Rabu, 21 Juni 2023

hepatitis 1

.1. PENYAKIT HATI (LIVER DISEASE)
Penyakit hati disebabkan oleh berbagai macam sebab, namun 
secara klinis diklasifikasikan menjadi:
1. Hepatoseluler, gambaran klinis penyakit hepatoseluler predominan 
kerusakan hati, inflamasi, dan nekrosis.
2. Kolestatik , gambaran klinis predominan hambatan aliran empedu.
Evaluasi pasien dilakukan untuk menentukan diagnosis etiologi, 
berat ringannya penyakit, dan tingkatan penyakit. Diagnosis difokuskan 
untuk membedakan antara hepatoseluler dan kolestatik. Pada 
penentuan beratnya penyakit, selain dibedakan penyakit hati ringan, 
sedang, dan berat juga menentukan aktif atau inaktif. Sedangkan untuk 
penentuan tingkatan penyakit dibedakan menjadi akut atau kronik, 
stadium awal atau lanjut, presirosis, sirosis, atau fase akhir (end-stage).
I.1.1. GEJALA DAN TANDA
Beberapa gejala penyakit hati adalah ikterus, kelelahan, gatal, 
nyeri perut kanan atas, kembung, epigastrium discomfort, dan pada 
keadaaan yang berat dapat disertai perdarahan intestinal. Beberapa 
pasien tidak memiliki gejala penyakit ini namun ditemukan hasil 
pemeriksaan biokimia hati abnormal. 
Ikterus
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, sclera, dan membrane 
mukosa karena akumulasi berlebihan dari pigmen bilirubin. Kadar 
bilirubin total serum lebih dari 3 mg/dL
Hiperbilirubinemia dapat dibedakan menjadi peningkatan 
unconjugated bilirubin dan conjugated bilirubin. Peningkatan 
unconjugated bilirubin disebabkan oleh produksinya yang berlebihan 
(hemolitik atau eritropoeisis inefektif), gangguan ambilan (uptake) oleh 
hati. atau gangguan conjugasi bilirubin (obat atau kelainan genetic). 
Peningkatan conjugated bilirubin disebabkan oleh penurunan ekskresi 
ke dalam saluran empedu pada penyakit hati atau kelainan genetik 
tertentu. Untuk evaluasi pasien dengan ikterus maka perlu dilakukan 
pemeriksaan laboratorium untuk menentukan diagnosis penyakitnya 
(Gambar I.1)
Kelelahan
Kelelahan merupakan gejala yang sering terjadi pada penyakit 
hati.Kelelahan tipe penyakit hati adalah kelelahan yang timbul setelah
aktivitas atau olah raga namun jarang ada pada pagi hari setelah 
istirahat yang cukup.
Mual
Mual diprovokasi oleh bau makanan atau makan makanan yang 
berlemak atau disertai dengan kelelahan.Muntah terjadi namun jarang 
menetap.Nafsu makan rendah disertai penurunan berat badan sering 
terjadi pada penyakit hati akut namun jarang terjadi pada penyakit 
kronik kecuali bila penyakit hati kronik berkembang menjadi sirosis. 
Diare jarang terjadi, kecuali ikterus berat dimana tidak adanya asam 
empedu yang mencapai usus (intestinal) sehingga menyebabkan 
steatore.

Rasa tidak nyaman dan nyeri di abdomen region kanan atas
Nyeri ini timbul karena penekanan atau iritasi kapsul Glisson yang 
mengelilingi hati dan kaya akhiran saraf (nerve endings).Gejala ini 
biasanya ditandai dengan nyeri tekan di sekitar area hati.
1.2. PEMERIKSAAN BIOKIMIA HATI
Untuk menegakkan diagnosis penyakit hati dilakukan beberapa 
pemeriksaan biokimia hati. Pemeriksaan ini juga menentukan tipe 
penyakit hati yaitu penyakit hepatoseluler atau kolestatik. Pemeriksaan 
fungsi hati meliputi pemeriksaan fungsi ekresi, fungsi sintesis, fungsi 
integritas sel hati dan fungsi aliran empedu.3
Test fungsi ekskresi dan detoksifikasi hati antara lain 
pemeriksaan bilirubin serum dan amoniak darah. Fungsi integritas sel 
hati adalah pemeriksaan enzim transaminase Alanin aminotransferase 
(ALT) dan Aspartat aminotransferase (AST). Pemeriksaan fungsi 
biosintesis hati adalah pemeriksaan kadar albumin serum, aktivitas 
cholinesterase, dan nilai Protrombin Time (PT). Untuk mengevaluasi 
aliran empedu atau menilai ada tidaknya kolestasis dengan pemeriksaan 
aktivitas Gamma Glutamyl Transferase (GGT), Alkali phosphatase (ALP), 
Acid phosphatase, dan 5’nucleotidase.
I.1.2. Bilirubin
Bilirubin merupakan anion organik hasil katabolisme hemoglobin. 
Kadar normal dalam serum < 1 mg/dL. Ikterus terjadi bila kadarnya 
dalam darah > 3 mg/dL.Bila terjadi peningkatan kadarnya dalam serum
perlu juga ditentukan jenis bilirubin yang meningkat. Bilirubin ini 
merupakan penanda fungsi eksresi hati.
Peningkatan kadar bilirubin dalam serum terjadi pada keadaan 
peningkatan produksi, menurun ambilan (uptake) oleh hati, penurunan 
konjugasi di hati, dan penurunan sekresi atau hambatan di saluran 
empedu.3,6
Bilirubin juga dapat diperiksa dalam urin. Bilirubin urin 
merupakan indikasi penyakit hepatobiliar karena bilirubin unconjugated 
terikat oleh albumin sehingga tidak dapat melewati filtrasi di 
glomerulus dan tidak akan terdapat dalam urin.
I.1.3. Petanda Penyakit Hati Tipe Hepatoseluler
Pemeriksaan biokimia yang mencerminkan adanya kerusakan 
atau nekrosis hepatosit antara lain aminotransferase (ALT dan AST) dan 
Laktat Dehidrogenase.4 Ketiga enzim ini terdapat dalam sitosol 
hepatosit sehingga bila terdapat kerusakan sel akan terjadi peningkatan 
dalam plasma secara cepat. Selain di hepatosit, enzim-enzim tersebut 
juga dapat ditemukan di sel lain.
I.1.3.1. Aminotransferase
Enzim ini terdiri dari Alanin Aminotransferase (ALT) dan Aspartat 
Aminotransferase (AST). Aktivitasnya adalah katalisator pemindahan 
gugus aminodari asam amino alanin atau aspartat menjadi asam 
ketoglutarat dan menghasilkan asam oksaloasetat dan asam piruvat 
pada proses glukoneogenesis. Pemeriksaan aktivitas enzim ini berfungsi 
menilai integritas hepatosit.
Enzim ALT dan AST terdapat dalam sitoplasma dan mitokondria 
hepatosit tetapi kadar ALT di mitokondrial relatif sedikit dan waktu 
paruhnya sangat pendek sehingga tidak mempunyai nilai diagnosis 
sebaliknya AST dalam mitokondria jumlahnya relatif banyak dan 
merupakan fraksi terbesar AST di hepatosit. Peningkatan kadar kedua 
enzim ini dalam serum merupakan hasil kebocoran dari sel yang rusak 
sehingga mencerminkan kerusakan hepatosit.
Selain di hati, ALT juga terdapat di ginjal sedangkan AST 
ditemukan di otot lurik, otot jantung, ginjal, otak, pankreas, dan sel 
darah.
Ratio AST/ALT dapat digunakan untuk diagnosis banding. Ratio 
ini pada kerusakan hati akut < 1 sedangkan pada hepatitis alkoholik, 
hepatitis kronik, dan sirosis ratio AST/ALT > 1. Namun hal ini tetap 
harus memperhatikan keadaan klinis pasien.6
Peningkatan sedang aminotransferase serum< 500 U/L 
ditemukan pada berbagai macam penyakit hati. Pada hepatitis alkoholik 
atau obstruksi biliari tanpa kelainan lain maka peningkatannya < 300 
U/L, peningkatan tinggi dan sementara terjadi setelah obstruksi biliari 
akut, virus dan hepatitis terinduksi asetaminofen peningkatan > 1000 
U/L. Namun tidak terdapat korelasi antaara besarnya peningkatan 
aminotransferase dengan luasnya nekrosis hepatosit.
I.1.3.2. Laktat Dehidrogenase
Enzim terdapat di berbagai jaringan seperti pada otot serat 
lintang, otot jantung, membran eritrosit, ginjal, dan hati. Peningkatan 
LDH tidak spesifik untuk penyakit hati namun bermanfaat untuk 
I.1.4. PETANDA PENYAKIT HATI TIPE KOLESTASIS
I.1.4.1. ALKALI PHOSPHATASE
Enzim ALP terdapat pada beberapa jaringan antara lain hati, 
tulang, usus, ginjal, plasenta, leukosit, dan sel neoplasma. Bila terjadi 
peningkatan metabolisme maka ALP cenderung meningkat. Aktivitas 
ALP pada orang dewasa muda lebih tinggi 3 kali lipat dibandingkan 
dewasa karena kecepatan pertumbuhan tulang. ALP meningkat pada 
keadaan:
1. Akhir kehamilan akibat pertumbuhan plasenta dan metabolisme
2. Gagal ginjal kronik
3. Kelainan genetik tanpa penyakit hati
4. Penyakit hati karena peningkatan sintesis, pengeluaran enzim ke 
dalam serum, dan gangguan sekresi biliar
Peningkatan ALP pada Penyakit Hati 
Enzim ALP hati terdapat di permukaan domain apikal 
(contohnya kanalikular) dari membran plasma hepatosit dan dalam 
domain lumen dari epitel saluran empedu. Peningkatan ALP pada 
penyakit hati merupakan hasil peningkatan sintesis dan pelepasan 
enzim ke dalam serum dibandingkan gangguan sekresi biliar. Asam
empedu yang tertahan pada penyakit hati tipe kolestatik akan 
melarutkan membran plasma hepatosit dan menyebabkan keluarnya 
ALP. Namun peningkatan ALP tidak terjadi dalam 1-2 hari setelah 
obstruksi biliar akut karena untuk peningkatan ALP dalam serum 
membutuhkan sintesis enzim baru. Waktu paruh ALP 1 minggu sehingga 
setelah terjadi resolusi obstruksi biliar ALP akan tetap tinggi selama 
beberapa hari. Peningkatan ALP pada infiltrasi di hati disebabkan 
karena penekanan beberapa saluran empedu kecil intrahepatik. 
Walaupun terjadi peningkatan ALP karena obstruksi saluran 
intrahepatik fokal namun kadar bilirubin serum normal. Besarnya kadar 
ALP tidak dapat digunakan untuk membedakan antara obstruksi saluran 
intrahepatik atau ekstrahepatik. Interpretasi peningkatan ALP pada 
penyakit hati:
1. Peningkatan aktivitasnya kurang sama dengan 3X nilai rujukan 
relatif tidak mencerminkan penyebab spesifik dan dapat terjadi 
pada beberapa penyakit hati 
2. Peningkatan tajam ALP predominan kelainan hepatik infiltratif 
(seperti tumor baik primer atau metastasis) atau obstruksi biliar 
baik intrahepatik (seperti pada sirosis biliar primer) maupun 
ekstrahepatik. 
I.1.4.2. Gamma Glutamyl Transpeptidase
Enzim GGT hepatik berasal dari hepatosit dan epitel biliar. Selain 
di hati, GGT juga dapat ditemukan di beberapa jaringan ekstrahepatik 
seperti ginjal, lien, pankreas, jantung, paru, dan otak. Tetapi GGT tidak 
ditemukan di tulang sehingga dapat digunakan untuk konfirmasi asal 
peningkatan ALP. Kadar GGT infant lebih tinggi dibandingkan orang 
dewasa. Interpretasi nilai GGT adalah:
1. Peningkatan 5-30 kali nilai rujukan terdapat pada obstruksi biliar 
posthepatik dan intra hepatik, serta keganasan hepar baik primer 
maupun sekunder.
2. Peningkatan moderat 2-5 kali nilai rujukan kemungkinan 
disebabkan oleh hepatitis infeksi.
3. Peningkatan 5-15 kali nilai rujukan dapat dijumpai pada pankreatitis 
akut maupun kronik serta keganasan pankreas yang berhubungan 
dengan obstruksi hepatobiliar
4. Peningkatan ringan terdapat pada perlemakan hati (fatty liver)dan 
intoksikasi obat.
Nukleotidase
Enzim ini ditemukan di berbagai jaringan seperti hati, otot 
jantung, otak, pembuluh darah, dan pankreas. Peningkatannya yang 
signifikan hanya terjadi pada penyakit hati. 5’NT hepatik terdapat 
dalam sinusoid hepatosit dan membran plasma kanalikuler. Kadarnya 
meningkat beberapa hari setelah obstruksi akut sehingga tidak dapat 
dijadikan konfirmasi peningkatan kadar ALP serum.
I.1.5. Pemeriksaan Fungsi Sintesis Hati
I.1.5.1. Prothrombin Time
Hati berperan dalam mekanisme hemostasis karena sebagian 
besar faktor koagulasi disintesis oleh hepatosit, kecuali F.VIII yang 
dibuat di endotel vaskuler dan sel retikuloendotelial. Bila terjadi 
gangguan sintesis pada penyakit hati akan terjadi pemanjangan nilai PT. 
Selain penyakit hati PT memanjang pada defisiensi vitamin K, DIC, 
pemberian warfarin, dan defisiensi kongenital faktor koagulasi. Untuk 
membedakan pemanjangan PT akibat defisiensi vitamin K atau 
gangguan sintesis hati dapat dilakukan uji vitamin K dengan 
menyuntikkan vitamin K kemudian diperiksa kembali PT. Bila PT 
kembali normal berarti disebabkan oleh defisiensi vitamin K namun jika 
tetap memanjang berarti terjadi gangguan sintesis hati. Sedangkan 
untuk membedakan dengan DIC dilakukan pengukuran kadar Faktor 
VIII. Kadar F.VIII menurun pada DIC sedangkan pada penyakit hati 
normal atau meningkat.
I.1.5.2. Albumin
Sintesis dan sekresi albumin oleh hepatosit berkisar 10 g/hari. 
Bila terjadi kerusakan sel parenkim hati akan terjadi penurunan sintesis 
albumin sehingga menyebabkan penurunan kadar albumin dalam 
serum. Selain faktor hepatik, konsentrasi albumin serum juga 
ditentukan oleh berbagai macam faktor ekstrahepatik seperti nutrisi, 
integritas vaskuler, katabolisme, hormonal, danekskresinya melalui urin 
atau feses. Berdasarkan hal tersebut maka penurunan kadar albumin 
tidak spesifik disebabkan oleh kelainan hati. 
Waktu paruh albumin sekitar 20 hari sehingga pada penyakit hati 
kronis kadarnya dalam serum masih normal. Untuk mengetahui adanya 
gangguan sintesis hati pada penyakit hati akut lebih baik digunakan
pemeriksaan PT. Prealbumin juga disintesis oleh hati namun memiliki 
waktu paruh lebih singkat sehingga dapat digunakan untuk diagnosis 
gangguan fungsi sintesis hati pada gagal hati akut. Namun pengukuran 
ini tidak spesifik untuk penyakit hati.4 Ringkasan pemeriksaan pada 
gangguan hati dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi digunakan untuk diagnosis etiologi penyakit 
hati. Pemeriksaan tersebut antara lain adalah:
1. Pemeriksaan serologi infeksi virus hepatitis
a. Virus Hepatitis A, untuk infeksi akut dapat diperiksa IgM anti HAV 
sedangkan untuk infeksi kronik dapat diperiksa IgG anti HAV
b. Virus hepatitis B, pemeriksaan yang dilakukan antara lain HBsAg, 
anti HbcAg total, IgM anti HBc, HBeAg, anti HBe
c. Virus hepatitis C, pemeriksaan yang dilakukan antara lain anti 
HCV total
d. Virus hepatitis D, pemeriksaannya adalah anti HDV
2. Pemeriksaan serologi infeksi virus selain hepatitis seperti CMV, 
Rubella, EBV, HSV
3. Pemeriksaan Leptospirosis 
4. Pemeriksaan Widal
5. Pemeriksaan untuk hepatitis karena autoimun yaitu pemeriksaan 
Anti Nuclear Antibody (ANA) dan anti LKM-1 (Liver Kidney 
Microsom-1)
I.3. Pemeriksaan Hematologi
Pemeriksaan hematologi lengkap dapat memberikan gambaran 
mengenai penyebab ikterus. Ikterus yang disebabkan oleh proses 
hemolitik dapat memberikan gambaran hemolitik pada gambaran darah 
tepi. Selain itu juga dapat membantu menegakkan diagnosis infeksi 
virus hepatitis akut. Pada hepatitis virus akut biasanya dapat dijumpai 
netropenia dan limfositopenia sementara yang kemudian diikuti 
limfositosis.
I.4. Pemeriksaan Urinalisa
Urinalisa dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis etiologi 
ikterus dan penyakit hati terutama dengan menilai kadar bilirubin urin 
dan urobilinogen urin. Bila bilirubin urin (-) sedangkan urobilinogen 
urin meningkat maka kemungkinan penyebab ikterus adalah hemolitik. 
Pada hemolitik terjadi peningkatan produksi bilirubin unconjugated. 
Bilirubin ini terikat oleh albumin dan tidak larut dalam air sehingga 
tidak dapat melalui filtrasi ginjal dan tidak akan ditemukan di dalam urin 
kecuali terdapat kebocoran ginjal. Sedangkan bila bilirubin urin (+) dan 
urobilinogen urin meningkat kemungkinan ikterus disebabkan oleh 
penyakit hati tipe hepatoseluler. Sebaliknya bila bilirubin urin (+) dan 
urobilinogen urin rendah atau (-) kemungkinan disebabkan oleh 
penyakit hati tipe kolestastik karena aliran bilirubin conjugated melalui 
saluran empedu menuju usus halus terhambat sehingga sedikit bahkan 
tidak ada bilirubin yang mencapai usus akibatnya tidak terjadi 
pembentukan urobilinogen. Bila urobilinogen tidak terbentuk maka 
tidak ada urobilinogen yang masuk sirkulasi enterohepatik yang 
selanjutnya akan menuju ginjal dan akan diekskresi melalui ginjal.10
Selain itu dapat pula diperiksa metabolit obat untuk menentukan 
etiologi hepatitis akibat terinduksi obat atau intoksikasi alkohol.
Pemeriksaan Mikrobiologi
Pemeriksaan ini penting bila ada indikasi terjadinya abses hati 
atau infeksi sistemik yang mempengaruhi hati yang disebabkan oleh 
mikroorganisme tertentu. Pada abses hati perlu ditentukan 
penyebabnya. Mikroorganisme penyebab abses hati bervariasi. Bila 
infeksi berasal dari cabang saluran empedu maka kemungkinan 
penyebabnya adalah batang negatif Gram enterik aerob atau 
enterococci aerob, bila berasal dari infeksi pelvis atau sumber 
intraperitoneal lain kemungkinan disebabkan oleh gabungan kuman 
aerob maupun anaerob seperti B.fragilis, sedangkan bila penyebaran 
hematogen kemungkinan adalah S. Aureus atau Streptococcal sp
.Penyebab lain adalah Candida sp dan amuba.

