Rabu, 07 Juni 2023

kusta

  
 

Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang 
menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud 
bukan hanya dari segi medis namun  meluas hingga masalah sosial, ekonomi, 
budaya, keamanan dan ketahanan nasional. 
Penyakit kusta biasanya  ada  di negara-negara yang sedang 
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara ini  
untuk memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, 
pendidikan, dan kesejahteraan sosial serta ekonomi pada warga . 
Tahun 2016, WHO mengeluarkan “Global leprosy strategy 2016–2020: 
Mempercepat dunia bebas kusta yang dijadikan sebagai momentum 
program kusta secara global dan lokal.  Target dalam strategi global adalah: 
1) Tidak ada cacat tingkat 2 pada anak dengan diagnosis kusta; 2) 
Menurunkan kasus baru dengan cacat tingkat 2 di bawah 1/1000.000 
penduduk; dan 3) Tidak ada negara yang melakukan diskriminasi berbasis 
pada kusta. Target-target ini sangat  baik dan mengesankan, namun ini 
sangat ambisius dan sulit dicapai dalam 5 tahun kedepan. Tujuan lainnya 
termasuk promosi penemuan kasus secara dini melalui kampanye aktif 
case finding didaerah  endemis tinggi, memperkuat surveilans resistensi 
obat termasuk jejaring laboratorium dan langkah-langkah menghentikan 
diskriminasi dan promosi inklusi kusta di warga  luas. Global leprosy 
strategy juga masuk dalam   “Roadmap for Neglected Tropical Diseases” 
untuk promosi integrasi dengan pelayanan dasar dan kasus rujukan. 

 
 
 
Pada Juli 2013, Deklarasi Bangkok yang ditandatangani oleh Menteri 
Kesehatan Negara Endemis Tinggi Kusta termasuk negara kita , WHO serta 
stakeholder terkait, menyepakati dilanjutkannya usaha -usaha  inovatif demi 
mendorong pencapaian status eliminasi pada tingkat sub-nasional tahun 
2019. Di samping itu ditetapan pula target angka cacat tingkat 2 di bawah 
1/1.000.000 penduduk pada tahun 2020. negara kita  telah mencapai status 
eliminasi nasional pada tahun 2000, namun  situasi epidemiologi kusta di 
negara kita  hingga saat ini cenderung statis dengan angka pencapaian kasus 
baru berkisar 17.000-20.000 kasus tiap tahunnya. 
Angka kasus kusta baru di negara kita  pada tahun 2016 dilaporkan 
16.826 kasus dengan angka prevalensi 0,71 per 10.000 penduduk dan 
angka penemuan kasus baru sebesar 6,5 per 100.000 penduduk. Di antara 
kasus baru ini , 83% merupakan kasus MB (Multi Basiler), 9% kasus 
cacat tingkat 2 dan 11% kasus anak. Tingginya proporsi kasus MB, cacat 
tingkat 2 dan kasus anak di negara kita , menunjukkan masih 
berlangsungnya penularan dan masih tingginya angka keterlambatan 
dalam penemuan kasus baru. Saat ini masih ada  11 provinsi di 
negara kita  dengan angka prevalensi lebih dari 1 kasus per 10.000 
penduduk. berdasar  data tahun 2016, masih ada 139 kabupaten/kota 
dengan prevalensi masih di atas 1/10.000 penduduk. usaha  untuk 
mencapai eliminasi kusta di tingkat kabupaten/kota ini akan mendorong 
tercapainya eliminasi pada tingkat provinsi. 
usaha  pengendalian penyakit kusta di dunia menetapkan tahun 2000 
sebagai tonggak pencapaian eliminasi. negara kita  berhasil mencapai target 
ini pada tahun yang sama, akan namun  perkembangan 10 tahun terakhir 
memperlihatkan kecenderungan statis dalam penemuan kasus baru. 
Sebagai usaha  global, WHO yang didukung ILEP (International Federation 
of Anti Leprosy Associations) mengeluarkan Enhanced Global Strategy for 
Further Reducing the Disease Burden due to Leprosy (2011-2015). 
Berpedoman pada panduan WHO ini dan menyelaraskan dengan Rencana 
Strategi Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019, maka disusunlah 
kebijakan nasional pengendalian kusta di negara kita . 
Secara epidemiologi penyakit kusta di dunia dan khususnya di 
negara kita , dibagi 2 menurut distribusinya, sebagai berikut: 
 
 
 
 
1. Distribusi penyakit kusta menurut geografi 
WHO melaporkan data yang terkumpul dari 143 negara pada tahun 
2016 yaitu kasus baru yang terdeteksi sebanyak 214.783 dan yang 
terdaftar sebanyak 171.948 (angka prevalensi 0,23 per 10.000 
penduduk). Dari jumlah kasus baru yang ditemukan paling banyak 
ada  di wilayah Asia Tenggara (115.180) diikuti wilayah Amerika 
(26.365), Afrika (21.465), dan sisanya berada di wilayah lain di dunia. 
Distribusi kasus kusta di negara kita  menyebar hampir di seluruh 
propinsi dengan daerah kantong di kabupaten atau kecamatan 
tertentu. Beberapa propinsi di wilayah timur negara kita  masih 
merupakan propinsi endemis tinggi. 
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di negara kita  
 
                         
2. Distribusi menurut faktor manusia 
Faktor-faktor yang memengaruhi adalah etnik atau suku, sosial 
ekonomi, usia, dan jenis kelamin. Di Myanmar kejadian kusta 
lepromatosa lebih sering pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik 
India. Situasi di Malaysia juga menunjukkan hal yang sama, kejadian 
kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik Cina dibandingkan etnik 
Melayu atau India.  
Distribusi penyakit kusta menurut umur, umumnya dibuat 
berdasar  prevalensi dan hanya sedikit yang berdasar  insiden. 
l
 
 
 
Hal ini disebabkan kesulitan  mengetahui saat awal timbulnya 
penyakit. Dengan kata lain, kejadian penyakit lebih mudah dikaitkan 
dengan usia saat ditemukan, ketimbang menentukan awitan penyakit. 
Kusta dapat menginfeksi setiap pasien  berbagai usia, dengan rentang 
3 minggu sampai lebih dari 70 tahun. Namun yang terbanyak adalah 
pada usia muda dan produktif, terutama terlihat pada usia 20 hingga 
30 tahun. Pada daerah endemis, infeksi terjadi terutama pada usia 
anak, sebaliknya di daerah endemis rendah lebih banyak pada usia 
dewasa, bahkan di usia lanjut. Proporsi kasus anak di antara kasus 
baru didapatkan sebanyak 11,43%. Ditemukannya kasus kusta pada 
anak menunjukkan adanya kasus kusta usia dewasa yang belum 
diobati. Mengacu pada Indian Association of Leprologist (IAL) 
didapatkan bahwa di berbagai negara di dunia termasuk negara kita , 
kasus kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki dibandingkan 
dengan perempuan dengan rasio 2:1. Rendahnya kejadian kusta pada 
perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan dan sosial budaya. 
B. Permasalahan 
Kasus kusta baru di negara kita  masih banyak ditemukan, dengan 
jumlah bervariasi terutama di wilayah Timur. Hingga tahun 2016, angka 
kecacatan tingkat II didapatkan 5,27/1.000.000 penduduk, dan angka 
kecacatan tingkat II pada anak 0,24 /1.000.000 penduduk. Tingginya 
angka ini antara lain disebabkan oleh: adanya stigma sosial terhadap kusta 
yang cukup tinggi di warga  dan tenaga kesehatan menghambat 
penemuan kasus dan tatalaksana kusta, warga  belum mengetahui 
gejala awal penyakit kusta, sebagian besar pemegang program 
pengendalian kusta bukan dokter,  tatalaksana kusta secara komprehensif 
(termasuk pencegahan kecacatan) belum optimal, secara klinis penyakit 
kusta banyak menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga diperlukan 
pemeriksaan penunjang. Sedangkan fasilitas pemeriksaan penunjang 
untuk penegakkan diagnosis belum tersedia di semua fasilitas pelayanan 
kesehatan perjalanan penyakit kusta yang sangat panjang sehingga reaksi 
yang timbul setelah pengobatan tidak terpantau, belum adanya 
keseragaman dalam penatalaksanaan kusta.  
 
 

1. Tujuan umum: 
Membuat pedoman berdasar  bukti ilmiah untuk para praktisi yang 
menangani kusta. 
2. Tujuan khusus: 
a. Memberi rekomendasi bagi rumah sakit/pembuat keputusan 
klinis untuk menyusun protokol setempat atau Panduan Praktik 
Klinis (PPK) yang mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan 
Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Kusta. 
b. Meningkatkan angka notifikasi pasien kusta  
c. Mencegah  resistensi obat  
d. Menjadi dasar bagi kolegium dokter untuk membuat kurikulum 
pendidikan  
e. Menurunkan morbiditas dan disabilitas/kecacatan akibat kusta. 
D. Sasaran  
Sasaran Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana 
Kusta, yaitu:  
1. Dokter dan dokter spesialis yang terlibat dalam penanganan kusta 
2. Pembuat keputusan klinis di fasilitas pelayanan kesehatan, institusi 
pendidikan dan kelompok profesi terkait. 
 
 
 
 
 
  
- 9 - 
 
 
 
BAB II 
METODOLOGI 
A. Penelusuran Pustaka 
Penelusuran kepustakaan dilakukan secara manual dan elektronik, 
melalui PUBMED, EBSCO, The Cochrane Laboratory, Textbook Physical 
Medicine and Rehabilitation, Textbook  of Leprosy, dengan kata kunci yang 
digunakan yaitu kusta, reaksi kusta, disabilitas kusta, komplikasi. 
B. Telaah Kritis 
Setiap bukti ilmiah yang diperoleh dilakukan telaah kritis oleh pakar 
dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Ilmu Penyakit Saraf, Ilmu 
Kesehatan Mata, Bedah Orthopedi, Ilmu Kesehatan Jiwa serta Kedokteran 
Fisik dan Rehabilitasi. 
C. Peringkat Bukti 
Level of evidence (LoE) yang digunakan, yaitu: 
1. Level I   : meta analisis, uji klinis besar dengan randomisasi  
2. Level II  : uji klinis lebih kecil, tidak dirandomisasi  
3. Level III : penelitian retrospektif, observasional  
4. Level IV : serial kasus, laporan kasus, konsensus, pendapat ahli. 
D. Derajat Rekomendasi 
berdasar  LoE di atas, dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut: 
1. Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level I  
2. Rekomendasi B bila berdasar pada bukti level II  
3. Rekomendasi C bila berdasar pada bukti level III  
4. Rekomendasi D bila berdasar pada bukti level IV 
 
 
 
  
- 10 - 
 
 
 
BAB III 
HASIL DAN PEMBAHASAN 
 
A. Definisi Kusta 
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman 
Mycobacterium leprae. Penyakit ini mempunyai afinitas utama pada saraf 
tepi/perifer, kemudian kulit, dan dapat mengenai organ tubuh lain seperti 
mata, mukosa saluran napas atas, otot, tulang dan testis.  
 
