Tampilkan postingan dengan label hipotermia 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hipotermia 1. Tampilkan semua postingan

Rabu, 28 Februari 2024

hipotermia 1

 


 



hipotermia 



Pengaturan suhu tubuh hampir seluruhnya dilakukan oleh 

mekanisme umpan balik saraf, dan hampir semua mekanisme ini 

bekerja melalui pusat pengaturan suhu yang terletak pada 

hipotalamus. Mekanisme umpan balik ini akan bekerja membutuhkan 

detector suhu, untuk menentukan bila suhu tubuh terlalu panas atau 

dingin. Panas akan terus menerus dihasilkan dalam tubuh sebagai hasil 

sampingan metabolisme dan panas tubuh juga secara terus menerus 

dibuang ke lingkungan sekitar 

Hipotermi terjadi karena terpapar dengan lingkungan yang 

dingin (suhu lingkungan rendah, permukaan yang dingin atau basah) 

 Hipotermi yaitu  suatu keadaan suhu tubuh 

dibawah 36.60C . Hipotermi juga 

terjadi karena kombinasi dari tindakan anestesi dan tindakan operasi 

yang dapat menyebabkan gangguan fungsi dari pengaturan suhu tubuh 

yang akan menyebabkan penurunan suhu inti tubuh (care 

temperature) ,

b. Batasan Suhu 

batasan suhu normal yaitu  sebagai 

berikut: 

1) Bayi: 37,50C

2) Anak: 36,7-37,00C

3) Dewasa: 36,40C 

4) >70 tahun 36,00C

c. Klasifikasi Hipotermi 

hipotermi dapat 

diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:

1) Ringan

Suhu antara 32-35°C, kebanyakan orang bila berada pada 

suhu ini akan menggigil secara hebat, terutama di seluruh 

ekstremitas. Bila suhu lebih turun lagi, pasien mungkin akan 

mengalami amnesia dan disartria. Peningkatan kecepatan nafas

juga mungkin terjadi.

2) Sedang

Suhu antara 28–32°C, terjadi penurunan konsumsi 

oksigen oleh sistem saraf secara besar yang memicu  

terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan penurunan aliran darah

ke ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun, kesadaran pasien 

bisa menjadi stupor, tubuh kehilangan kemampuannya untuk 

menjaga suhu tubuh, dan adanya risiko timbul aritmia. 3) Berat

Suhu <28°C, pasien rentan mengalami fibrilasi 

ventrikular, dan penurunan kontraksi miokardium, pasien juga 

rentan untuk menjadi koma, nadi sulit ditemukan, tidak ada 

refleks, apnea, dan oliguria.

d. Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi

Faktor-faktor yang berhubungan dengan hipotermi di kamar 

operasi yaitu : 

1) Suhu kamar operasi

Paparan suhu ruangan operasi yang rendah juga dapat 

memicu  pasien menjadi hipotermi, hal ini terjadi akibat 

dari perambatan antara suhu permukaan kulit dan suhu 

lingkungan. Suhu kamar operasi selalu dipertahankan dingin (20–

240C) untuk meminimalkan pertumbuhan bakteri.

2) Luasnya luka operasi 

Kejadian hipotermi dapat dipengaruhi dari luas 

pembedahan atau jenis pembedahan besar yang membuka rongga 

tubuh, misal pada operasi ortopedi, rongga toraks atau. Operasi 

abdomen dikenal sebagai penyebab hipotermi karena 

berhubungan dengan operasi yang berlangsung lama, insisi yang

luas, dan sering membutuhkan cairan guna membersihkan ruang

peritoneum. 

3) Cairan 

Faktor cairan yang diberikan merupakan salah satu hal 

yang berhubungan dengan terjadinya hipotermi. Pemberian cairan 

infus dan irigasi yang dingin (sesuai suhu ruangan) diyakini dapat 

menambah penurunan temperatur tubuh Cairan 

intravena yang dingin ini  akan masuk ke dalam sirkulasi 

darah dan mempengaruhi suhu inti tubuh (core temperature) 

sehingga semakin banyak cairan dingin yang masuk pasien akan 

mengalami hipotermi 

4) Usia

Usia yaitu  satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan 

suatu makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Secara 

biologis, Depkes (2009) membagi golongan usia menjadi: 

a) Masa balita (0-5 tahun)

b) Masa kanak-kanak (5-11 tahun)

c) Masa remaja awal (12-16 tahun)

d) Masa remaja akhir (17-25 tahun)

e) Masa dewasa awal (26-35 tahun)

f) Masa dewasa akhir (36-45 tahun)

g) Masa lansia awal (46-55 tahun)

h) Masa lansia akhir (56-65 tahun)

i) Masa manula (65 sampai ke atas) 

menyebutkan pasien lanjut usia (lansia) 

termasuk ke dalam golongan usia yang ekstrem, merupakan risiko 

tinggi untuk terjadi hipotermi pada periode perioperatif. General 

anestesi yang dilakukan pada pasien usia lansia dapat 

menyebabkan pergeseran pada ambang batas termoregulasi 

dengan derajat yang lebih besar dibandingkan dengan pasien yang 

berusia muda. Golongan usia lansia merupakan faktor risiko 

urutan 6 (enam) besar sebagai penyebab hipotermi perioperatif. 

Selain lansia,  menyebutkan pasien 

pediatrik, balita, dan anak bukanlah pasien dewasa yang 

berukuran besar. Mereka memiliki risiko yang tinggi juga untuk 

terjadi komplikasi pasca operasi. 

Seseorang pada usia lansia telah terjadi kegagalan

memelihara suhu tubuh, baik dengan atau tanpa anestesi, 

kemungkinan hal ini terjadi karena penurunan vasokonstriksi 

termoregulasi yang terkait dengan usia Teori 

mengatakan kejadian hipotermia pada pasien lansia disebabkan 

perubahan fungsi kardiovaskular (kekakuan pada area dinding 

pembuluh darah arteri, peningkatan tahanan pembuluh darah 

perifer, dan juga penurunan curah jantung), kekakuan organ paru 

dan kelemahan otot-otot pernapasan memicu  ventilasi, 

difusi, serta oksigenasi tidak efektif. Selain itu, pada lansia terjadi  perubahan fungsi metabolik, seperti peningkatan sensitivitas pada 

reseptor insulin periferal, dan juga penurunan respons 

adrenokortikotropik terhadap faktor respons. 

5) Indeks Massa Tubuh (IMT)

Metabolisme seseorang berbeda-beda salah satu diantaranya 

dipengaruhi oleh ukuran tubuh yaitu tinggi badan dan berat badan 

yang dinilai berdasarkan indeks massa tubuh yang merupakan 

faktor yang dapat mempengaruhi metabolisme dan berdampak 

pada sistem termogulasi ,bila  manusia berada 

dilingkungan yang suhunya lebih dingin dari tubuh mereka, 

mereka akan terus menerus menghasilkan panas secara internal 

untuk mempertahankan suhu tubuhnya, pembentukan panas 

tergantung pada oksidasi bahan bakar metabolik yang berasal dari 

makanan dan lemak sebagai sumber energi dalam menghasilkan 

panas (Ganong, 2008).

