droplet yang dikeluarkan babi tertular saat bersin. Penularan dapat
terjadi pada semua umur dari beberapa hari atau minggu. Induk babi yang
tertular secara kronis akan menularkan penyakit pada anak-anak babi secara
kontak langsung lewat hidung mereka.
5. Faktor Predisposisi
Faktor-faktor manajemen dan lingkungan, seperti cara pemeliharaan
tidak intensif, ternak terlalu padat, ventilasi kurang, dan higiene makanan
kurang baik, dapat yaitu predisposisi terjadinya penyakit atropic
rhinitis.
6. Distribusi penyakit
Sejauh ini atropic rhinitis belum pernah dilaporkan di negara kita .
Namun demikian dengan perkembangan peternakan babi dan mobilitas
ternak yang cukup pesat belakangan ini, keberadaan atropic rhinitis harus
diwaspadai.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Atropic rhinitis mempunyai 2 manifestasi klinis yaitu bentuk ringan
sampai sedang, serta bentuk progresif dan parah. Gejala Klinis yang mula-
mula terlihat yaitu babi terlihat bersin-bersin lalu diikuti oleh eksudat
bersifat mukus keluar dari lubang hidung. Gejala pertama ini sudah dapat
dilihat pada anak babi umur 7 hari. jika penyakit menjadi Iebih parah
dapat ditemukan lakrimasi dan sekresi hidung berubah menjadi mukopurulen.
Pada tahap ini kerusakan tulang turbinatum terjadi. Kadang-kadang sekresi
hidung disertai bercak-bercak darah, sebagai akibat kerusakan pada tulang
turbinatum. jika kerusakan tulang turbinatum berlanjut, maka panjang
dan diameter lubang hidung menjadi berkurang dan terlihat dari luar sebagai
tulang hidung memendek dan melengkung. Kelainan ini memicu
pertumbuhan anak babi terhambat karena kesulitan makan.
2. Patologi
jika dari luar batang hidung sudah terlihat membengkok, maka
kelainan tulang turbinatum mudah diduga. Dalam hal kelainan bentuk batang
hidung tidak terlihat, maka perlu dilakukan pemotongan memanjang (cross
section) rongga hidung setinggi gigi premoral kedua. Patologi yang mencolok
yaitu hipoplasia turbinatum nasalis. Dalam mukosa lubang hidung
ditemukan eksudat mukopurulen.
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada perubahan histopatologi pada
pemeriksaan tulang turbinatum, isolasi dan identifi kasi bakteri penyebab.
Perubahan histopatologi termasuk penggantian jaringan fi brosa pada
lempeng conchae bagian bawah, terkadang diikuti dengan peradangan
dan perubahan reparatif. Isolasi P.multocida dari B.bronchoseptica sebagai
pemicu harus disertai dengan deteksi toksin.
4. Diagnosa Banding
Atropic rhinitis pada babi terutama bentuk ringan sampai sedang,
dapat dikelirukan dengan infeksi saluran pernafasan yang lain, misalnya
swine infl uenza.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Swab (usapan kapas) dari hidung atau tonsil yaitu spesimen
yang baik untuk tujuan isolasi bakteri penyebab. jika jarak antara tempat
pengambilan spesimen dengan laboratorium agak jauh spesimen di atas
perlu dimasukkan ke dalam media transport atau garam fi siologis.
pengobatan :
1. Pengobatan
B.bronchoseptica sensitif terhadap sulfonamida. Preparat sulfa
yang dipergunakan ialah sulfamethazine dalam makanan atau sodium
sulfathiazole dalam air minum. Sulfamethazine dengan dosis 100-125 g per
ton pakan cukup efektif untuk mengobati atropic rhinitis. Sodium sulfathiazole
dengan dosis 0,33-0,5 g/3,8 liter air minum disarankan untuk pengobatan
penyakit ini. Untuk menuntaskan infeksi B.bronchoseptica pada anak babi
memerlukan sekurangnya 5 minggu, sedangkan pada hewan yang lebih tua
memerlukan waktu sekitar 4 minggu.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Pencegahan atropic rhinitis dapat dengan cara vaksinasi. Vaksin yang
dipakai yaitu kombinasi B.brochoseptica dan P.multocida. Induk babi
yang divaksinasi pada waktu bunting, akan memberikan kekebalan kepada
anaknya lewat kolostrum. Imunisasi pada anak babi dapat menghindarkan
anak babi dari gejala rhinitis dan mengurangi kejadian atropic rhinitis pada
babi. Di Belanda dilakukan managemen ”all in all out” untuk menghindari
terjadinya kasus atropic rhinitis.
