Rabu, 12 Juli 2023
Home »
penyakit hewan mamalia 1
» penyakit hewan mamalia 1
penyakit hewan mamalia 1
Juli 12, 2023
penyakit hewan mamalia 1
Akabane yaitu penyakit menular non contagious yang dipicu oleh virus dan
ditandai dengan adanya Arthrogryposis (AG) disertai atau tanpa Hydraencephaly
(HE). Hewan yang peka yaitu sapi, domba dan kambing.
Kerugian yang diakibatkan oleh penyakit Akabane ialah keguguran, mumifi kasi
fetus dan kelahiran cacat.
etiologi
Penyakit Akabane dipicu oleh virus yang diklasifi kasikan pada RNA virus
yang termasuk sub grup Simbu dan famili Bunyaviridac.
Virus Akabane berbentuk bulat dan mempunyai ukuran antara 70-130 nm. Virus
ini dapat mengaglutinasi sel darah merah angsa, itik dan burung dara.
Gambar 1. Struktur virus Akabane.
(Sumber : http://www.ndr.de/regional/mecklenburg-vorpommern/
schmallenbergvirus113_v-contentgross.jpg)
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus Akabane mempunyai sifat antara lain mempunyai amplop, sensitif
terhadap ether dan labil dengan pengaruh asam dan trypsin.
2. Spesies rentan
Sapi, domba dan kambing yaitu spesies rentan terhadap penyakit
Akabane. Di daerah yang sebagian besar ternaknya sudah terinfeksi virus
Akabane pada masa mudanya, jarang sekali atau hampir tidak ada laporan
tentang adanya gejala AG dan HE. Sapi, domba dan kambing bunting yang
dimasukkan dari daerah bebas ke daerah terinfeksi yaitu hewan yang
paling rentan dan sebagai akibatnya yaitu dapat terjadi abortus, mumifi kasi,
fetus lahir mati, dan fetus dengan gejala AG dan HE.
3. Sifat Penyakit
Kejadian penyakit biasanya bersifat sporadik akan tetapi kondisi ini
dapat berubah menjadi kejadian penyakit yang bersifat epidemik.
4. Cara Penularan
Penularan penyakit Akabane yaitu melaui gigitan vektor Culicoides sp.
Di Australia C. brevitursis yaitu vektor yang utama.
5. Kejadian di negara kita
Secara serologik ditemukan zat kebal terhadap Akabane pada sapi -
sapi di negara kita .
Penyakil Akabane dicurigai di Jawa Tengah pada sapi perah impor dari
Australia yang melahirkan pedet dengan gejala AG, mumifi kasi fetus, abortus
dan HE yaitu pada tahun 1981.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Penyakit Akabane ditandai dengan adanya cacat tubuh pada keturunan
yang dilahirkan dan hewan yang terinfeksi. Cacat tubuh dapat berupa
arthrogryposis yaitu pembengkakan persendian yang bersifat primer pada
kaki dan kondisi ini biasanya terjadi bilateral; skoliasis yaitu pembengkokan
tulang punggung, otot gerak mengalami atropi sehingga pedet yang dilahirkan
tidak dapat berdiri.
jika yang terserang susunan syaraf pusat maka akan terlihat adanya
hydroencephaly.
Pada induk sapi yang sedang bunting dapat terjadi keguguran, kelahiran
dini, lahir mati atau mumifi kasi fetus.
Anak sapi yang lahir dengan gejala AG atau HE dapat hidup sampai
beberapa bulan dengan gejala gangguan koordinasi (ataksia), kebutaan,
disfagia atau gangguan regurgitasi.
Gambar 2. Anak sapi dengan gejala AG.
(Sumber : The Center for Food Security & Public Heath. Iowa State
University; http://www.maccvets.co.uk/images/home_images/akabane1.jpg)
2. Patologi
Perubahan pada pedet yang dilahirkan terlihat adanya AG, otot gerak
tampak pucat dan mengalami edema, adanya skoliasis, serta HE yang
kadang-kadang ditemukan adanya rongga pada pons, medulla, dan cervical
spinal cord.
3. Diagnosa
Sapi bunting yang diduga terinfeksi virus Akabane akan mengalami
abortus atau lahir mati dan ditemukan adanya AG atau HE yang bersifat
kongenital serta terjadi secara sporadik atau endemik. Dapat pula dilakukan
Hemaglutination Inhibitation Test dan Netralization Test. Antibodi dapat
dideteksi pada fetus atau pada serum pedet sebelum diberi kolostrum.
Isolasi dan identifi kasi dapat dilakukan dengan inokulasi otak fetus pada
anak tikus putih atau pada biakan jaringan yaitu BHK-21 atau HM Lu-1 sel.
4. Diagnosa Banding
Harus dibedakan dengan kejadiaan abortus, lahir dini atau lahir mati
yang dipicu oleh infeksi virus IBR. Kejadian abortus dan cerebellar
hypoplasia yang dipicu oleh infeksi virus BVD-MD.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen yang tepat yaitu berupa serum asal fetus karena keguguran
pedet lahir dini atau pedet dengan gejala AG dan HE. Specimen diambil
secara aseptik dan pre-kolostrum.
Paired sera induk sapi diambil pada waktu hewan sedang sakit dan
pada tahap konvalesen dengan internal 2-3 minggu.
Untuk isolasi virus dapat diambil spesimen berupa otak, limpa, darah,
cairan cerebro spinalis dari fetus. Keseluruhan spesimen tersebut di atas
harus dikirim segera dalam keadaan segar dingin ke laboratorium veteriner
terdekat.
pengobatan :
a. Pengobatan
Belum ada pengobatan untuk abortus, lahir mati atau kelahiran
anomali.
b. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Vaksinasi perlu dipertimbangkan bila banyak hewan yang terserang
atau memicu kerugian yang besar. Di Jepang pembuatan vaksin aktif
dan inaktif secara komersial sudah diproduksi.
Pengendalian vektor pemicu penyakit yaitu dengan spraying mungkin
dapat mencegah penyakit Akabane meluas.
Untuk penolakan penyakit, maka dapat dilakukan penolakan pemasukan
sapi bunting dari negara tidak bebas penyakit Akabane. Bila terpaksa harus
melakukan pemasukan hewan dari negara bebas ke negeri terserang
hanya untuk hewan -hewan muda saja, karena hewan muda ini diharapkan
mendapat kekebalan melalui indonesia
BOVlNE EPHEMERAL FEVER (BEF)
Sinonim : Ephemeral Fever, Bovine Epizootic Fever, Three-day Sickeness,
Penyakit Demam Tiga Hari, Stiff Zsickness, Penyakit Kaku
Bovine Ephemeral Fever (BEF) yaitu suatu penyakit viral pada sapi yang
ditularkan oleh serangga (arthropod borne viral disease), bersifat benign non
contagius, yang ditandai dengan demam mendadak dan kaku pada persendian.
Penyakit dapat sembuh kembali beberapa hari kemudian.
Dari segi mortalitas penyakit ini tidak memiliki arti penting, tetapi dari segi produksi
dan tenaga kerja cukup berarti karena hewan yang sedang laktasi akan turun
produksi susunya dan pada hewan pekerja menurunkan kemampuan bekerja
sekitar 3 5 hari.
etiologi
Penyebab BEF yaitu virus Double Stranded Ribonucleic Acid (ds-RNA),
memiliki amplop, berbentuk peluru dengan ukuran 80 x 120 x 140 nm yang
mempunyai tonjolan pada amplopnya. Virus BEF diklasifi kasikan sebagai
Rhabdovirus dari famili Rhabdoviridae, dan masih satu kelompok dengan virus
rabies dan vesicular stomatitis. Strain (galur) yang ada memiliki kesamaan
secara antigenik, tetapi berbeda dalam hal virulensi.
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus BEF peka terhadap pelarut lemak, seperti ethyl ether 20%,
kloroform 5% dan deoxycolate 0,1%. Virus juga dapat diinaktifkan dengan
penambahan defco trypsin 1:250 pada konsentrasi 1 % dan 0,5%. Virus BEF
tahan selama 8 hari jika berada dalam darah bersitrat yang disimpan dalam
suhu 2 - 4° C. Dalam suspensi otak mencit terinfeksi di dalam PBS yang
mengandung serum sapi 10% menunjukkan sedikit penurunan titer sesudah
disimpan selama 30 hari pada 4°C. Pada suhu -70° C atau beku kering pada
4°C dapat bertahan dalam beberapa tahun.
Virus BEF akan kehilangan infektivitas pada pH rendah (2,5) atau pH
tinggi (12) dalam waktu 10 menit. Virus menjadi inaktif pada suhu 56° C
selama 10 menit; suhu 30° C selama 18 jam dan suhu 25° C selama 120
jam . Virus BEF dapat ditumbuhkan pada otak anak mencit atau hamster
yang masih menyusu, telur ayam berembrio dan kultur sel. Setelah pasase
6-9 kali secara intraserebral pada anak mencit yang masih menyusu, virus
memicu paralisa dan kematian dalam 2-4 hari pasca inokulasi. Virus
juga dapat tumbuh pada kultur sel BHK-21 (baby hamster kidney) dan ginjal
kera. Cytopathogenic efect (CPE) timbul 48-72 jam pasca inokulasi.
2. Spesies Rentan
Virus BEF hanya menginfeksi sapi, tetapi pernah dilaporkan pada
kerbau. Sapi muda dan sapi dewasa dapat terserang penyakit ini. Sapi yang
sembuh dari penyakit BEF dapat kebal selama 2 tahun.
3. Pengaruh Lingkungan
Pada musim penghujan banyak ditemukan kasus BEF. Penyebaran secara
epizootik dipengaruhi oleh vektor dan angin. Angin yang bersifat lembab dan
basah dapat memindahkan serangga sejauh 100 km atau lebih.
4. Sifat Penyakit
Penyakit BEF bersifat sporadik. Masa inkubasi penyakit berkisar antara
2-10 hari dan kebanyakan penderita menunjukkan gejala dalam waktu 2-
4 hari. Angka morbiditas biasanya tinggi, tetapi angka mortalitas rendah
(2-5%). Gejala klinis bervariasi dan bahkan tidak semua sapi atau kerbau
yang terinfeksi menunjukkan tanda klinik. Di daerah endemik BEF dapat
menginfeksi sapi-sapi muda sesudah antibodi maternal habis atau hilang,
yaitu pada umur 3 - 6 bulan. Di daerah non endemik sapi semua umur sangat
rentan terhadap BEF.
5. Cara Penularan.
Nyamuk dari golongan Culicoides sp., Aedes sp. dan Culex sp. dapat
bertindak sebagai vektor penyakit. Kejadian penyakit biasanya pada musim
hujan, di mana banyak ditemukan serangga. Penyakit dipindahkan dari sapi
sakit ke sapi sehat melalui gigitan serangga. Penularan secara langsung
belum pernah dilaporkan. Secara buatan penyakit dapat ditularkan dengan
menyuntikkan 0,002 ml darah sapi sakit yang sedang menunjukkan gejala
demam, secara intravena.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit BEF pertama kali ditemukan tahun 1867 pada sapi di Afrika
Tengah. Selain di Afrika, penyakit ini juga ditemukan di Asia dan Australia.
