Tampilkan postingan dengan label minyak kelapa sawit. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label minyak kelapa sawit. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 Juli 2025

minyak kelapa sawit

 












Tanaman kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq.) merupakan jenis tanaman 

tropis yang berasal dari Afrika. Pada tahun 1840-an, tanaman kelapa sawit mulai 

diperkenalkan di Indonesia sebagai tanaman hias yang ditandai dengan ditanamnya 

pohon kelapa sawit pertama di Kebun Raya Bogor. Sejak saat itu, tanaman tersebut 

menyebar dengan sangat cepat khususnya di wilayah Asia Tenggara. Kondisi iklim 

yang mendukung membuat tanaman kelapa sawit dapat tumbuh subur di negara￾negara khususnya di wilayah Asia Tenggara. Hingga saat ini, dua negara dengan 

lahan kelapa sawit terluas adalah Indonesia dan Malaysia, keduanya terletak di Asia 

Tenggara (Fife 2007). Taksonomi tanaman kelapa sawit disajikan pada Tabel 1. 

Tabel 1. Klasifikasi ilmiah kelapa sawit 

Klasifikasi ilmiah

Kingdom : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Ordo : Arecales

Famili : Arecaceae

Genus : Elaeis Jacq.

Sumber : Ketaren (2005) 

Kelapa sawit merupakan jenis tanaman berkeping satu yang termasuk ke 

dalam famili Arecaceae. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada daerah 

beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan temperatur udara 22 – 320C 

(Ketaren 2005). Muchtadi (1993) menyebutkan bahwa kelapa sawit dibedakan 

berdasarkan ketebalan tempurung dan buahnya, yaitu Dura, Pisifera, Tenera, Macro 

Carys, dan Diwikka-Wakka. Varietas Dura memiliki tebal tempurung antara 2 hingga 

8 mm, persentase daging buah dengan buahnya bervariasi antara 35-50%, serta 

kandungan minyak yang rendah pada bagian bijinya (kernel). Tempurung yang tipis 

dengan daging buah (mesokarp) yang tebal merupakan ciri dari kelapa sawit jenis 

Pisifera. Bila terjadi penyerbukan silang antara jenis Dura dan Pisifera, maka akan 

menghasilkan jenis Tenera. Dengan tempurung yang tipis dan persentase yang tinggi 

antara daging buah dan buah, yaitu antara 60-96%, serta jumlah tandan buah yang 

relatif lebih banyak membuat kelapa sawit jenis Tenera banyak ditanam di 

perkebunan-perkebunan saat ini. Kelapa sawit jenis Macro Carys memiliki 

tempurung yang tebal dengan daging buah yang sangat tipis. Varietas Diwikka￾Wakka memiliki dua lapisan daging buah. Perbedaan ketebalan daging buah 

merupakan faktor yang penting, sebab menentukan rendemen minyak sawit yang 

dihasilkannya. 

Varietas dan umur kelapa sawit menentukan warna buah kelapa sawit. Buah 

yang masih muda berwarna hijau muda hingga hijau hitam dan semakin tua akan 

menjadi warna kuning muda hingga pada saatnya matang berwarna jingga (Muchtadi 1993). Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri atas 80% bagian perikarp dan 20% 

bagian biji. Bagian perikarp tersusun atas bagian kulit buah yang keras yang disebut 

epikarp dan bagian daging buah atau mesokarp. Bagian biji terdiri dari bagian 

endocarp, endosperm, dan lembaga embrio. Bagian endocarp merupakan tempurung 

biji yang berwarna hitam dan keras, sedangkan endosperm adalah bagian daging biji 

yang berwarna putih. Dari bagian endosperm inilah dapat dihasilkan minyak inti 

sawit atau palm kernel oil (PKO). 

Hasil utama dari kelapa sawit adalah minyak kelapa sawit. Kualitas produk 

yang diinginkan dapat dihasilkan apabila pemanenan kelapa sawit dilakukan pada 

saat kadar minyak pada mesokarp mencapai maksimum dan kandungan asam lemak 

minimum (Ketaren 2005). Dalam kondisi matang, bagian mesokarp mengandung 

49% minyak sawit kasar, 35% air, dan 16% padatan non minyak (Pusat Penelitian 

Kelapa Sawit 2003). Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan yang linier antara 

kandungan minyak pada mesokarp dengan jumlah buah yang rontok pada tiap tandan 

(Ketaren 2005). Selain minyak yang diekstraksi dari bagian mesokarp, tanaman 

kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti kelapa sawit yang berasal dari bungkil 

inti kelapa sawit. Meskipun berasal dari tanaman yang sama, tetapi kedua jenis 

minyak ini berbeda. Minyak yang berasal dari bagian mesokarp memiliki jenis asam 

lemak dominan asam pamitat (40-46%), sedangkan asam lemak dominan pada 

minyak inti sawit adalah asam laurat, yaitu berkisar antara 46-52% (Ketaren 2005 –

Eckey SW 1955). 

Gambar 1. Penampang kelapa sawit (Pahan 2008) 

Cara pemanenan buah kelapa sawit menentukan kualitas minyak yang 

dihasilkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemanenan kelapa sawit adalah 

kriteria panen yang meliputi matang panen, cara dan alat panen, rotasi dan sistem 

panen, dan mutu panen harus diperhatikan (Muchtadi 1993). Tandan buah kelapa 

sawit yang memar akan membawa banyak tanah dan kotoran yang dapat menjadi 

sumber kontaminasi mikroorganisme, logam, terutama besi, sehingga dapat 

mempercepat peningkatan kandungan asam lemak bebas (Pusat Penelitian Kelapa 

Sawit 2003). Kondisi buah yang rusak dapat menurunkan daya pemucatan dari 

minyak sawit mentah yang diperoleh, selain itu warna dari inti buah yang rusak juga 

cenderung lebih gelap (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003). 

Pembentukan minyak pada bagian mesokarp dan inti sawit terjadi 100 hari 

setelah penyerbukan kemudian terhenti jika minyak dalam buah sudah jenuh yakni 

pada saat kurang lebih 180 hari. Ketika pembentukan minyak sudah tidak terjadi lagi, 

maka yang terjadi adalah proses pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas 

dan gliserol (Naibaho 1998). 

Tanaman kelapa sawit membentuk senyawa kimia untuk melindungi minyak 

dari oksidasi oleh sinar matahari, yaitu karoten dan fitol. Pembentukan karoten pada tanaman kelapa sawit dapat dikenali pada saat terjadi perubahan warna buah dari 

yang tadinya hitam kehijau-hijauan menjadi ungu kehijau-hijauan (Naibaho 1998). 

Minyak Sawit Mentah (MSMn)

Dalam Yuliawan (1997) dijabarkan bahwa proses pembuatan minyak sawit 

mentah (MSMn) melalui beberapa tahapan antara lain adalah perebusan, perontokan, 

pencacahan, ekstraksi, dan klarifikasi. 

Perebusan

Tujuan dari perebusan adalah menginaktivasi enzim lipase dan oksidase, 

melepaskan buah dari spiklet, menurunkan kadar air, memecah emulsi, melepaskan 

serat dan biji, dan membantu proses pelepasan inti dari cangkang. Enzim lipase dan 

oksidase yang masih aktif dalam buah yang sudah dipanen dapat dihentikan dengan 

cara pemanasan pada suhu 1200C untuk menghentikan aktivitas enzim (Naibaho 

1998). Agar didapatkan hasil yang optimum, perebusan dilakukan dalam kondisi 

tekanan uap 2,8-3,0 kg/cm2

 dengan lama perebusan 90 menit. Tekanan uap dan 

waktu perebusan yang tidak cukup akan mengakibatkan peningkatan kehilangan 

minyak, sedangkan perebusan yang terlalu lama akan menyebabkan penurunan mutu 

minyak (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003). Buah dapat terlepas dari spiklet 

dengan cara menghidrolisis komponen hemiselulosa dan pektin pada pangkal buah 

yang dipercepat dengan adanya pemanasan. Penurunan kadar air pada buah dan inti 

sawit dapat menyebabkan terbentuknya rongga-rongga kosong sehingga 

memudahkan proses pengeluaran minyak. Minyak yang terkandung dalam buah 

berbentuk emulsi dan akan lebih sulit dikeluarkan jika dibandingkan bila dalam 

bentuk minyak. Proses pemanasan dapat menyebabkan terpisahnya fraksi air dengan 

minyak sehingga minyak dapat dengan mudah diekstrak. Serat dilepaskan dari buah 

agar lignin tidak menghalangi keluarnya minyak. 

Perontokan

Proses perontokan dilakukan untuk memisahkan antara buah dari tandannya. 

Buah sawit yang rontok inilah yang diproses lebih lanjut untuk diambil minyaknya. 

Proses perontokan buah menggunakan bantuan perputaran mesin perontok. 

Pencacahan

Buah sawit yang telah dirontokkan kemudian mengalami proses pencacahan 

untuk memudahkan pengeluaran minyak dari daging buah. Proses pelumatan buah 

dilakukan dengan menginjeksikan uap 3 kg/cm2

 sehingga tercipta kondisi suhu 90-

950C dalam digester selama 30 menit. Dalam proses pelumatan ini, terdapat juga 

minyak yang terekstrak dari buah yang segera harus dialirkan keluar agar tidak 

mengganggu pisau pelumat dalam digester (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003). 

Ekstraksi

Ekstraksi dilakukan dengan tujuan untuk mengeluarkan minyak yang 

terkandung dalam daging buah. Proses ekstraksi dapat dilakukan secara mekanis dengan alat kempa ataupun dengan secara kimia dengan metode “solvent extraction”. 

Sebuah alat kempa (screw press) memiliki sebuah silinder (press cylinder) yang 

berlubang-lubang dan di dalamnya dilengkapi 2 buah ulir yang akan berputar 

berlawanan arah. Pengepresan berlangsung dalam kondisi tekanan 50-60 bar. Untuk 

menghasilkan minyak dengan viskositas yang tinggi, digunakan air pembilas screw 

press dengan suhu 90-950C sebanyak 7% dari berat tandan buah segar (Pusat 

Penelitian Kelapa Sawit 2003). 

Klarifikasi

Klarifikasi dilakukan untuk memisahkan minyak dari kotoran. Tahapan dari 

proses klarifikasi berdasarkan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2003) adalah 

pengendapan, sentrifugasi, dan penguapan. Cairan minyak kasar hasil proses ektraksi 

pertama-tama akan memasuki tangki pengendap pasir (sand trap tank), saringan 

bergetar (vibrating screen), tangki minyak kasar (crude oil tank), decanter, tangki 

pemisah, tangki pemasakan minyak, sentifusi minyak, tangki apung, pengeringan 

minyak, timbangan minyak, tangki sludge, saringan berputar, pre-cleaner, sentrifusi 

sludge, tangki minyak kutipan, tangki penampung minyak, bak penampung minyak, 

dan terakhir tangki penampungan minyak. Minyak hasil ektraksi dialirkan menuju 

tangki pengendap pasir kemudian udara panas diinjeksikan ke dalam tangki untuk 

mempermudah proses pemisahan pasir dari minyak. Benda asing berupa padatan 

yang masih ikut tercampur dengan minyak dipisahkan menggunakan vibrating 

screen. Selanjutnya, minyak dipompakan ke tangki pemisah dengan 

mempertahankan suhu minyak 90-950C. Lumpur atau air yang masih terkandung di 

dalam minyak dipisahkan dengan dua cara, yaitu pertama menggunakan gaya 

sentrifugal dengan kecepatan putaran 6000 rpm oleh alat yang disebut decanter dan 

dilanjutkan dengan proses pengendapan dalam tangki pemisah. Pemisahan lumpur 

dari minyak menggunakan prinsip perbedaan berat jenis, lumpur yang memiliki berat 

jenis lebih besar dari minyak akan mengendap sehingga mudah dipisahkan. Minyak 

yang telah bersih dari lumpur dan air mengalami proses pemanasan lagi sebelum 

menuju pengolahan lebih lanjut, yaitu menuju sentrifusi minyak di mana air yang 

masih terkandung di dalam minyak sebanyak ± 0,50-0,70% dipisahkan menggunakan 

gaya sentrifugal 5000-6000 rpm. Pemisahan air dari minyak dilakukan 2 tahap, selain 

menggunakan gaya sentrifugal juga menggunakan penguapan dalam ruang hampa 

(vacuum dryer). 

