Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label penyakit hewan mamalia 6. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Juli 2023

penyakit hewan mamalia 6






















 kurang terjaga kebersihannya, 
pemasukan hewan terinfeksi atau carrier menjadi faktor pemicu terjadinya 
penyakit. Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia, dan serangga) 
disekitar peternakan perlu diusaha kan. Pengembalaan yang hanya di satu 
tempat penggembalaan tanpa rotasi dapat menjadi predisposisi terjadinya 
penyakit. Hewan diberi pakan yang baik dan ditambahkan vitamin B/Niacin 
dapat menghindari resiko salmonelosis.  
6.  Distribusi Penyakit 
  Di negara kita , Salmonellosis dari berbagai jenis hewan (sapi, kerbau, 
babi, kambing, ayam, angsa, anjing, kucing) pernah dilaporkan. Demikian 
pula pada manusia. Tipe yang sudah ada di negara lain, ada juga di 
negara kita . 
  Pada tahun 1981 terjadi letupan Salmonellosis pada kerbau di 
Tanah Karo, Sumatera Utara yang dilaporkan oleh BPPV Medan.
D.   PENGENALAN PENYAKIT
1.  Gejala Klinis
  Pada dasarnya secara klinis penyakit ini memicu  3 bentuk 
manifestasi penyakit yaitu demam enteritik, septikemi dan gastro enteritis.
a.  Pada Sapi
     Sapi dewasa yang menderita Salmonellosis akut akan menampakkan 
gejala demam, lesu, kurang nafsu makan dan produksi susu menurun, 
diikuti dengan diare, dimana feces encer mengandung darah dan lendir. 
Hewan yang sedang bunting dapat abortus. Kematian dapat terjadi 3-
4 hari sesudah  menderita sakit dan dapat sembuh dengan sendirinya 
sesudah  beberapa minggu atau bulan. Pada Salmonellosis sub akut 
dapat terjadi demam, dapat pula tidak. Hewan bunting dapat abortus 
tanpa menunjukan tanda-tanda sakit Iainnya.
     Anak sapi yang terserang sekitar umur 2-6 minggu, dengan tanda-
tanda septikemi yang akut tanpa diare. Beberapa kasus menunjukan 
demam, kurang nafsu makan, lesu, dehidrasi dan kekurusan. Pada 
penyakit yang berjalan kronis dapat terjadi arthritis. Angka morbiditas 
sampai 80%, sedangkan angka mortalitasnya 10-20% atau lebih tinggi.
b.  Pada Babi
     Salmonellosis pada babi dapat berjalan akut, subakut atau khronis. 
Babi yang paling peka yaitu  umur empat bulan.
     Pada proses akut babi menderita demam, diare, kulit telinga dan 
abdominal berwarna keunguan. Bentuk sub akut atau khronis ditandai 
dengan adanya demam ringan kurang nafsu makan dan diare beberapa 
minggu sehingga hewan menjadi kurus. Baik pada proses akut rnaupun 
komplikasi pada paru.
     Babi dengan kondisi badan yang baik Salmonella chloreasuis dapat 
bersifat oppurtunistik dan akan memicu  penyakit bila resistensi 
tubuh babi tersebut menurun.
c.   Pada Unggas
     Salmonellosis pada unggas termasuk Pullorum yaitu  penyakit 
yang terutama menyerang unggas muda, misalnya anak ayam.
     Unggas dapat mati tanpa menunjukkan tanda KIinis yang teramati 
ialah kurang nafsu makan, kehausan, kelesuan, sayap terkulai, gangguan 
syaraf dan feses berwarna putih atau coklat kehijauan.
     Tipus unggas dipicu oleh S.gallinarum, biasanya menyerang 
unggas dara dan dewasa, memicu  banyak kematian yang kadang-
kadang tanpa disertai tanda Klinis terlebih dahulu. Umumnya hewan 
apatis, kurang nafsu makan, pial berwarna merah tua dan disertai diare 
berwarna hijau.
     Unggas yang terserang oleh S.typhimurium tidak selalu menunjukan 
gejala klinis, tetapi hewan penderita ini akan bertindak sebagai sumber 
penularan.
d.  Pada Kuda
     Salmonella abortus-equi memicu abortus pada kebuntingan 
tua. Bakteri ini juga memicu polyarthritis pada kuda yang masih 
muda.
     Infeksi S.typhimurium dapat memicu septicemia dan 
memicu  kematian tiba-tiba pada hewan muda, serta enteritis 
pada hewan tua.
     Salmonellosis serotipe Iainnya dapat memicu  gejala kolik dan 
gastroenteritis.
2.  Patologi
a.  Pada Sapi
     Sapi dewasa menunjukkan enteritis hemorragis yang akut disertai 
lesi nekrotik pada mukosa usus besar dan usus halus, oedematus dan 
kadang-kadang hemorragis. Hati mengalami degenerasi dan dinding 
kantung empedu menebal. Paru mengalami pneumonie.
     Anak sapi menunjukkan gejala penyakit kuning, pneumoni, enteritis 
dengan pembesaran yang odematus dari kelenjar limfe mesenterialis. 
Kadang-kadang didapatkan sarang-sarang nekrotik pada hati dan 
ginjal.
Gambar 1. Usus sapi. Mucos dan ditutupi oleh eksudat fi bronekrotik 
berwarna kuning kecoklatan.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-
photos.php?name=salmonella-nontyphoidal)
b.  Pada Domba dan Kambing
     Domba dan kambing, menunjukkan adanya perubahan septikemi 
antara lain: kongesti dan hemorragis pada usus, pembesaran kelenjar-
kelenjar limfe. Perdarahan ptekie mungkin ada pada cortex dari 
ginjal dan pericardium.
c.   Pada Babi
     Pada babi terjadi pemucatan pada kulit perut dan telinga sehingga 
berwama Iebih geIap sampai agak ungu. Perdarahan ptekie pada sub 
kutan. Pada limpa dan limpo glandula mesentericus terjadi pembengkakan. 
pada kasus kronis ada kancing ulcus di daerah membrana ileocal.
Gambar 2. Usus babi. Terlihat adanya nekrosa berwarna kemerahan 
dan eksudat fi brinonekrotik. 
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-
photos.php?name=salmonella-nontyphoidal)
Gambar 3. Limfonodus mesenterika babi yang mengalamai 
pembengkakan dan edema.Kondisi seperti ini baik untuk dilakukan 
kultur jaringan.
 (Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-
photos.php?name=salmonella-nontyphoidal)
d.  Pada Kuda
     Kuda yang sakit menunjukkan peradangan gastrointestinal yang 
bersifat catarrhalis dan enteritis hemorragis. Sarang nekrose ada 
pada hati, limpa dan lesi lokal di pusar dan sendi.
3.  Diagnosa
  Diagnosa salmonellosis dapat dilakukan dengan cara:
a.  Melihat tanda klinis penyakitnya
b.  Isolasi dan identifi kasi Salmonella secara bakteriologik
c.   Pemeriksaan serologis dengan test plate aglutination dengan 
memakai whole blood.
 Untuk bahan pemeriksaan yang mengandung banyak bakteri 
pencemar seperti feses, air kemih, media selektif lebih dulu dipupuk pada 
kaldu selenit (24 jam, 37°C), lalu dipupuk pada “media selektif agar” 
untuk Salmonella.
4.  Diagnosa Banding 
  Salmonelosis dapat dikelirukan berbagai penyakit berikut:
a.  Tanda-tanda septikemi oleh sebab Salmonellosis pada babi dapat 
dikelirukan dengan tanda-tanda septikemi yang dipicu oleh Hog 
cholera, erysipelas atau infeksi Steptococcus. Tanda-tanda diare seperti 
dysentri babi, sedang gangguan alat pernafasan seperti yang ditimbulkan 
oleh bakteri Pasteur 
b.  Tanda-tanda gastro enteritis pada sapi seperti keracunan makanan atau 
parasitisme. Adanya diare seperti yang terjadi oleh infeksi virus diare dan 
kejadian abortus seperti dijumpai pada infeksi lainya.
c.   Tanda-tanda enteritis pada domba dan kambing mirip dengan kejadian 
coccidiosis, enterotoksemia atau desentri pada domba oleh sebab jasad 
renik lainnya.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Bahan Pemeriksaan
  Pada hewan hidup bahan pemeriksaan berupa feses atau usapan 
rektal untuk pemeriksaan bakteriologik dan serum darah untuk pemeriksaan 
serologis.
  Pada hewan mati pengiriman bahan pemeriksaan dapat berupa 
jantung atau darah jantung, hati, limpa, potongan usus dan limfoglandula 
mesenterialis. Bila ada abortus maka foetus dan placenta dapat dikirim 
untuk bahan pemeriksaan.
  Pada ayam dapat dikirim jantung, hati berikut kantong empedunya 
minimal berasal dari 5 ekor ayam. Bila pada sejarah penyakit dan 
pemeriksaan patologis anatomi menunjukkan ke arah tipus ayam maka 
bahan pemeriksaannya berupa hati, limpa, jantung, folikel ovarium dan isi 
usus halus.
pengobatan : 
1.  Pengobatan 
  Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian 
a.   Sulfonamida: sulfanilamid terhadap infeksi dengan S.typhi, S.paratyphi 
dan S.gallinarum, dan lain-lain; sulfaquinoxalin dan sulfamerasin untuk 
infeksi S.pullorum dan S.gallinarum, sulfagunanidin untuk infeksi 
S.cholerasuis.
b.   Nitrofurans: nitrofurazone untuk infeksi S.cholerasuis, untuk infeksi 
S.pullorum dan S.gallinarum.
c.   Antibiotika: streptomycin, neomycin, aureomycin dan terramicyn untuk 
infeksi bakteri Salmonella pada umumnya.
2.  Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan
 
  Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan salmonellosis dapat 
dilakukan dengan :
a.  Vaksinasi dengan memakai vaksin aktif
b.  Tindakan sanitasi terhadap kandang, peralatan, dan lingkungan 
peternakan, serta fumigasi penetasan telur ayam.
c.   Pencegahan terhadap pemasukan hewan terinfeksi atau carrier.
d.  Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia, dan serangga) 
disekitar peternakan.
e.  Diadakan rotasi tempat penggembalaan (Pasture Rotation).
f.   Hewan diberi pakan yang baik dan ditambahkan vitamin B/Niacin

SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE)
Sinonim : Penyakit ngorok, Septicemia hemorrhagica, Hemorrhagic septicemia, 
Borbone
  