Pada orang yang gemuk memiliki cadangan lemak lebih 

banyak akan cenderung memakai  cadangan lemak sebagai 

sumber energi dari dalam, artinya jarang membakar kalori dan 

menaikkan heart rate (Indriati, 2010). Agen anestesi di redistribusi 

dari darah dan otak kedalam otot dan lemak, tubuh yang semakin 

besar menyimpan jaringan lemak yang banyak, sehingga lebih baik 

dalam mempertahankan suhu tubuh (Dughdale, 2011). 

Lemak merupakan bahan atau sumber pembentuk energi di 

dalam tubuh, yang dalam hal ini bobot energi yang dihasilkan dari 

tiap gramnya lebih besar dari yang dihasilkan tiap gram karbohidrat 

dan protein. Tiap gram lemak akan menghasilkan 9 kalori, 

sedangkan 1 gram karbohidrat dan protein akan menghasilkan 4 

kalori (Kartasapoetra, 2008).

Pada orang dengan IMT yang rendah akan lebih mudah 

kehilangan panas dan merupakan faktor risiko terjadinya hipotermi, 

hal ini dipengaruhi oleh persediaan sumber energi penghasil panas 

yaitu lemak yang tipis, simpanan lemak dalam tubuh sangat 

bermanfaat sebagai cadangan energi. Pada indeks massa tubuh 

yang tinggi memiliki sistem proteksi panas yang cukup dengan 

sumber energi penghasil panas yaitu lemak yang tebal sehingga 

IMT yang tinggi lebih baik dalam mempertahankan suhu tubuhnya 

dibanding dengan IMT yang rendah karena mempunyai cadangan 

energi yang lebih banyak (Valchanov et all, 2011).

IMT merupakan rumus matematis yang berkaitan dengan 

lemak tubuh seseorang yang dinyatakan sebagai berat badan 

(dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam 

ukuran meter (Arisman, 2007).  


Dua parameter yang berkaitan dengan pengukuran IMT, 

yaitu: 

a) Berat Badan 

Berat badan yaitu  salah satu parameter massa tubuh 

yang paling sering digunakan yang dapat mencerminkan 

jumlah zat gizi seperti: protein, lemak, air dan mineral. Agar 

dapat mengukur IMT, berat badan dihubungkan dengan 

tinggi badan (Proverawati & Kusuma, 2010).

b) Tinggi Badan 

Tinggi badan merupakan parameter ukuran panjang 

dan dapat merefleksikan pertumbuhan skeletal 


Dari batas ambang yang ada di atas, IMT dengan kriteria 

kurus yaitu  masalah kesehatan terbesar dan lebih banyak 

mengalami komplikasi pasca general anestesi dibanding dengan 

kriteria IMT lainnya (Tian, 2014).  


6) Jenis Kelamin

Jenis kelamin (seks) yaitu  perbedaan antara perempuan 

dengan laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Seks 

berkaitan dengan tubuh laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki 

memproduksikan sperma, sementara perempuan menghasilkan sel 

telur dan secara biologis mampu untuk menstruasi, hamil dan 

menyusui. Perbedaan biologis dan fungsi biologis laki-laki dan 

perempuan tidak dapat dipertukarkan diantara keduanya, dan 

fungsinya tetap dengan laki-laki dan perempuan pada segala ras 

yang ada di muka bumi (Hungu, 2007). 

Pada penelitian Harahap (2014), mendapatkan hasil bahwa 

kejadian hipotermi lebih banyak terjadi pada perempuan yaitu 

51,2% dibanding laki-laki. Penelitian yang dilakukan oleh Rosjidi 

& Isro’ain (2014) juga mendapatkan hasil bahwa perempuan lebih 

rentan terserang penyakit/ komplikasi daripada laki-laki. 

Kejadian hipotermi juga dipengaruhi oleh berat badan pada 

tiap jenis kelamin. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih 

banyak. Pada dewasa muda laki-laki, lemak tubuh >25% dan 

perempuan >35%. Distribusi lemak tubuh juga berbeda 

berdasarkan jenis kelamin, pria cenderung mengalami obesitas 

viseral (abdominal) dibandingkan wanita (Sugondo, 2010). 

7) Obat anestesi 

Pada akhir anestesi dengan thiopental, halotan, atau 

enfluran kadang-kadang menimbulkan hipotermi sampai 

menggigil. Hal itu disebabkan karena efek obat anestesi yang 

menyebabkan gangguan termoregulasi (Aribowo, 2012). 

8) Lama operasi

Lama tindakan pembedahan dan anestesi bepotensi 

memiliki pengaruh besar khususnya obat anestesi dengan 

konsentrasi yang lebih tinggi dalam darah dan jaringan 

(khususnya lemak), kelarutan, durasi anestesi yang lebih lama, 

sehingga agen-agen ini harus berusaha mencapai keseimbangan 

dengan jaringan ini  (Chintamani, 2008).

Induksi anestesi memicu  vasodilatasi yang 

menyebabkan proses kehilangan panas tubuh terjadi secara terus 

menerus. Panas padahal diproduksi secara terus menerus oleh 

tubuh sebagai hasil dari metabolisme. Proses produksi serta 

pengeluaran panas diatur oleh tubuh guna mempertahankan suhu

inti tubuh dalam rentang 36-37,5oC (Putzu, 2007).

 

Durasi pembedahan yang lama, secara spontan 

menyebabkan tindakan anestesi semakin lama pula. Hal ini akan 

menimbulkan efek akumulasi obat dan agen anestesi di dalam 

tubuh semakin banyak sebagai hasil pemanjanan penggunaan obat 

atau agen anestesi di dalam tubuh. Selain itu, pembedahan dengan 

durasi yang lama akan menambah waktu terpaparnya tubuh dengan 

suhu dingin (Depkes RI, 2009). 

9) Jenis operasi 

Jenis operasi besar yang membuka rongga tubuh, misal 

pada operasi rongga toraks, atau abdomen, akan sangat 

berpengaruh pada angka kejadian hipotermi. Operasi abdomen 

dikenal sebagai penyebab hipotermi karena berhubungan dengan 

operasi yang berlangsung lama, insisi yang luas dan sering 

membutuhkan cairan guna membersihkan ruang peritoneum. 

Keadaan ini memicu  kehilangan panas yang terjadi ketika 

permukaan tubuh pasien yang basah serta lembab, seperti perut 

yang terbuka dan juga luasnya paparan permukaan kulit (Buggy 

& Crossley, 2000). 

e. Mekanisme Kehilangan Panas

Menurut Lissauer (2009), penurunan suhu tubuh manusia 

selama general anestesi mengikuti suatu pola tertentu, yaitu terbagi 

menjadi 3 fase.  

1) Fase Redistribusi

Induksi general anestesi akan menyebabkan terjadinya 

vasodilatasi. Hal ini terjadi melalui dua mekanisme, yaitu obat 

anestesi secara langsung menyebabkan terjadinya vasodilatasi 

pembuluh darah dan general anestesi menurunkan nilai ambang 

vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral.

Vasodilatasi ini akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian 

sentral suhu inti mengalir ke bagian perifer. Redistribusi panas 

tubuh ini akan menyebabkan peningkatan suhu perifer tetapi 

menyebabkan penurunan suhu inti. Penurunan suhu inti pada fase 

ini terjadi dengan cepat. Suhu inti turun 1-1,5ºC selama jam 

pertama.