Proses klarifikasi tidak hanya memproses minyak kasar tetapi juga sludge

atau lumpur yang dipisahkan dari minyak. Lumpur hasil pemisahan yang masih 

mengandung minyak sebanyak 7-9% ditampung kembali dalam tangki sludge

selanjutnya dipompa menuju saringan berputar untuk memisahkan serabut dan 

desander untuk memisahkan bagian pasir. Pengutipan minyak dari sludge yang sudah 

bersih dari serabut dan pasir berlangsung di dalam sludge separator dengan 

memanfaatkan gaya sentrifugal. Minyak hasil pengutipan dialirkan menuju tangki 

minyak kutipan yang kemudian dicampur dengan minyak hasil pemurnian. 

Komponen penyusun MSMn (Tabel 2) didominasi oleh trigliserida (> 90%), 

digliserida (5,3-7,7%), monogliserida (0,21-0,34%), asam lemak bebas (2,4-4,5%), 

dan komponen minor (1%) (Goh dan Timms 1985). Digliserida dan monogliserida, 

sebagai produk hidrolisis dari trigliserida, memiliki peran penting dalam 

pembentukan sifat fisik minyak. Siew dan Ng (1999) menjelaskan bahwa keberadaan 

digliserida dalam minyak merupakan indikasi terjadinya proses pembentukan inti nukleasi) yang merupakan prekursor terjadinya kristalisasi dan presipitasi pada 

minyak. Diagram alir proses produksi minyak sawit mentah disajikan pada Gambar Tabel 2. Komposisi monogliserida, digliserida, dan trigliserida dalam minyak sawit 

mentah (MSMn) 

Komponen Komposisi (%)

Trigliserida >90

Digliserida 5,30 – 7,70

Monogliserida

Asam lemak bebas

Komponen minor

0,21 – 0,34 

2,40 – 4,50

1

Sumber : Goh dan Timms (1985); Goh et al. (1985) 

Basiron (2005) mengatakan bahwa struktur dan posisi asam lemak penyususn 

suatu trigliserida sangat mempengaruhi titik lelehnya. Susunan asam lemak juga 

mempengaruhi sifat fisik suatu lemak dan minyak. Minyak berwujud padat dalam 

suhu kamar karena kandungan asam lemak jenuhnya tinggi, seperti asam palmitat 

dan stearat yang memiliki titik cair tinggi pada suhu kamar. 

Karakteristik fisik dan kimia MSMn meliputi warna, bau dan flavor, indeks 

bias, bilangan iod, titik cair, dan bobot jenis. Warna dari MSMn yang seperti 

campuran jingga-kekuningan berasal dari komponen karoten yang terlarut dalam 

MSMn, yakni sebanyak 500-700 ppm (Choo et al. 1994). Bau dan flavor dalam 

minyak dapat berasal dari dua sumber, yakni secara alami yang disebabkan oleh

keberadaan senyawa beta-ionone, atau dapat disebabkan oleh asam lemak rantai 

pendek yang timbul akibat kerusakan minyak (Ketaren 2005). Titik cair minyak 

sangat dipengaruhi oleh jenis asam lemak penyusunnya. Beberapa parameter sifat 

fisik dan kimia MSMn disajikan pada Tabel 3. 

Minyak sawit mentah (MSMn) memiliki kandungan gizi mikro yang 

bermanfaat bagi kesehatan, antara lain adalah karotenoid, tokoferol, tokotrienol, 

sterol, fosfolipid, skualen, triterpenil, dan hidrokarbon alifatik (Nagendran et al. 

2000). Konsumsi MSMn dapat meningkatkan konsentrasi α-tokoferol dan β-karoten 

pada eritrosit (Fujiarti 2012; Lestari 2012). Daftar komponen mikro yang terkandung 

dalam MSMn disajikan pada Tabel 4. 

Tabel 3. Sifat fisik kimia minyak sawit mentah 

Sifat fisik kimia Nilai

Bobot jenis (150C) (Kg/L) 0,859 – 0,870

Indeks bias D 400C 36,0 – 37,5

Titik cair (0C) 21 – 29 

Bilangan iod 224 – 249 

Bilangan saponifikasi 196 – 205 

Sumber : Krischenbauer (1960); Ketaren (2005) 

Tabel 4. Komponen mikro dalam minyak sawit mentah (MSMn) 

Komponen mikro Konsentrasi (ppm)

Karotenoid

Tokoferol dan tokotrienol

Sterol

Fosfolipid

Triterpen alcohol

Metil sterol

Skualen

Alkohol alifatik

Hidrokarbon alifatik

500 – 700

600 – 1000

326 – 527

5 – 130

40 – 80

40 – 80

200 – 500

100 – 200

50

Sumber : Choo et al. 1994

Tingginya kandungan β-karoten dalam MSMn turut berkontribusi pada 

karakteristik minyak yang tahan terhadap oksidasi karena peran β-karoten sebagai 

antioksidan (O’Brien 2009).

Minyak Sawit Merah (MSM)

Minyak sawit mentah yang dihasilkan dari proses ekstraksi mengalami proses 

pemurnian lebih lanjut sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah 

dalam industri. Tujuan dari proses pemurnian adalah untuk menghilangkan rasa dan 

bau yang tidak enak, serta memperpanjang umur simpan minyak dengan cara 

mengeliminasi komponen-komponen yang dapat mempercepat terjadinya kerusakan

minyak (Ketaren 2005). Dalam proses pemurnian tersebut, banyak komponen yang 

tereliminasi dari minyak, termasuk komponen minor yang bersifat fungsional bagi 

kesehatan, di antaranya adalah komponen karotenoid yang memberikan warna jingga 

kemerahan pada minyak sawit merah (MSM). 

Komponen karoten banyak terbuang dalam proses bleaching atau pemucatan 

minyak yang memang bertujuan untuk mendapatkan warna minyak yang kuning 

keemasan cenderung bening. Terdapat upaya untuk mempertahankan kandungan 

karotenoid pada minyak sawit mentah (MSMn) dengan cara membuat MSM atau Red 

Palm Oil (RPO). Minyak sawit merah yang dalam pengolahannya menggunakan 

suhu yang lebih rendah dibandingkan pengolahan minyak sawit pada umumnya 

dengan tujuan untuk mempertahankan kandungan karotenoidnya telah banyak 

diperkenalkan sebagai produk pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan 

manusia dan juga digunakan sebagai pewarna alami dalam pembuatan margarin dan 

shortening (O’Brien 2009).

Di samping karoten, MSM juga memiliki kandungan vitamin E yang tinggi 

yakni 730 ppm dalam bentuk α-tokoferol, serta α, β, γ, dan δ-tokotrienol 

(Kritchevsky et al. 2002). Dalam sistem biologis, α-tokoferol memiliki jumlah yang 

paling banyak yang berfungsi untuk mencegah peroksidasi membran fosfolipid dan 

menghindari kerusakan membran sel (Lucarini dan Pedulli 2007). 

Proses pemurnian minyak secara umum adalah perlakuan pendahuluan berupa 

degumming, netralisasi, deodorisasi, fraksinasi, dan pemucatan (bleaching). MSM 

dihasilkan dari MSMn yang melalui proses pemurnian tetapi tanpa proses pemucatan 

sehingga kandungan karotenoid, tokoferol, dan tokotrienolnya tetap dipertahankan. 

Degumming merupakan proses pemisahan komponen fosfatida, protein, 

residu, karbohidrat, air dan resin, tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam 

minyak (Ketaren 2005). Proses degumming diawali dengan dehidratasi sehingga gum 

dan kotoran lainnya dapat terpisahkan dengan proses sentrifusi, dilanjutkan dengan 

penambahan asam mineral pekat seperti NaCl. Proses ini berlangsung pada suhu 32-

500C agar gum lebih encer sehingga mudah terpisah. Degumming perlu dilakukan 

sebelum proses netralisasi agar pemisahan sabun yang dihasilkan dari netralisasi 

dapat berjalan optimal. Ketika minyak yang masih mengandung gum dinetralisasi, 

maka terjadi peningkatan partikel emulsi yang mengakibatkan penurunan rendemen 

trigliserida. 

Tahap kedua dari pemurnian minyak adalah netralisasi atau deasidifikasi 

dengan penyulingan. Tujuannya adalah menyingkirkan kandungan asam lemak bebas 

dengan menambahkan basa kuat pada MSMn agar bereaksi dengan asam lemak 

bebas sehingga terbentuk sabun. Basa kuat yang sering digunakan antara lain adalah 

NaOH atau Na2CO3. Dari antara keduanya, NaOH lebih sering digunakan dalam 

industri karena lebih efisien, murah, dan sekaligus dapat mengurangi zat warna dan 

kotoran lain yang tidak dapat dihilangkan pada tahap degumming. Konsentrasi basa 

yang diperlukan semakin tinggi ketika jumlah asam lemak yang terkandung dalam 

minyak semakin tinggi. Selain penghilangan asam dengan metode netralisasi, 

terdapat metode lain yakni deasidifikasi dengan penyulingan. Minyak sawit asli 

dilalukan pada heat exchanger suhu 2400C dengan injeksi uap air sepanjang pipa 

aliran sehingga dihasilkan embun uap air dan asam lemak pada kondensor bersuhu 

70-800C. Dari tahap netralisasi akan dihasilkan minyak dengan kandungan asam 

lemak bebas 0,13% (Ketaren 2005). Deodorisasi dilakukan untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak 

diinginkan dalam minyak. Prinsipnya adalah penyulingan minyak pada suhu 200-

2500C pada tekanan 1-6 atm selama 0,3-12 jam sehingga senyawa yang mudah 

menguap dapat terangkut, termasuk sebagian asam lemak bebas. Minyak yang keluar 

dari proses deodorisasi mengandung 0,015-0,030 % asam lemak bebas (Ketaren 

2005). 

Fraksinasi merupakan proses pemurnian minyak dengan memisahkan antara 

fraksi yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu stearin dan olein. Dengan 

memisahkan minyak menjadi fraksi olein dan stearin, maka MSM dapat 

dimanfaatkan secara lebih luas sesuai dengan karakter fisik dan kimia masing-masing 

fraksi. Prinsip fraksinasi adalah pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan 

komponen trigliserida yang bergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak 

bebas dengan penurunan suhu secara perlahan (O’Brien 2009). 

Setelah proses fraksinasi, fraksi olein didominasi oleh asam lemak rantai C18, 

sedangkan fraksi stearin lebih tinggi kandungan asam lemak palmitatnya (C16). 

