Selasa, 11 Juli 2023
Home »
penyakit hewan mamalia 9
» penyakit hewan mamalia 9
penyakit hewan mamalia 9
Juli 11, 2023
penyakit hewan mamalia 9
Larva instar III (L3) akan membuat terowongan sepanjang dua sampai tiga
sentimeter untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva akan
membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC. Penetasan lalat dari
pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat
selama seminggu pada kondisi 25-30oC sedangkan pada temperatur yang
lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan.
Gambar 2. Siklus hidup C.bezziana (Sumber: Koleksi: M. Hall – NHM UK)
2. Patogenitas
Patogenesis myasis pada hewan dan manusia tidak berbeda. Awal
terjadinya myasis yaitu jika ternak mengalami luka alami akibat
berkelahi, tersayat benda tajam, gigitan caplak/predator dan pasca partus
atau terputusnya tali pusar/umbilikus. Luka lain juga dipicu oleh campur
tangan manusia, misalnya pada kasus pemotongan tanduk (de-horning),
kastrasi, pemotongan ekor, puncukuran bulu dan lain-lain. Bau darah segar
yang mengalir akan menarik lalat betina C.bezziana untuk meletakkan telurnya
di tepi luka tersebut. Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga
tidak mudah jatuh ke tanah oleh gerakan hewan. Dalam waktu kurang dari
12 jam, telur akan menetas menjadi larva dan bergerak masuk ke dalam
jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh memicu luka semakin
besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini memicu
bau yang menyengat dan mengundang lalat yang lain (lalat sekunder dan
tersier) untuk hinggap (Sarcophaga sp, C.megachepalla, C.rufi facies, Musca
sp) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. jika tidak ada
pengobatan, penderita dapat mengalami kematian.
3. Sifat Alami Agen
Lalat jantan memerlukan minum dan karbohidrat yang lebih banyak
dibandingkan dengan betina untuk mempertahankan hidupnya. Lalat jantan
dapat mengawini beberapa betina, tetapi betina hanya kawin sekali seumur
hidupnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa awal produksi telur terjadi
pada hari kedua pasca kawin. Umur lalat termuda yang mampu memproduksi
telur yaitu umur lima hari. Puncak produksi telur terjadi pada betina yang
berumur delapan hingga dua belas hari. Umumnya lalat betina menetas satu
hari lebih awal dibandingkan dengan lalat betina. Awal kematian terjadi pada
umur empat hari dan mencapai puncaknya pada umur empat belas hari.
Studi lain juga menyebutkan bahwa larva yang turun dari sumber
pakan (luka myiasis) dan jatuh ke tanah pada hari pertama 3,05 kali lebih
banyak menjadi lalat betina. Terowongan yang dibuat larva untuk menjadi
pupa mempunyai kedalaman berkisar 6 – 7 cm dibawah tanah. Larva akan
mengalami penurunan bobot badan sekitar 25,87 % untuk menjadi pupa dan
44,93 % untuk menjadi lalat dewasa. Bobot minimal pupa yang bisa menetas
menjadi lalat yaitu 23,5 –26 mg.
Berbeda dengan jenis lalat lainnya, C.bezziana jarang ditemukan
di sekeliling sapi. Lalat betina akan mendekat ke ternak pada saat akan
bertelur. Lalat ini lebih senang bertengger pada daun, pagar, pokok kayu dan
berbaur dengan jenis Calliphoridae lainnya di lingkungan tersebut. Banyak
jenis Calliphoridae lain yang juga berwarna hijau sehingga tidak mudah
mengenali C.bezziana secara kasat mata.
4. Spesies Rentan
Semua jenis hewan yang bertulang belakang dan berdarah panas rentan
terhadap penyakit myiasis. Kasus myasis banyak terjadi pada induk sapi yang
diikuti oleh pedet, kerbau, kuda, babi, kambing, cempe dan domba yaitu,
pada induk pasca partus (myasis vulva) dan anak yang baru lahir (myasis
umblikus), sedangkan sisanya sebagai akibat luka traumatika.
Selain pada hewan ternak, myiasis juga menyerang pada hewan
kesayangan, seperti anjing dan kucing, termasuk ayam (Gambar 3). Domba
Australia yang dimasukkan ke India dan Papua New Guinea sangat peka
terhadap serangan lalat C.bezziana. Sapi potong hasil kawin silang dengan
sapi Australia dilaporkan lebih peka dibandingkan sapi lokal yang berada
di Malaysia. Kejadian myasis pada hewan liar seperti harimau, rusa, badak
dan gajah pernah dilaporkan termasuk kasus myasis di Kebun Binatang di
Malaysia dan hewan liar lainnya di Papua New Guinea.
5. Pengaruh Lingkungan
Lalat myiasis dapat berkembang baik dalam kondisi tropis dengan
kelembaban yang tinggi. Daerah yang memiliki pepohonan, semak-semak
dan sungai yaitu daerah ideal untuk kelangsungan hidup lalat
myiasis.
6. Sifat Penyakit
Penyakit ini tidak memicu kematian jika cepat dilakukan
pengobatan. Namun jika hewan penderita tidak diobati dalam waktu
1 – 2 minggu maka akan terjadi keracunan akibat aktivitas bakteri (infeksi
sekunder) seperti yang dilaporkan di Texas bahwa kematian tahunan akibat
myiasis pada rusa muda berkisar 20-80%.
7. Cara Penularan
Penularan penyakit myiasis melalui lalat betina C.bezziana yang
menginfestasi jaringan hidup. Pada lingkungan tropis dengan populasi inang
yang padat, lalat betina mampu terbang sekitar 10 – 20 Km. Adapun pada
lingkungan tandus dengan kepadatan populasi inang yang rendah, lalat dapat
terbang hingga 300 Km sedangkan pada kondisi pegunungan, lalat akan
terbang mengikuti alur perbukitan yang memiliki iklim lebih hangat dengan
kelembaban yang tinggi. Disamping itu, lalat ini juga dapat terdistribusi
melalui angin dan tranportasi ternak.
Umumnya penularan myiasis dari daerah endemik ke non endemik
melalui hewan penderita yang masuk ke daerah tersebut. jika tidak ada
tindakan pengobatan dengan segera, larva akan jatuh ke tanah membentuk
pupa sehingga berpotensi untuk menginfestasi hewan yang pada daerah
yang bebas.
8. Faktor Predisposisi
Umumnya kasus myiasis lebih banyak dijumpai pada induk pasca
pastus, yaitu di daerah vagina. Kondisi ini berkorelasi positif dengan kejadian
myiasis pada anaknya, yaitu di daerah pusar atau umbilikus. Adapun pada
hewan jantan, myiasis dijumpai pada prepusium. Lokasi luka yang juga sering
terkena serangan lalat myiasis yaitu kuku dan telinga pasca pemasangan
ear-tag serta moncong pasca proses pembuatan lubang dihidung.
Beberapa faktor predisposisi serangan myiasis antara lain, musim
panas atau panca roba, dikandangkan dengan hewan yang terinfestasi
myiasis, rendahnya tingkat higenitas dan sanitasi lingkungan serta kurang
peduli terhadap perawatan luka dan masuknya ternak baru ke daerah
endemik myiasis.
9. Distribusi penyakit
a. Kejadian di negara kita
Larva lalat C.bezziana dilaporkan pertama kali di negara kita pada
kasus myasis kuku sapi dalam bentuk infestasi campuran dengan larva
lalat B.intonsus di daerah Minahasa pada tahun 1926. Kasus selanjutnya
ditemukan pada kuda di daerah yang sama 1948-1949. Laporan lain
menyebutkan bahwa telah terjadi kasus myasis pada kuku sapi perah
di daerah Bogor dalam bentuk infestasi campuran dengan Sarcophaga
dux dan Musca domestica. Infestasi campuran antara C.bezziana dan
Sarcophaga sp. juga pernah dilaporkan pada kejadian myasis di Sumba
Timur dan Sulawesi Selatan.
Kejadian myasis di negara kita masih menunjukkan peningkatan dari
tahun ke tahun. Penyataan ini didukung oleh adanya beberapa laporan
kasus myasis di seluruh kepulauan negara kita . Penelitian dinamika
kasus myasis di Kecamatan Kandat-Kediri pada salah satu klinik hewan
sepanjang tahun 2002-2004 menunjukkan peningkatan, yaitu 47 kasus
(2002), 63 kasus (2003) dan 89 kasus (2004). Studi ini berlanjut dari
2005 – 2009 dan diperoleh sebanyak 357 kasus pada ternak ruminansia.
Umumnya kasus myasis cukup tinggi menjelang hingga musim hujan,
yaitu pada bulan Agustus sampai April sedangkan kasus terendah
terjadi pada bulan Mei sampai Juli. Hasil ini sesuai dengan kasus myasis
di pulau Lombok dan Sumba Timur yang dilaporkan tinggi pada musim
hujan. Selain Kediri, kasus myasis di beberapa daerah di Pulau juga
telah dilaporkan, antara lain di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi,
Lombok, Sumbawa, Sumba, Timor dan Papua. Data-data diatas
menunjukkan bahwa kasus myasis di negara kita masih cukup tinggi dan
harus mendapat perhatian yang serius.
b. Distribusi geografi s
Lalat C.bezziana tersebar di kawasan Afrika bagian tropis dan
sub tropis, sub kontinen India, Asia Tenggara dari Cina selatan menuju
Malaysia dan Philipina hingga Papua New Guinea termasuk negara kita .
Laporan lain menyebutkan bahwa lalat ini telah masuk ke beberapa
negara di pantai barat Teluk Persia.
D. PENGENALAN PEYAKIT
1. Gejala Klinis dan Patologi
Infestasi larva myasis tidak memicu gejala klinis yang spesifi k
dan sangat bervariasi tergantung pada lokasi luka. Gejala klinis pada hewan
demam, radang, peningkatan suhu tubuh, kurang nafsu makan, tidak tenang
sehingga memicu ternak mengalami penurunan berat badan dan
produksi susu, kerusakan jaringan, infertilitas, hipereosinofi lia serta anemia.
jika tidak diobati, myasis dapat memicu kematian ternak sebagai
akibat keracunan kronis ammonia.
Gajala umum yang terjadi pada myasis manusia antara lain demam, gatal-
gatal, sakit kepala, vertigo, eritrema, radang (infl amasi), pendarahan serta
memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Gambaran darah penderita
myasis akan menunjukkan gejala hipereosinopilia dan meningkatnya jumlah
neutropil.
2. Diagnosa
Periode antara adanya telur lalat diluka sampai menunjukkan
gejala sakit karena larva membuat terowongan di dalam tubuh inang yaitu
1 – 2 hari. Tidak jarang, luka hanya nampak kecil (lubang kecil) dari luar dan
terlihat pembengkaan yang berair pada lokasi luka. jika luka tersebut
dibuka, maka akan dijumpai larva yang bergerombol ataupun terpisah.
Penegakan diagnosis myasis pada penderita yaitu dengan
ditemukannya larva C.bezziana pada daerah luka. Umumnya larva
C.bezziana ditemukan pada kondisi infestasi primer, namun jika penyakit
ini telah berjalan beberapa hari tanpa adanya tindakan pengobatan, maka
akan dijumpai larva lalat yang lain seperti Sarcopagha sp, C.megachepala
atau Musca domestica. Identifi kasi larva lalat dilakukan dibawah mikroskop
stereo untuk melihat spirakel anterior dan posterior serta bentuk spina (duri)
yang khas pada masing-masing spesies larva lalat. Dalam beberapa kasus,
myiasis terjadi dalam bentuk multi infestasi, yaitu ada lebih dari stadium
larva dalam luka tersebut (Gambar 4). Larva C.bezziana tidak pernah dijumpai
dalam bangkai karena sifatnya sebagai obligat parasit.
