Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak mempunyai morfologi
spesifik yang dapat diidentifikasi oleh para klinisi. Manifestasi klinis pada
kulit dapat menjadi tanda keterlibatan proses sistemik atau hanya infeksi
yang terlokalisasi superfisial (James et al., 2016). Infeksi pada kulit dan
jaringan lunak terjadi pada 10% kasus infeksi bakteri sebagai penyebab
rawat inap rumah sakit. Mayoritas infeksi bakteri pada kulit dan jaringan
lunak dapat sembuh dalam 7 sampai 10 hari. Estimasi prevalensi infeksi
bakteri pada kulit dan jaringan lunak sulit dapat ditentukan secara pasti
karena manifestasi klinis dan lama infeksi yang bervariasi. Pada tahun
2006, insidensi infeksi bakteri pada kulit sebesar 24,6 terhadap 1000 orang
per tahun. Insidensi semakin meningkat karena populasi usia tua dan
individu dengan penyakit kritis, kondisi imunokompromais Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS)
yang semakin meningkat jumlahnya. Penyebab lain dari peningkatan
insidensi yaitu makin banyaknya pemakaian obat-obatan imunosupresi,
keganasan, transplantasi organ, tindakan intervensi medis, dan infeksi
luka operasi . Infeksi kulit dan
jaringan lunak yang disebabkan oleh bakteri piogenik tersering yaitu
S. aureus dan Streptokokus -hemolitik grup A antara lain S. pyogenes
(Perdoski, 2017). Terapi infeksi bakteri pada kulit juga menjadi tantangan
tersendiri karena peningkatan insidensi tersebut.
PATOGENESIS DAN FAKTOR RISIKO INFEKSI BAKTERI PADA KULIT
Infeksi bakteri pada kulit dan jaringan lunak akibat dari ketidakseimbangan
antara kemampuan mikroorganisme patogen dan mekanisme pertahanan
tubuh manusia. Perkembangan dan evolusi infeksi bakteri meliputi 3
faktor utama, yaitu: lokasi masuk dan fungsi barrier kulit, pertahanan host,
respons inflamasi terhadap invasi mikroba, dan sifat patogenik organisme
Faktor risiko pada infeksi bakteri kulit berdasarkan faktor pasien,
lokal atau sistemik, dan lingkungan. Faktor risiko pasien memengaruhi
prognosis infeksi dan respons terhadap terapi, namun tidak terkait dengan
keparahan infeksi (Tabel 1.1).
LOKASI MASUK
Kulit anak dan orang dewasa normal relatif resistan terhadap infeksi.
Sebagian besar infeksi kulit terjadi ketika terdapat kerusakan barrier
kulit. Maserasi, mencukur, luka kronis, ekskoriasi gigitan serangga yang
gatal, variasi pH kulit, kondisi kulit kering, kelainan inflamasi kulit,
dan kerusakan barrier epidermis akibat patogen lainnya merupakan
beberapa cara bakteri melewati barrier kulit (Tognetti et al., 2012; Craft,
2012). Karakter respons inflamasi kulit terhadap bakteri akan dipengaruhi
oleh cara organisme tersebut mencapai area yang terlibat. Inflamasi
lokal dan supurasi pada umumnya menyertai infeksi bakteri pada kulit.
Bakteri tertentu dapat menyebabkan bakteremia atau lesi yang jauh tanpa
membangkitkan respons inflamasi yang jelas pada lokasi masuknya.
(
RESISTANSI ALAMIAH KULIT
Kulit normal pada individu yang sehat sangat resistan terhadap invasi
berbagai macam paparan bakteri yang terus-menerus. Kulit yang intak
sulit untuk menyebabkan infeksi lokal seperti impetigo, furunkulosis,
atau selulitis. Organisme patogen seperti S. pyogenes (Streptococcus group
A/GAS) dan S. aureus dapat menyebabkan lesi selulitis dan furunkulosis
yang khas pada host dengan daya tahan tubuh normal, umumnya karena
terdapat kerusakan pada barrier kulit. Keberadaan benang silk, pada
kasus S. Aureus, menurunkan jumlah organisme yang diperlukan untuk
menimbulkan abses pada kulit manusia (Craft, 2012; Stevens et al., 2014).
Bakteri tidak mampu menembus lapisan keratin kulit normal, dan
jika diaplikasikan pada permukaan kulit, jumlahnya akan berkurang
dengan cepat. Maserasi dan oklusi yang menyebabkan peningkatan pH,
peningkatan kandungan karbondioksida, dan peningkatan kandungan
air di epidermis menyebabkan peningkatan jumlah flora bakteri secara
dramatis. Beberapa bakteri, misalnya bakteri gram negatif, hanya dapat
ditemukan di lokasi tersebut, hal itu menunjukkan bahwa kondisi kulit
normal dapat mencegah kolonisasi bakteri di kulit
Lipid pada permukaan kulit juga memiliki sifat antibakteri.
Berkurangnya lipid pada permukaan kulit dapat memperpanjang lama
ketahanan hidup S. Aureus pada kulit. Asam lemak bebas, asam linoleat,
dan linolenat, lebih menghambat S. Aureus daripada stafilokokus koagulase
negatif yang merupakan bagian dari flora normal kulit. Sfingosin,
glukosilseramid, dan asam cis-6-heksadekonat diketahui memiliki sifat
antimikroba terhadap S. Aureus
PEPTIDA ANTIMIKROBA
Kulit manusia mengandung berbagai macam protein yang mempunyai sifat
antimikroba. Peptida antimikroba (AMPs) diekspresikan pada permukaan
kulit, serta kelenjar ekrin, dan saliva. Keratinosit yang teraktivasi akan
memproduksi AMPs. AMPs yang diproduksi di keratinosit akan dikirim
ke permukaan kulit di badan lamelar, dan keberadaannya pada permukaan
kulit sangat berhubungan dengan produksi lipid stratum korneum
kulit normal. Masuknya protein ini ke dalam membran menyebabkan
kerusakan membran dan kematian mikroba. Prinsip kedua yaitu AMPs
akan diproses oleh enzim pada permukaan kulit setelah dilepaskan,
menghasilkan peptida multipel yang masing-masing mempunyai aktivitas
dan target yang berbeda. Prinsip ketiga, AMPs tidak hanya membunuh
mikroba secara langsung, namun juga sebagai pengaktivasi respons imun
host yang poten. Dua AMPs utama pada kulit yaitu katelesidin (LL-37)
dan defensin
Penurunan bermakna molekul tersebut pada kulit pasien dermatitis
atopik yang mengalami peradangan dapat berhubungan dengan
kerentanan pasien atopik terhadap infeksi S. aureus, virus herpes simpleks,
dan virus vaksin. Sitokin T helper 2 secara spesifik menekan produksi
AMPs ini. Hal tersebut menjelaskan mengapa kulit psoriasis yang memiliki
kadar AMPs normal atau meningkat lebih tidak rentan terhadap infeksi
bakteri dan virus.
GAMBARAN SPESIFIK RESPONS INFLAMASI HOST TERHADAP
INFEKSI KULIT
Sistem imun adaptif yang membutuhkan perkembangan sel target
dan antibodi sangat efektif untuk melindungi manusia dari infeksi
segera setelah sel efektor dan antibodi diproduksi. Namun, sistem
imun ini memerlukan waktu beberapa hari, sedangkan replikasi dan serangan bakteri terjadi dalam beberapa jam. Sistem ini tergantung pada
serangkaian pola reseptor pengenal (pattern recognition receptors/PRRs) yang
mengenali pola molekuler patogen (pathogen-associated molecular patterns
(PAMPs)). Perlekatan PRRs pada PAMPs menghasilkan opsonisasi dan
aktivasi sistem komplemen serta induksi jalur sinyal inflamasi. Proses ini
melibatkan setidaknya tiga PRRs, yaitu: (1) AMPs yang merupakan peptida
antimikroba, (2) Toll-like receptors (TLRs), dan (3) sistem komplemen. Ketiga
sistem ini mengikat bakteri setelah mereka memasuki kulit, dan melalui
interkomunikasi dan sinyal netrofil serta sel imun lain, sistem ini penting
untuk membawa sel yang dibutuhkan untuk menghancurkan patogen ke
tempat infeksi
TLRs merupakan repertoar dari PRRs. TLRs terdapat pada membran
sel dan mengenali ligan eksogen tertentu yang unik pada mikroorganisme
penyerang, yang tidak ditemukan pada host. Mereka memerankan peran
utama sebagai sensor primer terhadap patogen penyerang. Sebagai contoh,
TLR2 mengenali peptidoglikan pada permukaan bakteri gram positif dan
TLR4 mengenali lipopolisakarida pada bakteri gram negatif. TLRs tidak
hanya berikatan pada mikroba penyerang, namun juga mengatur respons
imun tipe apakah yang akan dihasilkan untuk patogen spesifik tersebut.