2) Fase Linear

Setelah fase redistribusi, suhu inti akan turun dengan 

lambat selama 2-4 jam berikutnya. Penurunan ini sekitar 0,5ºC 

setiap jamnya. Hal ini terjadi karena panas tubuh yang hilang 

lebih besar daripada panas yang diproduksi. Metabolisme tubuh 

menurun sebesar 15-40% selama general anestesi.

3) Fase Plateau

Setelah penderita teranestesi dan melewati fase linear, suhu 

tubuh akan mencapai keseimbangan. Pada fase ini, produksi 

panas seimbang dengan panas yang hilang. Fase ini terbagi 

menjadi dua, yaitu fase pasif dan aktif. 

a) Fase plateau pasif terjadi jika produksi panas seimbang 

dengan panas yang hilang tanpa disertai aktivitas dari 

termoregulasi, yaitu tanpa disertai terjadinya vasokonstriksi. 

Tapi kombinasi dari penurunan produksi panas karena 

anestesi dan faktor-faktor operasi yang lain menyebabkan 

fase ini jarang terjadi. Fase ini lebih sering terjadi pada 

operasi-operasi kecil pada penderita yang terselimuti atau 

terbungkus oleh insulator yang baik.

b) Fase palteau aktif terjadi saat suhu tubuh telah mencapai 

keseimbangan dengan terjadinya mekanisme vasokonstriksi. 

Pada saat suhu inti mencapai 33-35ºC akan memicu sistem 

termoregulasi untuk vasokonstriksi untuk mengurangi panas 

tubuh yang hilang dengan membatasi aliran panas dari 

jaringan inti ke jaringan perifer.

f. Penatalaksanaan Hipotermi

Tujuan intervensi yaitu  untuk meminimalkan atau 

membalik proses fisiologis. Pengobatan mencakup pemberian 

oksigen, hidrasi yang adekuat, dan nutrisi yang sesuai. Menurut 

Setiati et al. (2008), terdapat 3 macam teknik penghangatan yang 

digunakan, yaitu: 

1) Penghangatan eksternal pasif

Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkirkan baju 

basah kemudian tutupi tubuh pasien dengan selimut atau

insulasi lain.

2) Penghangatan eksternal aktif

Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak berespon

dengan penghangatan eksternal pasif (selimut penghangat, 

mandi air hangat atau lempengan pemanas), dapat diberikan

cairan infus hangat IV (suhu 39o 

– 40oC) untuk 

menghangatkan pasien dan oksigen.

3) Penghangatan internal aktif.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan antara lain 

irigasi ruang pleura atau peritoneum, hemodialisis dan 

operasi bypass kardiopulmonal. Dapat pula dilakukan bilas 

kandung kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas 

lambung dengan cairan NaCl 0,9% hangat (suhu 40o 

– 45oC) 

atau dengan memakai  tabung penghangat esophagus.  

2. General Anestesi 

a. Definisi

Salah satu konsep pelayanan kesehatan modern yang berkembang 

saat ini yaitu  bentuk pelayanan di bidang medis, yang mempunyai kaitan 

erat dengan penggunaan peralatan dan pemanfaatan teknologi dalam 

pelaksanaannya, seperti misalnya Anestesi, akan mengalami perkembangan 

teknologi peralatan yang digunakan (Soenarjo & Jatmiko, 2013).

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit 

ketika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang 

menimbulkan rasa sakit pada tubuh dan salah satu yang sangat penting 

dalam anestesi yaitu  penentuan klasifikasi ASA (Majid, Judha & Istianah, 

2011).

General anestesi yaitu  keadaan fisiologis yang berubah ditandai 

dengan hilangnya kesadaran reversible, analgesia dari seluruh tubuh, 

amnesia, dan beberapa derajat relaksasi otot (Morgan & Mikhail, 2013). 

Ketidaksadaran ini  yang memungkinkan pasien untuk mentolerir 

prosedur bedah yang akan menimbulkan rasa sakit tak tertahankan. Selama 

anestesi, pasien tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang alami

(Press, 2013). 


b. Fase Anestesi 

Menurut Mangku & Senapathi (2010), ada 3 fase anestesi, meliputi:

1) Fase pre anestesi 

Pada tahap pre anestesi, seorang perawat akan menyiapkan hal-hal 

yang dibutukan selama operasi. Contoh: pre visit pasien yang akan 

melakukan operasi, persiapan pasien, pasien mencukur area yang akan 

dilakukan operasi, persiapan catatan rekam medik, persiapan obat 

premedikasi yang harus diberikan kepada pasien. 

2) Fase intra anestesi 

Pada fase intra anestesi, seorang perawat anestesi akan melakukan 

monitoring keadaan pasien. Perawat anestesi akan melihat 

hemodinamik dan keadaan klinis pasien yang menjalani operasi. 

3) Fase pasca anestesi 

Pada tahap ini, perawat anestesi membantu pasien dalam 

menangani respon-respon yang muncul setelah tindakan anestesi. 

Respon ini  berupa nyeri, mual muntah, hipotermi bahkan sampai 

menggigil.

c. Keuntungan dan Kerugian General Anestesi 

Menurut Press (2013), seorang penyedia anestesi bertanggung jawab 

untuk menilai semua faktor yang mempengaruhi kondisi medis pasien dan 

memilih teknik anestesi yang optimal sesuai atribut general anestesi, 

meliputi: 


1) Keuntungan 

a) Mengurangi kesadaran dan ingatan intra operatif pasien.

b) Memungkinkan relaksasi otot yang diperlukan untuk jangka waktu 

yang lama.

c) Memfasilitasi kontrol penuh terhadap jalan nafas, pernafasan dan 

sirkulasi. 

d) Dapat digunakan dalam kasus-kasus kepekaan terhadap agen 

anestesi lokal. 

e) Dapat diberikan tanpa memindahkan pasien dari posisi terlentang. 

f) Dapat disesuaikan dengan mudah dengan durasi prosedur yang tak 

terduga. 

g) Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible. 

2) Kekurangan

a) Membutuhkan peningkatan kompleksitas perawatan dan biaya 

terkait. 

b) Membutuhkan beberapa derajat persiapan pasien sebelum operasi.

c) Dapat menyebabkan fluktuasi fisiologis yang memerlukan 

intervensi aktif. 

d) Terkait dengan komplikasi yang kurang serius seperti mual, 

muntah, sakit tenggorokan, sakit kepala, mengigil (hipotermi) dan 

tertunda kembali ke fungsi mental yang normal.  

d. Gangguan Pasca General Anestesi 

Pada penelitian Setiyanti (2016), meyebutkan pasien pasca 

general anestesi biasanya mengalami beberapa gangguan. Berikut ini 

yaitu  gangguan pasca general anestesi:

1) Pernapasan

Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena 

hipoksia sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera 

diatasi. Penyebab yang sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan

yaitu  sisa anastesi (penderita tidak sadar kembali) dan sisa pelemas 

otot yang belum dimetabolisme dengan sempurna. Selain itu lidah 

jatuh ke belakang menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua hal ini 

menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat

menyebabkan apnea.

