Rabu, 28 Februari 2024

batu saluran kemih

 






Tujuan adanya pedoman penatalaksanaan batu saluran kemih adalah memberikan panduan bagi dokter dalam menangani kasus mengenai batu saluran 

kemih berbasis bukti (evidence-based) dan berkaitan dengan praktik klinis. Penatalaksanaan yang akan diberikan bergantung pada keadaan pasien, sarana 

dan prasarana yang tersedia, komplikasi yang terjadi, dan pilihan pasien. Pedoman ini dapat digunakan untuk penyusunan penatalaksanaan pasien disesuaikan dengan kompetensi dan ketersediaan peralatan.

. Metodologi

Pedoman penatalaksanaan batu saluran kemih (PPBSK) ini selanjutnya disebut “guideline” disusun oleh suatu tim panelis yang dibentuk oleh Pengurus Pusat Ikatan Ahli Urologi Indonesia (PP IAUI). Penyusunan pedoman ini berdasarkan beberapa pedoman di tingkat internasional dan nasional. Tim penyusun 

melakukan penelusuran literatur yang ekstensif dan telah menyaripatikan dalam bentuk rekomendasi. Tugas tim panelis pedoman adalah melakukan penilaian terhadap pedoman yang ada dan menilai kecocokannya dengan kondisi 

di Indonesia dengan mempertimbangkan ketersediaan sarana dan prasarana 

serta kemampuan spesialis urologi dalam melakukan modalitas terapi yang 

ada. Hasil rumusan pedoman ini dicapai melalui konsensus dan diformulasikan dalam berbagai tingkatan sesuai urutan rekomendasi. Pedoman penatalaksanaan ini menggunakan klasifikasi tingkat pembuktian (Level of Evidence/

LE), sedangkan rekomendasi penatalaksanaan menggunakan klasifikasi de 

rajat rekomendasi (Grade of Recommendation/GR). Sumber rekomendasi, baik 

LE maupun GR yang dipakai mengacu pada pedoman Oxford Recommendation 

of Evidence-based Medicine dan menggunakan EAU Guidelines 2018 serta AUA 

Guidelines 2017.1,2

1.3. Definisi dan Etiologi

Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu di saluran 

kemih yang meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan uretra. Pembentukan batu 

dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu infeksi, non-infeksi, kelainan 

genetik, dan obat-obatan.

D. Prevalensi dan Epidemiologi

Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus tersering 

di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi batu saluran kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar antara 

1-20%. Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1 dengan 

puncak insiden terjadi pada usia 40-50 tahun.4

E. Faktor Risiko

Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan adanya kejadian kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata 

laksana farmakologi dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran 

kemih. Sekitar 50% pembentukan batu saluran kemih juga dapat ditemukan 

kekambuhannya setidaknya 1 kali dalam seumur hidup. Faktor risiko terjadinya 

pembentukan batu antara lain, terjadinya BSK di usia muda, faktor keturunan, 

batu asam urat, batu akibat infeksi, hiperparatiroidisme, sindrom metabolik, 

dan obat-obatan 

Klasifikasi batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran, lokasi, karakteristik pencitraan sinar X, etiologi terbentuknya batu, komposisi batu, 

dan risiko kekambuhan. Ukuran batu biasanya diklasifikasikan dalam 1 atau 2 

dimensi, yang dibagi menjadi beberapa ukuran, yaitu 5, 5-10, 10-20, dan >20 

mm. Berdasarkan letak batu dibagi menjadi lokasi, yaitu kaliks ginjal superior, 

medial, atau inferior, pelvis renal, ureter proksimal atau distal, dan buli. 

Anamnesis

Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria, retensi urine, dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti 

demam dan tanda gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat 

penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti obesitas, hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit 

usus atau pankreas. Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi 

batu pada pasien, antara lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang 

tinggi, buah dan sayur kurang, serta makanan tinggi purin yang berlebihan, 

jenis minuman yang dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi. 

Riwayat pengobatan dan suplemen seperti probenesid, inhibitor protease, inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D, kalsium, dan inhibitor karbonik 

anhidrase. bila  pasien mengalami demam atau ginjal tunggal dan diagnosisnya diragukan, maka perlu segera dilakukan pencitraan.

. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK sangat bervariasi mulai tanpa kelainan 

fisik sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu dan 

penyulit yang ditimbulkan (komplikasi). Pemeriksaan fisik yang dapat ditemukan antara lain:

Pemeriksaan fisik umum : Hipertensi, demam, anemia, syok

Pemeriksaan fisik urologi

- Sudut kostovertebra : Nyeri tekan, nyeri ketok, dan pembesaran ginjal

- Supra simfisis : Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh

- Genitalia eksterna : Teraba batu di uretra

- Colok dubur : Teraba batu di buli-buli (palpasi bimanual)

. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu saluran kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Pemeriksaan 

laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran kemih. 

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan urinalisa. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, 

dan hitung jenis darah, bila  pasien akan direncanakan untuk diintervensi, 

maka perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin, uji koagula- 

si (activated partial thromboplastin time/aPTT, international normalised ratio/INR), 

natrium, dan kalium. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan 

atau C-reactive protein (CRP).

Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat eritrosuria, leukosuria, bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine. Hanya pasien dengan risiko tinggi terjadinya kekambuhan, maka perlu dilakukan analisis spesifik lebih lanjut. 

Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan bila  didapatkan sampel batu 

pada pasien BSK. Pemeriksaan analisis batu yang dianjurkan menggunakan 

sinar X terdifraksi atau spektroskopi inframerah. Selain pemeriksaan di atas, 

dapat juga dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar 

vitamin D, bila dicurigai hiperparatiroid primer.1

Rekomendasi Kekuatan

Analisis urine:

Eritrosit, leukosit, nitrit, pH urine, dan/atau kultur urine Kuat

Analisis darah:

Kreatinin, asam urat, Na, K, Ca, hitung jumlah jenis darah, CRP Kuat

Pemeriksaan uji koagulasi (aPTT dan INR) dikerjakan jika pasien ingin dilakukan intervensi Kuat

Pemeriksaan analisis batu pada pasien BSK dapat menggunakan sinar X terdifraksi atau spektroskopi inframerah Kuat

2.4. Pencitraan

Diagnosis klinis sebaiknya dilakukan dengan pencitraan yang tepat untuk 

membedakan yang dicurigai batu ginjal atau batu ureter. Evaluasi pada pasien termasuk anamnesis dan riwayat medis lengkap serta pemeriksaan fisik. 

Pasien dengan batu ureter biasanya mengeluh adanya nyeri, muntah, kadang 

demam, namun dapat pula tidak memiliki gejala.3

 Pencitraan rutin antara lain, 

foto polos abdomen (kidney-ureter-bladder/KUB radiography). Pemeriksaan foto 

polos dapat membedakan batu radiolusen dan radioopak serta berguna untuk 

membandingkan saat follow-up.

4

USG merupakan pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan aman, mudah 

diulang, dan terjangkau. USG juga dapat mengidentifikasi batu yang berada di 

kaliks, pelvis, dan UPJ. USG memiliki sensitivitas 45% dan spesifisitas 94% untuk batu ureter serta sensitivitas 45% dan spesifisitas  % untuk batu ginjal.5,6

Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya digunakan mengikuti pemeriksaan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut karena lebih akurat 

dibandingkan IVP 


CT-Scan non kontras menjadi standar diagnostik pada nyeri pinggang akut. 

CT-Scan non kontras dapat menentukan ukuran dan densitas batu. CT-Scan 

dapat mendeteksi batu asam urat dan xantin.7,8 Pemeriksaan CT-Scan non kontras pada pasien dengan IMT <30, dapat menggunakan dosis rendah dengan 

sensitivitas  % pada batu ureter <3 mm dan 100% pada >3 mm.9

 Pada studi 

meta-analisis menunjukkan bahwa dosis rendah CT-Scan dapat mendiagnosis 

BSK dengan sensitivitas 96,6% (95%CI 95,0-97,8) dan spesifisitas 94,9% (95%CI 

92,0-97,0).10 Pemeriksaan urografi intravena (IVP) dapat dipakai sebagai pemeriksaan diagnostik bila  CT-Scan non kontras tidak memungkinkan.

Pada wanita hamil, paparan radiasi dapat menyebabkan efek teratogenik dan 

karsinogenesis. USG menjadi modalitas pencitraan utama pada pasien hamil 

dengan kecurigaan adanya kolik renal. Namun, perubahan fisiologis pada wanita hamil dapat menyerupai gejala obstruksi ureter. MRI dapat digunakan sebagai modalitas lini kedua untuk menilai adanya obstruksi saluran kemih dan 

dapat melihat batu sebagai ‘filling defect’. MRI 1,5 T merupakan pemeriksaan 

yang direkomendasikan pada wanita hamil. Penggunaan gadolinium tidak rutin digunakan pada wanita hamil karena memiliki efek toksik pada janin. Untuk 

deteksi BSK selama kehamilan, penggunaan CT-Scan dosis rendah memiliki 

nilai prediksi positif 95,8% dibandingkan MRI ( %) dan USG (77%). Penggunaan CT-Scan direkomendasikan pada wanita hamil sebagai pilihan modalitas 

terakhir

Pasien anak dengan batu saluran kemih memiliki risiko tinggi terjadinya kekambuhan, oleh karena itu, perlu dilakukan prosedur analisis batu saluran kemih. 

