Rabu, 22 November 2023
manusia 2
November 22, 2023
manusia 2
disebut sebagai keadaan ”tidak
melihat” (avidya). Orang hidup dengan segala kesibukannya, tetapi
tidak melihat apa yang sungguh penting, dan juga melupakan inti dari
segala sesuatu.
Di dalam tradisi fi lsafat Yunani Kuno, Plato juga melihat keadaan
yang sama. Ketika manusia lahir, ia melupakan segala pengetahuan
yang ia punya, lalu harus mulai belajar segalanya dari awal lagi.
Pendidikan, bagi Plato, adalah proses mengingat kembali (anamnesis) apa yang sudah diketahui sebelumnya, namun terlupakan. Sumber
dari pengetahuan itu adalah Dunia Ide, tempat model dan eseni dari
segala sesuatu berada.
Saya juga melihat gejala yang sama. Jade Small menyebut kelupaan
sebagai ciri utama dari manusia modern. Ia terjadi di semua tindakan
manusia, baik secara pribadi, kolektif, kultural dan politis. MoÄ´ o
berikut ini mungkin bisa memberikan penjelasan: aku lupa, maka aku
ada (oblivisco ergo sum).
Kelupaan Multidimensional
Small juga menjelaskan, bahwa kelupaan ini terjadi di dua tingkat.
Yang pertama adalah, kita lupa akan tempat kita dalam hubungan
dengan alam di dunia ini. Kita lebih nyaman hidup dalam kurungan
beton dan semen, daripada berhubungan langsung dengan hewan dan
tumbuhan yang justru menjadi sumber kehidupan kita. Karena merasa
terasing dari alam, kita pun mulai melihat alam sebagai obyek untuk
kepentingan kita semata, dan akhirnya justru menghancurkannya
dengan kerakusan dan kebodohan kita.
Ketika alam hancur, anak cucu kita di masa depan juga akan hidup
dengan alam yang sudah rusak, akibat perbuatan kita. Artinya, kita
juga melupakan tanggung jawab kita pada masa depan, yakni pada
kehidupan anak cucu kita. Dengan hidup dalam keadaan lupa semacam
ini, kita lupa akan keterhubungan diri kita dengan segala yang ada,
dan akhirnya menderita di dalam kesepian hati.
Kita pun menolak untuk menyadari kelupaan kita. Sebaliknya, kita
justru terjebak dalam hidup yang hanya berfokus pada kenikmatan
sesaat semata. Kita sibuk menimbun barang, guna menutupi kekosongan
hati kita, akibat kesepian dan keterputusan hubungan dengan alam.
Hidup kita pun hanya berfokus pada pencarian uang semata, guna
memenuhi keinginan kita akan kenikmatan sesaat semata.Yang pertama dan terutama adalah, kita lupa akan tempat kita
di alam ini. Kita tidak lagi mengerti, bagaimana hidup sejalan dan
seimbang dengan alam. Kita justru melihat alam sebagai benda
semata yang bisa digunakan, lalu dibuang, setelah habis terpakai.
Kita lupa, bagaimana cara melihat dan memahami tanda-tanda alam,
dan kehilangan hubungan dekat dengan tumbuhan dan hewan yang
menjadi sumber bagi kehidupan kita.
Kita juga menyepelekan ajaran nenek moyang kita. Kita lupa
akan kebijaksanaan para leluhur kita. Mereka memang tidak punya
teknologi tinggi. Namun, selama ribuan tahun, mereka hidup dalam
hubungan yang dekat dan seimbang dengan alam. Dan itu, menurut
saya, jauh lebih berharga, daripada teknologi tinggi, seperti yang kita
punya sekarang ini.
Di sisi lain, kita juga lupa akan tujuan hidup kita yang sejati. Kita
hidup dalam suasana banjir informasi yang mengaburkan kejernihan
pikiran kita. Kita sibuk mencari uang dan nama baik, sehingga lupa,
mengapa dua hal itu penting bagi kita. Kita bahkan lupa dengan jati
diri sejati kita, dan hidup justru hanya untuk mengikuti apa kata orang.
Dengan kelupaan ini, kita pun lalu hidup dalam penderitaan batin.
Uang boleh banyak. Orang juga bisa memiliki nama besar. Namun,
banyak diantara mereka justru amat menderita secara batiniah.
Mereka hidup dalam penjajahan masyarakat. Mereka juga
diperbudak oleh ambisi mereka sendiri. Mereka lupa, bahwa manusia
itu sejatinya bebas. Keterjajahan oleh aturan-aturan masyarakat dan
oleh ambisi pribadilah yang membuat manusia menderita, dan akhirnya
bertindak jahat pada orang lain.
Kita juga melupakan pelajaran dari sejarah kita sendiri. Kita
mengulangi kesalahan yang sama berkali-kali. Konfl ik dan perang
berulang dengan pola yang sama. Hanya pelakunya yang berbeda.
Dan yang terlebih menyedihkan, kita lupa, bagaimana caranya
untuk hidup sederhana dan bermakna. Kita mempersulit segala
sesuatu dengan ambisi pribadi kita. Kita menimbun harta untuk mencari kebahagiaan, walaupun tetap kecewa di akhir perjalanan.
Hidup sederhana berarti menyingkirkan segala hal yang tidak sungguh
diperlukan, dan mencoba untuk fokus pada apa yang sungguh penting
di dalam hidup ini.
Banyak orang lupa, karena mereka tidak tahu. Akar dari lupa adalah
ketidaktahuan. Ini dengan mudah dilampaui, jika kita mau sedikit
melihat dengan jeli segala hal yang ada di dalam hidup ini. Melihat
sebenarnya tindakan yang amat sederhana dan membahagiakan.
Namun, banyak orang lupa dengan hal ini, karena matanya tertutup
oleh ambisi pribadi dan ketakutan yang dibuatnya sendiri.
Mau sampai kapan?
Eckhart Tolle menulis buku berjudul Jeĵ t, die Kraft der Gegenwart pada
2010 lalu. Tolle mengajak kita untuk kembali ke ”saat ini”, yakni
sepenuhnya berada pada momen, dimana kita ada sekarang. Di dalam
”saat ini”, kita akan menemukan kebahagiaan, kebenaran, cinta,
kedamaian, Tuhan, kebebasan. Di ”saat ini”, kita akan menemukan
semua tujuan hidup kita. Ketika orang meninggalkan ”saat ini”, maka
ia masuk kembali ke dalam lingkaran penderitaan, kecemasan dan
ketakutan dalam hidupnya.
Jika kita berpikir secara jernih, kita akan sadar, bahwa yang ada
hanyalah saat ini. Tidak ada masa lalu dan tidak ada masa depan.
Masa lalu hanya merupakan kenangan. Masa depan hanya merupakan
harapan. Keduanya tidak nyata.
Masa lalu memberikan identitas pada diri kita. Masa depan
memberikan janji tentang hidup yang lebih baik. Namun, jika
dipikirkan secara jernih dan mendalam, keduanya tidak ada. Keduanya
adalah ilusi.
Banyak orang mengira, bahwa waktu adalah uang. Mereka juga
mengira, bahwa waktu adalah hal yang amat berharga. Namun,
sejatinya, waktu adalah ilusi. Ia tidak memiliki nilai pada dirinya
sendiri.
Ya ng justru amat berharga, menurut Tolle, adaah ”saat ini”.
”Saat ini” adalah suatu keadaan yang lepas dari waktu. Ketika kita
memikirkan waktu, berarti juga memikirkan masa lalu dan masa
depan, kita akan kehilangan ”saat ini”. Kita akan kehilangan sesuatu
yang amat berharga.
Banyak orang juga mengira, bahwa sukses itu ada di masa depan.
Jika kita belajar dan bekerja keras saat ini, maka kita akan sukses di masa depan. Kita akan bahagia di masa depan. Ini adalah pikiran yang
salah. Ini hanya menciptakan kecemasan dan penderitaan hidup.
Sukses hidup yang sejati adalah dengan menyadari ”saat ini”.
Kebahagiaan hidup yang tak akan goyah adalah dengan menyadari
”saat ini”. Orang yang kehilangan ”saat ini” akan kembali masuk ke
dalam kecemasan dan penderitaan hidup. Padahal, yang ada sejatinya
hanyalah ”saat ini”. Yang lain hanya ilusi.
Orang yang pikirannya dilempar antara masa lalu dan masa depan
tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati. Sayangnya,
banyak orang hidup dengan pola semacam ini. Hampir setiap detik,
pikiran mereka dibuat cemas oleh apa yang telah terjadi. Mereka juga
terus memutar otak untuk merencanakan masa depan.
Mereka hidup dalam tegangan. Stress dan depresi pun akhirnya
menimpa mereka. Namun, ketika mereka melepaskan keterikatan pada
masa lalu dan masa depan, mereka lalu bisa kembali ke ”saat ini”. Lalu,
mereka akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan yang sejati.
Dengan hati yang damai dan bahagia, mereka bisa memberikan cinta
dan perhatian kepada orang lain melalui tindakannya.
Berada ”disini” juga amatlah penting. Ketika kita berada di satu
tempat, kita harus berusaha untuk berada di tempat itu sepenuhnya.
Namun, seringkali, karena berbagai alasan, kita tidak suka pada tempat
kita berada. Ada tiga pilihan: pindah tempat, ubah situasi yang ada
semampunya, atau tinggalkan tempat itu. Mudah bukan?
Berada ”disini” berarti juga berada di ”saat ini”. Ini membutuhkan
pene rimaan atas apa yang ada sekarang ini. Apakah menerima berari
pasrah dan menyerah pada keadaan? Apakah berarti kita menjadi
pengecut?
Ketika kita menerima keadaan sepenuhnya, segala pikiran cemas
dan takut lenyap. Kita lalu bisa tenang dan damai mengalami apa
yang terjadi. Pada titik ini, kesadaran kita akan meningkat. Kita akan
memiliki pikiran jernih untuk menanggapi apa pun yang terjadi.Pikiran menciptakan analisis dan pemahaman. Namun, keduanya
kerap berujung pada ketakutan dan kecemasan. Ketika orang hidup
”disini dan saat ini”, pikiran lenyap. Kesadaran pun muncul dan
berkembang, guna menanggapi secara tepat dan jernih apa yang sedang
terjadi.
Kekuatan terbesar manusia, menurut Tolle, adalah kesadarannya.
Orang bisa melakukan apapun secara tepat sesuai dengan keadaan yang
ada, ketika ia mampu menggunakan kesadarannya secara penuh. Jadi,
rumusnya adalah: terima keadaan yang ada, lalu bertindak! Kesadaran
bisa digunakan, jika orang hidup di ”saat ini”. Ia lalu bisa hidup
dengan perasaan mengalir yang penuh kedamaian dan kebahagiaan,
walaupun banyak tantangan menghadang.
Kehidupan adalah sebuah jaringan. Tidak ada satu hal pun di
alam semesta ini yang berada sendirian. Semuanya saling terhubung
satu sama lain, tanpa bisa dipisahkan. Perasaan kesepian dan sendiri
hanyalah ilusi, karena sejatinya, kita tak pernah sendirian.
Segala masalah yang datang juga adalah bagian dari jaringan
kehidupan ini. Semuanya berguna dan berharga, asal ditanggapi tidak
melulu dengan pikiran yang analitis, tetapi juga dengan kesadaran.
Pikiran untuk menganalisis digunakan seperlunya saja. Sisanya, orang
perlu hidup dengan menggunakan kesadarannya.
Pikiran itu memisahkan. Ia menganalisis dan memberi penilaian
baik-buruk, benar-salah, dan sebagainya. Ia adalah alat yang berguna.
Namun, jika orang hidup hanya dengan menganalisis dan memisahkan,
ia akan terus menderita dalam hidupnya.
Pikiran (Gedanken) adalah bagian dari kesadaran (Bewusstsein).
Kesadaran lebih besar dari pikiran. Di dalam kesadaran, orang berhenti
untuk menganalisis dan memisahkan. Ia hanya ada ”disini dan saat
ini” dalam hubungan dengan segala sesuatu yang ada.
Orang yang bisa menemukan dan menggunakan kesadarannya
tidak akan pernah merasa takut. Ia hidup tanpa penilaian baik-buruk,
benar-salah dan enak-tidak enak. Ia melihat dan menerima apa yang
ada ”saat ini” sepenuhnya. Ia lalu menemukan kekuatan dan kedamaian
hati untuk bertindak sesuai dengan keadaan yang ada.
Orang yang hidup di ”saat ini” tidak akan pernah merasa susah. Ia
akan sadar, bahwa hidup tidaklah perlu terlalu ngotot. Ia sadar akan
aspek santai dan lucu dari kehidupan. Bahkan, ia bisa sengaja merasa
sedih, supaya bisa menikmati kesedihan itu.
Ia juga sadar, bahwa kebahagiaan dan cinta yang sejati tidak
bisa dicari di luar sana. Keduanya ada di dalam hati manusia. Cinta
bukanlah perasaan, melainkan cara hidup ”saat ini”. Ia selalu ada.
Tinggal kita saja yang mencoba meraihnya.
Cinta dan kebahagiaan tidak pernah bisa hilang. Tidak ada yang
bisa mengambilnya, karena ia ada di dalam hati setiap manusia.
Ketika orang hidup ”saat ini”, maka otomatis cinta dan kebahagiaan
akan muncul. Kesadaran akan ”saat ini” juga menghasilkan cinta dan
kejernihan pikiran dalam hidup.
Penderitaan, kecemasan dan ketakutan akan muncul, ketika orang
meninggalkan ”saat ini”. Ketika orang mengira, bahwa masa lalu dan
masa depan adalah nyata, maka ia akan terjebak di dalam penderitaan.
Pikirannya sibuk. Ia akan menganalisis, memisahkan dan menilai. Ini
menciptakan penderitaan.
Pikiran menciptakan penilaian. Penilaian lalu melahirkan keluhan
atau pujian. Keduanya sama saja, karena keduanya tidak berakar pada
”saat ini”. Keduanya lahir dari penolakan pada ”saat ini”. Ketika
keadaan menjadi sulit, ada tiga hal, entah ubah situasinya, terima atau
tinggalkan. Mengeluh adalah tindakan sia-sia.
