Selasa, 11 Juli 2023
Home »
penyakit hewan mamalia 6
» penyakit hewan mamalia 6
penyakit hewan mamalia 6
Juli 11, 2023
penyakit hewan mamalia 6
pemasukan hewan terinfeksi atau carrier menjadi faktor pemicu terjadinya
penyakit. Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia, dan serangga)
disekitar peternakan perlu diusaha kan. Pengembalaan yang hanya di satu
tempat penggembalaan tanpa rotasi dapat menjadi predisposisi terjadinya
penyakit. Hewan diberi pakan yang baik dan ditambahkan vitamin B/Niacin
dapat menghindari resiko salmonelosis.
6. Distribusi Penyakit
Di negara kita , Salmonellosis dari berbagai jenis hewan (sapi, kerbau,
babi, kambing, ayam, angsa, anjing, kucing) pernah dilaporkan. Demikian
pula pada manusia. Tipe yang sudah ada di negara lain, ada juga di
negara kita .
Pada tahun 1981 terjadi letupan Salmonellosis pada kerbau di
Tanah Karo, Sumatera Utara yang dilaporkan oleh BPPV Medan.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Pada dasarnya secara klinis penyakit ini memicu 3 bentuk
manifestasi penyakit yaitu demam enteritik, septikemi dan gastro enteritis.
a. Pada Sapi
Sapi dewasa yang menderita Salmonellosis akut akan menampakkan
gejala demam, lesu, kurang nafsu makan dan produksi susu menurun,
diikuti dengan diare, dimana feces encer mengandung darah dan lendir.
Hewan yang sedang bunting dapat abortus. Kematian dapat terjadi 3-
4 hari sesudah menderita sakit dan dapat sembuh dengan sendirinya
sesudah beberapa minggu atau bulan. Pada Salmonellosis sub akut
dapat terjadi demam, dapat pula tidak. Hewan bunting dapat abortus
tanpa menunjukan tanda-tanda sakit Iainnya.
Anak sapi yang terserang sekitar umur 2-6 minggu, dengan tanda-
tanda septikemi yang akut tanpa diare. Beberapa kasus menunjukan
demam, kurang nafsu makan, lesu, dehidrasi dan kekurusan. Pada
penyakit yang berjalan kronis dapat terjadi arthritis. Angka morbiditas
sampai 80%, sedangkan angka mortalitasnya 10-20% atau lebih tinggi.
b. Pada Babi
Salmonellosis pada babi dapat berjalan akut, subakut atau khronis.
Babi yang paling peka yaitu umur empat bulan.
Pada proses akut babi menderita demam, diare, kulit telinga dan
abdominal berwarna keunguan. Bentuk sub akut atau khronis ditandai
dengan adanya demam ringan kurang nafsu makan dan diare beberapa
minggu sehingga hewan menjadi kurus. Baik pada proses akut rnaupun
komplikasi pada paru.
Babi dengan kondisi badan yang baik Salmonella chloreasuis dapat
bersifat oppurtunistik dan akan memicu penyakit bila resistensi
tubuh babi tersebut menurun.
c. Pada Unggas
Salmonellosis pada unggas termasuk Pullorum yaitu penyakit
yang terutama menyerang unggas muda, misalnya anak ayam.
Unggas dapat mati tanpa menunjukkan tanda KIinis yang teramati
ialah kurang nafsu makan, kehausan, kelesuan, sayap terkulai, gangguan
syaraf dan feses berwarna putih atau coklat kehijauan.
Tipus unggas dipicu oleh S.gallinarum, biasanya menyerang
unggas dara dan dewasa, memicu banyak kematian yang kadang-
kadang tanpa disertai tanda Klinis terlebih dahulu. Umumnya hewan
apatis, kurang nafsu makan, pial berwarna merah tua dan disertai diare
berwarna hijau.
Unggas yang terserang oleh S.typhimurium tidak selalu menunjukan
gejala klinis, tetapi hewan penderita ini akan bertindak sebagai sumber
penularan.
d. Pada Kuda
Salmonella abortus-equi memicu abortus pada kebuntingan
tua. Bakteri ini juga memicu polyarthritis pada kuda yang masih
muda.
Infeksi S.typhimurium dapat memicu septicemia dan
memicu kematian tiba-tiba pada hewan muda, serta enteritis
pada hewan tua.
Salmonellosis serotipe Iainnya dapat memicu gejala kolik dan
gastroenteritis.
2. Patologi
a. Pada Sapi
Sapi dewasa menunjukkan enteritis hemorragis yang akut disertai
lesi nekrotik pada mukosa usus besar dan usus halus, oedematus dan
kadang-kadang hemorragis. Hati mengalami degenerasi dan dinding
kantung empedu menebal. Paru mengalami pneumonie.
Anak sapi menunjukkan gejala penyakit kuning, pneumoni, enteritis
dengan pembesaran yang odematus dari kelenjar limfe mesenterialis.
Kadang-kadang didapatkan sarang-sarang nekrotik pada hati dan
ginjal.
Gambar 1. Usus sapi. Mucos dan ditutupi oleh eksudat fi bronekrotik
berwarna kuning kecoklatan.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-
photos.php?name=salmonella-nontyphoidal)
b. Pada Domba dan Kambing
Domba dan kambing, menunjukkan adanya perubahan septikemi
antara lain: kongesti dan hemorragis pada usus, pembesaran kelenjar-
kelenjar limfe. Perdarahan ptekie mungkin ada pada cortex dari
ginjal dan pericardium.
c. Pada Babi
Pada babi terjadi pemucatan pada kulit perut dan telinga sehingga
berwama Iebih geIap sampai agak ungu. Perdarahan ptekie pada sub
kutan. Pada limpa dan limpo glandula mesentericus terjadi pembengkakan.
pada kasus kronis ada kancing ulcus di daerah membrana ileocal.
Gambar 2. Usus babi. Terlihat adanya nekrosa berwarna kemerahan
dan eksudat fi brinonekrotik.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-
photos.php?name=salmonella-nontyphoidal)
Gambar 3. Limfonodus mesenterika babi yang mengalamai
pembengkakan dan edema.Kondisi seperti ini baik untuk dilakukan
kultur jaringan.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-
photos.php?name=salmonella-nontyphoidal)
d. Pada Kuda
Kuda yang sakit menunjukkan peradangan gastrointestinal yang
bersifat catarrhalis dan enteritis hemorragis. Sarang nekrose ada
pada hati, limpa dan lesi lokal di pusar dan sendi.
3. Diagnosa
Diagnosa salmonellosis dapat dilakukan dengan cara:
a. Melihat tanda klinis penyakitnya
b. Isolasi dan identifi kasi Salmonella secara bakteriologik
c. Pemeriksaan serologis dengan test plate aglutination dengan
memakai whole blood.
Untuk bahan pemeriksaan yang mengandung banyak bakteri
pencemar seperti feses, air kemih, media selektif lebih dulu dipupuk pada
kaldu selenit (24 jam, 37°C), lalu dipupuk pada “media selektif agar”
untuk Salmonella.
4. Diagnosa Banding
Salmonelosis dapat dikelirukan berbagai penyakit berikut:
a. Tanda-tanda septikemi oleh sebab Salmonellosis pada babi dapat
dikelirukan dengan tanda-tanda septikemi yang dipicu oleh Hog
cholera, erysipelas atau infeksi Steptococcus. Tanda-tanda diare seperti
dysentri babi, sedang gangguan alat pernafasan seperti yang ditimbulkan
oleh bakteri Pasteur
b. Tanda-tanda gastro enteritis pada sapi seperti keracunan makanan atau
parasitisme. Adanya diare seperti yang terjadi oleh infeksi virus diare dan
kejadian abortus seperti dijumpai pada infeksi lainya.
c. Tanda-tanda enteritis pada domba dan kambing mirip dengan kejadian
coccidiosis, enterotoksemia atau desentri pada domba oleh sebab jasad
renik lainnya.
5. Pengambilan dan Pengiriman Bahan Pemeriksaan
Pada hewan hidup bahan pemeriksaan berupa feses atau usapan
rektal untuk pemeriksaan bakteriologik dan serum darah untuk pemeriksaan
serologis.
Pada hewan mati pengiriman bahan pemeriksaan dapat berupa
jantung atau darah jantung, hati, limpa, potongan usus dan limfoglandula
mesenterialis. Bila ada abortus maka foetus dan placenta dapat dikirim
untuk bahan pemeriksaan.
Pada ayam dapat dikirim jantung, hati berikut kantong empedunya
minimal berasal dari 5 ekor ayam. Bila pada sejarah penyakit dan
pemeriksaan patologis anatomi menunjukkan ke arah tipus ayam maka
bahan pemeriksaannya berupa hati, limpa, jantung, folikel ovarium dan isi
usus halus.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian
a. Sulfonamida: sulfanilamid terhadap infeksi dengan S.typhi, S.paratyphi
dan S.gallinarum, dan lain-lain; sulfaquinoxalin dan sulfamerasin untuk
infeksi S.pullorum dan S.gallinarum, sulfagunanidin untuk infeksi
S.cholerasuis.
b. Nitrofurans: nitrofurazone untuk infeksi S.cholerasuis, untuk infeksi
S.pullorum dan S.gallinarum.
c. Antibiotika: streptomycin, neomycin, aureomycin dan terramicyn untuk
infeksi bakteri Salmonella pada umumnya.
2. Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan
Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan salmonellosis dapat
dilakukan dengan :
a. Vaksinasi dengan memakai vaksin aktif
b. Tindakan sanitasi terhadap kandang, peralatan, dan lingkungan
peternakan, serta fumigasi penetasan telur ayam.
c. Pencegahan terhadap pemasukan hewan terinfeksi atau carrier.
d. Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia, dan serangga)
disekitar peternakan.
e. Diadakan rotasi tempat penggembalaan (Pasture Rotation).
f. Hewan diberi pakan yang baik dan ditambahkan vitamin B/Niacin
SEPTICEMIA EPIZOOTICA (SE)
Sinonim : Penyakit ngorok, Septicemia hemorrhagica, Hemorrhagic septicemia,
Borbone
Penyakit Septicemia epizootica (SE) atau ngorok yaitu suatu penyakit infeksi
akut atau menahun pada sapi dan kerbau. Yang terjadi secara septikemik.
Penyakit ini terjadi juga pada jenis ternak yang lain seperti pada onta, kambing,
domba, babi dan kuda. Sesuai dengan namanya, pada kerbau dalam stadium
terminal akan menunjukkan gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya
kebengkakan busung pada daerah-daerah submandibula dan leher bagian
bawah.
Penyakit SE memicu kerugian besar karena dapat memicu kematian,
penurunan berat badan, serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan
pengangkutan. Selain itu peternak sering terpaksa harus menjual ternaknya di
bawah harga untuk dipotong termasuk di antaranya yang masih berguna bagi
peternakan untuk menghindari kerugian akibat kematian ternak.
etiologi
Penyakit ngorok atau SE dipicu oleh Pasteurella multocida serotype 6B
dan 6E menurut klasifi kasi Namioka dan Mlirata. Type B dikenal sebagai type I
pada klasifi kasi Carter dan biasanya diisolasi di Asia, sedang type E biasanya
terisolasi di Afrika.
Dengan pewarnaaan Giemsa atau Methylene Blue, organisme pemicu
penyakit ini terlihat berukuran relatif kecil, berbentuk kokoid dan bipolar bila
diwarnai dengan Giemsa Wright atau karbol fuchsin. Bersifat Gram negatif, tidak
membentuk spora, non motil dan berselubung (kapsul) yang lama kelamaan
dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama.