Penyakit dilaporkan di Australia tahun 1936. Pada tahun 1920 di Sumatera
pernah dilaporkan kejadian penyakit ini. Pada tahun 1979 penyakit yang
sama muncul kembali di Kabupaten Tuban. Penyakit BEF dapat ditemukan
di daerah tropis maupun subtropis. Penyakit bersifat sporadis di beberapa
daerah di negara kita , seperti Nusa Tenggara, Jawa dan Kalimantan.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala awal yang muncul yaitu demam tinggi secara mendadak (40,5 –
41°C), nafsu makan hilang, peningkatan pernafasan dan kesulitan bernafas
(dyspneu), diikuti dengan keluarnya Ieleran hidung dan mata (lakrimasi) yang
bersifat serous. Jalan kaku dan pincang karena rasa sakit yang sangat,
lalu dapat terjadi kelumpuhan dan kesakitan pada kaki, otot gemetar
serta lemah. Kekakuan mulai dari satu kaki ke kaki yang lain, sehingga
hewan tidak dapat berdiri selama 3 hari atau lebih. Leher dan punggung
mengalami pembengkakan. Produksi susu menurun dengan tajam. Kadang-
kadang pada tahap akhir kebuntingan diikuti adanya keguguran. Gambaran
darah dalam tahap demam menunjukkan adanya kenaikan jumlah neutrofi l
dan penurunan limfosit. Biasanya dijumpai lekositosis pada awal penyakit,
lalu diikuti dengan lekopenia.
2. Patologi
Pada persendian sapi yang diserang BEF banyak ditemukan penimbunan
cairan keruh kekuningan yang segera membeku jika kapsul persendian
dibuka. Jumlah cairan yang berlebih dalam rongga badan dan kantong
perikard, bendungan selaput lendir abomasum, nekrosis fokal pada otot
kerangka dan kulit. Seringkali ditemukan pembengkakan limfoglandula,
emfi sema pulmonum dan bronkhitis.
3. Diagnosa
Diagnosa penyakit dapat didasarkan atas gejala klinis, isolasi dan identifi kasi
virus. Secara serologi antibodi dapat dideteksi dengan CFT (complemnt
fi xation test), serum neutralization test (SNT), Agar Gel Precipitation Test
(AGPT) dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) yang diambil
pada saat kondisi akut dan konvalesen. Secara molekuler virus BEF dapat
didiagnosa dengan Polymerase Chain Reaction (PCR), dot blot hybridization
dan sequencing.
4. Diagnosa Banding
Seringkali BEF dikelirukan dengan infeksi Septicaemia Epizootica (SE),
Surra, Infectious Bovine Rhinotracjheitis (IBR), virus Parainfl uenza-3, virus
respiratory syncytial dan bovine adenovirus.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Untuk isolasi virus dengan cara inokulasi pada otak mencit, spesimen yang
diambil berupa darah dengan antikoagulan Ethylene Di-amine Tetra Acetic
acid (EDTA). Sementara itu untuk uji serologi, diperlukan sepasang serum
yang diambil pada tahap akut dan konvalesen dengan jarak pengambilan 2 - 3
minggu. Hewan yang sembuh dari sakit biasanya menghasilkan titer antibodi
yang tinggi dan dapat dideteksi dengan AGPT, SNT dan ELISA.
6. Pengobatan
Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit BEF.
Pemberian antibiotika berspektrum luas dianjurkan untuk mencegah infeksi
sekunder dan multi vitamin untuk mengatasi adanya stress.
pengobatan :
Pencegahan terhadap BEF dilakukan dengan pemberian vaksin hidup yang
dilemahkan dan vaksin inaktif. Pengendalian dan pemberantasan harus
diperhatikan peranan serangga pengisap darah yang diduga memegang peranan
dalam penyebaran penyakit dan pemakaian insektisida untuk membunuh
serangga di sekitar daerah terjangkit dan mengisolasi hewan sakit.
DIARE GANAS PADA SAPI
Sinonim : Bovine Viral Diarrhea-Mucosal Disease (BVD-MD), Bovine Virus
Diarrhea
Diare ganas pada sapi yaitu penyakit viral yang infeksius pada sapi, ditandai
stomatitis erosif akut, gastroenteritis dan diare. Laju infeksi penyakit ini pada
kebanyakan populasi sapi sangat tinggi, tetapi kejadian klinisnya rendah. Virus
ini bersifat teratogenik dan imunosupresif yang banyak didapat pada bentuk
penyakit kronis. Penyakit ini terdiri dari dua bentuk penyakit, yakni bovine virus
diarrhea (BVD) dan mucosal disease (MD), yang secara klinis berbeda, tetapi
penyebabnya sama.
etiologi
Virus Diare Ganas (DG) yaitu virus RNA, termasuk anggota genus
Pestivirus, famili Flaviviridae. Virus DGS BVD memiliki hubungan antigenik yang
mirip dengan virus pemicu Sampar Babi (Hog Cholera). Semua strain virus
DGS BVD menunjukkan reaksi silang. Partikel virus berbentuk bulat, mempunyai
tiga macam ukuran. Pertama berukuran 80 -100 nm, pleomorf, yaitu
virion matang yang mempunyai selaput. Kedua berukuran 30 - 50 nm, dan ketiga
partikel kecil dengan ukuran 15-20 nm yang dianggap mengandung antigen larut.
Diduga virion besar itu pecah dan menjadi sejumlah partikel-partikel kecil yang
masing -masing masih tetap infeksius.
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus DGS BVD peka terhadap RNAse dan dapat diektraksi dengan fenol
dari virionnya. Partikel virus yang matang peka terhadap ether, kloroform dan
pelarut lemak lainnya. Virus juga peka terhadap pH rendah dan segera inaktif
pada suhu 56°C. Virus stabil pada suhu rendah dan dapat hidup bertahun-
tahun bila dikeringbekukan dan disimpan pada suhu -70° C.
2. Spesies Rentan
Sapi yaitu spesies yang peka terhadap DGS BVD. Penyakit sering
ditemukan pada sapi umur 6-24 bulan. Hewan berkuku genap lainnya, seperti
kambing, domba, kerbau dan rusa juga rentan terhadap DGS BVD.
3. Pengaruh Lingkungan
Diperkirakan kejadian penyakit meningkat pada musim dingin, dan kasus
dapat terjadi baik pada hewan yang dilepas maupun yang dikandangkan.
Penyakit DGS BVD lebih umum terjadi pada sapi potong dibanding pada sapi
perah. Pada anak sapi, penyakit biasanya terjadi pada umur 6 -10 bulan.
4. Sifat Penyakit
Bentuk penyakit ini sangat variatif. Penyakit dapat berupa diare (39%),
radang paru (35%), lesi pada mulut (11%), lesi mata (10%) dan keguguran
(5%). Pada sekelompok ternak yang belum terserang penyakit ini, jika terjadi
wabah DGS BVD, morbiditas mencapai 25 % dan mortalitas dapat mencapai
90 - 100 %. Jika penyakit sudah masuk pada satu peternakan, maka kasus
baru yang terjadi bersifat sporadik. Pada sapi yang digemukkan, penyakit
biasanya terjadi dalam beberapa minggu sesudah sapi datang dan bersifat
sporadik, hal ini terjadi jika sapi berasal dari peternakan bebas DGS BVD
bercampur dengan sapi yang sakit atau sapi pembawa penyakit.
5. Cara Penularan
Penyebaran penyakit terjadi secara kontak langsung dan tidak langsung
melalui makanan yang terkontaminasi feses dan secara aerosol. Walaupun
cara utama penyebaran penyakitnya melalui makanan yang tercemar feses,
penyakit juga dapat menyebar melalui urin dan leleran hidung hewan sakit.
Sapi dapat tertular virus dari domba dan sebaliknya. Sapi dapat menjadi
sumber penularan bagi hewan liar yang ada di sekitar peternakan.
6. Distribusi Penyakit
Di negara kita penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1985 di
Sulawesi dan Kalimantan, saat terjadi wabah berat yang dikenal sebagai
wabah diare ganas pada sapi (DGS). Selanjutnya dalam kurun waktu yang
tidak lama penyakit ini timbul di tempat lain, baik di pulau Sulawesi ataupun
di pulau lainnya.
keterangan :
1. Gejala klinis
a. Bentuk subklinis
Bentuk ini yaitu bentuk yang paling banyak dijumpai di Amerika
Serikat dan daerah enzootik lainnya. Gejalanya meliputi demam yang
yang tidak begitu tinggi, lekopenia, diare ringan dan secara serologis
ditemukan antibodi dengan titer yang tinggi.
b. Bentuk akut
Bentuk akut penyakit terjadi pada sapi muda umur 6 – 24 bulan. Sapi
muda kurang dari 6 bulan atau sapi dewasa lebih dari 2 tahun terserang
DGS bentuk akut ini. Secara alami masa inkubasi penyakit berjalan 1-3
minggu, pada infeksi percobaan gejala klinis terlihat sesudah 4-10 hari.
Suhu hewan sakit sedikit meningkat disertai dengan menurunnya jumlah
leukosit hingga 50 %. Kenaikan suhu tubuh terulang kembali pada hari
ke 7-8 sesudah percobaan. Kedua kenaikan suhu tubuh ini pada kasus di
alam jarang teramati, gejala klinis yang segera terlihat yaitu turunnya
produksi susu, kelesuan yang sangat, nafsu makan turun, dan temperatur
tinggi 410C kelihatan bersamaan. Diare biasanya profuse dan berair,
berbau busuk berisi mukus dan darah. Lesi pada mukosa pipi terbentuk
sebagai akibat nekrosis epitel mukosa. Erosi ini tejadi pada bagian
bibir, bagian belakang langit-langit keras, gusi, sudut mulut dan lidah.
Pada kasus akut seluruh rongga mulut terlihat seperti dimasak, dengan
epithel nekrosis berwarna abu- abu menutupi bagian dasar berwarna
merah muda. Biasanya air liur dikeluarkan dalam jumlah banyak, dan
bulu sekitar mulut terlihat basah. Lesi yang sama didapatkan juga pada
cuping hidung. Jika hewan cepat sembuh, lesi pada mukosa menyembuh
dalam waktu 10 - 14 hari, tetap pada DGS kronis erosi yang baru akan
muncul kembali, terutama pada sudut mulut. Biasanya terlihat adanya
leleran hidung mukopurulen akibat adanya erosi pada hidung bagian luar
dan erosi pada faring. Edema korneal dan Iakrimasi kadang terlihat juga.
Pada bentuk akut ini, dehidrasi dan kelesuan berlangsung sangat cepat,
dan kematian terjadi pada 5 - 7 hari sesudah gejala klinis terlihat. Pada
kasus perakut kematian terjadi pada hari ke 2. Beberapa hewan yang
sakit dapat berkembang ke bentuk DGS kronis yang berlangsung sampai
beberapa bulan. Kepincangan terlihat pada beberapa hewan sakit akut,
dan ini nampaknya akibat radang pada teracak (Iaminitis) dan lesi erosif
kulit pada celah interdigital yang umumnya terjadi pada keempat kakinya.
Radang korona kaki (coronitis) dan kelainan teracak akan terlihat pula.
Sapi betina bunting dapat mengalami keguguran sebagai akibat infeksi,
biasanya sesudah tahap akut terlewati, dan kadang-kadang sampai 3 bulan
sesudah sembuh, tetapi keguguran ini jarang terjadi.
c. Bentuk sub akut atau kronis
Pada sapi yang bertahan hidup, tetapi tidak sembuh benar, terlihat
diare, kekurusan yang berlangsung cepat, bulu terlihat kasar dan kering,
kembung kronis, kelainan teracak dan erosi kronis pada rongga mulut
dan pada kulit.
