Rabu, 10 Januari 2024

transgender 4



LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan transgender) adalah kasus yang muncul
dibicarakan  dan  muncul  dengan  berbagai  argumentasi  yang  dibangun.  Dengan
menyikapi  penyimpangam  orientasi  seksual,  dengan  beberapa  fakta  yang  akan
penulis  paparkan  dan  melihat  dari  sudut  pandang  iman  Kristen  dan  penanganan
melalui  tindakan  medis  dalam  kasus  LGBT.  Melalui  tulisan  ini,  penulis  ingin
menunjukkan peran Gereja dalam menangapi kasus LGBT dalam menangani dengan
sesuai kebenaran Firman Tuhan dan tetap melihat sisi medis dalam menangani LGBT
dan tulisan ini dapat dijadikan referensi bagi Gereja dalam menanggapi kasus-kasus
yang timbul dalam Gereja mengenai LGBT.

LGBT merupakan akronim dari Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender.
Yudiyanto menafsirkan LGBT sebagai istilah baru yang digunakan sejak tahun 1990-
an  untuk  menggantikan  frasa  “komunitas  gay”. Lesbian  merupakan  istilah  yang
diambil dari sebuah pulau Lesbos, yang mana perempuan di pulau tersebut menyukai
sesama jenis. Lesbian adalah perempuan yang memilih untuk mengikatkan dirinya
secara  personal  (secara  psikis,  fisik,  dan  emosional)  dengan  sesama  perempuan.
Sedangkan Gay adalah seorang laki-laki yang mempunyai ketertarikan dengan laki-
laki.  Biseksual  adalah  seseorang  baik  laki-laki  atau  perempuan  yang  mempunyai
ketertarikan  seksual  terhadap  laki-laki  sekaligus  perempuan  dalam  waktu  yang
bersamaan. Transgender adalah seseorang yang menggunakan atribut-atribut gender
berlainan dengan konsepsi yang dikonstruksikan secara sosial oleh masyarakat.
Fenomena sosial  yang terjadi  disekarang ini adalah  munculnya dorongan
yang kuat dari kelompok homoseks atau LGBT untuk menuntut persamaan hak dan
keadilan  bagi  mereka.  LGBT  mengakui  bahwa lesbian,  gay,  biseksual  dan
transgender bukanlah hal yang terlalu tabu. Sehingga mereka juga merasa mempunyai
hak asasi yang sama bahkan juga di dalam lembaga pernikahan. Di sinilah  Gereja
harus membuat  keputusan yang tegas dan melakukan konseling dan mendampingi
secara  berkelanjutan  terhadap  jemaat  yang mengalami  gangguan  orientasi  seksual
sesuai dengan ajaran Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa homoseksualitas adalah
dosa, maka  Gereja tidak boleh memberikan izin bagi lembaga pernikahan terhadap
sesama  jenis  melainkan  melakukan  pendampingan  secara  Alkitabiah  dan  secara
kesehatan mengenai gangguan yang dialami jemaat berkasus LGBT.
Metode Penelitian 
Metode  yang  dipakai  adalah  studi  pustaka  yaitu  mencari,  mengumpulkan,
menganalisis dan mencari solusi dalam pembahasan tulisan ini dan buku-buku yang
berhubungan  dengan  pokok  pembahasan,  kemudian  disusun  secara  logis  dan
sistematis.
Pembahasan dan Hasil
Kasus LGBT didalam Alkitab
Ketika Tuhan menciptakan manusia, diciptakanNya laki-laki dan perempuan.
Hakikatnya  jelas  bahwa  manusia  ada  dengan  dua  jenis  kelamin  (Kejadian  1:27).
Maka manusia itu akan menikah dan menjadi kesatuan / keluarga (Kejadian 2:24-25).
Hubungan seks laki-laki dan perempuan disebut hetroseksual. Ini desain original yang
dibuat  Tuhan  sejak  semula.  Bahkan  dalam  hubungan  seks antara laki-laki  dan
perempuan ada tata tertib yang mutlak yang berlaku yaitu harus terikat suami dan istri
yang sah. Seks itu mulia. Seks adalah relasi bukan rekreasi, sekalipun dalam relasi
suami dan istri mereka menikmati rekreasi yang menyatukan hati. Manusia beranak
cucu, hubungan suami dan istri yang beda jenis dimana sperma bertemu dengn sel
telur. Bukan hubungan yang sejenis dimana sperma bertemu sperma, dan pasti akan
terbuang percuma. Kesadaran ini harus terus dijaga, yaitu hakekat manusia berasal
dari pertemuan sperma dan sel telur. Kecuali manusia mengingkari  sendiri hakikat
dirinya.
Sesudah jatuhnya manusia  dalam dosa, Adam dan Hawa terusir dari Taman
Eden, simbol kesempurnaan hidup (Kejadian 3:23-24). Mulai dari sini dosa datang
dalam berbagai bentuk, mulai dari pembunuhan Habel oleh kakaknya sendiri Kain,
dan  kejahatan  lain  yang  terus  meningkat.  Dan,  dosa  seksual,  yaitu  homoseksual
terjadi di Sodom dan Gomora. Ketetapan Tuhan sangat jelas, era pra Taurat dimana
perintah tertulis belum ada, hanya lisan, Tuhan membumi hanguskan kota Sodom dan
Gomora (Kejadian 19:28-29). Dengan kasat mata kita melihat,  dan dengan mudah
kita  memahami  betapa  murkanya  Tuhan  atas  penyimpangan  seksual  yaitu
homoseksual. Korban penyimpangan seksual homo disebut sebagai korban Sodomi.
Sebuah pengakuan masyarakat umum atas dosa homoseksual Sodom.
