Kamis, 10 Juli 2025

pengendalian penyakit terpadu. 4



 ngan rencana 

penyelenggaraan EASAN 3 akan mempercepat pencapaian target outcome. 

Berbagai persiapan dilakukan dengan melibatkan lintas sektor, donor, swasta dan 

pemangku kepentingan terkait. Beberapa kegiatan dalam rangka persiapan EASAN-3 

di Bali yaitu: 

• Pertemuan persiapan rapat koordinasi lintas sektor dan lintas program 

• Orientasi STBM di daerah 

• Penyusunan laporan status sanitasi dan higiene negara peserta EASAN 

• Pencetakan media informasi EASAN 3 Pencapaian Indikator Pencapaian Indikator 

Sebagai gambaran hasil pencapaian dari berbagai upaya dan kegiatan penyehatan 

air dan sanitasi dasar, dapat dilihat dari pencapaian keempat indikator Penyehatan 

Lingkungan sebagai berikut. 

1) Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Air Minum Layak um Layak 

Indikator proporsi rumah tangga yang memiliki akses terhadap air minum yang 

aman dapat dilihat pada data berikut: 


Secara nasional terjadi penurunan akses dari 44.19% pada tahun 2010 menjadi 

42.76 % di tahun 2011.Di perdesaan terjadi penurunan sebesar 0.89%, dari 

45.85% (2010) menjadi 44.96%(2011). Sedangkan di perkotaan terjadi 

penurunan akses sebesar 1.43%, dari tahun 2010 sebesar 42.51% menjadi 

40.52% di tahun 2011. 

Lebih jelasnya, perbandingan akses air minum layak tahun 2010 dan 2011 dapat 

dilihat pada data berikut. 


Daridata di atas dapat diketahui bahwa berdasarkan karakteristik tempat 

tinggal, terdapat perbedaan persentase rumah tangga dalam hal akses sumber 

air layak. Akses air minum layak di perdesaan pada tahun 2011 (44.96%), lebih 

tinggi dibanding perkotaan (40.52%). Hal ini disebabkan oleh kecenderungan 

meningkatnya akses masyarakat perkotaan terhadap air kemasan dan air isi 

ulang sebagai air minum. 

Akses air minum layak atau berkualitas sesuai pengertian MDGs berasal dari 

perpipaan, sumur pompa, sumur gali terlindung, mata air terlindung dengan 

jarak terhadap sumber pencemaran lebih dari 10 meter, dan penampungan air 

hujan. Air kemasan dalam botol/galon tidak termasuk ke dalamnya. 

Berdasarkan pengertian tersebut jika dilihat dari data di atas menunjukkan 

trend akses di perkotaan cenderung menurun di tahun 2011 yang disebabkan 

oleh kecenderungan peningkatan terhadap akses air minum kemasan dan isi 

ulang. 


Secara nasional terjadi kecenderungan peningkatan akses terhadap air minum 

kemasan dan isi ulang sebagai sumber air minum yaitu dari 13.05% pada tahun 

2009 menjadi 19.37% pada tahun 2010. Kecenderungan peningkatan tidak 

hanya terjadi di perkotaan saja, tetapi di perdesaan juga mengalami 

peningkatan. Sementara itu, sesuai dengan definisi MDGs, air kemasan dan air 

isi ulang tidak termasuk sebagai sumber air minum layakDari grafikdi atas. dapat diketahui bahwa provinsi DIYogyakarta tertinggi 

dalam pencapaian akses terhadap air minum berkualitas di tahun 2011, 

sedangkan beberapa yang terendah antara lain Kepulauan Riau dan Banten, 

masing-masing sebesar 10.86% dan 22.12%. 

Upaya untuk dapat meningkatkan akses air minum layak secara nasional terus 

menerus dilakukan, akan tetapi masih banyak kendala dalam pencapaiannya. 

Kendala tersebut antara lain: 

a) Adanya kecenderungan meningkatnya penggunaan air kemasan dan isi 

ulang sebagai sumber air minum, sementara itu air kemasan dan isi ulang 

tidak termasuk sebagai sumber air minum layak. Hal ini terjadi disebabkan 

oleh pendataan yang dilakukan saat ini hanya memotret akses terhadap 

sumber air yang digunakan untuk minum, belum memperhitungkan kondisi 

rumah tangga yang memiliki lebih dari satu sumber air yang layak untuk 

diminum. 

b) Penyediaan infrastruktur air minum yang ada belum dapat mengimbangi 

laju pertumbuhan penduduk, baik karena urbanisasi maupun karena 

peningkatan konsumsi. 

c) Adanya beberapa permasalahan pada tingkat operator air minum, yaitu 

minimnya biaya operasional dan pemeliharaan, rendahnya tarif, 

terbatasnya SDM yang kompeten, dan pengelolaan yang kurang efisien. 

d) Terdapat kerusakaan di berbagai sarana air minum yang dipakai di 

masyarakat, termasuk sumur gali. Masyarakat yang akses terhadap sarana 

sumur yang tidak terlindung sebesar 7,1% di tahun 2010 (data Susenas, 

BPS) 

2) Proporsi Rumah Tangga dengan Akses Terhadap Sanitasi Layak i Layak Sampai saat ini, diperkirakan sekitar 47% masyarakaIndonesia masih buang 

airbesar sembarangan, ada yang berperilaku buang air besar ke sungai, 

kebon,sawah, kolam dan tempat-tempat terbuka lainnya. Perilaku sepertitersebut jelassangat merugikan kondisi kesehatan masyarakat, 

karena tinja dikenal sebagaimedia tempat hidupnya bakteri coli yang 

berpotensi menyebabkan terjadinyapenyakit diare. 

Berbagai alasan digunakan oleh masyarakat untuk buang air besar 

sembarangan, antara lain anggapan bahwa membangun jamban itu mahal, 

lebih enak BAB di sungai, tinja dapat untuk pakan ikan, dan lain-lain yang 

akhirnya dijadikan sebagai alasan karena kebiasaan sejak dulu, sejak anak￾anak, sejak nenek moyang, dan beranggapan sampai saat ini tidak 

mengalami gangguan kesehatan. 

Perilaku ini harus dirubah karena bilamana masyarakat berperilaku higienis, 

dengan membuang air besar pada tempat yang benar, sesuai dengan kaidah 

kesehatan, akan dapat mencegah dan menurunkan kasus-kasus penyakit 

menular. Kejadian diare misalnya, dengan meningkatkan akses masyarakat 

terhadap sanitasi dasar, dan akan menurunkan kejadian diare sebesar 32%. 

Dalam menyikapi masalah ini dilakukan berbagai upaya antara lain melalui 

berbagai metode pendekatan danupaya percepatan peningkatan akses 

penggunaan jamban, melalui program STBM yang diimplementasikan dalam 

program Pamsimas, CWSH, dan WSLIC-2, TSSM, ICWRMIP, serta kegiatan 

yang diinisiasi oleh Provinsi dan Kabupaten/Kota. Proporsi penduduk dengan akes sanitasi dasar yang layak (total) pada tahun 

2011 adalah 55,60 %, dimana hal ini sudah on-track dengan target MDGs 

pada tahun 2015 sebesar 62,4 %. Akses sanitasi perdesaan meningkat 

sebesar 0.47% dari tahun 2010 sebesar 38.50 % menjadi 38.97 % (2011). 

Sedangkan akses di perkotaan mengalami penurunan sebesar 0.24 % dari 

72.78% (2010) menjadi 72.54% di tahun 2011. 

