Rabu, 22 November 2023

manusia 3

 menjadi jelas. Inilah yang disebut sebagai ”pikiran 
tidak tahu”, yakni pikiran yang terbuka untuk beragam kemungkinan. 
Pikiran semacam ini jauh dari keyakinan akan kebenaran mutlak. 
Ketika kita hidup dengan ”pikiran tidak tahu ini”, maka intuisi kita 
akan terlatih.
Intuisi adalah pengalaman langsung dengan kehidupan, tanpa 
bahasa dan tanpa konsep. Dengan kata lain, intuisi adalah pengalaman 
langsung dengan kehidupan, tanpa menggunakan pikiran. Ketika 
intuisi kita terlatih, kita akan tahu apa yang harus dilakukan di dalam 
berbagai situasi dalam hidup kita. Kebenaran sejatinya sudah jelas di 
depan mata kita. Hanya pikiran kita yang menghalangi kita untuk 
sungguh mengalami kebenaran itu.
Jadi, jangan percaya pada pikiranmu….Kita hidup di dunia yang tak selalu sesuai dengan keinginan kita. 
Ketika keinginan dan harapan kita rontok di depan mata, kita 
mengalami krisis hidup. Ketika krisis berulang kali terjadi, kita pun 
lalu merasa putus asa. Kita mengira, bahwa hidup ini tidak bermakna, 
dan tidak layak untuk dijalani.
Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, hidup adalah kemungkinan 
tanpa batas. Orang bisa melakukan apapun, selama ia memiliki 
komitmen untuk bekerja dan berpikir, guna mewujudkan harapan 
serta keinginannya. Salah satu kemampuan penting untuk mencapai 
cara berpikir ini sudah selalu terletak di otak kita sendiri. Rasa putus 
asa dan patah arang sebenarnya tidak perlu terjadi.
Pen elitian-penelitian terbaru dengan otak dan kesadaran yang 
dikembang kan di dalam fi lsafat dan neurosains (Begley, Davidson, 
Schwarĵ , Hüther) menunjukkan satu hal, bahwa perubahan di dalam 
diri manusia itu adalah sesuatu yang mungkin. Ini bukan hanya 
sekedar perubahan cara berpikir, tetapi juga termasuk perubahan 
struktur biologis otak manusia itu sendiri. Di dalam berbagai wacana 
ilmiah, hal ini dikenal sebagai neuroplastisitas (Neuroplastizität), yakni 
kemampuan otak untuk terus berubah, sepanjang hidup manusia. 
Otak bukanlah mesin biologis tak bernyawa, melainkan sebuah sistem 
biologis yang bisa terus berubah dan berkembang.
Neuroplastisitas
Neuroplastisitas adalah kemampuan otak manusia untuk mengubah 
bera gam jaringan saraf dan sel yang ada di dalamnya. Ini bisa terjadi 
sepanjang hidup manusia. Dulu, para ilmuwan dan fi lsuf mengira, 
bahwa otak hanya bisa ber ubah, ketika orang masih berusia muda. Orang dewasa sudah memiliki pola jaring an otak yang tetap dan tak 
akan bisa diubah, apalagi jika ia sudah berusia senja.
Setelah melalui beragam penelitian yang panjang dan berulang, 
pandangan ini pun dipatahkan. Dengan melakukan beberapa tindakan 
tertentu, atau mengubah pola hidup secara keseluruhan, struktur otak 
seseorang bisa berubah. Bahkan, orang-orang yang telah mengalami 
luka di otaknya, misalnya telah mengalami stroke atau memiliki 
semacam penyakit di otaknya, juga bisa mengubah struktur otaknya. 
Ia tidak hanya bisa menjadi sembuh, tetapi juga bisa meningkatkan 
kinerja otaknya.
Dengan latihan yang sistematis, otak bisa menjadi sehat kembali, 
walaupun ia telah mengalami luka sebelumnya. Struktur otak kita, 
dan fungsi serta kinerjanya, amat tergantung dari bagaimana kita 
menggunakan otak kita di dalam berpikir. Jika kita bermalas-malasan 
sepanjang hari, maka jaringan sel saraf di otak juga akan membentuk 
pola hubungan tertentu. Sebaliknya, jika kita rajin belajar sesuatu 
yang baru, jaringan saraf di otak kita akan menebal, dan kinerja serta 
kesehatannya pun juga akan membaik.
Mengapa Ini Penting?
Hasil penelitian ini amat penting untuk hidup manusia, karena 
memberi kita harapan nyata, bahwa hidup kita bisa berubah. Krisis 
tidak selamanya bertahan. Luka dan sakit bisa disembuhkan, asal 
kita mau bekerja keras. Nasihat-nasihat semacam ini sekarang bukan 
sekedar himbauan belaka, tetapi didukung oleh ratusan hasil penelitian 
yang dilakukan oleh berbagai ilmuwan bermutu di seluruh dunia.
Pola pikir kita menentukan struktur otak kita, sekaligus 
kesehatannya. Jika kita rutin berpikir tentang hal-hal yang menyakitkan 
kita, maka otak kita akan terbentuk dengan mengikuti pola negatif 
semacam ini. Otak kita akan membentuk jaringan saraf dengan pola 
ini, dan ini akan juga mempengaruhi kepribadian secara mutu hidup kita secara keseluruhan. Kebiasaan kita akan membentuk otak kita, 
dan keduanya akan mempengaruhi mutu hidup kita.
Ketika orang mengalami depresi, ia hidup dengan satu pola pikir, 
bahwa hidupnya dipenuhi penderitaan, dan semuanya terasa tidak 
bermakna. Dengan pola pikir semacam ini, ia tidak dapat bekerja, 
berkonsentrasi dan juga tidak dapat mempertahankan hubungan 
sosial dengan teman maupun keluarganya. Jika cara berpikir semacam 
ini dipertahankan, maka struktur otak dan kesadarannya pun akan 
mengambil pola ini.
Di dalam wacana ilmiah, ini disebut sebagai pikiran sirkuler 
(zirkuläres Denken), atau pikiran berulang. Artinya, pikiran kita 
mengulang pola yang sama terus menerus, sehingga ia membentuk 
struktur otak dan kepribadian kita secara umum. Namun, ini bukanlah 
keadaan yang tetap. Ia dapat diubah, asal orang mau belajar untuk 
membentuk pola berpikir baru yang nantinya akan mempengaruhi 
struktur otak serta kepribadiannya.
Mengubah pola pikir tentu bukan proses yang mudah. Dibutuhkan 
usaha serta movitasi yang kuat. Dukungan dari lingkungan sekitar pun 
juga amat penting. Namun, proses ini tentu amat layak diperjuangkan, 
karena ini dapat meningkatkan mutu hidup kita, dan juga bisa 
membantu orang lain yang terjebak pada pola pikir yang mengundang 
penderitaan. Ada dua metode yang kiranya bisa diterapkan.
Beberapa Metode
Metode pertama untuk mengubah pola pikir kita adalah dengan 
hidup dalam kesadaran (Achtsamkeit). Ini berarti, kita hidup saat 
demi saat dengan kepenuhan serta kesadaran. Ketika kita makan, kita 
sepenuhnya makan. Ketika kita berjalan, kita sepenuhnya berjalan. 
Dimana tubuh kita berada, disitu pikiran kita berada.
Metode kedua adalah apa yang di dalam fi lsafat Timur disebut 
sebagai meditasi. Meditasi berarti melihat kenyataan apa adanya, tanpa ditambahi dengan analisis, konsep dan penilaian dari kita. Meditasi 
juga berarti mencerap kenyataan disini dan saat ini apa adanya. Ketika 
kita hidup dalam pola meditatif ini, otak kita akan tenang, jernih dan 
sehat, sehingga bisa digunakan untuk apapun.
Inti dari kedua metode ini sebenarnya sama, yakni kembali ke 
saat ini (das ewige Jeĵ t). Sekarang adalah satu-satunya waktu yang 
kita punya. Disini adalah satu-satunya tempat yang bisa kita tempati. 
Dengan hidup sepenuhnya disini dan saat ini, orang bisa membentuk 
pola berpikir baru yang menciptakan kesehatan dan kejernihan bagi 
struktur otaknya, sekaligus meningkatkan mutu hidupnya secara 
keseluruhan.
Ketinggalan
Ini sebenarnya bukan ide baru. Filsafat Timur yang berkembang 
di India, Cina, Jepang, Korea, Srilangka, Thailand dan kemudian 
menyebar ke negara kita sudah mengetahui dan menerapkan hal ini 
selama berabad-abad. Fokus utama fi lsafat Timur adalah memahami 
hakekat pikiran manusia, yang juga berarti cara kerja otaknya, dan 
mendorongnya untuk mencapai hidup yang penuh dan bahagia. Dari 
tradisi semacam ini, Yoga dan Zen berkembang, serta menyebar ke 
seluruh dunia sekarang ini.
Tentang kaitan antara otak, kesadaran, pikiran dan kebahagiaan 
manusia, fi lsafat Timur juga jauh melampaui ilmu pengetahuan dan 
fi lsafat Barat. Hal yang sama juga terjadi di bidang kesehatan mental. 
Para Yogi, Ajahn dan Zen Master di berbagai negara Asia telah berhasil 
menemukan cara untuk membangun hidup yang bermutu dan sehat, 
sehingga lalu tidak hanya bisa menolong orang lain, tetapi juga semua 
mahluk yang ada di alam semesta. Penelitian terbaru terkait dengan 
otak dan neuroplastisitas hanya menegaskan ulang apa yang telah 
diketahui dan diterapkan oleh para master di dalam fi lsafat Timur 
selama ribuan tahun.Lepas dari pada itu, kita bisa yakin akan satu hal, bahwa keadaan 
hidup kita sekarang ini bukanlah titik fi nal. Semua bisa diubah, asal 
kita memiliki motivasi dan berusaha. Ada beragam metode yang bisa 
membantu. Namun, semuanya kembali ke satu dorongan dasar semua 
mahluk hidup: mencapai kebahagiaan. Selamat mencoba!






Begitu banyak orang mengalami penderitaan dalam hidupnya. 
Hampir semua bentuk penderitaan datang dari pikiran, baik 
dalam bentuk kecemasan akan masa depan, maupun penyesalan 
atas masa lalu. Penderitaan nyata sehari-hari bisa dilampaui dengan 
baik, jika orang mampu berpikir jernih, jauh dari kecemasan dan 
penyesalan yang kerap mencengkram pikirannya. Sebaliknya, hal kecil 
akan menjadi sulit dan rumit, ketika pikiran orang dipenuhi dengan 
kecemasan dan penyesalan.
Orang semacam itu akan sulit berfungsi di masyarakat. Mereka 
tidak bisa menolong diri mereka sendiri. Akibatnya, mereka pun 
cenderung menjadi penghambat bagi orang lain, dan bahkan bisa 
membuat orang lain menderita. Beban pikiran yang berlebihan 
membuat orang tak mampu menyadari, betapa indah dan sederhana 
hidup manusia itu sebenarnya.
Pikiran Manusia
Kunci untuk mencegah hal ini adalah dengan memahami hakekat 
dan gerak pikiran manusia. Setiap bentuk konsep adalah hasil dari 
pikiran manusia. Dengan konsep itu, manusia lalu menanggapi 
berbagai keadaan di luar dirinya. Dalam hal ini, emosi dan perasaan 
juga merupakan hasil dari konsep yang berakar pada pikiran manusia.
Apa ciri dari pikiran manusia? Ada tiga ciri mendasar, yakni 
tidak nyata, sementara dan rapuh. Pikiran itu bukanlah kenyataan. Ia 
adalah tanggapan atas kenyataan. Pikiran dibangun di atas abstraksi 
konseptual atas kenyataan.
Pikiran juga sementara. Ia datang, ia pergi, dan ia berubah. Cuaca 
berubah, maka pikiran juga berubah. Ketika lapar, pikiran melemah. 
Dan sebaliknya, ketika perut kenyang, pikiran bekerja lebih maksimal.In i menegaskan ciri selanjutnya, bahwa pikiran itu rapuh. Apa 
yang kita pikirkan sama sekali belum tentu benar. Bahkan, keyakinan 
kita atas pikiran kita cenderung mengarahkan kita pada kesalahan dan 
penderitaan, baik penderitaan diri sendiri maupun orang lain. Pikiran 
kita begitu amat mudah berubah, dan ini jelas menandakan kerapuhan 
dari semua bentuk pikiran kita.
Ekspresi, Represi dan Observasi
Namun, sayangnya, banyak orang mengira, bahwa pikiran mereka 
adalah kenyataan. Mereka mengira, bahwa pikiran mereka adalah 
kebenaran. Emosi dan segala bentuk perasaan, yang merupakan 
buah dari pikiran, juga dianggap sebagai realita. Mereka mengalami 
kesulitan untuk menjaga jarak dari pikiran mereka sendiri.
Pada titik ini, biasanya orang melihat dua kemungkinan, yakni 
ekspresi dan represi. Ekspresi berarti mengeluarkan semua bentuk 
pikiran tersebut dalam bentuk tindakan ataupun kata-kata. Biasanya, 
orang lain menjadi obyek dari tindakan ini. Beberapa diantaranya 
merasa terhina, sehingga membalas, dan membentuk semacam 
lingkaran kekerasan yang lebih besar.
Represi berarti menekan dan menelan semua emosi dan pikiran 
yang muncul. Pada pikiran dan emosi yang ekstrem, ini menciptakan 
rasa sakit yang luar biasa. Dalam jangka panjang, ini bisa menciptakan 
penyakit fi sik yang berbahaya, seperti misalnya kanker atau sakit 
jantung. Represi emosi dan pikiran jelas bukan merupakan jalan yang 
tepat.
Ekspresi menciptakan masalah sosial. Represi menciptakan masalah 
personal. Banyak orang terjebak di antara keduanya. Mereka tidak 
dapat keluar dari pikiran dan emosi yang mereka anggap nyata.
Namun, ada jalan keluar dari kebuntuan ini, yakni observasi. 
Observasi berarti tindak mengamati apa yang terjadi di dalam pikiran 
kita secara seksama. Kita mengamati muncul dan bergantinya pikiran dari satu obyek ke obyek lainnya. Kita bisa melihat, bagaimana emosi, 
perasaan dan pikiran terbentuk, dan kemudian berlalu.
Dengan cara ini, kita menciptakan jarak dengan segala hal yang 
muncul di kepala kita. Kita tidak lagi percaya, bahwa itu semua adalah 
kebenaran. Hasilnya, semua emosi, pikiran dan perasaan tidak akan 
mempengaruhi kita. Kita mengalami kebebasan yang sesungguhnya.
Apa yang Sedang Mengamati?
Ketika kita mengamati semua bentuk emosi, perasaan dan pikiran 
yang muncul, kita lalu bertanya, apa ini yang sedang mengamati? Siapa 
ini yang sedang mengamati? Yang jelas, kita bukanlah pikiran kita. Kita 
juga bukanlah emosi dan perasaan kita, karena semua itu datang dan 
pergi, serta amat rapuh.