Kemudian di masa Taurat  dimana Firman Tuhan disampaikan kepada nabi
Musa dan dibuat tertulis. Dikatakan; Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara
orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian. Dan kekejian harus
dilenyapkan (Imamat 18:22, 29). Sangatlah mudah dipahami,  dan jelas di PL, dari
masa  pra Taurat hingga Taurat homoseksual adalah suatu penyelewengan sesksual
yang Tuhan benci. Dan hukumannya juga sangat jelas. Jangan pernah lupa, desain
original  Tuhan adalah hetroseksual.  Dalam  PB, rasul Paulus mengingatkan jemaat
Kristen yang ada di Roma agar menjauhkan diri dari perilaku penyelewangan seksual
dimana laki-laki yang dikuasai nafsu yang menyala-nyala meninggalkan istri mereka
dan berbuat mesum dengan laki-laki (Roma 1:27-28).  Digambarkan sebagai orang
sesat yang tak merasa perlu mengakui Allah. Bagi mereka hidup adalah pemuasan
nafsu.  Mereka  disebut  biseksual,  yaitu  hubungan  dengan  lawan  jenis,  tapi  juga
dengan  sejenis.  Dan  untuk  homoseksual  rasul  Paulus  menyebutnya  pemburit  (1
Korintus 6:9, 1 Timotius 1:10), sebagai yang bertentangan dengan ajaran sehat dan
tidak  mendapat  bagian  dalam  kerajaan  kekal.  Dalam  KBBI,  kata  burit  berarti
belakang,  buntut,  dubur,  dan  memburit  atau  pemburit  menunyjuk  kepada  mereka
yang melakukan hubungan sesksual  dibagian  belakang yaitu  kepada mereka  yang
homoseksual. 
LGBT dan Dosa
Dalam pandangan Alkitab tentang hakikat dosa ini adalah penting untuk diperhatikan
bahwa  dosa  tidak  muncul  karena  kejasmanian,  tetapi  timbul  pada  inti  manusia,
didalam hatinya, didalam hubungannya dengan Allah1. Kriminialitas dan pelanggaran
moral adalah dosa karena keduanya melukai dan mengkhianati  Allah. Dosa bukan
sekedar  melanggar  hukum melainkan  juga  melanggar  kovenan.  Semua  dosa,  dari
awal hingga akhir, ditujukan kepada Allah. Manusia dapat berkata bahwa suatu dosa
adalah  tindakan  –  pikaran,  keinginan,  emosi,  perkataan  atau  perbuatan  ataupun
kelalaian untuk melakuakan tindakan, yang tidak berkenan kepada Allah dan layak
dipersalahkan2.  LGBT  merupakan  hal  yang  Allah  tidak  izinkan dilakukan  oleh
manusia karena tidak sesuai dengan tujuan hubungan seksual tersebut. 
Standard  Allah  dalam  hubungan  seksual  harus  dilakukan  antara  laki-laki  dengan
perempuan (suami istri)  bukan sesama jenis3.  Sedari  awal Allah telah menetapkan
heteroseksualitas,  dan seks diberikan dalam konteks kelaurga sejak pada mulanya.
Dalam Kel. 20:14, 17 memperjelas bahwa Allah menetapkan seks digunakan diantara
pria dan wanita dalam ikatan pernikahan heteroseksual. Bahkan dalam Alkitab juga
memaparkan  mengenai  Kanaan yang dihukum oleh  Allah  yang dikarenakan  Ham
yang merupakan Bapak leluhur dari bangsa ini. Karena dalam kasus ini Ham melihat
dan memainkan aurat ayahnya yang merupakan tindakan Homoseksual. 
Menurut 1 Korintus 6:9-10  Atau tidak tahukah kamu, bahwa orang-orang yang tidak
adil  tidak  akan  mendapat  bagian  dalam  Kerajaan  Allah?  Janganlah  sesat!  Orang
cabul,  penyembah  berhala,  orang  berzinah,  banci,  orang  pemburit,  pencuri,  orang
kikir, pemabuk, pemfitnah dan penipu tidak akan mendapat bagian dalam Kerajaan
Allah. 
Penyebab adanya LGBT
Fenomena  transgender  dinyatakan  muncul  tidak  hanya  karena  pengaruh
lingkungan. Pengaruh dari budaya, fisik, seks, psikososial, agama dan kesehatan juga
turut andil dalam membentuk individu menjadi LGBT4.   Menurut seorang teolog dan
juga Psikolog dalam seminarnya, ia mengatakan: 
a. Penyebab LGBT bukan genetika. (Wahl, Hooker, dlm Wright, 1977). 
b.  Penyebab  lainnya  adalah  pembentukan  dalam  keluarga  dan  pilihan  yang
bersangkutan. 
c. Ia juga mengutip pendapat Bieber et al (1962) ada lima penyebab, antara lain: 
 81 % Ibu dominan.
  67% Ibu yang overprotective. 
 66% Ibu terlalu memfavoritkan. 
 87% Ayah kurang waktu dengan anak. 
 79% Ayah yang melukai hati anak, yang dibuktikan oleh peneliti selanjutnya, John
Powel membuktikan bahwa figur ibu dan identifikasi figur ayah kurang. 
d. Perubahan sikap ayah dan ibu (Ef.6:4; Kol.3:20). 
e.  Bila anak-anak masih kecil.  Anak wanita identifikasi  dengan ibunya. Jika anak
wanita  tidak  melihat  figur  ibu  atau  sang  ibu  melukai  anak  wanitanya  (misalnya
ibunya selingkuh).  Ayah perlu berperan penting sebagai kepala dalam keluarga (1
Kor.11:3). Bila anak tidak dapat identifikasi diri dengan ayah dan ibu maka anak akan
merasa: kurang aman emosinya, kurang dikasihi dan rendah diri. 
f. Tanggung jawab orang tua: orang tua perlu menegaskan bahwa Allah menciptakan
manusia  laki-laki  atau  perempuan  (Kej.1:26-27).  Allah  menciptakan  lembaga
pernikahan (Kej.2: 24-25; Mat.19:4-6). (Rudi Allow, seminar LGBT 29 April 2016).
Andik Wijaya seorang dokter psikolog mengatakan: “LGBT adalah perilaku seksual
yang  dihasilkan  oleh  dinamika  psiko-sosio-spiritual  seseorang  yang  dimulai  sejak
masa tumbuh kembangnya sebagai manusia, itu berarti proses parenting, lingkungan
sosial,  dan pembinaan rohani  berperan sangat  penting dalam mencegah terjadinya
LGBT. 
