Rabu, 10 Januari 2024
waria 2
Januari 10, 2024
waria 2
kantor polisi, pihak KP3 tidak terlalu merespons
kedatangan mereka dan membuat kesan agar semua merasa bosan
dan tidak terlalu lama berada di sana. Tim advokasi tetap bersikukuh
mengajak Wilma meminta bukti pelaporan masalah pemukulan atas
dirinya. Namun, saat meminta ini , pihak kepolisian sering
mengoper dari satu divisi ke divisi lainnya.
Bukan hanya itu. Saat pengecekan pelaporan di file komputer,
petugas pelaporan tidak menemukan adanya catatan file atas nama
Wilma mengenai masalah yang dialaminya. Laporan itu hanya tercatat di
buku besar biasa. Akhirnya, Wilma kembali membuat berita pelaporan
dan Berita Acara Pemeriksaan baru bersama Linda sebagai saksi
utama masalah pemukulan ini . sesudah melalui debat yang cukup
melelahkan, Wilma pun bisa mendapatkan surat bukti pelaporan itu.
Polisi berjanji terus menindaklanjuti masalah ini. Polisi juga meminta
Wilma datang kembali pada hari Jumat guna pengecekan masalah sebab
pada hari ini pelaku pemukulan akan dijemput petugas.
Pada Jumat, 13 Juli 2007, Tim Advokasi, Linda, dan Wilma
kembali mendatangi KP3 untuk mencari tahu kelanjutan dari janji
polisi. Oleh petugas BAP, mereka diberitahu bahwa polisi memang
sudah melayangkan surat panggilan pada choky pada hari Jumat.
Namun, hingga pukul 14.30, pelaku belum juga datang. Mereka pun
akhirnya pulang. Dan polisi masih memberi toleransi kepada choky
sampai pada panggilan kedua.
Senin, 16 Juli 2007, choky menyerahkan diri ke Polsekta II
Makassar. Dia sengaja datang ke Polsekta ini sebab ada hubungan
kekeluargaan dengan salah satu aparat polisi yang bertugas di sana.
Dia resmi ditahan. Meski begitu, masalah ini tetap di bawah pengawasan
KP3.
Untuk memperkuat keterangan laporan Wilma, dibutuhkan dua
saksi. Namun, hanya satu yang mau, yaitu Linda. Sebab, Mami yang
yaitu istri pelaku, menolak dimintai keterangan. Alasannya, ada
hubungan saudara dengan pelaku. Akhirnya, Anita lah yang diminta
sebagai saksi ke-2 bagi pelapor. Sebab, tempat kejadian perkara
berada di rumah Anita dan ada bukti foto-foto saat terjadinya masalah
ini .
Wilma selalu diminta Mami untuk mencabut gugatan. Namun,
dia terus maju dan bertekad untuk menyelesaikannya secara hukum.
Kini, masalah ini tinggal menunggu proses persidangan. (*)
. masalah Kematian Elly (Jakarta)
Waria Diceburkan ke kali banjir
Pelanggaran HAM juga terjadi di Taman Lawang, Jakarta Pusat.
Pada 17 November 2007, beberapa waria di daerah ini dirazia
Satpol PP tepat pukul 21.30. sebab mendadak, banyak “gender
ketiga’’ itu panik dan lari ketakutan menyelamatkan diri. Pemilik
warung, yang jelas-jelas bukan waria, juga mendapat perlakuan
serupa. Warung kopi milik Siti ini dibakar habis. Tak tersisa. Tinggal
abu.
Bahkan, di antara waria itu ada yang terhanyut di sungai
Ciliwung yang tidak jauh dari area ini . Waria nahas itu bernama
Elly Susanna. Tidak diketahui secara pasti apakah dia menceburkan
diri atau diceburkan. Sebab, para saksi memberi keterangan
berbeda. Tapi seandainya dugaan diceburkan itu benar, maka sungguh
tak beradab perbuatan pihak keamanan ini .
Dini harinya, pukul 01.17, staf Arus Pelangi, Widodo Budidarmo,
melakukan pemantauan dan pengorganisasian rutin pada kaum
LGBTI ini. Namun di sana dia malah mendapat laporan dari salah
seorang waria, Monica, bahwa teman mereka tidak muncul ke
permukaan sungai sebab menghindar dari razia petugas tramtib.
Meski sempat menyusuri sungai – dalam suasana gelap – dan
mengecek ke rumah korban, dia masih tidak diketahui keberadaannya.
Korban baru ditemukan di kali Cideng, Gambir, Jakarta Pusat,
oleh warga setempat yang sedang memancing. sesudah divisum
di RSCM, diketahui bahwa korban yang sehari-harinya bekerja sebagai
perias ini, memiliki luka parah di area kepala. Bagian kening
mengalami luka memar hingga mengeluarkan darah. Begitu pula
kepala bagian belakang. Pihak keluarga, melalui tim advokasi dari Arus
Pelangi, mengangkat masalah pemicu kematian Elly ini ke Polsek
Menteng, Jakarta Pusat. Polsek Menteng sudah memanggil Satpol PP
untuk di-interview namun pihak Satpol PP belum mengindahkan
undangan ini . (*)
. masalah Infotainment ’’Silet’’ (Jakarta)
Homoseksual Itu Seksual Menyimpang
Menarik untuk disimak saat infotainment Silet menayangkan
acaranya bertema Homoseksual di stasiun RCTI. Ini terkait banyaknya
job bagi artis yang ‘dicap’ sebagai selebriti gay. Selain sebab memang
mereka beda, dalam menghibur pemirsa baik di TV, rumah, maupun
acara-acara off air, mereka selalu menampilkan hal-hal lucu, konyol,
dan jahil, sehingga banyak warga yang terhibur.
Sebut saja Ivan Gunawan, Ruben Onsu, Olga Syahputra, dan
Aming, yang kini lagi naik daun. Para selebriti ini sering muncul di
layar kaca. Inilah yang dinilai beberapa kalangan, termasuk MUI
(Majelis Ulama negara kita ), sebagai cerminan yang merusak moral
agama dan bangsa. MUI pun mulai gerah dengan tayangan yang
sebagian besar entertainer negara kita mulai berani menampakkan sisi
lain dari mereka. Acara Silet bertajuk khusus kaum LGBTI ini
ditayangkan pada 24 Januari 2008, pukul 11.30.
Bahkan, salah satu ketua MUI, KH Amidhan, meminta supaya
pemerintah mencekal artis-artis yang menganut paham homoseksual.
(Harian Nonstop, 1 Maret 2008, Artis Homo Dicekal).
Arus Pelangi pun merespons pernyataan kiai ini. Mereka
meminta pertemuan langsung dengan Amidhan. Diskusi dilakukan di
kantor MUI, masjid Istiqal Jakarta. Dihadiri KH. Amidhan sendiri,
bersama H. Said, serta perwakilan Arus Pelangi oleh Rido Triawan,
Widodo Budidarmo, dan Ridwansyah. Menurut Amidhan, pernyataan
ini tidak benar. Dia mengelak kalau pernah mengeluarkan
pernyataan seperti itu. Menurut dia, kewenangan mencekal artis
ataupun media berada di tangan Komisi Penyiaran negara kita (KPI).
MUI tidak memiliki kewenangan meminta pemerintah mencekal
artis-artis gay itu.
Mengenai tayangan silet, sebuah tayangan yang diproduksi oleh
PT Cipta Imaji Design yang dikenal dengan nama Creative Indigo
Production itu, presenter menyatakan bahwa homoseksual atau gay
yaitu suatu bentuk penyimpangan seksual dan jenis penyakit yang
mustahil dapat disembuhkan, diragukan kejantanannya dan komentar
dari beberapa narasumber yang menyatakan bahwa dunia
homoseksual penuh dengan hura-hura dan perzinaan. Tayangan itu
telah meresahkan para anggota Arus Pelangi yang berada di wilayah
Sukabumi, Bandung, Surabaya, Jogjakarta, Bali, Palembang,
Banyumas, Makassar dan Medan. Sebab, berbagai pernyataan di Silet
yang sangat melecehkan hak-hak kaum LGBTI bertentangan dengan
program kerja yang dilakukan Arus Pelangi untuk menyadarkan hak-
hak sosial, politik, ekonomi dan budaya bagi para anggota LGBTI.
Padahal, hingga kini belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap atau pendapat ahli yang menyatakan bahwa
homoseksual yaitu bentuk penyakit dan bentuk keraguan kejantanan
para gay.
Secara kaidah jurnalistik – walaupun konten berisi urusan privat,
dalam perdebatan apakah itu bagian dari jurnalistik atau tidak –
sebenarnya sudah memenuhi. Narasumber yang dihadirkan dalam
tayangan itu terkait pernyataan Jupiter Fortissimo, artis sinetron, yang
mengaku tobat sesudah sekian lama menjadi gay, bisa dikatakan sudah
cover both sides alias berimbang. Ada komentar dari Ivan Gunawan,
Ruben Onsu, Olga Saputra, Aming, Thomas Djorghi, dan Krisna Mukti.
Mereka diwawancarai sebab ada dugaan bahwa mereka gay atau
pernah diisukan gay.
Secara umum, komentar mereka cukup positif. Tapi narasumber
lainnya Nafa Urbach dan suaminya, cenderung negatif. Namun, dari
sang narator dan presenter memang tampaknya bias ideologis dengan
mengarahkan kelompok homoseksual sebagai penyakit sosial atau
dengan menggarisbawahi pernyataan dari narasumber. Sayang, dari
pihak PT Cipta Imaji Design kelihatannya tidak ada iktikad baik untuk
meminta maaf. Buktinya, saat Arus Pelangi menyurati PT ini
melalui suratnya yang bernomor 300/ADV/Arus Pelangi/II/08, Dirut
Cipta Imaji, William Chow justru melimpahkan masalah ini ke
kantor pengacaranya, Law Firm Henry Yosodiningrat and Partner
dengan alamat Hotel Kartika Chandra, Gedung Perkantoran lantai lima
di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.
Melalui kuasa hukumnya ini, production house ini menilai
bahwa dalam tayangan Silet itu, tidak ada satu pun pelanggaran
hukum atau pernyataan yang melecehkan yang dapat dikualifikasikan
sebagai perbuatan pidana atau melanggar hukum dalam ruang lingkup
hukum perdata. Dalam tayangan ini , masih menurut Indigo
Production, bukanlah bentuk-bentuk pelecehan pada homoseksual
dan pembawa acara selalu menyampaikan dalam bentuk pertanyaan,
bukan pernyataan. Sehingga atas pertanyaan-pertanyaan ini
pula, diwawancarai beberapa narasumber, termasuk keterangan dari
dr. Boyke selaku ahli seksologi. Penonton pun dapat menemukan
jawaban dari pernyataan-pernyataan para narasumber ini. (*)
. masalah Pemukulan Waria (Yogyakarta)
Lagi Ngedance Diseret Paksa
masalah lainnya terjadi pada 1 Maret 2008. Pada hari Sabtu,
sekitar pukul 02.30, telah terjadi penyeretan keluar paksa pada salah
seorang waria dari atas panggung sampai keluar ruang diskotek oleh
beberapa sekuriti yang bekerja di tempat ini . Lokasi kejadiannya
sendiri berada di Liquid Disco, Yogyakarta.
Awalnya, seorang waria bernama Gina11, dan bersama ketiga
rekannya hendak melepas penat di diskotek ini . Tempatnya
sendiri beralamat di Jalan Magelang KM 5,5. Tema malam itu yakni,
Lady Nite, Free for Ladies. Tentu saja mereka girang sebab berpikir
akan mendapat masuk gratis. Namun saat mereka hendak masuk,
ditahan penjual tiket yang menjaga pintu. Mereka diwajibkan
membayar tiket sebab mereka dianggap waria, bukan wanita .
Tentu saja mereka membayar. “Nggak apa-apa, yang penting bisa
masuk,” terang Gina saat itu.
saat sudah berada di dalam, diskotek memang cukup ramai
pengunjung. Gina pun mengajak salah seorang temannya untuk
berjoget di panggung. Di panggung sudah ada beberapa cowok dan
cewek yang ngedance. Namun, saat menggoyangkan tubuhnya, tiba-
tiba salah seorang petugas sekuriti berbadan besar dan berkulit hitam,
menyuruh Gina turun sambil menyeret paksa hingga tangannya tidak
bisa merasakan apa-apa sebab sakit yang amat sangat. Bahkan dia
sampai jatuh dan kakinya terasa sakit. Dia juga tidak bisa terlalu
mengenali wajah petugas itu sebab keadaan cahayanya cukup gelap
laiknya diskotek-diskotek malam lain. Lalu datang petugas lainnya
untuk membantu teman sekuritinya itu. Yang dia tidak mengerti,
mengapa hanya dia yang disuruh turun, sedang ada banyak
sekumpulan cewek dan cowok lain yang sedang ngedance saat itu.
saat dia menanyakan hal ini pada sekuriti ini , jawaban yang
didapat malah disuruh pulang dan mengancam bahwa temannya
(petugas keamanan lain) akan memanggilkan polisi jika Gina
membantah. Namun, dia semakin berang sebab diperlakukan begitu.