Gambar 4. Contoh kasus myiasis dengan multi infestasi, yaitu dalam satu
luka dijumpai lebih dari satu stadium. Larva instar I (L1), instar II
(L2) dan instar III (L3)
(Sumber: Koleksi: April H Wardhana – Bbalitvet)
3. Diagnosa banding
Diagnosa banding penyakit myiasis yaitu infestasi jaringan oleh
lalat-lalat yang lain, seperti C.megacephala, Sarcophaga sp dan Phormia
regina.
4. Pengambilan dan pengiriman spesimen
Sebelum diobati, sampel larva dikoleksi dari luka dan dimasukkan
ke dalam kontainer plastik. jika larva masih berada didalam jaringan,
luka ditetesi dengan minyak kayu putih atau larutan hydrogen peroksida
3%. Larva yang telah dikoleksi disiram dengan air panas selama 10 detik
sehingga larva mengalami kontraksi. Selanjutnya, larva yang telah mati,
dimasukkan ke dalam etanol 80% atau isopronil alkohol dan diberi label
berupa tanggal pengambilan sampel, lokasi luka, desa, kecamatan dan
kabupaten termasuk kolektor. Sampel dapat dikirim ke laboratorium untuk
diidentifi kasi. Tidak disarankan menyimpan larva myiasis didalam formalin,
karena dapat merusak DNA yang dibutuhkan untuk analisis lebih lanjut jika
diperlukan.
L1
L3
L2
pengobatan :
1. Pengobatan
Vaksin rekombinan myiasis pernah dikembangkan tetapi tidak mampu
memberikan daya protektif yang efektif sehingga tidak direkomendasikan
dalam pengendalian myiasis. Insektisida dari golongan organophospat,
karbamat, senyawa pyrethroid dilaporkan efetik untuk pengobatan myiasis,
termasuk membunuh lalat dewasa. Namun demikian, di beberapa negara
telah melarang penggunaan karbamat dan golongan organophospat. Untuk
mencegah terjadinya re-infestasi, penggunaan insektisida dapat diberikan
dengan interval 2-3 hari sampai luka myiasis sembuh.
Pada peternakan komersial, umumnya dilakukan dipping (perendaman)
memakai coumaphos atau golongan organophospat yang lain dengan
dosis maksimal untuk pemberantasan parasit eksternal. Disamping itu,
pengobatan dapat dilakukan memakai insektisida sistemik, seperti
ivermectin pada dosis 200 mg/Kg. Untuk pencegahan agar luka tidak
mendapat serangan larva lalat, dapat dipakai doramectin (200 mg/
Kg) yang dilaporkan efektif sampai 12-14 pasca pengobatan. Pemberian
insektisida topikal 1 % larutan fi pronil (10 mg/Kg) kurang efektif. Hewan yang
dikastrasi dapat diberikan dicyclanil untuk melindungi luka dari serangan lalat
myiasis. Adapun spinosad (formula dari produk fermentasi bakteri) dapat
dipakai untuk pengobatan dan pencegahan dengan cara disemprot.
Selama ini pengobatan umum yang dilakukan oleh peternak di negara kita
yaitu peyemprotan luka dengan Gusanex®.
Pengobatan myiasis pada manusia diawali dengan pengambilan
larva dari daerah luka, selanjutnya diirigasi dengan larutan saline normal
dan diikuti dengan pembedahan. Antibiotik yang berspektrum luas umumnya
diinjeksikan untuk mencegah adanya infeksi sekunder, lalu campuran
dari 1 x kloroform : 4 minyak terpentin dipakai untuk pengobatan lokal.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Tidak diperlukan tindakan pelaporan ke Dinas Peternakan jika
ditemukan kasus myiasis pada hewan. Peternak dapat menghubungi
dokter hewan / klinik hewan terdekat untuk melakukan pengobatan.
Namun demikian, pengobatan perlu segera dilakukan untuk mencegah
luka semakin parah yang dapat disertai dengan infeksi sekunder oleh
bakteri dan berakhir dengan kematian.
b. Pencegahan
Ternak yang menderita myiasis harus diobati hingga tuntas sebelum
dijual atau dimasukkan ke wilayah yang lain untuk mencegah penyebaran
lalat semakin luas.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Untuk mengendalikan populasi lalat myiasis di daerah endemik
myiasis, perlu dilakukan pemasangan perangkap lalat. Setidaknya ada
dua jenis trap yang sering dipakai di lapang, yaitu perangkap yang
dilapisi perekat (sticky trap) atau perangkap yang terbuat dari plastik
dengan banyak lubang dipermukaannya (Lucitrap). Sebagai umpan (bait)
dipakai attractant/pemikat yang bernama swormlure. jika tidak
dijumpai di lapang, maka dapat dipakai gerusan hati sapi. Perangkap
diletakkan diluar kandang, dekat dengan semak-semak yang yaitu
area lalat myiasis. Perangkap ini dapat diganti 3 kali sekali tergantung
jumlah lalat yang ditangkap dan pemikat yang tersisa.
Metode pengendalian dan pemberantasan lalat myiasis dapat
dilakukan dengan cara membuat lalat jantan mandul (Sterile Insect
Technique). Metode ini telah diaplikasikan untuk membebaskan daerah-
daerah kantung ternak dari serangan lalat myiasis, seperti di beberapa
negara di benua Amerika dan juga di Libya. Teknik masih dilakukan
hingga sekarang di Panama untuk mencegah lalat myiasis dari bagian
selatan bermigrasi ke bagian utara benua Amerika.
SCABIES
Sinonim: gudigan, budug, kudis, mange.
Scabies atau kudis yaitu penyakit kulit menular yang dipicu oleh infestasi
tungau Sarcoptes scabiei dan bersifat zoonosis. Penyakit ini telah dikenal sejak
lama, yaitu saat Bonoma dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau
sebagai pemicu scabies pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa
scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero dengan menyebutnya
sebagai “lice in the fl esh”. Sejauh ini dilaporkan ada lebih dari empat puluh
spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo mamalia yang dapat terserang
scabies, termasuk manusia, ternak dan hewan kesayangan (pet animal) maupun
hewan liar (wild animal). Angka kejadian skabies pada manusia diperkirakan
mencapai tiga ratus juta orang per tahun.
Masalah scabies masih banyak ditemukan di seluruh dunia, terutama pada
negara-negara berkembang dan industri. Rendahnya tingkat higenitas dan
sanitasi serta sosial ekonomi menjadi faktor pemicu terjangkitnya penyakit ini.
Disamping itu, kondisi kekurangan air atau tidak adanya sarana pembersih tubuh,
kekurangan makan dan hidup berdesakan semakin mempermudah penularan
penyakit skabies dari penderita ke yang sehat.
Tungau menyerang dengan cara menginfestasi kulit inangnya dan bergerak
membuat terowongan di bawah lapisan kulit (stratum korneum dan lusidum)
sehingga memicu gatal, kerontokan rambut, dan kerusakan kulit. Meskipun
angka pesakitannya relatif rendah tetapi penyakit ini dapat memicu kerugian
ekonomi yang sangat besar pada produksi ternak, turunnya produksi (daging,
susu, wol, kulit), turunnya feed conversion effi ciency, kematian penderita dan
pembelian obat-obatan serta biaya untuk tenaga kesehatan. Pada hewan
kesayangan, seperti anjing dan kucing, akan memicu suasana yang tidak
menyenangkan di lingkungan pemukiman manusia.
etiologi
Penyakit skabies dipicu oleh berbagai jenis tungau atau kudis. Tungau
yaitu arthropoda yang masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina,
ordo astigmata, dan famili Sarcoptidae. Contoh tungau (acariformis) astigmata
yaitu Sarcoptes scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati, Chorioptes sp, dan
Otodectes cynotys. Notoedres sp. dan Chonoptes sp. umumnya menyerang
kambing dan domba, namun terkadang dapat pula menyerang kerbau, sapi dan
kuda. Sementara Notoedres sp. umumnya menyerang kelinci dan terkadang
kucing.
Di antara jenis tungau tersebut, S.scabiei diketahui paling patogen dan memiliki
cakupan inang luas. Tungau S.scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval
yang cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral. Permukaan
tubuhnya bersisik dan dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis
paralel transversal. Stadium larva mempunyai tiga pasang kaki, sedangkan
stadium dewasa dan nimpa memiliki empat pasang kaki yang pendek dan pipih.
Betina berukuran antara (300-600)x(250-400) µm, sedangkan jantan berukuran
antara (200-240)x(150-200) µm. ada beberapa varietas S.scabiei terhadap
inangnya, yaitu S.scabiei var humani pada manusia, S.scabiei var canis pada
anjing, S.scabiei var suis pada babi, S.scabiei var ovis pada domba, S.scabiei var
caprae pada kambing, S.scabiei var equi pada kuda, dan S.scabiei var bovis pada
sapi. Sarcoptes scabiei bersifat parasit obligat yang artinya mutlak membutuhkan
inang untuk bertahan hidup. Perlu diperhatikan bahwa skabies pada kambing
dan domba dapat dipicu juga oleh tungau lain, yaitu Psoroptes ovis.
epidemiologi
1. Siklus Hidup
Infestasi diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua
yang aktif membuat liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut,
sarcoptes meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4
hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan
berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8. lalu
tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak
dalam 2-4 hari.
2. Sifat Alami Agen
Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies mampu menerobos
stratum corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan tadi
dan setiap tungau menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan
masa bertelur sampai 2 bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati
sesudah bertelur.
Pada suhu 35°C dengan kelembaban 100 %, telur menetas dalam waktu 2-3
hari, lalu memasuki stadium larva, lalu larva berubah menjadi 2 bentuk
nimpa, yaitu protonymph (dalam waktu 3-4 hari) dan tritonymph (dalam waktu
2-3 hari). Tritonymph menjadi dewasa dalam waktu 2-3 hari.
Seluruh siklus hidup, sejak telur sampai sampai menjadi dewasa memerlukan
waktu antara 10-14 hari. Tungau pada anjing dan manusia dapat bertahan
hidup selama 24-36 jam pada suhu ruang, 21ºC.
Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan lingkungan.
Di luar tubuh inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat
bertahan hidup selama 2-3 minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada
kondisi kering tersebut, telurnya mempunyai daya tetas sampai dengan 6
hari, dan sekitar 6 minggu dalam kondisi lingkungan yang lembab.
3. Spesies Rentan
Tungau Sarcoptes dapat menyerang berbagai spesies hewan, yaitu
sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, anjing, kucing, kera, unta, serigala,
beruang, hyena, musang, wombat, dan coyote. Nampak bahwa S.scabiei
memiliki cakupan inang (host range) yang sangat luas atau dengan kata
lain ia tidak memiliki spesifi tas inang. Manusia, umumnya anak-anak, dapat
tertular skabies yang berasal dari hewan.