B. Etiologi dan Patogenesis 
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh 
G. A. Hansen pada tahun 1873 di Norwegia, yang hingga saat ini  belum 
dapat dibiakkan dalam media artifisial. Namun, pada tahun 1960 Shepard 
berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan berkembang 
biak di sekitar area ini . M. leprae berbentuk batang dengan ukuran 1-
8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol serta Gram-positif. 
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab 
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan 
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Basil kusta masuk ke 
tubuh manusia melalui kontak langsung dengan kulit atau mukosa nasal 
yang berasal dari droplet. Basil dari droplet akan bertahan hidup selama 2 
hari dalam lingkungan yang kering, bahkan hingga 10 hari pada lingkungan 
yang lembab dan suhu yang rendah. Setelah infeksi terjadi, gejala klinis 
pada saraf perifer atau kulit akan muncul dalam waktu 3 bulan hingga 10 
tahun. Gejala klinis yang  timbul bervariasi, bergantung pada sistem 
imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik, akan tampak gambaran 
klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya bila SIS rendah memberikan 
gambaran lepromatosa.  
 
C. Manifestasi Klinis 
1. Kulit 
Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak hipopigmetasi 
dengan anestesi, atau makula hipopigmetasi disertai tepi yang 
menimbul dan sedikit eritematosa, atau berupa infiltrat/plak 
eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul dan nodul. Kelainan 
kulit ini menyerupai berbagai penyakit kulit lain, sehingga adanya 
gangguan sensibilitas berupa anestesi atau hipoestesi sangat 
- 11 - 
 
 
 
membantu dalam menegakkan diagnosis kusta. Gambaran klinis kulit 
yang beragam ini dapat digunakan untuk menentukan tipe kusta, 
karena khas untuk tipe tertentu.  
   
2. Saraf Perifer  
Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya   kerusakan 
saraf perifer yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf 
kulit dan trunkus saraf. Gambaran dan distribusi kerusakan saraf 
yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang menginfiltrasi saraf, 
serta respons imunologis penderita terhadap saraf yang terinfeksi. 
berdasar  hal ini , manifestasi klinis kerusakan saraf perifer 
dapat digolongkan menjadi gangguan sensorik, gangguan motorik dan 
gangguan otonom. Ketiga gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer 
di ekstremitas maupun saraf kranial.  
Neuropati perifer paling sering bermanifestasi sebagai mononeuropati, 
polineuropati atau mononeuropati multipleks. Saraf perifer yang sering 
terkena ialah N.ulnaris, N.radialis, N.medianus, N. poplitea lateralis, 
N. tibialis posterior, N. fasialis, N. trigeminus serta N.auricularis 
magnus. Gangguan pada saraf perifer ini  meliputi gangguan 
pada cabang saraf sensorik, otonom dan motorik, seperti yang 
diuraikan berikut ini.  
a. N. ulnaris 
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada ujung jari bagian 
anterior kelingking dan jari manis. Sedangkan gangguan saraf 
motorik menyebabkan clawing jari kelingking dan jari manis, 
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis 
medial. 
b. N. medianus 
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada ujung jari bagian 
anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Pada gangguan saraf 
motorik dapat menyebabkan ibu jari tidak mampu aduksi, serta 
terjadi kontraktur ibu jari. Selain itu, juga terjadi clawing ibu jari, 
telunjuk, dan jari tengah. Otot tenar dan kedua otot lumbrikalis 
lateral mengalami atrofi. 
 
 
- 12 - 
 
 
 
 
c. N. radialis 
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi dorsum manus, serta 
ujung proksimal jari telunjuk. Pada gangguan saraf motorik, 
pergelangan tangan maupun jari-jari tangan tak mampu ekstensi, 
sehingga menyebabkan paresis, disebut sebagai tangan gantung 
(wrist drop). 
d. N. poplitea lateralis 
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi tungkai bawah 
bagian lateral dan dorsum pedis. Gangguan pada saraf motorik 
menyebabkan kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot 
peroneus. 
e. N. tibialis posterior 
Gangguan saraf sensorik dapat menyebabkab anestesi telapak 
kaki. Sedangkan gangguan motorik berupa claw toes, paralisis 
otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis. 
f. N. fasialis 
Gangguan pada cabang temporal dan zigomatik dapat 
menyebabkan lagoftalmos. Sedangkan gangguan pada cabang 
bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan bibir mencong, 
sudut mulut asimetris, dan kegagalan mengatupkan bibir, yang 
disebut sebagai parese fasialis. 
g. N. trigeminus 
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi kulit wajah, 
kornea dan konjungtiva. 
h. Kusta saraf murni 
Kusta saraf murni atau yang dikenal sebagai pure neural leprosy 
(PNL) merupakan penyakit kusta yang hanya mengenai saraf, 
dengan gambaran klinis hipoestesi atau anestesi tidak berbatas 
tegas, dan tanpa lesi di kulit. Angka kejadian PNL berkisar antara 
4-8% dari kejadian kusta, dan sebagian besar penderitanya 
adalah laki-laki. Keluhan terbanyak ialah gangguan sensorik 
pada dermatom yang dipersarafi oleh saraf yang terlibat, dan 
deformitas atau kelemahan akibat keterlibatan saraf motorik. 
Umumnya PNL mengenai saraf pada ekstremitas atas. Nervus 
ulnaris, merupakan yang paling banyak terkena, diikuti dengan 
nervus poplitea lateralis, nervus tibialis posterior, dan nervus 
- 13 - 
 
 
 
suralis. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya 
penebalan dan pembesaran saraf yang dapat didahului nyeri 
neuropatik (sering dikaitkan dengan neuritis) beberapa bulan 
sebelum diagnosis klinis ditegakkan. 
Pemeriksaan elektrofisiologi dapat mendeteksi neuropati 
sebelum timbul manifestasi klinis. Indikasi pemeriksaan 
elektrofisiologi pada pasien kusta ialah: 
1) Segera setelah diagnosis kusta untuk mengetahui data dasar 
dan asesmen keterlibatan saraf  
2) Bila muncul gejala dan tanda neuritis atau kerusakan fungsi 
saraf 
 
Gambar 2. Saraf Perifer yang Banyak Terlibat dan Mengalami Pembesaran 
Pada Kusta. 
 
 
 
N. Supraorbita
N. Aurikular
magnus
N. Radialis
N. Medianus
N. Ulnaris N. Kutaneus
radialis
N. Peroneus
komunis
N. Tibialis
posterior N. Suralis
- 14 - 
 
 
 
 
i. Indikasi Pemeriksaan Elektrofisiologi pada Kusta 
Neuropati dapat ditemukan bahkan sebelum gejala dan tanda 
kusta muncul atau dikeluhkan oleh pasien. Pemeriksaan 
elektrofisiologi dapat mendeteksi neuropati sebelum timbul 
manifestasi klinis. Indikasi pemeriksaan elektrofisiologi pada 
pasien kusta ialah: 
1) Sebagai pemeriksaan penunjang (bila diperlukan) pada 
pasien dengan kecurigaan diagnosis kusta  
2) Segera setelah diagnosis kusta untuk mengetahui data dasar 
dan asesmen keterlibatan saraf  
3) Bila muncul gejala dan tanda neuritis atau kerusakan fungsi 
saraf 
 
3. Mata 
Kerusakan mata pada penyakit kusta dapat terjadi intraokular 
maupun ekstraokular. Kerusakan intraokular berupa episkleritis, 
skleritis, iridosiklitis, keratitis, ulkus kornea, serta penurunan 
sensibilitas kornea. Sedangkan kerusakan ekstraokular yang dapat 
terjadi berupa madarosis, lagoftalmus, dakriosistisis, serta mata 
kering. Lebih lanjut, kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan 
padahal penderita kusta sangat bergantung pada penglihatannya 
untuk mencegah tangan dan kakinya yang kebas mengalami cedera. 
Proses kerusakan mata bahkan dapat terus berjalan meskipun 
pengobatan lepra sudah tuntas. Risiko kematian pada pasien lepra 
yang buta lebih besar 4.8 kali dibandingkan populasi normal di usia 
yang sama. Dengan demikian continuum of care pada tata laksana 
penyakit kusta penting untuk dilakukan, sehingga usaha pencegahan 
kebutaan serta penanganan kebutaan yang sifatnya masih reversibel 
harus diperhatikan. 
 
4. Gangguan Psikiatrik  
Kusta merupakan penyakit fisik yang sangat erat hubungannya 
dengan dampak psikososial yang dialami oleh pasien. Studi pada 
tahun 1980 menyatakan bahwa prevalensi morbiditas psikiatri pada 
penyakit ini lebih tinggi dibandingkan populasi umum, dengan 
- 15 - 
 
 
 
perbandingan 99:63 diantara 1000 orang. Sejak saat itu para peneliti 
mulai mencari tahu bagaimana hubungan antara dua kondisi ini. 
Deformitas dan stigma yang terkandung pada penyakit inilah yang 
membuat kehidupan bagi penderita kusta menjadi semakin sulit. 
Tidak jarang pasien akan mengalami perceraian, kehilangan 
pekerjaan, atau bahkan dijauhi oleh lingkungannya karena ketakutan 
akan gambaran penularan penyakit ini . 
Menurut sebuah penelitian di Brazil pada 120 pasien dengan kusta, 
ditemukan bahwa sebanyak 71,66% pasien memiliki setidaknya satu 
diagnosis psikiatri dengan risiko rendah- tinggi untuk bunuh diri. Hasil 
penelitian ini  didukung oleh Jindal dkk. pada populasi kusta 
yang tinggal di komunitas terpisah menunjukkan bahwa diagnosis 
psikiatri yang tersering adalah distimia, diikuti oleh depresi sedang, 
gangguan cemas menyeluruh, dan skizofrenia (lihat Tabel). 
Komorbiditas ini dipengaruhi oleh usia, status keluarga, durasi 
penyakit, dan ada atau tidaknya deformitas.  
 