“Kalau saya nggak salah, silakan panggil! Saya kan nggak melakukan
apa-apa, cuma ngedance aja. Kok diperlakukan seperti itu! Saya tadi
kan masuk ke sini juga bayar.”
Tak lama berselang, rekannya yang berinisial S-2 melihat
kejadian itu. Posisinya sedang duduk di sofa. Melihat temannya diseret
dua sekuriti tanpa manusiawi, dia mendatangi Gina tanpa mengenakan
sepatu yang memang sengaja dilepas sebelum kejadian. Saat S-2
menanyakan ada persoalan apa, kedua petugas sekuriti itu tetap saja
memperlakukan temannya dengan tidak sopan, tanpa memberi
penjelasan apa pun. Akhirnya dia memeluk Gina sambil berpegangan
pada besi dekat pintu luar. Namun, tangannya yang memegang besi
itu dipukul oleh salah seorang petugas berbadan tinggi besar, hitam,
dan berpotongan rambut cepak. Ia mengisar usia petugas ini 35-
40 tahun.
68
Saat pertengkaran terjadi dua korban itu dengan dua petugas
sekuriti dan seorang penjual tiket, S-1 sempat melihatnya sebab dia
hendak mengambil jaket untuk keluar. Saat kejadian Gina diseret, dia
tidak melihat sebab dalam keadaan sedikit mabuk. Dia juga sempat
menanyakan pada para petugas apa kesalahan mereka hingga harus
diusir paksa dan diperlakukan kasar. Saat S-1 dan Gina berargumen
dengan para petugas, S-2 masuk kembali untuk mengambil sepatunya
yang tertinggal. Dia sempat mendengar mereka akan memanggil polisi
dan mengirim para waria ini ke kantor polsek. Begitu emosinya pada
saat mengambil sepatu, dia naik meja dan mengambil gelas berisi
minuman. Dia minum isinya, lalu melemparnya ke depan. S-2
turun lagi dan melihat seorang cowok sedang minum. Dia mengambil
gelas cowok ini dan langsung melemparnya ke atas. Tentu saja
sekuriti langsung mengatasi dia. Namun, S-3 juga ada di situ. Dia
sempat tarik-tarikan dengan petugas ini , berusaha mencoba
menarik S-2 hingga akhirnya sampai di pintu masuk diskotek. “Ini
teman saya, Pak. Ngapain mereka? Mereka tidak salah. Saya nggak
tahu apa yang mereka perbuat tapi mereka nggak salah dan nggak
melakukan apa-apa,” ujarnya sambil mencoba menenangkan S-2.
Sebab, dia tidak mau nantinya bermasalah jika S-2 mengeluarkan
kata-kata kasar. Bisa lebih menyulitkan.
“Ini peraturan. Peraturan Liquid nggak ada yang boleh di
panggung,” ujar sekuriti itu. S-3 menanyakan alasannya, sebab yang
dilihat di panggung bukan hanya 1-2 orang, tetapi banyak. Namun,
mengapa hanya teman-temannya yang disuruh keluar? sesudah perang
mulut cukup lama antara keempat waria dan beberapa petugas
sekuriti serta penjual tiket di diskotek ini , akhirnya para waria
keluar juga. S-3 membawa teman-temannya ke parkiran motor. Saat
di sana, ada yang mendatangi mereka. Seorang pria yang mengatakan
kalau dia mengenal orang-orang dalam Liquid. Dia pula yang memberi
69
tahu kalau manajer harian di diskotek itu bernama Made dan yang
punya Liquid yaitu Koho. sedang yang bertanggung jawab di
panggung bernama Bule.
sesudah kejadian, Gina melaporkan perlakuan tidak
menyenangkan yang dilakukan pihak Liquid. Dia meminta pihak LBH
Yogya dan LSM PLU (People Like Us)-Satu Hati mewakili dirinya dalam
masalah ini . Dalam masalah ini, pihak LBH diwakili Irsyad (direktur
LBH) dan Naya (Divisi Politik dan Sosial) menyatakan bahwa telah
ditemukan adanya pelanggaran HAM berupa penganiayaan dan
kekerasan fisik maupun verbal serta diskriminasi hukum. Ini juga
terkait tindak pidana yang sesuai KUHP Pasal 351 ayat 4 yakni tentang
penganiayaan yang sengaja merusak kesehatan. Dengan perkataan
lain, perbuatan pihak Liquid ini mengakibatkan korban mengalami
kerusakan fisik seperti memar dan sakit.
Pada 24 Maret 2008, Arus Pelangi, PLU, dan LBH merevisi
kembali surat somasi yang dilayangkan ke Liquid sebelum akhirnya
dikirim keesokan harinya. Selain bukti berupa luka fisik pada korban
Gina, LBH juga mendapati beberapa orang yang mau bersaksi
berdasar hasil investigasi dan wawancara mereka pada 2 Maret
2008 di lokasi Taman Pintar pukul 00.06 WIB dini hari. (*)
14. masalah -masalah terbaru
Pelanggaran HAM pada LGBTI tidak berhenti di sini tapi terus
berlanjut; pada bulan Juli 2008 terjadi serangkaian tindak kekerasan
yang mengakibatkan kematian orang LGBTI:
1. masalah Rahma (alias Rahmat) tewas dibunuh. Secara kebetulan
waria ini sedang main sebagai peserta pelomba dalam program
”Be a Man” di tvOne.
70
2. masalah Heri Santoso, seorang gay yang dibunuh oleh Ryan (gay
juga). sebab korban ini dimutilasi berita penangkapan dugaan
pelaku mendapat banyak sorotan media dan publik. Apalagi
sesudah diketahui bahwa sebelumnya dia sudah membunuh
paling tidak empat orang lagi.
3. masalah penembakan waria di Jl. Latuharhary (Taman Lawang),
Jakarta Pusat. Di lokasi ini terjadi serangkaian penembakan
dengan memakai senapan yang bisa menembak sekaligus
banyak, sejenis bran. Pelaku mengendarai mobil Kijang dan
nomor platnya sudah diketahui. Penembakan ini sudah
dilakukan berkali-kali, namun korban waria rata-rata mengalami
luka-luka ringan, dan tidak berani melapor kejadiannya sebab
tidak memiliki KTP dan juga rasa takut pada polisi.
Sayangnya, tidak waktu lagi untuk memasukkan data-datanya
ke dalam buku ini. Namun patut dicatat bahwa masalah -masalah ini telah
menimbulkan banyak polemik di media massa (TV dan surat kabar)
yang pada hakekatnya memojokkan kaum LGBTI; stigma orang gay
yang seakan-akan lebih keji dari orang heteroseksual sangat
digarisbawahi oleh beberapa wartawan dan pembawa acara.
Bisa disimpulkan juga bahwa masalah -masalah yang tertulis di atas
ini yaitu puncak gunung es saja; sebagian besar masalah -masalah
lain tidak pernah sampai ke permukaan. Masih ada puluhan masalah lain
yang diketahui Arus Pelangi, namun sebab datanya sangat minim,
masalah -masalah itu tidak dapat dimuat dalam studi ini.
71
BAB IV
NEGARA TANPA PERLINDUNGAN HAK
- Sebuah Analisa dan Rekomendasi -
Jika melihat berbagai masalah yang dialami kaum lesbian, gay,
biseksual, transeksual/transgender, dan interseksual (LGBTI) di
berbagai daerah seperti ditulis pada bab sebelumnya, hati ini bagai
disayat sembilu. Realitas di warga sangat bertolak belakang
dengan segala peraturan yang ada. Pembunuhan seorang gay di
Sukabumi, teror ormas keagamaan pada LSM yang membela
kaum LGBTI di Banyumas, pemukulan pada pasangan lesbian di
Makassar, penganiayaan pasangan gay di Aceh oleh warga dan
petugas kepolisian, penganiayaan kaum gay di Yogya oleh sekelompok
ormas agama, stigma buruk yang dilakukan media pada LGBTI,
perlakuan kasar petugas tramtib pada para waria di Jakarta,
perlakuan semena-mena pada waria di disco di Yogyakarta, atau
masalah serupa lainnya yang tidak muncul ke permukaan, bisa dijadikan
indikator bahwa diskriminasi pada kelompok minoritas di
negara kita masih sangat marak. Pelakunya ada yang dari warga ,
ada yang dari aparat pemerintah. Yang menyatukan mereka yaitu
kebencian atau perasaan hina pada LGBTI; pandangan itu ada di
balik semua contoh diskriminasi dan/atau kekerasan yang ini di
atas.
Berikut akan kita telusuri lebih dalam pola-pola dari gerakan
stigmatisasi, diskriminasi dan kekerasan, menggali akar
permasalahannya dan mencari jalan ke luarnya.
72
Negara Tak Konsisten dan Konsekuen
Dari berbagai macam masalah itu menunjukkan bahwa Negara
Republik negara kita (RI) tidak konsisten atas norma-norma untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak setiap orang serta
tidak konsekuen dalam melaksanakan kewajiban sesuai janjinya.
Bahkan, negara yang seharusnya melindungi rakyat, memajukan
kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai
amanat pembukaan UUD 1945 alinea 4 justru berbuat sebaliknya.
Negara melakukan kekerasan pada warga negaranya sendiri. Baik
kekerasan oleh aparatur negara maupun melalui seperangkat
perundang-undangan yang tidak konsisten di dalam memenuhi hak-
hak manusia.
masalah pemukulan maupun pelecehan seksual yang dilakukan
aparat kepolisian pada pasangan gay di Aceh yaitu salah
satu bukti bahwa aparatur negara menjadi bagian dari aktor kekerasan
itu. Perlakuan tidak menyenangkan yang dialami pasangan gay di
Aceh tentu bukan masalah satu-satunya. Masih banyak tragedi serupa
lainnya yang mungkin belum terekspos.
Selain dilakukan secara langsung, negara juga melakukan
kekerasan secara tidak langsung. Bentuknya melalui seperangkat
peraturan perundangan-undangan. Buktinya, sampai saat ini, masih
banyak peraturan yang inkonsisten atau bertentangan dengan hukum
hak-hak manusia dan konstitusi. Yaitu dengan merebaknya berbagai
peraturan daerah (perda) bernuansa agama yang berwatak
diskriminatif dan intoleran. Akibatnya, perilaku aparat negara di
daerah makin menjadi-jadi sebab seolah memiliki legitimasi untuk
berbuat kekerasan. Perkembangan ini tidak hanya meningkatkan
perlakuan diskriminatif pada kelompok minoritas, namun juga
diikuti berbagai pelanggaran atau pengingkaran hak-hak manusia yang
73
bertumpang tindih dengan korupsi, inefisiensi birokrasi dan bentuk
kesewenang-wenangan lainnya. Ini bisa dijumpai di beberapa daerah
yang menerapkan perda bernuansa agama.
Di antaranya terjadi di Kota Palembang. Perda paling
diskriminatif pada kelompok LGBTI di kota Palembang yaitu
Perda No. 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran. Di dalam
Pasal 8 ayat 1 perda ini disebutkan bahwa yang dimaksud
pelacuran yaitu perbuatan yang dilakukan setiap orang dan atau
sekelompok orang dengan sadar, bertujuan mencari kepuasan di luar
ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan baik
berupa uang maupun bentuk lainnya. Ayat 2 dinyatakan bahwa
termasuk dalam perbuatan pelacuran yaitu homoseks, lesbian,
sodomi, pelecehan seksual, dan perbuatan porno lainnya. Dengan
perda ini, atas nama agama atau pemberantasan pelacuran, kaum
homoseks bisa diciduk, dipukuli atau dipenjara dan didenda.
berdasar hasil wawancara dengan waria Palembang, penulis
mendapatkan informasi bahwa peristiwa penangkapan pada
kelompok ini seringkali dilakukan petugas kepolisian maupun tramtib.
Pihak pemerintah daerah yang dikonfirmasi mengenai penangkapan itu
juga membenarkan10. gerakan itu, katanya, dilakukan untuk
10 Aparat pemerintahan yang sempat diwawancarai oleh penulis yaitu H. Tolha
Hasan (Wakil Walikota Palembang). Hasil wawancara lengkapnya yaitu sebagai
berikut:
Perda Kota Palembang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Pemberantasan
Pelacuran ini dibuat sebab pelacuran yaitu perbuatan amoral yang
melanggar norma susila, agama dan norma hukum dalam tata kehidupan
berwarga . Jika perbuatan amoral itu tidak diberantas, maka dapat
menimbulkan keresahan, mengganggu ketertiban serta merusak sendi-sendi
kehidupan berwarga . Jadi, perda yang terdiri atas delapan bab dan 13 pasal
74
ini tujuannya sangat jelas. Yaitu, memberantas pelacuran dan segala macam
bentuknya serta mewujudkan kehidupan mayarakat yang tertib, teratur,
bermoral, beretika, dan berakhlak mulia.