BLACK LEG
Sinonim : black quarter, quarter ill; raushbrand; gangraena emphysematosa;
boutvuur; radang paha
Blackleg atau radang paha yaitu penyakit infeksi, tidak menular secara
kontak, menyerang sapi dan domba ditandai oleh gangren otot dan miositis
emphysematosa terbatas, dipicu oleh Clostridium chauvoei. Radang paha
ditemukan diberbagai penjuru dunia, termasuk negara kita . Clostridium chauvoei
bisa membentuk spora sehingga tahan terhadap pengaruh fi sik maupun
kimiawi.
etiologi
Penyebab blackleg yaitu Clostridium chauvoei (Cl.chauvoei) / Cl.feseri,
yaitu bakteri berbentuk batang pleomorfi k, berukuran antara 0,5-1,0
mikron x 3-8 mikron, berspora dengan posisi sentral atau subterminal. Bakteri
ini bersifat anaerob, membentuk beberapa jenis eksotoksin, salah satu toksin
yaitu toksin alfa bersifat mematikan, memicu hemolisa darah dan nekrosa
jaringan. Selain toksin diproduksi pula enzym deoxyribonuclease, hyalumidase
dan oxygen-labile hemolysin.
Cl.chauvoei tumbuh subur dalam biakan kaldu daging yang ditambah glukosa atau
brain heart infusion broth dalam suasana anaerob. Suhu optimum pertumbuhan
yaitu 370C. Pada media agar membentuk koloni kecil dengan bentuk tidak
beraturan, memancar atau meluas, transparan, membentuk granula yang halus
pada bagian sentral koloni, dan tepi koloni berbentuk seperti ikatan rambut. Di
bawah sinar lampu, koloni terlihat berwarna biru keabuan.
Pertumbuhan Cl.chauvoei dalam agar darah kurang baik, tetapi pertumbuhan
bakteri ini dapat diperbaiki dengan penambahan ekstrak hati. Dalam agar darah
koloni bakteri tersebut dikelilingi zona hemolisis yang luas. Dalam media cair
koloni bakteri ada di bagian bawah dan membentuk gelembung gas.
Cl.chauvoei dalam bentuk vegetatif tidak tahan terhadap pemanasan dan
senyawa kimia. Dalam bentuk spora pada pemanasan 1200C tahan selama 10
menit, di dalam HgCl2 1:500 tahan selama 10 menit, formalin 10% tahan selama
15 menit. Di dalam daging terinfeksi yang dikeringkan, spora tetap virulen selama
8 tahun. Di dalam tanah, spora tahan beberapa tahun.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Sapi dan domba yaitu jenis hewan yang paling sering terserang
black leg. Babi dinilai lebih tahan dibandingkan sapi dan domba.
2. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan yang kurang higienis, dalam hal ini pembuangan feses
atau bangkai hewan tertular black leg secara sembarangan, dapat menunjang
terjadi kejadian black leg. Tanah, kandang, alat jepit ternak serta peralatan
kandang dapat tercemar melalui feses hewan yang tertular.
3. Sifat Penyakit
Cl.chauvoei menghasilkan sejumlah besar gas sebagai produk
sampingan metabolisme saat tumbuh dan bereproduksi. Gas ini
menumpuk di jaringan yang terinfeksi, biasanya pada otot-otot besar, dan
memicu jaringan timbul suara berderak atau krepitasi saat ditekan.
Bagian yang terbentuk gas, sangat sakit bila ditekan. Palpasi pada bagian
yang membengkak, terasa lunak, oedematos, panas dan terdengar suara
krepitasi, akibat terbentuk gas diantara jaringan otot tersebut.
4. Cara penularan
Di negara kita black leg tidak diketahui secara jelas, namun sebagian
besar diduga terjadi per oral. Spora Cl.chauvoei dapat tetap di dalam tanah
selama bertahun-tahun dalam keadaan tidak aktif, dan kembali ke bentuk
infektif saat dikonsumsi oleh ternak yang merumput. Padang rumput yang
terkontaminasi yaitu sumber utama penularan organisme ini, yang
juga ditemukan secara alami dalam usus hewan.
Sumber penularan yaitu tanah atau makanan tercemar spora
bakteri pemicu black leg. Penularan lewat luka dapat terjadi pada waktu
dilakukan pemotongan tanduk, kastrasi, pencukuran bulu, alat suntik atau
pertolongan kelahiran. Cara Penularan yang terbanyak yaitu melalui tanah
atau makanan tercemar spora, sedang cara penularan yang lain lebih jarang
terjadi.
5. Faktor Predisposisi
Kasus dapat terjadi selama bertahun-tahun di daerah di mana ada
tanah atau kontaminasi pupuk dengan bakteri, dan keadaan seperti spora
biasanya sangat sulit untuk dapat dimusnahkan dari lingkungan.Selain faktor
lingkungan menjadi faktor terjadinya penyakit, adanya luka juga menjadi
faktor predisposisi masuknya spora ke Cl.chauvoei dalam tubuh hewan.