Bentuk koloni tidak selalu seragam, tergantung pada berbagai faktor, antara lain
macam media yang digunakan, umur bakteri dalam penyimpanan, frekwensi
pemindahan bakteri dan sebagainya. Koloni bakteri yang baru diisolasi dari
hewan sakit atau hewan percobaan biasanya bersifat mukoid, dan lama-
kelamaan berubah menjadi smooth atau rough. Bakteri Pasteurella multocida
membebaskan gas yang berbau seperti sperma.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Telah diketahui bahwa bakteri bersifat saprofi t pada hewan yang
menjadi inang. Hewan-hewan tersebut akan menjadi pembawa (carier)
penyakit dan mungkin akan menjadi sumber penularan bagi hewan lain
yang rentan. Di negara lain telah dilakukan penelitian dan diketahui bahwa
Pasteurella dapat menginfeksi babi (48%), sapi (80%), tonsil anjing (85%),
rongga hidung anjing (10%), gusi kucing (90%) dan tenggorokan manusia
(3%).
Selain itu bakteri telah pula diisolasi dari kelinci, burung dara,
burung pelican, kuda, kambing, domba, rusa, tikus, kanguru, ayam dan itik.
berdasar penghitungan LD 50 dengan galur kupang, waktu
derajat kerentanan hewan mulai dari yang paling rentan yaitu kelinci,
mencit, burung perkutut, burung merpati dan marmut. Ayam dan itik bersifat
resisten.
2. Pengaruh Lingkungan
Penyakit SE ditemukan disebagian besar wilayah negara kita , dan
negara lainnya, kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Afrika Selatan
dan Jepang. Kebanyakan wabah bersifat musiman, terutama pada musim
hujan. Secara sporadik penyakit juga ditemukan sepanjang tahun. Selain itu
ditambah faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan,
anemia dan sebagainya. Ekskreta hewan penderita (saliva, kemih dan feses)
dapat mengandung bakteri Pasteurella. Bakteri yang jatuh di tanah, jika
keadaan sesuai untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh) akan
tahan kurang dari satu minggu dan dapat menulari hewan-hewan yang
digembalakan di tempat tersebut. Tanah tidak lagi dianggap sebagai reservoir
permanen untuk bakteri Pasteurella, ada kemungkinan bahwa insekta dan
lintah dapat bertindak sebagai vektor.
3. Sifat Penyakit
Pada SE dikenal tiga bentuk yaitu, bentuk busung, pektoral dan
intestinal.
a. Bentuk Busung
Ditemukan busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian
bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula
terjadi pada bagian alat kelamin dan anus. Derajat kematian bentuk
ini tinggi sampai mencapai 90% dan berlangsung cepat (hanya 3 hari,
kadang-kadang sampai 1 minggu). Sebelum mati, terutama pada kerbau
terjadi gangguan pernafasan ditandai sesak nafas (dyspnoe) dan suara
ngorok merintih dan gigi gemeretak.
b. Bentuk Pektoral
Ditandai dengan bronchopneumoni dan dimulai dengan batuk
kering dan nyeri. lalu ada eksudat di hidung, pernafasan
cepat dan basah. Proses berlangsung lama antara 1-3 minggu. Penyakit
yang bersifat kronis ditandai dengan hewan menjadi kurus, batuk, nafas
dan nafsu makan terganggu, terus mengeluarkan air mata, suhu tidak
berubah, terjadi diare yang bercampur darah, kerusakan pada paru,
bronchi dan pleura.
c. Bentuk Intestinal
Bentuk intestinal yaitu gabungan dari bentuk busung dan
bentuk pektoral.
4. Cara Penularan
Diduga sebagai pintu gerbang infeksi bakteri ke dalam tubuh hewan
yaitu daerah tenggorokan (tonsil region). Hewan sehat akan tertular oleh
hewan sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman
dan alat yang tercemar. Ekskreta hewan penderita (Iudah, kemih dan feses)
juga mengandung bakteri.
Pada babi, SE banyak yang berbentuk sebagai gangguan
pernafasan dengan gejala batuk Iebih menonjol. Penularan melalui udara
oleh penderita Iebih mudah terjadi, apalagi kalau babi tersebut makan dan
minum dari tempat yang sama. Timbulnya SE pada babi sangat dipengaruhi
oleh faktor-faktor predisposisi. Seperti pada kerbau dan sapi, ekskreta
penderita juga mengandung bakteri.
5. Faktor Predisposisi
Stres pada ternak yaitu kondisi predisposisi untuk terjangkit
nya penyakit. Sapi atau kerbau yang terlalu banyak dipekerjakan, pemberian
pakan yang berkualitas rendah, kedinginan, anemia, kandang yang penuh
dan berdesakan serta kondisi pengangkutan yang melelahkan dapat memicu
terjadinya infeksi. Pada kejadian yang terakhir memicu penyakit ini
disebut juga dengan Shipping fever
Penyakit ini di Asia bagian Selatan dan Tenggara bersifat endemik.
Angka kematian bervariasi dari rendah sampai tinggi, tetapi angka kematian
biasanya mencapai 50-100%.
Di musim kering hewan sulit mendapatkan pakan, tetapi dipaksa
untuk bekerja keras dapat timbul stres sehingga mudah terserang oleh
penyakit ini. Kerbau diketahui Iebih rentan terhadap penyakit ngorok
dibandingkan dengan sapi.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit SE ditemukan untuk pertama kali di negara kita oleh
DRIESSEN pada tahun 1884 di daerah Balaraja, Tangerang, lalu
pada tahun berikutnya meluas sampai dengan Citarum dan sampai Ujung
Menteng, Bekasi. Dalam surat edaran yang ditujukan kepada para petugas
dinas pada tahun 1890, Driessen menyebut nama SE pada kerbau dengan
nama Rinderpest tipe busung. Dari jawaban surat tersebut diketahui bahwa
penyakit ini telah ditemukan di Majalengka tahun 1897, Imogiri serta beberapa
daerah di luar Jawa seperti Tanah Datar tahun 1884 dan Bengkulu tahun
1839. Baru lalu pada tahun 1891 pemicu penyakit di atas dapat
diisolasi oleh Van Ecke. Sejak akhir abad ke-19, penyakit telah meluas ke
sebagian besar wilayah negara kita .
C. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala klinis
Gejalanya tidak banyak terlihat, tetapi Iangsung timbul kematian
yang mendadak. Hewan yang terserang biasanya menderita demam tinggi,
tidak mau makan, diare, dan feses berdarah Kebengkakan dan busung
terlihat di kepala, bagian bawah dada dan kaki atau pangkal ekor.
Lesi di kerongkongan memicu sesak nafas dan kesulitan
menelan. Hewan yang menderita penyakit ini sangat tertekan dan murung,
kematian dapat terjadi antara 1-2 hari sesudah terjadi gejala.
Penyakit ini dapat berlangsung menahun, pada hewan muda angka
kematian tinggi, terjadinya kematian yaitu karena pelepasan endotoksin
oleh bakteri sehingga terjadi toksemia atau tercekik.
2. Patologi
Lesi yang menonjol yaitu busung pada daerah kepala,
kerongkongan dan dada. Kelenjar limpe membengkak, terjadi perdarahan
bawah kulit, usus dan jantung serta ada cairan kuning pekat dirongga
dada. Paru terjadi peradangan brochopneumonia dengan jaringan yang
kenyal dan bila menjadi menahun dapat timbul abses.
Pada bentuk busung terIihat busung gelatin disertai perdarahan
dibawah kulit dibagian kepala, leher, dada dan sekali-sekali meluas sampai
bagian belakang perut. Busung gelatin juga dapat dijumpai di sekitar pharynx,
epiglotis dan pita suara. Lidah seringkali juga membengkak dan berwarna
coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang menjulur keluar, selaput lendir
saluran pernafasan umumnya membengkak dan kadang-kadang disertai
selaput fi brin. Kelenjar limfe retropharingeal dan cervical membengkak.
Rongga perut kadang-kadang berisi beberapa liter cairan bening berwarna
kekuningan atau kemerahan.
Gambar 2. Submandibula sapi. Terjadi pembengkakan dan perdarahan
multifokal pada subkutan/selaput fascia yang cukup parah.
(Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-
signs-photos.php?name=hemorrhagic-septicemia)
Pada bentuk pektoral terlihat pembendungan kapiler dan perdarahan di
bawah kulit dan dibawah selaput lendir, pada pleura terlihat perdarahan
titik (ptekie) dan selaput fi brin tampak pada permukaan alat-alat visceral
dan rongga dada. Juga terlihat gejala busung berbentuk hidrothoraks,
hidroperikard dengan cairan yang kering berfi brin. Paru-paru menderita
bronchopneumonia berfi brin atau fi bronekrotik. Bagian paru-paru mengalami
hepatisasi dan kadang-kadang konsisten agak rapuh.
Bidang sayatan paru-paru beraneka warna karena adanya
pneumonia berfi brin, bagian nekrotik, sekat interlobuler berbusung dan
bagian-bagian yang normal, kelenjar limfe peribronchial membengkak.
Epikardium menunjukkan adanya perdarahan yang tdk merata/ptekie.
3. Diagnosa
Kejadian penyakit di daerah endemik mudah dikenali. Di daerah
non endemik untuk diagnosa yang pertama memerlukan isolasi organisme
dan penentuan serotypenya, agar dapat dipastikan agen penyebabnya.
Infeksi oleh serotype yang lain lebih banyak memicu jejas di paru.
Peneguhan diagnosa pemicu penyakit dengan isolasi dan identifi kasi
organisme diperlukan spesimen darah, paru, hati dan limpa yang dikirim
secepatnya ke laboratorium dalam keadaan segar dingin. jika hewan
telah mati selama lebih dari 8 jam dapat diusaha kan dengan rnengirimkan
potongan tulang panjang yang masih utuh.
4. Diagnosa Banding
jika busung tidak jelas terlihat, SE dapat dikelirukan dengan
anthraks atau rinderpest.
Pada SE tidak ditemukan perdarahan yang berwarna hitam serupa
seperti halnya pada anthraks. Selain dari gejala-gejala klinisnya SE dapat
dibedakan dari Rinderpest, karena pada SE tidak ada radang usus yang
bersifat krupus difteritis, dan nekrose pada jaringan limfoid.
Diagnosa banding yang lain yaitu pada kejadian gas ganggrene
dan gigitan ular.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Bahan yang perlu dikirim ke laboratorium dapat berupa:
a. Sediaan ulas darah jantung yang difi ksasi misal dengan metil alkohol
b. Pipet pasteur yang berisi cairan busung atau darah jantung yang diambil
secara aseptik
c. Potongan alat-alat tubuh seperti jantung, limpa, ginjal, kelenjar limfe
dan sumsum tulang yang dimasukkan dalam larutan gliserin garam faali
50%. Bahan sumsum tulang dianggap paling baik, karena jaringan ini
yang mengalami proses mati paling akhir, dan bakteri masih mengalami
perkembang biakan beberapa jam pasca mati.
jika pada kejadian tersangka penyakit SE, bangkai telah mulai
membusuk, maka dianjurkan untuk menyuntik secara subkutan hewan-hewan
percobaan (kelinci, perkutut, mencit) dengan bahan dari bangkai tersebut.
lalu bahan-bahan pemeriksaan berasal dari hewan-hewan percobaan
yang telah mati dikirimkan ke laboratorium veteriner terdekat disertai surat
pengantar yang berisi informasi selengkap mungkin.
D. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan penyuntikan streptomisin
sebanyak 10 mg secara IM atau kioromisitin, terramisin dan aureumisin
sebanyak 4 mg tiap kg berat badan secara IM.