Definisi dan Klasifikasi
Hepatitis didefinisikan sebagai proses peradangan pada hati 
sehingga menimbulkan kerusakan pada hati. Bila hepatitis berlangsung 
<6 bulan maka diklasifikasikan sebagai hepatitis akut.Penyakit hati 
diklasifikasikan menjadi penyakit hepatoseluler dan kolestatik 
(obstruktif). Gambaran penyakit hepatoseluler (Hepatitis)
1. Gambaran kerusakan hati
2. Inflamasi
3. Nekrosis
Sedangkan gambaran pada kolestasis (obstruksi) adalah hambatan aliran 
empedu lebih dominan.
II.2. Etiologi
Hepatitis akut dapat disebabkan oleh berbagai macam hal yaitu:
1. Infeksi hepatosit oleh virus (hepatitis virus, CMV, Rubella, HSV, 
EBV), bakteri, parasit, mononukleosis, amoeba
2. Intoksikasi alkohol Alkohol
3. Akibat infeksi sistemik seperti (tuberkulosis, sarkoidosis)
4. Intoksikasi obat (asetaminofen, isoniazid, phenitoin, metotrexate) 
atau toksin lainnya
5. Autoimun hepatitis
6. Kelainan metabolik (NAFLD)
7. Obstruksi 
8. Genetik (defisiensi AAT, hemokromatosis herediter)
9. Kehamilan

Hepatitis A Akut
II.3.1. Etiologi
Infeksi ini disebabkan oleh virus hepatitis A. Virus ini merupakan 
famili picorna virus genus hepatovirus. Morfologi virus hepatitis A :
1. Tidak mempunyai selubung (nonenveloped)
2. Spheris
3. Positive stranded
4. Ukuran 27-32 nm
5. Virionnya mengandung 4 kapsid polipeptida 
6. Kapsid-kapsid kosong banyak ditemukan dalam feses selama 
masa awal infeksi
7. Genom HAV linear, single stranded, positive-sense RNA 7,5 kb 
yang mengandung 5’regio nontranslasi dengan struktuk tersier 
dan sekunder kompleks
8. 5’end mencerminkan regio non coding (NCR) yang akan berikatan 
secara kovalen dengan protein virus VPg (2,5 kD)
9. Memiliki poliprotein besar single yang diekspresikan sepanjang 
RNA genom
10. Poliprotein akan dipecah oleh protease virus membentuk 3 
(bahkan 4) protein kapsid dan beberapa protein struktural
11. Antigen site dari HAV merupakan paparan beberapa bagian dari 
VP1 dan VP3 pada permukaan kapsid
12. Replikasi HAV terjadi di sitoplasma hepatosit terinfeksi melalui 
mekanisme yang melibatkan RNA-dependent RNA polymerase
Patogenesis
Penularan HAV secara dapat melalui beberapa cara yaitu:
1. Oral fecal
2. Anal-oral
3. Transfusi darah
Virus Hepatitis A masuk lewat saluran cerna kemudian melalui 
sirkulasi enterohepatik menuju hati dan masuk dalam hepatosit. 
Kemungkinan terjadi replikasi virus lokal di tempat masuk virus 
sebelum akhirnya menyebar ke hepatosit melalui sirkulasi 
enterohepatik. Virus ini tidak bersifat sitopatik terhadap hepatosit. 
Kerusakan sel hati terjadi karena reaksi imunologik.1, 23 Limfosit T 
sitotoksik berperan dalam reaksi imunologik ini.1, 4 Masa inkubasi 
berkisar15-45 hari (rata-rata 1 bulan)
Infeksi virus mengaktifkan respon imun nonspesifik (innate 
immunity) dalam hepar. Hepatosit yang terinfeksi akan dikenali oleh 
Natural Killer sehingga menginduksi keluarnya sitokin proinflamasi 
termasuk interferon. Fase innate immunity ini merupakan awal 
pengendalian replikasi virus. Respon ini tidak bersifat sitopatik sehingga 
hanya sedikit bahkan tidak terjadi kerusakan hepatosit. Selanjutnya 
innate immunity akan mengaktifkan respon imun spesifik baik seluler 
maupun humoral. Respon ini yang selanjutnya akan menimbulkan 
kerusakan hepatosit.3
II.3.4. Gejala Klinis
Fase infeksi hepatitis virus akut terdiri dari:
1. Fase inkubasi menurut WHO adalah asimptomatik, mulai terjadi 
replikasi virus,danpenularan terbesar1
2. Fase prodromal
3. Fase ikterik
4. Fase konvalesen
Fase prodromal:
 Berlangsung sekitar 1hari-2 minggu (umumnya 5-7 hari)
 Gejala tidak spesifik seperti kehilangan nafsu makan(anoreksia), 
mual, muntah, fatik,kelemahan,demam ringan, mialgia, sakit kepala, 
flu-like symptom, nyeri ulu hati

Fase ikterik:
 Gejala prodromal menghilang 
 Ikterik pada membran mukosa,sklera, dan kulit
 Hati membesar dan nyeri
 Urin berwarna gelap, tinja pucat
 Gatal, dan kehilangan berat badan
 Bilirubin total > 20-40 mg/dL
Fase konvalesen:
 Ikterik menghilang
 Gejala konstitusional menghilang
 Masih terdapat pembesaran hepar dan titer enzim hepar agak tinggi
HAV dapat dideteksi dalam tinja pada minggu 1 hingga minggu ke 
6, viremia terjadi pada minggu 1 – minggu ke 6, peningkatan enzim 
Alanin Aminotransferase terjadi sejak terjadi infeksi kemudian mencapai 
puncaknya sekitar minggu ke-4 dan mulai menurun minggu ke-5. IgM 
anti HAV mulai terlihat pada minggu 1 mencapai puncak minggu ke-4 
dan 5 dan mulai menurun pada minggu ke 6-7 dan menghilang setelah 
minggu ke-12. IgM anti HAV mulai timbul minggu ke-2 dan menetap 
selama beberapa tahun. 
II.3.6. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hematologi Rutin
1. Selama fase akut dapat dijumpai leukopenia dengan neutropenia 
dan limfopenia. Selain itu sekitar 2-20% dapat dijumpai limfosit 
atipik
2. Komplikasi infeksi akut dapat menyebabkan terjadi penurunan 
jumlah eritrosit, leukopenia, dan trombositopenia 
3. Protrombin Time dapat meningkat bila terjadi nekrosis hepar yang 
meluas, bila ini dijumpai maka prognosisnya buruk
Pemeriksaan Kimia Klinik
1. Peningkatan bilirubin total mencapai 5-20 mg/dL.3 Peningkatan 
bilirubin total akan mencapai puncaknya setelah peningkatan 
aktivitasenzim ALT serum dan menurun lebih lambat dibandingkan

aktivitasenzim ALT serum namun kembali lagi ke kadar normal 
setelah 3 bulan.
2. Aktivitas enzim ALT meningkat hingga 20X dari nilai rujukan 
selama infeksi akut.
3. Aktivitas enzim ALP dapat meningkat ringan akibat kolestasis
4. Aktivitas enzim GGT dapat meningkat ringan bila terjadi kolestasi
Pemeriksaan serologi infeksi virus Hepatitis A meliputi:
1. IgM anti HAV, pemeriksaan IgM anti HAV lebih bernilai klinis 
dilakukan untuk mendiagnosis infeksi akut hepatitis A.
2. Total anti HAV
Gambaran serologi infeksi virus hepatitis A dapat dilihat pada 
Gambar II.4.
II.3.7. Komplikasi 
Komplikasi infeksi HAV adalah:1
1. Kolestatik
2. Relapse karena belum terjadi fase penyembuhan infeksi HAV
3. Fulminan
II.3.8. Pencegahan
Pencegahan infeksi HAV menurut CDC adalah:
1. Higine yang baik yaitu mencuci tangan dengan sabun sebelum dan 
sesudah makan, mengolah bahan makanan, dan sesudah buang air 
besar.
2. Sanitasi yang baik yaitu sumber air bersih yang baik dan lingkungan 
yang terjaga kebersihannya.
3. Pencegahan dengan imunisasi hepatitis A.
4. Pemberian imunoglobulin sebelum dan sesudah paparan menurut 
CDC.
II.4. HEPATITIS B AKUT
II.4.1. Etiologi
Penyebabnya adalah virus hepatitis B. Virus ini mempunyai ciri￾ciri sebagai berikut:
1. Famili hepadnavirus
2. Double stranded DNA ukuran 42 nm
3. Tersusun atas inti nukleokapsid ukuran 27 nm(HBcAg)

