Rabu, 07 Juni 2023
kusta
Juni 07, 2023
kusta
Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis namun meluas hingga masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan dan ketahanan nasional.
Penyakit kusta biasanya ada di negara-negara yang sedang
berkembang sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara ini
untuk memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan sosial serta ekonomi pada warga .
Tahun 2016, WHO mengeluarkan “Global leprosy strategy 2016–2020:
Mempercepat dunia bebas kusta yang dijadikan sebagai momentum
program kusta secara global dan lokal. Target dalam strategi global adalah:
1) Tidak ada cacat tingkat 2 pada anak dengan diagnosis kusta; 2)
Menurunkan kasus baru dengan cacat tingkat 2 di bawah 1/1000.000
penduduk; dan 3) Tidak ada negara yang melakukan diskriminasi berbasis
pada kusta. Target-target ini sangat baik dan mengesankan, namun ini
sangat ambisius dan sulit dicapai dalam 5 tahun kedepan. Tujuan lainnya
termasuk promosi penemuan kasus secara dini melalui kampanye aktif
case finding didaerah endemis tinggi, memperkuat surveilans resistensi
obat termasuk jejaring laboratorium dan langkah-langkah menghentikan
diskriminasi dan promosi inklusi kusta di warga luas. Global leprosy
strategy juga masuk dalam “Roadmap for Neglected Tropical Diseases”
untuk promosi integrasi dengan pelayanan dasar dan kasus rujukan.
Pada Juli 2013, Deklarasi Bangkok yang ditandatangani oleh Menteri
Kesehatan Negara Endemis Tinggi Kusta termasuk negara kita , WHO serta
stakeholder terkait, menyepakati dilanjutkannya usaha -usaha inovatif demi
mendorong pencapaian status eliminasi pada tingkat sub-nasional tahun
2019. Di samping itu ditetapan pula target angka cacat tingkat 2 di bawah
1/1.000.000 penduduk pada tahun 2020. negara kita telah mencapai status
eliminasi nasional pada tahun 2000, namun situasi epidemiologi kusta di
negara kita hingga saat ini cenderung statis dengan angka pencapaian kasus
baru berkisar 17.000-20.000 kasus tiap tahunnya.
Angka kasus kusta baru di negara kita pada tahun 2016 dilaporkan
16.826 kasus dengan angka prevalensi 0,71 per 10.000 penduduk dan
angka penemuan kasus baru sebesar 6,5 per 100.000 penduduk. Di antara
kasus baru ini , 83% merupakan kasus MB (Multi Basiler), 9% kasus
cacat tingkat 2 dan 11% kasus anak. Tingginya proporsi kasus MB, cacat
tingkat 2 dan kasus anak di negara kita , menunjukkan masih
berlangsungnya penularan dan masih tingginya angka keterlambatan
dalam penemuan kasus baru. Saat ini masih ada 11 provinsi di
negara kita dengan angka prevalensi lebih dari 1 kasus per 10.000
penduduk. berdasar data tahun 2016, masih ada 139 kabupaten/kota
dengan prevalensi masih di atas 1/10.000 penduduk. usaha untuk
mencapai eliminasi kusta di tingkat kabupaten/kota ini akan mendorong
tercapainya eliminasi pada tingkat provinsi.
usaha pengendalian penyakit kusta di dunia menetapkan tahun 2000
sebagai tonggak pencapaian eliminasi. negara kita berhasil mencapai target
ini pada tahun yang sama, akan namun perkembangan 10 tahun terakhir
memperlihatkan kecenderungan statis dalam penemuan kasus baru.
Sebagai usaha global, WHO yang didukung ILEP (International Federation
of Anti Leprosy Associations) mengeluarkan Enhanced Global Strategy for
Further Reducing the Disease Burden due to Leprosy (2011-2015).
Berpedoman pada panduan WHO ini dan menyelaraskan dengan Rencana
Strategi Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019, maka disusunlah
kebijakan nasional pengendalian kusta di negara kita .
Secara epidemiologi penyakit kusta di dunia dan khususnya di
negara kita , dibagi 2 menurut distribusinya, sebagai berikut:
1. Distribusi penyakit kusta menurut geografi
WHO melaporkan data yang terkumpul dari 143 negara pada tahun
2016 yaitu kasus baru yang terdeteksi sebanyak 214.783 dan yang
terdaftar sebanyak 171.948 (angka prevalensi 0,23 per 10.000
penduduk). Dari jumlah kasus baru yang ditemukan paling banyak
ada di wilayah Asia Tenggara (115.180) diikuti wilayah Amerika
(26.365), Afrika (21.465), dan sisanya berada di wilayah lain di dunia.
Distribusi kasus kusta di negara kita menyebar hampir di seluruh
propinsi dengan daerah kantong di kabupaten atau kecamatan
tertentu. Beberapa propinsi di wilayah timur negara kita masih
merupakan propinsi endemis tinggi.
Distribusi angka penemuan kasus baru kusta di negara kita
2. Distribusi menurut faktor manusia
Faktor-faktor yang memengaruhi adalah etnik atau suku, sosial
ekonomi, usia, dan jenis kelamin. Di Myanmar kejadian kusta
lepromatosa lebih sering pada etnik Burma dibandingkan dengan etnik
India. Situasi di Malaysia juga menunjukkan hal yang sama, kejadian
kusta lepromatosa lebih banyak pada etnik Cina dibandingkan etnik
Melayu atau India.
Distribusi penyakit kusta menurut umur, umumnya dibuat
berdasar prevalensi dan hanya sedikit yang berdasar insiden.
l
Hal ini disebabkan kesulitan mengetahui saat awal timbulnya
penyakit. Dengan kata lain, kejadian penyakit lebih mudah dikaitkan
dengan usia saat ditemukan, ketimbang menentukan awitan penyakit.
Kusta dapat menginfeksi setiap pasien berbagai usia, dengan rentang
3 minggu sampai lebih dari 70 tahun. Namun yang terbanyak adalah
pada usia muda dan produktif, terutama terlihat pada usia 20 hingga
30 tahun. Pada daerah endemis, infeksi terjadi terutama pada usia
anak, sebaliknya di daerah endemis rendah lebih banyak pada usia
dewasa, bahkan di usia lanjut. Proporsi kasus anak di antara kasus
baru didapatkan sebanyak 11,43%. Ditemukannya kasus kusta pada
anak menunjukkan adanya kasus kusta usia dewasa yang belum
diobati. Mengacu pada Indian Association of Leprologist (IAL)
didapatkan bahwa di berbagai negara di dunia termasuk negara kita ,
kasus kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki dibandingkan
dengan perempuan dengan rasio 2:1. Rendahnya kejadian kusta pada
perempuan kemungkinan karena faktor lingkungan dan sosial budaya.
B. Permasalahan
Kasus kusta baru di negara kita masih banyak ditemukan, dengan
jumlah bervariasi terutama di wilayah Timur. Hingga tahun 2016, angka
kecacatan tingkat II didapatkan 5,27/1.000.000 penduduk, dan angka
kecacatan tingkat II pada anak 0,24 /1.000.000 penduduk. Tingginya
angka ini antara lain disebabkan oleh: adanya stigma sosial terhadap kusta
yang cukup tinggi di warga dan tenaga kesehatan menghambat
penemuan kasus dan tatalaksana kusta, warga belum mengetahui
gejala awal penyakit kusta, sebagian besar pemegang program
pengendalian kusta bukan dokter, tatalaksana kusta secara komprehensif
(termasuk pencegahan kecacatan) belum optimal, secara klinis penyakit
kusta banyak menyerupai penyakit kulit lainnya sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang. Sedangkan fasilitas pemeriksaan penunjang
untuk penegakkan diagnosis belum tersedia di semua fasilitas pelayanan
kesehatan perjalanan penyakit kusta yang sangat panjang sehingga reaksi
yang timbul setelah pengobatan tidak terpantau, belum adanya
keseragaman dalam penatalaksanaan kusta.
1. Tujuan umum:
Membuat pedoman berdasar bukti ilmiah untuk para praktisi yang
menangani kusta.
2. Tujuan khusus:
a. Memberi rekomendasi bagi rumah sakit/pembuat keputusan
klinis untuk menyusun protokol setempat atau Panduan Praktik
Klinis (PPK) yang mengacu pada Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran (PNPK) Tata Laksana Kusta.
b. Meningkatkan angka notifikasi pasien kusta
c. Mencegah resistensi obat
d. Menjadi dasar bagi kolegium dokter untuk membuat kurikulum
pendidikan
e. Menurunkan morbiditas dan disabilitas/kecacatan akibat kusta.
D. Sasaran
Sasaran Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Kusta, yaitu:
1. Dokter dan dokter spesialis yang terlibat dalam penanganan kusta
2. Pembuat keputusan klinis di fasilitas pelayanan kesehatan, institusi
pendidikan dan kelompok profesi terkait.
- 9 -
BAB II
METODOLOGI
A. Penelusuran Pustaka
Penelusuran kepustakaan dilakukan secara manual dan elektronik,
melalui PUBMED, EBSCO, The Cochrane Laboratory, Textbook Physical
Medicine and Rehabilitation, Textbook of Leprosy, dengan kata kunci yang
digunakan yaitu kusta, reaksi kusta, disabilitas kusta, komplikasi.
B. Telaah Kritis
Setiap bukti ilmiah yang diperoleh dilakukan telaah kritis oleh pakar
dalam bidang Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin, Ilmu Penyakit Saraf, Ilmu
Kesehatan Mata, Bedah Orthopedi, Ilmu Kesehatan Jiwa serta Kedokteran
Fisik dan Rehabilitasi.
