Rabu, 22 November 2023

manusia 1

Mengapa negara kita miskin? Padahal, jumlah rakyatnya banyak. 
Banyak yang berbakat, cerdas dan mau bekerja keras untuk 
mengembangkan diri dan bangsanya. Kekayaan alam pun berlimpah 
ruah.
Kita memiliki minyak, gas dan beragam logam sebagai sumber 
daya alam yang siap untuk diolah. Kita memiliki tanah yang subur 
yang siap ditanami beragam jenis tanaman. Kita memiliki hutan yang 
luas yang bisa memberikan udara segar tidak hanya untuk bangsa kita, 
namun  untuk seluruh dunia. Akan namun , mengapa kita masih miskin, 
walaupun kita memiliki itu semua?
Keadaan Kita
Di satu sisi, banyak orang kesulitan untuk mencari pekerjaan yang 
layak. Mereka harus menerima fakta, bahwa pekerjaan mereka bersifat 
sementara. Mereka bisa dipecat sewaktu-waktu. Gajinya pun tidak 
layak untuk memberikan kehidupan yang layak.
Banyak juga orang yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan 
dasar mereka. Mereka kesulitan mencari makan, sandang dan papan 
yang layak untuk manusia. Banyak juga keluarga yang hidup di dalam 
kemiskinan akut. Mereka tidak hanya mengalami kesulitan ekonomi 
berat, namun  juga kerap kali sakit secara fi sik.
Di sisi lain, ada orang-orang yang hidup dengan amat berkelimpahan. 
Gaji mereka puluhan bahkan ratusan juta setiap bulannya. Mereka 
hidup di rumah-rumah besar, seperti yang bisa kita lihat di berbagai 
perumahan mewah di berbagai kota di negara kita. Mereka menggunakan 
mobil mewah setiap harinya.Mereka berbelanja di mall-mall besar. Mereka berwisata ke 
”negara-negara mahal” setiap tahunnya. Keadaan ini kontras berbeda 
dengan keadaan kelompok lainnya yang hidup dalam kemiskinan akut. 
Kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin begitu besar dan begitu 
terasa di negara kita.
Jika ini dibiarkan, maka hidup bersama akan menjadi sulit. 
Keadaan hidup sehari-hari akan dipenuhi ketegangan, kecurigaan 
dan rasa takut antar warga. Kriminalitas meningkat. Dan sangatlah 
mungkin, bahwa kekerasan akan meledak di tingkat politik, misalnya 
dalam bentuk revolusi berdarah.
Lembaga dan Mentalitas
Yang mendorong suatu negara berkembang adalah kualitas 
lembaga publiknya, seperti berbagai lembaga pemerintah, penegak 
hukum, parlemennya, militer dan lembaga pendidikan. Mereka 
adalah lembaga yang dibiayai dengan uang rakyat, yakni pajak, dan 
bekerja untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa kecuali. Mereka 
bertanggungjawab untuk kesejahteraan publik rakyat negara kita. 
Mereka adalah motor pembangunan.
Di negara kita, lembaga-lembaga publik ini tidak bekerja dengan 
baik. Mayoritas dipenuhi korupsi. Uang rakyat digunakan untuk 
keperluan pribadi ataupun golongan semata. Akibatnya, banyak 
program untuk pengembangan kesejahteraan bersama tidak berjalan.
Lembaga-lembaga ini telah mengkhianati kepercayaan rakyat. 
Mereka mengingkari alasan keberadaannya, yakni demi kesejahteraan 
rakyat. Padahal, pimpinan-pimpinan utama mereka dipilih langsung 
oleh rakyat. Mengapa ini bisa terjadi?
Di berbagai negara yang makmur, lembaga publik berkembang 
lintas generasi. Mereka sudah diciptakan sejak ratusan tahun yang 
lalu. Banyak hal telah dipelajari, sehingga kini mereka bisa berfungsi 
dengan relatif baik. Ada mentalitas dan budaya yang sudah tercipta di dalam berbagai lembaga publik tersebut, yang mendukung proses￾proses kerja mereka.
Ini tidak terjadi di negara kita. Lembaga-lembaga publik di negara kita 
masih amat muda. Mereka tidak punya tradisi yang berkembang 
lintas generasi, seperti yang ditemukan di berbagai negara makmur. 
Mentalitas dan budaya lembaga yang ada hancur, akibat penjajahan 
selama ratusan tahun oleh Belanda, Inggris, Spanyol, Portugis dan 
Jepang, serta juga oleh Orde Baru Suharto.
Penjajahan telah merusak budaya dan mentalitas di negara kita. Ini 
tidak hanya terjadi di negara kita, namun  juga di banyak negara Afrika 
dan Amerika Latin. Jejak-jejak penjajahan masa lalu yang dipenuhi 
kekerasan, perbudakan, penipuan, penghisapan, pembunuhan massal 
serta penghancuran tata nilai masih mempengaruhi kehidupan saat 
ini. Kehancuran budaya dan mentalitas ini pula yang membuat banyak 
lembaga publik di negara kita dan di berbagai negara tersebut cacat.
Penjajahan Asing
Sejujurnya, penjajahan asing belum berakhir di negara kita. 
Infrastruktur ekonomi dan budaya kita masih amat tergantung sama 
asing. Mayoritas perusahaan besar yang mempengaruhi kehidupan 
masyarakat negara kita masih dimiliki oleh asing. Perjanjian kerja yang 
dibuat antara pemerintah dan berbagai perusahaan asing tersebut juga 
kerap kali tidak adil.
Banyak perusahaan asing mendirikan pabrik dan kantor di 
negara kita. Mereka memanfaatkan standar gaji dan perlindungan pekerja 
yang rendah di negara kita. Di beberapa tempat, mereka menggunakan 
kekerasan untuk menekan para pekerja. Para penegak hukum negara kita 
disuap untuk diam, dan bahkan mendukung kekerasan yang terjadi.
Beragam pengolahan sumber daya alam juga masih dikuasai oleh 
pihak asing. Manajemen puncak masih dipegang oleh orang-orang 
asing. Mayoritas pekerja negara kita hanya menjadi manajer rendah atau pesuruh belaka, walaupun kemampuan mereka setingkat dengan 
para pekerja asing, atau bahkan lebih baik. Perjanjian kerja yang dibuat 
antara beragam perusahaan asing dan pemerintah negara kita pun kerap 
kali juga tidak adil.
Yang lebih mengherankan lagi adalah soal struktur mata uang. 
Mengapa orang Eropa bisa dengan mudah liburan ke negara kita, 
sementara kita sulit sekali untuk liburan ke Eropa? Yang jelas, mereka 
tidak lebih cerdas ataupun rajin, jika dibandingkan dengan orang 
negara kita. Ini terjadi, karena struktur mata uang dunia yang tidak adil.
Saya masih heran sampai sekarang dengan struktur mata uang 
tersebut. Jika diperhatikan dengan jeli, ini adalah sistem warisan 
masa penjajahan dahulu, ketika bangsa-bangsa Eropa secara agresif 
menyerbu berbagai negara lain di dunia. Sistem mata uang dunia 
adalah sistem yang secara inheren tidak adil dan berbau penjajahan 
serta penindasan. Ini memberikan kerugian yang amat besar untuk 
negara kita, sekaligus keuntungan yang berlimpah ruah untuk negara￾negara Eropa dan Amerika Serikat.
Tata nilai kita juga kabur, akibat dominasi asing yang begitu kuat. 
Di satu sisi, banyak orang yang lebih bangga bergaya hidup Amerika 
dan Eropa, daripada menghayati nilai budaya tempat asalnya. Di 
sisi lain, banyak orang yang meniru budaya Arab, supaya kelihatan 
lebih saleh dan suci, walaupun sebenarnya dipenuhi kemunafi kan. 
Kebingungan identitas antara budaya lokal negara kita, budaya Arab 
Timur Tengah serta budaya AS dan Eropa ini berdampak luas, terutama 
dalam soal tata nilai yang menjadi dasar dari tindakan sehari-hari kita 
di negara kita.
Tersangka koruptor tiba-tiba menggunakan jilbab, ketika disidang. 
Ayat-ayat agama digunakan untuk menindas dan merugikan orang 
lain. Orang tergila-gila dengan merk asing, walaupun harganya sangat 
tidak masuk akal, dan mutunya biasa-biasa saja. Orang rela jadi budak 
asing, supaya dapat uang receh, suap ataupun cipratan hasil korupsi.Kerancuan tata nilai tersebut menciptakan kebingungan di banyak 
bidang, termasuk lembaga-lembaga publik kita. Tekanan suap dari 
pihak asing dan dominasi budaya yang dipenuhi kemunafi kan membuat 
beragam lembaga publik kita tersendat. Tak heran, kita tetap ”miskin”, 
walaupun sebenarnya kita kaya, amat sangat kaya. Kemiskinan akut 
di tengah ”surga” dengan kekayaan melimpah bernama negara kita, 
ironis bukan?
Mengapa Kita ”Miskin”?
Sebagai bangsa, kita tetap ”miskin”, karena lembaga publik kita 
tidak memiliki mentalitas dan budaya yang cocok untuk melayani 
rakyatnya. Kita juga hidup dalam bayang-bayang asing, baik dalam 
tingkat politik, ekonomi maupun tata nilai (Barat dan Timur Tengah). 
Secara kualitatif, mutu berpikir dan kemauan bekerja orang negara kita 
setara dengan beragam negara lainnya, bahkan mungkin lebih baik 
dalam banyak hal. Jika kita bisa ”memaksa” lembaga publik kita untuk 
menjalankan fungsinya sebaik mungkin, dan bersikap kritis terhadap 
beragam pengaruh asing yang masuk, maka jalan menuju keadilan dan 
kemakmuran bersama di negara kita terbuka luas.
Tunggu apa lagi?
Setelah sekitar 15 tahun mendalami fi lsafat politik, saya semakin 
sadar, bahwa fi lsafat politik, pada hakekatnya, adalah fi lsafat 
kesadaran. Esensi dari fi lsafat politik adalah fi lsafat kesadaran. Dua 
konsep ini, yakni fi lsafat politik dan fi lsafat kesadaran, tentu perlu 
dijelaskan terlebih dahulu. Mari kita mulai dengan arti dasar dari 
fi lsafat.
Filsafat adalah pemahaman tentang kenyataan yang diperoleh 
secara logis, kritis, rasional, ontologis dan sistematis. Kenyataan 
berarti adalah segala yang ada, mulai dari jiwa manusia, politik, 
ekonomi, budaya, seni sampai dengan kesadaran. Logis berarti fi lsafat 
menggunakan penalaran akal budi manusia. Filsafat bukanlah mistik 
yang melepaskan diri dari penalaran akal budi. 
Pandangan yang rasional adalah buah dari penalaran semacam 
ini. Rasional berarti suatu pernyataan atau pemahaman bisa diterima 
dengan akal budi, lepas dari latar belakang orang yang mendengarnya. 
Orang bisa berasal dari agama apapun, termasuk ateis, namun tetap 
bisa memahami pernyataan tersebut. Kritis berarti fi lsafat selalu 
mempertanyakan segala sesuatu, termasuk jawaban yang dihasilkannya 
sendiri.
Dalam arti ini, fi lsafat tidaklah pernah selesai. Ia bersifat terbuka, 
dan selalu berakhir dengan pertanyaan baru. Ia bagaikan petualangan 
intelektual yang tak pernah berhenti. Pertanyaan dan jawaban diarahkan 
pada unsur dasar, atau hakekat, dari apa yang dibicarakan. Inilah yang 
disebut sebagai ciri ontologis dari fi lsafat, yakni menggali sampai 
ke dasar dari apa yang sedang menjadi tema diskusi. Semua bentuk 
jawaban dan pertanyaan di dalam fi lsafat kemudian dirumuskan secara 
sistematis, yakni runtut, jelas, mudah dimengerti serta terhindar dari 
segala bentuk lompatan logika ataupun pertentangan.Politik dan Kesadaran
Filsafat politik dan fi lsafat kesadaran berdiri di dalam bayang￾bayang defi nisi fi lsafat di atas. Filsafat politik adalah cabang dari fi lsafat 
yang hendak memahami hakekat dari kehidupan politik manusia, 
dan memberikan arahan tentang cara menciptakan politik yang 
mewujudkan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Filsafat kesadaran 
adalah cabang fi lsafat yang hendak memahami hakekat dari kesadaran 
manusia. Keduanya menggunakan metode yang bersifat logis, kritis, 
rasional, ontologis dan sistematis.
Filsafat politik hendak menemukan ide dan prinsip yang 
memungkinkan adanya masyarakat, atau komunitas, dalam segala 
bentuknya. Inilah yang disebut sebagai pendekatan deskriptif di dalam 
fi lsafat politik. Pendekatan ini nantinya berkembang menjadi ilmu-ilmu 
sosial, seperti sosiologi, ekono mi, politik, hukum dan ilmu budaya. 
Namun, fi lsafat politik tidak hanya bersifat deskriptif, namun  juga 
normatif: ia menawarkan prinsip-prinsip yang memungkinkan suatu 
komunitas mencapai perdamaian, keadilan dan kemakmuran bersama.
Dua prinsip yang penting di dalam fi lsafat politik, yakni keadilan 
dan kesetaraan. Ada beragam arti dari konsep keadilan dan kesetaraan. 
Filsafat politik hendak mengupas dan mengembangkan beragam arti 
tersebut, dan melihat kemungkinan penerapannya di berbagai keadaan. 
Dua prinsip ini menjadi nyata, ketika ia menjadi prinsip utama di 
dalam berbagai institusi publik yang menata keadaan politik sebuah 
komunitas.
Filsafat politik juga memiliki ciri kritis. Ia tidak pernah puas dengan 
satu jawaban. Tidak ada jawaban fi nal. Yang ada adalah proses diskusi 
terus menerus, sehingga pandangannya bisa terus menyesuaikan 
dengan keadaan dunia yang terus berubah dengan cepat sekarang ini.Institusi dan Kesadaran
Akan namun , setelah mendalami beragam pandangan fi lsafat politik, 
saya sampai pada pendapat, bahwa semua teori akan percuma, jika ia 
tidak bisa diterjemahkan ke dalam institusi, dan sungguh membawa 
perubahan nyata di dalam kehidupan bersama. Artinya, inti dasar 
dari fi lsafat politik adalah pembangunan institusi-institusi di dalam 
masyarakan yang mendorong keadilan dan kemakmuran bagi semua. 
Namun, bagaimana cara membangun institusi-institusi tersebut?
Satu cara adalah dengan memrumuskan regulasi, atau aturan, yang 
tepat. Namun, aturan setepat dan seketat apapun tidak akan mampu 
membangun institusi yang cocok untuk pengembangan masyarakat. 
