Tanaman kelapa sawit (Elaeis quineensis Jacq.) merupakan jenis tanaman
tropis yang berasal dari Afrika. Pada tahun 1840-an, tanaman kelapa sawit mulai
diperkenalkan di Indonesia sebagai tanaman hias yang ditandai dengan ditanamnya
pohon kelapa sawit pertama di Kebun Raya Bogor. Sejak saat itu, tanaman tersebut
menyebar dengan sangat cepat khususnya di wilayah Asia Tenggara. Kondisi iklim
yang mendukung membuat tanaman kelapa sawit dapat tumbuh subur di negaranegara khususnya di wilayah Asia Tenggara. Hingga saat ini, dua negara dengan
lahan kelapa sawit terluas adalah Indonesia dan Malaysia, keduanya terletak di Asia
Tenggara (Fife 2007). Taksonomi tanaman kelapa sawit disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi ilmiah kelapa sawit
Klasifikasi ilmiah
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Famili : Arecaceae
Genus : Elaeis Jacq.
Sumber : Ketaren (2005)
Kelapa sawit merupakan jenis tanaman berkeping satu yang termasuk ke
dalam famili Arecaceae. Tanaman kelapa sawit tumbuh dengan baik pada daerah
beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan temperatur udara 22 – 320C
(Ketaren 2005). Muchtadi (1993) menyebutkan bahwa kelapa sawit dibedakan
berdasarkan ketebalan tempurung dan buahnya, yaitu Dura, Pisifera, Tenera, Macro
Carys, dan Diwikka-Wakka. Varietas Dura memiliki tebal tempurung antara 2 hingga
8 mm, persentase daging buah dengan buahnya bervariasi antara 35-50%, serta
kandungan minyak yang rendah pada bagian bijinya (kernel). Tempurung yang tipis
dengan daging buah (mesokarp) yang tebal merupakan ciri dari kelapa sawit jenis
Pisifera. Bila terjadi penyerbukan silang antara jenis Dura dan Pisifera, maka akan
menghasilkan jenis Tenera. Dengan tempurung yang tipis dan persentase yang tinggi
antara daging buah dan buah, yaitu antara 60-96%, serta jumlah tandan buah yang
relatif lebih banyak membuat kelapa sawit jenis Tenera banyak ditanam di
perkebunan-perkebunan saat ini. Kelapa sawit jenis Macro Carys memiliki
tempurung yang tebal dengan daging buah yang sangat tipis. Varietas DiwikkaWakka memiliki dua lapisan daging buah. Perbedaan ketebalan daging buah
merupakan faktor yang penting, sebab menentukan rendemen minyak sawit yang
dihasilkannya.
Varietas dan umur kelapa sawit menentukan warna buah kelapa sawit. Buah
yang masih muda berwarna hijau muda hingga hijau hitam dan semakin tua akan
menjadi warna kuning muda hingga pada saatnya matang berwarna jingga (Muchtadi 1993). Secara anatomi, buah kelapa sawit terdiri atas 80% bagian perikarp dan 20%
bagian biji. Bagian perikarp tersusun atas bagian kulit buah yang keras yang disebut
epikarp dan bagian daging buah atau mesokarp. Bagian biji terdiri dari bagian
endocarp, endosperm, dan lembaga embrio. Bagian endocarp merupakan tempurung
biji yang berwarna hitam dan keras, sedangkan endosperm adalah bagian daging biji
yang berwarna putih. Dari bagian endosperm inilah dapat dihasilkan minyak inti
sawit atau palm kernel oil (PKO).
Hasil utama dari kelapa sawit adalah minyak kelapa sawit. Kualitas produk
yang diinginkan dapat dihasilkan apabila pemanenan kelapa sawit dilakukan pada
saat kadar minyak pada mesokarp mencapai maksimum dan kandungan asam lemak
minimum (Ketaren 2005). Dalam kondisi matang, bagian mesokarp mengandung
49% minyak sawit kasar, 35% air, dan 16% padatan non minyak (Pusat Penelitian
Kelapa Sawit 2003). Berdasarkan penelitian, terdapat hubungan yang linier antara
kandungan minyak pada mesokarp dengan jumlah buah yang rontok pada tiap tandan
(Ketaren 2005). Selain minyak yang diekstraksi dari bagian mesokarp, tanaman
kelapa sawit juga menghasilkan minyak inti kelapa sawit yang berasal dari bungkil
inti kelapa sawit. Meskipun berasal dari tanaman yang sama, tetapi kedua jenis
minyak ini berbeda. Minyak yang berasal dari bagian mesokarp memiliki jenis asam
lemak dominan asam pamitat (40-46%), sedangkan asam lemak dominan pada
minyak inti sawit adalah asam laurat, yaitu berkisar antara 46-52% (Ketaren 2005 –
Eckey SW 1955).
Gambar 1. Penampang kelapa sawit (Pahan 2008)
Cara pemanenan buah kelapa sawit menentukan kualitas minyak yang
dihasilkan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pemanenan kelapa sawit adalah
kriteria panen yang meliputi matang panen, cara dan alat panen, rotasi dan sistem
panen, dan mutu panen harus diperhatikan (Muchtadi 1993). Tandan buah kelapa
sawit yang memar akan membawa banyak tanah dan kotoran yang dapat menjadi
sumber kontaminasi mikroorganisme, logam, terutama besi, sehingga dapat
mempercepat peningkatan kandungan asam lemak bebas (Pusat Penelitian Kelapa
Sawit 2003). Kondisi buah yang rusak dapat menurunkan daya pemucatan dari
minyak sawit mentah yang diperoleh, selain itu warna dari inti buah yang rusak juga
cenderung lebih gelap (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003).
Pembentukan minyak pada bagian mesokarp dan inti sawit terjadi 100 hari
setelah penyerbukan kemudian terhenti jika minyak dalam buah sudah jenuh yakni
pada saat kurang lebih 180 hari. Ketika pembentukan minyak sudah tidak terjadi lagi,
maka yang terjadi adalah proses pemecahan trigliserida menjadi asam lemak bebas
dan gliserol (Naibaho 1998).
Tanaman kelapa sawit membentuk senyawa kimia untuk melindungi minyak
dari oksidasi oleh sinar matahari, yaitu karoten dan fitol. Pembentukan karoten pada tanaman kelapa sawit dapat dikenali pada saat terjadi perubahan warna buah dari
yang tadinya hitam kehijau-hijauan menjadi ungu kehijau-hijauan (Naibaho 1998).
Minyak Sawit Mentah (MSMn)
Dalam Yuliawan (1997) dijabarkan bahwa proses pembuatan minyak sawit
mentah (MSMn) melalui beberapa tahapan antara lain adalah perebusan, perontokan,
pencacahan, ekstraksi, dan klarifikasi.
Perebusan
Tujuan dari perebusan adalah menginaktivasi enzim lipase dan oksidase,
melepaskan buah dari spiklet, menurunkan kadar air, memecah emulsi, melepaskan
serat dan biji, dan membantu proses pelepasan inti dari cangkang. Enzim lipase dan
oksidase yang masih aktif dalam buah yang sudah dipanen dapat dihentikan dengan
cara pemanasan pada suhu 1200C untuk menghentikan aktivitas enzim (Naibaho
1998). Agar didapatkan hasil yang optimum, perebusan dilakukan dalam kondisi
tekanan uap 2,8-3,0 kg/cm2
dengan lama perebusan 90 menit. Tekanan uap dan
waktu perebusan yang tidak cukup akan mengakibatkan peningkatan kehilangan
minyak, sedangkan perebusan yang terlalu lama akan menyebabkan penurunan mutu
minyak (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003). Buah dapat terlepas dari spiklet
dengan cara menghidrolisis komponen hemiselulosa dan pektin pada pangkal buah
yang dipercepat dengan adanya pemanasan. Penurunan kadar air pada buah dan inti
sawit dapat menyebabkan terbentuknya rongga-rongga kosong sehingga
memudahkan proses pengeluaran minyak. Minyak yang terkandung dalam buah
berbentuk emulsi dan akan lebih sulit dikeluarkan jika dibandingkan bila dalam
bentuk minyak. Proses pemanasan dapat menyebabkan terpisahnya fraksi air dengan
minyak sehingga minyak dapat dengan mudah diekstrak. Serat dilepaskan dari buah
agar lignin tidak menghalangi keluarnya minyak.
Perontokan
Proses perontokan dilakukan untuk memisahkan antara buah dari tandannya.
Buah sawit yang rontok inilah yang diproses lebih lanjut untuk diambil minyaknya.
Proses perontokan buah menggunakan bantuan perputaran mesin perontok.
Pencacahan
Buah sawit yang telah dirontokkan kemudian mengalami proses pencacahan
untuk memudahkan pengeluaran minyak dari daging buah. Proses pelumatan buah
dilakukan dengan menginjeksikan uap 3 kg/cm2
sehingga tercipta kondisi suhu 90-
950C dalam digester selama 30 menit. Dalam proses pelumatan ini, terdapat juga
minyak yang terekstrak dari buah yang segera harus dialirkan keluar agar tidak
mengganggu pisau pelumat dalam digester (Pusat Penelitian Kelapa Sawit 2003).
Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan tujuan untuk mengeluarkan minyak yang
terkandung dalam daging buah. Proses ekstraksi dapat dilakukan secara mekanis dengan alat kempa ataupun dengan secara kimia dengan metode “solvent extraction”.
Sebuah alat kempa (screw press) memiliki sebuah silinder (press cylinder) yang
berlubang-lubang dan di dalamnya dilengkapi 2 buah ulir yang akan berputar
berlawanan arah. Pengepresan berlangsung dalam kondisi tekanan 50-60 bar. Untuk
menghasilkan minyak dengan viskositas yang tinggi, digunakan air pembilas screw
press dengan suhu 90-950C sebanyak 7% dari berat tandan buah segar (Pusat
Penelitian Kelapa Sawit 2003).
Klarifikasi
Klarifikasi dilakukan untuk memisahkan minyak dari kotoran. Tahapan dari
proses klarifikasi berdasarkan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (2003) adalah
pengendapan, sentrifugasi, dan penguapan. Cairan minyak kasar hasil proses ektraksi
pertama-tama akan memasuki tangki pengendap pasir (sand trap tank), saringan
bergetar (vibrating screen), tangki minyak kasar (crude oil tank), decanter, tangki
pemisah, tangki pemasakan minyak, sentifusi minyak, tangki apung, pengeringan
minyak, timbangan minyak, tangki sludge, saringan berputar, pre-cleaner, sentrifusi
sludge, tangki minyak kutipan, tangki penampung minyak, bak penampung minyak,
dan terakhir tangki penampungan minyak. Minyak hasil ektraksi dialirkan menuju
tangki pengendap pasir kemudian udara panas diinjeksikan ke dalam tangki untuk
mempermudah proses pemisahan pasir dari minyak. Benda asing berupa padatan
yang masih ikut tercampur dengan minyak dipisahkan menggunakan vibrating
screen. Selanjutnya, minyak dipompakan ke tangki pemisah dengan
mempertahankan suhu minyak 90-950C. Lumpur atau air yang masih terkandung di
dalam minyak dipisahkan dengan dua cara, yaitu pertama menggunakan gaya
sentrifugal dengan kecepatan putaran 6000 rpm oleh alat yang disebut decanter dan
dilanjutkan dengan proses pengendapan dalam tangki pemisah. Pemisahan lumpur
dari minyak menggunakan prinsip perbedaan berat jenis, lumpur yang memiliki berat
jenis lebih besar dari minyak akan mengendap sehingga mudah dipisahkan. Minyak
yang telah bersih dari lumpur dan air mengalami proses pemanasan lagi sebelum
menuju pengolahan lebih lanjut, yaitu menuju sentrifusi minyak di mana air yang
masih terkandung di dalam minyak sebanyak ± 0,50-0,70% dipisahkan menggunakan
gaya sentrifugal 5000-6000 rpm. Pemisahan air dari minyak dilakukan 2 tahap, selain
menggunakan gaya sentrifugal juga menggunakan penguapan dalam ruang hampa
(vacuum dryer).