TLRs melakukan ini dengan menginstruksikan antigen presenting cell yang
telah mengikat organisme untuk mensekresikan sitokin yang tepat untuk
menghasilkan lingkungan imunologis yang diinginkan dan respons imun
adaptif yang diperlukan
Komplemen diaktivasi saat mannin-binding lectin berikatan pada
pola karbohidrat bakteri dan mengaktivasi C2 dan C4. Aktivasi C3
membebaskan C3a dan C3b. C3b pada membran menimbulkan opsonisasi
dan peningkatan fagositosis. Pembelahan C5 menimbulkan C5a, suatu
aktivator poten netrofil dan stimulator sitokin proinflamatori, termasuk
interleukin 1 (IL-1) dan IL-8. Kompleks penyerang membran (membrane
attack complex) dibentuk setelah kaskade komplemen komplit dan
membunuh mikroba penyerang. Komponen komplemen juga memodulasi
sistem imun, dan merubah stimulasi TLR pada beberapa jalur aktivasi.
Sistem imun alamiah, melalui komplemen dan TLRs, mengatur sistem
imun adaptif untuk merespons mikroba yang masuk secara tepat. Respons
imun alamiah yang terperinci ini menjelaskan adanya respons klinis yang
berbeda untuk berbagai infeksi bakteri. Agen infeksius, lokasi anatomis
infeksi, dan pola respons inflamasi menimbulkan lesi klinis
PERUBAHAN POLA INFEKSI BAKTERI PADA KULIT
Tiga faktor yang menyebabkan peningkatan prevalensi dan virulensi
infeksi bakteri. Pertama, telah ditemukan patogen baru, seperti Bartonella
spp, yang sebelumnya tidak diketahui dapat menyebabkan penyakit pada
manusia. Kedua, bakteri itu sendiri menjadi lebih sulit untuk diterapi
karena faktor virulensi dan terjadi resistansi antibiotika. Ketiga, adanya
peningkatan jumlah pasien imunokompromais akibat meningkatnya
jumlah lanjut usia, infeksi HIV, dan kondisi imunosupresi iatrogenik.
Selain patogen yang umum, berbagai anggota mikrobiom kulit nonpatogen
dapat menyebabkan penyakit pada pasien yang lemah atau pada individu
dengan perubahan imunitas humoral maupun selular
Imunodefisiensi dengan imunoglobulin yang rendah dan neutropeni dapat
menurunkan kemampuan migrasi neutrofil. Pasien dengan HIV seringkali
berkaitan dengan infeksi kulit piogenik yang parah dan pengobatan yang
refrakter
KLASIFIKASI INFEKSI BAKTERI PADA KULIT
Infeksi bakteri kulit dan jaringan lunak terdiri dari beberapa gejala
klinis, etiologi, dan keparahan yang bervariasi dari ringan sampai berat
bahkan yang mengancam jiwa. Klasifikasi Infeksi pada kulit berdasarkan:
kulit yang terlibat tanpa dan dengan komplikasi pada keterlibatan area
yang lebih dalam; progresivitasnya, yaitu infeksi akut dan kronis; dan
berdasarkan adanya nekrosis jaringan atau yang tidak didapatkan nekrosis
Penemuan bakteri spesifik sebagai penyebab infeksi kulit mendorong
dibentuknya klasifikasi penyakit kulit berdasarkan bakteri patogen
dibandingkan berdasarkan morfologi. Pada banyak kasus agen infeksius
yang diidentifikasi melalui kultur hasilnya belum dapat diketahui dalam
1 hari. Selain itu, Impetigo, selulitis, dan necrotizing fasciitis merupakan
3 contoh patogen multipel dapat menyebabkan pola klinis yang sama
sehingga keputusan terapi dibuat berdasarkan patogen yang paling
dicurigai sebagai penyebab. Oleh karena itu, klasifikasi morfologis pada
lesi kulit sangat penting dan dapat mengarahkan uji diagnosis awal serta
terapi antibiotik empiris
Infeksi bakteri pada kulit terbagi menjadi: (1) infeksi primer (pioderma),
(2) infeksi sekunder, (3) manifestasi kulit akibat penyakit bakteri sistemik,
dan (4) kondisi reaktif akibat infeksi pada lokasi yang jauh. Infeksi bakteri
primer disebabkan oleh invasi spesies tunggal bakteri patogen pada kulit
normal. Impetigo, erisipelas, dan furunkulosis merupakan contoh infeksi
kulit primer. Sebaliknya, infeksi sekunder terjadi pada lokasi yang telah
mengalami kerusakan kulit. Walaupun bakteri yang ada bukan merupakan
penyebab kelainan kulit yang mendasari, proliferasi bakteri dan invasi
yang terjadi selanjutnya pada area sekitar dapat memperburuk dan
memperpanjang penyakit. Infeksi sekunder dapat terjadi jika telah terjadi
kerusakan integritas kulit, atau jika terjadi perubahan kondisi imun lokal
akibat penyakit kulit primer, diikuti infeksi bakteri. Berbeda dengan infeksi
primer, infeksi sekunder menunjukkan beberapa organisme pada kultur,
dan tidak jarang, sulit untuk menentukan bakteri mana yang merupakan
penyebab utama. Pada eksaserbasi dermatitis atopik pemberian antibiotik
dapat mengurangi jumlah S.aureus dan memberbaiki lesi dermatitis. Pada
kasus infeksi sekunder, morfologi penyakit kulit primer hanya mengalami
sedikit perubahan, dan adanya bakteri patogen yang menyebabkan
eksaserbasi penyakit dapat diduga dari respons yang kurang terhadap
pengobatan atau adanya eksasebasi kondisi yang tidak dapat dijelaskan STRATEGI DIAGNOSTIK
Identifikasi bakteri dari lesi kulit dapat memberikan informasi yang
penting mengenai penyebab infeksi kulit. Walaupun tidak praktis
untuk dilakukan pada beberapa kondisi, pemeriksaan hapusan dengan
pengecatan gram dari bahan lesi infeksi kulit dapat membantu pemilihan
terapi antibiotik sebelum diagnosis berdasarkan kultur dapat ditegakkan.
Oleh karena itu, investigasi bakteriologis merupakan bagian penting pada
evaluasi awal pasien dengan lesi kulit dan hal ini meliputi pengambilan
sampel yang tepat, interpretasi hapusan dengan pengecatan gram, dan
penggunaan media pertumbuhan selektif untuk kultur
Pengecatan gram merupakan metode yang sangat cepat untuk
memeriksa jumlah dan tipe bakteri pada suatu sampel, serta sifat eksudat
inflamasi pada pus steril. Pengambilan spesimen yang tepat untuk pemeriksaan mikroskopis dan kultur perlu diperhatikan untuk mencegah
kontaminasi. Aspirasi atau kultur dari batas selulitis menunjukkan hasil
positif pada sekitar 16% pasien. Pada keadaan tidak didapatkan data
dari aspirasi, biopsi dapat memberikan informasi. Lesi lokal dari kulit
dan jaringan lunak pada pasien imunokompromi sebaiknya dibiopsi jika
patogen gagal ditemukan pada pemeriksaan aspirasi
Prosedur diagnostik lain di antaranya yaitu fluoresensi antibodi
(rapid direct fluorescence antibody staining). Penggunaan praktis prosedur ini
pada infeksi bakteri kulit saat ini cukup terbatas. Penggunaan terbaiknya
yaitu untuk diagnosis spesifik infeksi yang jarang dijumpai namun
serius. Beberapa jenis uji serologis dapat membantu diagnosis infeksi
bakteri pada kulit. Pemeriksaan ini terutama penting pada kondisi dengan
manifestasi kulit terjadi sekunder akibat penyakit sistemik (misalnya rose
spot pada demam tifoid)
Teknologi polymerase chain reaction (PCR) dapat diterapkan untuk
diagnosis suatu bahan yang diambil dari biopsi punch jaringan lesi atau
dari aspirat lesi vesikobulosa seperti yang digunakan untuk diagnosis
infeksi pada cairan tubuh (cairan serebrospinal, cairan pleura, darah).
Penggunaan prosedur ini paling bermanfaat jika dicurigai adanya satu
spesies bakteri tertentu yang jarang, dan jika tersedia primer yang sesuai
(
TERAPI ANTIBIOTIK
Pemilihan antibiotik yang sesuai harus diputuskan sejak awal berdasarkan
tampilan lesi kulit, adanya tanda penyakit sistemik, dan pengecatan gram
dengan bahan yang diambil dari lesi. Hasil kultur dan uji kepekaan
antibiotik dari patogen yang diisolasi pada umumnya tersedia dalam 24–
48 jam. Faktor epidemiologi tambahan (sedang menjalani rawat inap atau
penghuni panti jompo, penggunaan antibiotik baru-baru ini, neutropenia,
dan status imun) harus dipertimbangkan dalam pemilihan terapi
antibiotik. Selain itu, penting untuk menentukan pilihan berdasarkan data
terakhir dari daerah lokal dan dari sumber terkini mengenai perubahan yang cepat pada pola resistansi antibiotik dari berbagai spesies bakteri
Infeksi kulit primer dengan derajat keparahan ringan hingga sedang
dapat diterapi dengan perawatan lokal, obat topikal, antibiotik oral, atau
dengan kombinasi metode tersebut. Infeksi luas pada kulit, dengan atau
tanpa manifestasi sistemik, harus diterapi secara agresif dengan antibiotik
parenteral dengan dosis yang adekuat. Pada host imunokompromi, terapi
infeksi kulit secara parenteral hampir selalu direkomendasikan
Sejumlah faktor harus dipertimbangkan dalam pemberian
antibiotik yaitu: terapi oral dapat dibatasi oleh gangguan absorbsi dan
gastrointestinal; hipotensi dan penyakit kulit luas dapat menghambat jalur
intramuskular; dan obat yang dipilih kemungkinan hanya dapat diberikan
melalui rute spesifik. Profil metabolisme dari antibiotik yang diberikan
harus selalu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kekurangan dosis
atau akumulasi toksik dalam bentuk malfungsi organ spesifik (contohnya
gangguan hepar atau renal).