Menurut Sidjabat, penyebab LGBT ialah: Pendidikan anak di keluarga membangun
jati diri seksual (laki-laki dan perempuan) dimulai dari usia 3-5 tahun. Laki-laki dan
perempuan akan mengidentifikasi diri mereka dengan ayah dan ibunya. Anak pada
usia ini akan bergaul dengan teman sejenisnya. (Membesarkan Anak Dengan Kreatif)
Jika  anak  gagal  mengindentifikasi  dirinya  dengan  sejenis  kelaminnya,  maka
tumbuhlah “bibit” homoseksual atau lesbian bahkan biseksual dan transgender. Oleh
sebab itu, orang tua harus belajar psikologi anak, sehingga sedini mungkin anak dapat
mengidentifikasi dirinya dengan benar, baik dengan ayah dan ibunya maupun dengan
lingkungannya. Jadi, penyebab utama LGBT ialah pembentukan di dalam keluarga,
lingkungan  sosial  dan  faktor  spiritualnya.  Marulak  Pasaribu  dalam  bukunya
mengatakan: pada masa kini (dulu) masih ada anggapan di kalangan keluarga Kristen
dan  gereja  bahwa  seks  seolah-olah  tabu  untuk  dibicarakan  atau  tidak  pantas
dibicarakan di dalam mimbar gereja. 
Anggapan demikian mengakibatkan banyak anggota keluarga Kristen mendapatkan
informasi yang salah mengenai seks karena mereka menerimanya bukan dari keluarga
atau gereja melainkan dari dunia sekuler. Akibatnya mereka menyerap ajaran yang
salah  dan  membawanya  masuk  dalam  keluarga.  Ada  empat  (4)  penyebab
kesalahpahaman yakni: informasi yang salah tentang seks, kebingungan hati manusia,
kurangnya  pemahaman  dasar  Alkitab  dan  pengajaran  seks  sering  tertutup  dalam
Alkitab.  (Pasaribu).  Seharusnya  gereja  adalah  sumber  pengetahuan  dalam  banyak
bidang kehidupan termasuk tentang seks.  Jadi kemungkinan penyimpangan LGBT
terjadi oleh karena kurangnya pemahaman keluarga atau individu tentang pemahaman
hetero seksual dan para pemimpin gereja yang merasa tabu menghkotbahkan seksual
melalui mimbar

Keadaaan dan lingkungan
Hubungan  yang  heterogen  pada  manusia  merupakan  hubungan  psikologis  yang
bersifat  normal.  Dalam  hubungan  heterogen,  akan  muncul  ketertarikan  untuk
menjalin hubungan bersifat biologis yang disebut hubungan heteroseksual. Laki-laki
menjalin hubungan kepada perempuan sebagai wujud pemenuhan kebutuhan biologis
dan  psikis.  Terdapat  perasaan  saling  menyayangi  diantara  keduanya  yang  pada
masanya  akan  meningkat  pada  jalinan  ikatan  pernikahan.  Di  sisi  lain  terdapat
hubungan yang sebaliknya, yaitu hubungan homoseksual. Perilaku seksual yang tidak
biasa ini memiliki komunitas sendiri. Mereka merasa tidak memiliki kepercayaan diri
dan merasa termarjinalkan karena masyarakat tidak mengakui keberadaannya.
Upaya yang tidak berhenti dilakukan adalah menyuarakan tuntutan akan kesamaan
hak untuk hidup damai dan sejahtera.  Walaupun  demikian, mereka tetap menjalani
aktivitas  hidup  sama  seperti  masyarakat  pada  umumnya.  Mereka  bekerja,
menyalurkan hobi, atau melakukan tugas-tugas sosial lainnya. Perasaan sayang dan
cintanya ditujukan kepada sesama jenisnya. Lingkungan dapat dibentuk oleh perilaku
dan  sebaliknya  perilaku  dapat  dibentuk  oleh  lingkungan6. Ditilik  dari  kajian
psikoneurologis,  individu dibekali  kemampuan di dalam otaknya untuk melakukan
imitasi gerakan, tindakan, suara, perilaku atau berbicara. 
Bagian otak yang bertugas mengatur imitasi yang dilakukan individu disebut lobus
parietal dari belahan yang dominan. Temuan Liepmann menunjukkan bahwa individu
yang mengalami lesi di bagian daerah-daerah otak tersebut kehilangan kemampuan
meniru. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan yang awalnya hanya melihat beralih
menjadi coba-coba sangat didukung oleh bagian otak manusia.
Menurut pandangan Medis
American Psychiatric Association mendorong untuk mencari penyebab homoseksual
dari sisi biologis, dan berusaha menemukan bukti ilmiah bahwa homoseksual adalah
masalah biologis yaitu genetic,  endocrine dan neurologic. Dan menjelaskan bahwa
homoseksual  itu  adalah  kondisi  nature  bukan  narture.  Tujuan  dari  semua  upaya
mereka adalah untuk menyatakan bahwa homoseksual memang dilahirkan seperti itu,
karena homoseksual bukan kondisi  yang salah,  jika salah sama berarti  Allah sang
pencipta  adalah  salah   Homoseksual  dan  biseksual  termasuk  dalam  gangguan
psikologis  dan  perilaku  yang  berhubungan  dengan  perkembangan  dan  orientasi
seksual dan dapat menular. Hal ini dapat diketahui berdasarkan teori perilaku. 
Dalam  pandangan  klinis  diidentifikasikan  dengan  beberapa  faktor  yaitu  genetic,
neurologic dan endrocine yang menyebabkan seorang mengalami same sex attraction
(tertarik sesama jenis) jika disebabkan oleh faktor genetic, neurologic dan endrocrine
seorang mengalami same sex attraction yang teridentifikasi maka akan lebih mudah
dalam penanganan pengobatan  medis  dalam kasus  same sex attraction  akan lebih
mudah  dilakukan.  Dimensi  psikologis,  merujuk  kepada  kekerasan  fisik  dan
psikologis  yang  dilakukan  dan  pengalaman  tersebut  ketika  anak-anak  terbukti
memiliki kaitan terbentuknya same sex attraction.  Dimensi sosial,  menurut konsep
social  learning  theory  yang  menyatakan  bahwa  perilaku  tertentu  dipelajari  dari
interaksi sosial seseorang dengan orang tua, teman sebaya dan media dan begitu juga
dengan perilaku seksual9. 