Jika kita bukan pikiran, perasaan maupun emosi kita, lalu apa atau 
siapakah kita? Siapa ini yang sedang mengamati? Kita bisa menjawab 
dengan jawaban-jawaban lama, seperti jiwa atau roh. Namun, jiwa dan 
roh adalah konsep-konsep yang merupakan hasil dari pikiran kita, 
maka ia juga tidak nyata, sementara dan amat rapuh.
Pertanyaan ini membuka ruang baru di dalam hidup kita. Jika 
dilakukan secara berkala, yakni bertanya ”Siapa ini yang sedang 
mengamati?”, kita akan menyadari kehadiran sang pengamat ini. Ia 
mengamati setiap detik pikiran, emosi dan perasaan yang muncul 
dan pergi di dalam diri kita. Kesadaran ini membuat kita lebih kuat 
menghadapi segala hal yang mungkin terjadi di dalam hidup. Dalam 
jangka panjang, tidak ada emosi, pikiran ataupun perasaan yang bisa 
mempengaruhi diri kita lagi.
Bukankah ini yang disebut kedamaian sejati?


Semua konfl ik di dunia ini terjadi, karena orang mengira, bahwa 
kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Mereka mengira, 
bahwa ini adalah jalan keluar satu-satunya. Jika kekerasan tak dibalas 
dengan kekerasan, ada perasaan tidak puas di dalam diri. Bahkan, pola 
semacam ini sudah menjadi begitu otomatis, sehingga orang tidak lagi 
menyadarinya.
Bom harus dibalas dengan bom. Pukulan harus dibalas dengan 
pukulan. Mata ganti mata. Gigi ganti gigi. Nyawa ganti nyawa.
 Padahal, jika melihat sejarah, kita akan menemukan, bahwa 
kekerasan tidak pernah menjadi jalan keluar. Kekerasan hanya 
melahirkan kekerasan. Tidak lebih dan tidak kurang. Buahnya adalah 
penderitaan dan kemarahan yang semakin dalam.
Dendam
Di balik pola ini, ada satu hal yang sama, yakni dendam. Dendam 
adalah perasaan tidak terima, karena orang merasa diperlakukan tidak 
adil. Dendam menjadi dasar untuk melakukan tindakan balasan, yakni 
kekerasan. Disini berlaku hukum yang sama, kekerasan akan terus 
melahirkan kekerasan dan penderitaan, sampai kekerasan itu diputus.
Jelas, bahwa kita harus mencari jalan lain. Kita perlu menyadari, 
bahwa dendam tidak pernah menghasilkan apapun yang baik. Pepatah 
Buddhis berikut kiranya benar, bahwa orang yang menyimpan dendam 
itu seperti orang yang membawa bara api di tangannya, dan mau 
melemparkan itu ke orang lain. Orang yang menyimpan dendam itu 
terluka terlebih dahulu, bahkan sebelum ia menyakiti orang lain.
Oleh karena itu, kita harus mendidik rasa dendam yang ada di 
dalam diri kita. Kita perlu memahami bara api yang kita pegang di tangan kita sendiri ini. Tujuannya, supaya kita bisa memutus rantai 
kekerasan dan penderitaan yang terjadi. Hanya dengan begitu, 
perdamaian menjadi mungkin.
Bagaimana cara mendidik dendam? Kita harus memahami akar 
dendam itu sendiri. Dengan pemahaman ini, kita akan sadar, apa 
arti dendam itu sesungguhnya. Pemahaman ini juga membantu kita 
memutus rantai kekerasan yang adalah buah dari rasa dendam.
Akar Dendam
Dendam memiliki dua kaki, yakni amarah dan rasa takut. Amarah 
muncul, karena keinginan kita tidak sejalan dengan kenyataan yang 
terjadi. Rasa takut muncul, karena ketidakpastian dari kehidupan itu 
sendiri. Ketika dua hal ini bertemu, dendam lalu muncul sebagai reaksi 
atas hal-hal yang tak diinginkan.
Padahal, jika diamati dengan jeli, amarah dan takut itu sejatinya 
kosong. Keduanya tidak memiliki inti pada dirinya sendiri. Keduanya 
lahir dari kesalahan berpikir. Jika kesalahan berpikir itu diperbaiki, 
maka keduanya akan lenyap secara alami.
Kesalahan berpikir macam apa yang terjadi disini? Yang pertama 
adalah, bahwa kenyataan harus selalu sesuai dengan keinginan kita. 
Ini jelas tidak akan pernah mungkin terjadi. Di dalam fi lsafat Jerman, 
ini disebut tegangan antara apa yang ada (das Sein) dan apa yang 
seharusnya terjadi (das Sollen) yang menghasilkan ”rasa sakit dunia” 
(Weltschmerz). Tegangan ini menghasilkan banyak emosi jelek di dalam 
diri manusia; salah satunya adalah amarah.
Ketika kita melepaskan keinginan kita, kita lalu bisa menerima 
kenyataan apa adanya. Kita tidak lagi memaksakan, supaya dunia 
berjalan sesuai dengan keinginan kita. Kita melepaskan mimpi dan 
harapan-harapan kosong kita akan kehidupan. Di titik ini, kita 
menemukan kedamaian yang sesungguhnya.Yang kedua adalah soal ketidakpastian hidup yang membuat kita 
merasa takut. Jika dipikirkan lebih dalam, hidup itu sendiri adalah 
ketidakpastian. Setiap saat, segala hal bisa terjadi pada kita.
Di detik berikutnya, kita bisa mati tersengat listrik, atau mendapat 
hadiah undian jutaan rupiah. Siapa yang tahu? Ketika kita bisa 
menerima ketidak pastian ini sebagai bagian dari hidup kita, maka rasa 
takut pun akan hilang dengan sendirinya.
Kekosongan dari Dendam
Dendam lahir dari amarah dan takut. Namun, amarah dan takut 
itu sejatinya kosong. Maka, dendam juga sejatinya kosong. Ia tidak 
memiliki inti pada dirinya sendiri.
Di dalam tradisi Timur, kenyataan dipahami sebagai kekosongan. 
Nagar juna, fi lsuf India, bahkan menegaskan, bahwa kekosongan 
(Sunyata) adalah dasar dari segala-galanya. Dari kekosongan, segala 
sesuatu datang dan pergi. Kekosongan adalah kemungkinan yang tak 
terhingga.
Di dalam fi lsafat Zen, segala hal itu terjadi, karena adalah hal-hal 
yang memungkinkannya (dependent origination). Air menjadi panas, 
karena ada api yang membakarnya. Api menjadi ada, karena ada 
gesekan yang kuat antara dua benda keras. Dua benda keras bisa 
bergesekan, karena ada energi yang menggerakannya, dan begitu 
seterusnya.
Tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri. Segalanya adalah bagian 
dari segalanya. Keterkaitan antara segala sesuatu ini adalah kehidupan 
itu sendiri. Tidak ada satu hal pun yang memiliki inti universal dan 
mampu berdiri sendiri, lepas dari jaringan kehidupan.
Di dalam buku Wissenschaft der Logik, Hegel, fi lsuf Jerman, menyebut 
ini sebagai hukum keniscayaan. Keniscayaan menjadi mungkin, karena 
potensi berjumpa dengan kondisi. Orang pasti menjadi presiden, 
ketika bakatnya sebagai pemimpin digabungkan dengan dukungan 
dari banyak orang. Ketika potensi atau kondisi tidak ada, maka tidak 
ada pula keniscayaan.
Dendam pun memiliki pola serupa. Ia bukanlah sesuatu yang 
mutlak. Ia lahir dari hal-hal yang memungkinkannya. Ketika hal-hal 
tersebut berubah, dan itu pasti berubah, maka dendam pun juga lenyap 
dengan sendirinya.
Ego
Ketika dendam, amarah dan takut muncul di dada, kita juga perlu 
bertanya, siapa ini yang merasakan emosi-emosi tersebut? Siapa yang 
mengalami gejolak perasaan-perasaan tersebut? Jawabannya dengan 
mudah diberikan: saya.
Namun, siapa, atau apa, itu ”saya”? Apakah ada yang disebut 
”saya”? Jika diteliti lebih jauh, kita akan juga sampai pada kesimpulan, 
bahwa ”saya” adalah kosong. Ia datang dan pergi, tergantung pada 
kondisi-kondisi yang memungkinkannya.
Ketika anda sedang asyik menonton fi lm, ”saya” seolah lenyap. 
Anda menyatu dengan fi lm yang anda tonton. Sama halnya, ketika anda 
mendengar musik yang indah. ”Saya” seolah mundur ke belakang, dan 
tak lagi tampak.
Namun, ketika anda merasa marah, ”saya” muncul lagi ke depan. 
Biasanya, anda marah, karena kehendak anda tidak terpenuhi. Ambisi 
anda tidak sesuai de ngan kenyataan yang terjadi. Di titik ini, si ”saya” 
menjadi begitu kokoh dan agresif.
Jadi, ”saya” sebenarnya juga kosong. Ia tak memiliki inti. Ia 
tergantung dari keadaan yang menghasilkannya. Ia juga adalah hasil 
dari perkawinan antara potensi dan kondisi, sebagaimana dikatakan 
oleh Hegel.
Thomas Meĵ inger, ilmuwan neurosains Jerman, juga menegaskan 
ini melalui penelitian-penelitiannya. Di dalam buku Der Ego-Tunnel, ia 
melihat, bahwa ”saya”, atau diri, adalah gambaran semata. Gambaran 
ini datang dan pergi, serta terus berubah. Sejatinya, ia tidak ada.
Jika ”saya” adalah kosong, maka semua perasaan dan pikiran 
yang dihasilkannya juga kosong. Semuanya tak memiliki inti. Dendam, 
amarah dan takut juga tak memiliki akar yang kuat pada kenyataan. 
Semuanya bagaikan awan yang terus bergerak di langit biru yang luas 
membentang di belakangnya.
Orang terjebak pada dendam, amarah dan takut, ketika ia tidak 
menyadari ini. Orang tenggelam pada penderitaan, karena kesalahan 
berpikirnya. Ke salahan berpikir ini adalah mengira sesuatu yang tak 
ada sebagai ada. Ketika kesalahan ini dilepas, amarah, dendam dan 
takut juga lenyap secara alami.
Kebijaksanaan
Kesadaran akan kekosongan dari segala sesuatu adalah sumber 
utama dari kebijaksanaan yang sejati, begitu kata Nagarjuna. Dari 
kesadaran ini, kita bisa memiliki kebebasan yang sesungguhnya. Kita 
bisa melepas semua emosi jelek kita, dan mencapai kedamaian batin 
yang sejati. Kita lalu bisa hidup dengan kejernihan, dan membantu 
orang lain di sekitar kita.
Namun, pengetahuan belaka juga tidak banyak membantu. Kita 
mem butuh kan pengalaman langsung akan kekosongan itu sendiri. 
Disini letak penting nya meditasi, yakni tindak mengamati segala 
sesuatu yang terjadi di dalam maupun di luar diri kita, tanpa memberi 
penilaian ataupun analisis apa pun. Jika kita bisa mengamati dengan 
pola semacam ini setiap saat, kita akan menemukan kejernihan batin 
dan pikiran.
Kejernihan ini juga harus dikelola setiap saat. Kita harus 
memberikan arah pada pikiran kita, supaya ia tidak bergerak tak 
teratur. Arah ini dapat diberikan dengan menarik pikiran kita pada 
keadaan saat ini dan disini, yakni pada apa yang kita sedang lakukan. 
Cara lain adalah dengan mengajukan pertanyaan mendasar: apa ini 
yang sedang melakukan tindakan ini?
Di dalam tradisi Seon Buddhisme Korea, pertanyaan ini disebut 
juga sebagai Hwadu, yakni kata yang hidup. Hwadu tidak untuk dijawab 
dengan teori, tetapi untuk dialami secara terus-menerus. Secara ilmiah 
bisa dijelaskan, bahwa Hwadu berfungsi memberikan arah pada pikiran 
kita, sehingga ia tetap fokus dan jernih dari saat ke saat.
Jika pikiran kita jernih, kita bisa memahami keadaan sebagaimana 
adanya di depan mata kita. Kita tidak lagi dikaburkan oleh emosi-emosi 
tak teratur di dalam diri kita. Kita bisa bertindak dengan bijak, sesuai 
dengan keadaan yang ada. Inilah kebijaksanaan hidup yang tertinggi.
Perdamaian
Mendidik dendam berarti menyadari dan mengalami langsung, 
bahwa den dam itu kosong. Sejatinya, ia tidak ada. Kesalahan berpikirlah 
yang melahir kannya. Ketika kesalahan berpikir ini diperbaiki, dendam 
juga otomatis hilang.
Ketika dendam lenyap, maka rantai kekerasan akan terputus. 
Perdamaian yang sesungguhnya pun menjadi mungkin. Berbagai 
perbedaan yang ada diselesaikan dengan jalan dialog yang sehat. 
Dendam, amarah dan takut tetap ada, karena itu adalah bagian dari 
perubahan kenyataan dan diri manusia.
Namun, mereka tidak lagi menganggu. Mereka datang dan pergi, 
seperti kabut di pagi hari. Mereka tidak lagi menjadi penjajah yang 
memaksa kita untuk menuruti keinginan mereka. Bahkan, pada tingkat 
tertentu, mereka adalah kawan kita untuk berjalan bersama menuju 
kebijaksanaan. Mari kita mendidik dendam yang mungkin bercokol 
di dalam diri kita.Malam kemarin terasa panjang. Mimpi terasa begitu nyata. Ia hadir 
terus, bahkan ketika tidur telah berakhir. Jejaknya menempel 
sebagai ingatan yang mencabut diri dari saat ini.
Banyak orang sulit membedakan mimpi sebagai kenyataan. Mereka 
mengira, mimpi adalah pertanda. Bahkan tak sedikit yang mengira, 
mimpi ada lah realita. Sigmund Freud, bapak psikoanalisis asal Jerman, 
juga melakukan penelitian tentang tafsir mimpi (Traumdeutung).
Sejenak , kita bisa sadar. Oh, itu hanya mimpi. Kesadaran ini 
memutus mimpi, dan membangunkan kita ke kenyataan. Jejaknya pun 
berlalu, dan sekedar meninggalkan sejumput ingatan.
Berpikir dan Bermimpi
Jika diperhatikan, pengalaman bermimpi ini sama seperti 
pengalaman berpikir. Kita membangun gambaran, konsep dan cerita 
di kepala kita, lalu mengiranya sebagai nyata. Namun, setelah diteliti 
lebih dalam, gambaran itu ternyata salah. Mirip seperti mimpi, ia pun 
segera berlalu, dan hanya menyisakan setitik ingatan.
Ketika berpikir, kita membangun konsep. Proses ini seringkali 
terjadi begitu cepat, tanpa disadari. Kita mulai menilai dan memisahkan. 
