Rabu, 10 Januari 2024

waria 2

kantor polisi, pihak KP3 tidak terlalu merespons 
kedatangan mereka dan membuat kesan agar semua merasa bosan 
dan tidak terlalu lama berada di sana. Tim advokasi tetap bersikukuh  
mengajak Wilma meminta bukti pelaporan masalah  pemukulan atas 
dirinya. Namun, saat meminta ini , pihak kepolisian sering 
mengoper dari satu divisi ke divisi lainnya.  
Bukan hanya itu. Saat pengecekan pelaporan di file komputer, 
petugas pelaporan tidak menemukan adanya catatan file atas nama 
Wilma mengenai masalah  yang dialaminya. Laporan itu hanya tercatat di 
buku besar biasa. Akhirnya, Wilma kembali membuat berita pelaporan 
dan Berita Acara Pemeriksaan baru bersama Linda sebagai saksi 
utama masalah  pemukulan ini . sesudah  melalui debat yang cukup 
melelahkan, Wilma pun bisa mendapatkan surat bukti pelaporan itu. 
Polisi berjanji terus menindaklanjuti masalah  ini. Polisi juga meminta 
Wilma datang kembali pada hari Jumat guna pengecekan masalah  sebab  
pada hari ini pelaku pemukulan akan dijemput petugas. 
Pada Jumat, 13 Juli 2007, Tim Advokasi, Linda, dan Wilma 
kembali mendatangi KP3 untuk mencari tahu kelanjutan dari janji 
polisi. Oleh petugas BAP, mereka diberitahu bahwa polisi memang 
sudah melayangkan surat panggilan pada  choky  pada hari Jumat. 
Namun, hingga pukul 14.30, pelaku belum juga datang. Mereka pun 
akhirnya pulang. Dan polisi masih memberi toleransi kepada choky  
sampai pada panggilan kedua. 
Senin, 16 Juli 2007, choky  menyerahkan diri ke Polsekta II 
Makassar. Dia sengaja datang ke Polsekta ini sebab  ada hubungan 
kekeluargaan dengan salah satu aparat polisi yang bertugas di sana. 
Dia resmi ditahan. Meski begitu, masalah  ini tetap di bawah pengawasan 
KP3.  
Untuk memperkuat keterangan laporan Wilma, dibutuhkan dua 
saksi. Namun, hanya satu yang mau, yaitu Linda. Sebab, Mami yang 
yaitu  istri pelaku, menolak dimintai keterangan. Alasannya, ada 
hubungan saudara dengan pelaku. Akhirnya, Anita lah yang diminta  
sebagai saksi ke-2 bagi pelapor. Sebab, tempat kejadian perkara 
berada di rumah Anita dan ada bukti foto-foto saat terjadinya masalah  
ini . 
Wilma selalu diminta Mami untuk mencabut gugatan. Namun, 
dia terus maju dan bertekad untuk menyelesaikannya secara hukum. 
Kini, masalah  ini tinggal menunggu proses persidangan. (*)  
 . masalah  Kematian Elly (Jakarta) 
Waria Diceburkan ke kali banjir 
 Pelanggaran HAM juga terjadi di Taman Lawang, Jakarta Pusat. 
Pada 17 November 2007, beberapa  waria di daerah ini  dirazia 
Satpol PP tepat pukul 21.30. sebab  mendadak, banyak “gender 
ketiga’’ itu panik dan lari ketakutan menyelamatkan diri. Pemilik 
warung, yang jelas-jelas bukan waria, juga mendapat perlakuan 
serupa. Warung kopi milik Siti ini dibakar habis. Tak tersisa. Tinggal 
abu.  
Bahkan, di antara waria itu ada yang terhanyut di sungai 
Ciliwung yang tidak jauh dari area ini . Waria nahas itu bernama 
Elly Susanna. Tidak diketahui secara pasti apakah dia menceburkan 
diri atau diceburkan. Sebab, para saksi memberi  keterangan 
berbeda. Tapi seandainya dugaan diceburkan itu benar, maka sungguh 
tak beradab perbuatan pihak keamanan ini .   
Dini harinya, pukul 01.17, staf Arus Pelangi, Widodo Budidarmo, 
melakukan pemantauan dan pengorganisasian rutin pada  kaum 
LGBTI ini. Namun di sana dia malah mendapat laporan dari salah 
seorang waria, Monica, bahwa teman mereka tidak muncul ke 
permukaan sungai sebab  menghindar dari razia petugas tramtib.  
Meski sempat menyusuri sungai – dalam suasana gelap – dan 
mengecek ke rumah korban, dia masih tidak diketahui keberadaannya. 
Korban baru ditemukan di kali Cideng, Gambir, Jakarta Pusat, 
oleh warga  setempat yang sedang memancing. sesudah  divisum 
di RSCM, diketahui bahwa korban yang sehari-harinya bekerja sebagai 
perias ini, memiliki luka parah di area kepala. Bagian kening 
mengalami luka memar hingga mengeluarkan darah. Begitu pula 
kepala bagian belakang. Pihak keluarga, melalui tim advokasi dari Arus 
Pelangi, mengangkat masalah  pemicu  kematian Elly ini ke Polsek 
Menteng, Jakarta Pusat. Polsek Menteng sudah memanggil Satpol PP 
untuk di-interview namun pihak Satpol PP belum mengindahkan 
undangan ini . (*) 
 . masalah  Infotainment ’’Silet’’ (Jakarta) 
Homoseksual Itu Seksual Menyimpang  
Menarik untuk disimak saat  infotainment Silet menayangkan 
acaranya bertema Homoseksual di stasiun RCTI. Ini terkait banyaknya 
job bagi artis yang ‘dicap’ sebagai selebriti gay. Selain sebab  memang 
mereka beda, dalam menghibur pemirsa baik di TV, rumah, maupun 
acara-acara off air, mereka selalu menampilkan hal-hal lucu, konyol, 
dan jahil, sehingga banyak warga  yang terhibur.  
Sebut saja Ivan Gunawan, Ruben Onsu, Olga Syahputra, dan 
Aming, yang kini lagi naik daun. Para selebriti ini sering muncul di 
layar kaca. Inilah yang dinilai beberapa kalangan, termasuk MUI 
(Majelis Ulama negara kita ), sebagai cerminan yang merusak moral 
agama dan bangsa. MUI pun mulai gerah dengan tayangan yang 
sebagian besar entertainer negara kita  mulai berani menampakkan sisi  
lain dari mereka. Acara Silet bertajuk khusus kaum LGBTI ini 
ditayangkan pada 24 Januari 2008, pukul 11.30.  
Bahkan, salah satu ketua MUI, KH Amidhan, meminta supaya   
pemerintah mencekal artis-artis yang menganut paham homoseksual. 
(Harian Nonstop, 1 Maret 2008, Artis Homo Dicekal). 
Arus Pelangi pun merespons pernyataan kiai ini. Mereka 
meminta pertemuan langsung dengan Amidhan. Diskusi dilakukan di 
kantor MUI, masjid Istiqal Jakarta. Dihadiri KH. Amidhan sendiri, 
bersama H. Said, serta perwakilan Arus Pelangi oleh Rido Triawan, 
Widodo Budidarmo, dan Ridwansyah. Menurut Amidhan, pernyataan 
ini  tidak benar. Dia mengelak kalau pernah mengeluarkan 
pernyataan seperti itu. Menurut dia, kewenangan mencekal artis 
ataupun media berada di tangan Komisi Penyiaran negara kita  (KPI). 
MUI tidak memiliki  kewenangan meminta pemerintah mencekal 
artis-artis gay itu.  
Mengenai tayangan silet, sebuah tayangan yang diproduksi oleh 
PT Cipta Imaji Design yang dikenal dengan nama Creative Indigo 
Production itu, presenter menyatakan bahwa homoseksual atau gay 
yaitu  suatu bentuk penyimpangan seksual dan jenis penyakit yang 
mustahil dapat disembuhkan, diragukan kejantanannya dan komentar 
dari beberapa  narasumber yang menyatakan bahwa dunia 
homoseksual penuh dengan hura-hura dan perzinaan. Tayangan itu 
telah meresahkan para anggota Arus Pelangi yang berada di wilayah 
Sukabumi, Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Bali, Palembang, 
Banyumas, Makassar dan Medan. Sebab, berbagai pernyataan di Silet 
yang sangat melecehkan hak-hak kaum LGBTI bertentangan dengan 
program kerja yang dilakukan Arus Pelangi untuk menyadarkan hak-
hak sosial, politik, ekonomi dan budaya bagi para anggota LGBTI. 
Padahal, hingga kini belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan  
hukum tetap atau pendapat ahli yang menyatakan bahwa 
homoseksual yaitu  bentuk penyakit dan bentuk keraguan kejantanan 
para gay.  
Secara kaidah jurnalistik – walaupun konten berisi urusan privat, 
dalam perdebatan apakah itu bagian dari jurnalistik atau tidak –
sebenarnya sudah memenuhi. Narasumber yang dihadirkan dalam 
tayangan itu terkait pernyataan Jupiter Fortissimo, artis sinetron, yang 
mengaku tobat sesudah  sekian lama menjadi gay, bisa dikatakan sudah 
cover both sides alias berimbang. Ada komentar dari Ivan Gunawan, 
Ruben Onsu, Olga Saputra, Aming, Thomas Djorghi, dan Krisna Mukti. 
Mereka diwawancarai sebab  ada dugaan bahwa mereka gay atau 
pernah diisukan gay.  
Secara umum, komentar mereka cukup positif. Tapi narasumber 
lainnya Nafa Urbach dan suaminya, cenderung negatif. Namun, dari 
sang narator dan presenter memang tampaknya bias ideologis dengan 
mengarahkan kelompok homoseksual sebagai penyakit sosial atau 
dengan menggarisbawahi pernyataan dari narasumber. Sayang, dari 
pihak PT Cipta Imaji Design kelihatannya tidak ada iktikad baik untuk 
meminta maaf. Buktinya, saat  Arus Pelangi menyurati PT ini  
melalui suratnya yang bernomor 300/ADV/Arus Pelangi/II/08, Dirut 
Cipta Imaji, William Chow justru melimpahkan masalah  ini  ke 
kantor pengacaranya, Law Firm Henry Yosodiningrat and Partner 
dengan alamat Hotel Kartika Chandra, Gedung Perkantoran lantai lima 
di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.  
Melalui kuasa hukumnya ini, production house ini  menilai 
bahwa dalam tayangan Silet itu, tidak ada satu pun pelanggaran 
hukum atau pernyataan yang melecehkan yang dapat dikualifikasikan 
sebagai perbuatan pidana atau melanggar hukum dalam ruang lingkup 
hukum perdata. Dalam tayangan ini , masih menurut Indigo                         
Production, bukanlah bentuk-bentuk pelecehan pada  homoseksual 
dan pembawa acara selalu menyampaikan dalam bentuk pertanyaan, 
bukan pernyataan. Sehingga atas pertanyaan-pertanyaan ini  
pula, diwawancarai beberapa  narasumber, termasuk keterangan dari 
dr. Boyke selaku ahli seksologi. Penonton pun dapat menemukan 
jawaban dari pernyataan-pernyataan para narasumber ini. (*)      
 