2) Sirkulasi

Penyulit yang sering di jumpai yaitu  hipotensi syok dan 

aritmia. Hal ini disebabkan oleh kekurangan cairan karena 

perdarahan yang tidak cukup diganti. Sebab lain yaitu  sisa anastesi

yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika tahapan anastesi 

masih dalam akhir pembedahan.

3) Regurgitasi danmuntah

Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama 

anastesi. Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan 

aspirasi 

4) Hipotermi

Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, 

selain itu juga karena efek obat-obatan yang dipakai. General

anestesi juga memengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri atas

elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respons

eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta 

mengganggu mekanisme fisiologi lemak/ kulit pada fungsi 

termoregulasi yaitu menggeser batas ambang untuk respons proses 

vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi dan juga berkeringat.

5) Gangguan faal lain

Gangguan faal terdiri dari gangguan pemulihan kesadaran 

yang disebabkan oleh kerja anastetik yang memanjang karena dosis 

berlebih relatif karena penderita syok, hipotermi, usia lanjut dan 

malnutrisi sehingga sediaan anastetik lambat dikeluarkan dari dalam 

darah. 



BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian 

Penelitian ini memakai  jenis penelitian kuantitatif 

observasional analitik. Penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian 

observasional analitik, yaitu mengamati suatu fenomena antara faktor 

risiko dengan faktor efek, kemudian melakukan analisis untuk mengetahui 

seberapa jauh kontribusi suatu faktor terhadap adanya suatu kejadian 

tertentu (Notoatmojo, 2010). 

Desain penelitian memakai  studi potong lintang (cross 

sectional) yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi 

antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan observasi 

atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach), 

yaitu tipe subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dimana variabel variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama 

(Notoatmodjo, 2010). 

Peneliti melakukan observasi pada faktor-faktor yang berhubungan 

dengan hipotermi pasca general anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta. 

B. Tempat dan Waktu Penelitian 

Tempat penelitian ini dilaksanakan di IBS RSUD Kota 

Yogyakarta, pada bulan Juni - Juli 2017. 


C. Populasi dan Sampel 

1. Populasi 

Populasi yaitu  keseluruhan objek penelitian atau objek yang 

diteliti. Objek ini  berupa orang, kejadian, perilaku atau sesuatu 

yang akan dilakukan penelitian (Notoatmojo, 2010). Populasi dalam 

penelitian ini yaitu  seluruh pasien yang menjalani operasi dengan 

general anestesi di RSUD Kota Yogyakarta rata-rata 127 orang setiap 

bulannya. 

2. Sampel 

Sampel yaitu  bagian yang diambil dari seluruh objek yang diteliti 

dan dianggap dapat mewakili seluruh populasi yang diambil dengan 

teknik tertentu (Notoatmojo, 2010). Sampel pada penelitian ini yaitu  

pasien pasca general anestesi. 

a. Teknik Pengambilan Sampel 

Teknik sampling dalam penelitian ini yaitu  teknik consecutive 

sampling yaitu pemilihan sampel dengan menetapkan subjek yang 

memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga 

jumlah klien yang diperlukan terpenuhi (Nursalam, 2008).

b. Kriteria Sampel 

Sampel yang akan diteliti harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

1) Kriteria inklusi: 

a) Pasien dengan usia 17-55 tahun.

b) Pasien elektif dengan general anestesi 



c) Pasien dengan operasi yang membuka regio dada dan 

abdomen.

2) Kriteria eksklusi:

a) Pasien yang tidak dapat berdiri.

b) Pasien dengan gangguan penurunan kesadaran.

c. Besar Sampel

Penentuan jumlah sampel dihitung dengan memakai  rumus 

besar sampel sebagai berikut (Nursalam, 2008):

n =

N

1 + N(d2

)

n =

127

1 + 127(0,12

)

n =

127

2,27

 = 55,9 dibulatkan menjadi 56 sampel.

Keterangan: 

N: Besar populasi general anestesi di RSUD Kota Yogyakarta

n: Besar sampel

d: Tingkat kepercayaan/ ketepatan yang diinginkan

Dengan hasil perhitungan di atas, maka ditentukan besarnya 

responden variabel yaitu pasien yang menjalani operasi dengan 

general anestesi sebanyak 56 orang 


D. Variabel Penelitian 

Variabel penelitian yaitu  sesuatu yang digunakan sebagai ciri, 

sifat, atau ukuran yang dimiliki atau didapatkan oleh suatu penelitian 

tentang konsep pengertian tertentu (Notoatmojo, 2010). Adapun variabel 

yang digunakan sebagai berikut: 

1. Variabel bebas/ independen

Variabel ini sering disebut variabel stimulus, predictor, 

antecendent, dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai variabel bebas, 

variabel ini merupakan variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi 

sebab perubahannya atau timbul variabel terikat (dependen) (Sugiyono, 

2007). Pada penelitian ini, yang menjadi variabel bebas yaitu  faktor faktor yang berhubungan dengan hipotermi, yaitu faktor usia, IMT, 

jenis kelamin dan lama operasi. 

2. Variabel terikat/ dependen

Variabel terikat ini sering disebut sebagai variabel dependen, 

output, kriteria, konsekuen. Variabel terikat merupakan variabel yang 

dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas 

(Sugiyono, 2007). Pada penelitian ini yang menjadi variabel terikat 

yaitu  hipotermi. 

E. Definisi Operasional

Definisi operasional yaitu  definisi berdasarkan karakteristik yang 

diamati dari sesuatu yang didefinisikan (Nursalam, 2008).  


F. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 

1. Jenis data 

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu  data primer dan 

data sekunder.

2. Teknik pengumpulan data 

Penelitian ini memakai  teknik pengumpulan secara observasi 

langsung dan studi dokumentasi. 

G. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data pada penelitian ini 

yaitu : 

1. Timbangan smic untuk mengukur berat badan dan tinggi badan 

responden dalam satuan kilogram (kg).

2. Termometer aksila digital untuk mengukur suhu badan responden pasca 

general anestesi dalam satuan derajat celcius. 

3. Lembar observasi digunakan mencatat nama responden, jenis kelamin, 

usia, berat badan, tinggi badan, IMT, waktu operasi dan suhu pasien. 

H. Prosedur Penelitian 

Prosedur penelitian yang akan peneliti lakukan sebagai berikut: 

1. Tahap Persiapan 

a. Peneliti menyusun proposal penelitian 


b. Peneliti mengajukan ethical clearance penelitian ke Komisi Etik 

Poltekkes Kemenkes Yogyakarta.

c. Pada tanggal 4 April, Peneliti mendapatkan Persetujuan Komisi 

Etik.

d. Peneliti mengurus surat perijinan di RSUD Kota Yogyakarta. 

e. Peneliti mengurus perijinan penelitian di Kantor Pemerintah Kota 

Yogyakarta.

f. Pada tanggal 12 Mei, Peneliti mendapatkan surat ijin penelitian dari 

RSUD Kota Yogyakarta. 

g. Peneliti menyiapkan asisten penelitian/ enumerator sebanyak 2

orang, yaitu 1 orang perawat yang bekerja di IBS RSUD Kota 

Yogyakarta dengan pendidikan S1 keperawatan dan 1 orang 

lulusan D3 Keperawatan. Enumerator berperan dalam 

mengidentifikasi responden sesuai kriteria penelitian yang telah 

ditetapkan, mengukur tinggi badan dan berat badan untuk 

menentukan IMT, mengukur suhu pasca general anestesi. Setiap 

enumerator memiliki tanggung jawab pada 1 pasien, sejak pasien 

berada di ruang penerimaan sampai selanjutnya di ukur suhu di 

ruang pemulihan. 

h. Pada tanggal 2 Juni 2017, peneliti melakukan persamaan persepsi 

pada asisten peneliti terkait kriteria inklusi dan eksklusi serta 

pelaksanaan penelitian.  