Mengenai homoseks yang dimasukkan ke perbuatan pelacuran itu sudah
sangat jelas alasannya. sebab pelacuran yaitu perbuatan yang dilakukan
setiap orang atau sekelompok orang yang bertujuan mencari kepuasan syahwat
di luar ikatan pernikahan yang sah dengan atau tanpa menerima imbalan baik
berupa uang maupun bentuk lainnya.
sebab itu mengapa kami melakukan penggerebekan atau pencidukan
pada waria di tengah malam. Logikanya begini, mana ada orang yang keluar
malam-malam berada di tempat seperti itu (tempat remang-remang) kalau tidak
melakukan prostitusi atau pelacuran. Jadi buktinya sudah sangat kuat. Kita
semua tahu kalau itu tidak benar.
Lagi pula, waria itu bertentangan dengan agama. Jelas sekali kan hadisnya
bahwa laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai
laki-laki akan dikutuk Allah. Menyerupai saja tidak boleh kan?
Apakah itu tidak berdosa sebab menciduk tanpa bukti yang kuat sama saja
dengan berburuk sangka dan sangat bertentangan dengan Hak Asasi Manusia
(HAM)? Ya seperti yang saya katakan tadi bahwa semua orang tahu kalau para
waria yang keluar malam-malam dan berada di tempat prostitusi ya pasti
melacurkan diri?
Mengenai pelangaran HAM itu begini. Selama HAM itu positif dan tidak
bertentangan dengan agama ya akan kita pakai. Tapi kalau bertentangan dengan
agama, buat apa kita memakai HAM yang begituan. Jangan bersembunyi di balik
HAM-lah. Kita ini warga yang beragama.
Walaupun orang-orang yang mengatasnamakan HAM itu berteriak agar Perda
No 2 Tahun 2004 itu diubah, kita tetap akan mempertahankannya. Tidak akan
mengubah apalagi mencabut. Perda ini sudah disesuaikan dengan mayoritas
warga Palembang yang agamis. Kita hanya ingin mewujudkan warga
yang tertib, teratur, bermoral, beretika dan berakhlak mulia. Di era otonomi
daerah sekarang ini, kepala daerah dapat membuat peraturan daerah yang
sesuai karakter warga nya.
75
memberantas pelacuran di Bumi Sriwijaya ini . ’’Mengenai
homoseks yang dimasukkan ke perbuatan pelacuran itu sudah sangat
jelas alasannya. sebab itu kami melakukan penggerebekan atau
pencidukan pada waria di tengah malam. Logikanya begini, mana
ada orang yang keluar malam-malam berada di tempat seperti itu
(tempat remang-remang, Red) kalau tidak melakukan prostitusi atau
pelacuran. Jadi, buktinya sudah sangat kuat. Kita semua tahu kalau itu
tidak benar,” kata Wakil Walikota Palembang H. Tolha Hassan kepada
penulis saat ditemui di kantornya. Dengan adanya perda dan
beberapa hukum nasional yang diskriminatif itu, berarti hukum
tertinggi secara nasional dan internasional (hak-hak manusia)
dirintangi realisasinya.
Selama ini kita menganggap bahwa yang termasuk pelanggaran
HAM itu seperti masalah Poso, Timor Leste, Trisakti, Semanggi I dan II,
serta tragedi Tanjung Priok. Perlakuan diskriminatif dan kekerasan
pada kelompok LGBTI tidak masuk hitungan. Andaikata masuk dan
dikategorikan ke dalam pelanggaran hak-hak manusia, perhatian
Apakah nantinya waria mendapatkan hukuman secara syariat Islam misalnya
dihujani batu atau dilempar dari gedung bertingkat seperti terjadi pada masa
sahabat?
Tidak. Mereka hanya mendapatkan hukuman denda. Sesuai Pasal 9 ayat
1, mereka yang melanggar perda No 2 Tahun 2004 akan diberikan hukuman
pidana kurungan selama-lamanya enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya
Rp 5 juta.
Mengenai rencana harmonisasi pada perda-perda diskriminatif yang akan
dilakukan Departemen Hukum dan HAM, saya sendiri juga heran. Mana perda
yang diskriminatif itu? Dengan perda ini kita justru ingin melindungi kaum
wanita . Harmonisasi sangat baik saja. Tapi tiap daerah beda-beda. (*)
76
pemerintah soal ini kurang serius. Paradigmanya mungkin begini:
mengatasi pelanggaran HAM berat saja yang menjadi prioritas tidak
kelar-kelar, apalagi perkara sepele seperti itu. Mestinya apa pun
jenisnya, pelanggaran tetap saja pelanggaran. Boleh saja dibuat skala
prioritas. Tapi jangan sampai ada politik tebang pilih, apalagi politik
belah bambu. Yang satu diangkat, sementara kelompok LGBTI terus
diinjak dan dibiarkan terus dalam kondisi ketertindasan.
Jika kekerasan yang dilakukan negara pada kelompok LGBTI
ini dibiarkan, maka bisa menular ke warga . Ada ungkapan, “Guru
kencing berdiri, murid kencing berlari.” Kata-kata bijak ini
mengajarkan, jika guru berbuat buruk, maka murid juga akan
melakukan hal yang sama atau bahkan lebih buruk lagi. Hal ini juga
bisa berlaku bagi negara. Jika Negara mengajarkan sesuatu yang baik,
maka akan baik pula warga nya. Tapi jika negaranya buruk, maka
buruk pula rakyat yang dipimpinnya. Kalau negara telah berbuat
kekerasan pada kelompok marginal atau minoritas seperti kepada
kelompok LGBTI, maka warga biasanya juga melakukan hal
serupa. Berbagai masalah kekerasan yang dialami kelompok LGBTI telah
membuktikan. Mereka mendapatkan perlakuan kasar dari anggota
warga maupun ormas keagamaan. Mereka memiliki justifikasi
dan legitimasi berbuat semacam itu, baik dari peraturan yang
diskriminatif maupun perilaku aparatur negara pada kelompok
marginal ini . sebab itu, negara harus memberi keteladanan
yang baik dalam pemenuhan hak-hak kelompok LGBTI dan melakukan
konstruksi positif kepada warga .
Barangkali kurang gigihnya pemerintah untuk mengeluarkan
kelompok LGBTI dari kubangan diskriminasi sebab sadar akan
berhadapan dengan umumnya warga negara kita yang masih
77
menganut paham heteronormativitas11. Seperti diketahui, kaum
heteroseksual biasanya melakukan stigmatisasi pada kelompok
LGBTI berdasar penafsiran agama konservatif. Hal itulah yang
lalu mendorong pemerintah turut melegitimasi hal itu dengan
mengeluarkan beberapa kebijakan yang diskriminatif pada
kelompok LGBTI.
Disinilah perlunya tekanan warga sipil yang peduli
demokrasi dan pluralisme pada oknum-oknum pemerintah agar
mereka berani membuat terobosan-terobosan; begitu adanya
preseden maka sikap dan pandangan pihak-pihak pemerintahan lain
juga akan berubah.
Hilangnya Nalar Publik Media
Media yaitu ’’sarapan pagi’’ hampir setiap orang. Tidak
ingin ketinggalan informasi sedikitpun, begitu bangun langsung meraih
koran atau nonton televisi. Begitulah setiap hari. Dari informasi yang
diperoleh inilah baik secara sadar atau tidak telah menularkan nilai-
nilai yang lalu mempengaruhi keyakinan, pola pikir, dan tingkah
laku warga . Ideologi media yang beragam, akan menanamkan
nilai-nilai berbeda pula di warga . Tetapi secara umum media
besar di negara kita memiliki ideologi yang seragam mengenai
LGBTI, yaitu menerapkan stigma bahwa itu sebuah perilaku seks
menyimpang. Di setiap rubrik khususnya seperti konsultasi atau
kesehatan, setiap jawaban yang dikemukakan narasumber hampir
selalu mengatakan bahwa homoseksualitas ataupun biseksualitas
yaitu orientasi seksual menyimpang.
11 Paham ini meyakini bahwa satu-satunya orientasi seksual dan perilaku
sosial maupun seksual, yang dianggap normal yaitu heteroseksual.
78
Belum lagi sinetron atau film yang ditayangkan di beberapa
televisi. Seperti dalam sinetron Azab Ilahi 3 berjudul Azab
Homoseksual yang ditayangkan di TPI pada 13 Juni 2005. Dikisahkan,
tokoh Ardi, suami dari Ima (berjilbab) yang sudah memiliki seorang
anak laki-laki bernama Zahwa ternyata seorang homoseksual. Ardi
memiliki pacar laki-laki yang bernama Cepi. Akibat melakukan
perbuatan yang dikutuk Tuhan itu, keduanya diberikan penyakit
sangat misterius hingga meninggal dengan menebarkan aroma busuk.
saat hendak dimasukkan ke liang lahat, liang lahat itu sudah
dipenuhi kotoran manusia. Di akhir cerita, seorang ustad kondang
Arifin Ilham memberi ceramah. Dia mengutip beberapa ayat suci
Alquran. Inti ceramahnya yaitu dilarang mengubah kodrat. Dia juga
menceritakan kisahnya kaum Nabi Luth yang ditenggelamkan Tuhan
sebab homoseksual.
Ini hanyalah salah satu contoh potret program televisi kita yang
penuh dengan stigma. Masih banyak lagi sinetron religi lainnya yang
banyak menghiasi layar televisi negara kita . Terlebih sesudah sinetron
religi ternyata dapat meningkatkan rating. Bagaimana dengan media
yang mulai berani menayangkan masalah seksualitas yang selama ini
dianggap tabu dan fenomena LGBTI?
Tak dapat dipungkiri bahwa sejak digulirkannya era reformasi,
media kita seolah euforia dengan keran kebebasan yang mulai dibuka.
Masalah-masalah seksualitas yang sebelumnya dianggap tabu kini
banyak ditayangkan. Namun itu semua masih dalam kerangka
heteronormativitas.
Maraknya penayangan homoseksualitas bukan berarti media kita
secara otomatis dikatakan peduli. Sebab, penayangan kisah
homoseksualitas itu hanyalah sebatas menunjukkan fenomena yang
ada di warga ; sekaligus membenarkan stigma-stigma yang
79
sudah terbangun di warga . Hanya itu. Begitu pula dengan
menghadirkan waria atau ’’waria imitasi’’ dalam iklan, video klip,
maupun dagelan di media tidak lain yaitu bentuk eksploitasi atau
sekadar untuk menjadi bahan tertawaan atau lucu-lucuan. Penulis
tidak melihat itu sebagai pemberian kesempatan yang sama di bidang
pekerjaan, tapi semata-mata sebab pertimbangan industri media
untuk kepentingan oplah dan rating. Media hanya menampilkan
“keanehan’’ penampilannya dengan orang pada umumnya untuk
menarik pembaca atau penonton. Tidak jauh berbeda saat
menampilkan seseorang yang mampu makan paku, silet, berjalan di
atas api, menarik mobil dengan gigi atau rambut, kebal bacok dan hal-
hal luar biasa lainnya. Tidak ada unsur edukasi kepada warga
agar mereka mau menerima keberadaan mereka, apalagi
mencerahkan dan menekan pemerintah agar memperlakukan waria
secara adil.
Mengapa media memberitakan atau menayangkan kisah
semacam itu, bukan kisah lainnya? Untuk menjawab ini, bisa dicari
dengan melihat kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan
kepentingan modal di balik sebuah media. Chomski dan Herman
menawarkan pendekatan yang mereka sebut sebagai model
propaganda. Pada model ini media dilihat sebagai agen yang
mempropagandakan nilai-nilai tertentu untuk didesakkan kepada
publik. Di dalam model seperti ini memang ada unsur penyaring.
Namun penyaringan ini merepresentasikan kekuatan ekonomi politik
yang ada dalam warga .
Kuasa media inilah yang lalu memproduksi wacana
kebenaran. Tafsir pada wacana kebenaran cenderung menjadi
“palu eksekusi” bagi kelompok-kelompok dominan itu untuk
menyatakan kelompok lainnya bersalah dan ditundukkan agar turut
memapankan wacana kebenaran itu dengan tendensi untuk menjaga
kepentingan-kepentingan mereka. Dalam hal ini warga harus
kritis pada kebenaran yang ditunjukkan dalam wacana ini. Michel
Foucault mengatakan:
“The essential political problem for the intellectual is not
criticize the ideological contents supposedly linked to science or to
ensure that his own scientific practice is accompanied by a correct
ideology, but that of ascertaining the possibility of constituting a
new politics of truth. The problem is not changing people’s
consciousness – or what’s in their heads – but the political,
economic, institutional regime of the production of truth.”13
(Bagi para intelektual, masalah esensial politik bukanlah
soal mengkritik isi ideologis yang diduga berhubungan dengan
ilmu pengetahuan atau meyakinkan bahwa praktik ilmiahnya
mampu bergabung dengan ideologi yang benar, melainkan
mencari kepastian akan kemungkinan pendasaran sebuah politik
kebenaran yang baru. Masalahnya bukan mengubah kesadaran
warga –atau apa yang ada di dalam kepala mereka–
melainkan kekuasaan produksi kebenaran yang sifatnya politis,
ekonomis dan institusional).