Komponen minor lebih banyak terlarut dalam fraksi olein, termasuk di dalamnya 

adalah asam lemak, digliserida, karoten, sterol, tokoferol, tokotrienol, peroksida, dan 

produk oksidasi. Fosfolipid dan logam banyak terdapat di fraksi stearin. Rendahnya 

kandungan tokoferol dan tokotrienol, serta tingginya kandungan logam menyebabkan 

tingkat stabilitas stearin cenderung lebih rendah dibandingkan fraksi olein (O’Brien 

2009). Fraksi olein lebih mudah untuk dipucatkan dan hanya membutuhkan 1,5% 

bahan adsorben, sedangkan fraksi stearin membutuhkan lebih banyak bahan adsorben 

untuk pemucatan, yakni 2% (Patterson 2009). Perbedaan karakteristik antara fraksi 

stearin dan olein disajikan pada Tabel 5. 

Pemucatan (bleaching) adalah tahap pemurnian minyak yang bertujuan untuk 

menghilangkan zat warna dengan menggunakan bahan adsorben berupa fuller earth, 

activated clay, atau arang aktif. Bahan adsorben tidak hanya dapat menyerap zat 

warna tetapi juga suspensi koloid dan hasil degradasi minyak lainnya. Arang aktif 

dapat menyerap 95-97% total zat warna dalam minyak. Pada proses pembuatan 

MSM, tahapan bleaching tidak dilakukan untuk mempreservasi komponen minor 

fungsional karotenoid, tokoferol, serta tokotrienol. Dalam Patterson (2009) dikatakan 

bahwa selama 20 menit pada suhu 1800C, sebanyak 50% kandungan karoten hilang, 

pada suhu 2000C sebanyak dua per tiga, dan pada 2400C hanya tersisa 2% saja.

Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi (MSMTF)

Produk minyak sawit yang digunakan dalam program SawitA ini antara lain 

adalah minyak sawit merah tanpa fraksinasi (MSMTF) atau unfractionated red palm 

oil (URPO). Produk MSMTF dibuat dengan proses yang sama seperti MSM, hanya 

saja MSMn sebagai bahan bakunya dan tanpa proses degumming (pemisahan gum) 

dan fraksinasi (pemisahan fraksi stearin dan olein). Hal ini dikarenakan pada proses 

degumming terdapat perlakuan dengan suhu tinggi dan asam yang dapat 

mengakibatkan penurunan kandungan karotenoid karena perubahan struktur 

karotenoid menjadi policis-isomer. 

Pada pembuatan MSMTF, proses degumming dihilangkan karena 

penambahan air panas dan asam mineral pekat dapat menurunkan kandungan β-

karoten. Proses degumming sebenarnya dapat saja tidak dilakukan karena gum 

merupakan serat larut yang tidak berbahaya jika dikonsumsi. Di samping itu, fraksi 

stearin juga dapat menambah rasa gurih pada MSMTF. 

Minyak sawit merah tanpa fraksinasi diproduksi dari MSMn yang 

dinetralisasi dan dideodorisasi. Netralisasi merupakan proses yang bertujuan untuk 

memisahkan asam lemak bebas dengan menggunakan basa atau pereaksi lain 

sehingga membentuk sabun. Pembuatan MSMTF untuk program SawitA 

menggunakan soda kaustik (NaOH) 16 0Be yang direaksikan dengan asam lemak 

bebas selama 26 menit. Reaksi antara asam lemak bebas dengan soda kaustik akan 

menghasilkan sabun yang dapat melarutkan zat warna dan kotoran berupa getah dan 

lendir dalam suatu emulsi. Kemudian sabun yang terbentuk dihilangkan dengan 

menggunakan air panas untuk melarutkan sabun sebanyak 3 kali hingga terbuang 

semuanya. 

Setelah netralisasi, MSM menjalani proses deodorisasi yang bertujuan untuk 

menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak melalui proses penyulingan dengan uap 

panas pada tekanan atmosfer atau kondisi vakum. Deodorisasi dilakukan pada suhu 

140-1500C selama 1 jam, kondisi tersebut berdasarkan rekomendasi dari Riyadi 

(2009) yang mengemukakan bahwa deodorisasi yang dilakukan pada 1400C selama 1 

jam dapat mempertahankan kandungan total karotenoid hingga 70% dan 

menghasilkan neutralized deodorized red palm oil (NDRPO). Produk hasil 

deodorisasi masih memiliki aroma khas minyak sawit dengan intensitas odor 3.3 

yang berarti masih memiliki aroma khas sawit (palmy/fruity odor) kategori netral 

untuk tingkat kesukaan konsumen (Zakaria et al. 2011). Diagram alir proses produksi 

MSMTF 

Karotenoid adalah sekelompok pigmen alami berwarna kuning hingga merah 

dengan struktur alifatik atau alisiklik yang terdiri dari rantai hidrokarbon tidak jenuh, 

dengan 8 unit isoprene, dan 40 atom karbon (Belitz 2009). Bersama dengan klorofil, 

karotenoid berada di dalam kloroplas, terutama di dekat dinding sel-sel palisade pada 

permukaan atas daun (Winarno 2008). Kelompok besar karotenoid terbagi atas dua 

kelompok berdasarkan komponen penyusunnya, yakni karoten dan xantofil. Yang 

termasuk di dalam kelompok karoten adalah α, β, γ-karoten, serta likopen (Winarno 

2008). Ketiga jenis karoten yang disebutkan sebelumnya memiliki perbedaan pada 

letak ikatan rangkap dari gugus cincinnya (Meyer 1966). Xantofil selain tersusun dari 

unsur C dan H, juga terdapat unsur O (Belitz 2009). Kriptosantin yang memiliki 

struktur mirip dengan beta karoten merupakan salah satu contoh xantofil. 

Kriptoxantin merupakan pigmen utama pada tanaman jagung, lada, pepaya, dan jeruk 

keprok (Winarno 2008). Pada umumnya anggota kelompok karoten bersifat nutrisi 

aktif, sedangkan kelompok xantofil mayoritas bersifat non nutrisi aktif (Tan 1985). 

Lebih lanjut menurut Bauernfeind et al. (1981), kadar karoten pada umumnya lebih 

tinggi dibandingkan dengan kadar xantofil, yakni antara 60-70%.

Karotenoid menyebabkan warna kuning dan merah pada tanaman, ganggang, 

mikroorganisme dan hewan (Fennema 1996). Lebih lanjut dalam Winarno (2008), terdapat hubungan yang linier antara derajat warna kehijauan terhadap jumlah 

kandungan karoten dalam sayuran, semakin hijau warna daun maka semakin tinggi 

kandungan karotennya. Sayuran yang berwarna pucat seperti kol dan sawi diketahui 

memiliki kandungan karoten yang rendah (Winarno 2008). Kandungan karoten 

dalam diet manusia merupakan hal esensial karena tubuh memiliki kemampuan 

untuk mengubah karoten menjadi vitamin A, sehingga karoten disebut sebagai 

provitamin A. Provitamin A karotenoid merupakan kelompok karotenoid yang 

memiliki cincin beta-ionone non substitusi yang dapat membelah sehingga terbentuk 

retinaldehid melalui reaksi oksidatif. Retinaldehid kemudian dapat tereduksi untuk 

membentuk retinol atau teroksidasi menghasilkan asam retinoat (Bender 2003). 

Kendati sumber karoten melimpah pada bahan-bahan nabati, tetapi efektifitas 

perubahan dari karoten menjadi vitamin A rendah. Menurut hasil perhitungan FAO￾WHO, hanya separuh dari karoten yang terserap yang dapat diubah menjadi vitamin 

A, atau dengan kata lain hanya 1/6 dari kandungan karoten dalam bahan makanan 

yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh (Winarno 2008). Oleh karena itu, tidak ada 

bahaya kelebihan konsumsi karotenoid yang berasal dari bahan nabati. 

Dari 600 jenis karotenoid yang diketahui, kurang lebih 50 memiliki aktivitas 

sebagai provitamin A (Fennema 1996). Dari sekian banyak jenis karotenoid, yang 

memiliki aktivitas sebagai provitamin A adalah α, β, dan γ-karoten (Gambar 4) 

dengan aktivitas tertinggi dimiliki oleh β-karoten yakni 100% atau dapat dikatakan 

bahwa seluruh kandungan β-karoten dapat dikonversi menjadi vitamin A 

(Narasingha 2000). Proses konversi molekul provitamin A yang terjadi di dinding 

mukosa usus halus terjadi melalui reaksi enzimatik oksidatif pada gugus C15-C15’ 

untuk menghasilkan 2 molekul retinol (Fennema 1996). Konversi provitamin A 

menjadi vitamin A terjadi melalui reaksi enzimatis sehingga vitamin A yang 

dihasilkan sejumlah kebutuhan tubuh. Struktur karotenoid menjadi faktor penentu fungsi fisiologis dari karoten. 

Ukuran, struktur tiga dimensi, keberadaan gugus fungsional membantu efisiensi 

fungsi karotenoid pada organ atau jaringan target. Konformasi trans karotenoid lebih 

stabil dibandingkan isomer cis-nya. Kestabilan konformasi turut mempengaruhi 

stabilitas gugus fungsional karotenoid. Lebih lanjut Britton (2009) mengemukakan 

bahwa ikatan rangkap terkonjugasi pada molekul karotenoid memungkinkannya 

untuk memiliki kemampuan menangkal radikal bebas (singlet oksigen) sehingga 

berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid merupakan antioksidan larut lemak, stabil 

pada kondisi alkali, tetapi rentan rusak bila dalam kondisi suhu tinggi, asam, dan oksidasi. Ikatan rangkap terkonjugasi mudah rusak oleh proses hidrogenasi dan 

menyebabkan hilangnya zat warna (Patterson 2009). 

Manusia mendapatkan asupan provitamin A dari dietnya berupa bahan 

pangan nabati, baik yang berupa buah maupun daun. Jenis sayur-sayuran hijau 

mengandung karoten lebih rendah dibandingkan buah atau sayur yang berwarna 

kuning atau merah. Studi menyebutkan bahwa karoten yang berasal dari buah lebih 

mudah dicerna dibandingkan dengan yang berasal dari daun-daunan (Thurnham 

2007). Minyak sawit merah (MSM) sendiri mengandung 500-700 ppm karoten di 

mana 90%-nya terdiri dari α dan β-karoten. Jumlah kandungan karoten pada MSM 

15x karoten pada wortel dan 300x dari tomat (Nagendran 2000). Bentuk α-karoten, 

kripstosantin, dan cis-β-karoten memiliki aktivitas vitamin A hanya setengah 

daripada trans-β-karoten (Tang et al. 2000). Akan tetapi, dalam studi yang dilakukan 

oleh Farombi (1998) diperkirakan bahwa aktivitas antioksidan α-karoten lebih tinggi 

dibandingkan β-karoten dalam menangkal radikal peroksil. Misran (2012) 

menyimpulkan bahwa konsumsi MSMn dapat meningkatkan konsentrasi antioksidan 

pada plasma secara signifikan. 

Konsumsi MSM membawa banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Minyak 

sawit merah sendiri mengandung karotenoid sebanyak 573 mg/kg yang terdiri dari 

fitoen, fitofluen, α-karoten, β-karoten, γ-karoten, δ-karoten, ζ-karoten, neurosporen, 

α-zeakaroten, β-zeakaroten, dan likopen (Choo 1993). Kandungan karotenoid dalam 

MSM diyakini dapat menanggulangi masalah defisiensi vitamin A yang banyak 

melanda negara-negara berkembang. Selanjutnya Kritchevsky (1999) menambahkan 

bahwa konsumsi MSM dapat mencegah terjadinya aterosklerosis. Tan (1987) dan 

Muhilal (1991) juga menambahkan bahwa konsumsi β-karoten dapat menanggulangi 

penyakit xeroftalmia, meningkatkan sistem imun tubuh, serta mengurangi resiko 

terkena penyakit degeneratif. Konsumsi β-karoten juga diyakini dapat menurunkan 

resiko terkena kanker kolon (Hussein 1999) dan kanker kulit (Tan 1992). Mayne et 

al. (2009) mengamati bahwa peningkatan asupan β-karoten berasosiasi dengan resiko 

terhadap kanker paru-paru. 