C. Peringkat Bukti
Level of evidence (LoE) yang digunakan, yaitu:
1. Level I : meta analisis, uji klinis besar dengan randomisasi
2. Level II : uji klinis lebih kecil, tidak dirandomisasi
3. Level III : penelitian retrospektif, observasional
4. Level IV : serial kasus, laporan kasus, konsensus, pendapat ahli.
D. Derajat Rekomendasi
berdasar LoE di atas, dapat dibuat rekomendasi sebagai berikut:
1. Rekomendasi A bila berdasar pada bukti level I
2. Rekomendasi B bila berdasar pada bukti level II
3. Rekomendasi C bila berdasar pada bukti level III
4. Rekomendasi D bila berdasar pada bukti level IV
- 10 -
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Definisi Kusta
Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae. Penyakit ini mempunyai afinitas utama pada saraf
tepi/perifer, kemudian kulit, dan dapat mengenai organ tubuh lain seperti
mata, mukosa saluran napas atas, otot, tulang dan testis.
B. Etiologi dan Patogenesis
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
G. A. Hansen pada tahun 1873 di Norwegia, yang hingga saat ini belum
dapat dibiakkan dalam media artifisial. Namun, pada tahun 1960 Shepard
berhasil menginokulasikan M. leprae pada kaki mencit, dan berkembang
biak di sekitar area ini . M. leprae berbentuk batang dengan ukuran 1-
8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alkohol serta Gram-positif.
M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan
gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya. Basil kusta masuk ke
tubuh manusia melalui kontak langsung dengan kulit atau mukosa nasal
yang berasal dari droplet. Basil dari droplet akan bertahan hidup selama 2
hari dalam lingkungan yang kering, bahkan hingga 10 hari pada lingkungan
yang lembab dan suhu yang rendah. Setelah infeksi terjadi, gejala klinis
pada saraf perifer atau kulit akan muncul dalam waktu 3 bulan hingga 10
tahun. Gejala klinis yang timbul bervariasi, bergantung pada sistem
imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik, akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya bila SIS rendah memberikan
gambaran lepromatosa.
C. Manifestasi Klinis
1. Kulit
Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak hipopigmetasi
dengan anestesi, atau makula hipopigmetasi disertai tepi yang
menimbul dan sedikit eritematosa, atau berupa infiltrat/plak
eritematosa, atau dapat pula berbentuk papul dan nodul. Kelainan
kulit ini menyerupai berbagai penyakit kulit lain, sehingga adanya
gangguan sensibilitas berupa anestesi atau hipoestesi sangat
- 11 -
membantu dalam menegakkan diagnosis kusta. Gambaran klinis kulit
yang beragam ini dapat digunakan untuk menentukan tipe kusta,
karena khas untuk tipe tertentu.
2. Saraf Perifer
Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah adanya kerusakan
saraf perifer yang menyertai lesi kulit, terutama pada serabut saraf
kulit dan trunkus saraf. Gambaran dan distribusi kerusakan saraf
yang terjadi dipengaruhi oleh jumlah bakteri yang menginfiltrasi saraf,
serta respons imunologis penderita terhadap saraf yang terinfeksi.
berdasar hal ini , manifestasi klinis kerusakan saraf perifer
dapat digolongkan menjadi gangguan sensorik, gangguan motorik dan
gangguan otonom. Ketiga gangguan ini dapat terjadi pada saraf perifer
di ekstremitas maupun saraf kranial.
Neuropati perifer paling sering bermanifestasi sebagai mononeuropati,
polineuropati atau mononeuropati multipleks. Saraf perifer yang sering
terkena ialah N.ulnaris, N.radialis, N.medianus, N. poplitea lateralis,
N. tibialis posterior, N. fasialis, N. trigeminus serta N.auricularis
magnus. Gangguan pada saraf perifer ini meliputi gangguan
pada cabang saraf sensorik, otonom dan motorik, seperti yang
diuraikan berikut ini.
a. N. ulnaris
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada ujung jari bagian
anterior kelingking dan jari manis. Sedangkan gangguan saraf
motorik menyebabkan clawing jari kelingking dan jari manis,
atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis
medial.
b. N. medianus
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada ujung jari bagian
anterior ibu jari, telunjuk, dan jari tengah. Pada gangguan saraf
motorik dapat menyebabkan ibu jari tidak mampu aduksi, serta
terjadi kontraktur ibu jari. Selain itu, juga terjadi clawing ibu jari,
telunjuk, dan jari tengah. Otot tenar dan kedua otot lumbrikalis
lateral mengalami atrofi.
- 12 -
c. N. radialis
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi dorsum manus, serta
ujung proksimal jari telunjuk. Pada gangguan saraf motorik,
pergelangan tangan maupun jari-jari tangan tak mampu ekstensi,
sehingga menyebabkan paresis, disebut sebagai tangan gantung
(wrist drop).
d. N. poplitea lateralis
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi tungkai bawah
bagian lateral dan dorsum pedis. Gangguan pada saraf motorik
menyebabkan kaki gantung (foot drop) dan kelemahan otot
peroneus.
e. N. tibialis posterior
Gangguan saraf sensorik dapat menyebabkab anestesi telapak
kaki. Sedangkan gangguan motorik berupa claw toes, paralisis
otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
f. N. fasialis
Gangguan pada cabang temporal dan zigomatik dapat
menyebabkan lagoftalmos. Sedangkan gangguan pada cabang
bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan bibir mencong,
sudut mulut asimetris, dan kegagalan mengatupkan bibir, yang
disebut sebagai parese fasialis.
g. N. trigeminus
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi kulit wajah,
kornea dan konjungtiva.
h. Kusta saraf murni
Kusta saraf murni atau yang dikenal sebagai pure neural leprosy
(PNL) merupakan penyakit kusta yang hanya mengenai saraf,
dengan gambaran klinis hipoestesi atau anestesi tidak berbatas
tegas, dan tanpa lesi di kulit. Angka kejadian PNL berkisar antara
4-8% dari kejadian kusta, dan sebagian besar penderitanya
adalah laki-laki. Keluhan terbanyak ialah gangguan sensorik
pada dermatom yang dipersarafi oleh saraf yang terlibat, dan
deformitas atau kelemahan akibat keterlibatan saraf motorik.
Umumnya PNL mengenai saraf pada ekstremitas atas. Nervus
ulnaris, merupakan yang paling banyak terkena, diikuti dengan
nervus poplitea lateralis, nervus tibialis posterior, dan nervus
- 13 -
suralis. Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya
penebalan dan pembesaran saraf yang dapat didahului nyeri
neuropatik (sering dikaitkan dengan neuritis) beberapa bulan
sebelum diagnosis klinis ditegakkan.
Pemeriksaan elektrofisiologi dapat mendeteksi neuropati
sebelum timbul manifestasi klinis. Indikasi pemeriksaan
elektrofisiologi pada pasien kusta ialah:
1) Segera setelah diagnosis kusta untuk mengetahui data dasar
dan asesmen keterlibatan saraf
2) Bila muncul gejala dan tanda neuritis atau kerusakan fungsi
saraf
Gambar 2. Saraf Perifer yang Banyak Terlibat dan Mengalami Pembesaran
Pada Kusta.
N. Supraorbita
N. Aurikular
magnus
N. Radialis
N. Medianus
N. Ulnaris N. Kutaneus
radialis
N. Peroneus
komunis
N. Tibialis
posterior N. Suralis
- 14 -
i. Indikasi Pemeriksaan Elektrofisiologi pada Kusta
Neuropati dapat ditemukan bahkan sebelum gejala dan tanda
kusta muncul atau dikeluhkan oleh pasien. Pemeriksaan
elektrofisiologi dapat mendeteksi neuropati sebelum timbul
manifestasi klinis. Indikasi pemeriksaan elektrofisiologi pada
pasien kusta ialah:
1) Sebagai pemeriksaan penunjang (bila diperlukan) pada
pasien dengan kecurigaan diagnosis kusta
2) Segera setelah diagnosis kusta untuk mengetahui data dasar
dan asesmen keterlibatan saraf
3) Bila muncul gejala dan tanda neuritis atau kerusakan fungsi
saraf
3. Mata
Kerusakan mata pada penyakit kusta dapat terjadi intraokular
maupun ekstraokular. Kerusakan intraokular berupa episkleritis,
skleritis, iridosiklitis, keratitis, ulkus kornea, serta penurunan
sensibilitas kornea. Sedangkan kerusakan ekstraokular yang dapat
terjadi berupa madarosis, lagoftalmus, dakriosistisis, serta mata
kering. Lebih lanjut, kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan
padahal penderita kusta sangat bergantung pada penglihatannya
untuk mencegah tangan dan kakinya yang kebas mengalami cedera.
Proses kerusakan mata bahkan dapat terus berjalan meskipun
pengobatan lepra sudah tuntas. Risiko kematian pada pasien lepra
yang buta lebih besar 4.8 kali dibandingkan populasi normal di usia
yang sama. Dengan demikian continuum of care pada tata laksana
penyakit kusta penting untuk dilakukan, sehingga usaha pencegahan
kebutaan serta penanganan kebutaan yang sifatnya masih reversibel
harus diperhatikan.
4. Gangguan Psikiatrik
Kusta merupakan penyakit fisik yang sangat erat hubungannya
dengan dampak psikososial yang dialami oleh pasien. Studi pada
tahun 1980 menyatakan bahwa prevalensi morbiditas psikiatri pada
penyakit ini lebih tinggi dibandingkan populasi umum, dengan
- 15 -
perbandingan 99:63 diantara 1000 orang. Sejak saat itu para peneliti
mulai mencari tahu bagaimana hubungan antara dua kondisi ini.
Deformitas dan stigma yang terkandung pada penyakit inilah yang
membuat kehidupan bagi penderita kusta menjadi semakin sulit.
Tidak jarang pasien akan mengalami perceraian, kehilangan
pekerjaan, atau bahkan dijauhi oleh lingkungannya karena ketakutan
akan gambaran penularan penyakit ini .
Menurut sebuah penelitian di Brazil pada 120 pasien dengan kusta,
ditemukan bahwa sebanyak 71,66% pasien memiliki setidaknya satu
diagnosis psikiatri dengan risiko rendah- tinggi untuk bunuh diri. Hasil
penelitian ini didukung oleh Jindal dkk. pada populasi kusta
yang tinggal di komunitas terpisah menunjukkan bahwa diagnosis
psikiatri yang tersering adalah distimia, diikuti oleh depresi sedang,
gangguan cemas menyeluruh, dan skizofrenia (lihat Tabel).