Scabies dilaporkan lebih banyak terjadi pada kulit tanpa pigmen
dibandingkan dengan yang berpigmen. Bulu yang lebat, panjang dan kotor
yaitu tempat yang ideal bagi tungau S.scabiei. Mungkin bulu yang
panjang ini ada kaitannya dengan kelembaban kulit. Diduga bahwa kulit yang
lembab akan memicu lapisan tanduk dari kulit menjadi lebih lunak
sehingga memudahkan bagi tungau untuk menembusnya. Di samping itu,
kelembaban yang tinggi dari kulit juga meningkatkan daya hidup S.scabiei.
Hewan muda umumnya lebih peka terhadap skabies dibandingkan
dengan hewan dewasa. Faktor predisposisi pada inang yang ikut
memperparah gejala klinis skabies, antara lain kekurangan vitamin A,
kekurangan protein, infestasi parasit atau penyakit lainnya.
Secara eksperimental, dilaporkan bahwa domba yang diinfestasi
dengan 40.000 - 80.000 larva cacing ostertagia memperparah gejala klinis
skabies dibandingkan dengan domba tanpa infestasi parasit cacing.
4. Pengaruh Lingkungan
Umumnya prevalensi scabies meningkat saat musim hujan. Peternakan yang
terlalu padat akan rnemberi peluang yang baik bagi peningkatan populasi
tungau. Selain itu, lalu lintas hewan yang tidak terkontrol dan penggunaan
pejantan yang menderita scabies subklinis dapat menjadi sumber penularan
scabies.
5. Cara Penularan
Penularan scabies terutama terjadi secara kontak, baik antar hewan
piaraan, maupun antara hewan piaraan dan hewan liar yang menderita
scabies. Penyakit scabies pada suatu peternakan umumnya terjadi akibat
masuknya hewan penderita sub-klinis (belum terlihat gejalanya) ke peternakan
tersebut, atau hewan penderita dalam stadium awal penyakit.
Di samping itu, penularan dapat pula terjadi melalui alat peternakan
yang tercemar tungau Sarcoptes, walaupun tungau ini hanya mampu
bertahan hidup dalam waktu yang relatif singkat di luar tubuh inang.
6. Sifat Penyakit
Biasanya scabies bersifat endemis, dan bila terjadi wabah akan
menyerang sebagian besar ternak dan dapat disertai adanya kematian. Pada
hewan muda angka kematian penderita dapat mencapai 50 %, tergantung
pada kondisi hewan dan lingkungannya.
7. Kejadian di negara kita
Penyakit scabies bersifat endemis hampir di seluruh wilayah negara kita
dan menyerang berbagai jenis hewan. Pada tahun 1981, penyakit skabies
dilaporkan menduduki peringkat kedua dari penyakit yang ditemukan
menyerang ternak. Wabah scabies pernah dilaporkan terjadi pada kambing
di Bali pada tahun 1983 dan di Lombok pada tahun 1995. Kejadian yang fatal
pernah terjadi pada kambing paket bantuan pemerintah, yaitu dari 396 ekor
ternayat 360 ekor (91%) diantaranya mati karena skabies. Kejadian ini tidak
hanya memicu kerugian materi berupa kematian, tetapi juga kerugian
moril berupa ketidakpercayaan masyarakat terhadap bantuan pemerintah
selanjutnya.
Pada keadaan kurang pakan, musim kemarau, dan lingkungan
kandang yang kotor, maka prevalensi kejadian scabies dapat mencapai 4-11
%. Kasus scabies di negara kita mencapai 0,022 %, dan kerugian ekonomi
pada peternak kambing di Lombok mencapai Rp. 1.633.158.750,00 per
tahun.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit
mengalami erithema, lalu akan berlanjut dengan terbentuknya papula,
vesikula dan akhimya terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan
eksudat karena adanya iritasi. Hewan penderita tampak gelisah karena
rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka
dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk
keropeng atau kerak.
Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan
dari jaringan ikat sehingga memicu penebalan kulit dan pengkeriputan.
Perubahan ini akan memicu kerontokan bulu yang pada seluruh
permukaan tubuh. Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi
kekurusan dan akhirnya mati karena kurang gizi (malnufi si). jika
pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka sering terjadi infeksi
sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk.
Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila
diikuti oleh infeksi sekunder.
Perjalanan penyakit terbagi dalam 3 (tiga) tahap . Fase pertama,
terjadi 1-2 hari sesudah infestasi. Saat ini tungau mulai menembus lapisan
epidermis sehingga pada pemukaan kulit ada banyak lubang kecil. Pada
tahap kedua, tungau telah berada di bawah lapisan keratin, permukaan kulit
telah ditutup oleh kerak/keropeng yang tebal dan kerontokan bulu. Fase
kedua ini terjadi 4-7 minggu sesudah infestasi. Adapun pada tahap ketiga yang
terjadi 7-8 minggu sesudah infestasi, kerak mulai mengelupas sehingga pada
permukaan kulit kembali terlihat lubang kecil, dan pada saat itu beberapa
tungau meninggalkan bekas lubang tersebut.
Bentuk lesi skabies sama pada berbagai jenis hewan, namun lokasi
lesi bervariasi. Pada kambing, lesi umumnya mulai dari daerah hidung lalu
menyebar keseluruh tubuh. Pada babi, lesi umumnya pada daun telinga,
cungur, bagian dorsal dan leher, bahu, bagian dalam dari paha, sepanjang
punggung, pangkal ekor dan pada kaki. Pada sapi, lesi banyak dijumpai
pada kulit di daerah leher, punggung dan pangkal ekor. Pada penderita
skabies yang kronis lesi dijumpai pada kulit di daerah abdomen dan ambing.
Pada unta, lesi dijumpai pada kulit daerah pangkal ekor, leher, axilla, daerah
sternum, abdomen, fl ank, daerah preputium atau daerah ambing pada
hewan betina, daerah sekitar mata, sehingga dapat menutupi seluruh bagian
kepala/muka.
2. Patologi
Tidak ada lesi yang khas kecuali adanya jejas pada kulit.
3. Diagnosa
Diagnosa dapat ditetapkan berdasar gejala klinis dan
pemeriksaan kerokan kulit. Kerokan kulit diambil pada bagian sekitar lesi,
dan kulit dikerok hingga sedikit berdarah. Hasil kerokan diletakkan pada
kaca objek dan ditetesi KOH 10 %, lalu ditutup dengan kaca penutup.
Setelah 15 menit, preparat lalu diamati di bawah mikroskop.
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara
menggosok papula memakai ujung pena yang berisi tinta. Papula yang
telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh
menit, lalu tinta diusap/dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol.
Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk
gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat
tungau juga dapat dilihat memakai mineral oil atau fl ourescence
tetracycline test.
Kedua metode diagnosis di atas memiliki kekurangan khususnya
pada kasus yang baru terinfestasi S.scabiei. Tungau akan sulit untuk diisolasi
dari kerokan kulit dan gejala klinis yang ditunjukkan mempunyai persamaan
dengan penyakit kulit lainnya. Oleh karena itu, para peneliti mengembangkan
tehnik diagnosis berdasar produksi antibodi.
berdasar tehnik ELISA telah dikembangkan metode untuk
mendeteksi antibodi S. scabiei pada babi dan anjing yang telah
dikomersialisasikan di Eropa. Uji tersebut memakai antigen tungau
yang diperoleh dari S.scabiei var suis dan S.scabiei var vulpes. Akan tetapi
beberapa hasil penelitian menunjukkan adanya reaksi silang antara varian
S.scabiei yang telah dibuktikan untuk mendeteksi antibodi scabies anjing
dan domba memakai var. vulpes. Sejauh ini belum ada laporan yang
mengevaluasi var. suis dan var . vulpes untuk mendiagnosis scabies pada
manusia. Pengembangan uji var. hominis relatif sulit dilakukan karena
terbatasnya jumlah tungau yang diperoleh dan kendala mengembangkan
tungau secara in vitro.
4. Diagnosa Banding
Dermatitis yang dipicu oleh jamur, dan kadang sulit dibedakan dengan
demodecosis tipe skuamosa (pada anjing).
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Sampel kerokan kulit diambil dari hewan penderita. jika dapat segera
diperiksa di laboratorium, maka dianjurkan untuk mengambil kerokan kulit
tanpa bahan pengawet. Tetapi, jika sampel tidak dapat segera dikirim/
diperiksa di laboratorium, sebaiknya dikirim dengan bahan pengawet
alkohol 70 % atau formalin 5 % .
pengobatan :
1. Pengobatan
Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit
(perendaman/dipping, disikat/brushing, penyemprotan/spraying), oral dan
paranteral. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali dengan interval
1-2 minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau.
Obat yang dipakai secara langsung pada kulit antara lain larutan
coumaphos 0,1 %, benzena hexa chloride (1 % larutan yang berisi serbuk BHC
dengan kadar 0,625 %), emulasi benzyl benzoate 25 %, kombinasi benzyl
berzoate dan BHC, phosmet 20 %, odylen 20 % (dimenthyl-diphenylene
disulphide), lindane 20 %, amitraz 0,1 %, malathion, phoxim.
Mengingat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka
pengobatan agak sulit dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang
sudah lanjut, keropeng yang tebal dapat menghambat penetrasi akarisida.
Hasil yang baik baru diperoleh bila keropeng tersebut dibersihkan terlebih
dahulu, namun hal ini kurang praktis di lapangan.
Obat yang bersifat sistemik dan cukup ampuh yaitu ivermectin,
diberikan secara subkutan dengan dosis 200 mg/kg bb. Secara oral, ivermectin
tablet diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg bb setiap hari selama 7 hari.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Tindakan Pelaporan
Scabies termasuk penyakit yang wajib dilaporkan ke Institusi Pemerintah
yang berwenang, sebagaimana diatur dalam Staatsblaad No. 432 dan
435 tahun 1912 yang masih berlaku hingga saat ini.
Disarankan agar peternak tidak mememperjualbelikan hewan yang
diketahui menderita scabies, karena hal tersebut dapat mempercepat
perluasan penyakit.
b. Pencegahan
Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat
ternak yang masuk ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas)
agar disesuaikan dengan luas lahan/kandang yang tersedia, sehingga
tidak terlalu padat.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pengendalian yang terpenting yaitu manajemen pengobatan
dan penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap
lalu lintas hewan penderita, baik klinis maupun subklinis. Di samping
itu, perhatian juga harus ditujukan terhadap induk dan pejantannya.
Pejantan yang menderita scabies dapat menulari induk, dan selanjutnya
induk dapat menulari anaknya.
Tindakan pemberantasan scabies pada peternakan yang bersifat intensif
(pada satu pemilik peternakan) akan mudah dilakukan, yang ditunjukkan
oleh banyaknya laporan keberhasilan yang sangat memuaskan.
Sebaliknya, tindakan pemberantasan pada suatu daerah dengan pola
peternakan tradisional, hasilnya seringkali kurang memuaskan, karena
infeksi ulang dapat kembali terjadi, sehubungan dengan kurangnya
pengawasan terhadap lalu lintas ternak.
Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Hewan penderita scabies dapat dipotong dan dagingnya dapat
dikonsumsi, sesudah bagian kulit yang rusak dibuang atau dimusnahkan
dengan pembakaran.