Kita harus belajar untuk hidup tanpa pikiran. Kita harus belajar
untuk menunda semua analisis dan penilaian kita. Pikiran, analisis dan
penilaian hanya digunakan seperlunya saja untuk keperluan praktis,
misalnya memasak, bekerja, dan sebagainya. Ketika pikiran ditunda,
yang muncul adalah kesadaran. Kesadaran adalah ”saat ini”, yakni
sumber dari segala kedamaian dan kebahagiaan manusiaMasa lalu dan masa depan hanyalah alat yang bersifat sementara.
Kita perlu masa lalu, supaya kita bisa belajar dari apa yang telah terjadi.
Kita juga perlu masa depan, supaya kita bisa membuat rencana kerja
dan rencana hidup yang tepat. Namun, keduanya perlu ditinggalkan,
ketika kita tidak lagi memerlukannya. Kita bisa meninggalkannya
dengan memasuki kesadaran kita, yakni ”saat ini”.
Sejatinya, kita adalah manusia. Kita bukanlah mahluk pekerja atau
mahluk berpikir. Bekerja dan berpikir hanya merupakan bagian dari
diri kita. Kesadaran kita sebagai manusia lebih luas dan lebih besar
daripada pekerjaan dan pikiran kita.
Banyak orang hidup hanya untuk bekerja dan berpikir. Mereka
bekerja terlalu banyak. Mereka berpikir terlalu banyak. Kesadaran
mereka tidak tersentuh. Mereka pun lalu hidup dalam penderitaan.
Kita juga senang sekali dengan defi nisi. Kita ingin memberi nama
pada segala sesuatu. Memberi nama, menurut Tolle, juga berarti
mengurung sesuatu itu. Memberi nama berarti juga membangun
penjara.
Di dalam defi nisi, kita juga memberi penilaian. Kita berpikir,
bahwa orang itu baik. Orang itu jahat. Hidup kita pun dipenuhi dengan
defi nisi dan penilaian. Kita tidak akan pernah bahagia dengan cara
hidup semacam ini.
Kita perlu belajar untuk menunda semua defi nisi dan penilaian.
Kita perlu belajar untuk membiarkan apa adanya, tanpa defi nisi
dan penilaian. Kita tidak perlu takut. Sebaliknya, tanpa defi nisi dan
penilaian, hidup kita akan damai dan bahagia. Bukankah ini yang
diinginkan semua orang?
Lalu, bagaimana jika ada orang yang sibuk menilai hidup kita?
Bagaimana jika ada orang yang mendefi nisikan kita melulu dengan
pikiran mereka? Kita tidak perlu takut. Kita bisa menanggapi, jika
diperlukan. Jika tidak, kita bisa membiarkan saja.
Orang yang menilai kita membangun penjara dalam pikiran
mereka. Mereka membatasi pikiran mereka sendiri. Mereka tidak akan
bisa menemukan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka kehilangan ”saat
ini”. Mereka juga kehilangan kesadaran dirinya.
Dalam hubungan dengan orang lain, kita juga perlu sadar akan
”saat ini”. Dengan ini, kita bisa hadir sepenuhnya untuk orang lain. Kita
bisa memberikan diri kita seutuhnya untuk membantu dia. Ketika kita
kehilangan ”saat ini”, hubungan kita dengan orang lain pun dipenuhi
dengan ingatan akan masa lalu serta kecemasan akan masa datang. Ini
bisa merusak hubungan kita dengan orang itu.
Banyak orang sibuk mencari kebahagiaan di luar dirinya. Mereka
berpikir, uang, harta dan nama baik bisa memberikan kebahagiaan.
Namun, pikiran ini salah. Ia hanya menghasilkan penderitaan.
Sejatinya, menurut Tolle, setiap orang sudah penuh dan bahagia di
dalam dirinya. Yang ia perlukan hanyalah kesadaran akan ”saat ini”.
”Saat ini” akan menghasilkan kesadaran. Orang yang hidup melulu
dengan pikirannya akan kehilangan kesadarannya. Ia akan hidup dalam
kecemasan, ketakutan dan penderitaan.
Kita bukanlah pikiran kita. Kita bukanlah kecemasan dan ketakutan
yang dihasilkan pikiran kita. Pikiran kita sementara. Ia akan segera
berlalu.
Kita adalah kesadaran kita. Itu lebih besar dan lebih agung dari
pikiran yang kita punya. Kesadaran kita memberikan kedamaian. Ia
memberikan cinta. Ia tidak menilai dan mendefi nisikan. Ia membiarkan
segalanya ada dengan ketulusan hati.
Orang yang bisa menunda semua pikirannya akan mencapai
pencerahan batin. Pencerahan batin berarti orang sudah paham akan
hakekat dari segala yang ada, termasuk hakekat dari dirinya sendiri.
Hakekat dari segala yang ada, menurut Tolle, adalah kesadaran. Kesadaran itu merawat dan membangun. Ia tidak menilai dan memisahkan.
Orang yang hidup dengan kesadarannya berarti hidup dalam
keterhubungan dengan alam semesta. Ia terhubung dengan manusia
lain. Ia terhubung dengan semua hewan. Ia terhubung dengan semua
tumbuhan. Ia terhubung dengan semua benda yang ada.
Ia menggunakan pikirannya hanya pada saat-saat tertentu saja.
Ia tidak melihat dirinya sama dengan pikirannya. Ia melihat dirinya
lebih besar dari pikirannya. Ia akan mampu hidup dalam aliran yang
alamiah dalam hubungan dengan orang lain.
Pikiran membuat orang tak mampu mencintai sepenuhnya.
Sebaliknya, kesadaran ”saat ini” sejatinya adalah cinta tanpa syarat.
Ia memberikan tanpa mengharap apapun. Ia tidak mengikat dan
memenjara, melainkan merawat dan membiarkan berkembang.
Dengan kesadarannya akan ”saat ini”, orang bisa hidup secara
alamiah. Artinya, ia tidak melawan kehidupan, melainkan mengalir
bersama kehidupan itu sendiri. Ia tidak sibuk menilai, apakah sesuatu
itu baik atau buruk, benar atau salah. Jika orang sampai pada kesadaran
akan ”saat ini”, tidak ada tegangan dan penderitaan lagi dalam
hidupnya.
Apapun yang kita lawan pasti akan menguat. Apapun yang kita
tentang dan tolak justru semakin menguasai kita. Sebaliknya, jika
kita membiarkan segala sesuatu ada secara alamiah, justru kita akan
tidak akan mengalami tegangan dan pertentangan. Jika kita tidak
menolak apapun, maka kita akan bisa mencapai kejernihan pikiran
dan kedamaian hati.
Kita juga sering melihat orang-orang yang suka menjajah orang
lain. Mereka ingin dipatuhi. Mereka kerap sekali bersembunyi di balik
agama. Mereka juga suka memanfaatkan orang lain, guna memuaskan
diri mereka.
Menurut Tolle, orang-orang semacam ini hidup dalam penderitaan
yang besar. Mereka lemah dan menderita, maka mereka menindas
orang lain. Harapannya, dengan menindas orang lain, penderitaan
mereka berkurang. Namun, ini tak akan pernah terjadi.
Banyak juga orang yang mengalami kecanduan. Mereka kecanduan
narkoba, alkohol, seks, belanja dan sebagainya. Mereka seolah tidak
dapat hidup, jika tidak memuaskan kecanduannya. Kecanduan berakar
pada pen deritaan dan berakhir pada penderitaan juga, jika dipuaskan.
Akar dari kecanduan adalah ketidakmampuan untuk hidup di
”saat ini”. Orang menjadi kecanduan untuk mengobati luka, akibat
masa lalunya. Orang menjadi kecanduan, karena ia cemas akan masa
depannya. Ketika ia melepaskan masa lalu dan masa depannya, ia lalu
bisa memasuki kesadaran akan ”saat ini”. Di detik itu, kecanduannya
hilang.
Banyak orang juga mencari Tuhan di luar dirinya. Ini salah. Tuhan
ada di dalam hati setiap orang. Tuhan ada di dalam kesadaran setiap
orang. Tuhan ada di ”saat ini”.
Segala ritual dan aturan agama hanya ada untuk membantu kita
menemukan Tuhan di dalam hati kita. Itu semua hanya alat. Ia tidak
boleh menjadi tujuan utama. Di dalam kesadaran akan ”saat ini”, kita
akan menemukan surga, nirvana, Tuhan dan kebahagiaan yang sejati.
Ketika kita sadar sepenuhnya akan ”saat ini”, kita akan berhenti
berpikir. Kita berhenti menilai. Kita berhenti cemas akan masa lalu dan
masa depan. Kita akan sepenuhnya sadar.
Pada keadaan itu, kita akan menjadi cinta itu sendiri. Cinta sejati
itu seperti matahari. Ia bersinar untuk semua, tanpa kecuali. Cinta yang
sejati diberikan untuk semua, tanpa kecuali.
Cinta yang sejati dapat diperoleh, jika orang hidup di ”saat ini”.
Cinta sejati berakar pada kesadaran. Ia tidak dapat hilang. Ia tidak
dapat diambil.
Orang yang hidup di ”saat ini” berarti hidup secara asli. Ia tidak
memiliki kepura-puraan. Ia tidak memiliki kemunafi kan. Ia tidak takut
akan penilaian dan defi nisi dari orang lain. Ia sepenuhnya bebas dan
damai. Lalu, ia bisa memberikan kedamaian dan cinta pada orang lain
dengan tulus.
Banyak orang juga berusaha mencari kebahagiaan. Namun, sejatinya,
kebahagiaan tidak bisa dicari. Orang yang mencari kebahagiaan justru
tidak akan pernah menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya
muncul, jika orang hidup dengan kesadaran akan ”saat ini”. Kesadaran
ini sudah ada di dalam diri manusia. Ia tidak akan bisa hancur, atau
diambil orang lain.
Dunia adalah cerminan dari kesadaran. Sejatinya, tidak ada
perbedaan antara kesadaran dan dunia. Keduanya adalah satu dan
sama. Pikiran dan bahasa yang memisahkan keduanya.
Namun, banyak orang lupa dengan kesadarannya. Mereka
sibuk dengan pikirannya. Mereka sibuk menganalisis, menebak,
merencanakan dan mengkhawatirkan segalanya. Ketika pikiran ditunda
dan dihentikan, kesadaran muncul, yakni kesadaran ”saat ini”. Jika
kesadaran dicapai, maka dunia tidak lagi memiliki masalah dan
penderitaan.
Lalu, apakan pikiran harus dibuang? Apakah kita harus berhenti
berpikir? Berhenti berpikir, menurut Tolle, tidaklah mungkin dilakukan.
Berpikir adalah bagian dari kodrat manusia.
Namun, pikiran tidak boleh menguasai manusia. Manusia adalah
kesadarannya. Ini lebih luas dari pikiran. Pikiran digunakan seperlunya
saja untuk memenuhi kebutuhan praktis. Selebihnya, orang perlu
belajar untuk hidup dengan kesadaran akan ”saat ini”. Ia lalu akan
menemukan kebebasan yang sejati.
Sekarang ini, kita, sebagai manusia, harus mengubah cara hidup
kita. Kita harus melakukan revolusi hidup! Kita harus belajar untuk
menjaga jarak dari pikiran kita. Kita lalu harus belajar untuk hidup
dengan kesadaran akan ”saat ini” di dalam diri kita. Hanya dengan
ini, kita bisa hidup dalam hubungan yang damai dengan segala hal
yang ada. Alternatifnya adalah kehancuran.Siapa yang tidak kenal BMW? Atau VW, Volkswagen? Siapa juga
yang tidak pernah mendengar merk mobil Audi? Ini adalah merkmerk mobil Jerman yang sudah memiliki reputasi internasional.
Mobil-mobil Jerman memang terkenal karena tiga hal, yakni
kualitas, prestise dan harganya yang mahal. Perusahaan-perusahaan
mobil di Jerman, mulai dari tingkat perakitan struktur kaki mobil
sampai dengan direktur utama, memang amat menekankan ketepatan,
guna menghasilkan mobil bermutu tinggi. Namun, mereka juga
tidak kebal terhadap iklim persaingan ekonomi global, terutama dari
AS, Jepang dan Cina. Dalam banyak hal, perusahaan-perusahaan
mobil Jerman pun harus melakukan kompromi, bahkan seringkali
menurunkan kualitas, supaya bisa menjual dengan harga yang lebih
murah.
Jerman dan Mobilnya
Ekonomi Jerman hancur total setelah perang dunia kedua. Pada
1945, politik Jerman juga lumpuh total. Orang-orang Jerman bisa
hidup, karena semata menerima bantuan dari tentara Sekutu (Inggris,
AS, Prancis dan Uni Soviet). Kebangkitan ekonomi Jerman ditandai
dengan berkembangya Volkswagen sebagai salah satu produsen mobil
bermutu di dunia. Jenis mobil yang paling terkenal pada dekade 1950-
an di dunia adalah VW Kodok (Volkswagen Käff er).
Mobil ini telah menyelamatkan Jerman dari keterpurukan ekonomi
berkelanjutan. Tidak hanya itu, mobil VW kodok juga telah menjadi
ciri khas Jerman setelah perang dunia kedua. Ia menawarkan fungsi
sekaligus prestise bagi penggunanya. Tentu saja, kualitasnya juga tidak
perlu dipertanyakan.
Kebangkitan ekonomi Jerman juga diikuti dengan kebangkitan
berbagai perusahaan mobil lainnya, seperti Audi dan BMW. Pabrikpabrik mobil di Jerman, dan berbagai industri pendukungnya, seperti
industri ban, shock breaker dan sebagainya, menyediakan lapangan kerja
bagi jutaan penduduk Jerman. Banyak tenaga ahli pun didatangkan dari
luar negeri, guna mengem bangkan teknologi di dalam pabrik-pabrik
ini. Pajak yang ditarik dari perusahaan-perusahaan mobil Jerman juga
amat besar.
M engapa Jerman memilih mengembangkan industri mobil setelah
perang dunia kedua? Ada dua hal. Yang pertama, menurut Lars
Döhmann dalam kuliahnya yang berjudul Schlaglichter auf die deutsche
Automobilgeschichte, adalah ketersediaan sarana dan prasarana untuk
industri mobil. Sebelum perang dunia kedua, Jerman sudah berusaha
dengan gigih mengembangkan teknologi untuk produksi mobil massal.