Ini bukanlah masalah emansipasi kebenaran dari setiap sistem
kekuasaan (yang akan menjadi sebuah gagasan yang tidak masuk
akal sebab kebenaran itu sendiri sudah yaitu kekuasaan),
melainkan memisahkan kekuasaan kebenaran dari bentuk-bentuk
hegemoni, sosial, ekonomi dan budaya yang banyak operasi saat ini.
Dapat disimpulkan bahwa pertanyaan politis bukanlah sebuah
kekeliruan, ilusi, kesadaran yang terasingkan atau ideologi, ia yaitu
kebenaran itu sendiri. Foucault mengatakan, A science subordinated in
the main to the imperatives of a morality whose divisions it reiterated
under the guise of the medical norm.
Dengan demikian, ilmu telah bersekongkol dengan suatu praktik
media yang memaksa dan bertubi-tubi menyatakan rasa jijiknya serta
siap untuk memberi bantuan kepada hukum dan pendapat umum.
Tidak hanya ilmu, melainkan agama juga sangat berperan di kalangan
media negara kita , seperti yang kita ketahui dari masalah Infotainment
Silet.
Memang jika hanya berpedoman kepada kaidah cover both
sides, pemberitaan Silet dan juga tayangan-tayangan lain bertemakan
homoseksualitas - yang telah dipaparkan di bagian ini maupun di
bagian sebelumnya - tidak ada yang menyalahi aturan. Tapi, berita
yang berimbang saja tidak cukup sebab selain memiliki fungsi
sebagai media informasi dan hiburan, pers juga harus melakukan
konstruksi positif dengan mendidik warga dan melakukan kontrol
sosial, bukan kontrol atas orientasi seksual tertentu (Pasal 3 UU No.
40/1999). Seyogyanya kemerdekaan pers juga dipahami sebagai
memberi kebebasan pada keyakinan dan orientasi seksual
orang lain. Di sini terletak satu peran penting kelompok LGBTI
pada dunia media, yaitu senantiasa mendidik wartawan agar tidak
melakukan stigmatisasi pada LGBTI, saat dia menyampaikan suatu
berita.
Namun sebab tuntutan pasar, media seringkali tidak punya
pilihan lain. Jika berita yang dibuat itu diminati pasar, maka media
terus menyampaikan informasi ini , meskipun terkadang
bertentangan dengan hak-hak manusia. Sebaliknya, jika berita yang
disajikan tidak disukai pasar, media biasanya juga tidak memberi
bobot pemberitaan yang lebih. Jadi, di sini berlaku hukum supply and
demand, sehingga “agama” media yaitu rating dan oplah.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa selain memiliki fungsi
sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial, pers
nasional juga berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Sebagai lembaga
ekonomi, media harus tunduk kepada pasar dan menyesuaikan
dengan kepentingan para pemilik modal, untuk keberlangsungan
bisnis dan dapat menggaji para karyawannya secara layak. Jika
memakai teori ini sebagai landasan, maka sebenarnya
warga tidak bisa berharap banyak supaya media berfungsi
sebagai media pendidikan dan kontrol sosial. Menurut hemat penulis,
justru warga lah yang harus mendidik dan mengontrol media
supaya tidak kebablasan. Caranya yaitu dengan tidak menonton atau
membaca media yang bersangkutan jika berita yang disajikan tidak
mendidik. Dengan tidak menonton atau membacanya, maka
warga bisa membangkrutkan media ini sebab tidak ada
perolehan iklannya. Begitulah media, lebih membudak kepada
kekuasaan “order” daripada tuntutan kebenaran. Sehingga untuk
menumbuhkan kesadaran media akan fungsi-funsinya di luar fungsi
ekonomis, pemerintah dan warga memiliki peran yang sangat
penting dengan terus mengawasi dan siap untuk selalu memberi
pembelajaran kepada media-media yang melakukan stigmatisasi dan
memberi informasi subjektif dan tidak benar tentang isu-isu
homoseksualitas.
Menutup Celah Diskriminasi di Era Otonomi
Kita patut berbangga sebab pemerintahan negara kita sudah
tidak lagi sentralistik. Jika sebelumnya semua diatur Pusat, di era
otonomi daerah kewenangan didelegasikan kepada kepala daerah.
Kepala daerah punya wewenang besar mengatur daerahnya demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kepala daerah dituntut terus
berinovasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
memperbaiki pelayanan umum seperti kesehatan dan pendidikan.
Namun, di balik sisi positif itu, ada sisi negatif yang perlu
diwaspadai. Dengan otonomi penuh yang diberikan kepada kepala
daerah, mereka bisa melakukan kreasi apa saja. Jika kepala
daerahnya memiliki integritas, kompetensi, visioner, dan seorang
negarawan, barangkali tidak terlalu menjadi persoalan. Tapi jika
kepala daerahnya otoriter, tidak punya kemampuan dan integritas,
serta miskin wawasan kebangsaan, otonomi hanya akan memindahkan
otoritarianisme baru di daerah. Di antara yang paling mencolok
sekarang ini yaitu maraknya pemberlakuan perda bernuansa agama
yang cenderung diskriminatif dan bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi. Atas nama otonomi daerah, para kepala daerah dan
DPRD bebas saja membuat peraturan. jika kepala daerah dan
DPRD awam mengenai hak-hak manusia (human rights), maka
peraturan daerah yang dihasilkan biasanya juga melanggar hak-hak
manusia. Seorang kepala daerah kota Palembang, misalnya. saat
ditanya apakah Perda No. 2 Tahun 2004 yang memasukkan kelompok
homoseksual sebagai bagian dari bentuk pelacuran sehingga harus
84
diberikan hukuman pidana kurungan selama-lamanya enam bulan
atau denda sebanyak-banyaknya Rp 5 juta tidak melanggar HAM,
dengan enteng kepala daerah itu menjawab. ’’Selama HAM itu positif
dan tidak bertentangan dengan agama ya kita pakai. Tapi kalau
bertentangan dengan agama, buat apa kita memakai HAM yang
begituan. Jangan bersembunyi di balik HAM-lah. Kita ini warga
yang beragama,” kata Wakil Walikota Palembang Tolha Hasan kepada
penulis.
Dari gambaran ini jelas bahwa seorang kepala daerah dan juga
DPRD tidak paham tentang hak-hak manusia. Mereka masih
beranggapan bahwa hak-hak manusia bisa berseberangan dengan
agama. Selain itu, mereka juga tidak bisa membedakan antara
pelacuran (suatu kegiatan seksual) dan homoseksual (suatu orientasi
seksual). Padahal, keduanya sangat berbeda. Pelacuran itu perilaku
seksual yang mencari kepuasan seksual di luar ikatan pernikahan yang
sah dengan menerima imbalan baik berupa uang maupun bentuk
lainnya. sedang homoseksual itu orientasi seksual, sebagaimana
juga heteroseksual. Jadi, pelacuran itu bisa dilakukan siapa saja, baik
homoseksual maupun heteroseksual. Dari sini jelas sekali bahwa perda
ini dibuat tanpa melalui kajian akademis dan melibatkan pihak-pihak
terkait. Buktinya, definisi ‘pelacuran’ seenaknya bisa dirubah/diperluas
mencakupi segala hubungan seksual di luar pernikahan, dengan atau
tanpa imbalan pun.
Pertanyaannya yaitu mengapa perda ini bisa lolos? Mestinya,
pada persoalan peraturan daerah, Pusat juga tidak bisa lepas
tangan. Pusat dalam hal ini Departemen Dalam Negeri harus intensif
berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait seperti Departemen Hukum
dan HAM melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan
supaya tidak bertentangan satu dengan peraturan lainnya yang lebih
85
tinggi serta melakukan pengawasan dan pembinaan kepada kepala
daerah. Sebelum diberlakukan, perda harus mendapat persetujuan
dari Menteri Dalam Negeri. Jika memang tidak sesuai semangat
persatuan dan kesatuan bangsa yang berbhinneka tunggal ika, maka
perda ini jangan diloloskan. Jika bertentangan dengan peraturan
yang lebih tinggi, maka jangan disahkan. Jika peraturan itu tidak bisa
diterima warga , maka jangan diberlakukan. Jika melanggar hak-
hak manusia, maka tidak boleh dipaksakan. Sebab, setiap kebijakan
harus dilihat dari empat aspek, yaitu legalitas, sosiologis, politis, dan
hak-hak manusia.
Bagaimana jika perda diskriminatif itu telanjur diberlakukan?
DPRD Kota Palembang dan juga DPRD di daerah-daerah lain yang juga
memberlakukan perda diskriminatif harus segera memakai hak
inisiatif dengan membuat peraturan baru. Alangkah baiknya jika
peraturan baru pengganti perda pemberantasan pelacuran seperti
yang diberlakukan di kota Palembang ini digantikan dengan
pemberantasan kemiskinan melalui pemberdayaan warga . Ini
jauh lebih memberi solusi daripada memberantas pelacuran atau
mengurusi orientasi seksual warganya. Sebab, mereka menjadi
pelacur biasanya sebab tuntutan ekonomi.
Selanjutnya, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan
dan Direktorat Perlindungan HAM, Departemen Hukum dan HAM harus
segera menginventarisasi perda-perda mana saja yang diskriminatif
dan lalu diharmonisasikan denga mengambil langkah-langkah
kongkrit. Yang menjadi persoalannya yaitu bagaimana jika pusat
sendiri tidak paham mengenai hak-hak manusia? Atau paham tapi
sengaja tidak mau tahu?
Pertanyaan ini penting dikemukakan sebab ada indikasi pusat
sengaja meloloskan perda diskriminatif. Tak mungkin perda itu bisa
86
lolos tanpa sepengetahuan atau sepertujuan Menteri Dalam Negeri.
Sebab, perda pertama kali diajukan oleh dinas teknis berupa draft
atau rancangan terlebih dulu. lalu diserahkan ke Pemerintah
Kota dalam hal ini bagian hukum untuk dipelajari dan disempurnakan.
sesudah itu diserahkan ke legislatif dan lalu legislatif membentuk
Panitia Khusus (Pansus). Baru mereka bekerja. Hasilnya
diparipurnakan lalu ditetapkan. Lalu dievaluasi pemerintah provinsi
dan lalu diserahkan ke Pusat atau Departemen Dalam Negeri
(Depdagri). Jadi tidak mungkin Depdagri tidak tahu. Jika memang
kenyataannya seperti ini, maka benarlah adanya bahwa pemerintah
tidak konsisten dalam memenuhi hak-hak manusia dan konsekuen
dengan janjinya. Kalau demikian, lalu siapa yang mengontrol Depdagri
atau Pusat?
Jawabannya yaitu rakyat, lembaga non pemerintah, dan
media. Rakyat bisa mendesak kepada DPRD, Mahkamah Agung (MA),
atau Mahkamah Konstitusi (MK) untuk melakukan judicial review dan
tidak memilih pemimpin yang tidak memiliki komitmen
memperjuangkan hak-hak manusia baik dalam pemilihan
bupati/walikota, gubernur, maupun presiden. Pers juga bisa
melakukan media pressure supaya jangan sampai ada hak-hak
manusia yang dilanggar dan melakukan konstruksi positif kepada
warga mengenai hak-hak manusia.
Menjadikan Agama sebagai Rahmat bagi Semua
Ormas keagamaan turut menjadi penyumbang terbesar bagi
kekerasan pada LGBTI yang terjadi di negara kita . Kekerasan itu
bisa terwujud dalam bentuk teror, ancaman, maupun kekerasan fisik.
Teror pada LSM yang membela kaum LGBTI di Banyumas, Jawa
Tengah, penganiayaan kaum gay di Kaliurang, Yogyakarta, maupun
87
intimidasi pada kaum waria di Jakarta yaitu beberapa contoh
kekerasan yang dilakukan oleh kelompok keagamaan pada
kelompok LGBTI. Benarkah agama mengutuk kaum LGBTI?
Di setiap agama diajarkan mengenai kasih, rahmat, cinta damai,
toleransi maupun perdamaian. Di dalam kitab suci umat Islam,
Alquran, misalnya, disebutkan bahwa nabi Muhammad diutus Tuhan
untuk semua manusia dan untuk memberi rahmat kepada semua
alam. Di dalam Surat Al-Anbiyaa (21): 107 Allah berfirman bahwa
’’Sesungguhnya Aku tidak mengutus engkau Muhammad, kecuali
untuk memberi rahmat bagi seluruh alam. Innaa Arsalnaaka illa
rahmatan lil ’alamin.