Sikap Gereja terhadap LGBT
Orang Kristen sudah memiliki dasar yang sangat jelas didalam Alkitab, dalam
Kejadian 1 bahwa pria dan wanita pada dasarnya sama dalam hakikat sebagai ciptaan
Allah dan ditetapkan diatas semua ciptaan lainnya. Gereja harus menyikapi isu LGBT
ini  dengan  bijaksana  dan  proporsional.  Dari  sudut  pandang  kebenaran,  Alkitab
menyatakan  dengan  jelas  bahwa  perilaku  homoseksual  dan  transgender  adalah  dosa
“…sebab isteri-isteri  mereka menggantikan persetubuhan yang wajar  dengan yang
tidak wajar, demikianlah suami-suami meninggalkan persetubuan yang wajar dengan
isteri mereka… sehinga melakukan kemesuman laki-laki dengan laki-laki…” (Roma
1:26-27).  Seharusnya dengan keputusan  yang tegas  menolak  hubungan  LGBT  dan
menolak pernikahan sejenis. Apapun alasan yang dikemukakan sekalipun atas nama hak
asasi, tidak dapat membenarkan perbuatan LGBT dan membatalkan hukum pernikahan
yang ditetapkan Tuhan. 
Pernikahan  Kristen  bersifat  heteroseksual,  monogami,  dan  seumur  hidup
(Lihat Kejadian  1:27;  2:23-24,  yang  ditegaskan  Yesus  dalam Matius  19:4-6).  Harus
melihat hubungan homoseksual adalah sama dengan dosa lainnya, misalnya perzinahan
yang dilakukan oleh  kaum heteroseksual.  Jangan  sampai  mengganggap bahwa dosa
homoseksual lebih buruk dari dosa lainnya. Semua dosa sama, berakibat maut (Roma
6:23). Gereja harus menyatakan kasih dan penerimaan terhadap kaum LGBT. Dari sudut
pandang anugerah, Yesus mengasihi orang berdosa namun membenci dosanya. Sebagai
sesama  juga harus mengasihi saudara kita yang memiliki orientasi LGBT, namun kita
membenci  perbuatan  dosa  mereka.  Wujud  kasih  dan  penerimaan  bukan  dengan
memandang perilaku homoseksual itu legal berdasarkan hak asasi manusia.  Dan juga
jangan menghakimi orientasi seks homoseksual sebagai dosa, karena mereka juga tidak
menghendaki itu terjadi dalam diri mereka. Namun, ketika mereka melakukan hubungan
sesama jenis, perilaku mereka itu berdosa di hadapan Tuhan.
Sama seperti  seorang yang heteroseksual,  memiliki  dorongan seks itu  sesuatu
yang wajar, namun ketika ia berhubungan seks di luar pernikahan, barulah ia berdosa.
Dalam  hal  ini,  sebagai  sesama  harus  berempati  kepada  kaum  homoseksual  karena
mereka tidak memiliki solusi yang benar untuk menyalurkan hasrat seksual mereka. Hal
ini adalah sesuatu yang sangat berat untuk dihadapi oleh kaum LGBT, apalagi ditambah
dengan sanksi sosial serta stigma buruk yang disematkan kepada mereka.
Dan Gereja harus membantu kaum homoseksual untuk dapat mengatasi dorongan
seksual  mereka  dengan  konseling,  bimbingan  rohani,  komunitas  yang  benar  serta
memfokuskan hidup mereka untuk Tuhan. Di dunia ini, ada begitu banyak orang yang
juga  bergumul  dengan  dorongan  seksual  namun  mereka  tidak  menikah.  Mereka
memfokuskan diri untuk hidup bagi Tuhan. Oleh kehidupan-Nya yang tidak menikah,
Yesus memperlihatkan bahwa pernikahan bukanlah suatu tujuan yang harus dipenuhi,
juga bukan sesuatu yang esensial untuk menjadi manusia yang utuh. Sebagai seorang
hamba Allah, seseorang mungkin tidak terpanggil  untuk mempunyai jodoh dan anak-
anak.  Paulus  adalah  salah  satu  contoh  yang hidup membujang untuk  fokus  melayani
Tuhan. Ia bahkan mengajak orang-orang untuk megambil pilihan hidup seperti dia untuk
membujang,  supaya  bisa  fokus  kepada  Tuhan. “Namun  demikian
alangkah baiknya, kalau  semua  orang  seperti  aku;  tetapi  setiap  orang  menerima  dari
Allah  karunianya  yang khas,  yang seorang  karunia  ini,  yang lain  karunia  itu.  Tetapi
kepada  orang-orang  yang  tidak  kawin  dan  kepada  janda-janda  aku  anjurkan,  supaya
baiklah mereka tinggal dalam keadaan seperti aku.” (1 Korintus 7:7-8).
Berdasarkan Alkitab dan Iman Kristen
Pembelaan  psikologis  menunjuk  kepada  dikeluarkannya  homoseksual  dari  DSM
(Diagnostic and statistical Manual of Mental Disordes), pada tahun 1973 oleh APA,s
(American  Psychiatrick  Association’s).  DSM  adalah  daftar  kelainan  mental.  Itu
berarti homoseksual dianggap bukan kelainan, namun jangan lupa sebelumnya masuk
kriteria penyakit kelainan mental. Dr. Robert Spitzer seorang psikiatris dari Columbia
University  adalah  tokoh  penting  yang  berjuang  menghilangkannya  dari  daftar
kelainan. Namun pada tahun 2003 dia mempublikasikan penelitiannya terhadap 200
homo, yang ternyata menunjukkan keberhasilan perubahan orientasi seksual setelah
menjalani  terapi.  Artinya  seorang  homoseks  bisa  menjalani  terapi  untuk  menjadi
normal. 
Jelas bukan bahwa ini bisa diterapi, bukan hakekat yang tak bisa berubah. Dengan
segera  dia  mendapat  tekanan dari  komunitas  gay,  dan akhirnya  Spitzer  mencabut
kembali  hasil  penelitian  yang  dipublishnya.  Spitzer  dikritik  atas  sikap  tidak
profesionalnya itu oleh psikolog seperti; Jerry A, Elton L,Moose Anne, dll. Jangan
lupa  bahwa  pendapat  para  psikolog  soal  homoseksual  juga  terpecah,  dan  patut
dipelajari  latar  belakang  dan  argumentasi  orang  yang  berteori  sehingga  kita  bisa
berpendapat secara  objektif.  Setelah  penulis  menganalisis  pandangan  diatsa  yang
seharusnya yang ditolak adalah perilakunya bukan pelakunya karena menurut penulis,
Allah mengajarkan manusia untuk mengasihi sesama manusia dengan begitu mereka
yang homoseksual merasa diterima dan dihargai dengan demikian kita sebagai orang
yang percaya dapat menjadi teladan dan memberikan rasa nyaman terlebih dahulu
bagi  mereka  sehingga  mereka  bisa  terbuka  dengan  kita  dan  kita  bisa  membantu
mereka lepas dari dosa homoseksual tersebut.