Gangguan metabolik yang dapat menimbulkan pembentukan batu yang tersering pada anak adalah refluks vesikoureter (VUR), obstruksi UPJ, neurogenic 

bladder dan kesulitan berkemih lainnya.  

Ringkasan Bukti Ilmiah LE

Ultrasonografi merupakan modalitas lini pertama pada anak dengan 

kecurigaan batu saluran kemih dan harus meliputi ginjal, buli yang 

terisi penuh, serta ureter pada ginjal dan buli.

2b

Radiografi ginjal-ureter-buli (atau CT-Scan non kontras) merupakan 

modalitas alternatif jika USG tidak dapat memperoleh informasi yang 

dibutuhkan. 

Pemeriksaan dengan kontras dapat dilakukan bila direncanakan penatalaksanaan BSK yang memerlukan anatomi dan fungsi ginjal. CT-Scan non kontras 

juga memberikan informasi cepat secara 3D termasuk ukuran dan densitas 

batu, jarak antara kulit dan batu, serta anatomi sekitarnya, namun dengan konsekuensi adanya paparan radiasi. Pemeriksaan dengan zat kontras tidak anjurkan pada pasien dengan alergi kontras dan penurunan fungsi ginjal, konsumsi 

metformin, dan mielomatosis 


Prinsip Terapi Umum

Keputusan untuk memberikan tata laksana batu pada saluran kemih bagian 

atas dapat berdasarkan komposisi batu, ukuran batu, dan gejala pasien. Terapi 

umum untuk mengatasi gejala batu saluran kemih adalah pemberian analgesik harus diberikan segera pada pasien dengan nyeri kolik akut.1 Non Steroid 

Anti Inflammation Drugs (NSAID) dan parasetamol dengan memperhatikan dosis dan efek samping obat merupakan obat pilihan pertama pada pasien dengan nyeri kolik akut dan memiliki efikasi lebih baik dibandingkan opioid. Obat 

golongan NSAID yang dapat diberikan antara lain diklofenak, indometasin, 

atau ibuprofen.2

 Pada pasien yang belum diketahui fungsi ginjalnya, pemberian analgetika sebaiknya bukan NSAID, utamanya bila ada riwayat tindakan untuk untuk batu yang berulang dan komorbiditas diabetes mellitus. Diklofenak 

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif kelas II-IV 

berdasarkan klasifikasi New York Heart Association (NYHA), penyakit jantung 

koroner, dan penyakit serebrovaskuler, serta penyakit arteri perifer. Namun, 

pasien dengan faktor risiko kardiovaskular dapat diberikan diklofenak dengan 

pengawasan dokter dan diberikan dosis rendah dengan durasi yang singkat.3

Penambahan obat anti spasmodik pada pemberian NSAID tidak menghasilkan 

kontrol nyeri yang lebih baik.1

Pada pasien dengan batu ureter yang diharapkan dapat keluar secara spontan, maka pemberian NSAID baik tablet maupun supositoria (seperti natrium 

diklofenak 100-150 mg/hari selama 3-10 hari) dapat membantu mengurangi 

inflamasi dan risiko nyeri berulang.4

 Walaupun diklofenak dapat memperburuk fungsi ginjal pada pasien yang sudah terganggu fungsi ginjalnya, namun 

tidak berpengaruh pada pasien yang masih memiliki fungsi ginjal yang normal. 

Pada studi RCT, episode nyeri berulang pada kolik menurun secara signifikan 

pada pemberian NSAID pada 7 hari pertama pemberian obat.5

 Pemberian obat 

golongan α-blocker, juga dapat menurunkan episode nyeri, namun masih terdapat kontroversi pada beberapa literatur.6

 Pemberian obat simtomatik segera 

diikuti dengan terapi desobstruksi drainase dan atau terapi definitif pada batu 

saluran kemih. Untuk pasien batu ureter simptomatik, pengangkatan batu 

segera merupakan tata laksana pertama bila  memungkinkan. 


Tata laksana pada obstruksi ginjal dengan sepsis dan/atau anuria merupakan 

kasus emergensi di bidang urologi. Dekompresi segera merupakan tata laksana yang sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut berupa infeksi, 

hidronefrosis, atau obstruksi ginjal unilateral ataupun bilateral. Saat ini, ada 2 

cara untuk melakukan dekompresi segera pada obstruksi saluran kemih, yaitu 

pemasangan stent ureter dan pemasangan nefrostomi. Saat ini, masih sedikit bukti yang menunjukkan nefrostomi perkutan lebih superior dibandingkan 

pemasangan stent pada hidronefrosis yang terinfeksi.7

 Tidak ada bukti kuat 

yang menyarankan bahwa pemasangan stent menyebabkan banyak komplikasi dibandingkan nefrostomi perkutan.8

Terkait dekompresi segera pada kasus obstruksi, dapat dilakukan pengambilan sampel darah dan urine secara bersamaan yang digunakan untuk kultur 

dan pemberian antibiotik sesuai hasil kultur. Pada kasus infeksi saluran kemih 

dapat diberikan terapi antibiotik bila  ingin direncanakan pengangkatan batu 

dan terapi antibiotik dapat dievaluasi berdasarkan hasil kultur. Pada pasien 

dengan infeksi dan obstruksi yang signifikan, dapat dilakukan drainase dalam 

beberapa hari dengan nefrostomi atau stent, sebelum dilakukan pengangkatan 

batu. Pemberian antibiotik profilaksis secara signifikan dapat menurunkan kejadian demam atau komplikasi lainnya setelah dilakukan tindakan. 

Batu saluran kemih dengan komposisi brushite, kalsium oksalat monohidrat, 

atau sistin memiliki karakteristik yang keras dengan densitas tinggi pada CTScan non kontras.10 Nefrolitotomi perkutan atau ureterorenoskopi (URS) merupakan tindakan alternatif untuk pengangkatan batu saluran kemih dengan 

ukuran yang besar. Steinstrasse adalah akumulasi fragmen batu atau kerikil 

pada ureter yang dapat mengganggu aliran urine. Steinstrasse terjadi pada 

4-7% kasus SWL dan faktor utama terjadinya steinstrasse adalah ukuran 

batu.11 Berdasarkan meta-analisis, pemasangan stent sebelum SWL memberikan manfaat mencegah terjadinya pembentukan steinstrasse, namun tidak 

memberikan manfaat pada angka bebas batu.12 Pemasangan DJ stent sebelum SWL disarankan dilakukan pada kasus batu dengan ukuran >2 cm 

Tata Laksana Spesifik Batu Ginjal

Perjalanan penyakit batu ginjal yang asimptomatik dengan ukuran kecil masih belum jelas dan risiko progresi penyakit masih belum jelas. Hingga saat 

ini, masih belum ada konsensus mengenai durasi follow-up, waktu dan tipe intervensi. Pilihan tata laksana batu ginjal adalah kemolisis atau pengangkatan 

batu secara aktif.

3.2.1. Konservatif (Observasi)

Observasi batu ginjal, terutama di kaliks, bergantung pada riwayat perjalanan 

penyakit. Rekomendasi observasi pada batu ginjal saat ini belum didukung literatur yang baik. Saat ini, suatu studi prospektif menyarankan dilakukan observasi tahunan untuk batu kaliks inferior asimptomatik ≤10 mm. Bila terdapat 

pertambahan ukuran batu, interval follow-up perlu diperpendek. Intervensi disarankan bila  batu bertambah ukurannya >5 mm.14

3.2.2. Farmakologis

Pelarutan batu dengan tata laksana farmakologis merupakan pilihan terapi 

hanya untuk batu asam urat, tetapi informasi mengenai komposisi batu perlu 

dalam menentukan pilihan terapi.

3.2.3. Indikasi Pengangkatan Batu Ginjal Secara Aktif

Indikasi adanya pengangkatan batu pada batu ginjal antara lain:15

• Pertambahan ukuran batu;

• Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;

• Obstruksi yang disebabkan oleh batu;

• Infeksi saluran kemih;

• Batu yang menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria;

• Ukuran batu >15 mm;

• Ukuran batu <15 mm jika observasi bukan merupakan pilihan terapi;

• Preferensi pasien;

• Komorbiditas;

• Keadaan sosial pasien (misalnya, profesi dan traveling) 


Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ginjal secara Aktif

3.2.4.1. Batu Pelvis Ginjal atau Kaliks Superior/Media

Terapi modalitas pada kasus batu ginjal adalah Shock Wave Lithotripsy (SWL), 

Percutaneous Nephrolithotripsy (PNL), dan Retrograde Intra Renal Surgery (RIRS). 

Sementara efektivitas PNL tidak terlalu tergantung dari ukuran batu, efektivitas Stone Free Rate (SFR) dari SWL atau RIRS sangat tergantung dari ukuran 

batu.16 Tindakan SWL memiliki angka SFR yang cukup baik pada batu dengan 

ukuran <20 mm, kecuali untuk kaliks inferior.17 Endourologi dipertimbangkan 

sebagai alternatif karena membutuhkan pengulangan prosedur yang lebih sedikit dan waktu yang pendek untuk mencapai kondisi bebas batu. Batu berukuran >20 mm harus diterapi secara primer dengan PNL, karena SWL sering 

kali membutuhkan beberapa kali prosedur dan berkaitan dengan peningkatan 

risiko obstruksi ureter (kolik atau steinstrasse) yang membutuhkan terapi tambahan. RIRS tidak direkomendasikan sebagai tata laksana lini pertama pada 

batu berukuran >20 mm pada kasus batu tanpa komplikasi karena SFR lebih rendah dan bisa memerlukan pengulangan prosedur.18 Namun, RIRS dapat 

menjadi pilihan pertama bila  PNL bukan sebagai pilihan terapi atau dikontraindikasikan.