Peningkatan akses sanitasi dasar tersebut berdampak positif pada penurunan 

kejadian diare per 1000 penduduk sebesar 12 poin, dari 423 per 1.000 

penduduk (2006) menjadi 411 per 1.000 penduduk tahun 2010 (Survei 

morbiditas diare tahun 2006 dan 2010). Sedangkan episode diare pada 

golongan umur balita per tahun turun 0,1 poin, dari 1,3 episode per tahun 

(2006) menjadi 1,2 episode per tahun pada tahun 2010 (Survei morbiditas 

diare,tahun 2006 dan 2010).

Berdasarkan data tersebut, diketahui angka rata-rata nasional akses sebesar 

55.60%. Dapat dilihat bahwa provinsi DKI Jakarta menempati angka 

tertinggi pada akses sanitasi dasar yang layak yaitu sebesar 87.83% 

sedangkan provinsi dengan akses terendah yaitu Papua (24.31%) dan Nusa 

Tenggara Timur (23.82%). 

Secara umum, kendala yang dihadapi dalam upaya pencapaian target yaitu: 

a) Proses peningkatan perubahan perilaku tidak dapat dilakukan secara 

instan, cenderung membutuhkan waktu yang relatif lama agar 

masyarakat dapat mengadopsi perilaku yang lebih sehat dalam 

kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, kondisi social budaya yang 

sangat bervariasi dapat mempengaruhi cepat lambatnya perubahan 

perilaku. 

b) Belum meratanya ketersediaan sarana air minum dan sanitasi yang 

mudah,murah, dan terjangkau oleh masyarakat 

c) Kondisi geografis yang sangat bervariasi mengakibatkan sulitnya 

menentukan pilihan teknologi sanitasi yang dapat diterapkan di daerah 

tersebut. 

3) Persentase Kualitas Air Minum yang Memenuhi Syarat Persentase Kualitas Air Minum yang Memenuhi Syarat 

Sebagai salah satu pengawasan kualitas air minum PDAM, sebagaimana 

tercantum dalam Permenkes 736 tahun 2010 tentang Tata Laksana dan 

Pengawasan Kualitas Air Minum, maka dilakukan uji petik terhadap kualitas 

air minum PDAM secara eksternal. Penghitungan dilakukan dengan 

membandingkan jumlah sampel air minum yang memenuhi syarat dibanding 

dengan jumlah seluruh sampel air minum yang diuji yang diambil pada 

jaringan distribusi PDAM. 

Dari hasil pemeriksaan kualitas air PDAM yang memenuhi syarat di tahun 

2011 mencapai 90.80% dari target 90%. Secara umum, kondisi kualitas air Hasil pemeriksaan air minum mengacu pada Permenkes No. 492 tahun 2010 

tentang Persyaratan Kualitas Air MinumJumlah Desa yang Melaksanakan STBM 

Yang disebut sebagai desa STBM adalah desa yang sudah stop BABS minimal 

1 dusun, mempunyai tim kerja STBM atau natural leader, dan telah 

mempunyai rencana kerja STBM atau rencana tindak lanjut. Sesuai dengan 

indicator RPJMN dan INPRES No.3, jumlah desa STBM dimonitor terus 

menerus dan dilaporkan perkembangannya secara triwulan ke UKP4. Berikut 

ini adalah data pencapaian target desa STBM tahun 2010 dan 2011. Dari 

target 5500 desa STBM di tahun 2011 dapat dicapai sebanyak 6235 desa 

implementasi STBM.Program ICWRMIP SC 2.3 ini mempunyai kegiatan-kegiatan utama yaitu 

Pemberdayaan masyarakat dan pengembangan kapasitas institusi daerah. 

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengembangkan kapasitas masyarakat dalam 

mengatur, merencanakan, mengelola dan melanjutkan secara efektif program air, 

sanitasi dan kesehatan masyarakat untuk dilaksanakan. Hal tersebut juga bertujuan 

memperkuat koordinasi dan kapasitas pengelolaan proyek dan unit pelaksana di 

pusat, propinsi, kabupaten dan kecamatan, untuk secara aktif mengatur proyek dan 

pemerintah daerah dalam memfasilitasi dukungan masyarakat terhadap proyek, dan 

secara efektif melanjutkan hasil program setelah ICWRMIP sub component 2.3. 

Penduduk desa akan dilatih pada persiapan CAP dan pada kegiatan berikutnya 

terkait dengan pelaksanaan CAP seperti pembangunan system WSS, pengawasan 

proyek, pelaksanaan dan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi. Pelatihan ini akan 

dilaksanakan oleh CFT sepenuhnya, dengan prosedur pembelajaran penduduk desa 

pada saat dilakukan persiapan CAPs. Selanjutnya masyarakat akan dilatih tentang 

beberapa aspek dari proses pengelolaan masyarakat, yang akan meningkatkan 

partisipasi mereka di proyek, memberdayakan mereka untuk membuat pilihan, dan 

menjamin kepentingan yang berkelanjutan di proyek. Pelatihan khusus lainnya akan 

diidentifikasi selama penilaian kapasitas kelembagaan yang dilaksanakan selama 

proyek berlangsung. 

1) Promosi untuk meningkatkan kesehatan/perilaku sanitasi dan pelayanan 

Perilaku kesehatan & sanitasi, dan juga kegiatan pelayanan sudah tercakup 

dalam proyek ini. Karena pentingnya peningkatan penyediaan air dan sanitasi, 

maka manfaat kesehatan yang maksimal harus bisa dicapai. Tujuannya adalah 

untuk meningkatkan perilaku sehat dan sanitasi, juga untuk pengelolaan 

pelayanan kesehatan masyarakat terkait dengan penyakit yang berbasis pada 

air. Komponen ini akan memberikan metode perubahan yang layak dan 

pelaksanaan partisipasi kebersihan dan perubahan sanitasi (PHAST) yang akan 

digunakan dalam masyarakat dan sekolah, untuk memperoleh peningkatan 

kesehatan yang berkelanjutan secara pribadi, rumah tangga dan lingkungan, 

perilaku bersih dan sanitasi, sarana dan pelayanan.

Metode PHAST memberi masyarakat kesempatan untuk melakukan analisa 

masalah mereka sendiri atau penilaian kebutuhan berkaitan dengan penyakit yg 

berbasis air dan udara. Setelah itu, mereka bisa mengembangkan pendekatan 

spesifik setempat untuk meningkatkan perilaku bersih dan untuk mengurangi 

penyakit diare atau penyakit yg berbasis air lainnya. Sanitasi komunal akan 

dilaksanakan dengan bantuan fasilitator masyarakat dibawah manajemen LSM. 

Pendekatan CLTS akan dilaksanakan dengan bantuan TFM dan personil 

kesehatan dari kabupaten, kecamatan, desa, kelurahan. Sarana sanitasi 

masyarakat akan disediakan oleh konsultan kabupaten dan fasilitator 

masyarakat tanpa menggunakan dana luar, subsidi perangkat keras atau 

pembebanan design toilet luar, tapi menggunakan pendekatan terhadap 

perilaku masyarakat yang mengubah pandangan awal terhadap pengolahan 

kotoran yang aman, kemudian diikuti dengan cuci tangan, sebelum pindah ke 

masalah sanitasi lingkungan seperti penyimpanan air, limbah air dan 

pengolahan limbah padat. Ini juga memperkuat kapasitas dan keterampilan 

komunikasi dari penyedia layanan sanitasi dan kesehatan daerah, termasuk 

badan sanitasi, bidan desa dan badan kesehatan setempat. 