Proses klarifikasi tidak hanya memproses minyak kasar tetapi juga sludge
atau lumpur yang dipisahkan dari minyak. Lumpur hasil pemisahan yang masih
mengandung minyak sebanyak 7-9% ditampung kembali dalam tangki sludge
selanjutnya dipompa menuju saringan berputar untuk memisahkan serabut dan
desander untuk memisahkan bagian pasir. Pengutipan minyak dari sludge yang sudah
bersih dari serabut dan pasir berlangsung di dalam sludge separator dengan
memanfaatkan gaya sentrifugal. Minyak hasil pengutipan dialirkan menuju tangki
minyak kutipan yang kemudian dicampur dengan minyak hasil pemurnian.
Komponen penyusun MSMn (Tabel 2) didominasi oleh trigliserida (> 90%),
digliserida (5,3-7,7%), monogliserida (0,21-0,34%), asam lemak bebas (2,4-4,5%),
dan komponen minor (1%) (Goh dan Timms 1985). Digliserida dan monogliserida,
sebagai produk hidrolisis dari trigliserida, memiliki peran penting dalam
pembentukan sifat fisik minyak. Siew dan Ng (1999) menjelaskan bahwa keberadaan
digliserida dalam minyak merupakan indikasi terjadinya proses pembentukan inti nukleasi) yang merupakan prekursor terjadinya kristalisasi dan presipitasi pada
minyak. Diagram alir proses produksi minyak sawit mentah disajikan pada Gambar Tabel 2. Komposisi monogliserida, digliserida, dan trigliserida dalam minyak sawit
mentah (MSMn)
Komponen Komposisi (%)
Trigliserida >90
Digliserida 5,30 – 7,70
Monogliserida
Asam lemak bebas
Komponen minor
0,21 – 0,34
2,40 – 4,50
1
Sumber : Goh dan Timms (1985); Goh et al. (1985)
Basiron (2005) mengatakan bahwa struktur dan posisi asam lemak penyususn
suatu trigliserida sangat mempengaruhi titik lelehnya. Susunan asam lemak juga
mempengaruhi sifat fisik suatu lemak dan minyak. Minyak berwujud padat dalam
suhu kamar karena kandungan asam lemak jenuhnya tinggi, seperti asam palmitat
dan stearat yang memiliki titik cair tinggi pada suhu kamar.
Karakteristik fisik dan kimia MSMn meliputi warna, bau dan flavor, indeks
bias, bilangan iod, titik cair, dan bobot jenis. Warna dari MSMn yang seperti
campuran jingga-kekuningan berasal dari komponen karoten yang terlarut dalam
MSMn, yakni sebanyak 500-700 ppm (Choo et al. 1994). Bau dan flavor dalam
minyak dapat berasal dari dua sumber, yakni secara alami yang disebabkan oleh
keberadaan senyawa beta-ionone, atau dapat disebabkan oleh asam lemak rantai
pendek yang timbul akibat kerusakan minyak (Ketaren 2005). Titik cair minyak
sangat dipengaruhi oleh jenis asam lemak penyusunnya. Beberapa parameter sifat
fisik dan kimia MSMn disajikan pada Tabel 3.
Minyak sawit mentah (MSMn) memiliki kandungan gizi mikro yang
bermanfaat bagi kesehatan, antara lain adalah karotenoid, tokoferol, tokotrienol,
sterol, fosfolipid, skualen, triterpenil, dan hidrokarbon alifatik (Nagendran et al.
2000). Konsumsi MSMn dapat meningkatkan konsentrasi α-tokoferol dan β-karoten
pada eritrosit (Fujiarti 2012; Lestari 2012). Daftar komponen mikro yang terkandung
dalam MSMn disajikan pada Tabel 4.
Tabel 3. Sifat fisik kimia minyak sawit mentah
Sifat fisik kimia Nilai
Bobot jenis (150C) (Kg/L) 0,859 – 0,870
Indeks bias D 400C 36,0 – 37,5
Titik cair (0C) 21 – 29
Bilangan iod 224 – 249
Bilangan saponifikasi 196 – 205
Sumber : Krischenbauer (1960); Ketaren (2005)
Tabel 4. Komponen mikro dalam minyak sawit mentah (MSMn)
Komponen mikro Konsentrasi (ppm)
Karotenoid
Tokoferol dan tokotrienol
Sterol
Fosfolipid
Triterpen alcohol
Metil sterol
Skualen
Alkohol alifatik
Hidrokarbon alifatik
500 – 700
600 – 1000
326 – 527
5 – 130
40 – 80
40 – 80
200 – 500
100 – 200
50
Sumber : Choo et al. 1994
Tingginya kandungan β-karoten dalam MSMn turut berkontribusi pada
karakteristik minyak yang tahan terhadap oksidasi karena peran β-karoten sebagai
antioksidan (O’Brien 2009).
Minyak Sawit Merah (MSM)
Minyak sawit mentah yang dihasilkan dari proses ekstraksi mengalami proses
pemurnian lebih lanjut sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan mentah
dalam industri. Tujuan dari proses pemurnian adalah untuk menghilangkan rasa dan
bau yang tidak enak, serta memperpanjang umur simpan minyak dengan cara
mengeliminasi komponen-komponen yang dapat mempercepat terjadinya kerusakan
minyak (Ketaren 2005). Dalam proses pemurnian tersebut, banyak komponen yang
tereliminasi dari minyak, termasuk komponen minor yang bersifat fungsional bagi
kesehatan, di antaranya adalah komponen karotenoid yang memberikan warna jingga
kemerahan pada minyak sawit merah (MSM).
Komponen karoten banyak terbuang dalam proses bleaching atau pemucatan
minyak yang memang bertujuan untuk mendapatkan warna minyak yang kuning
keemasan cenderung bening. Terdapat upaya untuk mempertahankan kandungan
karotenoid pada minyak sawit mentah (MSMn) dengan cara membuat MSM atau Red
Palm Oil (RPO). Minyak sawit merah yang dalam pengolahannya menggunakan
suhu yang lebih rendah dibandingkan pengolahan minyak sawit pada umumnya
dengan tujuan untuk mempertahankan kandungan karotenoidnya telah banyak
diperkenalkan sebagai produk pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan
manusia dan juga digunakan sebagai pewarna alami dalam pembuatan margarin dan
shortening (O’Brien 2009).
Di samping karoten, MSM juga memiliki kandungan vitamin E yang tinggi
yakni 730 ppm dalam bentuk α-tokoferol, serta α, β, γ, dan δ-tokotrienol
(Kritchevsky et al. 2002). Dalam sistem biologis, α-tokoferol memiliki jumlah yang
paling banyak yang berfungsi untuk mencegah peroksidasi membran fosfolipid dan
menghindari kerusakan membran sel (Lucarini dan Pedulli 2007).
Proses pemurnian minyak secara umum adalah perlakuan pendahuluan berupa
degumming, netralisasi, deodorisasi, fraksinasi, dan pemucatan (bleaching). MSM
dihasilkan dari MSMn yang melalui proses pemurnian tetapi tanpa proses pemucatan
sehingga kandungan karotenoid, tokoferol, dan tokotrienolnya tetap dipertahankan.
Degumming merupakan proses pemisahan komponen fosfatida, protein,
residu, karbohidrat, air dan resin, tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam
minyak (Ketaren 2005). Proses degumming diawali dengan dehidratasi sehingga gum
dan kotoran lainnya dapat terpisahkan dengan proses sentrifusi, dilanjutkan dengan
penambahan asam mineral pekat seperti NaCl. Proses ini berlangsung pada suhu 32-
500C agar gum lebih encer sehingga mudah terpisah. Degumming perlu dilakukan
sebelum proses netralisasi agar pemisahan sabun yang dihasilkan dari netralisasi
dapat berjalan optimal. Ketika minyak yang masih mengandung gum dinetralisasi,
maka terjadi peningkatan partikel emulsi yang mengakibatkan penurunan rendemen
trigliserida.
Tahap kedua dari pemurnian minyak adalah netralisasi atau deasidifikasi
dengan penyulingan. Tujuannya adalah menyingkirkan kandungan asam lemak bebas
dengan menambahkan basa kuat pada MSMn agar bereaksi dengan asam lemak
bebas sehingga terbentuk sabun. Basa kuat yang sering digunakan antara lain adalah
NaOH atau Na2CO3. Dari antara keduanya, NaOH lebih sering digunakan dalam
industri karena lebih efisien, murah, dan sekaligus dapat mengurangi zat warna dan
kotoran lain yang tidak dapat dihilangkan pada tahap degumming. Konsentrasi basa
yang diperlukan semakin tinggi ketika jumlah asam lemak yang terkandung dalam
minyak semakin tinggi. Selain penghilangan asam dengan metode netralisasi,
terdapat metode lain yakni deasidifikasi dengan penyulingan. Minyak sawit asli
dilalukan pada heat exchanger suhu 2400C dengan injeksi uap air sepanjang pipa
aliran sehingga dihasilkan embun uap air dan asam lemak pada kondensor bersuhu
70-800C. Dari tahap netralisasi akan dihasilkan minyak dengan kandungan asam
lemak bebas 0,13% (Ketaren 2005). Deodorisasi dilakukan untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak
diinginkan dalam minyak. Prinsipnya adalah penyulingan minyak pada suhu 200-
2500C pada tekanan 1-6 atm selama 0,3-12 jam sehingga senyawa yang mudah
menguap dapat terangkut, termasuk sebagian asam lemak bebas. Minyak yang keluar
dari proses deodorisasi mengandung 0,015-0,030 % asam lemak bebas (Ketaren
2005).
Fraksinasi merupakan proses pemurnian minyak dengan memisahkan antara
fraksi yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu stearin dan olein. Dengan
memisahkan minyak menjadi fraksi olein dan stearin, maka MSM dapat
dimanfaatkan secara lebih luas sesuai dengan karakter fisik dan kimia masing-masing
fraksi. Prinsip fraksinasi adalah pemisahan berdasarkan perbedaan kelarutan
komponen trigliserida yang bergantung pada komposisi dan distribusi asam lemak
bebas dengan penurunan suhu secara perlahan (O’Brien 2009).
Setelah proses fraksinasi, fraksi olein didominasi oleh asam lemak rantai C18,
sedangkan fraksi stearin lebih tinggi kandungan asam lemak palmitatnya (C16).
