Selasa, 11 Juli 2023
Home »
penyakit hewan mamalia 7
» penyakit hewan mamalia 7
penyakit hewan mamalia 7
Juli 11, 2023
penyakit hewan mamalia 7
epidemiologi
1. Spesies Rentan
Hewan yang rentan terhadap aspergillosis yaitu kuda, sapi,
domba, babi, kucing, anjing, kelinci, kambing dan kera.
2. Pengaruh Lingkungan
Aspergillus secara normal hidup sebagai saprofi t, sporanya dapat
dijumpai di udara bebas, debu, jerami, biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan yang
sedang mengalami pembusukan, dengan demikian pelaksanaan manajemen,
hygiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik dapat memicu
aspergillosis. Biasanya penularan melalui bahan pakan yang mengandung
Aspergillus.
3. Sifat Penyakit
Penyakit dapat bersifat akut hingga kronik. Kematian dapat terjadi
dalam waktu 1-2 hari.
4. Cara Penularan
Penularan spora dapat melalui udara, debu dan bahan pakan ternak
yaitu faktor yang penting. Hewan terinfeksi biasanya dipicu oleh
tempat pemeliharaan atau pakan yang tercemar dengan spora.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya aspergilosis antara lain yaitu
hewan dalam kondisi tidak nyaman, berdesakan, kekurangan makanan,
pakan tercemar oleh spora, dan juga keletihan dapat mempermudah
timbulnya penyakit.
6. Distribusi Penyakit
Aspergillosis pertama kali dilaporkan di negara kita pada tahun 1952
ditemukan pada ayam oleh Kraneveld dan Jaenodin. Pada hewan mamalia
banyak menyerang alat reproduksi.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Dalam bentuk akut, aspergillosis memicu hewan tidak nafsu
makan, kelihatan mengantuk, kadang membuka mulut karena kesukaran
bernapas, bahkan bisa timbul kejang. jika cendawan menginfeksi otak,
dapat memicu tanda kelumpuhan dan gangguan syaraf yang lain. Jika
terjadi infeksi pada mata biasanya bersebelahan (tidak selalu kedua mata
terserang).
Pada hewan menyusui biasanya timbul gejala radang paru dengan
temperatur tinggi, batuk, bersin, pada sapi dapat pula terjadi pada bulan ke
3-8 kebuntingan. Kurang lebih 60 % dari kasus aspergillosis memicu
retensi plasenta. Pada kuda kadang timbul keguguran, sedangkan pada
anak kuda telah dilaporkan terjadinya diare karena aspergillosis.
Pada anjing dapat terjadi epistaksis, bersin, keluar lendir dari hidung,
sakit dan bengkak pada daerah maxilla.
2. Patologi
Aspergillosis paru terjadi dalam bentuk radang paru yang tersebar,
berbentuk bungkul kecil dan radang selaput paru. Secara umum pada paru
dijumpai daerah yang meradang, kadang dijumpai cairan bernanah yang
berwarna hijau kekuningan.
3. Diagnosa
Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung dari
sediaan ulas atau kerokan untuk menemukan fragmen hifa yang bersekat
dan bercabang. Pada pemeriksaan histologik terlihat radang granulomatosa
bernanah dengan cendawan. Dari plasenta terlihat nekrosa yang hebat
dengan infi ltrasi netrofi l, terlihat pula oedem, dan perdarahan serta radang
pembuluh darah. Sering terlihat hifa yang menembus pembuluh darah.
Cendawan akan lebih terlihat dengan pewarnaan lactophenol cotton blue
Pemupukan dapat dilakukan dengan Sabauroud Glucosa/Dekstrosa
Agar, yang dibubuhi dengan antibiotika. Koloni yang tumbuh semula berwarna
keputihan yang lalu berubah menjadi hijau gelap, kekuningan atau
coklat gelap tergantung spesiesnya, dengan permukaan yang halus seperti
kapas. Secara mikroskopis terlihat miselia yang bersekat, konidiofora dengan
ujung yang membesar dan bulat dengan sterigmata sebagai penunjang
konidia yang berderet.
4. Diagnosa Banding
Secara klinis dapat dikelirukan dengan penyakit pernapasan yang
dipicu oleh virus atau bakteri. Adanya bungkul kecil pada paru atau
pada organ dalam lainnya dapat dikelirukan dengan TBC. keguguran yang
terjadi akibat aspergillosis dapat menyerupai penyakit brucellosis, vibriosis
atau leptospirosis. Diagnosa dapat dikenali dengan isolasi aspergillus.
Pada mamalia aspergilosis dapat dikelirukan dengan pneumonia
yang dipicu oleh kuman selain aspergilosis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen untuk pemeriksaan terhadap aspergillosis dapat berupa
cairan bronkhial, kerokan kulit jaringan biopsi/seksi, berupa nodula pada
paru, bronkhi dan organ tubuh lain. Spesimen diambil seaseptik mungkin
dan segera dikirim ke laboratorium untuk diperiksa.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan aspergollosis untuk hewan besar dengan pemberian
Griseofulvin menunjukkan hasil yang memuaskan, tetapi biaya cukup
mahal.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Belum ada vaksin yang efektif yang dapat dipakai untuk usaha
pencegahan. Hewan penderita sebaiknya diisolasi. Pakan ternak dijaga
jangan sampai bercendawan. Memusnahkan sumber cendawan dan
spora dengan mencampurkan antimold atau toxynbinders ke dalam
pakan. Jangan memakai antibiotika melebihi jangka waktu
yang ditentukan, karena akan memicu superinfeksi oleh jamur
Memberikan perawatan dan pakan hewan untuk mempertinggi daya
tahan tubuh. Lingkungan kandang sebaiknya cukup ventilasi dan sinar
matahari. Tempat penyimpanan pakan harus kering (tidak lembab) dan
jangan menyimpan paka terlalu lama
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Hewan tersangka dan penderita aspergillosis harus diisolasi dan
diobati. Tempat bekas penderita didesinfeksi.
MASTITIS MIKOTIK
Mastitis yaitu peradangan/infl amasi pada jaringan internal ambing atau
kelenjar mammae yang dipicu oleh mikroba (bakteri, virus, cendawan), zat
kimiawi, dan luka akibat mekanis. Mastitis biasanya diawali dengan galactophoritis
atau peradangan pada duktus/saluran mammae. Mastitits mikotik yaitu
mastitis yang dipicu oleh mikroba jenis cendawan (kapang dan khamir).
Meskipun mastitis mikotik prevalensinya tidak sebesar mastitis bakterial namun
perlu diwaspadai karena biasanya kasusnya subklinis dan kronis. Infeksi yang
terjadi tergantung dari jenis dan banyaknya jumlah cendawan yang menginfeksi.
Mastitis dapat memicu kerugian secara ekonomi karena dapat menurunkan
produksi, kualitas dan komposisi susu serta memicu gangguan kesehatan
hewan.
etiologi
Penyebab mastitis mikotik yaitu cendawan: 1) golongan kapang yang
bermiselium sejati (Aspergillus spp, Alternaria spp, Aerobasidium spp, Epicocum
spp, Geotrichum spp, Penicillium spp, Phoma spp, dan Pichia spp), dan 2)
golongan khamir yang bersel satu dan tidak/bermiselium semu (Candida spp,
Cryptococcus sp., Rhodoturrula spp, Trichosporon spp dan Saccharomyces spp).
Namun umumnya kasus mastitis mikotik lebih sering dipicu oleh khamir
khususnya Candida spp yang tergolong grup organisme uniseluler oportunistik.
Penyebab lain dari mastitis mikotik pada anjing yaitu Blastomyces dermatitidis,
yaitu cendawan dimorfi k golongan khamir dan biasanya ada di
lingkungan.
(Saccharomyces spp) (Candida spp)
(Cryptococcus sp) (Geotrichum candidum)
epidemiologi
1. Spesies rentan
Hewan yang rentan terhadap kasus mastitis mikotik yaitu mamalia
atau hewan yang menyusui anaknya, namun lebih sering terjadi pada hewan
yang memproduksi susu dan diperah (sapi, kambing, kerbau dan kuda).
Kasus penyakit mastitis mikotik juga dapat terjadi pada manusia.
2. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan yang tidak bersih, kelembaban yang tinggi dapat
memacu pertumbuhan dari cendawan pemicu mastitis. Negara tropis
yang mempunyai kelembaban cukup tinggi lebih mudah untuk pertumbuhan
cendawan.
3. Sifat Penyakit
Sifat penyakit mastitis mikotik biasanya kronis. Mastitis mikotik
biasanya terjadi akibat pemakaian antibiotika dalam jangka panjang.
Beberapa cendawan yang tadinya fl ora normal di dalam tubuh dapat menjadi
patogen jika hewan mengalami penurunan daya tahan tubuh (imunitas).
Mastitis mikotik juga bisa bermula dari mastitis bakterial dan berlanjut menjadi
mastitis mikotik.
4. Cara Penularan
Proses infeksi mastitis terjadi melalui beberapa tahapan, tahap
awal kontak dengan mikroba (cendawan), lalu mikroba tersebut
mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), sesudah itu
mikroba masuk kedalam jaringan akibat lubang puting yang terbuka ataupun
karena adanya luka. Penularan mastitis mikotik dapat terjadi dari alat perah,
tangan pemerah, pakan yang terkontaminasi, lantai kandang, tanah, debu,
sanitasi lingkungan yang buruk.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya mastitis mikotik yaitu sanitasi
kandang dan lingkungan yang buruk, pemeliharaan hewan yang kurang baik
dan benar, cara pemerahan yang tidak higienis, pemberian antibiotik yang
berkepanjangan serta pemberian pakan yang terkontaminasi cendawan.
6. Distribusi Penyakit
Distribusi penyakit mastitis mikotik tersebar di berbagai negara
didunia ini, meliputi: Amerika, Belanda, Brazil, Denmark, negara kita , India,
Israel, Polandia, Yugoslavia, dan negara lainnya. Namun penyakit mastitis
mikotik lebih banyak terjadi di negara tropis. negara kita yaitu negara
tropis yang berpotensi untuk terjadinya kasus mastitis mikotik. negara kita
(Balai Besar Penelitian Veteriner) telah melaporkan kasus mastitis mikotik
yang dipicu oleh Candida spp, Geotrichum spp, Rhodoturulla spp,
Saccharomyces spp yang menginfeksi sapi perah.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis mastitis dapat dibedakan secara umum menjadi
mastitis perakut, akut, subakut, subklinis, dan kronis. Kasus mastitis
subklinis yaitu yang paling sering terjadi, diperkirakan 15-40 kali lebih
banyak dibandingkan dengan mastitis klinis. Perakut ditandai dengan onset
yang tiba-tiba terjadi peradangan parah pada ambing, air susu berubah
menjadi serous. Pada mastitis akut ditandai dengan tiba-tiba, peradangan
pada ambing derajatnya sedang sampai parah. Mastitis subakut ditandai
dengan peradangan yang ringan, tidak terlihat perubahan penampilan
ambing, namun terjadi perubahan dari komposisi penampilan air susu, juga
akan terjadi pecahnya permukaan susu. Mastitis subklinis tidak jelas gejala
klinisnya namun terkadang terjadi perubahan komposisi air susu. Mastitis
kronis gejalanya seperti mastitis subklinis namun kejadiannya berlangsung
lebih lama. Mastitis mikotik biasanya tergolong kasus yang kronis dan
subklinis.