2) Penyediaan fasilitas air bersih dan sanitasi 

Komponen ini memberikan masyarakat sejumlah akses yang mudah dicapai, air 

bersih yang bisa diandalkan, dan juga dana tambahan untuk kesehatan terkait 

dengan kegiatan pilihan mereka, termasuk kesempatan masing-masing rumah 

tangga untuk membangun fasilitas sanitasi pribadi setelah mendapatkan pemicuan pada pendekatan CLTS. Masyarakat juga bisa membangun tempat 

pembuangan limbah padat sederhana atau saluran air limbah, atau membiayai 

pelayanan beberapa pelayanan yang mendukung kesehatan, seperti yang 

mereka pilih (di dalam parameter yang dibentuk). 

Sejauh ini, pembangunan sistem air bersih, sanitasi umum dan pembuangan 

limbah padat dilakukan oleh penduduk desa sendiri, tanpa material non local 

(seperti pipa, pompa, dll) yang dibiayai oleh proyek. Desa-desa akan bersama￾sama membiayai sistem dengan kontribusi di muka 20%, yang terdiri dari 4% 

dari total biaya konstruksi dalam bentuk tunai, dan tambahan 16% tenaga kerja 

dan material lokal. Sistem operasi dan pemeliharaan akan sepenuhnya 

tanggung jawab masyarakat dengan dukungan kelembagaan yang tersedia 

untuk masalah-masalah sulit yang mungkin timbul. Tim Fasilitator Masyarakat 

memberikan dukungan yang berkaitan dengan perencanaan dan perancangan 

(DED) dari hari ke hari sesuai dengan keahlian mereka, dari persiapan sampai 

dengan setelah konstruksi, dimana masyarakat memungkinkan untuk 

menangani OM sendiri. 

a) Lokasi dan Desa Sasaran Lokasi dan Desa Sasaran 

Lokasi Proyek Lokasi Proyek 

Lokasi ICWRMIP sub komponen kegiatan 2.3 adalah kabupaten/ kota yang 

wilayah administrasinya terletak di sepanjang aliran sungai Citarum dan Kanal 

Tarum Barat, termasuk 9 Kabupaten: Bandung, Bandung Barat, Garut, 

Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang, Bekasi dan 3 Kota: 

Bandung, Cimahi dan Bekasi. Sementara ICWRMIP Sub Komponen 2.3 pada 

tahun 2010 sampai dengan 2012 difokuskan pada 2 kabupaten (Karawang & 

Bekasi) dan 1 Kota Bekasi

Desa Sasaran 

Pelaksanaan proyek mengambil lokasi di desa/kelurahan yang terletak 

disepanjang sungai Citarum dan Kanal Tarum Barat. Ada 15 desa sasaran yang 

tersebar menjadi 5 desa setiap kabupaten/kota. Daftar lokasi dan desa sasaran 

adalah sebagai berikut :

b) Kemajuan Kegiatan dan Pencapa Kemajuan Kegiatan dan Pencapa emajuan Kegiatan dan Pencapaian 

Program ICWRMIP SC 2.3 bertujuan agar masyarakat di sekitar Daerah Aliran 

Sungai Citarum mendapatkan akses air minum dan sanitasi sehingga dapat 

meningkatkan derajat kesehatan dan peningkatan kualitas hidup dari manfaat 

yang diperoleh dari program pengelolaan sumber daya air Sungai Citarum. 

Dari berbagai indikator yang diperlukan untuk menggambarkan perkembangan 

dan dampak ICWRMIP 2.3 terdapat data jumlah sarana air minum dan sanitasi 

yang dibangun oleh masyarakat dan jumlah penerima manfaat program 

ICWRMIP SC 2.3 tahun 2011 yang dapat dilihat pada data dibawah ini. 

Tujuan program ICWRMIP SC 2.3 adalah untuk meningkatkan derajat 

kesehatan masyarakat dan mengurangi penyakit yang berbasis air dan udara 

pada masyarakat di tepi pantai di sepanjang WTC, dengan peningkatan 

penyediaan air, sanitasi, kualitas air dan mengurangi pemompaan illegal 

disepanjang WTC. Selain untuk perbaikan kesehatan masyarakat, program ini 

diharapkan dapat mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan manfaat 

kesehatan di daerah miskin, dengan meningkatkan pemberdayaan masyarakat; 

dan penguatan kapasitas pemerintah daerah.

ICWRMIP menitikberatkan pada pendekatan tanggap terhadap kebutuhan 

masyarakat (demand responsive approach) berupa penyediaan sarana air 

minum, sanitasi, pengelolaan sampah dan peningkatan perilaku higienis. 

Sebagai salah satu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat adalah 

penyediaan sarana air minum. 

Kegiatan ini akan menjadi investasi lingkungan yang mengacu kepada 

perubahan perilaku masyarakat sehingga perubahan perilaku tersebut akan 

memberikan dampak kepada lingkungan sebagai sumber daya alam yang 

dapat diperbaharui dan peningkatan kesehatan masyarakat sebagai tujuan 

utamanya. 

Pemberdayaan Masyarakat dalam kegiatan penyediaan sarana air minum ini 

berperan sangat penting dimulai dari proses pengambilan keputusan, 

perencanaan, pelaksanaan dan kepemilikan terhadap sarana air minum yang 

dibangun berdasarkan opsi yang dipilih. 

Masyarakat akan bertanggungjawab dalam perencanaan kontribusi 

pendanaan, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan sarana. Mobilisasi 

masyarakat akan menunjang peningkatan pengetahuan, ketrampilan, 

peralatan, sumber keuangan dan sistem inisiatif yang akan sangat menunjang 

keberhasilan pelaksanaan kegiatan. 

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) merupakan pendekatan untuk 

merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pendekatan pemberdayan masyarakat. Pendekatan ini merupakan komponen penting dalam menjamin 

keberlanjutan pembangunan Penyehatan Lingkungan berbasis masyarakat. 

Selama ini, peningkatan akses terhadap sanitasi yang tidak disertai dengan 

perubahan perilaku telah terbukti tidak berkelanjutan. 

Dalam Program ICWRMIP khususnya Sub Komponen 2.3 kegiatan 

pembangunan sarana sanitasi komunal yang dipilih oleh masyarakat ini 

diharapkan akan mempunyai dampak yang signifikan dalam peningkatan 

derajat kesehatan masyarakat di sepanjang Sungai Citarum, melalui 

pembangunan yang efektif, efisien dan berkelanjutan. 

2. Penyelenggaraan Kegiatan Pengamanan Limbah, Udara d Penyelenggaraan Kegiatan Pengamanan Limbah, Udara dan Radiasi Pengamanan Limbah, Udara dan Radiasi an Radiasi 

Penyelenggaraan kegiatan pengamanan limbah, udara, dan radiasi bertujuan untuk 

mengendalikan risiko terjadinya pencemaran dan dampaknya terhadap kesehatan 

lingkungan, yang memfokuskan diantaranya pada : pengelolaan limbah RS, evaluasi 

dokumen Amdal, dan penyusunan dokumen RAN Kesling. 

a. Pengelolaan Limbah Rumah Sakit (RS) Pengelolaan Limbah Rumah Sakit (RS) 

Sarana pelayanan kesehatan di Indonesia telah berkembang pesat dalam bidang 

pelayanan kesehatannya kepada masyarakat, namun hal ini tidak diimbangi dengan 

pengelolaam limbahnya. Limbah saryankes berbeda dengan limbah domestik karena 

sifatnya yang merupakan bahan berbahaya dan beracun (B3). Limbah B3 dari 

saryankes disebut juga dengan limbah medis yang memiliki sifat infeksius, beracun, 

dan mudah terbakar. Oleh karena itu harus ditangani secara khusus sesuai dengan 

kategorinya. Secara keseluruhan saryankes di Indonesia terdiri dari : 