3.2.4.2. Batu Kaliks Inferior

Angka bebas batu setelah prosedur SWL terlihat lebih rendah pada batu kaliks 

inferior dibandingkan dengan batu intra renal di lokasi lainnya. Sebuah studi 

melaporkan bahwa SFR setelah SWL pada batu kaliks inferior adalah 25-95%. 

Beberapa hal yang dapat mengganggu keberhasilan SWL dapat dilihat pada 

Tabel 3.1.19 

Jika terdapat prediktor negatif untuk SWL, PNL dan RIRS dapat menjadi alternatif tindakan, walaupun pada batu dengan ukuran yang lebih kecil. Tindakan 

RIRS dibandingkan SWL pada batu kaliks inferior memiliki efikasi SFR lebih 

tinggi, namun dengan tingkat invasif yang lebih tinggi. Berdasarkan pada kemampuan operator, batu berukuran hingga 3 cm dapat dilakukan tindakan 

RIRS, walaupun pengulangan prosedur sering diperlukan.20 Pada kasus batu 

kompleks, pendekatan prosedur operasi terbuka atau laparoskopik merupakan 

pilihan tata laksana alternatif.

Tatalaksana Endourologi untuk Batu Ginjal

3.2.5.1. Nefrolitotomi Perkutan (PNL)

Nefrolitotomi perkutan merupakan prosedur standar untuk tatalaksana batu 

ginjal yang berukuran besar. Perbedaan endoskopi kaku dan fleksibel merupakan pilihan yang bergantung pada preferensi operator. Ukuran standar yang 

digunakan adalah 24-30 F, sedangkan untuk akses yang lebih kecil, dapat digunakan ukuran <18 F yang biasa digunakan untuk anak-anak, namun saat ini 

mulai popular untuk penggunaan bagi orang dewasa. Kontraindikasi nefrolitotomi perkutan antara lain infeksi saluran kemih yang tak terkontrol, tumor 

yang dicurigai di sekitar daerah akses PNL, tumor ginjal dengan potensial ganas, dan kehamilan.21

Litotripsi intrakorporal merupakan metode yang digunakan pada PNL, biasanya 

dibantu dengan ultrasonik dan sistem pneumatik (balistik) pada penggunaan 

nefroskopi rigid, sedangkan pada penggunaan nefroskopi fleksibel biasanya 

menggunakan laser Holmium: Yttrium-Aluminium-Garnet (Ho:YAG).

22 Pencitraan 

ginjal dengan ultrasonik atau CT-Scan dapat memberikan informasi mengenai 

organ interposisi pada jalur perkutan (seperti limpa, hati, usus besar, pleura, 

dan paru). 

Posisi pronasi atau supinasi memiliki keamanan yang sama.23 Sejak diperkenalkan prosedur PNL, posisi pronasi lebih disukai, namun saat ini posisi supinasi menjadi populer di beberapa rumah sakit. Beberapa literatur menyatakan bahwa posisi pronasi dan supinasi tidak menunjukkan superioritas pada 

masing-masing posisi dalam hal angka bebas batu atau komplikasi. Sebuah 

studi di Indonesia, menunjukkan bahwa posisi supinasi dibandingkan posisi 

pronasi memiliki kelebihan antara lain durasi operasi lebih singkat (57 menit 

vs. 78 menit, p=0,001), durasi anestesi lebih singkat (71 menit vs. 107 menit, 

p<0,001), dan jumlah kehilangan darah lebih sedikit (0,54 mg/dL vs. 1,37 mg/

dL, p=0,001). Posisi supinasi berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan untuk 

bahan habis pakai dan anestesi lebih murah dibandingkan posisi pronasi.24

Studi lainnya juga menunjukkan bahwa posisi supinasi memiliki durasi operasi yang lebih singkat.25 Namun demikian, pada praktik klinis, faktor terpenting 

dalam hal pemilihan posisi adalah berdasarkan pengalaman dan preferensi 

dokter urologi. 

Saat ini, floroskopi merupakan metode pencitraan yang paling sering digunakan 

dan menggunakan ultrasonografi sebagai alat tambahan untuk menurunkan 

paparan radiasi. Preoperatif CT-Scan atau intraoperatif USG dapat mengidentifikasi jaringan antara kulit dan ginjal serta dapat menurunkan insiden cedera viseral. Dilatasi untuk akses jalur perkutan dapat menggunakan teleskop  

metalik, dilator tunggal, atau dilator balon. PNL yang menggunakan diameter 

jalur perkutan kecil (<22 Fr, mini-PNL) dapat digunakan sebagai prosedur pengangkatan batu ginjal dengan kecenderungan kehilangan darah lebih sedikit, 

namun durasi operasi lebih lama.

Keputusan untuk menempatkan nefrostomi pada akhir prosedur PNL bergantung pada beberapa faktor antara lain adanya batu residu, kemungkinan 

direncanakan prosedur yang kedua, kehilangan darah secara signifikan selama operasi, ekstravasasi urine, obstruksi ureter, berpotensi adanya bakteriuria, 

ginjal tunggal, dan direncanakan kemolitolisis perkutan.26 Pada kasus tanpa 

komplikasi, setelah prosedur nefrolitotomi perkutan, tanpa menggunakan nefrostomi dan/atau stent ureter merupakan metode alternatif yang aman. Tubeless PNL merupakan prosedur PNL tanpa menggunakan tabung nefrostomi. 

Ketika tidak ada tabung nefrostomi atau stent ureter yang dimasukkan, maka 

prosedur tersebut disebut totally tubeless PNL.27

Berdasarkan meta-analisis, insiden komplikasi yang berhubungan dengan PNL 

antara lain demam (10,8%), transfusi (7%), komplikasi torakal (1,5%), sepsis 

(0,5%), cedera organ (0,4%), embolisasi (0,4%), urinoma (0,2%), dan kematian 

(0,05%).28 Demam pada perioperatif dapat terjadi walaupun kultur urine preoperasi sudah steril dan mendapatkan antibiotik profilaksis perioperatif, karena 

batu ginjal sendiri dapat menjadi sumber infeksi. Kultur batu ginjal pada saat 

intraoperatif dapat membantu pemilihan antibiotik pasca operasi. Tekanan irigasi intraoperatif <30 mmHg dan drainase urine pasca operasi berperan penting untuk mencegah sepsis. 

Ureterorenoskopi

Penggunaan ureterorenoskopi pada batu ginjal dan/atau ureter saat ini banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan antara lain endoskopi yang 

sangat kecil, mekanisme defleksi, peningkatan kualitas optik, dan penggunaan alat sekali pakai (disposable). Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS) adalah 

suatu tindakan endourologi yang menggunakan ureterorenoskopi fleksibel.29

RIRS atau PNL menjadi pilihan terapi pada batu kaliks inferior berukuran 10-20 

mm bila terdapat faktor penghambat SWL misalnya sudut infundibulum-pelvis yang curam atau infundibulum yang sempit.30 URS dapat dilakukan pada 

semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik apapun. Pemasangan stent ureter 

tidak rutin dilakukan sebelum melakukan prosedur RIRS.29,30

3.2.6. Tata Laksana Operasi terbuka untuk Batu Ginjal

Penggunaan SWL dan operasi endourologi (URS dan PNL) secara signifikan 

menurunkan indikasi untuk dilakukannya operasi terbuka. Terdapat konsensus menunjukkan bahwa pada kasus batu yang kompleks, termasuk batu staghorn baik parsial dan komplit, dapat dilakukan dengan PNL. Namun, bila  

pendekatan secara perkutan atau berbagai macam teknik endourologi tidak 

berhasil, maka operasi terbuka dapat digunakan sebagai tatalaksana alternatif.

Tata Laksana Spesifik Batu Ureter

3.3.1. Konservatif 

Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar spontan 

dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm.32 Observasi juga dapat 

dilakukan pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi, nyeri refrakter, 

penurunan fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter).  

