Selasa, 11 Juli 2023

penyakit hewan mamalia 7






















an.
epidemiologi 
1.  Spesies Rentan
  Hewan yang rentan terhadap aspergillosis yaitu  kuda, sapi, 
domba, babi, kucing, anjing, kelinci, kambing dan kera.
2.  Pengaruh Lingkungan
  Aspergillus secara normal hidup sebagai saprofi t, sporanya dapat 
dijumpai di udara bebas, debu, jerami, biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan yang 
sedang mengalami pembusukan, dengan demikian pelaksanaan manajemen, 
hygiene dan sanitasi lingkungan yang kurang baik dapat memicu  
aspergillosis. Biasanya penularan melalui bahan pakan yang mengandung 
Aspergillus.
3.  Sifat Penyakit
  Penyakit dapat bersifat akut hingga kronik. Kematian dapat terjadi 
dalam waktu 1-2 hari. 
4.  Cara Penularan
  Penularan spora dapat melalui udara, debu dan bahan pakan ternak 
yaitu faktor yang penting. Hewan terinfeksi biasanya dipicu oleh 
tempat pemeliharaan atau pakan yang tercemar dengan spora. 
5.  Faktor Predisposisi
  Faktor predisposisi terjadinya aspergilosis antara lain yaitu  
hewan dalam kondisi tidak nyaman, berdesakan, kekurangan makanan, 
pakan tercemar oleh spora, dan juga keletihan dapat mempermudah 
timbulnya penyakit. 
6.  Distribusi Penyakit
  Aspergillosis pertama kali dilaporkan di negara kita  pada tahun 1952 
ditemukan pada ayam oleh Kraneveld dan Jaenodin. Pada hewan mamalia 
banyak menyerang alat reproduksi. 
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Dalam bentuk akut, aspergillosis memicu hewan tidak nafsu 
makan, kelihatan mengantuk, kadang membuka mulut karena kesukaran 
bernapas, bahkan bisa timbul kejang. jika cendawan menginfeksi otak, 
dapat memicu  tanda kelumpuhan dan gangguan syaraf yang lain. Jika 
terjadi infeksi pada mata biasanya bersebelahan (tidak selalu kedua mata 
terserang). 
  Pada hewan menyusui biasanya timbul gejala radang paru dengan 
temperatur tinggi, batuk, bersin, pada sapi dapat pula terjadi pada bulan ke 
3-8 kebuntingan. Kurang lebih 60 % dari kasus aspergillosis memicu  
retensi plasenta. Pada kuda kadang timbul keguguran, sedangkan pada 
anak kuda telah dilaporkan terjadinya diare karena aspergillosis.
  Pada anjing dapat terjadi epistaksis, bersin, keluar lendir dari hidung, 
sakit dan bengkak pada daerah maxilla.  
2.  Patologi 
  Aspergillosis paru terjadi dalam bentuk radang paru yang tersebar, 
berbentuk bungkul kecil dan radang selaput paru. Secara umum pada paru 
dijumpai daerah yang meradang, kadang dijumpai cairan bernanah yang 
berwarna hijau kekuningan.

3.  Diagnosa
  Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan langsung dari 
sediaan ulas atau kerokan untuk menemukan fragmen hifa yang bersekat 
dan bercabang. Pada pemeriksaan histologik terlihat radang granulomatosa 
bernanah dengan cendawan. Dari plasenta terlihat nekrosa yang hebat 
dengan infi ltrasi netrofi l, terlihat pula oedem, dan perdarahan serta radang 
pembuluh darah. Sering terlihat hifa yang menembus pembuluh darah. 
Cendawan akan lebih terlihat dengan pewarnaan lactophenol cotton blue
  Pemupukan dapat dilakukan dengan Sabauroud Glucosa/Dekstrosa 
Agar, yang dibubuhi dengan antibiotika. Koloni yang tumbuh semula berwarna 
keputihan yang lalu berubah menjadi hijau gelap, kekuningan atau 
coklat gelap tergantung spesiesnya, dengan permukaan yang halus seperti 
kapas. Secara mikroskopis terlihat miselia yang bersekat, konidiofora dengan 
ujung yang membesar dan bulat dengan sterigmata sebagai penunjang 
konidia yang berderet.
4.  Diagnosa Banding
  Secara klinis dapat dikelirukan dengan penyakit pernapasan yang 
dipicu oleh virus atau bakteri. Adanya bungkul kecil pada paru atau 
pada organ dalam lainnya dapat dikelirukan dengan TBC. keguguran yang 
terjadi akibat aspergillosis dapat menyerupai penyakit brucellosis, vibriosis 
atau leptospirosis. Diagnosa dapat dikenali dengan isolasi aspergillus.
  Pada mamalia aspergilosis dapat dikelirukan dengan pneumonia 
yang dipicu oleh kuman selain aspergilosis.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Spesimen untuk pemeriksaan terhadap aspergillosis dapat berupa 
cairan bronkhial, kerokan kulit jaringan biopsi/seksi, berupa nodula pada 
paru, bronkhi dan organ tubuh lain. Spesimen diambil seaseptik mungkin 
dan segera dikirim ke laboratorium untuk diperiksa.
pengobatan :  
1.   Pengobatan
   Pengobatan aspergollosis untuk hewan besar dengan pemberian 
Griseofulvin menunjukkan hasil yang memuaskan, tetapi biaya cukup 
mahal. 
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pencegahan
     Belum ada vaksin yang efektif yang dapat dipakai untuk usaha 
pencegahan. Hewan penderita sebaiknya diisolasi. Pakan ternak dijaga 
jangan sampai bercendawan. Memusnahkan sumber cendawan dan 
spora dengan mencampurkan antimold atau toxynbinders ke dalam 
pakan.  Jangan memakai antibiotika melebihi jangka waktu 
yang ditentukan, karena akan memicu  superinfeksi oleh jamur 
Memberikan perawatan dan pakan hewan untuk mempertinggi daya 
tahan tubuh. Lingkungan kandang sebaiknya cukup ventilasi dan sinar 
matahari. Tempat penyimpanan pakan harus kering (tidak lembab) dan 
jangan menyimpan paka terlalu lama
b.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Hewan tersangka dan penderita aspergillosis harus diisolasi dan 
diobati. Tempat bekas penderita didesinfeksi. 

    MASTITIS MIKOTIK
  
Mastitis yaitu peradangan/infl amasi pada jaringan internal ambing atau 
kelenjar mammae yang dipicu oleh mikroba (bakteri, virus, cendawan), zat 
kimiawi, dan luka akibat mekanis. Mastitis biasanya diawali dengan galactophoritis 
atau peradangan pada duktus/saluran mammae. Mastitits mikotik yaitu  
mastitis yang dipicu oleh mikroba jenis cendawan (kapang dan khamir). 
Meskipun mastitis mikotik prevalensinya tidak sebesar mastitis bakterial namun 
perlu diwaspadai karena biasanya kasusnya subklinis dan kronis. Infeksi yang 
terjadi tergantung dari jenis dan banyaknya jumlah cendawan yang menginfeksi. 
Mastitis dapat memicu kerugian secara ekonomi karena dapat menurunkan 
produksi, kualitas dan komposisi susu serta memicu gangguan kesehatan 
hewan.
  
etiologi 
Penyebab mastitis mikotik yaitu  cendawan: 1) golongan kapang yang 
bermiselium sejati (Aspergillus spp, Alternaria spp, Aerobasidium spp, Epicocum 
spp, Geotrichum spp, Penicillium spp, Phoma spp, dan Pichia spp), dan 2) 
golongan khamir yang bersel satu dan tidak/bermiselium semu (Candida spp, 
Cryptococcus sp., Rhodoturrula spp, Trichosporon spp dan Saccharomyces spp). 
Namun umumnya kasus mastitis mikotik lebih sering dipicu oleh khamir 
khususnya Candida spp yang tergolong grup organisme uniseluler oportunistik. 
Penyebab lain dari mastitis mikotik pada anjing yaitu  Blastomyces dermatitidis, 
yaitu cendawan dimorfi k golongan khamir dan biasanya ada di 
lingkungan.
      
(Saccharomyces spp)                                       (Candida spp)
(Cryptococcus sp) (Geotrichum candidum)

   
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Hewan yang rentan terhadap kasus mastitis mikotik yaitu  mamalia 
atau hewan yang menyusui anaknya, namun lebih sering terjadi pada hewan 
yang memproduksi susu dan diperah (sapi, kambing, kerbau dan kuda). 
Kasus penyakit mastitis mikotik juga dapat terjadi pada manusia.  
2.  Pengaruh Lingkungan
  Lingkungan yang tidak bersih, kelembaban yang tinggi dapat 
memacu pertumbuhan dari cendawan pemicu mastitis. Negara tropis 
yang mempunyai kelembaban cukup tinggi lebih mudah untuk pertumbuhan 
cendawan.
3.  Sifat Penyakit
  Sifat penyakit mastitis mikotik biasanya kronis. Mastitis mikotik 
biasanya terjadi akibat pemakaian antibiotika dalam jangka panjang. 
Beberapa cendawan yang tadinya fl ora normal di dalam tubuh dapat menjadi 
patogen jika hewan mengalami penurunan daya tahan tubuh (imunitas). 
Mastitis mikotik juga bisa bermula dari mastitis bakterial dan berlanjut menjadi 
mastitis mikotik. 
4.  Cara Penularan
  Proses infeksi mastitis terjadi melalui beberapa tahapan, tahap 
awal kontak dengan mikroba (cendawan), lalu mikroba tersebut 
mengalami multiplikasi di sekitar lubang puting (sphincter), sesudah  itu 
mikroba masuk kedalam jaringan akibat lubang puting yang terbuka ataupun 
karena adanya luka. Penularan mastitis mikotik dapat terjadi dari alat perah, 
tangan pemerah, pakan yang terkontaminasi, lantai kandang, tanah, debu, 
sanitasi lingkungan yang buruk.
 
5.  Faktor Predisposisi
  Faktor predisposisi terjadinya mastitis mikotik yaitu  sanitasi 
kandang dan lingkungan yang buruk, pemeliharaan hewan yang kurang baik 
dan benar, cara pemerahan yang tidak higienis, pemberian antibiotik yang 
berkepanjangan serta pemberian pakan yang terkontaminasi cendawan.
6.  Distribusi Penyakit
  Distribusi penyakit mastitis mikotik tersebar di berbagai negara 
didunia ini, meliputi: Amerika, Belanda, Brazil, Denmark, negara kita , India, 
Israel, Polandia, Yugoslavia, dan negara lainnya. Namun penyakit mastitis 
mikotik lebih banyak terjadi di negara tropis. negara kita  yaitu negara 
tropis yang berpotensi untuk terjadinya kasus mastitis mikotik. negara kita  
(Balai Besar Penelitian Veteriner) telah melaporkan kasus mastitis mikotik 
yang dipicu oleh Candida spp, Geotrichum spp, Rhodoturulla spp, 
Saccharomyces spp yang menginfeksi sapi perah.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Gejala klinis mastitis dapat dibedakan secara umum menjadi 
mastitis perakut, akut, subakut, subklinis, dan kronis. Kasus mastitis 
subklinis yaitu  yang paling sering terjadi, diperkirakan 15-40 kali lebih 
banyak dibandingkan dengan mastitis klinis. Perakut ditandai dengan onset 
yang tiba-tiba terjadi peradangan parah pada ambing, air susu berubah 
menjadi serous. Pada mastitis akut ditandai dengan tiba-tiba, peradangan 
pada ambing derajatnya sedang sampai parah. Mastitis subakut ditandai 
dengan peradangan yang ringan, tidak terlihat perubahan penampilan 
ambing, namun terjadi perubahan dari komposisi penampilan air susu, juga 
akan terjadi pecahnya permukaan susu. Mastitis subklinis tidak jelas gejala 
klinisnya namun terkadang terjadi perubahan komposisi air susu. Mastitis 
kronis gejalanya seperti mastitis subklinis namun kejadiannya berlangsung 
lebih lama. Mastitis mikotik biasanya tergolong kasus yang kronis dan 
subklinis.
  Gejala klinis pada hewan yaitu  demam, lemah, sapi berdiri 
dengan jarak kedua kaki belakang melebar (karena membesarnya ukuran 
ambing), kehilangan berat badan/kurus, produksi susu menurun.  Pada 
ambing terlihat bengkak, kemerahan dan panas, serta keluar eksudat dari 
puting. Pada kasus mastitis mikotik, biasanya ditandai dengan gagalnya 
usaha pengobatan dengan antibiotika, karena mastitis mikotik dipicu 
oleh cendawan. Susu yang dihasilkan menurun kuantitas dan kualitasnya, 
susu berwarna putih keabuan hingga kekuningan, buram dan mengental 
(mukoid). 
                                