Penyakit Septicemia epizootica (SE) atau ngorok yaitu  suatu penyakit infeksi 
akut atau menahun pada sapi dan kerbau. Yang terjadi secara septikemik. 
Penyakit ini terjadi juga pada jenis ternak yang lain seperti pada onta, kambing, 
domba, babi dan kuda. Sesuai dengan namanya, pada kerbau dalam stadium 
terminal akan menunjukkan gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya 
kebengkakan busung pada daerah-daerah submandibula dan leher bagian 
bawah.
Penyakit SE memicu kerugian besar karena dapat memicu kematian, 
penurunan berat badan, serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan 
pengangkutan. Selain itu peternak sering terpaksa harus menjual ternaknya di 
bawah harga untuk dipotong termasuk di antaranya yang masih berguna bagi 
peternakan untuk menghindari kerugian akibat kematian ternak. 
etiologi 
Penyakit ngorok atau SE dipicu oleh Pasteurella multocida serotype 6B 
dan 6E menurut klasifi kasi Namioka dan Mlirata. Type B dikenal sebagai type I 
pada klasifi kasi Carter dan biasanya diisolasi di Asia, sedang type E biasanya 
terisolasi di Afrika.
Dengan pewarnaaan Giemsa atau Methylene Blue, organisme pemicu 
penyakit ini terlihat berukuran relatif kecil, berbentuk kokoid dan bipolar bila 
diwarnai dengan Giemsa Wright atau karbol fuchsin. Bersifat Gram negatif, tidak 
membentuk spora, non motil dan berselubung (kapsul) yang lama kelamaan 
dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama.
Bentuk koloni tidak selalu seragam, tergantung pada berbagai faktor, antara lain 
macam media yang digunakan, umur bakteri dalam penyimpanan, frekwensi 
pemindahan bakteri dan sebagainya. Koloni bakteri yang baru diisolasi dari 
hewan sakit atau hewan percobaan biasanya bersifat mukoid, dan lama-
kelamaan berubah menjadi smooth atau rough. Bakteri Pasteurella multocida 
membebaskan gas yang berbau seperti sperma.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Telah diketahui bahwa bakteri bersifat saprofi t pada hewan yang 
menjadi inang. Hewan-hewan tersebut akan menjadi pembawa (carier) 
penyakit dan mungkin akan menjadi sumber penularan bagi hewan lain 
yang rentan. Di negara lain telah dilakukan penelitian dan diketahui bahwa 
Pasteurella dapat menginfeksi babi (48%), sapi (80%), tonsil anjing (85%), 
rongga hidung anjing (10%), gusi kucing (90%) dan tenggorokan manusia 
(3%).
  Selain itu bakteri telah pula diisolasi dari kelinci, burung dara, 
burung pelican, kuda, kambing, domba, rusa, tikus, kanguru, ayam dan itik.
  berdasar  penghitungan LD 50 dengan galur kupang, waktu 
derajat kerentanan hewan mulai dari yang paling rentan yaitu  kelinci, 
mencit, burung perkutut, burung merpati dan marmut. Ayam dan itik bersifat 
resisten.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Penyakit SE ditemukan disebagian besar wilayah negara kita , dan 
negara lainnya, kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Afrika Selatan 
dan Jepang. Kebanyakan wabah bersifat musiman, terutama pada musim 
hujan. Secara sporadik penyakit juga ditemukan sepanjang tahun. Selain itu 
ditambah faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, 
anemia dan sebagainya. Ekskreta hewan penderita (saliva, kemih dan feses) 
dapat mengandung bakteri Pasteurella. Bakteri yang jatuh di tanah, jika 
keadaan  sesuai untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh) akan 
tahan kurang dari satu minggu dan dapat menulari hewan-hewan yang 
digembalakan di tempat tersebut. Tanah tidak lagi dianggap sebagai reservoir 
permanen untuk bakteri Pasteurella, ada kemungkinan bahwa insekta dan 
lintah dapat bertindak sebagai vektor. 
3.  Sifat Penyakit
  Pada SE dikenal tiga bentuk yaitu, bentuk busung, pektoral dan 
intestinal. 
a.  Bentuk Busung 
     Ditemukan busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian 
bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula 
terjadi pada bagian alat kelamin dan anus. Derajat kematian bentuk 
ini tinggi sampai mencapai 90% dan berlangsung cepat (hanya 3 hari, 
kadang-kadang sampai 1 minggu). Sebelum mati, terutama pada kerbau 
terjadi gangguan pernafasan ditandai sesak nafas (dyspnoe) dan suara 
ngorok merintih dan gigi gemeretak. 
b.  Bentuk Pektoral 
     Ditandai dengan bronchopneumoni dan dimulai dengan batuk 
kering dan nyeri. lalu ada eksudat di hidung, pernafasan 
cepat dan basah. Proses berlangsung lama antara 1-3 minggu. Penyakit 
yang bersifat kronis ditandai dengan hewan menjadi kurus, batuk, nafas 
dan nafsu makan terganggu, terus mengeluarkan air mata, suhu tidak 
berubah, terjadi diare yang bercampur darah, kerusakan pada paru, 
bronchi dan pleura.
c.   Bentuk Intestinal 
     Bentuk intestinal yaitu gabungan dari bentuk busung dan 
bentuk pektoral.
4.  Cara Penularan
  Diduga sebagai pintu gerbang infeksi bakteri ke dalam tubuh hewan 
yaitu  daerah tenggorokan (tonsil region). Hewan sehat akan tertular oleh 
hewan sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman 
dan alat yang tercemar. Ekskreta hewan penderita (Iudah, kemih dan feses) 
juga mengandung bakteri.
  Pada babi, SE banyak yang berbentuk sebagai gangguan 
pernafasan dengan gejala batuk Iebih menonjol. Penularan melalui udara 
oleh penderita Iebih mudah terjadi, apalagi kalau babi tersebut makan dan 
minum dari tempat yang sama. Timbulnya SE pada babi sangat dipengaruhi 
oleh faktor-faktor predisposisi. Seperti pada kerbau dan sapi, ekskreta 
penderita juga mengandung bakteri.
5.  Faktor Predisposisi
  Stres pada ternak yaitu kondisi predisposisi untuk terjangkit 
nya penyakit. Sapi atau kerbau yang terlalu banyak dipekerjakan, pemberian 
pakan yang berkualitas rendah, kedinginan, anemia, kandang yang penuh 
dan berdesakan serta kondisi pengangkutan yang melelahkan dapat memicu 
terjadinya infeksi. Pada kejadian yang terakhir memicu penyakit ini 
disebut juga dengan Shipping fever
  Penyakit ini di Asia bagian Selatan dan Tenggara bersifat endemik. 
Angka kematian bervariasi dari rendah sampai tinggi, tetapi angka kematian 
biasanya mencapai 50-100%.
  Di musim kering hewan sulit mendapatkan pakan, tetapi dipaksa 
untuk bekerja keras dapat timbul stres sehingga mudah terserang oleh 
penyakit ini. Kerbau diketahui Iebih rentan terhadap penyakit ngorok 
dibandingkan dengan sapi.
6.  Distribusi Penyakit
  Penyakit SE ditemukan untuk pertama kali di negara kita  oleh 
DRIESSEN pada tahun 1884 di daerah Balaraja, Tangerang, lalu 
pada tahun berikutnya meluas sampai dengan Citarum dan sampai Ujung 
Menteng, Bekasi. Dalam surat edaran yang ditujukan kepada para petugas 
dinas pada tahun 1890, Driessen menyebut nama SE pada kerbau dengan 
nama Rinderpest tipe busung. Dari jawaban surat tersebut diketahui bahwa 
penyakit ini telah ditemukan di Majalengka tahun 1897, Imogiri serta beberapa 
daerah di luar Jawa seperti Tanah Datar tahun 1884 dan Bengkulu tahun 
1839. Baru lalu pada tahun 1891 pemicu penyakit di atas dapat 
diisolasi oleh Van Ecke. Sejak akhir abad ke-19, penyakit telah meluas ke 
sebagian besar wilayah negara kita .
C.  PENGENALAN PENYAKIT
1.  Gejala klinis
  Gejalanya tidak banyak terlihat, tetapi Iangsung timbul kematian 
yang mendadak. Hewan yang terserang biasanya menderita demam tinggi, 
tidak mau makan, diare, dan feses berdarah Kebengkakan dan busung 
terlihat di kepala, bagian bawah dada dan kaki atau pangkal ekor.
  Lesi di kerongkongan memicu  sesak nafas dan kesulitan 
menelan. Hewan yang menderita penyakit ini sangat tertekan dan murung, 
kematian dapat terjadi antara 1-2 hari sesudah  terjadi gejala.
  Penyakit ini dapat berlangsung menahun, pada hewan muda angka 
kematian tinggi, terjadinya kematian yaitu  karena pelepasan endotoksin 
oleh bakteri sehingga terjadi toksemia atau tercekik.
2.  Patologi
  Lesi yang menonjol yaitu  busung pada daerah kepala, 
kerongkongan dan dada. Kelenjar limpe membengkak, terjadi perdarahan 
bawah kulit, usus dan jantung serta ada cairan kuning pekat dirongga 
dada. Paru terjadi peradangan brochopneumonia dengan jaringan yang 
kenyal dan bila menjadi menahun dapat timbul abses.
  Pada bentuk busung terIihat busung gelatin disertai perdarahan 
dibawah kulit dibagian kepala, leher, dada dan sekali-sekali meluas sampai 
bagian belakang perut. Busung gelatin juga dapat dijumpai di sekitar pharynx, 
epiglotis dan pita suara. Lidah seringkali juga membengkak dan berwarna 
coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang menjulur keluar, selaput lendir 
saluran pernafasan umumnya membengkak dan kadang-kadang disertai 
selaput fi brin. Kelenjar limfe retropharingeal dan cervical membengkak. 
Rongga perut kadang-kadang berisi beberapa liter cairan bening berwarna 
kekuningan atau kemerahan.
Gambar 2. Submandibula sapi. Terjadi pembengkakan dan perdarahan 
multifokal pada subkutan/selaput fascia yang cukup parah.
     (Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-
signs-photos.php?name=hemorrhagic-septicemia)
Pada bentuk pektoral terlihat pembendungan kapiler dan perdarahan di 
bawah kulit dan dibawah selaput lendir, pada pleura terlihat perdarahan 
titik (ptekie) dan selaput fi brin tampak pada permukaan alat-alat visceral 
dan rongga dada. Juga terlihat gejala busung berbentuk hidrothoraks, 
hidroperikard dengan cairan yang kering berfi brin. Paru-paru menderita 
bronchopneumonia berfi brin atau fi bronekrotik. Bagian paru-paru mengalami 
hepatisasi dan kadang-kadang konsisten agak rapuh.
  Bidang sayatan paru-paru beraneka warna karena adanya 
pneumonia berfi brin, bagian nekrotik, sekat interlobuler berbusung dan 
bagian-bagian yang normal, kelenjar limfe peribronchial membengkak. 
Epikardium menunjukkan adanya perdarahan yang tdk merata/ptekie.
3.  Diagnosa
  Kejadian penyakit di daerah endemik mudah dikenali. Di daerah 
non endemik untuk diagnosa yang pertama memerlukan isolasi organisme 
dan penentuan serotypenya, agar dapat dipastikan agen penyebabnya. 
Infeksi oleh serotype yang lain lebih banyak memicu  jejas di paru. 
Peneguhan diagnosa pemicu penyakit dengan isolasi dan identifi kasi 
organisme diperlukan spesimen darah, paru, hati dan limpa yang dikirim 
secepatnya ke laboratorium dalam keadaan segar dingin. jika hewan 
telah mati selama lebih dari 8 jam dapat diusaha kan dengan rnengirimkan 
potongan tulang panjang yang masih utuh.
4.  Diagnosa Banding
  jika busung tidak jelas terlihat, SE dapat dikelirukan dengan 
anthraks atau rinderpest.
  Pada SE tidak ditemukan perdarahan yang berwarna hitam serupa 
seperti halnya pada anthraks. Selain dari gejala-gejala klinisnya SE dapat 
dibedakan dari Rinderpest, karena pada SE tidak ada radang usus yang 
bersifat krupus difteritis, dan nekrose pada jaringan limfoid.
  Diagnosa banding yang lain yaitu  pada kejadian gas ganggrene 
dan gigitan ular.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Bahan yang perlu dikirim ke laboratorium dapat berupa:
a.  Sediaan ulas darah jantung yang difi ksasi misal dengan metil alkohol
b.  Pipet pasteur yang berisi cairan busung atau darah jantung yang diambil 
secara aseptik
c.   Potongan alat-alat tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe 
dan sumsum tulang yang dimasukkan dalam larutan gliserin garam faali 
50%. Bahan sumsum tulang dianggap paling baik, karena jaringan ini 
yang mengalami proses mati paling akhir, dan bakteri masih mengalami 
perkembang biakan beberapa jam pasca mati.
  jika pada kejadian tersangka penyakit SE, bangkai telah mulai 
membusuk, maka dianjurkan untuk menyuntik secara subkutan hewan-hewan 
percobaan (kelinci, perkutut, mencit) dengan bahan dari bangkai tersebut. 
lalu bahan-bahan pemeriksaan berasal dari hewan-hewan percobaan 
yang telah mati dikirimkan ke laboratorium veteriner terdekat disertai surat 
pengantar yang berisi informasi selengkap mungkin.
D.  PENGENDALIAN
1.  Pengobatan
  Pengobatan dapat dilakukan dengan penyuntikan streptomisin 
sebanyak 10 mg secara IM atau kioromisitin, terramisin dan aureumisin 
sebanyak 4 mg tiap kg berat badan secara IM.
  Preparat sulfa seperti sulfametasin 1 gram tiap 7,5 kg berat badan 
dapat membantu penyembuhan penyakit.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pelaporan
     Laporan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan 
dan kesehatan hewan setempat, mengenai kejadian timbulnya penyakit 
SE termasuk tindakan-tindakan sementara yang telah diambil. 
     Bila dipandang perlu menyarankan kepada Bupati, Walikota setempat 
untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penutupan daerah dan 
pembatasan lalu lintas ternak didalam wilayahnya. Sementara itu 
tindakan-tindakan perlu dilakukan berdasar  peraturan-peraturan 
yang berlaku.
b.  Pencegahan
     Untuk daerah bebas SE tindakan pencegahan didasarkan pada 
aturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. 
Untuk daerah tertular, hewan sehat divaksin dengan vaksin oil-adjuvant, 
sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml IM. Vaksinasi dilakukan 
pada saat tidak ada kejadian penyakit.
     Pada hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dan perlakuan 
sebagai berikut :
(1) Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan;
(2) Penyuntikan antibiotika;
(3) Penyuntikan kemoterapeutika.
c.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Pengendalian hanya bisa dilakukan dengan pemberian vaksinasi. 
Vaksin untuk penyakit ini tersedia  dan diproduksi oleh Pusat Veterinasia 
Farma (Pusvetma).
     Hewan menderita SE dapat dipotong di bawah pengawasan dokter 
hewan dan dagingnya dapat dikonsumsi. Jaringan yang ada jejasnya 
terutama paru harus dibuang dan dimusnahkan.
     Karkas yang sangat kurus karena penyakit yang berjalan menahun 
dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur.