1) Rumah Sakit (RS) 

2) Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu 

(Puskesmas) 

3) Industri Farmasi dan Apotek 

4) Laboratorium Kesehatan (Labkes) 

5) Klinik dan Laboratorium Klinik 

6) Praktek dokter 

7) Pengobatan tradisional 

8) Institusi akademik di bidang kesehatan 

Pada tahun 2010 terdapat 1.676 RS yang dikelola oleh pemerintah, swasta dan 

militer. Hal ini mengakibatkan RS sebagai sumber utama penghasil limbah medis 

karen jumlah limbah yang dihasilkan dalam sehari sekitar 140 g/tempat tidur/hari, 

yang terdiri dari : 

1) 80% limbah non infeksius 

2) 15% limbah infeksius 

3) 3% limbah kimia dan obat 

4) 1% limbah tajam 

5) kurang dari 1% tabung atau termometer rusak Bila jumlah tempat tidur RS di seluruh Indonesia diperkirakan 160.000 tempat tidur, 

maka perkiraan jumlah limbah medis yang dihasilkan setiap harinya adalah :

140 g/hari x 160.000 TT = 22,4 ton/hari 140 g/hari x 160.000 TT = 22,4 ton/hari 0 TT = 22,4 ton/hari 

Jumlah tersebut belum termasuk limbah medis yang dihasilkan puskesmas. Pada 

tahun 2010 jumlah puskesmas di Indonesia adalah 8.931 puskesmas, dengan 

perkiraan timbulan limbah medis sekitar 7,5 g/pasien/hari. 

Kondisi ini perlu penanganan khusus karena limbah medis sangat berdampak pada 

kesehatan, seperti penelitian yang telah dilakukan oleh WHO, yang menyatakan : 

1) Jarum suntik yang terkontaminasi mengakibatkan : 

i. 21 juta infeksi virus hepatitis B (HBV), 32% dari kasus baru 

ii. 2 juta infeksi virus hepatitis C (HCV), 40% dari kasus baru 

iii. Paling sedikit 260.000 infeksi HIV, 5% dari kasus baru 

2) Kajian epidemiologi megindikasikan bahwa seseorang yang terluka karena 

tusukan jrum suntik yang berasal dari sumber infeksi berisiko terkena HV 30%, 

HCV 1,8%, dan HIV 0,3%

3) Sekitar 22-53% kasus hepatitis B, 31-59% kasus hepatitis C, dan 7-24% kasus 

HIV/AIDS diasosiasikan dengan pengelolaan limbah medis yang tidak aman. Fokus dari pengamanan limbah yang dilakukan oleh Subdit PLUR adalah 

pengelolaan limbah yang dilakukan oleh sarana pelayanan kesehatan dengan aman 

dan benar, yang dalam hal ini masih difokuskan pada Rumah Sakit (RS). Indikator 

utama Sub Direktorat PLUR adalah persentase Kabupaten/Kota yang melakukan 

pembinaan pengelolaan limbah saryankes. Indikator ini sesuai dengan fokus dari 

pengamanan limbah sehingga untuk mengetahui tingkat pencapaian indikator ini 

dapat dilakukan dengan kegiatan seperti kemitraan dan pengawasan. 

Kegiatan Monitoring dan Evaluasi pengelolaan limbah saryankes pada tahun 2011 

telah dilakukan di 39 RS di 23 Kab./Kota di 14 Provinsi. Adapun dari kegiatan 

tersebut, teridentifikasi tantangan pengelolaan limbah medis yang harus ditangani 

secara bersama antara saryankes, sektor kesehatan dengan sektor terkait lainnya. 

Tantangan tersebut diantaranya : 

1) Kurangnya pengetahuan dan keahlian petugas mengenai risiko dan pengelolaan 

limbah medis 

2) Prioritas yang kurang dalam hal pendanaan untuk pengelolaan limbah medis 

3) Tidak semua saryankes atau daerah memiliki sarana pengolah limbah medis 

yang memadai 

4) Kurangnya dukungan pemerintah daerah dalam hal kebijakan dan strategi 

dalam pengelolaan limbah medis. 

Tantangan tersebut semakin besar ditambah dengan permasalahan mengenai 

pengelolaan limbah medis yang ada di lapangan, terutama di RS. Beberapa 

permasalahan tersebut diantaranya : 

1) 97% RS melakukan pemilahan limbah medis dan domestik dari sumbernya. 

Sedangkan 3% RS belum melakukan. Dibandingkan dengan monev yang 

dilakukan pada tahun 2010 di 25 RS di 12 provinsi, hasil tahun 2011 mengalami 

peningkatan.

2) Sekitar 74 % RS responden memiliki alat pengolah limbah medis padat, yaitu 

incinerator. Namun, hanya 76% yang berfungsi baik (dari jumlah RS yang 

memiliki alat pengolah limbah medis padat). Hasil ini dibandingkan dengan 

hasil monev yang dilakukan pada tahun 2010 di 25 RS di 12 provinsi. 

3) Hanya 41% RS memiliki incinerator yang berijin operasional, sedangkan 59% 

lainnya tidak memiliki ijin. 85% RS memiliki IPAL untuk pengolahan limbah cairnya. Dibandingkan dengan 

hasil monev tahun 2010 yang dilakukan di 25 RS di 12 provinsi, hasilnya 

mengalami peningkatan.

62% RS melakukan pemeriksaan efluen limbah cair, namun masih memiliki 

permasalahan hasil pemeriksaan efluen limbah cair melebihi baku mutu yang 

ditetapkan. Hanya 61% dari RS yang melakukan pemeriksaan efluen memenuhi 

syarat baku mutu limbah cair

Permasalahan mengenai pengolahan limbah medis di Indonesia adalah masih 

bergantungnya pilihan teknologi pengolahan limbah medis pada incinerator, 

padahal masih banyak pilihan teknologi yang lebih tepat guna dan ramah 

lingkungan. Kurang baiknya fungsi incinerator bisa dilihat dari suhu operasional 

incinerator. Sebagian besar incinerator di Indonesia bersuhu 600-800oC dengan 

beban pembakaran semua limbah medis dari berbagai kategori. Permasalahan 

lainnya muncul ketika masih banyak saryankes seperti puskesmas menggunakan 

incinerator skala kecil. Sebagian besar permasalahan yang dilaporkan adalah 

incinerator skala kecil sudah tidak layak pakai, kapasitas yang kecil sehingga tidak 

memadai untuk dilakukan pembakaran, keluhan penduduk sekitar mengenai 

asapnya, efisiensi yang rendah dalam mencapai suhu optimal, mahalnya bahan 

bakar, kesulitan saryankes memperoleh ijin operasional incinerator dan pelepasan 

dioksin dan furan sebagai polutan POPs. Padahal, Indonesia telah meratifikasi 

konvensi Stockholm untuk mengurangi emisi Persistant Organic Pollutants (POPs) 

ke udara.


Pengenalan teknologi tepat guna yang ramah lingkungan harus dilakukan sebagai 

upaya untuk pengolahan limbah medis yang lebih efektif dan efisien serta 

mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi jumlah Persistant 

Organic Pollutants (POPs) seperti dioksin dan furan yang dihasilkan dari 

pembakaran di incinerator. 