Gejala klinis pada hewan yaitu demam, lemah, sapi berdiri
dengan jarak kedua kaki belakang melebar (karena membesarnya ukuran
ambing), kehilangan berat badan/kurus, produksi susu menurun. Pada
ambing terlihat bengkak, kemerahan dan panas, serta keluar eksudat dari
puting. Pada kasus mastitis mikotik, biasanya ditandai dengan gagalnya
usaha pengobatan dengan antibiotika, karena mastitis mikotik dipicu
oleh cendawan. Susu yang dihasilkan menurun kuantitas dan kualitasnya,
susu berwarna putih keabuan hingga kekuningan, buram dan mengental
(mukoid).
Gambar 3. Gejala klinis ambing sapi yang menderita mastitis
(Sumber : http://formulationgoods.kbo.co.ke/MYCOTOXIN+BINDERS3B+A
+MUST+FOR+ANIMAL+FEED+FORMULATION)
2. Patologi
Pada sapi yang menderita mastitis mikotik akan terlihat ambingnya
bengkak dan keluar eksudat. jika dilakukan insisi pada ambing akan
terlihat eksudat yang berwarna kekuningan. Mastitis yang dipicu oleh
cendawan jenis Cryptococcus neoformans dan Candida albicans bersifat
granulomatous. Peradangan granulomatous ditandai dengan pus/ eksudat
berwarna kuning, dan secara histopatologi dapat terlihat banyaknya sel
radang dan central necrotic debris.
Pada kambing dengan percobaan mastitis mikotik dengan
menginokulasikan Candida albicans secara intramamari akan memicu
leukositosis dan neutrophilia, secara mikroskopik akan terlihat perjalanan
infeksi dari mulai mastitis akut purulen, kronis, nonpurulen dan berlanjut
menjadi granulomatous, terlihat juga adanya kerusakan jaringan pada
ambing
3. Diagnosa
Diagnosa dapat ditentukan dari gejala klinis dan identifi kasi
cendawan. Isolasi dan identifi kasi cendawan dilakukan dengan mengambil
susu dari hewan penderita lalu dikultur dan dilakukan uji biokimiawi.
Kultur dapat dilakukan dalam media sabourauds glucose/dextrose agar,
lalu diamati koloninya. Pada pemeriksaan secara mikroskopik dengan
menambahkan lactophenol cotton blue (LPCB) dapat diamati adanya hifa,
spora dan miselium dari cendawan pemicu mastitis. Pada hewan yang
sudah mati atau disembelih untuk peneguhan diagnosa dapat pula dilakukan
pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi, pada jaringan organ
mammae yang terinfeksi akan ditemukan hifa atu spora cendawan.
Deteksi cendawan dengan memakai Polymerase Chain Reaction
(PCR) juga dapat dilakukan. Metode PCR memiliki keuntungan dibandingkan
dengan metode lain, karena metode PCR dapat mendiagnosa mastitis
mikotik walaupun cendawan yang menginfeksi berjumlah sedikit.
Gambar 7. Pertumbuhan koloni Candida spp dalam media sabourauds
glucose agar, kasus mastitis pada sapi perah FH
(Sumber : Tarfarosh dan Purohit, 2008)
4. Diagnosa Banding
Pada mastitis dengan adanya pembengkakan yang terjadi pada
ambing maka diagnosa banding untuk mastitis yaitu neoplasia/tumor
mammae.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pengambilan sampel (susu) dari hewan penderita dilakukan secara
aseptik. Ambing dibersihkan terlebih dahulu dicuci dengan air sabun lalu
dibersihkan dengan alkohol 70%, susu diambil dari kuarter ambing hewan
yang sakit. lalu susu dimasukkan dalam wadah/tempat yang steril dan
diberi pendingin/es.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan dapat dilakukan dengan nistatin dengan dosis 10 g/
kuartir, obat diaplikasikan melalui puting. Selain itu juga diberikan larutan
desinfektan povidin iodin. Selain itu dapat diberikan amphotericin, clotrimazol,
ketoconazole, fl uorocitonin,miconazol dan polimixin.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Pencegahan mastitis mikotik dapat dilakukan dengan:
1. Menjaga sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang;
2. Menjaga kebersihan hewan;
3. Pada hewan yang diperah sebaiknya mengikuti prosedur pemerahan
dengan baik dan benar serta higienis (mendesinfeksi alat perah dan
mencuci tangan sebelum dan sesudah memerah, mencuci ambing
hewan, dipping pada puting ambing);
4. Memberikan antibiotika bila diperlukan, sesuai aturan dan tidak
berkepanjangan;
5. Memberikan pakan dan air minum yang tidak terkontamninasi
cendawan;
6. Penyimpanan pakan, alat-alat perah tidak ditempat yang lembab
dan terhindar dari jamur;
7. Memberikan nutrisi yang baik.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian dan pemberantasan dapat dilakukan dengan
mengisolasi hewan penderita, memisahkan antara hewan sehat dan
hewan sakit. Pada kasus yang sudah parah sebaiknya hewan diafkir.
RINGWORM
Sinonim: Dermatomycosis, Tinea, Favus unggas, Kurap, Tinea, Trichophytosis,
Ringworm yaitu penyakit menular yang dipicu oleh cendawan yang
bersifat keratinofi lik pada permukaan kulit atau bagian dari jaringan lain yang
mengandung keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk) baik pada hewan maupun
manusia. Beberapa spesies cendawan bersifat zoonosis karena hewan penderita
dapat yaitu sumber penularan pada manusia dan sebaliknya. Mortalitas
penyakit rendah, namun kerugian ekonomis dapat terjadi karena mutu kulit yang
menurun atau berat badan turun karena hewan selalu gelisah. Penyakit ini sering
dijumpai pada hewan yang dipelihara secara bersama-sama dan yaitu
penyakit mikotik yang tertua di dunia.
Penyakit kulit ini dinamakan ringworm karena pernah diduga penyebabnya yaitu
worm dan karena gejalanya dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan
kulit yang bila dibiarkan akan meluas secara melingkar seperti cincin.
etiologi
Cendawan pemicu penyakit ini termasuk dalam kelompok Dermatophyta.
ada empat genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton,
Keratinomyces, namun yang memicu penyakit pada hewan yaitu
Trichophyton dan spesies Trichophyton verrucosum, T.mentagrophytes dan
T.megninii dan genus Microsporum. Lebih dari 90% kasus pada kucing dipicu
oleh M.canis.
Di negara-negara yang berikilim tropis atau dingin, kejadian Ringworm lebih
sering karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan selain kurang menerima
sinar matahari secara langsung juga sering bersama-sama di kandang sehingga
kontak langsung diantara sesama individu lebih sering terjadi. Penyebaran
penyakit dapat terjadi karena kontak langsung dengan hewan atau patahan bulu
yang terinfeksi.
Pada dasarnya cendawan diklasifi kasikan berdasar habitat, spesies yang
diserang, lokasi spora pada rambut, sifat pertumbuhan, dan lokasi tempat
tumbuhnya.
a. Habitat : geofi lik yang ada dalam tanah dan keratinofi lik yang ada
pada jaringan yang membentuk keratin (epitel, tanduk, rambut, kuku).
b. Spesies : anthropofi lik menyerang manusia dan zoofi lik menyerang hewan
c. Lokasi spora pada rambut : eksotriks berlokasi di luar dan endotriks di dalam
rambut.
d. Pertumbuhan pada kultur : berdasar sifat pertumbuhannya di dalam
kultur
e. Lokasi pada tubuh : seluruh permukaan tubuh.
Namun demikian predileksi pada host tidaklah mutlak. Hewan atau manusia
dapat terinfeksi oleh berbagai jenis cendawan.
Spora ringworm tahan lama dalam kandang dan bebas di tempat hewan. Koloni
cendawan dapat tetap hidup dalam koloni feses setengah kering. Cendawan
tetap infektif di luar tubuh, misalnya di tanah, jerami, kayu, dan bahan keratin.
Cendawan akan rusak pada suhu tinggi (100oC).
Cendawan ini umumnya tidak dapat tumbuh Iebih dalam di bawah jaringan kulit
atau jaringan yang Iebih dalam, diduga karena ada faktor penghambat yang
ada di dalam serum darah atau cairan tubuh. Cendawan hidup dipermukaan
tubuh yang mengalami keratinisasi, seperti tanduk dari kulit, rambut,kuku,dan
bersifat invasif
Demikian pula tidak dapat hidup dalam jaringan yang mengalami peradangan yang
berat dimana ada banyak sel-sel radang sehingga cendawan akan dimakan
oleh sel – sel radang tersebut. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku.
Arthrospora teratur berderet di dalam rambut (endotriks) atau sejajar berderet
di bagian luar rambut (eksotriks). Pada kulit dan kuku Trichopython mempunyai
miselia yang bercabang dan bersekat. Bentuk ini tidak dapat dibedakan dengan
Microsporum maupun Epidermophyton.
Dermophyta mampu memanfaatkan bahan keratin untuk hidupnya, tetapi keratin
tidak diperlukan bila cendawan tumbuh dalam perbenihan (kultur).
Cendawan cenderung tumbuh menyebar menjauhi radang untuk mencapai
jaringan normal hingga terbentuk cincin. Teori terbentuknya cincin yaitu bahwa
tubuh membentuk zat inti yang membatasi pertumbuhan cendawan.
Microsporum hanya hidup pada rambut dan kulit. Cendawan ini terlihat bagai
selubung mosaik yang terdiri dari spora kecil di sekeliling batang rambut.
Microsporum canis tetap hidup pada rambut hewan yang diletakkan pada suhu
kamar selama 323-422 hari, Epidermophyton hidup pada kulit dan kuku dengan
bentuk bercabang dan bersekat. Pengamatan secara pasti hanya dapat dilakukan
dengan pemupukan.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Ringworm dapat menginfeksi hewan antara lain sapi, kuda, anjing,
kucing dan unggas, demikian pula dapat menyerang manusia. Banyak jenis
Ringworm yang sangat kontagius, yaitu ringworm pada kucing, anjing, kuda
dan sapi mudah menular ke manusia.
Hewan lain yang rentan terhadap cendawan ini antara lain kelinci,
cavia, chinchillas, mencit, rat, kalkun, kera. Kadang-kadang terjadi pada
oposum, tikus air dan jarang pada babi, kambing, burung liar, keledai.
2. Pengaruh Lingkungan
Ringworm tersebar luas di negara tropis, beriklim panas atau sedang
terutama jika udara lembab. Walau demikian distribusi geografi s penyakit
ini bervariasi. Di negara yang mempunyai 4 musim, kasus yang paling
sering terjadi pada musim dingin dan musim semi. Menurut British report,
hal ini yaitu indikasi adanya variasi dalam musim. Di samping itu ada
perbedaan geografi s yang menarik yang berhubungan dengan penyakit
endemik Dermatophyton dimana Microsporum canis yaitu agen
pemicu kurang lebih 95 % pada kucing dan 70 % pada anjing di Amerika
utara.
3. Sifat Penyakit
Ringworm cepat menular di antara kelompok hewan (morbiditas
tinggi) dengan mortalitas yang rendah. Zoofi lik dermatophytosis dapat
memicu epidemik pada manusia. Kaplan dkk melaporkan bahwa dari
360 anjing penderita ringworm, 10 % pemiliknya mengalami infeksi, demikian
juga 30 % pemilik kucing yang terinfeksi menderita penyakit ini. Perlu dicatat,
bahwa hewan liar juga bisa menjadi reservoir dari ringworm.