STRANGLES
Sinonim : Distemper kuda, Equine distemper, Ingus jinak, Ingus tenang
  
Strangles atau equine distemper yaitu  penyakit kontagious akut pada kuda 
yang ditunjukkan adanya infl amasi mukopurulen pada hidung dan mukous 
membran pharyngeal (saluran pernafasan atas), disertai dengan abses dari 
daerah kelenjar limfe, yang dipicu oleh Streptococcus equi. Penyakit dapat 
menyebar kebagian tubuh yang lain.
Kuda yaitu spesies yang paling peka terhadap strangles. Kejadian penyakit 
terutama pada kuda muda (berumur 1-5 tahun). Wabah dapat terjadi sepanjang 
tahun, tapi paling sering terjadi pada musim dingin (udara basah). Perpindahan 
kuda juga dapat menjadi pemicu timbulnya Strangles.
Meskipun terbentuk kekebalan pada kuda yang pernah terinfeksi, seekor kuda 
dapat terinfeksi kembali oleh penyakit Strangles dalam interval waktu sekitar 6 
bulan kemudian.
Sumber infeksi strangles yaitu  cairan hidung (discharge) dari hewan yang 
sakit, pastura (lapangan pengembalaan), serta pakan dan tempat minum yang 
terkontaminasi. Infeksi dapat menyebar dalam waktu 4 minggu sesudah  gejala 
klinis. Infeksi terjadi melalui pencernaan dan pernafasan (inhalasi).
Agen pemicu dapat bertahan sekitar 10 bulan dalam pharynx kuda, walaupun 
secara klinis kuda terlihat normal (tidak sakit). ini yaitu carrier terhadap 
kuda lain, dan periode ini disebut dengan periode dormant.
etiologi 
Strangles dipicu oleh bakteri Steptococcus equi. Jika kejadian dalam waktu 
lama (kronis), maka dapat diperoleh biakan murni (pure culture) dalam eksudat 
hidung atau nanah dari lesi (borok).
Bakteri bersifat Gram positif coccus, Streptococcus equi lebih resisten pada 
keadaan panas dibanding spesies lain dari grup Streptococcus, namun dapat 
mati dengan perebusan hingga suhu 70 °C selama 10 menit.
Bakteri dalam eksudat purulen juga resisten terhadap desinfektan dan 
pengeringan, sehingga bakteri ini digolongkan dalam Lancefi eld’s grup C.

epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Spesies rentan terhadap penyakit strangles pada umumnya yaitu  
bangsa kuda (equidae)
2.  Pengaruh Lingkungan
  Umumnya terjadi pada perubahan musim panas ke musim hujan, 
demikian pula sebaliknya dari musim hujan ke musim panas.
3.  Sifat Penyakit
  Angka morbiditas mendekati 100 % pada daerah terserang, 
sedangkan mortalitas relatif kecil, yaitu kurang dari 2 %.
4.  Cara Penularan
  Penularan terjadi pada sumber infeksi, yaitu cairan hidung 
(discharge) dari hewan yang terinfeksi, yang mencemari pakan, tempat 
minum dan lapangan pengembalaan.
5.  Faktor Predisposisi
  Kuda dari segala umur terinfeksi penyakit ini, namun kuda muda 
dan tua lebih rentan. Kuda muda lebih mudah terserang diduga karena 
sistem kekebalan tubuh belum sempurna, dan akibat belum pernah terpapar 
penyakit ini sebelumnya. Pada kuda tua umumnya sistem kekebalan tubuh 
melemah, sehingga mudah terserangnya penyakit.
6.  Distribusi Penyakit
  Penyakit strangles terjadi hampir di seluruh dunia, terutama di 
negara dengan populasi kuda tinggi. Pada beberapa negara penyakit ini 
menjadi sangat penting terutama yang memiliki kuda untuk angkatan perang, 
peternakan kuda, kuda lomba, kuda polo dan sekolah mengendarai kuda.
  Di negara kita  penyakit ini sering juga terjadi terutama pada daerah 
dengan populasi kuda tinggi, seperti Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.

keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Setelah melewati masa inkubasi 4-8 hari, penyakit berkembang 
dengan cepat disertai demam (suhu 39,5-40,5 °C), anoreksia, dari hidung 
keluar cairan serous yang dengan cepat berubah menjadi copius dan purulen, 
gejala pharyngitis dan laryngitis. Akibat pharyngitis, maka pada saat makan, 
kuda sering mengalami regurgitasi melalui lubang hidung, serta terdengar 
batuk lembab, kesakitan dan sangat mudah terangsang. Kepala menunduk 
untuk mengurangi rasa sakit pada tenggorokan.
Gambar 1. Strangles 
(Sumber : http://www.equinechronicle.com/health/free-lecture-on-strangles-
at-new-bolton-center.html)
  Demam biasanya berlangsung dalam 2-3 hari dan ditandai dengan 
membengkaknya limphoglandula daerah tenggorokan. Daerah limphoglandula 
menjadi bengkak, panas dan sakit.
  Nanah dari hidung meningkat dan menyumbat saluran pernafasan, 
sehingga pernafasan dangkaI (tersengal). Pembengkakan limphoglandula 
(pharyngealis, submaxillaris dan parotis) berkembang 3-4 hari dan glandula 
membentuk cairan serous dalam 10 hari. Akhirnya terjadi ruptur (perobekan) 
yang mengeluarkan nanah kental berwama kuningan.
  Kadang ditemukan abses lokal pada permukaan tubuh lain, terutama 
pada wajah dan leher. Komplikasi penyakit ini memungkinkan timbulnya 
metastasis ke organ lain, seperti paru (pneumonia akut); otak (meningitis 
purulenta) dengan gejala eksitasi, hyperestesia, kekakuan leher, terminal 
paralisis; infeksi trombi pada pembuluh darah vena; abses hati, limpa dan 
limfooglandula viseral.
2.  Patologi
  Pada kasus yang fatal, secara Patologi ditemukan pernanahan 
yang meluas pada organ dalam, terutama hati, limpa, paru, pleura, pembuluh 
darah vena besar dan peritoneum. Selain itu juga ditemukan abses pada 
limfoglandula mesenterika.
3.  Diagnosa
  Strangles ditandai oleh infeksi saluran pernafasan bagian atas 
yang disertai cairan hidung purulen dan pembengkakan limfoglandula daerah 
tenggorokan.
4.  Diagnosa Banding
  Pada tahap dini Strangles dapat dikacaukan dengan beberapa 
penyakit berikut :
a.  Equine Viral Rhinopneumosilis
b.  Equine viral arteritis
c.   Equine infl uenza
d.  Infeksi Streptococus zooepidemicus.
  Namun, pada semua penyakit yang disebutkan di atas tidak disertai 
pembesaran limpoglandula.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Bahan pemeriksaan yaitu  cairan discharge atau cairan yang 
keluar dari mukosa hidung, atau abses limfoglandula submaxillaris dan 
pharyagealis. Dikirim ke laboartorium dalam keadaan segar untuk isolasi dan 
identifi kasi bakteri atau dari nekropsi hewan mati.

E.   PENGENDALIAN
1.  Pengobatan
  Pada abses yang baru, dapat dilakukan pengompresan, sedangkan 
pada abses yang lama (tukak) dilakukan drainasi. Pengobatan dilakukan 
dengan penisilin, sulfametazine, trimethoprim dan sulfadiazin. Dosis Penisilin 
yaitu  2.500 - 10.000 iu/kg bobot badan selama 4-5 hari.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pencegahan
     Disarankan vaksinasi jika ada sejumlah kuda yang terinfeksi. 
Vaksinasi dilakukan berulang 2-3 kali, dengan meningkatkan dosis 
selang waktu 10-14 hari. Diharapkan pada vaksinasi ke 3 telah diperoleh 
perlindungan yang memadai, lalu diulang setiap 12 bulan.
b.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Kuda penderita diasingkan segera, lalu diberikan desinfektan 
terhadap alat, kandang, dan barang lain yang mungkin tercernar.