Karotenoid banyak terkandung dalam sayuran hijau dan sayuran atau buah 

yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, kangkung, bayam, kacang 

panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, papaya, mangga, nangka, dan jeruk 

(Almatsier 2006). Sumber lain dari karotenoid adalah minyak nabati dari biji-bijian 

seperti minyak jagung, minyak kedelai, minyak zaitun, minyak biji bunga matahari, 

dan minyak kacang tanah. Minyak kelapa sawit merupakan contoh minyak nabati 

yang kaya karotenoid, yakni mengandung 15-300 kali retinol ekivalen wortel, tomat, 

dan sayuran hijau (May 2007). 

Komponen karoten dalam MSM terdapat dalam bentuk bebas, tidak seperti 

dalam sayur dan buah di mana karoten membentuk kompleks dengan protein atau 

dalam bentuk teresterifikasi sehingga lebih stabil (Combs 1992). Karoten dapat 

mengalami kerusakan apabila terkena cahaya ultraviolet atau cahaya matahari secara 

langsung. Selain cahaya, paparan oksigen dan pemanasan juga dapat memicu 

degradasi karoten. Hal ini disebabkan karena kedua hal tersebut merupakan 

katalisator reaksi oksidasi lemak yang akan berdampak lanjut pada oksidasi karoten. 

Struktur karoten dengan banyak ikatan rangkap mengakibatkan karoten sangat 

mudah teroksidasi. Reaksi oksidasi karoten dalam bahan pangan yang pada 

umumnya berbentuk trans akan menghasilkan isomer cis-karoten yang memiliki 

aktivitas provitamin A yang lebih rendah. Pemanasan pada suhu di atas 1800C dapat menurunkan kandungan karoten dalam pangan. Logam juga dapat menjadi katalis 

reaksi oksidasi, khususnya tembaga, besi, dan mangan. Karoten juga dapat 

mengalami isomerisasi yang menghasilkan policis-isomer dalam kondisi asam. Oleh 

karena itu, kondisi penyimpanan perlu mendapat perhatian khusus untuk mencegah 

degradasi provitamin A. Karotenoid akan lebih tahan jika terlarut dalam asam lemak 

tidak jenuh karena asam lemak tidak jenuh lebih rentan terkena radikal bebas 

sehingga karoten dapat terlindungi. 

Karotenoid yang dikonsumsi sebagian besar berfungsi sebagai antioksidan 

yang menangkal senyawa radikal (singlet oksigen) dan sebagian lainnya menjadi 

sumber vitamin A. Satu molekul β-karoten dikonversi menjadi 2 molekul vitamin A 

di dalam usus halus manusia melalui reaksi enzimatis oleh enzim 15,15’ β-karoten 

dioksigenase sehingga vitamin A yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan tubuh. 

Tubuh kita telah memiliki mekanisme yang teratur mengenai konversi karotenoid 

menjadi vitamin A sehingga mengkonsumsi karotenoid dari sumber alamiah dalam 

jumlah banyak setiap hari tidak menimbulkan efek samping (Narasingha 2000). 

Peningkatan asupan karoten akan menjadi efektif apabila konsumsinya 

didampingi dengan asupan lemak juga. Hal ini dikarenakan trigliserida dapat 

menstimulasi sekresi garam empedu yang dapat membantu pembentukan emulsi 

dalam sistem pencernaan lemak beserta vitamin larut lemak (Parker 1996). Diet 

rendah lemak dapat mengakibatkan penurunan konversi β-karoten menjadi retinol 

secara drastis (Prince 1993). Selanjutnya Chandrasekharan (1997) menambahkan 

bahwa terjadi penurunan tingkat absorbsi dan konversi β-karoten menjadi vitamin A 

seiring dengan adanya peningkatan asupan β-karoten. 

Dalam Muchtadi et al. (2006) dijelaskan bahwa β-karoten memiliki keaktifan 

yang setara dengan setengah retinol, sedangkan keaktifan karotenoid lain setara 

dengan seperempat retinol. Di antara jenis karotenoid yang lain, β-karoten memiliki 

aktivitas biologis paling tinggi yakni setara dengan seperenam retinol, sedangkan 

aktivitas karotenoid lainnya setara dengan seperduabelas retinol. Bentuk retinol 

diserap dengan sempurna di dalam usus, sedangkan karoten hanya diserap 

sepertiganya saja. 

Efisiensi penyerapan karotenoid dipengaruhi beberapa faktor antara lain 

adalah jumlah asupan karotenoid, proses pengolahan yang dilakukan, keberadaan 

komponen lain yang dapat meningkatkan atau menghambat proses penyerapan 

(seperti lemak pangan dan serat), matriks bahan pangan, interaksi antar karotenoid, 

serta status gizi individu (Scott 1999). Satu molekul β-karoten dapat dikonversi 

menjadi 2 molekul vitamin A atau dapat dikatakan 1µg β-karoten setara dengan 1µg 

vitamin A. Hume dan Krebs (1949) mengamati bahwa β-karoten dalam minyak dapat 

diserap 3x lebih banyak dibandingkan β-karoten yang berasal dari sayuran. Pada 

tahun 1988, FAO/WHO telah menetapkan aktivitas retinol berdasarkan beberapa 

tingkatan asupan β-karoten, yakni pada tingkat asupan β-karoten < 1.000 µg maka 

1µg retinol (atau 1 RE) setara dengan 4 µg β-karoten, pada asupan β-karoten 1.000-

4.000 µg maka 1µg retinol setara dengan 6 µg β-karoten, sedangkan pada asupan β-

karoten > 4.000 µg maka 1µg retinol setara dengan 10 µg β-karoten. Vitamin A dan Kekurangan Vitamin A (KVA) di Indonesia

Salah satu zat gizi mikro yang penting bagi kesehatan manusia terutama 

dalam meningkatkan sistem imun dan menjaga kesehatan organ pengelihatan adalah 

vitamin A. Vitamin A merupakan suatu senyawa poliisoprenoid yang memiliki cincin 

sikloheksenil. Vitamin A merupakan sebutan untuk sekelompok komponen yang 

memiliki aktivitas biologis sebagai vitamin A, yakni retinol, retinal, dan asam 

retinolat. Di antara ketiga komponen tersebut, yang menunjukkan aktivitas vitamin A 

secara penuh hanyalah retinol, sehingga retinol merupakan bentuk asupan vitamin A 

yang paling umum (Murray et al. 2003). 

Vitamin A merupakan substansi berwarna kekuningan yang larut lemak, 

stabil dalam kondisi panas, asam, dan alkali, tetapi sangat mudah teroksidasi oleh 

udara serta mudah rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi. Kerusakan vitamin A akan 

semakin cepat apabila oksidasi disertai dengan pemanasan, paparan sinar matahari, 

dan lemak yang tengik (Winarno 2008). Kondisi kekurangan vitamin A terjadi ketika 

jumlah vitamin A di dalam tubuh tidak mencukupi untuk menjalankan fungsi organ 

target secara optimal yang biasanya terjadi ketika konsentrasi vitamin A di hati 

kurang dari 20 µg/g (Olson 1982). Masalah kekurangan vitamin A banyak melanda 

negara-negara berkembang. Hingga saat ini, banyak negara berkembang yang 

mengandalkan bahan pangan alami sebagai sumber asupan vitamin A. Oleh sebab 

itu, karakteristik kimia komponen vitamin A perlu dicermati karena akan 

mempengaruhi cara penyajian pangan yang paling efektif untuk mendapatkan asupan 

vitamin A yang maksimal. 

Sumber asupan vitamin A dibedakan menjadi dua kelompok, yakni asupan 

dalam bentuk retinol (vitamin A bentuk jadi) maupun dalam bentuk provitamin A 

(bahan baku vitamin A). Underwood (2000) mendata bahwa asupan vitamin A 

bentuk jadi tersedia dalam bahan pangan hewani seperti daging, susu dan olahannya 

(mentega dan keju), kuning telur, hati, ikan, dan minyak ikan (terutama jenis cod). 

Sedangkan sumber provitamin A adalah sayuran hijau (bayam, daun singkong), 

wortel, tomat, ubi jalar kuning atau merah, buah-buahan yang berwarna kuning 

hingga merah (pepaya, mangga, apricot), dan minyak sawit merah (MSM). 

Bentuk aktif dari vitamin A adalah retinaldehid dan asam retinolat yang 

keduanya merupakan turunan retinol. Retinaldehid berperan aktif dalam sistem 

pengelihatan sebagai sinyal tranduser ketika terjadi penerimaan cahaya pada retina 

yang dilanjutkan dengan inisiasi impuls saraf. Sedangkan asam retinolat bertugas 

mengatur ekspresi gen dan diferensiasi jaringan sebagai nuclear receptor (Bender 

2003). Retinaldehid dalam bentuk cis-nya membentuk kompleks dengan protein 

opsin menjadi rhodopsin (sel batang) yang merupakan pigmen pengelihatan berwarna 

ungu. Ketika cahaya mengenai retina, rhodopsin memudar menjadi kuning dan 

retinal terpisah dari opsin dan diubah menjadi retinol kembali (Muchtadi et al. 2006). 

Ketika membentuk kompleks rhodopsin, cis-retinaldehid mengalami oksidasi 

menjadi bentuk trans-retinaldehid. Komponen inilah yang berperan penting dalam 

proses transmisi sinyal cahaya ke otak (Bender dan Mayes 2003). Struktur kimia 

beberapa jenis vitamin A disajikan pada Gambar 5.

Vitamin A selain memiliki peran penting dalam fungsi pengelihatan, juga 

turut berperan dalam regulasi sistem imun, terutama pada sistem imun adaptif. 

Vitamin A yang secara khusus banyak berperan dalam peningkatan sistem imun adalah asam retinolat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa asam retinolat dapat 

meningkatkan sitotoksisitas dan proliferasi sel T (Mora et al. 2008). Dalam kondisi 

tidak kekurangan vitamin A, sel-sel epitel mukosa pada organ mata memproduksi 

mukus yang membantu mencegah terjadinya infeksi. Sedangkan pada kondisi 

kekurangan vitamin A, sel-sel epitel mukosa bukan memproduksi mukus melainkan 

keratin yang berakibat pada pengeringan dan pengerasan sel-sel membran. Keadaan 

tersebut disebut dengan penyakit xeroftalmia (Winarno 2008). Vitamin A merupakan 

salah satu regulator dalam proses pertumbuhan sel, diferensiasi, serta apoptosis 

(kematian sel secara terprogram). Fungsi vitamin A dalam menginduksi apoptosis 

sering dikaitkan dengan aktifitas anti tumor dan anti kanker (Semba 1998).


Di samping berfungsi untuk pengelihatan yang baik dan sistem imun, asupan 

vitamin A yang cukup dibutuhkan untuk pertumbuhan yang normal. Pada tahun 

2004, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi menetapkan angka kecukupan vitamin 

A yang dibedakan berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin seperti yang 

terdapat pada Tabel 6. 

