Kamis, 10 Juli 2025

Infeksi bakteri kulit. 2

 

































dan iradiasi 

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan terutama berdasarkan gambaran klinis dan 

didukung oleh pemeriksaan penunjang, yaitu pemeriksaan Gram dan 

pemeriksaan resistansi kuman terhadap antibiotik untuk meningkatkan 

efektivitas terapi 

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang pada erisipelas dan selulitis berupa pemeriksaan 

Gram dari pus, eksudat, atau cairan aspirat, serta pemeriksaan resistansi 

kuman terhadap antibiotik. Pemeriksaan elemen jamur dilakukan untuk 

menyingkirkan diagnosis banding.

Pengambilan sediaan di area yang paling mengalami inflamasi 

(lebih dangkal daripada di pinggir lesi) akan meningkatkan sensitivitas 

pemeriksaan. Lesi terbuka, seperti pada luka paskaoperasi, lesi traumatik, 

dapat mengandung bermacam-macam organisme, walaupun seringkali 

merupakan organisme kontaminan. Pewarnaan Gram sangat membantu 

dalam identifikasi morfologi bakteri. Pemeriksaan imaging secara rutin 

biasanya tidak diperlukan pada kasus tanpa komplikasi. Infeksi dengan 

organisme anaerob, terutama Clostridia dan Bacteroides dapat menyebabkan 

pembentukan udara, yang akan tampak pada pemeriksaan radiologis. 

Pemeriksaan X-ray pada selulitis anaerob akan didapatkan kantong￾kantong udara (pocket of gas) pada jaringan superfisial dan biasanya akan 

tampak pada pemeriksaan palpasi 

TERAPI 

Erisipelas akut dan selulitis yang ringan dapat diterapi dengan injeksi 

intramuskular Procaine penicillin 600.000 IU 2 kali sehari, atau dengan 

Penicillin V peroral 500 mg tiap 6 jam. Dicloxacillin (4x500 mg/hari) 

atau cephalosporine juga efektif. Sedangkan pada pasien yang alergi 

terhadap golongan penicillin, dapat diberikan golongan macrolides atau 

clindamycin .

Individu dengan infeksi Streptococcus yang lebih berat atau disertai 

dengan penyakit dasar seperti diabetes, harus menjalani rawat inap dan 

diterapi dengan penicillin G (1.000.000–2.000.000 IU tiap 4–6 jam), dan 

dapat diberikan dengan dosis yang lebih tinggi pada kasus yang lebih 

berat, yaitu hingga 2.000.000–4.000.000 IU tiap 4–6 jam. Untuk pasien yang 

status alergi terhadap penicillinnya meragukan, dapat diberikan cefazolin 

1 gram intravena setiap 8 jam. Vancomycin (1 gram secara intravena, 2x 

sehari) merupakan terapi pilihan pada pasien dengan methicillin-resistant 

organism atau mempunyai riwayat menderita reaksi hipersensitivitas tipe 1 

(immunoglobulin E-mediated) terhadap penicillin atau cephalosporin. Untuk 

lesi yang berulang, dapat diberikan antibiotik sesuai dengan hasil kultur 

kuman dan hasil uji resistansi kuman terhadap antibiotik 

Sebuah penelitian meta-analisis oleh Fereira A et al. pada tahun 2016 

menunjukkan bahwa efikasi penatalaksanaan erisipelas dan selulitis 

dengan macrolide atau lincosamide tidak berbeda signifikan dengan 

penatalaksanaan dengan antibiotik golongan betalactam. Demikian pula 

dengan efek samping yang terjadi pada terapi macrolide atau lincosamide 

tidak berbeda signifikan dengan terapi antibiotik betalactam. Sedangkan 

hasil terapi menunjukkan kelompok yang mendapatkan terapi macrolide 

atau lincosamide lebih baik daripada kelompok yang mendapatkan terapi 

antibiotik betalactam 

Perawatan lokal pada lesi erisipelas dan selulitis berupa bed rest disertai 

dengan elevasi dari area lesi untuk mengurangi risiko timbulnya edema 

lokal. Saline dressing dingin yang steril akan menurunkan nyeri lokal, terutama diindikasikan pada lesi yang disertai dengan lesi berbentuk bula 

(

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding erisipelas dan selulitis yaitu  dermatitis kontak 

alergi akut, dermatitis stasis, deep vein thrombosis, limfedema, pioderma 

gangrenosum, fixed drug eruption 

KOMPLIKASI

Limfadenopati regional dapat terjadi pada selulitis di ekstremitas. Pada 

orang yang tua dapat terjadi komplikasi berupa tromboflebitis dari selulitis 

di ekstremitas inferior. Selain itu, limfedema dan sepsis juga dapat menjadi 

komplikasi pada erisipelas dan selulitis 

PROGNOSIS

Erisipelas dan selulitis yang tidak diterapi dapat berkembang menjadi 

bakteremia dengan infeksi yang meluas ke organ yang lain. Terapi 

yang sesuai akan mencegah komplikasi supuratif dan nonsuspuratif. 

Walaupun demikian, pada bayi dan usia lanjut atau pasien dengan terapi 

glukokortikoid, erisipelas atau selulitis dapat berkembang menjadi penyakit 

yang fatal. Erisipelas mempunyai kecenderungan untuk berulang pada 

area lesi yang sama, yang kemungkinan terjadi akibat faktor predisposisi 

berupa obstruksi limfatik kronik, edema persisten, atau elephantiasis-like￾swelling yang disebabkan oleh infeksi sebelumnya. 

Selulitis akut mempunyai tendensi untuk menyebar melalui pembuluh 

limfatik dan pembuluh darah dan menjadi fatal bila tidak diterapi dini. 

Pada pasien usia lanjut, keterlibatan ekstremitas bawah dapat menimbulkan 

komplikasi tromboflebitis. Pada pasien dengan edema kronik, infeksi dapat 

menyebar dengan cepat, dan kesembuhan akan melambat 

PENCEGAHAN DAN EDUKASI

Pencegahan timbulnya erisipelas dan selulitis dapat dilakukan dengan 

menjaga higiene perorangan dan lingkungan, serta menghindari faktor 

predisposisi dan memperbaiki faktor komorbiditas yang ada. Selain itu 

perlu dilakukan penggunaan antibiotik yang rasional untuk mengurangi 

risiko terjadinya resistansi kuman terhadap antibiotik 

Edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarganya berupa 

edukasi untuk menjaga higiene perorangan dan lingkungan untuk 

mempercepat kesembuhan. Selain itu, perlu diberikan edukasi untuk 

pencegahan penularan infeksi dari pasien ke orang lain


Intertrigo yaitu  keradangan kulit superfisial yang terjadi pada permukaan 

kulit yang letaknya berhadapan. Gesekan kulit, keadaan panas dan lembab 

menyebabkan area lipatan kulit menjadi kemerahan, dan maserasi. Hal 

itu memudahkan terjadinya infeksi sekunder yang dapat disebabkan oleh 

bakteri atau jamur 

EPIDEMIOLOGI

Intertrigo sering didapatkan pada cuaca yang panas dengan kelembaban 

tinggi. Sering terjadi pada anak dan orang tua, pasien obesitas, serta pasien 

dengan inkontinensia urin dan feses 

ETIOLOGI

Intertrigo akibat infeksi bakteri antara lain dapat disebabkan oleh 

Streptococcus beta-hemolytic grup A, grup B, grup D, Staphylococcus aureus, 

Pseudomonas aeruginosa, Clostridium minutissimum, dan Kytococcus sedentarius 

(


PATOGENESIS

Area lipatan kulit memiliki kadar kelembaban dan suhu yang tinggi 

sehingga dapat menyebabkan peningkatan risiko pertumbuhan 

mikroorganisme yang berlebihan. Gesekan dan sirkulasi udara yang 

rendah pada area ini berperan pada terjadinya infeksi dari bakteri 

komensal dan patogen 

MANIFESTASI KLINIS 

Area lipatan ditandai dengan kemerahan, maserasi, dan infeksi sekunder. 

Erosi, fisura, dan eksudasi yang disertai keluhan rasa terbakar dan 

gatal dapat ditemukan . Infeksi yang disebabkan oleh 

Pseudomonas, dapat memberikan warna hijau kebiruan pada pakaian 

dalam. Intertrigo yang disebabkan oleh Streptococcus biasanya mengenai 

leher, aksila, dan lipatan inguinal pada anak. Lesi ditandai dengan 


bercak merah terang, berbatas jelas, permukaan mengkilap, lembab, 

dan berbau tidak enak. Lesi satelit tidak didapatkan 

Infeksi Streptococcus (grup A) pada perianal juga sering terjadi pada anak, 

ditandai dengan kemerahan pada perianal, nyeri saat buang air besar, 

feses bercampur darah menunjukan adanya fisura pada anus, dan dapat 

berkepanjangan bila tidak diobati . Lesi dapat juga terjadi pada 

area retroauriculae, lipatan kelopak mata, lipatan siku, sela jari tangan, area 

inframammae, umbilikus, perineal, lipatan pantat, lipatan lutut, dan sela 

jari kaki 

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Identifikasi patogen penyebab dengan pemeriksaan kultur bakteri, 

pemeriksaan Lampu Wood, dan pemeriksaan sediaan Kalium Hidroksida 

(KOH) 10–20% 

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dengan mengidentifikasi patogen penyebab dengan 

pemeriksaan penunjang 

DIAGNOSIS BANDING

1. Infeksi bakteri: GAS dan Grup B Streptococcus (GBS), C. minutissimum

(eritrasma), P. aeruginosa 

2. Infeksi jamur: Dermatofitosis, Candida, Malassezia furfur (pityriasis 

versicolor) 