Di dalam ayat ini, nabi Muhammad diutus bukan hanya untuk
memberi rahmat bagi umat, tapi juga seluruh manusia dan seisi
alam ini. Bukan untuk menumpahkan darah, berbuat kerusakan di
muka bumi, berbuat anarkis, melakukan kekerasan, atau saling
mencemooh satu dengan lainnya. Inilah ajaran akhlaqul Islamiyyah
(moral islami). Bahkan pada orang kafir, umat Islam diperintahkan
untuk menghormati dan melindunginya. Keberadaan umat Islam di
tengah-tengah warga harus bisa memberi ketenangan dan
kedamaian. Bukan sebaliknya, membuat kegaduhan, anarkisme, dan
menimbulkan keresahan di warga . Apakah Islam juga ramah
pada kelompok LGBTI?
Islam memang menjunjung tinggi seks yang bertujuan
prokreasi, agar bisa bereproduksi dan umat Islam bertambah banyak.
’’Kawinilah wanita yang subur rahimnya (waluud) dan pencinta, sebab
aku (Rasulullah SAW) kelak berbanyak-banyak kepada umat-umat lain
dengan kalian’’. (HR Abu Dawud, An-Nasa’i dan Abu Dawud). Di dalam
Alquran juga disebutkan bahwa seorang isteri itu ibarat ladang bagi
suaminya (an-nisaa’u hartsun lakum) dan seorang suami sebagai
88
petaninya yang harus menggarap tanah tempat bercocok tanam itu
sehingga menghasilkan tanaman. (QS Al-Baqarah (2): 223). Jadi,
ladang di sini yaitu simbol dari prokreasi itu sendiri. Namun,
bukan berarti mengecam homoseksual. Sebab, homoseksual itu
’’given’’ dari Tuhan, selain buah dari konstruksi sosial itu sendiri.
Terkait azab yang ditimpakan kepada umat nabi Luth, menurut
hemat penulis, azab ini sebenarnya lebih disebabkan kepada
pengingkaran kaum Nabi Luth yang mendustakan, mencemooh, dan
mengancam akan mengusir Nabi Luth serta tamu-tamu
kehormatannya, bukannya sebab orientasi seksualnya yang dianggap
menyimpang. Azab juga lebih disebabkan pada kesombongan kaum
Luth yang menantang Tuhan agar menurunkan azab dan siksaan-Nya.
Kesimpulan ini berdasar pada teks suci yang menyebutkan adanya
ancaman kaum Luth yang mengatakan, ’’Hai Luth, sesungguhnya jika
kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang
diusir (lain lam tantahi yaa luuthu latakunanna minal mukhrojin). (QS
Asy-Syura (26): 167). Kaum Luth juga mengatakan bahwa Nabi Luth
sebagai orang yang munafik dan sok suci (innahum unaasun
yatathohharun). (QS Al-A’raaf (7): 82). Selain menghina nabi, kaum
Luth juga memperlakukan tamu-tamu Nabi Luth dengan tidak baik dan
membuatnya malu sampai-sampai Nabi Luth mengatakan,
“Sesungguhnya mereka yaitu tamuku, maka janganlah kamu
memberi malu” (inna haula’i dhoifii falaa tafdhohuun). Parahnya lagi,
kaum Luth yang sombong itu menantang Tuhan agar Dia menimpakan
siksa dan azab pada mereka. Jadi, semua azab yang ditimpakan
kepada umat-umat sebelum dan sesudah Nabi Luth tidak terlepas dari
penolakan dan cemoohan mereka pada utusan-Nya. Banjir Nabi
Nuh, Fira’un yang ditenggelamkan, kaum Saba yang ditimpakan
banjir, kaum Aad yang ditimpakan badai dan sebagainya semuanya
bermuara dari penolakan dan pengusiran pada para utusan-Nya
itu.
Tidak semua umat Islam memiliki pemahaman seperti
penulis. Namun jika ada yang berpandangan lain mengenai status
hukum kelompok LGBTI, hendaknya jangan sampai memaksakan
kehendak dengan menyuruh mereka kembali “ke jalan yang benar’’.
Sebab, boleh jadi mereka yang diolok-olok lebih baik daripada yang
mengolok-olok. Tuhan sendiri tidak pernah membedakan jenis kelamin
atau orientasi seksual seseorang. Tuhan hanya melihat seseorang dari
sejauh mana hamba-Nya bertakwa kepada-Nya. Tuhan berfirman di
dalam QS Al-Hujurat (49): 13 yang berbunyi Inna akromakum
indallahi atqokum. (Sesungguhnya orang yang mulia di sisi Tuhan
yaitu orang yang paling bertakwa). Bukan sebab heteroseksualitas
atau homoseksualitas.
Tuhan sendiri juga sangat demokratis. memberi kebebasan
kepada hamba-Nya untuk memilih beriman atau kafir. ’’Fa man syaa’a
fal yukmin fa man syaa’a fal yakfur’’ (QS Al-Kahfi (18): 29). Jika
Tuhan saja tidak memaksakan kehendak dan memberi kebebasan
kepada hamba-Nya, mengapa anggota ormas keagamaan ini dan itu
melebihi Tuhan? Berbagai macam orientasi seksual itu yaitu
bagian dari kehendak (irodat) Tuhan. Perbedaan itu sebuah
keniscayaan. Seandainya Tuhan menghendaki, bisa saja Tuhan
menjadikan seluruh penduduk bumi ini hanya memiliki satu
orientasi seksual, yaitu heteroseksual. Tuhan Maha Kuasa. Maha
Perkasa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Di dalam Surat
Yasin (36): 82 dinyatakan bahwa, “Wa idza araada syai’an an yaqula
lahu kun fayakun”. Dan jika Tuhan menghendaki sesuatu, Tuhan
tinggal bilang jadilah, maka jadilah. Namun rupanya Tuhan memilih
menjadikan penduduk bumi ini beraneka ragam.
Jadi, tidak ada alasan bagi ormas keagamaan melakukan teror,
intimidasi, berbuat kerusakan, apalagi melakukan kekerasan fisik
pada mereka yang berbeda keyakinan. Apa yang salah jika ada
sekelompok orang mendirikan organisasi yang membela hak-hak
LGBTI seperti perwakilan Arus Pelangi di Banyumas? Apa landasan
melarang kaum LGBTI mengadakan kegiatan Perkemahan Sabtu-
Minggu (Persami) LGBTI pada 16-17 September 2006 di Bumi
Perkemahan Kendalisada, Purwokerto, Jawa Tengah? Apa yang janggal
jika kegiatan itu sudah mendapatkan izin dari aparat keamanan?
Mereka tidak melakukan tindak pidana apapun. Mereka juga tidak
mengganggu orang-orang di sekitarnya. Mengapa harus ada ancaman
dari ormas keagamaan di Purwokerto, Jawa Tengah, yang berbunyi
kalau mereka nekat melakukan kegiatan ini , maka akan
dibubarkan secara paksa? Apalagi jika kita mengingat kembali
peristiwa penyerbuan acara Renungan HIV/AIDS di Kaliurang (2000)
dan usaha penyerbuan Kontes Waria di Jakarta (2005). Selain
serangan secara fisik masih banyak juga ucapan-ucapan di ruang
publik oleh kelompok-kelompok agama, yang memojokkan orang-
orang yang dianggap LGBTI; masalah Infotainment “Silet” hanya salah
satu masalah saja di antara sekian banyak masalah -masalah yang bersifat
stigmatisasi kelompok LGBTI.
Oleh sebab itu, mereka baru bisa dilarang jika kegiatan yang
dilakukan membahayakan orang lain atau mengajak berbuat
kejahatan. Di sinilah dibutuhkan kedewasaan dalam beragama. Tokoh-
tokoh agama seharusnya mengajarkan pemahaman agama yang
inklusif serta mengembangkan budaya yang toleran dan cinta
perdamaian. Bukan sebaliknya, makin menambah keruh suasana.
Mengakui LGBTI sebagai Kelompok Sosial
Kelompok LGBTI selama ini masih belum mendapat pengakuan
sebagai sebuah kelompok social di tingkat internasional. Padahal
jika mengacu kepada definisi kelompok sosial yang diberikan oleh
Robert Bierstedt15, kelompok LGBTI seharusnya telah diakui sebagai
kelompok sosial. sebab selama ini kelompok warga dengan
orientasi seksual berbeda ini telah berbaur, berinteraksi, dan
membentuk kelompok ataupun komunitas atas dasar kesadaran dan
pilihan mereka sendiri. lalu kelompok LGBTI juga telah lama
membangun hubungan positif dengan anggota kelompok warga
lainnya.
Menurut Robert Bierstedt, kelompok warga dapat terbentuk
sebab ada beberapa individu yang mengikatkan diri satu sama lain
atas dasar pilihannya sendiri ataupun secara kebetulan. Pembentukan
kelompok itu dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kesamaan dan
kedekatan.
Kelompok memiliki banyak jenis dan dibedakan berdasar ada
tidaknya organisasi, hubungan sosial antara kelompok, dan kesadaran
jenis. Bierstedt lalu membagi kelompok menjadi empat macam:
1. Kelompok statistik, yaitu kelompok yang bukan organisasi, tidak
memiliki hubungan sosial dan kesadaran jenis di antaranya.
Contoh: Kelompok penduduk usia 10-15 tahun di sebuah
kecamatan.
2. Kelompok kewarga an, yaitu kelompok yang memiliki
persamaan tetapi tidak memiliki organisasi dan hubungan
sosial di antara anggotanya. Contoh: kelompok petani.
3. Kelompok sosial, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki
kesadaran jenis dan berhubungan satu dengan yang lainnya,
tetapi tidak terikat dalam ikatan organisasi. Contoh: Kelompok
suku Badui.
4. Kelompok asosiasi, yaitu kelompok yang anggotanya memiliki
kesadaran jenis dan ada persamaan kepentingan pribadi
maupun kepentingan bersama. Dalam asosiasi, para
anggotanya melakukan hubungan sosial, kontak dan
komunikasi, serta memiliki ikatan organisasi formal. Contoh:
kelompok bissu, kelompok agama, sekolah dll.
Mengenai perilaku kelompok, sebagaimana semua perilaku
sosial, sangat dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku dalam
kelompok itu. Sebagaimana dalam dunia sosial pada umumnya,
kegiatan dalam kelompok tidak muncul secara acak. Setiap kelompok
memiliki suatu pandangan tentang perilaku mana yang dianggap
pantas untuk dijalankan para anggotanya. Norma atau hukum inilah
yang mengarahkan interaksi kelompok.
Norma atau hukum muncul melalui proses interaksi yang
perlahan-lahan di antara anggota kelompok. Pada saat seseorang
berperilaku tertentu pihak lain menilai kepantasan atau ketidak-
pantasan perilaku ini , atau menyarankan perilaku alternatif
(langsung atau tidak langsung). Norma terbentuk dari proses
akumulatif interaksi kelompok. Jadi, saat seseorang masuk ke dalam
sebuah kelompok, perlahan-lahan akan terbentuk norma atau hukum,
yaitu norma atau hukum kelompok.
Keaneka-ragaman budaya dan kearifan lokal kekayaan bagi
bangsa negara kita . Oleh sebab itu sangat menyedihkan jika melihat
budaya bissu yang unik itu nyaris dimusnahkan oleh kelompok-
kelompok Islam garis keras. usaha pemberantasan para bissu, secara
fisik maupun psiko-sosial, itu berlangsung pada tahun ’60 - ‘70an;
pada jaman itu wacana tentang HAM memang belum muncul. Dengan
berkembangnya otonomi daerah belakangan ini, diharapkan kesadaran
pemda atas pentingnya budaya dan kearifan lokal bisa melestarikan
budaya-budaya lokal secara umum, dan budaya bissu secara khusus.
Begitu pula budaya-budaya yang sedang muncul sebagai
dampak globalisasi, termasuk kelompok-kelompok LGBTI yang tumbuh
lebih subur di tempat-tempat urban. Kebutuhan mereka untuk
berkelompok dan akhirnya menjadi kelompok yang nyata di depan
mata warga yaitu cerminan dari perubahan jaman yang sedang
berlangsung.
Pemerintah yang hanya mengulur-ulur waktu dalam pengakuan
kelompok LGBTI, seperti halnya dengan Arus Pelangi Banyumas,
sangat merugikan; seolah-olah membenarkan stigma LGBTI sebagai
potensial ‘pengacau warga ’. Padahal sesuai ketentuan Pasal 10
ayat (3) UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan
Pendapat di Muka Umum, kegiatan Persami maupun berdirinya LSM
Arus Pelangi ini sudah sah secara hukum sebab dilakukan atas dasar
tujuan yang damai. Dan secara hukum pula, bentuk ancaman yang
dilakukan KAMMI dan ormas-ormas Islam di Purwokerto lainnya
yaitu pelanggaran pada hak atas kebebasan berkumpul
yang telah diatur di dalam pasal 28 E ayat (3) UUD 1945, pasal 24
ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta pasal 21 kovenan
Internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi
negara kita melalui UU No 12 Tahun 2005.
berdasar hal di atas, kelompok LGBTI, yang sendirinya juga
beraneka-ragam, dan juga kelompok pembela hak-hak manusia harus
terus mendorong pemerintah RI pada khususnya serta Negara-negara
di dunia pada umumnya untuk mengakui kelompok LGBTI sebagai
kelompok sosial. saat kelompok LGBTI dapat diakui sebagai
kelompok sosial di tingkat nasional maupun di tingkat internasional,
usaha -usaha untuk mendorong pemakaian istilah LGBTI sebagai suatu
terminologi hukum yang baku serta usaha mendorong pembentukan
aturan-aturan hukum khusus yang dapat melindungi hak-hak
kelompok LGBTI, baik di tingkat internasional maupun di tingkat
nasional akan semakin terbuka.
