Rabu, 07 Juni 2023
Home »
paru-paru 3
» paru-paru 3
paru-paru 3
Juni 07, 2023
paru-paru 3
a. Foto toraks AP/PA dan/atau
b. USG toraks dan/atau
c. CT scan toraks (HRCT)
d. Lung perfusion scan atas indikasi
| 129
o Pemeriksaan faal paru :
a. Uji jalan 6 menit
b. Spirometri
c. Kapasitas difusi (DLCO)
d. Cardiopulmonary Exercise Test (CPET)
o Uji provokasi bronkus, atas indikasi
o Pemeriksaan elektrokardiografi (EKG)
o Penilaian kualitas hidup (kuesioner)
8. penanganan
o Algoritma
Algoritma penanganan pasien dengan sindrom pernapasan pasca
COVID-19 dapat dilihat pada gambar 1 (lampiran).
o Nonfarmakologis
- Rehabilitasi paru
- Terapi oksigen jika diperlukan
- Psikoterapi
- Nutrisi sesuai angka kecukupan gizi dan komorbid
- Rawat inap, bila ada indikasi
o Farmakologis
A. Gejala klinis tidak ada, tetapi radiologis ada kelainan
1. Terapi simptomatik seperti obat batuk, analgetik dll
2. Mikronutrien (Vitamin A,B1,B12,B9, C,D,E dan mineral)
3. penanganan secara pasien sesuai hasil pemeriksaan faal paru.
4. Evaluasi setelah 8 sampai 12 minggu, atau dapat lebih awal bila
diperlukan atau bila ada keluhan.
B. Gejala klinis ada, tetapi radiologis tidak ada kelainan
1. Terapi simptomatik seperti obat batuk, analgetik dll.
2. Bila ditemukan tanda-tanda obstruksi saluran napas dapat
diberikan
bronkodilator dengan atau tanpa steroid inhalasi.
3. Mukolitik dan antioksidan
4. Antibiotik jika ada infeksi bakterial
5. Mikronutrien (Vitamin A,B1,B12,B9, C,D,E dan mineral)
C. Gejala klinis ada dan radiologis ada kelainan
1. Terapi simtomatik seperti obat batuk, analgetik
2. Bronkodilator bila ditemukan tanda-tanda obstruksi saluran
napas
3. Mukolitik dan antioksidan
4. Antibiotik jika ada infeksi bakterial
5. Antiinflamasi, salah satu atau kombinasi :
a) Makrolid (azitromisin 250 mg sd 500 mg atau
klaritromisin 250 mg sd 500 mg atau eritromisin 250 mg)
minimal 1 bulan dan dinilai ulang
b) Steroid (dapat oral maupun inhalasi), sesuai pertimbangan
klinis DPJP.
6. Mikronutrien (Vitamin A, B1, B12, B9, C, D, E dan mineral)
Catatan :
** Pemberian antifibrotik pada saat ini belum ada evidence, masih
menunggu hasil uji klinis.
130 |
9. Komplikasi
o Pneumonia
o Gagal napas
o Acute Respiratory Distress Syndrome
o Batuk darah
o Pneumotoraks
o Tromboemboli paru
o Gangguan koagulopati
o Hipertensi pulmonal
o Gangguan tidur
o Gangguan psikologis
o Fibrosis paru
10. Penyakit
Penyerta
(komorbid)
o Diabetes mellitus (tipe 1 dan 2)
o Penyakit terkait geriatri
o Penyakit terkait autoimun
o Penyakit ginjal
o Penyakit hati
o Penyakit Jantung
o Hipertensi
o Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
o Asma
o Tuberkulosis (TB)
o Obesitas
o Penyakit kronis lainnya
11. Follow up/Evaluasi
Untuk evaluasi, dilakukan pada beberapa hal :
o Keluhan klinis
a. Batuk (evaluasi perubahan gejala batuk)
b. Sesak napas (evaluasi perubahan sesak napas)
c. Nyeri dada (evaluasi perubahan nyeri dada)
o Kepulihan dari penyakitnya (COVID-19)
o Pemeriksaan fisis paru, termasuk penilaian saturasi oksigen (SpO2)
o Pemeriksaan laboratorium (sesuai kebutuhan)
o Radiologis ( evaluasi lesi sisa pada paru secara radiologis)
o Pemeriksaan faal paru (evaluasi perbaikan nilai faal paru)
o Evaluasi komorbid (yang kronik, yang eksaserbasi karena COVID-19
ataupun yang manifestasi karena COVID-19)
Evaluasi dilakukan 1 bulan, 3 bulan dan 6 bulan pascaterapi
12. Prognosis
Qua ad vitam : dubia ad bonam
Qua ad functionam : dubia ad bonam
Qua ad sanationam : dubia ad bonam
13. Konsultasi
Konsultasi ke spesialis lainnya diperlukan sesuai temuan klinis,
penyakit penyerta/komorbid dan komplikasi pada pasien.
| 131
14. nasihat
o Kebersihan personal dan lingkungan
o Etika batuk dan bersin
o Tidak merokok
o memakai masker
o Mencuci tangan teratur
o Menjaga jarak dan menghindari kerumunan
o Bila keluhan memburuk segera ke pelayanan kesehatan
o Disarankan vaksinasi influenza dan pneumokokus sesuai
rekomendasi profesi.
15. Kepustakaan
1. World Health Organization. What we know about long-term effects
of COVID-19. 2020
2. CDC. Long-term effects of COVID-19 [Internet]. 2020 [cited 2020
Nov 17]. Available from: https://www.cdc.gov/coronavirus/2019-
ncov/long-term-effects.html
3. Erlina B, Agus DS, Fathiyah I, Sally A, Eka G, dkk. Pedoman
penanganan COVID-19. Edisi 3. PDPI,PERKI,PAPDI, PERDATIN,
IDAI. Jakarta. Desember, 2020.
4. Lechowicz K, Drozdzal S, Machaj F et.al. COVID-19: Potential
treatment of pulmonary fibrosis associated with SARS-COV-2
Infection. J Clin Med. 2020:9(6):1917.
5. National Institute for Health and Care Excellence (NICE). COVID-
19 rapid guideline: managing the long-term effects of COVID-19.
Published, 18 December 2020.
6. Kumar Rai D, Sharma P, Kumar R. Post COVID-19 pulmonary
fibrosis- Is it reversible?. The Indian Journal of Tuberculosis 2020.
Nov 2020.
7. Kumar Raj, Behera D, Jindal SK, Menon B, Goel N, Spalgais S.
Post-COVID-19 Respiratory Management: Expert panel report.
Indian J Chest Dis Allied Scie 2020;62:179-91.
8. Shah W, Hillman T, Playford ED, Hismesh L. Managing the long
term effect of COVID-19: summary of NICE, SIGN and RCGP rapid
guideline. BMJ 2021:372:n136
9. Xiaoyu Han, Yanqing Fan, Osamah Alwalid, Na Li, Xi Jia, Mei
Yuan, et al. Six-Month Follow-up Chest CT findings after Severe
COVID-19 Pneumonia. Radiology 2021; https://doi.org/10.1148/
radiol. 2021203153
132 |
| 133
PENYAKIT PARU KERJA
134 |
KODE ICD X:
J66
BISINOSIS
1. Pengertian
Bisinosis adalah kelainan saluran pernapasan yang ditandai dengan gejala
awal berupa rasa tertekan di dada dan sesak napas akibat inhalasi debu
kapas, hemp, atau flax sebagai bahan dasar tekstil. Bisinosis disebut juga
brown lung disease, cotton bract atau cotton lung disease
2. Anamnesis
o Riwayat inhalasi debu kapas, hemp atau flax
o Gejala klinis :
‐ Rasa berat/sempit di dada (Chest tightness), sesak napas terutama
saat hari pertama kembali masuk kerja, setelah istirahat akhir pekan
(Monday Feeling, Monday Morning fever, atau Monday sickness)
‐ Batuk kering
‐ Mill Fever adalah sindrom klinik ditandai dengan keluhan demam,
nyeri sendi dan keluhan lain yang menyerupai infeksi oleh
endotoksin gram negatif.
‐ Penurunan kapasitas ventilasi pada shift kerja pertama
‐ Weafer cough, ditandai seperti asma reaksi lambat, tetapi disertai
panas dan lemah.
‐ Bronkitis, ditandai oleh batuk persisten disertai sputum
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada fase awal mungkin tidak ditemukan kelainan. Pada
fase lanjut saat timbul gejala dapat ditemukan ekspirasi yang memanjang
atau mengi.
4. Kriteria diagnosa
o Riwayat inhalasi debu kapas, hemp atau flax
o ada gejala klinis yang khas untuk bisinosis.
berdasar gejala klinis menurut Schilling bisinosis dibagai sebagai
berikut :
‐ Derajat C0: Tidak ada keluhan dada terasa berat atau sesak napas
‐ Derajat C1/2: Terkadang timbul perasaan dada tertekan atau keluhan
akibat iritasi saluran pernapasan pada hari pertama kerja
‐ Derajat C1 : Keluhan timbul setiap hari pertama kerja
‐ Derajat C2 : Keluhan timbul pada hari pertama kembali kerja, dan
hari kerja lainnya
‐ Derajat C3 : Gejala pada derajat C2 disertai penurunan fungsi paru
yang menetap
o ada penurunan fungsi paru setelah pajanan
berdasar Occupational Safety and Health Administration (OSHA)
pajanan debu kapas yang dapat menimbulkan penurunan VEP1 setelah
perubahan waktu kerja sebesar 5% atau 200 ml yaitu dugaan
kuat terjadi bisinosis.
| 135
4. Kriteria diagnosa
Bisinosis dibagi menjadi 2 yaitu:
o Bisinosis akut
Bisinosis akut adalah keluhan akut gejala saluran napas yang tampak
pada orang yang terpajan debu kapas pertama kali, dapat disertai
penurunan fungsi paru.
o Bisinosis kronik
Bisinosis kronik yaitu bentuk klasik bisinosis dan
ditandai dengan rasa berat di dada dan sesak napas yang
bertambah berat pada hari pertama masuk kerja dalam satu
minggu. Awitan gejala terjadi setelah pajanan debu kapas selama
beberapa tahun, biasanya setelah lebih dari sepuluh tahun dan
jarang terjadi pada pekerja dengan masa kerja kurang dari 10
tahun.
5. diagnosa Kerja
Bisinosis akut
Bisinosis kronik
6. diagnosa Banding
Asma Kerja
Bronkitis kronik
Pneumonitis Hipersensitif
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan radiologis
Gambaran radiologis paru bisinosis tidak menunjukkan kelainan yang
khas, ditemukan gambaran bronkitis dan atau emfisema bila disertai
kelainan atau penyakit lain.
o Faal Paru (Spirometri)
Menurut Bouhuys, Gybson dan Schilling tahun 1970, efek akut akibat
pemaparan debu kapas berdasar nilai VEP1 sebelum dan sesudah
pekerja terpajan sebagai berikut :
Derajat F0 : Tidak ada penurunan VEP1 dan tanda obstruksi
kronik
Derajat F1/2 : Efek akut ringan, terdapat penurunan VEP1
sebesar 5-10%, tidak ada gangguan ventilasi
Derajat F1 : Efek akut sedang, penurunan VEP1 sebesar 10-
20%
Derajat F2 : Efek akut berat, penurunan VEP1 > 20%
8. penanganan
o Bronkodilator bila terjadi bronkospasme
o Penatalaksanaan lain seperti yang diberikan pada penyakit paru
obstruktif pada biasanya.
o Memindahkan mereka yang terkena bisinosis dari pabrik tekstil
tersebut, atau setidaknya memindahkan dari bagian pabrik yang banyak
terkena paparan debu, kapas ke bagian lain yang bebas pajanan.
9. Komplikasi Bisinosis progresif dapat berakhir menjadi obstruksi saluran napas
menahun.
10. Penyakit Penyerta Bronkitis Kronik
11. Prognosis Baik
136 |
12. nasihat Berbagai usaha pencegahan yang dapat dilakukan, yaitu :
o Terhadap para pekerja
‐ Pemeriksaan kesehatan calon pekerja
‐ Pemeriksaan kesehatan berkala para pekerja yang meliputi
anamnesis tentang keluhan paru, pemeriksaan faal paru.
‐ Untuk mereka yang memiliki keluhan bisinosis, sebaiknya
dipindahkan ke bagian yang bebas debu
‐ Diperlukan perlindungan terhadap para pekerja yang mengalami
gangguan akibat kerjanya
o Terhadap bahan kapas
‐ Steaming kapas untuk mengurangi efek biologik debu kabas
‐ Pencucian kapas sebelum proses pembuatan tekstil
‐ Mengganti serat kapas dengan serat sintetis
‐ Pemetikan kapas dilakukan sebelum bola kapas terbuka
Pengolahan ulang kapas dengan autoclave juga dianggap berperan
untuk mencegah penyakit ini
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
14. Kepustakaan Hajar S. Bisinosis. In: Rasmin M, Jusuf A, Yunus F, Amin M, Aditama
TY, Syafiuddin T, et al, editors. Buku ajar pumonologi dan kedokteran
respirasi. Buku 2. Jakarta: UI Publishing; 2018. p. 193-202.
| 137
KODE ICD X:
J61
ASBESTOSIS
1. Pengertian
Penyakit pada parenkim paru yang timbul akibat inhalasi debu serat asbes
yang ditandai dengan fibrosis interstisial difus pada paru.