Pada kasus kronis hewan dapat bertahan hidup hingga 18 bulan, dan
selama itu hewan mengidap dengan anemia, Ieukopenia,neutropenia
dan lymphopenia (pancitopenia).
d. Bentuk neonatal
Bentuk ini banyak dijumpai pada pedet dengan umur kurang dari 1
bulan, yang ditandai dengan suhu yang tinggi, diare, serta gangguan
pernafasan. Pedet penderita kebanyakan berasal dari induk yang sakit
atau induk dengan kekebalan rendah. Infeksi umumnya terjadi pasca
kelahiran dan pada infeksi prenatal terjadi sindrom kelemahan pedet dan
diikuti dengan diare.
Gambar 2. Anak sapi menunjukkan diare profus.
(Sumber : Merck Animal Health)
2. Patologi
Bangkai penderita tampak kurus, dehidrasi, di daerah sekitar anus kotor dan
mata cekung. Lesi ditemukan terutama pada alat pencernaan berupa erosi,
bercak-bercak atau tukak yang jelas terbatas dengan tepi yang tidak teratur
dengan diameter 1-5 µm. Lesi tersebut ada pada moncong, hidung,
pipi bagian dalam, gusi, langit-langit bagian lateral dari lidah, rongga tekak,
kerongkongan, abomasum dan usus halus. Erosi dalam selaput lendir mulut
paling jelas pada langit-langit keras dan gusi sekitar gigi. Lesi yang khas
ada pada kerongkongan berupa erosi yang jelas berbatas tersusun
berderet -deret dengan dasar yang berwarna merah.
Abomasum mengalami pendarahan, edema dan nekrosis. Pada usus
halus ulser ditemukan pada selaput lendir peyer patches. Ulser dapat meluas
ke jaringan limfoid, sehingga memicu pendarahan ke dalam rongga
usus. Perdarahan dapat terjadi pula pada abomasum. Perdarahan kadang-
kadang dijumpai pada jaringan bawah kulit, selaput vagina dan epikardium.
Kelenjar limfe pada usus biasanya normal atau sedikit udematus, sedang
kelenjar limfe servikal retrofaringeal membesar.
Secara histopatologik tampak perubahan yang mendasar berupa
degenerasi sel. Di tempat yang mempunyai epitel berlapis, sel yang dekat
dengan lapisan basal mengalami degenerasi hidropik, membengkak dan
akhirnya nekrotik yang jika lepas timbul erosi. Pada abomasum tampak
kelenjar lambung mengalami atropi dan membentuk kista. Pada Iamina
propia dan submukosa biasanya terjadi edema, pembendungan atau
pendarahan, serta infi ltrasi leukosit. Pada usus halus perubahan yang nyata
terjadi pada peyer petches dengan epitel yang nekrotik sedangkan kelenjar
menjadi cystic. Jaringan limfoid mengalami nekrosis terutama pada germinal
center, populasi limfosit berkurang secara menyolok dan dapat pula terjadi
pendarahan. Pembuluh darah yang mengalami perubahan dapat dijumpai
pada media arteriole di submukosa alat pencernaan dan yang sering
menonjol pembuluh darah pada germinal center. Perubahan seperti pada
usus halus dapat pula dijumpai pada selaput lendir kolon, sekum, dan rektum
yang bervariasi dari radang kataral sampai radang nekrotik.
3. Diagnosa
Secara klinis dan patologik anatomik tidak mudah ditetapkan, oleh karenanya
diagnosa yang pasti dapat dilakukan dengan uji serologik dan isolasi virus
dengan kultur jaringan. Pada stadium demam, virus dapat diisolasi dari
leukosit, limpa, kelenjar limfe, selaput lendir dan usus halus. Isolasi biasanya
dilakukan dengan kultur jaringan sel lestari yang berasal dari ginjal embrio
sapi (Mardin Darby Bovine Kidney), jaringan limpa dan testis dengan
ditandai cytopathogenic effect (CPE) (tipe patogenik) dan ada yang non CPE
(non patogenik). Virus diidentifi kasi dengan uji virus neutralization (VN) atau
dengan fl uorescene antibody technique (FAT). Diagnosa kawanan ternak
dapat dilakukan dengan pasangan serum dengan complement fi xation test
(CFT).
4. Diagnosa Banding
DGS secara klinis bisa dikelirukan dengan malignant catharal fever (MCF).
MCF yaitu penyakit yang sporadik, demam yang lama, disertai radang
mata dan radang saluran pencernaan.
Sering pula dikelirukan dengan infectious bovine rhinotrachetis (IBR),
tetapi di sini perubahan terutama pada saluran pernafasan tanpa erosi pada
mulut, esofagus dan usus, sedangkan pada rinderpest penyakit berlangsung
lebih hebat dan cepat meluas dengan mortalitas yang tinggi. Penyakit lain
yang perlu dipertimbangkan dalam diagnosa yaitu penyakit jembrana pada
sapi bali.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Bahan pemeriksaan yang dapat diambil yaitu darah, urin, lendir dari hidung
atau mulut pada stadium akut. Bahan lain yang mengandung virus yang
dapat diambil waktu nekropsi yaitu limpa, sumsum tulang kelenjar limfe
dan usus. Bahan- bahan tersebut diambil secara steril dan dikirim sesuai
dengan pengiriman bahan untuk isolasi dan identifi kasi virus.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan secara khusus terhadap DGS tidak ada. Pengobatan dapat
dilakukan secara sistematis untuk mencegah, mengurangi infeksi sekunder
dan mengurangi kekurusan yang melanjut. Makanan diganti dengan makanan
yang lunak tapi bergizi (konsentrat).
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Langkah yang perlu diambil yaitu kebersihan lingkungan dan alat-
alat kandang. Kelompok sapi yang sakit diisolasi dan dilarang dipindahkan
ke kelompok sapi yang sehat. Pemasukan sapi atau spesies rentan dari
negara tertular harus bebas dari DGS. Vaksin yang dibuat dari virus yang
dipasasekan pada kelinci atau vaksin yang dibuat dari sel kultur ginjal sapi
sangat efektif, tetapi sering timbul komplikasi sesudah vaksinasi. Vaksin
yang dibuat dari virus yang dibiakkan pada sel ginjal babi dewasa ternyata
sangat efektif dan tidak memicu efek samping.
Untuk daerah yang sebelumnya belum tertular dilakukan stamping
out. Kalau oleh sesuatu hal penyakit tersebut telah menjadi berkembang,
tindakan pemberantasan terutama dilakukan terhadap penderita klinis.
ENZOOTIC BOVINE LEUKOSIS (EBL)
Sinonim : bovine Lymphomatosis, Bovine Lymphomacytosis, Cattle Leukemia,
Lymphosarkoma, Lymphomamaligna
Enzootic Bovine leukosis (EBL) yaitu penyakit viral yang sangat fatal
pada sapi dewasa, bersifat neoplastik ganas, dengan manifestasi kinis berupa
proliferasi dari jaringan limfoid. Pada kondisi lanjut dapat disertai limfomatosis
yang bersifat persisten. Sebagian besar infeksi bersifat subklinis akan tetapi
kurang Iebih 30% nya akan berkembang manjadi limfositosis dan sebagian
menjadi limfosarkoma dengan tumor di beberapa organ.
etiologi
Penyebab EBL yaitu virus bovine leukosis, yaitu oncovirus tipe C dari subfamili
Oncovirinae, famili Retroviridae. Partikel virus yaitu single stranded Ribonucleic
Acid (ss-RNA) yang menghasilkan poliprotein yang terdiri dari empat macam,
yakni nukleoprotein p12, protein kapsid p24, transmembran glikoprotein gp30
dan glikoprotein amplop gp5l dan beberapa enzim seperti reverse transkriptase.
Virus berukuran 70-110 nm, berbentuk bulat kasar, bersifat pleomorfi k, diselubungi
amplop.
Gambar 1. Struktur skematik virus EBL.
(Sumber : http://www.idexx.com/pubwebresources/images/en_us/livestock-
poultry/news/blvirus.png.)
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus bovine leukosis peka terhadap pengaruh alam. virus mati/inaktif
pada pemanasan 74ºC selama 16 detik, 60ºC selama 30-60 menit. Virus
menjadi mati/inaktif pada pH 4,8 atau dengan pemberian fenol 0,5% dan
formalin 0,25%.
Virus dapat dibiakkan pada selaput korio alantois telur ayam berembrio,
kultur sel limfosit atau jaringan limpa hewan yang peka biasanya memakai
foetal lamb kidney. Di dalam kultur sel, virus berkembang di dalam sitoplasma
dengan membentuk sinsitium (sel multinuklear).
2. Spesies Rentan
Semua bangsa sapi peka terhadap infeksi virus bovine leukosis. Selain sapi,
EBL juga menyerang domba, kambing, babi, kuda, rusa dan kerbau meskipun
kejadiannya sangat jarang.
3. Pengaruh Lingkungan
Transmisi alami biasanya terjadi pada sapi umur Iebih dari 1,5 tahun, terutama
pada bulan-bulan musim panas dimana kontak Iangsung antar hewan Iebih
sering dan kemungkinan oleh adanya serangga.
4. Sifat Penyakit
EBL yaitu penyakit pada hewan dewasa, dijumpai hanya pada hewan
diatas umur 2 tahun dan umumnya dijumpai pada umur 4-8 tahun. Penyebarannya
yang relatif lambat menunjukan penyakit ini tidak terlalu kontagius. Tingginya
angka kejadian pada sapi perah mungkin dipicu oleh karena dalam
kelompok sapi perah jumlah sapi dewasa Iebih banyak dengan cara
pemeliharaan yang Iebih tertutup, serta waktu pemeliharaan lebih lama
(hingga 10 tahun).
Gejala klinis sangat bervariasi, mulai tanpa gejala sampai yang mengalami
gangguan sistemik yang berat, yang berlanjut ke limfositosis persisten dan
pembentukan tumor. Kejadian penyakit Iebih kecil dibandingkan dengan kejadian
infeksi karena dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan Iingkungan. Hanya
sekitar 15% anak yang dilahirkan dari induk penderita akan mengalami
infeksi. Kurang dari 5% sapi yang mengalami infeksi menunjukkan gejala
limfosarkoma dan kurang dari 30% sapi penderita akan memperlihatkan
limfomatosis persisten. EBL akan memicu limfomatosis persisten bila
penyakit telah berjalan sangat lama, pada umur lebih dari 5 tahun.
5. Cara Penularan
Penularan terjadi baik sesara horisontal maupun vertikal. Secara vertikal melalui
induk kepada anaknya selama masa kebuntingan, kolostrum, susu dan selama
proses kelahiran. Penularan secara horisontal yaitu cara penularan
yang utama antar hewan dan membutuhkan kontak Iangsung dalam waktu
yang lama. Secara mekanis penularan dapat terjadi melalui jarum suntik dan
alat alat operasi yang tercemar virus, gigitan serangga, atau melalui darah
terutama pada luka trauma. Di daerah tropis, seperti Venezuela, kejadian EBL
sangat tinggi karena vektor adanya insekta penghisap darah dalam jumlah tinggi.
Stomoxys calcitrans telah terbukti dapat menularkan penyakit. Secara buatan
EBL dapat ditularkan dengan menyuntikkan 0,0005 ml darah yang mengandung
2.500 limfosit.
6. Distribusi Penyakit
EBL pertama kali dilaporkan pada tahun 1878 di Jerman. Penyakit ini
ditemukan di Amerika Serikat, Norwegia, Denmark, Jerman, Jepang, Swedia
Australia, New Zealand, Philipina dan mungkin sudah tersebar di seluruh
dunia dengan angka kejadian bervariasi dari 4 sampai 24,3%.