Yang kedua, para politikus Jerman sudah sadar, bahwa di masa
depan, banyak orang akan melakukan mobilitas dengan tingkat
yang semakin sering dan tinggi. Mobilitas adalah gerak perpindahan
manusia, dan mobil adalah alat utama untuk menunjang pergerakan
semacam ini. Motif utamanya sudah jelas, yakni ada uang yang besar di
dalam perkembangan industri mobil. Begitulah pendapat Luĵ Fügener
dalam kuliahnya yang berjudul Automobildesign der Zukunft.
Mobilitas Manusia
Perkiraan para politikus Jerman setelah perang dunia kedua
ternyata benar. Mobilitas memang menjadi fakta nyata dunia sekarang
ini. Pergerakan manusia dari satu tempat ke tempat lainnya terjadi
dalam jumlah yang amat besar setiap harinya. Alat transportasi publik
dan transportasi pribadi dikembangkan sedemikian rupa, sehingga bisa
menunjang pergerakan manusia tersebut.
Jerman adalah salah satu negara yang cukup berhasil mencapai
keseimbangan mobilitas tersebut. Sarana transportasi publik di Jerman,
dengan perpaduan antara kereta bawah tanah, tram, bus umum, taksi,
pesawat terbang dan jaringan kereta api raksasa yang terhubung
dengan hampir semua negara di Eropa, bisa dibilang salah satu yang
termaju di dunia. Di sisi lain, jumlah jalan tol dan pengguna mobil
terus meningkat. Ada sekitar 45 juta mobil yang digunakan di Jerman
sekarang ini. Jumlah penduduk Jerman sendiri sekarang ini sekitar 81
juta penduduk.
Mobilitas juga sudah menjadi fakta nyata di tingkat internasional.
Pergerakan manusia antar negara dan antar benua sudah menjadi fakta
sehari-hari. Berbagai kepentingan ekonomi, politik, seni dan budaya
bergantung pada pergerakan manusia (mobilitas) ini. Perkembangan
industri transportasi dan komunikasi membuat jarak menjadi tak lagi
berarti.
Sahabat saya di Munich tinggal sendiri untuk meneruskan pendidikan Masternya. Ibunya adalah seorang dokter di Inggris. Adiknya
sedang belajar di Amerika Serikat. Sementara, ayahnya kini bekerja
sebagai peneliti neurosains di Australia.
Minimal dua kali dalam setahun, mereka berkumpul. Seringkali,
mereka juga saling mengunjungi satu sama lain. Keluarga ini bergerak
melintasi tiga benua setiap tahunnya. Masih banyak keluarga lain yang
memiliki pola serupa semacam ini.
Perkembangan ekonomi dunia juga amat tergantung pada
mobilitas penduduknya. Dengan mobilitas yang baik, kekayaan pun
bisa bergerak ke berbagai penjuru dunia. Industri pariwisata dan
transportasi berkembang pesat sejalan dengan perkembangan mobilitas
manusia. Jika keseimbangan antara mobilitas dengan menggunakan
alat transportasi pribadi dan transportasi publik bisa dicapai, maka
kemiskinan di berbagai negara bisa secara perlahan dikikis.
Perkembangan mobilitas juga mendorong proses defundamentalisasi.
Artinya, orang menjadi semakin terbuka pandangannya, karena sering
berhubungan dengan orang-orang lainnya dari berbagai penjuru
dunia yang memiliki pandangan berbeda. Orang tidak lagi menjadi
sempit dan fanatik dengan pandangannya sendiri, atau pandangan
kelompoknya. Terorisme yang berpijak pada fundamentalisme banyak
berkembang di tempat-tempat dengan mobilitas penduduk yang kecil.
Mobilitas yang tinggi juga mengubah bentuk masyarakat. Kita
hampir tidak dapat menemukan masyarakan yang homogen sekarang
ini. Seluruh dunia hampir sepenuhnya berubah menjadi ruang
multikultur. Konsep iden titas pun juga mengalami perubahan mendasar
yang akhirnya mendorong juga perubahan cara berpikir dan cara hidup
manusia sebagai keseluruhan.
Tantangan dan Kemungkinan
Saya sendiri berpendapat, bahwa mobilitas manusia bisa semakin
ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya, jika kita tidak lagi berfokus
pada perkembangan mobil sebagai alat transportasi pribadi. Yang
harus menjadi perhatian kita adalah teleportasi, yakni perpindahan
manusia dari satu tempat ke tempat lainnya dalam hitungan detik
dengan memanfaatkan teknologi manipulasi ruang dan waktu yang
menciptakan semacam lubang cacing. Secara teoritik, ini mungkin
dilakukan, walaupun beberapa persamaan matematisnya masih harus
terus dipikirkan. Namun, investasi besar yang dilakukan secara
internasional harus terus dilakukan, supaya teknologi teleportasi bisa
sungguh menjadi kenyataan.
Tentu saja, transportasi publik juga harus dikembangkan. Yang
menjadi masalah dengan transportasi publik dan transportasi pribadi
sekarang ini adalah soal kelestarian lingkungan hidup. Semua
alat transportasi menghasilkan pembakaran yang secara langsung
mencemari udara yang tidak hanya dihirup oleh manusia, tetapi
juga oleh hewan dan tumbuhan. Sudah bukan rahasia lagi, bahwa
perkembangan teknologi (pabrik, transportasi) telah mendorong
perubahan iklim yang mengakibatkan kepunahan berbagai jenis hewan
dan tumbuhan di berbagai belahan dunia.Soal kedua adalah soal energi. Setiap jenis pabrik dan alat transportasi selalu membutuhkan energi. Masyarakat modern bergantung
sepenuhnya pada ketersediaan energi. Namun, elemen penghasil energi
tersebut sebagian besar masih berpijak pada energi tak terbarukan,
seperti minyak bumi dan batu bara. Jika sumber energi ini habis, maka
masyarakat modern, beserta segala perkembangan teknologinya, akan
lumpuh total.
Banyak ahli berusaha mencari cara untuk menghemat energi.
Perusahaan-perusahaan mobil raksasa, seperti Toyota, BMW dan VW,
berlomba-lomba untuk menghasilkan dan menjual mobil yang hemat
energi dengan harga terjangkau. Namun, usaha ini tidak menyelesaikan
masalah. Ada dua alasan.
Yang pertama, jumlah energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan
mesin-mesin hemat energi masih amatlah besar. Jumlah energi yang
dibutuhkan untuk membangun sarana dan prasarana untuk menunjang
mesin hemat energi (atau misalnya mobil listrik) juga masih amat besar.
Yang kedua, jika mobil hemat energi (atau mobil listrik) dijual dengan
harga terjangkau, maka penggunanya semakin banyak. Pada akhirnya,
jumlah total energi yang dibutuhkan dan polusi yang dihasilkan akan
lebih besar dari sebelumnya.
Di sisi lain, pencarian energi terbarukan juga masih terus berjalan.
Perkembangannya amat lambat, karena kurangnya perhatian dan
investasi dalam bidang ini. Lobi-lobi dari perusahaan minyak raksasa
juga menghambat perkembangan di bidang ini. Sampai detik ini,
seluruh peradaban modern di dunia masih bergantung mayoritas pada
minyak bumi, dan berbagai sumber energi tak terbarukan lainnya.
Perubahan
Yang jelas, gaya hidup manusia modern, dengan tingkat mobilitas
yang begitu tinggi, penggunaan energi yang begitu besar ditambah
dengan jumlah polusi yang dihasilkan, tidak lagi dapat dipertahankan. Mobil pribadi tidak lagi pas untuk hidup kita. Transportasi publik dan
sepeda menjadi alternatif yang menarik, jika sarana dan prasarananya
juga dikembangkan. Investasi dan penelitian untuk menggunakan
teknologi teleportasi juga harus ditingkatkan.
Kita di negara kita masih harus terus berjuang untuk membangun
jaringan transportasi publik yang aman dan nyaman. Ini jelas harus
menjadi prioritas utama kita. Penggunaan kendaraan pribadi, dari
tinjauan ekonomi dan dampak lingkungan, tidak lagi dapat dibenarkan.
Sebagai pribadi, kita perlu mencari alternatif dari penggunaan mobil
dan motor pribadi. Sebagai kelompok, kita harus menekan agenda
pembangunan transportasi publik ke pemerintah kita.
Jika mobil dan motor pribadi tidak lagi digunakan, atau dikurangi
penggunaannya, lalu bagaimana dengan para pekerja di pabrikpabrik otomotif tersebut? Persoalan ini tentu harus ditemukan
jawabannya. Para pekerja otomatif tersebut bisa dialihkan sebagai
pekerja pembangunan dan perawatan jaringan transportasi publik
raksasa yang akan dibangun. Mereka juga nantinya bisa dialihkan untuk
pembangunan dan perawatan jaringan teleportasi, jika teknologinya
sudah menjadi kenyataan.
Mobilitas juga membutuhkan perubahan. Mobil tidak lagi bisa
menjadi sarana utama untuk mobilitas. Bahkan, pola mobilitas manusia
sekarang ini tidak lagi dapat dipertahankan. Perubahan jelas adalah
sesuatu yang amat diperlukan.
Namun, kita seringkali takut pada perubahan. Kita ingin segalanya
tetap sama, jika keadaan ini sudah menguntungkan kita. Namun,
hidup tidak akan pernah sama. Kodrat manusia adalah untuk berubah
dan terus bergerak sepan jang hidupnya. Kita bisa memilih alternatif
lainnya, yakni menyingkir sama sekali dari gerak kehidupan. Tentu
saja, saya tidak ingin menyarankan itu.Hidup manusia modern ditandai dengan satu ciri, yakni ketakutan.
Di satu sisi, mereka hidup dengan menata masa depan. Mereka
takut, jika masa depan mereka kacau, dan hidup mereka pun kacau. Di
sisi lain, mereka takut akan masa lalu, karena telah melakukan sesuatu
yang mereka sesali.
Rasa takut membuat pikiran kacau. Pertimbangan menjadi kacau.
Banyak keputusan pun dibuat dengan kekacauan pikiran. Akhirnya,
keputusan-keputusan itu justru menciptakan masalah yang lebih besar.
Pada tingkat politik, dampak keputusan yang salah amatlah
merugikan. Banyak orang menderita, karena kesalahan kebijakan yang
dibuat pemerintah. Sayangnya, banyak kebijakan tersebut dibuat atas
dasar rasa takut akan masa depan. Rasa takut mengaburkan kejernihan
berpikir, dan memperbesar masalah yang sudah ada sebelumnya.
Rasa takut juga menciptakan penderitaan batin yang besar.
Banyak orang terjebak di dalam depresi, karena rasa takut yang
berlebihan. Banyak orang jatuh ke dalam ketergantungan narkoba,
karena penderitaan batin dan rasa takut di dalam hati mereka. Orang
yang menderita cenderung kejam tidak hanya pada dirinya sendiri,
tetapi juga pada orang lain.
Ketakutan dan Kehidupan
Dari mana akar ketakutan semacam ini? Saya melihat, akar ketakutan terletak pada kegagalan memahami arti hidup sesungguhnya.
Artinya, ketakut an lahir, ketika orang gagal memahami kenyataan
apa adanya. Ia melihat dunia hanya semata dengan pikiran dan perasaannya, yang seringkali jauh dari kebenaran.
Apa arti dari hidup sesungguhnya? Apa hukum-hukum yang
meng gerakkan segala yang ada? Saya menyebutnya sebagai hukum paradoks, karena sejatinya, kenyataan ini adalah paradoks. Segala
kebenaran yang ada di muka bumi ini selalu mengambil bentuk
paradoks.
Paradoks adalah dua hal yang berbeda, tetapi benar dalam keutuhannya. Ia menolak untuk membagi dunia ke dalam kelompokkelompok. Paradoks memberi ruang untuk ketidakmasukakalan. Ia
melihat segala yang berten tangan sebagai sama dan utuh di dalam
kebenarannya. Inilah hukum yang mengendalikan seluruh kenyataan
yang ada.
Tujuh Paradoks
Dampak dari paradoks semacam ini amat nyata di dalam kehidupan
manusia. Saya merumuskan tujuh bentuk paradoks. Pandangan ini
tersebar begitu luas di dalam pemikiran Barat maupun Timur. Ia telah
berkembang dan diwariskan melalui berbagai cara, namun kini seolah
terpinggirkan oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan yang
mendewakan akal budi.
Paradoks pertama adalah paradoks rasa sakit. Banyak orang
menghindari rasa sakit. Mereka takut akan rasa sakit. Berbagai cara
dilakukan, mulai dari yang masuk akal sampai dengan yang mistik,
untuk menghindari rasa sakit.
Padahal, rasa takut akan rasa sakit adalah rasa sakit itu sendiri.
Usaha untuk menghindari rasa sakit akan menghasilkan rasa sakit itu
sendiri. Ketika orang berusaha untuk menghindari rasa sakit, maka
rasa sakit itu akan bertambah. Inilah paradoks pertama dari kehidupan,
yakni paradoks rasa sakit.
Paradoks kedua adalah paradoks kedamaian. Banyak orang
berusaha mencari kedamaian dalam hidupnya. Banyak yang melihat
agama sebagai jalan menuju kedamaian. Banyak pula yang mencari
jalan lain, guna memperoleh kedamaian di dalam hatinya.
Namun, keinginan untuk merasa damai justru menciptakan
perasaan tidak damai. Segala upaya untuk mencapai kedamaian hanya akan menghasilkan ketegangan. Ketegangan itulah yang menjadi akar
dari rasa tidak damai. Inilah inti dari paradoks kedamaian.
Paradoks ketiga adalah paradoks keberanian. Banyak orang
menghindari rasa takutnya. Mereka mencari berbagai cara, supaya bisa
melampaui rasa takutnya. Mereka bekerja keras untuk menemukan
keberanian di dalam hidupnya.
Padahal, keinginan untuk berani adalah tanda dari ketakutan.