Terapi Farmakologi

Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan. Bila direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi. bila  

timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi ginjal, dan 

kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda. Penggunaan α-blocker 

sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan efek samping seperti ejakulasi 

retrograd dan hipotensi.33 Pasien yang diberikan α-blocker, penghambat kanal 

kalsium (nifedipin), dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih 

besar untuk keluarnya batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan 

tidak diberikan terapi.34 Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker tidak direkomendasikan.35 Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal.36 Terapi ekspulsi medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana 

pasien dengan batu ureter, khususnya batu ureter distal ≥5 mm.29 Beberapa 

studi menunjukkan durasi pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang mendukung untuk interval lama pemberiannya 

Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain:32,36,37

• Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;

• Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;

• Obstruksi persisten;

• Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney); 

atau

• Kelainan anatomi ureter

3.3.4. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Secara keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free rate) 

pada batu ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang 

sama. Namun, pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan 

menggunakan URS. Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu ureter, namun memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan SWL. Namun, 

era endourologi saat ini, rasio komplikasi dan morbiditas secara signifikan 

menurun.38

URS juga merupakan pilihan aman pada pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan angka bebas batu dan rasio komplikasi yang sebanding. Namun, pada 

pasien sangat obesitas (IMT >35 kg/m2) memiliki peningkatan rasio komplikasi 2 kali lipat. Namun, URS memiliki tingkat pengulangan terapi yang lebih 

rendah dibandingkan SWL, namun membutuhkan prosedur tambahan (misal 

penggunaan DJ stent), tingkat komplikasi yang lebih tinggi, dan masa rawat 

yang lebih panjang. Obesitas juga dapat menyebabkan rendahnya tingkat keberhasilan SWL 

Teknik Endourologi 

3.3.5.1. URS dan RIRS

Ureterorenoskopi (URS) semi rigid dapat digunakan pada seluruh bagian ureter.39 Namun, seiring berkembangnya teknologi, saat ini lebih banyak digunakan URS fleksibel pada ureter.40 URS juga dapat digunakan pada seluruh 

pasien tanpa kontraindikasi spesifik apa pun. Sebagian besar intervensi menggunakan anestesi spinal walaupun anestesi umum juga dapat dilakukan. Sedasi intravena merupakan anestesi yang cocok untuk pasien wanita dengan 

batu ureter distal.41

Untuk batu ureter proksimal impaksi yang besar atau ketika ureter tidak dapat 

dilakukan secara retrograd dapat diterapi dengan pilihan seperti URS dengan 

akses antegrad perkutan.42 Namun, perlu dipertimbangkan pula fasilitas yang 

ada serta pertimbangan ahli urologi setempat. Pembedahan terbuka merupakan salah satu alternatif terapi bila dipertimbangkan merupakan pilihan terbaik 

dalam suatu kasus. Alat floroskopi, dilator balon, dan plastik bila  diperlukan 

disediakan di kamar operasi. Saat ini, URS rigid dapat membantu untuk dilatasi sehingga terlihat jelas, kemudian diikuti URS fleksibel (bila  diperlukan). 

bila  akses ureter sulit ditemukan, maka dilakukan pemasangan DJ stent 

kemudian diikuti URS setelah 2-4 minggu pemasangan sebagai prosedur alternatif.43 Pelindung akses ureter (ureteral access sheaths/UAS) dapat membantu 

insersi fURS lebih mudah mencapai traktus urinarius bagian atas. UAS dilapisi senyawa bersifat hidrofilik yang tersedia dalam ukuran yang berbeda (dia  

meter dalam mulai dari 9 F ke atas), yang dapat dimasukkan dengan bantuan 

kawat pemandu (guide wire), kemudian diletakan pada ureter proksimal. Fungsi 

pelindung tersebut adalah membantu memberikan pandangan yang jelas mengenai pengeluaran batu, menurunkan tekanan intrarenal, dan menurunkan 

durasi operasi.44

UAS juga memiliki risiko untuk melukai ureter, namun risiko berkurang apabila sudah dipasang stent sebelum operasi (pre-stenting). Walaupun dari konsensus, pemasangan stent ureter tidak rutin dilakukan sebelum melakukan 

prosedur fURS.29,30 Tujuan dari tindakan fURS adalah mengeluarkan batu secara menyeluruh. Batu dapat diekstraksi atau dikeluarkan dengan menggunakan forsep endoskopik atau basket. Hanya basket (keranjang) yang terbuat 

dari bahan nitinol yang dapat digunakan untuk URS fleksibel. Bila tidak terdapat forcep/basket, dapat memakai strategi “dust and go”.

45

3.3.5.2. Litotripsi Intrakorporal

Prosedur litotripsi yang paling efektif adalah dengan menggunakan laser 

Ho:YAG, yang saat ini merupakan standar optimal untuk ureterorenoskopi 

yang efektif pada segala jenis batu.46 Sistem pneumatik dan ultrasonik dapat 

digunakan dengan efikasi disintegrasi tinggi pada URS semi rigid.47 Namun, 

migrasi batu ke dalam ginjal merupakan masalah tersering yang dapat dicegah dengan pemasangan alat antimigrasi pada proksimal batu. Terapi ekspulsi farmakologis diikuti litotripsi laser Ho:YAG dapat meningkatkan angka bebas 

batu dan menurunkan episode kolik.48

Seperti penjelasan sebelumnya, berdasarkan dari konsensus, pemasangan 

stent ureter tidak rutin dilakukan sebelum prosedur RIRS. Untuk pertimbangan pemasangan stent pasca RIRS, disarankan dilakukan pada pasien dengan risiko komplikasi (seperti trauma ureter, sisa pecahan batu, perdarahan, perforasi, infeksi saluran kemih, atau kehamilan), dan semua kasus yang 

meragukan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Durasi pemasangan tidak 

diketahui dengan pasti, namun beberapa spesialis urologi menggunakannya 

selama 1-2 minggu setelah URS.49 Obat α-blocker dapat menurunkan morbiditas pada penggunaan stent dan meningkatkan toleransi. Komplikasi setelah 

prosedur URS berkisar antara 9-25%, kebanyakan merupakan komplikasi minor dan tidak membutuhkan intervensi.

Tatalaksana Operasi Laparoskopi untuk Batu Ureter

Hanya sedikit studi yang melaporkan pengeluaran batu ureter secara laparoskopik. Prosedur tersebut biasanya dilakukan untuk beberapa kasus khusus 

seperti batu ureter proksimal yang sangat besar sebagai alternatif URS atau 

SWL.51 Jika terdapat ahli urologi yang memadai, ureterolitotomi per laparoskopi dapat dilakukan pada batu ureter proksimal besar sebagai alternatif dari 

URS atau SWL. Semakin banyak prosedur invasif dapat menghasilkan SFR 

yang tinggi dan prosedur tambahan lebih sedikit 


Tata Laksana Spesifik Batu Buli

3.4.1. Etiologi

Batu buli dapat diklasifikasikan menjadi penyebab primer dan sekunder berdasarkan ada tidaknya penyakit yang menyertai. Pengertian primer yang dimaksud adalah pembentukan batu tanpa adanya faktor anatomis, fungsional, 

dan infeksi yang dapat menyebabkan pembentukan batu. Sedangkan pengertian sekunder adalah adanya etiologi penyakit yang mendasarinya.52

Batu buli primer paling sering terjadi pada anak-anak. Etiologinya masih belum 

jelas, namun sering terjadi pada daerah sosioekonomi rendah serta makan 

makanan yang dapat menyebabkan gangguan metabolik seperti peningkatan 

kadar asam urat, penurunan produksi urine, hipofosfaturia, dan hiperamonuria. 

Batu buli sekunder sering berkaitan dengan gangguan pengosongan buli yang 

dapat menjadi faktor predisposisi pembentukan batu dan retensi. Pada laki-laki, kondisi seperti ini berhubungan dengan BPH, sedangkan pada perempuan 

adanya sistokel atau pelvic organ prolapse (POP) dapat dipertimbangkan sebagai penyebab batu buli.52

Neurogenic bladder dan infeksi saluran kemih berulang merupakan penyebab 

tersering batu buli pada laki-laki dan perempuan. Pasien dengan batu buli lebih 

mungkin memiliki riwayat batu ginjal dan gout dibandingkan pasien tanpa batu 

buli. Pada pasien batu buli terdapat kadar asam urat urine yang tinggi, pH urine 

dan kadar magnesium urine yang rendah.52

3.4.2. Diagnosis

Gejala paling sering pada batu buli adalah nyeri saat berkemih, terputus-putus, 

dan hematuria. Khususnya, nyeri saat mendekati akhir berkemih merupakan 

dampak dari batu buli. Pada pemeriksaan urine, terdapat sel pus dan kristal. 

Pemeriksaan awal dapat menggunakan USG, sedangkan untuk memastikan 

adanya batu buli dapat menggunakan sistoskopi. Pemeriksaan pencitraan 

sinar-X juga dapat digunakan untuk melihat adanya batu pada buli.52

Berdasarkan meta-analisis, pasien dengan batu buli memiliki risiko 2 kali lebih 

lebih tinggi mengalami kanker buli dibandingkan pasien batu ginjal.53 Pasien 

dengan batu buli berukuran besar (>30 mm) memiliki kecenderungan mengalami iritasi kronik pada buli.54 Dianjurkan biopsi mukosa buli pada batu berukuran >30 mm 

Terapi

3.4.3.1. SWL

SWL dapat direkomendasikan sebagai modalitas terapi yang efektif dan noninvasif dalam penanganan batu buli. Studi retrospektif dari Rasyid dkk, mengambil data dari rekam medis 92 pasien dengan batu buli di Rumah Sakit Cipto 

Mangunkusumo (RSCM) dari Januari 2011 sampai April 2015. Dari 92 pasien 

tersebut, 49 pasien dengan ukuran batu buli 2.5 ± 2.0 cm dilakukan SWL dengan 46 pasien (93.9%) stone-free, sedangkan 33 pasien dengan ukuran batu 

buli 4.2 ± 2.8 cm dilakukan intracorporeal lithotripsy memiliki stone-free rate

97%.56 Dari studi Cicione dkk, ditemukan bahwa stone-free rate dari SWL pada 

batu buli berkisar 72-99%.52 Umumnya, prosedur tersebut tidak memerlukan 

anestesi. Kateter uretra dipasang untuk mengisi dan mengosongkan buli sehingga dapat memudahkan lokalisasi batu dan pembersihan fragmen batu. 