Preparat sulfa seperti sulfametasin 1 gram tiap 7,5 kg berat badan
dapat membantu penyembuhan penyakit.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Laporan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan
dan kesehatan hewan setempat, mengenai kejadian timbulnya penyakit
SE termasuk tindakan-tindakan sementara yang telah diambil.
Bila dipandang perlu menyarankan kepada Bupati, Walikota setempat
untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penutupan daerah dan
pembatasan lalu lintas ternak didalam wilayahnya. Sementara itu
tindakan-tindakan perlu dilakukan berdasar peraturan-peraturan
yang berlaku.
b. Pencegahan
Untuk daerah bebas SE tindakan pencegahan didasarkan pada
aturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut.
Untuk daerah tertular, hewan sehat divaksin dengan vaksin oil-adjuvant,
sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml IM. Vaksinasi dilakukan
pada saat tidak ada kejadian penyakit.
Pada hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dan perlakuan
sebagai berikut :
(1) Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan;
(2) Penyuntikan antibiotika;
(3) Penyuntikan kemoterapeutika.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian hanya bisa dilakukan dengan pemberian vaksinasi.
Vaksin untuk penyakit ini tersedia dan diproduksi oleh Pusat Veterinasia
Farma (Pusvetma).
Hewan menderita SE dapat dipotong di bawah pengawasan dokter
hewan dan dagingnya dapat dikonsumsi. Jaringan yang ada jejasnya
terutama paru harus dibuang dan dimusnahkan.
Karkas yang sangat kurus karena penyakit yang berjalan menahun
dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur.
STRANGLES
Sinonim : Distemper kuda, Equine distemper, Ingus jinak, Ingus tenang
Strangles atau equine distemper yaitu penyakit kontagious akut pada kuda
yang ditunjukkan adanya infl amasi mukopurulen pada hidung dan mukous
membran pharyngeal (saluran pernafasan atas), disertai dengan abses dari
daerah kelenjar limfe, yang dipicu oleh Streptococcus equi. Penyakit dapat
menyebar kebagian tubuh yang lain.
Kuda yaitu spesies yang paling peka terhadap strangles. Kejadian penyakit
terutama pada kuda muda (berumur 1-5 tahun). Wabah dapat terjadi sepanjang
tahun, tapi paling sering terjadi pada musim dingin (udara basah). Perpindahan
kuda juga dapat menjadi pemicu timbulnya Strangles.
Meskipun terbentuk kekebalan pada kuda yang pernah terinfeksi, seekor kuda
dapat terinfeksi kembali oleh penyakit Strangles dalam interval waktu sekitar 6
bulan kemudian.
Sumber infeksi strangles yaitu cairan hidung (discharge) dari hewan yang
sakit, pastura (lapangan pengembalaan), serta pakan dan tempat minum yang
terkontaminasi. Infeksi dapat menyebar dalam waktu 4 minggu sesudah gejala
klinis. Infeksi terjadi melalui pencernaan dan pernafasan (inhalasi).
Agen pemicu dapat bertahan sekitar 10 bulan dalam pharynx kuda, walaupun
secara klinis kuda terlihat normal (tidak sakit). ini yaitu carrier terhadap
kuda lain, dan periode ini disebut dengan periode dormant.
etiologi
Strangles dipicu oleh bakteri Steptococcus equi. Jika kejadian dalam waktu
lama (kronis), maka dapat diperoleh biakan murni (pure culture) dalam eksudat
hidung atau nanah dari lesi (borok).
Bakteri bersifat Gram positif coccus, Streptococcus equi lebih resisten pada
keadaan panas dibanding spesies lain dari grup Streptococcus, namun dapat
mati dengan perebusan hingga suhu 70 °C selama 10 menit.
Bakteri dalam eksudat purulen juga resisten terhadap desinfektan dan
pengeringan, sehingga bakteri ini digolongkan dalam Lancefi eld’s grup C.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Spesies rentan terhadap penyakit strangles pada umumnya yaitu
bangsa kuda (equidae)
2. Pengaruh Lingkungan
Umumnya terjadi pada perubahan musim panas ke musim hujan,
demikian pula sebaliknya dari musim hujan ke musim panas.
3. Sifat Penyakit
Angka morbiditas mendekati 100 % pada daerah terserang,
sedangkan mortalitas relatif kecil, yaitu kurang dari 2 %.
4. Cara Penularan
Penularan terjadi pada sumber infeksi, yaitu cairan hidung
(discharge) dari hewan yang terinfeksi, yang mencemari pakan, tempat
minum dan lapangan pengembalaan.
5. Faktor Predisposisi
Kuda dari segala umur terinfeksi penyakit ini, namun kuda muda
dan tua lebih rentan. Kuda muda lebih mudah terserang diduga karena
sistem kekebalan tubuh belum sempurna, dan akibat belum pernah terpapar
penyakit ini sebelumnya. Pada kuda tua umumnya sistem kekebalan tubuh
melemah, sehingga mudah terserangnya penyakit.
6. Distribusi Penyakit
Penyakit strangles terjadi hampir di seluruh dunia, terutama di
negara dengan populasi kuda tinggi. Pada beberapa negara penyakit ini
menjadi sangat penting terutama yang memiliki kuda untuk angkatan perang,
peternakan kuda, kuda lomba, kuda polo dan sekolah mengendarai kuda.
Di negara kita penyakit ini sering juga terjadi terutama pada daerah
dengan populasi kuda tinggi, seperti Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Setelah melewati masa inkubasi 4-8 hari, penyakit berkembang
dengan cepat disertai demam (suhu 39,5-40,5 °C), anoreksia, dari hidung
keluar cairan serous yang dengan cepat berubah menjadi copius dan purulen,
gejala pharyngitis dan laryngitis. Akibat pharyngitis, maka pada saat makan,
kuda sering mengalami regurgitasi melalui lubang hidung, serta terdengar
batuk lembab, kesakitan dan sangat mudah terangsang. Kepala menunduk
untuk mengurangi rasa sakit pada tenggorokan.
Gambar 1. Strangles
(Sumber : http://www.equinechronicle.com/health/free-lecture-on-strangles-
at-new-bolton-center.html)
Demam biasanya berlangsung dalam 2-3 hari dan ditandai dengan
membengkaknya limphoglandula daerah tenggorokan. Daerah limphoglandula
menjadi bengkak, panas dan sakit.
Nanah dari hidung meningkat dan menyumbat saluran pernafasan,
sehingga pernafasan dangkaI (tersengal). Pembengkakan limphoglandula
(pharyngealis, submaxillaris dan parotis) berkembang 3-4 hari dan glandula
membentuk cairan serous dalam 10 hari. Akhirnya terjadi ruptur (perobekan)
yang mengeluarkan nanah kental berwama kuningan.
Kadang ditemukan abses lokal pada permukaan tubuh lain, terutama
pada wajah dan leher. Komplikasi penyakit ini memungkinkan timbulnya
metastasis ke organ lain, seperti paru (pneumonia akut); otak (meningitis
purulenta) dengan gejala eksitasi, hyperestesia, kekakuan leher, terminal
paralisis; infeksi trombi pada pembuluh darah vena; abses hati, limpa dan
limfooglandula viseral.
2. Patologi
Pada kasus yang fatal, secara Patologi ditemukan pernanahan
yang meluas pada organ dalam, terutama hati, limpa, paru, pleura, pembuluh
darah vena besar dan peritoneum. Selain itu juga ditemukan abses pada
limfoglandula mesenterika.
3. Diagnosa
Strangles ditandai oleh infeksi saluran pernafasan bagian atas
yang disertai cairan hidung purulen dan pembengkakan limfoglandula daerah
tenggorokan.
4. Diagnosa Banding
Pada tahap dini Strangles dapat dikacaukan dengan beberapa
penyakit berikut :
a. Equine Viral Rhinopneumosilis
b. Equine viral arteritis
c. Equine infl uenza
d. Infeksi Streptococus zooepidemicus.
Namun, pada semua penyakit yang disebutkan di atas tidak disertai
pembesaran limpoglandula.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Bahan pemeriksaan yaitu cairan discharge atau cairan yang
keluar dari mukosa hidung, atau abses limfoglandula submaxillaris dan
pharyagealis. Dikirim ke laboartorium dalam keadaan segar untuk isolasi dan
identifi kasi bakteri atau dari nekropsi hewan mati.
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Pada abses yang baru, dapat dilakukan pengompresan, sedangkan
pada abses yang lama (tukak) dilakukan drainasi. Pengobatan dilakukan
dengan penisilin, sulfametazine, trimethoprim dan sulfadiazin. Dosis Penisilin
yaitu 2.500 - 10.000 iu/kg bobot badan selama 4-5 hari.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Disarankan vaksinasi jika ada sejumlah kuda yang terinfeksi.
Vaksinasi dilakukan berulang 2-3 kali, dengan meningkatkan dosis
selang waktu 10-14 hari. Diharapkan pada vaksinasi ke 3 telah diperoleh
perlindungan yang memadai, lalu diulang setiap 12 bulan.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Kuda penderita diasingkan segera, lalu diberikan desinfektan
terhadap alat, kandang, dan barang lain yang mungkin tercernar.
STREPTOCOCCOSIS PADA BABI
A. PENDAHULUAN
Streptococcosis pada babi dalam hal ini dibatasi hanya pada penyakit yang
dipicu oleh Streptococcus sp. yang ditandai dengan adanya poliartritis,
septikemia dan meningitis.
Penyakit ini memicu kerugian berupa kematian, baik pada anak babi maupun
babi dewasa, biaya pengobatan yang tinggi dan bersifat zoonotik. Pada manusia,
Streptococcus suis dapat memicu septikemia, meningitis dan endokarditis.
etiologi
Penyebab streptococcosis pada babi yaitu Streptococcus equi subspesies
zooepidemicus (Str.zooepidemicus) dan Streptoccocus suis (Str.suis) tipe 2.
Str.zooepidemicus termasuk dalam grup Lancefi eld’s C, sedangkan Str.suis
termasuk dalam grup Lancefi eld’s D.
Str.zooepidemicus dan Str.suis tumbuh subur pada media agar darah dalam waktu
24 jam, dan membentuk koloni sangat mukoid, bening kekuningan, cemerlang,
namun cepat berubah menjadi kasar dan memproduksi zona haemolitika. Str.
zooepidemicus membentuk zona hemolitika beta, sedangkan Str.suis membentuk
zona hemolitika alfa. Di bawah mikroskop cahaya terlihat berbentuk kokus dan
berantai, bersifat Gram positif. Uji katalase dan oksidase, negatif untuk kedua
Streptococcus. Dari usapan organ terinfeksi secara mikroskopis terlihat morfologi
seperti diplokokus dan kadangsendiri (monokokus), bakteri ini tidak tumbuh pada
media agar Mac Conkey.
Str.zooepidemicus memfermentasi maltosa, sukrosa, glukosa, laktosa dan
sorbitol, namun tidak mampu memecah trehalosa, mannitol, rafi nosa, inulin,
eskulin, xylosa, arabinosa dan dulsitol. Sedangkan Str.suis menfermentasi
trehalosa, laktosa, rafi nosa, inulin, namun tidak menfermentasi sorbitol dan
manitol. Baik Str.zooepidemicus maupun Str.suis dapat ditemukan pada tonsil
dan lubang hidung babi sakit maupun sehat (carrier).