Gambar 3. Pola Kelainan Psikiatrik pada penelitian. 
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah efek samping 
penggunaan obat pada kusta, terutama penggunaan kortikosteroid 
dosis tinggi dan dalam jangka panjang. Dengan lamanya penggunaan 
kortikosteroid, gangguan psikiatri yang sering muncul adalah 
gangguan mood oleh karena gangguan regulasi hormon. Ditambah 
dengan stigma, maka kondisi kejiwaan pasien kusta dapat lebih sulit 
teratasi.  
  
- 16 - 
 
 
 
D. Klasifikasi 
Berbagai klasifikasi penyakit kusta dibuat dengan tujuan tertentu, 
namun yang banyak digunakan adalah klasifikasi menurut WHO dan 
klasifikasi Ridley-Jopling.  
 
1. Klasifikasi WHO 
Untuk kepentingan pengobatan, WHO pada tahun 1987   membuat 
klasifikasi kusta menjadi 2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan 
sedikit atau tidak ditemukan bakteri dan tipe Multibasiler (MB) dengan 
jumlah bakteri yang banyak. Tipe PB menurut WHO adalah tipe TT dan 
BT menurut Ridley dan Jopling, sedangkan tipe MB adalah tipe BB, BL 
dan LL, atau tipe apapun dengan BTA positif.   
biasanya  pemeriksaan kerokan jaringan kulit untuk 
pemeriksaan BTA tidak tersedia di lapangan, maka pada tahun 1995 
WHO mengubah klasifikasi menjadi lebih sederhana berdasar  
hitung lesi kulit dan jumlah saraf perifer  yang terkena, seperti yang 
terlihat pada tabel 1.  
 
Tabel 1. Klasifikasi klinis kusta menurut WHO (1995) 
SIFAT PB MB 
Lesi kulit 
(makula, plak, 
papul, nodus) 
1-5 lesi 
hipopigmentasi/eritema, 
distribusi tidak simetris, 
hilangnya sensasi  jelas 
>5 lesi 
hipopigmentasi/eritema, 
distribusi lebih simetris, 
hilangnya sensasi kurang 
jelas 
Kerusakan saraf 
(sensasi hilang/ 
kelemahan otot 
yang dipersarafi 
oleh saraf yang 
terkena) 
hanya satu cabang saraf banyak cabang saraf 
 
2. Klasifikasi Ridley-Jopling 
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling dibuat berdasar  
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis menjadi 
5 tipe. Klasifikasi menurut Ridley-Jopling ini lebih ditujukan pada 
- 17 - 
 
 
 
penelitian ketimbang pelayanan, yang lebih sesuai dengan klasifikasi 
WHO. Pembagian 5 tipe ini  sebagai berikut:  
a. TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil 
b. BT: Borderline tuberculoid 
c. BB: Mid borderline 
d. BL: Borderline lepromatous 
e. LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil 
Untuk memudahkan menentukan tipe kusta, berikut ditampilkan 
tabel perbedaan gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik 
berbagai tipe kusta (Tabel 2 dan 3). 
 
Tabel 2 Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta 
pausibasilar (PB).  
SIFAT TUBERKULOID (TT) 
BORDERLINE 
TUBERCULOID (BT) 
Bentuk lesi 
 
 
 
Jumlah 
 
 
Distribusi 
 
Permukaan 
 
Anestesia 
Makula saja; 
makula dibatasi 
infiltrat 
 
 
Satu, dapat 
beberapa 
 
 
Asimetris 
 
Kering bersisik 
 
Jelas 
Makula dibatasi 
infiltrat; infiltrat saja. 
 
 
Beberapa atau satu 
dengan satelit 
 
Masih asimetris 
 
Kering bersisik 
 
Jelas 
BTA Hampir selalu 
negatif 
Negatif atau hanya 1+ 
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
- 18 - 
 
 
 
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta 
multibasilar (MB). 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
E. Reaksi Kusta 
Reaksi kusta merupakan episode akut yang timbul di tengah proses 
perjalanan penyakit kusta yang kronis. Patofisiologi reaksi kusta ini belum 
dapat dijelaskan secara pasti, namun proses reaksi kusta dapat 
digambarkan dengan teori imunologik. berdasar  hal ini , reaksi 
kusta dibagi menjadi reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2. 
Berikut adalah gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya 
dengan spektrum imunitas dan tipe kusta menurut Ridley-Jopling.  
SIFAT LEPROMATOSA (LL) 
BORDERLINE 
LEPROMATOSA 
(BL) 
MID 
BORDERLINE 
(BB) 
Bentuk lesi 
 
 
 
Jumlah 
 
 
 
Distribusi 
 
Permukaan 
 
 
Batas 
 
Anestesi 
Makula; 
infiltrat/ 
plak difus; 
papul; 
nodus 
 
Tidak 
terhitung, tidak 
ada kulit sehat 
 
Simetris 
 
Halus berkilat 
 
 
Tidak jelas 
 
Tidak ada 
sampai tidak 
jelas 
Makula; plak; 
papul 
 
 
 
Sukar dihitung, 
masih ada kulit 
sehat 
 
 
Hampir 
simetris 
 
Halus berkilat 
 
 
Agak jelas 
 
Tidak jelas 
Plak; dome-
shaped 
(kubah); 
punched-out 
 
 
Dapat 
dihitung, 
kulit sehat 
jelas ada 
 
 
Asimetris 
 
Agak kasar, 
agak berkilat 
 
Agak jelas 
 
Lebih jelas 
BTA 
• Lesi 
kulit 
 
 
• Sekret 
hidung 
 
Banyak (ada 
globus) 
 
Banyak (ada 
globus) 
 
Banyak 
 
 
Biasanya 
negatif 
 
Agak banyak 
 
 
Negatif 
Tes 
lepromin 
Negatif Negatif Biasanya 
negatif 
- 19 - 
 
 
 
  
Gambar 3. Hubungan tipe reaksi dengan klasifikasi menurut  Ridley dan 
Jopling. 
 
1. Reaksi tipe 1 
Reaksi tipe 1 lebih sering disebut sebagai reaksi reversal. Reaksi 
reversal hanya dapat terjadi pada pasien yang berada dalam spektrum 
borderline (BL, BB, BT), karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak 
stabil, sehingga mudah berubah. Pada reaksi reversal, respons imun 
seluler berperan penting, yaitu terjadi peningkatan SIS mendadak. Hal 
ini menyebabkan gambaran klinis kusta bergeser kearah tipe 
tuberkuloid. Walaupun belum diketahui dengan pasti faktor pencetus 
terjadinya reaksi, namun diperkirakan proses reaksi ini berhubungan 
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi biasanya terjadi 
pada masa pengobatan MDT 6 bulan pertama.  
Gejala klinis yang timbul pada reaksi reversal berupa bertambah 
aktifnya sebagian atau seluruh lesi yang sudah ada, disertai 
munculnya lesi baru dalam waktu yang singkat. Perubahan lesi 
menjadi aktif dapat digambarkan sebagai perubahan warna lesi 
menjadi semakin eritem, udem, atau lesi menjadi lebih infiltratif dan 
lebih luas (Gambar 4). Perlu pemantauan kejadian neuritis pada reaksi 
ini, karena penting untuk menentukan pilihan terapi selanjutnya.  
- 20 - 
 
 
 
  
Gambar 4. Reaksi kusta tipe 1 
2. Reaksi tipe 2 
Reaksi tipe 2 terjadi pada pasien kusta dengan jumlah bakteri sangat   
banyak, yaitu pada tipe LL dan BL. Reaksi sering disebut sebagai 
reaksi ENL (eritema nodusum leprosum), karena memberikan 
gambaran klinis munculnya nodus di kulit. Berbeda dengan reaksi 
reversal, pada patogenesis ENL yang berperan penting adalah respons 
imun humoral. 
Reaksi ENL dapat terjadi sebelum pengobatan, saat pengobatan 
ataupun setelah selesai, namun banyak terjadi di tahun kedua 
pengobatan MDT. Hal ini terjadi karena pada saat pengobatan, banyak 
kuman M. leprae yang mati, sehingga banyak antigen yang bereaksi 
dengan antibodi dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun 
yang terbentuk selanjutnya masuk dalam sirkulasi darah, kemudian 
akan mengendap di berbagai organ tubuh dan menimbulkan gejala, 
antara lain nodus eritem disertai nyeri yang terutama muncul pada 
kulit lengan dan tungkai. (lihat Gambar 5) Gejala ini umumnya 
menghilang dalam beberapa hari atau beberapa minggu, dan dapat 
pula diikuti dengan pembentukan nodus baru, sedangkan nodus lama 
menjadi keunguan. Gejala klinis pada berbagai organ dapat berbentuk 
iridosiklitis, neuritis akut, artritis, limfadenitis, orkitis, serta nefritis 
akut. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat. 
 
Gambar 5. Reaksi kusta tipe 2  
 
- 21 - 
 
 
 
Perbedaan  reaksi kusta tipe 1 dan 2 dapat dilihat dalam tabel 4. 
berikut ini 
Tabel 4. Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2.  
No Gejala Tanda  Reaksi Tipe 1 Reaksi Tipe 2 
1 Tipe Kusta  Dapat terjadi pada 
kusta tipe PB 
maupun MB. 
Hanya pada kusta 
tipe MB. 
2 Waktu 
timbulnya 
 Biasanya segera 
setelah 
pengobatan. 
Biasanya setelah 
mendapatkan 
pengobatan yang 
lama, umumnya 
lebih dari 6 bulan 
3 Keadaan 
umum 
 Umumnya baik, 
demam ringan (sub-
febris) atau tanpa 
demam. 
Ringan sampai 
berat disertai 
kelemahan umum 
dan demam tinggi. 
4 Peradangan di 
Kulit 
 Sebagian lesi lama 
menjadi lebih  
aktif, eritem, udem, 
berkilat, hangat. 
Dapat timbul lesi 
baru. 
Timbul nodus 
eritema, lunak dan 
nyeri, dan dapat 
berulserasi. 
Biasanya pada 
lengan dan tungkai. 
5 Saraf  Sering terjadi neuritis, 
berupa nyeri saraf 
dan atau gangguan 
fungsi saraf. Kadang 
didapat kan silent 
neuritis. 
 
Sering terjadi 
neuritis. 
6 Peradangan 
pada mata 
 Anestesi kornea dan 
lagoftalmos karena 
keterlibatan N.V dan 
N.VII 
 
Iritis, iridosiklitis, 
glaukoma, katarak 
dll. 
7 Peradangan 
pada organ 
lain 
 Hampir tidak ada. 
 