2. Anamnesis
o Riwayat pajanan serat asbes (Riwayat pajanan meliputi lama, awitan,
tipe dan intensitas pajanan yang diterima)
o Gejala tidak spesifik, gejala klinis awal asbestosis dapat berupa napas
pendek selama bekerja yang sering diikuti batuk kering.
o Stadium lanjut timbul gejala batuk produktif, berat badan menurun,
infeksi saluran napas berulang.
3. Pemeriksaan Fisik
o Ronki di bagian basal paru
o Takipnea
o Sianosis
o Jari tabuh
4. Kriteria diagnosa
o Riwayat pekerjaan / pajanan bahan/ zat yang mengandung serat asbes.
o diagnosa asbestosis ditegakkan bila terdapat fibrosis parenkim paru
difus dengan atau tanpa penebalan pleura dan terdapat riwayat pajanan
serat asbes. Riwayat pajanan meliputi lama, awitan, tipe dan intensitas
pajanan yang diterima.
o Gambaran radiologis dinilai dengan penderajatan menurut standar
ILO. Beberapa gambaran khas adalah perselubungan halus ireguler,
tersebar di daerah posterior, basal paru dan subpleura. Plak pleura,
sangat spesifik untuk mengetahui riwayat pajanan serat asbes dan
dipakai sebagai petanda pajanan serat asbes.
o diagnosa mikroskopis (sediaan patologi anatomi / sitologi / cairan
Bronchoalveolar Lavage) asbestosis ditegakkan bila terdapat fibrosis
interstisial difus dan asbestos body. Asbestos body adalah serat asbes
dengan selaput protein dan besi yang terbentuk setelah serat asbes
terdeposit.
5. diagnosa Kerja Asbestosis
6. diagnosa Banding
o Pneumokoniosis lain
o Tuberkulosis
o Penyakit paru interstisial yang lain
138 |
7. Pemeriksaan Penunjang
o Foto toraks
o Uji Faal Paru (Spirometri)
o Sputum BTA
o Kapasitas difusi (DLCO)
o High Resolution CT Scan (HRCT) Toraks
o Bronkoskopi (dengan Bronchoalveolar lavage/BAL & Biopsi) bila
diperlukan
o Analisis cairan BAL (sel dan mineral)
o Biopsi (TBLB & Biopsi terbuka) bila diperlukan
o Uji jalan 6 menit
o Cardio pulmonary exercise test (CPET)
8. penanganan
o Tidak merokok
o Bersifat simtomatis
o Sesuai dengan jenis komplikasi yang ditemukan
9. Komplikasi o Gagal napas kronik
o Kor pulmonale
o Infeksi berulang
o Pneumotoraks
o Terjadi kecacatan paru
o Komplikasi lain, tergantung tindakan yang dilakukan
10. Penyakit Penyerta o Kanker paru
o Mesotelioma
o Efusi pleura
11. Prognosis Dubia ad Malam
12. nasihat Memakai alat pelindung diri, menghindari pajanan, cek kesehatan berkala
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
serta asuhan paliatif untuk penyakit penyerta.
14. Kepustakaan Maimunah, Yusuf N. Penyakit paru terkait asbes In: Rasmin M, Jusuf A,
Yunus F, Amin M, Aditama TY, Syafiuddin T, et al, editors. Buku ajar
pumonologi dan kedokteran respirasi. Buku 2. Jakarta: UI Publishing;
2018. p.172-83.
| 139
KODE ICD X:
J62.8
SILIKOSIS
1. Pengertian
Silikosis yaitu penyakit fibrosis pada parenkim paru akibat inhalasi
silikon dioksida atau silika. Silikosis dapat timbul akibat inhalasi debu
yang mengandung kristal silika yang tersebar secara luas di permukaan
bumi.
2. Anamnesis
o Silikosis Akut
Riwayat pajanan singkat terhadap silika konsentrasi tinggi.
Sesak napas progresif, demam, batuk, penurunan berat badan sesudah
pajanan.
o Silikosis terakselerasi
Riwayat pajanan silika selama 5-10 tahun. Progresivitas penyakit
tetap berlangsung meskipun pekerja telah dihindarkan dari pajanan.
Gejala mirip dengan silikosis kronik yaitu batuk, berdahak serta sesak
napas. Sesak napas awalnya terlihat pada waktu kerja kemudian pada
saat beristirahat. Sesak napas makin lama makin memberat. Gejala
terjadi lebih cepat dan perburukan progresif
o Silikosis kronik
Riwayat pajanan terhadap debu silika dengan konsentrasi rendah
selama 15 tahun atau lebih. Gejala berupa batuk, berdahak serta sesak
napas. Sesak napas awalnya terlihat pada waktu kerja kemudian pada
saat beristirahat. Sesak napas makin lama makin memberat.
3. Pemeriksaan Fisik
o Berkurangnya elastisitas paru selama pernapasan dengan gangguan
ekspansi dada yang biasanya ringan pada awal sakit.
o Suara napas yang kasar, kadang disertai ekspirasi memanjang
o Ronki (mungkin ada)
o Daerah yang redup pada perkusi dan tanda-tanda emfisema pada
penyakit lanjut
4. Kriteria diagnosa
o Riwayat pekerjaan/pajanan bahan/zat yang mengandung silika seperti
pertambangan, penggalian granit, pasir, batu tulis, tukang batu,
pabrik keramik, penuangan logam, semen dan proyek bangunan dll.
o Awitan atau lama pajanan bervariasi seperti pada silikosis kronik
selama 15 tahun atau lebih, silikosis terakselerasi 5-10 tahun dan
silikosis akut dalam waktu singkat yaitu dalam beberapa minggu
sampai 5 tahun.
o Gejala utama sesak napas awalnya terlihat pada waktu kerja kemudian
pada saat beristirahat. Sesak napas makin lama makin memberat.
Periode terakhir pasien silikosis adalah kegagalan kardiorespirasi.
Pada silikosis akut, terjadi sesak napas progresif, demam, batuk,
penurunan berat badan sesudah pajanan dalam waktu singkat.
o Gambaran radiologis dinilai dengan penderajatan menurut standar
ILO. Gambaran radiologis silikosis tanpa komplikasi adalah
perselubungan lingkar yang halus di lapangan paru biasanya jenis “r”
lebih sering. Ukuran bayangan bulat kurang dari 10 mm.
Perselubungan biasanya simetris dan pada permulaan cenderung di
lapangan atas, kadang-kadang terjadi kalsifikasi seperti mikrolitiasis.
Beberapa gambaran khas lanjut adalah nodul silikosis pada parenkim
dan kelenjar getah bening dan akhirnya terjadi fibrosis masif progresif
140 |
(FMP) ditandai penggabungan perselubungan halus menjadi lesi lebih
besar menjadi lesi kategori A sampai C menurut penderajatan ILO.
Kalsifikasi kelenjar getah bening hilus terjadi pada sekeliling kelenjar
(egg shell calcification) sangat khas pada silikosis.
o diagnosa mikroskopis (sediaan patologi anatomi / sitologi / cairan
Bronchoalveolar Lavage) silikosis ditegakkan bila terdapat fibrosis
interstisial difus dan terdapat nodul silicotic.
5. diagnosa Kerja
o Silikosis Akut
o Silikosis Terakselerasi
o Silikosis Kronik
6. diagnosa Banding
o Pneumokoniosis lain
o Tuberkulosis
o Penyakit paru interstisial yang lain
7. Pemeriksaan Penunjang
o Foto toraks
o Uji Faal Paru (Spirometri)
o Sputum BTA
o Kapasitas difusi (DLCO)
o High Resolution CT Scan (HRCT) Toraks
o Bronkoskopi (dengan Bronchoalveolar lavage/BAL & Biopsi) bila
diperlukan
o Analisis cairan BAL (sel dan mineral)
o Biopsi (TBLB & Biopsi terbuka) bila diperlukan
o Uji jalan 6 menit
o Cardio pulmonary exercise test (CPET)
8. penanganan
o Tidak merokok
o Bersifat simtomatis
o Sesuai dengan jenis komplikasi yang ditemukan
9. Komplikasi o Gagal napas kronik
o Kor pulmonal
o Infeksi berulang
o Komplikasi sistem imun
o Komplikasi ginjal
o Kanker
o Pneumotoraks
o Kecacatan paru
o Komplikasi lain tergantung tindakan yang dilakukan
10. Penyakit Penyerta o TB
o Gagal napas kronik
o Gagal napas akut
o Penyakit autoimun seperti rheumoatoid arthritis, systemic lupus
eritromatosus dll.
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat Hindari pajanan, memakai alat pelindung diri, cek kesehatan berkala
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
serta asuhan paliatif untuk penyakit penyerta.
14. Kepustakaan Rai IBN. Silikosis. In: Rasmin M, Jusuf A, Yunus F, Amin M, Aditama
TY, Syafiuddin T, et al, editors. Buku ajar pumonologi dan kedokteran
respirasi. Buku 2. Jakarta: UI Publishing; 2018. p.157-64.
| 141
KODE ICD X:
J60
PNEUMOKONIOSIS BATU BARA
1. Pengertian
Pneumokoniosis batu bara yaitu penyakit parenkim paru akibat
kerja yang diakibatkan inhalasi debu batubara lama pajanan rata - rata 20
tahun baru akan menimbulkan pneumokoniosis batubara atau dapat
berkembang menjadi fibrosis masif progresif yang diikuti penurunan
fungsi paru berat.
2. Anamnesis
Hampir tidak ada gejala. Dapat ditemukan keluhan sesak napas, batuk
dan produksi sputum seperti gangguan napas lainnya. Dapat ditemukan
sputum mukoid, mukopurulen atau berwarna hitam seperti bercampur
dengan tinta hitam (melanoptisis) tidak spesifik dapat terjadi takipneu,
ronki, mengi (wheezing). Pemeriksaan spirometri dapat ditemukan
kelainan restriksi dan obstruksi.
3. Pemeriksaan Fisik
Tidak spesifik; dapat terjadi takipneu, ronki, mengi (wheezing).
Pemeriksaan spirometri dapat ditemukan kelainan restriksi dan obstruksi.
4. Kriteria diagnosa o Riwayat pekerjaan / pajanan bahan / zat yang mengandung debu
batubara seperti pertambangan, pabrik pengolahan batubara, dll.
o Pneumokoniosis batubara simpel (simple coal worker
pneumoconiosis) adalah penyakit yang timbul akbat inhalasi debu
batubara saja. Dan hampir tidak ada gejala. Dapat ditemukan keluhan
sesak napas, batuk dan produksi sputum seperti gangguan napas
lainnya. diagnosa hanya berdasar gambaran radiologis lesi di
paru pada pekerja yang terpajan debu batubara.
o Pneumokoniosis batubara terkomplikasi (complicated coal worker
pneumoconiosis) / Fibrosis masif progresif (FMP) adalah penyakit
yang timbul akbat inhalasi debu batubara dengan disertasi keluhan
batuk, sesak napas, mengi (wheezing) dan gangguan fungsi paru
(obstruksi dan restriksi). Timbul fibrosis yang luas dan hampir selalu
di lobus atas. FMP adalah lesi dengan diameter > 3 cm dan sering
terjadi pada lobus atas.
o Gambaran radiologis dinilai dengan penderajatan menurut ILO.
Beberapa gambaran khas pada CWP Simple adalah perselubungan
halus pada bentuk p dan q.
Pada bentuk complicated ditandai dengan fibrosis luas dengan
gambaran radiologis lesi dengan diameter > 1cm terutama di Lobus
atas dan memiliki batas jelas dengan paru yang sehat, dapat terjadi
kavitas, kalsifikasi, kemudian lesi mengkerut sehingga lesi bula
terlihat disekitar. Lesi bisa berbentuk bulat dan multipel, lesi yang
besar harus dibedakan dengan kanker dan penyakit granuloma.
