hipotermia
Pengaturan suhu tubuh hampir seluruhnya dilakukan oleh
mekanisme umpan balik saraf, dan hampir semua mekanisme ini
bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada
hipotalamus. Mekanisme umpan balik ini akan bekerja membutuhkan
detector suhu, untuk menentukan bila suhu tubuh terlalu panas atau
dingin. Panas akan terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil
sampingan metabolisme dan panas tubuh juga secara terus menerus
dibuang ke lingkungan sekitar
Hipotermi terjadi karena terpapar dengan lingkungan yang
dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah)
Hipotermi yaitu suatu keadaan suhu tubuh
dibawah 36.60C . Hipotermi juga
terjadi karena kombinasi dari tindakan anestesi dan tindakan operasi
yang dapat menyebabkan gangguan fungsi dari pengaturan suhu tubuh
yang akan menyebabkan penurunan suhu inti tubuh (care
temperature) ,
b. Batasan Suhu
batasan suhu normal yaitu sebagai
berikut:
1) Bayi: 37,50C
2) Anak: 36,7-37,00C
3) Dewasa: 36,40C
4) >70 tahun 36,00C
c. Klasifikasi Hipotermi
hipotermi dapat
diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1) Ringan
Suhu antara 32-35°C, kebanyakan orang bila berada pada
suhu ini akan menggigil secara hebat, terutama di seluruh
ekstremitas. Bila suhu lebih turun lagi, pasien mungkin akan
mengalami amnesia dan disartria. Peningkatan kecepatan nafas
juga mungkin terjadi.
2) Sedang
Suhu antara 28–32°C, terjadi penurunan konsumsi
oksigen oleh sistem saraf secara besar yang memicu
terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan penurunan aliran darah
ke ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun, kesadaran pasien
bisa menjadi stupor, tubuh kehilangan kemampuannya untuk
menjaga suhu tubuh, dan adanya risiko timbul aritmia. 3) Berat
Suhu <28°C, pasien rentan mengalami fibrilasi
ventrikular, dan penurunan kontraksi miokardium, pasien juga
rentan untuk menjadi koma, nadi sulit ditemukan, tidak ada
refleks, apnea, dan oliguria.
d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi
Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi di kamar
operasi yaitu :
1) Suhu kamar operasi
Paparan suhu ruangan operasi yang rendah juga dapat
memicu pasien menjadi hipotermi, hal ini terjadi akibat
dari perambatan antara suhu permukaan kulit dan suhu
lingkungan. Suhu kamar operasi selalu dipertahankan dingin (20–
240C) untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri.
2) Luasnya luka operasi
Kejadian hipotermi dapat dipengaruhi dari luas
pembedahan atau jenis pembedahan besar yang membuka rongga
tubuh, misal pada operasi ortopedi, rongga toraks atau. Operasi
abdomen dikenal sebagai penyebab hipotermi karena
berhubungan dengan operasi yang berlangsung lama, insisi yang
luas, dan sering membutuhkan cairan guna membersihkan ruang
peritoneum.
3) Cairan
Faktor cairan yang diberikan merupakan salah satu hal
yang berhubungan dengan terjadinya hipotermi. Pemberian cairan
infus dan irigasi yang dingin (sesuai suhu ruangan) diyakini dapat
menambah penurunan temperatur tubuh Cairan
intravena yang dingin ini akan masuk ke dalam sirkulasi
darah dan mempengaruhi suhu inti tubuh (core temperature)
sehingga semakin banyak cairan dingin yang masuk pasien akan
mengalami hipotermi
4) Usia
Usia yaitu satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan
suatu makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Secara
biologis, Depkes (2009) membagi golongan usia menjadi:
a) Masa balita (0-5 tahun)
b) Masa kanak-kanak (5-11 tahun)
c) Masa remaja awal (12-16 tahun)
d) Masa remaja akhir (17-25 tahun)
e) Masa dewasa awal (26-35 tahun)
f) Masa dewasa akhir (36-45 tahun)
g) Masa lansia awal (46-55 tahun)
h) Masa lansia akhir (56-65 tahun)
i) Masa manula (65 sampai ke atas)
menyebutkan pasien lanjut usia (lansia)
termasuk ke dalam golongan usia yang ekstrem, merupakan risiko
tinggi untuk terjadi hipotermi pada periode perioperatif. General
anestesi yang dilakukan pada pasien usia lansia dapat
menyebabkan pergeseran pada ambang batas termoregulasi
dengan derajat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien yang
berusia muda. Golongan usia lansia merupakan faktor risiko
urutan 6 (enam) besar sebagai penyebab hipotermi perioperatif.
Selain lansia, menyebutkan pasien
pediatrik, balita, dan anak bukanlah pasien dewasa yang
berukuran besar. Mereka memiliki risiko yang tinggi juga untuk
terjadi komplikasi pasca operasi.
Seseorang pada usia lansia telah terjadi kegagalan
memelihara suhu tubuh, baik dengan atau tanpa anestesi,
kemungkinan hal ini terjadi karena penurunan vasokonstriksi
termoregulasi yang terkait dengan usia Teori
mengatakan kejadian hipotermia pada pasien lansia disebabkan
perubahan fungsi kardiovaskular (kekakuan pada area dinding
pembuluh darah arteri, peningkatan tahanan pembuluh darah
perifer, dan juga penurunan curah jantung), kekakuan organ paru
dan kelemahan otot-otot pernapasan memicu ventilasi,
difusi, serta oksigenasi tidak efektif. Selain itu, pada lansia terjadi perubahan fungsi metabolik, seperti peningkatan sensitivitas pada
reseptor insulin periferal, dan juga penurunan respons
adrenokortikotropik terhadap faktor respons.
5) Indeks Massa Tubuh (IMT)
Metabolisme seseorang berbeda-beda salah satu diantaranya
dipengaruhi oleh ukuran tubuh yaitu tinggi badan dan berat badan
yang dinilai berdasarkan indeks massa tubuh yang merupakan
faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme dan berdampak
pada sistem termogulasi ,bila manusia berada
dilingkungan yang suhunya lebih dingin dari tubuh mereka,
mereka akan terus menerus menghasilkan panas secara internal
untuk mempertahankan suhu tubuhnya, pembentukan panas
tergantung pada oksidasi bahan bakar metabolik yang berasal dari
makanan dan lemak sebagai sumber energi dalam menghasilkan
panas (Ganong, 2008).