Negara yang memiliki industri sapi perah yang dikelola secara intensif
memiliki angka kejadian tertinggi, seperti Amerika Serikat, Kanada, Eropa,
Australia dan Jepang.
Di negara kita , secara serologis EBL pernah dilaporkan di wilayah Surabaya,
Cilacap dan Sukabumi. Pada bedah bangkai terjadi pembengkakan di
beberapa organ dan kelenjar limfe.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Masa inkubasi penyakit sangat lama dan pada penularan di alam masa
inkubasi tidak diketahui secara pasti. Pada sapi dewasa sebagian besar
(75-90%) menunjukkan adanya pembesaran hampir di semua organ, tetapi
abomasum, jantung, organ visceral dan kelanjar limfe yaitu organ
yang paling sering terkena. Pada umumnya penyakit berkembang sangat
cepat, hewan menjadi kurus dan dapat diikuti adanya kematian. Gejala Klinis
yang nampak tergantung dari organ yang terlibat, antara lain ada gejala
syaraf seperti paralisis atau kepincangan, bila tumor menekan sumsum tulang
dan syaraf perifer. Perubahan irama (denyut) jantung, hidroperikardium,
atau kegagalan jantung kongestif kanan, bila tumor melibatkan jantung.
Terjadi perubanan nafsu makan, diare bahkan melemah bila saluran
pencernaan terlibat dan terjadi ulserasi pada abomasum. Gejala pernafasan
muncul bila terjadi pembesaran kelenjar limfe retrofaringeal.
Pada pemeriksaan hematologi menunjukkan adanya limfositosis. Jumlah
limfosit dalam darah dapat mencapai 50.000/mm3.
2. Patologi
Jaringan limfoid yaitu organ yang paling sering mengalami perubahan
leukotik. Pada hampir semua organ ditemukan masa tumor yang berwarna
putih. Pada hewan dewasa tumor dapat ditemukan pada jantung, abomasum
dan pada sumsum tulang dan mungkin organ lain. Pada sapi yang Iebih
muda tumor mungkin ditemukan pada ginjal, kelenjar thymus, hati limpa dan
kelenjar limfe superfi sial.
Pada jantung lokasi tumor yaitu dinding atrium kanan, atau menyebar ke
seluruh miokardium dan perikardium. Pada abomasum terjadi penebalan
yang tidak merata pada mukosanya terutama bagian pilorus, kadang juga
ditemukan perubahan serupa pada usus dan dapat terjadi ulserasi. Bila
ada gejala syaraf maka perubahan akan terlihat pada syaraf perifer yang
keluar dari lumbar terakhir atau sakral pertama berupa penebalan. Tumor
juga dapat ditemukan pada ginjal, ureter dekat pelvis renalis dan uterus.
Kelenjar limfe sangat membesar dipicu oleh adanya jaringan neoplastik.
Kadang jaringan neoplastik dikelilingi oleh jaringan nekrotik yang berwarna
kekuning-kuningan. Secara histopatologis tumor terdiri dari sel limfosit.
3. Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan berdasar gejala klinis, pemeriksaan darah,
patologi-anatomi, serta isolasi dan identifi kasi virus. Secara serologis dapat
didteksi antibodi dengan agar gel immmunidiffusion (AGID), complement
fi xation test (CFT), radio immunoassay (RIA), virus neutralization (VN), enzyme
linked immunosorbent assay (ELISA) fl uorescene antibody technique (FAT),
dan polymerase chain reaction (PCR). Secara histopatologis ditemukan
tumor yang terdiri dari sekumpulan sel limfosit. Untuk skreening awal dapat
dilakukan dengan penghitungan jumlah leukosit dengan pengukuran buffy
coat yang melebihi normal karena adanya peningkatan jumlah leukosit.
4. Diagnosa Banding
Gejala pada saluran pencernaan harus dibedakan dengan penyakit Johne’s
(Paratuberculosis), gejala jantung dapat dikelirukan dengan perikarditis
traumatika atau endokarditis, gejala syaraf dapat dibedakan dari Rabies
atau adanya abses pada sumsum tulang, sedang gejala pernapasan harus
dibedakan dengan Tuberkulosis dan Actinobacillosis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Untuk pemeriksaan histopatologi dapat dikirimkan organ limfoid difi ksasi
dalam bufer formalin 10%, sedangkan untuk isolasi virus dapat dikirimkan
darah yang diberi antikoagulan atau jaringan tumor. Spesimen dikirim ke
laboratorium dalam keadaan dingin. Untuk deteksi adanya antibodi dapat
segera dikirimkan serum dalam keadaan dingin.
pengobatan :
1. Pengobatan
Belum ada pengobatan pada EBL.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Sampai dengan saat ini belum tersedia vaksin untuk pencegahan
infeksi EBL. Satu-satunya cara pencegahan yang terpenting yaitu test and
slaughter. Pengendalian didasarkan pada penyingkiran hewan seropositif
dan mempertahankan sistem kompartementalisasi dengan mengimpor sapi
dari daerah bebas EBL.
INFECTIOUS BOVINE RHINOTRACHEITIS (IBR)
Sinonim : Rhinotracheitis Infectiousa Bovis, Infectious Bovine Necrotic
Rhinotracheitis, Necrotic Rhinitis, Red Nose Disease,
Bovine Coital Exanthema.
IBR dan IPV yaitu suatu penyakit menular yang dipicu oleh virus yang
dapat menyerang alat pernafasan bagian atas dan alat reproduksi. Virus
pemicu sama, tetapi penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang berbeda.
Penyakit ini boleh dikatakan hampir menyebar di seluruh dunia.
Di Amerika dan Eropa penyakit ini dapat memicu kerugian ekonomi
cukup berarti. Kerugian terutama akibat adanya infeksi sekunder yang dapat
memicu pneumonia, keguguran dan kematian pada anak sapi.
etiologi
Penyebab penyakit ini yaitu bovine herpesvirus-1 yang termasuk famili
Herpesviridae, subfamili Alphaherpesviridae. Genom virus berupa double
stranded deoxyribonucleic acid (ds-DNA), dengan berat molekul 29.000-250.000.
Virus herpes berbentuk kuboid simetri dengan kapsid icosahedral, diameter 100-
150 µm.
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Pada pH 7,0 virus ini stabil, pada temperatur 4°C selama 30 hari titer virus
tidak mengalami penurunan, pada temperatur 22°C selama 5 hari titernya
turun 1 log. Virus dapat di inaktif segera sesudah dicampur dengan alkohol,
aceton atau chloroform dengan perbandingan suspensi virus yang sama.
Virus IBR ini mempunyai macam -macam strain dengan sedikit perbedaan
antigenesitas.
2. Spesies rentan
Selain pada sapi dan kerbau, penyakit ini dijumpai pula pada babi, kambing,
bagal dan rusa juga peka terhadap infeksi ini. Antibodi IBR pernah dideteksi
pula pada antelope di Kanada bagian barat.
Di Afrika virus IBR juga pernah diisolasi dari hewan liar. ini menunjukkan
bahwa hewan liar mungkin dapat menjadi reservoir penyakit ini.
3. Pengaruh Lingkungan
Wabah penyakit mencapai puncak pada minggu kedua sampai ketiga dan
berakhir pada minggu keempat sampai keenam. Virus dapat hidup dalam
tubuh hewan selama 17 bulan dan pada saat tertentu dapat memicu
wabah.
4. Sifat Penyakit
Manifestasi klinis dari penyakit ini sangat bervariasi, tergantung derajat
keparahan organ terinfeksi. Penyakit dapat berupa bentuk pernafasan,
konjungtival, genital dan keguguran, serta ensefalitik dan neonatal. Penyakit
ini dapat memicu infeksi sekunder berupa broncho pneumonia,
keguguran dan kematian pada anak sapi. Morbiditas berkisar antara 30-90%
dan mortalitas kurang dari 3%. Sapi yang sembuh dan infeksi alami menjadi
kebal dalam waktu yang lama. Kekebalan secara pasif yang diperoleh pedet
dari kolostrum dapat memicu kekebalan kurang Iebih empat bulan.
5. Cara Penularan
Penularan penyakit dapat secara vertikal dan horisontal. Secara vertikal dapat
melalui infeksi intra uterin, sedangkan horisontal dapat melalui inhalasi dari
cairan hidung yang mengandung virus atau melalui semen yang tercemar.
6. Kejadian di negara kita
Kejadian penyakit di negara kita telah banyak ditemukan, dan virus
pernah diisolasi dan seekor kerbau yang berasal dari daerah/kecamatan
Blangkejeren, Kabupaten Aceh Tenggara. Reaktor pada sapi dan kerbau
pernah dilaporkandi Sumatera Utara, Jawa, Lombok, Sumbawa dan Timor.
Zat kebal terhadap virus IBR telah ditemukan hampir di semua daerah di
negara kita .
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang ditimbulkan penyakit ini sangat bervariasi dan dapat
dibedakan menjadi beberapa bentuk.
a. Bentuk Pernafasan
Bentuk pernafasan yaitu bentuk terpenting dari segi lokalisasi
virus. Gejala yang muncul antara lain, kenaikan suhu tubuh sampai
42ºC, lesu, hipersalivasi, lakrimasi dan adanya edema pada konjungtiva.
Pada sapi laktasi produksi susu turun dengan drastis atau terhenti sama
sekali. Radang dapat ditemukan pada hidung, sinus dan tenggorokan.
Mukosa hidung tampak hiperemik, ingus bersifat fi birinomukoid atau
purulen dan mukosa di bawahnya sering mengalami nekrosis. Jika kerak
mengelupas, maka akan timbul “red nose”. Bentuk pernafasan juga bisa
memicu keguguran pada hewan yang bunting. Keguguran sering
terjadi pada trimester terakhir.
b. Bentuk konjungtival
Gejala edema kornea dan konjungtiva akan menghasilkan eksudat
yang bersifat serous sampai mukopurulen. Bentuk radang difterik pada
konjungtiva dapat dijumpai pada penderita yang parah. Bentuk ini juga
sering disebut “winter pink eye”.
c. Bentuk ensefalitik
Bentuk ini sering didapatkan pada anak sapi umur 2-3 bulan.Timbulnya
meningoensefalitis dapat dikarenakan adanya perkembangbiakan virus
pada otak. Gejala yang timbul dapat berupa depresi, gelisah, konvulsi,
hiperestesi, eksitasi , inkoordinasi dan kebutaan.
d. Bentuk genital dan keguguran
Infeksi virus pada mukosa vagina dan vulva memicu penyakit ini
dikenal dengan Infectious Pustular Vulvovaginitis (IPV). Pada sapi jantan
virus menginfeksi alat kelamin jantan, sehingga disebut balanopostitis.
Infeksi akut terjadi 1-3 hari pasca koitus, dengan gejala bervariasi. Pada
infeksi yang berat sapi memperlihatkan gelisah, rasa sakit dan sering
kencing, vulva membengkak disertai adanya eksudat yang kental melekat
pada rambut vulva. Pada hewan bunting, keguguran dapat terjadi pada
trimester terakhir. Pada sapi jantan dijumpai luka pada preputium disertai
adanya reaksi peradangan dan eksudat yang kental. Virus banyak
ditemukan pada hati dan ginjal janin yang diabortuskan.
e. Bentuk neonatal
Infeksi ini biasanya dimulai saat pedet masih dalam kandungan.
Gejala umum yaitu demam, anoreksia, depresi, dipsnoea, keluarnya
eksudat serous dari mata, serta diare yang persisten.