2. Tahap Pelaksanaan 

a. Enumerator memilih pasien yang sesuai dengan kriteria inklusi dan 

ekslusi penelitian.

b. Enumerator melakukan kontrak dengan pasien dengan 

menyampaikan penjelasan mengenai tujuan, manfaat, prosedur 

pelaksanaan penelitian sebelum penandatanganan persetujuan 

sebagai responden (inform consent).

c. Di ruang persiapan, Enumerator mengukur berat badan, tinggi 

badan kemudian menghitung IMT, mencatat usia dan jenis 

kelamin responden sesuai dengan catatan rekam medik. Hasil di 

catat pada lembar observasi. 

d. Segera/ langsung setelah responden dipindah ke ruang pemulihan, 

Enumerator mengukur suhu pasca general anestesi dengan 

termometer aksila digital sampai terdengar bunyi “bip”.

e. Enumerator mencatat lama operasi responden pada lembar 

observasi, waktu selesai operasi dikurangi waktu mulai operasi 

yang tercatat pada rekam medik. 

3. Tahap Pelaporan 

a. Peneliti melakukan analisa data untuk mengetahui faktor-faktor 

yang berhubungan dengan hipotermi pasca general anestesi di IBS

RSUD Kota Yogyakarta. 

b. Peneliti menyusun laporan 


I. Manajemen Data

Pengelolaan data prinsipnya merupakan proses untuk memperoleh 

data atau suatu ringkasan berdasarkan kelompok data mentah dengan 

memakai  rumus tertentu agar dapat menghasilkan informasi yang 

jelas (Setiadi, 2007). 

1. Menurut Notoatmojo (2010), dalam melakukan pengelolaan data 

terdapat 5 kegitan sebagai berikut:

a. Editing (memeriksa)

Editing merupakan tahap memeriksa data untuk menghindari 

pengukuran yang keliru serta mengecek kelengkapan pengisian 

lembar observasi. 

b. Coding (memberi tanda)

Memberikan kode pada masing-masing responden sehingga 

peneliti dapat secara tepat memasukkan data sesuai klasifikasi. 

1) Usia

Kode 1: 17-25 tahun (remaja)

Kode 2: 26-45 tahun (dewasa)

Kode 3: 46-55 tahun (lansia)

2) IMT

Kode 1: Kurus

Kode 2: Normal

Kode 3: Gemuk 


3) Lama operasi 

Kode 1: Cepat 

Kode 2: Sedang 

Kode 3: Lama

4) Jenis Kelamin

Kode 1: Laki-laki, Kode 2: Perempuan

c. Entry (memasukkan data)

Dari data responden yang berisi kode angka dimasukkan ke dalam 

program atau software computer. 

d. Cleaning (membersihkan)

Peneliti melakukan pengecekkan kembali data yang sudah di-entry, 

diperiksa kembali data yang sudah di-entry agar terhindar dari 

kesalahan. 

e. Tabulating (tabulasi)

Peneliti memasukkan data menurut variabel yang akan dianalisis 

yaitu hasil pengukuran suhu yang menunjukkan hipotermi dan 

faktor-faktor yang berhubungan. 

2. Analisa Data

Metode analisa data dilakukan dengan tujuan agar data hasil 

penelitian yang masih berupa data kasar lebih mudah dibaca. Metode 

analisa yang digunakan dalam penelitian ini yaitu  


a. Analisa univariat bertujuan menjelaskan atau mendeskripsikan 

karakteristik setiap variabel penelitian. Penelitian dalam analisis 

ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari 

tiap variabel (Notoatmodjo, 2010).

b. Analisa bivariat, yang dilakukan terhadap dua variabel yang 

diduga berhubungan atau berkorelasi untuk mengetahui 

hubungan antara variabel bebas, faktor-faktor yang berhubungan 

dengan variabel terikat yaitu hipotermi pasca general anestesi

(Sugiyono, 2010).

1) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara 

faktor usia dengan hipotermi, memakai  uji chi square 

karena penelitian memakai  data kategorik (ordinal dan 

nominal). 

2) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara 

faktor IMT dengan hipotermi, memakai  uji chi square 

karena penelitian memakai  data kategorik (ordinal dan 

nominal). 

3) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara 

faktor jenis kelamin dengan hipotermi, memakai  uji chi 

square karena penelitian memakai  data kategorik 

(nominal dan nominal). 


4) Analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara 

faktor lama operasi dengan hipotermi, memakai  uji chi 

square karena penelitian memakai  data kategorik 

(ordinal dan nominal). 

bila  P value ≤0,05, maka hipotesis diterima atau ada 

hubungan antara faktor lama operasi, jenis kelamin dan IMT 

dengan hipotermi pasca general anestesi. Untuk pedoman 

analisis korelasi, jika nilai koefisien korelasi mendekati 1 aau -1 

maka hubungan semakin erat atau kuat, jika mendekati 0 maka 

semakin lemah. Pedoman interpretasi koefisien korelasi menurut 

Sugiyono (2010) sebagai berikut:  



Tabel 4. Pedoman Interpretasi Koefisien Korelasi

Rentang Nilai Korelasi Keputusan

0,00 – 1,99 Sangat rendah

0,20 – 0,399 Rendah

0,40 – 0,599 Sedang

0,60 – 0799 Kuat

0,80 – 1,000 Sangat kuat

Sumber: Sugiyono (2010)  



J. Etika Penelitian 

Menurut Sugiyono (2010), dalam melaksanakan sebuah penelitian, ada 

beberapa prinsip etis atau etika penelitian yang harus diperhatikan, sebagai 

berikut: 

1. Inform Consent (lembar persetujuan)

Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang sebelumnya 

diberi penjelasan secukupnya tentang tujuan penelitian untuk 

menandatangani inform consent ini . 

2. Anonymity (Kerahasiaan Identitas)

Kerahasiaan identitas responden dijaga oleh peneliti dan hanya 

digunakan untuk kepentingan penelitian. Identitas penelitian hanya 

diketahui oleh peneliti dan tidak disebarluaskan. 

3. Confidentiality (Kerahasiaan Informasi)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya 

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian. 

4. Respect for Person 

Peneliti selalu menjaga dan menghormati harkat dan martabat 

responden yaitu  manusia sebagai makhluk bio, psiko, sosial dan 

spiritual. Peneliti memberikan kebebasan pada responden untuk 

memilih menjadi responden atau berhak untuk menolak menjadi 

responden sehingga dalam penelitian ini tidak ada unsur paksaan. 

5. Beneficience 

Prinsip beneficience menekankan peneliti untuk melakukan penelitian 

yang memberikan manfaat bagi pasien. Prinsip ini memberikan 

keuntungan dengan cara mencegah dan menjauhkan dari bahaya, 

membebaskan pasien dari eksploitasi serta menyeimbangkan 

keuntungan dari resiko.  