STREPTOCOCCOSIS PADA BABI
A.   PENDAHULUAN
Streptococcosis pada babi dalam hal ini dibatasi hanya pada penyakit yang 
dipicu oleh Streptococcus sp. yang ditandai dengan adanya poliartritis, 
septikemia dan meningitis.
Penyakit ini memicu  kerugian berupa kematian, baik pada anak babi maupun 
babi dewasa, biaya pengobatan yang tinggi dan bersifat zoonotik. Pada manusia, 
Streptococcus suis dapat memicu  septikemia, meningitis dan endokarditis. 
etiologi 
Penyebab streptococcosis pada babi yaitu  Streptococcus equi subspesies 
zooepidemicus (Str.zooepidemicus) dan Streptoccocus suis (Str.suis) tipe 2. 
Str.zooepidemicus termasuk dalam grup Lancefi eld’s C, sedangkan Str.suis 
termasuk dalam grup Lancefi eld’s D.
Str.zooepidemicus dan Str.suis tumbuh subur pada media agar darah dalam waktu 
24 jam, dan membentuk koloni sangat mukoid, bening kekuningan, cemerlang, 
namun cepat berubah menjadi kasar dan memproduksi zona haemolitika. Str.
zooepidemicus membentuk zona hemolitika beta, sedangkan Str.suis membentuk 
zona hemolitika alfa. Di bawah mikroskop cahaya terlihat berbentuk kokus dan 
berantai, bersifat Gram positif. Uji katalase dan oksidase, negatif untuk kedua 
Streptococcus. Dari usapan organ terinfeksi secara mikroskopis terlihat morfologi 
seperti diplokokus dan kadangsendiri (monokokus), bakteri ini tidak tumbuh pada 
media agar Mac Conkey.
Str.zooepidemicus memfermentasi maltosa, sukrosa, glukosa, laktosa dan 
sorbitol, namun tidak mampu memecah trehalosa, mannitol, rafi nosa, inulin, 
eskulin, xylosa, arabinosa dan dulsitol. Sedangkan  Str.suis menfermentasi 
trehalosa, laktosa, rafi nosa, inulin, namun tidak menfermentasi sorbitol dan 
manitol. Baik Str.zooepidemicus maupun Str.suis dapat ditemukan pada tonsil 
dan lubang hidung babi sakit maupun sehat (carrier).
Secara umum bakteri Streptococcus sp. mati pada suhu 56 °C dalam waktu 30 
menit. Dengan desinfektan yang biasa dipergunakan, bakteri ini akan mati, tetapi 
dapat hidup beberapa bulan dalam debu di dalam gedung yang tidak dibersihkan 
dengan desinfektan.
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Babi yaitu hewan paling rentan terhadap infeksi Str.
zooepidemicus dan Str.Suis. Kuda dilaporkan peka terhadap infeksi Str.
zooepidemicus. Tikus putih (mencit) yaitu hewan percobaan yang 
sangat peka terhadap Str.zooepidemicus maupun Str.suis.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Lalu lintas babi hidup dari daerah tertular ke daerah bebas, 
memegang peran penting dalam penularan penyakit. Pembuangan limbah 
sisa pemotongan babi secara sembarangan (misalnya ke selokan atau 
sungai) mempunyai potensi besar dalam menyebarkan penyakit.
3.  Sifat Penyakit
  Streptococcosis cenderung bersifat epidemik jika terjadi di daerah 
baru, lalu beralih menjadi endemik atau sporadik sesudah  dilakukan 
tindakan pengamanan.
  Di daerah baru angka kesakitan dapat mencapai Iebih dari 70 % 
dan angka kematian sekitar 30 %. Namun, bila dilakukan diagnosa secara 
tepat, pada umumnya angka kesakitan maupun angka kematian menurun 
drastis.
4.  Cara Penularan
  Penularan penyakit umumnya terjadi melalui mulut atau per os, 
melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh ekskreta dari penderita, 
dan melalui bahan sisa pemotongan hewan yang mencemari lingkungan. 
Penularan dapat pula terjadi per inhalasi, terutama pada kawanan babi yang 
dikandangkan dalam jumlah besar. Babi yang menyimpan Str.suis atau Str.
zooepidemicus dalam tonsil atau lubang hidung dapat bertindak sebagai 
carrier, dan pada kondisi tertentu dapat menyebarkan ke babi lain, misalnya 
pada keadaan stress karena transportasi, kandang terlalu padat, ventiIasi 
buruk, dan lain-lain.
5.  Faktor Predisposisi
  Faktor kebersihan dan hygiene kandang serta manajemen peternakan 
yang kurang baik dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya penyakit ini. 
Semua umur babi rentan terhadap infeksi  Streptococcus sp.
6.  Distribusi Penyakit
  Di negara kita  Str.zooepidemicus pertama kali diisolasi oleh BPPV 
Wilayah VI Denpasar/ BBVet Denpasar dari suatu wabah streptococcosis 
pada babi di Bali pada bulan Mei tahun 1994. Isolasi berikutnya diperoleh 
dari Kabupaten Flores Timur dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). BPPV VII 
Maros/ BBVet Maros juga telah mengisolasi. Str.zooepidemicus.
  Kasus Streptococcosis pada babi di wilayah kerja BPPV VII Maros 
pertama kali muncul di Sulawesi Utara pada tahun 1994, lalu menyusul 
di Sulawesi Selatan, di kabupaten Tana Toraja (September 1994), Maros 
(Oktober 1994), Pare-Pare (Februari 1995), Luwu (Desember 1995) dan di 
Irian Jaya (Papua) ditemukan di kabupaten Jayawijaya (September 1995), 
Jayapura (Nopember 1995) dan Paniai (Desember 1995). Pada tahun 1996 
muncul lagi di Luwu dan Tana Toraja (Sulawesi Selatan) pada bulan Agustus 
1996 dan di Minahasa (Sulawesi Utara) pada bulan Februari 1996, Manado 
(Sulawesi Utara) pada bulan Mei 1996. Pada bulan Juni 1997 juga ditemukan 
di Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Gowa (Sulawesi Selatan).
  Secara klinis penyakit juga ditemukan di Pulau Flores, Pulau 
Sumba, kabupaten Belu dan Kota Mataram. Sampai saat ini Streptococcosis 
yang ditimbulkan oleh Str. suis belum pemah dilaporkan di negara kita .
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Streptococcosis yang dipicu oleh Str.zooepidemicus maupun 
Str.suis tipe 2 mempunyai gejala klinis serupa. Gejala yang menonjol yaitu  
kebengkakan pada sendi kaki depan maupun belakang. Kebengkakan 
ini umumnya bersifat tunggal, tetapi dapat pula Iebih dari satu kaki yang 
terserang. Suhu rektal babi meningkat dan tidak mau makan. Kemerahan 
pada kulit sering terlihat baik pada babi putih maupun hitam, diikuti dengan 
gejala syaraf, ingusan don ngorok. Beberapa kasus memperlihatkan gejala 
konstipasi. Batuk darah kadang ditemukan beberapa saat sebelum hewan 
mati. jika babi dapat melampaui masa akut, terlihat gejala kelumpuhan, 
dan kaki nampak diseret sewaktu berjalan.
2.  Patologi
  Kondisi umum babi biasanya masih bagus. Darah segar sering 
terlihat pada mulut dan hidung. Kulit hiperemik. Sendi kaki membengkak; bila 
dibuka terlihat cairan radang bening kekuningan dan erosi pada kedua ujung 
tulang yang membentuk sendi. Kelenjar limfe membengkak, mengalami 
edema dan berwama merah kehitaman. Pembengkakan juga ditemukan 
pada limpa.
  Pada usus ditemukan enteritis kataralis. Dalam rongga perut sering 
ditemukan peritonitis dan timbunan cairan asites. Paru mengalami edema 
dan perdarahan ptekhi multifokal, bronkopneumonia atau pleuropneumonia 
berfi brin. Pada endokardium dan epikardium kadang terlihat perdarahan 
ptekhi, serta perikarditis juga sering ditemukan. Ginjal mengalami kongesti, 
mukosa vesika urinaria mengalami perdarahan ptekhi. Perubahan lain yang 
sering ditemukan yaitu  kongesti pada otak dan peradangan selaput otak 
(meningitis). 
3.  Diagnosa
  Diagnosa streptococcosis pada babi secara klinis tidak mudah 
dilakukan karena banyak kemiripannya dengan penyakit lain, untuk itu isolasi 
dan identifi kasi penyebabnya mutlak diperlukan.
4.  Diagnosa banding
  Gejala Klinis berupa kemerahan pada kulit dapat dikelirukan dengan 
hog cholera maupun erysipelas pada babi. Suara ngorok yang kadang terjadi 
dapat dikelirukan dengan Pasteurellosis pada babi.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium sebaiknya 
dilakukan segera sesudah  hewan mati. Untuk keperluan isolasi bakteri 
penyebab, spesimen yang diambil yaitu  hati, jantung, paru, limpa, ginjal, 
kelenjar limfe dan otak. Spesimen tersebut dikirimkan dalam keadaan segar 
dingin atau dimasukkan ke dalam transport media. Untuk pemeriksaan 
patologis, spesimen berupa jaringan seperti tersebut di atas dimasukkan ke 
dalam formalin 10 %. Selain jaringan tersebut di atas, untuk pemeriksaan 
bakteriologis dapat juga dikirim cairan sendi maupun cairan asites, dalam 
keadaan dingin atau beku.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan yang paling efektif yaitu  dengan preparat penisilin. 
Disamping itu oxytetracyclin dan kanamycin juga cukup efektif untuk 
pengobatan streptococcosis pada babi.
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
  Sampai saat ini belum ada vaksin untuk streptococcosis. Beberapa 
percobaan yang penah dilakukan mengungkapkan bahwa antibodi yang 
ditimbulkan oleh vaksin streptoccus tidak berlangsung lama.
  Oleh karena itu pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga 
kebersihan kandang, tempat pakan dan minuman. Pemberian pakan berasal 
dari Iimbah hewan sakit harus dihindari.