4. Lapisan lipoprotein disebelah luar dikelilingi oleh membran 
lipoprotein mengandung antigen permukaan (HBsAg)
Antigen HBV adalah:
1. HBsAg 
a. Merupakan protein envelope yang diekspresikan di atas 
permukaan luar dari virion dan diatas struktur tubular dan 
sperik kecil
b. Konsentrasi dalam darah mencapai 500 µg/mL
c. Merupakan produk dari Gen S HBV
2. HBcAg
a. Antigen yang diekspresikan diatas permukaan inti 
nukleokapsid
b. Antigen ini dihasilkan oleh gen C,translasinya dimulai dari 
regio inti (core region)
c. Tidak mempunyai peptida sinyal, tidak disekresi, melekat 
dalam partikel nukleokapsid dan berikatan dengan RNA serta 
mengandung DNA HBV
3. HBeAg
a. Protein nukleokapsid nonpartikulat dan mudah larut (soluble)
b. Antigen ini dihasilkan oleh gen C, translasinyadimulai pada 
regio preinti (precore region)
c. Memiliki peptid sinyal yang akan berikatan dengan smooth RE
sehingga HBeAg disekresikan ke dalam sirkulasi

II.4.2. Siklus Hidup Virus Hepatitis B
1. Virion berikatan dengan reseptornya di permukaan hepatosit
2. Virus masuk dalam sitoplasma melalui proses fusi membrane direk 
dan melepaskan selubung luar.
3. Inti nukleokapsid masuk dalam inti sel hepatosit melalui proses 
difusi pasif atau microtubule dependent transport. Genom virus 
yang telah terlepas selubungnya di sitoplasma akan memasukkan 
naked DNA ke dalam inti sel
4. Sintesis DNA double stranded lengkap dalam inti hepatosit 
:pertama terjadi perbaikan genom virus (misalnya gap dalam 
genom strand positif diisi) dan dibentuk covalently closed circular 
DNA (cccDNA) sehingga terbentuk double stranded lengkap. 
Sintesis cccDNA dikatalisis oleh DNA polymerase virus
5. Sintesis genom dan pregenom RNA dan transkrips virus untuk 
pembentukan protein virus. cccDNA merupakan template untuk 
sintesis dari transkrip genom dan subgenom yang dikatalisis oleh 
RNA polymerase II pejamu. Setiap 4 transkrip virus mayor 
diekspresikan oleh promoternya sendiri. Promoter inti merupakan 
pusat dari replikasi karena promoter ini mengontrol produksi 
genom RNA yang merupakan template untuk sintesis DNA tanpa 
strand (DNA minus-strand)selanjutnya
6. Translasi transkrip virus : Transkrip RNA virus dibawa ke 
sitoplasma dan terjadi translasi envelope virus, core, precore, dan 
protein X serta DNA polymerase virus
7. Enkapsidasi: enkapsidasi terjadi dalam sitoplasma. Reaksi ini 
dimulai dengan terbentuknya ikatan polimerase virus dengan 
struktur stem-loop unik pada 5’end RNA genom. Struktur stem￾loop bertindak sebagai sinyal enkapsidasi untuk perakitan core 
(inti) virus (mengandung 180 molekul protein inti) dan terjadi 
secara simultan dengan sintesis DNA
8. Transkripsi reverse (reverse transcription) dan sintesis strand 
DNA : pusat dari replikasi HBV adalah produksi intermediat RNA 
diikuti dengan sintesis DNA virus oleh RT dan sebagian besar 
proses tersebut terjadi dalam inti virus (viral core) di sitoplasma 
hepatosit. Dua strand DNA HBV dibuat berurutan pada proses 
replikasi DNA konvensional. Template untuk minus strand adalah 
mRNA pregenomik dan template untuk sintesis plus strand adalah
DNA minus-strand. Sintesis DNA minus-stranddiawali oleh enzim 
polimerase virus yang akan menggunakan penonjolan dari stem￾loop sebagai template awal. Melalui sintesis plus-strand, template 
RNA dihancurkan oleh aktivitas RNAase spesifik yang terdapat 
dalam polimerase virus. Bila sintesis minus-strand lengkap, sintesis 
plus-strand diawali dengan penggunaan primer RNA pada 5’end 
RNA pregenomik
9. Envelopment (Pembentukan Selubung): Setelah replikasi lengkap, 
inti virus dibawa ke dalam inti sel atau melewati retikulum 
endoplasmik atau apparatus Golgi. Pada tempat tersebut inti virus 
mendapat protein-protein envelope (surface, L, dan M) sebelum 
keluar sel melalui transpor vesikuler. Protein envelope dari HBV 
diarahkan ke retikulum endoplasma oleh urutan spesifik (specific 
sequences) gen S. Selama inti virus melewati retikulum 
endoplasma, protein ini akan menyelubungi inti virus melalui 
proses penggabungan dengan lipid dari retikulum endoplasma. 
Protein pre-S1 mengandung reseptor yang akan memfasilitasi 
perlekatan permukaan sel virus dengan hepatosit . Pada infeksi 
dini, inti nukleokapsid dibawa kembali ke inti sel hepatosit dan 
terjadi sintesis plus-strand lengkap dan pembentukan molekul 
cccDNA stabil. Molekul cccDNA membentuk sumber template 
transkripsional sehingga setelah pembelahan hepatosit terjadi 
penyebaran infeksi pada sel anak. Bila infeksi tetap berlangsung, 
maka inti nukleokapsid dibawa keluar dari hepatosit sehingga 
terjadi penyebaran infeksi di luar hepar
Patogenesis
Penularan infeksi HBV dapat melalui beberapa cara antara lain:
1. Seksual
2. Parenteral
3. Perinatal
4. Kontak dg penderita (horizontal)
Imunopatogenesis
Pada infeksi akut virus Hepatitis B, terjadi respon imun spesifik 
yang melibatkan MHC kelas I maupun kelas II. Respon imun yang 
melibatkan MHC kelas I menyebabkan efek sitolitik terhadap hepatosit 
terinfeksi sehingga menimbulkan kerusakan hepatosit dan 
menimbulkan gejala klinis.5 Skema imunopatogenesis infeksi HBV dapat 
dilihat pada gambar berikut
.4.4. Gejala Klinis
Gejala klinis sesuai dengan gejala klinis infeksi hepatitis virus 
akut. Masa inkubasi infeksi VHB sekitar 30-180 hari (4-12 minggu). Fase 
penyembuhan (konvalesen) berlangsung > 12 minggu. Gejala klinis 
infeksi hepatitis akut dan pemeriksaan biokimia hati kembali normal 
sekitar 3-4 bulan setelah onset ikterik bila tidak terjadi komplikasi.
II.4.5. Pemeriksaan Laboratorium
II.4.5.1. Pemeriksaan Hematologi
Hasil pemeriksaan hematologi antara lain adalah:
1. Netropenia dan limfopenia sementara diikuti dengan limfositosis 
relatif
2. Bila terjadi komplikasi infeksi akut kadang-kadang ditemukan 
gambaran anemia aplastik
3. Limfosit atipik (bervariasi antara 2-20%)
4. Protrombin time memanjang pada infeksi akut dan bila 
berlangsung lama kemungkinan terdapat gangguan sintesis hati 
II.4.5.2. Pemeriksaan Kimia Darah
1. Peningkatan aktivitas enzim ALT dan AST. Tingginya peningkatan 
aktivitas enzim ini tidak berkorelasi dengan manifestasi klinis, 
namun besarnya aktivitas ALT berkorelasi dengan tingkat 
kerusakan sel hepar. Peningkatan aktivitas enzim 
aminotransferase dapat mencapai lebih dari 500 U/L.
2. Kadar bilirubin total serumbisa lebih dari 2,5 mg/dL (43 μmol/L). 
Ikterik dapat terlihat di sklera atau kulit bila total bilirubin lebih 
dari 2,5 mg/dL, dan dapat meningkat hingga 5-20 mg/dL.Kadar 
bilirubin serum menurun lebih lambat dibandingkan 
aminotransferase.
3. Aktivitas alkali phosphatase normal atau meningkat ringan
4. Kadar albumin serum normal atau menurun bila terjadi 
komplikasi pada infeksi akut.
5. Aktivitas Gamma Globulin Transferase (GGT) meningkat karena 
terjadi kolestasis intrahepatik akibat inflamasi hepatosit
Pemeriksaan Serologi
Pemeriksaan serologi infeksi virus hepatitis B akut dapat dilihat pada 
tabel dan gambar dibawah ini:

Petanda serologi yang pertama kali muncul pada infeksi virus 
hepatitis B sebelum terjadi peningkatan aktivitas aminotransferase dan 
gejala klinik adalah HBsAg.HBsAg dapat terdeteksi selama fase ikterik 
hingga 4 bulan setelah onset ikterik.Setelah HBsAG menghilang akan 
timbul anti HBsAg (anti HBs). HBcAg tidak dapat terdeteksi dalam 
serum karena melekat dalam selubung HBsAg sehingga yang dideteksi 
adalah anti HBc. Anti HBc terdeteksi dalam serum 1-2 minggu setelah 
timbulnya HBsAg dan sebelum munculnya anti HBs. Periode antara 
tidak terdeteksinya HBsAg dan mulai munculnya anti HBs dinamakan 
dengan window periode (periode jendela). Pada periode ini, untuk 
menegakkan infeksi virus hepatitis B akut dilakukan pemeriksaan IgM 
anti HBc.

Komplikasi infeksi akut VHB:2
1. Hepatitis fulminan
2. Hepatitis kronik
3. Beberapa komplikasi yang jarang terjadi antara lain pankreatitis 
dan anemia aplastik

Faktor Risiko
Faktor risiko terkait infeksi virus hepatitis B menurut CDC yang 
paling banyak adalah tidak diketahui yaitu sekitar 32%, setelah itu 
diikuti berturut-turut berganti-ganti pasangan seksual, pemakaian obat 
injeksi, kontak seksual dengan pasien hepatitis B, pasangan LSL, kontak 
dengan pasien hepatitis B yang tinggal satu rumah, peralatan medis, 
hemodialysis, dan transfusi darah. Secara lengkap dapat dilihat pada 
gambar dibawah ini.

Hepatitis kronis adalah peradangan hati yang berlangsung 
setidaknya 6 bulan. Dibedakan berdasarkan tempat dan besarnya 
kerusakan pada hati. Bentuknya dapat berupa hepatitis kronis ringan 
yang sering disebut dengan hepatitis persisten kronik dan hepatitis 
lobular kronik maupun hepatitis kronik yang berat yang disebut 
hepatitis aktif kronik. Saat ini hepatitis kronis dibedakan berdasarkan 
penyebab, histologi, dan perkembangan penyakit.
Berdasarkan penyebabnya dibedakan menjadi:
1. Hepatitis viral kronik yang disebabkan oleh virus hepatitis B, 
hepatitis B dan D, hepatitis C, atau virus lain yang potensial 
2. Hepatitis autoimun 
3. Hepatitis kronik akibat obat
4. Atau hepatitis kronik kriptogenik
Berdasarkan gambaran histologi pada biopsi hati, hepatitis kronis 
dibedakan menjadi:
1. Tingkat nekrosis periportal  nekrosis piecemeal atau hepatitis 
interface
2. Nekrosis bridging  menghubungkan regio portal dengan vene 
sentralis
3. Tingkatan inflamasi portal
Berdasarkan derajat fibrosis :
0  no fibrosis
1  mild fibrosis
2  moderate fibrosis
3  fibrosis berat, termasuk bridging fibrosis
4  sirosis
Klasifikasi baru:
Hepatitis persisten kronik 
 Terdapat infiltrasi sel MN tetapi terlokalisasi hanya di regio portal. 
Limiting plate dari hepatosit periportal intak dan tidak ada perluasan 
proses nekrosis ke lobulus hati. Adanya bentuk cobblestone dari 
hepatosit mengindikasikan adanya aktivitas regenerasi walaupun dapat 
ditemukan fibrosis minimal periportal. Tidak ada sirosis. Biasanya tidak 
ditemukan gejala pd pasien atau hanya gejala konstitusional ringan 
seperti kelelahan, anoreksia, dan nausea. Terdapat pembesaran hepar 
tanpa disertai stigmata penyakit hati kronik. Aktivitas aminotransferase 
meningkat ringan.