Teknologi tepat guna yang telah diupayakan adalah penggunaan Needle Cutter 

dan Needle Pit. Kegiatan pelatihan pengelolaan limbah medis bagi petugas 

puskesmas dan RS dan pemberian needle cutter beserta dana untuk membuat 

needle pit dilaksanakan oleh Subdit PLUR dan WHO. Kegiatan ini dilaksanakan di 

5 lokasi, yaitu di Tanjung Pinang, Ambon, Pontianak, Kupang, dan Jayapura Ini 

merupakan upaya dari WHO dan Kementerian Kesehatan dalam mengurangi efek 

negatif pengolahan limbah medis padat dengan incinerator, sekaligus memberikan 

alternatif pengolahan limbah medis padat yang lebih tepat guna, mudah dalam 

pembiayaan, ramah lingkungan, dan sesuai dengan kebutuhan saryankes terutama 

yang berada di remote area. 


 

b. Evaluasi Dokumen Amdal Evaluasi Dokumen Amdal 

Perlindungan terhadap lingkungan hidup dan rencana ussaha kegiatan ditetapkan 

dengan UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan 

HIdup. Setiap rencana usaha/kegiatan yang mempunyai dampak besar dan penting 

wajib dilengkapi dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Menurut 

Henrik L. Blum, ada 4 faktor yang mempengaruhi status kesehatan manusia, 

diantaranya adalah faktor lingkungan. Dengan demikian apabila terjadi perubahan 

lingkungan, maka akan terjadi pula perubahan kondisi kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Maka studi Amdal idealnya memasukkan pula metode Analisis 

Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL). 

Berikut ini adalah data yang menggambarkan jumlah dokumen berdasarkan jenisnya 

yang dibahas dalam siding komisi Amdal pada tahun 2007 sampai dengan 2011. 


Dari dua data diatas dapat dilihat jumlah dokumen yang diterima mengalami 

peningkatan dibandingkan dengan tahun 2010. Dari hasil evaluasi dokumen yang 

dilakukan, secara umum dokumen masih dangkal dalam kajian aspek kesehatan 

masyarakat. 

Untuk itu perlu dilakukan monitoring dan evaluasi dokumen Amdal yang telah dinilai 

dalam sidang komisi. Tentunya hal ini memiliki banyak tantangan karena aspek 

kesehatan masyarakat tidak saja melibatkan sektor kesehatan, melainkan melibatkan 

multi sector. Kemudian diperlukan pula advokasi dan sosialisasi serta pelatihan 

mengenai ADKL. c. Penyusunan PenyusunanDokumen Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lingkungan Dokumen Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lingkungan Dokumen Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lingkungan 

Pertemuan Forum Menteri Bidang Lingkungan dan Kesehatan Asia Tenggara pada 9 

Agustus 2007 di Bangkok menyepakati bahwa negara anggota untuk melakukan 

evaluasi dan menetapkan prioritas polutan yang menyebabkan risiko kesehatan 

lingkungan. Indonesia sebagai anggota forum tersebut menyusun Rencana Aksi 

Nasional Kesehatan Lingkungan (RAN Kesling). RAN Kesling merupakan perencanaan 

aksi kesehatan nasional yang komprehensif, menyeluruh dan lintas sektoral, dan 

merupakan dokumen kebijakan semua sektor kementerian dan organisasi 

kemasyarakatan. RAN Kesling berisi landasan aksi termasuk kegiatan yang sedang 

dilaksanakan maupun sebagai landasan rencana aksi selanjutnya. Penyusunan RAN 

Kesling dilakukan melalui proses mengembangkan, mengadopsi, menlaksanakan, dan 

mengevaluasi kebijakan kesehatan lingkungan. 

UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan bahwa upaya 

kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat 

baik fisik, kimia, biologi maupun sosial yang memungkinkan setiap orang mencapai 

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. RAN Kesling disusun untuk mewujudkan 

tujuan tersebut. Dokumen ini menganalisis permasalahan yang ada di Indonesia dan 

menyajikan pemecahan yang mungkin dilakukan berkaitan dengan kualitas udara, air, 

lokasi yang tercemar, dan keamanan pangan, proteksi radiasi, pengelolaan B3 dan 

limbah B3, kebisingan, lalu lintas, dan keselamatan kerja. Dokumen ini sangat 

strategis dalam melaksanakan kerjasama antara Kementerian Negara Lingkungan 

Hidup dan Kementerian Kesehatan bersama kementerian/badan lain yang terkait. 

Keberhasilan implementasi langkah-langkah tidak hanya karena pemilihan masalah 

dan pemilihan kegiatan yang memadai, tetapi lebih karena setiap pihak secara aktif 

bersama menjalankan upaya ini. 

3. Penyelenggaraan Kegiatan Higiene Sanitasi Pangan Penyelenggaraan Kegiatan Higiene Sanitasi Pangan 

Program higiene sanitasi pangan bertujuan untuk meningkatkan mutu makanan siap saji 

yang berkualitas, higienis dan aman bagi konsumen sehingga gangguan kesehatan 

masyarakat akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar dapat dicegah sedini 

mungkin. 

Berdasarkan Permenkes Nomor 1096 Tahun 2011, higiene dan sanitasi 

makanandidefinisikan sebagai upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya 

kontaminasi terhadap makanan, baik yang berasal dari bahan makanan, orang, tempat 

dan peralatannya 

Upaya – upaya untuk memininalisasi masalah dan pemutusan mata rantai faktor resiko 

penyakit bawaan makanan tersebut telah dilaksanakan melalui kegiatan yang continue 

dengan perbaikan atas pembelajaran terhadap permasalahan yang ditemukan pada saat 

perjalanannya melalui upaya-upaya perbaikan strategi pelaksanaan teknis dan 

administrasi pelaksanaan: (1) Penguatan kebijakan pelaksanaan melalui penyusunan 

revisi peraturan dan pedoman serta modul dan penggandaan bahan sosialisasi (2) 

Penguatan teknis pembinaan dan pengawasan TPM bagi petugas 

propinsi/kabupaten/kota melalui fasilitasi dan advokasi (3) perencanaan yang evidence 

based dalam dukungan administrasi dan management pembinaan dan pengawasan (4) 

Peningkatan Pelaporan data capaian TPM dari daerah yang ter up to date melalui 

survailans aktif pusatdan kerjasama bersama Pusdatin.


Sebagai upaya penguatan kebijakan sesuai dengan prioritas masalah yang ditemukan 

telah diselesaikan dokumen kebijakan pada tahun 2010 – 2011 seperti pada lampiran ..... 

Keberhasilan fasilitasi dan advokasi pusat kepada daerah secara berjenjang, didukung 

dengan monitoring dan evaluasi yang continue atas penyelenggaraan higiene sanitasi 

pangan yang optimal adalah dapat menekannya kejadian KLB Keracunan Makanan di 

daerah dan event-event khusus (arus mudik, lebaran, masa operasional haji). Dari data 

yang terlaporkan sampai dengan 4 tahun terakhir terlihat ada penurunan angka kejadian 

yang terlaporkan adalah 177 kejadian: 


Adapun trend kejadian KLB keracunan makanan berdasarkan tempat kejadian terjadi 

perubahan trend. Trend kejadian KLB keracunan makanan dibawah tahun 2008 berasal 

dari jasaboga, sedangkan pada tahun 2009 sampai dengan saat ini tahun 2011 trend 

kejadian KLB keracunan makanan secara berurutan berasal dari pengelolaan makanan 

rumah tangga, sekolah dan event rumah tangga/kelompok masyarakat (hajatan, pesta 

rakyat). Disampaikan data terkahir trend tempat kejadian KLB keracunan makanan pada 

tahun 2010 dan 2011.