3. Dermatosis lain: psoriasis vulgaris, dermatitis seboroik, dermatitis 

atopik, dermatitis kontak iritan atau alergi, scabies, Langerhans cell 

histiocytosis, inflammatory bowel disease, Hailey-hailey disease


TERAPI

1. Mengeliminasi faktor yang dapat menyebabkan maserasi 

2. Pemberian antibiotika topikal (contoh: mupirosin) atau antijamur 

topikal (contoh: nistatin atau ketokonazol) 

3. Pemberian antibiotika oral golongan penisilin atau cephalexin dapat 

diberikan selama 10 hari

4. Kortikosteroid topikal potensi rendah (contoh: hidrokortison 1%) atau 

takrolimus topikal dapat diberikan bersama antibiotika atau antijamur 

untuk mengurangi inflamasi 

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi yaitu  Infeksi sekunder 

Seringkali terjadi infeksi bakteri dan jamur secara bersamaan 

PROGNOSIS

Prognosis penyakit baik, tetapi tingkat kekambuhan cukup tinggi terutama 

pada keadaan obesitas, pasien yang berbaring lama, dan pasien dengan 

inkontinensia 

EDUKASI DAN PENCEGAHAN 

Penggunaan barrier ointments dan menjaga lipatan kulit tetap kering 

akan mengurangi terjadinya gesekan dan melembabkan sehingga dapat 

mencegah terjadinya intertrigo


DEFINISI

Eritrasma merupakan infeksi bakteri di kulit superfisial dengan 

karakteristik bercak merah kecokelatan yang berbatas tegas dan iregular, 

yang timbul di daerah intertriginosa atau di daerah lipatan ibu jari kaki 

(

EPIDEMIOLOGI

Eritrasma lebih sering terjadi di daerah tropis. Sebuah studi yang 

mengevaluasi eritrasma di daerah tropis menunjukkan bahwa 20% dari 

subjek secara acak didiagnosis sebagai eritrasma dengan pemeriksaan 

Wood’s lamp. Eritrasma lebih sering terjadi pada laki-laki dan seringkali 

terjadi di area genitocruris. Faktor predisposisi eritrasma yaitu  diabetes 

melitus, obesitas, dan lingkungan yang bersuhu panas. Atlet olah raga 

sering menderita eritrasma di sela-sela ibu jari kaki 

ETIOLOGI

Eritrasma disebabkan oleh bakteri Corynebacterium minutissimum. 

Corynebacterium minutissimum merupakan bakteri Gram positif berbentuk batang yang pendek, non-spore forming, dengan granul subterminal 

(

PATOGENESIS

Corynebacterium minutissimum dapat menginvasi stratum korneum 

sepertiga atas dan berproliferasi. Jika terdapat kondisi yang mendukung, 

seperti panas dan kelembaban, stratum korneum menebal atau mengalami 

hiperkeratosis akibat adanya Corynebacterium minutissimum intraselular. 

Corynebacterium minutissimum terlihat di antara sel-sel keratinosit terutama 

pada stratum korneum, yang kemudian akan memecahkan fibril keratin. 

Fluoresens skuama yang berwarna merah coral pada pemeriksaan Wood’s 

lamp disebabkan oleh produksi porphyrin oleh bakteri ini 

MANIFESTASI KLINIS 

Area predileksi eritrasma yaitu  di sela-sela jari kaki (terutama antara 

jari kaki ke-4 dan ke-5; lebih jarang di antara jari ke-3 dan ke-4), dengan 

gambaran plak hiperkeratotik putih yang mengalami maserasi. Lesi di area 

genitocruris, aksila, dan inframammae berupa makula eritematosa (merah 

gelap hingga kecokelatan) yang homogen dengan batas tegas, disertai 

skuama tipis. Selain itu, lesi juga dapat timbul di lipatan intergluteal dan 

kulit perianal 

Lesi eritrasma seringkali bersifat asimtomatik, tetapi dapat timbul 

pruritus terutama pada eritrasma yang terjadi di area genitocruris atau 

di lipatan intergluteal yang disertai dengan rasa gatal dan rasa seperti 

terbakar. Lesi dapat berbentuk lesi generalisata dengan lesi plak berskuama 

pada trunkal, inguinal dan sela-sela jari kaki, yang dapat terjadi pada 

pasien dengan riwayat diabetes melitus. Pruritus ini dapat menimbulkan 

lesi sekunder berupa ekskoriasi dan likenifikasi akibat garukan pada lesi 


PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis eritrasma yaitu  

pemeriksaan Wood’s lamp. Pada pemeriksaan ini tampak fluoresens 

berwarna merah-coral, akibat warna coproporphyrin III. Fluoresens ini 

dapat menetap setelah eradikasi Corynebacterium, bila pigmen terdapat 

pada stratum korneum yang tebal. Tetapi pencucian area lesi sebelum 

pemeriksaan dapat mengeliminasi gambaran fluoresens lesi. Pemeriksaan 

Gram pada lesi dilakukan apabila pemeriksaan Wood’s lamp negatif. Kultur dari lesi menunjukkan Corynebacterium dalam jumlah banyak, yang 

tampak sebagai bakteri batang Gram positif pada stratum korneum kulit. 

Selain itu, kultur jamur dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis 

banding dermatofitosis 

DIAGNOSIS 

Diagnosis eritrasma ditegakkan melalui pemeriksaan fisik, berupa lesi 

superfisial dengan area predileksi yang khas, tetapi harus dikonfirmasi 

dengan pemeriksaan penunjang berupa gambaran fluoresens berwarna 

merah-coral pada pemeriksaan Wood’s lamp. Hasil pemeriksaan gram 

didapatkan bakteri batang Gram positif dengan subterminal granules 

(

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding eritrasma yaitu  pityriasis versicolor, tinea cruris, dan 

inverse psoriasis. Pityriasis versicolor dibedakan dengan eritrasma dari 

area predileksi, yaitu lebih sering timbul di area nonintertriginosa. 

Tinea cruris dibedakan dengan eritrasma dari manifestasi klinisnya yang 

berupa makula eritematosa berbatas tegas dengan tepi yang lebih aktif 

dan gambaran central healing. Sedangkan inverse psoriasis merupakan 

psoriasis yang timbul pada area intertriginosa dengan manifestasi klinis 

berupa plak eritematosa berwarna merah terang dengan batas tegas, yang 

sering timbul pada lipatan intergluteal, lipatan inguinal, dan aksila. Selain 

sebagai diagnosis banding, eritrasma dapat terjadi secara bersamaan 

dengan dermatofitosis (coexist) 

TERAPI

Terapi eritrasma lokalisata (terutama pada sela-sela jari kaki) yang efektif 

yaitu  sabun/gel benzoil peroxide 5%, solusio clindamycin 2% atau krim 

golongan azole. Sedangkan terapi efektif untuk eritrasma yang luas yaitu  antibiotik sistemik, berupa erythromycin peroral 4 x 250 mg perhari selama 

14 hari atau clarythromycin 1 gram (single dose) peroral. Penggunaan 

antibiotik sistemik untuk eritrasma harus mempertimbangkan risiko 

terjadinya resistansi terhadap antibiotik, terutama pada eritrasma 

lokalisata 

Untuk profilaksis eritrasma yang efektif dapat digunakan sabun 

benzoil peroxide 5% saat mandi. Antibiotik topikal pada terapi 

eritrasma tidak terlalu efektif. Walaupun demikian, natrium fucidat 2% 

ointment dilaporkan sebagai terapi topikal yang mempunyai efikasi 

yang baik pada eritrasma, tetapi kurang disukai karena sifat greasy dan 

menurunkan kepatuhan pasien dalam menggunakannya, terutama pada 

area intertriginosa dan sela ibu jari kaki. Whitfield’s ointment (salysilic 

acid dan benzoic acid) mempunyai efektifitas yang sama dengan terapi 

erythromycin peroral untuk lesi eritrasma di aksila dan lipatan gluteal; 

dan mempunyai efektivitas yang lebih baik dibandingkan dengan terapi 

sistemik untuk lesi eritrasma di interdigiti 

Eritrasma dapat terjadi secara bersamaan dengan dermatofitosis 

(coexist), oleh karena itu terapi untuk eritrasma dapat ditambahkan 

dengan ketoconazole peroral, terutama pada kasus yang berat dan 

refrakter. Sedangkan penggunaan antijamur topikal, seperti ketoconazole, 

miconazole atau clotrimazole topikal; memberikan hasil terapi yang 

efektif pada eritrasma. Ketoconazole dapat bekerja sebagai antibakteri 

dan antiinflamasi, serta sebagai antijamur berspektrum luas, yang akan 

membunuh komponen jamur (yang seringkali coexist pada eritrasma), 

mengeliminiasi kebutuhan kultur dan mempercepat perbaikan lesi 

eritrasma 

PROGNOSIS 

Eritrasma dapat bersifat asimtomatis hingga bertahun-tahun atau dapat 

timbul eksaserbasi secara periodik. Infeksi berulang dapat timbul, 

walaupun telah mendapatkan terapi antibiotik hingga sembuh

KOMPLIKASI 

Komplikasi eritrasma dapat berupa ekskoriasi dan likenifikasi akibat 

garukan pada lesi 

PENCEGAHAN DAN EDUKASI

Pencegahan timbulnya eritrasma dapat dilakukan dengan menjaga 

higiene perorangan dan lingkungan untuk mengurangi kolonisasi bakteri, 

mengurangi kelembaban tubuh terutama di area lipatan (mengeringkan 

area lipatan setelah mandi), serta menghindari faktor predisposisi. Untuk 

profilaksis infeksi sekunder dapat digunakan sabun benzoil peroxide 

5% saat mandi, atau menggunakan ketoconazole topikal sehari sekali 

pada area bekas lesi. Untuk mencegah lesi berulang pada eritrasma di 

lipatan ibu jari kaki, sepatu pasien yang lama sebaiknya didisinfeksi 

atau tidak digunakan kembali. Selain itu, dapat dilakukan penggunaan 

sepatu yang bergantian tiap hari serta mengeringkan kaki terlebih dahulu 

sebelum menggunakan sepatu, untuk mengurangi kelembaban kulit kaki 

(



DEFINISI

Pitted keratolysis dikenal juga sebagai keratolisis plantar sulkatum, 

merupakan infeksi bakteri kulit yang mengenai permukaan kulit pada 

area penopang beban tubuh. Daerah yang terkena yaitu stratum korneum 

terutama pada permukaan telapak kaki. Mikroorganisme utama penyebab 

yaitu bakteri Gram positif Corynebacterium sp., Micrococcus sedentarius, dan 

Dermatophilus congolensis 

EPIDEMIOLOGI 

Pitted keratolysisis tersebar di seluruh belahan dunia. Prevalensi antar 

kelompok populasi di dunia didapatkan angka yang bervariasi  Prevalensi pitted keratolysis pada atlet diperkirakan sekitar 