TETANUS
Sinonim: Lock Jaw
  
Tetanus yaitu  keracunan akibat neurotoksin yang dipicu oleh Clostridium 
tetani dengan gejala klinis spasmus otot dan  memicu  kematian pada 
hewan mamalia serta manusia.
Penularan tetanus dapat terjadi melalui kontaminasi spora bakteri Cl.tetani yang 
tersebar di tanah dan di kandang ternak. Kejadian tetanus dapat timbul karena 
dimulaioleh adanya perlukaan tertutup yang terkontaminasi oleh bakteri Cl.tetani. 
Pada luka tertutup tersebut dapat timbul kondisi anaerob yang yaitu 
persyaratan berkembangnya bakteri CI.tetani. Dalam jangka waktu tertentu 
bakteri Cl.tetani mengeluarkan toksin yaitu berupa tetanotoksin (neurotoksin). 
Toksin ini memicu  spasmus terhadap otot-otot tubuh.
Pada peternakan yang memungkinkan dapat terjadi kasus tetanus yakni adanya 
tindakan perlukaan yang dapat terkontaminasi oleh bakteri Cl.tetani seperti 
kastrasi, pencukuran bulu pada ternak domba, pemasangan nomor telinga, 
pemasangan ladam pada kuda, proses kelahiran, atau luka lainnya antara lain 
luka tusuk pada kaki, gigitan, patah tulang, luka robek akibat dinding kandang 
dan sebagainya. jika hewan penderita tidak cepat mendapat perawatan 
umumnya berakhir dengan kematian
Kejadian pada manusia sering dihubungkan dengan peristiwa pemotongan pusar 
pada bayi, adanya luka atau infeksi dapat terjadi di tempat yang memakai 
pupuk kandang.
etiologi 
Tetanus dipicu oleh Clostridium tetani. C.tetani  yaitu bakteri 
berbentuk  batang Iangsing, berukuran 0.4-0.6x2-5 mikron dan bersifat motil. Baik 
di dalam jaringan maupun pada biakan, bakteri tetanus dapat tersusun tunggal 
atau berantai membentuk fi lamen yang panjang. Bakteri ini membentuk spora 
sesudah  dibiakkan selama 24-48 jam, spora bulat, terminal, dimana sel di tempat 
spora membengkak sehingga bakteri berbentuk seperti pemukul gendrang atau 
”Drum stick bacteria”. Pada biakan muda bakteri tetanus bersifat Gram positif, 
dan cepat berubah menjadi Gram negatif pada biakan yang lebih tua.
Bakteri tetanus tumbuh pada biakan umum dalam suasana anaerob dan suhu 
optimum 37°C. Pada biakan cair membentuk sedikit kekeruhan yang lalu 
menjadi bening sesudah  terjadi sedimentasi. Pada lempengan agar darah 
akan terbentuk koloni yang dilingkari dengan zone hemolyse. Bakteri ini tidak 
memfermentasi karbohidrat atau menghidrolisa protein serta  mencairkan gelatin 
membentuk koloni yang berbentuk sikat. Untuk menyimpan galur bakteri tetanus 
dibiakkan pada liver bouillon yang ditambah CaCl3.
Spora Cl.tetani bersifat sangat resisten, dapat tahan bertahun-tahun bila dalam 
keadaan terlindung terhadap sinar matahari dan panas. Theobald Smith telah 
menemukan beberapa strain yang tahan terhadap panas pada suhu 100°C 
selama 40-60 menit. Spora bakteri tetanus dapat mati oleh 5% phenol sesudah  
kontak 10-12 jam.
Toksin tetanus stabil terhadap freeze-thawing. Tetapi rusak oleh sinar matahari 
langsung dalam waktu 15 jam pada suhu 40°C atau dalam larutan lain rusak 
dalam waktu 5 menit pada suhu 65°C. Toksin tidak diserap oleh tubuh dari 
saluran pencernaan.
Ada 10 macam serotype bakteri tetanus yang semuanya mempunyai H dan O 
antigen, kecuali tipe IV yang tidak mempunyai H antigen. Toksin yang dibentuk 
ada 2 macam yaitu:
1.  Hemolysin :  tetanolysin, menghemolyse eritrosit, tidak berperanan sebagai 
pemicu tetanus
2.  Neurotoksin: tetanospasmin, memicu spasmus otot-otot, berperanan 
sebagai pemicu tetanus
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Beberapa jenis spesies rentan terhadap tetanus secara berturut-
turut sebagai berikut, bangsa kuda, domba dan kambing, anjing dan kucing, 
sapi dan babi. Unggas tidak rentan terhadap tetanus. Di antara hewan 
percobaan yang paling rentan yaitu  tikus.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Bentuk vegetatif sangat rentan terhadap pengeringan, cahaya, 
pemanasan dan desinfektan. Bentuk spora dapat bertahan pada tanah, 
feses manure selama berbulan-bulan atau mungkin beberapa tahun, dan 
tahan dipanaskan atau perebusan sampai 15 menit.
3.  Sifat Penyakit
  Penyakit tetanus terjadi sangat bersifat sporadik. Kejadian tetanus 
sering dilaporkan pada daerah yang banyak memelihara kuda. Penyakit 
tetanus jarang berhasil diobati, sehingga angka mortalitas mendekati 100%.
4.  Cara Penularan
  Syarat terjadinya infeksi diperlukan luka yang dalam atau pada luka 
superfi cial yang tercemari bakteri anaerob yang mempunyai potensi oksidasi 
reduksi lemah. Kejadian penularan pada kuda pada umumnya melalui luka 
pada kuku sewaktu memasang tapal kuda, pada domba terjadi melalui luka 
kastrasi atau pencukuran rambut, sedang pada sapi melalui luka bekas 
pemotongan tanduk dan pada babi melalui luka kastrasi. Selain itu penularan 
juga terjadi melalui luka tertusuk paku, luka-luka pada rongga mulut, luka 
tersembunyi di dalam usus atau alat kelamin
5.  Faktor Predisposisi
  Kejadian tetanus dipicu oleh adanya infeksi Clostiridium tetani 
yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. 
Faktor predisposisi antara lain adanya luka dalam yang tidak dirawat dengan 
baik, hewan umur muda atau tua, serta belum dilakukan vaksinasi terhadap 
tetanus.
6.  Distribusi Penyakit
  Tetanus ada di seluruh dunia, terutama di negara beriklim 
tropis, termasuk negara kita . Di negara kita  tetanus terjadi sporadis, terutama 
menyerang hewan seperti  kuda, babi dan domba.
keterangan : 
1.  Gejala klinis
  Masa tunas 1-3 minggu. Gejala Klinis tetanus untuk semua hewan 
hampir mirip. Tanda awal ialah sedikit kekakuan, gelisah dan terjadi 
kekejangan yang berlebihan bila ada sedikit rangsangan dari luar (suara, 
sentuhan, cahaya dan lain-lain). Pada kuda terjadi kekakuan yang khas 
berupa spasmus membrana niktitan, trompet hidung melebar, ekor naik dan 
kaki membentuk kuda-kuda. Bila yang terserang otot-otot fascia maka hewan 
akan susah membuka mulut, sehingga penyakit dinamai ”Lock jaw”. Bila 
toksin sudah menyerang otak maka akan terjadi kekejangan umum, konvulsi 
yang berkesinambungan terjadi dipicu oleh aspeksia.
2.  Patologi 
  Tidak ada tanda pasca mati yang khas, paru berwarna merah dan 
mengalami perdarahan.
3.  Diagnosa
  berdasar  gejala kIinis, disertai sejarah penyakit  bahwa hewan 
tersebut tidak atau belum pernah divaksin tetanus atau hewan pernah 
mengalami luka sebelumnya.
4.  Diagnosa Banding
  Adanya tanda kekejangan yang terjadi maka tetanus dapat 
dikelirukan dengan penyakit lain seperti:
a.  Gras tetani  :  pada penyakit ini ada hipocalcemia
b.  Keracunan striknin : kekejangan yang terjadi tidak tergantung 
adanya rangsangan dari luar 
c.  Muscular rheumatism :  yaitu penyakit kronis. 
d.  Stiff lamb disease  :  ada gejala diare
e.  Rabies    :  ada gejala kelumpuhan
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Spesimen jarang diambil karena penyakit ini didiagnosa berdasar 
kan gejala klinisnya. Sampel darah dapat diambil sebagai usaha untuk 
pemeriksaan adanya toksin dalam darah.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan tetanus dapat dilakukan sebagai berikut:
a.  Luka dibuat segar, dengan membuang bagian jaringan yang rusak, 
lalu luka dicuci dengan KMnO4 atau H2O2  dan diobati dengan 
antibiotika.
b.  Diberikan antitoksin tetanus dosis kuratif
c.   Perlakuan pada hewan sakit diberikan:
(1) kandang bersih, kering, gelap
(2) diberikan kain penyangga perut
(3) makanan disediakan setinggi hidung
(4) luka yang ada diobati
d.  Diberikan obat-obatan untuk mengatasi simptom atau gejala antara lain  
(1) obat penenang
(2) muscle relaxan
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
  Pencegahan tetanus dapat dilakukan antara lain dengan:
a.  Menyingkirkan barang tajam (kulit kerang, paku, duri) di tempat 
penggembalaan.
b.  Bila ada luka dibersihkan, dikuret atau didrainase dan diobati. 
c.   Dilakukan vaksinasi aktif dengan formol vaksin. 
d.  Dilakukan vaksinasi pasif dengan antitoksin
e.  Gunakan peralatan operasi yang steril dan jangan melakukan operasi 
dekat dengan tempat yang mungkin menjadi sumber infeksi tetanus.

TUBERKULOSIS SAPI
  
Tuberkulosis yaitu  penyakit menular yang dipicu oleh bakteri dari genus 
Mycobacterium. Sebagai penyakit menular, tuberkulosis sudah dikenal sejak 
lebih dari 2000 tahun yang lalu, ditemukan tanda menciri dari penyakit ini 
pada tulang mumi Mesir kuno. Robert Koch, antara tahun 1882-1884 berhasil 
memperlihatkan agen pemicu pada jaringan berpenyakit melalui pewarnaan, 
lalu menumbuhkannya secara murni pada medium dan membuktikan sifat 
kepenularan penyakit ini pada hewan percobaan.
Sebutan Mycobacterium itu sendiri bermakna bakteri yang menyerupai jamur 
suatu penamaan yang diangkat dari kenyataan, bahwa bakteri pemicu 
tuberkulosis dalam pertumbuhannya pada medium cair, sesudah beberapa lama, 
akan membentuk lapisan tebal seperti jamur (pellicle) yang ada pada bagian 
atas medium.
Selain menyerang berbagai jenis hewan, tuberkulosis sapi juga menular kepada 
manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuberkulosis sapi termasuk 
kedalam salah satu penyakit zoonosis penting yaitu penyakit yang dapat 
menyerang baik ke hewan maupun manusia yang perlu  diwaspadai.
Arti penting lain tuberkulosis sapi sebagai salah satu penyakit hewan menular 
di negara kita  dapat dibaca secara gamblang dalam buku “Pedoman dan Syarat-
syarat Teknis Perusahaan Pembibitan Sapi Perah”, terbitan Direktorat Peternakan, 
Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta (1983) yang mempersyaratkan bahwa 
sapi yang dipelihara dalam suatu Perusahaan Pembibitan harus bebas dari dua 
jenis penyakit hewan menular yaitu brucellosis dan tuberkulosis. Juga sapi jantan 
yang dipelihara di Balai Inseminasi Buatan (BIB) untuk pembuatan semen beku 
harus bebas dari tuberkulosis sapi.
Status bebas penyakit demikian harus dipantau setiap tahunnya dengan 
menerapkan uji tuberkulin pada setiap individu sapi yang ada dalam Peternakan 
atau BIB yang bersangkutan.
Kerugian ekonomi akibat tuberkulosis sapi tidak mudah dinilai. Dalam hubungan 
ini, kerugian ekonomi bukan saja berupa kematian sapi penderita, tetapi juga 
karena kehilangan efi siensi produksi (diperkirakan hingga mencapai 10-25%) 
pada sapi yang sakit, baik karena kehilangan atau menurunnya produksi susu 
maupun karena kehilangan daging dan tenaganya.
etiologi 
Tuberkulosis yaitu  penyakit menular bersifat menahun yang dipicu oleh 
bakteri dari genus Mycobacterium. Agen pemicu tuberkulosis pada manusia, 
sapi dan unggas, semula dikenal berturut-turut dengan nama Mycobacterium 
tuberkulosis (human type), M.tuberkulosis (bovine type) dan M.tuberkulosis 
(avian type). lalu diketahui, bahwa ternyata ketiganya memiliki sejumlah 
perbedaan baik dalam sifat-sifat pertumbuhan maupun patogenisitasnya pada 
hewan laboratorium, maka sehubungan dengan hal tersebut  dapat dibedakan 
3 tipe tuberkulosis dengan agen penyebabnya masing-masing sebagai berikut. 
Tuberkulosis manusia (human type tuberculosis), dengan agen pemicu 
M.tuberculosis, tuberkulosis sapi (bovine type tuberkulosis), dengan agen 
pemicu M.bovis dari tuberkulosis unggas (avian type tuberculosis), dengan 
agen pemicu M.avium.
 
M.avium ada yang menyatakan ini yaitu spesies tersendiri disebut-sebut 
sebagai sangat dekat dengan M.intracellulare, yang oleh sebagian peneliti 
diberi nama gabungan M.avium-intracellular. Para peneliti di Amerika serikat, 
menambahkan satu spesies lagi, yakni M.scrofulaceum, yang lalu 
menyebut kelompok tersebut sebagai M.avium-intracellulare-scrofulaceum 
complex, yang lebih dikenal dengan singkatannya MAIS complex. Selain itu, 
dikenal pula M.africanum, yang diketahui memiliki sifat-sifat yang menjembatani 
antara sifat yang dimiliki M.tuberkulosis dan sifat dari M.bovis.
 
Dari khasanah mikobacteria sering disebut-sebut istilah MOTT, yaitu  singkatan 
dari Mycobacteria other than tuberkulosis, yaitu semua bakteri yang 
termasuk dalam mikobacteria, kecuali M.tuberculosis.
Selanjutnya, uraian akan dibatasi hanya yang berkaitan dengan tuberkulosis 
sapi saja. Tuberkulosis sapi yaitu  penyakit hewan menular yang dipicu 
oleh bakteri Mycobacterium bovis, dengan sifat penyakit yang berjalan menahun 
dan ditandai dengan terbentuknya lesi yang berupa bungkul/ benjolan (dikenal 
sebagai tuberkel) yang disertai dengan proses perkejuan dan perkapuran.