Sebagai gambaran capaian fasilitasi pusat dalam pembinaan dan pengawasan Higiene 

Sanitasi Pangan di 33 propinsi sesuai sasaran indikator Tempat Pengelolaan Makanan 

yang memenuhi syarat kesehatan meliputi: jasa boga/katering, rumah makan/restoran, 

kantin, makanan jajanan, dan Depot Air Minum (DAM) dari tahun 2010 sd 2011 adalah:


Berikut ini adalah gambaran dari cakupan TPM yang memenuhi syarat di Indonesia. 

Pada tahun 2011 cakupan TPM yang memenuhi syarat adalah 61,36%


Disamping melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan terhadap TPM siap saji, 

juga melaksanakan investigasi lapangan terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB) Keracunan 

Pangan. Berikut gambaran KLB Keracunan Pangan di Indonesia pada tahun 2011 telah 

terjadi 177 KLB Keracunan Pangan. Dari data di atas terlihat empat provinsi dengan KLB Keracunan Pangan tertinggi 

adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Sulawesi Selatan serta enam provinsi 

tanpa KLB Keracunan Pangan yaitu Jawa Tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua 

Barat, dan Sulawesi Barat. data di atas menunjukkan bahwa berdasarkan waktu KLB Keracunan Pangan tahun 

2011, frekuensi KLB Keracunan Pangan tertinggi terjadi pada bulan Maret sampai Mei. 

Frekuensi KLB Keracunan Pangan terendah terjadi pada bulan Juli dan November, 

sedangkan pada Bulan Desember tidak ada KLB Keracunan Pangan. Terdapat empat KLB 

Keracunan Pangan yang tidak diketahui waktu terjadinya. 

4. Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Kawasan Sanitas Penyelenggaraan Kegiatan Penyehatan Kawasan Sanitasi Darurat (PKSD) Penyehatan Kawasan Sanitasi Darurat (PKSD) i Darurat (PKSD) 

Kegiatan Kabupaten/Kota Sehat adalah merupakan salah satu indikator pelaksanaan 

kegiatan penyehatan lingkungan dalam RPJMN dan RENSTRA 2010-2014 menuju 

Indonesia Sehat 2015. Kabupaten/Kota Sehat adalah Indonesia Sehat 2015 suatu kondisi kabupaten/kota yang 

bersih, nyaman, aman dan sehat untuk dihuni penduduk, yang dicapai melalui 

terselenggaranya penerapan beberapa tatanan dengan kegiatan yang terintegrasi yang 

disepakati masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota. 

Persentase target indikator yaitu Kabupaten/ Kota yang telah melaksanakan Kab/Kota 

Sehat pada tahun 2011 sebesar 55% per propinsi, dan diharapkan pada tahun 2015 

sudah mencapai 75% per propinsi. Saat ini sebanyak 237 kabupaten/kota (49.07%) 

tersebar di 28 provinsi dari keseluruhan kabupaten/kota yang ada (483 kab/kota) telah 

melaksanakan pendekatan Kabupaten/Kota Sehat. 

Target dan Cakupan Target dan Cakupan arget dan Cakupan 

Tahun 2011, Sebanyak 73 kabupaten/kota hasil seleksi Tim Pembina Provinsi diajukan 

untuk dinilai Tim Penilai Pusat pada Penilaian Tahun 2011. Penghargaan "Swasti Saba" 

sudah diberikan sebanyak 101 piala dan piagam kepada 95 Kabupaten/Kota dari 237 

Kabupaten/Kota yang sudah melakukan pendekatan Kabupaten/Kota Sehat sejak tahun 

2005 sampai 2011. Bahkan 4 kota telah memegang 3 Swasti Saba, yaitu Kota 

Payakumbuh, Yogyakarta, Malang dan Mataram, selain itu sebanyak 25 kabupaten/kota 

telah memiliki 2 swasti Saba.


Penghargaan Swasti Saba 2011 Penghargaan Swasti Saba 2011 enghargaan Swasti Saba 2011 

Penghargaan "Swasti Saba" adalah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Pemerintah 

setiap dua tahun sejak tahun 2005 bagi Kabupaten/Kota yang melaksanakan pendekatan 

Kabupaten/Kota Sehat. Selama ini penyampaian penghargaannya pada acara puncak 

peringatan HKN (Hari Kesehatan Nasional) pada bulan November. Penghargaan "Swasti 

Saba" meliputi: Padapa bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 2 

tatanan, Wiwerda Wiwerda Wiwerda bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 3-4 tatanan, 

dan Wistara Wistara Wistara bagi Kabupaten/Kota yang memilih dan melaksanakan 5 tatanan atau lebih. 

Penilaian kabupaten/kota sehat dilakukan pada proses kegiatan yang dilaksanakan s

masyarakat, difasilitasi oleh pemerintah dan yang bersifat berkelanjutan jadi bukan 

bersifat kompetisi/lomba. kompetisi/lomba. kompetisi/lomba. 


Undang-undang Nomor36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 162 dan 163, 

mengamanatkan bahwa upaya kesehatan lingkungan ditujukan untuk mewujudkan 

kualitas lingkungan yang sehat baik, fisik, kimia dan biologi maupun sosial yang 

memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. 

Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin ketersediaan lingkungan yang 

sehat dan tidak mempunyai faktor risiko buruk bagi kesehatan. Pada pasal 163 ayat 2,

mengamanatkan bahwa lingkungan sehat antara lain mencakup lingkungan 

permukiman, tempat kerja, tempat rekreasi serta tempat dan fasilitas umum. 

Untuk menjalankan amanat dari pasal tersebut dan seiring dengan Rencana Aksi Kegiatan 

Direktorat Penyehatan Lingkungan Tahun 2010-2014 maka untuk penyelenggaraan 

penyehatan permukiman dan Tempat-Tempat Umum (TTU) difokuskan untuk meningkatkan 

rumah sehat, TTU sehat, dan pelaksanaan strategi adaptasi perubahan iklim bidang 

kesehatan. Pelaksanaan kegiatan tersebut mengacu pada target indikator yang telah 

ditetapkan dan dapat dilihat pada data di bawah. 


Pembinaan dan pemantauan penyehatan permukiman salah satu tujuannya untuk 

meningkatkan capaian rumah sehat yang dilakukan mulai dari tingkat pusat sampai 

Puskesmas. Rumah pada dasarnya merupakan tempat hunian yang sangat penting bagi 

kehidupan setiap orang. Rumah tidak sekedar sebagai tempat untuk melepas lelah setelah 

bekerja seharian, namun didalamnya terkandung arti yang penting sebagai tempat untuk 

membangun kehidupan keluarga sehat dan sejahtera. Rumah yang sehat dan layak huni 

tidak harus berwujud rumah mewah dan besar namun rumah yang sederhana dapat juga 

menjadi rumah yang sehat dan layak dihuni. Rumah sehat adalah kondisi fisik, kimia, 

biologi didalam rumah dan perumahan sehingga memungkinkan penghuni atau 

masyarakat memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Untuk menciptakan rumah 

sehat maka diperlukan perhatian terhadap beberapa aspek yang sangat berpengaruh, 

akses air minum, akses jamban sehat, lantai, pencahayaan, dan ventilasi. 

Pengendalian faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya ancaman dan melindungi 

keluarga dari dampak kualitas lingkungan perumahan dan tempat tinggal yang tidak 

sehat telah diatur dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang 

Persyaratan Kesehatan Perumahan. 

Dalam upaya mengoptimalkan perlindungan masyarakat terhadap risiko penyakit saluran 

pernafasan di dalam ruang rumah ditetapkan Permenkes Nomor 

1077/MENKES/PER/2011 tentang Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. 