Komponen minor lebih banyak terlarut dalam fraksi olein, termasuk di dalamnya
adalah asam lemak, digliserida, karoten, sterol, tokoferol, tokotrienol, peroksida, dan
produk oksidasi. Fosfolipid dan logam banyak terdapat di fraksi stearin. Rendahnya
kandungan tokoferol dan tokotrienol, serta tingginya kandungan logam menyebabkan
tingkat stabilitas stearin cenderung lebih rendah dibandingkan fraksi olein (O’Brien
2009). Fraksi olein lebih mudah untuk dipucatkan dan hanya membutuhkan 1,5%
bahan adsorben, sedangkan fraksi stearin membutuhkan lebih banyak bahan adsorben
untuk pemucatan, yakni 2% (Patterson 2009). Perbedaan karakteristik antara fraksi
stearin dan olein disajikan pada Tabel 5.
Pemucatan (bleaching) adalah tahap pemurnian minyak yang bertujuan untuk
menghilangkan zat warna dengan menggunakan bahan adsorben berupa fuller earth,
activated clay, atau arang aktif. Bahan adsorben tidak hanya dapat menyerap zat
warna tetapi juga suspensi koloid dan hasil degradasi minyak lainnya. Arang aktif
dapat menyerap 95-97% total zat warna dalam minyak. Pada proses pembuatan
MSM, tahapan bleaching tidak dilakukan untuk mempreservasi komponen minor
fungsional karotenoid, tokoferol, serta tokotrienol. Dalam Patterson (2009) dikatakan
bahwa selama 20 menit pada suhu 1800C, sebanyak 50% kandungan karoten hilang,
pada suhu 2000C sebanyak dua per tiga, dan pada 2400C hanya tersisa 2% saja.
Minyak Sawit Merah Tanpa Fraksinasi (MSMTF)
Produk minyak sawit yang digunakan dalam program SawitA ini antara lain
adalah minyak sawit merah tanpa fraksinasi (MSMTF) atau unfractionated red palm
oil (URPO). Produk MSMTF dibuat dengan proses yang sama seperti MSM, hanya
saja MSMn sebagai bahan bakunya dan tanpa proses degumming (pemisahan gum)
dan fraksinasi (pemisahan fraksi stearin dan olein). Hal ini dikarenakan pada proses
degumming terdapat perlakuan dengan suhu tinggi dan asam yang dapat
mengakibatkan penurunan kandungan karotenoid karena perubahan struktur
karotenoid menjadi policis-isomer.
Pada pembuatan MSMTF, proses degumming dihilangkan karena
penambahan air panas dan asam mineral pekat dapat menurunkan kandungan β-
karoten. Proses degumming sebenarnya dapat saja tidak dilakukan karena gum
merupakan serat larut yang tidak berbahaya jika dikonsumsi. Di samping itu, fraksi
stearin juga dapat menambah rasa gurih pada MSMTF.
Minyak sawit merah tanpa fraksinasi diproduksi dari MSMn yang
dinetralisasi dan dideodorisasi. Netralisasi merupakan proses yang bertujuan untuk
memisahkan asam lemak bebas dengan menggunakan basa atau pereaksi lain
sehingga membentuk sabun. Pembuatan MSMTF untuk program SawitA
menggunakan soda kaustik (NaOH) 16 0Be yang direaksikan dengan asam lemak
bebas selama 26 menit. Reaksi antara asam lemak bebas dengan soda kaustik akan
menghasilkan sabun yang dapat melarutkan zat warna dan kotoran berupa getah dan
lendir dalam suatu emulsi. Kemudian sabun yang terbentuk dihilangkan dengan
menggunakan air panas untuk melarutkan sabun sebanyak 3 kali hingga terbuang
semuanya.
Setelah netralisasi, MSM menjalani proses deodorisasi yang bertujuan untuk
menghilangkan bau dan rasa yang tidak enak melalui proses penyulingan dengan uap
panas pada tekanan atmosfer atau kondisi vakum. Deodorisasi dilakukan pada suhu
140-1500C selama 1 jam, kondisi tersebut berdasarkan rekomendasi dari Riyadi
(2009) yang mengemukakan bahwa deodorisasi yang dilakukan pada 1400C selama 1
jam dapat mempertahankan kandungan total karotenoid hingga 70% dan
menghasilkan neutralized deodorized red palm oil (NDRPO). Produk hasil
deodorisasi masih memiliki aroma khas minyak sawit dengan intensitas odor 3.3
yang berarti masih memiliki aroma khas sawit (palmy/fruity odor) kategori netral
untuk tingkat kesukaan konsumen (Zakaria et al. 2011). Diagram alir proses produksi
MSMTF
Karotenoid adalah sekelompok pigmen alami berwarna kuning hingga merah
dengan struktur alifatik atau alisiklik yang terdiri dari rantai hidrokarbon tidak jenuh,
dengan 8 unit isoprene, dan 40 atom karbon (Belitz 2009). Bersama dengan klorofil,
karotenoid berada di dalam kloroplas, terutama di dekat dinding sel-sel palisade pada
permukaan atas daun (Winarno 2008). Kelompok besar karotenoid terbagi atas dua
kelompok berdasarkan komponen penyusunnya, yakni karoten dan xantofil. Yang
termasuk di dalam kelompok karoten adalah α, β, γ-karoten, serta likopen (Winarno
2008). Ketiga jenis karoten yang disebutkan sebelumnya memiliki perbedaan pada
letak ikatan rangkap dari gugus cincinnya (Meyer 1966). Xantofil selain tersusun dari
unsur C dan H, juga terdapat unsur O (Belitz 2009). Kriptosantin yang memiliki
struktur mirip dengan beta karoten merupakan salah satu contoh xantofil.
Kriptoxantin merupakan pigmen utama pada tanaman jagung, lada, pepaya, dan jeruk
keprok (Winarno 2008). Pada umumnya anggota kelompok karoten bersifat nutrisi
aktif, sedangkan kelompok xantofil mayoritas bersifat non nutrisi aktif (Tan 1985).
Lebih lanjut menurut Bauernfeind et al. (1981), kadar karoten pada umumnya lebih
tinggi dibandingkan dengan kadar xantofil, yakni antara 60-70%.
Karotenoid menyebabkan warna kuning dan merah pada tanaman, ganggang,
mikroorganisme dan hewan (Fennema 1996). Lebih lanjut dalam Winarno (2008), terdapat hubungan yang linier antara derajat warna kehijauan terhadap jumlah
kandungan karoten dalam sayuran, semakin hijau warna daun maka semakin tinggi
kandungan karotennya. Sayuran yang berwarna pucat seperti kol dan sawi diketahui
memiliki kandungan karoten yang rendah (Winarno 2008). Kandungan karoten
dalam diet manusia merupakan hal esensial karena tubuh memiliki kemampuan
untuk mengubah karoten menjadi vitamin A, sehingga karoten disebut sebagai
provitamin A. Provitamin A karotenoid merupakan kelompok karotenoid yang
memiliki cincin beta-ionone non substitusi yang dapat membelah sehingga terbentuk
retinaldehid melalui reaksi oksidatif. Retinaldehid kemudian dapat tereduksi untuk
membentuk retinol atau teroksidasi menghasilkan asam retinoat (Bender 2003).
Kendati sumber karoten melimpah pada bahan-bahan nabati, tetapi efektifitas
perubahan dari karoten menjadi vitamin A rendah. Menurut hasil perhitungan FAOWHO, hanya separuh dari karoten yang terserap yang dapat diubah menjadi vitamin
A, atau dengan kata lain hanya 1/6 dari kandungan karoten dalam bahan makanan
yang dapat dimanfaatkan oleh tubuh (Winarno 2008). Oleh karena itu, tidak ada
bahaya kelebihan konsumsi karotenoid yang berasal dari bahan nabati.
Dari 600 jenis karotenoid yang diketahui, kurang lebih 50 memiliki aktivitas
sebagai provitamin A (Fennema 1996). Dari sekian banyak jenis karotenoid, yang
memiliki aktivitas sebagai provitamin A adalah α, β, dan γ-karoten (Gambar 4)
dengan aktivitas tertinggi dimiliki oleh β-karoten yakni 100% atau dapat dikatakan
bahwa seluruh kandungan β-karoten dapat dikonversi menjadi vitamin A
(Narasingha 2000). Proses konversi molekul provitamin A yang terjadi di dinding
mukosa usus halus terjadi melalui reaksi enzimatik oksidatif pada gugus C15-C15’
untuk menghasilkan 2 molekul retinol (Fennema 1996). Konversi provitamin A
menjadi vitamin A terjadi melalui reaksi enzimatis sehingga vitamin A yang
dihasilkan sejumlah kebutuhan tubuh. Struktur karotenoid menjadi faktor penentu fungsi fisiologis dari karoten.
Ukuran, struktur tiga dimensi, keberadaan gugus fungsional membantu efisiensi
fungsi karotenoid pada organ atau jaringan target. Konformasi trans karotenoid lebih
stabil dibandingkan isomer cis-nya. Kestabilan konformasi turut mempengaruhi
stabilitas gugus fungsional karotenoid. Lebih lanjut Britton (2009) mengemukakan
bahwa ikatan rangkap terkonjugasi pada molekul karotenoid memungkinkannya
untuk memiliki kemampuan menangkal radikal bebas (singlet oksigen) sehingga
berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid merupakan antioksidan larut lemak, stabil
pada kondisi alkali, tetapi rentan rusak bila dalam kondisi suhu tinggi, asam, dan oksidasi. Ikatan rangkap terkonjugasi mudah rusak oleh proses hidrogenasi dan
menyebabkan hilangnya zat warna (Patterson 2009).
Manusia mendapatkan asupan provitamin A dari dietnya berupa bahan
pangan nabati, baik yang berupa buah maupun daun. Jenis sayur-sayuran hijau
mengandung karoten lebih rendah dibandingkan buah atau sayur yang berwarna
kuning atau merah. Studi menyebutkan bahwa karoten yang berasal dari buah lebih
mudah dicerna dibandingkan dengan yang berasal dari daun-daunan (Thurnham
2007). Minyak sawit merah (MSM) sendiri mengandung 500-700 ppm karoten di
mana 90%-nya terdiri dari α dan β-karoten. Jumlah kandungan karoten pada MSM
15x karoten pada wortel dan 300x dari tomat (Nagendran 2000). Bentuk α-karoten,
kripstosantin, dan cis-β-karoten memiliki aktivitas vitamin A hanya setengah
daripada trans-β-karoten (Tang et al. 2000). Akan tetapi, dalam studi yang dilakukan
oleh Farombi (1998) diperkirakan bahwa aktivitas antioksidan α-karoten lebih tinggi
dibandingkan β-karoten dalam menangkal radikal peroksil. Misran (2012)
menyimpulkan bahwa konsumsi MSMn dapat meningkatkan konsentrasi antioksidan
pada plasma secara signifikan.
Konsumsi MSM membawa banyak manfaat bagi kesehatan manusia. Minyak
sawit merah sendiri mengandung karotenoid sebanyak 573 mg/kg yang terdiri dari
fitoen, fitofluen, α-karoten, β-karoten, γ-karoten, δ-karoten, ζ-karoten, neurosporen,
α-zeakaroten, β-zeakaroten, dan likopen (Choo 1993). Kandungan karotenoid dalam
MSM diyakini dapat menanggulangi masalah defisiensi vitamin A yang banyak
melanda negara-negara berkembang. Selanjutnya Kritchevsky (1999) menambahkan
bahwa konsumsi MSM dapat mencegah terjadinya aterosklerosis. Tan (1987) dan
Muhilal (1991) juga menambahkan bahwa konsumsi β-karoten dapat menanggulangi
penyakit xeroftalmia, meningkatkan sistem imun tubuh, serta mengurangi resiko
terkena penyakit degeneratif. Konsumsi β-karoten juga diyakini dapat menurunkan
resiko terkena kanker kolon (Hussein 1999) dan kanker kulit (Tan 1992). Mayne et
al. (2009) mengamati bahwa peningkatan asupan β-karoten berasosiasi dengan resiko
terhadap kanker paru-paru.