Namun, sekitar 17% pasien membutuhkan evakuasi fragmen dengan sistoskopi, sementara pengulangan terapi diperlukan pada 10-25% pasien.52

3.4.3.2. Vesikolitotripsi Transuretra

Pendekatan transuretra merupakan prosedur yang paling sering dikerjakan 

pada usia dewasa. Biasanya, dapat menggunakan nefroskop rigid yang dapat 

memudahkan visualisasi dengan jelas. Namun, kekurangannya adalah memanipulasi uretra dengan instrumen besar sehingga dapat menyebabkan cedera 

uretra.52

Saat ini, ada beberapa sumber energi yang digunakan untuk memfragmentasi batu buli antara lain mekanik, ultrasonik, pneumatik, dan laser. Litotripsi 

mekanik, misalnya dengan Losley, Henrikson, dan stone punch dibatasi pada 

derajat kekerasan batu dan ukuran batu, umumnya <2 cm. Bahkan, prosedur 

tersebut berkaitan dengan hematuria, perforasi buli, dan risiko cedera mukosa buli. Litotripsi ultrasonik bekerja dengan memfragmentasi batu secara 

meka- nik (dengan gelombang ultrasonik) tanpa menyebabkan perforasi buli. 

Litotripsi pneumatik secara efektif dapat menghancurkan batu yang keras, namun memiliki komplikasi yaitu dapat menyebabkan cedera mukosa buli dan 

hematuria. Prosedur ini dapat dikerjakan secara transuretra dan perkutan 

pada batu besar. Saat ini, kombinasi litotripsi pneumatik dan ultrasonik dapat 

memfragmentasi batu lebih cepat dan pengumpulan fragmen lebih optimal 

dibandingkan hanya 1 modalitas litotripsi.52 Litotripsi laser merupakan modalitas terbaru yang menggunakan laser Ho:YAG. Laser Holmium dapat memfragmentasi semua jenis batu dan termasuk prosedur yang aman bila  selama 

digunakan fiber laser berada pada jarak minimum 0,5 mm dari urotelium 

Vesikolitotripsi Perkutan

Teknik perkutan digunakan pada pasien yang tidak memungkinkan akses 

melalui uretra seperti anak-anak dan pasien dengan rekonstruksi bladder neck. 

Teknik tersebut membutuhkan pemasangan Amplatz sheath dengan bantuan 

sistoskopi, kemudian diikuti dengan litotripsi. Beberapa studi menunjukkan 

bahwa pendekatan perkutan dibandingkan transuretra lebih cepat dalam pengangkatan fragmen batu. Kedua pendekatan tersebut, baik transuretra maupun perkutan memiliki efikasi yang sama sebagai terapi batu buli. 

Manajemen Batu pada Pasien dengan Batu Residu

Pasca tata laksana dengan SWL, URS, atau PNL dengan batu residu dapat memerlukan tindakan lanjutan. Hampir seluruh penelitian melakukan pencitraan 

awal pasca tindakan pada hari pertama atau 1 minggu pasca tindakan. Akan 

tetapi, hasil positif palsu yang timbul karena sisa-sisa batu yang sangat kecil 

yang sebenarnya dapat keluar spontan tanpa menyebabkan keluhan dapat 

menyebabkan overtreatment. Sehingga, pencitraan yang disarankan untuk melihat residu batu yaitu pada minggu keempat setelah intervensi. Perbandingan 

antara USG, BNO-IVP, serta CT-Scan non kontras membuktikan bahwa CT-Scan 

memiliki sensitivitas yang lebih baik untuk mendeteksi fragmen residu batu 

setelah tata laksana definitif batu ginjal atau ureter. Akan tetapi, hal ini harus 

dipertimbangkan dengan kenaikan tingkat deteksi batu sisa yang tidak signifikan 

secara klinis dan pajanan radiasi bila dibandingkan dengan BNO dan USG. Sejauh ini belum ada bukti penelitian yang baik, sehingga timing untuk pencitraan 

lanjutan pasca tindakan dan indikasi intervensi sekunder tergantung dari kebijakan dari dokter urologi yang menangani.

Risiko rekuren pada pasien dengan batu residu terjadi lebih besar pada batu infeksi dibandingkan dengan batu lainnya.57 Untuk komposisi semua batu, sekitar 

21-59% pasien dengan batu residu membutuhkan terapi berikutnya dalam jangka 5 tahun. Pecahan batu residu yang berukuran >5 mm memiliki kemungkinan

besar untuk intervensi berikutnya.58 Terdapat bukti bahwa pecahan batu >2 mm

memiliki kemungkinan untuk membesar, meskipun tidak berhubungan dengan

intervensi ulang dalam jangka 1 tahun 

Manajemen Batu dan Hubungannya dengan Kehamilan

Manajemen pasien hamil dengan BSK merupakan masalah kompleks sehingga 

perlu kolaborasi antara pasien, spesialis radiologi, spesialis obstetri dan ginekologi, dan spesialis urologi.  

Jika pengeluaran batu tidak terjadi secara spontan atau jika terjadi komplikasi 

(seperti hidronefrosis berat, keluhan yang tidak membaik, atau induksi persalinan prematur), maka perlu dilakukan pemasangan stent ureter atau nefrostomi 

perkutan karena tindakan ini lebih efektif dibandingkan terapi konservatif untuk 

tata laksana keluhan pasien.60 Utereroskopi merupakan alternatif yang dapat 

diterima pada pasien hamil. Jika dibandingkan dengan DJ stent temporer sampai setelah kelahiran, URS memiliki kebutuhan yang lebih sedikit untuk penggantian stent, keluhan LUTS iritatif yang lebih ringan dan kepuasan pasien yang lebih 

tinggi. URS non-urgent pada wanita hamil sebaiknya dilakukan selama trimester 

kedua dan dikerjakan oleh urolog yang berpengalaman. Pasien harus diberikan 

konseling termasuk pelayanan obstetrik dan neonatus. Meskipun memungkinkan, pengangkatan batu ginjal melalui perkutan selama kehamilan merupakan 

keputusan individual dan harus dilakukan hanya di pusat rumah sakit yang berpengalaman.61 Kehamilan masih menjadi kontraindikasi absolut untuk tindakan 

SWL. 

Manajemen Batu pada Pasien dengan Diversi Urine

Pasien dengan diversi urine memiliki risiko tinggi terjadinya pembentukan batu 

pada sistem pelviokalises ginjal dan ureter atau pada conduit atau pada reservoir 

kontinen.62 Faktor metabolik (hiperkalsiuria, hiperoksaluria, dan hiposistraturia), 

infeksi dari bakteri yang memproduksi urease, benda asing, sekresi mukus, dan 

stasis urine merupakan faktor yang dapat membentuk batu.63

Batu kecil pada sistem saluran kemih bagian atas dapat diterapi secara efektif 

dengan SWL. Namun, pada kebanyakan kasus, teknik endourologi merupakan 

prosedur yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi bebas batu. Pada kasus dengan konduit yang panjang dan tortuous atau muara ureter yang sulit diidentifikasi, pendekatan dengan endoskopik retrograd sangat sulit atau tidak mungkin 

dilakukan 

Pada batu yang terjadi di konduit, pendekatan secara trans-stoma dapat dilakukan untuk mengeluarkan batu menggunakan teknik standar yaitu litotripsi intrakorporal dan endoskopi fleksibel. Manipulasi secara trans-stoma harus 

dilakukan secara hati-hati untuk menghindari gangguan pada mekanisme kontinens.64 Sebelum melakukan tindakan perkutan pada kasus-kasus seperti ini, CT 

scan sebaiknya dilakukan untuk menilai adanya saluran cerna yang menutupi, 

yang dapat membuat pendekatan perkutan menjadi tidak aman, dan jika ada, 

pendekatan operasi terbuka dapat dipilih. Risiko kekambuhan tinggi pada pasien 

ini sehingga evaluasi metabolik dan follow-up secara ketat. Pencegahan tersebut 

meliputi terapi farmakologi yang mengatasi abnormalitas metabolit, mengurangi infeksi saluran kemih, dan hiperdiuresis.65

3.8. Manajemen Batu pada Pasien dengan Neurogenic Bladder

Pasien dengan kelainan neurogenic bladder dapat membentuk batu karena 

adanya faktor risiko tambahan seperti bakteriuria, hidronefrosis, refluks vesikoureter, jaringan parut ginjal, rekonstruksi traktus urinarius bawah, dan defek 

medula spinalis setinggi torakal. Penyebab tersering adalah urine yang stasis 

dan infeksi saluran kemih. Pemasangan kateter menetap dan operasi interposisi segmen usus digunakan untuk tata laksana disfungsi buli yang keduanya 

dapat menyebabkan infeksi saluran kemih. Walaupun batu dapat terbentuk di 

setiap tingkat saluran kemih, pada kasus seperti ini batu ini sering timbul di 

buli, terutama bila terdapat riwayat operasi augmentasi buli.