Semakin kita ingin berani, semakin ketakutan akan mencekam hidup
kita. Orang yang mencari segala cara untuk melampaui ketakutannya
justru akan selamanya dijajah oleh rasa takut di dalam hatinya. Inilah
paradoks keberanian.
Paradoks keempat adalah paradoks memberi. Banyak orang takut
mem beri, karena mereka takut kehilangan. Akhirnya, mereka menjadi
pelit. Mereka menutup diri dari dunia, dan hidup semata untuk dirinya
sendiri.
Padahal, di dalam hidup ini, semakin banyak kita melepas, semakin
banyak kita mendapat. Orang harus keluar uang, guna mendapat
uang. Orang harus memberi, guna mendapat. Orang harus melepaskan
keinginan untuk damai, jika ingin memperoleh kedamaian di dalam
hidup.
Apakah anda pernah berenang? Mereka yang berenang pasti sadar,
bahwa mereka harus tenang, supaya bisa mengambang di air. Semakin
kita melawan arus, semakin kita akan celaka, karena tekanan arus
tersebut. Namun, sebaliknya, semakin kita pasrah pada arus, semakin
kita akan mengambang di atas air, sehingga bisa bertahan hidup. Inilah
paradoks kelima, yakni paradoks menyelam-mengambang.
Para ahli manajemen abad 21 sadar akan paradoks keenam, yakni
para doks manajemen. Semakin kita mengontrol orang dengan ketat,
semakin semuanya kacau. Namun, semakin kita memberikan ruang
kebebasan di dalam manajemen, maka produktivitas dan kebahagiaan
perusahaan akan meningkat. Kontrol yang keras akan menghasilkan
kebencian dari pihak yang dikontrol.Manajemen itu sejatinya seperti musik jazz. Ia tidak perlu ketukan
yang terkontrol rapat. Ia tidak perlu nada yang pasti yang diatur secara
ketat. Yang ia perlukan adalah struktur yang dapat dipercaya, dan
kebebasan untuk bergerak di dalam struktur itu.
Paradoks ketujuh adalah paradoks pengetahuan. Banyak orang
mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah
dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara
lain, jauh dari tanah air mereka.
Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita
berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar
diri kita, melainkan di dalam diri kita. Ketika bergerak dan berbicara,
kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya
akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas adalah omong
kosong.
Saat ke Saat
Bagaimana kita bisa hidup dengan segala paradoks ini? Paradoks
ini, pada hemat saya, adalah hukum yang menata segala yang
ada. Ia adalah aturan-aturan kehidupan. Orang yang mengikutinya
akan menemukan kedamaian dan kepenuhan hidup. Orang yang
melawannya akan terjebak di dalam penderitaan tanpa henti.
Hidup di dalam paradoks berarti hidup sesuai dengan kenyataan
yang ada. Kita melepas semua ambisi dan ketakutan kita. Kita hidup
secara alamiah mengikuti hukum-hukum kenyataan yang ada. Kita
tidak melawan alam, melainkan hidup berdampingan dengan alam
seturut dengan hukum-hukumnya.
Artinya lalu, kita hidup dari saat ke saat. Belajar dari pengalaman
masa lalu boleh dilakukan, tetapi tidak pernah boleh melupakan
keadaan disini dan saat ini. Membuat rencana tentu saja boleh, asal
tetap berjangkar pada keadaan disini dan saat ini. Yang ada hanyalah
saat ini. Masa lalu dan masa depan tidaklah adaManajemen itu sejatinya seperti musik jazz. Ia tidak perlu ketukan
yang terkontrol rapat. Ia tidak perlu nada yang pasti yang diatur secara
ketat. Yang ia perlukan adalah struktur yang dapat dipercaya, dan
kebebasan untuk bergerak di dalam struktur itu.
Paradoks ketujuh adalah paradoks pengetahuan. Banyak orang
mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah
dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara
lain, jauh dari tanah air mereka.
Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita
berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar
diri kita, melainkan di dalam diri kita. Ketika bergerak dan berbicara,
kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya
akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas adalah omong
kosong.
Saat ke Saat
Bagaimana kita bisa hidup dengan segala paradoks ini? Paradoks
ini, pada hemat saya, adalah hukum yang menata segala yang
ada. Ia adalah aturan-aturan kehidupan. Orang yang mengikutinya
akan menemukan kedamaian dan kepenuhan hidup. Orang yang
melawannya akan terjebak di dalam penderitaan tanpa henti.
Hidup di dalam paradoks berarti hidup sesuai dengan kenyataan
yang ada. Kita melepas semua ambisi dan ketakutan kita. Kita hidup
secara alamiah mengikuti hukum-hukum kenyataan yang ada. Kita
tidak melawan alam, melainkan hidup berdampingan dengan alam
seturut dengan hukum-hukumnya.
Artinya lalu, kita hidup dari saat ke saat. Belajar dari pengalaman
masa lalu boleh dilakukan, tetapi tidak pernah boleh melupakan
keadaan disini dan saat ini. Membuat rencana tentu saja boleh, asal
tetap berjangkar pada keadaan disini dan saat ini. Yang ada hanyalah
saat ini. Masa lalu dan masa depan tidaklah adaManajemen itu sejatinya seperti musik jazz. Ia tidak perlu ketukan
yang terkontrol rapat. Ia tidak perlu nada yang pasti yang diatur secara
ketat. Yang ia perlukan adalah struktur yang dapat dipercaya, dan
kebebasan untuk bergerak di dalam struktur itu.
Paradoks ketujuh adalah paradoks pengetahuan. Banyak orang
mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah
dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara
lain, jauh dari tanah air mereka.
Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita
berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar
diri kita, melainkan di dalam diri kita. Ketika bergerak dan berbicara,
kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya
akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas adalah omong
kosong.
Saat ke Saat
Bagaimana kita bisa hidup dengan segala paradoks ini? Paradoks
ini, pada hemat saya, adalah hukum yang menata segala yang
ada. Ia adalah aturan-aturan kehidupan. Orang yang mengikutinya
akan menemukan kedamaian dan kepenuhan hidup. Orang yang
melawannya akan terjebak di dalam penderitaan tanpa henti.
Hidup di dalam paradoks berarti hidup sesuai dengan kenyataan
yang ada. Kita melepas semua ambisi dan ketakutan kita. Kita hidup
secara alamiah mengikuti hukum-hukum kenyataan yang ada. Kita
tidak melawan alam, melainkan hidup berdampingan dengan alam
seturut dengan hukum-hukumnya.
Artinya lalu, kita hidup dari saat ke saat. Belajar dari pengalaman
masa lalu boleh dilakukan, tetapi tidak pernah boleh melupakan
keadaan disini dan saat ini. Membuat rencana tentu saja boleh, asal
tetap berjangkar pada keadaan disini dan saat ini. Yang ada hanyalah
saat ini. Masa lalu dan masa depan tidaklah adaManajemen itu sejatinya seperti musik jazz. Ia tidak perlu ketukan
yang terkontrol rapat. Ia tidak perlu nada yang pasti yang diatur secara
ketat. Yang ia perlukan adalah struktur yang dapat dipercaya, dan
kebebasan untuk bergerak di dalam struktur itu.
Paradoks ketujuh adalah paradoks pengetahuan. Banyak orang
mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah
dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara
lain, jauh dari tanah air mereka.
Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita
berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar
diri kita, melainkan di dalam diri kita. Ketika bergerak dan berbicara,
kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya
akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas adalah omong
kosong.
Saat ke Saat
Bagaimana kita bisa hidup dengan segala paradoks ini? Paradoks
ini, pada hemat saya, adalah hukum yang menata segala yang
ada. Ia adalah aturan-aturan kehidupan. Orang yang mengikutinya
akan menemukan kedamaian dan kepenuhan hidup. Orang yang
melawannya akan terjebak di dalam penderitaan tanpa henti.
Hidup di dalam paradoks berarti hidup sesuai dengan kenyataan
yang ada. Kita melepas semua ambisi dan ketakutan kita. Kita hidup
secara alamiah mengikuti hukum-hukum kenyataan yang ada. Kita
tidak melawan alam, melainkan hidup berdampingan dengan alam
seturut dengan hukum-hukumnya.
Artinya lalu, kita hidup dari saat ke saat. Belajar dari pengalaman
masa lalu boleh dilakukan, tetapi tidak pernah boleh melupakan
keadaan disini dan saat ini. Membuat rencana tentu saja boleh, asal
tetap berjangkar pada keadaan disini dan saat ini. Yang ada hanyalah
saat ini. Masa lalu dan masa depan tidaklah adaManajemen itu sejatinya seperti musik jazz. Ia tidak perlu ketukan
yang terkontrol rapat. Ia tidak perlu nada yang pasti yang diatur secara
ketat. Yang ia perlukan adalah struktur yang dapat dipercaya, dan
kebebasan untuk bergerak di dalam struktur itu.
Paradoks ketujuh adalah paradoks pengetahuan. Banyak orang
mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah
dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara
lain, jauh dari tanah air mereka.
Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita
berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar
diri kita, melainkan di dalam diri kita. Ketika bergerak dan berbicara,
kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya
akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas adalah omong
kosong.
Saat ke Saat
Bagaimana kita bisa hidup dengan segala paradoks ini? Paradoks
ini, pada hemat saya, adalah hukum yang menata segala yang
ada. Ia adalah aturan-aturan kehidupan. Orang yang mengikutinya
akan menemukan kedamaian dan kepenuhan hidup. Orang yang
melawannya akan terjebak di dalam penderitaan tanpa henti.
Hidup di dalam paradoks berarti hidup sesuai dengan kenyataan
yang ada. Kita melepas semua ambisi dan ketakutan kita. Kita hidup
secara alamiah mengikuti hukum-hukum kenyataan yang ada. Kita
tidak melawan alam, melainkan hidup berdampingan dengan alam
seturut dengan hukum-hukumnya.
Artinya lalu, kita hidup dari saat ke saat. Belajar dari pengalaman
masa lalu boleh dilakukan, tetapi tidak pernah boleh melupakan
keadaan disini dan saat ini. Membuat rencana tentu saja boleh, asal
tetap berjangkar pada keadaan disini dan saat ini. Yang ada hanyalah
saat ini. Masa lalu dan masa depan tidaklah adaKetika kita tidak ngotot, semuanya akan tampak jelas. Ketika kita
jernih, keberanian dan kedamaian otomatis akan datang. Ketika kita
diam dan melihat ke dalam diri, maka kita akan mengetahui segalanya.
Sederhana, tetapi begitu banyak orang melupakannya. Sayang sekali.
Dunia kita adalah persepsi kita. Dunia adalah dunia sebagaimana
kita mempersepsinya. Itulah argumen yang diajukan oleh George
Berkeley lebih dari dua ratus tahun silam. Sikap kita terhadap orang
lain dan dunia sebagai keseluruhan amat tergantung dari persepsi yang
bercokol di kepala kita.
Seringkali, persepsi yang ada di kepala kita tidak cocok dengan
kenyataan yang sebenarnya. Persepsi yang salah inilah yang melahirkan
konfl ik dan berbagai ketegangan di dalam hidup manusia, baik pada
tingkat pribadi maupun sosial. Orang yang merasa, bahwa persepsinya
adalah kebenaran mutlak dan sesuai 100 persen dengan kenyataan,
adalah orang yang hidup dalam delusi. Teori-teori Marxis menyebutnya
sebagai ideologi, yakni kesadaran palsu tentang dunia.
Orang yang hidup dalam ideologi berarti hidup dalam kepompong
kebohongan. Semua pendapat dan pikirannya lahir dari ideologi sesat
yang bercokol di kepalanya. Tak heran, semua analisis dan pendapatnya
begitu dangkal, karena hanya mengikuti saja kesesatan berpikir seharihari yang ada di dalam masyarakat luas. Hidup orang ini dipenuhi
prasangka dan kesesatan berpikir di dalam melihat orang lain dan
masyarakat sebagai keseluruhan.
Anatomi Persepsi
Bagaimana persepsi manusia terbentuk? Darimana asal persepsi
yang bercokol di kepala kita? Salah satu jawaban lugas atas pertanyaan
ini di dalam masyarakat jaringan sosial sekarang ini adalah media
massa. Kita melihat dunia kita dari kaca mata media yang kita baca
sehari-hari. Tak berlebihan jika dikatakan, kita adalah apa yang kita
baca. Persepsi kita juga dibentuk oleh pengalaman pribadi kita sebagai
manusia. Perjumpaan dengan orang lain mempengaruhi persepsi
kita tentang orang itu. Namun, seperti ditegaskan oleh Karl Popper,
pengalaman tidak pernah lepas dari pemahaman. Tidak ada pengalaman
murni, karena semua bentuk pengalaman kita selalu dibungkus oleh
pra-paham yang sudah ada sebelumnya di kepala kita.
Banyak orang tidak sadar dengan pra-paham yang bercokol di
kepalanya. Akibatnya, mereka mengira begitu saja, bahwa persepsinya
adalah kebenaran, atau bahwa persepsinya sesuai dengan kenyataan
yang ada. Di dalam teori-teori Marxis, pra-paham sesat yang tak
disadari ini disebut juga sebagai hegemoni. Orang yang hidup di
dalam hegemoni terjebak di dalam kesesatan berpikir, walaupun ia
sama sekali tak menyadarinya.
Hegemoni membuat pemahaman yang salah terlihat sebagai benar.
Hegemoni membuat orang dijajah, walaupun ia sama sekali tak merasa
terjajah. Hegemoni itu adalah teknik menipu tingkat global, namun tak
pernah sungguh disadari sebagai sebentuk penipuan. Siapa pencipta
dan pelaku hegemoni ini?
Hegemoni Media
Media massa sekarang ini adalah pencipta sekaligus pelestari
hegemoni. Namun, media massa sama sekali bukan institusi yang
netral. Selalu ada kepentingan untuk membangun dan melestarikan
hegemoni di balik setiap pemberitaan yang ada. Tujuannya jelas, yakni
melestarikan keadaan sosial politik yang ada, yang menguntungkan
mereka, namun sejatinya justru merugikan banyak pihak lainnya.