6. Distribusi Penyakit
Di negara kita black leg dilaporkan pertama kali di Subang (Jawa
Barat) oleh de Vetler di tahun 1907. Pada kejadian itu 30 ekor sapi dilaporkan
menunjukan gejala pincang dan lalu mati tiba-tiba. Pada tahun 1950-
an black leg pada sapi perah dilaporkan terjadi di Bogor. Daerah endemik
black leg lainnya yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta, Surakarta, Madiun,
dan beberapa daerah di Jawa Timur.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Umumnya black leg menyerang sapi muda umur antara 6 bulan
sampai 1 tahun. Kelumpuhan yaitu gejala klinis yang pertama kali
terlihat. lalu terjadi kebengkakan yang cepat menyebar pada otot
gerak di daerah bahu dan paha. Hewan yang terserang terlihat depresi (lesu),
disertai kenaikan suhu rektal. Palpasi pada bagian yang membengkak, terasa
lunak, oedematos, panas dan terdengar suara krepitasi, akibat terbentuk
gas diantara jaringan otot. Kematian terjadi 24-48 jam sesudah gejala klinis
pertama kali kelihatan. Kadang-kadang hewan ditemukan tiba-tiba mati.
Pada domba selain gejala yang telah disebutkan tadi, ditemukan
warna merah kehitaman pada kulit, terdengar suara krepitasi akibat
terbentuknya gas di antara jaringan otot. Kematian terjadi 24-48 jam sesudah
gejala klinis pertama kali terlihat. Kadang-kadang hewan ditemukan tiba-tiba
mati.
2. Patologi
Tanda cukup khas pada hewan mati akibat black leg yaitu warna
gelap pada otot daerah paha, berkonsistensi spon (busa), berisi gelembung-
gelembung udara dan dikelilingi oleh oedema berwarna kekuningan. Hewan
yang mati cepat membusuk, ditandai oleh bau tengik. Dekomposisi terjadi
cepat, sehingga jika pemeriksaan pasca mati dilakukan terlambat,
diagnosa laboratorik (histopatologis) sulit ditegakkan.
3. Diagnosa
Peneguhan diagnosa dapat dilakukan secara FAT memakai
spesimen berupa ulas jaringan dari lesi yang dicurigai. Deteksi antigen dengan
cara ini mempunyai akurasi tinggi dan dapat dilakukan dalam waktu singkat.
Antiserum dari jenis hewan terserang yang di label dengan fl uorescein dapat
diperoleh secara komersial.
lsolasi bakteri pemicu dapat dilakukan dari potongan jaringan yang
dicurigai dan dipupuk pada agar darah dalam suasana anaerobik. jika
ditemukan koloni yang dicurigai, dilanjutkan dengan pemupukan dalam media
thioglycolate dan cooked meat medium. Sebagian dari potongan jaringan
dapat disuspensikan dalam broth untuk mengisolasi hewan percobaan
(marmot). Inokulasi dilakukan pada kaki belakang. jika terlihat adanya
infeksi atau marmot mati, dibuat preparat ulas dari hati atau otot untuk
pemeriksaan mikroskopis dan dipupuk pada media thioglycolate dan cooked
meat medium.
4. Diagnosa banding
Kematian mendadak pada black leg dapat dikelirukan dengan anthraks.
jika hewan kuda ikut terserang, maka penyakit tersebut bukan black
leg.
5. Pengambilan dan Pengiriman spesimen
Untuk pemeriksaan FAT diperlukan spesimen berupa preparat
sentuh dari bagian daging yang dicurigai. Isolasi bakteri dapat dilakukan
memakai potongan jaringan dari daerah yang dicurigai. Sebagian dari
potongan jaringan dapat pula disuspensikan untuk menginokulasi hewan
percobaan (marmot).
Tidak semua Iaboratorium siap melakukan pemeriksaan FAT untuk
penyakit ini. Oleh karena itu perlu dihubungi lebih dahulu. Spesimen untuk
isolasi bakteri dimasukkan ke dalam kontainer yang kuat, lalu dikirimkan
ke laboratorium yang mempunyai fasilitas pemeriksaan bakteria anaerobik.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pada masa lalu pengobatan dilakukan dengan pencicilin 4.000-
8.000 IU per kg berat badan dengan hasil baik. Namun demikian, jaringan
yang mengalami gangren pada hewan yang sembuh umumnya mengelupas.
Di negara maju, ternak dicurigai terserang radang paha umumnya dibunuh
dan dikubur.
2. Pencegahan, Pengendalian, dan Pemberantasan
Di daerah endemik, pencegahan dilakukan melalui vaksinasi ternak
pada umur 6 bulan. Umumnya satu kali vaksinasi sudah cukup melindungi
ternak untuk jangka waktu relatif lama. Vaksin yang tersedia umumnya
yaitu kombinasi dengan penyakit clostridial yang lain.
Pemberantasan black leg tidak lazim dilakukan di daerah endemik.
jika black leg timbul di tempat baru akibat pemasukan ternak dari daerah
tertular, maka penguburan bangkai ternak tersebut akan dapat memutuskan
mata rantai penularan penyakit.