Gambar 3. Gejala klinis ambing sapi yang menderita mastitis
(Sumber : http://formulationgoods.kbo.co.ke/MYCOTOXIN+BINDERS3B+A
+MUST+FOR+ANIMAL+FEED+FORMULATION)
                                   
2.  Patologi 
  Pada sapi yang menderita mastitis mikotik akan terlihat ambingnya 
bengkak dan keluar eksudat. jika dilakukan insisi pada ambing akan 
terlihat eksudat  yang berwarna kekuningan. Mastitis yang dipicu oleh 
cendawan jenis Cryptococcus neoformans dan Candida albicans bersifat 
granulomatous. Peradangan granulomatous ditandai dengan pus/ eksudat 
berwarna kuning, dan secara histopatologi dapat terlihat banyaknya sel 
radang dan central necrotic debris.
  Pada kambing dengan percobaan mastitis mikotik dengan 
menginokulasikan Candida albicans secara intramamari akan memicu 
leukositosis dan neutrophilia, secara mikroskopik akan terlihat perjalanan 
infeksi dari mulai mastitis akut purulen, kronis, nonpurulen dan berlanjut 
menjadi granulomatous, terlihat juga adanya kerusakan jaringan pada 
ambing 
3.  Diagnosa
  Diagnosa dapat ditentukan dari gejala klinis dan identifi kasi 
cendawan. Isolasi dan identifi kasi cendawan dilakukan dengan mengambil 
susu dari hewan penderita lalu dikultur dan dilakukan uji biokimiawi. 
Kultur dapat dilakukan dalam media sabourauds glucose/dextrose agar, 
lalu diamati koloninya. Pada pemeriksaan secara mikroskopik dengan 
menambahkan lactophenol cotton blue (LPCB) dapat diamati adanya hifa, 
spora dan miselium dari cendawan pemicu mastitis.  Pada hewan yang 
sudah mati atau disembelih untuk peneguhan diagnosa dapat pula dilakukan 
pemeriksaan patologi anatomi dan histopatologi, pada jaringan organ 
mammae yang terinfeksi akan ditemukan hifa atu spora cendawan.
  Deteksi cendawan dengan memakai Polymerase Chain Reaction 
(PCR) juga dapat dilakukan. Metode PCR memiliki keuntungan dibandingkan 
dengan metode lain, karena metode PCR dapat mendiagnosa mastitis 
mikotik walaupun cendawan yang menginfeksi berjumlah sedikit.
                             
Gambar 7. Pertumbuhan koloni Candida spp dalam media sabourauds 
glucose agar, kasus mastitis pada sapi perah FH 
(Sumber : Tarfarosh dan Purohit, 2008)
4.  Diagnosa Banding
  Pada mastitis dengan adanya pembengkakan yang terjadi pada 
ambing maka diagnosa banding untuk mastitis yaitu  neoplasia/tumor 
mammae.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Pengambilan sampel (susu) dari hewan penderita dilakukan secara 
aseptik. Ambing dibersihkan terlebih dahulu dicuci dengan air sabun lalu 
dibersihkan dengan alkohol 70%, susu diambil dari kuarter ambing hewan 
yang sakit. lalu susu dimasukkan dalam wadah/tempat yang steril dan 
diberi pendingin/es.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan dapat dilakukan dengan nistatin dengan dosis 10 g/
kuartir, obat diaplikasikan melalui puting. Selain itu juga diberikan larutan 
desinfektan povidin iodin. Selain itu dapat diberikan amphotericin, clotrimazol, 
ketoconazole, fl uorocitonin,miconazol dan polimixin.   
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pencegahan
     Pencegahan mastitis mikotik dapat dilakukan dengan: 
1. Menjaga sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang;
2. Menjaga kebersihan hewan; 
3. Pada hewan yang diperah sebaiknya mengikuti prosedur pemerahan 
dengan baik dan benar serta higienis (mendesinfeksi alat perah dan 
mencuci tangan sebelum dan sesudah memerah, mencuci ambing 
hewan, dipping pada puting ambing);
4. Memberikan antibiotika bila diperlukan, sesuai aturan dan tidak 
berkepanjangan; 
5. Memberikan pakan dan air minum yang tidak terkontamninasi 
cendawan;
6. Penyimpanan pakan, alat-alat perah tidak ditempat yang lembab 
dan terhindar dari jamur;
7. Memberikan nutrisi yang baik. 
b.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Pengendalian dan pemberantasan dapat dilakukan dengan 
mengisolasi hewan penderita, memisahkan antara hewan sehat dan 
hewan sakit. Pada kasus yang sudah parah sebaiknya hewan diafkir.

RINGWORM
Sinonim: Dermatomycosis, Tinea, Favus unggas, Kurap, Tinea, Trichophytosis, 
  
Ringworm yaitu  penyakit menular yang dipicu oleh cendawan yang 
bersifat keratinofi lik pada permukaan kulit atau bagian dari jaringan lain yang 
mengandung keratin (bulu, kuku, rambut dan tanduk) baik pada hewan maupun 
manusia. Beberapa spesies cendawan bersifat zoonosis karena hewan penderita 
dapat yaitu sumber penularan pada manusia dan sebaliknya. Mortalitas 
penyakit rendah, namun kerugian ekonomis dapat terjadi karena mutu kulit yang 
menurun atau berat badan turun karena hewan selalu gelisah. Penyakit ini sering 
dijumpai pada hewan yang dipelihara secara bersama-sama dan yaitu 
penyakit mikotik yang tertua di dunia.
Penyakit kulit ini dinamakan ringworm karena pernah diduga penyebabnya yaitu  
worm dan karena gejalanya dimulai dengan adanya peradangan pada permukaan 
kulit yang bila dibiarkan akan meluas secara melingkar seperti cincin.
etiologi 
Cendawan pemicu penyakit ini termasuk dalam kelompok Dermatophyta. 
ada empat genus, yaitu Trichophyton, Microsporum, Epidermophyton, 
Keratinomyces, namun yang memicu penyakit pada hewan yaitu  
Trichophyton dan spesies Trichophyton verrucosum, T.mentagrophytes dan 
T.megninii dan genus Microsporum. Lebih dari 90% kasus pada kucing dipicu 
oleh M.canis. 
Di negara-negara yang berikilim tropis atau dingin, kejadian Ringworm lebih 
sering karena dalam bulan-bulan musim dingin, hewan selain kurang menerima 
sinar matahari secara langsung juga sering bersama-sama di kandang sehingga 
kontak langsung diantara sesama individu lebih sering terjadi. Penyebaran 
penyakit dapat terjadi karena kontak langsung dengan hewan atau patahan bulu 
yang terinfeksi.
Pada dasarnya cendawan diklasifi kasikan berdasar  habitat, spesies yang 
diserang, lokasi spora pada rambut, sifat pertumbuhan, dan lokasi tempat 
tumbuhnya. 
a. Habitat : geofi lik yang ada dalam tanah dan keratinofi lik yang ada 
pada jaringan yang membentuk keratin (epitel, tanduk, rambut, kuku).
b. Spesies : anthropofi lik menyerang manusia dan zoofi lik menyerang hewan
c. Lokasi spora pada rambut : eksotriks berlokasi di luar dan endotriks di dalam 
rambut.
d. Pertumbuhan pada kultur : berdasar  sifat pertumbuhannya di dalam 
kultur
e. Lokasi pada tubuh : seluruh permukaan tubuh.
Namun demikian predileksi pada host tidaklah mutlak. Hewan atau manusia 
dapat terinfeksi oleh berbagai jenis cendawan.
Spora ringworm tahan lama dalam kandang dan bebas di tempat hewan. Koloni 
cendawan dapat tetap hidup dalam koloni feses setengah kering. Cendawan 
tetap infektif di luar tubuh, misalnya di tanah, jerami, kayu, dan  bahan keratin. 
Cendawan akan rusak pada suhu tinggi (100oC).
Cendawan ini umumnya tidak dapat tumbuh Iebih dalam di bawah jaringan kulit 
atau jaringan yang Iebih dalam, diduga karena ada faktor penghambat yang 
ada di dalam serum darah atau cairan tubuh. Cendawan hidup dipermukaan 
tubuh yang mengalami keratinisasi, seperti tanduk dari kulit, rambut,kuku,dan 
bersifat invasif 
Demikian pula tidak dapat hidup dalam jaringan yang mengalami peradangan yang 
berat dimana ada banyak sel-sel radang sehingga cendawan akan dimakan 
oleh sel – sel radang tersebut. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku. 
Arthrospora teratur berderet di dalam rambut (endotriks) atau sejajar berderet 
di bagian luar rambut (eksotriks). Pada kulit dan kuku Trichopython mempunyai 
miselia yang bercabang dan bersekat. Bentuk ini tidak dapat dibedakan dengan 
Microsporum maupun Epidermophyton.
Dermophyta mampu memanfaatkan bahan keratin untuk hidupnya, tetapi keratin 
tidak diperlukan bila cendawan tumbuh dalam perbenihan (kultur).
Cendawan cenderung tumbuh menyebar menjauhi radang untuk mencapai 
jaringan normal hingga terbentuk cincin. Teori terbentuknya cincin yaitu  bahwa 
tubuh membentuk zat inti yang membatasi pertumbuhan cendawan.  
Microsporum hanya hidup pada rambut dan kulit. Cendawan ini terlihat bagai 
selubung mosaik yang terdiri dari spora kecil di sekeliling batang rambut. 
Microsporum canis tetap hidup pada rambut hewan yang diletakkan pada suhu 
kamar selama 323-422 hari, Epidermophyton hidup pada kulit dan kuku dengan 
bentuk bercabang dan bersekat. Pengamatan secara pasti hanya dapat dilakukan 
dengan pemupukan. 
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Ringworm dapat menginfeksi hewan antara lain sapi, kuda, anjing, 
kucing dan unggas, demikian pula dapat menyerang manusia. Banyak jenis 
Ringworm yang sangat kontagius, yaitu ringworm pada kucing, anjing, kuda 
dan sapi mudah menular ke manusia. 
  Hewan lain yang rentan terhadap cendawan ini antara lain kelinci, 
cavia, chinchillas, mencit, rat, kalkun, kera. Kadang-kadang terjadi pada 
oposum, tikus air dan jarang pada babi, kambing, burung liar, keledai. 
2.  Pengaruh Lingkungan
  Ringworm tersebar luas di negara tropis, beriklim panas atau sedang 
terutama jika udara lembab. Walau demikian distribusi geografi s penyakit 
ini bervariasi. Di negara yang mempunyai 4 musim, kasus yang paling 
sering terjadi pada musim dingin dan musim semi. Menurut British report, 
hal ini yaitu indikasi adanya variasi dalam musim. Di samping itu ada 
perbedaan geografi s yang menarik yang berhubungan dengan penyakit 
endemik Dermatophyton dimana Microsporum canis yaitu agen 
pemicu kurang lebih 95 % pada kucing dan 70 % pada anjing di Amerika 
utara.
3.  Sifat Penyakit
  Ringworm cepat menular di antara kelompok hewan (morbiditas 
tinggi) dengan mortalitas yang rendah. Zoofi lik dermatophytosis dapat 
memicu epidemik pada manusia. Kaplan dkk melaporkan bahwa dari 
360 anjing penderita ringworm, 10 % pemiliknya mengalami infeksi, demikian 
juga 30 % pemilik kucing yang terinfeksi menderita penyakit ini. Perlu dicatat, 
bahwa hewan liar juga bisa menjadi reservoir dari ringworm. 
  Hasil penelitian Zurich dari 12.520 anak sapi penderita ringworm 
di abatoir (Rumah Potong Hewan) selama tahun 1989, menunjukkan bahwa 
prevalensi ringworm 7 % dengan maksimal 12,8 % pada bulan JuIi dan 
minimun 5,1 % pada bulan Maret. Prevalensi ringworm lebih tinggi pada 
peternakan dengan kelompok yang besar dibanding dengan kelompok kecil. 
Sistem manajemen kontinyu memberikan prevalensi 51 % dibanding dengan 
sistem all in all out 28 %. 
  Bentuk yang dapat dikenali dari kulit manusia hampir sama dengan 
infeksi pada kulit kucing atau hewan lainnya. Bulat kemerahan dengan lesi 
menyerupai kawah yang terkadang berisi air, rasa gatalnya teramat sangat, 
jika digaruk akan semakin besar dan melebar dengan lesi yang semakin 
dalam. Penyembuhan secara total pada hewan maupun manusia perlu 
dilakukan, penanganan yang tidak tuntas memungkinkan cendawan tumbuh 
kembali sehingga lebih sulit dibasmi.
Gambar 2. Contoh ringworm yang menular pada manusia
    (Sumber : http://img.ehowcdn.com/article-new/ehow/images/a05/ 
12/1o/prevent-ringworm-skin-disease-800x800.jpg)
4.  Cara Penularan
  Penularan penyakit ini melalui kontak langsung bersentuhan antara 
hewan penderita dengan hewan sehat, meskipun persentuhan tersebut 
tidak selalu memicu  penyakit. ini kemungkinan dipicu 
adanya persaingan antara cendawan itu sendiri dengan organisme yang 
sudah menetap lebih dahulu pada kulit. Perkembangan penyakit tergantung 
interaksi antara inang dengan cendawan tersebut, sehingga perubahan kulit 
tidak selalu berbentuk cincin. Terutama bila diikuti dengan infeksi sekunder.
  Penularan dari hewan ke manusia dan sebaliknya kadang terjadi 
terutama Microsporum canis. Peralatan untuk perawatan hewan, sadel dan 
pakaian kuda sering sebagai pemicu penularan penyakit.
5.  Faktor Predisposisi
  Kondisi geografi s negara kita  yang yaitu daerah tropis dengan 
suhu dan kelembaban yang tinggi dapat memudahkan tumbuhnya cendawan. 
ini yang memfasilitasi banyaknya infeksi cendawan pada hewan piaraan 
maupun hewan besar, seperti sapi dan hewan ternak lainnya. Faktor lain 
yang dapat menjadi predisposisi terjadinya infeksi cendawan selain udara 
yang lembab, juga pada musim dingin atau hujan terutama dalam keadaan 
basah dapat meningkatkan kejadian infeksi cendawan. Ringworm yaitu 
salah satu penyakit kulit yang paling umum pada sapi.
6.  Distribusi Penyakit
 