. masalah  Pemukulan Waria (Yogyakarta) 
Lagi Ngedance Diseret Paksa 
 masalah  lainnya terjadi pada 1 Maret 2008. Pada hari Sabtu, 
sekitar pukul 02.30, telah terjadi penyeretan keluar paksa pada salah 
seorang waria dari atas panggung sampai keluar ruang diskotek oleh 
beberapa sekuriti yang bekerja di tempat ini . Lokasi kejadiannya 
sendiri berada di Liquid Disco, Yogyakarta.  
Awalnya, seorang waria bernama Gina11, dan bersama ketiga 
rekannya hendak melepas penat di diskotek ini . Tempatnya 
sendiri beralamat di Jalan Magelang KM 5,5. Tema malam itu yakni, 
Lady Nite, Free for Ladies. Tentu saja mereka girang sebab  berpikir 
akan mendapat masuk gratis. Namun saat mereka hendak masuk, 
ditahan penjual tiket yang menjaga pintu. Mereka diwajibkan 
membayar tiket sebab mereka dianggap waria, bukan wanita . 
Tentu saja mereka membayar. “Nggak apa-apa, yang penting bisa 
masuk,” terang Gina saat itu.  
saat  sudah berada di dalam, diskotek memang cukup ramai 
pengunjung. Gina pun mengajak salah seorang temannya untuk 
berjoget di panggung. Di panggung sudah ada beberapa cowok dan 
cewek yang ngedance. Namun, saat menggoyangkan tubuhnya, tiba-
tiba salah seorang petugas sekuriti berbadan besar dan berkulit hitam, 
menyuruh Gina turun sambil menyeret paksa hingga tangannya tidak 
bisa merasakan apa-apa sebab  sakit yang amat sangat. Bahkan dia 
sampai jatuh dan kakinya terasa sakit. Dia juga tidak bisa terlalu 
mengenali wajah petugas itu sebab  keadaan cahayanya cukup gelap 
laiknya diskotek-diskotek malam lain. Lalu datang petugas lainnya 
untuk membantu teman sekuritinya itu. Yang dia tidak mengerti, 
mengapa hanya dia yang disuruh turun, sedang  ada banyak 
sekumpulan cewek dan cowok lain yang sedang ngedance saat itu. 
saat  dia menanyakan hal ini pada sekuriti ini , jawaban yang 
didapat malah disuruh pulang dan mengancam bahwa temannya 
(petugas keamanan lain) akan memanggilkan polisi jika Gina 
membantah. Namun, dia semakin berang sebab  diperlakukan begitu. 
“Kalau saya nggak salah, silakan panggil! Saya kan nggak melakukan 
apa-apa, cuma ngedance aja. Kok diperlakukan seperti itu! Saya tadi 
kan masuk ke sini juga bayar.”  
Tak lama berselang, rekannya yang berinisial S-2 melihat 
kejadian itu. Posisinya sedang duduk di sofa. Melihat temannya diseret 
dua sekuriti tanpa manusiawi, dia mendatangi Gina tanpa mengenakan 
sepatu yang memang sengaja dilepas sebelum kejadian. Saat S-2 
menanyakan ada persoalan apa, kedua petugas sekuriti itu tetap saja 
memperlakukan temannya dengan tidak sopan, tanpa memberi 
penjelasan apa pun. Akhirnya dia memeluk Gina sambil berpegangan 
pada besi dekat pintu luar. Namun, tangannya yang memegang besi 
itu dipukul oleh salah seorang petugas berbadan tinggi besar, hitam, 
dan berpotongan rambut cepak. Ia mengisar usia petugas ini  35-
40 tahun.  
 68 
Saat pertengkaran terjadi dua korban itu dengan dua petugas 
sekuriti dan seorang penjual tiket, S-1 sempat melihatnya sebab  dia 
hendak mengambil jaket untuk keluar. Saat kejadian Gina diseret, dia 
tidak melihat sebab  dalam keadaan sedikit mabuk. Dia juga sempat 
menanyakan pada para petugas apa kesalahan mereka hingga harus 
diusir paksa dan diperlakukan kasar. Saat S-1 dan Gina berargumen 
dengan para petugas, S-2 masuk kembali untuk mengambil sepatunya 
yang tertinggal. Dia sempat mendengar mereka akan memanggil polisi 
dan mengirim para waria ini ke kantor polsek. Begitu emosinya pada 
saat mengambil sepatu, dia naik meja dan mengambil gelas berisi 
minuman. Dia minum isinya, lalu  melemparnya ke depan. S-2 
turun lagi dan melihat seorang cowok sedang minum. Dia mengambil 
gelas cowok ini  dan langsung melemparnya ke atas. Tentu saja 
sekuriti langsung mengatasi  dia. Namun, S-3 juga ada di situ. Dia 
sempat tarik-tarikan dengan petugas ini , berusaha mencoba 
menarik S-2 hingga akhirnya sampai di pintu masuk diskotek. “Ini 
teman saya, Pak. Ngapain mereka? Mereka tidak salah. Saya nggak 
tahu apa yang mereka perbuat tapi mereka nggak salah dan nggak 
melakukan apa-apa,” ujarnya sambil mencoba menenangkan S-2. 
Sebab, dia tidak mau nantinya bermasalah jika S-2 mengeluarkan 
kata-kata kasar. Bisa lebih menyulitkan.  
“Ini peraturan. Peraturan Liquid nggak ada yang boleh di 
panggung,” ujar sekuriti itu. S-3 menanyakan alasannya, sebab yang 
dilihat di panggung bukan hanya 1-2 orang, tetapi banyak. Namun, 
mengapa hanya teman-temannya yang disuruh keluar? sesudah  perang 
mulut cukup lama antara keempat waria dan beberapa petugas 
sekuriti serta penjual tiket di diskotek ini , akhirnya para waria 
keluar juga. S-3 membawa teman-temannya ke parkiran motor. Saat 
di sana, ada yang mendatangi mereka. Seorang pria yang mengatakan 
kalau dia mengenal orang-orang dalam Liquid. Dia pula yang memberi 
 69 
tahu kalau manajer harian di diskotek itu bernama Made dan yang 
punya Liquid yaitu  Koho. sedang  yang bertanggung jawab di 
panggung bernama Bule.  
sesudah  kejadian, Gina melaporkan perlakuan tidak 
menyenangkan yang dilakukan pihak Liquid. Dia meminta pihak LBH 
Yogya dan LSM PLU (People Like Us)-Satu Hati mewakili dirinya dalam 
masalah  ini . Dalam masalah  ini, pihak LBH diwakili Irsyad (direktur 
LBH) dan Naya (Divisi Politik dan Sosial) menyatakan bahwa telah 
ditemukan adanya pelanggaran HAM berupa penganiayaan dan 
kekerasan fisik maupun verbal serta diskriminasi hukum. Ini juga 
terkait tindak pidana yang sesuai KUHP Pasal 351 ayat 4 yakni tentang 
penganiayaan yang sengaja merusak kesehatan. Dengan perkataan 
lain, perbuatan pihak Liquid ini mengakibatkan korban mengalami 
kerusakan fisik seperti memar dan sakit.  
Pada 24 Maret 2008, Arus Pelangi, PLU, dan LBH merevisi 
kembali surat somasi yang dilayangkan ke Liquid sebelum akhirnya 
dikirim keesokan harinya. Selain bukti berupa luka fisik pada korban 
Gina, LBH juga mendapati beberapa orang yang mau bersaksi 
berdasar  hasil investigasi dan wawancara mereka pada 2 Maret 
2008 di lokasi Taman Pintar pukul 00.06 WIB dini hari. (*) 
 
14. masalah -masalah  terbaru 
Pelanggaran HAM pada  LGBTI tidak berhenti di sini tapi terus 
berlanjut; pada bulan Juli 2008 terjadi serangkaian tindak kekerasan 
yang mengakibatkan kematian orang LGBTI: 
1. masalah  Rahma (alias Rahmat) tewas dibunuh. Secara kebetulan 
waria ini sedang main sebagai peserta pelomba dalam program 
”Be a Man” di tvOne. 
 70 
2. masalah  Heri Santoso, seorang gay yang dibunuh oleh Ryan (gay 
juga). sebab  korban ini dimutilasi berita penangkapan dugaan 
pelaku mendapat banyak sorotan media dan publik. Apalagi 
sesudah  diketahui bahwa sebelumnya dia sudah membunuh 
paling tidak empat orang lagi. 
3. masalah  penembakan waria di Jl. Latuharhary (Taman Lawang), 
Jakarta Pusat. Di lokasi ini terjadi serangkaian penembakan 
dengan memakai senapan yang bisa menembak sekaligus 
banyak, sejenis bran. Pelaku mengendarai mobil Kijang dan 
nomor platnya sudah diketahui. Penembakan ini sudah 
dilakukan berkali-kali, namun korban waria rata-rata mengalami 
luka-luka ringan, dan tidak berani melapor kejadiannya sebab  
tidak memiliki KTP dan juga rasa takut pada  polisi.  
 
Sayangnya, tidak waktu lagi untuk memasukkan data-datanya 
ke dalam buku ini. Namun patut dicatat bahwa masalah -masalah  ini telah 
menimbulkan banyak polemik di media massa (TV dan surat kabar) 
yang pada hakekatnya memojokkan kaum LGBTI; stigma orang gay 
yang seakan-akan lebih keji dari orang heteroseksual sangat 
digarisbawahi oleh beberapa wartawan dan pembawa acara.   
Bisa disimpulkan juga bahwa masalah -masalah  yang tertulis di atas 
ini yaitu  puncak gunung es saja; sebagian besar masalah -masalah  
lain tidak pernah sampai ke permukaan. Masih ada puluhan masalah  lain 
yang diketahui Arus Pelangi, namun sebab  datanya sangat minim, 
masalah -masalah  itu tidak dapat dimuat dalam studi ini. 
 71 
BAB IV 
NEGARA TANPA PERLINDUNGAN HAK 
- Sebuah Analisa dan Rekomendasi - 
 
Jika melihat berbagai masalah  yang dialami kaum lesbian, gay, 
biseksual, transeksual/transgender, dan interseksual (LGBTI) di 
berbagai daerah seperti ditulis pada bab sebelumnya, hati ini bagai 
disayat sembilu. Realitas di warga  sangat bertolak belakang 
dengan segala peraturan yang ada. Pembunuhan seorang gay di 
Sukabumi, teror ormas keagamaan pada  LSM yang membela 
kaum LGBTI di Banyumas, pemukulan pada  pasangan lesbian di 
Makassar, penganiayaan pasangan gay di Aceh oleh warga  dan 
petugas kepolisian, penganiayaan kaum gay di Yogya oleh sekelompok 
ormas agama, stigma buruk yang dilakukan media pada  LGBTI, 
perlakuan kasar petugas tramtib pada  para waria di Jakarta, 
perlakuan semena-mena pada  waria di disco di Yogyakarta, atau 
masalah  serupa lainnya yang tidak muncul ke permukaan, bisa dijadikan 
indikator bahwa diskriminasi pada  kelompok minoritas di 
negara kita  masih sangat marak. Pelakunya ada yang dari warga , 
ada yang dari aparat pemerintah. Yang menyatukan mereka yaitu  
kebencian atau perasaan hina pada  LGBTI; pandangan itu ada di 
balik semua contoh diskriminasi dan/atau kekerasan yang ini  di 
atas.  
Berikut akan kita telusuri lebih dalam pola-pola dari gerakan  
stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan, menggali akar 
permasalahannya dan mencari jalan ke luarnya. 
 72 
Negara Tak Konsisten dan Konsekuen 
Dari berbagai macam masalah  itu menunjukkan bahwa Negara 
Republik negara kita  (RI) tidak konsisten atas norma-norma untuk 
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak setiap orang serta 
tidak konsekuen dalam melaksanakan kewajiban sesuai janjinya. 
Bahkan, negara yang seharusnya melindungi rakyat, memajukan 
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai 
amanat pembukaan UUD 1945 alinea 4 justru berbuat sebaliknya. 
Negara melakukan kekerasan pada  warga negaranya sendiri. Baik 
kekerasan oleh aparatur negara maupun melalui seperangkat 
perundang-undangan yang tidak konsisten di dalam memenuhi hak-
hak manusia.  
masalah  pemukulan maupun pelecehan seksual yang dilakukan 
aparat kepolisian pada  pasangan gay di Aceh yaitu  salah 
satu bukti bahwa aparatur negara menjadi bagian dari aktor kekerasan 
itu. Perlakuan tidak menyenangkan yang dialami pasangan gay di 
Aceh tentu bukan masalah  satu-satunya. Masih banyak tragedi serupa 
lainnya yang mungkin belum terekspos.  
Selain dilakukan secara langsung, negara juga melakukan 
kekerasan secara tidak langsung. Bentuknya melalui seperangkat 
peraturan perundangan-undangan. Buktinya, sampai saat ini, masih 
banyak peraturan yang inkonsisten atau bertentangan dengan hukum 
hak-hak manusia dan konstitusi. Yaitu dengan merebaknya berbagai 
peraturan daerah (perda) bernuansa agama yang berwatak 
diskriminatif  dan intoleran. Akibatnya, perilaku aparat negara di 
daerah makin menjadi-jadi sebab  seolah memiliki  legitimasi untuk 
berbuat kekerasan. Perkembangan ini tidak hanya meningkatkan 
perlakuan diskriminatif pada  kelompok minoritas, namun juga 
diikuti berbagai pelanggaran atau pengingkaran hak-hak manusia yang 
 73 
                                   
bertumpang tindih dengan korupsi, inefisiensi birokrasi dan bentuk 
kesewenang-wenangan lainnya. Ini bisa dijumpai di beberapa  daerah 
yang menerapkan perda bernuansa agama.  
Di antaranya terjadi di Kota Palembang. Perda paling 
diskriminatif pada  kelompok LGBTI di kota Palembang yaitu  
Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. Di dalam 
Pasal 8 ayat 1 perda ini  disebutkan bahwa yang dimaksud 
pelacuran yaitu  perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau 
sekelompok orang dengan sadar, bertujuan mencari kepuasan di luar 
ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan baik 
berupa uang maupun bentuk lainnya. Ayat 2 dinyatakan bahwa 
termasuk dalam perbuatan pelacuran yaitu  homoseks, lesbian, 
sodomi, pelecehan seksual, dan perbuatan porno lainnya. Dengan 
perda ini, atas nama agama atau pemberantasan pelacuran, kaum 
homoseks bisa diciduk, dipukuli atau dipenjara dan didenda.  
berdasar  hasil wawancara dengan waria Palembang, penulis 
mendapatkan informasi bahwa peristiwa penangkapan pada  
kelompok ini seringkali dilakukan petugas kepolisian maupun tramtib. 
Pihak pemerintah daerah yang dikonfirmasi mengenai penangkapan itu 
juga membenarkan10. gerakan  itu, katanya, dilakukan untuk 
 