BRUCELLOSIS
Sinonim : Bang’s disease, contagious abortion, brucellosis, bruselosis, penyakit
keluron menular, demam malta.
Brucellosis yaitu penyakit hewan menular yang secara primer menyerang
sapi, kambing, babi dan sekunder menyerang berbagai jenis hewan Iainnya
serta manusia. Pada sapi penyakit ini dikenal pula sebagai penyakit keluron
menular atau penyakit Bang. Sedangkan pada manusia memicu demam
yang bersifat undulans dan disebut “Demam Malta”. Bruce pada tahun 1887
mengisolasi jasad reniknya yang disebut Micrococcus melitensis dan lalu
disebut Brucella melitensis.
Kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh brucellosis sangat besar, walaupun
mortalitasnya kecil. Pada ternak kerugian dapat berupa keluron, anak hewan
yang dilahirkan lemah lalu mati, terjadinya gangguan alat-alat reproduksi
yang memicu kemajiran temporer atau permanen. Kerugian pada sapi
perah berupa turunnya produksi air susu. Menurut perhitungan Direktorat
Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, kerugian akibat penyakit ini ditaksir
mencapai lebih dari 5 milyar rupiah per tahun. Penyakit ini bersifat zoonosis dapat
menular dari hewan ke manusia, dan biasanya sulit diobati sehingga sampai saat
ini brucellosis yaitu zoonosis penting dan strategis.
etiologi
Bakteri brucella untuk pertama kali ditemukan oleh Bruce pada tahun 1887 pada
manusia dan dikenal sebagai Micrococcus melitensis. lalu Bang dan
Stribolt pada tahun 1897 mengisolasi jasad renik yang serupa dari sapi yang
menderita keluron menular. Jasad renik tersebut diberi nama Bacillus abortus
bovis. Penemuan selanjutnya menunjukkan bahwa kedua jasad renik tersebut
termasuk dalam genus Brucella.
Bakteri brucella bersifat Gram negatif, berbentuk batang halus, mempunyai
ukuran panjang 0,5-2,0 mikron dan lebar 0,4-0,8 mikron, tidak bergerak, tidak
berspora dan bersifat aerob. Brucella yaitu bakteri intraseluler, dan dapat
diwarnai dengan metode Stamp atau Koster.
Pada saat ini genus Brucella diketahui mempunyai 6 species yaitu Brucella
melitensis, B.abortus, B.suis, B.neotomae, B.ovis dan B.cans. Brucellosis yang
memicu masalah pada ternak terutama dipicu oleh 3 species yaitu
B.melitensis yang menyerang kambing, B.abortus yang menyerang sapi dan
B.suis yang menyerang babi dan sapi.
Brucella memiliki 2 macam antigen, antigen M dan antigen A. Brucella melitensis
memiliki lebih banyak antigen M dibandingkan antigen A sedangkan B.abortus
dan B.suis sebaliknya. Brucella mempunyai antigen bersama (“Common
antigen”) dengan beberapa bakteri lainnya seperti Campylobacter fetus dan
Yersinia enterocolobacter. Daya pengebalan akibat infeksi Brucella yaitu
rendah, karena antibodi tidak terlalu berperan.
Penyakit ini dapat menular dari hewan ke manusia dan sulit diobati, sehingga
brucellosis yaitu zoonosis yang penting.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Sapi dan anjing dapat terinfeksi oleh B.abortus dan menunjukkan
gejala keluron menular, kambing, kuda dan babi juga pernah diisolasi
B.abortus.
Brucellosis pada babi terutama dipicu oleh B.suis. Bakteri
ini juga menyerang anjing, dan kelinci hutan (wild hares) dan kelinci hutan
diduga yaitu ”carrier” bagi brucellosis babi yang bersifat enzootik di
Denmark. Inang utama B.melitensis yaitu kambing dan domba meskipun
pernah dilaporkan adanya infeksi pada anjing, sapi dan kelinci hutan.
2. Pengaruh Lingkungan
B.abortus dapat disebarkan melalui konsumsi produk peternakan yang
terkontaminasi seperti susu, selain itu juga melalui feses yang terkontaminasi,
atau melalui kontak langsung terutama dengan ternak sakit yang sedang
melahirkan, perkawinan alami dengan hewan yang terinfeksi.
Sapi terinfeksi dengan mudah dapat menularkan saat sapi melahirkan,
karena banyaknya bakteri yang dikeluarkan. Kondisi yang memungkinkan
kontak antar hewan dan atau kondisi sesudah melahirkan akan menaikkan
kecepatan penularan antar hewan. Jumlah kelompok ternak yang besar,
tingkat jual beli dan lalu lintas tinggi serta pola pengembalaan yaitu faktor
risiko yang berhubungan dengan infeksi yang tinggi.
3. Sifat Penyakit
Penyakit ini bersifat enzootik pada daerah tertentu, hal ini penting,
karena yaitu sumber penularan untuk manusia (zoonosis).