13%  pada prajurit di daerah Vietnam Selatan didapatkan 

sebanyak 53%  sedangkan pada populasi umum New 

Zealand didapatkan sebesar 2,5%  Hal ini disebabkan 

adanya udara panas, kelembaban, disertai penggunaan sepatu 

boot yang mendukung terbentuknya lingkungan yang mendukung 

perkembangbiakan mikroorganisme

ETIOLOGI

Bakteri penyebab yaitu  Gram positif seperti Corynebacterium sp, 

Micrococcus sedentarus, dan Dermatophilus congolensis. Bakteri ini memiliki 

struktur seperti filamen dan coccoid . Bakteri-bakteri 

tersebut menyebabkan terbentuknya saluran kecil pada stratum korneum 

(Zaias, 1982).

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang meningkatkan kejadian pitted keratolysis yaitu  

kelembaban. Hal ini berhubungan dengan adanya hiperhidrosis. Hal 

ini pada umumnya ditemukan pada atlet maupun pekerja yang sering 

menggunakan pelindung kaki yang tertutup tanpa ventilasi dalam waktu 

yang lama, contohnya pada penggunaan sepatu boot berbahan karet yang 

digunakan pekerja (Almeida, 2016; Martínez-herrera et al., 2015).

PATOGENESIS 

Bakteri Gram positif seperti Corynebacterium sp, Micrococcus sedentarius, dan 

Dermatophilus congolensis merupakan penyebab pitted keratolysis. Bakteri 

tersebut memproduksi proteinase yang dapat mendegradasi keratin dan 

menghancurkan stratum korneum menyebabkan munculnya saluran￾saluran kecil pada permukaan kulit. Bakteri D. congolensis memprofuksi 

keratinase dan M. sedentarius memproduksi proteinase (Martínez-herrera 

et al., 2015).

Sedangkan bau tidak sedap yang didapatkan pada pitted keratolysis 

diakibatkan oleh produksi sulfur yang terbentuk dari produk thiols, 

sulfide, dan thioester (Martínez-herrera et al., 2015).

MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis berupa adanya saluran kecil pada area yang terdampak, 

disertai dengan adanya hiperhidrosis, bau tak sedap, dan tampak basah. 

Walaupun sebagian besar kasus asimptomatik, didapatkan juga adanya lesi berupa plak yang nyeri. Kelainan ini paling sering didapatkan pada laki￾laki muda yang menggunakan pelindung kaki tertutup untuk pekerjaan 

tertentu. Penutup kaki yang tidak berventilasi menyebabkan lingkungan 

yang hangat dan lembab sehingga mendukung perkembangbiakan 

organisme (Martínez-herrera et al., 2015).

Ukuran lesi berhubungan dengan besar koloni bakteri pada permukaan 

telapak kaki maupun telapak tangan. Ukurannya bervariasi mulai 1 mm 

sampai memengaruhi seluruh permukaan tumit maupun permukaan 

telapak kaki. Lesi akan nampak lebih jelas setelah kaki direndam pada 

air sekitar 10–15 menit (Zaias, 1982).

DIAGNOSIS

Diagnosis pitted keratolysis pada umumnya dapat ditegakkan secara 

klinis. Trias diagnosis yang dapat ditemukan pada pitted keratolysis yaitu  

(

1. bromohidrosis,

2. maserasi kulit, dan

3. lesi keratolitik pada telapak kaki.


DIAGNOSIS BANDING 

Diagnosis banding pitted keratolysis yaitu  

a. tinea pedis,

b. veruka,

c. keratoderma palmoplantar punctate, dan

d. hiperkeratosis palmoplantar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis pitted keratolysis dapat dilakukan dengan anamnesis dan 

pemeriksaan klinis. Pemeriksaan mikrobiologi didapatkan dengan 

mengambil spesimen melalu scrapping dan apusan yang berasal dari 

lesi pada telapak kaki . Pemeriksaan Gram 

menunjukkan ada bakteri Coccus Gram positif yang berkelompok 

(. Pemeriksaan mikroskopis dengan KOH 

dapat dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis lain seperti tinea pedis 


PENATALAKSANAAN

a. Antibiotik topikal

 Penggunaan klindamisin topikal, eritromisin topikal, dan mupirosin 

menunjukkan efektifitas yang baik pada kasus pitted keratolysis

( Penggunaan natrium fusidat juga 

menunjukkan hasil yang baik 

b. Alumunium Sulfat/alumunium chloride

 Penggunaan alumunium chloride berfungsi sebagai anti pesprirant 

untuk mengurangi gejala hiperhidrosis 

c. Antibiotik oral


PROGNOSIS

Pitted keratolysis dengan penatalaksanaan yang tepat memiliki angka 

kesembuhan yang baik. Perbaikan didapatkan bervariasi setelah 3 

minggu sampai dengan 4 minggu paska pengobatan 

EDUKASI 

Terapi nonmedikamentosa memiliki peranan pada proses penatalaksanaan 

pitted keratolysis. Penatalaksanaan non medikamentosa terdiri dari 

a. menghindari penggunaan pelindung kaki oklusif;

b. mengurangi gesekan pada kaki dengan menggunakan ukuran sepatu 

yang sesuai;

c. menggunakan kaos kaki dengan bahan yang mudah menyerap 

keringat, seperti katun dan wool;

d. menggunakan sandal terbuka;

e. mencuci kaki sehari dua kali dengan menggunakan sabun atau 

pembersih antibakteri;

f. tidak menggunakan sepatu atau handuk secara bersamaan; dan

g. tidak menggunakan sepatu yang sama dua hari berturut-turut.



DEFINISI

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) atau disebut juga dengan 

penyakit Ritter merupakan kelainan kulit yang disebabkan eksotoksin 

yang dihasilkan oleh bakteri Staphylococcus aureus strain tertentu. Kelainan 

ini paling sering ditemukan pada bayi dan anak-anak dengan fungsi 

ginjal yang belum sempurna, sehingga kemampuan untuk mengeliminasi 

toksin masih belum bekerja dengan baik. Penegakan diagnosis awal dan 

penatalaksanaan yang sesuai dapat menurunkan angka morbiditas dan 

mortalitas pada kasus SSSS 

EPIDEMIOLOGI 

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) sebagian besar didapatkan pada 

bayi dan anak-anak. Namun didapatkan juga peningkatan angka kejadian 

SSSS pada anak-anak dengan usia lebih besar dan pada orang tua yang 

mengalami penurunan fungsi ginjal 

Insiden SSSS pada populasi umum berkisar antara 0,09–0,56 kasus per 

1 juta penduduk. Tidak didapatkan perbedaan jenis kelamin pada insiden 

SSSS 

Angka mortalitas pada SSSS pada bayi dan anak dengan diagnosis dan 

penatalaksanaan yang tepat berkisar di bawah 5%. Namun, mortalitas SSSS 

pada pasien dewasa didapatkan hampir 60%. Hal ini dapat mengakibatkan


adanya penyakit dasar sebagai faktor risiko SSSS seperti penurunan fungsi 

ginjal, penggunaan obat imunosupresi, infeksi HIV/AIDS, dan keganasan 


ETIOLOGI

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome disebabkan oleh eksotoksin yang 

dihasilkan oleh Strain S. aureus. S. aureus menghasilkan berbagai enzim 

dan toksin, namun hanya 5% S. aureus yang berasal dari manusia yang 

menghasilkan eksotoksin A dan B , Sekitar 

35% populasi merupakan carier komensal S. aureus pada daerah nasal. 

Sedangkan pada neonates S. aureus dapat diisolasi dari kulit, mata, 

umbilikus, perineum, dan area luka 

FAKTOR RISIKO

Bayi baru lahir dan anak-anak berusia dini lebih rentan mengalami 

SSSS luas. Hal ini disebabkan karena pada bayi dan anak-anak belum 

memiliki antibodi antitoksin serta fungsi ginjal yang belum sempurna. 

Studi pada manusia dan mencit menunjukkan keadaan imunosupresi 

dapat meningkatkan risiko terjadinya SSSS yang luas

PATOGENESIS

Pada terjadinya SSSS, infeksi S. aureus terjadi melalui lesi pada kulit seperti 

pada dermatitis atopik, cacar air. S aureus menghasilkan toksin secara 

lokal dan penyebaran secara hematogen dihambat oleh adanya antibodi 

antitoksin. Pada SSSS generalisata toksin pada umumnya dihasilkan pada 

infeksi yang jauh dari lesi kulit. Toksin dapat dihasilkan pada daerah 

kolonisasi (kulit, mata, umbilikus, perineum, dan area luka) atau daerah 

infeksi (pneumonia, osteomyelitis, dan endokarditis). Pada pasien yang 

tidak memiliki cukup antibodi antitoksin, maka toksin akan menyebar melalui aliran darah, mencapai mid-epidermis melalui kapiler pada 

dermis, dan menyebabkan eksfoliasi 

Pada studi didapatkan bahwa eksotoksin serotipe A (ETA) bekerja 

pada desmoglein-1. Sehingga pada pemeriksaan klinis kelainan pada kulit 

didapatkan pada epidermis superfisial. Selain itu desmoglein-1 didapatkan 

pada epidermis bagian atas, sehingga kelainan pada SSSS terbatas hanya 

pada kulit dan tidak didapatkan adanya keterlibatan pada mukosa 

( Hilangnya desmoglein-1 akan menyebabkan penurunan 

perlekatan antar keratinosit pada stratum granulosum sehingga terbentuk 

bula dan denudasi 


MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinis pada pasien dengan SSSS dapat bervariasi berupa adanya 

lesi bula lokal maupun lesi yang luas . Lesi disebabkan 

adanya infeksi Staphyloccocus yang menghasilkan eksotoksin. Pada 

umumnya infeksi berada jauh dari area yang terdampak. Pada umumnya 

infeksi terdapat pada daerah kepala dan leher berupa konjungtivitis, 

faringitis, dan otitis media, area sirkumsisi, pada neonatus (omfalitis), 

area popok (pustul, impetigo, selulitis). Infeksi klinis bisa ada atau tidak. 