Berdasarkan informasi dan data dari 22 provinsi pada tahun 2011 capaian rumah sehat 

dapat dilihat pada data di bawah.



data di atas menunjukkan rata-rata nasional untuk capaian rumah sehat tahun 2011 dari 

28 provinsi yang menginfomasikan capaiannya adalah sebesar 65,94% yang berarti di 

bawah target nasional yang ditetapkan sebesar 76,00% serta jika dibandingkan capaian 

pada tahun 2010 mengalami penurunan, dimana pada tahun 2010 capaian rumah sehat 

sebesar 73,40%. Penurunan ini dipengaruhi beberapa hal diantaranya beberapa daerah / 

provinsi melakukan penertiban / pendataan ulang pada rumah sehat dengan 

memutihkan capaian tahun sebelumnya. Capaian rumah sehat mengalami fluktuasi dari 

tahun ke tahun yang dapat dilihat pada data di bawah ini. 


kabupaten/kota). Output yang dihasilkan dari jejaring tersebut adalah menjadikan 

program penyehatan permukiman / rumah sehat terintegrasi dengan program lain yang 

dikembangkan di daerah. 

Upaya lain yang bisa dilakukan untuk meningkatkan angka capaian rumah sehat adalah 

dengan bekerja sama dengan Tim Penggerak PKK (Pemberdayaan dan Kesejahteraan 

Keluarga). Salah satu kesulitan petugas kesehatan lingkungan dalam pendataan rumah 

sehat adalah keterbatasan sumber daya / jumlah tenaga di lapangan dibandingkan 

dengan jumlah rumah yang ada sehingga untuk hal ini kerja sama dengan PKK yang 

memiliki kader hingga tingkat dasawisma perlu dikembangkan. Kader PKK tersebut dapat 

diberdayakan sebagai kader kesehatan lingkungan yang menilai rumah berdasarkan kartu 

rumah. Hasil penilaian mereka inilah yang disampaikan ke petugas kesehatan lingkungan 

di Puskesmas untuk direkap. Di tingkat pusat kerja sama Direktorat Penyehatan 

Lingkungan dengan Tim Penggerak PKK Pusat diwujudkan dalam bentuk pembinaan 

bersama ke desa untuk verifikasi Lingkungan Bersih Sehat (LBS). 

b. Penyelenggaraan Penyehatan Tempat- Penyelenggaraan Penyehatan Tempat-Tempat Umum (TTU) Tempat Umum (TTU) Tempat Umum (TTU) 

Tempat-Tempat Umum (TTU) adalah tempat atau sarana yang diselenggarakan oleh 

Pemerintah/Swasta atau perorangan yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakat. 

Fokus pembinaan TTU dalam RAK Direktorat Penyehatan Lingkungan tahun 2010-2014 

meliputi sarana pendidikan (sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah, sekolah menegah 

pertama/madrasah tsanawiyah, sekolah menengah atas/sekolah menengah 

kejuruan/madrasah aliyah), sarana pelayanan kesehatan (rumah sakit dan Puskesmas), 

dan hotel (hotel bintang dan hotel nonbintang). TTU dinyatakan sehat apabila 

memenuhi persyaratan fisiologis, psikologis, dan dapat mencegah penularan penyakit 

antarpengguna, penghuni, dan masyarakat sekitarnya serta memenuhi persyaratan dalam 

pencegahan terjadinaya kecelakaan. Pada akhir tahun 2011 hanya 24 provinsi yang 

menyampaikan informasi capaian TTU sehat yang dapat dilihat pada data di bawah ini. 

data di bawah menunjukkan rata-rata nasional untuk capaian TTU sehat 2011 dari 24 

provinsi yang menginfomasikan capaiannya adalah sebesar 74,43% yang berarti di 

bawah target nasional yang ditetapkan sebesar 79,00% serta jika dibandingkan capaian 

pada tahun 2010 mengalami penurunan, dimana pada tahun 2010 capaian TTU sebesar 

75,50%. Penurunan ini dipengaruhi beberapa hal diantaranya beberapa daerah / Sekolah merupakan tempat berkumpulnya peserta didik dan warga sekolah 

dalam kegiatan proses belajar mengajar, dimana kondisi bangunan sekolah yang 

tidak sehat dapat berpengaruh terhadap kesehatan peserta didik maupun warga 

sekolah. Kondisi sekolah dan madrasah sebagai salah satu Tempat Tempat 

Umum (TTU) yang digunakan anak-anak sekolah untuk menuntut ilmu juga 

harus memenuhi persyaratan kesehatan guna mencegah kemungkinan terjadinya 

gangguan kesehatan/penyakit pada semua warga sekolah di tempat tersebut. 

Lingkungan sekolah yang sehat sangat diperlukan, selain dapat mendukung 

proses pembelajaran diharapkan juga dapat membudayakan perilaku hidup 

bersih dan sehat, tidak hanya pada peserta didik tetapi diharapkan dapat meluas 

pada keluarga dan masyarakat sekitar. Derajat kesehatan yang optimal dapat 

dilakukan melalui upaya-upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 

Penyelenggaraan upaya di atas dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan 

kesehatan lingkungan. Oleh karena itu dalam rangka upaya pengingkatan 

kualitas kondisi lingkungan sekolah perlu dilakukan pembinaan dan fasilitasi 

sekolah. Dalam hal pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah Kementerian 

Kesehatan telah bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 

Kementerian Agama, dan Kementerian Dalam Negeri yang tertuang dalam 

Keputusan Bersama Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Kesehatan, Menteri 

Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 1/U/SKB/2003, 

1067/Menkes/SKB/VII/2003, MA/230 A/2003, 26 Tahun 2003 tanggal 23 Juli 

2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah. Program 

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan 

pada upaya promotif dan preventif serta didukung oleh upaya kuratif dan 

rehabilitatif yang berkualitas, sangat penting dan strategis untuk meningkatkan 

prestasi belajar pada khususnya dan status kesehatan peserta didik pada 

umumnya. Lomba Sekolah Sehat (LSS) merupakan suatu kegiatan untuk menilai 

pelaksanaan UKS, materi penilaian meliputi peran tim pembina UKS tingkat 

provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan serta pelaksanaan UKS di sekolah itu 

sendiri. LSS diikuti oleh semua tingkat pendidikan mulai dari TK/RA, SD/MI,

SMP/MTs, dan SMA/SMK/MA. Pada tahun 2011 penilaian LSS tingkat nasional 

diikuti oleh sekolah-sekolah di 19 provinsi yang lulus verifikasi persyaratan 

administrasi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Timur, 

Lampung, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, 

Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, 

Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Output yang diharapkan dari 

pelaksanaan kegiatan ini adalah pembinaan kesehatan lingkungan di sekolah 

untuk melindungi peserta didik dan warga sekolah lainnya dari faktor risiko 

lingkungan yang mengancam kesehatan. Acuan pembinaan kesehatan lingkungan 

di sekolah adalah Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 

1429/Menkes/SK/XII/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Kesehatan di 

Lingkungan Sekolah. 

b) Sarana Pelayanan Kesehatan Sarana Pelayanan Kesehatan

Rumah sakit dan Puskemas sebagai TTU merupakan tempat berkumpulnya orang 

sakit maupun orang sehat, sehingga dapat menjadi tempat penularan penyakit 

serta memungkinkan terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan 

kesehatan. Untuk menghindari risiko pencemaran lingkungan dan gangguan 

kesehatan maka penyelenggaraan kesehatan lingkungan Rumah Sakit harus sesuai 

dengan persyaratan kesehatan dan kebersihan. Upaya pelaksanaan kesehatan 

lingkungan di Rumah Sakit telah diatur dalam Kepmenkes Nomor 1204 Tahun 

2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit sedangkan untuk 

pelaksanaan kesehatan kesehatan lingkungan Puskesmas mengacu pada 

Kepmenkes Nomor 1426/Menkes/SK/XII/2006 tentang Persyaratan Kesehatan 

Lingkungan Puskesmas. Ke depannya pembinaan kesehatan lingkungan di rumah 

sakit dan Puskesmas dikembangkan dengan mengacu pada aspek green hospital. 

Pada tahun 2011 dilakukan persiapan aturan tentang Gerakan Indonesia Bersih 

(GIB) di fasilitas pelayanan kesehatan. 

c) Pemeriksaan Pra Embarkasi Haji Pemeriksaan Pra Embarkasi Haji 

Perjalanan ibadah haji merupakan kegiatan pada kondisi matra yang dapat 

berpengaruh terhadap kesehatan jamaah haji, termasuk pengaruh kondisi asrama 

haji embarkasi sebagai tempat persinggahan terakhir bagi jamaah haji sebelum 

keberangkatannya ke tanah suci untuk melaksanakan ibadah haji. Pengaruh 

asrama haji terdiri dari pengaruh fisik bangunan, cuaca, dan pengaturan kegiatan, 

ketersediaan makanan yang aman dan sehat serta pengaruh dari hadirnya banyak 

jamaah haji dari berbagai tempat secara bersamaan. Oleh karena itu diperlukan 

suatu upaya untuk melindungi calon jamaah haji dari gangguan kesehatan yang 

diakibatkan faktor risiko lingkungan di embarkasi haji. Upaya tersebut 

diantaranya pemeriksaan higiene sanitasi praembarkasi untuk menyiapkan 

embarkasi haji yang memenuhi persyaratan kesehatan.

Tiga kegiatan utama praembarkasi haji adalah pemeriksaan sanitasi asrama haji, 

jasa boga / katering jamaah haji, dan pengendalian vektor. Kegiatan persiapan 

embarkasi haji merupakan kegiatan yang dilakukan bersama oleh Direktorat 

Penyehatan Lingkungan, Pusat Kesehatan Haji, Kantor Kesehatan Pelabuhan, 

BTKL setempat, dan dinas kesehatan provinsi. Pada tahun 2011 embarkasi haji di 

Indonesia tersebar di 15 kota yaitu Banda Aceh, Medan, Padang, Palembang, 

Batam, Bandar Lampung, Bekasi, Pondok Gede, Solo, Surabaya, Banjarmasin, 

Balikpapan, Mataram, Makassar, dan Gorontalo. Secara umum hasil pemeriksaan kesehatan lingkungan yang dilaksanakan di 

embarkasi di seluruh Indonesia menunjukkan kondisi yang baik. Permasalahan 

yang ditemukan dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 

• Permasalahan pemeliharaan 

Bangunan fisik pada umumnya baik namun karena kurangnya pemeliharaan 

maka kondisinya menjadi kotor, lambat laun menjadi rusak dan 

berpengaruh terhadap fungsi teknis. Kegiatan pembersihan dan 

pemeliharaan fungsi bangunan/sarana tidak dilakukan secara rutin atau 

tidak sering dilakukan, kecuali pada ruang/bagian tertentu yang secara rutin 

dipergunakan sehari-hari di luar kegiatan embarkasi haji. 

• Permasalahan teknis 

Masalah teknis muncul karena memang dari konstruksi maupun persyarat 

teknis lainnya tidak terpenuhi bahkan tidak tersedia, sehingga perlu 

dilakukan perbaikan maupun pembangunan baru. 

Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan Adaptasi Perubahan Iklim Bidang Kesehatan 

Perubahan iklim adalah berubahnya komposisi atmosfer global antara lain suhu dan 

distribusi curah hujan sebagai akibat dari kegiatan manusia selama periode waktu tertentu yang membawa dampak luas terhadap berbagai kehidupan manusia. Sedangkan adaptasi 

perubahan iklim adalah cara penyesuaian yang dilakukan secara spontan atau terencana 

untuk memberikan reaksi terhadap perubahan iklim yang diprediksi atau yang sudah 

terjadi. Dalam upaya memfasilitasi daerah untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim 

ditetapkan Permenkes No 1018/MENKES/PER/V/2011 tentang Strategi Adaptasi Sektor 

Kesehatan terhadap Dampak Perubahan Iklim. Strategi adaptasi sektor kesehatan 

terhadap dampak perubahan iklim bertujuan untuk menanggulangi dampak buruk 

terhadap kesehatan akibat perubahan iklim yang terdiri dari : 

a. sosialisasi dan advokasi adaptasi sektor kesehatan terhadap dampak perubahan iklim; 

b. pemetaan populasi dan daerah rentan perubahan iklim; 

c. peningkatan sistem tanggap perubahan iklim sektor kesehatan; 

d. penyiapan peraturan perundang–undangan; 

e. peningkatan keterjangkauan pelayanan kesehatan, khususnya daerah rentan 

perubahan iklim; 

f. peningkatan kapasitas sumber daya manusia bidang kesehatan; 

g. peningkatan pengendalian dan pencegahan penyakit akibat dampak perubahan iklim; 

h. peningkatan kemitraan; 

i. peningkatan pemberdayaan masyarakat dalam adaptasi perubahan iklim sesuai 

kondisi setempat; dan 

j. peningkatan surveilans dan sistem informasi. 

Dalam beradaptasi pada perubahan iklim perlu melibatkan gabungan intervensi reaktif 

dan proaktif dalam berbagai sektor. Pemerintah Indonesia telah memasukkan beberapa 

pilihan adaptasi ke dalam Rencana Aksi Nasional Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim 

Indonesia. 

Secara terinci program Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kesehatan Direktorat Penyehatan 

Lingkungan Tahun 2011 seperti pada data di bawah. 

Cakupan daerah potensial yang melaksanakan strategi adaptasi dampak perubahan iklim 

pada tahun 2011 sebesar 44,74% di atas target yang ditetapkan sebesar 40,00%. Daerah 

potensial perubahan iklim mengacu pada daftar daerah rentan perubahan iklim yang 

disusun oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).

III. PENUNJANG KEGIATAN PP&PL PENUNJANG KEGIATAN PP&PL 

A. Ketenagaan Ketenagaan 

1) Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL Distribusi Pegawai Ditjen PP dan PL istribusi Pegawai Ditjen PP dan PL 

Pada Periode Desember 2011 jumlah pegawai Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit 

& Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP dan PL) sebanyak 3757 orang dengan distribusi 

sebagai berikut: Jumlah pegawai pada Balai Besar/Balai Teknik Kesehatan Lingkungan 

dan Pengendalian Penyakit (B/BTKL–PP) sebanyak 709 orang (19%), Kantor Kesehatan 

Pelabuhan (KKP) sebanyak 2421 orang (64%), dan jumlah pegawai Ditjen PP dan PL 

pada unit pusat adalah 627 orang (17%). 

Pegawai yang berlatar belakang pendidikan S3 sebanyak 5 orang, S2 sebanyak 616 

orang, S1 sebanyak 1202 orang, D4 sebanyak 34 orang, D3 sebanyak 1131 orang, D1 

sebanyak 99 orang, SLTA dan jenjang dibawahnya sebanyak 670 orang. Sedangkan dari 

segi jenis pendidikan pegawai dengan pendidikan kesehatan sebanyak 2671 (71%) dan 

pegawai dengan pendidikan non-kesehatan dan mempunyai fungsi administratif dan 

pendukung lainnya sebanyak 1086 (29%).