Memaksimalkan Fungsi Institusi Negara/
Pemerintahan
Sekilas memang Negara ini terlihat telah melakukan usaha
perlindungan hak-hak warga negaranya. Hal itu dapat terlihat dari
sederetan kovenan internasional tentang hak-hak manusia yang telah
diratifikasi sejak beberapa tahun belakangan ini. Kita ambil contoh
International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights
(ICESCR) yang telah diratifikasi negara kita melalui UU No. 11 Tahun
2005. lalu International Covenant on Civil and Politic Rights
(ICCPR) yang juga telah diratifikasi negara kita melalui UU No. 12 Tahun
2005. Di mata Internasional negara kita telah dianggap memiliki
political will yang baik untuk memajukan hak-hak manusia dengan
meratifikasi kedua kovenan penting ini .
Di tingkat nasional warga awam juga akan melihat bahwa
pemerintah telah melakukan pemajuan hak-hak manusia bagi warga
negaranya. Pemikiran itu tentunya juga didasari atas beberapa
peraturan perundang-undangan tentang hak-hak manusia yang telah
diberlakukan di negara kita . Kita sebut saja UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Tidak ketinggalan pula beberapa lembaga hak-hak
manusia yang telah dibentuk oleh Negara ini. Sebut saja beberapa
lembaga seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
Pengadilan HAM (baik yang bersifat permanen ataupun ad hoc) dan
Komisi Ombudsman Nasional. Keberadaan lembaga-lembaga itu
tentunya akan membuat warga awam bertambah yakin bahwa
Negara telah menjunjung tinggi hak-hak manusia dan memberi
pelayanan yang bagus kepada warga .
Namun di luar pemahaman warga yang disebabkan
kurangnya sosialisasi peraturan perundang-undangan tentang hak-hak
manusia yang dilakukan oleh pemerintah, ada beberapa fakta yang
sangat mengejutkan, yaitu Komnas HAM hanya memiliki
kewenangan yang sangat terbatas dan Pengadilan HAM yang mandul.
Sebenarnya dengan kewenangan dan kinerja kedua institusi itu
sampai dengan saat ini hanya menambah beban pembiayaan Negara
saja setiap tahunnya. sebab tidak ada hal signifikan yang dilakukan
oleh keduanya terkait dengan penyelesaian masalah -masalah pelanggaran
hak-hak manusia yang dapat memberi rasa keadilan bagi korban.
Sekarang penulis akan memaparkan apa saja kewenangan
Komnas HAM itu. Sebenarnya tujuan pembentukan Komnas HAM
sendiri sangatlah mulia. berdasar pasal 75 UU No. 39 Tahun 1999
tentang HAM, ada dua tujuan dibentuknya Komnas HAM, yaitu:
1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak
asasi manusia sesuai dengan Pancasila, Undang-undang Dasar
1945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia; dan
2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia
guna berkembangnya pribadi manusia negara kita seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Sayangnya tujuan semulia itu tidak ditopang oleh kewenangan
Komnas HAM yang telah diberikan Negara dalam hal penanganan
masalah -masalah pelanggaran hak-hak manusia di negara kita . Tidak jauh
berbeda dengan hukum acara pidana yang berlaku di negara kita ,
hukum acara yang diberlakukan untuk masalah pelanggaran hak-hak
manusia secara garis besar juga terbagi menjadi tiga bagian utama,
yaitu:
1. Penyelidikan
2. Penyidikan
3. Pemeriksaan di pengadilan
berdasar pasal 18 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM, Komnas HAM hanya memiliki kewenangan untuk melakukan
penyelidikan pada pelanggaran hak asasi manusia yang berat
(gross human rights violation). sedang sesuai dengan ketentuan
pasal 21 UU 26/2000, kewenangan penyidikan diserahkan kepada
Jaksa Agung RI yang yaitu salah satu agen pemerintah.
Definisi pelanggaran hak-hak manusia yang diatur di dalam
pasal 1 Angka 6 UU No. 39/1999 yaitu setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun
tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang
ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasar
mekanisme hukum yang berlaku. lalu menurut pasal 7, 8, dan 9
UU No. 26/2000 dijelaskan bahwa pelanggaran hak-hak manusia yang
berat meliputi:
1. Kejahatan genosida;
Kejahatan genosida yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok
bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara:
a. Membunuh anggota kelompok;
b. Mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat pada anggota-
anggota kelompok;
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan
kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
d. Memaksakan gerakan -gerakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok; atau
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
2. Kejahatan pada kemanusiaan;
Kejahatan pada kemanusiaan yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya
bahwa serangan ini ditujukan secara langsung pada penduduk sipil,
berupa:
a. Pembunuhan;
b. Pemusnahan;
c. Perbudakan;
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara
sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum
internasional;
f. Penyiksaan;
g. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan
kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk
kekerasan seksual lain yang setara;
h. Penganiayaan pada suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama,
jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal
yang dilarang menurut hukum internasional;
i. Penghilangan orang secara paksa; atau
j. Kejahatan Apartheid.
Maastricht Guidelines yang mengelaborasikan prinsip-prinsip
untuk mengarahkan implementasi ICESCR, telah membantu
mengentalkan lebih lanjut konsep pelanggaran hak-hak manusia bagi
baik pelaku negara maupun pelaku non-negara, meski tetap dengan
penekanan pada peran negara. Arahan Maastricht ini menyediakan
dasar utama bagi identifikasi pelanggaran hak-hak manusia. Arahan
ini menyatakan juga bahwa pelanggaran terjadi lewat acts of
commission (gerakan untuk melakukan) oleh pihak negara atau pihak
lain yang tidak diatur secara memadai oleh negara, atau lewat acts of
ommission (gerakan untuk tidak melakukan gerakan apapun) oleh
negara. Pelanggaran hak-hak manusia oleh pihak negara, baik berupa
acts of commission maupun acts of ommission, dapat dilihat dalam hal
kegagalannya untuk memenuhi tiga jenis kewajiban yang berbeda,
yaitu:
1. Kewajiban untuk menghormati
Kewajiban untuk menghormati hak-hak manusia menuntut
negara, dan semua organ dan agen (aparat)-nya, untuk tidak
bertindak apapun yang melanggar integritas individu atau kelompok
atau pelanggaran pada kebebasan mereka.
2. Kewajiban untuk melindungi
Kewajiban untuk melindungi hak-hak manusia menuntut negara
dan agen (aparat)-nya melakukan gerakan yang memadai guna
melindungi warga negaranya dari pelanggaran hak-hak individu atau
kelompok, termasuk pencegahan atau pelanggaran atas penikmat
kebebasan mereka.
3. Kewajiban untuk memenuhi
Kewajiban untuk memenuhi hak-hak manusia menuntut negara
meberikan pelayanan yang memadai untuk menjamin setiap orang di
dalam ruang lingkup yurisdiksinya untuk memberi kepuasan
kepada mereka yang memerlukan pelayanan yang telah dikenal di
dalam instrumen hak-hak manusia dan tidak dapat dipenuhi oleh
usaha pribadi.
Dari beberapa definisi di atas terlihat bahwa negara memiliki
potensi yang besar untuk menjadi subjek pelanggaran hak-hak
manusia. Walaupun kelompok ataupun individu non-negara juga
memiliki potensi untuk melakukan pelanggaran hak-hak manusia.
Sehingga penunjukan Jaksa Agung sebagai pihak yang diberi
kewenangan untuk melakukan penyidikan pada masalah -masalah
pelanggaran HAM tidak akan efektif saat terjadi masalah pelanggaran
hak-hak manusia yang melibatkan aparat pemerintahan sendiri
sebagai dugaan pelaku pelanggaran HAM. Dalam penanganan
beberapa masalah pelanggaran hak-hak manusia terbukti bahwa Jaksa
Agung berusaha menggagalkan penanganan masalah -masalah itu dengan
mengembalikan berkas penyelidikan kepada Komnas HAM dengan
alasan hasil pemeriksaan Komnas HAM kurang lengkap. Padahal
sebagai aparat penyidik dan jika Jaksa Agung memiliki itikad
baik untuk mengatasi masalah -masalah seperti itu, Jaksa Agung dapat
membantu melengkapi berkas penyelidikan dari Komnas HAM. Hal itu
didasarkan atas ketentuan pasal 21 ayat (2) UU No. 26/2000 yang
menjelaskan bahwa di dalam melakukan penyidikan, Jaksa Agung juga
memiliki kewenangan untuk menerima laporan atau pengaduan,
bahkan mengambil inisiatif sendiri melakukan penyidikan.
Dari penjelasan pasal 7, 8, dan 9 UU 26/2000 di atas jelas
terlihat bahwa pembentukan pengadilan HAM di negara kita , baik yang
bersifat permanen atupun ad hoc, hanya diperuntukkan bagi
pemeriksaan masalah -masalah pelanggaran hak-hak manusia yang berat.
Itupun hanya terbatas pada pelanggaran hak-hak sipil dan politik.
sedang masalah -masalah pelanggaran hak-hak manusia lainnya,
terutama yang terkait dengan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial,
dan budaya, tidak mendapatkan tempat di dalam UU 26/2000. Padahal
negara kita telah menyatakan komitmennya untuk memajukan hak-hak
manusia bagi warga negaranya dengan meratifikasi ICCPR dan
ICESCR. Belum lagi beberapa kovenan/konvensi internasional lainnya
yang juga telah diratifikasi oleh negara kita , seperti Convention Against
Torture (CAT) dan The Convention on the Elimination of All Forms of
Discrimination against Women (CEDAW).
Di dalam tataran implementasinya UU 26/2000 ini juga tidak
efektif. Hal ini tercermin dari sedikitnya masalah pelanggaran hak-hak
manusia yang disidangkan di Pengadilan HAM, baik yang bersifat
permanent ataupun ad hoc. Yang lebih aneh lagi, tidak ada satupun
aparat pemerintah yang dapat dijerat dan dihukum oleh UU ini.
jika kita membaca uraian beberapa masalah kekerasan yang
diungkapkan dalam bagian sebelumnya, jelas terlihat bahwa ada
keterlibatan negara dalam beberapa masalah itu, baik berupa acts of
commission (gerakan untuk melakukan) maupun acts of ommission
(gerakan untuk tidak melakukan gerakan apapun). Contoh-contoh
acts of ommission yang dilakukan aparat pemerintah terlihat dalam
masalah masalah pembunuhan tiga waria di Jakarta Barat dan kematian
Elly Susana di Jakarta Pusat. Dari pemaparan masalah itu dengan mudah
kita dapat menyatakan bahwa kematian tiga waria ada kaitannya
dengan aparat penegak hukum yang menangkap mereka terlebih
dahulu sebelum mereka tertembak mati. Begitu pula kematian Elly
tidak akan terjadi jika Satpol PP tidak melakukan razia secara
brutal pada komunitas waria di Taman Lawang, Menteng, Jakarta
Pusat pada saat itu. Sewajarnya suatu razia yang dilakukan oleh
aparat keamanan pada warga dilakukan dengan cara yang
manusiawi dan bersifat persuasif. Namun dari fakta di lapangan
ataupun hasil dokumentasi berbagai media massa, razia yang
dilakukan oleh Satpol PP selalu terlihat biadab. Mereka melakukan
pengejaran pada kelompok warga yang menjadi target razia
mereka, melakukan penyiksaan, dan juga perusakan barang-barang
milik warga . Begitu juga dengan razia yang dilakukan oleh Satpol
PP pada komunitas waria di Taman Lawang pada saat itu. Mereka
mengejar waria seakan-akan waria itu bukan manusia, melakukan
berbagai bentuk tindak kekerasan pada waria, membakar gubuk
dan warung milik warga di sekitar taman itu, dan akhirnya
mengakibatkan Elly meninggal di sungai Ciliwung yang arusnya deras
sekali sebab saat itu musim hujan. Contoh lainnya yaitu masalah
penyiksaan Toyo yang dilakukan oleh kepolisian NAD. Di dalam masalah
itu sebenarnya aparat kepolisian NAD – secara individual - yang
melakukan penyiksaan pada Hartoyo beserta pasangannya, tidak
hanya melakukan tindak pidana. Mereka juga dapat dikatakan telah
melakukan pelanggaran hak-hak manusia. sebab pada saat peristiwa
itu berlangsung, aparat kepolisian itu sedang dalam keadaan bertugas,
mereka memakai atribut kepolisian, dan penyiksaan itu dilakukan di
kantor kepolisian.