Peristiwa, yang sejatinya adalah peristiwa netral, kini mendapat label 
baik atau buruk, benar atau salah, nyaman atau tidak nyaman dan 
sebagainya.
Konsep ini lalu berubah, ketika mendapatkan pengalaman atau 
penge tahuan baru. Kadang, ia lenyap sama sekali. Dalam konteks 
lain, ia membesar, karena terus terbuktikan oleh pengalaman. Dalam 
kesempatan lain, konsep yang baru pun lahir.
Konsep ini begitu nyata dan kuat. Sama seperti mimpi yang 
terasa begitu nyata, kita lalu mengira konsep sebagai kenyataan. Kita 
menganggapnya sebagai kebenaran. Ketika kita mengira konsep adalah 
kenyataan, dititik itu pula, kita memasuki pintu penderitaan.
Sejatinya, sama seperti mimpi, konsep bukanlah kenyataan. Ia 
adalah se bentuk abstraksi yang dihasilkan oleh pikiran manusia. 
Ketika sebuah peris tiwa kita bungkus dalam konsep, ketika itu pula, 
ia bukan lagi kenyataan. Konsep memisahkan kita dari kenyataan, dan 
mengurung kita ke dalam kesalah pahaman.
Mengira konsep sebagai kenyataan adalah salah satu kesalahan 
terbesar di dalam hidup kita. Ini sama seperti mengira, bahwa mimpi 
adalah realita. Kita menderita, ketika kita tercabut dari kenyataan, dan 
terkurung di dalam konsep. Ini sama seperti penderitaan yang kita 
alami, ketika kita hidup dalam mimpi.
Pengaruhnya juga terasa di dalam hubungan dengan orang lain. 
Orang yang mengira konsep di dalam kepalanya benar biasanya akan 
cenderung berselisih pendapat dengan orang lain, yang juga mengira 
pikirannya adalah kenyataan. Selisih pendapat seringkali tidak berakhir 
dengan perpisahan, tetapi dengan konfl ik lebih jauh.
Sebelum Pikiran
Maka, pikiran haruslah dilihat sebagai pikiran. Ia bukanlah 
kenyataan. Mimpi haruslah dilihat sebagai sekedar mimpi. Ia juga 
bukanlah kenyataan.
Sambil menyadari ini, kita lalu bertanya, siapa atau apa ini yang 
sedang berpikir? Siapa atau apa ini yang sedang bermimpi? Jika kita 
menjawab pertanyaan ini dengan konsep, kita jatuh lagi ke dalam 
pikiran. Kita harus melepaskan pikiran, konsep dan mimpi, supaya 
bisa menjawab pertanyaan ini dengan tepat.

Penderitaan dan kebingungan bisa dilampaui, ketika kita berakar 
kuat di kenyataan. Keduanya otomatis sirna, ketika mimpi dilihat 
sebagai semata mimpi, dan pikiran dilihat sebagai semata pikiran. 
Konsep datang dan pergi. Mimpi datang dan pergi. Lalu apa yang 
menetap? Siapa ini yang sedang membaca?
KATZ!! Matahari bersinar. Angin bertiup. Burung bernyanyi. Gula 
itu manis.
Racun korupsi masih menjalari tubuh politik kita di negara kita. 
Penyebabnya bersifat sistemik dalam bentuk kegagalan penegakan 
hukum, sekaligus bersifat personal dalam bentuk lemahnya integritas 
kepribadian para penjabat publik kita. Dalam hal ini, pemberantasan 
korupsi masih menjadi pekerjaan rumah yang besar dan berat bagi kita 
sebagai bangsa. Dukungan dari seluruh rakyat amatlah dibutuhkan.
Menjalarnya korupsi di berbagai bidang juga dapat dilihat sebagai 
kega galan demokrasi. Ini tidak hanya terjadi di negara kita, tetapi di 
berbagai benua. Demokrasi sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat, 
oleh rakyat dan untuk rakyat yang mendorong menuju keadilan sosial 
dan kemakmuran bersama semakin menjadi mimpi yang jauh dari 
jangkauan. Yang banyak tercipta adalah oligarki, yakni pemerintahan 
oleh sekelompok orang kaya yang hendak menghancurkan kepentingan 
umum, demi keuntungan pribadi mereka.
Keadaan ini menciptakan ketidakadilan sosial di tingkat global 
yang lalu menciptakan kemiskinan dan penderitaan yang begitu besar 
bagi banyak orang. Dari kemiskinan dan penderitaan lahirlah terorisme. 
Terorisme bermuara pada perang antar kelompok dan bahkan antar 
negara. Ini semua seperti lingkaran kekerasan yang justru membawa 
kemiskinan dan penderitaan yang lebih besar lagi.
Di bagian dunia lain, orang hidup dalam kelimpahan yang luar 
biasa. Ratusan tahun penaklukan dan perampokan atas negara lain 
memberikan kemakmuran yang luar biasa bagi mereka. Mereka adalah 
negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Ketika bagian dunia 
lain berjuang melawan kemiskinan dan korupsi, negara-negara ini 
berpesta pora dan menghabiskan sumber daya alam untuk menopang 
gaya hidup mewah mereka.Sikap h idup semacam ini melahirkan arogansi yang dibarengi 
dengan kebodohan. Mereka melihat negara-negara di bagian dunia lain 
sebagai musuh bagi kemakmuran mereka. Padahal, jika ditelisik lebih 
dalam, arogansi dan kebodohan gaya hidup mewah merekalah yang 
menciptakan masalah besar bagi seluruh dunia, mulai dari penjajahan, 
perbudakan, perang, nuklir, sampai dengan penghancuran alam. Semua 
itu seolah dibenarkan, selama mereka bisa mempertahankan gaya 
hidup mewah yang boros dan merusak.
Mereka membunuh hewan, supaya bisa memajang kepala hewan 
itu di ruang tamu mereka. Mereka menghancurkan hutan, supaya 
mereka bisa membangun lapangan golf ataupun vila mewah untuk 
orang-orang kaya. Mereka menolak untuk belajar dari bangsa lain, 
walaupun sejatinya, mereka bodoh dan terbelakang dalam hal gaya 
hidup dan kedalaman pikiran. Arogansi dan kebodohan adalah 
kombinasi yang mematikan.
Di Timur Tengah, kelompok teroris berbasis Islam ekstrimis 
juga semakin biadab. Mereka tak segan menculik orang sipil, dan 
memenggalnya secara biadab. Mereka menggunakan ajaran Islam 
sebagai pembenaran untuk ke kerasan. Penderitaan yang diakibatkan 
oleh kelompok ini bagi negara-negara di Timur Tengah nyaris tak dapat 
diungkapkan dengan kata-kata.
Racun di Sekitar Kita
Semua kekacauan ini berakar pada kegagalan manusia menata 
dirinya sendiri. Mereka gagal menata pikirannya dan kemudian juga 
gagal menata kehidupan bersama yang berpijak pada keadilan dan 
kemakmuran. Lebih dari itu, kegagalan tata kelola kehidupan ini juga 
membawa kerusakan pada hewan dan tumbuhan lainnya. Seluruh alam 
terancam rusak, karena manusia gagal menata hidupnya.
Mengapa manusia gagal menata hidupnya? Mengapa ia gagal 
membangun hidup bersama yang adil dan makmur untuk semua? Mengapa ia gagal mem bangun hubungan yang baik dengan hewan 
dan tumbuhan? Mengapa ia meng hancurkan alam, yang berarti juga 
menghancurkan dirinya sendiri?
Saya melihat, pikiran manusia dilumurin oleh racun. Akibatnya, 
pikiran nya tak lagi mampu melihat keadaan secara tepat. Pikirannya 
pun tidak bisa bersikap menanggapi keadaan dengan tepat. Racun ini 
berkembang dari kesalahan berpikir yang diajarkan kepada kita, lalu 
berkembang menjadi kebiasaan sekaligus bagian dari kepribadian kita 
sendiri.
Racun pertama adalah kesalahan berpikir mendasar soal waktu. 
Kita percaya, bahwa masa lalu itu ada. Akhirnya, banyak orang terjebak 
pada masa lalunya. Ia hidup di dalam penderitaan, akibat kenangan 
atas masa lalu yang gelap, yang sebenarnya sudah tidak ada.
Banyak orang juga yakin, bahwa masa depan itu ada. Akhirnya, 
mereka sibuk bekerja, guna menata masa depan. Orang yang pikirannya 
terus berayun di antara masa lalu dan masa depan akan terus hidup 
dalam penyesalan masa lalu, dan ketakutan akan masa depan. 
Pikirannya dipenuhi ketegangan dan penderitaan.
Orang yang pikirannya penuh dengan ketakutan dan penyesalan 
tidak akan pernah menemukan kedamaian. Ia hidup di dalam 
penderitaan, dan akhirnya membuat orang lain menderita. Ia akan 
mencari segala cara untuk menemukan kedamaian, jika perlu dengan 
menghancurkan orang lain dan alam, guna memuaskan kebutuhan 
pribadinya. Ketakutan akan masa depan juga membuat orang 
menumpuk harta secara buta, kalau perlu dengan korupsi, menipu 
dan merugikan orang lain.
Racun kedua adalah pikiran curiga dan prasangka. Pikiran curiga 
berarti pikiran yang selalu melihat dunia dari sisinya yang paling 
jelek. Pikiran curiga lalu menghasilkan prasangka. Orang pun tidak 
lagi dapat melihat dunia apa adanya, tetapi selalu dengan kaca mata 
curiga dan prasangka. Pendek kata, ia selalu melihat dunia dan orang 
lain sebagai musuh yang mengancam dirinya.
Curiga dan prasangka membuat kita membenci orang lain. Kita 
tak merasa ragu membuat orang lain menderita, selama kebutuhan 
kita terpenuhi. Curiga dan prasangka juga membuat kita menjadi tak 
peduli dengan penderitaan orang lain. Curiga dan prasangka adalah 
akar dari kebencian dan konfl ik yang melanda begitu banyak bagian 
dunia sekarang ini.
Racun ketiga adalah pikiran dualistik-dikotomik. Artinya, pikiran 
yang melihat dunia dengan kaca mata hitam putih. Ada pihak yang be￾nar secara absolut, dan ada pihak yang salah secara absolut. Tidak ada 
jalan tengah. Kedua nya harus saling menghancurkan satu sama lain.
Inilah salah satu akar dari banyak masalah di dunia sekarang ini. 
Cara berpikir dikotomik menjadi cara berpikir kawan lawan. Aku dan 
kelompokku benar. Sementara, orang lain dan kelompoknya adalah 
lebih rendah dan salah, maka harus dihancurkan. Perbedaan agama, 
suku, rasa dan cara berpikir digunakan untuk membenarkan pikiran 
dualistik-dikotomik ini.
Racun keempat adalah dorongan untuk menambah terus menerus. 
Kita tidak pernah merasa cukup dengan apa yang ada. Kita sudah pu￾nya satu mobil, tetapi kemudian merasa kurang, dan membeli mobil 
yang baru. Ekonomi juga harus tumbuh terus menerus, tidak boleh 
berhenti.
Akar dari dorongan ini adalah rasa tidak cukup di dalam hati. Kita 
bahkan bersedia untuk mengorbankan orang lain, demi memuaskan 
kebutuhan kita. Kita juga menghancurkan alam, guna memenuhi 
kebutuhan palsu kita akan kemewahan dan kerakusan. Pikiran yang 
selalu ingin menambah dan rakus ini membuat kita, dan segala hal di 
sekitar kita, menderita.
Melampaui Racun
Sejatinya, waktu itu tidak ada. Waktu adalah produk dari pikiran. 
Jika kita berpikir, maka waktu dan segala penyesalan akan masa lalu dan ketakutan akan masa depan akan muncul. Berpikir, takut dan 
menyesal atas hal yang tidak ada adalah hal yang sia-sia.
Banyak orang menghabiskan hidupnya untuk mencari uang. 
Namun, apakah uang itu ada? Uang adalah simbol. Ia tidak bernilai 
pada dirinya sendiri. Ia hanya bernilai sebagai alat tukar.
Banyak orang juga membunuh demi uang. Mereka korupsi. 
Mereka menghancurkan alam untuk mendapat uang. Ini semua adalah 
tindakan yang amat sia-sia.
Akar dari pikiran curiga dan prasangka adalah rasa takut. Namun, 
sejatinya, rasa takut adalah ilusi. Tidak ada yang perlu ditakuti di 
dalam dunia ini. Kematian dan penderitaan menjadi menakutkan, 
karena manusia berpikir, bahwa itu semua adalah hal buruk yang 
harus dijauhi.
Yang sesungguhnya terjadi adalah peristiwa alami. Alam sedang 
bekerja dengan hukum-hukumnya. Baik atau buruk adalah penilaian 
manusia. Jika orang bisa menata pikirannya sejalan dengan gerak alami 
alam semesta, maka tidak ada yang perlu ditakuti di dalam hidup ini.
Pikiran dualisme juga sejatinya adalah ilusi. Tidak ada dualisme di 
dalam alam ini. Semuanya adalah sebagai jaringan yang saling terkait 
erat, tanpa bisa dipisahkan. Baik-buruk, benar-salah, untung-malang, 
semua dikotomi ini adalah hasil dari kesalahpahaman yang bercokol 
di dalam pikiran manusia.
Bahkan, jika dipikirkan lebih dalam, apa yang kita sebut sebagai 
dunia juga sebenarnya adalah bentukan dari persepsi pikiran yang kita 
yang berpijak pada kelima panca indera kita. Artinya, dunia adalah 
dunia sebagaimana dipersepsikan oleh panca indera kita. Hewan dan 
tumbuhan memiliki panca indera yang berbeda. Mereka pun memiliki 
pemahaman dunia yang berbeda.
Ketika panca indera kita terganggu, maka pemahaman kita akan 
dunia juga berubah. Ketika pikiran kita terganggu, misalnya karena 
minum bir terlalu banyak, maka persepsi kita pun berubah. Ketika kitalapar, maka seluruh panca indera kita juga terganggu. Pemahaman kita 
tentang dunia juga berubah.
Maka, dunia sebagai kenyataan mutlak juga sebenarnya tidak ada. 
Dunia ada, sejauh kita memikirkannya dengan panca indera kita. Dunia 
ada selalu dalam kaitan dengan pikiran kita. Tidak ada Dunia, dengan 
huruf d besar yang bersifat mutlak dan berlaku untuk semua mahluk.
Jika dunia ini tak ada, lalu apa yang ada? Sejatinya, kenyataan 
adalah ruang besar yang luas. Ia kosong dan bisa menampung 
segalanya. Namun, apa yang ditampung di dalamnya, termasuk 
manusia dan segala hal yang ada di dalam alam semesta, bersifat 
sementara. Ia berubah, menghilang dan kemudian muncul lagi dalam 
bentuk yang lain.
Jika pikiran kita bisa sejalan dengan kenyataan sebagai ruang 
hampa yang besar ini, maka segala racun di dalam pikiran kita bisa 
dihilangkan. Persepsi akan waktu menghilang. Rasa takut menghilang. 