Dari kisah Sodom dan Gomora, jelas sudah kalau Alkitab tidak membenarkan adanya
hubungan sesama jenis.  Sodom dan Gomora adalah 2 kota yang terkenal  berdosa
sehingga  Allah  berencana  untuk  memusnahkan  kedua  kota  tersebut  setelah  Allah
bernegosiasi dengan Abraham dan ternyata hanya Lot sekeluarga yang bersih di mata
Allah  sehingga  Allah  tetap  menjatuhkan  hujan  api  ke  Sodom  dan  Gomora. Di
Kejadian 19:4-5, diceritakan bahwa orang-orang laki di Sodom menghampiri rumah
Lot  untuk  mencari  2  malaikat  utusan  Allah  untuk dipakai.  Kalimat  di”pakai”  ini
berasal dari kata Ibrani yaitu “yada” yang berarti hubungan seksual. Kata yang sama
yang dipakai adam kepada hawa untuk berhubungan seksual.  Dari kata sodom ini lah
muncul  kata  sodomi Satu-satunya  cara  hubungan  seksual  menurut  standar  alkitab
adalah  hubungan  seksual  antara  laki-laki  dan  perempuan  dalam  pernikahan
monogami. Hubungan seks sesama jenis adalah dosa yang merupakan dosa di antara
dosa-dosa  lainnya  yang  hukumannya  adalah  kematian. Paulus  mengatakan  bahwa
hubungan sesama jenis adalah memalukan dan tidak wajar. Mereka dianggap sesat
dan tidak mengakui Allah.
Penanganan Gereja terhadap LGBT
Gereja menangani permasalahan ini harus tetap memperhatikan kedua aspek,
baik dalam tinjauan kasus-kasus yang ada dalam PL dan PB dimana Yesus mengasihi
setiap  orang dengan membenci  dosa perbuatannya dan memberikan kasih karunia
kepada orang tersebut untuk menerima dirinya kembali sebagaimana Yesus menerima
mereka. Dan memeperhatikan mental orang-orang yang terikat dalam ikatan LGBT.
Gereja  juga  harus  memeperhatikan  keberadaan  mereka  disaat  ada  dalam  Gereja,
alangkah  baiknya  Gereja  melakukan  pendekatan  personal  sehingga  mereka  dapat
nyaman  dan  merasa  aman.  Jemaat  pun  tidak  akan  mencampuri  dengan  meluas,
sehingga  saat  mereka  bisa  menerima  diri  mereka  terlebih  dahulu  sesuai  dengan
kehendak  Allah  tentunya  disaat  mereka  menceritakan  kehidupan  mereka  kepada
jemaat yang lain mereka sudah pulih dan menyadari hidup mereka merupakan Kasih
Karunia  yang  telah  Allah  berikan  sehingga  mereka  dapat  mencintai  diri  mereka
sebagaimana Allah juga mencintai dan memandang mereka berharga.
Dengan hal  ini  Gereja juga dapat  memperhatikan aspek Psikologis mereka
yang  terikat  LGBT sehingga  dalam hal  ini  Gereja  dapat  menyelaraskan  tindakan
Gereja dengan apa yang mereka alami baik trauma dan penyebab-penyebab lainnyan
yang  mereka  alami,  baik  saat  mereka  kecil  ataupun  pelecehan-pelecehan  yang
mungkin pernah mereka alami dan akibatnya meninggalkan hal yang menyakitkan
bagi  mereka.  Sehingga  dalam  hal  ini  Gereja  sangat  berpengaruh  penting  dalam
mengenali  apa  yang dirasakan  oleh  orang-orang yang mengalami  keterikatan  dan
penyelewengan orientasi seksual ini.
Solusi terhadap fenomena LGBT 
A. Bertobat. 
Pelaku  LGBT  harus  dituntun  untuk  bertobat  dari  dosa-dosanya.  Yang
bersangkutan  harus  menyadari  bahwa  LGBT  adalah  perbuatan  dosa  dan
mendatangkan murka Tuhan karena tubuh manusia diciptakan untuk kemuliaan
Allah  bukan  untuk  percabulan.  “Karena  itu  matikanlah  dalam  dirimu  segala
sesuatu yang duniawi, yaitu percabulan, kenajisan, hawa nafsu, nafsu jahat dan
juga keserakahan, yang sama dengan penyembahan berhala.” (Kol.3:5). Penderita
harus menyadari kekeliruannya dalam mengambil tindakan melakukan LGBT. (1
Kor.6:9b-11). Menurut Peter Wongso, ada dua (2) unsur Pertobatan, antara lain:
a. dari Allah (II Pet.3:9) Allah menghendaki semua orang bertobat. (Kis.5:31,32,
11:18)  Dengan anugrah Allah memberikan kepada manusia,  sehingga ia dapat
bertobat. 
a. dari manusia : - Ia harus mengetahui keadaannya sendiri yang telah berdosa
serta akibat dari dosa (pengetahuan). - kepada-Nya. Sebaliknya Ia digerakkan
dan  menyadari  bahaya  dari  akibat  dosa  (perasaan).  -  Ia  mempunyai  tekad
untuk  mengambil  keputusan  bertobat  (kehendak).  Perlunya pertobatan  dari
sudut manusia, sebab ia berjalan menuju kebinasaan (Yeh.33:11), ia berada
dalam dosa (II Kor.12:21,Ef.2:1), ia berada dalam kemerosotan (Why.2:5), ia
sedang  berada  dalam  kesesakan  (Why.2:14-15),  ia  sedang  berada  dalam
perzinahan (Why.2:20-22), ia sedang berada dalam keadaan buruk yang tidak
tertahankan  (Why.3:1-3,  Luk.15:13-16)  dan  ia  sedang  berada  dalam
kesombongan  (Why.3:17-19).  Perlunya  pertobatan  dari  sudut  Tuhan:  Dia
tidak suka orang berdosa binasa (Yeh.33:11), Dia menghendaki supaya semua
orang diselamatkan (I Tim.2:4), Dia tidak merelakan seorang pun binasa (II
Pet.3:9),  agar  kerajaan-Nya  dapat  segera  datang  (Mat.3:2,  Mrk.1:15),  Dia
hendak  menghapuskan  dosa  (Kis.3:19),  Dia  hendak  mengampuni  dosa
(Kis.8:22) dan Dia hendak menghakimi dunia dengan adil  (Kis. 17:30-31).