  Distribusi geografi s penyakit ini bervariasi Microsporum canis 
tersebar luas di dunia, sedangkan Trichophyton concentricum diketahui 
hanya berada pada daerah geografi s tertentu.
  Penyakit ini banyak dijumpai di negara kita  meskipun publikasinya 
belum banyak. Ringworm banyak ditemukan pada pasien hewan kesayangan 
seperti anjing dan kucing.  
keterangan : 
1.  Gejala klinis
  Di tempat infeksi ada bentukan khas dari penyakit ini, yaitu 
terlihat seperti cincin, namun gejala klinis bervariasi jika disertai infeksi 
kuman lain. Gejala dimulai dari bercak merah, eksudasi dan rambut patah 
atau rontok. Perkembangan selanjutnya sangat bervariasi dapat berupa 
benjol kecil dengan erupsi kulit atau berbentuk seperti tumor yang dikenal 
dengan kerion.
a.  Gejala pada anjing dan kucing
     Bentuk cincin pada kucing biasanya dijumpai pada telinga, daerah 
muka dan kaki. Kerusakan kulit disertai bercak kemerahan dengan 
rambut patah atau rambut rontok disertai keropeng dan bersisik. Pada 
anjing perubahan kulit biasanya dijumpai pada daerah muka, terutama 
di sekitar moncong, kaki dan perut bagian bawah, dengan pembentukan 
keropeng, erupsi kulit dan rambut rontok. Gejala atipikal kadang muncul 
sebagai papula dan pustula tanpa pembentukan alopesia atau sisik. lesi 
dengan batas jelas, menonjol, eritrema, alopesia atau nodule diakhiri 
dengan kerion cincin, bisa dibarengi dengan reaksi hipersensitif.
     Pada kucing bisa tidak menunjukkan gejala lesi atau hanya sedikit 
rambut rontok sekitar muka, dan telinga. Hewan ini sering menjadi carrier 
dan memicu  masalah pada pembiakan kucing. 
b.  Gejala pada sapi
     Pada sapi erupsi kulit terjadi pada muka, leher, dengan permukaan 
yang meninggi, berkeropeng, bersisik atau berbentuk bungkul. Jika 
keropeng diangkat akan terjadi perdarahan.
     Penyakit ini paling sering menyerang hewan muda. Setelah masa 
inkubasi 2-4 minggu, rambut patah atau rontok. 2-3 bulan lalu 
terlihat lesi tebal, bulat, menonjol dengan batas jelas, warna putih 
keabuan. Lesi berkembang ke arah perifer, dapat mencapai diameter 5-
10 cm. Bila penyakit tidak diobati lesi bisa meluas secara umum terutama 
pada sapi muda.
Gambar 4. Kasus Ringworm dipicu oleh Trychophyton verrucosum
(Sumber : http://www.skinturgor.com/turgor/ringworm-pictures)
 
c.  Gejala pada kuda
     Pada kuda yang terkena infeksi biasanya yaitu  bahu, muka, dada 
dan punggung. Perubahan kulit bervariasi dari erupsi kulit berbentuk 
eritrema, rambut rontok, bersisik atau berbentuk benjolan dengan luka 
yang cukup dalam.
     Gejala klinis Iain, yaitu dengan terbentuknya 1 atau lebih alopesia. 
Pada lesi awal terlihat gejala yang menyerupai urticaria lalu 
berlanjut membentuk alopesia dan kerak atau keropeng dalam beberapa 
hari.
Gambar 5. Kuda terinfeksi Ring Worm
(Sumber : http://www.thehorse.com/photos/slideshows/30256/common-
equine-skin-conditions)
d.  Pada domba
     Pada domba perubahan pada kulit berupa erupsi disertai rambut 
rontok dengan pembentukan sisik dan biasanya ada pada muka dan 
punggung.
2. Patologi 
  Kelainan pasca mati terbatas pada kulit dan pada dasarnya sama 
dengan tanda klinis. Gambaran mikroskopis sering tidak spesifi k dan mudah 
dikelirukan dengan penyakit kulit lainnya. Cendawan terlihat di dalam 
ataupun di luar batang rambut dan mudah dilihat dengan pengecatan PAS 
atau Gredley. Stratum koneum terlihat menebal, epidermis mengalami 
hipertrofi  disertai bendung darah dan infi ltrasi limposit. Jika terjadi infeksi 
folikel rambut, folikel menjadi rusak. Jika terjadi infeksi sekunder, infi ltrasi 
netrofi l menjadi semakin nyata.
3.  Diagnosa
  Diagnosa penyakit ringworm dapat dilakukan dengan :
a.  Melihat gejala klinis yang spesifi k. Tanda klinis yang dapat dipakai sebagai 
pedoman yaitu  perubahan kulit berupa cincin disertai keropeng, rambut 
yang rontok atau patah-patah atau timbulnya bentukan lesi membulat 
dan cenderung meluas.
b.  Pemeriksaan langsung secara mikroskopis atau dengan cahaya Wood. 
Adanya cendawan menunjukkan warna yang berpendar
c.  Pemeriksaan histologis dan pemupukan dengan kultur cendawan. 
Agar sabouround glucose dapat dipakai sebagai standar kultur 
kecepatan tumbuh, perubahan warna permukaan maupun warna 
punggung koloni dapat dipakai untuk pengenalan meskipun ada 
variasi dalam spesies. Spesies Trichophyton dapat dibedakan dengan 
uji nutrisi disamping pemupukan rutin dan pemeriksaan mikroskopik. 
Dermatophyton dapat tumbuh dalam temperatur kamar, pH 6,8-8.7. 
Untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan cendawan saprofi t dapat 
dipakai cyclohexaminide dan chhloramphenicol dalam perbenihan.
4.  Diagnosa Banding
  Ringworm sering dikelirukan dengan perubahan kulit yang lain 
seperti penyakit kudis, gigitan serangga, infeksi bakteri dan radang kulit yang 
lain. Diagnosa dapat dibuat dengan menemukan cendawan baik langsung 
maupun tidak langsung.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Bahan pemeriksaan dapat diperoleh berupa kerokan kulit, rambut 
atau kerokan serta potongan kuku. Tempat yang diduga terinfeksi harus 
didesinfeksi dulu dengan alkohol 70 % untuk menghilangkan pencemaran. 
Kerokan diambil dari tepi luka yang masih dalam proses yang aktif lalu 
bahan pemeriksaan dimasukkan kedalam botol atau tabung steril ditutup rapat 
dan diberi tanda yang jelas. lalu dikirim dengan desertai keterangan 
yang lengkap tentang penyakit dan perubahan yang dijumpai.
  Rambut sebagai bahan pemeriksaan dapat diperoleh dari rambut 
yang patah atau dengan mencabut rambut sampai pada pangkalnya, sedang 
potongan kuku diambil dari pangkal kuku.
  Pada hewan penderita ringworm tetapi tidak menunjukkan tanda 
yang nyata, bahan pemeriksaan dapat diperoleh dengan menyikat rambut 
dan kotoran rambut yang berwarna keputihan dan tampung.
 
  Bahan pemeriksaan yang kering seperti keropeng atau rambut 
dapat dikirim dengan memakai amplop atau kertas yang dilipat untuk 
menjaga tetap kering, lalu dimasukan ke dalam kotak, disertai surat 
dan keterangan lengkap tentang penyakitnya.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Ringworm jenis tertentu dapat sembuh dengan sendirinya tetapi 
kebanyakan perlu di obati dengan bahan kimia. Pengobatan dapat dilakukan 
dengan dua cara yaitu dengan olesan atau melalui mulut. Dapat dipakai 
obat yang mengandung lemak, jodium sulfa atau asam salisilat. Untuk 
sapi dapat dipakai Na-kaprilat 20 % dengan disemprotkan. Pada kuda 
dapat dipakai Na-trichloromethethyl-thiotetrahydropthalimide. Jika 
perubahan kulit hanya terbatas, dapat dipakai larutan asam lemak seperti 
Sapronal atau Naprylat. Untuk perubahan kulit yang akut dapat dipakai 
asam borax 2-5 % Kalium permanganat 1:5000. Untuk luka menahun, kulit 
tebal, hiperpigmentasi dan keropeng dapat dipakai Carbowax yang telah 
mengandung fungisida. Obat lain yang bisa dipergunakan yaitu  asam 
benzoat 6 % dan resareinol 1-10 % di samping obat olesan tersebut di atas, 
dapat dipergunakan gliserofulvin dan hasilnya  cukup memuaskan.
  Untuk lesi kecil dipakai 2 % miconazole cream atau larutan 
thiabendazole setiap hari sampai sembuh. Bila lesi berkembang dapat 
dipakai 0,5 % sulfur atau 1:300 larutan Captan sebagai pencuci 2 
kali seminggu. Untuk penyakit kronis, diberikan obat sistemik, seperti 
microcrystallin griseofulvin. Dosis untuk anjing 40-120 mg/kbb/hari 1 kali 
dicampur dengan makanan yang berlemak tinggi. Pengobatan dilanjutkan 
selama 2 minggu sesudah  sembuh dari lesi atau pemeriksaan pada kultur 
negatif. Kucing tidak boleh lebih dari 60 mg//kbb/hari karena memicu 
toksisitas pada sumsum tulang. Bagi hewan yang resisten terhadap 
griseofulvin diberi ketoconazole 10-30 mg/kbb/hari, walaupun obat ini belum 
dibuktikan pemakaiannya untuk hewan.
  Natamycin-S telah dipakai dengan hasil yang bervariasi. 
Di Afrika, pengobatan dengan tumbuhan lokal rupanya efektif. Buah dari 
Solanum acueastrum, juga solanum dari berbagai spesies lain dipakai 
sebagai obat ringworm oleh penduduk setempat.
  Larutan formaldehyde 10 % yang disuntikkan secara intra muskuler 
dengan dosis 1 mI/kgBB berhasil menyembuhkan 9 dari 10 anak sapi yang 
terinfeksi dengan T.verrucosum dalam 15-20 hari, sedang kontrol yang 
disuntik dengan larutan saline tetap menunjukkan adanya lesi ringworm.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan 
 