Secara umum bakteri Streptococcus sp. mati pada suhu 56 °C dalam waktu 30
menit. Dengan desinfektan yang biasa dipergunakan, bakteri ini akan mati, tetapi
dapat hidup beberapa bulan dalam debu di dalam gedung yang tidak dibersihkan
dengan desinfektan.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Babi yaitu hewan paling rentan terhadap infeksi Str.
zooepidemicus dan Str.Suis. Kuda dilaporkan peka terhadap infeksi Str.
zooepidemicus. Tikus putih (mencit) yaitu hewan percobaan yang
sangat peka terhadap Str.zooepidemicus maupun Str.suis.
2. Pengaruh Lingkungan
Lalu lintas babi hidup dari daerah tertular ke daerah bebas,
memegang peran penting dalam penularan penyakit. Pembuangan limbah
sisa pemotongan babi secara sembarangan (misalnya ke selokan atau
sungai) mempunyai potensi besar dalam menyebarkan penyakit.
3. Sifat Penyakit
Streptococcosis cenderung bersifat epidemik jika terjadi di daerah
baru, lalu beralih menjadi endemik atau sporadik sesudah dilakukan
tindakan pengamanan.
Di daerah baru angka kesakitan dapat mencapai Iebih dari 70 %
dan angka kematian sekitar 30 %. Namun, bila dilakukan diagnosa secara
tepat, pada umumnya angka kesakitan maupun angka kematian menurun
drastis.
4. Cara Penularan
Penularan penyakit umumnya terjadi melalui mulut atau per os,
melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh ekskreta dari penderita,
dan melalui bahan sisa pemotongan hewan yang mencemari lingkungan.
Penularan dapat pula terjadi per inhalasi, terutama pada kawanan babi yang
dikandangkan dalam jumlah besar. Babi yang menyimpan Str.suis atau Str.
zooepidemicus dalam tonsil atau lubang hidung dapat bertindak sebagai
carrier, dan pada kondisi tertentu dapat menyebarkan ke babi lain, misalnya
pada keadaan stress karena transportasi, kandang terlalu padat, ventiIasi
buruk, dan lain-lain.
5. Faktor Predisposisi
Faktor kebersihan dan hygiene kandang serta manajemen peternakan
yang kurang baik dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya penyakit ini.
Semua umur babi rentan terhadap infeksi Streptococcus sp.
6. Distribusi Penyakit
Di negara kita Str.zooepidemicus pertama kali diisolasi oleh BPPV
Wilayah VI Denpasar/ BBVet Denpasar dari suatu wabah streptococcosis
pada babi di Bali pada bulan Mei tahun 1994. Isolasi berikutnya diperoleh
dari Kabupaten Flores Timur dan Kupang (Nusa Tenggara Timur). BPPV VII
Maros/ BBVet Maros juga telah mengisolasi. Str.zooepidemicus.
Kasus Streptococcosis pada babi di wilayah kerja BPPV VII Maros
pertama kali muncul di Sulawesi Utara pada tahun 1994, lalu menyusul
di Sulawesi Selatan, di kabupaten Tana Toraja (September 1994), Maros
(Oktober 1994), Pare-Pare (Februari 1995), Luwu (Desember 1995) dan di
Irian Jaya (Papua) ditemukan di kabupaten Jayawijaya (September 1995),
Jayapura (Nopember 1995) dan Paniai (Desember 1995). Pada tahun 1996
muncul lagi di Luwu dan Tana Toraja (Sulawesi Selatan) pada bulan Agustus
1996 dan di Minahasa (Sulawesi Utara) pada bulan Februari 1996, Manado
(Sulawesi Utara) pada bulan Mei 1996. Pada bulan Juni 1997 juga ditemukan
di Kolaka (Sulawesi Tenggara) dan Gowa (Sulawesi Selatan).
Secara klinis penyakit juga ditemukan di Pulau Flores, Pulau
Sumba, kabupaten Belu dan Kota Mataram. Sampai saat ini Streptococcosis
yang ditimbulkan oleh Str. suis belum pemah dilaporkan di negara kita .
keterangan :
1. Gejala Klinis
Streptococcosis yang dipicu oleh Str.zooepidemicus maupun
Str.suis tipe 2 mempunyai gejala klinis serupa. Gejala yang menonjol yaitu
kebengkakan pada sendi kaki depan maupun belakang. Kebengkakan
ini umumnya bersifat tunggal, tetapi dapat pula Iebih dari satu kaki yang
terserang. Suhu rektal babi meningkat dan tidak mau makan. Kemerahan
pada kulit sering terlihat baik pada babi putih maupun hitam, diikuti dengan
gejala syaraf, ingusan don ngorok. Beberapa kasus memperlihatkan gejala
konstipasi. Batuk darah kadang ditemukan beberapa saat sebelum hewan
mati. jika babi dapat melampaui masa akut, terlihat gejala kelumpuhan,
dan kaki nampak diseret sewaktu berjalan.
2. Patologi
Kondisi umum babi biasanya masih bagus. Darah segar sering
terlihat pada mulut dan hidung. Kulit hiperemik. Sendi kaki membengkak; bila
dibuka terlihat cairan radang bening kekuningan dan erosi pada kedua ujung
tulang yang membentuk sendi. Kelenjar limfe membengkak, mengalami
edema dan berwama merah kehitaman. Pembengkakan juga ditemukan
pada limpa.
Pada usus ditemukan enteritis kataralis. Dalam rongga perut sering
ditemukan peritonitis dan timbunan cairan asites. Paru mengalami edema
dan perdarahan ptekhi multifokal, bronkopneumonia atau pleuropneumonia
berfi brin. Pada endokardium dan epikardium kadang terlihat perdarahan
ptekhi, serta perikarditis juga sering ditemukan. Ginjal mengalami kongesti,
mukosa vesika urinaria mengalami perdarahan ptekhi. Perubahan lain yang
sering ditemukan yaitu kongesti pada otak dan peradangan selaput otak
(meningitis).
3. Diagnosa
Diagnosa streptococcosis pada babi secara klinis tidak mudah
dilakukan karena banyak kemiripannya dengan penyakit lain, untuk itu isolasi
dan identifi kasi penyebabnya mutlak diperlukan.
4. Diagnosa banding
Gejala Klinis berupa kemerahan pada kulit dapat dikelirukan dengan
hog cholera maupun erysipelas pada babi. Suara ngorok yang kadang terjadi
dapat dikelirukan dengan Pasteurellosis pada babi.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan laboratorium sebaiknya
dilakukan segera sesudah hewan mati. Untuk keperluan isolasi bakteri
penyebab, spesimen yang diambil yaitu hati, jantung, paru, limpa, ginjal,
kelenjar limfe dan otak. Spesimen tersebut dikirimkan dalam keadaan segar
dingin atau dimasukkan ke dalam transport media. Untuk pemeriksaan
patologis, spesimen berupa jaringan seperti tersebut di atas dimasukkan ke
dalam formalin 10 %. Selain jaringan tersebut di atas, untuk pemeriksaan
bakteriologis dapat juga dikirim cairan sendi maupun cairan asites, dalam
keadaan dingin atau beku.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan yang paling efektif yaitu dengan preparat penisilin.
Disamping itu oxytetracyclin dan kanamycin juga cukup efektif untuk
pengobatan streptococcosis pada babi.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Sampai saat ini belum ada vaksin untuk streptococcosis. Beberapa
percobaan yang penah dilakukan mengungkapkan bahwa antibodi yang
ditimbulkan oleh vaksin streptoccus tidak berlangsung lama.
Oleh karena itu pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga
kebersihan kandang, tempat pakan dan minuman. Pemberian pakan berasal
dari Iimbah hewan sakit harus dihindari.
TETANUS
Sinonim: Lock Jaw
Tetanus yaitu keracunan akibat neurotoksin yang dipicu oleh Clostridium
tetani dengan gejala klinis spasmus otot dan memicu kematian pada
hewan mamalia serta manusia.
Penularan tetanus dapat terjadi melalui kontaminasi spora bakteri Cl.tetani yang
tersebar di tanah dan di kandang ternak. Kejadian tetanus dapat timbul karena
dimulaioleh adanya perlukaan tertutup yang terkontaminasi oleh bakteri Cl.tetani.
Pada luka tertutup tersebut dapat timbul kondisi anaerob yang yaitu
persyaratan berkembangnya bakteri CI.tetani. Dalam jangka waktu tertentu
bakteri Cl.tetani mengeluarkan toksin yaitu berupa tetanotoksin (neurotoksin).
Toksin ini memicu spasmus terhadap otot-otot tubuh.
Pada peternakan yang memungkinkan dapat terjadi kasus tetanus yakni adanya
tindakan perlukaan yang dapat terkontaminasi oleh bakteri Cl.tetani seperti
kastrasi, pencukuran bulu pada ternak domba, pemasangan nomor telinga,
pemasangan ladam pada kuda, proses kelahiran, atau luka lainnya antara lain
luka tusuk pada kaki, gigitan, patah tulang, luka robek akibat dinding kandang
dan sebagainya. jika hewan penderita tidak cepat mendapat perawatan
umumnya berakhir dengan kematian
Kejadian pada manusia sering dihubungkan dengan peristiwa pemotongan pusar
pada bayi, adanya luka atau infeksi dapat terjadi di tempat yang memakai
pupuk kandang.
etiologi
Tetanus dipicu oleh Clostridium tetani. C.tetani yaitu bakteri
berbentuk batang Iangsing, berukuran 0.4-0.6x2-5 mikron dan bersifat motil. Baik
di dalam jaringan maupun pada biakan, bakteri tetanus dapat tersusun tunggal
atau berantai membentuk fi lamen yang panjang. Bakteri ini membentuk spora
sesudah dibiakkan selama 24-48 jam, spora bulat, terminal, dimana sel di tempat
spora membengkak sehingga bakteri berbentuk seperti pemukul gendrang atau
”Drum stick bacteria”. Pada biakan muda bakteri tetanus bersifat Gram positif,
dan cepat berubah menjadi Gram negatif pada biakan yang lebih tua.
Bakteri tetanus tumbuh pada biakan umum dalam suasana anaerob dan suhu
optimum 37°C. Pada biakan cair membentuk sedikit kekeruhan yang lalu
menjadi bening sesudah terjadi sedimentasi. Pada lempengan agar darah
akan terbentuk koloni yang dilingkari dengan zone hemolyse. Bakteri ini tidak
memfermentasi karbohidrat atau menghidrolisa protein serta mencairkan gelatin
membentuk koloni yang berbentuk sikat. Untuk menyimpan galur bakteri tetanus
dibiakkan pada liver bouillon yang ditambah CaCl3.
Spora Cl.tetani bersifat sangat resisten, dapat tahan bertahun-tahun bila dalam
keadaan terlindung terhadap sinar matahari dan panas. Theobald Smith telah
menemukan beberapa strain yang tahan terhadap panas pada suhu 100°C
selama 40-60 menit. Spora bakteri tetanus dapat mati oleh 5% phenol sesudah
kontak 10-12 jam.
Toksin tetanus stabil terhadap freeze-thawing. Tetapi rusak oleh sinar matahari
langsung dalam waktu 15 jam pada suhu 40°C atau dalam larutan lain rusak
dalam waktu 5 menit pada suhu 65°C. Toksin tidak diserap oleh tubuh dari
saluran pencernaan.
Ada 10 macam serotype bakteri tetanus yang semuanya mempunyai H dan O
antigen, kecuali tipe IV yang tidak mempunyai H antigen. Toksin yang dibentuk
ada 2 macam yaitu:
1. Hemolysin : tetanolysin, menghemolyse eritrosit, tidak berperanan sebagai
pemicu tetanus
2. Neurotoksin: tetanospasmin, memicu spasmus otot-otot, berperanan
sebagai pemicu tetanus
epidemiologi
1. Spesies rentan
Beberapa jenis spesies rentan terhadap tetanus secara berturut-
turut sebagai berikut, bangsa kuda, domba dan kambing, anjing dan kucing,
sapi dan babi. Unggas tidak rentan terhadap tetanus. Di antara hewan
percobaan yang paling rentan yaitu tikus.