Perkembangan progresif ke arah lesi yang lebih berat (hepatitis 
aktif kronik dan sirosis) sering terjadi pada pasien dengan autoimun 
atau hepatitis persisten kronik idiopatik, namun progresifitas pada 
pasien hepatitis virus persisten kronik dan hepatitis persisten kronik 
terjadi setelah remisis spontan atau terapeti dari hepatitis autoimun. 
Nomenklatur baru mengklasifikasikan hepatitis persisten kronik 
menjadi hepatitis kronik ringan atau minimal (berdasarkan 
tingkatannya) dan fibrosis ringan atau tanpa fibrosis (berdasarkan 
stadiumnya)
Hepatitis lobular kronik
Pada pasien dengan hepatitis lobular kronis, selain ditemukan 
inflamasi di daerah portal, juga ditemukan nekrosis dan inflamasi pada 
lobulus hati.
Hepatitis aktif kronik
Hepatitis ini ditandai dengan nekrosis hepatik berkelanjutan, 
inflamasi portal/periportal dan sedikit perluasan menjadi inflamasi 
lobuler, serta fibrosis. Hepatitis kronik aktif dapat ringan hingga berat 
dan perkembangan penyakitnya progresif serta menyebabkan sirosis, 
gagal hati, dan kematian. 
Karakteristik morfologinya adalah:
1. Infiltrat mononuklear di daerah portal dan meluas ke dalam 
lobulus hati (pada tipe autoimun ditandai dengan adanya sel 
plasma di daerah infiltrat)
2. Kerusakan hepatosit di perifer lobus dengan erosi di limiting 
plate dari hepatosit di sekeliling triad portal (piecemeal nekrosis 
atau hepatitis perbatasan)
3. Septum jaringan ikat disekitar area portal dan meluas hingga ke 
dalam lobus, sel-sel parenkim terisolasi dalam cluster dan 
menutupi duktus biliaris
4. Regenerasi hepatoseluler yg ditandai dengan formasi rosette. 
Penebalan plate sel hati, dan pseudolobules regeneratif
5. Proses ini bisa tidak beraturan dengan perluasan ke lobulus￾lobulus hati atau difus.

Penyebab hepatitis virus kronik adalah virus hepatitis B, C, dan D 
dgn infeksi bersama dengan VHB.
III.2.1. Hepatitis B Kronik
Penyakit HBV kronik didefinisikan sebagai inflamasi nekrotik pada 
hati akibat VHB. 2 Perkembangan penyakit hepatitis B akut menjadi 
kronik bervariasi sesuai umur. Bila hepatitis B akut terjadi saat bayi dan 
balita maka kemungkinan menjadi hepatitis kronik sekitar 90%.1, 3 Fase 
hepatitis B kronik berdasarkan replikasi virusnya dibedakan menjadi:1
1. Fase replikatif, pada fase ini cenderung lebih berat. Penanda 
serologi yang dapat dijumpai adalah:
a. HBeAg positif
b. DNA HBV positif
c. HBcAg positif
Infektifitas pada fase ini sangat tinggi sehingga sangat infeksius. 
Selain itu, dapat dijumpai kerusakan hepar lainnya.
2. Fase non replikatif merupakan fase ringan atau minimal atau 
asimptomatik carier. Penanda serologi yang dapat dijumpai 
adalah:
a. HbeAg positif
b. DNA HBV dideteksi dgn hibridisasi
c. Anti HBe positif
d. HBcAg negatif
Infektifitas pada fase ini terbatas dan kerusakan hepar minimal.
Kriteria WHO menetapkan bahwa hepatitis B kronik ditandai dengan:3
1. Infeksi terjadi lebih dari 6 bln dengan kadar serum HBsAg menetap 
dan IgG anti HBcAg menetap.
2. Tidak ditemukan anti HbsAg.
3. HbeAg dan DNA HBV dapat dideteksi dengan konsentrasi tinggi 
tetapi menghilang bila replikasi virus berhenti atau terjadi mutasi 
yang mencegah sintesis dari prekursor protein precore virus 
HbeAg

Fase replikasi virus menurut WHO dibedakan menjadi 3 yaitu:3
1. Fase replikasi tinggi, ciri fase replikasi adalah:
a. HBsAg, HBeAg, dan DNA HBV positif pada serum
b. Peningkatan aktivitas enzimtransaminase
c. Resiko menjadi sirosis tinggi
2. Fase replikasi rendah, ciri fase replikasi ini adalah:
a. HBeAg negatif
b. DNA HBV menurun atau negatif
c. Anti-HBeAg positig
d. Perubahan serologi dari hilangnya DNA HBV dan HBeAg 
menunjukkan adanya serokonversi
3. Fase nonreplikasi
a. Tidak dijumpai marker replikasi virus atau dibawah batas 
deteksi
b. Bila terjadi sirosis akan menetap
Kriteria karier inaktif adalah:
a. HBsAg positif sedangkan HBeAg negatif, 
b. Kadar HBV DNA menurun
c. Aktivitas enzi ALT normal lebih dari 6 bulan
d. Imunotoleran dan berisiko terjadinya integrasi HBV DNA ke dalam 
DNA inti hepatosit sehingga cenderung terjadi kanker hati pada 
kehidupan selanjutnya2
Reaktivasi
a. Pasien dengan status karier kemudian terjadi peningkatan aktivitas 
enzim transaminase hati dan peningkatan kadar DNA HBV
b. HBeAg positif 
Penyembuhan Infeksi
Fase penyembuhan terjadi bila pasien dengan riwayat infeksi hepatitis 
akut dan kronis tidak didapatkan penanda HBsAg atau HBV DNA. 
Aktivitas enzim transaminase hati kembali normal. Sedangkan anti HBc 
dapat positif selama 5-10 tahun sehingga berisiko untuk menularkan 
penyakit melalui donor organ atau reaktivasi infeksi HBV bila mendapat 
terapi imunosupresan.

 Selain itu pemberian imunosupresan (prednison, methotrexate, 
atau kemoterapi) dapat menyebabkan fase ini berkembang menjadi 
penyakit hati aktif. 
Koinfeksi
Koinfeksi adalah infeksi HBV disertai infeksi HDV, HCV, atau HIV2
III.2.1.1. Diagnosis Laboratorium
Pemeriksaan Kimia Klinik
1. Peningkatan aktivitas enzim ALT (menurut WHO aktivitasnya 
normal-200 IU/L, sedangkan menurut Harrison bervariasi antara 
100-1000 IU/L). Bila telah terjadi sirosis hepatis maka aktivitas 
enzim AST lebih besar dibandingkan ALT
2. Aktivitas enzim ALP cenderung normal atau sedikit meningkat.
3. Pada kasus yang berat, terjadi peningkatan moderat dari kadar 
bilirubin serum yaitu antara 3-10 mg/dL
4. Hipoalbuminemia dan PT memanjang pada end-stage atau kasus 
yang berat3
Pada Flares of hepatitis B infection, terjadi peningkatan intermiten kadar 
aminotransferase serum > 10X batas atas normal.2
Pemeriksaan Serologis
Penanda serologi pada hepatitis B kronik dapat dilihat pada gambar 
dibawah ini. Pada hepatitis kronik terdapat persistensi kadar HBsAg dan 
tidak didapatkan IgG anti HBc.
Fase infeksi kronis virus hepatitis B terdiri dari fase toleransi imunologi, 
fase immune clearance, fase inactive carrier state, serta fase reaktivasi. 
Gambaran laboratorium pada masing-masing fase dapat dilihat pada 
gambar berikut ini

Pemeriksaan ulang dilakukan pada sampel yang sama atau 
pengambilan sampel ulang apabila ditemukan ketidaksesuaian hasil 
pemeriksaan seromarker hepatitis B. Ketidaksesuaian hasil pemeriksaan 
tersebut antara lain adalah:
1. HBsAg positif/anti HBc negatif
HBsAg positif yang disertai dengan anti HBc negatif hanya terjadi 
selama masa inkubasi hepatitis B akut, sebelum onset gejala klinik 
dan kelainan fungsi hati
2. HBsAg positif/anti HBs positif/anti HBc positif
Hasil seperti ini jarang terjadi. Biasanya hasil ini terjadi pada masa 
resolusi infeksi akut hepatitis B, karier kronik yang mempunyai 
gangguan hati berat, atau karier yang terpapar subtype heterolog 
dari HBsAg
3. Hanya anti HBc yang positif
Hasil ini pada paska infeksi hepatitis B tetapi belum terjadi 
penyembuhan sempurna.
4. HBeAg positif/HBsAg negatif
Jarang terjadi
5. HBeAg positif/anti HBe positif
arang terjadi
6. Hanya anti HBs positif pada pasien yang belum diimunisasi
asil ini kemungkinan terjadi akibat transfusi darah sehingga terjadi 
transfer pasif anti HBs dari donor yang sudah diimunisasi ke pasien 
yang menerima transfusi faktor koagulasi, setelah pemberian 
imunoglobulin, atau neonatus dari ibu paska infeksi hepatitis B 
virus. Antibodi yang didapatkan secara pasif akan menghilang 
seluruhnya setelah 3 sampai 6 bulan, sedangkan antibodi yang 
didapatkan secara aktif melalui imunisasi atau paska infeksi virus 
hepatitis B akan bertahan selama beberapa tahun. 
Protein mutan dari strain HBV mutan mungkin luput dari 
pemeriksaan laboratorium untuk diagnosis. Untuk itu perlu dilakukan 
uji diagnosis adanya penanda serologi yang berbeda sehingga dapat 
memberikan diagnosis yang benar. Kits untuk diagnostik sebaiknya 
mengandung antibodi terhadap berbagai protein mutant untuk 
mendapatkan hasil yang lebih baik

Laboratorium Hematologi
1. Trombosit rendah kurang dari 100.000/uL menandakan 
fibrosis lanjut
2. Lekosit rendah
3. Feritin dan saturasi iron meningkat menandakan 
hemakromatosis2
III.3. Hepatitis C Kronik
Infeksi HCV kronik terjadi pada 85% pasien setelah infeksi akut. 
Sebagian besar pasien asimptomatik disertai peningkatan kadar 
aminotransferase dan tidak dijumpai kelainan pada pemeriksaan fisik. 
Gejala klinis yang sering dijumpai adalah kelelahan dan nyeri perut 
kanan atas. Demam subfebris, mual, muntah, mialgia, dan artalgia 
adalah gejala lain yang dapat ditemukan. Sepertiga penderita infeksi 
HCV kronis mempunyai kadar ALT normal, sedangkan 25%nya terdapat 
peningkatan ALT < 2X nilai batas atas normal. Peningkatan nilai ALT 
yang menetap terjadi pada 26% kasus sedangkan 40%-70% terjadi 
peningkatan ALT secara intermitten. Pada 17% pasien dengan 
pemantauan jangka panjang terjadi resolusi ALT hingga mencapai batas 
normal. Peningkatan ALT hingga 10X berhubungan dengan nekrosis 
piecemeal yang berat.2
III.3.1. Perjalanan Penyakit Hepatitis C
Perjalanan penyakit infeksi HCV dapat dilihat pada Gambar III.

Infeksi HCV kronis dapat berkembang menjadi sirosis pada 20%-
25% pasien dengan imunokompeten dalam 20 tahun setelah onset 
infeksi. Faktor-faktor yang mempercepat perkembangannya menjadi 
sirosis adalah:
1. Jenis kelamin (laki-laki lebih cepat menjadi sirosis)
2. Genetik (Jepang lebih berisiko dibandingkan bangsa Amerika)
3. Umur terkena paparan penyakit (bila terpapar HCV pada umur > 40 
tahun lebih berisiko menjadi sirosis)
4. Lamanya infeksi HCV (makin lama infeksinya makin berisiko 
menjadi sirosis)
5. Transmisi (transmisi karena transfusi darah lebih berisiko menjadi 
sirosis dibandingkan penularan melalui jarum suntik)
6. Kondisi lain seperti penyakit hati karena alkohol, merokok, infeksi 
HIV, dan infeksi HBV dapat meningkatkan risiko terjadinya sirosis
III.3.2. Pemeriksaan Laboratorium Kimia 
ALT (Alanin Aminotransferase)
Aktivitas enzim ini dapat normal atau fluktuatif. Hasil normal 
aktivitas enzim ALT tanpa disertai pemeriksaan lain tidak 
menyingkirkan kemungkinan infeksi aktif, penyakit hati progresif, atau 
sirosis. Pada pasien dengan terapi antivirus, ALT kembali normal tidak 
mencerminkan keberhasilan terapi. Namun peningkatan ALT dapat 
menetap walaupun virus telah hilang.4
III.3.3. Pemeriksaan Serologi
Anti-HCV
1. Anti HCV akan menurun bertahap pada pasien yang mengalami 
resolusi spontan.
2. HCV menjadi negatif sesudah 18-20 tahun disertai hilangnya virus 
secara spontan dari dalam darah.
3. Pemeriksaan menggunakan EIA generasi kedua dan ketiga yang 
menggunakan protein inti dapat mendeteksi antibodi dalam 4-10 
minggu setelah infeksi.
4. False positif dapat terjadi pada individu tanpa faktor risiko dan 
gejala penyakit hati seperti donor darah dan pekerja sehat sehingga 
harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan lain

Pemeriksaan imunoblot rekombinan dapat digunakan untuk 
konfirmasi hasil positif pada EIA terutama direkomendasikan risiko 
rendah seperti bank darah
6. False negatif terjadi pada individu dengan imunokompromis seperti 
penderita HIV-1, gagal jantung, dan penderita HCV dengan 
essential mixed cryoglobulinemia.
III.3.4. Pemeriksaan Molekuler
1. RT-PCR untuk RNA HCV
2. Viral Load
III.4. Hepatitis D

Infeksi kronik HDV biasanya merupakan superinfeksi dengan infeksi 
HBV. Diagnosis superinfeksi HBV-HDV :
1. Biasanya terdapat infeksi HDV menetap
2. Viremia HDV dalam serum selama fase preakut
3. Titer IgM dan IgG anti HDV tinggi selama fase akut dan menetap
4. Titer HBsAg menurun saat HDAg tampak di serum
5. Progresi ke arah kronisitas berhubungan dengan menetapnya kadar 
IgM dan IgG anti HDV yang tinggi
6. HDAg dan RNA HDV tetap terdeteksi dalam serum dan hati
7. Viremia berhubungan dengan penyakit hati aktif

Hepatitis kronik autoimun
Hepatitis autoimun ditandai dengan nekrosis dan inflamasi 
berkelanjutan biasanya disertai fibrosis dan cenderung berkembang 
menjadi sirosis dan gagal hati.1
I.1.1. Etiologi
Etiologi belum diketahui namun diduga karena perubahan dalam 
sistem imun tubuh.6 Namun autoantibodi dan beberapa gambaran 
adanya autoimun tidak dijumpai di seluruh kasus.2 Kadar gamma 
globulin serum biasanya meningkat. Sel LE dapat ditemukan pada 15% 
kasus dan biasanya disebut dengan hepatitis lupoid. Antibodi otot polos 
dan antibodi mitokondria ditemukan pada hepatitis lupoid namun tidak 
demikian dengan lupus eritematosus sistemik.