Faktor yang dapat mempengaruhi status vitamin A seseorang antara lain 

adalah asupan protein, lemak, vitamin E, dan zinc (Booth 1997). Selain itu kondisi 

fisiologis seperti kecukupan vitamin A, protein dan lemak individu, kondisi hormon, 

tingkat pertumbuhan, serta adanya infeksi juga mempengaruhi status vitamin A 

individu (WHO 1994). Proses konversi karoten menjadi vitamin A melibatkan reaksi 

ezimatis, sehingga diperlukan asupan protein yang cukup (Scott 1999). Vitamin A banyak terdapat di organ liver atau hati dalam bentuk retinol atau 

ester retinol (Fennema 1996). Konsumsi vitamin A yang berlebihan dapat 

menimbulkan efek toksik yang ditandai dengan gejala karotenis (warna kuning pada 

kulit) dan akan hilang apabila konsumsi diturunkan. Hal ini disebabkan karena 

vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut lemak sehingga tidak dapat 

diekskresi melalui urin. Vitamin A yang berlebih disimpan di dalam sel-sel parenkim 

organ hati dalam bentuk butiran lemak berisi campuran rantai-rantai ester retinil, 

yaitu retinil palmitat (50%), retinil stearat, dan retinil oleat. Bentuk ester-ester 

tersebut dihidrolisis menjadi retinol di dalam usus oleh enzim pankreatik sebelum 

dilepaskan ke seluruh tubuh. Di dalam darah, retinol terikat pada Retinol Binding 

Protein (RBP) yang menuju jaringan tubuh seperti mata, usus, dan kelenjar mukosa 

(Winarno 2008). Bentuk retinil asetat dan retinil palmitat merupakan bentuk yang 

sering digunakan sebagai bahan fortifikan dalam makanan (Fennema 1996). 

Konsumsi vitamin A dapat menyebabkan hipervitaminosis (kelebihan konsumsi 

vitamin A) apabila dikonsumsi 75000-500000 SI (45-300 mg β-karoten) setiap hari 

dalam jangka waktu beberapa bulan (Winarno 2008).

 Masalah defisiensi vitamin A hingga kini telah menjadi masalah kesehatan 

dunia. Hal yang sangat disayangkan bahwa penderita defisiensi vitamin A biasanya 

merupakan masyarakat golongan ekonomi kurang mampu yang belum terjangkau 

oleh pelayanan kesehatan yang memadai. Labenjang (2011) menyebutkan bahwa 

angka kebutaan di Indonesia, yakni 1,5% merupakan yang tertinggi di antara 

beberapa negara Asia Tenggara yang lainnya, seperti Bangladesh (1%), India (0,7%), 

dan Thailand (0,3%). Kasus kekurangan vitamin A dapat dibagi menjadi dua jenis, 

yakni klinis dan subklinis. Seseorang dikatakan mengalami KVA klinis jika 

gejalanya langsung terlihat, yaitu timbulnya penyakit xeroftalmia. Sedangkan yang 

banyak terjadi di Indonesia adalah KVA subklinis di mana hanya dapat diketahui 

dengan pemeriksaan sampel darah. Pada tahun 2003, Departemen Kesehatan 

mencatat bahwa setidaknya 50% dari populasi balita di Indonesia menderita KVA 

subklinis. Kategori status vitamin A disajikan pada Tabel 7. Defisiensi vitamin A banyak diderita oleh balita dan anak-anak. Padahal pada 

usia balita dan anak-anak merupakan usia pertumbuhan di mana asupan zat gizi 

makro dan mikro yang cukup sangat dibutuhkan supaya pertumbuhannya normal. 

Defisiensi vitamin A pada balita dan anak-anak dapat mengakibatkan rabun senja dan 

kebutaan (Krisnatuti 2000). Anak yang mengalami kekurangan energi dan protein 

(KEP), biasanya juga mengalami kekurangan vitamin A yang disebabkan karena terganggunya proses absorpsi vitamin A di dalam tubuh yang membutuhkan 

karbohidrat dan protein. Kekurangan vitamin A pada balita biasanya diawali ketika 

mulai disapih (Gaman dan Sherrington 1994). 

 Vitamin A di dalam tubuh disimpan di dalam hati dalam bentuk retinaldehid 

(retinil ester). Oleh karena itu, cara terbaik untuk menentukan status vitamin A 

adalah dengan mengukur kadar retinil ester dalam hati. Tetapi tentu saja pengukuran 

secara biopsi tidak dapat dilakukan. Cara lain yang dapat dilakukan untuk 

menentukan status vitamin A seseorang adalah dengan mengukur konsentrasi retinol 

pada serum. Kelemahannya adalah, serum hanya mengandung 1% total cadangan 

vitamin A sedangkan konsentrasi retinol tidak menggambarkan keadaan yang 

sebenarnya apabila tidak terjadi kekurangan atau kelebihan yang teramat sangat 

(Gibson 2005). 

Air Susu Ibu dan Masa Menyusui

Defisiensi vitamin A pada balita dan anak-anak sangat berbahaya apabila 

dibiarkan karena dapat mengakibatkan kebutaan dan menghambat pertumbuhan. 

Oleh sebab itu, usaha untuk meningkatkan asupan vitamin A untuk anak-anak terus 

dilakukan, salah satu caranya adalah dengan cara meningkatkan asupan vitamin A 

pada ibu menyusui sehingga akan berdampak pada peningkatan konsentrasi vitamin 

A pada air susu ibu (ASI). 

ASI baru dapat dihasilkan bila adanya sekresi hormon prolaktin. Pada masa 

kehamilan, sekresi hormon prolaktin terhenti sebagai efek dari peningkatan sekresi 

hormon estrogen dan progesteron. Setelah melahirkan sekresi hormon prolaktin baru 

dapat terjadi. Pada masa-masa awal setelah melahirkan, ASI belum dapat diproduksi, 

sebagai gantinya dihasilkan kolostrum, yaitu cairan berwarna kekuningan yang kaya 

akan antibodi. Sekresi hormon prolaktin dirangsang oleh gerakan menghisap yang 

dilakukan oleh bayi ketika menyusu. Ujung-ujung saraf pada areola akan terstimulir 

kemudian mengirim perintah ke hipotalamus untuk pelepasan hormon oksitosin yang 

bertanggung jawab terhadap pengeluaran air susu (Mader 2004). Anatomi payudara 

manusia disajikan pada Gambar 6. 

ASI merupakan makanan pertama, paling utama, alami, dan aman untuk bayi 

yang baru lahir. Di dalamnya terkandung hampir seluruh zat gizi mayor dan minor 

yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi. ASI mengandung komponen karbohidrat, 

protein, lemak, vitamin (kecuali vitamin D dan K), mineral, dan bahkan sel hidup. 

ASI tidak hanya memenuhi kebutuhan metabolisme bayi, tetapi juga melindungi bayi 

dari infeksi karena sistem imun bayi masih sangat lemah. Komponen nutrisi yang 

terkandung dalam cairan aspirasi dari ASI dapat berasal dari hasil transportasi dari 

plasma melalui mikrotubulus dan atau dapat juga hasil sintesis pada epitel payudara 

(Russo et al. 1976; Rennison et al. 1992). Kandungan komponen zat gizi pada ASI dapat bervariasi tergantung dari 

masa menyusui, waktu menyusui, periode menyusui, status gizi ibu, umur ibu, umur 

bayi, rutinitas menyusui, paritas, perbedaan wilayah, musim, serta makanan ibu 

(Prentice 1996; Nascimento et al. 2002). Komponen yang menunjang sistem imun 

bayi terkandung di kolostrum, yaitu air susu yang banyak mengandung sekretori IgA, 

laktoferin, vitamin A, dan yodium (Prentice 1996). Kolostrum keluar pada tiga 

hingga lima hari setelah melahirkan. 

Pada umumnya, ASI terdiri dari 80% air dengan osmolaritas yang sama 

dengan plasma. ASI mengandung 7 g/dL karbohidrat yang sebagian besar adalah 

jenis laktosa (5,5 – 6,0 g/dL). ASI juga mengandung setidaknya 80 jenis 

oligosakarida, yang didominasi oleh frukto-oligosakarida (FOS) dan galakto￾oligosakarida (GOS) (Niers 2007). Komponen lainnya adalah protein sebanyak 0,9 

g/dL, lemak sebanyak 3 – 4 g/dL. ASI hanya mengandung sepertiga dari komponen 

mineral yang terdapat pada susu sapi. Selain vitamin A, vitamin larut air lainnya juga 

dapat ditemui dalam ASI (Nascimento et al. 2002). 

Protein yang terkandung dalam ASI terbagi atas dua jenis, yakni miscellar 

casein dan aqueous whey protein dengan komposisi 40:60. Komponen utama pada 

bagian miscellar casein adalah β-kasein, sedangkan pada aqueous whey protein

adalah laktalbumin, laktoferin, albumin, dan sekretori IgA (sIgA) yang merupakan 

komponen immunoglobulin utama pada ASI. Laktoferin berperan dalam membawa 

dan mendorong absorpsi zat besi serta menghasilkan asam amino untuk penyerapan 

dan pencernaan (Prentice 1996). 

Menurut Niers (2007), konsentrasi sIgA pada ASI bekisar antara 69–153 

mg/100 kkal ASI. Sekretori IgA berperan dalam melindungi permukaan mukosa bayi 

terutama pada saluran pernafasan dan pencernaan (Araujo et al. 2005). Komponen 

sIgA memiliki fungsi sebagai bakterisidal, penetral virus, agregasi antigen dan 

pelindung sel epitel dari pelekatan bakteri (Abdulla 2005). Sekretori IgA melindungi 

bayi dari bakteri patogen seperti Escherichia coli, Vibrio cholerae, Haemophilus 

influenza, Streptococcus pneumoniae, Clostridium dicille, Salmonella, jamur seperti 

Candida albicans, dan virus seperti rotavirus, cytomegalovirus, HIV, influenza, dan 

virus pernafasan. Komponen yang memiliki sifat antibakteri lainnya adalah laktoferin 

dan lisozim. Keduanya berperan dalam mengatur sintesis dan perkembangan sistem 

imun pada bayi (Nascimento et al. 2002; Niers et al. 2007). Niers (2007) juga 

menambahkan bahwa kandungan laktoferin dalam ASI diperkirakan antara 139–264 

mg/100 kkal. Selain itu, terdapat beberapa komponen fungsional lainnya yang 

berperan sebagai antimikrobial maupun sebagai komponen perkembangan sistem 

imun seperti pada Tabel 8. ASI merupakan makanan utama bayi, oleh sebab itu salah satu metode yang 

dapat dilakukan untuk menentukan status vitamin A bayi secara tidak langsung 

adalah dengan mengukur kandungan vitamin A pada ASI (Gibson 2005). Ibu hamil 

dan menyusui yang mengalami defisiensi vitamin A tidak hanya berdampak terhadap 

kesehatan dirinya sendiri, tetapi juga terhadap kesehatan bayinya (Wallingford dan 

Underwood 1986; Underwood 1994). Ibu dengan status gizi yang baik, air susunya 

memiliki 1,92 µmol vitamin A per liter atau setara dengan 54 µg/dL. Sedangkan ibu￾ibu di negara berkembang, pada umumnya hanya dapat memberikan vitamin A 1,05 

µmol/L atau 30 µg/dL (Miller 2003). Komponen lipase yang terkandung di dalam 

ASI mempermudah bayi untuk mencerna vitamin A dari ASI dengan sempurna 

(Fredrickson 1978). Ross (2003) menyebutkan bahwa kandungan vitamin A pada 

ASI bervariasi tergantung pada status vitamin A ibu dan masa menyusui. Masa 

menyusui terbagi menjadi empat fase, yakni colostral (3-5 hari pertama setelah 

melahirkan), transitional (hingga akhir minggu ke-2), mature (selama masa 

menyusui penuh), dan involutional (akhir masa menyusui). Kolostrum ibu yang sehat 

memiliki vitamin A 151 µg/100 mL, ASI masa transisi 88 µg/100 mL, dan ASI 

mature 75 µg/100 mL. 