Dalam arti ini, tak berlebihan jika dikatakan, media massa menjadi
aktor sekaligus alat untuk melakukan cuci otak di tingkat global. Ia
memberitakan suatu peristiwa selalu dari sudut pandang tertentu yang
juga menutupi sudut pandang lainnya. Pemberitaan menjadi persepsi,
lalu persepsi mempengaruhi berbagai bentuk kebijakan publik yang menentukan hidup mati banyak orang. Bahkan, persepsi lalu mengental
menjadi sejarah sekaligus ingatan kolektif yang menjadi dasar bagi
identitas sosial suatu kelompok.
Rasisme dan beragam bentuk diskriminasi juga lahir dari persepsi
yang dilumuri hegemoni dan ideologi. Kita membenci seseorang,
hanya karena ia memiliki warna kulit berbeda. Seringkali, kita tidak
mempunyai pengalaman pribadi langsung dengan orang itu. Namun,
pemberitaan media telah mencuci otak kita, sehingga kita membangun
persepsi yang salah hanya atas dasar pemberitaan itu.
Banyak juga program politik yang dilahirkan dari persepsi yang
salah semacam ini. Ada segudang undang-undang di negara kita yang
lahir dari persepsi yang salah, mulai dari soal rekonsiliasi terkait
kejahatan masa lalu, impor beras, sampai kebijakan bodoh terkait
dengan keperawanan pelajar tingkat sekolah dasar. Pada tingkat global
sekarang ini, persepsi yang salah juga tampak di berbagai hal. Satu
bagian dunia berpesta pora dalam kemewahan, sementara banyak
orang di bagian dunia lain meninggal, karena tidak memiliki sumber
air bersih yang mencukupi.
Persepsi yang lahir dari ideologi dan hegemoni ini menciptakan
kebencian. Kebencian tersebut akan melahirkan konfl ik dan beragam
pengalaman buruk lainnya, yang akhirnya juga memperkuat persepsi
yang salah tersebut. Persepsi akhirnya menjadi prasangka, mendorong
kebencian, menciptakan konfl ik yang nantinya memperkuat prasangka
yang sudah ada sebelumnya. Inilah lingkaran setan kekerasan yang
lahir dari cuci otak yang dibuat oleh media.
Membangun Opini Cerdas
Bisakah kita melepaskan diri dari persepsi? Bisakah kita melepaskan
diri dari cuci otak yang dibuat media? Sampai batas tertentu,
jawabannya adalah positif: ya. Masalahnya bukanlah hidup tanpa persepsi, melainkan membangun persepsi yang cerdas. Masalahnya
bukanlah tidak punya opini, tetapi merumuskan opini yang cerdas.
Bagaimana merumuskan opini yang cerdas? Pertama, kita perlu
melakukan kritik ideologi terus menerus terhadap berbagai pikiran
yang muncul di kepala kita. Kita perlu yakin, bahwa pikiran kita
tidak lahir dari kesadaran palsu, melainkan dari kesesuaian dengan
keadaan yang ada. Kritik ideologi juga perlu dilancarkan terus menerus
terhadap berita yang kita terima dari media massa sehari-harinya.
Sikap kritis dan curiga sampai batas tertentu bisa dibenarkan
disini. Informasi adalah salah satu kebutuhan utama manusia
sekarang ini. Namun, tidak semua informasi yang ditampilkan
media lahir dari kenyataan. Seringkali, informasi tersebut lahir dari
manipulasi, entah kebohongan atau pemberitaan satu pihak yang justru
menciptakan prasangka dan kesalahan persepsi di telinga pendengar
atau pembacanya.
Di sisi lain, kita juga perlu mencari berita dari sumber-sumber
lain yang independen. Kantor media besar biasanya dimiliki oleh
pengusaha bisnis tertentu yang ingin mempertahankan kepentingan
mereka. Kita masih ingat perang opini antara Metro TV dan TV One,
ketika pemilihan presiden 2014 yang lalu. Pola yang sama juga dapat
dilihat di kantor-kantor media internasional. Dalam beberapa hal, blogblog dari penulis independen bisa memberikan informasi yang lebih
bermutu kepada kita.
Sebagai warga dari masyarakat demokratis, kita perlu mempunyai
opini yang cerdas. Artinya, kita tidak boleh jatuh begitu saja pada
persepsi dan opini yang disetir oleh media massa yang tak bertanggung
jawab. Kita perlu melepaskan diri dari prasangka yang bercokol di
otak kita, karena serbuan berita-berita tak bertanggungjawab. Kritik
ideologi adalah kewajiban utama dari warga negara demokratis, seperti
negara kita.
Bagaimana membangun sikap kritis dan curiga yang sehat
semacam ini? Jelas, pendidikan memainkan peranan besar di sini. Namun, pendidikan tidak boleh hanya dimengerti secara sempit
sebagai pendidikan di sekolah, tetapi juga pendidikan di dalam
keluarga dan di dalam masyarakat. Masyarakat yang cerdas hanya bisa
dibangun oleh warga yang memiliki persepsi dan opini yang cerdas.
Tidak ada jalan lain.
Tahun 2015, Eropa kembali diancam oleh perang besar. Pasukan
Russia terus merapatkan barisan di perbatasan Ukraina. Ukraina,
dalam aliansi dengan NATO dan Uni Eropa, juga mempersiapkan
pasukannya di perbatasan. Jika konfl ik terjadi, maka yang perang akan
melebar ke seluruh negara Uni Eropa, bahkan ke berbagai negara di
benua lainnya. Perang dunia ketiga kini di depan mata kita.
Kelompok bersenjata Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) juga terus
melakukan teror di Timur Tengah. Negara-negara sekitarnya, seperti
Yordania, Arab Saudi dan Turki, sudah mempersiapkan pasukan untuk
menyerbu kelompok ini. Konfl ik bersenjata dalam skala besar nyaris
tak dapat lagi dihindari. Semakin banyak orang akan masuk ke dalam
penderitaan, akibat perang dan konfl ik bersenjata lainnya.
Pada skala yang lebih kecil, beragam jenis kejahatan juga menciptakan penderitaan bagi begitu banyak orang. Pengedar narkoba
beserta pengaruh politis maupun ekonomis dari kartel narkoba
mengancam kehidupan banyak negara. Anak muda dipaksa masuk
untuk bergabung dalam gang bersenjata. Berbagai kebijakan pro rakyat
kandas di depan mata, karena pengaruh lobi dari beragam kartel
narkoba di dalam kebijakan politik.
Sebagai akibatnya, banyak orang terjebak di dalam rantai
kemiskinan. Akar dari kemiskinan ini bukanlah kemalasan atau
ketidakmampuan pribadi, melainkan kemiskinan sistemik sebagai
dampak dari bobroknya sistem sosial yang ada. Di dalam jeratan
kemiskinan, banyak gadis muda yang terjebak ke dalam pelacuran dan
perdagangan manusia. Inilah bentuk perbudakan modern di awal abad
21 yang masih tertutup dari mata banyak orang.
Orang yang paham akan hal ini merasa tak berdaya untuk
memperbaiki keadaan. Banyak dari antara mereka memutuskan untukbersikap tidak peduli. Caranya adalah dengan hidup di dalam rantai
konsumsi. Mereka sibuk bekerja, mengumpulkan uang dan membeli
barang lebih dan lebih lagi, guna mengobati ketidakberdayaan mereka
di dalam kehidupan. Konsumtivisme menjadi candu baru.
Mengapa ini semua terjadi? Mengapa manusia melakukan kejahatan
kepada manusia lainnya? Mengapa manusia menciptakan penderitaan
bagi manusia lainnya, dan juga bagi banyak mahluk hidup lainnya?
Jawabannya hanya satu, yakni delusi, atau kesalahan berpikir mendasar
tentang kehidupan.
Kekosongan Batin
Hampir setiap orang yang lahir di awal abad 21 ini merasakan
sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Mereka merasa, bahwa mereka
tidak dapat hidup, jika tidak mendapat pengakuan dari masyarakat.
Mereka merasa, bahwa mereka tidak bisa bahagia, jika tidak memiliki
uang banyak untuk membeli barang-barang. Perasaan kurang semacam
ini menghantui begitu banyak orang, hampir sepanjang hidupnya.
Orang menyebutnya dengan berbagai kata. Ada yang bilang,
mereka mencari kebahagiaan. Ada yang bilang, mereka mencari makna
di dalam hidupnya. Ada pula yang bilang, mereka mengalami krisis
tujuan hidup. Semua menunjuk pada satu keadaan, yakni rasa kurang
yang bercokol di dalam batin.
Mereka lalu mencari cara, guna mengisi kekosongan batin tersebut.
Mereka pun melihat ke luar dirinya. Narkoba, seks, agama, mistik dan
konsumtivisme menjadi alternatif. Namun, semuanya tetap tak bisa
mengisi kekosongan batin yang ada. Penderitaan pun berlanjut.
Di dalam proses pencarian, ketika keadaan telah menjadi sedemikian
rumit, mereka tak segan menyakiti orang lain. Untuk mempertahankan
gaya hidup konsumtif, sebagai pelarian dari kekosongan batin yang
dirasakan, orang bersedia korupsi. Bahkan, orang bersedia membunuh
orang lain, supaya ia bisa merasakan kepuasan sementara. Dunia pun dipenuhi dengan orang-orang yang menderita secara batiniah, dan
kemudian saling menyakiti satu sama lain.
Inilah yang sekarang ini terjadi di dunia. Russia mengira, bahwa
mereka akan menjadi bangsa besar, ketika mereka menguasai Ukraina,
atau bahkan menguasai berbagai negara satelit bekas Uni Soviet di
masa lalu. ISIS mengira, bahwa mereka bisa mendirikan kerajaan model
abad pertengahan, jika mereka terus menyiksa dan membunuh orangorang yang tak bersalah. Semuanya hidup dalam kesalahpahaman
mendasar, bahwa mereka bisa mendapatkan kepenuhan hidup dengan
mencari kepuasaan dari benda-benda di luar dirinya.
Aku yang Terpisah
Cara berpikir ini juga didorong oleh delusi lainnya, yakni delusi
keter pisahan manusia. Salah satu racun paling mematikan dari
fi lsafat barat adalah pandangan, bahwa manusia adalah mahluk
individualistik yang terpisah dari manusia lainnya, dan juga terpisah
dari alam. Pandangan ini menyebar begitu luas ke berbagai negara di
dunia melalui proses kolonisasi/penjajahan di masa lalu, dan proses
globalisasi di masa sekarang. Media cetak dan elektronik (terutama
internet) berperan besar di dalam menyebarkan pandangan ini.
Delusi keterpisahan manusia ini juga menjadi akar dari segala
bentuk diskriminasi. Bangsa-bangsa tertentu merasa terpisah dari
bangsa-bangsa lainnya. Mereka merasa lebih tinggi derajatnya daripada
bangsa-bangsa lainnya. Ini lalu mendorong penjajahan politik dan
ekonomi dari beberapa negara atas negara-negara lainnya. Ini juga
menjadi akar dari perbudakan, rasisme, fasisme dan penjajahan atas
minoritas di berbagai negara.
Namun, kekosongan batin tetap ada. Orang bisa menjajah dan
menguasai orang lainnya. Namun, ia tetap akan merasa menderita di
dalam hatinya. Delusi keterpisahan manusia mendorong orang masuk
ke dalam kesepian dan kekosongan batin yang lebih dalam, walaupun ia memiliki uang, kekuasaan, nama besar dan beragam barang mewah
lainnya.
Untuk mengisi kekosongan batinnya, orang juga menghancurkan
alam. Hutan dibabat untuk membangun perumahan mewah. Gunung
diratakan untuk memperoleh emas. Manusia juga lalu melihat dirinya
sebagai sesuatu yang terpisah sekaligus lebih tinggi dari alam dan
semua mahluk hidup lainnya. Ia merasa punya hak untuk menguasai
dan menghancurkan semuanya, guna memenuhi keinginan dan
kerakusannya.
Ketika alam rusak, maka seluruh kehidupan terancam. Hewan
punah. Hutan dan berbagai sistem ekologi alamiah lainnya juga hancur,
akibat ulah manusia. Di dalam keadaan semacam ini, manusia justru
semakin dalam terjebak dalam rasa takut, kesepian dan penderitaan.
Mencari Ke Dalam
Jadi, akar dari segala kejahatan adalah dua delusi mendasar. Yang
pertama adalah delusi, bahwa orang bisa mencapai kebahagiaan dengan
mencari serta mengumpulkan hal-hal dari luar dirinya, seperti nama
baik, kehormatan, uang, harta dan sebagainya. Yang kedua adalah
delusi, bahwa manusia adalah mahluk individual yang terpisah dengan
manusia-manusia lainnya, dan juga terpisah dari alam. Dua delusi ini
menciptakan penderitaan batin yang amat dalam bagi manusia, baik
dalam lingkup hidup pribadinya, maupun dalam hubungan-hubungan
sosialnya.
Jalan keluar dari dua delusi ini sebenarnya sederhana, yakni
kita harus mulai melihat ke dalam diri kita sendiri, dan mencoba
menemukan kepenuhan hidup disana. Kita harus berhenti mencoba
mengisi kekosongan batin kita dengan hal-hal eksternal, seperti uang,
nama besar, barang-barang dan lainnya. Ketika kita menengok ke
dalam, kita akan menyadari, siapa diri kita sebenarnya. Di dalam
proses menyadari diri kita yang sejati, kita pun lalu akan sampai pada
kesadaran, bahwa segala hal di alam semesta ini adalah kesatuan dari
jaringan yang tak terpisahkan.
Kita dan orang lain adalah satu. Kita dan alam adalah satu.
Penderitaan mereka adalah penderitaan kita sendiri. Kebahagiaan
mereka adalah kebaha giaan kita sendiri.
Pemahaman ini tidak boleh hanya menjadi pemahaman intelektual
semata. Ia harus sungguh menjadi bagian dari kesadaran kita seharihari. Ketika kita bertindak dari kesadaran mendasar, bahwa apa yang
kita cari sudah selalu tertanam di dalam diri kita sendiri, dan bahwa
segala hal di dunia ini adalah satu kesatuan dan saling terhubung
satu sama lain, maka segala yang kita alami dan lakukan akan selalu
bisa membantu diri kita sendiri dan orang lain. Di dalam kesenangan,
tindakan kita akan membantu diri kita, orang lain, semua mahluk
hidup dan alam sebagai keseluruhan. Bahkan di dalam penderitaan
dan kesedihan berat, tindakan kita juga bisa membantu mereka semua.