Pada orang yang gemuk memiliki cadangan lemak lebih
banyak akan cenderung memakai cadangan lemak sebagai
sumber energi dari dalam, artinya jarang membakar kalori dan
menaikkan heart rate (Indriati, 2010). Agen anestesi di redistribusi
dari darah dan otak kedalam otot dan lemak, tubuh yang semakin
besar menyimpan jaringan lemak yang banyak, sehingga lebih baik
dalam mempertahankan suhu tubuh (Dughdale, 2011).
Lemak merupakan bahan atau sumber pembentuk energi di
dalam tubuh, yang dalam hal ini bobot energi yang dihasilkan dari
tiap gramnya lebih besar dari yang dihasilkan tiap gram karbohidrat
dan protein. Tiap gram lemak akan menghasilkan 9 kalori,
sedangkan 1 gram karbohidrat dan protein akan menghasilkan 4
kalori (Kartasapoetra, 2008).
Pada orang dengan IMT yang rendah akan lebih mudah
kehilangan panas dan merupakan faktor risiko terjadinya hipotermi,
hal ini dipengaruhi oleh persediaan sumber energi penghasil panas
yaitu lemak yang tipis, simpanan lemak dalam tubuh sangat
bermanfaat sebagai cadangan energi. Pada indeks massa tubuh
yang tinggi memiliki sistem proteksi panas yang cukup dengan
sumber energi penghasil panas yaitu lemak yang tebal sehingga
IMT yang tinggi lebih baik dalam mempertahankan suhu tubuhnya
dibanding dengan IMT yang rendah karena mempunyai cadangan
energi yang lebih banyak (Valchanov et all, 2011).
IMT merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan
lemak tubuh seseorang yang dinyatakan sebagai berat badan
(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam
ukuran meter (Arisman, 2007).
Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran IMT,
yaitu:
a) Berat Badan
Berat badan yaitu salah satu parameter massa tubuh
yang paling sering digunakan yang dapat mencerminkan
jumlah zat gizi seperti: protein, lemak, air dan mineral. Agar
dapat mengukur IMT, berat badan dihubungkan dengan
tinggi badan (Proverawati & Kusuma, 2010).
b) Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang
dan dapat merefleksikan pertumbuhan skeletal
Dari batas ambang yang ada di atas, IMT dengan kriteria
kurus yaitu masalah kesehatan terbesar dan lebih banyak
mengalami komplikasi pasca general anestesi dibanding dengan
kriteria IMT lainnya (Tian, 2014).
6) Jenis Kelamin
Jenis kelamin (seks) yaitu perbedaan antara perempuan
dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks
berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki
memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel
telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan
menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan
perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan
fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras
yang ada di muka bumi (Hungu, 2007).
Pada penelitian Harahap (2014), mendapatkan hasil bahwa
kejadian hipotermi lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu
51,2% dibanding laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Rosjidi
& Isro’ain (2014) juga mendapatkan hasil bahwa perempuan lebih
rentan terserang penyakit/ komplikasi daripada laki-laki.
Kejadian hipotermi juga dipengaruhi oleh berat badan pada
tiap jenis kelamin. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih
banyak. Pada dewasa muda laki-laki, lemak tubuh >25% dan
perempuan >35%. Distribusi lemak tubuh juga berbeda
berdasarkan jenis kelamin, pria cenderung mengalami obesitas
viseral (abdominal) dibandingkan wanita (Sugondo, 2010).
7) Obat anestesi
Pada akhir anestesi dengan thiopental, halotan, atau
enfluran kadang-kadang menimbulkan hipotermi sampai
menggigil. Hal itu disebabkan karena efek obat anestesi yang
menyebabkan gangguan termoregulasi (Aribowo, 2012).
8) Lama operasi
Lama tindakan pembedahan dan anestesi bepotensi
memiliki pengaruh besar khususnya obat anestesi dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dalam darah dan jaringan
(khususnya lemak), kelarutan, durasi anestesi yang lebih lama,
sehingga agen-agen ini harus berusaha mencapai keseimbangan
dengan jaringan ini (Chintamani, 2008).
Induksi anestesi memicu vasodilatasi yang
menyebabkan proses kehilangan panas tubuh terjadi secara terus
menerus. Panas padahal diproduksi secara terus menerus oleh
tubuh sebagai hasil dari metabolisme. Proses produksi serta
pengeluaran panas diatur oleh tubuh guna mempertahankan suhu
inti tubuh dalam rentang 36-37,5oC (Putzu, 2007).
Durasi pembedahan yang lama, secara spontan
menyebabkan tindakan anestesi semakin lama pula. Hal ini akan
menimbulkan efek akumulasi obat dan agen anestesi di dalam
tubuh semakin banyak sebagai hasil pemanjanan penggunaan obat
atau agen anestesi di dalam tubuh. Selain itu, pembedahan dengan
durasi yang lama akan menambah waktu terpaparnya tubuh dengan
suhu dingin (Depkes RI, 2009).
9) Jenis operasi
Jenis operasi besar yang membuka rongga tubuh, misal
pada operasi rongga toraks, atau abdomen, akan sangat
berpengaruh pada angka kejadian hipotermi. Operasi abdomen
dikenal sebagai penyebab hipotermi karena berhubungan dengan
operasi yang berlangsung lama, insisi yang luas dan sering
membutuhkan cairan guna membersihkan ruang peritoneum.
Keadaan ini memicu kehilangan panas yang terjadi ketika
permukaan tubuh pasien yang basah serta lembab, seperti perut
yang terbuka dan juga luasnya paparan permukaan kulit (Buggy
& Crossley, 2000).
e. Mekanisme Kehilangan Panas
Menurut Lissauer (2009), penurunan suhu tubuh manusia
selama general anestesi mengikuti suatu pola tertentu, yaitu terbagi
menjadi 3 fase.
1) Fase Redistribusi
Induksi general anestesi akan menyebabkan terjadinya
vasodilatasi. Hal ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu obat
anestesi secara langsung menyebabkan terjadinya vasodilatasi
pembuluh darah dan general anestesi menurunkan nilai ambang
vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral.
Vasodilatasi ini akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian
sentral suhu inti mengalir ke bagian perifer. Redistribusi panas
tubuh ini akan menyebabkan peningkatan suhu perifer tetapi
menyebabkan penurunan suhu inti. Penurunan suhu inti pada fase
ini terjadi dengan cepat. Suhu inti turun 1-1,5ºC selama jam
pertama.