Hasil penelitian Zurich dari 12.520 anak sapi penderita ringworm
di abatoir (Rumah Potong Hewan) selama tahun 1989, menunjukkan bahwa
prevalensi ringworm 7 % dengan maksimal 12,8 % pada bulan JuIi dan
minimun 5,1 % pada bulan Maret. Prevalensi ringworm lebih tinggi pada
peternakan dengan kelompok yang besar dibanding dengan kelompok kecil.
Sistem manajemen kontinyu memberikan prevalensi 51 % dibanding dengan
sistem all in all out 28 %.
Bentuk yang dapat dikenali dari kulit manusia hampir sama dengan
infeksi pada kulit kucing atau hewan lainnya. Bulat kemerahan dengan lesi
menyerupai kawah yang terkadang berisi air, rasa gatalnya teramat sangat,
jika digaruk akan semakin besar dan melebar dengan lesi yang semakin
dalam. Penyembuhan secara total pada hewan maupun manusia perlu
dilakukan, penanganan yang tidak tuntas memungkinkan cendawan tumbuh
kembali sehingga lebih sulit dibasmi.
Gambar 2. Contoh ringworm yang menular pada manusia
(Sumber : http://img.ehowcdn.com/article-new/ehow/images/a05/
12/1o/prevent-ringworm-skin-disease-800x800.jpg)
4. Cara Penularan
Penularan penyakit ini melalui kontak langsung bersentuhan antara
hewan penderita dengan hewan sehat, meskipun persentuhan tersebut
tidak selalu memicu penyakit. ini kemungkinan dipicu
adanya persaingan antara cendawan itu sendiri dengan organisme yang
sudah menetap lebih dahulu pada kulit. Perkembangan penyakit tergantung
interaksi antara inang dengan cendawan tersebut, sehingga perubahan kulit
tidak selalu berbentuk cincin. Terutama bila diikuti dengan infeksi sekunder.
Penularan dari hewan ke manusia dan sebaliknya kadang terjadi
terutama Microsporum canis. Peralatan untuk perawatan hewan, sadel dan
pakaian kuda sering sebagai pemicu penularan penyakit.
5. Faktor Predisposisi
Kondisi geografi s negara kita yang yaitu daerah tropis dengan
suhu dan kelembaban yang tinggi dapat memudahkan tumbuhnya cendawan.
ini yang memfasilitasi banyaknya infeksi cendawan pada hewan piaraan
maupun hewan besar, seperti sapi dan hewan ternak lainnya. Faktor lain
yang dapat menjadi predisposisi terjadinya infeksi cendawan selain udara
yang lembab, juga pada musim dingin atau hujan terutama dalam keadaan
basah dapat meningkatkan kejadian infeksi cendawan. Ringworm yaitu
salah satu penyakit kulit yang paling umum pada sapi.
6. Distribusi Penyakit
Distribusi geografi s penyakit ini bervariasi Microsporum canis
tersebar luas di dunia, sedangkan Trichophyton concentricum diketahui
hanya berada pada daerah geografi s tertentu.
Penyakit ini banyak dijumpai di negara kita meskipun publikasinya
belum banyak. Ringworm banyak ditemukan pada pasien hewan kesayangan
seperti anjing dan kucing.
keterangan :
1. Gejala klinis
Di tempat infeksi ada bentukan khas dari penyakit ini, yaitu
terlihat seperti cincin, namun gejala klinis bervariasi jika disertai infeksi
kuman lain. Gejala dimulai dari bercak merah, eksudasi dan rambut patah
atau rontok. Perkembangan selanjutnya sangat bervariasi dapat berupa
benjol kecil dengan erupsi kulit atau berbentuk seperti tumor yang dikenal
dengan kerion.
a. Gejala pada anjing dan kucing
Bentuk cincin pada kucing biasanya dijumpai pada telinga, daerah
muka dan kaki. Kerusakan kulit disertai bercak kemerahan dengan
rambut patah atau rambut rontok disertai keropeng dan bersisik. Pada
anjing perubahan kulit biasanya dijumpai pada daerah muka, terutama
di sekitar moncong, kaki dan perut bagian bawah, dengan pembentukan
keropeng, erupsi kulit dan rambut rontok. Gejala atipikal kadang muncul
sebagai papula dan pustula tanpa pembentukan alopesia atau sisik. lesi
dengan batas jelas, menonjol, eritrema, alopesia atau nodule diakhiri
dengan kerion cincin, bisa dibarengi dengan reaksi hipersensitif.
Pada kucing bisa tidak menunjukkan gejala lesi atau hanya sedikit
rambut rontok sekitar muka, dan telinga. Hewan ini sering menjadi carrier
dan memicu masalah pada pembiakan kucing.
b. Gejala pada sapi
Pada sapi erupsi kulit terjadi pada muka, leher, dengan permukaan
yang meninggi, berkeropeng, bersisik atau berbentuk bungkul. Jika
keropeng diangkat akan terjadi perdarahan.
Penyakit ini paling sering menyerang hewan muda. Setelah masa
inkubasi 2-4 minggu, rambut patah atau rontok. 2-3 bulan lalu
terlihat lesi tebal, bulat, menonjol dengan batas jelas, warna putih
keabuan. Lesi berkembang ke arah perifer, dapat mencapai diameter 5-
10 cm. Bila penyakit tidak diobati lesi bisa meluas secara umum terutama
pada sapi muda.
Gambar 4. Kasus Ringworm dipicu oleh Trychophyton verrucosum
(Sumber : http://www.skinturgor.com/turgor/ringworm-pictures)
c. Gejala pada kuda
Pada kuda yang terkena infeksi biasanya yaitu bahu, muka, dada
dan punggung. Perubahan kulit bervariasi dari erupsi kulit berbentuk
eritrema, rambut rontok, bersisik atau berbentuk benjolan dengan luka
yang cukup dalam.
Gejala klinis Iain, yaitu dengan terbentuknya 1 atau lebih alopesia.
Pada lesi awal terlihat gejala yang menyerupai urticaria lalu
berlanjut membentuk alopesia dan kerak atau keropeng dalam beberapa
hari.
Gambar 5. Kuda terinfeksi Ring Worm
(Sumber : http://www.thehorse.com/photos/slideshows/30256/common-
equine-skin-conditions)
d. Pada domba
Pada domba perubahan pada kulit berupa erupsi disertai rambut
rontok dengan pembentukan sisik dan biasanya ada pada muka dan
punggung.
2. Patologi
Kelainan pasca mati terbatas pada kulit dan pada dasarnya sama
dengan tanda klinis. Gambaran mikroskopis sering tidak spesifi k dan mudah
dikelirukan dengan penyakit kulit lainnya. Cendawan terlihat di dalam
ataupun di luar batang rambut dan mudah dilihat dengan pengecatan PAS
atau Gredley. Stratum koneum terlihat menebal, epidermis mengalami
hipertrofi disertai bendung darah dan infi ltrasi limposit. Jika terjadi infeksi
folikel rambut, folikel menjadi rusak. Jika terjadi infeksi sekunder, infi ltrasi
netrofi l menjadi semakin nyata.
3. Diagnosa
Diagnosa penyakit ringworm dapat dilakukan dengan :
a. Melihat gejala klinis yang spesifi k. Tanda klinis yang dapat dipakai sebagai
pedoman yaitu perubahan kulit berupa cincin disertai keropeng, rambut
yang rontok atau patah-patah atau timbulnya bentukan lesi membulat
dan cenderung meluas.
b. Pemeriksaan langsung secara mikroskopis atau dengan cahaya Wood.
Adanya cendawan menunjukkan warna yang berpendar
c. Pemeriksaan histologis dan pemupukan dengan kultur cendawan.
Agar sabouround glucose dapat dipakai sebagai standar kultur
kecepatan tumbuh, perubahan warna permukaan maupun warna
punggung koloni dapat dipakai untuk pengenalan meskipun ada
variasi dalam spesies. Spesies Trichophyton dapat dibedakan dengan
uji nutrisi disamping pemupukan rutin dan pemeriksaan mikroskopik.
Dermatophyton dapat tumbuh dalam temperatur kamar, pH 6,8-8.7.
Untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan saprofi t dapat
dipakai cyclohexaminide dan chhloramphenicol dalam perbenihan.
4. Diagnosa Banding
Ringworm sering dikelirukan dengan perubahan kulit yang lain
seperti penyakit kudis, gigitan serangga, infeksi bakteri dan radang kulit yang
lain. Diagnosa dapat dibuat dengan menemukan cendawan baik langsung
maupun tidak langsung.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Bahan pemeriksaan dapat diperoleh berupa kerokan kulit, rambut
atau kerokan serta potongan kuku. Tempat yang diduga terinfeksi harus
didesinfeksi dulu dengan alkohol 70 % untuk menghilangkan pencemaran.
Kerokan diambil dari tepi luka yang masih dalam proses yang aktif lalu
bahan pemeriksaan dimasukkan kedalam botol atau tabung steril ditutup rapat
dan diberi tanda yang jelas. lalu dikirim dengan desertai keterangan
yang lengkap tentang penyakit dan perubahan yang dijumpai.
Rambut sebagai bahan pemeriksaan dapat diperoleh dari rambut
yang patah atau dengan mencabut rambut sampai pada pangkalnya, sedang
potongan kuku diambil dari pangkal kuku.
Pada hewan penderita ringworm tetapi tidak menunjukkan tanda
yang nyata, bahan pemeriksaan dapat diperoleh dengan menyikat rambut
dan kotoran rambut yang berwarna keputihan dan tampung.
Bahan pemeriksaan yang kering seperti keropeng atau rambut
dapat dikirim dengan memakai amplop atau kertas yang dilipat untuk
menjaga tetap kering, lalu dimasukan ke dalam kotak, disertai surat
dan keterangan lengkap tentang penyakitnya.
pengobatan :
1. Pengobatan
Ringworm jenis tertentu dapat sembuh dengan sendirinya tetapi
kebanyakan perlu di obati dengan bahan kimia. Pengobatan dapat dilakukan
dengan dua cara yaitu dengan olesan atau melalui mulut. Dapat dipakai
obat yang mengandung lemak, jodium sulfa atau asam salisilat. Untuk
sapi dapat dipakai Na-kaprilat 20 % dengan disemprotkan. Pada kuda
dapat dipakai Na-trichloromethethyl-thiotetrahydropthalimide. Jika
perubahan kulit hanya terbatas, dapat dipakai larutan asam lemak seperti
Sapronal atau Naprylat. Untuk perubahan kulit yang akut dapat dipakai
asam borax 2-5 % Kalium permanganat 1:5000. Untuk luka menahun, kulit
tebal, hiperpigmentasi dan keropeng dapat dipakai Carbowax yang telah
mengandung fungisida. Obat lain yang bisa dipergunakan yaitu asam
benzoat 6 % dan resareinol 1-10 % di samping obat olesan tersebut di atas,
dapat dipergunakan gliserofulvin dan hasilnya cukup memuaskan.