A B C
D E
Gambar 2. Gejala klinis sapi penderita IBR. A dan B) Bentuk pernafasan;
C) Bentuk konjungtival; D dan E) Bentuk genital
(Sumber : http://www.vetnext.com, http://homepage.usask.ca/~vim
458/virology/studpages2009/VirusWebsi te/ibr_virus.jpg;
2. Patologi
Pada bentuk pernafasan ditemukan lesi yang dimulai dari mulut, tekak,
tenggorokan dan bronchus. jika disertai infeksi sekunder dapat ditemukan
bronchopneumonia. Pembengkakan juga ditemukan pada kelenjar limfe
retrofaringeal, bronchial dan mediastinal. Hati pada janin bentuk genital
dan keguguran menujukkan adanya radang nekrotik yang bersifat lokal.
Jaringan fetus pada umumnya mengalami autolisis. Pada bentuk neonatal
dijumpai jejas nekrosis pada kerongkongan dan lambung depan. Pedet yang
mengalami kematian pada bentuk ensefalik menunjukkan radang pada otak
dan selaputnya.
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas anamnese, gejala klinis, patologi. Secara
laboratorium dapat dilakukan secara histopatologi dan virologi. Pemeriksaan
adanya virus dapat dilakukan secara isolasi dari usapan vagina atau trachea
atau organ dari saluran pernafasan dan reproduksi yang diinokulasikan pada
biakan sel /sel (Mardin Darby Bovine Kidney) MDBK, lalu dilihat adanya
kerusakan sel berupa adanya CPE (Cytopathogenic Effect). Identifi kasi virus
dilakukan secara FAT (Fluorecent Antibody Test).
Pemeriksaan adanya zat kebal dilakukan dengan uji serum neutralization
(SN) dengan memakai biakan sel, AGDT (Agar Gel Diffusion Test) atau
CFT (Complement Fixation Test).
4. Diagnosa Banding
Penyakit ini dapat dikelirukan dengan Pasteurellosis, Bovine Viral
Diarrhea (BVD), Diphteria, Shipping Fever, rhinitis karena alergi, dan
Malignant Catarrhal Fever (MCF).
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Untuk pemeriksaan virus dapat dikirim sekresi hidung atau vagina
dengan memakai cotton swab yang dimasukkan dalam bahan pengawet
Hank’s yang sudah mengandung antibiotik. Darah heparin diusahakan dalam
keadaan dingin dan steril. Jaringan dari hewan terinfeksi (paru, trachea) atau
yang berupa organ reproduksi dimasukkan dalam gliyserine 50 %. Spesimen
dikirim dalamm kondisi dingin. Untuk pemeriksaan histopatologi spesimen
difi ksasi dalam bufer formalin 10%.
pengobatan :
Pencegahan penyakit dapat dilakukan vaksinasi, kebersihan dan sanitasi
kandang perlu dilakukan. Pemberian antibiotik dan vitamin dapat diberikan untuk
mengurangi infeksi sekunder.
CACAR BABI
Sinonim: Swinepox, Pigpox, Variola suilla, Louse borne dermatitits. Contagious
inpertigo
Cacar babi yaitu penyakit menular pada babi, ditandai dengan adanya
Iepuh dan keropeng pada kulit. Cacar babi biasanya yaitu penyakit ringan
dengan lesi terbatas pada kulit. Anak babi terserang dengan tingkat mortalitas
tinggi.
Kerugian ekonomi cukup besar karena menyerang anak babi yang sedang
mengalami pertumbuhan. Selain itu larangan ekspor atau lalu lintas antar pulau
dari daerah tertular ke daerah bebas.
etiologi
Cacar babi dipicu oleh Swinepoxvirus dari famili Poxviridae. Semua strain
memiliki imunogenik yang sama dan dapat dibedakan dengan virus pox lainnya.
Genom virus tersusun atas DNA beruntai tunggal (ss-DNA) dengan berat molekul
80x106D. Asam inti tersebut dilapisi protein (nukleoid) dan lapisan luar ada
membran serta di kedua sisi ada badan lateral bentuknya elips. Partikel virus
ini dibungkus oleh struktur membran (amplop). Bentuk virus seperti cakram atau
bundar dan berukuran 300 -350 nm x 200- 250 nm.
epidemiologi
1. Sifat alami agen
Virus sangat tahan dalam lingkungan luar seperti debu dan bekas
bangunan. Virus dapat ditumbuhkan secara in vitro pada kultur sel, seperti
sel ginjal babi, testes dan paru-paru embrio babi. Pertumbuhan virus ditandai
dengan adanya cytopathogenic effect (CPE), sesudah 3 kali pasase dan tetap
konstan pada pasase berikutnya. Di dalam sitoplasma sel ada inclusion
bodies. Virus tidak tumbuh pada biakan sel sapi, kambing, domba, dan sel
tumor anjing.
2. Spesies rentan
Cacar babi hanya menyerang babi dan yang paling peka yaitu babi berumur
muda. sedangkan babi yang berumur tua relatif tahan.
3. Cara Penularan
Penyakit ditularkan melalui kontak langsung antara babi sakit dengan yang
sehat atau lewat gigitan serangga pengisap darah (nyamuk) dan kutu babi
(Haematopinus suis) atau tungau (Tyrogtyphid spp). Peranan hewan karier
dalam penularan penyakit tidak diketahui, tetapi yang jelas virus tahan hidup
dalam jangka waktu yang lama dalam debu dan bekas bangunan.
4. Sifat Penyakit
Cacar babi biasanya yaitu penyakit ringan dengan lesi terbatas
pada kulit. Lesi dapat terjadi di mana saja, tetapi paling sering ditemukan pada
daerah perut. Demam sementara yang ringan dapat mendahului timbulnya
papula. Dalam waktu 1-2 hari papula menjadi vesikel dan lalu menjadi
bisul bertangkai dengan diameter 1-2 cm. Kutil mengerak dan mengeropeng
dalam 7 hari, kesembuhan biasanya tuntas dalam 3 minggu.
5. Kejadian di negara kita
Cacar babi berjangkit secara sporadis di daerah peternakan babi di seluruh
dunia. Cacar babi dilaporkan di beberapa negara Eropa, Papua New Guinea
dan Australia. Di negara kita dilaporkan di Denpasar dan Jembrana, Bali pada
tahun 1997.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Periode inkubasi yaitu 3-6 hari, gejala awal ditandai dengan bintik
kemerahan lalu berubah menjadi lepuh yang makin membesar (6
mm). Pada stadium pustular, lesi-lesi terlihat iskemik dan kuning kecoklatan
berbentuk bundar. Pusat lesi agak melekuk ke dalam dan di bagian tepi
jaringan mengalami hipertrofi . Keropeng kulit sesudah beberapa hari (10 hari)
akan mengelupas meninggalkan bintik putih. Pada beberapa kasus kelenjar
limfe membengkak, demam, konjungtivitis dan keratitis.
Gambar 2. Cacar babi.
(Sumber : http://www.thepigsite.com/pighealth/article/399/swine-pox;
http://www.naro.affrc.go.jp/org/niah/disease/em/em_en/virus/avian-pox/swine-
pox-ma.jpg)
2. Patologi
Patologi dari organ tidak menonjol, hanya terjadi pada kulit.
Gambaran histopatologi menunjukkan penebalan epidermis akibat degenerasi
hidrofi k dan hiperplasia epitel. Di dalam sitoplasma ada inclusion bodies.
Pada dermis ada infi ltrasi limfosit, netrofi l, eosinofi l dan histiosit, serta
dilatasi pembuluh darah. Pada stadium pustular terjadi nekrosis yang meluas
di bagian lapisan basiler disertai infi ltrasi netrofi l dan sedikit limfosit, eosinofi l
dan histiosit. Inclusion bodies dapat ditemukan di dalam sitoplasma dan
ada vakuol di dalam inti sel dapat diamati pada daerah nekrosis. Pada
stadium kronik pada keropeng terjadi nekrosis sel. Di beberapa bagian di
lapisan superfi sial dari debris seluler menjadi terpisah dari lapisan tipis dan
epidermis yang mengalami regenerasi. Kelenjar limfe regional terlihat edema,
hiperemik dan hiperplastik.
3. Diagnosa
Cacar babi dapat didiagnosa berdasar gejala klinis, perubahan patologis
dan isolasi virus. Dari gejala klinis babi terserang biasanya cukup untuk
menetapkan diagnosa. Diagnosa yang paling tepat didapat sesudah konfi rmasi
laboratorium dari hasil pemeriksaan histopatologis dan isolasi virus.
Perubahan histopatologis menunjukkan degenerasi hidrofi k dari stratum
spinosum dan adanya inclusion bodies intra sitoplasmik dan vakuolisasi di
dalam inti sel epitel yang yaitu perubahan patognomonik.
4. Diagnosa Banding
Lesi di daerah mulut sering dikelirukan dengan penyakit mulut dan kuku,
vesicular exanthema dan vesicular stomatitis. Sementara itu adanya lesi
pada kulit seringkali dikelirukan dengan hog cholera, alergi kulit, erysipelas,
ptyriasis rosea, dermatitis vegetatif, scabies, kelainan nutrisi dan infestasi
ektoparasit lainnya. Gejala kemerahan dan gatal-gatal akibat alergi dapat
diatasi dengan pemberian obat anti alergi.
5. Pengambilan dan Pemeriksaan Spesimen
Spesimen untuk isolasi virus diambil dari jaringan lepuh atau keropeng kulit
dan ditampung dalam botol berisi media transpor, seperti bufer fosfat gliserin
50% atau media Hank’s yang mengandung antibiotik. Untuk pengujian
histopatologis dan imunohistokimia, diambil jaringan yang difi ksasi ke dalam
bufer formalin 10%.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan spesifi k terhadap cacar babi belum ada. Pengobatan
dengan yodium pekat dan antibiotika pada kulit dapat mencegah infeksi
sekunder.
2. Pelaporan, Pencegahan, dan Pengendalian
a. Pelaporan
Setiap ada kasus harus dilaporkan kepada Dinas yang membidangi
fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat untuk dilakukan
tindakan sementara dan diteruskan kepada Direktur Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan.
b. Pencegahan dan Pengendalian
Vaksinasi tidak dilakukan karena penyakit ini dianggap tidak merugikan.
Babi yang sembuh dari swinepox akan kebal terhadap infeksi berikutnya.
Infeksi dapat memicu imunitas lokal dan melindungi babi dari
infeksi berikutnya. Anak babi yang baru lahir memiliki antibodi maternal,
demikian pula babi yang sembuh memiliki kekebalan yang yang bertahan
lama bisa selama hidupnya. Tindakan pengendalian lebih diarahkan
dengan melakukan tindakan karantina yang ketat, yaitu mencegah
masuknya babi sakit ke suatu daerah atau ke peternakan yang bebas,
memberantas nyamuk dan tungau di daerah wabah.
HOG CHOLERA
Sinonim : Classical Swine Fever (CSF), Swine Fever, Schweine, Pest, Peste du
Pore, Peste Suina atau Penyakit Sampar Babi.
Hog cholera (HC) yaitu penyakit viral menular terpenting pada babi,
berlangsung subakut, akut atau kronik, dengan proses penyakit yang tidak
menciri atau bahkan kadang tidak tampak sama sekali.
Kerugian ekonomi yang dipicu oleh penyakit ini cukup besar karena
morbiditas dan mortalitas tinggi, hilangnya devisa akibat larangan ekspor
khususnya ternak babi dan hasil olahannya serta dampak yang lebih luas yaitu
hilangnya kepercayaan atau minat peternak untuk mengembangkan peternakan
babi.
etiologi
Agen pemicu hog cholera yaitu virus single stranded Ribonucleic Acid (ss-
RNA) dari genus Pestivirus termasuk famili Flaviviridae. Virus HC berada dalam
genus yang sama dengan virus bovine viral diarrhea (BVD). Virus berbentuk bulat
helikal atau tidak teratur dan berukuran antara 40-50 nm dengan nukleokapsid
berukuran 29 nm.