Aturan-aturan itu justru akan dipelintir untuk kepentingan-kepentingan 
korup tertentu, dan akhirnya mengorbankan kepentingan bersama. Ini 
sudah terjadi di banyak negara, termasuk negara kita.
Maka, kita perlu pendekatan lain. Aturan dan institusi yang kokoh 
tidak dapat dibangun, tanpa adanya manusia-manusia bermutu. Mutu 
dalam arti ini adalah etos hidup yang unggul, seperti jujur, rajin, mau 
bekerja keras dan bisa bekerja sama. Maka, pembentukan manusia￾manusia bermutu adalah jalan yang perlu dilakukan terlebih dahulu. 
Pembentukan manusia bermutu berarti perubahan kesadaran mendasar 
pada tingkat pribadi.
Dapat juga dikatakan, bahwa tata institusi tidak akan pernah 
mencukupi, tanpa adanya perubahan kesadaran secara mendasar. Dititik 
inilah fi lsafat kesadaran memainkan peranannya untuk menunjang 
fi lsafat politik. Sama seperti fi lsafat politik, fi lsafat kesadaran memiliki 
dua pendekatan, yakni deskriptif (memahami kesadaran manusia 
sebagaimana adanya) dan normatif (membentuk kesadaran manusia, 
sehingga bisa sesuai dengan kenyataan sebagaimana adanya). Untuk 
melakukan dua hal ini, fi lsafat kesadaran tidak bisa hanya menimba 
ilmu dari ilmu pengetahuan dan fi lsafat barat saja, namun  juga dari 
fi lsafat timur.Kesadaran manusia bukanlah otaknya. Maka, kesadaran tidak 
dapat dipahami dengan pendekatan biologis atau neurologis (saraf) 
semata. Kesadaran juga bukanlah semata fenomena empiris yang 
bisa ditangkap dengan indera manusia. Lebih dari itu, kesadaran 
juga bukanlah semata konsep yang bisa dipahami dengan akal budi 
manusia.
Penelitian tentang kesadaran, sampai pada titik paling dalam, 
menunjuk kan, bahwa konsep ini kosong. Tidak ada kesadaran di dalam 
diri manusia. Lebih tepat dirumuskan, tidak ada kata dan konsep 
yang sanggup menjelaskan makna kesadaran secara memadai. Maka 
dapat juga disimpulkan, bahwa memahami kesadaran manusia berarti 
menyadari sepenuhnya, bahwa ia kosong secara konseptual.
Di dalam fi lsafat timur, terutama di dalam tradisi Zen, memahami 
kesadaran berarti memahami inti dari seluruh alam semesta, karena 
manusia dan alam semesta memiliki substansi kesadaran yang 
sama. Maka dari itu, dapat dikatakan, bahwa memahami kesadaran 
berarti menjalani perubahan kesadaran. Proses ini berarti menyadari 
seutuhnya, bahwa kesadaran bukanlah sebuah rumusan konseptual 
yang bisa didiskusikan dengan bahasa dan konsep, melainkan sesuatu 
yang dialami seccara langsung sebagai ada, tanpa penjelasan apapun. 
Ketika orang menyadari ini, maka ia menjalani perubahan kesadaran 
mendasar, yang berarti juga perubahan perilaku, dan perubahan 
mendasar seluruh hidupnya.
Kesadaran manusia ada, sebelum segala bentuk pikiran, konsep, 
bahasa ataupun kata ”kesadaran” itu sendiri. Memahami dan menyadari 
ini secara otomatis membawa perubahan mendasar pada cara berpikir 
dan cara hidup seseorang. Inilah pendekatan normatif di dalam 
fi lsafat kesadaran. Ketika banyak orang menyadari ini, maka otomatis 
hidupnya akan dibaktikan untuk kepentingan bersama, institusi-institusi yang kokoh bisa berdiri dan keadilan serta kemakmuran 
bersama bisa dicapai.
Ada hubungan yang amat erat antara perubahan kesadaran dan 
proses pembangunan masyarakat yang adil dan makmur. Filsafat 
politik dan semua ilmu sosial tidak akan bisa mewujudkan keadilan 
dan kemakmuran, tanpa mendorong perubahan kesadaran mendasar di 
tingkat hidup pribadi. Aspek politik dari fi lsafat kesadaran dan aspek 
personal dari fi lsafat politik inilah yang luput dari beragam kajian di 
kedua bidang tersebut.
Sekelompok anak muda negara kita berkumpul. Mereka saling berbagi 
cerita. Segala ketakutan dan harapan mereka diutarakan satu sama 
lain. Yang menarik, polanya sama.
Mereka takut hal yang sama: tidak punya uang. Mereka merindukan 
hal yang sama: mendapatkan uang yang banyak. Mereka benar￾benar merasa, bahwa ketakutan dan harapan mereka mencerminkan 
kebenaran. Inilah pola hidup generasi anak muda negara kita di awal 
abad 21 ini. 
”Mainstream”
Setiap jaman memiliki ”mainstream”-nya sendiri. Inilah yang 
disebut sebagai Zeitgeist, atau semangat jaman. Di awal abad 21 ini, kita 
hidup di masa ”uang”. Segala hal diukur dengan uang. Jika sesuatu, 
semurni dan setulus apapun itu, tidak memiliki nilai ekonomis, maka 
ia dianggap tidak berharga.
Banyak orang ikut serta secara sukarela dan tanpa sadar di dalam 
”mainstream” ini. Mereka mengikuti pola hidup yang sama. Mereka 
memiliki selera yang sama. Mereka memiliki pola pikir yang sama.
Di sisi lain, mereka juga mempunyai ketakutan yang sama. Mereka 
khawatir akan hal yang sama. Mereka memilih hal-hal yang serupa, 
sekaligus menolak hal-hal yang sama. Para anggota ”mainstream” ini 
hidup bagaikan gerombolan domba yang disetir oleh kekuatan di luar 
mereka, yakni kekuatan ”mainstream”.
Yang tercipta kemudian adalah hidup yang sepenuhnya dangkal, 
yakni hidup yang sepenuhnya ditujukan untuk kenikmatan diri sendiri 
dalam bentuk penumpukan uang. Orang tidak lagi memiliki visi pribadi yang lebih luas tentang kehidupan sebagai keseluruhan. Ia 
hanya ikut arus dari ujung rambut sampai ujung kuku kakinya.
Akar dari semua ini adalah ketakutan. Orang mengira, jika ia 
tidak ikut arus ”mainstream”, maka ia tidak akan selamat. Ketakutan 
ini juga didukung oleh fakta di negara kita, bahwa negara hampir tidak 
hadir untuk melindungi rakyatnya, hampir di segala bidang. Akhirnya, 
orang harus memikirkan semuanya sendiri melulu untuk keselamatan 
dirinya dan keluarganya.
Berpartisipasi dalam Penindasan
Mengapa hidup mengikuti arus ”mainstream” ini bermasalah? 
Pertama, dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, orang secara 
tidak langsung berpartisipasi dalam melestarikan struktur ketidakadilan 
sosial yang ada di masyarakat. Di dalam struktur sosial sekarang ini, 
sekelompok orang kaya di atas kemiskinan begitu banyak orang 
lainnya. Dengan mengikuti gaya hidup ”mainstream”, tanpa sikap 
kritis apapun, berarti orang setuju dan mendukung struktur sosial 
yang menindas semacam ini.
Kedua, orang yang hidup mengikuti ”mainstream” secara tidak 
sadar dimanfaatkan untuk keuntungan pihak lain. Mereka menjadi 
benda atau obyek yang diperas demi kepentingan pihak lain. Seringkali, 
kepentingan pihak lain itu adalah semata demi meningkatkan 
keuntungan, dan seringkali dengan merugikan pihak-pihak lainnya. 
Para anggota ”mainstream” ini kerap tidak sadar, kalau mereka hanya 
barang atau alat yang diperas semata.
Di dalam masyarakat konsumtiv kapitalistik sekarang ini, kita 
semua adalah komoditi yang siap dijual. Informasi tentang diri 
kita disebar di Internet untuk dijual kepada pembeli tertinggi. Kita 
seringkali tidak sadar dengan hal ini, karena kita sibuk memuaskan 
kepentingan diri kita akan uang. Kita sibuk mengikuti gaya hidup mainstream” yang menyembunyikan penindasan dan ketidakadilan 
besar di baliknya.
Ketika kita hidup seperti domba mengikuti pola ”mainstream”, kita 
merusak masyarakat yang memang sudah rusak. Kita menjadi korban 
sekaligus pelaku yang melestarikan ketidakadilan sosial. Bagaimana 
keluar dari lingkaran setan semacam ini? Bagaimana supaya kita 
terhindar dari penjajahan ”mainstream” ini?
Belajar dan Bertanya
Yang jelas, kita perlu mengembangkan kemampuan berpikir 
kritis. Kita perlu belajar dan bertanya tentang jalan hidup yang kita 
pilih, apakah ini ikut melestarikan ketidakadilan yang ada, atau 
menguranginya. Kita juga perlu melihat ke dalam diri kita, apakah kita 
dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan 
tidak adil, atau tidak. Kita perlu mencari informasi dan bertanya pada 
orang-orang yang tercerahkan, supaya kita tidak menjadi domba yang 
ikut arus ”mainstream”, dan secara tidak sadar merugikan banyak 
orang.
Tidak semua orang memiliki kekuatan dan kehendak untuk 
sungguh mengubah keadaan sosial menjadi lebih baik bagi banyak 
orang. Namun, setiap orang punya kekuatan untuk tidak ikut me￾nambah ketidakadilan yang ada. Ini bisa dilakukan, jika kita bersikap 
kritis terhadap pola hidup ”mainstream”. Bukankah lebih baik kita 
hidup sederhana dan bersahaja, daripada hidup mewah bergelimangan 
harta hasil dari penipuan dan ketidakadilan sosial di dalam struktur 
masyarakat kita?Banyak orang masih hidup dalam anggapan lama. Mereka 
mengira, bahwa kemajuan ekonomi suatu negara tergantung 
pada perkembangan teknologi di negara tersebut. Jika kita ingin maju 
secara ekonomi sebagai suatu bangsa, maka kita harus membangun 
industri-industri berat yang berpijak pada teknologi canggih, seperti 
pesawat, mobil, satelit, internet dan sebagainya. Ahli ekonomi ternama 
sampai dengan pedagang di pinggir jalan di negara kita masih hidup 
dan bekerja dengan anggapan ini.
 Filsafat, Sains dan Teknologi
Teknologi adalah anak dari ilmu pengetahuan. Teknologi ada￾lah rekayasa alam demi pemenuhan kepentingan manusia dengan 
menggunakan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sendiri ber￾kembang dari upaya manusia untuk memahami alam dengan metode 
eksperimental (melalui rangkaian percobaan dan penggalian data) dan 
empiris (hanya mengakui apa yang bisa dicerna dengan panca indera 
dan diukur dengan menggunakan statistik).
Ilmu pengetahuan sendiri adalah anak dari fi lsafat, yakni upaya 
manusia untuk secara rasional, kritis, logis dan sistematis di dalam 
memahami segala sesuatu di sekitarnya. Ilmu pengetahuan me￾nyempitkan fi lsafat ke dalam metode eksperimental dan data empiris 
semata. Teknologi lalu menyempitkan ilmu pengetahuan ke dalam 
rekayasa teknis semata, guna menghasilkan mesin dan prosedur 
tertentu untuk mengubah alam demi kepentingan manusia. Semua ini 
dilihat sebagai aktivitas yang mampu mengembangkan ekonomi suatu 
negara secara khusus, dan peradaban manusia secara umumHampir semua negara di dunia menanamkan uang yang sangat 
besar untuk mengembangkan fi lsafat, sains dan teknologi di negara 
mereka. Milyaran rupiah digunakan untuk mendanai beragam bentuk 
penelitian yang berpusat di universitas-universitas dan pusat-pusat 
penelitian. Begitu banyak hal baik yang muncul dari perkembangan 
fi lsafat, sains dan teknologi ini, mulai dari terciptanya sistem politik 
dan ekonomi yang mengedepankan martabat manusia, sampai dengan 
perkembangan teknologi kedokteran yang menyelamatkan begitu 
banyak orang dari kematian, akibat penyakit. Namun, batas akhir kini 
mulai tampak.
Krisis Ekologi
Anggapan lama tentang hubungan erat antara perkembangan 
ekonomi dan kemajuan teknologi kini mulai digoyang. Perkembangan 
teknologi tidak otomatis menciptakan perkembangan ekonomi, 
melainkan sebaliknya, ia justru mendorong terciptanya kesenjangan 
sosial dan, yang terpenting, kerusakan lingkungan. Beragam industri 
dibangun untuk menghasilkan beragam produk secara cepat, murah 
dan banyak. Namun, begitu banyak limbah dihasilkan oleh beragam 
industri tersebut.
Sampai sekarang, industri pengolahan limbah di berbagai negara 
masihlah amat lemah. Limbah dan sampah hasil produksi pabrik 
banyak sekedar ditimbun ke tanah dan dibuang ke laut begitu saja. 
Akibatnya, lingkungan menjadi rusak. Air menjadi tercemar oleh 
polusi, dan begitu banyak ekosistem laut rusak, akibat limbah yang 
dibuang begitu saja.
Negara-negara miskin dipaksa menjual tanahnya kepada negara￾negara kaya untuk pembuangan limbah. Akibatnya, lingkungan sekitar 
tempat pembuangan limbah tersebut rusak. Panen gagal dan air 
tercemar. Orang-orang yang tinggal di daerah sekitarnya pun menjadi 
sakit, dan terpaksa meninggalkan tanah kelahiran mereka.Yang paling parah memang industri pertambangan. Pertambangan 
tidak hanya menghasilkan limbah yang besar, tetap secara agresif 
merusak alam, demi mengambil sumber daya alam yang terkandung 
di dalamnya. Gunung diratakan demi emas yang ada di dalamnya. 
Hutan dibabat habis demi minyak ataupun logam-logam lainnya yang 
terkandung di tanahnya.
Ini semua adalah hasil dari perkembangan teknologi yang 
mendorong pembangunan beragam industri, mulai dari industri tekstil 
sampai dengan pertambangan raksasa. Pendek kata, industri-industri 
buah dari perkembangan teknologi ini merusak alam, dan demikian 
juga menciptakan penderitaan yang berat, baik secara ekonomi, kultural, 
sosial, politik maupun kesehatan, kepada berbagai komunitas di dunia. 
Dalam arti ini, perkembagan teknologi tidak mendorong perkembangan 
ekonomi, melainkan justru pengrusakan alam, dan pemiskinan berbagai 
komunitas di dunia, terutama komunitas-komunitas di daerah miskin 
di dunia. Perkembangan teknologi telah menjadi begitu tanpa arah dan 
kehilangan kendali, sehingga justru menghasilkan penindasan global 
terhadap mereka-mereka yang miskin.