10  Aparat pemerintahan yang sempat diwawancarai oleh penulis yaitu  H. Tolha 
Hasan (Wakil Walikota Palembang). Hasil wawancara lengkapnya yaitu  sebagai 
berikut: 
Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan 
Pelacuran ini dibuat sebab  pelacuran yaitu  perbuatan amoral yang 
melanggar norma susila, agama dan norma hukum dalam tata kehidupan 
berwarga . Jika perbuatan amoral itu tidak diberantas, maka dapat 
menimbulkan keresahan, mengganggu ketertiban serta merusak sendi-sendi 
kehidupan berwarga . Jadi, perda yang terdiri atas delapan bab dan 13 pasal 
 74 
                                                                                                        
ini tujuannya sangat jelas. Yaitu, memberantas pelacuran dan segala macam 
bentuknya serta mewujudkan kehidupan mayarakat yang tertib, teratur, 
bermoral, beretika, dan berakhlak mulia.  
Mengenai homoseks yang dimasukkan ke perbuatan pelacuran itu sudah 
sangat jelas alasannya. sebab  pelacuran yaitu  perbuatan yang dilakukan 
setiap orang atau sekelompok orang yang bertujuan mencari kepuasan syahwat 
di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan baik 
berupa uang maupun bentuk lainnya.  
sebab  itu mengapa kami melakukan penggerebekan atau pencidukan 
pada  waria di tengah malam. Logikanya begini, mana ada orang yang keluar 
malam-malam berada di tempat seperti itu (tempat remang-remang) kalau tidak 
melakukan prostitusi atau pelacuran. Jadi buktinya sudah sangat kuat. Kita 
semua tahu kalau itu tidak benar.  
Lagi pula, waria itu bertentangan dengan agama. Jelas sekali kan hadisnya 
bahwa laki-laki yang menyerupai wanita  dan wanita  yang menyerupai 
laki-laki akan dikutuk Allah. Menyerupai saja tidak boleh kan?  
Apakah itu tidak berdosa sebab  menciduk tanpa bukti yang kuat sama saja 
dengan berburuk sangka dan sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia 
(HAM)? Ya seperti yang saya katakan tadi bahwa semua orang tahu kalau para 
waria yang keluar malam-malam dan berada di tempat prostitusi ya pasti 
melacurkan diri?  
Mengenai pelangaran HAM itu begini. Selama HAM itu positif dan tidak 
bertentangan dengan agama ya akan kita pakai. Tapi kalau bertentangan dengan 
agama, buat apa kita memakai HAM yang begituan. Jangan bersembunyi di balik 
HAM-lah. Kita ini warga  yang beragama.  
Walaupun orang-orang yang mengatasnamakan HAM itu berteriak agar Perda 
No 2 Tahun 2004 itu diubah, kita tetap akan mempertahankannya. Tidak akan 
mengubah apalagi mencabut. Perda ini sudah disesuaikan dengan mayoritas 
warga  Palembang yang agamis. Kita hanya ingin mewujudkan warga  
yang tertib, teratur, bermoral, beretika dan berakhlak mulia. Di era otonomi 
daerah sekarang ini, kepala daerah dapat membuat peraturan daerah yang 
sesuai karakter warga nya.  
 75 
                                                                                                       
memberantas pelacuran di Bumi Sriwijaya ini . ’’Mengenai 
homoseks yang dimasukkan ke perbuatan pelacuran itu sudah sangat 
jelas alasannya. sebab  itu kami melakukan penggerebekan atau 
pencidukan pada  waria di tengah malam. Logikanya begini, mana 
ada orang yang keluar malam-malam berada di tempat seperti itu 
(tempat remang-remang, Red) kalau tidak melakukan prostitusi atau 
pelacuran. Jadi, buktinya sudah sangat kuat. Kita semua tahu kalau itu 
tidak benar,” kata Wakil Walikota Palembang H. Tolha Hassan kepada 
penulis saat  ditemui di kantornya. Dengan adanya perda dan 
beberapa  hukum nasional yang diskriminatif itu, berarti hukum 
tertinggi secara nasional dan internasional (hak-hak manusia) 
dirintangi realisasinya.  
Selama ini kita menganggap bahwa yang termasuk pelanggaran 
HAM itu seperti masalah  Poso, Timor Leste, Trisakti, Semanggi I dan II, 
serta tragedi Tanjung Priok. Perlakuan diskriminatif dan kekerasan 
pada  kelompok LGBTI tidak masuk hitungan. Andaikata masuk dan 
dikategorikan ke dalam pelanggaran hak-hak manusia, perhatian 
 
Apakah nantinya waria mendapatkan hukuman secara syariat Islam misalnya 
dihujani batu atau dilempar dari gedung bertingkat seperti terjadi pada masa 
sahabat? 
Tidak. Mereka hanya mendapatkan hukuman denda. Sesuai Pasal 9 ayat 
1, mereka yang melanggar perda No 2 Tahun 2004 akan diberikan hukuman 
pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya 
Rp 5 juta. 
Mengenai rencana harmonisasi pada  perda-perda diskriminatif yang akan 
dilakukan Departemen Hukum dan HAM, saya sendiri juga heran. Mana perda 
yang diskriminatif itu? Dengan perda ini kita justru ingin melindungi kaum 
wanita . Harmonisasi sangat baik saja. Tapi tiap daerah beda-beda. (*) 
 
 76 
pemerintah soal ini kurang serius. Paradigmanya mungkin begini: 
mengatasi  pelanggaran HAM berat saja yang menjadi prioritas tidak 
kelar-kelar, apalagi perkara sepele seperti itu. Mestinya apa pun 
jenisnya, pelanggaran tetap saja pelanggaran. Boleh saja dibuat skala 
prioritas. Tapi jangan sampai ada politik tebang pilih, apalagi politik 
belah bambu. Yang satu diangkat, sementara kelompok LGBTI terus  
diinjak dan dibiarkan terus dalam kondisi ketertindasan.  
Jika kekerasan yang dilakukan negara pada  kelompok LGBTI 
ini dibiarkan, maka bisa menular ke warga . Ada ungkapan, “Guru 
kencing berdiri, murid kencing berlari.” Kata-kata bijak ini 
mengajarkan, jika guru berbuat buruk, maka murid juga akan 
melakukan hal yang sama atau bahkan lebih buruk lagi. Hal ini juga 
bisa berlaku bagi negara. Jika Negara mengajarkan sesuatu yang baik, 
maka akan baik pula warga nya. Tapi jika negaranya buruk, maka 
buruk pula rakyat yang dipimpinnya. Kalau negara telah berbuat 
kekerasan pada  kelompok marginal atau minoritas seperti kepada 
kelompok LGBTI, maka warga  biasanya juga melakukan hal 
serupa. Berbagai masalah  kekerasan yang dialami kelompok LGBTI telah 
membuktikan. Mereka mendapatkan perlakuan kasar dari anggota 
warga  maupun ormas keagamaan. Mereka memiliki  justifikasi 
dan legitimasi berbuat semacam itu, baik dari peraturan yang 
diskriminatif maupun perilaku aparatur negara pada  kelompok 
marginal ini . sebab  itu, negara harus memberi  keteladanan 
yang baik dalam pemenuhan hak-hak kelompok LGBTI dan melakukan 
konstruksi positif kepada warga .  
Barangkali kurang gigihnya pemerintah untuk mengeluarkan 
kelompok LGBTI dari kubangan diskriminasi sebab  sadar akan 
berhadapan dengan umumnya warga  negara kita  yang masih 
 77 
                                   
menganut paham heteronormativitas11. Seperti diketahui, kaum 
heteroseksual biasanya melakukan stigmatisasi pada  kelompok 
LGBTI berdasar  penafsiran agama konservatif. Hal itulah yang 
lalu  mendorong pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan 
mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif pada  
kelompok LGBTI.  
Disinilah perlunya tekanan warga  sipil yang peduli 
demokrasi dan pluralisme pada  oknum-oknum pemerintah agar 
mereka berani membuat terobosan-terobosan; begitu adanya 
preseden maka sikap dan pandangan pihak-pihak pemerintahan lain 
juga akan berubah.  
 
Hilangnya Nalar Publik Media 
Media yaitu  ’’sarapan pagi’’ hampir setiap orang. Tidak 
ingin ketinggalan informasi sedikitpun, begitu bangun langsung meraih 
koran atau nonton televisi. Begitulah setiap hari. Dari informasi yang 
diperoleh inilah baik secara sadar atau tidak telah menularkan nilai-
nilai yang lalu  mempengaruhi keyakinan, pola pikir, dan tingkah 
laku warga . Ideologi media yang beragam, akan menanamkan 
nilai-nilai berbeda pula di warga . Tetapi secara umum media 
besar di negara kita  memiliki  ideologi yang seragam mengenai 
LGBTI, yaitu menerapkan stigma bahwa itu sebuah perilaku seks 
menyimpang. Di setiap rubrik  khususnya seperti konsultasi atau 
kesehatan, setiap jawaban yang dikemukakan narasumber hampir 
selalu mengatakan bahwa homoseksualitas ataupun biseksualitas 
yaitu  orientasi seksual menyimpang.  
 
11 Paham ini meyakini bahwa satu-satunya orientasi seksual dan perilaku 
sosial maupun seksual, yang dianggap normal yaitu  heteroseksual. 
 78 
Belum lagi sinetron atau film yang ditayangkan di beberapa  
televisi. Seperti dalam sinetron Azab Ilahi 3 berjudul Azab 
Homoseksual yang ditayangkan di TPI pada 13 Juni 2005. Dikisahkan, 
tokoh Ardi, suami dari Ima (berjilbab) yang sudah memiliki  seorang 
anak laki-laki bernama Zahwa ternyata seorang homoseksual. Ardi 
memiliki  pacar laki-laki yang bernama Cepi. Akibat melakukan 
perbuatan yang dikutuk Tuhan itu, keduanya diberikan penyakit 
sangat misterius hingga meninggal dengan menebarkan aroma busuk. 
saat  hendak dimasukkan ke liang lahat, liang lahat itu sudah 
dipenuhi kotoran manusia. Di akhir cerita, seorang ustad kondang 
Arifin Ilham memberi  ceramah. Dia mengutip beberapa ayat suci 
Alquran. Inti ceramahnya yaitu  dilarang mengubah kodrat. Dia juga 
menceritakan kisahnya kaum Nabi Luth yang ditenggelamkan Tuhan 
sebab  homoseksual.  
Ini hanyalah salah satu contoh potret program televisi kita yang 
penuh dengan stigma. Masih banyak lagi sinetron religi lainnya yang 
banyak menghiasi layar televisi negara kita . Terlebih sesudah  sinetron 
religi ternyata dapat meningkatkan rating. Bagaimana dengan media 
yang mulai berani menayangkan masalah seksualitas yang selama ini 
dianggap tabu dan fenomena LGBTI?  
Tak dapat dipungkiri bahwa sejak digulirkannya era reformasi, 
media kita seolah euforia dengan keran kebebasan yang mulai dibuka. 
Masalah-masalah seksualitas yang sebelumnya dianggap tabu kini 
banyak ditayangkan. Namun itu semua masih dalam kerangka 
heteronormativitas.  
Maraknya penayangan homoseksualitas bukan berarti media kita 
secara otomatis dikatakan peduli. Sebab, penayangan kisah 
homoseksualitas itu hanyalah sebatas menunjukkan fenomena  yang 
ada di warga ; sekaligus membenarkan stigma-stigma yang 
 79 
                                   
sudah terbangun di warga . Hanya itu. Begitu pula dengan 
menghadirkan waria atau ’’waria imitasi’’ dalam iklan, video klip, 
maupun dagelan di media tidak lain yaitu  bentuk eksploitasi atau 
sekadar untuk menjadi bahan tertawaan atau lucu-lucuan. Penulis 
tidak melihat itu sebagai pemberian kesempatan yang sama di bidang 
pekerjaan, tapi semata-mata sebab  pertimbangan industri media 
untuk kepentingan oplah dan rating. Media hanya menampilkan 
“keanehan’’ penampilannya dengan orang pada umumnya untuk 
menarik pembaca atau penonton. Tidak jauh berbeda saat  
menampilkan seseorang yang mampu makan paku, silet, berjalan di 
atas api, menarik mobil dengan gigi atau rambut, kebal bacok dan hal-
hal luar biasa lainnya. Tidak ada unsur edukasi kepada warga  
agar mereka mau menerima keberadaan mereka, apalagi 
mencerahkan dan menekan pemerintah agar memperlakukan waria 
secara adil.  
Mengapa media memberitakan atau menayangkan kisah 
semacam itu, bukan kisah lainnya? Untuk menjawab ini, bisa dicari 
dengan melihat kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan 
kepentingan modal di balik sebuah media. Chomski dan Herman 
menawarkan pendekatan yang mereka sebut sebagai model 
propaganda. Pada model ini media dilihat sebagai agen yang 
mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan kepada 
publik. Di dalam model seperti ini memang ada unsur penyaring. 
Namun penyaringan ini merepresentasikan kekuatan ekonomi politik 
yang ada dalam warga .  
Kuasa media inilah yang lalu  memproduksi wacana 
kebenaran. Tafsir pada  wacana kebenaran cenderung menjadi                 
“palu eksekusi” bagi kelompok-kelompok dominan itu untuk 
menyatakan kelompok lainnya bersalah dan ditundukkan agar turut 
memapankan wacana kebenaran itu dengan tendensi untuk menjaga 
kepentingan-kepentingan mereka. Dalam hal ini warga  harus 
kritis pada  kebenaran yang ditunjukkan dalam wacana ini. Michel 
Foucault mengatakan: 
 