Rasa rakus yang menjadi akar dari segala korupsi juga menghilang.
Pandangan ini ditopang oleh penelitian terbaru di dalam fi sika 
teoretik. Alam semesta adalah ruang hampa yang luas. Segala yang 
ada di dalamnya merupakan hasil dari pikiran. Artinya, isi dari ruang 
hampa besar bernama alam semesta ini amat tergantung dari mahluk 
yang mempersepsinya. Hewan, tumbuhan, manusia dan segala mahluk 
lainnya memiliki pemahaman yang berbeda-beda, tergantung pada 
struktur fi siknya.
Keberadaan segala hal yang ada di dunia, dengan kata lain, 
tergantung pada pengamatnya. Pandangan ini juga ditopang oleh 
Buddhisme. Di dalam Buddhisme, keberadaan kenyataan relatif pada 
orang yang memikirkannya. Segala hal lahir dari pikiran, begitu kata 
Zen Master Seung Sahn.
Kehidupan kita sekarang ini dipenuhi racun. Perang antar negara, 
korupsi sampai pada penderitaan pribadi diakibatkan oleh racun yang 
bercokol di pikiran kita. Namun, racun itu bisa dilampaui, jika kita 
mampu melepaskan memahami segala yang ada sesuai dengan hakekat alamiahnya, dan bukan mengikuti semata pikiran kita yang rapuh 
dan seringkali salah. Kita harus sadar, bahwa pikiran yang bergerak 
di kepala kita lebih banyak menipu, daripada menyajikan kebenaran 
kepada kita.





Begitu banyak konfl ik terjadi dengan latar belakang perbedaan 
identitas. Perbedaan ras, suku, agama dan pemikiran dijadikan 
pembenaran untuk menyerang dan menaklukan kelompok lain. 
Darah bertumpahan, akibat konfl ik identitas semacam ini. Lingkaran 
kekerasan yang semakin memperbesar kebencian dan dendam pun 
terus berputar, tanpa henti.
Namun, kita sebagai manusia nyaris tak pernah belajar dari beragam 
konfl ik berdarah ini. Sampai sekarang, kita masih menyaksikan perang 
di berbagai tempat, akibat perbedaan identitas. Ketegangan antara ISIS 
(Negara Islam Irak dan Suriah) dengan negara-negara di sekitarnya 
memuncak pada jatuhnya banyak korban tak bersalah. Amerika Serikat 
masih merasa sebagai satu-satunya negara yang memiliki identitas 
khusus, sehingga berhak melakukan apapun di dunia, tanpa ada yang 
bisa melarang.
negara kita juga memiliki sejarah panjang terkait dengan konfl ik 
karena perbedaan identitas. Konfl ik Sampit sampai dengan tawuran 
pelajar terjadi, akibat perbedaan identitas. Pasangan yang saling men￾cintai terpisah, karena perbedaan identitas. Orang tak boleh bekerja di 
pemerintahan, karena identitasnya berbeda dengan identitas mayoritas.
Diskriminasi pun juga lahir, karena pemahaman yang salah tentang 
identitas. Kebijakan Apartheid di Afrika Selatan yang memisahkan 
orang berkulit hitam dan putih masih segar di ingatan kita. Jejak￾jejak dari kebijakan tersebut masih bisa dirasakan di banyak negara. 
Perlakuan istimewa masih diberikan kepada orang-orang berkulit putih 
di berbagai negara, tanpa dasar yang masuk akal.
Mengapa perbedaan identitas begitu mudah dipelintir untuk 
membenarkan tindak kejahatan tertentu? Apa itu sebenarnya identitas? Adakah sesungguhnya yang disebut dengan identitas? Ataukah kita 
hanya saling konfl ik satu sama lain, tanpa alasan yang jelas?
Identitas dan Kemelekatan
Identitas adalah label sosial yang ditempelkan kepada kita, karena 
kita menjadi bagian dari suatu kelompok tertentu. Ada beragam bentuk 
identitas yang berpijak pada kelompok tertentu, mulai dari ras, agama, 
suku, negara, aliran pemikiran sampai dengan gender. Kita menerima 
identitas kita dari tempat dan kelompok, dimana kita lahir. Identitas itu 
berubah, sejalan dengan meluasnya hubungan kita dengan kelompok￾kelompok lainnya.
Ketegangan biasanya terjadi, karena orang merasa identitasnya 
dihina oleh orang lain. Orang menyamakan dirinya dengan identitas 
kelompoknya. Ketika kelompoknya dihina, maka ia akan juga merasa 
terhina. Inilah yang disebut sebagai kemelekatan pada identitas, yang 
menjadi akar dari banyak konfl ik di dunia ini.
Namun, identitas tidak hanya terkait dengan kelompok, tetapi 
dengan setiap label yang kita lekatkan pada diri kita masing-masing. 
Sejak kita lahir, kita sudah diberi nama. Kita pun menyamakan diri 
kita dengan nama tersebut. Kita melekatkan diri kita pada nama yang 
diberikan oleh orang tua kita. Ketika nama itu dihina, kita pun akan 
merasa terhina.
Ketika kita lahir, kita sudah langsung masuk ke dalam kelompok 
suku tertentu. Kita tidak bisa memilih. Kemudian, kita menyamakan 
diri kita dengan kelompok suku kita. Ketika kelompok suku itu dihina, 
kita pun merasa terhina.
Kelompok suku tertentu biasanya sudah selalu terkait dengan ras 
tertentu. Ras tentunya memiliki lingkup lebih luas, daripada suku. 
Namun, sifatnya sama, kita seringkali menyamakan diri kita dengan 
ras kita. Kita melekat padanya, seringkali tanpa bisa memilih.Hal yang terjadi terkait dengan soal agama. Kita menyamakan diri 
kita dengan agama kita. Kita melekat pada agama yang seringkali telah 
dipilihkan oleh orang tua untuk kita. Kita bahkan seringkali tidak bisa 
memilih agama kita sendiri.
Nasionalisme adalah kesetiaan pada identitas nasional, yakni 
negara dan bangsa. Kita menyamakan diri kita dengan bangsa dan 
negara, tempat kita dilahirkan. Dalam arti ini, kita juga melekatkan diri 
kita pada tata politik, tempat kita dilahirkan. Ketika negara dan bangsa 
kita dihina, maka kita pun, sebagai pribadi, juga ikut merasa terhina.
Banyak orang juga melekatkan diri pada aliran pemikiran tertentu. 
Mereka menyamakan diri mereka dengan aliran berpikir tertentu, 
misalnya aliran progresif, nasionalis, dan sebagainya. Ketika aliran 
itu dikritik, maka mereka merasa, bahwa pribadi mereka pun dikritik. 
Kelekatan pada aliran pemikiran ini juga menciptakan konfl ik antar 
manusia.
Di era sekarang ini, banyak orang menyamakan diri mereka dengan 
pekerjaan mereka. Mereka biasanya adalah para profesional yang telah 
mendapat pendidikan di satu bidang tertentu, dan kemudian bekerja di 
bidang itu. Mereka begitu melekat pada profesi mereka. Ketika mereka 
mengalami masalah dengan pekerjaan mereka, stress dan depresi berat 
pun seringkali datang melanda.
Ada begitu banyak label identitas yang kita lekatkan pada diri kita. 
Ketika salah satu label itu bermasalah, kita menderita. Ketika salah satu 
label itu dihina, kita pun merasa terhina. Konfl ik antar manusia banyak 
terjadi, karena orang menyamakan dirinya begitu saja pada label 
identitasnya. Dengan kata lain, orang melekat pada label identitasnya.
Hakekat Identitas
Namun, apakah label identitas itu sungguh nyata? Ataukah, 
ia hanya label sementara yang ditempelkan kepada kita sejak kita 
kecil, tanpa kita punya pilihan untuk mengubahnya? Saya melihat 
dua karakter dasar dari label identitas, yakni kesementaraan dan 
kerapuhan. Orang yang melekatkan dirinya pada identitasnya artinya 
ia melekatkan dirinya pada sesuatu yang sementara dan rapuh.
Identitas itu sementara, karena ia akan berubah. Konsep-konsep 
identitas, seperti ras, suku, agama, profesi dan aliran pemikiran, adalah 
ciptaan dari pikiran manusia. Orang bisa menjadi bagian dari suatu ras, 
suku atau agama, tetapi ia juga bisa melepaskan diri dari semua label 
tersebut, jika ia mau. Bahkan, karena luasnya pergaulan seseorang, ia 
bisa begitu saja mengubah seluruh identitasnya.
Identitas juga rapuh. Ia begitu mudah berubah. Ia amat sementara. 
Berbagai hal bisa mendorong orang mengubah identitasnya, atau 
bahkan melepasnya sama sekali.
Kemelakatan pada identitas membuat orang jadi gampang merasa 
terhina. Mereka gampang terprovokasi. Mereka juga gampang dipecah 
belah, sehingga saling berkonfl ik satu sama lain. Identitas juga 
menciptakan perbedaan-perbedaan palsu antar manusia.
Perbedaan ini begitu mudah dijadikan sebagai alasan untuk 
diskriminasi, konfl ik maupun kejahatan-kejahatan lainnya. Perbedaan 
ini menciptakan penderitaan batin, misalnya dalam bentuk kesepian. 
Padahal, sejatinya, identitas itu ilusi, karena ia amat sementara dan 
begitu rapuh. Dunia akan jauh lebih baik, jika orang tidak melekatkan 
diri pada label-label identitas yang diciptakan masyarakat.
Beberapa ahli berpendapat, bahwa akar dari konfl ik bukanlah 
perbedaan identitas, tetapi kesalahan di dalam memahami perbedaan 
identitas. Namun, saya berpendapat, bahwa kesalahpahaman ini tidak 
perlu terjadi, jika orang sudah sejak awal tidak melekatkan dirinya 
pada label identitas tertentu. Sejauh manusia masih melihat dirinya 
di dalam kotak-kotak label identitas, selama itu pula bayang-bayang 
konfl ik akan terus menghantui.
Melampaui Identitas
Jika identitas adalah sementara dan rapuh, maka sebaiknya, kita 
tidak menyamakan diri kita dengan identitas kita. Kita tidak boleh 
melekat padanya. Kita boleh menggunakannya, guna membantu orang 
lain. Namun, kita tidak pernah boleh terjebak di dalamnya.
Banyak orang takut untuk melepas identitasnya. Mereka berpegang 
begitu erat padanya, misalnya pada tradisinya, pada agamanya dan 
pada aliran pemikirannya. Mereka mengira, jika identitas dilepas, 
maka mereka akan mengalami kehampaan hidup. Inilah salah satu 
cara berpikir yang salah yang tersebar di masyarakat kita.
Padahal, jika kita tidak melekat pada identitas kita, kita lalu 
menjadi manusia merdeka. Kita tidak gampang diprovokasi. Kita pun 
tidak punya alasan untuk merasa terhina, ketika orang lain menghina 
salah satu label identitas kita. Kita tidak mudah terdorong untuk 
berkonfl ik dengan orang lain, karena alasan yang tidak masuk akal, 
misalnya penghinaan pada salah satu label identitas kita.
Ketika sadar, bahwa identitas kita adalah ilusi, kita pun otomatis 
menjaga jarak darinya. Pada titik ini, kita tidak lagi stress atau depresi, 
jika pekerjaan kita gagal, atau ketika agama, ras, suku, negara dan 
profesi kita dihina orang lain. Kita akan lebih tenang menyingkapi 
segala tantangan yang ada. Segala tantangan hidup pun lalu bisa 
dilampaui dengan ketenangan batin.
Mau sampai kapan kita jadi manusia sensitif, yang begitu cepat 
marah, ketika salah satu label identitas ilusif kita dihina orang lain? 
Mau sampai kapan kita stress, depresi dan menderita, ketika salah 
satu label identitas kita mengalami kegagalan, misalnya gagal dalam 
pekerjaan dan gagal dalam ujian? Mau sampai kapan kita diombang 
ambingkan oleh kesementaraan dan kerapuhan label identitas kita? 
Mau sampai kapan…
Sokrates dikenal sebagai bapak dari fi lsafat barat. Ia hidup sekitar 
470 tahun sebelum Masehi. Ia memiliki cara berfi lsafat yang unik. Ia 
tidak berfi lsafat di kelas atau ruang-ruang tertutup lainnya, melainkan 
di pasar di kota Athena.
Ia berjalan berkeliling di pasar. Ia pun berteriak kepada banyak 
orang, ”Kamu harus mengenal dirimu sendiri! Kamu sungguh harus 
mengenal dirimu sendiri!” Ketika ada orang bertanya kepadanya, ”Hai 
Sokrates, apakah kamu mengenal dirimu sendiri?” Sokrates hanya 
menjawab, ”Saya tidak tahu, namun saya tahu, bahwa saya tidak tahu!”
Bodhidharma dikenal sebagai orang yang membawa Zen Buddhisme 
dari India ke Cina. Di India sendiri, Buddhisme sudah berkembang dari 
sekitar tahun 680 sebelum Masehi. Di Cina, Buddhisme sudah ada 
mulai dari sekitar tahun 200 setelah Masehi. Kehadiran Bodhidharma 
mengundang takut sekaligus kagum dari para biksu Buddhis yang 
sudah ada Cina pada masa itu.
Suatu hari, Bodhidharma diundang oleh penguasa setempat untuk 
makan bersama. Sang penguasa bertanya, ”Saya sudah membangun 
banyak biara Buddhis. Apa yang akan saya dapatkan?” Bodhidharma 
menjawab, ”Tidak ada.” Sang penguasa pun marah mendengar jawaban 
itu. Ia berkata, ”Kurang ajar! Siapa kamu?” Jawab Bodhidharma, ”Saya 
tidak tahu.”
Tidak Tahu
Apa yang sama dari jawaban Sokrates dan Bodhidharma? Keduanya 
sama-sama mengatakan, bahwa mereka tidak tahu. Apa maksud dari 
jawaban ini? Apakah ini sungguh ketidaktahuan, ataukah ada maksud 
lain yang ingin mereka sampaikan? 
Kita hidup di era, dimana semua orang merasa tahu. Ilmu 
pengetahuan dan fi lsafat merasa bisa menjelaskan tentang hakekat dari 
kenyataan dan kehidupan. Berbagai agama merasa bisa menjelaskan 
tentang hakekat Tuhan dan apa yang terjadi setelah mati. Namun, 
sesungguhnya, apakah mereka sungguh tahu, atau hanya mengira￾ngira saja?
Ilmu pengetahuan, fi lsafat dan agama mengandalkan satu 
hal, yakni bahasa. Mereka menjelaskan segala hal dengan bahasa. 
Pengetahuan dan pikiran mereka dirumuskan dan disebarkan dengan 
menggunakan bahasa sebagai alat utamanya. Namun, mampukah 
bahasa menggambarkan kerumitan dari segala kenyataan yang ada? 
Mampukah bahasa menggambarkan pikiran manusia?