Mengubah Anggapan
Anggapan lama tersebut harus dibuang sekarang ini. Fokus kita 
bukanlah mendorong perkembangan teknologi untuk perkembangan 
ekonomi lagi, namun  mendorong pembagian kekayaan secara merata 
ke seluruh dunia. Kata ”perkembangan” haruslah ditinggalkan, dan 
diganti dengan kata ”pembagian”. Dunia ini cukup untuk menunjang 
hidup yang bermartabat untuk semua mahluk hidup di dalamnya, asal 
ditata dengan adil, yakni menciptakan pembagian yang adil dan merata 
untuk semua mahluk, tanpa kecuali. Obsesi pada ”perkembangan” 
teknologi dan ”perkembangan ekonomi” justru merusak lingkungan 
hidup dan menghancurkan ekonomi itu sendiri.Untuk bisa mencapai arah ini, kita perlu melepas pandangan 
antroposentris yang bercokol di kepala kita. Pandangan ini menekankan, 
bahwa manusia adalah mahluk spesial di alam ini yang berhak untuk 
mengatur semuanya demi memuaskan kebutuhan dan kepentingannya. 
Pandangan ini salah kaprah, dan justru menghancurkan semua mahluk 
hidup, termasuk manusia sendiri. Kita perlu melihat diri kita sebagai 
bagian yang tak terpisahkan dari alam semesta ini.
Hanya dengan begitu, peradaban manusia bisa bergandengan 
tangan dengan seluruh alam semesta ini dan menciptakan komunitas 
yang adil dan makmur untuk semua, tanpa kecuali. Ini disebut juga 
sebagai kesadaran etis-ekologis. Kesadaran ini jauh lebih penting dari 
obsesi pada perkembangan teknologi untuk perkembangan ekonomi 
semata. Kesadaran ini berpijak pada ”pembagian” sumber daya yang 
merata demi kehidupan semua mahluk hidup, dan bukan kehidupan 
segelitir orang saja.
Untuk apa kaya dan maju secara teknologi, namun  kita tidak 
lagi bisa menghirup udara segar di depan rumah kita? Untuk apa 
menggunakan telepon seluler seri terbaru dan mobil canggih, namun 
selalu melihat saudara kita di belahan dunia lain tercabik oleh perang 
dan kemiskinan? Untuk apa? Apakah hidup hanya sekedar mobil 
mewah, rumah indah, dan memiliki semua peralatan canggih?Apakah anda pernah melihat orang yang saling berdebat satu sama 
lain? Ataukah anda sendiri pernah terlibat perdebatan dengan 
orang lain, atau kelompok lain? Perdebatan muncul, karena perbedaan 
pendapat, yakni ketika dua orang melihat sesuatu dari sudut pandang 
yang berbeda. Masalah muncul, ketika keduanya merasa, bahwa 
mereka masing-masing memegang kebenaran mutlak.
Biasanya, perdebatan semacam ini diakhiri dengan pertengkaran. 
Sangat sedikit perdebatan dengan pola semacam ini yang berakhir 
dengan kesepahaman. Ini terjadi, karena kedua belah pihak memegang 
erat pendapat mereka, dan menutup telinga dari pendapat pihak 
lainnya. Inilah salah satu bentuk dogmatisme yang bisa dengan mudah 
kita temukan dalam hidup sehari-hari. 
Pada tingkat yang lebih luas, dogmatisme dapat dengan mudah 
dilihat di dalam agama dan politik. Keyakinan agama dan politik 
tertentu dianggap sebagai kebenaran mutlak yang tidak boleh ditanya. 
Siapa yang berani bertanya, apalagi mengritik, dianggap sebagai 
musuh yang harus dihancurkan. Tak berlebihan jika dikatakan, bahwa 
dogmatisme adalah penyakit paling berbahaya di dalam kehidupan 
bersama umat manusia.
Dogmatisme
Dogmatisme adalah keyakinan mutlak tanpa tanya pada suatu 
bentuk rumusan konseptual. Rumusan tersebut bisa dalam bentuk 
perintah moral, atau penjelasan atas sesuatu yang tak boleh lagi 
dipertanyakan. Segala hal di alam semesta ini selalu bisa untuk 
dipertanyakan. Namun, dogmatisme melarang segala bentuk pertanyaan 
tersebut.Yang sering ditemukan adalah dogmatisme di dalam bidang moral 
yang berpijak pada keyakinan agama tertentu. Orang hidup dengan 
keyakinan mutlak atas kebenaran pikiran diri dan kelompoknya. Ia 
pun bergerak untuk memaksakan keyakinan tersebut pada orang lain. 
Tidak ada toleransi dan kelembutan di dalam penerapannya.
Orang dogmatis dapat dianggap seperti orang yang buta pikirannya. 
Ia menutup mata dari kenyataan dunia ini yang beragam dan terus 
berubah. Orang ini seringkali tidak sadar, bahwa ia bersikap dogmatis. 
Ia memaksakan tata nilainya ke dirinya sendiri dan ke orang lain, 
tanpa ada kesadaran sedikit pun, bahwa dunia ini dipenuhi dengan 
ketidakpastian dan perubahan.
Selain buta, orang dogmatis juga biasanya dipenuhi ketakutan. Ia 
merasa, jika dunia berjalan tidak sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai 
hidupnya, maka semua akan hancur. Ia mengira, bahwa seluruh alam 
semesta ada dan bergerak dengan berpijak pada nilai-nilai hidup yang 
ia yakini tanpa tanya. Tak salah juga jika dikatakan, sikap dogmatis 
tidak hanya terkait dengan kebutaan dan ketakutan, namun  juga dengan 
kebodohan.
Dogmatisme juga membuat suatu nilai yang sejatinya baik menjadi 
rusak. Setiap orang perlu hidup dengan nilai di dalam hidupnya. 
Namun, ketika nilai tersebut diyakini secara dogmatis, maka nilai 
itu akan menjadi sumber masalah bagi hidup pribadi orang tersebut, 
maupun hubungannya dengan orang lain. Dogmatisme meruntuhkan 
keluruhan suatu nilai, dan menjadikannya sumber pembenaran bagi 
segala bentuk kekerasan dan kejahatan.
Orang yang dogmatis juga akan cenderung mengalami penderitaan 
di dalam dirinya, karena keyakinannya akan terus berbenturan dengan 
kenya -taan yang ada. Benturan ini menghasilkan penderitaan tidak 
hanya di dalam batinnya, namun  juga penderitaan bagi orang-orang 
yang di sekitarnya. Kesadaran akan sikap dogmatis di dalam diri ini 
lalu kerap kali mendorong orang untuk mencari jalan keluar.Bagaimana keluar dari penyakit dogmatisme semacam ini? Yang 
jelas, kita harus terlebih dahulu sadar pada segala bentuk sikap dan 
pikiran dogmatis di dalam diri kita. Apakah kita punya kepercayaan 
yang tidak boleh lagi dipertanyakan? Jika masih ada satu saja 
kepercayaan di dalam hidup kita yang tidak boleh lagi digoyang 
dengan pertanyaan, maka kita adalah orang yang dogmatis.
Akar dari dogmatisme adalah kelekatan pada ide. Kelekatan adalah 
anggapan, bahwa orang tidak bisa hidup tanpa suatu ide tertentu. Pada 
tingkat yang lebih luas, orang yang melekat ini berpikir, bahwa dunia 
ini akan hancur, jika tidak ditata dengan satu cara tertentu yang tidak 
boleh dipertanyakan. Kelekatan juga berakar dalam pada ketakutan 
dan kebodohan, atau lebih tepatnya pada kesalahan berpikir di dalam 
melihat dunia.
Jika kelekatan adalah akar dogmatisme, maka jalan keluar dari 
penyakit dogmatisme adalah dengan mencabut akar kelekatan. Akar 
kelekatan bisa dicabut, jika kita mengubah struktur kesadaran kita, 
yakni dengan menyadari sepenuhnya, bahwa segala kenyataan yang 
tampil di depan mata dan pikiran kita adalah sesuatu yang terus 
berubah. Akibat dari perubahan yang terjadi di setiap saatnya ini, 
maka dapat juga dikatakan, bahwa kenyataan yang di depan mata 
dan pikiran kita adalah semu. Ia bukanlah kenyataan sesungguhnya, 
karena ketika kita menyebutnya sebagai kenyataan, ia segera pergi 
dan berubah.
Dengan sampai pada kesadaran ini, kita lalu secara otomatis 
melepas kelekatan yang kita miliki. Ketika kita melepaskan kelekatan, 
kita melepaskan dogmatisme. Bersamaan dengan itu juga, segala bentuk 
ketakutan dan kebodohan, yakni kesalahan berpikir di dalam melihat 
kenyataan, juga lenyap. Ketika ketakutan, dogmatisme dan kelekatan 
lenyap, maka perdamaian antar manusia sekaligus kedamaian di dalam 
diri menjadi kenyataan.
Apa yang terjadi, ketika orang melepaskan segala bentuk 
dogmatisme di dalam dirinya? Apa yang terjadi kemudian, ketika orang 
melepaskan segala bentuk kelekatan, ketakutan dan kesalahan berpikir 
di dalam dirinya? Yang terjadi kemudian adalah orang tersebut kembali 
ke jati diri alamiahnya. Hidup nya menjadi sepenuhnya mengalir di 
dalam kenyataan yang terus berubah, sekaligus bisa menanggapi 
berbagai keadaan yang muncul secara tepat dan jernih.
Segala bentuk kekerasan juga lenyap. Ini terjadi, karena tidak ada 
lagi keterpisahan antara diri pribadiku dengan alam semesta. Dengan 
kata lain, ketika segala bentuk kelekatan dan dogmatisme dilepas, 
maka orang kembali terhubung dengan alam semesta. Ia adalah alam 
semesta, dan alam semesta adalah dia.
Perdamaian dunia tidak akan pernah tercipta, jika orang masih 
hidup dalam kelekatan dan dogmatismenya masing-masing. Uang 
dan beragam proyek perdamaian bisa digelontorkan. Akan namun , jika 
semua itu masih menyelipkan satu bentuk dogmatisme dan kelekatan 
saja, maka semuanya akan berantakan. Bukankah itu yang kita alami 
sekarang ini?
Kejahatan dari Kebaikan
Sejak kecil, kita diajarkan untuk berbuat baik. Kita diajarkan 
untuk membantu orang yang kesusahan. Kita diajarkan untuk berani 
bertindak, ketika orang lain membutuhkan bantuan kita. Semua ini 
tentu baik.
Berbuat baik adalah nilai yang cukup universal. Semua agama dan 
fi lsafat mengajarkannya. Ini ditemukan di semua peradaban yang telah 
dikenal ma nusia. Namun, ada masalah tersembunyi di sini. 
Banyak perbuatan baik justru membuat susah orang lain. Banyak 
orang akhirnya hidup dalam ketergantungan pada kebaikan orang 
lain. Mereka menjadi malas untuk berdiri di atas kaki sendiri dalam 
hidupnya. Pepatah lama kiranya benar, bahwa jalan ke neraka kerap 
kali dilapisi dengan kehendak baik.
Pada kasus-kasus yang lebih parah, perbuatan baik justru 
membunuh orang lain. Perbuatan baik menciptakan hubungan￾hubungan antar manusia yang tidak adil. Hitler memusnahkah orang 
Yahudi atas nama kehendak baik kepada rakyat Jerman pada awal 
abad 20. Suharto membantai ratusan ribu atas nama kehendak baik 
bagi kejayaan Republik negara kita.
Sekarang ini, ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) membunuh, 
menyiksa dan memperkosa warga di Irak dan Suriah. Mereka melaku￾kannya atas nama agama. Mereka mengira, perbuatannya adalah 
perbuatan baik untuk agama dan bangsanya. Pola yang sama ditemu￾kan di kelompok teroris Islam radikal Boko Haram di Nigeria Utara.
Mengapa begitu banyak perbuatan baik justru menghasilkan 
penderitaan yang lebih besar? Mengapa kehendak baik seringkali 
bermuara pada mala petaka? Mengapa berbuat baik justru berbahaya? 
Mari kita kupas bersama.
Kebaikan dan Kejernihan
Berbuat baik menjadi petaka, ketika itu dilakukan dengan pamrih. 
Kehendak baik menjadi jalan ke neraka, ketika ia dilumuri dengan 
kepentingan kotor. Ini terjadi, karena orang yang berbuat baik tidak 
memiliki kejernihan pikiran. Pikirannya dilumuri dengan perhitungan 
untung rugi dan nafsu jahat.
Enomiya-Lasalle, Zen Master dari Jerman, menegaskan, bahwa 
kejernihan hanya mungkin, jika orang sudah memahami jati diri 
sejatinya. Jati diri sejati terletak sebelum segala bentuk pikiran, bahasa 
dan konsep. Seluruh ajaran fi lsafat, mistik dan agama di seluruh dunia 
mengajarkan kita untuk menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia. 
Sayangnya, kita lebih terpaku pada ajaran moral dan ritual, daripada 
jati diri sejati kita sebagai manusia.
Dengan menyadari jati diri sejati kita sebagai manusia, kita lalu 
juga sadar, bahwa jati diri sejati kita sama dengan jati diri sejati seluruh 
alam semesta. Kita semua adalah satu. Tidak ada perbedaan. Perbedaan 
hanya dibuat oleh bahasa, konsep dan pikiran yang kita rumuskan 
sendiri.
Man Gong, Zen Master asal Korea, juga menegaskan, bahwa 
tugas utama kita sebagai manusia adalah menyadari jati diri sejati 
kita. Semua tugas lain perlu dikesampingkan, supaya kita bisa sampai 
pada kesadaran semacam ini. Tanpa kesadaran akan jati diri sejati 
kita sebagai manusia, hidup kita akan terus dipenuhi penderitaan, 
walaupun kita kaya dan sukses di mata masyarakat. Menyadari jati 
diri sejati kita adalah tugas asli kita sebagai manusia, ketika dilahirkan 
ke dunia.
Kejernihan yang lahir dari kesadaran ini membuat kita juga menjadi 
kritis. Kita tidak lagi menjadi manusia naif yang gampang percaya. Kita 
melihat kenyataan yang sebenarnya, dan bukan lagi kenyataan yang 
diberikan kepada kita oleh media, atau pihak-pihak lain yang hendak 
menyembunyikan kebenaran. Kita tidak lagi gampang tertipu oleh 
segala bentuk pencitraan.
Bentuk Berbuat baik
Seung Sahn, Zen master asal Korea, merumuskan empat bentuk 
berbuat baik. Ini penting sekali untuk diperhatikan. Yang pertama 
adalah berbuat baik dalam bentuk pemenuhan kebutuhan fi sik. Ketika 
ada orang lapar, kita beri makan. Ketika orang kehausan, kita beri 
minum. Ini bentuk tindakan baik yang paling rendah.