a.  Pelaporan
     Kejadian kasus dilaporkan kepada Kepala Dinas Peternakan atau 
Dinas terkait setempat. Pengumpulan data mengenai ringworm perlu 
terus dilakukan untuk mengetahui keadaan sesungguhnya penyakit 
ringworm di lapangan.
b.  Pencegahan
     Usaha pencegahan dapat dilakukan dengan menjaga kesehatan 
tubuh hewan dan kebersihan kulit hewan. Hewan penderita harus 
dijauhi baik oleh hewan lain ataupun manusia kecuali yang ditugaskan 
merawat hewan tersebut. Menjauhi dan mendesinfeksi tempat yang 
diduga menjadi sumber spora. Diduga miselia dermatophyta mampu 
merangsang pembentukan antibodi. Telah diketahui bahwa jaringan 
mengandung suatu zat yang disebut ”serum faktor” yang bersifat fungisida 
dan fungistatika dan zat inilah yang diduga membatasi pertumbuhan 
dermatophyta hanya pada bagian kulit yang mengalami keratinisasi 
saja. Dermatophyta bersifat antigenik yang lemah tetapi sangat alergik. 
Reaksi hipersensitisasi merupakari kejadian yang sering terjadi pada 
infeksi dengan dermatophyta.
     Vaksin yang dibuat dari T.verrucosum pernah dipakai untuk 
pengebaIan terhadap ringworm pada anak sapi. Vaksin hidup kering beku 
telah dicoba pada 422 anak sapi bersama dengan kontrol, lalu 
ditantang dengan T.verrucosum ganas. 4,4-9 % hewan yang divaksinasi 
hanya mengalami gejala klinis yang ringan antara hari ke 14-25 dan pada 
hari ke 28, 99-100 % hewan yang divaksinasi terllindungi sepenuhnya.
c.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Memisahkan penderita dan mencegah kontak dengan hewan 
sehat. Peralatan bekas penderita harus dihapus hamakan. Sisa pakan 
dan bahan yang tidak dipergunakan lagi harus dibakar. Penderita diobati 
secara tuntas. Sanitasi harus diperhatikan. Daging penderita ringworm 
dapat dikonsumsi, namun harus dimasak terlebih dahulu sebelum 
diedarkan, sedangkan kulitnya harus dimusnahkan.

SELAKARANG
Sinonim : Lymphangitis epizootica, Pseudoglanders, Saccharomycosis, 
Pseudomalleus, African farcy, Histoplasmosis kuda, Epizootic lymphangitis, 
Equine cryptococcosis
  
Selakarang yaitu suatu penyakit mikotik yang menular kronis. Penyakit 
ini juga bersifat zoonosis sehingga dapat menular ke manusia. Penyakit ini 
menyerang hewan jenis Equidae (kuda, keledai, bagal dan sebangsanya), 
ditandai dengan radang bernanah pada saluran maupun simpul limfe, yang 
selanjutnya memicu ulserasi pada kulit di atas saluran limfe dimana 
tempat jamur bersarang. Adanya benjolan terutama pada daerah saluran limfe 
(limfangitis) dapat dicurigai sebagai tanda penyakit selakarang. Tingkat mortalitas 
rendah sekitar 10-15%. Secara ekonomi merugikan karena dapat menurunkan 
produktifi tas kerja kuda. Selain itu, bersifat kronis sehingga pengobatannya 
memerlukan biaya dan waktu yang cukup mahal. Adakalanya pada kuda yang 
memiliki daya tahan baik dapat menunjukkan respon kesembuhan spontan yang 
diikuti dengan sifat kekebalan yang baik.
B.   ETIOLOGI
Selakarang yaitu suatu penyakit yang dipicu oleh cendawan jenis 
Histoplasma farciminosum (Cryptococcus farciminlosus, Saccharomyces 
fareiminosus, Endomyces fareiminosa, Saccharomyces, Blastomyces fareiminosa 
atau Zygonema farciminosa). Tergolong dimorfi k yaitu cendawan yang dalam 
temperatur tubuh 37oC berbentuk khamir yang bersifat parasitik namun pada 
temperatur kamar akan berubah menjadi seperti miselia yang tumbuh pada 
kultur. 
Cendawan dimorfi k ini mempunyai bentuk khamir mulai dari bentuk ovoid sampai 
dengan globos dengan diameter berukuran 2-5µm, dapat ditemukan pada 
ekstaseluler dan intraseluler di dalam sel makrofag dan sel raksasa. Pada bentuk 
miselia pertumbuhannya lambat dengan kondisi aerob. 
epidemiologi 
1.  Spesies rentan
  Hewan yang rentan terhadap selakarang yaitu  famili Equidae 
yaitu kuda, keledai, bagal dan sebangsanya. Pernah dilaporkan kejadiannya 
pada sapi dan unta tetapi hewan ini tidak begitu peka. Hewan laboratorium 
(mencit, kelinci) pada umumnya tahan terhadap penularan penyakit ini. 
2.  Pengaruh Lingkungan
  Ketahanan hidup agen penyakit di alam tergantung oleh suhu, 
kelembaban, pH dan kondisi tanah. Agen dapat diisolasi dari tanah terutama 
di dataran rendah di sekitar sungai dimana kelembaban tinggi. Agen penyakit 
tahan terhadap suhu beku tetapi tidak tahan lama pada suhu 40 °C.
3.  Sifat Penyakit
  Selakarang yaitu suatu penyakit hewan menular kronis 
dan bersifat zoonosis, namun hingga saat ini masih sangat sedikit laporan 
kejadian dan publikasinya. 
4.  Cara Penularan
  Penularan selakarang dapat terjadi secara langsung maupun tidak 
langsung. Penularan secara langsung terjadi melalui luka di kulit, dimana 
spora cendawan dari hewan penderita. Penularan secara tidak langsung 
terjadi melalui peralatan, pakaian, selimut, atau sikat kuda, dan lain-lain. Luka 
sering terjadi di daerah kaki sebelah bawah. Jamur secara alami bertumbuh 
saprofi t di tanah sehingga infeksi biasanya bermula dari bagian bawah kaki 
penderita. 
  Transmisi penyakit ini dapat terjadi melalui lalat Musca spp dan 
Stomoxys spp Pencemaran terjadi pada saat lalat menempel pada luka yang 
terbuka dari hewan yang telah terinfeksi, selanjutnya menempel pada luka 
hewan lain. 
  Pada area endemik di negara tertentu, penularan dapat 
terjadi secara inhalasi melalui debu dan spora yang akan memicu  
pneumoni.
 
5.  Faktor Predisposisi
  Faktor predisposisi terjadinya selakarang yaitu  adanya luka yang 
memungkinkan berkembangnya penyakit tersebut. Kuda berumur di bawah 
6 tahun lebih rentan terhadap penyakit ini. 
6.  Distribusi Penyakit
  Penyebaran penyakit dapat meliputi benua Asia, Afrika, Amerika 
Utara dan Hindia Barat. 
  Selakarang dikenal telah memicu  masalah besar pada kuda 
yang dipakai dalam perang Boer dan perang Dunia pertama. Penyakit ini 
tersebar di banyak negara Asia, Afrika dan Timur Tengah maupun di Eropa. 
Penyebab penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Rivolta pada tahun 
1873. 
  Pada tahun 1921 oleh Babberman, telah dilaporkan kejadiannya 
di negara kita  pada saat berusaha mengobati selakarang dengan cara 
pengebalan. Selanjutnya penyakit ini pernah dilaporkan di beberapa tempat 
di negara kita  Sulawesi, Jawa Tengah. DI. Yogyakarta dan DKI Jakarta.
  Pada tahun 1974, BPPV Regional VII Maros berhasil mengisolasi 
Histoplasma farciminosum dari kuda di kabupaten Polmas, Sulawesi 
Selatan. Kasus selakarang pada tahun 1999 pernah dilaporkan ditemukan di 
beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan, seperti kabupaten Polmas, Wajo, 
Pinrang, Maros, Pangkep dan bahkan di Sulawesi Utara. Kasus selakarang 
semakin menurun laporannya, ada kemungkinan tidak dilaporkan karena 
tidak termasuk dalam penyakit strategis yang wajib dilaporkan, atau karena 
populasi kuda semakin menurun.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
  Gejala klinis penyakit ini dapat terjadi dalam bentuk kutaneus 
(kulit), respiratori (pernafasan), okuler (mata) dan pada hewan yang karier 
bersifat asymptomatik (tidak timbul gejala klinis). 
  Pada bentuk kutaneus ditandai dengan luka pada kulit yang 
bersifat undulatif. Bisul – bisul ditemukan pada bagian kaki, dada, leher, bibir, 
skrotum, ambing dan punggung yang selanjutnya ditandai dengan penebalan 
limfe bagian superfi cial, pembesaran nodus limfangitis regimal, pembentukan 
abses bernanah bercampur darah dan berakhir dengan terbentuknya ulcer 
pada kulit yang lebih kecil yang lama-kelamaan ulcer ini akan menjadi satu.
  Pada bentuk okuler jarang terjadi. Infeksi terjadi ditandai dengan 
konjungtivitis atau infeksi nasolakrimal, yaitu terlihat adanya lendir bening 
pada satu atau kedua mata dan terjadi kebengkakan pada sekitar mata yang 
dapat diikuti dengan terjadinya ulcerasi. 
  Pada bentuk respiratori ditandai dengan nodul pada mukosa 
hidung. Lesi terjadi mulai dari  saluran pernafasan bagian atas sampai dengan 
paru. Sinusitis maupun radang paru dapat terjadi sebagai akibat terhisapnya 
spora ke jaringan tersebut.
  Pada kasus asymptomatik hewan karier dapat diidentifi kasi dengan 
uji serologis dan uji sensitifi tas intradermal.
2.  Patologi
  jika luka diiris terlihat jaringan granulasi yang mengandung 
nanah kuning dan cairan serosa. Pada permulaan proses, kelenjar limfa 
mengandung butir kecil dan lunak, lalu bisa terjadi penyatuan  bungkul 
yang Iebih besar. Bungkul tersebut dilingkungi oleh kapsul yang tebal. jika 
luka diikuti infeksi kuman yang berat bisa terjadi radang sendi dan radang 
pinggiran tulang.
  Secara histopatologi dapat terlihat adanya jaringan granulomatous 
dan ada banyak sel makrofag dan sel raksasa, serta organisme berbentuk 
oval dengan diameter 2-5 µm yang dikelilingi oleh ’halo’.

Pada pemeriksaan nanah penderita dapat dilihat tahap  ragi yang berbentuk 
lonjong atau agak bulat dimana salah satu kutub lebih kecil dari yang lain. 
Ukuran panjang 2,5-3,5 µ dan Iebar 2-3 µ dengan sitoplasma berbutir 
(granuler).