Coba kita lakukan sedikit eksperimen. Bisakah anda melukiskan 
dengan jelas tindakan membuka kepalan tangan? Sulit bukan? Jika 
untuk kegiatan sesederhana ini, bahasa sudah mengalami kesulitan, 
bagaimana mungkin bahasa mampu menggambarkan segala kenyataan 
yang ada? Bagaimana mungkin, bahasa mampu menggambarkan secara 
tepat isi dari pikiran manusia?
Dengan demikian, bisa dikatakan, setiap teori ilmu pengetahuan 
dan fi lsafat selalu bersifat terbatas. Keduanya tak mampu menjelaskan 
secara utuh apa yang ingin mereka jelaskan. Agama-agama juga 
tidak mampu menggambarkan secara utuh apa yang ingin mereka 
gambarkan. Semua penjelasan selalu bersifat terbatas, dan, pada 
akhirnya, salah.
Kita semua harus jujur, bahwa kita tidak tahu. Sama seperti 
Sokrates dan Bodhidharma, kita harus belajar untuk sadar, bahwa 
kita tidak tahu. Pengetahuan yang tertinggi, dalam arti ini, adalah 
ketidaktahuan. Jika sama-sama tidak tahu, kenapa kita bertengkar 
satu sama lain, dan merasa lebih benar dari orang lain? Arogansi? 
Kebodohan?
Ketidaktahuan adalah kondisi asali manusia. Artinya, manusia 
sejatinya adalah mahluk yang tidak tahu. Ketika lahir ke dunia, ia tidak 

tahu. Maka, ia lalu mencoba untuk melakukan segalanya. Kita sering 
lihat, bagaimana anak kecil dengan ringannya mengambil kotoran di 
tanah, dan kemudian menjilatnya bukan?
Pikiran-Tidak-Tahu
Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu semacam ini, kita 
akan menjadi terbuka pada segala kenyataan yang ada. Kita akan juga 
terbuka pada segala kemungkinan yang ada. Kita tidak terjebak pada 
kepastian-kepastian palsu. Kita juga tidak terjebak pada segala bentuk 
ilusi yang diajarkan oleh tradisi yang ada sebelum kita.
Ketika kita hidup dengan pikiran-tidak-tahu, kita akan menghadapi 
setiap keadaan apa adanya. Kita tidak dibebani dengan masa lalu yang 
kerap kali memberikan pengetahuan palsu. Kita juga tidak dibebani 
oleh harapan akan masa depan yang kerap kali hanya berupa impian 
semu belaka. Setiap detik adalah suatu keadaan baru dalam hidup kita.
Bagaimana supaya kita bisa mewujudkan pikiran-tidak-tahu 
semacam ini dalam hidup kita? Hanya ada satu cara yang mungkin, 
yakni berhenti berpikir. Ketika orang berpikir, ia mulai membuat 
pembedaan. Ia membuat kategori antara aku dan kamu, kami dan 
mereka. Dari pikiran, lahirlah pembedaan, dan dari pembedaan lahirlah 
segala bentuk kejahatan dan ketidakadilan.
Perhatikan corak masyarakat modern sekarang. Orang hidup 
dalam kotaknya masing-masing. Mereka merasa dirinya berbeda 
dengan komunitas mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, kesepian, 
keterasingan dan akhirnya penderitaan.
Hasilnya adalah individualisme dan egoisme ekstrem. Orang hanya 
hidup untuk dirinya sendiri. Mereka hanya sibuk untuk memenuhi 
kepentingan dan kenikmatan mereka. Solidaritas dan komunitas hanya 
menjadi slogan papan iklan yang hampir tak memiliki makna.
Ini semua adalah hasil dari pikiran yang memisahkan manusia 
yang satu dengan manusia yang lain, dan memisahkan manusia dari 
alam sekitarnya. Ketika pikiran yang memisahkan ini hilang, maka 
perbedaan akan hilang. Jarak akan hilang. Kita pun akan merasa satu 
tidak hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan seluruh alam.
Kita tidak akan menyakiti orang lain, jika kita sadar, bahwa mereka 
dan kita adalah satu dan sama. Perasaan kesatuan ini adalah inti utama 
dari cinta. Dalam arti ini, cinta bukanlah emosi atau tindakan belaka, 
melainkan inti dari diri seseorang. Ketika orang sudah menjadi cinta itu 
sendiri, semua tindakannya akan mencerminkan cinta secara otomatis.
Bagaimana mungkin kita hidup, jika tidak berpikir? Pikiran adalah 
alat. Ia harus diatur dan ditata oleh manusia, dan bukan sebaliknya. 
Pikiran yang sebaiknya digunakan adalah pikiran ala Sokrates dan 
Bodhidharma, yakni pikiran-tidak-tahu.
Pikiran-tidak-tahu memecahkan masalah dengan berpijak pada 
masalah itu sendiri, bukan dengan ketakutan ataupun harapan palsu. 
Pikiran-tidak-tahu bergerak dari saat ke saat, dan tidak dibebani 
dengan pengetahuan palsu yang berasal dari masa lampau. Ia bersifat 
spontan dan alamiah. Ia melampaui bahasa dan rumusan.
Namun, pikiran-tidak-tahu tidak boleh menjadi ajaran mutlak 
yang baru. Ketidaktahuan bukanlah suatu keadaan mutlak, melainkan 
cair. Ia tidak boleh jatuh hanya pada pengetahuan intelektual belaka, 
melainkan harus menjadi cara hidup yang menetap menjadi kebiasaan. 
Yuk, mari belajar untuk menjadi tidak tahu!





Peristiwa jatuhnya salah satu pesawat Germanwings menggetarkan 
hati banyak orang. Pesawat tersebut telah diperiksa sebelumnya. 
Tidak ada masalah. Kru yang bekerja menerbangkan pesawat tersebut 
pun adalah kru profesional yang memiliki reputasi baik.
Namun, tiba-tiba, pesawat menukik ke bawah, dan menghantam 
tanah. Ratusan orang dari berbagai negara meninggal dalam sekejap 
mata. Banyak penjelasan dijabarkan, mengapa peristiwa ini terjadi. 
Namun, semua penjelasan tampak percuma di hadapan anggota 
keluarga dari korban yang meninggal dunia.
Musibah semacam ini juga tidak asing bagi kita yang tinggal di 
Asia. Beberapa waktu yang lalu, pesawat Malaysian Airlines dan Air 
Asia juga mengalami musibah yang sama. Ratusan orang meninggal 
dunia dalam sekejap mata. Bagaimana kita harus bersikap di dalam 
menanggapi tragedi yang nyaris tanpa makna ini?
Mengatur Alam
Tragedi adalah bagian dari hidup manusia. Ia disebut sebagai 
tragedi, karena peristiwa ini menciptakan penderitaan dan kesedihan 
yang amat dalam bagi banyak orang. Peristiwa ini juga menyadarkan 
kita, bahwa hidup kita ini pendek dan rapuh. Namun, peristiwa ini juga 
bisa menjadi saat yang baik untuk belajar, sehingga tidak mengulangi 
kesalahan yang sama di masa depan.
Manusia memiliki akal budi. Dengan akal budinya, ia bisa 
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, guna mengatur 
alam untuk memenuhi kebutuhannya. Ia bisa menciptakan peradaban 
dengan pencapaian-pencapaian yang luar biasa, seperti perkembangan 
pertanian, kedokteran, sastra, seni, politik dan sebagainya. Dengan 
akal budinya pula, ia berusaha memahami dirinya sendiri dalam 
hubungannya dengan alam. Francis Bacon, fi lsuf asal Inggris, pernah menegaskan, bahwa 
pengetahuan adalah kekuatan. Dengan memahami alam, manusia bisa 
menggunakan alam untuk kepentingannya. Bacon sebenarnya hanya 
mengulang apa yang dikatakan Chung Tzu, fi lsuf asal Cina, 1000 tahun 
sebelumnya. Manusia hanya bisa mengatur alam, jika ia paham dan 
mengikuti hukum-hukum alam tersebut.
Jika kita melawan alam, maka kita akan hancur. Filsafat, ilmu 
pengetahuan dan teknologi adalah beragam cara untuk memahami 
alam. Peradaban berkembang dari usaha manusia untuk mengatur 
alam dengan menaati hukum-hukum alam itu sendiri. Kontrol atas 
alam ini berarti manusia berusaha untuk ”memegang” alam ke dalam 
genggamannya.
Alam yang Elusif
Namun, alam itu selalu lebih besar dari manusia. Alam tidak 
pernah bisa sepenuhnya dipahami oleh manusia. Akal budi dan 
kemampuan manusia terlalu kecil untuk memahami dan ”memegang” 
alam ke dalam tangannya. Inilah paradoks dasar dari fi lsafat, ilmu 
pengetahuan dan teknologi, yakni mereka berusaha untuk memahami 
apa sesungguhnya tak terpahami.
Di titik batas ini, ketika kita tidak bisa lagi memahami, kita perlu 
melepas akal budi kita. Kita perlu sadar sepenuhnya, bahwa kita 
hanyalah titik kecil di tengah jagad semesta yang luas, nyaris tak 
terkira. Kita perlu berusaha sampai pada satu titik, dimana kita harus 
melepaskan usaha kita.
Untuk mengontrol alam, manusia membutuhkan akal budi. Untuk 
melepas alam, manusia memerlukan kebijaksanaan. Inilah yang 
sekarang ini kurang di dunia kita. Kita ingin mengontrol segala sesuatu, 
tetapi kita tidak pernah siap untuk melepaskan.
Bagaimana kita bisa memiliki kebijaksanaan untuk melepaskan? 
Kita perlu sadar, bahwa segala hal di dunia ini sementara. Ia ada dankemudian dengan berjalannya waktu, ia menghilang. Hal ini berlaku 
untuk segala sesuatu, mulai dari karir, keluarga, harapan, kekecewaan 
dan kehidupan itu sendiri. Semua ada dan akan berlalu.
Plato, fi lsuf Yunani Kuno, juga sudah menegaskan, bahwa tubuh 
adalah penjara bagi jiwa. Tubuh itu hanya seperti kendaraan yang 
mengantar manusia ke berbagai ruang. Namun, ia menghalangi jiwa 
manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati. Tubuh manusia akan 
sakit, menua dan akhirnya mati.
Namun, jiwa manusia tidak pernah lahir, dan juga tidak akan 
pernah akan mati. Ia selalu ada. Tubuh dan segala yang ada hanyalah 
kesementaraan yang bersifat kosong. Semuanya adalah ilusi yang 
tampak bagi indra kita. Begitulah ajaran Buddhisme Hinayana yang 
berkembang di Asia Tenggara.
Memegang dan Melepas
Maka dari itu, kita, sebagai manusia, harus hidup di antara sikap 
memegang dan melepas. Kita perlu mengatur alam, sambil belajar 
untuk melepasnya. Kita perlu menata hidup kita, sambil terus sadar, 
bahwa ini pun akan segera berlalu. Kita harus hidup dengan sepenuh 
hati, sambil terus sadar, bahwa tubuh kita semua akan menjadi bangkai 
dan debu pada akhirnya nanti.
Hidup dengan kesadaran ini berarti hidup sejalan dengan alam. 
Hidup sejalan dengan alam berarti hidup seirama dengan hukum￾hukum alam. Kita tidak lagi memaksakan ambisi kita di dalam 
kehidupan. Kita mengatur diri kita dan alam sekitar kita dengan 
kesadaran penuh, bahwa semuanya perlu dilepas pada akhirnya nanti.
Jerman boleh terkenal dengan teknologinya. Eropa boleh terkenal 
dengan ilmu pengetahuannya. Namun, di hadapan alam, semuanya 
hampir tak ada artinya. Pelajaran terpenting di dunia ini adalah belajar 
untuk melepas, ketika waktunya melepas. Inilah yang tak diajarkan di 
dalam ilmu pengetahuan dan teknologi


Kebebasan dari Pendapat
Kita tentu ingin bisa bebas berpendapat. Kita ingin menyuarakan 
pendapat kita, tanpa rasa takut. Kita pun berjuang untuk 
mewujudkan kebebasan berpendapat di masyarakat kita. Dalam hal 
ini, kita harus melawan kesempitan berpikir yang kerap melekat pada 
agama dan tradisi masyarakat kita.
Kebebasan berpendapat berpijak pada kebebasan berpikir. Kita 
ingin berpikir sesuai dengan kehendak dan kebutuhan kita. Kita tak 
ingin orang lain melarang kita untuk berpikir. Kebebasan berpikir 
dan berpendapat telah menjadi bagian dari perjuangan hak-hak sipil 
di berbagai negara.
Namun, seringkali, kita menggunakan kebebasan berpikir dan 
berpendapat untuk menghina orang lain. Kita merasa, bahwa kita 
punya hak dan kebebasan untuk menyakiti orang lain dengan pendapat 
kita. Kaum mayoritas merasa punya hak menghina yang minoritas. 
Mereka merasa, bahwa itu adalah bagian dari demokrasi.
Mengapa kebebasan berpikir dan berpendapat digunakan untuk 
saling menghina? Mengapa kebebasan seringkali dipelintir untuk 
tujuan-tujuan yang menyakiti orang lain? Ini terjadi, karena kebebasan 
kita masih dangkal. Kebebasan berpendapat dan berpikir, tanpa 
kesadaran akan kekosongan dari pikiran dan pendapat kita, hanya akan 
mendorong perpecahan dan penderitaan.
Pikiran
Untuk bisa sungguh bebas berpikir, kita perlu memahami hakekat 
dari pikiran kita. Apa itu pikiran? Pikiran adalah aktivitas mental 
manusia yang berpijak pada kesadarannya. Jadi, pikiran berbeda 
dengan kesadaran. Aktivitas mental ini terjadi, karena hubungan 
dengan dunia luar.
B anyak penelitian dijalankan untuk memahami arti kesadaran, 
terutama dalam hubungan dengan otak. Namun, sampai sekarang, 
belum ada defi nisi yang cukup diterima secara umum tentang 
kesadaran. Di dalam tradisi fi lsafat Timur, kesadaran manusia sama 
dengan kesadaran semesta, dan kesadaran segala yang ada. Segala hal 
terhubung dalam jaringan kesadaran raksasa seluas semesta itu sendiri.
Di dalam diri manusia, kesadaran lalu melahirkan pikiran. Pikiran 
ber guna bagi manusia untuk memempertahankan dirinya. Untuk itulah 
ilmu pe nge tahuan dan teknologi dilahirkan. Pikiran manusia juga 
menciptakan konsep dan bahasa yang berguna untuk memahami segala 
sesuatu. Dalam arti ini, dapatlah dikatakan, bahwa pikiran menciptakan 
segalanya yang diketahui manusia.
Namun, pikiran manusia juga memiliki kelemahan. Sejatinya, 
ia bersifat kosong, sementara dan tidak pasti. Pikiran manusia 
tidak mencerminkan kebenaran, melainkan hanya aktivitas mental 
subyektifnya saja. Ia datang dan pergi, bagaikan angin dingin di tengah 
musim panas.
