Tampilkan postingan dengan label Infeksi bakteri kulit. 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Infeksi bakteri kulit. 1. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Juli 2025

Infeksi bakteri kulit. 1

 







Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak mempunyai morfologi 

spesifik yang dapat diidentifikasi oleh para klinisi. Manifestasi klinis pada 

kulit dapat menjadi tanda keterlibatan proses sistemik atau hanya infeksi 

yang terlokalisasi superfisial (James et al., 2016). Infeksi pada kulit dan 

jaringan lunak terjadi pada 10% kasus infeksi bakteri sebagai penyebab 

rawat inap rumah sakit. Mayoritas infeksi bakteri pada kulit dan jaringan 

lunak dapat sembuh dalam 7 sampai 10 hari. Estimasi prevalensi infeksi 

bakteri pada kulit dan jaringan lunak sulit dapat ditentukan secara pasti 

karena manifestasi klinis dan lama infeksi yang bervariasi. Pada tahun 

2006, insidensi infeksi bakteri pada kulit sebesar 24,6 terhadap 1000 orang 

per tahun. Insidensi semakin meningkat karena populasi usia tua dan 

individu dengan penyakit kritis, kondisi imunokompromais Human 

Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) 

yang semakin meningkat jumlahnya. Penyebab lain dari peningkatan 

insidensi yaitu  makin banyaknya pemakaian obat-obatan imunosupresi, 

keganasan, transplantasi organ, tindakan intervensi medis, dan infeksi 

luka operasi . Infeksi kulit dan 

jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri piogenik tersering yaitu  

S. aureus dan Streptokokus -hemolitik grup A antara lain S. pyogenes

(Perdoski, 2017). Terapi infeksi bakteri pada kulit juga menjadi tantangan 

tersendiri karena peningkatan insidensi tersebut. 



PATOGENESIS DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI BAKTERI PADA KULIT

Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak akibat dari ketidakseimbangan 

antara kemampuan mikroorganisme patogen dan mekanisme pertahanan 

tubuh manusia. Perkembangan dan evolusi infeksi bakteri meliputi 3 

faktor utama, yaitu: lokasi masuk dan fungsi barrier kulit, pertahanan host, 

respons inflamasi terhadap invasi mikroba, dan sifat patogenik organisme 

Faktor risiko pada infeksi bakteri kulit berdasarkan faktor pasien, 

lokal atau sistemik, dan lingkungan. Faktor risiko pasien memengaruhi 

prognosis infeksi dan respons terhadap terapi, namun tidak terkait dengan 

keparahan infeksi (Tabel 1.1).


LOKASI MASUK

Kulit anak dan orang dewasa normal relatif resistan terhadap infeksi. 

Sebagian besar infeksi kulit terjadi ketika terdapat kerusakan barrier

kulit. Maserasi, mencukur, luka kronis, ekskoriasi gigitan serangga yang 

gatal, variasi pH kulit, kondisi kulit kering, kelainan inflamasi kulit, 

dan kerusakan barrier epidermis akibat patogen lainnya merupakan

beberapa cara bakteri melewati barrier kulit (Tognetti et al., 2012; Craft, 

2012). Karakter respons inflamasi kulit terhadap bakteri akan dipengaruhi 

oleh cara organisme tersebut mencapai area yang terlibat. Inflamasi 

lokal dan supurasi pada umumnya menyertai infeksi bakteri pada kulit. 

Bakteri tertentu dapat menyebabkan bakteremia atau lesi yang jauh tanpa 

membangkitkan respons inflamasi yang jelas pada lokasi masuknya. 

(

RESISTANSI ALAMIAH KULIT

Kulit normal pada individu yang sehat sangat resistan terhadap invasi 

berbagai macam paparan bakteri yang terus-menerus. Kulit yang intak 

sulit untuk menyebabkan infeksi lokal seperti impetigo, furunkulosis, 

atau selulitis. Organisme patogen seperti S. pyogenes (Streptococcus group 

A/GAS) dan S. aureus dapat menyebabkan lesi selulitis dan furunkulosis 

yang khas pada host dengan daya tahan tubuh normal, umumnya karena 

terdapat kerusakan pada barrier kulit. Keberadaan benang silk, pada 

kasus S. Aureus, menurunkan jumlah organisme yang diperlukan untuk 

menimbulkan abses pada kulit manusia (Craft, 2012; Stevens et al., 2014).

Bakteri tidak mampu menembus lapisan keratin kulit normal, dan 

jika diaplikasikan pada permukaan kulit, jumlahnya akan berkurang 

dengan cepat. Maserasi dan oklusi yang menyebabkan peningkatan pH, 

peningkatan kandungan karbondioksida, dan peningkatan kandungan 

air di epidermis menyebabkan peningkatan jumlah flora bakteri secara 

dramatis. Beberapa bakteri, misalnya bakteri gram negatif, hanya dapat 

ditemukan di lokasi tersebut, hal itu menunjukkan bahwa kondisi kulit 

normal dapat mencegah kolonisasi bakteri di kulit 

Lipid pada permukaan kulit juga memiliki sifat antibakteri. 

Berkurangnya lipid pada permukaan kulit dapat memperpanjang lama 

ketahanan hidup S. Aureus pada kulit. Asam lemak bebas, asam linoleat, 

dan linolenat, lebih menghambat S. Aureus daripada stafilokokus koagulase 

negatif yang merupakan bagian dari flora normal kulit. Sfingosin,

glukosilseramid, dan asam cis-6-heksadekonat diketahui memiliki sifat 

antimikroba terhadap S. Aureus 

PEPTIDA ANTIMIKROBA

Kulit manusia mengandung berbagai macam protein yang mempunyai sifat 

antimikroba. Peptida antimikroba (AMPs) diekspresikan pada permukaan 

kulit, serta kelenjar ekrin, dan saliva. Keratinosit yang teraktivasi akan 

memproduksi AMPs. AMPs yang diproduksi di keratinosit akan dikirim 

ke permukaan kulit di badan lamelar, dan keberadaannya pada permukaan 

kulit sangat berhubungan dengan produksi lipid stratum korneum 

kulit normal. Masuknya protein ini ke dalam membran menyebabkan 

kerusakan membran dan kematian mikroba. Prinsip kedua yaitu  AMPs 

akan diproses oleh enzim pada permukaan kulit setelah dilepaskan, 

menghasilkan peptida multipel yang masing-masing mempunyai aktivitas 

dan target yang berbeda. Prinsip ketiga, AMPs tidak hanya membunuh 

mikroba secara langsung, namun juga sebagai pengaktivasi respons imun 

host yang poten. Dua AMPs utama pada kulit yaitu  katelesidin (LL-37) 

dan defensin 

Penurunan bermakna molekul tersebut pada kulit pasien dermatitis 

atopik yang mengalami peradangan dapat berhubungan dengan 

kerentanan pasien atopik terhadap infeksi S. aureus, virus herpes simpleks, 

dan virus vaksin. Sitokin T helper 2 secara spesifik menekan produksi 

AMPs ini. Hal tersebut menjelaskan mengapa kulit psoriasis yang memiliki 

kadar AMPs normal atau meningkat lebih tidak rentan terhadap infeksi 

bakteri dan virus. 

GAMBARAN SPESIFIK RESPONS INFLAMASI HOST TERHADAP 

INFEKSI KULIT

Sistem imun adaptif yang membutuhkan perkembangan sel target 

dan antibodi sangat efektif untuk melindungi manusia dari infeksi 

segera setelah sel efektor dan antibodi diproduksi. Namun, sistem 

imun ini memerlukan waktu beberapa hari, sedangkan replikasi dan serangan bakteri terjadi dalam beberapa jam. Sistem ini tergantung pada 

serangkaian pola reseptor pengenal (pattern recognition receptors/PRRs) yang 

mengenali pola molekuler patogen (pathogen-associated molecular patterns

(PAMPs)). Perlekatan PRRs pada PAMPs menghasilkan opsonisasi dan 

aktivasi sistem komplemen serta induksi jalur sinyal inflamasi. Proses ini 

melibatkan setidaknya tiga PRRs, yaitu: (1) AMPs yang merupakan peptida 

antimikroba, (2) Toll-like receptors (TLRs), dan (3) sistem komplemen. Ketiga 

sistem ini mengikat bakteri setelah mereka memasuki kulit, dan melalui 

interkomunikasi dan sinyal netrofil serta sel imun lain, sistem ini penting 

untuk membawa sel yang dibutuhkan untuk menghancurkan patogen ke 

tempat infeksi 

TLRs merupakan repertoar dari PRRs. TLRs terdapat pada membran 

sel dan mengenali ligan eksogen tertentu yang unik pada mikroorganisme 

penyerang, yang tidak ditemukan pada host. Mereka memerankan peran 

utama sebagai sensor primer terhadap patogen penyerang. Sebagai contoh, 

TLR2 mengenali peptidoglikan pada permukaan bakteri gram positif dan 

TLR4 mengenali lipopolisakarida pada bakteri gram negatif. TLRs tidak 

hanya berikatan pada mikroba penyerang, namun juga mengatur respons 

imun tipe apakah yang akan dihasilkan untuk patogen spesifik tersebut. 