Materi genetik virus tersusun dari RNA beruntai tunggal (ss-RNA) berukuran
panjang 12,5 kb. Virus HC memiliki amplop yang pada permukaannya
ada peplomer berukuran 6- 8 nm. Struktur amplop tersebut tersusun atas
glikoprotein.
Virus HC mempunyai sifat antigenik dan virulensi yang bervariasi. Ada beberapa
strain virus HC yang diketahui sangat ganas (virulen) seperti strain C (China),
Weybridge (Inggris), Diepholz 1/Han94 (Jerman), Brescia (Brasilia), ALD, Niigata/
1966, Hokkaido/ 1966, Yamanashi/ 1969, Fukuokal l977(Jepang). Strain yang
tidak ganas seperti strain Baker A (Amerika Serikat), NSW (New South Wales
Australia), 333, GPE+ dan GPE- (Jepang)
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus HC sangat peka terhadap panas. Infektivitas virus menurun pada
pemanasan 56°C selama 60 menit, 60°C selama 10 menit atau 710C selama
1 menit. Dalam daging beku dapat bertahan selama 4,5 tahun, dalam organ
yang telah membusuk tahan selama 3-4 hari, dari dalam darah atau sumsum
tulang yang telah membusuk tahan selama 15 hari.
Virus juga sangat peka terhadap pelarut lemak , seperti eter, kloroform atau
deoksikolat. Larutan NaOH 2% sangat efektif untuk tujuan desinfeksi alat
dan kandang babi. Virus stabil pada pH 5- 10. Dalam larutan 5% fenol dan
HCl yang mengandung 1,66 % klorin dapat merusak virus dalam waktu 15
menit. Virus dapat dibiakkan pada kultur sel ginjal dan limfosit babi yang
ditandai dengan timbulnya cytopathogenic effect (CPE).
Virus HC dapat ditumbuhkan secara in vitro pada biakan sel. Berbagai jenis
kultur sel pernah dicoba, seperti sel paru, testes babi, ginjal sapi, makrofag
alveolar babi atau sel fi broblas embrio ayam. Namun yang paling banyak
dipakai yaitu sel ginjal babi. Virus HC juga dapat dibiakkan pada hewan
coba.
2. Spesies rentan
Semua jenis atau ras babi peka terhadap HC. Hewan lain seperti kelinci dan
kambing dapat tertular hanya melalui infeksi percobaan.
3. Cara Penularan
Hog Cholera ditularkan melalui kontak langsung dengan babi terinfeksi, atau
secara tidak langsung melalui ekskresi dan sekresi babi yang terinfeksi.
Masuknya penyakit ke suatu daerah karena adanya babi pembawa virus
(carrier), produk asal babi atau bahan dan makanan tercemar, limbah dari
tempat pemotongan hewan atau sisa hotel yang mengandung daging babi
yang tidak dimasak. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui alat
transportasi, sepatu dan pakaian petugas, serta alat suntik yang dipakai
berulang.
Penularan vertikal terjadi dari induk kepada anak babi. Penularan
transplasental terjadi pada kebuntingan 68 dan 88 hari ditandai dengan
viremia pada anak yang dilahirkan dan mati sesudah 1-8 minggu.
4. Sifat penyakit
Penyakit bersifat endemik. Babi yang terserang virus HC virulen, tingkat
morbiditas dan mortalitasnya tinggi dapat mencapai 100%. Saat wabah yang
terjadi di Bali menunjukkan tingkat morbiditas rata-rata 60,15% dan ortalitas
37,86% atau case fatality rate (CFR) 62,94%. Kasus HC tertinggi terjadi
pada anak babi yang berumur kurang dari 2 bulan dengan tingkat morbiditas
88,15% dan mortalitas 78,88% atau CFR 87,21% dan tingkat mortalitas
harian 27,03%.
5. Kejadian di negara kita
Di negara kita sendiri penyakit mewabah pertama kali di Sumatera Utara pada
tahun 1995, sejak itu penyakit tersebar di berbagai daerah seperti Sumatera
Barat, DKI Jakarta, Jawa barat, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi
Utara, Sulawesi Selatan, Bali dan NTT.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Penyakit dapat berjalan perakut, akut, subakut, kronis atau tidak tipikal.
Bentuk klasik HC yaitu infeksi akut yang disertai demam tinggi,
kelesuan, penurunan nafsu makan dan konjungtivitis. Gejala muncul sesudah
masa inkubasi 2-4 hari, diikuti adanya muntah, diare dan atau konstipasi,
pneumonia, paresis, paralisis, letargi, tremor, berputar dan konvulsi.
Pada bentuk akut ditandai dengan anoreksia, depresi, suhu meningkat sampai
41-42º C berlangsung selama 6 hari. Jumlah leukosit menurun (leukopenia)
dari 9.000 menjadi 3.000/ml darah. Pada awal sakit hewan mengalami
konjungtivitis, dengan air mata berlebihan. Sekresi mata berlebihan bersifat
mucous atau mukopurulen. Demam tinggi diikuti konstipasi dan radang
saluran gastrointestinal memicu diare encer, berlendir, warna abu
kekuningan dan babi terlihat kedinginan.
Pada kasus subakut yang kurang tipikal, masa inkubasi menjadi panjang dan
kelangsungan penyakit klinis yang lebih lama dengan kematian yang terjadi
sesudah berminggu atau berbulan-bulan.
Pada kasus kronis dilaporkan ada 3 tahap yakni tahap permulaan yang ditandai
dengan gejala anorexia, depresi, suhu tubuh naik dan lekopenia. Setelah
beberapa minggu nafsu makan dan keadaan umum terlihat membaik dan
suhu tubuh turun ke suhu normal atau sedikit di atas normal. Fase kedua
ditandai dengan leukopenia yang persisten. Pada tahap ketiga, terlihat gejala
nafsu makan menurun, depresi, suhu tubuh meningkat sampai terjadi
kematian. Babi menunjukkan pertumbuhan yang terhambat, mempunyai lesi
pada kulit dan berdiri dengan punggung terlihat melengkung (opistotonus)
dan babi dapat bertahan hidup lebih dari 100 hari.
Pada hewan bunting ditandai dengan kematian fetus, mumifi kasi, lahir
prematur, anomali, lahir dalam keadaan lemah dan tremor. Anak babi
terinfeksi in utero yang mati sesudah lahir sering menunjukkan perdarahan
berupa ptekie pada kulit dan organ dalam.
Gambar 2. Gejala klinis pada HC., anak bai mengangkat satu kaki (goose
stepping)
(Sumber : http://www.fao.org/docrep/003/t0756e/T0756E120.jpg.)
2. Patologi
Pada kasus per akut mungkin tidak terjadi perubahan umum yang dapat
diamati pada bedah bangkai. Pada kasus akut terjadi perdarahan ptekie
pada submukosa dan subserosa pada kapsula ginjal, serosa usus dan
korteks limpa. Ditemukan adanya pembendungan dan infark pada limpa,
hati, sumsum tulang dan paru. Lesi ini dipicu oleh infeksi virus pada
endotel pembuluh darah yang sangat kecil. Pada kasus subakut atau kronis,
terjadi ulserasi nekrotik pada mukosa usus besar, adanya pneumonia dan
entritis. Sindrom ini berkaitan dengan tingginya kejadian abortus, kematian
dan mumifi kasi fetus, serta kelainan bawaan. Anak babi yang lahir hidup,
baik sehat atau cacat, akan mengalami infeksi secara menetap, toleran
secara imunologis dan mengeluarkan virus selama hidupnya.
3. Diagnosa
Diagnosa HC dapat didasarkan pada data epidemiologi, gejala klinis,
patologis anatomis dan histopatologis. Identifi kasi virus dapat dilakukan
dengan Flourescent antibody technique (FAT), Agar gel precipitation test
(AGPT), Complement fi xation test (CFT), Hemagglutination inhibition (HI),
capture ELISA dan polymerase chain reaction (PCR).
4. Diagnosa Banding
Penyakit ini dapat dikelirukan dengan African Swine Fever (ASF),
salmonellosis sepsis, pasteurellosis, streptokokosis, erysipelas dan infeksi
Haemophilus somnus.
pengobatan :
1. Pengobatan
Belum ada obat yang efektif untuk mencegah hog cholera.
2. Pelaporan, Pencegahan, dan Pengendalian
a. Pelaporan
Setiap ada kasus swine fever harus segera dilaporkan ke Dinas
yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat,
tembusannya dikirimkan kepada Direktur Jenderal Peternakan atau
Direktur Kesehatan Hewan di Jakarta untuk diambil Iangkah-langkah
pemberantasan dan pengendalian wabah.
b. Pencegahan dan Pengendalian
Tindakan yang paling efektif untuk mencegah atau mengendalikan
penyakit yaitu melakukan vaksinasi dengan memakai vaksin
aktif yang sudah diatenuasi. Keberhasilan program vaksinasi sangat
tergantung dari strain, dosis dan aplikasi vaksin serta status kesehatan
hewan yang divaksinasi. Pengendalian dapat dilakukan dengan melalui
tindakan karantina.
Tindakan penutupan sementara dilakukan terhadap farm tertular. Semua
babi yang pernah kontak dan tertular HC dilakukan isolasi, stamping out
atau tindakan pemotongan bersyarat. Lalu lintas ternak babi dan hasil
olahannya dari daerah tertular dilarang keluar atau diperjual belikan. dan
di lokasi kasus dicantumkan tanda larangan “Awas Penyakit Menular”.
Sesuai dengan peraturan International Terrestial Animal Health Code
(OIE) dan European Community (EC) negara pengekspor babi dan hasil
olahannya ke negara bebas HC harus menunjukkan pernyataan bebas
swine fever berdasar investigasi serologis.
Hewan yang menderita HC tidak dianjurkan untuk dipotong, tetapi
dimusnahkan.
CANINE PARVOVIRUS
Sinonim : Penyakit Parvovirus Anjing, Penyakit muntah berak
Penyakit parvovirus anjing (PPA) yaitu penyakit menular bersifat akut dan
mematikan pada anjing berumur muda, ditandai dengan dehidrasi, muntah dan
berak bercampur darah, gastroenteritis dan miokarditis.
etiologi
Penyakit parvovirus anjing (PPA) dipicu oleh canine parvovirus (CPV),
genus Parvovirus dari famili Parvoviridae. Materi genetik virus tersusun atas DNA
beruntai tunggal single stranded dioxyribonucleic Acid (ss-DNA) dengan berat
molekul 1,35 x 106 sampai 1,70 x 106 dalton. Bentuk virus yaitu ikosahedral
simetri, memiliki 32 kapsomer dan berukuran 18 sampai 26 nm.
Gambar 1. Struktur parvovirus anjing.
(Sumber : http://www.bostonterrierhub.com/images/parvo-virus-1.jpg.)