2) Fase Linear
Setelah fase redistribusi, suhu inti akan turun dengan
lambat selama 2-4 jam berikutnya. Penurunan ini sekitar 0,5ºC
setiap jamnya. Hal ini terjadi karena panas tubuh yang hilang
lebih besar daripada panas yang diproduksi. Metabolisme tubuh
menurun sebesar 15-40% selama general anestesi.
3) Fase Plateau
Setelah penderita teranestesi dan melewati fase linear, suhu
tubuh akan mencapai keseimbangan. Pada fase ini, produksi
panas seimbang dengan panas yang hilang. Fase ini terbagi
menjadi dua, yaitu fase pasif dan aktif.
a) Fase plateau pasif terjadi jika produksi panas seimbang
dengan panas yang hilang tanpa disertai aktivitas dari
termoregulasi, yaitu tanpa disertai terjadinya vasokonstriksi.
Tapi kombinasi dari penurunan produksi panas karena
anestesi dan faktor-faktor operasi yang lain menyebabkan
fase ini jarang terjadi. Fase ini lebih sering terjadi pada
operasi-operasi kecil pada penderita yang terselimuti atau
terbungkus oleh insulator yang baik.
b) Fase palteau aktif terjadi saat suhu tubuh telah mencapai
keseimbangan dengan terjadinya mekanisme vasokonstriksi.
Pada saat suhu inti mencapai 33-35ºC akan memicu sistem
termoregulasi untuk vasokonstriksi untuk mengurangi panas
tubuh yang hilang dengan membatasi aliran panas dari
jaringan inti ke jaringan perifer.
f. Penatalaksanaan Hipotermi
Tujuan intervensi yaitu untuk meminimalkan atau
membalik proses fisiologis. Pengobatan mencakup pemberian
oksigen, hidrasi yang adekuat, dan nutrisi yang sesuai. Menurut
Setiati et al. (2008), terdapat 3 macam teknik penghangatan yang
digunakan, yaitu:
1) Penghangatan eksternal pasif
Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkirkan baju
basah kemudian tutupi tubuh pasien dengan selimut atau
insulasi lain.
2) Penghangatan eksternal aktif
Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak berespon
dengan penghangatan eksternal pasif (selimut penghangat,
mandi air hangat atau lempengan pemanas), dapat diberikan
cairan infus hangat IV (suhu 39o
– 40oC) untuk
menghangatkan pasien dan oksigen.
3) Penghangatan internal aktif.
Ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain
irigasi ruang pleura atau peritoneum, hemodialisis dan
operasi bypass kardiopulmonal. Dapat pula dilakukan bilas
kandung kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas
lambung dengan cairan NaCl 0,9% hangat (suhu 40o
– 45oC)
atau dengan memakai tabung penghangat esophagus.
2. General Anestesi
a. Definisi
Salah satu konsep pelayanan kesehatan modern yang berkembang
saat ini yaitu bentuk pelayanan di bidang medis, yang mempunyai kaitan
erat dengan penggunaan peralatan dan pemanfaatan teknologi dalam
pelaksanaannya, seperti misalnya Anestesi, akan mengalami perkembangan
teknologi peralatan yang digunakan (Soenarjo & Jatmiko, 2013).
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit
ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang
menimbulkan rasa sakit pada tubuh dan salah satu yang sangat penting
dalam anestesi yaitu penentuan klasifikasi ASA (Majid, Judha & Istianah,
2011).
General anestesi yaitu keadaan fisiologis yang berubah ditandai
dengan hilangnya kesadaran reversible, analgesia dari seluruh tubuh,
amnesia, dan beberapa derajat relaksasi otot (Morgan & Mikhail, 2013).
Ketidaksadaran ini yang memungkinkan pasien untuk mentolerir
prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit tak tertahankan. Selama
anestesi, pasien tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang alami
(Press, 2013).
b. Fase Anestesi
Menurut Mangku & Senapathi (2010), ada 3 fase anestesi, meliputi:
1) Fase pre anestesi
Pada tahap pre anestesi, seorang perawat akan menyiapkan hal-hal
yang dibutukan selama operasi. Contoh: pre visit pasien yang akan
melakukan operasi, persiapan pasien, pasien mencukur area yang akan
dilakukan operasi, persiapan catatan rekam medik, persiapan obat
premedikasi yang harus diberikan kepada pasien.
2) Fase intra anestesi
Pada fase intra anestesi, seorang perawat anestesi akan melakukan
monitoring keadaan pasien. Perawat anestesi akan melihat
hemodinamik dan keadaan klinis pasien yang menjalani operasi.
3) Fase pasca anestesi
Pada tahap ini, perawat anestesi membantu pasien dalam
menangani respon-respon yang muncul setelah tindakan anestesi.
Respon ini berupa nyeri, mual muntah, hipotermi bahkan sampai
menggigil.
c. Keuntungan dan Kerugian General Anestesi
Menurut Press (2013), seorang penyedia anestesi bertanggung jawab
untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan
memilih teknik anestesi yang optimal sesuai atribut general anestesi,
meliputi:
1) Keuntungan
a) Mengurangi kesadaran dan ingatan intra operatif pasien.
b) Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu
yang lama.
c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan nafas, pernafasan dan
sirkulasi.
d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen
anestesi lokal.
e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang.
f) Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak
terduga.
g) Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible.
2) Kekurangan
a) Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya
terkait.
b) Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi.
c) Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan
intervensi aktif.
d) Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual,
muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, mengigil (hipotermi) dan
tertunda kembali ke fungsi mental yang normal.
d. Gangguan Pasca General Anestesi
Pada penelitian Setiyanti (2016), meyebutkan pasien pasca
general anestesi biasanya mengalami beberapa gangguan. Berikut ini
yaitu gangguan pasca general anestesi:
1) Pernapasan
Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena
hipoksia sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera
diatasi. Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan
yaitu sisa anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas
otot yang belum dimetabolisme dengan sempurna. Selain itu lidah
jatuh ke belakang menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini
menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat
menyebabkan apnea.
2) Sirkulasi
Penyulit yang sering di jumpai yaitu hipotensi syok dan
aritmia. Hal ini disebabkan oleh kekurangan cairan karena
perdarahan yang tidak cukup diganti. Sebab lain yaitu sisa anastesi
yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi
masih dalam akhir pembedahan.
3) Regurgitasi danmuntah
Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama
anastesi. Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan
aspirasi
4) Hipotermi
Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi,
selain itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General
anestesi juga memengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas
elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons
eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta
mengganggu mekanisme fisiologi lemak/ kulit pada fungsi
termoregulasi yaitu menggeser batas ambang untuk respons proses
vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi dan juga berkeringat.