Banyak orang sibuk dengan pikirannya. Mereka mengira, bahwa 
pikirannya nyata. Mereka mengira, bahwa pikirannya adalah kebenaran. 
Inilah sumber dari segala penderitaan batin dan konfl ik antar manusia, 
yakni dari pikiran kacau yang dianggap sebagai kebenaran.
Kebebasan dari Pikiran
Orang semacam ini mengalami kemelekatan pada pikirannya. Ia 
tidak sadar, bahwa pikirannya kosong, sementara dan tidak pasti. 
Karena kemelakatan ini, ia menganggap dirinya benar. Ia pun menjadi 
orang yang sombong. Sikap semacam ini mengundang banyak 
kesalahpahaman dan konfl ik.Orang yang melekat pada pikirannya juga akan melekat pada 
pendapatnya. Ia mengira, pendapatnya memiliki kebenaran mutlak. Ia 
tidak sadar, bahwa pendapatnya pun tidak mencerminkan kenyataan 
apa adanya. Orang semacam ini juga akan terjebak pada penyakit yang 
sama, yakni arogansi, dan mendorong kesalahpahaman serta konfl ik 
dengan orang lain.
Kemelekatan pada pikiran juga menciptakan penderitaan. Orang 
diatur oleh pikirannya. Ketika senang, ia senang secara berlebihan. 
Ketika sedih, ia amat menderita, bahkan ingin bunuh diri.
Menyadari, bahwa setiap pikiran dan pendapat itu kosong, membuat 
orang mampu mengambil jarak pada pikiran dan pendapatnya. Ia pun 
bebas dari pikiran dan pendapatnya. Ia tidak lagi dijajah oleh pikiran 
maupun pendapatnya. Dengan keadaan ini, ia bisa menggunakan 
pikiran dan pendapatnya untuk menolong orang lain, dan bukan untuk 
menghina orang lain.
Kebebasan berpikir dan berpendapat haruslah dibarengi dengan 
kebebasan dari pikiran dan pendapat. Inilah kebebasan yang sejati. 
Inilah kebebasan manusia dewasa. Selama orang masih mengira, bahwa 
pikiran dan pendapatnya mencerminkan kebenaran mutlak, selama itu 
pula, ia akan menjadi manusia arogan yang gemar memicu konfl ik.
Semua masalah di dunia lahir, karena orang melekat pada pikiran 
dan pendapatnya. Sayang sekali memang
I
lmu pengetahuan modern telah berulang kali membuktikan kepada 
kita, bahwa apa yang kita anggap sebagai nyata dan benar ternyata 
salah. Berulang kali, kelima indera kita memberikan infor masi yang 
tidak tepat tentang dunia. Akhirnya, kita sulit membedakan antara 
kenyataan dan ilusi. Banyak dari kita justru hidup dalam ilusi.
Kita mengira apa yang tidak ada sebagai ada. Sebaliknya, kita 
tidak tahu, apa sesungguhnya yang ada. Kita buta, akibat pikiran￾pikiran yang bermunculan di kepala kita. Dalam arti ini, pikiran 
tidak mengantarkan kita pada kebenaran, melainkan justru menjadi 
penghalang terbesar kita untuk mencapai kebenaran.
Steve Hagen menulis tentang tetralema, yakni kebingungan kita, 
ketika kita hendak memahami hakekat dari materi. Ia mendasarkan 
dirinya pada pemikiran Nagarjuna, fi lsuf India yang hidup sekitar 
2300 tahun yang lalu. Tetralema adalah jalan bagi pikiran kita, guna 
memahami materi yang ada di depan mata kita, misalnya komputer, 
layar televisi, meja, kursi dan sebagainya. Tetralema menggiring kita 
untuk meragukan keberadaan materi yang sebelumnya tampak begitu 
jelas kepada kita.
Tetralema
Tetralema berisi empat argumen tentang hakekat dari materi. 
Ini adalah empat jalan yang mungkin bagi pikiran manusia, guna 
mengetahui materi yang ada di depan matanya. Hagen dan Nagarjuna 
akan menunjukkan, bahwa semua argumen di dalam tetralema tidaklah 
meyakinkan.Argumen pertama; suatu benda didefi nisikan pada dirinya sendiri. 
Artinya, ia tidak membutuhkan benda-benda lainnya. Meja adalah 
meja, kursi adalah kursi. Mereka absolut pada dirinya sendiri. Titik.
Arg umen ini lemah. Kenyataanya, kita mengenali sesuatu dalam 
hubungan dengan hal-hal lainnya. Baik ada, karena ada buruk. Cantik 
ada, karena ada jelek. Meja bisa dikenali, karena ia berbeda dengan 
kursi, korden, dan sebagainya.
Argumen kedua; suatu benda didefi nisikan oleh lingkungannya. 
Suatu benda bisa dikenali sebagai ada, karena segala hal di sekitarnya 
mendefi nisikan benda tersebut. Meja didefi nisikan oleh kursi. Aku 
didefi nisikan oleh kamu, dan sebagainya.
Argumen ini juga lemah. Jika suatu benda melulu didefi nisikan 
oleh lingkungannya atau oleh benda-benda lainnya, maka ia tidak 
memiliki identitas pada dirinya sendiri. Ia tidak memiliki kepadatan 
pada dirinya sendiri. Maka, ia pun tidak bisa dikenali.
Argumen ketiga adalah gabungan antara argumen pertama dan 
kedua. Benda bisa dikenali sebagai ada, karena ia ada pada dirinya 
sendiri, dan terhubung dengan lingkungan sekitarnya. Meja ada, karena 
meja ada dan dibatasi oleh kursi, korden dan sebagainya. Linkungan 
dan isi dari benda tersebut membuat benda itu menjadi ada, dan dapat 
dikenali oleh manusia.
Argumen ini juga tidaklah meyakinkan. Jika inti dari benda 
bercampur dengan lingkungannya, maka semuanya akan melebur. 
Tidak ada lagi perbedaan. Kita pun tidak bisa mengetahuinya sebagai 
benda. Pengetahuan membutuhkan distingsi. Tanpa distingsi, tidak 
ada pengetahuan.
Argumen keempat; suatu benda tidak didefi nisikan oleh benda 
itu sendiri, maupun oleh lingkungannya. Sekilas mendengar, kita 
akan langsung sadar, bahwa argumen ini tidak masuk akal. Jika suatu 
benda tidak didefi nisikan oleh dirinya sendiri atau lingkungannya, lalu 
bagaimana kita bisa mengenalinya? Ini juga berarti, bahwa benda itu 
tidak ada.
Dengan demikian, keempat argumen tetralema tidak bisa 
membuktikan, bahwa materi ada. Tidak ada jalan yang kokoh untuk 
mengenali materi. Ia tampak seolah ada di depan mata kita. Namun, 
sesungguhnya, ia tidak sungguh ada, karena ia tidak sungguh dapat 
diketahui secara meyakinkan.
Artinya, lokalitas adalah ilusi. Lokalitas adalah fakta, bahwa suatu 
benda menempati ruang dan waktu tertentu, sehingga ia bisa dikenali. 
Namun, lewat tetralema di atas, kita sadar, bahwa lokalitas tidak dapat 
dipastikan. Artinya, pengetahuan kita tentang dunia juga tidak dapat 
dipastikan.
Teori Kuantum
Teori kuantum berkembang pesat di abad 20 dan 21 ini. Ia 
menjelaskan perilaku elektron dan partikel, yakni unsur terkecil dari 
materi. Di dalam teori ini dijelaskan, bahwa elektron dan partikel 
bisa bergerak seperti cahaya atau gelombang. Keduanya mungkin, 
dan itu tergantung dari pengamat yang mengamati gerak elektron 
tersebut. Pengamat?
Artinya, keberadaan pengamat mempengaruhi pola gerak elektron 
dan partikel. Cara pengamat tersebut mengamati juga menentukan 
perilaku elektron dan partikel. Artinya, realitas itu tergantung dari 
keberadaan pengamat, dan bagaimana ia mengamati realitas tersebut. 
Realitas tidak ada pada dirinya sendiri, melainkan tergantung dari kita 
yang mengamatinya.
Tetralema dan teori kuantum membuka pemahaman baru pada 
kita. Tidak ada realitas obyektif di luar sana. Tidak ada takdir yang 
sudah ditulis sebelumnya. Segalanya bergerak dan berubah, tergantung 
pada keberadaan kita, dan cara berpikir kita di dalam hidup
Perubahan Cara Hidup
Di dalam Zen Buddhisme, pikiran adalah pencipta segalanya. 
Ketika pikiran berhenti, maka segalanya juga akan berhenti. Yang ada 
hanyalah ruang luas sebesar semesta itu sendiri. Pikiran dan hidup 
kita pun menjadi jernih.
Pandangan ini sejalan dengan tetralema dan teori kuantum. Apa 
yang kita anggap sebagai ada, termasuk uang, nama baik, keluarga, 
kesedihan, ketakutan, kekecewaan, sesungguhnya tidaklah ada. Ia ada, 
karena ia diciptakan oleh pikiran kita. Dengan menyadari ini, kita bisa 
mengatur pikiran dan hidup kita, dan bukan sebaliknya. Kita tidak lagi 
dijajah oleh pikiran kita.
Kita menemukan kebebasan yang sejati, yakni kebebas an 
dari pemikiran konseptual. Kita lalu bisa secara bebas mengguna kan 
pi kir an kita untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Pikiran 
ha nya alat, dan ia bisa menjadi alat yang baik. Ia menjadi salah, ketika 
ia tidak dapat diatur, dan bergerak menciptakan ketakut an dan pende￾ritaan di dalam batin manusia.
Argumen tetralema dan teori kuantum membuka cara hidup 
baru kepada kita. Cara hidup ini berfokus pada pemahaman yang 
nyata tentang dunia sebagaimana adanya (wie die Dinge sind), dan bukan 
dunia sebagaimana kita inginkan atau bayangkan (wie die Dinge sein 
sollen). Ia tidak lahir dari mitos atau ajaran moral untuk mengontrol 
perilaku sosial, seperti yang banyak ditemukan di dalam agama-agama 
tradisional. Ia lahir dari kebebasan sejati yang tidak berpijak pada 
kepercayaan buta, melainkan dari pengalaman persentuhan langsung 
dengan kenyataan apa adanya.

Kita hidup di dunia yang penuh tantangan. Di satu sisi, berbagai 
masalah sosial, seperti kemiskinan, perang dan kesenjangan sosial 
di berbagai negara, tetap ada, dan bahkan menyebar. Di sisi lain, 
krisis lingkungan hidup memicu berbagai bencana alam di berbagai 
tempat. Kita membutuhkan cara berpikir serta metode yang tepat, guna 
menghadapi dua tantangan tersebut.
Ilmu pengetahuan mencoba melakukan berbagai penelitian untuk 
memahami akar masalah, dan menawarkan jalan keluar. Beragam 
kajian dibuat. Beragam teori dirumuskan. Akan tetapi, seringkali 
semua itu hanya menjadi tumpukan kertas belaka yang tidak membawa 
perubahan nyata.
Bahkan, kini penelitian sedang dilakukan untuk memahami 
beragam penelitian yang ada. Jadi, ”penelitian atas penelitian”. Di￾lihat dari kaca mata ilmu pengetahuan, kegiatan ini memang perlu 
dan menarik. Namun, dilihat dari sudut akal sehat sederhana, ini 
merupakan tanda, bahwa telah ada begitu banyak kajian dan teori yang 
lahir dari penelitian dengan nilai milyaran dollar, sementara hasilnya 
masih dipertanyakan.
Banjir Teori
Kondisi ini saya sebut sebagai ”banjir teori” dan ”banjir kajian”. 
Kajian dibuat demi kajian itu sendiri. Teori dirumuskan demi teori itu 
sendiri. Ini merupakan kesalahan berpikir mendasar di dalam dunia 
akademik sekarang ini.
Kondisi juga me nciptakan kebingungan, baik di antara para 
ilmuwan sendiri, maupun masyarakat luas. Di dalam kebingungan 
semacam ini, beragam masalah tetap ada. Bahkan, dalam beberapa kasus, masalah-masalah yang ada justru membesar dan menyebar. 
Uang milyaran dollar pun lenyap begitu saja untuk penelitian-pene￾litian yang absurd.
Kajian banyak terjadi di level teori. Perdebatan juga terjadi di level 
teori. Namun, ini jelas tidak cukup. Umat manusia membutuhkan cara 
berpikir yang baru, guna menghadapi berbagai tantangan dunia.
Hakekat Teori
Teori adalah rangkaian kata-kata ataupun simbol untuk menjelaskan 
suatu keadaan atau fenomena di dalam dunia. Teori juga merupakan 
bentuk abstraksi pikiran manusia atas keadaan atau benda di dunia. 
Dalam arti ini, dapat dengan lugas dikatakan, bahwa teori itu 
bukanlah kenyataan, melainkan abstraksi yang sekaligus juga berarti 
penyempitan (reduksi) dari kenyataan itu sendiri. Berteori berarti 
mencabut unsur-unsur di dalam kenyataan yang dianggap penting, dan 
berarti mengabaikan atau bahkan membuang hal-hal yang dianggap 
tidak penting.
Perdebatan pun lalu banyak terjadi di level teoritis. Para ilmuwan 
sibuk dengan konsep, kata dan simbol. Mereka kerap lupa, bahwa apa 
yang mereka bicarakan dan teliti itu adalah kehidupan manusia dengan 
segala kekayaannya. Mereka lalu membangun teori di atas teori, dan 
begitu terus, sampai tidak lagi memiliki akar di dalam kenyataan.
Jadi, teori tidak membantu manusia untuk memahami kenyataan. 
Bahkan, yang terjadi adalah sebaliknya, yakni teori justru mengaburkan 
pengetahuan manusia atas kenyataan. Kita tidak lagi dapat memahami 
realitas sebagaimana adanya, melainkan hanya realitas sebagaimana 
kita teorikan di dalam kepala dan penelitian kita. Dan karena begitu 
banyak teori, maka ada begitu banyak ”realitas”, dan akhirnya 
menciptakan kebingungan yang besar.
Dunia akademik menciptakan semacam dunia baru, yakni dunia 
imajinasi. Dunia imajinasi ini berisi kata, simbol dan teori. Di dalamnya 
terkandung, harapan dan ketakutan yang ditutupi dengan selubung 
rumusan, formula, ataupun teori. Semua ini membuat orang tak lagi 
mampu memahami realitas apa adanya.
Melampaui Teori
Jika kita hanya memahami dunia melalui teori dan konsep di dalam 
kepala kita, maka kita tidak akan bisa memahami realitas apa adanya. 
Jika kita tidak dapat memahami realitas apa adanya, maka kita akan 
tersesat. Kita tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi 
yang muncul di kepala kita. Akibatnya, kita pun bingung, dan tidak 
dapat menanggapi dengan tepat beragam tantangan yang ada.