Uji Penggunaan di Rumah (Home Use Test) 

Suatu metode ilmiah yang digunakan untuk mengukur, menganalisis, dan 

menginterpretasikan respon terhadap suatu produk berdasarkan yang ditangkap oleh 

indera manusia seperti pengelihatan, penciuman, perasa, peraba, dan pendengaran 

didefinisikan sebagai evaluasi sensori oleh Stone dan Sidel (2004). Lawless dan 

Heymann (1998) menambahkan bahwa terdapat tiga jenis metode evaluasi sensori, 

yaitu uji pembeda (difference test), uji deskriptif (descriptive test), dan uji afektif 

(acceptance and preference test). Deteksi terhadap ada atau tidaknya perbedaan dari 

produk-produk yang diuji dapat dilakukan melalui uji pembeda. Melalui uji pembeda 

juga kemampuan panelis dalam mendeteksi suatu sifat sensori dapat diukur. Uji 

pembeda sering dilakukan untuk mengetahui apakah konsumen dapat mendeteksi 

adanya perbedaan pada produk jika bahan bakunya diganti dengan jenis yang lain. 

Dalam uji deskriptif, dibutuhkan keahlian khusus oleh responden karena responden 

diminta untuk menilai dan menjelaskan perbedaan mengenai produk yang diujikan. Metode evaluasi sensori yang ketiga adalah uji afektif yang dilakukan untuk 

mengetahui produk yang disukai atau produk yang lebih disukai oleh responden. 

Dalam uji afektif, responden diminta untuk memberi penilaian terhadap bahan 

pangan serta karakteristik tertentu yang membuatnya memberikan penilaian 

demikian. Uji afektif cenderung bersifat subyektif sehingga sebaiknya panelis yang 

bersikap ekstrim terhadap suatu bahan pangan tertentu tidak diikutsertakan 

(Chambers & Wolf 1996). 

Uji afektif dapat dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan lokasi 

pengujian, yaitu pengujian di laboratorium (sensory laboratory test), pengujian di 

pusat konsumen (central location test), dan pengujian di rumah (Home Use Test = 

HUT). Kondisi pengujian di laboratorium dapat dikontrol oleh peneliti. Pengujian di 

pusat konsumen diselenggarakan di tempat umum seperti pusat perbelanjaan, pasar, 

atau rumah sakit. Pengujian di rumah merupakan kondisi pengujian yang tidak dapat 

dikontrol oleh peneliti karena melibatkan kondisi natural dari konsumen dan 

produknya serta kondisi aktual dari penggunaan produk oleh konsumen 

(Ressurreccion 1998). 

Hasil uji Home Use Test (HUT) dapat menggambarkan secara aktual pola 

konsumsi konsumen. Kondisi pengujian yang berada di rumah, tidak memungkinkan 

peneliti untuk mengontrol kondisi sehingga hasil uji HUT sangat variatif. Ukuran 

sampel yang digunakan dalam uji ini adalah antara 50 sampai 100 responden untuk 

setiap produk yang diujikan (Resurreccion 1998). Kedua produk diberikan secara 

bergantian untuk menghindari terjadinya kesalahan saat memberikan tanggapan pada 

scoresheet (Meilgaard et al. 1999). Metode pengujian dengan HUT dapat digunakan 

untuk pengujian preferensi, penerimaan panelis, serta kinerja dari pemasaran 

(Moskowitz et al. 2012). 

Selanjutnya, menurut Moskowitz et al. (2012), kelebihan dari HUT adalah 

produk diuji pada kondisi lingkungan yang aktual, yaitu pada saat penggunaan di 

rumah secara normal sehingga dapat dikatakan sebagai uji yang paling efektif. 

Respon yang diterima tidak hanya berasal dari panelis, tetapi juga seluruh anggota 

keluarga yang lain. Sedangkan Resurreccion (1998) mengemukakan bahwa 

kekurangan dari uji HUT adalah dibutuhkan waktu yang cukup lama dan memakan 

biaya cukup besar dalam pelaksanaannya. Selain itu, tidak adanya kontrol dari 

peneliti terhadap kondisi pengujian mengakibatkan data yang dihasilkan sangat 

bervariasi. Untuk mengantisipasi kekurangan tersebut, HUT harus dirancang dengan 

sesederhana mungkin, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa yang jelas dan 

mudah dimengerti pada kuesioner. HUT tidak dianjurkan untuk dilakukan pada 

banyak jenis produk karena semakin banyak produk, semakin rumit bagi responden 

untuk berpartisipasi dalam uji ini (Ressurreccion 1998). 

Perilaku Konsumen 

Setiadi (2010) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan yang 

langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk 

atau jasa, serta keputusan yang mendahului atau menyusul tindakan ini. Perilaku 

konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor kebudayaan, faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor psikologis. Faktor kebudayaan yang paling 

mempengaruhi perilaku konsumen terdiri dari sub kebudayaan (kelompok 

kebangsaan, kelompok ras atau area geografis) dan kelas sosial yang relatif permanen 

dan teratur dalam suatu masyarakat dengan perilaku yang sama. 

Simamora (2001) menambahkan bahwa faktor sosial juga mempengaruhi 

perilaku konsumen. Faktor sosial meliputi kelompok rujukan, keluarga, peran, dan 

status sosial konsumen. Kelompok rujukan merupakan suatu kelompok yang menjadi 

titik perbandingan atau tatap muka atau tak langsung dalam pembentukan sikap 

seseorang. Faktor keluarga terdiri dari keluarga orientasi (orang tua) dan keluarga 

prokreasi (suami atau istri). 

Selanjutnya, Simamora (2001) juga menambahkan bahwa perilaku konsumen 

dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti motivasi, persepsi, proses belajar, serta 

kepercayaan dan sikap. Umumnya kebutuhan yang dimiliki seseorang tidak cukup 

kuat untuk memotivasi seseorang untuk bertindak pada suatu saat tertentu. Ketika 

kebutuhan tersebut telah mencapai suatu tingkat tertentu, maka dapat menjadi motif 

bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Proses ketika seseorang 

memilih, mengorganisasikan, dan mengartikan masukan informasi untuk 

menciptakan suatu gambaran yang berarti disebut sebagai persepsi. Proses belajar 

dapat berupa perubahan dalam perilaku seseorang berdasarkan pengalaman yang 

dialaminya. Kepercayaan merupakan suatu gagasan deskriptif yang dimiliki 

seseorang terhadap sesuatu. Sikap mempengaruhi respon yang kita timbulkan dan 

tidak diturunkan tetapi dipelajari dari lingkungan sekitar. 

Perilaku seorang konsumen sangat mempengaruhi keputusan yang 

diambilnya. Faktor yang mempengaruhi keputusan seorang konsumen antara lain 

adalah usia dan tahap daur hidup konsumen, pekerjaan, kondisi ekonomi, gaya hidup, 

kepribadian, dan konsep diri. Usia dan tahap daur hidup mempengaruhi kebutuhan 

dan selera. Pekerjaan membuat seseorang memiliki minat di atas rata-rata terhadap 

produk tertentu. Keadaan ekonomi menggambarkan pendapatan yang dapat 

dibelanjakan (tingkat, stabilitas, pola), tabungan, kemampuan untuk meminjam, dan 

sikap terhadap lawan menabung. Gaya hidup memberikan gambaran terhadap 

kegiatan, minat dan pendapat seseorang. Kepribadian merupakan karakteristik 

psikologis dalam memandang responnya terhadap lingkungan (Setiadi 2010). 

Nutrition behavior (perilaku makan) merupakan suatu bentuk perilaku 

konsumen dalam kehidupan sehari-hari dalam memberikan respon terhadap 

makanan. Perilaku makan meliputi pengetahuan, sikap, dan praktek seseorang 

terhadap makanan, pengelolaan makanan serta gizi yang terkandung di dalamnya 

(Notoatmodjo 1997). Perilaku makan seringkali dipengaruhi oleh kondisi sosial, 

seperti tekanan social dari orang-orang sekitar, perilaku yang menjadi model, dan 

fasilitas sosial. Shepherd (1999) menambahkan bahwa perilaku makan juga 

dipengaruhi kebudayaan, intrapersonal dan psikologis. Budaya memiliki pengaruh 

yang kuat terhadap jenis pilihan pangan. Interaksi sosial mempengaruhi opini 

seseorang terhadap pangan dan perilaku makannya. Minyak goreng yang digunakan masyarakat pada saat ini, baik yang bermerek 

maupun yang dijual dalam bentuk curah, berasal dari minyak sawit mentah (MSMn) 

yang telah mengalami proses pemurnian, di antaranya proses bleaching (pemucatan) 

yang menyebabkan warna minyak goreng menjadi kuning keemasan hingga bening. 

MSMn memiliki kandungan karotenoid yang tinggi, tetapi kandungan karotenoid 

tersebut hilang hingga 80-100% karena proses bleaching. Untuk mengatasi masalah 

kekurangan vitamin A di Indonesia, pemerintah berencana mewajibkan produsen 

minyak goreng untuk memfortifikasi minyak goreng dengan vitamin A sintetis yang 

diimpor dari Jerman. Tentu saja upaya fortifikasi ini tidaklah gratis, biaya 

penambahan vitamin A sintetis dibebankan kepada konsumen sebesar Rp 100,00 per 

liter. Hal ini tidak perlu terjadi karena pada awalnya minyak kelapa sawit telah 

mengandung provitamin A alami dalam jumlah yang melimpah. 

Program SawitA merupakan suatu program yang digagas oleh Fakultas 

Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan PT Smart Tbk. 

Tujuan diselenggarakannya program ini adalah untuk mengatasi masalah kekurangan 

vitamin A di Indonesia dengan memanfaatkan provitamin A alami yang berasal dari 

minyak sawit merah. Dalam program SawitA, dihasilkan produk minyak sawit merah 

baru yang mengandung provitamin A dan vitamin E sangat tinggi dengan harga 

sangat murah (Zakaria et al. 2011). Program yang melibatkan 37 mahasiswa sebagai 

fasilitator dan 79 kader posyandu ini dilakukan di 10 desa yang tersebar di 

Kecamatan Dramaga, Bogor selama dua bulan. Target dari program ini adalah 

masyarakat prasejahtera yang tidak berkemampuan untuk memenuhi kebutuhan 

asupan vitamin A lewat sumber-sumber alami seperti buah dan sayur. Konsumen 

produk SawitA diprioritaskan pada baduta, balita, ibu hamil, ibu menyusui, calon ibu 

dan manula. 

Produk SawitA dibagikan secara cuma-cuma kepada 2142 orang responden 

disertai dengan pengetahuan mengenai produk, seperti bahan baku, manfaat, serta 

cara konsumsi. Pembagian produk dilakukan oleh fasilitator yang dibantu oleh kader 

posyandu sebagai mediator. Kegiatan yang dilakukan dalam program SawitA tidak 

hanya pembagian produk saja, tetapi juga kegiatan edukasi lainnya seperti 

penyuluhan dan Posyandu. Kegiatan yang melibatkan warga desa ini merupakan 

upaya komunikasi dengan masyarakat, baik yang menjadi responden maupun 

masyarakat lainnya yang ingin tahu. Masyarakat yang datang dalam kegiatan SawitA 

memang diutamakan ibu karena perannya sebagai penentu menu yang dikonsumsi 

dalam keluarganya. 