2. Pengaruh Lingkungan
Bentuk vegetatif sangat rentan terhadap pengeringan, cahaya,
pemanasan dan desinfektan. Bentuk spora dapat bertahan pada tanah,
feses manure selama berbulan-bulan atau mungkin beberapa tahun, dan
tahan dipanaskan atau perebusan sampai 15 menit.
3. Sifat Penyakit
Penyakit tetanus terjadi sangat bersifat sporadik. Kejadian tetanus
sering dilaporkan pada daerah yang banyak memelihara kuda. Penyakit
tetanus jarang berhasil diobati, sehingga angka mortalitas mendekati 100%.
4. Cara Penularan
Syarat terjadinya infeksi diperlukan luka yang dalam atau pada luka
superfi cial yang tercemari bakteri anaerob yang mempunyai potensi oksidasi
reduksi lemah. Kejadian penularan pada kuda pada umumnya melalui luka
pada kuku sewaktu memasang tapal kuda, pada domba terjadi melalui luka
kastrasi atau pencukuran rambut, sedang pada sapi melalui luka bekas
pemotongan tanduk dan pada babi melalui luka kastrasi. Selain itu penularan
juga terjadi melalui luka tertusuk paku, luka-luka pada rongga mulut, luka
tersembunyi di dalam usus atau alat kelamin
5. Faktor Predisposisi
Kejadian tetanus dipicu oleh adanya infeksi Clostiridium tetani
yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.
Faktor predisposisi antara lain adanya luka dalam yang tidak dirawat dengan
baik, hewan umur muda atau tua, serta belum dilakukan vaksinasi terhadap
tetanus.
6. Distribusi Penyakit
Tetanus ada di seluruh dunia, terutama di negara beriklim
tropis, termasuk negara kita . Di negara kita tetanus terjadi sporadis, terutama
menyerang hewan seperti kuda, babi dan domba.
keterangan :
1. Gejala klinis
Masa tunas 1-3 minggu. Gejala Klinis tetanus untuk semua hewan
hampir mirip. Tanda awal ialah sedikit kekakuan, gelisah dan terjadi
kekejangan yang berlebihan bila ada sedikit rangsangan dari luar (suara,
sentuhan, cahaya dan lain-lain). Pada kuda terjadi kekakuan yang khas
berupa spasmus membrana niktitan, trompet hidung melebar, ekor naik dan
kaki membentuk kuda-kuda. Bila yang terserang otot-otot fascia maka hewan
akan susah membuka mulut, sehingga penyakit dinamai ”Lock jaw”. Bila
toksin sudah menyerang otak maka akan terjadi kekejangan umum, konvulsi
yang berkesinambungan terjadi dipicu oleh aspeksia.
2. Patologi
Tidak ada tanda pasca mati yang khas, paru berwarna merah dan
mengalami perdarahan.
3. Diagnosa
berdasar gejala kIinis, disertai sejarah penyakit bahwa hewan
tersebut tidak atau belum pernah divaksin tetanus atau hewan pernah
mengalami luka sebelumnya.
4. Diagnosa Banding
Adanya tanda kekejangan yang terjadi maka tetanus dapat
dikelirukan dengan penyakit lain seperti:
a. Gras tetani : pada penyakit ini ada hipocalcemia
b. Keracunan striknin : kekejangan yang terjadi tidak tergantung
adanya rangsangan dari luar
c. Muscular rheumatism : yaitu penyakit kronis.
d. Stiff lamb disease : ada gejala diare
e. Rabies : ada gejala kelumpuhan
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen jarang diambil karena penyakit ini didiagnosa berdasar
kan gejala klinisnya. Sampel darah dapat diambil sebagai usaha untuk
pemeriksaan adanya toksin dalam darah.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan tetanus dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Luka dibuat segar, dengan membuang bagian jaringan yang rusak,
lalu luka dicuci dengan KMnO4 atau H2O2 dan diobati dengan
antibiotika.
b. Diberikan antitoksin tetanus dosis kuratif
c. Perlakuan pada hewan sakit diberikan:
(1) kandang bersih, kering, gelap
(2) diberikan kain penyangga perut
(3) makanan disediakan setinggi hidung
(4) luka yang ada diobati
d. Diberikan obat-obatan untuk mengatasi simptom atau gejala antara lain
(1) obat penenang
(2) muscle relaxan
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Pencegahan tetanus dapat dilakukan antara lain dengan:
a. Menyingkirkan barang tajam (kulit kerang, paku, duri) di tempat
penggembalaan.
b. Bila ada luka dibersihkan, dikuret atau didrainase dan diobati.
c. Dilakukan vaksinasi aktif dengan formol vaksin.
d. Dilakukan vaksinasi pasif dengan antitoksin
e. Gunakan peralatan operasi yang steril dan jangan melakukan operasi
dekat dengan tempat yang mungkin menjadi sumber infeksi tetanus.
TUBERKULOSIS SAPI
Tuberkulosis yaitu penyakit menular yang dipicu oleh bakteri dari genus
Mycobacterium. Sebagai penyakit menular, tuberkulosis sudah dikenal sejak
lebih dari 2000 tahun yang lalu, ditemukan tanda menciri dari penyakit ini
pada tulang mumi Mesir kuno. Robert Koch, antara tahun 1882-1884 berhasil
memperlihatkan agen pemicu pada jaringan berpenyakit melalui pewarnaan,
lalu menumbuhkannya secara murni pada medium dan membuktikan sifat
kepenularan penyakit ini pada hewan percobaan.
Sebutan Mycobacterium itu sendiri bermakna bakteri yang menyerupai jamur
suatu penamaan yang diangkat dari kenyataan, bahwa bakteri pemicu
tuberkulosis dalam pertumbuhannya pada medium cair, sesudah beberapa lama,
akan membentuk lapisan tebal seperti jamur (pellicle) yang ada pada bagian
atas medium.
Selain menyerang berbagai jenis hewan, tuberkulosis sapi juga menular kepada
manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuberkulosis sapi termasuk
kedalam salah satu penyakit zoonosis penting yaitu penyakit yang dapat
menyerang baik ke hewan maupun manusia yang perlu diwaspadai.
Arti penting lain tuberkulosis sapi sebagai salah satu penyakit hewan menular
di negara kita dapat dibaca secara gamblang dalam buku “Pedoman dan Syarat-
syarat Teknis Perusahaan Pembibitan Sapi Perah”, terbitan Direktorat Peternakan,
Direktorat Jenderal Peternakan, Jakarta (1983) yang mempersyaratkan bahwa
sapi yang dipelihara dalam suatu Perusahaan Pembibitan harus bebas dari dua
jenis penyakit hewan menular yaitu brucellosis dan tuberkulosis. Juga sapi jantan
yang dipelihara di Balai Inseminasi Buatan (BIB) untuk pembuatan semen beku
harus bebas dari tuberkulosis sapi.
Status bebas penyakit demikian harus dipantau setiap tahunnya dengan
menerapkan uji tuberkulin pada setiap individu sapi yang ada dalam Peternakan
atau BIB yang bersangkutan.
Kerugian ekonomi akibat tuberkulosis sapi tidak mudah dinilai. Dalam hubungan
ini, kerugian ekonomi bukan saja berupa kematian sapi penderita, tetapi juga
karena kehilangan efi siensi produksi (diperkirakan hingga mencapai 10-25%)
pada sapi yang sakit, baik karena kehilangan atau menurunnya produksi susu
maupun karena kehilangan daging dan tenaganya.
etiologi
Tuberkulosis yaitu penyakit menular bersifat menahun yang dipicu oleh
bakteri dari genus Mycobacterium. Agen pemicu tuberkulosis pada manusia,
sapi dan unggas, semula dikenal berturut-turut dengan nama Mycobacterium
tuberkulosis (human type), M.tuberkulosis (bovine type) dan M.tuberkulosis
(avian type). lalu diketahui, bahwa ternyata ketiganya memiliki sejumlah
perbedaan baik dalam sifat-sifat pertumbuhan maupun patogenisitasnya pada
hewan laboratorium, maka sehubungan dengan hal tersebut dapat dibedakan
3 tipe tuberkulosis dengan agen penyebabnya masing-masing sebagai berikut.
Tuberkulosis manusia (human type tuberculosis), dengan agen pemicu
M.tuberculosis, tuberkulosis sapi (bovine type tuberkulosis), dengan agen
pemicu M.bovis dari tuberkulosis unggas (avian type tuberculosis), dengan
agen pemicu M.avium.
M.avium ada yang menyatakan ini yaitu spesies tersendiri disebut-sebut
sebagai sangat dekat dengan M.intracellulare, yang oleh sebagian peneliti
diberi nama gabungan M.avium-intracellular. Para peneliti di Amerika serikat,
menambahkan satu spesies lagi, yakni M.scrofulaceum, yang lalu
menyebut kelompok tersebut sebagai M.avium-intracellulare-scrofulaceum
complex, yang lebih dikenal dengan singkatannya MAIS complex. Selain itu,
dikenal pula M.africanum, yang diketahui memiliki sifat-sifat yang menjembatani
antara sifat yang dimiliki M.tuberkulosis dan sifat dari M.bovis.
Dari khasanah mikobacteria sering disebut-sebut istilah MOTT, yaitu singkatan
dari Mycobacteria other than tuberkulosis, yaitu semua bakteri yang
termasuk dalam mikobacteria, kecuali M.tuberculosis.
Selanjutnya, uraian akan dibatasi hanya yang berkaitan dengan tuberkulosis
sapi saja. Tuberkulosis sapi yaitu penyakit hewan menular yang dipicu
oleh bakteri Mycobacterium bovis, dengan sifat penyakit yang berjalan menahun
dan ditandai dengan terbentuknya lesi yang berupa bungkul/ benjolan (dikenal
sebagai tuberkel) yang disertai dengan proses perkejuan dan perkapuran.
Bila penyakit berlanjut, maka hewan sakit akan menunjukkan gejala batuk dengan
kelenjar limfe di daerah kepala dan ususnya membesar (beberapa kali lipat dari
ukuran normal) yang dapat dilihat dan diraba, serta kondisi tubuh penderita yang
sangat kurus (emasiasi).
M.bovis yaitu bakteri yang tidak motil, tidak berspora, biasanya berbentuk
batang Iurus Iangsing, berukuran 0,5 x 2-4 um (kadang-kadang terlihat pleomorfi k
berfi lamen atau bercabang), bersifat tahan asam dan patogenik bagi berbagai
jenis hewan menyusui, unggas dan juga manusia. Dengan pewarnaan Gram,
bakteri pemicu tuberkulosis sapi termasuk bakteri Gram-positif.
Karena bakteri pemicu tuberkulosis ini memiliki sifat tahan asam, maka untuk
pemeriksaan mikroskopik di laboratorium biasa dipakai pewarnaan preparat
menurut cara Ziehl-Neelsen (Z-N). Sebagai pewarnaan alternatif, preparat juga
dapat diwarnai menurut cara Kinyoun, atau memakai pemeriksaan teknik
mikroskoopik berpendapat (fl uorescence antibody technique, FAT).