3.  Diagnosa
  Diagnosa didasarkan atas gejala klinis, pemeriksaan mikroskopis 
jaringan, nanah dan kultur. Identifi kasi agen. Secara mikroskopis dapat 
dilakukan dengan pewarnaan gram positif pada kerokan, pewarnaan 
Hematoxilin-Eosin secara histopatologi dan dengan memakai mikroskop 
elektron. Secara kultur dapat dilakukan dengan media SDA (Saboroud’s 
Dextrose Agar). Inokulasi hewan percobaan (mencit, kelinci, marmut) juga 
dapat dilakukan untuk penunjang diagnosa.
  Kerokan dapat diperiksa langsung dengan pewarnaan gram akan 
terlihat organisme gram positif berbentuk pleomorphic, oval dan bulat. 
Pemeriksaan mikroskopis dengan sediaan histologis yang diwarnai dengan 
Haematoxilin dan Eosin memperlihatkan radang granulomatosa bernanah 
dengan banyak makrofag dan netrofi l. Daerah radang bernanah itu dilingkungi 
oleh kapsula yang tebal, makrofag kelihatan membesar. Dalam makrofag 
dapat ditemukan organisme pemicu penyakit dalam bentuk khamir yang 
ditengahnya berwarna gelap, dikelilingi oleh bagian yang tidak terwarnai. 
Cendawan ini dapat ditemukan pula diluar makrofag.
  Pada pemeriksaan mikroskopis preparat ulas darah yang telah 
diwamai dengan Lactophenol Cotton Blue atau Pilikrom Metilen Blue 
cendawan ini terlihat bentuknya seperti ragi. Dari hasil pernbiakan terlihat 
bentuk miselia dan ragi sedangkan secara uji antibodi fl uoresensi secara tak 
langsung (FAT) juga akan terlihat bentuk ragi dari H. farciminosum.
Pada pemeriksaan mikroskopik terlihat hifa yang bersekat, tebal dan pendek. 
Pada ujungnya mempunyai klamidospora. 
Pada kultur yang lama klamidospora menjadi bebas berbentuk bulat dengan 
dinding yang tebal. Pada kultur cair cendawan ini tumbuh sedikit dengan 
pembentukan endapan yang halus, dan tidak memfermentasi gula.
  Diagnosa secara serologis dengan Fluorescent Antibody Test (FAT), 
Agar Gel Immunodiffusion Test, Haemaglutination Test, Enzyme Linked-
Immunosorbent Assay (ELISA), dan Skin hipersensitivity test.
4.  Diagnosa Banding
  Adanya luka dan benjolan pada kulit dapat dikelirukan dengan 
penyakit malleus, sporotrichosis atau habronemiasis. Untuk membedakan 
selakarang dengan penyakit tersebut harus ditemukan/diisolasi agen 
penyebabnya.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
  Pada umumnya bahan untuk pemeriksaan cendawan diperlukan 
untuk pemeriksaan langsung dan pemupukan. Untuk tujuan ini dapat diambil 
nanah atau sayatan jaringan. Sebaiknya bahan pemeriksaan diambil dari 
benjolan yang belum terbuka dan diambil secara steril. Nanah diambil dengan 
alat suntik yang steril, diberi tanda yang jelas dan keterangan yang lengkap 
tentang penyakit tersebut. jika tidak memungkinkan bahan pemeriksaan 
dapat dibubuhi dengan antibiotik, misalnya penicillin 100 µg/ml atau 
sreptomycin 500/ug/ml. Untuk pemeriksaan histologis, bahan pemeriksaan 
berupa jaringan kulit diolesi dengan formalin 10 % dan dikirim dengan cara 
yang sama.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
  Pengobatan selakarang yang belum meluas dapat dilakukan 
dengan extirpasi (pengangkatan) jaringan yang mengalami granuloma dan 
diikuti dengan pemberian antiseptika, perak nitrat atau yodium tinctur dapat 
mengalami kesembuhan. Atau dapat diberikan :
a.  suntikan HgCI 21 % intravena dosis 50 ml,
b.  pengobatan dengan Griseofulvin yang yaitu fungsida yang kuat 
dimana secara ekonomis perlu diperhitungkan karena mahal,
c.  penyuntikan dengan Natrium JIodida. 
  jika penyakit sudah meluas,  lebih baik hewan dieutanasi dan 
seluruh peralatan yang tercemar dimusnahkan dengan jalan dibakar atau 
didesinfeksi. Penderita harus diisolasi untuk mencegah penularan penyakit 
sampai hewan dinyatakan sembuh. 
2.  Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.  Pencegahan
     Di negara kita  sampai sekarang belum ada vaksin yang dapat 
memberi perlindungan dengan baik untuk pengobatan terhadap 
selakarang. Oleh karena itu cara yang sebaik-baiknya yaitu  menjauhi 
dan mengisolasi hewan yang menunjukkan tanda selakarang, demikian 
pula menjauhi atau tidak memakai tempat atau alat bekas penderita. 
Mengobati luka dengan sempurna meskipun luka itu hanya kecil.
b.  Pengendalian dan Pemberantasan
     Isolasi penderita atau tersangka penderita, sampai ada kepastian 
bahwa penyakit tersebut telah sembuh. Peralatan yang tercemar dan 
kandang penderita harus didesinfeksi dengan formalin atau desifektan. 
Bahan yang tercemar dan tidak dipergunakan harus dimusnahkan atau 
dibakar.




PENYAKIT PARASIT

ANAPLASMOSIS
Sinonim : Gall – Sickness
  
Anaplasmosis yaitu  penyakit hewan menular yang bersifat non contagious yang 
dipicu oleh protozoa darah intraseluler dan ditularkan dengan perantara 
vektor. Penyakit ini dapat berlangsung secara akut, per-akut dan kronis. Gejela 
klinis yang ditimbulkan antara lain demam tinggi, anemia yang progresif dan 
ikterus tanpa hemoglobinuria. Penegakan diagnostik Anaplasmosis ditandai 
dengan adanya agen Anaplasma yang berbentuk titik didalam sel darah merah.
Kasus Anaplasmosis lebih sering menyerang sapi dan kerbau dibandingkan 
dengan hewan lainnya. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Smith dan 
Kilborne pada tahun 1893 di Amerika Serikat, selanjutnya tersebar luas di daerah 
tropik dan subtropik termasuk di Amerika Serikat dan Selatan, Eropa Selatan, 
Afrika, Asia dan Australia. Di daerah bebas anaplasmosis, introduksi protoza ini 
mampu memicu  kematian yang tinggi pada ternak karena belum adanya 
preimuniter. Di Amerika, kasus Anaplasmiosis dilaporkan memicu kematian 
ternak sebesar 80 %, sedangkan di daerah enzootik berkisar 10 %.
Kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit ini meliputi kematian, penurunan berat 
badan, penurunan produksi susu, infertilitas dan peningkatan biaya pengobatan. 
Di negara kita , menurut perhitungan Direktorat Kesehatan Hewan tahun 1978, 
kerugian ekonomi yang ditimbulkan penyakit ini meliputi kematian, penurunan 
berat badan dan daya kerja terhadap usaha pertanian, di perkirakan sebesar 
Rp. 500.000.000 lebih setiap tahun. Dalam perhitungan tersebut belum termasuk 
pengafkiran karkas di rumah potong hewan dan penurunan produksi susu. Salah 
satu tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kejadian anaplasmosis yaitu  
dengan cara meningkatkan ketahanan hewan yang rentan.
etiologi 
Anaplasmosis dipicu oleh golongan Rickettsia, keluarga Anaplasmataceae, 
genus Anaplasma. Penyakit  klinis  pada  sapi  umumnya dipicu oleh 
Anaplasma marginale, sedangkan infeksi akibat A.centrale belum dilaporkan 
secara jelas. Baru-baru ini, dilaporkan adanya A.phagocytophilum yang 
menginfeksi sapi, namun sangat jarang ditemukan. Anaplasma ovis / A.suis 
dapat memicu penyakit yang ringan sampai berat pada domba, kambing, 
dan rusa.
Anaplasma marginale ada di dalam sel darah merah, berbentuk bulat dan 
padat berwarna merah cerah atau merah tua dengan diameter 0.1-1.0 μm. 
Perbedaan antara A.marginale dan A.centrale terletak pada lokasi protozoa 
tersebut di dalam sel darah merah. Anaplasma marginale terletak di bagian 
tepi dari sel darah merah, sedangkan A.centrale terletak di bagian tengah 
Sifat Alami Agen 
Anaplasma marginale dapat ditularkan oleh lalat penghisap darah 
(haematophagous bitting fl ies) dan mampu bertahan hidup dalam tubuh lalat 
lebih dari 30 menit. Selain itu, pada inang yang mati, protozoa ini dilaporkan 
mampu hindup hingga 6 jam. 
Kekebalan terhadap anaplasma ada 2 macam :
a.  Kekebalan bawaan (material immunity) yang diperoleh dari induknya dan 
bertahan kira-kira 1,5 bulan.
b.  Kekebalan perolehan (natural acquired immunity) dikenal dengan preimunitas. 
Kekebalan ini tetap bertahan selama anaplasma berada di dalam tubuh 
hewan. Preimunitas ini dapat berlangsung hingga 2 tahun tanpa adanya 
reinfeksi. Jika pada suatu saat anaplasma hilang dari sirkulasi darah, maka 
kekebalan akan menurun dan akhirnya hilang.
epidemiologi 
1.  Spesies Rentan
   Anaplasmosis dilaporkan menyerang hampir semua hewan 
berdarah panas seperti sapi, kerbau, domba, rusa, unta, babi, kuda, 
keledai, anjing dan hewan liar lainnya. Umumnya hewan tua lebih rentan 
dibandingkan  hewan muda. Hewan yang berumur di bawah satu tahun masih 
memiliki ketahanan bawaan dari induknya. Adapun hewan berumur 1 - 3 
tahun biasanya menderita anaplasmosis dalam tahap  akut, sedangkan hewan 
berumur diatas 3 tahun biasanya per-akut. Anaplasmosis kronis diderita 
oleh hewan yang terinfeksi dalam waktu yang lama dan berpotensi menjadi 
pembawa/carrier.
Selain umur, bangsa serta asal hewan berpengaruh terhadap kerentanan 
penyakit ini. Sapi Eropa (Bos Taurus) lebih rentan dari pada sapi Zebu (Bos 
indicus). Kasus anaplasmosis pada manusia pernah juga dilaporkan akibat 
gigitan vektor dan memicu granulositik anaplasmosis.
2.  Cara penularan
Spesies caplak (Boophilus sp, Dermacentor sp, Rhipicephalus sp, Ixodes 
sp, Hyalomma sp, Ornithodoros sp) yaitu  vektor biologis anaplamosis, 
namun tidak semua spesies ini ditemukan dalam suatu wilayah. Vektor ini 
dapat berpindah secara trans-stadial (antar stadium) dan trans-ovarial (ke 
telur). Boophilus sp dilaporkan sebagai vektor utama di Australia dan Afrika, 
sedangkan Dermacentor sp yaitu  vektor utama di Amerika Serikat.
Di samping itu, golongan Diptera seperti lalat penghisap darah (Tabanus 
sp dan Stomoxys sp) dan nyamuk (Aedes sp dan Psarophora sp) dapat 
bertindak sebagai vektor mekanis.  Manusia juga dapat menjadi vektor 
mekanis melalui penggunaan alat-alat bedah, jarum, peralatan tato, dan alat-
alat yang terkontaminasi Anaplasma.
3.  Distribusi Penyakit 
Di negara kita , anaplasmosis pertama kali di temukan pada tahun 1897 
pada sapi dan kerbau. Pada tahun 1912, Anaplasma menyerang kerbau di 
daerah Cileungsi, Kabupaten Bogor, tahun 1918 menyerang sapi di daerah 
Sumatera utara dan tahun 1934 juga menyerang sapi di daerah Bojonegoro 
dan Madiun. Sampai saat ini anaplasmosis sudah menyebar hampir di 
seluruh wilayah negara kita .
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
Periode kejadian penyakit dibagi 4 tahap, meliputi tahap inkubasi, 
perkembangan, penyembuhan, dan carrier. Masa inkubasi anaplasmois 
yaitu  6-38 hari dan tahap perkembangan dapat terjadi 15-45 hari. Penyakit 
ini dapat bersifat per-akut, akut, sub-akut, dan kronis bergantung pada umur 
dan status imunitasnya.
a.  Per-akut : 
   Hewan yang menderita anaplasmosis per-akut akan mati sesudah  
beberapa jam menunjukkan gejala umum sakit. Hewan mengalami 
penurunan kondisi dengan cepat, kehilangan nafsu makan, kehilangan 
koordinasi dan sesak nafas. Temperatur hewan biasanya lebih dari 
41°C dan mukosa cepat menjadi kuning.
b.  Akut : 
   Umumnya hewan penderita anaplasmosis akut menunjukkan gejala 
klinis umum antara lain kenaikan suhu 39,5-42,5°C, ikterus, penurunan 
berat badan, dehidrasi, konstipasi, dan gangguan pernafasan.
c.   Sub-akut dan kronis : 
   Pada penyakit sub-akut dan kronis terjadi kenaikan suhu selama 
beberapa hari (4-10 hari) disusul dengan demam intermiten bahkan 
suhu tubuhnya mencapai 40°C. Disamping itu, terjadi anemia hebat, 
kondisi badan menurun, kadang-kadang nafsu makannya masih ada. 
Pada hewan bunting dapat terjadi keguguran.
   Pada hewan penderita yang tidak menunjukkan gejala klinis, Anaplasma 
dapat bertahan dalam tubuh sampai 2 tahun, walaupun dalam darah 
perifer sulit ditemukan. Jika hewan mengalami stres, maka hewan 
tersebut dapat berperan sebagai pembawa penyakit.
2.   Patologi 
    Perubahan yang sangat menonjol yaitu  pada gambaran darah 
yang ditandai dengan anemia dan ikterus. Bangkainya terlihat anemik, 
kahektik dan ikterik. Kelenjar limfenya membesar terlihat ada edema. Jantung 
mengalami pembesaran dan ada titik-titik perdarahan (ptechiae). Anemik 
juga terlihat ada paru-paru yang disertai emfi sema, pembesaran hati dan 
warnanya merah kekuningan, pembesaran empedu serta lunak. Limpanya 
juga mengalami pembesaran dan lunak. Umumnya ada gastroenteritis 
kataralis dan terjadi pembendungan pada ginjal.
3.   Diagnosa 
a.   Pemeriksaan Mikroskopis : 
        Pemeriksaan darah secara natif, preparat ulas darah tipis dan 
tebal.
 