Imunopatogenesis
Hepatitis aktif kronik autoimun merupakan penyakit kelainan 
pengaturan sistem imun karena kerusakan pada pengaturan sel T 
supresor. Akibatnya terjadi autoantibodi yang menyerang antigen 
permukaan hepatosit.1, 6 Mekanisme imun seluler berperan dalam 
patogenesis penyakit ini.Sedangkan mekanisme imun humoral berperan 
dalam manifestasi ekstrahepatik seperti arthalgia, arthritis, vaskulitis 
kutaneus, dan glomerulonefritis akibat penimbunan kompleks imun di 
jaringan.1
I.1.3. Gambaran Klinis
Gambaran klinis mirip dengan penyakit autoimun. Biasanya 
menimpa wanita usia muda hingga pertengahan dan puncak insidennya 
sekitar menopause. Onsetnya biasanya berat. Pasien biasanya merasa 
tidak enak badan dan diikuti dengan ikterik. Bila ikterik menetap, maka 
kemungkinan adalah hepatitis kronik. Tidak jelas apakah penyakit ini 
diawali dengan hepatitis virus akut atau terjadi saat pasien mengalami 
hepatitis aktif kronik jangka panjang.1
Gejala klinis antara lain:1, 2
1. Kelelahan (merupakan gejala yang umum terjadi pada hepatitis 
kronis)
2. Ikterik (merupakan gejala pada lebih dari 50% kasus)
3. Lemah
4. Anoreksia
5. Rasa tidak nyaman di abdomen regio kanan atas
6. Amenore sekunder atau menarche terlambat
7. Jerawat
8. Arthalgia
9. Kadang disertai dengan dekompensasi hepatik seperti asites dan 
perdarahan varises
I.1.4. Pemeriksaan Fisik
Umumnya pada pemeriksaan fisik ditemukan hepatomegali dan 
ikterik. Lien mungkin teraba pada 50% kasus dan kemungkinan 
ditemukan spider nervi namun bukanlah indikasi terjadinya sirosis. 
Gambaran dekompensasi hati mungkin ditemukan namun bukanlah 
gejala yang umum terjadi. Pada pasien dengan eksaserbasi akut (burned

out) dapat ditemukan gejala tersebut yaitu asites (20%), encephalopati 
hepatik (14%), atau perdarahan varises (8%).2
I.1.5. Pemeriksaan Laboratorium
1. Perubahan aktivitas enzim hepar yaitu peningkatan aktivitas 
aminotransferase dalam serum (pada beberapa kasus peningkatan 
dapat melebihi 1000 IU/L)
2. Peningkatan kadar bilirubin direk.2 Pada beberapa pasien bilirubin 
serum normal. Namun pada keadaan yang lebih berat mencapai 
51-171 mg/dL1
3. Peningkatan ALP serum minimal hingga moderat.1
4. Hipergammaglobulinemia (lebih dari 2,5 g/dL
5. Koagulopati
6. Hipoalbuminemia.
7. Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi menggambarkan 
hipersplenisme (leukopenia dan atau trombositopenia dan atau 
rendahnya hemoglobin). Keadaan ini biasanya mencerminkan 
telah terjadinya sirosis.2
8. Anti nuclear antibody positif
9. Smooth muscle antibodies (tidak spesifik)
Pada autoimun hepatitis tipe I dapat dijumpai gambaran laboratorium 
sebagai berikut:
1. Hiperglobulinemia
2. Gambaran lupoid
3. ANA positif
Autoimun hepatitis tipe II dapat dijumpai gambaran laboratorium 
berikut:1
 Anti LKM -1 (liver kidney microsom) (pada hepatitis C kronik 
anti LKM)
Autoimun hepatitis tipe IIb
 Kadar globulin serum normal
 Titer anti LKM-1 rendah
 Respon terhadap terapi interferon
Autoimun hepatitis tipe III:
 ANA negatif
 Anti LKM-1 negatif
 Antibodi terhadap antigen hati terlarut yang terdapat pada 
sitokeratin sitoplasmik hepatosit 8 dan 18

Karsinoma hepatoseluler merupakan keganasan kelima yang 
sering terjadi dan ketiga keganasan penyebab kematian di dunia.Jumlah 
kasus baru pertahun kurang lebih 560.000. International Agency for
Research on Cancer mengestimasikan insiden karsinoma hepatoseluler 
pada tahun 2000 mencapai 14,97/100.000 (laki-laki) dan 5,51/100.000 
(wanita), sedangkan angka kematian per-tahun hamper sama dengan 
insiden karena rendahnya angka kesembuhannya yaitu sekitar 
14,41/100.000 (laki-laki) dan 5,46/100.000 (wanita).
IV.2. ETIOLOGI
Etiologi karsinoma hepatoseluler antara lain adalah:
 Infeksi virus hepatitis B kronis
 Infeksi virus Hepatitis C kronis
 Paparan aflatoksin dalam makanan 
 Sirosis akibat alkoholik kronis dan penyakit hati kronis lainnya
 Genetik 
IV.2.1. Infeksi Hepatitis B Kronis
Infeksi HBV merupakan faktor risiko terjadinya karsinoma 
hepatoseluler yang akan meningkat pada pasien dengan sirosis.3 Lebih 
dari 80% pasien dengan KHS disebabkan oleh HBV.4 Sekitar 0,1%-2% 
pasien dengan infeksi kronis hepatitis B per-tahun akan menjadi sirosis 
tergantung dengan lamanya replikasi HBV, beratnya penyakit, dan ada 
tidaknya infeksi lain atau penggunaan alkohol
Pada pasien dengan sirosis tersebut sekitar 2%-10%nya akan 
berisiko untuk berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler
sedangkan menurut WHO sekitar 5 pasien dengan sirosis akan 
berkembang menjadi KHS dan 60%-90% pasien KHS didahului dengan 
sirosis.4 Faktor pejamu dan virus ikut mempengaruhi perkembangannya 
hepatitis B kronis menjadi KHS. Beberapa strain HBV tertentu ada yang 
predominate menjadi KHS.
Pasien dengan infeksi HBV dan karsinoma hepatoseluler, DNA 
HBV diintegrasikan dalam DNA genom pejamu baik dalam sel-sel tumor 
maupun sel-sel yang berdekatan (tidak termasuk hepatosit). Selain itu, 
modifikasi ekspresi gen seluler terjadi melalui mutagenesis insertional, 
pengaturan ulang kromosomal, atau aktivitas transaktivasi 
transkriptional dari regio X dan pre-S2 genom HBV.2 KHS merupakan 
hasil dari inflamasi kronis hepatitis B dan regenerasi seluler berulang 
dari hepatosit dan biasanya terjadi setelah 25 sampai 30 tahun infeksi.3
Pemeriksaan laboratorium α-fetoprotein (AFP) serial pada carrier 
HbsAg akan meningkat secara signifikan melebihi baseline pasien 
(peningkatan lebih dari 100 µg/mL). Kadar AFP dan USG abdomen 
merupakan pemeriksaan yang direkomendasikan terhadap carrier 
HbsAg dengan sirosis untuk mengetahui adanya KHS.4
Bila KHS telah bermanifestasi klinis, maka medial survival 
frequencynya < 3 bulan. Namun bila dapat dideteksi lebih awal maka 
85% kesempatan untuk disembuhkan melalui pembedahan, iradiasi, dan 
obat anti kanker.4 Untuk menurunkan prevalensi infeksi HBV kronis dan 
insidensi KHS, maka vaksinasi pada bayi dan individu berisiko 
merupakan cara yang efektif.
IV.2.2. Infeksi Hepatitis C Kronis
HCV kronis dapat menyebabkan KHS. Materi genetik HCV tidak 
berintegrasi ke dalam DNA genom host sehingga mekanisme terjadinya 
karsinoma pada HCV masih belum jelas. Infeksi HBV dan HCV dapat 
terjadi bersamaan pada pasien dengan KHS namun gambaran klinis 
antara infeksi tunggal maupun bersama tidak berbeda.2 Genotip dan 
viral load HCV mempengaruhi perkembangan penyakit dan respon 
terhadap terapi. Genotip 1b yang banyak ditemukan di negara barat 
berhubungan dengan penyakit hati yang berat dan respon terapi sangat 
rendah. Bila terjadi hepatitis persisten dengan tingginya kadar 
aminotransferase pertahun merupakan prediktor signifikan

perkembangan infeksi HCV menjadi KHS. Pasien dengan hepatitis aktif 
disertai koinfeksi HBV atau HIV dan penyebab lain penyakit hati kronis 
seperti alkohol lebih sering menimbulkan komplikasi penyakit hati 
kronis dan berkembang menjadi KHS.
Pasien dengan HCV positif dengan antibodi anti HbcAg positif 
memiliki prevalensi tertinggi terjadinya sirosis, rendahnya kadar RNA 
HCV, dan gangguan kemampuan respon terhadap terapi interferon. 
Sedangkan pasien HCV kronis dengan koinfeksi HIV lebih cepat 
progresifitasnya dan dapat berakhir menjadi sirosis, stadium terminal 
penyakit hati, dan KHS. KHS karena infeksi kronis HCV merupakan 
penyebab penting morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan 
koinfeksi.
IV.2.3. Paparan Aflatoksin pada Makanan
Paparan jamur aflatoksin dalam makanan merupakan faktor 
risiko penting KHS.1 Mikotoksin ini menginduksi mutasi spesifik pada 
kodon 249 (khususnya transversi G menjadi T)pada gen p53 yang 
merupakan gen supresor tumor.1, 2 Hilangnya, inaktivasi, atau mutasi 
dari gen p53 menyebabkan terjadinya tumorgenesis dan berperan 
dalam pengaturan genetik dari kanker pada manusia.2
Aflatoksin merupakan derivat dari aspergillus flavustoxin yang 
dihasilkan oleh 2 buah spesies jamur yaitu Aspergillus 
flavusdanAspergillus parasiticus. A. Flavus terdapat tersebar luas di alam 
(tanah, pembusukan tanaman, makanan, dan partikel-partikel) terutama 
di tempat yang tinggi kelembaban udara dan temperaturnya. Tipe yang 
paling toksik adalah aflatoksin B1. Aflatoksin dimetabolisme di hati oleh 
sitokrom p450 dan sistem enzim glutathione S-transferase. Aflatoksin 
B1 merupakan prokarsinogen yang akan diubah dalam hati menjadi 
metabolit yang mutagenik aflatoksin B1-8,9-eksoepokside oleh sitokrom 
p450 mikrosomal hati. Glutathione S-transferase dan enzim fase II lain 
selanjutnya melakukan detoksifikasi metabolit reaktif DNA ini. Gen 
Glutathione S-transferase M1 (GSTM1) memperlihatkan polimorfisme 
genetik. Individu yang tinggal di daerah dengan kandungan aflatoksin 
makanan tinggi dan memiliki genotipe GSTM1 null memiliki risiko 
terkena KHS lebih tinggi. Bila individu terpapar aflatoksin disertai 
dengan infeksi kronis HBV dan HCV lebih tinggi risikonya terkena KHS.