Sedangkan bukti pertobatan ialah: apabila yang bersangkutan sudah menyesali
dan menangisi  dosa-dosanya (Yoel.2: 12-13), mengaku dosa dan memohon
pengampunan  (Luk.18:  13  –  14),  meninggalkan  dosa-dosanya  (Yes.55:7,
Kis.3:19),  lalu  berpaling  kepada  Tuhan  yang benar  (I  Tes.1:9,  Kis.26:20),
menghasilkan  buah  yang  sesuai  dengan  pertobatan  (Kis.26:20,  Mat.3:8),
menjadi seorang yang taat kepada Roh Kudus (Mat. 26:28-29). Dan menerima
ajaran Tuhan (Kis.2:28, Mrk.1:4) 
Setiap kali ada pengakuan dosa, maka mesti ada komitmen untuk meninggalkan dosa-
dosanya dan menyerahkan totalitas hidupnya kepada Tuhan. Paling sedikit ada enam
(6)  komitmen  yang  harus  dilakukan  oleh  pelaku  LGBT  sehingga  ia  benarbenar
mampu meninggalkan kelakuannya, antara lain: 
1)  Mempersembahkan  hidup  kepada  Tuhan.  “Karena  itu,  saudara-saudara,  demi
kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu
sebagai persembahan yang hidup , yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu
adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
(Roma 12:1-2). 
2) Menjadi manusia baru. “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan
baru : yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.” (2 Korintus
5:17). 
3) Mengalami pertumbuhan di dalam Kristus. “Karena itu tunduklah kepada Allah,
dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu! Mendekatlah kepada Allah, dan Ia
akan mendekat  kepadamu.  Tahirkanlah  tanganmu,  hai  kamu orang-orang berdosa!
dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati! (Yakobus 4: 7-8). 
4) Terus menerus bersekutu dengan Tuhan melalui: Rajin beribadah. “Dan marilah
kita  saling  memperhatikan  supaya kita  saling  mendorong dalam kasih  dan dalam
pekerjaan  baik.  Janganlah  kita  menjauhkan  diri  dari  pertemuan-pertemuan  ibadah
kita,  seperti  dibiasakan oleh beberapa orang, tetapi marilah kita saling menasihati,
dan  semakin  giat  melakukannya  menjelang  hari  Tuhan  yang  mendekat.”  (Ibrani
10:24-25). 
5)  Komitmen  utuk  bersekutu  dengan  teman-teman  seiman  (yang  bukan  pelaku).
Pecandu  LGBT  sebaiknya  tidak  sendirian  melainkan  harus  memiliki  komunitas
seiman yang saling membangun. 
6) Keterbukaan untuk meninggalkan perbuatan LGBT. Pelaku LGBT harus diterima
dengan  belaskasihan  agar  mereka  sadar  dan  meninggalkan  perilaku  seksual  yang
menyimpang  dan  berdosa  itu.  Tetapi  mereka  bisa  ditolong  untuk  mengalami
pemulihan diri: mental, sosial, dan kerohaniannya.
C. Dukungan Gereja dan Keluarga
Dalam hal ini Gereja harus mencangkup memfasilitasi dan memntoring mereka yang
melakukan  penyimpangan  orientasi  seksual  ini  karena  tentunya  mereka
membutuhkan  dukungan dan wadah untuk  mereka  meluapkan  dan  menyelesaikan
permasalahan yang mereka alami.  Saat mereka dapat dukungan tentunya akan ada
kekuatan bagi mereka untuk bangkit dan menerima diri mereka kembali, dan dapat
melihat hal-hal yang baik dari apa yang mereka alami saat mereka memutuskan untuk
kembali kepada kehendak semula Allah dalam kehidupan mereka.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah  dikemukakan  oleh penulis,  maka kesimpulan
sebagai  berikut:  Pertama,  LGBT tidak  dapat  dibenarkan  dihadapan  Allah,  karena
melanggar banyak prinsip yang ada dalam Firman Tuhan. Oleh karenanya bilamana
hendak  disebut  sebagai  sebuah  penyakit,  maka  tentu  saja  penyakit  itu  harus
disembuhkan. Dan jika disebut sebagai sesuatu yang normal dan wajar, maka kiranya
penjelasan-penjelasan  diatas  dapat  membuka  wawasan  akan  kebenaran-kebenaran
yang hakiki dari Alkitab, bukannya kebenaran-kebenaran semu yang diperoleh dari
pemutar  balikan  penafsiran  atas  Alkitab  yang  belakangan  ini  sangat  santer
diperdengarkan  oleh  kaum  pendukungnya.  Kedua,  bila  dikaitkan  dengan  etika
terapan, maka tujuan manusia untuk mencapai kebahagiaan diri, haruslah diperoleh
melalui  cara yang benar.  Cara yang benar  adalah melalui  penyerahan diri  kepada
Allah, dengan mengakui keberdosaan dan memohon pimpinan dan kekuatan dari Roh
Kudus untuk mengatasi pergumulan psikologis mereka, bukannya mengabaikan cara
yang benar asal mereka dapat mencapai “kepuasan diri/ keinginan daging” dengan
melakukan penyimpangan orientasi seksual (LGBT). Ketiga, peran gereja dan orang
Kristen  dalam  menghadapi  masalah  ini  adalah  tidak  mendiskreditkan  dan
mengucilkan mereka  atas  kelainan jiwa yang mereka hadapi,  tapi  berupaya untuk
mempertobatkan mereka agar kembali dalam jalan kebenaran Tuhan, karena hanya
didalam Tuhan-lah masalah mereka dapat teratasi dan memberikan rasa aman bagi
mereka dalam proses mereka mengenal Kasih Karunia itu.