Untuk lesi kecil dipakai 2 % miconazole cream atau larutan
thiabendazole setiap hari sampai sembuh. Bila lesi berkembang dapat
dipakai 0,5 % sulfur atau 1:300 larutan Captan sebagai pencuci 2
kali seminggu. Untuk penyakit kronis, diberikan obat sistemik, seperti
microcrystallin griseofulvin. Dosis untuk anjing 40-120 mg/kbb/hari 1 kali
dicampur dengan makanan yang berlemak tinggi. Pengobatan dilanjutkan
selama 2 minggu sesudah sembuh dari lesi atau pemeriksaan pada kultur
negatif. Kucing tidak boleh lebih dari 60 mg//kbb/hari karena memicu
toksisitas pada sumsum tulang. Bagi hewan yang resisten terhadap
griseofulvin diberi ketoconazole 10-30 mg/kbb/hari, walaupun obat ini belum
dibuktikan pemakaiannya untuk hewan.
Natamycin-S telah dipakai dengan hasil yang bervariasi.
Di Afrika, pengobatan dengan tumbuhan lokal rupanya efektif. Buah dari
Solanum acueastrum, juga solanum dari berbagai spesies lain dipakai
sebagai obat ringworm oleh penduduk setempat.
Larutan formaldehyde 10 % yang disuntikkan secara intra muskuler
dengan dosis 1 mI/kgBB berhasil menyembuhkan 9 dari 10 anak sapi yang
terinfeksi dengan T.verrucosum dalam 15-20 hari, sedang kontrol yang
disuntik dengan larutan saline tetap menunjukkan adanya lesi ringworm.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Kejadian kasus dilaporkan kepada Kepala Dinas Peternakan atau
Dinas terkait setempat. Pengumpulan data mengenai ringworm perlu
terus dilakukan untuk mengetahui keadaan sesungguhnya penyakit
ringworm di lapangan.
b. Pencegahan
Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan
tubuh hewan dan kebersihan kulit hewan. Hewan penderita harus
dijauhi baik oleh hewan lain ataupun manusia kecuali yang ditugaskan
merawat hewan tersebut. Menjauhi dan mendesinfeksi tempat yang
diduga menjadi sumber spora. Diduga miselia dermatophyta mampu
merangsang pembentukan antibodi. Telah diketahui bahwa jaringan
mengandung suatu zat yang disebut ”serum faktor” yang bersifat fungisida
dan fungistatika dan zat inilah yang diduga membatasi pertumbuhan
dermatophyta hanya pada bagian kulit yang mengalami keratinisasi
saja. Dermatophyta bersifat antigenik yang lemah tetapi sangat alergik.
Reaksi hipersensitisasi merupakari kejadian yang sering terjadi pada
infeksi dengan dermatophyta.
Vaksin yang dibuat dari T.verrucosum pernah dipakai untuk
pengebaIan terhadap ringworm pada anak sapi. Vaksin hidup kering beku
telah dicoba pada 422 anak sapi bersama dengan kontrol, lalu
ditantang dengan T.verrucosum ganas. 4,4-9 % hewan yang divaksinasi
hanya mengalami gejala klinis yang ringan antara hari ke 14-25 dan pada
hari ke 28, 99-100 % hewan yang divaksinasi terllindungi sepenuhnya.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Memisahkan penderita dan mencegah kontak dengan hewan
sehat. Peralatan bekas penderita harus dihapus hamakan. Sisa pakan
dan bahan yang tidak dipergunakan lagi harus dibakar. Penderita diobati
secara tuntas. Sanitasi harus diperhatikan. Daging penderita ringworm
dapat dikonsumsi, namun harus dimasak terlebih dahulu sebelum
diedarkan, sedangkan kulitnya harus dimusnahkan.
SELAKARANG
Sinonim : Lymphangitis epizootica, Pseudoglanders, Saccharomycosis,
Pseudomalleus, African farcy, Histoplasmosis kuda, Epizootic lymphangitis,
Equine cryptococcosis
Selakarang yaitu suatu penyakit mikotik yang menular kronis. Penyakit
ini juga bersifat zoonosis sehingga dapat menular ke manusia. Penyakit ini
menyerang hewan jenis Equidae (kuda, keledai, bagal dan sebangsanya),
ditandai dengan radang bernanah pada saluran maupun simpul limfe, yang
selanjutnya memicu ulserasi pada kulit di atas saluran limfe dimana
tempat jamur bersarang. Adanya benjolan terutama pada daerah saluran limfe
(limfangitis) dapat dicurigai sebagai tanda penyakit selakarang. Tingkat mortalitas
rendah sekitar 10-15%. Secara ekonomi merugikan karena dapat menurunkan
produktifi tas kerja kuda. Selain itu, bersifat kronis sehingga pengobatannya
memerlukan biaya dan waktu yang cukup mahal. Adakalanya pada kuda yang
memiliki daya tahan baik dapat menunjukkan respon kesembuhan spontan yang
diikuti dengan sifat kekebalan yang baik.
B. ETIOLOGI
Selakarang yaitu suatu penyakit yang dipicu oleh cendawan jenis
Histoplasma farciminosum (Cryptococcus farciminlosus, Saccharomyces
fareiminosus, Endomyces fareiminosa, Saccharomyces, Blastomyces fareiminosa
atau Zygonema farciminosa). Tergolong dimorfi k yaitu cendawan yang dalam
temperatur tubuh 37oC berbentuk khamir yang bersifat parasitik namun pada
temperatur kamar akan berubah menjadi seperti miselia yang tumbuh pada
kultur.
Cendawan dimorfi k ini mempunyai bentuk khamir mulai dari bentuk ovoid sampai
dengan globos dengan diameter berukuran 2-5µm, dapat ditemukan pada
ekstaseluler dan intraseluler di dalam sel makrofag dan sel raksasa. Pada bentuk
miselia pertumbuhannya lambat dengan kondisi aerob.
epidemiologi
1. Spesies rentan
Hewan yang rentan terhadap selakarang yaitu famili Equidae
yaitu kuda, keledai, bagal dan sebangsanya. Pernah dilaporkan kejadiannya
pada sapi dan unta tetapi hewan ini tidak begitu peka. Hewan laboratorium
(mencit, kelinci) pada umumnya tahan terhadap penularan penyakit ini.
2. Pengaruh Lingkungan
Ketahanan hidup agen penyakit di alam tergantung oleh suhu,
kelembaban, pH dan kondisi tanah. Agen dapat diisolasi dari tanah terutama
di dataran rendah di sekitar sungai dimana kelembaban tinggi. Agen penyakit
tahan terhadap suhu beku tetapi tidak tahan lama pada suhu 40 °C.
3. Sifat Penyakit
Selakarang yaitu suatu penyakit hewan menular kronis
dan bersifat zoonosis, namun hingga saat ini masih sangat sedikit laporan
kejadian dan publikasinya.
4. Cara Penularan
Penularan selakarang dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan secara langsung terjadi melalui luka di kulit, dimana
spora cendawan dari hewan penderita. Penularan secara tidak langsung
terjadi melalui peralatan, pakaian, selimut, atau sikat kuda, dan lain-lain. Luka
sering terjadi di daerah kaki sebelah bawah. Jamur secara alami bertumbuh
saprofi t di tanah sehingga infeksi biasanya bermula dari bagian bawah kaki
penderita.
Transmisi penyakit ini dapat terjadi melalui lalat Musca spp dan
Stomoxys spp Pencemaran terjadi pada saat lalat menempel pada luka yang
terbuka dari hewan yang telah terinfeksi, selanjutnya menempel pada luka
hewan lain.
Pada area endemik di negara tertentu, penularan dapat
terjadi secara inhalasi melalui debu dan spora yang akan memicu
pneumoni.
5. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi terjadinya selakarang yaitu adanya luka yang
memungkinkan berkembangnya penyakit tersebut. Kuda berumur di bawah
6 tahun lebih rentan terhadap penyakit ini.
6. Distribusi Penyakit
Penyebaran penyakit dapat meliputi benua Asia, Afrika, Amerika
Utara dan Hindia Barat.
Selakarang dikenal telah memicu masalah besar pada kuda
yang dipakai dalam perang Boer dan perang Dunia pertama. Penyakit ini
tersebar di banyak negara Asia, Afrika dan Timur Tengah maupun di Eropa.
Penyebab penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Rivolta pada tahun
1873.
Pada tahun 1921 oleh Babberman, telah dilaporkan kejadiannya
di negara kita pada saat berusaha mengobati selakarang dengan cara
pengebalan. Selanjutnya penyakit ini pernah dilaporkan di beberapa tempat
di negara kita Sulawesi, Jawa Tengah. DI. Yogyakarta dan DKI Jakarta.
Pada tahun 1974, BPPV Regional VII Maros berhasil mengisolasi
Histoplasma farciminosum dari kuda di kabupaten Polmas, Sulawesi
Selatan. Kasus selakarang pada tahun 1999 pernah dilaporkan ditemukan di
beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti kabupaten Polmas, Wajo,
Pinrang, Maros, Pangkep dan bahkan di Sulawesi Utara. Kasus selakarang
semakin menurun laporannya, ada kemungkinan tidak dilaporkan karena
tidak termasuk dalam penyakit strategis yang wajib dilaporkan, atau karena
populasi kuda semakin menurun.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit ini dapat terjadi dalam bentuk kutaneus
(kulit), respiratori (pernafasan), okuler (mata) dan pada hewan yang karier
bersifat asymptomatik (tidak timbul gejala klinis).
Pada bentuk kutaneus ditandai dengan luka pada kulit yang
bersifat undulatif. Bisul – bisul ditemukan pada bagian kaki, dada, leher, bibir,
skrotum, ambing dan punggung yang selanjutnya ditandai dengan penebalan
limfe bagian superfi cial, pembesaran nodus limfangitis regimal, pembentukan
abses bernanah bercampur darah dan berakhir dengan terbentuknya ulcer
pada kulit yang lebih kecil yang lama-kelamaan ulcer ini akan menjadi satu.
Pada bentuk okuler jarang terjadi. Infeksi terjadi ditandai dengan
konjungtivitis atau infeksi nasolakrimal, yaitu terlihat adanya lendir bening
pada satu atau kedua mata dan terjadi kebengkakan pada sekitar mata yang
dapat diikuti dengan terjadinya ulcerasi.
Pada bentuk respiratori ditandai dengan nodul pada mukosa
hidung. Lesi terjadi mulai dari saluran pernafasan bagian atas sampai dengan
paru. Sinusitis maupun radang paru dapat terjadi sebagai akibat terhisapnya
spora ke jaringan tersebut.
Pada kasus asymptomatik hewan karier dapat diidentifi kasi dengan
uji serologis dan uji sensitifi tas intradermal.
2. Patologi
jika luka diiris terlihat jaringan granulasi yang mengandung
nanah kuning dan cairan serosa. Pada permulaan proses, kelenjar limfa
mengandung butir kecil dan lunak, lalu bisa terjadi penyatuan bungkul
yang Iebih besar. Bungkul tersebut dilingkungi oleh kapsul yang tebal. jika
luka diikuti infeksi kuman yang berat bisa terjadi radang sendi dan radang
pinggiran tulang.
Secara histopatologi dapat terlihat adanya jaringan granulomatous
dan ada banyak sel makrofag dan sel raksasa, serta organisme berbentuk
oval dengan diameter 2-5 µm yang dikelilingi oleh ’halo’.
Pada pemeriksaan nanah penderita dapat dilihat tahap ragi yang berbentuk
lonjong atau agak bulat dimana salah satu kutub lebih kecil dari yang lain.
Ukuran panjang 2,5-3,5 µ dan Iebar 2-3 µ dengan sitoplasma berbutir
(granuler).