SURRA
Sinonim : penyaklt Mubeng, Trypanosomiasis
Surra yaitu penyakit parasit yang menular pada hewan dan dipicu
oleh protozoa berfl agella yang tersirkulasi dalam darah secara ekstraseluler
yang bernama Trypanosoma evansi. Penyakit ini dapat bersifat akut maupun
kronis, tergantung pada inangnya. Meskipun tidak dipertimbangkan sebagai
penyakit zoonosis, tetapi kasus Surra pada manusia pernah dilaporkan pada
tahun 2004 yang menyerang peternak sapi di desa Seoni-Taluka Sindevahi,
Distrik Chandrapur, Maharashtra – India Tengah. Protozoa ini ditemukan pertama
kali oleh Griffi th Evans pada tahun 1880 di India, sehingga namanya diabadikan
sebagai nama spesies agen pemicu Surra, Trypanosoma evansi.
Pada mulanya penyakit ini ditemukan pada kuda, unta dan bagal, tetapi ternyata
hampir semua hewan berdarah panas rentan terhadap Surra meskipun derajat
kerentaannya tidak sama. Kuda, unta dan anjing yaitu hewan yang paling
rentan. Adapun ruminansia kurang rentan.
Di negara kita , penyakit ini lebih sering menyerang kuda, sapi, kerbau, babi, dan
anjing. Tingkat infestasi T.evansi bervariasi tergantung pada lokasi dan spesies
inangnya. Prevalensi kejadian Trypanosomiasis pada kerbau di Sumatra, Jawa,
Kalimantan Selatan, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara berkisar
antara 5,8-7 %. Penyakit ini disebarkan lalat penghisap darah seperti Tabanus
sp, Chrysops sp. dan Haematopota sp. Surra yaitu penyakit endemik
yang telah menyebar di seluruh wilayah di negara kita . Dibandingkan dengan
sapi, kerbau diduga lebih rentan terhadap penyakit surra. Kerbau menunjukkan
parasitemia yang lebih lama dan lebih tinggi, sehingga kerbau diduga berperan
sebagi sumber penularan yang potensial bagi ternak lain. Penyakit surra bersifat
asimptomatis sehingga sering diketahui sesudah infeksi berjalan kronis.
Kerugian ekonomi berupa pertumbuhan tubuh yang lambat, penurunan produksi
susu, hewan tidak mampu dipekerjakan optimal di sawah, penurunan kesuburan,
dan aborsi. Adapun kerugian ekonomi di benua Asia dilaporkan US $ 1,3 milyar
dan dalam skala nasional diperkirakan mencapai US $ 22,4 juta per tahun
(1998). Laporan terbaru menunjukkan bahwa hasil analisis kerugian ekonomi
berdasar jumlah ternak yang mati akibat Surra di delapan kecamatan daerah
Waingapu Sumba Timur dari Januari – Juni 2012 mencapai Rp. 1.416.500.000
dan jika tidak dilakukan tindakan pencegahan dini diperkirakan mencapai
Rp. 167.224.000.000. Analisis ini belum memperhitungkan biaya paramedik,
pengobatan, pencegahan pada ternak termasuk biaya pengendalian vektor,
sehingga kerugian eknomi dalam delapan kecamatan tersebut dapat melebihi
dari hasil hitungan diatas.
etiologi
Penyakit surra dipicu oleh Trypanosoma evansi. Protozoa ini yaitu
fl agellata dari subfi lum sarcomastigophora, super kelas mastigophorasica, kelas
zoomastigophorasida, ordo kinetoplastorida, familia trypanosomatidae, dan
genus Trypanosoma. Bentuk tubuhnya seperti kumparan dengan salah satu
ujung lancip dan ujung yang lain sedikit tumpul. Kebanyakan tubuhnya langsing
tetapi ada pula yang berbentuk buntak dan berbentuk tanggung (intermediate).
T.evansi berukuran panjang antara 11,7-33,3 µm (rata -rata 24 µm) dan lebar
antara 1,0-2,5 µm (rata-rata 1,5 µm)
Kira-kira di tengah tubuh ada inti yang bulat atau sedikit oval. Di dekat ujung
tumpul ada 2 buah benda, yaitu blepharoplast (benda basal) dan benda para
basal. Kedua benda tersebut dihubungkan dengan serabut halus sehingga terjadi
bentuk yang sering disebut kinetoplast. Bentuk kinetoplast dijumpai terutama
sesudah pengobatan. Dari benda basal muncul serabut yang disebut axonema
yang melanjutkan sebagai benang cambuk (fl agella). Benang cambuk ini terikat
dengan tubuh oleh selaput beralun (membrana undulans) dan akan melanjutkan
diri ke depan sebagai fl agellum bebas.
Gambar 1. Trypanosoma evansi dalam ulasan darah
(Sumber : http://mindanaosurra.blogspot.com/2008/07/trypanosoma-evansi-
agent-of-surra.html
Sifat Alami Agen
Trypanosoma evansi berada didalam sirkulasi darah secara ekstraseluler.
Protozoa ini berkembang didalam tubuh inang dengan cara mengambil asupan
glukosa darah. Disamping itu, aktivitas T.evansi pada darah memicu peningkatan
asam susu dan trypanotoksin.
berdasar derajat patogenitasnya, T.evansi di negara kita dapat digolongkan
menjadi tiga kelompok, yaitu high pathogen (ganas), moderate (sedang) dan low
pathogen (rendah). Isolat yang ganas mampu membunuh hewan coba (mencit)
dalam waktu 4-7 hari, sedangkan hewan cobat yang diinfestasi dengan isolat yang
mempunyai patogenitas rendah mampu bertahan hidup lebih dari dua minggu
hingga sebulan. Secara molekuler, T.evansi dapat dikelompokkan menjadi type
A yang mengekpresikan gen Ro Tat dan type B (no Ro Tat).
epidemiologi
1. Spesies Rentan
berdasar penelitian yang pernah dilakukan, hampir semua hewan
berdarah panas rentan terhadap penyakit surra, kecuali hewan sebangsa
burung. Derajat kerentanan hewan tergantung pada spesiesnya. Hanya
hewan yang berkuku satu yang paling tinggi derajat kerentanannya, dengan
mortalitas mencapai 100%. Unta, kuda, dan anjing yaitu hewan yang paling
rentan terhadap T.evansi. Adapun mencit, tikus, marmut dan kelinci dapat
dipakai sebagai hewan percobaan di laboratorium. Mencit yaitu hewan
yang dipakai sebagai gold stardar untuk mendiagnosis penyakit surra.
Hewan ruminansia kurang rentan.
2. Pengaruh Lingkungan
Penyebaran dan peningkatan kasus surra terkait dengan populasi
vektor lalat. Kondisi lingkungan yang sesuai dengan perkembangan vektor,
seperti kelembaban yang tinggi dan suhu yang ideal bagi pertumbuhan lalat
akan menjadi salah satu faktor penentu meningkatnya kasus surra jika
tidak diikuti dengan pengobatan yang cepat dan efektif.
3. Sifat Penyakit
Protoza T.evansi memiliki membran protein yang tebal pada
permukaannya (Variant Surface Glicoprotein=VSG) dan bersifat imunogenik.
Selama terjadinya infestasi, T.evansi mampu mengekspresikan beberapa
VSG yang berbeda-beda secara imunologi, sehingga mampu menghindar
dari respon imun inangnya. Adanya mekanisme unik ini memungkinkan
T.evansi mampu bertahan ditubuh inangnya selama bertahun-tahun.
Disamping itu, protoza ini mempunyai karakteristik mampu menghilang dari
sirkulasi darah dan bersembunyi dalam kelenjar limfe dalam waktu tertentu
(relapse). Kondisi ini yang membuat diagnosa menjadi keliru karena hewan
dianggap telah sembuh dari serangan penyakit surra.
4. Cara Penularan
Penularan penyakit surra melalui vektor lalat pengisap darah yang
termasuk golongan Tabanidae. Cara penularannya secara mekanik murni,
artinya trypanosoma tidak mengalami siklus hidup dalam lalat tersebut.
Di samping lalat tabanus, ada lalat penghisap darah lain yang
mampu menularkan penyakit surra, antara lain Chrysops sp, Stomoxys
sp, Heamatopota sp, Lyperosia sp, Haematobia sp. Selain itu, arthropoda
lain seperti Anopheles, Musca, pinjal, kutu dan caplak dapat pula bertindak
sebagai vektor. Hewan yang mengandung parasit tanpa menunjukkan gejala
sakit yaitu sumber penyakit.
5. Distribusi Penyakit
Penyakit Surra terdistribusi luas hampir di seluruh dunia. Di
negara kita , penyakit ini pertama kali ditemukan pada seekor kuda di Semarang
pada tahun 1897. Namun, diduga penyakit surra sudah ada sebelumnya di
negara kita , hal ini berdasar adanya laporan tentang banyaknya kematian
hewan dengan gejala yang sama dengan gejala penyakit surra, yang terjadi
di Banten (1886-1888 dan 1893) di Tegal dan Cirebon (1886-1888), serta di
pulau Roti (1894-1896).
Setelah penyakit ini ditemukan di negara kita pada tahun 1897,
lalu di beberapa daerah lain juga diketahui adanya kasus penyakit
surra. Sampai tahun 1957 penyakit surra telah diketahui menyebar di wilayah
negara kita . kecuali Bali, Sumba, Flores, Maluku dan Papua. Pada tahun 1974
hanya Maluku dan Papua saja yang masih belum dilaporkan adanya kasus
penyakit surra.
Kasus penyakit surra umumnya terjadi secara sporadik, tetapi ter-
kadang dapat juga yaitu wabah yang memicu banyak kematian.
Wabah di Tegal tahun 1898 memicu kematian 500 ekor kerbau dari
populasi 7.000 ekor yang ada. lalu wabah di Pasuruan, memicu
banyak kematian pada sapi pada tahun 1900-1901. Setelah hampir 70, tahun
tidak terdengar adanya wabah surra, pada tahun 1969/1970 terjadi wabah
di Jawa Tengah yang memicu kematian pada lebih dari 40.000 ekor
ternak.
Pada tahun 1975, dilaporkan pula adanya kasus tyrpanosomiasis
pada kambing, yaitu di Lampung, sedangkan di Sulawesi Tenggara terjadi
Surra pada kambing di tahun 1976. Selanjutnya pada tahun 1988, kembali
terjadi wabah Surra di Kabupaten Bangkalan – Madura yang menyerang
kuda, sapi dan kerbau.
Adanya kebijakan memasukkan Surra ke dalam penyakit hewan
menular strategis (PHMS), mampu menekan kejadian Surra di lapang.
Namun, saat penyakit ini dicabut dari daftar tersebut, wabah kembali terjadi
bahkan telah mengintroduksi daerah-daerah yang sebelumnya dinyatakan
bebas Surra seperti Pulau Sumba dan Papua.
keterangan :
1. Gejala Klinis
a. Pada Kuda
Masa inkubasi 4-13 hari diikuti demam (temperatur lebih dari 39°C).
Hewan nampak lesu dan lemah. Mula-mula selera makan menurun
lalu pulih kembali. Kepincangan sering terjadi pada kaki belakang,
bahkan tidak jarang mengalami kelumpuhan pada tubuh bagian
belakang.
Selaput lendir mata hiperemia disertai bintik-bintik darah (ptechiae),
lalu berubah anemis berwarna kuning sampai pucat. Kadang-
kadang ditemukan adanya keratitis. Limfl ogandula submaxillaris bengkak
dan jika diraba terasa panas dan hewan merasa sakit. Kadang-
kadang terjadi urticaria tanda oedema dimulai pada bagian bawah perut
menyebar kearah bagian pada dada, alat kelamin (busung papan) dan
turun ke kaki belakang. Pada kuda jantan diikuti pembengkakan buah
zakar, kadang-kadang terjadi pembengkakan pada penis. Pada kuda
bunting dapat mengalami keguguran. Gejala klinis demikian juga dapat
ditampakkan pada infeksi oleh T. Equiperdum ataupun infeksi bakterial.