“The essential political problem for the intellectual is not 
criticize the ideological contents supposedly linked to science or to 
ensure that his own scientific practice is accompanied by a correct 
ideology, but that of ascertaining the possibility of constituting a 
new politics of truth. The problem is not changing people’s 
consciousness – or what’s in their heads – but the political, 
economic, institutional regime of the production of truth.”13  
(Bagi para intelektual, masalah esensial politik bukanlah 
soal mengkritik isi ideologis yang diduga berhubungan dengan 
ilmu pengetahuan atau meyakinkan bahwa praktik ilmiahnya 
mampu bergabung dengan ideologi yang benar, melainkan 
mencari kepastian akan kemungkinan pendasaran sebuah politik 
kebenaran yang baru. Masalahnya bukan mengubah kesadaran 
warga –atau apa yang ada di dalam kepala mereka–
melainkan kekuasaan  produksi kebenaran yang sifatnya politis, 
ekonomis dan institusional).                          
Ini bukanlah masalah emansipasi kebenaran dari setiap sistem 
kekuasaan (yang akan menjadi sebuah gagasan yang tidak masuk 
akal sebab  kebenaran itu sendiri sudah yaitu  kekuasaan), 
melainkan memisahkan kekuasaan kebenaran dari bentuk-bentuk 
hegemoni, sosial, ekonomi dan budaya yang banyak operasi saat ini. 
Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan politis bukanlah sebuah 
kekeliruan, ilusi, kesadaran yang terasingkan atau ideologi, ia yaitu  
kebenaran itu sendiri. Foucault mengatakan, A science subordinated in 
the main to the imperatives of a morality whose divisions it reiterated 
under the guise of the medical norm.  
Dengan demikian, ilmu telah bersekongkol dengan suatu praktik 
media yang memaksa dan bertubi-tubi menyatakan rasa jijiknya serta 
siap untuk memberi bantuan kepada hukum dan pendapat umum. 
Tidak hanya ilmu, melainkan agama juga sangat berperan di kalangan 
media negara kita , seperti yang kita ketahui dari masalah  Infotainment 
Silet. 
Memang jika hanya berpedoman kepada kaidah cover both 
sides, pemberitaan Silet  dan juga tayangan-tayangan lain bertemakan 
homoseksualitas - yang telah dipaparkan di bagian ini maupun di 
bagian sebelumnya - tidak ada yang menyalahi aturan. Tapi, berita 
yang berimbang saja tidak cukup sebab  selain memiliki  fungsi 
sebagai media informasi dan hiburan, pers juga harus melakukan 
konstruksi positif dengan mendidik warga  dan melakukan kontrol 
sosial, bukan kontrol atas orientasi seksual tertentu (Pasal 3 UU No. 
40/1999). Seyogyanya kemerdekaan pers juga dipahami sebagai 
memberi  kebebasan pada  keyakinan dan orientasi seksual 
orang lain. Di sini terletak satu peran penting kelompok LGBTI 
pada  dunia media, yaitu senantiasa mendidik wartawan agar tidak 
melakukan stigmatisasi pada  LGBTI, saat dia menyampaikan suatu 
berita. 
Namun sebab  tuntutan pasar, media seringkali tidak punya 
pilihan lain. Jika berita yang dibuat itu diminati pasar, maka media 
terus menyampaikan informasi ini , meskipun terkadang 
bertentangan dengan hak-hak manusia. Sebaliknya, jika berita yang 
disajikan tidak disukai pasar, media biasanya juga tidak memberi  
bobot pemberitaan yang lebih. Jadi, di sini berlaku hukum supply and 
demand, sehingga “agama” media yaitu  rating dan oplah. 
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki  fungsi 
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, pers 
nasional juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga 
ekonomi, media harus tunduk kepada pasar dan menyesuaikan 
dengan kepentingan para pemilik modal, untuk keberlangsungan 
bisnis dan dapat menggaji para karyawannya secara layak. Jika 
memakai  teori ini sebagai landasan, maka sebenarnya 
warga  tidak bisa berharap banyak supaya   media berfungsi 
sebagai media pendidikan dan kontrol sosial. Menurut hemat penulis, 
justru warga lah yang harus mendidik dan mengontrol media 
supaya   tidak kebablasan. Caranya yaitu  dengan tidak menonton atau 
membaca media yang bersangkutan jika berita yang disajikan tidak 
mendidik. Dengan tidak menonton atau membacanya, maka 
warga  bisa membangkrutkan media ini  sebab  tidak ada 
perolehan iklannya. Begitulah media, lebih membudak kepada 
kekuasaan “order” daripada tuntutan kebenaran. Sehingga untuk 
menumbuhkan kesadaran media akan fungsi-funsinya di luar fungsi 
ekonomis, pemerintah dan warga  memiliki  peran yang sangat 
penting dengan terus mengawasi dan siap untuk selalu memberi  
  
pembelajaran kepada media-media yang melakukan stigmatisasi dan 
memberi  informasi subjektif dan tidak benar tentang isu-isu 
homoseksualitas. 
 
Menutup Celah Diskriminasi di Era Otonomi  
Kita patut berbangga sebab  pemerintahan negara kita  sudah 
tidak lagi sentralistik. Jika sebelumnya semua diatur Pusat, di era 
otonomi daerah kewenangan didelegasikan kepada kepala daerah. 
Kepala daerah punya wewenang besar mengatur daerahnya demi 
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kepala daerah dituntut terus 
berinovasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan 
memperbaiki pelayanan umum seperti kesehatan dan pendidikan.  
Namun, di balik sisi positif itu, ada sisi negatif yang perlu 
diwaspadai. Dengan otonomi penuh yang diberikan kepada kepala 
daerah, mereka bisa melakukan kreasi apa saja. Jika kepala 
daerahnya memiliki  integritas, kompetensi, visioner, dan seorang 
negarawan, barangkali tidak terlalu menjadi persoalan. Tapi jika 
kepala daerahnya otoriter, tidak punya kemampuan dan integritas, 
serta miskin wawasan kebangsaan, otonomi hanya akan memindahkan 
otoritarianisme baru di daerah. Di antara yang paling mencolok 
sekarang ini yaitu  maraknya pemberlakuan perda bernuansa agama 
yang cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan peraturan 
yang lebih tinggi. Atas nama otonomi daerah, para kepala daerah dan 
DPRD bebas saja membuat peraturan. jika  kepala daerah dan 
DPRD awam mengenai hak-hak manusia (human rights), maka 
peraturan daerah yang dihasilkan biasanya juga melanggar hak-hak 
manusia. Seorang kepala daerah kota Palembang, misalnya. saat  
ditanya apakah Perda No. 2 Tahun 2004 yang memasukkan kelompok 
homoseksual sebagai bagian dari bentuk pelacuran sehingga harus 
 84 
diberikan hukuman pidana kurungan selama-lamanya enam bulan 
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5 juta tidak melanggar HAM, 
dengan enteng kepala daerah itu menjawab. ’’Selama HAM itu positif 
dan tidak bertentangan dengan agama ya kita pakai. Tapi kalau 
bertentangan dengan agama, buat apa kita memakai HAM yang 
begituan. Jangan bersembunyi di balik HAM-lah. Kita ini warga  
yang beragama,” kata Wakil Walikota Palembang Tolha Hasan kepada 
penulis.  
Dari gambaran ini jelas bahwa seorang kepala daerah dan juga 
DPRD tidak paham tentang hak-hak manusia. Mereka masih 
beranggapan bahwa hak-hak manusia bisa berseberangan dengan 
agama. Selain itu, mereka juga tidak bisa membedakan antara 
pelacuran (suatu kegiatan seksual) dan homoseksual (suatu orientasi 
seksual). Padahal, keduanya sangat berbeda. Pelacuran itu perilaku 
seksual yang mencari kepuasan seksual di luar ikatan pernikahan yang 
sah dengan menerima imbalan baik berupa uang maupun bentuk 
lainnya. sedang  homoseksual itu orientasi seksual, sebagaimana 
juga heteroseksual. Jadi, pelacuran itu bisa dilakukan siapa saja, baik 
homoseksual maupun heteroseksual. Dari sini jelas sekali bahwa perda 
ini dibuat tanpa melalui kajian akademis dan melibatkan pihak-pihak 
terkait. Buktinya, definisi ‘pelacuran’ seenaknya bisa dirubah/diperluas 
mencakupi segala hubungan seksual di luar pernikahan, dengan atau 
tanpa imbalan pun.  
Pertanyaannya yaitu  mengapa perda ini bisa lolos? Mestinya, 
pada  persoalan peraturan daerah, Pusat juga tidak bisa lepas 
tangan. Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri harus intensif 
berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Hukum 
dan HAM melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan 
supaya   tidak bertentangan satu dengan peraturan lainnya yang lebih 
 85 
tinggi serta melakukan pengawasan dan pembinaan kepada kepala 
daerah. Sebelum diberlakukan, perda harus mendapat persetujuan 
dari Menteri Dalam Negeri. Jika memang tidak sesuai semangat 
persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhinneka tunggal ika, maka 
perda ini  jangan diloloskan. Jika bertentangan dengan peraturan 
yang lebih tinggi, maka jangan disahkan. Jika peraturan itu tidak bisa 
diterima warga , maka jangan diberlakukan. Jika melanggar hak-
hak manusia, maka tidak boleh dipaksakan. Sebab, setiap kebijakan 
harus dilihat dari empat aspek, yaitu legalitas, sosiologis, politis, dan 
hak-hak manusia.  
Bagaimana jika perda diskriminatif itu telanjur diberlakukan? 
DPRD Kota Palembang dan juga DPRD di daerah-daerah lain yang juga 
memberlakukan perda diskriminatif harus segera memakai  hak 
inisiatif dengan membuat peraturan baru. Alangkah baiknya jika 
peraturan baru pengganti perda pemberantasan pelacuran seperti 
yang diberlakukan di kota Palembang ini digantikan dengan 
pemberantasan kemiskinan melalui pemberdayaan warga . Ini 
jauh lebih memberi  solusi daripada memberantas pelacuran atau 
mengurusi orientasi seksual warganya. Sebab, mereka menjadi 
pelacur biasanya sebab  tuntutan ekonomi.  
Selanjutnya, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan  
dan Direktorat Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM harus 
segera menginventarisasi perda-perda mana saja yang diskriminatif 
dan lalu  diharmonisasikan denga mengambil langkah-langkah 
kongkrit. Yang menjadi persoalannya yaitu  bagaimana jika pusat 
sendiri tidak paham mengenai hak-hak manusia? Atau paham tapi 
sengaja tidak mau tahu?  
Pertanyaan ini penting dikemukakan sebab  ada indikasi pusat 
sengaja meloloskan perda diskriminatif. Tak mungkin perda itu bisa 
 86 
lolos tanpa sepengetahuan atau sepertujuan Menteri Dalam Negeri. 
Sebab, perda pertama kali diajukan oleh dinas teknis berupa draft 
atau rancangan terlebih dulu. lalu  diserahkan ke Pemerintah 
Kota dalam hal ini bagian hukum untuk dipelajari dan disempurnakan. 
sesudah  itu diserahkan ke legislatif dan lalu  legislatif membentuk 
Panitia Khusus (Pansus). Baru mereka bekerja. Hasilnya 
diparipurnakan lalu ditetapkan. Lalu dievaluasi pemerintah provinsi 
dan lalu  diserahkan ke Pusat atau Departemen Dalam Negeri 
(Depdagri). Jadi tidak mungkin Depdagri tidak tahu. Jika memang 
kenyataannya seperti ini, maka benarlah adanya bahwa pemerintah 
tidak konsisten dalam memenuhi hak-hak manusia dan konsekuen 
dengan janjinya. Kalau demikian, lalu siapa yang mengontrol Depdagri 
atau Pusat? 
Jawabannya yaitu  rakyat, lembaga non pemerintah, dan 
media. Rakyat bisa mendesak kepada DPRD, Mahkamah Agung (MA), 
atau Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial review dan 
tidak memilih pemimpin yang tidak memiliki  komitmen 
memperjuangkan hak-hak manusia baik dalam pemilihan 
bupati/walikota, gubernur, maupun presiden. Pers juga bisa 
melakukan media pressure supaya   jangan sampai ada hak-hak 
manusia yang dilanggar dan melakukan konstruksi positif kepada 
warga  mengenai hak-hak manusia. 
 