Komorbiditas ini dipengaruhi oleh usia, status keluarga, durasi
penyakit, dan ada atau tidaknya deformitas.
Gambar 3. Pola Kelainan Psikiatrik pada penelitian.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah efek samping
penggunaan obat pada kusta, terutama penggunaan kortikosteroid
dosis tinggi dan dalam jangka panjang. Dengan lamanya penggunaan
kortikosteroid, gangguan psikiatri yang sering muncul adalah
gangguan mood oleh karena gangguan regulasi hormon. Ditambah
dengan stigma, maka kondisi kejiwaan pasien kusta dapat lebih sulit
teratasi.
- 16 -
D. Klasifikasi
Berbagai klasifikasi penyakit kusta dibuat dengan tujuan tertentu,
namun yang banyak digunakan adalah klasifikasi menurut WHO dan
klasifikasi Ridley-Jopling.
1. Klasifikasi WHO
Untuk kepentingan pengobatan, WHO pada tahun 1987 membuat
klasifikasi kusta menjadi 2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan
sedikit atau tidak ditemukan bakteri dan tipe Multibasiler (MB) dengan
jumlah bakteri yang banyak. Tipe PB menurut WHO adalah tipe TT dan
BT menurut Ridley dan Jopling, sedangkan tipe MB adalah tipe BB, BL
dan LL, atau tipe apapun dengan BTA positif.
biasanya pemeriksaan kerokan jaringan kulit untuk
pemeriksaan BTA tidak tersedia di lapangan, maka pada tahun 1995
WHO mengubah klasifikasi menjadi lebih sederhana berdasar
hitung lesi kulit dan jumlah saraf perifer yang terkena, seperti yang
terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi klinis kusta menurut WHO (1995)
SIFAT PB MB
Lesi kulit
(makula, plak,
papul, nodus)
1-5 lesi
hipopigmentasi/eritema,
distribusi tidak simetris,
hilangnya sensasi jelas
>5 lesi
hipopigmentasi/eritema,
distribusi lebih simetris,
hilangnya sensasi kurang
jelas
Kerusakan saraf
(sensasi hilang/
kelemahan otot
yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
hanya satu cabang saraf banyak cabang saraf
2. Klasifikasi Ridley-Jopling
Klasifikasi kusta menurut Ridley dan Jopling dibuat berdasar
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis menjadi
5 tipe. Klasifikasi menurut Ridley-Jopling ini lebih ditujukan pada
- 17 -
penelitian ketimbang pelayanan, yang lebih sesuai dengan klasifikasi
WHO. Pembagian 5 tipe ini sebagai berikut:
a. TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
b. BT: Borderline tuberculoid
c. BB: Mid borderline
d. BL: Borderline lepromatous
e. LL: Lepromatosa polar, bentuk yang stabil
Untuk memudahkan menentukan tipe kusta, berikut ditampilkan
tabel perbedaan gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik
berbagai tipe kusta (Tabel 2 dan 3).
Tabel 2 Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta
pausibasilar (PB).
SIFAT TUBERKULOID (TT)
BORDERLINE
TUBERCULOID (BT)
Bentuk lesi
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Anestesia
Makula saja;
makula dibatasi
infiltrat
Satu, dapat
beberapa
Asimetris
Kering bersisik
Jelas
Makula dibatasi
infiltrat; infiltrat saja.
Beberapa atau satu
dengan satelit
Masih asimetris
Kering bersisik
Jelas
BTA Hampir selalu
negatif
Negatif atau hanya 1+
Tes lepromin Positif kuat (3+) Positif lemah
- 18 -
Tabel 3. Gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik kusta
multibasilar (MB).
E. Reaksi Kusta
Reaksi kusta merupakan episode akut yang timbul di tengah proses
perjalanan penyakit kusta yang kronis. Patofisiologi reaksi kusta ini belum
dapat dijelaskan secara pasti, namun proses reaksi kusta dapat
digambarkan dengan teori imunologik. berdasar hal ini , reaksi
kusta dibagi menjadi reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2.
Berikut adalah gambaran tipe reaksi yang terjadi dan hubungannya
dengan spektrum imunitas dan tipe kusta menurut Ridley-Jopling.
SIFAT LEPROMATOSA (LL)
BORDERLINE
LEPROMATOSA
(BL)
MID
BORDERLINE
(BB)
Bentuk lesi
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Batas
Anestesi
Makula;
infiltrat/
plak difus;
papul;
nodus
Tidak
terhitung, tidak
ada kulit sehat
Simetris
Halus berkilat
Tidak jelas
Tidak ada
sampai tidak
jelas
Makula; plak;
papul
Sukar dihitung,
masih ada kulit
sehat
Hampir
simetris
Halus berkilat
Agak jelas
Tidak jelas
Plak; dome-
shaped
(kubah);
punched-out
Dapat
dihitung,
kulit sehat
jelas ada
Asimetris
Agak kasar,
agak berkilat
Agak jelas
Lebih jelas
BTA
• Lesi
kulit
• Sekret
hidung
Banyak (ada
globus)
Banyak (ada
globus)
Banyak
Biasanya
negatif
Agak banyak
Negatif
Tes
lepromin
Negatif Negatif Biasanya
negatif
- 19 -
Gambar 3. Hubungan tipe reaksi dengan klasifikasi menurut Ridley dan
Jopling.
1. Reaksi tipe 1
Reaksi tipe 1 lebih sering disebut sebagai reaksi reversal. Reaksi
reversal hanya dapat terjadi pada pasien yang berada dalam spektrum
borderline (BL, BB, BT), karena tipe borderline ini merupakan tipe tidak
stabil, sehingga mudah berubah. Pada reaksi reversal, respons imun
seluler berperan penting, yaitu terjadi peningkatan SIS mendadak. Hal
ini menyebabkan gambaran klinis kusta bergeser kearah tipe
tuberkuloid. Walaupun belum diketahui dengan pasti faktor pencetus
terjadinya reaksi, namun diperkirakan proses reaksi ini berhubungan
dengan reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi biasanya terjadi
pada masa pengobatan MDT 6 bulan pertama.
Gejala klinis yang timbul pada reaksi reversal berupa bertambah
aktifnya sebagian atau seluruh lesi yang sudah ada, disertai
munculnya lesi baru dalam waktu yang singkat. Perubahan lesi
menjadi aktif dapat digambarkan sebagai perubahan warna lesi
menjadi semakin eritem, udem, atau lesi menjadi lebih infiltratif dan
lebih luas (Gambar 4). Perlu pemantauan kejadian neuritis pada reaksi
ini, karena penting untuk menentukan pilihan terapi selanjutnya.
- 20 -
Gambar 4. Reaksi kusta tipe 1
2. Reaksi tipe 2
Reaksi tipe 2 terjadi pada pasien kusta dengan jumlah bakteri sangat
banyak, yaitu pada tipe LL dan BL. Reaksi sering disebut sebagai
reaksi ENL (eritema nodusum leprosum), karena memberikan
gambaran klinis munculnya nodus di kulit. Berbeda dengan reaksi
reversal, pada patogenesis ENL yang berperan penting adalah respons
imun humoral.
Reaksi ENL dapat terjadi sebelum pengobatan, saat pengobatan
ataupun setelah selesai, namun banyak terjadi di tahun kedua
pengobatan MDT. Hal ini terjadi karena pada saat pengobatan, banyak
kuman M. leprae yang mati, sehingga banyak antigen yang bereaksi
dengan antibodi dan membentuk kompleks imun. Kompleks imun
yang terbentuk selanjutnya masuk dalam sirkulasi darah, kemudian
akan mengendap di berbagai organ tubuh dan menimbulkan gejala,
antara lain nodus eritem disertai nyeri yang terutama muncul pada
kulit lengan dan tungkai. (lihat Gambar 5) Gejala ini umumnya
menghilang dalam beberapa hari atau beberapa minggu, dan dapat
pula diikuti dengan pembentukan nodus baru, sedangkan nodus lama
menjadi keunguan. Gejala klinis pada berbagai organ dapat berbentuk
iridosiklitis, neuritis akut, artritis, limfadenitis, orkitis, serta nefritis
akut. ENL dapat disertai gejala konstitusi dari ringan sampai berat.
Gambar 5. Reaksi kusta tipe 2
- 21 -
Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan 2 dapat dilihat dalam tabel 4.
berikut ini
Tabel 4. Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2.
No Gejala Tanda Reaksi Tipe 1 Reaksi Tipe 2
1 Tipe Kusta Dapat terjadi pada
kusta tipe PB
maupun MB.
Hanya pada kusta
tipe MB.
2 Waktu
timbulnya
Biasanya segera
setelah
pengobatan.
Biasanya setelah
mendapatkan
pengobatan yang
lama, umumnya
lebih dari 6 bulan
3 Keadaan
umum
Umumnya baik,
demam ringan (sub-
febris) atau tanpa
demam.
Ringan sampai
berat disertai
kelemahan umum
dan demam tinggi.
4 Peradangan di
Kulit
Sebagian lesi lama
menjadi lebih
aktif, eritem, udem,
berkilat, hangat.
Dapat timbul lesi
baru.
Timbul nodus
eritema, lunak dan
nyeri, dan dapat
berulserasi.
Biasanya pada
lengan dan tungkai.
5 Saraf Sering terjadi neuritis,
berupa nyeri saraf
dan atau gangguan
fungsi saraf. Kadang
didapat kan silent
neuritis.
Sering terjadi
neuritis.
6 Peradangan
pada mata
Anestesi kornea dan
lagoftalmos karena
keterlibatan N.V dan
N.VII
Iritis, iridosiklitis,
glaukoma, katarak
dll.
7 Peradangan
pada organ
lain
Hampir tidak ada.
Terjadi pada testis,
sendi, ginjal,
kelenjar getah
bening, dll.