Bila penyakit berlanjut, maka hewan sakit akan menunjukkan gejala batuk dengan 
kelenjar limfe di daerah kepala dan ususnya membesar (beberapa kali lipat dari 
ukuran normal) yang dapat dilihat dan diraba, serta kondisi tubuh penderita yang 
sangat kurus (emasiasi).
M.bovis yaitu  bakteri yang tidak motil, tidak berspora, biasanya berbentuk 
batang Iurus Iangsing, berukuran 0,5 x 2-4 um (kadang-kadang terlihat pleomorfi k 
berfi lamen atau bercabang), bersifat tahan asam dan patogenik bagi berbagai 
jenis hewan menyusui, unggas dan juga manusia. Dengan pewarnaan Gram, 
bakteri pemicu tuberkulosis sapi termasuk bakteri Gram-positif.
Karena bakteri pemicu tuberkulosis ini memiliki sifat tahan asam, maka untuk 
pemeriksaan mikroskopik di laboratorium biasa dipakai pewarnaan preparat 
menurut cara Ziehl-Neelsen (Z-N). Sebagai pewarnaan alternatif, preparat juga 
dapat diwarnai menurut cara Kinyoun, atau memakai pemeriksaan teknik 
mikroskoopik berpendapat (fl uorescence antibody technique, FAT).
Untuk menumbuhkan M.bovis secara in vitro di laboratorium, dituntut tersedianya 
medium penumbuh yang khusus, seperti medium Lowenstein-Jensen, 
medium Stonebrink atau medium Middlebrook 7H10 atau 7H11. Mengingat 
M.bovis termasuk kedalam mikrobakteria yang lambat tumbuh (slowly growing 
mycobakteria), maka untuk melihat adanya pertumbuhan bakteri pemicu 
dibutuhkan waktu pengeraman pada suhu 37°C dan perlakuan tanpa atau dengan 
C02 sampai sekurang-kurangnya 8 minggu, dengan pengamatan setiap hari 
untuk minggu pertama dan pada setiap minggu untuk sisa waktu selebihnya.
Hewan penderita tua biasanya memperlihatkan lesi-lesi tuberkulosis yang lebih 
hebat dari pada hewan muda tertular. Sapi sakit tuberkulosis yaitu sumber 
penularan penyakit yang utama. Pada tahun awal penyakit sebelum gejala klinis 
terlihat, sapi tertular telah mengeluarkan agen pemicu kedalam rongga hidung 
dan mukus trakea. Sedangkan pada tahap lanjut, M.bovis dikeluarkan dari tubuh 
penderita bukan saja melalui udara pernafasan, tetapi juga melalui dahak, feses, 
susu, urin, sekresi (discharge) dari vagina dan sekresi dari uterus, bahkan melalui 
sekresi kelenjar limfe terserang yang pecah. Di alam, genangan air (yang tidak 
mengalir) dimana diketahui hewan sakit tuberkulosis sapi terakhir meminumnya 
masih tetap infektif selama 18 hari berikutnya. Lebih lanjut, air yang tidak mengalir 
(stagnant water) diketahui yaitu sumber paling berpotensi akan kandungan 
mikobakteria saprofi tik dan ini harus mendapatkan perhatian sungguh-sungguh, 
karena dapat memunculkan terjadinya reaktor-reaktor tuberkulosis yang non 
spesifi k. Dalam pada itu, tingkat infektivitas suatu padang gembalaan (pasture) 
yang tercemar oleh feses hewan sakit, bervariasi tergantung pada cuaca 
setempat. Pada cuaca yang kering misalnya, maka padang gembalaan demikian 
masih infektif selama 1 minggu. Sedangkan pada cuaca yang basah, maka 
tingkat infektivitas padang gembalaan tersebut mecapai 6-8 minggu lamanya.
C.   EPIDEMIOLOGI
1.  Spesies rentan
  Sapi yaitu inang sejati tuberkulosis sapi. Selain sapi, ternak 
kambing dan babi, juga rentan terhadap serangan tuberkulosis. Sedangkan 
sejumlah hewan lain seperti kerbau, onta, jenis rusa, kuda, bison dan berbagai 
satwa liar baik yang hidup di alam bebas (seperti harimau, singa, leopard) 
maupun yang hidup terkurung dalam kebun binatang (seperti bangsa kera), 
juga anjing dan kucing, semuanya dapat terserang tuberkulusis. Bangsa 
unggas (burung) dapat tertular dan menjadi sumber infeksi bagi ternak sapi 
yang ada di dekatnya. Di Selandia Baru, possums (Trichusurus vulpecula) 
dan di lnggris badgers (Meles meles) yaitu satwa-satwa liar setempat 
yang diketahui berpotensi besar dalam penyebaran tuberkulosis baik bagi 
kawanan sapi di Inggris maupun bagi kawanan sapi dan domba lokal di 
Selandia Baru.
2.  Pengaruh ingkungan
  Agen pemicu tuberkulosis sapi, yakni M.bovis, memiliki ketahanan 
yang sedang saja baik terhadap panas, kekeringan maupun terhadap 
berbagai bahan penghulas hama, seperti ortofenil 1 %, kresol 2-3%, senyawa 
fenol 2-3% atau etialkohol 50-95%. Sementara itu, pada lingkungan yang 
kering M.bovis akan mati oleh cahaya matahari langsung. Sedangkan bila 
lingkungan sekitarnya cukup panas dan lembab serta terlindung, maka 
M.bovis mampu bertahan hidup untuk beberapa minggu lamanya. Telah 
diketahui pula, bahwa M.bovis yang ada dalam susu tercemar akan 
terbunuh pada suhu pasteurisasi.
  Sapi dari bangsa Zebu, seperti Brahman, diketahui lebih tahan 
terhadap infeksi dalam arti bahwa bila terserang tuberkulosis, maka sapi 
yang termasuk bangsa Zebu akan menampakkan gejala Klinis yang lebih 
ringan ketimbang sapi dari bangsa-bangsa Eropa, seperti Friesian Holstein 
(FH).
3.  Sifat Penyakit
  Pada peternakan sapi, serangan tuberkulosis sapi cenderung bersifat 
sporadik dengan angka prevalensi yang rendah. Bagi sekawanan sapi yang 
dipelihara di padang gembaIaan sepanjang tahun misalnya, maka angka 
morbiditas karena serangan tuberkulosis sapi dapat mencapai 60-70%. 
Sementara itu, angka morbiditas pada sapi Zebu yang digemukkan secara 
intensif dalam kandang (feedlot cattle) dapat mencapai 60% dengan disertai 
rendahnya pencapaian penambahan bobot badan sapi yang terinfeksi. Dari 
kelompok sapi dalam suatu peternakan tertular tuberkulosis, maka setiap ekor 
sapi anggota kelompok dapat memperlihatkan gejala klinis yang berbeda, 
hal itu tergantung pada stadium penyakit yang sedang menyerang.
4. Cara Penularan
  ada 2 cara penularan tuberkulosis sapi yang paling umum 
dijumpai yaitu:
a.  Penularan melalui saluran pernafasan (per inhalasi), dengan terisapnya 
M.bovis yang dikeluarkan bersama udara saat  penderita bernafas, 
yang lalu mencemari udara dalam kandang (droplet infection) oleh 
hewan sehat yang berada di dekatnya.
b.  Penularan melalui saluran pencernaan makanan (per ingesti), dengan 
termakannya M.bovis yang ada pada pakan atau air minum tercemar 
oleh hewan sehat yang ada di sekitar hewan tertular.
  Penularan per inhalasi sering terjadi pada sapi yang dipelihara secara 
terus-menerus dalam kandang, seperti sapi perah dan sapi yang digemukkan. 
Sedangkan penularan per ingesti lazim dijumpai pada sapi yang hidup biasa 
merumput di padang gembalaan. Penularan pada pedet umumnya terjadi 
karena pedet menyusu pada induk sakit atau diberi susu berasal dari induk 
sapi sakit. Cara penularan lain yang mungkin terjadi, meskipun jarang, yaitu  
secara intrauterin (pada saat coitus), pada saat inseminasi dengan semen 
atau peralatan inseminasi tercemar) dan secara intramammari (karena 
penggunaan peralatan mesin pemerahan susu tercemar), bahkan pada babi 
penularan dapat terjadi karena babi diberi makan karkas yang berasal dari 
hewan sakit tuberkulosis. Penularan pada manusia biasanya terjadi karena 
manusia mengkonsumsi susu (yang tidak dipasteurisasi) yang berasal dari 
sapi sakit tuberkulosis. Sistem perkandangan dan praktek zero grazing 
yaitu faktor-faktor predisposisi penyakit yang tidak kalah pentingnya.
5.  Faktor Predisposisi
  Daya tahan tubuh yang rendah yaitu salah satu faktor 
pemicu tuberkulosis. Lingkungan kandang kotor, padat populasi, gelap, 
lembab, dan ventilasi udara kurang baik dapat memudahkan penularan 
tuberkulosis dan berlangsung cepat. Faktor predisposisi lainnya yang 
memudahkan terjangkitnya tuberkulosis yaitu  ternak dalam kondisi kurus 
dan malnutrisi.
6.  Distribusi Penyakit
  Tuberkulosis sapi ada hampir di seluruh negara di dunia, 
termasuk di negara kita . Di banyak negara, tuberkulosis sapi yaitu salah 
satu dari sekian banyak masalah penting pada peternakan sapi, terutama pada 
sapi perah. Namun, di negara maju tertentu, pada beberapa di antaranya, 
seperti di Denmark, Luksemburg, Norwegia, Swedia dan Swiss dan juga di 
negara kecil tertentu, seperti di Gabon, Siprus, Suriname dan Papua Nugini, 
tuberkulosis sapi memang bukan masalah lagi karena negaratersebut sudah 
berhasil memberantasnya atau karena di negara tertentu tadi penyakit 
tuberkulosis sapi memang tidak ditemukan. 
  Di negara kita , tuberkulosis sapi termasuk salah satu penyakit 
hewan menular yang wajib dilaporkan dengan segera, bila mengetahui 
keberadaannya. Tuberkulosis sapi pertama kali dilaporkan oleh Penning pada 
tahun 1905 terjadi pada Perusahaan Susu di Semarang, Jawa Tengah. Lebih 
lanjut dilaporkan oleh Penning, bahwa dari 303 ekor sapi perah yang diuji 
tuberkulin (Penning memakai tuberkulin impor dari Jerman), pada waktu 
itu ditemukan oleh Penning 3 ekor sapi reakctor tuberkulosis. Seekor reaktor 
di antaranya, yaitu  sapi jantan, sesudah  ditelusuri sejarahnya diketahui 
bahwa seekor dari sapi perah impor dari Australia. Sejak itu, tuberkulosis sapi 
mulai diperhatikan dan banyak dilaporkan oleh berbagai Dinas Peternakan 
Daerah di Jawa. Seperti diketahui, pada sekitar tahun akhir abad ke 18 dan 
awal abad ke-19 Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengimporan sapi 
perah, seperti Friesian Holstein (FH), baik dari negeri Belanda maupun dari 
Australia.
  Catatan : Kira-kira pada kurun waktu yang bersamaan diketahui 
bahwa tuberkulosis sapi yaitu salah satu penyakit hewan menular 
yang ditemukan di Australia. Namun sesudah  dilakukan usaha  pemberantasan 
yang memakan waktu puluhan tahun, maka sejak tahun 1992 Australia 
menyatakan negaranya bebas tuberkulosis sapi. Mengingat semakin 
pentingnya tuberkulosis, maka sejak tahun 1911 Pemerintah Kolonial 
Belanda mulai memberlakukan uji tuberkulin pada setiap Perusahaan Ssusu 
yang memelihara sapi perah. Dan penelitian pengembangan di Balivet, 
Bogor telah dihasilkan tuberkulin purifi ed protein derivative (PPD) bovine 
memakai galur standar ANS, dan sesudah  diteliti ternyata memiliki mutu 
yang sama dengan mutu tuberkulin PPD bovine buatan CSL, Melbourne, 
Australia. Implikasi yang timbul dari keberhasilan itu yaitu  bahwa untuk 
kegiatan uji tuberkulin di lapangan, negara kita  sudah tidak lagi bergantung 
pada tuberkulin PPD bovin impor. Penerapan uji tuberkulin di lapangan 
secara terbatas yang dilakukan oleh Balitvet, Bogor di 8 kabupaten/Kodya 
di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Barat pada tahun 1994 pada sapi perah 
diketahui bahwa prevalensi tuberkulosis sapi ternyata sangat endah (0,17%). 
Oleh karena itu, penerapan uji yang sama secara terbatas pada sapi potong 
oleh Balivet pada 6 Kabupaten pada ternak di Jawa Tirnur dan Jawa Tengah 
pada tahun 1995, dihasilkan bahwa prevalensi tuberkulosis sapi pada sapi 
potong yaitu  0%.
D.   PENGENALAN PENYAKIT
1.  Gejala klinis
  Pada hewan, gejala Klinis tuberkulosis dapat bervariasi, hal itu 
tergantung pada dimana lesi yang berupa bungkul atau tuberkel itu tersebar 
dalam organ tubuh penderitanya. Dalam banyak hal, gejala klinis tuberkulosis 
sapi yang menciri kurang terlihat atau tidak mudah diamati, bahkan pada 
sapi dengan tahap lanjut banyak organ terserang. Pada awal serangannya, 
banyak sapi yang tidak menampakkan gejala klinis, penyakit tuberculosis 
sapi biasanya berlangsung menahun (kronis), meskipun tidak selalu demikian 
halnya. 
  Pada sapi, kuda, domba dan kambing, penyakit dapat bersifat akut 
dan progresif, menyerang banyak organ tubuh. Sapi sakit terlihat kondisi 
badan menurun, dengan bulu-penutup yang bervariasi mungkin kasar atau 
mungkin lembut. Bila paru-paru terkena, maka terjadi bronkopneumoni yang 
ditandai dengan terdengarnya batuk serta kesulitan bernapas (dyspnoea) 
akibat pembesaran kelenjar limfe bronkial yang menekan jalan pernapasan. 
Bila penyakit berlanjut, maka terlihat membesarnya kelenjar limfe (beberapa 
kali lipat dari ukuran kelenjar normal) yang ada pada daerah kepala dan 
leher. Bahkan kadang-kadang kelenjar yang membesar itu sampai pecah 
dan mengeluarkan isinya. Isi kelenjar, limfe yang keluar  ini mengandung 
agen pemicu yang bersifat infektif. 
  Bila saluran pencernaan makanan yang terkena (tetapi ini jarang), 
maka hal itu ditandai dengan adanya diare yang hilang timbul (intermittent) 
atau mungkin terjadi konstipasi. Pembesaran kelenjar limfe mediastinal 
dihubungkan dengan terjadinya kembung rumen pada penderita, bahkan 
kembung rumen tersebut dapat berlangsung menetap. Kekurusan tubuh 
yang sangat nyata serta kesulitan bernapas yang akut menandai babak 
akhir dari serangan tuberkulosis pada seekor hewan. Lesi pada alat kelamin 
betina (seperti metritis, vaginitis) mungkin dapat ditemukan, sedangkan lesi 
pada alat kelamin jantan (orchitis) jarang dilihat.
2. Patologi 
 Meskipun pada dasarnya semua organ tubuh dapat diserang oleh 
M.bovis, namun kerusakan organ atau lesi yang ditimbulkannya, berbentuk 
bungkul (nodule) bisa disebut granuloma atau sering pula dikenal dengan 
sebutan tuberkel (tubercle), pada umumnya kejadiannya diawali dengan 
organ yang ada dalam rongga dada (organ paru-paru) dan kadang-kadang 
ada kelenjar limfe (lymph nodes) di daerah kepala atau pada usus (kelenjar 
limfe retropharyngeal, bronkial, mediastinal dan mesenterik). 