b.   Pemeriksaan Biologis :
     Darah hewan tersangka diinokulasikan ke dalam (hewan coba) yang 
telah diambil limpanya (splenectomy) dan sebaiknya berasal dari daerah 
endemik anaplasmosis.
c.    Pemeriksaan Serologis : 
   Pemeriksaan serologis meliputi Uji Fiksasi Komplemen/CFC, Uji 
Hemaglutinasi Tabung Kapiler/Capillari tube hemaglutination test/UHTK 
dan Teknik Antibodi Flourescent/FAT
4.  Diagnosa Banding
   Anaplasmosis per-akut atau akut mirip dengan penyakit anthraks, 
pneumonia, keracunan, gangguan pencernaan akut, sampar sapi dan 
pasteurellosis. jika anemianya menonjol, maka penyakit ini harus 
dibedakan dari leptospirosis dan hemoglobinuria basiler akut. Adanya 
demam, anemia dan ikterus memicu penyakit ini sulit dibedakan 
dengan babesiosis dan trypanosomiasis.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
a.   Material untuk pemeriksaan mikroskopis : 
(1)  Untuk pemeriksaan preparat darah natif dapat dikirimkan darah yang 
berisi antikoagulan. Darah ini dikirimkan dalam tabung gelas steril 
yang sudah berisi antikoagulan (natrium sitrat atau ethylene dimine 
tetra acetic acid = EDTA). Tabung gelas lalu ditutup rapat 
dengan tutup steril. Pengiriman di lakukan dalam termos berisi es 
atau CO2 kering (dry ice).
(2)  Untuk pemeriksaan preparat ulas darah tipis dan tebal dilakukan 
sesuai dengan petunjuk Buku Spesimen Veteriner yang diterbitkan 
Direktorat Bina Kesehatan Hewan.
(3)  Untuk pemeriksaan TAF langsung (Teknik Antibodi Langsung/Direct 
Fluorescent Antibody Technique/FAT) dikirimkan preparat ulas darah 
tipis seperti  pada a.(2) yang difi ksasi dengan aseton dan lalu 
dikirimkan dalam termos berisi es atau CO2 kering (dry ice).
b.  Material untuk Pemeriksaan Biologis
        Untuk pemeriksaan biologis diperlukan 5,0 ml darah hewan 
tersangka yang berisi antikoagulan. Darah ini dikirimkan dengan cara 
seperti tersebut pada a.1 dan dapat dipergunakan untuk memenuhi 
kebutuhan a.1 dan b.
 c.  Material untuk Pemeriksaan Serologis
        Untuk keperluan pemeriksaan ini dikirimkan serum dalam tabung 
gelas steril yang ditutup rapat dengan tutup steril.
   Catatan :
   Umumnya sampel darah diambil dari vena telinga, pada pangkal ekor 
dari vena jugularis dan hewan tersangka. 
pengobatan : 
1.  Pengobatan
 
   Pengobatan Anaplasmosis dapat dilakukan dengan cara antara lain:
    Zat-zat warna 
-    Trypan blue 1 %, dosis 100-200 ml/hewan IV/SK
-    Acrifl avin 5 %, dosis  20 ml/hewan IV/IM
-    Eufalvine 5 %, dosis 4-8 ml/100 kg bb IV
   Sediaan Quinoly
- Acaprin  5 % (Babesan, ludobal, pirevan, zothelone), dosis 2,2 ml/kg bb 
IV/SK
Diamidine Aromatik
-  Phentamidine  dan Phenamidin 40 %, dosis 13,5 mg/kg bb SK
-  Berenil (Ganaseg), dosis 3,5 mg/kg bb IM/SK
-  Amicarbalide (Diampron) 50%, dosis 10 mg/kg bb
-  Imidocidoib (Imizol) 4,6%, dosis3,5 mg/kg bb  IM/SK
Antibiotika
- Tetracycline :  Dosis untuk   babi 22 mg/kg bb IV
      Dosis untuk sapi 11 mg/kg bb Oral, 5 hari
      Dosis  untuk kuda 5-7,5 mg/kg bb IV
Obat-obatan yang lain
- Haemosporidine  2 % : Novoplasmin, thiargen, sulfantrol, dosis 0,25 mg/
kg bb SK
- Haemosporidine 10 % : dithiosemicarzone (gloxazone), dosis 0,1 mg/kg 
bb IV  
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan 
 
a.  Pelaporan
       Bagi para petugas yang menemukan anaplasmosis pada ternak 
ruminansia atau hewan rentan  diwajibkan :
(1)  Melaporkan timbulnya penyakit dan tindakan yang telah diambil 
kepada kepala pemerintah daerah setempat dengan tembusan 
kepada Dinas Peternakan atasannya.
(2)  jika dipandang perlu, dengan mempertimbangkan luas sebaran 
penyakit maka merekomendasikan kepada kepala pemerintahan 
daerah setempat untuk mengeluarkan surat keputusan tentang 
penutupan suatu daerah dan pembatasan lalu lintas temak/hewan 
rentan di dalam wilayahnya.
(3)  Melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan-
peraturan yang bertaku dan melaporkannya kepada atasan.
b.  Pencegahan
 
       Pencegahan dapat dilakukan dengan mengadakan imunisasi buatan. 
Vaksin anaplasmosis terdiri dari vaksin hidup atau mati, dan diketahui 3 
jenis vaksin, yaitu :
(1)  Vaksin A. marginale hidup (virulent) dipakai pada sapi umur kurang 
1 tahun, pada saat insekta/arachinida paling sedikit infestasinya. 
Keburukan vaksin ini dapat memperbanyak jumlah pembawa penyakit 
dan ada kemungkinan bahwa hewan yang di vaksin menjadi sakit, 
serta berpotensi menyebarkan anaplasmosis.
(2)  Vaksin A. central yang berasal dari sapi Afrika Selatan yang dipasase 
melalui blesbok dan sapi ditular ulang pada sapi Australia. Vaksin 
ini di tolak di Amerika Serikat, tetapi dipakai di Australia. Bila 
disimpan pada suhu 72-80 °C, vaksin masih efektif selama 254 hari, 
bahkan sampai 739 hari A. centrale umumnya hanya memicu  
penyakit yang ringan dan jarang memicu panyakit berat. 
Keengganan Amerika Serikat memakai vaksin ini karena tidak 
ingin memasukkan penyakit baru ke satu daerah yang bebas terhadap 
penyakit tersebut. Vaksin ini dapat diperoleh dari laboratorium 
Commonwealth Scientifi c and Industrial Research Organization 
(CSIRO), Werribe, Victoria, Australia. Vaksin serupa ini juga dipakai 
di Amerika Latin dan Afrika Selatan.
(3)  Vaksin A.marginale yang telah dimatikan dalam ajuvan. Kekebalan 
yang ditimbulkan dari satu kali vaksinasi kurang baik, maka untuk 
memperoleh kekebalan yang baik, diperlukan dua kali vaksinasi 
dengan interval waktu vaksinasi minimal 6 minggu. Vaksin ini tidak 
sempurna melindungi hewan terhadap infeksi, namun mampu 
membantu meringankan penderitaan hewan. Setelah sembuh dari 
anaplasmosis, hewan masih memiliki kekebalan meskipun hanya 
dalam jangka waktu yang pendek.
c.  Pengendalian dan Pemberantasan
 