3. Diagnosa
Diagnosa didasarkan atas gejala klinis, pemeriksaan mikroskopis
jaringan, nanah dan kultur. Identifi kasi agen. Secara mikroskopis dapat
dilakukan dengan pewarnaan gram positif pada kerokan, pewarnaan
Hematoxilin-Eosin secara histopatologi dan dengan memakai mikroskop
elektron. Secara kultur dapat dilakukan dengan media SDA (Saboroud’s
Dextrose Agar). Inokulasi hewan percobaan (mencit, kelinci, marmut) juga
dapat dilakukan untuk penunjang diagnosa.
Kerokan dapat diperiksa langsung dengan pewarnaan gram akan
terlihat organisme gram positif berbentuk pleomorphic, oval dan bulat.
Pemeriksaan mikroskopis dengan sediaan histologis yang diwarnai dengan
Haematoxilin dan Eosin memperlihatkan radang granulomatosa bernanah
dengan banyak makrofag dan netrofi l. Daerah radang bernanah itu dilingkungi
oleh kapsula yang tebal, makrofag kelihatan membesar. Dalam makrofag
dapat ditemukan organisme pemicu penyakit dalam bentuk khamir yang
ditengahnya berwarna gelap, dikelilingi oleh bagian yang tidak terwarnai.
Cendawan ini dapat ditemukan pula diluar makrofag.
Pada pemeriksaan mikroskopis preparat ulas darah yang telah
diwamai dengan Lactophenol Cotton Blue atau Pilikrom Metilen Blue
cendawan ini terlihat bentuknya seperti ragi. Dari hasil pernbiakan terlihat
bentuk miselia dan ragi sedangkan secara uji antibodi fl uoresensi secara tak
langsung (FAT) juga akan terlihat bentuk ragi dari H. farciminosum.
Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat hifa yang bersekat, tebal dan pendek.
Pada ujungnya mempunyai klamidospora.
Pada kultur yang lama klamidospora menjadi bebas berbentuk bulat dengan
dinding yang tebal. Pada kultur cair cendawan ini tumbuh sedikit dengan
pembentukan endapan yang halus, dan tidak memfermentasi gula.
Diagnosa secara serologis dengan Fluorescent Antibody Test (FAT),
Agar Gel Immunodiffusion Test, Haemaglutination Test, Enzyme Linked-
Immunosorbent Assay (ELISA), dan Skin hipersensitivity test.
4. Diagnosa Banding
Adanya luka dan benjolan pada kulit dapat dikelirukan dengan
penyakit malleus, sporotrichosis atau habronemiasis. Untuk membedakan
selakarang dengan penyakit tersebut harus ditemukan/diisolasi agen
penyebabnya.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Pada umumnya bahan untuk pemeriksaan cendawan diperlukan
untuk pemeriksaan langsung dan pemupukan. Untuk tujuan ini dapat diambil
nanah atau sayatan jaringan. Sebaiknya bahan pemeriksaan diambil dari
benjolan yang belum terbuka dan diambil secara steril. Nanah diambil dengan
alat suntik yang steril, diberi tanda yang jelas dan keterangan yang lengkap
tentang penyakit tersebut. jika tidak memungkinkan bahan pemeriksaan
dapat dibubuhi dengan antibiotik, misalnya penicillin 100 µg/ml atau
sreptomycin 500/ug/ml. Untuk pemeriksaan histologis, bahan pemeriksaan
berupa jaringan kulit diolesi dengan formalin 10 % dan dikirim dengan cara
yang sama.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan selakarang yang belum meluas dapat dilakukan
dengan extirpasi (pengangkatan) jaringan yang mengalami granuloma dan
diikuti dengan pemberian antiseptika, perak nitrat atau yodium tinctur dapat
mengalami kesembuhan. Atau dapat diberikan :
a. suntikan HgCI 21 % intravena dosis 50 ml,
b. pengobatan dengan Griseofulvin yang yaitu fungsida yang kuat
dimana secara ekonomis perlu diperhitungkan karena mahal,
c. penyuntikan dengan Natrium JIodida.
jika penyakit sudah meluas, lebih baik hewan dieutanasi dan
seluruh peralatan yang tercemar dimusnahkan dengan jalan dibakar atau
didesinfeksi. Penderita harus diisolasi untuk mencegah penularan penyakit
sampai hewan dinyatakan sembuh.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Di negara kita sampai sekarang belum ada vaksin yang dapat
memberi perlindungan dengan baik untuk pengobatan terhadap
selakarang. Oleh karena itu cara yang sebaik-baiknya yaitu menjauhi
dan mengisolasi hewan yang menunjukkan tanda selakarang, demikian
pula menjauhi atau tidak memakai tempat atau alat bekas penderita.
Mengobati luka dengan sempurna meskipun luka itu hanya kecil.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Isolasi penderita atau tersangka penderita, sampai ada kepastian
bahwa penyakit tersebut telah sembuh. Peralatan yang tercemar dan
kandang penderita harus didesinfeksi dengan formalin atau desifektan.
Bahan yang tercemar dan tidak dipergunakan harus dimusnahkan atau
dibakar.
PENYAKIT PARASIT
ANAPLASMOSIS
Sinonim : Gall – Sickness
Anaplasmosis yaitu penyakit hewan menular yang bersifat non contagious yang
dipicu oleh protozoa darah intraseluler dan ditularkan dengan perantara
vektor. Penyakit ini dapat berlangsung secara akut, per-akut dan kronis. Gejela
klinis yang ditimbulkan antara lain demam tinggi, anemia yang progresif dan
ikterus tanpa hemoglobinuria. Penegakan diagnostik Anaplasmosis ditandai
dengan adanya agen Anaplasma yang berbentuk titik didalam sel darah merah.
Kasus Anaplasmosis lebih sering menyerang sapi dan kerbau dibandingkan
dengan hewan lainnya. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Smith dan
Kilborne pada tahun 1893 di Amerika Serikat, selanjutnya tersebar luas di daerah
tropik dan subtropik termasuk di Amerika Serikat dan Selatan, Eropa Selatan,
Afrika, Asia dan Australia. Di daerah bebas anaplasmosis, introduksi protoza ini
mampu memicu kematian yang tinggi pada ternak karena belum adanya
preimuniter. Di Amerika, kasus Anaplasmiosis dilaporkan memicu kematian
ternak sebesar 80 %, sedangkan di daerah enzootik berkisar 10 %.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit ini meliputi kematian, penurunan berat
badan, penurunan produksi susu, infertilitas dan peningkatan biaya pengobatan.
Di negara kita , menurut perhitungan Direktorat Kesehatan Hewan tahun 1978,
kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit ini meliputi kematian, penurunan
berat badan dan daya kerja terhadap usaha pertanian, di perkirakan sebesar
Rp. 500.000.000 lebih setiap tahun. Dalam perhitungan tersebut belum termasuk
pengafkiran karkas di rumah potong hewan dan penurunan produksi susu. Salah
satu tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kejadian anaplasmosis yaitu
dengan cara meningkatkan ketahanan hewan yang rentan.
etiologi
Anaplasmosis dipicu oleh golongan Rickettsia, keluarga Anaplasmataceae,
genus Anaplasma. Penyakit klinis pada sapi umumnya dipicu oleh
Anaplasma marginale, sedangkan infeksi akibat A.centrale belum dilaporkan
secara jelas. Baru-baru ini, dilaporkan adanya A.phagocytophilum yang
menginfeksi sapi, namun sangat jarang ditemukan. Anaplasma ovis / A.suis
dapat memicu penyakit yang ringan sampai berat pada domba, kambing,
dan rusa.
Anaplasma marginale ada di dalam sel darah merah, berbentuk bulat dan
padat berwarna merah cerah atau merah tua dengan diameter 0.1-1.0 μm.
Perbedaan antara A.marginale dan A.centrale terletak pada lokasi protozoa
tersebut di dalam sel darah merah. Anaplasma marginale terletak di bagian
tepi dari sel darah merah, sedangkan A.centrale terletak di bagian tengah
Sifat Alami Agen
Anaplasma marginale dapat ditularkan oleh lalat penghisap darah
(haematophagous bitting fl ies) dan mampu bertahan hidup dalam tubuh lalat
lebih dari 30 menit. Selain itu, pada inang yang mati, protozoa ini dilaporkan
mampu hindup hingga 6 jam.
Kekebalan terhadap anaplasma ada 2 macam :
a. Kekebalan bawaan (material immunity) yang diperoleh dari induknya dan
bertahan kira-kira 1,5 bulan.
b. Kekebalan perolehan (natural acquired immunity) dikenal dengan preimunitas.
Kekebalan ini tetap bertahan selama anaplasma berada di dalam tubuh
hewan. Preimunitas ini dapat berlangsung hingga 2 tahun tanpa adanya
reinfeksi. Jika pada suatu saat anaplasma hilang dari sirkulasi darah, maka
kekebalan akan menurun dan akhirnya hilang.
epidemiologi
1. Spesies Rentan
Anaplasmosis dilaporkan menyerang hampir semua hewan
berdarah panas seperti sapi, kerbau, domba, rusa, unta, babi, kuda,
keledai, anjing dan hewan liar lainnya. Umumnya hewan tua lebih rentan
dibandingkan hewan muda. Hewan yang berumur di bawah satu tahun masih
memiliki ketahanan bawaan dari induknya. Adapun hewan berumur 1 - 3
tahun biasanya menderita anaplasmosis dalam tahap akut, sedangkan hewan
berumur diatas 3 tahun biasanya per-akut. Anaplasmosis kronis diderita
oleh hewan yang terinfeksi dalam waktu yang lama dan berpotensi menjadi
pembawa/carrier.
Selain umur, bangsa serta asal hewan berpengaruh terhadap kerentanan
penyakit ini. Sapi Eropa (Bos Taurus) lebih rentan dari pada sapi Zebu (Bos
indicus). Kasus anaplasmosis pada manusia pernah juga dilaporkan akibat
gigitan vektor dan memicu granulositik anaplasmosis.
2. Cara penularan
Spesies caplak (Boophilus sp, Dermacentor sp, Rhipicephalus sp, Ixodes
sp, Hyalomma sp, Ornithodoros sp) yaitu vektor biologis anaplamosis,
namun tidak semua spesies ini ditemukan dalam suatu wilayah. Vektor ini
dapat berpindah secara trans-stadial (antar stadium) dan trans-ovarial (ke
telur). Boophilus sp dilaporkan sebagai vektor utama di Australia dan Afrika,
sedangkan Dermacentor sp yaitu vektor utama di Amerika Serikat.
Di samping itu, golongan Diptera seperti lalat penghisap darah (Tabanus
sp dan Stomoxys sp) dan nyamuk (Aedes sp dan Psarophora sp) dapat
bertindak sebagai vektor mekanis. Manusia juga dapat menjadi vektor
mekanis melalui penggunaan alat-alat bedah, jarum, peralatan tato, dan alat-
alat yang terkontaminasi Anaplasma.