5. diagnosa Kerja Pneumokoniosis batubara
6. diagnosa Banding
o Tuberkulosis
o Pneumokoniosis lain
o Interstitial Lung Diseases
142 |
7. Pemeriksaan Penunjang
o Foto toraks
o Uji faal paru (spirometri)
o Sputum BTA
o Kapasitas difusi (DLCO)
o Bronkoskopi (biopsi & BAL) bila diperlukan
o Biopsi (TBLB atau Biopsi terbuka)
o CT Scan Toraks resolusi tinggi (HRCT)
o Analisis cairan BAL (sel dan mineral)
o Uji jalan 6 menit
o Cardio pulmonary exercise test (CPET)
8. penanganan
o Tidak merokok
o Bersifat simtomatis
o Sesuai dengan jenis komplikasi yang ditemukan
9. Komplikasi o Gagal napas kronik
o Kor pulmonale
o Terjadi kecacatan paru
o Tergantung tindakan yang dilakukan
10. Penyakit Penyerta Dapat bervariasi tergantung komorbid
11. Prognosis o Tergantung dari stadium bila masih simpel disarankan untuk
dipindahkan tempat kerjanya agar tidak menjadi lebih progresif
o Bila sudah progresif menghindari pajanan tidak akan menghentikan
proses pneumoconiosis
12. nasihat Pengunaan alat pelindung diri, pemantauan medis secara berkala pada
pekerja batu bara, berhenti merokok
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain
serta asuhan paliatif untuk penyakit penyerta.
ASMA KERJA
1. Pengertian
Asma kerja adalah penyakit yang ditandai dengan inflamasi jalan napas,
keterbatasan aliran undara bervariasi dan hiperresponsif jalan napas yang
terjadi akibat keadaan dalam lingkungan kerja tertentu dan tidak terjadi
pada rangsangan di luar tempat kerja
2. Anamnesis
o Riwayat pajanan bahan/zat yang terinhalasi di tempat kerja.
o ada awitan atau periode antara pajanan sampai timbul gejala
klinis.
o Gejala klinis asma yang bermula atau mengalami perburukan pada
tempat kerja. Gejala mulai dengan batuk, diikuti oleh mengi
(wheezing), dada terasa berat dan susah bernapas. Gejala klinis
mengalami perbaikan saat penderita menjauh dari lokasi kerja (akhir
pekan atau liburan) dan memburuk pada saat bekerja dan terpajan
bahan secara kontinu atau intermiten.
Karakteristik gejala asma kerja adalah sebagai berikut.
‐ Timbul di tempat kerja, hilang setelah selesai bekerja.
‐ Timbul setelah pulang, hilang besok pagi.
‐ Timbul pada awal hari kerja, selanjutnya lebih berat.
‐ Makin lama bekerja, makin berat.
‐ Saat libur liburan, keluhan menghilang.
‐ Timbul di tempat kerja baru.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada penderita asma biasanya normal, kecuali dalam
keadaan serangan. Perlu diperhatikan apakah terdapat jejas akibat bahan
iritan, luka bakar atau dermatitis karena bahan /zat di tempat kerja.
4. Kriteria diagnosa
berdasar ada tidaknya awitan atau masa laten, asma kerja dibagi
menjadi asma kerja imunologis dan nonimunologis
o Asma kerja imunologis
Asma kerja jenis ini terjadi setelah periode laten dari suatu pajanan
yang diperlukan untuk terjadinya sensitisasi imunologik didapat.
o Asma kerja non imunologis
Asma kerja jenis ini ditandai oleh berkembangnya asma dalam
beberapa jam setelah inhalasi iritan konsentrasi tinggi di tempat kerja
tanpa melalui periode laten dan dikenal sebagai irritant-induced
asthma. Contoh tipe ini adalah reactive airways dysfunction
syndrome (RADS).
Kriteria diagnosa asma kerja imunologis
berdasar American College of Chest Physicians (ACCP) kriteria
asma kerja imunologis sebagai berikut :
o diagnosa asma oleh dokter atau ada bukti secara faal paru terjadi
hipereaktivitas bronkus
o Pajanan di tempat kerja mendahului awitan gejala asma
o Ada hubungan antara gejala dengan pekerjaan
o Ada pajanan dan atau alat bukti secara faal paru , hubungan antara
asma dengan lingkungan kerja (diagnosa membutuhkan 1 atau lebih
144 |
D2-D5, biasanya hanya membutuhkan D1)
o Pajanan di tempat kerja terhadap bahan yang dilaporkan dapat
meningkatkan asma kerja.
o Perubahan VEP1 dan atau APE yang berhubungan dengan pekerjaan
o Perubahan hipereaktivitas bronkus nonspesifik secara serial yang
berhubungan dengan kerja
o Uji provokasi bronkus spesifik positif
o Awitan asma kerja secara jelas berhubungan dengan gejala akibat
pajanan bahan iritan di tempat kerja.
Kriteria asma kerja nonimunologis (irritant-induced asthma)
Kriteria diagnosa irritant induced asthma yang dimodifikasi Brook dkk
sebagai berikut.
o Timbul gejala dalam 24 jam pajanan di lingkungan kerja terhadap
konsentrasi iritan inhalasi yang tinggi pada satu atau lebih kejadian.
o Gejala batuk, mengi, dan sesak napas menetap terjadi selama
sedikitnya 3 bulan.
o ada perubahan arus puncak ekspirasi, nilai VEP1 atau respons
metakolin (atau keduanya), yang dikaitkan dengan pajanan
lingkungan kerja.
o Tidak ada hubungan dengan penyakit paru yang lain.
5. diagnosa Kerja Asma Kerja
6. diagnosa Banding
o Asma yang diperberat di tempat kerja (Work aggravated asthma)
o Pneumonitis hipersensitif
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan Spirometri
Pemeriksaan dilakukan sebelum dan sesudah pemberian
bronkodilator untuk melihat adanya hambatan jalan napas dan
respons bronkodilator untuk mendiagnosa asma akibat kerja.
Menurut American Thoracic Society (ATS), bila terjadi penurunan
Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) >10 % atau
peningkatanVEP1 >12 % setelah pemberian bronkodilator berarti
terdapat asma yang berhubungan dengan pekerjaan.
o Pengukuran arus puncak ekspirasi (APE) serial
Pengukuran APE serial minimal 4 kali sehari selama 4 minggu (2
minggu di tempat kerja dan 2 minggu di luar tempat kerja). Hasil
positif pengukuran APE serial terjadi penurunan APE pada saat
bekerja. diagnosa asma kerja dapat ditegakkan bila terdapat 20 %
atau lebih variasi APE.
o Uji provokasi bronkus
a. Non spesifik, memakai bahan histamin atau metakolin.
b. Uji provokasi bronkus spesifik dengan alergen spesifik
yaitu baku emas untuk diagnosa asma akibat kerja, tetapi
karena banyak menimbulkan serangan asma serta harus
dilaksanakan di rumah sakit, pusat dengan tenaga yang terlatih,
maka tes ini jarang dilakukan. Sebelum tes dilakukan, harus
diketahui bahan yang dicurigai sebagai alergen di tempat kerja
dan kadar pajanan serta dalam bentuk apa bahan tersebut berada
di lingkungan kerja.
| 145
o Uji imunologis
Untuk melihat antibodi IgE serum terhadap beberapa aeroalergen
yang banyak ditemukan . Uji serologis dan SPT (skin prick test) sangat
sensitif untuk mendeteksi IgE spesifik dan asma kerja yang
dipicu bahan dengan BMT tetapi tidak spesifik untuk
mendiagnosa asma kerja
8. penanganan
Pengobatan yang diberikan pada dasarnya sama dengan penyakit asma,
dan biasanya meliputi :
o Anti inflamasi
o Bronkodilator
o Tindakan lain yang diperlukan sesuai keadaan penderita.
o Upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier
o Penatalaksaan asma kerja yang diinduksi sensitizer adalah
memindahkan pekerja agar tidak terpajan lagi dengan sensitizer,
karena pajanan kadar rendah dapat mencetuskan serangan asma dari
ringan sampai mengancam jiwa.
o Penatalaksanaan asma kerja yang diinduksi iritan adalah
menghilangkan pajanan derajat tinggi atau memakai alat
perlindungan diri.
9. Komplikasi Gagal napas akut
10. Penyakit Penyerta Infeksi saluran pernapasan
11. Prognosis Bonam (Baik)
12. nasihat Melakukan upaya pencegahan primer, sekunder, dan tersier :
o Pencegahan primer dilakukan dengan pemeriksaan kesehatan
sebelum bekerja untuk menyaring pekerja yang memiliki risiko
tinggi seperti atopi dan perokok, pengaturan jam kerja, kendali
bahan penyebab, pemakaian APD, ventilasi yang baik di tempat
kerja, dll.
o Pencegahan sekunder seperti dengan cara deteksi dini penyakit ini
dan menghindari pajanan secara dini, pemakaian APD.
o Pencegahan tersier bertujuan mencegah kerusakan permanen
dengan cara pemberian pengobatan yang optimal dan
menghindarkan pajanan lebih lanjut. Harus diingat bahwa apabila
diagnosa asma kerja telah ditegakkan, maka kepada pekerja itu
harus dilakukan evaluasi kesehatan paru dan pernapasan secara
berkala dan teliti.
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan pemeriksaan penunjang yang lain.
14. Kepustakaan Yunus F, Kolewara Y, Susanto AD. Asma kerja. In: Rasmin M, Jusuf A,
Yunus F, Amin M, Aditama TY, Syafiuddin T, et al, editors. Buku ajar
pumonologi dan kedokteran respirasi. Buku 2. Jakarta: UI Publishing;
2018. p.184-92.
146 |
KODE ICD X :
J 67.9
PNEUMONITIS HIPERSENSITIF
1. Pengertian
Pneumonitis hipesensitif atau alveolitis alergik ekstrinsik yaitu
bagian dari kelompok Interstitial Lung Disease (ILD) yang sebagian
besar diketahui penyebabnya yaitu akibat pajanan partikel organik,
inorganik atau berhubungan dengan penyakit kolagen vaskular.
2. Anamnesis
Riwayat pajanan antigen dengan lengkap yaitu langkah utama
diagnosa pneumonitis hipersensitif. Secara klasik manifestasi klinis
terdiri atas bentuk akut, subakut, dan kronis.
o Akut
Terjadi 2-9 jam atau 4-12 jam sesudah pajanan antigen berulang
atau intermiten dan banyak yang menghilang tanpa pengobatan
dalam 12-72 jam tetapi kadang lebih lama bila pajanan hebat.
Gejala bentuk akut berupa demam, batuk, sesak napas, dada terasa
berat, nyeri otot, nyeri sendi yang bersifat sementara.
o Subakut
Terjadi akibat pajanan antigen yang rendah tetapi terus menerus.
Awitan penyakit ini biasanya tidak jelas dan hanya sedikit gejala
yang terlihat saat itu sampai beberapa minggu atau bulan sesudah
awitan sehingga sering terlambat mendapat pengobatan. Gejala
subakut biasanya ditandai oleh peningkatan progresif gejala sesak
napas, batuk kering atau batuk dengan sputum mukoid, penurunan
berat badan tetapi episode berulang gejala akut tidak jelas.
o Kronik
Ditandai oleh kerusakan parenkim paru yang ireversibel akibat
terjadinya fibrosis intersisial luas yang dapat memicu gagal
jantung kanan. Gejala bentuk kronik adalah sesak napas, batuk
kronik yang sering disertai batuk produktif.
3. Pemeriksaan Fisik
o Akut
Pada pemeriksaan fisik ditemukan demam, takipnea, takikardi dan
ronki basah kasar sedang pemeriksaan darah tepi menunjukkan
leukositosis, neutrofilia, limfopeni dan dari BAL didapatkan
neutrofilia.
o Subakut dan Kronik
Ditemukan suara ronki basah kasar, jari tabuh dan tahap lanjut
terdapat tanda kor pulmonale.
4. Kriteria diagnosa
diagnosa untuk kemungkinan pneumonitis hipersensitif adalah
terdapatnya 4 kriteria mayor ditambah sekurang-kurangnya 2 kriteria
minor dan tidak ada penyakit lain dengan gambaran yang hampir sama.
KRITERIA MAYOR
o Riwayat gejala klinis yang timbul atau memburuk dalam beberapa
jam sesudah pajanan antigen
o Konfirmasi pajanan antigen berdasar anamnesis, penilaian
lingkungan, uji presipitin serum dan atau antibodi dari BAL.
o Ditemukan kelainan foto toraks atau HRCT
| 147
o Limfositosis dari BAL
o Gambaran histologik hasil biopsi sesuai dengan pneumonitis
hipersensitif
o Uji provokasi alami dengan antigen yang dicurigai positif
(menimbulkan gejala klinis dan kelainan laboratorium setelah
pajanan di lingkungan yang dicurigai)
KRITERIA MINOR
o Ronki basah kasar di basal paru
o Penurunan kapasitas difusi
o Hipoksemia saat istirahat atau latihan
5. diagnosa Kerja
Pneumonitis hipersensitif
6. diagnosa Banding
Bentuk akut :
o Pneumonia akibat infeksi virus atau bakteri atipikal
o Asma bronkial
o Organic dust toxic syndrome (ODTS)
o Demam inhalasi (Inhalation fever)
Bentuk subakut atau kronik
o Tuberkulosis
o Sarkoidosis
o Penyakit paru interstisial lainnya
7. Pemeriksaan Penunjang
o Foto toraks
o High resolution CT (HRCT)
o Spirometri (faal paru)
o Kapasitas difusi (DLCO)
o Bronkoskopi, Bronchoalveolar lavage (BAL)
o Pengukuran antibodi Ig G, Ig M atau Ig A serum
o Uji inhalasi antigen spesifik di laboratorium
o Biopsi paru (jika diperlukan).
8. penanganan
Penurunan fungsi paru yang cepat akibat pajanan antigen yang terus
menerus sering ditemukan pada pneumonitis hipersensitif.
Fokus penanganan :
o diagnosa sedini mungkin
o Penghindaran antigen.
Penghindaran antigen juga sebagai upaya pencegahan terhadap
pajanan atau kelainan paru yang menetap akibat fibrosis progresif.
Penghindaran antigen dapat dilakukan dengan memperbaiki
pengolahan bahan baku yang memudahkan bakteri tumbuh,
disinfektan daerah terkontaminasi, pemakaian filter atau masker
debu dan perbaikan sistem ventilasi.
o Kortikosteroid pada masalah akut, berat dan progresif. Biasanya
diberikan prednison atau prednisolon dengan dosis 40-60 mg/hari
selama 2 minggu lalu dosis diturunkan selama 2-4 minggu.
9. Komplikasi o Gagal napas
o Gagal jantung kanan
o Kor pulmonale
148 |
10. Penyakit Penyerta Pneumonia
11. Prognosis Prognosis pneumonitis hipersensitif tergantung pada beberapa faktor
yaitu lama pajanan antigen, dosis antigen, respons imun pejamu dan
bentuk manifestasi klinis.
o Bentuk akut
Bentuk akut nonprogresif memiliki prognosis yang baik.
o Bentuk kronik
Bentuk kronik yang ditandai dengan fibrosis parenkim paru dan
gangguan fungsi paru memicu prognosis menjadi buruk.
12. nasihat Menghindari antigen penyebab
Penggunaan alat pelindung diri (APD) saat bekerja
13. Indikasi Pulang Bila stabil, tidak sesak napas
14. Kepustakaan Fitriani F, Falaivi AF, Diah PA, Soetarto R, Pamungkasningsih SW.
Pneumonitis hipersensitif. In: Rasmin M, Jusuf A, Yunus F, Amin M,
Aditama TY, Syafiuddin T, et al, editors. Buku ajar pumonologi dan
kedokteran respirasi. Buku 2. Jakarta: UI Publishing; 2018. p. 203-11.
| 149
ONKOLOGI TORAKS
150 |
KODE ICD X:
C34.90
KANKER PARU KARSINOMA
BUKAN SEL KECIL (NSCLC)
1. Pengertian
Kanker yang berasal dari jaringan paru dengan jenis histologi Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil
2. Anamnesis
o Keluhan respirasi dapat berupa: batuk kronik, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, suara serak.
o Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastic
o Keluhan akibat metastasis/penyebaran tumor seperti nyeri
kanker/nyeri tulang, bengkak/sindrom vena kava superior, nyeri
kepala, lumpuh
3. Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi : dapat ditemukan asimetrisitas toraks, venektasi, tanda
bendungan;
‐ Palpasi : fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi : dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang.
o Pemeriksaan status generalis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan
tempat metastasis
4. Kriteria diagnosa
o diagnosa pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi, baik berupa
sitologi maupun patologi
o Staging berdasar pemeriksaan fisis, gambaran radiologi dan atau
bronkoskopi
5. diagnosa Kerja Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
6. diagnosa Banding
o Kanker paru jenis karsinoma sel kecil
o Tumor mediastinum
o Metastasis tumor di paru
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pengambilan sampel
‐ Biopsi kelenjar
‐ Biopsi jarum halus
‐ Sitologi cairan pleura
‐ TTNA USG guided
‐ Biopsi pleura
‐ Core biopsy
‐ Bronkoskopi (bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi
intrabronkus [forceps biopsy], cryobiopsy, transbronchial needle
aspiration biopsy, transbronchial lung biopsy)
‐ Pleuroskopi
‐ Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
‐ Torakotomi eksplorastif
o Pemeriksaan Patologi
‐ ROSE ( Rapid On Site Cyto/Histological Evaluation)
‐ Pulasan HE/ Giemsa
‐ Pulasan khusus
‐ Imunohistokimia bila diperlukan (PDL1, ALK, TTF1, CEA, CK,
dll)
o Pemeriksaan molekuler: EGFR, ROS1, KRAS, linnya
o Pencitraan
‐ Foto toraks
‐ CT scan toraks dengan kontras hingga suprarenal
‐ CT scan kepala dengan kontras
‐ MRI kepala
‐ Bone scan
‐ Bone survey
‐ PET scan bila fasilitas tersedia
o Pemasangan chemoport
o Pemeriksaan lainnya bila diperlukan.
8. penanganan
MULTIMODALITAS
o Kemoterapi
o Radioterapi
o Pembedahan
o Terapi target (targeted therapy)
o Imunoterapi (immune check point inhibitor)
o Terapi penyakit penyerta
o Berhenti merokok
o Terapi paliatif lain: fisioterapi, managemen nyeri, gizi, best
supportive care
9. Komplikasi Akibat tumor dapat terjadi
o Batuk darah masif
o Emboli paru
o Obstruksi saluran napas
o Needle tract pada pemasangan IPC/WSD
o Selulitis/ ekstravasasi akibat terapi sistemik
o Nyeri kanker
o Gangguan darah akibat terapi sistemik
10. Penyakit Penyerta o Akibat metastasis seperti
‐ Metastatis tulang (lumpuh, nyeri kanker)
‐ Metastasis kepala (nyeri kepala, gangguan neuropsikiatri)
‐ Efusi pleura
‐ Efusi perikard
‐ Sindrom vena kava superior;
‐ DVT
o Sindrom paraneoplastik
o Penyakit yang memperberat
‐ Gangguan nutrisi
‐ Gangguan mental / psikologi
‐ PPOK
‐ Penyakit kardiovaskular
‐ DM
‐ Penyakit infeksi
‐ Penyakit sistemik lainnya
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat o nasihat tentang tindakan / prosedur diagnostik yang dilakukan: mulai
yang sederhana hingga invasif / pembedahan
o nasihat indikasi terapi dan komplikasinya
o nasihat pilihan modalitas terapi
o nasihat hasil terapi dan rencana selanjutnya
o Tindakan lain misal kemoterapi /radioterapi / bedah: berupa
prosedurnya dan efek samping secara umum
o Prognosis penyakit
o Asuhan paliatif
o End of life care
13. Indikasi Pulang Sesuai dengan kondisi klinis dan asuhan paliatif.
KANKER PARU KARSINOMA SEL KECIL
1. Pengertian
Kanker yang berasal dari jaringan paru dengan jenis histologi Kanker
paru jenis karsinoma bukan sel kecil
2. Anamnesis
o Keluhan respirasi dapat berupa: batuk kronik, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, suara serak.
o Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik
o Keluhan akibat metastasis/ penyebaran tumor seperti nyeri kanker /
nyeri tulang, bengkak/ sindrom vena kava superior, nyeri kepala,
lumpuh.
3. Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi : dapat ditemukan asimetrisitas toraks, venektasi, tanda
bendungan
‐ Palpasi : fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi : dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang.
o Pemeriksaan status generalis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan
tempat metastasis
4. Kriteria diagnosa
o diagnosa pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi, baik berupa
sitologi maupun patologi
o Staging berdasar pemeriksaan gambaran radiologi dan atau
bronkoskopi
5. diagnosa Kerja Kanker paru jenis karsinoma sel kecil
6. diagnosa Banding
o Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
o Tumor mediastinum
o Metastasis tumor di paru
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pengambilan sampel
‐ Biopsi kelenjar
‐ Biopsi jarum halus
‐ Sitologi cairan pleura
‐ TTNA USG guided
‐ TTNA CT guided
‐ Biopsi pleura
‐ Core biopsy
‐ Bronkoskopi (bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsy
intrabronkus [forceps biopsy], cryobiopsy, transbronchial needle
aspiration biopsy, transbronchial lung biopsy)
‐ Pleuroskopi
‐ Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
‐ Torakotomi eksploratif
o Pemeriksaan Patologi
‐ ROSE ( Rapid On Site Cyto/Histological Evaluation)
‐ Pulasan HE / Giemsa
‐ Pulasan khusus
‐ Imunohistokimia bila diperlukan
o Pemeriksaan molekuler bila diperlukan
o Pencitraan
‐ Foto toraks
‐ CT scan toraks dengan kontras hingga suprarenal
‐ CT scan kepala dengan kontras
‐ MRI kepala
‐ Bone scan
‐ Bone survey
‐ PET scan bila fasilitas tersedia.
o Pemasangan chemoport
o Pemeriksaan lainnya bila diperlukan
8. penanganan
MULTIMODALITAS
o Kemoterapi
o Radioterapi
o Prophylactic Intra Cranial Irradiation
o Pembedahan
o Terapi target (targeted therapy)
o Imunoterapi (immune check point inhibitor)
o Terapi penyakit penyerta
o Berhenti merokok
o Terapi paliatif lain: fisioterapi, managemen nyeri, gizi, best
supportive care
9. Komplikasi Akibat tumor dapat terjadi
o Batuk darah masif
o Emboli paru
o Obstruksi saluran napas
o Needle tract pada pemasangan IPC / WSD
o Selulitis / ekstravasasi akibat terapi sistemik
o Nyeri kanker
o Gangguan darah akibat terapi sistemik
10. Penyakit Penyerta o Akibat metastasis seperti
‐ Metastatis tulang (lumpuh, nyeri kanker)
‐ Metastasis kepala (nyeri kepala, gangguan neuropsikiatri)
‐ Efusi pleura masif
‐ Efusi perikard
‐ Sindrom vena kava superior
‐ DVT
o Sindrom paraneoplastik
o Penyakit yang memperberat
‐ Gangguan nutrisi
‐ Gangguan mental / psikologi
‐ PPOK
‐ Penyakit kardiovaskular
‐ DM
‐ Penyakit infeksi
‐ Penyakit sistemik lainnya
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat o nasihat tentang tindakan / prosedur diagnostik yang dilakukan: mulai
yang sederhana hingga invasif / pembedahan
o nasihat indikasi terapi dan komplikasinya
o nasihat pilihan modalitas terapi
o nasihat hasil terapi dan rencana selanjutnya
o Tindakan lain misal kemoterapi / radioterapi / bedah: berupa
prosedurnya dan efek samping secara umum
o Prognosis penyakit
o Asuhan paliatif
o End of life care
13. Indikasi Pulang Sesuai dengan kondisi klinis dan asuhan paliatif.
TUMOR MEDIASTINUM
1. Pengertian
Kanker yang berada di rongga mediastinum, kanker mediastinum dan
neoplasma maligna pimer mediastinum.
2. Anamnesis
o Keluhan respirasi dapat berupa : batuk kronik, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, suara serak.
o Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik
o Keluhan akibat metastasis / penyebaran tumor seperti nyeri kanker/
nyeri tulang, bengkak / sindrom vena kava superior, nyeri kepala,
lumpuh.
3. Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi : dapat ditemukan asimetrisitas toraks, venektasi, tanda
bendungan
‐ Palpasi : fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi : dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang.
o Pemeriksaan status generalis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan
tempat metastasis
4. Kriteria diagnosa
o diagnosa pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi baik berupa
sitologi maupun patologi
o Staging berdasar pemeriksaan fisis, gambaran radiologi dan atau
bronkoskopi
5. diagnosa Kerja Tumor mediastinum; timoma, germinal atau neurogenik atau lainnya
6. diagnosa Banding
‐ Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
‐ Kanker paru jenis karsinoma sel kecil
‐ Mediastinal TB
‐ Aneurisma aorta
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pengambilan sampel:
‐ Biopsi kelenjar
‐ Biopsi jarum halus
‐ Sitologi cairan pleura
‐ TTNA USG guided
‐ TTNA CT guided
‐ Biopsi pleura
‐ Core biopsy
‐ Bronkoskopi (bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi
intrabronkus [forceps biopsy], cryobiopsy, transbronchial needle
aspiration biopsy, transbronchial lung biopsy);
‐ Pleuroskopi
‐ Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
‐ Torakotomi eksploratif
o Pemeriksaan Patologi
‐ ROSE (Rapid On Site Cyto/Histological Evaluation)
‐ Pulasan HE / Giemsa
‐ Pulasan khusus
‐ Imunohistokimia bila diperlukan
o Tumor Marker:
‐ CEA
‐ Beta HCG
‐ LDH
‐ AFP
o Pencitraan
‐ Foto toraks
‐ CT scan toraks dengan kontras hingga suprarenal
‐ CT scan kepala dengan kontras
‐ MRI kepala
‐ Bone scan
‐ Bone survey
‐ PET scan bila fasilitas tersedia
o Pemasangan chemoport
o Pemeriksaan lainnya bila diperlukan
8. penanganan
MULTIMODALITAS
penanganan secara umum tergantung pada jenis histologi tumor
mediastinum
o Kemoterapi
o Radioterapi
o Pembedahan
o Terapi target (targeted therapy)
o Imunoterapi (Immune chek point inhibitor)
o Terapi penyakit penyerta
o Berhenti merokok
o Terapi paliatif lain: fisioterapi, managemen nyeri, gizi, best
supportive care
9. Komplikasi Akibat tumor dapat terajdi: batuk darah masih; emboli paru; obstruksi
saluran napas, Needle tract pada pemasangan IPC / WSD, Selulitis /
esktravasasi akibat terapi sistemik, Nyeri kanker, Gangguan darah akibat
terapi sistemik
10. Penyakit Penyerta o Akibat metastasis seperti: metastatis tulang (lumpuh, nyeri kanker);
metastasis kepala (nyeri kepala dan gangguan neuropsikiatri); efusi
pleura maasif, efusi perikard; sindrom vena kava superior; DVT
o Sindrom paraneoplastik.
o Penyakit yang memperberat: Gangguan nutrisi; Gangguan Mental /
psikologi; PPOK; Penyakit kardiovaskular; DM; Penyakit infeksi;
Penyakit sistemik lainnya.
11. Prognosis Tergantung dari jenis histologi tumor mediastinum
Dubia hingga Dubia ad malam
12. nasihat o nasihat tentang tindakan/ prosedur diagnostik yang dilakukan: mulai
yang sederhana hingga invasif/ pembedahan.
o nasihat indikasi terapi dan komplikasinya
o nasihat pilihan modalitas terapi
o nasihat hasil terapi dan rencana selanjutnya
o Tindakan lain misal kemoterapi / radioterapi / bedah: berupa
prosedurnya dan efek samping secara umum.
o Prognosis penyakit.
o Asuhan paliatif.
13. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan asuhan paliatif.
MESOTELIOMA PLEURA
1. Pengertian
Mesotelioma adalah jenis kanker yang berasal dari sel mesotel.
Penyebab utama mesotelioma pleura biasanya adalah paparan asbes.
2. Anamnesis
o Keluhan respirasi dapat berupa: batuk kronik, batuk darah, sesak
napas, nyeri dada, suara serak.
o Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik
o Keluhan akibat metastasis / penyebaran tumor seperti nyeri kanker /
nyeri tulang, bengkak / sindrom vena kava superior, nyeri kepala,
lumpuh
o Anamnesis faktor risiko
3. Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi: dapat ditemukan asimetrisitas toraks, venektasi, tanda
bendungan
‐ Palpasi: fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi: dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang
o Pemeriksaan status generalis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan
tempat metastasis
4. Kriteria diagnosa
o diagnosa pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi, berupa
histopatologi
o Staging berdasar pemeriksaan fisis, gambaran radiologi dan atau
hasil pembedahan
5. diagnosa Kerja Mesotelioma pleura
6. diagnosa Banding
o Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
o Kanker paru karsinoma sel kecil
o Tumor dinding dada
o Metastasis tumor di pleura
o Hiperlplasi mesotel
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pengambilan sampel:
‐ Biopsi kelenjar
‐ Biopsi jarum halus
‐ Sitologi cairan pleura / Cell Block
‐ TTNA USG guided
‐ TTNA CT guided
‐ Biopsi pleura
‐ Core biopsy
‐ Bronkoskopi (bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi
intrabronkus [forceps biopsy], cryobiopsy, transbronchial needle
aspiration biopsy, transbronchial lung biopsy);
‐ Pleuroskopi
‐ Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
‐ Torakotomi eksploratif
o Pemeriksaan Patologi
‐ ROSE (Rapid On Site Cyto/Histological Evaluation)
‐ Pulasan HE / Giemsa
‐ Pulasan khusus
‐ Imunohistokimia bila diperlukan
o Pemeriksaan molekuler jiak diperlukan
o Tumor Marker:
‐ Osteopontin
‐ Soluble mesothelin related peptides (SMRPs)
o Pencitraan
‐ Foto toraks
‐ CT scan toraks dengan kontras hingga suprarenal
‐ CT scan kepala dengan kontras
‐ MRI kepala
‐ Bone scan
‐ Bone survey
‐ PET scan bila fasilitas tersedia
o Pemasangan chemoport
o Pemeriksaan fungsi paru dan fungsi jantung
o Pemeriksaan lainnya bila diperlukan
8. penanganan
Multimodalitas:
o Kemoterapi
o Radioterapi
o Pembedahan
o Terapi target (targeted therapy)
o Imunoterapi (immune check point inhibitor)
o Terapi penyakit penyerta
o Berhenti merokok
o Terapi paliatif lain: fisioterapi, manajemen nyeri, gizi, best
supportive care
9. Komplikasi Akibat tumor dapat terjadi
o Batuk darah masif
o Emboli par
o Obstruksi saluran napas
o Needle tract pada pemasangan IPC/WSD
o Selulitis / ekstravasasi akibat terapi sistemik
o Nyeri kanker
o Gangguan darah akibat terapi sistemik
10. Penyakit Penyerta o Akibat metastasis seperti
‐ Metastatis tulang (lumpuh, nyeri kanker)
‐ Metastasis kepala (nyeri kepala, gangguan neuropsikiatri)
‐ Efusi pleura massif
‐ Efusi perikard
‐ Sindrom vena kava superior;
‐ DVT
o Sindrom paraneoplastic
o Penyakit yang memperberat
‐ Gangguan nutrisi
‐ Gangguan mental/psikologi
‐ PPOK
‐ Penyakit kardiovaskular
‐ DM
‐ Penyakit infeksi
‐ Penyakit sistemik lain
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat o nasihat tentang tindakan/ prosedur diagnostik yang dilakukan: mulai
yang sederhana hingga invasif/ pembedahan
o nasihat indikasi terapi dan komplikasinya
o nasihat pilihan modalitas terapi
o nasihat hasil terapi dan rencana selanjutnya
o Tindakan lain misal kemoterapi / radioterapi / bedah: berupa
prosedurnya dan efek samping secara umum
o Prognosis penyakit
o Asuhan paliatif
o End of life care
13. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan asuhan paliatif.
TUMOR DINDING DADA
1. Pengertian Neoplasma jinak dan ganas pada dinding dada
2. Anamnesis
o Keluhan respirasi dapat berupa:benjolan dinding dada, nyeri dada,
batuk kronik, batuk darah, sesak napas, suara serak.
o Keluhan sistemik dapat berupa: berat badan turun, malaise, nafsu
makan turun, demam hilang timbul, sindrom paraneoplastik
o Keluhan akibat metastasis / penyebaran tumor seperti nyeri kanker /
nyeri tulang, bengkak / sindrom vena kava superior, nyeri kepala,
lumpuh
o Anamnesis faktor risiko
3. Pemeriksaan Fisik
o Pemeriksaan paru
‐ Inspeksi: dapat ditemukan asimetrisitas toraks, benjolan dinding
dada, venektasi, tanda bendungan
‐ Palpasi: fremitus dapat melemah/ hilang atau mengeras;
‐ Perkusi: dapat meredup;
‐ Auskultasi : dapat ditemukan suara napas tambahan atau
menghilang
o Pemeriksaan status generalis dapat ditemukan kelainan sesuai dengan
tempat metastasis
4. Kriteria diagnosa
o diagnosa pasti dengan pemeriksaan patologi anatomi, berupa
histopatologi
o Staging berdasar pemeriksaan fisis, gambaran radiologi dan atau
hasil pembedahan
5. diagnosa Kerja Tumor dinding dada (Kondrosarkoma, osteosarkoma, sarkoma Ewing, rabdomiosarkoma, tumor neuroektodermal dan lainnya)
6. diagnosa Banding
o Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
o Kanker paru karsinoma sel kecil
o Mesothelioma
o Metastasis tumor di pleura
o Hiperplasi mesotel
o Penebalan pleura
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pengambilan sampel:
‐ Biopsi kelenjar
‐ Biopsi jarum halus
‐ Sitologi cairan pleura / Cell Block
‐ TTNA USG guided
‐ TTNA CT guided
‐ Biopsi pleura
‐ Core biopsy
‐ Bronkoskopi (bilasan bronkus, sikatan bronkus, biopsi
intrabronkus [forceps biopsy], cryobiopsy, transbronchial needle
aspiration biopsy, transbronchial lung biopsy);
‐ Pleuroskopi
‐ Video Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
‐ Torakotomi eksploratif
o Pemeriksaan Patologi
‐ ROSE (Rapid On Site Cyto/Histological Evaluation)
‐ Pulasan HE / Giemsa
‐ Pulasan khusus
‐ Imunohistokimia bila diperlukan
o Pemeriksaan molekuler jiak diperlukan
o Tumor Marker bila diperlukan
o Pencitraan
‐ Foto toraks
‐ CT scan toraks dengan kontras hingga suprarenal
‐ CT scan kepala dengan kontras
‐ MRI kepala
‐ Bone scan
‐ Bone survey
‐ PET scan bila fasilitas tersedia
o Pemasangan chemoport
o Pemeriksaan fungsi paru dan fungsi jantung
o Pemeriksaan lainnya bila diperlukan
8. penanganan
Multimodalitas:
o Kemoterapi
o Radioterapi
o Pembedahan
o Terapi target (targeted therapy)
o Imunoterapi (immune check point inhibitor)
o Terapi penyakit penyerta
o Berhenti merokok
o Terapi paliatif lain: fisioterapi, manajemen nyeri, gizi, best
supportive care
9. Komplikasi Akibat tumor dapat terjadi
o Batuk darah masif
o Emboli paru
o Obstruksi saluran napas
o Needle tract pada pemasangan IPC/WSD
o Selulitis/ ekstravasasi akibat terapi sistemik
o Nyeri kanker
o Gangguan darah akibat terapi sistemik
10. Penyakit Penyerta o Akibat metastasis seperti
‐ Metastatis tulang (lumpuh, nyeri kanker)
‐ Metastasis kepala (nyeri kepala, gangguan neuropsikiatri)
‐ Efusi pleura massif
‐ Efusi perikard
‐ Sindrom vena kava superior
‐ DVT
o Sindrom paraneoplastic
o Penyakit yang memperberat
‐ Gangguan nutrisi
‐ Gangguan mental/psikologi
‐ PPOK
‐ Penyakit kardiovaskular
‐ DM
‐ Penyakit infeksi
‐ Penyakit sistemik lain
11. Prognosis Dubia ad malam
12. nasihat o nasihat tentang tindakan/ prosedur diagnostik yang dilakukan: mulai
yang sederhana hingga invasif/ pembedahan
o nasihat indikasi terapi dan komplikasinya
o nasihat pilihan modalitas terapi
o nasihat hasil terapi dan rencana selanjutnya
o Tindakan lain misal kemoterapi / radioterapi / bedah: berupa
prosedurnya dan efek samping secara umum
o Prognosis penyakit
o Asuhan paliatif
o End of life care
13. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan asuhan paliatif.
INTERVENSI DAN GAWAT NAPAS
GAWAT NAPAS
1. Pengertian
Peningkatan dan perburukan usaha napas yang terlihat dari penampakan
klinis
2. Anamnesis
Sesak napas
Dengan/Tanpa penyakit Paru atau lainnya yang diketahui
3. Pemeriksaan Fisis
Sesak, berkeringat, kemampuan bicara terganggu, dapat disertai
kegelisahan, agitasi atau kontak berkurang, kesadaran menurun
4. Kriteria diagnosa
o Frekuensi Napas : 15-19 kali/m : Gawat Napas Ringan
20-24 kali/m : Gawat Napas Sedang
25-29 kali/m : Gawat Napas Berat
o Dapat disertai kerja otot bantu napas, retraksi suprasternal dan
supraklavikula
5. diagnosa Kerja/
Masalah
Gawat Napas (Ringan, Sedang, Berat)
6. diagnosa Banding Gagal Napas, ARDS
7. Pemeriksaan Penunjang
o Laboratorium:Darah Lengkap, Analisis Gas Darah, (D-dimer, Ck-
CKMB, proBNP : jika mungkin)
o Foto Toraks PA-Lateral Kiri
o Rekam Jantung (EKG)
8. penanganan
o Terapi Oksigen (dosis dan cara pemberian sesuai perhitungan dan
sarana) : noninvasif (arus rendah-sedang sampai arus tinggi)
o Pengobatan penyakit yang mendasari (penyebab saraf, paru,
kardiovaskular, metabolik, endokrin)
9. Komplikasi Gagal napas, gagal Jantung
10. Penyakit
Penyerta/Dasar
o Penyebab sentral (susunan saraf pusat): trauma, gangguan vaskular
o Penyebab perifer :
‐ Penyakit/gangguan Paru: saluran napas, jaringan parenkim &
interstisial, pleura
‐ Penyakit/gangguan kardiovaskular
‐ Penyakit/gangguan neuromuskuler
o Gangguan metabolik & elektrolit
11. Prognosis Tergantung derajat berat penyakit dasar
12. nasihat Penjelasan tentang penyakit dasar dan derajat berat gawat napas yang
terjadi
13. Indikasi Pulang Kesadaran CM, kontak baik, frekuensi napas sudah pulih dan penyakit
yang mendasari sudah dalam kendali
BATUK DARAH/ HEMOPTISIS
1. Pengertian
Ekspektorasi darah yang berasal dari saluran respirasi bagian bawah,
dapat berupa blood streak sampai batuk darah dalam jumlah banyak
(gross) dan tanpa disertai sputum.
Hemoptisis masif yaitu batuk darah yang berpotensi mengancam
nyawa.
Definisi dari hemoptisis masif adalah batuk darah yang lebih dari 100
ml/jam atau lebih dari 600 ml dalam 24 jam.
2. Anamnesis
o Jumlah dan lama (durasi) batuk darah
o Batuk dengan dahak purulen
o Usia
o Riwayat merokok
o Riwayat batuk darah sebelumnya
o Riwayat penyakit paru, jantung atau ginjal
o Adanya gejala penyakit paru dan tanda infeksi
o Riwayat keluarga dengan batuk darah, perdarahan saluran cerna
o Riwayat pengobatan sebelumnya
o Riwayat OAT
3. Pemeriksaan Fisik
o Tanda vital
o Pemeriksaan pada saluran napas atas untuk menentukan sumber
perdarahan (hidung, rongga mulut, faring posterior dan laring)
o Pemeriksaan paru, adanya suara napas tambahan yang dapat
diakibatkan penyempitan saluran napas karena gumpalan darah
4. Kriteria diagnosa
‐ Anamnesis awal
‐ Pemeriksaan fisik
‐ Pemeriksaan dahak
‐ Foto toraks
‐ HRCT
‐ Bronkoskopi
5. diagnosa Kerja Batuk darah/hemoptisis
6. diagnosa Banding
Perdarahan yang berasal dari saluran respirasi bagian atas dan saluran
percernaan bagian atas.
7. Pemeriksaan Penunjang
o Pemeriksaan sputum untuk mengetahui kemungkinan penyebab.
o Pemeriksaan laboratorium seperti darah lengkap, hematokrit untuk
mengetahui kronisitas perdarahan, analisis gas darah, fungsi liver,
pemeriksaan urine dan fungsi ginjal untuk menyingkirkan
kemungkinan terjadinya pulmonary renal syndrome seperti Good
pasture’s syndrome atau granulomatosis dengan polyangitis
(Wagener’s).
o Pemeriksaan radiologis:
a. Foto rontgen toraks, untuk mengetahui adanya kemungkinan
keganasan, infeksi (tuberkulosis, aspergiloma) hingga kelainan
jantung seperti mitral stenosis.
b. High resolution computed tomography (HRCT) Paru, dapat
dipakai untuk mendiagnosa bronkiektasis dan aspergiloma.
o Bronkoskopi bersifat diagnostik untuk mengetahui lokasi perdarahan
dan mengetahui secara visual proses penyakit yang terjadi di
endobrokial yang dapat memicu perdarahan, tetapi juga bisa
untuk terapeutik. Flexible bronkoskopi dilakukan pada pasien
dengan foto rontgen dada yang normal, untuk menyingkirkan
keganasan endobronkial yang tidak tampak pada foto rontgen.
o Pemeriksaan lain, seperti pemeriksaan faal hemostatis, pada
penderita dengan kecurigaan gangguan pembekuan darah atau
kelainan hematologi lain. Pemeriksaan dsDNA atau ANA dilakukan
pada penderita dengan kecurigaan SLE. Transthoracic
echocardiogram untuk mendeteksi kelainan jantung. Arteriografi
bronkial dan pulmoner dapat dilakukan jika dengan cara lain tidak
berhasil untuk menemukan sumber perdarahan. Arteriografi dapat
juga sebagai alat terapeutik.
8. penanganan
o Batuk darah non masif: terapi sesuai penyebab serta monitoring
Airway, Breathing, dan Circulation.
o Batuk darah masif:
‐ Menjaga jalan napas dan stabilisasi penderita
‐ Mencari sumber dan penyebab perdarahan: dilakukan dengan
pemeriksaan radiologi (foto rontgen toraks, HRCT, angiografi)
‐ Pemberian terapi spesifik: Bronkoskopi terapeutik
o Bilas bronkus dengan larutan fisiologis dingin (iced saline
lavage)
o Pemberian obat topikal (vasopresor, asam traneksamat)
o Tamponade endobronkial
o Fotokoagulasi laser (Nd-YAG Laser)
‐ Terapi non Bronkoskopik
a. Pemberian terapi medikamentosa
b. Vasopresin intravena
c. Asam traneksamat (anti fibrinolitik)
d. Kortikosteroid sistemik
e. Pemberian GnRH pada hemoptisis katamenial
f. Pada TB diberikan OAT
g. Antibiotik, antijamur pada penyakit infeksi lain
h. Radioterapi, pada aspergiloma
o Bedah: terapi definitif pada batuk darah masif yang sumber
perdarahannya tidak diketahui secara pasti.
o Embolisasi arteri bronkialis dan pulmoner.
9. Komplikasi o Asfiksia
o Sufokasi
o Gagal napas akut
10. Penyakit Penyerta -
11. Prognosis Pada biasanya prognosis baik jika penyebab dapat di atasi, tetapi jika
penyebab perdarahan yaitu keganasan dan gangguan pembekuan
darah memiliki prognosis yang lebih buruk.
12. nasihat Batuk darah harus dikeluarkan, tidak boleh ditahan.
13. Indikasi Pulang Perdarahan berhenti dan tidak terjadi kekambuhan.
EFUSI PLEURA
1. Pengertian (definisi) Akumulasi cairan pada rongga pleura
2. Anamnesis Gejala klinis yang sering ditemukan adalah sesak napas, batuk.
o Nyeri dada yang bersifat tajam menusuk yang memberat saat
pasien menarik napas dalam atau batuk.
o Sering ditemukan batuk yang tidak berdahak, tetapi bisa juga ditemukan
batuk yang berdahak atau berdarah bila disertai lesi pada paru.
o Dijumpai sesak napas, semakin banyak cairan di rongga pleura akan
semakin sesak. Sesak napas dirasakan seperti rasa berat di dada.
Pasien akan merasa lebih nyaman dengan posisi tidur miring ke arah
lesi
o Demam ringan.
3. Pemeriksaan fisik o Inspeksi: terlihat gerakan pernapasan yang tertinggal pada hemitoraks
yang sakit, bila cairan banyak di rongga pleura maka dada tampak
cembung dan ruang antar iga melebar.
o Palpasi: ditemukan fremitus suara yang melemah pada sisi yang sakit.
Trakea dan mediastinum dapat terdorong ke sisi yang sehat.
o Perkusi: ditemukan redup pada daerah yang sakit.
o Auskultasi: terdengar suara napas yang melemah sampai menghilang
pada sisi yang sakit. Suara gesekan pleura (Pleural friction rub) dapat
terdengar bila jumlah cairan minimal.
4. Kriteria diagnosa Kriteria efusi pleura bila memenuhi salah satu hal berikut.
o Efusi pleura dengan jumlah berapapun dan penyebab apapun yang
terbukti terdapat cairan dengan tindakan punksi pleura/
torakosentesis.
o Efusi pleura yang terbukti dengan pemeriksaan imaging (foto toraks
dan/ atau USG toraks dan/ atau CT scan toraks) dengan jumlah
minimal atau lebih dari minimal yang disertai dengan tindakan
punksi pleura (tidak harus keluar cairan) dan/ atau tata laksana
tambahan sesuai penyebabnya di luar tata laksana diagnosa primer.
Definisi efusi pleura dengan jumlah minimal bila memenuhi salah satu
kriteria berikut.
o Gambaran efusi pada foto toraks lateral dekubitus dan/ atau CT scan
toraks dengan ketebalan kurang dari 10 mm.\
o Gambaran efusi pada USG toraks dengan jumlah cairan kurang dari
100 ml dan / atau jarak antara pleura parietal dan pleura viseral
kurang dari 10 mm.
5. Kriteria eksklusi Efusi pleura TB
6. diagnosa kerja Efusi pleura non TB
7. diagnosa banding Pleuropneumonia
Schwarte (penebalan pleura)
Atelektasis
8. Pemeriksaan penunjang Foto toraks PA dan/ atau lateral/ lateral dekubitus (sesuai letak cairan)
USG toraks
CT scan toraks
Analisis cairan pleura: kimia, hitung sel
Mikrobiologi
Sitologi
9. penanganano Punksi pleura (torakosentesis) dan biopsi pleura
o Torakoskopi (atas indikasi)
o Bila cairan sedikit, dapat konservatif (pada masalah infeksi)
o Pemasangan water seal drainage/ indwelling cathether/ pigtail pada
masalah efusi pleura masif
o Pleurodesis
10. Komplikasi Karena penyakit:
Empiema, penekanan paru dan mediastinum
Schwarte (penebalan pleura)
Karena tindakan punksi (torakosentesis):
Pneumotoraks, perdarahan
11. Penyakit penyerta Infeksi non TB, TB, keganasan, penyakit jantung, asites
12. Prognosis Sesuai penyebab penyakit
13. nasihat
Menjalani rangkaian diagnostik dan terapi sesuai anjuran, fisioterapi
dada, terapi penyakit penyerta, kendali ke poliklinik paru sesuai jadwal.
Rawat bila klinis sesak dan cairan banyak.
14. Kriteria pulang Pasien dapat dipulangkan bila tidak terdapat keluhan, tindakan pasca
punksi baik.
PNEUMOTORAKS
1. Pengertian
Udara bebas di dalam rongga pleura yang terletak di antara dinding dada
dan paru yang dipicu oleh trauma dada, kebocoran parenkim paru
yang dapat terjadi secara spontan atau sekunder akibat penyakit yang
mendasari. Kadang-kadang terjadi pada perempuan akibat endometriosis
(yang terjadi bersamaan saat haid) yaitu pneumotoraks katamenial, juga
dapat terjadi akibat tindakan medis (iatrogenik) seperti: TTNA, CVP,
punksi pleura, biopsi pleura, bronkoskopi, dll.
2. Anamnesis
o Sesak napas
o Batuk
o Nyeri dada
3. Pemeriksaan Fisik
Paru
Inspeksi: asimetris, statis dan dinamis, sela iga melebar
Palpasi: sela iga melebar, fremitus vokal melemah
Perkusi: hipersonor
Auskultasi: vesikular melemah, Rh -/- wh -/-
4. Kriteria diagnosa
Gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, berupa
gambaran avaskular pada foto toraks dan pleural line.
5. diagnosa Kerja
Pneumotoraks. Pneumotoraks spontan primer, Pneumotoraks spontan
sekunder.
6. diagnosa Banding
o PPOK
o Asma bronkial
o Infark miokard akut (IMA)
o Emboli paru, kelainan pleura
o Ruptur bula
7. Pemeriksaan Penunjang
o Umum: foto toraks PA (dan lateral atas indikasi)
Kadang-kadang diperlukan foto 2 fase (dalam inspirasi maksimal dan
ekspirasi maksimal) bila dicurigai pneumotoraks ringan atau foto
lateral bila diduga disertai efusi pleura.
o Khusus: CT Scan toraks, analisis gas darah, EKG, bronkoskopi sesuai
indikasi, torakoskopi sesuai indikasi.
8. penanganan
o Medikamentosa: tergantung penyebab
o Non medikamentosa: Terapi oksigen, fisioterapi, pemasangan WSD
jika pneumotoraks >20% atau klinis didapatkan keluhan sesak,
continous suction atas indikasi, IPPB (intermittent positive pressure
breathing), pleurodesis dengan zat kimia sesuai indikasi atau
pleurodesis secara bedah sesuai indikasi, pleuroskopi untuk
pleurodesis talkum atas indikasi, VATS (Video Assisted
Thoracoscopic Surgery), pembedahan atas indikasi.
o Khusus: bronkoskopi untuk pemasangan endobronchial valve atau
spigot sesuai indikasi.
9. Komplikasi o Karena penyakit: emfisema subkutis, efusi pleura, empiema, pada
tension pneumothorax dapat terjadi torsi, jantung dan pembuluh darah
besar, gagal napas, fistula bronkopleura, pneumomediastinum,
kematian.
o Karena tindakan: emfisema subkutis, edema paru pasca reekspansi,
perdarahan, empiema, pneumomediastinum.
10. Penyakit Penyerta PPOK
Pneumocystis pneumonia (PCP)
TB Paru, gangguan imunitas tubuh, emfisema, keganasan rongga toraks.
11. Prognosis Tergantung luas pneumotoraks, penyebab dan penyakit penyerta.
Quo ad vitam: dubia
Quo ad functionam: dubia
Quo ad sanasionam: dubia
12. nasihat Tergantung penyebab. nasihat pencegahan peningkatan tekanan
intratoraks.
13. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis pasien, bila pneumotoraks telah teratasi.
PNEUMOMEDIASTINUM / EMFISEMA
MEDIASTINUM
1. Pengertian Pneumomediastinum atau emfisema mediastinum adalah kondisi
terdapatnya udara di mediastinum yang dipicu ruptur alveoli atau
penyebab di luar paru.
2. Anamnesis o Nyeri dada, nyeri retrosternal
o Sesak napas
o Batuk
o Demam ringan (subfebris)
o Disfagia dan disfonia
o Penggunaan ventilator mekanik
o Riwayat penyakit paru sebelumnya
3. Pemeriksaan Fisik o Tanda vital: frekuensi napas, frekuensi nadi, tekanan darah, suhu.
o Krepitasi pada daerah leher dan supraklavikula.
o Sianosis dan distensi vena (pada kondisi pneumomediastinum masif).
o Hamman’s sign (suara “klik” yang sinkron dengan denyut jantung)
terdengar di daerah prekordial, intensitasnya meningkat selama
inspirasi atau posisi dekubitus lateral kiri.
4. Kriteria diagnosa o Anamnesis: didapatkan nyeri dada
o Pemeriksaan fisik : didapatkan krepitasi di leher dan supraklavikula
dan ditemukan Hamman’s sign
o Radiologis: didapatkan gambaran udara bebas pada mediastinum
yaitu gambaran garis tipis radiolusen sepanjang tepi kiri jantung,
arkus aorta tampak lebih jelas
5. diagnosa Kerja Pneumomediastinum / Emfisema Mediastinum
6. diagnosa Banding o Mediastinitis
o Pneumotoraks
o ARDS
o Sindrom aspirasi
7. Pemeriksaan Penunjang o Foto toraks: didapatkan gambaran udara bebas pada mediastinum
yaitu gambaran garis tipis radiolusen sepanjang tepi kiri jantung,
arkus aorta tampak lebih jelas
o CT Scan Toraks: gambaran udara bebas di mediastinum
o Mediastinoskopi
o Elektrokardiografi: gambaran low voltage yang luas, pergeseran aksis
yang tidak spesifik, perubahan gelombang ST-T, dan elevasi segmen
ST pada sadapan prekordial tanpa bukti kelainan jantung lainnya.
o Laboratorium: Leukositosis ringan
8. penangananPenyerapan kembali udara bebas dalam mediastinum
o Atasi penyebab atau faktor predisposisi pneumomediastinum.
o Suplemen oksigen untuk mempercepat reabsorbsi udara bebas.
o Pembedahan jika pneumomediastinum mengancam nyawa pasien.
9. Komplikasi Gangguan kardiovaskular yang mengancam nyawa.
10. Penyakit Penyerta Emfisema subkutis
11. Prognosis Prognosis pada biasanya baik namun semua tergantung penyebab,
komplikasi dan kecepatan diagnosa dan tata laksana pasien.
12. nasihat Penjelasan pneumomediastinum serta kemungkinan komplikasi.
13. Indikasi Pulang Jika didapati klinis membaik yang ditandai dengan hilangnya gejala
pneumomediastinum, didukung oleh evaluasi radiologis yang
menunjukkan hilangnya gambaran udara bebas pada mediastinum.
GAGAL NAPAS AKUT
1. Pengertian
Gagal napas adalah kondisi sistem pernapasan gagal dalam fungsi
pertukaran gas, yaitu oksigenasi dan eliminasi karbondioksida (CO2).
Terjadi dalam hitungan menit atau jam.
Gagal napas digolongkan menjadi gagal napas tipe hipoksemik dan
hiperkapnik.
o Gagal napas tipe hipoksemik (gagal napas tipe 1)
Ditandai dengan penurunan tekanan oksigen arteri (PaO2) < 60
mmHg dengan nilai tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) normal
atau turun. Gagal napas tipe 1 yaitu gagal napas yang sering
terjadi dan dikaitkan dengan penyakit paru akut berupa terisinya
cairan dan kolapsnya alveolus.
o Gagal napas tipe hiperkapnik (gagal napas tipe 2)
Ditandai dengan nilai PaCO2 lebih tinggi dari 50 mmHg (45mmHg)
Hipoksemia sering didapatkan pada pasien dengan gagal napas tipe
hiperkapnik yang bernapas dengan udara ruang.
Kriteria gagal napas akut (bila ada 2 dari 4 kriteria berikut)
o ada sesak akut
o PaO2 < 60 mmHg pada saat bernapas dalam udara ruangan
o PaCO2 > 50 mmHg
o PH darah arteri sesuai dengan asidosis repiratorik (PH ≤ 7,2)
o ada perubahan status mental ditambah 1 atau lebih kriteria di
atas
Patofisiologi gagal napas: Tekanan parsial O2 dan CO2 dalam alveolus
dan kapiler paru ditentukan oleh ketidakseimbangan ventilasi pefusi.
Bila ventilasi-perfusi ↓ maka PO2 darah kapiler ↓, PCO2 ↑. Begitu juga
sebaliknya.
2. Anamnesis
Keluhan pasien datang dengan sesak napas berat, mudah lelah,
berkeringat, sakit kepala, gelisah, sulit tidur dan makan, kejang bahkan
penurunan kesadaran. Pasien gagal napas menunjukkan gejala sesuai
dengan penyakit dasar. Sesak napas yaitu gejala klinis yang
pertama kali muncul sebelum terjadi retensi CO2. Sesak napas memberat
pada posisi supine menunjukkan disfungsi diafragma. Penggunaan otot
bantu napas, kelainan pergerakan torakoabdominal. Hipoksia serebral
memicu perubahan mental. Hiperkapnia memicu efek pada
SSP. Peningkatan CO2 menimbulkan gejala letargi, stupor dan koma.
3. Pemeriksaan Fisik
Pasien tampak sesak napas berat.
Kondisi umum lemah.
Gangguan gelisah sampai dengan penurunan kesadaran.
Kadar Saturasi oksigen <90 %, Hipoksia (saturasi<80mmhg atau pulse
oksimetri <95%).
Takipnea (RR >20x/menit), bradipnea (RR <12x/menit), apnea (henti
napas)
Takikardia (nadi >100x/menit)
Demam suhu >37,6 C .
Kemungkinan terdapat infeksi paru.
Gejala neurologi: kemungkinan terdapat stroke atau miastenia gravis.
Pemeriksaan paru :
Inspeksi: didapatkan retraksi otot bantu napas.
Palpasi: fremitus raba melemah.
Perkusi: sonor atau pun hipersonor.
Auskultasi: terdengar stridor, ronki basah kasar, mengi (wheezing),
kemungkinan menunjukkan asma, ronki disertai sputum yang banyak.
Pemeriksaan jantung: ditemukannya murmur, gallop menunjukkan
kemungkinan adanya gagal jantung.
4. Kriteria diagnosa
Penegakan diagnosa (Assessment)
o Sesak napas (apnea atau dispnea berat), gelisah,sianosis.
o Pemeriksaan paru:
‐ Inspeksi: didapatkan retraksi otot bantu napas.
‐ Palpasi: fremitus raba melemah.
‐ Perkusi: sonor ataupun hipersonor.
‐ Auskultasi: terdengar stridor, ronki basah kasar, mengi (wheezing)
o Pemeriksaan jantung: ditemukannya murmur, gallop menunjukkan
kemungkinan gagal jantung,
o Hasil pemeriksaan AGD:
‐ PaO2 di bawah 60 mmHg
‐ PaCO2 di atas 50 mmHg
5. diagnosa Kerja Gagal napas akut
6. diagnosa Banding
‐ Acute respiratory distress syndrome(ARDS)
‐ Angina pektoris
‐ Pneumonitis aspirasi dan pneumonia
‐ Asma
‐ Atelektasis
‐ Pneumonia bakterialis
‐ Edema paru kardiogenik
‐ Syok kardiogenik
‐ Community acquired pneumonia (CAP)
‐ Kor pulmonale
‐ Sianosis
‐ Diaphragmatic paralysis
‐ Dilated cardiomyopathy
‐ Distributive shock
‐ Emfisema
‐ Hypertrophic cardiomyopathy
‐ Idiopathic pulmonary fibrosis
‐ Interstitial (nonidiopathic) pulmonary fibrosis
‐ Myocardial infarction
‐ Neurogenic pulmonary edema
‐ Obstructive sleep apnea
‐ Pneumotoraks
‐ Primary pulmonary hypertension
‐ Pulmonary embolism
‐ Respiratory acidosis
‐ Restrictive lung disease
‐ Secondary pulmonary hypertension
‐ Ventilation, mechanical
‐ Ventilation, noninvasive
‐ Viral pneumonia
7. Pemeriksaan Penunjang
AGD: Hipoksemia (Pa O2 < 60mmHg) dan atau hiperkapnia (PaCO2 >
50 mmHg)
Foto toraks: sesuai dengan penyakit dasarnya
EKG: Didapatkan kelainan jika terdapat penyakit jantung yang
mendasari
Pemeriksaan Lab :
Darah rutin, sputum Mo/G/K/R, SGOT, SGPT, albumin, ureum,
kreatinin, gula darah, CKMB, troponin.
8. penanganan
Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)
o penangananjalan napas, ventilasi, dan oksigenasi
Bantuan ventilasi dapat diberikan melalui alat bantu ventilasi
mekanik invasif (mechanical ventilation) maupun noninvasif (Non-
invasive ventilation/NIV)
Non medikamentosa
‐ Nutrisi
90% pasien gagal napas mengalami undernutrition, sehingga
perlu diperhatikan nutrisinya dengan pemberian suplemen kalori
dan hormon anabolik steroid (tidak dianjurkan pemberian rutin)
‐ Rehabilitasi paru
Berupa exercise training, breathing training, respiratory muscle
training, chest physical therapy
o Medikamentosa (sesuai dengan penyakit yang mendasari)
‐ Antibiotik/ anti virus diberikan apabila didapatkan infeksi akut
(pada penyakit yang mendasari)
‐ Bronkodilator: agonis beta 2 adrenergik, antikolinergik, teofilin
‐ Antiinflamasi: kortikosteroid
‐ Inhibitor kolinesterase diberikan pada pasien miastenia gravis
‐ Medroksi-progesteronasetat diberikan oral 20 mg tiga kali sehari
untuk menambah respons ventilasi sentral diberikan pada pasien
idiopathic hypoventilation syndrome.
9. Komplikasi o Penurunan kesadaran (koma)
o Gangguan kardiovaskular
o Gangguan traktus gastrointestinal
10. Penyakit Penyerta o Pneumonia
o CHF
o DM
o TB paru
o ARDS
12. nasihat o Mengetahui penyakit dasar
o Kontrol infeksi
o memakai / minum obat teratur
13. Indikasi Pulang o Pemeriksaan fisik
RR< 20x/menit, tidak didapatkan sianosis pada bibir dan ekstremitas,
retraksi dinding toraks (-)
Pemeriksaan paru: ronki basah kasar berkurang/ hilang, mengi
(wheezing) (-)
Laboratorium AGD menunjukkan : perbaikan pO2 (mendekati
normal),
pCO2 (mendekati normal/ menunjukkan gagal napas tipe 2 kronik)
o Sesak berkurang atau hilang, dapat mobilisasi, perbaikan kondisi
klinis dan pemeriksaan lain, penyakit penyerta tertangani, mengerti
pemakaian obat.
GAGAL NAPAS KRONIK
1. Pengertian
Gagal napas adalah kondisi sistem pernapasan gagal dalam fungsi
pertukaran gas, yaitu oksigenasi dan eliminasi karbondioksida (CO2).
Kondisi tersebut berlangsung secara bertahap, berkembang dari waktu
ke waktu dan membutuhkan pengobatan jangka panjang.
2. Anamnesis
o Kesulitan bernapas atau sesak napas, terutama saat aktivitas
o Batuk berdahak
o Mengi
o Warna kebiruan pada kulit, bibir, atau kuku
o Napas cepat
o Kelelahan
o Gelisah
o Bingung
3. PemeriksaanFisik
Pasien tampak sesak napas.
Kondisi umum lemah.
Gangguan gelisah sampai dengan penurunan kesadaran.
Kadar Saturasi oksigen <90 %, hipoksia (saturasi <80mmhg atau pulse
oksimetri <95%).
Takipnea (RR >20x/menit), bradipnea (RR <12x/menit), apnea (henti
napas).
Takikardia (nadi >100x/menit).
Pemeriksaan Paru :
• Inspeksi: didapatkan retraksi, pemakaian otot bantu napas.
• Palpasi : fremitus raba melemah.
• Perkusi : sonor ataupun hipersonor.
• Auskultasi: terdengar stridor, ronki basah kasar, mengi (wheezing)
Ekstremitas: jari tabuh
4. Kriteria diagnosa
Penegakan diagnosa (Assessment)
o Sesak napas, gelisah, sianosis.
o Pemeriksaan paru :
‐ Inspeksi: didapatkan retraksi otot bantu napas.
‐ Palpasi: fremitus raba melemah.
‐ Perkusi: sonor ataupun hipersonor.