TLRs melakukan ini dengan menginstruksikan antigen presenting cell yang 

telah mengikat organisme untuk mensekresikan sitokin yang tepat untuk 

menghasilkan lingkungan imunologis yang diinginkan dan respons imun 

adaptif yang diperlukan 

Komplemen diaktivasi saat mannin-binding lectin berikatan pada 

pola karbohidrat bakteri dan mengaktivasi C2 dan C4. Aktivasi C3 

membebaskan C3a dan C3b. C3b pada membran menimbulkan opsonisasi 

dan peningkatan fagositosis. Pembelahan C5 menimbulkan C5a, suatu 

aktivator poten netrofil dan stimulator sitokin proinflamatori, termasuk 

interleukin 1 (IL-1) dan IL-8. Kompleks penyerang membran (membrane 

attack complex) dibentuk setelah kaskade komplemen komplit dan 

membunuh mikroba penyerang. Komponen komplemen juga memodulasi 

sistem imun, dan merubah stimulasi TLR pada beberapa jalur aktivasi. 

Sistem imun alamiah, melalui komplemen dan TLRs, mengatur sistem

imun adaptif untuk merespons mikroba yang masuk secara tepat. Respons 

imun alamiah yang terperinci ini menjelaskan adanya respons klinis yang 

berbeda untuk berbagai infeksi bakteri. Agen infeksius, lokasi anatomis 

infeksi, dan pola respons inflamasi menimbulkan lesi klinis 

PERUBAHAN POLA INFEKSI BAKTERI PADA KULIT

Tiga faktor yang menyebabkan peningkatan prevalensi dan virulensi 

infeksi bakteri. Pertama, telah ditemukan patogen baru, seperti Bartonella

spp, yang sebelumnya tidak diketahui dapat menyebabkan penyakit pada 

manusia. Kedua, bakteri itu sendiri menjadi lebih sulit untuk diterapi 

karena faktor virulensi dan terjadi resistansi antibiotika. Ketiga, adanya 

peningkatan jumlah pasien imunokompromais akibat meningkatnya 

jumlah lanjut usia, infeksi HIV, dan kondisi imunosupresi iatrogenik. 

Selain patogen yang umum, berbagai anggota mikrobiom kulit nonpatogen 

dapat menyebabkan penyakit pada pasien yang lemah atau pada individu 

dengan perubahan imunitas humoral maupun selular 

Imunodefisiensi dengan imunoglobulin yang rendah dan neutropeni dapat 

menurunkan kemampuan migrasi neutrofil. Pasien dengan HIV seringkali 

berkaitan dengan infeksi kulit piogenik yang parah dan pengobatan yang 

refrakter 

KLASIFIKASI INFEKSI BAKTERI PADA KULIT 

Infeksi bakteri kulit dan jaringan lunak terdiri dari beberapa gejala 

klinis, etiologi, dan keparahan yang bervariasi dari ringan sampai berat 

bahkan yang mengancam jiwa. Klasifikasi Infeksi pada kulit berdasarkan: 

kulit yang terlibat tanpa dan dengan komplikasi pada keterlibatan area 

yang lebih dalam; progresivitasnya, yaitu infeksi akut dan kronis; dan 

berdasarkan adanya nekrosis jaringan atau yang tidak didapatkan nekrosis

Penemuan bakteri spesifik sebagai penyebab infeksi kulit mendorong 

dibentuknya klasifikasi penyakit kulit berdasarkan bakteri patogen 

dibandingkan berdasarkan morfologi. Pada banyak kasus agen infeksius 

yang diidentifikasi melalui kultur hasilnya belum dapat diketahui dalam 

1 hari. Selain itu, Impetigo, selulitis, dan necrotizing fasciitis merupakan 

3 contoh patogen multipel dapat menyebabkan pola klinis yang sama 

sehingga keputusan terapi dibuat berdasarkan patogen yang paling 

dicurigai sebagai penyebab. Oleh karena itu, klasifikasi morfologis pada 

lesi kulit sangat penting dan dapat mengarahkan uji diagnosis awal serta 

terapi antibiotik empiris 

Infeksi bakteri pada kulit terbagi menjadi: (1) infeksi primer (pioderma), 

(2) infeksi sekunder, (3) manifestasi kulit akibat penyakit bakteri sistemik, 

dan (4) kondisi reaktif akibat infeksi pada lokasi yang jauh. Infeksi bakteri 

primer disebabkan oleh invasi spesies tunggal bakteri patogen pada kulit 

normal. Impetigo, erisipelas, dan furunkulosis merupakan contoh infeksi 

kulit primer. Sebaliknya, infeksi sekunder terjadi pada lokasi yang telah 

mengalami kerusakan kulit. Walaupun bakteri yang ada bukan merupakan 

penyebab kelainan kulit yang mendasari, proliferasi bakteri dan invasi 

yang terjadi selanjutnya pada area sekitar dapat memperburuk dan 

memperpanjang penyakit. Infeksi sekunder dapat terjadi jika telah terjadi 

kerusakan integritas kulit, atau jika terjadi perubahan kondisi imun lokal 

akibat penyakit kulit primer, diikuti infeksi bakteri. Berbeda dengan infeksi 

primer, infeksi sekunder menunjukkan beberapa organisme pada kultur, 

dan tidak jarang, sulit untuk menentukan bakteri mana yang merupakan 

penyebab utama. Pada eksaserbasi dermatitis atopik pemberian antibiotik 

dapat mengurangi jumlah S.aureus dan memberbaiki lesi dermatitis. Pada 

kasus infeksi sekunder, morfologi penyakit kulit primer hanya mengalami 

sedikit perubahan, dan adanya bakteri patogen yang menyebabkan 

eksaserbasi penyakit dapat diduga dari respons yang kurang terhadap 

pengobatan atau adanya eksasebasi kondisi yang tidak dapat dijelaskan STRATEGI DIAGNOSTIK

Identifikasi bakteri dari lesi kulit dapat memberikan informasi yang 

penting mengenai penyebab infeksi kulit. Walaupun tidak praktis 

untuk dilakukan pada beberapa kondisi, pemeriksaan hapusan dengan 

pengecatan gram dari bahan lesi infeksi kulit dapat membantu pemilihan 

terapi antibiotik sebelum diagnosis berdasarkan kultur dapat ditegakkan. 

Oleh karena itu, investigasi bakteriologis merupakan bagian penting pada 

evaluasi awal pasien dengan lesi kulit dan hal ini meliputi pengambilan 

sampel yang tepat, interpretasi hapusan dengan pengecatan gram, dan 

penggunaan media pertumbuhan selektif untuk kultur 

Pengecatan gram merupakan metode yang sangat cepat untuk 

memeriksa jumlah dan tipe bakteri pada suatu sampel, serta sifat eksudat 

inflamasi pada pus steril. Pengambilan spesimen yang tepat untuk pemeriksaan mikroskopis dan kultur perlu diperhatikan untuk mencegah 

kontaminasi. Aspirasi atau kultur dari batas selulitis menunjukkan hasil 

positif pada sekitar 16% pasien. Pada keadaan tidak didapatkan data 

dari aspirasi, biopsi dapat memberikan informasi. Lesi lokal dari kulit 

dan jaringan lunak pada pasien imunokompromi sebaiknya dibiopsi jika 

patogen gagal ditemukan pada pemeriksaan aspirasi 

Prosedur diagnostik lain di antaranya yaitu  fluoresensi antibodi 

(rapid direct fluorescence antibody staining). Penggunaan praktis prosedur ini 

pada infeksi bakteri kulit saat ini cukup terbatas. Penggunaan terbaiknya 

yaitu  untuk diagnosis spesifik infeksi yang jarang dijumpai namun 

serius. Beberapa jenis uji serologis dapat membantu diagnosis infeksi 

bakteri pada kulit. Pemeriksaan ini terutama penting pada kondisi dengan 

manifestasi kulit terjadi sekunder akibat penyakit sistemik (misalnya rose 

spot pada demam tifoid) 

Teknologi polymerase chain reaction (PCR) dapat diterapkan untuk 

diagnosis suatu bahan yang diambil dari biopsi punch jaringan lesi atau 

dari aspirat lesi vesikobulosa seperti yang digunakan untuk diagnosis 

infeksi pada cairan tubuh (cairan serebrospinal, cairan pleura, darah). 

Penggunaan prosedur ini paling bermanfaat jika dicurigai adanya satu 

spesies bakteri tertentu yang jarang, dan jika tersedia primer yang sesuai 

(

TERAPI ANTIBIOTIK

Pemilihan antibiotik yang sesuai harus diputuskan sejak awal berdasarkan 

tampilan lesi kulit, adanya tanda penyakit sistemik, dan pengecatan gram 

dengan bahan yang diambil dari lesi. Hasil kultur dan uji kepekaan 

antibiotik dari patogen yang diisolasi pada umumnya tersedia dalam 24–

48 jam. Faktor epidemiologi tambahan (sedang menjalani rawat inap atau 

penghuni panti jompo, penggunaan antibiotik baru-baru ini, neutropenia, 

dan status imun) harus dipertimbangkan dalam pemilihan terapi 

antibiotik. Selain itu, penting untuk menentukan pilihan berdasarkan data 

terakhir dari daerah lokal dan dari sumber terkini mengenai perubahan yang cepat pada pola resistansi antibiotik dari berbagai spesies bakteri 

Infeksi kulit primer dengan derajat keparahan ringan hingga sedang 

dapat diterapi dengan perawatan lokal, obat topikal, antibiotik oral, atau 

dengan kombinasi metode tersebut. Infeksi luas pada kulit, dengan atau 

tanpa manifestasi sistemik, harus diterapi secara agresif dengan antibiotik 

parenteral dengan dosis yang adekuat. Pada host imunokompromi, terapi 

infeksi kulit secara parenteral hampir selalu direkomendasikan 

Sejumlah faktor harus dipertimbangkan dalam pemberian 

antibiotik yaitu: terapi oral dapat dibatasi oleh gangguan absorbsi dan 

gastrointestinal; hipotensi dan penyakit kulit luas dapat menghambat jalur 

intramuskular; dan obat yang dipilih kemungkinan hanya dapat diberikan 

melalui rute spesifik. Profil metabolisme dari antibiotik yang diberikan 

harus selalu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kekurangan dosis 

atau akumulasi toksik dalam bentuk malfungsi organ spesifik (contohnya 

gangguan hepar atau renal).