Dalam waktu yang cepat (kurang dari 2 minggu) kuda mengalami cahexia
dan kelemahan yang hebat diikuti roboh dan mati. Pada kasus-kasus
tertentu terlihat gejala syaraf (mubeng/berputar di tempat) sebelum
robuh dan mati. Ini terjadi karena Trypanosoma telah masuk ke dalam
otak.
b. Pada Sapi dan Kerbau
Setelah melewati masa inkubasi biasanya timbul gejala-gejala umum
seperti temperatur naik, lesu, letih dan nafsu makan terganggu.
Biasanya hewan dapat mengatasi keadaan demikian meskipun dalam
darahnya mengandung protozoa (Trypanosoma spp) tersebut selama
bertahun-tahun. jika karena sesuatu sebab hewan tersebut menjadi
sakit, gejal-gejala yang nampak yaitu demam selang seling, anemia,
semakin kurus, oedema di bawah dagu dan anggota gerak dan serta
bulu ronto dan selaput lendir menguning.
Mula-mula cermin hidung kering lalu keluar cairan dari hidung dan
mata. Kadang-kadang kerbau terlihat makan tanah
jika Trypanosoma sudah masuk dalam cairan cerebrospinal, hewan
menunjukkan gejala syaraf sebagai berikut : hewan berjalan tidak tegap
(sempoyongan), berputar-putar, kejang, gerak paksa, kaku sebelum
mati.
2. Patologi
jika penyakit berjalan akut, hewan yang mati karena surra
tidak menunjukkan perubahan anatomi yang nyata. Hewan mati pada
umumnya dalam kondisi masih baik. Namun, pada anjing dan kucing terjadi
kebengkakan limpa dan kelenjar limpa.
Hewan yang mati akibat surra yang kronis, meskipun tidak ada
perubahan yang menciri, namun biasanya terlihat adanya perubahan seperti
keadaan tubuh sangat kurus, anemia, busung seperti gelatin di bawah kulit,
ada cairan serosa pada rongga perut dan pericardium, serta ptechie
pada selaput lendir dan selaput serosa, dan sering kali ada luka di lidah
dan lambung. Pada kuda terjadi pembengkakan ginjal dengan warna kuning
kecoklatan.
3. Diagnosa
Pemeriksaan mikroskopik secara langsung
a. Pemeriksaan preparat ulas darah natif
Darah perifer diambil dari vena auricularis ataupun vena coccigea.
Darah sebanyak 2-3 µl diteteskan pada kaca obyek dan ditutup dengan
kaca penutup. Kaca obyek tersebut lalu diamati di bawah mikroskop
cahaya dengan perbesaran 200x400 kali.
b. Pemeriksaan preparat ulas darah dengan pewarnaan Giemsa
Teteskan 10 µl darah pada kaca obyek dan diratakan. Preparat ulas
darah dibiarkan hingga mengering (sekitar 1 jam). Preparat lalu
diwarnai dengan pewarnaan Giemsa (1 tetes giemsa komersial + PBS
pH 7,2) selama 25 menit.
c. Pemeriksaan biopsi cairan limfa dan edema
Biopsi cairan limfa dapat dilakukan pada limfonglandula prescapular
atau limfoglandula precrural. Cairan limfa tersebut lalu diamati di
bawah mikroskop.
Metoda konsentrasi
Jumlah parasit yang menginfeksi inang dapat bersifat sub-klinis atau
karier, sehingga tidak ada banyak parasit di dalam darah. Hal tersebut
membuat pengamatan mikroskopis sulit dilakukan. Metoda konsentrasi
dapat dipakai untuk mendeteksi keberadaan T.evansi, meskipun dalam
jumlah yang sedikit. Metoda konsentrasi tersebut dapat dilakukan dengan
pengujian HMCT (Haematocrit Centrifugation Technique), Murray test
atau BCM (Buffy Coat Method), dan mini-anion exchange centrifugation
technique.
Inokulasi pada hewan percobaan
Trypanosoma evansi dapat menginfestasi rodensia, seperti tikus
dan mencit. Infestasi dilakukan dengan cara inokulasi, yaitu tikus atau
mencit diinjeksi dengan sampel darah secara intraperitoneal. Konsentrasi
yang diinokulasikan yaitu 1-2 ml pada tikus dan 0,25-0,5 ml pada mencit.
Setelah 48 jam, darah mencit atau tikus dikoleksi dengan cara potong ekor,
lalu diamati di bawah mikroskop.
Deteksi DNA Trypanosoma
Deteksi DNA Trypanosoma dapat dilakukan dengan metode DNA
probes, antigen detection, dan PCR.
Uji Serologi
Secara serologi, deteksi T.evansi dapat dilakukan dengan metoda
ELISA, IFAT, CAT (Card Agglutination Tests), dan Immune Trypanolysis
Tests.
4. Diagnosa banding
Kuda :
African horse sickness, equine viral arteritis, equine viral anemia,
dourine. infestasi larva cacing Strongylus vulgaris.
Ternak ruminansia :
Babesiosis, anaplasmosis, theileriasis, malnutrisi, haemorhagic
septicaemia, edema di bawah dagu pada penyakit ingusan (coryza
gangraenosa bovum).
5. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen
Spesimen atau sampel untuk pemeriksaan laboratorium dapat dikirimkan
berupa :
a. Sediaan ulas darah tipis/tebal yang sudah difi ksasi dengan methanol
absolut,
b. Darah berisi anti koagulan, dan
c. Serum dalam termos berisi es.
pengobatan :
1. Pengobatan
Belum ada vaksin yang diproduksi untuk mencegah penyakit
surra, sedangkan obat surra yang direkomendasikan yaitu suramin,
isometamidium klorida, dan diminizena aceturate. Meskipun suramin
diketahui paling efektif untuk mengobati trypanosomiasis, tetapi sediaan ini
tidak dijumpai di negara kita .
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Bagi para petugas yang menemukan panyakit surra pada semua ternak
diwajibkan :
(1) Memberi laporan kejadian kasus penyakit surra beserta tindakan
yang telah dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat, dengan
tembusan kepada Dinas Peternakan atasannya.
(2) jika dipandang perlu, dapat menyarankan kepada Kepala
Pemerintahan untuk mengeluarkan surat keputusan tentang
penutupan daerah pembatasan lalulintas ternak/hewan di dalam
wilayahnya.
(3) Melakukan tindakan yang dianggap perlu sesuai dengan peraturan
yang berlaku dan melaporkannya kepada atasan.
b. Pencegahan
Pencegahan melalui vaksinasi sampai saat ini belum dapat dilakukan.
Tindakan pencegahan lainnya yang dapat dilaksanakan sesuai dengan
peraturan yang berlaku yaitu :
(1) Pengeringan tanah dan penertiban pembuangan kotoran yang
yaitu tempat berkembang biaknya lalat.
(2) Penyemprotan hewan/kandang dengan Asuntol atau insektisida lain
yang sama khasiatnya.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
(1) Pengendalian berdasar legislasi
a) Ternak yang menderita surra atau tersangka sakit diisolasi
sehingga terlindung dari lalat (dengan penutupan kandang dan
penggunaan insektisida) dan tidak dapat berhubungan dengan
ternak lain.
b) Bilamana penyakit surra ditemukan lebih dalam satu halaman
dari suatu kampung atau desa, maka ternak yang sakit atau
tersangka sakit pada wilayah tersebut, harus diasingkan sejak
fajar sampai matahari terbenam, kecuali jika pada ternak tersebut
telah dilakukan tindakan pencegahan.
c) Pada pintu masuk halaman kampung atau desa yang ada
ternak sakit atau tersangka sakit, harus dipasang papan yang
menyatakan adanya Penyakit Hewan Menular Surra, disertai
dengan bahasa daerah setempat.
d) Ternak sebagaimana tersebut pada butir 1 dan 2, sepanjang tidak
memperlihatkan gejala sakit dapat digunakankan/dipekerjakan
dalam kegiatan pertanian dan pengangkutan. Namun selama
dipekerjakan ternak tersebut harus terlindung dari lalat.
e) Pada malam hari ternak dapat dilepaskan di padang
penggembalaan dan dimandikan.
f) jika pada beberapa desa dalam suatu daerah terinfeksi surra,
maka pada daerah tersebut diberlakukan larangan pemasukan
dan pengeluaran ternak, serta penyelenggaraan pasar hewan
dan penggembalaan ternak pada siang hari. Ternak yang
melintas di daerah tersebut dapat di ijinkan dengan jaminan
bahwa temak tersebut telah terlindung dari lalat.
g) Setelah ternak yang sakit sembuh, maka dokter hewan yang
berwenang dapat menerbitkan surat keterangan dan ternak
yang bersangkutan dapat dibebaskan dari tindakan isolasi
h) Penyakit dapat dianggap telah lenyap dari suatu daerah sesudah
lewat 3 (tiga) bulan sejak kematian atau sembuhnya ternak yang
sakit terakhir.
i) Semua ternak yang mati karena surra harus dibakar atau
dikubur.
j) Diagnosa, tindakan pencegahan dan pengobatan dalam
pemberantasan penyakit Surra termasuk vektornya harus
mengikuti petunjuk Diretur Jenderal Peternakan dan Kesehatan
Hewan.
(2) Pengendalian melalui inang
a) Pada daerah wabah Surra
1) Semua hewan yang peka terhadap surra diperiksa darahnya,
lalu dikelompokkan sesuai dengan hasil pemeriksaan,
yaitu :
− Hewan dengan gejala saraf dibunuh.
− Hewan-hewan positif diobati.
− Hewan tersangka yang negatif, diambil darahnya untuk
percobaan biologik.
2) Pemasukan dan pengeluaran ternak yang rentan ke dan
dari daerah ini dilarang
b) Pada daerah sekitar wabah Surra
1) Hewan tersangka diperiksa darahnya, lalu dikelompok
kan sesuai dengan hasil pemeriksaan, yaitu :
− Hewan positif diobati.
− Hewan negatif diambil darahnya untuk percobaan
biologik.
2) Wajib lapor jika ada hewan yang mati atau sakit.
c) Pada daerah surra
1) Hewan tersangka dliperiksa darahnya, lalu
dikelompokkan sesuai dengan hasil pemeriksaan, yaitu :
− Hewan positif diobati.
− Hewan negatif diambil darahnya untuk pemeriksaan
biologik.
2) Wajib lapor jika ada hewan yang mati atau sakit.
(3) Pengendalian melalui vektor
Insektisida sebagai bahan untuk pemberantasan terhadap vektor.