4. Cara Penularan
Penularan pada hewan terjadi melalui saluran pencernaan, saluran
kelamin, dan mukosa atau kulit yang luka. Pada sapi dan kambing, penularan
melalui perkawinan sering terjadi, sehingga pemacek yang yaitu
reaktor harus dikeluarkan. Di Denmark pernah terjadi kerugian besar akibat
penggunaan semen yang dicemari Brucella untuk Inseminasi Buatan.
Penularan melalui saluran kelamin juga banyak terjadi pada babi dan anjing.
Selain itu penularan dapat juga terjadi secara mekanis melalui insekta.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi penularan penyakit biasanya karena sanitasi
yang kurang baik, dan hewan berdesak-desakan sehingga memudahkan
terjadinya penularan dari hewan yang telah terinfeksi. Brucellosis yaitu
penyakit berisiko sangat tinggi, oleh karena itu alat-alat yang telah tercemar
bakteri brucella sebaiknya didesinfeksi agar tidak menjadi sumber penularan
ke hewan atau manusia.
6. Distribusi Penyakit
Penemuan pertama kali adanya brucellosis di negara kita tidak
diketahui dengan pasti. Menurut Donker-Voet, pada tahun menjelang perang
Dunia II, tingkat prevalensi penyakit ini berdasar uji serologis di Lembaga
Penelitian Penyakit Hewan (LPPH)/ Balai Besar Penelitian Veteriner
(Bbalitvet) yaitu sekitar 5%. Daerah penyebarannya terutama di Pulau
Jawa pada sapi perah.
berdasar survei serologis pada manusia yang dilakukan oleh
Dinas Zoonosis, Departemen Kesehatan pada tahun 1975 ada ditemukan
kasus brucellosis pada manusia yaitu pada pekerja rumah potong hewan di
Denpasar.
Pada tahun 2011 dilaporkan bahwa brucellosis menyerang
peternakan sapi perah di Baturaden, dan juga menyerang sapi di beberapa
kota di pulau Jawa.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Pada sapi gejala klinis yang utama ialah keluron menular yang
dapat diikuti dengan kemajiran temporer atau permanen dan menurunnya
produksi susu. Keluron yang dipicu oleh brucella biasanya akan terjadi
pada umur kebuntingan antara 5 sampai 8 bulan (trimester ketiga).
Sapi dapat mengalami keluron satu, dua atau tiga kali, lalu
memberikan kelahiran normal, sapi terlihat sehat walaupun mengeluarkan
cairan vaginal yang bersifat infeksius. Cairan janin yang keluar waktu
terjadinya keluron berwarna keruh dan dapat yaitu sumber penularan
penyakit.
Gambar 1. Pedet abortus dan abnormalitas plasenta pada brucellosis
(Sumber : Ida Tjahajati & Husniyati, Berbagai Penyakit pada Sapi, dok.
Prabowo. 2012 dan http://keswankesmavtsulut.blogspot.com)
Pada kelenjar susu tidak menunjukkan gejala klinis meskipun di
dalam susunya didapatkan bakteri brucella. Hewan jantan memperlihatkan
gejala epididimitis dan orchitis. Gejala ini terutama terlihat pada babi yang
dapat memicu kemajiran. Selain gejala-gejala di atas sering pula
ditemukan kebengkakan pada persendian lutut (karpal dan tarsal). Masa
inkubasi penyakit ini belum diketahui dengan pasti. Pada sapi berkisar antara
2 minggu - 8 bulan atau lebih lama.
2. Patologi
Perubahan yang terlihat yaitu penebalan pada placsenta dengan
bercak- bercak merah pada permukaan lapisan chorion. Cairan janin terlihat
keruh berwarna kuning kecokelatan dan kadang-kadang bercampur nanah.
Ada kalanya pedet mati dengan perkembangan yang tidak normal. Pada
hewan jantan ditemukan nanah pada testikelnya yang dapat diikuti dengan
nekrosa.
3. Diagnosa
Diagnosa brucellosis pada hewan didasarkan pada isolasi dan
identifi kasi bakteri brucella, uji serologis, dan gejala klinis. Dugaan adanya
brucellosis timbul jika ditemukan terjadinya keluron dalam kelompok
ternak yang diikuti menghilangnya penyakit itu. Keluron biasanya ditemukan
pada trimester terakhir atau umur pedet 6 bulan atau lebih.
Pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan secara langsung
dengan pewarnaan Stamp atau Koster terhadap bahan tersangka.
Untuk pemeriksaan serologis dapat dipakai serum, darah,
cairan vagina, susu atau semen. Reaksi serologis ini belum sempurna karena
terdapatnya reaksi non spesifi k dan adanya aglutinin di dalam darah akibat
vaksinasi dengan strain 19 atau adanya infeksi laten.
Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan uji aglutinasi cepat
(slide/plate agglutination test) dan uji aglutinasi tabung (tube agglutination
test). Uji aglutinasi cepat memakai antigen berwarna Rose Bengal atau
Gentian violet dan Briliant green. Untuk peneguhan diagnosa perlu dilakukan
uji reaksi pengikatan komplemen (Complement Fixation Test).
Milk Ring Test (MRT) yang yaitu modifi kasi reaksi aglutinasi
dilakukan pada sapi perah. Selain uji-uji tersebut dapat juga dilakukan uji
Coob’s dan FAT (Fluorescence Antibody Technique).
ELISA yaitu salah satu cara untuk mendeteksi brucellosis
pada sapi, dan lebih praktis serta sensitif untuk dipakai sebagai uji
diagnostik. Saat ini telah berkembang uji diagnostik Brucellosis dengan
metoda teknologi Biomolecular, yaitu Polimerase Chain Reaction (PCR)
terutama di daerah dimana ada program vaksinasi dengan strain 19. Kit
diagnostik brucellosis yang lebih praktis penggunaannya di lapangan dan
tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama dengan sampel darah atau
serum juga telah dikembangkan.
4. Diagnosa Banding
Oleh karena bentuk bakterinya yang halus, maka Brucella dapat
kelirukan dengan Campylobacter fetus, Bordetella bronchoseptica dan
Yersinia enterolitica. Bakteri-bakteri tesebut bersifat Gram negatif seperti
bakteri Brucella, C.fetus mempunyai bentuk koma, B.bronchiseptica bentuk
batang dan Y.enterolitica bentuk kokoid.
Pada sapi keluron yang dipicu oleh infeksi bakteri dapat
dikelirukan dengan C.fetus atau Trichomonas fetus. Keluron yang dipicu
C.fetus dapat terjadi setiap waktu, T.fetus terjadi pada kebuntingan sangat
dini, sedang oleh Brucella terjadi pada Iebih dari 6 bulan kebuntingan.
Penyakit ini pada babi dapat dikelirukan dengan keluron yang
dipicu oleh Leptospira pomonai. Keduanya dapat dibedakan secara
serologis, selain itu, L.pomona tidak memicu orchitis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Semua spesimen ditempatkan ke dalam wadah yang berisi bahan
pendingin atau bila memungkinkan dibekukan dan segera dikirim ke
laboratorium veteriner setempat. Bila keadaan tersebut tidak memungkinkan
maka spesimen dapat dimasukkan ke dalam suatu wadah yang berisi larutan
pengawet (phosphat buffer gliserin, larutan gliserin, garam faali 50%). Wadah
tersebut harus tidak mudah pecah atau bocor.
Pada setiap spesimen yang dikirimkan dalam surat pengantarnya
harus disertai keterangan tentang status vaksinasi (kapan divaksinasi/ tidak
divaksinasi/ tidak diketahui). Bahan yang diambil untuk pemeriksaan dapat
berupa:
a. Sampel Susu: contoh susu harus diambil dari semua kwartir, karena
tidak semua kwartir mengandung Brucella. Untuk masing-masing
kwartir diambil 20 ml contoh susu. Sebelum pengambilan spesimen,
seluruh ambing harus dicuci dengan bersih dan dikeringkan terlebih
dahulu. Ujung puting susu lalu disuci hamakan dengan alkohol
memakai kapas bertangkai (cotton swab) dan dibiarkan kering.
Puting yang terletak jauh dari operator disuci hamakan terlebih dahulu.
Pengambilan contoh dilakukan pada puting yang paling dekat pengan
operator.
Pancaran susu pertama dan kedua harus dibuang, baru lalu
pancaran berikutnya ditampung di dalam tabung atau botol plastik yang
steril. Susu dikirimkan ke laboratorium dalam keadaan dingin.
b. Sampel vagina: Pengambilan contoh sampel dari vagina dilakukan 6
minggu sesudah kelahiran atau keluron. Untuk pengambilan sampel dari
vagina domba atau kambing dipakai kapas bertangkai (cotton swab).
Kapas bertangkai tersebut dimasukkan kedalam tabung steril Perlu
diusahakan agar bagian kapasnya dapat mengambil lapisan mukosa
vagina.
c. Darah untuk kultur: jika mengambil darah dari hewan yang masih
hidup perlu diperhatikan agar tidak terjadi pencemaran. Darah biasanya
diambil dari vena jugularis dan daerah itu harus dicukur bersih dan
hilangkan lemak -lemak yang ada dengan cara menggosok dengan
kapas yang dicelup didalam ether atau alkohol. lalu tempat itu
disuci hamakan dengan larutan jodium tinctur. Dibiarkan beberapa
menit sampai kering, lalu sebanyak 10 ml darah diambil dari vena
jugularis dengan ”vacutainer” atau spuit biasa. Darah dicampur dengan
antikoagulan dan harus segera dipindahkan ke dalam media biakan.