TOKSISITAS

Toksisitas dari antibiotik harus dipertimbangkan secara individual, namun 

beberapa permasalahan dapat diterapkan untuk semua antibiotik. Reaksi 

hipersensitivitas relatif umum dijumpai dan meliputi ruam kulit, demam, 

atau manifestasi yang lebih berat seperti anafilaksis akut atau eritroderma 

eksfoliatif. Penisilin dan sulfonamid sering menyebabkan permasalahan 

ini. Riwayat alergi obat harus ditanyakan sebelum pemberian antibiotik. 

Seluruh antibiotik dapat mengubah flora normal, terutama obat dengan 

spektrum luas seperti sefalosporin. Gangguan gastrointestinal dan 

lesi pada mukosa oral merupakan masalah utama yang terjadi akibat 

perubahan flora. Reaksi obat lain (gangguan ginjal, hematologis, hepar, 

dan sistem saraf) akibat antibiotik dapat diterima jika penggunaannya 

lebih bermanfaatRESISTANSI ANTIBIOTIK

Mekanisme terjadinya resistansi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme. 

DNA asing yang mengandung gen resistansi antibiotik dapat ditransfer 

melalui: (1) transfer gen secara horisontal ke resipien melalui beberapa 

jalur; (2) konjugasi sel ke sel; (3) transformasi oleh naked DNA plasmid atau 

fragmen linear yang dilepaskan oleh sel mati; atau (4) transduksi yang 

dimediasi phage. Resistansi antibiotik juga dapat terjadi melalui mutasi de 

novo. Usaha untuk meminimalkan penggunaan antibiotik yang berlebihan 

dan menggunakan obat dengan spektrum antibiotik yang sempit harus 

dilakukan 

ANTIBAKTERI TOPIKAL 

Obat antibakteri topikal sering digunakan untuk mencegah dan menekan 

pertumbuhan bakteri pada lesi terbuka dan luka operasi. Pada kasus 

luka dermatologis dengan jahitan, antibiotik topikal seringkali tidak 

lebih baik dibandingkan petrolatum dan mempunyai efek yang terbatas 

dalam menurunkan infeksi pada luka. Selain itu, neomisin dan basitrasin 

topikal sering mencetuskan dermatitis kontak sehingga harus dihindari. 

Dermatitis kontak pada umumnya sering terjadi jika antibiotik topikal 

tersebut digunakan untuk ulkus tungkai akibat insufisiensi vena 

Di antara beberapa obat antibakteri topikal yang paling berguna 

antara lain asam asetat (1–5%) untuk infeksi kuku dan sela jari akibat 

Pseudomonas, gentamisin (0,17% krim) dapat digunakan pada pasien 

tertentu ketika campuran bakteri gram negatif membutuhkan supresi 

lokal, dan mupirosin (2% krim atau salep) dengan aktivitas antibakteri 

terhadap berbagai streptokokus dan S. aureus. Sejumlah antiseptik 

spektrum luas juga tersedia untuk penggunaan topikal. Povidon iodin 

(Betadine) efektif untuk sebagian besar bakteri gram positif dan negatif, 

namun tidak bertahan dalam kulit untuk menghasilkan efek residu. 

Klorheksidin glukonat (4% solusio) mengombinasikan sifat antibakteri spektrum luas dengan lama aksi yang panjang. Preparat alkohol sangat 

efektif dan tidak diabsorbsi ke darah. Antiseptik spektrum luas ini dapat 

digunakan sebagai profilaksis atau untuk mengobati luka lokal dan pada 

dermatosis yang mengalami infeksi superfisial 



DEFINISI

Impetigo termasuk salah satu pioderma superfisial, yang terdiri dari 2 

tipe, yaitu impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa/krustosa/kontagiosa. 

Impetigo bulosa merupakan infeksi bakteri lokal di lapisan epidermis 

kulit dengan manifestasi utama berupa bula. Impetigo nonbulosa atau 

impetigo kontagiosa atau impetigo krustosa merupakan infeksi bakteri 

lokal di lapisan epidermis kulit dengan gambaran klinis vesikel atau 

pustula yang cepat pecah menjadi krusta berwarna kuning seperti madu 

(honey-colored crusted plaque) 

EPIDEMIOLOGI

Impetigo lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dan bayi kurang dari 1 

tahun, tetapi juga dapat mengenai anak-anak. Impetigo bulosa terutama 

terjadi pada bayi baru lahir, walaupun dapat juga terjadi pada semua 

umur. Impetigo bulosa tipe neonatus merupakan tipe yang sangat mudah 

menular, dengan area tersering di wajah dan tangan. Kejadian impetigo 

nonbulosa sebesar 70% dari kasus pioderma, dapat terjadi pada anak 

maupun dewasa, dengan area tersering di wajah, leher, dan ekstremitas


ETIOLOGI

Impetigo bulosa disebabkan tersering oleh Staphylococcus aureus, 

sedangkan impetigo nonbulosa tersering disebabkan oleh Staphylococcus 

aureus dan Group A Streptococcus 

PATOGENESIS

Kulit merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap lingkungan. 

Adanya homeostasis yang tidak seimbang antara mikrob kulit dengan 

pejamu berhubungan dengan timbulnya impetigo bulosa. Impetigo bulosa 

disebabkan oleh exfoliatin (extracelullar exfoliative toxin) Staphylococcus 

aureus tipe A dan B. Exfoliatin tipe A bekerja sebagai serin protease dari 

desmoglein 1 (desmosomal chaderin). Sebuah studi mengenai impetigo 

bulosa, pada 51% pasien didapatkan kultur positif Staphylococcus aureus 

pada hidung dan tenggorok, dan 79% kultur disebabkan oleh strain yang 

sama di kedua area tubuh tersebut 

Kulit yang intak bersifat resistan terhadap kolonisasi atau 

impetiginisasi, kemungkinan karena tidak adanya reseptor fibronektin 

untuk asam teikoat pada Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus. 

Produksi bacteriocins, yang diproduksi oleh strain Staphylococcus aureus 

tertentu dan Group A Streptococcus yang bersifat sangat bakterisidal, hanya 

berperan jika ada isolasi Staphylococcus aureus pada beberapa lesi impetigo 

nonbulosa yang awalnya disebabkan oleh Streptococcus. Staphylococcus 

aureus menyebar dari hidung ke kulit normal kira-kira dalam 11 hari, 

kemudian timbul lesi kulit setelah 11 hari berikutnya. Lesi biasanya 

timbul pada wajah di sekitar hidung atau di ekstremitas setelah trauma. 

Staphylococcus aureus sebagai carrier di mukosa nasal dikonfirmasi terdapat 

di nasal anterior dan bibir; dengan pruritus sebagai keluhan tersering. 

Kondisi yang menyebabkan kerusakan integritas epidermis dapat menjadi 

port d’entry impetiginisasi, termasuk gigitan serangga, dermatofitosis, 

herpes simpleks, varisela, abrasi, laserasi, dan luka bakar akibat termal

MANIFESTASI KLINIS 

Manifestasi klinis khas impetigo bulosa berupa vesikel kecil yang cepat 

berubah menjadi bula yang mudah pecah; dapat juga timbul bula hipopion. 

Bula seringkali timbul di area intertriginosa, yaitu aksila, inguinal, gluteal; 

serta dapat juga timbul di dada dan punggung. Nikolsky sign (lepasnya 

epidermis akibat tekanan/gesekan) tidak didapatkan pada impetigo 

bulosa. Bula berisi cairan kuning muda, yang akan menjadi kuning 

gelap; dan lesi ini berbatas tegas tanpa adanya halo eritematosa. Bula 

terletak superfisial di lapisan epidermis, dan dalam 1 hingga 2 hari akan 

pecah, tetapi cepat mengering dan membentuk skuama anular dengan 

bagian tengah eritematosa (kolaret). Rasa gatal dan tidak nyaman dapat 

dikeluhkan oleh pasien 

Lesi awal dari impetigo nonbulosa berupa makula eritematosa kecil 

berukuran sekitar 2 mm yang kemudian berubah menjadi vesikel atau 

pustula dan cepat berevolusi menjadi honey-colored crusted plaque, yang 

diameternya bisa meluas hingga 2 cm. Lesi dapat dikelilingi oleh makula 

eritematosa. Gejala konstitusi dapat terjadi; limfadenopati regional terjadi 

pada 90% pasien dengan infeksi yang kronis dan tidak diterapi. Lesi yang 

tidak diterapi akan menjadi semakin luas dan dapat timbul lesi satelit di 

sekitarnya. Rasa gatal dan tidak nyaman dapat terjadi. Pada beberapa 

pasien, lesi dapat sembuh spontan; sedangkan pada individu yang lain 

lesi dapat meluas hingga ke dermis dan membentuk suatu ulkus 

Impetigo yang disebabkan oleh Streptococcus seringkali terjadi pada 

bagian tubuh yang terpajan lingkungan luar, terbanyak di ekstremitas 

inferior atau di wajah. Lesinya dapat terlokalisir, tetapi seringkali multipel. 