Pada era globalisasi saat ini, ada banyak fenomena yang dapat ditemukan dalam kehidupan
sehari-hari. Salah satu fenomena yang pada saat ini menjadi sebuah isu dimasyarakat yaitu
mengenai Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Dewasa ini LGBT dipakai untuk
menunjukkan seseorang atau siapapun yang mempunyai perbedaan orientasi seksual dan identitas
gender berdasarkan kultur tradisional, yaitu heteroseksual. Lebih mudahnya orang yang
mempunyai orientasi seksual dan identitas non-heteroseksual seperti homoseksual, biseksual, atau
yang lain dapat disebut LGBT (Galink), 2013.
Adanya LGBT ini merupakan hal yang nyata terjadi ditengah-tengah masyarakat. Mengacu
pada jenis kelamin dimana seseorang tertarik secara emosional dan seks. Keberadaan kaum LGBT
dinilai tidak sejalan dengan nilai-nilai budaya dan agama yang berkembang di Indonesia. Orientasi
seksual yang mereka miliki dianggap sebagai dampakburuk globalisasi yang melegalkan kaum ini
dan dikhawatirkan akan mempengaruhimasyarakat lainnya. Indonesia sebagai negara hukum dan
penegak HAM, merupakan salah satu negara yang turut meratifikasi International Covenan on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) sudah semestinya warga masyarakatnya
mendapatkan perlakuan yang layak dan perlindungan sama dalam berbagai kehidupan masyarakat,
seperti akses terhadap lapangan pekerjaan, pendidikan, dan jaminan keamanan sosialyang lain.
Namun pemerintah pun dalam hal ini belum dapat berbuat banyak terhadap kaum LGBT ,
Data Direktorat Administrasi dan Kependudukan (Depdagri, 2005) diperkirakan ada 400 ribu
Transgender (waria). Sedangkan Yayasan Srikandi Sejati merilis data yang lebih fantastik, yakni
mencapai 6 juta waria pada tahun 2008. Sementara itu, PBB memperkirakan ada sekitar 3 Juta
pengidap homoseks di Indonesia pada tahun 2011. Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi
objek perdebatan yang cukup lama dalam peradaban umat manusia. Norma masyarakat yang
mengutuk berbagai macam penyimpangan seksual mendapatkan tantangan dari kelompok yang
merasa dirugikan atas norma-norma tersebut. Perdebatan semacam ini menjadi semakin terlihat
setelah muncul kampanye yang dilakukan oleh gerakan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan
transgender). Kampanye yang menuntut adanya persamaan perlakuan terutama dalam legalisasi
orientasi seks mereka kaum LGBT
Menurut Cumnings (2006) selain melakukan kampanye dengan dalih teologis, penganjur
legalitas LGBT juga menggunakan dalih psikologi. Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic
Manual of Mental Desorder), homoseksualitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk
kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA
(American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau
kelainan seks. Perubahan paradigmapsikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak
yang sangat besar dalam legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi
olah APA dari DSM maka LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal. Tekanan
politik yang dihadapi oleh APA dalam proses deklasifikasi homoseksualitas membuat mereka
bersikap ambigu. Sebagai kompensasi terhadap tekanan kolega psikolog yang tetap pada keputusan
bahwa homoseksualitas adalah tidak normal, mereka memberi  catata bahwa keputusan APA
mendeklasifikasi homoseksualitas tidak boleh dijadikan dalih oleh aktivis progay. Dilema di atas
membuat posisi APA terhadap orientasi seksual yang normal menjadi sangat relatif, mengikut nilai
humanisme sekuler. Hal ini dipertegas keterangan APA di dalam DSM IV bahwa kriteria normal
memang beragam berdasarkan kultur penelitian. Dengan demikian, APA tetap kembali
menyerahkan kepada budaya masing-masing masyarakat untuk menetukan perilaku seks
menyimpang.
Pada perubahan orientasi seksual, ada beragam faktor yang perlu diperhatikan. Salah satu faktor
yang paling besar dalam perubahan orientasi seksual adalah motivasi orang- orang homoseksual
tersebut. Motivasi tersebut akan sangat kuat bila 5 berasal dari dorongan keimanan. Hawari (2009),
menegaskan bahwa seorang homoseks bisa berubah asalkan ia memiliki kemauan yang kuat.Selain
itu juga perlu diperhatikan dukungan keluarga, lingkungan, kuat lemahnya kadar homoseksual, dan
libido. Faktor iman, ternyata menempati posisi yang penting. Temuan Spitzer tentang 200 orang
homoseksual yang berhasil melewati terapi adalah kebanyakan berasal dari kalangan religius, “the
vast majority (93%) of the participants reported that religion was “extremely” or “very”important in
their lives.Hasil temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hawari (2009) untuk
melakukan terapi spritual, selain biologis, sosial, dan psikologi. Kampanye yang menuntut adanya
persamaan perlakuan terutama dalam legalisasi orientasi seks mereka kaum LGBT.
Perilaku LGBT diantaranya adalah hubungan seksual dengan sesama jenis (homoseksual) baik laki-
laki dengan laki-laki atau perempuan dengan perempuan. Kasus ini bisa terjadi pada siapa saja,baik
remaja, dewasa dan orang tua, dan juga bisa terjadi di lingkungan mana saja,baik di sekolah,
lembaga pendidikan, kantor, dan sebagainya. Bahkan mereka ingin membentuk sebuah organisasi
yang membawahi komunitas mereka,termasuk di Negara Indonesia. Kasus ini seharusnya tidak
terjadi karena perilaku ini tidak sesuai norma agama dan tugas perkembangan manusia. Idealnya
manusia dapat menjalankan fitrahnya sebagai laki-laki dan perempuan berakal dan menjalankan
perannya sebagai seorang laki-laki atau sebagai perempuan.