Menjadikan Agama sebagai Rahmat bagi Semua 
 Ormas keagamaan turut menjadi penyumbang terbesar bagi 
kekerasan pada  LGBTI yang terjadi di negara kita . Kekerasan itu 
bisa terwujud dalam bentuk teror, ancaman, maupun kekerasan fisik. 
Teror pada  LSM yang membela kaum LGBTI di Banyumas, Jawa 
Tengah, penganiayaan kaum gay di Kaliurang, Yogyakarta, maupun 
 87 
intimidasi pada  kaum waria di Jakarta yaitu  beberapa contoh 
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok keagamaan pada  
kelompok LGBTI. Benarkah agama mengutuk kaum LGBTI? 
Di setiap agama diajarkan mengenai kasih, rahmat, cinta damai, 
toleransi maupun perdamaian. Di dalam kitab suci umat Islam, 
Alquran, misalnya, disebutkan bahwa nabi Muhammad diutus Tuhan 
untuk semua manusia dan untuk memberi rahmat kepada semua 
alam. Di dalam Surat Al-Anbiyaa (21): 107 Allah berfirman bahwa 
’’Sesungguhnya Aku tidak mengutus engkau Muhammad, kecuali 
untuk memberi  rahmat bagi seluruh alam. Innaa Arsalnaaka illa 
rahmatan lil ’alamin.  
Di dalam ayat ini, nabi Muhammad diutus bukan hanya untuk 
memberi  rahmat bagi umat, tapi juga seluruh manusia dan seisi 
alam ini. Bukan untuk menumpahkan darah, berbuat kerusakan di 
muka bumi, berbuat anarkis, melakukan kekerasan, atau saling 
mencemooh satu dengan lainnya. Inilah ajaran akhlaqul Islamiyyah 
(moral islami). Bahkan pada  orang kafir, umat Islam diperintahkan 
untuk menghormati dan melindunginya. Keberadaan umat Islam di 
tengah-tengah warga  harus bisa memberi  ketenangan dan 
kedamaian. Bukan sebaliknya, membuat kegaduhan, anarkisme, dan 
menimbulkan keresahan di warga . Apakah Islam juga ramah 
pada  kelompok LGBTI? 
Islam memang menjunjung tinggi seks yang bertujuan 
prokreasi, agar bisa bereproduksi dan umat Islam bertambah banyak. 
’’Kawinilah wanita yang subur rahimnya (waluud) dan pencinta, sebab  
aku (Rasulullah SAW) kelak berbanyak-banyak kepada umat-umat lain 
dengan kalian’’. (HR Abu Dawud, An-Nasa’i dan Abu Dawud). Di dalam 
Alquran juga disebutkan bahwa seorang isteri itu ibarat ladang bagi 
suaminya (an-nisaa’u hartsun lakum) dan seorang suami sebagai 
 88 
petaninya yang harus menggarap tanah tempat bercocok tanam itu 
sehingga menghasilkan tanaman. (QS Al-Baqarah (2): 223). Jadi, 
ladang di sini yaitu  simbol dari prokreasi itu sendiri. Namun, 
bukan berarti mengecam homoseksual. Sebab, homoseksual itu 
’’given’’ dari Tuhan, selain buah dari konstruksi sosial itu sendiri.  
Terkait azab yang ditimpakan kepada umat nabi Luth, menurut 
hemat penulis, azab ini sebenarnya lebih disebabkan kepada 
pengingkaran kaum Nabi Luth yang mendustakan, mencemooh, dan 
mengancam akan mengusir Nabi Luth serta tamu-tamu 
kehormatannya, bukannya sebab  orientasi seksualnya yang dianggap 
menyimpang. Azab juga lebih disebabkan pada kesombongan kaum 
Luth yang menantang Tuhan agar menurunkan azab dan siksaan-Nya. 
Kesimpulan ini berdasar  pada teks suci yang menyebutkan adanya 
ancaman kaum Luth yang mengatakan, ’’Hai Luth, sesungguhnya jika 
kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang 
diusir (lain lam tantahi yaa luuthu latakunanna minal mukhrojin). (QS 
Asy-Syura (26): 167). Kaum Luth juga mengatakan bahwa Nabi Luth 
sebagai orang yang munafik dan sok suci (innahum unaasun 
yatathohharun). (QS Al-A’raaf (7): 82). Selain menghina nabi, kaum 
Luth juga memperlakukan tamu-tamu Nabi Luth dengan tidak baik dan 
membuatnya malu sampai-sampai Nabi Luth mengatakan, 
“Sesungguhnya mereka yaitu  tamuku, maka janganlah kamu 
memberi malu” (inna haula’i dhoifii falaa tafdhohuun). Parahnya lagi, 
kaum Luth yang sombong itu menantang Tuhan agar Dia menimpakan 
siksa dan azab pada  mereka. Jadi, semua azab yang ditimpakan 
kepada umat-umat sebelum dan sesudah Nabi Luth tidak terlepas dari 
penolakan dan cemoohan mereka pada  utusan-Nya. Banjir Nabi 
Nuh, Fira’un yang ditenggelamkan, kaum Saba yang ditimpakan 
banjir, kaum Aad yang ditimpakan badai dan sebagainya semuanya  
bermuara dari penolakan dan pengusiran pada  para utusan-Nya 
itu.  
Tidak semua umat Islam memiliki  pemahaman seperti 
penulis. Namun jika ada yang berpandangan lain mengenai status 
hukum kelompok LGBTI, hendaknya jangan sampai memaksakan 
kehendak dengan menyuruh mereka kembali “ke jalan yang benar’’. 
Sebab, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada yang 
mengolok-olok. Tuhan sendiri tidak pernah membedakan jenis kelamin 
atau orientasi seksual seseorang. Tuhan hanya melihat seseorang dari 
sejauh mana hamba-Nya bertakwa kepada-Nya. Tuhan berfirman di 
dalam QS Al-Hujurat (49): 13 yang berbunyi Inna akromakum 
indallahi atqokum. (Sesungguhnya orang yang mulia di sisi Tuhan 
yaitu  orang yang paling bertakwa). Bukan sebab  heteroseksualitas 
atau homoseksualitas.  
Tuhan sendiri juga sangat demokratis. memberi  kebebasan 
kepada hamba-Nya untuk memilih beriman atau kafir. ’’Fa man syaa’a 
fal yukmin fa man syaa’a fal yakfur’’ (QS Al-Kahfi (18): 29). Jika 
Tuhan saja tidak memaksakan kehendak dan memberi  kebebasan 
kepada hamba-Nya, mengapa anggota ormas keagamaan ini dan itu 
melebihi Tuhan? Berbagai macam orientasi seksual itu yaitu  
bagian dari kehendak (irodat) Tuhan. Perbedaan itu sebuah 
keniscayaan. Seandainya Tuhan menghendaki, bisa saja Tuhan 
menjadikan seluruh penduduk bumi ini hanya memiliki  satu 
orientasi seksual, yaitu heteroseksual. Tuhan Maha Kuasa. Maha 
Perkasa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Di dalam Surat 
Yasin (36): 82 dinyatakan bahwa, “Wa idza araada syai’an an yaqula 
lahu kun fayakun”. Dan jika  Tuhan menghendaki sesuatu, Tuhan 
tinggal bilang jadilah, maka jadilah. Namun rupanya Tuhan memilih 
menjadikan penduduk bumi ini beraneka ragam.  
Jadi, tidak ada alasan bagi ormas keagamaan melakukan teror, 
intimidasi, berbuat kerusakan, apalagi melakukan kekerasan fisik 
pada  mereka yang berbeda keyakinan. Apa yang salah jika ada 
sekelompok orang mendirikan organisasi yang membela hak-hak 
LGBTI seperti perwakilan Arus Pelangi di Banyumas? Apa landasan 
melarang kaum LGBTI mengadakan kegiatan Perkemahan Sabtu-
Minggu (Persami) LGBTI pada 16-17 September 2006 di Bumi 
Perkemahan Kendalisada, Purwokerto, Jawa Tengah? Apa yang janggal 
jika kegiatan itu sudah mendapatkan izin dari aparat keamanan? 
Mereka tidak melakukan tindak pidana apapun. Mereka juga tidak 
mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mengapa harus ada ancaman 
dari ormas keagamaan di Purwokerto, Jawa Tengah, yang berbunyi 
kalau mereka nekat melakukan kegiatan ini , maka akan 
dibubarkan secara paksa? Apalagi jika kita mengingat kembali 
peristiwa penyerbuan acara Renungan HIV/AIDS di Kaliurang (2000) 
dan usaha  penyerbuan Kontes Waria di Jakarta (2005). Selain 
serangan secara fisik masih banyak juga ucapan-ucapan di ruang 
publik oleh kelompok-kelompok agama, yang memojokkan orang-
orang yang dianggap LGBTI; masalah  Infotainment “Silet” hanya salah 
satu masalah  saja di antara sekian banyak masalah -masalah  yang bersifat 
stigmatisasi kelompok LGBTI. 
Oleh sebab  itu, mereka baru bisa dilarang jika kegiatan yang 
dilakukan membahayakan orang lain atau mengajak berbuat 
kejahatan. Di sinilah dibutuhkan kedewasaan dalam beragama. Tokoh-
tokoh agama seharusnya mengajarkan pemahaman agama yang 
inklusif serta mengembangkan budaya yang toleran dan cinta 
perdamaian. Bukan sebaliknya, makin menambah keruh suasana. 
                                   
Mengakui LGBTI sebagai Kelompok Sosial 
Kelompok LGBTI selama ini masih belum mendapat pengakuan 
sebagai sebuah kelompok social di tingkat internasional. Padahal 
jika  mengacu kepada definisi kelompok sosial yang diberikan oleh 
Robert Bierstedt15, kelompok LGBTI seharusnya telah diakui sebagai 
kelompok sosial. sebab  selama ini kelompok warga  dengan 
orientasi seksual berbeda ini telah berbaur, berinteraksi, dan 
membentuk kelompok ataupun komunitas atas dasar kesadaran dan 
pilihan mereka sendiri. lalu  kelompok LGBTI juga telah lama 
membangun hubungan positif dengan anggota kelompok warga  
lainnya.  
Menurut Robert Bierstedt, kelompok warga  dapat terbentuk 
sebab  ada beberapa individu yang mengikatkan diri satu sama lain 
atas dasar pilihannya sendiri ataupun secara kebetulan. Pembentukan 
kelompok itu dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kesamaan dan 
kedekatan.  
Kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasar  ada 
tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran 
jenis. Bierstedt lalu  membagi kelompok menjadi empat macam: 
1. Kelompok statistik, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak 
memiliki hubungan sosial dan kesadaran jenis di antaranya. 
Contoh: Kelompok penduduk usia 10-15 tahun di sebuah 
kecamatan.  

2. Kelompok kewarga an, yaitu kelompok yang memiliki 
persamaan tetapi tidak memiliki  organisasi dan hubungan 
sosial di antara anggotanya. Contoh: kelompok petani. 
3. Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki 
kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lainnya, 
tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi. Contoh: Kelompok 
suku Badui. 
4. Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki  
kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi 
maupun kepentingan bersama. Dalam asosiasi, para 
anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan 
komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi formal. Contoh: 
kelompok bissu, kelompok agama, sekolah dll.  
Mengenai perilaku kelompok, sebagaimana semua perilaku 
sosial, sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku dalam 
kelompok itu. Sebagaimana dalam dunia sosial pada umumnya, 
kegiatan dalam kelompok tidak muncul secara acak. Setiap kelompok 
memiliki suatu pandangan tentang perilaku mana yang dianggap 
pantas untuk dijalankan para anggotanya. Norma atau hukum inilah 
yang mengarahkan interaksi kelompok. 
Norma atau hukum muncul melalui proses interaksi yang 
perlahan-lahan di antara anggota kelompok. Pada saat seseorang 
berperilaku tertentu pihak lain menilai kepantasan atau ketidak-
pantasan perilaku ini , atau menyarankan perilaku alternatif 
(langsung atau tidak langsung). Norma terbentuk dari proses 
akumulatif interaksi kelompok. Jadi, saat  seseorang masuk ke dalam 
  
                                  
sebuah kelompok, perlahan-lahan akan terbentuk norma atau hukum, 
yaitu norma atau hukum kelompok.
Keaneka-ragaman budaya dan kearifan lokal kekayaan bagi 
bangsa negara kita . Oleh sebab  itu sangat menyedihkan jika melihat 
budaya bissu yang unik itu nyaris dimusnahkan oleh kelompok-
kelompok Islam garis keras. usaha  pemberantasan para bissu, secara 
fisik maupun psiko-sosial, itu berlangsung pada tahun ’60 - ‘70an; 
pada jaman itu wacana tentang HAM memang belum muncul. Dengan 
berkembangnya otonomi daerah belakangan ini, diharapkan kesadaran 
pemda atas pentingnya budaya dan kearifan lokal bisa melestarikan 
budaya-budaya lokal secara umum, dan budaya bissu secara khusus. 
Begitu pula budaya-budaya yang sedang muncul sebagai 
dampak globalisasi, termasuk kelompok-kelompok LGBTI yang tumbuh 
lebih subur di tempat-tempat urban. Kebutuhan mereka untuk 
berkelompok dan akhirnya menjadi kelompok yang nyata di depan 
mata warga  yaitu  cerminan dari perubahan jaman yang sedang 
berlangsung.  
Pemerintah yang hanya mengulur-ulur waktu dalam pengakuan 
kelompok LGBTI, seperti halnya dengan Arus Pelangi Banyumas, 
sangat merugikan; seolah-olah membenarkan stigma LGBTI sebagai 
potensial ‘pengacau warga ’. Padahal sesuai ketentuan Pasal 10 
ayat (3) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan 
Pendapat di Muka Umum, kegiatan Persami maupun berdirinya LSM 
Arus Pelangi ini sudah sah secara hukum sebab  dilakukan atas dasar 
tujuan yang damai. Dan secara hukum pula, bentuk ancaman yang 
dilakukan KAMMI dan ormas-ormas Islam di Purwokerto lainnya 
yaitu  pelanggaran pada  hak atas kebebasan berkumpul 
yang telah diatur di dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, pasal 24 
ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta pasal 21 kovenan 
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi 
negara kita  melalui UU No 12 Tahun 2005. 
berdasar  hal di atas, kelompok LGBTI, yang sendirinya juga 
beraneka-ragam, dan juga kelompok pembela hak-hak manusia harus 
terus mendorong pemerintah RI pada khususnya serta Negara-negara 
di dunia pada umumnya untuk mengakui kelompok LGBTI sebagai 
kelompok sosial. saat  kelompok LGBTI dapat diakui sebagai 
kelompok sosial di tingkat nasional maupun di tingkat internasional, 
usaha -usaha  untuk mendorong pemakaian istilah LGBTI sebagai suatu 
terminologi hukum yang baku serta usaha  mendorong pembentukan 
aturan-aturan hukum khusus yang dapat melindungi hak-hak 
kelompok LGBTI, baik di tingkat internasional maupun di tingkat 
nasional akan semakin terbuka. 
 