5) Gangguan faal lain
Gangguan faal terdiri dari gangguan pemulihan kesadaran
yang disebabkan oleh kerja anastetik yang memanjang karena dosis
berlebih relatif karena penderita syok, hipotermi, usia lanjut dan
malnutrisi sehingga sediaan anastetik lambat dikeluarkan dari dalam
darah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini memakai jenis penelitian kuantitatif
observasional analitik. Penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian
observasional analitik, yaitu mengamati suatu fenomena antara faktor
risiko dengan faktor efek, kemudian melakukan analisis untuk mengetahui
seberapa jauh kontribusi suatu faktor terhadap adanya suatu kejadian
tertentu (Notoatmojo, 2010).
Desain penelitian memakai studi potong lintang (cross
sectional) yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi
antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi
atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach),
yaitu tipe subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dimana variabel variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama
(Notoatmodjo, 2010).
Peneliti melakukan observasi pada faktor-faktor yang berhubungan
dengan hipotermi pasca general anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian ini dilaksanakan di IBS RSUD Kota
Yogyakarta, pada bulan Juni - Juli 2017.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi yaitu keseluruhan objek penelitian atau objek yang
diteliti. Objek ini berupa orang, kejadian, perilaku atau sesuatu
yang akan dilakukan penelitian (Notoatmojo, 2010). Populasi dalam
penelitian ini yaitu seluruh pasien yang menjalani operasi dengan
general anestesi di RSUD Kota Yogyakarta rata-rata 127 orang setiap
bulannya.
2. Sampel
Sampel yaitu bagian yang diambil dari seluruh objek yang diteliti
dan dianggap dapat mewakili seluruh populasi yang diambil dengan
teknik tertentu (Notoatmojo, 2010). Sampel pada penelitian ini yaitu
pasien pasca general anestesi.
a. Teknik Pengambilan Sampel
Teknik sampling dalam penelitian ini yaitu teknik consecutive
sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang
memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga
jumlah klien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2008).
b. Kriteria Sampel
Sampel yang akan diteliti harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Kriteria inklusi:
a) Pasien dengan usia 17-55 tahun.
b) Pasien elektif dengan general anestesi
c) Pasien dengan operasi yang membuka regio dada dan
abdomen.
2) Kriteria eksklusi:
a) Pasien yang tidak dapat berdiri.
b) Pasien dengan gangguan penurunan kesadaran.
c. Besar Sampel
Penentuan jumlah sampel dihitung dengan memakai rumus
besar sampel sebagai berikut (Nursalam, 2008):
n =
N
1 + N(d2
)
n =
127
1 + 127(0,12
)
n =
127
2,27
= 55,9 dibulatkan menjadi 56 sampel.
Keterangan:
N: Besar populasi general anestesi di RSUD Kota Yogyakarta
n: Besar sampel
d: Tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan
Dengan hasil perhitungan di atas, maka ditentukan besarnya
responden variabel yaitu pasien yang menjalani operasi dengan
general anestesi sebanyak 56 orang
D. Variabel Penelitian
Variabel penelitian yaitu sesuatu yang digunakan sebagai ciri,
sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian
tentang konsep pengertian tertentu (Notoatmojo, 2010). Adapun variabel
yang digunakan sebagai berikut:
1. Variabel bebas/ independen
Variabel ini sering disebut variabel stimulus, predictor,
antecendent, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai variabel bebas,
variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi
sebab perubahannya atau timbul variabel terikat (dependen) (Sugiyono,
2007). Pada penelitian ini, yang menjadi variabel bebas yaitu faktor faktor yang berhubungan dengan hipotermi, yaitu faktor usia, IMT,
jenis kelamin dan lama operasi.
2. Variabel terikat/ dependen
Variabel terikat ini sering disebut sebagai variabel dependen,
output, kriteria, konsekuen. Variabel terikat merupakan variabel yang
dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas
(Sugiyono, 2007). Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat
yaitu hipotermi.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional yaitu definisi berdasarkan karakteristik yang
diamati dari sesuatu yang didefinisikan (Nursalam, 2008).
F. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer dan
data sekunder.
2. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini memakai teknik pengumpulan secara observasi
langsung dan studi dokumentasi.
G. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini
yaitu :
1. Timbangan smic untuk mengukur berat badan dan tinggi badan
responden dalam satuan kilogram (kg).
2. Termometer aksila digital untuk mengukur suhu badan responden pasca
general anestesi dalam satuan derajat celcius.
3. Lembar observasi digunakan mencatat nama responden, jenis kelamin,
usia, berat badan, tinggi badan, IMT, waktu operasi dan suhu pasien.
H. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang akan peneliti lakukan sebagai berikut:
1. Tahap Persiapan
a. Peneliti menyusun proposal penelitian
b. Peneliti mengajukan ethical clearance penelitian ke Komisi Etik
Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.
c. Pada tanggal 4 April, Peneliti mendapatkan Persetujuan Komisi
Etik.
d. Peneliti mengurus surat perijinan di RSUD Kota Yogyakarta.
e. Peneliti mengurus perijinan penelitian di Kantor Pemerintah Kota
Yogyakarta.
f. Pada tanggal 12 Mei, Peneliti mendapatkan surat ijin penelitian dari
RSUD Kota Yogyakarta.
g. Peneliti menyiapkan asisten penelitian/ enumerator sebanyak 2
orang, yaitu 1 orang perawat yang bekerja di IBS RSUD Kota
Yogyakarta dengan pendidikan S1 keperawatan dan 1 orang
lulusan D3 Keperawatan. Enumerator berperan dalam
mengidentifikasi responden sesuai kriteria penelitian yang telah
ditetapkan, mengukur tinggi badan dan berat badan untuk
menentukan IMT, mengukur suhu pasca general anestesi. Setiap
enumerator memiliki tanggung jawab pada 1 pasien, sejak pasien
berada di ruang penerimaan sampai selanjutnya di ukur suhu di
ruang pemulihan.
h. Pada tanggal 2 Juni 2017, peneliti melakukan persamaan persepsi
pada asisten peneliti terkait kriteria inklusi dan eksklusi serta
pelaksanaan penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Enumerator memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dan
ekslusi penelitian.
b. Enumerator melakukan kontrak dengan pasien dengan
menyampaikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, prosedur
pelaksanaan penelitian sebelum penandatanganan persetujuan
sebagai responden (inform consent).
c. Di ruang persiapan, Enumerator mengukur berat badan, tinggi
badan kemudian menghitung IMT, mencatat usia dan jenis
kelamin responden sesuai dengan catatan rekam medik. Hasil di
catat pada lembar observasi.
d. Segera/ langsung setelah responden dipindah ke ruang pemulihan,
Enumerator mengukur suhu pasca general anestesi dengan
termometer aksila digital sampai terdengar bunyi “bip”.
e. Enumerator mencatat lama operasi responden pada lembar
observasi, waktu selesai operasi dikurangi waktu mulai operasi
yang tercatat pada rekam medik.