THEILERIASIS
Theilerisosis yaitu penyakit hewan yang dipicu oleh protozoa Theileria
sp. yang bersirkulasi dalam darah secara intraseluler. Penyakit ini menginfeksi
sel darah merah (eritrosit) dan sel darah putih (leukosit). Theileriasis juga dikenal
sebagai tick borne disease dan memicu kerugian ternak cukup besar,
terutama peternakan didaerah sub tropis dan tropis, akibat penurunan berat badan,
terlambatnya proses pencapaian target berat badan, penurunan produksi dalam
satu generasi/keturunan, penurunan kualitas daging, pembuangan darikematian
atau pengafkiran karkas atau organ, penurunan produksi susu, kerusakan dan
kulit.Morbiditas dan mortalitas penyakit ini bervariasi tergantung dari jenis inang
yang terinfeksi, galur patogenitas parasit dan dosis infeksi.Mortalitas pada ternak
persilangan yang diintroduksikan pada daerah endemic Theileriasis tropis dapat
mencapai 40-90%.
etiologi
Penyebab theileriasis yaitu protozoa darah dari genus Theileria yang tergolong
protozoa dalam Filum Apicomplexa, Kelas Sporozoa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo
Piroplasmida dan Famili Theileriidae.Klasifi kasi spesies Theileria didasarkan pada
morfologi piroplasma, morfologi skizon, sifat serologis, uji kekebalan silang, induk
semang utama, sifat patogenitas dan uji biologis. ada enam spesies yang
menyerang sapi, yaitu T.parva, T.annulata, T.mutans, T.sergenti, T.taurotragi dan
T.velifera, namun hanya dua spesies yang bersifat patogen dan memicu
kerugian ekonomis, yaitu T.parva dan T.annulata. Spesies yang lainnya bersifat
tenang (benign). berdasar perbedaan sindrom dan daya infeksinya, T.parva
dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu T.parva parva (T.parva), T.parva lawrencei
(T.lawrencei) dan T.parva bovis (T.bovis). Ketiga spesies ini terdistribusi di
sekitar 13 negara di Sub-Saharan Afrika dan memicu penyakitEast
Coast Fever (ECF), Corridor Disease dan January disease. Adapun T.annulata
dikenal sebagai pemicu Tropical Theileriasis atau Mediterranean theileripsis
yangterjadi di PesisirMediterania bagian utara Afrika, sampai ke Sudan bagian
utara dan Eropa Selatan,Eropa Selatan bagian timur, Timur Tengah, India, China
dan Asia Tengah.
T.taurotragi dan T.mutans dilaporkan tidak memicu sakit atau manifestasi
klinis yang ditimbulkan tergolong ringan, sedangkan T.velifera bersifat non
patogenik. Ketiga spesies ini banyak ditemukan banyak ditemukan terutama di
Afrika. Spesies lain yang terdistribusi di seluruh dunia yaitu T.orientalis, T.buffeli
dan T.sergenti. Theileria orientalis termasuk spesies yang patogen, karena mampu
memicu anemia kronis yang progresif. berdasar derajat patogenitas,
proporsi piroplasma, kandungan protein dan sifat serologisnya, T.orientalis mirip
dengan T.buffeli sehingga diduga sebagai satu spesies yang sama, sedangkan
T.sargenti yaitu spesies yang berbeda. Spesies penting lainnya yaitu
T.annulata dan T.parva bersifat lymphoproliferative dengan mortalitas serta
morbiditas yang tinggi.
epidemiologi
1. Siklus hidup
Sporozoit yaitu bentuk infektif yang dikeluarkan melalui kelenjar
ludah vektor dan dipenetrasikan ke dalam tubuh inang melalui gigitan.
Selanjutnya, sporozoit inimasuk ke sistem limfe menuju ke jaringan limfoid,
terutama limfonodus dan limpa yang dalam beberapa hari berkemban
membentuk badan berinti yang disebut Skizon (Koch’s body) dan berada
dalam sitoplasma limfosit, membentuk merozoit. Bentukan ini terus bergerak
masuk kedalam eritrosit dan terjadi binary fi ssion di dalam eritrosit. Beberapa
merozoitmemasuki eritrosit lain, membentuk tahap spherical atau ovoid
(gamon). Melaluiisapan darah, gamon masuk ke intestinal nimfa caplak dan
membentuk mikrogamon.Mikrogamonmemiliki 4 inti dan membelah menjadi
mikrogamet yang memiliki 1 inti lalu bergabungdengan makrogamet
membentuk zigot.
Perkembangan selanjutnya yaitu zigot membentuk kinet yang
motil dari ovoid immobile zigot dan masuk ke dalam sel intestinal caplak.
Kinetmenjadi menonjol membentuk vakuola. Setelah caplak mengalami
rontok (moult) dan menempel ke inang baru, kinet masuk ke dalam sitoplasma
sel kelenjar ludah. Lalu kinet membentuk sporon muda yang tumbuh dan
mengalami pembelahan inti berulang. Parasit menuju ke dalam sel inang
dan dalam sel inanggiant, sporon membentuk ribuan sporozoit. lalu
disebarkan melalui isapan darah.
2. Patogenitas
Infestasi pada inang diawali dengan masuknya sporozoit sampai
terdeteksinya prioplasma yang menginfestasi eritrosit, sedangkan pada vektor
dimulai dari larva menghisap darah terinfestasi piroplasma berubah menjadi
mikrogamon, mikrogamet, makrogamet, zigot dan kinet di dalam usus, sampai
ditemukannya sporozoit dalam kelenjar ludah vektor.
Infeksi pada Inang
Mekanisme infeksi Theileria sp. dalam tubuh inang diawali dengan
tahap skizogoni yang berlangsung di leukosit (limfosit) dan berakhir dengan
bentuk piroplasmayang menginfeksi eritrosit. Sporozoit diinfeksikan oleh caplak
melalui gigitan ke inang dan selanjutnya menginfeksi leukosit.Secar umum,
sel leukosit yang diinfeksi yaitu limfosit sel-T, namun pada T.parva lebih
banyak menginfeksi sel-T dan sel-B sedangkan untuk T.annulata lebih banyak
menginfeksi sel monosit dan sel-B. Setelah kontak dengan limfosit, sporozoit
segera menembus ke dalam monosit secara progresif dan mengikatkan ligand
di permukaannya ke reseptor pada permukaan monosit. Sporozoit segera
melisiskan membran sel inang yang mengelilinginya, sehingga sporozoit
terhindar dari pengaruh lisosomal dan kerusakan serta bebas berkembang
di dalam sitoplasma. Di dalam limfosit, sporozoit membesar dan intinya
membelah berulang-ulang sehingga terbentuk skizon banyak inti yang disebut
makroskizonagamon atau Koch’s blue bodies. Bentukan ini melekat pada
mikrotubuli sel limfosit dan ikut terbelah menjadi dua selama proses mitosis,
sehingga makroskizon akan ditemukan lagi pada kedua sel anak .Selain itu,
selama terinfeksi oleh makroskizon, limfosit terangsang secara aktif untuk
mengekskresikan bahan autokrin yang berfungsi menggertak interleukin-
2 (IL-2), sehingga selama terinfeksi limfosit mengalami perubahan bentuk
dan berproliferasi dengan hebat. Selama memperbanyak diri, makroskizon
juga melepaskan makromerozoit untuk menyerang monosit baru, lalu
makromerozoit berubah menjadi makroskizon baru, selanjutnya menyebar ke
seluruh tubuh. Setelah 2 minggu, di dalam eritrosit ditemukan makroskizon
yang akan menghasilkan mikromerozoit, lalu bentukan ini menginfeksi
eritrosit dan berubah menjadi piroplasma yang infektif untuk menulari caplak
yang lain.
Infeksi pada vektor
Infeksi piroplasma pada caplak terjadi saat stadium larva menghisap
darah inang terinfeksi, dan sesudah abdomen penuh dengan darah, larva akan
jatuh ke tanah. Dalam waktu 10 jam, pada intestinal larva telah ditemukan
bentukan merozoit baik di dalam maupun di luar eritrosit. lalu sebagian
besar eritrosit hancur dalam waktu 24 jam, dan di dalam intestinal nimfa
ditemukan merozoit dalam berbagai bentuk, yakni bentuk bundar seperti koma
dan bentuk kumparan dengan ukuran antara 1 sampai 2,5 μm. Selanjutnya,
merozoit mengalami perubahan bentuk menjadi seperti cincin yang berukuran
1-2 μm, dengan sitoplasma bersifat basofi lik dalam waktu sekitar 24-48 jam.
Perkembangan berikutnya yaitu berubahnya bentukan cincin menjadi
makrogamet, yaitu berbentuk bundar dan lonjong berukuran 3-4 μm dengan
inti bersifat eosinofi lik dan sitoplasmanya basofi lik dalam waktu 48-72 jam.
Makrogamet juga mengalami perubahan bentuk menjadi mikrogamet, yaitu
bentukan seperti kumparan yang berukuran panjang 5 μm. Setelah 3 sampai 5
hari sejak terinfeksi, di dalam usus nimfa akan ditemukan zigot yang berbentuk
bundar dan lonjong, dengan ukuran 4-5 μm dan sitoplasmanya berwarna biru
terang. Pada hari ke-6 post infeksi, jumlah zigot dalam usus terlihat mulai
berkurang dan pada hari ke-8 semua zigot lenyap dari intestinal. Pada hari ke-
9 di dalam epitel usus nimfa ditemukan protozoa berbentuk bundar berukuran
4-5 μm dan sitoplasmanya berwarna biru gelap. Kemudian, pada hari ke-13,
protozoa bundar membentuk kelompok seperti koloni bakteri pada sitoplasma
epitel usus.Kinet terbentuk segera terlihatnya bentuk zigot dan pada hari ke-
50 sporozoit ditemukan pada kelenjar ludah nimfa.
3. Sifat Alami Agen
Protoza ini menginfeksi sel-sel limfosit dan eritrosit. Limfosit, sel-sel
endotel kelenjar Limfe, histiosit dan eritroblast yaitu tempat merogoni dengan
perbanyakan Skizogoni yang paling aktif. jika dilakukan pewarnaan
Giemza atau Romanovsky, maka akan nampak Skizon kalau diwarnai
dengan pewarnaan Giemza atau Romanowsky, nampak sitoplasmanya
berwarna biru dan didalamnya ditemukan beberapa butir kromatin yang
besar dan tidak teratur berwarna merah disebut Makroskizon Agamon atau
”Koch’s Blue Bodies”.
4. Spesies Rentan
Hewan sapi dan kerbau dilaporkan rentan terhadap infestasi T.orientalis. Sapi
bangsa Bos taurus juga lebih peka dibandingkan dengan sapi persilangan
Bos taurus x Bos indicus. Di daerah endemik, pedet lebih peka dibandingkan sapi
dewasa, namun prevalensinya lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi
pada sapi dewasa.
5. Pengaruh Lingkungan
Faktor lingkungan seperti iklim dan kelembaban yang tinggi
memegang peranan penting dalam penyebaran penyakit ini, karena memicu
berkembangnya vektor. Di daerah sub-tropis, populasi caplak dewasa
meningkat pada musim panas dan musim semi, sedangkan populasi larva
dan nimfa meningkat pada musim gugur. Adapun di daerah tropis, populasi
caplak mulai meningkat pada akhir musim panas dan puncaknya pada saat
curah hujan tinggi. Keberadaan caplak ini, berkaitan erat dengan tingginya
kasus theileriasis pada suatu daerah.
6. Sifat Penyakit
Penyakit ini dapat bersifat akut dan kronis, tergantung dari agen
protozoa yang menginfeksi inang.