 
Memaksimalkan Fungsi Institusi Negara/ 
Pemerintahan 
Sekilas memang Negara ini terlihat telah melakukan usaha  
perlindungan hak-hak warga negaranya. Hal itu dapat terlihat dari 
sederetan kovenan internasional tentang hak-hak manusia yang telah 
diratifikasi sejak beberapa tahun belakangan ini. Kita ambil contoh 
International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights 
(ICESCR) yang telah diratifikasi negara kita  melalui UU No. 11 Tahun 
2005. lalu  International Covenant on Civil and Politic Rights 
(ICCPR) yang juga telah diratifikasi negara kita  melalui UU No. 12 Tahun 
2005. Di mata Internasional negara kita  telah dianggap memiliki   
political will yang baik untuk memajukan hak-hak manusia dengan 
meratifikasi kedua kovenan penting ini . 
Di tingkat nasional warga  awam juga akan melihat bahwa 
pemerintah telah melakukan pemajuan hak-hak manusia bagi warga 
negaranya. Pemikiran itu tentunya juga didasari atas beberapa 
peraturan perundang-undangan tentang hak-hak manusia yang telah 
diberlakukan di negara kita . Kita sebut saja UU No. 39 Tahun 1999 
tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang 
Pengadilan HAM. Tidak ketinggalan pula beberapa lembaga hak-hak 
manusia yang telah dibentuk oleh Negara ini. Sebut saja beberapa 
lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),  
Pengadilan HAM (baik yang bersifat permanen ataupun ad hoc) dan 
Komisi Ombudsman Nasional. Keberadaan lembaga-lembaga itu 
tentunya akan membuat warga  awam bertambah yakin bahwa 
Negara telah menjunjung tinggi hak-hak manusia dan memberi 
pelayanan yang bagus kepada warga . 
Namun di luar pemahaman warga  yang disebabkan 
kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang hak-hak 
manusia yang dilakukan oleh pemerintah, ada beberapa fakta yang 
sangat mengejutkan, yaitu Komnas HAM hanya memiliki  
kewenangan yang sangat terbatas dan Pengadilan HAM yang mandul. 
Sebenarnya dengan kewenangan dan kinerja kedua institusi itu 
sampai dengan saat ini hanya menambah beban pembiayaan Negara 
saja setiap tahunnya. sebab  tidak ada hal signifikan yang dilakukan 
oleh keduanya terkait dengan penyelesaian masalah -masalah  pelanggaran 
hak-hak manusia yang dapat memberi  rasa keadilan bagi korban. 
Sekarang penulis akan memaparkan apa saja kewenangan 
Komnas HAM itu. Sebenarnya tujuan pembentukan Komnas HAM  
sendiri sangatlah mulia. berdasar  pasal 75 UU No. 39 Tahun 1999 
tentang HAM, ada dua tujuan dibentuknya Komnas HAM, yaitu: 
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak 
asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar 
1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi 
Universal Hak Asasi Manusia; dan 
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia 
guna berkembangnya pribadi manusia negara kita  seutuhnya dan 
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan. 
 
Sayangnya tujuan semulia itu tidak ditopang oleh kewenangan 
Komnas HAM yang telah diberikan Negara dalam hal penanganan 
masalah -masalah  pelanggaran hak-hak manusia di negara kita . Tidak jauh 
berbeda dengan hukum acara pidana yang berlaku di negara kita , 
hukum acara yang diberlakukan untuk masalah  pelanggaran hak-hak 
manusia secara garis besar juga terbagi menjadi tiga bagian utama, 
yaitu: 
1. Penyelidikan 
2. Penyidikan 
3. Pemeriksaan di pengadilan 
berdasar  pasal 18 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan 
HAM, Komnas HAM hanya memiliki  kewenangan untuk melakukan 
penyelidikan pada  pelanggaran hak asasi manusia yang berat 
(gross human rights violation). sedang  sesuai dengan ketentuan 
pasal 21 UU 26/2000, kewenangan penyidikan diserahkan kepada 
Jaksa Agung RI yang yaitu  salah satu agen pemerintah.  
Definisi pelanggaran hak-hak manusia yang diatur di dalam 
pasal 1 Angka 6 UU No. 39/1999 yaitu  setiap perbuatan seseorang  
atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun 
tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum 
mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi 
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang 
ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan 
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasar  
mekanisme hukum yang berlaku. lalu  menurut pasal 7, 8, dan 9 
UU No. 26/2000 dijelaskan bahwa pelanggaran hak-hak manusia yang 
berat meliputi: 
1. Kejahatan genosida; 
Kejahatan genosida yaitu  setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud 
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok 
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: 
a. Membunuh anggota kelompok; 
b. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat pada  anggota-
anggota kelompok; 
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan 
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; 
d. Memaksakan gerakan -gerakan  yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam 
kelompok; atau 
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok 
lain. 
2. Kejahatan pada  kemanusiaan; 
Kejahatan pada  kemanusiaan yaitu  salah satu perbuatan yang dilakukan 
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya 
bahwa serangan ini  ditujukan secara langsung pada  penduduk sipil, 
berupa: 
a. Pembunuhan; 
b. Pemusnahan; 
c. Perbudakan; 
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; 
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara 
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum 
internasional; 
f. Penyiksaan; 
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan 
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk 
kekerasan seksual lain yang setara;  
h. Penganiayaan pada  suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang 
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, 
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal 
yang dilarang menurut hukum internasional; 
i. Penghilangan orang secara paksa; atau 
j. Kejahatan Apartheid. 
 
Maastricht Guidelines yang mengelaborasikan prinsip-prinsip 
untuk mengarahkan implementasi ICESCR, telah membantu 
mengentalkan lebih lanjut konsep pelanggaran hak-hak manusia bagi 
baik pelaku negara maupun pelaku non-negara, meski tetap dengan 
penekanan pada peran negara. Arahan Maastricht ini menyediakan 
dasar utama bagi identifikasi pelanggaran hak-hak manusia. Arahan 
ini menyatakan juga bahwa pelanggaran terjadi lewat acts of 
commission (gerakan  untuk melakukan) oleh pihak negara atau pihak 
lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara, atau lewat acts of 
ommission (gerakan  untuk tidak melakukan gerakan  apapun) oleh 
negara. Pelanggaran hak-hak manusia oleh pihak negara, baik berupa 
acts of commission maupun acts of ommission, dapat dilihat dalam hal 
kegagalannya untuk memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda, 
yaitu: 
1. Kewajiban untuk menghormati 
Kewajiban untuk menghormati hak-hak manusia menuntut 
negara, dan semua organ dan agen (aparat)-nya, untuk tidak 
bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok 
atau pelanggaran pada kebebasan mereka.  
2. Kewajiban untuk melindungi 
Kewajiban untuk melindungi hak-hak manusia menuntut negara 
dan agen (aparat)-nya melakukan gerakan  yang memadai guna 
melindungi warga negaranya dari pelanggaran hak-hak individu atau 
kelompok, termasuk pencegahan atau pelanggaran atas penikmat 
kebebasan mereka.  
3. Kewajiban untuk memenuhi 
Kewajiban untuk memenuhi hak-hak manusia menuntut negara 
meberikan pelayanan yang memadai untuk menjamin setiap orang di 
dalam ruang lingkup yurisdiksinya untuk memberi  kepuasan 
kepada mereka yang memerlukan pelayanan yang telah dikenal di 
dalam instrumen hak-hak manusia dan tidak dapat dipenuhi oleh 
usaha  pribadi.  
 
Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa negara memiliki  
potensi yang besar untuk menjadi subjek pelanggaran hak-hak 
manusia. Walaupun kelompok ataupun individu non-negara juga 
memiliki  potensi untuk melakukan pelanggaran hak-hak manusia. 
Sehingga penunjukan Jaksa Agung sebagai pihak yang diberi 
kewenangan untuk melakukan penyidikan pada  masalah -masalah  
pelanggaran HAM tidak akan efektif saat  terjadi masalah  pelanggaran 
hak-hak manusia yang melibatkan aparat pemerintahan sendiri 
sebagai dugaan pelaku pelanggaran HAM. Dalam penanganan 
beberapa masalah  pelanggaran hak-hak manusia terbukti bahwa Jaksa 
Agung berusaha  menggagalkan penanganan masalah -masalah  itu dengan 
mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM dengan 
alasan hasil pemeriksaan Komnas HAM kurang lengkap. Padahal 
sebagai aparat penyidik dan jika  Jaksa Agung memiliki  itikad 
baik untuk mengatasi  masalah -masalah  seperti itu, Jaksa Agung dapat 
membantu melengkapi berkas penyelidikan dari Komnas HAM. Hal itu 
didasarkan atas ketentuan pasal 21 ayat (2) UU No. 26/2000 yang  
menjelaskan bahwa di dalam melakukan penyidikan, Jaksa Agung juga 
memiliki  kewenangan untuk menerima laporan atau pengaduan, 
bahkan mengambil inisiatif sendiri melakukan penyidikan.   
Dari penjelasan pasal 7, 8, dan 9 UU 26/2000 di atas jelas 
terlihat bahwa pembentukan pengadilan HAM di negara kita , baik yang 
bersifat permanen atupun ad hoc, hanya diperuntukkan bagi 
pemeriksaan masalah -masalah  pelanggaran hak-hak manusia yang berat. 
Itupun hanya terbatas pada pelanggaran hak-hak sipil dan politik. 
sedang  masalah -masalah  pelanggaran hak-hak manusia lainnya, 
terutama yang terkait dengan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, 
dan budaya, tidak mendapatkan tempat di dalam UU 26/2000. Padahal 
negara kita  telah menyatakan komitmennya untuk memajukan hak-hak 
manusia bagi warga negaranya dengan meratifikasi ICCPR dan 
ICESCR. Belum lagi beberapa kovenan/konvensi internasional lainnya 
yang juga telah diratifikasi oleh negara kita , seperti Convention Against 
Torture (CAT) dan The Convention on the Elimination of All Forms of 
Discrimination against Women (CEDAW). 
Di dalam tataran implementasinya UU 26/2000 ini juga tidak 
efektif. Hal ini tercermin dari sedikitnya masalah  pelanggaran hak-hak 
manusia yang disidangkan di Pengadilan HAM, baik yang bersifat 
permanent ataupun ad hoc. Yang lebih aneh lagi, tidak ada satupun 
aparat pemerintah yang dapat dijerat dan dihukum oleh UU ini. 
jika  kita membaca uraian beberapa masalah  kekerasan yang 
diungkapkan dalam bagian sebelumnya, jelas terlihat bahwa ada 
keterlibatan negara dalam beberapa masalah  itu, baik berupa acts of 
commission (gerakan  untuk melakukan) maupun acts of ommission 
(gerakan  untuk tidak melakukan gerakan  apapun). Contoh-contoh 
acts of ommission yang dilakukan aparat pemerintah terlihat dalam 
masalah  masalah  pembunuhan tiga waria di Jakarta Barat dan kematian  
Elly Susana di Jakarta Pusat. Dari pemaparan masalah  itu dengan mudah 
kita dapat menyatakan bahwa kematian tiga waria ada kaitannya 
dengan aparat penegak hukum yang menangkap mereka terlebih 
dahulu sebelum mereka tertembak mati. Begitu pula kematian Elly 
tidak akan terjadi jika  Satpol PP tidak melakukan razia secara 
brutal pada  komunitas waria di Taman Lawang, Menteng, Jakarta 
Pusat pada saat itu. Sewajarnya suatu razia yang dilakukan oleh 
aparat keamanan pada  warga  dilakukan dengan cara yang 
manusiawi dan bersifat persuasif. Namun dari fakta di lapangan 
ataupun hasil dokumentasi berbagai media massa, razia yang 
dilakukan oleh Satpol PP selalu terlihat biadab. Mereka melakukan 
pengejaran pada  kelompok warga  yang menjadi target razia 
mereka, melakukan penyiksaan, dan juga perusakan barang-barang 
milik warga . Begitu juga dengan razia yang dilakukan oleh Satpol 
PP pada  komunitas waria di Taman Lawang pada saat itu. Mereka 
mengejar waria seakan-akan waria itu bukan manusia, melakukan 
berbagai bentuk tindak kekerasan pada  waria, membakar gubuk 
dan warung milik warga  di sekitar taman itu, dan akhirnya 
mengakibatkan Elly meninggal di sungai Ciliwung yang arusnya deras 
sekali sebab  saat itu musim hujan. Contoh lainnya yaitu  masalah  
penyiksaan Toyo yang dilakukan oleh kepolisian NAD. Di dalam masalah  
itu sebenarnya aparat kepolisian NAD – secara individual - yang 
melakukan penyiksaan pada  Hartoyo beserta pasangannya, tidak 
hanya melakukan tindak pidana. Mereka juga dapat dikatakan telah 
melakukan pelanggaran hak-hak manusia. sebab  pada saat peristiwa 
itu berlangsung, aparat kepolisian itu sedang dalam keadaan bertugas, 
mereka memakai atribut kepolisian, dan penyiksaan itu dilakukan di 
kantor kepolisian.  
Dalam masalah  pembunuhan tiga waria di Jakarta Barat aparat 
kepolisian yang mengeluarkan pernyataan bahwa mereka yaitu   
kriminal yang tertembak saat melarikan diri; berarti ada pengakuan 
bahwa aparat yang menembak mereka. Seharusnya ada penyidikan 
lebih lanjut. Sayangnya saat itu tidak ada satu lembaga pun yang 
mendorong masalah  ini diselidiki lebih dalam sehingga masalah  ini 
terbenam sampai sekarang. 
Betapa bedanya sikap aparat penegak hukum pada saat dihadapi 
dengan masalah  mutilasi antara sesama gay, seperti masalah  Ryan, yang 
meletus pada bulan Juli 2008. sebab  tersangka mengaku dirinya gay 
dan membunuh beberapa orang gay yang yaitu  teman intimnya, 
maka segala tenaga dan keahlian dikerahkan untuk menuntaskan 
masalah  ini. Dan kepolisian terlihat sangat bangga mendapat sorotan 
penuh dari media massa yang tidak habisnya menyoroti kaitan antara 
homoseksualitas dan kekejaman. 
Untuk contoh acts of omission yang dilakukan oleh aparat 
pemerintah, dalam hal ini kepolisian, terlihat dalam masalah  
penyerangan acara Kerlap-Kerlip Warna Kedaton di Yogyakarta. 
Seharusnya aparat kepolisian tidak hanya dapat melakukan 
penangkapan pada  anggota ormas agama yang melakukan 
penyerangan pada saat itu. Aparat kepolisian seharusnya dapat 
melengkapi dan melimpahkan berkas perkaranya kepada kejaksaan 
negeri setempat, mengingat banyak sekali saksi mata yang melihat 
kejadian ini . Sayangnya aparat kepolisian tidak melakukan hal 
itu dan membiarkan anggota GPK yang melakukan penyerangan 
terbebas dari jeratan hukum yang setimpal atas perbuatan yang telah 
mereka lakukan pada saat itu. Tentunya selain telah melakukan 
pelanggaran hak-hak manusia – sebab  telah melakukan pembiaran 
pada  ormas agama itu – aparat kepolisian juga telah menciptakan 
presedent buruk bagi penegakan hukum dan hak-hak manusia di 
negara kita , yaitu melegitimasi gerakan  kekerasan yang dilakukan oleh  
sekelompok warga  yang mengatasnamakan agama. Contoh lain 
yaitu  usaha  pembubaran Kontes Waria di Jakarta, Juni 2005. Disini 
terlihat aparat keamanan sedikit lebih pro-aktif dengan mencegah niat 
FPI yaitu melakukan tindak kekerasan demi membubarkan Kontes 
Waria ini . Mungkin saja aparat kepolisian lebih sadar atas 
kerugian yang bisa dialami Negara jika kerusuhan dibiarkan, sebab  
tempat itu yaitu  tempat yang sangat ramai di jantung kota. 
Dari pemaparan di atas terlihat jelas bahwa Negara belum 
mampu melindungi hak-hak kelompok LGBTI. Terutama hak atas rasa 
aman dan perlakuan hukum yang adil. Namun tidak berarti usaha  
mencari keadilan bagi kelompok LGBTI harus dihentikan. usaha  
menuntut keadilan harus tetap dilakukan. Caranya yaitu  dengan 
mencari celah hukum dan menjadikan instrumen hukum itu sebagai 
dasar hukum bagi advokasi hak-hak kelompok LGBTI. 
Khusus untuk advokasi masalah  kekerasan pada  kelompok 
LGBTI seperti sudah dicontohkan dalam bagian sebelumnya – melalui 
pemaparan masalah  – Arus Pelangi sebagai ornop yang mendedikasikan 
dirinya untuk kerja-kerja advokasi hak-hak kelompok LGBTI, telah 
melakukan beberapa hal terkait dengan penggunaan celah hukum 
sebagai dasar advokasi legal untuk beberapa masalah  kekerasan 
pada  LGBTI. Salah satu contohnya yaitu  masalah  pembunuhan 
waria (Vera) yang terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah. Di dalam masalah  
itu terlihat jelas pihak kepolisian pada awalnya melakukan diskriminasi 
dengan tidak memprioritaskan penanganan hukum masalah  itu. Bahkan 
pihak kepolisian membandingkan masalah  penghilangan nyawa itu 
dengan masalah  pencurian kendaraan bermotor. berdasar  hal itu, 
Arus Pelangi telah melayangkan beberapa surat pengaduan kepada 
Kapolri, Ketua Komnas HAM, dan Ketua DPR-RI. Ternyata efektif juga. 
Beberapa waktu lalu  – didasarkan atas MOU Penanganan masalah   
pelanggaran hak-hak manusia antara Komnas HAM dengan POLRI – 
salah seorang komisioner Komnas HAM dari sub. Perlindungan 
Kelompok Khusus (PKK) melayangkan surat tekanan kepada Kapolri, 
Kapolda Jawa Tengah, dan Ketua DPR-RI. sesudah  menerima surat dari 
Komnas HAM itu, Kapolda Jawa Tengah langsung memerintahkan 
jajaran kepolisian resort Banyumas dan sektor Purwokerto Selatan 
untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan atas masalah  itu. 
Namun Polsek Purwokerto Selatan masih sangat tergantung pada 
masukan informasi dan dana dari Arus Pelangi dalam menjalankan 
tugasnya. sesudah  beberapa saksi diperiksa, akhirnya polisi dapat 
mengidentifikasi tersangka. sesudah  beberapa bulan pasang surut 
proses hukum masalah  Vera, akhirnya pada 2007 polisi berhasil 
menangkap tersangka pembunuhan, melimpahkan berkas perkaranya 
kepada pihak kejaksaan negeri Purwokerto, dan Pengadilan Negeri 
menyidangkan dan memutuskan perkara ini. Hasilnya Gogi – pelaku 
pembunuhan Vera – dinyatakan bersalah dan dihukum 6 tahun 
penjara. 
Proses hukum masalah  pembunuhan Vera itu juga telah menjadi 
precedent yang cukup positif bagi masalah -masalah  pembunuhan LGBTI 
lain yang terjadi sesudah  itu. Di dalam beberapa masalah , seperti masalah  
mutilasi waria di Bogor, Jawa Barat, (2007) dan masalah  pembunuhan 
gay di Pekan Baru, Riau (2007), aparat kepolisian mampu mengung-
kap para pelakunya dalam waktu beberapa minggu saja. 
Hal lain yang dilakukan oleh Arus Pelangi yaitu  melakukan 
advokasi kebijakan publik yang terkait dengan hak-hak LGBTI. 
Bersama-sama dengan NGO lainnya yang tergabung dalam Komite 
Anti Diskriminasi negara kita  (KADI), sejak 2006 Arus Pelangi aktif 
melakukan advokasi pada  Rancangan Undang-Undang 
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU PDRE). Tuntutan KADI  
yang terus didesakkan kepada DPR-RI yaitu  memperluas cakupan 
RUU sehingga kelompok-kelompok marginal lainnya, seperti LGBTI, 
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), agama minoritas, penyandang 
cacat, mendapatkan dasar perlindungan hukum yang lebih kuat dari 
Negara. Saat ini RUU itu masih dibahas di DPR-RI. 
Kebijakan lainnya yang menjadi sorotan Arus Pelangi yaitu  
Perda Prov. Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 dan Perda Kota 
Palembang No. 2 Tahun 2004. Di dalam kedua perda itu, LGBT 
dikategorikan sebagai bagian dari bentuk pelacuran. Selama kedua 
perda itu belum dicabut, Arus Pelangi akan terus mencela pemerintah 
RI di tingkat internasional (to name and shame). Hingga saat ini 
dampak sosial yang positif dari advokasi yang dilakukan Arus Pelangi 
mulai terlihat. Hal itu dibuktikan dengan kesuksesan acara temu waria 
se-Sumatera Selatan yang diadakan di Palembang oleh Forum 
Komunikasi Waria Sumatera Selatan (2008). Acara itu berjalan dengan 
aman dan dihadiri oleh beberapa pejabat setempat serta ratusan 
orang LGBTI di sana.  
Lain lagi dengan perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang 
Ketertiban Umum (Perda Tibum). Di dalam perda itu pekerjaan-
pekerjaan informal yang biasa digeluti oleh warga miskin kota, seperti 
pengamen, pedagang kaki lima, dan PSK, dikriminalkan oleh Pemda 
DKI Jakarta. Tidak hanya itu, orang-orang yang mengidap ‘penyakit 
yang meresahkan warga ’ dilarang berada di tempat-tempat 
Publik. Hal itu sangat berpengaruh bagi komunitas LGBTI dan ODHA 
yang tinggal di Jakarta. Walaupun tetap diberlakukan oleh Pemda DKI 
Jakarta, Arus Pelangi bersama-sama dengan NGO lain yang tergabung 
dalam Aliansi Rakyat Miskin (ARM) tetap tidak lelah mencari celah 
hukum dan melakukan usaha  hukum untuk melawan keberadaan 
perda diskriminatif itu. Sayangnya gugatan judicial review pada   
Perda Tibum yang diajukan oleh ARM ditolak oleh Mahkamah Agung RI 
(MA). Namun ARM masih terus memikirkan dan melakukan langkah-
langkah advokasi untuk masalah -masalah  pemiskinan dan pembodohan di 
DKI Jakarta. 
Walaupun ada beberapa usaha  hukum yang dapat dilakukan 
guna menuntut hak-hak kelompok LGBTI, tidak berarti hak-hak 
kelompok LGBTI sebagai warga negara negara kita  telah diakomodir 
oleh Negara. Masih banyak usaha -usaha  atau gerakan -gerakan  yang 
harus dilakukan oleh pemerintah, warga , dan komunitas LGBTI 
untuk memajukan hak-hak kelompok LGBTI di negara kita . 
Pemerintah (eksekutif dan legislatif) harus merumuskan 
kebijakan-kebijakan teknis sebagai turunan dari ICCPR dan ICECSR, 
terutama yang terkait dengan perlindungan hak-hak kelompok LGBTI. 
Sebetulnya turunan-turunan itu bisa langsung dibaca di Yogyakarta 
Principles. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu  
memperluas cakupan Rancangan Undang-Undang Penghapusan 
Diskriminasi pada  Ras dan Etnis (RUU PDRE). lalu  sesudah  
judul RUU itu dirubah, maka pemerintah harus mempelajari, 
memahami, dan mengaplikasikan ketentuan-ketentuan Deklarasi 
Montreal dan Yogyakarta Principles ke dalam RUU Penghapusan 
Diskriminasi itu.  
Pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) harus 
meninjau ulang, melakukan revisi, ataupun pencabutan kebijakan-
kebijakan yang mendiskriminasikan hak-hak kelompok LGBTI. 
Langkah kongkret yang dapat dilakukan oleh pemda yaitu  melakukan 
revisi pada  perda-perda yang mendiskriminasikan kelompok 
masryarakat yang terus dimarginalkan, seperti kelompok wanita , 
LGBTI, agama minoritas, penganut kepercayaan, ODHA, penyandang 
cacat, orang miskin, petani, buruh, dll. Di dalam masalah  perda Prov.  
Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 dan perda kota Palembang No. 
2 Tahun 2004, Pemda setempat (eksekutif dan legislatif) harus 
menginisiasi proses revisi pada  kedua perda itu dengan melibatkan 
pihak-pihak yang terkait dengan perda-perda itu, baik secara langsung 
maupun secara tidak langsung. Kajian akademis dari para ahli hukum, 
hak-hak manusia, maupun ahli sosiologi harus direalisasikan terlebih 
dahulu oleh pemda setempat. Namun ingat, para ahli ini  juga 
harus terbebas dari segala paksaan dan dari segala kepentingan 
politik, serta memperhatikan hak-hak kelompok warga  yang 
dijadikan objek perda-perda itu. Pendapat-pendapat dari semua 
kelompok warga  juga harus ditampung dan dijadikan dasar 
pembahasan revisi perda-perda itu oleh pemda setempat. Pemda 
setempat juga harus memastikan saluran-saluran untuk menampung 
pendapat warga  terbuka lebar bagi semua kelompok warga  
yang hendak menyampaikan pendapatnya. lalu  pemda harus 
melakukan mensosialisasikan proses pembahasan revisi perda-perda 
itu kepada publik. 
Pemerintah pusat (Presiden dan DPR-RI) juga harus merevisi UU 
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah harus 
mencantumkan ketentuan tentang kewenangan pemerintah pusat 
dalam melakukan intervensi pada  perda-perda yang melanggar 
hak-hak manusia, keharusan pemda untuk mensosialisasikan rencana 
pembuatan perda kepada pemerintah pusat, dan sanksi pada  
pemda-pemda yang tidak mengirimkan tembusan perda kepada 
pemerintah pusat. Sehingga nantinya kewenangan Depdagri tidak 
hanya dapat melakukan intervensi pada  perda-perda yang 
berkaitan dengan anggaran daerah saja seperti sekarang ini. Perda-
perda yang sarat dengan pelanggaran hak-hak manusia juga dapat 
diintervensi oleh Depdagri. 
  