Walaupun limfadenitis regional seringkali terjadi, gejala sistemik jarang 

tampak .


Pemeriksaan Gram dari cairan eksudat impetigo bulosa menunjukkan 

kuman kokus Gram positif yang berkelompok. Kultur dan uji resistansi 

kuman terhadap antibiotik yang diambil dari sediaan lesi/aspirat dilakukan 

apabila lesi tidak responsif terhadap pengobatan empiris. Staphylococcus 

aureus didapatkan pada bula yang intak. Apabila lesi impetigo bulosa 

tidak spesifik, dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis, didapatkan 

gambaran histopatologis berupa vesikel/celah di lapisan subkorneal


atau stratum granulosum, sel akantolitik di dalam celah (blister), dengan 

spongiosis, edema di papila dermis, dan infiltrasi limfosit dan neutrofil 

di sekitar pembuluh darah di pleksus superfisialis 

Pemeriksaan Gram dari lesi impetigo bulosa menunjukkan kuman 

kokus Gram positif yang berkelompok dapat berupa Staphylococcus aureus 

atau Group A Streptococcus. Kultur dan uji resistansi kuman terhadap 

antibiotik yang diambil dari sediaan lesi/aspirat dilakukan apabila tidak 

responsif terhadap pengobatan empiris. Pemeriksaan histopatologis dapat 

dilakukan apabila lesi tidak spesifik (Craft, 2012; Perdoski, 2017).

DIAGNOSIS 

Diagnosis impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa ditegakkan melalui 

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan 

Gram, kultur kuman, uji resistansi kuman terhadap antibiotik 

TERAPI

Pasien impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa dapat berobat rawat jalan. 

Terapi nonmedikamentosa berupa menjaga higiene (mandi 2 kali sehari 

dengan sabun) serta mengidentifikasi faktor komorbiditas dan faktor 

predisposisi yang ada. Terapi impetigo bulosa yaitu  antibiotik topikal 

(mupirocin atau natrium fucidat 2%, sediaan salep atau krim; diberikan 

2–3 kali sehari selama 7–10 hari), melepas krusta, dan menjaga higiene 

yang baik merupakan terapi yang cukup efisien pada kasus ringan hingga 

sedang 

Sedangkan pada kasus yang berat, diperlukan juga antibiotik 

sistemik. Antibiotik yang sesuai disertai dengan terapi suportif berupa 

perawatan kulit, serta evaluasi terhadap gangguan cairan dan elektrolit 

(pada kasus yang berat/luas) akibat kerusakan fungsi barier yang rusak 

dapat mempercepat penyembuhan. Impetigo yang disebabkan oleh 

Staphylococcus memberikan respons terapi yang baik dengan pemberian antibiotik yang sesuai. Antibiotik sistemik diberikan minimal selama 7 

hari. Antibiotika sistemik yang diberikan pada penatalaksanaan impetigo 

bulosa dan impetigo nonbulosa berupa 

1. Terapi lini pertama

a. cloxacillin/dicloxacillin untuk dewasa dengan dosis 4 x 250–500 

mg/hari peroral, sedangkan untuk anak-anak dengan dosis 25–50 

mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis;

b. bila alergi terhadap penicillin dapat diberikan erythromycin 4x 

250–500 mg, oxycillin dan clavulanic acid untuk dewasa dengan 

dosis 3 x 250–500 mg/hari, sedangkan untuk anak-anak dengan 

dosis 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis; dan

c. cephalexin 25–50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.

2. Terapi lini kedua

a. azythromycin 1 x 500 mg (pada hari pertama), dilanjutkan 1 x 250 

mg (pada hari ke-2 sampai ke-5);

b. clindamycin 15 g/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis; dan

c. erythromycin untuk dewasa dengan dosis 4 x 250–500 mg/hari, 

sedangkan untuk anak-anak dengan dosis 25–50 mg/kgBB/hari 

terbagi dalam 4 dosis.

3. Pada kasus dengan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)

a. trimethroprim-sulfamethoxazole 160/800 mg, 2 kali sehari;

b. doxycyclin, mynocyclin 1 x 100 mg/hari (tidak direkomendasikan 

untuk anak-anak dibawah 8 tahun); dan

c. clindamycin 15 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding impetigo bulosa yaitu  herpes simpleks, varisela, 

bullous fixed drug reaction, bullous drug eruption, Staphylococcal scalded skin 

syndrome. Diagnosis banding impetigo nonbulosa yaitu  ektima, dermatitis 

atopik, dermatitis seboroik, dermatitis kontak alergi, dan skabies


PROGNOSIS 

Impetigo bulosa dan nonbulosa dapat sembuh tanpa pengobatan dalam 

2–3 minggu tanpa sekuele. Walaupun demikian, pemberian terapi pada 

kasus impetigo bulosa akan mempercepat penyembuhan pasien dan 

menurunkan risiko penyebaran infeksi 

KOMPLIKASI 

Komplikasi yang dapat terjadi akibat impetigo bulosa dan impetigo 

nonbulosa yaitu  selulitis, sepsis, limfangitis, limfadenitis, bakteremia, 

dan post streptococcal glomerulonephritis (PSGN). PSGN yaitu  komplikasi 

yang serius dan lebih sering timbul pada infeksi yang disebabkan oleh 

streptococcus. PSGN dapat terjadi pada 2–5% pasien dengan impetigo 

nonbulosa (10–15% disebabkan oleh nephritogenic strains of streptococcus) 

dan menetap hingga 2 minggu. Gejalanya dapat berupa bengkak wajah, 

terutama sekitar mata, oliguria, hematuria, peningkatan tekanan darah. 


PENCEGAHAN DAN EDUKASI

Pencegahan timbulnya impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa dapat 

dilakukan dengan menjaga higiene perorangan dan lingkungan, serta 

menghindari faktor predisposisi dan memperbaiki faktor komorbiditas 

yang ada. Mencuci tangan dengan air hangat dan sabun antibakteri, serta 

mandi teratur akan menurunkan risiko infeksi. Pasien dengan impetigo 

harus membersihkan handuk dan peralatan pribadi dengan rutin. Pada 

anak-anak, peralatan pribadi termasuk mainan anak-anak juga harus 

dilakukan pencucian secara rutin



DEFINISI

Infeksi kulit karena bakteri yang disebut pioderma terutama disebabkan 

oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp. 

Folikulitis merupakan pioderma di folikel rambut terutama disebabkan 

oleh Staphylococcus aureus. Folikulitis diklasifikasikan menurut kedalamam 

invasi Staphylococcus aureus (folikulitis superfisial dan deep folliculitis), dan 

menurut etiologi. Biasanya mengenai folikel rambut pada kelopak mata, 

aksila, pubis, dan paha 

EPIDEMIOLOGI

Sekitar 20% individu terdapat kolonisasi S. aureus, sedangkan karier S. 

aureus ditemukan pada 60% individu sehat. Hal tersebut merupakan 

sumber utama terjadinya infeksi . Folikulitis sering dijumpai 

di daerah dengan iklim tropis dan higiene buruk 

ETIOLOGI 

Folikulitis terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus, walaupun 

bisa disebabkan Streptococcus sp. dengan frekuensi yang lebih jarang 

(Craft, 2012).


Faktor predisposisi folikulitis antara lain 

a. kondisi imunokompromi;

b. dermatitis atopik;

c. luka di kulit yang sudah ada sebelumnya misal karena pencukuran 

rambut;

d. keradangan kulit;

e. iklim tropis;

f. higiene buruk;

g. pakaian terlalu ketat atau tertutup;

h. obesitas; dan

i. diabetes melitus.

PATOGENESIS

Folikulitis merupakan peradangan pada folikel rambut. Hal tersebut 

disebabkan oleh infeksi terutama Staphylococcus aureus. Folikulitis muncul 

ditunjang adanya faktor predisposisi, antara lain iklim tropis, higiene 

buruk, kondisi imunokompromais, atau keradangan kulit yang sudah ada 

sebelumnya. Beberapa kondisi tersebut menyebabkan kerusakan folikel 

rambut sehingga memudahkan terjadinya infeksi akibat Staphylococcus 

aureus 

Secara umum, hampir 20% populasi manusia membawa bakteri

Staphylococcus aureus di permukaan tubuh, terutama di hidung, aksila, 

dan perineum. Staphylococcus aureus memproduksi beberapa toksin 

yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk invasi dan membantu 

mempertahankan kehidupan Staphylococcus di jaringan. Toksin tersebut 

menyebabkan berbagai efek pada sistem kekebalan tubuh pasien. Produk￾produk yang dihasilkan pada dinding sel ini yaitu  asam teichoic, 

peptidoglycan, dan protein A. Protein A membantu perlekatan bakteri pada 

sel pejamu yang selanjutnya terjadi suatu infeksi 


MANIFESTASI KLINIS

Selain disebabkan oleh bakteri, folikulitis juga bisa disebabkan oleh 

jamur, virus, dan infestasi parasit. Tetapi dalam makalah ini hanya 

dibahas tentang folikulitis karena bakteri terutama yang disebabkan oleh 

Staphylococcus aureus. Folikulitis karena bakteri diklasifikasikan menjadi 


1. folikulitis disebabkan Staphylococcus aureus;

a. Folikulitis superficial (follicular atau Bockhart impetigo)

b. Periporitis stahylogenes

c. Deep (sycosis) folliculitis

2. folikulitis disebabkan Pseudomonas aeruginosa (hot tub folliculitis);

3. folikulitis disebabkan bakteri Gram negatif (tejadi di wajah pada akne 

vulgaris yang mendapatkan terapi antibiotik jangka lama); dan

4. folikulitis sifilitika (sekunder, akneiformis).