Karotenoid banyak terkandung dalam sayuran hijau dan sayuran atau buah
yang berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, kangkung, bayam, kacang
panjang, buncis, wortel, tomat, jagung kuning, papaya, mangga, nangka, dan jeruk
(Almatsier 2006). Sumber lain dari karotenoid adalah minyak nabati dari biji-bijian
seperti minyak jagung, minyak kedelai, minyak zaitun, minyak biji bunga matahari,
dan minyak kacang tanah. Minyak kelapa sawit merupakan contoh minyak nabati
yang kaya karotenoid, yakni mengandung 15-300 kali retinol ekivalen wortel, tomat,
dan sayuran hijau (May 2007).
Komponen karoten dalam MSM terdapat dalam bentuk bebas, tidak seperti
dalam sayur dan buah di mana karoten membentuk kompleks dengan protein atau
dalam bentuk teresterifikasi sehingga lebih stabil (Combs 1992). Karoten dapat
mengalami kerusakan apabila terkena cahaya ultraviolet atau cahaya matahari secara
langsung. Selain cahaya, paparan oksigen dan pemanasan juga dapat memicu
degradasi karoten. Hal ini disebabkan karena kedua hal tersebut merupakan
katalisator reaksi oksidasi lemak yang akan berdampak lanjut pada oksidasi karoten.
Struktur karoten dengan banyak ikatan rangkap mengakibatkan karoten sangat
mudah teroksidasi. Reaksi oksidasi karoten dalam bahan pangan yang pada
umumnya berbentuk trans akan menghasilkan isomer cis-karoten yang memiliki
aktivitas provitamin A yang lebih rendah. Pemanasan pada suhu di atas 1800C dapat menurunkan kandungan karoten dalam pangan. Logam juga dapat menjadi katalis
reaksi oksidasi, khususnya tembaga, besi, dan mangan. Karoten juga dapat
mengalami isomerisasi yang menghasilkan policis-isomer dalam kondisi asam. Oleh
karena itu, kondisi penyimpanan perlu mendapat perhatian khusus untuk mencegah
degradasi provitamin A. Karotenoid akan lebih tahan jika terlarut dalam asam lemak
tidak jenuh karena asam lemak tidak jenuh lebih rentan terkena radikal bebas
sehingga karoten dapat terlindungi.
Karotenoid yang dikonsumsi sebagian besar berfungsi sebagai antioksidan
yang menangkal senyawa radikal (singlet oksigen) dan sebagian lainnya menjadi
sumber vitamin A. Satu molekul β-karoten dikonversi menjadi 2 molekul vitamin A
di dalam usus halus manusia melalui reaksi enzimatis oleh enzim 15,15’ β-karoten
dioksigenase sehingga vitamin A yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan tubuh.
Tubuh kita telah memiliki mekanisme yang teratur mengenai konversi karotenoid
menjadi vitamin A sehingga mengkonsumsi karotenoid dari sumber alamiah dalam
jumlah banyak setiap hari tidak menimbulkan efek samping (Narasingha 2000).
Peningkatan asupan karoten akan menjadi efektif apabila konsumsinya
didampingi dengan asupan lemak juga. Hal ini dikarenakan trigliserida dapat
menstimulasi sekresi garam empedu yang dapat membantu pembentukan emulsi
dalam sistem pencernaan lemak beserta vitamin larut lemak (Parker 1996). Diet
rendah lemak dapat mengakibatkan penurunan konversi β-karoten menjadi retinol
secara drastis (Prince 1993). Selanjutnya Chandrasekharan (1997) menambahkan
bahwa terjadi penurunan tingkat absorbsi dan konversi β-karoten menjadi vitamin A
seiring dengan adanya peningkatan asupan β-karoten.
Dalam Muchtadi et al. (2006) dijelaskan bahwa β-karoten memiliki keaktifan
yang setara dengan setengah retinol, sedangkan keaktifan karotenoid lain setara
dengan seperempat retinol. Di antara jenis karotenoid yang lain, β-karoten memiliki
aktivitas biologis paling tinggi yakni setara dengan seperenam retinol, sedangkan
aktivitas karotenoid lainnya setara dengan seperduabelas retinol. Bentuk retinol
diserap dengan sempurna di dalam usus, sedangkan karoten hanya diserap
sepertiganya saja.
Efisiensi penyerapan karotenoid dipengaruhi beberapa faktor antara lain
adalah jumlah asupan karotenoid, proses pengolahan yang dilakukan, keberadaan
komponen lain yang dapat meningkatkan atau menghambat proses penyerapan
(seperti lemak pangan dan serat), matriks bahan pangan, interaksi antar karotenoid,
serta status gizi individu (Scott 1999). Satu molekul β-karoten dapat dikonversi
menjadi 2 molekul vitamin A atau dapat dikatakan 1µg β-karoten setara dengan 1µg
vitamin A. Hume dan Krebs (1949) mengamati bahwa β-karoten dalam minyak dapat
diserap 3x lebih banyak dibandingkan β-karoten yang berasal dari sayuran. Pada
tahun 1988, FAO/WHO telah menetapkan aktivitas retinol berdasarkan beberapa
tingkatan asupan β-karoten, yakni pada tingkat asupan β-karoten < 1.000 µg maka
1µg retinol (atau 1 RE) setara dengan 4 µg β-karoten, pada asupan β-karoten 1.000-
4.000 µg maka 1µg retinol setara dengan 6 µg β-karoten, sedangkan pada asupan β-
karoten > 4.000 µg maka 1µg retinol setara dengan 10 µg β-karoten. Vitamin A dan Kekurangan Vitamin A (KVA) di Indonesia
Salah satu zat gizi mikro yang penting bagi kesehatan manusia terutama
dalam meningkatkan sistem imun dan menjaga kesehatan organ pengelihatan adalah
vitamin A. Vitamin A merupakan suatu senyawa poliisoprenoid yang memiliki cincin
sikloheksenil. Vitamin A merupakan sebutan untuk sekelompok komponen yang
memiliki aktivitas biologis sebagai vitamin A, yakni retinol, retinal, dan asam
retinolat. Di antara ketiga komponen tersebut, yang menunjukkan aktivitas vitamin A
secara penuh hanyalah retinol, sehingga retinol merupakan bentuk asupan vitamin A
yang paling umum (Murray et al. 2003).
Vitamin A merupakan substansi berwarna kekuningan yang larut lemak,
stabil dalam kondisi panas, asam, dan alkali, tetapi sangat mudah teroksidasi oleh
udara serta mudah rusak bila dipanaskan pada suhu tinggi. Kerusakan vitamin A akan
semakin cepat apabila oksidasi disertai dengan pemanasan, paparan sinar matahari,
dan lemak yang tengik (Winarno 2008). Kondisi kekurangan vitamin A terjadi ketika
jumlah vitamin A di dalam tubuh tidak mencukupi untuk menjalankan fungsi organ
target secara optimal yang biasanya terjadi ketika konsentrasi vitamin A di hati
kurang dari 20 µg/g (Olson 1982). Masalah kekurangan vitamin A banyak melanda
negara-negara berkembang. Hingga saat ini, banyak negara berkembang yang
mengandalkan bahan pangan alami sebagai sumber asupan vitamin A. Oleh sebab
itu, karakteristik kimia komponen vitamin A perlu dicermati karena akan
mempengaruhi cara penyajian pangan yang paling efektif untuk mendapatkan asupan
vitamin A yang maksimal.
Sumber asupan vitamin A dibedakan menjadi dua kelompok, yakni asupan
dalam bentuk retinol (vitamin A bentuk jadi) maupun dalam bentuk provitamin A
(bahan baku vitamin A). Underwood (2000) mendata bahwa asupan vitamin A
bentuk jadi tersedia dalam bahan pangan hewani seperti daging, susu dan olahannya
(mentega dan keju), kuning telur, hati, ikan, dan minyak ikan (terutama jenis cod).
Sedangkan sumber provitamin A adalah sayuran hijau (bayam, daun singkong),
wortel, tomat, ubi jalar kuning atau merah, buah-buahan yang berwarna kuning
hingga merah (pepaya, mangga, apricot), dan minyak sawit merah (MSM).
Bentuk aktif dari vitamin A adalah retinaldehid dan asam retinolat yang
keduanya merupakan turunan retinol. Retinaldehid berperan aktif dalam sistem
pengelihatan sebagai sinyal tranduser ketika terjadi penerimaan cahaya pada retina
yang dilanjutkan dengan inisiasi impuls saraf. Sedangkan asam retinolat bertugas
mengatur ekspresi gen dan diferensiasi jaringan sebagai nuclear receptor (Bender
2003). Retinaldehid dalam bentuk cis-nya membentuk kompleks dengan protein
opsin menjadi rhodopsin (sel batang) yang merupakan pigmen pengelihatan berwarna
ungu. Ketika cahaya mengenai retina, rhodopsin memudar menjadi kuning dan
retinal terpisah dari opsin dan diubah menjadi retinol kembali (Muchtadi et al. 2006).
Ketika membentuk kompleks rhodopsin, cis-retinaldehid mengalami oksidasi
menjadi bentuk trans-retinaldehid. Komponen inilah yang berperan penting dalam
proses transmisi sinyal cahaya ke otak (Bender dan Mayes 2003). Struktur kimia
beberapa jenis vitamin A disajikan pada Gambar 5.
Vitamin A selain memiliki peran penting dalam fungsi pengelihatan, juga
turut berperan dalam regulasi sistem imun, terutama pada sistem imun adaptif.
Vitamin A yang secara khusus banyak berperan dalam peningkatan sistem imun adalah asam retinolat. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa asam retinolat dapat
meningkatkan sitotoksisitas dan proliferasi sel T (Mora et al. 2008). Dalam kondisi
tidak kekurangan vitamin A, sel-sel epitel mukosa pada organ mata memproduksi
mukus yang membantu mencegah terjadinya infeksi. Sedangkan pada kondisi
kekurangan vitamin A, sel-sel epitel mukosa bukan memproduksi mukus melainkan
keratin yang berakibat pada pengeringan dan pengerasan sel-sel membran. Keadaan
tersebut disebut dengan penyakit xeroftalmia (Winarno 2008). Vitamin A merupakan
salah satu regulator dalam proses pertumbuhan sel, diferensiasi, serta apoptosis
(kematian sel secara terprogram). Fungsi vitamin A dalam menginduksi apoptosis
sering dikaitkan dengan aktifitas anti tumor dan anti kanker (Semba 1998).
Di samping berfungsi untuk pengelihatan yang baik dan sistem imun, asupan
vitamin A yang cukup dibutuhkan untuk pertumbuhan yang normal. Pada tahun
2004, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi menetapkan angka kecukupan vitamin
A yang dibedakan berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin seperti yang
terdapat pada Tabel 6.