Lembaga yudikatif (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) harus 
memastikan pelaku kekerasan dan penghilangan hak-hak kelompok 
LGBTI mendapatkan proses dan sanksi hukum yang setimpal. Sudah 
saatnya lembaga yudikatif di negara kita  terlepas dari kepentingan 
penguasa dan terbebas dari kepentingan politik atau pengaruh agama 
apapun. Mereka harus menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi korban 
dan bukan prinsip keadilan bagi pelaku kejahatan seperti yang sering 
dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan di negara kita . 
Terkait dengan kewenangan Komnas HAM, pemerintah harus 
segera melakukan revisi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan juga 
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Definisi pelanggaran 
hak-hak manusia harus diperluas mencakup pelanggaran hak-hak 
manusia berbasiskan orientasi seksual. Kewenangan Komnas HAM 
juga harus diperluas sampai dengan tahapan penuntutan masalah -masalah  
pelanggaran hak-hak manusia ke pengadilan. Sehingga anggaran 
negara tidak hanya dihabiskan untuk masalah -masalah  pelanggaran hak-
hak manusia yang tidak pernah disidangkan sebab  Kejaksaan Agung 
dan Komnas HAM selalu bersiteru dengan kelengkapan berkas masalah -
masalah  pelanggaran hak-hak manusia. lalu  pelanggaran hak-hak 
ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob) juga harus mendapatkan 
prioritas di dalam revisi ini . Pemerintah harus merumuskan 
mekanisme penanganan pelanggaran hak-hak ekosob dari mulai 
penyelidikan sampai dengan proses persidangan di pengadilan di 
dalam revisi kedua UU itu. 
Sementara proses revisi UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 
Tahun 2000 belum dimulai oleh pemerintah, Komnas HAM harus terus 
melakukan usaha -usaha  mediasi untuk mengatasi  masalah -masalah  
pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI sebelum perkaranya sampai ke 
tingkat pengadilan. Mediasi ini menjadi penting mengingat masalah -
  
masalah  ini sering berbentuk gerakan  diskriminatif yang tidak diatur 
dalam perundang-undangan. Komnas HAM bisa memberi pemahaman 
tentang HAM dan diskriminasi kepada pihak pelaku, agar mereka 
sadar dan lebih peka pada  kelompok LGBTI. Peran ketiga ini – 
selain penyelidikan dan mediasi – yaitu Sosialisasi HAM bisa 
dimanfaatkan oleh Komnas HAM untuk membela hak-hak kelompok 
LGBTI secara tidak langsung. Tingkat koordinasi dengan aparat 
penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan harus terus 
ditingkatkan dengan memberi mereka pengertian tentang kelompok 
LGBTI yaitu  kelompok sosial, bukan ‘musuh warga ’ (public 
enemy).  
Sebaliknya, masalah -masalah  kekerasan pada  kelompok LGBTI 
seharusnya dapat diproses secara hukum di pengadilan, walaupun di 
dalam ranah hukum pidana, bukan dalam ranah hukum hak-hak 
manusia. Komnas HAM juga harus mendesak pemerintah untuk segera 
merealisasikan proses revisi UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26  Tahun 2000.  
Sungguh menyedihkan membaca berbagai masalah  yang melibatkan korban dari 
kelompok LBGT (lesbian, bisexual, gay dan transsexual). Di satu sisi mungkin kita 
melihat tidak ada bedanya masalah  kekerasan yang dialami para waria dengan masalah  
kekerasan yang dialami oleh warga  miskin kota. Jika para pedagang kaki lima 
dikejar-kejar oleh tramtib sebab  mengganggu warga , demikian pula waria 
dikejar dan ditangkap sebab  alasan yang sama. Lalu mengapa kekerasan pada  
LGBT perlu diangkat dan dibedakan dari kekerasan lainnya?  
Kekerasan pada  kaum LGBT berbeda sebab  seringkali aparat negara 
melakukan tindak kekerasan justru sebab  perbedaan orientasi seksual kaum ini. 
Proses identifikasi diri dari kaum LGBT bukanlah hal yang mudah dilakukan, 
umumnya proses identifikasi diri dan pilihan orientasi seksual yaitu  proses 
seumur hidup dengan berbagai penolakan keluarga hingga lingkungan, bahkan 
penolakan diri sendiri. Penolakan lingkungan pada  kaum LGBT dijewantahkan 
melalui berbagai justifikasi moral dan agama. Mulai dari kata “menyimpang” hingga 
“sesat” muncul menghakimi kaum ini.  
Membaca masalah -masalah  kekerasan pada  kaum LGBT jelas menandakan  
bahwa negara sudah masuk dalam ranah privat kaum ini sebab  memaksa mereka 
untuk meninggalkan identifikasi diri yang dianggap “menyimpang” itu demi sebuah 
“moral publik” yang konsepnya memakai  pandangan mayoritas pada  
minoritas. Padahal proses identifikasi diri dan pencarian jati diri seorang manusia 
yaitu  sebuah ranah privat yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun, 
bahkan orang-orang terdekatnya. Dalam proses pengidentifikasian diri inilah harga 
diri dan martabat (dignity) seorang manusia melekat. Martabat manusia yaitu  hal 
yang paling hakiki sebagai manusia. Dalam konvensi internasional dan UUD 1945 
amandemen beserta UU HAM telah juga menyatakan bahwa martabat manusia 
yaitu  kebebasan pribadi dan haruslah dilindungi tanpa diskriminasi.  
Membaca masalah -masalah  kekerasan pada  kaum LGBT dan peraturan yang 
terbentuk di beberapa daerah di negara kita  jelas menandakan  bahwa aparat 
negara melakukan diskriminasi dan  tindak kekerasan pada  kaum ini sebab  
perbedaan orientasi seksual mereka yang dianggap akan menyebabkan masalah 
ketertiban umum. Negara secara jelas gagal membedakan subyek dan obyek hukum 
dimana dalam beberapa produk peraturan daerah, negara menyamakan pelaku dan 
gerakan  sebagai perbuatan melanggar hukum. Misalnya antara sodomi dan 
homoseksual didefinisikan sebagai “pelacuran” yang lalu  dianggap 
mengganggu ketertiban umum.  
Tidak dapat dipungkiri perbedaan orientasi seksual dari kaum ini dijadikan 
alasan bagi aparat negara untuk menolak mengakui mereka sebagai manusia dan 
warga negara biasa dan disamakan dengan kriminal.  
Dalam buku ini, proses menjadi AKU ternyata telah dirusak oleh negara. 
Proses menjadi AKU telah ditentukan oleh lingkungan atas nama moral publik, 
ketertiban umum, dan agama. Proses menjadi AKU tidak lagi yaitu  bagian 
proses DIRI menjadi MANUSIA, tapi dalam negara ini, proses menjadi AKU yaitu  
proses yang dilakukan dan ditentukan oleh NEGARA. Bahkan di negara ini, proses 
menjadi MANUSIA harus atas ijin NEGARA.  
 

Semboyan negara kita , “Bhinneka Tunggal Ika,” memberi kesan negara 
keanekaragaman, di mana perbedaan-perbedaan antar orang dihormati sebagai 
sesuatu yang menyumbang ke kesejahteraan warga . Dibandingkan banyak 
negara-negara lain, negara kita  yaitu  sebuah negara di mana gaya-gaya hidup 
segala macam diakui dan dihormati. Tetapi, terwujudnya semboyan ini sebagai 
realitas belum tercapai di negara kita .  
Buku ini yaitu  satu langkah yang menunjukkan bahwa suatu jenis 
diskriminasi dan kekerasan masih ada di negara kita , yaitu pada  orang lesbian, 
gay, biseksual, transgender (F to M, M to F), dan interseks (LGBTI). Buku ini 
berharga sebab  menyatukan studi-studi masalah  dengan kerangka hak azasi manusia. 
Buku ini dengan teliti mendokumentasikan berbagai masalah -masalah  diskriminasi dan 
kekerasan pada  orang LGBTI, dan memakai  kerangka hak azasi manusia 
untuk mencari solusi. 
Konsep hak azasi manusia untuk orang LGBTI mungkin dianggap aneh oleh 
banyak para pembaca buku ini, tetapi sebetulnya konsep ini sudah lama ada. Hak 
azasi manusia diutamakan sejak awal pergerakan LGBTI di negara kita . Ini khususnya 
terjadi sejak Lambda negara kita  didirikan tahun 1982, dan usaha-usaha penting Dédé 
Oetomo dan orang-orang lain sejak waktu itu, melalui GAYa Nusantara, Arus Pelangi, 
dan banyak kelompok, organisasi, dan yayasan lain. Sejak pertama kali saya 
mengunjungi negara kita  tahun 1992, saya terkesan oleh komitment orang LGBTI di 
negara kita  pada  hak azasi manusianya, dan cara-cara kreatif yang dipakai 
olehnya untuk memperkuat hak-hak ini . Buku ini yaitu  kontribusi penting 
dalam melanjutkan perjuangan itu. 
Di negara saya, yaitu Amerika Serikat, tahun-tahun 2000-2008 diwarnai 
kepresidenan di mana agama dipakai oleh negara untuk memisahkan bagian-bagian 
warga negara dari hak azasinya. Buku ini juga penting sebab  menjelaskan 
bagaimana kesalahfahaman tentang Islam dipakai  di negara kita  untuk menolak 
hak azasi manusia kepada kaum LGBTI. Di Amerika Serikat, saya selalu berusaha 
untuk memperbaiki kesalahfahaman pada  Islam dengan menjelaskan bagaimana 
komunitas-komunitas Islam di negara kita  sangat beraneka ragam. Ada banyak cara 
menjadi orang Islam yang baik dan taat, dan juga banyak perdebatan antara kaum 
Islam yang sehat dan penting, seperti halnya dengan semua agama lain. Menjadi 
bahaya kalau suatu pandangan atau kelompok mendapat dukungan eksklusif dari  
negara, sehingga penafsiran agamanya dianggap penafsiran resmi atau penafsiran 
satu-satunya. Hal ini sudah terjadi di Amerika Serikat, dan sudah menjadi bencana 
sebab  tidak mencerminkan keanekaragaman pikiran yang sesungguhnya ada di 
Amerika Serikat. Di negara kita , perdebatan-perdebatan seperti ini akan memiliki  
makna besar untuk hak azasi manusia orang LGBTI.  

 
 APB Arus Pelangi Banyumas 
ARM Aliansi Rakyat Miskin 
BAP Berita Acara Pemeriksaan 
Bintalkesos Dinas Pembinaan Mental dan Kesehatan Sosial 
CAT Konvensi Anti Penyiksaan 
CEDAW Konvensi Pemberantasan Diskriminasi pada  wanita  
CRC Konvensi tentang Hak-hak Anak 
Depdagri Departemen Dalam Negeri 
DI-TII Darul Islam/Tentara Islam negara kita  
DKI Daerah Khusus Ibukota 
DPR Dewan Perwakilan Rakyat 
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat (tingkat) Daerah 
DUHAM  Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia 
Ekosob  [Hak-hak] ekonomi, sosial dan budaya 
FKWI Forum Komunikasi Waria negara kita  
FPI  Front Pembela Islam 
GPK  (1) Gerakan Pemuda Ka’bah  
(2) Gerombolan Pengacau Keamanan 
HAM Hak-hak Asasi Manusia 
HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency 
Syndrome 
ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights/ Perjanjian 
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
ICSECR International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights/ 
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya 
IDAHO International Day against Homophobia/ Hari Internasional Melawan 
Homofobia 
KADI Komite Anti Diskriminasi negara kita   
KAMMI Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim negara kita  
Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 
KPPI  Kelompok Persiapan Penegakan Syariat Islam 
KP3 Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan 
KTP Kartu Tanda Penduduk 
KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana 
LBH Lembaga Bantuan Hukum 
LGBTI Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseksual 
LPHAM Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia 
LSM Lembaga Swadaya warga  
MA Mahkamah Agung  
MK Mahkamah Konstitusi   
MOU Memorandum of Understanding (kesepakatan resmi) 
MUI Majelis Ulama negara kita  
NAD Nanggroe Aceh Darussalam 
ODHA Orang Dengan HIV/AIDS 
Pansus  Panitia Khusus 
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa 
Perda peraturan daerah 
Persami Perkemahan Sabtu-Minggu 
PBHI Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM negara kita  
PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana negara kita  
PKK Perlindungan Kelompok Khusus 
PLU People Like Us  
PN Pengadilan Negeri 
PPDGJ Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa 
PSK Pekerja Seks Komersial 
RIS Republik negara kita  Serikat  
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo 
RSUD  Rumah sakit umum daerah 
RUU PDRE  Rancangan Undang-undang Penghapusan Diskriminasi berdasar  
Ras dan Etnis 
Satpol PP  Satuan Polisi Pamong Praja 
Sudin PPC Sub Dinas Penyantunan Penyandang Cacat 
Sudin RTS Sub Dinas Rehabilitasi Tuna Sosial 
STKIP Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan 
Tibum Ketertiban Umum 
TKP Tempat Kejadian Perkara 
TNI Tentara Nasional negara kita  
TPU Tempat Pemakaman Umum 
UU Undang-undang 
UUD Undang-undang Dasar/ Konstitusi 
VER visum et repertum; laporan hasil pemeriksaan kedokteran untuk 
kepentingan peradilan 
WH Wilayatul Hisbah / Polisi Syariat 
WIB  waktu negara kita  bagian barat 
WITA waktu negara kita  bagian tengah 
WNI warga negara negara kita