3. Distribusi Penyakit
Di negara kita , anaplasmosis pertama kali di temukan pada tahun 1897
pada sapi dan kerbau. Pada tahun 1912, Anaplasma menyerang kerbau di
daerah Cileungsi, Kabupaten Bogor, tahun 1918 menyerang sapi di daerah
Sumatera utara dan tahun 1934 juga menyerang sapi di daerah Bojonegoro
dan Madiun. Sampai saat ini anaplasmosis sudah menyebar hampir di
seluruh wilayah negara kita .
keterangan :
1. Gejala Klinis
Periode kejadian penyakit dibagi 4 tahap, meliputi tahap inkubasi,
perkembangan, penyembuhan, dan carrier. Masa inkubasi anaplasmois
yaitu 6-38 hari dan tahap perkembangan dapat terjadi 15-45 hari. Penyakit
ini dapat bersifat per-akut, akut, sub-akut, dan kronis bergantung pada umur
dan status imunitasnya.
a. Per-akut :
Hewan yang menderita anaplasmosis per-akut akan mati sesudah
beberapa jam menunjukkan gejala umum sakit. Hewan mengalami
penurunan kondisi dengan cepat, kehilangan nafsu makan, kehilangan
koordinasi dan sesak nafas. Temperatur hewan biasanya lebih dari
41°C dan mukosa cepat menjadi kuning.
b. Akut :
Umumnya hewan penderita anaplasmosis akut menunjukkan gejala
klinis umum antara lain kenaikan suhu 39,5-42,5°C, ikterus, penurunan
berat badan, dehidrasi, konstipasi, dan gangguan pernafasan.
c. Sub-akut dan kronis :
Pada penyakit sub-akut dan kronis terjadi kenaikan suhu selama
beberapa hari (4-10 hari) disusul dengan demam intermiten bahkan
suhu tubuhnya mencapai 40°C. Disamping itu, terjadi anemia hebat,
kondisi badan menurun, kadang-kadang nafsu makannya masih ada.
Pada hewan bunting dapat terjadi keguguran.
Pada hewan penderita yang tidak menunjukkan gejala klinis, Anaplasma
dapat bertahan dalam tubuh sampai 2 tahun, walaupun dalam darah
perifer sulit ditemukan. Jika hewan mengalami stres, maka hewan
tersebut dapat berperan sebagai pembawa penyakit.
2. Patologi
Perubahan yang sangat menonjol yaitu pada gambaran darah
yang ditandai dengan anemia dan ikterus. Bangkainya terlihat anemik,
kahektik dan ikterik. Kelenjar limfenya membesar terlihat ada edema. Jantung
mengalami pembesaran dan ada titik-titik perdarahan (ptechiae). Anemik
juga terlihat ada paru-paru yang disertai emfi sema, pembesaran hati dan
warnanya merah kekuningan, pembesaran empedu serta lunak. Limpanya
juga mengalami pembesaran dan lunak. Umumnya ada gastroenteritis
kataralis dan terjadi pembendungan pada ginjal.
3. Diagnosa
a. Pemeriksaan Mikroskopis :
Pemeriksaan darah secara natif, preparat ulas darah tipis dan
tebal.
b. Pemeriksaan Biologis :
Darah hewan tersangka diinokulasikan ke dalam (hewan coba) yang
telah diambil limpanya (splenectomy) dan sebaiknya berasal dari daerah
endemik anaplasmosis.
c. Pemeriksaan Serologis :
Pemeriksaan serologis meliputi Uji Fiksasi Komplemen/CFC, Uji
Hemaglutinasi Tabung Kapiler/Capillari tube hemaglutination test/UHTK
dan Teknik Antibodi Flourescent/FAT
4. Diagnosa Banding
Anaplasmosis per-akut atau akut mirip dengan penyakit anthraks,
pneumonia, keracunan, gangguan pencernaan akut, sampar sapi dan
pasteurellosis. jika anemianya menonjol, maka penyakit ini harus
dibedakan dari leptospirosis dan hemoglobinuria basiler akut. Adanya
demam, anemia dan ikterus memicu penyakit ini sulit dibedakan
dengan babesiosis dan trypanosomiasis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
a. Material untuk pemeriksaan mikroskopis :
(1) Untuk pemeriksaan preparat darah natif dapat dikirimkan darah yang
berisi antikoagulan. Darah ini dikirimkan dalam tabung gelas steril
yang sudah berisi antikoagulan (natrium sitrat atau ethylene dimine
tetra acetic acid = EDTA). Tabung gelas lalu ditutup rapat
dengan tutup steril. Pengiriman di lakukan dalam termos berisi es
atau CO2 kering (dry ice).
(2) Untuk pemeriksaan preparat ulas darah tipis dan tebal dilakukan
sesuai dengan petunjuk Buku Spesimen Veteriner yang diterbitkan
Direktorat Bina Kesehatan Hewan.
(3) Untuk pemeriksaan TAF langsung (Teknik Antibodi Langsung/Direct
Fluorescent Antibody Technique/FAT) dikirimkan preparat ulas darah
tipis seperti pada a.(2) yang difi ksasi dengan aseton dan lalu
dikirimkan dalam termos berisi es atau CO2 kering (dry ice).
b. Material untuk Pemeriksaan Biologis
Untuk pemeriksaan biologis diperlukan 5,0 ml darah hewan
tersangka yang berisi antikoagulan. Darah ini dikirimkan dengan cara
seperti tersebut pada a.1 dan dapat dipergunakan untuk memenuhi
kebutuhan a.1 dan b.
c. Material untuk Pemeriksaan Serologis
Untuk keperluan pemeriksaan ini dikirimkan serum dalam tabung
gelas steril yang ditutup rapat dengan tutup steril.
Catatan :
Umumnya sampel darah diambil dari vena telinga, pada pangkal ekor
dari vena jugularis dan hewan tersangka.
pengobatan :
1. Pengobatan
Pengobatan Anaplasmosis dapat dilakukan dengan cara antara lain:
Zat-zat warna
- Trypan blue 1 %, dosis 100-200 ml/hewan IV/SK
- Acrifl avin 5 %, dosis 20 ml/hewan IV/IM
- Eufalvine 5 %, dosis 4-8 ml/100 kg bb IV
Sediaan Quinoly
- Acaprin 5 % (Babesan, ludobal, pirevan, zothelone), dosis 2,2 ml/kg bb
IV/SK
Diamidine Aromatik
- Phentamidine dan Phenamidin 40 %, dosis 13,5 mg/kg bb SK
- Berenil (Ganaseg), dosis 3,5 mg/kg bb IM/SK
- Amicarbalide (Diampron) 50%, dosis 10 mg/kg bb
- Imidocidoib (Imizol) 4,6%, dosis3,5 mg/kg bb IM/SK
Antibiotika
- Tetracycline : Dosis untuk babi 22 mg/kg bb IV
Dosis untuk sapi 11 mg/kg bb Oral, 5 hari
Dosis untuk kuda 5-7,5 mg/kg bb IV
Obat-obatan yang lain
- Haemosporidine 2 % : Novoplasmin, thiargen, sulfantrol, dosis 0,25 mg/
kg bb SK
- Haemosporidine 10 % : dithiosemicarzone (gloxazone), dosis 0,1 mg/kg
bb IV
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Bagi para petugas yang menemukan anaplasmosis pada ternak
ruminansia atau hewan rentan diwajibkan :
(1) Melaporkan timbulnya penyakit dan tindakan yang telah diambil
kepada kepala pemerintah daerah setempat dengan tembusan
kepada Dinas Peternakan atasannya.
(2) jika dipandang perlu, dengan mempertimbangkan luas sebaran
penyakit maka merekomendasikan kepada kepala pemerintahan
daerah setempat untuk mengeluarkan surat keputusan tentang
penutupan suatu daerah dan pembatasan lalu lintas temak/hewan
rentan di dalam wilayahnya.
(3) Melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan-
peraturan yang bertaku dan melaporkannya kepada atasan.
b. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengadakan imunisasi buatan.
Vaksin anaplasmosis terdiri dari vaksin hidup atau mati, dan diketahui 3
jenis vaksin, yaitu :
(1) Vaksin A. marginale hidup (virulent) dipakai pada sapi umur kurang
1 tahun, pada saat insekta/arachinida paling sedikit infestasinya.
Keburukan vaksin ini dapat memperbanyak jumlah pembawa penyakit
dan ada kemungkinan bahwa hewan yang di vaksin menjadi sakit,
serta berpotensi menyebarkan anaplasmosis.
(2) Vaksin A. central yang berasal dari sapi Afrika Selatan yang dipasase
melalui blesbok dan sapi ditular ulang pada sapi Australia. Vaksin
ini di tolak di Amerika Serikat, tetapi dipakai di Australia. Bila
disimpan pada suhu 72-80 °C, vaksin masih efektif selama 254 hari,
bahkan sampai 739 hari A. centrale umumnya hanya memicu
penyakit yang ringan dan jarang memicu panyakit berat.
Keengganan Amerika Serikat memakai vaksin ini karena tidak
ingin memasukkan penyakit baru ke satu daerah yang bebas terhadap
penyakit tersebut. Vaksin ini dapat diperoleh dari laboratorium
Commonwealth Scientifi c and Industrial Research Organization
(CSIRO), Werribe, Victoria, Australia. Vaksin serupa ini juga dipakai
di Amerika Latin dan Afrika Selatan.
(3) Vaksin A.marginale yang telah dimatikan dalam ajuvan. Kekebalan
yang ditimbulkan dari satu kali vaksinasi kurang baik, maka untuk
memperoleh kekebalan yang baik, diperlukan dua kali vaksinasi
dengan interval waktu vaksinasi minimal 6 minggu. Vaksin ini tidak
sempurna melindungi hewan terhadap infeksi, namun mampu
membantu meringankan penderitaan hewan. Setelah sembuh dari
anaplasmosis, hewan masih memiliki kekebalan meskipun hanya
dalam jangka waktu yang pendek.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
berdasar peraturan yang ada, usaha pengendalian dan
pemberantasan penyakit ini meliputi tindakan sebagai berikut :
(1) Ternak ruminansia/hewan rentan lain yang menderita anaplasmosis
atau tersangka sakit harus diasingkan sehingga tidak dapat
berhubungan dengan ternak ruminansia/hewan rentan lain.
(2) Jika pada ternak ruminansia/hewan rentan lain yang sakit atau
tersangka sakit ditemukan caplak, nyamuk dan lalat, maka vektor
tersebut harus dimusnahkan, antara lain dengan pemakaian
pestisida (misalnya dengan menyemprot, menggosok, memandikan
atau merendam hewan ) sesuai dengan petunjuk pemakaian.
(3) Selama sakit sampai sembuh ternak ruminansia/hewan rentan
lain seperti yang tersebut pada ayat (1) dan (2), atau harus diberi
perlakuan dengan pestisida (reppelent) secara periodik, atau yang
sesuai dengan petunjuk pada ayat (2) agar terlindung dari gangguan
caplak, lalat dan nyamuk.
(4) Kandang hewan seperti tersebut pada ayat (1) dan (2), dan tempat
di sekitarnya yang yaitu sarang vektor harus dibersihkan
dan disemprot dengan pestisida secara periodik, atau yang sesuai
dengan petunjuk pada ayat (2).
(5) Di pintu masuk halaman, kampung, desa atau daerah yang ada
ternak ruminansia/hewan rentan lain yang sakit atau tersangka
sakit, di pasang papan yang antara lain bertuliskan ”Penyakit hewan
menular anaplasmosis” disertai dengan nama dalam bahasa daerah
setempat.
(6) Ternak ruminansia/hewan rentan lain yang dimaksudkan pada
ayat (1) dan (2) sepanjang tidak memperlihatkan gejala sakit dapat
diijinkan untuk dipekerjakan di dalam daerah yang dinyatakan
tertutup. Selama dipekerjakan, ternak ruminansia/hewan rentan lain
yang bersangkutan harus diberi pestisida (reppelent) agar terlindung
dari gangguan caplak, lalat dan nyamuk dan telah dilakukan tindakan
sesuai dengan ayat (1) dan (2) di atas. Jika hal ini belum terpenuhi,
maka ruminansia/hewan rentan lain hanya boleh dimandikan/
digembalakan dalam kelompok kecil pada malam hari.