IV.2.4. Sirosis Alkohol dan Penyebab Penyakit Hati Kronik Lain
Sirosis meningkatkan risiko KHS. Risiko KHS pada hepatitis 
kronik dan kerusakan hepatoseluler berkelanjutan lebih tinggi. Namun 
autoimun hepatitis yang menyebabkan sirosis memiliki risiko KHS lebih 
rendah.
IV.2.5. Genetik
Adanya riwayat keluarga yang menderita KHS di suatu daerah 
dengan insiden KHS tinggi merupakan faktor risiko signifikan terjadinya 
KHS, namun dasar biologis fenomena ini belum jelas. Penelitian 
epidemiologi menunjukkan bahwa adanya alel resesif berperan untuk 
risiko terjadinya KHS atau predisposisi familial untuk pemanjangan fase 
replikasi HBV. Polimorfisme genetik dari sitokrom p450, glutathione S￾transferase M1 (GSTM1), dan N-acethyltransferase (NAT2) seperti juga 
polimorfisme p53 berperan pada risiko familial KHS.
IV.3. PATOGENESIS
Aktivasi onkogen dan inaktivasi supresor tumor berperan dalam 
karsinogenesis. Aktivasi onkogen terjadi melalui aktivasi transkripsional, 
amplifikasi gen, atau adanya aktivasi mutasi-mutasi gen yang termasuk 
dalam kendali pertumbuhan seluler. Inaktivasi supresor tumor terjadi 
melalui delesi genom, translokasi, atau mutasi atau melalui modifikasi 
epigenetik seperti metilasi promoter. Sel somatik manusia memiliki 
masa hidup tertentu secara in vivo dan menjadi tua setelah beberapa 
kali pembelahan sel. Penuaan seluler dipicu oleh aktivasi 2 mekanisme 
interdependen yaitu:
1. Mekanisme yang menyebabkan induksi terjadinya fase istirahat 
siklus sel melalui aktivasi 2 supresor tumor yaitu p53 dan pRb
2. Mekanisme yang diaktifkan oleh pemendekan dan akhir 
kromosom oleh proses pemendekan telomer setiap pembelahan 
sel
Bila kedua mekanisme pengatur pertumbuhan sel ini diinaktifkan maka 
akan menyebabkan pembelahan sel tidak dikontrol dan berkembang 
menjadi kanker.1
Paparan zat karsinogen dapat menyebabkan aktivasi gen kanker 
(oncogene) dan inaktivasi supresor tumor.Berdasarkan penelitian yang 
ada, terjadinya KHS pada sirosis diduga karena terbentuknya lesi-lesi
preneoplastik berupa nodul-nodul makroregeneratif dengan displasia 
hepatosit di beberapa tempat. Displasia dari small cell dan hiperplasia 
adenomatosa merupakan lesi preneoplastik yang predominan. Namun 
mekanisme terjadinya KHS masih belum jelas.1 Mekanisme terjadinya 
KHS pada hepatitis virus kronik dapat dilihat pada Gambar IV.1. Faktor￾faktor yang mempengaruhi KHS antara lain:
1. Gen supresor tumor seperti p53, retinoblastoma (Rb), p16, 
axin1,smad2, smad4,M6P/IGF2R, BRCA2, dan DLC-1
2. Onkogen seperti c-fos, c-myc, c-erB-2, c-met, ß-catenin, dan 
gankyrin
3. Faktor pertumbuhan dan jalur sinyal faktor pertumbuhan seperti 
Insulin, Insulin-like growth factors (IGFs) I dan II yang 
meningkatkan pertumbuhan hepatosit, IRS-1 yang mengaktifkan 
mitogen-activated protein kinase cascade dan proliferasi sel 
melalui up-regulation dan gen-gen pertumbuhan seluler serta 
menginhibisi apoptosis, dan TGF-α yang kemungkinan berperan 
dalam proliferasi seluler dari sel kanker
4. Panjang telomere dan aktivitas telomerase, sel-sel neoplastik 
mengekspresikan telomerase.
5. Instabilitas mikrosatelit yaitu perubahan lengan panjang karena 
insersi atau delesi unit ulangan dalam mikrosatelit DNA yang 
terdapat pada DNA genomik tumor dibandingkan jaringan normal
6. Bagian yang rapuh dari kromosom yaitu tempat genetik spesifik 
yang rentan terhadap terjadinya celah, pemecahan, dan 
pengaturan ulang (rearrangement) pada kromosom metafase sel 
yang dikultur pada keadaan tertentu yang menghambat replikasi 
DNA.
7. Angiogenesis

GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis hepatoma tergantung pada beratnya penyakit 
yang mendasarinya. Gejala yang sering adalah nyeri abdomen disertai 
massa di abdomen di kuadran kanan atas. Bising (friction rub atau bruit) 
dapat didengar diatas hati. Sekitar 20% penderita mengalami asites. 
Jarang ditemukan ikterik kecuali bila terdapat deteorasi fungsi hati atau 
obstruksi mekanik duktus biliaris. Beberpa pasien mengalami sindroma 
paraneoplastik . Pada anak-anak dengan hepatoblastoma dapat 
ditemukan isoseksual prekoksiti, sedangkan pada dewasa dapat terjadi 
feminisasi dan ginekomastia namun sindroma ini biasanya terjadi pada 
sirosis tanpa KHS sehingga sulit untuk membuktikan keterlibatan KHS. 
Gejala lain adalah manifestasi kulit seperti dermatomyositis, pemfigus
foliacerus, dan tanda Leser-Trelat (onset dadakan dermatitis seboroik 
dan jerawat (freckles, dengan peningkatan cepat dari jumlah lesi yang 
menimbulkan pruritus.
GAMBARAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium dapat dijumpai :
1. Peningkatan aktivitas enzim ALP dankadar α-fetoprotein dalam 
serum
2. Abnormalitas tipe protrombin yang dihasilkan dari peningkatan 
AFP
3. Eritrositosis akibat aktivitas eritropoeitin yang dihasilkan sel tumor
4. Hiperkalsemia akibat sekresi parathyroid-like hormone
5. Hiperkolesterolemia, hipoglikemia, polymyositis, acquired 
porphyria, disfibrigonemia, cryofibrigonemia, dan peptida vasoaktif 
yang berhubungan dengan diare.
6. Gambaran laboratorium sindroma paraneoplastik adalah 
hiperkalsemi, eritrositosis, hipoglikemia (dimediasi oleh IGF), 
tromboplebitis migrans, hipertensi arterial, hipokalemi dan 
akhloridria dari sindroma diare cair.

Tukak duodenum merupakan bagian dari tukak peptik.Tukak 
peptik secara anatomis didefinisikan sebagai suatu defek pada lapisan 
mukosa atau submukosa yang berbatas tegas dan dapat menembus 
muskularis mukosa hingga lapisan serosa sehingga dapat terjadi 
perforasi.1
Tukak duodenum terjadi di bagian pertama dari duodenum dan 
90% terdapat di 3 cm dari pilorus. Diameternya kurang dari 1 cm 
bahkan terkadang mencapai 3-6 cm (giant ulcer). Dasar ulkus 
mengandung zona nekrosis eosinofilik yang dikelilingi oleh jaringan ikat 
fibrous.2
Patogenesis terjadinya tukak peptikum adalah ketidakseimbangan 
antara faktor agresif yang merusak mukosa dengan faktor defensif yang 
memelihara keutuhan mukosa lambung dan duodenum
V.2. ETIOLOGI
Faktor Agresif yang berperan dalam terjadinya tukak duodenum antara 
lain :
1. Infeksi Helicobacter pylori
2. Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS)
3. Beberapa faktor lingkungn seperti merokok (dapat meningkatkan 
kerentanan terhadap infeksi H.pylori dan menurunkan faktor 
pertahanan serta menciptakan lingkungan yang sesuai untuk 
H.pylori), stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi 
vitamin, penyakit Zollinger Ellison Syndrome, Chron Disease, dan 
faktor genetik.
Selain faktor agresif, penurunan faktor defensif yang memelihara daya 
tahan mukosa gastroduodenal dapat menyebabkan penurunan daya 
tahan mukosa sehingga mampu dirusak oleh faktor agresif.1
V.3. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Faktor mayor yang berperan dalam terjadinya tukak duodenum 
adalah infeksi H.pylori dan OAINS. Asam lambung juga berperan dalam 
kerusakan mukosa tetapi bukanlah yang utama.2
V.3.1. Patogenesis Infeksi H.pylori
Akibat infeksi H.pylori ditentukan oleh interaksi antara faktor 
bakterial dan faktor pejamu.
Faktor Bakterial
1. H.pylori mampu memfasilitasi gastric residence, menginduksi 
kerusakan mukosa, dan menghambat pertahanan pejamu (host 
defense)
2. Regio spesifik dari genom bakteri mengkode faktor virulensi 
seperti Cag A dan pic B
3. Faktor virulensi ini bersama dengan bagian lain dari bakteri dapat 
menyebabkan kerusakan mukosa
4. Urease yang terdapat dalam bakteri akan menghasilkan NH3 yang 
dapat menyebabkan kerusakan sel epitel
5. Bakteri menghasilkan faktor permukaan yang bersifat kemotaktik 
terhadap neutrofil dan monosit sehingga berperan dalam 
kerusakan sel epitel Enzim protease dan fosfolipase yang 
dihasilkan oleh H.pylori akan memecah kompleks lipid
glikoprotein dari gel mukosa sehingga menurunan efektivitas 
pertahanan pertama mukosa (first line of mucosal defense).2
Faktor Pertahanan Pejamu
 Respon inflamasi terhadap infeksi H.pylori menyebabkan penarikan 
neutrofil, limfosit (T dan B), makrofag, dan sel plasma. Respon 
inflamasi dapat menyebabkan kerusakan mukosa.2
Mekanisme terjadinya ulkus duodenum akibat infeksi H.pylori 
kemungkinan karena terjadi metaplasia gastrik dalam duodenum 
sehingga akan mengikat kuman ini dan menyebabkan kerusakan lokal 
sebagai akibat sekunder respon pejamu.
Hipotesis lain adalah infeksi H.pylori pada antral menyebabkan 
peningkatan produksi asam lambung sehingga meningkatkan keasaman 
duodenum dan terjadi kerusakan mukosa.
Pelepasan gastrin basal dan terstimulasi akan meningkat pada 
infeksi kuman H.pylori dan sekresi somatostatin oleh sel D menurun 
sehingga menginduksi peningkatan sekresi asam dan sitokin 
proinflamasi (IL-8, TNF, dan IL-1) oleh sel parietal G dan D.
Patogenesis OAINS
Obat antiinflamasi nonsteroid dapat menghambat enzim 
siklooksigenase (COX) sehingga menghambat pembentukan 
prostaglandin dan prostasiklin. Prostaglandin dan prostasiklin berperan 
dalam memelihara integritas mukosa gastroduodenal dan perbaikan 
kerusakan mukosa. Gangguan terhadap pertahanan mukosa akan 
menyebabkan kerusakan mukosa.

V.6. GEJALA KLINIS
Gejala klinis tukak duodenum antara lain nyeri abdomen di 
epigastrium, panas seperti terbakar, tidak dijalarkan, terjadi 2-3 jam 
sesudah makan atau malam hari, dan nyeri hilang bila makan atau 
diberikan antasida. Biasanya nyeri dapat menyebabkan penderita 
terbangun dari tidur (jam 00.00-03.00).
V.7. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium meliputi:3
1. Pemeriksaan Basal Acid Output dan Maximal Acid Output
2. Pemeriksaan Kadar Gastrin Serum
3. Deteksi H.pylori

a. Basal Acid Output (BAO)
BAO merupakan penentuan jumlah total asam yang disekresi 
lambung pada keadaan basal tanpa rangsangan (stimulasi) selama 
jangka waktu tertentu (biasanya 1 jam). Subyek yang akan diperiksa 
harus dalam keadaan puasa dan bebas dari rangsangan makanan/obat 
yang dapat mempengaruhi lambung. Mula-mula dilakukan aspirasi 
sebanyak 2 kali tiap 15 menit, hasil aspirasi ini dibuang.Setelah itu, 
dilakukan aspirasi kembali sebanyak 4 kali tiap 15 menit.Bahan aspirasi 
ini masing-masing diukur volume dan pH-nya.Nilai BAO adalah volume 
tiap spesimen (dalam liter) dikali keasaman (dalam mEq/l). Nilai BAO 
keempat spesimen dijumlahkan untuk mendapatkan nilai total BAO 
dalam 1 jam (mEg/jam). 
Interpretasi:
Nilai BAO >5mEq : didapatkan pada penderita tukak duodenum.
b. Maximal Acid Output (MAO)
Merupakan jumlah total sekresi asam lambung dalam waktu 
tertentu (misalnya 1 jam) setelah pemberian rangsangan. Stimulan yang 
dipakai adalah histamin, betazol (histalog), atau pentagastrin.Seperti 
pada penentuan BAO, terlebih dahulu dilakukan aspirasi sebanyak 2 kali 
tiap 15 menit.Kemudian disuntikkan bahan stimulan secara 
subkutan.Setelah itu, dilakukan aspirasi sebanyak 4 kali tiap 15 menit, 
kemudian diukur volume dan keasamannya.

Interpretasi:
1. Nilai 1-20 mEq : terdapat pada orang normal, ulkus peptikum, dan 
karsinoma lambung.
2. Nilai 20-35 mEq : terdapat pada tukak duodenum.
3. Nilai 35-60 mEq : terdapat pada tukak duodenum, high 
normal secretor, dan sindrom Zollinger-Ellison.
4. Nilai > 60 mEq :terdapat pada sindrom Zollinger-Ellison.
5. 0 mEq : terdapat pada true achlorhydria, gastritis, atau karsinoma 
lambung. Pada keadaan achlorhidrya didapatkan anemia 
pernisiosa.
Pemeriksaan Deteksi H.pylori
Deteksi H.pylori dapat dilakukan dengan pemeriksaan rapid urease test
dan urea breath test
Rapid urease test 
Rapid Urease Test Pengujian Urease Cepat dilakukan berdasarkan 
dari fakta bahwa H. pylori adalah organisme yang menghasilkan 
urease.Sampel yang diperoleh dari endoskopi ditempatkan di dalam 
medium yang mengandung urea. Jika urease ada, urea akan diuraikan
menjadi karbon dioksida dan ammonia, akibatnya terjadi peningkatan 
pH medium dan selanjutnya terjadi perubahan warna pada medium.
Urea Breath test
Urea Breath Test Test Napas Urea mengandalkan aktivitas 
urease H. pylori untuk mendeteksi keberadaan infeksi aktif. Dalam test 
ini, pasien yang diduga mengidap infeksi diberi urea berlabel- 14 C atau 
urea berlabel- 13 C. Urea berlabel- 14 C atau 13 C memiliki kelebihan 
bersifat nonradioaktif dan karenanya lebih aman untuk anak-anak dan 
wanita setelah melahirkan. Jika ada urease, akan menguraikan urea 
menjadi ammonia dan karbon dioksida, karbon dioksida diserap dan 
akhirnya terekspirasikan di dalam napas, di mana senyawa ini akan 
terdeteksi. Urea Breath Test memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih 
dari 90 .
Prosedur pemeriksaan dilakukan dengan cara meniupkan udara 
pernafasan kedalam kantong udara yang tersedia yang kemudian 
dihubungkan ke alat IRIS untuk mengetahui ada tidaknya H. 
pylori.Prosedurnya sederhana dan hasilnya cepat dengan waktu ± 30
menit.Non invasif karena tidak ada alat yang dimasukkan kedalam tubuh 
dan tanpa efek samping karena hanya menggunakan udara pernafasan.