TOKSISITAS
Toksisitas dari antibiotik harus dipertimbangkan secara individual, namun
beberapa permasalahan dapat diterapkan untuk semua antibiotik. Reaksi
hipersensitivitas relatif umum dijumpai dan meliputi ruam kulit, demam,
atau manifestasi yang lebih berat seperti anafilaksis akut atau eritroderma
eksfoliatif. Penisilin dan sulfonamid sering menyebabkan permasalahan
ini. Riwayat alergi obat harus ditanyakan sebelum pemberian antibiotik.
Seluruh antibiotik dapat mengubah flora normal, terutama obat dengan
spektrum luas seperti sefalosporin. Gangguan gastrointestinal dan
lesi pada mukosa oral merupakan masalah utama yang terjadi akibat
perubahan flora. Reaksi obat lain (gangguan ginjal, hematologis, hepar,
dan sistem saraf) akibat antibiotik dapat diterima jika penggunaannya
lebih bermanfaatRESISTANSI ANTIBIOTIK
Mekanisme terjadinya resistansi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme.
DNA asing yang mengandung gen resistansi antibiotik dapat ditransfer
melalui: (1) transfer gen secara horisontal ke resipien melalui beberapa
jalur; (2) konjugasi sel ke sel; (3) transformasi oleh naked DNA plasmid atau
fragmen linear yang dilepaskan oleh sel mati; atau (4) transduksi yang
dimediasi phage. Resistansi antibiotik juga dapat terjadi melalui mutasi de
novo. Usaha untuk meminimalkan penggunaan antibiotik yang berlebihan
dan menggunakan obat dengan spektrum antibiotik yang sempit harus
dilakukan
ANTIBAKTERI TOPIKAL
Obat antibakteri topikal sering digunakan untuk mencegah dan menekan
pertumbuhan bakteri pada lesi terbuka dan luka operasi. Pada kasus
luka dermatologis dengan jahitan, antibiotik topikal seringkali tidak
lebih baik dibandingkan petrolatum dan mempunyai efek yang terbatas
dalam menurunkan infeksi pada luka. Selain itu, neomisin dan basitrasin
topikal sering mencetuskan dermatitis kontak sehingga harus dihindari.
Dermatitis kontak pada umumnya sering terjadi jika antibiotik topikal
tersebut digunakan untuk ulkus tungkai akibat insufisiensi vena
Di antara beberapa obat antibakteri topikal yang paling berguna
antara lain asam asetat (1–5%) untuk infeksi kuku dan sela jari akibat
Pseudomonas, gentamisin (0,17% krim) dapat digunakan pada pasien
tertentu ketika campuran bakteri gram negatif membutuhkan supresi
lokal, dan mupirosin (2% krim atau salep) dengan aktivitas antibakteri
terhadap berbagai streptokokus dan S. aureus. Sejumlah antiseptik
spektrum luas juga tersedia untuk penggunaan topikal. Povidon iodin
(Betadine) efektif untuk sebagian besar bakteri gram positif dan negatif,
namun tidak bertahan dalam kulit untuk menghasilkan efek residu.
Klorheksidin glukonat (4% solusio) mengombinasikan sifat antibakteri spektrum luas dengan lama aksi yang panjang. Preparat alkohol sangat
efektif dan tidak diabsorbsi ke darah. Antiseptik spektrum luas ini dapat
digunakan sebagai profilaksis atau untuk mengobati luka lokal dan pada
dermatosis yang mengalami infeksi superfisial
DEFINISI
Impetigo termasuk salah satu pioderma superfisial, yang terdiri dari 2
tipe, yaitu impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa/krustosa/kontagiosa.
Impetigo bulosa merupakan infeksi bakteri lokal di lapisan epidermis
kulit dengan manifestasi utama berupa bula. Impetigo nonbulosa atau
impetigo kontagiosa atau impetigo krustosa merupakan infeksi bakteri
lokal di lapisan epidermis kulit dengan gambaran klinis vesikel atau
pustula yang cepat pecah menjadi krusta berwarna kuning seperti madu
(honey-colored crusted plaque)
EPIDEMIOLOGI
Impetigo lebih sering terjadi pada bayi baru lahir dan bayi kurang dari 1
tahun, tetapi juga dapat mengenai anak-anak. Impetigo bulosa terutama
terjadi pada bayi baru lahir, walaupun dapat juga terjadi pada semua
umur. Impetigo bulosa tipe neonatus merupakan tipe yang sangat mudah
menular, dengan area tersering di wajah dan tangan. Kejadian impetigo
nonbulosa sebesar 70% dari kasus pioderma, dapat terjadi pada anak
maupun dewasa, dengan area tersering di wajah, leher, dan ekstremitas
ETIOLOGI
Impetigo bulosa disebabkan tersering oleh Staphylococcus aureus,
sedangkan impetigo nonbulosa tersering disebabkan oleh Staphylococcus
aureus dan Group A Streptococcus
PATOGENESIS
Kulit merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap lingkungan.
Adanya homeostasis yang tidak seimbang antara mikrob kulit dengan
pejamu berhubungan dengan timbulnya impetigo bulosa. Impetigo bulosa
disebabkan oleh exfoliatin (extracelullar exfoliative toxin) Staphylococcus
aureus tipe A dan B. Exfoliatin tipe A bekerja sebagai serin protease dari
desmoglein 1 (desmosomal chaderin). Sebuah studi mengenai impetigo
bulosa, pada 51% pasien didapatkan kultur positif Staphylococcus aureus
pada hidung dan tenggorok, dan 79% kultur disebabkan oleh strain yang
sama di kedua area tubuh tersebut
Kulit yang intak bersifat resistan terhadap kolonisasi atau
impetiginisasi, kemungkinan karena tidak adanya reseptor fibronektin
untuk asam teikoat pada Staphylococcus aureus dan Group A Streptococcus.
Produksi bacteriocins, yang diproduksi oleh strain Staphylococcus aureus
tertentu dan Group A Streptococcus yang bersifat sangat bakterisidal, hanya
berperan jika ada isolasi Staphylococcus aureus pada beberapa lesi impetigo
nonbulosa yang awalnya disebabkan oleh Streptococcus. Staphylococcus
aureus menyebar dari hidung ke kulit normal kira-kira dalam 11 hari,
kemudian timbul lesi kulit setelah 11 hari berikutnya. Lesi biasanya
timbul pada wajah di sekitar hidung atau di ekstremitas setelah trauma.
Staphylococcus aureus sebagai carrier di mukosa nasal dikonfirmasi terdapat
di nasal anterior dan bibir; dengan pruritus sebagai keluhan tersering.
Kondisi yang menyebabkan kerusakan integritas epidermis dapat menjadi
port d’entry impetiginisasi, termasuk gigitan serangga, dermatofitosis,
herpes simpleks, varisela, abrasi, laserasi, dan luka bakar akibat termal
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis khas impetigo bulosa berupa vesikel kecil yang cepat
berubah menjadi bula yang mudah pecah; dapat juga timbul bula hipopion.
Bula seringkali timbul di area intertriginosa, yaitu aksila, inguinal, gluteal;
serta dapat juga timbul di dada dan punggung. Nikolsky sign (lepasnya
epidermis akibat tekanan/gesekan) tidak didapatkan pada impetigo
bulosa. Bula berisi cairan kuning muda, yang akan menjadi kuning
gelap; dan lesi ini berbatas tegas tanpa adanya halo eritematosa. Bula
terletak superfisial di lapisan epidermis, dan dalam 1 hingga 2 hari akan
pecah, tetapi cepat mengering dan membentuk skuama anular dengan
bagian tengah eritematosa (kolaret). Rasa gatal dan tidak nyaman dapat
dikeluhkan oleh pasien
Lesi awal dari impetigo nonbulosa berupa makula eritematosa kecil
berukuran sekitar 2 mm yang kemudian berubah menjadi vesikel atau
pustula dan cepat berevolusi menjadi honey-colored crusted plaque, yang
diameternya bisa meluas hingga 2 cm. Lesi dapat dikelilingi oleh makula
eritematosa. Gejala konstitusi dapat terjadi; limfadenopati regional terjadi
pada 90% pasien dengan infeksi yang kronis dan tidak diterapi. Lesi yang
tidak diterapi akan menjadi semakin luas dan dapat timbul lesi satelit di
sekitarnya. Rasa gatal dan tidak nyaman dapat terjadi. Pada beberapa
pasien, lesi dapat sembuh spontan; sedangkan pada individu yang lain
lesi dapat meluas hingga ke dermis dan membentuk suatu ulkus
Impetigo yang disebabkan oleh Streptococcus seringkali terjadi pada
bagian tubuh yang terpajan lingkungan luar, terbanyak di ekstremitas
inferior atau di wajah. Lesinya dapat terlokalisir, tetapi seringkali multipel.
Walaupun limfadenitis regional seringkali terjadi, gejala sistemik jarang
tampak .