- 22 -
berdasar berat dan ringannya gejala, reaksi kusta terbagi menjadi
2 yaitu reaksi ringan dan berat (table 5). Sangat penting bagi tenaga
kesehatan untuk mengenali gejala reaksi ini karena dapat
menyebabkan kerusakan saraf tepi. Di samping itu, pengenalan
tentang berat dan ringannya gejala penting ke layanan kesehatan yang
lebih lengkap untuk tatalaksana komprehensif.
Tabel 5. Perbedaan reaksi ringan dan berat pada reaksi tipe 1 dan 2
No
Organ
yang
terkena
Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
Ringan Berat Ringan Berat
1 Kulit Lesi
hipopig
mentasi
men-
jadi
eritem;
eritem
semakin
eritem dan
udem.
Tidak ada
ulserasi.
Tidak ada
udem
tangan
dan kaki
Lesi
hipopigmen-
tasi menjadi
eritem;
eritem
semakin
eritem dan
udem.
Timbul lesi
baru.
Kadang
disertai
demam
dan
malaise.
Ulserasi (+)
Edema
tangan
dan kaki (+)
Nodus,
eritem,
panas
dan
nyeri,
dapat
menjadi
ulkus.
Jumlah
sedikit
Nodus eritem,
panas dan
nyeri, sering
menjadi ulkus.
Jumlah banyak
2 Saraf tepi Membesar,
tidak nyeri.
Membesar,
nyeri
Membesar,
tidak nyeri
Membesar, nyeri
Fungsi
saraf
tidak
terganggu
Fungsi saraf
terganggu
Fungsi
saraf
tidak
terganggu
Fungsi saraf
terganggu
- 23 -
3 Gejala
konstitusi
Demam:
(-)
Demam: (±) Demam:
(±)
Demam: (+)
4 Gangguan
pada
organ lain
Tidak ada Tidak ada Tidak ada iridosiklitis,
orkhitis,nephritis,
limfadenitis, dsb
* Catatan: bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf,
dikategorikan sebagai reaksi berat
F. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang
1. Diagnosis
Diagnosis penyakit kusta ditetapkan berdasar temuan satu dari
tiga tanda kardinal kusta berikut ini, yaitu:
a. Kelainan kulit atau lesi yang khas kusta, dapat berbentuk
hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa (anestesi)
b. Penebalan saraf perifer disertai dengan gangguan fungsi saraf
akibat peradangan (neuritis) kronis. Gangguan fungsi saraf ini
dapat berupa:
1) Gangguan fungsi sensoris: anestesi
2) Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis otot
3) Gangguan fungsi otonom: kulit kering atau anhidrosis dan
ada fisura
c. Adanya basil tahan asam (BTA) pada kerokan jaringan kulit (slit
skin smear).
Untuk memastikan tanda kardinal pertama, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan gangguan sensibilitas pada lesi kulit. Pemeriksaan
gangguan rasa raba dilakukan dengan menggunakan usapan ujung
kapas pada lesi. Gangguan terhadap suhu, dapat dilakukan dengan
menggunakan dua tabung reaksi berisi air hangat bersuhu 400 C dan
air dingin. Bila pasien tidak dapat membedakan suhu hangat dan
dingin, maka telah terjadi gangguan sensibilitas. Gangguan terhadap
rasa nyeri diperiksa dengan menggunakan ujung jarum. Bila pasien
merasakan ujung jarum ini tumpul, maka telah terjadi
hipoestesi. namun bila tidak merasakan sakit, berarti telah terjadi
anestesi. Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom,
harus diperhatikan adanya kekeringan kulit di daerah lesi berupa sisik
halus. Bila tidak jelas, dapat dilakukan pemeriksaan dengan
menggunakan pensil tinta (tanda Gunawan). Cara pemeriksaan yaitu
dengan menggores kulit menggunakan pensil ini mulai dari
tengah lesi ke arah kulit normal. Bila ada gangguan, maka goresan
pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian
tengah lesi, karena goresan pinsil lumer karena adanya keringat.
Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang lebih
mudah terlihat bila rambut yang tumbuh cukup lebat. Gangguan
fungsi motoris menyebabkan kelainan otot, atrofik atau paresis, dan
dapat diperiksa dengan Voluntary Muscle Test (VMT). Pada dasarnya,
sebagian besar pasien dapat di diagnosis dengan pemeriksaan klinis.
Apabila hanya ditemukan tanda kardinal kedua, perlu dirujuk ke
dokter saraf atau dokter spesialis kulit, dengan sarana pemeriksaan
penunjang yang memadai. Jika masih ragu maka dianggap sebagai
penderita yang dicurigai atau tersangka (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta yang perlu diwaspadai ialah:
a. Tanda-tanda pada kulit
1) Lesi kulit yang eritema atau hipopigmentasi (gambaran yang
paling sering ditemukan), datar atau menimbul
2) Lesi hipoestesi atau anestesi
3) Lesi yang tidak gatal
4) Anestesi atau parestesi pada tangan dan kaki
5) Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat (anhidrosis),
mengkilap atau kering bersisik, dan atau alis mata tidak
berambut (madarosis).
6) Bengkak atau penebalan pada wajah dan cuping telinga
7) Lepuh tidak nyeri pada tangan dan kaki
b. Tanda-tanda pada saraf :
1) Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf
2) Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri pada anggota
gerak
3) Kelemahan anggota gerak dan atau kelopak mata
4) Pembesaran saraf
5) Adanya cacat (disabilitas, deformitas)
6) Luka (ulkus) yang sulit sembuh
c. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai
kelainan kulit yang tidak sembuh dengan pengobatan rutin,
terutama bila ada keterlibatan saraf tepi
d. Tanda-tanda pada Mata
Inspeksi dilakukan pada ruangan yang agak gelap dengan
menggunakan lampu senter dan kaca pembesar. Pemeriksaan
dasar yang dapat dilakukan dokter umum atau dokter bukan
spesialis mata adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan lesi di daerah wajah
2) Pemeriksaan tajam penglihatan
3) Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi
4) Fungsi kelopak mata
a) Laju berkedip
Normal setiap 15-25 detik dengan penilaian: komplit/tidak,
simetris/asimetris
b) Fungsi kelopak mata dinilai dengan: dapat menutup
dengan sempurna atau tidak.
c) Mata ditutup perlahan dan dipertahankan selama 10
detik, lalu jarak antara kelopak mata atas dan bawah
diukur dengan penggaris.
d) Mata ditutup dengan kuat dan dipertahankan selama
10 detik lalu jarak antara kelopak mata atas dan bawah
diukur dengan penggaris.
e) Deformitas kelopak
5) Sekret mata
Penilaian ada tidaknya sekret dilaukan dengan atau tanpa
penekanan pada kantung air mata.
6) Kemerahan pada mata.
Diagnosis kemerahan pada mata dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Kemerahan pada mata
Konjungtivitis Keratitis Uveitis
Visus Normal ↓ ↓
Hiperemis Konjungtiva Perikornea Siliar
Sekret + - -
Fotofobia - + +
Palpebra Normal Normal Normal
Kornea Jernih Bercak Infiltrat Sel radang (+)
Bilik mata depan Normal Hipopion (+)/(-) Hipopion (+)/(-)
Iris Normal Normal Sinekia
Pupil Normal Normal Miosis
Lensa Normal Normal Sel radang (+)
7) Kornea
a) Permukaan kornea diperiksa dengan memberikan sinar
dari arah depan dengan senter dengan lup untuk
melihat ada tidaknya defek, infiltrate, atau kekeruhan.
b) Pemeriksaan sensibilitas kornea dengan menggunakan
ujung kapas yang disentuhkan sekitar daerah lesi
kornea yang terkena untuk menilai fungsi sensoris
kornea.
8) Bilik mata depan
Pemeriksaan bilik mata depan dengan menggunakan senter
dan lup untuk mencari adanya nanah yang membentuk “air-
fluid level” dalam bilik mata depan. Hipopion merupakan
kumpulan sel radang di bilik mata depan.
9) Pupil
Pemeriksaan dilakukan di ruangan redup menggunakan
senter dan lup yang digerakkan dari arah samping mata
dengan cepat ke arah pupil. Perhatikan reflex pupil, ukuran,
dan bentuk.
10) Iris
Perhatikan ada tidaknya atrofi atau kerusakan iris,
perlengketan iris di lensa (sinekia posterior), dan di kornea
(sinekia anterior).
11) Lensa
Perhatikan ada tidaknya kekeruhan lensa (katarak).
Tanda-tanda ini merupakan tanda-tanda tersangka kusta dan
belum dapat digunakan sebagai dasar diagnosis penyakit kusta. Jika
diagnosis kusta masih belum dapat ditegakkan, tindakan yang dapat
dilakukan adalah:
a. Pikirkan kemungkinan penyakit kulit lain (seperti panu, kurap,
kudis, psoriasis, vitiligo)
b. Pengambilan kerokan jaringan kulit untuk pemeriksaan BTA
c. Bila tidak ada petugas terlatih dan tidak tersedia sarana
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, tunggu 3-6 bulan dan
periksa kembali adanya tanda utama. Jika ditemukan tanda
utama, diagnosis kusta dapat ditegakkan. Bila masih meragukan,
pasien tersangka harus dirujuk.
Perlu diingat bahwa tanda-tanda utama ini dapat tetap
ditemukan pada pasien yang sudah sembuh atau release from
treatment (RFT). Anamnesis yang teliti perlu dilakukan untuk
menghindari pengobatan ulang yang tidak perlu.
2. Pemeriksaan Penunjang
Bila tersedia laboratorium untuk pemeriksaan penunjang maka dapat
dilakukan pemeriksaan BTA, histopatologi dan serologi.
a. Bakterioskopis
Pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu menegakan
diagnosis serta pilihan pengobatan. Pemeriksaan dimulai dengan
membuat kerokan jaringan kulit yang kemudian diwarnai
menggunakan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA),
contohnya dengan Ziehl- Neelsen.
Hal pertama yang penting adalah penentuan lesi sebagai
spesimen yang akan diperiksa, yaitu lesi yang diduga memiliki
kuman M. leprae paling padat. Untuk pemeriksaan rutin,
umumnya dilakukan minimal pada 4-6 tempat, yaitu pada cuping
telinga bagian bawah serta lesi lain yang terlihat paling
eritematosa dan infiltratif.