  Selain itu, lesi yang berupa tuberkel tadi juga ditemukan pada 
organ lain, seperti pada hati, limpa, glnjal, pleura dan pada membran serous 
lainnya. Bila penyakit berlanjut maka tuberkel tadi ditemukan menyebar pada 
organ dan jaringan yang secara primer jarang terkena, seperti kelenjar susu 
atau ambing yang memungkinkan penularan penyakit melalui konsumsi 
susu, uterus dan selaput otak.
  Catatan: Tuberkel hanya dapat dilihat bila dilakukan bedah bangkai 
(nekropsi) pada hewan penderita tuberkulosis yang mati akibat penyakit ini. 
Tuberkel terdiri dari sel epiteloid yang yaitu sarang bakteri pemicu 
(yang kemungkinan masih dapat lolos dan menyebar ke organ lain) dan 
kumpulan makrofag serta sel-sel raksasa tipe Langhans. Adanya tuberkel 
pada hewan terserang tuberkulosis yaitu usaha  dari tubuh penderita 
untuk melokalisasi infeksi oleh serangan M.bovis. Pada bedah bangkai tadi, 
biasanya tuberkel terlihat kekuningan dan berkonsistensi seperti keju, keju 
berkapur atau seperti kapur, kadang-kadang bernanah. Bagian tengah dari 
jaringan berkeju tadi biasanya kering, keras, diselimuti selubung bersifat 
fi brosa dengan ketebalan yang bervariasi. Tentang ukuran besarnya 
tuberkel yang dapat ditemukan sangat bervariasi, dari yang terlembut begitu 
lembutnya sehingga tidak nampak bila dilihat dengan mata telanjang sampai 
yang terbesar, yakni sedemikian besarnya sehingga menduduki bagian 
terbanyak dari suatu organ yang terserang. Sering terjadi bahwa tuberkel 
yang besar itu, sesungguhnya yaitu gabungan dan sejumlah lesi yang 
lembut tersebut.
3.  Diagnosa
  Tuberkulosis sapi dapat didiagnosa baik pada waktu hewan masih 
hidup maupun sesudah mati. Mengingat gejala klinis yang jelas pada hewan 
tertular tuberkulosis sapi jarang terlihat, maka untuk mendiagnosa penyakit 
ini tidak mudah. Pada hewan penderita masih hidup, maka diagnosanya 
didasarkan pada gejala klinis penyakit yang terlihat dan terutama dititik 
beratkan pada terdapatnya reaksi hipersensitivitas tipe tertunda (delayed 
hypersensitivity reactions) dari hewan tersangka, yang dilakukan dengan 
penerapan uji tuberkulin per individu hewan dari kawanan sapi yang dicurigai 
tertular tuberkulosis (uji tuberkulin). Pada ternak sapi, uji tuberkulin masih 
yaitu uji standar dan dipakai dalam perdagangan internasional. Bagi 
hewan tersangka tuberkulosis sapi yang sudah mati, maka diagnosanya 
didasarkan pada hasil pemeriksaan pasca mati terhadap bangkainya, yang 
dilengkapi dengan hasilpemeriksaan di laboratorium, antara lain pemeriksaan 
histopatologi dan bakteriololgi. Dalam hal ini, pemeriksaan bakteriologi yang 
dimaksud meliputi pemeriksaan mikroskopik preparat dan isolasi yang 
dilanjutkan dengan identifi kasi dari bakteri yang ditemukan.
  Berbagai cara pemeriksaan lain yang dikembangkan pada tahun 
akhir ini, seperti teknik reaksi polimerase berantai (PCR), ELISA, uji proliferasi 
limfosit (lymphocyte proliferation assay) dan uji gamma interferon (Gamma 
interferon assay, IFN-y) memang dapat dipergunakan untuk mendiagnosa 
tuberkulosis sapi. Namun uji-uji tersebut menuntut tersedianya fasilitas serta 
logistik yang memadai dari laboratorium pemeriksa, SDM yang terlatih dan 
dapat dipergunakan misalnya untuk mendiganosa tuberkulosis pada sapi 
liar dan pada hewan liar penghuni kebun binatang. Pada hewan dengan 
teknik radiologi seperti pada manusia mendiagnosa tuberkulosis tidak lazim 
dilakukan, kecuali pada kera dan domba/kambing
  Catatan: Menyadari akan bahaya penularan M.bovis kepada 
manusia maka petugas laboratorium diagnostik harus mewaspadai bahwa 
tuberkulosis sapi besifat zoonosis, sehingga  segala pekerjaan yang 
menyangkut pemrosesan spesimen tuberkulosis harus dilakukan dalam 
suatu alat yang disebut biohazard cabinet, dapat memberi perlindungan 
bagi petugas terhadap bahaya kemungkinan penularan dari spesimen yang 
sedang dikerjakannya.
4.  Diagnosa Banding
 