Pemeriksaan Gram dari cairan eksudat impetigo bulosa menunjukkan
kuman kokus Gram positif yang berkelompok. Kultur dan uji resistansi
kuman terhadap antibiotik yang diambil dari sediaan lesi/aspirat dilakukan
apabila lesi tidak responsif terhadap pengobatan empiris. Staphylococcus
aureus didapatkan pada bula yang intak. Apabila lesi impetigo bulosa
tidak spesifik, dapat dilakukan pemeriksaan histopatologis, didapatkan
gambaran histopatologis berupa vesikel/celah di lapisan subkorneal
atau stratum granulosum, sel akantolitik di dalam celah (blister), dengan
spongiosis, edema di papila dermis, dan infiltrasi limfosit dan neutrofil
di sekitar pembuluh darah di pleksus superfisialis
Pemeriksaan Gram dari lesi impetigo bulosa menunjukkan kuman
kokus Gram positif yang berkelompok dapat berupa Staphylococcus aureus
atau Group A Streptococcus. Kultur dan uji resistansi kuman terhadap
antibiotik yang diambil dari sediaan lesi/aspirat dilakukan apabila tidak
responsif terhadap pengobatan empiris. Pemeriksaan histopatologis dapat
dilakukan apabila lesi tidak spesifik (Craft, 2012; Perdoski, 2017).
DIAGNOSIS
Diagnosis impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa ditegakkan melalui
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan
Gram, kultur kuman, uji resistansi kuman terhadap antibiotik
TERAPI
Pasien impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa dapat berobat rawat jalan.
Terapi nonmedikamentosa berupa menjaga higiene (mandi 2 kali sehari
dengan sabun) serta mengidentifikasi faktor komorbiditas dan faktor
predisposisi yang ada. Terapi impetigo bulosa yaitu antibiotik topikal
(mupirocin atau natrium fucidat 2%, sediaan salep atau krim; diberikan
2–3 kali sehari selama 7–10 hari), melepas krusta, dan menjaga higiene
yang baik merupakan terapi yang cukup efisien pada kasus ringan hingga
sedang
Sedangkan pada kasus yang berat, diperlukan juga antibiotik
sistemik. Antibiotik yang sesuai disertai dengan terapi suportif berupa
perawatan kulit, serta evaluasi terhadap gangguan cairan dan elektrolit
(pada kasus yang berat/luas) akibat kerusakan fungsi barier yang rusak
dapat mempercepat penyembuhan. Impetigo yang disebabkan oleh
Staphylococcus memberikan respons terapi yang baik dengan pemberian antibiotik yang sesuai. Antibiotik sistemik diberikan minimal selama 7
hari. Antibiotika sistemik yang diberikan pada penatalaksanaan impetigo
bulosa dan impetigo nonbulosa berupa
1. Terapi lini pertama
a. cloxacillin/dicloxacillin untuk dewasa dengan dosis 4 x 250–500
mg/hari peroral, sedangkan untuk anak-anak dengan dosis 25–50
mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis;
b. bila alergi terhadap penicillin dapat diberikan erythromycin 4x
250–500 mg, oxycillin dan clavulanic acid untuk dewasa dengan
dosis 3 x 250–500 mg/hari, sedangkan untuk anak-anak dengan
dosis 25 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis; dan
c. cephalexin 25–50 mg/kgBB/hari terbagi dalam 4 dosis.
2. Terapi lini kedua
a. azythromycin 1 x 500 mg (pada hari pertama), dilanjutkan 1 x 250
mg (pada hari ke-2 sampai ke-5);
b. clindamycin 15 g/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis; dan
c. erythromycin untuk dewasa dengan dosis 4 x 250–500 mg/hari,
sedangkan untuk anak-anak dengan dosis 25–50 mg/kgBB/hari
terbagi dalam 4 dosis.
3. Pada kasus dengan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
a. trimethroprim-sulfamethoxazole 160/800 mg, 2 kali sehari;
b. doxycyclin, mynocyclin 1 x 100 mg/hari (tidak direkomendasikan
untuk anak-anak dibawah 8 tahun); dan
c. clindamycin 15 mg/kgBB/hari terbagi dalam 3 dosis.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding impetigo bulosa yaitu herpes simpleks, varisela,
bullous fixed drug reaction, bullous drug eruption, Staphylococcal scalded skin
syndrome. Diagnosis banding impetigo nonbulosa yaitu ektima, dermatitis
atopik, dermatitis seboroik, dermatitis kontak alergi, dan skabies
PROGNOSIS
Impetigo bulosa dan nonbulosa dapat sembuh tanpa pengobatan dalam
2–3 minggu tanpa sekuele. Walaupun demikian, pemberian terapi pada
kasus impetigo bulosa akan mempercepat penyembuhan pasien dan
menurunkan risiko penyebaran infeksi
KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi akibat impetigo bulosa dan impetigo
nonbulosa yaitu selulitis, sepsis, limfangitis, limfadenitis, bakteremia,
dan post streptococcal glomerulonephritis (PSGN). PSGN yaitu komplikasi
yang serius dan lebih sering timbul pada infeksi yang disebabkan oleh
streptococcus. PSGN dapat terjadi pada 2–5% pasien dengan impetigo
nonbulosa (10–15% disebabkan oleh nephritogenic strains of streptococcus)
dan menetap hingga 2 minggu. Gejalanya dapat berupa bengkak wajah,
terutama sekitar mata, oliguria, hematuria, peningkatan tekanan darah.
PENCEGAHAN DAN EDUKASI
Pencegahan timbulnya impetigo bulosa dan impetigo nonbulosa dapat
dilakukan dengan menjaga higiene perorangan dan lingkungan, serta
menghindari faktor predisposisi dan memperbaiki faktor komorbiditas
yang ada. Mencuci tangan dengan air hangat dan sabun antibakteri, serta
mandi teratur akan menurunkan risiko infeksi. Pasien dengan impetigo
harus membersihkan handuk dan peralatan pribadi dengan rutin. Pada
anak-anak, peralatan pribadi termasuk mainan anak-anak juga harus
dilakukan pencucian secara rutin
DEFINISI
Infeksi kulit karena bakteri yang disebut pioderma terutama disebabkan
oleh Staphylococcus aureus dan Streptococcus sp.
Folikulitis merupakan pioderma di folikel rambut terutama disebabkan
oleh Staphylococcus aureus. Folikulitis diklasifikasikan menurut kedalamam
invasi Staphylococcus aureus (folikulitis superfisial dan deep folliculitis), dan
menurut etiologi. Biasanya mengenai folikel rambut pada kelopak mata,
aksila, pubis, dan paha
EPIDEMIOLOGI
Sekitar 20% individu terdapat kolonisasi S. aureus, sedangkan karier S.
aureus ditemukan pada 60% individu sehat. Hal tersebut merupakan
sumber utama terjadinya infeksi . Folikulitis sering dijumpai
di daerah dengan iklim tropis dan higiene buruk
ETIOLOGI
Folikulitis terutama disebabkan oleh Staphylococcus aureus, walaupun
bisa disebabkan Streptococcus sp. dengan frekuensi yang lebih jarang
(Craft, 2012).
Faktor predisposisi folikulitis antara lain
a. kondisi imunokompromi;
b. dermatitis atopik;
c. luka di kulit yang sudah ada sebelumnya misal karena pencukuran
rambut;
d. keradangan kulit;
e. iklim tropis;
f. higiene buruk;
g. pakaian terlalu ketat atau tertutup;
h. obesitas; dan
i. diabetes melitus.
PATOGENESIS
Folikulitis merupakan peradangan pada folikel rambut. Hal tersebut
disebabkan oleh infeksi terutama Staphylococcus aureus. Folikulitis muncul
ditunjang adanya faktor predisposisi, antara lain iklim tropis, higiene
buruk, kondisi imunokompromais, atau keradangan kulit yang sudah ada
sebelumnya. Beberapa kondisi tersebut menyebabkan kerusakan folikel
rambut sehingga memudahkan terjadinya infeksi akibat Staphylococcus
aureus
Secara umum, hampir 20% populasi manusia membawa bakteri
Staphylococcus aureus di permukaan tubuh, terutama di hidung, aksila,
dan perineum. Staphylococcus aureus memproduksi beberapa toksin
yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk invasi dan membantu
mempertahankan kehidupan Staphylococcus di jaringan. Toksin tersebut
menyebabkan berbagai efek pada sistem kekebalan tubuh pasien. Produkproduk yang dihasilkan pada dinding sel ini yaitu asam teichoic,
peptidoglycan, dan protein A. Protein A membantu perlekatan bakteri pada
sel pejamu yang selanjutnya terjadi suatu infeksi
MANIFESTASI KLINIS
Selain disebabkan oleh bakteri, folikulitis juga bisa disebabkan oleh
jamur, virus, dan infestasi parasit. Tetapi dalam makalah ini hanya
dibahas tentang folikulitis karena bakteri terutama yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus. Folikulitis karena bakteri diklasifikasikan menjadi
1. folikulitis disebabkan Staphylococcus aureus;
a. Folikulitis superficial (follicular atau Bockhart impetigo)
b. Periporitis stahylogenes
c. Deep (sycosis) folliculitis
2. folikulitis disebabkan Pseudomonas aeruginosa (hot tub folliculitis);
3. folikulitis disebabkan bakteri Gram negatif (tejadi di wajah pada akne
vulgaris yang mendapatkan terapi antibiotik jangka lama); dan
4. folikulitis sifilitika (sekunder, akneiformis).