Untuk menumbuhkan M.bovis secara in vitro di laboratorium, dituntut tersedianya
medium penumbuh yang khusus, seperti medium Lowenstein-Jensen,
medium Stonebrink atau medium Middlebrook 7H10 atau 7H11. Mengingat
M.bovis termasuk kedalam mikrobakteria yang lambat tumbuh (slowly growing
mycobakteria), maka untuk melihat adanya pertumbuhan bakteri pemicu
dibutuhkan waktu pengeraman pada suhu 37°C dan perlakuan tanpa atau dengan
C02 sampai sekurang-kurangnya 8 minggu, dengan pengamatan setiap hari
untuk minggu pertama dan pada setiap minggu untuk sisa waktu selebihnya.
Hewan penderita tua biasanya memperlihatkan lesi-lesi tuberkulosis yang lebih
hebat dari pada hewan muda tertular. Sapi sakit tuberkulosis yaitu sumber
penularan penyakit yang utama. Pada tahun awal penyakit sebelum gejala klinis
terlihat, sapi tertular telah mengeluarkan agen pemicu kedalam rongga hidung
dan mukus trakea. Sedangkan pada tahap lanjut, M.bovis dikeluarkan dari tubuh
penderita bukan saja melalui udara pernafasan, tetapi juga melalui dahak, feses,
susu, urin, sekresi (discharge) dari vagina dan sekresi dari uterus, bahkan melalui
sekresi kelenjar limfe terserang yang pecah. Di alam, genangan air (yang tidak
mengalir) dimana diketahui hewan sakit tuberkulosis sapi terakhir meminumnya
masih tetap infektif selama 18 hari berikutnya. Lebih lanjut, air yang tidak mengalir
(stagnant water) diketahui yaitu sumber paling berpotensi akan kandungan
mikobakteria saprofi tik dan ini harus mendapatkan perhatian sungguh-sungguh,
karena dapat memunculkan terjadinya reaktor-reaktor tuberkulosis yang non
spesifi k. Dalam pada itu, tingkat infektivitas suatu padang gembalaan (pasture)
yang tercemar oleh feses hewan sakit, bervariasi tergantung pada cuaca
setempat. Pada cuaca yang kering misalnya, maka padang gembalaan demikian
masih infektif selama 1 minggu. Sedangkan pada cuaca yang basah, maka
tingkat infektivitas padang gembalaan tersebut mecapai 6-8 minggu lamanya.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Spesies rentan
Sapi yaitu inang sejati tuberkulosis sapi. Selain sapi, ternak
kambing dan babi, juga rentan terhadap serangan tuberkulosis. Sedangkan
sejumlah hewan lain seperti kerbau, onta, jenis rusa, kuda, bison dan berbagai
satwa liar baik yang hidup di alam bebas (seperti harimau, singa, leopard)
maupun yang hidup terkurung dalam kebun binatang (seperti bangsa kera),
juga anjing dan kucing, semuanya dapat terserang tuberkulusis. Bangsa
unggas (burung) dapat tertular dan menjadi sumber infeksi bagi ternak sapi
yang ada di dekatnya. Di Selandia Baru, possums (Trichusurus vulpecula)
dan di lnggris badgers (Meles meles) yaitu satwa-satwa liar setempat
yang diketahui berpotensi besar dalam penyebaran tuberkulosis baik bagi
kawanan sapi di Inggris maupun bagi kawanan sapi dan domba lokal di
Selandia Baru.
2. Pengaruh ingkungan
Agen pemicu tuberkulosis sapi, yakni M.bovis, memiliki ketahanan
yang sedang saja baik terhadap panas, kekeringan maupun terhadap
berbagai bahan penghulas hama, seperti ortofenil 1 %, kresol 2-3%, senyawa
fenol 2-3% atau etialkohol 50-95%. Sementara itu, pada lingkungan yang
kering M.bovis akan mati oleh cahaya matahari langsung. Sedangkan bila
lingkungan sekitarnya cukup panas dan lembab serta terlindung, maka
M.bovis mampu bertahan hidup untuk beberapa minggu lamanya. Telah
diketahui pula, bahwa M.bovis yang ada dalam susu tercemar akan
terbunuh pada suhu pasteurisasi.
Sapi dari bangsa Zebu, seperti Brahman, diketahui lebih tahan
terhadap infeksi dalam arti bahwa bila terserang tuberkulosis, maka sapi
yang termasuk bangsa Zebu akan menampakkan gejala Klinis yang lebih
ringan ketimbang sapi dari bangsa-bangsa Eropa, seperti Friesian Holstein
(FH).
3. Sifat Penyakit
Pada peternakan sapi, serangan tuberkulosis sapi cenderung bersifat
sporadik dengan angka prevalensi yang rendah. Bagi sekawanan sapi yang
dipelihara di padang gembaIaan sepanjang tahun misalnya, maka angka
morbiditas karena serangan tuberkulosis sapi dapat mencapai 60-70%.
Sementara itu, angka morbiditas pada sapi Zebu yang digemukkan secara
intensif dalam kandang (feedlot cattle) dapat mencapai 60% dengan disertai
rendahnya pencapaian penambahan bobot badan sapi yang terinfeksi. Dari
kelompok sapi dalam suatu peternakan tertular tuberkulosis, maka setiap ekor
sapi anggota kelompok dapat memperlihatkan gejala klinis yang berbeda,
hal itu tergantung pada stadium penyakit yang sedang menyerang.
4. Cara Penularan
ada 2 cara penularan tuberkulosis sapi yang paling umum
dijumpai yaitu:
a. Penularan melalui saluran pernafasan (per inhalasi), dengan terisapnya
M.bovis yang dikeluarkan bersama udara saat penderita bernafas,
yang lalu mencemari udara dalam kandang (droplet infection) oleh
hewan sehat yang berada di dekatnya.
b. Penularan melalui saluran pencernaan makanan (per ingesti), dengan
termakannya M.bovis yang ada pada pakan atau air minum tercemar
oleh hewan sehat yang ada di sekitar hewan tertular.
Penularan per inhalasi sering terjadi pada sapi yang dipelihara secara
terus-menerus dalam kandang, seperti sapi perah dan sapi yang digemukkan.
Sedangkan penularan per ingesti lazim dijumpai pada sapi yang hidup biasa
merumput di padang gembalaan. Penularan pada pedet umumnya terjadi
karena pedet menyusu pada induk sakit atau diberi susu berasal dari induk
sapi sakit. Cara penularan lain yang mungkin terjadi, meskipun jarang, yaitu
secara intrauterin (pada saat coitus), pada saat inseminasi dengan semen
atau peralatan inseminasi tercemar) dan secara intramammari (karena
penggunaan peralatan mesin pemerahan susu tercemar), bahkan pada babi
penularan dapat terjadi karena babi diberi makan karkas yang berasal dari
hewan sakit tuberkulosis. Penularan pada manusia biasanya terjadi karena
manusia mengkonsumsi susu (yang tidak dipasteurisasi) yang berasal dari
sapi sakit tuberkulosis. Sistem perkandangan dan praktek zero grazing
yaitu faktor-faktor predisposisi penyakit yang tidak kalah pentingnya.
5. Faktor Predisposisi
Daya tahan tubuh yang rendah yaitu salah satu faktor
pemicu tuberkulosis. Lingkungan kandang kotor, padat populasi, gelap,
lembab, dan ventilasi udara kurang baik dapat memudahkan penularan
tuberkulosis dan berlangsung cepat. Faktor predisposisi lainnya yang
memudahkan terjangkitnya tuberkulosis yaitu ternak dalam kondisi kurus
dan malnutrisi.
6. Distribusi Penyakit
Tuberkulosis sapi ada hampir di seluruh negara di dunia,
termasuk di negara kita . Di banyak negara, tuberkulosis sapi yaitu salah
satu dari sekian banyak masalah penting pada peternakan sapi, terutama pada
sapi perah. Namun, di negara maju tertentu, pada beberapa di antaranya,
seperti di Denmark, Luksemburg, Norwegia, Swedia dan Swiss dan juga di
negara kecil tertentu, seperti di Gabon, Siprus, Suriname dan Papua Nugini,
tuberkulosis sapi memang bukan masalah lagi karena negaratersebut sudah
berhasil memberantasnya atau karena di negara tertentu tadi penyakit
tuberkulosis sapi memang tidak ditemukan.
Di negara kita , tuberkulosis sapi termasuk salah satu penyakit
hewan menular yang wajib dilaporkan dengan segera, bila mengetahui
keberadaannya. Tuberkulosis sapi pertama kali dilaporkan oleh Penning pada
tahun 1905 terjadi pada Perusahaan Susu di Semarang, Jawa Tengah. Lebih
lanjut dilaporkan oleh Penning, bahwa dari 303 ekor sapi perah yang diuji
tuberkulin (Penning memakai tuberkulin impor dari Jerman), pada waktu
itu ditemukan oleh Penning 3 ekor sapi reakctor tuberkulosis. Seekor reaktor
di antaranya, yaitu sapi jantan, sesudah ditelusuri sejarahnya diketahui
bahwa seekor dari sapi perah impor dari Australia. Sejak itu, tuberkulosis sapi
mulai diperhatikan dan banyak dilaporkan oleh berbagai Dinas Peternakan
Daerah di Jawa. Seperti diketahui, pada sekitar tahun akhir abad ke 18 dan
awal abad ke-19 Pemerintah Kolonial Belanda melakukan pengimporan sapi
perah, seperti Friesian Holstein (FH), baik dari negeri Belanda maupun dari
Australia.
Catatan : Kira-kira pada kurun waktu yang bersamaan diketahui
bahwa tuberkulosis sapi yaitu salah satu penyakit hewan menular
yang ditemukan di Australia. Namun sesudah dilakukan usaha pemberantasan
yang memakan waktu puluhan tahun, maka sejak tahun 1992 Australia
menyatakan negaranya bebas tuberkulosis sapi. Mengingat semakin
pentingnya tuberkulosis, maka sejak tahun 1911 Pemerintah Kolonial
Belanda mulai memberlakukan uji tuberkulin pada setiap Perusahaan Ssusu
yang memelihara sapi perah. Dan penelitian pengembangan di Balivet,
Bogor telah dihasilkan tuberkulin purifi ed protein derivative (PPD) bovine
memakai galur standar ANS, dan sesudah diteliti ternyata memiliki mutu
yang sama dengan mutu tuberkulin PPD bovine buatan CSL, Melbourne,
Australia. Implikasi yang timbul dari keberhasilan itu yaitu bahwa untuk
kegiatan uji tuberkulin di lapangan, negara kita sudah tidak lagi bergantung
pada tuberkulin PPD bovin impor. Penerapan uji tuberkulin di lapangan
secara terbatas yang dilakukan oleh Balitvet, Bogor di 8 kabupaten/Kodya
di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Barat pada tahun 1994 pada sapi perah
diketahui bahwa prevalensi tuberkulosis sapi ternyata sangat endah (0,17%).
Oleh karena itu, penerapan uji yang sama secara terbatas pada sapi potong
oleh Balivet pada 6 Kabupaten pada ternak di Jawa Tirnur dan Jawa Tengah
pada tahun 1995, dihasilkan bahwa prevalensi tuberkulosis sapi pada sapi
potong yaitu 0%.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala klinis
Pada hewan, gejala Klinis tuberkulosis dapat bervariasi, hal itu
tergantung pada dimana lesi yang berupa bungkul atau tuberkel itu tersebar
dalam organ tubuh penderitanya. Dalam banyak hal, gejala klinis tuberkulosis
sapi yang menciri kurang terlihat atau tidak mudah diamati, bahkan pada
sapi dengan tahap lanjut banyak organ terserang. Pada awal serangannya,
banyak sapi yang tidak menampakkan gejala klinis, penyakit tuberculosis
sapi biasanya berlangsung menahun (kronis), meskipun tidak selalu demikian
halnya.