Produk yang dihasilkan program SawitA diberi nama SawitA yang berarti 

minyak sawit merah yang mengandung vitamin A. Terdapat beberapa jenis SawitA 

yang digunakan untuk program ini, yakni SawitA Tumis MSMn, SawitA Manis 

MSMTF, dan SawitA Gurih MSMTF. Perbedaan produk terletak pada bahan yang 

ditambahkan, yaitu larutan gula pada SawitA Manis dan bumbu bawang kering pada 

SawitA Gurih. Produk SawitA yang digunakan dalam penelitian ini hanya dua jenis, 

yaitu SawitA Tumis MSMn yang selanjutnya akan disebut sebagai MSMn (Gambar 

7) dan SawitA Gurih MSMTF yang selanjutnya akan disebut sebagai MSMTF. SawitA diproduksi di Techno Park IPB dengan menggunakan bahan baku 

berupa minyak sawit mentah yang berasal dari PT Smart Tbk Jakarta. Sebagian dari 

bahan baku langsung dikemas menjadi SawitA Tumis MSMn sedangkan sebagian 

lagi diproses lebih lanjut menjadi SawitA MSMTF. Produk MSMn langsung 

dituangkan ke dalam kemasan botol berisi 140 mL. MSMn mengalami pengolahan 

lebih lanjut menjadi SawitA Gurih MSMTF dan SawitA Manis MSMTF. Untuk 

membuat satu botol SawitA Gurih (140 mL) ditambahkan bawang kering sebanyak 5 

gram yang dibuat dari irisan bawang merah yang dikeringkan selama 5 jam 

kemudian diblender. Sedangkan untuk membuat SawitA manis ditambahkan larutan 

gula dengan perbandingan 10:1, kemudian dihomogenisasi dan dikemas. Produk 

SawitA memiliki nomer pendaftaran P-IRT No. 207320101871. Karakteristik kimia 

MSMn, neutralized red palm oil (NRPO), dan MSMTF terdapat pada Tabel 9. Produk SawitA merupakan minyak sawit mentah yang ditujukan untuk 

dikonsumsi secara langsung sehingga harus memenuhi persyaratan keamanan yang 

berlaku. Persyaratan keamanan produk SawitA mengacu kepada SNI 01-3741-2002 

untuk minyak makan (Tabel 11). Pengujian keamanan minyak makan menggunakan 

parameter kandungan logam berat. Analisis logam berat terhadap MSMn dan 

MSMTF telah dilakukan di laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian 

(TIN). Kandungan logam berat yang terdapat pada MSMn, NRPO, dan MSMTF 

tidak berbeda antar ketiganya dan secara keseluruhan berada di bawah standar logam 

berat yang ditetapkan dalam SNI minyak makan. Hasil pengujian logam berat pada 

MSMn, NRPO, dan MSMTF disajikan dalam Tabel 10.

Parameter lain yang merupakan indikator keamanan produk minyak makan 

adalah bilangan peroksida. Hasil pengujian terhadap MSMn dan MSMTF 

menunjukkan tidak terdeteksinya bilangan peroksida atau nol. Kandungan asam 

lemak bebas dalam MSMn dan MSMTF masih tergolong tinggi dibandingkan 

dengan minyak goreng karena tidak mengalami proses pemurnian, yakni tidak lebih 

dari 5%. Hal ini tidak berbahaya sama sekali karena pada dasarnya semua lemak 

yang dikonsumsi nantinya akan dicerna dalam bentuk asam lemak bebas di dalam 

tubuh. Rismawati (2009) memperkuat bahwa meskipun kandungan asam lemak 

bebas dalam MSMn cukup tinggi tetapi tidak terdeteksi adanya senyawa peroksida 

oleh sebab adanya kandungan karotenoid yang tinggi sebagai antioksidan.

Tujuan utama dari program SawitA adalah untuk mengurangi permasalahan 

kekurangan vitamin A di Indonesia dengan memanfaatkan provitamin A yang 

terkandung dalam minyak sawit mentah. Keluarga yang menjadi responden di Desa 

Neglasari berjumlah 22 keluarga dengan kisaran jumlah anggota keluarga 2-10 

orang. Pengukuran jumlah konsumsi SawitA dilakukan melalui pengamatan jumlah 

botol SawitA isi 140 mL yang diberikan pada 1 keluarga. Idealnya, satu botol produk 

SawitA isi 140 mL untuk satu keluarga satu minggu. Namun pada kenyataannya, 

banyak keluarga menghabiskan satu kemasan SawitA dalam 2 minggu. Berdasarkan 

hal tersebut, maka penulis melakukan monitoring setiap 2 minggu sekali. Penulis 

melakukan kunjungan pada setiap akhir minggu untuk memeriksa seberapa banyak 

produk yang tersisa dalam botol. Bila produk telah habis, maka akan diberikan 

produk yang baru. Jika tersisa sedikit atau sekiranya tidak cukup untuk konsumsi 

seminggu, maka penulis akan memberikan produk yang baru. Jika tersisa masih 

cukup banyak, maka penulis tidak memberikan produk. Penulis mencatat berapa 

botol produk yang telah diberikan tiap keluarga selama 2 bulan program berlangsung. 

Setiap keluarga (22 KK di Desa Neglasari) setidaknya pernah mendapatkan 1 

botol MSMn dan 1 botol MSMTF. Setiap minggu monitoring, penulis mengamati 

sisa produk dan segera memberikan produk baru jika sudah habis. Jumlah produk 

SawitA yang diberikan kepada tiap keluarga bervariasi antara 2-5 botol selama 2 

bulan. Jumlah SawitA yang diberikan kepada satu keluarga kemudian dibagi dengan 

jumlah anggota keluarga yang turut mengkonsumsi produk meskipun tidak termasuk 

sebagai responden utama lalu dibagi 30 hari sehingga didapatkan jumlah konsumsi 

SawitA (g) per orang per hari. Perhitungan bobot yang dikonsumsi menggunakan 

pertimbangan bobot jenis MSMn yaitu 0,859-0,870 g/mL (Ketaren 2005) lalu dirata￾rata. Angka konsumsi karoten didapat dengan mengalikan rata-rata konsumsi SawitA 

per orang per hari dengan kandungan karoten dalam MSMn yang menurut Choo et 

al. (1994) berkisar antara 500-700 ppm sehingga diambil nilai tengahnya yaitu 600 

ppm. Responden pada umumnya mengkonsumsi produk dengan cara diolah terlebih 

dahulu yang melibatkan proses pemanasan. Karoten merupakan komponen yang 

rentan terhadap proses pemanasan. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan 

oleh Rismawati (2009), terjadi penurunan kadar karotenoid total pada MSM setelah 

penggorengan ke-1 sebanyak 23,9%. Asupan retinol atau vitamin A (RE per orang 

per hari) didapat dengan mempertimbangkan ketetapan oleh FAO/WHO pada tahun 

1988 di mana pada tingkat asupan β-karoten kurang dari 1.000 µg, maka 1µg retinol 

(atau 1 RE) setara dengan 4 µg β-karoten. Angka asupan vitamin A yang berasal dari 

konsumsi MSMn dan MSMTF kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan 

gizi (AKG) vitamin A secara umum yaitu 500 RE. 

Pada Tabel 24 disajikan sebaran konsumsi produk SawitA dan asupan 

vitamin A yang berasal dari MSMn dan MSMTF. Data pada Tabel 24 kemudian 

diolah menggunakan program @RISK 6.0.1 untuk mendapatkan kurva distribusi 

konsumsi produk SawitA dan asupan vitamin A. Konsumsi produk SawitA pada 

responden di Desa Neglasari berkisar antara 0,5043 – 2,0172 gram per orang per hari 

dengan rata-rata setiap orang mengkonsumsi 1,4309 gram per hari. Jika 1 sendok 

makan MSMn memiliki bobot sekitar 4 g, maka dapat dikatakan bahwa setiap 

harinya setiap orang mengkonsumsi sepertiga sendok makan lebih SawitA. Kurva distribusi konsumsi dan asupan vitamin A merupakan kurva distribusi normal 

masing-masing dengan fungsi RiskNormal (1,4309 ; 0,42216) dan RiskNormal 

(163,33 ; 48,189). Asupan vitamin A yang berasal dari konsumsi produk SawitA 

berkisar antara 58 – 230 RE per orang per hari, dengan rata-rata asupan vitamin A 

163 RE per orang per hari. Dengan demikian, dengan mengkonsumsi SawitA 

seseorang dapat memenuhi 33% AKG untuk vitamin A per harinya. Kurva distribusi 

normal konsumsi SawitA dan asupan vitamin A terhadap frekuensi konsumsi 

disajikan pada Gambar 13 dan 14. Kisaran nilai maksimum, minimum, rata-rata, dan 

standar deviasi distribusi konsumsi SAwitA dan asupan vitaminA disajikan pada 

Tabel 25. Vitamin A merupakan zat gizi mikro yang sangat penting untuk tercukupi 

kebutuhannya selama masa kehamilan dan menyusui. Vitamin A berperan dalam 

diferensiasi sel, suatu tahap pertumbuhan yang sangat kritikal bagi bayi. Kekurangan 

vitamin A (KVA) dapat mengakibatkan penurunan sistem imun yang mengakibatkan 

peningkatan angka kematian karena penyakit menular. Peningkatan konsumsi pangan 

yang kaya provitamin A lebih dianjurkan dibandingkan dengan peningkatan asupan 

vitamin A dengan suplemen karena asupan vitamin A yang sangat tinggi bersifat 

teratogenik (Watson dan Wall 2002). Tidak ditemukan adanya korelasi antara kadar 

retinol pada plasma dengan kadar retinol pada ASI (Meneses dan Trugo 2005; 

Azeredo dan Trugo 2007). Ibu hamil dan menyusui membutuhkan asupan vitamin A 

800-850 RE per hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004). 

Penggunaan kadar vitamin A pada ASI dalam menentukan status vitamin A 

memiliki banyak kelebihan, antara lain adalah cara pengumpulan sampel yang lebih 

mudah dan tidak membutuhkan biaya besar. Kadar vitamin A pada ASI merupakan 

salah satu indikator unik yang dianjurkan oleh WHO untuk menentukan status 

vitamin A ibu menyusui dan bayinya (Stoltzfus dan Underwood 1995). Pengukuran 

konsentrasi retinol pada ASI merupakan indikator yang lebih responsif dibandingkan 

dengan konsentrasi retinol dalam serum (Stoltzfus et al. 1993). Akan tetapi, retinol 

pada ASI merupakan retinol bebas yang tidak terikat pada protein (RBP) sehingga 

rentan kerusakan. Oleh karena itu, diperlukan tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam 

pengumpulan dan penyimpanan sampel. Sampel ASI harus terhindar dari cahaya dan 

disimpan pada suhu (-200C). 

Kepada 9 orang responden yang diambil ASI-nya hanya diberikan MSMn 

selama 2 bulan dengan tujuan untuk mempermudah proses penelitian karena asupan 

beta karoten berasal dari satu sumber saja. Satu botol SawitA cukup untuk memenuhi 

kebutuhan vitamin A keluarga selama 1 minggu dengan takaran penggunaan 4 

mL/orang/hari atau setara dengan 1-2 sendok per hari. 

Pengukuran konsentrasi retinol pada sampel ASI didahului oleh tahap 

pembuatan kurva standar retinol eksternal (Dary dan Arroyave 1996). Kurva standar 

eksternal retinol dibuat dalam deret konsentrasi 1,00 (μg/mL), 1,25 (μg/mL), 2,00 

(μg/mL), 2,50 (μg/mL), 5,00 (μg/mL), dan 10,00 (μg/mL) seperti pada Lampiran 10. 