  Penyakit tuberkulosis sapi dapat dikelirukan dengan berbagai penyakit 
berikut:
a.  Kekurusan tubuh pada hewan penderita dapat dikelirukan dengan hewan 
yang terserang paratuberkulosis. Selain tubuh yang kurus, penderita 
paratuberkulosis biasanya juga mengalami diare yang menetap.
b.  Infestasi cacing gastrointestinal yang berat memicu  kekurusan 
tubuh penderita yang disertai dengan diare dapat dikelirukan dengan 
penderita tuberkulosis sapi tahap lanjut.
c.   Hewan kurang gizi (baik kuantum maupun mutunya) yang berat dan 
yang berlangsung lama memicu  kekurusan tubuh hewan yang 
bersangkutan. Dapat dikelirukan dengan penderita tuberkulosis sapi 
tahap lanjut.
d.  Contagious bovine pleuro pneumonia (CBPP) kronis dapat dikelirukan, 
terutama bagi daerah yang endemik penyakit ini (perhatian : CBPP tidak 
didapatkan di negara kita ).
e.  Actinobasilosis dan infeksi Actinomyces pyogenes dapat dikelirukan 
dengan tuberkulosis sapi. Actinobasilosis pada pedet sering disebut 
sebagai Calf Pneumonia, yang gejala klinisnya jelas bila pedet telah 
berumur 2-3 bulan, sedangkan pada infeksi Actinomyces, selain sapi 
terlihat kurus juga ada infeksi pada organ paru-parunya.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Pada bedah bangkai hewan yang mati tersangka tuberkulosis, 
spesimen yang diperlukan yaitu  sebagai berikut:
a.  Potongan organ yang menyimpang atau tidak normal diambil secara 
aseptik antara bagian jaringan yang masih sehat dan bagian yang ada 
tuberkelnya (masing-masing berukuran kira-kira 2 cm) seperti paru-paru, 
hati dan limfa, juga semua kelenjar-kelenjar limfe pada bagian kepala 
dan usus, termasuk dahak yang ada dalam saluran pernapasan. 
b.  Organ tersebut dimasukkan dalam wadah steril tanpa pengawet dan 
dalam keadaan dingin (masukkan ke dalam termos es) dikirimkan segera 
ke laboratorium, spesimen ini untuk pemeriksaan kultur di laboratorium. 
c.   Bila spesimen tersebut diperkirakan tiba di laboratorium melebihi waktu 
24 jam, maka pada spesimen tadi perlu ditambahkan asam borak 
dengan kepekatan akhir 0,5% (w/v), yang dimaksudkan untuk mencegah 
pencemaran oleh bakteri lainnya. 
pengobatan : 
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan 
Pada dasarnya pengendalian tuberkulosis sapi pada kelompok ternak sapi 
meliputi langkah-langkah seperti berikut :
1.  Mendeteksi adanya tuberkulosis dan mengeluarkan sapi reaktor dari 
kelompok; 
2.  Mencegah penyebar luasan infeksi dalam kelompok; 
3.  Mencegah masuknya kembali penyakit ke dalam kelompok.
Ketiga langkah tersebut dianggap sangat penting untuk dikerjakan secara 
sungguh-sungguh. Dengan tidak mengerjakan salah satu langkah tersebut akan 
memicu  program pengendalian tidak berhasil dengan baik.
Deteksi sapi reaktor dilakukan dengan penerapan uji tuberkulin seperti dengan 
memakai metode penyuntikkan tunggal tuberkulin PPD secara intradermal 
(single intradermal, SID) pada sapi umur 3 bulan ke atas, hal ini harus dilakukan 
dan ditafsirkan hasilnya secara hati-hati.
Catatan: Sapi sakit dengan tahap lanjut penyakit pada uji tuberkulinnya, bahkan 
akan memberikan hasil negatif (negatif palsu); juga terhadap sapi betina bunting 
tua pada menjelang dan kira-kira 4-6 minggu pasca partus, yang mungkin akan 
memberikan reaksi negatif palsu. Sedangkan sapi yang tersensitifi kasi oleh 
Mycobacterium sp umumnya akan memberi hasil reaksi positif palsu. Selanjutnya, 
sapi reaktor yang terdeteksi diafkir dan dikeluarkan dari peternakan untuk 
dipotong di Rumah Potongan Hewan (kebijakan ’test and slaughter’) dengan 
pengawasan dokter hewan yang berwenang. Sesudah reaktor disingkirkan, 
maka segera tindakan higienis perlu dilakukan (seperti penyuci hamaan tempat 
pakan, tempat minum) serta tindakan lainnya (seperti mengisolasi sapi-sapi 
tersangka dari sapi negatif, namun masih dalam peternakan yang sama) wajib 
dilakukan. Bila pada suatu peternakan jumlah reaktor yang ditemukan tinggi, 
maka uji tuberkulin harus dilakukan setiap 2 bulan, serta pada keadaan lain, 
dimana sapi reaktor tidak banyak, maka uji tuberkulin diulang setiap 3 bulan, 
sampai diperoleh hasil uji yang negatif. Peternakan dengan negatif sapi reaktor, 
diklasifi kasikan sebagai Peternakan bebas tuberkulosis sapi, namun uji tuberkulin 
harus dilakukan setiap satu tahun sekali. Sapi baru yang dimasukkan ke dalam 
peternakan yang sudah bebas penyakit sebagai ternak pengganti, harus berasal 
dari peternakan yang diketahui bebas penyakit tuberkulosis dan sapi pengganti 
tersebut pada uji tuberkulin memberi hasil negatif. Untuk melindungi para pekerja 
kandang atau pemerah terhadap kemungkinan penularan tuberkulosis dari sapi 
yang dikelolanya dan atau sebaliknya, maka pengecekan kesehatan mereka 
harus dilakukan secara berkala.
Catatan: OlE mencatat bahwa banyak negara pada akhirnya berhasil 
memberantas tuberkulosis sapi. Sejumlah faktor yang ada mempengaruhi 
metode pemberantasan yang mereka gunakan. Namun pada akhirnya kebijakan 
uji dan potong (”the test and slaughter policy”) yaitu satu-satunya cara 
pemberantasan yang paling efektif. Mengingat pemberantasan tuberkulosis sapi 
pada suatu negara memerlukan waktu yang lama (tergantung antara lain pada 
prevalensi penyakit) dan dana yang besar, maka hal-hal berikut ini harus menjadi 
perhatian :
1.  Menyiapkan satu pengorganisasian pemberantasan (dari tingkat pusat 
sampai daerah) yang handal.
2.  Memberi penyuluhan seluas-luasnya kepada masyarakat (terutama peternak 
sapi) dan pihak terkait lainnya akan manfaat, tujuan pemberantasan dan 
peran serta aktif mereka.
3.  Mengetahui lebih dahulu prevalensi penyakit pada daerah yang akan 
melaksanakan program pemberantasan.
4.  Menentukan metode pemberantasan yang tepat, menetapkan kriteria, 
termasuk menghitung besar uang kompensasi bagi sapi yang harus diafkir.
5.  Melakukan evaluasi kemajuan program yang dicapai serta mengatasi 
berbagai kendala yang muncul.
Dalam hal-hal tertentu, misalnya bila untuk sementara waktu tindakan 
pemberantasan belum dapat dilakukan tetapi mempunyai tujuan mengurangi 
jumlah kejadian penyakit secara maksimal, maka program vaksinasi menjadi 
pilihan. Sayangnya, vaksin khusus untuk tindakan pencegahan tuberkulosis sapi 
belum tersedia. Untuk pemakaian di lapangan, vaksin yang kini tersedia yaitu  
vaksin BCG, yang memiliki banyak kelemahan. Diperlukan dosis vaksin yang tinggi 
(50-100 ml) disuntikkan secara subkutan pada kulit dan dapat  memicu  
terlihatnya gumpalan di bawah kulit pada tempat suntikan. Vaksinasi harus 
diulang setiap tahun dan dengan konsekuensi bahwa sapi yang pernah divaksin 
akan memberi reaksi positif pada uji tuberkulinnya. Sesudah sapi lahir, maka 
secepatnya pedet harus divaksinasi. Kekebalan belum akan muncul sebelum 
pedet tersebut berumur 6 minggu serta kekebalan yang terbentukpun tidak 
cukup kuat, sehingga pedet yang sudah divaksinasi pun masih dapat terserang 
penyakit yang hebat.
UJI TUBERKULIN
Tuberkulin
Sediaan yang didapat dan pertumbuhan M.bovis (galurAN5) in vitro pada medium 
sintetik, yang sesudah  dipanen dan dipekatkan melalui pemanasan, lalu 
diproses lebih lanjut, maka akan dihasilkan suatu produk yang disebut tuberkulin 
heat concentrated synthetic medium (HCSM). Tapi bila protein dalam fi ltrat 
dipresipitasikan secara kimiawi, yakni dengan penambahan amonium sulfat dan 
asam triklor asetat (TCA), lalu dicuci dan disuspensi kembali, maka yang 
diperoleh yaitu  tuberkulin purifi ed protein derivative (PPD) bovin. Dibandingkan 
dengan tuberkulin HCSM, diketahui bahwa tuberkulin PPD bovin Iebih unggul 
dalam hal-hal spesifi sitas yang tinggi serta lebih mudahnya distandarisasi. 
Setelah melalui serangkaian uji (uji keamanan produk dan uji potensi) baik pada 
marmot maupun pada sapi percobaan di laboratorium, maka tuberkulin PPD 
bovin yang telah teruji itu siap dipakai dalam uji tuberkulin di lapang.
Catatan: Dalam kaitan dengan perdagangan intemasional ternak sapi, uji 
tuberkulin telah disepakati sebagai uji standar untuk mendiagnosa tuberkulosis 
sapi.
Dasar uji
Reaksi berupa sensitifi kasi akan timbul dalam tubuh hewan sesudah  terjadinya 
infeksi oleh Mycobacterium sp. Adanya infeksi Mycobacterium sp akan merangsang 
timbulnya kekebalan yang diperantarai oleh imunitas seluler yang diperankan 
oleh limfosit T yang bersifat antigen spesifi k. Bila dilakukan uji tuberkulin maka 
sel limfosit T akan merespon antigen tersebut dengan perantaraan aktivitas 
makrofag yang secara klinis akan terlihat adanya kebengkakan dan endurasi di 
tempat suntikan. Atau dalam hal ini yang muncul adanya respon yang dikenal 
dengan bentuk hipersensitas tipe tertentu (delayed hypersentivity) yaitu berupa 
kebengkakan dalam kulit di tempat suntikan beberapa lama sesudah hewan yang 
bersangkutan disuntik tuberkulin.  
Cara aplikasi
Dikenal beberapa cara aplikasi uji tuberkulin yaitu :
1. Single intradermal (SID) test,
2. Short thermal test,
3. Intravenous tubereulin test dan 
4. Stormont test
Bila sensitifi kasi non-spesifi k menjadi masalah, maka comparative test perlu 
digunakan.
Tempat suntikan
Tempat suntikan dapat dipilih salah satu tempat berikut:
1.  Kulit dekat pangkal ekor (caudal fold) atau pada kulit vulva, di sini kulit tidak 
berbulu, metode ini banyak dipakai di Amerika Serikat dan di Australia 
2.  Kulit pada leher (cervical fold), bulu setempat harus dicukur lebih dahulu, 
metode ini banyak dipakai di Inggris. 
Adapun perbedaan kedua metode dapat dilihat sebagai berikut:
Metode Sensitisasi Sensitivitas Spesifi sitas
      Coudal fold 85% 85%
      Cervical 91% 76%
Dapat dilihat bahwa metode caudal fold memiliki spesifi tas yang lebih tinggi 
dari pada metode cervical fold, sebaliknya sensitivitas dari metode cervical fold 
ternyata lebih baik dari pada metode caudal fold.
Uji tuberkulin di lapangan
Penerapan uji tuberkulin di lapangan dengan SID test dikerjakan sebagai berikut :
Pada hari pertama
1.  Sapi yang ingin diketahui status tuberkulosisnya ditambatkan pada 
kandangnya, sapi diikat sedemikian rupa susaha  kaki belakang tidak leluasa 
bergerak dan tidak menendang petugas.
2.  Dicatat identitas sapi tersebut, di dalam lembar laporan yang disediakan 
(contoh daftar terlampir). Perlu diperhatikan bahwa selama uji sapi tidak 
boleh dipindahkan tempatnya.
3.  Dengan alat ukur khusus (calipers, cutimeter) ketebalan kulit (dalam ukuran 
mm) tempat suntikan (dekat pangkal ekor) diukur dan dicatat dalam lembar 
yang tersedia.
4.  Dengan memakai alat suntik plastik kapasitas 1 ml, berisi tuberkulin PPD 
bovin Balivet, disuntikan sebanyak dosis untuk 1 ekor sapi (0,1 ml) secara 
intra dermal (jarum suntik diposisikan semiring mungkin), sesudah  tempat 
suntikan terlebih dahulu disuci hamakan dengan olesan kapas beralkohol.
Pada 72 jam berikutnya
1.  Dilakukan pembacaan (dilanjutkan dengan penafsiran) reaksi yang timbul 
pada tempat suntikan. Perlu diperhatikan kebengkakan kulit, peradangan 
(melalui observasi) dan rasa kesakitan (melalui palpasi). Selanjutnya 
dilakukan pengukuran bengkak kulit tempat suntikan untuk kedua kali dan 
hasilnya dicatat pada lembar yang tersedia.
2.  Selanjutnya dihitung perbedaan atau selisih hasil pengukuran kedua tebal 
kulit sesudah  dikurangi dengan hasil pengukuran pertama (dalam mm).
Penafsiran uji
Besarnya perbedaan atau selisih angka dari kedua pengukuran tempat suntikan 
(langkah 6) menjadi dasar penafsiran uji, hal ini didasarkan pada petunjuk  OIE 
tahun 1996.
Negatif: Hasil uji disebut  negatif bila bengkak kulit terjadi minimal, penambahan 
tebal tidak lebih dari 2 mm dan tanpa disertai terdapatnya gejala klinis, seperti 
busung (difus atau ekstensif), eksudasi, kesakitan atau peradangan dari kelenjer 
limfe atau saluran limfe regionol.
Positif: Hasil uji disebut positif bila ditemukan adanya kebengkakan pada kulit 
tempat suntikan, penambahan tebal kulit sama atau lebih dari 2 mm, dan disertai 
terdapatnya gejala klinis seperti busung (difus atau ekstensif), eksudasi, kesakitan 
atau peradangan dari kelenjer limfe atau saluran limfe regional.
Berikut yaitu  contoh lembar uji tuberkulinasi.
DAFTAR UJI TUBERKULIN PADA SAPI PERAH /POTONG
(DINAS PETERNAKAN KODYA/KABUPATEN) DATI II
Tuberkulin :  PPD bovin Balitvet, Bogor Tanggal Inokulasi ;
Aplikasi   :  Intrademal pada pangkal ekor  Dosis :  0,1 ml Pembacaan pada 
             72 jam paska penyuntikan
Catatan/ keterangan                                                 Dokter Hewan/Kepala Dinas
                                                                                   
(                         )
No Identitas sapi
Pemilik/
Perusahaan
Nama dan
Alamat
Tebal kulit
Penafsiran
Uji
+/+/-
Nama/
Notel
Bangsa
Seks*)
J/B
Umur*)
T/M/A
sebelum
(mm)
Sesudah
(mm)

ASPERGILLOSIS
Sinonim: Brooder Pneumonia
  
Aspergillosis atau Brooder Pneumonia yaitu  penyakit yang dipicu oleh 
cendawan. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan hewan. pada sapi 
biasanya berupa radang plasenta yang memicu  keguguran. Kerugian 
dapat terjadi karena penurunan produksi dan keguguran pada sapi.
etiologi  
Aspergillosis yaitu  suatu penyakit yang dipicu oleh jamur atau cendawan 
dari genus Aspergillus. Dari genus ini yang paling patogen yaitu  Aspergillus 
fumigatus, di samping Aspergillus fl avus, Aspergillus niger  dan Aspergillus 
Ochracius
A.fumigatus dapat menghasilkan racun yang dapat memicu  perdarahan 
yang akut. Racun ini dapat pula memicu keguguran pada sapi dan domba. 
A.fl avus menghasilkan suatu zat yang bersifat karsinogenik dan sangat beracun 
yang disebut afl atoksin dan dari A.Ochracius menghasilkan racun Ocratoxyn. 
Aspergillus Iainnya menjadi penyerang oportunistik pada individu dengan 
kelainan anatomik dari saluran pernapas