Untuk mencegah itu, kita perlu memahami kenyataan apa adanya. 
Kita perlu bergerak melampaui teori, dan memahami dunia apa adanya. 
Kata ”melampaui” bisa juga diganti dengan kata ”sebelum” teori, 
yakni dunia apa adanya, sebelum kita merumuskan konsep atasnya. 
Para fi lsuf fenomenologi Jerman, seperti Edmund Husserl dan Martin 
Heidegger, menyebutnya sebagai dunia kehidupan (Lebenswelt), yakni 
dunia prakonseptual (sebelum konsep). Para pemikir fi lsafat Timur, 
se perti Seung Sahn dan Lin-Chi, menyebutnya sebagai dunia-tanpa￾pikiran.
Bagaimana kita bisa memahami kenyataan apa adanya? Kita harus 
me lepaskan diri dari konsep dan teori. Kita harus melepaskan diri kita 
dari ke biasaan berpikir konseptual. Dengan ini, lalu kita bisa mencerap 
(wahrnehmen) kenyataan apa adanya, yakni kenyataan sebelum dan 
sekaligus melampaui konsep serta teori.
Dalam arti ini, kita tidak lagi memahami (begreifen) kenyataan, 
melainkan mengalami (erleben) kenyataan. Kita tidak memenjara realitas 
ke dalam kata dan simbol, melainkan membiarkan realitas itu tampil 
apa adanya ke dalam kesadaran kita. Kita bergerak ke level sebelum 
pemikiran, dan kemudian menyentuh realitas apa adanya. Dalam arti 
ini, tidak ada lagi perbedaan antara aku dan realitas.
Di dalam persentuhan dan kesatuan dengan realitas ini, kita pun 
mengalami perubahan kesadaran. Cara berpikir kita berubah. Cara 
hidup kita berubah. Keputusan dan prioritas dalam hidup kita pun 
lalu ikut berubah.
Kebingungan lenyap. Orang bingung, karena kepalanya dipenuhi 
konsep dan teori. Keadaan ini menciptakan ketakutan dan harapan 
berlebihan yang membuat orang tak jernih memandang realitas. Kepu￾tusan-keputusan yang ia ambil pun lalu mencerminkan kebingungan 
di dalam hidupnya.
Sebaliknya, persentuhan langsung dengan realitas membuat 
teori dan konsep lenyap seketika. Segalanya menjadi jelas dan jernih. 
Orang tahu, apa yang harus ia lakukan. Pijakannya bukanlah lagi 
melulu pertimbangan rasional dan logis, melainkan ”intuisi”, yakni 
pengalaman langsung dengan kenyataan.
Dalam keadaan ini, moralitas sebagai seperangkat aturan bertindak 
tidak lagi diperlukan. Berbuat baik adalah sesuatu yang alamiah, ketika 
orang menyentuh realitas dengan intuisinya. Berbuat jahat, dalam arti 
mendorong penderitaan, juga secara alamiah dihindari. Orang tidak 
dipenuhi oleh ”perang teori” dan ”perang konsep” di dalam kepalanya 
soal baik buruk- benar salah, melainkan hidup dengan pikiran jernih, 
guna menghadapi segala yang ada sesuai keadaan yang nyata.
Dengan kejernihan semacam ini, kita bisa bekerja sama, guna 
menghadapi berbagai tantangan jaman yang ada. Kita tidak lagi 
terjebak dengan teori dan konsep. Kita juga tidak lagi terjebak dalam 
kebingungan dan ketakutan. Namun, keadaan ini haruslah dilatih terus 
menerus, sehingga ia sungguh menjadi bagian nyata dari kehidupan 
kita, dan bukan sekedar sensasi sesaat belaka.
Perdamaian yang sejati dapat terbentuk, ketika kita melepaskan 
ide-ide kita tentang perdamaian. Kita tidak lagi ngotot menciptakan 
per da maian ”versi kita”. Kita tidak lagi terjebak pada ”konsep per da￾mai an” atau ”teori tentang perdamaian” yang kita anggap benar. Ketika 
kita bisa mencerap kenyataan apa adanya, pada saat itulah, kita bisa 
mengalami perdamaian sejati di dalam batin, maupun dengan orang 
sekitar.Karena nila setitik, rusak susu sebelanga.” Benarkah? Karena satu 
kesalahan, lalu semua hal baik juga ikut rusak? Karena kesalahan 
satu orang, lalu seluruh kelompoknya juga ikut bersalah?
Inilah salah satu pertanyaan terpenting yang perlu kita ajukan 
sekarang ini. Banyak orang hidup dengan prasangka. Pikirannya 
melihat sesuatu, lalu menyamaratakan kesalahan itu ke konteks yang 
lebih luas. Misalnya, ada satu orang Ambon yang menjadi preman. 
Lalu, kita dengan gampangnya menarik kesimpulan, ”semua orang 
Ambon itu preman”.
Kesalahan satu orang lalu dianggap sebagai kesalahan kelompok. 
Ada orang asing berbuat kriminal, maka semua orang asing lalu 
dicurigai sebagai kriminal. Inilah yang sekarang ini berkembang di 
Jerman, dan di berbagai tempat lainnya. Saya menyebut gejala ini 
sebagai pola pikir ”menyamaratakan”.
Kecenderungan ini lalu juga meluas. Kesalahan kelompok dianggap 
sebagai kesalahan ras. Kesalahan ras lalu dianggap sebagai kesalahan 
seluruh peradaban. Dunia lalu terpecah di antara berbagai kelompok 
yang saling membenci satu sama lain.
Prasangka
Pola pikir menyamaratakan adalah ibu kandung dari prasangka. 
Prasangka adalah pandangan kita akan sesuatu, sebelum sesuatu itu 
terjadi. Ia tidak nyata. Ia hanya khayalan di kepala kita yang berpijak 
pada ketakutan dan kesalahpahaman.
Prasangka lalu melahirkan diskriminasi. Kita menilai orang 
berdasarkan warna kulit, ras, suku atau agamanya. Kita bersikap keras 
dan tidak adil kepada seseorang, karena ia memiliki latar belakang yang
tidak sama dengan kita. Dengan cara berpikir ini, kita bisa menjadi 
pelaku pembunuhan massal.
Dunia sekarang ini hidup dalam bayang-bayang diskriminasi 
dan rasisme. Orang dipisahkan oleh tembok warna kulit dan agama. 
Berita-berita di media dipelintir, guna memanaskan keadaan. Banyak 
keluarga harus menderita, karena mengalami ketidakadilan di berbagai 
segi kehidupannya.
Keadaan ini bagaikan bom waktu. Konfl ik besar antar kelompok 
menanti di depan mata. Ketegangan politis dan militer membawa pen￾deritaan bagi banyak orang yang tak bersalah. Keadaan ini diperparah 
oleh rusaknya alam, akibat dari kerakusan dan kebodohan manusia.
Pembunuhan massal etnis Yahudi tak jauh dari ingatan kita. 
Orang-orang Yahudi ditangkap dan dibunuh, tanpa alasan yang 
jelas. Di negara kita, jutaan anggota PKI dan organisasi-organisasinya 
ditangkap, ditahan dan dibunuh demi kekuasaan belaka. Pola pikir 
menyamaratakan ada di balik semua peristiwa mengerikan ini.
Akar
Memang, sulit bagi kita untuk tidak menyamaratakan, ketika kita 
secara langsung menjadi korban dari suatu bentuk kejahatan. Kita 
mengalami trauma dan sakit hati, akibat penghinaan dan ketidakadilan 
yang secara langsung kita alami. Berpijak pada kekalutan batin semacam 
itu, kita lalu menyamaratakan. Selama konfl ik dan trauma tidak 
mengalami rekonsiliasi, selama itu pula pola pikir menyamaratakan 
akan berkembang, dan mendorong berbagai bentuk diskriminasi.
Misalnya, kita diancam oleh preman yang berasal dari Medan. 
Maka sulit bagi kita untuk menolak logika berpikir, bahwa ”semua 
orang Batak adalah preman”. Ada semacam ketakutan yang menutupi 
pikiran kita di dalam peristiwa ini. Akibatnya, kita tidak lagi mampu 
berpikir jernih, dan kemudian menyamaratakan.Ini juga seringkali terkait dengan harga diri kita sebagai manusia. 
Korban penghinaan terluka harga dirinya. Kemarahan dan kebencian 
menutupi matanya, sehingga ia berpikir dengan menyamaratakan, dan 
mendorong terjadinya diskriminasi serta konfl ik. Hal yang sama terjadi 
dengan harga diri kelompok, sehingga konfl ik perorangan berubah 
menjadi konfl ik antar kelompok.
Pola pikir ”menyamaratakan” ini juga diakibatkan oleh hubungan 
sebab akibat semu di dalam kepala. Kita membuat hubungan tanpa 
dasar antara dua peristiwa. Kita melihat sebab dari suatu akibat 
(penderitaan kita), walaupun sesungguhnya tidak ada hubungan 
langsung. Analisis kita dikotori oleh rasa takut, trauma dan kebencian.
Keadaan ini juga disebut sebagai ketidakberpikiran. Kita mengira 
ketakutan kita sebagai kebenaran. Kita mengira pikiran kita sebagai 
kebenaran. Pikiran yang diyakini sebagai kebenaran justru melahirkan 
ketidakberpikiran.
Pada saat yang sama, keadaan ini juga bisa disebut tindak berpikir 
yang berlebihan. Para master Zen di dalam fi lsafat Timur berulang kali 
menegaskan, pikiran adalah sumber dari segala penderitaan. Pikiran 
dan analisis memisahkan manusia dengan manusia lainnya, dan 
manusia dengan alam. Keadaan ini berpotensi besar untuk mendorong 
konfl ik.
Pola pikir menyamaratakan bisa dilampaui, jika orang menyadari 
pikirannya sendiri. Ia lalu bisa mengambil jarak dari prasangka yang 
bercokol di kepalanya. Ketakutannya tetap ada, tetapi tidak mem￾pengaruhinya. Setelah prasangka dan ketakutan lenyap, orang lalu 
masuk ke dalam kejernihan.
Orang juga tak perlu takut dan marah, jika ia mengalami diskri￾minasi, akibat penyamarataan. Para pelaku diskriminasi adalah orang￾orang yang takut dan menderita. Justru, mereka harus dibantu dengan 
berbagai cara yang mungkin. Kekuatan terbesar manusia adalah 
kelembutannya di dalam menghadapi segala sesuatuSejak awal keberadaannya, manusia ingin memahami dunianya. 
Ia juga ingin memahami dirinya sendiri. Dorongan ini bersifat 
alamiah. Ia akan selalu ada, selama manusia masih hidup.
Memahami dunia berarti mengamati dunia apa adanya. Mengamati 
dunia apa adanya berarti mengamati dunia di dalam perubahannya. 
Segala sesuatu terus berubah, tanpa henti. Kita tak akan pernah 
menginjakkan kaki di sungai yang sama, begitu kata Herakleitos, fi lsuf 
Yunani Kuno.
Apa yang kita lihat sekarang bukanlah yang kita lihat sebelumnya. 
Setiap tujuh tahun, tubuh manusia berganti sepenuhnya. Ia menjadi 
manusia yang sama sekali baru. Yang sama dari manusia itu dengan 
manusia sebelumnya hanyalah namanya.
Apa yang kita anggap tetap dan akan memuaskan kita pada 
akhirnya akan berubah, dan lenyap dari muka bumi ini. Apa yang kita 
perolah akan berubah, dan akan lenyap. Apa yang kita pegang erat-erat 
juga akan berubah. Apa yang kita perjuangkan dengan seluruh hidup 
kita akan hilang ditelan angin.
Memahami kenyataan di dalam perubahannya berarti juga 
memahami alam di dalam keterhubungannya. Segala hal saling 
terhubung satu sama lain. Hukum-hukum fi sika yang bekerja, ketika 
kita mengangkat tangan kita, sama dengan hukum-hukum fi sika yang 
menggerakan meteor di ruang angkasa nan jauh disana. Perbedaan 
hanya merupakan ilusi yang diciptakan oleh pikiran kita yang terbatas.
Kotoran bagi satu mahluk adalah makanan bagi mahluk lain. Apa 
yang dianggap menjijikan oleh manusia justru menjadi rumah bagi 
peradaban serangga atau tumbuhan tertentu. Lingkaran saling keter￾hubungan adalah bentuk dari alam semesta kita. Tidak ada yang suci 
dan tidak suci, karena semuanya saling membutuhkan satu sama lain.Kenyataan juga tidak memiliki konsep. Kenyataan adalah apa 
adanya,just as it is. Ia tidak memiliki nama. Kata ”kenyataan” juga 
sebenarnya salah kaprah. Ia membuat aliran perubahan seolah-oleh 
menjadi tetap, dan bisa disebut sebagai ”kenyataan”.
Konsep membuat sesuatu tampak tetap. Padahal, sejatinya, segala 
hal terus berubah, tiap detik, tanpa henti. Konsep bukanlah kenyataan. 
Bahkan seringkali, ia menghalangi kita untuk memahami kenyataan.
Salah satu konsep yang paling banyak digunakan manusia adalah 
konsep ”awal dan akhir”. Di dalam alam, tidak ada awal dan tidak ada 
akhir. Segalanya berubah, bergerak. Apa yang kita sebut sebagai ”awal” 
dan ”akhir” juga merupakan sebuah perubahan yang tak istimewa.
Jika tak ada awal dan akhir, maka tidak ada hidup dan mati. 
Hidup dan mati hanyalah sebentuk perubahan. Pikiran kitalah yang 
mencapnya sebagai sesuatu yang penting. Alam semesta itu sejatinya 
tidak pernah hidup dan tidak pernah mati. Ia juga tidak memiliki awal 
dan tidak memiliki akhir. Ia hanya ada, dan terus ada.
”Awal-akhir”, ”hidup-mati”, itu adalah konsep-konsep di dalam 
pikiran kita. Kita lalu melekat pada konsep-konsep itu. Kebahagiaan 
kita menjadi tergantung padanya. Jika sesuatu hidup atau dimulai, kita 
senang. Sebaliknya, jika sesuatu berakhir atau mati, kita lalu sedih. Ini 
adalah ilusi dari pikiran kita.
Ketika orang mati, tubuhnya menjadi bangkai di tanah. Rumput 
dan tanaman tumbuh subur di tanah yang berisi bangkai. Sapi lalu 
memakan rumput itu, lalu manusia memotong mati untuk lauk pauk 
di meja makannya. Inilah lingkaran kehidupan yang tak mengenal awal 
dan akhir, mati dan hidup.
Dalam arti ini, dapat juga dikatakan, bahwa seluruh alam ini 
adalah satu kesatuan. Tidak ada perbedaan. Semua terhubung, dan 
tidak hanya itu, semua adalah satu. Butiran pasir di pantai dan bintang 
raksasa yang berukuran ratusan kali lebih besar dari matahari adalah 
satu dan sama.Argumen ini didukung oleh penemuan terbaru di dalam fi sika. 