7. Cara Penularan
Theileriasis secara alami hanya dapat ditularkan oleh caplak secara
stage to stage, tanpa ada penularan transovarial karena parasit ini tidak
dapat hidup dalam caplak lebih lama dari satu kali ekdisis (penyilihan). Jenis
caplak yang berperan sebagai vektor T.orientalis, T.sergenti dan T.buffeli
yaitu Haemaphysalis sp. Galur caplak disetiaplokasi dapat berbeda
kemampuannya dalam menularkan Theileria sp. Misalnya H.longcornis di
Australia hanya dapat menularkan T.sergenti tetapi tidakmenularkan T.buffeli,
sebaliknya H.longcornis di Jepang dapat menularkan kedua spesies tersebut.
Di Malaysia, umumnya T.orientalis ditularkan oleh Boophilus microplus dan
H.bispinosa (jarang). Vektor yang menularkan T.parva ke indung semang
di daerah Afrika Selatan yaitu R.appendiculatus dan R.zembeziensis
sedangkan T.annulata ditularkan melalui caplak genus Hyalomma.
8. Faktor Predisposisi
Jenis inang yang terinfeksi dan perbedaan galur patogenitas
parasit.
9. Distribusi penyakit
a. Kejadian di negara kita
Kasus theileriasis pertama kali dilaporkan pada tahun 1912 di
Pulau Jawa. Prevalensi Theileria sp. pada sapi di negara kita masih belum
banyak diketahui. Awal terdeteksi, pemicu Theileriasis di negara kita
diidentifkasi sebagai T.mutans. Namun sesudah dilakukan re-identifi kasi
berdasar identifi kasi morfologi piroplasma dan uji serologi Indirect
Fluorescent Antibody Technique (IFAT), agen pemicu theileriasis pada
sapi di negara kita ditetapkan T.orientalis. Prevalensi T.orientalis pada
sapi dilaporkan sebesar 30,8% (178/578) dengan tingkat parasitemia ≤
1% pada 6 kabupaten di Kalimantan Selatan. Pemeriksaan spesimen
pada 10 kabupaten di Medan-Sumatera Utara, kejadian theileriasis
dilaporkan sebesar 1,3% (4/307) lebih rendah dibandingkan prevalensi
Aceh yaitu sebesar 4,3%(10/231). Namun demikian, kejadian theileriasis
di Sumatera Utara meningkat menjadi sebesar 3,8% (7/185) sedangkan
di Propinsi Aceh menurun menjadi 0,4% (1/251). Prevalensi rata-rata
T.orientalis pada sapi perah FriesianHolstein (FH) laktasi di Kabupaten
Bogor dan Cianjur yaitu (77/247) 31,2%. Laporan lain menyebutkan
bahwa prevalensi di beberapa lokasi Instalasi Karantina Hewan
Sementara (IKHS) antara lain Teluk Naga 85/102 (83,3%), Legok 51/109
(46,8%), Lebak 43/100 (43%) dan Cileungsi 46/98 (46,9%).
b. Distribusi geografi s
Parasit ini terdistribusidi seluruh dunia, umumnya mengancam
produksi peternakan.
D. PENGENALAN PEYAKIT
1. Gejala Klinis dan patologi
Hewan yang terserang theileriasis akan mengalami kelemahan,
berat badan turun, anoreksia, suhu tubuh tinggi, petekia pada mukosa
konjunctiva, pembengkakkan nodus limfatikus, anemia dan batuk. Infeksi pada
stadium lanjutmemicu hewan tidak bisa berdiri, suhu tubuh dibawah
normal (T<38,5oC), ikterus, dehidrasi, dan ada kalanya darah ditemukan di
feses. Peningkatan makroskizon, mikroskizon dan piroplasma memicu
terjadinya anemia yang hebat. Keadaan stres akan memincu terjadinya
peningkatan parasitemia yang diikuti oleh anemia akut, dengan ditandai
turunnya nilai hematokrit, jumlah eritrosit dan lekosit. Theileriasis dapat
memicu anemia normositik, lalu berubah menjadi makrositik,
yang diikuti dengan menurunnya jumlah limfosit dan meningkatnya jumlah
monosit.Infestasi parasite ini dilaporkan memicu panleukemia, yang
terdiri dari neutropenia,limfopenia dan eosinopenia.
Tingkat parasitosis theilerioasis dapat diklasifi kasikan menjadi 3
kategori, yaitu tingkat ringan (mild reaction) yaitu bila skizon ditemukan
satu dalam satu lapang pandang (parasitosis <1%), tingkat yang lebih berat
(severe reaction) yaitu bila ditemukan skizon 50% atau lebih dari total eritrosit
yang diperiksa (parasitosis 1-5%), sedangkan tingkat yang berat sekali
(very severe reaction) yaitu skizon ditemukan pada semua lapang pandang
(parasitosisnya >5%).
Perubahan terjadi pada kelenjar limfe, yaitu mengalami pembengkakan dan
hiperemik. Hati juga mengalami pembesaran dan degenerasi. Odema terjadi
pada paru dengan ulcer di abomasum. Ginjal mengalami infark sedangkan
limpa pada kasus yang akut terjadi pembesaran dan rapuh.
2. Diagnosa
Diagnosa dapat ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskopik
sediaan darah tipis dan darah tebal.
3. Diagnosa banding
Anaplasmosis, Babesiosis dan Salmonellosis. Namun demikian,
adanya pembengkakan kelenjar limfe superfi cial dan ditemukan benda-
benda Koch yaitu tanda spesifi k yang membedakan theileriasis dari
penyakit lainnya. Penyakit lain yang memiliki gejela mirip dengan theileriasis
antara lain heartwater, haemorrhagic septicemia, trypanosomiasis, Rift Valley
fever dan malignant catarrhal fever.
pengobatan :
1. Pengobatan dan vaksinasi
Vaksin theileiria pernah dikembangkan dari piroplasma hidup yang berada
didalam sel darah merah, tetapi vaksin ini tidak lagi dianjurkan karena
berpotensi untuk menyebarkan theileriasis lebih luas.Saat ini, dua kandidat
vaksin sedang dikembangkan, yaitu vaksin rekombinan protein p32 dan
peptida sintetik yang mengandung Lys ± Glu ± Lys (KEK). Keduanya mampu
menghasilkan status parasitemia yang rendah dan menurunkan keparahan
gejala klinis.
Keberhasilan pengobatan sangat ditentukan oleh waktu pemberiannya
yaitu pada awal munculnya gejala klinis. Umumnya metode pencegahan
theileriasis yaitu memberi perlakuan terhadap hewan yang peka. Preparat
theilericidal sepertiparvaquone dan turunannya dipakai untuk engobatan
infeksi Theileria sp. Efektifi tas penggunaan obat tersebut sangat efektif jika
dipakai pada stadium awal munculnya gejala klinis tetapi kurang efektif
pada stadium lanjut karena telah terjadi kerusakan yang lebih luas pada
limfoid dan jaringan hematopoietic. Preparat yang lain yaitu pamaquin/
primaguine dan buparvaquone. Pemakaian Acrapin dapat dipertimbangkan.
Tetrasiklin juga dapat diberikant etapi terkadang memicu resisten
terhadap antibiotika. Disamping itu, obat yang dilaporkan efektif antara
lain klor tetrasiklin, monoctone, C2 Hydroxy 3-8 cyclo hexylloctyl, 4-NaOH
Thoquinon, Trypan Blue 1-2% 100cc, pirevan 5% 1cc / 50 kg BB sub cutan,
Phenamidine 12 mg/Kg BB sub cutan dan Berenil 2 – 3,5 mg/Kg BB intra
muscular.
2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Pencegahan theileriasis dapat dilakukan dengan cara mengurangi
populasi vektor, melalui dipping, sanitasi kandang, pemberian
repellant seta melakukan manajemen pemeliharaan yang baik. Dalam
tata niaga ternak, diusahakan agar negara-negara sapi pengimpor
mengurangi stress, misalnya dengan memilih waktu importasi yang
tepat, penanganan sapi yang baik saat pembongkaran, meningkatkan
pengetahuan ataupun pengalaman dalam pengenalan penyakit, seleksi
hewan dan lain sebagainya. Bagi negera tujuan, sapi yang telah masuk
juga diberikan perlakuan yang sama, yaitu memberikan parasiticide dan
perendaman disinfektan (dipping) untuk parasit eksternal dalam 14 hari
sebelum pengapalan dan telah diberikan ivermectin atau anthelmintic
untuk endoparasit dalam 40 hari sebelum diekspor. Pemberian parasitide
berupa akarisida yaitu untuk membunuh larva, nimfa dan dewasa
caplak ixodidae. Akarisida biasanya dipakai pada ternak dengan cara
perendaman dan penyemprotan serta dianggap sistem perendaman lebih
efektif. Beberapa jenis akarisida juga dapat diaplikasikan dalam bentuk
implan dan bolus, pour-on (dipakai padapunggung dan menyebar lebih
cepat ke semua permukaan tubuh) dan spot-on (hampir sama dengan
pour-on tetapi penyebarannya kurang cepat). Perlakuan parasiticide
sebelum pengapalan berdampak terhadap tidak ditemukannya caplak di
kapal. ini berkaitan pula dengan hasil penelitian yang memperlihatkan
bahwa jumlah parasit yang ditemukan masih sedikit dan kemungkinan
berada dalam stadium gamon, sehingga gejala klinisnya juga tidak
jelas.
b. Pengendalian dan Pemberantasan
Strategi pengendalian theileriasis dapat dilakukan dengan
melakukan pemberantasan caplak terpadu. Efektifi tas dari strategi
tersebut memerlukan pengetahuan yang lebih baik tentang dinamika dari
agen penyakit, host, vektor caplak dan lingkungan hidupnya. Peraturan
karantina yang ketat perlu dilakukan untuk mencegah kembali caplak
di negara yang pernah tertular tick borne disease dantelah dilakukan
pemberantasan. Kesesuaian tentang iklim, sistem informasi geografi s
(GIS) yang berdasar pada pengetahuan para ahli dipergunakan
untuk mengidentifi kasi area yang tidak dapat terinfeksi caplak atau
caplak tersebut tidak bisa berkembang jika masuk di suatu area.
c. Peraturan International
Badan kesehatan hewan dunia (The Offi ce of International des
Epizooties/OIE) bekerjasama dengan World Trade Organization (WTO)
menetapkan standar yang harus dipenuhi dalam importasi sapi dan kerbau
dari negara yang dianggap terinfeksi Theileria spp. harus tercantum
dalam dokumen kesehatan hewan (International VeterinaryCertifi cate).
Adapun persyaratan yang ditetapkan didalam lalu lintas ternak, hewan
tidakmenunjukkan gejala klinis theileriasis baik pada saat keberangkatan
atau pengapalan,sejak lahir hewan dipelihara di daerah bebas theileriasis
selama 2 tahun sebelumnya, telah dilakukan uji laboratorium 30 hari
sebelum pengapalan.
TOXOPLASMOSIS
Toxoplasmosis yaitu salah satu penyakit zoonosis yang banyak dijumpai
di hampir seluruh dunia dan menyerang berbagai jenis mamalia, termasuk
satwa exotics dan hewan berdarah panas lainnya. Kasus toxoplasmosis juga
banyak terjadi pada manusia bahkan disebut sebagai opportunistic diseases
pada immunocompromise patients. Penyakit ini mempunyai dampak ekonomis
yang penting karena mampu memicu penuruan produksi, gangguan
pertumbuhan dan fertilitas, termasuk abortus. Biaya pengobatan yang tinggi dan
penurunan kualitas sumber daya manusia yaitu kerugian lain yang juga
harus dipertimbangkan.