Yang kedua adalah bertindak baik dengan memberikan inspirasi 
pada orang lain untuk mandiri. Orang lain memperoleh inspirasi, 
supaya ia lalu bisa bekerja sendiri. Ia juga bisa memotivasi dirinya, 
ketika keadaan menjadi sulit. Ia menjadi api bagi dirinya sendiri untuk 
berkembang.
Yang ketiga adalah berbuat baik dengan menjelaskan kepada 
orang lain hakekat sesungguhnya dari kenyataan yang ada. Artinya, 
kita mengajarkan kepada orang lain tentang kebenaran dari kenyataan 
sebagaimana adanya. Kita tidak menipu mereka dengan ajaran maupun 
konsep yang terlihat indah, namun palsu. Dengan kata lain, kita mem￾berikan ”kebenaran” kepada orang lain.
Yang keempat, dan tertinggi, adalah berbuat baik dengan men￾jelaskan fungsi yang tepat dari segala sesuatu kepada orang lain, 
sehingga orang lain bisa menggunakan segala hal yang ia punya 
untuk menolong semua mahluk. Di dalam tradisi Zen, ini disebut 
juga jalan BodhisaÄ´ va. Orang tidak menolak apapun. Orang menerima 
segala nya, termasuk hal-hal yang dianggap jelek oleh masyarakat, dan 
kemudian menggunakan semuanya untuk menolong semua mahluk.
Namun, kesadaran akan fungsi yang tepat dari segala sesuatu ini 
hanya mungkin, jika kita menyadari jati diri sejati kita. Keduanya tidak 
bisa dipisahkan. Untuk mencapai ini, orang kerap kali perlu mengalami 
penderitaan di dalam hidupnya. Penderitaan disini dilihat sebagai 
bagian dari jalan menuju kesadaran.
”Jangan” Berbuat Baik
Keempat bentuk kebaikan di atas harus dilakukan, jika kita sudah 
memperoleh kejernihan di dalam batin dan pikiran kita. Jika pikiran 
kita masih kacau oleh kepentingan diri dan nafsu kotor, maka jangan 
berbuat baik. Jika kita pikiran kita masih dilumuri oleh perhitungan 
untung rugi, maka jangan berbuat baik. Perbuatan baik yang didasarioleh pamrih dan kekacauan pikiran justru akan melahirkan kejahatan 
dan penderitaan yang lebih besar.
Dalam arti ini, kita perlu menolong diri kita sendiri terlebih dahulu, 
sebelum menolong orang lain. Kita perlu berbuat baik pada diri kita 
sendiri dulu, sebelum kita berbuat baik pada orang lain. Artinya, kita 
perlu untuk ”selesai” dengan segala pamrih dan perhitungan di dalam 
diri kita sendiri terlebih dahulu, sebelum membantu orang lain. Jika 
kita belum ”selesai” dengan diri kita sendiri, maka jangan membantu 
orang lain.
Bukankah orang buta menuntun orang buta akan membuat 
keduanya masuk ke dalam jurang?
Kita hidup kini di dalam jaringan dunia virtual. Begitu banyak 
orang menghabiskan waktunya di beragam situs jaringan sosial 
di Internet, seperti Facebook, Path, Instagram dan sebagainya. Beragam 
situs ini menjadi sumber informasi utama. Bahkan tak berlebihan jika 
dikatakan, bahwa situs-situs ini kini menjadi media pendidikan utama 
begitu banyak orang di dunia sekarang ini.
Dengan bantuan situs-situs di dunia virtual ini, orang merasa 
didekatkan satu sama lain. Mereka merasa dekat dengan teman 
mau pun keluarga, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu. 
Para aktivis sosial dan politik bahkan menggunakan situs-situs ini 
untuk menyebarkan misi dan pandangan mereka. Namun, apakah 
hubungan yang diciptakan melalui situs-situs dunia virtual ini sungguh 
merupakan sebuah hubungan yang bermutu?
 Pendangkalan Sosial
Kita sering melihat orang-orang berkumpul di suatu tempat, 
namun mereka sibuk sendiri dengan teleponnya masing-masing. 
Mereka bersama, namun  tidak bersama. Mereka dekat, sekaligus jauh. 
Badan mereka di tempat yang sama. Namun, pikiran mereka terpisah 
ribuan, bahkan ratusan ribu kilo meter.
Komunitas di dunia sehari-hari terpisah, ketika justru komunitas 
di dunia virtual bertumbuh. Orang lebih nyaman dengan layar 
komputer, daripada dengan wajah temannya, atau justru keluarganya. 
Komunikasi pun menjadi sedemikian dangkal, karena terbatas pada 
beberapa potong kalimat di layar komputer ataupun telepon genggam 
yang kerap kali justru menciptakan kesalahpahaman. Gerak tubuh dan mimik wajah, yang merupakan bagian penting dari komunikasi antar 
manusia, kini terlupakan.
Situs-situs di dunia virtual ini, yang juga disebut sebagai jaringan 
sosial, adalah bentuk hubungan yang memisahkan. Mereka menciptakan 
hubungan semu yang justru menghancurkan hubungan antar manusia 
yang sejati. Mereka justru memecah hubungan antar manusia. Mereka 
menjadikan hubungan antar manusia menjadi sedemikian dangkal dan, 
seringkali, penuh kepalsuan serta kebohongan.
Yang tercipta kemudian adalah keterputusan antar manusia. 
Komunikasi sejati digantikan dengan komunikasi palsu dan semu. 
Ketidakpedulian pun tercipta. Orang lebih sibuk mengejar gosip 
terbaru, daripada memikirkan tantangan-tantangan kehidupan bersama.
Orang lalu mengalami pengalihan isu secara terus menerus. Orang 
lebih sibuk menyunting foto makanan terbaru, daripada bekerja sama 
untuk mengurangi kemiskinan dan ketidakadilan di berbagai belahan 
dunia. Orang lebih terpikat pada barang-barang elektronik terbaru, 
daripada perang dan penderitaan yang diderita oleh tetangganya. 
Orang tergeser dari hal-hal penting dalam kehidupan, dan digiring 
masuk seperti kambing ke dalam ranah pembodohan dan pendangkalan 
dalam bentuk konsumsi tanpa batas.
Solidaritas pun menjadi kata-kata yang hampir punah. Masyarakat 
mengalami atomisasi dan distraksi tanpa henti. Komunitas-komunitas 
sejati untuk menggiring perubahan terpecah. Komunitas-komunitas 
gosip dan pemuja barang-barang konsumsi bertumbuh subur, bagaikan 
jamur di musim hujan. Jika solidaritas mati, maka kerja sama antar 
manusia untuk mengatasi beragam tantangan bersama pun juga pada 
akhirnya akan mati.
Masalah-masalah baru tercipta. Kesenjangan sosial antara si kaya 
dan si miskin di berbagai belahan dunia kini semakin besar. Gerak 
korporasi rakus di berbagai belahan dunia kini seolah tanpa kontrol. 
Tak terasa, umat manusia kini bergerak dengan gembira sekaligus 
bodoh menuju kehancurannya sendiri, tanpa ia sadari.Memutuskan untuk Menyambung
Ketika pola komunikasi antar manusia menjadi dangkal dan palsu, 
maka manusia-manusia yang berkembang dalam pola komunikasi 
semacam itu pun akan menjadi dangkal dan palsu. Maka dari itu, 
pola komunikasi yang ada pun harus diubah. Dalam konteks ramainya 
situs-situs jaringan sosial dengan pendangkalan serta pemalsuan 
informasi, kita perlu memutuskan diri dari semua itu, supaya justru 
bisa membangun komunikasi yang sejati. Kita perlu memutus jaringan 
justru untuk membangun jaringan yang sejati.
Melepaskan diri dari jaringan sosial yang menipu dan mendangkal￾kan membuat kita berjarak dari keadaan. Jarak akan mendorong 
refl eksi dan analisis yang lebih mendalam. Dari sini akan tercipta 
kebijaksanaan. Kebijaksanaan membantu kita secara kritis memilah 
beragam informasi yang ada, dan membuat keputusan terbaik dari 
segala kemungkinan yang ada.
Pada akhirnya, bukankah hidup akan menjadi begitu hampa dan 
dangkal, jika diisi dengan konsumsi tanpa batas dan berita-berita penuh 
kebohongan belaka?
Banyak orang mengira, bahwa tingkat pendidikan seseorang 
langsung terkait dengan perkembangan tingkat ekonominya. Arti￾nya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, maka semakin besar 
kemungkinannya untuk menjadi kaya. Anggapan ini tersebar begitu 
luas dan tertanam begitu dalam di berbagai masyarakat di dunia. 
Anggapan ini juga menjadi dasar dari begitu banyak kebijakan pen￾didikan di berbagai negara di dunia, termasuk di negara kita.
Penelitian Terbaru
Berbagai penelitian terbaru di Jerman dan Austria juga mendukung 
anggapan ini. Ludger Wössmann menulis artikel berdasarkan pe￾nelitiannya dengan judul Gute Bildung schaff t wirtschaftlichen Wohlstand: 
Bildung aus bildungsökonomischer Perspektive (2012). Ia menegaskan, 
bahwa pendidikan yang tepat akan mendorong seseorang untuk 
mendapatkan pekerjaan yang bermutu untuk mengembangkan 
hidupnya. Namun, ia juga mengingatkan, bahwa pendidikan yang 
terpaku pada aspek ekonomi belaka justru akan mengurangi daya saing 
seseorang di pasar tenaga kerja.
Hasi l penelitian Wössmann ini ditunjang oleh penelitian serupa 
yang dibuat di Austria dengan judul Bildung 2025 – Die Rolle von 
Bildung in der österreichischen Wirtschaft (2015). Pendidikan yang 
murah dan bermutu akan meningkatkan kualitas tenaga kerja, dan 
akhirnya juga akan mendorong perkembangan ekonomi keseluruhan. 
Namun, yang dibutuhkan adalah pendidikan yang bersifat lintas 
ilmu dan lintas budaya. Pendidikan semacam itu tidak hanya akan 
menghasilkan manusia-manusia yang terampil bekerja, namun  juga 
kreatif di dalam menemukan ide-ide baru untuk mengembangkan diri 
dan masyarakatnya.
Penelitian yang dibuat di dalam OECD-Studie (Organisation for 
Economic Cooperation and Development- terdiri dari 34 negara) (2013) 
juga memberikan kesimpulan yang sama. Kualitas pendidikan yang 
baik serta terjangkau mendorong tingkat ekonomi suatu negara. Tidak 
hanya itu, pendidikan yang terjangkau dan bermutu juga mendorong 
daya tahan suatu negara, ketika krisis melanda. Model Jerman, dengan 
pemisahan antara pendidikan universitas yang teoritik-abstrak dan 
pendidikan Ausbildung yang berfokus langsung pada keterampilan 
kerja, menjadi model yang layak dijadikan contoh bagi negara-negara 
lain.
Ketiga penelitian yang saya kutip di atas juga menegaskan, bahwa 
pendidikan haruslah mengambil bentuk campuran (Mix-Qualifi kationen). 
Ia tidak boleh hanya mengajarkan satu hal semata secara dogmatis. 
Di samping itu, ia juga harus terjangkau oleh rakyat banyak. Negara 
harus mencari cara untuk memberikan subsidi bagi lembaga-lembaga 
pendidikan, sehingga ia terjangkau oleh seluruh rakyat, dan jika perlu 
bebas biaya sama sekali.
Pendidikan yang Memperbodoh
Pendidikan yang hanya berfokus pada satu hal saja justru 
menghancurkan tujuan pendidikan itu sama sekali. Dengan kata lain, 
pendidikan semacam itu hanya memperbodoh peserta didik. Di banyak 
negara, juga di negara kita, banyak lembaga pendidikan berfokus semata 
pada pendidikan ekonomi. Model pendidikan yang hanya terpaku 
pada pendidikan ekonomi sempit semata justru akan menghancurkan 
dunia pendidikan itu sendiri, dan memperlambat kemajuan ekonomi, 
atau bahkan justru merusaknya.
Argumen tersebut ditopang oleh dua penelitian yang dilakukan 
oleh Julian Nida-Rümelin di dalam bukunya yang berjudul Philosophie 
einer Humanen Bildung (2013) dan Ha-Joon Chang di dalam bukunya 
yang berjudul 23 Things They Don’t Tell You About Capitalism (2011). 
Kedua penelitian ini sampai pada kesimpulan, bahwa pendidikan 
lebih luas dari sekedar pengembangan ekonomi belaka. Pendidikan 
yang sejati mendorong orang untuk menjadi warga negara yang baik 
di dalam masyarakat demokratis. Model pendidikan semacam ini tidak 
hanya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk 
kemajuan ekonomi, namun  juga manusia-manusia yang bisa secara aktif 
dan kreatif terlibat dalam pengembangan kehidupan masyarakat secara 
keseluruhan di berbagai bidangnya, mulai dari seni, budaya, sampai 
dengan politik.
Di negara kita, kita juga banyak menemukan adanya lembaga￾lembaga pendidikan yang fokus pada nilai-nilai agama semata. Yang 
diajarkan hanyalah ajaran suatu agama tertentu, dan menutup mata 
pada perkembangan di bidang-bidang lainnya. Pendidikan semacam 
ini juga memperbodoh, karena ia akan menciptakan manusia-manusia 
fanatik yang ketinggalan jaman, dan tidak memiliki keterampilan yang 
dibutuhkan untuk mengembangkan diri dan masyarakatnya. Akibatnya, 
banyak lulusannya terjebak dalam kemiskinan, dan akhirnya jatuh ke 
dalam kriminalitas.
Pendidikan jelas membutuhkan pendidikan ekonomi. Pendidikan 
juga jelas membutuhkan nilai-nilai religiositas. Namun, pendidikan 
yang semata berfokus pada aspek ekonomi atau nilai-nilai agama 
tertentu jelas akan menghancurkan pendidikan itu sendiri. Pendidikan 
semacam ini justru akan menghancurkan keluhuran nilai-nilai agama 
dan mengurangi daya saing ekonomi itu sendiri. Ini adalah pendidikan 
yang memperbodoh.
Bukankah suatu bentuk penyiksaan, jika kita belajar di lembaga 
pendidikan yang hanya mengajarkan kita untuk menghafal ajaran 
agama tertentu secara dogmatis atau hitung-hitungan ekonomi yang 
kerap kali tidak akan pernah kita gunakan di dalam hidup kita?
September 2015, industri mobil dunia terguncang oleh skandal. 
Volkswagen, salah satu produsen terbesar mobil dunia asal Jerman, 
melanggar ketentuan terkait dengan jumlah emisi mobil-mobil hasil 
produksinya. Harga saham Volkswagen menurun drastis. Pemecatan 
besar-besaran serta denda milyaran Euro pun sudah menunggu di 
depan mata.