       berdasar  peraturan yang ada, usaha pengendalian dan 
pemberantasan penyakit ini meliputi tindakan sebagai berikut :
(1) Ternak ruminansia/hewan rentan lain yang menderita anaplasmosis 
atau tersangka sakit harus diasingkan sehingga tidak dapat 
berhubungan dengan ternak ruminansia/hewan rentan lain.
(2) Jika pada ternak ruminansia/hewan rentan lain yang sakit atau 
tersangka sakit ditemukan caplak, nyamuk dan lalat, maka vektor 
tersebut harus dimusnahkan, antara lain dengan pemakaian 
pestisida (misalnya dengan menyemprot, menggosok, memandikan 
atau merendam hewan ) sesuai dengan petunjuk pemakaian.
(3) Selama sakit sampai sembuh ternak ruminansia/hewan rentan 
lain seperti yang tersebut pada ayat (1) dan (2), atau harus diberi 
perlakuan dengan pestisida (reppelent) secara periodik, atau yang 
sesuai dengan petunjuk pada ayat (2) agar terlindung dari gangguan 
caplak, lalat dan nyamuk.
(4) Kandang hewan seperti tersebut pada ayat (1) dan (2), dan tempat 
di sekitarnya yang yaitu sarang vektor harus dibersihkan 
dan disemprot dengan pestisida secara periodik, atau yang sesuai 
dengan petunjuk pada ayat (2).
(5) Di pintu masuk halaman, kampung, desa atau daerah yang ada 
ternak ruminansia/hewan rentan lain yang sakit atau tersangka 
sakit, di pasang papan yang antara lain bertuliskan ”Penyakit hewan 
menular anaplasmosis” disertai dengan nama dalam bahasa daerah 
setempat.
(6) Ternak ruminansia/hewan rentan lain yang dimaksudkan pada 
ayat (1) dan (2) sepanjang tidak memperlihatkan gejala sakit dapat 
diijinkan untuk dipekerjakan di dalam daerah yang dinyatakan 
tertutup. Selama dipekerjakan, ternak ruminansia/hewan rentan lain 
yang bersangkutan harus diberi pestisida (reppelent) agar terlindung 
dari gangguan caplak, lalat dan nyamuk dan telah dilakukan tindakan 
sesuai dengan ayat (1) dan (2) di atas. Jika hal ini belum terpenuhi, 
maka ruminansia/hewan rentan lain hanya boleh dimandikan/
digembalakan dalam kelompok kecil pada malam hari.
(7) jika dalam beberapa kampung/desa dalam satu daerah 
ada anaplasmosis, maka pada daerah tersebut dilarang terjadi 
pemasukan dan pengeluaran ternak ruminansia/hewan rentan lain. 
Penyelenggaraan pasar hewan dan penggembalaan pada siang 
hari bagi ternak ruminansia dan hewan rentan lain dimungkinkan 
jika hewan tersebut telah dilindungi dengan pestisida.
(8) Ternak ruminansia/hewan rentan lain yang terpaksa melintasi 
daerah sebagaimana tersebut pada ayat (7) di atas, dapat diijinkan 
dengan jaminan bahwa ternak ruminansia/hewan rentan lain itu 
telah dilindungi dengan pestisida terhadap gangguan caplak, lalat, 
nyamuk sesuai dengan petunjuk pada ayat (2). Selain itu, alat serta 
beban lain yang dibawanya juga harus disemprot dengan pestisida 
setiap kali hewan tersebut melintasi daerah yang dinyatakan tertutup 
untuk ruminansia/ hewan rentan dan sesuai dengan pemakaian.
(9) Ternak ruminansia/hewan ternak lain yang mati karena anaplasmosis 
harus dibakar dan/atau dikubur.
(10) Setelah ketentuan pada ayat  (1), (2), (3), dan (4) dipenuhi, maka 
ternak ruminansia/hewan rentan lain yang telah sembuh, dapat 
dibuatkan surat keterangan kesehatan yang dapat membebaskannya 
dari pengasingan oleh dokter hewan yang berwenang.
(11) Kandang ternak ruminansia/hewan rentan lain yang pernah ditempati 
oleh hewan sakit dan tempat di sekitarnya, yang yaitu sarang 
vektor, harus dibersihkan dan disemprot dengan pestisida menurut 
petunjuk pemakaian atau sesuai dengan petunjuk pada ayat (2), 
sesudah  hewan tersebut mati/dipindahkan dari kandangnya. 
(12) Suatu daerah dinyatakan bebas dari penyakit anaplasmosis sesudah  
2 bulan sejak matinya atau sembuhnya ternak ruminansia/hewan 
rentan lain yang terakhir dan telah memenuhi ketentuan pada ayat 
(1) sampai dengan (11).
       Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
(1)  Ternak yang menderita/tersangka penderita anaplasmosis, tidak 
dilarang untuk dipotong dan dimanfaatkan dagingnya sepanjang 
keadaannya ”layak konsumsi” menurut surat keterangan dokter 
hewan yang berwenang.
(2)  Pengangkutan ternak sakit/tersangka sakit ke tempat pemotongan 
dan proses pemotongan hanya diijinkan pada malam hari. Segera 
sesudah  pengangkutan itu selesai, alat pengangkutan tersebut harus 
dibersihkan dan harus disucihamakan.
(3)  Setelah ternak sakit atau tersangka sakit dipotong, dagingnya dapat 
dikonsumsi dan di edarkan  minimal 10 jam sesudah  pemotongan.
(4)  Semua sisa pemotongan dan kotoran ternak sakit atau tersangka 
sakit harus segera dibakar dan atau dikubur.
(5)  Kulit berasal dari ternak sakit/tersangka sakit harus disimpan di tempat 
yang terlindung dari caplak, lalat dan nyamuk minimal 24 jam atau di 
semprot dengan pestisida, lalu diproses lebih lanjut.
       Catatan :
       Pada keadaan wabah, perlakuan pemotongan hewan dan daging 
seyogyanya juga berlaku bagi hewan rentan lainnya.
Peraturan internasional dari Terrestrial Animal Health Code tahun 2011 
(TAHC 2011) tentang perdagangan dan transportasi sapi terkait penyakit 
anaplasmosis yaitu  sebagai berikut :
(1)   Negara atau zona dikatakan bebas dari anaplasmosis jika memiliki 
sertifi kat kesehatan hewan internasional yang menyatakan bahwa sapi 
sejak lahir dan pada hari pengiriman tidak memiliki gejala penyakit 
anaplasmosis, serta berasal dari daerah yang dinyatakan bebas dari 
anaplasmosis selama minimal 2 tahun.
(2)   Menunjukkan hasil negatif selama 30 hari sebelum pengiriman.
(3)   Telah diobati oxytetrasiklin lima hari berturut-turut dengan dosis 22 
mg/kg BB.
(4)   Hewan bebas dari Acaridae, terutama caplak

ASCARIASIS
Sinonim : Kecacingan
  
Ascariasis yaitu  penyakit parasit yang dipicu oleh infeksi cacing nematoda 
dari famili Ascaridae, genus Toxocara. Selama ini, ada 3 (tiga) spesies 
Toxocara yang sangat penting, yaitu Toxocara canis yang menyerang anjing 
(anak dan dewasa); T.cati yang menyerang kucing (anak dan dewasa); serta 
T.vitulorum yang menyerang sapi dan kerbau (umur dibawah 6 bulan dan induk). 
Masing-masing yaitu inang bagi ketiga spesies tersebut. 
Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi, terjadi 
proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation of resistance), 
sehingga memicu larva yang tersembunyi (dormant) berubah menjadi aktif, 
lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta), lalu menulari 
anaknya.
Ascariasis memicu  ekonomi yang signifi kan akibat adanya gangguan 
pertumbuhan, penurunan berat badan dan kematian. Tingkat kerugian ekonomi 
ditentukan oleh berat ringannya tingkat infestasi parasit, kondisi tubuh penderita 
dan lingkungan. 
etiologi 
Cacing Toxocara vitulorum atau disebut juga Ascaris vitulorum atau Neoascaris 
vitulorum termasuk kelas nematoda yang memiliki kemampuan melintasi hati, 
paru-paru, dan plasenta. Cacing jantan berukuran panjang sekitar 15-26 cm 
dengan lebar (pada bagian badan) sekitar 5 mm, sedangkan yang betina lebih 
panjang, yaitu berukuran 22-30 cm dengan lebar sekitar 6 mm. Telur cacing ini 
berwarna kuning, berdinding cukup tebal, dengan ukuran telur sekitar 75-95 x 
60-75 µm.
epidemiologi 
1.  Siklus hidup
Telur dalam feses tertelan oleh sapi atau kerbau dan menetas di usus halus 
menjadi larva. Selanjutnya, larva bermigrasi ke hati, paru-paru, jantung, 
ginjal dan plasenta, lalu masuk ke cairan amnion dan ke kelenjar mammae, 
selanjutnya keluar bersama kolustrum. Cacing T.vitulorum dewasa dapat 
ditemukan pada duodenum sapi yang berumur antara 3-10 minggu. Telur 
T.vitulorum sudah tidak ditemukan dalam feses kerbau antara hari ke 30-
120 sesudah  infeksi yang bertepatan dengan turunnya level antibodi dalam 
serum. Kondisi ini diduga karena pada saat itu cacing dewasa telah keluar 
dari usus.
2.  Sifat Alami Agen
Telur T.vitulorum dapat berkembang ke tahap infektif selama 7-12 hari pada 
suhu optimal 28-30°C. Perkembangan tersebut, tidak terjadi pada suhu di 
bawah 12oC. Kendati demikian, jika berada dalam suhu optimal, telur akan 
menjadi infektif. Beberapa penelitian membuktikan bahwa telur T.vitulorum 
dapat bertahan di lingkungan selama beberapa bulan hingga mencapai dua 
tahun.
3.  Spesies Rentan
   Hewan yang peka/rentan terhadap infestasi cacing T.vitulorum 
yaitu  pedet (anak  sapi)  atau kerbau yang berumur di bawah 6 bulan. 
Gejala klinis atau kematian umumnya terjadi pada pedet yang berumur 1-
2 bulan. Hewan yang berumur lebih dari 6 bulan sangat tahan terhadap 
infestasi cacing ini karena pembentukan daya tahan tubuh relatif telah 
sempurna. Kondisi ini dapat diketahui dengan adanya penurunan jumlah 
telur cacing per gram feses secara signifi kan seiring dengan bertambahnya 
umur hewan. 
 
4.  Pengaruh Lingkungan
  Telur cacing T.vitulorum tahan pada kondisi lingkungan yang tidak 
menguntungkan (kekeringan), sehingga peningkatan intensitas penularan 
terjadi pada saat musim hujan akibat adanya kontaminasi di padang 
penggembalaan oleh pedet penderita. Gangguan persediaan pakan pada 
musim kering (malnutrisi) dan higenitas lingkungan yang kurang baik semakin 
memperburuk kondisi hewan sehingga mudah terserang oleh cacing ini.
5.  Sifat Penyakit
   Di negara kita , parasit ini bersifat endemis dan umumnya menyerang 
sapi, pedet dan anak kerbau. Prevalensi pada pedet dibawah umur 3 bulan 
dilaporkan mencapai 45%. 
6.  Cara Penularan
Tiga cara penularan cacing T.vitulorum, antara lain tertelannya telur cacing 
secara insidental, melalui plasenta pada tahap fetus dalam kandungan dan 
melalui kolustrum pada saat menyusu ke induknya.
Pedet terinfeksi melalui kolostrum yang mengandung larva infektif. Pada 
hewan menjelang dewasa (umur lebih dari 6 bulan), telur infektif yang tertelan 
akan berkembang dalam saluran pencernaan menjadi larva infektif (L3). 
Larva tersebut tidak berkembang menjadi cacing dewasa, tetapi bersembunyi 
(dormant) dalam berbagai otot/organ tubuh melalui penetrasi dinding usus 
dan selanjutnya didistribusikan lewat sirkulasi darah. 
Pada saat hewan bunting, masa menjelang kelahiran dan masa laktasi 
akan terjadi proses penurunan kekebalan tubuh (periparturien relaxation 
of resistance), sehingga pada saat inilah larva yang tersembunyi tersebut 
menjadi aktif, lalu bermigrasi ke kelenjar susu atau uterus (placenta) dan 
akhirnya menulari anak yang dikandung.
Masa penularan oleh induk penderita ke anak melalui kolostrum terjadi 
terutama pada saat pedet berumur 2 hari dan selanjutnya semakin menurun 
sampai pedet berumur 10 hari. Periode prepaten parasit ini yaitu  sekitar 21 
hari sejak tertelannya larva infektif melalui kolostrum.
7.  Distribusi Penyakit
Prevalensi ascariasis akibat infeksi T.vitulorum pada pedet di Nigeria 61,4-
91,1% dan di Vietnam 8% dari 74 pedet umur 1-2 bulan ditemukan telur 
cacing T.vitulorum dalam fesesnya.
Prevalensi kejadian Ascariasis di negara kita  pada sapi dan kerbau dilaporkan 
sebesar 76% di Malang dan 68,2 % di Surabaya pada pedet yang berumur 
kurang dari 2 bulan, 51,4 % pada pedet berumur 2-4 bulan dan 43,4 % pada 
pedet berumur sekitar 6 bulan. Kejadian ascariasis pada anak kerbau di 
Kabupaten Subang, Jawa Barat diidentifi kasi pada 14 sampel dari  21 sampel 
feses anak kerbau yang berumur 21-62 hari dengan jumlah telur T.vitulorum 
antara 100,000-104,000 telur per gram (epg) feses. Infestasi telur T.vitulorum 
lebih dari 100.000 epg diduga mampu sebagai faktor pemicu kematian 
pada anak kerbau maupun anak sapi.
keterangan : 
1.  Gejala Klinis
Gejala klinis yang umum terjadi pada anak sapi atau anak kerbau yaitu  
diare, dehidrasi, bulu berdiri dan nampak kusam, nafas berbau asam butirat, 
nafsu makan menurun, lesu, pertumbuhan pedet terhambat, dan infestasi 
dalam jangka lama dapat memicu anemia. Keadan ini memicu  
terjadinya penurunan berat badan (terjadi kekurusan) secara dratis dalam 
waktu singkat bahkan berakhir dengan kematian. Selain itu dilaporkan pula 
adanya gejala demam dan batuk, dan jika infestasi semakin parah akan 
memicu  paralysis, kongjungtivitis, dan opisthotonus. Anak sapi yang 
tetap hidup akan mengalami gangguan pertumbuhan secara permanen.
Indikator penilaian derajat keparahan penyakit pada pedet ditentukan dari 
jumlah telur cacing per gram (epg) feses. Jumlah telur antara 10.000-30.000 
epg diklasifi kasikan sebagai infestasi sedang. Adapun jumlah epg lebih dari 
30.000 termasuk ke dalam kelompok infestasi berat.
2.  Patologi
Infestasi ascariasis tidak memperlihatkan adanya perubahan patologi 
anatomi yang khas, kecuali ditemukannya cacing pada saluran pencernaan, 
namun pada infeksi berat dapat terjadi reaksi peradangan pada saluran 
pencernaan.
3.  Diagnosa
Diagnosa dilakukan berdasar  pengamatan gejala klinis dan epidemologis 
sebagaimana telah diuraikan di atas, dengan dukungan pemeriksaan 
laboratorium terhadap feses untuk menemukan dan mengkonfi rmasi adanya 
tetur cacing dalam feses.
4.  Diagnosa Banding
Penyakit yang memicu  kekurusan dan diare kronis seperti malnutrisi 
dan salmonellosis.
5.  Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat berupa feses segar atau 
feses yang telah diawetkan dalam formalin 10 %.
pengobatan : 
1.  Pengobatan
Obat berupa anthelmintika, misalnya :
a.    pyrantel dengan dosis 250 mg per pedet tanpa memperhatikan berat 
badan, 
b.    febantel dengan dosis  6 mg/kg berat badan, 
c.    levamisole dengan dosis 7,5 mg/kg berat badan,
d.    piperazine citrate dengan dosis 200 mg/kg berat badan, secara oral,
e.   Eprinomectin (Eprinex) dengan dosis 0.5 mg/kg terbukti efektif terhadap 
T. vitulorum.
   Pengobatan pada induk penderita sangat sulit dilakukan, sebab L3 
tersembunyi pada otot/organ tubuh. Pemberian anthelmintika yang bersifat 
sistemik, seperti ivermectin direkomendasikan untuk membunuh larva yang 
tersembunyi tersebut.
2.  Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a.   Pelaporan
Kasus ascariasis tidak wajib dilaporkan ke Dinas Peternakan. Namun, 
bila memerlukan pertolongan medis secepatnya, sebaiknya disampaikan 
laporan ke Institusi yang terkait.
b.   Pencegahan
(1)   Hindari menggembalakan pedet pada lahan yang tercemar telur 
Ascaris atau dengan sapi/kerbau dewasa yang secara historis 
diketahui menderita ascariasis.
(2)   Pada daerah endemis, peternak dapat memberikan anthelmintika 
pada pedet yang berumur 10-16 hari untuk membunuh cacing yang 
belum dewasa.
(3)   Untuk tindakan pencegahan direkomendasikan untuk melakukan 
pengobatan secara teratur pada pedet dan menjaga kebersihan 
kandang.
c.   Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian parasit dilakukan dengan memberikan anthelmintika 
secara periodik, terutama pada saat pedet berumur 10-16 hari untuk 
membunuh cacing yang belum dewasa. Disamping itu, tindakan ini dapat 
melindungi pedet dari serangan cacing, sehingga tidak memungkinkan 
untuk memproduksi telur yang berpotensi mengkontaminasi padang 
penggembalaan. Pengobatan dapat diulangi pada saat pedet berumur 
6 minggu, untuk membunuh cacing dewasa yang belum mati pada saat 
pengobatan pertama. Siklus hidup parasit ini sangat kompleks, sehingga 
tindakan pemberantasan sulit dilakukan, terutama pada peternakan 
rakyat yang dikelola secara tradisional.