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus tahan selama 3 hari pada suhu 100°C. Virus juga tahan terhadap
asam, desinfektan (deterjen dan alkohol) dan pelarut lemak ( eter, kloroform)
atau proses cair beku (freezing dan thawing). Virus peka terhadap clorox
dengan pengenceran 1:30. Virus stabil pada pH 3-9 dan suhu 56°C. Virus
menjadi inaktif dalam formalin, beta propiolakton (BPL) dan binary ethylenimine
(BEI). Virus dalam tinja ini tahan selama 1 - 2 minggu sesudah infeksi. Virus
yang ada dalam tinja tetap hidup pada suhu kamar dan bersifat menular
selama 6 bulan. Canine parvovirus dapat mengaglutinasi sel darah merah
babi pada pH di bawah 6,8 dan berbagai jenis kera seperti African green
monkey, modgus monkey dan crab eating macaque. Tidak mengaglutinasi
sel darah merah sapi, kambing, domba, anjing, ayam, kalkun, marmot, tikus
dan hamster serta darah orang golongan O.
2. Spesies rentan
Semua jenis atau ras anjing (ras dan lokal) peka terhadap penyakit ini.
Dalam praktek, kasus paling banyak terjadi pada anjing ras. Anjing-anjing
liar dilaporkan juga terserang seperti wolves (Speothos venaticus), racoon
(Nyctereutes procyonoides, procyon lotor), dan coyotes (Canis latrans).
Anjing penderita PPA kebanyakan fatal terutama kelompok umur muda, umur
kurang dari 6 bulan.
3. Sifat Penyakit
Penyakit dapat bersifat sporadik atau endemik. Tingkat morbiditas dan
mortalitas tinggi. Anjing yang berumur muda antara 12 minggu terserang PPA
memiliki tingkat morbiditas 50 - 100% dan mortalitas sampai 50%, sedangkan
anjing dewasa tidak lebih dari 1 %.
4. Cara penularan
PPA ditularkan melalui kontak langsung antara anjing tertular dengan
yang sehat melalui makanan dan minuman tercemar virus. Penularan melalui
feses dan bahan muntahan yaitu cara yang paling menonjol. Virus
dalam feses diperkirakan titernya 109 TCID 50/gram, puncak titer dicapai
sesudah 4 sampai 7 minggu. Penularan virus secara pasif dapat terjadi
melalui orang-orang yang pernah berhubungan langsung dengan anjing
sakit, seperti perawat anjing atau dokter hewan. Produk biologis, peralatan
kandang, tempat praktek dokter hewan, pet shop dan lingkungan lain yang
tercemar virus yaitu sumber penular PPA.
5. Distribusi Penyakit
Pada pertengahan tahun 1978 telah terjadi wabah penyakit parvovirus
pada anjing yang kejadiannya secara simultan di Amerika Serikat.
berdasar studi sero-epidemiologis dan dengan pemeriksaan mikroskop
elektron menunjukkan canine parvovirus. Penyakit juga ditemukan endemik,
seperti dilaporkan di Amerika Selatan, Australia, Inggris, Eropa, Mexico,
Canada, Finlandia, Afrika Selatan dan Barat, Irlandia, Italia. Nederland, New
Zealand, Norwegia, Switzerland, Belgia dan di India. Kejadian di negara kita
hampir ditemukan di seluruh daerah.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Periode inkubasi penyakit pada infeksi peroral yaitu 5-10 hari dengan
titer 106 TCID50. Pada saat terjadi infeksi, virus mengadakan replikasi lokal
pada jaringan limfoid dan osofaring lalu diikuti dengan viremia selama
2 sampai 5 hari. Selama periode viremia virus dapat ditemukan atau diisolasi
pada sel epitel usus, otot jantung dan jaringan limfatik. Pada infeksi peroral,
antibodi dapat dideteksi 5 hari sesudah infeksi dan level antibodi dicapai
sesudah gejala klinis terlihat. Titer antibodi maksimum dicapai 1 minggu
sesudah infeksi. Antibodi ini tetap konstan dengan level yang tinggi (titer HI
640 lebih dari 2 tahun).
Gejala klinis anjing terserang PPA ada 2 bentuk yaitu bentuk enterik dan
miokarditis non supuratif. Kedua bentuk ini dipicu oleh virus yang sama.
ini telah dibuktikan melalui transmisi percobaan. Isolat PPA (103 HA unit)
dari kasus miokarditis lalu disuntikkan pada anak anjing umur 4 dan 7
minggu, sesudah 3 hari timbul gejala klinis PPA bentuk enterik. Masa inkubasi
PPA bentuk enterik berlangsung 5 sampai 10 hari. Gejala awal ditandai
dengan demam (39,5 sampai 41,5°C), depresi, mukosa hidung kering, nafsu
makan turun, kelemahan dan muntah. Isi muntahan berwarna putih keabu-
abuan dan encer. Feses konsistensinya lunak lalu menjadi encer
berwarna kuning kehijauan bahkan encer gelap karena bercampur darah
dan baunya sangat amis. Pada kondisi ini suhu tubuh mulai turun berlanjut
ke suhu subnormal menjelang kematian. Kontraksi otot anus berkurang
sehingga anjing mengalami diare tidak terkontrol. Karena muntah yang terus
menerus memicu anjing mengalami dehidrasi hebat yang dapat dilihat
dari turgor kulit. Selaput lendir mata pada saat demam terlihat kongesti dan
pucat (anemik) bahkan sianosis akibat dehidrasi karena diare dan mencret
darah. Kematian dapat terjadi dalam waktu 49 sampai 72 jam.
Anak anjing sering mati mendadak tanpa menunjukkan tanda Klinis.
Kematian yang mendadak ini umumnya dipicu oleh PPA bentuk
miokarditis. Bentuk jantung ini akibat kegagalan konduksi jantung disertai
dengan distres pernafasan. Pada bentuk jantung ini terlihat tanda-tanda
klinis berupa sesak nafas, muntah, aritmia jantung dan edema paru. Kasus
miokarditis akut dan kronis pernah dilaporkan pula dan bentuk penyakit ini
dapat diproduksi kembali melalui penyuntikkan intra uterus 8 hari sebelum
melahirkan. Anak anjing yang dilahirkan biasanya menunjukkan miokarditis
akut dan kronis. Miokarditis kronis muncul sesudah 87 jam dan 131 hari
penyuntikkan. Terkadang ditemukan gangguan pernafasan yang ditandai
dengan leleran hidung yang bersifat mukopurulen 3 hari sesudah sakit,
sedangkan anjing yang sedang bunting jika ditulari dengan PPA akan
terjadi keguguran dan kematian embrio dini atau absorpsi fetus.
2. Patologi
Di dalam rongga perut ada cairan ascites sebanyak 5 - 10 ml.
Kelenjar limfe mesenterial membesar, edematus dan warnanya agak pucat,
kortexnya mengalami perdarahan ptekie. Hati tampak kongesti, lobus paru
bagian kranial dan medial terutama di daerah pleura berwarna merah abu-
abu kekebiruan bahkan sampai kekuningan dan di dalam bronki ditemukan
eksudat mukopurulen. Jantung tampak membesar dan warnanya pucat.
Permukaan epikardio tidak rata dan ada alur yang warnanya abu-abu
kebiruan meluas sampai ke endokardium sering pula ditemukan bercak
putih. Apex dan ventrikel kiri mengalami dilatasi, serosa jejunum dan ileum
kadang-kadang duodenum juga sering mengalami perdarahan ekimose.
Lumen usus halus ini berisi feses berwarna merah gelap, encer dan berbau
sangat amis. Mukosa usus mengalami kongesti sampai hemoragis. Antara
bagian pylorus yang normal dengan bagian usus halus yang mengalami
perdarahan ada garis demarkasi. Mukosa ileum berisi material nekrosis
berupa perkejuan yang menutupi bagian usus yang mengalami perdarahan.
Mukosanya mengalami ulserasi yang agak dalam. Pada beberapa kasus
terjadi prolapsus rektum. Timus tampak atrofi dan sel limfoid mengalami
nekrosis atau deplesi kortikal.
Perubahan histopatologi dari usus antara lain edematus, villi usus
mengalami atrofi dan erosi. Permukaan villi usus tampak hampir rata dengan
permukaan epitel dan sangat jelas terlihat pada ileum dan jejunum.
Pembuluh darah di bagian submukosa dan tunika muskularis usus
tampak kongesti sampai hemoragis, sel epitel hiperplasia kadang-kadang
terjadi balooning degeneration dan nekrosis. Di daerah nekrosis ini dapat
ditemukan sel plasma, limfosit dan makrofag. Kripta usus sering terlihat
hanya dibatasi oleh sel epitel yang tidak teratur dan di dalam Peyer patche’s
ditemukan deplesi sel limfoid dan diganti oleh limfosit matang. Jantung
mengalami pembesaran karena edema dan otot jantung mengalami
degenerasi akut. Struktur serabut otot terlihat longgar karena mengalami
edema serta ada infi ltrasi intersisial oleh limfosit dan sel plasma. Di
dalam inti sel miofi bril ditemukan badan-badan inklusi eosinofi lik.
Gambaran mitosis sering pula dapat ditemukan pada sel miosit jantung.
Sinusoid periasiner hati terlihat distensi dan vakoulisasi hepatosit periasiner
disertai nekrosis koagulasi bersifat fokal dan degenerasi. Paru pada
keadaan awal penyakit terjadi bronkopneumonia akut dan jika penyakit
sudah melanjut terjadi pneumonia intersisial. Sel endotel pembuluh darah
mengalami proliferasi disertai perivascular cuffi ng oleh sel berinti tunggal
terutama limfosit. Terjadi penggantian struktur hematopoitik normal yaitu
deplesi granulosit dan prekursor eritroid. Limpa, kelenjar limfe dan timus,
struktur limfoidnya mengalami deplesi yang hebat. Subkapsul dan sinusoid
dari medulanya terlihat edematus. Deplesi limfoid dari limpa terutama
deplesi limfo-plasmatik dan sering pula meluas sampai ke bagian pulpa
merah. Kelenjar limfe edematus, sel limfoidnya mengalami deplesi dan
beberapa makrofag dapat ditemukan. Sel endotel sinusoid membesar dan
terlihat hipokromatik. Timus mengalami atrofi dan sel limfoid di daerah kortex
mengalami deplesi.
Pada pemeriksaan hematologi pada awal penyakit dari kasus alami
terjadi leukopenia dengan jumlah 300-3.000 sel/mm3. Banyak ditemukan
limfosit berinti ganda dan belum matang (immature) membelah diri. Pada
stadium kesembuhan terjadi leukositosis.
3. Diagnosa
Canine Parvovirus dapat didiagnosa secara klinis dan patologis, akan
tetapi dapat dikonfi rmasi dengan isolasi dan identifi kasi agen penyebab.
Pada kasus alami partikel virus dapat diperiksa di bawah mikroskop
elektron. Partikel virus dalam feses biasanya dapat diperiksa pada hari
ke-3 sampai 7 sesudah infeksi atau sesudah titer virus mencapai puncaknya
pada hari ke-12. Antigen dalam jaringan dapat dideteksi dengan fl uorescent
antibody technique (FAT). Aktivitas virus dalam feses dapat diuji dengan uji
hemaglutinasi (HA) memakai sel darah merah babi dan kera (Rhesus
atau African green monkey). Aktivitas hemaglutinasi berhenti antara hari ke-
7 sampai 9 pasca infeksi. Antibodi dapat dideteksi dengan uji hambatan
hemaglutinasi (HI) pada hari ke-3 dan 4 sesudah infeksi. Teknik yang Iebih
maju telah dikembangkan, seperti enzyme linked immunosorbent assay
(ELISA) untuk deteksi antigen dalam feses. Disamping itu dapat juga
dipakai agar gel precipitation (AGP), counter immunoelectrophoresis atau
serum netralisasi (SN).