Inkubasi antara 1–10 hari


Diagnosis pada kasus SSSS pada umumnya ditegakkan secara klinis 

berdasarkan gambaran kulit yang khas berupa adanya eritema, bula, 

erosi, yang disertai dengan Nikolsky sign positif . Nikolskly sign merupakan tanda terjadinya pemisahan 

antara sel-sel epitel pada membrane basalis. Cara melakukan pemeriksaan 

Nikolsky yaitu  dengan melakukan tekanan secara ringan pada daerah 

sekitar bula dan akan didapatkan penyebaran bula


Lesi awal pada SSSS berupa eritema pada kulit yang kemudian akan 

berkembang menjadi bula, lesi eksfoliasi, yang kemudian berkembang 

menjadi deskuamasi. Luasnya lesi bervariasi berupa lesi setempat sampai lesi yang meluas pada permukaaan tubuh. Bula pada SSSS bersifat rapuh, 

mudah pecah, sehingga meninggalkan area yang basah. Apabila area yang 

terlibat cukup luas harus diwaspadai adanya gangguan termoregulasi, 

gangguan keseimbangan cairan, dan terjadinya infeksi . Gejala sistemik pada anak-anak dapat berupa letargi, iritabilatas, 

dan gangguan makan.

Pada pasien dewasa perkembangan lesi serupa dengan SSSS pada 

anak. Namun pada SSSS dewasa umumnya didapatkan penyakit yang 

mendasari seperti imunosupresi dan kelainan ginjal sehingga terjadi 

gangguan ekskresi eksotoksin

DIAGNOSIS

Diagnosis pada kasus SSSS pada umumnya ditegakkan secara klinis 

berdasarkan gambaran kulit yang khas berupa adanya eritema, bula, erosi, 

yang disertai dengan Nikolsky sign positif 

DIAGNOSIS BANDING

Pada kasus SSSS diagnosis banding yang perlu dipertimbangkan yaitu  

Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) ataupun impetigo bulosa. Pada TEN 

biasanya didapatkan adanya riwayat konsumsi obat-obatan sebelum 

munculnya lesi. Pada TEN luas permukaan kulit mengenai lebih dari 

30% permukaan tubuh dan juga didapatkan keterlibatan mukosa seperti 

konjungtiva, mulut, esofagus, dan genitalia. Sedangkan keluhan pada 

mukosa tidak didapatkan pada pasien SSSS 

Pada kasus Impetigo Bulosa, area yang menjadi bula yaitu  daerah 

yang mengalami infeksi pada kulit. Pada pemeriksaan kultur lesi kulit 

akan didapatkan pertumbuhan positif S. aureus. Sedangkan pada SSSS 

lesi disebabkan toksin yang dihasilkan S. aureus yang berada jauh dari 

lesi, sehingga pemeriksaan kultur lesi pada SSSS tidak didapatkan 

pertumbuhan bakteri 

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Sebagian besar kasus SSSS dapat ditegakkan secara klinis melalui 

anamnesis dan pemeriksaan fisik . Pada kasus￾kasus sulit pemeriksaan penunjang dapat dilakukan. Pemeriksaan kultur 

mikrobiologi pada lesi kulit maupun bula pada umumnya memberikan 

hasil negatif karena infeksi dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lesi. 

Sedangkan pemeriksaan kultur darah memberikan hasil bervariasi SSSS 

(. Hasil kultur darah pada pasien anak-anak 

pada umumnya didapatkan negatif, sedangkan pada pasien dewasa hasil 

kultur umumnya memberikan hasil positif


Pemeriksaan histopatologi pada SSSS dapat dilakukan untuk 

membedakan dengan diagnosis banding lain seperti TEN. Pada SSSS 

tampak gambaran bula subepidermal, sedangkan pada TEN ditemukan 

pemisahan pada daerah subepidermal yang disertai dengan nekrosis pada 

seluruh lapisan epidermis 

KOMPLIKASI

Pada bayi dan anak-anak usia muda komplikasi SSSS dapat disebabkan 

akibat hilangnya fungsi protektif epidermis sehingga didapatkan 

komplikasi fatal berupa hipotermi, dehidrasi, dan infeksi sekunder oleh 

Pseudomonas

PENATALAKSANAAN

Staphylococcus Scalded Skin Syndrome sebagian besar disebabkan oleh 

Staphylococcus aureus strain methicillin-sensitive, penicillinase-resistant, beta￾lactam agent. Antibiotik lini pertama pada kasus SSSS yaitu  kloksasilin, 

dikloksasilin, oksasilin, flukloksasilin, dan nafsilin. Jika pasien tidak 

memberikan respons pada obat-obatan diatas maka perlu dicurigai infeksi 

oleh S. aureus strain methicillin- resistant. Pada kasus SSSS oleh MRSA obat 

pilihan yaitu  Vankomisin 

Terapi tambahan berupa antibiotik topikal yang mengandung natrium 

fusidat atau mupirosin diberikan pada area dengan bula dengan tujuan 

eradikasi kolonisasi. Area kulit dengan erosi dapat diberikan kompres 

yang bertujuan untuk mendinginkan dan melembabkan 

Pada pasien SSSS perlu diperhatikan juga regulasi suhu, pemenuhan 

kebutuhan cairan, pemberian anti nyeri, kompres steril pada lesi, dan 

pencegahan infeksi sekunder. Analgetik yang dapat diberikan pada kasus 

SSSS antara lain yaitu  parasetamol 

EDUKASI

Petugas kesehatan dan ibu sering berperan sebagai carrier S. aureus

asimptomatik. Hal tersebut dilaporkan sebagai sumber beberapa kejadian 

SSSS di unit pediatrik. Petugas kesehatan yang merawat pasien SSSS dapat 

menyebabkan kejadian infeksi silang antar pasien di ruangan yang sama. Petugas kesehatan sebaiknya menjaga higienitas dengan baik pada saat 

merawat pasien. Selain itu identifikasi dan terapi untuk carrier S. aureus

juga direkomendasikan untuk mencegah terjadinya kejadian luar biasa 

(



DEFINISI 

Hidradenitis supurativa (HS) yaitu  keradangan folikular kronis, 

kambuh-kambuhan, berkaitan dengan keradangan limfohistiositik, reaksi 

granulomatosa, saluran sinus dan skar, terutama mengenai area pelipatan 

. HS dikenal 

juga sebagai acne inversa, penyakit Verneuil, penyakit Velpeau, pyoderma 

fistulans significa, dan etopic acne 

EPIDEMIOLOGI 

Insidensi HS dilaporkan 6 per 100.000 orang di Amerika; insiden tertinggi 

didapatkan pada wanita berusia 20–29 tahun. Prevalensi sekitar 1–2% 

dilaporkan di Eropa. Angka kejadian HS yang dilaporkan bervariasi antara 

0,00033% sampai 4%. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan populasi 

penelitian, kriteria diagnosis, dan cara pelaporan. Rerata usia pasien yang 

terkena yaitu  24,2 tahun. HS terutama terjadi setelah pubertas; dengan 

rerata usia dekade kedua dan ketiga, kemudian mengalami penurunan 

saat usia dekade kelima. Wanita lebih sering terkena dibandingkan laki￾laki dengan rasio 2,7:1. Distribusi lesi dapat bervariasi antar jenis kelamin. 

Pada laki-laki lesi lebih sering didapatkan pada bokong dan sekitar anus, 

sedangkan pada wanita lesi lebih sering didapatkan pada area paha￾genital dan bawah payudara

ETIOPATOGENESIS

Sumbatan pada kelenjar apokrin awalnya diduga sebagai patogenesis 

utama HS, tetapi berdasarkan hasil pengamatan histopatologi adanya 

keterlibatan folikular lebih berperan. HS diawali dengan hiperkeratosis 

infundibular kemudian terjadi dilatasi folikular/pembentukan kista, 

diikuti dengan ruptur folikular yang disertai inflamasi, kemudian 

terbentuk fistula 

Faktor genetik juga diduga berperan pada patogenesis HS. Riwayat 

keluarga HS didapatkan pada 1/3 pasien. Pada kasus HS familia adanya 

mutasi pada gen -secretase Nicastrin, Presenilin-1, dan Presenilin enhancer-2. 

Gamma-secretase berperan pada diferensiasi epidermal dan folikel rambut 

terminal, perkembangan, dan fungsi sel imun (Desai et al., 2016).

Penyakit lain yang berhubungan dengan HS antara lain yaitu  follicular 

occlusion tetrad, penyakit inflamasi sistemik, dan genodermatosis. Acne 

konglobata, selulitis scalp, dan sinus pilonidal dapat terjadi bersamaan 

dengan HS; keempat penyakit ini dikenal dengan follicular occlusion tetrad. 