d. Darah untuk pemeriksaan serologis: Untuk pemeriksaan serologis dapat
diambil darah sebanyak 10 ml dengan perlakuan yang sama seperti
poin c, dan dibiarkan membeku. Untuk mencegah pembusukan dapat
ditambah larutan merthiolate 0,01 %.
e. Plasenta: Pada keluron yang dipicu oleh brucellosis banyak
ditemukan bakteri pada plasenta. Diusahakan untuk mengambil kotiledon
yang terlihat mengalami perubahan yang sangat signifi kan. Bahan ini
dapat dibuat preparat ulas atau sentuh yang harus difi ksasi dengan
metanol.
f. Fetus abortus: Sampel fetus abortus yang paling baik untuk pemeriksaan
antara lain isi lambung, paru, limpa dan mikonium (feses yang pertama
keluar pada pedet). Isi lambung dapat diambil dengan pipet pasteur steril
melalui permukaan dinding lambung lalu ditempatkan ke dalam
wadah steril atau ke media transport langsung dikirim ke laboratorium
veteriner.
Sampel untuk masing-masing spesies hewan
a. Sapi: LgI. supramamaria, retropharyngealis, iliaca interna, dan lumbal,
limpa, tenunan dari tiap kwarter ambing dan sepotong uterus.
b. Domba dan kambing :
Lgl. supramamaria, submaxilaris atau retropharyngealis, dan iliaca
interna, potongan dari uterus, ambing dari tiap-tiap sisi, potongan limpa.
c. Babi: Lgl mandibularis, gastrohepatica, iliaca interna, dan
suprapharyngealis. Untuk mengambil limfoglandula atau bagian dari
organ, tenunan sekitar ambing disterilkan. lalu sampel dikirim ke
laboratorium veteriner.
pengobatan :
1. Pengobatan
Belum ada pengobatan yang efektif terhadap brucellosis.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Pelaporan kejadian penyakit atau hasil pengujian brucellosis harus
dilakukan sesuai dengan pedoman Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan.
b. Pencegahan
Usaha-usaha pencegahan terutama ditujukan kepada tindakan
sanitasi dan tata laksana :
(1) Faktor sanitasi yaitu unsur penting dalam program pencegahan
brucellosis.
Tindakan sanitasi dilakukan sebagi berikut :
a) Sisa-sisa abortus yang bersifat infeksius disuci hamakan dengan
membakar fetus dan plasenta dan vagina yang mengeluarkan
cairan harus diirigasi (disinfektan/antibiotik) selama 1 minggu,
disinfektan yang dapat dipakai yaitu phenol, kresol, amonium
kuaterner, biocid dan lisol.
b) Hindarkan perkawinan antara pejantan dengan betina yang
mengalami keluron. jika pejantan mengawini betina tersebut,
maka penis dan preputium disucihamakan, anak yang lahir dari
induk penderita brucellosis sebaiknya diberi susu dari ernak
lain yang sehat. Kandang ternak penderita dan peralatannya
harus dicucihamakan serta ternak pengganti jangan segera
dimasukkan.
(2) Ternak pengganti yang tidak punya sertifi kat "bebas brucellosis”
dapat dimasukkan jika sesudah dua kali uji serologis dengan
waktu 30 hari memberikan hasil negatif.
Ternak pengganti yang mempunyai ”sertifi kat bebas brucellosis”
dilakukan uji serologis dalam selang waktu 60 sampai 120 hari
sesudah dimasukkan ke dalam kelompok ternak.
Pengawasan Ialu lintas ternak
Pengawasan Ialu lintas ternak harus dilakukan untuk mencegah
penyebaran penyakit ke daerah lain yang lebih luas.
c. Pengendalian dan pemberantasan
Untuk melaksanakan pengendalian dan pemberantasan brucellosis
tindakan administrasi yang dijalankan oleh Dinas yang membidangi
fungsi peternakan dan kesehatan hewan yaitu :
(1) Mengadakan klasifi kasi kelompok ternak
(2) Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemberantasan brucellosis
(3) Pemberian sertifi kat bebas brucellosis
(4) Pemberian tanda pengenal bagi ternak yang divaksinasi dan
reaktor
Klasifi kasi kelompok ternak yaitu sebagai berikut:
(1) Kelompok ternak bebas brucellosis
Kelompok ternak bebas brucellosis memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
1. Berada di bawah pengawasan otoritas veteriner/dokter hewan
berwenang
2. Bebas reaktor
3. Di dalam kelompok ternak tersebut tidak ada gejala
brucellosis selama 6 bulan
4. jika ada pemasukan hewan baru, harus melalui 2 kali uji
serologi dalam selang waktu 30 hari dan memberikan hasil
negatif.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
Kelompok ternak tertular ringan yaitu jika di dalam kelompok
ternak ini didapatkan reaktor sebesar paling tinggi 5% dan berada di
bawah pengawasan otoritas veteriner/dokter hewan berwenang.