Diagnosis batu pada kondisi ini sulit ditentukan dan dapat tertunda akibat gejala asimptomatik karena gangguan sensoris dan disfungsi vesikouretra.66 Kesulitan pada pemasangan kateter dapat mengarahkan kecurigaan pada batu 

buli. Pencitraan USG atau CT-Scan dapat membantu menegakkan diagnosis 

sebelum dilakukan intervensi pembedahan.

Pada pasien dengan mielomeningokel, biasanya memiliki alergi lateks, oleh 

karena itu, perlu penilaian sebelum dilakukan terapi. Setiap prosedur pada 

pasien ini harus dilakukan dengan anestesi umum karena kemungkinan kecil 

untuk dilakukan anestesi spinal. Deformitas tulang dapat membuat kesulitan 

saat memposisikan pasien saat operasi. Risiko pembentukan batu pasca augmentasi buli pada pasien immobile dengan gangguan sensorik dapat diturunkan dengan protokol irigasi buli. Untuk pencegahan terbentuknya batu saluran 


kemih pada pasien ini diperlukan koreksi metabolik, kontrol sumber infeksi saluran kemih, dan pengembalian fungsi berkemih yang normal 

Manajemen Batu pada Pasien Transplantasi Ginjal


Pasien dengan transplantasi ginjal bergantung pada ginjal tunggalnya untuk 


menjalankan fungsinya. Gangguan yang dapat menyebabkan stasis urine atau 


obstruksi diperlukan tindakan segera atau drainase segera dari ginjal allograft. 


Faktor risiko pada pasien ini meningkat seiring adanya hal berikut, antara lain: 


pasien imunosupresi dapat meningkatkan risiko infeksi sehingga menimbulkan infeksi saluran kemih berulang, hiperfiltrasi, urine alkali yang berlebihan, 


asidosis tubular ginjal, dan peningkatan serum kalsium disebabkan oleh hiperparatioridisme tersier persisten.


Batu pada ginjal allograft memiliki insiden 1%.68 Pemilihan teknik operasi pengangkatan batu pada ginjal allograft cukup sulit, walaupun pada prinsipnya 


sama saja seperti ginjal tunggal. Faktor tambahan lainnya seperti fungsi ginjal 


allograft, status koagulasi, dan kelainan anatomi karena posisi organ ginjal allograft di iliaka dapat mempersulit operasi. Untuk batu ureter atau batu yang 


besar, akses secara perkutan dan endoskopi antegrad merupakan pilihan yang 


lebih disarankan. Penggunaan ureteroskopi kecil fleksibel dan laser holmium 


menjadikan URS sebagai pilihan terapi untuk batu pada ginjal transplan.69


Akan tetapi, pada setiap tindakan ini harus berhati-hati adanya risiko cedera 


organ sekitar. Akses retrograde ke ginjal allograft sangat sulit karena lokasi 


anastomosis ureter lebih anterior dan sering disertai puntiran/tortous ureter. 

Manajemen Batu pada Anak


Insiden terjadinya BSK meningkat pada negara-negara berkembang. Lebih dari 


1% dari semua kasus batu saluran kemih terjadi pada pasien berusia <18 tahun. Karena faktor malnutrisi dan faktor rasial, batu saluran kemih pada anak 


masih menjadi penyakit endemik pada beberapa negara (misalnya, Turki).


Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam memilih terapi atau tindakan 


pada anak. Jika dibandingkan dengan dewasa, pada pasien anak pengeluaran 


pecahan batu lebih cepat setelah SWL.70 Untuk prosedur endourologi, organ 


yang lebih kecil pada anak harus dipertimbangkan dalam penggunaan alat untuk prosedur PNL atau URS. Namun, perkembangan alat litotripsi intrakorporal 


dan instrumen ukuran kecil dapat memfasilitasi penggunaan PNL dan URS 


pada anak.71 Komposisi batu harus dinilai terlebih dahulu terkait dengan pemilihan prosedur pengangkatan batu yang sesuai pada anak (misal, batu sistin 


sangat sulit pecah dengan SWL).


SWL masih menjadi prosedur yang paling minimal invasif pada tata laksana 


batu pada anak. Beberapa studi menunjukkan bahwa kondisi bebas batu dalam jangka pendek sekitar 67-93% dan jangka panjang sekitar 57-92%. Pada 


anak, dibandingkan dengan dewasa, SWL dapat mencapai disintegrasi yang 


lebih baik pada batu yang besar.72 Kebutuhan anestesi umum selama SWL 


bergantung pada usia pasien dan penggunaan litotriptor. Biasanya anestesi 


umum digunakan pada pasien berusia <10 tahun untuk mencegah pasien banyak bergerak. Dengan alat litotripter modern, dapat digunakan sedasi intravena 


pada pasien anak lebih dewasa yang kooperatif.73


Evaluasi preoperatif dan indikasi PNL pada anak sama seperti pada pasien 


dewasa. Prosedur PNL dapat dilakukan pada anak dengan adanya ukuran instrumen yang sesuai dan dibantu oleh USG merupakan prosedur yang aman 


dimana paparan radiasi yang rendah, bahkan untuk batu berukuran besar dan 


kompleks 

Persentase kondisi bebas batu antara 68-100% setelah prosedur pertama, dan 


semakin meningkat dengan adanya tindakan tambahan seperti second-look


PNL, SWL, dan URS.76 Sama seperti dewasa, tubeless PNL juga aman pada 


anak pada kasus tertentu. Meskipun SWL masih merupakan pilihan terapi 


lini pertama pada hampir semua kasus batu ureter, namun ada beberapa kasus yang kemungkinan berhasil kecil seperti batu berdiameter >10 mm, batu 


impaksi, batu kalsium oksalat monohidrat, batu sistin, kelainan anatomi dan 


batu yang sulit dilokalisir, maka dapat menggunakan ureterorenoskopi dengan kaliber diameter yang kecil.76 Litotriptor yang bervariasi, seperti ultrasonik, 


pneumatik, dan litotriptor laser semua aman dan efektif.


Mempertimbangkan risiko dan komplikasi yang dapat ditimbulkan berhubungan dengan operasi endoskopik pada anak, maka dikembangkan ukuran endoskopi yang lebih kecil, yaitu RIRS dapat menjadi modalitas terapi untuk batu 


ginjal dan ureter serta pilihan untuk batu kaliks inferior yang memiliki faktor 


penghambat bila dilakukan SWL.77 Sama seperti pasien dewasa, pemasangan 


stent rutin sebelum prosedur URS tidak diperlukan.


 


Pada batu ginjal berukuran besar dan kompleks, prosedur PNL memiliki efikasi 


SFR lebih baik dibandingkan RIRS, namun RIRS berhubungan dengan paparan 


radiasi yang rendah, komplikasi yang sedikit, dan lama perawatan yang lebih 


singkat.78 Walaupun begitu, pengalaman tim operator yang paling menentukan 


keberhasilan kedua teknik ini.


Hampir semua batu saluran kemih pada anak dapat ditatalaksana dengan 


SWL dan teknik endoskopik. Namun, terdapat indikasi operasi terbuka atau 


laparoskopik pada anak, antara lain gagalnya terapi lini pertama pada pengangkatan batu, anak yang masih sangat muda dengan batu yang kompleks, 


obstruksi kongenital yang memerlukan koreksi pembedahan secara simultan, 


deformitas ortopedik yang berat yang dapat menghambat prosedur endoskopik, dan posisi ginjal yang abnormal. Operasi terbuka dapat diganti dengan 


prosedur laparoskopik tergantung dari pengalaman operator 

Manajemen Medis pada Batu Ginjal


Berdasarkan survei di Amerika Serikat yang dilakukan National Health and Nutrition Examination Survey pada tahun 2012, batu ginjal memiliki prevalensi 


sekitar 8,8% pada tahun 2007-2010, dengan prevalensi terbanyak terjadi pada 


laki-laki (10,6%) dibandingkan perempuan (7,1%).79 Batu ginjal juga cenderung 


berulang, dengan angka >50% mengalami rekurensi batu ginjal dalam 10 tahun pertama setelah episode awal. Batu ginjal berkaitan dengan kondisi sistemik.  Obesitas, hipertensi, dan diabetes berkaitan dengan peningkatan faktor 


risiko terjadinya batu ginjal.81-84


Diet dan gaya hidup dapat mempengaruhi terjadinya risiko pembentukan batu. 


Selain diet dan gaya hidup, pada beberapa RCT, terapi medis pengobatan pada 


gangguan metabolik spesifik menunjukkan secara langsung bahwa lebih superior dibandingkan plasebo atau tanpa pengobatan pada grup kontrol. Walaupun begitu, perbandingan langsung antara terapi diet dan terapi farmakologi 


belum dilakukan sehingga rekomendasi untuk manajemen medis batu ginjal 


mengkombinasikan terapi diet dan farmakologi. 


3.11.1. Evaluasi


1. Melakukan evaluasi yang meliputi riwayat penyakit dan riwayat diet, laboratorium, dan urinalisis pada pasien yang baru terdiagnosis batu ginjal atau


ureter.


Riwayat nutrisi pasien yang berhubungan dengan batu, bergantung pada tipe 


batu dan faktor risiko, antara lain asupan kalsium dibawah atau diatas angka 


kecukupan gizi, rendahnya asupan cairan, tingginya asupan sodium, rendahnya asupan buah-buahan dan sayuran, dan tingginya asupan purin hewani. 