Pada sapi, kuda, domba dan kambing, penyakit dapat bersifat akut
dan progresif, menyerang banyak organ tubuh. Sapi sakit terlihat kondisi
badan menurun, dengan bulu-penutup yang bervariasi mungkin kasar atau
mungkin lembut. Bila paru-paru terkena, maka terjadi bronkopneumoni yang
ditandai dengan terdengarnya batuk serta kesulitan bernapas (dyspnoea)
akibat pembesaran kelenjar limfe bronkial yang menekan jalan pernapasan.
Bila penyakit berlanjut, maka terlihat membesarnya kelenjar limfe (beberapa
kali lipat dari ukuran kelenjar normal) yang ada pada daerah kepala dan
leher. Bahkan kadang-kadang kelenjar yang membesar itu sampai pecah
dan mengeluarkan isinya. Isi kelenjar, limfe yang keluar ini mengandung
agen pemicu yang bersifat infektif.
Bila saluran pencernaan makanan yang terkena (tetapi ini jarang),
maka hal itu ditandai dengan adanya diare yang hilang timbul (intermittent)
atau mungkin terjadi konstipasi. Pembesaran kelenjar limfe mediastinal
dihubungkan dengan terjadinya kembung rumen pada penderita, bahkan
kembung rumen tersebut dapat berlangsung menetap. Kekurusan tubuh
yang sangat nyata serta kesulitan bernapas yang akut menandai babak
akhir dari serangan tuberkulosis pada seekor hewan. Lesi pada alat kelamin
betina (seperti metritis, vaginitis) mungkin dapat ditemukan, sedangkan lesi
pada alat kelamin jantan (orchitis) jarang dilihat.
2. Patologi
Meskipun pada dasarnya semua organ tubuh dapat diserang oleh
M.bovis, namun kerusakan organ atau lesi yang ditimbulkannya, berbentuk
bungkul (nodule) bisa disebut granuloma atau sering pula dikenal dengan
sebutan tuberkel (tubercle), pada umumnya kejadiannya diawali dengan
organ yang ada dalam rongga dada (organ paru-paru) dan kadang-kadang
ada kelenjar limfe (lymph nodes) di daerah kepala atau pada usus (kelenjar
limfe retropharyngeal, bronkial, mediastinal dan mesenterik).
Selain itu, lesi yang berupa tuberkel tadi juga ditemukan pada
organ lain, seperti pada hati, limpa, glnjal, pleura dan pada membran serous
lainnya. Bila penyakit berlanjut maka tuberkel tadi ditemukan menyebar pada
organ dan jaringan yang secara primer jarang terkena, seperti kelenjar susu
atau ambing yang memungkinkan penularan penyakit melalui konsumsi
susu, uterus dan selaput otak.
Catatan: Tuberkel hanya dapat dilihat bila dilakukan bedah bangkai
(nekropsi) pada hewan penderita tuberkulosis yang mati akibat penyakit ini.
Tuberkel terdiri dari sel epiteloid yang yaitu sarang bakteri pemicu
(yang kemungkinan masih dapat lolos dan menyebar ke organ lain) dan
kumpulan makrofag serta sel-sel raksasa tipe Langhans. Adanya tuberkel
pada hewan terserang tuberkulosis yaitu usaha dari tubuh penderita
untuk melokalisasi infeksi oleh serangan M.bovis. Pada bedah bangkai tadi,
biasanya tuberkel terlihat kekuningan dan berkonsistensi seperti keju, keju
berkapur atau seperti kapur, kadang-kadang bernanah. Bagian tengah dari
jaringan berkeju tadi biasanya kering, keras, diselimuti selubung bersifat
fi brosa dengan ketebalan yang bervariasi. Tentang ukuran besarnya
tuberkel yang dapat ditemukan sangat bervariasi, dari yang terlembut begitu
lembutnya sehingga tidak nampak bila dilihat dengan mata telanjang sampai
yang terbesar, yakni sedemikian besarnya sehingga menduduki bagian
terbanyak dari suatu organ yang terserang. Sering terjadi bahwa tuberkel
yang besar itu, sesungguhnya yaitu gabungan dan sejumlah lesi yang
lembut tersebut.
3. Diagnosa
Tuberkulosis sapi dapat didiagnosa baik pada waktu hewan masih
hidup maupun sesudah mati. Mengingat gejala klinis yang jelas pada hewan
tertular tuberkulosis sapi jarang terlihat, maka untuk mendiagnosa penyakit
ini tidak mudah. Pada hewan penderita masih hidup, maka diagnosanya
didasarkan pada gejala klinis penyakit yang terlihat dan terutama dititik
beratkan pada terdapatnya reaksi hipersensitivitas tipe tertunda (delayed
hypersensitivity reactions) dari hewan tersangka, yang dilakukan dengan
penerapan uji tuberkulin per individu hewan dari kawanan sapi yang dicurigai
tertular tuberkulosis (uji tuberkulin). Pada ternak sapi, uji tuberkulin masih
yaitu uji standar dan dipakai dalam perdagangan internasional. Bagi
hewan tersangka tuberkulosis sapi yang sudah mati, maka diagnosanya
didasarkan pada hasil pemeriksaan pasca mati terhadap bangkainya, yang
dilengkapi dengan hasilpemeriksaan di laboratorium, antara lain pemeriksaan
histopatologi dan bakteriololgi. Dalam hal ini, pemeriksaan bakteriologi yang
dimaksud meliputi pemeriksaan mikroskopik preparat dan isolasi yang
dilanjutkan dengan identifi kasi dari bakteri yang ditemukan.
Berbagai cara pemeriksaan lain yang dikembangkan pada tahun
akhir ini, seperti teknik reaksi polimerase berantai (PCR), ELISA, uji proliferasi
limfosit (lymphocyte proliferation assay) dan uji gamma interferon (Gamma
interferon assay, IFN-y) memang dapat dipergunakan untuk mendiagnosa
tuberkulosis sapi. Namun uji-uji tersebut menuntut tersedianya fasilitas serta
logistik yang memadai dari laboratorium pemeriksa, SDM yang terlatih dan
dapat dipergunakan misalnya untuk mendiganosa tuberkulosis pada sapi
liar dan pada hewan liar penghuni kebun binatang. Pada hewan dengan
teknik radiologi seperti pada manusia mendiagnosa tuberkulosis tidak lazim
dilakukan, kecuali pada kera dan domba/kambing
Catatan: Menyadari akan bahaya penularan M.bovis kepada
manusia maka petugas laboratorium diagnostik harus mewaspadai bahwa
tuberkulosis sapi besifat zoonosis, sehingga segala pekerjaan yang
menyangkut pemrosesan spesimen tuberkulosis harus dilakukan dalam
suatu alat yang disebut biohazard cabinet, dapat memberi perlindungan
bagi petugas terhadap bahaya kemungkinan penularan dari spesimen yang
sedang dikerjakannya.
4. Diagnosa Banding
Penyakit tuberkulosis sapi dapat dikelirukan dengan berbagai penyakit
berikut:
a. Kekurusan tubuh pada hewan penderita dapat dikelirukan dengan hewan
yang terserang paratuberkulosis. Selain tubuh yang kurus, penderita
paratuberkulosis biasanya juga mengalami diare yang menetap.
b. Infestasi cacing gastrointestinal yang berat memicu kekurusan
tubuh penderita yang disertai dengan diare dapat dikelirukan dengan
penderita tuberkulosis sapi tahap lanjut.
c. Hewan kurang gizi (baik kuantum maupun mutunya) yang berat dan
yang berlangsung lama memicu kekurusan tubuh hewan yang
bersangkutan. Dapat dikelirukan dengan penderita tuberkulosis sapi
tahap lanjut.
d. Contagious bovine pleuro pneumonia (CBPP) kronis dapat dikelirukan,
terutama bagi daerah yang endemik penyakit ini (perhatian : CBPP tidak
didapatkan di negara kita ).
e. Actinobasilosis dan infeksi Actinomyces pyogenes dapat dikelirukan
dengan tuberkulosis sapi. Actinobasilosis pada pedet sering disebut
sebagai Calf Pneumonia, yang gejala klinisnya jelas bila pedet telah
berumur 2-3 bulan, sedangkan pada infeksi Actinomyces, selain sapi
terlihat kurus juga ada infeksi pada organ paru-parunya.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pada bedah bangkai hewan yang mati tersangka tuberkulosis,
spesimen yang diperlukan yaitu sebagai berikut:
a. Potongan organ yang menyimpang atau tidak normal diambil secara
aseptik antara bagian jaringan yang masih sehat dan bagian yang ada
tuberkelnya (masing-masing berukuran kira-kira 2 cm) seperti paru-paru,
hati dan limfa, juga semua kelenjar-kelenjar limfe pada bagian kepala
dan usus, termasuk dahak yang ada dalam saluran pernapasan.
b. Organ tersebut dimasukkan dalam wadah steril tanpa pengawet dan
dalam keadaan dingin (masukkan ke dalam termos es) dikirimkan segera
ke laboratorium, spesimen ini untuk pemeriksaan kultur di laboratorium.
c. Bila spesimen tersebut diperkirakan tiba di laboratorium melebihi waktu
24 jam, maka pada spesimen tadi perlu ditambahkan asam borak
dengan kepekatan akhir 0,5% (w/v), yang dimaksudkan untuk mencegah
pencemaran oleh bakteri lainnya.
pengobatan :
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Pada dasarnya pengendalian tuberkulosis sapi pada kelompok ternak sapi
meliputi langkah-langkah seperti berikut :
1. Mendeteksi adanya tuberkulosis dan mengeluarkan sapi reaktor dari
kelompok;
2. Mencegah penyebar luasan infeksi dalam kelompok;
3. Mencegah masuknya kembali penyakit ke dalam kelompok.
Ketiga langkah tersebut dianggap sangat penting untuk dikerjakan secara
sungguh-sungguh. Dengan tidak mengerjakan salah satu langkah tersebut akan
memicu program pengendalian tidak berhasil dengan baik.
Deteksi sapi reaktor dilakukan dengan penerapan uji tuberkulin seperti dengan
memakai metode penyuntikkan tunggal tuberkulin PPD secara intradermal
(single intradermal, SID) pada sapi umur 3 bulan ke atas, hal ini harus dilakukan
dan ditafsirkan hasilnya secara hati-hati.
Catatan: Sapi sakit dengan tahap lanjut penyakit pada uji tuberkulinnya, bahkan
akan memberikan hasil negatif (negatif palsu); juga terhadap sapi betina bunting
tua pada menjelang dan kira-kira 4-6 minggu pasca partus, yang mungkin akan
memberikan reaksi negatif palsu. Sedangkan sapi yang tersensitifi kasi oleh
Mycobacterium sp umumnya akan memberi hasil reaksi positif palsu. Selanjutnya,
sapi reaktor yang terdeteksi diafkir dan dikeluarkan dari peternakan untuk
dipotong di Rumah Potongan Hewan (kebijakan ’test and slaughter’) dengan
pengawasan dokter hewan yang berwenang. Sesudah reaktor disingkirkan,
maka segera tindakan higienis perlu dilakukan (seperti penyuci hamaan tempat
pakan, tempat minum) serta tindakan lainnya (seperti mengisolasi sapi-sapi
tersangka dari sapi negatif, namun masih dalam peternakan yang sama) wajib
dilakukan. Bila pada suatu peternakan jumlah reaktor yang ditemukan tinggi,
maka uji tuberkulin harus dilakukan setiap 2 bulan, serta pada keadaan lain,
dimana sapi reaktor tidak banyak, maka uji tuberkulin diulang setiap 3 bulan,
sampai diperoleh hasil uji yang negatif. Peternakan dengan negatif sapi reaktor,
diklasifi kasikan sebagai Peternakan bebas tuberkulosis sapi, namun uji tuberkulin
harus dilakukan setiap satu tahun sekali. Sapi baru yang dimasukkan ke dalam
peternakan yang sudah bebas penyakit sebagai ternak pengganti, harus berasal
dari peternakan yang diketahui bebas penyakit tuberkulosis dan sapi pengganti
tersebut pada uji tuberkulin memberi hasil negatif. Untuk melindungi para pekerja
kandang atau pemerah terhadap kemungkinan penularan tuberkulosis dari sapi
yang dikelolanya dan atau sebaliknya, maka pengecekan kesehatan mereka
harus dilakukan secara berkala.