Penyakit inflamasi sistemik yang berhubungan dengan HS yaitu  penyakit 

Chron, spondyloarthropathy, pyoderma gangrenosum, dan sindroma 

SAPHO (synovitis, acne, pustulosis, hyperostosis, dan osteitis), PAPA (pyogenic 

arthritis, pyoderma gangrenosum, dan acne), PASH (pyoderma gangrenosum, acne 

conglobata, dan hidradenitis supurativa), PAPASH (pyogenic arthritis, pyoderma 

gangrenosum, acne, dan hidradenitis supurativa), dan keratitis ulseratif perifer 

(ulkus kornea tipe Mooren). Penyakit genodermatosis yang berhubungan 

dengan HS antara lain keratosis ichtyosis deafness syndromes, pachynochya 

congenita, steatocystoma multiplex, dan penyakit Dowling-Degos  Sebagian besar penyakit ini merupakan kelompok penyakit 

autoinflamasi yang terutama diperankan oleh sel Th17 

Terjadinya HS pada masa pubertas atau post pubertas menunjukan 

adanya peran hormon androgen. Penyakit ini juga didapatkan pada 

post partum dengan penggunaan pil kontrasepsi oral, dan pada masa 

premenstruasi (sekitar 50% pasien). Namun, pengaruh androgen pada HS sampai saat ini masih belum diketahui secara jelas 

Obesitas dan merokok merupakan dua faktor utama yang 

berhubungan dengan kejadian HS (Desai et al., 2016). Obesitas dianggap 

sebagai faktor penyebab eksaserbasi akibat peningkatan gesekan, keadaan 

oklusi, hidrasi keratinosit, dan maserasi. Obesitas juga dapat menyebabkan 

kekambuhan melaui keadaan androgen yang berlebihan (Zouboulis and 

Tsatsou, 2012). Penggunaan produk tembakau didapatkan lebih sering 

pada pasien HS dibandingkan kontrol orang sehat. Kebiasaan merokok 

diduga memengaruhi kemotaksis sel polimomorfonuklear 

Peran infeksi bakteri masih belum diketahui secara jelas. Keterlibatan 

bakteri diduga bersifat sekunder. Bakteri yang paling sering didapatkan 

yaitu  Staphylococcus aureus dan Staphylococcus koagulase negatif. Bakteri 

lain yang juga dapat ditemukan yaitu  Streptococcus, batang Gram negatif, 

dan anaerob. Bakteri ini merupakan suatu kolonisasi bukan penyebab, hal 

ini yang menjelaskan peningkatan ekspresi Toll Like Receptor 2, -defensin 

2 dan psoriasin pada lesi HS 

MANIFESTASI KLINIS 

HS merupakan penyakit kronis dengan perjalanan klinis yang bervariasi. 

Derajat keparahan HS dibagi berdasarkan kriteria Hurley (stadium I-III). 

Stadium awal didapatkan abses pada lokasi terbatas. Stadium II didapatkan saluran sinus dengan skar yang membatasi lesi individu. Stadium III 

menunjukan lesi koalesen disertai skar dan saluran sinus, inflamasi, dan 

discharge kronis 

PEMERIKSAAN PENUNJANG 

Pasien hidradenitis supurativa dengan lesi akut dapat menunjukan 

peningkatan Laju Endap Darah (LED) atau C-reactive ptotein (CRP). 

Pemeriksaan kultur dari lesi dilakukan bila adanya kecurigaan infeksi 

bakteri, tuberkulosis, dan jamur. Pemeriksaan ultrasonografi folikel dan 

dermis menunjukan bentukan abses dan kelainan pada folikel bagian 

dalam. Magnetic resonance imaging (MRI) menunjukan penebalan pada kulit, indurasi jaringan subkutan, dan multipel abses subkutan 

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan secara klinis. Kriteria diagnosis berdasarkan The 

Second International Hidradenitis Suppurativa Research Symposium di San 

Francisco pada bulan Maret 2009, yaitu 

1. lesi tipikal – nodul yang nyeri, blind boil pada awal lesi; abses, draining 

sinuses, skar, dan “tombstone” komedo terbuka pada lesi sekunder ;

2. topografi tipikal – aksila, pelipatan paha, perineal dan lesi perianal, 

bokong, lipatan infra, dan intermama; dan

3. kronis dan kambuh-kambuhan.

DIAGNOSIS BANDING 

Abses (termasuk yang disebabkan oleh methicillin-resistant Staphylococcus 

aureus), furunkel/karbunkel, aktinomikosis, cat scratch disease, donovanosis, 

limfogranuloma venerum, limfadenitis, kista bartholin terinfeksi, penyakit 

Chron, kolitis ulseratif, tularemia, kista epidermal yang pecah 

TERAPI

Pengobatan HS ditentukan berdasarkan stadium Hurley. 

KOMPLIKASI

Hidradenitis supurativa dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup, 

menimbulkan komplikasi lokal, dan sistemik. Komplikasi lokal yang 

dapat terjadi antara lain yaitu  keterbatasan mobilitas akibat skar, striktur 

anus, uretra, atau rektum, fistula uretra, limfedema yang menetap pada 

penis, skrotum, atau vulva, karsinoma sel skuamosa, dan perubahan ke 

arah keganasan. Komplikasi sistemik dapat terjadi sepsis, abses epidural 

lumbosacral, anemia, leukositosis (Zouboulis and Tsatsou, 2012)PROGNOSIS

Perjalanan penyakit kronis. Durasi penyakit rata-rata sekitar 18,8 tahun. 

Stadium I Hurley merupakan bentuk yang paling banyak didapatkan 

yaitu pada 2/3 pasien, stadium II Hurley didapatkan pada 1/4 pasien, dan 

stadium III Hurley didapatkan pada 1/5 pasien. Perjalanan penyakit pada 

setiap stadium dapat intermiten dan berkelanjutan 

PENCEGAHAN DAN EDUKASI 

Pencegahan dan edukasi yang dapat diberikan kepada pasien HS  yaitu :

1. memberikan penjelasan mengenai self management penyakit;

2. memakai pakaian yang longgar untuk menghindari gesekan dengan 

kulit;

3. menjaga kebersihan kulit untuk menghindari bau;4. menurunkan berat badan bagi pasien yang overweight akan membantu 

mengontrol penyakit; dan

5. menyarankan berhenti merokok untuk memperbaiki perjalanan klinis 

penyakit.




DEFINISI 

Tuberkulosis kutis yaitu  penyakit kulit akibat infeksi kronis Mycobacterium 

tuberculosis, Mycobacterium bovis, dan basil Calmette Guerin. Manifestasi 

klinis bervariasi tergantung interaksi beberapa faktor, antara lain lokasi 

infeksi dan status imunitas pasien 

EPIDEMIOLOGI 

Tuberkulosis kutis merupakan komplikasi tuberkulosis yang jarang, terjadi 

hanya sekitar 2% dari pasien tuberkulosis paru. Penyakit ini ditemukan di 

seluruh dunia, namun lebih sering di negara tropis. Angka kejadiannya 

berbanding lurus dengan angka kejadian tuberkulosis paru. Sebagian 

besar kasus ditemukan di negara berkembang, termasuk Indonesia. 

Manifestasi klinis tersering berupa tuberkulosis kolikuativa dan verukosa. 

Manifestasi klinis yang sering ditemukan pada pria berupa tuberkulosis 

verukosa, sedangkan pada wanita berupa tuberkulosis lupus. Tuberkulosis 

miliaris akut umumnya ditemukan pada anak, sedangkan tuberkulosis 

kolikuativa pada usia dewasa


ETIOLOGI 

Tuberkulosis kutis terutama disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis

yang merupakan bentuk transisi antara aktinomycetes dan eubacteria. 

Mycobacterium bovis dan vaksin Calmette Guerin Bacillus (BCG) juga 

telah terbukti menyebabkan tuberkulosis kutis meskipun jarang 

PATOGENESIS

Mycobacterium tuberculosis bersifat parasit intraseluler fakultatif yang 

mampu bertahan dan berkembang di dalam dan di luar sel fagosit. 

Bakteri umumnya masuk melalui proses inhalasi, mengakibatkan aktivasi 

makrofag alveolar sebagai usaha tubuh dalam mengeliminasi bakteri. 

Beberapa bakteri dapat bertahan hidup dan membelah diri di dalam 

makrofag. Produksi sitokin (IL-6, IL-12, IL-1, dan IL-1β) meningkat akibat 

aktivasi monosit, limfosit, neutrofil dan sel dendrit. Sitokin IL-12 dan 

IL-18 merangsang CD4, CD8 dan sel NK untuk meningkatkan produksi 

IFN-γ yang diyakini sebagai penanda penting dalam imunopatogenesis 

tuberkulosis. IFN-g dapat merangsang produksi TNF-a dan membuat sel 

makrofag berdiferensiasi menjadi sel epiteliod dan sel raksasa membentuk 

granuloma 

MANIFESTASI KLINIS

Tuberkulosis kutis memiliki beberapa variasi klinis berdasarkan jenis 

infeksinya (eksogen dan endogen). Infeksi eksogen umumnya akibat 

inokulasi langsung terhadap kulit, manifestasi klinis berupa tuberkulosis 

chancre dan tuberkulosis verukosa. Infeksi endogen terjadi pada pasien 

yang telah terinfeksi sebelumnya. Penyebarannya dapat terjadi secara 

hematogen (tuberkulosis lupus, tuberkulosis gumma, dan tuberkulosis 

miliaris akut) atau melalui proses autoinokulasi (tuberkulosis kolikuativa 

dan tuberkulosis orifisial). Tuberkulid yaitu  bentuk lain tuberkulosis 

kutis akibat reaksi hipersensitivitas terhadap antigen M. tuberculosis. Lesi 

dapat berupa tuberkulid papulonekrotik, liken skrofulosorum dan eritema induratum Bazin. Tuberkulosis kutis juga dapat disebabkan oleh vaksin 

BCG 

Eksogen 

Tuberkulosis Chancre

Tuberkulosis chancre (tuberkulosis kompleks primer) merupakan 

manifestasi klinis tuberkulosis pada individu yang belum tersensitisasi 

terhadap Mycobacterium. Trauma minor diperlukan sebagai pintu masuk 

bakteri. Lesi dapat ditemukan pada anak kecil di daerah endemis yang 

belum mendapat vaksin, tenaga medis dan pengguna alat tertentu 

yang kurang steril (sirkumsisi, operasi, rawat luka, tindik telinga, tato, 

dan akupuntur). Lesi awal umumnya kurang diperhatikan oleh pasien, 

terletak terutama di wajah dan ekstrimitas, 2–4 minggu setelah kontak 

dengan pasien tuberkulosis paru. Lesi berupa papul atau nodul merah 

kecokelatan yang tidak nyeri dan secara perlahan membentuk ulkus 

dangkal berdasar granular kasar yang cenderung mudah berdarah. 