Komponen terkecil alam semesta adalah satu dan sama. Antara 
semut dan gajah tidak ada perbedaan, ketika kita melihat komponen 
terkecilnya. Perbedaan hanya tampak di mata dan pikiran kita.
Kesatuan ini ditunjang oleh harmoni di dalam alam semesta. 
Harmoni berarti segala sesuatu memiliki tatanan tertentu. Ada hukum￾hukum alam yang mengatur segalanya. Tidak pernah ada chaos dan 
kekacauan, sebagaimana dibayangkan oleh manusia.
Sayangnya, banyak orang tak paham akan hal ini. Mereka meng￾anggap, apa yang mereka punya akan tetap dan abadi. Mereka lalu 
melekat pada harta, ambisi dan nama besar. Mereka juga mengira, diri 
mereka abadi dan tetap. Tak heran, mereka hidup dalam penderitaan.
Mereka juga hidup dalam delusi. Mereka mengira, kematian adalah 
akhir. Lalu, mereka marah, takut serta sedih, ketika orang yang mereka 
sayangi meninggal. Mereka juga berusaha untuk bisa hidup sehat dan 
awet muda, serta berusaha untuk menghindari kematian. Usaha yang 
sejatinya sia-sia.
Banyak orang juga berambisi untuk memulai sesuatu. Lalu, mereka 
melekat pada ambisi dan pada sesuatu itu. Ambisi membutakan mata 
mereka. Padahal, itu pun juga sejatinya akan berakhir.
Orang yang hidup dalam delusi berarti hidup dalam penderitaan. 
Mereka melekat dan memegang erat hal-hal yang sejatinya terus 
berubah. Mereka mengira, bahwa pikiran dan konsep-konsep mereka 
adalah kenyataan. Mereka juga takut pada kematian dan usia tua.
Orang yang menderita akan cenderung membuat orang lain men￾derita. Penderitaan kolektif akan mendorong konfl ik antar kelompok. 
Perang antar negara juga bisa terjadi, karena penderitaan batin yang 
amat besar dari kedua belah pihak yang berperang. Perdamaian 
dunia tidak akan pernah tercapai, jika orang masih terjebak di dalam 
delusinya masing-masing.
Bagaimana kita membangun sikap hidup yang tepat dengan 
berpijak sebagaimana adanya? Bagaimana kita bisa melepaskan segala harapan kosong dan pikiran-pikiran delusional yang menutupi 
mata kita dari dunia apa adanya? Inilah pertanyaan yang menjadi 
pergulatan fi lsafat Yunani Kuno dan fi lsafat Timur. Bagaimana kita 
bisa melepaskan konsep-konsep pikiran kita, dan kemudian hidup 
mengalir mengikuti perubahan semesta?Hidup kita disusun oleh berbagai keputusan yang telah kita buat. 
Setiap harinya, kita pun diminta untuk membuat keputusan. Di 
sisi lain, ke putusan-keputusan kita juga berdampak langsung pada 
orang lain. Keadaan pikiran dan fi sik hidup mereka juga menerima 
dampak dari keputusan yang kita buat. Pertanyaan yang patut dijawab 
pada titik ini adalah, bagaimana kita bisa membuat keputusan yang 
tepat untuk hidup kita, terutama dengan mempertimbangkan keadaan 
dunia yang semakin hari semakin rumit ini?
Kejernihan
Ada empat hal yang diperlukan, guna membuat keputusan, 
yakni kejer nihan, dialog, keputusan dan kontrol. Kejernihan pikiran 
adalah kemampuan untuk memahami keadaan apa adanya, lepas dari 
segala bentuk kotoran yang menutupi pikiran kita, seperti prasangka, 
ketakutan, kecemasan dan trauma dari peristiwa masa lalu. Pikiran 
yang kotor ini akan bermuara pada pertimbangan-pertimbangan yang 
kacau. Ini semua akan mendorong kita membuat keputusan yang 
salah, yakni keputusan yang menciptakan penderitaan bagi diri kita, 
maupun orang lain.
Bagaimana cara mencapai kejernihan pikiran semacam ini? Kita 
harus membersihkan kepala kita dari semua pertimbangan konseptual 
abstrak, terkait dengan keputusan yang akan kita buat. Kita juga harus 
melepaskan kepentingan pribadi kita. Hanya dengan begitu, pikiran 
kita akan menjadi jernih seperti ruang kosong, dan bisa membuat 
keputusan yang tepat, sesuai dengan keadaan yang ada di depan mata.
Ketika pikiran jernih, maka keadaan akan jelas. Segala hal menjadi 
jelas dengan sendirinya. Kita tak lagi lagi sibuk pada apa yang kita inginkan, melainkan pada keadaan sesungguhnya. Dengan berpijak 
pada pengetahuan tentang keadaan sebagaimana adanya, kita bisa 
menanggapi setiap keadaan dengan tepat. Kita menjadi pribadi yang 
responsif, yakni berani dan mampu menanggapi segala keadaan yang 
terjadi apa adanya.
 Banyak orang tidak responsif pada keadaan sebenarnya. Mereka 
bersikap reaksioner terhadap keadaan. Artinya, mereka menanggapi 
keadaan tidak dengan kejernihan, melainkan dengan ketakutan, 
kecemasan dan prasangka. Semua ini menghasilkan kebencian yang 
akan membuat keputusan yang diambil menjadi salah, dan menciptakan 
penderitaan bagi banyak orang.
Dialog, Keputusan dan Kontrol
Kejernihan lalu menjadi dasar untuk proses berikutnya, yakni 
dialog. Dialog mengandaikan kerja sama antara berbagai pihak, guna 
membuat sebuah keputusan yang nantinya akan mempengaruhi 
kehidupan banyak orang. Segala kehendak dari semua pihak terkait dan 
dampak yang timbul dari keputusan yang diambil harus diperhatikan. 
Semua itu harus menjadi bahan di dalam dialog.
Namun, dialog tidak boleh berlangsung tanpa henti. Keputusan 
harus dibuat, walaupun keadaan memang tak sesempurna yang 
diinginkan. Sikap perfeksionis di dalam membuat keputusan haruslah 
dihindari, tanpa terjatuh pada sikap sembrono. Kejernihan pikiran 
menjadi dasar utama dari semua proses ini.
Setelah keputusan dibuat, ia harus dipantau terus menerus, apakah 
berjalan dengan baik, atau tidak. Pemantauan ini amatlah penting. 
Begitu banyak keputusan politik di buat di negara kita, tetapi tidak 
me miliki dampak yang diharapkan. Tanpa kontrol yang jelas, setiap 
keputus an, sebagus apapun, tidak akan memberikan kebaikan pada 
siapapun.Kejernihan pikiran, dialog, keputusan dan kontrol adalah langkah￾langkah yang harus ditempuh, guna membuat keputusan yang tepat, 
sesuai dengan keadaan sebagaimana adanya. Ini semua harus dilakukan 
dengan kesadaran penuh, bahwa semuanya adalah kosong, sementara 
serta terus berubah. Perubahan adalah keniscayaan di dalam hidup. 
Maka, semuanya pun harus terbuka untuk perubahan yang diperlukan, 
guna menanggapi keadaan yang ada.
Walaupun dibuat dengan kejernihan, pasti ada kesalahan. Itu 
adalah bagian dari hidup. Penyesalan tidaklah diperlukan. Kita hanya 
perlu terus berusaha jernih, dan maju terus dalam dialog, memutuskan 
apa yang perlu dilakukan, dan melakukan kontrol atasnya. Maju 
terus…Citra memang bukan realita. Namun, perannya tetaplah penting, 
terutama di dunia digital yang sekarang ini mengepung hidup kita. 
Citra menentukan sikap orang lain pada kita. Citra juga mempengaruhi 
selera massa, yang akhirnya berpengaruh langsung pada keberhasilan 
ekonomi seseorang, dan bahkan satu negara.
Citra merupakan abstraksi dari realita. Ia bukanlah realita itu 
sendiri. Citra dibangun di atas sekumpulan informasi yang diperoleh 
dari sumber-sumber tertentu. Sayangnya, informasi-informasi tersebut 
tidak sepenuhnya sesuai kenyataan.
Citra berpijak pada persepsi. Persepsi dibangun atas bayangan 
tentang realita. Bayangan tersebut lalu menjadi semacam penuntun 
cara berpikir dan cara bertindak yang tidak disadari. Orang menjalani 
hidupnya dengan berpijak pada persepsinya atas kenyataan tersebut.
Realita yang sesungguhnya, dalam konteks ini, berada di luar 
genggaman tangan kita. Ia berada di luar dan melampaui persepsi. 
Pada titik ini, orang perlu berpikir terbalik. Persepsi justru bertentangan 
dengan kenyataan. Jadi, anggapan yang ada di kepala justru harus 
dilihat terbalik dari kenyataan yang ada.
Citra dan Media
Darimana persepsi muncul? Dari mana citra tercipta? Peran media 
amatlah besar dalam hal ini, termasuk di dalamnya adalah koran, 
majalah, iklan, berita-berita di internet serta gosip-gosip di blog pribadi 
mau pun jaringan sosial. Cara pandang kita atas dunia, perilaku kita 
serta selera kita dibangun oleh media-media modern berukuran raksasa 
ini.Ketika media menyebarkan berita, bahwa kulit putih lebih 
baik dari kulit hitam, maka kita pun lebih suka pada laki-laki atau 
perempuan berikulit putih, daripada mereka yang berkulit hitam. 
Ketika media menyebarkan informasi, bahwa Eropa itu indah, maka 
orang berbondong-bondong berwisata ke Eropa, walaupun dengan 
biaya yang tidak masuk akal. Ketika media menyebarkan berita, bahwa 
pendidikan di Amerika Serikat adalah yang terbaik di dunia, maka 
orang berbondong-bondong sekolah disana, juga dengan biaya yang 
amat tinggi. Jadi, apa kata media, itulah yang menjadi selera kita, dan 
akhirnya menuntun hampir semua tindakan kita.
Padahal, media tidaklah pernah netral. Media selalu merupakan 
corong dari kepentingan pihak tertentu. Dalam banyak hal, media 
justru melestarikan keadaan sosial tertentu yang tidak adil. Dengan 
kata lain, media kerap menjadi kaki tangan para penguasa yang 
ingin menjaga kekuasaannya dengan cara-cara yang tidak dapat 
dipertanggungjawabkan.
Media dan Realita
Media menyebarkan info dan berita yang menguntungkan 
pihak tertentu. Dari pola pemberitaan semacam ini, media lalu juga 
memperoleh keuntungan. Pola ini sudah kita rasakan bersama, sewaktu 
Orde Baru di bawah Soeharto memerintah negara kita. Pemberitaan 
media dipelintir untuk membangun citra baik bagi pemerintah yang 
berkuasa.
Dengan pola ini, media juga merugikan kepentingan pihak lainnya. 
Media meminggirkan kepentingan dan aspirasi dari kelompok tertentu 
di dalam masyarakat. Kelompok-kelompok ini biasanya menjadi 
kambing hitam atas segala permasalahan sosial yang ada di masyarakat. 
Mereka biasanya kaum minoritas yang tidak mendapatkan pendidikan 
yang memadai, serta terjebak dalam kemiskinanDengan demikian, pemberitaan media bukanlah realita. Justru 
sebaliknya, kita kerap perlu membaca berita-berita media secara 
terbalik, karena ia jelas bertentangan dengan realita. Tidak ada fakta 
di dalam media. Yang ada hanyalah sudut pandang yang perlu untuk 
terus dibaca serta ditanggapi secara kritis.
Kritis, Kritis dan Kritis
Pada titik ini, sikap kritis mutlak diperlukan. Di tingkat pertama 
dan terpenting, kita perlu kritis pada selera kita. Kita perlu sadar, selera 
dan cara berpikir kita dibentuk oleh kepungan media di sekitar kita. 
Dalam banyak hal, kita perlu untuk menolak selera kita, dan melihatnya 
semata sebagai ilusi.
Kritis pada selera berarti juga kritis pada persepsi. Persepsi adalah 
kesan dan bayangan kita akan sesuatu yang tak selalu mencerminkan 
realita. Maka, persepsi pun harus ditunda kepastiannya, dan diuji 
keabsahannya. Persepsi harus dilihat sebagai salah, sampai terbukti 
sebaliknya.
Pada titik ini, sikap kritis pada media pun juga mutlak ada. 
Informasi-informasi dari berbagai media juga harus dilihat sebagai 
salah, sampai terbukti sebaliknya. Fakta harus dilihat sebagai pendapat 
yang perlu untuk dilihat dengan kaca mata kritis. Hanya dengan begini, 
kita bisa lolos dari penipuan media yang mengacaukan persepsi serta 
selera kita.
Dalam konteks ini, kebenaran adalah hasil dari falsifi kasi. Ia 
bukanlah hasil dari afi rmasi buta atas apa yang tertulis dan terdengar. 
Hasil dari falsifi kasi berarti kebenaran itu telah lolos dari uji coba 
pencarian hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran itu. Ketika 
segala yang bertentangan telah diajukan, dan kebenaran itu tetap tegak 
berdiri, maka mungkin kita bisa sedikit yakin, bahwa kita sudah tiba 
di pintu gerbang kebenaran. Mungkin…Kebenaran merupakan hal penting dalam hidup setiap orang. Tidak 
ada orang yang mau hidup dalam kebohongan dan kepalsuan. 
Mereka menginginkan dan mencari kebenaran. Semua keputusan 
dalam hidup mereka, sedapat mungkin, didasarkan atas kebenaran.
Hal yang sama berlaku di dalam politik. Hidup bersama tentu 
membutuhkan aturan. Namun, aturan tersebut tidak boleh berpijak 
pada semata kekuasaan belaka, melainkan pada keadilan dan kebenaran. 
Tanpa keadilan dan kebenaran, tata politik akan bermuara pada perang 
dan kehancuran semua pihak.
Banyak orang bilang, hal terpenting dalam hidup adalah cinta. 
Banyak juga agama dan fi lsafat yang mengajarkan itu. Namun, cinta 
tidak boleh disamakan melulu dengan memanjakan. Cinta juga 
harus tetap berpijak pada kebenaran, yang memang seringkali perlu 
disampaikan dengan cara-cara yang kurang bersahabat.
Namun, pertanyaan mendasar kemudian muncul. Mungkinkah 
kita sebagai manusia memahami kebenaran? Mungkinkah pikiran dan 
kemampuan kita yang terbatas memahami dan menerapkan kebenaran 
di dalam hidup sehari-hari kita? Inilah salah satu pertanyaan mendasar 
di dalam fi lsafat dan ilmu pengetahuan.
Dekonstruksi
Jacques Derrida, seorang fi lsuf Prancis di abad 20, mengajukan 
pendapat menarik soal kebenaran. Baginya, kebenaran selalu terkait 
dengan proses dekonstruksi. Kebenaran bukanlah sesuatu yang mutlak 
dan tetap, melainkan bergerak sejalan dengan perubahan kenyataan 
itu sendiri. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa