Rabu, 07 Juni 2023
Home »
paru-paru. 4
» paru-paru 4
paru-paru 4
Juni 07, 2023
paru-paru. 4
tidak mengeluarkan sekret.
Berat: sesak napas hebat, takipnea, takikardi, sianosis, agitasi, batuk
produktif dan kontinu, sekret berbusa, berdarah dan mukoid.
3. Pemeriksaan Fisik
o Takikardi
o Dispnea
o Bronchorrhea/ sekresi bercampur darah (hemoptisis)
o Takipnea
o Hipoksia
o Perubahan kesadaran
o Membutuhkan waktu untuk berkembang, dan sebanyak setengah
dari masalah tidak menunjukkan gejala pada presentasi awal.
o Dapat timbul atau memburuk dalam 24-72 jam setelah trauma
o Pada masalah berat, gejala dapat terjadi secara cepat sekitar 3-4 jam
pasca trauma.
o Hipoksemia
o Sianosis
4. Kriteria diagnosa
Tipe kontusio pulmo menurut Wagner, 1998
Tipe 1 Due to direct chest wall compression against the
lung parenchyma; this accounts for the majority
of cases.
Tipe 2 Due to shearing of lung tissue across the
vertebral bodies.
Tipe 3 Localized lesions due to fractured ribs, which
directly injure the underlying lung.
Tipe 4 Due to underlying pleuropulmonary adhesions
from prior lung injury tearing the parenchyma.
5. diagnosa Kerja Kontusio Paru
6. diagnosa Banding Gagal Napas, ARDS, pneumonia
7. Pemeriksaan Penunjang
o Laboratorium analisis gas darah (AGD): cukup oksigen dan
tidak ada karbon dioksida yang berlebihan. Namun kadar gas
mungkin tidak menunjukkan kelainan pada awal perjalanan luka
memar paru.
o Foto toraks: menunjukkan memar paru yang berhubungan dengan
patah tulang rusuk dan emfisema subkutan. Foto toraks
menunjukkan gambaran infiltrat. Tanda infiltrat kadang tidak
muncul dalam 12-24 jam.
o CT scan: menunjukkan gambaran kontusio lebih awal.
o USG: menunjukkan memar paru awal yang tidak terlihat pada foto
toraks. Sindrom interstisial dinyatakan dengan garis putih vertikal,
“B-Line”.
8. penanganan
Penatalaksanaan utama: Patensi jalan napas, oksigenasi adekuat,
kendali nyeri.
Perawatan utama: menemukan luka memar yang menyertai, mencegah
cedera tambahan, dan memberikan perawatan suportif sambal
menunggu luka memar paru sembuh.
Tindakan:
o Bronchial toilet, batasi pemberian cairan (iso/hipotonik),
oksigenasi, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan
tekanan positif (PEEP > 5).
o Intubasi ET untuk dapat melakukan penyedotan dan memasang
ventilasi mekanik dengan continuous positive end-expiratory
pressure (PEEP).
Penatalaksanaan pada kontusio paru ringan
o Nebulisasi
o Postural drainage.
o Fisioterapi.
o Pengisapan endotrakheal steril.
o Antimikrobia.
o Oksigenasi.
o Pembatasan cairan.
Penatalaksanaan pada kontusio paru sedang
o Intubasi dan ventilator.
o Diuretik.
o NGT.
o Kultur sekresi trakeobronkial.
Penatalaksanaan pada kontusio paru berat
o Intubasi ET dan ventilator.
o Diuretik.
o Pembatasan cairan.
o Antimikrobial profilaktik.
o Larutan koloid dan kristaloid.
9. Komplikasi o Memar paru dapat mengakibatkan kegagalan pernapasan, sekitar
setengah dari masalah terjadi dalam beberapa jam dari trauma awal.
o Komplikasi lainnya, termasuk infeksi akut dan sindrom gangguan
pernapasan (ARDS). Sekitar 50% pasien dengan ARDS memar
paru, dan 80% pasien dengan kontusio paru melibatkan lebih dari
20% dari volume paru.
o Pneumonia, komplikasi yang berkembang pada 20% pasien dengan
memar paru.
10. Penyakit Penyerta ARDS
11. Prognosis Dubia
12. nasihat Segera ke unit gawat darurat untuk memperoleh pertolongan segera,
mencegah gagal napas dan komplikasi lain.
13. Indikasi Pulang Bila penyulit dan komplikasi tidak ada, dan tidak ada keluhan sesak
mendadak.
ASPIRASI BENDA ASING DI SALURAN
NAPAS BAWAH
1. Pengertian
Ditemukan benda yang masuk melalui mulut atau hidung di dalam
saluran napas bawah. Aspirasi benda asing yaitu
kegawatdaruratan medis yang dapat mengancam jiwa dan
membutuhkan intervensi segera, sering ditemukan pada anak.
2. Anamnesis
Masuknya benda asing biasanya pada anak, akibat memasukkan benda
ke mulut, tersedak, tertelan, refleks mengunyah tidak adekuat, diameter
saluran napas yang lebih kecil serta mekanisme protektif yang masih
imatur. Benda asing dapat memicu obstruksi parsial atau total
pada saluran napas. Gejala awal biasanya batuk. Gejala obstruksi
parsial berupa suara serak, hilang suara, odinofagi, hemoptysis dan
sesak napas. Gejala lain seperti mengi, sesak, nyeri dada serta
pneumonia berulang.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaaan fisik dalam batas normal atau tidak spesifik tergantung
ukuran benda asing.
Bunyi mengi pada sisi sakit, stridor, hiperinflasi, juga atelektasis dapat
terjadi.
4. Kriteria diagnosa
Klasifikasi diagnostik berdasar:
o Derajat obstruksi: obstruksi parsial dan obstruksi total
o Asal benda asing: dari dalam dan dari luar tubuh.
Kriteria diagnostik menurut Heyer bila 2 dari 3 kriteria sebagai berikut
memenuhi kriteria aspirasi benda asing yaitu:
o hiperinflasi
o riwayat tersedak
o leukositosis
Kriteria diagnostik menurut Kadmonet dkk:
o usia 10-24 bulan
o terdapat objek di mulut pasien diikuti gejala pernapasan berat
o auskultasi: suara napas abnormal pada sisi unilateral
o abnormalitas radiogram trakea
o pemeriksaan foto toraks yang mendukung (gambaran radioopak)
5. diagnosa Kerja Aspirasi benda asing di saluran napas
6. diagnosa Banding
Laringitis, epiglotitis, massa di trakea, trakeomalasia, bronkitis,
bronkiektasis, obstruksi lobus, asma, atelektasis.
7. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi: foto toraks PA, lateral, lateral dekubitus.
Foto jaringan lunak.
Fluroskop toraks: mendeteksi pergeseran mediastinum dan respirasi
diafragma paradoksal
CT scan toraks dengan kontras
Bronkoskop virtual (EBUS)
Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, analisis gas darah
Patologi anatomi: bila diperlukan kelanjutan diagnostik
8. penanganan
Prinsip tata laksana
o Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosa.
o Pemeriksaan penunjang yang relevan.
o memakai klasifikasi diagnostik dan alur diagnostik.
o Evakuasi secepatnya benda asing dari saluran napas bawah.
Teknik evakuasi dapat memakai :
o membatukkan benda keluar
o bronkoskopi rigid
o bronkoskopi fleksibel
o Fogarty arterial embolectomy ballon catheter (untuk saluran napas
yang lebih dalam)
o Cryoprobe
o pembedahan: torakotomi/ bronkotomi
9. Komplikasi Komplikasi minor: desaturasi, bradikardi, bronkospasme.
Komplikasi mayor: edema laring, pneumotoraks, henti jantung.
10. Penyakit Penyerta Pneumonia berulang, abses, bronkiektasis dan striktur bronkial.
11. Prognosis Tergantung periode tindakan. Apabila terlambat berisiko kematian.
12. nasihat Diperlukan edukasi agar kejadian tidak berulang
Diperlukan pula edukasi risiko tindakan dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
13. Indikasi Pulang Bila benda asing berhasil dikeluarkan, keadaan umum pasien baik dan
tidak ada komplikasi.
PENYAKIT PARU INTERSTISIAL
PENYAKIT PARU INTERSTISIAL
diagnosa :
Penyakit Paru Interstitial (Interstitial lung diseases/ILD)
1. Pengertian
Penyakit paru interstisial adalah kelompok penyakit yang mengenai
rongga interstitial paru, disebut juga diffuse parenchymal lung
diseases (DPLD). Proses meliputi inflamasi dan pada akhirnya
memicu fibrosis jaringan interstisial paru
Penyakit paru interstisial dapat dibagi menjadi:
1. Penyakit paru interstisial yang sebabnya diketahui
a. Penyakit jaringan ikat (connective tissue diseases)
b. Berhubungang dengan pekerjaan dan lingkungan
c. Berhubungan dengan obat
d. Infeksi (termasuk fibrosis paru pasca COVID-19:
2. Pneumonia Interstisial Idiopatik (idiopathic interstitial
pneumonia)
a. Grup Mayor
‐ Fibrosis kronik (chronic fibrosing)
- Fibrosis paru idiopatik (idiopathic pulmonary
fibrosis/IPF)
- Pneumonia interstisial non spesifik (non-specific
interstitial pneumonia/NSIP)
‐ Akut dan subakut
- Acute interstitial pneumonitis
- Chronic organizing pneumonia
‐ Berhubungan dengan pajanan rokok
- Desquamative interstitial pneumonia/DIP
- Respiratory bronchiolitis interstitial lung diseases/RB-
ILD,
b. IIP yang jarang didapat
‐ Idiopathic pleuroparenchymal fibroelastosis/PPFE
‐ Idiopathic lymphocytic interstitial pneumonia
c. IIP yang tidak dapat digolongkan
1. Berhubungan dengan penyakit granulomatosis
‐ Sarkoidosis
‐ Pneumonitis hipersensitif
2. Bentuk lain
‐ Limfangioleiomiomatosis
‐ Histiositosis X
2. Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada, bengkak pada kaki, dan jari tabuh.
3. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan:
Inspeksi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Palpasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Perkusi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Auskultasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki
basah velkro (velcro crackles) pada akhir inspirasi pada kedua basal paru.
Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen.
4. Kriteria diagnosa Kriteria diagnosa penyakit paru interstitial meliputi: proses inflamasi dan fibrosis dari jaringan interstisial.
5. diagnosa Kerja Penyakit Paru Interstisial (interstitial lung diseases)
6. diagnosa Banding
o Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya
o Pneumonitis hipersensitif
o Non-specific interstitial pneumonia
o Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun
o Chronic-fibrosing interstitial lung diseases
o Penyakit paru interstisial karena obat
o Penyakit paru akibat kerja
o Sarkoidosis
o Bronkiektasis
o Fibrosis kistik
o Penyakit paru obstruktif kronik
o Tuberkulosis
o Kanker paru
o Sindrom respirasi pasca COVID-19
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan radiologi:
‐ Foto toraks AP/PA dan/atau
‐ CT scan toraks (HRCT toraks)
‐ Lung perfusion scan atas indikasi
o Pemeriksaan faal paru (di bawah)
‐ Spirometri rutin
‐ Pemeriksaan kapasitas difusi
o Pemeriksaan pulseoksimetri
o Pemeriksaan laboratorium:
‐ Darah lengkap
‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT
‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin
‐ Gula darah, HbA1c
‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan
‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen
‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,
‐ ds-DNA, faktor rheumatoid
‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP, dan pemeriksaan panel
autoimun lainnya.
‐ Pemeriksaan analisis BAL
‐ Pemeriksaan analisis metal dan bahan lain dalam BAL.
‐ Pemeriksaan infeksi (virus, M.Tb, jamur, dan lainnya)
o Pemeriksaan faal paru:
‐ Uji jalan 6 menit
‐ Spirometri
‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia
‐ Cardiopulmonary Exercise Test (CPET) bila diperllukan dan
tersedia
‐ Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia
‐ Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia
o Pemeriksaan transtorakal biopsi (core biopsy).
o Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar lavage)
o Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy,
cryobiopsy)
o Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS
o Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi
o Penilaian kualitas hidup (kuesioner)
8. penanganan
o Diagnostik (seperti di atas)
o Nonfarmakologis
‐ Terapi oksigen
‐ Rehabilitasi paru
‐ Terapi paliatif
‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid
‐ Rawat inap, bila ada indikasi
‐ Vaksinasi
o Farmakologis
o Pemberian Antifibrosis Pirfenidone, Nintedanib dapat
dipertimbangkan pada masalah penyakit fibrosis paru idiopatik
(idiopathic pulmonary fibrosis/IPF), SSc-ILD, atau ILD dengan
tipe fibrosis kronik (chronic fibrosing interstitial lung diseases).
o Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi eksaserbasi
akut.
o Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat
diberikan pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg,
klaritromisin 500mg, eritromisin 2x250mg.
o Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein
dan lainnya))
o Mukolitik bila diperlukan
o Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan.
o Antibiotik bila ada infeksi bakterial
o Mikronutrien
o Vaksinasi
9. Komplikasi o Pneumonia
o Gagal napas
o Acute Respiratory Distress Syndrome
o Pneumotoraks
o Batuk darah
o Tromboemboli paru
o Gangguan koagulopati
o Hipertensi pulmonal
o Cor pulmonale kronik
o Gangguan tidur
o Gangguan psikologis
10. Penyakit Penyerta o Kanker paru
o Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2)
o Hepatitis
o Penyakit terkait geriatri
o Penyakit terkait autoimun
o Penyakit ginjal
o Penyakit hati
o Penyakit Jantung
o Hipertensi
o Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
o Asma
o Tuberkulosis (TB)
o Penyakit kronik lain
o Obesitas
11. Follow Up / Evaluasi Evaluasi dilakukan meliputi:
Keluhan klinis
o Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk.
o Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMRC
o Kualitas hidup, melalui skor
o Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test).
o Pemeriksaan fisis
o Pemeriksaan saturasi oksigen
Pemeriksaan faal paru
Spirometri dan/atau DLCo
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, kimia, penanda inflamasi, dan lainnya.
Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila
kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap
8-12 minggu.
Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.
12. Prognosis Qua ad vitam: dubia
Qua ad functionam: dubia
Qua ad sanationam: dubia
13. Konsultasi Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit
penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien.
12. nasihat o Kebersihan personal dan lingkungan
o Etika batuk dan bersin
o Tidak merokok
o memakai masker
o Mencuci tangan teratur
o Menjaga jarak dan menghindari kerumunan
o Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan
o Disarankan vaksinasi influenza, pneumokokus, COVID-19 sesuai
rekomendasi profesi.
13 Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan asuhan paliatif bila diperlukan.
PNEUMONIA INTERSTISIAL
NON SPESIFIK
1. Pengertian
Pneumonia interstisial non-spesifik (NSIP) yaitu bagian dari
pneumonia interstisial idiopatik (idiopathic interstitial pneumonia)
dengan gambaran inflamasi dan fibrosis interstisial yang homogen.
Dikatakan nonspesifik karena gambaran histoptologi yang nonspesifik,
biasanya bilateral, dan di lobus bawah paru. NSIP dapat berupa
idiopatik, atau berhubungan dengan penyakit jaringan ikat (connective
tissue diseases), infeksi, atau sebab lain, seperti infeksi (HIV atau virus),
obat (amiodaron, metotrexate), pneumonitis hipersensitif, pneumonia
interstisial dengan gambaran autoimun (interstitial pneumonia with
autoimmune features/IPAF)
2. Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada, bengkak pada kaki, dan jari tabuh.
3. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan:
Inspeksi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Palpasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Perkusi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Auskultasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki
basah velkro (velcro crackles) pada akhir inspirasi pada kedua basal
paru.
Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen.
4. Kriteria diagnosa
Kriteria diagnosa penyakit paru interstitial nonspesifik meliputi: proses
inflamasi dan fibrosis dari jaringan interstisial, gambaran radiologis
berupa kesuraman (groundglass opacities) disertai gambaran retikuler
bilateral, disertai dengan gambaran restriksi pada spirometri.
5. diagnosa Kerja Pneumonia interstisial non-spesifik (non-specific interstitial pneumonia) (ICD X J84.113)
6. diagnosa Banding
o Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya
o Pneumonitis hipersensitif
o Non-specific interstitial pneumonia
o Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun
o Chronic-fibrosing interstitial lung diseases
o Penyakit paru interstisial karena obat
o Penyakit paru akibat kerja
o Sarkoidosis
o Bronkiektasis
o Fibrosis kistik
o Penyakit paru obstruktif kronik
o Tuberkulosis
o Kanker paru
o Sindrom respirasi pasca COVID-19
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan radiologi:
‐ Foto toraks AP/PA dan/atau
‐ CT scan toraks (HRCT toraks)
‐ Lung perfusion scan atas indikasi
o Pemeriksaan faal paru (di bawah)
‐ Spirometri rutin
‐ Pemeriksaan kapasitas difusi
o Pemeriksaan pulseoksimetri
o Pemeriksaan laboratorium:
‐ Darah lengkap
‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT
‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin
‐ Gula darah, HbA1c
‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan
‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen
‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,
‐ ds-DNA, faktor rheumatoid
‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP, dan pemeriksaan autoimun
o Pemeriksaan faal paru:
‐ Uji jalan 6 menit
‐ Spirometri
‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia
‐ Cardiopulmonary Exercise Test (CPET) bila diperllukan dan
tersedia
‐ Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia
‐ Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia
o Pemeriksaan biopsi transtorakal
o Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar
lavage)
o Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy,
cryobiopsy)
o Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS
o Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi
o Penilaian kualitas hidup (kuesioner)
8. penanganan
o Diagnostik (seperti di atas)
o Nonfarmakologis
‐ Terapi oksigen
‐ Rehabilitasi paru
‐ Terapi paliatif
‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid
‐ Rawat inap, bila ada indikasi
‐ Vaksinasi
o Farmakologis
‐ Pemberian antifibrosis Pirfenidone, Nintedanib dapat
dipertimbangkan pada masalah penyakit fibrosis paru idiopatik
(idiopathic pulmonary fibrosis/IPF), SSc-ILD, atau ILD dengan
tipe fibrosis kronik (chronic fibrosing interstitial lung diseases)
‐ Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi
eksaserbasi akut.
‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat
diberikan pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg,
klaritromisin 500mg, eritromisin 2x250mg.
‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein
dan lainnya))
‐ Mukolitik bila diperlukan
‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan.
‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial
‐ Mikronutrien
‐ Vaksinasi
9. Komplikasi o Pneumonia
o Gagal napas
o Acute Respiratory Distress Syndrome
o Pneumotoraks
o Batuk darah
o Tromboemboli paru
o Gangguan koagulopati
o Hipertensi pulmonal
o Cor pulmonale kronik
o Gangguan tidur
o Gangguan psikologis
10. Penyakit Penyerta o Kanker paru
o Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2)
o Hepatitis
o Penyakit terkait geriatri
o Penyakit terkait autoimun
o Penyakit ginjal
o Penyakit hati
o Penyakit Jantung
o Hipertensi
o Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
o Asma
o Tuberkulosis (TB)
o Penyakit kronik lain
o Obesitas
11. Follow Up / Evaluasi Evaluasi dilakukan meliputi:
Keluhan klinis
‐ Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala
batuk
‐ Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor
MMR
‐ Kualitas hidup, melalui skor
‐ Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test).
‐ Pemeriksaan fisis
- Pemeriksaan saturasi oksigen
Pemeriksaan faal paru
Spirometri dan/atau DLCo
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, kimia, penanda inflamasi, dan
lainnya.
Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal
paru bila kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks)
dilakukan setiap 8-12 minggu.
Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.
12. Prognosis Qua ad vitam: dubia
Qua ad functionam: dubia
Qua ad sanationam: dubia
13. Konsultasi Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit
penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien.
14. nasihat o Kebersihan personal dan lingkungan
o Etika batuk dan bersin
o Tidak merokok
o memakai masker
o Mencuci tangan teratur
o Menjaga jarak dan menghindari kerumunan
o Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan
o Disarankan vaksinasi influenza, pneumokokus, COVID-19 sesuai
rekomendasi profesi.
15. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis
FIBROSIS PARU IDIOPATIK
(IDIOPATHIC PULMONARY FIBROSIS)
1. Pengertian Fibrosis Paru Idiopatik adalah fibrosis yang terjadi di jaringan interstisial
paru, yang bersifat progresif, kronik, dengan sebab tidak diketahui, yang
terjadi hanya pada paru, terutama pada usia dewasa.
2. Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada,
bengkak pada kaki, dan jari tabuh.
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan:
Inspeksi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Palpasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Perkusi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Auskultasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki
basah velkro (velcro crackles) pada akhir inspirasi pada kedua basal
paru.
Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen.
4. Kriteria diagnosa Kriteria diagnosa fibrosis paru idiopatik (FPI) meliputi:
o Eksklusi dari seluruh penyebab penyakit paru interstisial yang
diketahui (pajanan domestik dan kerja, penyakit jaringan ikat, penyakit
kolagen, efek samping obat dan lainnya) dan,
o Terlihat gambaran Usual Interstisial Pneumonia pada HRCT Toraks,
atau
o Kombinasi gambaran “probable/possible UIP” dengan atau tanpa
biopsi paru.
Jika diperlukan, suatu diskusi multidisiplin dapat dilakukan untuk
menyepakati diagnosa FPI, seperti yang tertera dalam algoritma diagnosa
FPI.
5. diagnosa Kerja Penyakit Fibrosis Paru Idiopatik (idiopathic pulmonary fibrosis) (ICD X
J84.112)
6. diagnosa Banding o Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya
o Pneumonitis hipersensitif
o Non-specific interstitial pneumonia
o Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun
o Chronic-fibrosing interstitial lung diseases
o Penyakit paru interstisial karena obat
o Penyakit paru akibat kerja
o Sarkoidosis
o Bronkiektasis
o Fibrosis kistik
o Penyakit paru obstruktif kronik
o Tuberkulosis
o Kanker paru
o Sindrom respirasi pasca COVID-19
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan radiologi:
‐ Foto toraks AP/PA dan/atau
‐ CT scan toraks (HRCT toraks)
‐ Lung perfusion scan atas indikasi
o Pemeriksaan faal paru (di bawah)
‐ Spirometri rutin
‐ Pemeriksaan kapasitas difusi
o Pemeriksaan pulseoksimetri
o Pemeriksaan laboratorium:
‐ Darah lengkap
‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT
‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin
‐ Gula darah, HbA1c
‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan
‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen
‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,
‐ ds-DNA, faktor rheumatoid
‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP
o Pemeriksaan faal paru:
‐ Uji jalan 6 menit
‐ Spirometri
‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia
‐ Cardiopulmonary Exercise Test (CPET) bila diperllukan dan tersedia
‐ Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia
‐ Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia
o Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar lavage)
o Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy,
cryobiopsy)
o Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS
o Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi
o Penilaian kualitas hidup (kuesioner)
8. penanganan
o Diagnostik
Kriteria diagnosa IPF meliputi: (copas di atas0.
‐ Eksklusi penyebab ILD yang lain (penyakit jaringan konektif (CTD-
ILD), obat, lingkungan dan pekerjaan)
‐ Gambaran HRCT: UIP (usual interstitial pneumonia)
‐ atau bila HRCT tidak menggambarkan suatu UIP, diagnosa dapat
diputuskan melalui sebuah diskusi multidisiplin (MDT) sebagai IPF
Algoritma
Algoritma penanganan diagnosa dan terapi pasien fibrosis paru idiopatik
dapat dilihat pada gambar 1 (lampiran).
o Nonfarmakologis
‐ Terapi oksigen
‐ Rehabilitasi paru
‐ Terapi paliatif
‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid
‐ Rawat inap, bila ada indikasi
o Farmakologis
‐ Antifibrosis pirfenidone (tablet), dengan dosis 3-3-3 tablet (mg)
setiap hari atau nintedanib (2x150mg; kapsul lunak gelatin berassal
dari babi) setiap hari.
‐ Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi eksaserbasi
akut.
‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat diberikan
pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, klaritromisin
500mg, eritromisin 2x250mg.
‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein dan
lainnya))
‐ Mukolitik bila diperlukan
‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan.
‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial
‐ Mikronutrien
‐ Vaksinasi
Algoritma diagnosa dan penanganan Fibrosis Paru Idiopatik (dikutip
dari 1)
9. Komplikasi o Pneumonia
o Gagal napas
o Acute Respiratory Distress Syndrome
o Pneumotoraks
o Batuk darah
l
o Tromboemboli paru
o Gangguan koagulopati
o Hipertensi pulmonal
o Cor pulmonale kronik
o Gangguan tidur
o Gangguan psikologis
10. Penyakit Penyerta o Kanker paru
o Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2)
o Hepatitis
o Penyakit terkait geriatri
o Penyakit terkait autoimun
o Penyakit ginjal
o Penyakit hati
o Penyakit Jantung
o Hipertensi
o Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
o Asma
o Tuberkulosis (TB)
o Penyakit kronik lain
o Obesitas
11. Follow Up / Evaluasi Evaluasi dilakukan meliputi:
Keluhan klinis
o Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk.
o Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMRC
o Kualitas hidup, melalui skor
o Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test).
o Pemeriksaan fisis
- Pemeriksaan saturasi oksigen
Pemeriksaan faal paru
o Spirometri dan/atau DLCo
Pemeriksaan radiologis
o Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks
Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila
kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap
8-12 minggu.
Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.
12. Prognosis Qua ad vitam: dubia
Qua ad functionam: dubia
Qua ad sanationam: dubia
13. Konsultasi Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit
penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien.
13. nasihat o Kebersihan personal dan lingkungan
o Etika batuk dan bersin
o Tidak merokok
o memakai masker
o Mencuci tangan teratur
o Menjaga jarak dan menghindari kerumunan
o Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan
o Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai rekomendasi
profesi.
14. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan asuhan paliatif.
PENYAKIT PARU INTERSTISIAL TERKAIT
SKLEROSIS SISTEMIK
diagnosa : Penyakit paru interstisial terkait sistemik sklerosis(Interstitial lung disease associated
with systemic sclerosis SSc ILD)
1. Pengertian
Penyakit paru interstisial terkait sistemik sclerosis adalah penyakit autoimun yang
ditandai dengan trias patogenik yang terdiri atas kerusakan mikrovaskular, disregulasi
sistem imun dan fibrosis pada paru.
2. Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk kering, berat badan turun dan cepat lelah2
3. Pemeriksaan
Fisis
Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan:
Inspeksi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Palpasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Perkusi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Auskultasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki basah
velkro (velcro crackles) pada akhir inspirasi pada kedua basal paru.
Dapat disertai jari tabuh, penurunan saturasi oksigen, penebalan /pengerasan kulit,
ulkus atau pitting scars, telangiektasia, fenomena Raynaud
4. Kriteria
diagnosa
Kriteria diagnosa SSc-ILD meliputi:
o Gambaran sklerosis sistemik sesuai klasifikasi ACR/EULAR 2013 yaitu
penebalan kulit jari kedua tangan yang meluas proksimal ke sendi
metacarphophalangeal, penebalan kulit pada jari-jari tangan, lesi pada ujung jari,
telangiektasia, kapiler abnormal pada lipatan kuku, fenomena Raynaud, hipertensi
pulmoner dan autoantibodi yang berkaitan dengan SSc.
o ada gambaran fibrosis pada high resolution computed tomography (HRCT)
atau foto toraks standar yang biasanya terlihat pada bagian basal. Gambaran
umum pada HRCT adalah non-specific interstitial pneumonia (NSIP).1 Pada
sebagian kecil masalah juga dapat ditemukan gambaran usual interstitial pneumonia
(UIP).
o Jika diperlukan, suatu diskusi multidisiplin dapat dilakukan untuk menyepakati
diagnosa SSc-ILD
5. diagnosa Kerja Penyakit penyakit paru interstisial terkait sistemik sklerosis (Interstitial lung disease
associated with systemic sclerosis SSc-ILD) Kode ICD X: M34.81
6. diagnosa
Banding
o Edema paru
o Pneumonia,
o Tromboemboli paru kronik
o Hemoragik alveolar
o Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya
o Pneumonitis hipersensitif
o Non-specific interstitial pneumonia
o Chronic-fibrosing interstitial lung diseases
o Penyakit paru interstisial karena obat
o Sarkoidosis
o Fibrosis kistik
o Tuberkulosis
o Kanker paru
o Sindrom respirasi pasca COVID-19
7. Pemeriksaan
Penunjang
o Pemeriksaan radiologi:
‐ Foto toraks AP/PA dan/atau
‐ CT scan toraks (HRCT toraks)
o Pemeriksaan faal paru (di bawah)
‐ Spirometri rutin
‐ Pemeriksaan kapasitas difusi
o Pemeriksaan pulseoksimetri
o Pemeriksaan capillaroscopy
o Pemeriksaan laboratorium:
‐ Darah lengkap
‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT
‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin
‐ Gula darah, HbA1c
‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan
‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen
‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA, ds-DNA, faktor rheumatoid
‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP
o Pemeriksaan faal paru:
‐ Uji jalan 6 menit
‐ Spirometri
‐ Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia
o Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi
o Penilaian kualitas hidup (kuesioner)
8. penanganan
o Algoritma
Algoritma diagnosa dan penanganan SSc ILD dapat dilihat pada gambar
(lampiran).
o Nonfarmakologis
‐ Terapi oksigen
‐ Rehabilitasi paru
‐ Terapi paliatif
‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid
‐ Rawat inap, bila ada indikasi
o Farmakologis
‐ Antifibrosis pirfenidone (tablet), dengan dosis 3-3-3 tablet (mg) setiap hari atau
nintedanib (2x150mg; kapsul lunak gelatin asal babi) setiap hari
‐ Prednisolon 20 mg (selang sehari) diikuti dengan siklofosfamid 600 mg/m2
setiap 4 minggu (selama 6 kali) diikuti oleh azatioprin 2,5 mg/kg/day
(maksimal 200 mg/hari) sebagai terapi maintenance.
‐ Micofenolat mofetil 2x750 mg selama 24 bulan
‐ Transplantasi sel punca hematopoietik
‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat diberikan pada
kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, klaritromisin 500mg,
eritromisin 2x250mg.
‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein dan lainnya)
‐ Mukolitik bila diperlukan
‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan.
‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial
‐ Mikronutrien
‐ Vaksinasi
Algoritma diagnosa dan penanganan Sklerosis Sistemik terkait ILD
9. Komplikasi
o Pneumonia
o Gagal napas
o Acute Respiratory Distress Syndrome
o Pneumotoraks
o Batuk darah
o Tromboemboli paru
o Gangguan koagulopati
o Hipertensi pulmonal
o Cor pulmonale kronik
o Gangguan tidur
o Gangguan psikologis
10. Penyakit
Penyerta
o Kanker paru
o Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2)
o Hepatitis
o Penyakit terkait geriatri
o Penyakit terkait autoimun
o Penyakit ginjal
o Penyakit hati
o Penyakit Jantung
o Hipertensi
o Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
o Asma
o Tuberkulosis (TB)
o Penyakit kronik lain
o Obesitas
11. Follow
Up/Evaluasi
Evaluasi dilakukan meliputi:
Keluhan klinis
‐ Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk
‐ Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMR
‐ Kualitas hidup, melalui skor
‐ Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test).
‐ Pemeriksaan fisis
- Pemeriksaan saturasi oksigen
Pemeriksaan faal paru
Spirometri dan/atau DLCo
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks
Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila kondisi
klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap 8-12 minggu.
Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.
12. Prognosis
Qua ad vitam: dubia
Qua ad functionam: dubia
Qua ad sanationam: dubia
13. Konsultasi
Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit
penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien.
14. nasihat
o Kebersihan personal dan lingkungan
o Etika batuk dan bersin
o Tidak merokok
o memakai masker
o Mencuci tangan teratur
o Menjaga jarak dan menghindari kerumunan
o Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan
o Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai rekomendasi profesi.
FIBROSIS PARU PASCA COVID-19
1. Pengertian
Fibrosis Paru pasca COVID-19
2. Anamnesis Keluhan utama berupa sesak, batuk, berat badan turun, nyeri dada, bengkak pada kaki, nyeri dada.
3. Pemeriksaan
Fisis
Pada pemeriksaan fisis paru dapat ditemukan:
Inspeksi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Palpasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Perkusi : Normal atau dapat ditemukan kelainan.
Auskultasi : Normal atau dapat ditemukan kelainan, dapat berupa ronki basah
velkro (velcro crackles) pada akhir inspirasi pada kedua basal paru.
Dapat disertai jari tabuh, dan penurunan saturasi oksigen.
4. Kriteria
diagnosa
Kriteria diagnosa fibrosis paru pasca COVID-19 meliputi:
o Riwayat pneumonia COVID-19,
o Eksklusi dari seluruh penyebab penyakit paru interstisial yang diketahui
(pajanan domestik dan kerja, penyakit jaringan ikat, penyakit kolagen, efek
samping obat dan lainnya) dan,
o Terlihat gambaran Pneumonia Interstisial pada HRCT Toraks, dan, atau
o Gangguan faal paru berupa gangguan difusi dan atau restriksi
5. diagnosa Kerja
Fibrosis Paru pasca COVID-19 (post-COVID-19 lung fibrosis) (ICD X
J84.9 atau B94.8)
6. diagnosa
Banding
o Penyakit paru interstisial idiopatik lainnya
o Pneumonitis hipersensitif
o Non-specific interstitial pneumonia
o Penyakit paru interstisial karena penyakit autoimun
o Penyakit paru interstisial karena infeksi virus lainnya
o Chronic-fibrosing interstitial lung diseases
o Penyakit paru interstisial karena obat
o Penyakit paru akibat kerja
o Sarkoidosis
o Bronkiektasis
o Fibrosis kistik
o Penyakit paru obstruktif kronik
o Tuberkulosis
o Kanker paru
o Sindrom respirasi pasca COVID-19
7. Pemeriksaan
Penunjang
o Pemeriksaan radiologi:
‐ Foto toraks AP/PA dan/atau
‐ CT scan toraks (HRCT toraks)
‐ Lung perfusion scan atas indikasi
o Pemeriksaan faal paru (di bawah)
‐ Spirometri rutin
‐ Pemeriksaan kapasitas difusi
o Pemeriksaan pulseoksimetri
o Pemeriksaan laboratorium:
‐ Darah lengkap
‐ Faal hati SGOT, SGPT, Bilirubin, GGT
‐ Faal ginjal: ureum, kreatinin
‐ Gula darah, HbA1c
‐ Analisis gas darah dan elektrolit bila diperlukan
‐ Pemeriksaan D-dimer, PT, APTT, Fibrinogen
‐ Pemeriksaan ANA penyaring, profil ANA,
‐ ds-DNA, faktor rheumatoid
‐ Pemeriksaan ANCA, C3,C4, CRP
o Pemeriksaan faal paru:
o Uji jalan 6 menit
o Spirometri
o Kapasitas difusi (DLCO) bila tersedia
o Cardiopulmonary Exercise Test (CPET) bila diperllukan dan tersedia
o Ergospirometri bila diperlukan dan sarana tersedia
o Pemeriksaan polisomnografi bila diperlukan dan sarana tersedia
o Pemeriksaan Bronkoskopi: kurasan bronkus (bronchoalveolar lavage)
o Biopsi paru melalui bronkoskopi (transbronchial lung biopsy, cryobiopsy)
o Biopsi paru terbuka (open lung biopsy), VATS
o Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) atau ekokardiografi
o Penilaian kualitas hidup (kuesioner)
8. penanganan
o Diagnostik
Kriteria diagnosa FPC meliputi:
‐ Riwayat pneumonia COVID-19
‐ Eksklusi penyakit paru interstisial lain
‐ Gambaran HRCT: pneumonia interstisial dan atau
‐ Gangguan faal paru berupa difusi atau restriksi
o Nonfarmakologis
‐ Terapi oksigen
‐ Rehabilitasi paru
‐ Terapi paliatif
‐ Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid
‐ Rawat inap, bila ada indikasi
o Farmakologis
‐ Steroid: pemberian steroid dapat diberikan pada kondisi eksaserbasi
akut.
‐ Makrolid: pemberian makrolid sebagai antiinflamasi dapat diberikan
pada kondisi tertentu, seperti: azitromisin 250-500mg, klaritromisin
500mg, eritromisin 2x250mg.
‐ Terapi simtomatik: antitusif (non-narkotik, atau narkotik (kodein dan
lainnya))
‐ Pemberian antifibrotik berupa pirfenidone atau nintedanib dapat
dipertimbangkan.
‐ Mukolitik bila diperlukan
‐ Antioksidan (seperti, n-asetilsistein) bila diperlukan.
‐ Antibiotik bila ada infeksi bakterial
‐ Mikronutrien
‐ Vaksinasi
9. Komplikasi
o Pneumonia
o Gagal napas
o Acute Respiratory Distress Syndrome
o Pneumotoraks
o Batuk darah
o Tromboemboli paru
o Gangguan koagulopati
o Hipertensi pulmonal
o Cor pulmonale kronik
o Gangguan tidur
o Gangguan psikologis
10. Penyakit
Penyerta
(komorbid)
o Kanker paru
o Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2)
o Hepatitis
o Penyakit terkait geriatri
o Penyakit terkait autoimun
o Penyakit ginjal
o Penyakit hati
o Penyakit Jantung
o Hipertensi
o Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
o Asma
o Tuberkulosis (TB)
o Penyakit kronik lain
o Obesitas
11. Follow Up/Evaluasi
Evaluasi dilakukan meliputi:
Keluhan klinis
o Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk), melalui skor gejala batuk.
o Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas), melalui skor MMRC
o Kualitas hidup, melalui skor
o Uji jalan 6 menit (6-minutes walk test).
o Pemeriksaan fisis
o Pemeriksaan saturasi oksigen
Pemeriksaan faal paru
Spirometri dan/atau DLCo
Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan foto toraks atau HRCT toraks
Evaluasi klinis dilakukan sekurangnya setiap bulan, evaluasi faal paru bila
kondisi klinis memungkinkan, radiologis (HRCT toraks) dilakukan setiap 8-12
minggu.
Klinisi menentukan kelanjutan pemberian obat antifibrosis.
12. Prognosis
Qua ad vitam: dubia
Qua ad functionam: dubia
Qua ad sanationam: dubia
13. Konsultasi
Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis, penyakit
penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien.
14. nasihat
o Kebersihan personal dan lingkungan
o Etika batuk dan bersin
o Tidak merokok
o memakai masker
o Mencuci tangan teratur
o Menjaga jarak dan menghindari kerumunan
o Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan
o Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai rekomendasi
profesi.
PENYAKIT SIRKULASI PULMONER
CAISSON DISEASE/ DECOMPRESSION
SICKNESS
1. Pengertian Suatu kondisi akut yang terjadi karena terbentuknya gelembung-
gelembung gas dari fase larut dalam sirkulasi darah atau jaringan
secara tiba-tiba akibat penurunan tekanan dengan cepat. Penyakit
dekompresi terjadi karena perbedaan tekanan udara pada saat
menyelam. Tubuh seharusnya beradaptasi terhadap tekanan seiring
dengan kenaikan ketinggian yang cepat.
2. Anamnesis o Pajanan berulang atau penyelaman berulang dalam waktu yang
singkat
o Pasien yang melakukan perjalanan udara dengan pesawat segera
setelah menyelam (diving).
o Prodromal: malaise, lelah, rasa tidak enak, anoreksia, dan sakit
kepala
3. Pemeriksaan
Fisik
Decompression sickness tipe I
Penyakit dekompresi tipe I menimbulkan gejala ringan dan biasanya
mempengaruhi sistem organ berikut.
o Muskuloskletal: nyeri sendi yang terlokalisir
o Kutaneus: pruritus biasanya di tubuh bagian atas
o Limfatik: limfadenopati dan edema lokal, biasanya dengan depresi
folikel dan efek peau d'orange. Lesi ini terutama terlihat pada dada
dan badan
Decompression sickness tipe II
Penyakit dekompresi tipe II lebih parah dan dapat memicu cedera
permanen dan kematian serta mempengaruhi sistem berikut.
o Neurologis: kerusakan pada sumsum tulang belakang lumbal atas
atau daerah toraks lebih rendah berupa parestesia, paraplegia,
hilangnya kendali sfingter terutama kandung kemih dan otak berupa
kehilangan memori, ataxia, gangguan penglihatan, perubahan
kepribadian, ucapan dan emosi.
o Paru: nyeri dada, mengi, dispnea, dan iritasi faring (tersedak).
4. Kriteria diagnosa Kumpulan gejala gangguan respirasi, sirkulasi, dan biasanya gangguan
nervus perifer dan atau gangguan susunan saraf pusat yang terjadi pada
seseorang yang terpapar penurunan tekanan udara tiba-tiba (biasanya
terjadi peningkatan tekanan terlebih dulu).
1. diagnosa Kerja Caisson Disease :
o Decompression sickness tipe I
o Decompression sickness tipe II
2. diagnosa Banding Penyakit emboli udara pada arteri dan vena oleh sebab lain
3. Pemeriksaan Penunjang -
4. penanganano Mempertahankan jalan napas dengan menjamin ventilasi dan
mencapai sirkulasi optimal.
o Rekompresi. Bila perlu penderita dibawa ke ruang rekompresi yang
terdekat, bila ada RUBT (Ruang Udara BertekananTinggi) portabel
bertekanan 2 ATA di bawah pemantauan tenaga ahli hiperbarik.
o Pemberian oksigen 100% 15 liter/menit dengan memakai
masker reservoir.
o Pemberian cairan NaCl 0.9% atau kristaloid/ koloid untuk
mengatasi dehidrasi yang mungkin timbul setelah penyelaman
(diuresis). Perendaman memicu penyelam kehilangan 250-
500 cc cairan per jam). Rehidrasi diperlukan untuk
mempertahankan output urin yang baik.
o Pemberian steroid deksametason 10 sampai 20 mg secara intravena,
kemudian dilanjutkan 4 mg setiap 6 jam.
o Diazepam (5-10 mg) jika pasien mengalami pusing, ketidakstabilan
dan gangguan visual terkait dengan kerusakan labirin (vestibular)
pada telinga bagian dalam.
o Dilantin (Fenitoin) diberikan IV 50 mg/menit selama 10 menit
untuk 500 mg pertama dan kemudian 100 mg setiap 30 menit
setelahnya untuk memantau konsentrasi darah yang dipertahankan
10 sampai 20 mcg/ml. Jika lebih dari 25 mcg/ml akan berbahaya.
Dapat diberikan aspirin 600 mg sebagai anti-platelet.
5. Komplikasi Kehilangan memori, gangguan penglihatan, dan perubahan
kepribadian, ucapan dan emosi sampai dengan kematian
6. Penyakit Penyerta -
7. Prognosis Tipe I biasanya memberikan prognosis yang baik, sedangkan tipe II
biasanya memberikan prognosis yang jelek tanpa pengobatan yang
cepat dan tepat.
8. nasihat Penumpang pesawat terbang sebaiknya disarankan untuk menunggu 12
jam sebelum penerbangan bila orang tersebut melakukan satu
penyelaman per hari. Individu yang telah menyelam beberapa kali atau
yang memerlukan penghentian dekompresi harus dipertimbangkan
menunggu hingga 48 jam sebelum penerbangan.
9. Indikasi Pulang Bila tidak didapatkan lagi tanda kegawatan dan gejala klinis yang
mematikan.
HIGH ALTITUDE PULMONARY EDEMA
1. Pengertian
High altitude pulmonary edema (HAPE) adalah terjadinya peningkatan
tekanan paru secara berlebihan (tekanan rerata 36-51 mmHg), yang
dipicu oleh vasokonstriksi pulmoner yang tidak homogen dan
hipoksia yang memicu peningkatan tekanan kapiler pulmoner
dan protein endothelin level-1 dan penurunan kadar nitrit oksida.
2. Anamnesis
Riwayat pernah berada di ketinggian >2500-3000m. Edema paru
karena dataran tinggi (HAPE) muncul pada hari ke 2 sampai 5 setelah
mencapai dataran tinggi. Gejala awal dari HAPE terdiri dari dispnea,
batuk, dan penurunan tiba-tiba dari performa olahraga. Selanjutnya
akan muncul edema pulmoner, orthopnea, sesak napas saat istirahat,
munculnya ronki dalam dada, batuk progresif, sputum berwarna merah
muda dan berbusa menunjukkan edema paru yang parah.
3. Pemeriksaan Fisik
High altitude pulmonary edema (HAPE) di diagnosa dengan adanya 2
atau lebih dari tanda berikut.
o Takikardi
o Takipneu
o Ronki pada auskultasi
o Sianosis sentral
o Ketidakseimbangan saturasi oksigen yang rendah yang
berhubungan dengan ketinggian.
4. Kriteria diagnosa
diagnosa berdasar gejala dan tanda.
Sekurang-kurangnya didapatkan dua dari gejala di bawah ini.
o Sesak saat istrahat
o Batuk
o Lemah badan
o Dada terasa terikat
4. Kriteria diagnosa
Sekurang-kurangnya dua dari tanda di bawah ini.
o Takikardi
o Takipneu
o Crackles pada auskultasi
o Sianosis sentral
Ketidakseimbangan saturasi oksigen yang rendah yang
berhubungan dengan ketinggian.
5. diagnosa Kerja High altitude pulmonary edema
6. diagnosa Banding
o Pneumonia
o Emboli Paru
o Infark Paru
o Penyakit saluran napas hiperaktif
o Sindrom koroner akut
o Gagal jantung akut yang terdekompensasi
o Bronkitis
7. Pemeriksaan Penunjang
Foto toraks
CT – Scan Toraks
Ekokardiografi
Laboratorium: Leukosit dan BNP (Brain Natriuretic Peptide)
8. penanganan
Peningkatan oksigenasi segera dengan cara
o Suplemen oksigen
o Terapi hiperbarik
o Turun dari ketinggian dengan cepat
o Istirahat dan tempatkan pasien di tempat yang hangat
Bila tidak bisa turun dari ketinggian dengan cepat, maka diberi obat
o Nifedipine slow release 20 mg setiap 6 jam.
o Kombinasi sildenafil 25-50 mg setiap 8 jam dan deksametasone
8mg tiap 12 jam.
9. Komplikasi o Infeksi
o Edema serebri
o Trombosis paru
o Frostbite
o Trauma pada titik tumpu selama imobilisasi
10. Penyakit Penyerta Acute mountain sickness
High altitude cerebral edema
11. Prognosis Terkait dengan kecepatan diagnosa dan ketepatan terapi serta
dipengaruhi oleh faktor-faktor: derajat keparahan penyakit, terapi yang
tersedia, pengalaman klinisi.
12. nasihat o Memberikan informasi ke pada pasien untuk turun dari tempat
dengan ketinggian lebih dari 2500 m secara perlahan sehingga
tubuh dapat beradaptasi dengan perubahan tekanan udara sekitar
yang terkait dengan perubahan ketinggian.
o Memberikan informasi kepada pasien bahwa obato- bat yang
diminum untuk tujuan pencegahan terjadinya HAPE berulang
seperti nifedipine, deksametason, azetazolamide tidak memberikan
efek signifikan karena pencegahan yang paling utama adalah turun
perlahan dari tempat dengan ketinggian lebih dari 2500 m.
o Memberikan informasi kepada pasien jika mendapati gejala dan
tanda HAPE segera datang ke pusat pelayanan kesehatan terdekat
karena semakin cepat terdiagnosa semakin baik.
o Hindari faktor-faktor risiko terjadinya HAPE.
13. Indikasi Pulang Jika didapati klinis membaik ditandai dengan hilangnya gejala dan
tanda HAPE didukung oleh evaluasi radiologis yang menunjukkan
perbaikan.
KOR PULMONALE KRONIK
1. Pengertian
Kor pulmonale kronik adalah perubahan struktur dan fungsi dari
ventrikel kanan jantung sebagai akibat dari penyakit paru kronis.
Perubahan yang terjadi berupa hipertrofi ventrikel kanan atau dilatasi
atau keduanya sebagai akibat dari adanya hipertensi pulmoner.
Tidak termasuk gangguan paru secara primer mengenai sisi kiri
jantung atau pada penyakit jantung kongenital.
Derajat kerusakan kor pulmonale ditentukan pada abnormalitas
ventrikel kanan.
2. Anamnesis
Sesak saat aktivitas, batuk, kelelahan, lesu, nyeri dada, dan sinkop.
Lemah, lesu saat aktivitas menunjukkan curah jantung menurun karena
obstruksi di pembuluh darah paru.
angina yang khas saat aktivitas dapat terjadi.
Pada PPOK berat sering terjadi orthopneu yang berhubungan dengan
hiperinflasi paru karena venous return jantung kanan menurun.
Gejala yang kurang umum seperti batuk, hemoptisis, suara serak.
Gagal ventrikel kanan yang berat menimbulkan anoreksia dan nyeri
perut kuadran kanan atas.
3. Pemeriksaan Fisik
Nyeri dada, sesak napas saat aktivitas, sianosis perifer.
Mengi (wheezing), ronki dan hipertensi ringan,
Peningkatan intensitas bunyi jantung kedua, dapat terdengar di right
ventricular lift di regio parasternalis kiri.
Murmur diastolik pelan, blowing dan decrescendo.
Murmur pansistolik keras
Murmur ejeksi sistolik
Tanda-tanda gagal jantung kanan seperti distensi vena jugularis,
hepatomegali dan edema perifer.
Asites, hepatomegali jarang ditemukan.
4. Kriteria diagnosa
Tiga kelompok utama penyakit paru yang dapat menimbulkan kor
pulmonale, yaitu:
o Penyakit paru dengan limitasi aliran udara: PPOK dan penyakit
obstruksi bronkial kronik lainnya.
o Penyakit paru dengan restriksi volume paru karena faktor ekstrinsik
atau kelainan parenkim paru, misalnya kifoskoliosis,
pneumokoniosis, fibrosis paru interstisial idiopatik, penyakit
neuromuskuler dan penyakit jaringan ikat.
o Gangguan pada rangsang napas yang tidak adekuat sehingga terjadi
hipoksia, misalnya hipoventilasi alveolar sentral, obesity-
hypoventilation syndrome, sleep apnea syndrome.
o diagnosa kor pulmonale berdasar pemeriksaan fisik dan
penunjang.
o diagnosa kor pulmonale harus didasarkan pada temuan adanya
patologi penyakit paru yang mendasari
5. diagnosa Kerja Kor Pulmonale Kronik
6. diagnosa Banding
Atrial myxoma
o Blood disorders that are associated with increased blood viscosity
o Congestive (biventricular) heart failure
Constrictive pericarditis
o Higho- utput heart failure
o Infiltrative cardiomyopathies
o Primary pulmonic stenosis
o Right heart failure due to right ventricular infarction
o Right-sided heart failure due to congenital heart disease
o Ventricular septal defect
7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan darah
Hipoksemia dan hiperkapnia pada pasien PPOK yaitu PaO2 <60 mmHg
dan Pa CO2 >40 mmHg.
Kadar hematokrit meningkat.
Radiologi
o Arteri pulmoner utama tampak mengalami dilatasi/pelebaran 16
mm-18 mm
o pembesaran arteri pulmoner desenden kanan
o Ukuran jantung bisa normal atau membesar.
o Pembesaran ventrikel kanan sulit terlihat
o Pada foto lateral rongga retrosternal tampak terisi oleh ventrikel
kanan yang membesar.
Elektrokardiogram (EKG)
Beberapa gambaran EKG yang berhubungan dengan kor pulmonale
adalah:
o Deviasi aksis kompleks QRS ke kanan
o Gelombang P tinggi di sadapan II, menandakan pembesaran atrium
dan perubahan posisi atrium
o Aksis gelombang P +90 derajat atau lebih menggambarkan
overload atrium kanan dan hiperinflasi paru
o Pola gelombang S1-3 walaupun tidak spesifik namun menandakan
perubahan arah vector ventrikel kanan yang lebih ke kanan dan
superior
o Pola gelombang S1Q3 lebih sering ditemukan pada kor pulmonale
akut namun kadang tampak juga pada kor pulmonale kronik
o Right bundle branch block (RBBB) berasosiasi kuat dengan kor
pulmonale namun dapat pula terjadi karena proses penuaan pasien
normal
o Hipertrofi ventrikel kanan, ditandai oleh gelombang R dominan di
V1-2 dan rS di V5-6 (tipe A), pola Rs di V1 dengan amplitude
gelombang R yang tidak turun dari V1 ke V6 (tipe B), serta
gelombang R kecil dan gelombang S dalam yang muncul persisten
di sadapan prekordial (tipe C)
o Kompleks QRS low-voltage umum ditemukan pada kor pulmonale
karena PPOK
o Depresi segmen ST di sadapan II, III, aVF menggambarkan iskemia
segmen inferior ventrikel kiri.
Tes fungsi paru
Tes fungsi paru harus dilakukan pada pasien dengan penyakit paru
yang mendasari dan pasien dengan fungsi jantung normal untuk
menyingkirkan penyakit lain.
Ekokardiografi
Ekokardiografi untuk menilai hipertrofi ventrikel kanan dan
pergerakan septum kearah ventrikel kiri. Ekokardiografi M-Mode
memberikan gambaran pergerakan katup pulmoner abnormal pada
hipertensi pulmoner.
Ventrikulografi radionuklir dan skintigrafi miokardium
Ventrikulografi memakai sel darah merah atau albumin serum
yang telah dilabel dengan Technesium-99m untuk mengevaluasi bentuk
dan volume ventrikel kanan serta arteri pulmoner.
Skintigrafi memakai bahan radioaktif seperti Thalium atau
Technetium, untuk melihat gambaran miokard pasien dan
memperkirakan overload ventrikel kanan.
Magnetic resonance imaging (MRI)
Sampai saat ini MRI yaitu modalitas terbaik untuk menilai
dimensi ventrikel kanan (gold standard). Teknik MRI tidak invasif dan
tidak memberikan beban radioaktif pada pasien.
MRI menilai indeks hipertrofi ventrikel kanan melalui ketebalan
dinding ventrikel kanan dengan ketebalan dinding posterior ventrikel
kiri.
8. penanganan
Tujuan tata laksana kor pulmonale adalah untuk mengurangi gejala,
memperbaiki kapasitas fungsional, menghambat perjalanan penyakit,
mengurangi derajat hipertensi pulmoner dan perbaikan fungsi ventrikel
kanan. Terapi spesifik terhadap kelainan di paru harus dilakukan.
Jika terjadi gagal jantung kanan maka tata laksana meliputi pengobatan
gagal jantung secara umum.
Terapi oksigen:
Pemberian oksigen minimal 15 jam per hari dapat menurunkan
mortalitas dan menghambat kenaikan tekanan arteri pulmoner.
Terapi medikamentosa:
Diuretik dapat menurunkan volume darah sehingga beban kerja
ventrikel kanan berkurang. Pengurangan volume cairan tubuh
berlebihan akan menurunkan curah jantung. Penggunaan diuretik
berlebihan juga dapat menimbulkan alkalosis metabolik sehingga
terapi diuretik pada kor pulmonale harus dipantau dengan hati-hati.
Vasodilator dipakai untuk menurunkan tekanan arteri pulmoner,
diantaranya adalah penghambat kanal kalsium, nitrat, hidralazine, ACE
inhibitor sampai pada golongan obat yang lebih baru seperti bosentan
atau sildenafil. Vasodilator lebih efektif pada hipertensi pulmoner
primer dibandingkan sekunder. Peningkatan tekanan arteri pulmoner
yang minimal akibat PPOK tidak banyak mendapat manfaat dari terapi
ini sehingga pemakaian terapi vasodilator pada kelompok pasien ini
masih diperdebatkan.
Digitalis untuk terapi kor pulmonale masih diperdebatkan.
Efek digitalis ditemukan lebih baik pada pasien gagal jantung kiri.
Digitalis tidak dipakai pada fase akut gangguan pernapasan saat
pasien dalam kondisi hipoksemia atau asidosis karena akan
meningkatkan risiko terjadinya aritmia.
Teofilin telah dilaporkan dapat menurunkan resistansi vaskular paru
dan memperbaiki fungsi pompa ventrikel kanan dan kiri, sehingga
pemakaian teofilin berguna untuk menurunkan afterload dan
meningkatkan kontraktilitas otot jantung.
Teofilin diindikasikan pada pasien kor pulmonale kronik dengan
PPOK.
Anti koagulan.
Pemberian warfarin diindikasikan untuk pasien dengan risiko tinggi
terjadinya tromboemboli, terutama pada pasien dengan hipertensi
pulmoner primer dan yang dipicu oleh tromboemboli kronik.
Almitrine yaitu stimulan pernapasan yang dapat menimbulkan
efek perbaikan pertukaran gas, dapat memperbaiki cardiac index, dan
fungsi sistolik ventrikel. Mekanisme kerjanya adalah mengatur pola
napas dan perbaikan responss kemoreseptor perifer terhadap hipoksia.
Namun almitrine dapat meningkatkan respons vasokonstriksi pulmonar
sehingga dapat menimbulkan efek yang tidak diinginkan pada pasien
kor pulmonale dengan hipoksia kronik
Amrinone, suatu obat inotropik, dapat menurunkan rerata tekanan
arteri pulmoner dan juga mampu menurunkan tekanan baji kapiler
pulmoner tanpa perubahan bermakna pada curah jantung, tekanan
arteri sistemik serta nilai gas darah pada pasien PPOK dengan kor
pulmonale.
Flebotomi
Flebotomi dapat menurunkan tekanan arteri pulmoner pada pasien kor
pulmonale dengan kadar hematokrit yang tinggi. Hematokrit yang
diturunkan sampai senilai 50% akan memperbaiki hemodinamik pasien
baik saat istirahat maupun aktivitas serta memperbaiki proses
pertukaran gas di paru (penurunan resistansi vaskular paru dan
peningkatan pO2) pada pasien PPOK stabil dan hipertensi pulmoner.
Flebotomi dilakukan bila kadar hematokrit di atas 55-60% dengan
pengeluaran volume darah yang kecil (200-300 ml) dan dilakukan
dalam pengawasan.
Terapi bedah
Ada beberapa pilihan terapi bedah untuk perbaikan penyakit dasar
yang memicu timbulnya kor pulmonale. Uvulopalato-
pharyngeoplasty yaitu salah satu pilihan terapi pada pasien
dengan sleep apnea. Transplantasi paru tunggal atau ganda serta
transplantasi jantung paru dapat yaitu pilihan pada pasien kor
pulmonale dan penyakit paru berat.
Penyakit paru yang paling sering membutuhkan terapi dengan
transplantasi adalah hipertensi pulmoner primer, emfisema, fibrosis
paru idiopatik dan fibrosis kistik.
9. Komplikasi
Sesak napas yang mengancam jiwa
Retensi cairan yang berat dalam tubuh
Syok
Kematian
10. Penyakit Penyerta PPOK
11. Prognosis
Prognosis kor pulmonale adalah sangat bervariasi tergantung pada
kelainan patologi yang mendasari.
12. nasihat
rekayasa gaya hidup meliputi berhenti merokok, restriksi cairan dan
konsumsi natrium, pencapaian berat badan ideal, olah raga sesuai
kemampuan dan latihan pernapasan.
Pasien dengan hipertensi pulmoner berat dianjurkan untuk menghindari
aktivitas berlebihan, hamil serta berada di ketinggian lebih dari 4000
kaki (sekitar 1220 meter).
13. Indikasi Pulang
Pasien dengan kor pulmonale perlu perhatian khusus pada pengaturan
rawat jalan.
Sangat tepat untuk secara teratur menilai kebutuhan oksigen pasien dan
fungsi paru.
Mempertimbangkan program rehabilitasi paru secara rutin, karena
terdapat banyak sekali manfaat dari modalitas terapi ini.