3. Tahap Pelaporan
a. Peneliti melakukan analisa data untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan hipotermi pasca general anestesi di IBS
RSUD Kota Yogyakarta.
b. Peneliti menyusun laporan
I. Manajemen Data
Pengelolaan data prinsipnya merupakan proses untuk memperoleh
data atau suatu ringkasan berdasarkan kelompok data mentah dengan
memakai rumus tertentu agar dapat menghasilkan informasi yang
jelas (Setiadi, 2007).
1. Menurut Notoatmojo (2010), dalam melakukan pengelolaan data
terdapat 5 kegitan sebagai berikut:
a. Editing (memeriksa)
Editing merupakan tahap memeriksa data untuk menghindari
pengukuran yang keliru serta mengecek kelengkapan pengisian
lembar observasi.
b. Coding (memberi tanda)
Memberikan kode pada masing-masing responden sehingga
peneliti dapat secara tepat memasukkan data sesuai klasifikasi.
1) Usia
Kode 1: 17-25 tahun (remaja)
Kode 2: 26-45 tahun (dewasa)
Kode 3: 46-55 tahun (lansia)
2) IMT
Kode 1: Kurus
Kode 2: Normal
Kode 3: Gemuk
3) Lama operasi
Kode 1: Cepat
Kode 2: Sedang
Kode 3: Lama
4) Jenis Kelamin
Kode 1: Laki-laki, Kode 2: Perempuan
c. Entry (memasukkan data)
Dari data responden yang berisi kode angka dimasukkan ke dalam
program atau software computer.
d. Cleaning (membersihkan)
Peneliti melakukan pengecekkan kembali data yang sudah di-entry,
diperiksa kembali data yang sudah di-entry agar terhindar dari
kesalahan.
e. Tabulating (tabulasi)
Peneliti memasukkan data menurut variabel yang akan dianalisis
yaitu hasil pengukuran suhu yang menunjukkan hipotermi dan
faktor-faktor yang berhubungan.
2. Analisa Data
Metode analisa data dilakukan dengan tujuan agar data hasil
penelitian yang masih berupa data kasar lebih mudah dibaca. Metode
analisa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
a. Analisa univariat bertujuan menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Penelitian dalam analisis
ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari
tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).
b. Analisa bivariat, yang dilakukan terhadap dua variabel yang
diduga berhubungan atau berkorelasi untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas, faktor-faktor yang berhubungan
dengan variabel terikat yaitu hipotermi pasca general anestesi
(Sugiyono, 2010).
1) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
faktor usia dengan hipotermi, memakai uji chi square
karena penelitian memakai data kategorik (ordinal dan
nominal).
2) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
faktor IMT dengan hipotermi, memakai uji chi square
karena penelitian memakai data kategorik (ordinal dan
nominal).
3) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
faktor jenis kelamin dengan hipotermi, memakai uji chi
square karena penelitian memakai data kategorik
(nominal dan nominal).
4) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara
faktor lama operasi dengan hipotermi, memakai uji chi
square karena penelitian memakai data kategorik
(ordinal dan nominal).
bila P value ≤0,05, maka hipotesis diterima atau ada
hubungan antara faktor lama operasi, jenis kelamin dan IMT
dengan hipotermi pasca general anestesi. Untuk pedoman
analisis korelasi, jika nilai koefisien korelasi mendekati 1 aau -1
maka hubungan semakin erat atau kuat, jika mendekati 0 maka
semakin lemah. Pedoman interpretasi koefisien korelasi menurut
Sugiyono (2010) sebagai berikut:
Tabel 4. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi
Rentang Nilai Korelasi Keputusan
0,00 – 1,99 Sangat rendah
0,20 – 0,399 Rendah
0,40 – 0,599 Sedang
0,60 – 0799 Kuat
0,80 – 1,000 Sangat kuat
Sumber: Sugiyono (2010)
J. Etika Penelitian
Menurut Sugiyono (2010), dalam melaksanakan sebuah penelitian, ada
beberapa prinsip etis atau etika penelitian yang harus diperhatikan, sebagai
berikut:
1. Inform Consent (lembar persetujuan)
Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang sebelumnya
diberi penjelasan secukupnya tentang tujuan penelitian untuk
menandatangani inform consent ini .
2. Anonymity (Kerahasiaan Identitas)
Kerahasiaan identitas responden dijaga oleh peneliti dan hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian. Identitas penelitian hanya
diketahui oleh peneliti dan tidak disebarluaskan.
3. Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.
4. Respect for Person
Peneliti selalu menjaga dan menghormati harkat dan martabat
responden yaitu manusia sebagai makhluk bio, psiko, sosial dan
spiritual. Peneliti memberikan kebebasan pada responden untuk
memilih menjadi responden atau berhak untuk menolak menjadi
responden sehingga dalam penelitian ini tidak ada unsur paksaan.
5. Beneficience
Prinsip beneficience menekankan peneliti untuk melakukan penelitian
yang memberikan manfaat bagi pasien. Prinsip ini memberikan
keuntungan dengan cara mencegah dan menjauhkan dari bahaya,
membebaskan pasien dari eksploitasi serta menyeimbangkan
keuntungan dari resiko.
6. Justice
Peneliti tidak deskriminatif dalam memperlakukan responden,
penelitian ini tidak mengandung resiko yang mengancam rasa aman
responden. Peneliti menjamin hak responden penelitian, yaitu:
menjamin kerahasaiaan responden, menghentikan penelitian jika
ternyata dalam proses penelitian membuat responden tidak nyaman,
dan memberikan kesempatan kepada responden penelitian untuk
mengajukan pertanyaan tentang penelitian.