(7) jika dalam beberapa kampung/desa dalam satu daerah
ada anaplasmosis, maka pada daerah tersebut dilarang terjadi
pemasukan dan pengeluaran ternak ruminansia/hewan rentan lain.
Penyelenggaraan pasar hewan dan penggembalaan pada siang
hari bagi ternak ruminansia dan hewan rentan lain dimungkinkan
jika hewan tersebut telah dilindungi dengan pestisida.
(8) Ternak ruminansia/hewan rentan lain yang terpaksa melintasi
daerah sebagaimana tersebut pada ayat (7) di atas, dapat diijinkan
dengan jaminan bahwa ternak ruminansia/hewan rentan lain itu
telah dilindungi dengan pestisida terhadap gangguan caplak, lalat,
nyamuk sesuai dengan petunjuk pada ayat (2). Selain itu, alat serta
beban lain yang dibawanya juga harus disemprot dengan pestisida
setiap kali hewan tersebut melintasi daerah yang dinyatakan tertutup
untuk ruminansia/ hewan rentan dan sesuai dengan pemakaian.
(9) Ternak ruminansia/hewan ternak lain yang mati karena anaplasmosis
harus dibakar dan/atau dikubur.
(10) Setelah ketentuan pada ayat (1), (2), (3), dan (4) dipenuhi, maka
ternak ruminansia/hewan rentan lain yang telah sembuh, dapat
dibuatkan surat keterangan kesehatan yang dapat membebaskannya
dari pengasingan oleh dokter hewan yang berwenang.
(11) Kandang ternak ruminansia/hewan rentan lain yang pernah ditempati
oleh hewan sakit dan tempat di sekitarnya, yang yaitu sarang
vektor, harus dibersihkan dan disemprot dengan pestisida menurut
petunjuk pemakaian atau sesuai dengan petunjuk pada ayat (2),
sesudah hewan tersebut mati/dipindahkan dari kandangnya.
(12) Suatu daerah dinyatakan bebas dari penyakit anaplasmosis sesudah
2 bulan sejak matinya atau sembuhnya ternak ruminansia/hewan
rentan lain yang terakhir dan telah memenuhi ketentuan pada ayat
(1) sampai dengan (11).
Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
(1) Ternak yang menderita/tersangka penderita anaplasmosis, tidak
dilarang untuk dipotong dan dimanfaatkan dagingnya sepanjang
keadaannya ”layak konsumsi” menurut surat keterangan dokter
hewan yang berwenang.
(2) Pengangkutan ternak sakit/tersangka sakit ke tempat pemotongan
dan proses pemotongan hanya diijinkan pada malam hari. Segera
sesudah pengangkutan itu selesai, alat pengangkutan tersebut harus
dibersihkan dan harus disucihamakan.
(3) Setelah ternak sakit atau tersangka sakit dipotong, dagingnya dapat
dikonsumsi dan di edarkan minimal 10 jam sesudah pemotongan.
(4) Semua sisa pemotongan dan kotoran ternak sakit atau tersangka
sakit harus segera dibakar dan atau dikubur.
(5) Kulit berasal dari ternak sakit/tersangka sakit harus disimpan di tempat
yang terlindung dari caplak, lalat dan nyamuk minimal 24 jam atau di
semprot dengan pestisida, lalu diproses lebih lanjut.
Catatan :
Pada keadaan wabah, perlakuan pemotongan hewan dan daging
seyogyanya juga berlaku bagi hewan rentan lainnya.
Peraturan internasional dari Terrestrial Animal Health Code tahun 2011
(TAHC 2011) tentang perdagangan dan transportasi sapi terkait penyakit
anaplasmosis yaitu sebagai berikut :
(1) Negara atau zona dikatakan bebas dari anaplasmosis jika memiliki
sertifi kat kesehatan hewan internasional yang menyatakan bahwa sapi
sejak lahir dan pada hari pengiriman tidak memiliki gejala penyakit
anaplasmosis, serta berasal dari daerah yang dinyatakan bebas dari
anaplasmosis selama minimal 2 tahun.
(2) Menunjukkan hasil negatif selama 30 hari sebelum pengiriman.
(3) Telah diobati oxytetrasiklin lima hari berturut-turut dengan dosis 22
mg/kg BB.
(4) Hewan bebas dari Acaridae, terutama caplak
ASCARIASIS
Sinonim : Kecacingan
Ascariasis yaitu penyakit parasit yang dipicu oleh infeksi cacing nematoda
dari famili Ascaridae, genus Toxocara. Selama ini, ada 3 (tiga) spesies
Toxocara yang sangat penting, yaitu Toxocara canis yang menyerang anjing
(anak dan dewasa); T.cati yang menyerang kucing (anak dan dewasa); serta
T.vitulorum yang menyerang sapi dan kerbau (umur dibawah 6 bulan dan induk).
Masing-masing yaitu inang bagi ketiga spesies tersebut.
Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi, terjadi
proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of resistance),
sehingga memicu larva yang tersembunyi (dormant) berubah menjadi aktif,
lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta), lalu menulari
anaknya.
Ascariasis memicu ekonomi yang signifi kan akibat adanya gangguan
pertumbuhan, penurunan berat badan dan kematian. Tingkat kerugian ekonomi
ditentukan oleh berat ringannya tingkat infestasi parasit, kondisi tubuh penderita
dan lingkungan.
etiologi
Cacing Toxocara vitulorum atau disebut juga Ascaris vitulorum atau Neoascaris
vitulorum termasuk kelas nematoda yang memiliki kemampuan melintasi hati,
paru-paru, dan plasenta. Cacing jantan berukuran panjang sekitar 15-26 cm
dengan lebar (pada bagian badan) sekitar 5 mm, sedangkan yang betina lebih
panjang, yaitu berukuran 22-30 cm dengan lebar sekitar 6 mm. Telur cacing ini
berwarna kuning, berdinding cukup tebal, dengan ukuran telur sekitar 75-95 x
60-75 µm.
epidemiologi
1. Siklus hidup
Telur dalam feses tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus
menjadi larva. Selanjutnya, larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung,
ginjal dan plasenta, lalu masuk ke cairan amnion dan ke kelenjar mammae,
selanjutnya keluar bersama kolustrum. Cacing T.vitulorum dewasa dapat
ditemukan pada duodenum sapi yang berumur antara 3-10 minggu. Telur
T.vitulorum sudah tidak ditemukan dalam feses kerbau antara hari ke 30-
120 sesudah infeksi yang bertepatan dengan turunnya level antibodi dalam
serum. Kondisi ini diduga karena pada saat itu cacing dewasa telah keluar
dari usus.
2. Sifat Alami Agen
Telur T.vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif selama 7-12 hari pada
suhu optimal 28-30°C. Perkembangan tersebut, tidak terjadi pada suhu di
bawah 12oC. Kendati demikian, jika berada dalam suhu optimal, telur akan
menjadi infektif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa telur T.vitulorum
dapat bertahan di lingkungan selama beberapa bulan hingga mencapai dua
tahun.
3. Spesies Rentan
Hewan yang peka/rentan terhadap infestasi cacing T.vitulorum
yaitu pedet (anak sapi) atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan.
Gejala klinis atau kematian umumnya terjadi pada pedet yang berumur 1-
2 bulan. Hewan yang berumur lebih dari 6 bulan sangat tahan terhadap
infestasi cacing ini karena pembentukan daya tahan tubuh relatif telah
sempurna. Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya penurunan jumlah
telur cacing per gram feses secara signifi kan seiring dengan bertambahnya
umur hewan.
4. Pengaruh Lingkungan
Telur cacing T.vitulorum tahan pada kondisi lingkungan yang tidak
menguntungkan (kekeringan), sehingga peningkatan intensitas penularan
terjadi pada saat musim hujan akibat adanya kontaminasi di padang
penggembalaan oleh pedet penderita. Gangguan persediaan pakan pada
musim kering (malnutrisi) dan higenitas lingkungan yang kurang baik semakin
memperburuk kondisi hewan sehingga mudah terserang oleh cacing ini.
5. Sifat Penyakit
Di negara kita , parasit ini bersifat endemis dan umumnya menyerang
sapi, pedet dan anak kerbau. Prevalensi pada pedet dibawah umur 3 bulan
dilaporkan mencapai 45%.
6. Cara Penularan
Tiga cara penularan cacing T.vitulorum, antara lain tertelannya telur cacing
secara insidental, melalui plasenta pada tahap fetus dalam kandungan dan
melalui kolustrum pada saat menyusu ke induknya.
Pedet terinfeksi melalui kolostrum yang mengandung larva infektif. Pada
hewan menjelang dewasa (umur lebih dari 6 bulan), telur infektif yang tertelan
akan berkembang dalam saluran pencernaan menjadi larva infektif (L3).
Larva tersebut tidak berkembang menjadi cacing dewasa, tetapi bersembunyi
(dormant) dalam berbagai otot/organ tubuh melalui penetrasi dinding usus
dan selanjutnya didistribusikan lewat sirkulasi darah.
Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi
akan terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation
of resistance), sehingga pada saat inilah larva yang tersembunyi tersebut
menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta) dan
akhirnya menulari anak yang dikandung.
Masa penularan oleh induk penderita ke anak melalui kolostrum terjadi
terutama pada saat pedet berumur 2 hari dan selanjutnya semakin menurun
sampai pedet berumur 10 hari. Periode prepaten parasit ini yaitu sekitar 21
hari sejak tertelannya larva infektif melalui kolostrum.
7. Distribusi Penyakit
Prevalensi ascariasis akibat infeksi T.vitulorum pada pedet di Nigeria 61,4-
91,1% dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur
cacing T.vitulorum dalam fesesnya.
Prevalensi kejadian Ascariasis di negara kita pada sapi dan kerbau dilaporkan
sebesar 76% di Malang dan 68,2 % di Surabaya pada pedet yang berumur
kurang dari 2 bulan, 51,4 % pada pedet berumur 2-4 bulan dan 43,4 % pada
pedet berumur sekitar 6 bulan. Kejadian ascariasis pada anak kerbau di
Kabupaten Subang, Jawa Barat diidentifi kasi pada 14 sampel dari 21 sampel
feses anak kerbau yang berumur 21-62 hari dengan jumlah telur T.vitulorum
antara 100,000-104,000 telur per gram (epg) feses. Infestasi telur T.vitulorum
lebih dari 100.000 epg diduga mampu sebagai faktor pemicu kematian
pada anak kerbau maupun anak sapi.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis yang umum terjadi pada anak sapi atau anak kerbau yaitu
diare, dehidrasi, bulu berdiri dan nampak kusam, nafas berbau asam butirat,
nafsu makan menurun, lesu, pertumbuhan pedet terhambat, dan infestasi
dalam jangka lama dapat memicu anemia. Keadan ini memicu
terjadinya penurunan berat badan (terjadi kekurusan) secara dratis dalam
waktu singkat bahkan berakhir dengan kematian. Selain itu dilaporkan pula
adanya gejala demam dan batuk, dan jika infestasi semakin parah akan
memicu paralysis, kongjungtivitis, dan opisthotonus. Anak sapi yang
tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan secara permanen.