Terjadi pada testis, 
sendi, ginjal, 
kelenjar getah 
bening, dll. 
 
 
 
 
- 22 - 
 
 
 
berdasar  berat dan ringannya gejala, reaksi kusta terbagi menjadi 
2 yaitu reaksi ringan dan berat (table 5). Sangat penting bagi tenaga 
kesehatan untuk mengenali gejala reaksi ini  karena dapat 
menyebabkan kerusakan saraf tepi. Di samping itu, pengenalan 
tentang berat dan ringannya gejala penting ke layanan kesehatan yang 
lebih lengkap untuk tatalaksana komprehensif. 
 
 
Tabel 5. Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan 2 
No 
Organ 
yang 
terkena 
Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2 
Ringan Berat Ringan Berat 
1 Kulit Lesi 
hipopig 
mentasi 
men- 
jadi 
eritem; 
eritem 
semakin 
eritem dan 
udem. 
Tidak ada 
ulserasi. 
Tidak ada 
udem 
tangan 
dan kaki 
Lesi 
hipopigmen- 
tasi menjadi 
eritem; 
eritem 
semakin 
eritem dan 
udem. 
Timbul lesi 
baru. 
Kadang 
disertai 
demam 
dan 
malaise. 
Ulserasi (+) 
Edema 
tangan 
dan kaki (+) 
Nodus, 
eritem, 
panas 
dan 
nyeri, 
dapat 
menjadi 
ulkus. 
Jumlah 
sedikit 
Nodus eritem, 
panas dan 
nyeri, sering 
menjadi ulkus. 
Jumlah banyak 
2 Saraf tepi Membesar, 
tidak nyeri. 
Membesar, 
nyeri 
Membesar, 
tidak nyeri 
Membesar, nyeri 
Fungsi 
saraf 
tidak 
terganggu 
Fungsi saraf 
terganggu 
Fungsi 
saraf 
tidak 
terganggu 
Fungsi saraf 
terganggu 
- 23 - 
 
 
 
3 Gejala 
konstitusi 
Demam: 
(-) 
Demam: (±) Demam: 
(±) 
Demam: (+) 
4 Gangguan 
pada 
organ lain 
Tidak ada Tidak ada Tidak ada iridosiklitis, 
orkhitis,nephritis, 
limfadenitis, dsb 
 
* Catatan: bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, 
dikategorikan sebagai reaksi berat 
 
F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang  
1. Diagnosis 
Diagnosis penyakit kusta ditetapkan berdasar  temuan satu dari 
tiga tanda kardinal kusta berikut ini, yaitu: 
a. Kelainan kulit atau lesi yang khas kusta, dapat berbentuk 
hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa (anestesi)  
b. Penebalan saraf perifer disertai dengan gangguan fungsi saraf 
akibat peradangan (neuritis) kronis. Gangguan fungsi saraf ini 
dapat berupa:  
1) Gangguan fungsi sensoris: anestesi  
2) Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis otot  
3) Gangguan fungsi otonom: kulit kering atau anhidrosis dan 
ada  fisura 
c. Adanya basil tahan asam (BTA) pada kerokan jaringan kulit (slit 
skin smear).  
Untuk memastikan tanda kardinal pertama, selanjutnya dilakukan 
pemeriksaan gangguan sensibilitas pada lesi kulit. Pemeriksaan 
gangguan rasa raba dilakukan dengan menggunakan usapan ujung 
kapas pada lesi. Gangguan terhadap suhu, dapat dilakukan dengan 
menggunakan dua tabung reaksi berisi air hangat bersuhu 400 C dan 
air dingin. Bila pasien tidak dapat membedakan suhu hangat dan 
dingin, maka telah terjadi gangguan sensibilitas. Gangguan terhadap 
rasa nyeri diperiksa dengan menggunakan ujung jarum. Bila pasien 
merasakan ujung jarum ini  tumpul, maka telah terjadi 
hipoestesi. namun  bila tidak merasakan sakit, berarti telah terjadi 
anestesi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom, 
harus diperhatikan adanya kekeringan kulit di daerah lesi berupa sisik 
halus. Bila tidak jelas, dapat dilakukan pemeriksaan dengan 

menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara pemeriksaan yaitu 
dengan menggores kulit menggunakan pensil ini  mulai dari 
tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, maka goresan 
pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian 
tengah lesi, karena goresan pinsil lumer karena adanya keringat. 
Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang lebih 
mudah terlihat  bila rambut yang tumbuh cukup lebat.  Gangguan 
fungsi motoris menyebabkan kelainan otot, atrofik atau paresis, dan 
dapat diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). Pada dasarnya, 
sebagian besar pasien dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis. 
Apabila hanya ditemukan tanda kardinal kedua, perlu dirujuk ke 
dokter saraf atau dokter spesialis kulit, dengan sarana pemeriksaan 
penunjang yang memadai. Jika masih ragu maka dianggap sebagai 
penderita yang dicurigai atau tersangka (suspek). 

 
Tanda-tanda tersangka kusta yang perlu diwaspadai ialah:   
a. Tanda-tanda pada kulit  
1) Lesi kulit yang eritema atau hipopigmentasi (gambaran yang 
paling sering ditemukan), datar atau menimbul  
2) Lesi hipoestesi atau anestesi  
3) Lesi yang tidak gatal  
4) Anestesi atau parestesi pada tangan dan kaki  
5) Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat (anhidrosis), 
mengkilap atau kering bersisik, dan atau alis mata tidak 
berambut (madarosis). 
6) Bengkak atau penebalan pada wajah dan cuping telinga  
7) Lepuh tidak nyeri pada tangan dan kaki  
b. Tanda-tanda pada saraf : 
1) Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf  
2) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota 
gerak 
3) Kelemahan anggota gerak dan atau kelopak mata  
4) Pembesaran saraf 
5) Adanya cacat (disabilitas, deformitas)  
6) Luka (ulkus) yang sulit sembuh  
c. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai 
kelainan kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin, 
terutama bila ada  keterlibatan saraf tepi  
d. Tanda-tanda pada Mata  
Inspeksi dilakukan pada ruangan yang agak gelap dengan 
menggunakan lampu senter dan kaca pembesar. Pemeriksaan 
dasar yang dapat dilakukan dokter umum atau dokter bukan 
spesialis mata adalah sebagai berikut: 
1) Pemeriksaan lesi di daerah wajah 
2) Pemeriksaan tajam penglihatan 
3) Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi 
4) Fungsi kelopak mata 
a) Laju berkedip 
Normal setiap 15-25 detik dengan penilaian: komplit/tidak, 
simetris/asimetris 

 
b) Fungsi kelopak mata dinilai dengan: dapat menutup 
dengan sempurna atau tidak. 
c) Mata ditutup perlahan dan dipertahankan selama 10 
detik, lalu jarak antara kelopak mata atas dan bawah 
diukur dengan penggaris. 
d) Mata ditutup dengan kuat dan dipertahankan selama 
10 detik lalu jarak antara kelopak mata atas dan bawah 
diukur dengan penggaris. 
e) Deformitas kelopak 
5) Sekret mata 
Penilaian ada tidaknya sekret dilaukan dengan atau tanpa 
penekanan pada kantung air mata. 
6) Kemerahan pada mata. 
 
Diagnosis kemerahan pada mata dapat dilihat pada tabel 6. 
Tabel 6. Kemerahan pada mata 
 Konjungtivitis Keratitis Uveitis 
Visus Normal ↓ ↓ 
Hiperemis Konjungtiva Perikornea Siliar 
Sekret + - - 
Fotofobia - + + 
Palpebra Normal Normal Normal 
Kornea Jernih Bercak Infiltrat Sel radang (+) 
Bilik mata depan Normal Hipopion (+)/(-) Hipopion (+)/(-) 
Iris Normal Normal Sinekia 
Pupil Normal Normal Miosis 
Lensa Normal Normal Sel radang (+) 
 
 
 
7) Kornea 
a) Permukaan kornea diperiksa dengan memberikan sinar 
dari arah depan dengan senter dengan lup untuk 
melihat ada tidaknya defek, infiltrate, atau kekeruhan. 
b) Pemeriksaan sensibilitas kornea dengan menggunakan 
ujung kapas yang disentuhkan sekitar daerah lesi 
kornea yang terkena untuk menilai fungsi sensoris 
kornea. 
8) Bilik mata depan 
Pemeriksaan bilik mata depan dengan menggunakan senter 
dan lup untuk mencari adanya nanah yang membentuk “air-
fluid level” dalam bilik mata depan. Hipopion merupakan 
kumpulan sel radang di bilik mata depan.  
9) Pupil 
Pemeriksaan dilakukan di ruangan redup menggunakan 
senter dan lup yang digerakkan dari arah samping mata 
dengan cepat ke arah pupil. Perhatikan reflex pupil, ukuran, 
dan bentuk. 
10) Iris 
Perhatikan ada tidaknya atrofi atau kerusakan iris, 
perlengketan iris di lensa (sinekia posterior), dan di kornea 
(sinekia anterior). 
11) Lensa 
Perhatikan ada tidaknya kekeruhan lensa (katarak). 

 
 
 
Tanda-tanda ini  merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan 
belum dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika 
diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang dapat 
dilakukan adalah: 
a. Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap, 
kudis, psoriasis, vitiligo)  
b. Pengambilan kerokan jaringan kulit untuk pemeriksaan BTA 
c. Bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana 
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, tunggu 3-6 bulan dan 
periksa kembali adanya tanda utama. Jika ditemukan tanda 
utama, diagnosis kusta dapat ditegakkan. Bila masih meragukan, 
pasien tersangka harus dirujuk.  
Perlu diingat bahwa tanda-tanda utama ini  dapat tetap 
ditemukan pada pasien yang sudah sembuh atau release from 
treatment (RFT). Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk 
menghindari pengobatan ulang yang tidak perlu. 
 