Pengambilan bahan dilakukan dengan bantuan scalpel steril pada
lesi yang telah didesinfeksi dan dijepit dengan ibu jari dan
telunjuk hingga iskemi. Irisan dibuat sampai dermis dan melewati
subepidermal clear zone agar dapat mengambil jaringan yang
banyak mengandung sel Virchouw (mengandung kuman M.
leprae). Kemudian kerokan dioleskan pada gelas alas, difiksasi di
atas api bunsen, dan diwarnai menggunakan pewarnaan tahan
asam, yaitu Ziehl Neelsen.
Berbeda dengan sediaan jaringan sebelumnya, pada sediaan
mukosa hidung, dilakukan nose blows. Sekret hidung ditampung
pada sehelai plastik, dan waktu yang terbaik adalah pagi hari.
Sediaan kemudian dioleskan pada gelas alas menggunakan kapas
lidi, dan dilakukan fiksasi serta pewarnaan. Selain itu,
pengambilan spesimen dari mukosa hidung dapat berupa
kerokan mukosa dengan menggunakan scalpel tumpul, atau
usapan (swab) dengan kapas lidi.
Pada pewarnaan basil tahan asam, kuman M. leprae akan
menunjukan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (
fragmented), dan butiran (granular). Bentuk solid
menggambarkan keadaan kuman hidup sedangkan nonsolid
menggambarkan keadaan kuman mati. Hal ini menjadi penting
karena kuman yang berbentuk solid, adalah kuman hidup yang
dapat berkembang biak, serta dapat menularkan pada orang lain.
Kepadatan BTA tanpa melihat bentuk solid dan non solid dapat
dijelaskan menggunakan Indeks Bakteri (IB). Menurut Ridley,
rentang IB dimulai dari angka 0 hingga 6+, dengan 0 berarti tidak
ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP)
1) 1+ bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2) 2+ bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3) 3+ bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4) 4+ bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5) 5+ bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6) 6+ bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Penilaian dilanjutkan dengan perhitungan indeks morfologi
(IM) yaitu persentase basil yang hidup, sebagai berikut:
Rumus: 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 + 𝑛𝑜𝑛𝑠𝑜𝑙𝑖𝑑 x 100%
b. Histopatologis
Histiosit merupakan bentuk makrofag yang berada di kulit dan
beperan dalam proses fagositosis. Proses ini ditentukan oleh
sistem imun seluler (SIS) orang ini . Pada orang dengan SIS
tinggi, histiosit akan berpindah ke tempat kuman berada dan
terlibat proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Sisa
makrofag yang berlebihan saat kuman sudah di fagosit akan
berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak. Adanya masa
epiteloid dalam jumlah banyak yang dikelilingi limfosit akan
membentuk tuberkel yang selanjutnya akan merusak jaringan.
Sehingga ditemukan gambaran histologik pada tipe tuberkuloid
yaitu berupa tuberkel serta diikuti dengan kerusakaan saraf,
tanpa adanya kuman atau hanya dalam jumlah yang sedikit.
Sedangkan pada orang dengan SIS yang rendah atau lumpuh,
histiosit tidak mampu menghancurkan kuman, dan bahkan
dijadikan tempat berkembang bakteri M.leprae, yang selanjutnya
disebut dengan sel Virchow atau sel lepra atau sel busa. Pada tipe
lepromatosa, ditemukan area di bawah epidermis yang bebas
radang, disebut supepidermal clear zone. Selain itu ditemukan
banyak sel Virchow pada tipe ini.
c. Serologi
Pemeriksaan serologi dilakukan dengan mengamati keberadaan
antibodi pada orang yang terinfeksi M. leprae. Beberapa antibodi
spesifik dapat diperiksa, seperti antibody anti phenolic glycolipid-
1 (PGL-1) serta antiprotein 16 kD dan 53 kD. Selain itu didapati
pula antibodi nonspesifik seperti antibodi anti-lipoarabinomaan
(LAM). Antibodi ini akan dideteksi dengan menggunakan
beberapa macam pemeriksaan, seperti: uji MLPA (Mycobacterium
Leprae Particle Aglutination), ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Asay), ML dipstick (Mycobacterium leprae dipstick)
dan ML flow (Mycobacterium leprae flow test).
d. Lain-lain
Penegakan diagnosis PNL sangat sulit, sehingga seringkali
terdiagnosis setelah terjadi kecatatan. Untuk menegakkan
diagnosis PNL, dibutuhkan modalitas tambahan yaitu
pemeriksaan elektrofisiologi, biopsi saraf, dan fine needle
aspiration cytology. Pada pemeriksaan elektrofisiologi, yang
banyak ditemukan adalah gambaran neuropati sensorik tipe
aksonal dan/atau neuropati motorik tipe campuran (aksonal dan
demielinisasi) dengan pemanjangan latensi, penurunan
amplitudo dan kecepatan hantar saraf.
Biopsi saraf dapat memberikan hasil yang cukup konklusif, yaitu
ditemukannya kuman BTA atau nekrosis kaseosa. Bila BTA tidak
ditemukan, gambaran berupa infiltrat mononuklear perineural
dan endo
neural juga mengarah kepada neuritis akibat kusta. Namun,
tindakan ini dapat menimbulkan komplikasi berupa cedera saraf
dan memperberat disabilitas. Fine needle aspiration cytology pada
saraf yang terlibat dapat membantu penegakan diagnosis melalui
prosedur yang lebih tidak invasif. Polymerase chain reaction (PCR)
juga dapat dilakukan untuk mendeteksi DNA M. leprae dari
spesimen biopsi.
3. Diagnosis Banding
Kusta disebut sebagai the greatest imitator, karena secara klinis
menyerupai berbagai penyakit kulit lain. Beberapa kelainan kulit yang
mirip dengan penyakit kusta, antara lain:
a. Lesi eritem bersisik: psoriasis, pitiriasis rosea, dermatitis
seboroik, dermatofitosis
b. Lesi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tanpa skuama: vitiligo,
birth marks.
c. Lesi hipopigmentasi dengan skuama halus: pitirasis versikolor,
pitiriasis alba
d. Papul, plak atau nodul: neurofibromatosis, sarkoma kaposi,
veruka vulgaris, leukemia kutis, granuloma anulare,
tuberculosis kutis verukosus, xanthomatosis.
G. Disabilitas Pada Kusta
Pada penyakit kusta, hendaya dapat terjadi pada beberapa organ
seperti kaki, tangan, dan mata. Keadaan ini diawali dengan adanya
kerusakan saraf yang berbentuk nyeri saraf, sensibilitas yang hilang, dan
kekuatan otot motorik yang berkurang. ada 2 jenis hendaya, yaitu
primer dan sekunder.
Hendaya primer adalah kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas
langsung bakteri M. leprae terhadap jaringan. Beberapa contoh dari
hendaya primer, yaitu anestesi, kulit kering, dan claw hand. Pada hendaya
sekunder, gangguan yang timbul terjadi akibat keadaan hendaya primer
yang tidak ditangani ataupun gagal di koreksi. Sebagai contoh yaitu ulkus
dan kontraktur. Hendaya kusta dapat terjadi melalui 2 proses, yaitu:
Bercak café au lait ( bercak coklat Nodus lunak berwarna biru keunguan,
batas tegas) yang muncul sejak lahir. lokalisata (terutama pada kaki).
Nodus dan tumor bertangkai pada usia Pemeriksaan BTA (-)
yang lebih lanjut, tersebar luas tanpa rasa
baal. Pemeriksaan BTA (-)
1. Infiltrasi M.leprae secara langsung terhadap susunan saraf tepi dan
organ
2. Proses reaksi kusta.
Untuk memudahkan pemahaman terjadinya hendaya kusta, berikut
ini dapat dilihat bagan gangguan fungsi saraf tepi
1. Patogenesis Disabilitas
Gejala yang timbul bermula dari keluhan hilangnya sensibilitas atau
timbul rasa nyeri. Pasien kerap menyadari ada luka atau lepuh yang
tidak nyeri, ini terjadi karena aliran darah terganggu dan berlangsung
lama. Kemudian pasien juga dapat mengeluhkan berkurangnya
kekuatan otot sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari, seperti
kesulitan memegang benda kecil, memegang kancing baju dan
mengancingkannya, hingga kesulitan dalam berjalan.
2. Klasifikasi Disabilitas Kusta
Saat ini istilah disabilitas lebih dianjurkan ketimbang kecacatan.
Disabilitas memiliki arti luas, sehingga perlu dibedakan berdasar
tingkatnya. Menurut WHO, disabilitas kusta dinilai dari gejala
kerusakan fungsi serta struktur dari organ mata, tangan dan kaki.
Masing-masing organ memiliki tingkat disabilitas masing-masing yang
ditandai dengan angka antara 0 hingga 2. Angka disabiltas tertinggi
yang dimiliki pasien akan menjadi tingkat disabilitas pasien ini
(tingkat disabilitas umum). Berikut dapat dilihat tingkat disabilitas
kusta menurut WHO yang telah dilakukan amandemen pada 7th WHO
Expert Committee on Leprosy, 1997.
Di negara kita , ada keterbatasan pemeriksaan mata di lapangan,
sehingga dibuat modifikasi klasifikasi tingkat disabilitas sesuai
keadaan ini ,
Dari uraian diatas, maka tingkat disabilitas dapat dijelaskan sebagai
berikut :
a. Disabilitas tingkat 0: tidak ditemukan disabilitas
b. Disabilitas tingkat 1: disabilitas yang disebabkan oleh kerusakan
saraf sensorik yang tidak terlihat, seperti hilangnya rasa raba
pada kornea mata, telapak tangan dan telapak kaki, dan saraf
motorik yang mengakibatkan kelemahan otot tangan dan kaki.
c. Gangguan fungsi sensorik pada mata tidak di periksa di lapangan,
oleh karena itu tidak ada disabilitas tingkat 1 pada mata
d. Disabilitas tingkat satu pada telapak kaki berisiko terjadinya
ulkus plantaris, namun dengan perawatan diri secara rutin hal
ini dapat di cegah
e. Mati rasa pada lesi bukan merupakan cacat tingkat 1, karena
bukan disebabkan oleh kerusakan saraf perifer utama, namun
disebabkan rusaknya cabang saraf kecil pada kulit
f. Oleh karena itu, mencatat tingkat kecacatan merupakan tindakan
penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
g. Disabilitas tingkat 2 berarti kerusakan yang terlihat.