(3) Kelompok ternak tertular parah
Kelompok ternak tertular parah yaitu jika di dalam kelompok
hewan ternak ini didapatkan reaktor di atas 5% dan berada dibawah
pengawasan otoritas veteriner/dokter hewan berwenang.
Kelompok ternak dapat dikatakan bebas reaktor jika telah
dilakukan pengujian sebagai berikut:
a) Sapi perah
1) Dilakukan tiga kali Milk Ring Test (MRT) dengan selang waktu 4
bulan dan memberikan hasil negatif.
2) Dalam waktu 6 bulan sesudah MRT terakhir dilakukan uji serologis
dan memberikan hasil negatif.
b) Sapi potong
Dilakukan uji serologis dua kali dengan selang waktu 30 hari dan
memberikan hasil negatif.
c) Babi
Dilakukan dua kali uji serologis dalam selang waktu 30-90 hari
yang berlaku pada seluruh kelompok ternak, termasuk juga hewan-
hewan berumur 6 bulan atau lebih yang tidak boleh memberikan titer
aglunitasi 1 : 1000 atau lebih.
Dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit keluron menular
diadakan tindakan sebagai berikut:
(1) Standarisasi diagnosa brucellosis baik metoda, reagen maupun cara
diagnostiknya.
(2) Penentuan daerah-daerah tertular dan bebas brucellosis.
(3) Penentuan kelompok hewan bebas atau tertular brucellosis.
(4) Penentuan kebijakan penggunaan vaksin brucellosis.
(5) Pemberian sertifi kat untuk kelompok ternak yang bebas brucellosis.
(6) Pembebasan daerah sumber bibit dan daerah kelompok ternak yang
bebas brucellosis.
Teknis pengendalian dan pemberantasan dilaksanakan sebagai
berikut:
Teknis pengendalian pada sapi dan babi dapat dilakukan dengan
pembagian dalam kelompok berdasar berat ringannya penyakit. Sapi
dan babi masing-masing dapat dikelompokkan sebagai berikut.
Sapi
(1) Kelompok ternak tertular parah
a) “Test and slaughter” tidak dianjurkan untuk kelompok ini.
b) Dilakukan program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu.
Vaksinasi hanya dilakukan pada sapi dara. Hewan betina bunting
dan hewan jantan tidak divaksinasi.
c) Pada akhir program vaksinasi dilakukan uji serologis. Bila ternyata
masih ada reaktor, maka reaktor itu harus dikeluarkan dan
dipotong.
(2) Kelompok ternak tertular ringan
a) Dilakukan uji serologis untuk penentuan reaktor.
b) Reaktor harus dikeluarkan dan dipotong (test and slaughter)
c) Pengeluaran reaktor diikuti oleh program vaksinasi pada sapi
dara. Hewan betina bunting dan hewan jantan tidak divaksinasi.
(3) Kelompok ternak bebas brucellosis
a) Dilakukan uji serologis setiap tahun.
b) Bila ternyata hasilnya negatif, tidak dilakukan vaksinasi.
c) Bila ditemukan reaktor, maka reaktor ini harus dikeluarkan dan
diikuti oleh program vaksinasi dalam kurun waktu tertentu.
Babi
(1) Kelompok ternak tertular ringan
a) Pada ternak tertular Dilakukan ”test and slaughter”.
b) Penggantian ternak bibit hanya terbatas pada babi dara pemacek
dan dilakukan uji serologis selama 30 hari memberikan hasil
negatif.
c) Hanya anak-anak babi yang berasal dari induk bebas brucellosis
yang dapat dipakai sebagai ternak bibit.
(2) Kelompok ternak tertular parah
a) Untuk kelompok ternak dilakukan ”test and slaughter”.
b) Ternak pengganti yang dimasukkan harus berasal dari kelompok
ternak bebas brucellosis.
c) Vaksinasi tidak dilakukan karena sampai saat ini belum ada
vaksin yang dapat melindungi babi terhadap brucellosis.
Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Dari uji penyebaran penyakit dan terutama untuk aspek kesehatan
masyarakat, maka hewan-hewan yang telah ditentukan sebagai
reaktor dalam program test and slaughter harus dipotong. Pemotongan
tersebut harus memperhatikan faktor yang memungkinkan tercemarnya
lingkungan harus dicegah, untuk daerah enzootik dilakukan pada tempat
tertentu. Tempat pemotongan hewan harus segera dibersihkan dan
disucihamakan.
Pada pemotongan hewan penderita atau tersangka perlu diperhatikan
adanya cairan eksudat dan sarang nekrosa pada organ visceralnya.
Dalam keadaan demikian seluruh organ visceral, limfl ogandula dan
tulang harus dimusnahkan dan dagingnya boleh dijual sesudah mengalami
pelayuan.
CLOSTRIDIUM NOVYI
Clostridium novyi disebut juga Bacillus edematis maligni II atau Clos