Pembesaran limfadenopati regional umumnya terjadi 3–8 minggu setelah 

awalan penyakit akibat diseminasi bakteri, menyerupai kompleks Ghon 

akibat infeksi serupa di paru. Pembesaran limfadenopati regional dapat 

disertai nyeri dan tampak nyata, bahkan dapat pecah dan merobek 

jaringan kulit di atasnya. Proses penyembuhan terjadi setelah 12 minggu 

dengan meninggalkan skar atropik dan kalsifikasi di limfonudi regional. 

Komplikasi berupa lupus vulgaris, skrofuloferma dan tuberkulosis 

miliaris akut perlu diwaspadai pada pasien yang tidak mendapat terapi 

anti tuberkulosis yang tepat 

Tuberkulosis Verukosa 

Tuberkulosis verukosa umumnya berlokasi di ekstrimitas, terutama tangan. 

Lesi berupa papul atau plak verukosa yang tidak nyeri, muncul secara 

spontan dengan perkembangan lambat. Riwayat kontak dengan pasien 

yang sebelumnya telah terinfeksi Mycobacterium sebaiknya ditanyakan, 

sebagai contoh yaitu  dokter gigi yang mengobati pasien tuberkulosis paru. Penyakit ini juga pernah dilaporkan terjadi pada petugas yang 

menangani daging yang terkontaminasi oleh Mycobacterium bovis 

Endogen 

Hematogen 

Tuberkulosis Lupus 

Tuberkulosis lupus (lupus vulgaris) yaitu  salah satu manifestasi klinis 

tuberkulosis kutis pada individu yang telah tersensisitisasi Mycobacterium 

tuberculosis namun masih memiliki status imunitas yang baik. Lesi awal 

dapat ditemukan di atas bekas lesi kulit lain (tuberkulosis verukosa kutis, 

skrofuloderma atau vaksin BCG). Hidung, pipi, cuping telinga, dan kulit 

kepala yaitu  daerah predileksi utama. Lesi di kaki dan pantat juga sering 

ditemukan di negara tropis. Manifestasi klinis awal berupa makula atau 

papula merah kecokelatan dengan permukaan halus atau hiperkeratotik. 

Lesi berubah secara kronis dan progresif menjadi lebih cokelat, meninggi, 

dan membentuk plak, dengan atau tanpa disertai ulkus. Lesi dapat 

menyerupai lesi kulit lain (lupus eritematosus diskoid, sarkoidosis, dan 

mikosis profunda). Pemeriksaan diaskopi memberi gambaran khas 

menyerupai apple jelly, seperti yang ditemukan pada penyakit granuloma

lainnya (sarcoidosis dan lepra). Pemeriksaan dermoskopi menunjukkan 

gambaran teleangiektasis linear dengan latar belakang kuning keemasan 

dan garis retikuler putih. Lesi dapat berubah menjadi keganasan sel 

skuamosa yang umumnya terjadi setelah 25–30 tahun tanpa pengobatan. 

Destruksi tulang lunak dapat menyebabkan perubahan bentuk hidung 

dan telinga 

Tuberkulosis Gumma

Tuberkulosis gumma (tuberkulosis abses metastatik) merupakan 

tuberkulosis kutis akibat penyebaran hematogenus diseminata, terutama 

pada anak dengan gangguan nutrisi atau orang dewasa dengan gangguan 

imunitas, setelah prosedur venapungsi, dan dalam terapi imunosupresan 

(kortikosteroid) jangka panjang. Manifestasi klinis dapat berupa nodul 

subkutan yang padat atau abses yang berfluktuasi tanpa rasa nyeri. Kulit 

di atas lesi dapat robek dan membentuk ulkus dengan sinus dan fistula. 

Lesi di ekstrimitas lebih sering ditemukan dan dapat menyebabkan 

carpal tunnel syndrome. Aerolisasi Mycobacteria dapat terjadi saat insisi dan 

drainase selama proses perawatan luka dan menyebabkan kasus sekunder 

pada tenaga medis yang menanganinya 

Tuberkulosis Miliaris Akut

Tuberkulosis miliaris akut umumnya hanya ditemukan pada pasien anak 

atau dewasa dengan gangguan imunitas (HIV, tuberkulosis paru atau 

meningeal derajat lanjut). Meskipun jarang, angka kejadian dilaporkan 

meningkat karena sering bersamaan dengan infeksi HIV, terutama bila 

kadar CD4 di bawah 100 sel/μL. Tuberkulosis kutis hematogen ini juga 

dapat dijumpai pada pasien dengan infeksi virus lain seperti measles

dan malnutrisi. Pasien umumnya tampak sakit parah, gejala sistemik 

dapat berupa demam, anoreksia, badan lemah, dan penurunan berat 

badan. Lesi awal berupa makula eritematus atau papul merah keunguan 

disertai vesikel dengan umbilikasi. Vesikel dapat mengalami nekrosis 

membentuk ulkus hemoragik kecil, dan menjadi skar hipokromik 1–4 minggu kemudian. Lesi dapat ditemukan di seluruh bagian tubuh, namun 

tersering pada badan, paha, bokong dan genital

Autoinokulasi 

Tuberkulosis Kolikuativa 

Tuberkulosis kolikuativa (skrofuloderma) merupakan bentuk tuberkulosis 

kutis endogenus tersering. Tuberkulosis kutis tipe ini umumnya 

menyerang anak kecil dan dewasa muda di lokasi yang telah terinfeksi 

sebelumnya (kelenjar limfe, tulang, kelenjar lakrimalis, dada, dan testis). 

Kondisi ini terutama pada individu dengan status ekonomi rendah dan 

infeksi HIV. Manifestasi klinis awal berupa nodul subkutan solid (abses 

dingin), berbatas tegas, berwarna merah keunguan yang asimtomatis, 

berlokasi di atas kelenjar atau sendi yang terinfeksi, terutama kelenjar 

parotis, submandibular, dan supraklavikula. Lesi kemudian menjadi lunak 

dan pecah membentuk ulkus dengan dasar jaringan granulasi disertai 

fistula yang saling terhubung dan meninggalkan skar kribriformis yang 

khas. Diagnosis banding tersering yaitu  sporotrikosis dan hidradenitis 

supurativa

Tuberkulosis Orifisial

Tuberkulosis orifisial merupakan manifestasi klinis tuberkulosis kutis 

yang jarang, berlokasi di orifisium natural (mulut, anus, vulva, uretra, dan 

palatum) akibat inokulasi langsung dari lesi aktif yang berada di jaringan 

lebih dalam (paru, intestinal, dan urogenital). Lesi tersering ditemukan 

pada mukosa oral pasien pria usia lanjut dengan gangguan nutrisi, 

imunitas, dan infeksi tuberkulosis sistemik. Lesi awal berupa nodul kecil 

yang kemudian pecah membentuk ulkus dangkal punched out dengan 

tepi iregular dan dasar kekuningan yang mudah berdarah. Kondisi ini 

dapat disertai demam, badan lemah, penurunan berat badan, dan keringat 

pada malam hari. Daerah tepi lesi tampak edema akibat radang. Pasien 

umumnya mengeluhkan rasa nyeri yang hebat dan disfagia. Ujung dan 

tepi lidah yaitu  lokasi tersering. Lesi pada bibir dapat dijumpai pada 

kasus tuberkulosis faring dan laring stadium lanjut. Apthous ulcer, sifilis, 

dan karsinoma sel skuamosa yaitu  diagnosis banding tersering yang 

harus disingkirkan sebelum diagnosis ini ditegakkan 

Tuberkulid 

Tuberkulid Papulonekrotik

Tuberkulid papulonekrotik merupakan bentuk tuberkulid yang jarang, 

dijumpai terutama pada anak dan dewasa muda. Lesi kulit berupa papul 

merah keunguan simetris yang mudah berubah menjadi pustula dan 

jaringan nekrotik. Lokasi tersering pada wajah, telinga, sendi bagian 

ekstensor, dan ekstrimitas bagian akral. Lesi dapat sembuh sendiri 

dalam beberapa minggu, meninggalkan bekas varioliformis yang cekung, 

dengan skar dan hiperpigmentasi. Terapi tuberkulosis dapat mempercepat 

penyembuhan 

Liken Skrofulosorum 

Liken skrofulosorum merupakan bentuk tuberkulid yang jarang dijumpai. 

Lesi berupa papul asimtomatis yang meninggi, berwarna cokelat 

kemerahan, bergerombol, dan dijumpai terutama di badan anak dengan 

penyakit limfonudi atau tulang. Lesi hilang dalam beberapa minggu 

dengan terapi tuberkulosis, namun juga dapat sembuh sempurna tanpa 

terapi dalam beberapa tahun

Eritema Induratum Bazin

Eritema induratum Bazin merupakan bentuk tuberkulid tersering, 

dijumpai terutama pada kaki bagian belakang wanita dewasa muda. Lesi 

khas berupa makula eritematus, nodul keunguan, atau deep seated plaque

berskuama yang nyeri pada fase akut dan dapat berubah menjadi ulkus. 