2. Pemeriksaan Penunjang 
Bila tersedia laboratorium untuk pemeriksaan penunjang maka dapat 
dilakukan pemeriksaan BTA, histopatologi dan serologi. 
a.  Bakterioskopis 
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakan 
diagnosis serta pilihan pengobatan. Pemeriksaan dimulai dengan 
membuat kerokan jaringan kulit yang kemudian diwarnai 
menggunakan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), 
contohnya dengan Ziehl- Neelsen.   
Hal pertama yang penting adalah penentuan lesi sebagai 
spesimen yang akan diperiksa, yaitu lesi yang diduga memiliki 
kuman M. leprae paling padat. Untuk pemeriksaan rutin, 
umumnya dilakukan minimal pada 4-6 tempat, yaitu pada cuping 
telinga bagian bawah serta lesi lain yang terlihat paling 
eritematosa dan infiltratif.  
Pengambilan bahan dilakukan dengan bantuan scalpel steril pada 
lesi yang telah didesinfeksi dan dijepit dengan ibu jari dan 
telunjuk hingga iskemi. Irisan dibuat sampai dermis dan melewati 

 
 
 
subepidermal clear zone agar dapat mengambil jaringan yang 
banyak mengandung sel Virchouw (mengandung kuman M. 
leprae). Kemudian kerokan dioleskan pada gelas alas, difiksasi di 
atas api bunsen, dan diwarnai menggunakan pewarnaan tahan 
asam, yaitu Ziehl Neelsen. 
Berbeda dengan sediaan jaringan sebelumnya, pada sediaan 
mukosa hidung, dilakukan nose blows. Sekret hidung ditampung 
pada sehelai plastik, dan waktu yang terbaik adalah pagi hari. 
Sediaan kemudian dioleskan pada gelas alas menggunakan kapas 
lidi, dan dilakukan fiksasi serta pewarnaan. Selain itu, 
pengambilan spesimen dari mukosa hidung dapat berupa 
kerokan mukosa  dengan menggunakan scalpel tumpul, atau 
usapan (swab) dengan kapas lidi.   
Pada pewarnaan basil tahan asam, kuman M. leprae  akan 
menunjukan bentuk batang utuh (solid), batang terputus ( 
fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid 
menggambarkan keadaan kuman hidup sedangkan nonsolid 
menggambarkan keadaan kuman mati. Hal ini menjadi penting 
karena kuman yang berbentuk solid, adalah kuman hidup yang 
dapat berkembang biak, serta dapat menularkan pada orang lain. 
Kepadatan BTA tanpa melihat bentuk solid dan non solid dapat 
dijelaskan menggunakan Indeks Bakteri (IB). Menurut Ridley, 
rentang IB dimulai dari angka 0 hingga 6+, dengan 0 berarti tidak 
ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP) 
1) 1+ bila 1-10 BTA  dalam 100 LP 
2) 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP 
3) 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP 
4) 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP 
5) 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP 
6) 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP 
Penilaian dilanjutkan dengan perhitungan indeks morfologi 
(IM) yaitu persentase basil yang hidup, sebagai berikut: 
Rumus: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 + 𝑛𝑜𝑛𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑  x 100%  
 

 
 
 
b. Histopatologis 
Histiosit merupakan bentuk makrofag yang berada di kulit dan 
beperan dalam proses fagositosis. Proses ini ditentukan oleh 
sistem imun seluler (SIS) orang ini . Pada orang dengan SIS 
tinggi, histiosit akan berpindah ke tempat kuman berada dan 
terlibat proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Sisa 
makrofag yang berlebihan saat kuman sudah di fagosit akan 
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak. Adanya masa 
epiteloid dalam jumlah banyak yang dikelilingi limfosit akan 
membentuk tuberkel yang selanjutnya akan merusak jaringan. 
Sehingga ditemukan gambaran histologik pada tipe tuberkuloid 
yaitu berupa tuberkel serta diikuti dengan kerusakaan saraf, 
tanpa adanya kuman atau hanya dalam jumlah yang sedikit. 
Sedangkan pada orang dengan SIS yang rendah atau lumpuh, 
histiosit tidak mampu menghancurkan kuman, dan bahkan 
dijadikan tempat berkembang bakteri M.leprae, yang selanjutnya 
disebut dengan sel Virchow atau sel lepra atau sel busa. Pada tipe 
lepromatosa, ditemukan area di bawah epidermis  yang bebas 
radang, disebut supepidermal clear zone. Selain itu ditemukan 
banyak sel Virchow pada tipe ini.  
c. Serologi 
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan mengamati keberadaan 
antibodi pada orang yang terinfeksi M. leprae.  Beberapa antibodi 
spesifik dapat diperiksa, seperti antibody  anti phenolic glycolipid-
1 (PGL-1) serta antiprotein 16 kD dan 53 kD.  Selain itu didapati 
pula antibodi nonspesifik seperti antibodi anti-lipoarabinomaan 
(LAM). Antibodi ini  akan dideteksi dengan menggunakan 
beberapa macam pemeriksaan, seperti: uji MLPA (Mycobacterium 
Leprae Particle Aglutination), ELISA (Enzyme Linked 
Immunosorbent Asay), ML dipstick (Mycobacterium leprae dipstick) 
dan ML flow  (Mycobacterium leprae flow test).  
d. Lain-lain 
Penegakan diagnosis PNL sangat sulit, sehingga seringkali 
terdiagnosis setelah terjadi kecatatan. Untuk menegakkan 
diagnosis PNL, dibutuhkan modalitas tambahan yaitu 
pemeriksaan elektrofisiologi, biopsi saraf, dan fine needle 

 
 
 
aspiration cytology. Pada pemeriksaan elektrofisiologi, yang 
banyak ditemukan  adalah gambaran neuropati sensorik tipe 
aksonal dan/atau neuropati motorik tipe campuran (aksonal dan 
demielinisasi) dengan pemanjangan latensi, penurunan 
amplitudo dan kecepatan hantar saraf.  
Biopsi saraf dapat memberikan hasil yang cukup konklusif, yaitu 
ditemukannya kuman BTA atau nekrosis kaseosa. Bila BTA tidak 
ditemukan, gambaran berupa infiltrat mononuklear perineural 
dan endo 
neural juga mengarah kepada neuritis akibat kusta. Namun, 
tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa cedera saraf 
dan memperberat disabilitas. Fine needle aspiration cytology pada 
saraf yang terlibat dapat membantu penegakan diagnosis melalui 
prosedur yang lebih tidak invasif. Polymerase chain reaction (PCR) 
juga dapat dilakukan untuk mendeteksi DNA M. leprae dari 
spesimen biopsi. 
 
3. Diagnosis Banding 
Kusta disebut sebagai the greatest imitator,  karena secara klinis 
menyerupai berbagai penyakit kulit lain. Beberapa kelainan kulit yang 
mirip dengan penyakit kusta, antara lain:  
a. Lesi eritem bersisik: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis 
seboroik, dermatofitosis  
b. Lesi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tanpa skuama: vitiligo, 
birth marks.  
c. Lesi hipopigmentasi dengan skuama halus: pitirasis versikolor, 
pitiriasis alba  
d. Papul, plak atau nodul: neurofibromatosis, sarkoma kaposi, 
veruka vulgaris, leukemia kutis, granuloma anulare, 
tuberculosis kutis verukosus, xanthomatosis. 
 
 
 
 
 
 

 
G. Disabilitas Pada Kusta  
Pada penyakit kusta, hendaya dapat terjadi pada beberapa organ 
seperti kaki, tangan, dan mata. Keadaan ini  diawali dengan adanya 
kerusakan saraf yang berbentuk nyeri saraf, sensibilitas yang hilang, dan 
kekuatan otot motorik yang berkurang. ada  2 jenis hendaya, yaitu 
primer dan sekunder.  
Hendaya primer adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas 
langsung bakteri M. leprae terhadap jaringan. Beberapa contoh dari 
hendaya primer, yaitu anestesi, kulit kering, dan claw hand. Pada hendaya 
sekunder, gangguan yang timbul terjadi akibat keadaan hendaya primer 
yang tidak ditangani ataupun gagal di koreksi. Sebagai contoh yaitu ulkus 
dan kontraktur. Hendaya kusta  dapat terjadi melalui 2 proses, yaitu:                     
Bercak café au lait ( bercak coklat               Nodus lunak berwarna biru keunguan, 
batas tegas) yang muncul sejak lahir.           lokalisata (terutama pada kaki). 
Nodus dan tumor bertangkai pada usia        Pemeriksaan BTA (-) 
yang lebih lanjut, tersebar luas tanpa rasa  
baal. Pemeriksaan BTA (-) 
 
 
 
 

 
 
1. Infiltrasi M.leprae secara langsung terhadap susunan saraf tepi dan 
organ  
2. Proses reaksi kusta.  
 
Untuk memudahkan pemahaman terjadinya hendaya kusta, berikut 
ini dapat dilihat bagan gangguan fungsi saraf tepi 
 
 
 
 
1. Patogenesis Disabilitas 
Gejala yang timbul bermula dari keluhan hilangnya sensibilitas atau 
timbul rasa nyeri. Pasien kerap menyadari ada luka atau lepuh yang 
tidak nyeri, ini terjadi karena aliran darah terganggu dan berlangsung 
lama. Kemudian pasien juga dapat mengeluhkan berkurangnya 
kekuatan otot sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti 
kesulitan memegang benda kecil, memegang kancing baju dan 
mengancingkannya, hingga kesulitan dalam berjalan. 
 
 
2. Klasifikasi Disabilitas Kusta  
Saat ini istilah disabilitas lebih dianjurkan ketimbang kecacatan. 
Disabilitas   memiliki arti luas, sehingga perlu dibedakan berdasar  
tingkatnya. Menurut WHO, disabilitas kusta dinilai dari gejala 
kerusakan fungsi serta struktur dari organ mata, tangan dan kaki. 
Masing-masing organ memiliki tingkat disabilitas masing-masing yang 
ditandai dengan angka antara 0 hingga 2. Angka disabiltas tertinggi 
yang dimiliki pasien akan menjadi tingkat disabilitas pasien ini  
(tingkat disabilitas umum).  Berikut dapat dilihat tingkat disabilitas 
kusta menurut WHO yang telah dilakukan amandemen pada 7th WHO 
Expert Committee on Leprosy, 1997. 
 