Folikulitis Superfisial
Folikulitis superfisal disebut juga impetigo folikular atau impetigo
Bockhart, merupakan pustula kecil, fragil, berbentuk kubah, berwarna
putih kekuningan, yang terjadi di infundibulum (ostium) folikel rambut,
sering terjadi di skalp pada anak-anak, kadang di perioral; sedangkan
pada dewasa sering terjadi di daerah dagu, aksila, ekstremitas, dan pantat.
Folikulitis superfisialis terjadi dalam beberapa hari . Keluhan biasanya nyeri, dapat disertai rasa gatal walaupun tidak
parah (Perdoski, 2017). )Lihat Gambar 3.1 dan Gambar 3.2
Periporitis staphylogenes
Periporitis staphylogenes terjadi karena miliaria pada neonatus yang
terinfeksi S. aureus. Staphylococcal blepharitis merupakan infeksi S. aureus
di kelopak mata, memberi gambaran berupa skuama dan krusta di tepi
kelopak mata, sering disertai konjungtivitis, merupakan diagnosis banding
dari dermatitis seboroik dan rosasea kelopak mata .
Deep Folliculitis (Sycosis Barbae, Sycosis Vulgaris)
Sycosis barbae atau Sycosis vulgaris atau Barber’s itch merupakan deep
folliculitis yang terjadi keradangan perifolikular, kronis, yang terjadi di
area wajah khususnya bagian yang berjenggot dan bibir atas akibat infeksi
Staphylococcus aureus Sycosis barbae cenderung
kambuh-kambuhan. Penyakit ini dimulai dengan eritema dan nyeri atau
gatal, biasanya di atas bibir dekat hidung. Dalam 1 atau 2 hari muncul satu
atau lebih pustula kecil di sekitar rambut. Lesi tersebut akan pecah setelah
pencukuran atau pembersihan jenggot meninggalkan bercak eritematosa
yang menjadi tempat munculnya pustul yang lebih besar. Luka di area
yang tidak berambut dan atrofi di sekitar pustula dan krusta dapat terjadi.
Blefaritis marginal dengan konjungtivitis biasanya timbul pada kasus
sycosis berat
Gambar 3.3 Sycosis barbae.
Deep staphylococcal folliculitis
di area kumis
Lupoid sycosis
Lupoid sycosis merupakan bentuk kronik dan dalam dari sycosis barbae yang
disertai jaringan parut, biasanya lesi berbentuk sirsinar. Sikatrik di tengan
dikelilingi pustula dan papula menyerupai lupus vulgaris
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi
a. pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan Gram;
b. kultur dan resistansi antibiotik yang diambil dari spesimen lesi/aspirat
(jika tidak responsif terhadap pengobatan empiris;
c. kultur dan resistansi antibiotik dari darah, pemeriksaan darah perifer
lengkap, kreatinin, C-reactive protein apabila diduga bakteremia; dan
d. biopsi apabila lesi tidak spesifik.
TERAPI
Terapi nonmedikamentosa meliputi
a. menjaga kebersihan dengan mandi sehari 2 kali dengan sabun; dan
b. mengatasi/mengidentifikasi faktor predisposisi dan keadaan
komorbid.
Terapi medikamentosa meliputi lesi superfisial biasanya pecah dan terjadi
drainase spontan. Lesi yang dalam harus didrainase. Banyak kasus
sembuh dengan drainase dan terapi topikal. Jika tidak diobati, lesi akan
menjadi lebih dalam dan kronis.
Terapi topikal meliputi:
a. kompres hangat;
b. mupirocin;
c. bacitracin;
d. retapamulin;
e. clindamysin; dan
f. kulit yang abrasi atau mengalami eksematosa dapat diatasi dengan
antibiotik topikal atau klorheksidin topikal.
Jika drainase dan topikal terapi gagal, atau jika disertai infeksi jaringan
lunak diperlukan terapi sistemik:
a. generasi pertama cephalosporin; dan
b. penisilin penicillinase (misalnya dicloxacillin).
Jika terjadi peradangan akut: kompres hangat dengan larutan aluminium
asetat (Burow) diencerkan 1: 20. Formulasi anhidrat dari aluminium klorida
efektif digunakan setiap malam untuk folikulitis kronis, terutama pada
bokong. Salep mata antibiotik digunakan untuk blefaritis
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding folikulitis yang disebabkan S. aureus yaitu
1. Pseudofoliculitis barbae yang mengenai di daerah janggut;
2. folikulitis keloidalis atau akne keloidalis nuchae yang mengenai
tengkuk dan leher;
3. perifolikulitis kapitis di scalp;
4. folikulitis iritan akibat terpajan minyak mineral, produk yang
mengandung tar, minyak cukur;
5. akne vulgaris;
6. erupsi akneformis yang diinduksi obat;
7. rosasea;
8. hidradenitis supurativa;
9. akne nekrotika di scalp;
10. folikulitis eosinofilik pada pasien Human immunodeficiency virus (HIV);
dan
11. hot tub folliculitis yang disebabkan Pseudomonas aeruginosa.
Sycosis vulgaris dibedakan dari tinea, akne vulgaris, pseudofolliculitis
barbae, dan sycosis herpes. Tinea barbae jarang mengenai bibir atas, yang
merupakan lokasi umum untuk sycosis. Tinea barbae biasanya mengenai
submaksilaris atau di dagu, dan ditemukan spora dan hifa di rambut.
Pseudofolliculitis barbae berupa papula di area tumbuhnya rambut jenggot
di pria kulit hitam. Infeksi virus herpes simplex (VHS), biasanya hanya
terjadi beberapa hari dan terdapat
PROGNOSIS
Folikulitis superfisialis mempunyai prognosis yang cukup baik karena
infeksinya ringan dan superfisial, sedangkan folikulitis profunda lebih
sulit diatasi karena infeksinya lebih dalam dan lebih parah. Dengan
penatalaksanaan yang baik termasuk memberikan tata laksana terhadap
faktor risikonya akan memberikan prognosis yang baik
EDUKASI
Membatasi penularan dengan memberikan edukasi ke pasien
dan keluarganya agar menjaga higiene perorangan dengan baik
DEFINISI
Furunkel (boil) merupakan keradangan akut yang dalam di folikel
rambut dan sekitarnya, membentuk nodul nyeri, biasanya didahului atau
berkembang dari folikulitis superfisialis dan sering berkembang menjadi
abses.
Karbunkel merupakan lesi infiltrat yang ekstensif dan dalam yang
berkembang menjadi lesi supuratif
ETIOLOGI
Penyebab furunkel dan karbunkel yaitu Staphylococcus aureus
PATOGENESIS
Furunkel terjadi akibat mikrolesi karena garukan atau gesekan yang
menyebabkan kuman Staphylococcus aureus masuk ke dalam kulit dan
menyebabkan keradangan akut yang dalam di folikel rambut dan
sekitarnya, membentuk nodul nyeri. Karbunkel merupakan lesi infiltrat
yang ekstensif dan dalam yang berkembang menjadi lesi supuratif
Faktor predisposisi furunkel dan karbunkel antara lain
a. obesitas;
b. diskrasia darah;
c. skabies;
d. kelainan fungsi neutrofil (kelainan kemotaksis yang berkaitan dengan
eksema dan IgE yang tinggi, penyakit granulomatosa pada anakanak);
e. terapi glukokortikoid;
f. terapi sitostatika;
g. defisiensi imunoglobulin;
h. gangguan integrasi kulit karena iritasi, tekanan, gesekan, hyperhidrosis,
dermatitis, dermatofitosis, pencukuran, dan faktor lain;
i. kerusakan fungsi pertahanan kulit;
j. penyebaran atau autoinokulasi dari lokasi karier, biasanya dari hidung
atau genitalia;
k. alkoholisme;
l. malnutrisi;
m. iatrogenic;
n. imunokompromi (misal AIDS);
o. diabetes mellitus;
p. pasien hemodialisis;
q. terapi isotretinoin atau acitretin, sering sebagai karier S. aureus di
hidung; dan
r. dermatitis atopik.