Indikator penilaian derajat keparahan penyakit pada pedet ditentukan dari
jumlah telur cacing per gram (epg) feses. Jumlah telur antara 10.000-30.000
epg diklasifi kasikan sebagai infestasi sedang. Adapun jumlah epg lebih dari
30.000 termasuk ke dalam kelompok infestasi berat.
2. Patologi
Infestasi ascariasis tidak memperlihatkan adanya perubahan patologi
anatomi yang khas, kecuali ditemukannya cacing pada saluran pencernaan,
namun pada infeksi berat dapat terjadi reaksi peradangan pada saluran
pencernaan.
3. Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasar pengamatan gejala klinis dan epidemologis
sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan dukungan pemeriksaan
laboratorium terhadap feses untuk menemukan dan mengkonfi rmasi adanya
tetur cacing dalam feses.
4. Diagnosa Banding
Penyakit yang memicu kekurusan dan diare kronis seperti malnutrisi
dan salmonellosis.
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat berupa feses segar atau
feses yang telah diawetkan dalam formalin 10 %.
pengobatan :
1. Pengobatan
Obat berupa anthelmintika, misalnya :
a. pyrantel dengan dosis 250 mg per pedet tanpa memperhatikan berat
badan,
b. febantel dengan dosis 6 mg/kg berat badan,
c. levamisole dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan,
d. piperazine citrate dengan dosis 200 mg/kg berat badan, secara oral,
e. Eprinomectin (Eprinex) dengan dosis 0.5 mg/kg terbukti efektif terhadap
T. vitulorum.
Pengobatan pada induk penderita sangat sulit dilakukan, sebab L3
tersembunyi pada otot/organ tubuh. Pemberian anthelmintika yang bersifat
sistemik, seperti ivermectin direkomendasikan untuk membunuh larva yang
tersembunyi tersebut.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Kasus ascariasis tidak wajib dilaporkan ke Dinas Peternakan. Namun,
bila memerlukan pertolongan medis secepatnya, sebaiknya disampaikan
laporan ke Institusi yang terkait.
b. Pencegahan
(1) Hindari menggembalakan pedet pada lahan yang tercemar telur
Ascaris atau dengan sapi/kerbau dewasa yang secara historis
diketahui menderita ascariasis.
(2) Pada daerah endemis, peternak dapat memberikan anthelmintika
pada pedet yang berumur 10-16 hari untuk membunuh cacing yang
belum dewasa.
(3) Untuk tindakan pencegahan direkomendasikan untuk melakukan
pengobatan secara teratur pada pedet dan menjaga kebersihan
kandang.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian parasit dilakukan dengan memberikan anthelmintika
secara periodik, terutama pada saat pedet berumur 10-16 hari untuk
membunuh cacing yang belum dewasa. Disamping itu, tindakan ini dapat
melindungi pedet dari serangan cacing, sehingga tidak memungkinkan
untuk memproduksi telur yang berpotensi mengkontaminasi padang
penggembalaan. Pengobatan dapat diulangi pada saat pedet berumur
6 minggu, untuk membunuh cacing dewasa yang belum mati pada saat
pengobatan pertama. Siklus hidup parasit ini sangat kompleks, sehingga
tindakan pemberantasan sulit dilakukan, terutama pada peternakan
rakyat yang dikelola secara tradisional.
BABESIOSIS
Sinonim : Piroplasmosis, Mexican fever (Demam Mexiko), red water, splenic
fever, bloody murrain Texas Fever (Demam Texas Sapi), Cattle Tick Fever
Babesiosis yaitu penyakit parasit yang dipicu oleh Babesia sp dan
terdistribusi di dalam sirkulasi darah. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia
dan menyerang binatang liar dan ternak, terutama ternak sapi yang dipelihara di
daerah tropis dan sub tropis. Morfologi Babesia sp sangat khas, yaitu berbentuk
seperti buah pear (the pear shaped form) yang berada didalam butir darah merah
(intraerythrocytic) inang yang terinfeski. Disamping itu, kasus Babesiosis juga
dilaporkan menyerang pada manusia sehingga dimasukkan ke dalam penyakit
zoonosis. Rata-rata prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia berdasar
pemeriksaan darah di pelabuhan Tanjung Priok mencapai 10,5%. Mortalitas
akibat Babesiosis berkisar antara 5 – 10% meskipun ternak telah diobati. Adapun
jika tidak dilakukan tindakan pengobatan, mortalitas dapat mencapai 50-100%.
Beberapa studi menunjukkan bahwa Babesiosis perlu dipertimbangkan sebagai
salah satu penyakit protozoa darah sebagai pemicu terjadinya kematian pada
sapi dan kerbau. Penyakit Babesiosis di Negara Asia bagian Timur dan Selatan
diyakini tersebar melalui sapi import. Infestasi parasit ini memicu kerugian
ekonomis yang besar berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan,
penurunan daya kerja dan reproduksi, termasuk biaya pembelian desinfektan
serta vaksin.
etiologi
Babesiosis dipicu oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama
Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfi kasi
organisme didalam sel darah merah pada tahun 1888. Selanjutnya, pada
tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protoza intra eritotrosit pada
penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. Adapun kasus Babesiosis
pada manusi pertama kali ditemukan pada peternak sapi di daerah Yugoslavia
pada tahun 1957. berdasar taksonominya, Babesia sp tergolong dalam Filum
Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan
Genus Babesia.
Sejauh ini dilaporkan ada lebih dari 100 spesies Babesia di dunia, tetapi
yang mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan hewan dan manusia antara
lain B.microti di Amerika Serikat, B.divergens dan B.bovis di Eropa. Adapun di
negara kita , Babesia sp yang banyak merugikan peternak yaitu B.bigemina,
B.divergens dan B.bovis. Beberapa spesies Babesia, hanya ditemukan pada
hewan-hewan yang lain, seperti B.mayor menginfeksi sapi, B.equi pada kuda dan
B.canis pada anjing, B.felis pada tikus, dan B.microti pada binatang mengerat
(rodent), juga binatang menyusui kecil dan jenis kera, sedangkan B.divergen
pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki belakang dan ekornya panjang).
Laporan terbaru menyebutkan bahwa spesies yang dulu tidak disebut sebagai
spesies Babesia, yaitu Babesia (WA-1) berhasil diisolasi dari seorang penderita
dengan manifestasi klinis babesiosis di Washington. Adapun spesies Babesia
baru yang diisolasi dari negara bagian Missouri yaitu Babesia (MO1).
Di negara kita , umumnya kasus babesiosis dipicu oleh B.bovis dan B.bigemina,
keduanya dapat dibedakan secara morfologi. Babesia bovis berbentuk cincin-
signet yang bervakuol dan mempunyai merozoit berukuran 1,5-2,4 µm yang
terletak di tengah-tengah eritrosit, sedangkan B.bigemina berbentuk periform,
bulat,oval atau tidak teratur, berpasang-pasangan dengan ukuran diameter 2-3
µm dan panjang 4-5 µm.
B.babesia bovis B.babesia bigemina
Gambar 1. Morfologi Babesia di dalam eritrosit sapi
(Sumber : http://daff.qld.gov.au)
C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus Hidup
Lama waktu yang diperlukan oleh Babesia sp dari mulai menginfeksi
sampai terlihat diperedaran darah sekitar 7-10 hari. berdasar tahap
reproduksinya, perkembangan parasit ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok,
yaitu 1) Gamogoni (formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak); 2)
Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah); dan 3) Merogoni
(reproduksi aseksual pada inang vertebrata).
Sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah vektor (caplak) akan
berpenetrasi ke dalam eritrosit inang, selanjutnya parasit ini akan berkembang
didalam butir darah merah dan berubah menjadi bentuk tropozoit, yang
lalu berdiferensiasi dan bertunas dua atau empat membentuk
merozoit. Bentukan merozoit yang telah tumbuh sempurna (ukuran panjang
1-5 µm) akan merusak butir darah merah dan pindah ke butir darah merah
yang baru. Siklus ini terus berlanjut sampai tingkat parasitemianya tinggi dan
memicu induk semang mati.
Ketika vektor (caplak) menghisap darah inang yang mengandung
parasit (bentukan merozoit), maka sebagian merozoit akan mengalami
kerusakan di dalam saluran pencernaannya. Sebagian lain yang masih hidup
akan berubah menjadi gametosit yang matang (telah tumbuh sempurna),
yang pada akhir tumbuh menjadi gametosit jantan dan betina. Kedua
gametosit tersebut akan menggabung (fusi) dan membentuk zigot (ookinet)
yang motil.
Gametosit yang berkembang di dalam eritrosit induk semang (sapi)
akan berbentuk oval atau bulat yang pada saat tertentu akan berhenti tumbuh.
Gametosit ini yaitu prekursor pada saat perkembangan seksual
parasit yang akan memperbanyak diri di dalam caplak (tick). Zigot akan
menjadi ookinet yang bermigrasi ke hemolimfe dan berpentrasi ke berbagai
organ caplak, bahkan hingga ke dalam telur caplak yang akan diturunkan
ke generasi selanjutnya melalui transovarial transmission. Ookinet yang lain
akan menjadi oosit yang mengandung sporozoit akan masuk melalui dalam
kelenjar ludah caplak. Sporozoit dalam kelenjar ludah ini selanjutnya akan
memindahkan penyakit ke inang melalui gigitannya.
Gambar 2. Siklus hidup Babesia sp. Perkembangan parasit pada inang
ditunjukkan pada no 1 – 6, sedangkan perkembangannya pada vektor
ditunjukkan pada no 7 – 17. (1. Sporozoit yang dilepas dari kelenjar
ludah caplak, 2. skizon (koch’s blue bodies = KB) di dalam limfosit
(N = Nukleus), 3. merozoit, 4–5. membelah diri dalam eritrosit, 7a-b.
Piroplasma dalam usus caplak, 8-10. pembentukan mikrogamon (9)
dan mikrogamet (10), 11. makrogamet, 12. zigot, 13-15. pembentukan
kinet, 15b. Pada Theileria parva pembelahan inti terjadi sebelum kinet
meninggalkan sel usus caplak, 16. kinet memasuki sel kelenjar ludah,
17. pembesaran sel kelenjar ludah dan intinya, dan intinya dan di
dalamnya ditemukan ribuan sporozoit
2. Sifat alami agen
Babesia sp memiliki kemampuan untuk menghindar dari proteksi
respon imun inang sehingga proteksi ini tidak dapat mencegah terjadinya
infestasi berulang, namun hanya mampu menurunkan tingkat parasitemia,
morbiditas dan mortalitas inang saat terjadi re-infestasi. Disamping itu,
respon imun yang ditimbulkan oleh Babesia sp mempunyai karakteristik
reaksi silang (cross immunity). Imunitas yang dipicu oleh B.bigemina
mampu melindungi inang yang terinfestasi oleh B.bovis (cross protected).
3. Spesies rentan
Hampir seluruh hewan rentan terhadap infestasi Babesia sp.
Umumnya sapi dewasa lebih rentan dibandingkan dengan sapi muda. Sapi
Bos taurus juga dilaporkan lebih sensitif terhadap serangan Babesia sp
dibandingkan Bos indicus atau persilangannya. Kejadian kasus Babesiosis
akibat infestasi B.bigemia di Australi
Related Posts:
penyakit hewan mamalia 7 an.epidemiologi 1. Spesies Rentan Hewan yang rentan terhadap aspergillosis yaitu kuda, sapi, domba, babi, kucing, anjing, kelinci, kambing dan kera.2. Pengaruh Lingkun… Read More