‐ Auskultasi: terdengar stridor, ronki basah kasar
o Pemeriksaan jantung: ditemukannya murmur, gallop menunjukkan
kemungkinan gagal jantung
o Ekstremitas: jari tabuh
o Hasil pemeriksaan AGD: pH normal (kompensasi sempurna)
PaO2 di bawah 60 mmHg
PaCO2 di atas 50 mmHg
5. diagnosa Kerja
Gagal napas kronik
6. diagnosa Banding
o PPOK
o pneumonia
o cystic fibrosis
o spinal cord injuries
o stroke
o muscular dystrophy
o injury to the chest
o drug or alcohol abuse
o smoking
7. Pemeriksaan Penunjang
AGD: Hipoksemik didapatkan (Pa O2 < 60mmHg)
Hiperkapnik didapatkan (PaCO2 > 50 mmHg)
Foto toraks: sesuai dengan adanya penyakit dasar.
8. penanganan
o Terapi penyakit dasar: bronkodilator, kortikosteroid,
o Menurunkan CO2 dan meningkatkan O2 dalam darah
o Terapi oksigen
o Trakeotomi
o Ventilasi mekanik
9. Komplikasi o Penurunan kesadaran (koma)
o Gangguan kardiovaskular
10. Penyakit Penyerta o PPOK
o cystic fibrosis
o spinal cord injuries
o stroke
o muscular dystrophy
o injury to the chest
o drug or alcohol abuse
11. Prognosis Ad vitam: Dubia
Ad sanam: Dubia
Ad fungsionam: Dubia
12. nasihat o Mengetahui penyakit dasar
o Kontrol infeksi
o memakai / minum obat teratur.
13. IndikasiPulang Sesak berkurang atau hilang, dapat mobilisasi, perbaikan kondisi klinis
dan pemeriksaan lain, penyakit penyerta tertangani, mengerti
pemakaian obat.
Laboratorium AGD menunjukkan perbaikan pO2 (mendekati normal),
pCO2 (mendekati normal/menunjukkan gagal napas tipe 2 kronik)
CEDERA PARU AKUT
(ACUTE LUNG INJURY /ALI)
1. Pengertian
Salah satu bentuk acute respiratory distress syndrome (ARDS) yang
ringan. Gejala klinik ditemukan disfungsi paru persisten berat dan lama,
kerusakan alveoli difus dan penyembuhan fungsi paru yang bervariasi.
Perbedaan ALI dan ARDS terletak pada ratio PaO2 / FiO2 yaitu ALI ≤
300 dan ARDS ≤ 200 sedangkan gambaran radiologi dan tekanan
kapiler pulmoner sama.
2. Anamnesis
o Sesak napas
o Riwayat jejas baik jejas pulmoner maupun ekstra pulmoner
o Batuk
3. Pemeriksaan Fisik
o Kondisi umum terlihat sesak
o Paru: ronki, mengi (wheezing)
o Frekuensi: nadi dan pernapasan meningkat
4. Kriteria diagnosa
Ada faktor penyebab, Gambaran pada foto toraks konsolidasi,
Hipoksemia. Catatan: Gejala klinis tidak khas seperti batuk, sesak
(takipnea), takikardia, ronki di kedua paru.
o ada kelainan paru yang berat atau riwayat jejas ekstra
pulmoner berat.
o Pemeriksaan fisik: terdapat ronki dan kemungkinan disertai mengi
(wheezing).
o Ratio PaO2 / FiO2 yaitu ALI ≤ 300
5. diagnosa Kerja
Cedera Paru Akut
6. diagnosa Banding
o Edema paru kardiogenik
o Emboli paru, gagal ginjal overload
7. Pemeriksaan Penunjang
Umum : Foto toraks, AGD, CT scan toraks,
o Ventilasi perfusi scan (VPS), CVP, Kateter Swan Ganz
o Khusus : CRP, PCT, BNP /NT Pro BNP
8. penanganan
o Medikamentosa: ventilasi mekanis, vasodilatasi, diuretik,
ionotropik, oksigen, cairan infus, nutrisi, tata laksana penyakit dasar
o Khusus : memakai ventilasi mekanik (dengan PEEP) yang
dilengkapi dengan terapi No(nitrogen oksida), extra corporeal
membrane oxyangenation (ECMO), inhalasi nitrit oksida, surfaktan
alveolar, Pentoxifylline/lifofylline, ketokonazol, prostaglandin dan
vasoaktif lainnya, glukokortikoid.
9. Komplikasi o Karena penyakit: gagal napas, sepsis, gagal multi organ
o Karena tindakan: barotrauma
10. Penyakit Penyerta o Penyakit paru kronis
o Gangguan fungsi jantung
o Gagal ginjal
11. Prognosis o Tergantung penyakit dasar dan penyerta
o Ada tidaknya faktor autoimun atau gangguan fungsi imunitas tubuh
o Ketersediaan obat dan fasilitas
12. nasihat Kemungkinan prognosis
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan penyakit penyerta.
NEAR DROWNING (HAMPIR
TENGGELAM)
1. Pengertian
ada nya cairan pada saluran napas akibat tenggelam dalam cairan
(zat iritatif, benda infeksius, benda asing), hampir memicu
kematian akibat sufokasi.
2. Anamnesis
ada riwayat atau kejadian hampir tenggelam air tawar atau air
asin, sesak napas, sianosis, nyeri dada, batuk
3. Pemeriksaan Fisik
Tanda sianosis pada mukosa
Ronki dan atau mengi (wheezing), jika terdapat benda asing dapat
stridor
Takikardi dan takipnea
4. Kriteria diagnosa
Manifestasi klinis:
gejala asfiksia dan gejala aspirasi.
Gejala respirasi: batuk, batuk darah, stridor, mengi (wheezing), apnea.
Gejala serebral: konvulsi, termoregulasi
5. diagnosa Kerja Tenggelam (drowning / near drowning)
6. diagnosa Banding
Barotrauma
Pneumotoraks
7. Pemeriksaan Penunjang
Umum : Laboratorium: hemoglobin, hematokrit, uji hemolisis,
elektrolit, AGD, Bronkoskopi atas indikasi, EKG
Khusus : Alveolar arterial oxyangen gradient, CVP, Swan Ganz
Catheter, EEG
8. penanganan
o Medikamentosa
Airway: membebaskan jalan napas sampai intubasi ETT.
Breathing, terapi oksigen mempertahankan saturasi >90%
Circulation: mencegah hipotensi, pemberian cairan intravena
sampai CVP.
Koreksi asam basa (dalam keadaan berat memakai ventilasi
mekanik untuk menyeimbangkan asidosis metabolik dengan
hiperventilasi).
Koreksi gangguan elektrolit.
Aminofilin atau beta 2 agonis bila didapatkan bronkospasme.
Antibiotik atas indikasi.
Kortikosteroid dosis rendah 5 mg/Kg/24 jam dibagi 6 dosis.
o Non Medikamentosa: Fisioterapi.
o Khusus: pemakaian ventilator mekanik bila hipoksemia berat.
9. Komplikasi Karena penyakit: ARDS, infeksi-sepsis, hipoksemia karena aspirasi,
edema paru, fibrilasi ventrikel (tenggelam di air tawar),
gangguan fungsi ginjal (albuminuria, hemoglobulinuria, anuria),
gangguan saraf: koma lama, cedera kepala dan leher berat
(menyulitkan intubasi dan bronkoskopi)
Karena tindakan: patah tulang iga saat resusitasi
10. Penyakit Penyerta Gangguan psikiatri
Kelainan jantung
Kelainan paru
11. Prognosis Tergantung kecepatan pertolongan pertama
Tergantung ketersediaan fasilitas
Tergantung lamanya tenggelam, suhu cairan, pH darah saat pertama
ditemukan
12. nasihat Penjelasan tentang prognosis akibat near drowning
13. Indikasi Pulang Sesuai perbaikan kondisi klinis dan penyakit penyerta.
TRAUMA TORAKS
1. Pengertian
Trauma pada toraks adalah segala bentuk jejas pada rongga toraks,
termasuk paru, jantung, struktur mediastinum, saluran napas serta
struktur tulang rongga toraks.
Jenis jejas dibagi 2 yaitu trauma tumpul toraks dan trauma tajam
toraks.
Sering terjadi akibat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, usaha
bunuh diri, jatuh dari ketinggian, dll.
2. Anamnesis
ada riwayat jejas, baik jejas tumpul maupun jejas tajam
Sesak napas
Nyeri dada
3. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital: tekanan darah bisa menurun pada trauma tajam atau
tumpul akibat kehilangan darah ataupun akibat syok.
Tanda tanda: efusi pleura, pneumotoraks, pneumomediastinum.
Tanda fraktur iga: seperti flail chest.
4. Kriteria diagnosa
diagnosa akibat jejas tumpul dapat lebih dikenali dan terkadang
memerlukan pemeriksaan seperti CT scan toraks. Jejas tajam seringkali
memerlukan tindakan bedah walaupun diagnosa tidak sesulit jejas
tumpul. Pasien dengan jejas tajam dapat memburuk dengan cepat dan
biasanya membaik dengan cepat, berbeda dengan pasien dengan jejas
tumpul.
Riwayat benturan/ tusukan pada dada karena kecelakaan lalulintas,
jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, upaya bunuh diri.
Gejala klinis tergantung organ yang terkena.
5. diagnosa Kerja
Trauma Toraks.
Kemungkinan yang terjadi:
o Ruptur aorta
o Ruptur diafragma
o Robekan saluran napas besar
o Hemotoraks
o Kontusio paru
o Kontusio miokard
o Emboli udara sistemik
o Perforasi esofagus
o Fraktur iga single/multiple
o Fraktur scapula
o Fraktur sternal
o Traumatic flail chest
o Pneumotoraks
o Pneumomediastinum
o Emfisema subkutis
6. diagnosa Banding
Seperti di atas
7. Pemeriksaan Penunjang
Umum : Foto toraks, Serial Hb-Hematokrit untuk mengetahui
perdarahan masih berlanjut/tidak, AGD
Khusus : Bronkoskopi atas indikasi
8. penanganan
MEDIKAMENTOSA
o WSD, bila terjadi pneumotoraks, hematotorak masif.
o Aspirasi cairan perikard bila terjadi efusi perikard (tamponade
jantung).
o Dekompresi lambung, bila terjadi risiko regurgitasi, muntah dan
aspirasi.
o Pengobatan nyeri.
o Ventilasi mekanik bila terjadi, hipoksemia dan atau hiperkarbia
yang berat, terdapat cedera kepala, flail chest, kontusio paru dan
distress respirasi.
o Operasi: ruptur aorta, ruptur diafragma, ruptur saluran napas besar,
perforasi esofagus, flail chest yang tak dapat di atasi dengan cara
konservatif.
NON MEDIKAMENTOSA
oksigenasi adekuat,
transfusi bila HB < 8 g %,
perbaikan sirkulasi.
9. Komplikasi Karena penyakit: retensi sputum, bronkospasme, tension
pneumothorax, gagal napas akut, infeksi, trombo emboli, nutrisi tidak
adekuat, koagulopati.
10. Penyakit Penyerta Penyakit paru
Penyakit jantung
Penyakit sistemik lainnya
11. Prognosis Tergantung kerusakan yang ditimbulkan
Tergantung penyakit penyerta
Tergantung ketersediaan obat maupun fasilitas
12. nasihat Penjelasan tentang kerusakan organ dan prognosis
13. Indikasi Pulang Sesuai kondisi klinis dan penyakit penyerta
KONTUSIoPARU
1. Pengertian
Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru yang dapat
terjadi pada cedera tumpul dada akibat kecelakaan kendaraan atau
tertimpa benda berat.
Kontusio paru didefinisikan sebagai cedera fokal dengan edema,
perdarahan alveolar dan interstisial. Kontusio paru yaitu cedera
yang paling umum yang berpotensi mematikan. Kegagalan pernapasan
dapat berkembang secara lambat.
Kontusio paru terjadi pada sekitar 20% dari pasien trauma tumpul
dengan skor keparahan cedera lebih dari 15, dan yaitu cedera
dada yang paling umum pada anak-anak. Angka kematian dilaporkan
sebesar 10- 25%, dan 40-60% dari pasien akan memerlukan ventilasi
mekanis.
Etiologi
o Kecelakaan lalu lintas
o Trauma tumpul dengan fraktur iga multipel
o Cedera ledakan atau gelombang kejut yang terkait dengan trauma
penetrasi
o Organ yang paling rentan terhadap cedera ledakan adalah organ
yang mengandung gas, seperti paru-paru.
o Flail chest
o Dapat pula terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme
perdarahan dan edema parenkim.
o Luka tembak. Memar akibat penetrasi oleh sebuah proyektil
bergerak cepat biasanya mengelilingi area sepanjang perjalanan
jaringan yang dilalui oleh proyektil.
2. Anamnesis
Ringan: nyeri saja.
Sedang: sesak napas, mukus dan darah dalam percabangan bronkial,
batuk tetapi t