7. Kejujuran
Kejujuran yaitu hal utama yang harus dimiliki peneliti. Seorang
peneliti akan membuat laporan penelitian sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya
Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan pada tanggal 2 Juni – 1 Juli 2017, dari Hari Senin
sampai Sabtu sesuai dengan jam kerja IBS RSUD Kota Yogyakarta. Penelitian
ini dilakukan pada fase pre anestesi (pengkajian/ observasi) dan pasca anestesi
(mengukur suhu tubuh responden dan menghitung lama operasi).
1. Gambaran Umum RSUD Kota Yogyakarta
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta yaitu rumah
sakit milik pemerintah daerah Kota Yogyakarta. RSUD Kota Yogyakarta
merupakan rumah sakit Pendidikan kelas B dengan luas tanah 28,527 m2
dan luas bangunan 16,358 m2
. RSUD Kota Yogyakarta mempunyai tugas
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna melalui
penyediaan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat.
Ruang IBS RSUD Kota Yogyakarta terletak di tengah bangunan
Rumah Sakit, di dalamnya terdapat 4 kamar operasi yang dilengkapi
dengan ruang persiapan dan ruang pulih sadar/ pemulihan. Jumlah
tindakan operasi rata-rata setiap hari berjumlah 10-14 orang. Kasus operasi
bedah yang dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta meliputi operasi:
a. Bedah umum seperti apendisitis, hernia
b. Bedah obsgyn seperti sectio caesarea (SC)
c. Bedah mata
d. Bedah THT
e. Bedah ortopedi
f. Bedah urologi
Jumlah tenaga kesehatan yang ada di IBS RSUD Kota Yogyakarta
berjumlah 32 orang. Tenaga medis bedah berjumlah 24 orang, meliputi
dokter bedah dan perawat. Perawat bedah di IBS RSUD Yogyakarta
berjumlah 10 orang, sedangkan dokter bedahnya berjumlah 14 orang,
terdiri dari dokter spesialis bedah umum, spesialis urologi, spesialis
onkologi, spesialis mata, spesialis THT, spesialis obsgyn dan spesialis
orthopedi. Jumlah tenaga anestesi 8 orang, dengan rincian 3 dokter
spesialis anestesi dan 5 orang perawat/ penata anestesi yang bertugas pada
pre, intra dan pasca anestesi.
2. Karakteristik Responden
Responden dalam penelitian ini yaitu pasien di RSUD Kota
Yogyakarta yang menjalani operasi elektif dengan general anestesi.
Jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak
56 orang. Data karakteristik responden dalam penelitian ini diambil
berdasarkan status fisik ASA, usia, IMT, jenis kelamin dan lama operasi.
Distribusi frekuensi karakteristik responden dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui karakteristik responden yang
menjalani operasi dengan general anestesi di RSUD Kota Yogyakarta
mayoritas berstatus fisik ASA I, yaitu sebanyak 32 orang (57,1%). Jika
dilihat dari faktor usia, paling banyak responden dengan rentang usia 46-
55 tahun (lansia), yakni sebanyak 22 orang (39,4%). Faktor lain yang
berhubungan yaitu faktor IMT, responden paling banyak terletak pada
kategori IMT normal, yakni sebanyak 24 orang (42,9%). Faktor lain juga
muncul dari faktor jenis kelamin dan faktor lama operasi. Responden
dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak di IBS RSUD Kota
Yogyakarta, yaitu sebanyak 31 orang (5,4%). Lama operasi yang dijalani
responden ada 3, responden terbanyak menjalani operasi pada rentang
waktu 1-2 jam, jumlah responden dalam rentang waktu ini sebanyak 30
orang (53,6%).
3. Hubungan Faktor Usia dengan Hipotermi Pasca General Anestesi
Usia dalam penelitian ini terhitung sejak responden laihr sampai
pengambilan data diambil. Hubungan faktor usia dengan hipotermi pasca
general anestesi telah dihitung melalui software dan dapat dilihat pada
tabel tabulasi silang berikut ini:
Berdasarkan tabel 6, terjadi peningkatan frekuensi dan presentase
kejadian hipotermi dari rentang usia 17-25 tahun, 26-45 tahun dan 46-55
tahun. Responden paling banyak mengalami hipotermi pada rentang usia
46-55 tahun, yakni 20 orang (90,9%).
4. Hubungan Faktor IMT dengan Hipotermi Pasca General Anestesi
IMT pada tiap pasien berbeda-beda, seseorang dengan usia
minimal 17 tahun baru bisa dilakukan perhitungan status gizi
memakai IMT. Hubungan faktor IMT dengan hipotermi pasca
general anestesi juga dihitung melalui software dan dapat dilihat pada
tabel tabulasi silang berikut ini:
Berdasarkan tabel 7, frekuensi hipotermi terbanyak terjadi pada
kategori IMT gemuk yaitu 13 orang. Sedangkan bila dilihat dari
presentase, sebanyak 100% responden hipotermi dengan IMT kurus.
5. Hubungan Faktor Jenis Kelamin dengan Hipotermi Pasca General
Anestesi
Hubungan faktor jenis kelamin dengan hipotermi juga telah
dihitung dengan perhitungan yang sama dan dapat dilihat pada tabel
tabulasi silang berikut:
Berdasarkan tabel 8, responden dengan jenis kelamin perempuan
lebih banyak mengalami hipotermi dibanding laki-laki, yaitu sebanyak 25
orang (80,6%).
6. Hubungan Faktor Lama Operasi dengan Hipotermi Pasca General
Anestesi
Lama operasi terhitung sejak mulai responden dipindahkan ke meja
operasi dan berakhir ketika responden dipindah ke ruang pemulihan.
Hubungan antara faktor lama operasi dengan hipotermi pasca general
anestesi dihitung juga melalui software dan dapat dilihat pada tabel
tabulasi silang berikut ini:
Berdasarkan tabel 9, dapat diketaui hipotermi pasca general anestesi
terjadi pada responden yang menjalani lama operasi >2 jam dengan
presentase 88,9%.
B. Pembahasan
1. Hubungan Usia dengan Hipotermi
Responden tertua yang menjalani operasi dengan general anestesi di
RSUD Kota Yogyakarta berumur 55 tahun. Karakteristik usia dalam
penelitian ini dibagi menurut Depkes RI (2009) yaitu remaja akhir (17-25
tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun) dan lansia
(46-55 tahun). Penelitian ini menggabungkan karakteritik usia dewasa
awal dan dewasa akhir dengan pertimbangan usia ini masih dalam
kategori yang sama yaitu dewasa, sehingga peneliti menggabungkan
dengan tujuan mendapatkan hasil yang lebih sederhana, dengan 3 kategori
yaitu remaja, dewasa dan lansia. Responden dengan kategori usia lansia
yaitu responden terbanyak yang dijumpai di RSUD Kota Yogyakarta.