Tidak ada perbedaan antara kita dan mahluk hidup lainnya.
Tidak ada perbedaan antara kita dan alam. Semua perbedaan yang
tampak hanya muncul dari panca indera dan pikiran kita yang rapuh.
Perbedaan tersebut lahir dari delusi, yakni dari kesalahan berpikir yang
mendasar tentang kehidupan.
Delusi hanya menciptakan penderitaan di dalam hati kita. Ketika
hati kita menderita, kita pun lalu dengan mudah menyakiti orang lain.
Kita juga dengan mudah menghancurkan kehidupan lain dan alam ini,
demi memuaskan delusi kita. Delusi inilah akar dari segala kejahatan.
Mau sampai kapan kita hidup seperti iniAda satu pola menarik di dalam sejarah. Para pelaku kejahatan
terbesar justru adalah orang-orang yang hidup dalam bayangbayang moralitas. Para penguasa Persia di masa lalu merasa bermoral
tinggi, dan melakukan penaklukan ke berbagai penjuru Timur Tengah.
Para penguasa Mesir di masa lalu merasa bermoral tinggi, dan
memperbudak penduduknya sendiri untuk membangun Piramid.
Orang-orang Yahudi mengaku bangsa bermoral dan bertuhan.
Namun, mereka yang menyalibkan Yesus, tanpa alasan yang bisa
dipertanggungjawabkan. Kekaisaran OÄ´ oman Turki mengaku bermoral
dan bertuhan. Namun, mereka melakukan penaklukan berdarah ke
berbagai penjuru negara Timur Tengah.
Eropa mengaku sebagai benua yang beradab dan bertuhan.
Namun, mereka memperbudak dan menjajah begitu banyak bangsa
selama kurang lebih 500 tahun. Hitler hidup dalam panduan moral
yang tinggi. Ia menjadi otak sekaligus pelaksana pembantaian orangorang Yahudi di masa perang dunia kedua.
Amerika Serikat mengaku bangsa yang bermoral dan bertuhan.
Namun, mereka menjadi otak dari begitu banyak pembantaian massal
di berbagai pen juru dunia di abad 20. Kini, para teroris dengan
pandangan Islam ekstrimisnya menjadi pelaku kekerasan di berbagai
penjuru dunia. Mereka juga mengaku bermoral dan bertuhan.
Mengapa ini terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku
bermoral, bertuhan dan beragama justru menjadi pelaku kejahatankejahatan terbesar di dalam sejarah? Saya berpendapat, bahwa sumber
dari segala kejahatan ini justru lahir dari moralitas itu sendiri. Moralitas
bukanlah solusi atas kejahatan, melainkan justru akar dari kejahatan
itu sendiri.Moralitas
Moralitas adalah pertimbangan baik dan buruk. Apakah suatu
tindakan baik? Apakah suatu tindakan buruk? Keputusan apa yang
baik untuk saya ambil? Inilah kiranya pertanyaan-pertanyaan terkait
dengan moralitas.
Kita juga seringkali menggunakan pertimbangan moral dalam
membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup. Apakah
pernikahan baik untuk saya? Pekerjaan mana yang baik untuk saya?
Jahatkah saya, jika saya mengambil keputusan ini?
Satu hal yang pasti adalah, bahwa moralitas adalah pertimbangan
pikiran. Ia terjadi di dalam pikiran manusia. Ia tidak ada secara nyata
dan empiris di dalam kenyataan sehari-hari. Moralitas bukanlah
kenyataan alamiah.
Apa itu kenyataan alamiah? Sesungguhnya, kenyataan alamiah
tidak memiliki konsep atau kata untuk menjelaskannya. Ia adalah
”sesuatu”. Para fi lsuf Eropa menyebutnya sebagai ”Ada” (Being, Sein, to
on). Para mistikus India menyebutnya sebagai ”Diri” (the Self). Namun,
sejatinya, ia tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Moralitas itu Berbahaya
Lalu, mengapa moralitas itu berbahaya? Moralitas, seperti saya
jelaskan sebelumnya, selalu terkait dengan baik dan buruk. Jika
sebuah pertimbangan dianggap buruk secara moral, maka orang akan
menjauhinya. Jika sebuah pertimbangan dianggap baik secara moral,
maka orang akan mengikutinya.
Namun, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang buruk biasanya
memikat. Apa yang baik biasanya membosankan. Inilah yang sekarang
ini banyak terjadi.
Ketika orang melakukan yang buruk, maka ia akan memperoleh
kenik matan sementara. Namun, semua itu akan berakhir pada penyesalan dan penderitaan. Orang akan merasa bersalah, karena ia
telah bertindak jahat. Tindakan tersebut telah menyakiti dirinya dan
orang lain.
Orang yang suka berbohong memang kelihatan berhasil pada
awalnya. Namun, semakin lama, jika ia terus berbohong, ia akan
tenggelam di dalam kebohongannya. Ia tidak bisa lagi membedakan
kenyataan dan kebohongan yang ia bangun sendiri. Ia pun hidup
dalam penderitaan.
Sebaliknya, ketika orang bertindak baik, maka ia akan berusaha
untuk mempertahankan tindakannya tersebut. Ia lalu melekat dan
terikat dengan tindakan tersebut. Ia tergantung secara emosional
dengan tindakan itu. Dalam perjalanan waktu, tindakan baik itu
menghasilkan banyak tegangan batin di dalam dirinya.
Tegangan batin, pada akhirnya, akan menghancurkan tindakan
baik tersebut. Yang muncul kemudian adalah perasaan bersalah, karena
orang tak lagi mampu mempertahankan tindakan baik itu. Orang
merasa munafi k atau justru menjadi orang yang munafi k. Ia justru
malah menjadi kejam pada sesamanya dan dirinya sendiri. Tak heran,
banyak pelaku kejahatan kejam di dalam sejarah justru adalah orang
yang memiliki prinsip moral tinggi, atau bahkan amat religius.
Orang yang memegang erat prinsip jujur akan mengalami
ketenangan batin pada awalnya. Namun, ia hanyalah manusia. Ia
tidak bisa jujur setiap saat dan setiap waktu. Ada waktunya, ia perlu
berbohong, seringkali dengan alasan-alasan yang masuk akal. Orang
yang memegang erat prinsip jujur juga pada akhirnya akan berbohong
juga. Ini akan melahirkan perasaan bersalah dan penderitaan yang amat
dalam pada orang tersebut.
Jadi, tindakan buruk menghasilkan tegangan dan penderitaan.
Tindakan baik juga menghasilkan ketegangan dan penderitaan.
Keduanya melahirkan tegangan dan ketakutan di dalam batin. Dari
tegangan, penderitaan dan ketakutan batin tersebut, orang justru malah
menjadi kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri. Ini seperti
lingkaran setan yang tak bisa diputuskan.
Moralitas menghasikan semacam keterpecahan kepribadian di
dalam diri manusia. Ia terbelah antara harapan tentang dirinya sendiri,
dan keadaan nyata di depan matanya tentang dirinya sendiri. Moralitas
menghasilkan semacam neurosis di dalam pikiran manusia. Ia memiliki
fungsi terbalik, yakni justru mendorong orang untuk menjadi tidak
bermoral.
Moral dan keputusan
Sayangnya, kita seringkali menggunakan pertimbangan moral
di dalam membuat keputusan. Pertimbangan moral, dan tindakan
yang lahir darinya, selalu melahirkan ketegangan di dalam batin.
Ketegangan batin berujung pada penderitaan batin. Banyak orang tak
kuat menanggung tegangan dan penderitaan batin tersebut. Mereka
justru menjadi orang yang paling kejam.
Maka, menurut saya, moralitas itu berbahaya. Ia mencoba
menyelesaikan sebuah masalah dengan menciptakan masalah-masalah
baru. Banyak negara yang mengaku bermoral justru bertindak kejam
terhadap warganya dan terhadap negara lain. Ini lahir dari tegangan
dan penderitaan yang sudah selalu tertanam di dalam moralitas itu
sendiri.
negara kita mengaku sebagai negara bermoral dan beragama.
Semua orang berteriak soal moral dan agama. Namun, korupsi dan
kebohongan menyelubungi dunia politik kita. Diskriminasi dan
kebencian mewarnai hidup bermasyarakat kita. Kita pun gemar
menghukum mati orang-orang yang kita anggap tak layak hidup. Ini
contoh yang amat pas untuk menggambarkan bahaya dari moralitas
yang justru menghasilkan kemunafi kan dan kekejaman.
Panduan Baru: Kejernihan Berpikir
Yang jelas, kita membutuhkan panduan lain dalam hidup kita,
selain mo ralitas. Kita membutuhkan pijakan lain untuk membuat
keputusan. Moralitas seolah menjadi jawaban, namun ia seringkali
justru melahirkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Moralitas
adalah sesuatu yang harus dilampaui.
Saya menawarkan panduan lain, yakni kejernihan berpikir.
Pertanyaan yang harus diajukan bukanlah ”Apakah ini baik atau
buruk?”, melainkan ”Apakah ini lahir dari kejernihan berpikir, atau
tidak?” Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan baik dan
buruk. Pikiran yang jernih berarti lepas dari pertimbangan untuk dan
rugi.
Pikiran yang jernih bersifat alamiah. Ia muncul dari kesadaran diri
manusia, dan bukan dari pertimbangan akal budi, baik-buruk atau
untung-rugi. Pikiran yang jernih melihat situasi nyata. Ia bersikap tepat
pada setiap keadaan yang terjadi.
Pikiran yang jernih tidak sibuk dengan masa lalu. Pikiran yang
jernih menolak untuk melompat ke masa depan. Ia berfokus pada
situasi disini dan saat ini. Ia memecahkan masalah sesuai dengan
konteksnya masing-masing.
Bagaimana melahirkan kejernihan berpikir? Caranya sederhana:
stop melakukan analisis dan stop berpikir! Lakukan apa yang mesti
dilakukan disini dan saat ini. Bertindaklah mengalir secara alamiah
dari saat ke saat.
Berbohong bukanlah baik atau buruk. Ia amat tergantung pada
konteks. Berbohong untuk menyelamatkan nyawa orang lain adalah
tindakan yang lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh untuk
mempertahankan diri dan keluarga dari serangan perampok adalah
tindakan yang juga lahir dari kejernihan berpikir. Membunuh dan
berbohong adalah tindakan yang jernih, jika dilakukan secara tepat
pada keadaan-keadaan tertentu.Melampaui Moralitas
Ketika pertimbangan akal budi masuk, maka kejernihan hilang.
Ketika orang sibuk memikirkan baik dan buruk, maka kejernihan
hilang. Ketika orang sibuk memikirkan untung dan rugi, maka
kejernihan hilang. Orang yang sibuk memikirkan baik dan buruk akan
terus mengalami ketegangan di dalam hatinya.
Ia seperti hidup dalam penjara yang dibangun oleh pikirannya
sendiri. Hal yang sama terjadi dengan orang yang selalu sibuk
melakukan pertimbangan untuk dan rugi di dalam hidupnya. Hidupnya
tidak akan pernah lepas dari kecemasan. Dari kecemasan itu, ia bisa
bertindak kejam pada orang lain, dan pada dirinya sendiri.
Moralitas melahirkan ketegangan. Ketegangan mendorong sikap
agresif. Sikap agresif lahir bisa diarahkan pada orang lain, atau pada
diri sendiri. Selama orang masih melekat pada moralitas, selamanya ia
akan terjebak pada lingkaran setan ketegangan dan penderitaan hidup.
Jalan keluar dari masalah ini hanya satu: kejernihan berpikir. Orang
yang hidup dengan kejernihan pikiran tidak hanya berhasil dalam karir,
tetapi juga menemukan kebahagiaan dan kedamaian sejati di dalam
batinnya. Ia keluar dari lingkaran setan kehidupan yang dibangun oleh
moralitas. Jadi, apakah pikiranmu sudah jernih?
Agama dan Kekerasan
Ada pepatah Cina kuno yang mengatakan, ”Alat yang baik di
tangan orang jahat akan menjadi alat yang jahat.” Sebaik apapun
ajaran suatu agama, jika dianut oleh sekumpulan orang yang menderita
dan tersesat, maka agama itu akan menjadi jahat yang menghasilkan
penderitaan bagi banyak orang.
Pembunuhan wartawan-wartawan Charlie Ebdo di Paris sungguh
meng getarkan hati dunia. Lagi-lagi, agama digunakan untuk
membenarkan kekerasan. Sungguh menjijikan. Peristiwa ini terangkai
erat dengan pelbagai peristiwa kekerasan atas nama agama lainnya,
seperti ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) yang terus melakukan
pembunuhan massal di Irak dan mengancam negara-negara di Timur
Tengah lainnya.
Di Nigeria, kelompok Islam ekstrimis Boko Haram juga melakukan
pem bunuhan massal. Beberapa waktu lalu, kelompok Islam ekstrimis
juga melakukan pembunuhan massal terhadap anak-anak di Pakistan.
Di Israel, agama Yahudi dijadikan dasar sekaligus pembenaran
untuk melakukan penin dasan nyaris tanpa henti kepada Palestina.
Di negara kita, diskriminasi terhadap agama minoritas nyaris menjadi
makanan sehari-hari.
Tak jauh dari ingatan kita sebagai bangsa negara kita, Kristianitas
digunakan untuk pembenaran bagi proses penjajahan Eropa atas
seluruh dunia. Jutaan manusia manusia dari berbagai belahan dunia
mati dalam rentang waktu lebih dari 300 tahun, akibat peristiwa ini.
Sumber daya alam dikeruk demi kekayaan bangsa-bangsa Eropa.
Beragam budaya dan cara hidup hancur di dalam proses penjajahan
yang juga memiliki motif Kristenisasi seluruh dunia itu.
Di India, sebelum Natal 2014, sekitar 5000 keluarga diminta untuk
memeluk kembali Hinduisme. Mereka yang tidak mau mengubah
agama diminta untuk keluar dari India. Sebagai bangsa, India juga
terus dikepung oleh konfl ik yang terkait dengan agama. Fenomena
yang sama berulang kembali: agama digunakan untuk membenarkan
tindak kekerasan, guna membela kepentingan ekonomi dan politik
yang tersembunyi.