Folikulitis Superfisial

Folikulitis superfisal disebut juga impetigo folikular atau impetigo 

Bockhart, merupakan pustula kecil, fragil, berbentuk kubah, berwarna 

putih kekuningan, yang terjadi di infundibulum (ostium) folikel rambut, 

sering terjadi di skalp pada anak-anak, kadang di perioral; sedangkan

pada dewasa sering terjadi di daerah dagu, aksila, ekstremitas, dan pantat. 

Folikulitis superfisialis terjadi dalam beberapa hari . Keluhan biasanya nyeri, dapat disertai rasa gatal walaupun tidak 

parah (Perdoski, 2017). )Lihat Gambar 3.1 dan Gambar 3.2


Periporitis staphylogenes

Periporitis staphylogenes terjadi karena miliaria pada neonatus yang 

terinfeksi S. aureus. Staphylococcal blepharitis merupakan infeksi S. aureus 

di kelopak mata, memberi gambaran berupa skuama dan krusta di tepi 

kelopak mata, sering disertai konjungtivitis, merupakan diagnosis banding 

dari dermatitis seboroik dan rosasea kelopak mata .

Deep Folliculitis (Sycosis Barbae, Sycosis Vulgaris)

Sycosis barbae atau Sycosis vulgaris atau Barber’s itch merupakan deep 

folliculitis yang terjadi keradangan perifolikular, kronis, yang terjadi di 

area wajah khususnya bagian yang berjenggot dan bibir atas akibat infeksi 

Staphylococcus aureus  Sycosis barbae cenderung


kambuh-kambuhan. Penyakit ini dimulai dengan eritema dan nyeri atau 

gatal, biasanya di atas bibir dekat hidung. Dalam 1 atau 2 hari muncul satu 

atau lebih pustula kecil di sekitar rambut. Lesi tersebut akan pecah setelah 

pencukuran atau pembersihan jenggot meninggalkan bercak eritematosa 

yang menjadi tempat munculnya pustul yang lebih besar. Luka di area 

yang tidak berambut dan atrofi di sekitar pustula dan krusta dapat terjadi. 

Blefaritis marginal dengan konjungtivitis biasanya timbul pada kasus 

sycosis berat 

Gambar 3.3 Sycosis barbae. 

Deep staphylococcal folliculitis

di area kumis 

Lupoid sycosis 

Lupoid sycosis merupakan bentuk kronik dan dalam dari sycosis barbae yang 

disertai jaringan parut, biasanya lesi berbentuk sirsinar. Sikatrik di tengan 

dikelilingi pustula dan papula menyerupai lupus vulgaris 

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan laboratorium meliputi 

a. pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan Gram;

b. kultur dan resistansi antibiotik yang diambil dari spesimen lesi/aspirat 

(jika tidak responsif terhadap pengobatan empiris;


c. kultur dan resistansi antibiotik dari darah, pemeriksaan darah perifer 

lengkap, kreatinin, C-reactive protein apabila diduga bakteremia; dan

d. biopsi apabila lesi tidak spesifik. 

TERAPI

Terapi nonmedikamentosa meliputi 

a. menjaga kebersihan dengan mandi sehari 2 kali dengan sabun; dan

b. mengatasi/mengidentifikasi faktor predisposisi dan keadaan 

komorbid.

Terapi medikamentosa meliputi  lesi superfisial biasanya pecah dan terjadi 

drainase spontan. Lesi yang dalam harus didrainase. Banyak kasus 

sembuh dengan drainase dan terapi topikal. Jika tidak diobati, lesi akan 

menjadi lebih dalam dan kronis. 

Terapi topikal meliputi: 

a. kompres hangat;

b. mupirocin;

c. bacitracin;

d. retapamulin;

e. clindamysin; dan

f. kulit yang abrasi atau mengalami eksematosa dapat diatasi dengan 

antibiotik topikal atau klorheksidin topikal.

Jika drainase dan topikal terapi gagal, atau jika disertai infeksi jaringan 

lunak diperlukan terapi sistemik:

a. generasi pertama cephalosporin; dan

b. penisilin penicillinase (misalnya dicloxacillin).

Jika terjadi peradangan akut: kompres hangat dengan larutan aluminium 

asetat (Burow) diencerkan 1: 20. Formulasi anhidrat dari aluminium klorida 

efektif digunakan setiap malam untuk folikulitis kronis, terutama pada 

bokong. Salep mata antibiotik digunakan untuk blefaritis 

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding folikulitis yang disebabkan S. aureus yaitu  

1. Pseudofoliculitis barbae yang mengenai di daerah janggut;

2. folikulitis keloidalis atau akne keloidalis nuchae yang mengenai 

tengkuk dan leher;

3. perifolikulitis kapitis di scalp;

4. folikulitis iritan akibat terpajan minyak mineral, produk yang 

mengandung tar, minyak cukur;

5. akne vulgaris;

6. erupsi akneformis yang diinduksi obat;

7. rosasea;

8. hidradenitis supurativa;

9. akne nekrotika di scalp;

10. folikulitis eosinofilik pada pasien Human immunodeficiency virus (HIV); 

dan

11. hot tub folliculitis yang disebabkan Pseudomonas aeruginosa.

Sycosis vulgaris dibedakan dari tinea, akne vulgaris, pseudofolliculitis

barbae, dan sycosis herpes. Tinea barbae jarang mengenai bibir atas, yang 

merupakan lokasi umum untuk sycosis. Tinea barbae biasanya mengenai 

submaksilaris atau di dagu, dan ditemukan spora dan hifa di rambut. 

Pseudofolliculitis barbae berupa papula di area tumbuhnya rambut jenggot 

di pria kulit hitam. Infeksi virus herpes simplex (VHS), biasanya hanya 

terjadi beberapa hari dan terdapat 

PROGNOSIS 

Folikulitis superfisialis mempunyai prognosis yang cukup baik karena 

infeksinya ringan dan superfisial, sedangkan folikulitis profunda lebih 

sulit diatasi karena infeksinya lebih dalam dan lebih parah. Dengan 

penatalaksanaan yang baik termasuk memberikan tata laksana terhadap 

faktor risikonya akan memberikan prognosis yang baik


EDUKASI

Membatasi penularan dengan memberikan edukasi ke pasien 

dan keluarganya agar menjaga higiene perorangan dengan baik 


DEFINISI

Furunkel (boil) merupakan keradangan akut yang dalam di folikel 

rambut dan sekitarnya, membentuk nodul nyeri, biasanya didahului atau 

berkembang dari folikulitis superfisialis dan sering berkembang menjadi 

abses. 

Karbunkel merupakan lesi infiltrat yang ekstensif dan dalam yang 

berkembang menjadi lesi supuratif 

ETIOLOGI

Penyebab furunkel dan karbunkel yaitu  Staphylococcus aureus 

PATOGENESIS

Furunkel terjadi akibat mikrolesi karena garukan atau gesekan yang 

menyebabkan kuman Staphylococcus aureus masuk ke dalam kulit dan 

menyebabkan keradangan akut yang dalam di folikel rambut dan 

sekitarnya, membentuk nodul nyeri. Karbunkel merupakan lesi infiltrat 

yang ekstensif dan dalam yang berkembang menjadi lesi supuratif

Faktor predisposisi furunkel dan karbunkel antara lain 

a. obesitas;

b. diskrasia darah;

c. skabies;

d. kelainan fungsi neutrofil (kelainan kemotaksis yang berkaitan dengan 

eksema dan IgE yang tinggi, penyakit granulomatosa pada anak￾anak);

e. terapi glukokortikoid;

f. terapi sitostatika;

g. defisiensi imunoglobulin;

h. gangguan integrasi kulit karena iritasi, tekanan, gesekan, hyperhidrosis, 

dermatitis, dermatofitosis, pencukuran, dan faktor lain; 

i. kerusakan fungsi pertahanan kulit;

j. penyebaran atau autoinokulasi dari lokasi karier, biasanya dari hidung 

atau genitalia;

k. alkoholisme;

l. malnutrisi;

m. iatrogenic;

n. imunokompromi (misal AIDS);

o. diabetes mellitus;

p. pasien hemodialisis;

q. terapi isotretinoin atau acitretin, sering sebagai karier S. aureus di 

hidung; dan

r. dermatitis atopik.