Dalam masalah pembunuhan tiga waria di Jakarta Barat aparat
kepolisian yang mengeluarkan pernyataan bahwa mereka yaitu
kriminal yang tertembak saat melarikan diri; berarti ada pengakuan
bahwa aparat yang menembak mereka. Seharusnya ada penyidikan
lebih lanjut. Sayangnya saat itu tidak ada satu lembaga pun yang
mendorong masalah ini diselidiki lebih dalam sehingga masalah ini
terbenam sampai sekarang.
Betapa bedanya sikap aparat penegak hukum pada saat dihadapi
dengan masalah mutilasi antara sesama gay, seperti masalah Ryan, yang
meletus pada bulan Juli 2008. sebab tersangka mengaku dirinya gay
dan membunuh beberapa orang gay yang yaitu teman intimnya,
maka segala tenaga dan keahlian dikerahkan untuk menuntaskan
masalah ini. Dan kepolisian terlihat sangat bangga mendapat sorotan
penuh dari media massa yang tidak habisnya menyoroti kaitan antara
homoseksualitas dan kekejaman.
Untuk contoh acts of omission yang dilakukan oleh aparat
pemerintah, dalam hal ini kepolisian, terlihat dalam masalah
penyerangan acara Kerlap-Kerlip Warna Kedaton di Yogyakarta.
Seharusnya aparat kepolisian tidak hanya dapat melakukan
penangkapan pada anggota ormas agama yang melakukan
penyerangan pada saat itu. Aparat kepolisian seharusnya dapat
melengkapi dan melimpahkan berkas perkaranya kepada kejaksaan
negeri setempat, mengingat banyak sekali saksi mata yang melihat
kejadian ini . Sayangnya aparat kepolisian tidak melakukan hal
itu dan membiarkan anggota GPK yang melakukan penyerangan
terbebas dari jeratan hukum yang setimpal atas perbuatan yang telah
mereka lakukan pada saat itu. Tentunya selain telah melakukan
pelanggaran hak-hak manusia – sebab telah melakukan pembiaran
pada ormas agama itu – aparat kepolisian juga telah menciptakan
presedent buruk bagi penegakan hukum dan hak-hak manusia di
negara kita , yaitu melegitimasi gerakan kekerasan yang dilakukan oleh
sekelompok warga yang mengatasnamakan agama. Contoh lain
yaitu usaha pembubaran Kontes Waria di Jakarta, Juni 2005. Disini
terlihat aparat keamanan sedikit lebih pro-aktif dengan mencegah niat
FPI yaitu melakukan tindak kekerasan demi membubarkan Kontes
Waria ini . Mungkin saja aparat kepolisian lebih sadar atas
kerugian yang bisa dialami Negara jika kerusuhan dibiarkan, sebab
tempat itu yaitu tempat yang sangat ramai di jantung kota.
Dari pemaparan di atas terlihat jelas bahwa Negara belum
mampu melindungi hak-hak kelompok LGBTI. Terutama hak atas rasa
aman dan perlakuan hukum yang adil. Namun tidak berarti usaha
mencari keadilan bagi kelompok LGBTI harus dihentikan. usaha
menuntut keadilan harus tetap dilakukan. Caranya yaitu dengan
mencari celah hukum dan menjadikan instrumen hukum itu sebagai
dasar hukum bagi advokasi hak-hak kelompok LGBTI.
Khusus untuk advokasi masalah kekerasan pada kelompok
LGBTI seperti sudah dicontohkan dalam bagian sebelumnya – melalui
pemaparan masalah – Arus Pelangi sebagai ornop yang mendedikasikan
dirinya untuk kerja-kerja advokasi hak-hak kelompok LGBTI, telah
melakukan beberapa hal terkait dengan penggunaan celah hukum
sebagai dasar advokasi legal untuk beberapa masalah kekerasan
pada LGBTI. Salah satu contohnya yaitu masalah pembunuhan
waria (Vera) yang terjadi di Purwokerto, Jawa Tengah. Di dalam masalah
itu terlihat jelas pihak kepolisian pada awalnya melakukan diskriminasi
dengan tidak memprioritaskan penanganan hukum masalah itu. Bahkan
pihak kepolisian membandingkan masalah penghilangan nyawa itu
dengan masalah pencurian kendaraan bermotor. berdasar hal itu,
Arus Pelangi telah melayangkan beberapa surat pengaduan kepada
Kapolri, Ketua Komnas HAM, dan Ketua DPR-RI. Ternyata efektif juga.
Beberapa waktu lalu – didasarkan atas MOU Penanganan masalah
pelanggaran hak-hak manusia antara Komnas HAM dengan POLRI –
salah seorang komisioner Komnas HAM dari sub. Perlindungan
Kelompok Khusus (PKK) melayangkan surat tekanan kepada Kapolri,
Kapolda Jawa Tengah, dan Ketua DPR-RI. sesudah menerima surat dari
Komnas HAM itu, Kapolda Jawa Tengah langsung memerintahkan
jajaran kepolisian resort Banyumas dan sektor Purwokerto Selatan
untuk segera melakukan penyelidikan dan penyidikan atas masalah itu.
Namun Polsek Purwokerto Selatan masih sangat tergantung pada
masukan informasi dan dana dari Arus Pelangi dalam menjalankan
tugasnya. sesudah beberapa saksi diperiksa, akhirnya polisi dapat
mengidentifikasi tersangka. sesudah beberapa bulan pasang surut
proses hukum masalah Vera, akhirnya pada 2007 polisi berhasil
menangkap tersangka pembunuhan, melimpahkan berkas perkaranya
kepada pihak kejaksaan negeri Purwokerto, dan Pengadilan Negeri
menyidangkan dan memutuskan perkara ini. Hasilnya Gogi – pelaku
pembunuhan Vera – dinyatakan bersalah dan dihukum 6 tahun
penjara.
Proses hukum masalah pembunuhan Vera itu juga telah menjadi
precedent yang cukup positif bagi masalah -masalah pembunuhan LGBTI
lain yang terjadi sesudah itu. Di dalam beberapa masalah , seperti masalah
mutilasi waria di Bogor, Jawa Barat, (2007) dan masalah pembunuhan
gay di Pekan Baru, Riau (2007), aparat kepolisian mampu mengung-
kap para pelakunya dalam waktu beberapa minggu saja.
Hal lain yang dilakukan oleh Arus Pelangi yaitu melakukan
advokasi kebijakan publik yang terkait dengan hak-hak LGBTI.
Bersama-sama dengan NGO lainnya yang tergabung dalam Komite
Anti Diskriminasi negara kita (KADI), sejak 2006 Arus Pelangi aktif
melakukan advokasi pada Rancangan Undang-Undang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (RUU PDRE). Tuntutan KADI
yang terus didesakkan kepada DPR-RI yaitu memperluas cakupan
RUU sehingga kelompok-kelompok marginal lainnya, seperti LGBTI,
Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), agama minoritas, penyandang
cacat, mendapatkan dasar perlindungan hukum yang lebih kuat dari
Negara. Saat ini RUU itu masih dibahas di DPR-RI.
Kebijakan lainnya yang menjadi sorotan Arus Pelangi yaitu
Perda Prov. Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 dan Perda Kota
Palembang No. 2 Tahun 2004. Di dalam kedua perda itu, LGBT
dikategorikan sebagai bagian dari bentuk pelacuran. Selama kedua
perda itu belum dicabut, Arus Pelangi akan terus mencela pemerintah
RI di tingkat internasional (to name and shame). Hingga saat ini
dampak sosial yang positif dari advokasi yang dilakukan Arus Pelangi
mulai terlihat. Hal itu dibuktikan dengan kesuksesan acara temu waria
se-Sumatera Selatan yang diadakan di Palembang oleh Forum
Komunikasi Waria Sumatera Selatan (2008). Acara itu berjalan dengan
aman dan dihadiri oleh beberapa pejabat setempat serta ratusan
orang LGBTI di sana.
Lain lagi dengan perda DKI Jakarta No. 8 Tahun 2007 tentang
Ketertiban Umum (Perda Tibum). Di dalam perda itu pekerjaan-
pekerjaan informal yang biasa digeluti oleh warga miskin kota, seperti
pengamen, pedagang kaki lima, dan PSK, dikriminalkan oleh Pemda
DKI Jakarta. Tidak hanya itu, orang-orang yang mengidap ‘penyakit
yang meresahkan warga ’ dilarang berada di tempat-tempat
Publik. Hal itu sangat berpengaruh bagi komunitas LGBTI dan ODHA
yang tinggal di Jakarta. Walaupun tetap diberlakukan oleh Pemda DKI
Jakarta, Arus Pelangi bersama-sama dengan NGO lain yang tergabung
dalam Aliansi Rakyat Miskin (ARM) tetap tidak lelah mencari celah
hukum dan melakukan usaha hukum untuk melawan keberadaan
perda diskriminatif itu. Sayangnya gugatan judicial review pada
Perda Tibum yang diajukan oleh ARM ditolak oleh Mahkamah Agung RI
(MA). Namun ARM masih terus memikirkan dan melakukan langkah-
langkah advokasi untuk masalah -masalah pemiskinan dan pembodohan di
DKI Jakarta.
Walaupun ada beberapa usaha hukum yang dapat dilakukan
guna menuntut hak-hak kelompok LGBTI, tidak berarti hak-hak
kelompok LGBTI sebagai warga negara negara kita telah diakomodir
oleh Negara. Masih banyak usaha -usaha atau gerakan -gerakan yang
harus dilakukan oleh pemerintah, warga , dan komunitas LGBTI
untuk memajukan hak-hak kelompok LGBTI di negara kita .
Pemerintah (eksekutif dan legislatif) harus merumuskan
kebijakan-kebijakan teknis sebagai turunan dari ICCPR dan ICECSR,
terutama yang terkait dengan perlindungan hak-hak kelompok LGBTI.
Sebetulnya turunan-turunan itu bisa langsung dibaca di Yogyakarta
Principles. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah yaitu
memperluas cakupan Rancangan Undang-Undang Penghapusan
Diskriminasi pada Ras dan Etnis (RUU PDRE). lalu sesudah
judul RUU itu dirubah, maka pemerintah harus mempelajari,
memahami, dan mengaplikasikan ketentuan-ketentuan Deklarasi
Montreal dan Yogyakarta Principles ke dalam RUU Penghapusan
Diskriminasi itu.
Pemerintah (pemerintah pusat dan pemerintah daerah) harus
meninjau ulang, melakukan revisi, ataupun pencabutan kebijakan-
kebijakan yang mendiskriminasikan hak-hak kelompok LGBTI.
Langkah kongkret yang dapat dilakukan oleh pemda yaitu melakukan
revisi pada perda-perda yang mendiskriminasikan kelompok
masryarakat yang terus dimarginalkan, seperti kelompok wanita ,
LGBTI, agama minoritas, penganut kepercayaan, ODHA, penyandang
cacat, orang miskin, petani, buruh, dll. Di dalam masalah perda Prov.
Sumatera Selatan No. 13 Tahun 2002 dan perda kota Palembang No.
2 Tahun 2004, Pemda setempat (eksekutif dan legislatif) harus
menginisiasi proses revisi pada kedua perda itu dengan melibatkan
pihak-pihak yang terkait dengan perda-perda itu, baik secara langsung
maupun secara tidak langsung. Kajian akademis dari para ahli hukum,
hak-hak manusia, maupun ahli sosiologi harus direalisasikan terlebih
dahulu oleh pemda setempat. Namun ingat, para ahli ini juga
harus terbebas dari segala paksaan dan dari segala kepentingan
politik, serta memperhatikan hak-hak kelompok warga yang
dijadikan objek perda-perda itu. Pendapat-pendapat dari semua
kelompok warga juga harus ditampung dan dijadikan dasar
pembahasan revisi perda-perda itu oleh pemda setempat. Pemda
setempat juga harus memastikan saluran-saluran untuk menampung
pendapat warga terbuka lebar bagi semua kelompok warga
yang hendak menyampaikan pendapatnya. lalu pemda harus
melakukan mensosialisasikan proses pembahasan revisi perda-perda
itu kepada publik.
Pemerintah pusat (Presiden dan DPR-RI) juga harus merevisi UU
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah harus
mencantumkan ketentuan tentang kewenangan pemerintah pusat
dalam melakukan intervensi pada perda-perda yang melanggar
hak-hak manusia, keharusan pemda untuk mensosialisasikan rencana
pembuatan perda kepada pemerintah pusat, dan sanksi pada
pemda-pemda yang tidak mengirimkan tembusan perda kepada
pemerintah pusat. Sehingga nantinya kewenangan Depdagri tidak
hanya dapat melakukan intervensi pada perda-perda yang
berkaitan dengan anggaran daerah saja seperti sekarang ini. Perda-
perda yang sarat dengan pelanggaran hak-hak manusia juga dapat
diintervensi oleh Depdagri.