1) Untuk mata :
a) Tidak mampu menutup mata dengan rapat (lagoftalmos)
b) Kekeruhan kornea
c) Kemerahan yang jelas pada mata (terjadi pada ulserasi
kornea atau uveitis)
d) Gangguan penglihatan berat atau kebutaan.
2) Untuk tangan dan kaki :
a) Luka dan ulkus di telapak
b) Deformitas yang disebabkan oleh kelumpuhan otot (kaki
semper atau jari kontraktur) dan atau hilangnya
jaringan (atrofi) atau reabsorbsi parsial dari jari-jari.
H. Tata laksana
1. Farmakologis
a. Multi drug therapy
Tahun 1995 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan
Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.
Tujuan pengobatan adalah:
1) Memutuskan mata rantai penularan
2) Mencegah resistensi obat
3) Memperpendek masa pengobatan
4) Meningkatkan keteraturan berobat
5) Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya
cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Regimen pengobatan MDT
Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat
anti kusta, salah satunya rifampisin sebagai anti kusta yang
bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain bersifat
bakteriostatik. Obat MDT tersedia dalam bentuk blister untuk
pasien dewasa dan anak berusia 10-14 tahun.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang memerlukan MDT:
1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah
mendapat MDT.
2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di
bawah ini:
a) Relaps
b) Masuk kembali setelah putus obat/default (dapat PB
maupun MB)
c) Pindah berobat (pindah masuk)
d) Ganti klasifikasi/tipe.
Rejimen pengobatan MDT di negara kita sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO, sebagai berikut:
1) Pasien pausibasiler (PB) dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
b) 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian : hari ke-2 hingga 28.
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan.
2) Pasien multibasiler (MB) dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
a) 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
b) 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
c) 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28
d) 1 tablet lampren 50 mg
e) 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang
diminum selama 12-18 bulan.
3) Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-14 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
a) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 39 -
b) 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28
c) 1 tablet dapson/DDS 50 mg.
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan.
4) Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-14 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum di depan
petugas)
a) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
b) 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
c) 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke-2 hingga 28:
d) 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
e) 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang
diminum selama 12-18 bulan.
Pada pasien anak berusia kurang dari 10 tahun, dosis
disesuaikan dengan berat badan, sebagai berikut:
1) Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
2) Dapson : 1-2 mg/kgBB
3) Lampren : 1 mg/kgBB
b. Pengobatan pada kondisi khusus
1) Pengobatan kusta pada masa kehamilan dan menyusui
Kusta dapat mengalami eksaserbasi selama kehamilan,
sehingga penting untuk tetap melanjutkan terapi MDT
selama kehamilan. The Action Programme for the Elimination
of Leprosy, WHO, Geneva, telah menentukan bahwa rejimen
MDT standar adalah aman untuk ibu dan janin, sehingga
diteruskan tanpa perubahan apapun selama kehamilan.
Sejumlah kecil obat-obatan antikusta diekskresikan melalui
air susu, namun tidak ada bukti efek samping kecuali
perubahan warna kulit ringan pada anak yang disebabkan
klofazimin. Pengobatan dosis tunggal untuk pasien PB lesi
tunggal sebaiknya ditangguhkan hingga setelah kelahiran.
2) Pengobatan pasien dengan tuberkulosis aktif
Jika pasien menderita kusta dan tuberkulosis, sangatlah
penting untuk mengobati keduanya pada waktu yang
bersamaan. Berikan antituberkulosis yang pantas, sebagai
tambahan terapi antikusta multiobat sesuai dengan tipe
kusta nya. Rifampisin adalah lazim untuk kedua rejimen dan
harus diberikan sesuai dengan dosis tuberkulosis.
3) Pengobatan pasien dengan infeksi HIV
Tata laksana pasien kusta dengan infeksi HIV sama dengan
pasien lainnya. Informasi yang tersedia sejauh ini
mengindikasikan bahwa respon pasien terhadap MDT mirip
dengan pasien kusta dan manajemen lainnya, termasuk
reaksi, sehingga tidak memerlukan modifikasi.
4) Pasien yang tidak dapat menggunakan rifampisin
Rejimen pengobatan khusus dibutuhkan pada pasien
pasien al, yang tidak mampu menerima rifampisin karena
alergi atau penyakit yang menyertai, seperti hepatitis kronik,
atau pada kusta resisten terhadap rifampisin.
Pada 1997, WHO Expert Committee on Leprosy
merekomendasikan rejimen 24 bulan berikut untuk pasien
dewasa dengan kusta MB, yang tidak mampu menerima
rifampisin
Catatan:
Pemberian harian klaritromisin 500 mg dapat menggantikan rejimen
diatas untuk ofloksasin atau minosiklin selama pengobatan 6 bulan
pertama, bagi pasien MB yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin.
5) Pasien yang menolak klofazimin
Pasien dengan kusta MB yang menolak klofazimin karena
perubahan warna kulit, tetap memerlukan pengobatan
alternatif yang aman dan efektif. Pada pasien seperti ini,
klofazimin pada terapi MDT normal 12 bulan dapat diganti
dengan:
a) Ofloksasin, 400 mg/ hari selama 12 bulan, ATAU
b) Minosiklin, 100 mg/ hari selama 12 bulan
Pada 1997, WHO Expert Committee on Leprosy juga
merekomendasikan rejimen alternatif pengobatan MDT
selama 24 bulan (3 obat) untuk pasien dewasa dengan kusta
MB, yang menolak klofazimin:
a) Rifampisin, 600 mg setiap bulan selama 24 bulan
b) Ofloksasin, 400 mg setiap bulan selama 24 bulan, dan
c) Minosiklin, 100 mg setiap bulan selama 24 bulan
6) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi Dapson
Pasien yang tidak dapat mengonsumsi dapson dapat
disebabkan alergi obat (hipersensitivitas terhadap dapson/
sindrom dapson) dan anemia hemolitik. Dapson
memproduksi efek toksik berat pada pasien kusta manapun,
baik kusta PB maupun MB, maka obat ini harus segera
dihentikan. Tidak ada modifikasi rejimen pada pasien dengan
kusta MB. Namun, klofazimin dengan dosis yang digunakan
pada terapi standar untuk kusta MB harus menggantikan
dapson dalam rejimen pada kusta PB selama 6 bulan.
Rejimen MDT 6 bulan untuk pasien kusta PB, yang tidak
mampu menerima dapson,
7) Kondisi khusus lainnya
Kadangkala reaksi kusta (baik tipe 1 atau tipe 2) dengan atau
tanpa neuritis, dapat terjadi setelah pasien menyelesaikan
pengobatan MDT. Pasien seperti ini harus diobati dengan
kortikosteroid oral. Sementara itu kortikosteroid diketahui
dapat mempercepat multiplikasi organisme yang terletak di
fokus dorman dan mungkin menyebabkan reaktivasi
diseminata atau relaps. Namun, terjadinya risiko relaps pada
pasien sangat kecil. Oleh karena itu, direkomendasikan
pemberian klofazimin 50 mg per hari sebagai profilaksis, jika
durasi pemberian kortikosteroid diperkirakan melebihi 4
minggu. Pemberian klofazimin tetap dilanjutkan hingga
terapi kortikosteroid dihentikan.
c. Tata Laksana Reaksi Kusta
Sebelum memulai penanganan reaksi, terlebih dulu lakukan
identifikasi tipe reaksi yang dialami serta derajat reaksinya. Hal
ini dapat dinilai dari hasil kesimpulan pemeriksaan pada formulir
pencatatan pencegahan cacat (POD), seperti:
a) Adanya lagoftalmos baru terjadi dalam 6 bulan terakhir
b) Adanya nyeri raba saraf tepi
c) Adanya kekuatan otot berkurang dalam 6 bulan
terakhir
d) Adanya rasa raba berkurang dalam 6 bulan terakhir
e) Adanya bercak pecah atau nodul pecah
f) Adanya bercak aktif (meradang) di atas lokasi saraf tepi
Bila ada salah satu dari gejala di atas berarti ada reaksi berat
dan perlu diberikan obat anti reaksi
Obat anti reaksi terdiri atas:
a) Prednison (untuk reaksi tipe 1 dan 2)
Obat ini digunakan untuk penanganan/pengobatan
reaksi. Cara pemberiannya, dapat dilihat pada
pengobatan reaksi berat.
b) Klofazimin/Lamprene™ (untuk reaksi tipe 2)
Obat ini dipergunakan untuk penanganan/pengobatan
reaksi ENL yang berulang (steroid dependent). Cara
pemberiannya, dapat dilihat pada tabel pengobatan
reaksi berat.
c) Thalidomid (untuk reaksi tipe 2)
Obat ini tidak dipergunakan dalam program.
1) Tatalaksana reaksi ringan
Prinsip pengobatan reaksi ringan
a) Berobat jalan, istirahat di rumah
b) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila
perlu
c) MDT diberikan terus dengan dosis tetap
d) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
2) Tatalaksana reaksi berat
Prinsip pengobatan reaksi berat antara lain imobilisasi
lokal/istirahat di rumah. Bila terjadi komplikasi dapat
dirujuk ke disiplin ilmu terkait (yang tersering: Penyakit
dalam, saraf, mata, ortopedi). Tatalaksana yang dapat
diberikan ialah:
a) MDT tetap diberikan dengan dosis tidak diubah
b) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus
c) Memberikan obat anti reaksi (Prednison, Klofazimin)
d) Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang bila
perlu
e) Bila ada indikasi rawat inap pasien dikirim ke rumah
sakit.
f) Reaksi tipe 2 berat yang berulang diberikan prednison
dan klofazimin.