Faktor yang dapat mempengaruhi status vitamin A seseorang antara lain
adalah asupan protein, lemak, vitamin E, dan zinc (Booth 1997). Selain itu kondisi
fisiologis seperti kecukupan vitamin A, protein dan lemak individu, kondisi hormon,
tingkat pertumbuhan, serta adanya infeksi juga mempengaruhi status vitamin A
individu (WHO 1994). Proses konversi karoten menjadi vitamin A melibatkan reaksi
ezimatis, sehingga diperlukan asupan protein yang cukup (Scott 1999). Vitamin A banyak terdapat di organ liver atau hati dalam bentuk retinol atau
ester retinol (Fennema 1996). Konsumsi vitamin A yang berlebihan dapat
menimbulkan efek toksik yang ditandai dengan gejala karotenis (warna kuning pada
kulit) dan akan hilang apabila konsumsi diturunkan. Hal ini disebabkan karena
vitamin A merupakan salah satu vitamin yang larut lemak sehingga tidak dapat
diekskresi melalui urin. Vitamin A yang berlebih disimpan di dalam sel-sel parenkim
organ hati dalam bentuk butiran lemak berisi campuran rantai-rantai ester retinil,
yaitu retinil palmitat (50%), retinil stearat, dan retinil oleat. Bentuk ester-ester
tersebut dihidrolisis menjadi retinol di dalam usus oleh enzim pankreatik sebelum
dilepaskan ke seluruh tubuh. Di dalam darah, retinol terikat pada Retinol Binding
Protein (RBP) yang menuju jaringan tubuh seperti mata, usus, dan kelenjar mukosa
(Winarno 2008). Bentuk retinil asetat dan retinil palmitat merupakan bentuk yang
sering digunakan sebagai bahan fortifikan dalam makanan (Fennema 1996).
Konsumsi vitamin A dapat menyebabkan hipervitaminosis (kelebihan konsumsi
vitamin A) apabila dikonsumsi 75000-500000 SI (45-300 mg β-karoten) setiap hari
dalam jangka waktu beberapa bulan (Winarno 2008).
Masalah defisiensi vitamin A hingga kini telah menjadi masalah kesehatan
dunia. Hal yang sangat disayangkan bahwa penderita defisiensi vitamin A biasanya
merupakan masyarakat golongan ekonomi kurang mampu yang belum terjangkau
oleh pelayanan kesehatan yang memadai. Labenjang (2011) menyebutkan bahwa
angka kebutaan di Indonesia, yakni 1,5% merupakan yang tertinggi di antara
beberapa negara Asia Tenggara yang lainnya, seperti Bangladesh (1%), India (0,7%),
dan Thailand (0,3%). Kasus kekurangan vitamin A dapat dibagi menjadi dua jenis,
yakni klinis dan subklinis. Seseorang dikatakan mengalami KVA klinis jika
gejalanya langsung terlihat, yaitu timbulnya penyakit xeroftalmia. Sedangkan yang
banyak terjadi di Indonesia adalah KVA subklinis di mana hanya dapat diketahui
dengan pemeriksaan sampel darah. Pada tahun 2003, Departemen Kesehatan
mencatat bahwa setidaknya 50% dari populasi balita di Indonesia menderita KVA
subklinis. Kategori status vitamin A disajikan pada Tabel 7. Defisiensi vitamin A banyak diderita oleh balita dan anak-anak. Padahal pada
usia balita dan anak-anak merupakan usia pertumbuhan di mana asupan zat gizi
makro dan mikro yang cukup sangat dibutuhkan supaya pertumbuhannya normal.
Defisiensi vitamin A pada balita dan anak-anak dapat mengakibatkan rabun senja dan
kebutaan (Krisnatuti 2000). Anak yang mengalami kekurangan energi dan protein
(KEP), biasanya juga mengalami kekurangan vitamin A yang disebabkan karena terganggunya proses absorpsi vitamin A di dalam tubuh yang membutuhkan
karbohidrat dan protein. Kekurangan vitamin A pada balita biasanya diawali ketika
mulai disapih (Gaman dan Sherrington 1994).
Vitamin A di dalam tubuh disimpan di dalam hati dalam bentuk retinaldehid
(retinil ester). Oleh karena itu, cara terbaik untuk menentukan status vitamin A
adalah dengan mengukur kadar retinil ester dalam hati. Tetapi tentu saja pengukuran
secara biopsi tidak dapat dilakukan. Cara lain yang dapat dilakukan untuk
menentukan status vitamin A seseorang adalah dengan mengukur konsentrasi retinol
pada serum. Kelemahannya adalah, serum hanya mengandung 1% total cadangan
vitamin A sedangkan konsentrasi retinol tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya apabila tidak terjadi kekurangan atau kelebihan yang teramat sangat
(Gibson 2005).
Air Susu Ibu dan Masa Menyusui
Defisiensi vitamin A pada balita dan anak-anak sangat berbahaya apabila
dibiarkan karena dapat mengakibatkan kebutaan dan menghambat pertumbuhan.
Oleh sebab itu, usaha untuk meningkatkan asupan vitamin A untuk anak-anak terus
dilakukan, salah satu caranya adalah dengan cara meningkatkan asupan vitamin A
pada ibu menyusui sehingga akan berdampak pada peningkatan konsentrasi vitamin
A pada air susu ibu (ASI).
ASI baru dapat dihasilkan bila adanya sekresi hormon prolaktin. Pada masa
kehamilan, sekresi hormon prolaktin terhenti sebagai efek dari peningkatan sekresi
hormon estrogen dan progesteron. Setelah melahirkan sekresi hormon prolaktin baru
dapat terjadi. Pada masa-masa awal setelah melahirkan, ASI belum dapat diproduksi,
sebagai gantinya dihasilkan kolostrum, yaitu cairan berwarna kekuningan yang kaya
akan antibodi. Sekresi hormon prolaktin dirangsang oleh gerakan menghisap yang
dilakukan oleh bayi ketika menyusu. Ujung-ujung saraf pada areola akan terstimulir
kemudian mengirim perintah ke hipotalamus untuk pelepasan hormon oksitosin yang
bertanggung jawab terhadap pengeluaran air susu (Mader 2004). Anatomi payudara
manusia disajikan pada Gambar 6.
ASI merupakan makanan pertama, paling utama, alami, dan aman untuk bayi
yang baru lahir. Di dalamnya terkandung hampir seluruh zat gizi mayor dan minor
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayi. ASI mengandung komponen karbohidrat,
protein, lemak, vitamin (kecuali vitamin D dan K), mineral, dan bahkan sel hidup.
ASI tidak hanya memenuhi kebutuhan metabolisme bayi, tetapi juga melindungi bayi
dari infeksi karena sistem imun bayi masih sangat lemah. Komponen nutrisi yang
terkandung dalam cairan aspirasi dari ASI dapat berasal dari hasil transportasi dari
plasma melalui mikrotubulus dan atau dapat juga hasil sintesis pada epitel payudara
(Russo et al. 1976; Rennison et al. 1992). Kandungan komponen zat gizi pada ASI dapat bervariasi tergantung dari
masa menyusui, waktu menyusui, periode menyusui, status gizi ibu, umur ibu, umur
bayi, rutinitas menyusui, paritas, perbedaan wilayah, musim, serta makanan ibu
(Prentice 1996; Nascimento et al. 2002). Komponen yang menunjang sistem imun
bayi terkandung di kolostrum, yaitu air susu yang banyak mengandung sekretori IgA,
laktoferin, vitamin A, dan yodium (Prentice 1996). Kolostrum keluar pada tiga
hingga lima hari setelah melahirkan.
Pada umumnya, ASI terdiri dari 80% air dengan osmolaritas yang sama
dengan plasma. ASI mengandung 7 g/dL karbohidrat yang sebagian besar adalah
jenis laktosa (5,5 – 6,0 g/dL). ASI juga mengandung setidaknya 80 jenis
oligosakarida, yang didominasi oleh frukto-oligosakarida (FOS) dan galaktooligosakarida (GOS) (Niers 2007). Komponen lainnya adalah protein sebanyak 0,9
g/dL, lemak sebanyak 3 – 4 g/dL. ASI hanya mengandung sepertiga dari komponen
mineral yang terdapat pada susu sapi. Selain vitamin A, vitamin larut air lainnya juga
dapat ditemui dalam ASI (Nascimento et al. 2002).
Protein yang terkandung dalam ASI terbagi atas dua jenis, yakni miscellar
casein dan aqueous whey protein dengan komposisi 40:60. Komponen utama pada
bagian miscellar casein adalah β-kasein, sedangkan pada aqueous whey protein
adalah laktalbumin, laktoferin, albumin, dan sekretori IgA (sIgA) yang merupakan
komponen immunoglobulin utama pada ASI. Laktoferin berperan dalam membawa
dan mendorong absorpsi zat besi serta menghasilkan asam amino untuk penyerapan
dan pencernaan (Prentice 1996).
Menurut Niers (2007), konsentrasi sIgA pada ASI bekisar antara 69–153
mg/100 kkal ASI. Sekretori IgA berperan dalam melindungi permukaan mukosa bayi
terutama pada saluran pernafasan dan pencernaan (Araujo et al. 2005). Komponen
sIgA memiliki fungsi sebagai bakterisidal, penetral virus, agregasi antigen dan
pelindung sel epitel dari pelekatan bakteri (Abdulla 2005). Sekretori IgA melindungi
bayi dari bakteri patogen seperti Escherichia coli, Vibrio cholerae, Haemophilus
influenza, Streptococcus pneumoniae, Clostridium dicille, Salmonella, jamur seperti
Candida albicans, dan virus seperti rotavirus, cytomegalovirus, HIV, influenza, dan
virus pernafasan. Komponen yang memiliki sifat antibakteri lainnya adalah laktoferin
dan lisozim. Keduanya berperan dalam mengatur sintesis dan perkembangan sistem
imun pada bayi (Nascimento et al. 2002; Niers et al. 2007). Niers (2007) juga
menambahkan bahwa kandungan laktoferin dalam ASI diperkirakan antara 139–264
mg/100 kkal. Selain itu, terdapat beberapa komponen fungsional lainnya yang
berperan sebagai antimikrobial maupun sebagai komponen perkembangan sistem
imun seperti pada Tabel 8. ASI merupakan makanan utama bayi, oleh sebab itu salah satu metode yang
dapat dilakukan untuk menentukan status vitamin A bayi secara tidak langsung
adalah dengan mengukur kandungan vitamin A pada ASI (Gibson 2005). Ibu hamil
dan menyusui yang mengalami defisiensi vitamin A tidak hanya berdampak terhadap
kesehatan dirinya sendiri, tetapi juga terhadap kesehatan bayinya (Wallingford dan
Underwood 1986; Underwood 1994). Ibu dengan status gizi yang baik, air susunya
memiliki 1,92 µmol vitamin A per liter atau setara dengan 54 µg/dL. Sedangkan ibuibu di negara berkembang, pada umumnya hanya dapat memberikan vitamin A 1,05
µmol/L atau 30 µg/dL (Miller 2003). Komponen lipase yang terkandung di dalam
ASI mempermudah bayi untuk mencerna vitamin A dari ASI dengan sempurna
(Fredrickson 1978). Ross (2003) menyebutkan bahwa kandungan vitamin A pada
ASI bervariasi tergantung pada status vitamin A ibu dan masa menyusui. Masa
menyusui terbagi menjadi empat fase, yakni colostral (3-5 hari pertama setelah
melahirkan), transitional (hingga akhir minggu ke-2), mature (selama masa
menyusui penuh), dan involutional (akhir masa menyusui). Kolostrum ibu yang sehat
memiliki vitamin A 151 µg/100 mL, ASI masa transisi 88 µg/100 mL, dan ASI
mature 75 µg/100 mL.