MANIFESTASI KLINIS
Furunkel
Furunkel terjadi di sisi bagian tubuh yang berambut, terutama di area
yang terjadi gesekan, oklusi, dan berkeringat, seperti leher, aksila, dan
pantat, tetapi bisa terjadi di seluruh bagian tubuh, terutama bagian
tubuh yang berkeringat. Furunkel bisa merupakan komplikasi dari lesi
sebelumnya seperti dermatitis atopik, ekskoreasi, abrasi, skabies, dan
pedikulosis, tetapi lebih sering terjadi tanpa didahului adanya kelainan
sebelumnya Lesi dimulai di folikel rambut dan berkembang
dari nodul perifolikular berwarna kemerahan yang keras, membesar, dan
sangat nyeri yang setelah beberapa hari menjadi fluktuasi. Ruptur terjadi
dengan mengeluarkan pus yang sering disertai jaringan nekrotik. Nyeri di
sekitar lesi akan berkurang dan kemerahan dan edema menghilang dalam
beberapa hari sampai beberapa minggu. Furunkel bisa terjadi soliter atau
multipel . Ukuran lesi biasanya sekitar 1–3
cm
Hospital furunculosis
Epidemi infeksi Staphylococcus terjadi di beberapa rumah sakit. Pada
kondisi tersebut bisa terjadi peningkatan resistansi agen antibakteri. Usaha
pencegahan antara lain melalui program cuci tangan yang benar. Dalam
perawatan, penurunan kejadian kolonisasi dan infeksi S. aureus and nongroup A streptococci dicapai dengan pemakaian solusio chlorhexidine 4%
saat perawatan kulit dan tali pusat
Karbunkel
Karbunkel merupakan lesi keradangan yang lebih serius dengan dasar
yang dalam, mengenai beberapa folikel rambut dan jaringan sekitarnya,
disertai gejala yang khas, yaitu sangat nyeri. Karbunkel sering terjadi di
leher belakang, punggung, dan paha Sering disertai demam
dan malaise, pasien seringkali tampak kesakitan. Area yang terkena
menjadi kemerahan dan terjadi indurasi, multipel pustula muncul dengan
cepat, terjadi drainase di sekitar folikel rambut. Lesi berkembang cepat
menjadi kawah iregular berwarna kuning kehijauan di tengah yang jika
menyembuh membentuk jaringan granulasi, meskipun area yang lesinya
dalam berwarna keunguan bisa menetap agak lama. Sikatrik bisa terjadi
(. Ukuran lesi biasanya sekitar 3–10 cm
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium pada furunkel dan karbunkel terdiri atas (
a. leukositosis biasanya didapatkan pada furunkulosis berat atau
karbunkel;
b. pemeriksaan histopatologis furunkel menunjukkan infiltrat
polimorfonuklear di dermis dan lemak subkutis, sedangkan pada
karbunkel didaptakan abses multipel, dipisahkan oleh trabeluka
jaringan ikat, didapatkan infiltrat di dermis dan sepanjang tepi folikel
rambut;
c. pemeriksaan Gram dari pus menunjukkan kumpulan kokus Gram
positif; dan
d. kultur didapatakan pertumbuhan S. aureus.
DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis dan laboratorium
TERAPI
Furunkulosis Akut
Terapi furunkulosis akut yaitu sebagai berikut
Jika furunkulosis ringan cukup dilakukan kompres hangat. Secara
umum tidak diperlukan antibiotik oral. Indikasi pemberian antibiotik
selain dilakukan drainase yaitu demam tinggi, lesi lebih besar dari 5 cm, atau terletak di lokasi kritis atau sulit untuk terjadi drainase, furunkel
multipel, atau tanda dan gejala yang menetap setelah dilakukan drainase.
Furunkel di dalam meatus akustikus eksternus, bibir atas, dan hidung,
insisi dan drainase umumnya hanya dilakukan jika terapi antibiotik gagal.
Pada kasus tersebut, krim oral antibiotik harus diberikan. Kompres hangat
dengan larutan salin bisa dilakukan. Jika lesi baru dan terjadi radang akut,
insisi harus benar-benar dihindari, dan dilakukan kompres hangat dan
pemberian antibiotik oral. Furunkel atau karbunkel yang disertai selulitis
atau disertai demam sebaiknya diterapi dengan antibiotik sistemik.
Pilihan antibiotik untuk furunkulosis akut yaitu :
a. penicillinase-resistant penicillin atau sefalosporin generasi pertama secara
oral dosis 1–2 gram/hari, sesuai dengan tingkat keparahan kasus;
b. jika dicurigai atau terbukti penyebabnya yaitu strain yang
resistan terhadap methicillin dan vankomisin diobati dengan
trimetoprimsulfamethoxazole dosis ganda 2 kali sehari, clindamycin
300–450 mg 3 kali sehari, atau doxycycline atau minocycline 100 mg dua
kali sehari;
c. pasien dengan infeksi stafilokokus tidak responsif terhadap pengobatan
biasa ini, harus dicurigai strain resistan antibiotik dan diperiksaan
kepekaan terhadap antibiotik;
d. mupirocin krim diaplikan ke nares anterior setiap hari selama 5
hari;
e. ketika furunkel menjadi terlokalisir dan menunjukkan fluktuasi,
indikasi untuk dilakukan insisi dan drainase; dan
f. untuk infeksi berat atau infeksi di area berbahaya, antibiotik dengan
dosis maksimal diberikan melalui rute parenteral. Community-associated
Methycilline Resisstant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) patut dicurigai
pada semua infeksi purulent yang parah: Vankomisin 1,0–2,0 gram
intravenous per hari dalam dosis terbagi atau agen anti-CA-MRSA.
Terapi antibiotik diberikan selama 7 hari
Jika lesi besar, nyeri, dan terdapat fluktuasi perlu dilakukan insisi dan
drainase. Jika terjadi kekambuhan atau terjadi komplikasi disertai dengan
komorbiditas, perlu dilakukan pemeriksaan kultur. Terapi antibiotik sebaiknya dilanjutkan sampai keradangan menyembuh dan didapatkan
hasil kultur. Drainase dilakukan untuk mencegah autoinokulasi
Furunkulosis Kronik
Kekambuhan bisul dapat diantisipasi dengan pengobatan, selama tidak
ada penyakit predisposisi yang mendasarinya. Salah satu faktor terpenting
dalam pencegahan kekambuhan yaitu menghindari autoinokulasi. Karier
di hidung merupakan predisposisi furunkulosis kronis. Kontaminasi dari
daerah perianal dan intertriginosa juga perlu diperhatikan. Pencegahan
dalam upaya untuk memutus siklus furunkulosis berulang antara lain
pencucian klorheksidin rutin dengan perhatian khusus pada daerah aksila,
selangkangan, dan perianal; pencucian alas tidur dan pakaian setiap
hari yang sering; dan sering mencuci tangan. Selain itu, pemakaian krim
mupirocin dua kali sehari ke nares pasien dan anggota keluarga setiap
minggu keempat telah terbukti efektif. Rifampisin (600 mg/hari) selama
10 hari, dikombinasikan dengan dicloxacillin untuk Methicillin-Sensitive
Staphylococcus Aureus (MSSA) atau Trimethoprim/sulfamethoxazole (TMPSMX) untuk Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA), atau
clindamycin dosis rendah (150 mg/hari) selama 3 bulan juga efektif dalam
memberantas karier di hidung. Penggunaan krim bacitracin di dalam
nares dua kali sehari selama terapi isotretinoin mengurangi risiko karier
nasal S. aureus dan infeksi stafilokokus .Furunkulosis Rekuren
Penatalaksanaan furunkulosis rekuren yaitu sebagai berikut
a. Evaluasi penyebab yang menyertai.
b. Faktor predisposisi: pajanan industri, bahan kimia, atau minyak;
kebersihan kurang, obesitas, hyperhidrosis, ingrown hairs; baju atau
ikat pinggang yang terlalu ketat.
c. Kontak dengan sumber S. aureus: frekuensi karier nasal 10–15% pada
bayi kurang dari 1 tahun, 38% pada mahasiswa, 50% tenaga medis
rumah sakit dan anggota militer.
d. Perawatan kulit secara umum bertujuan untuk menurunkan jumlah S.
aureus di kulit. Pembersihan kedua tangan dan tubuh dengan air dan
sabun penting (sabun cair antimikrob seperti solusio Chlohexidine
4%).
e. Pemakaian baju: memakai pakaian longgar, ringan, dan bahan berpori.
Staphylococci sering terdapat di baju atau pakaian dalam pasien
furunkulosis dan dapat menyebabkan infeksi ulang pada pasien atau
infeksi pada anggota keluarga lain. Direkomendasikan untuk mencuci
baju pasien secara terpisah dengan dengan air mendidih dan berganti
pakaian setiap hari.
f. Perawatan kompres: kompres segera diganti jika sudah tampak
menyerap nanah. Kompres yang sudah dipakai dimasukkan dalam
kantong tertutup dan segera dibuang.
g. Langkah-langkah umum: meskipun telah dilakukan perawatanperawatan di atas, namun beberapa pasien terus memiliki siklus
berulang. Kadang-kadang, kekambuhan dapat diperbaiki atau
dicegah dengan mengistirahkan pasien dari rutinitas kerja seharihari, khususnya berkaitan dengan individu yang berada di bawah
stres emosional yang cukup tinggi dan kelelahan fisik. Liburan selama
beberapa minggu, idealnya dalam iklim sejuk dan kering, dapat
sangat membantu dengan menyediakan waktu istirahat dan waktu
yang diperlukan untuk melaksanakan program perawatan kulit yang
baik.
h. Usaha yang bertujuan untuk menghilangkan karier hidung (dan kulit)
dari S. aureus: penggunaan salep di vestibulum nasi menurunkan
karier S. aureus dan kemudian menurunkan jumlah organisme di kulit
penting untuk mencegah kekambuhan. Pemberian salep Mupirocin
2% intranasal selama 5 hari dapat mengeliminasi S. aureus sebesar
70% terhadap individu sehat selama 3 bulan. Pemakaian salep
Mupirocin intranasal terhada individu imunkompeten selama 5 hari
tiap bulan dalam 1 tahun menghasilkan kultur nasal positif hanya
22% dibandingkan 83% plasebo. Profilaksis dengan salep Fucidic acid
di hidung 2 kali sehari setiap 4 minggu terhadap pasien dan anggota
keluarga yang merupakan karier strain yang menginfeksi di hidung
(bersamaan dengan antibiotik antistafilokokus selama 10–14 hari
untuk pasien) telah dilakukan dengan beberapa keberhasilan.
i. Antibiotik oral (misalnya, rifampisin, 600 mg per oral setiap hari selama
10 hari) efektif dalam memberantas S. aureus dari sebagian besar karier
hidung untuk periode hingga 12 minggu. Penambahan obat kedua
dicloxacillin untuk S. aureus yang rentan-methicillin; trimethoprimsulfamethoxazole, ciprofloxacin, atau minocycline untuk methicillinresistant S. aureus) digunakan untuk mengurangi munculnya resistansi
rifampisin dan untuk mengobati berulang furunkulosis.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding furunkel dan karbunkel yaitu
a. akne kistik,
b. kerion,
c. hidradenitis supurativa,
d. kista epidermal yang mengalami rupture,
e. myasis furunkular,
f. abses dental apical, dan
g. osteomyelitis.