6. Justice 

Peneliti tidak deskriminatif dalam memperlakukan responden, 

penelitian ini tidak mengandung resiko yang mengancam rasa aman 

responden. Peneliti menjamin hak responden penelitian, yaitu: 

menjamin kerahasaiaan responden, menghentikan penelitian jika 

ternyata dalam proses penelitian membuat responden tidak nyaman, 

dan memberikan kesempatan kepada responden penelitian untuk 

mengajukan pertanyaan tentang penelitian. 

7. Kejujuran 

Kejujuran yaitu  hal utama yang harus dimiliki peneliti. Seorang 

peneliti akan membuat laporan penelitian sesuai dengan keadaan yang 

sesungguhnya 




Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 2 Juni – 1 Juli 2017, dari Hari Senin 

sampai Sabtu sesuai dengan jam kerja IBS RSUD Kota Yogyakarta. Penelitian 

ini dilakukan pada fase pre anestesi (pengkajian/ observasi) dan pasca anestesi 

(mengukur suhu tubuh responden dan menghitung lama operasi).

1. Gambaran Umum RSUD Kota Yogyakarta

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Yogyakarta yaitu  rumah 

sakit milik pemerintah daerah Kota Yogyakarta. RSUD Kota Yogyakarta 

merupakan rumah sakit Pendidikan kelas B dengan luas tanah 28,527 m2

dan luas bangunan 16,358 m2

. RSUD Kota Yogyakarta mempunyai tugas 

memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna melalui 

penyediaan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. 

Ruang IBS RSUD Kota Yogyakarta terletak di tengah bangunan 

Rumah Sakit, di dalamnya terdapat 4 kamar operasi yang dilengkapi 

dengan ruang persiapan dan ruang pulih sadar/ pemulihan. Jumlah 

tindakan operasi rata-rata setiap hari berjumlah 10-14 orang. Kasus operasi 

bedah yang dilakukan di RSUD Kota Yogyakarta meliputi operasi:

a. Bedah umum seperti apendisitis, hernia

b. Bedah obsgyn seperti sectio caesarea (SC)

c. Bedah mata 


d. Bedah THT

e. Bedah ortopedi

f. Bedah urologi

Jumlah tenaga kesehatan yang ada di IBS RSUD Kota Yogyakarta 

berjumlah 32 orang. Tenaga medis bedah berjumlah 24 orang, meliputi 

dokter bedah dan perawat. Perawat bedah di IBS RSUD Yogyakarta 

berjumlah 10 orang, sedangkan dokter bedahnya berjumlah 14 orang,

terdiri dari dokter spesialis bedah umum, spesialis urologi, spesialis 

onkologi, spesialis mata, spesialis THT, spesialis obsgyn dan spesialis 

orthopedi. Jumlah tenaga anestesi 8 orang, dengan rincian 3 dokter 

spesialis anestesi dan 5 orang perawat/ penata anestesi yang bertugas pada 

pre, intra dan pasca anestesi. 

2. Karakteristik Responden 

Responden dalam penelitian ini yaitu  pasien di RSUD Kota 

Yogyakarta yang menjalani operasi elektif dengan general anestesi.

Jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak

56 orang. Data karakteristik responden dalam penelitian ini diambil 

berdasarkan status fisik ASA, usia, IMT, jenis kelamin dan lama operasi. 

Distribusi frekuensi karakteristik responden dapat dilihat pada tabel 

berikut ini: 


Berdasarkan tabel 5, dapat diketahui karakteristik responden yang 

menjalani operasi dengan general anestesi di RSUD Kota Yogyakarta 

mayoritas berstatus fisik ASA I, yaitu sebanyak 32 orang (57,1%). Jika 

dilihat dari faktor usia, paling banyak responden dengan rentang usia 46-

55 tahun (lansia), yakni sebanyak 22 orang (39,4%). Faktor lain yang 

berhubungan yaitu faktor IMT, responden paling banyak terletak pada

kategori IMT normal, yakni sebanyak 24 orang (42,9%). Faktor lain juga 

muncul dari faktor jenis kelamin dan faktor lama operasi. Responden 

dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak di IBS RSUD Kota 

Yogyakarta, yaitu sebanyak 31 orang (5,4%). Lama operasi yang dijalani 

responden ada 3, responden terbanyak menjalani operasi pada rentang  


waktu 1-2 jam, jumlah responden dalam rentang waktu ini sebanyak 30 

orang (53,6%). 

3. Hubungan Faktor Usia dengan Hipotermi Pasca General Anestesi

Usia dalam penelitian ini terhitung sejak responden laihr sampai 

pengambilan data diambil. Hubungan faktor usia dengan hipotermi pasca 

general anestesi telah dihitung melalui software dan dapat dilihat pada 

tabel tabulasi silang berikut ini:  


Berdasarkan tabel 6, terjadi peningkatan frekuensi dan presentase 

kejadian hipotermi dari rentang usia 17-25 tahun, 26-45 tahun dan 46-55 

tahun. Responden paling banyak mengalami hipotermi pada rentang usia 

46-55 tahun, yakni 20 orang (90,9%). 

4. Hubungan Faktor IMT dengan Hipotermi Pasca General Anestesi

IMT pada tiap pasien berbeda-beda, seseorang dengan usia 

minimal 17 tahun baru bisa dilakukan perhitungan status gizi 

memakai  IMT. Hubungan faktor IMT dengan hipotermi pasca 

general anestesi juga dihitung melalui software dan dapat dilihat pada 

tabel tabulasi silang berikut ini:  


Berdasarkan tabel 7, frekuensi hipotermi terbanyak terjadi pada 

kategori IMT gemuk yaitu 13 orang. Sedangkan bila dilihat dari 

presentase, sebanyak 100% responden hipotermi dengan IMT kurus.

5. Hubungan Faktor Jenis Kelamin dengan Hipotermi Pasca General 

Anestesi

Hubungan faktor jenis kelamin dengan hipotermi juga telah 

dihitung dengan perhitungan yang sama dan dapat dilihat pada tabel 

tabulasi silang berikut:  


Berdasarkan tabel 8, responden dengan jenis kelamin perempuan 

lebih banyak mengalami hipotermi dibanding laki-laki, yaitu sebanyak 25 

orang (80,6%).  


6. Hubungan Faktor Lama Operasi dengan Hipotermi Pasca General 

Anestesi

Lama operasi terhitung sejak mulai responden dipindahkan ke meja 

operasi dan berakhir ketika responden dipindah ke ruang pemulihan. 

Hubungan antara faktor lama operasi dengan hipotermi pasca general 

anestesi dihitung juga melalui software dan dapat dilihat pada tabel 

tabulasi silang berikut ini:  



Berdasarkan tabel 9, dapat diketaui hipotermi pasca general anestesi 

terjadi pada responden yang menjalani lama operasi >2 jam dengan 

presentase 88,9%.