Sampai saat ini, toxoplasmosis masih menjadi perhatian dikalangan dunia
peternakan maupun kesehatan manusia. Di negara kita , kasus toxoplasmosis pada
hewan berkisar antara 6 – 70%, sedangkan pada manusi lebih tinggi, yaitu antara
43-88%. Pemahaman masa lalu yang diyakini bahwa penyakit ini hanya akan
memicu gejala klinis pada individu yang memiliki respon imun yang rendah,
tetapi anggapan ini terbantahkan dengan adanya bukti bahwa pada individu yang
immunokompeten (sistem imun dapat berespon optimal) dapat menunjukkan
manifestasi klinis yang jelas. Kondisi ini dimungkinkan karena patogenitas agen
penyakitnya sangat variatif dan tergantung dari klonet atau tipenya.
etiologi
Penyebab penyakit toxoplasmosis yaitu Toxoplasma gondii yang bersifat
parasit intraselular obligat (Gambar 1). Nama Toxoplasma berasal dari kata
toxon (bahasa Yunani) yang berarti busur (bow) yang mengacu pada bentuk sabit
(crescent shape) dari takizoit. Adapun gondii berasal dari kata Ctenodactylus
gondii, seekor rodensi dari Afrika utara dimana parasit tersebut pertama kali
ditemukan pada tahun 1908. Toxoplasma gondii termasuk anggota fi lum
Apicomplexa, kelas Sprozoa, subkelas Coccidia, dan subordo Eimeria. Protoza
ini mampu menginfeksi semua sel berinti, termasuk makrofag yang seharusnya
berfungsi memfagositosis dan mengeliminasi pathogen.
epidemiologi
1. Siklus hidup
Secara garis besar, siklus hidup T.gondii terbagi atas dua siklus,
yaitu seksual (schizogoni) dan aseksual (gametogoni). Kedua siklus hidup ini
terjadi pada inang defi nitif (famili Felidae) sedangkan pada inang perantara
(burung dan mamalia, termasuk manusia) hanya terjadi siklus hidup secara
aseksual. Siklus hidup seksual terjadi karena adanya peleburan gamet yang
masing-masing berisi kromosom haploid, sedangkan pada siklus aseksual
hanya terjadi pembelahan vegetatif, yaitu organisme berkembang dengan
membelah diri.
Perkembangan T.gondii pada inang defi nitif terjadi di enteroepitelial
dan esktraintestinal. Adapun pada mamalia dan inang antara lainnya, protoza
ini hanya mengalami satdium aseksual di enteroepitelial dan ekstraintestinal.
Adanya bentuk enteroepitelial mengindikasikan bahwa siklus hidup terjadi
didalam sel epitel usus, sedangkan bentuk ekstraintestinal menunjukkan
adanya siklus hidup diluar sel epitel usus.
Di dalam sel epitel usus induk semang defi nitif, protozoa mengalami
proliferasi dan membentuk oosista yang dikeluarkan bersama feses kucing.
Dalam inang perantara, ada dua stadium T.gondii, yaitu takizoit yang
dapat memicu infeski akut dan bradizoit yang berada didalam sista
jaringan inang serta akan menetap seumur hidup atau dormant di dalam sel
inang. Bradizoit atau sporozoit yang tahan terhadap pH asam dan enzim
pencernaan akan masuk ke dalam sel-sel epitel usus dan beberapa jam
lalu menjadi takizoit. Selanjutnya, enterosit atau limfosit intra epitel
usus halus diinvasi oleh takizoit dan lalu menembus lamina propria
dan pada akhirnya menginvasi sel-sel lain disekitarnya.
2. Patogenitas
Walaupun takizoit dilaporkan mampu menginfeksi hampir semua
jenis sel berinti dari berbagai jenis hewan dan manusia, bahkan insekta,
tetapi ada beberapa jenis sel dan organ yang paling sering diinfeksi
oleh takizoit ini, tergantung pada rute infeksi dan jenis inangnya. Takizoit
yaitu stadium parasit yang dapat membelah dengan cepat (sekitar 6-
8 jam pasca infeksi) dan selama tahap akut mampu menginfeksi semua sel
yang berinti, lalu berkembang biak dengan cara endodiogeni.
Infeksi akut ditandai dengan replikasi takizoit yang sangat cepat.
Takizoit dengan cepat akan menyebar melalui saluran limfe ke kelenjar limfe
atau melalui darah ke hati, menuju paru, dan lalu beredar ke seluruh
tubuh. Adapun pada infeksi laten, replikasi takizoit melambat, sedangkan
bradizoit mengalami perkembangan dan terjadi pembentukan sista jaringan
yang yaitu awal dari dormansi parasit. Diferensiasi dari takizoit ke
bradizoit terjadi dengan dimulainya pembentukan kekebalan protektif.
Proses masuknya takizoit ke dalam sel target yaitu proses
yang aktif dan sangat singkat, yaitu sekitar 15-30 detik. Sebaliknya, proses
fagositosis memerlukan waktu 2-4 menit. Proses penetrasi ini melibatkan tiga
tahap yang berjalan secara integratif, yaitu perlekatan, penetrasi aktif dan
pembentukan vakuola parasitoforus yang akan membentuk dinding sista.
Selama proses invasi ke dalam sel tersebut, sejumlah protein ES (excretory
secretory) antara lain, roptri (ROP), mickronema (MIC) dan granula (GRA)
yang dicurahkan sejak dimulainya perlekatan.
Akibat adanya infeksi dan invasi T.gondii memicu terjadinya
kerusakan masif dari jaringan atau organ target. Infeksi dengan dosis tinggi
dan rendah memakai takizoit T.gondii galur RH dilaporkan mampu
memicu kerusakan jaringan dalam waktu yang singkat terutama pada
leukosit. Diperkirakan awal terjadinya deplesi dan destruksi masif tersebut
dimulai sejak hari pertama infeksi dan terns berlanjut sampai periode waktu
tertentu. Proses destruksi jaringan ini dipicu adanya siklus litik (lytic
cycle) selama perkembangan aseksual. Pada saat takizoit menginfeksi set di
dalam vakuola parasitoforus, maka proses perkembangan secara vegetatif
dimulai. Proses pembelahan diri takizoit dikenal dengan nama endodyogoni
ataupun poliendodyogoni. Saat ini dilaporkan bahwa dalam periode yang
sama pada saat sel hancur atau lisis jumlah takizoit yang dihasilkan dapat
mencapai 256 takizoit baru atau lebih. Periode tersebut sama dengan periode
dimana satu sel akan membelah secara mitosis menjadi dua sel. Oleh karena
kecepatan replikasi takizoit yang demikian cepat dibanding kemampuan sel
untuk bermitosis maka kerusakan yang terjadi semakin lama semakin berat
dan meluas.
3. Spesies rentan
Semua spesies rentan terhadap T.gondii termasuk manusia.
4. Pengaruh lingkungan
Oosista ditanah atau lingkungan yang sesuai (shuhu 24oC) akan
bersporulasi atau mengalami pemasakan menjadi oosista infektif dalam
waktu 2 – 3 hari.
5. Sifat Penyakit
Dapat besifat akut dan kronis tergantung dari galur T.gondii dan
induk semangnya.
6. Cara Penularan
Bentuk infektif dari T.gondii yaitu takizoit atau tropozoit yang
ada dalam cairan tubuh, bentuk kedua yaitu bradizoit atau sista yang
ada didalam jaringan (Gambar 2) dan bentuk ketiga yaitu sporozoit
yang ada didalam oosista (Gambar 3). Bentuk sista banyak ditemukan
pada organ, terutama otak, otot skelet dan jantung. Cacing tanah,kecoa dan
tikus dapat berperan sebagai sumber penular toxoplasma tanpa kehilangan
virulensinya.
Gambar 2. Kista dalam jaringan (pembesaran 1000X) –
(Sumber: koleksi Tolibin Iskandar, Bbalitvet)
Gambar 3. Oosista T.gondii yang mengandung 2 sporozoit
(Koleksi Tolibin Iskandar-Bbalitvet)
Penyebaran toxoplasmosis dapat dipicu karena pola hidup
yang kurang higenis, seperti kebiasaan makan dengan tangan dan makan
daging setengah matang yang mengandung sista, tertelannya oosista infektif
atau infeksi transplasenta dari induk ke fetus. Penularan dapat juga terjadi
melalui transfusi darah (tropozoit), transplantasi organ atau cangkok jaringan
(tropozoit, sista) dan kecelakaan di laboratorium yang memicu T.gondii
masuk ke dalam tubuh atau tanpa sengaja masuk melalui luka. Hewan lain
sebagai inang perantara seperti burung, ayam, tikus, anjing, domba, kambing
dan sapi berpotensi untuk menularkan toxoplasmosis ke manusia.
Faktor resiko yang dapat meningkatkan terjadinya penularan pada
manusia, antara lain kebiasaan makan sayuran mentah dan buah-buahan
yang dicuci kurang bersih, kebiasaan makan tanpa cuci tangan terlebih
dahulu, mengkonsumsi makanan dan minuman yang disajikan tanpa ditutup,
sehingga membuka jalan terjadinya kontaminasi ookista.
7. Distribusi Penyakit
a. Kejadian di negara kita
Dinamika kasus toxoplasmosis baik pada hewan maupun pada
manusia di negara kita cukup sulit diikuti secara tepat karena surveilen
yang reguler tidak diprogramkan dengan terencana. Data yang ada saat
ini memperlihatkan bahwa kasus toxoplasmosis pada hewan di negara kita
sangat bervariasi. Data-data tersebut tidak dapat dipakai sebagai
bahan komparatif antar wilayah karena secara teknis epidemiologis
tidak sebanding. Prevalensi toxoplasmosis pada kucing berkisar antara
5,56%-40%, pada kambing 23,5 – 60%, pada domba 32,18-71,97%,
pada sapi 36,4%, pada kerbau 27,3%, pada ayam 19,6-24%, pada itik
6,1% dan pada babi 28-32%. Secara kumulatif, kasus toxoplasmosis
pada manusia secara serologis diatas 40% (sangat tinggi). Laporan lain
menyebutkan bahwa 60% dari pemeriksaan antibodi pada donor darah
di Jakarta mengandung antibodi terhadap T. gondii.
b. Distribusi geografi s
Penyakit toxoplasmosis tersebar luas diseluruh dunia. Di Asia, data
prevalensi toxoplasmosis dari kucing berdasar uji serologis sebagai
berikut : Jepang 19%, Korea Selatan 13%, Taiwan 8%, Singapore 31%
sedangkan di negara kita belum memiliki data.
keterangan :
1. Gejala Klinis
Gejala klinis toxoplasmosis pada manusia bersifat non spesifi k atau
sering kali tidak memicu manifestasi klinis yang jelas. Masa inkubasi
toxoplasmosis sekiatr 2-3 minggu. Gejala yang muncul yaitu gejala
umum biasa, antara lain demam, pembesaran kelenjar linfe di leher bagian
belakang. jika infeksi mengenai susunan syaraf pusat maka akan
memicu encephalitis (toxoplasma ceebralis akut). Parasit yang masuk
ke dalam otot jantung memicu terjadinya peradangan. Adapun lesi
Related Posts:
penyakit hewan mamalia 9 tersebut dan jatuh ke tanah. Larva instar III (L3) akan membuat terowongan sepanjang dua sampai tiga sentimeter untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva akan membentuk pup… Read More