Diare didefinisikan sebagai peningkatan frekuensi defekasi 
disertai bentuk tinja yang cair.Untuk dewasa (di negara Barat), jumlah 
tinja > 200 g/hari sudah disebut diare. Diare dibedakan berdasarkan 
waktu terjadinya sakit menjadi 3 yaitu:
1. Diare akut ( < 2 minggu)
2. Menetap (persisten) (2-4 minggu)
3. Kronik ( > 4 minggu)
Diare harus dibedakan dari pseudodiare dan inkontinensia 
fekal.Pseudodiare adalah meningkatknya frekuensi defekasi namun 
volume tinja yang keluar sedikit, sedangkan inkontinensia fekal adalah 
keluarnya kotoran dari rectum secara involunter akibat gangguan 
neuromuskuler atau anorektal struktural.
VI.2. Patogenesis Diare
VI.2.1. Fungsi Motor Abnormal
Peningkatan motilitas traktus gastrointestinal berperan dalam 
terjadinya diare. Selain perubahan motilitas, juga disertai perubahan 
cairan intestinal dan elektrolit.
VI.2.2. Perubahan Transpor Cairan dan Elektrolit
Pada diare terjadi penurunan absorbsi. Tiap 24 jam ke dalam 
duodenum masuk 8-10 cairan yang mengandung 800 mmol sodium, 700 
mmol chlorida, dan 100 mmol kalium. 2 liter dari cairan tersebut berasal 
dari makanan sisanya berasal dari sekresi kelenjar saliva, lambung, 
pankreas, dan duodenum.
Usus halus secara normal mengabsorbsi hampir seluruh cairan 
tersebut sedangkan 1,5 liter sisanya masuk kolon. Kolon akan 
mengabsorbsi cairan tersebut dan tersisa 100 ml yang mengandung 
sekitar 3 mmol Na, 8 mmol K, 2 mmol Cl. Kapasitas normal absorbsi 
kolon orang dewasa adlah 4-5 L/24 jam. Diare menyebabkan terjadinya 
penurunan absorbsi cairan di usus halus maupun kolon. Jika terjadi 
gangguan mekanisme transpor epitel atau terdapat zat terlarut yang 
tidak dapat diabsorbsi dalam lumen usus halus maka kapasitas absorbsi 
usus halus menurun 50%. Penurunan ini menyebabkan kelebihan cairan 
di kolon sehingga ekskresi cairan melalui tinja mencapai 1000 mL. Bila 
gangguan absorbsi terjadi di kolon maka volume tinja hanya sekitar > 
200 mL/24 jam.
VI.2.3. Peningkatan Sekresi
Pada diare juga terjadi meningkatan sekresi intestinal. Salah 
satu penyebab peningkatan sekresi adalah mediator inflamasi yang 
dilepaskan dari sel sistem imun maupun dari sel mesenkim. Mediator ini 
memicu kerja enterosit dan mengaktifkan sistem saraf enterik sehingga 
terjadi peningkatan sekresi intestinal.
VI.2.4. Patogenesis Diare Osmotik
Bila dalam lumen usus terdapat beberapa zat yang tidak dapat 
diabsorbsi maka akan meningkatkan tekanan osmotik sehingga terjadi 
sekresi cairan ke dalam lumen usus.
VI.2.5. Patogenesis Diare Sekretorik
Beberapa zat terlarut seperti sodium, kalium, chlorida, dan 
bikarbonat tidak mampu diabsorbsi dan bahkan disekresi aktif. Kedua 
hal tersebut menentukan banyaknya cairan yang masuk dan keluar 
kolon. 
Penyebab diare sekretorik dapat eksogen maupun endogen. 
Endogen misalnya asam empedu dan asam lemak rantai panjang 
sedangkan eksogen contohnya adalah asam lemak rantai panjang 
eksogen.
VI.2.6. Patogenesis Diare Inflamasi
Beberapa diare ditandai dengan kerusakan dan kematian 
enterosit dengan minimal hingga inflamasi berat. Perlekatan dan invasi 
mikroorganisme penyebab diare infeksi merupakan penyebab 
terjadinya diare. Setelah kolonisasi, perlekatan, atau invasi epitelial 
mikroorganisme atau inflamasi awal dari Inflammatory Bowel Disease
maka akan dilepaskan berbagai sitokin seperti interleukin-1 (IL-1), TNF-
α, dan kemokin seperti IL-8 dari epitel maupun subepitel miofibroblas. 
IL-8 merupakan molekul kemotaktik poten yang akan mengaktifkan 
fagosit dan menarik fagosit ke dalam lamina propria. Bila substansi 
kemotaktik dilepaskan oleh epitel (IL-8) atau mikroorganisme lumenal 
(peptida kemotaktik) terdapat dalam konsentrasi yang cukup dalam 
lumen usus, maka netrofil akan menuju epitel dan membentuk abses 
kript. Pelepasam mediator seperti prostaglandin, leukotriens, platelet￾activating factor, dan hidrogen peroksida dari fagosit akan menginduksi 
sekresi intestinal dengan mengaktifkan kerja enterosit dan 
mengaktifkan saraf enterik.

VI.3. PEMERIKSAAN LABORATORIUM DIARE
Pemeriksaan laboratorium diare bertujuan untuk :
1. Mengetahui penyebab diare
2. Mengetahui status hidrasi dan keseimbangan cairan dan 
elektrolit penderita
3. Memantau terapi
4. Mengetahui komplikasi dan prognosis
VI.3.1. Pemeriksaan Tinja Diagnosis
Pemeriksaan tinja meliputi:
1. Pemeriksaan makroskopis tinja meliputi bentuk, warna, bau, 
konsistensi, mukus, darah, pus, sisa makanan, dan parasit
2. Pemeriksaan mikroskopis meliputi sisa makanan (karbohidrat, 
protein, lemak, dan sayuran), eritrosit, lekosit, amuba, dan telur 
cacing
3. Pemeriksaan darah samar
4. Pemeriksaan Mikrobiologi meliputi pewarnaan Gram, biakan, 
dan identifikasi dan sensitivitas
5. Pemeriksaan enteropati hilang protein
6. Pemeriksaan Serologi
VI.3.2. Pemeriksaan Darah Diagnosis
1. Pemeriksaan Darah Rutin
2. Tes Fungsi hati, fungsi pankreas (amilase dan lipase)
3. Serologi (serologi Widal)
4. Biakan dan resistensi 
VI.3.3. Pemeriksaan Untuk melihat komplikasi
1. Pemeriksaan elektrolit darah
2. Pemeriksaan ureum dan kreatinin serum
3. Pemeriksaan analisa gas darah
VI.4. PROSEDUR PEMERIKSAAN LABORATORIUM
VI.4.1. Pemeriksaan Tinja Rutin Makroskopis
Pemeriksaan makroskopis meliputi pemeriksaan bentuk, warna, 
bau, konsistensi, mukus, darah, dan pus. Normalnya bentuk feses adalah 
bulat panjang, warnanya kecoklatan atau coklat muda, berbau indol, 
skatol, atau asam butirat, konsistensi lunak, tidak terdapat mukus, 
darah, dan pus. Pada keadaan inflamasi dinding intestinal dapat 
dijumpai mukus dan darah. Bila terdapat ulserasi intestinal maka selain 
darah, mukus, juga dijumpai pus.
VI.4.2. Pemeriksaan Mikroskopis
Alat dan bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah:
1. Kaca obyek
2. NaCl fisiologis
3. Mikroskop
4. Eosin

 Cara pemeriksaan:
1. Membuat suspensi feses dengan mencampurkan feses dan NaCl 
fisiologis
2. Meneteskan setetes suspensi di atas kaca obyek
3. Meneteskan eosin di atas tetesan suspensi dan dicampur rata
4. Memeriksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 40X obyektif
5. Melihat ada tidaknya lekosit, eritrosit, atau amuba
Interpretasi:
Feses normal tidak ditemukan lekosit, eritrosit, maupun amuba
VI.4.3. Pemeriksaan Sisa Makanan
Pemeriksaan Karbohidrat
1. Reagen adalah lugol
2. Feses dibuat suspensi atau langsung
3. diteteskan satu tetes suspensi/feses dan ditambahkan satu tetes 
lugol 
4. Ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dibawah mikroskop
Interpretasi : Karbohidrat akan berwarna biru ungu
Pemeriksaan Lemak
1. Reagen adalah Sudan III
2. Feses dibuat suspensi atau langsung
3. diteteskan satu tetes suspensi/feses dan ditambahkan satu tetes 
Sudan III
4. Ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dibawah mikroskop
Interpretasi: Lemak berwarna orange bulat
Pemeriksaan Protein
1. Reagen adalah Asam asetat 30%
2. Feses dibuat suspensi atau langsung
3. diteteskan satu tetes suspensi/feses dan ditambahkan satu tetes 
asam asetat 30%
4. Ditutup dengan kaca penutup dan dilihat dibawah mikroskop
Interpretasi: Protein 
VI.4.4. Pemeriksaan Darah Samar (Hemoocult)
Antibodi poliklonal selektif terhadap hemoglobin manusia dengan 
sensitifitas dan spesifitas yang tinggi terdapat pada strip. Antibodi ini 
akan direaksikan dengan ekstrak colloidal gold mixture yaitu kompleks

antigen antibodi (hemoglobin manusia dalam tinja dengan antibodi 
konjugate monoklonal).
Cara Kerja
1. Tinja dibuat suspensi dengan menambahkan NaCl fisiologis
2. Diambil strip dari Hemocult kemudian dimasukkan dalam suspensi 
tinja dan dibiarkan 10 menit
3. Kemudian dilakukan pembacaan hasil
Interpretasi hasil pemeriksaan:
 Positif bila terdapat 2 warna merah muda pada strip yaitu di 
zona kontrol dan dekat sampel
 Negatif bila hanya terdapat 1 warna merah jambu pada strip 
yaitu pada zona kontrol
Empedu dibentuk oleh lobus hepatic dan disekresi ke dalam 
saluran empedu yang terdiri dari saluran-saluran empedu besar dan 
kecil yang bersama dengan saluran limfa serta cabang dari vena porta 
dan arteri hepatic terdapat dalam region porta diantara lobus-lobus 
hati. Saluran empedu interlobular akan bergabung membentuk duktus 
hepatikus kanan dan kiri dan selanjutnya keduanya bergabung 
membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus komunis akan 
bergabung dengan duktus sistikus dari kandung empedu membentuk 
duktus biliaris komunis selanjutnya akan masuk duodenum melalui 
ampula Vater setelah sebelumnya bergabung dengan duktus 
pankreatikus.1
Cairan empedu dihasilkan oleh hepatosit dan kandung empedu. 
Produksi cairan empedu hepatik perhari sekitar (Total daily basal 
secretion) 500-600 mL1
. Asam empedu disintesis hanya di 
hepatosit.Sekitar 250-500 mg asam empedu dihasilkan oleh hati dan 
hilang melalui feses. Sintesis asam empedu diatur oleh mekanisme 
umpan balik negatif.2
Empedu hati merupakan cairan isotonic yang komposisi 
elektrolitnya mewakili komposisi elektrolit plasma. Sedangkan 
komposisi elektrolit empedu dari kandung empedu berbeda dengan 
empedu hati karena sebagian besar adalah anion anorganik, klorida, dan 
bikarbonat akan dikeluarkan dengan reabsorbsi melalui epitel kandung 
empedu. Komponen mayor empedu berdasarkan beratnya terdiri dari 
air (82%), asam-asam empedu (12%), lesitin, dan fosfolipid lain(4%), 
serta kolesterol tidak teresterifikasi (0,7%). Kandungan lainnya adalah