Banyak analisis diajukan atas masalah ini. Intinya adalah, 
Volkswagen telah menipu pemerintah dan masyarakat terkait dengan 
jumlah polusi yang dihasilkan oleh mobil-mobilnya. Ia tidak hanya 
melanggar hukum dan menodai kepercayaan masyarakat, namun  juga 
merusak alam. Pola pelanggaran semacam ini sudah terjadi begitu 
sering di dunia. Perusahaan-perusahaan multinasional mengabaikan 
semua hal, demi mendapatkan keuntungan yang lebih banyak lagi.
Pertanyaan kecil p un menggantung di kepala saya. Mengapa 
perusahaan yang sudah begitu kaya dan besar masih saja terjebak pada 
kerakusan akan uang? Bukankah mereka sudah amat sangat kaya, 
bahkan untuk ukuran perusahaan mobil raksasa yang usianya sudah 
hampir 100 tahun? Apa yang sebenarnya terjadi?
Salah Paham
Yang jelas, Volkswagen mengalami kesalahpahaman mendasar. 
Mereka mengira, bahwa uang adalah hal terpenting dalam hidup. 
Akibatnya, mereka menipu pemerintah dan masyarakat, guna mendapat 
uang lebih banyak lagi. Sayangnya, pandangan yang salah semacam 
ini justru memukul balik Volkswagen itu sendiri.
Volkswagen tidak sendiri. Begitu banyak orang mengalami ke￾salahpahaman yang sama. Mereka mengira, hal terpenting di dunia 
adalah uang. Ketika uang banyak, mereka justru bingung, dan akhirnya 
melakukan hal-hal yang justru menghancurkan diri mereka sendiri.
Mereka bilang, mereka butuh uang untuk hidup. Ini akhirnya 
menciptakan semacam lingkaran setan yang tidak masuk akal. Orang 
bekerja untuk hidup, sementara hidupnya diisi dengan bekerja lebih 
banyak lagi. Tak heran, dengan pola hidup semacam ini, banyak orang 
menderita dalam hidupnya.
Banyak orang juga bilang, bahwa mereka mencari uang untuk 
keluarga. Ini tentu masuk akal dan benar. Akan namun , apakah bisa 
dibenarkan, jika kita mencari uang untuk keluarga kita, dan menipu 
keluarga-keluarga lainnya? Lagi pula, seberapa banyak sih uang yang 
kita butuhkan untuk menghidupi keluarga kita? Milyaran Euro?
Kebingungan menghasilkan kesalahpahaman semacam ini. 
Kesalahpahaman akhirnya membuahkan penderitaan yang lebih 
banyak lagi. Kita tidak paham, apa yang terpenting dalam hidup ini, 
dan akhirnya melakukan hal-hal bodoh. Orang lain pun kena getahnya, 
akibat dari kebodohan kita.
Yang Terpenting
Lalu, apa yang terpenting dalam hidup ini? Jawabannya jelas bukan 
uang. Saya bahkan berani berpendapat, bahwa yang terpenting dalam 
hidup ini pun bukan hidup itu sendiri. Keluarga, bahkan memahami 
”tuhan”, pun juga bukan merupakan hal terpenting dalam hidup ini. 
Hidup, uang, keluarga dan tuhan tentu penting, namun  bukanlah yang 
terpenting.
Yang terpenting dalam hidup ini adalah memahami, siapa kita 
sebenarnya. Kita punya tugas utama dalam hidup ini, yakni menyadari 
jati diri sejati kita sebagai manusia. Jika kita bisa menyadari ini, maka 
kita akan menemukan kebebasan serta kebahagiaan yang sejati. Kita 
pun lalu bisa membantu mengembangkan kehidupan orang lain dan 
masyarakat kita.
Ini bukan hanya pandangan saya. Beragam pandangan di berbagai 
belahan dunia juga berpendapat yang sama. Tradisi Vedanta di India, 
fi lsafat Stoa di Yunani Kuno, tradisi Mistik Kristen, tradisi Sufi sme 
di Islam, tradisi Zen di Jepang dan pandangan hidup suku Sioux di 
Amerika Utara menanyakan pertanyaan penting yang sama, siapakah 
kita sesungguhnya? Pertanyaan ini adalah pertanyaan terpenting di 
dalam hidup manusia.
Jati Diri Sejati
Yang jelas, kita bukanlah nama kita. Nama adalah pemberian orang 
tua. Itu bisa diganti. Kita juga bukan agama, ras ataupun suku kita. 
Semua itu bisa berubah.
Kita perlu mencari yang tak berubah di dalam diri kita. Tubuh kita 
berubah. Pikiran kita pun berubah. Yang tak berubah adalah jati diri 
sejati kita sebagai manusia.
Jati diri ini adalah kesadaran murni (pure awareness) kita. Namun, 
kesadaran bukanlah otak. Otak adalah bagian dari tubuh. Dan kita 
jelas bukanlah tubuh kita.
Kesadaran inilah yang memungkinkan kita membaca tulisan ini. 
Kesadaran inilah yang memungkinkan kita terus bernafas. Ia adalah 
sumber dari segala aktivitas di dalam diri kita. Ia selalu ada, bahkan 
ketika kita pikun, atau masuk dalam keadaan koma.
Kesadaran Murni
Sayangnya, kita sering lupa pada jati diri sejati kita ini. Kita lupa, 
bahwa kita bukanlah identitas sosial kita. Kita melupakan jati diri sejati 
kita, meskipun ia selalu ada bersama kita. Untuk melampaui kelupaan 
semacam ini, ada satu metode yang bisa digunakan, yakni metode 
mencerap (perceiving method).Sejak kita lahir di dunia ini, kita sudah mencerap segala sesuatu. 
Kita merasakan segala sesuatu secara langsung. Kita tidak menilai 
ataupun menganalisis. Kita bisa mencerap, karena kita memiliki 
kesadaran murni di dalam diri kita.
Lalu, kita belajar bahasa dan konsep dari keluarga kita. Kita juga 
belajar di sekolah. Kita juga mulai belajar untuk melakukan analisis dan 
penilaian atas segala sesuatu. Akhirnya, kita berhenti untuk mencerap, 
dan selalu menggunakan daya analisis dan daya penilaian di dalam 
hidup kita.
Ketika ini terjadi, kita melupakan jati diri sejati kita, yakni kesa￾daran murni kita. Kita terjebak pada dunia konsep dan dunia analisis. 
Kita menilai segala sesuatu. Kita pun sulit untuk menemukan kedamai￾an dan kebahagiaan di dalam hidup kita, karena terlalu banyak berpikir.
Analisis jelas diperlukan di dalam hidup kita. Daya penilaian 
juga amat penting. Namun, keduanya bukanlah yang terpenting. Yang 
terpenting adalah kesadaran murni kita.
Kesadaran murni juga merupakan sumber dari daya analisis dan 
daya penilaian kita. Kesadaran murni ini tidak dapat ditunjuk, namun  
dapat dengan mudah dirasakan. Kita hanya perlu berhenti untuk 
menganalisis dan menilai. Kita hanya perlu mencerap segala yang ada 
dari saat ke saat, tanpa analisis dan tanpa penilaian.
Ketika ini dilakukan, pikiran kita menjadi jernih. Kita menemukan 
ketenangan, kebebasan dan kebahagiaan di dalam diri kita sendiri. Kita 
lalu bisa menolong diri kita sendiri dan orang lain. Kita bisa berfungsi 
dengan baik sebagai manusia.
Melampaui Kelekatan
Ketika kita menyadari kembali kesadaran murni kita, segala 
kelekatan pun hilang. Kita tidak lagi melekat pada harta, uang, 
jabatan, keluarga dan bahkan pada hidup itu sendiri. Kita menemukan 
kebebasan yang sejatiDengan kata lain, kita tidak lagi kecanduan pada uang, kuasa, 
jabatan dan bahkan hidup itu sendiri. Kita bisa menggunakan itu 
semua sesuai fungsinya. Kita juga bisa menggunakan itu semua untuk 
membantu orang lain. Bahkan, kita bersedia mati untuk menyelamatkan 
orang lain.
Ketika kita menyadari kembali kesadaran murni kita, kita 
menciptakan jarak dengan segala hal. Kita tidak lagi terikat dengan 
identitas sosial maupun pikiran-pikiran kita. Kita lalu sadar, bahwa itu 
semua terus berubah, dan amat rapuh. Jarak semacam ini menciptakan 
kejernihan dan kewarasan di dalam diri kita.
Dengan kejernihan dan kewarasan, kita bisa hidup dengan jernih 
dari saat ke saat. Kita mencerap dari saat ke saat. Kita menggunakan 
analisis dan penilaian, jika diperlukan. Selebihnya, kita beristirahat di 
dalam rumah kesadaran murni di dalam diri kita sendiri.
Jika setiap orang menyadari kesadaran murni di dalam dirinya, 
hidup bersama akan menjadi mudah. Perbedaan tidak menjadi sumber 
bagi konfl ik, melainkan sumber bagi dialog. Politik menjadi efektif dan 
efi sien. Korupsi, kolusi dan nepotisme pun hanya tinggal kenangan.
Jika para pemimpin Volkswagen belajar hal ini, tentu mereka 
tidak akan terjebak dalam skandal. Pemerintah dan masyarakat juga 
tidak akan tertipu mentah-mentah. Alam juga tidak akan rusak, karena 
kerakusan mereka. Namun begitu, kesempatan masih terbuka, juga 
bagi Volkswagen.
Untuk apa kekayaan berlimpah, namun  kita tidak mengenal, siapa 
diri kita? Untuk apa nama besar dan jabatan tinggi, namun  kita hidup 
dalam kelekatan dan penderitaan? Untuk apa memiliki kecerdasan 
tinggi, namun  terjebak terus dalam kecemasan dan kesepian? Saya harap, 
kita mulai tergerak untuk melakukan tugas utama kita di dalam hidup, 
yakni menyadari kembali jati diri sejati kita sebagai manusia.Pembakaran hutan di negara kita adalah masalah lama. Ini sudah 
terjadi bertahun-tahun. Namun, masalah ini semakin besar belakangan 
ini, ketika asap mulai menutupi beragam tempat di negara kita dan 
beberapa negara tetangga. Kerugian yang diciptakan oleh musibah ini 
menyentuh berbagai bidang kehidupan.
Hutan rusak. Keseimbangan ekosistem alam terancam. Ini tentu 
akan membawa beragam dampak lingkungan lainnya. Kita juga 
belum menghitung jumlah hewan dan tumbuhan yang mati, akibat 
pembakaran hutan tersebut.
Ketika kabut asap me nutupi berbagai tempat, masalah kesehatan 
pun muncul. Banyak orang menderita infeksi saluran pernapasan atas, 
akibat masalah ini. Bahkan, di beberapa tempat, korban jiwa pun sudah 
berjatuhan. Jika terus berlanjut, beragam masalah kesehatan lainnya 
juga akan muncul.
Masyarakat sudah tahu, bahwa perusahaan-perusahaan besar 
adalah pelaku utama pembakaran hutan ini. Mereka tidak lagi 
percaya pada perusa haan-perusahaan tersebut. Ketidakpercayaan 
sosial semacam ini menciptakan keresahan sosial. Dari keadaan ini, 
banyak masalah sosial lainnya juga akan muncul, mulai dari konfl ik 
antar kelompok, sampai dengan kekerasan terhadap orang-orang yang 
tak bersalah.
Dalam banyak kasus, pelaku utama pembakaran hutan ini 
tetap tidak tersentuh. Ini tentu menjadi masalah hukum tersendiri. 
Perusahaan-perusahaan besar, banyak darinya adalah perusahaan 
asing, menyuap pegawai pemerintah dan aparat hukum, sehingga 
mereka lolos dari gugatan hukum. Hal ini tidak hanya merusak 
kewibaan hukum negara kita, namun  juga merendahkan konstitusi dasar 
negara ini sendiri.
Cuaca yang semakin panas juga tidak membantu. Ini terjadi, 
akibat perubahan iklim yang kini sedang melanda bumi ini. Jika 
ditelisik lebih dalam, para pelaku utama pengrusakan lingkungan 
yang mengakibatkan perubahan iklim ini jugalah para perusahaan 
besar, terutama perusahaan-perusahaan multinasional. Kasus penipuan 
Volkswagen dan beberapa perusahaan mobil lainnya belakangan 
menunjukkan hal ini dengan jelas.
Ignatius Wibowo, pakar ekonomi politik negara kita, juga melihat 
peran negara dalam hal ini. Negara tidak hanya membiarkan berbagai 
pelanggaran ini terjadi, namun  justru mendukungnya. Negara, katanya, 
menjadi centeng dari perusahaan-perusahaan besar. Ini membuat 
seluruh keadaan menjadi semakin rumit.
Di dalam penelitiannya, Herry Priyono, fi lsuf dan pakar ekonomi 
politik, juga berulang kali menegaskan kekuasaan perusahaan￾perusahaan besar ini. Ia merumuskan semacam teori kekuasaan bisnis. 
Tidak ada kontrol demokratis dari rakyat pada perusahaan-perusahaan 
ini. Akibatnya, mereka bisa bertindak semuanya untuk meningkatkan 
keuntungan, walaupun itu merugikan masyarakat luas.
Beberapa perusahaan multinasional juga memiliki sumber daya 
raksasa yang melebihi negara. Dengan kekayaan semacam ini, mereka 
bisa mempengaruhi berbagai kebijakan nasional maupun internasional, 
demi keuntungan mereka sendiri. Yang menjadi korban adalah negara 
miskin, terutama rakyat miskin yang hidup di negara miskin. Jutaan 
orang di berbagai belahan dunia meninggal setiap tahunnya sebagai 
akibat dari kebijakan perusahaan-perusahaan besar ini, baik secara 
langsung maupun tidak.
Revolusi Institusi Bisnis
Jelas, bahwa perubahan mendasar diperlukan. Perusahaan￾perusahaan besar perlu mengalami revolusi dari struktur dasarnya
supaya ia tidak lagi mengorbankan kepentingan masyarakat luas, demi 
keuntungan ekonomi semata. Sepak terjangnya perlu berada di bawah 
kontrol masyarakat luas. Namun, bagaimana ini dilakukan?
Pandangan lama mengatakan, bahwa perusahaan dimiliki oleh para 
pemegang saham. Ini terjadi di mayoritas perusahaan-perusahaan besar 
di dunia. Maka dari itu, perusahaan harus dijalankan dengan mengabdi 
pada kepentingan pemegang saham tersebut. Pendapatan para 
pemegang saham amat tergantung dari keberhasilan perusahaannya 
menjalankan bisnis.