B. Pembahasan

1. Hubungan Usia dengan Hipotermi 

Responden tertua yang menjalani operasi dengan general anestesi di 

RSUD Kota Yogyakarta berumur 55 tahun. Karakteristik usia dalam 

penelitian ini dibagi menurut Depkes RI (2009) yaitu remaja akhir (17-25 

tahun), dewasa awal (26-35 tahun), dewasa akhir (36-45 tahun) dan lansia 

(46-55 tahun). Penelitian ini menggabungkan karakteritik usia dewasa 


awal dan dewasa akhir dengan pertimbangan usia ini  masih dalam 

kategori yang sama yaitu dewasa, sehingga peneliti menggabungkan 

dengan tujuan mendapatkan hasil yang lebih sederhana, dengan 3 kategori 

yaitu remaja, dewasa dan lansia. Responden dengan kategori usia lansia

yaitu  responden terbanyak yang dijumpai di RSUD Kota Yogyakarta. 

Berdasarkan hasil penelitian ini, semakin tinggi usia responden maka 

semakin tinggi risiko mengalami kejadian hipotermi. Hal itu sesuai dengan 

hasil penelitian yang dikemukakan Harahap (2014), pasien lanjut usia 

(lansia) termasuk ke dalam golongan usia yang ekstrem, merupakan risiko 

tinggi untuk terjadi hipotermi pada periode perioperatif. General anestesi 

yang dilakukan pada pasien usia lansia juga dapat menyebabkan 

pergeseran pada ambang batas termoregulasi dengan derajat yang lebih 

besar dibandingkan dengan pasien yang berusia muda.

Teori Joshi, Shivkumaran, Bhargava, Kausara & Sharma (2006) juga 

mengatakan kejadian hipotermia pada pasien lansia disebabkan perubahan 

fungsi kardiovaskular (kekakuan pada area dinding pembuluh darah arteri, 

peningkatan tahanan pembuluh darah perifer, dan juga penurunan curah 

jantung), kekakuan organ paru dan kelemahan otot-otot pernapasan 

memicu  ventilasi, difusi, serta oksigenasi tidak efektif. Pada lansia 

juga terjadi perubahan fungsi metabolik, seperti peningkatan sensitivitas 

pada reseptor insulin periferal, dan juga penurunan respons 

adrenokortikotropik terhadap faktor respons. 


Hasil uji hubungan antara usia dengan hipotermi pasca general 

anestesi memakai  uji chi square didapatkan nilai signifikansi p value

0,011 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai signifikansi <0,05 (0,011 < 

0,05), maka hipotesis diterima. Sehingga dapat dikatakan adanya 

hubungan antara usia dengan hipotermi pasca general anestesi di IBS 

RSUD Kota Yogyakarta. 

Jika dilihat dari tingkat keeratan hubungan antara usia dengan 

hipotermi pasca general anestesi dapat ditentukan dengan melakukan uji 

Pearson Correlation. Hasil uji keeratan yaitu nilai r (keeratan) = + 399. 

Hasil ini  (+) menunjukkan bahwa ada hubungan keeratan antara usia

dengan hipotermi, yaitu semakin tinggi usia responden maka semakin 

berisiko tinggi mengalami hipotermi pasca general anestesi. 

Penelitian Harahap (2014) juga mengatakan bahwa golongan usia 

lansia merupakan faktor risiko urutan 6 (enam) besar sebagai penyebab 

hipotermi perioperatif. Hal itu disebabkan karena seseorang pada usia 

lansia telah terjadi kegagalan memelihara suhu tubuh dengan atau tanpa 

anestesi, kemungkinan hal ini terjadi karena penurunan vasokonstriksi 

termoregulasi yang terkait dengan usia (Kiekkas, 2007).

Teori Lissauer (2009) mengatakan induksi general anestesi juga 

akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hal ini terjadi melalui dua 

mekanisme, yaitu obat anestesi secara langsung menyebabkan terjadinya 

vasodilatasi pembuluh darah dan general anestesi menurunkan nilai 

ambang vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral, 

vasodilatasi ini akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian sentral suhu 

inti mengalir ke bagian perifer dan redistribusi panas tubuh ini akan 

menyebabkan peningkatan suhu perifer tetapi menyebabkan penurunan 

suhu inti. Jika dibiarkan terus menerus maka akan terjadi hipotermi, 

terutama pada pasien dengan usia lansia yang sudah banyak mengalami 

penurunan fungsi tubuh. 

2. Hubungan IMT dengan Hipotermi 

IMT yaitu  penilaian status gizi pada tiap individu. IMT dalam 

penelitian ini dihitung dengan cara menimbang berat badan memakai  

timbangan smic dalam satuan kilogram dan mengukur tinggi badan dalam 

satuan meter, kemudian berat badan dibagi dengan tinggi badan kuadrat. 

Menurut Direktorat Gizi Masyarakat (2003), IMT dibagi dalam 3 batas 

ambang, yaitu: kurus (<18,5kg/m2

), normal (18,5-25,0kg/m2

) dan gemuk 

(>25,0kg/m2

).

Hasil penelitian menunjukkan responden terbanyak pada kategori IMT 

normal, tetapi responden dengan IMT kurus paling banyak frekuensi dan 

presentasenya dalam mengalami hipotermi pasca general anestesi

dibanding pasien dengan IMT normal dan gemuk. Hal itu terjadi karena 

general anestesi mempengaruhi ketiga elemen termoregulasi yang terdiri

atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah pusat dan juga respon

eferen. General anestesi dapat juga menghilangkan proses adaptasi serta 

mengganggu mekanisme fisiologi lemak/ kulit pada fungsi termoregulasi  


yaitu menggeser batas ambang untuk respons proses vasokonstriksi, 

menggigil, vasodilatasi dan juga berkeringat (Setiyanti, 2016). 

Pernyataan ini sesuai juga dengan teori yang dikemukakan oleh Tian 

(2014) bahwa IMT dengan kriteria kurus yaitu  masalah kesehatan 

terbesar bukan hanya di Indonesia bahkan di seluruh dunia dan lebih 

banyak mengalami komplikasi pasca general anestesi (hipotermi) 

dibanding dengan kriteria IMT lainnya.

Pada penelitian ini, dilakukan uji crosstab antara IMT dengan 

hipotermi pasca general anestesi memakai  uji chi square didapatkan 

nilai signifikansi p value 0,032 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai 

signifikansi <0,05 (0,032 < 0,05), maka hipotesis diterima. Sehingga dapat 

dikatakan adanya hubungan antara IMT dengan hipotermi pasca general 

anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.

Jika dilihat dari tingkat keeratan hubungan antara IMT dengan 

hipotermi pasca general anestesi dengan uji Pearson Correlation, 

diperoleh hasil nilai r = -239. Hasil (-) menunjukkan bahwa ada hubungan 

keeratan antara IMT dengan hipotermi, yaitu semakin tinggi nilai IMT 

maka semakin menurun angka kejadian hipotermi. Hal itu bermakna, 

responden dengan IMT lebih (gemuk) memiliki risiko rendah untuk 

mengalami hipotermi pasca general anestesi.

Hasil penelitian ini juga didukung oleh teori yang mengatakan orang 

yang gemuk memiliki cadangan lemak lebih banyak akan cenderung 

memakai  cadangan lemak sebagai sumber energi dari dalam, artinya  

jarang membakar kalori dan menaikkan heart rate (Indriati, 2010). Agen 

anestesi di redistribusi dari darah dan otak kedalam otot dan lemak, tubuh 

yang semakin besar menyimpan jaringan lemak yang banyak, sehingga 

lebih baik dalam mempertahankan suhu tubuh (Dughdale, 2011).