Masa perkembangan remaja merupakan masa dimana banyak keputusan pentingmenyangkut masa
depan yang harus ditentukan, misalnya tentang pekerjaan, sekolah, danpernikahan. Selain itu, salah
satu tugas penting yang dihadapi para remaja adalah mencari solusi atas pertanyaan yang
menyangkut identitas dan mengembangkan identitas diri yangmantap (sense of individual identity),
orientasi seksual memiliki dimensi antara lain seperti identitas seksual (“saya seorang gay”) dan
tingkah laku seksual (“saya berhubungan seks dengan pria lain”). Identitas homoseksual dapat
berfungsi sebagaiidentitas diri (self identity), identitas yang diterima (perceived identitiy), identitas
yang ditampilkan (presented identity), atau ketiga-tiganya. Seseorang yang memiliki pengalaman
seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama tidak secara otomatis menunjukkan bahwa orang
itu adalah seorang homoseksual atau biseksual ,
Kinsey, Pomeroy dan Martin (1984) dalam penelitian yang terkenal tentang seksualitas di Amerika,
mengungkapkan sebanyak 37% laki-laki pernah mempunyai pengalaman homoseksual dalam suatu
masa kehidupannya, tetapi hanya 4% yang benar- benar homoseksual dan mengekspresikan
kecenderungan erotisnya pada sesama laki-laki. Adapun sisanya kemungkinan hanya karena rasa
ingin tahu, dianiaya, atau dibatasi seksualnya. Temuan ini menjelaskan bahwa mempunyai
hubungan homoseksual tidak berarti seseorang menjadi homoseks. Untuk mencegah maraknya
perilaku penyimpangan seksual berupa LGBT ini salah satu pendekatan yang diperlukan adalah
pemberian edukasi pada remaja. Remaja yang berada pada rentang usia 13-21 tahun menurut
Hurlock (1999) berada pada periode yang rentan. Terutama berkaitan dengan tugas
perkembangannya yang merupakan periode transisi, dan masa pencarian identitas diri. Salah satu
bentuk penyampaian informasi tentang seksualitas dapat diberikan dalam bentuk psikoedukasi
sebagai sebuah intervensi. Langkah-langkah terapi psikoedukasi sampai batas tertentu dapat
dianalogikan langkah pendidikan yaitu kedua-duanya dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku
manusia. Pendekatan psikoedukasi menekankan pada masa kognitif dan afektif anak.
Psikoedukasi merupakan salah satu cara pemberian informasi dengan tujuan pemberian yang
bersifat informatif. Dalam upaya pemenuhan kebutuhannya, informasi memegang peranan penting.
Berbicara tentang informasi tidak seorangpun yang tidak membutuhkan informasi, apapun jenis
pekerjaan dan status mereka di 7 masyarakat. Derr (1983) mengemukakan bahwa kebutuhan
informasi merupakan hubungan antara informasi dan tujuan informasi seseorang, artinya ada suatu
tujuan yang memerlukan informasi tertentu untuk mencapainya. Dalam perkembangannya,
kebutuhan pengguna akan informasi juga akan berubah-ubah baik segi keragaman isi maupun akses
terhadap informasi tersebut 
Menurut Bent & Cox ,psikoedukasi adalah salah satu bentuk intervensi
yang merupakan suatu tindakan yang bertujuan mempromosikan dalam arti memulihkan,
mempertahankan atau meningkatkan fungsi positif dan rasa sejahtera klien lewat bentuk-bentuk
layanan yang bersifat upaya preventif, developmental maupun remedial. Melihat berbagai masalah
yang muncul berkaitan dengan perkembangan seksual remaja terutama tentang berbagai informasi
yang salah kaprah tentang orientasi seksual maka peneliti tertarik untuk memberi  intervensi
dalam bentuk psikoedukasi pada remaja. Psikoedukasi diberikan oleh narasumber yang kompeten
agar tepat mengenai sasaran yakni para remaja. Melalui psikoedukasi diharapkan remaja dapat
meningkatkan kemampuan kognitif karena didalamnya mengandung unsur untuk meningkatkan
pengetahuan remaja tentang LGBT, agar perilaku tersebut dapat dicegah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan eksperimen yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh
psikoedukasi LGBT terhadap pengetahuan LGBT pada remaja. Berdasarkan uraian tersebut, maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh Pengaruh Psikoedukasi masalah LGBT pada
remaja di SMK Tahun 2022

Berdasarkan hasil perbandingan nilai skewness dengan standar error di dapatkan nilai pre test dan
post test kurang dari 2, berarti distribusi tidak normal. Dengan demikian pengolahan data memakai
uji non para metric ( wilcokson test ). Nilai Rata-Rata Pengetahuan Responden Sebelum Diberikan
psikoedukasi tentang masalah LGBT pada remaja.

Dari hasil penelitian tersebut didapatkan mean rank pre test dan post test Psikoedukasi
Tentang masalah LGBT pada remaja adalah 5.00. Hasil uji statistic di dapatkan nilai p=0.020
(p<0.05).
Dari hasil uji Wilcoxon didapatkan bahwa mean rank pengetahuan responden tentang masalah
LGBT pada remaja sebelum dan sesudah di lakukan konseling yaitu 5.00. Berdasarkan hasil uji
statistic di dapatkan nilai P value=0,020 (P < 0,05 ) dengan arti kata terdapat pengaruh
psikoedukasi terhadap peningkatan pengetahuan responden sebelum dan sesudah di lakukan
psikoedukasi tentang masalah LGBT di SMK 
Peneliti berasumsi bahwa terjadinya peningkatan pengetahuan responden karena responden
mengerti dan paham terhadap materi dan konseling yang diberikan dan pengetahuan responden
meningkat dan peneliti juga menampilkan materi slide power point yang menarik beserta data data
empiris yang akurat sehingga menambah penguatan pemahaman dari responden pada saat
psikoedukasi di berikan
Berdasarkan hasil penelitian “Pengaruh Psikoedukasi tentang masalah LGBT pada remaja” dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
Rata-rata nilai pengetahuan siswa sebelum dilakukan psikoedukasi adalah (50) di SMK Karya
Padang Panjang. Rata-rata nilai pengetahuan masyarakat sesudah dilakukan psikoedukasi (85) di
SMK Ada pengaruh psikoedukasi terhadap peningkatan pengetahuan
responden sebelum dan sesudah di lakukan psikoedukasi tentang masalah LGBT pada remaja di
SMK  Dari hasil uji Wilcoxon didapatkan bahwa mean rank pengetahuan
respon tentang masalah LGBT pada remaja sebelum dan sesudah di lakukan konseling yaitu 5.00.
Berdasarkan hasil uji statistic di dapatkan nilai P value=0,020 (P < 0,05).