Tipe 1 dan Dosis maksimal awal 1 mg/kg BB
2 berat anak
Evaluasi tiap 2 minggu, untuk
penurunan
Dosis
Total lama pengobatan maksimal
12 minggu
Neuritis
Pada neuritis yang terjadi < dari 6
bulan diberikan prednison dengan
dosis standar 12 minggu.
Dosis dimulai 40-60 mg/hari
dengan dosis maksimal 1mg/kg
berat badan. Biasanya terjadi
penyembuhan
dalam dalam
beberapa hari.
ENL berat Sesuai skema
Dosis klofazimin
dewasa:
Berulang
300 mg/hari
selama 2 bulan
(dependent
200 mg/hari
selama 2 bulan
steroid)
100 mg/hari
selama 2 bulan
Catatan untuk pemberian prednison:
1) Pemberian prednison harus di bawah pengawasan dokter
puskesmas/petugas kabupaten dan harus dicatat pada formulir
evaluasi pengobatan reaksi berat.
2) Kondisi pasien yang mungkin merupakan kontra indikasi
pemberian prednison: TB, kencing manis, tukak lambung berat,
infeksi sekunder pada luka di tangan atau kaki yang memburuk.
Jika kondisi ini berat, maka pengobatan reaksi harus di unit
rujukan (rumah sakit rujukan)
3) Untuk reaksi, prednison diberikan dalam dosis tunggal pagi hari
sesudah makan, kecuali jika keadaan terpaksa dapat diberikan
secara dosis bagi, misalnya 2 x 4 tablet/hari.
4) Perlu diingat bahwa prednison bisa menyebabkan efek samping
yang serius. Oleh karena itu pasien harus mematuhi aturan
pemberian prednison. Tidak boleh dihentikan tiba-tiba karena
dapat menyebabkan rebound phenomena (demam, nyeri otot,
nyeri sendi, malaise). Sementara efek samping pemakaian jangka
panjang adalah: gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemi,
mudah infeksi, perdarahan atau perforasi pada pasien tukak
lambung, osteoporosis, Cushing Syndrome: moon face, obesitas
sentral, jerawat, pertumbuhan rambut berlebihan, timbunan
lemak supraklavikuler.
SKEMA PEMBERIAN PREDNISON
Minggu pertama 40mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah
makan
Minggu kedua 30mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah
makan
Minggu ketiga 20mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah
makan
Minggu keempat 15mg/hari (1x3 tab) pagi hari
sesudah makan
Minggu kelima 10mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah
makan
Minggu kedua 5mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah
makan
Catatan untuk pemberian klofazimin lepas:
1) Klofazimin lepas diberikan pada penderita ENL berat, berulang
(setelah terjadi ≥ 2 episode), yang menyebabkan ketergantungan
terhadap steroid (steroid dependent).
2) Klofazimin diberikan dalam dosis tunggal, pagi hari sesudah
makan, kecuali jika keadaan terpaksa dapat diberikan secara
dosis terbagi, misalnya 3 x 1 tablet/hari atau 2 x 1 tablet/hari
SKEMA PEMBERIAN KLOFAZIMIN
300 mg/hr atau 3x100 mg selama 2 bulan
200 mg/hr atau 2x100 mg selama 2 bulan
100 mg/hr selama 2 bulan
d. Tata Laksana nyeri neuropatik pada kusta
Pasien dengan kusta, baik yang belum atau sudah menerima
terapi, dapat mengalami keluhan neuropati yang dapat disertai
nyeri. Nyeri pada kusta dapat berupa (1) nyeri nosiseptif akibat
stimulus nosiseptif dan peradangan, ataupun (2) nyeri neuropatik
akibat keterlibatan dan disfungsi pada jaras somatosensorik
terutama pada saraf perifer. Nyeri nosiseptif umumnya
merupakan bagian dari reaksi kusta dan telah dibahas pada
bagian sebelumnya, sedangkan nyeri neuropatik dapat terjadi
sejak awal diagnosis, hingga pasien selesai menerima terapi
kusta. Hal ini penting untuk diketahui karena memiliki perbedaan
patofisiologi dan pendekatan tata laksana yang akan
mempengaruhi keberhasilan terapi dan kualitas hidup pasien.
Nyeri neuropatik memiliki karakteristik berupa nyeri spontan
atau nyeri yang diinduksi oleh stimulasi pada daerah yang
diinervasi oleh saraf yang mengalami kerusakan, biasanya
disertai dengan munculnya sensasi abnormal pada daerah
ini . Nyeri neuropatik pada kusta ditemukan pada 22-56%
pasien kusta, bahkan lebih tinggi (mencapai 85%) pada pasien
kusta yang telah menerima terapi. Nyeri ini dapat muncul secara
akut, atau kronik. Karakteristik nyeri neuropatik diakibatkan
oleh dominasi kerusakan pada serabut saraf berukuran kecil
(small-fiber sensory neuropathy) dengan karakteristik nyeri yang
timbul spontan berupa rasa tersengat listrik, rasa panas/bakar,
sensasi seperti ditusuk-tusuk (pricking pain), dan juga rasa baal.
Nyeri juga dapat timbul setelah pemberian stimulus seperti
alodinia atau hiperalgesia. Derajat nyeri yang dikeluhkan pasien
bervariasi namun yang terbanyak ialah derajat berat (55,5%).
Tata laksana nyeri neuropatik pada kusta meliputi pengobatan
yang adekuat terhadap kusta yang mendasari ditambah dengan
l
tata laksana sesuai dengan panduan nyeri neuropatik,
e. Tata Laksana Psikiatri
Pengobatan gangguan kejiwaan pada pasien kusta pada intinya
sama dengan pasien lainnya. Tatalaksana farmakoterapi dan
nonfarmakoterapi yang dianjurkan, tergantung pada kondisi yang
dialami. Obat yang dapat diberikan adalah dari golongan anti
depresan, antiansietas, hingga antipsikotik, dengan observasi
ketat dari psikiater. Psikoterapi adalah tatalaksana nonfarmologi
yang akan diberikan pada pasien dengan komorbiditas kusta dan
gangguan psikiatri. Psikoterapi secara rutin akan membantu
pasien, salah satunya dengan memerbaiki fungsi koping.
Dalam tatalaksana kusta perlu dipertimbangkan penyelesaian
masalah psikologis pasien, yang seringkali tidak dikeluhkan.
Kondisi depresi terjadi akibat adanya stigma, sehingga
menimbulkan penurunan kualitas hidup, bahkan pengobatan
menjadi tidak tuntas.
usaha yang dilakukan yaitu merujuk pasien, termasuk
keluarganya, pada dokter ahli jiwa (psikiater) untuk konseling dan
psikoterapi.
Terapi Lini Pertama
- Ligan kanal kalsium
Pregabalin, gabapentin
- Inhibitor ambilan serotonin dan noradrenalin
Duloksetin, venlafaksin
- Antidepresan trisiklik
Amitriptilin, nortriptilin, imipramin
Terapi Lini Kedua
- Opioid sintetik
Tramadol
Terapi Lini Ketiga
- Opioid kuat
Fentanil, morfin, oksikodon, buprenorfin
f. Tata Laksana Bedah
Prosedur pembedahan bisa dilakukan bila pasien sudah
mendapatkan terapi medikamentosa yang adekuat namun belum
menunjukkan perbaikan gejala.
Tatalaksana Operatif dan Rekonstruksi yang dilakukan ialah:
1) Debridement
Debridement adalah prosedur membersihkan saraf dari pus,
debris, dan jaringan nekrotik.
2) Neurolisis
Neurolisis diusahakan sampai betul-betul membebaskan
saraf dari jepitan sehingga vaskularisasi pada saraf ini
dapat kembali normal.
a) Eksternal neurolisis
Eksternal neurolisis adalah pembebasan jepitan saraf
dari jepitan yang berasal dari luar epinerium (tulang,
fascia, tumor dll).
b) Ekstraneural neurolisis.
Ekstraneural neurolisis adalah pembebasan jepitan
saraf dengan melakukan insisi longitudinal epineurium.
c) Interfasikular neurolisis.
Interfasikular neurolisis adalah prosedur melakukan
pembebasan pada derajat fasikulus, jadi melakukan
insisi longitudinal pada perineurium, dengan
memperhatikan anastomose dari vaskularisasi saraf.
3) Eksisi lesi granulomatosa
Eksisi lesi granulomatosa adalah tindakan yang cukup
ekstensif dan memerlukan graft yang sesuai dengan besar
dan panjangnya saraf.
4) Transposition
Adalah prosedur memindahkan jalur saraf ke tempat yang
lebih aman dari kemungkinan jepitan, seperti anteriorisasi n.
Ulnaris.
5) Rekonstruksi komplikasi paralisis nervus ulnaris.
. Non Farmakologis
a. Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
Sebelum dilakukan tatalaksana Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi, selalu di awali dengan penilaian keterbatasan
fungsional dan disabilitas pada pasien kusta yang dilakukan
melalui asesmen oleh dokter SpKFR (Spesialis Kedokteran Fisik
dan Rehabilitasi) secara komprehensif dengan menegakkan
diagnosis fungsional berdasar ICF (International Classification
of Functioning, Disability and Health). Selain itu diperlukan
pemeriksaan penunjang yang seperti USG muskuloskeletal,
laboratorium, EMG, dan permintaan radiologi.
Keterbatasan fungsional yang dialami pasien kusta antara lain
gangguan nyeri, gangguan fungsi tangan, gangguan mobilisasi,
gangguan ambulasi berjalan, gangguan aktivitas kehidupan
sehari-hari, dan gangguan partisipasi.
Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi ialah agar
penderita kusta dapat kembali ke warga sebagai manusia
yang produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi medik
berupa terapi fisik, terapi okupasi, pemberian ortosis dan
prosthesis, perawatan luka, supporting psikologis melalui
peresepan latihan yang sesuai.