Pada orang dengan IMT yang rendah akan lebih mudah kehilangan 

panas dan merupakan faktor risiko terjadinya hipotermi, hal ini 

dipengaruhi oleh persediaan sumber energi penghasil panas yaitu lemak 

yang tipis, simpanan lemak dalam tubuh sangat bermanfaat sebagai 

cadangan energi. Pada indeks massa tubuh yang tinggi memiliki sistem 

proteksi panas yang cukup dengan sumber energi penghasil panas yaitu 

lemak yang tebal sehingga IMT yang tinggi lebih baik dalam 

mempertahankan suhu tubuhnya dibanding dengan IMT yang rendah 

karena mempunyai cadangan energi yang lebih banyak (Valchanov et all, 

2011).

3. Hubungan Jenis Kelamin dengan Hipotermi

Responden pada penelitian ini lebih banyak yang berjenis kelamin 

perempuan daripada laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis 

kelamin perempuan lebih banyak mengalami hipotermi dibanding laki laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Harahap (2014), 

angka hipotermi lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki, 

yaitu sebanyak 51,2%. Penelitian yang dilakukan oleh Rosjidi & Isro’ain 

(2014) juga mendapatkan hasil bahwa perempuan lebih rentan terserang 

penyakit/ komplikasi daripada laki-laki. Semua itu disebabkan adanya  

perbedaan biologis dan fungsi biologis yang ada pada perempuan dan laki laki yang tidak dapat dipertukarkan (Hungu, 2007). 

Kejadian hipotermi juga dipengaruhi oleh berat badan pada tiap jenis 

kelamin. Pada obesitas, jumlah lemak tubuh lebih banyak. Pada dewasa 

muda laki-laki, lemak tubuh >25% dan perempuan >35%. Distribusi 

lemak tubuh juga berbeda berdasarkan jenis kelamin, pria cenderung 

mengalami obesitas viseral (abdominal) dibandingkan wanita (Sugondo, 

2010). Hal itu menunjukkan bahwa laki-laki juga bisa mengalami obesitas/ 

penumpukan lemak pada abdominal sehingga mengurangi kejadian 

hipotermi pasca general anestesi. 

Pada teori Mangku & Senapathi (2010), beberapa faktor yang 

berhubungan dengan hipotermi pasca general anestesi yaitu suhu kamar 

operasi, cairan infus, cairan pencuci rongga, kondisi pasien (IMT, usia, 

jenis kelamin), obat anestesi dan lama operasi. Hipotermi juga terjadi 

karena kombinasi dari tindakan anestesi dan tindakan operasi yang dapat 

menyebabkan gangguan fungsi dari pengaturan suhu tubuh yang akan 

menyebabkan penurunan suhu inti tubuh (care temperature) (Yulianto & 

Budiono, 2011).

Hasil uji crosstab antara jenis kelamin dengan hipotermi pasca 

general anestesi memakai  uji chi square didapatkan nilai signifikansi 

p value 0,046 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai signifikansi <0,05 

(0,046 < 0,05), maka hipotesis diterima. Oleh karena itu, dapat dikatakan  

adanya hubungan antara jenis kelamin dengan hipotermi pasca general 

anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.

Berdasarkan hasil perhitungan odd ratio, diperoleh hasil bahwa 

perempuan memiliki 3,2 kali lipat lebih beresiko mengalami hipotermi 

dibanding laki-laki. 

4. Hubungan Lama operasi dengan Hipotermi

Lama operasi dalam penelitian ini dihitung sejak dibuatnya sayatan 

pertama (time out) sampai pasien dipindahkan ke ruang pemulihan yang 

dinyatakan dalam jam. Depkes RI (2009), membagi operasi berdasarkan 

durasinya ke dalam 3 klasifikasi, yaitu cepat (<1 jam), sedang (1-2 jam) 

dan lama (>2 jam). Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang 

menjalani operasi dengan waktu 1-2 jam lebih banyak dan diantara mereka 

juga mengalami hipotermi terbanyak. 

Suhu ruangan operasi di RSUD Kota Yogyakarta dibuat konstan 180C. 

Menurut Majid, Judha & Istianah (2011) hipotermi mungkin dialami 

pasien karena terpaparnya tubuh terlalu lama dengan suhu rendah kamar 

di ruang operasi (<26,60C). Selain itu, pasien yang menjalani operasi di 

RSUD Kota Yogyakarta jarang memakai  selimut penghangat selama 

durante operasi sampai di IBS, sehingga tubuh pasien lebih banyak 

terpapar dengan suhu ruangan yang dingin. 

Hasil uji crosstab yang telah dilakukan antara lama operasi dengan 

hipotermi pasca general anestesi memakai  uji chi square didapatkan 

nilai signifikansi p value 0,001 (α=0,05). Dapat diketahui bahwa nilai  

signifikansi <0,05 (0,001 < 0,05), maka hipotesis diterima. Sehingga dapat 

dikatakan adanya hubungan antara lama operasi dengan hipotermi pasca 

general anestesi di IBS RSUD Kota Yogyakarta.

Pada Uji Pearson Correlation, didapatkan hasil uji keeratan antara 

lama operasi dengan hipotermi pasca general anestesi, yaitu nilai r = + 

266. Hal itu menunjukkan adanya hubungan antara lama operasi dengan 

hipotermi, yaitu (+) semakin lama operasi yang dilakukan pada pasien 

maka semakin tinggi risiko hipotermi pasca general anestesi yang terjadi 

pada pasien. 

Teori Depkes RI (2008), menyatakan durasi pembedahan yang lama 

akan menyebabkan tindakan anestesi menjadi lama dan menambah waktu 

terpaparnya tubuh terhadap suhu dingin di ruang operasi. Induksi anestesi 

memicu  vasodilatasi yang menyebabkan proses kehilangan panas 

tubuh terjadi secara terus menerus. Panas padahal diproduksi secara terus 

menerus oleh tubuh sebagai hasil dari metabolisme. Proses produksi serta 

pengeluaran panas ini  diatur oleh tubuh guna mempertahankan suhu

inti tubuh dalam rentang 36-37,5oC (Putzu, 2007). Oleh karena itu, pasien 

yang menjalani operasi dan anestesi lebih lama maka akan kehilangan 

panas secara terus menerus dan lebih berisiko mengalami hipotermi. 






BAYI



Anak memiliki suatu ciri yang khas yaitu selalu tumbuh dan berkembang sejak konsepsi sampai

berakhirnya masa remaja. Hal ini yang membedakan anak dengan dewasa. Anak bukan dewasa kecil. 

Anak menunjukkan ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan yang sesuai dengan usianya.

Pertumbuhan yaitu  bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interselular, berarti

bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh sebagian atau keseluruhan, sehingga dapat diukur 

dengan satuan panjang dan berat.

Perkembangan yaitu  bertambahnya struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam

kemampuan gerak kasar, gerak halus, bicara dan bahasa serta sosialisasi dan kemandirian.

Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan. Berbeda dengan pertumbuhan,-

perkembangan merupakan hasil interaksi kematangan susunan saraf pusat dengan organ yang

dipengaruhinya, misalnya pe