Di dalam berbagai kebijakannya, para pemegang saham ini hanya 
memperhatikan satu hal, yakni bagaimana supaya perusahaan meraih 
keuntungan lebih besar lagi. Jika perusahaan bangkrut, maka mereka 
kehilangan segalanya. Oleh karena itu, seperti dijelaskan Ha-Joon 
Chang, ekonom dari Universitas Cambridge, para pemegang saham 
hanya sibuk dengan keuntungan jangan pendek semata. Ini dilakukan 
dengan mengorbankan investasi jangka panjang, dan juga seringkali 
mengorbankan kepentingan kelompok-kelompok lainnya.
Ketika krisis melanda, para pemegang saham juga bersikap 
reaksioner dengan menjual saham mereka. Ini membuat keadaan 
perusahaan menjadi semakin sulit. Korban terbesar tentu di kalangan 
pekerja perusahaan tersebut. Ketika pemecatan besar-besaran terjadi, 
masyarakat luas dan negara pun mengalami kerugian. Ini yang kerap 
tidak diperhatikan oleh para pemegang saham.
Akuntabilitas Bisnis
Jalan keluar dari masalah ini adalah dengan mengubah struktur 
kepe milikan perusahaan. Di beberapa negara, pemiliki perusahaan￾perusahaan besar bukan hanya para pemegang saham, namun  juga 
pemerintah dan beberapa elemen masyarakat sipil, seperti perwakilan 
pekerja dan tokoh masyarakat yang dianggap mumpuni. Kebijakan 
nasional dibuat, supaya susunan ini tidak dengan mudah dirubah, 
terutama jika krisis melanda.
Perusahaan Renault di Prancis sudah menjalankan ini. Beberapa 
Bank besar di Korea, Jepang dan negara-negara Eropa menggunakan 
struktur kepemilikan perusahaan semacam ini. Semua ini dilakukan, 
supaya bisnis tetap berada dalam kontrol masyarakat luas, terutama 
dalam kaitan dengan kelestarian lingkungan. Ketika struktur 
kepemilikan sudah diatur ulang, maka kebijakan-kebijakan perusahaan￾perusahaan besar itu pun bisa lebih dipertanggungjawabkan.
Model semacam ini juga menjami keberlangsungan (Nachhaltigkeit) 
perusahaan dalam kaitan dengan kehidupan masyarakat yang lebih 
luas dan pelestarian lingkungan hidup. Franz Joseph Radermacher, 
ahli teknologi dan ekologi di Jerman, menyebutnya sebagai tata kelola 
ekonomi yang berpijak pada kesadaran sosial dan ekologis (ökosoziale 
Marktwirtschaft). Kontrol dari pemerintah dan masyarakat sipil tidak 
hanya berlangsung dari luar perusahaan, seperti yang sekarang ini 
terjadi, namun  juga dari dalam perusahaan itu sendiri, yakni dari para 
pemiliknya. Model semacam ini juga memastikan investasi jangka 
panjang di dalam perusahaan tersebut bisa terus berlangsung.
Di tengah beragam pelanggaran berat yang dilakukan oleh 
perusahaan-perusahaan besar di seluruh dunia, revolusi dari institusi 
bisnis mutlak diperlukan. Kita sudah lelah dengan eksploitasi tenaga 
kerja oleh perusahaan-perusahaan besar yang menekan upah buruh 
serendah-rendahnya. Kita juga sudah lelah dengan eksploitasi sumber 
daya alam yang mereka lakukan. Kita sudah jenuh dengan kebijakan 
pembuangan limbah sembarangan, sampai dengan pembakaran hutan, 
demi keuntungan ekonomi sesaat perusahaan-perusahaan tersebut.
Untuk apa sebuah negara memiliki perusahaan-perusahaan raksasa 
dengan modal besar, namun  alamnya rusak? Untuk apa sebuah negara 
memiliki gemilau perusahaan-perusahaan dengan merk keren, namun  
kesenjangan antara si kaya dan si miskin begitu besar? Bukankah ini 
akan menciptakan keadaan hidup bersama yang tidak nyaman? Lebih 
dari itu, bukankah ini akan menciptakan keadaan yang subur untuk 
kebencian, iri hati dan akhirnya konfl ik yang memakan banyak korban? 
Mau sampai kapan?
Di berbagai negara, kita menemukan banyak pejabat politik yang 
terjebak korupsi. Mereka memiliki gelar pendidikan tinggi. 
Mereka juga memiliki nama baik di lingkungan sosialnya. Namun, 
latar belakang pendidikan tinggi, pengetahuan agama, serta nama baik 
sama sekali tidak menghalangi mereka untuk mencuri dan merugikan 
orang lain.
Kecenderungan yang sama juga sering kita temukan di kalangan 
pemuka agama. Mereka adalah orang-orang yang dianggap bijak, 
karena memiliki pengetahuan agama yang tinggi. Namun, kerap kali, 
mereka juga jatuh ke dalam sikap bejat yang sama. Korupsi, pemer￾kosaan, penipuan, serta beragam pelanggaran lainnya juga kerap 
mereka lakukan, karena kerakusan dan kekosongan batin yang mereka 
alami. 
Kita juga sering mendengar berita tentang perilaku bejat para 
manajer dan direktur perusahaan-perusahaan besar. Mereka mengguna￾kan segala cara, guna meraih keuntungan ekonomis. Mereka juga 
tak segan untuk merugikan orang lain, guna mencapai tujuan itu. 
Kekayaan dan kecerdasan justru bisa digunakan untuk tujuan-tujuan 
yang merusak.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa pengetahuan yang luas tidak 
menjamin orang bebas dari korupsi? Mengapa pengetahuan agama yang 
mendalam tidak mendorong orang menjadi lebih baik, melainkan justru 
menjadi lebih bejat dengan menggunakan pembenaran-pembenaran 
palsu dari pengetahuan agama yang dimilikinya? Pertanyaan-per￾tanyaan inilah yang mesti kita jawab bersama.
Akar dari gejala ini adalah cacat di dalam paradigma pendidikan 
kita di negara kita. Pendidikan kita tak punya sayap. Di dalam tradisi 
Filsafat Timur, pendidikan selalu dilihat sebagai kerja sama dari duaaspek yang tak terpisahkan, yakni pengetahuan dan pengalaman. 
Ketika dua sayap ini ada, barulah pendidikan bisa mendorong orang 
tidak hanya untuk cerdas, namun  juga terbang menuju kebijaksanaan.
Pengetahuan bisa diperoleh, ketika kita mendengar ajaran dari 
orang lain. Kita juga bisa memperoleh pengetahuan dari membaca 
buku. Dengan pengetahuan yang ada, kita bisa meningkatkan mutu 
hidup kita, sekaligus membantu orang lain. Namun, pengetahuan 
semata tidaklah cukup, karena kita masih menciptakan jarak antara 
diri kita dengan kenyataan melalui konsep-konsep yang kita rumuskan.
Yang lebih penting adalah pengalaman. Pengalaman disini adalah 
per sentuhan langsung dengan kenyataan apa adanya, tanpa terlebih 
dahulu dihalangi oleh konsep. Pola semacam ini dapat diperoleh, jika 
orang melakukan refl eksi, yakni melihat jauh ke dalam dirinya sendiri, 
guna memahami jati diri sejatinya sebagai manusia. Inilah kiranya yang 
kurang di dalam paradigma pendidikan di negara kita.
Pemahaman akan jati diri sejati berarti orang bergerak melampaui 
segala bentuk pemahaman yang terkait dengan identitas sosial. 
Kita bukanlah identitas sosial kita. Itu hanya satu bagian kecil dari 
kemanusiaan kita. Pemahaman akan jati diri sejati, ditambah dengan 
pengetahuan yang luas, akan mendorong orang masuk ke dalam 
kebijaksanaan.
Ketika pendidikan tidak bersayap, ia justru akan menghasilkan 
manusia-manusia bodoh. Ketika pendidikan hanya memiliki satu 
sayap, ia akan rapuh dan akan menghasilkan manusia-manusia yang 
cacat. Ketika pendidikan hanya berfokus pada pengetahuan, ia akan 
menghasilkan manusia-manusia cerdas yang siap menipu dan ko￾rupsi, ketika ada kesempatan. Ketika pendidikan hanya berfokus 
pada pengalaman, ia akan menghasilkan manusia-manusia yang tidak 
terampil, dan tidak memiliki arah.
Kita tidak perlu lagi orang pintar. Sudah banyak orang pintar di 
muka bumi ini. Yang kita butuhkan adalah orang yang hidup dalam 
dua sayap pendidikan, yakni pengetahuan dan pengalaman. Buat 
apa gelar tinggi dan pengetahuan agama yang luas, jika itu hanya 
digunakan untuk membenarkan perilaku bejat di dalam kehidupan? 
Buat apa gelar tinggi dan tampilan memikat, namun hatinya kosong 
dan menderita, sehingga menciptakan penderitaan tidak hanya untuk 
dirinya sendiri, namun  untuk orang lain?
Mereka menyebutnya ”Jumat tanggal 13”, seperti dalam fi lm horror 
terkenal Friday the 13th. Salah satu kota terbesar Eropa tersebut 
dihantam serangan teror di berbagai tempat pada 13 November 2015. 
Sampai tulisan ini dibuat, lebih dari 140 orang mati terbunuh di Paris. 
Ketakutan dan kemarahan bagaikan udara yang kini dihirup tidak 
hanya oleh para penduduk kota Paris, namun  juga oleh seluruh Eropa.
Lingkaran Kekerasan
Lingkaran kekerasan kini berlanjut, dan ini tak dapat dipisahkan 
dari brutalitas yang telah terjadi sebelumnya. Amerika Serikat, dengan 
Prancis dan berbagai negara di Eropa lainnya sebagai sekutunya, sudah 
menyerang Irak dan menurunkan Sadam Hussein dengan paksa. Ini 
dimulai sejak serangan 2003 lalu. AS dan sekutunya juga menyerbu 
Libya dengan kekerasan militer yang brutal. Sampai detik ini, AS dan 
sekutunya terus mendukung gerakan teroris yang menyerang peme￾rintahan Assad di Suriah.
 Jutaan orang terbunuh, akibat serangan militer brutal tersebut. 
Akibatnya, seluruh Timur Tengah masuk ke dalam kekacauan. Kelom￾pok teroris seperti ISIL, Al Qaeda dan Taliban memperoleh angin segar 
untuk terus menyebarkan teror mereka. Sementara, AS dan sekutunya, 
termasuk Arab Saudi, terus memberikan dukungan dana dan senjata 
kepada beragam kelompok ekstrimis Islam di Timur Tengah, guna 
menyerang Iran dan sekutunya.
AS dan sekutunya secara sengaja menciptakan dan mendukung 
gerakan ekstrimis Islam di berbagai penjuru dunia demi memenuhi 
kepentingan politik mereka. Di satu sisi, ada kepentingan penguasaan 
minyak di Timur Tengah. Di sisi lain, ada kepentingan untuk melindungi Israel dengan kebijakan rasis dan merusaknya di Palestina. 
Ini bukan rahasia lagi sebenarnya.
Apa yang terjadi di Paris pada Jumat 13 November 2015 adalah 
bagian dari rantai kekerasan yang telah terjadi sebelumnya. Ini adalah 
buah dari dendam, akibat perang dan penderitaan yang dihasilkan 
selama ratusan tahun, demi memenuhi kepentingan politik jangka 
pendek semata. Hancurnya beragam institusi demokratis sekular di 
Timur Tengah dan Asia juga merupakan dampak dari sepak terjang AS 
dan sekutunya pada abad 20 lalu. Tak heran, kini Timur Tengah hidup 
dalam kemiskinan akut, kesenjangan sosial ekstrem dan kekerasan 
yang tak kunjung henti.
Sebab Akibat
Rantai sebab akibat sebenarnya amat jelas dalam hal ini. Kekerasan 
kolonialisme yang berlangsung selama lebih dari 500 tahun oleh 
negara-negara Eropa, ditambah dengan kebijakan luar negeri AS dan 
sekutunya dewasa ini, telah menciptakan beragam gerakan teroris 
ekstrem di seluruh dunia sekarang ini. Gerakan teror ini bukanlah 
sebuah kebetulan, melainkan bagian dari lingkaran kekerasan dan 
sebab akibat yang memiliki pola yang jelas. Semuanya tercatat dan 
terbuka untuk mata kita, asal kita mau melihat.
Darah mereka yang terbunuh di Paris 13 November 2015 terkait 
erat dengan kekerasan dan kerakusan yang telah terjadi sebelumnya. 
Ini bukan cerita sederhana soal orang jahat yang menyerang orang 
baik. Ini adalah cerita soal penderitaan tanpa henti yang menghasilkan 
dendam membara untuk melahirkan kekerasan yang lebih besar lagi. 
Saya yakin, kekerasan tidak akan berhenti disini. Serangan balik yang 
jauh lebih mematikan akan dilakukan oleh pemerintah Prancis dan 
sekutunya.
Sejarah mencatat, dendam tidak akan pernah menyelesaikan ma￾salah. Dendam mendorong kebencian dan kekerasan. Buahnya adalah 
penderitaan dan dendam lebih jauh. Dendam membutakan mata kita 
dari realitas, dan menggiring kita untuk menciptakan neraka di dunia.
Yang lebih menyedihkan, lingkaran kekerasan dan rantai sebab 
akibat yang menghasilkan teror di Paris amatlah jelas dan terang. 
Informasi tentang hal ini terbuka lebar untuk dibaca dan dianalisis oleh 
masyarakat luas. Namun, ini semua ini diabaikan. Orang lebih senang 
tenggelam dalam pola hidup konsumtif dan hedonis tanpa henti, serta 
hidup dalam prasangka pada mereka yang memiliki pandangan hidup 
yang berbeda.
Dendam harus Berhenti
Jalan keluar dari semua ini hanya satu, berhenti membalas. Kita 
harus kembali belajar pada ajaran luhur yang menghasilkan peradaban 
tinggi di dunia, bahwa pengampunan adalah jalan keluar dari segala 
kekerasan. Selama dendam masih membara di dada, selama itu pula 
kematian, pembunuhan, perang dan penderitaan akan tercipta. Hanya 
pengampunan yang berpijak pada kesadaran untuk menghentikan 
kekerasan yang bisa memutus kejahatan dan kebencian yang kini terasa 
begitu kuat di seluruh dunia.
Logika mata ganti mata sudah terbukti hanya membawa penderitaan 
lebih jauh. Keadilan yang dikejar oleh hasrat untuk membalas dendam 
tidak akan pernah menciptakan perdamaian yang sejati. Penegakkan 
hukum yang berpijak pada kebencian di hati bagaikan melempar 
minyak di api kekerasan dan dendam yang masih membara di dada. 
Mau sampai kapan?
Namun, pengampunan memang tidak bisa datang dari langit. 
Peng ampunan lahir dari kebijaksanaan hati dan pikiran yang terlatih. 