Lembaga yudikatif (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan) harus
memastikan pelaku kekerasan dan penghilangan hak-hak kelompok
LGBTI mendapatkan proses dan sanksi hukum yang setimpal. Sudah
saatnya lembaga yudikatif di negara kita terlepas dari kepentingan
penguasa dan terbebas dari kepentingan politik atau pengaruh agama
apapun. Mereka harus menjunjung tinggi prinsip keadilan bagi korban
dan bukan prinsip keadilan bagi pelaku kejahatan seperti yang sering
dilakukan oleh kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan di negara kita .
Terkait dengan kewenangan Komnas HAM, pemerintah harus
segera melakukan revisi UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dan juga
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Definisi pelanggaran
hak-hak manusia harus diperluas mencakup pelanggaran hak-hak
manusia berbasiskan orientasi seksual. Kewenangan Komnas HAM
juga harus diperluas sampai dengan tahapan penuntutan masalah -masalah
pelanggaran hak-hak manusia ke pengadilan. Sehingga anggaran
negara tidak hanya dihabiskan untuk masalah -masalah pelanggaran hak-
hak manusia yang tidak pernah disidangkan sebab Kejaksaan Agung
dan Komnas HAM selalu bersiteru dengan kelengkapan berkas masalah -
masalah pelanggaran hak-hak manusia. lalu pelanggaran hak-hak
ekonomi, sosial, dan budaya (hak ekosob) juga harus mendapatkan
prioritas di dalam revisi ini . Pemerintah harus merumuskan
mekanisme penanganan pelanggaran hak-hak ekosob dari mulai
penyelidikan sampai dengan proses persidangan di pengadilan di
dalam revisi kedua UU itu.
Sementara proses revisi UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26
Tahun 2000 belum dimulai oleh pemerintah, Komnas HAM harus terus
melakukan usaha -usaha mediasi untuk mengatasi masalah -masalah
pelanggaran hak-hak kelompok LGBTI sebelum perkaranya sampai ke
tingkat pengadilan. Mediasi ini menjadi penting mengingat masalah -
masalah ini sering berbentuk gerakan diskriminatif yang tidak diatur
dalam perundang-undangan. Komnas HAM bisa memberi pemahaman
tentang HAM dan diskriminasi kepada pihak pelaku, agar mereka
sadar dan lebih peka pada kelompok LGBTI. Peran ketiga ini –
selain penyelidikan dan mediasi – yaitu Sosialisasi HAM bisa
dimanfaatkan oleh Komnas HAM untuk membela hak-hak kelompok
LGBTI secara tidak langsung. Tingkat koordinasi dengan aparat
penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan harus terus
ditingkatkan dengan memberi mereka pengertian tentang kelompok
LGBTI yaitu kelompok sosial, bukan ‘musuh warga ’ (public
enemy).
Sebaliknya, masalah -masalah kekerasan pada kelompok LGBTI
seharusnya dapat diproses secara hukum di pengadilan, walaupun di
dalam ranah hukum pidana, bukan dalam ranah hukum hak-hak
manusia. Komnas HAM juga harus mendesak pemerintah untuk segera
merealisasikan proses revisi UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000.
Sungguh menyedihkan membaca berbagai masalah yang melibatkan korban dari
kelompok LBGT (lesbian, bisexual, gay dan transsexual). Di satu sisi mungkin kita
melihat tidak ada bedanya masalah kekerasan yang dialami para waria dengan masalah
kekerasan yang dialami oleh warga miskin kota. Jika para pedagang kaki lima
dikejar-kejar oleh tramtib sebab mengganggu warga , demikian pula waria
dikejar dan ditangkap sebab alasan yang sama. Lalu mengapa kekerasan pada
LGBT perlu diangkat dan dibedakan dari kekerasan lainnya?
Kekerasan pada kaum LGBT berbeda sebab seringkali aparat negara
melakukan tindak kekerasan justru sebab perbedaan orientasi seksual kaum ini.
Proses identifikasi diri dari kaum LGBT bukanlah hal yang mudah dilakukan,
umumnya proses identifikasi diri dan pilihan orientasi seksual yaitu proses
seumur hidup dengan berbagai penolakan keluarga hingga lingkungan, bahkan
penolakan diri sendiri. Penolakan lingkungan pada kaum LGBT dijewantahkan
melalui berbagai justifikasi moral dan agama. Mulai dari kata “menyimpang” hingga
“sesat” muncul menghakimi kaum ini.
Membaca masalah -masalah kekerasan pada kaum LGBT jelas menandakan
bahwa negara sudah masuk dalam ranah privat kaum ini sebab memaksa mereka
untuk meninggalkan identifikasi diri yang dianggap “menyimpang” itu demi sebuah
“moral publik” yang konsepnya memakai pandangan mayoritas pada
minoritas. Padahal proses identifikasi diri dan pencarian jati diri seorang manusia
yaitu sebuah ranah privat yang tidak dapat diintervensi oleh siapa pun,
bahkan orang-orang terdekatnya. Dalam proses pengidentifikasian diri inilah harga
diri dan martabat (dignity) seorang manusia melekat. Martabat manusia yaitu hal
yang paling hakiki sebagai manusia. Dalam konvensi internasional dan UUD 1945
amandemen beserta UU HAM telah juga menyatakan bahwa martabat manusia
yaitu kebebasan pribadi dan haruslah dilindungi tanpa diskriminasi.
Membaca masalah -masalah kekerasan pada kaum LGBT dan peraturan yang
terbentuk di beberapa daerah di negara kita jelas menandakan bahwa aparat
negara melakukan diskriminasi dan tindak kekerasan pada kaum ini sebab
perbedaan orientasi seksual mereka yang dianggap akan menyebabkan masalah
ketertiban umum. Negara secara jelas gagal membedakan subyek dan obyek hukum
dimana dalam beberapa produk peraturan daerah, negara menyamakan pelaku dan
gerakan sebagai perbuatan melanggar hukum. Misalnya antara sodomi dan
homoseksual didefinisikan sebagai “pelacuran” yang lalu dianggap
mengganggu ketertiban umum.
Tidak dapat dipungkiri perbedaan orientasi seksual dari kaum ini dijadikan
alasan bagi aparat negara untuk menolak mengakui mereka sebagai manusia dan
warga negara biasa dan disamakan dengan kriminal.
Dalam buku ini, proses menjadi AKU ternyata telah dirusak oleh negara.
Proses menjadi AKU telah ditentukan oleh lingkungan atas nama moral publik,
ketertiban umum, dan agama. Proses menjadi AKU tidak lagi yaitu bagian
proses DIRI menjadi MANUSIA, tapi dalam negara ini, proses menjadi AKU yaitu
proses yang dilakukan dan ditentukan oleh NEGARA. Bahkan di negara ini, proses
menjadi MANUSIA harus atas ijin NEGARA.
Semboyan negara kita , “Bhinneka Tunggal Ika,” memberi kesan negara
keanekaragaman, di mana perbedaan-perbedaan antar orang dihormati sebagai
sesuatu yang menyumbang ke kesejahteraan warga . Dibandingkan banyak
negara-negara lain, negara kita yaitu sebuah negara di mana gaya-gaya hidup
segala macam diakui dan dihormati. Tetapi, terwujudnya semboyan ini sebagai
realitas belum tercapai di negara kita .
Buku ini yaitu satu langkah yang menunjukkan bahwa suatu jenis
diskriminasi dan kekerasan masih ada di negara kita , yaitu pada orang lesbian,
gay, biseksual, transgender (F to M, M to F), dan interseks (LGBTI). Buku ini
berharga sebab menyatukan studi-studi masalah dengan kerangka hak azasi manusia.
Buku ini dengan teliti mendokumentasikan berbagai masalah -masalah diskriminasi dan
kekerasan pada orang LGBTI, dan memakai kerangka hak azasi manusia
untuk mencari solusi.
Konsep hak azasi manusia untuk orang LGBTI mungkin dianggap aneh oleh
banyak para pembaca buku ini, tetapi sebetulnya konsep ini sudah lama ada. Hak
azasi manusia diutamakan sejak awal pergerakan LGBTI di negara kita . Ini khususnya
terjadi sejak Lambda negara kita didirikan tahun 1982, dan usaha-usaha penting Dédé
Oetomo dan orang-orang lain sejak waktu itu, melalui GAYa Nusantara, Arus Pelangi,
dan banyak kelompok, organisasi, dan yayasan lain. Sejak pertama kali saya
mengunjungi negara kita tahun 1992, saya terkesan oleh komitment orang LGBTI di
negara kita pada hak azasi manusianya, dan cara-cara kreatif yang dipakai
olehnya untuk memperkuat hak-hak ini . Buku ini yaitu kontribusi penting
dalam melanjutkan perjuangan itu.
Di negara saya, yaitu Amerika Serikat, tahun-tahun 2000-2008 diwarnai
kepresidenan di mana agama dipakai oleh negara untuk memisahkan bagian-bagian
warga negara dari hak azasinya. Buku ini juga penting sebab menjelaskan
bagaimana kesalahfahaman tentang Islam dipakai di negara kita untuk menolak
hak azasi manusia kepada kaum LGBTI. Di Amerika Serikat, saya selalu berusaha
untuk memperbaiki kesalahfahaman pada Islam dengan menjelaskan bagaimana
komunitas-komunitas Islam di negara kita sangat beraneka ragam. Ada banyak cara
menjadi orang Islam yang baik dan taat, dan juga banyak perdebatan antara kaum
Islam yang sehat dan penting, seperti halnya dengan semua agama lain. Menjadi
bahaya kalau suatu pandangan atau kelompok mendapat dukungan eksklusif dari
negara, sehingga penafsiran agamanya dianggap penafsiran resmi atau penafsiran
satu-satunya. Hal ini sudah terjadi di Amerika Serikat, dan sudah menjadi bencana
sebab tidak mencerminkan keanekaragaman pikiran yang sesungguhnya ada di
Amerika Serikat. Di negara kita , perdebatan-perdebatan seperti ini akan memiliki
makna besar untuk hak azasi manusia orang LGBTI.
APB Arus Pelangi Banyumas
ARM Aliansi Rakyat Miskin
BAP Berita Acara Pemeriksaan
Bintalkesos Dinas Pembinaan Mental dan Kesehatan Sosial
CAT Konvensi Anti Penyiksaan
CEDAW Konvensi Pemberantasan Diskriminasi pada wanita
CRC Konvensi tentang Hak-hak Anak
Depdagri Departemen Dalam Negeri
DI-TII Darul Islam/Tentara Islam negara kita
DKI Daerah Khusus Ibukota
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat (tingkat) Daerah
DUHAM Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia
Ekosob [Hak-hak] ekonomi, sosial dan budaya
FKWI Forum Komunikasi Waria negara kita
FPI Front Pembela Islam
GPK (1) Gerakan Pemuda Ka’bah
(2) Gerombolan Pengacau Keamanan
HAM Hak-hak Asasi Manusia
HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency
Syndrome
ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights/ Perjanjian
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
ICSECR International Covenant on Social, Economic and Cultural Rights/
Perjanjian Internasional tentang Hak-hak Sosial, Ekonomi dan Budaya
IDAHO International Day against Homophobia/ Hari Internasional Melawan
Homofobia
KADI Komite Anti Diskriminasi negara kita
KAMMI Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim negara kita
Komnas HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
KPPI Kelompok Persiapan Penegakan Syariat Islam
KP3 Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan
KTP Kartu Tanda Penduduk
KUHP Kitab Undang-undang Hukum Pidana
LBH Lembaga Bantuan Hukum
LGBTI Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender dan Interseksual
LPHAM Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia
LSM Lembaga Swadaya warga
MA Mahkamah Agung
MK Mahkamah Konstitusi
MOU Memorandum of Understanding (kesepakatan resmi)
MUI Majelis Ulama negara kita
NAD Nanggroe Aceh Darussalam
ODHA Orang Dengan HIV/AIDS
Pansus Panitia Khusus
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
Perda peraturan daerah
Persami Perkemahan Sabtu-Minggu
PBHI Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM negara kita
PKBI Perkumpulan Keluarga Berencana negara kita
PKK Perlindungan Kelompok Khusus
PLU People Like Us
PN Pengadilan Negeri
PPDGJ Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa
PSK Pekerja Seks Komersial
RIS Republik negara kita Serikat
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RSUD Rumah sakit umum daerah
RUU PDRE Rancangan Undang-undang Penghapusan Diskriminasi berdasar
Ras dan Etnis
Satpol PP Satuan Polisi Pamong Praja
Sudin PPC Sub Dinas Penyantunan Penyandang Cacat
Sudin RTS Sub Dinas Rehabilitasi Tuna Sosial
STKIP Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Tibum Ketertiban Umum
TKP Tempat Kejadian Perkara
TNI Tentara Nasional negara kita
TPU Tempat Pemakaman Umum
UU Undang-undang
UUD Undang-undang Dasar/ Konstitusi
VER visum et repertum; laporan hasil pemeriksaan kedokteran untuk
kepentingan peradilan
WH Wilayatul Hisbah / Polisi Syariat
WIB waktu negara kita bagian barat
WITA waktu negara kita bagian tengah
WNI warga negara negara kita