Riwayat diet perlu ditanyakan antara lain jumlah asupan cairan, protein, kalsium, natrium, makanan tinggi oksalat, buah-buahan, sayuran, dan suplemen. 


Pemeriksaan laboratorium yang perlu diperiksa antara lain elektrolit, kalsium,  

kreatinin, dan asam urat. Pemeriksaan urinalisis dapat menggunakan dipstik atau secara mikroskopik untuk mengevaluasi pH urine, indikator infeksi, 


dan untuk mengidentifikasi jenis kristal batu. Pemeriksaan kultur urine dapat 


dilakukan pada pasien dengan kecurigaan infeksi saluran kemih atau pasien 


infeksi saluran kemih berulang. 


2. Memeriksa kadar hormon paratiroid sebagai bagian evaluasi jika terdapat


kecurigaan hiperparatiroid primer.


Hiperparatiroid primer harus dicurigai bila  kadar serum kalsium tinggi. 


3. Ketika sampel batu tersedia, harus melakukan analisis batu minimal satu


kali.


Komposisi batu yang terdiri atas asam urat, sistin, atau struvit dapat berimplikasi pada gangguan metabolik spesifik atau kelainan genetik dan informasi 


mengenai komposisi batu dapat membantu untuk tindakan pencegahan. 


4. Melakukan pencitraan untuk mengetahui mengukur stone burden.


Batu ginjal multipel atau bilateral pada saat awal pemeriksaan dapat memiliki 


risiko rekurensi pembentukan batu yang tinggi. Nefrokalsinosis berimplikasi 


pada kelainan metabolik (seperti asidosis tubular ginjal tipe 1, hiperparatiroid 


primer, hiperoksaluria primer) atau kondisi anatomis (medullary sponge kidney)


yang berisiko membentuk batu. 


5. Melakukan pemeriksaan metabolik tambahan pada pasien risiko tinggi


atau pertama kali terbentuk batu dan pasien dengan batu rekurens.


Pemeriksaan urine 24 jam dapat digunakan untuk mengetahui dan memonitor 


pengobatan. Identifikasi faktor risiko metabolik dapat membantu pemberian 


terapi diet/nutrisi dan medikamentosa. Terapi diet spesifik, yang didapatkan 


dari evaluasi metabolik dan diet, memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi 


dibandingkan terapi pencegahan batu secara umum. 


6. Pemeriksaan metabolik (urine 24 jam) diambil 1 atau 2 kali pada kondisi


pasien diet bebas dan minimal pemeriksaan antara lain volume total, pH,


kalsium, oksalat, asam urat, sitrat, natrium, kalium, dan kreatinin.


Pasien dengan batu sistin atau riwayat keluarga dengan sistinuria, maka pemeriksaan tambahan sistin dapat dilakukan. Hiperoksaluria primer dapat dicurigai bila kadar ekskresi urine oksalat >75 mg/hari pada pasien dewasa tanpa bowel dysfunction. 

7. Tidak perlu melakukan pemeriksaan “fast and calcium load” secara rutin


untuk membedakan tipe hiperkalsiuria. 


. Terapi Diet


8. Merekomendasikan kepada seluruh pasien batu untuk mengonsumsi


asupan cairan dengan target volume urine minimal 2,5 liter per hari.


Volume urine merupakan faktor penting dari konsentrasi faktor litogenik. Konsumsi asupan cairan tinggi merupakan faktor terpenting untuk mencegah 


pembentukan batu. Konsumsi minuman alkohol, kopi, teh, wine, dan jus jeruk 


berhubungan dengan penurunan angka kejadian pembentukan batu, sementara minuman manis dapat meningkatkan risiko.  Walaupun begitu, penelitian 


terkait minuman manis ini belum dievaluasi dengan RCT.


9. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu kalsium dan kadar kalsium


urine yang tinggi untuk membatasi asupan natrium dan kalsium 1000-1200


mg per hari.


Berdasarkan Konsensus Panel, target asupan natrium ≤2.300 mg per hari. 


Suplemen kalsium dapat meningkatkan risiko pembentukan batu.  Pada 


suatu studi observasi, pengguna suplemen kalsium memiliki risiko 20% lebih 


tinggi terbentuknya batu ginjal dibandingkan pada kelompok tanpa menggunakan suplemen kalsium.87


10. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu kalsium oksalat dan oksalat


urine yang relatif tinggi untuk membatasi asupan makanan kaya oksalat dan


mempertahankan jumlah asupan kalsium yang normal.


Oksalat urine dimodulasi dari asupan kalsium, yang dapat mempengaruhi 


absorpsi oksalat di saluran pencernaan. Pasien dengan hiperoksaluria dan 


riwayat batu kalsium oksalat dapat disarankan untuk mengonsumsi kalsium 


dari makanan untuk meningkatkan pengikatan oksalat di saluran cerna, dengan catatan asupan kalsium tidak boleh melebihi 1.000-1.200 mg setiap 


hari.  Akan tetapi, pasien dengan hiperoksaluria enterik dan oksalat urine yang 


tinggi, seperti pada kondisi malabsorpsi (misalnya, inflammatory bowel disease 


atau bypass Roux-en-Y) dapat menjalani terapi diet oksalat yang lebih restriktif 


dengan asupan kalsium yang lebih tinggi, yang dapat dibantu dengan asupan 


suplemen kalsium.


Faktor-faktor lain yang mungkin berkontribusi pada oksalat urine yang tinggi 


termasuk suplemen vitamin C dan suplemen nutrisi lain yang dijual bebas. 



11. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu kalsium dan sitrat urine yang


relatif rendah untuk meningkatkan asupan buah dan sayuran dan membatasi


protein hewani.


Sitrat urine merupakan inhibitor poten pembentukan batu kalsium. Asidosis 


metabolik atau asupan acid load meningkatkan reabsoprsi sitrat di ginjal, sehingga mengurangi ekskresi urine. Kondisi medis seperti asidosis tubulus ginjal dan diare kronis, dan beberapa obat, seperti inhibitor karbonat anhidrase 


dapat menyebabkan hipositraturia. 


Jika dari penilaian diet ditemukan terdapat asupan makanan yang memiliki 


acid load yang tinggi dan menyebabkan sitrat urine yang rendah, pasien dapat 


disarankan untuk meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran dan mengurangi asupan makanan dengan high-acid. Diet sitrat alkali dapat ditawarkan 


menjadi alternatif dari terapi medis sitrat untuk meningkatkan ekskresi sitrat 


di urine.


12. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu asam urat atau batu kalsium dan asam urat urine yang relatif tinggi untuk membatasi asupan protein


hewani.


Jika dari evaluasi diet ditemukan bahwa asupan purin berperan pada tingginya asam urat di urine, pasien dapat dianjurkan untuk membatasi asupan 


makanan tinggi purin.  Pembentukan dan pertumbuhan kristal asam urat 


terjadi pada urine yang lebih asam. Pasien dengan riwayat batu asam urat 


dapat disarankan untuk meningkatkan alkali load dan mengurangi acid load 


dari makanan mereka sebagai upaya untuk meningkatkan pH urine dan mengurangi keasaman urine. 


13. Memberikan edukasi ke pasien dengan batu sistin untuk membatasi


asupan natrium dan protein.


Terapi diet harus dikombinasikan dengan terapi farmakologis karena pembentukan batu sistin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi sistin, serta asupan 


cairan yang tinggi sangat berperan tinggi untuk pencegahan pembentukan 


batu sistin. Target volume urine biasanya lebih tinggi daripada yang direkomendasikan untuk pembentuk batu lain karena kebutuhannya untuk mengurangi 


konsentrasi sistin urine di bawah 250 mg/L.89 Asupan cairan per oral minimal 


4 liter per hari. Pembatasan diet natrium disarankan karena asupan natrium 


yang lebih rendah terbukti mengurangi ekskresi sistin. Asupan natrium pada  

individu dengan sistinuria adalah ≤2.300 mg (≤100 mEq) per hari. Membatasi asupan protein hewani disarankan untuk mengurangi beban sistin, karena 


semua makanan yang berasal dari hewan kaya akan sistin dan metionin yang 


kemudian akan dimetabolisme menjadi sistin.


. Terapi Farmakologis


14. Memberikan terapi diuretik thiazid kepada pasien dengan kalsium urine


tinggi atau relatif tinggi dan batu kalsium berulang.


Dosis thiazid yang terkait dengan efek hipokalsiurik meliputi hidroklorotiazid 


(25 mg oral, dua kali sehari; 50 mg oral, sekali sehari), klortalidon (25 mg oral, 


sekali sehari), dan indapamid (2,5 mg oral, sekali sehari). Pembatasan asupan 


natrium dapat dilanjutkan ketika pasien diberikan thiazid untuk memaksimalkan efek hipokalsiurik dan membatasi potassium wasting. Suplementasi 


potasium (baik potasium sitrat atau klorida) mungkin dipertimbangkan ketika 


diberikan terapi thiazid.


15. Memberikan terapi potasium sitrat kepada pasien dengan batu kalsium


berulang dan sitrat urine rendah atau relatif rendah.