Inilah yang kita lupa. Sistem pendidikan dunia sibuk menyuapi orang 
dengan fakta, dan lupa untuk melatih pikiran untuk melihat kenyataan 
apa adanya. Akibatnya, begitu banyak orang hidup dalam penderitaan 
dan delusi yang memperpanjang rantai kekerasan berikutnya.Darah di Paris, di Suriah, di Palestina, di Myanmar, di Tibet, 
di Papua dan di seluruh dunia adalah buah dari kedunguan kita 
semua. Sampai kapan kita mau membalas dendam untuk luka dan 
penderitaan yang kita alami? Sampai kapan kita mau menutup mata 
dari fakta, bahwa dendam justru menghancurkan diri kita sendiri, 
dan menghasilkan kekerasan serta penderitaan yang lebih besar lagi? 
Sampai kapan kita mau hidup seperti ini di dunia?
Taktik adu bomba mungkin adalah taktik yang paling jitu untuk 
menjajah bangsa lain. Taktik ini tidak membutuhkan biaya banyak, 
namun amat efektif untuk melemahkan lawan. Ia menjadi taktik 
utama dari berbagai penguasa absolut di sepanjang sejarah manusia 
untuk menjajah dan menaklukan. Tingkat keberhasilannya pun nyaris 
sempurna.
Logika Adu Domba
Taktik adu domba menggunakan logika adu domba. Ada empat 
ciri utama dari logika ini. Yang pertama adalah penciptaan perpecahan 
di dalam masyarakat.
 Logika adu domba dimulai dengan menyebarkan sebuah berita 
ter tentu yang menciptakan perpecahan dan kecurigaan di dalam ke￾lompok tertentu. Berita ini begitu sensasional, dan biasanya amat sulit 
untuk diperiksa kebenarannya. Banyak orang resah atas berita ini. 
Keresahan serta kecurigaan tersebut lalu menciptakan perpecahan di 
dalam kelompok, yang akhirnya melemahkan persatuan serta kesatuan 
kelompok tersebut.
Pemerintah Romawi Kuno menggunakan taktik ini, ketika mereka 
menyerbu Yunani sekitar 200 tahun sebelum Masehi lalu di Eropa. 
Keduanya adalah negara yang kuat. Namun, Yunani menjadi lemah, 
karena ada perpecahan di dalam negaranya. Perpecahan tersebut 
disebab kan oleh taktik adu domba yang digunakan oleh tentara 
Romawi.
Ciri kedua adalah adanya pihak-pihak tertentu di belakang layar 
yang memperoleh keuntungan dari perpecahan yang ada. Pihak-pihak 
ini biasanya adalah pihak asing yang memiliki kepentingan tertentu, 
terutama kepentingan politik dan ekonomi. Mereka bertanggung 
jawab atas berita yang tersebar dan meresahkan masyarakat. Mereka 
dikenal sebagai provokator atau aktor di belakang layar yang memicu 
perpecahan.
Belanda menggunakan taktik ini, ketika ia hendak menjajah 
negara kita lebih dari 300 tahun yang lalu. Beragam kerajaan yang ada 
diadu domba, sehingga mereka saling curiga dan bahkan berperang 
satu sama lain. Akibatnya, mereka menjadi lemah, dan dengan mudah 
dikalahkan oleh Belanda. Belanda lalu akhirnya menjadi penguasa 
politik dan ekonomi di berbagai pulau di negara kita.
Ciri ketiga adalah kerja sama terselubung. Di balik kecurigaan 
dan perpecahan yang terjadi, ada pihak dari luar yang mengajak salah 
satu dari pihak yang terpecah tersebut untuk bekerja sama. Mereka 
lalu membentuk persekutuan terselubung. Namun, yang kerap terjadi 
adalah persekutuan tersebut lalu hancur, karena pihak dari luar 
mengingkari janji mereka.
Inilah pola yang digunakan tentara Amerika Serikat untuk meng￾hancurkan beragam Suku Indian yang ada di Amerika Utara. Pemerintah 
AS menyebarkan beragam berita bohong, guna memecah kerja sama 
di antara berbagai Suku Indian di Amerika Utara. Pemerintah AS lalu 
mengajak salah satu suku untuk bekerja sama, guna menghancurkan 
suku Indian lainnya. Namun, kerja sama tersebut lalu hancur, ketika 
pemerintah AS mengingkari janji mereka, dan justru menyerang 
sekutunya. Ini terjadi berulang kali di Amerika Utara.
Ciri keempat adalah pengalihan isu dan sumber daya. Perpecahan 
dan kecurigaan yang terjadi biasanya membuat kelompok masyarakat 
tersebut melupakan hal-hal yang penting. Mereka menghabiskan sum￾ber daya mereka untuk berperang satu sama lain, sehingga kekuatan 
ekonomi dan budaya mereka pun melemah. Di dalam keadaan itu, 
pihak dari luar bisa dengan mudah datang dan menghancurkan 
mereka.
Kerajaan Inggris menggunakan taktik ini, ketika mereka hendak 
menguasai Cina pada awal abad 20 yang lalu. Mereka memaksa 
kekaisaran Cina untuk terus berperang dengan kelompok pemberontak 
yang diciptakan oleh kerajaan Inggris. Akibatnya, begitu banyak 
sumber daya ekonomi habis untuk berperang, dan Cina pun lalu 
menjadi lemah. Kerajaan Inggris lalu menyerang Cina, walaupun tidak 
pernah bisa sepenuhnya menaklukkan Cina.
Seperti sudah kita lihat, taktik adu bomba sudah begitu sering 
digunakan di dalam sejarah oleh para penjajah di berbagai belahan 
dunia. Mereka ingin memperluas kekuasaan dan mengeruk keuntungan 
ekonomi secara tidak adil dari bangsa-bangsa lain. Begitu banyak orang 
mati, akibat taktik ini. Begitu banyak kerajaan dan bangsa hancur, 
akibat taktik ini.
Sikap Kritis Kita
Namun, taktik dan logika adu domba bisa dilawan. Kita perlu 
peka terhadap segala bentuk upaya adu domba yang terjadi di ma￾syarakat kita. Kita perlu membangun sikap kritis, sehingga kita tidak 
mudah dipecah oleh beragam isu dan berita bohong. Sikap kritis 
berarti kita berani mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rasional 
tentang berbagai berita yang kita dengar, terutama berita-berita yang 
menimbulkan kecurigaan dan perpecahan.
Di sisi lain, kita juga perlu peka dengan berbagai hubungan ke￾kuasaan yang ada. Kita perlu bertanya, siapa yang diuntungkan dari 
kecurigaan dan perpecahan yang terjadi? Jika kita menelan mentah￾mentah berbagai berita yang ada, terutama berita-berita yang disebar￾kan oleh media-media besar dunia, maka kita akan mudah diadu 
domba. Ketika taktik adu domba sudah menyusupi kelompok kita, 
maka peluang untuk hancur, akibat penaklukkan pihak luar, akan 
menjadi semakin besar.
Belakangan ini, kelompok Muslim di berbagai belahan dunia 
menjadi target dari pemberitaan terkait dengan terorisme yang terjadi 
di Beirut, Afganistan, Mali dan Prancis. Banyak komunitas Muslim yang 
tak bersalah lalu mengalami diskriminasi di berbagai bidang, mulai dari 
politik, ekonomi sampai dengan pendidikan. Kita jelas perlu bersikap 
kritis terhadap ini. Kita juga perlu peka pada hubungan-hubungan 
kekuasaan yang terjadi di belakang pemberitaan ini, terutama soal 
pengalihan isu serta tentang pihak-pihak yang diuntungkan dari 
perpecahan yang ada.
Kita juga jelas perlu belajar dari sejarah kita sendiri. Nusantara 
negara kita takluk dibawah berbagai penjajahan negara-negara Eropa 
selama ratusan tahun, akibat taktik adu domba ini. Kita tidak boleh 
mengulang kesalahan yang sama. Harganya terlalu mahal, yakni 
hancurnya bangsa negara kita dan hilangnya nyawa jutaan orang, seperti 
yang terjadi di masa silam, jika kita jatuh kembali pada lubang yang 
sama. Harganya sungguh terlalu mahal.
Usiamu 29 tahun. Kamu punya seorang istri, dan dua orang 
anak kecil. Kamu punya pekerjaan yang bagus di kota tempat 
tinggalmu. Gajimu cukup. Kamu bisa menabung, dan hidup dengan 
nyaman. Kamu punya rumah kecil di pinggir kota.
Tiba-tiba, keadaan politik di negaramu berubah. Dalam waktu 
beberapa bulan, banyak tentara lalu lalang di depan rumahmu. Mereka 
memaksamu untuk ikut berperang bersama mereka. Jika kamu tidak 
mau, kamu akan ditembak. Salah seorang tetanggamu berani melawan 
mereka. Ia ditembak. Mati.
 Salah seorang tentara mengancam untuk memperkosa istrimu. Kamu 
tidak merasa aman lagi di rumahmu sendiri. Daerah perumahanmu 
sudah nyaris rata dengan tanah, karena dibom. Hampir tidak ada 
gedung yang utuh.
Kamu memutuskan untuk membawa seluruh keluargamu ke luar 
kota, kembali ke rumah orang tuamu di kota lain. Namun, rumah itu 
sudah tidak ada. Orang tuamu juga sudah mati tertembak. Tidak ada 
mayat. Tidak ada kabar.
Mereka bilang: ”Namun, para pengungsi itu punya banyak barang 
bagus. Mereka punya Smartphone mewah! Baju mereka pun bagus￾bagus!”
Dalam keadaan panik, kamu dan keluargamu segera berkemas. 
Kamu memasukan semua pakaian yang kiranya dibutuhkan untuk 
perjalanan. Apa yang akan kamu bawa? Kamu mungkin tidak akan 
kembali ke tanah airmu lagi. Bagaimana kamu bisa mendengar kabar 
dari mereka? Dengan terburu-buru, kamu memasukkan smartphone 
yang kamu punya ke dalam tas. Kamu juga membawa beberapa baju, 
beberapa makanan, dan boneka kesayangan anakmu.
Mereka bilang: ”Para pengungsi itu punya banyak uang. Mereka 
bisa kabur buktinya!”
Kamu sudah tahu sebelumnya, bahwa krisis akan datang. Kamu 
menarik semua uang yang kamu punya dari bank, dan menjual semua 
hartamu. Uang 150 juta Rupiah pun terkumpul. Untuk bisa mengungsi 
ke negara lain, kamu harus membayar 50 juta rupiah untuk satu kepala. 
Dengan sedikit keberuntungan, kamu bisa pergi sebagai satu keluarga. 
Jika tidak, kamu harus merelakan istrimu untuk pergi bersama kedua 
anakmu. Akhirnya, semua uangmu habis. Yang ada hanya tas berisi 
pakaian. Kamu harus berjalan kaki selama dua minggu untuk mencapai 
pelabuhan.
Perutmu lapar. Selama seminggu terakhir, kamu nyaris tidak 
makan. Tubuhmu lemah. Tubuh istrimu pun juga lemah. Namun, 
setidaknya, kedua anakmu mendapatkan cukup makan dan minum. 
Mereka terus menangis sepanjang perjalanan. Kamu juga harus 
menggendong anakmu yang paling kecil. Usianya baru 21 bulan. Dua 
minggu lagi, kamu akan tiba di pelabuhan.
Di malam yang gelap, kamu dan keluargamu masuk ke dalam 
kapal bersama para pengungsi lainnya. Kamu beruntung, bahwa 
seluruh keluargamu bisa pergi mengungsi. Kapal laut itu terlalu kecil, 
dan penumpang terlalu banyak. Semoga ia tidak tenggelam. Orang￾orang di sekitarmu berteriak dan menangis.
Beberapa anak kecil sudah meninggal, karena kehausan. Mayat 
mereka dibuang ke laut begitu saja. Istrimu duduk di pinggir kapal. Dia 
tidak makan dan minum selama dua hari ini. Setelah beberapa waktu, 
kamu harus berpisah dengan mereka. Istrimu dan anak tertuamu di 
satu kapal, dan kamu bersama anak terkecilmu di kapal lain.
Kamu dipaksa untuk tetap diam sepanjang perjalanan, supaya 
kapalmu tidak dicurigai tentara. Anak tertuamu mengerti. Namun, anak 
terkecilmu terus menangis. Para pengungsi lainnya tampak prihatin. 
Mereka meminta kamu untuk menenangkan anakmu. Salah seorang 
dari mereka merebut anakmu darimu, dan membuangnya ke laut. 
Kamu melompat untuk menyelamatkan dia. Namun, cahaya terlalu 
gelap. Udara dan air terlalu dingin. Kamu tidak bisa menemukannya. 
Kamu tidak akan pernah bisa melihat dia lagi. Padahal, tiga bulan lagi, 
usianya dua tahun….
Mereka bilang: ”Tapi, para pengungsi itu hanya menjadi parasit disini! 
Mereka mengemis, tanpa mau berusaha!”
Sampai detik ini, kamu tidak tahu, kemana kamu akan pergi. Kamu 
duduk sendiri. Istrimu dan anak tertuamu ada di kapal lain. Kamu 
beruntung, akhirnya, kamu bisa bertemu lagi dengan mereka. Istrimu 
hanya terdiam, ketika kamu bercerita tentang anak terkecilmu. Anak 
tertuamu memeluk boneka adiknya yang telah meninggal. Ia tampak 
membeku…
Akhirnya, kamu tiba di daratan. Tempat ini disebut kamp 
pengungsi darurat. Orang-orang dengan berbahasa asing berteriak 
mengatur keadaan. Ada 500 tempat tidur yang saling berdempetan 
satu sama lain.
Lebih dari tiga hari, kamu tidak makan dan minum. Tubuhmu 
lemas. Kamu berharap untuk mati saja. Lalu, kamu melihat istri dan 
anakmu. Kamu memeluk mereka ke dalam dekapanmu. Kamu tertidur 
bersama mereka.
Mereka bilang: ”Mereka sudah enak hidupnya disini. Tidak perlu kerja, tapi 
dapat makan! Mereka harus merasa bahagia!”
Esok paginya, kamu mendapat makan dan minumnya untuk 
pertama kalinya setelah beberapa hari. Kamu memeriksa teleponmu, 
menantikan kabar dari keluargamu di tanah air. Tidak ada kabar 
apapun.
Segerombolan orang datang dan berteriak, ”Kembali ke rumahmu! Kamu 
tidak diinginkan disini!”
Kamu adalah pengungsi…
Jutaan pengungsi dari Suriah dan beragam negara di Timur Tengah 
lainnya mengalami nasib semacam ini setiap harinya. Apakah kita 
sudah membantu? Dimana negara kita? Dimana Arab Saudi? Dimana 
Qatar? Dimana negara-negara tetangga di Timur Tengah yang mengaku 
beragama dan beriman? Bukankah kita seharusnya saling membantu? 
Mau berapa mayat lagi dibuang di laut? Mau berapa anak kecil dan 
orang tak bersalah lagi yang harus jadi korban?