Sumbu x pada kurva standar merupakan konsentrasi retinol standar (µg/mL) 

sedangkan sumbu y adalah luas area peak HPLC (cm2

). Konsentrasi retinol 

berbanding lurus dengan luas area peak HPLC. Semakin tinggi konsentrasi retinol 

yang terdeteksi, maka semakin tinggi puncaknya. Waktu retensi dari retinol yang 

terdeteksi adalah antara 7,3 – 7,5 menit. Persamaan kurva standar yang didapatkan 

adalah y = 26764x - 16906 dengan nilai R2

 = 0,9961 sehingga kurva standar yang 

dihasilkan dapat dikatakan baik dan dapat digunakan dalam penghitungan 

konsentrasi sampel. 

Dari sembilan (9) responden yang dianalisis kadar retinol dalam ASI, hanya 6 

data yang digunakan sedangkan 3 lainnya merupakan pencilan. Hasil analisis retinol 

ASI dibandingkan antara sebelum dan sesudah konsumsi MSMn.Tabel 26 menunjukkan kadar retinol ASI sebelum dan setelah intevensi serta 

persentase peningkatan atau penurunan. Kadar retinol ASI sebelum intervensi 

berkisar antara 0,45 – 1,49 µg/mL dengan rata-rata 0,73 µg/mL. Kadar retinol ASI 

setelah intervensi berkisar antara 0,67 – 1,70 µg/mL dengan rata-rata 0,93 µg/mL. 

Secara umum, konsumsi MSMn dapat meningkatkan kadar retinol pada ASI. Hasil 

analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan kadar retinol ASI antara 

sebelum dan sesudah mengkonsumsi MSMn selama 2 bulan (p<0,05). 

Terdapat lima orang responden yang mengalami peningkatan kadar retinol 

dalam ASI antara sebelum dan sesudah mengkonsumsi MSMn yang merupakan 

sumber provitamin A dan diketahui dapat memperbaiki status vitamin A pada ibu 

dan bayi. Peningkatan kadar retinol pada ASI merupakan indikasi bahwa jumlah 

karotenoid yang dikonsumsi responden telah mencukupi kebutuhan vitamin A 

sehingga retinol yang tersedia dapat disalurkan ke ASI. Permaesih (2009) 

menyimpulkan bahwa terjadi kenaikan kadar retinol ASI dan cadangan vitamin A 

dalam hati pada responden yang diberi 2 kapsul vitamin A selama dua hari dan 

ditambah minyak goreng yang difortifikasi vitamin A selama 80 hari. 

Pada satu responden mengalami penurunan kadar retinol ASI setelah 

mengkonsumsi MSMn. Kanda et al. (1990) mengungkapkan pada bahwa tikus yang 

mengalami peradangan terjadi penurunan kadar vitamin A pada serum yang diduga 

karena terjadi peningkatan konsumsi vitamin A pada bagian yang mengalami 

peradangan. 

Berdasarkan Emmet dan Rogers (1997), kandungan vitamin A dalam ASI 

sangat dipengaruhi oleh asupan makanan ibu selama masa kehamilan dan menyusui. 

Ross (2003) mengatakan bahwa kandungan retinol dalam ASI pada masa transisi 

adalah 88 µg/100 mL atau sama dengan 0,88 µg/mL, sedangkan ASI yang sudah 

mencapai akhir fase menyusui mengandung retinol 75 µg/100 mL atau 0,75 µg/mL. 

Rendahnya kandungan retinol ASI pada ibu-ibu di Indonesia dan juga negara 

berkembang lainnya pada umumnya disebabkan oleh kurangnya asupan makanan 

yang mengandung vitamin A dan tingginya angka kelahiran yang disertai dengan 

lamanya menyusui bayi (Miller et al. 2002). Shi (2010) menambahkan bahwa 

pemilihan jenis makanan yang lebih banyak mengkonsumsi telur dan nasi merupakan 

salah satu penyebab rendahnya konsentrasi retinol pada ASI.

Waktu pengambilan ASI juga mempengaruhi kadar karotennya. Kadar 

karoten pada ASI yang berasal dari payudara yang hampir kosong lebih tinggi (hind 

milk) dibandingkan dengan yang penuh ASI (fore milk) (Jackson et al. 1998). Menses dan Trugo (2005) menyatakan terdapat korelasi antara jumlah anak 

dengan kadar retinol pada ASI, yaitu bahwa ASI dari ibu yang telah melahirkan lebih 

dari 1 anak memiliki kadar retinol yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang 

baru memiliki 1 anak. Kadar retinol pada ASI berasosiasi positif dengan kadar zat 

besi pada ASI, kadar retinol pada serum, pekerjaan ibu, usia ibu, dan jenis 

kontrasepsi oral yang digunakan, tetapi tidak berasosiasi dengan lemak tubuh (Neto 

et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik 

responden telah sesuai dengan tujuan program SawitA yaitu responden yang 

termasuk dalam kategori prasejahtera di Desa Neglasari dan Sukadamai. Meskipun 

rataan pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan batas kemiskinan, tetapi 

mayoritas responden berpendapat masih di bawah garis kemiskinan (67,2%). Rataan 

usia responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 25,19 tahun yang tergolong 

usia produktif sehingga memungkinkan untuk menerima pengetahuan baru dengan 

baik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan terhadap pengetahuan 

mengenai minyak sawit dan produknya setelah sosialisasi selama 2 bulan. 

Produk SawitA mendapat respon awal yang sangat baik dari responden. 

Begitu juga halnya dengan respon terhadap atribut rasa, aroma, warna, dan overall 

produk MSMn dan MSMTF yang dibuktikan dengan lebih dari 80% responden 

menyatakan “mau”. Responden memiliki kebiasaan pengolahan pangan dengan cara 

ditumis atau digoreng. Dalam mengkonsumsi produk SawitA, cara yang paling 

sering dilakukan adalah dengan menumis makanan. Sebanyak 52% responden lebih 

menyukai produk SawitA Gurih MSMTF dibandingkan dengan SawitA Tumis 

MSMn karena aroma yang tidak menyengat dan rasa yang terasa lebih gurih. Pada 

umumnya, responden menyatakan semakin dapat menerima produk untuk digunakan 

sehari-hari. 

 Konsumsi produk SawitA pada responden di Desa Neglasari berkisar antara 

0,5043 – 2,0172 g/orang/hari dengan rata-rata 1,4309 g/orang/hari. Nilai maksimum 

dari konsumsi produk SawitA menurut hasil simulasi dengan pengulangan 10000 kali 

adalah 3,0336 g/orang/hari. Asupan vitamin A yang berasal dari MSMn dan MSMTF 

berkisar antara 58 – 230 RE/orang/hari, dengan rata-rata 163 RE/orang/hari sehingga 

dapat memenuhi 33% AKG vitamin A. Nilai maksimum dari asupan vitamin A yang 

berasal dari MSMn dan MSMTF berdasarkan hasil simulasi dengan pengulangan 

10000 kali adalah 361 RE/orang/hari. 

Kadar retinol pada ASI 6 orang responden sebelum intervensi berkisar antara 

0,45 – 1,49 µg/mL dengan rata-rata 0,73 µg/mL. Kadar retinol pada ASI setelah 

intervensi berkisar antara 0,67 – 1,70 µg/mL dengan rata-rata 0,93 µg/mL. Dengan 

demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi MSMn dapat meningkatkan kadar retinol 

pada ASI secara signifikan (p<0,05).

















Persoalan kekurangan vitamin A (KVA) di Indonesia sudah menjadi masalah 

yang serius. Vitamin A memang tidak dapat dihasilkan di dalam tubuh oleh karena 

itu perlu mendapat suplai dari makanan yang dikonsumsi. Kondisi KVA pada 

umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi yang memicu timbulnya gizi buruk. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, Jawa Barat merupakan 

provinsi dengan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi yakni sebesar 10,57%. 

Sedangkan Kabupaten Bogor yang merupakan bagian dari Jawa Barat memiliki 

persentase penduduk miskin sebesar 9.97%. 

Defisiensi vitamin A banyak terjadi pada balita dan anak-anak. Air susu ibu 

(ASI) menjadi satu-satunya sumber asupan zat gizi bagi bayi berusia 4 hingga 6 

bulan pertama. Status gizi ibu menyusui harus diperhatikan agar dapat memenuhi 

kebutuhan gizi bayinya. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi 

permasalahan KVA di Indonesia, salah satu caranya adalah melalui suplementasi dan 

fortifikasi. World Health Organization menganjurkan asupan vitamin A untuk bayi 

usia di bawah 1 tahun adalah 350 retinol ekivalen (RE) per hari. Sedangkan untuk 

anak usia 1-10 tahun, konsumsi vitamin A yang dianjurkan adalah 400 RE per hari. 

Ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi 600 RE per hari dan ibu menyusui dianjurkan 

menambah konsumsi vitamin A hingga 850 RE per hari. Selain berfungsi untuk 

perkembangan organ pengelihatan, vitamin A memiliki peran penting dalam proses 

diferensiasi sel. Diferensiasi sel merupakan proses yang vital pada saat pertumbuhan 

bayi. 

Minyak kelapa sawit merupakan sumber alami kelompok karotenoid, 

tokoferol, dan tokotrienol yang melimpah. Dalam proses pembuatan minyak goreng, 

minyak kelapa sawit mengalami beberapa tahapan proses, yakni ekstraksi, 

degumming, deodorisasi, fraksinasi, dan bleaching. Proses tersebut merusak karoten 

dan komponen minor lainnya. Minyak sawit mentah (MSMn) merupakan produk 

pengolahan minyak kelapa sawit melalui proses ekstraksi dan klarifikasi untuk 

mempertahankan kandungan karotenoid, tokoferol, dan tokotrienol tetap tinggi. 

MSMn mengandung 500-700 ppm karotenoid (Choo et al. 1994). Jatmika dan 

Guritno (1997) mengemukakan bahwa kadar karoten pada MSMn 60 kali lebih tinggi 

dibandingkan pada minyak goreng. Oleh karena kandungan karotenoid yang tinggi, 

MSMn sangat berpotensi untuk mengurangi masalah defisiensi vitamin A di 

Indonesia. Produk turunan MSMn yang lainnya adalah minyak sawit merah tanpa 

fraksinasi (MSMTF). MSMTF dibuat dari MSMn yang melalui proses netralisasi dan 

deodorisasi. 

Program SawitA merupakan program yang menerapkan teknologi proses 

minimal pada minyak sawit sehingga menghasilkan minyak sawit mentah (MSMn) 

yang masih mengandung komponen karotenoid alami dalam jumlah tinggi. Program 

yang berada di bawah bimbingan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) dan PT 

Smart Tbk ini merupakan salah satu bentuk Corporate Social Responsibility (CSR). 

Produk SawitA ini diharapkan dapat menjadi penyelesaian dari masalah KVA diIndonesia dengan memanfaatkan kandungan provitamin A alami (Zakaria et al.

2011). Rangkaian kegiatan program SawitA selama 2 bulan meliputi sosialisasi, 

edukasi, dan monitoring responden yang tergolong keluarga prasejahtera di 

Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Produk SawitA merupakan 

produk baru dan masyarakat tidak terbiasa mengkonsumsi MSMn, maka uji 

penerimaan konsumen penting dilaksanakan untuk melihat respon dari calon 

konsumen terhadap produk. Selama program berlangsung, produk SawitA berupa 

MSMn dan MSMTF diberikan secara cuma-cuma kepada 2142 responden. Penelitian 

ini merupakan bagian dari program SawitA keseluruhan yang menggunakan 61 orang 

responden saja. Selain itu, juga dilakukan analisis kandungan retinol pada sampel 

ASI 9 responden.