MANIFESTASI KLINIS

Furunkel

Furunkel terjadi di sisi bagian tubuh yang berambut, terutama di area 

yang terjadi gesekan, oklusi, dan berkeringat, seperti leher, aksila, dan 

pantat, tetapi bisa terjadi di seluruh bagian tubuh, terutama bagian 

tubuh yang berkeringat. Furunkel bisa merupakan komplikasi dari lesi


sebelumnya seperti dermatitis atopik, ekskoreasi, abrasi, skabies, dan 

pedikulosis, tetapi lebih sering terjadi tanpa didahului adanya kelainan 

sebelumnya Lesi dimulai di folikel rambut dan berkembang 

dari nodul perifolikular berwarna kemerahan yang keras, membesar, dan 

sangat nyeri yang setelah beberapa hari menjadi fluktuasi. Ruptur terjadi 

dengan mengeluarkan pus yang sering disertai jaringan nekrotik. Nyeri di 

sekitar lesi akan berkurang dan kemerahan dan edema menghilang dalam 

beberapa hari sampai beberapa minggu. Furunkel bisa terjadi soliter atau 

multipel . Ukuran lesi biasanya sekitar 1–3 

cm 

Hospital furunculosis 

Epidemi infeksi Staphylococcus terjadi di beberapa rumah sakit. Pada 

kondisi tersebut bisa terjadi peningkatan resistansi agen antibakteri. Usaha 

pencegahan antara lain melalui program cuci tangan yang benar. Dalam 

perawatan, penurunan kejadian kolonisasi dan infeksi S. aureus and non￾group A streptococci dicapai dengan pemakaian solusio chlorhexidine 4% 

saat perawatan kulit dan tali pusat


Karbunkel

Karbunkel merupakan lesi keradangan yang lebih serius dengan dasar 

yang dalam, mengenai beberapa folikel rambut dan jaringan sekitarnya, 

disertai gejala yang khas, yaitu sangat nyeri. Karbunkel sering terjadi di 

leher belakang, punggung, dan paha  Sering disertai demam 

dan malaise, pasien seringkali tampak kesakitan. Area yang terkena 

menjadi kemerahan dan terjadi indurasi, multipel pustula muncul dengan

cepat, terjadi drainase di sekitar folikel rambut. Lesi berkembang cepat 

menjadi kawah iregular berwarna kuning kehijauan di tengah yang jika 

menyembuh membentuk jaringan granulasi, meskipun area yang lesinya 

dalam berwarna keunguan bisa menetap agak lama. Sikatrik bisa terjadi 

(. Ukuran lesi biasanya sekitar 3–10 cm 

PEMERIKSAAN LABORATORIUM 

Pemeriksaan laboratorium pada furunkel dan karbunkel terdiri atas (

a. leukositosis biasanya didapatkan pada furunkulosis berat atau 

karbunkel; 

b. pemeriksaan histopatologis furunkel menunjukkan infiltrat 

polimorfonuklear di dermis dan lemak subkutis, sedangkan pada 

karbunkel didaptakan abses multipel, dipisahkan oleh trabeluka 

jaringan ikat, didapatkan infiltrat di dermis dan sepanjang tepi folikel 

rambut;

c. pemeriksaan Gram dari pus menunjukkan kumpulan kokus Gram 

positif; dan

d. kultur didapatakan pertumbuhan S. aureus.

DIAGNOSIS

Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium 

TERAPI

Furunkulosis Akut

Terapi furunkulosis akut yaitu  sebagai berikut 

Jika furunkulosis ringan cukup dilakukan kompres hangat. Secara 

umum tidak diperlukan antibiotik oral. Indikasi pemberian antibiotik 

selain dilakukan drainase yaitu  demam tinggi, lesi lebih besar dari 5 cm, atau terletak di lokasi kritis atau sulit untuk terjadi drainase, furunkel 

multipel, atau tanda dan gejala yang menetap setelah dilakukan drainase. 

Furunkel di dalam meatus akustikus eksternus, bibir atas, dan hidung, 

insisi dan drainase umumnya hanya dilakukan jika terapi antibiotik gagal. 

Pada kasus tersebut, krim oral antibiotik harus diberikan. Kompres hangat 

dengan larutan salin bisa dilakukan. Jika lesi baru dan terjadi radang akut, 

insisi harus benar-benar dihindari, dan dilakukan kompres hangat dan 

pemberian antibiotik oral. Furunkel atau karbunkel yang disertai selulitis 

atau disertai demam sebaiknya diterapi dengan antibiotik sistemik.

Pilihan antibiotik untuk furunkulosis akut yaitu :

a. penicillinase-resistant penicillin atau sefalosporin generasi pertama secara 

oral dosis 1–2 gram/hari, sesuai dengan tingkat keparahan kasus;

b. jika dicurigai atau terbukti penyebabnya yaitu  strain yang 

resistan terhadap methicillin dan vankomisin diobati dengan 

trimetoprimsulfamethoxazole dosis ganda 2 kali sehari, clindamycin 

300–450 mg 3 kali sehari, atau doxycycline atau minocycline 100 mg dua 

kali sehari; 

c. pasien dengan infeksi stafilokokus tidak responsif terhadap pengobatan 

biasa ini, harus dicurigai strain resistan antibiotik dan diperiksaan 

kepekaan terhadap antibiotik; 

d. mupirocin krim diaplikan ke nares anterior setiap hari selama 5 

hari;

e. ketika furunkel menjadi terlokalisir dan menunjukkan fluktuasi, 

indikasi untuk dilakukan insisi dan drainase; dan 

f. untuk infeksi berat atau infeksi di area berbahaya, antibiotik dengan 

dosis maksimal diberikan melalui rute parenteral. Community-associated 

Methycilline Resisstant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) patut dicurigai 

pada semua infeksi purulent yang parah: Vankomisin 1,0–2,0 gram 

intravenous per hari dalam dosis terbagi atau agen anti-CA-MRSA. 

Terapi antibiotik diberikan selama 7 hari 

Jika lesi besar, nyeri, dan terdapat fluktuasi perlu dilakukan insisi dan 

drainase. Jika terjadi kekambuhan atau terjadi komplikasi disertai dengan 

komorbiditas, perlu dilakukan pemeriksaan kultur. Terapi antibiotik sebaiknya dilanjutkan sampai keradangan menyembuh dan didapatkan 

hasil kultur. Drainase dilakukan untuk mencegah autoinokulasi 

Furunkulosis Kronik

Kekambuhan bisul dapat diantisipasi dengan pengobatan, selama tidak 

ada penyakit predisposisi yang mendasarinya. Salah satu faktor terpenting 

dalam pencegahan kekambuhan yaitu  menghindari autoinokulasi. Karier 

di hidung merupakan predisposisi furunkulosis kronis. Kontaminasi dari 

daerah perianal dan intertriginosa juga perlu diperhatikan. Pencegahan 

dalam upaya untuk memutus siklus furunkulosis berulang antara lain 

pencucian klorheksidin rutin dengan perhatian khusus pada daerah aksila, 

selangkangan, dan perianal; pencucian alas tidur dan pakaian setiap 

hari yang sering; dan sering mencuci tangan. Selain itu, pemakaian krim 

mupirocin dua kali sehari ke nares pasien dan anggota keluarga setiap 

minggu keempat telah terbukti efektif. Rifampisin (600 mg/hari) selama 

10 hari, dikombinasikan dengan dicloxacillin untuk Methicillin-Sensitive 

Staphylococcus Aureus (MSSA) atau Trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP￾SMX) untuk Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), atau 

clindamycin dosis rendah (150 mg/hari) selama 3 bulan juga efektif dalam 

memberantas karier di hidung. Penggunaan krim bacitracin di dalam 

nares dua kali sehari selama terapi isotretinoin mengurangi risiko karier 

nasal S. aureus dan infeksi stafilokokus .Furunkulosis Rekuren 

Penatalaksanaan furunkulosis rekuren yaitu  sebagai berikut 

a. Evaluasi penyebab yang menyertai.

b. Faktor predisposisi: pajanan industri, bahan kimia, atau minyak; 

kebersihan kurang, obesitas, hyperhidrosis, ingrown hairs; baju atau 

ikat pinggang yang terlalu ketat.

c. Kontak dengan sumber S. aureus: frekuensi karier nasal 10–15% pada 

bayi kurang dari 1 tahun, 38% pada mahasiswa, 50% tenaga medis 

rumah sakit dan anggota militer.

d. Perawatan kulit secara umum bertujuan untuk menurunkan jumlah S. 

aureus di kulit. Pembersihan kedua tangan dan tubuh dengan air dan 

sabun penting (sabun cair antimikrob seperti solusio Chlohexidine 

4%). 

e. Pemakaian baju: memakai pakaian longgar, ringan, dan bahan berpori. 

Staphylococci sering terdapat di baju atau pakaian dalam pasien

furunkulosis dan dapat menyebabkan infeksi ulang pada pasien atau 

infeksi pada anggota keluarga lain. Direkomendasikan untuk mencuci 

baju pasien secara terpisah dengan dengan air mendidih dan berganti 

pakaian setiap hari.

f. Perawatan kompres: kompres segera diganti jika sudah tampak 

menyerap nanah. Kompres yang sudah dipakai dimasukkan dalam 

kantong tertutup dan segera dibuang. 

g. Langkah-langkah umum: meskipun telah dilakukan perawatan￾perawatan di atas, namun beberapa pasien terus memiliki siklus 

berulang. Kadang-kadang, kekambuhan dapat diperbaiki atau 

dicegah dengan mengistirahkan pasien dari rutinitas kerja sehari￾hari, khususnya berkaitan dengan individu yang berada di bawah 

stres emosional yang cukup tinggi dan kelelahan fisik. Liburan selama 

beberapa minggu, idealnya dalam iklim sejuk dan kering, dapat 

sangat membantu dengan menyediakan waktu istirahat dan waktu 

yang diperlukan untuk melaksanakan program perawatan kulit yang 

baik.

h. Usaha yang bertujuan untuk menghilangkan karier hidung (dan kulit) 

dari S. aureus: penggunaan salep di vestibulum nasi menurunkan 

karier S. aureus dan kemudian menurunkan jumlah organisme di kulit 

penting untuk mencegah kekambuhan. Pemberian salep Mupirocin 

2% intranasal selama 5 hari dapat mengeliminasi S. aureus sebesar 

70% terhadap individu sehat selama 3 bulan. Pemakaian salep 

Mupirocin intranasal terhada individu imunkompeten selama 5 hari 

tiap bulan dalam 1 tahun menghasilkan kultur nasal positif hanya 

22% dibandingkan 83% plasebo. Profilaksis dengan salep Fucidic acid 

di hidung 2 kali sehari setiap 4 minggu terhadap pasien dan anggota 

keluarga yang merupakan karier strain yang menginfeksi di hidung 

(bersamaan dengan antibiotik antistafilokokus selama 10–14 hari 

untuk pasien) telah dilakukan dengan beberapa keberhasilan.

i. Antibiotik oral (misalnya, rifampisin, 600 mg per oral setiap hari selama 

10 hari) efektif dalam memberantas S. aureus dari sebagian besar karier 

hidung untuk periode hingga 12 minggu. Penambahan obat kedua

dicloxacillin untuk S. aureus yang rentan-methicillin; trimethoprim￾sulfamethoxazole, ciprofloxacin, atau minocycline untuk methicillin￾resistant S. aureus) digunakan untuk mengurangi munculnya resistansi 

rifampisin dan untuk mengobati berulang furunkulosis.