 
 
 

 
Di negara kita , ada  keterbatasan pemeriksaan mata di lapangan, 
sehingga dibuat modifikasi klasifikasi tingkat disabilitas sesuai 
keadaan ini , 
 
Dari uraian diatas, maka tingkat disabilitas dapat dijelaskan sebagai 
berikut : 
a. Disabilitas tingkat 0:  tidak ditemukan disabilitas 
b. Disabilitas tingkat 1: disabilitas yang disebabkan oleh kerusakan 
saraf sensorik yang tidak terlihat, seperti hilangnya rasa raba 
pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki, dan saraf 
motorik yang mengakibatkan kelemahan otot tangan dan kaki. 
c. Gangguan fungsi sensorik pada mata tidak di periksa di lapangan, 
oleh karena itu tidak ada disabilitas tingkat 1 pada mata 
d. Disabilitas tingkat satu pada telapak kaki berisiko terjadinya 
ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal 
ini dapat di cegah 

 
 
 
e. Mati rasa pada lesi bukan merupakan cacat tingkat 1, karena 
bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama, namun  
disebabkan rusaknya cabang saraf kecil pada kulit 
f. Oleh karena itu, mencatat tingkat kecacatan merupakan tindakan 
penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut. 
g. Disabilitas tingkat 2 berarti kerusakan yang terlihat.  
1) Untuk mata : 
a) Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagoftalmos) 
b) Kekeruhan kornea 
c) Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi 
kornea atau uveitis) 
d) Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.  
2) Untuk tangan dan kaki : 
a) Luka dan ulkus di telapak 
b) Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki 
semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya 
jaringan (atrofi) atau reabsorbsi parsial dari jari-jari. 
 
H. Tata laksana 
1. Farmakologis 
a. Multi drug therapy 
Tahun 1995 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan 
Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB. 
Tujuan pengobatan adalah:  
1) Memutuskan mata rantai penularan 
2) Mencegah resistensi obat 
3) Memperpendek masa pengobatan 
4) Meningkatkan keteraturan berobat 
5) Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya 
cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.  
 
Regimen pengobatan MDT 
Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat 
anti kusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang 
bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat 
bakteriostatik. Obat MDT tersedia dalam bentuk blister untuk 
pasien dewasa dan anak berusia 10-14 tahun. 

 
 
 
Berikut ini merupakan kelompok orang yang memerlukan  MDT:  
1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah 
mendapat MDT.  
2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di 
bawah ini:  
a) Relaps 
b) Masuk kembali setelah putus obat/default (dapat PB 
maupun MB)  
c) Pindah berobat (pindah masuk)  
d) Ganti klasifikasi/tipe.  
 
Rejimen pengobatan MDT di negara kita  sesuai dengan yang 
direkomendasikan oleh WHO, sebagai berikut:  
1) Pasien pausibasiler (PB) dewasa  
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan 
petugas)  
a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)  
b) 1 tablet dapson/DDS 100 mg  
Pengobatan harian : hari ke-2 hingga 28.  
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg  
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang 
diminum selama 6-9 bulan.  
2) Pasien multibasiler (MB) dewasa 
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan 
petugas)  
a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)  
b) 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)  
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg  
Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28  
d) 1 tablet lampren 50 mg  
e) 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 
 Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang 
diminum selama 12-18 bulan.  
3) Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-14 tahun)  
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan 
petugas) 
a) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg  
- 39 - 
 
 
 
b) 1 tablet dapson/DDS 50 mg  
Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28 
c) 1 tablet dapson/DDS 50 mg. 
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang 
diminum selama 6-9 bulan.  
4) Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-14 tahun)  
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan 
petugas) 
a) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg  
b) 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)  
c) 1 tablet dapson/DDS 50 mg  
Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28: 
d) 1 tablet lampren 50 mg selang sehari 
e) 1 tablet dapson/DDS 50 mg  
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang 
diminum selama 12-18 bulan.  
 
Pada pasien anak berusia kurang dari 10 tahun, dosis 
disesuaikan dengan berat badan, sebagai berikut:  
1) Rifampisin: 10-15 mg/kgBB  
2) Dapson : 1-2 mg/kgBB  
3) Lampren : 1 mg/kgBB  
 

 
 
b. Pengobatan pada kondisi khusus 
1) Pengobatan kusta pada masa kehamilan dan menyusui 
Kusta dapat mengalami eksaserbasi selama kehamilan, 
sehingga penting untuk tetap melanjutkan terapi MDT 
selama kehamilan. The Action Programme for the Elimination 
of Leprosy, WHO, Geneva, telah menentukan bahwa rejimen 
MDT standar adalah aman untuk ibu dan janin, sehingga 
diteruskan tanpa perubahan apapun selama kehamilan. 
Sejumlah kecil obat-obatan antikusta diekskresikan melalui 
air susu, namun tidak ada bukti efek samping kecuali 
perubahan warna kulit ringan pada anak yang disebabkan 
klofazimin. Pengobatan dosis tunggal untuk pasien PB lesi 
tunggal sebaiknya ditangguhkan hingga setelah kelahiran. 
2) Pengobatan pasien dengan tuberkulosis aktif  
Jika pasien menderita kusta dan tuberkulosis, sangatlah 
penting untuk mengobati keduanya pada waktu yang 
bersamaan. Berikan antituberkulosis yang pantas, sebagai 
tambahan terapi antikusta multiobat sesuai dengan tipe 
kusta nya. Rifampisin adalah lazim untuk kedua rejimen dan 
harus diberikan sesuai dengan dosis tuberkulosis. 
3) Pengobatan pasien dengan infeksi HIV  
Tata laksana pasien kusta dengan infeksi HIV sama dengan 
pasien lainnya. Informasi yang tersedia sejauh ini 
mengindikasikan bahwa respon pasien terhadap MDT mirip 
dengan pasien kusta dan manajemen lainnya, termasuk 
reaksi, sehingga tidak memerlukan modifikasi. 
4) Pasien yang tidak dapat menggunakan rifampisin 
Rejimen pengobatan khusus dibutuhkan pada pasien 
pasien al, yang tidak mampu menerima rifampisin karena 
alergi atau penyakit yang menyertai, seperti hepatitis kronik, 
atau pada kusta resisten terhadap rifampisin. 
Pada 1997, WHO Expert Committee on Leprosy 
merekomendasikan rejimen 24 bulan berikut untuk pasien 
dewasa dengan kusta MB, yang tidak mampu menerima 
rifampisin 
Catatan: 
Pemberian harian klaritromisin 500 mg dapat menggantikan rejimen 
diatas untuk ofloksasin atau minosiklin selama pengobatan 6 bulan 
pertama, bagi pasien MB yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin. 
 
5) Pasien yang menolak klofazimin 
Pasien dengan kusta MB yang menolak klofazimin karena 
perubahan warna kulit, tetap memerlukan  pengobatan 
alternatif yang aman dan efektif. Pada pasien seperti ini, 
klofazimin pada terapi MDT normal 12 bulan dapat diganti 
dengan: 
a) Ofloksasin, 400 mg/ hari selama 12 bulan, ATAU 
b) Minosiklin, 100 mg/ hari selama 12 bulan 
 
Pada 1997, WHO Expert Committee on Leprosy juga 
merekomendasikan rejimen alternatif pengobatan MDT 
selama 24 bulan (3 obat) untuk pasien dewasa dengan kusta 
MB, yang menolak klofazimin: 
a) Rifampisin, 600 mg setiap bulan selama 24 bulan 
b) Ofloksasin, 400 mg setiap bulan selama 24 bulan, dan 
c) Minosiklin, 100 mg setiap bulan selama 24 bulan 
 

 
6) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi Dapson 
Pasien yang tidak dapat mengonsumsi dapson dapat 
disebabkan alergi obat (hipersensitivitas terhadap dapson/ 
sindrom dapson) dan  anemia hemolitik. Dapson 
memproduksi efek toksik berat pada pasien kusta manapun, 
baik kusta PB maupun MB, maka obat ini   harus segera 
dihentikan. Tidak ada modifikasi rejimen pada pasien dengan 
kusta MB. Namun, klofazimin dengan dosis yang digunakan 
pada terapi standar untuk kusta MB harus menggantikan 
dapson dalam rejimen pada kusta PB selama 6 bulan. 
Rejimen MDT 6 bulan untuk pasien kusta PB, yang tidak 
mampu menerima dapson, 
7) Kondisi khusus lainnya 
Kadangkala reaksi kusta (baik tipe 1 atau tipe 2) dengan atau 
tanpa neuritis, dapat terjadi setelah pasien menyelesaikan 
pengobatan MDT. Pasien seperti ini harus diobati dengan 
kortikosteroid oral. Sementara itu kortikosteroid diketahui 
dapat mempercepat multiplikasi organisme yang terletak di 
fokus dorman dan mungkin menyebabkan reaktivasi 
diseminata atau relaps. Namun, terjadinya risiko relaps pada  
pasien sangat kecil. Oleh karena itu, direkomendasikan 
pemberian klofazimin 50 mg per hari sebagai profilaksis, jika 
durasi pemberian kortikosteroid diperkirakan melebihi 4 

minggu. Pemberian klofazimin tetap dilanjutkan hingga 
terapi kortikosteroid dihentikan. 
 
c. Tata Laksana Reaksi Kusta 
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan 
identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal 
ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada formulir 
pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti: 
a) Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir  
b) Adanya nyeri raba saraf tepi  
c) Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan 
terakhir  
d) Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir 
e) Adanya bercak pecah atau nodul pecah  
f) Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi  
Bila ada  salah satu dari gejala di atas berarti ada reaksi berat 
dan perlu diberikan obat anti reaksi 
Obat anti reaksi terdiri atas: 
a) Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)  
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan 
reaksi. Cara pemberiannya, dapat dilihat pada 
pengobatan reaksi berat.  
b) Klofazimin/Lamprene™ (untuk reaksi tipe 2)  
 Obat ini dipergunakan untuk penanganan/pengobatan 
reaksi ENL yang berulang (steroid dependent). Cara 
pemberiannya, dapat dilihat pada tabel pengobatan 
reaksi berat. 
c) Thalidomid (untuk reaksi tipe 2)  
 Obat ini tidak dipergunakan dalam program.  
 
1) Tatalaksana reaksi ringan  
Prinsip pengobatan reaksi ringan  
a) Berobat jalan, istirahat di rumah  
b) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila 
perlu  
c) MDT diberikan terus dengan dosis tetap  

 
 
 
d) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus  
2) Tatalaksana reaksi berat  
Prinsip pengobatan reaksi berat antara lain imobilisasi 
lokal/istirahat di rumah. Bila terjadi komplikasi dapat 
dirujuk ke disiplin ilmu terkait (yang tersering: Penyakit 
dalam, saraf, mata, ortopedi). Tatalaksana yang dapat 
diberikan ialah: 
a) MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah  
b) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus  
c) Memberikan obat anti reaksi (Prednison, Klofazimin)  
d) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila 
perlu 
e) Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah 
sakit. 
f) Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednison 
dan klofazimin. 
 