Uji Penggunaan di Rumah (Home Use Test)
Suatu metode ilmiah yang digunakan untuk mengukur, menganalisis, dan
menginterpretasikan respon terhadap suatu produk berdasarkan yang ditangkap oleh
indera manusia seperti pengelihatan, penciuman, perasa, peraba, dan pendengaran
didefinisikan sebagai evaluasi sensori oleh Stone dan Sidel (2004). Lawless dan
Heymann (1998) menambahkan bahwa terdapat tiga jenis metode evaluasi sensori,
yaitu uji pembeda (difference test), uji deskriptif (descriptive test), dan uji afektif
(acceptance and preference test). Deteksi terhadap ada atau tidaknya perbedaan dari
produk-produk yang diuji dapat dilakukan melalui uji pembeda. Melalui uji pembeda
juga kemampuan panelis dalam mendeteksi suatu sifat sensori dapat diukur. Uji
pembeda sering dilakukan untuk mengetahui apakah konsumen dapat mendeteksi
adanya perbedaan pada produk jika bahan bakunya diganti dengan jenis yang lain.
Dalam uji deskriptif, dibutuhkan keahlian khusus oleh responden karena responden
diminta untuk menilai dan menjelaskan perbedaan mengenai produk yang diujikan. Metode evaluasi sensori yang ketiga adalah uji afektif yang dilakukan untuk
mengetahui produk yang disukai atau produk yang lebih disukai oleh responden.
Dalam uji afektif, responden diminta untuk memberi penilaian terhadap bahan
pangan serta karakteristik tertentu yang membuatnya memberikan penilaian
demikian. Uji afektif cenderung bersifat subyektif sehingga sebaiknya panelis yang
bersikap ekstrim terhadap suatu bahan pangan tertentu tidak diikutsertakan
(Chambers & Wolf 1996).
Uji afektif dapat dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan lokasi
pengujian, yaitu pengujian di laboratorium (sensory laboratory test), pengujian di
pusat konsumen (central location test), dan pengujian di rumah (Home Use Test =
HUT). Kondisi pengujian di laboratorium dapat dikontrol oleh peneliti. Pengujian di
pusat konsumen diselenggarakan di tempat umum seperti pusat perbelanjaan, pasar,
atau rumah sakit. Pengujian di rumah merupakan kondisi pengujian yang tidak dapat
dikontrol oleh peneliti karena melibatkan kondisi natural dari konsumen dan
produknya serta kondisi aktual dari penggunaan produk oleh konsumen
(Ressurreccion 1998).
Hasil uji Home Use Test (HUT) dapat menggambarkan secara aktual pola
konsumsi konsumen. Kondisi pengujian yang berada di rumah, tidak memungkinkan
peneliti untuk mengontrol kondisi sehingga hasil uji HUT sangat variatif. Ukuran
sampel yang digunakan dalam uji ini adalah antara 50 sampai 100 responden untuk
setiap produk yang diujikan (Resurreccion 1998). Kedua produk diberikan secara
bergantian untuk menghindari terjadinya kesalahan saat memberikan tanggapan pada
scoresheet (Meilgaard et al. 1999). Metode pengujian dengan HUT dapat digunakan
untuk pengujian preferensi, penerimaan panelis, serta kinerja dari pemasaran
(Moskowitz et al. 2012).
Selanjutnya, menurut Moskowitz et al. (2012), kelebihan dari HUT adalah
produk diuji pada kondisi lingkungan yang aktual, yaitu pada saat penggunaan di
rumah secara normal sehingga dapat dikatakan sebagai uji yang paling efektif.
Respon yang diterima tidak hanya berasal dari panelis, tetapi juga seluruh anggota
keluarga yang lain. Sedangkan Resurreccion (1998) mengemukakan bahwa
kekurangan dari uji HUT adalah dibutuhkan waktu yang cukup lama dan memakan
biaya cukup besar dalam pelaksanaannya. Selain itu, tidak adanya kontrol dari
peneliti terhadap kondisi pengujian mengakibatkan data yang dihasilkan sangat
bervariasi. Untuk mengantisipasi kekurangan tersebut, HUT harus dirancang dengan
sesederhana mungkin, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa yang jelas dan
mudah dimengerti pada kuesioner. HUT tidak dianjurkan untuk dilakukan pada
banyak jenis produk karena semakin banyak produk, semakin rumit bagi responden
untuk berpartisipasi dalam uji ini (Ressurreccion 1998).
Perilaku Konsumen
Setiadi (2010) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan yang
langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan produk
atau jasa, serta keputusan yang mendahului atau menyusul tindakan ini. Perilaku
konsumen dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor kebudayaan, faktor sosial, faktor pribadi, dan faktor psikologis. Faktor kebudayaan yang paling
mempengaruhi perilaku konsumen terdiri dari sub kebudayaan (kelompok
kebangsaan, kelompok ras atau area geografis) dan kelas sosial yang relatif permanen
dan teratur dalam suatu masyarakat dengan perilaku yang sama.
Simamora (2001) menambahkan bahwa faktor sosial juga mempengaruhi
perilaku konsumen. Faktor sosial meliputi kelompok rujukan, keluarga, peran, dan
status sosial konsumen. Kelompok rujukan merupakan suatu kelompok yang menjadi
titik perbandingan atau tatap muka atau tak langsung dalam pembentukan sikap
seseorang. Faktor keluarga terdiri dari keluarga orientasi (orang tua) dan keluarga
prokreasi (suami atau istri).
Selanjutnya, Simamora (2001) juga menambahkan bahwa perilaku konsumen
dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti motivasi, persepsi, proses belajar, serta
kepercayaan dan sikap. Umumnya kebutuhan yang dimiliki seseorang tidak cukup
kuat untuk memotivasi seseorang untuk bertindak pada suatu saat tertentu. Ketika
kebutuhan tersebut telah mencapai suatu tingkat tertentu, maka dapat menjadi motif
bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tersebut. Proses ketika seseorang
memilih, mengorganisasikan, dan mengartikan masukan informasi untuk
menciptakan suatu gambaran yang berarti disebut sebagai persepsi. Proses belajar
dapat berupa perubahan dalam perilaku seseorang berdasarkan pengalaman yang
dialaminya. Kepercayaan merupakan suatu gagasan deskriptif yang dimiliki
seseorang terhadap sesuatu. Sikap mempengaruhi respon yang kita timbulkan dan
tidak diturunkan tetapi dipelajari dari lingkungan sekitar.
Perilaku seorang konsumen sangat mempengaruhi keputusan yang
diambilnya. Faktor yang mempengaruhi keputusan seorang konsumen antara lain
adalah usia dan tahap daur hidup konsumen, pekerjaan, kondisi ekonomi, gaya hidup,
kepribadian, dan konsep diri. Usia dan tahap daur hidup mempengaruhi kebutuhan
dan selera. Pekerjaan membuat seseorang memiliki minat di atas rata-rata terhadap
produk tertentu. Keadaan ekonomi menggambarkan pendapatan yang dapat
dibelanjakan (tingkat, stabilitas, pola), tabungan, kemampuan untuk meminjam, dan
sikap terhadap lawan menabung. Gaya hidup memberikan gambaran terhadap
kegiatan, minat dan pendapat seseorang. Kepribadian merupakan karakteristik
psikologis dalam memandang responnya terhadap lingkungan (Setiadi 2010).
Nutrition behavior (perilaku makan) merupakan suatu bentuk perilaku
konsumen dalam kehidupan sehari-hari dalam memberikan respon terhadap
makanan. Perilaku makan meliputi pengetahuan, sikap, dan praktek seseorang
terhadap makanan, pengelolaan makanan serta gizi yang terkandung di dalamnya
(Notoatmodjo 1997). Perilaku makan seringkali dipengaruhi oleh kondisi sosial,
seperti tekanan social dari orang-orang sekitar, perilaku yang menjadi model, dan
fasilitas sosial. Shepherd (1999) menambahkan bahwa perilaku makan juga
dipengaruhi kebudayaan, intrapersonal dan psikologis. Budaya memiliki pengaruh
yang kuat terhadap jenis pilihan pangan. Interaksi sosial mempengaruhi opini
seseorang terhadap pangan dan perilaku makannya. Minyak goreng yang digunakan masyarakat pada saat ini, baik yang bermerek
maupun yang dijual dalam bentuk curah, berasal dari minyak sawit mentah (MSMn)
yang telah mengalami proses pemurnian, di antaranya proses bleaching (pemucatan)
yang menyebabkan warna minyak goreng menjadi kuning keemasan hingga bening.
MSMn memiliki kandungan karotenoid yang tinggi, tetapi kandungan karotenoid
tersebut hilang hingga 80-100% karena proses bleaching. Untuk mengatasi masalah
kekurangan vitamin A di Indonesia, pemerintah berencana mewajibkan produsen
minyak goreng untuk memfortifikasi minyak goreng dengan vitamin A sintetis yang
diimpor dari Jerman. Tentu saja upaya fortifikasi ini tidaklah gratis, biaya
penambahan vitamin A sintetis dibebankan kepada konsumen sebesar Rp 100,00 per
liter. Hal ini tidak perlu terjadi karena pada awalnya minyak kelapa sawit telah
mengandung provitamin A alami dalam jumlah yang melimpah.
Program SawitA merupakan suatu program yang digagas oleh Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor bekerja sama dengan PT Smart Tbk.
Tujuan diselenggarakannya program ini adalah untuk mengatasi masalah kekurangan
vitamin A di Indonesia dengan memanfaatkan provitamin A alami yang berasal dari
minyak sawit merah. Dalam program SawitA, dihasilkan produk minyak sawit merah
baru yang mengandung provitamin A dan vitamin E sangat tinggi dengan harga
sangat murah (Zakaria et al. 2011). Program yang melibatkan 37 mahasiswa sebagai
fasilitator dan 79 kader posyandu ini dilakukan di 10 desa yang tersebar di
Kecamatan Dramaga, Bogor selama dua bulan. Target dari program ini adalah
masyarakat prasejahtera yang tidak berkemampuan untuk memenuhi kebutuhan
asupan vitamin A lewat sumber-sumber alami seperti buah dan sayur. Konsumen
produk SawitA diprioritaskan pada baduta, balita, ibu hamil, ibu menyusui, calon ibu
dan manula.
Produk SawitA dibagikan secara cuma-cuma kepada 2142 orang responden
disertai dengan pengetahuan mengenai produk, seperti bahan baku, manfaat, serta
cara konsumsi. Pembagian produk dilakukan oleh fasilitator yang dibantu oleh kader
posyandu sebagai mediator. Kegiatan yang dilakukan dalam program SawitA tidak
hanya pembagian produk saja, tetapi juga kegiatan edukasi lainnya seperti
penyuluhan dan Posyandu. Kegiatan yang melibatkan warga desa ini merupakan
upaya komunikasi dengan masyarakat, baik yang menjadi responden maupun
masyarakat lainnya yang ingin tahu. Masyarakat yang datang dalam kegiatan SawitA
memang diutamakan ibu karena perannya sebagai penentu menu yang dikonsumsi
dalam keluarganya.