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding furunkel dan karbunkel yaitu  

a. akne kistik,

b. kerion,

c. hidradenitis supurativa,

d. kista epidermal yang mengalami rupture,

e. myasis furunkular,

f. abses dental apical, dan

g. osteomyelitis.

KOMPLIKASI

Furunkel bisa menyebabkan komplikasi berupa sepsis dan meningitis. 

Jika furunkel terdapat di bibir atas dan pipi bisa menyebabkan thrombosis 

sinus kavernosus. Karbunkel juga bisa menyebabkan sepsis 

PROGNOSIS 

Masalah utama furunkulosis dan karbunkel yaitu  penyebaran bakterimia 

dan kekambuhan. Lesi di sekitar bibir dan hidung mempunyai potensi 

menyebar melalui vena ke sinus cavernosus. Invasi dalam peredaran 

darah dapat terjadi dan kadang tidak terprediksi, menyebabkan 

penyebaran infeksi misalnya osteomyelitis, endocarditis akut, atau abses 

otak. Manipulasi beberapa lesi dapat membahayakan dan memfasilitasi 

penyebaran infeksi melalui peredaran darah. Komplikasi-komplikasi tersebut bisa terjadi walaupun jarang. Kekambuhan furunkulosis bisa 

terjadi dalam beberapa tahun

DEFINISI

Abses yaitu  penumpukan nanah di dalam rongga di bagian tubuh setelah 

terinfeksi bakteri. Nanah yaitu  cairan yang mengandung banyak protein 

dan sel darah putih yang telah mati. Nanah berwarna putih kekuningan 

(

ETIOLOGI

Abses pada umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, walaupun 

bisa disebabkan oleh bakteri lain, parasite, atau benda asing 

Pada makalah ini hanya dibahas tentang abses yang disebabkan oleh 

bakteri.

PATOGENESIS

Abses biasanya terjadi pada infeksi folikulosentris, yaitu folikulitis, 

furunkel, dan karbunkel yang berkembang menjadi abses. Abses juga bisa 

terjadi di lokasi trauma, benda asing, luka bakar, atau tempat penyisipan 

kateter intravena. Abses terjadi karena reaksi pertahanan tubuh dari 

jaringan untuk menghindari penyebaran infeksi dalam tubuh. 

Agen penyebab infeksi menyebabkan keradangan dan infeksi sel di 

sekitarnya sehingga menyebabkan pengeluaran toksin. Toksin tersebut

menyebabkan sel radang, sel darah putih menuju tempat keradangan 

atau infeksi. Terbentuk dinding abses untuk mencegah infeksi meluas ke 

bagian tubuh lain. Namun, enkapsulasi tersebut mencegah sel imun untuk 

menyerang agen penyebab infeksi di dalam abseb 

MANIFESTASI KLINIS

Daerah peradangan dapat di berbagai bagian tubuh. Abses dapat muncul 

di permukaan kulit. Namun, abses juga dapat muncul di jaringan 

dalam atau organ, misal hati dan usus. Lesi awal abses di kulit berupa 

nodul eritematosa. Jika tidak diobati, lesi sering membesar, dengan 

pembentukan rongga berisi nanah. Community-associated Methycilline 

Resisstant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) harus dicurigai pada semua 

pasien dengan abses. Gejala simtomatis berupa nodul kemerahan, nyeri, 

hangat, dan bengkak


PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium pada abses terdiri atas 

a. leukositosis bisa terjadi terutama saat kondisi akut; 

b. pemeriksaan Gram dari pus menunjukkan kumpulan kokus Gram 

positif;

c. kultur didapatakan pertumbuhan S. aureus; dan

d. ultrasonografi bisa dilakukan jika diagnosis klinis meragukan.

DIAGNOSIS

Diagnosis abses berdasarkan gejala klinis. Jika meragukan bisa dibantu 

dengan pemeriksaan ultrasonografi 

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding abses meliputi selulitis, kista sebaseus, necrotizing 

fasciitis

TERAPI

Perawatan awal dan yang paling penting dari abses yaitu  insisi dan 

drainase. Penggunaan antibiotik setelah insisi dan drainase hanya 

dianjurkan jika lesi parah atau berhubungan dengan selulitis, ada 

tanda-tanda penyakit sistemik, ada faktor komorbiditas atau penurunan 

kekebalan, pasien sangat muda atau sangat tua, abses berada di lokasi 

tubuh yang sulit untuk dikeringkan, ada kaitan dengan septic phlebitis, 

atau tidak ada respons terhadap insisi dan drainase 

Antibiotik yang bisa digunakan untuk terapi abses yaitu :

a. Dicloxacillin 250–500 sehari; 

b. Clindamycin 300–450 mg 3 kali sehari;

c. Doxycycline 100 mg 2 kali sehari;

d. Minocycline 50–100 mg dua kali sehari; dan

e. Trimethroprim-sulfamethoxazole (TMX-SMX) 160/800 mg peroral dua 

kali. 

KOMPLIKASI

Jika infeksi bisa terlokalisir oleh dinding abses, biasanya infeksi tidak 

menyebar. Dalam beberapa kasus, infeksi yang dimulai di dalam abses 

kulit dapat menyebar ke jaringan di sekitarnya dan di seluruh tubuh, yang 

menyebabkan komplikasi serius. Beberapa abses baru dapat terbentuk 

pada sendi atau lokasi lain di kulit. Jaringan kulit dapat mati akibat infeksi, 

yang menyebabkan gangrene. Ketika infeksi menyebar secara internal 

di dalam tubuh dapat menyebabkan endokarditis yang berakibat fatal 

jika tidak ditangani sejak dini. Infeksi juga bisa menyebar ke tulang 

menyebabkan osteomielitis. Dalam beberapa kasus, bakteri penyebab 

abses dapat menyebabkan sepsis 

 PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Beberapa abses bisa menyembuh ketika pecah dan nanah mengering. 

Tetapi, sebagian besar abses memerlukan pengobatan dan intervensi 

berupa tusukan jarum (pungsi) bahkan insisi atau operasi



DEFINISI

Ektima yaitu  suatu pioderma kutaneus yang ditandai oleh erosi atau 

ulserasi krusta yang padat. Ektima merupakan suatu komplikasi dari 

impetigo atau infeksi piogenik lain yang tidak diterapi, sering pada lokasi 

yang tertutup oleh alas kaki dan pakaian, seperti pada pantat, tungkai, 

dan kaki 

EPIDEMIOLOGI

Ektima merupakan suatu pioderma ulseratif, yang hampir selalu berada 

pada tungkai bawah depan atau bagian dorsal kaki (James et al., 2016). 

Ektima merupakan suatu lesi khas yang sering terjadi pada gelandangan 

dan tentara di medan pertempuran dalam iklim yang lembap dan panas. 

Ektima paling umum terjadi pada ekstremitas bawah, pada anak-anak, atau 

penderita usia lanjut yang tidak dirawat, atau individu dengan diabetes 

(. Di area perkotaan lesi ini disebabkan oleh S. 

aureus dan terlihat pada pengguna obat intravena dan pasien-pasien yang 

terinfeksi HIV . Ektima sering disebut sebagai impetigo 

bentuk yang dalam, karena mengenai kulit bagian dermis 

ETIOLOGI

Staphylococcus aureus dan/atau Streptococcus grup A didapatkan isolasi 

pada kultur lesi ektima 

Ektima gangrenosum merupakan suatu ulkus kutaneus yang disebabkan 

oleh Pseudomonas aeruginosa dan menyerupai ektima stafilokokal atau 

streptokokal 

PATOGENESIS

Impetigo stafilokokal atau streptokokus yang tidak diobati dapat meluas 

lebih dalam, menembus epidermis, menghasilkan suatu ulkus berkrusta 

yang dangkal. Lesi-lesi ektimatosa dapat berkembang dari suatu pioderma, 

dermatosis sebelumnya, atau bagian dari trauma. Higiene yang buruk 

dan kelalaian pengobatan merupakan elemen kunci dalam patogenesis 

(. Selain itu, malnutrisi dan trauma merupakan penyebab yang 

menjadi predisposisinya 

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis diawali dengan vesikel atau vesikulopustul yang 

membesar dan dalam beberapa hari menjadi berkrusta tebal dan lekat. 