Mengapa ini bisa terjadi? Mengapa peristiwa dengan pola semacam
ini terus berulang? Mengapa agama, yang konon mengajarkan kebaikan
universal dalam hubungan dengan yang transenden, terus menerus
dipelintir untuk membenarkan tindakan biadab? Mengapa hubungan
agama dan kekerasan tidak juga bisa diputus? Mengapa kita nyaris
tidak belajar apapun dari pelbagai peristiwa biadab ini?
Berpikir Dualistik
Akar dari segala kejahatan dan kekerasan adalah pikiran. Semua
tindakan dimulai dari pikiran. Semua penilaian dan analisis mulai
dari pikiran. Maka, kita pun harus masuk ke ranah pikiran, guna
membongkar akar kekerasan.
Pada hemat saya, akar dari segala kejahatan adalah pola pikir
dualistik. Apa itu? Pola pikir dualistik selalu melihat dunia dalam dua
kutub yang bertentangan, yakni benar-salah, baik-buruk, suci-tidak
suci, beriman-kafi r, serta dosa-tidak dosa. Dengan pembedaan ini, kita
lalu terdorong selangkah lebih jauh untuk melihat orang lain sebagai
musuh (yang berdosa, kafi r, salah, dan buruk) yang harus dihancurkan.
Padahal, jika ditelaah lebih dalam, pola berpikir dualistik pada
dasarnya adalah salah. Tidak ada dualisme. Dualisme hanya ada di
dalam pikiran. Tidak ada perbedaan. Perbedaan hanya tampilan kulit
yang menutupi esensi yang sama dari segala hal.
Segala bentuk kekerasan dan kejahatan bisa dilenyapkan, jika kita
melepaskan pola berpikir dualistik. Kita lalu melihat diri kita sendiri
satu dan sama dengan segala hal, termasuk dengan alam, hewan dan
tumbuhan. Kita tidak lagi memiliki dorongan untuk mencap atau menyakiti apapun atau siapapun, karena kita semua, sejatinya, adalah
satu dan sama. Bahkan, pada situasi yang paling ekstrem, kita lebih
memilih untuk disakiti, daripada menyakiti orang lain.
Dualistik dan Kekerasan
Namun, pola berpikir dualistik tidak otomatis langsung menciptakan
kekerasan. Setidaknya, saya melihat dua hal yang mendorong pola
berpikir dualistik menjadi kekerasan. Yang pertama adalah kesenjangan
ekonomi yang besar antara orang kaya dan orang miskin. Ketika
sekelompok orang hidup dalam kemiskinan yang besar, sementara
mereka harus menyaksikan orang-orang kaya bergaya hidup mewah
setiap harinya, pola berpikir dualistik akan mendorong terciptanya
tindakan kekerasan.
Yang kedua adalah konfl ik masa lalu yang belum mengalami
rekonsiliasi, dan menjadi dendam. Ketika orang hidup dalam dendam,
segala hal akan tampak jelek di matanya. Ia akan bersikap jahat, seringkali tanpa alasan. Maka, segala konfl ik di masa lalu harus menjalani
proses rekonsiliasi, supaya ia tidak berubah menjadi trauma kolektif
dan dendam yang mendorong terciptanya kekerasan.
Sebagai manusia, kita perlu untuk memutus rantai pikiran yang
memisahkan. Kita perlu melihat dunia apa adanya, tanpa perbedaan.
Kita perlu sadar, bahwa segalanya adalah satu dan sama. Kita juga
perlu sadar, bahwa kita semua hidup dalam kesatuan jaringan yang
tak bisa dipisahkan. Pola berpikir dualistik haruslah dilampaui.
Di sisi lain, kita juga harus berusaha membangun masyarakat
tanpa kesenjangan sosial. Tidak boleh ada kesenjangan antara si kaya
dan si miskin. Semua harus mendapat hak yang sama sebagai manusia
yang bermartabat. Semua juga harus diberikan kesempatan untuk
membangun hidupnya secara bermartabat.
Berbagai konfl ik di masa lalu juga harus diakui dan menjalani
proses rekonsiliasi. Rekonsiliasi disini terkait dengan upaya untuk memperbaiki hidup korban dari konfl ik di masa lalu. Ia juga terkait
dengan mencari tahu, apa yang menjadi akar dan pola konfl ik yang
terjadi di masa lalu itu. Rekonsiliasi akan mengurangi kemungkinan
terjadinya konfl ik dengan pola yang sama di masa depan.
Agama dan Pengalaman Mistik
Setiap agama berawal dari pengalaman mistik manusia. Pengalaman mistik adalah pengalaman kesatuan dengan sesuatu yang lebih
tinggi dari manusia, entah itu alam, roh, Tuhan, Allah dan sebagainya.
Pengalaman mistik itu lalu dibagikan kepada orang lain, lalu
berkembang menjadi agama. Agama lalu menjadi bagian dari cara
hidup masyarakat tertentu.
Pengalaman mistik adalah inti dari semua agama. Agama tanpa
pengalaman mistik hanya seperti organisasi biasa. Di dalam pengalaman
mistik, orang melihat dirinya sebagai bagian dari kesatuan dengan
segalanya. Pengalaman ini lalu coba disampaikan seturut dengan caracara kultural yang ia miliki.
Sejatinya, pengalaman mistik tidak bisa dibagikan. Ia adalah
pengalaman kesatuan dengan segala hal, yakni pengalaman nondual. Ketika dibagikan atau disampaikan kepada orang lain, ia lalu
berubah menjadi pengalaman dualistik dan pola pikir dualistik. Pola
pikir dualistik ditambah dengan berbagai masalah sosial lainnya akan
berujung pada kekerasan. Inilah mengapa agama-agama sekarang
begitu mudah dipelintir dan bahkan menjadi motif utama terjadinya
kekerasan.
Dengan pola berpikir dualistik, setiap agama menulis kitab suci
dan merumuskan teologinya masing-masing. Namun, kitab sucii dan
teologi justru hanya menciptakan jurang yang lebih dalam, baik di
antara penganut agama tersebut, maupun dengan penganut agama
lainnya. Terciptalah kelompok-kelom pok, seperti kelompok pendosa,
kelompok suci, kelompok kafi r, kelom pok taat, kelompok progresif, kelompok konservatif dan sebagainya. Mereka lalu saling berperang
satu sama lain. Inilah hasil dari pola berpikir dualistik.
Maka dari itu, agama-agama sekarang ini haruslah melihat
kitab suci dan teologinya masing-masing tidak sebagai kebenaran
mutlak. Semuanya lahir dari pola berpikir dualistik yang tidak sesuai
dengan kenyataan dan kebenaran alamiah semesta. Agama-agama
harus kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman mistik.
Pengalaman mistik melampaui pola berpikir dualistik, dan masuk ke
ranah tanpa pembedaan.
Pola berpikir mistik menghasilkan kedamaian hati. Kedamaian hati
mendorong kedamaian sosial. Para teolog dari berbagai agama berdebat
dan bertengkar. Namun, para mistikus dari berbagai agama berjumpa
dalam diam, karena mereka tahu, mereka semua satu dan sama. Jadi,
agama-agama harus melihat tradisi, teologi dan kitab sucinya masingmasing hanya sebagai alat, dan bukan tujuan pada dirinya sendiri.
Ketika agama kembali ke akarnya masing-masing, yakni pengalaman
mistik kesatuan dengan segalanya, maka dunia akan damai. Ketika
agama tidak memutlakan ajaran-ajarannya masing, dan melihat
segalanya sebagai satu dan sama dalam jaringan yang tak terpisahkan,
maka akan tercipta kedamaian yang sejati. Agama tanpa kekerasan
hanya bisa dicapai dengan menyentuh pengalaman mistik kesatuan
batin manusia dengan semesta. Di ranah itu, kita tidak berjumpa dalam
perbedaan, melainkan dalam kesatuan.
Artinya, kita berjumpa dalam cinta… cinta yang sejati.
Dibalik segala kekerasan dan kejahatan, ada rasa takut bersembunyi…”
Awal Maret 2015, Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu,
berpidato di depan Konggres Amerika Serikat di Washington.
Ia berbicara soal bahaya dari negara Iran yang kemungkinan akan
memiliki senjata nuklir dalam waktu dekat. Netanyahu ingin menebar
rasa takut di kalangan Konggres Amerika Serikat, supaya AS turun
tangan langsung untuk berperang melawan Iran. Ia ingin menyuntikkan
rasa takut ke dalam politik luar negeri AS.
Sebagai sebuah negara, AS memang didirikan dari rasa takut terhadap tirani Kerajaan Inggris. Hampir sepanjang sejarahnya, AS hidup
sebagai sebuah negara yang dipenuhi kegelisahan dan rasa takut atas
musuh dari luar. Pada masa perang dunia kedua, Hitler dan Jerman
menjadi musuh. Pada masa perang dingin dan di awal abad 21, Uni
Soviet dan kelompok teroris Islam ekstrimis menjadi musuh. Karena
rasa takut ini, AS sering terlibat di dalam berbagai perang yang sia-sia.
Politik yang didorong oleh rasa takut juga bukan hal baru di
negara kita. Sejak awal, negara kita takut akan kembalinya pasukan kolonial Belanda dan Inggris. Seluruh politik Sukarno juga diarahkan untuk
menumpas segala bentuk neokolonialisme yang dibawah oleh negaranegara Barat. Pada masa Orde Baru, politik negara kita didorong oleh
rasa takut terhadap komunisme. Jejak-jejaknya masih terasa sampai
saat ini.
Kita pun seringkali diselimuti rasa takut. Kita takut akan
ketidakpastian masa depan dan keluarga kita. Apakah kita akan sukses
di kemudian hari? Apakah kita akan hidup sehat sampai usia tua?
Pertanyaan-pertanyaan ini menciptakan harapan sekaligus rasa takut
di dalam hidup kita. Di sisi lain, banyak orang juga takut akan masa lalunya. Mereka
menyesal telah berbuat kesalahan di masa lalu. Di masa kini, mereka
menanggung akibat dari kesalahan masa lalu mereka. Hari-hari mereka
dipenuhi dengan campuran antara rasa takut, cemas dan menyesal.
Namun, kita semua tahu, ketakutan terbesar kita adalah kematian.
Kita takut berpisah dengan keluarga dan orang-orang yang kita cintai,
ketika kita meninggal. Kita juga takut apa yang ada di kehidupan
berikutnya, setelah kita mati. Kita juga takut, ketika orang yang kita
cintai meninggalkan kita terlebih dahulu.
Ada masalah besar disini. Ketika kita takut, pikiran kita kacau.
Kita jadi melihat hal-hal yang tak ada. Sebaliknya, kita justru jadi
tidak menghargai hal-hal baik yang sudah ada. Rasa takut membuat
kita buta.
Pikiran yang kacau menyebabkan penderitaan di dalam hati kita.
Ketika kita menderita, maka tindakan kita juga kacau. Kita pun bisa
menyebabkan penderitaan bagi orang lain. Kebutaan akibat rasa takut
dan penderitaan yang menggerogoti hati kita mendorong kita untuk
berbuat jahat.
Pertimbangan-pertimbangan kita pun juga kacau, karena pikiran
yang kacau. Keputusan yang kita ambil banyak merugikan diri kita
sendiri. Orang lain pun juga terkena dampaknya. Orang-orang yang
hidup dengan kebutaan dan penderitaan akibat rasa takut, namun
memiliki kekuasaan politik yang besar, seperti George W. Bush dan
Benyamin Netanyahu, juga akan membawa penderitaan besar bagi
banyak orang.
Pada tingkat pribadi, rasa takut bisa memberikan penderitaan
batin yang besar. Banyak orang mengalami depresi, karena rasa takut
yang begitu besar di dalam dirinya. Mereka tidak bisa menemukan
kebahagiaan dan kedamaian di dalam hidupnya. Pada keadaan yang
sangat parah, orang memilih untuk bunuh diri, karena tak kuat lagi
menahan rasa takutnya.Mengapa kita merasa takut? Apa itu ketakutan? Mengapa ia bisa
menjadi daya dorong yang besar, bahkan bisa mendorong terciptanya
perang besar antara berbagai negara? Bisakah kita melampaui rasa
takut yang bercokol di dalam diri kita?
Ketakutan dan Akarnya
Ketakutan adalah antisipasi berlebihan terhadap apa yang akan
terjadi. Fokus dari ketakutan adalah masa depan. Ia belum terjadi,
namun kemungkinan akan terjadi. Kemungkinan ini didasarkan pada
pengalaman pahit diri sendiri maupun orang lain di masa lalunya.
Sumber dari rasa takut adalah pikiran kita. Kita membangun
bayangan atas apa yang akan terjadi pada diri kita. Bayangan tersebut
menghantui kita, dan membuat pikiran kita menjadi kacau. Pikiran
kacau juga akan menciptakan hidup yang kacau.
Jadi, rasa takut adalah bayangan. Ia belum terjadi. Kemungkinan
juga, ia tidak akan pernah terjadi. Rasa takut tidak ada pada dirinya
sendiri, melainkan sangat tergantung dari cara berpikir dan keadaan
pikiran kita.
Darimana bayangan yang menciptakan rasa takut ini muncul?
Hubungan kita dengan orang lain dan dengan kenyataan itu sendiri
melahirkan rasa takut dalam diri kita. Kita mendengar cerita dari orang
lain yang mengalami pengalaman jelek, lalu kita menjadikan cerita jelek
itu sebagai bagian dari bayangan kita. Rasa takut pun kemudian lahir.
Pengalaman pribadi kita sendiri di masa lalu juga menciptakan rasa
takut. Kita mengalami pengalaman pahit di masa lalu. Lalu, kita takut,
andaikan pengalaman itu terulang kembali. Kita pun melakukan segala
hal untuk mencegahnya. Upaya pencegahan ini seringkali melahirkan
rasa tegang dan rasa takut di dalam batin kita.