Beberapa studi RCT prospektif menunjukkan bahwa terapi potasium sitrat 


berhubungan dengan penurunan risiko batu kalsium berulang pada pasien dengan ekskresi sitrat urine 24 jam rendah atau normal rendah. Pasien dengan 


batu kalsium dengan sitrat urine yang normal namun dengan pH urine rendah 


juga dapat disarankan untuk pemberian terapi sitrat. Selain itu, terapi potasium sitrat dapat ditawarkan kepada pasien dengan batu kalsium fosfat dengan 


hipositraturia karena sitrat berfungsi sebagai inhibitor kuat kristalisasi kalsium fosfat.  Potasium sitrat lebih disukai daripada sodium sitrat karena lebih 


dapat meningkatkan ekskresi kalsium urine.


16. Memberikan terapi allopurinol pada pasien dengan batu kalsium oksalat


rekuren dengan riwayat hiperurikosuria dan kalsium urine. Pemberian terapi


febuxostat dapat diberikan sebagai terapi lini kedua.


Allopurinol dapat menurunkan risiko terjadinya batu kalsium oksalat rekuren 


pada kondisi hiperoksaluria (ekskresi asam urat urine > 0 mg/hari) dan 


normokalsiuria. Pemberian allopurinol pada pasien dengan hiperkalsiuria 


belum menjadi standar terapi. Hiperurisemia bukan merupakan indikasi 


untuk pemberian terapi allopurinol.  Febuxostat juga efektif menurunkan 


ekskresi asam urat pada urin.91 Dari suatu penelitian RCT, febuxostat 


mg dapat lebih menurunkan ekskresi secara signifikan asam urat urin 


24 jam dibandingkan dengan allopurinol 300 mg pada pasien batu 


saluran kemih dengan eksresi asam urat yang tinggi setelah 6 bulan terapi. 

17. Memberikan terapi diuretik thiazid dan/atau potasium sitrat untuk pasien dengan batu kalsium rekuren yang tidak memiliki kelainan metabolik


atau pernah terdiagnosa dengan kelainan metabolik, dan masih terjadi pembentukan batu saluran kemih.


Diuretik golongan thiazid dan potasium sitrat telah menunjukkan dapat mencegah berulangnya kasus batu saluran kemih pada pasien dengan kadar kalsium 


dan sitrat urine normal. Oleh karena itu, terapi kombinasi ini dapat diberikan 


pada pasien dengan batu rekuren tanpa memiliki kelainan metabolik urine 


yang spesifik. Pada pasien batu saluran kemih tanpa faktor risiko, potasium 


sitrat dapat disarankan sebagai terapi lini pertama, dengan alasan rendahnya 


efek samping. 


18. Memberikan terapi kalium sitrat pada pasien dengan batu asam urat dan


sistin, untuk meningkatkan pH urine ke angka optimal.


Kelarutan asam urat dan sistin meningkat pada pH urine yang lebih tinggi. Terapi potasium sitrat dapat meningkatkan pH urine, dimana pH urine harus dinaikkan menjadi 6.0 pada kasus batu asam urat dan pH 7.0 pada batu sistin. 


19. Tidak perlu secara rutin meresepkan allopurinol sebagai obat lini pertama pada pasien dengan batu asam urat.


Hampir semua pasien dengan batu asam urat lebih sering memiliki pH urine 


yang rendah daripada kondisi hiperurikosuria. Penggunaan allopurinol untuk 


menurunkan ekskresi asam urat urine pada pasien dengan batu asam urat 


tidak akan mencegah pembentukan batu asam urat pada pasien dengan urine 


yang sudah terlampau asam. Oleh karena itu, penggunaan potasium sitrat untuk alkalinisasi urine masih menjadi terapi lini pertama pada pasien dengan 


batu asam urat. 


20. Dapat memberikan obat golongan cystine-binding thiol, seperti tiopronin, untuk pasien dengan batu sistin yang tidak memberikan respon dengan


modifikasi diet dan alkalinisasi urine, atau menderita batu besar yang berulang.


Lini pertama terapi pasien dengan batu sistin adalah meningkatkan asupan 


cairan, restriksi konsumsi natrium dan protein, serta alkalinisasi urine. Bila terapi tersebut tidak menunjukkan perubahan yang memuaskan, obat cystin-binding thiol merupakan obat lini selanjutnya. Tiopronin menunjukkan efektifitas 


yang lebih baik dibandingkan dengan d-penicillamine dan memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga perlu dipertimbangkan terlebih dahulu 

21. Melakukan pemeriksaan analisis urine 24 jam untuk melihat faktor risiko


batu dalam 6 bulan pertama sejak inisiasi terapi, untuk menilai respon terhadap modi ikasi diet dan terapi medikamentosa.


Tujuan dari modifikasi diet dan tata laksana medikamentosa dari nefrolitiasis


adalah untuk mengubah lingkungan urine sehingga mencegah rekurensi atau


pertumbuhan batu. ,93


22. Setelah follow-up awal, melakukan pemeriksaan analisis urine 24 jam setiap tahun atau lebih sering, tergantung dengan aktivitas batu, untuk menilai


kepatuhan pasien dan respon metabolik.


Pemantauan jangka panjang dari parameter urine dapat menilai kepatuhan 


pasien, serta identifikasi pasien yang berpotensi menjadi refrakter terhadap 


terapi atau membutuhkan waktu lebih lama untuk penyesuaian terapi. Bila pasien ditemukan tidak memiliki batu dalam waktu lama selama regimen pengobatan, pemberhentian pemeriksaan follow-up dapat dipertimbangkan.


23. Melakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk menilai efek samping


terapi medikamentosa.


Beberapa obat yang dapat menyebabkan efek samping, contohnya, thiazid 


dapat menyebabkan hipokalemi dan intoleransi glukosa; allopurinol dan tiopronin dapat meningkatkan enzim hati; AHA dan tiopronin dapat menyebabkan 


anemia dan kelainan darah lain; potasium sitrat dapat menyebabkan hiperkalemi.


24. Bila sarana memungkinkan, sebaiknya lakukan pengulangan analisa


batu saluran kemih bila tersedia sampel batu yang baru, terutama bila pasien


tidak respon terhadap terapi.


Perubahan komposisi batu dapat terjadi sebagai efek dari perubahan pola 


makan dan terapi medikamentosa. Oleh karena itu, pemeriksaan batu berulang diperbolehkan dalam kondisi ini. Perubahan dari komposisi batu pernah 


ditemukan pada kasus pasien dengan batu kalsium oksalat yang berubah 


menjadi batu kalsium fosfat. 


25. Memonitor pasien dengan batu struvit untuk kemungkinan infeksi ulang


bakteri yang memproduksi urease dan menyusun strategi pencegahan.


Pembentukan batu struvit disebabkan oleh infeksi saluran kemih, maka tidak 


menutup kemungkinan untuk pembentukan kembali batu bila terjadi infeksi  

saluran kemih, bahkan setalah pengangkatan batu. Pasien dengan kelainan 


anatomi saluran kemih bawah memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi reinfeksi 


dan rekuren. Pemantauan harus meliputi pemeriksaan kultur urine. Pada beberapa kasus, terapi antibiotik profilaksis dapat mencegah rekurensi. 


26. Melakukan pemeriksaan radiologis follow-up secara rutin untuk menilai


perkembangan dari batu saluran kemih dan pembentukan batu baru (foto


polos abdomen, ultrasonografi ginjal, atau CT-scan dosis rendah).


Pemeriksaan radiologis merupakan salah satu pemeriksaan batu saluran kemih yang sensitif untuk melihat aktivitas batu, yaitu antara pertumbuhan batu 


lama atau munculnya batu baru. Keuntungan dari foto polos abdomen adalah 


ketersediaannya yang cepat dan lebih murah dibandingkan dengan modalitas 


lain, terutama untuk kecurigaan terhadap batu radioopak. Sementara USG ginjal lebih dipilih pada pasien dengan kecurigaan batu radiolusen, terlebih lagi 


USG tidak memberikan radiasi dan secara biaya lebih murah dibandingkan CTscan. Selang waktu satu tahun di antara pemeriksaan, direkomendasikan untuk pasien dengan batu saluran kemih yang stabil, namun dapat disesuaikan 


bila terdapat gejala klinis atau aktivitas batu  


 aPTT Activated partial thromboplastin time

AUA American Urology Association

BNO Blass nier overzicht

BSK Batu saluran kemih

CT Scan Computed tomography scan

CRP C-reactive protein

DJ Double J

EAU European Association of Urology

fURS Flexible ureteroscope

Ho:YAG Holmium Yttrium-Aluminium-Garnet

HU Hounsfield unit

IMT Indeks massa tubuh

INR International normalised ratio

IVP Intravenous pyelogram

KUB Kidney-ureter-bladder

LUTS Lower urinary tract symptoms

MRI Magnetic Resonance Imaging

MET Medical expulsive therapy

mEq miliequivalent

NYHA New York Heart Association

NSAID Non-steroid anti inflammation drugs

PTH Paratiroid hormone

POP Pelvic organ prolapse

PNL Percutaneous nephrolithotomy

RCT Randomized controlled trial

RIRS Retrograde intra-renal surgery

SWL Shock wave lithotripsy

SFR Stone free rate

UAS Ureteral access sheaths

UPJ Ureteropelvic junction

URS Ureterorenoscopy

USG Ultrasonography

VUR Vesicoureter reflux