BABESIOSIS
Sinonim : Piroplasmosis, Mexican fever (Demam Mexiko), red water, splenic 
fever, bloody murrain Texas Fever (Demam Texas Sapi), Cattle Tick Fever
  
Babesiosis yaitu  penyakit parasit yang dipicu oleh Babesia sp dan 
terdistribusi di dalam sirkulasi darah. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia 
dan menyerang binatang liar dan ternak, terutama ternak sapi yang dipelihara di 
daerah tropis dan sub tropis. Morfologi Babesia sp sangat khas, yaitu berbentuk 
seperti buah pear (the pear shaped form) yang berada didalam butir darah merah 
(intraerythrocytic) inang yang terinfeski. Disamping itu, kasus Babesiosis juga 
dilaporkan menyerang pada manusia sehingga dimasukkan ke dalam penyakit 
zoonosis. Rata-rata prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia berdasar  
pemeriksaan darah di pelabuhan Tanjung Priok mencapai 10,5%. Mortalitas 
akibat Babesiosis berkisar antara 5 – 10% meskipun ternak telah diobati. Adapun 
jika tidak dilakukan tindakan pengobatan, mortalitas dapat mencapai 50-100%. 
Beberapa studi menunjukkan bahwa Babesiosis perlu dipertimbangkan sebagai 
salah satu penyakit protozoa darah sebagai pemicu terjadinya kematian pada 
sapi dan kerbau. Penyakit Babesiosis di Negara Asia bagian Timur dan Selatan 
diyakini tersebar melalui sapi import. Infestasi parasit ini memicu  kerugian 
ekonomis yang besar berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, 
penurunan daya kerja dan reproduksi, termasuk biaya pembelian desinfektan 
serta vaksin.
 
etiologi 
Babesiosis dipicu oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama 
Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfi kasi 
organisme didalam sel darah merah pada tahun 1888. Selanjutnya, pada 
tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protoza intra eritotrosit pada 
penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. Adapun kasus Babesiosis 
pada manusi pertama kali ditemukan pada peternak sapi di daerah Yugoslavia 
pada tahun 1957. berdasar  taksonominya, Babesia sp tergolong dalam Filum 
Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan 
Genus Babesia.
Sejauh ini dilaporkan ada lebih dari 100 spesies Babesia di dunia, tetapi 
yang mempunyai arti penting dalam dunia kesehatan hewan dan manusia antara 
lain B.microti di Amerika Serikat, B.divergens dan B.bovis di Eropa. Adapun di 
negara kita , Babesia sp yang banyak merugikan peternak yaitu  B.bigemina, 
B.divergens dan B.bovis. Beberapa spesies Babesia, hanya ditemukan pada 
hewan-hewan yang lain, seperti B.mayor menginfeksi sapi, B.equi pada kuda dan 
B.canis pada anjing, B.felis pada tikus, dan B.microti pada binatang mengerat 
(rodent), juga binatang menyusui kecil dan jenis kera, sedangkan B.divergen 
pada tikus dan gerbil (sejenis tikus yang kaki belakang dan ekornya panjang). 
Laporan terbaru menyebutkan bahwa spesies yang dulu tidak disebut sebagai 
spesies Babesia, yaitu Babesia (WA-1) berhasil diisolasi dari seorang penderita 
dengan manifestasi klinis babesiosis di Washington. Adapun spesies Babesia 
baru yang diisolasi dari negara bagian Missouri yaitu  Babesia (MO1).
Di negara kita , umumnya kasus babesiosis dipicu oleh B.bovis dan B.bigemina, 
keduanya dapat dibedakan secara morfologi. Babesia bovis berbentuk cincin-
signet yang bervakuol dan mempunyai merozoit berukuran 1,5-2,4 µm yang 
terletak di tengah-tengah eritrosit, sedangkan B.bigemina berbentuk periform, 
bulat,oval atau tidak teratur, berpasang-pasangan dengan ukuran diameter 2-3 
µm dan panjang 4-5 µm.
  B.babesia bovis                                       B.babesia bigemina
Gambar 1. Morfologi Babesia di dalam eritrosit sapi
(Sumber : http://daff.qld.gov.au)
C. EPIDEMIOLOGI
1.  Siklus Hidup
   Lama waktu yang diperlukan oleh Babesia sp dari mulai menginfeksi 
sampai terlihat diperedaran darah sekitar 7-10 hari. berdasar  tahap 
reproduksinya, perkembangan parasit ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, 
yaitu 1) Gamogoni (formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak); 2) 
Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah); dan 3) Merogoni 
(reproduksi aseksual pada inang vertebrata).
   Sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah vektor (caplak) akan 
berpenetrasi ke dalam eritrosit inang, selanjutnya parasit ini akan berkembang 
didalam butir darah merah dan berubah menjadi bentuk tropozoit, yang 
lalu berdiferensiasi dan  bertunas dua atau empat membentuk 
merozoit.  Bentukan merozoit yang telah tumbuh sempurna (ukuran panjang 
1-5 µm) akan merusak butir darah merah dan pindah ke butir darah merah 
yang baru.  Siklus ini terus berlanjut sampai tingkat parasitemianya tinggi dan 
memicu induk semang mati. 
   Ketika vektor (caplak) menghisap darah inang yang mengandung 
parasit (bentukan merozoit), maka sebagian merozoit akan mengalami 
kerusakan di dalam saluran pencernaannya. Sebagian lain yang masih hidup 
akan berubah menjadi gametosit yang matang (telah tumbuh sempurna), 
yang pada akhir tumbuh menjadi gametosit jantan dan betina. Kedua 
gametosit tersebut  akan menggabung (fusi) dan membentuk zigot (ookinet) 
yang motil. 
   Gametosit yang berkembang di dalam eritrosit induk  semang (sapi) 
akan berbentuk oval atau bulat yang pada saat tertentu akan berhenti tumbuh. 
Gametosit ini yaitu prekursor pada saat perkembangan seksual 
parasit yang akan memperbanyak diri di dalam caplak (tick). Zigot akan 
menjadi ookinet yang bermigrasi ke hemolimfe dan berpentrasi ke berbagai 
organ caplak, bahkan hingga ke dalam telur caplak yang akan diturunkan 
ke generasi selanjutnya melalui transovarial transmission. Ookinet yang lain 
akan menjadi oosit yang mengandung sporozoit akan masuk melalui dalam 
kelenjar ludah caplak. Sporozoit dalam kelenjar ludah ini selanjutnya akan 
memindahkan penyakit  ke inang melalui gigitannya.
Gambar 2. Siklus hidup Babesia sp. Perkembangan parasit pada inang 
ditunjukkan pada no 1 – 6, sedangkan perkembangannya pada vektor 
ditunjukkan pada no 7 – 17. (1. Sporozoit  yang  dilepas dari kelenjar 
ludah caplak, 2. skizon (koch’s blue bodies = KB) di dalam limfosit 
(N = Nukleus), 3. merozoit, 4–5. membelah diri dalam eritrosit, 7a-b. 
Piroplasma dalam usus  caplak, 8-10. pembentukan mikrogamon (9) 
dan mikrogamet (10), 11.  makrogamet, 12. zigot, 13-15. pembentukan 
kinet, 15b. Pada Theileria parva pembelahan inti terjadi sebelum kinet 
meninggalkan sel usus caplak, 16. kinet memasuki sel kelenjar ludah, 
17. pembesaran sel kelenjar ludah dan intinya, dan intinya dan di 
dalamnya ditemukan ribuan sporozoit 
2.  Sifat alami agen
   Babesia sp memiliki kemampuan untuk menghindar dari proteksi 
respon imun inang sehingga proteksi ini tidak dapat mencegah terjadinya 
infestasi berulang, namun hanya mampu menurunkan tingkat parasitemia, 
morbiditas dan mortalitas inang saat  terjadi re-infestasi. Disamping itu, 
respon imun yang ditimbulkan oleh Babesia sp mempunyai karakteristik 
reaksi silang (cross immunity). Imunitas yang dipicu oleh B.bigemina 
mampu melindungi inang yang terinfestasi oleh B.bovis (cross protected).
3.  Spesies rentan
   Hampir seluruh hewan rentan terhadap infestasi Babesia sp. 
Umumnya sapi dewasa lebih rentan dibandingkan dengan sapi muda. Sapi 
Bos taurus juga dilaporkan lebih sensitif terhadap serangan Babesia sp 
dibandingkan Bos indicus atau persilangannya. Kejadian kasus Babesiosis 
akibat infestasi B.bigemia di Australi