Berdasarkan hasil penelitian ini, semakin tinggi usia responden maka
semakin tinggi risiko mengalami kejadian hipotermi. Hal itu sesuai dengan
hasil penelitian yang dikemukakan Harahap (2014), pasien lanjut usia
(lansia) termasuk ke dalam golongan usia yang ekstrem, merupakan risiko
tinggi untuk terjadi hipotermi pada periode perioperatif. General anestesi
yang dilakukan pada pasien usia lansia juga dapat menyebabkan
pergeseran pada ambang batas termoregulasi dengan derajat yang lebih
besar dibandingkan dengan pasien yang berusia muda.
Teori Joshi, Shivkumaran, Bhargava, Kausara & Sharma (2006) juga
mengatakan kejadian hipotermia pada pasien lansia disebabkan perubahan
fungsi kardiovaskular (kekakuan pada area dinding pembuluh darah arteri,
peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, dan juga penurunan curah
jantung), kekakuan organ paru dan kelemahan otot-otot pernapasan
memicu ventilasi, difusi, serta oksigenasi tidak efektif. Pada lansia
juga terjadi perubahan fungsi metabolik, seperti peningkatan sensitivitas
pada reseptor insulin periferal, dan juga penurunan respons
adrenokortikotropik terhadap faktor respons.
Hasil uji hubungan antara usia dengan hipotermi pasca general
anestesi memakai uji chi square didapatkan nilai signifikansi p value
0,011 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai signifikansi <0,05 (0,011 <
0,05), maka hipotesis diterima. Sehingga dapat dikatakan adanya
hubungan antara usia dengan hipotermi pasca general anestesi di IBS
RSUD Kota Yogyakarta.
Jika dilihat dari tingkat keeratan hubungan antara usia dengan
hipotermi pasca general anestesi dapat ditentukan dengan melakukan uji
Pearson Correlation. Hasil uji keeratan yaitu nilai r (keeratan) = + 399.
Hasil ini (+) menunjukkan bahwa ada hubungan keeratan antara usia
dengan hipotermi, yaitu semakin tinggi usia responden maka semakin
berisiko tinggi mengalami hipotermi pasca general anestesi.
Penelitian Harahap (2014) juga mengatakan bahwa golongan usia
lansia merupakan faktor risiko urutan 6 (enam) besar sebagai penyebab
hipotermi perioperatif. Hal itu disebabkan karena seseorang pada usia
lansia telah terjadi kegagalan memelihara suhu tubuh dengan atau tanpa
anestesi, kemungkinan hal ini terjadi karena penurunan vasokonstriksi
termoregulasi yang terkait dengan usia (Kiekkas, 2007).
Teori Lissauer (2009) mengatakan induksi general anestesi juga
akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hal ini terjadi melalui dua
mekanisme, yaitu obat anestesi secara langsung menyebabkan terjadinya
vasodilatasi pembuluh darah dan general anestesi menurunkan nilai
ambang vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral,
vasodilatasi ini akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian sentral suhu
inti mengalir ke bagian perifer dan redistribusi panas tubuh ini akan
menyebabkan peningkatan suhu perifer tetapi menyebabkan penurunan
suhu inti. Jika dibiarkan terus menerus maka akan terjadi hipotermi,
terutama pada pasien dengan usia lansia yang sudah banyak mengalami
penurunan fungsi tubuh.
2. Hubungan IMT dengan Hipotermi
IMT yaitu penilaian status gizi pada tiap individu. IMT dalam
penelitian ini dihitung dengan cara menimbang berat badan memakai
timbangan smic dalam satuan kilogram dan mengukur tinggi badan dalam
satuan meter, kemudian berat badan dibagi dengan tinggi badan kuadrat.
Menurut Direktorat Gizi Masyarakat (2003), IMT dibagi dalam 3 batas
ambang, yaitu: kurus (<18,5kg/m2
), normal (18,5-25,0kg/m2
) dan gemuk
(>25,0kg/m2
).
Hasil penelitian menunjukkan responden terbanyak pada kategori IMT
normal, tetapi responden dengan IMT kurus paling banyak frekuensi dan
presentasenya dalam mengalami hipotermi pasca general anestesi
dibanding pasien dengan IMT normal dan gemuk. Hal itu terjadi karena
general anestesi mempengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri
atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respon
eferen. General anestesi dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta
mengganggu mekanisme fisiologi lemak/ kulit pada fungsi termoregulasi
yaitu menggeser batas ambang untuk respons proses vasokonstriksi,
menggigil, vasodilatasi dan juga berkeringat (Setiyanti, 2016).
Pernyataan ini sesuai juga dengan teori yang dikemukakan oleh Tian
(2014) bahwa IMT dengan kriteria kurus yaitu masalah kesehatan
terbesar bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia dan lebih
banyak mengalami komplikasi pasca general anestesi (hipotermi)
dibanding dengan kriteria IMT lainnya.
Pada penelitian ini, dilakukan uji crosstab antara IMT dengan
hipotermi pasca general anestesi memakai uji chi square didapatkan
nilai signifikansi p value 0,032 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai
signifikansi <0,05 (0,032 < 0,05), maka hipotesis diterima. Sehingga dapat
dikatakan adanya hubungan antara IMT dengan hipotermi pasca general
anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.
Jika dilihat dari tingkat keeratan hubungan antara IMT dengan
hipotermi pasca general anestesi dengan uji Pearson Correlation,
diperoleh hasil nilai r = -239. Hasil (-) menunjukkan bahwa ada hubungan
keeratan antara IMT dengan hipotermi, yaitu semakin tinggi nilai IMT
maka semakin menurun angka kejadian hipotermi. Hal itu bermakna,
responden dengan IMT lebih (gemuk) memiliki risiko rendah untuk
mengalami hipotermi pasca general anestesi.
Hasil penelitian ini juga didukung oleh teori yang mengatakan orang
yang gemuk memiliki cadangan lemak lebih banyak akan cenderung
memakai cadangan lemak sebagai sumber energi dari dalam, artinya
jarang membakar kalori dan menaikkan heart rate (Indriati, 2010). Agen
anestesi di redistribusi dari darah dan otak kedalam otot dan lemak, tubuh
yang semakin besar menyimpan jaringan lemak yang banyak, sehingga
lebih baik dalam mempertahankan suhu tubuh (Dughdale, 2011).