Produk yang dihasilkan program SawitA diberi nama SawitA yang berarti
minyak sawit merah yang mengandung vitamin A. Terdapat beberapa jenis SawitA
yang digunakan untuk program ini, yakni SawitA Tumis MSMn, SawitA Manis
MSMTF, dan SawitA Gurih MSMTF. Perbedaan produk terletak pada bahan yang
ditambahkan, yaitu larutan gula pada SawitA Manis dan bumbu bawang kering pada
SawitA Gurih. Produk SawitA yang digunakan dalam penelitian ini hanya dua jenis,
yaitu SawitA Tumis MSMn yang selanjutnya akan disebut sebagai MSMn (Gambar
7) dan SawitA Gurih MSMTF yang selanjutnya akan disebut sebagai MSMTF. SawitA diproduksi di Techno Park IPB dengan menggunakan bahan baku
berupa minyak sawit mentah yang berasal dari PT Smart Tbk Jakarta. Sebagian dari
bahan baku langsung dikemas menjadi SawitA Tumis MSMn sedangkan sebagian
lagi diproses lebih lanjut menjadi SawitA MSMTF. Produk MSMn langsung
dituangkan ke dalam kemasan botol berisi 140 mL. MSMn mengalami pengolahan
lebih lanjut menjadi SawitA Gurih MSMTF dan SawitA Manis MSMTF. Untuk
membuat satu botol SawitA Gurih (140 mL) ditambahkan bawang kering sebanyak 5
gram yang dibuat dari irisan bawang merah yang dikeringkan selama 5 jam
kemudian diblender. Sedangkan untuk membuat SawitA manis ditambahkan larutan
gula dengan perbandingan 10:1, kemudian dihomogenisasi dan dikemas. Produk
SawitA memiliki nomer pendaftaran P-IRT No. 207320101871. Karakteristik kimia
MSMn, neutralized red palm oil (NRPO), dan MSMTF terdapat pada Tabel 9. Produk SawitA merupakan minyak sawit mentah yang ditujukan untuk
dikonsumsi secara langsung sehingga harus memenuhi persyaratan keamanan yang
berlaku. Persyaratan keamanan produk SawitA mengacu kepada SNI 01-3741-2002
untuk minyak makan (Tabel 11). Pengujian keamanan minyak makan menggunakan
parameter kandungan logam berat. Analisis logam berat terhadap MSMn dan
MSMTF telah dilakukan di laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian
(TIN). Kandungan logam berat yang terdapat pada MSMn, NRPO, dan MSMTF
tidak berbeda antar ketiganya dan secara keseluruhan berada di bawah standar logam
berat yang ditetapkan dalam SNI minyak makan. Hasil pengujian logam berat pada
MSMn, NRPO, dan MSMTF disajikan dalam Tabel 10.
Parameter lain yang merupakan indikator keamanan produk minyak makan
adalah bilangan peroksida. Hasil pengujian terhadap MSMn dan MSMTF
menunjukkan tidak terdeteksinya bilangan peroksida atau nol. Kandungan asam
lemak bebas dalam MSMn dan MSMTF masih tergolong tinggi dibandingkan
dengan minyak goreng karena tidak mengalami proses pemurnian, yakni tidak lebih
dari 5%. Hal ini tidak berbahaya sama sekali karena pada dasarnya semua lemak
yang dikonsumsi nantinya akan dicerna dalam bentuk asam lemak bebas di dalam
tubuh. Rismawati (2009) memperkuat bahwa meskipun kandungan asam lemak
bebas dalam MSMn cukup tinggi tetapi tidak terdeteksi adanya senyawa peroksida
oleh sebab adanya kandungan karotenoid yang tinggi sebagai antioksidan.
Tujuan utama dari program SawitA adalah untuk mengurangi permasalahan
kekurangan vitamin A di Indonesia dengan memanfaatkan provitamin A yang
terkandung dalam minyak sawit mentah. Keluarga yang menjadi responden di Desa
Neglasari berjumlah 22 keluarga dengan kisaran jumlah anggota keluarga 2-10
orang. Pengukuran jumlah konsumsi SawitA dilakukan melalui pengamatan jumlah
botol SawitA isi 140 mL yang diberikan pada 1 keluarga. Idealnya, satu botol produk
SawitA isi 140 mL untuk satu keluarga satu minggu. Namun pada kenyataannya,
banyak keluarga menghabiskan satu kemasan SawitA dalam 2 minggu. Berdasarkan
hal tersebut, maka penulis melakukan monitoring setiap 2 minggu sekali. Penulis
melakukan kunjungan pada setiap akhir minggu untuk memeriksa seberapa banyak
produk yang tersisa dalam botol. Bila produk telah habis, maka akan diberikan
produk yang baru. Jika tersisa sedikit atau sekiranya tidak cukup untuk konsumsi
seminggu, maka penulis akan memberikan produk yang baru. Jika tersisa masih
cukup banyak, maka penulis tidak memberikan produk. Penulis mencatat berapa
botol produk yang telah diberikan tiap keluarga selama 2 bulan program berlangsung.
Setiap keluarga (22 KK di Desa Neglasari) setidaknya pernah mendapatkan 1
botol MSMn dan 1 botol MSMTF. Setiap minggu monitoring, penulis mengamati
sisa produk dan segera memberikan produk baru jika sudah habis. Jumlah produk
SawitA yang diberikan kepada tiap keluarga bervariasi antara 2-5 botol selama 2
bulan. Jumlah SawitA yang diberikan kepada satu keluarga kemudian dibagi dengan
jumlah anggota keluarga yang turut mengkonsumsi produk meskipun tidak termasuk
sebagai responden utama lalu dibagi 30 hari sehingga didapatkan jumlah konsumsi
SawitA (g) per orang per hari. Perhitungan bobot yang dikonsumsi menggunakan
pertimbangan bobot jenis MSMn yaitu 0,859-0,870 g/mL (Ketaren 2005) lalu diratarata. Angka konsumsi karoten didapat dengan mengalikan rata-rata konsumsi SawitA
per orang per hari dengan kandungan karoten dalam MSMn yang menurut Choo et
al. (1994) berkisar antara 500-700 ppm sehingga diambil nilai tengahnya yaitu 600
ppm. Responden pada umumnya mengkonsumsi produk dengan cara diolah terlebih
dahulu yang melibatkan proses pemanasan. Karoten merupakan komponen yang
rentan terhadap proses pemanasan. Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh Rismawati (2009), terjadi penurunan kadar karotenoid total pada MSM setelah
penggorengan ke-1 sebanyak 23,9%. Asupan retinol atau vitamin A (RE per orang
per hari) didapat dengan mempertimbangkan ketetapan oleh FAO/WHO pada tahun
1988 di mana pada tingkat asupan β-karoten kurang dari 1.000 µg, maka 1µg retinol
(atau 1 RE) setara dengan 4 µg β-karoten. Angka asupan vitamin A yang berasal dari
konsumsi MSMn dan MSMTF kemudian dibandingkan dengan angka kecukupan
gizi (AKG) vitamin A secara umum yaitu 500 RE.
Pada Tabel 24 disajikan sebaran konsumsi produk SawitA dan asupan
vitamin A yang berasal dari MSMn dan MSMTF. Data pada Tabel 24 kemudian
diolah menggunakan program @RISK 6.0.1 untuk mendapatkan kurva distribusi
konsumsi produk SawitA dan asupan vitamin A. Konsumsi produk SawitA pada
responden di Desa Neglasari berkisar antara 0,5043 – 2,0172 gram per orang per hari
dengan rata-rata setiap orang mengkonsumsi 1,4309 gram per hari. Jika 1 sendok
makan MSMn memiliki bobot sekitar 4 g, maka dapat dikatakan bahwa setiap
harinya setiap orang mengkonsumsi sepertiga sendok makan lebih SawitA. Kurva distribusi konsumsi dan asupan vitamin A merupakan kurva distribusi normal
masing-masing dengan fungsi RiskNormal (1,4309 ; 0,42216) dan RiskNormal
(163,33 ; 48,189). Asupan vitamin A yang berasal dari konsumsi produk SawitA
berkisar antara 58 – 230 RE per orang per hari, dengan rata-rata asupan vitamin A
163 RE per orang per hari. Dengan demikian, dengan mengkonsumsi SawitA
seseorang dapat memenuhi 33% AKG untuk vitamin A per harinya. Kurva distribusi
normal konsumsi SawitA dan asupan vitamin A terhadap frekuensi konsumsi
disajikan pada Gambar 13 dan 14. Kisaran nilai maksimum, minimum, rata-rata, dan
standar deviasi distribusi konsumsi SAwitA dan asupan vitaminA disajikan pada
Tabel 25. Vitamin A merupakan zat gizi mikro yang sangat penting untuk tercukupi
kebutuhannya selama masa kehamilan dan menyusui. Vitamin A berperan dalam
diferensiasi sel, suatu tahap pertumbuhan yang sangat kritikal bagi bayi. Kekurangan
vitamin A (KVA) dapat mengakibatkan penurunan sistem imun yang mengakibatkan
peningkatan angka kematian karena penyakit menular. Peningkatan konsumsi pangan
yang kaya provitamin A lebih dianjurkan dibandingkan dengan peningkatan asupan
vitamin A dengan suplemen karena asupan vitamin A yang sangat tinggi bersifat
teratogenik (Watson dan Wall 2002). Tidak ditemukan adanya korelasi antara kadar
retinol pada plasma dengan kadar retinol pada ASI (Meneses dan Trugo 2005;
Azeredo dan Trugo 2007). Ibu hamil dan menyusui membutuhkan asupan vitamin A
800-850 RE per hari (Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi 2004).
Penggunaan kadar vitamin A pada ASI dalam menentukan status vitamin A
memiliki banyak kelebihan, antara lain adalah cara pengumpulan sampel yang lebih
mudah dan tidak membutuhkan biaya besar. Kadar vitamin A pada ASI merupakan
salah satu indikator unik yang dianjurkan oleh WHO untuk menentukan status
vitamin A ibu menyusui dan bayinya (Stoltzfus dan Underwood 1995). Pengukuran
konsentrasi retinol pada ASI merupakan indikator yang lebih responsif dibandingkan
dengan konsentrasi retinol dalam serum (Stoltzfus et al. 1993). Akan tetapi, retinol
pada ASI merupakan retinol bebas yang tidak terikat pada protein (RBP) sehingga
rentan kerusakan. Oleh karena itu, diperlukan tingkat kehati-hatian yang tinggi dalam
pengumpulan dan penyimpanan sampel. Sampel ASI harus terhindar dari cahaya dan
disimpan pada suhu (-200C).
Kepada 9 orang responden yang diambil ASI-nya hanya diberikan MSMn
selama 2 bulan dengan tujuan untuk mempermudah proses penelitian karena asupan
beta karoten berasal dari satu sumber saja. Satu botol SawitA cukup untuk memenuhi
kebutuhan vitamin A keluarga selama 1 minggu dengan takaran penggunaan 4
mL/orang/hari atau setara dengan 1-2 sendok per hari.
Pengukuran konsentrasi retinol pada sampel ASI didahului oleh tahap
pembuatan kurva standar retinol eksternal (Dary dan Arroyave 1996). Kurva standar
eksternal retinol dibuat dalam deret konsentrasi 1,00 (μg/mL), 1,25 (μg/mL), 2,00
(μg/mL), 2,50 (μg/mL), 5,00 (μg/mL), dan 10,00 (μg/mL) seperti pada Lampiran 10.