Ulkus umumnya iregular, dangkal dengan tepi keunguan, muncul setelah 

paparan udara dingin atau stasis vena. Test tuberkulin umumnya positif 

dan obat anti tuberkulosis memberi respons yang baik 

PEMERIKSAAN PENUNJANG 

Biopsi/Histopatologi 

Gambaran histopatologi khas tuberkulosis berupa granuloma tuberkuloid 

dengan nekrosis. Granuloma terdiri dari kumpulan sel epiteloid yang 

dikelilingi oleh infiltrat dari sel mononuklear. Bagian tengah dari 

tuberkel tersebut mengalami perubahan endo/perivascular (nekrosis 

kaseosa), disertai reaksi selular yang menyebabkan fibrosis. Gambaran 

ini dipengaruhi oleh virulensi bakteri dan imunitas pasien. Gangguan 

imunitas menyebabkan aktivasi makrofag tidak maksimal sehingga 

gambaran granuloma tidak terbentuk sempurna. Bakteri banyak ditemukan 

pada kondisi ini. Variasi gambaran histopatologi sering menyebabkan 

kerancuan dengan penyakit lain, terutama bila granuloma tidak disertai 

dengan nekrosis

Kultur Mikobakterial 

Kultur mikobakterial merupakan standar baku emas untuk mendeteksi 

infeksi aktif tuberkulosis karena memiliki sensitivitas dan spesifisitas 

yang tinggi. Pertumbuhan bakteri dengan media Lowenstein Jensen 

membutuhkan 14 hari hingga 8 minggu. Identifikasi spesies dan tes 

resistansi obat diindikasikan pada pasien yang sebelumnya pernah 

terinfeksi tuberkulosis, gangguan imunitas terutama HIV, kegagalan terapi 

tuberkulosis, dan populasi dengan resiko tinggi terinfeksi Mycobacterium tuberculosis yang resistan terhadap terapi 

Tes Tuberkulin 

Tuberkulin tes merupakan tes intradermal menggunakan tuberculin 

purified protein derivate (PPD) untuk mengidentifikasi sensitisasi terhadap 

Mycobacterium tuberculosis. Indurasi dibaca 48–72 jam setelahnya 

menggunakan teknik Mantoux dengan cut off 10mm (sensitivitas 33–96% 

dan spesifisitas 62,50%). Hasil positif terjadi akibat infeksi, vaksin BCG, 

atau tinggal di daerah endemis. Hasil negatif palsu dapat terjadi pada anak 

berusia kurang dari 2 tahun, wanita hamil, pasien diabetes, gangguan 

ginjal, dan gangguan imunitas selular lain. Tuberkulosis lupus dan 

kolikuativa sering memberi hasil positif, sedangkan tuberkulosis miliaris 

akut, orifisial dan gumma sering memberi hasil negatif 

Tes Batang Tahan Asam (BTA)/Acid Fast Bacilli (AFB) 

Pemeriksaan ini sering digunakan karena mampu memberi hasil lebih 

cepat dibanding kultur mikobakterium. Pewarnaan yang paling sering 

digunakan yaitu  Ziehl Nielsen. Hasil positif terutama pada tuberkulosis 

dengan bacterial load tinggi (multibasiler) seperti tuberkulosis chancre, 

kolikuativa, orifisia, miliaris akut dan gumma. Tuberkulosis dengan bacterial 

load rendah (pausibasiler) seperti tuberkulosis verukosa dan lupus sering 

memberi hasil negatif 

Polymerase Chain Reaction (PCR)

Pemeriksaan ini bukan pemeriksaan rutin dan hanya disarankan pada kasus 

tuberkulosis kutis dengan lesi khas namun hasil kultur negatif. Diagnosis 

dapat ditegakkan setelah menemukan keberadaan mikobakterium pada 

spesimen kulit melalui deteksi DNA spesifik. Sensitivitas dan spesifisitas 

PCR dilaporkan mencapai 100% pada tuberkulosis multibasiler dan 55% 

pada tuberkulosis pausibasiler

DIAGNOSIS 

Diagnosis ditegakkan dengan bantuan biopsi, kultur, PPD, AFB, dan PCR. 

Lesi yang dicurigai umumnya memiliki gambaran granuloma tuberkuloid 

dengan nekrosis, atau granuloma tuberkuloid tanpa nekrosis. Namun, 

tes PPD positif atau telah terbukti ada infeksi tuberkulosis di organ lain 

yang sembuh dengan terapi tuberkulosis. Kultur dan identifikasi spesies 

diperlukan untuk mengetahui sensitivitas mikroba terhadap terapi


TERAPI

Terapi tuberkulosis pulmonal dan ekstra pulmonal umumnya 

membutuhkan waktu 6 bulan, kecuali tuberkulosis meningoensefalitis 

(9 bulan). Obat yang dianjurkan yaitu  rifampisin, isoniazid, pirazinamid 

dan etambutol. Dosis dan durasi terapi dijelaskan lebih lanjut pada tabel 

13.1 dan 13.2


DEFINISI

Kusta yaitu  suatu penyakit infeksi granulomatosa yang disebabkan oleh 

Mycobacterium leprae  Penyakit ini terutama menyerang 

saraf tepi dan kulit 

EPIDEMIOLOGI

World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa kusta 

merupakan suatu masalah kesehatan masyarakat. Target eliminasi, 

yaitu hingga prevalensi kusta kurang dari 1 kasus per 10.000 orang di 

negara manapun. Target ini secara global telah dicapai pada tahun 2000. 

Jumlah kasus baru kusta telah menurun dari 750.000 lebih di tahun 2001 

hingga 250.000 di tahun 2007. Di tahun 2008, terdapat 3 negara yang tidak 

mencapai target eliminasi yaitu Brazil, Nepal, dan Timor-Leste. Penyakit 

kusta merupakan penyakit endemis pada negara tertentu, dengan 95% 

kasus dalam dua dekade terakhir dilaporkan dari 17 negara. Brazil, India, 

dan Indonesia dilaporkan terdapat 76% dari seluruh kasus seluruh dunia 


ETIOLOGI

Kusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae yaitu suatu basil tahan asam, 

gram positif, obligat intraseluler yang tidak dapat dibiakkan . Bakteri ini dapat tumbuh pada suhu 30°C, di bawah suhu tubuh 

manusia. Hal ini yang menjelaskan lesi kusta lebih banyak di area tubuh 

yang lebih dingin 

PATOGENESIS

Manifestasi klinis kusta tergantung dari imunitas seluler pejamu. 

Pada kusta lepromatosa didapatkan kegagalan imunitas seluler dalam 

melawan M. leprae, sehingga terjadi multiplikasi basil, penyebaran infeksi 

dan akumulasi antigen pada jaringan yang terinfeksi. Tidak adanya 

limfosit dan makrofag yang teraktivasi menyebabkan kerusakan saraf 

yang timbulnya lambat dan perlahan. Pada kusta tuberkuloid, imunitas 

seluler dominan sehingga infeksi terbatas pada satu atau beberapa lokasi 

pada kulit dan saraf tepi (Lockwood, 2010). Pasien tuberkuloid mampu 

membentuk granuloma yang terdiri dari sel T-helper, di mana pasien 

lepromatosa tidak mampu membentuk granuloma serta didominansi oleh 

sel T-supresor . Di antara bentuk polar terdapat bentuk 

borderline, dimana perluasan penyakit mencerminkan keseimbangan 

antara imunitas seluler dan jumlah basil 

Penyebaran hematogen dan multiplikasi basil pada kusta lepromatosa 

terjadi pada lokasi yang dingin dan superfisial seperti mata, saluran nafas 

atas, testis, otot dan tulang kecil pada tangan, kaki dan wajah maupun 

saraf tepi dan kulit. Berbeda dengan kusta tuberkuloid, multiplikasi basil 

terdapat pada beberapa lokasi dan terkadang basil tidak dapat ditemukan 


MANIFESTASI KLINIS 

Ridley dan kawan-kawan menyebutkan beberapa spektrum granulomatosa 

kusta berdasarkan perubahan klinis dan histologis. Ridley membagi kusta 

menjadi 6 spektrum, yaitu TT (polar tuberculoid), BT (borderline tuberculoid),


BB (borderline), BL (borderline lepromatous), LLs (subpolar lepromatous), dan 

LLp (polar lepromatous) 

Secara konseptual, TT dan LLp merupakan bentuk yang stabil, 

sedangkan di antara itu merupakan bentuk yang dapat berubah sesuai 

dengan respon pejamu. BT dapat berubah menjadi TT (upgrading), dengan 

demikian akan menjadi stabil. Namun bentuk LLs tidak dapat berubah 

menjadi LLp. Respon granulomatosa merupakan hasil dari derajat imunitas 

seluler terhadap M. leprae 

Kusta TT

Pada kusta bentuk TT, didapatkan imunitas seluler yang tinggi yang 

ditandai dengan penyembuhan secara spontan tanpa disertai penurunan 

(downgrading) ke kusta bentuk lain. Lesi kulit yang utama yaitu plak 

batas tegas, terkadang berbentuk bulat akibat penyebaran saraf tepi 

dan penyembuhan di tengah (central healing). Lesi biasanya didapatkan 

indurasi, peninggian, eritem, berskuama, kering, tidak berambut dan 

hipopigmentasi (Gambar 14.1). Saraf di sekitar lesi dapat membesar (Lee 

et al., 2012)Gambaran histologis lesi TT yaitu terdapat tuberkel epiteloid yang 

dikelilingi tumpukkan limfositik yang besar, namun biasanya tidak 

terlihat. Pada TT yang berasal dari BT, terdapat sel giant tipe Langhans 

yang banyak. Jarang ditemukan nekrosis pengejuan, jika ditemukan 

maka bentukan ini merupakan diagnosis pasti untuk kusta TT 

Kusta BT

Pada kusta BT, resistansi imunologis cukup kuat untuk menahan infeksi, 

dimana terdapat keterbatasan dalam pertumbuhan bakteri, namun 

kemampun untuk menyembuhkan diri tidak cukup kuat. Bentuk ini 

biasanya tidak stabil, bisa berubah menjadi TT atau malah memburuk 

menjadi BL. Lesi kulit utama yaitu  plak dan papula. Seperti pada TT, 

didapatkan bentuk bulat dengan batas tegas dan terkadang didapatkan 

satelit papul (Gambar 14.2). Lesi hipopigmentasi dapat terlihat jelas pada 

pasien dengan kulit gelap. Berbeda dengan kusta TT, lesi pada kusta 

BT tidak/sedikit berskuama, sedikit eritem, sedikit meninggi, namun lesi dapat berubah menjai lebih besar hingga berdiameter 10 cm. Pada 