4. Diagnosa Banding
Canine parvovirus memiliki gejala klinis yang sangat mirip dengan
beberapa penyakit seperti feline panleukopenia, minute virus enteritis, canine
distemper, koksidiosis dan ancylostomiasis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Bahan pemeriksaan untuk isolasi virus diambil swab rektum atau
potongan jaringan usus, limpa, kelenjar limfe mesenterialis, sumsum tulang,
hati, paru dan jantung lalu ditampung dalam botol yang berisi fi ksatif
bufer fosfat gliserin 50% atau media Hank’s berisi antibiotika. Bahan untuk
pemeriksaan antibodi dapat diambil darah tanpa antikoagulan. selain itu juga
diambil jaringan yang lengkap dalam formalin buffer 10% untuk pemeriksaan
histopatologis atau imunohistokimia.
pengobatan :
1. Pengobatan
Tidak ada pengobatan yang efektif, pemberian cairan dextrose dan
elektrolit (lactated ringer) sangat membantu menambah tenaga dan
mencegah dehidrasi. Diikuti dengan pemberian antibiotika (penisilin dan
streptomisin) untuk mencegah infeksi sekunder oleh bakteri.
2. Pelaporan, Pencegahan dan Pengendalian
a. Pelaporan
Setiap ada kasus PPH harus dilaporkan kepada Dinas Peternakan
setempat yang tembusannya disampaikan kepada Direktorat Kesehatan
Hewan untuk diambil tindakan pencegahan.
b. Pencegahan dan Pengendalian
Terhadap anjing yang sehat dilakukan vaksinasi secara teratur
memakai vaksin aktif atau inaktif. Vaksinasi pertama dilakukan pada
umur 6 -8 minggu, vaksinasi kedua pada umur 12 minggu dan diulang
setiap tahun. Vaksinasi dengan vaksin panleukopenia dapat dilakukan
karena memberikan respon antibodi yang lebih tinggi dan timbul lebih
awal. Kegagalan vaksinasi pada anjing yang berumur kurang dari 3
bulan dipicu karena anak anjing masih memiliki antibodi maternal.
PENYAKIT JEMBRANA
Sinonim. Penyakit Rama Dewa
Penyakit Jembrana yaitu penyakit viral yang bersifat menular pada sapi
Bali, ditandai dengan demam, peradangan selaput lendir mulut (stomatitis),
pembesaran kelenjar limfe preskapularis dan prefemoralis dan parotid, terkadang
disertai keringat darah (blood sweating). Kerugian ekonomi diakibatkan penyakit
ini cukup besar karena mempengaruhi lalu lintas ternak dan hasil olahannya
antar pulau.
etiologi
Penyakit Jembrana dipicu oleh retrovirus. Virus ini berbentuk pleomorf,
beramplop dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic Acid
(ss-RNA), berukuran 80 - 120 nm. Virus memiliki enzim reverse transkriptase,
berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana
memiliki 4 protein utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45. Protein p26 berekasi
silang dengan protein dari bovine immunodefi siency virus (BIV). Virus Jembrana
ini selain memiliki hubungan antigenik dengan BIV, juga berhubungan dengan
Human Immunodefi ciency Virus (HIV) , Simian mmunodefi cilency Virus (SIV),
Feline Immoundefi ciency Virus (FIV), Maedi Visna Virus (MVV), Caprine Arthritis
Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine Infectious Anemia Virus (EIAV).
epidemiologi
1. Sifat Alami Agen
Virus Jembrana peka terhadap kloroform dan eter serta tahan terhadap
sodium deosikolat (1:1000). Inaktif oleh formalin serta peka terhadap pH yang
ekstrim (3.0 dan 12.0). Virus segera mengalami denaturasi jika dipanaskan
pada suhu 55°C selama 15 menit. Agen yang ada dalam daging yang
dipanaskan pada suhu 22-25°C masih infektif selama 36 jam, atau dalam
plasma dengan suhu 4°C infektif selama 72 jam dan stabil dalam jangka
waktu yang lebih lama jika disimpan pada suhu -70°C. Virus dalam plasma
yang disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam terjadi penurunan titer dari 108
menjadi 102ID50 /ml. Titer dari agen juga menurun jika dilakukan proses cair
beku (freezing dan thawing) yang cepat pada suhu -70°C atau penurunan
titer yang sama jika dibekukan pada suhu -70°C selama 1 - 2 bulan.
Virus Jembrana dapat ditumbuhkan pada hewan percobaan dan in
vitro pada biakan sel. Virus dapat tumbuh pada telur ayam berembrio melalui
berbagai rute melalui allantois, korioallantois, selaput kuning telur dan
intravenous. Kematian embrio terjadi sesudah hari ke 4-7. ditandai perdarahan
di bawah kulit dari embrio. Demikian juga telah dicoba pada biakan sel primer
seperti sel paru, limpa, ginjal, testis dan otot fetus, sel makrofag dari darah
perifer, serta Vero (Vero-E6 dan CV1) (African green monkey), embryonic
bovine tubinate (EBTI), Mardin Darby bovine kidney (MDBK), HeLa dan
baby hamster kidney (BHK21) tidak memicu cytopathogenic effect
(CPE), kecuali dari biakan sel makrofag sesudah 2 kali pasase dan dan sel
mononuklear sesudah 7,14 dan 21 pasase mampu memicu gejala klinis
pada sapi percobaan.
2. Spesies rentan
Spesies rentan hanyalah sapi Bali. Pada infeksi buatan pada sapi
Ongole, persilangan antara sapi Bali dan Ongole, FH (Bos taurus) dan
kerbau (Bubalus bubalis), babi, kambing dan domba menunjukan terjadi
infeksi dengan gejala klinis yang sangat ringan dan di dalam darahnya dapat
dideteksi antibodi. Umur sapi yang paling peka yaitu lebih dari 1 tahun (6
bulan - 6 tahun). Umur sapi yang paling muda pernah dilaporkan yaitu 4
minggu dan tertua 9 tahun. Tidak ada perbedaan kepekaan diantara
jenis kelamin terhadap penyakit Jembrana.
3. Cara Penularan
Penularan terjadi secara horisontal yaitu kontak langsung antara sapi
sakit dengan yang sehat dan tidak terjadi secara vertikal, oleh karena dari
hewan karier melahirkan pedet yang normal. Pada stadium akut titer virus JD
dalam plasma darah yaitu tinggi (108,0 ID50/ml) dan sapi yang sembuh dari
penyakit akut sangat potensial sebagai sumber infeksi karena terjadi viremia
yang persisten dan berlangsung selama 60 hari dan titer virus 101,0ID50,/ml .
Telah diduga sebelumnya bahwa penyakit Jembrana yaitu insect born
disease, yaitu penularan penyakit lewat vektor insekta, seperti Culicoides sp
dan nyamuk. Tabanus rubidus memiliki potensi sebagai penular virus JD di
lapangan secara mekanis.
4. Sifat Penyakit
Kejadian penyakit cenderung bersifat endemik, tersebar di seluruh
kabupaten di Bali, kejadian paling tinggi yaitu di kabupaten Jembrana dan
Tabanan, paling rendah di kabupaten Bangli.
Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit pada saat wabah yang terjadi
pada tahun 1965-1964 yaitu tinggi. Pada bulan Desember 1964, tingkat
mortalitas 98,8% dan rata-rata tingkat mortalitas pada tahun 1965, 1966 dan
1967, masing-masing 71.6%, 31.3% dan 38,6%. Wabah berikutnya yang
terjadi di kabupaten Tabanan pada tahun 1971–1972, tingkat mortalitasnya
22,0%, sedangkan wabah yang terjadi di Lampung yang dikenal sebagai
penyakit Rama Dewa, tingkat kematian kasus atau case fatality rate (CTR)
12,5% - 71,0% (rata-rata 50%).
5. Distribusi Penyakit
Penyakit Jembrana belum pernah dilaporkan di luar negeri, penyakit ini
yaitu asli dari negara kita .
Di negara kita , penyakit ini pertama kali dilaporkan mewabah di Desa
Sangkar agung, kecamatan Negara, Kabupaten Jembrana pada bulan
Desember 1965, lalu dalam waktu 8 bulan (Januari sampai Agustus
1965) penyakit dengan cepat menyebar ke beberapa kabupaten di Bali.
Penyakit yang sama juga terjadi di desa Rama Dewa, Kecamatan Seputih
Raman, Kabupaten Lampung pada bulan Mei 1976 yang lalu disebut
penyakit Rama Dewa. Selanjutnya juga terjadi di kabupaten Banyuwangi
provinsi Jawa Timur pada bulan November 1978. Dalam tahun 1978-1988
kejadian penyakit di Bali bersifat endemik tersebar di 26 kecamatan, kecuali
kecamatan Nusa Panida Lembongan dan Ceningan bebas penyakit Jembrana.
Kasus paling banyak terjadi di kabupaten Buleleng, Tabanan dan Jembrana
(Anon, 1989) dan sejak tahun 1989-1995 tidak ada laporan kasus penyakit
ini di Bali. Sapi yang sembuh memiliki antibodi protektif yang berlangsung
lama atau sebagian besar sapi yang peka telah dijual unutuk dipotong.
Kejadian penyakit selanjutnya dilaporkan pula di provinsi lain seperti kasus
wabah yang terjadi di Sumatera Barat (1992) dan Kalimantan (1993) serta
secara serologis penyakit telah tersebar hampir di seluruh negara kita , seperti
Sumatera (Lampung, Sumatera Barat, Jambi dan Riau), Jawa (Banyuwangi),
Kalimantan (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah) sedangkan daerah
lain seperti Madura, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Timur dan Timor Timur
dan Nusa Tenggara Barat (Lombok) negatif antibodi.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit Jembrana bersifat konsisten baik pada kasus
alami maupun infeksi buatan, yaitu terjadi demam, depresi, anoreksia dan
pembesaran kelenjar limfe (limfadenopati). Periode inkubasi pada kasus alami
sangat sulit ditentukan namun pada kasus infeksi buatan dapat diketahui yaitu
antara 2-7 hari. Periode inkubasinya 2 hari jika hewan disuntik dengan
material yang disimpan dalam es selama 7 hari. jika dipakai material
yang disimpan pada suhu -20°C selama 34 hari. Periode inkubasinya 7 hari
(Pranoto dan Pujiastono, 1967) dan ternyata ada hubungan linier antara
jumlah agen yang disuntikkan pada sapi Bali yang peka dan periode inkubasi
yaitu bervariasi antara 4,5-12 hari.
Ternak yang terserang ditandai dengan demam tinggi (39,5-42°C)
lalu turun ke suhu normal dan menjadi sub normal saat menjelang
kematian. Demam mulai timbul pada hari ke 3 – 7, diikuti dengan konstipasi
yang berlanjut dengan diare encer berdarah serta ternak tampak kurus dan
bulu kusam. Kelenjar limfe superfi sial (prescapularis, prefemoralis dan parotid)
membesar. Pada infeksi percobaan, kelenjar limfe mengalami pembesaran
sangat hebat terjadi pada hari ke 5 - 7. Selaput lendir mulut mengalami erosi.
Erosi ini dapat ditemukan pada permukaan dorsal lidah, bibir bawah, gusi,
bantalan gigi dan perdarahan bentuk garis dapat ditemukan pada basis
lidah. Akibat erosi selaput lendir tersebut akan merangsang keluarnya air liur
berlebihan (hipersalivasi).
Erosi juga ditemukan pada selaput lendir vagina. Disamping itu
konjungtiva meradang (conjunctival vaso injection) kadang-kadang ada
klot darah disudut mata depan dan diikuti dengan keluarnya sekresi air mata
(lakrimasi). Pada beberapa kasus juga ditemukan keringat darah (blo