Ketika krusta diangkat terdapat ulkus dengan bentuk seperti piring 

superfisial dengan dasar yang kemerahan dan tepi yang meninggi 

Ulkus mempunyai suatu bentukan “punch out” ketika krusta 

kuning-keabu-abuan kotor dan material purulen dibersihkan. Tepi ulkus 

berindurasi, meninggi, dan berwarna keunguan (Gambar 6.1), dan dasar 

bergranulasi meluas ke dalam dermis. Lesi ektimatosa yang tidak diobati 

dapat meluas selama beberapa minggu sampai bulan dengan diameter 2–3 

cm atau lebih. Lesi ektimatosa didapatkan pada kaki, lengan, dan tangan 


Lesi ini cenderung sembuh setelah beberapa minggu, yang 

meninggalkan jaringan ikat, namun jarang memburuk menjadi gangren 

jika resistansi terhadap terapi rendah dan pada pasien imunokompeten. Pada beberapa pasien imunokompromais yang mengalami fokal infeksi 

piogenik di area manapun seringkali onset ektima lebih awal dan disertai 

adenopati lokal 

Manifestasi klinis ektima yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa

memiliki bentuk yang khas yaitu awalnya berupa pustul hemoragis, 

kemudian berkembang menjadi ulkus nekrosis (Gambar 6.2). Ulkus tersebut terdapat keropeng hitam dengan halo kemerahan di sekitarnya. 

Predileksi tersering pada glutea, perianal, dan ekstrimitas 

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Bila diperlukan dapat dilakukan 

1. pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram;

2. kultur dan resistansi lesi apabila tidak responsif terhadap pengobatan 

empiris;

3. kultur dan resistansi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive 

protein apabila diduga bakteremia; dan

4. biopsi apabila lesi tidak spesifik.

DIAGNOSIS 

Diagnosis ditegakkan secara klinis jika didapatkan gejala yang khas dan 

pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Berikut ini yaitu  beberapa 

diagnosis banding ektima yaitu: impetigo nonbulosa/kontagiosum, insect 

bite, pioderma gangrenosum, ulkus arteri, ulkus vena, leishmaniasis, dan 

sporotrikosis 

TERAPI

Penatalaksanaan ektima secara sistemik dan meliputi agen yang sama 

dengan yang digunakan untuk impetigo stafilokokal 

Penatalaksanaannya yaitu  membersihkan dengan sabun dan air, diikuti 

dengan pengolesan salep mupirocin, retapamulin, atau bacitracin, dua 

kali sehari. Dicloxacillin oral atau sefalosporin generasi pertama juga 

diindikasikan, dengan penyesuaian terhadap sensitivitas organisme jika 

dilakukan kultur PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI

Beberapa lesi lambat untuk sembuh, membutuhkan beberapa minggu 

perawatan antibiotik untuk resolusi. Ektima juga dapat menetap selama 

beberapa minggu dan terjadi komplikasi skar. Infeksi dapat menyebar 

akibat autoinokulasi, melalui vektor serangga, atau sequelae dari post￾streptokokal (glomerulonefritis) 

EDUKASI DAN PENCEGAHAN

Edukasi terhadap pasien dan keluarganya agar menjaga higiene perorangan 

yang baik dan dapat membatasi penularan (Perdoski, 2017). Pencegahan 

pada iklim tropis, selain menjaga higiene juga dengan menggunakan 

insect repellent untuk mengurangi reaksi gigitan serangga yang dapat 

menyebabkan komplikasi piodermi berupa ektima jika dibiarkan



DEFINISI

Erisipelas dan selulitis termasuk pioderma profunda dengan skin and 

soft-tissue infection (SSTI). Erisipelas dapat melibatkan pembuluh limfatik 

dermal, yang tersering disebabkan oleh β-hemolytic Streptococcus grup A. 

Sedangkan selulitis merupakan pioderma profunda di lapisan dermis dan 

jaringan subkutan 

EPIDEMIOLOGI

Soft-tissue infection merupakan infeksi kulit yang banyak terjadi 

di masyarakat. Di Amerika Utara, soft-tissue infection terjadi pada 10% 

dari pasien rawat jalan. Angka kejadian soft-tissue infection pada negara 

berkembang lebih tinggi daripada negara maju. Hal itu dapat dipengaruhi 

oleh higiene, iklim, dan faktor sosio-ekonomi

ETIOLOGI

Erisipelas sering disebabkan oleh β-hemolytic Streptococcus grup A, sangat 

jarang disebabkan oleh Streptococcus grup C atau G; serta dapat juga 

disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Faktor risiko terjadinya erisipelas 

di antaranya yaitu  lympedema, venous stasis, intertrigo, obesitas, luka

operasi, fisura atau abrasi (pada hidung, lubang telinga, sela-sela jari kaki, 

anus, atau penis), dan ulkus kaki kronis 

Selulitis tersering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan 

Streptococcus grup A, tetapi beberapa bakteri juga ditemukan pada kultur, 

seperti Streptococcus grup B pada bayi baru lahir, pneumococcus, basil Gram 

negatif pada pasien imunokompromais, serta mikroorganisme lain. Pada 

usia yang sangat muda atau sangat tua, rawat inap yang lama, diabetes, 

status imunokompromais, dan penggunaan kortikosteroid; Escheria coli dan 

Enterobacteriaceae dapat menjadi penyebab selulitis .

PATOGENESIS

Kulit yang intak berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap 

patogen. Interaksi pejamu-patogen bergantung pada fungsi barier kulit, 

faktor bakteri, dan faktor pejamu. Status imunitas yang rendah, seperti 

pada diabetes, kanker, gagal ginjal, neutropenia, atau infeksi Human 

immunodeficiency virus (HIV) akan meningkatkan frekuensi erisipelas dan 

selulitis 

Apabila Staphylococcus aureus dan Streptococcus group A dapat 

mengalahkan sistem imunitas tubuh, maka akan dapat menimbulkan 

infeksi. Streptococcus group A dapat menginaktivasi cathelidin LL-37, yang 

akan menyebabkan resistansi terhadap sistem imunitas alamiah. Walaupun 

Streptococcus group A merupakan patogen ekstraselular, Streptococcus 

group A dapat menghindari deteksi sistem imunitas serta terapi antibiotik 

dengan memasuki makrofag dan sel endotel. Streptococcus group A dan 

Staphylococcus aureus dapat memproduksi eksotoksin yang menyebabkan 

reaksi toksin sistemik, termasuk toxin shock syndrome. Panton Valentine 

Leukocidin (PVL) merupakan β-pore forming toxin yang diproduksi oleh 

beberapa strain Staphylococcus aureus yang akan merusak leukosit dan 

menjadi faktor predisposisi timbulnya SSTI yang parah


MANIFESTASI KLINIS

Erisipelas dan selulitis seringkali menimbulkan nyeri lokal dengan 

berbagai derajat eritema dan gejala sistemik (seperti demam, menggigil, 

dan malaise). Makula eritematosa dapat segera terjadi dan meluas. Nyeri 

lokal seringkali berat, dan tidak adanya makula eritematosa meningkatkan 

dugaan adanya infeksi yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam. Dalam 

sebuah studi dengan 50 pasien selulitis, hanya 26% menderita demam 

lebih dari 38°

Erisipelas biasanya dimulai dari wajah atau ekstremitas bawah, 

disertai dengan nyeri, muncul makula eritematosa superfisial dan plaque￾like edema dengan batas yang tegas. Gambaran itu seringkali disebut peau 

d’orange appearance. Makula eritematosa berwarna merah cerah dengan 

infiltrat di tepi; dan dapat disertai vesikel atau bula di atasnya. Adanya 

antecendent edema atau kelainan anatomi lainnya, batas antara kulit sehat 

dengan kulit yang mengalami soft tissue infection menjadi kabur, yaitu 

ditemukan pada selulitis primer 

Gambar 7.1 Erisipelas dengan gambaran berupa makula eritematosa berwarna 

merah cerah disertai bula yang telah pecah di atasnya (pasien RSUD Dr. Soetomo 

Surabaya).

Erisipelas di wajah lebih jarang terjadi daripada di ektremitas bawah, 

terjadi secara unilateral, tetapi dapat menyebar melalui kulit nasal dan 

dapat mengenai simetris kedua sisi wajah. Orofaring dapat menjadi port 

d’entry. Edema inflamasi dapat meluas di kelopak mata, tetapi jarang


menimbulkan komplikasi di mata. Erisipelas di ektremitas bawah dapat 

diawali dengan nyeri gluteal yang disebabkan oleh pembengkakan 

pembuluh limfa femoralis. Limfangitis dan abses sangat jarang terjadi, 

tetapi penyebaran lesi dapat terjadi. Bula dapat terjadi pada area lesi. 

Erisipelas berulang (rekuren) berhubungan dengan saphenous vein harvest 

(seringkali dihubungkan dengan tinea pedis), dan lymphedema sebagai 

komplikasi mastektomi dengan diseksi pembuluh limfe aksila. Pada kedua 

kasus ini, erisipelas akan terjadi di area yang sesuai dengan perjalanan 

vena dan pembuluh limfe tersebut 

Selulitis bermanifestasi klinis berupa makula eritematosa disertai 

nyeri seperti pada erisipelas, tetapi pada selulitis makula eritematosa tidak 

berbatas tegas antara lesi dan kulit normal. Lesi mengenai area yang lebih 

dalam, disertai indurasi, fluktuasi, dan seringkali juga didapatkan krepitasi 

pada palpasi. Pada beberapa kasus selulitis, dapat terjadi bula atau nekrosis 

yang akan menimbulkan pelepasan epidermal dan erosi superfisial. 

Limfadenopati regional dapat terjadi pada selulitis di ekstremitas. Pada 

orang yang tua dapat terjadi komplikasi berupa tromboflebitis dari selulitis 

di ekstremitas inferior


Sama dengan erisipelas, selulitis rekuren dilaporkan dapat terjadi 

setelah mastektomi. Selulitis di ekstremitas ipsilateral dapat terjadi setelah 

diseksi kelenjar limfe aksila