pemeriksaan jaringan pasien dengan kusta BT, terdapat tuberkel epiteloid 

namun limfositik lebih sedikit dibandingkan kusta TT 

Kusta BB

Kusta BB merupakan spektrum granulomatosa dengan respons imunologis 

pada titik tengah (midpoint immunologic), merupakan bentuk yang paling 

tidak stabil. Sering terjadi perubahan downgrading ke bentuk granulomatosa 

yang lebih stabil dengan atau tanpa disertai reaksi. Perubahan kulit yang 

karakteristik, yaitu lesi berbentuk bulat dengan batas tegas, plak besar 

dengan “pulau” kulit yang normal sehingga memberikan bentukan “swiss 

cheese” atau lesi dimorfik yang khas (Gambar 14.3). Gambaran histologis 

ditemukan diferensiasi epiteloid, namun limfosit jarang, tidak ada sel 

Giant dan mudah didapatkan basil

Kusta BL

Pada kusta BL, resistansi sangat rendah untuk menahan proliferasi bakteri, 

namun masih mampu untuk meinduksi inflamasi kerusakkan jaringan, 

terutama pada jaringan saraf. Lesi bervariasi dari soliter hingga multipel. 

Secara umum, lesi anular dan plak tersebar asimetris. Lesi juga disertai 

hipoestesi atau anestesi. Didapatkan pembesaran saraf dan nyeri (Gambar 

14.4) 

Pemeriksaan histologi didapatkan respon dermal dengan infiltrat 

limfositik padat dengan dominansi makrofag. Makrofag biasanya bersifat 

foamy, namun ada juga makrofag yang tidak berdiferensiasi


Kusta LL

Pada kusta LL imunitas seluler terhadap M. leprae sangat kurang sehingga 

tidak dapat menahan replikasi dan pertumbuhan bakteri serta sering


menyebar ke berbagai organ. Terdapat infiltrasi dermal yang selalu 

bermanifes subklinis, berupa penebalan cuping telinga, pelebaran hidung, 

dan pembengkakkan pada jari. Dapat dijumpai lesi seperti dermatofibroma 

atau lesi seperti histiositoma, biasanya multipel dan berbatas tegas. Lesi ini 

pertama kali di temukan pada pasien kusta histoid tapi bukan merupakan 

lesi yang khas. Lesi kulit lain dapat berupa patch eritem yang pada kulit 

lebih terang sering disertai hiperpigmentasi ringan. Sedangkan pada kulit 

yang lebih gelap akan terlihat makula makula hipopigmentasi (Gambar 

14.5) (Lee et al, 2012)PEMERIKSAAN PENUNJANG 

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan 

penyakit kusta salah satunya yaitu  pemeriksaan bakterioskopik, yaitu 

melalui sediaan slit skin smear atau kerokan jaringan kulit yang kemudian 

dilanjutkan dengan pewarnaan Ziehl Neelsen. Bila diagnosis meragukan, 

dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi, serta pemeriksaan 

serologi PGL-1 (Phenolic Glycolipid-1) atau PCR (Polymerase Chain Reaction) 

(Perdoski, 2017).

Gambaran histopatologi dari kusta tipe tuberkuloid yaitu  ditemukan 

granuloma tuberkuloid pada lapisan dermis yang terdapat kelompok sel

epiteloid dengan sel giant dan hanya didapatkan sedikit gambaran basil. 

Untuk gambaran tipe lepromatosa didapatkan subepidermal clear zone, 

ditemukan adanya gambaran sel busa dan ditemukan banyak basil 

DIAGNOSIS

Dalam menegakkan diagnosis kusta harus ditemukan adanya kelainan 

saraf atau ditemukannya batang tahan asam pada jaringan. Oleh karena 

bakteri kusta tidak dapat di biakkan, maka adanya bakteri tahan asam ini 

sangat menentukan diagnosis. Bakteri tahan asam pada jaringan paling 

baik terlihat dengan pengecatan karbolfusin, menggunakan modifikasi 

Ziehl-Neelsen melalui pengecatan Fite-Farraco. Adanya M. leprae yang 

ditemukan di saraf atau adanya sel epiteloid granuloma di saraf cukup 

diagnostik untuk memastikan diagnosis kusta, terutama jika didapatkan 

perubahan hitologis yang khas 

Diagnosis kusta dapat ditegakkan berdasarkan tanda cardinal, yaitu 

ditemukan makula eritematus atau hipopigmentasi dengan hipoestesi atau 

anastesi, didapatkan pembesaran saraf tepi dengan nyeri dan gangguan 

fungsi saraf tepi, dan hasil pemeriksaan bakteri tahan asam yang positif. 

Diagnosis untuk menegakkan kusta yaitu  apabila ditemukan satu dari 

gejala tersebut. Selain itu, diperlukan anamnesis, apakah ada riwayat 

keluarga, kontak dengan pasien kusta, dan riwayat pengobatan kusta 


Pemeriksaan bakteriologis digunakan untuk menegakkan diagnosis 

dan mengobservasi pengobatan. Pemeriksaan dilakukan pada kedua 

cuping telinga bagian bawah dan 2–3 lesi lain yang paling aktif, yang 

paling eritematosa, dan infiltratif. Indeks Bakteri yaitu  kepadatan BTA 

tanpa membedakan solid dan nonsolid dengan nilai dari 0 sampai 6+. 

Definisi indeks tersebut yaitu  sebagai berikut.

a. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)

b. 1+ bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP

c. 2+ bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP

d. 3+ bila 1 – 10 BTA rata-rata dalam 1 LPe. 4+ bila 11 – 100 BTA rata-rata dalam 1 LP

f. 5+ bila 101 – 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

g. 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Sedangkan Indeks Morfologi (IM) yaitu  persentase bentuk solid 

dibandingkan dengan jumlah solid dan nonsolid (Lee et al., 2012).

Jumlah solid

 x 100%

Jumlah solid + nonsolid

TERAPI 

Pengobatan kusta sampai saat ini masih menggunakan MDT (Multidrug 

Theraphy).

Obat PB MB

Rifampisin 600 mg/bulan (dengan supervisi) 600 mg/bulan (dengan supervisi)

DDS 100 mg/hari 100 mg/hari

Lampren – 300 mg/bulan

+50 mg/hari

Penyebab Kusta tipe PB diberikan sebanyak 6 dosis yang diselesaikan 

dalam 6–9 bulan, sedangkan pengobatan tipe MB diberikan sebanyak 12 

dosis yang diselesaikan dalam 12–18 bulan (Lee et al., 2012).

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding dari tipe tuberkuloid yaitu  ptyriasis alba, sedangkan 

untuk tipe lepromatosa yaitu  dermatofibroma, limfoma, dan mikosis 

funguides 

KOMPLIKASI

Komplikasi utama kusta yaitu  kerusakan saraf tepi, insufisiensi vena, 

atau skar. Sebanyak seperempat hingga sepertiga pasien kusta baru, sudah mengalami kecacatan akibat kerusakan saraf yang ireversibel, terutama 

pada tangan, kaki, dan mata. Adanya keratitis disebabkan karena mata 

kering, intensitivitas kornea, dan lagoftamlmus. Insufisiensi vena terjadi 

akibat kerusakan pada katup vena dalam sehingga menyebabkan 

dermatitis stasis dan ulkus. Kerusakan sendi terjadi akibat hilangnya 

sensasi nyeri yang sifatnya protektif. Keterlibatan saraf simpatis 

menyebabkan menurunnya hidrosis sehingga menyebabkan keringnya 

telapak tangan dan kaki. Kombinasi berulang inilah yang pada akhirnya 

menimbulkan siklus terjadinya trauma kulit 

EDUKASI

Edukasi pada pasien kusta sangat penting terutama mengenai efek 

samping obat MDT, yaitu urine berwarna merah, kulit menjadi kehitaman 

dan anemia, hal tersebut sangat perlu diketahui pasien. Pada saat RFT 

(Released From Treatmenat) pasien perlu dijelaskan bahwa bercak kulit yang 

masih tersisa memerlukan waktu lebih lama untuk menghilang, sebagian 

bahkan akan menetap selamanya. Segera menghubungi tenaga kesehatan 

terde

kat jika muncul tanda-tanda reaksi, serta menjelaskan ke pasien 
mengenai kemungkinan terjadinya kekambuhan/relaps 
PENCEGAHAN
Pencegahan penyakit kusta ini berkaitan dengan imunitas seluler, maka 
terapi dengan vaksin sudah pernah dilakukan uji coba. Vaksin Bacillus￾Calmette-Guerin (BCG) dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi 
sebesar 34–80%. Pemberian antibiotik profilaksis yang diberikan pada 
pasien yang terpapar pasien kusta dapat menurunkan resiko terjadinya 
penyakit pada dua tahun pertama sebesar lebih dari 50%

PROGNOSIS
Pasien kusta tipe TT dan BT yang berubah tipe menjadi TT dapat sembuh 
dengan sendiri tetapi dapat juga menjadi progresif dengan morbiditas dan 
kerusakan saraf dengan atau tanpa reaksi