Catatan: OlE mencatat bahwa banyak negara pada akhirnya berhasil
memberantas tuberkulosis sapi. Sejumlah faktor yang ada mempengaruhi
metode pemberantasan yang mereka gunakan. Namun pada akhirnya kebijakan
uji dan potong (”the test and slaughter policy”) yaitu satu-satunya cara
pemberantasan yang paling efektif. Mengingat pemberantasan tuberkulosis sapi
pada suatu negara memerlukan waktu yang lama (tergantung antara lain pada
prevalensi penyakit) dan dana yang besar, maka hal-hal berikut ini harus menjadi
perhatian :
1. Menyiapkan satu pengorganisasian pemberantasan (dari tingkat pusat
sampai daerah) yang handal.
2. Memberi penyuluhan seluas-luasnya kepada masyarakat (terutama peternak
sapi) dan pihak terkait lainnya akan manfaat, tujuan pemberantasan dan
peran serta aktif mereka.
3. Mengetahui lebih dahulu prevalensi penyakit pada daerah yang akan
melaksanakan program pemberantasan.
4. Menentukan metode pemberantasan yang tepat, menetapkan kriteria,
termasuk menghitung besar uang kompensasi bagi sapi yang harus diafkir.
5. Melakukan evaluasi kemajuan program yang dicapai serta mengatasi
berbagai kendala yang muncul.
Dalam hal-hal tertentu, misalnya bila untuk sementara waktu tindakan
pemberantasan belum dapat dilakukan tetapi mempunyai tujuan mengurangi
jumlah kejadian penyakit secara maksimal, maka program vaksinasi menjadi
pilihan. Sayangnya, vaksin khusus untuk tindakan pencegahan tuberkulosis sapi
belum tersedia. Untuk pemakaian di lapangan, vaksin yang kini tersedia yaitu
vaksin BCG, yang memiliki banyak kelemahan. Diperlukan dosis vaksin yang tinggi
(50-100 ml) disuntikkan secara subkutan pada kulit dan dapat memicu
terlihatnya gumpalan di bawah kulit pada tempat suntikan. Vaksinasi harus
diulang setiap tahun dan dengan konsekuensi bahwa sapi yang pernah divaksin
akan memberi reaksi positif pada uji tuberkulinnya. Sesudah sapi lahir, maka
secepatnya pedet harus divaksinasi. Kekebalan belum akan muncul sebelum
pedet tersebut berumur 6 minggu serta kekebalan yang terbentukpun tidak
cukup kuat, sehingga pedet yang sudah divaksinasi pun masih dapat terserang
penyakit yang hebat.
UJI TUBERKULIN
Tuberkulin
Sediaan yang didapat dan pertumbuhan M.bovis (galurAN5) in vitro pada medium
sintetik, yang sesudah dipanen dan dipekatkan melalui pemanasan, lalu
diproses lebih lanjut, maka akan dihasilkan suatu produk yang disebut tuberkulin
heat concentrated synthetic medium (HCSM). Tapi bila protein dalam fi ltrat
dipresipitasikan secara kimiawi, yakni dengan penambahan amonium sulfat dan
asam triklor asetat (TCA), lalu dicuci dan disuspensi kembali, maka yang
diperoleh yaitu tuberkulin purifi ed protein derivative (PPD) bovin. Dibandingkan
dengan tuberkulin HCSM, diketahui bahwa tuberkulin PPD bovin Iebih unggul
dalam hal-hal spesifi sitas yang tinggi serta lebih mudahnya distandarisasi.
Setelah melalui serangkaian uji (uji keamanan produk dan uji potensi) baik pada
marmot maupun pada sapi percobaan di laboratorium, maka tuberkulin PPD
bovin yang telah teruji itu siap dipakai dalam uji tuberkulin di lapang.
Catatan: Dalam kaitan dengan perdagangan intemasional ternak sapi, uji
tuberkulin telah disepakati sebagai uji standar untuk mendiagnosa tuberkulosis
sapi.
Dasar uji
Reaksi berupa sensitifi kasi akan timbul dalam tubuh hewan sesudah terjadinya
infeksi oleh Mycobacterium sp. Adanya infeksi Mycobacterium sp akan merangsang
timbulnya kekebalan yang diperantarai oleh imunitas seluler yang diperankan
oleh limfosit T yang bersifat antigen spesifi k. Bila dilakukan uji tuberkulin maka
sel limfosit T akan merespon antigen tersebut dengan perantaraan aktivitas
makrofag yang secara klinis akan terlihat adanya kebengkakan dan endurasi di
tempat suntikan. Atau dalam hal ini yang muncul adanya respon yang dikenal
dengan bentuk hipersensitas tipe tertentu (delayed hypersentivity) yaitu berupa
kebengkakan dalam kulit di tempat suntikan beberapa lama sesudah hewan yang
bersangkutan disuntik tuberkulin.
Cara aplikasi
Dikenal beberapa cara aplikasi uji tuberkulin yaitu :
1. Single intradermal (SID) test,
2. Short thermal test,
3. Intravenous tubereulin test dan
4. Stormont test
Bila sensitifi kasi non-spesifi k menjadi masalah, maka comparative test perlu
digunakan.
Tempat suntikan
Tempat suntikan dapat dipilih salah satu tempat berikut:
1. Kulit dekat pangkal ekor (caudal fold) atau pada kulit vulva, di sini kulit tidak
berbulu, metode ini banyak dipakai di Amerika Serikat dan di Australia
2. Kulit pada leher (cervical fold), bulu setempat harus dicukur lebih dahulu,
metode ini banyak dipakai di Inggris.
Adapun perbedaan kedua metode dapat dilihat sebagai berikut:
Metode Sensitisasi Sensitivitas Spesifi sitas
Coudal fold 85% 85%
Cervical 91% 76%
Dapat dilihat bahwa metode caudal fold memiliki spesifi tas yang lebih tinggi
dari pada metode cervical fold, sebaliknya sensitivitas dari metode cervical fold
ternyata lebih baik dari pada metode caudal fold.
Uji tuberkulin di lapangan
Penerapan uji tuberkulin di lapangan dengan SID test dikerjakan sebagai berikut :
Pada hari pertama
1. Sapi yang ingin diketahui status tuberkulosisnya ditambatkan pada
kandangnya, sapi diikat sedemikian rupa susaha kaki belakang tidak leluasa
bergerak dan tidak menendang petugas.
2. Dicatat identitas sapi tersebut, di dalam lembar laporan yang disediakan
(contoh daftar terlampir). Perlu diperhatikan bahwa selama uji sapi tidak
boleh dipindahkan tempatnya.
3. Dengan alat ukur khusus (calipers, cutimeter) ketebalan kulit (dalam ukuran
mm) tempat suntikan (dekat pangkal ekor) diukur dan dicatat dalam lembar
yang tersedia.
4. Dengan memakai alat suntik plastik kapasitas 1 ml, berisi tuberkulin PPD
bovin Balivet, disuntikan sebanyak dosis untuk 1 ekor sapi (0,1 ml) secara
intra dermal (jarum suntik diposisikan semiring mungkin), sesudah tempat
suntikan terlebih dahulu disuci hamakan dengan olesan kapas beralkohol.
Pada 72 jam berikutnya
1. Dilakukan pembacaan (dilanjutkan dengan penafsiran) reaksi yang timbul
pada tempat suntikan. Perlu diperhatikan kebengkakan kulit, peradangan
(melalui observasi) dan rasa kesakitan (melalui palpasi). Selanjutnya
dilakukan pengukuran bengkak kulit tempat suntikan untuk kedua kali dan
hasilnya dicatat pada lembar yang tersedia.
2. Selanjutnya dihitung perbedaan atau selisih hasil pengukuran kedua tebal
kulit sesudah dikurangi dengan hasil pengukuran pertama (dalam mm).
Penafsiran uji
Besarnya perbedaan atau selisih angka dari kedua pengukuran tempat suntikan
(langkah 6) menjadi dasar penafsiran uji, hal ini didasarkan pada petunjuk OIE
tahun 1996.
Negatif: Hasil uji disebut negatif bila bengkak kulit terjadi minimal, penambahan
tebal tidak lebih dari 2 mm dan tanpa disertai terdapatnya gejala klinis, seperti
busung (difus atau ekstensif), eksudasi, kesakitan atau peradangan dari kelenjer
limfe atau saluran limfe regionol.
Positif: Hasil uji disebut positif bila ditemukan adanya kebengkakan pada kulit
tempat suntikan, penambahan tebal kulit sama atau lebih dari 2 mm, dan disertai
terdapatnya gejala klinis seperti busung (difus atau ekstensif), eksudasi, kesakitan
atau peradangan dari kelenjer limfe atau saluran limfe regional.
Berikut yaitu contoh lembar uji tuberkulinasi.
DAFTAR UJI TUBERKULIN PADA SAPI PERAH /POTONG
(DINAS PETERNAKAN KODYA/KABUPATEN) DATI II
Tuberkulin : PPD bovin Balitvet, Bogor Tanggal Inokulasi ;
Aplikasi : Intrademal pada pangkal ekor Dosis : 0,1 ml Pembacaan pada
72 jam paska penyuntikan
Catatan/ keterangan Dokter Hewan/Kepala Dinas
( )
No Identitas sapi
Pemilik/
Perusahaan
Nama dan
Alamat
Tebal kulit
Penafsiran
Uji
+/+/-
Nama/
Notel
Bangsa
Seks*)
J/B
Umur*)
T/M/A
sebelum
(mm)
Sesudah
(mm)
ASPERGILLOSIS
Sinonim: Brooder Pneumonia
Aspergillosis atau Brooder Pneumonia yaitu penyakit yang dipicu oleh
cendawan. Penyakit ini dapat menyerang manusia dan hewan. pada sapi
biasanya berupa radang plasenta yang memicu keguguran. Kerugian
dapat terjadi karena penurunan produksi dan keguguran pada sapi.
etiologi
Aspergillosis yaitu suatu penyakit yang dipicu oleh jamur atau cendawan
dari genus Aspergillus. Dari genus ini yang paling patogen yaitu Aspergillus
fumigatus, di samping Aspergillus fl avus, Aspergillus niger dan Aspergillus
Ochracius
A.fumigatus dapat menghasilkan racun yang dapat memicu perdarahan
yang akut. Racun ini dapat pula memicu keguguran pada sapi dan domba.
A.fl avus menghasilkan suatu zat yang bersifat karsinogenik dan sangat beracun
yang disebut afl atoksin dan dari A.Ochracius menghasilkan racun Ocratoxyn.
Aspergillus Iainnya menjadi penyerang oportunistik pada individu dengan
kelainan anatomik dari saluran pernapas
Related Posts:
penyakit hewan mamalia 6 kurang terjaga kebersihannya, pemasukan hewan terinfeksi atau carrier menjadi faktor pemicu terjadinya penyakit. Pemberantasan vektor (burung-burung liar, rodentia, dan serangga) d… Read More