Sumbu x pada kurva standar merupakan konsentrasi retinol standar (µg/mL)
sedangkan sumbu y adalah luas area peak HPLC (cm2
). Konsentrasi retinol
berbanding lurus dengan luas area peak HPLC. Semakin tinggi konsentrasi retinol
yang terdeteksi, maka semakin tinggi puncaknya. Waktu retensi dari retinol yang
terdeteksi adalah antara 7,3 – 7,5 menit. Persamaan kurva standar yang didapatkan
adalah y = 26764x - 16906 dengan nilai R2
= 0,9961 sehingga kurva standar yang
dihasilkan dapat dikatakan baik dan dapat digunakan dalam penghitungan
konsentrasi sampel.
Dari sembilan (9) responden yang dianalisis kadar retinol dalam ASI, hanya 6
data yang digunakan sedangkan 3 lainnya merupakan pencilan. Hasil analisis retinol
ASI dibandingkan antara sebelum dan sesudah konsumsi MSMn.Tabel 26 menunjukkan kadar retinol ASI sebelum dan setelah intevensi serta
persentase peningkatan atau penurunan. Kadar retinol ASI sebelum intervensi
berkisar antara 0,45 – 1,49 µg/mL dengan rata-rata 0,73 µg/mL. Kadar retinol ASI
setelah intervensi berkisar antara 0,67 – 1,70 µg/mL dengan rata-rata 0,93 µg/mL.
Secara umum, konsumsi MSMn dapat meningkatkan kadar retinol pada ASI. Hasil
analisis menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan kadar retinol ASI antara
sebelum dan sesudah mengkonsumsi MSMn selama 2 bulan (p<0,05).
Terdapat lima orang responden yang mengalami peningkatan kadar retinol
dalam ASI antara sebelum dan sesudah mengkonsumsi MSMn yang merupakan
sumber provitamin A dan diketahui dapat memperbaiki status vitamin A pada ibu
dan bayi. Peningkatan kadar retinol pada ASI merupakan indikasi bahwa jumlah
karotenoid yang dikonsumsi responden telah mencukupi kebutuhan vitamin A
sehingga retinol yang tersedia dapat disalurkan ke ASI. Permaesih (2009)
menyimpulkan bahwa terjadi kenaikan kadar retinol ASI dan cadangan vitamin A
dalam hati pada responden yang diberi 2 kapsul vitamin A selama dua hari dan
ditambah minyak goreng yang difortifikasi vitamin A selama 80 hari.
Pada satu responden mengalami penurunan kadar retinol ASI setelah
mengkonsumsi MSMn. Kanda et al. (1990) mengungkapkan pada bahwa tikus yang
mengalami peradangan terjadi penurunan kadar vitamin A pada serum yang diduga
karena terjadi peningkatan konsumsi vitamin A pada bagian yang mengalami
peradangan.
Berdasarkan Emmet dan Rogers (1997), kandungan vitamin A dalam ASI
sangat dipengaruhi oleh asupan makanan ibu selama masa kehamilan dan menyusui.
Ross (2003) mengatakan bahwa kandungan retinol dalam ASI pada masa transisi
adalah 88 µg/100 mL atau sama dengan 0,88 µg/mL, sedangkan ASI yang sudah
mencapai akhir fase menyusui mengandung retinol 75 µg/100 mL atau 0,75 µg/mL.
Rendahnya kandungan retinol ASI pada ibu-ibu di Indonesia dan juga negara
berkembang lainnya pada umumnya disebabkan oleh kurangnya asupan makanan
yang mengandung vitamin A dan tingginya angka kelahiran yang disertai dengan
lamanya menyusui bayi (Miller et al. 2002). Shi (2010) menambahkan bahwa
pemilihan jenis makanan yang lebih banyak mengkonsumsi telur dan nasi merupakan
salah satu penyebab rendahnya konsentrasi retinol pada ASI.
Waktu pengambilan ASI juga mempengaruhi kadar karotennya. Kadar
karoten pada ASI yang berasal dari payudara yang hampir kosong lebih tinggi (hind
milk) dibandingkan dengan yang penuh ASI (fore milk) (Jackson et al. 1998). Menses dan Trugo (2005) menyatakan terdapat korelasi antara jumlah anak
dengan kadar retinol pada ASI, yaitu bahwa ASI dari ibu yang telah melahirkan lebih
dari 1 anak memiliki kadar retinol yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang
baru memiliki 1 anak. Kadar retinol pada ASI berasosiasi positif dengan kadar zat
besi pada ASI, kadar retinol pada serum, pekerjaan ibu, usia ibu, dan jenis
kontrasepsi oral yang digunakan, tetapi tidak berasosiasi dengan lemak tubuh (Neto
et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa karakteristik
responden telah sesuai dengan tujuan program SawitA yaitu responden yang
termasuk dalam kategori prasejahtera di Desa Neglasari dan Sukadamai. Meskipun
rataan pendapatan per kapita lebih tinggi dibandingkan batas kemiskinan, tetapi
mayoritas responden berpendapat masih di bawah garis kemiskinan (67,2%). Rataan
usia responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 25,19 tahun yang tergolong
usia produktif sehingga memungkinkan untuk menerima pengetahuan baru dengan
baik. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan terhadap pengetahuan
mengenai minyak sawit dan produknya setelah sosialisasi selama 2 bulan.
Produk SawitA mendapat respon awal yang sangat baik dari responden.
Begitu juga halnya dengan respon terhadap atribut rasa, aroma, warna, dan overall
produk MSMn dan MSMTF yang dibuktikan dengan lebih dari 80% responden
menyatakan “mau”. Responden memiliki kebiasaan pengolahan pangan dengan cara
ditumis atau digoreng. Dalam mengkonsumsi produk SawitA, cara yang paling
sering dilakukan adalah dengan menumis makanan. Sebanyak 52% responden lebih
menyukai produk SawitA Gurih MSMTF dibandingkan dengan SawitA Tumis
MSMn karena aroma yang tidak menyengat dan rasa yang terasa lebih gurih. Pada
umumnya, responden menyatakan semakin dapat menerima produk untuk digunakan
sehari-hari.
Konsumsi produk SawitA pada responden di Desa Neglasari berkisar antara
0,5043 – 2,0172 g/orang/hari dengan rata-rata 1,4309 g/orang/hari. Nilai maksimum
dari konsumsi produk SawitA menurut hasil simulasi dengan pengulangan 10000 kali
adalah 3,0336 g/orang/hari. Asupan vitamin A yang berasal dari MSMn dan MSMTF
berkisar antara 58 – 230 RE/orang/hari, dengan rata-rata 163 RE/orang/hari sehingga
dapat memenuhi 33% AKG vitamin A. Nilai maksimum dari asupan vitamin A yang
berasal dari MSMn dan MSMTF berdasarkan hasil simulasi dengan pengulangan
10000 kali adalah 361 RE/orang/hari.
Kadar retinol pada ASI 6 orang responden sebelum intervensi berkisar antara
0,45 – 1,49 µg/mL dengan rata-rata 0,73 µg/mL. Kadar retinol pada ASI setelah
intervensi berkisar antara 0,67 – 1,70 µg/mL dengan rata-rata 0,93 µg/mL. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa konsumsi MSMn dapat meningkatkan kadar retinol
pada ASI secara signifikan (p<0,05).
Persoalan kekurangan vitamin A (KVA) di Indonesia sudah menjadi masalah
yang serius. Vitamin A memang tidak dapat dihasilkan di dalam tubuh oleh karena
itu perlu mendapat suplai dari makanan yang dikonsumsi. Kondisi KVA pada
umumnya disebabkan oleh faktor ekonomi yang memicu timbulnya gizi buruk.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, Jawa Barat merupakan
provinsi dengan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi yakni sebesar 10,57%.
Sedangkan Kabupaten Bogor yang merupakan bagian dari Jawa Barat memiliki
persentase penduduk miskin sebesar 9.97%.
Defisiensi vitamin A banyak terjadi pada balita dan anak-anak. Air susu ibu
(ASI) menjadi satu-satunya sumber asupan zat gizi bagi bayi berusia 4 hingga 6
bulan pertama. Status gizi ibu menyusui harus diperhatikan agar dapat memenuhi
kebutuhan gizi bayinya. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengatasi
permasalahan KVA di Indonesia, salah satu caranya adalah melalui suplementasi dan
fortifikasi. World Health Organization menganjurkan asupan vitamin A untuk bayi
usia di bawah 1 tahun adalah 350 retinol ekivalen (RE) per hari. Sedangkan untuk
anak usia 1-10 tahun, konsumsi vitamin A yang dianjurkan adalah 400 RE per hari.
Ibu hamil dianjurkan mengkonsumsi 600 RE per hari dan ibu menyusui dianjurkan
menambah konsumsi vitamin A hingga 850 RE per hari. Selain berfungsi untuk
perkembangan organ pengelihatan, vitamin A memiliki peran penting dalam proses
diferensiasi sel. Diferensiasi sel merupakan proses yang vital pada saat pertumbuhan
bayi.
Minyak kelapa sawit merupakan sumber alami kelompok karotenoid,
tokoferol, dan tokotrienol yang melimpah. Dalam proses pembuatan minyak goreng,
minyak kelapa sawit mengalami beberapa tahapan proses, yakni ekstraksi,
degumming, deodorisasi, fraksinasi, dan bleaching. Proses tersebut merusak karoten
dan komponen minor lainnya. Minyak sawit mentah (MSMn) merupakan produk
pengolahan minyak kelapa sawit melalui proses ekstraksi dan klarifikasi untuk
mempertahankan kandungan karotenoid, tokoferol, dan tokotrienol tetap tinggi.
MSMn mengandung 500-700 ppm karotenoid (Choo et al. 1994). Jatmika dan
Guritno (1997) mengemukakan bahwa kadar karoten pada MSMn 60 kali lebih tinggi
dibandingkan pada minyak goreng. Oleh karena kandungan karotenoid yang tinggi,
MSMn sangat berpotensi untuk mengurangi masalah defisiensi vitamin A di
Indonesia. Produk turunan MSMn yang lainnya adalah minyak sawit merah tanpa
fraksinasi (MSMTF). MSMTF dibuat dari MSMn yang melalui proses netralisasi dan
deodorisasi.
Program SawitA merupakan program yang menerapkan teknologi proses
minimal pada minyak sawit sehingga menghasilkan minyak sawit mentah (MSMn)
yang masih mengandung komponen karotenoid alami dalam jumlah tinggi. Program
yang berada di bawah bimbingan Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) dan PT
Smart Tbk ini merupakan salah satu bentuk Corporate Social Responsibility (CSR).
Produk SawitA ini diharapkan dapat menjadi penyelesaian dari masalah KVA diIndonesia dengan memanfaatkan kandungan provitamin A alami (Zakaria et al.
2011). Rangkaian kegiatan program SawitA selama 2 bulan meliputi sosialisasi,
edukasi, dan monitoring responden yang tergolong keluarga prasejahtera di
Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Produk SawitA merupakan
produk baru dan masyarakat tidak terbiasa mengkonsumsi MSMn, maka uji
penerimaan konsumen penting dilaksanakan untuk melihat respon dari calon
konsumen terhadap produk. Selama program berlangsung, produk SawitA berupa
MSMn dan MSMTF diberikan secara cuma-cuma kepada 2142 responden. Penelitian
ini merupakan bagian dari program SawitA keseluruhan yang menggunakan 61 orang
responden saja. Selain itu, juga dilakukan analisis kandungan retinol pada sampel
ASI 9 responden.