KOMPLIKASI
Furunkel bisa menyebabkan komplikasi berupa sepsis dan meningitis.
Jika furunkel terdapat di bibir atas dan pipi bisa menyebabkan thrombosis
sinus kavernosus. Karbunkel juga bisa menyebabkan sepsis
PROGNOSIS
Masalah utama furunkulosis dan karbunkel yaitu penyebaran bakterimia
dan kekambuhan. Lesi di sekitar bibir dan hidung mempunyai potensi
menyebar melalui vena ke sinus cavernosus. Invasi dalam peredaran
darah dapat terjadi dan kadang tidak terprediksi, menyebabkan
penyebaran infeksi misalnya osteomyelitis, endocarditis akut, atau abses
otak. Manipulasi beberapa lesi dapat membahayakan dan memfasilitasi
penyebaran infeksi melalui peredaran darah. Komplikasi-komplikasi tersebut bisa terjadi walaupun jarang. Kekambuhan furunkulosis bisa
terjadi dalam beberapa tahun
DEFINISI
Abses yaitu penumpukan nanah di dalam rongga di bagian tubuh setelah
terinfeksi bakteri. Nanah yaitu cairan yang mengandung banyak protein
dan sel darah putih yang telah mati. Nanah berwarna putih kekuningan
(
ETIOLOGI
Abses pada umumnya disebabkan oleh Staphylococcus aureus, walaupun
bisa disebabkan oleh bakteri lain, parasite, atau benda asing
Pada makalah ini hanya dibahas tentang abses yang disebabkan oleh
bakteri.
PATOGENESIS
Abses biasanya terjadi pada infeksi folikulosentris, yaitu folikulitis,
furunkel, dan karbunkel yang berkembang menjadi abses. Abses juga bisa
terjadi di lokasi trauma, benda asing, luka bakar, atau tempat penyisipan
kateter intravena. Abses terjadi karena reaksi pertahanan tubuh dari
jaringan untuk menghindari penyebaran infeksi dalam tubuh.
Agen penyebab infeksi menyebabkan keradangan dan infeksi sel di
sekitarnya sehingga menyebabkan pengeluaran toksin. Toksin tersebut
menyebabkan sel radang, sel darah putih menuju tempat keradangan
atau infeksi. Terbentuk dinding abses untuk mencegah infeksi meluas ke
bagian tubuh lain. Namun, enkapsulasi tersebut mencegah sel imun untuk
menyerang agen penyebab infeksi di dalam abseb
MANIFESTASI KLINIS
Daerah peradangan dapat di berbagai bagian tubuh. Abses dapat muncul
di permukaan kulit. Namun, abses juga dapat muncul di jaringan
dalam atau organ, misal hati dan usus. Lesi awal abses di kulit berupa
nodul eritematosa. Jika tidak diobati, lesi sering membesar, dengan
pembentukan rongga berisi nanah. Community-associated Methycilline
Resisstant Staphylococcus aureus (CA-MRSA) harus dicurigai pada semua
pasien dengan abses. Gejala simtomatis berupa nodul kemerahan, nyeri,
hangat, dan bengkak
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium pada abses terdiri atas
a. leukositosis bisa terjadi terutama saat kondisi akut;
b. pemeriksaan Gram dari pus menunjukkan kumpulan kokus Gram
positif;
c. kultur didapatakan pertumbuhan S. aureus; dan
d. ultrasonografi bisa dilakukan jika diagnosis klinis meragukan.
DIAGNOSIS
Diagnosis abses berdasarkan gejala klinis. Jika meragukan bisa dibantu
dengan pemeriksaan ultrasonografi
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding abses meliputi selulitis, kista sebaseus, necrotizing
fasciitis
TERAPI
Perawatan awal dan yang paling penting dari abses yaitu insisi dan
drainase. Penggunaan antibiotik setelah insisi dan drainase hanya
dianjurkan jika lesi parah atau berhubungan dengan selulitis, ada
tanda-tanda penyakit sistemik, ada faktor komorbiditas atau penurunan
kekebalan, pasien sangat muda atau sangat tua, abses berada di lokasi
tubuh yang sulit untuk dikeringkan, ada kaitan dengan septic phlebitis,
atau tidak ada respons terhadap insisi dan drainase
Antibiotik yang bisa digunakan untuk terapi abses yaitu :
a. Dicloxacillin 250–500 sehari;
b. Clindamycin 300–450 mg 3 kali sehari;
c. Doxycycline 100 mg 2 kali sehari;
d. Minocycline 50–100 mg dua kali sehari; dan
e. Trimethroprim-sulfamethoxazole (TMX-SMX) 160/800 mg peroral dua
kali.
KOMPLIKASI
Jika infeksi bisa terlokalisir oleh dinding abses, biasanya infeksi tidak
menyebar. Dalam beberapa kasus, infeksi yang dimulai di dalam abses
kulit dapat menyebar ke jaringan di sekitarnya dan di seluruh tubuh, yang
menyebabkan komplikasi serius. Beberapa abses baru dapat terbentuk
pada sendi atau lokasi lain di kulit. Jaringan kulit dapat mati akibat infeksi,
yang menyebabkan gangrene. Ketika infeksi menyebar secara internal
di dalam tubuh dapat menyebabkan endokarditis yang berakibat fatal
jika tidak ditangani sejak dini. Infeksi juga bisa menyebar ke tulang
menyebabkan osteomielitis. Dalam beberapa kasus, bakteri penyebab
abses dapat menyebabkan sepsis
PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
Beberapa abses bisa menyembuh ketika pecah dan nanah mengering.
Tetapi, sebagian besar abses memerlukan pengobatan dan intervensi
berupa tusukan jarum (pungsi) bahkan insisi atau operasi
DEFINISI
Ektima yaitu suatu pioderma kutaneus yang ditandai oleh erosi atau
ulserasi krusta yang padat. Ektima merupakan suatu komplikasi dari
impetigo atau infeksi piogenik lain yang tidak diterapi, sering pada lokasi
yang tertutup oleh alas kaki dan pakaian, seperti pada pantat, tungkai,
dan kaki
EPIDEMIOLOGI
Ektima merupakan suatu pioderma ulseratif, yang hampir selalu berada
pada tungkai bawah depan atau bagian dorsal kaki (James et al., 2016).
Ektima merupakan suatu lesi khas yang sering terjadi pada gelandangan
dan tentara di medan pertempuran dalam iklim yang lembap dan panas.
Ektima paling umum terjadi pada ekstremitas bawah, pada anak-anak, atau
penderita usia lanjut yang tidak dirawat, atau individu dengan diabetes
(. Di area perkotaan lesi ini disebabkan oleh S.
aureus dan terlihat pada pengguna obat intravena dan pasien-pasien yang
terinfeksi HIV . Ektima sering disebut sebagai impetigo
bentuk yang dalam, karena mengenai kulit bagian dermis
ETIOLOGI
Staphylococcus aureus dan/atau Streptococcus grup A didapatkan isolasi
pada kultur lesi ektima
Ektima gangrenosum merupakan suatu ulkus kutaneus yang disebabkan
oleh Pseudomonas aeruginosa dan menyerupai ektima stafilokokal atau
streptokokal
PATOGENESIS
Impetigo stafilokokal atau streptokokus yang tidak diobati dapat meluas
lebih dalam, menembus epidermis, menghasilkan suatu ulkus berkrusta
yang dangkal. Lesi-lesi ektimatosa dapat berkembang dari suatu pioderma,
dermatosis sebelumnya, atau bagian dari trauma. Higiene yang buruk
dan kelalaian pengobatan merupakan elemen kunci dalam patogenesis
(. Selain itu, malnutrisi dan trauma merupakan penyebab yang
menjadi predisposisinya
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis diawali dengan vesikel atau vesikulopustul yang
membesar dan dalam beberapa hari menjadi berkrusta tebal dan lekat.
Ketika krusta diangkat terdapat ulkus dengan bentuk seperti piring
superfisial dengan dasar yang kemerahan dan tepi yang meninggi
Ulkus mempunyai suatu bentukan “punch out” ketika krusta
kuning-keabu-abuan kotor dan material purulen dibersihkan. Tepi ulkus
berindurasi, meninggi, dan berwarna keunguan (Gambar 6.1), dan dasar
bergranulasi meluas ke dalam dermis. Lesi ektimatosa yang tidak diobati
dapat meluas selama beberapa minggu sampai bulan dengan diameter 2–3
cm atau lebih. Lesi ektimatosa didapatkan pada kaki, lengan, dan tangan
Lesi ini cenderung sembuh setelah beberapa minggu, yang
meninggalkan jaringan ikat, namun jarang memburuk menjadi gangren
jika resistansi terhadap terapi rendah dan pada pasien imunokompeten. Pada beberapa pasien imunokompromais yang mengalami fokal infeksi
piogenik di area manapun seringkali onset ektima lebih awal dan disertai
adenopati lokal
Manifestasi klinis ektima yang disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa
memiliki bentuk yang khas yaitu awalnya berupa pustul hemoragis,
kemudian berkembang menjadi ulkus nekrosis (Gambar 6.2). Ulkus tersebut terdapat keropeng hitam dengan halo kemerahan di sekitarnya.