 
 Tipe 1 dan   Dosis maksimal awal 1 mg/kg BB     
 2 berat anak   
Evaluasi tiap 2 minggu, untuk 
penurunan    
    Dosis       
    Total lama pengobatan maksimal    
    12 minggu       
 Neuritis 
  
Pada neuritis yang terjadi < dari 6 
bulan diberikan prednison dengan     
    dosis standar 12 minggu.    
    Dosis dimulai 40-60 mg/hari    
    
dengan  dosis  maksimal  1mg/kg  
berat badan.  Biasanya  terjadi    
    
penyembuhan 
dalam dalam 
beberapa hari.     
 ENL berat   Sesuai skema    
Dosis klofazimin 
dewasa:   
 Berulang       
300 mg/hari 
selama 2 bulan   
 (dependent       
200 mg/hari 
selama 2 bulan   
 steroid)       
100 mg/hari 
selama 2 bulan   
 
 
Catatan untuk pemberian prednison: 
1) Pemberian prednison harus di bawah pengawasan dokter 
puskesmas/petugas kabupaten dan harus dicatat pada formulir 
evaluasi pengobatan reaksi berat.  
2) Kondisi pasien yang mungkin merupakan kontra indikasi 
pemberian prednison: TB, kencing manis, tukak lambung berat, 
infeksi sekunder pada luka di tangan atau kaki yang memburuk. 
Jika kondisi ini  berat, maka pengobatan reaksi harus di unit 
rujukan (rumah sakit rujukan)  
3) Untuk reaksi, prednison diberikan dalam dosis tunggal pagi hari 
sesudah makan, kecuali jika keadaan terpaksa dapat diberikan 
secara dosis bagi, misalnya 2 x 4 tablet/hari.  

 
4) Perlu diingat bahwa prednison bisa menyebabkan efek samping 
yang serius. Oleh karena itu pasien harus mematuhi aturan 
pemberian prednison. Tidak boleh dihentikan tiba-tiba karena 
dapat menyebabkan rebound phenomena (demam, nyeri otot, 
nyeri sendi, malaise). Sementara efek samping pemakaian jangka 
panjang adalah: gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemi, 
mudah infeksi, perdarahan atau perforasi pada pasien tukak 
lambung, osteoporosis, Cushing Syndrome: moon face, obesitas 
sentral, jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan, timbunan 
lemak supraklavikuler. 
 
SKEMA PEMBERIAN PREDNISON 
Minggu pertama 40mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah 
makan 
Minggu kedua  30mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah 
makan 
Minggu ketiga  20mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah 
makan 
Minggu keempat  15mg/hari (1x3 tab) pagi hari 
sesudah makan 
Minggu kelima 10mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah 
makan 
Minggu kedua  5mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah 
makan 
 
Catatan untuk pemberian klofazimin lepas: 
1) Klofazimin lepas diberikan pada penderita ENL berat, berulang 
(setelah terjadi ≥ 2 episode), yang menyebabkan ketergantungan 
terhadap steroid (steroid dependent).  
2) Klofazimin diberikan dalam dosis tunggal, pagi hari sesudah 
makan, kecuali jika keadaan terpaksa dapat diberikan secara 
dosis terbagi, misalnya 3 x 1 tablet/hari atau 2 x 1 tablet/hari  
 
SKEMA PEMBERIAN KLOFAZIMIN 
300 mg/hr atau 3x100 mg selama 2 bulan 
200 mg/hr atau 2x100 mg selama 2 bulan  
100 mg/hr selama 2 bulan 
 
d. Tata Laksana nyeri neuropatik pada kusta 
Pasien dengan kusta, baik yang belum atau sudah menerima 
terapi, dapat mengalami keluhan neuropati yang dapat disertai 
nyeri. Nyeri pada kusta dapat berupa (1) nyeri nosiseptif akibat 
stimulus nosiseptif dan peradangan, ataupun (2) nyeri neuropatik 
akibat keterlibatan dan disfungsi pada jaras somatosensorik 
terutama pada saraf perifer. Nyeri nosiseptif umumnya 
merupakan bagian dari reaksi kusta dan telah dibahas pada 
bagian sebelumnya, sedangkan nyeri neuropatik dapat terjadi 
sejak awal diagnosis, hingga pasien selesai menerima terapi 
kusta. Hal ini penting untuk diketahui karena memiliki perbedaan 
patofisiologi dan pendekatan tata laksana yang akan 
mempengaruhi keberhasilan terapi dan kualitas hidup pasien. 
Nyeri neuropatik memiliki karakteristik berupa nyeri spontan 
atau nyeri yang diinduksi oleh stimulasi pada daerah yang 
diinervasi oleh saraf yang mengalami kerusakan, biasanya 
disertai dengan munculnya sensasi abnormal pada daerah 
ini . Nyeri neuropatik pada kusta ditemukan pada 22-56% 
pasien kusta, bahkan lebih tinggi (mencapai 85%) pada pasien 
kusta yang telah menerima terapi. Nyeri ini dapat muncul secara 
akut, atau kronik. Karakteristik nyeri neuropatik diakibatkan 
oleh dominasi kerusakan pada serabut saraf berukuran kecil 
(small-fiber sensory neuropathy) dengan karakteristik nyeri yang 
timbul spontan berupa rasa tersengat listrik, rasa panas/bakar, 
sensasi seperti ditusuk-tusuk (pricking pain), dan juga rasa baal. 
Nyeri juga dapat timbul setelah pemberian stimulus seperti 
alodinia atau hiperalgesia. Derajat nyeri yang dikeluhkan pasien 
bervariasi namun yang terbanyak ialah derajat berat (55,5%).  
Tata laksana nyeri neuropatik pada kusta meliputi pengobatan 
yang adekuat terhadap kusta yang mendasari ditambah dengan 
l
 
 
 
tata laksana sesuai dengan panduan nyeri neuropatik, 
 
 

e. Tata Laksana Psikiatri 
Pengobatan gangguan kejiwaan pada pasien kusta pada intinya 
sama dengan pasien lainnya. Tatalaksana farmakoterapi dan 
nonfarmakoterapi yang dianjurkan, tergantung pada kondisi yang 
dialami. Obat yang dapat diberikan adalah dari golongan anti 
depresan, antiansietas, hingga antipsikotik, dengan observasi 
ketat dari psikiater. Psikoterapi adalah tatalaksana nonfarmologi 
yang akan diberikan pada pasien dengan komorbiditas kusta dan 
gangguan psikiatri. Psikoterapi secara rutin akan membantu 
pasien, salah satunya dengan memerbaiki fungsi koping. 
Dalam tatalaksana kusta perlu dipertimbangkan penyelesaian 
masalah psikologis pasien, yang seringkali tidak dikeluhkan. 
Kondisi depresi terjadi akibat adanya stigma, sehingga 
menimbulkan penurunan kualitas hidup, bahkan pengobatan 
menjadi tidak tuntas. 
usaha  yang dilakukan yaitu merujuk pasien, termasuk 
keluarganya, pada dokter ahli jiwa (psikiater) untuk konseling dan 
psikoterapi.  
 
 
 
 
 
Terapi Lini Pertama 
 -  Ligan kanal kalsium 
Pregabalin, gabapentin 
 -  Inhibitor ambilan serotonin dan noradrenalin 
Duloksetin, venlafaksin 
 -  Antidepresan trisiklik 
Amitriptilin, nortriptilin, imipramin 
Terapi Lini Kedua 
 -  Opioid sintetik 
Tramadol 
Terapi Lini Ketiga 
 -  Opioid kuat 
Fentanil, morfin, oksikodon, buprenorfin 
 
 
 
f. Tata Laksana Bedah 
Prosedur pembedahan bisa dilakukan bila pasien sudah 
mendapatkan terapi medikamentosa yang adekuat namun belum 
menunjukkan perbaikan gejala.  
Tatalaksana Operatif dan Rekonstruksi yang dilakukan ialah: 
1) Debridement 
Debridement adalah prosedur membersihkan saraf dari pus, 
debris, dan jaringan nekrotik. 
2) Neurolisis 
Neurolisis diusahakan sampai betul-betul membebaskan 
saraf dari jepitan sehingga vaskularisasi pada saraf ini  
dapat kembali normal. 
a) Eksternal neurolisis 
Eksternal neurolisis adalah pembebasan jepitan saraf 
dari jepitan yang berasal dari luar epinerium (tulang, 
fascia, tumor dll). 
b) Ekstraneural neurolisis. 
Ekstraneural neurolisis adalah pembebasan jepitan 
saraf dengan melakukan insisi longitudinal epineurium. 
c) Interfasikular neurolisis. 
Interfasikular neurolisis adalah prosedur melakukan 
pembebasan pada derajat fasikulus, jadi melakukan 
insisi longitudinal pada perineurium, dengan 
memperhatikan anastomose dari vaskularisasi saraf. 
3) Eksisi lesi granulomatosa 
Eksisi lesi granulomatosa adalah tindakan yang cukup 
ekstensif dan memerlukan graft yang sesuai dengan besar 
dan panjangnya saraf. 
4) Transposition  
Adalah prosedur memindahkan jalur saraf ke tempat yang 
lebih aman dari kemungkinan jepitan, seperti anteriorisasi n. 
Ulnaris. 
5) Rekonstruksi komplikasi paralisis nervus ulnaris. 
 . Non Farmakologis 
a. Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi 
Sebelum dilakukan tatalaksana Kedokteran Fisik dan 
Rehabilitasi, selalu di awali dengan penilaian keterbatasan 
fungsional dan disabilitas pada pasien kusta yang dilakukan 
melalui asesmen oleh dokter SpKFR (Spesialis Kedokteran Fisik 
dan Rehabilitasi) secara komprehensif dengan menegakkan 
diagnosis fungsional berdasar  ICF (International Classification 
of Functioning, Disability and Health). Selain itu diperlukan 
pemeriksaan penunjang yang seperti USG muskuloskeletal, 
laboratorium, EMG, dan permintaan radiologi. 
Keterbatasan fungsional yang dialami pasien kusta antara lain 
gangguan nyeri, gangguan fungsi tangan, gangguan mobilisasi, 
gangguan ambulasi berjalan, gangguan aktivitas kehidupan 
sehari-hari, dan gangguan partisipasi. 
Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ialah agar 
penderita kusta dapat kembali ke warga  sebagai manusia 
yang produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi medik 
berupa terapi fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan 
prosthesis, perawatan luka, supporting psikologis melalui 
peresepan latihan yang sesuai. 
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi sebagai berikut: 
1. Konseling dan Edukasi 
a) Konseling 
Membantu pasien agar menyadari potensi yang dimiliki 
dan memanfaatkan potensi mentalnya seoptimal 
mungkin untuk meningkatkan kualitas penyesuaian 
baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya. 
Konseling juga diberikan dengan tujuan untuk 
mengurangi tingkat antisosial pasien kusta dengan 
disabilitas.  
b) Edukasi Kesehatan 
Memberikan informasi kesehatan kepada pasien 
mengenai penyakit kusta: penyebab, pengobatan, 
hendaya, dan disabilitas yang terjadi serta pencegahan 
disabilitas. Memberikan informasi mengenai 