Diolah dari tulisan Faz Ali dan John Vibes dari media independen TrueActivist.
com
Pemahaman tentang keadilan telah lama menjadi bagian dari 
diskusi di dalam fi lsafat Barat. Rainer Forst mencoba ikut serta 
di dalam diskusi tersebut di dalam bukunya yang berjudul Das 
Recht auf Rechtfertigung: Elemente einer konstruktivistischer Theorie der 
Gerechtigkeit yang diterbitkan pada 2007 lalu. Secara sederhana, judul 
buku itu dapat diterjemahkan sebagai ”Hak atas Pendasaran: Elemen￾elemen dari Teori Konstruktivis tentang Keadilan”.
D i Jerman, Rainer Forst dikenal sebagai seorang fi lsuf politik. Ia 
memperoleh penghargaan GoÄ´ fried Wilhelm Leibniz pada 2012 lalu. 
Saat ini, ia bekerja sebagai Professor Teori Politik di dalam Departemen 
Ilmu Sosial Universitas Johann Wolfgang Goethe di Frankfurt, Jerman. 
Ia juga dikenal sebagai penerus tradisi Teori Kritis Mazhab Frankfurt. 
Di dalam berbagai tulisannya, Forst mencoba membuat sintesis antara 
teori-teori keadilan liberal, komunitarisme dan tradisi teori sosial kritis 
dari Jerman.
Hak atas Justifi kasi
Bagi Forst, di balik beragam teori keadilan yang berkembang 
di dalam fi lsafat Barat, ada satu pengandaian yang sama, yakni 
kebutuhan untuk dihargai sebagai manusia yang memiliki hak untuk 
memperoleh pendasaran (das Bedürfnis der Rechtfertigung). Ketidakadilan 
terjadi, ketika orang tidak dianggap sebagai bagian dari proses￾proses yang ada di dalam masyarakat. Ia dianggap tidak ada, dan 
beragam keputusan dibuat, tanpa mendengarkan keinginan maupun 
kebutuhannya. Pengabaian (Vernachlässigung) semacam ini menjadi 
dasar untuk beragam ketidakadilan lainnya, seperti ketidakadilan 
politis, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya.
Forst juga menafsir ulang makna dari kata martabat manusia 
(Menschenwürde) di dalam fi lsafat politik. Di dalam fi lsafat politiknya, 
martabat manusia dipahami sebagai hak dan kemampuan seseorang 
untuk memperoleh alasan yang kuat dari berbagai kebijakan dan 
tindakan yang mempengaruhi dirinya. Pengandaian dasar dari argumen 
ini sejalan dengan fi lsafat politik Habermas, bahwa setiap orang harus 
ikut serta secara aktif di dalam proses pembuatan kebijakan yang 
nantinya harus ia patuhi.
Teori Keadilan sebagai justifi kasi menyatakan dengan tegas, bahwa 
tidak boleh ada satu pun tata politik ataupun tata sosial yang tidak 
dapat diterima secara bebas dan masuk akal oleh orang-orang yang 
ada di dalamnya. Setiap manusia mempunyai hak, menurut Forst, 
untuk tidak hidup di dalam tata sosial, politik, ekonomi ataupun 
budaya, yang tidak dapat ia terima secara bebas dan masuk akal 
sebagai manusia yang bermartabat. Setiap orang berhak untuk berkata 
”tidak” atas sistem moral ataupun aturan yang ditimpakan kepadanya. 
Ini hanya mungkin, karena setiap orang memiliki kebebasan untuk 
mempertanyakan keabsahan atau justifi kasi (Rechtfertigungsforderung) 
dari hukum-hukum maupun tata moral-politik yang dikenakan 
kepadanya.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti ”Mengapa hukum 
semacam ini yang diberlakukan?”, atau ”Mengapa saya harus menjalani 
prosedur semacam ini?”, adalah pertanyaan-pertanyaan terkait dengan 
pendasaran, atau justifi kasi. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam 
ini, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan. Yang pertama 
adalah kebutuhan akan penjelasan. Yang kedua adalah kebutuhan atas 
pendasaran moral dan keadilan dari kebijakan ataupun hukum yang 
harus saya patuhi. Jika dua hal itu tak terpenuhi, maka saya punya hak 
untuk menolak hukum ataupun kebijakan tersebut. Saya juga punya 
hak untuk memperoleh ganti rugi dari pelanggaran martabat yang 
telah terjadi pada diri saya.
Di dalam buku ini, Forst juga menjabarkan pandangan beberapa 
fi lsuf terkait dengan moralitas sebagai akal budi praktis. Forst hendak 
melihat moralitas sebagai prinsip yang memandu kehidupan praktis 
manusia di bidang hukum, politik dan ekonomi. Satu prinsip dasar 
yang penting disini adalah, bahwa setiap orang harus bisa memberikan 
pertanggungjawaban atas tindakannya. Pertanggungjawaban ini 
haruslah bisa dimengerti serta dianggap bermutu oleh orang-orang 
lainnya yang mungkin tidak memiliki sudut pandang yang sama 
dengannya.
Forst di titik ini berada di dalam tradisi pemikiran Kant dan 
Habermas, bahwa moralitas adalah bagian dari penentuan diri 
ma nusia (Selbstbestimmung). Dengan kata lain, moralitas adalah 
otonom. Ia lahir dari kebebasan dan akal budi manusia, serta juga 
bisa dimengerti oleh orang-orang lainnya. Seperangkat aturan moral 
yang tidak lahir dari kebebasan dan akal budi manusia tidaklah 
layak disebut sebagai moralitas. Itu hanya penindasan atas martabat 
manusia yang menggunakan selubung-selubung luhur untuk menutupi 
kebusukannya.
Sebagai bagian dari otonomi manusia, moralitas juga harus bisa 
dipertanggungjawabkan secara timbal balik di depan orang-orang 
lainnya. Dengan kata lain, menurut Forst, moralitas juga harus memiliki 
aspek intersubyektivitas dan diskursif. Jika moralitas memiliki dua 
aspek ini, maka tidak ada alasan apapun bagi orang untuk tidak 
menerapkannya secara praktis di dalam hidup sehari-hari.
Untuk bisa mempertanggungjawabkan tindakannya, orang 
mem butuhkan kemampuan untuk merefleksikan tindakannya 
(Besinnungsfähigkeit). Ia juga harus memiliki kemampuan untuk 
meng ambil sudut pandang orang lain yang berbeda darinya 
(Perspektiveübernahme). Dua kemampuan ini tidak datang begitu saja, 
te tapi harus dikembangkan di dalam berbagai konteks, baik pendidikan di keluarga maupun di sekolah dan masyarakat. Dengan kemampuan 
ini, orang lalu bisa menjadi pembuat keputusan yang bijak. Ia bisa 
mempertimbangkan berbagai kemungkinan, lalu membuat keputusan 
yang paling cocok untuk keadaan yang dihadapinya. Ia juga bisa 
menolak sebuah keputusan yang ditimpakan kepadanya tanpa dasar 
yang masuk akal. Hak untuk memperoleh pendasaran atau justifi kasi 
juga berarti hak untuk berkata tidak.
Di sisi lain, kita juga mesti menghormati hak orang lain untuk 
berkata tidak. Hak untuk justifi kasi tidak hanya berarti, bahwa kita 
punya hak untuk meminta penjelasan dan pendasaran, namun  orang 
lain juga bisa menuntut penjelasan dan pendasaran pada kita. Ketika 
penjelasan dan pendasaran tersebut tidak diterima, maka orang lain 
juga bisa berkata tidak kepada kita. Inilah aspek timbal balik dari hak 
untuk justifi kasi.
Keadilan Transnasional
Lebih jauh, Forst juga berbicara tentang konsep keadilan trans￾nasional. Ia menyebutnya sebagai Teori Kritis Keadilan Transnasional 
(kritische Theorie transnationaler Gerechtigkeit). Para pemikir keadilan 
transnasional mencoba merumuskan teori keadilan yang berpijak pada 
fakta, bahwa semua negara saling terkait di era globalisasi sekarang 
ini. Peristiwa yang menimpa satu negara memberikan pengaruh 
kepada semua negara lainnya. Oleh karena itu, dunia internasional 
membutuhkan kerja sama yang semakin erat, guna mengatasi beragam 
permasalahan yang ada di berbagai belahan dunia secara bersama￾sama.
Forst mencoba untuk menanggapi pandangan semacam ini. 
Baginya, masalah global utama sekarang ini adalah masalah kekuasaan. 
Oleh karena itu, analisis harus dimulai dengan menelaah berbagai 
hubungan kekuasaan yang terjadi, yang menciptakan ketidakadilan 
struktural di berbagai belahan dunia. Ketidakadilan struktural yang lahir dari hubungan-hubungan kekuasaan yang tidak setara ini menjadi 
penghalang utama bagi terciptanya tata politik global yang memberikan 
keadilan dan kemakmuran. Kata ”kekuasaan” menjadi kata kunci 
disini. Bagi Forst, teori keadilan harus pertama-tama berbicara soal 
kekuasaan. Gaya berpikir semacam ini adalah gaya berpikir khas Teori 
Kritis Mazhab Frankfurt.
Keadilan transnasional hanya dapat dicapai, jika beragam kekuasaan 
yang ada tunduk pada hak untuk justifi kasi. Artinya, kekuasaan 
tersebut dapat dijelaskan secara masuk akal kepada semua pihak. 
Kekuasaan tersebut harus tunduk pada pendasaran yang masuk akal 
yang bersifat timbal balik. Hal ini bisa dituntut dengan argumen dasar, 
bahwa hak untuk justifi kasi adalah hak mutlak yang harus dipenuhi, 
ketika sebuah kebijakan atau hukum akan diberlakukan.
Di dalam kondisi ideal, ini tentunya bisa diterima. Namun di 
dalam politik sehari-hari, kita tidak bisa memaksa sebuah negara untuk 
memberikan pendasaran yang masuk akal atas tindakan-tindakannya, 
terutama jika negara tersebut memiliki kekuasaan yang besar di tingkat 
internasional. Siapa yang berani menentang Amerika Serikat, ketika ia 
menyerang Irak berdasarkan alasan palsu? Di titik ini, pola hubungan 
kekuasaan yang tidak adil menjadi penghalang utama.
Relevansi dan Tanggapan
Pemikiran Forst tentang justifi kasi bisa digunakan untuk memahami 
akar masalah di Papua sekarang ini. Masyarakat Papua kerap tidak 
diikutsertakan di dalam beragam pembuatan keputusan yang terkait 
dengan dirinya. Masalah Freeport hanyalah puncak gunung es dari 
beragam masalah lainnya, mulai dari korupsi, penipuan, peminggiran, 
diskriminasi, rasisme sampai dengan penyebaran penyakit mematikan. 
Semua masalah ini dapat diselesaikan, jika masyarakat Papua diberikan 
hak untuk menuntut penjelasan yang masuk akal, dan bahkan 
menolak, dari segala kebijakan yang ditimpakan kepadanya. Merekaperlu diikutsertakan secara aktif di dalam berbagai proses pembuatan 
keputusan yang nantinya akan mempengaruhi hidup mereka, baik 
secara langsung ataupun tidak.
Teori Forst juga penting untuk melakukan kritik terhadap beragam 
kebijakan di tingkat nasional maupun internasional yang tertutup dari 
mata masyarakat luas. Kebijakan yang dibuat di dalam kerahasiaan 
semacam ini disebut juga sebagai kebijakan pintu belakang. Perjanjian 
rahasia antara Amerika Serikat dan para pemberontak teroristik di 
Suriah dan Irak adalah salah satu dari kebijakan pintu belakang 
tersebut. Kebijakan semacam ini merugikan banyak pihak, dan bahkan 
menimbulkan perang berkepanjangan, seperti yang terjadi di Timur 
Tengah sekarang ini. Hak atas justifi kasi, sebagaimana dirumuskan oleh 
Forst, memaksa kebijakan tersebut untuk dibuka kepada masyarakat 
luas, dan dijelaskan dengan pendasaran-pendasaran yang masuk 
akal. Kebijakan tersebut juga bisa ditolak, ketika ia tidak memiliki 
pendasaran yang cukup kokoh.
Namun, pola hubungan yang berpijak pada penjelasan dan pen￾dasaran yang masuk akal ini mengandaikan keberadaan sebuah 
budaya tertentu, yakni budaya berpikir rasional dan argumentatif. Ini 
tentunya tidak datang dengan sendirinya. Di negara dengan budaya 
berpikir rasional dan argumentatif yang masih rendah, hak untuk 
justifi kasi semacam ini sulit untuk dipenuhi. Diperlukan sebuah sistem 
tertentu yang menopang hidup bersama kita, sehingga memungkinkan 
kemampuan kita untuk berpikir secara bebas, masuk akal dan 
argumentatif bisa berkembang.
Pandangan ini juga bertentangan langsung dengan kenyataan 
hidup manusia. Manusia tidak pernah sepenuhnya ditentukan oleh 
akal sehatnya. Ada hal-hal lain yang membuat mengingkari akal 
sehatnya, dan bahkan melampauinya sama sekali. Ini yang kiranya 
kurang menjadi pertimbangan dari para pemikir Teori Kritis di Jerman. 
Apa gunanya membuat teori yang sistematis, rasional dan kritis, namun  
bertentangan dengan kenyataan dasar hidup manusia yang memiliki 
banyak dimensi?

Ada satu band yang cukup menarik dari negara kita. Nama bandnya 
adalah Kuburan. Mereka punya satu lagu yang cukup terkenal 
di negara kita. Judulnya ”Lupa”.
Syairnya menarik perhatian saya. Begini bunyinya: ”lupa..lupa..
lupa… lupa lagi syairnya. Ingat… ingat.. ingat cuma kuncinya.” 
Bagaimana mungkin seorang musisi menyanyi lagu ciptaannya sendiri, 
namun  lupa syairnya? Mungkin, ini mirip seperti keadaan kita sekarang 
ini. Kita manusia, namun  lupa, apa artinya menjadi manusia.
Kita bekerja. Kita belajar. Kita bercinta. Kita berkeluarga. Namun, 
semuanya itu terjadi secara begitu saja, seringkali tanpa kesadaran, 
karena kita hanya mengikuti apa yang diinginkan oleh masyarakat 
dan keluarga kita. Kita lebih mirip robot, dan kehilangan kesadaran 
kita sebagai manusia.
Kelupaan Kita
Martin Heidegger, fi lsuf Jerman di awal abad 20, menyebut 
keadaan ini sebagai ”kelupaan akan ada” (Seinsvergessenheit). Orang 
sibuk mencari dan melakukan apa yang tidak penting, dan pada waktu 
yang sama, mereka lupa akan inti yang terpenting dari segala sesuatu. 
Di dalam tradisi Buddhisme, ini juga disebut