bilirubin conjugated, protein (IgA, metabolit hormone, dan protein￾protein yang dimetabolisme oleh hati), elektrolit, mucus, dan obat serta 
metabolit lainnya. Sebagian besar substansi yang diambil dan disintesis 
oleh hepatosit akan disekresi dalam saluran empedu. Membran 
kanalikuler membentuk mikrovili dan berhubungan dengan 
mikrofilamen aktin, mikrotubulus, dan element kontraktil lainnya. 
Sebelum disekresi dalam saluran, substansi tersebut akan dikonjugasi 
dalam hepatosit, sedangkan fosfolipid, sebagian asam-asam empedu 
primer, dan beberapa kolesterol disintesis de novo dalam hepatosit. 
Mekanisme yang mengatur aliran empedu adalah:1
1. Transport aktif asam empedu dari hepatosit ke dalam saluran 
empedu
2. Transport aktif anion-anion organic lain
3. Sekresi kolangioseluler. Sekresi ini dimediase sekretin dan 
mekanisme yang membutuhkan cAMP dan menghasilkan sekresi 
sodium dan cairan kaya bikarbonat dalam saluran empedu
Asam empedu primer terdiri dari asam kolat dan asam 
kenodeoksikolat. Keduanya disintesis dari kolesterol dalam hati, 
dikonjugasi dengan glisin atau taurin, dan diekskresi dalam empedu.1
Sintesisnya diatur oleh jumlah asam empedu yang kembali ke dalam 
hati melalui sirkulasi enterohepatik. Bakteri akan menyebabkan asam 
empedu primer menjadi 7α-dehidroksilasi dan menghasilkan asam 
empedu sekunder yaitu asam deoksikolat dan asam litokolat (jumlah 
sangat sedikit) di kolon. Asam litokolat sedikit diabsorbsi di kolon 
dibandingkan asam deoksikolat. Asam empedu sekunder ini bila 
mengalami epimerisasi di hati akan menjadi asam empedu tertier yaitu 
asam ursodeoksikolat.1, 2 Konjugasi asam empedu akan mencegah 
absorbsi dalam cabang saluran empedu dan usus halus tetapi 
menyebabkan absorbsinya di ileum terminal. Sulfasi dan glukuronidasi 
(sebagai mekanisme detokifikasi) meningkat pada sirosis dan kolestasis 
bila konjugat tersebut berlebihan kadarnya dalam urin dan juga 
empedu. Bakteri dapat menghidrolisis garam-garam empedu menjadi 
asam empedu dan glisin atau taurin.2
Asam-asam empedu merupakan deterjen yang pada larutan cair 
dan pada konsentrasi 2mM membentuk agregat molekuler yang disebut 
misel. Kolesterol susah laru dalam air dan kelarutannya dalam empedu 
tergantung pada konsentrasi lipid total dan persentase molar relative 
dari asam-asam empedu dan lesitin. Ratio normal dari kandungan
empedu akan menyebabkan terbentuknya misel campuran yang mudah 
larut sedangkan ratio abnormal menyebabkan terjadinya pengendapan 
kristal kolesterol dalam empedu.1
VII.2. FUNGSI EMPEDU DAN ASAM EMPEDU
Empedu berfungsi untuk pencernaan dan absorbsi lipid, 
homeostasis kolesterol, dan ekskresi xenobiotik yang larut dalam lipid, 
obat-obatan dan logam berat.Asam empedu mempunyai berbagai 
macam fungsi untuk hati dan saluran pencernaan. Asam empedu akan 
menginduksi aliran empedu dan sekresi lipid biliar (fosfolipid dan 
kolesterol). Pembawa yang memediasi transport aktif asam empedu ke 
dalam saluran empedu membentuk aliran cairan osmotic dan 
merupakan faktor mayor yang mengatur pembentukan dan sekresi 
empedu. Proses induksi tersebut mempengaruhi sekresi komponen 
mayor empedu yaitu bilirubin, kolesterol, dan fosfolipid. 
Kemudian asam empedu berperan dalam absorbsi kolesterol di 
intestinal dan vitamin yang larut dalam lemak serta pencernaan asupan 
makanan yang mengandung lemak.Asam empedu juga meningkatkan 
fungsi absorbsi intestinal dengan cara melarutkan asupan makanan 
berlemak dan hasil pencernaannya dalam bentuk misel campuran untuk 
memfasilitasi difusinya ke dalam mukosa usus halus.Vitamin yang larut 
dalam lemak tidak diabsorbsi bila tidak terdapat misel asam empedu 
dan gangguan sekresi atau sirkulasi enterohepatik asam empedu.Hal 
tersebut dapat menyebabkan terjadinya defisiensi vitamin terlarut 
lemak.
Asam empedu juga berperan dalam memelihara homeostasis 
kolesterol. Asupan kolesterol akan ditingkatkan dengan memfasilitasi 
absorbsi intestinal empedu dan kolesterol dari makanan, disamping itu 
juga meningkatkan eliminasi kolesterol. Asam empedu merupakan hasil 
katabolisme kolesterol yang larut dalam air dan jalur utama eliminasi 
kolesterol melalui feses.Asam empedu juga meningkatkan sekresi 
kolesterol hepatik dalam empedu dengan mengindukasi aliran empedu 
dan kolesterol empedu larut sehingga kolesterol dapat berpindah dari 
hepatosit menuju lumen intestinal untuk dieliminasi. Selain itu kalsium 
juga diikat oleh asam empedu sehingga mencegah terjadinya batu 
kalsium di kandung empedu dan pembentukan batu oxalat di ginjal.

VII.3. Batu Empedu (Kolelitiasis)
VII.3.1. Epidemiologi
Prevalensi kolelitiasis cukup sering di negara-negara 
Barat.Sedangkan di USA kurang lebih 16-20 juta orang menderita 
kolelitiasis dan terjadi sekitar 1 juta kasus baru per-tahun.1 Prevalensi 
kolelitiasis meningkat sesuai umur dan lebih sering terjadi pada wanita 
dari berbagai usia. Batu empedu diklasifikasikan sebagai batu kolesterol 
dan batu pigmen.Jenis batu empedu bervariasi menurut latar budaya 
daerah. Batu kolesterol sering ditemukan di negara berkembang dan 
terjadi pada batu kandung empedu.Lebih dari 75% batu di negara Barat 
merupakan batu kolesterol. Sedangkan di Afrika dan Asia yang 
mempunyai prevalensi kolelitiasis rendah, jenis batu yang sering 
ditemukan adalah batu pigmen dan terdapat pada saluran empedu. 
Peningkatan angka kesakitan terjadi pada abad 20 akibat pengaruh dari 
gaya hidup dan faktor makanan.4
Faktor risiko terjadinya batu empedu kolesterol adalah:3
1. Umur, terjadi peningkatan sekresi kolesterol dalam empedu dan 
penurunan sintesis asam empedu
2. Jenis kelamin (wanita lebih sering ), pada wanita sering terjadi 
peningkatan sekresi kolesterol dalam empedu dan peningkatan 
waktu transit usus
3. Obesitas, terjadi hipersekresi kolesterol dalam empedu dan 
peningkatan sintesis kolesterol melalui aktivitas HMG-CoA 
reduktase

4. Penurunan berat badan, terjadi hipersekresi kolesterol dalam 
empedu, penurunan sintesis asam empedu, dan hipomotiliti 
kandung empedu
5. Nutrisis parenteral, dapat menyebabkan hipomotilitas kandung 
empedu
6. Kehamilan
7. Obat-obatan seperti estrogen (hipersekresi kolesterol dan 
menurunkan sintesis asam empedu), klorfibrat (menurunkan 
konsentrasi asam empedu karena penekanan aktivitas 7 
hidroksilase dan menurunkan aktivitas acyl-CoA, cholesterol 
acyltransferase (ACAT), sehingga meningkatkan sekresi kolesterol 
bebas dalam empedu), progesteron (menurunkan aktivitas ACAT, 
meningkatkan sekresi kolesterol, dan hipomotiliti kandung 
empedu), ceftriakson (pengendapan garam ceftriakson-kalsium 
yang tidak larut)
8. Genetik
9. Kelainan pada ileum terminal karena menyebabkan hiposekresi 
garam empedu yang disebabkan rendahnya cadangan asam 
empedu (bile acid pool)
10. Kadar HDL rendah, menyebabkan peningkatan aktivitas HMG￾CoA reduktase
11. Peningkatan TG, menyebabkan peningkatan aktivitas HMG-CoA 
reduktase
Faktor predisposisi pembentukan batu pigmen: 1
1. Demografi/genetik, orang Asia dan perkotaan lebih rentan
2. Hemolisis kronik
3. Sirosis alkohol
4. Infeksi traktrus biliaris kronik
5. Infestasi parasit
6. Usia
VII.3.2. Patogenesis
Batu empedu dibentuk oleh pemadatan atau pengendapan 
kandungan empedu normal atau abnormal. Jenisnya dibedakan menjadi 
3 tipe yaitu:1
1. Batu kolesterol
2. Batu campuran
3. Batu pigmen

Sedangkan Horton dan Bilhartz membaginya menjadi batu kolesterol, 
batu pigmen hitam, dan pigmen coklat.5
Defek yang berperan dalam pembentukan batu kolesterol adalah :
1. Supersaturasi kolesterol
2. Nukleasi akselerasi 
3. Hipomotiliti kandung empedu
VII.3.2.1. Supersaturasi kolesterol
Kolesterol tidak larut dalam air dan memerlukan aktivitas 
deterjen garam empedu dan lesitin (fosfolipid polar) untuk dapat larut. 
Tingkat saturasi kolesterol dalam kandung empedu sangat penting 
dalam pembentukan kristal kolesterol. Hati merupakan organ yang 
bertanggungjawab pada homeostasis kolesterol. Sintesis kolesterol oleh 
hati dapat melebihi batas maksimal dan kolesterol juga dibuang dari 
tubuh oleh hati secara permanen. Kolesterol yang tidak teresterifikasi 
akan disekresi ke dalam empedu. Kolesterol juga merupakan prekursor 
seluruh asam empedu dan sintesis serta sekresi asam empedu ke dalam 
cairan empedu berfungsi untuk mengeliminasi kolesterol dari tubuh. 
Bila terjadi perubahan dalam metabolisme kolesterol akan berpengaruh 
secara langsung terhadap kecepatan sekresi asam empedu dan 
kolesterol dalam empedu sehingga berpotensi terjadinya batu empedu.
Banyaknya esterifikasi kolesterol mempengaruhi litogenisitas 
empedu karena obat yang menurunkan esterifikasi kolesterol seperti 
progesteron dan klofibrat cenderung meningkatkan sekresi kolesterol. 
Kolesterol disimpan oleh hati dalam bentuk ester asam lemak dengan 
bantuan enzim acyl-CoA cholesterol acyltransferase hepatik (ACAT). 
Walaupun secara kimia bentuk ini inert tetapi seluruh kolesterol ester 
berperan untuk pasokan berkesinambungan kolesterol bebas untuk 
pembentukan asam empedu dan penyusunan lipoprotein dalam 
retikulum endoplasma. Aktivitas ACAT berperan dalam pool kolesterol 
bebas. Rendahnya aktivitas ACAT menyebabkan peningkatan pool 
kolesterol bebas di hati sehingga menstimulasi sekresi kolesterol dalam 
cairan empedu. Bila jumlah kolesterol bebas dalam empedu tidak 
seimbang dengan lesitin dan garam-garam empedu maka terjadi 
presipitasi kolesterol dan terbentuk kristal kolesterol
.2.2. Faktor Nukleasi dan Antinukleasi
Nukleasi merupakan proses pertama pembentukan batu empedu 
kolesterol setelah terjadi supersaturasi kolesterol. Nukleasi adalah 
proses kondensasi dan agregasi sehingga memungkinkan kristal 
submikroskopik dan partikel amorf terbentuk dari cairan empedu yang 
jenuh. Setelah nukleasi, terjadi kristalisasi menghasilkan kristal 
kolesterol monohidrat dan selanjutnya membentuk batu empedu 
makroskopik. Perkembangan pemeriksaan untuk mengukur besarnya 
nukleasi pada cairan empedu natif memungkinkan mengetahui faktor 
spesifik yang merubah nukleasi. Pronukleator merupakan substansi 
yang mempercepat pertumbuhan kristal monohidrat kolesterol. 
Substansi yang merupakan pronukleator antara lain adalah:
1. Glikoprotein mucin
2. IgG dan IgM
3. Aminopeptidase N
4. Haptoglobin
5. 1-glikoprotein asam
Antinukleator antara lain:
a. Apolipoprotein A-I dan A-II
b. Glikoprotein empedu
VII.3.2.3. Hipomolitas Kandung Empedu
Mukosa kandung empedu merupakan salah satu dari tubuh yang 
memiliki kemampuan tinggi untuk absorbsi air. Volume dari sisa 
empedu dalam kandung empedu menurun 80-90% sebagai hasil dari 
transport aktif sodium beserta absorbsi air secara pasif. Kandung 
empedu juga diasamkan oleh empedu melalui absorbsi bikarbonat dan 
sekresi ion hidrogen. Konsentrasi cairan empedu mempengaruhi 
pembentukan vesikel dan cairan empedu menjadi jenuh setelah 
berpuasa semalam. Gangguan motilitas kandung empedu menyebabkan 
peningkatan volume residual dan volume puasa sehingga meningkatkan 
kemungkinan pembentukan batu. Stasis ini juga dapat menyebabkan 
pembentukan sludge. Sludge empedu merupakan hasil presipitasi dalam 
empedu dan terdiri dari kristal monohidrat kolesterol berukuran besar, 
granula bilirubinat kalsium, dan mukus.

3.2.4. Patogenesis Batu Pigmen
Batu pigmen hitam merupakan hasil peningkatan produksi 
bilirubin unconjugated yang selanjutnya mengendap sebagai kalsium 
bilirubinat. Hal ini berhubungan dengan hemolisis kronik, sirosis, dan 
pankreatitis. Batu pigmen hitam tersusun atas bilirubinat kalsium 
(primer), kalsium karbonat, dan kalsium fosfat. Sekitar 20% berat batu 
hitam merupakan glikoprotein musin. Pembentukannya disebabkan 
hipersekresi bilirubin direk (bilirubin konjugat terutama 
monoglukuronida) dalam empedu. Hemolisis menyebabkan peningkatan 
keluaran bilirubin konjugat hingga 10X lipat. Bilirubin 
monohydrogenated unconjugated dibentuk oleh kerja dari 
glukuronidase endogen yang bersama dengan kalsium mengendap dan 
terjadi supersaturasi. Defek asidifikasi merupakan hasil inflamasi atau 
kapasitas bufering asam sialat dan molekul sulfat gel mukus. Efek 
bufering memfasilitasi supersaturasi kalsium karbonat dan fosfat 
sehingga terjadi presipitasi. Pada pasien batu empedu hitam tidak 
terdapat defek motilitas kandung empedu tetapi terdapat hipersekresi 
musin sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin unconjugated.
VII.3.2.5. Patogenesis Batu Pigmen Coklat
Batu pigmen coklat sering terjadi di tempat dengan prevalensi 
infeksi biliar tinggi. Batu ini terjadi di kandung empedu atau dalam 
cabang biliaris dan berhubungan dengan kolonisasi empedu oleh 
organisme enterik dan adanya kolangitis asenden. Selain itu juga 
berhubungan dengan divertikula duodenal dan lebih sering terbentuk di 
saluran empedu dibanding tipe batu yang lainnya.5
Komposisinya terdiri dari garam-garam kalsium dari bilirubin 
unconjugated dengan kolesterol dalam ju