Predileksi tersering pada glutea, perianal, dan ekstrimitas
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila diperlukan dapat dilakukan
1. pemeriksaan sederhana dengan pewarnaan Gram;
2. kultur dan resistansi lesi apabila tidak responsif terhadap pengobatan
empiris;
3. kultur dan resistansi darah, darah perifer lengkap, kreatinin, C-reactive
protein apabila diduga bakteremia; dan
4. biopsi apabila lesi tidak spesifik.
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan secara klinis jika didapatkan gejala yang khas dan
pemeriksaan penunjang jika diperlukan. Berikut ini yaitu beberapa
diagnosis banding ektima yaitu: impetigo nonbulosa/kontagiosum, insect
bite, pioderma gangrenosum, ulkus arteri, ulkus vena, leishmaniasis, dan
sporotrikosis
TERAPI
Penatalaksanaan ektima secara sistemik dan meliputi agen yang sama
dengan yang digunakan untuk impetigo stafilokokal
Penatalaksanaannya yaitu membersihkan dengan sabun dan air, diikuti
dengan pengolesan salep mupirocin, retapamulin, atau bacitracin, dua
kali sehari. Dicloxacillin oral atau sefalosporin generasi pertama juga
diindikasikan, dengan penyesuaian terhadap sensitivitas organisme jika
dilakukan kultur PROGNOSIS DAN KOMPLIKASI
Beberapa lesi lambat untuk sembuh, membutuhkan beberapa minggu
perawatan antibiotik untuk resolusi. Ektima juga dapat menetap selama
beberapa minggu dan terjadi komplikasi skar. Infeksi dapat menyebar
akibat autoinokulasi, melalui vektor serangga, atau sequelae dari poststreptokokal (glomerulonefritis)
EDUKASI DAN PENCEGAHAN
Edukasi terhadap pasien dan keluarganya agar menjaga higiene perorangan
yang baik dan dapat membatasi penularan (Perdoski, 2017). Pencegahan
pada iklim tropis, selain menjaga higiene juga dengan menggunakan
insect repellent untuk mengurangi reaksi gigitan serangga yang dapat
menyebabkan komplikasi piodermi berupa ektima jika dibiarkan
DEFINISI
Erisipelas dan selulitis termasuk pioderma profunda dengan skin and
soft-tissue infection (SSTI). Erisipelas dapat melibatkan pembuluh limfatik
dermal, yang tersering disebabkan oleh β-hemolytic Streptococcus grup A.
Sedangkan selulitis merupakan pioderma profunda di lapisan dermis dan
jaringan subkutan
EPIDEMIOLOGI
Soft-tissue infection merupakan infeksi kulit yang banyak terjadi
di masyarakat. Di Amerika Utara, soft-tissue infection terjadi pada 10%
dari pasien rawat jalan. Angka kejadian soft-tissue infection pada negara
berkembang lebih tinggi daripada negara maju. Hal itu dapat dipengaruhi
oleh higiene, iklim, dan faktor sosio-ekonomi
ETIOLOGI
Erisipelas sering disebabkan oleh β-hemolytic Streptococcus grup A, sangat
jarang disebabkan oleh Streptococcus grup C atau G; serta dapat juga
disebabkan oleh Staphylococcus aureus. Faktor risiko terjadinya erisipelas
di antaranya yaitu lympedema, venous stasis, intertrigo, obesitas, luka
operasi, fisura atau abrasi (pada hidung, lubang telinga, sela-sela jari kaki,
anus, atau penis), dan ulkus kaki kronis
Selulitis tersering disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan
Streptococcus grup A, tetapi beberapa bakteri juga ditemukan pada kultur,
seperti Streptococcus grup B pada bayi baru lahir, pneumococcus, basil Gram
negatif pada pasien imunokompromais, serta mikroorganisme lain. Pada
usia yang sangat muda atau sangat tua, rawat inap yang lama, diabetes,
status imunokompromais, dan penggunaan kortikosteroid; Escheria coli dan
Enterobacteriaceae dapat menjadi penyebab selulitis .
PATOGENESIS
Kulit yang intak berperan penting pada pertahanan tubuh terhadap
patogen. Interaksi pejamu-patogen bergantung pada fungsi barier kulit,
faktor bakteri, dan faktor pejamu. Status imunitas yang rendah, seperti
pada diabetes, kanker, gagal ginjal, neutropenia, atau infeksi Human
immunodeficiency virus (HIV) akan meningkatkan frekuensi erisipelas dan
selulitis
Apabila Staphylococcus aureus dan Streptococcus group A dapat
mengalahkan sistem imunitas tubuh, maka akan dapat menimbulkan
infeksi. Streptococcus group A dapat menginaktivasi cathelidin LL-37, yang
akan menyebabkan resistansi terhadap sistem imunitas alamiah. Walaupun
Streptococcus group A merupakan patogen ekstraselular, Streptococcus
group A dapat menghindari deteksi sistem imunitas serta terapi antibiotik
dengan memasuki makrofag dan sel endotel. Streptococcus group A dan
Staphylococcus aureus dapat memproduksi eksotoksin yang menyebabkan
reaksi toksin sistemik, termasuk toxin shock syndrome. Panton Valentine
Leukocidin (PVL) merupakan β-pore forming toxin yang diproduksi oleh
beberapa strain Staphylococcus aureus yang akan merusak leukosit dan
menjadi faktor predisposisi timbulnya SSTI yang parah
MANIFESTASI KLINIS
Erisipelas dan selulitis seringkali menimbulkan nyeri lokal dengan
berbagai derajat eritema dan gejala sistemik (seperti demam, menggigil,
dan malaise). Makula eritematosa dapat segera terjadi dan meluas. Nyeri
lokal seringkali berat, dan tidak adanya makula eritematosa meningkatkan
dugaan adanya infeksi yang terjadi pada lapisan yang lebih dalam. Dalam
sebuah studi dengan 50 pasien selulitis, hanya 26% menderita demam
lebih dari 38°
Erisipelas biasanya dimulai dari wajah atau ekstremitas bawah,
disertai dengan nyeri, muncul makula eritematosa superfisial dan plaquelike edema dengan batas yang tegas. Gambaran itu seringkali disebut peau
d’orange appearance. Makula eritematosa berwarna merah cerah dengan
infiltrat di tepi; dan dapat disertai vesikel atau bula di atasnya. Adanya
antecendent edema atau kelainan anatomi lainnya, batas antara kulit sehat
dengan kulit yang mengalami soft tissue infection menjadi kabur, yaitu
ditemukan pada selulitis primer
Gambar 7.1 Erisipelas dengan gambaran berupa makula eritematosa berwarna
merah cerah disertai bula yang telah pecah di atasnya (pasien RSUD Dr. Soetomo
Surabaya).
Erisipelas di wajah lebih jarang terjadi daripada di ektremitas bawah,
terjadi secara unilateral, tetapi dapat menyebar melalui kulit nasal dan
dapat mengenai simetris kedua sisi wajah. Orofaring dapat menjadi port
d’entry. Edema inflamasi dapat meluas di kelopak mata, tetapi jarang
menimbulkan komplikasi di mata. Erisipelas di ektremitas bawah dapat
diawali dengan nyeri gluteal yang disebabkan oleh pembengkakan
pembuluh limfa femoralis. Limfangitis dan abses sangat jarang terjadi,
tetapi penyebaran lesi dapat terjadi. Bula dapat terjadi pada area lesi.
Erisipelas berulang (rekuren) berhubungan dengan saphenous vein harvest
(seringkali dihubungkan dengan tinea pedis), dan lymphedema sebagai
komplikasi mastektomi dengan diseksi pembuluh limfe aksila. Pada kedua
kasus ini, erisipelas akan terjadi di area yang sesuai dengan perjalanan
vena dan pembuluh limfe tersebut
Selulitis bermanifestasi klinis berupa makula eritematosa disertai
nyeri seperti pada erisipelas, tetapi pada selulitis makula eritematosa tidak
berbatas tegas antara lesi dan kulit normal. Lesi mengenai area yang lebih
dalam, disertai indurasi, fluktuasi, dan seringkali juga didapatkan krepitasi
pada palpasi. Pada beberapa kasus selulitis, dapat terjadi bula atau nekrosis
yang akan menimbulkan pelepasan epidermal dan erosi superfisial.
Limfadenopati regional dapat terjadi pada selulitis di ekstremitas. Pada
orang yang tua dapat terjadi komplikasi berupa tromboflebitis dari selulitis
di ekstremitas inferior
Sama dengan erisipelas, selulitis rekuren dilaporkan dapat terjadi
setelah mastektomi. Selulitis di ekstremitas ipsilateral dapat terjadi setelah
diseksi kelenjar limfe aksila