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi sebagai berikut:
1. Konseling dan Edukasi
a) Konseling
Membantu pasien agar menyadari potensi yang dimiliki
dan memanfaatkan potensi mentalnya seoptimal
mungkin untuk meningkatkan kualitas penyesuaian
baik dengan dirinya sendiri maupun lingkungannya.
Konseling juga diberikan dengan tujuan untuk
mengurangi tingkat antisosial pasien kusta dengan
disabilitas.
b) Edukasi Kesehatan
Memberikan informasi kesehatan kepada pasien
mengenai penyakit kusta: penyebab, pengobatan,
hendaya, dan disabilitas yang terjadi serta pencegahan
disabilitas. Memberikan informasi mengenai
penggunaan alat pelindung diri dalam melakukan
aktivitas pekerjaan di rumah maupun di tempat kerja.
c) Penggunaan Modalitas fisik
Modalitas fisik digunakan untuk mengatasi disabilitas
pasien. Pemberian terapi modalitas fisik pada penderita
kusta harus sesuai dengan indikasi dan kontraindikasi.
Jenis terapi modalitas fisik yang dapat diberikan adalah
sebagai berikut: Electrical Stimulation (ES), untuk
redukasi otot; Laser therapy, untuk membantu proses
penyembuhan luka dan mengurangi nyeri;
Transcutaneus Electro Nerve Stimulation (TENS), untuk
mengurangi nyeri dan desensitisasi sensorik;
Ultrasound Diathermy, untuk meningkatkan
ekstensibilitas jaringan, sehingga dapat meningkatkan
lingkup gerak sendi; dan terapi panas dan terapi dingin.
d) Pemberian Terapi Latihan
Terapi latihan merupakan strategi yang paling penting
dan mendasar dalam tatalaksana rehabilitasi medik.
Terapi latihan dapat dicapai dengan latihan setiap hari,
dengan perhatian khusus yaitu cegah latihan atau
berhenti latihan jika ada luka atau lesi pecah-
pecah pada tangan dan kaki. Kulit harus kuat untuk
meregang selama latihan.
Terapi Latihan terhadap pasien dapat berupa latihan
lingkup gerak sendi, latihan peregangan, latihan
penguatan dan massage baik menggunakan alat
ataupun tanpa alat. Latihan dapat dilakukan secara
pasif maupun aktif.
(1) Latihan Aktif: Pasien menggunakan ototnya yang
lemah untuk latihan. Hal ini mencegah kontraktur
dan menguatkan otot yang lemah.
(2) Latihan Pasif: Pasien dibantu untuk
menggerakkan bagian yang paralisis secara pasif
untuk mencegah terbentuknya kontraktur.
Program latihan harus dibuat dengan preskripsi dan
perencanaan yang tepat untuk meminimalisasi cedera
saraf lanjut dan memastikan efek terapi yang dilakukan.
Terapi latihan ini meliputi :
(1) latihan untuk mempertahankan Lingkup Gerak
Sendi (LGS)
(2) latihan untuk meningkatkan kekuatan dan
ketahanan otot
(3) latihan untuk meningkatkan ketahanan
kardiorespirasi
(4) latihan untuk koordinasi
(5) latihan untuk memulihkan keseimbangan
(6) latihan ambulasi
(7) latihan untuk memulihkan fungsi AKS.
Pemberian peresepan terapi latihan harus disesuaikan
dengan kondisi tertentu pada pasien meliputi
hemodinamik yang stabil, tidak adanya tanda-tanda
infeksi pada area yang akan dilatih, terapi latihan tidak
menimbulkan kerusakan jaringan lebih lanjut,
imobilisasi diperlukan pada area tendon yang telah
dilakukan rekonstruksi, jika pasien memiliki gangguan
psikologis yang signifikan atau tidak sadar, terapi
latihan aktif tidak memungkinkan untuk dilakukan.
Latihan peregangan (stretching) yang dilakukan secara
gentle sangat efektif untuk mencegah terjadinya
kontraktur pada sendi. Latihan stretching dilakukan 3
kali sehari dan di luar waktu ini pasien tetap
melakukan latihan secara mandiri.
Latihan penguatan dapat berupa latihan beban dan
latihan sirkuit. Dalam melakukan latihan ketahanan
perlu memperhatikan kondisi fungsi kardiorespirasi.
Latihan penguatan dan ketahanan otot diberikan tidak
hanya pada sisi yang sakit, namun juga diberikan pada
sisi yang sehat. Pemberian latihan ini bertujuan untuk
mempertahankan trofi otot dan persiapan ambulasi.
Pada ekstermitas bawah yang telah mengalami
amputasi diperlukan bandaging yang tepat (seperti
elastic bandage, stockings, taping) saat latihan ambulasi
untuk mendapatkan bentuk/shape pungtum yang baik,
maturasi pungtum dan mengurangi nyeri. Latihan
ambulasi dilakukan dengan atau tanpa alat bantu
berjalan. Alat bantu berjalan yang dapat digunakan
adalah crutches, walker yang digunakan pada pasien
kusta dengan amputasi ekstremitas bawah. Pasien
kusta dengan deformitas pada kaki (contoh : dropfoot)
perlu menggunakan AFO (Ankle Foot Orthosis), sepatu
khusus dan modified insole untuk membantu ambulasi
berjalan.
2. Okupasi
Bentuk kegiatan yang dilatih yaitu aktifitas sehari-hari
berupa: perawatan diri, berpakaian, berhias, mobilisasi,
transfer, mengurus rumah tangga, produktifitas (pekerjaan),
pemanfaatan waktu luang (leisure). Memberikan alat bantu
beraktivitas (adaptive devices) untuk ke 2 tangan yang
mengalami disabilitas.
Dengan target terapi antara lain :
a. Perbaikan fungsi fisik, peningkatan lingkup gerak sendi,
kekuatan otot dan koordinasi. Bentuk kegiatan latihan
disesuaian dengan pekerjaan atau hobi dari pasien.
b. Pasien kusta mampu latih dalam merawat diri sendiri
dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pasien kusta mampu menggunakan adaptive devices
sederhana
d. Meningkatkan toleransi dalam bekerja dan
mengembangkan kemampuan yang sudah ada
sebagaimana tujuan dari terapi vokasional pasien.
e. Mampu mengatur penempatan pekerjaan untuk
meminimalisasi kerugian produksi
f. Penentuan kemampuan fisik dan mental, status sosial,
minat, kebiasaan kerja dan kemampuan kerja pasien
melalui eksplorasi pre-vokasional
g. Pemberian terapi diversional yaitu sebagai kegiatan
untuk memanfaatkan waktu selama masa perawatan di
rumah sakit.
h. Mengukur kemampuan pasien dalam bekerja dan
mengajarkan pasien agar melindungi daerah tubuh
yang telah hilang sensasi.
3. Pemberian Ortosis, Prostesis, Sepatu khusus
a. Pemberian ortosis pada penderita kusta berupa ortosis
untuk anggota gerak atas dan bawah dalam melakukan
aktivitas sehari-hari. Seperti splint tangan dan kaki,
splint knuckelbender, AFO (ankle foot orthosis) hingga
alas kaki/sepatu khusus.
Tujuan pemberian splint meliputi :
1) Memposisikan bagian tubuh atau sendi dengan
tepat sesuai dengan posisi anatomis (contoh:
untuk sendi tangan yang berpotensi mengalami
kontraktur)
2) Memberikan topangan, proteksi dan imobilisasi
tendon atau sendi yang terganggu (contoh: pada
kaki yang mengalami drop foot)
3) Membantu mengurangi nyeri dan edema pada
pasien
4) Memberikan proteksi pada grafts/flap (pasca
rekonstruksi) yang baru terpasang
5) Memposisikan sendi yang kontraktur atau bagian
tubuh yang mengalami deformitas
6) Menjaga dan meningkatkan posisi dalam
pergerakan.
Dalam pemasangan splint diperlukan monitor dan
evaluasi untuk melihat kondisi kulit dan penekanan
saraf pada sekitar sendi. Sebagai contoh, nervus
peroneus di bawah caput fibula sering mengalami
penekanan akibat pemasangan splint yang tidak tepat
dan mengakibatkan drop foot permanen. Setelah
pemasangan splint, pasien harus diberikan edukasi
mengenai bagaimana, kapan dan hingga berapa lama
pasien harus mengenakan splint serta cara
membersihkan dan merawat splint.
b. Pemberian prostesis pada penderita diperlukan pada
anggota gerak atas dan bawah apabila telah dilakukan
amputasi dengan tujuan untuk membantu ambulasi.
Juga prostesis jari-jari dan tangan pada pasien mutilasi,
untuk membantu fungsional dan kosmesis sehingga
menambah self esteem dan kualitas hidup pasien.
c. Pemberian alas kaki, sendal hingga sepatu khusus
dilakukan untuk menghindari terjadinya luka lebih
lanjut pada pedis, dimana terjadi gangguan sensibilitas
hingga di perifer. Dibuat secara customize dari bahan
khusus, sesuai preskripsi dokter Sp.KFR. Sepatu atau
sandal khusus juga diberikan jika terjadi drop foot, di
adjust dengan memakai spring di bagian depan
sepatu/sendal, sehingga membantu gerakan foot
clearance pasien saat berjalan.
4. Perawatan rehabilitasi medik pada pasien kusta yang
mengalami luka
a. Luka yang timbul pada penderita kusta perlu dilakukan
perawatan luka dan melindungi luka dengan
mengurangi tekanan pada area luka, membatasi
mobilitas, mengurangi weight baring pada area luka
terutama ekstremitas bawah berupa penggunaan bidai,
gips, kursi roda, tongkat, modifikasi sepatu atau alas
kaki, dan lainnya.
5. Rehabilitasi Karya/Pelatihan:
a. Pelatihan Vokasional yaitu berupa:
1) Keterampilan menjahit
2) Keterampilan las
3) Keterampilan dalam percetakan
4) Keterampilan bertani dan berternak
b. Menyediakan bengkel kerja (workshop)
c. Penderita kusta dengan disabilitas yang berat perlu
diberikan alat bantu modifikasi untuk melakukan
aktivitas sehari-hari maupun pekerjaan lain.