Ketika kita mendengar cerita pahit tentang hidup orang lain, kita
seringkali menerimanya begitu saja sebagai kebenaran. Kita tidak
menggunakan pikiran kritis untuk bertanya, apakah cerita itu benar, atau tidak. Jadi, ketakutan juga bisa lahir dari pikiran yang tidak kritis,
yakni pikiran yang gampang percaya. Orang semacam ini gampang
sekali menjadi korban adu domba dan provokasi orang lain.
Pikiran yang tidak kritis menciptakan delusi di dalam pikiran kita.
Delusi, dalam arti ini, berarti kesalahan berpikir tentang kehidupan dan
kenyataan itu sendiri. Delusi membuat kita memiliki rasa takut yang
akhirnya membuat kita hidup menderita. Kita tidak bisa menemukan
kedamaian dan kebahagiaan di dalam hati kita.
Melampaui Rasa Takut
Di dalam tradisi Zen Buddhisme, tugas utama setiap manusia
adalah memahami pikirannya. Memahami pikiran berarti memahami
jati diri asali setiap orang, sebelum ia masuk ke dalam dunia sosial.
Memahami pikiran juga berarti menyadari, bahwa pikiran itu tidak
ada. Memahami jati diri asali manusia berarti juga menyadari, bahwa
”jati diri” itu tidak ada.
Ketika diri dan pikiran disadari sebagai tidak ada, maka orang
tidak akan pernah merasa takut lagi dalam hidupnya. Semua peristiwa
yang menimpanya dianggap sebagai peristiwa biasa, yakni bagian kecil
dari jagad semesta ini. Orang lalu tidak lagi hidup dengan pikirannya,
melainkan dengan kesadarannya. Ia menjadi pribadi yang peka, peduli
dan terlibat untuk membantu orang-orang di sekitarnya yang kesulitan.
Eckhart Tolle di dalam bukunya yang berjudul Jeĵ t! Die Kraft der
Gegenwart juga menegaskan, bahwa masa lalu itu tidak ada. Masa lalu
itu hanyalah bayangan semata yang tidak punya objek yang konkret.
Rasa takut akibat dari kesalahan masa lalu juga hanyalah bayangan
semata yang rapuh dan fana. Yang sesungguhnya ada hanyalah masa
kini.
Jika masa lalu itu hanya bayangan, bagaimana dengan masa depan?
Masa depan pun juga merupakan bayangan. Rasa takut akan masa
depan, menurut Hinnerk Polenski dalam bukunya Hör auf zu denken, sein einfach glücklich, adalah ilusi atau bayangan yang mengacaukan
pikiran manusia. Ia tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan hanya
muncul dari pikiran manusia.
Kematian pun juga sejatinya tidak ada. Ia hanya bagian dari
proses perubahan semesta. Mistikus Islam, Rumi, menegaskan, bahwa
kematian hanya merupakan tipuan dari mata. Seluruh panca indera kita
menipu kita dengan memberikan kesan perpisahan yang sesungguhnya
tak ada.
Jika kematian tak ada, maka kehidupan pun juga tak pernah ada.
Kita semua hanya numpang lewat minum teh di dunia ini, begitu kata
kebijaksanaan kuno Jawa. Kita hanya perlu hidup sesederhana dan
sebaik mungkin, supaya kita bisa memberikan kebahagiaan pada diri
kita sendiri, dan pada orang lain. Sisanya hanya sementara dan fana,
maka kita tidak perlu terlalu serius dan ambisius dalam hidup ini.
Segala hal adalah lahir dari pikiran manusia. Rasa takut juga lahir
dari pikiran kita. Kematian dan kehidupan juga adalah konsep hasil
ciptaan pikiran kita. Namun, pikiran kita bersandar pada panca indera
kita yang sesungguhnya rapuh. Maka, pikiran kita pun rapuh. Jangan
percaya dengan pikiran yang muncul di kepalamu, begitu kata Seung
Sahn, Zen Master dari Korea dalam bukunya The Compass of Zen.
Ketika pikiran dilepas, kita akan menemukan kedamaian. Ketika
pikiran dilepas, maka kematian, kehidupan, masa lalu, masa depan
dan segala bentuk ketakutan akan lenyap dalam sekejap mata. Kita
pun bisa hidup dengan kesadaran penuh yang melahirkan kedamaian
dan kebahagiaan di dalam hati. Kita pun lalu bisa menolong orang lain
yang membutuhkan kita.
Hidup ini tidak sulit. Hidup ini juga tidak mudah. Hidup ini hanya
perlu dijalani apa adanya. Para fi lsuf Stoa mengajarkan kita untuk tidak
membuat penilaian dalam hidup ini. Kita hanya perlu hidup dari saat
ke saat.
Hidup dari saat ke saat adalah hidup yang sempurna. Rasa takut
tidak ada. Masa lalu dan masa depan tidak ada. Kehidupan dan
kematian juga tidak ada. Yang ada hanya satu: kedamaian sejati.
Para politikus kita perlu sampai pada kesadaran ini. Hanya dengan
cara ini, politik kita di negara kita bisa berkembang untuk memajukan
keadilan dan kesejahteraan bersama. Sistem raksasa dengan aturan
hukum yang banyak akan percuma, jika manusia-manusia pelaksananya
diselubungi rasa takut dan penderitaan. Itu hanya menciptakan sistem
politik yang mahal, namun tanpa hasil nyata.
Benyamin Netanyahu juga perlu untuk keluar dari rasa takutnya,
supaya ia bisa melihat keadaan dengan lebih jernih, dan membuat
keputusan dengan lebih bijak. Sudah waktunya pula negara kita
melepaskan ketakutannya pada komunisme. Kita harus meninggalkan
politik rasa takut dengan terlebih dahulu melampaui rasa takut yang
bercokol di dalam hati kita. Suatu saat, kita akan bisa berkata, ”Masih
takut? Harigeneee?”
Semua orang pasti pernah merasa takut. Saya pernah merasa takut.
Anda juga pasti pernah merasa takut. Takut menjadi bagian hidup
manusia dari seluruh jaman.
Padahal, rasa takut adalah benda paling jahat di dunia. Ia membuat
orang khawatir berlebihan akan hidupnya. Pikirannya kacau. Badannya
pun juga ikut sakit.
Orang menderita, karena diterkam rasa takut. Hidupnya bagai di
neraka. Orang yang merasa takut juga cenderung jahat pada orang
lain. Ia gampang marah, dan gampang berbuat kasar.
Pada tingkat yang lebih tinggi, rasa takut juga menciptakan
perang. Kelompok yang satu khawatir, bahwa kelompok lainnya akan
menyerang dia. Maka, ia menyerang duluan. Perang pun meletus.
Pada tingkat pribadi, rasa takut menciptakan penyakit jiwa.
Deretan penyakit jiwa muncul, karena orang merasa takut. Rasa takut
juga mendorong orang berbuat yang aneh-aneh. Pada kasus yang parah,
rasa takut mendorong orang untuk melakukan bunuh diri.
Apa it u rasa takut? Mengapa orang merasa takut? Bagaimana cara
melampaui rasa takut? Inilah pertanyaan-pertanyaan penting untuk
hidup setiap orang.
Rasa Takut
Rasa takut adalah perasaan tegang di dalam pikiran, karena
kemungkinan akan kehilangan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa harta,
reputasi atau hidup. Rasa takut biasanya timbul, karena perasaan
terancam. Ada yang mengancam harta kita, reputasi kita atau hidup
kita, sehingga kita lalu merasa takut.
Akar rasa takut, sejatinya, adalah kesalahan berpikir. Kita mengira,
sesuatu itu abadi. Maka, kita lalu menggantungkan hidup kita pada
sesuatu itu, entah uang, reputasi atau pekerjaan kita. Kita mengira,
semua itu adalah kebenaran sejati yang akan ada selamanya.
Kita mengira, dunia itu ada. Kita mengira, uang itu ada. Kita
mengira, reputasi itu ada. Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, segala
sesuatu itu kosong. Ia ada, karena pikiran kita semata.
Kita juga mengira, kita ini ada. Kita mengira, reputasi kita adalah
segalanya. Kita mengira, karir kita adalah segalanya. Padahal, jika
dicari lebih dalam, kita tidak akan menemukan sesuatu yang utuh dan
abadi di dalam diri, reputasi ataupun karir kita. Semuanya fana dan
sementara, bagaikan bayangan.
Kita ditipu oleh pikiran kita sendiri. Pikiran kita menciptakan
segalanya, dan kita mengira, itu semua sebagai benar, utuh dan abadi.
Padahal, pikiran kita itu rapuh. Ia bisa berubah, dan bahkan lenyap.
Melampaui Rasa Takut
Obat paling manjur untuk rasa takut adalah dengan menyadari,
bahwa segala sesuatu itu kosong, bagaikan bayangan. Dunia itu kosong.
Diri kita itu kosong. Yang ada hanyalah ruang hampa yang besar dan
mencakup semuanya.
Tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Semuanya adalah ”apa adanya”. Tidak baik, tidak buruk, tidak benar,
tidak salah, semuanya hanya ”apa adanya”.
Jika obat ”kekosongan” ini diminum, kita akan bebas dari rasa
takut. Kita tidak akan menderita secara batin ataupun badan. Kita juga
tidak akan membuat orang lain susah. Kita hanya hidup saat demi saat
dengan kejernihan dan kedamaian hati.
Jika lapar, maka kita makan. Jika haus, maka minum. Jika lelah,
maka tidur. Semuanya dilakukan dengan kesederhanaan, tanpa rasa
takut.
Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu adalah
kebijaksanaan tertinggi. Orang yang menyadarinya akan bebas dari rasa
takut. Bebas dari rasa takut berarti bebas dari penderitaan. Bebas dari
penderitaan berarti hidup yang penuh dengan kedamaian, kejernihan
dan cinta untuk semua.
Jadi, tunggu apa lagi?
Sewaktu pertama kali datang ke kota Munich di Jerman 3 tahun yang
lalu, saya tidak suka kota ini. Orang-orangnya tidak ramah. Mereka
bergerak amat cepat, dan tidak peduli dengan orang lain. Suasananya
menciptakan kesepian dan rasa tegang.
Namun, setelah tinggal disini beberapa lama, pendapat saya
berubah. Orang-orang Munich tetap cuek dan berjalan amat cepat,
tetapi itulah budaya dan kebiasaan mereka. Ini tidak baik, dan juga
tidak buruk. Dalam banyak aspek, Munich adalah kota yang nyaman
sebagai tempat tinggal, dan membangun keluarga.
Jadi, awalnya, saya berpikir A. Dan kemudian, saya berpikir B.
Berikutnya, mungkin, saya akan berpikir C. Yang mana yang benar?
Bagaimana memahami pikiran yang berubah-ubah ini?
Pikiran Manusia
Kota Munich tetap ada disini dan saat ini. Namun, kesan saya
berubah. Pengalaman saya berubah. Kesan dan pengalaman saya pun
mempengaruhi sikap hidup saya disini.
Darimana datangnya kesan dan pengalaman? Jawabannya jelas,
yakni dari pikiran. Dari mana asal pikiran manusia? Ini pertanyaan
menarik yang mendorong para ilmuwan dari berbagai bidang untuk
melakukan penelitian.
Kes an biasanya muncul dari pengamatan. Kita melihat dan
mengamati sesuatu, lalu timbul kesan tertentu tentang sesuatu itu. Bisa
dibilang, dari pengamatan lalu muncul pikiran, dan kemudian kesan.
Namun, pengamatan pun selalu membutuhkan pikiran.
Jika disederhanakan, urutannya begini. Pengamatan dengan indera
dan pikiran, lalu melahirkan kesan. Kesan lalu melahirkan pendapat,
dan pendapat lalu mendorong tindakan. Tindakan lalu membentuk
realitas, dan akhirnya, realitas itu diamati lagi dengan indera dan
pikiran. Begitu seterusnya.
Dari sini bisa disimpulkan, bahwa realitas adalah hasil dari
bentukan pikiran kita. Karena pikiran kita berubah seturut dengan
pengamatan dan kesan, maka realitas hidup kita pun berubah. Hari
ini, kita bahagia. Besok, mung kin ada masalah yang datang.
Pikiran kita begitu mudah berubah, karena berbagai hal, mulai
dari kondisi biologis sampai sosial politik. Oleh karena itu, kita bisa
membuat kesimpulan, bah wa pikiran kita bukanlah kebenaran itu
sendiri. Ia bisa salah, dan bahkan seringkali salah. Realitas hasil ciptaan
pikiran kita pun bukanlah realitas sesungguhnya.
Menyingkapi Pikiran
Jika pikiran kita kerap kali salah, lalu bagaimana kita harus hidup?
Per tanyaan ini, pada hemat saya, harus dipukul lebih jauh dengan
pertanyaan berikut, apakah diri kita hanya pikiran kita semata?
Apakah pikiran di kepala kita identik dengan keseluruhan diri kita?
Jika dipikiran secara mendalam, jawabannya jelas: bukan.
Jadi, biarkan pikiran datang dan pergi. Jangan percaya dengan
pikiranmu. Anda dan saya tidaklah sama dengan pikiran yang datang
dan pergi di kepala kita. Gunakan pikiranmu seperlunya, namun
jangan pandang dia mentah-mentah sebagai kebenaran mutlak tentang
segalanya.
Inilah yang disebut kebebasan sesungguhnya. Orang yang bebas
dari pikir annya sendiri berarti ia tidak diperbudak oleh suarasuara yang ada di kepala nya. Ia bisa berpikir dengan jernih untuk
menyingkapi berbagai hal dalam hidupnya. Ia bisa menjadi orang yang
bijaksana di dalam beragam keadaan.
Ketika sedih datang, kita sedih. Ketika gembira datang, kita
gembira. Kita biarkan semuanya datang dan pergi, tanpa keinginan untuk memegang erat-erat pikiran yang datang. Ingat, kita bukanlah
pikiran kita.
Tidak Tahu
Jika pikiran kita kerap kali salah, maka apa yang harus kita percaya
di dalam hidup kita, terutama untuk membuat beragam keputusan?
Pertama, kita harus sadar, bahwa pengetahuan kita tentang dunia tidak
pernah sepenuhnya benar. Dengan kata lain, kita sesungguhnya tidak
tahu, apa yang ada di dalam realitas.
Ketika kita sepenuhnya sadar, bahwa kita tidak tahu, maka
semuanya akan