 
 
penggunaan alat pelindung diri dalam melakukan 
aktivitas pekerjaan di rumah maupun di tempat kerja.  
c) Penggunaan Modalitas fisik 
Modalitas fisik digunakan untuk mengatasi disabilitas 
pasien. Pemberian terapi modalitas fisik pada penderita 
kusta harus sesuai dengan indikasi dan kontraindikasi. 
Jenis terapi modalitas fisik yang dapat diberikan adalah 
sebagai berikut: Electrical Stimulation (ES), untuk 
redukasi otot; Laser therapy, untuk membantu proses 
penyembuhan luka dan mengurangi nyeri; 
Transcutaneus Electro Nerve Stimulation (TENS), untuk 
mengurangi nyeri dan desensitisasi sensorik; 
Ultrasound Diathermy, untuk meningkatkan 
ekstensibilitas jaringan, sehingga dapat meningkatkan 
lingkup gerak sendi; dan terapi panas dan terapi dingin. 
d) Pemberian Terapi Latihan  
Terapi latihan merupakan strategi yang paling penting 
dan mendasar dalam tatalaksana rehabilitasi medik. 
Terapi latihan dapat dicapai dengan latihan setiap hari, 
dengan perhatian khusus yaitu cegah latihan atau 
berhenti latihan jika ada  luka atau lesi pecah-
pecah pada tangan dan kaki. Kulit harus kuat untuk 
meregang selama latihan. 
Terapi Latihan terhadap pasien dapat berupa latihan 
lingkup gerak sendi, latihan peregangan, latihan 
penguatan dan massage baik menggunakan alat 
ataupun tanpa alat. Latihan dapat dilakukan secara 
pasif maupun aktif. 
(1) Latihan Aktif: Pasien menggunakan ototnya yang 
lemah untuk latihan. Hal ini mencegah kontraktur 
dan menguatkan otot yang lemah. 
(2) Latihan Pasif: Pasien dibantu untuk 
menggerakkan bagian yang paralisis secara pasif 
untuk mencegah terbentuknya kontraktur. 
               

 
 
                            
Program latihan harus dibuat dengan preskripsi dan 
perencanaan yang tepat untuk meminimalisasi cedera 
saraf lanjut dan memastikan efek terapi yang dilakukan. 
Terapi latihan ini meliputi :  
(1) latihan untuk mempertahankan Lingkup Gerak 
Sendi (LGS) 
(2) latihan untuk meningkatkan kekuatan dan 
ketahanan otot 
(3) latihan untuk meningkatkan ketahanan 
kardiorespirasi 
(4) latihan untuk koordinasi 
(5) latihan untuk memulihkan keseimbangan 
(6) latihan ambulasi 
(7) latihan untuk memulihkan fungsi AKS. 
Pemberian peresepan terapi latihan harus disesuaikan 
dengan kondisi tertentu pada pasien meliputi 
hemodinamik yang stabil, tidak adanya tanda-tanda 
infeksi pada area yang akan dilatih, terapi latihan tidak 
menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut, 
imobilisasi diperlukan pada area tendon yang telah 
dilakukan rekonstruksi, jika pasien memiliki gangguan 
psikologis yang signifikan atau tidak sadar, terapi 
latihan aktif tidak memungkinkan untuk dilakukan. 
Latihan peregangan (stretching) yang dilakukan secara 
gentle sangat efektif untuk mencegah terjadinya 
kontraktur pada sendi. Latihan stretching dilakukan 3 
kali sehari dan di luar waktu ini  pasien tetap 
melakukan latihan secara mandiri. 
Latihan penguatan dapat berupa latihan beban dan 
latihan sirkuit. Dalam melakukan latihan ketahanan 

 
 
 
perlu memperhatikan kondisi fungsi kardiorespirasi. 
Latihan penguatan dan ketahanan otot diberikan tidak 
hanya pada sisi yang sakit, namun  juga diberikan pada 
sisi yang sehat. Pemberian latihan ini bertujuan untuk 
mempertahankan trofi otot dan persiapan ambulasi. 
Pada ekstermitas bawah yang telah mengalami 
amputasi diperlukan bandaging yang tepat (seperti 
elastic bandage, stockings, taping) saat latihan ambulasi 
untuk mendapatkan bentuk/shape pungtum yang baik, 
maturasi pungtum dan mengurangi nyeri. Latihan 
ambulasi dilakukan dengan atau tanpa alat bantu 
berjalan. Alat bantu berjalan yang dapat digunakan 
adalah crutches, walker yang digunakan pada pasien 
kusta dengan amputasi ekstremitas bawah. Pasien 
kusta dengan deformitas pada kaki (contoh : dropfoot) 
perlu menggunakan AFO (Ankle Foot Orthosis), sepatu 
khusus dan modified insole untuk membantu ambulasi 
berjalan. 
 

2. Okupasi 
Bentuk kegiatan yang dilatih yaitu aktifitas sehari-hari 
berupa: perawatan diri, berpakaian, berhias, mobilisasi, 
transfer, mengurus rumah tangga, produktifitas (pekerjaan), 
pemanfaatan waktu luang (leisure). Memberikan alat bantu 
beraktivitas (adaptive devices) untuk ke 2 tangan yang 
mengalami disabilitas. 
Dengan target terapi antara lain : 
a. Perbaikan fungsi fisik, peningkatan lingkup gerak sendi, 
kekuatan otot dan koordinasi. Bentuk kegiatan latihan 
disesuaian dengan pekerjaan atau hobi dari pasien. 
b. Pasien kusta mampu latih dalam merawat diri sendiri 
dalam kehidupan sehari-hari. 
c. Pasien kusta mampu menggunakan adaptive devices 
sederhana 
d. Meningkatkan toleransi dalam bekerja dan 
mengembangkan kemampuan yang sudah ada 
sebagaimana tujuan dari terapi vokasional pasien.  
e. Mampu mengatur penempatan pekerjaan untuk 
meminimalisasi kerugian produksi 

 
 
 
f. Penentuan kemampuan fisik dan mental, status sosial, 
minat, kebiasaan kerja dan kemampuan kerja pasien 
melalui eksplorasi pre-vokasional 
g. Pemberian terapi diversional yaitu sebagai kegiatan 
untuk memanfaatkan waktu selama masa perawatan di 
rumah sakit.  
h. Mengukur kemampuan pasien dalam bekerja dan 
mengajarkan pasien agar melindungi daerah tubuh 
yang telah hilang sensasi. 
 
3. Pemberian Ortosis, Prostesis, Sepatu khusus 
a. Pemberian ortosis pada penderita kusta berupa ortosis 
untuk anggota gerak atas dan bawah dalam melakukan 
aktivitas sehari-hari. Seperti splint tangan dan kaki, 
splint knuckelbender, AFO (ankle foot orthosis) hingga 
alas kaki/sepatu khusus.  
Tujuan pemberian splint meliputi : 
1) Memposisikan bagian tubuh atau sendi dengan 
tepat sesuai dengan posisi anatomis (contoh: 
untuk sendi tangan yang berpotensi mengalami 
kontraktur) 
2) Memberikan topangan, proteksi dan imobilisasi 
tendon atau sendi yang terganggu (contoh: pada 
kaki yang mengalami drop foot) 
3) Membantu mengurangi nyeri dan edema pada 
pasien 
4) Memberikan proteksi pada grafts/flap (pasca 
rekonstruksi) yang baru terpasang 
5) Memposisikan sendi yang kontraktur atau bagian 
tubuh yang mengalami deformitas 
6) Menjaga dan meningkatkan posisi dalam 
pergerakan. 
 
Dalam pemasangan splint diperlukan monitor dan 
evaluasi untuk melihat kondisi kulit dan penekanan 
saraf pada sekitar sendi. Sebagai contoh, nervus 
peroneus di bawah caput fibula sering mengalami 

 
 
 
penekanan akibat pemasangan splint yang tidak tepat 
dan mengakibatkan drop foot permanen. Setelah 
pemasangan splint, pasien harus diberikan edukasi 
mengenai bagaimana, kapan dan hingga berapa lama 
pasien harus mengenakan splint serta cara 
membersihkan dan merawat splint.  
          

 
b. Pemberian prostesis pada penderita diperlukan pada 
anggota gerak atas dan bawah apabila telah dilakukan 
amputasi dengan tujuan untuk membantu ambulasi. 
Juga prostesis jari-jari dan tangan pada pasien mutilasi, 
untuk membantu fungsional dan kosmesis sehingga 
menambah self esteem dan kualitas hidup pasien. 
c. Pemberian alas kaki, sendal hingga sepatu khusus 
dilakukan untuk menghindari terjadinya luka lebih 
lanjut pada pedis, dimana terjadi gangguan sensibilitas 
hingga di perifer. Dibuat secara customize dari bahan 
khusus, sesuai preskripsi dokter Sp.KFR. Sepatu atau 
sandal khusus juga diberikan jika terjadi drop foot, di 
adjust dengan memakai spring di bagian depan 
sepatu/sendal, sehingga membantu gerakan foot 
clearance pasien saat berjalan. 
 
4. Perawatan rehabilitasi medik pada pasien kusta yang 
mengalami luka 
a. Luka yang timbul pada penderita kusta perlu dilakukan 
perawatan luka dan  melindungi luka dengan 
mengurangi tekanan pada area luka, membatasi  

 
 
 
mobilitas, mengurangi weight baring pada area luka 
terutama ekstremitas bawah berupa penggunaan bidai, 
gips, kursi roda, tongkat, modifikasi sepatu atau alas 
kaki, dan lainnya.  
 
5. Rehabilitasi Karya/Pelatihan: 
a. Pelatihan Vokasional yaitu berupa: 
1) Keterampilan menjahit 
2) Keterampilan las 
3) Keterampilan dalam percetakan 
4) Keterampilan bertani dan berternak 
b. Menyediakan bengkel kerja (workshop) 
c. Penderita kusta dengan disabilitas yang berat perlu 
diberikan alat bantu modifikasi untuk melakukan 
aktivitas sehari-hari maupun pekerjaan lain.