Pada orang dengan IMT yang rendah akan lebih mudah kehilangan
panas dan merupakan faktor risiko terjadinya hipotermi, hal ini
dipengaruhi oleh persediaan sumber energi penghasil panas yaitu lemak
yang tipis, simpanan lemak dalam tubuh sangat bermanfaat sebagai
cadangan energi. Pada indeks massa tubuh yang tinggi memiliki sistem
proteksi panas yang cukup dengan sumber energi penghasil panas yaitu
lemak yang tebal sehingga IMT yang tinggi lebih baik dalam
mempertahankan suhu tubuhnya dibanding dengan IMT yang rendah
karena mempunyai cadangan energi yang lebih banyak (Valchanov et all,
2011).
3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipotermi
Responden pada penelitian ini lebih banyak yang berjenis kelamin
perempuan daripada laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis
kelamin perempuan lebih banyak mengalami hipotermi dibanding laki laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Harahap (2014),
angka hipotermi lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki,
yaitu sebanyak 51,2%. Penelitian yang dilakukan oleh Rosjidi & Isro’ain
(2014) juga mendapatkan hasil bahwa perempuan lebih rentan terserang
penyakit/ komplikasi daripada laki-laki. Semua itu disebabkan adanya
perbedaan biologis dan fungsi biologis yang ada pada perempuan dan laki laki yang tidak dapat dipertukarkan (Hungu, 2007).
Kejadian hipotermi juga dipengaruhi oleh berat badan pada tiap jenis
kelamin. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih banyak. Pada dewasa
muda laki-laki, lemak tubuh >25% dan perempuan >35%. Distribusi
lemak tubuh juga berbeda berdasarkan jenis kelamin, pria cenderung
mengalami obesitas viseral (abdominal) dibandingkan wanita (Sugondo,
2010). Hal itu menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa mengalami obesitas/
penumpukan lemak pada abdominal sehingga mengurangi kejadian
hipotermi pasca general anestesi.
Pada teori Mangku & Senapathi (2010), beberapa faktor yang
berhubungan dengan hipotermi pasca general anestesi yaitu suhu kamar
operasi, cairan infus, cairan pencuci rongga, kondisi pasien (IMT, usia,
jenis kelamin), obat anestesi dan lama operasi. Hipotermi juga terjadi
karena kombinasi dari tindakan anestesi dan tindakan operasi yang dapat
menyebabkan gangguan fungsi dari pengaturan suhu tubuh yang akan
menyebabkan penurunan suhu inti tubuh (care temperature) (Yulianto &
Budiono, 2011).
Hasil uji crosstab antara jenis kelamin dengan hipotermi pasca
general anestesi memakai uji chi square didapatkan nilai signifikansi
p value 0,046 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai signifikansi <0,05
(0,046 < 0,05), maka hipotesis diterima. Oleh karena itu, dapat dikatakan
adanya hubungan antara jenis kelamin dengan hipotermi pasca general
anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.
Berdasarkan hasil perhitungan odd ratio, diperoleh hasil bahwa
perempuan memiliki 3,2 kali lipat lebih beresiko mengalami hipotermi
dibanding laki-laki.
4. Hubungan Lama operasi dengan Hipotermi
Lama operasi dalam penelitian ini dihitung sejak dibuatnya sayatan
pertama (time out) sampai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan yang
dinyatakan dalam jam. Depkes RI (2009), membagi operasi berdasarkan
durasinya ke dalam 3 klasifikasi, yaitu cepat (<1 jam), sedang (1-2 jam)
dan lama (>2 jam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang
menjalani operasi dengan waktu 1-2 jam lebih banyak dan diantara mereka
juga mengalami hipotermi terbanyak.
Suhu ruangan operasi di RSUD Kota Yogyakarta dibuat konstan 180C.
Menurut Majid, Judha & Istianah (2011) hipotermi mungkin dialami
pasien karena terpaparnya tubuh terlalu lama dengan suhu rendah kamar
di ruang operasi (<26,60C). Selain itu, pasien yang menjalani operasi di
RSUD Kota Yogyakarta jarang memakai selimut penghangat selama
durante operasi sampai di IBS, sehingga tubuh pasien lebih banyak
terpapar dengan suhu ruangan yang dingin.
Hasil uji crosstab yang telah dilakukan antara lama operasi dengan
hipotermi pasca general anestesi memakai uji chi square didapatkan
nilai signifikansi p value 0,001 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai
signifikansi <0,05 (0,001 < 0,05), maka hipotesis diterima. Sehingga dapat
dikatakan adanya hubungan antara lama operasi dengan hipotermi pasca
general anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.
Pada Uji Pearson Correlation, didapatkan hasil uji keeratan antara
lama operasi dengan hipotermi pasca general anestesi, yaitu nilai r = +
266. Hal itu menunjukkan adanya hubungan antara lama operasi dengan
hipotermi, yaitu (+) semakin lama operasi yang dilakukan pada pasien
maka semakin tinggi risiko hipotermi pasca general anestesi yang terjadi
pada pasien.
Teori Depkes RI (2008), menyatakan durasi pembedahan yang lama
akan menyebabkan tindakan anestesi menjadi lama dan menambah waktu
terpaparnya tubuh terhadap suhu dingin di ruang operasi. Induksi anestesi
memicu vasodilatasi yang menyebabkan proses kehilangan panas
tubuh terjadi secara terus menerus. Panas padahal diproduksi secara terus
menerus oleh tubuh sebagai hasil dari metabolisme. Proses produksi serta
pengeluaran panas ini diatur oleh tubuh guna mempertahankan suhu
inti tubuh dalam rentang 36-37,5oC (Putzu, 2007). Oleh karena itu, pasien
yang menjalani operasi dan anestesi lebih lama maka akan kehilangan
panas secara terus menerus dan lebih berisiko mengalami hipotermi.
BAYI
Anak memiliki suatu ciri yang khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak konsepsi sampai
berakhirnya masa remaja. Hal ini yang membedakan anak dengan dewasa. Anak bukan dewasa kecil.
Anak menunjukkan ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai dengan usianya.
Pertumbuhan yaitu bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interselular, berarti
bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur
dengan satuan panjang dan berat.
Perkembangan yaitu bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian.
Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan. Berbeda dengan pertumbuhan,-
perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang
dipengaruhinya, misalnya pe